Daftar Isi Laporan Penelitian -...

92
Laporan Penelitian Penatalaksanaan Anestesi pada Tindakan Bedah Tumor Fossa Posterior: Serial Kasus Iwan Abdul Rachman, Tatang Bisri ......................................................................................... 1–12 Penatalaksanaan Perioperatif pada Bedah Dekompresi Mikrovaskular: Sajian Kasus Serial Riyadh Firdaus, I Putu Pramana Suarjaya, Sri Rahardjo ............................................................ 13–23 Laporan Kasus Penatalaksanaan Anestesi pada Pembedahan Akustik Neuroma dengan Monitoring Saraf Kranialis Sandhi Cristanto, I Putu Pramana Suarjaya, Sri Rahardjo ........................................................ 24–34 Pengelolaan Perioperatif Perdarahan Intraserebral karena Stroke Perdarahan dan Luarannya Wahyu Sunaryo Basuki, Dewi Yulianti Bisri, Bambang J. Oetoro, Siti Chasnak Saleh .......... 35–43 Penatalaksanaan Anestesi pada Ruptur Aneurisma Cerebral Riyadh Firdaus, I Putu Pramana Suarjaya, Sri Rahardjo ......................................................... 44–56 Tinjauan Pustaka Penatalaksanaan Anestesi Subarachnoid Hemoragik pada Ibu Hamil Rebecca Sidhapramudita Mangastuti, Dewi Yulianti Bisri, Bambang J. Oetoro, Siti Chasnak Saleh ........................................................................................................................................ 57–67 Pengelolaan Nyeri Pascakraniotomi Suwarman, Tatang Bisri ............................................................................................................. 68–76 Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan pada Cedera Otak Traumatik Rovina Ruslami, Tatang Bisri ..................................................................................................... 77–85 Daftar Isi

Transcript of Daftar Isi Laporan Penelitian -...

Page 1: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

Laporan Penelitian

Penatalaksanaan Anestesi pada Tindakan Bedah Tumor Fossa Posterior: Serial KasusIwan Abdul Rachman, Tatang Bisri ......................................................................................... 1–12

Penatalaksanaan Perioperatif pada Bedah Dekompresi Mikrovaskular: Sajian Kasus SerialRiyadh Firdaus, I Putu Pramana Suarjaya, Sri Rahardjo ............................................................ 13–23

Laporan Kasus

Penatalaksanaan Anestesi pada Pembedahan Akustik Neuroma dengan Monitoring Saraf Kranialis Sandhi Cristanto, I Putu Pramana Suarjaya, Sri Rahardjo ........................................................ 24–34

Pengelolaan Perioperatif Perdarahan Intraserebral karena Stroke Perdarahan dan LuarannyaWahyu Sunaryo Basuki, Dewi Yulianti Bisri, Bambang J. Oetoro, Siti Chasnak Saleh .......... 35–43

Penatalaksanaan Anestesi pada Ruptur Aneurisma CerebralRiyadh Firdaus, I Putu Pramana Suarjaya, Sri Rahardjo ......................................................... 44–56

Tinjauan Pustaka

Penatalaksanaan Anestesi Subarachnoid Hemoragik pada Ibu HamilRebecca Sidhapramudita Mangastuti, Dewi Yulianti Bisri, Bambang J. Oetoro, Siti Chasnak Saleh ........................................................................................................................................

57–67

Pengelolaan Nyeri PascakraniotomiSuwarman, Tatang Bisri ............................................................................................................. 68–76

Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan pada Cedera Otak TraumatikRovina Ruslami, Tatang Bisri ..................................................................................................... 77–85

Daftar Isi

Page 2: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

1

Penatalaksanaan Anestesi pada Tindakan Bedah Tumor Fossa Posterior: Serial Kasus

Iwan Abdul Rachman, Tatang BisriDepartemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Fossa posterior atau fossa infratentorial merupakan kompartemen yang padat serta kaku dan tidak dapat melakukan penyesuaian terhadap penambahan volume isinya. Sedikit penambahan volume isi misalnya akibat tumor atau hematoma, dapat mengakibatkan peningkatan tekanan yang signifikan di dalam kompartemen tersebut sehingga terjadi penekanan pada batang otak yang mengancam kehidupan. Tindakan operasi pada fossa posterior memberikan tantangan bagi ahli anestesiologi dikarenakan risiko tinggi terjadinya disfungsi batang otak, posisi pasien, pengawasan neurofisiologis intraoperatif, dan risiko potensial terjadinya emboli udara vena (venous air embolism/VAE). Berikut ini serial kasus mengenai pasien yang dilakukan tindakan kraniotomi pengangkatan tumor atas indikasi tumor infratentorial pada cerebellopontine angle (CPA) dan serebellar astrositoma. Data telah menunjukkan risiko terjadinya VAE pada posisi duduk yaitu antara 40%–45%, sedangkan pada posisi lateral, telungkup, park bench lebih rendah yaitu antara 10%–15%. Pada serial kasus ini posisi ketiga pasien diposisikan dengan posisi park bench dan tidak terjadi adanyaVAE. Kasus ini dapat memperkuat data dalam penurunan resiko terjadinya VAE adalah dengan posisi park bench. Oleh karena itu, pencegahan dari terjadinya VAE sangatlah penting diketahui oleh ahli anestesiologi untuk mengurangi mortalitas pada pasien dengan tindakan bedah fossa posterior.

Kata kunci: fossa posterior, disfungsi batang otak, VAEJNI 2016;5(1): 1–12

Anesthesia in Surgical Management MeasuresPosterior Fossa Tumors: Serial Case

Abstract

The posterior fossa or infratentorial fossa is a compact and rigid compartment with poor compliance. Small additional volumes (e.g. tumour, haematoma) within the space can result in significant elevation of the compartmental pressure resulting in life-threatening brainstem compression. Surgery in the posterior fossa presents the significant challenges in addition to special problems related to brain stem dysfunction, patient positioning, intraoperative neurophysiologic monitoring, and the potential for venous air embolism (VAE). This serial case present anaesthetic management in tumor removal surgeries (infratentorial in cerebello pontine angle/CPA and cerebellar astrocytoma). Data have shown the risk of VAE in the sitting position 40% - 45%, lateral and park bench position 10% – 15%. In these three cases all the patient with park bench position. This case can strenghthen data in a decrease in the risk of VAE is the park bench position. Therefore, prevention of the occurrence of VAE is very important to be known by the anesthesiologist to reduce mortality in patients with posterior fossa surgery.

Key words: posterior fossa, brain stem dysfunction, VAE

JNI 2016;5(1): 1–12

Page 3: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

2 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan

Basis cranii terbagi menjadi 3 bagian dari bagian depan yaitu fossa anterior, bagian tengah yaitu fossa medial serta bagian paling belakang yaitu fossa posterior. Fossa posterior dikelilingi oleh bagian anterior yaitu tulang clivus dan petrous, lateral dan posterior yaitu occipital squamosa, superior yaitu tentorium cerebelli, inferior yaitu foramen magnum dan sinus vena dural. Sebagian besar area ini diisi oleh cerebellar hemisphere serta batang otak. Saraf kranial ketiga hingga kedua belas dapat diakses melalui fossa posterior. Sistem sirkulasi darah pada struktur saraf di dalamnya yaitu sistem vertebrobasilar yang terbanyak berada di bagian anterior, sehingga sangat sulit mengakses struktur ini.1

Fossa posterior berisi cerebellum, midbrain, pons, medulla dan beberapa saraf kranii, sehingga jika terdapat lesi pada area ini akan mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang memberikan beberapa gejala seperti mengantuk, nyeri kepala, mual, muntah, diplopia, penglihatan buram, serta perubahan kondisi mental. Lesi tersering dan membutuhkan tindakan bedah pada fossa posterior adalah tumor, baik tumor jinak maupun ganas.1

Tumor fossa posterior merupakan salah satu tumor otak yang sangat membahayakan nyawa. Tumor fossa posterior lebih sering terjadi pada anak-anak yaitu 54–70% dibandingkan dewasa sekitar 15–20%. Insidensi jenis tumor diklasifikasikan menjadi 3 kelompok umur yaitu kelompok umur 10–20 tahun tumor tersering yaitu astrositoma dan meduloblastoma, kelompok umur 20–60 tahun tumor tersering yaitu metastase, akustik dan meningioma, serta kelompok umur >60 tahun terbanyak yaitu akustik tumor.2

Tindakan bedah pada kasus tumor di fossa posterior sangat rumit dikarenakan ruang yang terbatas serta banyaknya struktur saraf dan vaskular yang bersilangan sehingga memerlukan penanganan yang kompleks dan waktu operasi yang lama. Hal tersebut sangat menantang baik bagi ahli bedah maupun ahli anestesiologi. Tantangan utama bagi ahli anestesiologi pada tindakan bedah di fossa posterior yaitu peningkatan tekanan intrakranial, bagaimana memposisikan pasien, kemungkinan

terjadi disfungsi saraf kranial selama operasi berlangsung, risiko tinggi terjadinya emboli udara pada pembuluh darah vena (venous air embolism/VAE), dan kebutuhan menggunakan ventilasi mekanik pascabedah.2

Tujuan tindakan anestesi pada kasus bedah di fossa posterior yaitu memfasilitasi akses ke area bedah, meminimalisir risiko kerusakan jaringan saraf, dan mempertahankan stabilitas respiratorik dan kardiovaskular. Oleh karena hal tersebut, ahli anestesi harus berkomunikasi dengan ahli bedah mengenai rencana tindakan preoperatif, termasuk memposisikan pasien dan persiapan tindakan bedah. Pencegahan VAE, mengenali gejala terjadinya VAE, dan penatalaksanaan VAE merupakan hal yang sangat penting pada kasus tumor fossa posterior.2,3

II. Kasus

Kasus ISeorang wanita 20 tahun, berat badan 56 kg dengan diagnosa SOL infratentorial vestibular schwanoma a/r CPA dengan hidrosefalus non komunikan post V-P shunt, dibawa ke Rumah Sakit Hasan Sadikin dengan keluhan utama tidak dapat melihat. Sejak kurang lebih 8 bulan sebelum masuk rumah sakit penderita mengeluh penglihatannya buram disertai dengan sakit kepala dan muntah-muntah. Riwayat penurunan kesadaran kurang lebih 3 bulan sebelumnya tanpa disertai adanya kejang, dilakukan pemeriksaan CT-scan di rumah sakit daerah. Dari pemeriksaan tersebut dikatakan terdapat massa di batang otak, pasien dirujuk ke Rumah Sakit Hasan Sadikin kemudian dilakukan pemasangan V-P shunt. Saat ini pasien juga mengeluh adanya kelemahan anggota gerak kanan. Pasien mendapat terapi parasetamol 4x500mg, ranitidin 2x50mg. Pasien dikonsulkan ke anestesi untuk penatalaksanaan perioperatif kraniotomi untuk pengangkatan tumor.

Pemeriksaan FisikKeadaan umum : GCS 15 : E4 M6 V5Tekanan darah : 130/80mmHgLaju nadi : 68x/menitLaju nafas : 14x/menit

Page 4: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

3

CT scan: lesi kistik, ukuran lesi 3x5x5 cm di CPA ke posterior mengobliterasi cerebelum kiri, anterior ke kanalis akustikus internus dan mengobliterasi nervus akustikus internus dan os mastoid, di bagian medial terdapat lesi kistik mendesak ke pons dan tampak berhubungan dengan ventrikel 4. Rontgen thorak: cor dan pulmo tidak ada kelainan.

Pengelolaan AnestesiPasien dipuasakan dari makanan padat 8 jam sebelum operasi, minum air putih diperbolehkan 200cc sampai dengan 2 jam sebelum operasi. Persiapan operasi pasien diberikan premedikasi lorazepam 1mg per oral malam hari dan 2 jam sebelum operasi dan parasetamol 1 gram 2 jam sebelum operasi. Dilakukan pemasangan kateter vena dengan menggunakan cairan infus NaCl 0,9% 18 tetes/menit.

Induksi menggunakan propofol 2,5 mg/kgBB, fentanil 3μg/kgBB, vekuronium 0,12 mg/kgBB, lidocain1,5mg/kgBB intravena, disertai dengan pemberian anestestika inhalasi sevofluran 2 vol% dan O2 100% 6L/menit. Setelah dipastikan seluruh obat induksi sudah tercapai onsetnya, dilakukan tindakan intubasi endotrakeal dengan menggunakan pipa endotrakeal (endotracheal tube/ETT) no 7,0. Setelah dilakukan intubasi endotrakeal, dilakukan pemasangan kateter vena sentral (central vein cathether/CVC) pada vena subclavia kanan. Rumatan anestesi dengan O2 2L/menit, udara yang dimampatkan (air) 2L/menit, sevofluran 2 vol% dan vekuronium 2 mg/jam. Reseksi tumor berlangsung selama 6 jam dengan posisi pasien park bench. Hemodinamik selama operasi relatif stabil, tekanan darah sistolik berkisar 90–120mmHg, tekanan darah diastolik 60–80mmHg, laju nadi (HR) 60–80 x/mnt dan SaO2 99–100%, ETCO2 30–35mmHg.

Pengelolaan PascabedahPasien dipindahkan ke ruang perawatan intensif dengan keadaan masih dalam pengaruh obat, jalan nafas masih terpasang ETT, pernafasan terkendali menggunakan ventilator SIMV PS; PEEP 5, PS 5, frekuensi 12x/menit, FiO2 40%, saturasi O2 98–100%. Tekanan darah sistolik 110–130mmHg, diastolik 60–80mmHg,

Suhu : 37 oCSpO2 : 99–100%Kepala : konjungtiva anemis –/–,

sklera ikterik –/–Leher : JVP tidak meningkat, Range

of Movement (ROM) baikThoraks : Bentuk & gerak simetrisCor : S1&S2 reguler, gallop (–),

murmur (–)Pulmo : VBS kiri = kanan, ronki –/–,

weezing –/–Abdomen : datar, lembut, hepar/lien tidak

teraba, bising usus (+), nyeri tekan (–)

Ekstremitas : 5 4

5 4

Pemeriksaan Laboratorium Hb : 12,3gr/dLHematokrit : 38%Leukosit : 8.100Trombosit : 298.000PT : 11,7 INR : 0,92 aPTT : 23Na : 139mEq/L K : 4,0 mEq/LSGOT : 18unit/LSGPT : 28unit/LUreum : 9mg/dLKreatinin : 0,55mg/dLGlukosa Darah Sewaktu : 98mg/dL

Pemeriksaan Penunjang

Gambar 1. CT-scan Kepala

Penatalaksanaan Anestesi pada Tindakan Bedah Tumor Fossa Posterior: Serial Kasus

Page 5: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

4 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

nadi 60–80 x/menit. Pasien masih tersedasi dengan menggunakan propofol 20μg/kgBB/menit, analgetik fentanyl 0,5 μg/kgBB/jam dan parasetamol 3x1gram per hari. Rumatan cairan menggunakan ringerfundin 18 tetes/menit.Hari ke-2 di ruang perawatan intensif sedasi dihentikan, dilakukan ekstubasi setelah dikurangi kebutuhan ventilator dan dipastikan pernafasan adekuat. Hemodinamik stabil, analgetik masih dilanjutkan. Pasien dipindahkan ke ruangan pada hari ke-3 pascabedah.

Kasus II

Seorang laki-laki 28 tahun, berat badan 59 kg dengan diagnosa SOL infratentorial residif vestibular schwanoma a/r CPA dengan hidrosefalus non komunikan post V-P shunt dibawa ke Rumah Sakit Hasan Sadikin dengan keluhan tidak mendengar pada telinga kiri. Sejak kurang lebih 1 tahun yang lalu penderita mengeluh pendengarannya berkurang disertai dengan sakit kepala yang hilang timbul. Nyeri kepala masih dapat diatasi dengan minum obat penghilang nyeri.

Keluhan tersebut juga disertai dengan adanya gangguan keseimbangan. Riwayat penurunan kesadaran dan kejang tidak didapatkan. Dilakukan pemeriksaan CT-scan dikatakan terdapat tumor otak kemudian pasien menjalani operasi pengangkatan tumor. Tiga bulan kemudian keluhan nyeri kepala dan gangguan keseimbangan dirasakan kembali. Pasien kembali ke rumah sakit dan dilakukan pemeriksaan CT-scan kembali. Setelah itu dilakukan pemasangan V-P shunt. Saat ini pasien mendapat terapi parasetamol 4x500mg, ranitidin 2x50mg. Pasien dikonsulkan ke anestesi untuk penatalaksanaan perioperatif kraniotomi untuk pengangkatan tumor.

Pemeriksaan FisikKeadaan umum : GCS 15: E4 M6 V5Tekanan darah : 140/80mmHgLaju nadi : 78x/menitLaju nafas : 18x/menitSuhu : 36,8 oC

SpO2 : 99–100%Kepala : konjungtiva anemis –/–,

sklera ikterik –/– Mata: kiri visus 1/60, kanan 5/5 Parese NVII sinistra perifer

Leher : JVP tidak meningkat, Range of Movement (ROM) baik

Thoraks : Bentuk & gerak simetris.Cor : S1&S2 reguler, gallop (–),

murmur (–)Pulmo : VBS kiri = kanan, ronki –/–,

wheezing –/–Abdomen : datar, lembut, hepar/lien

tidak teraba, bising usus (+), nyeri tekan (–)

Ekstremitas : motorik 5 5

5 5

Pemeriksaan Laboratorium Hb : 13,7gr/dLHematokrit : 40%Leukosit : 7.406Trombosit : 321.000PT : 10,3INR : 0,97 aPTT : 23Na : 135mEq/L K : 3,9 mEq/LSGOT : 13unit/LSGPT : 12unit/LUreum : 22mg/dL Kreatinin : 0,82mg/dLGlukosa Darah Sewaktu : 121mg/dL

Pemeriksaan Penunjang CT Scan: lesi di CPA ukuran 4x6x4 cm, suspek residual vestibular schwanoma. Rontgen thorak: cor dan pulmo tidak ada kelainan.

Pengelolaan AnestesiPasien dipuasakan dari makanan padat 8 jam

Page 6: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

5

sebelum operasi, minum air putih diperbolehkan 200 cc sampai dengan 2 jam sebelum operasi. Persiapan operasi pasien diberikan premedikasi parasetamol 1 gram 2 jam sebelum operasi dan ranitidin 1x50 mg intravena. Dilakukan pemasangan kateter vena dengan menggunakan cairan infus ringerfundin 20 tetes/menit. Induksi menggunakan obat intravena propofol 2,5 mg/kgBB, fentanil 3 μg/kgBB, vekuronium 0,12 mg/kgBB, lidokain1,5 mg/kgBB. Disertai juga dengan pemberian anestetika inhalasi sevofluran 2 vol% dan O2 100% 6L/menit. Setelah dipastikan seluruh obat induksi sudah tercapai onsetnya, dilakukan tindakan intubasi endotrakeal dengan menggunakan ETT no 7,5 non kingking. Setelah dilakukan intubasi endotrakeal, dilakukan pemasangan kateter vena sentral (CVC) pada vena subklavia kanan. Rumatan anestesi dengan O2 2 L/mnt, udara yang dimampatkan (air) 2L/mnt, sevofluran 2 vol%, dan vekuronium 2mg/jam.Reseksi tumor berlangsung selama 10 jam dengan posisi pasien park bench. Hemodinamik selama operasi relatif stabil, tekanan darah sistolik berkisar 90–130 mmHg, tekanan darah diastolik 70–90mmHg, laju nadi (HR) 60–100 x/mnt dan SaO2 99–100 %, ETCO2 30–35mmHg. Pengelolaan PascabedahPasien dipindahkan ke ruang perawatan intensif, keadaan umum masih dalam pengaruh obat, jalan nafas masih terpasang ETT, pernafasan terkendali menggunakan ventilator volume control, volume tidal 550 ml, frekuensi 12 x/menit, FiO2 40%, saturasi O2 98–100%. Tekanan darah sistolik 90–110 mmHg, diastolik 60–70mmHg, nadi 60–80 x/menit. Terpasang nasogastric tube (NGT). Pasien masih tersedasi dengan menggunakan propofol 20 μg/kgBB/menit, analgetik fentanil 0,5 μg/kgBB/jam dan parasetamol 3x1 gram/hari. Rumatan cairan menggunakan ringerfundin 20 tetes/menit. Hari ke-2 di ruang perawatan intensif sedasi dihentikan, dikurangi kebutuhan ventilator menjadi SIMV PS, kemudian CPAP dan setelah dipastikan pernafasan adekuat kemudian dilakukan ekstubasi pada hari ke-3 pascabedah, analgetik fentanil dihentikan, parasetamol 3x1 gram masih dilanjutkan. Pasien dipindahkan ke ruangan pada hari ke-4 pascabedah.

Kasus III

Seorang anak wanita 12 tahun, berat badan 25 kg dengan diagnosa SOL infratentorial a/r cerebellum sinistra suspek cerebellar astrocytoma dibawa ke rumah sakit Hasan Sadikin dengan keluhan utama penglihatan ganda. Sejak kurang lebih 2 minggu sebelum masuk rumah sakit penderita mengeluh penglihatannya ganda disertai dengan penglihatan buram. Keluhan tersebut disertai dengan sakit kepala yang hilang timbul dan gangguan keseimbangan ketika berjalan. Riwayat trauma, penurunan kesadaran, kejang tidak didapatkan. Dilakukan pemeriksaan CT-scan di rumah sakit daerah kemudian pasien dirujuk ke Rumah Sakit Hasan Sadikin. Pasien dikonsulkan ke anestesi untuk penatalaksanaan perioperatif kraniotomi untuk pengangkatan tumor.MRI: massa solid inhomogen di cerebellum

Pemeriksaan FisikKeadaan umum : GCS 15: E4 M6 V5Tekanan darah : 110/60mmHgLaju nadi : 88x/menitLaju nafas : 14x/menitSuhu : 36,7˚ CSpO2 : 99–100%Kepala : konjungtiva anemis –/–,

sklera ikterik –/– Visus mata kanan 6/60, mata kiri 6/60 Parese N VI sinistra

Leher : JVP tidak meningkat, Range of Movement (ROM) baik

Thoraks : Bentuk & gerak simetris.Cor : S1&S2 reguler, gallop

(–), murmur (–)Pulmo : VBS kiri = kanan ronki

–/–, wheezing –/–Abdomen : datar, lembut, hepar/lien

tidak teraba, bising usus (+), nyeri tekan (–)

Ekstremitas : motorik

Penatalaksanaan Anestesi pada Tindakan Bedah Tumor Fossa Posterior: Serial Kasus

5 5

5 5

Page 7: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

6 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

disertai degenerasi kistik dan perdarahan minimal intratumor sugestif high grade astrocytoma dan tanda-tanda obstruktif hidrocefalus, ukuran 6x4x2cm Rontgen thorax: cor dan pulmo tidak ada kelainan.

Pengelolaan AnestesiPasien dipuasakan dari makanan padat 8 jam sebelum operasi, minum air putih diperbolehkan 100cc sampai dengan 2 jam sebelum operasi. Persiapan operasi pasien diberikan premedikasi lorazepam 0,5 mg per oral malam hari dan 2 jam sebelum operasi, dan parasetamol 500 mg 2 jam sebelum operasi. Dilakukan pemasangan kateter vena dengan menggunakan cairan infus ringerfundin 12 tetes/menit. Induksi menggunakan obat intravena propofol 2,5 mg/kgBB, fentanil 3 μg/kgBB, vekuronium 0,12 mg/kgBB, lidocain1,5 mg/kgBB, disertai dengan pemberian obat anestetika inhalasi sevofluran 2 vol% dan O2 100% 6L/menit. Setelah dipastikan seluruh obat induksi sudah tercapai onsetnya, dilakukan tindakan intubasi endotrakeal dengan menggunakan ETT no 5,0. Setelah dilakukan intubasi endotrakeal, dilakukan pemasangan kateter vena sentral (CVC) pada vena subklavia kanan. Rumatan anestesi dengan O2 2L/menit, udara yang dimampatkan 2 L/menit, sevofluran 2 vol%, dan vekuronium 2 mg/jam.Reseksi tumor berlangsung selama 9 jam dengan

Pemeriksaan LaboratoriumHb : 15,2gr/dLHematokrit : 44%Leukosit : 9.700Trombosit : 289.000PT : 9,8 INR : 0,98 aPTT : 23Na : 139mEq/L K : 4,0 mEq/LSGOT : 21unit/LSGPT : 30unit/LUreum : 18mg/dLKreatinin : 0,37mg/dLGlukosa Darah Sewaktu : 94mg/dL

Pemeriksaan Penunjang

Gambar 2. MRI Kepala Potongan Sagital

Gambar 3. MRI Kepala Potongan Aksial

posisi pasien parkbench. Hemodinamik selama operasi relatif stabil, tekanan darah sistolik berkisar 80–110 mmHg, tekanan darah diastolik 50–70mmHg, laju nadi (HR) 60–90 x/menit dan SaO2 99–100 %, ETCO2 30–35mmHg.

Pengelolaan PascabedahPasien dipindahkan ke ruang perawatan intensif, keadaan umum masih dalam pengaruh obat, jalan nafas masih terpasang ETT, pernafasan terkendali menggunakan ventilator SIMV PS; PEEP 5, PS 7, frekuensi 12 x/menit, FiO2 50%, saturasi O2 98–100%. Tekanan darah sistolik 110–130mmHg, diastolik 60–80 mmHg, nadi 60–80 x/menit. Pasien masih tersedasi dengan menggunakan propofol 20 μg/kgBB/menit, analgetik fentanil 0,5 μg/kgBB/jam dan parasetamol 3x1 gram per hari. Rumatan cairan menggunakan ringerfundin

Page 8: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

7

Grafik 1. Tekanan Darah Preoperasi, Induksi, Intraoperasi dan Pascaoperasi

Grafik 2. Denyut Jantung Preoperasi, Induksi, Intraoperasi dan Pascaoperasi

Tabel 1. Pemeriksaan LaboratoriumPemeriksaan Lab Kasus I Kasus II Kasus III

HB (gr/dl) 12,3 13,7 15,2Ht (%) 38% 40% 44%Leukosit 8100 7406 970Trombosit 298000 321000 289000PT 11,7 10,3 9,8INR 0,92 0,97 0,98aPTT 23 23 23Na (mEq/L) 139 135 139K (mEq/L) 4 3,9 4SGOT (unit/L 18 13 21SGPT (unit/L 28 12 30Ureum (mg/dL) 9 22 18Kreatinin (mg/dL) 0,55 0,82 0,37GDS (mg/dL) 98 121 94

Tabel 2. Penyulit pada Tumor Fossa PosteriorPenyulit Kasus

IKasus

IIKasus

IIIGangguan fungsi Saraf Kranialis

Ya Ya Ya

P e n i n g k a t a n Tekanan intra kranial

Ya Ya Ya

Posisi Selama Operasi

p a r k bench

p a r k bench

p a r k bench

Risiko VAE Sedang Sedang Sedang R i s i k o K e h i l a n g a n Darah

Sedang Sedang Sedang

Monitoring SSP Intraoperatif

Tidak Tidak Tidak

12 tetes/menit. Terpasang NGT. Terapi yang diberikan manitol 4x10g, phenitoin 3x. Hari ke-2 di ruang perawatan intensif, sedasi dihentikan kemudian dilakukan ekstubasi setelah dikurangi kebutuhan ventilator dan dipastikan pernafasan adekuat. Hemodinamik stabil, analgetik masih dilanjutkan. Pasien dipindahkan ke ruangan pada hari ke-3 pascabedah.

III. Pembahasan

Tindakan bedah pada fossa posterior sangat berbahaya dan memerlukan waktu yang lama. Penatalaksanaan anestesi pada kasus tersebut pun

Penatalaksanaan Anestesi pada Tindakan Bedah Tumor Fossa Posterior: Serial Kasus

sangat menantang, dikarenakan adanya beberapa masalah khusus seperti terdapat disfungsi batang otak, posisi pasien, monitoring neurofisiologis intraoperatif, dan risiko terjadinya emboli udara pada pembuluh darah vena. Fossa posterior sangat kecil dan merupakan sebuah ruangan yang terdiri dari pons, medula, serebelum dan ventrikel ke-4. Beberapa indikasi dilakukan tindakan bedah pada fossa posterior yaitu reseksi lesi vaskular atau tumor, dekompresi saraf kranial, dan koreksi kelainan kranioservikal. Tujuan utama ahli anestesi pada penatalaksanaan tindakan bedah di fossa posterior adalah memfasilitasi eksposur yang aman, dan meminimalisir kerusakan jaringan serta edema yang timbul.1-3

Telah dilakukan tindakan anestesi pada operasi

Page 9: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

8 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

pengangkatan tumor dengan diagnosa SOL infratentorial vestibular schwanoma a/r CPA sejumlah 2 orang pasien dan SOL infratentorial cerebellar astrositoma a/r cerebellum sejumlah 1 orang pasien. Jenis kelamin perempuan 2 orang dan 1 orang laki-laki, umur berkisar antara 12–28 tahun. Secara teori, tumor pada fossa posterior lebih sering terjadi pada anak-anak, dengan insidensi pada perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Jenis tumor yang ditemukan yaitu vestibular schwanoma dan serebelar astrositoma, dikatakan bahwa tumor tersering pada fossa posterior yaitu medulloblastoma diikuti oleh astrositoma derajat rendah. Akses bedah pada daerah fossa posterior dapat diperoleh melalui beberapa posisi bedah yang diterapkan pada pasien. Posisi pasien yang adekuat akan memberikan akses yang memadai terhadap lesi intrakranial. Beberapa posisi yang dapat diterapkan yaitu posisi lateral, posisi telungkup (prone), posisi semi telungkup (park bench), posisi duduk (sitting) dan posisi telentang (supine). Masing-masing posisi tersebut memiliki keuntungan dan kerugian. Posisi lateral sangat cocok untuk pendekatan pada daerah CPA, namun kebanyakan posisi ini digunakan untuk prosedur bedah saraf unilateral bagian atas dari fossa posterior. Kerugiannya yaitu permasalahan pada bahu pasien, kelumpuhan saraf popliteal akibat kaki yang menggantung. Posisi telungkup digunakan pada lesi di/dekat midline termasuk ventrikel ke-4. Posisi ini lebih sering digunakan pada anak-anak karena mudah untuk ditelungkupkan. Risiko terjadinya VAE pada posisi telungkup lebih rendah, namun masalah yang muncul yaitu gangguan ventilasi dimana kontrol terhadap ETT dan jalan nafas cukup sulit; edema dan venous pooling pada daerah wajah; dan menurunnya tajam penglihatan akibat penggunaan dari bantalan kepala pada wajah.4,5

Posisi duduk merupakan posisi yang memiliki keuntungan paling banyak yaitu memudahkan operator bedah karena penempatan kateter drainase CSF yang jauh dan karena adanya gravity-assisted blood, sehingga tercipta lapang pandang yang cukup baik; tekanan pada jalan nafas lebih rendah, kemudahan gerak diafragma, kemampuan untuk hiperventilasi meningkat, dan akses ETT yang lebih baik. Peregangan

cervical cord dan pembuntuan drainase vena dapat dicegah dengan membatasi jarak antara dagu dan dada sebesar 1 inch. Kerugian posisi tersebut yaitu terjadi pneumocephalus, VAE, hipovolemi, penurunan fungsi kardiovaskular serta terjadinya quadriplegia pada pasien lanjut usia. Kontraindikasi dilakukan tindakan bedah dengan posisi duduk yaitu jika terdapat right to left intracardial atau pulmonal shunt yang dapat mempercepat terjadinya emboli. Posisi telentang memungkinkan distribusi berat badan pada area operasi yang lebih luas, dalam posisi ini kepala mengalami rotasi lateral dengan maksimal dan meregang.4-6

Pada ketiga kasus ini pasien diposisikan semi telungkup (park bench) yang memungkinkan penataan posisi yang lebih cepat, berguna pada kondisi gawat darurat yang membutuhkan akses cepat pada cerebellar hemisphere. Dengan membalik tubuh pasien agak telungkup, bahu bagian atas menjadi condong ke dalam dan memberikan akses yang lebih leluasa bagi operator bedah. Namun ada beberapa risiko dari posisi tersebut yaitu pembuntuan vena dan leher terpelintir.

VAE pada tindakan bedah fossa posterior dapat terjadi jika ada tekanan subatmosfer pada pembuluh darah yang terbuka. Kondisi tersebut dimungkinkan jika lokasi bedah berada lebih tinggi dari posisi jantung. Kejadian VAE sering terjadi pada posisi duduk, namun pada beberapa kasus dapat juga terjadi pada posisi lateral atau telungkup. Terdapat data yang menunjukkan risiko terjadinya VAE pada posisi duduk yaitu

Gambar 4. Posisi park bench

Page 10: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

9

antara 40%–45%, sedangkan pada posisi lateral, telungkup, park bench lebih rendah yaitu antara 10%–15%.VAE dapat terjadi dalam jumlah dan durasi yang bervariasi. Emboli udara masif mengakibatkan perubahan hemodinamik yang seketika dan mengancam. VAE yang tersering yaitu udara terperangkap secara perlahan-lahan dalam beberapa lama. Hal tersebut mengakibatkan perubahan hemodinamik atau respiratorik yang kecil atau bahkan tidak mengakibatkan perubahan. Namun, hal tersebut dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jantung kanan, peningkatan dead-space ventilation, dan hipoksemia.7

Seiring udara tersebut tersebut menghilang melalui sirkulasi pulmonal, maka terjadi peningkatan resistensi pembuluh darah pulmonal dan arteri pulmonal dan tekanan atrial kanan. Jika tidak terpantau, curah jantung akan menurun sebagai akibat dari kegagalan fungsi jantung kanan dan atau berkurangnya pengisian ventrikel kiri.Obstruksi pembuluh darah ini meningkatkan dead-space ventilation mengakibatkan penurunan tekanan end-tidal carbon dioxide (ETCO2), dan peningkatan tekanan arterial carbon dioxide (PaCO2). Kedua hal tersebut merupakan gambaran khas pada VAE. Hipoksemia dapat terjadi akibat penyumbatan parsial pembuluh darah pulmonal dan terlepasnya substansi vasoaktif secara terlokalisir. VAE dapat dimonitor dengan beberapa metode yaitu kondisi hemodinamik (tekanan darah, tekanan vena sentral/CVP, tekanan arteri pulmonal), precordial doppler ultrasound, end tidal gas monitoring, dan transesophageal echocardiography (TEE). Untuk kasus-kasus risiko tinggi disarankan menggunakan Doppler

atau ETCO2. Pada ketiga pasien ini kejadian VAE dimonitor dengan menggunakan kateter vena sentral, ETCO2, dan saturasi oksigen.

Terdapat beberapa pendapat yang mengatakan dapat mencegah terjadinya VAE, yaitu dengan menggunakan positive end-expiratory pressure (PEEP), pemberian cairan, tindakan hipoventilasi, ataupun modifikasi posisi pasien. Penggunaan PEEP untuk mencegah VAE pada pasien dengan posisi duduk masih kontroversial. Level PEEP yang tinggi (>10 cm H2O) diperlukan untuk meningkatkan tekanan vena di kepala, namun penelitian tersebut tidak konsisten apakah PEEP dapat menurunkan risiko terjadinya VAE. Namun, secara pasti PEEP dapat menurunkan aliran balik vena, curah jantung, dan tekanan arteri rata-rata. Pengisian cairan sebagai tindakan profilaksis belum terbukti secara adekuat mengurangi risiko terjadinya VAE meskipun hipovolemi merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya VAE. Beberapa penelitian mengatakan bahwa pengaturan ventilasi dengan hipoventilasi moderat dapat mengurangi risiko terjadinya VAE, namun hipoventilasi pun dapat meningkatkan aliran darah otak dan volume darah otak yang akan mengganggu proses bedah yang sedang berlangsung. Sampai dengan saat ini keuntungan hipoventilasi belum dapat dipastikan, maka saat ini teknik yang sering dilakukan adalah hiperventilasi ringan. Jika sudah terjadi VAE, maka yang harus dilakukan adalah mencegah udara yang terperangkap tidak bertambah banyak dengan cara memperingatkan ahli bedah, membasahi area bedah dengan larutan salin dan aplikasi occlusive pad, melakukan kompresi vena jugular bilateral secara perlahan untuk meminimalkan udara yang

Tabel 1. Perbandingan Beberapa Metode untuk Mendeteksi VAEMetode Sensitivitas KeterbatasanTEE. Tinggi (0,02 ml/kg) Invasif, memerlukan keahlianPrecordial doppler Tinggi (0,05 ml/kg) Obesitas, COPDPA catheter Tinggi (0,25 ml/kg) Tidak bisa pada diameter kecilEnd-tidal nitrogen Sedang (0,5 ml/kg) Jarang tersediaEnd tidal CO2 Sedang (0,5 ml/kg) Tidak spesifikOxygen saturation Rendah Lambat

Sumber : Handbook of Neuroanesthesia5

Penatalaksanaan Anestesi pada Tindakan Bedah Tumor Fossa Posterior: Serial Kasus

Page 11: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

10 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

terperangkap, dan mempertimbangkan perubahan posisi pasien sehingga lokasi sumbatan lebih rendah dari posisi jantung pasien. Tindakan kedua untuk penatalaksanaan VAE yaitu menghilangkan sumbatan dengan melakukan aspirasi atrium kanan dengan menggunakan kateter multiorifisium, dimana tindakan tersebut memberikan keberhasilan sekitar 30–60%, dan menghentikan pemberian N2O (Nitrous oxide) segera. Tindakan ketiga yaitu dengan memberikan terapi suportif yaitu memberikan oksigen 100%, memberikan inotropik untuk meningkatkan kontraktilitas jantung kanan, meningkatkan pemberian volume, dan mempertimbangkan resusitasi kardiopulmonalJika udara memasuki sirkulasi vena, terdapat risiko masuknya udara ke dalam pembuluh darah pulmonal atau patent foramen ovale ke arteri dan mengakibatkan emboli pada pembuluh darah koronaria dan serebral. Belum terdapat data mengenai isidensi terjadinya paradoxic air embolism (PAE), namun terdapat beberapa kasus yang dilaporkan dan semuanya tidak terdapat komplikasi. Pada ketiga kasus ini tidak ditemukan komplikasi PAE.Tidak ada teknik anestesi ataupun obat-obatan anestesi khusus yang lebih baik pada penatalaksanaan kasus tumor fossa posterior. Penggunaan N2O masih kontroversial. Hal tersebut dikarenakan risiko terjadinya VAE dan kemampuan N2O untuk menghasilkan gelembung-gelembung udara. Beberapa ahli berpendapat untuk tidak menggunakan gas tersebut.1,3,7-10

Pada ketiga kasus ini, tidak menggunakan N2O karena selain pertimbangan yang disebutkan di atas, N2O dikatakan kerusakan pada sel otak sehingga menyebabkan luaran yang tidak baik. Oksigen yang diberikan dicampur dengan udara yang dimampatkan (air) untuk mencegah pemberian oksigen 100%. Pemberian oksigen 100% dengan waktu yang lama tidak dianjurkan karena dapat mengurangi tekanan udara di alveoli sehingga mempermudah terjadinya atelektasis. Selain daripada itu juga pemberian oksigen yang berlebihan dapat menyebabkan vasokonstriksi pada pembuluh darah otak. Tekanan oksigen parsial pada pembuluh darah arteri diharapkan pada kisaran 100–200mmHg.11-12

Jalan nafas memerlukan perhatian yang serius. Seringnya pada kasus di fossa posterior, diperlukan fleksi atau rotasi leher agar didapatkan lapang pandang operasi yang luas. Fleksi dapat mengakibatkan ETT terdorong ke bronkus atau mengakibatkan ETT tertekuk ke faring bagian posterior. Disarankan melakukan intubasi oral standar atau intubasi nasotrakeal. Diperlukan penilaian teliti tentang posisi dan akurasi intubasi tersebut. Jika terdapat obstruksi parsial (misalnya karena tekanan jalan nafas yang tinggi atau rendahnya aliran ETCO2 maka harus dimasukkan kateter isap hingga terasa lancar dan dilakukan reposisi kepala dan leher. Pada kebanyakan kasus dilakukan hiperventilasi ringan untuk memperluas wilayah operasi dan mengurangi tekanan retraksi pada otak. Namun, perubahan pada sistem respirasi sangat sensitif terhadap batang otak, dibandingkan perubahan hemodinamik. Akibatnya penggunaan ventilasi spontan lebih disarankan pada beberapa kasus dimana terjadi kondisi iskemik. Hal tersebut harus didiskusikan terlebih dahulu dengan operator mengingat hipoventilasi yang terjadi akibat ventilasi spontan selama anestesi umum mengakibatkan pembengkakan otak yang berdampak pada wilayah operasi yang terbatas.Selama operasi umumnya dilakukan monitoring batang otak dikarenakan trauma pada saraf kranial merupakan risiko tindakan utama pada tindakan bedah di area cerebellopontine batang otak. Kondisi saraf kranial dinilai dengan melakukan stimulasi saraf kranial N.V, VII, VIII, X, XI, XII intraoperatif dengan melakukan SSEPs, BAERs, dan spontan dan evoked electromyograph (EMG). Hal tersebut merupakan tantangan bagi ahli anestesi dikarenakan obat-obat anestesi mempengaruhi evoked potential dan EMG. Obat pelemas otot mempengaruhi interpretasi EMG dan N2O dan obat-obat inhalasi dosis tinggi mempengaruhi SSEPs, sedangkan BAERs lebih resisten terhadap efek obat-obat anestesi.Stimulus saraf kranial N.V dan N.VII akan mengakibatkan kedutan pada daerah wajah. Pemberian obat-obat suksinilkolin untuk intubasi akan mempengaruhi hal tersebut. Beberapa ahli elektrofisiologi berpendapat untuk tidak memberikan obat pelemas otot, namun beberapa ahli cukup puas dengan pemberian pelemas otot

Page 12: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

11

kontinyu melalui infus untuk mempertahankan kedutan yang terjadi. Pada ketiga kasus ini tidak dilakukan pemantauan saraf kranial karena tidak tersedia alat pemantauan saraf kranial.Tindakan bedah di atau dekat batang otak (misalnya neuroma akustik) dapat mengakibatkan respon kardiovaskular yang tiba-tiba meningkat yang dapat membahayakan batang otak. Stimulus pada ventrikel IV, N.V dapat mengakibatkan hipertensi dan bradikardi. Bradikardi dapat disebabkan pembukaan dura, retraksi serebelum, pemberian cairan irigasi yang dingin, stimulus nervus trigeminus dan nervus vagus. Jika hal tersebut terjadi, maka ahli bedah harus segera menghentikan tindakan yang memicu terjadinya respon tersebut. Bradidistrimia merupakakan peringatan bahaya. Jika sangat diperlukan dapat diberikan bolus fenilefrin atau efedrin, infus dopamin atau isoproterenol dan transvenous/transesofageal pacing. Jika kondisi tersebut berlanjut, disarankan pemberian glikopirolat atau atropin. Jika terjadi hipertensi dapat ditatalaksana dengan pemberian obat antihipertensi dengan dosis tinggi dan multipel untuk menurunkan tekanan darah hingga batas yang ditolerir. Pada ketiga kasus ini tidak terjadi perubahan irama jantung maupun perubahan tekanan darah yang cukup berarti.1-3,5,13

Penghentian tindakan anestesi sama halnya pada setiap tindakan anestesi kasus bedah saraf lainnya. Penghentian tindakan anestesi harus dilakukan hati-hati, lancar, hindari batuk, dan hindari peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba. Ekstubasi dilakukan tergantung beberapa faktor misalnya kondisi gangguan neurologis yang sebelumnya terjadi, lama operasi, komplikasi intraoperatif dan edema batang otak. Pada ketiga kasus ini pasien tidak segera dibangunkan, pasien masih tetap disedasi dan menggunakan ETT setelah selesai operasi sampai dengan hari ke-2 perawatan di ruang intensif untuk memastikan jalan nafas tetap bebas dan ventilasi terkendali. Selain daripada itu juga untuk memastikan hemodinamik pasien baik serta dalam keadaan normotermi setelah menjalani operasi dalam waktu yang lama. Pemberian analgetik yang adekuat dilakukan dengan menggunakan fentanil untuk mencegah pasien kesakitan dan terjadi peningkatan tekanan

darah dan nadi. Ekstubasi dilakukan pada hari ke-2 pascabedah setelah dipastikan pernafasan adekuat.Ventilasi dalam waktu lama dan proteksi jalan nafas terkadang diperlukan pada beberapa kasus seperti gangguan saraf kranial atau motorik dimana pasien akan mengalami kesulitan menelan atau berbicara. Edema pada jalan nafas akibat manipulasi intraoperatif dapat mengakibatkan hipoventilasi. Edema lidah dan fasial yang terjadi akibat kesalahan posisi yang mengakibatkan obstruksi vena atau limfatik. ETT tetap harus terpasang hingga edema hilang. Jika terjadi VAE yang berat maka akan terjadi edema pulmonal. Meskipun edema pulmonal berespon baik terhadap pemberian oksigen dan diuretik, disarankan ventilasi pascaoperasi tetap dilanjutkan.1-5

IV. Simpulan

Tindakan operasi pada fossa posterior memberikan tantangan yang cukup berarti pada seorang dokter ahli anestesi karena risiko-risiko yang dapat terjadi pada pasien tersebut. Risiko yang dapat terjadi yaitu VAE, gangguan irama jantung dan hemodinamik, cedera saraf kranial, dan cedera saraf tepi. Risiko tersebut dapat dihindari dengan melakukan pencegahan yaitu dengan cara pemilihan posisi pasien selama operasi, pelaksanaan tindakan anestesi yang baik serta penggunaan alat-alat monitoring yang lengkap.

Daftar Pustaka

1. Patel, Wen DY, Haines SJ. Posterior fossa: surgical consideration. Dalam: Cottrell JE, Smith DS, eds. Anesthesia and Neurosurgery, edisi-4, Missouri: Mosby, Inc; 2001, 319–33.

2. Chand MB, Thapa P, Shrestha S, Chand P. Peri-operative anesthetic events in posterior fossa tumor surgery. Postgraduate Medical Journal of NAMS. 2012; 12(2)

3. Smith DS, Osborn I. Posterior fossa: anesthetic considerations. Dalam: Cottrell JE, Smith DS, eds. Anesthesia and Neurosurgery,

Penatalaksanaan Anestesi pada Tindakan Bedah Tumor Fossa Posterior: Serial Kasus

Page 13: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

12 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

4th ed, Missouri; Mosby, Inc; 2001, 335–51.

4. Smith DS. Anesthetic management for posterior fossa surgery. Dalam: Cottrell JE, Young WL, eds. Cottrell and Young’s Neuroanesthesia, 5th ed. Philadelphia; Mosby, Inc; 2010, 203–17

5. Pederson DS, Peterfreund RA. Anesthesia for posterior fossa surgery. Dalam: Newfield P, Cottrell JE, eds. Handbook of Neuroanesthesia 5th ed. Philadelphia; Lippincott Williams & Wilkins; 2012,136–47.

6. Fathi AR, Eshtehardi P, Meier B. Patent foramen ovale and neurosurgery in sitting position: a systematic review. Br J Anaesth. 2009; 102:588–96.

7. Mirski MA, Lele AV, Fitzsimmons L, Toung TJ. Diagnosis and treatment of vascular air embolism. Anesthesiology. 2007;106:164–77.

8. Abd-Elsayed AA, Díaz-Gómez J, Barnett GH, Kurz A, Inton-Santos M, Barsoum S, et al. A case series discussing the anaesthetic management of pregnant patients with brain tumours. F1000Research. 2013, 2:92.

9. Jagannathan S, Krovvidi H. Anaesthetic considerations for posterior fossa surgery. Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain. 2013.

10. Goyal K, Philip FA, Rath GP, Mahajan C,

Sujatha M, Bharti SJ, et al. Asystole during posterior fossa surgery: report of two cases. Asian J Neurosurg. 2012 AprJun; 7(2): 87–89.

11. Gheorghita E, Ciurea J, Balanescu B. Considerations on anesthesia for posterior fossa-surgery. Romanian Neurosurgery (2012) XIX 3: 183–92.

12. Sinead SS, Ma D. The neurotoxicity of nitrous oxide: the facts and “putative” mechanisms. Brain Sci. 2014; 4: 73–90.

13. Sivanaser V, Manninen P. Preoperative assessment of adult patients for intracranial surgery. Hindawi Publishing Corporation. Anesthesiology Research and Practice Volume 2010, Article ID 241307, 11.

Page 14: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

13

Penatalaksanaan Perioperatif pada Bedah Dekompresi Mikrovaskular: Sajian Kasus Serial

Riyadh Firdaus*), I Putu Pramana Suarjaya**), Sri Rahardjo***)

*)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, **)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana–RSUP Sanglah Denpasar, ***)

***)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada-RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Abstrak

Dekompresi mikrovaskular (microvascular decompression/MVD) adalah terapi definitif dari spasme hemifasial, yakni suatu gangguan gerakan neuromuskular wajah. Spasme ini ditandai dengan kontraksi involunter berulang pada otat yang diinervasi oleh N. fasialis (N.VII) akibat penekanan oleh arteri, tumor atau kelainan vaskular lainnya. Prevalensinya mencapai 9–11 kasus per 100.000 populasi sehat, dan paling sering terjadi pada usia 40–60 tahun. Meskipun bukaan operasi MVD kecil yaitu di sekitar retroaurikula tetapi teknik anestesi-nya menggunakan prinsip-prinsip pembedahan fossa posterior. Bukaan lapangan operasi yang baik, kewaspadaan terhadap rangsangan ke batang otak maupun nervus kranialis dan kewaspadaan terhadap penurunan perfusi otak merupakan pilar-pilar utama tatalaksana anestesia pada MVD. Disajikan empat kasus spasme hemifasial dengan keadaan khusus. Kasus pertama operasi dilakukan pada pasien geriatri, pasien kedua dengan riwayat hipertensi, pasien ketiga dengan leher pendek dan asma, pasien terakhir dengan diabetes mellitus serta hipertensi. Pemantauan kestabilan hemodinamik, kedalaman anestesia dan relaksasi otot merupakan aspek penting yang menyertai tata laksana anestesi pada kasus ini.

Kata kunci: microvascular decompression (MVD), pembedahan fossa posterior

JNI 2016;5(1): 13–23

Perioperative Management in Microvascular Decompression Surgery: Case Series Report

Abstract

Microvascular decompression (MVD) is the definitive surgery for hemifacial spasm. The symptoms is described as a repetitive involuntary muscle contraction which innervated by N.fascialis caused by compression of the nervus by enlarged artery, tumor or vascular malformation. Its happened to 9-11 people from 100.000 population, especially in 4th to 6th decades. Although MVD operation only need small opening in retroauricula area but it still use posterior fossa operation principles. They are sufficient work field, awareness of impulse to brain stem and cranial nerves, and decrease of cerebral perfusion pressure. We present four cases of hemifacial spasm, with variety of considerations. The first case was a geriatric patient, the second was with history of hypertension, the third patient has short neck and also history of hypetension and asthma and the last is with diabetes mellitus and history of hypertension. Hemodynamic monitoring, deepness of anesthesia and adequate muscle relaxation is important parameter of anasthetical management of these cases.

Key words: microvascular decompression (MVD), fossa posterior surgery

JNI 2016;5(1): 13–23

Page 15: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

14 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan

Dekompresio mikrovaskular (DMN) adalah operasi untuk mengatasi suatu gejala spasme hemifasial. Spasme hemifasial sendiri disimpulkan sebagai gangguan gerakan neuromuskular ditandai dengan kontraksi involunter berulang hingga persisten pada otot-otot yang diinnervasi oleh nervus fasialis. Kontraksi involunter berupa kedutan yang dimulai dengan otot-otot sekitar mata hingga melibatkan seluruh otot wajah.1,2

Prevalensi spasme hemifasial di dunia terjadi pada 9 hingga 11 kasus per 100.000 orang dengan usia rata-rata 40 sampai 60 tahun. Kontraksi otot terjadi secara spontan dan semakin sering terutama saat bekerja, kelelahan atau stress, bahkan saat tidur juga dapat dirasakan oleh penderita. Gejala spasme hemifasial tidak nyeri namun sangat mengganggu hingga penderita dapat mengalami frustasi, cemas dan depresi karena malu dan tidak nyaman akibat kedutan di wajah.2,3

Gejala yang tidak diobati dapat menetap seumur hidup dan manifestasi kedutan otot menjadi semakin berat dengan area paparan yang makin luas. Pada umumnya penderita mencari terapi medis setelah manifestasi klinis terjadi 2 hingga 8 tahun.2 Tatalaksana spasme hemifasial berupa terapi anti spasme seperti injeksi botulinum, terapi panas, dan -pada kasus ini- pembedahan definitif yang dikenal dengan dekompresi mikrovaskular.2,3

Tatalaksana anestesia pada dekompresi mikrovaskular berdasarkan pertimbangan pembedahan di daerah fosa posterior dengan tujuan intraoperatif untuk memfasilitasi akses bedah, meminimalkan trauma jaringan saraf, dan menjaga respirasi serta stabilitas kardiovaskular.Laporan serial kasus ini menekankan pada pertimbangan anestesi untuk operasi dekompresi mikrovaskular pada pasien dewasa yang terdiri dari tatalaksana evaluasi pra operasi, persiapan, dan premedikasi; pertimbangan pemantauan umum dan khusus; pilihan posisi untuk operasi; pertimbangan risiko, pencegahan, deteksi, pengobatan, dan komplikasi emboli udara serta perawatan pasca anestesia.4

II. Ilustrasi Kasus

Kasus 1Kasus pertama adalah laki laki, usia 66 tahun dengan keluhan kedutan pada wajah sebelah kanan sejak 5 tahun yang lalu. Keluhan muncul hilang timbul, pencetus tidak jelas, keluhan juga tidak hilang dengan istirahat. Sejak 1 tahun yang lalu pasien mengeluh wajah mulai tidak simetris,telah diterapi dengan injeksi botoks tiap 3 bulan namun tidak membaik. Mual/muntah tidak ada, gangguan penglihatan/kejang disangkal. Riwayat operasi lutut dengan regional anestesia tahun 2014, relatif tidak bermasalah. Riwayat sakit jantung/asma/DM/hipertensi disangkal. Riwayat alergi obat/makanan disangkal. Hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium didapatkan dalam batas normal, tidak didapatkan gangguan neurologis fokal lainnya. Dari pemeriksaan MRI didapatkan A. vertebralis kanan-kiri berbelok di dekat n. vestibulocochlea kanan. Nervus fasialis kanan-kiri tampak masih baik. Sehingga disimpulkan status fisik ASA II karena usia pasien (geriatri).

Pasien direncanakan untuk dekompresi mikrovaskular dengan anastesia umum dan pemantauan dengan saturasi oksigen, EKG, tekanan darah dan etCO2. Pasien masuk kamar operasi sudah terpasang akses intravena perifer. Dilakukan pemasangan monitor berupa EKG,

Gambar 1. MRI Otak Pasien1

Page 16: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

15

saturasi, tekanan darah. Keadaan hemodinamik awal adalah detak jantung 83–88x/menit, tekanan darah 125/70 mmHg, laju nafas 16x/menit, saturasi O2 100%. Kemudian pasien diberikan premedikasi midazolam 3mg dan fentanil 175 mcg intravena. Induksi dilakukan dengan propofol 100 mg intravena. Setelah dipastikan ventilasi dan oksigenasi optimal dan anastesi cukup dalam diberikan rokuronium 50 mg dilanjutkan dengan intubasi menggunakkan ETT no. 7.5, fiksasi 20 cm. Pengaturan ventilator dilakukan dengan kontrol volume dengan volume tidal 550ml, laju nafas 12 x/mnt, Peep off, dan FiO2 45%. Hemodinamik setelah induksi laju nadi 65 x/mnt, tekanan darah 108/60 mmHg, saturasi 100 %, EtCO2 37%. Pasien kemudian diposisikan park bench, lateral kiri. Rumatan anestesia digunakkan sevofluran MAC 1.5%, fentanil 100 mcg/jam dan vekuronium 3 mg/jam kontinu intravena. Intraoperatif didapatkan kompresi N.VII oleh A. anteroinferior serebellar kanan dengan kaliber yang lebih besar dari perkiraan. Kemudian dilakukan dekompresi dengan Teflon. Hemodinamik intraoperatif relatif stabil, dengan laju nadi 65–78 x/m, tekanan darah sistolik 108–135mmHg, tekanan darah diastolik 68–90 mmHg, Sa02 100%, etCO2 34–37 mmHg. Operasi selesai dalam waktu 3 jam 30 menit, dengan lama anastesi 4jam. Total cairan masuk 1500cc kristaloid, perdarahan 300cc dan produksi urin 600cc. Selesai operasi, dilakukan ekstubasi langsung dengan keadaan hemodinamik stabil. Analgetik pascaoperasi diberikan parasetamol 1 gram dan dexketoprofen 50 mg intravena. Pasien

kemudian dipindahkan ke ruang perawatan intensif.

Kasus 2Kasus kedua adalah perempuan 39 tahun, dengan keluhan kedutan pada wajah sebelah kanan sejak 4 tahun yang lalu. Keluhan muncul hilang timbul hingga mengganggu aktivitas, keluhan juga tidak hilang dengan istirahat. Sejak 9 bulan sebelum masuk RS pasien mengeluh wajah mulai tidak simetris di sebelah kanan, dan telah mendapatkan terapi berupa injeksi botolinum setiap 3 bulan namun tidak membaik. Mual/muntah, gangguan penglihatan, kejang disangkal. Terdapat riwayat hipertensi berobat teratur dengan captopril 2x12.5 mg. Riwayat operasi tidak ada. Riwayat sakit jantung, asma, diabetes disangkal. Riwayat alergi obat dan makanan disangkal.

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 140/90mmHg, lainnya dalam batas normal. Dari hasi laboratorium didapatkan anemia dengan Hb 10.9g/dl, lainnya dalam batas normal. Dari hasil radiologi (MRI) didapatkan kaliber arteri serebellar anteroinferior kanan tampak lebih besar dari kiri dan menekan nervus fasialis. Sehingga disimpulkan status fisik pasien adalah ASA II dengan hipertensi terkontrol dan anemia. Pasien direncanakan untuk dekompresi mikrovaskular dengan anestesia umum dan rencana perawatan intensif pasca operasi.

Pasien masuk ke ruang operasi dengan terpasang akses intravena perifer di tangan kiri.

Gambar 2. MRI Otak Pasien2

Penatalaksanaan Perioperatif pada Bedah Dekompresi Mikrovaskular: Sajian Kasus Serial

Page 17: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

16 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Dipasangkan alat monitor didapatkan laju nadi 63 x/mnt, tekanan darah 145/87 mmHg, laju napas 16 x/mnt, dan saturasi 100 %. Dilanjutkan dengan pemberian premedikasi midazolam 2.5mg dan fentanil 200 mcg intravena. Induksi dilakukan dengan pemberian propofol 80mg diikuti dengan rokuronium 50mg. Pasien diintubasi dengan ETT no. 7.0 fiksasi di 21 cm. Ventilasi diatur dengan kontrol volume (tidal volume 400 ml), laju pernafasan 12 kali permenit, PEEP 5 cmH2O, FiO2 45%. Akses pembuluh darah ditambah berupa jalur vena di tangan kanan, dan jalur arteri di radialis kiri.Setelah induksi hemodinamik pasien stabil dengn detak jantung 65 x/menit, tekanan darah 118/60 mmHg, saturasi 100%, etCO2 37%. Pasien kemudian diposisikan park bench lateral kiri untuk posisi pembedahan. Rumatan anestesia dengan sevoflurane MAC 1–1.5 %, fentanil 100 mcg/jam dan vecuronium 3 mg/jam kontinu intravena. Intraoperatif ditemukan N. VII mengalami kompresi oleh pembuluh darah AICA (arteri anteroinferior serebellar) dengan kaliber kanan yang lebih besar dari kiri. Dilakukan diseksi araknoid dan dekompresi penekanan arteri ke n. VII menggunakan teflon.

Hemodinamik selama intra operatif relatif stabil denjut jantung 60–78 x/m, tekanan darah sistolik 106–130, tekanan darah diastolik 60-80 mmHg, Sa02 100%, EtCO2 27–33 mmHg. Total lama operasi 6 jam, dan lama pembiusan 7 jam. Total cairan masuk 2500cc, perdarahan 500cc dan produksi urin 750cc. Post-operatif dilakukan ekstubasi langsung. Keadaan hemodinamik pasca ekstubasi pasien compos mentis, TD 135/80, N. 77 x/mnt, Rr. 12–16 x/m, Sa02 100% dalam sungkup oksigen 6 liter/menit. Paracetamol 1 gram dan dexketoprofen 50 mg intravena diberikan sebagai analgetik. Pasien kemudian dipindahkan ke ruang perawatan intensif

Kasus 3Kasus berikutnya adalah perempuan 55 tahun dengan keluhan kedutan pada kelopak mata kiri bawah sejak 1,5 tahun sebelum masuk rumah sakit, keluhan muncul hilang timbul dan dirasakan meluas sejak 1 tahun. Telah diobati dengan obat minum dari dokter spesialis syaraf

namun tidak membaik. Mual/muntah tidak ada, gangguan penglihatan/kejang disangkal. Riwayat asma serangan terakhir 2 tahun yang lalu, pencetus debu dan kelelahan, terapi Ventolin inhaler. Riwayat hipertensi 3 bulan, berobat teratur dengan captopril 2x12,5mgRiwayat operasi apendiktomi 3 tahun sebelum masuk rumah sakit, tidak ada masalah. Riwayat sakit jantung, diabetes, alergi obat/makanan disangkal. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 140/70mmHg, tidak ada mengi, dan leher pendek dan lebar. Hasil lainnya dalam batas normal. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositotis (13.000/µL) lainnya dalam batas normal. Dari EKG didapatkan adanya right bundle branch block incomplet. Pada MRI didapatkan dekompresi nervus fasialis kiri oleh dilatasi arteri sereberal superior kiri. Sehingga disimpulkan status fisik pasien adalah ASA II. Pasien direncanakan untuk dekompresi mikrovaskular dibawah anastesia umum dan perawatan intensif pascaoperasi.

Pasien masuk ke dalam kamar operasi terpasang jalur intravena perifer pada tangan kiri. Dipasang alat monitor EKG, saturasi, dan tekanan darah. Hemodinamik awal: laju nadi 82 x/menit, tekanan darah 120/75 mmHg, laju respirasi 18x/menit, dan saturasi O2 100 %. Dilanjutkan dengan premedikasi midazolam 2 mg dan fentanil 200 mcg intravena. Induksi dilakukan dengan propofol 80 mg intravena dan rokuronium 50 mg, kemudian pasien diintubasi dengan ETT no. 7.5, fiksasi 21 cm. Ventilator diatur dengan volume kontrol dengan volume tidal 375 ml, laju nafas 12x/menit, PEEP 5 cm H2O, FiO2 45%. Kemudian dilakukan pemasangan jalur vena di tangan kanan dan kateter vena sentral di vena subklavia kanan. Hemodinamik setelah induksi laju jantung 68x/menit, tekanan darah 115/60 mmHg, saturasi 100%, etCO2 30%. Pasien kemudian diposisikan park bench lateral kanan sebagai posisi pembedahan. Rumatan anestesia dengan sevoflurane MAC 1 %, fentanil drip 100 mcg/jam dan vekuronium 3 mg/jam. Insisi kulit dilakukan pada perpotongan garis imajiner ke kaudal sejajar dengan cekungan mastoid kiri. Proses identifikasi memerlukan waktu 3 jam, ditemukan bawah terdapat penekanan N.VII oleh

Page 18: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

17

A. sereberal anteroinferior pada bagian proksimal dan distal. Operasi berlangsung selama 6 jam dengan lama pembiusan 8 jam. Cairan masuk 2000cc kristaloid, dengan estimasi perdarahan 100cc dan produksi urin 1000cc. Hemodinamik intraoperasi relatif stabil, laju nadi 60–88 x/m, tekanan darah sistolik 100–120, tekanan darah diastolik 60–75 mmHg, Sa02 100%, etCO2 25–30 mmHg dan tekanan vena sentral 6–9 cm H2O. Pasca operasi pasien langsung di ekstubasi dan diberikan parasetamol 1 gram dan tramadol 100 mg intravena sebagai analgetik. Pasien kemudian dipindahkan ke ruang perawatan intensif dengan sungkup oksigen 6 liter/menit.

Kasus 4Laki laki 55 tahun dengan keluhan kedutan pada wajah sebelah kiri sejak 5 tahun sebelum masuk rumah sakit keluhan muncul hilang timbul yang memberat sejak 1 tahun yang lalu. Pasien rutin konsumsi baclofen 2 kali sehari namun tidak membaik. Mual/muntah, gangguan penglihatan dan kejang disangkal. Riwayat hipertensi sekitar 2 tahun yang lalu, saat ini terkontrol tanpa terapi. Riwayat diabetes mellitus sejak 2 tahun, saat ini juga terkontrol dengan diet DM. Riwayat sakit jantung/asma, alergi obat/makanan disangkal. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 140/90 mmHg, lainnya dalam batas normal. Pemeriksaan laboratorium dalam batas normal. Pada MRI didapatkan tampak lesi dengan intensitas sama dengan LCS di cerebellopontine angle sisi kiri, berbatas tegas dengan ukuran

1,8x2,2 cm, sugestif kista araknoid kiri yang mendesak nervus fasialis dan vestibulokoklear ke sisi kanan. Sehingga disimpulkan status fisik pasien adalah ASA II. Pasien direncanakan untuk dekompresi mikrovaskular dibawah anastesia umum dan perawatan HCU bedah syaraf untuk perawatan pascaoperasi.

Pasien masuk ke dalam kamar operasi terpasang jalur intravena perifer pada tangan kiri. Dilakukan pemasangan alat monitor EKG, saturasi, dan tekanan darah. Hemodinamik awal laju nadi 70 x/menit, tekanan darah 150/75 mmHg, laju respirasi 18x/menit, dan saturasi O2 100%. Dilanjutkan dengan premedikasi midazolam 3 mg dan fentanil 250 mcg intravena. Induksi dengan propofol 150 mg intravena dan rokuronium 50 mg, kemudian pasien diintubasi dengan ETT no. 7.5, fiksasi 20 cm. Ventilator diatur dengan pressure control (PC) 12 cm H2O, laju pernafasan 12x/menit, PEEP 5 cm H2O, FiO2 45%. Kemudian dilakukan pemasangan kateter intravena di kaki kanan. Hemodinamik setelah induksi laju jantung 60x/mnt, tekanan darah 120/60 mmHg, saturasi 100 %, EtCO2 26%. Pasien kemudian diposisikan park bench lateral kanan sebagai posisi pembedahan. Rumatan anestesia dengan sevoflurane MAC 1%, fentanil drip 150 mcg/jam dan vekuronium 3 mg/jam intravena. Intraoperatif ditemukan arteri serebelar anteroinferior dan arteri basilar menekan nervus fasialis. Dilakukan transposisi arteri serebelar anteroinferior dan arteri basilar kemudian dipasang teflon. Hemodinamik selama

Gambar 3. MRI Otak Pasien 3

Penatalaksanaan Perioperatif pada Bedah Dekompresi Mikrovaskular: Sajian Kasus Serial

Page 19: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

18 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

fisik dan pemeriksaan penunjang yaitu magnetic resonance imaging (MRI).3

Tatalaksana farmakalogi dapat menggunakkan terapi injeksi botulinum melalui mekanisme blokade pada kanal kalsium. Pilihan lainnya adalah pemberian obat antispastik seperti baclofen, yang bekerja sebagai agonis reseptor GABA. Tatalaksana definitif berupa pembedahan dekompresi mikrovaskular dengan tujuan mengurangi kompresi vaskuler dari nervus fasialis.3,4 Semua pasien menunjukan gejala yang khas pada spasme hemifasial dan didukung oleh pemeriksaan penunjang berupa MRI. Faktor resiko yang dimiliki antara lain usia 39 sampai 66 tahun pada keempat pasien, 2 pasien berjenis kelamin perempuan dan 3 pasien dengan riwayat hipertensi. Pada pasien dengan riwayat hipertensi diperlukan kontrol tekanan darah yang baik untuk membantu mencegah gejolak hemodinamik saat intraoperasi hingga pascaoperasi.1

Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai standar prosedur persiapan anestesia dan bedah. Dalam kasus ini ditemukan hasil laboratorium yang tidak normal yaitu pasien kedua dengan anemia (Hb 10,9g/dl) dan pasien ketiga dengan leukositosis (leukosit 13000/µL) dan elektrokardiografi kesan RBBB inkomplit dengan klinis stabil. Dalam tinjauan kasus ini terlihat semua pasien memilih tindakan operatif setelah manifestasi gejala sudah sangat menganggu aktivitas. Untuk pasien pertama dan kedua setelah terapi injeksi botulinum tidak memberikan perubahan. Pasien ketiga dan keempat setelah pemberian obat anti spasme juga tidak mengurangi gejala. Anatomi fossa posterior terlihat sebagai kavum intrakranial terletak diantara foramen magnum dan tentorium serebelli, dibagian anterior berbatasan dengan apex os petrosus temporal, dibagian inferior terdapat medulla oblongata, pons dan serebelum dan di posterior berbatasan dengan os kranium. Akar saraf nervus berjalan keluar dari batang otak di persimpangan pontomedullar kemudian di sudut serebellopontin ke anterolateral menuju porus akustikus di kanal auditorius internal dan ke anterior bersama nervus vestibulokoklear. Arteri basilaris bercabang menjadi arteri serebellar anteroinferior di persimpangan antara pons dan medulla kemudian

Gambar 4. MRI Otak Pasien 4

intra operatif relatif stabil, laju nadi 47–60 x/m, tekanan darah sistolik 100–140, tekanan darah diastolik 60–85mmHg, Sa02 100%, etCO2 25–28 mmHg. Operasi berlangsung selama 5 jam dengan lama pembiusan 6 jam. Cairan masuk 2750cc kristaloid, dengan estimasi perdarahan 150cc dan produksi urin 1200cc. Hemodinamik intraoperasi relatif stabil, laju nadi 60–85 x/m, tekanan darah sistolik 100–140, tekanan darah 60–85mmHg, Sa02 100%, etCO2 25–28 mmHg. Pasca operasi pasien langsung di ekstubasi dan diberikan parasetamol 1 gram dan dexketoprofen intravena sebagai analgetik. Pasien kemudian dipindahkan ke ruang high care unit bedah syaraf dengan sungkup oksigen 6 liter/menit.

III. Pembahasan

Tatalaksana PreoperatifSpasme hemifasial adalah gangguan gerakan neuromuskular yang ditandai dengan kontraksi involunter yang berulang hingga persisten pada otot-otot yang diinnervasi oleh nervus fasialis.1 Patofisiologi berupa proses abnormal yang terjadi pada zona masuknya akar saraf nervus fasialis yang dapat disebabkan oleh kompresi arteri (A Anterior Inferior, A. Posterior inferior serebelar dan A.Vertebralis) atau penyebab lainnya seperti tumor cerbellopontine angle dan malformasi vaskular. Faktor resiko terjadinya spasme hemifasial adalah usia 30–70 tahun, perempuan, dan riwayat hipertensi.4 Spasme hemifasial dapat di diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

Page 20: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

19

menuju ke kanal auditorius interna bersama kompleks n.VII-VIII, maka dari itu kedua nervus ini sering tertekan apabila terjadi pembesaran kalibar arteri serebellar anteroinferior.16

Pemeriksaan MRI dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi adalah dengan kombinasi MRI CISS (constructive interference in steady state) dengan MR angiografi. Pemeriksaan ini tidak dilakukan karena keterbatasan alat. Analisis diagnostik area patologis adalah berdasarkan volume LCS di fossa posterior yang lebih sedikit dibandingkan foto kontrol normal menandakan adanya penyempitan di ruang fossa posterior.3,16 Keempat pasien terdiagnosa melalui pemeriksaan penunjang MRI dengan potongan aksial resolusi tinggi dan modalitas sekuen T2-weighed untuk melihat hipointensitas kompresi neurovaskular dibandingkan LCS. Pada pasien ketiga menggunakan MRI CISS.

Dekompresi Mikrovaskular Pembedahan dekompresi mikrovaskular bertujuan untuk mengurangi kompresi vaskuler dari nervus fasialis. Menurut penelitian oleh Moller, dekompresi mikrovaskular terbukti efektif untuk spasme hemifasial karena dapat mengembalikan sifat elastisitas dari inti sel nervus fasialis. Prosedur juga memberikan hasil yang sangat memuaskan dengan hilangnya kedutan pada wajah pada 95–97% kasus.10, 11 Prinsip dasarnya adalah memisahkan kompresi komplek saraf dari

pembuluh darah dengan Teflon. Pertimbangan intraoperatif yang penting termasuk identifikasi dari situs kompresi neurovaskular dan diseksi selaput araknoid yang tepat untuk visualisasi komplek saraf.3,4

Pembedahan dekompresi mikrovaskular merupakan metode neuroendoskopi dengan pendekatan retrosigmoid atau retroaurikula ke fossa posterior dengan lama prosedur sekitar 2 hingga 3 jam. Lama operasi ditentukan oleh beberapa faktor antara lain pilihan tehnik pendekatan, serta penglaman operator. Teknik dan posisi operasi tergantung pada penilaian operator. Insisi pembedahan dapat berbeda berdasarkan pada ukuran leher pasien. Pasien berleher pendek dan tebal memerlukan insisi ke arah posterior dan medial dengan tujuan menghindari terpotongnya otot leher. Komplek nervus VII dan VIII ditemukan setelah insisi duramater dan diseksi araknoid. Pada saat ini operasi dilanjutkan menggunakan mikroskop binokuler untuk identifikasi komplek neurovaskular yang terganggu. Teknik identifikasi dapat lebih mudah menggunakan alat neuroendoskopi fleksibel daripada neuroendoskopi rigid konvensional, selain itu juga mencegah cedera pada pembuluh darah lainnya.13,14,15

Dalam kasus ini operator memutuskan pertimbangan insisi yaitu, pasien pertama dan kedua menggunakan pendekatan lateral

Tabel 1. Perjalanan Kasus

Penatalaksanaan Perioperatif pada Bedah Dekompresi Mikrovaskular: Sajian Kasus Serial

Page 21: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

20 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

retrosigmoid ke fossa posterior sedangkan pasien ketiga memiliki leher pendek sehingga dilakukan insisi linear ke kaudal sejajar dengan cekungan mastoid kiri dan pasien keempat dengan pendekatan retroaurikula sinistra. Operasi kemudian dilanjutkan menggunakan mikroskop neuroendoskopi rigid untuk identifikasi nervus fasialis yang tertekan oleh arteri sereberal dan dilanjutkan pemisahan nervus fasialis dari arteri yang menekan dengan insersi Teflon.

Terdapat perbedaan waktu pengerjaan pada keempat kasus tersebut. Detail pengerjaan dapat dilihat pada Tabel 1. Kasus ke-3 menjalani masa operasi yang paling panjang (8 jam) hal ini disebabkan waktu induksi yang lebih lama karena pemasangan kateter vena sentral.Waktu penempatan posisi juga lebih lama, disebabkan antara lain karena pengalaman asisten dan kondisi leher pendek pasien. Leher pendek ini juga mempengaruhi tehnik insisi yang membutuhkan waktu lebih lama. Ditambah proses identifikasi yang lebih sulit karena terdapat penekanan pada dua titik. Hal lain yang mempengaruhi lama operasi adalah kaliber arteri yang mempengaruhi proses identifikasi seperti pada kasus kedua dan terutama keempat. Semakin besar kaliber arteri, semakin sulit pula proses identifikasi kompleks neuro-vaskular dan pemasangan teflonnya.

Posisi Pembedahan Dalam kasus ini untuk fasilitasi operasi

Gambar 5. Pemasangan Teflon (A). Sebelum Pemasangan Teflon (B). Sesudah Pemasangan Teflon

A B

mikrovaskular dekompresi keempat pasien digunakan posisi park bench. Dekompresi mikrovaskular merupakan prosedur bedah saraf unilateral di daerah fossa posterior bagian aksial. Posisi yang dapat digunakan adalah supine dan modifikasi lateral dekubitus atau park bench. Posisi park bench membutuhkan rotasi kepala lebih besar untuk akses ke struktur yang lebih aksial. Penempatan pasien pada posisi park bench harus sangat hati-hati dan memerlukan bantalan pada beberapa titik yang menumpu berat badan untuk menghindari cedera syaraf. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi antara lain cedera pleksus brachialis akibat tarikan lengan ke atas. Contoh lainnya adalah cedera pada N. ulnaris dan N. peroneal. Namun angka kejadian tromboemboli vena pada posisi park bench sangat jarang terjadi dibandingkan posisi duduk dan prone.6,9

Dalam kasus ini operator menggunakan posisi park bench untuk keempat pasien dengan pertimbangan kemudahan pendekatan insisi hingga mencapai kompeks N.VII–N.VIII. Semua pasien diberikan bantalan di bagian aksila dan siku, punggung serta diantara kaki untuk mencegah penekanan berlebih pada satu tempat di tubuh pasien maupun mencegah cedera napas. Tidak didapatkan komplikasi pascaoperasi pada semua pasien dalam kasus ini.

Tatalaksana AnestesiaPertimbangan anestesia terkait pembedahan

Page 22: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

21 Penatalaksanaan Perioperatif pada Bedah Dekompresi Mikrovaskular: Sajian Kasus Serial

fossa posterior antara lain, pertama efek obat terhadap kemampuan paru untuk menahan udara masuk ke sirkulasi vena. Pemberian anestesi intravena, contohnya fentanil, dapat mempertahankan ambang batas yang tinggi untuk menahan gelembung udara dalam sirkulasi paru dibandingkan dengan anestesi inhalasi. Sehingga anestesi intravena dapat mengurangi beratnya dampak bila terjadi emboli udara. Pertimbangan kedua adalah mempertahankan tekanan perfusi cerebral. Induksi anestesia dengan intravena telah terbukti memiliki efek lebih sedikit pada fungsi kardiovaskular daripada anestesi inhalasi pada pasien. Pertimbangan ketiga adalah potensi respon kardiovaskular terhadap manipulasi pembedahan di struktur batang otak.1,6

Pada kasus ini, premedikasi anestesia pada semua pasien diberikan midazolam intravena sekitar 2–3 menit sebelum induksi. Midazolam termasuk golongan benzodiazepin, dalam kasus ini efektif dalam mengurangi kecemasan namun tidak memiliki efek yang signifikan terhadap tekanan intrakranial. Induksi anestesia dalam kasus ini menggunakan anestesi intravena yaitu fentanil (2–3 mcg/kg) dan propofol (2 mg/kg) kemudian dilanjutkan rokuronium untuk fasilitasi intubasi endotrakea. Teknik induksi anestesia dipilih agar didapatkan anestesia yang adekuat dan sedikit menimbulkan gejolak hemodinamik. Terutama untuk pasien pertama karena geriatri dan pasien kedua dengan hipertensi. Setelah induksi anestesi, dilakukan penempatan pasien pada posisi park bench. Perlu dilakukan verifikasi kembali dari

tabung endotrakeal dan akes intravena setelah posisi harus dilakukan sebelum insisi bedah.

Prinsip pemantuan anestesia adalah kontrol hemodinamik yang optimal, analgesia yang baik dan relaksasi otot adekuat. Tujuannya adalah memudahkan operator dalam mencari akses ke kompleks saraf yang mengalami gangguan. Pemantauan utama intraoperasi adalah tekanan darah, elektrokardiografi, dan saturasi oksigen. Alat monitoring tambahan lainnya dilakukan sesuai indikasi pasien.6 Pada kasus ini digunakan pemantauan standar pada tekanan darah, laju nadi, saturasi oksigen, pengeluran urin dan perhitungan perdarahan. Pemeliharaan anestesi pada kasus spasme hemifasial direkombinasikan dengan anestesia intravena kontinu dan anestetika inhalasi 0,5–1,0% MAC serta ventilasi dengan kontrol tekanan positif. Pilihan ini memiliki beberapa keuntungan diantaranya, kedalaman anestesi yang lebih stabil, kendali tekanan parsial CO2 lebih mudah, tekanan darah lebih terkontrol di setiap manipulasi bedah, memberikan efek vasokonstriksi pembuluh darah serebral yang menurunkan resiko perdarahan intraoperasi, menurunkan tekanan intrakranial, efek depresi kardiovaskular lebih sedikit, serta mencegah pasien bergerak selama intraoperasi.Komplikasi intraoperatif yang terjadi pada dekompresi mikrovaskular antara lain perdarahan intraoperatif. Hal ini dapat disebabkan karena perlengketan hebat, trauma bedah, aneurisma arteri serebri

Gambar 6. Posisi Benchmark

Page 23: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

22 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

akibat trauma pembedahan, hematoma intraserebral, disritmia jantung, bradikardia transien, takikardia transien serta hipertensi transien. Gangguan hemodinamik dapat terjadi akibat trauma pada dinding ventrikel, terutama bila dinding ventrikel kaku.14 Dalam kasus ini, pemeliharaan anestesia diberikan fentanil tetes intravena 1–2 mcg/kg/jam, relaksan otot dengan vekuronium 1–2 mg/jam serta inhalasi sevoflurane 0.5–1% MAC. Selama intraoperasi didapatkan hemodinamik keempat pasien relatif stabil dan tidak terjadi komplikasi. Faktor yang mendasari keamanan dan keselamatan operasi adalah angka kejadian komplikasi yang rendah, komplikasi serius hanya terjadi pada 1% kasus.3 Teknik induksi anestesi intravena, teknik intubasi yang tidak menimbulkan rangsang simpatis, pemantauan hemodinamik yang ketat, keseimbangan cairan yang baik, rumatan anestesi yang adekuat, serta kerja sama yang baik seluruh anggota tim operasi.

Tatalaksana PascaoperasiSetelah operasi keempat pasien langsung disadarkan dan dilakukan ekstubasi untuk kemudian ditransfer ke ruang perawatan intensif. Prinsip pulih sadar bagi pasien pasca pembedahan mikrovaskular dekompresi adalah mencegah kenaikan tekanan darah yang mendadak, waktu pulih sadar yang cepat, kembalinya kekuatan motorik, dan meminimalkan terjadinya batuk ataupun pergeseran tabung endotrakeal.6

Komplikasi akibat prosedur dekompresi mikrovaskular pascaoperasi diantaranya, infark serebral akibat kerusakan pada arteri basilaris dan cabang-cabangnya, kelumpuhan pada nervus kranial lainnya, kerusakan hipotalamus, defisit neurologis baru, hematom subdural, kebocoran cairan serebrospinal, infeksi meningitis atau ventrikulitis, dan infeksi kulit kepala.14

Perawatan pascaoperasi yang direkomendasikan adalah perawatan di unit intensif karena komplikasi pascaoperasi yang dapat mengancam nyawa yaitu kebocoran LCS dan ruptur pembuluh darah pascaoperasi yang membutuhkan tindakan reoperasi segera. Selama pemantauan pascaoperasi, semua pasien dengan hemodinamik stabil dan pasien tenang, tidak

didapatkan keluhan akibat pembedahan maupun anestesia. Mual dan muntah pascaoperasi serta nyeri juga dapat diatasi dengan pemberian analgetik dan antiemetik intravena, dalam kasus ini menggunakan analgetik golongan NSAID (parasetamol 1 gram dan dexketoprofen 50 mg intravena) serta tramadol 100 mg intravena.8 Selama pemantauan di ICU didapatkan gejala kedutan otot wajah pada keempat pasien hilang sempurna. Setelah 24 jam pascaoperasi pasien sudah boleh pindah ke ruangan.

IV. Simpulan

Spasme hemifasial adalah gangguan gerakan neuromuskular yang ditandai dengan kontraksi involunter yang berulang hingga persisten pada otot-otot yang diinnervasi oleh nervus fasialis. Pada kasus ini keempat pasien memiliki spasme hemifasial tipe primer yang dipicu oleh kompresi pembuluh darah arteri. Faktor predisposisi pada keempat pasien dalam kasus ini adalah faktor usia, jenis kelamin dan riwayat hipertensi. Pembedahan dekompresi mikrovaskular bertujuan sebagai pengobatan kuratif jangka panjang dengan mengurangi kompresi vaskuler dari nervus fasialis dengan memisahkan kompresi komplek saraf dari pembuluh darah menggunakan Teflon. Pembedahan dekompresi mikrovaskular menggunakan posisi park bench. Penempatan pasien, akses intravena dan jalan nafas harus diperhatikan selama pembedahan. Tatalaksana anestesia mengacu pada pembedahan fossa posterior. Pertimbangan anestesi meliputi evaluasi pra operasi, posisi pembedahan, pilihan agen anestesi, serta pemantauan, terutama untuk mencegah emboli udara dan mempertahankan fungsi neurologis. Pemantauan anestesi berprinsip pada kontrol hemodinamik yang optimal, analgesia yang baik dan relaksasi otot adekuat.

Daftar Pustaka

1. Sakamoto GT, Shuer LM, Chan SD. Intracranial neurosurgery; microvascular decompression of cranial nerve, surgical considerations. Dalam: Jaffe. Anesthesiologist's Manual of Surgical Procedures. 4th Ed; Chapter 1.1, Philadelphia:

Page 24: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

23

Lippincott Williams & Wilkins, 2009; 44.

2. Rosenstengel C, Matthes M, Baldauf J, Fleck S, Schroeder H. Hemifacial spasm, conservative and surgical treatment options. Dtsch Arztebl Int. 2012; 109(41): 667–73.

3. Lu AY, Yeung JT, Gerrard JL, Michaelides EM, Sekula RF, Bulsara KR. Hemifacial spasm and neurovascular compression. The Scientific World Journal. 2014. Article ID 349319, P 7.

4. David S, Smith DS. Anesthetic management for posterior fossa surgery. Dalam: Cottrell JE, Young WL. Cottrell and Young’s neuroanesthesia, Chapter 12. Philadelphia; Elsevier Inc. 2010; 203–15.

5. Hines RL, Katherine E. Cerebrovascular disease; Cerebrovascular Anatomy. Dalam Stoelting's Anesthesia and Co-Existing Disease, 5th ed. Ch. 10a, Philadelphia; Churchill Livingstone 2008.

6. Culley DJ, Crosby G. Anesthesia for posterior fossa surgery. Dalam: Newfield P, Cottrell JE,eds. Handbook of Neuroanesthesia, 4th ed, Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2007; 133-42

7. Swedish Medical Center. 2015. Dalam: Article Hemifacial Spasm. Diakses dari http://www.swedish.org/services/neuroscience-institute/our-services/cerebrovascular-center/conditions-we-treat/hemifacial-spasm.

8. Jagannathan S. Anaesthetic considerations

for posterior fossa surgery. Contin Educ Anaesth Crit Care Pain. 2013. doi: 10.1093/bjaceaccp/mkt056

9. Rozet I, Monica S. Risks and benefits of patient positioning during neurosurgical care. Anesthesiol Clin. 2007. Sep; 25(3): 631.

10. Moller AR. The role of neural plasticity in tinnitus. Progress in Brain Research. 2007; 166: Chapter 3: 43

11. Møller AR, Møller MB. Microvascular decompression operations. Progress in Brain Research. 2007; 166: 397–99.

12. Grixti K. Microvascular decompression. Dalam: Gupta AK, Summors A. Notes in Neuroanaesthesia and Critical Care Chapter 19. London; Greenwich Medical Media Ltd, 2001; 77–9.

13. Jannetta PJ, Mclaughlin MR, Casey KF. Technique of microvascular decompression. Dalam: Neurosurgery Focus 2005; 18: 1–5

14. Punt J. Neuroendoscopy. Dalam: Lumley J, ed. Neurosurgery Principles and Practice, Chapter 6. London; Springer-Verlag, London; 2005; 110–16

15. Kong DS, Park K. Hemifacial spasm: a neurosurgical perspective. Dalam: Journal Korean Neurosurgery Society 2007; 42: 355–62.

16. Gupta S, Mends F, Hagiwara M, Fatterpekar G, Roehm PC. Review Article: imaging the facial nerve: a contemporary review. Dalam: Radiology Research and Practice 2013, Article ID 248039, 1–14.

Penatalaksanaan Perioperatif pada Bedah Dekompresi Mikrovaskular: Sajian Kasus Serial

Page 25: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

24

Penatalaksanaan Anestesi pada Pembedahan Akustik Neuroma dengan Monitoring Saraf Kranialis

Sandhi Christanto*), I Putu Pramana Suarjaya**), Sri Rahardjo***)

*)Departemen Anetesiologi & Terapi Intensif Rumah Sakit Mitra Keluarga Sidoarjo, **)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana–RSUP Sanglah Denpasar, ***)Departemen Anestesiologi

& Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada-RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Abstrak

Tumor di daerah Cerebello pontine Angle (CPA) mencakup kurang lebih 10% dari seluruh angka kejadian tumor primer intrakranial pada orang dewasa. Sebagian besar kasus tumor CPA (80–90%) adalah akustik neuroma dan sisanya berupa meningioma, epidermoid, kista arakhnoid dan lain sebagainya. Akustik neuroma bersifat jinak namun dapat mengancam jiwa karena lokasinya yang berdekatan dengan struktur- struktur vital di daerah CPA. Pengelolaan anestesi pasien dengan neuroma akustik perlu memperhatikan pertimbangan-pertimbangan seperti lokasi tumor yang berdekatan dengan struktur vital, posisi operasi dan risiko yang dapat ditimbulkan, risiko emboli udara selama tindakan operasi, gangguan hemodinamik akibat manuver pembedahan di regio infratentorial dan monitoring neurofiologis selama operasi untuk mencegah kerusakan saraf kranial didaerah tersebut. Wanita 46 th, berat badan 48 kg diagnosa tumor CPA kanan, dengan diagnosa banding akustik neuroma dan meningioma. Pasien mengeluh telinga kanan berdenging dan pendengaran menurun sejak 1 tahun yang lalu namun keluhan dan gejala neurologis lain tidak didapatkan. Pemeriksaan MRI didapatkan massa di daerah CPA dextra ukuran 2,2 x 1,2 x 2,2 cm yang mendesak saraf kranial V ke supero-medial. Tindakan pembedahan dengan monitoring saraf kranialis diperlukan untuk mengambil tumor dengan meminimalkan risiko kerusakan pada saraf kranialis yang ada disekitar tumor tersebut. Tujuan dari laporan kasus ini adalah membahas pengelolaan pasien yang dilakukan pembedahan di daerah CPA dan pertimbangan-pertimbangan anestesi yang berkaitan dengan tehnik diatas.

Kata kunci: Cerebellopontine angle tumor, intraoperatif neurologik monitoring

JNI 2016;5(1): 24–34

Surgery Anesthesia Management on Acoustic Neuroma with Cranial Nerves Monitoring

Abstract

Cerebellopontine angle tumor represent 10% of all adult primary intracranial tumor. Most common form of CPA tumor (80–90%) is acoustic neuroma and the rest are meningiomas, epidermoid, arachnoid cyst and many others. Although acoustic neuroma is benign lesion, this tumor can bring threat to life because the complex anatomy and important neurovascular structures that traverse this space. Like all posterior fossa surgery, perioperative considerations of acoustic neuroma management related to anatomical complexity, patient positioning, the potential for venous-air embolism, brainstem dysfunctions, hemodynamic arousal caused by surgical maneuver and intraoperative neurophysiologic monitoring. A 46 years old woman, 48kg was diagnosed with right CPA tumor with differential diagnose between acoustic neuroma and meningioma. She complained of gradual loss of hearing in right ear and associated with tinnitus . Other neurologic defisit was not found. Right CPA mass, 2,2 x 1,2 x 2,2 cm size with pressure over fifth cranial nerve to supero-medial region was found in MRI examination. Surgical approach with intraoperative neuromonitoring need to be done in order to resect tumor while minimizing risk of cranial nerve injury. The purpose of this case report is to discuss management patient with CPA tumor and its anestetic considerations which are connected to the procedure.

Key words: Cerebellopontine angle tumor, intraoperative neurologic monitoring.JNI 2016;5(1): 24–34

Page 26: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

25

I. Pendahuluan

Tumor susunan saraf pusat mencakup hampir 10% dari kejadian tumor yang didapati pada tubuh manusia dan lebih dari 80% tumor susunan saraf pusat tersebut adalah tumor intrakranial. Di Amerika Serikat didapatkan 35.000 kasus baru tiap tahunnya dengan tingkat mortalitas sebesar 6 per 100.000 penduduk.1 Akustik neuroma atau yang juga dikenal dengan vestibular schwanoma, merupakan tumor yang tumbuh dari selubung mielin dari saraf vestibular dan bersifat jinak karena tidak menyebar kebagian tubuh yang lain namun dapat mengancam jiwa karena lokasinya yang berdekatan dengan struktur-struktur vital di daerah sudut serebello pontin (CPA) fossa posterior.2,3 Akustik neuroma mewakili 6–10% dari seluruh tumor intrakranial namun merupakan tumor yang paling banyak terjadi di daerah CPA yaitu sekitar 80–90%.2,4,5

Meskipun kebanyakan tumor CPA bersifat jinak, struktur anatomi CPA yang kompleks dan banyaknya struktur neurovaskular penting di dalamnya, membuat gangguan di daerah ini dapat memberikan gejala klinis yang signifikan serta memberi tantangan bagi ahli bedah dan anestesi selama periode perioperatif.6 Seperti pada tatalaksana perioperatif tumor daerah fossa posterior lainnya, pengelolaan neuroma akustik juga perlu memperhatikan pertimbangan-pertimbangan seperti lokasi tumor yang berdekatan dengan struktur vital, posisi operasi dan risiko yang dapat ditimbulkan, risiko emboli udara selama tindakan operasi, gangguan hemodinamik akibat manuver pembedahan di regio infratentorial dan monitoring neurofiologis selama operasi untuk mencegah kerusakan saraf kranial didaerah tersebut.7 Memperhatikan pertimbangan diatas dengan hati-hati selama periode perioperatif dapat mengurangi risiko terjadinya komplikasi dan diharapkan akan memperbaiki luaran pasien yang dilakukan pembedahan tumor fossa posterior.

Tindakan pembedahan pada tumor CPA memiliki risiko terjadinya kerusakan saraf kranialis terutama saraf fasialis yang berdekatan dengan lokasi tumor tersebut. Monitoring neurofisiologis

intraoperatif (IONM) dalam kasus ini adalah elektromiografi (EMG) kontinyu diharapkan dapat meminimalkan bahkan menghindari kerusakan saraf selama operasi CPA tumor. Tehnik IONM masih jarang dilakukan di Indonesia namun dalam waktu dekat kemungkinan menjadi standar dalam tindakan operasi daerah CPA. Operasi dengan IONM memerlukan perhatian akan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembacaan termasuk tehnik anestesi yang digunakan. Pada laporan kasus ini selain dibahas pertimbangan rutin yang harus diperhatikan selama operasi fossa posterior juga dibahas tehnik anestesi yang digunakan pada operasi dengan monitoring neurofisiologis terutama monitoring saraf kranialis.

II. Kasus

Seorang wanita umur 46 tahun, berat badan 48 kg didiagnosa tumor cerebellopontine angle (CPA) kanan dengan diagnosa banding akustik neuroma atau meningioma. Pasien mengeluh telinga kanan berdenging yang disertai nyeri kepala terutama di daerah belakang kepala. Keluhan tersebut makin memberat sejak 1 bulan terakhir. Pasien telah didiagnosa schwanoma sejak 1 tahun yang lalu.

Pemeriksaan preoperatifAnamnesisKeluhan nyeri kepala + (terutama daerah belakang), telinga kanan berdenging +, rasa tebal di daerah wajah –, wajah miring –, gangguan penglihatan –, riwayat pingsan –, riwayat penurunan kesadaran –, gangguan menelan –, riwayat kejang –, riwayat pemakaian obat-.

Status generalisJalan napas bebas, gigi palsu atas +, laju napas 16 x/menit, suara napas vesikular, tidak didapatkan ronki maupun wheezing, perfusi hangat kering merah, tekanan darah 150/90 mmHg, laju nadi 80 x/menit, lain-lain tidak didapatkan kelainan.

Status neurologisDerajat kesadaran GCS 4–5–6, pupil isokor 3mm/3mm, refleks cahaya +/+, pemeriksaan motorik dan sensorik dalam batas normal, pemeriksaan saraf kranialis: saraf VIII: telinga kanan berdenging, pendengaran kanan menurun,

Penatalaksanaan Anestesi pada Pembedahan Akustik Neuroma dengan Monitoring Saraf Kranialis

Page 27: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

26 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

gangguan saraf kranialis lain tidak ditemukan saat pemeriksaan preoperatif. Gangguan keseimbangan atau tanda cerebellar tidak didapatkan.

Pemeriksaan LaboratoriumPemeriksaan MRI didapatkan massa di daerah CPA dextra ukuran 2,2 x 1,2 x 2,2 cm yang mendesak saraf kranial V ke supero-medial dan ekstensi ke kanal akustik internal kanan. Foto polos thoraks dan pemeriksaan elektrokardiografi tidak didapatkan kelainan. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 12,4 g%, hematokrit 34,4%, leukosit 4090/mm3, trombosit 177.000/mm3, masa perdarahan 1,5 menit, masa pembekuan 9 menit, masa prothrombin 13,8 detik, APTT 34,9 detik, SGOT 32,7 U/L, SGPT 30 U/L, bilirubin direk 0,22 mg/dL, bilirubin total 0,46 mg/dL, ureum 11,7 mg/dL, kreatinin 0,71 mg/dL, natrium 136 mmol/L, kalium 3,7 mmol/L, gula darah sewaktu 78 mg/dL.

Penatalaksanaan AnestesiPremedikasi diberikan dexamethasone 5 mg dan midazolam 2 mg intravena. Cairan preoperatif diberikan ringerfundin 500 mL dalam 6 jam selama puasa. Evaluasi tanda vital prainduksi didapatkan tekanan darah 150/90 mmHg, laju nadi 80x/menit, saturasi oksigen 99%. Induksi anestesi dimulai dengan pemberian fentanyl 75 mcg pelan, dilanjutkan berturut-turut propofol 100 mg, atracurium 40 mg. Intubasi dilakukan setelah dirasa kedalaman anestesi cukup, kemudian pipa endotrakeal nonking nomor 7,5 dengan balon dipasang dan diletakkan di sudut mulut kiri serta difiksasi rapat. Selama proses induksi dan intubasi tekanan darah berkisar antara 100-130/60-80 mmHg, laju nadi 80-90x/menit. Setelah selesai dipasang elektroda dan stabil secara hemodinamik, pasien diposisikan lateral dan pendekatan rectosigmoid dipilih untuk menjangkau lokasi tumor. Rumatan anestesi dilanjutkan dengan sevoflurane < 0,5%,

Gambar 1. Gambaran MRI massa daerah CPA

oksigen - udara tekan bebas, propofol kontinyu 4–5 mg/kgBB/jam, fentanyl 1 mg/kgBB/jam. Pasien dipasang kateter vena sentral subklavia kanan, ventilasi mekanik diatur, moda kontrol volum dipilih dengan volume tidal 8 mL/kgBB, frekuensi napas 12 x/menit, PEEP 0, fraksi inspirasi oksigen 0,5. Pengaturan ventilasi mekanik ditujukan untuk mendapatkan keadaan mild hypocapnea- normocapnea yang dapat

dilihat dari pemantauan kadar End Tidal CO2 (ETCO2) selama operasi antara 27–30 mmHg. Setelah pasien dalam posisi operasi dan sebelum dilakukan drapping, ahli neurologi memasang elektrode untuk keperluan monitor syaraf kranialis didaerah otot orbicularis oculi dan orbicularis oris dan dilakukan pengecekan ulang terhadap posisi pipa endotrakeal, daerah wajah dan leher, penonjolan tulang dan hal lain yang

Page 28: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

27

bisa memberi potensi membahayakan bagi pasien selama operasi. Operasi berlangsung selama 4 jam, perdarahan selama operasi berkisar 300 mL, produksi urin 900 mL selama 4 jam, cairan rumatan diberikan Ringerfundin 1000 mL selama 4 jam, manitol 150 mL. Hemodinamik selama operasi relatif stabil tekanan darah sistolik antara 110–120 mmHg, laju nadi 70–80 x/menit, saturasi oksigen 99%, suhu tubuh 36 oC. Selama proses pengambilan tumor, monitoring saraf kranialis baik yang terlihat pada layar osciloscope maupun secara audio, dapat dilakukan tanpa gangguan, baik yang disebabkan tehnik anestesi maupun faktor –faktor lain. Kesulitan pengambilan tumor didapatkan karena sebagian tumor melekat pada syaraf fasialis namun pada akhirnya dapat diambil tanpa mengganggu integitas syaraf tersebut. Pada pasien ini kesadaran preoperatif baik, pengelolaan jalan napas preoperatif tidak didapatkan kesulitan, selama proses operasi hemodinamik stabil dan tidak didapatkan kesulitan selama operasi yang dapat menimbulkan gangguan homeostatik intrakranial pascaoperasi, maka pasien direncanakan untuk dilakukan early emergence dan ekstubasi. Proses ekstubasi berjalan lancar dan tidak didapatkan gejolak hemodinamik yang berarti. Evaluasi pascaoperasi di ruang pemulihan didapatkan tanda vital stabil dengan tekanan darah 150/90 mmHg, laju nadi 80 x/menit, saturasi oksigen 99-100% dengan memakai sungkup dengan laju O2 5 lpm. Derajat kesadaran GCS 4–5–6, pupil isokor. Pemeriksaan motorik dan sensorik serta syaraf kranialis kesan dalam batas

Penatalaksanaan Anestesi pada Pembedahan Akustik Neuroma dengan Monitoring Saraf Kranialis

Gambar 2. Monitoring Tekanan Darah Rerata dan Laju Nadi perioperatif

normal. Pasien dirawat di ruang intermediate dan dilakukan pengawasan ketat pascaoperasi. Terapi pascaoperasi diberikan cairan ringerfundin 1500 mL/hari, analgetik dexketoprofen 50 mg tiap 8 jam, pantozol 40 mg tiap 12 jam, ondansentron 8 mg tiap 12 jam, dexametasone 5 mg tiap 8 jam. Pasien dipindahkan keruangan esok hari dengan kondisi stabil dan pulang setelah dirawat selama 4 hari diruangan.

III. Pembahasan

Cerebellopontine Angle (CPA) merupakan daerah berbentuk segitiga yang dibatasi di sebelah anteromedial oleh pons, posteromedial oleh cerebellum dan sebelah lateral oleh bagian petrosum dari tulang temporal.6 Di dalam CPA dilewati oleh arteri cerebellar anterior inferior (AICA), dan saraf kranial V, VII, VIII, IX, X dan XI. Saraf kranialis ini keluar dari daerah pertemuan pons dan midbrain kemudian menyeberangi CPA menuju ke fossa kranii media. Ruang anatomi yang kompleks dan banyaknya struktur vital neurovaskular menjadikan kelainan di CPA memberi tantangan pembedahan bagi ahli bedah saraf dan ahli anestesi yang merawat pasien tersebut.6 Dari seluruh angka kejadian tumor intrakranial pada orang dewasa maka 10% diantaranya adalah tumor di daerah CPA dan lebih kurang 80% kasus tumor CPA adalah akustik neuroma sisanya berupa meningioma,epidermoid, kista arachnoid dan lain sebagainya.2,3,6 Akustik neuroma atau juga dikenal dengan vestibular schwanoma adalah tumor jinak saraf kranial VIII yang disebabkan karena hiperproliferasi dari sel Schwan saraf vestibular.4,5

Tumor ini disebut tumor jinak karena tidak menyebar kebagian lain di tubuh penderita (non cancerous tumor) dan dapat muncul disepanjang saraf vestibular namun paling sering di tempat ketika saraf vestibulocochlear melalui saluran kecil yang menghubungkan ruang intrakranial dengan telinga bagian dalam.2 Tumor ini mewakili 8% dari seluruh tumor intrakranial, dengan insiden 1:100.000 penduduk per tahunnya. Terdapat 2 tipe dari akustik neuroma: tipe 1 yang muncul unilateral dan mencakup 95% kasus dan tipe 2 dimana tumor muncul bilateral

Page 29: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

28 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

dan berhubungan dengan neurofibromatosis (NF) tipe 2. Kasus yang kami kerjakan tampaknya termasuk dalam tipe 1 akustik neuroma. Selain NF tipe 2 faktor risiko yang diduga berhubungan dengan penyakit ini antara lain Hay fever, paparan bising di tempat kerja dan yang saat ini menjadi perhatian paparan gelombang radiofrekuensi dari telepon selular.2 Akustik neuroma banyak terjadi pada wanita dibanding pria dengan perbandingan 3:2.2 Manifestasi klinis yang sering didapatkan pada pasien dengan akustik neuroma adalah keluhan hilangnya kemampuan pendengaran secara bertahap dan unilateral serta sering disertai dengan tinitus yang berupa suara nada tinggi dering atau kadang seperti suara siulan atau bahkan suara mesin.2,4,5 Sifat pertumbuhannya yang lambat dan gejala klinis nonspesifik maka tumor yang kecil sering diabaikan dan belum terdeteksi. Gejala klinis seperti parsial hipestesi wajah, hidrosefalus, gangguan keseimbangan, vertigo serta gejala penekanan saraf kranialis lainnya muncul bila tumor membesar keluar kanalis auditori masuk ke ruang intrakranial dan memberi penekanan pada struktur-struktur di dalamnya.8

Terdapat pilihan terapi dalam mengobati penyakit ini. Tumor ukuran kecil atau sedang (kurang dari 1 inci) atau tumor rekuren dapat dilakukan radiasi dengan stereotactic radiosurgery dan pisau gamma. Terapi radiasi tidak menyingkirkan tumor ini namun melukai tumor tersebut sehingga diharapkan pertumbuhannya menjadi berhenti.8 Terapi pembedahan biasanya dilakukan pada tumor yang berukuran besar terutama yang masuk ke ruang intrakranial dan menimbulkan gejala pendesakan struktur didalamnya.8 Pembedahan dapat mengangkat tumor secara total sehingga kebutuhan untuk pilihan terapi lain tidak perlu dilakukan. Terapi medikal dengan pemberian obat tertentu (bevacizumab) biasanya dilakukan bila tumor muncul di kedua telinga atau terdapat gangguan medis yang berisiko bila dilakukan pembedahan.8

CPA merupakan bagian dari fossa posterior untuk itu penatalaksanaan anestesi mengikuti prinsip dan pertimbangan terkait operasi fossa posterior. Daerah CPA banyak terdapat struktur vital seperti saraf kranial dan pembuluh darah, sehingga

seperti pembedahan dan tindakan anestesi daerah fossa posterior lainnya, memerlukan ketelitian dan perhatian yang lebih.9 Pengelolaan anestesi dilakukan secara teliti dan menyeluruh mulai evaluasi dan persiapan preoperatif, tindakan anestesi selama periode operasi dan pengelolaan pascaoperasi. Evaluasi preoperatif yang meliputi penilaian status umum dan status neurologis, penting didalam menentukan posisi pasien pada skala risiko anesthesi dan mengetahui tindakan perbaikan prabedah yang perlu dilakukan untuk menurunkan angka morbiditas suatu pembedahan.10 Pada evaluasi preoperatif perlu dicari tanda dan gejala peningkatan tekanan intrakranial (TIK) seperti mual-muntah, nyeri kepala sampai penurunan kesadaran. Tanda pendesakan saraf kranial penting dicari dan dicatat. Pada kasus tumor CPA gejala pendesakan saraf kranial yang sering terjadi terutama akibat gangguan saraf trigeminal, fasialis dan vestibulocochlear, namun tidak menutup kemungkinan saraf kranialis yang lain dapat terganggu karena pertumbuhan dan pendesakan tumor ini.9 Gangguan respirasi dan irama jantung serta tanda cerebellar, akibat pendesakan batang otak dan cerebellum, juga perlu dicari karena dapat mengganggu stabilitas hemodinamik selama operasi yang akan berpengaruh pada perfusi dan oksigenasi jaringan otak.9

Pertimbangan pemberian premedikasi tergantung dari status fisik penderita, tingkat kegelisahan,dan adanya tanda peningkatan TIK. Sensitifitas terhadap obat sedasi dan narkotik pada pasien bedah saraf memerlukan perhatian khusus pada penggunaanya selama periode preanesthetik.10 Pengaruh nyata pada sistem respirasi dan kardiovaskuler dapat muncul setelah pemberian premedikasi obat-obat tersebut, sehingga bila dirasa tidak dibutuhkan pasien dengan tumor fossa posterior tidak diberikan premedikasi dengan obat sedasi dan narkotik.10,11 Pemantauan fungsi vital selama pembedahan khususnya bedah saraf saat ini tidak dapat dipisahkan dari alat dan metode modern monitoring.10 Pasien yang menjalani pembedahan subtentorial sering dikaitkan dengan perdarahan, aritmia, perubahan tekanan darah, emboli udara dan sebagainya, sehingga multimodal monitoring

Page 30: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

29

dalam menilai status semua organ vital tidak dapat dielakkan.9,10,11 Memperhitungkan pentingnya stabilitas hemodinamik dalam menjaga perfusi otak kaitannya dengan manuver pembedahan infratentorial yang sering mempengaruhi pusat kardiovaskular di batang otak, maka pemantauan baik dengan metode non invasif (elektrokardiografi, tekanan darah non invasif, laju nadi) maupun metode invasif (central venous pressure, tekanan darah intraarterial) sangat diperlukan.10 Parameter monitoring lain yang sangat diperlukan dalam pembedahan ini antara lain pengukuran suhu intraoperatif, produksi urin, kadar gula darah, kadar hematokrit dan lain sebagainya.10,12

Induksi dan intubasi merupakan bagian pengelolaan anestesi yang sangat penting. Hal ini disebabkan beberapa hal yang dapat memperberat kondisi intrakranial penderita antara lain periode apnea selama proses intubasi, risiko batuk dan gejolak hemodinamik selama tindakan laringoskopi, episode hipotensi dan bradikardia akibat obat anestesi.10 Bahaya yang disebabkan hal-hal tersebut diatas biasanya lebih mudah terjadi pada pasien fossa posterior. Hal ini disebabkan karena kemampuan penyesuaian (compliance) yang rendah dari ruang ini terhadap sindroma hipertensi intrakranial, untuk itu kewaspadaan selama induksi dan intubasi pada pasien gangguan fossa posterior harus ditingkatkan.10 Pemilihan obat anestesi selama periode ini sebaiknya mempertimbangkan efeknya terhadap hemodinamik serebral dan sistemik. Selain ketamin, semua obat yang digunakan selama induksi (propofol, etomidate, thiopental) menyebabkan penurunan aliran darah otak (ADO), laju metabolik oksigen serebral (CMRO2) sehingga menghasilkan penurunan TIK dan memberi efek proteksi otak (melalui penurunan konsumsi oksigen).10,11

Akses pembedahan yang baik, stabilitas hemodinamik, pengendalian TIK, memerlukan pemilihan posisi yang optimal.10 Pembedahan fossa posterior memerlukan posisi yang tidak biasa. Posisi tengkurap, miring, park bench, dan duduk sering digunakan.9 Posisi yang diperlukan tergantung salah satunya dari pendekatan bedah dalam pengangkatan tumor yang diderita. Terdapat tiga pendekatan bedah untuk mencapai

posisi akustik neuroma antara lain pendekatan translabirin, rektosigmoid, dan fossa media.8 Pendekatan rektosigmoid seperti yang dilakukan pada pasien ini, terutama bila tumor berukuran besar dan masuk ke dalam CPA lebih dari 2 cm. Keuntungan dari metode ini adalah fungsi pendengaran dapat dipertahankan, mengangkat tumor dengan berbagai ukuran, dapat melihat batang otak dan saraf kranial sehingga risiko kerusakan organ vital selama pembedahan dapat dihindari.8 Untuk mendukung pendekatan pembedahan pada pasien ini, maka posisi lateral menjadi salah satu pilihan. Pada posisi ini retraksi cerebellum terbantu oleh gravitasi sehingga sangat membantu pemaparan daerah CPA untuk mencapai akustik neuroma tanpa retraksi berlebih.13 Pada posisi lateral terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain potensi kompresi arteri aksilaris dan cedera pleksus brakhialis area yang diposisikan di bagian bawah.14,15 Untuk mencegah hal tersebut gulungan atau bantalan perlu ditempatkan di daerah antara rusuk atas aksila, sehingga kompresi saraf dan pembuluh darah dapat dihindari.15 Cedera akibat regangan berlebih pada pleksus brakhialis, dalam usahanya untuk mendapatkan area rektomastoid yang lebih luas, harus dihindari dengan tidak melakukan tarikan pada tangan pasien secara berlebih.9,14,15

Kepala pasien diposisikan sejajar dengan tulang belakang untuk meminimalkan angulasi yang menyebabkan nyeri pada leher.15 Bola mata, telinga, kulit kepala dan bagian tubuh lain harus dlilindungi terhadap penekanan yang berlebih. Pada saat perubahan posisi (dari terlentang ke posisi lateral), hal yang tidak diinginkan dan membahayakan pasien dapat terjadi. Gangguan hemodinamik, terlepasnya pipa endotrakeal, batuk dan mengejan karena level anestesi yang tidak adekuat, semuanya ini berbahaya dalam pengelolaan pasien neuroanestesi sehingga pengawasan yang hati-hati sangat diperlukan.15 Setelah perubahan posisi selesai dilakukan, sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang terhadap posisi pipa endotrakeal, fungsi ventilasi dan semua titik penekanan sebelum drapping dilakukan.14,15

Penatalaksanaan Anestesi pada Pembedahan Akustik Neuroma dengan Monitoring Saraf Kranialis

Page 31: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

30 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Pemeliharaan AnestesiDalam pemeliharaan anestesi tidak terdapat bukti bahwa obat dan tehnik anestesi tertentu lebih unggul dibandingkan yang lainnya.9 Tujuan utama pengelolaan anestesi modern pada pasien bedah saraf antara lain:11

1. Mampu menurunkan dan mengendalikan TIK

2. Mampu menjaga tekanan perfusi otak3. Mampu menjaga stabilitas hemodinamik4. Deteksi dini dan mengelola komplikasi

intraoperatif yang dapat terjadi5. Memakai obat dan tehnik yang bersifat

neuroprotektif.

Pada umumnya tindakan anestesi baik dengan tehnik inhalasi maupun intravena dapat digunakan untuk pemeliharaan anestesia, namun penggunaan N2O meski masih menjadi kontroversi sebaiknya dihindari.9,11 Risiko emboli udara dan pneumocephalus pada pasien fossa posterior dan kemampuan N2O untuk memperbesar gelombang udara serta pengaruhnya pada peningkatan aliran darah dan konsumsi oksigen otak menjadi alasan untuk menghindari penggunaannya.9,10,11

Melakukan kontrol ventilasi dapat menurunkan risiko terjadinya emboli udara serta penting untuk memastikan keaadaan normokapnea dan menghindari hipoksia selama berlangsungnya pembedahan.8 Namun pada kebanyakan kasus tehnik hiperventilasi ringan untuk tercapainya keadaan hipokapnea ringan dilakukan agar dapat meningkatkan paparan pembedahan dan mengurangi tekanan retraksi pada otak.9 Pengelolaan cairan intraoperatif ditujukan untuk mempertahankan keadaan normovolemia selama tindakan pembedahan.9,10 Aturan umum yang harus diikuti adalah menghindari penggunaan cairan yang hipoosmolar dan cairan yang mengandung glukosa. Cairan kristalloid isoosmolar diberikan dengan kecepatan cukup untuk mengganti insensible loss dan urine yang keluar.12 Perdarahan sebagian dapat diganti dengan kristalloid atau koloid sampai harga hematokrit kurang-lebih 30%. Manitol banyak digunakan untuk menurunkan edema otak dan TIK sebelum operasi dan masih merupakan diuretika pilihan pada kasus bedah saraf.10,12 Meskipun pemberian manitol menguntungkan pada pasien bedah saraf,

namun pemberiannya memerlukan kehati-hatian agar tidak menimbulkan komplikasi yang dapat merugikan.10

Operasi di dekat batang otak seperti kasus pada pasien ini dapat menimbulkan respon kardiovaskular yang mendadak dan bermakna dan dapat membahayakan pasien selama periode intraoperatif serta merupakan tanda potensi kerusakan struktur vital yang dilakukan oleh ahli bedah.9 Stimulasi dasar ventrikel IV, formasio retukularis medula, saraf trigeminal dapat menimbulkan reaksi hipertensi yang biasanya diikuti oleh keadaan bradikardia.9 Bradikardia sendiri dapat ditimbulkan dari reaksi pembukaan duramater, stimulasi saraf trigeminal maupun vagus. Bila reaksi kardiovaskular seperti diatas muncul, maka ahli bedah harus segera diingatkan agar dapat dihindari manipulasi yang menimbulkan kerusakan lebih jauh.9,10 Dengan hilangnya manipulasi bedah, maka respon yang berbahaya tersebut biasanya menghilang. Namun apabila dirasa perlu untuk dilakukan suatu terapi, maka obat–obatan yang bekerja cepat seperti ephedrin, phenylephrine atau dopamin merupakan pilihan yang dapat diberikan.9

Masalah intraoperatif lainnya yang dapat muncul pada periode intraoperatif adalah adanya emboli udara. Salah satu faktor yang berkontribusi akan timbulnya emboli udara adalah lokasi pembedahan.16 Daerah fossa posterior memiliki pembuluh darah vena yang selalu terbuka oleh karena tarikan struktur disekelilingnya.16 Elevasi daerah kepala selama tindakan pembedahan serta keadaan hipovolemia preoperatif pada pasien bedah saraf memudahkan terjadinya emboli udara.16 Tidak terdapat tindakan yang dapat mencegah 100% terjadinya emboli udara terutama pada operasi dimana terdapat perbedaan antara lapangan pembedahan dan atrium kanan. Namun angka kejadian dan beratnya kasus emboli udara ini dapat ditekan oleh beberapa cara antara lain:12,16

1. Memperbaiki status hidrasi dan menghindari keadaan hipovolemia selama periode preoperatif maupun intraoperatif.

2. Menggunakan pernapasan positif terkontrol3. Posisi head-up seminim mungkin yang tidak

mengganggu pembedahan

Page 32: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

31

4. Melakukan pembedahan dengan lebih teliti dan berhati-hati

5. Menghindari penggunaan N2O dan obat-obatan yang menyebabkan vasodilatasi.

Pemasangan kateter vena sentral di daerah atrium kanan dapat membantu menegakkan diagnosa sekaligus memiliki manfaat terapi pada kasus yang diduga terjadi komplikasi emboli udara. Pemantauan kadar CO2 selain dapat membantu mengawasi fungsi ventilasi selama operasi, juga dapat menjadi indikator deteksi emboli udara.12,16 Keuntungan dari metode ini (monitor ETCO2) selain cukup sensitif dalam mengenali kejadian emboli udara, penggunaannya mudah dan tidak invasif.12,16

Monitoring neurofisiologis intraoperatifMonitoring neurofisiologis intraoperatif (IONM) digunakan pada pembedahan yang kompleks dimana melibatkan korteks motorik dan sensorik, batang otak, medula spinalis, saraf kranialis dan saraf perifer.17 IONM mulai menjadi standar pada banyak prosedur bedah saraf karena dihubungkan dengan penurunan risiko terjadinya defisit neurologis pascaoperasi terutama pada operasi-operasi dimana sistem saraf memiliki risiko kerusakan permanen.10,18 Manipulasi pembedahan seperti tarikan, tekanan, paparan panas oleh elektrokoagulasi, merupakan tindakan yang dapat mencederai jaringan saraf. Keadaan iskemia baik yang disebabkan gangguan pasokan darah akibat tindakan pembedahan atau klamping arteri yang disengaja dapat mengakibatkan cedera yang sering dikenal dengan defisit neurologis pascaoperasi.18 pengawasan terhadap tindakan pembedahan oleh tehnik IONM dapat mencegah manipulasi yang merusak tepat pada waktunya, sehingga menghasilkan perbaikan struktur dan fungsi jaringan saraf kembali normal atau mendekati normal.18

Prinsip umum dari tehnik IONM adalah memberi stimulus kemudian melihat respon elektrik dari seluruh jalur saraf yang berisiko cedera. Hal ini dapat dilakukan dengan merekam near-field evoked potential (menempatkan elektroda langsung pada struktur saraf spesifik) atau dengan far-field evoked potential (elektrode

pada permukaan yang dekat dengan jaringan saraf).17-19 IONM sering digunakan selama pembedahan fossa posterior. Berbagai variasi metode monitoring banyak digunakan, termasuk somatosensory evoked potensial (SSEP), brainstem auditory evoked response (BAER), dan monitoring saraf kranialis.20 BAER dapat digunakan untuk memonitor integritas organ pendengaran (cochlea) beserta jalur neural antara bagian bawah pons dengan bagian mesencephalon setinggi colliculus inferior.20 SSEP dilakukan sebagai pelengkap BAER digunakan memonitor jalur propioseptif dan vibrasi saat melewati batang otak. Monitoring saraf kranialis berguna ketika lokasi pembedahan dekat dengan saraf-saraf kranialis dan merupakan aplikasi monitoring yang paling sering digunakan pada pembedahan fossa posterior.20

Monitoring saraf kranialis yang merupakan salah satu tehnik IONM saat ini makin sering digunakan baik oleh bedah saraf, oleh dokter bedah plastik, dan dokter telinga-hidung-tenggorok (THT), dimana reseksi tumor oleh para sejawat diatas berisiko pada jaringan saraf didekatnya.17 Fungsi saraf kranial diawasi secara kontinyu pada banyak kasus bedah saraf untuk dua alasan penting antara lain:19

1. Identifikasi dan orientasi lokasi saraf kranial tersebut pada lapangan operasi

2. Menjaga integritas dan fungsi saraf kranial serta nukleus terkait.

Variabel utama yang digunakan dalam pengawasan saraf kranial selama pembedahan adalah respon elektromiografi (EMG) grup otot terkait dengan saraf kranial yang diperiksa.19 Saraf-saraf kranial bersama kumpulan otot terkait yang sering di monitor selama periode intraoperatif adalah:19

1. Saraf fasialis melalui otot orbikularis okuli dan orbikularis oris

2. Saraf abdusen melalui otot rektus lateralis3. Saraf trigeminal melalui otot masseter4. Saraf trochlearis melalui otot superior oblique5. Saraf okulomotorius melalui otot rektus

medialis dan inferior

Level frekuensi diatur pada 10 sampai 1000 Hz,

Penatalaksanaan Anestesi pada Pembedahan Akustik Neuroma dengan Monitoring Saraf Kranialis

Page 33: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

32 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

aktivitas EMG tanpa stimulasi dimonitor secara terus menerus pada layar osiloskop selama prosedur operasi, dan yang tak kalah penting, respon EMG sering dikonversi menjadi sinyal audio yang dapat memberi umpan balik terhadap aktivitas otot secara langsung bagi ahli bedah maupun ahli neurofisiologis sehingga interpretasi dan keputusan dapat segera diambil.7,19

Terdapat dua tipe dasar dari aktivitas spontan yang dapat diidentifikasi. Tipe pertama adalah phasic burst of activity yang memberi indikasi bahwa saraf ada berada dekat atau disekitar daerah pembedahan.20 Aktivitas yang terekam ini biasanya tidak berhubungan dengan stimuli yang merusak dan menunjukkan bahwa saraf masih intak dan dan daerah pembedahan ada disekitar sarat tersebut.20 Stimulus yang merusak, menimbulkan respon aktivitas saraf tipe yang kedua yaitu aktivitas tonic atau train. Respon terlihat di layar seperti episode kontinyu, sinkron dari aktivitas unit motorik yang berlangsung selama beberapa menit. Hal ini biasanya berkaitan dengan traksi saraf khususnya traksi ke lateral dan medial.20 Pada sinyal audio, respon saraf tipe dua ini terdengar seperti suara membuat popcorn, atau suara mesin pesawat dan sering disebut sebagai sound of dying neurons.20 Identifikasi saraf fasialis dapat juga dilakukan oleh ahli bedah dengan memberi stimulus elektrik pada frekuensi 1–5 Hz pada daerah yg diduga sebagai saraf tersebut. Respon yang terlihat karena stimulus yang disengaja tersebut dapat berupa burst berulang yang sinkron dengan stimulus yang diberikan atau terdengar seperti suara senapan mesin. Tehnik ini memungkinkan kita untuk melokalisir, identifikasi struktur yang akan dilakukan pembedahan apakah merupakan jaringan saraf penting atau bukan.20

Intraoperatif neuromonitoring bertujuan untuk meningkatkan kewaspadaan dan keamanan terhadap potensi kerusakan jaringan saraf selama tindakan pembedahan. Selama prosedur IONM ini terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi fungsi neuronal dan respon evoked potential sehingga interpretasi dapat berubah dan meberikan potensi yang membahayakan pasien. Pengelolaan anestesi merupakan salah satu faktor

yang dapat mempengaruhi interpretasi selama prosedur monitoring, sehingga pemilihan obat maupun tehnik anestesi perlu diperhatikan dan disesuaikan dengan tehnik monitoring yang digunakan.21 Secara umum pengelolaan anestesi meliputi pemilihan kombinasi obat yang sesuai dan mempertahankan kondisi status anestesi secara konstan dan stabil (hindari perubahan konsentrasi obat atau pemberian bolus selama periode kritis monitoring).20,21 Dampak dari anestesia dapat dimengerti bila kita mampu mengetahui mekanisme obat anestesi tersebut terhadap sistem saraf pusat. Pada monitoring saraf kranialis, variabel utama yang digunakan adalah EMG sehingga pemakaian pelumpuh otot paling berpengaruh pada tehnik ini. Obat pelumpuh otot biasanya dihindari penggunaannya pada operasi dengan monitoring saraf kranialis meski beberapa masih menggunakan pelumpuh otot kontinyu dengan melakukan pengawasan dan titrasi obat (three of four twitch monitor). Pada operasi dengan tehnik monitoring ini obat anestesi intravena maupun inhalasi dapat digunakan karena tidak mengganggu respon evoked potential EMG.7

Faktor fisiologis dapat juga mempengaruhi interpretasi monitoring dan perlu untuk diperhatikan. Faktor fisiologis yang tersebut antara lain:1. Kondisi yang berhubungan dengan gangguan

penyediaan oksigen (hipotensi, TIK yang tinggi, iskemia regional otak, hipoksia)

2. Hipotermia3. Hipoglikemia4. Gangguan keseimbangan elektrolit, dan

sebagainya.

Untuk itu selain faktor pengelolaan anestesi, faktor fisiologis harus diidentifikasi untuk meningkatkan sensitivitas monitoring terhadap faktor pembedahan dan memastikan kondisi monitoring yang optimal.21 Idealnya, pulih sadar dari anestesia pada kasus-kasus bedah saraf sebaiknya dilakukan dengan cepat agar penilaian hasil operasi serta status neurologis penderita pascabedah segera dapat ditentukan.22 Namun demikian meski terdapat kecenderungan pulih sadar dini pada pasien bedah saraf, masih

Page 34: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

33

terdapat beberapa kategori pasien dimana tidak bisa dilakukan pemulihan anestesi secara cepat. Indikasi untuk pulih sadar lambat pada pasien bedah saraf meliputi antara lain:22

• Status kesadaran preoperatif yang buruk• Pengelolaan jalan napas preoperatif yang

sulit• Risiko tinggi edema otak, peningkatan TIK

dan gangguan homeostasis intrakranial pascaoperasi seperti pada kasus: pembedahan lama dan ekstensif, pembedahan pada atau dekat organ vital, pembedahan ulangan, pembedahan yang dekat dengan risiko iskemia

Pada kasus yang kami kerjakan indikasi pulih sadar lambat dari anestesi dan pembedahan tidak didapatkan, sehingga pasien dapat dilakukan ekstubasi di kamar operasi dan dapat segera dilakukan penilaian status neurologis. Untuk perencanaan ekstubasi dipertimbangkan secara hati-hati dengan meminimalisir peningkatan tekanan vena dan tekanan darah akibat batuk dan mengejan. Batuk dan mengejan yang dapat menyebabkan peningkatan TIK yang memicu edema otak hingga perdarahan.

IV. Simpulan

Cerebellopontine Angle (CPA) merupakan bagian dari fossa posterior dimana didalamnya terdapat banyak struktur penting neurovaskular, sehingga pembedahan di daerah ini memberi tantangan yang cukup berat baik bagi ahli bedah maupun anestesi. Akustik neuroma merupakan tumor yang paling banyak terjadi di daerah CPA dengan angka kejadian sekitar 80–90%. Penatalaksanaan anestesi pada pembedahan akustik neuroma mengikuti pertimbangan-pertimbangan seperti pada kasus fossa posterior lainnya dan peran anestesi mulai periode prabedah sampai pascabedah sangat dibutuhkan. Monitoring neurofisiologis intraoperatif (IONM) mulai menjadi standar pada banyak prosedur bedah saraf termasuk salah satunya pembedahan akustik neuroma. Tehnik ini bertujuan untuk meningkatkan kewaspadaan dan keamanan terhadap potensi kerusakan jaringan saraf selama tindakan pembedahan. Monitoring saraf kranialis

berguna ketika lokasi pembedahan dekat dengan saraf-saraf kranialis dan merupakan aplikasi monitoring yang paling sering digunakan pada pembedahan fossa posterior. Pemilihan obat dan tehnik anestesi perlu diperhatikan dan disesuaikan agar manfaat dari IONM ini dapat dirasakan secara optimal.

Daftar Pustaka

1. American Brain Tumor Association. Brain Tumor Statistics. Chicago: 2012 (diakses dari http://www.abta.org/about-us/news/brain-tumor-statistics).

2. Hassan UA, Hassan G, Rasool Z. Vestibular schwanoma:anatomical, medical and surgical perspective. International Journal of Research in Medical Sciences. 2013;1(3): 178–82.

3. Rehman AU, Lodhi S, Murad S. Morphological pattern of posterior cranial fossa tumors. Annals. 2009;15(2): 57–59.

4. Chien S, Tseng FY, Yeh TH, Hsu CJ, Chen YS. Ipsilateral and contralateral acoustic brainstem response abnormalitis in patients with vestibular schwanoma. Otolaryngology-head and neck surgery 2009;141:695–700.

5. Webster G, Filho RCO, de Sousa OA, Salmito MC, Favero M, Maeques P. Atypical manifestation of vestibular schwanoma. Int Arch Otorhinolaryngol. 2013;17:419–20.

6. Kennady GR, Jagadish. A study of cerebellopontine angle tumors and their management in a tertiary care hospital. J of Evidence Based Med & Hlthcare. 2015;2: 2317–19.

7. Gorji R. Anesthesia and Neuromonitoring: Electroencephalography and Evoked Potentials: 2011. Departement of Anesthesiology of University Hospital, state University of New York (diakses dari http://www.epilepsyhealth.com/delta.gif.)

8. Mendenhall WM, Friedman WA, Amdur

Penatalaksanaan Anestesi pada Pembedahan Akustik Neuroma dengan Monitoring Saraf Kranialis

Page 35: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

34 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

RJ, Antonelli PJ. Management of acoustic neuromas. American Journal of Otolaryngology. 2004; 25(1): 38–47.

9. Pederson D, Peterfreund R. Anesthesia for posterior fossa surgery. Dalam: Newfield P, Cotrell JE, eds. Handbook of Neuroanesthesia. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins: 2012, 136–47.

10. Gheorghita E, Ciurea J, Balanescu B. Considerations on anesthesia for posterior fossa-surgery. Romanian Neurosurgery 2012;XIX(3):183–92.

11. Jagannathan S, Krowidi H. Anaesthetic considerations for posterior fossa surgery. Contin Educ Anaesth Crit Care Pain 2013; 10:1–5.

12. Saleh SC. Anestesi untuk pembedahan fossa posterior. Dalam: Sinopsis Neuroanestesia klinik. Sidoarjo: Zifatama publishing; 2013, 75–90.

13. Patel JS, Wen DY, Haines SJ. Posterior fossa: surgical considerations. Dalam: Cotrell JE, Smith DS, eds. Anesthesia and Neurosurgery, 4th Ed. Missouri: Mosby Inc; 2002, 319–33.

14. Arnaud D, Paquin MJ. Safe positioning for neurosurgical patients. AORN journal 2008 ; 87(6): 1156–68.

15. Rozet I, Vavilala M. Risk and benefits of

patient positioning during neurosurgical care. Anesthesiol. Clin. 2007; 25(3): 631–62.

16. Smith DS. Anesthetic management for posterior fossa surgery. Dalam: Cotrell JE, Young W, eds. Neuroanesthesia, 5th edition.Philadelphia: Mosby Inc; 2010, 203–17.

17. Walt V, Thomas JM, Figaji AA. Intraoperative neurophysiological monitoring for anaesthetist. South Afr J Anaesth Analg 2013;19(3): 139–44.

18. Moller AR. Basic of Intraoperative Neurophysiological Monitoring. Dalam: Moller AR, Eds. Intraoperative Neurophysiological Monitoring, 3rd edition. New York: Springer science; 2011, 9–22.

19. Sclabassi RJ, Balzer JR, Crammond D, Habeych ME. Neurophysiological monitoring: a tool for neurosurgery. Dalam: Sekhar NL, Eds. Atlas of Neurosurgical Techniques. Brain. New York: Thieme; 2006, 50–70.

20. Porter S, Sanan A, Rengachary S. Surgery and anesthesia of the posterior fossa. Dalam: Albin M, eds. Textbook of Neuroanesthesia with Neurosurgical and Neuroscience perspectives. New York: The McGraw-Hill Companies; 1997, 971–1008.

Page 36: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

35

Pengelolaan Perioperatif Anestesi Perdarahan Intraserebral karena Stroke Perdarahan dan Luarannya

Wahyu Sunaryo Basuki*), Dewi Yulianti Bisri**), Bambang J. Oetoro***), Siti Chasnak Saleh***)

*)Departemen Bedah Gawat Darurat dan Anestesi Rumah Sakit Angkatan Darat Brawijaya Surabaya, **)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran-RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, ***)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Khatolik Atmajaya Rumah Sakit Mayapada Jakarta, ****)Departemen Anestesiologi & Reanimasi Fakultas Kedokteran Airlangga-RSUD Dr. Soetomo Surabaya

Abstrak

Perdarahan intraserebral masih merupakan penyebab kematian dan kecacatan yang tinggi. Angka kejadiannya berkisar 10–30 % kasus per 100.000, dengan angka kematian mencapai 62% dan hanya 20% yang bisa bertahan hidup secara fungsional dalam 6 bulan dari onset. Penyebab dari perdarahan intraserebral adalah hipertensi. Pengelolaan perioperatif meliputi pencegahan bertambahnya hematom dan edema, pengelolaan tekanan darah, mencegah naiknya ICP dan mempertahankan tekanan perfusi otak. Seorang laki-laki dibawa ke rumah sakit karena lemah anggota gerak kanan atas dan bawah dan tidak bisa bicara sejak 2 jam sebelumnya. Dari anamnesa didapat riwayat hipertensi dalam 5 tahun terakhir dan mendapat obat bisoprolol. Dari pemeriksaan didapatkan kesadaran dengan GCS E4 M5Vx, hemiplegi dekstra dan afasia, tekanan darah 180/105 mmHg. Pasien di rawat diruangan intermediate di ICU. Pada hari kedua karena ada penurunan kesadaran dengan GCS E3 M4 Vx serta penambahan hematoma menjadi 87 cc dibanding MRI sebelumnya diputuskan segera dilakukan kraniotomi evakuasi. Tindakan ini memerlukan pengetahuan yang baik mengenai pengelolaan perioperatif pasien dengan perdarahan intraserebral karena hipertensi dari seorang ahli Anestesiologi sehingga mendapat luaran yang baik.

Kata kunci: perdarahan intraserebral, stroke perdarahan, hipertensi, pengelola perioperatif anestesi

JNI 2016;5(1): 35–43

Anesthetic Perioperative Management of Intracerebral Hemorrhage andIts Outcome

Abstract

Intracerebral hemorrhage (ICH) has high mortality and morbidity rates. Its incidence is 10-30%, with a mortality rate of 62%. Only 20% of patients survive functionally within six months from time of onset. The cause of ICH is hypertension. Perioperative management of ICH includes blood pressure control, prevention of hematoma enlargement and edema, prevention of ICP increase and maintenance of cerebral perfusion pressure. A male patient was brought to the hospital due to weakness of the left extremities and inability to speak since two hours before admission. Patient had had hypertension for the last five years and was on bisoprolol. Physical examination revealed GCS E4M5Vx, left hemiplegia, aphasia, and blood pressure 180/105 mmHg. Patient was admitted to intermediate ward in the intensive care unit. On day-2, due to further decrease in consciousness (GCS E3M4Vx) and increase in hematoma volume to 87 cc, craniotomy for evacuation was indicated. This procedure requires good understanding of perioperative management of ICH by an anesthesiologist to produce favorable outcome.

Key words: intracerebral hemorrhage, hypertension, perioperative management

JNI 2016;5(1): 35–43

Page 37: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

36 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan

Perdarahan intraserebral adalah perdarahan dari sistim arterial ke jaringan parenkim otak yang terjadi spontan, ke ventrikel atau sub arahnoid. Perdarahan intraserebral ini merupakan 15% dari stroke tetapi angka kematian dan angka kecacatannya tinggi. Dikatakan angka kematiannya 62% dalam satu tahun pertama dari onset. Sedang dari semua yang berhasil selamat hanya 12–39% bisa hidup secara independen.1-3 Ada dua jenis perdarahan intraserebral yaitu perdarahan intraserebral primer dan sekunder. Perdarahan primer yaitu perdarahan spontan karena pecahnya arterial yang menyebabkan ekstravasi darah ke dalam parenkim otak. Perdarahan ini disebabkan karena hipertensi atau cerebral amyloid angiopathy (CAA). Perdarahan primer ini berkisar 78–88%. Perdarahan intraserebral yang sekunder adalah akibat dari faktor patologis vaskuler yang mendasarinya, kondisi dari stroke iskemia yang berubah menjadi stroke perdarahan, koagulopati karena obat atau kongenital, dan tumor.1–5

Faktor resiko terjadinya perdarahan ini terdiri dari faktor yang tidak dapat diubah atau menetap seperti usia, etnis dan genetik. Faktor lainnya adalah faktor yang dapat diubah seperti hipertensi dan konsumsi alkohol. Penyebab terbanyak dari perdarahan primer adalah hipertensi. Sedang perdarahan sekunder sering disebabkan karena koagulopati, trauma, arteriovenous malformation serta aneurisma intrakranial. Manifestasi klinik perdarahan intraserebral primer ini, gejala neurologinya bervariasi berdasar volume perdarahan dan lokasinya. Gejala klinik yang terjadi adalah perubahan yang cepat dari defisit neurologi fokal serta tanda tanda naiknya tekanan intrakranial seperti nyeri kepala, muntah, kejang dan penurunan kesadaran. Perdarahan yang luas dapat menyebabkan koma.1,3-5 Perdarahan intraserebral merupakan kondisi medis yang emergensi, keterlambatan penanganannya akan menghasilkan luaran yang buruk. Pengelolaan kondisi medis ini meliputi aturan umum ABC yaitu A airway manajemen, B breathing, C circulation termasuk kontrol tekanan darah. Selanjutnya mengontrol ICP dan mencapai CPP

yang baik yaitu 50-70 mmHg, mencegah perluasan hematom, mencegah serta mengurangi edema dengan cara medika mentosa dan pembedahan.1-6

II. Kasus

Laki laki 69 tahun dengan berat badan 60 Kg tinggi badan 165 cm dibawa ke rumah sakit dengan keluhan lemah tangan dan kaki kanan 2 jam sebelum datang.

Pemeriksaan Anamnesa Dari allo anamnesa penderita ditemukan di rumah tidak bisa bergerak dan tidak bisa bicara tetapi masih sadar, bangun, serta dapat membuka mata spontan. Penderita mempunyai riwayat hipertensi 5 tahun terakhir, ke dokter kardiologi diberi obat bisoprol 2 x 5 mg tablet. Tidak ada obat obat lain yang diminum seperti obat pengencer darah. Tidak ada riwayat diabetes atau konsumsi alkohol, dan tidak ada riwayat trauma. Penderita sehari sebelumnya pernah mengeluh nyeri kepala, hilang dengan obat anti nyeri kepala.

Pemerikasaan fisikTampak sakit berat, jalan nafas bebas frekwensi nafas 18–22 kali/ menit spontan dengan oksigen kanul 2 lt/mt SpO2 100% GCS E4M5Vx. Pupil mata kiri dan kanan bulat isokor diameter 3 mm, reflek cahaya baik. Hemodinamik perfusi hangat kering merah, nadi 72 x/mt tekanan darah 180/89 mmHg. Hemiplegi kanan

Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan Laboratorium didapatkanHb 13,5 gr/dl, L 10.800/μl, Ht 44,4%, Thr 266.000/μl, Bun: 39,3 mg/dl, Sc: 0.82 mg/dl, asam urat : 6,2 mg/dl, GDS : 116 mg/dl, alb: 3,30 g /dl, chol tot : 210 mg/dl, chol direct : 113 mg/dl, HDL chol : 59 mg/dl, SGOT: 28, SGPT: 35, Na : 138 mmol/l, K: 4,20 mmol/l, Cl: 105 mmol/l, Mg: 2,3 mg/dl.Masa perdarahan: 2 mt, masa pembekuan 8 mt, Pt: 10,5 dt, kontrol: 11,8 dt, INR: 0,89, APtt: 27.10 dt, kontrol: 30.6 dt. Analisa gas darah Ph: 7,37, PO2 106,6, HCO3 25.3, Be 2,5, SaO2 98,8, AaDO2, 143.2 Torak foto: Cor dan pulmo tidak tampak kelainan,

Page 38: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

37

ECG: irama sinus 68 x/menit, inkomplit RBBB.Pada pemeriksaan MRI didapatkan1. Hyperakut intracerebral hemorrhage daerah

insular lobe, capsula eksterna , putamen dan gyrus superior lobus temporal kiri dengan perifokal edem. Perkiraan volume 45 cc.

2. Midline shift ke kanan 2,88 mm.

Pasien dirawat di ruang intermediate untuk di observasi ketat. Posisi head up 30%, O2 nasal 2 lt/menit, cairan infus NaCl 0,9%. Diberikan Nicardipine pump dosis titrasi mulai 0,2 μg/ bb untuk mendapatkan target tensi sistolik 140 mmHg. Manitol 20% 6x 100 cc. Nimodipin pump. Tanda tanda vital stabil T 150/82 mmHg, N 68 x/mt. Pada hari kedua perawatan terjadi penurunan kesadaran GCS E3M4Vx pupil bulat isokor, reflek cahaya positif kanan dan kiri. Kondisi fisik secara umum relatif sama seperti pada waktu masuk. Diputuskan dilakukan CT-scan. Didapatkan hematoma intraserebral bertambah.

Gambar 1. CT Scan

Selanjutnya segera dilakukan kraniotomi evakuasi perdarahan.

Pengelolaan anestesiJam 19:30 pasien dibawa ke ruang operasi. Dipasang monitor standar, ECG, tekanan darah, SpO2, EtCO2, suhu. Posisi pasien supine kepala head up 200. Dilakukan oksigenasi. Tekanan darah di posisi stat. Dilakukan induksi jam 19:40 dengan tensi 145/mmHg nadi 70x/menit dan SpO2 100%. Induksi dengan diberikan propofol 150mg, fentanyl 100μg perlahan lahan, vecuronium 6 mg. lidokain 90 mg kemudian diberikan lagi propofol 50 mg, 1,5 menit kemudian dilakukan intubasi dengan tube non kinking No 7,5 dengan balon. Dipasang NGT, tampon hipofaring, serta mata diberi salep dan di plester kertas. Posisi kepala miring kanan, bahu kiri diganjal, leher di posisikan bebas sehingga tidak terjadi obstruksi pembuluh darah leher. Setelah induksi tensi 135 mmHg nadi 72/mt, nicardipin sudah di stop.

Gambar 3. CT-Scan Pascaoperasi. Gambar 4 . CT-scan Kontrol sebelum Pulang

Gambar 2 Monitoring selama operasiA. EtcO2 B. Diastolik C. SPO2

Pengelolaan Perioperatif Anestesi Perdarahan Intraserebral karena Stroke Perdarahan dan Luarannya

Page 39: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

38 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Rumatan anastesi dengan syringe pump propofol 150–200 mg/jam, sevoflurane 0,8–1% volume, O2/udara ruang 50%, syring pump fentanil 50 mg/30 menit. Ventilasi kendali dengan vecuronium 3 mg/jam diberikan dengan syringe pump. Modus volume kontrol 500 ml frekuensi 13 x/menit, minute volume tercapai 6,5–7 L/menit. Setelah draping dan sebelum insisi kulit diberi 50 μg fentanyl. Sebelum tengkorak dibuka diberikan manitol 20% 0,5 gr/kg BB dalam 15 menit. Pada waktu durameter dibuka otak cukup lunak /slack brain. Selama operasi 2 jam 30 menit hemodinamik stabil sistolik 145–135 mmHg, diastolik 65–75 mmHg, MAP 85–90 mmHg, SpO2 97–100%, EtCO2 32–35. Perdarahan total sekitar 400cc, diuresis 1500 cc, cairan infus yang diberikan ringerfundin 1750cc. Tigapuluh menit sebelum operasi selesai diberi dexketropofen 50 mg, odansetron 8 mg, pantoprazol 40 mg.

Pengelolaan PascabedahPasien diarawat di icu, dilakukan resusitasi dan proteksi otak dari cedera sekunder. Dilakukan kontrol pernafasan dengan ventilator modus volume control ventilation, propofol 50 mg/jam, vecuronium 3 mg/jam selama 24 jam. Cairan infus NaCl 0,9% 500 cc dan ringerfundin 1500 cc dalam 24 jam. Analgetik dexketopropen 200 mg /24 jam, nikardipin dan nemodipin pump. Delapan jam pascaoperasi dicek CT scan. Hasil CT scan pascaoperasi:1. Defect tulang temporo pariental kiri bekas

trepanasi disetai EDH tipis di bawahnya.2. Residual ICH temporo pariental saat ini 6, 34

x 4,39 x 2,26 cm (Volume berkurang 31 ml)

Hari pertama pasca operasi kondisi umum baik, tanda-tanda vital hemodinamik stabil baik tekanan sistolik berkisar 130–140 mmHg, N: 70x/mt, SpO2 97–100%, suhu 36,70, CVP 8 mmHg. Produksi urin cukup, dan laboratorium baik.Laboratorium: Hb: 11,3 gr/dl, Ht : 43,6%, Thr: 218000/μl, GDS: 152 mg/dl, Bun 28,2 mg/dl, Sc 0,98 mg/dl.Elektrolit Na 136 mmol/l, K 3,8 mmol/l Faal hemostasis dalam batas normal.Ph 7,39, PaCO2 39,6, PaO2 185, HCO3 28,2, Be 2,1, Sa O2 98,6, Aa DO2 124,2. Pelumpuh otot di stop setelah CT scan. Penderita mulai di weaning.

Tabel .1

Hari ketiga dilakukan ekstubasi GCS E4M5V2, hemiparese kanan dengan motorik 2–2. Perawatan di ruang intermediate selama 5 hari kemudian pasien di rawat di ruang perawatan. Setelah kurang lebih 25 hari perawatan di ruangan pasien diperbolehkan pulang dengan GCS E4M6V4 hemiparese kiri 3–3 fungsi kognisi dengan GOS moderate disability. III. Pembahasan

Perdarahan intraserebral merupakan kondisi emergensi dan merupakan jenis stroke yang fatal. Pengelolaanya memerlukan kecepatan dan ketepatan sehingga didapatkan luaran yang lebih baik. Penampilan klinis klasik perdarahan intraserebral adalah onset yang cepat dari defisit neurologis vokal terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa jam yang disertai nyeri kepala, mual, muntah, dan penurunan kesadaran serta naiknya tekanan darah.1,2,4,6 Diagnosa dapat ditegakkan dengan pemeriksaan CT scan kepala atau MRI kepala untuk membedakan stroke perdarahan atau iskemi dan untuk membedakan

Gambar 5. Tempat Sumber Perdarahan4

Komponen PoinKelemahan muka tidak simetris 1Kelemahan lengan muka tidak simetris 1

Kelemahan tungkai muka tidak simetris 1Gangguan bicara 1Defect lapang pandangan 1Kejang –1Hilang kesadaran –1

Page 40: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

39

adanya lesi di SSP. Untuk membantu cepat dan tepatnya diagnosa stroke dapat digunakan skala ROSIER. Nilai skala ROSIER berkisar antara 2 sampai +5, pasien dengan skala > 0 menunjukkan stroke.4

Banyak faktor dapat menyebabkan perdarahan intraserebral. Pada dasarnya ada dua faktor penyebabnya yaitu faktor yang bisa diubah dan tidak bisa diubah. Faktor yang bisa diubah yaitu faktor seperti hipertensi dan cerebral amyloid angiopathy, merokok, serta konsumsi alkohol. Sedang faktor yang tidak bisa diubah adalah jenis kelamin, umur, dan etnik. Perdarahan primer ini paling banyak disebabkan karena hipertensi. Hipertensi ini menyebabkan tekanan yang tinggi pada sirkulus willisi sehingga terjadi proliferasi diikuti kematian sel otot polos. Hal ini menjelaskan mengapa perdarahan intraserebral karena hipertensi sering terjadi pada lokasi yang dalam pada basal ganglia dan thalamus. Lokasi lain yang cukup sering adalah lobar, sedangkan di cerebelum dan brainsteam lebih jarang. Presentasi klinik dari perdarahan intraserebral primer tergantung dari besar dan lokasi perdarahanya. Nyeri kepala merupakan keluhan yang paling sering dikeluhkan,

sedangkan kejang sering terjadi pada perdarahan lobar dan menunjukkan perluasan perdarahan pada kortek serebri. Sedangkan pada perdarahan yang besar yang akan menyebabkan naiknya tekanan intrakranial, penurunan kesadaran merupakan gejala yang sering terjadi. Defisit neurologi fokal yang timbul berhubungan dengan lokasi yang spesifik dari perdarahan tersebut. Perdarahan ini menurut tipenya terdiri dari perdarahan serebral yang dalam, perdarahan lobar, perdarahan brainstem dan cerebellum. Deep cerebral atau perdarahan serebral yang dalam ini adalah perdarahan yang paling sering terjadi, yaitu antara 36–69%. Gejala yang timbul adalah hemiparese, defisit hemi sensoris, gaze paresis dan atau penurunan kesadaran.Perdarahan lobar merupakan perdarahan kedua terbanyak. Defisit neurologi yang timbul berhubungan dengan lobus yang spesifik terkena perdarahan dan ada gejala latelarisasi. Perdarahan di daerah brainstem dan cerebelum paling jarang terjadi yaitu antara 4–9% dan 7–11%. Gambaran kliniknya merupakan kombinasi dari defisit neurologi saraf kranial, dysatria, ataxia dan atau penurunan kesadaran. Perdarahan di ventrikel dan hidrosefalus juga bisa terjadi. Perdarahan

Component Points Total Points 30 Day Mortality (%)Glasgow Coma Scale score3–4 2 5+ 1005–12 113–15 0 4 97ICH volume (ml)

≥30 1 3 72<30 0Intraventoricural hemorrhageYes 1 2 26No 0 1 13Age (Years)≥80 1 0 0<80 0Infratentorial originyes 1No 0

Gambar Tabel 2 skor ICH

Pengelolaan Perioperatif Anestesi Perdarahan Intraserebral karena Stroke Perdarahan dan Luarannya

Page 41: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

40 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

yang terjadi di ventrikel ini akan memperburuk luaran dan meningkatkan kematian. Besarnya volume perdarahan ini juga berhubungan dengan memburuknya luaran secara progresif. Sedangkan adanya hidrosefalus menambah faktor independen meningkatnya mortalitas.1-7

Diagnosa dari perdarahan intra serebral dilakukan dengan memeriksa tanda kliniknya dan pemeriksaan neuro imaging. Pemeriksaan ini berdasarkan waktu kejadiannya dapat dibagi 5 fase:1. Fase hyper akut (<12 jam )2. Akut (12–24 jam)3. Sub akut awal ( 2–7 hari)4. Sub akut akhir (8–1 bulan)

Non kontras CT merupakan standar pertama pemeriksaan dengan sensitivitas 100%. CT dapat memperkirakan waktu lamanya perdarahan serta volume perdarahan. Volume perdarahan ini merupakan prediktor morbiditas dan mortalitas. CT scan dapat dengan cepat mengevaluasi ukuran, lokasi, serta adanya perluasan perdarahan pada sistem ventrikel, terjadinya hidrosefalus, berat ringannya edema dan kerusakan anatomis yang terjadi. Volume perdarahan bisa dihitung berdasar formulasi penghitungan volume dari elip dengan mengukur diameter dari elip dan slice dari CT-scan. Volume = A x B xC/2.1,3,6,8

MRI juga sering dilakukan untuk mengetahui adanya perdarahan ini. Dikatakan MRI dan CT dapat membedakan antara stroke perdarahan dan stroke iskemi pada fase akut dengan sensitifitas yang sama, tetapi pada perdarahan kronik MRI lebih baik. Sedangkan untuk mengetahui resiko perluasan hematoma dan penyebab perdarahan bisa dilakukan dengan CT kontras atau CT angiografi. Hal ini dilakukan pada perdarahan intraserebral sekunder untuk mengetahui faktor struktural lesi seperti AVM dan tumor.1,3,5,6,8

Pemberian cairan pada pendarahan intraserebral adalah dengan target euvolemi dan iso osmoler. Cairan yang dipergunakan adalah cairan isotonic seperti NaCl 0,9%. Cairan seperti saline 0,45%, atau D5% cairan dalam air tidak dipergunakan karena cairan tersebut akan memperberat edema dan memperberat TIK. Hal ini disebabkan karena cairan akan berpindah ke jaringan otak yang cedera karena perbedaan osmolaritas.

Sedangkan pemberian cairan dekstrose juga akan menyebabkan hiperglikemi. Kebutuhan cairan yang diperlukan adalah 1 ml/kg/jam. Kondisi euvolemi ditandai dengan produksi urin >0,5ml/kg/jam. Pada pasien dengan pemasangan CVP, CVP dipertahankan 5–8 mmHg dengan memperhatikan penggunaan ventilator. Cairan NaCl hipertonik seperti NaCl 3% diperlukan untuk mengatasi kondisi hipoosmolaritas yang berat (<280mosm/l), dan pasien dengan edema perihematom serta efek masa setelah pendarahan intraserebral. Dengan resusitasi cairan ini kondisi hiperosmolar (300–320mosm/l) dan kondisi hipernatremi (150–155 mEq/l) dapat dicapai potensial sehingga dapat mengurangi edema seluler dan TIK. Komplikasi yang harus diperhatikan adalah ensefalopati, subdural hematoma, koagulopati, overload cairan, hipokalemi, edema paru, aritmi jantung, hiperkloremi, serta asidosis metabolik. Oleh karena itu pemberian salin hipertonis diturunkan secara bertahap dan kadar serum sodium tidak boleh turun lebih dari 12mEq/l dalam 24 jam karena penurunan yang cepat akan menyebabkan rebound dari edema serebral yang akan meningkatkan TIK dan atau sindroma herniasi. Pemantauan dari pemberian cairan dan kondisi tekanan darah dilakukan dengan pemasangan CVC, arteri line, monitor kateter arteri pulmonal, foto thorak, ekokardiografi, pemeriksaan hematologi, profil koagulasi, dan biokimia darah.1,2,5,6,9,10

Dengan meningkatnya harapan hidup pada umumnya, peningkatan usia akan menambah penggunaan obat-obat antiplatelet seperti aspirin yang diberikan dalam jangka lama. Aspirin dikatakan meningkatkan resiko perdarahan intraserebral yaitu 12 kejadian per 10.000 orang. Resiko aspirin dengan dosis tinggi ini sangat besar pada pasien tua dengan hipertensi yang tidak terkontrol. Disamping antiplatelet, pemakaian antikoagulasi seperti warfarin menimbulkan komplikasi perdarahan intraserebral yang serius. INR>3 selain berhubungan dengan volume hematom yang terjadi pada awal waktu, juga berhubungan dengan bertambahnya hematom dan memperburuk kondisi neurologis dalam 24–48 jam. Pada kondisi ini pemberian reversal

Page 42: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

41

FFP, vitamin K, atau protrombin complex consentrat (pccs) dapat dilakukan dengan target INR <1,4. Pemberian FFP harus hati-hati karena aksi durasi yang pendek dan volume pemberian yang besar dapat menyebabkan kelebihan cairan intravaskuler dan gagal jantung.1,3,5,6 Hiperglikemi yang disebabkan respon stress akan memperburuk luaran, sedangkan hipoglikemi juga meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Oleh karena itu perlu diatur target kontrol gula darah antara 100–150mg/dl. Demam juga sering terjadi pada perdarahan intraserebral terutama dengan IVH. Ini harus segera diterapi, karena hipertermi akan menyebabkan eksaserbasi cedera otak, iskemi, edema serebri, dan kenaikan TIK. Pemberian asetaminofen dan penurunan suhu dengan blangket direkomendasikan dilakukan pada pasien dengan suhu lebih dari 38,5˚C.1,3,5,6,10 Pemberian obat anti konvulsi sebagai profilaksis masih kontroversi, tetapi sekitar 8% pasien mengalami kejang klinik dalam 30 hari kejadian dan monitor dengan EEG menunjukkan lebih dari 25% mengalami kejang sub klinik. Kejang ini lebih banyak terjadi pada hematoma lobar, karena itu pemberian profilaksis sangat selektif diberikan terutama pada hematoma lobar. Penelitian lain juga menunjukkan resiko kejang yang terjadi lama kemudian dan epilepsi pada penderita yang selamat masih sekitar 5–27%. Obat untuk mengatasi kejang adalah lorazepam 0,05-0,1mg/kg diikuti dengan loading dose phenitoin atau fosphenytoin (20mg/kg).1,4,5,6

Deep vein thrombosis dan emboli pulmoner yang merupakan komplikasi yang potensial dapat terjadi bisa dicegah dengan pemakaian stoking kompresi. Dapat pula diberikan heparin 5000 unit yang dimulai pada hari kedua tanpa meningkatkan pendarahan.1,5,6 Pemberian nutrisi enteral diberikan dalam waktu 48 jam untuk mencegah katabolisme protein dan malnutrisi.1,6

Pengelolaan SurgikalSejak tahun 1960 banyak trial di bidang bedah dalam mengelola pasien dengan perdarahan intraserebral. Tetapi sampai sekarang masih belum dicapai kesepakatan yang bulat dalam periode perioperatif ini. Trial awal pada pasien dengan tingkat penurunan kesadaran yang sedang, yang dilakukan prosedur pembedahan awal untuk

evakuasi hematom menunjukkan penurunan resiko kematian tetapi tidak memperbaiki luaran fungsional. Studi yang dilakukan The Surgical Trial in Intra Cerebral Hemorrhage mendapatkan kraniotomi untuk evakuasi hematom dalam waktu 72 jam tidak menghasilkan luaran yang baik dibanding dengan pengelolaan medis bukan pembedahan. Pada sub grup dalam penelitian ini pasien-pasien dengan hematom yang superfisial dan tidak ada IVH menunjukkan luaran yang lebih baik dengan dilakukan pengelolaan bedah. Sebaliknya pasien dengan perdarahan infratentorial serebral dengan diameter lebih dari 3cm dan terjadi penurunan kesadaran yang cepat dalam waktu 24 jam mendapatkan hasil yang lebih baik dengan evakuasi pembedahan. Hal ini terjadi karena pembedahan pada awal kejadian akan mencegah resiko terjadinya penekanan pada batang otak dan mencegah terjadinya hidrosefalus karena obstruksi.

Penelitian sekarang difokuskan pada kombinasi tindakan bedah invasif yang minimal dan tindakan lisis dari bekuan darah dengan r–tPa untuk mengevakuasi perdarahan. Laporan yang dibuat oleh Teernstra et al 2003; Barret et al 2005; Vespa et al 2005 menyatakan bahwa aspirasi secara stereotaktik dan thrombolisis perdarahan intraserebral efektif dan aman dilakukan untuk mengurangi volume perdarahan. Waktu yang tepat untuk melakukan tindakan juga masih kontroversi. Dilakukan segera pada pada awal onset atau lebih lama dari onset. Pada umumnya dilakukan operasi dalam waktu 4 jam – 96 jam dari onset, karena tindakan pembedahan pada waktu awal akan beresiko rebleeding. AHA/ASA merekomendasikan pada kebanyakan pasien dengan perdarahan intraserebral tindakan dibidang bedah tidak dilakukan kecuali :1. Pasien dengan perdarahan intraserebral

dengan perubahan neurologis yang memburuk atau ada kompresi batang otak dan atau dengan hidrosefalus karena obstruksi ventrikel.

2. Pasien dengan hematom pada lobar >30ml dan kedalaman 1cm dari permukaan, evakuasi perdarahan supratentorial dilakukan dengan standar kraniotomi.1,3,5,6,9,10

Pengelolaan anestesi untuk pasien dengan

Pengelolaan Perioperatif Anestesi Perdarahan Intraserebral karena Stroke Perdarahan dan Luarannya

Page 43: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

42 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

hematom serebral adalah dengan tujuan mengontrol TIK dan mencegah bertambahnya edema otak, mengatur tekanan darah yang adekuat untuk mendapatkan CPP yang adekuat dan mengurangi perdarahan serta edema yang terjadi. Jalan nafas bebas setiap waktu dan oksigenasi dengan oksigen 100% disertai hiperventilasi, serta posisi head up 30˚ dengan jugular flow yang bebas. Pasien dengan hematom intraserebral akut sering disertai hemodinamik yang tidak stabil (hipertensi, hipovolemia). Pada waktu induksi anestesi harus cukup dalam untuk mencegah batuk atau hipertensi arterial. Thiopental 3–5mg/kg atau propofol 2–4 mg/kg dan pemberian sulfentanil atau ramifentanyl baik untuk induksi pasien yang euvolemi. Obat ini menurunkan CBF dan menurunkan TIK serta dapat mempertahankan CPP. Rapid Sequence Induction dilakukan dengan succinyl choline relaksan otot golongan depolarisasi. untuk mengurangi naiknya ICP bisa diberikan bersama dosis kecil golongan non depolarisasi.

Induksi pada umumnya juga dilakukan dengan rocuronium. Lidokain dengan dosis 1,5 mg/kg dapat diberikan untuk menurunkan ICP pada waktu laringoskopi. Pilihan utama untuk pemeliharaan anestesi pada pasien intraserebral hematom adalah obat-obat yang meningkatkan CVR, menurunkan CBF serta menurunkan CMR. Obat-obat TIVA seperti thiopental, propofol merupakan obat yang sering dipergunakan. Sedang obat anestesi inhalasi seperti sevofluran pada kosentrasi kurang dari 1 MAC dapat menurunkan CBF. Hipotensi arterial pada pemberian anastesi intravena dan opioid harus dicegah untuk menghindari iskemi karena menurunnya CPP. Menurunnya CPP ini akan menyebabkan reflek vasodilatasi serebral yang mengakibatkan naiknya TIK. Kontrol hipertensi arterial ini harus dilakukan secara hati-hati karena harus balans dengan CPP yang adekuat untuk area otak yang iskemia. TCD dapat memonitor perfusi serebral dan dapat membantu menentukan tekanan darah yang optimal. SJVO2 dapat membantu monitoring CPP secara global. Apabila diperlukan untuk menurunkan hipertensi arterial maka dapat diatur pemberian analgesik opioidnya diikuti pengaturan propofol, serta bila diperlukan pemberian obat anti hipertensi

seperti labetolol. Dalam hal ini monitoring kanulasi arteri akan sangat membantu.11,12 Untuk menurunkan TIK dan mencegah terjadinya edema serebri dilakukan dengan pemberian cairan manitol dengan dosis 0,25mg/kg–1 mg/kg untuk mendapatkan osmolaritas maksimum 320 mOsm/kg. Cairan rumatan yang diberikan adalah dengan target isoosmoler, evoulemi, normoglikemi.13

Pengakhiran anestesi dilakukan dengan slow weaning dan delayed extubation di neuro intensive unit dengan monitoring dan pemberian terapi berikutnya.11

Prognosa pada pasien dengan pendarahan intraserebral ditentukan dengan Skor ICH dan skor Func. Karena skor ICH tidak bisa menilai luaran fungsional kualitas hidup setelah stroke maka banyak dipakai GOS yang mempunyai 5 tingkat yaitu: grade 5 good recovery, grade 4 moderate disability, grade 3 severe disability, grade 2 vegetative state dan grade 1 death. Untuk mendapatkan nilai luaran yang lebih teliti dipakai penilaian dengan GOSE dengan grade 1death- grade 8 upper good recovery. Pada pasien ini setelah 6 bulan nilai GOSEnya adalah skala 7 lower good recovery. Fungsi motorik pasien yang hemiparese meningkat menjadi 5–5. Pemberian nimodipin dan nikardipin secara bersama sama pada periode pascaoperasi yang menyebabkan tekanan darah yang turun kurang dari 140 mmHg bisa mempengaruhi luaran yang tidak optimal.

II. Simpulan

Dilaporkan pengelolaan peri operatif laki-laki 69 Th dengan pendarahan intra serebral yang dilakukan tindakan kraniotomi evakuasi pendarahan dengan luaran GOS moderate disability, dengan GOSE setelah 6 bulan grade 7 lower good recovery. Pengelolaan peri operasi adalah dengan mengelola ICP, mempertahankan CPP yang adekuat, mencegah bertambahnya hematom dan edema, dan mengelola tekanan darah yang adekuat. Masih ada kontroversi dalam menetapkan waktu dan tindakan pembedahan yang dilakukan. Pemberian nimodipin dan nicardipin secara bersanma sama kemungkinan dapat menimbulkan penurunan tekanan darah yang dapat mempengaruhi luaran.

Page 44: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

43

Daftar Pustaka

1. Chad WW, Hasan & Ahmed, Gregory Z. Intracerebral hemorrhage: evidence-based medicine, diagnosis, treatment, and complications. Dalam: Josephia L, Andrea G, William FA,eds. Textbook of Neuro Intensive Care. Second Edition. London: Springer-verlag 2013, 565–77

2. Shani R, Jesse W. Review: management of intracerebral hemorrhage. Vascular Health and Risk Management 2007:3(5): 701–9

3. Karlos KS, Steven GM, Mohr PJ, Lois CR. Intracerebral hemorrhage. Dalam: Mohr JP, Philip WA, James GC, Michael MA, Mare MR, von Rudiger K. Stroke Pathophysiology, Diagnosis, and Management. 5th Edition. By Saunders 2011, 531–88.

4. Fabia M, Stephanie B, Jason M. Clinical Review: Intracerebral hemorrhage: pathophysiology, diagnosis and management. Mc Master University. 2013; (10): 1

5. Elliot J, Smith M. The acute management of intracerebral hemorrhage: a review article. Anesth Analg. 2010;110(5):1419–27.

6. Moussa YF, Fred R, Stephan MA. Intracerebral hemorrhage. Dalam: Lee K,ed. The Neuro ICU Book. New York: McGraw-Hill; 2012: 35–51.

7. Joseph V, Paul ME. Review: perioperative hypertension management. Vascular Helath and Risk Management. 2008. 4(3) 612–27

8. Lewis MB, Zahuranec DB. Medical therapy of intracerebral and intraventricular hemorrhage. Dalam: Mohr JD, Philip WA, James GC, Michael MA, Mare MR, von Rudiger K. Stroke Pathophysiology, Diagnosis, and Management. 5th ed. Saunders 2011, 110–115

9. Morgenstern LB, Hemphill JC, Anderson C, Becker K, Broderick JL, Conolly Jr ES, Greenberg SM et al. Guidelines for the Management of Spontaneous Intracerebral Hemorrhage. A Guidelines for Health Care Professionals from the American Heart Association/American Stroke Association. Stroke. 2010,41:2108–2129

10. Alexander MD, Barbara GA. Surgery for intracerrebral hemorrhage. Dalam: Mohr JD, Philip WA, James GC, Michael MA, Mare MR, von Rudiger K,eds. Stroke Pathophysiology, Diagnosis, and Management. 5th edition. Saunders 2011, 1336–48

11. Nicolas B, Patrick RA. Supratentorial masses: anesthetic consideration. Dalam: Cottrel JE, Young WL. Cottrell and Young’s Neuroanesthesia, 5th edition. Philladelphia Mosby; 2010, 184–202

12. Michael PV, Ricky SB. Emergency craniotomy. Dalam: Paul MB, Soriano GS, Todd BS, eds. A Practical Aproach to Neuroanesthesia. Philladelphia: Lippincot William and Wilkins; 2013, 22–3

13. Conceciozone T, Valentina P. Fluid managemental procedures. Dalam: Mongan D Paul, Soriano G Sulpicio, Sloan B Todd. eds. Apractical Aproach to Neuro anesthesia. Philladelphia: Lippincot William and Willkins; 2013, 22–36

14. Tatjawa R, Sacco RL. Prognosis after stroke, Dalam: Mohr JD, Philip WA, James GC, Michael MA, Mare MR, von Rudiger K. Stroke Pathophysiology, Diagnosis, and Management. 5th edition. Saunders 2011, 219–241.

Pengelolaan Perioperatif Anestesi Perdarahan Intraserebral karena Stroke Perdarahan dan Luarannya

Page 45: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

44

Penatalaksanaan Anestesi pada Ruptur Aneurisma

Riyadh Firdaus*), I Putu Pramana Suarjaya**), Sri Rahardjo***)

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, **)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana-RSUP Sanglah Denpasar, ***)Departemen Anestesiologi

& Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada-RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Abstrak

Ruptur aneurisma adalah salah satu kejadian vaskular yang devastated dengan tingginya angka mortalitas. Namun dengan penanganan yang cepat dan tepat maka angka kematiannya hanya mencapai 10%, dan morbiditasnya ringan. Selain dari efek pecahnya pembuluh darah, banyak komplikasi lain yang perlu diperhatikan seperti perdarahan ulang, vasospasme, hidrosefalus, gangguan elektrolit sampai gangguan respirasi. Dilaporkan pasien perempuan 47 tahun dengan sakit kepala, mual dan muntah yang memberat sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan seperti ini sudah dirasakan 7 tahun sebelumnya, dan didiagnosa sebagai ruptur aneurisma spontan, sekarang tanpa gejala sisa. Pada pemeriksaan fisik, pasien sadar penuh dengan kaku kuduk, tanpa tanda neurologis fokal. Dari pemeriksaan penunjang didapatkan terdapat vasospasme pada a. Karotis Interna setinggi segmen suprasinoid, serta perdarahan tipis intraventrikel dan ventrikulomegali. Pasien direncanakan untuk dilakukan clipping aneurisma dalam anastesi umum. Pasien kemudian di rawat di ruang perawatan intensif dengan target penyapihan cepat dan ekstubasi. Tantangan dalam proses anestesi kasus aneurisma adalah mempertahankan antara tekanan dalam aneurisma dan cerebral perfusion preassure (CPP), proteksi otak pada periode iskemi, serta menyediakan lapang operasi seluas mungkin. Pasca-operasi harus diperhatikan tanda tanda komplikasi berupa iskemia.

Kata kunci: ruptur aneurisma, anestesi, clipping, vasospasme

JNI 2016;5(1): 44–56

Anesthetic Management in Patient with Rupture Intracranial Aneursym

Abstract

Aneurysm rupture is a devastated vascular injury with high mortality rate. But in expert hands, it has lower mortality only about 10%. Aneurysm has other complication such as rebleeding, vasospasm, hydrocephalus, and electrolyte also cardio-pulmonary disturbance. The patient is 47 years old women with progressive headache, nausea and vomiting since 2 weeks before admission. She already experienced the same symptoms at 7 years ago, and was been diagnosed with spontaneous rupture aneurysm. She is fully alert, only with nunchal rigidity and no neurologic deficit. There were vasospasm at A.Carotis Interna as high as supracinoid segment and intraventricular hemorrhage from CT dan CT-Angiography. Patient went to clipping procedure under general anesthesia. Post-operatively patient was admitted to intensive care unit with fast liberation of ventilator and extubation. Anesthetical challenge of rupture aneurysm are to maintain aneurysm pressure and cerebral perfusion rate, brain protection, and provide enough space for surgery. Post-op monitoring should include routine neurological examination to early detect ischemia.

Key words: aneursym rupture, anaesthesia, clipping, vasospasme

JNI 2016;5(1): 44–56

Page 46: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

45

I. Pendahuluan

Insiden aneurisma pada populasi diperkirakan sekitar 2–5% pada populasi normal dan perdarahan subaraknoid terjadi pada 8-10 orang dari 100.000 populasi normal. Di Amerika Serikat angka kejadinnya mencapai 30.000 kasus tiap tahunnya. Kejadian aneurisma paling sering terjadi pada dekade keempat, lima dan enam. Angka kejadian pada perempuan lebih sering dibandingkan laki-laki, sebagian literatur menyatakan dua kali lipat atau bahkan lebih.1 Lokasi tersering aneurisma adalah pada arteri karotis interna.

Data di Amerika menunjukkan 28.000 kasus ruptur aneurisma setiap tahunnya, dan 19.000 diantaranya akan meninggal atau memiliki disabilitas. Saat aneurisma menyebabkan maka akan terjadi subarachnoid hemorrhage. Apabila terjadi ruptur maka angka kematian 30 hari pasien dengan aneurisma mencapai 30–40%, bahkan 10–15% diantaranya meninggal sebelum sampai ke rumah sakit. Manajemen anestesi pada pasien aneurisma dengan subarachnoid hemorrhage (SAH) cukup sulit karena membutuhkan tindakan yang cepat, dengan patologi yang kompleks serta beragam gambaran manifestasi intrakranial dan sistemik. Selain itu pasien sering membutuhkan perawatan khusus. Manajemen perioperatif yang baik dapat tercapai dengan pemahaman mengenai patofisiologi dan komplikasi yang mungkin terjadi.

II. Kasus

Anamnesis Pasien perempuan 47 tahun, datang dengan keluhan nyeri kepala hebat, disertai mual dan muntah, tanpa penurunan kesadaran sejak 2 minggu sebelum datang ke rumah sakit. Keluhan seperti ini sudah pernah dialami sebelumnya sekitar 7 tahun yang lalu, dikatakan sebagai ruptur spontan aneurisma pertama. Pasien sempat dirawat di ruang perawatan intensif namun sekarang tanpa gejala sisa. Riwayat hipertensi sejak 7 tahun lalu. Riwayat penyakit jantung, paru, nyeri dada, sesak napas, pingsan maupun kejang disangkal.

Pemeriksaan FisikKeadaan umum : Sakit berat

Kesadaran : Compos mentis (E4V6M5)

Tanda vital : 130/80 mmHg,Nadi : 75x/menitNafas : 16x/menitSpO2 : 99% (Udara bebas)Suhu : 36.80CBerat badan : 50kgMata : Konjugtiva anemis, tidak

ikterik, pupil isokorThorax : Bunyi jantung I-II

normal, tidak ada murmur dan gallop. Vesikular +/+, ronkhi –/–, mengi –/–

Abdomen : Datar, lemas, Bising usus (+) normal

Neurologis : Kaku kuduk (+), tanpa kelemahan ektremitas

Foto rontgen toraks: tidak tampak kelainan radiologis pada jantung dan paru, tampak infiltrat pada lapang tengah paru kiri dan kedua parakardial. EKG: Ritme sinus, laju QRS 74 x/menit, tidak terdapat gelombang EKG yang abnormal, tidak ada tanda pembesaran ventrikel kanan atau kiri, tidak ada bundle branch block.

Pemeriksaan laboratoriumHb 9,4 gr/dl Ur 13 mg/dlHct 27,6 % Cr 0.5mg/dlLeukosit 9070 sel/

mm3SGOT 13 U/L

Trombosit 157.000 sel/mm3

SGPT 9 unit U/L

PT 1 1 . 9 ( 1 0 , 3 ) detik

Na/K 1 4 4 / 3 . 7 9 mEq/l

ApTT 3 6 . 5 ( 3 4 . 3 ) detik

Cl 1 0 6 . 1 mEq/l

Fibrinogen 294 mg/dl

GDS 125 mg/dl

D.Dimer 36,5 Albumin 2.78 gr/l

Penatalaksanaan Anastesi pada Ruptur Aneurisma

Page 47: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

46 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Echo : Pembesaran ventrikel kiri konsentrik, global normokinetik, fungsi sistolik ventrikel kanan dan kiri baik, gangguan diastolik ringan, fraksi ejeksi 73%, katup-katup baik, tidak ada efusi. CT scan kepala kontras (26 Mei 2015): Perdarahan subarachnoid tipis dengan perdarahan intraventrikel dan ventrikulomegali.

CT scan angiografi (26 Mei 2015): Aneurisma sakuler pada karotis interna komunikans posterior kanan dengan diameter leher 0,3 cm dan tinggi puncak 0,4 cm. Spasme a.carotid interna kanan setinggi segmen supracinoid. Berdasarkan data-data di atas, pasien di diagnosis dengan aneurisma sakular arteri komunikans posterior kanan, dengan status fisik ditetapkan sebagai ASA II dengan peningkatan tekanan intrakranial (TIK) kronis (riwayat mual, muntah, sakit kepala hebat 2 minggu yang lalu), hipertensi derajat 2 (TD 130/80 mmHg, terapi nimotop drip titrasi), hipoalbumiinemia 2.78, anemia (Hb:9,4 g/dl).

Intraoperatif Pasien didorong ke ruang operasi, dipasang monitor SpO2, EKG,tekanan darah non invasif, dan jalur intravena. Didapatkan tekanan darah 160/100 mmHg, laju nadi 90 x/menit, SpO2 100%, dan laju napas 18 x/menit. Pasien mendapatkan pembiusan dengan anestesia umum intravena dengan premedikasi midazolam 2 mg (IV) dan ranitidine 50 mg (IV) di ruang operasi sesaat sebelum mulai induksi. Selanjutnya pada pasien diberikan fentanyl 250 μg (IV). Tekanan darah 100/70 mmHg dan dilanjutkan dengan induksi dengan propofol 80 mg (IV) serta vecuronium 7 mg (IV). Tekanan darah 88/62 mmHg, dan setelah pasien dipastikan tidur dalam dilakukan intubasi dengan ETT nonkingking no 7 dengan fiksasi 20 cm diujung bibir. Setting ventilator dengan mode volume control 400cc, laju pernafasan 14x, fraksi oksigen 40% dengan PEEP 5cmH20. Dilakukan pemasangan kateter vena sentral (CVC) pada v. subclavia kanan dan arterial blood preassure (ABP) pada a.ulnaris kanan. Untuk pemeliharaan diberikan propofol drip 9 mg/jam, vecuronium 3 mg/jam, fentanyl 150 mcg/jam, dengan gas sevoflurane 1 vol %, serta nicardipine drip titrasi dengan melihat tensi. Manitol diberikan 4 jam intraoperasi.

Gambar 1. CT-Scan dengan Kontras

Posisi pasien supine dengan kepala menoleh ke kiri 45 derajat, serta ditambahkan anestesi infiltrasi semikoronal sesuai dengan insisinya. Intraoperatif diperiksakan analisa gas darah dengan hasil Ph 7.5; PCO2 29.6 mmHg; PO2 153mmHg; HCO3 23.5mEq/l; base excess 1.6mEq/l; saturasi oksigen: 99.5% dengan Na 129mEq/l, K 4.34 mEq/l dan Cl 98mEq/l Pemantauan dilakukan dengan nilai ETCO2 didapatkan rata-rata menunjukkan 23–25mmHg. Laju napas dinaikkan pada saat ETCO2 naik.

Sesaat sebelum dilakukan pemasangan clipping aneurisma dengan curved clip operator minta tekanan darah sistolik berkisar 70mmHg, maka nicardipine dinaikan hingga 10 mg/jam dan tekanan darah menjadi 72/45 mmHg. Setelah clipping terpasang titrasi nicardipine diturunkan hingga stop. Tekanan darah akhir menjadi 110/70mmHg. Perdarahan total 250 cc, lama operasi 7 jam, lama pembiusan 9 jam, cairan masuk 2500cc (500cc koloid dan 2000 kristaloid), CVP antara 6–8 cm H2O, produksi urin per 9 jam adalah 2500cc. Analgetik postoperatif yang diberikan,adalah Paracetamol 1 g (IV) tramadol 100 mg (IV), dan antiemetic tropisetron 5mg (IV).

Pasca-operasi (Recovery room)Pasien dipindahkan ke ruang perawatan intensif masih dalam keadaan terintubasi. Sesampainya di ruang perawatan intensif hemodinamik stabil TD 130/80 mmHg, nadi 78x/menit, RR 14x/menit (dalam ventilator volume controle 400cc, RR

Page 48: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

47

14x, FiO2 45%, PEEP 5cmH2O), SpO2 99%, suhu 36,5. Pasien dilakukan observasi hemodinamik dan serta pemeriksaan lab dan foto polos toraks. Target perawatan weaning cepat dan ekstubasi.

III. Pembahasan

AneurismaAneurisma didefinisikan sebagai kelemahan pada dinding pembuluh darah yang menyebabkan dilatasi dinding arteri. Sering juga disebut sebagai balloning dari pembuluh darah. Proses ini berjalan perlahan disebabkan terutama karena tekanan aliran darah yang konstan. Dinding tersebut akan menjadi semakin besar dan semakin lemah sehingga meningkatkan kemungkinan ruptur.4 Munculnya aneurisma dikaitkan dengan beberapa faktor risiko seperti usia diatas 50 tahun, perempuan, perokok aktif, penggunaan kokain, infeksi dinding pembuluh darah, trauma kepala, hipertensi, alkohol, penggunaan kontrasepsi oral serta hiperkolesterolemia. Selain itu diperkirakan tinggi juga pengaruh genetik. Pada pasien faktor risikonya antara lain adalah adanya hipertensi dan jenis kelamin perempuan. Sedangkan faktor risiko untuk ruptur pada pasien adalah jenis kelamin wanita, dan aneurisma pada sirkulasi posterior. Tidak semua aneurisma pada otak sama. Aneurisma dibedakan berdasarkan beberapa kriteria yaitu berdasarkan ukuran, bentuk dan lokasi. Berdasarkan ukuran aneurisma dibagi kedalam 3 kelompok yaitu kecil (kurang dari 5mm), sedang (6–15 mm), besar (16–25mm) dan besar (lebih dari 25 mm). Aneurisma dapat berbentuk sakular dengan leher sempit, sakular dengan leher lebar dan fusiform (berbentuk seperti spindle tanpa memiliki leher). European Stroke Organization membagi aneurisma ke dalam 2 kelompok yaitu aneurisma intakranial ruptur/simptomatik dan aneurisma intrakranial tidak ruptur/asimptomatik.

Pada pasien didapatkan aneurisma sakuler pada karotis interna kanan komunikans posterior (ICPC) kanan dengan diameter leher 0,3 cm dan tinggi puncak 0,4 cm sehingga masuk kedalam katagori kecil. Lokasi ini merupakan lokasi yang cukup sering terjadi, dan faktor risiko utamanya

adalah usia tua (70–79tahun). Keluhan sakit kepala kemungkinan besar disebabkan oleh ruptur aneurisma dan terbukti dari hasil CT-Scan dimana ditemukan perdarahan subaraknoid dan intraventrikular tipis. Aneurisma simptomatik biasanya tidak bergejala dan tidak terdeteksi sampai terjadinya ruptur. Pada saat aneurisma

Grade Deskripsi KlinisI Asimptomatik, sakit kepala ringan,

kaku kudukII Sakit kepala sedang-berat, tanpa

kelainan neurologis selain dari nervus kranial

III Penurunan kesadaran, dengan defisit neurologi ringan

IV Stupor, hemiparesis sedang-berat, decerebrasi, dan gangguan vegatasi

V Koma, deserebarsi, dan tampakan moribund

Tabel 1. Klasifikikasi Hunt dan Hess

ruptur akan terjadi perdarahan subaraknoid, dengan manifestasi sakit kepala hebat, yang dikaitkan dengan kehilangan kesadaran, mual, muntah, defisit neurologis fokal dan meningismus. Namun gejala klasik ini hanya terjadi 58% pasien.5 Sisanya memiliki gejala yang lebih ringan yang disebabkan adanya kebocoran pada aneurisma sebelum terjadinya ruptur sempurna.

Setelah aneurisma pecah, terdapat 3 variabel yang menentukan hasil akhir yaitu (1) kondisi neurologis pasien dalam hal ini tingkat kesadaran, (2) Usia dan (3) Jumlah perdarahan pada CT-

Dikutip dari Priebe. Aneurysma subarachnoid haemorgahage and the anaesthesiologist

Tabel 2. Klasifikasi WFNS

Grade GCS Defisit MotorikI 15 Tidak adaII 13–14 Tidak adaIII 13–14 AdaIV 7–12 Ada/Tidak adaV 3–6 Ada/Tidak ada

Dikutip dari Priebe. Aneurysma subarachnoid haemorgahage and the anaesthesiologist

Penatalaksanaan Anastesi pada Ruptur Aneurisma

Page 49: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

48 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Scan. Salah satu grading yang sering dipakai adalah milik Hunt dan Hess. Skala ini melihat tingkat kesadaran (dibagi kedalam drowsinnes, stupor dan koma), sakit kepala (minimal, sedang, berat), kaku kuduk, dan defisit neurologis fokal (ringan, sedang, hemiparesis).7 Pemeriksaan ini mudah dan masih sering digunakkan, namun karena banyak indikator yang tidak objektif, maka penilaian ini tidak menjadi pilihan utama. Asosiasi Stroke Eropa menyarankan penggunaan skor Prognossion Admission of Aneurysmal Subarachnoid Haemorrhage (PAASH) sebagai penggantinya.7 PAASH mengklasifikasikan pasien kedalam 5 kelompok berdasarkan skala koma Glaslow, (1) 12, (2) 11–14,(3) 8–10, (4) 4–7, (5) GCS 3. Dalam keadaan afasia maka skala koma Glaslow diperkirakan dari keadaan mata dan motorik. Didapatkan bahwa pasien dengan skor PAASH V maka memiliki kemungkinan 84 kali lebih besar untuk memiliki hasil keluaran buruk. Alternatif lainnya adalah skor World Federation of Neurosurgeon (WFNS) yang melibatkan dua komponen yaitu kesadaran dengan GCS dan kemapuan motorik. Klasifikasi dapat dilihat pada Tabel 2. PAASH memiliki sedikit keunggulan dibandingkan WFNS.

Pasien datang dengan keadaan composmentis sehingga berdasarkan skor PAASH kondisi ini masuk ke katagori 1. Kondisi yang sama berdasarkan Hunt dan Hess masuk ke dalam kelompok 2 karena didapatkan kondisi sakit berat, tanpa defisit neurologis fokal. Sampai di sini diperkirakan prognosis keluaran akhirnya pasien masih baik. Namun berdasarkan skala Fisher, pasien masuk dalam grade 4 karena

ditemukan perdarahan intraventrikular, yang artinya pasien memiliki resikorisiko tinggi untuk mengalami vasospasme. CT-Angiografi kemudian menunjukkan adanya spasme pada a. Karotis Interna.

Aneurisma pasca ruptur dapat ditatalaksana dengan operasi (clipping) atau endovascular (coiling). Pilihannya tergantung dari usia, ko-morbiditas, onset, dan anatomi dari aneurisma. Clipping pada aneurisma yang belum ruptur menyebabkan kematian hingga 1-3% sedangkan coiling hanya 1.1–1.5%. Namun penggunan coiling tidak dapat digunakkan pada kasus kasus aneurisma besar, dan aneurisma yang memiliki leher lebar. Coiling telah terbukti aman dan dapat dijadikan alternatif dari clipping tradisional. Namun masih banyak pihak yang berdebat mengenai pemilihan metode yang paling tepat. Hingga banyak pusat yang mengembalikan kepada pertimbangan klinis ahli bedah syaraf.9 Penatalaksanaan ruptur aneurisma (Hunt dan Hess I–IV) lebih baik dilakukan dalam 72 jam pasca-ruptur. Hal ini dikaitkan dengan penurunan kemungkinan perdarahan ulang dan mengurangi kemungkinan terjadinya spasme. Pilihan lainnya adalah dengan terapi konservatif hingga terjadi perbaikan kondisi umum. Dahulu ini dipilih terutama untuk pasien dengan Hunt dan Hess derajat V, atau dengan kondisi awal yang buruk. Dianggap bahwa dengan menunggu maka edema serebri akan berkurang, vasospasme menurun, dan telah terjadi klot pada perdarahan. Namun karena edema otak bukan lagi menjadi suatu masalah dalam operasi dan anastesi, maka sekarang lebih dipilih terapi awal.9 Namun sampai saat ini belum ada yang menentukan kapan sebaiknya aneurisma di terapi. Salah satu studi menyatakan bahwa bila operasi dilakukan pada hari ke 0–3 maka angka kejadian perdarahan hanya 5.7% sedangkan apabila dilakukan pada hari ke-15 angka kejadinnya sampai 21.5%. Hal ini menyebabkan adanya tren untuk operasi. lebih dini. Studi lainnya menemukan bahwa risiko untuk terjadinya keluaran yang buruk paling tinggi saat terapi dilakukan setelah hari ke-10. Studi lain menunjukkan hasil bahwa keluaran operasi paling buruk terjadi pada hari ke-7 sampai 10 karena tingginya angka spasme

Grade Temuan pada CT1 Tidak ada perdarahan yang terdeteksi2 Lapisan tipis < 1mm3 Gumpalan, atau lapisan vertical >

1mm4 Intracerebral atua Intraventrikular

hemorage dengan atau tanpa subarachnoid haemorrhage

Tabel 3. Skala Fischer

Dikutip dari Priebe. Aneurysma subarachnoid haemorgahage and the anaesthesiologist.

Page 50: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

49

pembuluh darah. Ditemukan juga bahwa apabila dilakukan terlalu dini dengan kondisi awal yang kurang baik, maka hasil keluaran juga tidak baik.Pada kasus ini, pasien datang dengan pecah aneurisma spontan, dengan ukuran yang relatif kecil. Namun ukuran yang terdeteksi saat ini adalah ukuran setelah ruptur sehingga tidak tertutup kemungkinan ukuran sebenarnya jauh lebih besar. Pasien ditatalaksana dengan clipping tradisional segera. Hal ini dikarenakan keadaan pasien yang masih baik dan untuk mencegah komplikasi vasospasme lebih lanjut. Dengan teknik clipping tradisional kemungkinan pasien akan membutuhkan waktu operasi yang lebih lama sehingga perlu disiapkan obat-obatan anestesia dalam jumlah lebih besar, dan waktu perawatan di ICU yang lebih panjang. KomplikasiDiperkirakan sepertiga pasien dengan ruptur aneurisma akan meninggal, sepertiga lainnya mengalami morbiditas berat dan sisanya kembali fungsional. Namun angka mortalitasnya hanya 10% pada dokter yang berpengalaman. Hal ini menandakan seberapa tingginya komplikasi pada pasien yang tidak ditangani secara profesional. Komplikasi yang paling sering adalah perdarahan ulang/rebledding. Angkanya mencapai 50% pada 2 minggu pertama dan kematiannya mencapai 50%. Lima belas sampai 20% akan membentuk hidrocephalus komunikan atau obstruktifKomplikasi yang lainnya adalah vasokontriksi, diperkirakan terjadi pada sekitar 70% pasien dengan perdarahan dan 20% akan mengalami gejala iskemik. Vasospasme merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada pasien ruptur aneurisma. Kejadian ini biasanya terjadi 3–12 hari pasca SAH, dan bertahan sampai 2 minggu. Penyebabnya sendiri masih belum jelas, namun diperkirakan ada kaitannya dengan pemecahan dari oksihemoglobin.

Prevensi yang diberikan adalah nimodipine, suatu calcium channel blocker. Dorhout dan rekan telah melakukan suatu metaanalisis, dengan 16 uji klinis acak tersamar yang melibatkan 3361 pasien. Studi tersebut menemukan bahwa penggunaan nimodipine pada pasien dengan perdarahan subaraknoid dengan RR 0.81 (CI

95% 0.72–0.92) dengan angka needed to treat adalah 19 orang. Hasil keluaran yang baik ini diperkirakan karena nimodipine menurunkan angka kejadi delayed cerebral ischemia (DCI). Terapi ini mulai diberikan saat pasien masuk dan diteruskan sampai 21 hari setelahnya. Pengobatan ini diberikan secara oral 60 mg setiap empat jam . Pemberian oral lebih disarankan karena memiliki efektifitas yang sama dengan penggunaan intravena namun efek samping berupa hipotensi reversibel lebih rendah. Apabila selama masa pengobatan terjadi penurunan tekanan darah, maka administrasi nimodipine diberikan dengan dosis lebih rendah, namun lebih sering. Jika hipotensi masih terjadi, maka penggunaannya dapat dihentikan .

Nimodipine akan menempati pada voltage dependent calcium channel dan akan mencegah masuknya kalsium ke dalam sel. Seperti yang telah diketahui bahwa masuknya kalsium ke dalam otot akan menyebabkan kontraksi, sehingga saat kanal ini dihalangi maka akan terjadi dilatasi. Selain itu nimodipine juga memiliki efek neuroprotektif dengan mencegah masuknya kalsium ke dalam sel neuron yang dapat menyebabkan kematian sel Apabila vasospasme telah terjadi maka terapi yang dapat diberikan adalah terapi hipervolemi, hipertensi, dan hemodilusi atau dikenal dengan teknik 3H. Pada saat terjadi perdarahan subaraknoid maka sering juga ditemukan gangguan autoregulasi otak . Hal ini menyebabkan aliran darah otak (CBF) menjadi tergantung dengan tekanan dan viskositas darah, Teknik ini bertujuan untuk meningkatkan curah jantung, memperbaiki karakteristik darah,dan meningkatkan cerebral perfussion preassure (CPP) dengan tujuan mencukupkan aliran darah ke otak. Terapi ini sendiri masih menjadi kontroversi dan masih terus diselediki efikasi. Studi miliki Dankbaaar dan rekan menyimpulkan bahwa belum ada bukti yang meyakinkan bahwa terapi 3H ini dapat meningkatkan aliran darah otak.16 Namun induksi dari hipertensi dengan atau tanpa hipervolemia menunjukkan hasil yang menjanjikan untuk memperbaiki aliran darah otak.16

Sekarang para ahli tengah mengembangkan efek dari masing-masing komponen terhadap

Penatalaksanaan Anastesi pada Ruptur Aneurisma

Page 51: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

50 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

perfusi otak. Salah satu studi terbaru, milik Raabe dan rekan menemukan bahwa peningkatan tekanan darah berhubungan dengan peningkatan oksigenasi otak dengan komplikasi yang relatif rendah. Di sisi lain hipervolemia memiliki hubungan yang kurang kuat dengan perbaikan oksigenasi namun meningkatkan angka komplikasi. Komplikasi yang terjadi antara lain hiponatremia, edema pulmonal, aritmia jantung, hingga perburukan edema otak. Hasil serupa juga ditemukan oleh Kim dan rekan. Dari hasil ini direkomendasikan bahwa tujuan dari terapi adalah mencoba mempertahankan euvolemia.14 Perlu diingat bahwa pasien dengan SAH memiliki kecenderungan untuk mengalami hipovolemia karena perdarahan yang terjadi, gangguan hipotalamus dan sekresi peptide natriuretik.

Peningkatan tekanan darah hingga 150–175mmHg ditemukan meningkatkan aliran darah ke otak, dan oksigenasinya. Diperkirakan augmentasi tekanan darah adalah salah satu komponen paling penting dari terapi 3H ini. Peningkatan tekanan darah dapat dilakukan dengan memberikan vasopressor yang sesuai.14 Terapi potensial lainnya adalah dengan memperbaiki curah jantung/cardiac output (CO). Dengan CO yang baik diharapkan maka defisit aliran darah dapat tertutup.20 Penggunaan inotropik positif dapat dipertimbangkan apabila peningkatan tekanan

CBF: Cerebral Blood Flow, CMRO2, ICP: Intracranial PressureDikutip dari Priebe. Aneurysma subarachnoid haemorrage and the anaesthesiologist.

Tabel 4. Pilihan Obat dalam Anastesi AneurismaDrug CBF CMRO2 ICP

Volatile anaestheticsIsoflurane ↑/↑↑ ↓↓↓ ↑Sevoflurane ↓/Ø ↓↓↓ Ø/↑Desflurane ↑/↑↑ ↓↓↓ Ø/↑N2O ↑/↑↑ ↑/↑↑ ↑/↑↑I.v. anaestheticsBarbiturates ↓↓/↓↓↓ ↓↓↓ ↓↓/↓↓↓Etomi date ↓↓/↓↓↓ ↓↓↓ ↓↓/↓↓↓Propofol ↓↓/↓↓↓ ↓↓↓ ↓↓/↓↓↓Benzodiazepines ↓/↓↓ ↓/↓↓ /↓Opioids Ø/↓ Ø/↓ Ø/↑

darah tidak memperbaiki keadaan. Hemodilusi pada awalanya diperkirakan dapat memperbaiki komponen rheologi. Namun penurunan Hb akibat hemodilusi menyebabakn perburukan keluaran. Kadang terapi ini menyebabkan anemia berat hingga membutuhkan transfusi.20 Hemodilusi tidak lagi disarankan, kecuali pada kasus dengan eritrositemia.

Perdarahan subaraknoid juga menyebabkan efek sistemik. Pertama adalah efek kardiovaskular, berupa keluaran berlebihan simpatis yang dapat menyebabkan hipertensi, infark miokard, perubahan segmen ST, gangguan irama, dan edema pulmoner neurogenik.12 Efek ini tidak memiliki penangan khusus dan biasanya jarang membutuhkan pemantauan lebih lanjut. Terjadi juga perubahan volume intravaskular dan elektrolit. Pasien akan mengalami penurunan volume intravaskular akibat dari tirah baring, diuresis, dan stres. Gangguan elektrolit yang sering muncul berupa hiponatremi, hipokalemi, dan hipokalsemi.12

Pada pasien kemungkinan terapi baru dilakukan pada hari ke-14, sehingga memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami perdarahan ulang, iskemia otak awitan lambat (delayed cerebral ischemia) dan keluaran buruk. Dari data yang terkumpul pasien mengalami komplikasi berupa spasme dibuktikan dari CT-angiografi, dan hydrocephalus karena adanya ventrikulomegali. Efek sistemik lainnya tidak ditemukan. Sehingga pasien sebaiknya diberikan nimodipine untuk mencegah kemungkinan perburukan akibat delayed cerebral ischemia. Pada pasien diberikan drip nimotop IV, sehingga perlu diperhatikan efek samping berupa penurunan tekanan darah. Hal ini menjadi penting karena telah terjadi vasospasme pada pasien.

Manajemen AnastesiaTujuan tatalaksana anestesia pada pasien dengan SAH adalah (1) mengkontrol tekanan transmural aneurisma, (2) memelihara cerebral perfusion pressure (CPP) adekuat, (3) menghindari perubahan mendadak dari tekanan intrakranial, (4) proteksi dari otak saat terjadi periode iskemik, (5) penyediaan kondisi operasi yang paling

Page 52: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

51

optimal dengan brain retraction yang paling kecil serta (6) pasien dapat disadarkan secepatanya. Fokus pertama dan kedua agak sedikit bertolak belakang. Hal ini disebabakan tekanan transmural aneurisma/ transmural pressure gradient (TMP) dan CPP memiliki persamaan yang sama yaitu selisih antara tekanan dalam arteri dan luar arteri atau MAP-TIK. Hal tersebut menigkatkan dilema dari manajemen tekanan darah dan terapi cairan, karena di satu sisi diharapkan terjadi penurunan TMP, namun di sisi lain CPP harus dipertahankan ditambah lagi dengan adanya premorbid berupa hipertensi menahun.

Manajemen AnestesiaTujuan tatalaksana anestesia pada pasien dengan SAH adalah (1) mengkontrol tekanan transmural aneurisma, (2) memelihara cerebral perfusion pressure (CPP) adekuat, (3) menghindari perubahan mendadak dari tekanan intrakranial, (4) proteksi dari otak saat terjadi periode iskemik, (5) penyediaan kondisi operasi yang paling optimal dengan brain retraction yang paling kecil serta (6) pasien dapat disadarkan secepatanya. Fokus pertama dan kedua agak sedikit bertolak belakang. Hal ini disebabakan tekanan transmural aneurisma/transmural pressure gradient (TMP) dan CPP memiliki persamaan yang sama yaitu selisih antara tekanan dalam arteri dan luar arteri atau MAP-TIK. Hal tersebut menigkatkan dilema dari manajemen tekanan darah dan terapi cairan, karena di satu sisi diharapkan terjadi penurunan TMP, namun di sisi lain CPP harus dipertahankan ditambah lagi dengan adanya premorbid berupa hipertensi menahun.

PraoperatifPerdarahan subaraknoid dapat menyebabkan berbagai komplikasi sehingga harus dilakukan pemeriksaan seksama. Pemeriksaan minimal berupa EKG dan elektrolit darah. Perubahan EKG yang terjadi dapat berupa tanda jejas miokardial atau akibat dari ganguan elektrolit yang dialami. Jejas miokardial ini dapat bersifat neurogenik atau murni karena terjadinya iskemia. Untuk membedakan keduanya dapat dilakukan pemeriksaan enzim jantung berupa troponin. Troponin yang meningkatan merupakan salah satu prediktor keluaran yang buruk, karena

menggambarkan iskemia yang disebabkan oleh gangguan hemodinamik.9,12 Foto polos toraks dan echocardiography juga dapat diperiksakan bila ada kecurigaan tinggi adanya gagal jantung neurogenik.12

Pada masa praoperasi harus diperiksakan status neurologis, komorbid, dan komplikasi SAH. Hal ini akan menentukan penatalaksanaan selanjutnya, karena tingkat klinis pasien berkorelasi baik dengan tekanan intrakranial (TIK).12 Pada Hunt dan Hess I dan II, biasanya memiliki tekanan intrakranial normal dengan autoregulasi yang intak, dan respon yang normal terhadap hiperventilasi. Pada kelas III dan IV, biasanya telah terjadi peningkatakan TIK sehingga terjadinya gangguan autoregulasi dan reaktivitas terhadap CO2.

12

Pada operasi ruptur aneurisma biasanya tidak dibutuhkan premedikasi, karena pasien sering dalam keadaan tidak sadar. Namun pada pasien-pasien sadar, premedikasi tetap harus diperhatikan apabila pasien terlihat cemas. Hal ini berkaitan dengan risiko meningkatnya tekanan darah. Penggunaan premedikasi juga harus berhati-hati karena dapat menimbulkan depresi nafas yang akan meningkatkan PaCO2 yang kemudian meningkatkan TIK. Administrasi nimodipine sangat dianjurkan untuk mempertahankan CPP.Pemantauan standar terdiri dari EKG 5 lead, intra-arterial preassure, pulseoksimetri, kapnografi, urin, suhu tubuh dan status neuromuskular. CVP juga dipasang sebagai panduan pemberian cairan, serta akses vena sentral. Sebaiknya kateter vena sentral tidak dipasang pada V.Jugular atau V. Subklavia pada pasien dengan peningkatan TIK. Pilihan lokasi lainnya adalah V. Femoral atau V. Basilika. Ini dikaitkan dengan posisi pemasangan yang dapat meningkatkan TIK. Pada kasus khusus seperti pada orang tua, atau dengan komorbid kardiorespirasi maka dapat dipasang kateter arteri pulmonal atau transesofageal echocardiography.9 Selama masa paoperatif pasien terlihat stabil dengan tekanan darah terkontrol. Terkesan tidak terjadi perburukan. Dari hasil pemeriksaan fisik dan penunjang tidak ditemukan komplikasi sistemik lainnya. Sehingga pemantauan yang diperlukan hanya berupa EKG, pulseoksimetri, urin, dan suhu. Pemasangan akses arterial dapat

Penatalaksanaan Anastesi pada Ruptur Aneurisma

Page 53: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

52 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

ditunda untuk menurunkan stimulus nyeri.PraoperatifPerdarahan subaraknoid dapat menyebabkan berbagai komplikasi sehingga harus dilakukan pemeriksaan seksama. Pemeriksaan minimal berupa EKG dan elektrolit darah. Perubahan EKG yang terjadi dapat berupa tanda jejas miokardial atau akibat dari ganguan elektrolit yang dialami. Jejas miokardial ini dapat bersifat neurogenik atau murni karena terjadinya iskemia. Untuk membedakan keduanya dapat dilakukan pemeriksaan enzim jantung berupa troponin. Troponin yang meningkatan merupakan salah satu prediktor keluaran yang buruk, karena menggambarkan iskemia yang disebabkan oleh gangguan hemodinamik.9,12 Foto polos toraks dan echocardiography juga dapat diperiksakan bila ada kecurigaan tinggi adanya gagal jantung neurogenik.12

Pada masa praoperasi harus diperiksakan status neurologis, komorbid, dan komplikasi SAH. Hal ini akan menentukan penatalaksanaan selanjutnya, karena tingkat klinis pasien berkorelasi baik dengan tekanan intrakranial (TIK).12 Pada Hunt dan Hess I dan II, biasanya memiliki tekanan intrakranial normal dengan autoregulasi yang intak, dan respon yang normal terhadap hiperventilasi. Pada kelas III dan IV, biasanya telah terjadi peningkatakan TIK sehingga terjadinya gangguan autoregulasi dan reaktivitas terhadap CO2.

12

Pada operasi ruptur aneurisma biasanya tidak dibutuhkan premedikasi, karena pasien sering dalam keadaan tidak sadar. Namun pada pasien-pasien sadar, premedikasi tetap harus diperhatikan apabila pasien terlihat cemas. Hal ini berkaitan dengan risiko meningkatnya tekanan darah. Penggunaan premedikasi juga harus berhati-hati karena dapat menimbulkan depresi nafas yang akan meningkatkan PaCO2 yang kemudian meningkatkan TIK. Administrasi nimodipine sangat dianjurkan untuk mempertahankan CPP.Pemantauan standar terdiri dari EKG 5 lead, tekanan darah arterial arterial pressure, pulseoksimetri, kapnografi, urin, suhu tubuh dan status neuromuskular. CVP juga dipasang sebagai panduan pemberian cairan, serta akses vena sentral (untuk manitol). Sebaiknya kateter

vena sentral tidak dipasang pada V.Jugular atau V. Subklavia pada pasien dengan peningkatan TIK. Pilihan lokasi lainnya adalah V. Femoral atau V. Basilika. Pada kasus khusus seperti pada orang tua, atau dengan komorbid kardiorespirasi maka dapat dipasang kateter arteri pulmonal atau transesofageal echocardiography.9

Selama masa praoperatif pasien terlihat stabil dengan tekanan darah terkontrol. Terkesan tidak terjadi perburukan. Dari hasil pemeriksaan fisik dan penunjang tidak ditemukan komplikasi sistemik lainnya. Sehingga pemantauan yang diperlukan hanya berupa EKG, pulseoksimetri, urin, dan suhu. Pemasangan akses arterial dapat ditunda untuk menurunkan stimulus nyeri.

IntraoperatifTujuan utama pada operasi aneurisma adalah menghindari peningkatan tekanan darah mendadak selama operasi . Obat induksi tidak disarankan ketamin karena efek peningkatan tekanan darahnya. Pilihan agen induksi, yang paling sering digunakan adalah propofol atau thiopental bersamaan dengan opioid dan non-depolarizing muscle relaxants.12 Terdapat beberapa metode untuk induksi pasien dengan anuerisma. Pertama adalah dengan menargetkan tekanan darah turun 20% dari tekanan darah awal, kemudian diikuti dengan adminitrasi obat-obatan cardiodepresant saat akan diberikan stimulasi. Kedua adalah dengan memberikan anestesi dalam kemudian diikuti dengan administrasi obat-obatan vasopresor apabila tekanan darah terlalu rendah. Pendekatan lainnya adalah dengan mencoba menyeimbangkan CPP berdasarkan klinis. Pasien dengan Hunt dan Hess derajat I dan II biasanya dapat mentoleransi perubahan CPP lebih dari 20% tanpa memberikan gejala iskemik, hal ini berbeda dengan pasien dalam keadaan klinis buruk.Selama operasi terdapat beberapa stimulus yang dapat meningkatkan tekanan darah seperti intubasi, positioning pasien penempatan head-pin dan pengangkatan tulang. Sehingga pelaksanaanya dilakukan saat telah tercapai kedalaman anestesi yang cukup, paralisis penuh dan tekanan darah yang diinginkan tercapai. Apabila perlu dapat dilakukan infiltrasi pada

Page 54: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

53

daerah yang akan diberikan pin.12 Namun deep level anesthesia secara terus-menerus dapat meningkatan risiko hipotensi dan CPP inadekuat saat stimulus poten tersebut hilang. Alternatifnya adalah dengan memeberikan bolus anastesi (propofol atau thiopental) atau bolus cardiovascular depressant (esmolol, labetolol) yang akan menumpulkan respon hipertensi pada stimuli yang intens. Saat duramater sudah dibuka maka hampir tidak ada stimulus intens yang dapat terjadi. Tekanan darah dapat saja turun. Pada situasi ini anastesi tidak boleh diturunkan semata-mata untuk meningkatkan tekanan darah. Hipotensi dapat dicegah atau diatasi dengan melakukan ekslusi keadaan hipovolemi atau menambahkan obat-obatan vasokatif.Untuk pemeliharaan dapat diberikan kombinasi berbagi macam agen yang tujuan mempertahankan kedalaman anastesi, blok neuromuskular, mengontrol tekanan darah, mempertahankan TIK dan relaksasi otak optimal. Penggunaan agen volatil dan N2O dihindari karena efeknya yang menyebabkan vasodilatasi serebri. Namun penggunaanya dalam dosis rendah (<1MAC) masih dapat diterima karena efek vasokontriksi kompensatori akibat dari penurunan laju metabolik otak. Utamakan penggunaan agen dengan karakter cerebro-vasocontricive dan cerebro-depressant (pada dasarnya semua anastesi IV kecuali ketamin) ditambah dengan agen neuromuskular blocking. Sehingga metode total intravenous anesthesia (TIVA) menjadi pilihan apabila tekanan intrakranial sangat tinggi. Pilihan obat dapat dilihat pada Tabel 4.

Target pernafasan adalah normoventilasi. Hiperventilasi ringan dan transient dapat diberikan pada pasien dengan peningkatan TIK. Peningkatan tekanan ispirasi puncak (peak inspiratory pressure/PIP) dapat menyebabkan peningkatan TIK lewat naiknya tekanan vena otak serta gangguan drainase vena. Sehingga tekanan tersebut harus diperhatikan pada pasien dengan peningkatan TIK.Sesaat sebelum operasi pada pasien terjadi peningkatan tekanan darah hingga 160/100mmHg dengan nadi dan nafas normal, sehingga kemungkinan penyebabnya adalah ansietas. Pasien kemudian diberikan premedikasi

berupa midazolam 2 mg (IV) sebagai ansiolitik, sedangkan ranitidine digunakan untuk mencegah terjadinya ulkus stress lambung dan perdarahan saluran cerna. Pasca premedikasi tekanan darah kembali ke 100/70mmHg.Induksi anestesia dilakukan dengan propofol dan dengan pelumpuh otot vecuronium. Pada pemeliharaan anestesia ditambahkan sevoflurane. Sevoflurane ditambahkan untuk mengurangi dosis propofol sehingga efek samping dapat ditekan. Pasien menggunakan pendekatan kedua yang tekanan darah dikontrol dengan nicardipine drip. Esmolol dan nicardipine sama sama dapat digunakan karena keduanya dapat dititrasi dengan mudah. Perlu dicermati bahwa nicardipine dapat meningkatkan aliran darah otak dengan efek hipotensi yang lebih panjang. Pascaoperasi perlu diperhatikan pemantauan tekanan darah pasien. Selama operasi, massa otak perlu dikurangi untuk meningkatkan lapang pandang operasi, mengurangi retraksi, dan pada fase terpentingnya; memfasilitasi clipping aneurisma. Cara yang dipakai antara lain dengan mannitol IV 0.5–1gram/jg, kadang dikombinasikan dengan furosemide (10–20mg IV). Dapat juga dilakukan drainase cairan cerebrospinal yang dilakukan perlahan untuk menghindari herniasi dan perubahan hemodinamik.12 Manitol akan memberikan efek maksimal dalam menurunkan TIK 30–45 menit. Administrasi manitol biasanya akan menyebabkan perubahan hemodinamik transien berupa hipotensi, peningkatan curah jantung, cardiac filling pressure dan volume darah. Efek ini akan meningkatkan sedikit TIK. Hal ini dapat dikompensasi dengan hiperventilasi ringan pada pasien dengan risiko tinggi. Di sisi lain karena manitol dapat menurunkan TIK secara cepat, maka dapat terjadi peningkatan TMPG. Oleh karena itu manitol dosis tinggi biasanya diberikan setelah dura terbuka.9

Furosemide adalah pilihan lain untuk menurunkan kandungan cairan dalam otak. Cara kerjanya tidak berhubungan dengan efek diuretiknya, diperkirakan akibat penurunan pembentukan cairan cerebrospinal, dan pergerakan ion dari blood brain barrier. Pilihan ini menjadi penting pada pasien dengan gangguan kardiorespirasi, karena mengurangi risiko hipervolemia dari pemberian

Penatalaksanaan Anastesi pada Ruptur Aneurisma

Page 55: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

54 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

manitol. Penggunaan furosemide bersamaan dengan manitol akan memperpanjang efek terapi karena sifat furosemide yang menurunkan osmolalitas serum. Namun kombinasi keduanya diasosiasikan dengan kehilangan cairan dan elektrolit yang lebih besar sehingga membutuhkan pemantauan yang lebih ketat. Karena osmolalitas dan status kardiopulmoner pasien baik, maka untuk mengurangi masa otak dapat diberikan manitol tanpa kombinasi.Saat akan dilakukan clipping maka tekanan darah diturunkan untuk mengurangi tekanan pada dinding leher aneurisma dengan tujuan mempermudah clipping dan membantu kontrol perdarahan. Sekarang banyak ahli bedah saraf yang memilih menggunakkan hipotensi lokal, yaitu dengan temporary clipping sementara dibanding hipotensi sistemik. Hal ini disebabkan karena hipotensi sistemik dapat menyebabkan terjadinya gangguan perfusi otak dan vasospasme yang berujung buruknya hasil keluaran. Clipping sementara dilakukan pada feeding artery dan tidak boleh lebih dari 15–20 menit, karena dapat menyebabkan iskemia otak. Pada saat clipping tekanan darah dipertahankan sedikit diatas rata rata tekanan darah.Tidak semua operator terbiasa dengan temporary clipping. Pada beberapa kasus induksi hipotensi global tetap menjadi pilihan. Tujuannya adalah menurunkan CPP tanpa secara signifikan menurunkan CBF. Hal ini bisa dicapai dengan memanfaatkan autoregulasi otak. Untuk mencapai tahap ini maka terdapat beberapa cara yang dapat dipakai yaitu modifikasi posisi, ventilasi, dan penggunaan obat-obatan. Salah satu agen yang disarankan adalah sodium nitropruside. Agen ini dipilih karena salah satu agen hipotensi kerja cepat.Neuroproteksi bertujuan untuk mengurangi efek dari DCI. Salah satu cara yang terbukti adalah dengan hipotermia ringan 330C12, namun hal ini tidak terbukti bermanfaat. Di pusat lain digunakan barbiturate atau propofol untuk menekan lonjakan gambaran EEG.terapi karena sifat furosemide yang menurunkan osmolalitas serum. Namun kombinasi keduanya diasosiasikan dengan kehilangan cairan dan elektrolit yang lebih besar sehingga membutuhkan pemantauan yang lebih ketat. Karena osmolalitas

dan status kardiopulmoner pasien baik, maka untuk mengurangi masa otak dapat diberikan manitol tanpa kombinasi.Saat akan dilakukan clipping maka tekanan darah diturunkan untuk mengurangi tekanan pada dinding leher aneurisma dengan tujuan mempermudah clipping dan membantu kontrol perdarahan. Sekarang banyak ahli bedah syaraf yang memilih menggunakkan hipotensi lokal, yaitu dengan clipping sementara dibading hipotensi sistemik. Hal ini disebabkan karena hipotensi sistemik dapat menyebabkan terjadinya gangguan perfusi otak, vasospasme dan buruknya hasil keluaran. Clipping sementara dilakukan pada feeding artery dan tidak boleh lebih dari 15–20 menit, karena dapat menyebabkan iskemia. Pada saat clipping tekanan darah dipertahankan sedikit diatas rata rata tekanan darah.

Neuroproteksi bertujuan untuk mengurangi efek dari DCI. Salah satu cara yang terbukti adalah dengan hipotermia ringan 330C12, namu hal ini tidak terbukti bermanfaat. Di pusat lain digunakan barbiturate atau propofol untuk menekan lonjakan gambaran EEG.

PascaoperatifPeningkatan tekanan darah sering muncul saat efek anestesia hilang. Hipertensi ringan dapat meningkatkan perfusi otak sehingga menguntungkan, terutama untuk pasien dengan vasospasme.12 Ditargetkan tekanan darah >20% dari tekanan darah biasa, dan tetap dikontrol dengan anti-hipertensi kerja cepat (labetolol, esmolol, atau hydralazine). Karena peningkatan tekanan darah yang berlebihan dapat meningkatkan risiko dari perdarahan ulang.12 Pasien diusahakan sadar secepatnya, agar dapat dilakukan pemeriksaan neurologis. Apabila terjadi keterlambatan kembalinya kesadaran, atau muncul defisit neurologis saat pasien sadar maka segera lakukan CT-Scan atau angiografi untuk menyingkirkan hematoma intraserebral atau sumbatan pada pembuluh darah. Teknik pasien disadarkan secepatnya harus diimbangi dengan analgesia yang adekuat. Analgesik yang sering dipakai adalah IV paracetamol, dan kodein. Paracetamol 1 gram IV diberikan secara kontinu dimulai intraoperatif dan diulang

Page 56: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

55

tiap 6–8 jam. Penggunaan opioid kerja panjang harus dipertimbangkan efek depresi nafasnya. Dapat juga ditambahkan anti-mual, seperti ondansentron, pada kelompok risiko tinggi.

IV. Simpulan

Penatalaksanaan anastesi pada pasien dengan ruptur aneurisma memiliki beberapa tantangan. Terutama dalam hal mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak, namun tidak meningkatkan kemungkinan terjadinya ruptur lebih lanjut. Selain itu perlu juga diperhatikan komplikasi berupa vasospasme yang dapat menimbulkan kematian. Dengan management anastesi yang baik, maka keluran pasien dapat meningkat

Daftar Pustaka

1. Iwamoto H, Kiyohara LY, Fujishima M, Kato I, Nakayama K, Suieishi K, T, et al. Prevalence of intracranial sacular aneurysm in a Japanese community base on consecutive autopsy series during 30 years of observation period. Stroke. 1999; 30;1390–5

2. Kellner C. Evaluation of revised scale for the prediction of long term outcome in poor-grade aneursymal subarachnoid hemorrhage undergoing operative repair. [Article form the internet]. Available form http://www.biomath.info/Protocols/Duke/docs/KellnerChristopher.pdf. Accessed at 11 August 2015

3. Sriganesh K, Venkataramaiah S. Concerns and chalanges during anesthetic management of aneurysmal subarachnoid haemorhage. Saudi J Anaesth:2015;9, 306–13

4. Higashida RT. What You should know about cerebral aneurysm. American Stroke Assocation. Available form http://www.uic.edu/depts/dhd/ilcapture/stroke/stroke/Aneurysm%20info.pdf?identifier=4457, Accessed at 11 August 2015

5. Vega C, Kwoon J, Lavine SD. Intracranial

aneurysms: current evidence and clinical practice. American Family Physcian. 2002; 601–9

6. Rinkel GJE, Djibuti M, Algra A, Gijn J. Prevalance and risk of rupture of intracranial aneursym.http://stroke.ahajournals.org/content/29/1/251.full. Stroke. 1998;29:251–6

7. Steiner T, Juvela S, Unterberg A, Jung C. European stroke organization guidelines for the management of intracranial aneursyms and subarachonid haemorhage.Cerebrovasc.2013;35:93–112

8. van Heuven AW, Dorhour Mees SM, Algra A, Rinkel GJ, et al. Validation of prognostic subarachnoid hemorrhage grading scale derived directly from the glasgow coma scale. Stroke.2008.[serial on the internet].available at http://stroke.ahajournals.org/content/early/2008/02/28/STROKEAHA.107.498345.full.pdf. About 3 Pages.Accessed at 11 August 2015.; 39(4):1347–8.

9. Priebe. Aneurysma subarachnoid haemorrhage and the anaesthesiologist. Br J Anaesth. 2007;99: 102–18

10. Bederson JB. Guidelines for the management of aneurysmal subarachnoid hemorrhage. Stroke. 2009;40:994–1025

11. Dorhout MSM, Molyneux AJ, Kerr RS, Algra A, Relationship with delayed cerebral ischemia and poor outcome

12. Sanne M, Mees D, Molyneux AJ, Kerr RS, Algra A, Rinkel GJ. Timing of aneurysm treatment after subarachnoid hemorrage: relationship with delayed cerebral ischemia and poor outcome. Stroke. 2012;42:2126–9

13. Mess D, Rinkel GJ, Feigin VL, et.al. Calcium antagonist for aneurysmla subarachnoid haemorrhage. Cochrane database syst rev. 2007.; 18 (3); CD000277

Penatalaksanaan Anastesi pada Ruptur Aneurisma

Page 57: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

56 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

14. Webb A, Samuels O. Subarachnoid Hemorrhage. [serial on the internet].Neurocritical care Society Pactice Update. Available at http://www.neurocriticalcare.org/sites/default/files/pdfs/03.1.SAH.Final.pdf.

15. Diringer MN, Bleck TP, Hemphil JC, et.al. Critical care management of patients following aneursymal subarachnoid hemorrhage: recommendation from the neurocritical care society multidisplinary consensus conference. Neurocrit care. 2011; 15;211–40

16. Meyer JS, Takashima S, Terayama Y. Calcium channel blockers prevent delayed cerebral ischemia after intracranial subarachnoid hemorrhage. Cerebral Ischemia and Basic Mechanism. 1994; 114–24

17. Dankbaar JW, Slooter AJC, Rinkel GJE. Effect of different component of triple-H therapy on cerebral perfusion in patient with aneurismal subarachnoid haemorrhage: a systematic review.Critical Care 2010. 14;r23

18. Gelb AW. Anesthesia and subarachnoid

hemorrhage. Revista Mexicana de Anestesiologia. 2009; 168–72

19. Raabe A, Beck J, Keller M, Zimmermann M, Seifert V, et al. Relative importance of hypertension compared with hypervolemia for increasing cerebral oxygenation in patients with cerebral vasospasm after subarachnoid hemorrhage. J Neurosurg 2005;103:974– 81

20. Kim DH, Joseph M, Ziadi S, Nates J, Dannenbaum M, Metal M. Increases in cardiac output can reverse flow deficits from vasospasm independent of blood pressure: a study using xenon computed tomographic measurement of cerebral blood flow. Neurosurgery 2003; 53:1044–105

Page 58: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

57

Penatalaksanaan Anestesi Subarachnoid Hemoragik pada Ibu Hamil

Rebecca Sidhapramudita Mangastuti*), Dewi Yulianti Bisri**), Bambang J. Oetoro***), Siti Chasnak Saleh****)

*)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Rumah Sakit Mayapada Lebak Bulus, Jakarta Selatan, **)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran-RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, ***)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Atmajaya Rumah Sakit Mayapada Jakarta, ****Departemen Anestesiologi & Reanimasi Fakultas Kedokteran Airlangga-RSUD Dr. Soetomo Surabaya

Abstrak

Subarachnoid hemorrhage (SAH) non traumatic pada wanita hamil, umumnya disebabkan oleh ruptur aneurisma atau arteriovenous malformation (AVM). Hipertensi pada pre eklampsi berat (PEB) dan eklampsi merupakan penyebab tersering. Gejala klinis SAH umumnya adalah nyeri kepala hebat, pandangan kabur, photofobia, mual, muntah, hingga penurunan kesadaran. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti computed tomography (CT-scan)/magnetic resonance imaging (MRI), computed tomographic angiography (CTA), magnetic resonance angiography (MRA), catheter angiography. Wanita hamil dengan aneurisma serebral menunjukkan perbaikan survival untuk ibu dan fetus bila clipping dilakukan setelah SAH dibandingkan dengan pengelolaan tanpa pembedahan. Reseksi AVM yang tidak pecah dapat ditunda sampai setelah melahirkan tanpa menunjukkan adanya peningkatan mortalitas ibu. Pertimbangan anestesi pada wanita hamil dengan SAH adalah keselamatan ibu dan fetus. Penurunan dari tekanan rerata ibu atau peningkatan resistensi vascular uterus akan menurunkan aliran darah uteroplasental sehingga menurunkan aliran darah umbilical yang akan membahayakan fetus. Pemberian cairan, manitol, tehnik hipotermi dan obat-obatan harus dipertimbangkan agar tidak membahayakan fetus. Pasca tindakan clipping aneurisma dilakukan triple H terapi yaitu hipertensi, hipervolemi dan hemodilusi. Prognosis ibu hamil dengan SAH sesuai dengan skala Hunt dan Hess. Makin rendah skala, makin rendah pula angka morbiditas dan mortalitas.

Kata kunci: anestesi, ruptur aneurisma, subarachnoid hemorrhage, wanita hamil

JNI 2016;5(1): 57–67

Management Anesthesia for Pregnant Women with Subrachnoid Hemorrhage

Abstract

Non traumatic subarachnoid hemorrhage (SAH) in pregnant women, generally caused by a ruptured aneurysm or arteriovenous malformation (AVM). Severe hypertension in pre eclampsia (PEB) and eclampsia are common causes. Clinical symptoms of SAH are severe headache, blurred vision, photofobia, nausea, vomiting, loss of consciousness. Diagnois is based on anamnesis, physical examination and computed tomography (CT scan) / magnetic resonance imaging (MRI), computed tomographic angiography (CTA), magnetic resonance angiography (MRA), catheter angiography. Pregnant women with cerebral aneurysms showed improved survival for both mother and fetus when clipping is done after SAH, compared with nonsurgical management. Unrupture AVM resection can be delayed until delivery, and not increased maternal mortality. Consideration of anesthesia in pregnant women with SAH is the safety of the mother and fetus. A decresase of pressure or increase in mean maternal vascullar resistance will decrease uteroplacental blood flow resulting in lower umbilical blood flow which would endanger the fetus. Fluid, mannitol, hypothermia techniques and preoperative, intraoperative and postoperative medicine should be considered, in order not to endanger the mother and fetus. Post aneurysma clipping, perfomed triple H therapy, hypertension, hipervolemik and hemodilution. The prognosis according to Hunt & Hess scale, ie the lower the scale, the lower the rate of morbidity and mortality Key words: anesthesia, rupture aneurysm, pregnant women, subarachnoid hemorrhage

JNI 2016;5(1): 57–67

Page 59: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

58 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan

Subarachnoid hemorrhage (SAH) adalah perdarahan yang terjadi didalam ruang subarachnoid. SAH terjadi pada 6–11 dari 100.000 orang pertahun. 50-80% penyebab SAH adalah rupture aneurisma atau arteriovenous malformation (AVM). Wanita memiliki resiko lebih tinggi terkena SAH dibandingkan pria, dengan usia penderita, 50 – 60 tahun.1-5

Confidential Enquiry into Maternal Death, United Kingdom pada tahun 2003–2004, mengindenfikasi 4% kematian ibu hamil disebabkan oleh SAH. Penelitian Dias dan Sekhar tahun 1990 terhadap kematian SAH selama kehamilan, didapatkan perbandingan penyebab aneurysma dan AVM 3:1. Penyebab lain adalah hypertensive intracerebral hemorrhage, vaskulitis dan bacterial endocarditis.1-5 Craniotomi pada wanita hamil dengan SAH beresiko terhadap ibu dan fetus. Pengakhiran kehamilan dengan seksio saesarea dilakukan setelah 32 minggu, dengan pertimbangan survival rate fetus tinggi untuk usia kehamilan diatas 32 minggu. Tehnik anestesi yang digunakan general anestesi dengan pemilihan obat dan dosis yang tidak membahayakan ibu dan fetus.3-6

II. Perubahan Fisiologi Ibu pada Kehamilan

Berat badan dan komposisiBerat badan (BB) ibu hamil akan meningkat rata-rata 17% dari BB sebelum hamil atau kira-kira 12 kg. Penambahan BB diakibatkan oleh peningkatan ukuran uterus dan isi uterus (uterus 1 kg, cairan amnion 1 kg, fetus dan plasenta 4 kg, peningkatan volume darah dan cairan interstitial (masing-masing 2 kg), dan lemak serta protein kira-kira 4 kg. 3-6 Peningkatan BB pada trisemester pertama 1–2 kg, dan 5–6 kg pada trisemester 2 dan 3. Peningkatan BB ini menyebabkan komsumsi

oksigen meningkat, sehingga harus diberikan oksigen sebelum induksi dengan anestesi umum. Penambahan BB dan penambahan besar buah dada, dapat menimbulkan kesulitan intubasi.3-8

Sistim RespirasiPerubahan pada parameter respirasi, terjadi pada minggu ke-4 kehamilan. Konsumsi oksigen meningkat 60% selama kehamilan. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan metabolik fetus, uterus dan plasenta dan sekunder oleh kenaikan kerja jantung dan paru. Ventilasi semenit meningkat pada kehamilan aterm kira-kira 45% diatas nilai waktu tidak hamil. Peningkatan volume semenit disebabkan karena peningkatan volume tidal (45%), sedangkan frekuensi nafas tidak berubah. Ventilasi alveoli meningkat 45%, seperti peningkatan volume tidal, tetapi dead space meningkat 45%.3-8 PaCO2 menurun sampai 30 mmHg pada kehamilan 12 minggu dan menetap sampai kehamilan aterm. Peningkatan hormon progesteron selama kehamilan menurunkan ambang pusat nafas di medulla oblongata terhadap CO2.

3-8 Pada kehamilan aterm, functional residual capacity (FRC), expiratory reserve volume (ERV) dan residual volume (RV) menurun. Perubahan ini disebabkan karena diafragma terdorong keatas oleh uterus yang gravid. FRC menurun 15–20%, menimbulkan peningkatan shunt dan kurangnya cadangan oksigen.3-9

Penurunan FRC, peningkatan ventilasi semenit, juga penurunan minimum alveolar concentration (MAC), menyebabkan ibu hamil lebih mudah dipengaruhi obat anestesi inhalasi daripada ibu tidak hamil. Cepatnya induksi dengan obat anestesi inhalasi karena hipeventilasi akan menyebabkan lebih banyak gas anestesi yang masuk ke alveoli; pengenceran gas anestesi lebih sedikit karena menurunnya FR dan

Tidak Hamil Trisemester 1 Trisemester 2 Trisemester 3Pa CO2 (mmHg) 40 30 30 30Pa O2 (mmHg) 100 107 105 103pH 7,40 7,40 7,44 7,44HCO3 – (mEq/L) 24 21 20 20

Tabel 1. Analisa Gas Darah (AGD) selama kehamilan 8

Page 60: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

59 Penatalaksanaan Anestesi Subarachnoid Hemoragik pada Ibu Hamil

MAC menurun pada ibu hamil.3-10 Pada kala 1 persalinan, dapat terjadi hiperventilasi, ventilasi akan meningkat 70–140%. Pada kala 2, ventilasi semenit meningkat 120–200%. PaCO2 menurun 10-15 mmHg dan dapat menimbulkan asidosis fetal. Konsumsi oksigen akan meningkat 40% diatas normal sebelum persalinan pada kala 1 dan meningkat 75% pada kala 2.7–9 Volume darah ibu meningkat selama kehamilan, dimulai pada trisemester pertama 15% dan meningkat dengan cepat pada trisemester kedua 50% dan trisemester ketiga 55%, termasuk peningkatan volume plasma, sel darah merah dan sel darah putih. Volume plasma meningkat 40–50%, sel darah merah meningkat 15–20% yang menyebabkan terjadinya anemia fisiologis. Akibat hemodilusi, viskositas darah menurun kurang lebih 20%.3-9

Peningkatan volume darah mempunyai beberapa fungsi penting untuk memelihara kebutuhan peningkatan sirkulasi karena ada pembesaran uterus dan unit feto-placenta, mengisi peningakatan reservoir vena, melindungi ibu dari perdarahan pada saat melahirkan dan selama kehamilan ibu menjadi hiperkoagulapi. Volume

Parameter P e r u b a h a n relatif pada

ibu hamilVolume paruInspiratory reserve volume (IRV) + 5%Tidal volume (TV) + 45%Expiratory reserve volume (ERV) –25 %Residual volume (RV) –15 %Kapasitas paruInspiratory capacity + 15%Functional Residual Capacity (FRC)

–20%

Vital capacity tidak berubahTotal lung capacity –5%Dead space +45%Laju nafas tidak berubahVentilasiMinute ventilation +45%Alveolar ventilation +45%

Tabel 2. Perubahan Fisiologi Respirasi pada Kehamilan Aterm7,8

darah akan kembali normal, delapan minggu setelah melahirkan.3-9

Perubahan Sistim KardiovaskularCurah jantung meningkat 30–40% dan peningkatan maksimal dicapai pada kehamilan 24 minggu. Pada post partum, curah jantung meningkat secara maksimal dan dapat mencapai 80% diatas periode pra persalinan dan kira-kira 100% diatas nilai ketika tidak hamil. Tekanan vena sentral meningkat 4–6cm H2O karena ada peningkatan volume darah ibu. Gambaran EKG yang normal pada ibu hamil, disaritmia benigna, gelombang ST,T,Q terbalik dan left axis deviation. Pada ekhokardiografi, terlihat adanya peningkatan ukuran ruangan pada end diastolic, dan ada penebalan dinding ventrikel kiri.3-9

Perubahan pada ginjalGlomerular filtration rate (GFR) meningkat selama kehamilan karena peningkatan renal plasma flow. Renal blood flow (RBF) dan GFR meningkat 150% pada trisemester pertama kehamilan, tetapi menurun lagi sampai 60% pada kehamilan aterm.3-8

Parameter P e r u b a h a n relatif pada ibu hamil

Curah jantung +50%Stroke volume +25%Laju jantung +25%Left ventricular end diastolic volume

Meningkat

Left ventricular end systolic volume

Tidak berubah

Ejection fraction MeningkatLeft ventricular stroke work index

Tidak berubah

Pulmonary capillary wedge pressure

Tidak berubah

Pulmonary artery diastolic pressure

Tidak berubah

Central venous pressure Tidak berubahSystemic vascular resistance –20%

Tabel 5. Perubahan Hemodinamik pada Kehamilan Aterm8

Page 61: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

60 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Perubahan pada saluran cerna Uterus yang gravid menyebabkan peningkatan tekanan intragastrik dan merubah posisi normal gastrooesophageal junction. Alkali fosfatase meningkat. Plasma cholinesterase menurun kira-kira 28%, kemungkinan disebabkan karena sintesanya yang menurun dan karena hemodilusi. Aktivitas serum cholinsterase berkurang 24% sebelum persalinan dan paling rendah 33% pada hari ketiga post partum.3-8 Karena perubahan tersebut, wanita hamil harus selalu diperhitungkan lambung penuh, dengan tidak mengindahkan waktu makan terakhir, walaupun puasa sudah lebih dari 6 jam, lambung terkadang masih penuh. Penggunaan antasida yang non partikel secara rutin adalah penting sebelum seksio saesarea dan sebelum induksi regional anestesi. Perubahan gastrointestinal ini akan kembali dalam 6 minggu postpartum.3-9

Tidak hamil HamilBUN (mg/dl) 0,67 (0,14) 0,46 (0,13)Kreatinin (mg/dl)

13 (3) 8,7 (1,5)

Tabel 6. Perubahan pada sistem renal8

Perubahan susunan saraf pusat (SSP) dan susunan saraf perifer1,2,3

Peningkatan konsentrasi progesteron dan endorphin akan menyebabkan penurunan MAC 25-40% selama kehamilan. Halotan menurun 25%, isoflurane 40%, methoxyflurane 32%. Terdapat penyebaran dermatom yang lebih lebar pada wanita hamil setelah epidural anestesi. Hal ini disebabkan ruangan epidural menyempit karena pembesaran plexus venosus epidural akibat kompresi aortocaval pada penekanan uterus yang membesar.Berdasarkan hal itu, maka dosis pada anestesi umum, anestesi regional dan lokal harus dikurangi.3-9

Perubahan sistim musculoskeletal, dermatologi, mammae dan mata Hormon relaxin menyebabkan relaksasi ligamentum dan melunakkan jaringan kolagen. Terjadi hiperpigmentasi kulit daerah muka, leher, garis tengah abdomen akibat melanocyt

stimulating hormon. Tekanan intraokuler menurun selama kehamilan karena peningkatan kadar progesterone, adanya relaxin, penurunan produksi humor aqueus akibat peningkatan sekresi chorionic gonadotrophin. Mamae yang membesar akan mempersulit tindakan intubasi, terutama pada ibu hamil dengan leher pendek.3-9

Plasenta1-3

Fungsi pertukaran gas respirasi, ntutrisi dan eksresi janin tergantung dari plasenta. Plasenta dibentuk dari jaringan ibu dan janin serta mendapat pasokan darah dari kedua jaringan tersebut.

Anatomi Fisiologi PlasentaPlasenta terdiri dari tonjolan jaringan janin (villi) yang terletak dalam rongga vaskuler ibu (intervillous). Sebagai akibat dari susunan ini kapiler-kapiler janin dalam villi dapat melakukan pertukaran substansi dengan darah ibu, dimana darah ibu dalam rongga intervilli berasal dari arteri spiralis cabang arteri uterine dan kemudian mengalir kembali melalui vena uterina. Darah janin dalam villi berasal dari 2 buah arteri umbilikal dan kembali ke janin melalui sebuah vena umbilikal.

Pertukaran pada PlasentaPertukaran plasenta dapat terjadi terutama melalui salah satu dari empat mekanisme dibawah ini.

1. DifusiGas respirasi dan ion-ion yang kecil di transportasi melalui proses difusi, kebanyakan obat-obat yang digunakan dalam anestesi mempunyai berat molekul yang dapat berdifusi melewati plasenta. Zat yang larut dalam lemak seperti tiopenton paling cepat berdifusi, sedangkan obat-obat dengan ionisasi yang tinggi seperti pelumpuh otot sulit berdifusi. Obat-obat dengan ikatan protein tinggi seperti bupivakain juga sulit berdifusi melewati plasenta.

2. Transport aktifAsam amino, vitamin dan beberapa ion seperti calcium dan zat besi menggunakan mekanisme ini3. PinositosisMolekul yang besar seperti immunoglobulin

Page 62: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

61 Penatalaksanaan Anestesi Subarachnoid Hemoragik pada Ibu Hamil

ditransport melalui pynositosis

4. Facillatated diffusion, seperti pada glukosa.3-9

III. Subarachnoid Hemoragik (SAH)

Subarachnoid hemorrhage (SAH) adalah perdarahan didalam ruang subarchnoid. SAH disebabkan oleh trauma (kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, jatuh) dan non trauma (hipertensi tak terkontrol, ruptur anuerisma/ AVM, pecandu cocain, perokok berat, penyakit ginjal polikistik, penyakit sindrom Ehlers-Danlos tipe IV, penyakit pseudoxanthoma elasticum, penyakit fibromuskular dysplasia, pasien dalam terapi pengencer darah). Wanita hamil dengan tekanan darah tinggi (pre eklalmpsi berat / eklampsi) juga beresiko untuk terjadinya perdarahan subarakhnoid.3-10 Gejala klinis SAH adalah nyeri kepala hebat (worst headache of my life) mual, muntah, photophobia, kejang, focal neurological deficit, penurunan kesadaran. Diagnosis SAH ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang seperti computed tomography (CT scan)/magnetic resonance imaging (MRI), computed tomographic angiography (CTA), magnetic resonance angiography (MRA), catheter angiography.3-10

Ada beberapa skala dalam SAH yang digunakan untuk menilai morbiditas dan mortalitas pasien, seperti Botterell, Hunt & Hess, WFNS dan Fisher.Umumnya skala 1 dan II (pada semua skala SAH), memiliki kondisi preoperative baik, skala

Skala KriteriaI Sadar penuh, disertai atau tidak disertai

tanda-tanda meningealII Mengantuk tanpa disertai kelainan

neurologisIII Mengantuk dan disertai kelainan neurologis,

kemungkinan terdapat bekuan darah serebral.

IV Neurologis mayor positipV Penurunan kesadaran berat, disertai

gangguan tanda-tanda vital dan rigiditas ekstensor

Tabel 7. Skala klinis Botterell pada SAH8

Skala Kriteria0 Ruptur aneurisma negatifI Sakit kepala asimptomatik atau sakit kepala

ringan disertai kaku kuduk minimalII Sakit kepala sedang hingga berat, kaku

kuduk positip, defisit neurologis negatif, kelumpuhan saraf kranial positip

III Mengantuk, kebingungan atau deficit fokal ringan

IV Penurunan kesadaran, hemiparesis ringan hinga berat, terdapat tanda-tanda awal deserebrasi / kekakuan, gangguan vegetative positip

V Coma dalam, kaku / deserebrasi, tampak sakit berat

Tabel 8. Skala Hunt & Hess pada SAH8

Skala Nilai Glascow Coma Scale (GCS)

Defisit Motorik

I 15 Tidak adaII 13–14 Tidak adaIII 13–14 AdaIV 7– 2 Tidak ada atau adaV 3–6 Tidak ada atau ada

Tabel 9. Skala World Federation of Neurological Surgeon pada SAH8

Skala Gambaran CT scan1 Perdarahan negatif2 Perdarahan subarachnoid minimal

(ketebalan vertikal < 1mm)3 Perdarahan subarachnoid terlokalisasi

(ketebalan vertikal ≥ 1 mm)4 Perdarahan intraserebral atau interventrikular

dengan atau tanpa perdarahan subarakhnoid

Tabel 10. Skala Fisher untuk gambaran CT Scan pada SAH8

III dan IV kondisi preoperatif sedang, skala V kondisi preoperatif buruk. Pada skala Hunt & Hess, makin rendah skala, makin rendah pula morbiditas dan mortalitas pasien SAH.3-15

Beberapa lokasi aneurisma yang sering ditemukan dapat dilihat pada gambar 1, 2 dan 3.

Page 63: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

62 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Pasien SAH (semua deraja/skala SAH) harus di rawat dalam ruang Intensive Care Unit (ICU), dengan observasi ketat tanda-tanda vital, terutama tekanan darah. Pasien dengan hipertensi terkontrol baik atau tidak diketahui memiliki riwayat penyakit hipertensi, target tekanan darah (TD) sistolik 100–140 mmHg dengan mean arterial pressure (MAP) 70–100 mmHg. Pada hipertensi tidak terkontrol, target TD sistolik 120–160 mmHg dengan MAP 80–110 mmHg.Target perawatan adalah mencegah perdarahan ulang, melakukan terapi definitif terhadap aneurisma dan mencegah terjadinya komplikasi neurologis (kejang, vasospasme, hydrocephalus) dan komplikasi medis (cardiac injury, lung injury, sepsis).7-15

Faktor resiko terjadinya perdarahan ulang (rebleeding) adalah usia tua, wanita, volume perdarahan SAH yg banyak, status neurologis buruk, hipertensi sistemik, adanya perdarahan

Grade(Hunt & Hess)

Mortalitas(%)

Morbiditas(%)

0 0–2 0–2I 2–5 0–2II 5–10 7III 5–10 25IV 20–30 25V 30–40 35–40

Tabel 11. Mortalitas dan Morbiditas Berdasarkan Skala Hunt dan Hess8

Gambar 1. Lokasi Aneurisma yang sering Ditemukan8-9

intraserebral atau intraventrikular, gangguan pembekuan darah, aneurisma pada sirkulus posterior, short interval from initial hemorrhage.Pencegahan perdarahan ulang (rebleeding) dilakukan dengan mengontrol tekanan darah, CPP, ICP, obat calcium channel blocking (nimodipin), mencegah kejang, cairan euvolemia.7-15 Golden periode tindakan operatif 24-48 jam pasca perdarahan SAH. Bisa dilakukan 0-3 hari pasca SAH (early) atau 11–14 hari pasca SAH, keduanya memiliki morbiditas dan mortalitas yang sama. Tindakan operatif yang umum dilakukan adalah coiling atau clipping aneurisma.7-15

3. Clipping AneurismaPrediktor mortalitas setelah SAH adalah kondisi neurologis yang buruk saat masuk rumah sakit, penurunan kesadaran berat setelah SAH, usia lanjut, adanya penyakit penyerta berat (sepsis), peningkatan tekanan darah yang tidak respon dengan obat, tebalnya bekuan darah pada jaringan otak atau ventrikel pada CT Scan dan perdarahan ulang (rebleeding).3-15 Komplikasi aneurisma SAH meliputi komplikasi pada susunan saraf pusat dan komplikasi sistemik. Komplikasi SSP berupa perdarahan ulang, vasospasme, gangguan autoregulasi, hipertensi intracranial, hydrocephalus, kejang, penurunan aliran darah otak, penurunan CMRO2. Gangguan sistemik berupa hipertensi, hipovolemia, hiponatremia, hypokalemia, hipocalcemia, abnormalitas EKG, abnormalitas respiratori (Neurogenic Pulmonary Edema / NPE, pneumonia, pulmonary embolus), disfungsi hepar, disfungsi renal, thrombositopenia,

Page 64: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

63 Penatalaksanaan Anestesi Subarachnoid Hemoragik pada Ibu Hamil

vasodilator dan excessive positive pressure ventilation. Uterine venous pressure (UVP) akan meningkat dalam keadaan vena caval compression, uterine contractions, uterine hypertonus, oxytocin overstimulation, dan α-adrenergik stimulation (obat-obat adrenergic yang meningkatkan tonus uterus). Uterine vascular resistance (UVR) akan meningkat karena endogenous catecholamines, untreated pain atau noxious stimulation (laringoskop, intubasi, insisi kulit), preeklamsia, hipertensi

Gambar 2. Coiling Aneurisma

Gambar 3. Clipping aneurisma

anemia, perdarahan gastrointestinal.7-15

Penatalaksanaan AnestesiPertimbangan anestesi pada wanita hamil dengan SAH adalah adanya dua insan yang harus diperhatikan, yaitu keselamatan ibu dan fetus. Dari segi farmakologi harus diperhatikan, obat dapat menembus plasenta dan mempengaruhi janin. Hal penting lainnya adalah aliran darah uteroplasenta dengan rumus. Uteroplacental blood flow (UBF) pada kehamilan aterm 700 ml/menit, dimana 10% nya adalah total aliran darah maternal (ibu). Transport oksigen dan nutrisi ke fetus akan terganggu bila terjadi perubahan pada uterine atrial pressure (UAP), uterine venous pressure (UVP) dan uterine vascular resistance (UVR). Uterine arterial pressure (UAP) akan menurun dalam keadaan hipovolemia, blok simpatis akibat neuroaxial anesthesia, aorocaval compression, anesthetic overdose, obat-obat

Skema 1. Patofisiologi Terjadinya Neurogenic Pulmonary Edema (NPE) pada SAH7,8

UBF= UAP–UVP

UVR

UBF = Uteroplacental Blood Flow (aliran darah uteroplasenta)UAP = Uterine Arterial Pressure (tekanan arteri uterine)UVP = Uterine Venous Pressure (tekanan vena uterine)UVR = Uterine Vascular Resistance (resistensi vena uterine)

Page 65: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

64 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

kronis dan exogenous vasoconstrictors. Untuk mengantisipasi hal tersebut, hemodinamik harus stabil preoperatif, intraoperatif dan pasca operatif. Pada tindakan anestesi, target UBF = (UAP–UVP)/UVR. Penurunan dari tekanan rerata ibu atau peningkatan resistensi vascular uterus akan menurunkan aliran darah uteroplasental sehingga menurunkan aliran darah umbilical.3-15

Prinsip neuroanestesi ibu hamil sama seperti pasien tidak hamil, yaitu mencegah terjadinya cedera sekunder dan tehnik yang digunakan adalah ABCDE neuroanestesi yang sama dengan neuroresusitasi, neuroproteksi, pengelolaan nerurointensive care. 4-15

A) Airway: jalan nafas bebas, B) Breathing: ventilasi kendali, normokapnia pada TBI dan sedikit hipokapnia pada brain tumorC) Circulating: hindari lonjakan tekanan darah, peningkatan tekanan vena serebral, target normovolemia, iso-osmoler, normoglikemiaD) Drugs: hindari obat dan tehnik anestesi yang akan meningkatkan ICP, berikan obat yang berefek proteksi otakE) Enviroment: pengendalian suhu, target suhu 35oC di kamar operasi dan 36oC di ICU.

Cedera otak primer pada SAH adalah perdarahan karena aneurisma atau AVM nya. Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor sistemik (hipoksemia, hipotensi, anemia, hipokarbia, hiperkabia, pireksia, hiponatremia, hipoglikemia) dan faktor intracranial (hematoma, peningkatan ICP, kejang, infeksi, vasospame). Cedera otak sekunder ini dapat terjadi dalam hitungan menit, jam dan hari setelah cedera ruptur aneurisma/ AVM.4-15

Ibu hamil dengan SAH, harus dipertimbangkan usia kehamilannya. Kehamilan kurang 24 minggu tidak dianjurkan untuk seksio saesarea. Operasi kliping aneurisma dapat dilakukan segera dalam waktu 0–3 hari pasca ruptur aneurisma (early) atau hari ke 11–14 pasca rupture aneurisma (late), dimana keduanya mempunyai morbiditas dan mortalitas yang sama. Bila usia kehamilan telah lebih dari 24 minggu (umumnya 32 minggu), dapat dilakukan seksio saesarea, kemudian dilanjutkan kliping aneurisma. Atau tunggu lebih dari 10 minggu pasca rupture dengan alasan untuk

mematangkan fetus, karena tidak ada perbedaan morbiditas dan mortalitas antara early dan late.4-15

Wanita hamil dengan aneurisma serebral menunjukkan perbaikan survival untuk ibu dan fetus bila clipping dilakukan setelah SAH dibandingkan dengan pengelolaan tanpa pembedahan. Reseksi AVM yang tidak pecah dapat ditunda sampai setelah melahirkan tanpa menunjukkan adanya peningkatan mortalitas ibu.7-15

Sedatif premedikasi (lorazepam 1-4 mg,po) dapat diberikan pada pasien dengan tingkat kecemasan tinggi (skala Hunt & Hess I-II), namun harus dipertimbangkan resiko terjadinya hipoventilasi, hiperkarbi yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Pengosongan lambung yang lebih lama pada ibu hamil beresiko terjadinya regurgitasi dan aspirasi cairan lambung. Untuk mengantisipasi terjadi nya hal tesebut, dapat diberikan bicitra 30 ml,iv, metoclopramide 10 mg,iv atau ranitidine 150 mg,iv. Calcium channel blok (nimodipin), antikonvulsan, steroid dapat dilanjutkan bila tidak ada kontraindikasi.7-15

Insidens terjadinya rupture aneurisma saat nduksi 0,5–2 %, dengan tingkat mortalitas 75%. Induksi anestesi pada ibu hamil diusahakan dengan metode “slow neuro-induction” dengan tiophental /propofol, opioid dan pelumpuh otot non depol. Metode lain adalah ‘rapid-sequence induction” tanpa tekanan positip saat bagging dengan masker ventilasi. Dosis obat induksi yang dianjurkan pada kraniotomi ibu hamil adalah thiopental 3–5 mg/kg, propofol 1–2 mg/kg, fentanil 3–5 ug/kg, sufentanil 0,5–1 ug/kg, rocuronium 0,9–1,2 mg/kg, vecuronium 0,1 mg/kg, dosis rendah isoflurane /sevoflurane, disertai penekanan pada cricoid dengan aliran gas oksigen 100%. Target endtidal CO2 35–40 mmHg, hindari terjadinya hiperkarbi, yang dapat mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial. Hiperkarbi berat akan menyebabkan kurva disosiasi oksigen-hemoglobin ibu bergeser ke kiri dan menyebabkan gangguan transport oksigen ke bayi. Sebelum laringoskop, berikan lidokain 1,5 mg/kg, thiopental 2–3 mg/kg atau propofol 0,5 mg/kg. Usahakan “gentle and smooth laryngoscopy” dan intubasi. Pasca intubasi, kepala di elevasi 30 derajat.7-15

Target tekanan transmural (TMP) = CPP = MAP

Page 66: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

65 Penatalaksanaan Anestesi Subarachnoid Hemoragik pada Ibu Hamil

– ICP. Peningkatan TMP dapat mengakibatkan pecahnya aneurysma. Sedangkan penurunan TMP akan menimbulkan iskemia. Penurunan tekanan darah yang direkomendasikan 20–25% dari tekanan darah pasien. Penurunan tekanan darah lebih dari 30% dapat mengakibatkan terjadinya iskemia serebral. Hindari hiperventilasi karena akan mengurangi aliran darah otak (cerebral blood flow/CBF), menurunkan ICP, meningkatkan TMP dan beresiko terjadinya ruptur aneurisma Hiperventilasi akan menyebabkan peningkatan tekanan intrathorakal, sehingga terjadi penurunan cardiac output ibu, dan mengakibatkan peredaran darah uteroplacental bayi terganggu.7-15

Tidak ada perbedaan rumatan anestesi kranitomi pada ibu hamil dan tidak hamil. Intraoperatif, target hemodinamik stabil dan isovolemik dengan memperhitungkan pemberian cairan untuk mencegah terjadinya peningkatan cerebral blood volume (CBV). Rumatan anestesi yang dianjurkan adalah fentanil 1–2 ug/kg/jam, sevoflurane 0,5–1%, compress air, vecuronium 0,08 mg/kg/jam, propofol 6–8 mg/kg/jam atau thiopental 5–6 mg/kg/jam. Dapat pula digunakan metode total intravenous anesthesia (TIVA) tanpa gas anestesi.7-15 Lama kliping temporer 20 menit atau kurang. Bila menggunakan teknik hipotensi dapat diberikan sodium nitroprussid atau anesthesia inhalasi. Hipotensi berat dapat menyebabkan terjadinya asfiksia fetus, karena gangguan pada uteroplacental blood flow (UBF). Diperlukan monitor denyut jantung bayi (Doppler) saat tehnik hipotensi dilakukan.Pemberian sodium nitroprusside pada ibu hamil harus dipertimbangkan, karena metabolisme sianida di organ hati fetus belum sempurna sehingga dapat terjadi keracunan sianida.7-15

Pada ooperasi kliping aneurisma, harus dilakukan proteksi otak dengan hipothermi 32–34 oC, manitol, dexamethasone, penthotal / propofol. Penurunan suhu dibawah 32 oC tidak dianjurkan untuk ibu hamil, karena dapat mengakibatkan aritmia pada jantung fetus.7-15

Penggunaan manitol sebagai diuretic osmotik, untuk menurunkan tekanan intrakranial dan mengempiskan otak, harus dipertimbangkan pemakaiannya pada ibu hamil, karena dapat menyebabkan dehidrasi fetus. Dosis manitol

yang dianjurkan 0,25-0,5 g/kg. Pemberian manitol dilakukan setelah duramater dibuka, untuk mencegah terjadinya ruptur.7-15

Tanda klinis bila terjadi rupture aneurisma intraoperative, adalah hipertensi dan bradikardi. Dapat dilakukan drainase cairan serebrospinal melalui kateter lumbal dengan kecepatan 5 ml/menit dan total pengambilan cairan 50–150 ml, apabila otak belum kempes (slack brain). Drainase cairan serebrospinal ibu hamil berlebihan dapat mengganggu uteroplacental blood flow (UBF) fetus. 7-15 Pasien dengan grading klinis baik, dapat diekstubasi di kamar operasi. Saat ekstubasi, pasien ibu hamil harus sadar betul (fully awake) dengan reflek menelan yang baik, untuk menghindari terjadinya aspirasi pasca ekstubasi. Tetapi dengan klinis buruk (skala Hunt dan Hess 3–5) atau bila didapatkan pembengkakan otak intra operasi, rupture aneurisma, ligase feeding vessel, pasien tidak diekstubasi dan rawat di ICU dengan sedasi dan ventilator mekanis. Apabila pasien tetap tidak respon atau ada perburukan neurologis baru dalam 2 jam pasca operasi, perlu segera dilakukan pemeriksaan CT scan.7-15

Pasca kliping, dilakukan terapi triple-H, yaitu hipertensi, hipervolemi dan hemodilusi. Hipertensi dapat dilakukan dengan pemberian cairan atau obat vasopressor (sebelum kliping, tekanan darah sistolik 120–150 mmHg, setelah kliping tekanan darah sistolik 160-200 mmHg), hipervolemi dapat dilakukan dengan pemberian cairan kristaloid, koloid atau produk darah (PRC / FFP) dengan target CVP 10 mmHg dan PCWP 12–16 mmHg, hemodilusi dengan target hematokrit 30–35%.7-15 Prognosis ibu hamil dengan SAH sesuai dengan skala Hunt dan Hess. Makin rendah skala, makin rendah pula angka morbiditas dan mortalitas.7-15

IV. Simpulan

Subarachnoid hemorrhage (SAH) merupakan kondisi gawat darurat neurologi yang harus segera ditanggani. Data menunjukkan, wanita lebih sering terserang SAH dibanding pria, dengan rentang usia terbanyak 50–60 tahun. SAH disebabkan oleh traumatik dan non traumatik. Penyebab non traumatic terbanyak adalah ruptur aneurisma atau AVM. Wanita

Page 67: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

66 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

hamil dengan penyakit penyerta hipertensi, pre eklampsia berat, eklampsi, beresiko terjadinya perdarahan subaraknoid (SAH). Wanita hamil dengan aneurisma serebral menunjukkan perbaikan survival untuk ibu dan fetus bila clipping dilakukan setelah SAH dibandingkan dengan pengelolaan tanpa pembedahan. Reseksi AVM yang tidak pecah dapat ditunda sampai setelah melahirkan tanpa menunjukkan adanya peningkatan mortalitas ibu. Usia pengakhiran kehamilan pada wanita hamil dengan SAH adalah 32 minggu. Hindari penurunan tekanan rerata ibu atau peningkatan resistensi vascular uterus, karena akan menurunkan aliran darah uteroplasental, yang berakibat penurunan aliran darah umbilical. Target endtidal CO2 35–40 mmHg, hiperkarbi berat akan menyebabkan kurva disosiasi oksigen-hemoglobin ibu bergeser ke kiri dan menyebabkan gangguan transport oksigen ke bayi. Hiperventilasi akan mengakibatkan peredaran darah uteroplacental bayi terganggu, mengurangi aliran darah otak (cerebral blood flow/CBF), menurunkan ICP, meningkatkan TMP dan beresiko terjadinya ruptur aneurisma. Pemberian sodium nitroprusside pada wanita hamil harus dipertimbangkan, karena metabolisme sianida di organ hati fetus belum sempurna sehingga dapat terjadi keracunan sianida. Penurunan suhu dibawah 32oC tidak dianjurkan untuk ibu hamil, karena dapat mengakibatkan aritmia pada jantung fetus. Dosis manitol yang dianjurkan 0,25–0,5 g/kg, karena dapat menyebabkan dehidrasi fetus.Pasca kliping, dilakukan terapi triple-H, yaitu hipertensi, hipervolemi dan hemodilusi. Prognosis ibu hamil dengan SAH sesuai dengan skala Hunt dan Hess. Makin rendah skala, makin rendah pula angka morbiditas dan mortalitas.

Daftar Pustaka

1. Bisri Y, Bisri T. Anatomi dan fisiologi wanita hamil. Dalam: Bisri T, Wahjoeningsih S, Suwono BS, eds. Anestesi Obstetri, Edisi ke-1, Bandung: Saga Olahcitra; 2013;1–14

2. Datta S, Kodali BS, Segal S. Obstetri Anesthesia Handbook, edisi ke-5. New York: Springer; 2010

3. Gaiser R. Physiologic changes of pregnancy. Dalam: Chesnut DH, Polley LS, Tsen LC, Wong CA, eds. Chesnut’s Obstetric Anesthesia Principles and Practice. Edisi ke-4. Philadelphia: Mosby Elseveir; 2009, 15–31

4. Clewel WH. Neurologic emergencies during pregnancy. Dalam: Foley MR, Stong TH, Garite TJ,eds. Obstetric Intensive Manual, 3rd ed, NewYork: McGraw Hill Medical; 2011,191–97

5. Mhuireachtaigh R, O’Gorman DA. Anesthesia in pregnant patients for nonobstetric surgery. Journal of Clinical Anesthesia 2006; 18: 60–66

6. Wang LP, Paech MJ. Neuroanesthesia for the pregnant woman. Anesth Analg 2008; 107: 193–200

7. Bisri Y, Bisri T. Seksio sesarea pada pasien aneurisma intracranial/AVM/stroke. Dalam: Bisri T, Wahjoeningsih S, Suwono BS Anestesi Obstetri, Edisi ke-1, Bandung: Saga Olahcitra; 2013; 205–11

8. Wlody DJ, Weems L. Anesthesia for neurosurgery in the pregnant patient. Dalam: Cottrell JE, Young WL. Cottrell and young neuroanesthesia. 5 th ed, Philladephia: Mosby Elseveir; 2010; 416–22

9. Catarina SC, Filipa R, Maria JC, Isabel R, Joao M. Anesthetic approach of pregnant woman with cerebral arteriovenous malformation and subarachnoid hemorrhage during pregnancy: Case report. Brazilian Journal of Anesthesiology. 2013; 63:223–26

10. Walter JJ, Luke DT, Mayshan G, Robert JS. Use of endovascular embolization to treat a ruptured arteriovenous malformation in a pregnant woman. A case report. Journal of Medical Case Report. 2012; 6:113

11. Cohen-Gadol AA, Friedman JA, Friedman JD, Tubbs RS, Munis JR, Meyer FB.

Page 68: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

67 Penatalaksanaan Anestesi Subarachnoid Hemoragik pada Ibu Hamil

Neurosurgical management of intracranial lesions in the pregnant patient: a 36-year institutional experience and review of the literature. J Neurosurg. 2009(6):1150–7.

12. Soderman M. Management of patient with brain arteriovenous malformations. Europan journal of radiology, 2003; 46: 195–205

13. Wang, Peter L. Neuroanesthesia for the pregnant woman. Anesth Analg. 2008; 107: 193–200

14. Balki M, Manninen PH. Craniotomy for suprasellar meningioma in a 28-week pregnant woman without fetal heart rate monitoring. Canada anaesthesia journal. 2004; 51:573–6

15. Kuczkowski KM. Nonobstetric surgery during pregnancy: What are the risk of anesthesia? Obstetrical & Gynecological Journal. 2004; 1:52–56

Page 69: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

68

Pengelolaan Nyeri Pascakraniotomi

Suwarman*), Tatang Bisri*)

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran-RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Penanganan nyeri pascakraniotomi sampai saat ini masih belum begitu diperhatikan dan sering ditangani dengan kurang adekwat. Nyeri pascakraniotomi seringkali diabaikan karena adanya anggapan bahwa pasien pascakraniotomi tidak mengalami nyeri berat. Anggapan ini perlahan-lahan berubah dengan meningkatnya kesadaran tentang nyeri akut pascakraniotomi. Terdapat berbagai teknik yang dilakukan untuk menangani nyeri ini, dimana setiap teknik memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun, tidak ada satu pun modalitas yang dinyatakan sebagai yang terbaik dan dapat berlaku secara universal. Belum ada konsensus mengenai standar penanganan nyeri pada pasien ini. Masih terdapat berbagai ketidaksesuaian pendapat mengenai mana regimen terapi yang tepat untuk mengobati nyeri pasca kraniotomi. Pada dekade terakhir, meningkatnya kesadaran serta semakin canggihnya penatalaksanaan nyeri menyebabkan dilakukannya berbagai teknik untuk mencapai analgesia yang adekwat pada kelompok pasien ini. Hal ini menyebabkan meningkatnya jumlah serta kualitas penelitian mengenai nyeri pascakraniotomi. Ulasan ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai patofisiologi, karakteristik, dan berbagai teknik yang dilakukan untuk penanganan nyeri akut pascakraniotomi. Nyeri kronis pasca kraniotomi yang merupakan gejala sisa yang sangat mengganggu juga dibahas secara singkat.

Kata kunci: Nyeri, pascakraniotomi, analgesia

JNI 2016;5(1): 68–76

Postcraniotomy Pain Management

Abstract

Until recently, perioperative pain management in neurosurgical patients has been inconsistently recognized and inadequately treated. Pain following craniotomy has frequently been neglected because of the notion that postcraniotomy patients do not experience severe pain. However a gradual change in this outlook is observed because of awareness and understanding toward acute postcraniotomy pain. There are various technique exist for treating this variety of pain each with its own share of advantages and disadvantages. However, individually none of these modalities has been proclaimed as the best and applicable universally. There is no consensus regarding the standardization of pain control in this patient population. A considerable amount of dispute remains to ascertain the appropriate therapeutic regimen for treating postcraniotomy pain. In the last decade, improved awareness and advances in the practice of pain management have resulted in the implementation of diverse techniques to achieve adequate analgesia in this group of patients. This has led to an increased number and quality of studies about postcraniotomy pain. This article provides information about the pathophisiology, characteristic, and also various techniques and approaches for postcraniotomy pain management. Chronic postcraniotomy pain which can be debilitating sequelae is also discussed concisely.

Key words: pain, post craniotomy, analgesia

JNI 2016;5(1): 68–76

Page 70: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

69

I. Pendahuluan

Pasien pascakraniotomi sering diasumsikan mengalami tingkat nyeri yang rendah. Alasan tentang hal tersebut dikarenakan jumlah reseptor nyeri yang lebih sedikit di duramater, ketidakpekaan otak terhadap rasa nyeri, berkurangnya densitas serabut nyeri sepanjang garis sayatan, atau terjadinya autoanalgesia.1 Oleh karena itu, nyeri pascakraniotomi sering diabaikan. Semakin meluasnya keyakinan bahwa kraniotomi menyebabkan nyeri sedang pascaoperasi saat ini sedang menjadi isu yang diperdebatkan karena banyaknya bukti baru yang ditemukan. Dari beberapa studi prospektif, didapatkan data bahwa sekitar 60% pasien pascaoperasi kraniotomy mengalami nyeri sedang sampai dan berat.2 Pemberian terapi analgetik yang tidak adekwat sering menyebabkan pasien harus menahan nyeri terutama pada hari pertama pascaoperasi. Hal ini dapat menyebabkan perubahan perilaku sampai hari pertama atau kedua hari pascaoperasi. Penanganan nyeri yang tidak adekwat juga dapat menyebabkan berbagai komplikasi pascaoperasi serta memperpanjang lama perawatan di rumah sakit, yang pada akhirnya meningkatkan biaya perawatan.3

Rasa nyeri juga menyebabkan stimulasi simpatis yang dapat mengakibatkan terjadinya hipertensi serta memiliki potensi sebagai pencetus perdarahan intrakranial sekunder.4 Di lain pihak, penanganan nyeri yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya sedasi serta dapat menutupi gejala defisit neurologis yang terjadi. Selain itu adanya efek samping menurunnya pernafasan menimbulkan hiperkarbia yang dapat meningkatkan volume darah otak sehingga akibatnya akan meningkatkan tekanan intrakranial (ICP). Karena itu, dalam menghadapi situasi yang saling bertentangan ini, pada saat melakukan penilaian perioperatif dokter cenderung untuk melakukan pendekatan konservatif dalam menangani nyeri pascabedah kraniotomi. Karena itu dalam menangani nyeri pascakraniotomi, sering terjadi kegagalan untuk mencapai tujuan.5

Dengan tidak adanya pedoman evidence base yang kuat, penanganan analgesia pascaoperasi yang tepat dalam kasus pascakraniotomi sulit

diaplikasikan.6 Masih sedikitnya penelitian evidence base menyebabkan sering didapatnya hasil yang bertolak belakang, menyebabkan pemberian terapi yang tidak konsisten yang pada akhirnya menyebabkan pemberian terapi tidak optimal.6 Karenanya potensi untuk meneliti "baku emas" rejimen terapi nyeri pascakraniotomi masih terbuka lebar.

2. Karakteristik Nyeri Akut PascakraniotomiNyeri pascakraniotomi biasanya terasa berdenyut mirip dengan nyeri kepala tipe tension. Kadang-kadang nyeri dapat terasa menetap dan terus menerus. Nyeri pascakraniotomi biasanya menimpa pasien wanita dan pasien muda.5

Rasa nyeri adalah konsekuensi sayatan bedah dan merefleksikan nyeri yang berasal dari otot perikranium dan jaringan lunak kulit kepala yang merupakan nyeri somatik. Pendekatan sub-oksipital dan subtemporal yang melibatkan diseksi otot besar seperti temporal, splenius capitis, dan cervicis dihubungkan dengan insidensi nyeri tertinggi.7 Penelitian lain memperlihatkan bahwa pasien yang menjalani kraniotomi frontal dilaporkan memiliki tingkat nyeri pascaoperasi yang lebih tinggi.1

Namun demikian, jumlah kerusakan jaringan yang terjadi lebih menentukan tingkat intensitas nyeri pascakraniotomi yang dirasakan oleh pasien dibandingkan dengan lokasi operasi.6

Jumlah kerusakan jaringan yang lebih besar akan menghasilkan intensitas nyeri pascaoperasi yang lebih tinggi. Kebocoran cairan cerebrospinal pascaoperasi setelah operasi dasar tengkorak ikut bertanggung jawab terhadap terjadinya nyeri kepala. Nyeri kepala karena kebocoran CSF menunjukkan variabilitas yang cukup banyak. Kebanyakan nyeri kepala tersebut bersifat orthostatik. Walaupun nyeri yang dirasakan itu menetap atau menurun secara perlahan, ia akan meningkat saat posisi berdiri dan menurun dengan posisi tirah baring.8

Iritasi meningeal juga berkontribusi terhadap timbulnya rasa nyeri pascaoperasi.5 Patofisiologi yang berperan dalam berbagai nyeri kepala masih belum jelas. Didalam tengkorak kepala, satu-satunya jaringan yang sensitif terhadap

Pengelolaan Nyeri Pascakraniotomi

Page 71: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

70 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

nyeri adalah meningen dan satu satunya sensasi yang dapat timbul dari meningen adalah nyeri. Banyak mediator inflamasi termasuk pH asam, histamin, bradikinin, prostaglandin, nitrit oksida, dan serotonin dapat mengaktivasi dan atau mensensitisasi aferen dari duramater ini. Dan adanya mediator-mediator ini di meningen dapat menyebabkan nyeri.9 Selain itu pemakaian dural fibroblast diperkirakan dapat merangsang terjadinya nyeri kepala pascaoperasi. Ada penelitian yang menyatakan bahwa dural fibroblast dapat melepaskan IL-6, yang sesuai dengan penelitian sebelumnya pada fibroblast jantung. IL-6 tampak meningkat pada pasien yang sedang dalam serangan migrain, sehingga diperkirakan bahwa sitokin proinflamasi ini berperan dalam patofisiologi nyeri kepala.9

III. Klasifikasi dan Penilaian Nyeri Pascakraniotomi

Klasifikasi Internasional tentang nyeri kepala (The International Classification of Headache Disorders-ICHD-3) yang diterbitkan oleh International Headache Society memperlihatkan kriteria dari nyeri kepala pascakraniotomi dan dibagi menjadi 2 bagian yaitu akut dan persisten. Deskripsi dari varietas tersebut dapat dilihat seperti dibawah ini:3.1. Nyeri kepala akut dikaitkan dengan KraniotomiDeskripsi: Nyeri kepala dengan durasi kurang dari 3 bulan disebabkan oleh tindakan operasi kraniotomi. Kriteria diagnostiknya adalah sebagai berikut:(A) Setiap nyeri kepala yang memenuhi kriteria (C) dan (D).(B) telah dilakukan operasi bedah kraniotomi. (C) Nyeri kepala yang terjadi dalam 7 hari setelah salah satu dari hal berikut:(1) kraniotomi,(2) mendapatkan kembali kesadaran setelah kraniotomi,(3) penghentian obat yang mengganggu kemampuan untuk merasakan atau melaporkan adanya nyeri kepala setelah kraniotomi

(D)Salah satu dari yang berikut:(1) nyeri kepala yang menghilang dalam waktu 3

bulan setelah kraniotomi,(2) nyeri kepala masih dirasakan tetapi belum mencapai waktu 3 bulan setelah kraniotomi3.2. Nyeri kepala persisten dikaitkan dengan Kraniotomi Deskripsi: Nyeri kepala dengan durasi lebih dari 3 bulan yang disebabkan oleh pembedahan kraniotomi.Kriteria diagnostiknya adalah sebagai berikut:(A) Setiap nyeri kepala yang memenuhi kriteria (C) dan (D).(B) telah dilakukan pembedahan kraniotomi.(C) Nyeri kepala yang timbul dalam 7 hari setelah salah satu dari berikut:(1) kraniotomi,(2) mendapatkan kembali kesadaran setelah kraniotomi,(3) penghentian obat yang merusak kemampuan untuk merasakan atau melaporkan nyeri kepala pascakraniotomi.(D) Nyeri kepala menetap lebih dari 3 bulan setelah operasi kraniotomi.10

Penilaian nyeri secara tepat pada pasien pascakraniotomi merupakan masalah karena pasien harus dapat menerangkan dan mengekspresikan nyeri yang mungkin tidak selalu memungkinkan setelah dilakukannya prosedur bedah saraf. Penilaian subjektif dengan mengobservasi sifat dari nyeri akut perlu untuk dipertimbangkan. Pada pasien dewasa yang sadar dengan orientasi baik dapat ditanya nilai nyeri yang dirasakan menggunakan Numeric Rating Scale (NRS)1 atau menggunakan visual analog Scale (VAS).11 Pada anak-anak penilaian nyeri dapat dilakukan dengan FLACC score (Face, Leg, Activity, Cry, Consolability).12

IV. Terapi untuk Mengelola Nyeri Akut Pascakraniotomi

Penanganan nyeri pascakraniotomi saat ini sangat bervariasi karena kurangnya protokol analgetik standar. Selain teknik anestesi intraoperatif serta penggunaan opioid yang bervariasi, jenis tindakan operasi yang dilakukan juga berpengaruh terhadap nyeri pascaoperasi. Selain itu, berkurangnya status neurologis setelah tindakan operasi bedah saraf serta sifat subjektif dari asesmen

Page 72: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

71 Pengelolaan Nyeri Pascakraniotomi

nyeri menghambat penilaian nyeri yang sesuai. Dalam masa perioperatif, dokter kadangkala mengurangi pemberian analgetik (terutama opioid) dengan tujuan untuk mengurangi efek samping yang mengikutinya. Sampai saat ini, belum ada konsensus tentang analgetik yang ideal untuk nyeri pascakraniotomi.5 Berikut ini adalah berbagai teknik dan obat yang bisa digunakan untuk terapi analgetik pascakraniotomi.

4.1. Anestesi Lokal(a) Scalp block: Scalp block termasuk menginfiltrasi obat anestesi lokal ke lima saraf pada tiap sisi kulit kepala.Keuntungan dari scalp block adalah kemampuan untuk mendapatkan asesmen neurologis pascabedah secara akurat karena ia tidak mempengaruhi saraf sensorik maupun motorik. Scalp block telah mengurangi frekwensi dari permintaan analgetic rescue, meningkatkan waktu antara selesainya operasi dengan kali pertama pasien membutuhkan analgetik, dan menurunkan skor nyeri pada fase inisial pascabedah.5 Scalp block juga memfasilitasi ”transisional analgesia” setelah pemberian analgetik perioperatif menggunakan remifentanyl. Kulit kepala dipersarafi oleh banyak serabut C dan ropivacaine memiliki aksi selektif terhadap serabut sensoris Aδ dan C, karenanya ia merupakan obat yang sering dipilih dalam melakukan tindakan ini.5

Tabel 1. FLACC Score12

KATEGORI SKOR0 1 2

FACE Tidak ada ekspresi tertentu atau senyum

Kadang wajahnya meringis atau mengerutkan kening, menarik diri, atau tidak tertarik terhadap sesuatu

Sering atau selalu mengerutkan kening, rahang terkatup, daguna gemetaran

LEG Posisi normal atau santai Cemas, gelisah, tegang Menendang, atau menarik kakinya

ACTIVITY berbaring dengan tenang, posisi normal, bergerak dengan mudah

menggeliat, bergantian kedepan dan ke belakang, tegang

Melengkung, kaku, atau menyentak

CRY Tidak ada teriakan (terjaga atau tertidur)

Mengerang atau merintih, sesekali mengeluh

Menangis terus, teriak atau isak tangis, sering mengeluh

CONSOLABILITY Puas/senang, santai Sesekali diyakinkan dengan sentuhan pelukan atau diajak bicara, dialihkan

Sulit untuk dihibur atau dibuat nyaman

Gambar 1. Gambaran anatomi dari persarafan utama kulit kepala. Teknik scalp block melibatkan 4 sampai 5 suntikan dari obat anestesi lokal ke tempat yang telah ditandai, untuk memblok saraf yang telah ditandai.13

(b) Infiltrasi dari pinggir luka operasi: Infiltrasi obat anestesi lokal preincisional menghasilkan efek yang sangat minim terhadap nyeri pascabedah kraniotomi. Bagaimanapun juga infiltrasi batas luka operasi dapat sedikit menurunkan nyeri pascaoperasi.14 Hasil ini sangat penting terutama dalam mengurangi kejadian nyeri kronik karena adanya proses inflamasi serta neuropatik. Infiltrasi bupivacaine (0,25% dengan adrenalin) sebelum pembedahan

Page 73: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

72 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

dan setelah penutupan kulit menunjukkan adanya penurunan nilai skor nyeri pascaoperasi sampai 1 jam pascaoperasi.15

Kemungkinan obat anestesi lokal memberikan efek analgesia pascaoperasi melalui efek analgetik preemptif. Keterbatasan utama dari modalitas ini adalah durasi dari hilangnya nyeri terbatas pada beberapa jam setelah operasi. Ketika efek dari obat anestesi lokal hilang, pemberian obat tambahan diperlukan untuk mengatasi nyeri. Ketidakmampuan untuk mengulangi pemberian injeksi obat anestesi lokal setelah penutupan verban steril merupakan keterbatasan lainnya. Hematoma, infeksi, serta injeksi intraarterial ataupun subarachnoid merupakan komplikasi yang jarang dari scalp block. Diantara dua teknik, infiltrasi luka dengan obat anestesi lokal tampaknya merupakan teknik yang lebih disukai dibandingkan dengan scalp block.5

4.2. OpioidDiluar berbagai kontroversi yang melingkupi penggunaannya dalam operasi bedah saraf, opioid merupakan modalitas untuk penanganan nyeri sedang sampai berat. Opioid yang sering digunakan untuk analgetik pascakraniotomi termasuk morfin, codein, fentanyl, dan tramadol. Aksinya dimediasi oleh reseptor opioid spesifik di sistim saraf sentral dan perifer. Pertimbangan tentang efek depresi nafas, sedasi, hiperkarbia, peningkatan ICP, dan keterlambatan dalam weaning ventilator, merupakan hal-hal yang difikirkan dalam penggunaan terapi opioid pada bedah saraf. Adanya potensi efek samping ini membuat opioid merupakan pilihan terapi terakhir dalam analgetik pascakraniotomi. Konsepsi tradisional ini telah membatasi penggunaan opioid setelah operasi bedah saraf, sehingga mengurangi keadekwatan analgesia. Bagaimanapun, opioid sistemik sering diperlukan untuk memberikan analgetik yang adekwat setelah operasi kraniotomi. Opioid dapat diberikan baik melalui parenteral maupun enteral.5

4.2.1. Parenterala. Morfin Morfin parenteral dapat diberikan melalui intravena, termasuk Patient Control Analgesia

(PCA) atau melalui jalan intramuskuler. Efek analgetik yang poten menumpulkan peningkatan hemodinamik saat masa pemulihan dari efek anestesi atau pada periode segera setelah operasi sehingga dapat mencegah terjadinya kemungkinan perdarahan intrakranial. PCA memfasilitasi kontrol pasien terhadap nyeri yang dideritanya dan juga mengurangi konsumsi opioid secara keseluruhan. Berkurangnya skor nyeri, kepuasan pasien yang lebih baik, serta kurangnya efek samping (dengan pemberian antiemetik serta monitoring secara ketat) merupakan keuntungan yang didapat dari mode analgesia ini.16 Bagaimanapun juga kebutuhan untuk mendapatkan kesadaran serta sensor yang intak, merupakan keterbatasan yang mengurangi penggunaan PCA secara luas.Pemberian injeksi morfin intramuskuler juga merupakan hal yang bisa digunakan walaupun memiliki onset yang lebih lambat, absorbsi sistemik yang bervariasi, serta nyeri pada tempat injeksi.5

b. Fentanyl Dibandingkan dengan morfin, fentanyl lebih poten, lipofilik, dan mempunyai onset yang lebih cepat. Karena masa kerjanya yang lebih pendek, menjadi suatu keharusan untuk memberikan obat ini melalui PCA; tetapi ia dapat digunakan intravena untuk breakthrough pain. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pengendalian nyeri lebih baik menggunakan PCA fentanyl, baik secara tersendiri ataupun bersama-sama dengan NSAID.17 Peningkatan kenyamanan pasien merupakan keuntungan lain dari fentanyl. Meskipun fentanyl transdermal merupakan cara pemberian analgetik yang baru, pemberian secara transdermal merupakan kontraindikasi pada nyeri akut karena onsetnya yang lambat, kesulitan dalam penghantaran obat, dan memanjangnya eliminasi waktu paruh. Sebagai tambahan, keamanan pemberian secara transdermal masih dipertanyakan pada pasien bedah saraf karena absorbsi fentanyl subkutan masih terus terjadi untuk beberapa waktu setelah dilepascannya fentanyl patch.5

c. TramadolTramadol merupakan analgetik sintetik yang memberikan efek analgetik melalui mekanisme opioid (agonis reseptor u) seperti juga mekanisme

Page 74: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

73

nonopioid (peningkatan level sinaptik neuronal sentral dari serotonin dan noradrenalin). Walaupun efikasi analgetiknya 10–15 kali lebih lemah dibandingkan dengan morfin, namun efek sampingnya juga relatif lebih sedikit. Pemberian berulang tidak menyebabkan ketergantungan, tidak adanya ceiling effect, dan jarang terjadi depresi nafas. Sebagai tambahan pemberian tramadol bersama dengan narkotik lain untuk analgetik pascaoperasi dapat memperlihatkan kemampuannya mengurangi nyeri pascaoperasi, mengurangi efek samping opioid lainnya, menurunkan lama perawatan di rumah sakit, dan mengurangi biaya perawatan secara keseluruhan.5 Tramadol sering digunakan pada pasien dengan fungsi respirasi dan kardiovaskuler yang tidak stabil. Dalam pemakaiannya untuk analgetik pascabedah, pemberian tramadol memerlukan kehati-hatian karena efek samping mual dan muntah serta adanya kemungkinan terjadinya kejang walaupun jarang.18

4.2.2. Opioid Enteral Kodein dan oxycodone merupakan opioid yang sering diberikan secara enteral terutama saat konversi dari suntikan ke oral. Efek analgetik dan depresi nafasnya sama dengan morfin pada dosis yang equipotent. Adanya ceiling effect terhadap depresi respirasi, serta tidak dipengaruhi oleh pupillary sign, membuat kodein menjadi pilihan menarik walaupun kejadian mual cukup tinggi saat pemakaian kodein.5 Kodein merupakan narkotik poten moderat yang memerlukan demetilasi untuk menjadi metabolit aktif (morfin). Metabolism codein tergantung pada enzim sitokrom P450 (terutama CYP 2D6). Adanya variasi fenotif pada pasien membuat respon metabolisme codein pada pasien bervariasi. Ada pasien yang metabolisme codeinnya kurang baik, pada pasien ini konversi codein menjadi morfin kurang adekwat sehingga menyebabkan daya analgetiknya lemah. Pada pasien yang lain ada yang memiliki metabolismenya berlebih sehingga terbentuk sejumlah besar morfin. Karena itu, terdapat variasi antar individu dalam hal biotransformasi pembentukan metabolit aktifnya, kecepatan pembentukan, serta konsentrasi plasma dari metabolit tersebut sehingga akibatnya efikasi dari codein sebagai pro-drug sangat bervariasi.

Karenanya kekuatan analgetik codein ini menjadi sangat bervariasi dan tidak mencukupi. Dilain pihak, dapat terjadi kerusakan sensoris pada pasien yang memiliki metabolisme berlebihan, karena adanya overload dari morfin, yang bisa disalahartikan sebagai gangguan neurologis atau karena sebab lainnya. Selain itu ada beberapa obat yang dipakai bersama-sama dapat menghambat CYP 2D6 dan metabolisme kodein. Untuk mendapatkan efek sinergis, kodein dan oxykodone sering diberikan bersama asetaminofen dan aspirin.19 Tablet oxycodone lepas lambat tidak dapat berikan melalui nasogastrik tube karena bila tablet dihancurkan maka tablet ini akan melepaskan sejumlah besar oxycodone yang akan diabsorbsi secara sistemik.

4.3. Analgetik Non Opioida. ParacetamolMekanisme kerja paracetamol secara pasti masih belum jelas, diperkirakan melibatkan aksi antinosiseptif sentral, inhibisi prostaglandin H2 sintetase, merangsang aktivitas jalur serotoninergik desenden di medulla spinalis, atau modulasi reseptor β endorfin. Paracetamol digunakan di pusat tertentu untuk mengurangi nyeri pascakraniotomi walaupun sebagai obat tunggal paracetamol tidak efektif untuk mengurangi nyeri. Bagaimanapun penggunaannya bersama opioid dan NSAID lainnya mengurangi skor nyeri dengan signifikan.20 Pemberian paracetamol bersama dengan PCA opioid mengurangi pemakaian opioid walaupun tidak mengurangi efek samping yang terjadi.5

b. Non Steroidal Anti Inflammation Drugs (NSAID) Penggunaan NSAID dalam bedah saraf merupakan suatu hal yang masih diperdebatkan. Mekanisme kerja NSAID sebagai analgetik didapat dengan cara menghambat pembentukan prostaglandin yang selanjutnya dapat mengurangi nyeri dan inflamasi. Penggunaan diclofenac telah disarankan karena tidak adanya gangguan perdarahan ataupun gangguan ginjal.7 Seperti diketahui, NSAID menghambat agregasi trombosit sehingga menyebabkan memanjangnya waktu perdarahan, karenanya dapat menyebabkan resiko untuk terjadinya perdarahan pascaoperasi. Lebih jauh, pada masa

Pengelolaan Nyeri Pascakraniotomi

Page 75: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

74 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

pascaoperasi, pasien kraniotomi kadang-kadang mengalami hipovolemia atau mendapatkan terapi vasokonstriktor. Pada keadaan ini aliran darah ginjal menjadi tergantung terhadap prostaglandin. NSAID dapat berbahaya pada keadan tersebut. Indomethacin dapat menurunkan aliran darah otak dengan adanya efek vasokonstriksi.5 Perhatian harus dilakukan saat penggunaannya pada periode awal pascaoperasi dan monitoring ketat dibutuhkan sehingga tidak terjadi pembentukan hematoma karena gangguan koagulasi.

Diantara NSAID ada obat jenis yang bekerja spesifik menghambat pembentukan enzim COX-2. Obat inhibitor COX-2 ini merupakan pilihan yang dapat dipertimbangkan untuk terapi nyeri pascakraniotomi karena inhibitor COX-2 selektif hanya beraksi hanya pada mediator inflamasi dan tidak mengganggu fungsi trombosit. Parecoxib intravena biasa diberikan bersama bersama morfin dan scalp block untuk menghilangkan nyeri pascakraniotomi. Tetapi penelitian tentang hal ini tidak memperlihatkan adanya perbedaan tingkat analgesia yang signifikan. Pemberian rofecoxib mengurangi kebutuhan oxycodone oral, mengurangi kejadian efek samping opioid, serta memberikan analgesia yang lebih baik. Walaupun ia dapat mengurangi konsumsi opioid, mengurangi lama perawatan di rumah sakit, serta meningkatkan kepuasan pasien, rekomendasi untuk penggunaannya dalam praktek sehari-hari masih diperdebatkan.5 Kontroversi ini terutama tentang kemungkinan efek kardiovaskuler dan kejadian thromboemboli akibat pemberian obat ini.5

4.4. NMDA Receptor AntagonistReseptor NMDA merupakan kanal ion ligand gated yang menjadi jalur masuknya kalsium, natrium, dan kalium ke dalam sel. Mereka terlibat dalam modulasi nyeri pada level medulla spinalis serta sensitisasi dari nosiseptor. Antagonis reseptor NMDA kurang memiliki sifat analgetik instrinsik. Efek analgetik dari obat ini dimediasi dengan cara menghambat sensitisasi sentral. Pada review terdahulu memperlihatkan berkurangnya nyeri serta kebutuhan analgetik pascaoperasi menggunakan dekstromethorphan dan ketamine. Pemakaian ketamine pada pasien pasca

kraniotomi tampaknya perlu dipertimbangkan dengan hati-hati karena adanya kemungkinan peningkatan tekanan intrakranial, sedangkan dekstromethorphane memperlihatkan bahwa ia merupakan bagian penting dalam obat-obatan multimodal analgesia pascakraniotomi.5

4.5. GabapentinGabapentin merupakan antiepilepsi generasi baru yang memiliki sifat antinosiseptif dan antihiperalgesia. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian gabapentin preoperatif mengurangi nyeri pascaoperasi, konsumsi opioid yang lebih sedikit, dan menurunkan kejadian mual dan muntah. Tetapi dilain pihak ia memiliki komplikasi meningkatkan level sedasi dan memperlambat waktu ekstubasi trakhea.5 4.6. Αlfa 2 Adrenoreseptor AgonisAlfa 2 adrenoreseptor agonis merupakan obat baru dalam penatalaksanaan nyeri. Dexmedetomidine merupakan α2 adrenoreseptor agonis kuat yang memberikan sedasi tanpa mempengaruhi respirasi. Penelitian yang melibatkan dexdemetomidine menemukan adanya pengurangan konsumsi opioid pascaoperasi sampai 60% pada tindakan intra-abdominal dan ortopedi. Hal ini terjadi diperkirakan karena adanya aktivitas analgetik preemptif dari dexmedetomidine.5 Tetapi disamping hal tersebut, dilaporkan adanya waktu keluar dari PACU yang lebih lama pada pasien yang mendapatkan infus dexmedetomidine.

5. Nyeri Kronik setelah KraniotomiNyeri yang menetap setelah kraniotomi suboccipital merupakan kondisi yang sangat mengganggu yang mempengaruhi kehidupan profesional dan sosial dari pasien. Berbagai kasus yang dihubungkan dengan berkembangnya nyeri kronik pascakraniotomi adalah traksi duramater, kerusakan otot servikal, terjepitnya saraf, atau bocornya cairan serebrospinal.5 Nyeri kepala menetap setelah kraniotomi ditandai oleh adanya kombinasi nyeri kepala tipe tension dan nyeri kepala pada luka operasi. Nyeri terasa seperti ditusuk, ditekan, atau berdenyut. Teknik pembedahan juga berpengaruh terhadap nyeri pascaoperasi. Pada kraniotomi dengan pendekatan retrosigmoid, penggantian flap tulang, atau penutupan duramater secara

Page 76: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

75 Pengelolaan Nyeri Pascakraniotomi

langsung, dapat menyebabkan tingginya insidensi nyeri. Pemberian fibrin glue atau pengeboran tulang dapat menyebabkan meningitis aseptik yang membentuk nyeri kronik.5 Nyeri kepala pascakraniotomi juga dapat terjadi setelah pembentukan jaringan parut yang melibatkan saraf occipital atau pembentukan jaringan fibrosa yang menempelkan otot leher dan duramater. Pergerakan leher menyebabkan traksi duramater dan merangsang terjadinya nyeri.22 Nyeri kepala kronik merupakan gejala yang sering terjadi setelah trauma kepala. Pasien yang menjalani operasi karena trauma kepala primer, memiliki kemungkinan besar untuk mengalami nyeri kepala kronik pascatrauma. Nyeri kepala pascaoperasi kraniotomi dapat diatasi secara nonfarmakologik menggunakan Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS), akupuntur, radiofrequency atau cryoablation, fisioterapi, dan lain-lain. Kombinasi dengan menggunakan dua macam terapi dapat memberikan hasil yang baik.5

VI. Simpulan

Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat peningkatan kesadaran dan sensitivitas diantara para dokter neuroanestesi dan dokter ahli bedah saraf mengenai perlunya menyediakan penghilang rasa sakit pascaoperasi yang baik pada pasien yang menjalani kraniotomi. Hal ini diterjemahkan dengan praktek dan strategi penatalaksanaan nyeri yang lebih baik. Kebutuhan yang mendasar pada pasien ini adalah adanya penilaian tingkat kesadaran yang jelas untuk evaluasi fungsi neurologis. Sebagai akibatnya, pemantauan secara terus menerus terhadap fungsi neurologis serta target analgesia yang adekwat merupakan pekerjaan yang harus dilakukan untuk menyeimbangkan efek yang terjadi. Sejak mulai dikenalnya berbagai pilihan terapi disamping opioid yang telah lama dipakai, analgesia multimodal memberikan harapan yang rasional tentang kualitas analgesia yang lebih baik dengan efek samping yang minimal dibandingkan bila obat diberikan secara individual. Walaupun telah banyak literatur membahas berbagai modalitas untuk mengatasi nyeri akut pascakraniotomi, belum ada kesepakatan atau konsensus tentang

protokol penanganan nyeri ini. Kebanyakan pasien pascakraniotomi mendapatkan obat anti kejang secara bersamaan dengan obat lainnya. Pengaruh dari obat-obat ini terhadap kebutuhan analgetik belum diketahui secara jelas. Karenanya protokol penanganan nyeri yang ideal untuk penatalaksanaan nyeri pascakraniotomi secara praktis masih belum didapat.

Daftar Pustaka

1. Dunbar PJ, Visco E, Lam AM. Craniotomy procedures are associated with less analgesic requirements than other surgical procedures. Anesth Analg. 1999; 88:2, 335–40.

2. De Benedittis, Lorenzetti A, Migliore M, Spagnoli D, Tiberio F, and Villani RM. Postoperative pain in neurosurgery: a pilot study in brain surgery. Neurosurgery; 1996. 38:3;466–70.

3. Quiney N, Cooper R, Stoneham M, and Walters F, Pain after craniotomy. A time for reappraisal?. Brit J Neurosurg.1996; 10:3;295–9.

4. Klimek M, Ubben JFH, Amman J, Borner U, Klein J, Verbrugge SJC. Pain in neurosurgically treated patients: a prospective observational study. J Neurosurg. 2006;104(3):350–9

5. Haldar R, Kaushal A, Gupta D, Srivastava S, Singh PK. Pain following craniotomy: Reassessment of the available options. BioMed Research International. 2015.:1–8

6. Talke PO, Gelb AW. Postcraniotomy pain remains a real headache!. Eur J Anaesthesiol.2005; 22(5): 325–7.

7. de Gray LC, Matta BF. Acute and chronic pain following craniotomy: a review. Anaesthesia. 2005; 60(7): 693–704

8. Mokri B. Posture-related headaches and pachymeningeal enhancement in CSF leaks from craniotomy site. Cephalalgia 2001;

Page 77: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

76 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

21(10): 976–9.

9. Wei X, Melemedjian OK, Ahn DDU, Weinstein N, Dussor G. Dural fibroblasts play a potential role in headache pathophysiology. Pain. 2014; 155: 1238–44

10. Headache Classification Committee of the International Headache Society (IHS). The International Classification of Headache Disorders, 3rd edition (beta version). Cephalalgia 2013; 33 (9): 629–808.

11. Kim YD, Park JH, Yang SH. Pain assessment in brain tumor patients after elective craniotomy. Brain Tumor Research and Treatment. 2013; 1(1): 24–7

12. Merkel SI, Shayevitz JR, Lewis TV, Malviya S. The FLACC: a behavioral scale for scoring postoperative pain in young children. Pediatric nursing. 1997; 23(3):293–7

13. Guilfoyle MR, Helmy A, Duane D, Hutchinson PJA. Regional scalp block for postcraniotomy analgesia: a systematic review and meta-analysis. Anesth Analg. 2013; 116(5):1093–102

14. Batoz H, Verdonck O, Pellerin C, Roux G, Maurette P. The analgesic properties of scalp infiltrations with ropivacaine after intracranial tumoral resection. Anesth Analg. 2009; 109 (1): 240–4.

15. Bloomfield EL, Schubert A, Secic M, Barnett G, Shutway F, Ebrahim ZY. The influence of scalp infiltration with bupivacaine on hemodynamics and postoperative pain in adult patients undergoing craniotomy. Anesth Analg, 1998; 87(3):579–82.

16. Stoneham MD, Cooper R, Quiney NF, Walters FJM. Pain following craniotomy: a preliminary study comparing PCA morphine with intramuscular codeine phosphate. Anaesthesia. 1996; 51(12): 1176–8

17. Na HS, An SB, Park HP. Intravenous patient controlled analgesia to manage the postoperative pain in patients undergoing craniotomy. Korean J Anesthesiol. 2011; 60(1): 30–5

18. Kahn LH, Alderfer RJ, Graham DJ. Seizures reported with tramadol. The Journal of the American Medical Association. 1997; 278 (20):, article 1661.

19. Peter C, Watson N. A death knell for codeine for acute pain after craniotomy?. Can J Neurol Sci. 2011; 38(3):390–1

20. Tanskanen P, Kytt¨a J, Randell T. Patient-controlled analgesia with oxycodone in the treatment of postcraniotomy pain. Acta Anaesth Scand. 1999; 43(1): 42–5.

Page 78: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

77

Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan pada Cedera Otak Traumatik

Rovina Ruslami*), Tatang Bisri**)

*)Departemen Farmakologi dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran – RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, **)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran – RSUP

Dr. Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Cedera otak traumatik (COT) merupakan salah satu penyebab bangkitan dan epilepsi. Bangkitan pasca COT (post traumatic seizure/PTS) didefinisikan sebagai bangkitan dini (early PTS) jika terjadi dalam 7 hari pasca COT, atau sebagai bangkitan lanjut (late PTS) bila terjadi sesudah 7 hari pasca COT. Sampai saat ini tidak cukup data yang mendukung rekomendasi level I untuk terapi profilaksis PTS. Kejadian early PTS tidak berhubungan dengan luaran terapi yang lebih buruk. Namun karena insidensinya cukup tinggi, terapi profilaksis dapat menurunkan insidensi early PTS, dan sebagian epilepsi berhubungan dengan cedera kepala sebelumnya, maka terapi profilaksis dapat dipertimbangkan. Terapi profilaksis diindikasikan hanya untuk mencegah early PTS pada kasus COT berat (GCS <8). Terapi profilaksis tidak direkomendasikan untuk mencegah late PTS karena belum ada bukti yang mendukung. Fenitoin (phenytoin=PHT) merupakan obat yang paling banyak diteliti dan digunakan untuk mencegah early PTS, diberikan segera selama 1 minggu. PHT memiliki profil farmakokinetik yang rumit, berbagai efek samping yang memerlukan pemantauan klinis yang ketat dan pemeriksaan kadar obat dalam darah. Obat anti epilepsi (OAE) lain seperti valproat, karbamazepin, dan fenobarbital masih sangat terbatas datanya, memiliki isu keamanan dan farmakokinetik, sehingga saat ini tidak direkomendasikan untuk terapi profilaksis bangkitan pada COT. Levetiracetam (LEV) merupakan OAE yang lebih baru dengan profil farmakokinetik yang lebih “bersahabat”, namun data terkait efikasi dan keamanan masih terbatas. Diperlukan studi lebih lanjut untuk memperlihatkan jika LEV dapat menggantikan PHT dalam terapi profilaksis bangkitan pasca COT.

Kata kunci: bangkitan, cedera otak traumatik, epilepsi, fenitoin, levetiracteamJNI 2016;5(1): 77–85

The Use of Antiepileptic Drugs for Posttraumatic Seizure Prophylaxis after Traumatic Brain Injury

Abstract

Traumatic brain injury (TBI) is one of the cause of seizure and epilepy. Post traumatic seizure (PTS) is classified as early PTS if occurs within 7 days after injury, and as late PTS if occurs after 7 days following injury. The incidence of PTS is rather high, and seizure prophylaxis could decrease the incidence of early PTS. Furthermore, part of epilepsy are thought to be the result of previous head trauma. Therefore, prophylaxis therapy can be considered. Currently, there are insufficient data to support a Level I reccomendation for seizure prophylaxis after TBI. Early PTS is not associated with worse outcome. It is only indicated for preveting early PST in severe TBI (GCS <8), and not recommended for preventing late PTS due to lack of evidence to support it. Phenytoin (PHT) has been extensively studied and used for prophylaxis of PTS; it is administered during the first seven days after TBI. PHT has numoerus side effects and drug interactions, has complex non-linear pharmacokinetics that require therapeutic drug monitoring. Data from other AEDs like valproate, carbamazepine, and phenobarbital are very limited. They also have sevral safety and pharmackinetics issues. Therefore they are not recommended for preventing PTS. Levetiracetam (LEV) is a newer AED with a more friedly characteristics. However the data regarding the efficacy and safety is limited. Further investigations is needed to evaluate if LEV is a reasonable alternative to PHT for preventing PTS in patients with TBI.

Key words: epilepsy, levetiracetam, phenytoin, post traumatic seizure, traumatic brain injury

JNI 2016;5(1): 77–85

Page 79: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

78 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan

Cedera otak traumatik (selanjutnya disingkat dengan COT) dapat mengakibatkan berbagai problem dan komplikasi, salah satunya adalah bangkitan, atau dalam jangka panjang dapat menjadi epilepsi. Pada 6% penderita epilepsi, bangkitan diduga berkaitan dengan trauma kepala sebelumnya, dan umumnya susah dikendalikan dengan obat anti epilepsi (OAE) standar.1 Hal ini sangat berpengaruh kepada berbagai aspek termasuk kualitas hidup, dan psikososial pasien.

Bangkitan dini (early posttraumatic seizure/early/ PTS) didefinisikan sebagai bangkitan yang muncul dalam 7 hari pasca COT, sedangkan bangkitan lanjut (late posttraumatic seizure/late-PTS) yang dapat menjadi epilepsi adalah jika muncul sesudah 7 hari pasca COT.2,3 Konsep pencegahan bangkitan dan epilepsi pasca COT sudah establis, yaitu dengan memberikan OAE begitu pasien mengalami COT. Jika tidak muncul bangkitan dalam 7 hari sesudah terjadi trauma, OAE dapat distop pelan-pelan, dengan harapan tidak terjadi bangkitan di kemudian hari.2

Faktor risiko untuk terjadinya bangkitan kejang dini

Faktor risiko untuk terjadinya bangkitan kejang lanjut

GCS <10 Adanya bangkitan kejang dini

Kontusio kortikal Hematom intraserebral akut

Fraktur tulang tengkorak linier

Kontusio kortikal

Depressed fraktur tulang tengkorak

Amnesia pasca trauma >24 jam

Trauma tembus kepala Penurunan kesadaranUsia <65 tahun Usia >65 tahunAlkoholisme kronikAmnesia pasca trauma >30 menitHematom subdural, epidural atau intraserebral

Tabel 1. Faktor Risiko Terjadinya Bangkitan Kejang Dini dan Lanjut Pasca COT3

Fenitoin merupakan obat yang biasa digunakan, namun akhir-akir ini levetiracetam juga mulai banyak dipakai. Fenitoin lebih cost-effective dibandingkan levetiracetam dalam pencegahan bangkitan pasca COT, akan tetapi dalam jangka panjang agaknya perbedaan ini menjadi hilang mengingat kelebihan dan kekurangan masing-masing OAE ini. Pada telaah literatur ini akan dibahas mengenai aspek klinis pencegahan bangkitan pasca COT, farmakologi klinis OAE yang digunakan, perbandingan keduanya, bukti-bukti terkait serta rekomendasi dari panduan yang ada.

II. Epidemiologi Bangkitan Kejang Dini dan Lanjut (Epilepsi) Pasca COT

COT merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Penyebab yang paling sering adalah jatuh, kecelakaan motor dan penembakan. Sekitar 75% dari COT bersifat ringan.3 Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan tingkat kesadaran pasien yang dinilai dengan glasgow coma scale (GCS) pada saat masuk ke rumah sakit. Cedera kepala dikatakan cedera kepala ringan jika GCS 14–15; cedera kepala sedang jika GCS 9–13, dan cedera kepala berat jika GCS <8.

COT yang berat biasanya ditandai oleh adanya penurunan kesadaran atau amnesia 12–24 jam, adanya fraktur depresi tulang otak, adanya memar otak atau hematoma intrakranial.4 Insidensi bangkitan dini pasca COT berkisar antara 2,6%–16,3% tergantung disain penelitian.2 Kenapa terjadi early- dan late- PST pasca cedera kepala? Patofisiologinya belum begitu dimengerti dan banyak sekali faktor yang berperan, termasuk adanya kerusakan sawar otak, perdarahan, dan adanya injury-related excitotoxicity.2 Tabel 1 memperlihatkan faktor risiko terjadinya bangkitan dini dan lanjut pasca COT.

Insidensi epilepsi pasca COT bervariasi sesuai dengan disain penelitian. Suatu kohort memperlihatkan bahwa insidensi epilepsi pasca COT berat adalah 7,1% pada 1 tahun pertama, dan 11,5% pada 5 tahun pasca trauma. Sedangkan pada kasus COT sedang insidensinya adalah

Page 80: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

79 Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan pada Cedera Otak Traumatik

0,7% pada tahun pertama dan 1,6% pada 5 tahun pasca trauma. Risiko epilepsi pasca COT tidak meningkat pada kasus COT ringan (tidak adanya fraktur kranium dan tidak adanya penurunan kesadaran atau amnesia postrauma kurang dari 30 menit). Lebih berat suatu COT, lebih besar kemungkinan mengalami epilepsi, dan 80% epilepsi akan mucul dalam 2 tahun pertama pasca COT.2

III. Pencegahan Bangkitan Dini dan Lanjut (epilepsi) Pasca COT

Terapi profilaksis direkomendasikan hanya dalam 7 hari pasca COT, terutama jika terdapat faktor risiko untuk terjadinya early PTS. Tidak ada bukti yang mendukung pemberian terapi profilaksis lebih dari 7 hari, walaupun pada pasien yang memiliki faktor risiko. Ide pemberian OAE segera setelah terjadi COT didasari oleh adanya keinginan untuk mencegah munculnya epilepsi di kemudian hari. Di samping bangkitan dan epilepsi, COT seringkali diikuti oleh berbagai defisit neurologi segera maupun jangka panjang.

Sebelum 1993 1993 - 2005 2009 - 2011Asam Valproat Felbamat EzogabinDiazepam Gabapentin KlobazamEtosuksimid Lamotrigin LakosamidFenobarbital Levetiracetam RufinamidFenitoin Oxcarbazepin VigabatrinKarbamazepin PregabalinKlonazepam TopiramatLorazepam Zonisamid

Tabel 2. Klasifikasi OAE yang mendapat approval dari FDA dari waktu ke waktu7

IV. OAE yang Digunakan dalam Terapi Profilaksis Bangkitan Pasca COT

Berbagai OAE sudah diteliti potensinya dalam pencegahan bangkitan dan epilepsi pasca COT. Berikut akan dibahas properti OAE secara umum dan kemudian akan dibahas lebih khusus mengenai OAE yang sering digunakan dalam terapi profilaksis bangkitan pasca COT.

Klasifikasi OAEOAE diklasifikasikan menjadi generasi pertama (yang lebih awal ditemukan) dan generasi kedua (yang lebih baru). Generasi pertama antara lain adalah fenitoin, asam valproat, karbamazepin, fenobarbital dan etoksusimid; sementara generasi kedua antara lain gabapentin–pregabalin, levetiracetam, lamotigrin, topiramat, dan lain-lain.5 Secara umum obat-obatan generasi pertama dan generasi kedua memiliki efektivitas yang sama dalam penanganan epilepsi onset baru, akan tetapi obat generasi kedua cenderung memiliki efek samping yang lebih sedikit.6 American FDA membedakan klasifikasi OAE berdasarkan periode ditemukannya obat-obatan tersebut. Tabel 2 memperlihatkan klasifikasi OAE yang dibuat oleh FDA berdasarkan waktu approval-nya sebagai OAE.7

Mekanisme Kerja OAEBangkitan yang merupakan simptom utama epilepsi merupakan gangguan paroksismal aliran listrik dari jaringan neuron korteks. Kebanyakan OAE bekerja melalui mekanisme spesifik yang menghilangkan eksitabilitas neuron (melalui modulasi kanal sodium dan kalsium) atau dengan meningkatkan inhibisi neuronal melalui interaksi pada berbagai bagian reseptor γ-aminibutyric acid (GABA).5,7

Diagram berikut memperlihatkan lokasi di mana berbagai OAE bekerja dan memberikan efek teurapeutik (gambar 1).7 OAE bekerja terhadap excitatory synapse atau inhibitory synapse. OAE yang mempengaruhi excitatory synapse dapat bekerja pada pre-synapse maupun post synapse dengan tujuan mengurangi depolarisasi yang diinduksi oleh influx Ca+ dan pelepasan neurotransmitter (glutamat) vesikular. Umumnya OAE bekerja di excitatory synapse ini, termasuk

Termasuk di dalamnya adalah defisit neurologi fokal, gangguan kognitif, perubahan mood (seperti depresi), gangguan gerakan, gangguan tidur, dan problem tingkah laku. Sebagian dapat membaik namun sebagian malah menetap bahkan dapat memburuk. Apakah penggunaan OAE pada fase akut dapat berperaan dalam jangka panjang? masih perlu data lebih lanjut.2

Page 81: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

80 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

fenitoin dan levetiracetam.5,7 Sebaliknya OAE yang bekerja terhadap inhibitory synapse bekerja dengan memperbanyak pelepasan GABA atau meningkatkan ikatan GABA dengan reseptornya. Sebagai contoh, vigabatrin menghambat GABA transaminase sehingga menghambat metabolisme GABA yang menyebabkan jumlah GABA meningkat.5,7

Profil Farmakokinetik OAEKarakteristik suatu OAE yang ideal dan yang diinginkan adalah mempunyai oral availabilitas yang tinggi, mencapai keadaan steady-state dengan cepat, kinetiknya bersifat linear (konsentrasi dalam darah yang berkaitan dengan efek dapat diprediksi dari dosis yang diberikan), ikatan dengan protein rendah, waktu paruh yang memungkinkan obat diberikan 1–2 kali per hari, tidak dimetabolisme, dan tidak ada potensi interaksi obat.8 OAE generasi pertama umumnya mempunyai karakteristik berupa absorpsi oral yang cukup baik, mempunyai kinetik non-linear, ikatan dengan protein tidak kuat (kecuali fenitoin dan asam valproat), dimetabolisme di hati dan diekskresi melalui sistim bilier, mempunyai waktu paruh yang panjang, dan berpotensi menimbulkan interaksi obat.Sedangkan beberapa OAE generasi kedua mempunya profil farmakokinteik lebih baik, ikatan dengan protein minimal, memiliki kinetik

Gambar 1a. Diagram mekanisme kerja berbagai OAE di excitatory synapseDikutip dari Sirven, 20127

yang linear, sehingga titrasi dosis mudah dilakukan.5,8 Berikut ini akan diuraikan profil OAE yang biasa digunakan sebagai terapi profilaksis bangkitan kejang dan epilepsi pada pasien dengan COT.

i. FenitoinFenitoin (phenytoin, selanjutnya disingkat dengan PHT) merupakan OAE generasi pertama, dan sudah di approve oleh FDA untuk terapi profilaksis bangkitan kejang selama dan sesudah tidakan bedah syaraf.5 Mekanisme kerja: PHT bekerja melalui inhibisi excitatory synapse dengan cara menghambat voltage-gated Na+ channel sehingga menghambat terjadinya depolarisasi dan akhirnya menghambat pelepasan neurotransmiter glutamat vesikular.5,7 Profil Farmakokinetik: Absorpsi PHT sangat tergantung kepada formulasi obat, ukuran partikel serta zat pembawa dalam sediaan obat tersebut. Absorpsi lewat pemberian oral biasanya komplit walau waktunya sangat bervariasi (3–12 jam). Dalam sirkulasi 90% PHT akan terikat dengan protein plasma. PHT memiliki kinetik yang non-linear, kadar steady-state dalam darah belum tercapai dalam 7 hari karena waktu paruh yang panjang. PHT tersedia dalam bentuk sediaan oral dan injeksi (dalam bentuk fosfofenitoin, yang merupakan prodrug, dan lebih mudah larut). Untuk profilaksis bangkitan kejang PHT diberikan dalam 24 jam pertama pasca COT

Gambar 1b. Diagram mekanisme kerja berbagai OAE di inhibitory synapseDikutip dari Sirven, 20127

Page 82: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

81 Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan pada Cedera Otak Traumatik

dengan loading dose 20 mg/kgBB, diikuti dengan pemberian secara i.v, i.m atau per oral untuk mencapai kadar terapeutik 10–20 ug/mL.5

Farmakologi klinik: Yang menjadi isu penting dalam penggunaan PHT adalah perlunya monitor ketat kondisi pasien dan kadar obat dalam darah terkait rumitnya profil farmakokinetik PHT. Seperti sudah diuraikan di atas, 90% PHT terikat dengan protein plasma, memiliki kinetik nonlinear terkait metabolisme yang mengalami saturasi, serta interaksi dengan sistim isoenzim cytochrom 450 (CYP–450) yang juga terlibat dalam metabolisme banyak obat lain. Pasien dengan COT sangat mungkin mengalami gangguan berbagai fungsi organ sehingga dapat mempengaruhi kadar obat dalam darah.2,3,5

Di sisi lain, batas aman (margin of safety) PHT sempit, sehingga bisa saja konsentrasi PHT dalam darah dengan dosis yang dianjurkan akan berada di atas atau di bawah konsentrasi yang diharapkan (therapeutic level). Target konsentrasi PHT dalam darah untuk pencegahan bangkitan kejang adalah 10–20 ug/mL. Waktu paruh yang lama menyebabkan dalam 7 hari belum dapat dicapai keadaan steady state (5 kali waktu paruh), sementara terapi profilaksis bangkitan kejang pasca COT adalah 7 hari, sehingga sangat mungkin belum dicapai konsentrasi terapeutik yang diinginkan. Beberapa penelitian memperlihatkan hanya 48–75% pasien yang mencapai kadar terapeutik >10 ug/mL.3

Isu keamanan: Toksisitas PHT bersifat dose-dependent; efek samping yang paling sering muncul adalah nistagmus, diplopia dan ataxia. Penggunaan yang lama dapat menimbulkan hiperplasia gusi, neuropati perifer, dan defisiensi vitamin D.5 PHT juga dapat menyebabkan hipotensi dan reaksi hipersensitivitas, namun kejadiannya tidak berbeda dengan plasebo.3

ii. LevetiracetamLevetiracetam (selanjutnya disingkat dengan LEV) merupakan OAE generasi lebih baru, memiliki struktur yang berbeda dengan OAE lainya. Levetiracetam merupakan derivat pyrrolidine analog piracetam. Karakteristik obat ini berwarna

putih, tidak berbau dan larut dalam air dengan rasa pahit.5,8 Mekanisme kerja: LEV berkerja dengan berikatan secara selektif terhadap protein vesikular sinaptik SV2A. Ikatan tersebut bersifat reversible, saturable, dan streoselective. Fungsi protein ini sendiri belum sepenuhnya dipahami namun tampaknya LEV mengubah pelepasan sinaptik glutamat dan GABA melalui kerja pada fungsi vesikular.5,8 Profil farmakokinetik: LEV mempunyai profil farmakokinetik yang lebih “bersahabat” dibanding PHT; absorpsi pada pemberian per oral sangat baik (bioavailabilitas mendekati 100%) dan tidak dipengaruhi oleh adanya makanan. Waktu mencapai kadar puncak adalah 1,3 jam. LEV mempunyai kinetik yang linear sehingga titrasi dosis lebih mudah, dan sangat sedikit terikat pada protein plasma (kurang dari10%). LEV memiliki waktu paruh 6–8 jam sehingga waktu untuk mencapai kondisi steady-state (5 kali waktu paruh) lebih singkat, yaitu kurang dari 48 jam. LEV tidak dimetabolisme di hati dan diekskresi di ginjal.5,8 Untuk profilaksis bangkitan kejang LEV diberikan dalam 24 jam pertama pasca COT dengan loading dose 20 mg/kgBB diikuti dengan 1000 mg i.v tiap 12 jam untuk mencapai kadar terapeutik 10–20 ug/mL. Farmakologi klinis: Profil farmakokinetik LEV menyebabkan obat ini mudah dalam pemberian. Kinetik yang linear menyebabkan mudahnya titrasi dosis mencapai dosis yang efektif, dan efek samping dan potensi interaksi obat lebih sedikit.5,8

Isu keamanan: LEV tidak dimetabolisme di hati, sampai saat ini belum diketahui adanya interaksi obat yang signifikan.8

iii. OAE lainBeberapa OAE generasi pertama telah dievaluasi peranannya dalam terapi profilaksis bangkitan pasca COT, seperti valproat, karbamazepin, dan fenobarbital. Valproat dan karbamazepin bekerja di tempat yang sama, yaitu di excitatory synapse, menghambat voltage-gated Na+ channel (gambar 1a) sehingga menghambat terjadinya depolarisasi dan memblok sustained high-frequency repetitive firing suatu neuron.5,7 Berbeda dengan PHT, valproat menghambat metabolisme obat-obat lain termasuk metabolisme PHT, fenobarbital dan karbamazepin, sehingga berdampak kepada kadar obat tersebut dalam darah dan sekaligus kepada

Page 83: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

82 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

toksisitasnya. Valproat menurunkan bersihan lamotrigine. Valproat memiliki banyak efek samping seperti gangguan saluran cerna sampai ke reaksi idionsikratik seperti hepatotokisistas dan trombositopenia, dan mempunyai efek teratogenik.5 Karbamazepin merupakan senyawa trisiklik yang juga efektif mengatasi depresi, neuralgia trigeminal, yang kemudian diketahui juga memiliki efek sebagai anti epilepsi. Mekanisme kerjanya serupa dengan mekanisme kerja PHT dan valproat yaitu dengan memblok kanal natrium. Karbamazepin meningkatkan metabolisme obat lain yang dimetabolisme di hati sehingga juga berpotensi menimbulkan interaksi obat dan mempengaruhi kemanan. Efek samping karbamazepin antara lain adalah diskrasia darah termasuk anemia aplastik dan agranulositosis dan adanya ruam di kulit.5

Fenobarbital (golongan hipnotik-sedative barbiturat) merupakan OAE yang paling tua, bekerja dengan cara meningkatkan proses inhibisi dan menurunkan transmisi eksitasi neuron. Meskipun dapat dipertimbangkan kalau fenobarbital merupakan OAE yang paling aman, namun adanya efek sedasi dan depresi susunan saraf pusat menyebabkan obat ini tidak merupakan obat yang terpilih.5 Saat ini berbagai OAE sudah tersedia di Indonesia, namun yang tersedia di BPJS hanya fenitoin, fenobarbital dan asam valproat. Diantara OAE tersebut, yang tersedia secara intravena adalah PHT, fenobarbital, dan diazepam.

V. Bukti Terkait

Terkait PHT, setidaknya terdapat 6 uji klinik yang dilakukan pada tahun 90-an memperlihatkan hasil yang bervariasi. Hasil penelitian pada tahun 19909 dan penilitian yang dipublikasikan pada tahun 199910 memperlihatkan bahwa pemberian PHT efektif mencegah early PTS pasca COT (3,6% vs. 14,2%, p<0,001 pada studi Temkin dan 21% vs. 41%, p=0,03 pada studi Haltiner), namun tidak terdapat perbedaan dalam dalam mencegah late PTS pasca COT9 dan mortalitas10 dibanding plasebo. Review oleh Chang memperlihatkan bahwa PHT dapat mencegah early PTS jika dibandingkan dengan plasebo (risiko relatif

0,37), tidak dapat mencegah late PTS (risiko relatif 1,05).11 Sementara penelitian lainnya tidak memperlihatkan efektivitas tersebut.3

PHT diduga dapat memperburuk fungsi kognitif; skor GCS yang dinilai setelah 1 bulan pasca COT berat pada kelompok yang mendapat PHT lebih rendah dibanding yang mendapat plasebo (p<0,05).12 Temuan yang sama juga didapatkan pada studi lebih baru, walau perlu dipertimbangkan beberapa keterbatasan dalam disain penelitian tersebut.13 Alternatif lain untuk terapi profilaksis bangkitan pasca COT adalah LEV. Mengingat obat ini merupakan obat yang lebih baru ditemukan (tahun 1999), masih sedikit studi yang mengevaluasi efek profilaksis bangkitan kejang pasca COT. Studi kohort retrospektif oleh Jones dkk pada tahun 2008 memperlihatkan bahwa efektivitas LEV setara dengan PHT dalam mencegah bangkitan dini pada penderita COT dan tidak terdapat perbedaan dalam perburukan neurologis pada 6 bulan pada kedua kelompok.14 Uji klinik single-blinded oleh Szaflarski dkk terhadap 52 pasien COT, memperlihatkan hal yang sama, namun penggunaan LEV memperlihatkan luaran neurologis yang lebih baik dibanding PHT (p=0,024) dan gangguan saluran cerna (p=0,043) dibandingkan kelompok yang mendapat LEV. Hal ini mengindikasikan bahwa LEV memiliki efikasi yang setara dengan PHT, namun lebih dapat diterima oleh pasien.15 Studi retrospektif baru-baru ini di Amerika Serikat memperlihatkan bahwa 98% pasien yang dirawat sebelum 2008 mendapatkan PHT, dan 64% pasien yang dirawat antara tahun 2008–2010 mendapatkan LEV.16

Terhadap OAE lainnya, bukti klinis masih sangat terbatas. Dua uji klinis memperlihatkan bahwa efikasi asam valproat sebanding dengan PHT, luaran neurologis juga sama, namun mortalitas cenderung lebih tinggi (p=0,07) (Temkin 1999). Luaran neuropsikologis atau fungsi kognitif pengobatan dengan asam valproat juga sama dengan PHT.17 Walaupun efikasinya setara dengan PHT, namun karena data masih terbatas dan adanya kecenderungan kematian yang lebih tinggi, maka pemberian asam valproat tidak direkomendasikan. Data mengenai karbamazepin lebih sedikit lagi;

Page 84: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

83 Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan pada Cedera Otak Traumatik

sebuah publikasi tahun 1983 mengevaluasi penggunaan karbamazepin dalam profilaksis bangkitan pasca COT. Karbamazepin menurunkan kejadian early PTS sebanyak 61% (p<0,05), dan late PTS sebesar 20% dibanding plasebo.18 Namun karena bukti ini hanya berasal dari satu penelitian, dan mengingat efek sampingnya, maka penggunaan karbamazepin untuk terapi profilaksis bangkitan pasca COT masih perlu dikaji ulang. Masih sangat terbatas bukti mengenai penggunaan fenobarbital; suatu uji klinis terhadap 126 pasien COT berat untuk melihat efeknya terhadap bangkitan lanjut. Fenobarbital diberikan 1 bulan sesudah terjadi COT selama 3 tahun dengan target tercapai konsentrasi 10–25ug/mL, dan di follow up selama 5 tahun. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa fenobarbital tidak memberikan efek yang bermakna jika dibandingkan plasebo (16% vs. 10,5%, p>0,05).19 Mengingat sangat terbatasnya bukti, banyaknya efek samping, dan sulitnya menjaga kadar terapeutik, fenobarbital saat ini tidak direkomendasikan untuk terapi profilaksis bangkitan pasca COT.

VI. Rekomendasi

OAE diindikasikan untuk menurunkan insidensi early PTS yang terjadi dalam 7 hari pertama pasca trauma. Namun adanya early PTS tidak berhubungan dengan luaran terapi yang lebih buruk. Rasionalisasi diberikannya terapi profilaksis dengan OAE untuk mencegah bangkitan pasca COT adalah mengingat insidensi bangkitan kejang cukup tinggi serta terdapatnya potensi manfaat pencegahan bangkitan pasca COT ini. Menurut panduan dari The Brain Trauma Foundation yang dikeluarkan pada tahun 2007 telah membuat rekomendasi level I, II dan III berdasarkan data/bukti kelas I, II atau III. Rekomendasi Level I dibuat berdasarkan data (evidence) yang paling kuat (data kelas I seperti RCT yang berkualitas) dan manfaat klinisnya jelas. Rekomendasi level II mengindikasikan manfaat klinis tingkat sedang, sedangkan rekomendasi level III, manfaat klinisnya belum jelas.20

Dari penelitian yang ada (umumnya termasuk data

kelas III), terapi profilaksis dapat menurunkan insidensi early PTS, sehingga tidak cukup data/evidence yang mendukung rekomendasi level I untuk terapi profilaksis bangkitan pasca COT. Terapi proflaksis dengan OAE tidak menurunkan insidensi late PTS. Walaupun demikian, early PTS tidak berhubungan dengan luaran terapi yang lebih buruk. Lebih lanjut, dinyatakan bahwa terapi profilaksis menggunakan fenitoin atau asam valproat tidak direkomendasikan untuk mencegah late PTS (rekomendasi level II).20

Panduan dari American Academy of Neurology (AAN) memberikan rekomendasi level A dalam penggunaan PHT untuk pencegahan early PTS untuk pasien dengan COT berat (GCS <8). PHT diberikan secara intravena waktu memberikan loading dose yang diberikan sesegera mungkin setelah terjadi trauma.2,3,11 Sampai saat ini belum ada bukti kelas I (RCT double-blind yang berkualitas) yang memperlihatkan bahwa LEV setara atau bahkan lebih baik dibanding PHT, namun LEV memperlihatkan bahwa penggunaan LEV dapat dipertimbangkan. Mengingat sangat terbatasnya data mengenai LEV sebagai terapi profilaksis early PTS yang tersedia pada saat panduan ini dikeluarkan, maka rekomendasi untuk jenis OAE ini tidak termasuk.2,3

VII. Simpulan

Literatur yang ada saat ini mendukung penggunaan OAE dalam satu minggu pertama pasca COT berat (GCS <8) untuk mencegah early PTS. Terapi profilaksis diberikan dalam 1 minggu pertama pasca COT, dan akan bermanfaat terutama bagi pasien yang memiliki faktor risko terjadinya bangkitan. Kejadian early PTS tidak berhubungan dengan luaran terapi yang lebih buruk. Namun karena insidensinya cukup tinggi, terapi profilaksis menurunkan insidensi early PTS, dan sekitar 6% dari epilepsi berhubungan dengan cedera kepala sebelumnya, maka terapi profilaksis ini dapat dipertimbangkan. Belum ada bukti bahwa terapi profilaksis dapat bermanfaat mencegah terjadinya late PTS, walaupun pada pasien dengan faktor risiko. PHT dan valproat tidak direkomendasikan untuk mencegah late PST. Diantara OAE yang tersedia, PHT merupakan obat yang paling banyak

Page 85: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

84 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

diteliti untuk tujuan ini, dan direkomendasikan oleh AAN dan Brain Trauma Foundation untuk profilaksis early PTS. Sementara OAE lain seperti asam valproat, karbamazepin dan fenobarbital masih sangat terbatas datanya. Mengingat isu keamanan dan karakteristik farmakodinamik yang tidak menguntungkan, obat-obat ini tidak lebih bermanfaat dibanding PHT dan tidak direkomendasikan untuk terapi profilaksis bangkitan pada COT. LEV merupakan OAE generasi lebih baru memperlihatkan efikasi yang setara dengan PHT, dan berhubungan dengan efek samping yang lebih sedikit dan profil farmakokinetik yang lebih “bersahabat”. LEV merupakan alternatif pengganti PHT yang menjanjikan. Namun belum banyak bukti terkait efikasi dan keamanan. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mendukung penggunaan LEV dalam pencegahan bangkitan pasca COT. Daftar Pustaka

1. Temkin NR. Preventing and treating posttraumatic seizures: the human experience. Epilepsia. 2009;50(Suppl 2):10–13.

2. Szaflarski JP, Nazzal Y, Dreer LE. Post-traumatic epilepsy: current and emerging treatment options. Neuropsychiatric Dis Treat 2014;10:1469–77.

3. Torbic H, Forni AA, Anger KE, Degrado JR, Greenwood BC. Use of antiepileptics for seizure prophylaxis after traumatic brain injury. Am J Health-Syst Pharm. 2013;70:759–66.

4. Kraus J, McArthur D. Epidemiology of brain injury. Dalam: Cooper P, Golfinos J, eds. Head injury. 4th ed. New York: McGraw- Hill; 2000:1–26.

5. Porter RJ and Meldrum BS. Antiseizure Drugs. Dalam: Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. Basic and Clinical Pharmacology. 11th ed., San Fransisco; McGraw Hill-Lange, 2009,399–422.

6. Ben-Menachem E. Efficacy and tolerability

of the new antiepileptic drugs, I: treatment of new onset epilepsy. Epilepsy Currents. 2005;5(1):30–32.

7. Sirven JI, Noe K, Hoerth M, Drazkowski J. Antiepileptic Drugs 2012: Recent Advance and Trends. Mayo Clin Proc. 2012;87(9):879–89.

8. Patsalos PN. Clinical pharmacokinetics of levetiracetam. Clin Pharmacokinet. 2004; 43:707–24.

9. Temkin NR, Dikmen SS,Wilensky AJ, Keihm J,Chabal S, Winn HR. A randomized, double blind study of phenytoin for the prevention of post-traumatic seizures. N Engl J Med. 1990;323(8):497–502.

10. Haltiner AM, Newell DW, Temkin NR, Dikmen SS, Winn HR. Author information. Side effects and mortality associated with use of phenytoin for early posttrau- matic seizure prophylaxis. J Neurosurg. 1999; 91:588–92.

11. Chang BS, Lowenstein DH; Quality Standards Subcommittee of the American Academy of Neurology. Practice parameter: antiepileptic drug prophylaxis in severe traumatic brain injury: report of the Quality Standards Subcommittee of the American Academy of Neurology. Neurology. 2003;60(1):10–16.

12. Dikmen SS, Temkin NR, Miller B, Machamer J, Winn HR. Neurobehavioural effects of phenytoin prophylaxis of posttraumatic seizures. JAMA. 1991; 265:1271–7.

13. Bhullar IS, Johnson D, Paul JP, Kerwin AJ, Tepas JJ 3rd, Frykberg ER. More harm than good: antiseizure prophylaxis after traumatic brain injury does not decrease seizure rates but may inhibit functional recovery. J Trauma Acute Care Surg. 2014;76(1):54–60; discussion 60–61.

14. Jones KE, Puccio AM, Harshman KJ, Falcione B, Benedict N, Jankowitz BT, et al. Levetiracetam versus phenytoin for seizure

Page 86: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

85 Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan pada Cedera Otak Traumatik

prophylaxis in severe traumatic brain injury. Neurosurg Focus. 2008; 25:E3.

15. Szaflarski JP, Sangha KS, Lindsell CJ, Shutter LA. Prospective, randomized, single-blind comparative trial of intravenous leveti- racetam versus phenytoin for seizure pro- phylaxis. Neurocrit Care. 2010; 12:165–72.

16. Kruer RM, Harris LH, Goodwin H, Kornbluth J, Thomas KP, Slater LA, Haut ER. Changing trends in the use of seizure prophylaxis after traumatic brain injury: A shift from phenytoin to levetiracetam. J Crit Care. 2013;28:883.e9–883.e13.

17. Dikmen SS, Machamer JE, Winn HR, Anderson GD, Temkin NR. Neuropsychological effects of valproate in traumatic brain injury: a randomized trial.

Neurology. 2000;54(4):895–902.

18. Glötzner FL, Haubitz I, Miltner F, Kapp G, Pflughaupt KW. Seizure prevention using carbamazepine following severe brain injuries. Neurochirurgia. 1983;26:66–79.

19. Manaka S. Cooperative prospective study on posttraumatic epilepsy: risk factors and the effect of prophylactic anticon- vulsant. Jpn J Psychiatry Neurol. 1992; 46:311–5.

20. Bratton S, Bullock MR, Carney N, Chestnut RM, Coplin W, Ghajar J, et al. Brain trauma foundation, american association of neurological surgeons, congress of neurological surgeons. Guidelines for the management of severe traumatic brain injury. J Neurotrauma. 2007;24(suppl 10):S83–86.

Page 87: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

BBambang J. Oetoro, 35, 41, 57

DDewi Yulianti Bisri, 35, 41, 57

IIwan Abdul Rachman, 1

PI Putu Pramana Suarjaya, 13, 24, 44

RRebecca Sidhapramudita Mangastuti, 57Riyadh Firdaus, 13, 44

Rovina Ruslami, 77

SSandhi Christanto, 24Siti Chasnak Saleh, 35, 41, 57Sri Rahardjo, 13, 24, 44Suwarman, 68

TTatang Bisri, 1, 68, 77

WWahyu Sunaryo Basuki, 35

Indeks Penulis

Page 88: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

AAnak, 35Anestesi, 44,57Anelgesia, 68

BBangkitan, 77

CCedera otak traumatik, 77Cerebellopontine angle tumor, 24Cliping, 44

DDisfungsi batang otak, 1Dexmedetomidin,

EEpidural hematom, 35Epilepsi, 77

FFossa posterior, 1Fenitoin, 77

HHipertensi, 35

IIntraoperatif neurologik monitoring, 24

LLevetiracteam, 77

MMVD (microvascular decompression), 13

NNyeri, 68

PPascakraniotomi, 68Perdarahan intraserebral, 35 Pengelola perioperatif anestesi, 35

RRuptur anerisma, 44, 54 SSubarachnoid hemorrhage, 57Stroke perdarahan, 35

VVAE, 1Vasopasme, 44

WWanita hamil, 57

Indeks Subjek

Page 89: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

Pedoman Bagi Penulis

1. Ketentuan Umum

Redaksi majalah Jurnal Neuroanestesia Indonesia menerima tulisan Neurosains dalam bentuk Laporan Penelitian, Laporan Kasus, Tinjauan Pustaka, serta surat ke editor. Naskah yang dipertimbangkan dapat dimuat adalah naskah lengkap yang belum dipublikasikan dalam majalah nasional lainnya. Naskah yang telah dimuat dalam proceeding pertemuan ilmiah masih dapat diterima asalkan mendapat izin tertulis dari panitia penyelenggara.

2. Judul

Bahasa Indonesia tidak melebihi 12 kata, judul bahasa Inggris tidak melebihi10 kata.

3. Abstrak

Ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia serta tidak boleh lebih dari 250 kata.

Abstrak Penelitian:

Terdiri dari IMRAD (Introduction, Method, Result, and Discussion). Dalam introduction mengandung latar belakang dan tujuan penelitian. Dalam Discussion diakhiri oleh Simpulan.

Contoh Penulisan Abstrak Penelitian:

Latar Belakang dan Tujuan: Disfungsi kognitif pascaoperasi (DKPO) sering terjadi dan menjadi masalah serius karena dapat menurunkan kualitas hidup pasien yang menjalani pembedahan dan meningkatkan beban pembiayaan kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui angka kejadian DKPO pada pasien yang menjalani operasi elektif di GBPT RSU dr. Sutomo dan menganalisa faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya.Subjek dan Metode: Penelitian ini melibatkan 50 orang sampel berusia 40 tahun atau lebih yang menjalani pembedahan lebih dari dua jam. Dilakukan serangkaian pemeriksaan fungsi kognitif praoperasi dan tujuh hari pascaoperasi.

Domain kognitif yang diukur adalah atensi dan memori. Faktor yang diduga mempengaruhi kejadian DKPO dalam penelitian ini adalah usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi.Hasil: Tujuh hari pascaoperasi 30% sampel mengalami gangguan atensi, 36% sampel mengalami gangguan memori dan 52% sampel mengalami disfungsi kognitif pascaoperasi. Pemeriksaan kognitif yang mengalami penurunan bermakna adalah digit repetition test, immediate recall, dan paired associate learning. Analisa logistik regresi variabel usia (p=0,798), tingkat pendidikan (p=0,921) dan durasi operasi (p=0,811) terhadap kejadian DKPO menunjukkan hubungan yang tidak bermakna. Namun bila dianalisa pada masing masing kelompok usia tampak bahwa persentase pasien yang mengalami DKPO konsisten lebih tinggi pada usia ≥50 tahun, tingkat pendidikan ≤6 tahun dan durasi operasi ≥180 menitSimpulan: Kejadian disfungsi kognitif pada pasien yang menjalani operasi elektif di GBPT RSU dr. Sutomo cukup tinggi. Faktor usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi tampaknya mempengaruhi kejadian DKPO meskipun secara statistik tidak signifikan.

Kata kunci: anestesi umum, atensi, kognitif pascaoperasi, memori

Abstrak Laporan Kasus:

Terdiri dari Pendahuluan, Kasus, Pembahasan, simpulan

Contoh Penulisan Abstrak Laporan Kasus:

Abstrack

Meningoencephaloceles are very rare congenital malformations in the world that have a high incidence in the population of Southeast Asia, include in Indonesia. Children with anterior meningoencephaloceles should have surgical correction as early as possible because of the facial dysmorphia, impairment of binocular vision,

Page 90: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

increasing size of the meningoencephalocele caused by increasing brainprolapse, and risk of infection of the central nervous system. In the report, we presented a case of a 9 months-old baby girl with naso-frontal encephalocele and hydrocepahalus non communicant, posted for VP shunt (ventriculo-peritoneal shunt) and cele excision. Becaused of the mass, nasofrontal or frontoethmoidal and occipital meningoencephalocele leads the anaesthetist to problems since the anaesthesia during the operation until post operative care. Anaesthetic challenges in management of meningoencephalocele, which most of the patients are children, include securing the airway with intubation with the mass in nasofrontal or nasoethmoidal with its associated complications and accurate assessment of blood loss and prevention of hypothermia

Key words: Anaesthesia, difficult ventilation, difficult intubation, naso-frontal, meningoencephalocele, padiatrics

Abstrak Tinjauan Pustaka:

Terdiri dari Pendahuluan, Isi, dan Simpulan

Abstrak

Stroke hemoragik merupakan penyakit yang mengerikan dan hanya 30% pasien bertahan hidup dalam 6 bulan setelah kejadian. Penyebab umum dari perdarahan intrakranial adalah subarachnoid haemorrhage (SAH) dari aneurisma, perdarahan dari arteriovenous malformation (AVM), atau perdarahan intraserebral. Perdarahan intraserebral sering dihubungkan dengan hipertensi, terapi antikoagulan atau koagulopati lainnya, kecanduan obat dan alcohol, neoplasma, atau angiopati amyloid. Mortalitas dalam 30 hari sebesar 50%. Outcome untuk stroke hemoragik lebih buruk bila dibandingkan dengan stroke iskemik dimana mortalitas hanya sekitar 10-30%. Stroke hemoragik khas dengan danya sakit kepala, mual muntah, kejang dan defisit neurologic fokal yang lebih besar. Hematoma dapat menyebabkan letargi, stupor dan koma. Disfungsi neurologik dapat terjadi dari rentang sakit kepala sampai koma. Pengelolaan dini difokuskan pada: 1)

pengelolaan hemodinamik dan jantung, 2) jalan nafas dan ventilasi, 3) evaluasi fungsi neurologik dan kebutuhan pemantauan tekanan intrakranial atau drainase ventrikel atau keduanya.

Kata kunci: perdarahan intrakranial, stroke perdarahan

Diakhir abstrak dibuat kata kunci yang ditulis berurutan secara alphabet, 3–5 buah.

4. Cara Penulisan Makalah Penulisan Daftar Pustaka:

• Nomor Kepustakaan berdasarkan urutan datang” di dalam teks, Vancouver style.

• Jumlah kepustakaan minimal 8 dan maksimal 20 buah.

Contoh cara penulisannya:

Dari Jurnal:

1. Powers WJ. Intracerebral haemorrhage and head trauma. Common effect and common mechanism of injury. Stroke 2010;41(suppl 1):S107–S110.

2. Qureshi A, Tuhrim S, Broderick JP, Batjer HH, Hondo H, Hanley DF. Spontaneus intracerebral haemorrhage. N Engl J Med 2001,344(19):1450–58.

Dari Buku:

1. Ryan S, Kopelnik A, Zaroff J. Intracranial hemorrhage: Intensive care management. Dalam: Gupta AK, Gelb AW, eds. Essentials of Neuroanesthesia and Neurointensive Care. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008, 229–36.

2. Rost N, Rosand J. Intracerebral Hemorrhage. Dalam: Torbey MT, ed. Neuro Critical Care. New York: Cambridge University Press;2010,143–56.

Materi Elektronik

Artikel Jurnal dalam Format Elektronik Lipton B, Fosha D. Attachment as a transformative process in AEDP: operationalizing the intersection of

Page 91: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

Penanggungjawab, pemimpin, dan segenap redaksi Jurnal Neuroanestesi Indonesia menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya serta ucapan terima kasih yang tulus

kepada mitra bebestari:

Prof. Siti Chasnak Saleh, dr., SpAnKIC,KNA(Universitas Airlangga ‒ Surabaya)

Dr. Sri Rahardjo, dr., SpAnKNA, KAO(Universitas Gadjah Mada ‒ Yogyakarta)Dr. M. Sofyan Harahap, dr., SpAnKNA(Universitas Diponegoro ‒ Semarang)Dr. Bambang J. Oetoro, dr., SpAnKNA

(Universitas Atmajaya Khatolik‒ Jakarta)Dr. Diana Lalenoh, dr., SpAnKNA, KAO, M.Kes

(Universitas Sam Ratulangi – Manado)Dr. I Putu Pramana Suarjaya, dr., SpAnKMN, KNA

(Universitas Udayana – Denpasar)Dr. M.M. Rudi Prihatno, dr., SpAnKNA, M.SiUniversitas Jenderal Soedirman – Purwokerto)

Atas kerjasama yang terjalin selama ini, dalam membantu kelancaran penerbitan Jurnal Neuroanestesi Indonesia, semoga kerjasama ini dapat berjalan lebih baik untuk masa yang akan

datang

Redaksi

Page 92: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/volume05no01peb2016/Volume05Nomor... · Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan ...

FORMULIR PESANAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:Nama Lengkap : ………………………………………………………………...Alamat Rumah : ………………………………………………………………... ………………………………………………………………... ……………….. Kode pos…………………………................. Telepon …………………………Faks …………………......... HP ………………………………E-mail…………...................Alamat Praktik : ………………………………………………………………... Telepon …………………………Faks ……………….............Alamat Kantor : ………………………………………………………................ ……………………….. Kode pos…………………………….. Telepon …………………………Faks ……………………......Mulai berlangganan : ………………………………. s.d ……………………………...

Saya bermaksud untuk berlangganan JNI secara teratur dengan mengirimkan biaya berlangganan sebesar Rp. 250.000,00 per tahun**

Pembayaran melalui : □ Langsung ke Sekretariat Redaksi Jl. Prof. Dr. Eijkman No. 38 – Bandung 40161 Mobile : 087722631615

JNI dikirimkan ke* : □ Alamat Rumah □ Alamat praktik □ Alamat Kantor

Bandung, ………………………………… Hormat Saya

( )

* pilih salah satu** foto kopi bukti transfer mohon segera dikirimkan/faks ke Sekretariat Redaksi*** termasuk ongkos kirim untuk wilayah Jawa Barat, Jakarta, dan Banten