Dampak globalisasi

26
DAMPAK GLOBALISASI TERHADAP DUNIA PENDIDIKAN DI INDONESIA MAKALAH Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Bahasa Indonesia Keilmuan yang dibina oleh Bapak Drs. Sunoto M. Pd. OLEH FINA FAIZAH 108231410612 UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS SASTRA JURUSAN SASTRA ARAB NOVEMBER 2009 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah. Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia (Edison A. Jamli, 2005). Proses globalisasi berlangsung melalui dua dimensi, yaitu dimensi ruang dan waktu. Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, dan terutama pada bidang pendidikan. Teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi. Dewasa ini, teknologi informasi dan komunikasi berkembang pesat dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas ke seluruh dunia. Oleh karena itu globalisasi
  • Upload

    -
  • Category

    Education

  • view

    51.126
  • download

    1

description

hidup penuh perjuangan

Transcript of Dampak globalisasi

Page 1: Dampak globalisasi

DAMPAK GLOBALISASI

TERHADAP DUNIA PENDIDIKAN DI INDONESIA

MAKALAHDisusun untuk memenuhi tugas matakuliah

Bahasa Indonesia Keilmuanyang dibina oleh Bapak Drs. Sunoto M. Pd.

OLEHFINA FAIZAH108231410612

UNIVERSITAS NEGERI MALANGFAKULTAS SASTRA

JURUSAN SASTRA ARABNOVEMBER 2009

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak

mengenal batas wilayah. Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari

gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain

yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman

bersama bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia (Edison A. Jamli, 2005). Proses

globalisasi berlangsung melalui dua dimensi, yaitu dimensi ruang dan waktu.

Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi,

politik, ekonomi, dan terutama pada bidang pendidikan. Teknologi informasi dan

komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi. Dewasa ini,

teknologi informasi dan komunikasi berkembang pesat dengan berbagai bentuk

dan kepentingan dapat tersebar luas ke seluruh dunia. Oleh karena itu globalisasi

tidak dapat dihindari kehadirannya, terutama dalam bidang pendidikan.

Page 2: Dampak globalisasi

Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara

termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif

dan negatif, pengaruh globalisasi meliputi segala aspek kehidupan terutama pada

masalah pendidikan diIndonesia. Ada dua isu kritis yang perlu kita sikapi

sehubungan dengan perspektif globalisasi dalam kebijakan pendidikan di

Indonesia yaitu: siapkah dunia pendidikan Indonesia menghadapi globalisasi?dan

bagaimanakah cara penyesuian pendidikan Indonesia di era globalisasi sekarang

ini?. Oleh sebab itu untuk melawan globalisasi terutama dalam pendidikan, kita

harus bisa menjaga eksistensi sekolah. Demikianlah, semoga kita dapat

mengarungi derasnya gelombang globalisasi dan kita tidak tenggelam dalam

gelombang itu.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa dampak globalisasi dalam dunia pendidikan?.

2. Bagaimana perkembangan globalisasi pada saat ini?.

3. Seperti apa pendidikan di Indonesia saat ini?.

4. Bagaimana cara penyesuaian pendidikan Indonesia di era globalisasi sekarang

ini?.

1.3 Tujuan Penulisan

1. Bagi Penulis

Disusun untuk memenuhi tugas yang diberikan dosen dalam mata kuliah

Bahasa Indonesia Keilmuan.

2. Bagi Pembaca

Makalah ini dimaksudkan untuk membahas dampak globalisasi terhadap

dunia pendidikan di Indonesia.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Globalisasi

Globalisasi telah menjadi sebuah kata yang memiliki makna tersendiri yang

seringkali kita baca dan dengar. Banyak pengguna istilah globalisasi

memahaminya berbeda dari makna yang sesungguhnya. Realitas semacam ini bisa

diterima mengingat tidak ada definisi yang tunggal terhadap globalisasi.

Page 3: Dampak globalisasi

R. Robertson (1992:8) misalnya, merumuskan globalisasi sebagai:"... the

compression of the world and the intensification of consciousness of the world as

a whole."

P. Kotter (1995:42) mendeskripsikan globalisasi sebagai, "...the product of many

forces, some of which are political (no major was since 1945), some of which are

technological (faster and cheaper transportation and communication), and some

of which are economic (mature firms seeking growth outside their national

boundaries)."

Tetapi, dalam tulisan ini kita cenderung mengutip pendapat J.A. Scholte

(2002:15-17) yang menyimpulkan bahwa setidaknya ada lima kategori pengertian

globalisasi yang umum ditemukan dalam literatur. Kelima kategori definisi

tersebut berkaitan satu sama lain dan kadangkala saling tumpang-tindih, namun

masing-masing mengandung unsur yang khas.

1. Globalisasi sebagai internasionalisasi

Dengan pemahaman ini, globalisasi dipandang sekedar `sebuah kata sifat

(adjective) untuk menggambarkan hubungan antar-batas dari berbagai negara'.

la menggambarkan pertumbuhan dalam pertukaran dan interdependensi

internasional. Semakin besar volume perdagangan dan investasi modal, maka

ekonomi antar-negara semakin terintegrasi menuju ekonomi global di mana

`ekonomi nasional yang distingtif dilesap dan diartikulasikan kembali ke dalam

suatu sistem melalui proses dan kesepakatan internasional'.

2. Globalisasi sebagai liberalisasi

Dalam pengertian ini, “globalisasi” merujuk pada sebuah proses penghapusan

hambatan-hambatan yang dibuat oleh pemerintah terhadap mobilitas antar negara

untuk menciptakan sebuah ekonomi dunia yang terbuka dan tanpa-batas. Mereka

yang berpendapat pentingnya menghapus hambatan-hambatan perdagangan dan

kontrol modal biasanya berlindung di balik mantelglobalisasi.

3. Globalisasi sebagai universalisasi

Dalam konsep ini, kata global digunakan dengan pemahaman bahwa

proses mendunia dan globalisasi merupakan proses penyebaran berbagai objek

dan pengalaman kepada semua orang ke seluruh penjuru dunia. Contoh klasik dari

konsep ini adalah penyebaran teknologi komputer, televisi, internet, dll.

Page 4: Dampak globalisasi

4. Globalisasi sebagai westernisasi atau modernisasi (lebih dalam bentuk

yang Americanised)

Globalisasi dalam konteks ini dipahami sebagai sebuah dinamika, di mana

struktur-struktur sosial modernitas (kapitalisme, rasionalisme, industrialisme,

birokratisme, dsb.) disebarkan ke seluruh penjuru dunia, yang dalam prosesnya

cenderung merusak budaya setempat yang telah mapan serta merampas hak self-

determination rakyat setempat.

5. Globalisasi sebagai penghapusan batas-batas teritorial (atau sebagai persebaran

supra-teritorialitas)

Globalisasi mendorong rekonfigurasi geografis, sehingga ruang-sosial tidak lagi

semata dipetakan dengan kawasan teritorial, jarak teritorial, dan batas-batas

teritorial. Dalam konteks ini, globalisasi juga dipahami sebagai sebuah proses

(atau serangkaian proses) yang melahirkan sebuah transformasi dalam spatial

organisation dari hubungan sosial dan transaksi-ditinjau dari segi ekstensitas,

intensitas, kecepatan dan dampaknya yang memutar mobilitas antar-benua atau

antar-regional serta jaringan aktivitas.

Globalisasi bisa dianggap sebagai penyebaran dan intensifikasi dari hubungan

ekonomi, sosial, dan kultural yang menembus sekat-sekat geografis ruang dan

waktu. Dengan demikian, globalisasi hampir melingkupi semua hal yang

berkaitan dengan ekonomi, politik, kemajuan teknologi, informasi, komunikasi,

transportasi, dll. Perkembangan dunia pendidikan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perkembangan globalisasi, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Era pasar bebas juga merupakan tantangan bagi dunia pendidikan Indonesia, karena terbuka peluang lembaga pendidikan dan tenaga pendidik dari mancanegara masuk ke Indonesia. Untuk menghadapi pasar global maka kebijakan pendidikan nasional harus dapat meningkatkan mutu pendidikan, baik akademik maupun non-akademik, dan memperbaiki manajemen pendidikan agar lebih produktif dan efisien serta memberikan akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan. Ketidaksiapan bangsa kita dalam mencetak SDM yang berkualitas dan bermoral yang dipersiapkan untuk terlibat dan berkiprah dalam kancah globalisasi, menimbulkan dampak negatif yang tidak sedikit jumlahnya bagi masyarakat. Paling tidak, ada tiga dampak negatif yang akan terjadi dalam dunia pendidikan kita. Pertama, dunia pendidikan akan menjadi objek komoditas dan komersil seiring dengan kuatnya hembusan paham neoliberalisme yang melanda dunia. Paradigma dalam dunia komersial adalah usaha mencari pasar baru dan

Page 5: Dampak globalisasi

memperluas bentuk-bentuk usaha secara terus-menerus. Globalisasi mampu memaksa liberalisasi berbagai sektor yang dulunya non-komersial menjadi komoditas dalam pasaar yang baru. Tidak heran apabila sekolah masih membebani orang tua murid dengan sejumlah anggaran berlabel uang komite atau uang sumbangan pengembangan institusi meskipun pemerintah sudah menyediakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Kedua, mulai longgarnya kekuatan kontrol pendidikan oleh negara. Tuntutan untuk berkompetisi dan tekanan institusi global, seperti IMF dan World Bank, mau atau tidak, membuat dunia politik dan pembuat kebijakan harus berkompromi untuk melakukan perubahan. Lahirnya UUD 1945 yang telah diamandemenkan, UU Sisidiknas, dan PP 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) setidaknya telah membawa perubahan paradigma pendidikan dari coraksentralistis menjadi desentralistis. Ketiga, globalisasi akan mendorong delokasi dan perubahan teknologi dan orientasi pendidikan. Pemanfaatan teknologi baru, seperti computer dan internet, telah membawa perubahan yang sangat revolusioner dalam dunia pendidikan yang tradisional. Pemanfaatan multimedia yang portable dan menarik sudah menjadi pemandangan yang biasa dalam praktik pembelajaran di dunia persekolahan kita. Di sinilah bahwa pendidikan menjadi agenda prioritas kebangsaan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi untuk diperbaiki seoptimal mungkin.

2.2 Keadaan Buruk Pendidikan di Indonesia2.2.1 Paradigma Pendidikan Nasional yang Sekular-Materialistik Diakui atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini adalah sistem pendidikan yang sekular-materialstik. Hal ini dapat terlihat antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang, dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi : Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, kagamaan, dan khusus dari pasal ini tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Sistem pendidikan dikotomis semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia yang sholeh yang berkepribadian sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi. Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan tampak pada pendidikan agama melalui madrasah, institusi agama, dan pesantren yang dikelola oleh Departemen Agama; sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, kejurusan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) dilakukan oleh Depdiknas dan dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama. Pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius. Agama ditempatkan sekadar salah satu aspek yang perannya sangat minimal, bukan menjadi landasan seluruh aspek.

Page 6: Dampak globalisasi

Pendidikan yang sekular-materialistik ini memang bisa melahirkan orang yang menguasai sains-teknologi melalui pendidikan umum yang diikutinya. Akan tetapi, pendidikan semacam itu terbukti gagal membentuk kepribadian peserta didik dan penguasaan ilmu agama. Banyak lulusan pendidikan umum yang ‘buta agama’ dan rapuh kepribadiannya. Sebaliknya, mereka yang belajar di lingkungan pendidikan agama memang menguasai ilmu agama dan kepribadiannya pun bagus, tetapi buta dari segi sains dan teknologi. Sehingga, sektor-sektor modern diisi orang-orang awam. Sedang yang mengerti agama membuat dunianya sendiri, karena tidak mampu terjun ke sektor modern.

2.2.2 Mahalnya Biaya Pendidikan Pendidikan bermutu itu mahal, itulah kalimat yang sering terlontar di kalangan masyarakat. Mereka menganggap begitu mahalnya biaya untuk mengenyam pendidikan yang bermutu. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) sampai Perguruan Tinggi membuat masyarakat miskin memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), dimana di Indonesia dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, komite sekolah yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah komite sekolah terbentuk, segala pungutan disodorkan kepada wali murid sesuai keputusan komite sekolah. Namun dalam penggunaan dana, tidak transparan. Karena komite sekolah adalah orang-orang dekat kepada sekolah. Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melempar tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sector yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005). Koordinator LSM Education network foa Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersalialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk

Page 7: Dampak globalisasi

meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara kaya dan miskin. Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya?. Kewajiban Pemerintahlah untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataan Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.Fandi achmad (Jawa Pos, 2/6/2007) menjelaskan sebagai berikut.

Mencermati konteks pendidikan dalam praktik seperti itu, tujuan pendidikan menjadi bergeser. Awalnya, pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan tidak membeda-bedakan kelas sosial. Pendidikan adalah untuk semua. Namun, pendidikan kemudian menjadi perdagangan bebas (free trade).Tesis akhirnya, bila sekolah selalu mengadakan drama tahun ajaran masuk sekolah dengan bentuk pendidikan diskriminatif sedemikian itu, pendidikan justru tidak bisa mencerdaskan bangsa. Ia diperalat untuk mengeruk habis uang rakyat demi kepentingan pribadi maupun golongan per se.

2.2.3 Kualitas SDM yang Rendah Akibat paradigma pendidikan nasional yang sekular-materialistik, kualitas kepribadian anak didik di Indonesia semakin memprihatinkan. Dari sisi keahlian pun sangat jauh jika dibandingkan dengan Negara lain. Jika dibandingkan dengan India, sebuah Negara dengan segudang masalah (kemiskinan, kurang gizi, pendidikan yang rendah), ternyata kualitas SDM Indonesia sangat jauh tertinggal. India dapat menghasilkan kualitas SDM yang mencengangkan. Jika Indonesia masih dibayang-bayangi pengusiran dan pemerkosaan tenaga kerja tak terdidik yang dikirim ke luar negeri, banyak orang India mendapat posisi bergengsi di pasar Internasional.

Di samping kualitas SDM yang rendah juga disebabkan di beberapa daerah di

Indonesia masih kekurangan guru, dan ini perlu segera diantisipasi. Tabel 1.

berikut menjelaskan tentang kekurangan guru, untuk tingkat TK, SD, SMP dan

SMU maupun SMK untuk tahun 2004 dan 2005. Total kita masih membutuhkan

sekitar 218.000 guru tambahan, dan ini menjadi tugas utama dari lembaga

pendidikan keguruan.

2004 2005KEBUTUHAN

KEBUTUHAN PENSIUN KEBUTUHAN PENSIUN

TK 893 187 1,080 260 1,340

Page 8: Dampak globalisasi

SD 63,144 20,399 83,543 23,918 107,461

SMP 57,537 4,707 62,244 6,270 68,514

SMU 26,120 1,498 27,618 1,685 29,303

SMK 9,972 1,073 11,045 1,175 12,220

TOTAL 157,666 27,864 185,530 33,308 218,838

Tabel 1. Kekurangan guru untuk Tahun 2004 dan 2005(Sumber Data: Direktorat Tenaga Kependidikan, 2004)

Dalam

menghadapi era globalisasi, kita tidak hanya membutuhkan sumber daya manusia

dengan latar belakang pendidikan formal yang baik, tetapi juga diperlukan sumber

daya manusia yang mempunyai latar belakang pendidikan non formal (tabel 2).Tabel 2. Tantangan pendidikan non Formal

(Sumber Data: Direktorat Tenaga Kependidikan, 2004)

2.2.4 Penyesuaian Pendidikan Indonesia di Era Globalisasi

Dari tulisan di atas, kita bisa menyimpulkan, pertama, bahwa dalam berbagai

takaran dan ukuran dunia pendidikan kita belum siap menghadapi globalisasi.

Belum siap tidak berarti bangsa kita akan hanyut begitu saja dalam arus global

tersebut. Kita harus menyadari bahwa Indonesia masih dalam masa transisi dan

memiliki potensi yang sangat besar untuk memainkan peran dalam globalisasi

khususnya pada konteks regional. Inilah salah satu tantangan dunia pendidikan

kita yaitu menghasilkan SDM yang kompetitif dan tangguh. Kedua, dunia

pendidikan kita menghadapi banyak kendala dan tantangan. Namun dari uraian di

atas, kita optimis bahwa masih ada peluang.

Ketiga, alternatif yang ditawarkan di sini adalah penguatan fungsi keluarga dalam

pendidikan anak dengan penekanan pada pendidikan informal sebagai bagian dari

Page 9: Dampak globalisasi

pendidikan formal anak di sekolah. Kesadaran yang tumbuh bahwa keluarga

memainkan peranan yang sangat penting dalam pendidikan anak akan membuat

kita lebih hati-hati untuk tidak mudah melemparkan kesalahandunia pendidikan

nasional kepada otoritas dan sektor-sektor lain dalam masyarakat, karena

mendidik itu ternyata tidak mudah dan harus lintas sektoral. Semakin besar

kuantitas individu dan keluarga yang menyadari urgensi peranan keluarga ini,

kemudian mereka membentuk jaringan yang lebih luas untuk membangun sinergi,

maka semakin cepat tumbuhnya kesadaran kompetitif di tengah-tengah bangsa

kita sehingga mampu bersaing di atas gelombang globalisasi ini.

Yang dibutuhkan Indonesia sekarang ini adalah visioning,repositioning strategy,

dan leadership. Tanpa itu semua, kita tidak akan pernah beranjak dari

transformasi yang terus berputar-putar. Dengan visi jelas, tahapan-tahapan yang

juga jelas, dan komitmen semua pihak serta kepemimpinan yang kuat untuk

mencapai itu, tahun 2020 bukan tidak mungkin Indonesia juga bisa bangkit

kembali menjadi bangsa yang lebih bermartabat dan jaya sebagai pemenang

dalam globalisasi.

BAB IIIPENUTUP

3.1 Kesimpulan Perkembangan dunia pendidikan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perkembangan globalisasi, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Era pasar bebas juga merupakan tantangan bagi dunia pendidikan Indonesia, karena terbuka peluang lembaga pendidikan dan tenaga pendidik dari mancanegara masuk ke Indonesia. Untuk menghadapi pasar global maka kebijakan pendidikan nasional harus dapat meningkatkan mutu pendidikan, baik akademik maupun non-akademik, dan memperbaiki manajemen pendidikan agar lebih produktif dan efisien serta memberikan akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan. Paling tidak, ada tiga dampak globalisasi yang akan terjadi dalam dunia pendidikan. Pertama, dunia pendidikan akan menjadi objek komoditas dan komersil seiring dengan kuatnya hembusan paham neoliberalisme yang melanda

Page 10: Dampak globalisasi

dunia. Kedua, mulai longgarnya kekuatan kontrol pendidikan oleh negara. Ketiga, globalisasi akan mendorong delokasi dan perubahan teknologi dan orientasi pendidikan. Diakui atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini adalah sistem pendidikan yang sekular-materialstik. Hal ini dapat terlihat antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang, dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi : Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, kagamaan, dan khusus dari pasal ini tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum.

Cara penyesuaian pendidikan Indonesia di era globalisasi sekarang ini

adalah visioning, repositioning strategy, dan leadership. Tanpa itu semua, kita

tidak akan pernah beranjak dari transformasi yang terus berputar-putar. Dengan

visi jelas, tahapan-tahapan yang juga jelas, dan komitmen semua pihak serta

kepemimpinan yang kuat untuk mencapai itu, tahun 2020 bukan tidak mungkin

Indonesia juga bisa bangkit kembali menjadi bangsa yang lebih bermartabat dan

jaya sebagai pemenang dalam globalisasi. 3.2 Kritik dan Saran Penulis menyarankan kepada pemerintah untuk lebih meningkatkan mutu SDM yang berkualitas dan bermoral agar dapat lebih siap untuk menerima dampak positif maupun dampak negatif dari adanya globalisasi. Peningkatan mutu SDM bisa ditingkatkan melalui program pendidikan gratis bagi masyarakat yang kurang mampu. Hendaknya pemerintah juga lebih memperhatikan tentang dampak globalisasi, karena dampak globalisasi tidak hanya merugikan warga negaranya, akan tetapi hal itu juga dapat berimbas pada pemerintah sendiri.

DAFTAR RUJUKANEdison, A. Jamli, dkk. 2005. Kewarganegaraan. Malang: FIP UNIVERSITAS

NEGERIMALANG. Scholte, J. A. (2000). Globalization: A critical Introduction. London: Palgrave,

hal. 15-17.http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/07/27/(Online)

(18212767/otonomi pendidikan belum membawa perbaikan. diakses 12 Oktober 2009).

Achmad, Fandi. 2 Juni 2007. Korban Otonomi Pendidikan. Jawa Pos.Majalah Al waie. No. 59 tahun V 1-31 Juli 2005. Dampak Globalisasi dalam

Dunia Pendidikan di Indonesia.

Page 11: Dampak globalisasi

Kompas. 10 Mei 2005.Mukhtar, Yanti. 10 Mei 2005. Privatisasi Pendidikan. Republika. R. Robertson (1992). Globalization: Social Theory and Global Culture. London:

Sage Publications, hal. 8.Kotter, P. (1955). The New Rules How to Succeed in Today's Post-Corporate

World. New York: The Free Press, p. 42.Jalal, Fasli. Reformasi Pendidikan, Dalam Konteks Otonomi Daerah. Penerbit

Depdiknas-Bappenas-Adicita Karya Nusa

Hana Kristina PurbaMaria Husnun Nisa

1. PendahuluanGlobalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah.Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa- bangsa di seluruh dunia. (Menurut Edison A. Jamli dkk.Kewarganegaraan.2005) Globalisasi ditandai oleh ambivalensi – yaitu tampak sebagai “berkah” di satu sisi tetapi sekaligus menjadi “kutukan” di sisi lain. Tampak sebagai “kegembiraan” pada satu pihak tetapi sekaligus menjadi “kepedihan” di pihak lainnya. Globalisasi pendidikan di Indonesia juga ditandai oleh ambivalensi yaitu berada pada kebingungan, karena ingin mengejar ketertinggalan untuk menyamai kualitas pendidikan Internasional, kenyataannya Indonesia belum siap untuk mencapai kualitas tersebut. Padahal kalau tidak ikut arus globalisasi ini Indonesia akan semakin tertinggal.

Munculnya istilah globalisasi/liberalisasi pendidikan tinggi bermula dari WTO yang menganggap pendidikan tinggi sebagai jasa yang bisa diperdagangkan atau diperjualbelikan. Tiga negara yang paling mendapatkan keuntungan besar dari liberalisasi jasa pendidikan adalah Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Australia (Enders dan Fulton, Eds., 2002, hh 104-105).

Menurut pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Sementara pada pasal 28 B ayat (1) mengamanatkan bahwa “Setiap orang berhak mengembangkan pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya, demi kesejahteraan umat manusia” dan pasal 31 ayat (1) mengamanatkan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”

Konstitusi itu menunjukkan kalau rakyat mempunyai kedudukan yang sama untuk dan di dalam memperoleh pendidikan yang tepat yang bisa membebaskannya dari kebodohan atau bisa mengantarkannya menjadi manusia-manusia berguna. Kata “setiap” dalam konstitusi tersebut artinya

Page 12: Dampak globalisasi

setiap orang, tanpa membedakan gender, strata sosial, etnis, golongan, agama dan status apapun berhak untuk memperoleh perlindungan di bidang pendidikan. Hak pendidikan menjadi hak setiap warga negara, karena jika hak ini berhasil diimplementasikan dengan baik, maka bangsa ini pun akan memperoleh kemajuannya. Karena pendidikan merupakan pondasi kehidupan bernegara. Pendidikan memiliki peran kunci dan strategis dalam memajukan sebuah bangsa. Dari pendidikan sebuah bangsa bisa dibuat maju atau mundur ke belakang.

Berdasarkan UU No. 20 tahun 2003 dinyatakan bahwa pendidikan formal di Indonesia bermula dari TK selama dua tahun dilanjutkan Sekolah Dasar hingga kelas enam. Lulusan sekolah dasar melanjut ke sekolah menengah pertama selama tiga tahun dan sekolah menengah atas tiga tahun berikutnya. Lulusan SMU dapat memilih untuk memperoleh gelar diploma atau sarjana atau bentuk pendidikan tinggi lain.Perkembangan dunia pendidikan di Indonesia bisa dilihat dari tiga hal :• Masalah peningkatan mutu manusia dan masyarakat Indonesia• Kedua, menyangkut masalah globalisasi• Perkembangan dan kemajuan teknologi.

Pendidikan merupakan aspek penting dalam era globalisasi. Tiga persoalan ini sangat berpengaruh dalam perkembangan dunia pendidikan. Sebab peningkatan SDM, yang menjadi tugas dan tanggung jawab utama pendidikan, sangat dipengaruhi faktor globalisasi dan teknologi. Pengaruh globalisasi, kemajuan teknologi dan informasi serta perubahan nilai-nilai sosial harus diperhitungkan dalam penyelenggaran pendidikan, apalagi tanggung jawab dunia pendidikan untuk mencapai tujuan pokok melahirkan manusia yang berkualitas

Pendidikan mulai diperhitungkan lebih serius sebagai tonggak utama dalam pertumbuhan dan pembangunan dalam konsepsi knowledge economy, terutama karena terjadinya pergeseran besar dari orientasi kerja otot (muscles work) ke kerja mental (mental works). Dalam konsepsi ini, peranan dan penguasaan informasi sedemikian vitalnya, sehingga kebutuhan dalam proses pengumpulan, penyaringan, dan analisa informasi menjadi sedemikian penting.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disertai dengan semakin kencangnya arus globalisasi dunia membawa dampak tersendiri bagi dunia pendidikan. Teknologi berkembang sangat pesat, pemerintah juga jadi kerepotan dan akhirnya mengubah kurikulum pendidikan di Indonesia disesuaikan dengan tuntutan era globalisasi. Padahal kurikulum di Indonesia itu sudah berulang kali dimodifikasi, bahkan diubah-ubah. Bahkan sering ada anggapan bahwa setiap kali ganti menteri tentu ganti kurikulum. Yang lebih membingungkan lagi, setiap terjadi perubahan pendekatan atau teori selalu disertai dengan berbagai jargon dan istilah-istilah baru. Dulu CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), kemudian link and match, kemudian KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) dan terakhir adalah KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Berikutnya entah berbasis apa lagi. Ujungnya selalu saja ganti buku, ganti cara membuat persiapan mengajar, ganti cara ulangan, ganti cara tampil di kelas dan sebagainya. Bahkan, sering terjadi, kurikulum telah dimodifikasi lagi ketika kurikulum lama belum sampai di sekolah.

Menurut Alex Maryunis Kurikulum itu terdiri dari: alat dasar; dokumen tertulis; pelaksanaan dan hasil belajar. Yang sering digonta ganti dan dimodifikasi atau

Page 13: Dampak globalisasi

diubah-ubah itu adalah pada dokumen tertulisnya. Gonta ganti kurikulum memperlihatkan bagaimana pendidikan dibereskan dengan metode tambal sulam.

2. Dampak Globalisasi dalam dunia PendidikanBanyak sekolah di indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini mulai melakukan globalisasi dalam sistem pendidikan internal sekolah. Hal ini terlihat pada sekolah – sekolah yang dikenal dengan billingual school, dengan diterapkannya bahasa asing seperti bahasa Inggris dan bahasa Mandarin sebagai mata ajar wajib sekolah. Selain itu berbagai jenjang pendidikan mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang membuka program kelas internasional. Globalisasi pendidikan dilakukan untuk menjawab kebutuhan pasar akan tenaga kerja berkualitas yang semakin ketat. Dengan globalisasi pendidikan diharapkan tenaga kerja Indonesia dapat bersaing di pasar dunia. Apalagi dengan akan diterapkannya perdagangan bebas, misalnya dalam lingkup negara-negara ASEAN, mau tidak mau dunia pendidikan di Indonesia harus menghasilkan lulusan yang siap kerja agar tidak menjadi “budak” di negeri sendiri. Pendidikan model ini juga membuat siswa memperoleh keterampilan teknis yang komplit dan detil, mulai dari bahasa asing, computer, internet sampai tata pergaulan dengan orang asing dan lain-lain. sisi positif lain dari liberalisasi pendidikan yaitu adanya kompetisi. Sekolah-sekolah saling berkompetisi meningkatkan kualitas pendidikannya untuk mencari peserta didik.

Globalisasi seperti gelombang yang akan menerjang, tidak ada kompromi, kalau kita tidak siap maka kita akan diterjang, kalau kita tidak mampu maka kita akan menjadi orang tak berguna dan kita hanya akan jadi penonton saja. Akibatnya banyak Desakan dari orang tua yang menuntut sekolah menyelenggarakan pendidikan bertaraf internasional dan desakan dari siswa untuk bisa ikut ujian sertifikasi internasional. Sehingga sekolah yang masih konvensional banyak ditinggalkan siswa dan pada akhirnya banyak pula yang gulung tikar alias tutup karena tidak mendapatkan siswa.Implikasinya, muncullah :• Home schooling, yang melayani siswa memenuhi harapan siswa dan orang tua karena tuntutan global• Virtual School dan Virtual UniversityMunculnya alternatif lain dalam memilih pendidikan• Model Cross Border Supply, yaitu pembelajaran jarak jauh (distance learning), pendidikan maya (virtual education) yang diadakan oleh Perguruan Tinggi Asing ; contohnya United Kingdom Open University dan Michigan Virtual University.• Model Consumption Aboard, lembaga pendidikan suatu negara menjual jasa pendidikan dengan menghadirkan konsumen dari negara lain; contoh : yaitu hadirnya banyak para pemuda Indonesia menuntut ilmu membeli jasa pendidikan ke lembaga-lembaga pendidikan ternama yang ada di luar negeri.• Model Movement of Natural Persons. Dalam hal ini lembaga pendidikan di suatu negara menjual jasa pendidikan ke konsumen di negara lain dengan cara mengirimkan personelnya ke negara konsumen. Contohnya dengan mendatangkan dosen tamu dari luar negeri bekerja sama dengan perguruan tinggi yang ada di Indonesia (tidak gratis tentunya).• Model Commercial Presence, yaitu penjualan jasa pendidikan oleh lembaga di suatu negara bagi konsumen yang berada di negara lain dengan mewajibkan kehadiran secara fisik lembaga penjual jasa dari negara tersebut.

Page 14: Dampak globalisasi

Persaingan untuk menciptakan negara yang kuat terutama di bidang ekonomi, sehingga dapat masuk dalam jajaran raksasa ekonomi dunia tentu saja sangat membutuhkan kombinasi antara kemampuan otak yang mumpuni disertai dengan keterampilan daya cipta yang tinggi. Salah satu kuncinya adalah globalisasi pendidikan yang dipadukan dengan kekayaan budaya bangsa Indonesia. Selain itu hendaknya peningkatan kualitas pendidikan hendaknya selaras dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Tidak dapat kita pungkiri bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan. Dalam hal ini, untuk dapat menikmati pendidikan dengan kualitas yang baik tadi tentu saja memerlukan biaya yang cukup besar. Tentu saja hal ini menjadi salah satu penyebab globalisasi pendidikan belum dirasakan oleh semua kalangan masyarakat. Sebagai contoh untuk dapat menikmati program kelas Internasional di perguruan tinggi terkemuka di tanah air diperlukan dana lebih dari 50 juta. Alhasil hal tersebut hanya dapat dinikmati golongan kelas atas yang mapan. Dengan kata lain yang maju semakin maju, dan golongan yang terpinggirkan akan semakin terpinggirkan dan tenggelam dalam arus globalisasi yang semakin kencang yang dapat menyeret mereka dalam jurang kemiskinan. Masyarakat kelas atas menyekolahkan anaknya di sekolah – sekolah mewah di saat masyarakat golongan ekonomi lemah harus bersusah payah bahkan untuk sekedar menyekolahkan anak mereka di sekolah biasa. Ketimpangan ini dapat memicu kecemburuan yang berpotensi menjadi konflik sosial. Peningkatan kualitas pendidikan yang sudah tercapai akan sia-sia jika gejolak sosial dalam masyarakat akibat ketimpangan karena kemiskinan dan ketidakadilan tidak diredam.

Selain itu ketidaksiapan sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan bertaraf internasional dan ketidaksiapan guru yang berkompeten dalam menyelenggarakan pendidikan tersebut merupakan perpaduan yang klop untuk menghasilkan lulusan yang tidak siap pula berkompetisi di era globalisasi ini alias lulusan yang kurang berkualitas. Seperti yang dilansir KOMPAS.com tanggal 28 Oktober 2009 menyebutkan bahwa tiga hasil studi internasional menyatakan, kemampuan siswa Indonesia untuk semua bidang yang diukur secara signifikan ternyata berada di bawah rata-rata skor internasional yang sebesar 500. Jika dibandingkan dengan siswa internasional, siswa Indonesia hanya mampu menjawab soal dalam kategori rendah dan sedikit sekali, bahkan hampir tidak ada yang dapat menjawab soal yang menuntut pemikiran tingkat tinggi. hasil tiga studi tersebut mengemuka dalam seminar Mutu Pendidikan dan Menengah Hasil Penelitian Puspendik 2009 di Gedung Depdiknas, Jakarta, Rabu (28/10). Masih dalam Kompas.com tanggal 28 Oktober 2009 menyebutkan salah satu penelitian yang mengungkap lemahnya kemampuan siswa, dalam hal ini siswa kelas IV SD/MI, adalah penelitian Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS), yaitu studi internasional dalam bidang membaca pada anak-anak di seluruh dunia yg disponsori oleh The International Association for the Evaluation Achievement. Hasil studi menunjukkan bahwa rata-rata anak Indonesia berada pada urutan keempat dari bawah dari 45 negara di dunia. Demikian hasil studi tersebut dipaparkan dalam laporan penelitian “Studi Penilaian Kemampuan Guru Melalui Video dengan Memanfaatkan Data PIRLS” oleh Prof Dr Suhardjono dari Pusat Penelitian Pendidikan Depdiknas di Jakarta, Rabu (28/10). Dalam laporan tersebut, Suhardjono menuturkan, muara dari lemahnya pembelajaran membaca patut diduga karena kemampuan guru dan kondisi sekolah.

Dalam lansiran lain di Kompas.com tanggal 19 Juni 2009 Ir Hafilia R. Ismanto MM., Direktur Bidang Akademik LBPP LIA, menyebutkan bahwa sampai saat ini

Page 15: Dampak globalisasi

masih banyak guru belum berhasil untuk dijadikan role model sebagai pengguna Bahasa Inggris yang baik, penyebab hal tersebut karena selama ini pihak sekolah dan guru belum melakukan pendekatan integrasi antara content atau mata pelajaran dan Bahasa Inggris. Tidak semua guru mata pelajaran bisa diberdayakan untuk memberikan materi berbahasa Inggris, kecuali para guru itu memang benar-benar siap.

Pendidikan di Indonesia sekarang membuat rakyat biasa sangat menderita. Pendidikan menjadi sesuatu yang tak terjangkau rakyat kecil. Tidak ada penggolongan orang miskin dan orang kaya. Lembaga pendidikan telah dijadikan ladang bisnis dan dikomersialkan.

Kebijakan yang mahal ini memang sangat merisaukan karena akan mengubur impian mobilitas kelas sosial bawah untuk memperbaiki status kelasnya. Melalui sistem ini, maka yang bisa diserap dalam lingkungan pendidikan adalah mereka yang memiliki modal yang cukup. Sekolah kian menjadi lembaga elite dan bahkan menjadi kekuatan yang menghadang arus mobilitas vertikal kelas sosial bawah. Dalam beberapa aktivitasnya bahkan sekolah ikut terlibat melegitimasi tatanan yang timpang. Jika diusut penyebab ini semua, tentu jawabannya adalah kebijakan ekonomi neoliberal. Neoliberalisme berangkat dari keyakinan akan kedigdayaan pasar serta pelumpuhan kekuasaan negara. Sekolah tidak perlu menjadi tanggungan negara, cukup diberikan pada mekanisme pasar. Biarlah pasar yang akan menyeleksi mana sekolah yang patut dipertahankan dan mana yang harus gulung tikar. Di situ pendidikan berangsur-angsur menjadi tempat eksklusif yang memberi pelayanan hanya pada mereka yang kuat membayar.

Implikasinya, jutaan rakyat Indonesia belum memperoleh pendidikan yang layak. Bahkan tidak sedikit pula yang masih berkategori masyarakat buta huruf. Mereka belum bisa menikmati dunia pendidikan seperti anggota masyarakat yang mampu “membeli” dan menikmati pendidikan. Masyarakat demikian mencerminkan suatu kesenjangan yang serius karena di satu sisi ada sebagian yang bisa membeli politik komoditi pendidikan secara mahal. Sementara tidak sedikit anggota masyarakat yang tidak cukup punya kemampuan ekonomi untuk bisa membebaskan diri dari buta huruf akibat dunia pendidikan yang tidak berpihak secara manusiawi kepada dirinya. Biaya pendidikan yang melangit ini terjadi di dunia pendidikan dasar, menengah hingga pendidikan tinggi.

Tidak hanya itu implikasi dari makin mahalnya biaya pendidikan. Kualitas mahasiswa yang masuk perguruan tinggi pun nantinya patut dipertanyakan karena bukan tidak mungkin uang yang akan berbicara. Siapa yang lebih banyak dia yang akan menang. Bisa jadi mereka yang memiliki kemampuan intelektual pas-pasan bisa mengenyam pendidikan di jurusan dan universitas favorit karena dia bisa membayar biaya yang cukup tinggi. Sementara itu, mereka yang memiliki kemampuan lebih tidak bisa menyandang gelar mahasiswa lantaran tidak memiliki kemampuan finansial.

Realitas menunjukkan, krisis yang menimpa dunia pendidikan di Indonesia, khususnya kualitas pendidikan yang rendah, merupakan persoalan yang sangat kompleks. Prasarana, sarana, dan fasilitas kurang memadai, anggaran pendidikan nasional yang sangat minim, dan banyaknya guru yang mengajar tidak sesuai dengan keahlian atau memang belum layak disebut guru merupakan faktor yang ikut menyulitkan pengembangan kualitas pendidikan.

Page 16: Dampak globalisasi

Selain itu telah muncul banyak pernyataan dan keluhan tentang rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia, yang tentu saja terkait dengan mutu lulusan yang dihasilkan oleh sistem pendidikan. Padahal, anggaran negara yang dialokasikan untuk pendidikan itu selalu bertambah dari tahun ke tahun. Sungguh ironis memang, anggaran selalu naik tetapi kualitas lulusan tetap rendah dan justru dirasakan semakin mahal. Mengapa hal seperti ini terjadi, padahal kurikulum dan buku, entah sudah berapa kali diubah. Entah sudah berapa macam metode mengajar yang ditatarkan kepada guru. Akankah keadaan ini dibiarkan terus berlanjut? Jika tak menghasilkan lulusan yang berkualitas dan dapat diandalkan, dapatkah pendidikan itu disebut sebuah investasi untuk masa depan?

Namun seringkali masyarakat hanya dibuai oleh janji-janji anggaran atau kebijakan bertemakan “alokasi”. Faktanya mimpi masyarakat ini sulit terkabul dengan alas an-alasan yang politis. Pejabat belum sungguh-sungguh menempatkan dunia pendidikan ini sebagai penyangga kemajuan bangsa. Kenyataannya memang demikian. Subsidi pemerintah pemerintah perlahan menyurut hingga tak lagi dapat mencukupi kebutuhan universitas. Namun di balik itu semua ada hal yang terlewatkan oleh para pimpinan universitas sebagai makin mahalnya biaya pendidikan. Yakni, kaum miskin hanya bisa gigit jari karena tidak dapat meneruskan ke jenjang pendidikan tinggi.

Selain itu banyak penyelewengan-penyelewengan anggaran pendidikan yang dilakukan oleh dilakukan aparat dinas pendidikan di daerah dan sekolah. Peluang penyelewengan dana pendidikan itu terutama dalam alokasi dana rehabilitasi dan pengadaan sarana prasarana sekolah serta dana operasional sekolah. Temuan tersebut dipaparkan oleh Febri Hendri, Peneliti Senior Indonesia Corruption Watch (ICW) saat menyoal Evaluasi Kinerja Departemen Pendidikan Nasional Periode 2004 – 2009 di Jakarta, Rabu (9/9). Menurut Febri, selama kurun waktu 2004-2009, sedikitnya terungkap 142 kasus korupsi di sektor pendidikan. Kerugian negara mencapai Rp 243,3 miliar. (Kompas.com tanggal 9 September 2009).

Padahal tujuan utama dari pengucuran dana pendidikan tersebut seperti dana BOS adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan, menaikkan kualitas tenaga pendidik supaya siswa Indonesia memiliki daya saing di tingkat internasional. Namun apa yang terjadi selain penyelewengan seperti yang disebutkan di atas, terjadi penggunaan dana BOS yang belum tepat seperti yang dimuat Kompas.com tanggal 28 Oktober 2009 yang merupakan hasil penelitian bidang pendidikan berkerja sama dengan Pusat Penelitian Depdiknas yang dibahas dalam seminar bertajuk Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah yang dipaparkan oleh Bahar Sinring, Dekan Fakultas Muslim Indonesia Makassar menyebutkan bahwa Dari penggunaan dana BOS di tiap provinsi terlihat bahwa pemanfaatan untuk gaji guru atau tenaga administrasi honorer mengambil porsi yang cukup besar sekitar 20-40 persen. Akibatnya, dana BOS yang dapat dinikmati siswa, termasuk untuk membantu siswa miskin, berkurang. Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan diketahui bahwa enam dari sepuluh sekolah menyimpangkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Rata-rata penyimpangan itu senilai Rp 13,7 juta.

Menurut Ade (dalam Kompas.com 9 September 2009 kebocoran anggaran ataupun dalam bentuk paling parah seperti korupsi pendidikan, ini menyebabkan berkurangnya anggaran dan dana pendidikan, merusak mental birokrasi pendidikan, meningkatkan beban biaya yang harus ditanggung

Page 17: Dampak globalisasi

masyarakat, dan turunnya kualitas layanan pendidikan. Bahkan, dalam beberapa kasus, korupsi pendidikan telah membahayakan nyawa peserta didik dalam bentuk ambruknya gedung sekolah.

3. Kaitan Globalisasi Pendidikan dengan dunia PerpustakaanKeberadaan Perpustakaan tidak bisa dipisahkan dengan dunia pendidikan, Karena perpustakaan merupakan lembaga yang mampu menunjang proses pendidikan dalam mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas. Pada gilirannya dalam rangka membangun kehidupan masa depan yang maju dan sejahtera.

Oleh karena itulah sesuai dengan perkembangan zaman terutama di era globalisasi ini perpustakaan harus terus berbenah diri dan meningkatkan kualitas layanan. Bahkan di perguruan tinggi perpustakaan sudah menjadi tolok ukur kualitas lulusan yang dihasilkan seperti yang dipaparkan oleh Hermawan dan Zen (2006) “Pentingnya perpustakaan perguruan tinggi telah menjadi salah satu indikator mutu pendidikan di perguruan tinggi. Makin baik perpustakaannya maka makin baik pula mutu luaran perguruan tinggi tersebut”.

Dampak positif globalisasi pendidikan terhadap perpustakaan dapat dilihat dari meningkatnya kualitas layanan yang ada di perpustakaan, misalnya dengan diadakannya layanan-layanan yang sifatnya mengglobal seperti internet, fasilitas wi-fi. Selain itu koleksi-koleksi perpustakaan juga mulai bervariasi dan disesuaikan dengan internasionalisasi lembaga pendidikan yang menaunginya, seperti jumlah dan kualitas koleksi buku berbahasa Inggris semakin diperbanyak dan dilanggannya jurnal-jurnal yang standar internasional. Penyelenggaraan yang standar internasional ini tentunya membutuhkan biaya yang tidak murah, karena sudah diketahui oleh umum bahwa harga buku –buku berbahasa Inggris harganya lebih mahal dibanding buku berbahasa Indonesia, dan untuk melanggan satu jurnal internasional juga harganya bisa mencapai puluhan juta rupiah.

Karena biaya yang tinggi tersebutlah, yang mampu menyelenggarakan perpustakaan dengan layanan dan kualitas yang baik tentunya perpustkaaan yang berada di lembaga pendidikan yang punya modal dan pimpinan yang perhatian terhadap perkembangan dan pentingnya perpustakaan. Karena banyak lembaga pendidikan yang punya modal besar perpustakaannya kurang maju Karena pimpinannya yang tidak terlalu perhatian terhadap perpustakaan. Hal yang lebih parah lagi tentunya dialami oleh perpustakaan yang berada di lembaga-lembaga pendidikan yang modalnya kecil. Jangankan untuk meningkatkan layanan dan koleksi yang bersifat internasional, untuk merawat koleksi yang ada pun kadang masih terseok-seok. Sehingga dengan adanya globalisasi ini perpustakaan tersebut semakin tertinggal.

Namun untuk perpustakaan yang sudah bisa mengadakan dan menyesuaikan layanan dan koleksinya dengan standar internasional pun bukan berarti tanpa masalah. Banyak terjadi perpustakaan sudah banyak mengeluarkan biaya untuk menambah jumlah koleksi dan melanggan jurnal internasional dengan harga mahal, namun tingkat pemakaian dari penggunanya masih sangat rendah dibanding penggunaan koleksi atau jurnal-jurnal yang berbahasa Indonesia. Ini artinya pengguna perpustakaan masih banyak yang belum siap dengan standar internasional.

Page 18: Dampak globalisasi

Untuk menjawab perkembangan di dunia pendidikan ini maka mulai dari sekarang perpustakaan dan pustakawan harus mau dan mampu mengikuti perkembangan tersebut. Pustakawan diharapkan mampu mengubah dan mengembangkan dirinya seiring dengan tuntutan perubahan. Pengembangan yang dimaksud adalah:*. memahami peranannya atas dasar pola kemitraan bukan melayani*. memberikan makna/kontribusi bagi lembaganya (dalam hal ini sekolah atau perguruan tinggi) tidak sekedar fokus pada disiplin ilmu perpustakaan*. integrasi*. mampu mentransfer kemampuannya melalui pelatihan dan pembinaan, sehingga penggunanya dapat memanfaatkan layanan-layanan yang ada di perpustakaan secara optimal.*. Inovasi

4. SolusiPemerintah sebagai pengemban amanat rakyat, dapat bergerak cepat menemukan dan memperbaiki celah – celah yang dapat menyulut kesenjangan dalam dunia pendidikan. Salah satunya dengan cara menjadikan pendidikan di Indonesia semakin murah atau bahkan gratis tapi bukan pendidikan yang murahan tanpa kualitas. Hal ini memang sudah dimulai di beberapa daerah di Indonesia yang menyediakan sekolah unggulan berkualitas yang bebas biaya. Namun hal tersebut baru berupa kebijakan regional di daerah tertentu. Alangkah baiknya jika pemerintah pusat menerapkan kebijakan tersebut dalam skala nasional . Untuk dapat mewujudkan hal tersebut pemerintah perlu melakukan pembenahan terutama dalam bidang birokrasi. Korupsi mesti segera diberantas, karena korupsi merupakan salah satu yang menghancurkan bangsa ini.

Ide Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Moh. Nuh yang mengingatkan, bahwa dalam dunia pendidikan tak boleh ada sikap diskriminatif yang disebabkan adanya perbedaan kaya dengan miskin akibat faktor wilayah kota dan desa sehingga seseorang kehilangan hak untuk mendapatkan pendidikan. (Kompas.com tanggal 3 November 2009) Perlu diimplentasikan dan dilaksanakan dengan segera, agar hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan yang layak dapat segera terwujud, dan dapat mendorong lembaga pendidikan untuk mempertimbangkan kurikulum maupun metodologi yang tidak banyak mengeluarkan biaya.

Selain itu membuat standar baru tentang kualitas pendidikan yang tidak saja menyentuh kemampuan dan kreativitas siswa melainkan juga ongkos sekolah. Kriteria yang mempersyaratkan kemampuan menampung siswa tidak mampu sekaligus kemampuan untuk mensejahterakan guru. Sekolah tidak lagi diukur dari kemampuannya mencetak siswa yang pintar melainkan bagaimana mengajarkan siswa untuk saling bertanggung jawab dan mempunyai solidaritas tinggi. Standar internasional tentang kemampuan intelektual tidak akan bisa diraih dengan kondisi struktural yang masih mengalami persoalan ketimpangan dan kesenjangan sosial.

Selain itu solusi-solusi lain yang dapat dilaksanakan adalah• Meningkatkan mutu SDM terutama Guru dalam penguasaan Bahasa Inggris dan Bahasa Asing lainnya• Peningkatan Mutu Guru dalam penguasaan Teknologi Informasi dan Komunikasi• Peningkatan Mutu Manajemen sekolah dan Manajemen pelayanan pendidikan

Page 19: Dampak globalisasi

• Peningkatan Mutu sarana dan Prasarana• Penanaman nilai-nilai keteladanan• Pengembangan budaya baca dan pembinaan perpustakaan• Penelitian dan pengembangan pendidikan

5. Kesimpulan• Globalisasi pendidikan di Indonesia ditandai dengan ambivalensi yang apabila kita mengikuti arus globalisasi tersebut dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia setingkat dengan kualitas pendidikan Internasional, tetapi pada kenyataannya Indonesia belum siap untuk mengikuti arus tersebut sehingga kualitas pendidikan di Indonesia masih tertinggal.• Adanya kompetisi/persaingan didalam dunia pendidikan karena kemajuan teknologi dan informasi. Bahkan sering terjadi kompetisi yang liar yang disebabkan oleh1. Adanya aturan tidak beres pada birokrasi pendidikan2. Intervensi kepentingan modal raksasa3. Sekolah kurang mendapat perhatian yang layak dari pemerintah• Bagi instansi pendidikan yang mampu bersaing akan memperoleh hasil yang baik dan diakui oleh dunia luar. Bagi instansi yang belum siap bersaing akan mengalami tekanan dan banyak yang berjalan ditempat saja• Globalisasi pendidikan juga membawa dampak adanya kesenjangan sosial didalam dunia pendidikan, karena hanya orang-orang yang mempunyai modal lebih besar saja yang dapat menikmati kualitas pendidikan dengan standar internasional.• Merosotnya kualitas pendidikan tak bisa dipisahkan dari kebijakan negara pada sector pendidikan.Menyamakan lembaga pendidikan dengan lembaga keuangan jelas merupakan keputusan yang keliru. Liberalisasi pendidikan pada hakekatnya telah memasung akses siswa yang tidak mampu untuk menikmati sekolah. Padahal sejak bangsa ini ditimpa krisis jumlah masyarakat yang berada di garis kemiskinan makin membumbung.• Perlu adanya perombakan pada kebijakan yang menyangkut masalah pendidikan dengan menelurkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada kaum miskin. Komersialisasi pendidikan mutlak harus dihentikan karena hanya memunculkan sekelompok orang yang menggunakan pendidikan sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan.

DAFTAR PUSTAKA

HERMAWAN S., Rachman & Zulfikar Zen. Etika kepustakawanan: suatu pendekatan terhadap kode etik pustakawan Indonesia. Jakarta: Sagung Seto, 2006

JANUAR S. Indra. Globalisasi Pendidikan. http://zag.7p.com/globalisasi_pendidikan.htm akses tanggal 28 Oktober 2009http://edukasi.kompas.com akses tanggal 3 November 2009

OCTAVIANUS, Petrus. Menuju Indonesia Jaya (2005-2030) dan Indonesia Adidaya (2030-2055) jilid I. Batu: Pdt. Dr. P. Octavianus , DD, Ph.D, 2005

____________________ Menuju Indonesia Jaya (2005-2030) dan Indonesia Adidaya (2030-2055) jilid II. Batu: Pdt. Dr. P. Octavianus , DD, Ph.D, 2005

___________________. Menuju Indonesia Jaya (2005-2030) dan Indonesia Adidaya (2030-2055) jilid III. Batu: Pdt. Dr. P. Octavianus , DD, Ph.D, 2007

Page 20: Dampak globalisasi

PRASETYO, Eko. Orang miskin dilarang sekolah. Yogyakarta: Resist Book, 2005

SUTARNO NS. Tanggung jawab perpustakaan: dalam mengembangkan masyarakat informasi. Jakarta: Panta Rei, 2005TANJE, Sixtus. Globalisasi Pendidikan dan Ketidaksiapan Sekolah. http://re-searchengines.com/sixtus0409.html akses tanggal 28 Oktober 2009