Dampak
-
Upload
herison-dionisius-sigiro -
Category
Documents
-
view
212 -
download
0
description
Transcript of Dampak
ASBESTOSIS
I. Pengertian
Asbestosis adalah pneumokoniosis yang disebabkan oleh
akumulasi pajanan serat asbestos. Gangguan lain yang dapat disebabkan oleh
asbestos adalah kanker paru dan mesotelioma. Istilah asbestosis pertama kali
dikemukakan oleh Cooke pada 1927, setelah pada 1906 dilaporkan kasus
kematian akibat asbestos.
Asbestos adalah kelompok mineral silikat fibrosa dari logam
magnesium dan besi yang sering digunakan sebagai bahan baku industri tegel
lantai dan atap. Asbestos telah dikenal sejak zaman batu dan makin banyak
digunakan setelah masa revolusi industri pada akhir abad ke-19. Produksi
asbestos meningkat tajam hingga tahun 1970-an. Walaupun telah diketahui
dapat mengganggu kesehatan, hingga kini asbestos masih banyak digunakan
dalam industri dan konstruksi dinegara berkembang. Negara maju, seperti
Amerika Serikat, telah melarang penggunaan asbestos sejak tahun 1970-an
sampai 1980-an. Walaupun demikian, negara seperti Kanada dan Rusia masih
mengekspor asbestos ke negara maju baru dan negara berkembang seperti
negara-negara di Asia, Amerika Tengah dan Selatan, dan Afrika.
II. Epidemiologi
Pajanan terhadap asbestos dibagi menjadi tiga kategori, yaitu primer,
sekunder dan tersier. Pajanan primer secara langsung terjadi pada penambang
asbestos. Pajanan sekunder didapatkan pada pekerja industri yang
menggunakan asbestos seperti pada pekerja konstruksi. Sedangkan pajanan
tersier adalah pajanan non-okupasi yang disebabkan oleh polusi udara.
Pajanan tersier tidak memiliki risiko yang signifikan terhadap terjadinya
asbestosis.
Dalam studi di Amerika Serikat, asbestosis terdeteksi pada 10%
pekerja penambang asbestos yang bekerja selama 10-19 tahun dan pada 90%
pekerja yang telah bekerja selama lebih dari 40 tahun. Sejak tahun 1940 di
Amerika ditemukan bahwa antara 8-11 juta orang terpajan asbes dalam
pekerjaannya. Laju kematian asbestosis setelah tahun 1970 cenderung
meningkat dan pada negara maju menurun setelah tahun 2000. Pekerjaan-
pekerjaan yang menimbulkan risiko terpajan asbes tersebut antara lain:
penyekat asbes, pekerja-pekerja asbes yang terlibat dalam pertambangan dan
proses bahan mentah asbes, ahli mekanik auto mobil, pekerja perebusan, ahli
elektronik, pekerja pabrik, ahli mekanik atau masinis, armada niaga, personil
militer, pekerja kilang minyak, tukang cat, pembuat pipa, tukang ledeng/pipa,
pekerja bangunan, pembuat jalan raya, pekerja atap rumah, pekerja lembaran
metal, pekerja galangan kapal, tukang pipa uap, pekerja baja, pekerja di
industri tekstil.
Di Slovakia, pajanan lingkungan karena asbes secara praktis
tidak terkontrol. Kontaminasi di dalam rumah/gedung berasal dari penyekat
pipa, dinding tahan api, pintu, cat, beberapa bahan bangunan, bahan penyekat
yang digunakan dibangunan kayu, pipa AC. Sedangkan kontaminasi luar
rumah/gedung berasal dari permukaan dinding, sisa pembuatan aspal, dan
transportasi yangmemuat sisa asbes.
Saat ini, CDC memperkirakan terdapat 1.290 kematian akibat
asbestosis di Amerika Serikat setiap tahunnya dengan rata-rata usia penderita
sekitar 79 tahun. Kematian akibat asbestosis merupakan 28% dari semua
kasus kematian akibat pneumokoniosis. Namun, laju kematian akibat
asbestosis seringkali menjadi bias oleh adanya kanker paru dan mesotelioma.
Pada studi The Surveillance of Australian Workplace Based Respiratory
Events (SABRE) ditemukan kasus asbestosis sebanyak 10,2% dari 3.151
kasus penyakit paru okupasi.
III. Etiologi
Asbestosis merupakan salah satu penyakit paru yang disebabkan
oleh pajanan dari serat asbes. Asbes merupakan mineral fibrosa yang secara
luas banyak dipakai bukan hanya di negara berkembang melainkan juga di
negara yang sudah maju seperti di Amerika. Di Amerika asbes dipakai
sebagai bahan penyekat. Terdapat banyak jenis serat asbes tetapi yang paling
umum dipakai adalah krisotil, amosit dan krokidolit, semuanya merupakan
silikat magnesium berantai hidrat kecuali krokidolit yang merupakan silikat
natrium dan besi. Krokidolit dan amosit mempunyai kandungan besi yang
besar. Krisotil terdapat dalam lembaran-lembaran yang menggulung,
membentuk serat-serat berongga seperti tabung dengan diameter sekitar 0,03
milimikron. Serat asbes bersifat tahan panas dapat mencapai 800oC. Karena
sifat inilah maka asbes banyak dipakai diindustri konstruksi dan pabrik. Lebih
dari 30 juta ton asbes digunakan di dalam konstruksi dan pabrik di Amerika.
Selain itu asbes relatif sukar larut, daya regang tinggi dan tahan asam (hanya
amfibol).
Asbes dapat menjadi kering atau rapuh bila keberadaannya
digangggu (misal: perbaikan penyekat pipa) atau oleh karena termakan usia.
Akibatnya serat mikroskopis yang tidak terlihat oleh mata tersebut dapat
terpecah dan melayang diudara. Sekali terdapat di udara, serat asbes akan
menetap dalam jangka waktu yang panjang dan kemudian terhirup oleh
manusia yang berada di lingkungan tersebut. Ukuran dan bentuknya yang
kecil menyebabkan serat asbes ini terperangkap di dalam paru-paru.
IV. Patofisiologi
Proses patofisiologi asbestosis diawali dengan inhalasi serat
asbestos. Serat berukuran besar akan tertahan di hidung dan saluran
pernapasan atas dan dapat dikeluarkan oleh sistem mukosiliaris. Serat
berdiameter 0,5-5 mikrometer akan tersimpan di bifurcatio saluran, bronkioli,
dan alveoli. Serat asbestos akan menyebabkan cedera sel epitel dan sel
makrofag alveolar yang berusaha memfagosit serat. Beberapa serat akan
masuk ke dalam jaringan intersisium melalui penetrasi yang dibawa oleh
makrofag atau epitel. Makrofag yang telah rusak akan mengeluarkan Reactive
Oxygen Species (ROS) yang dapat merusak jaringan dan beberapa sitokin,
termasuk Tumor Necrosis Factor (TNF), nterleukin-1, dan metabolit asam
arakidonat yang akan memulai inflamasi alveoli (alveolitis). Sel epitel yang
terganggu juga mengeluarkan sitokin. Gangguan asbestos berskala kecil tidak
akan menimbulkan gangguan setelah inflamasi terjadi. Namun bila serat
terinhalasi dalam kadar lebih tinggi, alveolitis akan terjadi lebih intens,
menyebabkan reaksi jaringan yang lebih hebat. Reaksi jaringan ini
menyebabkan fibrosis yang progresif, yaitu pengeluaran sitokin profi brosis
seperti fibronektin, fibroblast growth factor, platelet-derived growth factor
dan insulin-like growth factor yang akan menyebabkan sintesis kolagen.
Orang-orang yang terpajan debu serat-serat asbes dapat tertelan
bersama ludah atau sputum. Kadangkala air, minuman atau makanan dapat
mengandung sejumlah kecil serat tersebut. Sebagian serat yang tertelan
agaknya menembus dinding usus, tetapi migrasi selanjutnya dalam tubuh
tidak diketahui. Setelah suatu masa laten-jarang di bawah 20 tahun, dapat
mencapai 40 tahun atau lebih setelah pajanan pertama, dapat timbul
mesotelioma maligna pleura dan peritoneum. Mekanisme karsinogenesis
tidak diketetahui. Kadang-kadang, serat yang lain, misal talk yang terbungkus
oleh besi-berikatan dengan protein, dapat menimbulkan badan asbes.
V. Gambaran Klinis
Awitan gejala asbestosis biasanya akan timbul 20 tahun setelah
pajanan awal. Tanda dan gejala asbestosis kebanyakan tidak khas dan mirip
penyakit paru restriktif lainnya. Gejala paling sering dan juga merupakan
tanda awal adalah munculnya dispnea saat beraktivitas. Dispnea akan
berkembang progresif lambat dalam beberapa tahun. Dispnea tetap akan
memburuk walaupun pasien tidak lagi terpapar asbestos. Gejala lainnya
adalah batuk produktif atau batuk kering persisten, rasa sesak dan nyeri pada
dada, serta adanya mengi. Pada pemeriksaan dapat ditemukan rhonki basal
paru bilateral (pada 60% pasien) yang terdengar pada akhir fase inspirasi.
Sering ditemukan pula jari tabuh (digital clubbing) pada 30-40% pasien dan
pada asbestosis lanjut. Gangguan lain yang perlu diperhatikan adalah adanya
cor pulmonale, keganasan yang terkait asbestosis, seperti kanker paru, kanker
laring, bahkan kanker gaster dan pankreas.
Pada pemeriksaan fungsi paru akan didapatkan pola restriktif
dengan penurunan kapasitas vital, kapasitas total paru, dan kapasitas difusi,
dengan hipoksemia arterial. Kapasitas vital paksa ( Forced Vital Capacity,
FVC) akan menurun <75%. Dapat juga didapatkan pola obstruktif disebabkan
fibrosis dan penyempitan bronkioli.
VI. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk penegakan diagnosis
asbestosis antara lain:
1. Pemeriksaan histopatologi
Pada gambaran histopatologi dapat diperoleh gambaran parenkim
paruyang kasar hingga adanya gambaran sarang lebah (honey-comb).
Gambaran ini didapati bilateral, sering di lobus inferior.
Secaramikroskopis didapati peningkatan kolagen intersisial sehigga
membuatfibrosis menjadi tebal.
2. Pemeriksaan radiologia
a. Pemeriksaan foto thoraks
Pada pemeriksaan roentgen dapat ditemukan beberapa gambaran
radioopak kecil linier iregular, lebih banyak di basal paru.
Berdasarkan klasifikasi ILO (International Labour Organization)
1980, “gambaran opak kecil iregular” adalah bayangan linier
iregular di parenkim paru dan mengaburkan gambaran
bronkovaskular paru. Selain itu sering pula ditemukan garis septal,
yaitu penebalan fibrosa pada lobul-lobul. Ada tiga tingkatan
gambaran roentgen sesuai dengan perjalanan asbestosis. Pada tahap
awal, dapat diperoleh gambaran pola retikular pada basal
paru, ground-glass appearance, yang dapat menggambarkan proses
alveolitis dan fibrosis intersisial. Tahap kedua ditandai dengan
peningkatan bayangan opak kecil iregular menjadi pola intersisial
yang luas. Pada tahap ini gambaran dapat mengaburkan batas
jantung atau shaggy heart border. Pada tahap akhir,dapat menjadi
pola intersisial kasar dan honey-comb pada paru atas, namun
gambaran ini jarang ditemukan. Dahnert menegaskan bahwa dalam
pemeriksaan roentgen jarang sekali ditemukan fibrosis masif; bila
ada, biasanya terjadi di basal paru tanpa pergerakan ke hilus. Tidak
ditemukan adenopati hilum ataupun mediastinal, yang membedakan
asbestosis dengan silikosis atau CWP.9 Selain itu sering ditemukan
pula penebalan pleura berupa plak pleura disertai fibrosis paru,
biasanya di lapangan paru bawah, terutama paru kiri di sekitar
parakardial yang menutupi batas jantung kiri. Selain itu sering
ditemukan juga karsinoma bronkogen. Pemeriksaan roentgen pada
asbestosis bersifat non-spesifik, yang dapat memberikan tingkatan
positif-palsu yang tinggi. Tingkat keakuratannya berkisar antara 40-
90%.
b. Pemeriksaan CT Scan
Pada pemeriksaan CT beresolusi tinggi (High Resolution
Computed Tomography, HRCT) dapat ditemukan asbestosis tahap
awal berupa gambaran opak bulat, kecil, intralobular; septa
intralobular menebal, adanya garis kurvilinear subpleura, dan
pita parenkimal. Penebalan septa menunjukkan adanya fibrosis.
Gambaran honey-comb pada fase lanjut dapat ditemukan, namun
jarang. Seperti pada pemeriksaan roentgen, penemuan radiologis
lebih sering ditemukan pada basal paru. Garis subpleura ditemukan 1
cm dari pleura. Biasanya garis berukuran 5-10 cm dan mungkin
menunjukkan fi brosis di daerah bronkiolar danatelektasis.
Sedangkan pita parenkimal adalah bayangan opak linear tebal
dengan ukuran 2-5 cm, yang melintasi paru dan
menyentuh permukaan pleura. Pita parenkimal berhubungan dengan
distorsianatomis paru. Selain itu dapat ditemukan pula gambaran
pada pleura,yaitu penebalan pleura yang membentuk plak pleura.
Penebalan ini bersifat bilateral, dan terdapat kalsifi kasi. CT-scan
dinilai lebih sensitif mendeteksi asbestosis dibandingkan dengan
radiografikonvensional, terutama untuk menilai asbestosis awal.
Tetapi penemuan pada CT Scan tidak spesifik hanya untuk
asbestosis. Gamsu dkk., menunjukkan bahwa diagnosis asbestosis
memerlukan penemuan tiga macam gambaran.
c. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan resonansi magnetik (magnetic resonance imaging,
MRI) jarang dilakukan. Bekkelund dkk. (1998) menyebutkan MRI
lebih sensitif dibandingkan radiografi konvensional dalam
menemukan fibrosis subklinis pada 17 pasien. Weber dkk.
menemukan sensitivitas MRI untuk deteksi klasifi kasi plak sebesar
88%; MRI dapat menilai lebih baik adanya penebalan pleura dan
efusi pleura. Pemeriksaan resonansi magnetik (magnetic resonance
imaging, MRI) jarang dilakukan. Bekkelund dkk. (1998)
menyebutkan MRI lebih sensitif dibandingkan radiografi
konvensional dalam menemukan fibrosis subklinis pada 17 pasien.
Weber dkk. menemukan sensitivitas MRI untuk deteksi klasifikasi
plak sebesar 88%; MRI dapat menilai lebih baik adanya penebalan
pleura dan efusi pleura.
d. Radiologi nuklir
Pemeriksaan asbestosis dengan pencitraan nuklir pernah dilakukan
dengan Gallium-67, namun sudah tidak dilakukan lagi dengan
adanya CT-Scan. Gallium-67 dapat membantu mendiagnosis
asbestosis pada pasien dengan radiografi normal. Gallium-67 dapat
menandakan aktivitas inflamasi karena isotop ini dapat diambil oleh
makrofagalveolar.
VII.Diagnosis
Diagnosis asbestosis dapat ditegakkan dengan adanya riwayat pajanan
asbestos, adanya selang waktu yang sesuai antara pajanan dengan timbulnya
manifestasi klinis, gambaran dari roentgen thorax, adanya gambaran
restriktif dalam pemeriksaan paru, kapasitas paru yang terganggu, dan rhonki
bilateral basal paru.
VIII. Pencegahan
Pencegahan sangat penting dalam bidang penyakit paru kerja. Dalam kaitan
ini dikenal pencegahan primer, sekunder dan tersier.
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer artinya mengurangi faktor risiko sebelum terserang
penyakit. Hal tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain:
a. Ada Undang-undang atau Peraturan yang mengatur tentang masalah
Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Di Indonesia terdapat berbagai
macam Undang-undang dan Peraturan tentang hal tersebut antara
lain:
1) UU No.1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
Undang-undang ini adalah sebagai undang-undang pokok yang
memuat aturan-aturan dasar atau ketentuan-ketentuan umum
tentang keselamatan kerja disemua tempat kerja baik di darat,
dalam tanah, di permukaan air maupun diudara yang berada di
wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia. Undang-undang
ini memuat tentang syarat-syarat keselamatan kerja dan
separuhnya (50%) merupakan syarat-syarat kesehatan kerja.
Pada pasal 8 disebutkan kewajiban untuk:
a) Memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental dan
kemampuan fisik tenaga kerja yang akan diterima maupun
yang akan dipindahkan, sesuai dengan sifat pekerjaan yang
akan diberikan kepada pekerja.
b) Memeriksakan kesehatan semua tenaga kerja yang berada di
bawah pimpinannya secara berkala (periodik) pada dokter
yang ditunjuk oleh pengusaha dan dibenarkan (disahkan)
oleh Direktur.
2) UU No. 14/1969 tentang Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga
Kerja
Pada Bab IV Pasal 9 dan 10 Undang-undang tersebut disebutkan
: Setiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas
keselamatan, kesehatan, kesusilaan, pemeliharaan moril kerja
serta perlakuan yang sesuai dengan martabat dan moral agama.
Pemerintah membina perlindungan kerja yang mencakup: a.
Norma Keselamatan Kerja; b. Norma Kesehatan Kerja; c.
Norma Kerjad. Pemberian ganti rugi, perawatan dan rehabilitasi
dalam hal kecelakaan kerja. Pasal ini sebenarnya dapat dipakai
untuk mempertahankan hak tenaga kerja yang terkena penyakit.
Pemberi kerja (pemerintah atau pengusaha) wajib
memberi perlindungan bagi tenaga kerja, tidak boleh
memberhentikan begitu saja dan juga wajib memberi
pengobatan serta upah yang menjadi hak mereka. Dan masih
banyak lagi Undang-undang atau peraturan yang mengatur
tentang kesehatan dan keselamatan kerja.
b. Substitusi
Yang dimaksud di sini yaitu mengganti bahan yang berbahaya
dengan bahan yang tidak berbahaya atau kurang berbahaya. Sebagai
contoh adalah serat asbes yang dapat menimbulkan asbestosis,
kanker paru dan mesotelioma, digantikan oleh serat buatan manusia.
Contoh lain adalah debu silika yang diganti dengan alumina.
c. Modifikasi proses produksi untuk mengurangi pajanan sampai
tingkat yang aman.
d. Metode basah
Melakukan proses produksi dengan cara membasahi tempat produksi
sehingga tidak menghasilkan debu dengan kadar yang tinggi.
e. Mengisolasi proses produksi
Bila bahan yang berbahaya tidak dapat dihilangkan, pajanan
terhadap pekerja dapat dihindari dengan mengisolasi proses
produksi. Teknik ini telah digunakan dalam menangani bahan
radioaktif dan karsinogen, dan juga telah berhasil digunakan untuk
mencegah asma kerja akibat pemakaian isosianat dan
enzim proteolitik.
f. Ventilasi keluar
Bila proses isolasi produksi tidak bisa dilakukan, maka masih ada
kemungkinan untuk mengurangi bahan pajanan dengan ventilasi
keluar (exhaust ventilation). Metode ventilasi keluar telah berhasil
digunakan untuk mengurangi kadar debu diindustri batubara dan
asbes.
g. Alat Pelindung Diri ( APD )
Alat pelindung diri di sini bukan hanya sekedar masker, namun yang
terbaik adalah respirator. Respirator adalah suatu masker yang
menggunakan filter sehingga dapat membersihkan udara yang
dihisap. Ada 2 macam respirator, yaitu yang half-face respirator
yang berfungsi hanya sebagai penyaring udara dan full-face
respirator yaitu sekaligus berfungsi sebagai pelindung mata.
Pemakaian respirator adalah usaha terakhir, bila usaha lain untuk
mengurangi pajanan tidak memberikan efek yang optimal. Untuk
menggunakan respirator, seseorang harus melalui evaluasi secara
medis. Hal ini penting karena respirator tidak selalu aman bagi setiap
orang. Pemakaian respirator dapat berakibat jantung dan paru
bekerja lebih keras sehingga pemakaian respirator dapat menjadi
tidak aman bagi penderita asma, gangguan jantung atau orang yang
mempunyai masalah dengan saluran napasnya. Pelatihan bagi
pekerja yang akan menggunakan respirator sangat penting. Dengan
pelatihan tersebut pekerja diberi pemahaman tentang jenis respirator,
cara memilih respirator yang cocok, cara pemakaian serta cara
perawatan agar tidak mudah rusak. Pemakaian alat pelindung diri
mempunyai beberapa kelemahan:
1) Tergantung kepatuhan pekerja
2) Tidak 100% efisien
3) Memerlukan ketrampilan dan perawatan teratur
4) Disesuaikan dengan kebutuhan fisiologis dari masing-masing
pemakai
5) Dapat mengganggu kemampuan melakukan pekerjaan
2. Pencegahan Sekunder
Adalah melakukan deteksi dini penyakit dan deteksi dini pajanan zat
yang dapat menimbulkan penyakit. Dilakukan pemeriksaan berkala pada
pekerja yang terpajan zat yang berisiko tinggi terjadinya gangguan
kesehatan. Pemeriksaan berkala dilakukan sejak tahun pertama bekerja
dan seterusnya. Surveilans medik adalah kegiatan yang sangat mendasar,
bertujuan untuk mendeteksi efek pajanan yang tidak diinginkan sebelum
menimbulkan gangguan fungsi pernapasan pekerja dan selanjutnya
dilakukan usaha-usaha untuk mencegah perburukan. Tanpa usaha-usaha
tersebut, surveilans hanya berperan mencatat besar angka kesakitan
daripada pencegahan sekunder. Dalam prakteknya pencegahan
berdasarkan surveilans adalah untuk mencegah pajanan.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier berguna untuk mencegah penyakit bertambah
buruk dan penyakit menjadi menetap. Bila diduga telah terjadi penyakit
atau diagnosis telah ditegakkan, perlu secepat mungkin menghindarkan
diri dari pajanan lebih lanjut. Pajanan dari tempat kerja dan lingkungan
yang diduga atau diketahui mempunyai efek sinergi terhadap terjadinya
kanker paru seperti merokok harus dihentikan. Contoh lain pencegahan
tersier adalah pencegahan terhadap penyakit TB pada pekerja yang
terpajan debu silika.