Daftar Isi - pip.unpar.ac.idpip.unpar.ac.id/wp-content/uploads/2016/05/Majalah-Refleksi.pdf · Aku...

6

Transcript of Daftar Isi - pip.unpar.ac.idpip.unpar.ac.id/wp-content/uploads/2016/05/Majalah-Refleksi.pdf · Aku...

Daftar Isi

01 Bukan untuk Mengabdi, Hanya Berbagi

Aku dan kamu dikandung dari ibu pertiwi. Demikian juga mereka. Kini saatnya untuk mengembalikan apa yang selama ini sudah hilang dari tanah ini – kehadiran ibu pertiwi. Datang dan lihatlah sendiri bahwa hadirmu jauh lebih berarti dari sekadar materi. Namun jangan datang dengan kesombongan untuk soalah-olah mengabdi bagi negeri ini. Mereka tidak memerlukan pengabdian kita. Mereka sudah cukup penat janji-janji yang tak kunjung jadi nyata. Mereka hanya butuh kehadiran kita sebagai wakil ibu pertiwi untuk berbagi hidup dan mimpi.

02 Your Title Here

Your Article Here

03 Your Title Here

Your Article Here

Stefanus Onggo berpose bersama anak didiknya foto: dok. pribadi

Bukan untuk Mengabdi, Hanya Berbagi

Sembilan bulan aku telah hadir di negeri ini. Tak seberapa lama lagi, kakiku akan melangkah menjauh dari sini seiring dengan cita anak negeri ini yang kuharap

akan terus melambung tinggi.

Orang mengatakan ini tanah surga. Namun bagiku, ini adalah tanah impian yang telah kutilik sejak masa kecilku. Entah mengapa demikian, aku tak tahu. Yang jelas, sedari dulu aku akan terguncang saat mendengar nama negeri ini terbesit di telingaku. Dulu, aku mungkin hanya akan bermimpi untuk sampai di sini. Namun sekarang, tawa anak negeri ini selalu menemani hari-hariku.

Bukan suatu kebetulan aku bisa sampai di tanah ini. Dua belas purnama sebelumnya telah kuhabiskan di tempat yang telah menjadi kampung halaman keduaku. Melalui sebuah program mengajar, aku menginjakkan kakiku pertama kali di tanah Sulawesi. Di sana aku belajar untuk mencintai ibu pertiwi. Dan itulah yang membawa langkahku untuk sampai di

negeri ini, bukan untuk mengabdi, hanya untuk berbagi.

barisan putih merah yang berjalan beriringan denganku. Inilah perjalanan rutin yang aku lewati setiap paginya selama hampir setahun ini.

Aku memulai kelas pagi itu dengan 26 serdadu kecil hitam kulit keriting rambut (kutipan lirik lagu “Aku Papua”). Aku tidak menyangka akan menemukan hal luar biasa pada diri anak-anak ini. Orang-orang pasti akan berpikir bahwa akan sulit sekali untuk mengajar anak-anak Papua. Namun, semua itu sama sekali tidak benar. Mereka tidak berbeda dengan anak-anak seusia mereka. Malah semangat belajar mereka jauh lebih luar biasa dibandingkan dengan anak-anak didikku sebelumnya. Hei, benarkah mereka anak Papua yang selalu dipandang sebelah mata itu?? Mereka luar biasa.

Hari-hari berjalan dan penilaianku pun masih tetap sama. Namun, ada kenyataan lain yang kutemukan pada anak-anak negeri ini. Ya, anak-anak negeri ini. Hampir tak kutemukan penggalan kasih ibu pertiwi tersimpan di dalam

Orang-orang pasti akan berpikir bahwa akan

sulit sekali untuk mengajar anak-anak Papua. Namun, semua itu sama sekali tidak benar.

Tanggal 11 Agustus 2015 telah menjadi satu tanggal bersejarah di hidupku. Pagi itu terasa begitu luar biasa. Bukan hanya karena hari ini hari pertama sekolah, tetapi juga karena

Stefanus Onggo

memori mereka. Hanya perasaan tersisih yang mereka percaya telah terwarisi sekian lama di negeri ini. Sampai-sampai mereka enggan untuk mengakui bahwa mereka bagian dari ibu pertiwi.

Bagaimana mungkin aku memungkiri kanyataan ini. Telah kulihat sendiri betapa negeri ini begitu berbeda dari kenangan negeri tempatku berasal. Ini tanah surga, katanya. Tapi entah surga versi mana yang mereka gambarkan untuk tanah ini. Nyatanya, keterbatasan selalu memagari di setiap batas tanah ini.

Teman-teman selalu bertanya kepadaku apa yang bisa mereka beri untuk anak negeri ini. Jangan berikan materi, jawabku. Itu hanya akan membuat mereka jauh dari mandiri dan melupakan potensi diri. Telah begitu banyak perhatian tertuju pada negeri ini. Namun pertanyaannya, apakah itu benar-benar berarti?

Jangan kuatirkan tentang seragam, buku, alat tulis, dan hal lain yang harus mereka miliki. Semuanya berlimpah di sini. Sampai-sampai mereka lupa menghargai setiap pemberian itu. Inilah yang kulihat sebagai gambaran penjajahan masa kini. Seakan-akan kita membantu yang malah pada akhirnya membuat negeri ini tidak berjalan maju sama sekali.

Aku dan kamu dikandung dari ibu pertiwi. Demikian juga mereka. Kini saatnya untuk mengembalikan apa yang selama ini sudah hilang dari tanah ini – kehadiran ibu pertiwi. Datang dan lihatlah sendiri bahwa hadirmu jauh lebih berarti dari sekadar materi. Namun jangan datang dengan kesombongan untuk soalah-olah mengabdi bagi negeri ini. Mereka tidak memerlukan pengabdian kita. Mereka sudah cukup penat janji-janji yang tak kunjung jadi nyata. Mereka hanya butuh kehadiran kita sebagai wakil ibu pertiwi untuk berbagi hidup dan mimpi.

Inilah yang membawaku hadir di sini, untuk berbagi. Aku tidak mengatakan bahwa perjalananku di sini tidak berliku. Namun, aku merasa bahwa hidupku jauh lebih berarti di tengah-tengah mereka. Mendengar sapaan mereka setiap hari, melihat senyum dan tawa dalam setiap percakapan, terharu mendengar mimpi-mimpi mereka, dan berharap akan masa depan mereka akan selalu menjadi alasan yang kuat untuk terus berbagi hidup dengan anak-anak ibu pertiwi.

Terus berbagi!

Penulis merupakan pengajar muda lulusan Universitas Katolik Parahyangan. Hingga tulisan refleksi ini diturunkan Mei 2016, Penulis masih berkarya di Lany Jaya, Papua.

foto: dok. pribadi

Kami tunggu tulisan refleksi

dari Anda