Daftar Isi Jurnal Ed.10

147
Jurnal Promosi Kesehatan NUSANTARA INDONESIA PENGARUH PENYULUHAN KESEHATAN MENGGUNAKAN VIDEO DALAM PEMERIKSAAN PAYUDARA SENDIRI (SADARI) TERHADAP PERUBAHAN PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA PUTRI DI SMAN 9 BALIKPAPAN TAHUN 2012 Sulastri 1 , Ridwan M. Thaha 2 , Syamsiar S. Russeng.MS 3 1 SADARI Foundation 2 Jurusan Promosi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin 3 Jurusan Kesehatan dan Keselamatan Kerja, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin Abstrak SADARI merupakan langkah awal yang penting untuk mengetahui secara dini adanya tumor atau benjolan pada payudara sehingga dapat mengurangi tingkat kematian karena penyakit kanker tersebut. Rekomendasi dari The American Cancer Sosiety, Menginformasikan bahwa banyak keuntungan untuk melakukan SADARI saat mencapai usia 20 tahun karena hampir 85% gangguan atau benjolan ditemukan oleh penderita sendiri melalui pemeriksaan dengan benar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penyuluhan kesehatan mengunakan video dalam pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap remaja putri di SMAN 9 Balikpapan Tahun 2012. Jenis penelitian ini adalah quasi eksperimental dengan rancangan pre – post test control group design. Subjek penelitian adalah remaja puteri kelas X – SMAN 9 Balikpapan yang dipilih dengan simple random sampling dengan perolehan sampel sebesar 50 siswi. Analisis yang digunakan adalah analisis univariat dan bivariat dengan uji paired t-test dengan taraf signifikansi 0.05. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan perubahan pengetahuan pada kelompok eksperimen dengan rerata (49.22) lebih besar daripada kelompok kontrol I (17.36), (p = 0.000) dan untuk perubahan sikap pada kelompok eksperimen (33.46) lebih besar daripada pada kelompok kontrol (25.94), (p = 0.000) sehingga ada perbedaan yang signifikasi penyuluhan kesehatan mengunakan video dalam SADARI terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap pada remaja putri Memotivasi pengetahuan dan sikap remaja terhadap SADARI dengan membentuk organisasi PIK KRR untuk memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi remaja, selain itu adanya monitoring, strategi promkes yang lebih kreatif, dukungan dari pihak sekolah, YKI, orang tua remaja putri sehingga terjadinya kesinambungan program. 1 Nomor 10 Edisi 10 Jul- Des 2012

Transcript of Daftar Isi Jurnal Ed.10

Page 1: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

PENGARUH PENYULUHAN KESEHATAN MENGGUNAKAN VIDEO DALAM PEMERIKSAAN PAYUDARA SENDIRI (SADARI) TERHADAP PERUBAHAN

PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA PUTRI DI SMAN 9 BALIKPAPAN TAHUN 2012

Sulastri1, Ridwan M. Thaha2, Syamsiar S. Russeng.MS 3

1SADARI Foundation2Jurusan Promosi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin

3Jurusan Kesehatan dan Keselamatan Kerja, Fakultas Kesehatan Masyarakat,Universitas Hasanuddin

AbstrakSADARI merupakan langkah awal yang penting untuk mengetahui secara dini adanya tumor

atau benjolan pada payudara sehingga dapat mengurangi tingkat kematian karena penyakit kanker tersebut. Rekomendasi dari The American Cancer Sosiety, Menginformasikan bahwa banyak keuntungan untuk melakukan SADARI saat mencapai usia 20 tahun karena hampir 85% gangguan atau benjolan ditemukan oleh penderita sendiri melalui pemeriksaan dengan benar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penyuluhan kesehatan mengunakan video dalam pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap remaja putri di SMAN 9 Balikpapan Tahun 2012.

Jenis penelitian ini adalah quasi eksperimental dengan rancangan pre – post test control group design. Subjek penelitian adalah remaja puteri kelas X – SMAN 9 Balikpapan yang dipilih dengan simple random sampling dengan perolehan sampel sebesar 50 siswi. Analisis yang digunakan adalah analisis univariat dan bivariat dengan uji paired t-test dengan taraf signifikansi 0.05.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan perubahan pengetahuan pada kelompok eksperimen dengan rerata (49.22) lebih besar daripada kelompok kontrol I (17.36), (p = 0.000) dan untuk perubahan sikap pada kelompok eksperimen (33.46) lebih besar daripada pada kelompok kontrol (25.94), (p = 0.000) sehingga ada perbedaan yang signifikasi penyuluhan kesehatan mengunakan video dalam SADARI terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap pada remaja putri Memotivasi pengetahuan dan sikap remaja terhadap SADARI dengan membentuk organisasi PIK KRR untuk memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi remaja, selain itu adanya monitoring, strategi promkes yang lebih kreatif, dukungan dari pihak sekolah, YKI, orang tua remaja putri sehingga terjadinya kesinambungan program.

Kata Kunci : remaja putri, SADARI, kanker payudara, media video

AbstractBSE is an important first step to determine the presence of early tumors or lumps in the

breast so as to reduce the rate of death from the cancer. Recommendations from the American Cancer Sosiety, informing that a lot of advantages to doing BSE when they reach the age of 20 years because nearly 85% disruption or lumps are found by patients themselves through the examination properly.

This study aimed to determine the effect of health education using video in breast self-examination (BSE) to increase knowledge and attitudes girls in SMAN 9 Balikpapan 2012. This research is a quasi experimental design with pre - posttest control group design. Subjects were girls of class X - SMAN 9 Balikpapan selected by simple random sampling with the acquisition of a sample of 50 students. The analysis is used univariate and bivariate analyzes to test paired t-test with significance level 0.05.

The results showed there were differences in changes in knowledge in the experimental group with a mean (49.22) is greater than the control group I (17:36), (p = 0.000) and for the

1 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 2: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

change in attitude in the experimental group (33.46) is greater than in the control group (25.94), (p = 0.000) so that there is a significance difference in health education using video in BSE to increase knowledge and attitudes in adolescent girlsMotivating adolescent knowledge and attitudes toward breast self-organization by forming PIK KRR to provide information on adolescent reproductive health, in addition to the monitoring, promkes a more creative strategy, support from the school, ICF, parents teenage girls that the sustainability of the program.Keywords: young women, self-exam, breast cancer, video media

PENDAHULUAN

anker payudara dikenal sebagai salah satu kanker yang paling sering menyerang kaum wanita. Selain itu kecenderungan peningkatan prevelensinya tidak dapat dihindari. Ditambah lagi kematian karena kanker payudara masih tinggi, terutama pada negara-

negara sedang berkembang, karena keterlambatan diagnosis, yang berarti juga keterlambatan pengobatan (Bustan, 2007).

KKanker payudara menduduki peringkat kedua setelah kanker leher rahim diantara

kanker yang menyerang wanita Indonesia. Prevalensi kanker payudara di Indonesia adalah 109 per 100.000 penduduk (WHO, 2008). Menurut Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) jenis kanker tertinggi di Rumah Sakit di Indonesia pasien rawat inap tahun 2008 adalah jenis kanker payudara yaitu sebanyak 18,4% yang kemudian disusul oleh kanker leher rahim (10,3%). Kanker payudara lebih sering menyerang wanita yang sudah berusia diatas 30 tahun, dan sekarang banyak wanita usia remaja menderita kanker payudara. Hal ini didukung berdasarkan laporan WHO pada tahun 2005 jumlah wanita khususnya remaja penderita kanker payudara mencapai 1.150.000 orang, 700.000 diantaranya tinggal di Negara berkembang temasuk Indonesia.

Kanker payudara menimbulkan rasa takut yang luar biasa bagi kaum perempuan karena selain menimbulkan kematian juga berpengaruh pada estetika. Deteksi yang terlambat dan kurangnya pengetahuan menyebabkan sebagian besar penderita kanker terlambat diobati. Masalah kanker payudara di Indonesia menjadi lebih besar karena lebih dari 70 % penderita kanker payudara datang ke dokter pada stadium yang sudah lanjut. Hal ini berbeda dengan di Jepang dimana pada masalah kanker payudara lanjut hanya ditemukan sebanyak 13 % (Sutjipto, 2008).

Berdasarkan data IARC (International Agency for Research on Cancer), pada tahun 2002 kanker payudara menempati urutan pertama dari seluruh kanker pada perempuan (insidens rate 38 per 100.000 perempuan) dengan kasus baru sebesar 22,7% dan jumlah kematian 14% per tahun dari seluruh kanker pada perempuan di dunia (Pusat Komunikasi Publik Setjen Depkes, 2011). Berdasarkan data rekam medik Rumah Sakit A. Wahab Syahranie Samarinda menunjukkan bahwa jumlah penderita tumor dan kanker payudara yang ada di Kalimantan Timur lebih dari 2000 orang. Berdasarkan data pasien rawat inap tahun 2011 dengan diagnosis kanker payudara di Kalimantan Timur paling tinggi terdapat di daerah Balikpapan sebesar 616 pasien, daerah bontang sebesar 185 pasien dan untuk wilayah samarinda sebesar 174 pasien.

Provinsi Kalimantan Timur data tumor/kanker payudara masih terfokus pada tiga kota besar yaitu Kota Samarinda, Kota Balikpapan dan Kota Bontang. Menurut laporan yayasan kanker Indonesia (YKI) tahun 2011 data penderita tumor/kanker payudara di tiga kota besar ini lebih 2000 orang. Berdasarkan data Rumah Sakit Umum A. Wahab Sjahranie rumah sakit Provinsi Kalimantan Timur tahun 2011 yang berdasarkan rujukan dengan diagnosis kanker payudara di Kalimantan Timur paling tinggi terdapat di daerah Balikpapan sebesar 616 pasien, daerah bontang sebesar 185 pasien dan untuk wilayah samarinda sebesar 174 pasien.

Melihat tingginya angka penderita kanker/tumor payudara, maka perlu upaya pendeteksian dini tumor/kanker payudara dalam hal ini pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) efektif untuk dilakukan pada tahap remaja, karena pada batasan usia tersebut merupakan saat yang tepat untuk memulai melakukan usaha preventif deteksi dini terjadinya penyakit Fibroadenoma

2 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 3: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Mammae (FAM) dan Cancer Mammae. Hasil penelitian para ahli yang dikutip oleh Dalimartha (2006) menyebutkan sekitar 75-82% keganasan payudara ditemukan dengan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI).

Pemeriksaan payudara sendiri adalah upaya deteksi dini kanker payudara. Cara ini perlu dikuasai dan dilakukan oleh remaja putri agar dapat melakukan deteksi dini kanker payudara. Salah satu upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan SADARI remaja adalah melalui pelatihan SADARI. Promosi Kesehatan di Sekolah ditambah dengan metode promosi yang tepat dalam pelaksanaan dan penyerapannya merupakan langkah yang strategis dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat hal ini didasari pemikiran bahwa sekolah merupakan lembaga yang sengaja didirikan untuk membina dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia baik fisik mental maupun spiritual.

Berdasarkan uraian di atas dan informasi kasus kanker dengan insiden tertinggi pada perempuan dengan kanker payudara, maka perlu adanya upaya pendeteksian dini kanker/tumor payudara pada tingkat sekolah menengah atas, karena pada tingkatan ini siswa merupakan remaja putri yang beresiko terkena kanker payudara serta diberikan wadah untuk mendapatkan informasi dan konseling tentang Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) melalui organisasi PIK-KRR.

Tujuan penelitian ini adalah a). Untuk mengetahui perbedaan perubahan pengetahuan sebelum dan sesudah pada penyuluhan kesehatan mengunakan video dalam pemeriksaan payudara sendiri (SADARI). b). Untuk mengetahui perubahan sikap sebelum dan sesudah pada penyuluhan kesehatan mengunakan video dalam pemeriksaan payudara sendiri (SADARI). c) Untuk mengetahui pengaruh perubahan pengetahuan sebelum dan sesudah pada penyuluhan kesehatan mengunakan video dalam pemeriksaan payudara sendiri (SADARI). d). Untuk mengetahui pengaruh perubahan sikap sebelum dan sesudah pada penyuluhan kesehatan mengunakan video dalam pemeriksaan payudara sendiri (SADARI).

BAHAN DAN METODELokasi dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Sekolah Menengah Umum Negeri 9 Balikpapan, dijalan Soekarno Hatta Km 16 Karang Joang Kota Balikpapan. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian quasi experiment dengan rancangan pretest-postest control group design.Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswi putri SMAN 9 Balikpapan tahun 2012. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan cara simple random sampling dan memilih kelas XI (sebelas) sebagai sampel penelitian yang telah memenuhi kriteria syarat yang ditetapkan dalam penelitian yaitu siswi kelas X (sebelas) SMA Negeri Balikpapan, siswi yang belum pernah mendapatkan penyuluhan tentang payudara dan tumor payudara serta keterampilan tentang SADARI, berusia 15 – 17 tahun dan siswi yang bersedia diteliti.

Penelitian ini terdapat tiga kelompok yaitu kelompok eksperimen (penyuluhan mengunakan video), kelompok kontrol I (penyuluhan tanpa menggunakan video) dan kelompok kontrol II (tanpa diberikan penyuluhan kesehatan).Metode Pengumpulan Data

Data Primer diperoleh dengan melakukan pembagian angket pretest pada responden kemudian diberikan perlakuan dengan penyuluhan kesehatan mengunakan video tentang pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) selama 3 kali penyuluhan dalam waktu satu bulan. Setelah 1 bulan diberikan angket posttest kepada responden. Data sekunder diperoleh dari data instansi terkait dengan tujuan penelitian serta dari hasil sumber informasi yang mendukung penelitian. Alat pengumpulan data dengan angket terdiri dari item karakteristik responden, pengetahuan (p1-p48) dan sikap (s1-s23), serta dilakukan uji validitas dalam penelitian dengan mengunakan uji product moment dari pearson dengan ketentuan pengujiannya adalah apabila nilai r hasil > r tabel. Uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan metode koefisien Alfa Cronbach,

3 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 4: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

dinyatakan reliable jika nilai r hitung > r tabel, nilai r tabel untuk n = 15 dengan taraf signifikasi 5% yaitu 0.514 (Arikunto, 2006).

Analisis DataData diolah dengan menggunakan Statistical Product and Service Solutions (SPSS) dan

Dilakukan analisis bivariat untuk mengetahui perbedaan dan pengaruh perubahan pengetahuan dan sikap terhadap penyuluhan kesehatan mengunakan video dalam pemeriksaan payudara sendiri (SADARI).

HASILKarakteristik Responden

Tabel 1. Menunjukkan distribusi karakteristik responden terdiri dari umur, agama dan suku. Umur atau usia yang merupakan satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu benda atau mahluk, baik yang hidup maupun mati. Berdasarkan kelompok umur responden sebagai sampel terdapat rentang umur antara 15 – 17 tahun. Berdasarkan distribusi kelompok umur responden eksperimen, dimana terlihat dominan umur responden adalah kelompok umur 16 tahun sebanyak 25 responden sebanyak 50%, sementara jumlah persentase tidak jauh berbeda adalah kelompok umur 15 dan 17 tahun dengan masing – masing kelompok umur 15 tahun sebesar 26% dan untuk kelompok umur 17 tahun sebesar 25%.

Distribusi responden menurut agama pada tabel 1 menunjukkan hasil sebanyak 47 responden (94%) kelompok eksperimen memeluk agama Islam sedangkan responden yang memeluk agama Katolik dan Protestan tidak berbeda jauh hanya 2 responden (4%) pada agama Katolik serta protestas hanya 1 responden (2%) dan pada kelompok kontrol I dan kontrol II adalah mayoritas pemeluk agama Islam yang masing-masing berjumlah 50 responden pada setiap kelompok

Komposisi penduduk Kota Balikpapan sangat heterogen meliputi hampir seluruh suku yang ada di Indonesia, baik dari Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Jawa, Sumatera dan Kalimantan sendiri dan pada tabel menyajikan distribusi responden menurut suku di tiga kelompok dengan mayoritas suku adalah Jawa sebanyak 31 responden (62%), suku lainnya adalah Banjar.Analisis Univariat

Tabel 2. Menunjukkan hasil penelitian pada pengaruh penggunaan media video dalam penyuluhan kesehatan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) terhadap perubahan pengetahuan remaja putri pada kelompok eksperimen adalah pengetahuan tentang SADARI pada responden dinilai dari 48 pertanyaan yang meliputi pengertian dari kanker payudara, penyebab dan gejala-gejala kanker payudara, pencegahan kanker payudara dengan SADARI, langkah-langkah melakukan SADARI, waktu dalam melakukan SADARI dan posisi melakukan SADARI. Tabel distribusi kategori pengetahuan tentang SADARI pada remaja sebelum dan sesudah dilakukan intervensi berupa penyuluhan kesehatan dengan menggunakan video pada kelompok eksperimen menunjukkan distribusi frekuensi tingkat pengetahuan responden pada kelompok eksperimen pada saat sebelum penyuluhan ada sebanyak 3 responden (6%) yang mempunyai pengetahuan baik, sebanyak 22 responden (44%) mempunyai pengetahuan sedang, dan sebesar 50% mempunyai pengetahuan yang rendah tentang SADARI.

Tabel 3. Menunjukkan hasil Sikap responden terhadap SADARI dalam deteksi dini kanker payudara dapat dinilai dari 23 pernyataan yang meliputi pemeriksaan payudara sendiri secara berkala setiap bulan, SADARI yang dapat dilakukan oleh petugas kesehatan, SADARI merupakan hal yang paling murah untuk mendeteksi adanya kelainan pada payudara serta pergi ke pelayanan kesehatan apabila mendeteksi kelainan pada payudara, butir 23 pertanyaan sikap tersebut terbagi dalam 12 pernyataan positif dan 11 pernyataan negatif. Kelompok eksperimen menunjukkan hasil perbandingan perubahan sikap sebelum dan sesudah dengan diberikan penyuluhan tentang kesehatan SADARI mengunakan video terdapat 14 orang dengan hasil

4 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 5: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

perubahan sikap sesudah penyuluhan lebih rendah daripada sebelum penyuluhan dan 36 orang mempunyai perubahan yang lebih baik dari sebelum penyuluhan.

Analisis BivariatTabel 4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pengetahuan responden sebelum

dilakukan penyuluhan kesehatan dengan menggunakan video SADARI adalah 18.44 dengan standar deviasi 7.448 dan setelah kegiatan intervensi berupa penyuluhan kesehatan dengan menggunakan video SADARI rata-rata pengetahuan responden adalah sebsar 39.14 dengan standar deviasi 3.758. Hasil uji statistik didapatkan nilai p sebesar 0.000, maka dapat disimpulkan pada α dengan nilai 5% terlihat adanya perbedaan pengetahuan yang signifikan responden sebelum dan sesudah kegiatan penyuluhan kesehatan dengan mengunakan video SADARI.

Tabel 5. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa nilai rata-rata pengetahuan responden sebelum diberikan kegiatan intervensi penyuluhan kesehatan tanpa menggunakan video adalah 19.00 dengan standar deviasi 9.470 dan setelah responden mengikuti kegiatan intervensi berupa penyuluhan kesehatan tanpa menggunakan video SADARI maka rata-rata nilai pengetahuan responden adalah 36.34 dengan standar deviasi sebesar 5.483. Berdasarkan hal tersebut maka yang ingin diketahui lebih lanjut perbedaan yang menunjukkan nilai rerata yang memperlihatkan bahwa terdapat pengaruh yang dominan dalam perubahan pengetahuan SADARI pada responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan rerata pengetahuan responden sebelum dan sesudah kegiatan intervensi penyuluhan kesehatan tentang SADARI dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Menunjukkan bahwa ada perbedaan rerata pengetahuan responden sebelum dan sesudah diberikan kegiatan intervensi penyuluhan kesehatan tanpa mengunakan video SADARI hanya penyuluhan biasa tentang pemeriksaan payudara sendiri dalam upaya deteksi kanker payudara adalah sebesar 17.36 berdasarkan hal itu kemudian dibandingkan dengan penyuluhan menggunakan video yang lebih besar nilainya 20.7 dengan nilai p value sebesar 0.000 artinya secara statistik ada perbedaan yang signifikansi antara kegiatan intervensi penyuluhan kesehatan menggunakan video dan tidak menggunakan video dalam pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) dalam upaya deteksi dini kanker payudara pada remaja

Tabel 7. Berdasarkan hasil analisis rata-rata sikap responden pada kelompok eksperimen sebelum dan sesudah tentang SADARI dapat ditarik suatu kesimpulan rata-rata siswi sebelum intervensi adalah 34.20 dengan standar deviasi 15.752, sedangkan rata-rata sikap sesudah diberikan kegiatan intervensi berupa penyuluhan kesehatan mengunakan video adalah sebesar 67.66 dengan standar deviasi sebesar 9.917. Berdasarkan uji statistik didapatkan nilai p value sebesar 0.000 (α = 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh penyuluhan kesehatan dengan mengunakan video SADARI terhadap peningkatan sikap siswi di SMA Negeri 9 Balikpapan tahun 2012.

Tabel 8. Berdasarkan hasil analisis rata-rata sikap responden pada kelompok eksperimen sebelum dan sesudah tentang SADARI dapat ditarik suatu kesimpulan rata-rata siswi sebelum intervensi adalah 34.20 dengan standar deviasi 15.752, sedangkan rata-rata sikap sesudah diberikan kegiatan berupa penyuluhan kesehatan mengunakan video adalah sebesar 67.66 dengan standar deviasi sebesar 9.917. Berdasarkan uji statistik didapatkan nilai p value sebesar 0.000 (α = 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh penyuluhan kesehatan dengan mengunakan video SADARI terhadap peningkatan sikap siswi di SMA Negeri 9 Balikpapan tahun 2012.

Tabel 9. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa rata-rata sikap responden sebelum adanya kegiatan intervensi berupa penyuluhan kesehatan tanpa menggunakan video SADARI adalah sebesar 36.66 dan rata-rata nilai sikap responden setelah diberi kegiatan penyuluhan maka nilainya menjadi 62.60, pada taraf kepercayaan 95% didapatkan nilai p sebesar 0.000, maka dapat disimpulkan pada α (0.05) terlihat ada perbedaan yang signifikan nilai sikap pada siswi SMA Negeri 5 Balikpapan sebelum dan sesudah kegiatan intervensi, dengan demikian

5 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 6: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

kegiatan intervensi penyuluhan kesehatan tanpa menggunakan video berpengaruh terhadap peningkatan sikap pada siswi SMA Negeri 5 Balikpapan tahun 2012, dengan diperoleh nilai p value 0.000 < α 0.05.

Tabel 10. Berdasarkan hasil penelitian bahwa rata-rata sikap responden sebelumnya adalah sebesar 40.26 dengan standar deviasi sebesar 13.167 dan hasil sesudah memperlihatkan nilai rata-ratanya adalah sebesar 41.64 dengan standar deviasi sebesar 12.893. Pada taraf kepercayaan 95% hasil uji statistik didapatkan nilai 0.425, maka dapat disimpulkan pada α = 5% terlihat tidak ada perbedaan yang signifikan nilai sikap pada siswi SMA Negeri 6 Balikpapan sebelum dan sesudah tanpa diberi kegiatan penyuluhan kesehatan tentang SADARI dalam upaya deteksi dini kanker payudara, dengan demikian tidak ada pengaruh terhadap peningkatan sikap siswi SMA Negeri 6 Balikpapan tahun 2012 sebelum dan sesudah tanpa diberi kegiatan intervensi dengan perolehan nilai p value 0.425 < α 0.05.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan rerata sikap siswi pada 2 SMA Negeri di Balikpapan yang diberikan kegiatan intervensi berupa penyuluhan kesehatan menggunakan video SADARI dan tanpa menggunakan video SADARI memperlihatkan ada perbedaan nilai sikap sebelum dan sesudah diberi kegiatan intervensi. Pada SMA Negeri 6 Balikpapan dimana tidak diberikan kegiatan interensi berupa penyuluhan kesehatan SADARI dalam upaya deteksi dini kanker payudara memperlihatkan tidak ada perbedaan nilai sikap responden sebelum dan sesudahnya.

Tabel 11. Hasil pada tabel menunjukkan bahwa perbedaan rerata sikap siswi sebelum dan sesudah pemberian kegiatan intervensi penyuluhan menggunakan video SADARI adalah sebesar 33.46 dibandingkan dengan yang penyuluhan tanpa menggunakan video hanya sebesar 25.94 dimana nilai tersebut lebih kecil dari kegiatan intervensi penyuluhan menggunakan video. Berdasarkan uji statistik paired t – test kedua kegiatan intervensi tersebut memperoleh nilai p value = 0.000 artinya secara statistik ada perbedaan yang signifikan antara pemberian kegiatan intervensi penyuluhan dengan menggunakan video SADARI dan tanpa menggunakan video terhadap peningkatan sikap responden tentang SADARI dalam upaya deteksi dini kanker payudara

PEMBAHASANPengetahuan

Penggunaan media video pemeriksaan payudara sendiri dalam penyuluhan kesehatan bertujuan meningkatkan pengetahuan siswi yang dapat dilakukan dengan faktor-faktor pemungkin (enabling factors) sehingga dapat memungkinkan atau memfasilitasi perubahan perilaku dan tindakan dimana setelah dilakukan kegiatan intervensi menjadi 48 responden (96%) yang berpengetahuan baik. Hal ini didukung oleh Notoatmodjo (2005) bahwa faktor predisposisi berupa pemberian informasi melalui media mendukung perubahan pengetahuan kesehatan, sehingga penyuluhan kesehatan dengan mengunakan video tentang SADARI dianggap dapat meningkatkan pengetahuan siswi dalam mencegah kanker payudara.

Media promosi kesehatan merupakan salah satu sarana atau upaya yang dapat digunakan untuk menampilkan pesan atau informasi kesehatan yang ingin disampaikan kepada remaja sehingga dapat meningkatkan pengetahuannya yang akhirnya diharapkan dapat merubah perilakunya kearah positif atau mendukung terhadap kesehatan. Menurut Mubarak, Chayatin dan Rozikin (2007) mengungkapkan perubahan pengetahuan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu beberapa diantaranya adalah pendidikan, media massa, sosial budaya, dan ekonomi, lingkungan, pengalaman dan usia.

Hal lain yang dapat dilihat adalah aspek positif terhadap pengaruh penggunaan media video dalam penyuluhan kesehatan terhadap tingkat pengetahuan responden yang terlihat pada hasil pretest dan posttest. Sebelum dilakukan intervensi pada kelompok eksperimen responden yang berpengetahuan baik tentang SADARI hanya 3 responden (6%), pengetahuan sedang sebanyak 22 responden (44%) dan yang berpengetahuan rendah adalah sebanyak 25 responden (50%), tetapi setelah dilakukan intervensi penyuluhan kesehatan mengunakan video terjadi

6 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 7: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

peningkatan yang cukup signifikan yaitu berpengetahuan baik menjadi 48 responden (96%), selain itu pada saat prettest terdapat pula responden yang berpengetahuan sedang yaitu sebanyak 2 responden (4%), hal ini menunjukkan bahwa responden telah menyimak informasi dan menganalisa isi materi yang disampaikan pada penyuluhan menggunakan video SADARI.

Hasil pengukuran selisih nilai pengetahuan responden sebelum dan sesudah pada kelompok eksperimen dengan penyuluhan kesehatan mengunakan video diperoleh nilai 20.700 sedangkan pada kelompok kontrol I yang diberikan penyuluhan kesehatan tanpa mengunakan video diperoleh nilai 17.340 hal ini menunjukkan bahwa rerata nilai pengetahuan responden setelah 3 kali penyuluhan dalam waktu 3 minggu terjadi peningkatan rerata pengetahuan pada kelompok responden kelompok eksperimen sehingga dapat disimpulkan bahwa penyuluhan kesehatan mengunakan video nilai selisih lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok penyuluhan kesehatan tanpa mengunakan video.

Berdasarkan analisis hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penyuluhan kesehatan dengan menggunakan video lebih meningkatkan pengetahuan responden tentang SADARI dalam upaya deteksi dini kanker payudara dibandingkan dengan kelompok yang hanya mendapatkan penyuluhan kesehatan biasa tanpa menggunakan video. Penggunaan media video mempunyai suatu dampak yang lebih pada penyuluhan kesehatan yaitu menarik pada orang-orang (sasaran) sehingga dapat meningkatkan pengetahuan, mempengaruhi pendapat umum, memperkenalkan jalan hidup baru dalam bidang kesehatan serta mencakup wilayah perkotaan dan masyarakat pedesaan.

SikapSikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah

melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang), (setuju,tidak setuju, baik, tidak baik). Sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan pelaksanaan motif tertentu. Dalam kata lain, fungsi sikap belum merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas, tetapi merupakan presdiposisi perilaku (tindakan) atau reaksi tertutup (Notoatmodjo, 2007).

Berdasarkan hasil penelitian setelah dilakukan intervensi (posttest) dengan melakukan kegiatan penyuluhan tentang pemeriksaan payudara sediri (SADARI) dalam upaya deteksi dini kanker payudara pada remaja mengalami peningkatan. Pada saat sebelum intervensi kelompok eksperimen hasil pretest menunjukkan terdapat 36 responden (72%) yang memiliki sikap tidak mendukung tentang SADARI, sedangkan yang responden dengan sikap sangat mendukung hanya sebanyak 3 responden (6%). Setelah dilakukan intervensi responden yang memiliki sikap tidak mendukung menurun menjadi 6 orang (12%), sikap sangat mendukung terhadap SADARI meningkat menjadi sebanyak 22 responden (44%) dan 16 responden (32%) yang memiliki sikap cukup mendukung terhadap SADARI dalam upaya deteksi dini kanker payudara.

Hal ini sesuai dengan pendapat Ahmadi (2002) yang mengungkapkan, bahwa sikap seseorang tidak selamanya tetap, karena sikap dapat berkembang manakala mendapat pengaruh baik dari dalam maupun luar yang bersifat positif dan mengesankan. Antara perbuatan dan sikap ada hubungan timbal balik, tetapi sikap tidak selalu menjelma dalam bentuk perbuatan atau tingkah laku.

Secara keseluruhan berdasarkan hasil analisis statistik dengan uji paired t-tes pada kegiatan intervensi penyuluhan kesehatan yang mengunakan video pada kelompok eksperimen memperoleh nilai p adalah 0.000 yang berarti pada α (0.05) terlihat ada perbedaan yang signifikan sikap pada responden setelah adanya kegiatan penyuluhan mengunakan video dan tanpa mengunakan video SADARI.

7 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 8: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

KESIMPULAN DAN SARANBerdasarkan hasil penelitian dan pembahasan ditemukan adanya perbedaan dan pengaruh

dalam perubahan pengetahuan sikap sebelum dan sesudah pada penyuluhan kesehatan menggunakan video tentang pemeriksaan payudara sendiri (SADARI).

Upaya perubahan pengetahuan pada remaja pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) dalam upaya deteksi dini kanker payudara, adalah sebagai berikut : a). Pihak sekolah dapat melakukan bentuk penyuluhan sebagai media promosi kesehatan yang tidak membosankan dan kreatif serta mudah dipahami oleh remaja contohnya penyuluhan kesehatan menggunakan video. b). Pihak sekolah dapat mencantumkan materi pemeriksaan payudara sendiri pada mata pelajaran pengampu maupun melalui pendidikan tambahan dari petugas kesehatan secara berkala dalam upaya deteksi dini kanker payudara. c) Pihak sekolah dapat mengadakan kegiatan seperti event remaja yang positif dan mencantumkan aspek deteksi dini kanker payudara dengan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) seperti kompetisi cerdas cermat tentang kanker payudara, pertandingan majalah dinding (Mading) dengan tema kanker payudara antar kelas serta pada grup kegiatan teater dapat mengambarkan drama pencegahan kanker payudara.

Upaya peningkatan perubahan sikap siswa SMA Negeri 9 Balikpapan tentang pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) dalam upaya deteksi dini kanker payudara, adalah sebagai berikut : a). Penyuluhan kesehatan mengunakan video dapat dibuat dengan versi yang beragam dan memasukkan pesan dengan mengunakan daya penarik emosi remaja seperti cinta, kebencian, ketakutan dan kebutuhan dalam aktualisasi diri dilingkungan sekolah, b). Kerjasama antar guru bidang studi dan wali kelas dalam memberikan himbauan kepada siswa dan siswinya dalam meningkatkan prestasi belajar dan menghindari kegiatan – kegiatan yang negatif serta menutup diri dari informasi kesehatan dikalangan remaja saat ini, c). Meminimalisir persepsi hambatan remaja butuh adanya program lanjutan dari pelatihan SADARI dengan materi yang menarik dan gaul, sehingga remaja tidak menganggap SADARI sebagai tindakan yang menakutkan.

Tabel .1 Distribusi Karakteristik Responden Remaja Putri Berdasarkan Umur, Agama dan Suku di Balikpapan Tahun 2012

KarakteristikKelompok Eksperimen Kelompok Kontrol I Kelompok Kontrol IIn % n % n %

Umur Responden 15 13 26 5 10 21 4216 25 50 39 78 26 5217 12 24 6 12 3 6Jumlah 50 100 50 100 50 100Agama Islam 47 94 50 100 50 100Katolik 2 4 - - - -Protestan 1 2 - - - -Jumlah 50 100 50 100 50 100SukuBanjar 9 18 11 22 17 34Jawa 31 62 24 48 17 34Kutai 2 4 - - - -Buton 2 4 6 12 4 8Bugis 6 12 9 18 12 24Jumlah 50 100 50 100 50 100

8 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 9: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Tabel 2 Distribusi responden Berdasarkan Pengetahuan Tentang SADARI pada Remaja Putri di Balikpapan Tahun 2012

Tabel. 3 Distribusi responden Berdasarkan Sikap Tentang SADARI pada Remaja Putri di Balikpapan Tahun 2012

Kelompok SikapSebelum Penyuluhan Sesudah Penyuluhann % n %

EksperimenSangat Mendukung 3 6 28 56Cukup Mendukung 11 22 16 32Tidak Mendukung 36 72 6 12

jumlah 50 100 50 100

Kontrol ISangat Mendukung 5 10 22 44Cukup Mendukung 10 20 18 36Tidak Mendukung 35 70 10 20

jumlah 50 100 50 100

Kontrol IISangat Mendukung - - 3 6Cukup Mendukung 14 28 16 32Tidak Mendukung 36 72 31 62

jumlah 50 100 50 100Tabel. 4 Distribusi Rata-Rata Pengetahuan Responden Kelompok Eksperimen

Tentang SADARI Sebelum dan Sesudah diberikan Penyuluhan Kesehatan mengunakan Video di SMAN 9 Balikpapan Tahun 2012

Pengetahuan Eksperimen

P value nPre Post

Mean 18.44 39.140.000 50SD 7.448 3.758

SE 1.053 0.531

9 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Kelompok PengetahuanSebelum Penyuluhan Sesudah Penyuluhann % n %

Eksperimenbaik 3 6 48 96Sedang 22 44 2 4Kurang 25 50 - -

jumlah 50 50 100 50

Kontrol Ibaik 7 14 36 72Sedang 15 30 14 28Kurang 28 56 - -

jumlah 50 50 100 50

Kontrol IIbaik 3 6 1 2Sedang 22 44 27 42Kurang 25 58 22 56

jumlah 50 50 100 50

Page 10: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Tabel .5 Distribusi Rata-Rata Pengetahuan Responden Kelompok Kontrol I Tentang SADARI Sebelum dan Sesudah diberikan Penyuluhan Kesehatan tanpa mengunakan Video di SMAN 5 Balikpapan Tahun 2012

PengetahuanKontrol I

P value nPre Post

Mean 18.98 36.340.000 50SD 9.479 5.483

SE 1.339 0.775

Tabel 6. Distribusi perbandingan pengetahuan responden tentang Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) sebelum dan sesudah pada remaja di Balikpapan

PengetahuanKelompok Eksperimen

RerataPerbedaan rerata

P value n

SebelumSesudah

18.4467.66

49.22 0.000 50

PengetahuanKelompok Kontrol I

RerataPerbedaan rerata

P value n

SebelumSesudah

18.9836.34

17.36 0.000 50

PengetahuanKelompok Kontrol II

RerataPerbedaan rerata

P value n

SebelumSesudah

18.6017.96

0.64 0.367 50

Tabel 7. Distribusi Rata-Rata Sikap Responden Kelompok Eksperimen Tentang SADARI Sebelum dan Sesudah di SMAN 9 Balikpapan Tahun 2012

SikapEksperimen

P value nPre Post

Mean 34.20 67.660.000 50SD 15.752 9.917

SE 2.228 1.403

Tabel 8. Distribusi Rata-Rata Sikap Responden Kelompok Kontrol I Tentang SADARI Sebelum dan Sesudah di SMAN 5 Balikpapan Tahun 2012

SikapKontrol I

P value n Pre Post

Mean 36.66 62.600.000 50SD 16.030 20.113

SE 2.267 2.844

10 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 11: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Tabel 9. Distribusi Rata-Rata Sikap Responden Kelompok Kontrol II Tentang SADARI Sebelum dan Sesudah di SMAN 5 Balikpapan Tahun 2012

SikapKontrol II

P value nPre Post

Mean 40.26 41.64

0.425 50SD 13.167 12.893SE 1.862 1.823

Tabel 10. Distribusi perbandingan Perubahan sikap responden tentang Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) sebelum dan sesudah pada remaja di Balikpapan

SikapKelompok Eksperimen

RerataPerbedaan rerata

P value n

SebelumSesudah

34.2067.66

33.46 0.000 50

SikapKelompok Kontrol I

RerataPerbedaan rerata

P value n

SebelumSesudah

36.6662.60

25.94 0.000 50

SikapKelompok Kontrol II

RerataPerbedaan rerata

P value n

SebelumSesudah

40.2641.64

1.38 0.425 50

DAFTAR PUSTAKAAhmadi, A, 2002. Psikologi Sosial. Edisi Revisi. Penerbit Rineka Cipta. JakartaAnonim. 2005. Cancer Risk factors. Mayo Fundation For Medical Educattion and Research.

(Online). (www.mayoclinic.com diakses 12 juni 2012) Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta. JakartaBurroughs, A. 1997. Maternity Nursing An Introductory Text. Philadelphia : W. B. Sauders

CompanyDalimartha., Setiawan. 2004. Kanker Payudara. Dalam : Deteksi Dini Kanker dan Simplisia

Antikanker. Penebar Swadaya, Jakarta. Depkes RI. 2007. Petunjuk Teknis Pencegahan Deteksi Dini Kanker Leher Rahim dan Kanker

Payudara. Direktorat Pengendalian penyakit Tidak Menular direktorat Jenderal PP dan PL, Depkes RI. Jakarta

Kearney,A,J and Murray, M. 2006. Evidence Against breasrt Self Examination is Not Conclusive: What Polymakers and Health Profesionals Need too Know. Journal of Public Health Policy; 2006. Dalam proquest Medical Library. (Online). (http://www.proquest .co.id diakses 13 juni 2012)

Kodim, Nasrin. 2004. Eppidemiologi Kanker Payudara, Himpunan Badan Kuliah Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. FKM UI. Jakarta

Lusa, 2009. Tentang Anatomi dan Fisiologi Payudara. (Online), (http://www.lusa.web.id/anatomi-dan-fisiologi-payudara , diakses 15 Mei 2012)

Ngatimin, Rusli. 2005. Sari dan Aplikasi Ilmu Perilaku Kesehatan. Yayasan PK-3. Makassar

11 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 12: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasinya. PT Rineka Cipta, Jakarta

Notoatmodjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta. JakartaSoelaryo, TS. 2002. Epidemiologi Masalah Remaja. Dalam: Narendra, M.B., Sularyo, T.S.,

Soetjiningsih, Suyitno, H., Ranuh, I.N.G., eds. Buku Ajar Tumbuh Kembang Anak dan Remaja Jilid 1 Ed 1. Sagung Seto. Jakarta

Sutjipto. 2008. Permasalah Deteksi Dini dan Pengobatan Kanker Payudara. (online). (http://www.dharmais.co.id/new/content.php?page=article&lang=en&id=17 diakses tanggal 23 maret 2011)

WHO (World Health Organization). 2008. Breast Cancer : Prevention and Control. (Online). (http://www.who.int/cancer/detection/breastcancer/en/index1.html diakses 12 maret 2010).

WHO (World Health Organization). 2005. Data Penderita Kanker Payudara di Dunia. (Online). (http://www.who.int/cancer/detection/braestcancer/en/index1.html diakses 12 februari 2012)

International Agency for research on cancer (IARC). 2003. Breast Cancer Incidence and Mortality Worldwide in 2002 Summary. (Online). (http://globocan.iarc.fr/factsheets/cancers/breast.asp diakses 12 februari 2010)

12 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 13: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

PENGARUH KADER KESEHATAN SEBAGAI KOMUNIKATOR TERHADAP PERILAKU IBU NEONATUS DALAM PERAWATAN NEONATUS DI

KABUPATEN GARUT, JAWA BARAT

*Suriah

Jurusan Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UniversitasHasanuddin, Kampus FKM Unhas Jl. Perintis Kemerdekaan KM10 Makassar, Sulawesi Selatan

(email : [email protected])

ABSTRAK

Penelitian ini dimaksudkan untuk menilai pengaruh kader kesehatan sebagai komunikator terhadap perilaku ibu dalam perawatan neonatus. Penelitian dilakukan di Kabupaten Garut, menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Pre-test pengetahuan dan sikap dilakukan terhadap 147 ibu pada kelompok intervensi dan 149 ibu pada kelompok kontrol, dengan usia kehamilan 5-9 bulan. Kemudian 16 orang kader terlatih sebagai komunikator memberikan informasi dan edukasi mengenai perawatan neonatus sebanyak 2 kali. Post-test pengetahuan, sikap dan praktik dilakukan terhadap ibu yang sama pada kedua kelompok. Observasi praktik dalam perawatan neonatus dilakukan terhadap 32 ibu di wilayah intervensi dan wawancara mendalam kepada bidan, dukun bayi dan keluarga ibu neonatus. Intervensi dari kader kesehatan dapat meningkatkan pengetahuan ibu neonatus 3,7 kali, sikap positif 6 kali dan praktik yang baik 12,4 kali dalam perawatan neonatus dibandingkan kelompok tanpa intervensi. Pemanfaatan kader kesehatan sebagai komunikator dalam perawatan neonatus disarankan direplikasi di kabupaten lain dengan mempertimbangkan kondisi setempat. Kata Kunci: Kader Kesehatan, Perilaku Ibu Neonatus, Perawatan Neonatus

ABSTRACT

This research aims to assess the role of voluntary health worker as communicators in influencing behavior of mothers of neonates in newborn care. The research was conducted in Garut district employing qualitative and quantitative method. Pre-test on knowledge and attitude was implemented on 147 mothers in the intervention group and on 149 mothers in the control group with 5-9 month pregnancy. Sixteen cadres as communicator conducted two information and education sessions on newborn care. Post-test on knowledge, attitude and practice was given on mothers of the same groups. Skills one observation in newborn care was applied on 32 mothers in the intervention group and in-depth interview was conducted to midwives, traditional birth attendants and the family of mothers of neonates. Intervention from voluntary health workers resulted in the following improvement: knowledge 3.7 times, positive attitude 6 times, and good practical skills 12.4 times – indicating positive improvement on mother of neonate after intervention. It can be concluded that the empowerment of voluntary health worker as communicators in newborn care is suggested to be replicated in different districts where the local condition should be taken into account. Key words: Voluntary health worker, behavior of mother of neonates, newborn care

13 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 14: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

PENDAHULUANi Indonesia diperkirakan sekitar 4,5 juta bayi lahir setiap tahun (Statistik Indonesia, 2010), namun berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, angka kematian neonatal (AKN) atau bayi baru lahir (Usia 0-28 hari) masih cukup tinggi

yaitu 19/1000 kelahiran hidup (KH). Dalam kurun waktu 5 tahun, angka kematian neonatal di Indonesia hanya bergeser 1 poin yaitu 20/1000 KH tahun 2002 dan 19/1000 KH tahun 2007 (Biro Pusat Statistik, 2008).

DBerdasarkan data tersebut, maka dapat dikatakan bahwa di Indonesia masih terdapat 234

bayi baru lahir (BBL) atau neonatus meninggal setiap hari atau sekitar 10 neonatus meninggal setiap jam. Angka kematian neonatal di Indonesia masih merupakan yang tertinggi jika dibandingkan beberapa negara di wilayah Asia Tenggara, seperti Filipina (17/1.000 KH), Vietnam (12/1.000 KH), Srilanka (11/1.000 KH) dan Singapura yang hanya 1/1.000 KH (Save the Children, 2008).

Jawa Barat merupakan provinsi di Indonesia dengan angka kematian neonatal sama dengan angka nasional yaitu 19/1000 kelahiran hidup (Biro Pusat Statistik, 2008). Di provinsi ini terdapat 3 kabupaten dengan jumlah kematian neonatal tertinggi selama tahun 2009 berdasarkan data laporan rutin jumlah kematian neonatus dari Kementerian Kesehatan, yaitu: Sukabumi 381 neonatus, Bogor 339 neonatus dan Garut 321 neonatus (Kemenkes RI, 2010).

Tiga penyebab utama kematian neonatus di Indonesia adalah Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) sebesar 29%, asfiksia sebanyak 27% dan terdapat 10% neonatus meninggal akibat tetanus (Kemenkes RI, 2007). Penyebab kematian neonatus di Jawa Barat antara lain: asfiksia sebanyak 20,1%, infeksi sejumlah 19,5% dan 11,3% meninggal akibat komplikasi prematur dan BBLR (Dinkes, 2007). Pola penyebab kematian neonatus di kabupaten Garut hampir serupa dengan pola di tingkat nasional yaitu: BBLR (31%), asfiksia (28%), infeksi (3%), dan 38% karena penyebab lain (Dinkes, 2009).

Kementerian Kesehatan RI dalam memberikan pelayanan kesehatan dan pencegahan kematian neonatus di Indonesia, melalui Direktorat Bina Kesehatan Anak telah mengupayakan beberapa program mulai dari saat bayi lahir hingga berusia 28 hari. Upaya yang telah dilakukan dalam mengatasi masalah kesehatan neonatus di Indonesia, pendekatannya masih cenderung pada tingkat petugas kesehatan dan hanya sebagian kecil upaya di tingkat keluarga. Padahal teridentifikasi sekitar 98% kematian neonatus terjadi di negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) yang mana 60% diantaranya lahir di rumah tanpa bantuan perawatan tenaga kesehatan terampil (Yinger, 2003).

Perawatan neonatus yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi: Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan pemberian Air Susu Ibu (ASI), menjaga bayi tetap hangat serta tunda mandi minimal 6 jam setelah kelahiran, perawatan tali pusat dan pencegahan infeksi, serta pengenalan tanda bahaya pada neonatus. Perawatan neonatus lebih banyak dilakukan di rumah oleh ibu dan keluarga, dengan konteks perawatan yang dipengaruhi oleh lingkungan dan tokoh-tokoh kunci di sekitar mereka. Hasil riset formatif di Kabupaten Garut yang dilakukan oleh Yayasan Melati (2008), mengungkapkan bahwa perilaku ibu dan keluarga dalam perawatan neonatus dipengaruhi antara lain oleh dukun bayi, kader kesehatan, dan tetangga. Hasil riset ini juga mengemukakan bahwa kader kesehatan merupakan salah satu tokoh kunci yang mendampingi ibu hamil saat memeriksakan kehamilan ke bidan atau petugas kesehatan, mendampingi ibu bersalin saat persalinan, melakukan kunjungan pasca persalinan, memberi informasi seputar kesehatan ibu neonatus dan bayinya, serta mendampingi keluarga saat melakukan rujukan dalam kondisi kegawatdaruratan ibu neonatus dan bayinya (Yayasan Melati, 2008).

Di India dan Bangladesh, telah dilakukan pemanfaatan kader untuk memberikan pendidikan kesehatan terhadap ibu neonatus dalam upaya perubahan perilaku ibu terkait perawatan neonatus di tingkat rumah tangga (Baqui, et al 2008 dan Bang, Rany, Reddy, 2005). Di Indonesia

14 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 15: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

kader kesehatan seringkali berperan dalam memotivasi dan memberikan informasi terkait perawatan kehamilan, persalinan dan kesehatan anak, namun belum pada tahap upaya yang sistematis mempengaruhi perilaku dan membuat individu melakukan serta mempertahankan perilaku positifnya dalam perawatan neonatus.

Hasil survei data dasar kesehatan neonatus di 10 kecamatan Kabupaten Garut menemukan rendahnya pengetahuan dan praktik ibu, suami, dan pendamping, dalam perawatan neonatus (FKM-UI, 2007). Hasil riset formatif oleh Yayasan Melati (2008) di dua kecamatan di Kabupaten Garut, juga menunjukkan adanya perilaku tidak mendukung dalam perawatan neonatus yang dilakukan oleh ibu, keluarga, dan penolong persalinan. Pendekatan yang ada di Indonesia saat ini dapat dikatakan belum memberdayakan tokoh kunci seperti kader kesehatan untuk menjangkau sasaran yaitu ibu dan keluarga dalam mewujudkan kesehatan dan keselamatan neonatus, padahal kader kesehatan merupakan salah satu tokoh kunci yang berada di sekitar ibu neonatus dan keluarga. Kader dapat diberdayakan untuk memberikan informasi dan pembelajaran perilaku yang mendukung kesehatan dan keselamatan bagi neonatus, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana pengaruh kader kesehatan sebagai komunikator terhadap perilaku ibu neonatus dalam perawatan neonatus di Kabupaten Garut.

BAHAN DAN METODEPenelitian ini menggunakan dua metode penelitian, yaitu metode kuantitatif dan metode

kualitatif. Pada metode kuantitatif digunakan disain kuasi eksperimen dengan rancangan The Nonequivalent Control Group Design (Campbell dan Stanley, 1966), sedangkan pada metode kualitatif digunakan pendekatan rapid assessment procedure (Kemenkes RI, 2000).

Lokasi PenelitianPenelitian dilaksanakan di 3 kecamatan Kabupaten Garut, yaitu Kecamatan Selaawi,

Cisompet dan Karangpawitan. Kecamatan Selaawi dan Cisompet merupakan lokasi intervensi sedangkan Kecamatan Karangpawitan merupakan wilayah kontrol. 1. KuantitatifPopulasi dan Sampel

Populasi adalah seluruh ibu hamil dengan usia kehamilan antara 5-9 bulan yang berada di 10 kecamatan wilayah Proyek SNL-2 di Kabupaten Garut. Untuk kebutuhan studi dilakukan pemilihan kecamatan sebagai lokasi intervensi, yaitu Kecamatan Cisompet dan Selaawi, kemudian kelompok kontrol terpilih Kecamatan Karangpawitan dari 32 kecamatan diluar wilayah proyek SNL-2. Data jumlah ibu hamil dari bulan Oktober hingga Desember 2008 yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Garut dan puskesmas untuk masing-masing kecamatan, yaitu 124 orang di Kecamatan Cisompet, 210 di Kecamatan Selaawi dan 525 orang di Kecamatan Karangpawitan.

Untuk menentukan besar sampel digunakan rumus sampel uji hipotesis beda proporsi (Ariawan, 1998). Jumlah ibu hamil sifatnya dinamis setiap bulan, penentuan usia kehamilan ibu 5-9 bulan untuk memenuhi jumlah sampel pada tiap kecamatan lokasi penelitian. Untuk menentukan besar sampel pada masing-masing kecamatan intervensi, berdasarkan jumlah sampel minimal kelompok yang diperoleh yaitu 141 orang maka dihitung secara proporsional untuk masing-masing kecamatan, sehingga didapatkan jumlah sampel yaitu; 84 orang di Kecamatan Selaawi dan 57 orang di Kecamatan Cisompet. Pengumpulan Data

Pengumpulan data berlangsung selama 10 bulan (Mei 2009 hingga Maret 2010). Pengumpulan data awal (pre-test) dilakukan dengan meminta responden memilih jawaban pada kuisioner untuk mendapatkan informasi mengenai pengetahuan dan sikap ibu terkait perawatan neonatus. Kemudian dilakukan intervensi pertama yaitu pemberian informasi dan pembelajaran mengenai perawatan neonatus kepada ibu hamil dengan usia kehamilan 5-9 bulan. Intervensi

15 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 16: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

kedua dilakukan setelah bayi lahir saat usia bayi 0-7 hari, kader mengunjungi kembali ibu yang sama yang telah dikunjungi pada intervensi awal. Kemudian dilakukan pengumpulan data akhir (post-test) setelah intervensi kedua untuk mendapatkan informasi mengenai pengetahuan, sikap dan praktik ibu terkait perawatan neonatus. Pengumpulan data akhir atau post-test dilakukan 1-2 bulan setelah intervensi kedua. Pengumpulan data awal dan akhir dilakukan baik pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol.

Analisis DataUji Wilcoxon Signed Rank Test digunakan untuk menilai perbedaan skor rata-rata

pengetahuan dan sikap ibu sebelum dan setelah intervensi pada masing-masing kelompok, sedangkan untuk menilai perbandingan selisih rata-rata skor pengetahuan, sikap dan praktik antar kelompok digunakan uji Mann Whitney. Analisis multivariat berupa analisis Regresi Logistik Ganda untuk melihat pengaruh intervensi terhadap pengetahuan, sikap dan praktik ibu neonatus setelah dikontrol oleh karakteristik ibu (umur, tingkat pendidikan, paritas dan sumber informasi) serta pengetahuan dan sikap ibu sebelum intervensi.

2. Kualitatif Dalam penelitian ini yang menjadi sumber informasi untuk memenuhi kebutuhan data

kualitatif yakni: ibu neonatus, kader kesehatan, bidan koordinator, bidan di desa, dukun bayi dan keluarga ibu neonatus. Proses pengumpulan data kualitatif dilaksanakan pada awal, tengah dan akhir proses pengumpulan data kuantitatif. Teknik pengumpulan data yaitu dengan observasi praktik terhadap ibu hamil yang melakukan simulasi perawatan neonatus dan juga terhadap kader kesehatan yang diamati pada saat memberikan informasi dan pembelajaran praktik perawatan neonatus kepada ibu dengan usia kehamilan antara 5-9 bulan. Selanjutnya pengamatan dilakukan lagi setelah ibu melahirkan, terhadap informan yang sama yaitu ibu neonatus dan kader yang berkunjung melakukan pembelajaran pada saat bayi berusia antara 0-7 hari.

Dalam penelitian kualitatif, jumlah sumber informasi biasanya sedikit. Oleh karena itu, agar keabsahan data tetap terjaga, dilakukan strategi yang disebut triangulasi (Faisal, 1990, Morse dan Field, 1995 serta Kemenkes RI, 2000). Dalam penelitian ini, upaya triangulasi yang dilakukan adalah triangulasi sumber informasi dan triangulasi metode. Analisis yang dilakukan untuk data kualitatif yaitu analisis isi (Faisal 1990, Nasution, 1992, serta Morse dan Field, 1995).

HASIL DAN PEMBAHASANHasil

Pengetahuan dan sikap ibu neonatus mengenai perawatan neonatus setelah intervensi lebih baik dibandingkan pengetahuan dan sikap ibu sebelum intervensi pada kelompok intervensi. Hal tersebut dapat diketahui dari uraian pada tabel berikut:

Tabel 1 Perbedaan Pengetahuan dan Sikap Ibu Neonatus terhadap Perawatan Neonatus Sebelum dan Setelah Intervensi pada Kelompok Intervensi

Variabel Mean SD Beda Mean pPengetahuan (skala 0-20)

Sebelum intervensi 14,3 3,31,4 (9,4%) <0,001

Setelah intervensi 15,7 2,8Sikap(skala 0-10)

Sebelum intervensi 4,3 2,12,7 (62,3%) <0,001

Setelah intervensi 7,0 1,9

16 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 17: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Pada kelompok kontrol, responden ibu neonatus memperlihatkan bahwa peningkatan pengetahuan dan sikap mereka sangat kecil setelah intervensi dibandingkan dengan sebelum intervensi. Hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2 Perbedaan Pengetahuan dan Sikap Ibu Neonatus tentang Perawatan Neonatus Sebelum maupun Setelah Intervensi pada Kelompok Kontrol

Variabel Mean SD Beda Mean pPengetahuan (skala 0-20)

Sebelum intervensi 13,3 3,3 0,3 (1,9%) 0,056Setelah intervensi 13,6 3,4

Sikap(skala 0-10)

Sebelum intervensi 4,9 2,0 0,5 (8,1%) 0,014Setelah intervensi 5,4 1,9

Perubahan rata-rata nilai pengetahuan dan sikap ibu neonatus terhadap perawatan neonatus pada kelompok intervensi lebih besar dibandingkan dengan ibu neonatus pada kelompok kontrol. Nilai rata-rata praktik ibu neonatus pada kelompok intervensi juga lebih tinggi daripada praktik ibu neonatus pada kelompok kontrol, setelah intervensi. Uraian mengenai perbandingan selisih rata-rata pengetahuan dan sikap ibu neonatus sebelum maupun setelah intervensi antar kelompok serta perbedaan rata-rata praktik ibu neonatus setelah intervensi antar kelompok dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3 Perbandingan Perubahan Rata-rata Nilai Pengetahuan, Sikap dan Praktik Ibu Neonatus antar Kelompok

Variabel Mean SD Beda Mean p*Pengetahuan Intervensi 1,4 2,9 1,1

(9,3%)0,017

Kontrol 0,3 2,8Sikap Intervensi 2,7 2,0 2,3

(76,4%)<0,001

Kontrol 0,4 1,9Praktik Intervensi

Kontrol19,112,6

4,13,7

6,5(51,6%)

<0,001

*Uji Mann-Whitney

Untuk memperoleh gambaran mengenai praktik yang dilakukan ibu neonatus dalam perawatan neonatus, dilakukan pengamatan terhadap 32 orang informan ibu neonatus pada kelompok intervensi. Praktik ibu neonatus dinilai menggunakan lembar observasi dengan jenis informasi berupa data kualitatif. Pengamatan terhadap tindakan ibu dalam perawatan neonatus dilakukan sebanyak dua kali. Sebelum intervensi, ibu dengan usia kehamilan 5-9 bulan diminta melakukan simulasi perawatan neonatus menggunakan manekin bayi, manekin payudara dan perlengkapan bayi lainnya. Selanjutnya pengamatan kedua dilakukan setelah bayi lahir (usia bayi masih dalam periode neonatal 2-21 hari).

Beberapa informasi yang diperoleh dari hasil pengamatan tersebut antara lain: 1) hampir semua ibu neonatus menyusui bayinya secara bergantian antara payudara kiri dan kanan, hanya dua orang yang tidak melakukan tindakan tersebut, 2) pada saat simulasi sebagian ibu masih memakaikan gurita kepada boneka bayi namun pada saat dilakukan pengamatan hanya sebagian kecil ibu neonatus yang masih memakaikan gurita kepada bayinya, 3) sebagian besar ibu yang mempraktikkan membungkus bayi dengan cara bedong ketat pada saat simulasi, namun hanya sebagian kecil yaitu dua orang ibu neonatus yang diamati masih membedong ketat bayinya, 4) pada saat simulasi dan setelah bayi lahir, sebagian besar ibu neonatus yang diobservasi sudah

17 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 18: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

mempraktikkan pemakaian penutup kepala atau topi kepada bayi baru lahir, 5) sebagian ibu masih membubuhkan betadine dan atau alkohol kepada boneka bayi dan setelah bayi mereka lahir ditemukan masih ada tiga ibu neonatus yang memberikan betadine dan alkohol bahkan terdapat satu ibu neonatus yang memberikan merica dan abu ke tali pusat bayi.

Bayi baru lahir pada kelompok intervensi lebih banyak mendapatkan perawatan yang dapat mendukung kesehatan dan keselamatannya dibandingkan bayi pada kelompok kontrol. Hal ini diketahui dari pernyataan keluarga ibu neonatus dari kelompok kontrol:“...Supados orok teu tiriseun, di anggoan popok, amet, acuk disimbulan...” (Wawancara Keluarga Ibu bayi 1)

(Cara menjaga hangat, bayi dipakaikan popok, gurita, baju dan dibungkus)

“...Biasana mah, dipopokan, diacukan, nganggo pernel, dibedong...., sareng nganggo ametan...”(Wawancara Keluarga Ibu bayi 2)(Seperti biasanya bayi dikasih popok, baju, kain pernel, dibedong serta pakai gurita)

“...Udelna nganggo betadin teras dibungkus nganggo perban...”(Wawancara Keluarga Ibu bayi 2)(Tali pusat bayi dikasih betadin terus dibungkus dengan kain kasa)

Pemodelan yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh intervensi oleh kader kesehatan terhadap pengetahuan, ibu tentang perawatan neonatus yaitu dengan mengikutsertakan semua variabel yang berpotensi sebagai confounder antara lain: pengetahuan sebelum intervensi, sikap sebelum intervensi, umur, tingkat pendidikan, paritas dan sumber informasi serta variabel yang diduga secara subtansi ada interaksi. Besar kecilnya pengaruh confounder dinilai berdasarkan perubahan relatif rasio odds terhadap rasio odds acuan. Pengurangan confounder dilakukan dengan mengeliminasi satu persatu confounder, mulai dari variabel dengan nilai p terbesar.

PengetahuanDari 5 variabel yang diduga sebagai confounder pada hubungan antara intervensi kader

kesehatan dengan pengetahuan ibu tentang perawatan neonatus, ternyata hanya variabel tingkat pendidikan merupakan confounder karena perubahan relatif rasio odds >10%, dengan demikian variabel tingkat pendidikan dipertahankan dalam model untuk memperoleh model akhir hubungan intervensi kader kesehatan dengan pengetahuan ibu tentang perawatan neonatus sebagaimana terlihat pada tabel berikut:Tabel 4 Model Akhir Pengaruh Intervensi Kader Kesehatan terhadap Pengetahuan Ibu Neonatus tentang Perawatan Neonatus

Variabel B p OR 95%CI Intervensi kader PendidikanKonstanta

1,301,16-1,12

0,0000,0010,000

3,68 3,20 0,32

2,22 - 6,101,62 - 6,33

Berdasarkan model akhir pengaruh intervensi kader terhadap pengetahuan ibu neonatus seperti tampak pada tabel 4, dapat dikatakan bahwa intervensi berupa pemberian informasi dan kunjungan pembelajaran dari kader kesehatan sebanyak dua kali mampu meningkatkan pengetahuan ibu neonatus mengenai perawatan neonatus hampir 3,7 kali dibanding sebelum pemberian intervensi setelah dikontrol dengan tingkat pendidikan (OR=3,68, 95%CI:2,22-6,10, p<0,001). Ibu dengan tingkat pendidikan SLTA/PT berpeluang 3,2 kali mempunyai pengetahuan yang tinggi mengenai perawatan neonatus dibandingkan ibu dengan tingkat pendidikan SD/SMP setelah dikontrol oleh intervensi kader (OR=3,20, 95%CI:1,62-6,33, p=0,001).

18 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 19: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Sikap Ada dua variabel merupakan confounder pada hubungan antara intervensi kader

kesehatan dengan sikap ibu neonatus terhadap perawatan neonatus, karena perubahan relatif rasio odds lebih dari 10%, yaitu sikap sebelum intervensi dan tingkat pendidikan. Untuk variabel tingkat pendidikan, tetap dikeluarkan dari model meskipun perubahan ORnya >10%, oleh karena memiliki nilai p>0,05 yaitu 0,067. Dengan demikian hanya variabel sikap yang dipertahankan dalam model dan didapatkan model akhir hubungan intervensi kader kesehatan dengan sikap ibu neonatus terhadap perawatan neonatus seperti berikut:Tabel 5 Model Akhir Pengaruh Intervensi Kader Kesehatan terhadap Sikap Ibu Neonatus tentang Perawatan Neonatus

Variabel B P OR 95%CI Intervensi kader Sikap sebelumKonstanta

1,791,72-1,57

0,0000,0000,000

5,96 5,59 0,21

3,40 – 10,46 3,08 – 10,17

Berdasarkan model akhir hubungan intervensi kader dengan sikap ibu neonatus sebagaimana terlihat pada tabel 5 dapat dikatakan bahwa intervensi dari kader kesehatan mampu meningkatkan sikap positif ibu terhadap perawatan neonatus sebesar 6 kali dibanding sebelum intervensi, setelah dikontrol oleh sikap ibu sebelum intervensi (OR = 5,96, 95%CI: 3,40-10,46, p<0,001). Ibu neonatus yang mempunyai sikap positif sebelum intervensi berpeluang mempunyai sikap positif pula terhadap perawatan neonatus setelah intervensi sebesar 5,6 kali dibanding ibu neonatus dengan sikap negatif sebelum intervensi, setelah dikontrol oleh intervensi kader (OR= 5,59, 95%CI: 3,08-10,17, p<0,001).

PraktikDari empat variabel yang diduga sebagai confounder pada hubungan antara intervensi

kader kesehatan dengan praktik ibu neonatus, ternyata ada satu variabel dengan perubahan relatif rasio odds lebih dari 10% yaitu tingkat pendidikan. Meskipun demikian variabel tingkat pendidikan, tetap dikeluarkan dari model, oleh karena mempunyai nilai p>0,05 yaitu 0,143. Dengan demikian model akhir hubungan intervensi kader kesehatan dengan praktik ibu dalam perawatan neonatus seperti pada tabel berikut:Tabel 6 Model Akhir Pengaruh Intervensi Kader Kesehatan terhadap Praktik Ibu Neonatus dalam Perawatan Neonatus

Variabel B P OR 95%CI Intervensi KaderKonstanta

2,52-1,07

0,0000,000

12,41 0,34

7,15 – 21,57

Pada model akhir hubungan intervensi kader dengan praktik ibu setelah intervensi sebagaimana terlihat pada tabel 6 dapat dikatakan bahwa intervensi berupa pemberian informasi dan kunjungan pembelajaran dari kader kesehatan sebanyak dua kali mampu memperbaiki praktik ibu dalam perawatan neonatus sebesar 12,4 kali dibanding tanpa pemberian intervensi (OR= 12,41, 95%CI: 7,15-21,57, p<0,001).

Pembahasan Pengetahuan

19 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 20: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap obyek melalui indera yang dimilikinya. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran dan penglihatannya (Notoatmodjo, 2005). Penelitian ini menunjukkan bahwa hasil penginderaan ibu neonatus berupa pengetahuan yang tinggi tentang perawatan neonatus, meningkat sebesar 3,7 kali setelah mereka memperoleh informasi dan pembelajaran mengenai perawatan neonatus dari kader kesehatan (OR=3,68, 95%CI:2,22-6,10, p<0,001).

Penelitian Barlow et al (2006) di Amerika juga mendapatkan hal serupa yaitu peluang ibu neonatus pada kelompok intervensi untuk memiliki pengetahuan tinggi mengenai perawatan neonatus lebih besar daripada ibu neonatus yang tidak mendapatkan intervensi. Hasil temuan Barlow menunjukkan bahwa intervensi yang diberikan untuk memperbaiki perilaku ibu neonatus dalam perawatan bayi memberikan peluang sebesar 14,9 kali memiliki pengetahuan tinggi mengenai perawatan neonatus setelah 2 bulan dibandingkan ibu yang tidak mendapatkan intervensi. Kemudian setelah 6 bulan, ibu neonatus pada kelompok intervensi berpeluang memiliki pengetahuan tinggi mengenai perawatan neonatus sebesar 15,3 kali daripada ibu neonatus pada kelompok kontrol.

Penelitian ini juga menemukan bahwa ada pengaruh faktor tingkat pendidikan terhadap pengetahuan ibu tentang perawatan neonatus. Ibu dengan tingkat pendidikan SLTA/PT berpeluang 3,2 kali mempunyai pengetahuan yang tinggi mengenai perawatan neonatus dibandingkan ibu dengan tingkat pendidikan SD/SMP (OR=3,20, 95%CI:1,62-6,33, p=0,001). Tingkat pendidikan merupakan confounder pada pengaruh intervensi kader terhadap pengetahuan ibu, artinya pendidikan mempunyai pengaruh terhadap penyerapan informasi yang diberikan kader kesehatan dan juga berpengaruh terhadap kemudahan kader dalam memberikan informasi tentang perawatan neonatus.

Penelitian Alene dan Edris (2002) terhadap 1.181 rumah tangga di Dembia, Etopia, menemukan hasil yang serupa. Alene dan Edris mendapatkan bahwa ada pengaruh tingkat pendidikan terhadap pengetahuan responden tentang perawatan neonatus khususnya terkait perilaku yang dapat membahayakan bayi antara lain: memberikan makanan berupa mentega kepada bayi, mengikis sebagian alis bayi, memberikan mentega atau kotoran sapi ke tali pusat bayi, dan sunat terhadap bayi perempuan. Besar perbedaan nilai OR antara ibu dengan tingkat pendidikan rendah dan ibu dengan tingkat pendidikan tinggi yang tidak mengetahui bahwa praktik tersebut berbahaya bagi bayi yaitu 3,5 kali (OR=3,50, 95%CI:2,82-4,45, p<0,001).

Sikap Menurut Bloom dalam Guilbert (2000), salah satu tingkatan sikap yaitu penilaian. Pada

tingkatan penilaian, individu akan memberikan nilai dalam bentuk menyukai, menyepakati atau menghargai, hal ini dapat diketahui dari respon yang diberikan oleh individu apakah mengakui, menyukai atau tidak menyukai suatu hal atau obyek tertentu. Thurstone dan Osgood (dalam Azwar, 1995) menyebut respon menyukai atau memihak terhadap obyek psikologis dengan istilah favorable, sebaliknya respon yang tidak menyukai atau tidak memihak dikatakan unfavorable.

Penelitian ini menunjukkan bahwa respon menyukai dalam bentuk sikap positif ibu neonatus terhadap obyek psikologis perawatan neonatus, meningkat sebesar 6 kali setelah mereka memperoleh informasi dan pembelajaran mengenai perawatan neonatus dari kader kesehatan (OR=5,96, 95%CI:3,40-10,46, p<0,001). Selain itu, dalam penelitian ini didapatkan bahwa sikap ibu neonatus sebelum intervensi merupakan confounder hubungan antara intervensi yang diberikan dengan sikap ibu neonatus setelah intervensi. Artinya bahwa ada pengaruh kondisi sikap sebelum intervensi dalam hubungan intervensi kader dengan sikap ibu setelah intervensi. Ibu neonatus yang memiliki sikap positif sebelum intervensi berpeluang untuk bersikap positif pula setelah

20 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 21: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

mendapatkan intervensi sebesar 5,6 kali daripada ibu neonatus dengan sikap negatif sebelum intervensi (OR=5,59, 95%CI:3,08-10,17, p<0,001), dengan kata lain kader akan lebih mudah menimbulkan sikap positif pada ibu neonatus yang sudah memiliki sikap positif sebelumnya.

Menurut Sax (1980), dalam Azwar (1995), salah satu ciri sikap adalah mempunyai arah, artinya sikap akan menunjukkan individu menyetujui atau mendukung suatu nilai atau obyek psikologis yang sejak awal disetujui atau disukainya. Hal sebaliknya berlaku jika individu tidak menyukai nilai atau obyek psikologis tersebut dari sejak awal. Berdasarkan konsep tersebut, dapat dikatakan bahwa jika ibu neonatus yang sejak awal menunjukkan sikap positif terhadap perawatan neonatus maka sikap tersebut akan dimunculkan kembali ketika berhadapan dengan obyek psikologis yang sama, begitu pula sebaliknya.

Praktik Praktik merupakan ranah perilaku yang berkenaan dengan aspek-aspek keterampilan dalam

bentuk tindakan nyata seperti: kesiapan, peniruan, pembiasaan, penyesuaian dan penciptaan atau kreativitas (Sudrajat, 2011). Berdasarkan konsep tersebut, praktik yang dilakukan oleh ibu neonatus dalam perawatan neonatus tergolong dalam tindakan peniruan, pembiasaan dan penyesuaian. Kader kesehatan memperlihatkan cara perawatan bayi dengan metode demonstrasi disertai dengan alat bantu peraga bayi agar dapat ditiru ibu neonatus dan diaplikasikan kepada bayinya.

Wade et al (2006) melakukan penelitian terhadap 5.400 ibu hamil di Nepal secara prospektif, ibu hamil tersebut diikuti hingga melahirkan dan dibagi dalam kelompok intervensi dan kontrol. Hasil temuan Wade menunjukkan bahwa responden ibu pada kelompok intervensi berpeluang sebesar 1,8 kali melakukan praktik yang baik dalam perawatan neonatus dibandingkan responden ibu pada kelompok kontrol (OR=1,79, 95%CI:1,52-2,08, p<0,05). Penelitian ini mengungkapkan bahwa intervensi berupa pemberian informasi dan pembelajaran mengenai perawatan neonatus dari kader kesehatan dapat memperbaiki praktik ibu neonatus dalam perawatan neonatus sebesar 12,4 kali dibandingkan sebelum pemberian intervensi (OR=12,41, 95%CI:7,15-21,57, p<0,001).

Melalui pendekatan kualitatif diperoleh informasi mengenai praktik yang dilakukan oleh ibu neonatus dalam perawatan tali pusat bayi dan pemberian makanan atau minuman lain sebelum ASI keluar. Dalam penelitian ini masih ada ibu neonatus yang diobservasi di wilayah intervensi memberikan betadine dan alkohol ke tali pusat bayi, dan terdapat satu bayi yang tali pusatnya diberi ramuan tertentu. Selain itu selain masih ditemukan ibu yang memberikan makanan atau minuman lain sebelum ASI keluar, seperti: susu formula, air putih, biskuit bayi dan bubur bayi instant. Dengan pendekatan yang sama, Moran et al (2009) di Bangladesh menemukan hal serupa yaitu pemberian ramuan tertentu ke tali pusat bayi serta lebih banyak ibu yang memberikan PASI kepada bayinya antara lain: air gula, madu dan makanan bayi.

Metode yang serupa juga digunakan oleh Kesterton dan Cleland (2009) untuk menemukan informasi tentang praktik ibu dalam perawatan neonatus di rural Karnataka, India. Dalam penelitian tersebut Kesterton dan Cleland mendapatkan bahwa terdapat praktik membahayakan keselamatan bayi yang dilakukan sebagian ibu neonatus seperti: 1) Memberikan ramuan atau obat tertentu berupa bubuk kunyit, bedak dan antiseptik ke tali pusat bayi, 2) Memberikan PASI berupa minyak jarak, air gula susu hewan atau bayi diserahkan kepada saudara ibu neonatus untuk disapih, sebelum ASI keluar dan 3) Lebih banyak ibu neonatus memberikan ASI kepada bayi setelah 2 atau 3 hari pasca persalinan.

SIMPULAN DAN SARAN

21 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 22: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Intervensi dari kader kesehatan mampu meningkatkan pengetahuan ibu mengenai perawatan neonatus sebesar 3,7 dan sikap positif ibu terhadap perawatan neonatus 6 kali dibandingkan sebelum intervensi. Intervensi dari kader kesehatan juga berpengaruh terhadap praktik ibu neonatus dalam perawatan neonatus sebesar 12,4 kali dibandingkan tanpa pemberian intervensi. Penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh kader kesehatan sebagai komunikator untuk memperbaiki perilaku ibu dalam perawatan neonatus di Kabupaten Garut, sehingga disarankan agar pemanfaatan kader kesehatan dengan kemampuan yang sama dapat direplikasi di kabupaten lain dengan mempertimbangkan kondisi setempat.

DAFTAR PUSTAKA

Alene, G.D., & Edris, M. (2002). Knowledge attitudes and practices involved in harmful health behavior in Dembia District, northwest Ethiopia. Ethiopian Journal Health Dev 2002; 16 (2): 199-207.

Ariawan, I. (1998). Besar dan metode sampel pada penelitian kesehatan. Depok: Jurusan Biostatistik dan Kependudukan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.

Azwar, S. (1995). Sikap manusia (teori dan pengukurannya). Yogyakarta: Liberty. Bang, A.T., Rany A.B., & Reddy, H.M. (2005). Home-based neonatal care: Summary and

applications of the field trial in rural Gadchiroli, India (1993-2003). Journal of Perinatology, 25, S108-S122.

Baqui, A.H., et al., (2008). Effect of community-based newborn-care intervention package implemented through two service-delivery strategies in Sylhet District, Bangladesh: A cluster-randomised controlled trial. Lancet, 371, 1936–1944.

Barlow, A., et al., (2006). Home-visiting intervention to improve child care among American Indian adolescent mothers. Arch Pediatrics Adolesc Med, 160, 1101-1107.

Biro Pusat Statistik. (2008). Survei demografi dan kesehatan Indonesia 2007. Jakarta: BPS-BKKBN-Kemenkes RI-USAID Indonesia.

Campbell, D.T., & Stanley, J.C. (1966). Experimental and quasi-experimental design for research. Chicago: Rand McNally College Publishing Company.

Dinkes. (2007). Profil kesehatan provinsi Jawa Barat. Bandung: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat.

Dinkes. (2009). Profil kesehatan Kabupaten Garut. Garut: Dinas Kesehatan Kabupaten Garut.Faisal, S. (1990). Penelitian kualitatif (dasar-dasar dan aplikasi). Malang: YA3.FKM-UI. (2007). Survey data dasar kesehatan neonatal esensial di Kabupaten Garut. Depok:

Puslitkes-Pusat Promosi Kesehatan FKM-UI.Guilbert, J-J. (2000). Educational handbook for health personnel. Switzerland: WHO Offset

Publication.Kemenkes RI. (2000). Prosedur penilaian cepat (rapid assessment procedures). Jakarta: Pusat

Data Kesehatan Kemenkes RI. Kemenkes RI. (Juli, 2007). Upaya akselerasi penurunan AKB dengan fokus pada peningkatan

akses dan kualitas pelayanan kesehatan neonatal. Makalah disampaikan oleh dr. Kirana Pritasari dalam pertemuan penyusunan informasi pelayanan kesehatan neonatal bagi desa siaga, Cipayung.

Kemenkes RI. (2010). Laporan rutin jumlah kematian bayi baru lahir. Jakarta: Direktorat Bina Kesehatan Anak-Kemenkes RI.

Kesterton, A.J., & Cleland, J. (2009, May 20). Neonatal care in rural Karnataka: Health and harmful practices, the potential for change. BMC Pregnancy and Childbirth, 9 (20), 1471-2393. July 20, 2010. http://www.biomedcentral.com/ 1471-2393/9/20

Moran, A.C., et al., (2009), Newborn care practices among slum dwellers in Dhaka, Bangladesh: A quantitave and qualitative exploratory study. BMC Pregnancy and Childbirth 2009, 9:54, 1471-2393.

22 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 23: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Morse, J.M., & Field, P.A. (1995). Qualitative research methods for health professionals (2nd ed). London: SAGE Publications.

Notatmodjo, S. (2005). Promosi kesehatan: Teori dan aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta.Save the Children. (2008). Saving the lives of mothers and newborns.Washington, DC: Author.Statistik Indonesia. (2010). Jumlah kelahiran. 9 Desember 2010. http://www.datastatistik-

Indonesia.comSudrajat, A. Taksonomi Bloom. 7 April 2011. http://www.scribd.com/doc/ 18022257/Taksonomi-

BloomWade, A., et al., (2006, June 15). Behaviour change in perinatal care practices among rural women

exposed to a women’s group intervention in Nepal. Journal Biomed Central Pregnancy and Childbirth, 6 (20): 1-10. December 2, 2007. http://biomedcentral.com/1471-2393/6/20/

Yayasan Melati. (2008). Laporan hasil penelitian formatif untuk pengembangan program komunikasi dan perubahan perilaku dalam memperkuat pelayanan esensial bagi neonatus di Kabupaten Garut 2007/2008: Proyek SNL2. Jakarta: Yayasan Melati-Save the Children US Indonesia.

Yinger, N.V., & Ransom, E.I. (2003). Why invest in newborn health? Washington, DC: Population Reference Bureau-Save the Children USA.

23 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 24: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PENYAKIT KUSTA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KALUMATA KOTA TERNATE

PROPINSI MALUKU UTARA TAHUN 2010

Watief A. Rachman1, St. Nurhidayanti Ishak1

1Fakultas Kesehatan Masyarakat, UNHAS, Makassar

AbstrakPersepsi masyarakat tentang kusta sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya setempat yang cenderung menyalahkan penderita kusta, sehingga pasrah pada nasib. Meskipun sudah sembuh, penderita kusta masih berpikir ulang untuk kembali hidup bermasyarakat di luar RS. Cacat permanen pada tubuh akibat penyakit kusta dikhawatirkan menimbulkan stigma negatif yang membuat penderita dikucilkan masyarakat sekitar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi masyarakat (penderita, keluarga dan tokoh masyarakat) terhadap penyakit kusta di wilayah kerja Puskesmas Kalumata Kota Ternate tahun 2010. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif melalui wawancara mendalam, dengan jumlah informan sebanyak 14 orang, (5 penderita, 5 keluarga penderita, 3 tokoh masyarakat dan 1 petugas kesehatan). Hasil penelitian menunjukan bahwa pengetahuan informan terhadap penyakit kusta didasarkan atas gejala yang dirasakan dan dilihat secara fisik, yaitu menurut informan adanya bercak-bercak putih, dan luka-luka di kulit serta mati rasa pada kulit. Informan juga masih percaya bahwa penyakit kusta adalah penyakit keturunan dan kutukan. Penyebab kusta menurut informan karena lingkungan yang kotor, bakteri dan karena guna-guna. Penularan kusta melalui peralatan makanan jika digunakan bersama penderita. Upaya pengobatan yang dilakukan menurut informan yaitu pergi ke dukun dan puskesmas. Kemudian untuk sikap, bagi penderita sendiri masih merasa minder ketika harus bergaul dengan masyarakat, sedangkan bagi sebagian keluarga dan masyarakat yang bukan penderita, mereka masih merasa takut jika harus berinteraksi dengan penderita. Tindakan penderita dalam melakukan upaya pengobatan yaitu dengan berobat ke dukun dan ke puskesmas, disamping itu dukungan dari keluarga juga sangat menentukan keinginan untuk pergi berobat, sedangkan tindakan masyarakat yang bukan penderita, mereka mau bergaul dengan penderita, tapi tetap menjaga jarak karena takut tertular. Perlunya gerakan penyuluhan efektif dengan melibatkan petugas kesehatan, penderita, keluarga serta tokoh masyarakat sehingga diharapkan mampu mengoreksi persepsi-persepsi masyarakat yang salah tentang penyakit kusta.

Kata kunci : Persepsi, penyakit kusta

Abstract

Public perception of leprosy is strongly influenced by local cultural values that tend to blame the lepers, so resigned to fate. Although cured, lepers are still to return to re-think living in a society outside the hospital. Permanent disability caused by leprosy on the body caused feared the negative stigma which makes people shut out the surrounding community. This study aims to determine the public perception (patients, families and community leaders) against leprosy in the area of PHC Kalumata of Ternate in 2010. The method used was qualitative research through in-depth interviews, with the number of informants as many as 14 people, (5 patients, 5 patients' family, community leaders and the first three health workers). The results showed that the knowledge of informants against leprosy is based on symptoms and physical visits, ie according to

24 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 25: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

the informant of white patches, and the wounds in the skin and numbness on the skin. Informants also still believe that leprosy is hereditary disease and a curse. The cause of leprosy according to informants because of the dirty environment, bacteria, and because of witchcraft. Transmission of leprosy through food equipment when used with patients. Treatment efforts made by the informant is to go to traditional healers and health centers. Then, for attitude, for people still feel embarrassed when they have to mingle with society, while for some families and communities who are not patients, they still feel scared if you have to interact with patients. Actions patients in treatment efforts is to go to traditional and to the health center , besides the support from family is also very decisive willingness to go for treatment, while the actions of society who are not patients, they want to interact with patients, but still keep a distance for fear of contagion. Need for effective extension movements by involving health workers, patients, families and community leaders that is expected to correct the perceptions that one community about the disease of leprosy.

Keywords: Perception, leprosy

PENDAHULUANPenyakit kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di 19 negara di dunia,

terutama di negara berkembang termasuk Indonesia dan lebih dari 750 ribu kasus baru ditemukan setiap tahun di dunia atau sekitar 85 orang setiap jamnya. Pada tahun 2005 Indonesia merupakan penyumbang penyakit kusta ketiga setelah India dan Brazil. Menurut data World Health Organization (WHO) jumlah penderita kusta yang disebut juga dengan lepra memang mengalami penurunan. Jumlah kasus lepra baru di dunia yang tahun 2001 sebanyak 760 ribu turun tajam menjadi 210 ribu kasus pada awal 2008. Jumlah kasus yang terdeteksi di seluruh dunia terus mengalami penurunan (Susanto, 2009). Penurunan kasus kusta di angka dunia, tidak diikuti penurunan kasus di Indonesia, kasus kusta yang pada tahun 2002 jumlah kasus barunya baru 12 ribu pada awal tahun 2008 malah bertambah menjadi sekitar 17 ribuan (Soewono, 2009).

Peta endemik kusta di Indonesia sebetulnya bisa disoroti di daerah pesisir pantai. Daerah seperti Surabaya, Maluku Utara, Sulawesi Selatan, dan Jakarta Utara menjadi sarang orang dengan kusta. Dan temuan kasus baru yang Paling tinggi selama beberapa tahun terakhir ini adalah di Maluku Utara. secara keseluruhan, masih ada 17 provinsi dan 150 kabupaten yang mempunyai kasus kusta dengan rasio 1 per 10 ribu penduduk. Penderita baru pada 2006 sebanyak 11.719 jiwa (Anonim, 2009)

Maluku Utara merupakan daerah dengan angka temuan kasus baru kusta tertinggi di Indonesia selama beberapa tahun terakhir ini. Sebagai daerah endemik kusta, temuan kasus kusta baru pada tahun 2006, 2007 dan 2008 masing-masing sebanyak 632 penderita, 479 penderita dan 604 penderita. 85% diantaranya merupakan penderita tipe MB yang diketahui merupakan tipe yang menular. Selain itu dari penderita baru yang diketemukan tersebut 8.0% sudah mengalami kecacatan tingkat 2.

Untuk Kota Ternate sendiri temuan kasus kusta pada tahun 2006, 2007 dan 2008, masing-masing sebanyak 144, 114 dan 129 penderita. Dengan tingkat kecacatan yang cukup tinggi. Khusus untuk wilayah kerja puskesmas Kalumata di Kota Ternate, jumlah kasus jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan wilayah kerja puskesmas lain yang ada di Kota Ternate yang pada tahun 2007, 2008, dan 2009 masing-masing sebanyak 28, 39, dan 40 penderita (Dinkes Malut, 2009)

Menurut Timotius, dalam Susanto dkk (2009), Penyakit Kusta bukanlah penyakit yang menyebabkan kematian yang seketika, seperti penyakit menular lainnya, melainkan penyakit kronis sehingga menimbulkan masalah kesehatan masyarakat yang sangat kompleks, bukan hanya dari segi medis tetapi juga dari segi mental sosial ekonomi dan budaya penderita, terutama akibat cacat yang ditimbulkan penyakit tersebut, selain kondisi aktif sebagai penderita, maka keadaan cacat inilah juga yang biasanya menyebabkan penderita kusta ditolak dan diabaikan masyarakat. Tak jarang mereka dikucilkan oleh masyarakat atau bahkan oleh keluarganya sendiri. Sebagian

25 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 26: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

dari mereka harus kehilangan pekerjaannya. Pada beberapa tempat bahkan sangat ekstrim, setiap langkah penderita kusta dianggap sangat berbahaya karena berpotensi menularkan penyakit ini kepada orang-orang yang berada disekitar mereka. Padahal penyakit ini adalah penyakit menular yang paling lambat menular dibandingkan dengan penyakit menular lainnya. Stigma inilah yang membuat masyarakat penyandang kusta memilih hidup berkelompok, atau mengelompokkan diri. Sikap hidup seperti ini malah membuat permasalahan semakin banyak dan menumpuk (Susanto dkk, 2009)

Selain itu, minimnya informasi yang benar membuat masyarakat kerap menganggapnya sebagai penyakit kutukan. Inilah berbagai salah persepsi tentang kusta: penyakit keturunan, akibat guna-guna, karena berhubungan seks saat haid, salah makan, hingga penyakit sangat menular dan tidak dapat disembuhkan (Arizal, 2010)

Menurut Lily dalam Susanto dkk (2009), Persepsi masyarakat tentang kusta sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya setempat yang cenderung menyalahkan korban sehingga pasrah pada nasib. Biasanya untuk menghilangkan persepsi yang salah ini, diperlukan tokoh agama untuk melakukan kampanye, sebagai contoh, di Kalimantan Selatan, sebuah poster gambar dan imbauan seorang Kyai ternama bahwa penyakit kusta bisa disembuhkan, ternyata cukup efektif untuk membuat masyarakat tidak takut lagi terhadap penyandang kusta (Susanto dkk, 2009)BAHAN DAN METODE

Penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap penyakit kusta, dengan wawancara langsung secara mendalam (Indept interview).

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja puskesmas Kalumata, kota Ternate, dengan pertimbangan banyak ditemukan kasus baru (pada tahun 2009 sebanyak 40 penderita) diwilayah kerja puskesmas ini, dibandingkan dengan puskesmas lain yang berada di Kota Ternate.

Informan pada penelitian ini terdiri atas 5 orang penderita kusta yang masih dalam masa pengobatan, 5 orang anggota keluarga penderita yang terdekat (emosional) baik itu suami, istri, maupun orang tua dari penderita yang selalu mendampingi penderita berobat, 2 orang tetangga penderita, 1 orang tokoh masyarakat yang berpengaruh di wilayah setempat, dan 1 orang petugas kesehatan pemegang program kusta di puskesmas Kalumata. Wawancara dilakukan pada 14 informan. pengambilan informan menggunakan metode snow ball.

Data Primer diperoleh melalui wawancara langsung secara mendalam (Indepth Interview) terhadap informan dengan menggunakan pedoman wawancara serta alat bantu berupa alat perekam suara, kamera digital dan alat tulis menulis.

Data sekunder di peroleh dari Dinas Kesehatan Kota Ternate berupa Rekapan laporan kusta tahun 2008-2009 dan dari Puskesmas Kalumata tahun 2008-2009.

Pengolahan data dilakukan dengan analisis isi (content analysis) yaitu teknik yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha untuk menentukan karakteristik pesan secara objektif dan sistematis, kemudian diinterprestasikan dan di sajikan dalam bentuk narasi.

HASIL PENELITIANKarakteristik Umum Responden

Dalam penelitian ini setelah melakukan penelusuran maka jumlah informan yang diwawancarai sebanyak 14 orang. Informasi yang diperoleh melalui wawancara mendalam (Indepth interview) dengan menggunakan pedoman wawancara (Interview guide). Informan dalam penelitian ini terdiri atas penderita kusta sebanyak 5 orang, 4 orang tipe Multi Baciller (MB) atau yang menular dan 1 tipe Paucy Baciller (PB) atau yang tidak menular beserta anggota keluarga dari masing-masing penderita kusta, 2 orang tetangga penderita kusta, dan 1 orang tokoh agama serta 1 orang dari petugas kesehatan pemegang program kusta di puskesmas.

Adapun karakteristik umur informan yaitu antara 20 tahun hingga 52 tahun, 20-30 tahun 7 orang, 30-40 tahun 2 orang, dan 40-52 tahun 5 orang. jenis kelamin informan terdiri atas laki-laki 6 orang dan perempuan berjumlah 9 orang. Tingkat pendidikan informan bervariasi yaitu 3

26 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 27: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

orang tamat SMP, 7 orang tamat SMA, 1 orang D3, dan 3 orang S1. Karakteristik pekerjaan informan yaitu 5 orang ibu rumah tangga, 1 orang tukang ojek, 3 orang belum kerja,1 orang kontraktor, dan 4 orang PNS.

Pengetahuan informan tentang kusta bermacam-macam, seperti menurut mereka bahwa kusta merupakan penyakit kulit, penyakit yang susah hilang, penyakit keturunan, penyakit kutukan, serta menular, dan pada umumnya masyarakat takut karena dapat menimbulkan kecacatan. Seperti yang di kutip berikut ini:

“…memang kusta tuh suatu panyake yang pada umumnya biking masyarakat jadi tako karena ada timbul kecacatan bagitu…”

(Mwn, 26 thn)Pengetahuan informan tentang penyebab terjadinya penyakit kusta bervariasi, menurut

mereka bahwa penyebabnya adalah dari kuman, bakteri, virus, karena jarang mandi, kurang menjaga kebersihan diri, dan lingkungan yang tidak bersih dan ada juga yang menjawab karena mendapat kutukan. Seperti yang di kutip dari pernyataan berikut ini:

“…panyake kusta tuh kalo yang saya dengar penyebabnya tuh dari semacam virus yang menyerang bagian urat dan kulit…”

(Dna, 29 thn)Kemudian untuk gejala kusta, para informan menuturkan berbagai pendapat sesuai

dengan apa yang mereka lihat dan alami. Informan mengungkapkan bahwa gejalanya adalah timbulnya bercak-bercak di kulit seperti panu, adanya bintik-bintik merah, adanya benjolan-benjolan kecil, kulit terasa gatal, dan mati rasa pada kulit. Seperti di kutip berikut ini:

“…pertamanya kan timbul bercak-bercak putih trus kayak benjolan-benjolan bagitu, lama-lama kan mati rasa sampe tong cubit me tara rasa…”

(Adn, 29 thn)Cara penularan menurut informan bermacam-macam. Seperti menurut mereka bahwa

penularan kusta berasal dari aktivitas yang dilakukan sehari-hari bersama dengan penderita terjadi kontak kulit dengan penderita, penularan juga berasal dari lingkungan yang kotor. Seperti yang di kutip dari pernyataan berikut ini:

“…mungkin karena saya kontak terus-menerus deng saya p tamang kong akhirnya kana ni panyake…”

(Eyn, 27 thn)Cara pencegahan kusta menurut informan yaitu pergi ke Puskesmas memeriksakan diri,

tidak kontak terus menerus dengan penderita yang belum berobat, minum obat untuk meningkatkan daya tahan tubuh, serta menjauh dan menghindari penderita. Seperti yang di kutip berikut ini:

“…pergi ke puskesmas memeriksakan diri…”(Eyn, 27 thn)

Pengetahuan informan mengenai cara pengobatan bervariasi, seperti ungkapan mereka yaitu pergi berobat ke dukun/pengobatan tradisional, dan ada juga yang menjawab langsung melakukan pengobatan ke petugas kesehatan atau dokter. Seperti di kutip berikut ini:

“…pertama tuh saya pergi berobat di orang tua-tua, waktu itu dong kase aer deng kase mandi lagi, tapi tar ada perubahan akhirnya saya ke puskesmas trus di kase obat, skarang saya so berobat di puskesmas secara rutin…”(Adn, 29 thn)

Sikap informan yaitu khususnya bagi penderita sendiri, penderita cenderung merasa minder ketika bergaul dengan masyarakat. Sedangkan sikap keluarga bervariasi, ada yang bersikap baik-baik saja terhadap penderita namun ada juga yang menghindari penderita karena takut tertular. Seperti dalam kutipan berikut ini:

“…bagi diri kita yang sudah kena panyake ini kita merasa minder dan kepercayaan diri tuh sadiki hilang dan merasa masyarakat menjauhi kita. karena kita sudah sakit seperti ini…”

27 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 28: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

(Mwn, 26 thn)a. Upaya pengobatan yang dilakukanBagi informan, khususnya penderita sendiri dalam upaya pengobatan yang dilakukan

menurut beberapa penderita mereka rutin ke Puskesmas setiap bulan untuk mengambil obat dan meminumnya setiap hari secara rutin. Kemudian dari hasil wawancara dengan keluarga penderita, informan mengatakan bahwa informan juga ikut mengambil bagian dalam upaya membantu si penderita dalam melakukan tindakan pengobatan. seperti yang di kutip dari penuturan informan berikut ini:

“…biasanya setiap bulan saya deng istri ke puskesmas buat ambe obat…”(Adn, 29 thn)b. Penerimaan penderita kusta di tengah-tengah keluarga dan masyarakatMenurut informan (penderita), tindakan anggota keluarga terhadap informan baik-baik

saja, keluarga tetap mau menerima penderita walaupun mereka terkena penyakit kusta. Seperti yang di kutip berikut ini:

“…kalo tindakan keluarga terhadap saya tuh biasa-biasa saja, mereka mau tetap menerima saya walaupun saya dapa panyake ini, mereka juga ingatkan saya untuk selalu minum obat. Bagi masyarakatkan mereka itu liat dengan baik-baik saja karena mungkin mereka blum tau kalo saya ini panyake kusta …”

(Mwn, 26 thn)Sedangkan bagi informan yang bukan penderita kusta, mereka mengungkapkan bahwa

mereka cenderung menghindar dan jaga jarak dengan penderita kusta karena selain takut tertular juga karena stigma negatif kusta yang sudah melekat dalam benak mereka. Seperti yang di kutip berikut ini:

“…ya kalo orang so sake bagitu lebe bae saya menghindar…”(Nha, 52 thn)

c. Tindakan petugas kesehatan dalam rehabilitasi sosial terhadap penderita kustaDalam melakukan rehabilitasi terhadap penderita, informan yaitu petugas Puskesmas

pemegang program kusta berupaya untuk memberikan penyuluhan kepada penderita, keluarga serta masyarakat sekitar. Selain itu petugas juga langsung memeriksa jika ada keluhan-keluhan atau gejala-gejala yang timbul yang dirasakan oleh masyarakat pada saat petugas sedang memberikan penyuluhan. Petugas juga turun ke sekolah-sekolah untuk melakukan penyuluhan serta memeriksakan para siswa. Seperti dalam kutipan berikut ini:

“…kalo yang masih dalam masa pengobatan, biasanya diberi penyuluhan setiap kali penderita datang berobat, selain kepada penderita, torang juga kase penyuluhan kepada keluarga dan masyarakat sekitar pada saat turun posyandu. Selain itu, ada juga nama kegiatan survey atau pemeriksaan di SD pemeriksaan di anak-anak sekolah, atau pemeriksaan dini, kita lakukan penyuluhan ini pas tahun ajaran baru, trus kalo untuk anak SMP dan SMA hanya ada penyuluhan saja…”

(Dli, 29 thn)PEMBAHASANPengetahuan

Menurut Ngatimin dalam Detek (2010), perubahan pengetahuan sendiri memerlukan beberapa tingkatan mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks yaitu pengetahuan dasar, pengetahuan menyeluruh, penerapan, kemampuan analisis, kemampuan menguraikan dan kemampuan evaluasi (Detek, 2010)

Pengetahuan informan tentang penyebab, gejala-gejala, penularan, bahaya, pencegahan serta cara pengobatan kusta sangat bervariasi sesuai dengan faktor pengalaman dan kepercayaan

28 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 29: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

masing-masing informan. Seperti ada yang mengatakan bahwa kusta adalah penyakit kutukan, guna-guna, keturunan, penyakit yang menular, serta penyakit yang dapat menimbulkan kecacatan.

Pengetahuan informan baik penderita maupun keluarga, pada awalnya masih sangat awam dengan kusta dan menganggap bahwa kusta adalah penyakit kutukan, keturunan, guna-guna dan karena dosa dan kesalahan yang dilakukan orang-orang tua mereka pada masa lalu sehingga mendapat balasannya

Sedangkan pengetahuan informan yang bukan penderita, dari hasil wawancara di lapangan menunjukkan dua dari tiga informan masih menganggap kusta adalah penyakit kutukan, guna-guna, dan penyakit keturunan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan informan tentang penyakit kusta dan juga pengalaman informan di masa lalu.

Menurut Alexander, dalam Susanto dkk. (2009), Pentingnya masyarakat tahu dan mengenal tentang seluk-beluk kusta agar mereka tidak salah mengartikan penyakit kusta dan pada akhirnya tidak terjadi hal-hal seperti diskriminasi, mengucilkan dan mengasingkan penderita kusta. Pemahaman yang benar, konstruktif, dan logis mampu mengubah pandangan masyarakat yang salah tentang kusta. Perubahan akan mendorong masyarakat memiliki tingkah laku yang benar dan pola pikir yang rasional (Susanto dkk, 2009).

Dari hasil wawancara dengan informan (penderita dan keluarga), sebagian besar/tujuh dari sepuluh informan menceritakan penyebab kusta. sesuai dengan apa yang mereka ketahui dan alami, informan menuturkan bahwa penyebabnya karena bakteri, virus, dan kuman, informan juga menambahkan lingkungan yang kotor, dan karena jarang mandi juga ikut mempengaruhi terjadinya penyakit kusta, sedangkan tiga informan lainnya tidak mengetahui penyebab dari penyakit kusta.

Sedangkan pengetahuan informan mengenai gejala dan tanda-tanda penyakit kusta, dikemukakan oleh informan berdasarkan pengalaman yang dilihat dan dirasakan sendiri oleh informan. Menurut informan gejala penyakit ini adalah timbulnya bercak-bercak putih di kulit seperti panu, kulit tidak terasa atau mati rasa pada kulit, dan timbul bintik-bintik merah.

Berat ringannya suatu gejala penyakit yang dialami penderita sangat menentukan perilaku mereka mencari pertolongan pengobatan. Apabila gejala yang dialami dianggap ringan maka mereka membiarkan dengan gejala akan hilang berangsur-angsur, tetapi apabila gejala yang dialami dianggap suatu ancaman, maka pertolongan petugas kesehatan dilihat sebagai suatu cara mengurangi ancaman tersebut (Pattilouw, 2009)

Pengetahuan informan yang bukan penderita tentang penyebab dan gejala-gejala kusta berdasarkan hasil wawancara, jawaban mereka bervariasi, ada yang menjawab bahwa penyebab dari kusta adalah karena bakteri, karena kutukan dan adapula yang tidak tahu penyebabnya. Dan mengenai gejala-gejalanya jawaban yang didapat masih dalam tahap menduga-duga. Menurut informan gejalanya yaitu adanya bercak-bercak putih dikulit, bintik-bintik merah, dan ada luka di tangan-dan kaki penderita.

Mengenai cara penularan, penderita menceritakan awalnya mereka terkena penyakit kusta karena sering bergaul dengan teman yang ternyata adalah seorang penderita kusta, namun tidak menyadari kalau diri mereka adalah seorang penderita atau bahkan sudah tahu tapi tidak mau berobat, sehingga menularkannya pada orang lain.

Pengetahuan informan mengenai cara penularan penyakit kusta seperti yang di kemukakan diatas berpengaruh langsung terhadap proses pengobatan penderita. Informan juga menuturkan tentang bahaya kusta, menurut informan penyakit kusta ini sangatlah berbahaya karena menular dan jika tidak segera berobat maka dapat menyebabkan kecacatan sehingga penderitanya tidak dapat menjalankan kehidupannya sebagaimana mestinya.

Sedangkan pengetahuan informan yang bukan penderita tantang penularan kusta, informan menuturkan bahwa penularannya terjadi dari kontak langsung dengan penderita, memakai bekas peralatan makan penderita, serta melakukan aktifitas bersama-sama dengan si penderita.

29 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 30: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Berdasarkan teori Bloom, setiap orang memiliki perilaku dan cara pandang yang berbeda terhadap suatu kejadian penyakit sesuai dengan tingkat pengetahuan dan pemahamannya, kemudian mengambil sikap dan tindakan (Notoatmodjo, 2005)

Soewono dalam Susanto dkk. (2009), mengatakan banyak anggapan yang salah tentang penyakit kusta beredar di tengah-tengah masyarakat dan diyakini kebenarannya oleh sebagian besar anggota masyarakat. Sebagai contoh, kusta selalu identik dengan kecacatan fisik secara permanen pada penderitanya. Akibatnya, seseorang yang telah sembuh dari penyakit kusta, namun mengalami cacat, tetap dianggap sebagai penderita kusta yang berbahaya oleh masyarakat (Susanto dkk, 2009)

Cara pencegahan kusta berpengaruh langsung terhadap praktek pengobatannya. Berdasarkan hasil wawancara dengan penderita dan keluarga, mereka mengungkapkan bahwa untuk mencegah agar tidak tertular penyakit kusta maka jangan kontak terlalu dekat dengan penderita yang belum berobat, pergi ke puskesmas memeriksakan diri dan minum obat daya tahan tubuh agar tidak mudah tertular penyakit.

Sedangkan bagi informan yang bukan penderita, mereka menuturkan bahwa, cara pencegahannya yaitu jangan bergaul dengan penderita, minum obat untuk meningkatkan daya tahan tubuh agar tidak mudah terjangkit penyakit.

Pengetahuan informan yang minim tentang cara pencegahan mengakibatkan mereka salah paham sehingga sulit menerima penderita kusta untuk berada di tengah-tengah mereka. Padahal jika penderita yang telah melakukan pengobatan tidak akan menularkannya lagi kepada orang lain.

Berdasarkan informasi dari hasil wawancara dengan penderita didapatkan bahwa ketika penderita mengalami suatu gejala penyakit seperti penyakit kusta maka yang pertama kali mereka lakukan adalah pergi berobat ke dukun/pengobatan tradisional, namun dari waktu ke waktu tidak ada perubahan yang menunjukan penderita akan sembuh, hingga akhirnya penderita beralih ke petugas kesehatan/dokter, mereka mau pergi ke dokter atau ke petugas kesehatan bilamana penyakit/sakit mereka bertambah parah dan tidak menunjukan tanda-tanda kesembuhan.

Tujuan dari pengobatan yaitu membebaskana penderita kusta dari penyakit kusta dan kecacatan serta merupakan upaya dalam memutuskan rantai penularan kepada orang lain.

Menurut Soewono dalam Susanto dkk (2009), semakin menunda pengobatan, semakin besar pula kemungkinan timbulnya cacat fisik. Jika mendapatkan pengobatan sebelum adanya cacat, dapat dipastikan akan sembuh sempurna dan tidak seorang pun akan mengetahui kalau dulu pernah mengidap penyakit kusta (Susanto dkk, 2009)

Untuk masalah pengobatan ini ketika ditanyakan kepada informan yang bukan penderita, mereka menuturkan, cara pengobatan kusta adalah pergi ke dokter atau puskesmas, dan ada juga yang tidak tahu ketika ditanya karena ia menganggap penyakit tersebut adalah penyakit kutukan sehingga sulit mencari pengobatan.Sikap

Dari hasil wawancara dengan penderita, rata-rata mereka merasa minder dan tidak percaya diri ketika harus bergaul dengan masyarakat luas. Penderita juga cenderung mengurung diri dan menghindar dari masyarakat.

Dalam hal sikap keluarga terhadap penderita, tiga dari lima informan mengutarakan bahwa sikap mereka terhadap penderita baik-baik saja, tidak menjauhi atau bahkan mengasingkan si penderita. Karena menurut mereka hal-hal semacam itu tidak perlu dilakukan sebab hanya akan menambah kesulitan dan beban pikiran bagi penderita sehingga sakit penderita akan bertambah parah, namun ada dua informan lainnya yang memang masih merasa takut tertular, sehingga bersikap membeda-bedakan penderita dengan anggota keluarga yang lain.

Menurut Yusep dalam Samna (2010), dukungan keluarga adalah support system terdekat 24 jam bersama-sama dengan klien keluarga yang mendukung klien secara konsisten akan membuat klien mandiri dan patuh mengikuti program pengobatan, salah satu petugas keperawatan perlu memberikan pengetahuan, informasi kepada keluarga. Sedangkan sikap informan yang

30 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 31: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

bukan penderita, dari hasil penelitian dilapangan menunjukkan mereka masih enggan bergaul dengan penderita kusta karena takut tertular.

Menurut Soewono dalam Susanto dkk. (2009), masyarakat memahami bahwa para penyandang kusta identik dengan golongan masyarakat miskin dan sebagian besar cacat fisik permanen. Kebanyakan anggota masyarakat masih mengalami ketakutan berinteraksi dengan penderita. Itulah sebabnya, penderita mengalami kesulitan ketika ingin bekerja secara mandiri, misalnya, membuka usaha sendiri atau bekerja sebagai tenaga kerja normal (Detek, 2010)

Soewono juga menuturkan, akibat pandangan negatif masyarakat terhadap penyandang kusta, terdapat kecenderungan ketika seseorang baru terserang penyakit kusta akan berusaha menyembunyikan fakta penyakitnya. Dampaknya, mereka menularkan penyakitnya kepada masyarakat sekelilingnya. Mereka berobat ketika fakta penyakitnya tidak dapat disembunyikan lagi dan sudah menimbulkan cacat fisik permanen sehingga menyulitkan aktivitas mereka sepanjang hidup.

Tindakan Berdasarkan hasil wawancara dengan informan (penderita), dapat dilihat bahwa informan

mempunyai kesadaran penuh untuk berobat dan keinginan yang kuat untuk sembuh. Informan juga menuturkan dukungan dari keluarga juga sangat menentukan keinginan untuk pergi berobat. Keluargalah yang selalu memotivasi informan untuk tetap menjalani pengobatan hingga sembuh. Dari hasil wawancara dengan keluarga, informan menuturkan bahwa mereka mendukung sepenuhnya pengobatan penderita. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Samna di Makassar (2010) penderita kusta yang mempunyai dukungan keluarga yang baik akan mempunyai motivasi hidup yang lebih baik di bandingkan yang kurang memiliki dukungan keluarga.

Dari hasil wawancara dengan informan yang bukan pederita menunjukkan bahwa informan masih menjaga jarak, menghindar serta tidak mau bergaul dengan penderita, tapi tidak menampakkannya secara langsung untuk menjaga perasaan penderita.

Dari hasil penelitian Zulkifli (2003), masyarakat masih takut dengan kusta karena disebabkan oleh adanya leprophobia (rasa takut yang berlebihan terhadap kusta). Leprophobia ini timbul karena pengertian penyebab penyakit kusta yang salah dan cacat yang ditimbulkan sangat menakutkan (Zulkifli, 2003)

Dari hasil wawancara dengan petugas kesehatan yang menangani program kusta menunjukkan bahwa informan telah melakukan upaya-upaya dalam menanggulangi penderita kusta, terutama dalam hal pengobatan, setiap penderita yang datang berobat di puskesmas informan selalu memberikan peyuluhan-penyuluhan kepada penderita dan keluarganya, informan juga mengutarakan bahwa penderita yang pertama kali datang berobat ke puskesmas mempunyai pengetahuan yang sangat minim terhadap kusta, mereka juga masih menganggap kusta adalah penyakit kutukan, guna-guna, dan keturunan tapi setelah diberi pengertian, akhirnya mereka tahu tentang kusta.

Pelbagai studi sosial terhadap kesehatan melaporkan bahwa kebanyakan penyakit yang diderita individu maupun ”penyakit” masyarakat pada umumnya bersumber dari ketidaktahuan dan kesalahpahaman atas pelbagai informasi kesehatan yang mereka akses. Oleh karena itu, kita perlu memperhatikan arus informasi kesehatan yang dikirimkan dan diterima oleh individu dan masayarakat (Liliweri, 2009).SIMPULAN

Pengetahuan informan terhadap penyakit kusta didasarkan atas gejala yang dirasakan dan yang dilihat secara fisik, yaitu gejalanya menurut informan adanya bercak-bercak putih, informan juga masih percaya bahwa penyakit kusta adalah penyakit keturunan dan kutukan. Penyebab kusta yakni bakteri, karena lingkungan yang kotor dan karena kutukan. Penularan kusta melalui kontak dengan penderita. Upaya pengobatan yang dilakukan yaitu dengan pergi ke dukun dan puskesmas. Kemudian untuk sikap, bagi penderita sendiri masih merasa minder ketika harus bergaul dengan masyarakat, sedangkan bagi sebagian keluarga dan masyarakat yang bukan penderita, mereka masih merasa takut jika harus berinteraksi dengan penderita. Tindakan penderita

31 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 32: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

dalam melakukan upaya pengobatan yaitu dengan berobat ke dukun dan ke puskesmas, disamping itu dukungan dari keluarga juga sangat menentukan keinginan untuk pergi berobat, sedangkan tindakan masyarakat yang bukan penderita, mereka mau bergaul dengan penderita, tapi tetap menjaga jarak karena takut tertular.SARAN

Gerakan penyuluhan efektif Dengan melibatkan petugas kesehatan, penderita, keluarga, serta tokoh masyarakat sehingga diharapkan mampu mengoreksi persepsi-persepsi yang keliru tentang penyakit kusta, dan pengenalan gejala dini gangguan saraf akibat penyakit kusta secara meluas untuk mencegah kecacatan akibat penyakit kusta.

Agar para penyandang penyakit kusta dapat diterima kembali kedalam pergaulan di tengah-tengah masyarakat, mereka yang mengalami cacat fisik akibat penyakit ini harus diberikan pelatihan guna mengatasi berbagai kendala, terutama kendala psikologis yang mereka hadapi sehingga dapat melakukan berbagai aktivitas secara lebih baik dan bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA1. Susanto. 2009. Penderita kusta di Indonesia meningkat tajam,

http://www.eng.suaramedia.com/.../4834-penderita-kusta-di-indonesia-meningkat-tajam. (diakses 27 Januari 2010).

2. Soewono. 2009. Penderita kusta di Indonesia terus bertambah. http://www.antaranews.com/penderita-kusta-di-indonesia-terus-bertambah. (diakses 27 Januari, 2010).

3. Anonim. 2009b. Apakah penyakit kusta itu?, http://dimaswibie.wordpress.com/.../apakah-penyakit-kusta-itu (diakses 30 Januari 2010).

4. Dinkes, Malut. 2009. Situasi kusta dan penemuan penderita baru propinsi Maluku utara.5. Susanto, dkk. 2009. Lepra, siapa takut?. Jakarta: YTLI.6. Arizal, S Imam. 2010. Empati penderita kusta. http://www.surya.co.id/2010/01/25/empati-

penderita-kusta.html. (diakses 27 Januari 2010).7. Detek, Samna. 2010. “faktor-faktor yang berhubungan dengan ketidakteraturan berobat

penderita kusta rawat inap di Rumah Sakit Dr. Tadjudin Chalid tahun 2010”, skripsi sarjana tak diterbitkan, FKM Unhas Makassar.

8. Pattilouw, Jaty. 2009. “perilaku penderita TB paru terhadap kegagalan pengobatan melalui strategi DOTS di wilayah kerja puskesmas perawatan Mako kecamatan Waeapo Kabupaten Buru Propinsi Maluku tahun 2009”, skripsi sarjana tak diterbitkan, FKM Unhas Makassar.

9. Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Promosi kesehatan teori dan aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta. 10. Zulkifli. 2003. ‘Penyakit kusta dan masalah yang ditimbulkannya’.

http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-zulkifli2.pdf. (diakses 30 Januari, 2010).11. Liliweri, Alo. 2009. Cetakan ke3. Dasar-dasar komunikasi kesehatan. Yogyakarta: pustaka

pelajar.

32 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 33: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

PERILAKU WARIA DALAM UPAYA PENCEGAHAN HIV DAN AIDS DI KABUPATEN BULUKUMBA

Eka Sari Ridwan1, Rusli Ngatimin2, Shanti Riskiyani3

1Pascasarjana Konsentrasi Promosi Kesehatan Universitas Hasanuddin(Penerima Beasiswa Bakrie Care Foundation/BCF)

2Bagian Promosi Kesehatan , Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin3 Bagian Promosi Kesehatan , Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin

ABSTRAKWaria merupakan salah satu kelompok berisiko tinggi terhadap penularan HIV dan AIDS. Berdasarkan data kasus HIV dan AIDS di Bulukumba, hingga tahun 2012 terdapat 89 kasus HIV dan AIDS. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai perilaku waria dalam upaya pencegahan HIV dan AIDS. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang dilakukan melalui teknik wawancara mendalam. Informan berjumlah 9 orang yang terdiri dari 6 waria, 1 ketua KDS (Kelompok Dukungan Sebaya), 1 bocah, dan 1 petugas kesehatan.Hasil penelitian menunjukkan pemahaman waria terhadap HIV dan AIDS adalah penyakit menular yang diakibatkan oleh seks bebas, jarum suntik bergantian, dan disebut sebagai penyakit malam. Waria memahami HIV dan AIDS sebagai penyakit yang ditularkan melalui seks, persamaan golongan darah, nafas, serta cairan dalam tubuh. Perilaku pencegahan dilakukan adalah tidak bergaul dengan ODHA (Orang Dengan HIV dan AIDS) serta menggunakan tisu basah. Waria telah menyadari pentingnya menggunakan kondom, namun dalam penggunaannya dipengaruhi oleh status pasangan, penampilan fisik pasangan, persamaan golongan darah, dan pasangan yang kadang merasa tidak nyaman. Dari hasil penelitian ini, disarankan agar informasi melalui penyuluhan tentang HIV dan AIDS lebih ditekankan pada penularan dan resiko tindakan ganti-ganti pasangan terhadap HIV dan AIDS.

Kata Kunci : Perilaku,Waria, Pencegahan, HIV and AIDS

ABSTRACT

Waria is one of the groups at high risk of HIV infection HIV and AIDS. Based on the cases of HIV and AIDS in Bulukumba, in 2012 there are 89 cases of HIV and AIDS. This study aimed to obtain information about the behavior of Waria in preventing HIV and AIDS. This study is a qualitative research conducted through in-depth interview techniques. Informants totaled 9 people consisting of 6 transvestites, 1 head of KDS (Peer Support Group), one Bocah, and one health worker.

The results showed an understanding Waria to HIV and AIDS is an infectious disease caused by sex, sharing needles, and called Penyakit Malam. Waria understanding of HIV and AIDS as a disease that is transmitted through sex, blood type equations, breath, and fluid in the body. Prevention behaviors do is not hang out with PLWHA (People Living with HIV and AIDS) and using wet wipes. Waria has realized the importance of using condoms, but its used by family status, physical appearance spouse, blood type equations, and couples who sometimes feel uncomfortable. From these results, it is suggested that information through counseling about HIV and AIDS transmission and greater emphasis on risk measures change sexual partners against HIV and AIDS.

Keywords: Behavior,Waria, Prevention, HIV and AIDS

33 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 34: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

PENDAHULUAN

alah satu aspek kesehatan pada akhir abad ke-20 yang merupakan bencana bagi manusia adalah munculnya penyakit yang disebabkan oleh suatu virus yaitu HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang dapat menyebabkan AIDS (Aquarired Immunodeficiensy

Syndrome). Saat ini WHO mengistemasikan telah terdapat 34,2 juta kasus positif HIV (UNAIDS, 2012). Indonesia sendiri juga menjadi salah satu perhatian utama penanggulangan HIVdan AIDS sebab merupakan negara Asia dengan epidemi HIVdan AIDS yang berkembang paling cepat (UNAIDS, 2012). Berdasarkan data Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2012, menunjukkan tahun 2012 terdapat 86.762 kasus HIV dengan faktor risiko penularan utama melalui transmisi hubungan seks heteroseksual sebanyak 81,92% (Vivalife, 2013).

S

Diantara 34 propinsi lainnya di Indonesia, propinsi Sulawesi Selatan termasuk 4 besar wilayah tertinggi di Indonesia untuk kasus AIDS yakni sebanyak 56 kasus (periode januari-maret 2012) dan berada diperingkat 7 nasional dengan jumlah penderita HIV mencapai 5.658 orang (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2012). Dari 23 kabupaten/kota di Sul-sel, Kabupaten Bulukumba memiliki jumlah penderita HIV dan AIDS sebanyak 69 kasus di tahun 2010 dan merupakan tertinggi ketiga setelah Makassar dan Pare-pare. Di tahun 2012 meningkat menjadi 89 kasus (KPAD, 2010).

Kab.Bulukumba termasuk dalam 21 daerah provinsi yang telah mengeluarkan perda AIDS yang dituangkan dalam perda No 5 Tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS yang didalamnya mengatur penyampaian informasi, komunikasi dan edukasi pada masyarakat tentang HIV dan AIDS, serta melaksanakan pemeriksaan tes HIV dan AIDS terhadap kelompok rawan dan berisiko tinggi, termasuk didalamnya PSK dan Waria (Harahap, 2010).

Hubungan seksual, baik heteroseksual maupun homoseksual adalah model utama penularan HIV. Tidak dapat dipungkiri perilaku seksual di kelompok risiko tinggi komunitas waria memberikan kontribusi penularan HIV dan AIDS yang signifikan. Penularan HIV melalui seks anal dilaporkan memiliki risiko 10 kali lebih tinggi dari seks vaginal. Menurut Yayasan Riset AIDS Amerika, AMFAR menyimpulkan, waria ternyata berisiko 19 kali lebih besar tertular penyakit HIV dibanding masyarakat umum(Rabudiarti, 2007).

Menurut Survei Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) terkait prevalensi HIV di Tiga Kota di Indonesia tahun 2007, Di Jakarta tercatat 34% waria positif HIV, disusul Surabaya dengan 25%, dan Bandung 14%. Hasil Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Kota Pontianak tahun 2007 dari 10 waria ditemukan 5 waria terinfeksi HIV (Rabudiarti, 2007). Penelitian sebelumnya yang dilakukan di kota Abepura Papua dan Sorong diperoleh hasil dari 15 waria yang jadi informan, hanya 3 Waria di Abe dan 2 waria disorong yang memakai kondom ketika berhubungan seks.Begitupun dengan Data STBP 2007 menunjukkan pemakaian kondom pada waria saat berhubungan seks tidak mencapai 50% dengan hasil di Jakarta hanya 13% dan Bandung 48%. Salah satu hal yang mendasari adalah kenyamanan dan kepuasan mereka berhubungan seks terganggu jika menggunakan kondom (Djoht, 2003).

Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa waria merupakan kelompok yang berisiko terhadap peningkatan jumlah kasus HIVdan AIDS, khusus untuk wilayah Kabupaten Bulukumba akan sangat berpotensi mengalami peningkatan kasus HIVdan AIDS karena jumlah waria yang relatif banyak diperkirakan mencapai 300 waria.

METODE PENELITIANRancangan Penelitian

34 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 35: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam (indept interview), untuk mengetahui perilaku waria dalam upaya pencegahan HIVdan AIDS di Kabupaten Bulukumba. Lokasi dan Waktu Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan kurang lebih tiga bulan(November 2011 – Januari 2012) di Kabupaten Bulukumba. Pemilihan Kabupaten Bulukumba sebagai tempat penelitian karena memilki kasus HIV dan AIDS tertinggi ke-3 di Sulawesi Selatan dan memiliki perda AIDS yang mengatur upaya preventif pada kelompok berisiko termasuk waria.Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini berjumlah 9, dengan jumlah waria sebanyak 7 orang, termasuk waria yang juga menjabat sebagai Ketua Kelompok Dukungan Sebaya (KDS), 1 orang bocah, serta 1 orang petugas kesehatan.Pengumpulan Data

Pengumpulan Data dilakukan melalui wawancara mendalam pada informan. Informan diperoleh dengan dibantu oleh ketua KDS (Kelompok Dukungan Sebaya) yang juga merupakan waria. Data yang dikumpulkan meliputi pemahaman waria terhadap HIV dan AIDS, akses mereka terhadap informasi serta perilaku pencegahan HIV dan AIDS yang mereka lakukan. Pemilihan Informan yang mewakili pasangan waria hanya berasal dari bocah. Pemilihan bocah dikarenakan beberapa responden mengaku jika tindakan ganti-ganti pasangan itu dilakukan dengan remaja laki-laki yang memiliki usia lebih muda.

Informan lain dalam penelitian ini adalah seorang Petugas kesehatan yang dianggap penting untuk memberikan informasi terkait dengan penyalahgunaan obat yang sering dilakukan oleh waria dan pasangan sebagai obat kuat dan penambah gairah seksual.Keabsahan Data

Untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui Triangulasi sumber yaitu dengan membandingkan informasi informan (cross check) antara informasi yang satu dengan yang lainnya. Dalam melihat akurasi informasi yang diperoleh pada penelitian ini, sumber tidak hanya berasal dari waria, tapi juga mereka yang bertindak sebagai bocah serta pemilihan petugas kesehatan terkait dengan penyalahgunaan obat.Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan mengikuti petunjuk Miles dan Huberman (dikutip dalam Sugiyono, 2010), mengemukakan bahwa analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif, dan berlangsung terus-menerus sampai tuntas. Aktifitas dalam analisis data yaitu reduksi data, penyajian data, dan menetapkan kesimpulan/verifikasi data.

HASIL DAN PEMBAHASANPemahaman waria terhadap HIV dan AIDSPengertian HIV dan AIDS

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, pada dasarnya waria memberikan defenisi tentang HIVdan AIDS berdasarkan kepercayaan, pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki. Beberapa waria mendefenisikan HIV dan AIDS sebagai penyakit menular yang disebabkan oleh seks bebas dan penyakit yang menyerupai sipilis. Pengalaman pribadi juga menjadi salah satu cara memperoleh pengetahuan (Notoatmojo, 2003), seperti yang diungkapkan oleh seorang Informan (Tulip) yang memiliki riwayat suntik silikon. Pengalaman sebelumnya sebagai waria yang pernah melakukan suntik silikon dan dekat dengan alat tersebut, maka memahami HIV dan AIDS sebagai akibat dari perilaku penggunaan jarum suntik silikon bergantian. Menurutnya menggunakan jarum suntik bekas orang lain akan menyebabkan munculnya penyakit seperti HIVdan AIDS.

Pemahaman lain juga diungkapkan oleh seorang informan yang mengetahui HIV dan AIDS sebagai istilah dari “penyakit malam”, yaitu penyakit yang diakibatkan oleh aktifitas malam waria yang berisiko pada seks bebas yaitu Ngallang. Pemahaman informan ini karena dikelompok

35 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 36: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

mereka “penyakit malam” lebih mereka kenal sebagai penyakit HIV dan AIDS yang disebabkan oleh tindakan ganti-ganti pasangan yang sering dilakukan pada malam hari. Menurut Bloom (dikutip dalam Ngatimin, 2005) Pengetahuan adalah ketika seseorang mampu menjelaskan secara garis besar, meskipun hanya sebatas sebagai istilah-istilah. Tanda-tanda HIV dan AIDS

Tanda-tanda HIV dan AIDS diperoleh dari beberapa informan yang memahami jika HIV dan AIDS pada dasarnya memiliki tanda yang sama pada penyakit kelamin seperti sipilis. Hal ini dipahami karena HIV dan AIDS merupakan penyakit akibat hubungan seks sehingga berdampak pada organ vital (kelamin). Sifilis adalah penyakit kelamin menular yang disebabkan oleh bakteri spiroseta, penularan penyakit ini salah satunya melalui kontak seksual. Gejala dan tanda sifilis banyak dan berlainan, sulit didiagnosa karena penyakit ini sering menyerupai penyakit lainnya. Sifilis jelas berbeda dengan penyakit HIV dan AIDS meskipun memiliki rantai penularan yang sama yaitu melalui hubungan seks. Namun Sifilis dapat mempertinggi risiko terinfeksi HIV dan AIDS. Hal ini dikarenakan lebih mudahnya virus HIV dan AIDS masuk ke dalam tubuh seseorang bila terdapat luka (Judarwanto, 2009).

Beberapa informan mengetahui HIV dan AIDS sebagai penyakit menular. Sehingga Penularan HIV dan AIDS yang sangat mudah, juga diyakini sebagai tanda-tanda penyakit tersebut. Selain itu, terdapat pula Informan yang mengetahui tanda-tanda HIV dan AIDS melalui pengamatan lingkungan sekitarnya yaitu tetangganya yang diyakini positif HIV dan AIDSAIDS dan memiliki tanda-tanda seperti bercak-bercak pada kulit disertai kulit terkelupas. Hal ini sesuai dengan teori Ann.Mariner (dikutip dalam Notoatmojo, 2003) lingkungan adalah seluruh kondisi yang ada disekitar manusia dan merupakan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi pengetahuan. Pengamatan Tulip terhadap lingkungan sekitarnya yang memperoleh informasi jika salah satu tetangganya terkena HIV dan AIDS, mengantarkan Tulip memahami tanda-tanda HIV dan AIDS seperti yang terjadi pada tetanganya. Penularan HIV dan AIDS

Berdasarkan penelitian diatas, pemahaman informan terhadap penularan HIV dan AIDS pada umumnya telah mengetahui jika penularan dapat terjadi melalui cairan dalam tubuh seperti darah dan Air mani, namun berdasarkan pemahaman tersebut mereka juga menggap jika semua yang berasal dari cairan dalam tubuh termasuk ludah dan keringat dapat menularkan HIV dan AIDS. Sehingga mereka yang terinfeksi HIV dan AIDS tidak boleh bersentuhan kulit dengan mereka yang negatif HIV dan AIDS. Bahkan diyakini juga jika HIV dan AIDS dapat menular melalui udara (nafas saat berbicara).

Pemahaman mengenai penularan HIV dan AIDS melalui jarum suntik juga diungkapkan oleh informan. Penggunaan jarum suntik bergantian khususnya pada pembuatan tato diyakini merupakan salah satu media penularan HIV dan AIDS. Terdapat juga informan yang mengungkapkan jika penularan HIV dan AIDS hanya akan terjadi melalui kecocokan/persamaan golongan darah, sehingga penularan penyakit ini tidak akan terjadi pada mereka yang memiliki golongan darah yang berbeda, meskipun melakukan hubungan seks.Pencegahan HIV dan AIDS

Adanya pemahaman terhadap penularan HIV dan AIDS mempengaruhi upaya pencegahan yang dilakukan oleh informan dengan tidak menggunakan kondom saat berhubungan seks meskipun pasangannya diketahui positif HIV/AIDS, namun jika tidak memiliki kecocokan darah maka tidak akan terjadi penularan. Hal ini juga diungkapkan dalam teori Lawrence Green (dikutip dalam Walgito, 2005) pengetahuan menjadi faktor predisposisi artinya faktor yang mempermudah atau yang mempresdisposisi terjadinya perilaku seseorang.

Upaya pencegahan lain yang diperoleh dalam penelitian ini adalah dengan menghindari, tidak bergaul dengan mereka yang diketahui terinfeksi HIV dan AIDS, dan perilaku seperti menutup mulut saat berbicara dan duduk berjauhan dengan ODHA perlu dilakukan. Hal ini dilakukan untuk menghindari penularan HIV dan AIDS yang diyakini menular melalui nafas saat

36 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 37: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

berbicara. Tidak hanya itu, mereka juga memahami HIV dan AIDS sebagai penyakit yang dapat menular melalui keringat sehingga bersentuhan kulit dengan ODHA juga perlu dihindari.

Terdapat juga informan yang merupakan mahasiswa kesehatan di perguruan tinggi swasta Bulukumba, yang menyadari jika penggunaan kondom sebagai alat pencegah HIV dan AIDS perlu dilakukan. Selain kondom, penggunaan tisu basah juga diyakini sebagai alat pencegah yang juga memiliki fungsi yang sama dengan kondom sekaligus pembersih sebelum melakukan hubungan seks sehingga tidak terjadi penularan penyakit. Keberadaan tisu basah sebagai antiseptic tidak dapat dipungkiri sebab beberapa produk tisu basah menawarkan manfaat tersebut, namun dalam hal pencegahan HIV dan AIDS saat berhubungan seks tisu basah tidak dapat dijadikan sebagai alat pencegah yang memiliki fungsi yang sama dengan kondom.

Waria secara langsung menyadari bahwa mereka sangat beresiko tertular HIV dan AIDS karena kebiasaan hubungan seksual mereka yang secara bebas dan tidak memperhatikan alat pengamannya (kondom). Adanya pemahaman jika waria merupakan kelompok yang memiliki kebutuhan seks yang lebih besar (haus seks) dibanding kelompok lainnya menjadikan tindakan ganti-ganti pasangan untuk memenuhi kebutuhan seks mereka dianggap sebagai hal yang biasa dan sudah merupakan kebutuhan yang alamiah bagi mereka. Hal ini didukung dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Rabudiarti (2007) bahwa kehidupan seks kaum waria memiliki dampak penyebaran HIV dan AIDS cukup tinggi karena relasi seks yang mereka lakukan umumnya mengandung resiko cukup tinggi karena sering berganti-ganti pasangan.

Namun demikian, walaupun waria menyadari jika kelompok waria beresiko tertular HIV dan AIDS, tapi umunya waria tetap melakukan hubungan seksual beresiko. Hal ini disebabkan karena dorongan atau keinginan seksual mereka yang cukup tinggi dan diakui lebih besar dibanding kelompok lainnya. Peningkatan pengetahuan tentang penyakit HIV dan AIDS dapat mempengaruhi sikap dan perilaku waria dalam mencegah penularan HIV dan AIDS baik di kalangan waria atau pun di masyarakat. Hal ini didukung oleh pendapat Herek (dikutip dalam Risnawati, 2010) bahwa pengetahuan dapat meningkatkan perubahan perilaku beresiko tinggi HIV dan AIDS dan juga dapat meminimalkan transmisi HIV dan AIDS itu sendiri.Penggunaan alat pencegahPenggunaan kondom

Menurut Rogers (dikutip dalam Notoatmojo 2003), menyimpulkan bahwa pengadopsian perilaku melalui proses yang didasari oleh pengetahuan, dan kesadaran yang positif melalui kesadaran akan manfaat terhadap objek dalam hal ini manfaat penggunaan kondom. Pada umunya waria mengetahui jika kondom merupakan alat pencegah HIV dan AIDS, dan sadar pentingnya kondom mereka gunakan saat berhubungan seks. Namun berbagai faktor kadang menjadi kendala bagi waria untuk menggunakannya seperti tidak adanya kondom, kondom yang mudah rusak, serta penolakan penggunaan kondom yang kadang datang dari pasangan dengan alasan merasa tidak nyaman, terutama pada pasangan tetap (suami) waria, sehingga hal tersebut membuat waria tidak menggunakan kondom.

Kendala dalam penggunaan kondom bagi informan salah satunya adalah kerusakan kondom yang sering terjadi seperti robek. Berdasarkan STBP kelompok berisiko 2007, diperoleh hasil jika Waria melaporkan kejadian kerusakan kondom berkisar antara 11% - 18% dalam tiga bulan terakhir, yang menunjukkan bahwa walaupun Waria cenderung menyadari adanya manfaat dari kondom, mereka tidak selalu tahu bagaimana cara menggunakannya dengan benar. Olehnya itu penyuluhan sebaiknya tidak hanya memberikan materi pentingnya penggunaan kondom, tetapi juga pada penyuluhan pemakaian kondom yang benar sehingga kerusakan saat menggunakan kondom tidak lagi terjadi.

Selain masalah seringnya kondom rusak, hal lain yang juga berpengaruh pada penggunaan kondom adalah bentuk hubungan seks yang dilakukan. Nugraha (2006) mengemukakan jika homoseksual (termasuk waria) mengalami intensitas perasaan yang sama dan kebutuhan yang sama untuk mengekspresikan afeksi dan intim dengan manusia lain seperti yang dilakukan oleh kaum heteroseksual. Homoseksual (termasuk waria) melakukan percintaan hampir

37 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 38: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

sama dengan heteroseksual yaitu lewat sentuhan, memeluk sambil mencumbu dan melakukan anal serta oral sex. Bentuk hubungan seks ini juga berpengaruh pada penggunaan kondom yang dilakukan dikalangan waria dan pasangan. Hubungan seks yang dilakukan dengan oral dianggap tidak berisiko terhadap HIV dan AIDS sehingga tidak dibutuhkan penggunaan kondom.

Seks oral adalah suatu variasi seks dengan memberikan stimulasi melalui mulut dan lidah pada organ seks / kelamin pasangannya. Aktifitas seks oral memiliki resiko terkena penyakit menular termasuk HIV/AIDS, meskipun risiko ini lebih kecil dibandingkan dengan anal atau vaginal seks. Hal ini disebabkan karena mulut manusia rentan terhadap serangan bakteri dan virus sehingga memudahkan terjangkitnya virus HIV/AIDS melalui organ ini. Jika saat itu ada luka terbuka di mukosa mulut, meski kecil dan tidak terlihat, bisa menyebabkan risiko penularan infeksi menular seksual karena luka terbuka ini adalah jalan masuk virus atau bakteri ke dalam aliran pembuluh darah (Bakri, 2009).

Penggunaan kondom pada waria juga dipengaruhi oleh status pasangan, karena beberapa waria selain memiliki pasangan tetap mereka juga memiliki pasangan tidak tetap yang memiliki beberapa istilah seperti bocah, pete-pete, nasi bungkus. Beberapa waria mengungkapkan jika mereka tidak menggunakan kondom pada pasangan tetapnya, namun pada pasangan tidak tetap kadang mereka menggunakan kadang juga tidak. Penilaian penggunnaan kondom ini dipengaruhi oleh keadaan fisik lekong, jika waria merasa pasangan bersih maka kondom tidak perlu digunakan. Hal yang berbeda diungkapkan oleh bocah, jika kendala dalam penggunaan kondom karena sulitnya memperoleh kondom, apalagi jika harus membeli di Apotek karena adanya “rasa malu”. Hal ini disebabkan adanya persepsi negatif dari masyarakat terhadap kondom.

Hasil penelitian diatas didukung dari hasil surveilans waria yang dilakukan oleh STBP (2007) pada lima kota yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang dan Malang, menunjukkan bahwa rata-rata 80% waria telah mengetahui bahwa kondom melindungi terhadap infeksi menular seksual (IMS) dan HIV dan AIDS. Namun penggunaan kondom selama hubungan seks hanya berkisar rata-rata 30%. Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa penggunaan kondom dikalangan waria sangat rendah dalam hal pencegahan HIV dan AIDS di Kota Abepura dan Kota Sorong yaitu masing-masing hanya 3,3% dan 7,5% (Djoht, 2003).

Beberapa Informan dalam penelitian ini juga mengungkapkan jika dalam hal penggunaan kondom, maka yang menggunakan atau yang bertindak sebagai laki-laki adalah pasangan waria sehingga mereka yang memakai alat pencegah tersebut.Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Mandra (2008), dalam hubungan seks, waria tidak bisa bertindak sebagai laki-laki dan akan bahagia jika diperlakukan sebagai wanita. Hal ini sejalan dengan penuturan informan dalam hal penggunaan kondom, yang bertindak sebagai laki-laki adalah pasangan waria sehingga mereka yang memakai alat pencegah tersebut. Tindakan ganti-ganti pasangan

Terdapat hal menarik dalam penelitian ini, waria pada umumnya selain memiliki pasangan tetap mereka juga memiliki pasangan tidak tetap. Pasangan tetap waria (laki-laki dan mereka sebut lekong atau suami) yang secara pasti selama berpacaran akan saling memenuhi hasrat seksual. Untuk pasangan tidak tetap pada umumnya mereka memilih dan lebih menyukai anak-anak remaja yang memiliki usia yang lebih muda dibanding mereka. Waria memiliki banyak istilah untuk pasangan tidak tetap seperti bocah, pete-pete, dan nasi bungkus yang menggambarkan jika hubungan mereka hanya bersifat sementara, dimana bocah (heteroseksual) diberi imbalan sesuai dengan permintaannya. Namun, terdapat pula waria yang hanya memiliki satu pasangan seksual saja (setia pada pasangannya).

Hal tersebut di atas sangatlah jelas bahwa kondisi ini akan sangat mempengaruhi pada tingkat kejadian HIV dan AIDS di Kabupaten Bulukumba. Karena dengan seringnya waria berganti-ganti pasangan seksual bahkan memiliki pasangan heteroseksual yang secara jelas heteroseksual akan pula melakukan hubungan seksual dengan kaum wanita sehingga penularan dan kejadian penyakit HIV dan AIDS baik dikalangan wanita ataupun waria sangat beresiko

38 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 39: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

terjadi peningkatan. Hal ini juga diungkapkan KPAN (2009) bahwa berganti-ganti pasangan seks dapat beresiko terhadap penularan dan peningkatan kejadian HIV dan AIDS.

Menurut Luc Montagnier, penemu HIV dan AIDS, cara-cara medis tidaklah cukup untuk mencegah AIDS. Khususnya bagi kelompok berisiko seperti waria, perlu pendidikan mengenai risiko berganti-ganti pasangan seksual. Centers for Disease Control (CDC), yang diterbitkan pada 20 Juli 2001 menyatakan dengan tegas strategi yang benar-benar efektif adalah memantangkan hubungan seks dan melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang tidak terinfeksi serta saling setia satu sama lain. Atau dengan sederhana, berpantang dari hubungan seks berganti-ganti pasangan (Forum Komunikasi Penyayang Kehidupan, 2010) .

Adanya keterlibatan bocah laki-laki sebagai pasangan tidak tetap waria, menunjukkan jika tidak hanya waria yang berisiko tetapi pasangan juga merupakan kelompok berisiko terhadap HIV/AIDS. Bocah pada umumnya adalah usia anak sekolah yang memiliki usia 15-19 tahun dan merupakan masa puberitas. Masa puberitas merupakan masa perkembangan fisik yang cepat ketika reproduksi seksual pertama kali cepat terjadi. Di usia pubertas ini, tubuh seseorang mulai memproduksi hormon-hormon seksual. Hormon-hormon tersebut, membuat tubuh menjadi dewasa secara fisik dan juga menimbulkan daya tarik seksual. Daya tarik seksual ini, mendorong seorang anak untuk melakukan perilaku seksual (Pangkahila, 2007).

Hal ini terjadi pula pada bocah. Namun, dalam perilaku seksual mereka termasuk menyimpang karena berhubungan seks dengan laki-laki(waria). Menurut Nadia (dikutip dalam Muthi’ah, 2007) Penyimpangan seksual ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor biologik maupun faktor lingkungan. Dalam penelitian ini faktor lingkungan merupakan salah satu faktor utama seperti keberadan mereka yang dekat dengan komunitas waria serta keinginan untuk memenuhi kebutuhan mereka menjadi pemicu munculnya perilaku tersebut.Akses terhadap informasi kesehatan

Menurut Lawrence Green (dikutip dalam Walgito, 2005) ketersediaan dan keterjangkauan serta kemudahan akses pelayanan kesehatan merupakan salah satu faktor pemungkin yang dapat berpengaruh langsung terjadinya suatu penyakit pada masyarakat. Selain itu pendidikan juga merupakan faktor penentu pada perubahan perilaku seseorang. Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju kearah cita-cita tertentu yang menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Pendidikan diperlukan untuk mendapat informasi misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup.Pendidikan sendiri dapat dilakukan melalui penyuluhan atau pemberian informasi pada masyarakat.

Waria di kab.Bulukumba termasuk sebagai waria yang terorganisir dalam suatu perkumpulan ikatan waria yang diberi nama Wakerba (Waria kreatif Bulukumba) yang sering dilibatkan serta dalam berbagai kegiatan termasuk dalam penyuluhan terkait masalah-masalah kesehatan khususnya HIV dan AIDS.

Beberapa informan mengaku pernah mengikuti penyuluhan yang dilakukan oleh instansi pemerintah. Namun ada juga yang mengaku tidak pernah mengikuti penyuluhan karena terkendala dengan aktifitasnya yang padat sebagaiperias penantin. Sehingga hanya memperoleh informasi HIV dan AIDS melalui teman dan orang disekitarnya. Menurut Ann.Mariner (dikutip dalam jannah, 2009) lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada disekitar manusia dan pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan orang atau kelompok terhadap pemahaman dalam perilaku kesehatan terkait dengan HIV dan AIDS . lingkungan sekitar seperti pergaulan dengan teman-teman juga menjadi sumber informasi terhadap pengetahuan tersebut. Salah satu informan menyebutkan jika penyuluhan tidak hanya diperoleh dari seminar yang sering dilakukan, namun juga melalui kontes atau pemilihan miss waria. Pemilihan miss waria juga menjadi salah satu media penyuluhan yang dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan waria terhadap HIV dan AIDS. Dalam kompetisi tersebut waria tidak hanya harus tampil menarik namun juga memiliki wawasan yang luas terhadap HIV dan AIDS, sebab hal tersebut menjadi salah satu kriteria penjurian. Penekanan kelompok yang beresiko tinggi termasuk waria dalam upaya pencapaian

39 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 40: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

derajat kesehatan yang optimal dilakukan melalui pencegahan penyakit dan meningkatkan kesehatan, dalam hal ini mengutamakan upaya peningkatan kesehatan secara preventif dan promotif yang umumnya dalam bentuk penyuluhan kesehatan (Mahmud, 2010).

Peranan KDS dalam memberikan informasi terkait penyuluhan HIV dan AIDS dan penjangkauan dengan pembagian kondom juga memiliki peranan dalam menyampaikan informasi kesehatan pada waria. Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) adalah wadah untuk berkumpulnya Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA) dan Orang yang Hidup Dengan HIV dan AIDS (OHIDA) untuk dapat saling bercerita, mendapatkan informasi kesehatan dan bersama - sama memecahkan permasalahan yang dibutuhkan anggotanya supaya saling mendukung antar kesebayaan. KDS lahir atas dasar kebutuhan untuk berkelompok dengan satu tujuan yang sama, sebab anggotanya mempunyai permasalahan yang sama  untuk mendapatkan kenyamanan didalam kelompok.

KDS merupakan salah satu bentuk dukungan sosial yang diberikan pada ODHA. Menurut Emery dan Oltmanns (dalam Nurbani, 2005) mengatakan bahwa dukungan sosial merupakan bantuan secara emosional dan langsung yang diberikan kepada seseorang. Dukungan ini bisa berasal dari pihak manapun yang merupakan significant others bagi orang yang menghadapi masalah atau situasi stres, seperti orang tua, pasangan, sahabat, rekan kerja ataupun dokter dan komunitas organisasi.

KDS tidak hanya berfokus pada mereka (ODHA dan OHIDA) namun juga pada kelompok berisiko seperti penasun dan waria. Menurut ketua KDS semua orang bisa bergabung di kelompok tersebut, namun penyeleksian itu tetap ada untuk lebih melindungi anggotanya yang memang ODHA, sebab kadang mereka yang ingin bergabung bermaksud lain yaitu untuk mengetahui siapa saja yang terinfeksi HIV dan AIDS. Penjangkauan terhadap kelompok waria dilakukan dengan memberikan sosialisasi dan pembagian kondom yang diharapkan dapat terjadinya perubahan perilaku.

Salah satu kendala waria sulit mengikuti penyuluhan yang kadang diberikan adalah jadwal penyuluhan yang sering dilakukan pada saat mereka sibuk beraktifitas di tempat kerja yaitu pagi hari, sehingga mereka sulit untuk mengikutinya. Padahal diungkapkan oleh mereka jika mereka membutuhkan sosialisasi terkait masalah HIV dan AIDS. Selain itu kendala lain adalah karena jarangnya penyuluhan yang dilakukan dipedesaan, sehingga waria yang beraktifitas disana sulit mengakses informasi tersebut.

Pada dasarnya Kabupaten Bulukumba merupakan salah satu kabupaten yang menerapkan PERDA AIDS dimana salah satu bentuk pencegahan yang dituangkan dalam perda BAB III pasal 5 adalah melakukan pemeriksaan/tes darah HIV dan AIDS pada kelompok berisiko termasuk waria dan pelayanan konseling yang dilakukan secara sukarela di klinik VCT RSUD pada pasal 6. Pada pelaksanaan perda khususnya pencegahan HIV dan AIDS terdapat dua hal utama yang dilakukan yaitu konseling dan tes darah.

Terkhusus pada tes darah HIV dan AIDS, beberapa waria mengaku jika telah melakukan tes darah. Namun waria merasa jika tes darah hanya sebagai formalitas sebuah program yang pengawasannya tidak ada, hal ini didasari karena tidak adanya konseling HIV dan AIDS yang pada dasarnya merupakan langkah pencegahan yang juga perlu untuk dilakukan, karena tes HIV dan AIDS hanya lebih menekankan pencegahan penularan pada mereka yang akhirnya diketahui positif, sementara mereka yang negatif seharusnya diupayakan agar melakukan perubahan perilaku dari yang berisiko menjadi tidak berisiko, terutama dalam tindakan ganti-ganti pasangan. Oleh karena itu implementasi perda terkait pencegahan HIV dan AIDS tidak hanya menekankan pada tes darah tetapi penting juga untuk memberikn layanan konseling yang memberikan informasi baik penularan, pencegahan dan upaya yang harusnya dilakukan oleh kelompok berisiko untuk mencegah HIV dan AIDS.Kesimpulan

Waria memahami HIV dan AIDS sebagai penyakit yang ditularkan melalui seks bebas, bergantian pasangan, persamaan golongan darah, nafas, serta cairan dalam tubuh seperti air mani bahkan melalui ludah, dan keringat. Perilaku pencegahan dilakukan dengan menggunakan

40 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 41: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

kondom, tidak bergaul dengan mereka yang positif HIV dan AIDS serta menggunakan tisu basah sebagai pengganti kondom. Waria memenuhi kebutuhan seks dengan melakukan tindakan ganti-ganti pasangan yang dilakukan pada bocah, pete-pete, dan nasi bungkus, dengan memberikan imbalan kepada mereka

Terkait dengan adanya PERDA AIDS di kab. Bulukumba agar kiranya pelaksanannya tidak hanya menjalankan tes darah HIV dan AIDS sebagai langkah pencegahan , tapi perlunya implementasi perda dalam bentuk konseling agar terjadi perubahan perilaku dari yang berisiko menjadi tidak berisiko, mengingat aktifitas waria yang sebagian besar melakukan tindakan ganti-ganti pasangan dan berdampak munculnya kelompok beresiko baru yaitu remaja pria usia sekolah yang merupakan pasangan mereka.DAFTAR PUSATAKA

1. Djhot, Djekky, 2003, Waria Asli Papua dan Potensi Penularan HIV/AIDS di Papua (Kasus Abepura dan Kota Sorong ), Tesis, Jurusan Antropologi Universitas Cendrawasih

2. Forum Komunikasi Penyayang Kehidupan (FKPK), 2010, kasus kondom, artikel, http://www.sayangihidup.org diakses tanggal 20 Januari 2012

3. Harahap, Syaiful , 2010, Menguji Peran Perda AIDS Bulukumba, http://lsm-infokespro.blogspot.com diakses tanggal 23 Okteber 2012

4. Jannah, 2009, Teori Pengetahuan. http://bidanlia.blogspot.com/2009/06/teori-pengetahuan.html dikases tanggal 17 Januari 2012

5. KPAD Bulukumba, 2012, Laporan Daftar Penderita HIV/AIDS Di klinik VCT RSUD H.A. Sulthan Daeng Radja Kabupaten Bulukumba tahun 2012.

6. Muthi’ah, D, 2007, Konsep diri dan latar belakang kehidupan waria, Artikel, http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache diakses tanggal 20 Januari 2012

7. Ngatimin, H, M, Rusli, 2005, Sari dan Aplikasi Ilmu Perilaku Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, MakassarNotoatmodjo, Soekodjo, 2003, Ilmu Kesehatan Masyarakat (prinsi-prinsip dasar),Jakarta; PT. Rineka Cipta

8. Nugraha, B,D, 2006, Apa yang ingin diketahui remaja tentang seks?, Jakarta; Bumi aksara

9. Nurbani, Farah, 2005, Dukungan sosial pada ODHA. Sripsi, Sumatra, USU10. Pangkahila, A, 2007, Tumbuh kembang remaja dan permasalahannya, Sagung Seto;

Jakarta.11. Rabudiarti, Ratna, 2007, Perilaku Seks Waria Di Kota Pontianak Kalimantan Barat

Tahun 2007,Skripsi,Sumatra; USU.12. Survailans Terpadu Biologis Perilaku (STBP), 2007, Rangkuman Survailans Waria,

Departemen Kesehatan Jakarta13. UNAIDS, 2012, AIDS Epidemic Update, http//www.unaids.org diakses tanggal 26

Desember 2012.14. Vivalife, 2013, Dalam 3 bulan terdapat 5.489 kasus baru HIV di Indonesia.

http://lifeviva.co.id/news/read/378705-dalam-3-bulan-ada-5-489-kaus-HIV-diindonesia. diakses tanggal 20 Januari 2013

15. Walgito, B, 2005, Psikologi sosial (suatu pengantar), ed, revisi, CV, ANDI;Yogyakarta

41 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 42: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

ANALISIS PENERIMAAN MEDIA KOMUNIKASI (POSTER) TENTANG JAJANAN SEHAT DI KALANGAN SISWA SEKOLAH DASAR

DI KOTA SAMARINDA

Maryam Amir1 Suriah2 Syamsiar Russeng 3

1Konsentrasi Promosi Kesehatan Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin2Konsentrasi Promosi Kesehatan Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin

3Konsentrasi Kesehatan Keselamatan Kerja Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin

ABSTRAKPenelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerimaan siswa Sekolah Dasar tentang jajanan sehat melalui penyuluhan media poster. Penelitian ini melibatkan 92 siswa kelas V sekolah dasar negeri 004 Awang Long Samarinda yang diambil secara acak sederhana. Penelitian dilakukan uji coba media di kalangan siswa SD Muhammadiyah dengan menggunakan desain penelitian one shot case study, kemudian dilanjutkan di SD Negeri 004 Awang Long Samarinda dengan desain quasi eksperimen one group pretest posttest. Pretest digunakan untuk mengukur pengetahuan dan sikap awal siswa SD tentang jajanan sehat. Selanjutnya, dilakukan posttest untuk mengukur pengetahuan dan sikap akhir siswa SD setelah mendapatkan penyuluhan dengan poster jajanan sehat. Hasil penelitian menunjukan bahwa media poster yang diuji coba diterima siswa SD Muhammadiyah dengan nilai rata-rata skor keberterimaan 60-100%. kemudian terjadi peningkatan pengetahuan 71 siswa dan sikap positif 33 siswa dengan uji wilcoxon menunjukkan signifikan (0,000< p 0,05).

ABSTRACTSThe aim of research is to analyze the acceptance of Elementary School students on healthy snacks through poster media counselling. The population consisted of 92 students of Class V of 004 Awang Long State Elemntary School Samarinda. The simples were selected by using simple random sampling method. The research use previous experiment among the students of Muhammadiyah Elementary School by using one shot case study. After that, the research was conducted among the students of 004 Awang Long State Elementary School, Samarinda by using quasi experiment one group pretest posttest design. Pretest was used to measure students’ knowledge and attitude on healthy snacks, while posttest was done to assess students’ knowledge and attitude after having counselling by using poster on healthy snacks. The result of the research reveal that tried-out poster media is accepted by the students of Muhammadiyah Elementary School with the mean score of 60-100%. There is an increase of knowledge among 71 students and positive attitude among 33 students using wilcoxon test which indicates a significance (0,000< p0,05).

PENDAHULUANangan jajanan memegang peranan yang cukup penting dalam mendukung terpenuhinya asupan gizi anak sekolah. Hasil survei yang dilakukan BPOM pada tahun 2008 pada 4500 SD di 79 kabupaten atau kota di 18 propinsi di Indonesia melaporkan bahwa pangan jajanan

yang dikonsumsi anak sekolah menyumbang sebesar 31,1 persen energi dan 27,4 persen protein dari konsumsi pangan harian (BPOM 2009). Anak usia sekolah merupakan generasi penerus

P42 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 43: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

bangsa, untuk membentuk sumber daya manusia yang berkualitas harus didukung dengan pemberian asupan gizi yang seimbang dan terjamin keamanannya. Namun kenyataannya menurut data KLB keracunan pangan tahun 2008 yang dikumpulkan oleh BPOM, menunjukkan bahwa 17,26 persen kasus keracunan terjadi di sekolah dan siswa sekolah dasar merupakan kelompok yang paling sering (79,41%) mengalami keracunan pangan. Data juga menyebutkan bahwa sebesar 15,74 persen kasus tersebut diakibatkan oleh konsumsi Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS).

Peranan PJAS yang cukup besar dalam memenuhi kebutuhan gizi anak belum diimbangi dengan kualitas dan keamanan pangan jajanan yang baik. Hal tersebut terbukti dengan masih banyaknya PJAS yang tidak memenuhi standar pangan yang aman untuk dikonsumsi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh BPOM pada tahun 2006 terhadap enam jenis pangan jajanan didapatkan bahwa sebanyak 49,43 persen sampel PJAS tidak memenuhi persyaratan atau standar pangan jajanan sehat (BPOM 2007).

Target anak sebagai konsumen sangat strategis terutama berkaitan dengan konsumsi pangan jajanan. Salah satu usaha untuk mengurangi paparan anak sekolah dasar terhadap pangan jajanan yang tidak sehat dan tidak aman adalah dengan melakukan pemasaran sosial jajanan sehat kepada anak sekolah dasar dengan menerapkan metode persuasif baik dengan motivasi pesan positif maupun negatif melalui berbagai media, baik media elektronik maupun media cetak.

Hasil penelitian Harris, Bargh, dan Brownell (2009) menyebutkan bahwa anak akan lebih banyak mengonsumsi jajanan setelah melihat iklan makanan. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Hawkins dan Allison (2009) yang menyatakan bahwa anak-anak mempelajari dan mengembangkan pengetahuan tentang kesehatan dari berbagai sumber, misalnya sekolah, keluarga, buku, label nutrisi, dan media. Penelitian ini juga menemukan bahwa televisi merupakan media utama yang berpengaruh terhadap pengetahuan, sikap, dan perilaku anak tentang kesehatan. Meskipun demikian, perkembangan teknologi media audio visual sekarang ini tidak menyurutkan kehadiran media cetak sebagai salah satu sumber informasi yang digemari masyarakat.

Havelock (1971) diacu dalam Harahap (1994) menyatakan bahwa dalam melakukan kampanye sosial dengan menggunakan media cetak merupakan pilihan yang sangat tepat. Salah satu media cetak yang cocok untuk digunakan dalam pemasaran sosial adalah poster. Hasil penelitian Saptarini (2005) menjelaskan bahwa responden tidak mengalami kesulitan dalam menginterpretasikan gambar perumpamaan, isi dan susunan kalimat pada poster, sehingga hambatan penerimaan pesan dari segi substansi poster (bahasa, gambar dan tulisan) bisa dianggap kecil. Selain itu poster merupakan media komunikasi yang bisa diakses banyak orang.

Poster merupakan salah satu media yang banyak dipakai dalam praktik promosi kesehatan karena poster menyampaikan informasi dengan kata-kata dan gambar atau simbol yang dapat mengungkit rasa keindahan, mempermudah pemahaman serta mampu mempengaruhi dan memotivasi perilaku orang yang melihatnya (Notoatmodjo, 2007). Pernyataan tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tampubolon (2009) tentang pengaruh media visual poster dan leaflet makanan sehat terhadap perilaku konsumsi makanan jajanan pelajar kelas khusus SMA Negeri 1 Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal, penelitian yang dilakukan oleh Anjelisa, dkk (2010) tentang sosialisasi cara penggunaan obat yang baik melalui penyebaran poster dan leaflet pada unit pelayanan kesehatan di Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang, dan penelitian yang dilakukan oleh Rapiasih (2009) tentang pelatihan hygiene sanitasi dan poster berpengaruh terhadap pengetahuan, perilaku penjamah makanan, dan kelayakan hygiene sanitasi di Instalasi Gizi RSUP Sanglah Denpasar. Ketiga penelitian ini menyimpulkan bahwa media poster mampu mempengaruhi perilaku respondennya

Dengan demikian, poster sebagai media cetak yang digunakan dalam penelitian ini diharapkan dapat menjadi media alternatif untuk menyampaikan pesan dan mampu mengubah pengetahuan serta sikap anak sekolah dasar tentang jajanan sehat. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerimaan media komunikasi poster jajajan sehat di kalangan siswa SD di kota Samarinda

43 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 44: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

METODE PENELITIANDesain Penelitian

Disain penelitian yang digunakan adalah Kuasi eksperimental (rancangan eksperimen semu) dengan melalui proses dua tahap yaitu tahap pertama sebelumnya dilakukan uji keberterimaan poster dengan uji one shot case study. Desain ini dimaksudkan untuk mempelajari dinamika dan variasi variabel yang termuat dalam judul penelitian ‘Analisis Penerimaan Media Komunikasi Poster tentang Jajanan sehat di kalangan siswa Sekolah Dasar di kota Samarinda.Populasi, dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian ini adalah siswa Sekolah Dasar Negeri 004 Awang Long Samarinda kelas V yang terdiri dari 3 kelas yaitu kelas VA, VB dan VC dengan jumlah siswa sebanyak 120 orang. Ditetapkan pada kelas V karena kelas V dianggap memiliki pola pikir yang lebih berkembang dan kemampuan membaca yang lebih baik dibandingkan dengan kelas I hingga kelas IV serta sudah mampu melakukan pengambilan keputusan pembelian sendiri tanpa bergantung pada orang dewasa yang ada disekitarnya. Sampel adalah sebagian dari populasi. Besaran jumlah sampel dapat ditentukan dengan rumus yang perhitungannya berdasarkan rumus Slovin (Umar 2005), sehingga diketahui besar sampel 92 orang. Untuk mengantisipasi kesalahan atau kegagalan yang mungkin terjadi pada saat pengambilan data, maka responden diambil secara acak sederhana (simple random sampling).Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Sekolah Dasar Negeri 004 Jl. Awang Long Samarinda. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa SD 004 Awang Long Samarinda merupakan salah satu SD di wilayah kota Samarinda yang memiliki kantin dan juga penjual jajanan di sekitar sekolah. Pengumpulan data primer baik sebelum maupun sesudah perlakuan serta pengambilan data yang dilaksanakan mulai bulan Juli s/d Oktober 2012.Pengumpulan dan Jenis Data

Pengumpulan data pada penelitian ini adalah menggunakan kuesioner. Jenis data yang adalah data primer melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner terstruktur dan data sekunder adalah data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek penelitiannya, berupa data dokumentasi atau data laporan.

HASIL PENELITIANKarakteristik respondenJenis kelamin responden dan umur responden

Tabel 1 menunjukkan karakteristik responden berdasarkan Jenis Kelamin yaitu jumlah responden laki-laki sebanyak 54 orang (58,7%) dan perempuan sebanyak 38 orang yakni 41,3%. Tabel 2 menunjukkan karakteristik responden berdasarkan umur yaitu jumlah berumur 9 tahun sebanyak 3 orang (3,3%) dan 10 tahun sebanyak 82 orang (89,1%) yang berumur 11 tahun 7 orang (7,6%).

Analisi Univariat Keberterimaan Media Poster

Tabel 3 menunjukkan bahwa hasil uji coba media pada Sekolah Dasar di Samarinda didapat hasil bahwa 18 item pertanyaan dari 20 pertanyaan/pernyataan menjawab ya ≥60, sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil uji coba media poster yang dipakai adalah ; responden merasa tertarik dengan judul pada poster, responden setuju dengan apa yang disampaikan pada poster, responden setuju kalau poster dapat memberikan pengetahuan tentang jajanan sehat, responden dapat memahami isi poster, responden menyarankan perbaikan pada gambar, tulisan dan penegasan warna dan responden setuju kalau poster dapat disebarkan di sekolah lain.

44 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 45: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Pengetahuan responden tentang jajanan sehat sebelum dan sesudah penyuluhan dengan media poster.

Tabel 4 hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum diberikan penyuluhan media poster, ada 16 siswa (17,4%) responden yang sudah memiliki pengetahuan tentang Jajanan sehat dan setelah perlakuan tingkat pengetahuan Tinggi sebesar 87 siswa (94,57%) Adapun hasil tersebut dipaparkan pada Tabel berikutSikap responden tentang jajanan sehat sebelum dan sesudah penyuluhan dengan media poster

Tabel 5 menunjukkan bahwa sebelum diberikan penyuluhan media poster, ada 54 siswa (58,7%) responden yang sudah memiliki respon sikap yang positif tentang Jajanan sehat dan setelah perlakuan respon sikap positif meningkat sebesar 85 siswa (92,4%). BivariatAnalisis Pengetahuan responden tentang jajanan sehat sebelum dan sesudah penyuluhan dengan media poster

Tabel 6 menunjukkan perbandingan pengetahuan sebelum dan sesudah perlakuan tidak terdapat responden dengan pengetahuan lebih rendah dari pada sebelum dilakukan penyuluhan dengan media poster, 21 orang tetap dan 71 orang mempunyai pengetahuan lebih baik. Selain itu uji Wilcoxon diperoleh significancy 0,000 (p<0,05) dan hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pengetahuan yang bermakna antara sebelum dan sesudah penyuluhan dengan media poster.Analisis perubahan sikap responden tentang jajanan sehat sebelum dan sesudah penyuluhan dengan media poster

Tabel 7 menunjukkan perbandingan sikap sebelum dan sesudah perlakuan terdapat 3 orang dengan sikap terhadap media poster jajanan sehat lebih rendah dari pada sebelumnya, 56 orang tetap dan 33 orang mempunyai respon lebih baik. Selain itu uji Wilcoxon diperoleh significancy 0,000 (p<0,05) dan hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan sikap yang bermakna antara sebelum dan sesudah penyuluhan dengan media poster.PembahasanAnalisis keberterimaan (Acceptance) siswa Sekolah Dasar di kota Samarinda terhadap poster jajanan sehat.

Dari hasil uji coba media poster menunjukkan bahwa adanya keberterimaan terhadap media poster jajanan sehat yang digunakan dalam penelitian. Sebagian besar siswa menganggap media poster yang dipakai menarik dan mengandung gambar maupun teks yang dapat dipahami. Sebagian besar responden juga menilai bahwa poster tersebut dapat diterima karena sesuai dengan norma-norma yang berlaku serta layak untuk disebarkan sepada siswa Sekolah Dasar.

Hasil penelitian tersebut sejalan dengan teori bahwa poster adalah salah satu media yang terdiri dari lambang kata atau simbol yang sangat sederhana, dan pada umumnya mengandung anjuran atau larangan Depdikbud (1988). Poster adalah kombinasi visual dari rancangan yang kuat, dengan warna, dan pesan dengan maksud untuk menangkap perhatian orang yang lewat tetapi cukup lama menanamkan gagasan yang berarti didalam ingatannya. Poster disebut juga plakat, lukisan atau gambar yang dipasang telah mendapat perhatian yang cukup besar sebagai suatu media untuk menyampaikan informasi, saran, pesan dan kesan, ide dan sebagainya Rohani (1997)

Poster mempunyai kelebihan dengan harganya terjangkau oleh seorang guru tetapi ada juga kelemahannya dikarenakan media poster berdimensi dua, sehingga sukar untuk melukiskan sebenarnya. Poster bersifat persuasif, yaitu bermaksud menarik perhatian dengan menyatukan

45 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 46: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

gambar, warna, tulisan dan kata-kata. Poster dapat menarik minat siswa dalam mempelajari suatu topik yang baru Novidar (2012)Pengetahuan siswa Sekolah Dasar di kota Samarinda tentang jajanan sehat dengan menggunakan media poster

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok responden sebelum dan setelah penyuluhan dengan media poster menunjukkan perubahan yang siginifikan dimana tingkat pengetahuan sebelum penyuluhan mengalami peningkatan setelah dilakukan penyuluhan dengan media poster.

Menurut Mowen dan Minor (2002) pengetahuan konsumen merupakan pengalaman dan informasi tentang produk dan jasa yang dimiliki seseorang. Pengetahuan konsumen dikategorikan menjadi tiga golongan, yaitu pengetahuan objektif, pengetahuan subjektif, dan informasi mengenai pengetahuan lainnya. Pengetahuan tentang jajanan sehat dalam penelitian ini merupakan pengetahuan subjektif, yaitu pengetahuan anak mengenai apa dan berapa banyak yang anak ketahui mengenai jajanan sehat.

Pengetahuan tentang jajanan sehat adalah aspek kognitif yang menunjukkan pemahaman contoh tentang jajanan sehat. Menurut Sumarwan (2004) pengetahuan yang dimiliki individu akan mempengaruhi individu tersebut dalam mengambil keputusan pembelian. Individu yang memiliki pengetahuan yang lebih banyak akan lebih baik dalam mengambil keputusan dan akan lebih tepat dalam mengolah informasi. Maka pengetahuan tentang jajanan sehat merupakan hal penting yang harus dimiliki oleh siswa sekolah dasar sebagai landasan untuk mengambil keputusan pembelian terutama dalam memilih jajanan sehat.

Hasil Uji Wilcoxon dalam penelitian ini juga menunjukkan bahwa sebelum diberikan perlakuan melalui penyuluhan dengan media poster terdapat perbedaan yang nyata antara rata-rata skor pengetahuan pada responden. Begitu juga setelah diberikan perlakuan cara penyuluhan media poster, rata-rata skor pengetahuan responden tentang jajanan sehat menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Perubahan skor pengetahuan responden dari sebelum dan sesudah perlakuan, menunjukkan peningkatan yang nyata.

Namun hasil penelitian eksperimen yang dilakukan di Stanford University tentang kekuatan media massa dalam mengubah perilaku penyebab penyakit jantung, menyebutkan bahwa media massa menarik, jika direncanakan secara efektif, dapat memberikan informasi, memotivasi dan mendorong untuk berperilaku sehat secara berkelanjutan walaupun tanpa disertai intervensi interpersonal tatap wajah. Hal tersebut dapat terjadi karena ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi efektifitas media massa, diantaranya faktor audiens, faktor pesan, faktor media dan faktor mekanisme respon Kotler & Roberto (1989).

Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rosyida (2009) Metode Poster Commend sebagai upaya dalam meningkatkan kemampuan menulis siswa SD (kasus di Malang) menunjukkan bahwa metode poster commend dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan menulis siswa.Sikap siswa Sekolah Dasar di kota Samarinda terhadap jajanan sehat menggunakan media poster

Jefkins (1997) mengemukakan bahwa komunikasi efektif dapat dibangun melalui poster dimana senantiasa ditentukan oleh perpaduan antara kata-kata dan gambar pada model. Model-model poster memerlukan keterampilan dalam memainkan kata-kata. Kata-kata selalu dipilih agar terkesan unik dan memikat, sehingga dapat memaksa para pembacanya untuk berhenti sejenak merenungkan maknanya.

Penelitian tentang sikap siswa terhadap jajanan sehat sebelum dan setelah dilakukan penyuluhan dengan media poster juga terjadi perbedaan skor rata-rata meningkat, meski perbedaan skornya tidak terlalu jauh. Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Newcomb salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi

46 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 47: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

merupakan ‘pre-disposisi’ tindakan atau perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka tingkah laku terbuka.

Penelitian ini juga sejalan dengan yang dilakukan oleh Tampubolon et,al (2009) berjudul Pengaruh Visual Poster dan Leaflet terhadap perilaku makan pelajar SMA di Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara perilaku konsumsi makanan jajanan pada anak sekolah sebelum dan sesudah intervensi. Menyimpulkan bahwa penyuluhan gizi dengan media poster dan leaflet mampu meningkatkan perilaku gizi anak sekolah.

Penelitian Wijayasa (1993) pada penelitiannya memakai poster aksi penanggulangan anemi gizi besi ibu hamil untuk meningkatkan perilaku minum tablet tambah darah dan komsumsi makan. Penelitian ini menunjukkan bahwa media poster digunakan untuk mengingat pesan pada ibu. Setelah mengingat pesan, dengan sendirinya sebelum mengomsumsi makanan bagi keluarga dan dirinya akan teringat makanan bergizi apa yang tepat untuk dikomsumsi.SIMPULAN DAN SARAN

Hasil uji coba media menunjukkan adanya penerimaan media poster terhadap siswa sekolah Dasar di kota Samarinda yaitu 18 pertanyaan responden menjawab ya (menerima) 60-100%, sehingga media dapat dipakai atau disebarkan ke Sekolah Dasar yang lain untuk dijadikan sebagai media komunikasi untuk mempengaruhi tingkat pengetahuan maupun sikap siswa terhadap jajanan sehat. Peningkatan pengetahuan tentang jajanan sehat bagi siswa Sekolah Dasar setelah dilakukan penyuluhan dengan media poster dengan hasil uji adalah 0,000 (p<0,05) menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna. Untuk perbedaan sikap siswa terhadap jajanan sehat sebelum dilakukan penyuluhan media poster dengan setelah dilakukan penyuluhan media poster dengan hasil uji 0,000 (p<0,05) menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna. Untuk itu Dinas Kesehatan Kota Samarinda dan komunitas sekolah dapat mengembangkan poster jajanan sehat untuk pengawasan dan pembinaan dan Pengendalian Jajanan anak sekolah.

DAFTAR PUSTAKAAnjelisa 2010 sosialisasi cara penggunaan obat yang baik melalui penyebaran poster dan leaflet

pada unit pelayanan kesehatan di Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang. Medan.Badan Pengawasan Obat dan Makanan, 2007. Food Watch Jajanan Anak Sekolah diakses dari

http://www.pom.go.idBadan Pengawasan Obat dan Makanan, 2008. Data KLB Keracunan Pangan 2001-2008 diakses

dari http:// www.pom.go.idBadan Pengawasan Obat dan Makanan, 2009. Food Watch Pangan Jajanan Anak Sekolah diakses

dari http:// www.pom.go.idBuccheri C, Casuccio A, Giammanco S, Guardia M, dan Mammina C. Food Safety in Hospital:

Knowledge, Attitudes and Practices of Nursing Staff of two Hospitals in Sicily, Italy, BMC Health Service Research [serial online] 2007 [cited 2007 Dec 30]. Avalaible from: http://www.biomedcentral.com/1472-6963/7/45

Campbell, D.T., & Stanley, J.C. 1996) Eksperimental design and Quasi Experimental design for Research, Chicago : Raund MC Nally College Publishing Company

Daniaty, 2009 pengetahuan, Sikap dan Tindakan siswa tentang Makanan Minuman Jajanan yang mengandung BTM tertentu. Medan 2009

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1998, Media Pembelajaran. Depdikbud. Jakarta.Green, LW, M.W. Kreuter 1991. Health Promotion Planning: An Educational and Environmental

Approach. Mayfield Publishing Company. LondonHarahap, H (1994) Pengaruh bentuk dan Frekuensi Penyajian Pesan Gizi Seimbang melalui

Folder [Tesis]. Bogor Program Studi Pasca Sarjana Komunikasi Pertanian dan Pedesaan. Fakultas Pertanian IPB.

Harris LJ, Bargh JA, dan Brownell KD. 2009. Priming Effect of Television Food Advertising on Eating Behavior. Journal of Health Psychology, 28(4), 404-413.

47 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 48: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Hawkins J, Allison G. 2009. Consumer Socialisation of Children: Exploring the influence of TV Programme Content on Children‟s Health Knowledge, Attitudes, and Behaviour. www.duplication.net.au/ANZMAC2009/papers/ANZMAC2009-396.pdf Diakses2 Oktober 2011.

Jefkins,F. 1997. Periklanan. Jakarta. Erlangga.Kotler P, Roberto EL. 1998. Social Marketing : Strategies For Changing Public Behaviour. New

York. The free Press.Mowen JC, Minor M. 2002. Perilaku Konsumen Jilid I Edisi kelima. Jakarta. Erlangga.Notoatmodjo,S. 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Rineka Cipta. Jakarta Notoatmodjo, S, 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Rineka Cipta. Jakarta.Novidar 2012, Komputer dan Media Pembelajaran. Diakses tanggal 10 Oktober 2012 dari

http://novidar.blogspot.com/2012/06/komputer-dan-media-pembelajaran.htmlRapiasih, dkk. 2009. Pelatihan Hygiene Sanitasi dan Poster Berpengaruh terhadap Pengetahuan,

Perilaku Penjamah Makanan, dan Kelayakan Hygiene Sanitasi di Instalasi Gizi RSUP Sanglah Denpasar. Jurnal Gizi Klinik Indonesia (The Indonesian Journal of Clinical Nutrition)

Rohani, 1997 Penggunaan Media Poster terhadap Pembelajaran menulis Puisi di Kelas VIII SMP Negeri 1 Panimbang.

Rochimah 2011, Pengaruh Motivasi Pesan dan Cara Penyajian Buklet terhadap Persepsi dan Pengetahuan Siswa Sekolah Dasar tentang Jajanan Sehat. Bogor diakses Juli 2011 melalui http://respository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/52371

Rosyida, 2009. Penggunaan Metode Poster Command dalam Pembelajaran Bahasa Inggeris Sebagai upaya Peningkatan Kemampuan Menulis Siswa Kelas IV C SD Insan Amanah di Malang. Malang.

Saptarini, 2005. Efektivitas Media Promkes Poster. Pesan Keamanan Pangan dari Badan POM RI. Jakarta 2005

Sopiyudin M 2012. Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta. Salemba Medika.Sumarwan U. 2004. Perilaku Konsumen : Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran.Bogor

Ghalia Indonesia.Tampubolon 2009, pengaruh media visual poster dan leaflet makanan sehat terhadap perilaku

konsumsi makanan jajanan pelajar kelas khusus SMA Negeri 1 Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal. Medan Sumatera Utara

Umar H. (2005). Metode Penelitian untuk Skrispsi dan Tesis Bisnis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Wijayasa N.1993, Poster Aksi Penanggulangan Anemi GiziIbu Hamil Untuk Meningkatkan Perilaku Minum Tablet Tambah Darah dan Konsumsi Makan. Tesis. Program Magister PKIP Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada.

________ 2011. Pengaruh Penyuluhan dan Metode Ceramah dengan Poster terhadap Perilaku Konsumsi Makanan Jajanan Murid SD sibolga. Medan 2011 http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2008. diakses tanggal 27 Nopember 2012

_____Kekuatan Poster untuk Media Belajar. (Online), (http://ummimarsya.multiply.com/journal/item/14/Kekuatan_Poster_untuk Media_Belajar, diakses 3 Juni 2011.

48 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 49: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

LAMPIRAN

Tabel 1. Karakteristik Responden Menurut Jenis KelaminJenis Kelamin n Laki-laki 54 58,70Perempuan 38 41,30Jumlah 92 100

Sumber : Data Primer

Tabel 2. Karakteristik Responden Menurut umurUmur n 9 thn 3 3,30 %10 thn 82 89,10 %11 thn 7 7,6%

92 100%Sumber : Data primer

Tabel 3. Hasil uji coba media poster di kalangan siswa SD Muhammadiyah Samarinda

No PertanyaanKATEGORI JAWABAN

Jumlah PersentaseYa Tdkn n

1 1 20 100.00 - - 20 100.002 2 10 50.00 10 50.00 20 100.003 3 15 75.00 5 25.00 20 100.004 4 9 45.00 11 55.00 20 100.005 5 12 60.00 8 40.00 20 100.006 6 12 60.00 8 40.00 20 100.007 7 20 100.00 - - 20 100.008 8 18 90.00 2 10.00 20 100.009 9 20 100.00 - - 20 100.0010 10 16 80.00 4 20.00 20 100.0011 11 20 100.00 - - 20 100.0012 12 20 100.00 - - 20 100.0013 13 20 100.00 - - 20 100.0014 14 20 100.00 - - 20 100.0015 15 16 80.00 4 20.00 20 100.0016 16 20 100.00 - - 20 100.0017 17 20 100.00 - - 20 100.0018 18 20 100.00 - - 20 100.0019 19 20 100.00 - - 20 100.0020 20 20 100.00 - - 20 100.00

Jumlah Rata – Rata

17.4 87 2.6 13 20 100

49 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 50: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Sumber : Data Primer

Tabel 4. Tingkat Pengetahuan Responden Sebelum dan Setelah Penyuluhan dengan media poster

Tingkat Pengetahuan

Sebelum Perlakuan Setelah Perlakuann n

Rendah 76 82,6 5 5,43Tinggi 16 17,4 87 94.57

92 100.00 92 100.00 Sumber : data Primer

Tabel 5. Sikap Responden Sebelum dan Sesudah Penyuluhan dengan media Poster

Sikap Sebelum Perlakuan Setelah Perlakuann n

Negatif 38 41,3 7 7,6Positif 54 58,7 85 92,4Total 92 100,0 92 100,0

Sumber : data Primer

Tabel 6. Hasil uji tingkat pengetahuan sebelum dan sesudah penyuluhan dengan media poster.

Sebelum Penyuluhan

Sesudah Penyuluhan n p

n n Nilai maksimumNilai minimum

10043

10054 92 0,000

Skor rerata 55 90 Sumber : data Primer

Tabel 7. Hasil uji prubahan sikap responden sebelum dan sesudah penyuluhan dengan media poster

Sebelum Penyuluhan

Sesudah Penyuluhan n p

n n Nilai maksimumNilai minimum

4822

4822

92 0,000

Skor rerata 32 44 Sumber : data Primer

50 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 51: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

FAKTOR MEMPENGARUHI PERILAKU PECANDU PENYALAHGUNAAN NAPZA PADA MASA PEMULIHAN DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH

ATMA HUSADA MAHAKAM SAMARINDA

Laurensia Enny Pantjalina , Muh. Syafar, Sudirman NatsirRumah Sakit Jiwa Daerah Atma Husada Mahakam Samarinda

Konsentrasi Promosi Kesehatan Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin

Abstrak

NAPZA atau Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku pecandu penyalahguna NAPZA pada masa pemulihan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Atma Husada Mahakam Samarinda. Jenis penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan Existential Phenomenology. Informan dalam penelitian ini adalah pecandu NAPZA yang mengikuti masa pemulihan di rumah sakit tersebut. Informasi yang telah dikumpulkan dikategorikan sesuai dengan kelompok pertanyaan dalam bentuk transkrip. Selanjutnya dianalisis dengan menggunakan content analysis dan diinterpretasikan serta disajikan dalam bentuk narasi. Hasil penelitian NAPZA pada umur 15 tahun dan pada saat mengenyam pendidikan SMP. diperoleh bahwa pecandu menyatakan NAPZA adalah narkotika dan obat-obatan serta zat adiktif. Bahwa pengguna NAPZA perlu direhabilitasi dan memiliki harapan untuk menjadi lebih baik, tidak mengkonsumsi NAPZA serta menjadi relawan narkoba. Pertama kali mengkonsumsi Waktu tersedia untuk mengikuti program rehabilitasi dan mengikuti program rehabilitasi karena keinginan pecandu. Keluarga, teman sebaya, dan masyarakat termasuk petugas rumah sakit sangat mendukung pecandu NAPZA untuk mengikuti program rehabilitasi. Pentingnya penyebaran informasi secara kontinyu tentang NAPZA dan dampaknya bagi pecandu NAPZA melalui konseling, penyuluhan, dan media, meningkatkan rasa percaya diri bagi pecandu agar lebih kuat dalam mengikuti program rehabilitasi melalui konseling oleh tenaga konselor di rumah sakit, meningkatkan peran anggota keluarga, teman sebaya, dan masyarakat dalam melakukan pendampingan dan dukungan baik secara moril maupun materiil kepada pecandu NAPZA, dan meningkatkan peran pihak petugas kesehatan di rumah sakit sebagai pemberi layanan rehabilitasi bagi pecandu agar para pecandu tidak tergantung lagi pada NAPZA.

Kata Kunci : Faktor Internal dan Eksternal, Pecandu NAPZA

Abstract

NAPZA or Narcotic, Psikotropika, and Zat vitamin of Adiktif other represent Zat vitamin or drug coming from crop or non good crop of and also sintetis of semisintetis able to cause degradation or change awareness, loss feeling, lessening eliminate feel pain in bone, and can generate depended. This research aim to analyse internal factor and factor eksternal influencing behavior addiction abuse NAPZA at a period of cure at home Psychopath Area of Atma Husada Mahakam

51 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 52: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Samarinda. This Type Research use research qualitative with approach Existential Phenomenology. Informan in this research is addiction NAPZA following a period of cure at home pain. Information which have been collected to be categorized as according to question group in the form transcript. Is hereinafter analysed using analysis content and interpreted is and also presented in the form. Result research NAPZA at age 15 year and at the (time) of education of SMP. obtained that addiction express NAPZA is and narcotic drug and also Zat vitamin adiktif. That consumer NAPZA require to rehabilitate and have expectation to become betterly, do not consume NAPZA and also become volunteer narkoba. First time consume Time available following program rehabilitate and follow program rehabilitate because desire addiction. Family, friend coeval, and society is including officer hospital very is supporting of addiction NAPZA to follow rehabilitating program. Important of him spreading information kontinyu about NAPZA and its impact to addiction NAPZA through konseling, counselling, and media, improving to feel self confidence to addiction [so that/ to be] stronger in following program rehabilitate to [pass/through] konseling by energy konselor at home pain, improving role family member, friend coeval, and society in conducting adjacent and support either through morale and also material to addiction NAPZA, passing konseling, counselling, and media, improving to feel self confidence to addiction to be stronger in following program rehabilitate to through konseling energy konselor at home pain, improving role family member, friend coeval, and society in conducting adjacent and support either through morale and also material to addiction NAPZA, and improve role side officer ill health at home as giver service rehabilitate to addiction to be all addiction do not depended again at NAPZA.

Keyword : Internal Factor and Eksternal, Pecandu NAPZA

PENDAHULUANangguan penggunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif lain (NAPZA) merupakan masalah yang menjadi keprihatinan dunia international di samping masalah HIV/AIDS, kekerasan (violence), kemiskinan, pencemaran lingkungan, pemanasan global dan

kelangkaan pangan. Sejak tahun 1987, PBB mengeluakan laporan tahunan konsumsi narkoba di dunia. Saat ini, sekitar 25 juta orang mengalami ketergantungan NAPZA. Di Indonesia pengguna NAPZA mencapai 3,8 juta jiwa. Yang menjadi lebih memprihatinkan adalah sebagian besar pengguna tersebut ternyata adalah usia produktif, dan sebagian besar di antaranya adalah remaja dan dewasa awal (20-30 tahun). 70 persen dari total pengguna NAPZA di Indonesia anak usia sekolah, 4 persen lebih siswa SMA dan selebihnya mahasiswa. Hal ini bila tidak segera ditanggulangi merupakan ancaman bagi kesejahteraan generasi yang akan datang, di mana anak sebagai generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional yang perlu untuk dilindungi (BNN, 2012).

G

Berdasarkan data Rumah Sakit Jiwa Daerah Atma Husada Mahakam, dalam kurun waktu 3 tahun (2009-2011) kunjungan pasien rawat jalan korban NAPZA rata-rata berkisar 140 pasien tiap bulannya,. pasien rawat inap korban NAPZA sekitar 2-3 orang/bulan, konsultasi rata-rata tiap bulan berkisar 5-10 orang. Baik pasien rawat jalan maupun rawat inap sebagian besar berpendidikan SLTA (42,5% untuk rawat jalan dan 38% untuk rawat inap). Sebagian besar (78,1% ) berusia 25-35 tahun. Jenis NAPZA yang digunakan sangat bervariasi, di antaranya opiat, ganja, amfetamin, sedatif hipnotik, alkohol, kokain, atau multiple. Dalam upaya masa pemulihan penyalahgunaan NAPZA perlu dilakukan melalui pola pre-emptif, preventif, represif, treatment dan rehabilitasi serta pola peningkatan partisipasi masyarakat melalui pendekatan keluarga (Support Family Group).

Menurut perkiraan UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime), sekitar 200 juta orang di seluruh dunia menggunakan NAPZA jenis narkotika dan psikotropika secara illegal. Kanabis merupakan jenis NAPZA yang paling sering di gunakan, diikuti dengan Amfetamin, Kokain, dan Opioida. Penyalahgunaan NAPZA jenis ini di dominasi oleh pria, dan juga lebih

52 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 53: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

terlihat di kalangan kaum muda dibandingkan katagori usia lebih tua. Sebanyak 2,7% dari populasi dunia dan 3,9% dari seluruh orang berusia 15 tahun keatas telah menggunakan Kanabis paling sedikit sekali antara tahun 2000 dan 2001 (Depkes, 2008).

Berkembangnya jumlah pecandu NAPZA ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor dari dalam (internal) diri meliputi: minat, rasa ingin tahu, lemahnya rasa ketuhanan, kesetabilan emosi. Faktor yang kedua adalah faktor dari luar (eksternal) diri meliputi: gangguan psikososial keluarga, lemahnya hukum terhadap pengedar dan pengguna narkoba, lemahnya sistem sekolah termasuk bimbingan konseling, lemahnya pendidikan agama. Tujuan penelitian untuk menganalisis faktor Internal (Intelegensia, Kepribadian, Karakteristik Usia, Pendidikan) dan faktor Eksternal (Kesempatan, Dukungan Keluarga, Teman Sebaya, Masyarakat) yang mempengaruhi perilaku pecandu penyalahguna NAPZA pada masa pemulihan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Atma Husada Mahakam Samarinda.

METODE PENELITIANJenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan Existential Phenomenology yaitu memahami esensi pengalaman seseorang dengan cara mengelompokkan isu yang ada dan memberikan makna atas isu tersebut sesuai pandangan orang tersebut. Pecandu NAPZA diharapkan mampu memberikan pandangan mereka berdasarkan pengalaman dalam mengkonsumsi NAPZA.Metode Penentuan Informan

Pemilihan informan berdasarkan data rekam medik yang ada di Rumah Sakit Daerah Atma Husada Mahakam Samarinda. Informan yang dimaksudkan adalah pecandu NAPZA yang masih aktif mengikuti masa pemulihan di rumah sakit tersebut sebanyak 9 orang. Pemilihan Informan dilakukan secara Purposive Sampling yakni pemilihan informan berdasarkan kriteria sebagai berikut : (1) Aktif mengikuti program pemulihan di Rumah Sakit Atma Husada Mahakam Samarinda. (2) Bersedia menjadi informan dalam penelitian iniProsedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara menggali informasi dari berbagai data yaitu melalui wawancara mendalam (indepth interview), observasi (participant observation) dan pengambilan data melalui Focus Group Discussion (FGD).Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam dan observasi dilakukan secara manual sesuai dengan petunjuk pengolahan data kualitatif serta sesuai dengan tujuan penelitian ini. Data tersebut dikategorikan sesuai dengan kelompok pertanyaan dalam bentuk transkrip. Selanjutnya dianalisis dengan menggunakan Content Analysis kemudian diinterpretasikan dan disajikan dalam bentuk narasi.

HASILJenis NAPZA sangat beragam antara lain Narkotika. Narkotika adalah zat yang berasal

dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Contoh narkotika yang terkenal adalah seperti ganja, heroin, kokain, morfin, amfetamin, dan lain-lain. Psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku. Zat adiktif lainnya adalah zat, bahan kimia, dan biologi dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan lingkungan hidup secara langsung dan tidak langsung yang mempunyai sifat karsinogenik, teratogenik, korosif, dan iritasi. Bahan-bahan berbahaya ini adalah zat adiktif yang bukan termasuk ke dalam narkotika dan psikoropika, tetapi mempunyai pengaruh dan efek merusak fisik seseorang jika disalahgunakan. Informan mengkonsumsi jenis NAPZA

53 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 54: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

lebih dari satu jenis. Informan mengkonsumsi NAPZA jenis Narkotika alami, narkotika sintesis, semi sintesis, psikotropika, dan zat adiktif.

Keterpaparan lingkungan pergaulan yang negatif akan mengakibatkan seseorang terjebak pada perilaku yang menyimpang. Informan mengkonsumsi NAPZA disebabkan lingkungan pergaulan, permasalahan keluarga yang dihadapi sehingga mendorong mereka memiliki keinginan untuk mencoba. Berbagai dampak yang dirasakan pengguna sebagai akibat ketergantungan NAPZA. Informan menyatakan bahwa dampak yang mereka rasakan saat ketergantungan NAPZA adalah sakit pada seluruh badan, stamina kurang fit, pola pikir yang tidak sehat, dan tidak memiliki tujuan hidup. Rasa penyesalan yang muncul akibat ketergantungan NAPZA merupakan respon pengguna setelah menyadari dampak yang ditimbulkan akibat mengkonsumsi NAPZA. Informan menyatakan bahwa mereka menyesal telah mengkonsumsi narkoba. Namun, terdapat juga informan yang mengaku tidak menyesal dengan perilakunya.

Ketersediaan waktu pengguna NAPZA untuk melakukan konseling dan rehabilitasi di rumah sakit yang telah ditentukan menjadi salah satu faktor pendukung keberhasilan dalam mengikuti program tersebut. Informan menyatakan bahwa mereka bersedia meluangkan waktu untuk mengikuti program rehabilitasi. Informasi tersebut juga diperoleh pada saat dilakukan FGD bahwa mereka tersedia waktu untuk mengikuti program rehabilitasi. Kemauan yang kuat dari diri seorang pengguna untuk mengikuti program rehabilitasi merupakan kunci keberhasilan program pemulihan dari ketergantungan NAPZA. Informan menyatakan bahwa mereka mengikuti program rehabilitasi karena keinginan yang kuat dari diri sendiri.

Selain keinginan yang kuat dari diri pengguna NAPZA, hal yang tak kalah pentingnya adalah dukungan dari keluarga. Informan menyatakan bahwa keluarga mereka sangat mendukung untuk mengikuti program rehabilitasi. Teman bergaul merupakan keluarga terdekat yang dapat dijadikan sebagai motivasi dalam mencapai keberhasilan termasuk keberhasilan dalam mengikuti program pemulihan dari ketergantungan NAPZA. Informan menyatakan bahwa teman mereka mendukung untuk mengikuti program rehabilitasi.

PEMBAHASANInforman berpendapat NAPZA adalah narkotika dan obat-obatan serta zat adiktif.

Pengguna NAPZA perlu direhabilitasi agar menjadi lebih baik, tidak mengkonsumsi NAPZA, dan menjadi relawan narkoba. Informan pertama kali mengkonsumsi NAPZA pada umur 15 tahun dan mengkonsumsi NAPZA pada saat mengenyam pendidikan SMP. Kemampuan seseorang memberikan pernyataan atas pertanyaan yang diberikan merupakan salah satu tolak ukur tingkat kecerdasan atau intelegensia orang tersebut. Pengetahuan tentang NAPZA bagi sebagian orang masih kurang, namun pada kelompok tertentu hal ini bukan suatu informasi yang sifatnya baru dan tabu. Berdasarkan informasi yang diperoleh bahwa informan mengetahui NAPZA merupakan zat berbahaya bagi kesehatan. Hal ini didukung oleh pernyataan mereka bahwa dampak ketergantungan dan badan menjadi kurang fit bahkan kematian akan dirasakan jika mengkonsumsi NAPZA.

Kepribadian seseorang dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan emosi yang dimiliki. Hasil penelitian Rilley dan Schutte dalam (Handoko, 2009) menunjukkan bahwa prediktor penting di dalam permasalahan penyalahgunaan NAPZA adalah kecerdasan emosional yang rendah. Penelitian Caruso, Mayer, dan Salovey dalam (Handoko, 2009) juga menunjukkan bahwa kecerdasan emosional yang rendah berhubungan secara signifikan dengan penyalahgunaan NAPZA, alkohol, serta dapat meningkatkan perilaku menyimpang.

Penelitian yang dibuktikan oleh Alcoholics Anonymous dan program pemulihan obat terlarang yang didasarkan pada lebih dari 200 orang pasien pecandu heroin dapat disembuhkan dengan mengajarkan kecerdasan emosional yang mendasar cenderung akan menghilangkan keinginan untuk menggunakan obat terlarang (Goleman, 2007).

54 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 55: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Mayoritas pecandu Narkoba adalah remaja. Alasan remaja mengkonsumsi narkoba karena kondisi sosial, psikologis yang membutuhkan pengakuan, identitas dan kelabilan emosi (Supriatna, 2012). Kelompok remaja merupakan populasi berisiko dalam penyalahgunaan narkoba. Masa remaja seringkali identik dengan masa pencarian jati diri sehingga mendorong remaja berkeinginan untuk mencoba sesuatu yang baru diketahui termasuk mencoba mengkonsumsi NAPZA. Hal ini sesuai penelitian yang dilakukan (Syam, 2007) bahwa rasa ingin tahu bagi kalangan muda tidak hanya sebatas pada hal-hal yang negatif. Akan tetapi rasa ingin tahu terhadap narkotika dan psikotropika ini merupakan salah satu pendorong bagi seseorang untuk melakukan perbuatan yang menyimpang termasuk keingintahuan terhadap NAPZA, yang pada akhirnya sampai menimbulkan ketergantungan.

Pada penelitian ini ditemukan bahwa informan pada usia 15 tahun telah mengenal dan mengkonsumsi NAPZA. Solidaritas persahabatan seringkali dijadikan sebagai alasan untuk melakukan hal-hal yang belum pernah dilakukan untuk dilakukan secara bersama. Pada usia ini, kematangan secara psikologi belum stabil, masih sering merasa kurang bermanfaat di lingkungannya dan sangat mudah terprovokasi dari orang lain, hal ini medorong mereka untuk berperilaku menyimpang termasuk mengkonsumsi NAPZA. Hal ini sesuai dengan penelitian (Adisukarto, 2001); (Yurliani, 2007), bahwa 47,7 % korban penyalahgunaan narkoba adalah remaja.

Di samping pengetahuan, usia, faktor internal yang mempengaruhi informan dalam mengkonsumsi NAPZA adalah faktor pendidikan. Pendidikan merupakan modal utama yang sangat diperlukan oleh seseorang untuk menjalankan hidupnya dengan baik. Baik pendidikan formal maupun non formal. Dengan pendidikan, seseorang akan mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, mengetahui mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak seharusnya dilakukan. Sehingga dengan pendidikan yang baik seseorang tidak akan terjerumus ke dalam permasalahan penyakit-penyakit masyarakat (Supriatna, 2012). Hal ini menjadi catatan penting bahwa seyogyanya pihak sekolah secara dini memperkenalkan kepada siswa tentang NAPZA agar menjadi tambahan informasi yang sangat penting bagi siswa bahwa mengkonsumsi NAPZA merupakan perilaku yang membahayakan baik bagi diri siswa, keluarga, dan lingkungan masyarakat.

Pada saat pecandu dalam kondisi stres atau apabila menghadapi tekanan baik dari dalam dirinya maupun dari luar maka pada saat itulah sering terjadi relapse, yaitu peristiwa mantan pecandu yang telah beberapa lama tidak memakai NAPZA kembali memakai dan terus mengkonsumsinya. Hasil penelitian Ariskasuci (2008) menunjukkan hasil bahwa seorang mantan pecandu yang kembali ke lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal, dan lingkungan kerja mengalami reaksi dan hambatan dalam berinteraksi yang berasal dari stigma negatif yang ada dalam masyarakat yang dapat memperbesar kemungkinan terjadinya relapse.

Menurut Masten dan Coatsworth dalam (Davis, 1999), ada tiga faktor pelindung yang dapat meningkatkan resiliensi pada diri individu, yaitu faktor individual, keluarga, dan masyarakat sekitar. Pertama, faktor individual antara lain nampak dalam kemampuan untuk berkomunikasi, rasa optimis, kemampuan menyelesaikan masalah, dan keyakinan diri. Keinginan untuk sembuh harus bersumber dari dalam diri siswa sendiri tetapi kenyataannya, bagi siswa yang sudah mengalami ketergantungan, lepas dari NAPZA merupakan hal yang sulit karena NAPZA dipandang sebagai keyakinan untuk menyelesaikan masalah. Siswa dengan kemampuan berkomunikasi yang rendah, ketika mengalami masalah mereka cenderung akan menyendiri dan menggunakan NAPZA, mereka kurang mampu mengekspresikan berbagai macam perasaan dan pikiran kepada orang lain.

Kedua, berasal dari lingkungan keluarga yang peduli, dalam hal ini hubungan keluarga yang harmonis, saling memberikan dorongan antara anak dengan orangtua atau dengan keluarga besar (extended family). Faktanya, bahwa informan memperoleh dukungan yang besar dari keluarga untuk mengiktui program rehabilitasi. Anggota keluarga harus secara intensif mendampingi dan mendukung informan. Salah satu teknik terapi yang digunakan yakni

55 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 56: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

pendekatan sirkumpleks. Terapi ini berfokus kepada pola-pola dalam keluarga. Asumsi dasar terapi keluarga model sirkumpleks ini ialah, pada saat ini sistem keluarga yang dinamis lebih membantu dalam memperbaiki gejala-gejala perilaku yang negatif. Sehingga, perlunya melakukan perubahan pada pola interaksi keluarga, agar gejala-gejala atau hadirnya masalah lain bisa diminimalkan (Olson, 1999).

Kurangnya dukungan keluarga selama proses rehabilitasi ataupun lingkungan yang merendahkan dan tidak menghargai usaha yang dilakukan mereka untuk sembuh akan menambah stress dan sulit mengendalikan perasaan sehingga membuat individu rentan untuk menggunakan narkoba lagi atau relaps. Sikap keluarga yang selalu mencurigai, memojokkan, mengungkit ungkit masa lalu, serta menjadikan pecandu sebagai “kambing hitam” untuk setiap kejadian yang tidak menyenangkan sering menjadi penyebab terjadinya relaps (Joewana, 2005).

Dukungan keluarga terhadap informan dalam bentuk dukungan motivasi, kunjungan, dan materil. Hal ini berdasarkan hasil observasi yang dilakukan bahwa informan pada saat melakukan kunjungan ditemani oleh istri dan keluarga. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Elisa, 2011) keluarga memberikan dukungan instrumental maksimal kepada anggota keluarganya yang penyalahguna NAPZA. Pemberian dukungan instrumental yang maksimal berarti bahwa keluarga menyediakan dukungan jasmaniah seperti pelayanan, bantuan finansial dengan menyediakan dana untuk biaya pengobatan.

Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis atau rehabilitasi sosial di pusat rehabilitasi ketergantungan narkotika. Dengan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk memulihkan dan/atau mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial pecandu, dengan tujuan akhir dengan sembuhnya pecandu dari ketergantungan narkotika (Dewi, 2012).

Usaha untuk menyembuhkan dari ketergantungan NAPZA saat ini dapat dilakukan dengan rehabilitasi. Tujuan dari program rehabilitasi adalah memotivasi pecandu untuk melakukan perubahan ke arah positif serta menciptakan lingkungan yang kondusif bagi siswa untuk melakukan perubahan (Retnowati, dkk, 2005). Beberapa tahapan dalam masa pemulihan ketergantungan NAPZA antara lain tahap prakontemplasi, kontemplasi, bertindak, pemantapan dan pemeliharaan.

Pada tahap prakontemplasi, seorang pecandu akan mengambil keputusan untuk ikut atau tidaknya dalam program rehabilitasi. Hasil interview yang dilakukan diperoleh bahwa informan memiliki alasan untuk mengikuti program rehabilitasi. Informan menyatakan bahwa mereka memutuskan untuk mengikuti program rehabilitasi karena ingin menjadi lebih baik dan berubah, ingin sembuh agar lebih tenang dan sehat, dan alasan bosan hidup dengan narkoba.

KESIMPULAN DAN SARANInforman berpendapat NAPZA adalah narkotika dan obat-obatan serta zat adiktif.

Pengguna NAPZA perlu direhabilitasi agar menjadi lebih baik, tidak mengkonsumsi NAPZA, dan menjadi relawan narkoba. Informan pertama kali mengkonsumsi NAPZA pada umur 15 tahun dan mengkonsumsi NAPZA pada saat mengenyam pendidikan SMP. Informan meluangkan waktu untuk mengikuti program rehabilitasi dan mengikuti program rehabilitasi karena keinginan sendiri. Di samping itu, keluarga, teman sebaya, dan masyarakat sangat mendukung untuk mengikuti program rehabilitasi. Berdasarkan permasalahan dalam penelitian ini, maka disarankan beberapa hal yaitu Pentingnya penyebaran informasi secara kontinyu tentang NAPZA dan dampaknya bagi pecandu NAPZA melalui konseling, penyuluhan, dan media. Meningkatkan rasa percaya diri bagi pecandu agar lebih kuat dalam mengikuti program rehabilitasi melalui konseling oleh tenaga konselor di rumah sakit.

DAFTAR PUSTAKAAdisukarto, (2001). Gambaran Social Support pada Pecandu Narkoba. Jurnal Repository USU

56 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 57: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Anonim. 2012. Jenis Penyalahgunaan NAPZA. http:/www.kaltimprop.co.id, diakses 4 Juni 2012.Ariskasuci. (2008). Gambaran Interaksi Sosial Pecandu NAPZA Pasca Rehabilitasi. Skripsi (tidak

diterbitkan). Jurnal Psikologi Universitas Paramadina.Badan Narkotika Nasional. (2012). Jenis-jenis Narkoba dan Aspek Kesehatan Penyalahgunaan

Narkoba. Departemen Sosial RI : Jakarta.Danim, Sudarwan. 2004. Metode Penelitian untuk Ilmu-ilmu Perilaku. Bumi Aksara : Jakarta.Davis, N. J. (1999). Subtance Abuse and Mental Health Services Administration Center for Mental

Health Services Division of Program Development, Special Populations & Projects Special Programs Development Branch (301), pp.443-2844. Status of Research and Research-based Programs. http://mentalhealth.samhsa.gov/schoolviolence/

Departemen Kesehatan RI. (2008). Kebijakan dan Rencana Strategi Penanggulangan Penyalahhgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya (NAPZA). Departemen Kesehatan RI : Jakarta.

Dewi, (2012). Perlindungan Hukum Terhadap Korban Penyalahguna Narkotika. Jurnal Hukum Universitas Udayana.

Elisa. (2011). Dukungan Psikososial Keluarga dalam Penyembuhan Pasien NAPZA di Rumah Sakit Jiwa Pemerintah Provinsi Sumatra Utara. Jurnal Keperawatan Jiwa USU

Goleman, D. (2007). Emotional Intelligence. Alih Bahasa: T. Hermaya. PT. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta

Handoko, I. (2009). Profil Emotional Intelligence pada Pecandu Narkoba Berdasarkan 5 Skala Baron Emotional Quotient Inventory (EQ-i). Tesis (tidak diterbitkan).Jurnal Psikologi Unika Atma Jaya

Joewana, (2005). Dukungan Psikososial Keluarga dalam Penyembuhan Pasien NAPZA di Rumah Sakit Jiwa Pemerintah Provinsi Sumatra Utara. Jurnal Keperawatan Jiwa USU

Yurliani (2007). The Providers of Social Support to Dual-Parent Families Caring for Young Children. Australia : Journal of Community Psychology.

Olson. (1999). Circumplex model VII : Validation Studies & FACES III. Family process. Jurnal Family Therapy.

Retnowati, dkk. (2005). Persepsi Remaja Ketergantungan NAPZA Mengenai Dukungan Keluarga Selama Masa Rehabilitasi. Arkhe Jurnal Ilmiah Psikologi, 10, 2. 76 – 87.

Supriatna, Aang. (2012). Upaya Pencegahan dan Penyembuhan Patologi Sosial Penyalahgunaan Narkotika Berbasis Keagamaan. Jurnal Repository Universitas Pendidikan Indonesia.

Syam, Safri. (2007). Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika Kajian dari Aspek Kebijakan Kriminal. Jurnal Hukum Universitas Jamb

57 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 58: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

POLA PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASIBAYI 6-12 BULAN PADA ETNIS BANJAR DI KELURAHAN

TELUK LERONG ILIR

Ida Hayati1, Suriah2, Nur Haedar Jafar3

1Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Wiyata Husada Samarinda2Jurusan Promosi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin 3Jurusan

Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanudin

ABSTRAK

Untuk tumbuh kembang optimal, anak membutuhkan asupan gizi yang cukup, bayi usia 0-6 bulan cukup ASI saja, dan bayi diatas 6 bulan memerlukan MP-ASI. Kebiasaan yang dijumpai dikalangan etnis Banjar adalah adanya pemberian MP-ASI pada bayi kurang dari 6 bulan, yaitu pemberian pisang kepok pada 2-3 hari setelah bayi lahir, hal ini akan mempengaruhi status gizi bayi. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis tentang pola pemberian MP-ASI pada bayi usia 6-12 bulan pada kalangan orang Banjar di Kelurahan Teluk Lerong Ilir Kecamatan Samarinda Ulu. Penelitian ini menggunakan desain kualitatif dengan informan yaitu ibu beretnis Banjar yang memiliki bayi 6-12 bulan yang bersedia menjadi informan. Pemilihan informan dilakukan dengan metode Snowball Sampling. Data berupa informasi dikumpulkan melalui wawancara mendalam (indeph interview) dan observasi partisipasi. Tehnik analisis data menggunakan desain studi kasus. Hasil Penelitian menunjukkan perilaku pemberian MP-ASI pada informan yang diambil dari etnis Banjar adalah usia pemberian MP-ASI paling cepat diberikan pada usia 3 hari setelah bayi lahir dan paling lambat pada usia 6 bulan. jenis MP-ASI bervariasi (Pabrikan, bubur nasi, kentang, biskuit, sayur, lauk). Frekuensi pemberian makanan pokok 3 kali sehari, Porsi pemberian MP-ASI 1-1/2 mangkok bubur nasi yang dicampur dengan sayur dan lauk sekali makan, cara pemberiannya bervariasi dan konsistensinya ada yang lunak dan ada yang padat. Pola pemberian MP-ASI di kalangan informan dengan etnis Banjar ada yang belum tepat dan ada yang mendekati ketepatan.

Kata Kunci : Pola, MP-ASI, Usia, Etnis Banjar

ABSTRACTFor optimal growth and development, children need adequate nutrition, infants aged 0-6 months just enough milk, and babies over 6 months need the MP-ASI. Habits were found among ethnic Banjar is the grant of complementary feeding in infants less than 6 months, namely providing kepok banana on 2-3 days after the baby is born, it will affect the nutritional status of infants. This study aims to analyze the patterns of giving complementary feeding in infants aged 6-12 months in the Gulf of Banjar in the Village District Lerong Ilir Samarinda Ulu. This study used a qualitative design was taken informant Banjar ethnic mothers with infants 6-12 months who are willing to become informants. The selection of informants Snowball sampling method. Data is information gathered through in-depth interviews and participant observation. Technical analysis of the data using a case study design. Behaviour Research shows giving complementary feeding at age among

58 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 59: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

the informan Banjar is giving MP-ASI fastest given at 3 days after birth and no later than 6 months of age. various types of complementary feeding (Manufacturing, rice porridge, potatoes, biscuits, vegetables, side dishes). Frequency of staple food 3 times a day, giving the MP-ASI portion 1-1/2 cups rice porridge mixed with vegetables and a side dish for a meal, how varied and consistency of administration was soft and there were solid. complementary feeding patterns among informan ethnic Banjar there is not right and there are approaching accuracy.

Keywords: Pattern, Complementary feeding, Age, Ethnic BanjarPENDAHULUAN

ntuk tumbuh kembang optimal, anak membutuhkan asupan gizi yang cukup. Bagi bayi usia 0-6 bulan, pemberian ASI saja sudah cukup, namun bagi bayi di atas 6 bulan diperlukan makanan selain ASI yaitu berupa makanan pendamping ASI atau MP-ASI

(Depkes RI., 2006).U

Berdasarkan hasil observasi pendahuluan di Kelurahan Teluk Lerong Ilir terdapat tiga pola pemberian MP-ASI dari 20 bayi 6-12 bulan pada ibu etnis Banjar, yaitu ditemukan bayi mendapatkan MP-ASI tradisional, buatan pabrik (instan) dan kombinasi. Dari 20 bayi umur 6-12 bulan hanya 4 bayi ( 20%)  yang diberi  MP-ASI  dengan benar (sesuai degan umur, frekuensi pemberian, porsi, jenis dan cara pemberiannya dilakukan secara bertahap), sedangkan 16 bayi (80%) diberikan MP ASI dengan tidak benar (37% diberikan pada usia kurang dari 6 bulan, 22% bayi diberi bubur buatan pabrik pada saat pertamakali diberi MP-ASI dan langsung diberikan 2 kali dalam sehari, 15% diberi bubur lumat atau nasi yang dilumatkan dan biskuit pada bayi usia 6 bulan, 6% diberi buah pisang yang dikerik pada bayi usia 4 bulan).

Perilaku pemberian MP-ASI pada etnis Banjar secara khusus masih belum banyak dibahas, berdasarkan temuan di lapangan bayi etnis Banjar ketika lahir langsung diolesi madu pada langit-langit rahangnya, dan jenis makanan yang diberikan tidak sesuai dengan umur bayi. oleh karena itu penulis tertarik untuk mengadakan penelitian ini dengan tujuan untuk mengetahui pola pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi usia 6-12 bulan Di Kelurahan Teluk Lerong Ilir Kecamatan Samarinda Ulu tahun 2012 (Studi Kasus Pada Etnis Banjar).

BAHAN DAN METODEJenis dan Desain penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan desain Studi Kasus yang bermaksud untuk memperoleh informasi yang luas dan mendalam pada permasalahan yang ada.Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Kelurahan Teluk Lerong Ilir Kecamatan Samarinda Ulu, dengan fokus pada pola pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada etnis Banjar.Metode pengumpulan data

Dalam pengumpulan data peneliti berperan langsung sebagai instrumen penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara mendalam yang berisi pertanyaan terbuka sebagai pedoman untuk wawancara dan lembar observasi untuk mengetahui kebenaran dari hasil wawancara.Analisis Data

Tehnik analisis data dalam penelitian ini sesuai dengan desain studi kasus. Langkah-langkah analisis data pada studi kasus menurut Saryono dan Anggraeni (2010), yaitu: mengorganisir informasi, membaca keseluruhan informasi dan memberi kode, membuat suatu uraian terperinci mengenai kasus dan konteksnya, peneliti menetapkan pola dan mencari hubungan antara beberapa kategori, selanjutnya peneliti melakukan interpretasi dan mengembangkan generalisasi natural dari kasus baik untuk peneliti maupun untuk penerapannya pada kasus yang lain, menyajikan secara naratif, temuan yang ada di lapangan disesuaikan dengan tujuan yang telah ditetapkan.

HASIL PENELITIAN

59 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 60: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Karakteristik informanPenelitian ini menggunakan sumber informasi sebanyak 6 (enam) orang ibu beretnis Banjar yang berdomisili di Kelurahan Teluk Lerong Ilir yang memiliki bayi usia 6-12 bulan yang bersedia menjadi informan, yaitu ibu Cy 23 tahun, seorang ibu rumah tangga beragama islam, pendidikan SMP, memiliki 1 orang anak. Ibu Tb. 25 tahun, seorang ibu rumah tangga beragama islam, pendidikan SMP, memiliki 3 orang anak. Ibu Nr 34 tahun, seorang ibu rumah tangga beragama islam, pendidikan SMP, memiliki 6 orang anak. Ibu Hm 22 tahun, seorang ibu rumah tangga beragama islam, pendidikan SMK, memiliki 1 orang anak. Ibu Jn 44 tahun, seorang ibu rumah tangga beragama islam, pendidikan SD, memiliki 3 orang anak, dan ibu S 32 tahun, seorang ibu rumah tangga beragama islam, pendidikan SMK, memiliki 2 orang anak.

Hasil Usia pertama pemberian MP-ASIHasil wawancara dan observasi dari 6 Informan didapatkan 4 informan yang memberian MP-ASI pada umur kurang dari 6 bulan, seperti yang dikutip dari hasil wawancara sebagai berikut :“Habis lahir tu diadzani, trus kami bari madu sedikit aja pang dimulutnya lawan air rendamam jari jempol abahnya, jar urang Banjar biar nurut lawan urang tuanya. Mulai usia 2 bulan, mama mertua yang nyuruh mbarii makan. “anak ikam nangis tarus lapar kalo’ bariii haja makan, dulu pang ading ikam kada papa dibarii makan pulas malahan guringnya.....” (Ibu Cy, usia 23 tahun) (Habis lahir diadzani, lalu kami kasih madu sedikit aja di mulutnya dan dikasih air bekas rendaman jempol kaki ayahnya, kata orang Banjar agar nurut dengan orang tuanya kelak. Mulai usia 2 bulan, mama mertuanya menyuruh memberikan makan “anakmu nangis terus lapar mungkin coba kasih makan aja, dulu adekmu gak papa dikasih makan tidurnya tambah pulas”).

Dua informan lagi memberikan MP-ASI nya pada umur 6 bulan, seperti hasil kutipan wawancara berikut ini:“Pernah umur 6 bulan saya coba tapi gak mau dimuntahkannya, nangis malahan anaknya, kakak-kakaknya dulu mulai umur 2 tahun baru mau makan...”(Ibu.Tb. usia 25 tahun)Jenis MP-ASIJenis MP-ASI yang diberikan pada etnis Banjar hampir sama pada saat pertama kali di berikan MP-ASI berasal dari pabrikan yaitu Bubur SUN, seperti yang dikutip dari hasil wawancara sebagai berikut:“Pertama dulu ulun bari Bubur Sun Beras Merah, ulun nukar di warung mudah haja kalo’...” (Ibu Cy, usia 23 tahun) (Waktu pertama dulu saya kasih bubur SUN Beras merah, saya beli di warung mudah aja kan)

Hanya 1 informan yang memberikan MP-ASI berupa buah pisang yang dikerik dengan sendok, seperti yang dikutip dari hasil wawancara berikut:“pisang kepok disisir sama sendok aja, tapi dimuntahkannya...” (Ibu Hm, usia 22 tahun)

Dari hasil wawancara dan observasi diketahui bahwa jenis MP-ASI yang diberikan bervariasi, pada umumnya MP-ASI lanjutan yang diberikan kebanyakan bubur nasi, seperti dikutip dalam hasil wawancara:“Wahini macam-macamae, dibarii bubur nasi, kadang nasi lawan sayur labu, pentol, kue handak aja inya tu...”( Ibu Cy, usia 23 tahun) (“Sekarang macam-macam, dikasih bubur nasi, kadang nasi sama sayur labu, pentol bakso, kue mau juga dia itu...”)

Frekuensi pemberian MP-ASIBerdasarkan hasil wawancara dan observasi 5 dari 6 informan didapatkan bahwa, frekuensi pemberian MP-ASI umumnya diberikan 2-3 kali, seperti kutipan dari hasil wawancara berikut:

60 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 61: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

“Sekarang saya kasih bubur nasi 3 kali sehari diseling roti dan Susu SGM kira-kira 4 sampai 5 botol kecil sehari..” (Ibu.Tb. usia 25 tahun)

Porsi pemberian MP-ASIBerdasarkaan hasil wawancara dan observasi dari 6 informan didapatkan bahwa, porsi pemberian MP-ASI umumnya sudah diberikan secara bertahap, seperti kutipan dari hasil wawancara berikut:“6 bulan saya beri SUN beras merah 2 sendok campur dengan air biasa aja sampai setengah kental (sedanglah), anak saya paling habis hanya setengahnya, diberikan 2 kali sehari 9 bulan diberi SUN sama, di tambah pisang dipegang sendiri sampil digigit paling habis sampai 1 ruas jari aja di tambah Susu SGM 1 dot kecil, ya kadang saya seling biskuit atau kue.Sekarang saya kasih bubur nasi 3 kali sehari diseling roti dan Susu SGM kira-kira 4-5 botol kecil sehari..” (Ibu Nr. Usia 34 tahun)

Cara penyajian MP-ASIBerdasarkan hasil wawancara dan observasi peneliti pada 6 informan dilapangan didapatkan informasi sebagai berikut:“6 bulan saya beri SUN beras merah 2 sendok campur dengan air biasa aja sampai setengah kental (sedanglah), anak saya paling habis hanya setengahnya, diberikan 2 kali sehari 9 bulan diberi SUN sama, di tambah pisang dipegang sendiri sambil digigit paling habis sampai 1 ruas jari aja di tambah susu SGM 1 dot kecil, ya kadang saya seling biskuit atau kue.Sekarang saya kasih bubur nasi 3 kali sehari diseling roti dan Susu SGM kira-kira 4 sampai 5 botol kecil sehari..” (Ibu Nr. Usia 34 tahun)

Konsistensi MP-ASIBerikut cuplikan hasil wawancara dengan informan tentang konsistensi MP-ASI:“Pertama kali pisang gak mau, 3 bulan dikasih bubur SUN rasa pisang sebanyak setengah sendok aja dimakan 3-4 suap aja...sekarang ulun barii kentang haja disayur hanyar dipirik, satu kentang saya potong jadi empat sekali makan seperempat saya kasih 3 kali, kadang nasi dengan wortel, kuning telur saya pirik jadi satu untuk 3 kali makan”...( Ibu Hm, usia 22 tahun)

PEMBAHASANHasil dan pembahasan penelitian tentang pola pemberian makanan pendamping ASI (MP-

ASI) bayi umur 6-12 bulan pada etnis Banjar, sebagai berikut :Makanan utama untuk bayi adalah Air Susu Ibu (ASI), dari hasil wawancara dan observasi

informan beretnis Banjar ini telah memberikan ASI pada bayinya semenjak lahir. Ada informan tidak memberikan ASI karena ibunya menderita stroke sehingga sejak lahir diberikan pengganti ASI (PASI) sampai sekarang. Lama pemberian ASI bervariasi ada yang hari kedua, ada yang diberi ASI hanya 1 minggu saja dikarenakan ASI sudah tidak keluar dan diberi PASI, ada yang memberikan ASI saja sampai sekarang (bayi berusia 9 bulan), karena bayi menolak diberi PASI maupun MP-ASI. Sedangkan informan lainnya masih memberikan ASI sampai sekarang. Hal ini membuktikan bahwa secara naluriah setiap ibu yang melahirkan bayi akan memberikan ASI kepada anaknya dan dianggap sebagai perilaku normal karena sudah menjadi budaya dimasyarakat. Menurut Notoatmodjo (2007), perilaku yang normal adalah salah satu aspek dari kebudayaan, selanjutnya kebudayaan mempunyai pengaruh yang dalam terhadap perilaku ini. Perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai dan penggunaan sumber-sumber di dalam masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup (way of life) yang pada umumnya disebut kebudayaan.

Berdasarkan hasil peneliti diketahui bahwa ada Informan yang masih memberikan makanan pendamping ASI pada bayinya di bawah usia 6 bulan, yaitu pada usia 3 hari, 2, 3 dan 4 bulan karena anjuran dari ibu mertua, kakaknya, inisiatif sendiri karena bayinya nangis terus dikira anaknya lapar, sehingga diberikan MP-ASI lebih cepat. Budaya atau kebiasaan yang terjadi di

61 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 62: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

kalangan informan Etnis Banjar pada bayi yang baru lahir akan diolesi madu di mulutnya dan 2-3 hari setelah lahir diberi pisang sanggar (pisang kepok) yang dikerok dengan sendok, karena sudah jadi kebiasaan turun-temurun sehingga generasi selanjutnya ikut melakukannya juga. Pada penelitian ini ada ditemukan informan yang memberikan buah pisang pada saat 3 hari setelah melahirkan karena informan ketika melahirkan berada di kampung (Banjarmasin), sedangkan informan lainnya tidak mengikuti kebiasaan ini karena lingkungan tempat tinggalnya sudah berbeda. Seseorang yang memberikan MP-ASI terlalu dini pada anaknya bisa dikarenakan orang tersebut tidak mengetahui usia berapa seharusnya anak bisa diberi makanan selain ASI, Atau karena hanya mengikuti tradisi atau kebiasaan dari orang tua sebelumnya atau masyarakat di sekelilingnya (predisposing factors). Minimnya informasi tentang cara dan waktu pemberian MP-ASI yang tepat (enabling factor), atau peran petugas yang terbatas dalam penyebaran informasi tentang MP-ASI (reinforsing factor). Hal ini sesuai dengan teori Lowrence Green dalam Notoatmodjo (2003), yang menyebutkan bahwa perilaku seseorang tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor predisposisi (predisposing factor), faktor pendukung (enabling factor), dan faktor pendorong (reinforcing factor).

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi ditemukan mengenai jenis MP-ASI yang diberikan pada anak saat pertama kali, informan etnis Banjar masih memberikan MP-ASI hasil pabrikan, dengan alasan lebih mudah diperoleh, tidak repot dan mudah cara menyajikannya, informasi ini diperoleh dari lingkungannya (keluarga, tetangga, bidan, TV dan majalah). Sedangkan jenis makanan yang diberikan pada saat pengambilan data adalah bubur nasi atau nasi yang dilumatkan (makanan lunak) karena disesuaikan dengan usia bayi (6, 8, 9 dan 11 bulan). Seseorang berperilaku tertentu disebabkan dari pengetahuan yang dimilikinya yang diperoleh dari pengalaman sendiri maupun orang lain, dan dari media massa. Hal ini sejalan dengan teori WHO (1984) dalam Notoadmodjo (2003), yang menyebutkan pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. Kepercayaan sering atau diperoleh dari orang tua, kakek, atau nenek. Seseorang menerima kepercayaan berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu.

Scherbaum, et all. (2012), tentang praktik pemberian makan bayi pada anak-anak sedikit terbuang; studi retrospektif di pulau Nias Indonesia, menambahkan bahwa 6% ibu pernah menyusui, 52% ibu menyusui dimulai dalam waktu enam jam setelah lahir, tetapi 17% dibuang kolostrum, 12% ASI eksklusif sampai usia 6 bulan, 74% ibu yang ditawarkan cairan tambahan selain ASI dalam 7 hari pertama kehidupan, 14% bayi menerima sampai bayi usia 6 bulan, 79% bayi diberi makanan pendamping (padat, makanan semi padat, atau lembut) sebelum usia 6 bulan, 9% anak-anak ASI sampai dua tahun. Penilaian kualitatif menemukan bahwa pemberian MP-ASI tidak tepat sangat dipengaruhi oleh keyakinan tradisional dari ibu dan nenek dari pihak ayah di wilayah studi.

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi diketahui bahwa, informan memberikan makanan pendamping ASI pada bayinya sehari 3 kali dengan porsi 1-1/2 mangkok. Informasi mengenai frekuensi pemberian MP-ASI diperoleh dari pengalaman lingkungan informan sendiri, ( pengalaman anak-anak sebelumnya, keluarga, posyandu, bidan di desa buku). Penyebab seseorang berperilaku tertentu menurut teori WHO (1984) dalam Notoatmodjo (2003), adalah pemikiran dan perasaan (thougts and feeling), yaitu dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan dan penilaian seseorang terhadap objek (objek kesehatan), satu diantaranya yaitu sikap menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek. Depkes RI (2007), menjelaskan bahwa frekuensi dalam pemberian makanan pendamping ASI yang tepat biasanya diberikan tiga kali sehari. Hasil identifikasi ini didukung oleh hasil penelitian Sumartini (2011), tentang pengaruh pola pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) terhadap status gizi pada bayi 6-12 bulan di Kecamatan Medan Ampalas, dijelaskan bahwa pola pemberian MP-ASI (jenis makanan tambahan, konsumsi energi dan protein serta frekuensi makan berpengaruh terhadap ststus gizi bayi 6-12 bulan. Usia pertamakali pemberian MP ASI tidak berpengaruh terhadap status gizi pada bayi 6-12 bulan.

Berdasarkan hasil identifikasi diketahui bahwa pemberian MP-ASI pada informan etnis

62 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 63: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Banjar sudah diberikan secara bertahap yaitu pada awal pemberian (bayi usia 2,3, dan 4 bulan) diberikan bubur SUN sebanyak 2 sendok untuk sekali makan dan diberikan 2 kali sehari, dan saat sekarang (usia 6, 8, 9 dan 11 bulan) diberikan bubur nasi maupun nasi yang dilumatkan (makanan lunak), diberikan 3 kali sehari, sebanyak ½ - 1 mangkok setiap kali makan. Anjuran untuk porsi pemberian MP-ASI ini tidak ada anjuran dari siapapun melainkan dari nalurinya sendiri ataupun dari pengalaman anak sebelumnya. Teori Kar (1983) dalam Notoadmodjo (2003), yang mencoba menganalisis perilaku kesehatan bahwa perilaku merupakan fungsi dari otonomi pribadi orang yang bersangkutan dalam hal pengambilan keputusan (personal autonomy), dan tergantung dari situasi yang memungkinkan untuk bertindak (action situation).Aminah (2010), dalam bukunya menerangkan bahwa porsi makanan hendaknya diberikan secara bertahap, berangsur mulai dari satu sendok hingga bertambah sesuai porsi kebutuhan bayi. Penelitian serupa oleh Leksono (2007), ditemukan 95% pernah menerima MP-ASI dan selama 3 bulan pelaksanaan program MP-ASI lokal terdapat 42,10% responden pernah mendapat MP-ASI, 1Kali, 21,10% 2 kali, 36,80% 3 kali.

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi diketahui bahwa ada informan memberikan makanan pendamping ASI dengan mencampurnya bersama susu formula dan memberikannya melalui dot, dengan alasan anaknya masih lapar walau sudah di kasih ASI, informasi tentang pemberian MP-ASI diperoleh dari lingkungan dan informasi dari kebiasaan dalam keluarga. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Pujiarto (2008), yang mengatakan bahwa MP-ASI diberikan dengan menggunakan sendok bukan dengan botol, hal ini diduga karena informan masih belum mengetahui secara pasti tentang cara pemberian MP-ASI yang benar. Teori Kar (1983) dalam Notoatmodjo, (2003) menerangkan perilaku merupakan fungsi dari niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan kesehatannya (behavior intention) dan situasi yang memungkinkan untuk bertindak

Penemuan dalam wawancara dan observasi lapangan adalah kalangan informan etnis Banjar memberikan makan bayinya yang pada saat diidentifikasi dengan menggunakan sendok dan tangan, diberikan dengan cara anak dipangku,didudukkan di lantai sambil bermain, dinaikkan kereta, digendong sambil jalan-jalan. Makanan yang disajikan dalam bentuk hangat. Menurut Marimbi (2010), MP-ASI diberikan secara hati-hati sedikit demi sedikit dari bentuk encer kemudian yang lebih kental secara berangsur-angsur, makanan diperkenalkan satu persatu sampai bayi benar-benar dapat menerimanya, makanan yang menimbulkan alergi diberikan paling terakhir dan harus dicoba sedikit demi sedikit, misalnya telur, cara pemberiannya kuningnya lebih dahulu setelah tidak ada reaksi alergi, maka hari berikutnya boleh diberikan putihnya.

Berdasarkan wawancara dan observasi di lapangan ditemukan bahwa konsistensi pemberian makanan dikalangan informan etnis Banjar tidak ada ciri khas tertentu. Pada usia di atas enam bulan makanan yang diberikan adalah makanan lunak (bubur nasi atau nasi yang dipirik atau dilumatkan) yang diberikan dalam bentuk sedang (kental). Pengetahuan tentang konsistensi makanan ini sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain yang paling dekat. Hal ini sesuai dengan Pendapat WHO (1984) dalam Notoatmodjo (2003), menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang berperilaku tertentu, satu diantaranya adalah Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. Penelitian sejenis oleh Fathurrahman (2010), tentang faktor yang berhubungan dengan pemberian MP-ASI pada bayi oleh ibu-ibu pedesaan di Kabupaten Hulu Sungai Selatan diketahui bahwa proporsi bayi yang telah diberi MP-ASI di pedesaan Kabupaten Hulu Sungai Selatan adalah 38,8%. Bayi-bayi di pedesaan sudah mulai diberi MP-ASI pada bulan keempat (33%), bahkan ada 15.0% yang diberi pada bulan ke-1. Jenis MP-ASI yang diberikan di samping susu fomula juga diberikan makanan tradisional berupa makanan Iumat (bubur nasi), makanan lembik (ketupat, nasi lembik). Menurut Depkes RI (2011), anak mempunyai ukuran lambung yang kecil. Makanan cair atau bubur encer akan cepat membuat anak kenyang. Kekentalan makanan akan menentukan kebutuhan gizi anak dapat terpenuhi atau tidak. Bubur yang kental akan memberikan energi lebih banyak bagi anak daripada bubur MP-ASI encer.

63 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 64: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Perilaku pemberian MP-ASI pada kalangan informan etnis Banjar ada yang sudah tepat dan ada yang belum tepat, dan semuanya disebabkan oleh pengalaman yang berbeda. Perilaku Pemberian MP-ASI yang tidak tepat (diberikan pada usia dini) di kalangan orang Banjar lebih banyak dikarenakan oleh pengaruh orang terdekat (ibu, mertua, kakak) atau karena kebiasaan yang terjadi di masyarakat sekitarnya, dan kebiasaan ini sudah menjadi suatu budaya, bahkan menurut informan kebiasaan orang Banjar, 3-4 hari setelah bayi lahir diberi pisang sanggar (pisang kepok) yang disisir atau dikerok dengan sendok. Hal ini sesuai dengan pendapat Prabantini (2010), yaitu orang tua juga mungkin memberikan nasehat yang berbeda, terlebih jika bayi dinilai terlalu kurus. Tak jarang orang tua mendesak agar bayi diberi pisang saat umurnya masih 3 bulan. Sejalan dengan pengamalan perilaku dalam konteks budaya, pengamalan perilaku setiap individu, sangat erat hubungannya dengan belief atau kepercayaan sebagai bagian dari budaya masyarakat yang bersangkutan (Ngatimin, 2005).Perilaku pemberian MP-ASI pada etnis Banjar secara khusus masih belum banyak dibahas. Berdasarkan temuan di lapangan bayi etnis Banjar ketika lahir langsung diolesi madu pada langit-langit rahangnya dan bayi diberi makan sebelum usia 6 bulan dengan alasan bayi rewel karena lapar dan lain sebagainya.Lismintari (2010), dalam penelitiannya diketahui bahwa budaya di dalam masyarakat (Jawa, Kutai, Banjar, Bugis dan Dayak), yang memiliki kebiasaan memberikan makanan sejak bayi dengan alasan ASI tidak cukup memenuhi kebutuhan bayi. Kebiasaan di dalam masyarakat tersebut meliputi memberikan makanan pisang, memberi madu, dan kelapa muda setelah bayi lahir.

SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian tentang pola pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI)

bayi usia 6-12 bulan pada etnis Banjar di Kelurahan Teluk Lerong Kecamatan Samarinda Ulu, dapat ditarik simpulan sebagai berikut:Usia pertama pemberian MP-ASI bervariasi, yaitu MP-ASI diberikan pada usia 3 hari setelah bayi lahir, bayi usia 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan, 6 bulan dan ada yang sampai sekarang (bayi usia 9 bulan) tidak diberi MP-ASI karena bayi menolak Jenis MP-ASI yang diberikan pada anak saat pertama kali, adalah buah pisang kepok yang dikerok dengan sendok dan MP-ASI hasil pabrikan, dengan alasan lebih mudah diperoleh, tidak repot dan mudah cara menyajikannya, informasi tentang makanan pabrikan ini diperoleh dari lingkungannya seperti dari keluarga, tetangga, bidan ataupun dari media seperti TV dan majalah. Sedangkan jenis makanan yang diberikan pada saat pengambilan data adalah bubur nasi atau nasi yang dilumatkan karena disesuaikan dengan usia bayi yang pada saat pengumpulan data sudah berusia 6, 8, 9 dan 11 bulan dan ada yang diberikan pentol bakso dengan dilumatkan menggunakan tangan terlebih dahulu.Frekuensi pemberian MP-ASI pada bayi usia 3, 4, dan 6 bulan dibrikan 2 kali sehari sedangkan pada bayi usia 6, 8, 9 dan 11 bulan pada saat pengumpulan data diberikan MP-ASI sehari 3 kali (pagi, siang dan sore) Informasinya diperoleh informan dari pengalaman pemberian MP-ASI pada anak sebelumnya, keluarga, posyandu, bidan di desa maupun dari membaca buku. Porsi pemberian MP-ASI diberikan secara bertahap yaitu pada awal pemberian (bayi usia 3, 4 dan 6 bulan) diberikan bubur SUN dengan rasa beras merah atau rasa buah pisang dengan takaran 2 sendok untuk sekali makan dan diberikan 2 kali sehari, dan saat saat pengambilan data (usia 6, 9 dan 11 bulan) diberikan bubur nasi maupun nasi yang dilumatkan (makanan lunak), diberikan 3 kali sehari, sebanyak ½-1 mangkok setiap kali makan. Tidak ada anjuran dari siapapun untuk porsi pemberian MP-ASI ini, melainkan dari nalurinya sendiri ataupun dari pengalaman anak sebelumnya.Cara pemberian MP-ASI, ada informan yang mencampur MP-ASI dengan susu formula dan diberikan melalui dot, informasi diperoleh dari lingkungan dan kebiasaan dalam keluarga. Saat bayi berusia 6,8, 9 dan 11 bulan diberikan menggunakan sendok dengan cara anak dipangku atau dibiarkan duduk di lantai sambil bermain, di naikkan kereta, digendong sambil jalan-jalan, makanan yang disajikan dalam bentuk hangat.

64 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 65: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Konsistensi pemberian makanan dikalangan etnis Banjar yang menjadi informan seperti kebanyakan masyarakat pada umumnya, tidak ada ciri khas tertentu. Pada usia di atas enam bulan diberikan makanan lunak (bubur nasi atau nasi yang dipirik atau dilumatkan). informasinya diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain yang paling dekat.Perilaku pemberian MP-ASI pada kalangan orang Banjar ada yang mendekati tepat dan ada yang belum tepat, dan semuanya disebabkan oleh pengalaman yang berbeda.SARAN

Berdasarkan simpulan di atas maka saran yang bisa penulis berikan, sebagai berikut:Kepada Dinas Kesehatan khususnya bidang Gizi, perlu mengadakan pelatihan konseling MP-ASI, tentang usia pertama pemberian MP-ASI, porsi dan konsistensi MP-ASI pada bayi, untuk tenaga gizi dan bidan di desa.Kepada puskesmas, khususnya bidang gizi, KIA dan bidan di desa, perlu meningkatkan pengetahuan masyarakat, tentang MP-ASI Khususnya usia pertama pemberian, porsi dan konsistensi MP-ASI melalui penyuluhan model pendampingan.Kepada ibu menyusui dan keluarga, diharapkan rajin untuk melakukan konsultasi tentang pemberian MP-ASI dan konsistensi MP-ASI yang tepat dan benar kepada bidan di desa dengan mengikuti penyuluhan tentang PMT dan usia awal pemberian MP-ASI, porsi dan konsistensi MP-ASI melalui posyandu, puskesmas, informasi media masa (koran, majalah) maupun media elektronik (TV atau radio).

DAFTAR PUSTAKA

Aminah, M.S., (2009). Seri Buku Pintar, Baby’s Corner. Kamus Bayi 0-12 bulan. Luxima. JakartaDepkes RI, (2006). Pedoman Umum Pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI)

Lokal. JakartDepkes RI. (2007). Buku Pedoman Pemberian Makanan Pendamping ASI. Ditjen Bina Kesehatan

Masyarakat dan Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Jakarta Depkes RI, (2011). Pelatihan Konseling Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI).

Kementrian Kesehatan RI, Direktorat Bin Gizi. JakartaFaturrahman, F., (2010). Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemberian Makanan

Pendamping Asi Oleh Ibu-Ibu Di Pedesaan Di Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Staf Pengajar Gizi. Kalimatan Selatan

Leksono, P., (2007). Evaluasi Pelaksanaan Program MP-ASI Lokal di Kota Kendari. Media Gizi dan Kesehatan. Jurusan Gizi Poltekes Kendari

Lismintari, L., (2010). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemberian Makanan Pendamping ASI Dini Pada Bayi usia 0-6 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Teluk Dalam Kecamatan Tenggarong Seberang Kabupaten Tenggarong Seberang

Ngatimin, M., R. (2005). Ilmu Perilaku Kesehatan, Sari dan Aplikasi. Makassar : Yayasan “PK-3”.

Notoatmodjo, S, (2003), Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Rineka Cipta Jakarta.Notoatmodjo, S. (2007). Kesehatan Masyarakat, Ilmu dan Seni. Rineka Cipta. JakartPujiarto, P.S., (2008). Q & A Smart Parents For Healthy Children. Inti Sari Mediatama. JakartaPrabantini D., (2010). A to Z, Makanan Pendamping ASI, Si Kecii Sehat dan Cerdas Berkat MP-

ASI Rumahan. Andi Offset. Yogyakarta. Saryono, S., dan Anggraeni, A., (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif Dalam Bidang

Kesehatan. Mulia Medika, YogyakartaScherbaum, V., et al, (2012). Praktik Pemberian Makan Bayi Pada Anak-Anak Sedikit Terbuang:

Studi Retrospektif Di Pulau Nias, Indonesia. International breastfeeding journal. BioMed Central Ltd

65 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 66: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Sumartini, S., (2011), Pengaruh Pola Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Terhadap Status Gizi pada Bayi 6-12 Bulan di Kecamatan Medan Amplas. diakses dari http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/33100

DAMPAK PENYULUHAN INISIASI MENYUSU DINI PADA IBU BERSALIN DI KOTA PAREPARE

Henrick Sampeangin1, Suriah1, Noer Bahry Noor2

1Konsentrasi Promosi Kesehatan Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin2 KonsentrasiAdministrasi Rumah Sakit Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan menilai perbedaan pengetahuan ibu bersalin tentang IMD sebelum dan sesudah intervensi, menilai perbedaan sikap ibu bersalin sebelum dan sesudah intervensi, menilai tindakan ibu bersalin dalam pemberian IMD, dan menilai dampak penyuluhan IMD pada ibu bersalin setelah intervensi di Kota Parepare. Jenis penelitian adalah kuasi eksperimen dengan rancangan Non-Randomized Control Group Pretest-postest Design. Sampel sebanyak 200 orang ibu hamil yang usia kehamilannya 35-36 minggu di Kota Parepare, pada kelompok intervensi dan kontrol. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Data dianalisis dengan menggunakan uji Wilcoxon, Mann-Whitney, dan Regresi Linear. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan pengetahuan ibu tentang inisiasi menyusu dini sebelum dan sesudah intervensi (p = 0,000). Ada perbedaan sikap ibu tentang inisiasi menyusu dini sebelum dan sesudah intervensi (p = 0,000). Sebanyak 55,0 % ibu melaksanakan inisiasi menyusu dini setelah mendapatkan intervensi. Pengaruh media yaitu pernah terpapar video IMD yang paling dominan berdampak terhadap pengetahuan ibu tentang inisiasi menyusu dini (p = 0,001), tidak ada satu pun variabel yang paling dominan berdampak terhadap sikap terhadap inisiasi menyusu dini (semua p > 0,05), serta pengaruh media (pernah terpapar video IMD) yang paling dominan berdampak terhadap tindakan inisiasi menyusu dini (p = 0,014). Dinas Kesehatan Kota Parepare, Puskesmas, dan rumah sakit perlu mensosialisasikan pentingnya IMD kepada bidan sebagai tangan pertama yang dapat merangkul ibu hamil untuk melaksanakan IMD

Kata Kunci : penyuluhan, inisiasi menyusu dini, ibu bersalin

ABSTRACT

The aims of the research are to assess the difference between the knowledge of giving birth mothers before intervention and the one after intervention, to assess the difference between the attitude of giving birth mothers before intervention and the one after intervention, to assess the giving birth mothers’ action in giving early breast-feeding initiation, and to assess the impact of counseling of early breast-feeding initiation on giving birth mothers after intervention in Parepare.The research was a quasi-experimental study with Non-Randomized Control Group Pretest- Postest Design. The sample consisted of 200 pregnant mothers whose pregnant age

66 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 67: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

samples from 35 to 36 weeksin Parepare. The data were ibtained by giving questionnaire. They were analyzed by using Wilcoxon, Mann-Whitney, and Linear Regression tests.The results of the research indicate that there is a difference between mothers’ knowledge on early breast-feeding initiation before intervention and the one after intervention (p = 0.000). There is also a difference between mothers’ attitude on early breast-feeding initiation before intervention and the one after intervention (p = 0.000). There is 55.0 % of mothers who perform early breast-feeding initiation after they get intervention. The most dominant influence of media about early breast-feeding is mothers’ knowledge (p = 0.001), but there is no variable giving dominant influence on mothers’ attitude about early-breastfeeding initiation ( all p > 0,05). On the other hand, media has dominant influence on the action of early breast-feeding initiation(p = 0.014). Therefore, Health Department of Parepare, Public Health Centre, and hospitals need to give socialization on the importance of early breast-feeding initiation to midwives as the first people who make contact with pregnant mothers to conduct early breast-feeding initiation.

Keywords : counseling, early breast-feeding initiation, giving birth mothers

PENDAHULUANnisiasi Menyusu Dini (IMD) adalah suatu upaya untuk membantu bayi agar dapat menyusu dengan memanfaatkan insting bayi yang sudah muncul sejak satu jam pertama setelah dilahirkan (Roesli, 2008). Lebih lanjut dijelaskan oleh Roesli (2008), inisiasi dilakukan ketika

bayi lahir, tali pusat dipotong, lalu dilap kering dan langsung diberikan kepada ibu. Dalam proses ini, harus ada sentuhan skin to skin contact, dimana bayi tidak boleh dipisahkan dulu dari ibunya. Bayi dibiarkan di dada ibu minimal 30 menit sampai mencari sendiri puting susu ibunya dan langsung diminum.

IPelaksanaan IMD dan pemberian ASI Eksklusif pada bayi merupakan cara terbaik bagi

peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) sejak dini. Di Indonesia, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia melalui program perbaikan gizi masyarakat telah menargetkan cakupan ASI eksklusif 6 bulan sebesar 80% (Depkes RI, 2005). Namun demikian angka ini sangat sulit untuk dicapai bahkan trend prevalensi ASI eksklusif dari tahun ke tahun terus menurun, hal tersebut sangat memprihatinkan mengingat ASI eksklusif sangat penting bagi tumbuh kembang bayi.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurmiati dan Besral tentang pengaruh durasi pemberian ASI terhadap ketahanan hidup bayi di Indonesia ditemukan bahwa durasi pemberian ASI sangat mempengaruhi ketahanan hidup bayi di Indonesia. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ariefudin, dkk tahun 2009 di Kecamatan Tegal Timur Kota Tegal, menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian infeksi saluran pernapasan akut pada bayi 0-12 bulan p = 0,000 (p < 0,05). Bayi yang diberi ASI secara eksklusif kemungkinan untuk menderita penyakit ISPA lebih rendah dibanding bayi yang tidak mendapat ASI secara eksklusif. Bayi yang diberi ASI eksklusif hanya 10,4% sedangkan yang tidak mendapat ASI ekslusif sebanyak 32,4%.

Sesuai dengan penjelasan Mandi (1981) dalam Danga (2007) bahwa penerangan yang baik mengenai keuntungan-keuntungan ASI akan cukup membantu jika ibu memutuskan untuk menyusui bayinya, dengan demikian dibutuhkan penyuluhan dengan berbagai metode yang tepat tentang IMD oleh karena pertama; sekarang ini air susu ibu dan menyusui dianggap suatu hal yang tidak perlu dipelajari lagi padahal ASI eksklusif terlebih IMD termasuk informasi yang relatif baru. Kedua; manajemen laktasi yang benar dapat dipraktekkan secara efektif dan ketiga; adanya mitos-mitos yang menyesatkan yang menghambat pemberian ASI.

Banyak aspek yang berperan dalam pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI Eksklusif antara lain adalah kebijakan instansi pemerintah, ibu menyusui menghadapi banyak hambatan yang berhubungan dengan pelayanan yang diperoleh di tempat persalinan, dukungan yang diberikan oleh anggota keluarga di rumah, banyaknya ibu yang belum dibekali pengetahuan yang

67 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 68: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

cukup tentang teknik menyusui yang benar dan manajemen kesulitan laktasi, termasuk tantangan yang dihadapi oleh ibu bekerja (Aprilia, 2009; Asmiajati, 2000). Menurut Elaine (2003) konseling laktasi akan sangat membantu ibu untuk menyusui bayinya secara eksklusif. Faktor lain penyebab rendahnya pemberian ASI di Indonesia adalah faktor sosial budaya, hal ini dapat terlihat dalam aspek pengetahuan, kepercayaan/keyakinan, pekerjaan, pemanfaatan sarana kesehatan dan norma / nilai-nilai yang sedang berkembang dalam masyarakat Indonesia. Banyak ibu-ibu yang tidak menyusui bayinya termasuk tidak melakukan IMD hanya karena meniru teman-teman atau tetangganya (Amiruddin, 2006; Siregar, 2004).

Adanya Komitmen yang kuat dari para petugas kesehatan atau health provider (dokter, bidan, perawat, manajemen rumah sakit dan lain-lain yang terkait) dalam melaksanakan penyuluhan tentang IMD kepada ibu hamil agar menyusui bayinya secara dini akan sangat membantu dalam peningkatan IMD oleh karena merekalah yang selalu kontak langsung dengan masyarakat dan memungkinkan untuk memberikan penyuluhan. Karena itu peneliti melihat bahwa dengan metode penyuluhan tentang IMD yang sifatnya praktis, persuasif dan edukatif diharapkan akan meningkatkan prosentase ibu bersalin dalam melaksanakan IMD. Tujuan Penelitian ini adalah untuk menilai dampak penyuluhan IMD pada Ibu Bersalin.

METODE PENELITIANRancangan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kuasi eksperimen dengan rancangan Non-Randomized Control Group Pretest-postest Design. Diharapkan dengan desain ini memungkinkan dilakukan pengukuran pengaruh perlakuan (intervensi) pada kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol yang tidak mendapatkan perlakuan.Lokasi dan Waktu Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan kurang lebih tiga bulan (Maret 2012 – Mei 2012) di Kota Parepare. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu hamil yang usia kehamilannya 35 – 36 minggu di kota Parepare pada bulan Januari 2012 sebanyak 120. Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus sampel untuk penelitian kesehatan dengan populasi diketahui.

Pengolahan dan Analisis DataPenyuntingan data dilakukan dua kali yakni : pertama, pada saat pelaksanaan wawancara

dilapangan dengan tujuan untuk mengoreksi secara langsung kesalahan-kesalahan pada pengisian kuesioner oleh pewawancara. Kedua pada saat awal pengolahan data yang dimaksudkan untuk menilai hasil pengisian kuesioner secara keseluruhan apakah memenuhi syarat untuk diikutkan dalam analisis atau tidak. Analisis univariat untuk melihat sebaran pengetahuan, sikap, tindakan, karakteristik ibu (umur, tingkat pendidikan, pekerjaan), media dan dukungan keluarga. Analisis bivariat : Kesetaraan variabel pada kelompok intervensi dan kontrol dan Menilai perbedaan rata-rata skor pengetahuan dan sikap sebelum dan sesudah intervensi. Analisis multivariat untuk melihat dampak intervensi terhadap pengetahuan, sikap dan tindakan ibu dalam pelaksanaan IMD setelah dikontrol oleh karakteristik ibu, media dan dukungan keluarga.Kesetaraan Variabel

Sebaran pengetahuan, sikap, tindakan, karakteristik ibu (umur, tingkat pendidikan, pekerjaan), media dan dukungan keluarga di Kota Parepare dan Kabupaten Sidrap yang diambil sebagai sampel oleh peneliti dianggap setara, dikarenakan nilai frekuensi dari karakteristik ibu (umur, tingkat pendidikan, pekerjaan), media, dan dukungan keluarga memiliki nilai yang hampir sama pada kelompok intervensi dan kontrol, begitu pula dengan nilai rata-rata dari pengetahuan, sikap, dan tindakan responden pada kelompok intervensi dan kontrol. Dengan demikian maka variabel telah setara dan dapat dianalisis lebih lanjut.

68 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 69: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

HASIL Karakteristik RespondenUsia, Pekerjaan, dan Pendidikan Terakhir

Jumlah responden paling banyak pada kelompok umur 26-30 tahun sebesar 31,0 % untuk kelompok intervensi sedangkan pada kelompok kontrol yaitu pada kelompok umur 21-25 tahun sebesar 28,0 % dan jumlah responden paling sedikit pada kelompok umur > 50 tahun sebesar 0 % untuk kelompok intervensi sedangkan pada kelompok kontrol yaitu > 50 tahun sebesar 1,0 %. Jenis pekerjaan responden pada kelompok intervensi paling banyak sebagai ibu rumah tangga sebesar 76,0 %, demikian pula pada kelompok kontrol yaitu ibu rumah tangga sebesar 80,0 % sedangkan jenis pekerjaan responden pada kelompok intervensi paling sedikit sebagai petani sebesar 0 %, dan pada kelompok kontrol yaitu pegawai swasta sebesar 2,0 %. Pendidikan terakhir responden pada kelompok intervensi paling banyak yaitu SMA sebesar 49,0 %, demikian pula pada kelompok kontrol yaitu SMA sebesar 38,0 %, sedangkan pendidikan terakhir responden pada kelompok intervensi paling sedikit yaitu tidak sekolah sebesar 4,0 %, demikian halnya dengan kelompok kontrol yaitu tidak sekolah sebesar 5,0 %.Terpapar Video IMD dan Dukungan Keluarga

Distribusi responden berdasarkan keterpaparan video IMD yang terbanyak pada kelompok intervensi yaitu tidak pernah melihat video IMD sebesar 90,0 %, demikian pula pada kelompok kontrol yang tidak pernah melihat video IMD sebesar 78,0 %. Responden menurut dukungan keluarga yang terbanyak pada kelompok intervensi yaitu ada dukungan keluarga sebesar 88,0 %, demikian pula pada kelompok kontrol yaitu dukungan keluarga sebesar 69,0 %.Analisis Sebelum dan Setelah IntervensiPengetahuan tentang IMDPerbandingan pengetahuan sebelum dan setelah intervensi penyuluhan yang dilakukan terhadap 100 responden diperoleh hasil bahwa nilai rata-rata pengetahuan responden sebelum intervensi adalah 7,47 kemudian setelah intervensi nilai rata-rata pengetahuan adalah 9,28. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,000 (p<0,05), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan bermakna antara sebelum dan setelah intervensi penyuluhan terhadap pengetahuan responden tentang IMD. Perbandingan pengetahuan sebelum dan setelah intervensi jenis penyuluhan kelompok yang dilakukan terhadap 100 responden diperoleh hasil bahwa nilai rata-rata pengetahuan responden sebelum intervensi adalah 7,47 kemudian setelah intervensi nilai rata-rata pengetahuan adalah 9,45.Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,000 (p < 0,05), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan bermakna antara sebelum dan setelah intervensi pada jenis penyuluhan kelompok terhadap pengetahuan responden tentang IMD.Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,002 (p < 0,05), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan bermakna antara sebelum dan setelah intervensi pada jenis penyuluhan individu terhadap pengetahuan responden tentang IMD. Perbandingan pengetahuan sebelum dan setelah melahirkan pada kelompok kontrol yang dilakukan terhadap 100 responden diperoleh hasil bahwa nilai rata-rata pengetahuan responden sebelum melahirkan adalah 6,96 kemudian setelah melahirkan nilai rata-rata pengetahuan adalah 7,48. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,000 (p < 0,05), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan bermakna antara sebelum dan setelah melahirkan terhadap pengetahuan responden tentang IMD.

Sikap terhadap IMD Perbandingan sikap sebelum dan setelah intervensi penyuluhan yang dilakukan terhadap 100 responden diperoleh hasil bahwa nilai rata-rata sikap responden sebelum intervensi adalah 31,39 kemudian setelah intervensi nilai rata-rata sikap adalah 34,00. Ada perbedaan bermakna antara sebelum dan setelah intervensi penyuluhan terhadap sikap responden tentang IMD. Perbandingan sikap sebelum dan setelah intervensi jenis penyuluhan kelompok yang dilakukan terhadap 100 responden diperoleh hasil bahwa nilai rata-rata sikap responden sebelum intervensi

69 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 70: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

adalah 31,06 kemudian setelah intervensi nilai rata-rata sikap adalah 34,12. Ada perbedaan bermakna antara sebelum dan setelah intervensi pada jenis penyuluhan kelompok terhadap sikap responden tentang IMD.Analisis Dampak Penyuluhan Individu Terhadap Sikap Responden tentang IMD pada Kelompok Intervensi Perbandingan sikap sebelum dan setelah intervensi jenis penyuluhan kelompok yang dilakukan terhadap 100 responden diperoleh hasil bahwa nilai rata-rata sikap responden sebelum intervensi adalah 32,03 kemudian setelah intervensi nilai rata-rata sikap adalah 33,76. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,002 (p < 0,05), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan bermakna antara sebelum dan setelah intervensi pada jenis penyuluhan kelompok terhadap sikap responden tentang IMD.Analisis Sikap Responden terhadap pada Kelompok Kontrol di Kota Parepare

Perbandingan sikap sebelum dan setelah melahirkan pada kelompok kontrol yang dilakukan terhadap 100 responden diperoleh hasil bahwa nilai rata-rata sikap responden sebelum melahirkan adalah 29,41 kemudian setelah melahirkan nilai rata-rata sikap adalah 30,08. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,001 (p < 0,05), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan bermakna antara sebelum dan setelah melahirkan terhadap sikap responden tentang IMD.Tindakan dalam IMDBerdasarkan hasil uji statistik pada lampiran hasil analisis dengan menggunakan Kolmogorov Smirnov yang bertujuan untuk mengetahui apakah data berdistribusi normal atau tidak, hasil analisis menunjukkan bahwa data berdistribusi tidak normal, sehingga dilakukan analisis dengan uji Wilcoxon untuk mengetahui dampak intervensi penyuluhan terhadap tindakan IMD responden. Perbandingan tindakan pada jenis penyuluhan kelompok dan individu yang dilakukan terhadap 100 responden diperoleh hasil bahwa nilai rata-rata tindakan pada penyuluhan kelompok adalah 4,85 kemudian pada penyuluhan individu nilai rata-rata tindakan adalah 6,76. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,109 (p < 0,05), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara jenis penyuluhan kelompok dan individu terhadap tindakan IMD responden.PengetahuanSebelum Intervensi tentang IMD pada Kelompok Intervensi dan Kontrol

Tabel 1 menunjukkan bahwa perbandingan pengetahuan sebelum intervensi pada kelompok intervensi dan kontrol yang dilakukan terhadap 200 responden diperoleh hasil bahwa nilai rata-ratanya adalah 7,22. Hasil analisis dengan menggunakan uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa nilai p = 0,123 (p> 0,05), ini berarti tidak ada perbedaan pengetahuan tentang IMD antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol sebelum intervensi.Pengetahuan Setelah Intervensi tentang IMD pada Kelompok Intervensi dan Kontrol

Tabel 2 menunjukkan bahwa perbandingan pengetahuan setelah intervensi pada kelompok intervensi dan kontrol yang dilakukan terhadap 200 responden diperoleh hasil bahwa nilai rata-ratanya adalah 8,38. Hasil analisis dengan menggunakan uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa nilai p = 0,000 (p < 0,05), ini berarti ada perbedaan pengetahuan tentang IMD antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol setelah intervensi.

Sikap Sebelum Intervensi terhadap IMD pada Kelompok Intervensi dan KontrolTabel 3 menunjukkan bahwa perbandingan sikap sebelum intervensi pada kelompok

intervensi dan kontrol yang dilakukan terhadap 200 responden diperoleh hasil bahwa nilai rata-ratanya adalah 30,40. Hasil analisis dengan menggunakan uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa nilai p = 0,000 (p < 0,05), ini berarti ada perbedaan sikap tentang IMD antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol sebelum intervensi.Sikap Setelah Intervensi terhadap IMD pada Kelompok Intervensi dan Kontrol

Tabel 4 menunjukkan bahwa perbandingan sikap setelah intervensi pada kelompok intervensi dan kontrol yang dilakukan terhadap 200 responden diperoleh hasil bahwa nilai rata-

70 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 71: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

ratanya adalah 32,04. Hasil analisis dengan menggunakan uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa nilai p = 0,000 (p < 0,05), ini berarti ada perbedaan sikap tentang IMD antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol setelah intervensi.Tindakan dalam IMD pada Kelompok Intervensi dan KontrolTabel 5 menunjukkan bahwa perbandingan tindakan pada kelompok intervensi dan kontrol yang dilakukan terhadap 200 responden diperoleh hasil bahwa nilai rata-ratanya adalah 3,05. Hasil analisis dengan menggunakan uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa nilai p = 0,000 (p < 0,05), ini berarti ada perbedaan tindakan IMD antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol.Dampak Karakteristik Ibu, Media, dan Dukungan Keluarga Terhadap Pengetahuan tentang IMD Tabel 6 menunjukkan bahwa hasil analisis dengan menggunakan uji Regresi Linear menunjukkan bahwa dari variabel karakteristik ibu, media, dan dukungan keluarga, variabel yang paling berdampak terhadap pengetahuan tentang IMD adalah media (pernah terpapar video IMD), dengan nilai p = 0,001 (p < 0,05). Ini berarti media (pernah terpapar video IMD) yang paling dominan berdampak terhadap pengetahuan tentang IMD.Dampak Karakteristik Ibu, Media, dan Dukungan Keluarga Terhadap Sikap terhadap IMDTabel 7 menunjukkan bahwa hasil analisis dengan menggunakan uji Regresi Linear menunjukkan bahwa dari variabel karakteristik ibu, media, dan dukungan keluarga, tidak ada satu pun variabel yang berdampak terhadap sikap terhadap IMD, disebabkan semua nilai p > 0,05. Ini berarti tidak ada satu pun variabel yang paling dominan berdampak terhadap sikap terhadap IMD.Dampak Karakteristik Ibu, Media, dan Dukungan Keluarga Terhadap Tindakan dalam IMDTabel 8 menunjukkan bahwa hasil analisis dengan menggunakan uji Regresi Linear menunjukkan bahwa dari variabel karakteristik ibu, media, dan dukungan keluarga, variabel yang paling berdampak terhadap tindakan dalam IMD adalah media (pernah terpapar video IMD), dengan nilai p = 0,014 (p < 0,05). Ini berarti media (pernah terpapar video IMD) yang paling dominan berdampak terhadap tindakan dalam IMD.

PEMBAHASANPengetahuan

Untuk perbedaan pengetahuan sebelum intervensi pada kelompok intervensi dan kontrol, hasil analisis dengan menggunakan uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa nilai p = 0,123 (p>0,05), ini berarti tidak ada perbedaan pengetahuan tentang IMD antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum intervensi. Sedangkan untuk perbedaan pengetahuan setelah intervensi pada kelompok intervensi dan kontrol, hasil analisis dengan menggunakan uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa nilai p = 0,000 (p<0,05), ini berarti ada perbedaanpengetahuan tentang IMD antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol atau setelah intervensi.

Untuk dampak karakteristik ibu, media, dan dukungan keluarga terhadap pengetahuan tentang IMD, hasil analisis dengan menggunakan uji Regresi Linear menunjukkan bahwa dari variabel karakteristik ibu, media, dan dukungan keluarga, variabel yang paling berdampak terhadap pengetahuan tentang IMD adalah media (pernah terpapar video IMD), dengan nilai p = 0,001 (p < 0,05). Ini berarti media (pernah terpapar video IMD) yang paling dominan berdampak terhadap pengetahuan tentang IMD.

Sejalan pula dengan teori yang dikemukakan oleh Snehandu B. Kar (1983) dalam Notoatmodjo (2005), bahwa perilaku individu dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain : (1) Behavior Intention, (2) Social Support, (3) Acessebility of Information, (4) Personal Autonomy, dan (5) Action Situation. Pengetahuan termasuk dalam salah satu elemen Personal Autonomy, di samping karakteristik individu dan sikap.

Sejalan dengan penelitian Jurana (2008), bahwa pengetahuan belum dilakukan sebagaimana mestinya yang seharusnya mempersiapkan terlebih dahulu materi, media, metode dan teknik serta kerjasama dengan sasaran sebelum penyuluhan dilakukan. Di sinilah letak peran penting pengetahuan ibu yang diharapkan dapat meningkat setelah ada penyuluhan tentang

71 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 72: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

IMD.Variabel penelitiannya terdiri dari pengetahuan bidan, sikap bidan, dan praktek bidan. Sampelnya 5 bidan bertugas Puskesmas, pustu, dan polindes; 1 dokter Kepala Puskesmas; 8 ibu yang mempunyai bayi; 7 ibu. Metodenya kualitatif dengan pendekatan fenomena.

Sejalan pula dengan penelitian Rahayu (2002), bahwa pengetahuan ibu bersalin tentang ASI dan pengetahuan petugas kesehatan tentang manajemen laktasi memberikan kontribusi besar dalam keberhasilan praktek menyusui dini. Variabel penelitiannya terdiri dari variabel independent berupa karakteristik ibu bersalin serta karakteristik petugas kesehatan, dan variabel dependent berupa praktek menyusui dini. Sampelnya ibu bersalin dan petugas kesehatan. Metodenya rancangan penelitian crosssectional, pengolahan data dengan deskriptif analitik, metode kuantitatif, dan kualitatif.Sikap

Untuk dampak karakteristik ibu, media, dan dukungan keluarga terhadap sikap tentang IMD, hasil analisis dengan menggunakan uji Regresi Linear menunjukkan bahwa dari variabel karakteristik ibu, media, dan dukungan keluarga, tidak ada satu pun variabel yang berdampak terhadap sikap tentang IMD, disebabkan semua nilai p > 0,05. Ini berarti tidak ada satu pun variabel yang paling dominan berdampak terhadap sikap tentang IMD. Sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Ngatimin (2005) yang dikutip dari Teori Blum, bahwa sikap (affective domain), tujuannya ditekankan pada perubahan perhatian, sikap, nilai, penghargaan dan penyesuaian, dimana domain ini terdiri atas lima tingkatan yaitu Tingkat A-1; penerimaan (receiving) bahwa bila seorang berada pada posisi sadar adanya rangsangan dari luar yang menyadarkan padanya bahwa telah terjadi sesuatu biasanya dengan adanya rangsangan dari luar, akan timbul perhatian; Tingkat A-2; penjawaban (responding) bahwa bila seseorang berada pada posisi dimana rangsangan telah mampu merubahnya untuk memberi perhatian dan ikut serta; Tingkat A-3; memberikan nilai (valuing) bahwa bila seorang berada pada posisi merasakan adanya nilai baru dalam masyarakat. Tetapi pada tingkat ini, nilai itu belum merupakan nilai yang khas bagi masyarakat bersangkutan; Tingkat A-4; pengorganisasian (organization) bahwa bila seorang berada pada posisi ini merasakan nilai yang ada itu telah terorganisasi menjadi milik masyarakat; serta Tingkat A-5; menentukan adanya kekhususan dalam suatu nilai yang kompleks (characterizatrion by value complex) bahwa bila berada pada posisi ini merasakan bahwa masyarakat telah memiliki suatu nilai khusus dankhas bagi mereka. Menurut Krathwohl, nilai ini nilai tertinggi dan erat dengan cognitive domain.Tindakan

Untuk dampak karakteristik ibu, media, dan dukungan keluarga terhadap tindakan dalam IMD, hasil analisis dengan menggunakan uji Regresi Linear menunjukkan bahwa dari variabel karakteristik ibu, media, dan dukungan keluarga, variabel yang paling berdampak terhadap tindakan dalam IMD adalah media (pernah terpapar video IMD), dengan nilai p = 0,014 (p < 0,05). Ini berarti media (pernah terpapar video IMD) yang paling dominan berdampak terhadap tindakan dalam IMD.Sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Ngatimin (2005) yang dikutip dari Teori Blum, bahwa tindakan atau perbuatan (psychomotor domain), tujuannya ditekankan pada keterampilan yang bersifat motorik, dimana domain ini terdiri dari lima tingkatan yaitu Tingkat P-1; persepsi (perception) bahwa bila seorang berada pada posisi mampu mendeteksi kelainan berdasarkan adanya rangsangan melalui pendengaran, penglihatan ataupun pengecapan. Tingkat keterampilan pada tingkat ini hanyalah sekedar dapat mendeteksi; Tingkat P-2; tersusun (set) bila seorang berada pada posisi mampu dalam keadaan siap fisik, mental dan emosional terhadap keadaan tertentu. Ia telah siap untuk bekerja; Tingkat P-3; sambutan pada petunjuk bimbingan untuk meniru mencoba (guided response by imitation trial and error) bahwa bila seorang berada pada posisi memiliki kemampuan untuk mengerjakan sesuatu asalkan dibawah bimbingan seorang instruktur; Tingkat P-4; berbuat secara mekanis (mechanism) bahwa bila seorang berada pada posisi telah siap bekerja dengan amat sangat lancar seperti mkesin saja; serta Tingkat P-5; kemampuan berbuat dan terampil yang kompleks (complex overt response).

72 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 73: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Sejalan pula dengan teori yang dikemukakan oleh Snehandu B. Kar (1983) dalam Notoatmodjo (2005), bahwa perilaku individu dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain : (1) Behavior Intention, (2) Social Support, (3) Acessebility of Information, (4) Personal Autonomy, dan (5) Action Situation. Personal Autonomy merupakan otonomi pribadi orang yang bersangkutan dalam hal mengambil tindakan.

Bila seorang telah berada pada tingkat keterampilan tertinggi bekerja sangat terampil tanpa membuat kesalahan sedikit pun. Memanfaatkan domain ini pada proses perubahan perilaku, hendaknya disadari bahwa perubahan pengetahuan ke sikap dan seterusnya perbuatan, bukan merupakan garis lurus. Terdapat beberapa catatan bahwa perubahan dari pengetahuan ke sikap sangat dipengaruhi oleh persepsi yang bersangkutan tentang masalah dan perubahan dimaksud. Begitupun bila sikap telah berubah, keadaan itu merupakan predisposisi untuk perubahan prilaku.

Sebagai perbandingan, penelitian Aprillia (2009), bahwa variabel kebijakan berhubungan dengan persepsi bidan terhadap proses sosialisasi program inisiasi menyusu dini dan ASI eksklusif di Kabupaten Klaten. Penelitian Sudarsono (2008), bahwa terdapat hubungan antara persepsi bidan desa tentang ASI eksklusif dengan cakupan ASI eksklusif. Penelitian Mulyati (2004), bahwa ada keterkaitan antara faktor sosek (sosek tinggi dan rendah), sosbud (positif dan negatif), pendidikan ibu (tinggi dan rendah), dan pekerjaan ibu (ibu bekerja formal/di luar rumah atau tidak) dengan pemberian ASI eksklusif. Penelitian Affandi (2009), bahwa rata-rata pertumbuhan BB kelompok intervensi adalah laki-laki (1,26 ± 0,32 kg) dan perempuan (1,40 ± 53 kg).Penelitian Rahardjo (2006), bahwa faktor dominan yang berhubungan dengan pemberian ASI dalam satu jam pertama adalah tenaga periksa hamil. Faktor lain daerah tempat tinggal, kehamilan yang diinginkan, tenaga periksa hamil, penolong persalinan, akses terhadap radio, dan berat lahir. Terdapat interaksi antara daerah dengan tenaga periksa, kehamilan diinginkan dengan tenaga periksa dengan berat lahir dengan penolong persalinan.

SIMPULAN DAN SARAN Ada perbedaan pengetahuan ibu tentang inisiasi menyusu dini sebelum dan sesudah

intervensi (p = 0,000), dimana terjadi peningkatan pengetahuan ibu sesudah intervensi. Ada perbedaan sikap ibu tentang inisiasi menyusu dini sebelum dan sesudah intervensi (p = 0,000), dimana terjadi peningkatan sikap ibu sesudah intervensi. Beberapa ibu telah melaksanakan tindakan inisiasi menyusu dini sesudah intervensi (55,0 %). Media (pernah terpapar video IMD) yang paling dominan berdampak terhadap pengetahuan tentang inisiasi menyusu dini (p = 0,001), tidak ada satu pun variabel yang paling dominan berdampak terhadap sikap terhadap sinisiasi menyusu dini (semua p > 0,05), serta media (pernah terpapar video IMD) yang paling dominan berdampak terhadap tindakan dalam inisiasi menyusu dini (p = 0,014).

Dinas Kesehatan Kota Parepare, Puskesmas, dan rumah sakit perlu mensosialisasikan pentingnya IMD kepada bidan sebagai tangan pertama yang dapat merangkul ibu hamil untuk melaksanakan IMD. Puskesmas dan rumah sakit di Kota Parepare perlu lebih giat melakukan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya inisiasi menyusu dini terutama dalam bentuk media berupa pemutaran video IMD. Perlu adanya reward dan punishment terhadap para bidan yang melaksanakan atau tidak melaksanakan inisiasi menyusu dini.

DAFTAR PUSTAKA

Affandi, A. (2009). Pengaruh Pemberian DIP ASI Biskuit Ikan Teri Terhadap Pertumbuhan BADUTA Gizi Kurang di Kecamatan Tanete Rilau Kabupaten Barru. Tesis tidak diterbitkan. Makassar, PPT Unhas.

Amiruddin, R., Rostia. (2012). PromosiSusu Formula Menghambat Pemberian ASI Eksklusif Pada Bayi 6-11 Bulan Di Kelurahan Pa'baeng-baeng Makassar Tahun 2006. ( www.google.com ). Diakses 3 Januari, 2012.

73 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 74: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Aprilia. (2008). Analisis Sosialisasi Program Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif Kepada Bidan di Kabupaten Klaten. (www.google.com) Diakses tanggal 5 Januari 2012.

Asmiajati, (2000). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemberian ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Tiga Raksa Kec.Tiga Raksa Tangerang. (Online). (http:// www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/ ng/detail.jsp?id) Diaksestanggal5 Januari2012.

Danga, N.E. (2007). Pengembangan Model Konseptuil Komunikasi Dalam Upaya Meningkatkan Perilaku Pemberian ASI Eksklusif Di Kecamatan Walenrang Kabupaten Luwu. Tesis tidak diterbitkan. Makassar PPs UNHAS.

Departemen Kesehatan R.I. (2005). Kebijakan Departemen Kesehatan Tentang Peningkatan Pemberian ASI Pekerja Wanita. Pusat Kesehatan Kerja (Online), (http://www.dinkeskotasemerang.go.id), Diakses tanggal 7 Januari 2012.

Elaine, Albernez Et.al. (2003). Lactation Conseling increases breast-feeding duration but not breast milk intake as measured by isotopic methods the American society for nutritional sciences. J. Nutr. 133 : 205- 2010, Januari 2003. Diakses tanggal 30 Januari 2012.

Mulyati, S : (2004). Strategi Sosialisasi Peningkatan Pemberian ASI (PP-ASI) Eksklusif di Kota Bengkulu. (www.google.com) Diakses tanggal 15 Januari 2012.

Ngatimin, H. M. R. (2005). Sari Dan Aplikasi Ilmu Perilaku Kesehatan. Yayasan PK3, Makassar. Rahayu, S. (2002). Determinan Keberhasilan Praktek Menyusui Dini pada Ibu Bersalin di RS

Umum Daerah dr. Moewardi. (www.google.com) Diakses tanggal 7 Januari 2011.Roesli, U. (2008). Inisiasi Menyusu Dini Plus ASI Eksklusif. Pustaka Bunda, Jakarta. Siregar, A. (2004). Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Pemberian ASI Oleh Ibu Melahirkan.

Bagian Gizi Kesehatan Masyarakat. FKM Universitas Sumatera Utara.Digitized by USU Digital Library (Online), (http://www.library.usu.ac.id) Diakses tanggal 7 Januari 2012.

Sudarsono, A. (2006). Hubungan Persepsi Bidan Desa Tentang ASI Eksklusif dengan Cakupan ASI Eksklusif di Kabupaten Pamekasan diterbitkan, (www.google.com) Diakses tanggal 15 Januari 2012.

74 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 75: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

LAMPIRAN

Tabel 1. Analisis Perbedaan Pengetahuan Sebelum Intervensi tentang IMD pada Kelompok Intervensi dan Kontrol di Kota Parepare Tahun 2012

Pengetahuan Sebelum Intervensi nNilai Rata-rata

p

Kelompok Intervensi200 7,22 0,123

Kelompok KontrolSumber : Data Primer, 2012

Tabel 2. Analisis Perbedaan Pengetahuan Setelah Intervensi tentang IMD pada Kelompok Intervensi dan Kontrol di Kota Parepare Tahun 2012

Pengetahuan Setelah Intervensi nNilai Rata-rata

p

Kelompok Intervensi200 8,38 0,000

Kelompok KontrolSumber : Data Primer, 2012

Tabel 3. Analisis Perbedaan Sikap Sebelum Intervensi terhadap IMD pada Kelompok Intervensi dan Kontrol di Kota Parepare Tahun 2012

Sikap Sebelum Intervensi nNilai Rata-rata

p

Kelompok Intervensi200 30,40 0,000

Kelompok KontrolSumber : Data Primer, 2012

75 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 76: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Tabel 4. Analisis Perbedaan Sikap Setelah Intervensi terhadap IMD pada Kelompok Intervensi dan Kontrol di Kota Parepare Tahun 2012

Sikap Setelah Intervensi nNilai Rata-rata

p

Kelompok Intervensi200 32,04 0,000

Kelompok KontrolSumber : Data Primer, 2012

Tabel 5. Analisis Perbedaan Tindakan dalam IMD pada Kelompok Intervensi dan Kontrol di Kota Parepare Tahun 2012

Tindakan nNilai Rata-rata

p

Kelompok Intervensi200 3,05 0,000

Kelompok KontrolSumber : Data Primer, 2012

Tabel 6. Dampak Karakteristik Ibu, Media, dan Dukungan Keluarga Terhadap Pengetahuan tentang IMD di Kota Parepare Tahun 2012

Variabel B S.E. Beta t pKarakteristilk Ibu :

UmurPekerjaanPendidikan

Media (Pernah Terpapar Video IMD)

Dukungan Keluarga

-0,029-0,1010,161

1,089

-0,338

0,0770,1330,101

0,305

0,283

-0,037-0,0820,170

0,348

-0,117

-0,380-0,7581,592

3,572

-1,193

0,7050,4500,115

0,001

0,236Sumber : Data Primer, 2012

76 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 77: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Tabel 7. Dampak Karakteristik Ibu, Media, dan Dukungan Keluarga Terhadap Sikap tentang IMD di Kota Parepare Tahun 2012

Variabel B S.E. Beta t pKarakteristilk Ibu :

UmurPekerjaanPendidikan

Media (Pernah Terpapar Video IMD)

Dukungan Keluarga

0,4290,021-0,058

0,136

-1,439

0,2790,4840,366

1,107

1,028

0,1580,005-0,018

0,013

-0,146

1,5370,044-0,160

0,123

-1,400

0,1280,9650,874

0,903

0,165Sumber : Data Primer, 2012

Tabel 8. Dampak Karakteristik Ibu, Media, dan Dukungan Keluarga Terhadap Tindakan dalam IMD di Kota Parepare Tahun 2012

Variabel B S.E. Beta t pKarakteristilk Ibu :

UmurPekerjaanPendidikan

Media (Pernah Terpapar Video IMD)

Dukungan Keluarga

-0,0730,0780,302

-4,202

2,682

0,4220,7310,554

1,673

1,553

-0,0170,0120,060

-0,253

0,175

-0,1730,1070,546

-2,511

1,727

0,8630,9150,586

0,014

0,087Sumber : Data Primer, 2012

77 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 78: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

PENGARUH PENGGUNAAN MEDIA AUDIO VISUAL DALAM PENYULUHAN KESEHATAN TERHADAP PERUBAHAN PENGETAHUAN DAN SIKAP

TENTANG NAPZA DI SEKOLAH MENENGAH UMUM NEGERI 4 SAMARINDA

Edi1, Ridwan M. Thaha1, A.Arsunan Arsin2

1Bagian Promosi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, 2Bagian Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar.

AbstrakPenelitian ini bertujuan melihat bagaimana pengaruh media audio visual dalam penyuluhan

kesehatan terhadap peningkatan pengetahuan dan perubahan sikap positif tentang penyalahgunaan NAPZA pada siswa Sekolah Menengah Umum Negeri 4 Samarinda tahun 2012. Jenis penelitian ini adalah quasi eksperimental. Rancangan penelitian dengan prepost design dan untuk mengetahui efektivitas media digunakan uji t-test. Penelitian ini dilakukan di tiga Sekolah Menengah Umum/Kejuruan yaitu SMUN 4 Samarinda, SMK Pelayaran Samarinda, dan SMK Al-Khairiyah Samarinda yang dilakukan pada bulan Oktober hingga November 2012 dengan jumlah sampel 50 responden untuk tiap-tiap kelompok. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pada pengetahuan Kelompok A terdapat perbedaan rerata sebesar 9.2600 (p=0,00) dan lebih besar daripada Kelompok B yang sebesar 5.2000 (p=0,00). Dengan demikian secara statistik ada perbedaan yang signifikansi antara kegiatan intervensi penyuluhan kesehatan dengan menggunakan video dan tidak menggunakan media audio visual NAPZA untuk dapat memberikan pengaruh terhadap pengetahuan para responden tentang penyalahgunaan NAPZA. Sikap responden diketahui Kelompok A terdapat perbedaan rerata sebesar 9.04000 (p=0,00) dan lebih besar daripada Kelompok B yang sebesar 3,77925 (p=0,00). Dengan demikian, secara statistik ada perbedaan yang signifikan antara kegiatan intervensi penyuluhan kesehatan menggunakan video dengan tidak menggunakan media audio visual untuk dapat memberikan pengaruh terhadap sikap responden terhadap penyalahgunaan NAPZA.

Kata Kunci : Perubahan Pengetahuan dan Sikap, Media Audio Visual

AbstractThe purpose of this study is to find out the effect of using audio visual media in health

education on the increase of knowledge and positive attitude about drug abuse among the students of SMU Negeri 4 Samarinda in 2012. The research was conducted in three senior high schools (general and vocational) – including SMUN 4 Samarinda (Senior High School 4, Samarinda), SMK Pelayaran Samarinda (Samarinda Sailing Vocational School), and SMK Al-Khairiyah Samarinda (Al-Khairiyah Vocational School, Samarinda)- from October to November 2012 with 50 responden in each group. The quasi experimental study method was used with pre-post design, and t-test was used to determine the effectiveness of media. The results revealed that in terms of knowledge, group A had a mean value of 9.2600 (p=0,00), which was greater than group B (mean value = 5.2000; p = 0,00). In terms of attitude, the mean value of group A was 9.04000 (p = 0,00), which was higher than group B (mean value = 3.77925; p = 0,00). This means that, statistically, there as a significant difference between health education with and without audio-visual media.

Keywords: Drug, Knowledge and Attitude Change, Audio Visual Media

PENDAHULUAN

78 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 79: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

elah di estimasi sebesar 172 juta dan 250 juta orang di dunia menggunakan narkoba. Jenis narkoba yang umum digunakan oleh pengguna usia 15-64 tahun adalah amphetamine tipe stimulant (termasuk methampethamine 0. 4 – 1. 2 % dan methylenedioxy

methamphetamine (MDMA yang sering dikenal dengan nama “ekstasi”) 0.3-0.5 persen selanjutnya kokain 0.4 – 0.5 persen dan opiate 0.3-0.5 persen (INCB, 2009).

TSebuah laporan terkini dirilis oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) di

Wina pada Selasa (13/9). UNODC memposisikan NAPZA Stimulan Tipe Amfetamin atau Amphetamine-Type Stimulant (ATS) seperti ekstasi dan metamfetamin (shabu) sebagai NAPZA kedua terbanyak digunakan diseluruh dunia setelah ganja. Penelitian ATS Global tersebut menawarkan analisa terkini dan paling komprehensif tentang situasi NAPZA dunia. Ekspansi perdagangan NAPZA dan tingginya profit yang didapatkan dari transaksi kejahatan meningkatkan ancaman keamanan dan kesehatan di seluruh dunia (UNODC, 2011).

Di Indonesia masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba di berbagai wilayah Indonesia sudah merambah ke daerah-daerah, berdasarkan data dari banyaknya kasus Narkoba yang terjadi dan masih banyak yang belum diungkap semakin hari menunjukkan adanya peningkatan. Berdasarkan penggolongan Narkoba tahun 2006-2010 jumlah kasus narkotika mengalami peningkatan yang sangat tajam pada tahun 2010 yaitu sebesar 60,2% atau 6.699 kasus, sedangkan kasus psikotropika tahun 2010 mengalami penurunan yang sangat tajam yaitu sebesar 86,5% atau 7.598 kasus, hal ini disebabkan telah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, dimana Ekstasi dan shabu masuk ke golongan Narkotika yang sebelumnya masuk digolongan psikotropika (BNP Kaltim, 2011).

Kaltim sendiri masuk peringkat 5 pengguna narkoba terbesar di Indonesia setelah Jakarta, Surabaya, Medan, dan Bandung. Dan saat ini, Samarinda tercatat sebagai kota dengan kasus narkoba terbanyak di propinsi Kalimantan Timur (Diskominfo Kaltim, 2011). Hingga Juni 2011, pengguna NAPZA di Kaltim mencapai 51 ribu jiwa atau naik 3 ribu dari tahun 2010 lalu. Di Indonesia Kaltim menempati peringkat 5 terbesar pengguna NAPZA. Samarinda peringkat pertama yang mencapai 60 persen pengguna NAPZA, sedangkan Balikpapan peringkat kedua sekitar 20 persen lalu Kabupaten Kutai Kertanegara, Tarakan dan Nunukan (BNP Kaltim, 2011).

Hawari (2006), berpendapat bahwa kenakalan remaja yang saat ini sedang heboh adalah kenakalan remaja yang berupa penggunaan narkotika, alkohol dan zat adiktif lainnya, yang dalam istilah kriminologi disebut NAPZA. Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif adalah zat yang memiliki dampak terhadap syaraf manusia yang dapat menimbulkan sensasi atau perasaan-perasaan tertentu. Kartono (2003), mengungkapkan bahwa penyalahgunaan Narkotika, Alkohol dan Zat adiktif lainnya merupakan wujud dari bentuk kenakalan remaja. Edukasi dan sosialisasi ke sekolah-sekolah menengah umum dan sekolah menengah atas telah sering dilakukan namun angka penyalahgunaan di kalangan pelajar terus saja meningkat dari tahun ke tahun. Apa yang salah dengan edukasi dan sosialisasi ini. Apakah tehniknya yang salah ataukah metodenya yang kurang tepat.

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana pengaruh Media Audio Visual Dalam Penyuluhan Kesehatan Terhadap peningkatan pengetahuan dan perubahan sikap positif tentang penyalahgunaan NAPZA pada Siswa Sekolah Menengah Umum Negeri 4 Samarinda Tahun 2012.

BAHAN DAN METODELokasi dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan di tiga Sekolah Menengah Umum/Kejuruan yaitu SMUN 4 Samarinda (untuk responden dari kelompok eksprimen), SMK Pelayaran Samarinda (untuk responden dari kelompok kontrol 1), dan SMK Al-Khairiyah Samarinda (untuk kelompok kontrol 2). Rancangan penelitian dengan pre-post with control design untuk mengetahui pengaruh penggunaan media audio visual dalam penyuluhan kesehatan dengan menggunakan uji t-test.Populasi dan Sampel

79 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 80: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Populasi pada penelitian ini adalah siswa kelas X pada Sekolah Menengah Umum Negeri 4 Samarinda. L.R Gay dalam buku Educational Research menyatakan bahwa untuk riset deskriptif besar sampel 10% dari populasi, riset korelasi 30 subjek, riset kausal komparatif 30 subjek per kelompok dan riset eksperimental 50 subjek per kelompok. Dengan demikian jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 50 orang siswa untuk masing-masing kelompok responden, yaitu ; a) Kelompok eksperimen, yaitu kelompok kasus dengan kriteria sampel sebagai berikut: siswa Kelas X Sekolah Menengah Umum Negeri 4 Samarinda Tahun 2012, bersedia menjadi responden, diberi perlakuan berupa penyuluhan kesehatan tentang penyalahgunaan NAPZA dengan menggunakan audio visual berupa video pendidikan tentang NAPZA dari Badan Narkotika Nasional. b) Kelompok kontrol 1, yaitu kelompok dengan kriteria sampel sebagai berikut: siswa Kelas X Sekolah Menengah Kejuruan Pelayaran di Samarinda Tahun 2012, bersedia menjadi responden, diberi perlakuan berupa penyuluhan kesehatan tentang penyalahgunaan NAPZA tanpa menggunakan media audio visual berupa video pendidikan. c) Kelompok kontrol 2, yaitu kelompok dengan kriteria sampel sebagai berikut: siswa Kelas X Sekolah Menengah Kejuruan Al - Khairiyah Samarinda Tahun 2012, bersedia menjadi responden dan tidak diberikan perlakuan apapun.Metode Pengumpulan Data

Data diperoleh dengan memberikan kuisioner pre test yang berisikan pertanyaan tentang karakteristik responden, 30 pernyataan tentang pengetahuan dan 15 pertanyaan tentang sikap responden terhadap penyalahgunaan NAPZA. Kemudian : a) Bagi kelompok eksperimen dilakukan dua kali penyuluhan dengan menggunakan media audio visual berupa video tentang NAPZA dari Badan Narkotika Nasional selama satu bulan, dan selanjutnya dilakukan post test pada responden. b) Bagi kelompok kontrol 1, juga dilakukan dua kali penyuluhan biasa tanpa menggunakan media audio visual selama satu bulan dan selanjutnya dilakukan post test pada responden, dan c) Bagi kelompok kontrol 2, setelah pre test tidak dilakukan intervensi apapun selama satu bulan dan kemudian dilakukan post test pada responden. Namun demi menjaga tanggung jawab moral dan etika dalam meneliti, penyuluhan tetap dilakukan setelah post test dilakukan. Penyuluh kesehatan berjumlah satu orang dan merupakan orang yang kompeten di bidangnya serta juga menjadi Ketua Tim Penyuluh pada Badan Narkotika Nasional Kota Samarinda.Analisis Data

Data yang terkumpul diolah dan dianalisis dengan menggunakan SPSS dengan uji t-test secara univariat dan bivariat untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi atau besarnya proporsi dari variabel yang diteliti dan juga untuk mendapatkan adanya perbedaan petubahan pengetahuan dan sikap pada kelompok eksperimen (kelompok yang diberi penyuluhan dengan menggunakan media audio visual berupa video pendidikan dari BNN), pada kelompok kontrol 1 (kelompok yang diberi penyuluhan tanpa menggunakan media audio visual berupa video pendidikan dari BNN), serta kelompok kontrol 2 (kelompok yang tidak diberikan penyuluhan kesehatan).

HASILKarakteristik Responden

Tabel 1 menunjukkan bahwa distribusi berdasarkan usia responden ; terbanyak pada semua kelompok adalah responden yang berusia 15 tahun, yaitu 70 % pada kelompok eksperimen, 42 % pada kelompok kontrol 1, dan 52% pada kelompok kontrol 2. Berdasarkan jenis kelamin ; terbanyak perempuan (56%) pada kelompok eksperimen, laki-laki (92%) pada kelompok kontrol 1 dan wanita (100%) pada kelompok kontrol 2. Berdasarkan kebiasaan merokok ; terbanyak adalah responden yang tidak merokok pada semua kelompok yaitu 92 % pada kelompok eksperimen, 84 % pada kelompok kontrol 1 dan 94 % pada kelompok kontrol 2. Berdasarkan Keterpaparan Informasi Tentang NAPZA ; terbanyak pada semua kelompok adalah responden yang pernah mendapatkan informasi tentang NAPZA yaitu 72 % pada kelompok eksperimen, 60 % pada

80 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 81: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

kelompok kontrol 1, dan 100 % pada kelompok kontrol 2. Berdasarkan pengetahuan tentang NAPZA ; terbanyak pada semua kelompok responden adalah responden dengan pengetahuan yang baik yaitu 60 % pada kelompok eksperimen, 78 % pada kelompok kontrol 1, dan 64 % pada kelompok kontrol 2. Berdasarkan sikap responden terhadap penyalahgunaan NAPZA ; 100 % pada semua kelompok responden adalah responden yang memiliki sikap positif terhadap penyalahgunaan NAPZA.Analisis Bivariat

Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata pengetahuan responden sebelum dilakukan penyuluhan kesehatan dengan menggunakan Media Audio Visual NAPZA adalah 17.5200 dengan standar deviasi 5.91173 dan setelah dilakukan intervensi rata-rata pengetahuan responden adalah sebesar 26.7800 dengan standar deviasi 2.87345. Hasil uji statistik didapatkan nilai p sebesar 0.000, maka dapat disimpulkan pada α dengan nilai 5% terlihat adanya perbedaan pengetahuan yang signifikan responden sebelum dan sesudah kegiatan penyuluhan kesehatan dengan menggunakan Media Audio Visual NAPZA. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh penyuluhan dengan menggunakan media audio visual NAPZA terhadap peningkatan pengetahuan responden di SMA Negeri 4 Samarinda tahun 2012 dengan diperoleh nilai p value (0.00) < α 0.05.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pengetahuan responden sebelum dilakukan penyuluhan kesehatan tanpa Media Audio Visual NAPZA adalah 19.600 dengan standar deviasi 6.275975 dan setelah dilakukan intervensi rata-rata pengetahuan responden adalah sebesar 24.8000 dengan standar deviasi 4.86973. Hasil uji statistik didapatkan nilai p sebesar 0.000, maka dapat disimpulkan pada α dengan nilai 5% terlihat adanya perbedaan pengetahuan yang signifikan responden sebelum dan sesudah kegiatan penyuluhan kesehatan tanpa Media Audio Visual NAPZA. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh penyuluhan dengan menggunakan media audio visual NAPZA terhadap peningkatan pengetahuan responden di SMK Pelayaran Samarinda tahun 2012 dengan diperoleh nilai p value (0.00) < α 0.05.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pengetahuan responden adalah 17.5400 dengan standar deviasi 5.52623 dan 26.7800 dengan standar deviasi 2.87345. Hasil uji statistik didapatkan nilai p sebesar 0.378, maka dapat disimpulkan pada α dengan nilai 5% terlihat tidak adanya perbedaan pengetahuan pada kelompok kontrol 2. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan pengetahuan pada kelompok kontrol 2 di SMK Al-Khairiyah Samarinda.

Hasil penelitian diketahui bahwa ada perbedaan rerata pengetahuan responden sebelum dan sesudah diberikan kegiatan intervensi penyuluhan kesehatan dengan mengunakan media audio visual NAPZA dan pengetahuan responden sebelum dan sesudah diberikan kegiatan intervensi penyuluhan kesehatan dengan tanpa media audio visual NAPZA, Namun tidak ada perbedaan pengetahuan pada kelompok tanpa intervensi (perlakuan). Pada kelompok eksperimen terdapat perbedaan rerata sebesar 9.2600 ( p = 0.00) dan lebih besar daripada kelompok kontrol 1 yang sebesar 5.2000 ( p = 0.00). Dengan demikian secara statistik ada perbedaan yang signifikansi antara kegiatan intervensi penyuluhan kesehatan dengan menggunakan menggunakan video dan tidak menggunakan media audio visual NAPZA untuk dapat memberikan pengaruh terhadap pengetahuan para responden tentang penyalahgunaan NAPZA. Dari hasil di atas dapat diketahui bahwa penggunaan media audio visual pada penyuluhan kesehatan sangat berpengaruh dan memiliki kontribusi yang sangat positif dalam meningkatkan pengetahuan responden bila dibandingkan dengan penyuluhan kesehatan tanpa menggunakan media audio visual.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata sikap responden sebelum dilakukan penyuluhan kesehatan dengan menggunakan Media Audio Visual NAPZA adalah 62.7600 dengan standar deviasi 4.47469 dan setelah dilakukan intervensi rata-rata sikap responden adalah sebesar 71.800 dengan standar deviasi 4.57589. Hasil uji statistik didapatkan nilai p sebesar 0.000, maka dapat disimpulkan pada α dengan nilai 5% terlihat adanya perbedaan sikap yang signifikan responden sebelum dan sesudah kegiatan penyuluhan kesehatan dengan menggunakan Media

81 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 82: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Audio Visual NAPZA. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh penyuluhan dengan menggunakan media audio visual NAPZA terhadap peningkatan sikap responden di SMA Negeri 4 Samarinda tahun 2012 dengan diperoleh nilai p value (0.00) < α 0.05.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata sikap responden sebelum dilakukan penyuluhan kesehatan tanpa Media Audio Visual NAPZA adalah 61.2600 dengan standar deviasi 4.83591 dan setelah dilakukan intervensi rata-rata sikap responden adalah sebesar 65.0200 dengan standar deviasi 4.58253. Hasil uji statistik didapatkan nilai p sebesar 0.000, maka dapat disimpulkan pada α dengan nilai 5% terlihat adanya perbedaan sikap yang signifikan responden sebelum dan sesudah kegiatan penyuluhan kesehatan tanpa Media Audio Visual NAPZA. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh penyuluhan dengan menggunakan media audio visual NAPZA terhadap peningkatan sikap responden di SMK Pelayaran Samarinda tahun 2012 dengan diperoleh nilai p value (0.00) < α 0.05.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata sikap responden adalah 62.9800 dengan standar deviasi 5.69457 dan 61.9200 dengan standar deviasi 6.05027. Hasil uji statistik didapatkan nilai p sebesar 0.378, maka dapat disimpulkan pada α dengan nilai 5% terlihat tidak adanya perbedaan sikap pada kelompok kontrol. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan sikap pada Kelompok kontrol 2 di SMK Al-Khairiyah Samarinda.

PEMBAHASANSecara umum, pengetahuan responden tentang penyalahgunaan NAPZA sebagian besar

dalam kategori yang baik. Pada kelompok eksperimen sebanyak 30 orang (60%) memiliki pengetahuan yang baik, sedangkan pada kelompok kontrol 1 sebanyak 39 orang (78%) memiliki pengetahuan yang baik,dan sebanyak 28 orang (56%) memiliki pengetahuan yang baik.

Menurut Marines (1986) dikutib dari Nursalam(2003). Lingkungan adalah seluruh kondisi yang ada disekitar manusia. Dan pengaruhnya dapat mempengaruhi perkembangan dalam perilaku orang/kelompok. Lingkungan budaya dimana daerah perkotaan merupakan lokasi tempat tinggal responden yang memungkinkan berbagai media massa dan elektronik serta fasilitas kesehatan untuk menyebarluaskan informasi kepada masyarakat termasuk informasi tentang penyalahgunaan NAPZA.

Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan memberikan pengetahuan dan keterampilan profesional serta pengalaman belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang keperawatan (Jones dan Beck, 1996). Pengalaman responden pun turut mempengaruhi pengetahuan responden tentang NAPZA.

Metode pendidikan (pendekatan) massa untuk mengkomunikasikan pesan-pesan kesehatan yang ditujukan kepada masyarakat. Pendekatan ini biasanya digunakan untuk menggugah kesadaran masyarakat terhadap suatu inovasi yang berpengaruh terhadap perubahan perilaku. Biasanya menggunakan dan melalui media massa. Informasi yang diperoleh melalui media massa dan elektronik sebagai sumber informasi dan faktor utama yang membantu pemahaman tentang penyalahgunaan NAPZA.

Umur responden pun turut membantu responden dalam menerima berbagai informasi termasuk informasi tentang penyalahgunaan NAPZA. Pada hasil penelitian diketahui usia responden pada Kelompok eksperimen adalah sebagai berikut : responden yang berusia 14 tahun sebanyak 3 orang (6%), responden yang berusia 15 tahun sebanyak 35 orang (70%), responden yang berusia 16 tahun sebanyak 9 orang (18%), responden yang berusia 17 tahun sebanyak 2 orang (4%), responden yang berusia 18 tahun sebanyak 1 orang (2%). Usia responden pada kelompok kontrol 1 yaitu ; responden yang berusia 14 tahun sebanyak 4 orang (8%), responden yang berusia 15 tahun sebanyak 21 orang (42%), responden yang berusia 16 tahun sebanyak 18 orang (36%), responden yang berusia 17 tahun sebanyak 7 orang (14%). Dan usia responden pada kelompok kontrol 2 adalah sebagai berikut : responden yang berusia 14 tahun sebanyak 8 orang

82 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 83: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

(16%), responden yang berusia 15 tahun sebanyak 26 orang (52%), responden yang berusia 16 tahun sebanyak 12 orang (24%), responden yang berusia 17 tahun sebanyak 4 orang (8%)

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa ada perbedaan rerata pengetahuan responden sebelum dan sesudah diberikan kegiatan intervensi penyuluhan kesehatan dengan mengunakan media audio visual NAPZA dan pengetahuan responden sebelum dan sesudah diberikan kegiatan intervensi penyuluhan kesehatan dengan tanpa media audio visual NAPZA, namun tidak ada perbedaan pengetahuan pada kelompok tanpa intervensi (perlakuan). Pada kelompok eksperimen terdapat perbedaan rerata sebesar 9.2600 ( p = 0.00) dan lebih besar daripada kelompok kontrol 1 yang sebesar 5.2000 (p = 0.00). Dengan demikian secara statistik ada perbedaan yang signifikansi antara kegiatan intervensi penyuluhan kesehatan dengan menggunakan menggunakan video dan tidak menggunakan media audio visual NAPZA untuk dapat memberikan pengaruh terhadap pengetahuan para responden tentang penyalahgunaan NAPZA.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Kayanaya (2001) yang menyatakan bahwa pendidikan kesehatan dengan metode penyuluhan dan VCD tentang GAKI lebih meningkatkan pengetahuan dan sikap ibu dalam penggunaan garam beriodium di rumah tangga. Selain itu, penelitian ini juga mendukung penelitian Sriyono (1999) yang mengemukakan bahwa promosi kesehatan dengan ceramah mengunakan audio visual VCD lebih meningkatkan pengetahuan, sikap dam keterampilan kader posyandu dalam menemukan penderita TB Paru.

Peningkatan pengetahuan dan sikap pada penyuluhan dengan menggunakan media audio visual juga diperlihatkan pada penelitian Fitri Rosawani Argarini (2011) tentang pengaruh pendidikan kesehatan dengan media video terhadap peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku ibu dalam memberi asupan vitamin A pada balita di Desa Sumberjo Kabupaten Rembang Tahun 2010 menunjukkan bahwa ada perbedaan pengaruh antara pendidikan kesehatan dengan mengunakan media video dan tanpa menggunakan media terhadap peningkatan pengetahuan ibu tentang vitamin A dengan nilai p value sebesar 0.0001.

Dari hasil di atas dapat diketahui bahwa nilai presisi penyuluhan kesehatan dengan menggunakan media audio visual adalah 12 dan nilai presisi penyuluhan kesehatan tanpa menggunakan audio visual adalah 4. Dengan demikian penggunaan media audio visual pada penyuluhan kesehatan mempunyai pengaruh yang lebih tinggi dalam meningkatkan pengetahuan responden bila dibandingkan dengan responden yang mendapat penyuluhan kesehatan tanpa menggunakan media audio visual.

Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Pembentukan sikap dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya pengalaman pribadi, kebudayaan, orang yang berpengaruh, media massa, institusi pendidikan maupun lembaga agama. Dengan perkataan lain, sikap merupakan perubahan yang meniru perilaku orang lain karena orang lain tersebut dianggap sesuai dengan dirinya (Azwar, 2007). Pada sikap responden, diperoleh hasil penelitian bahwa seluruh responden pada kelompok eksperimen, kelompok kontrol 1 dan kelompok kontrol 2 memiliki sikap yang positif untuk menolak dan menghindari penyalahgunaan NAPZA. Dan berbagai faktor yang menunjang sikap yang positif terhadap penyalahgunaan NAPZA juga merupakan faktor-faktor yang menunjang pengetahuan yang baik pada responden yang meliputi usia, pengalaman, lingkungan, nilai budaya, media massa, dan juga pendidikan.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa ada perbedaan rerata sikap responden sebelum dan sesudah diberikan kegiatan intervensi penyuluhan kesehatan dengan mengunakan media audio visual NAPZA, sikap responden sebelum dan sesudah diberikan kegiatan intervensi penyuluhan kesehatan dengan tanpa media audio visual NAPZA. Pada kelompok eksperimen terdapat perbedaan rerata sebesar 9.04000(p = 0.00) dan lebih besar daripada kelompok kontrol 1 yang sebesar 3. 77925 (p = 0.00). dengan demikian secara statistik ada perbedaan yang signifikansi antara kegiatan intervensi penyuluhan kesehatan dengan menggunakan menggunakan video dan tidak menggunakan media audio visual NAPZA untuk dapat memberikan pengaruh terhadap sikap responden terhadap penyalahgunaan NAPZA.

83 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 84: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Pada penelitian dapat diketahui bahwa semua responden memiliki sikap positif terhadap penyalahgunaan NAPZA baik pada kelompok eksperimen, kelompok kontrol 1 dan kelompok kontrol 2. Hal ini didukung oleh data yang menunjukkan bahwa 36 orang pada kelompok eksperimen (72%), 30 orang pada kelompok kontrol 1 (60%), dan 50 orang pada kelompok kontrol 2 (100%) responden memperoleh pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dari orang lain tentang NAPZA. Kemudian setelah diberikan penyuluhan baik dengan menggunakan media audio visual ataupun tanpa media audio visual, terjadi perubahan nilai yang cukup signifikan pada kuesioner sikap. Hal ini sejalan dengan Azwar (2007) yang mengatakan bahwa pembentukan sikap dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya pengalaman pribadi, kebudayaan, orang yang berpengaruh, media massa, institusi pendidikan maupun lembaga agama. Dengan perkataan lain, sikap merupakan perubahan yang meniru perilaku orang lain karena orang lain tersebut dianggap sesuai dengan dirinya (Azwar, 2007).

KESIMPULAN DAN SARANPada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ; a) ada pengaruh penggunaan Media Audio

Visual tentang penyalahgunaan NAPZA terhadap Perubahan Pengetahuan dan Sikap tentang NAPZA di Sekolah Menengah Umum Negeri 4 Samarinda Tahun 2012. b) Terdapat perbedaan perubahan pengetahuan dan sikap tentang NAPZA antara kelompok yang diberi perlakukan penyuluhan kesehatan dengan menggunakan media audio visual dan pada kelompok yang diberi perlakukan penyuluhan kesehatan tanpa menggunakan media audio visual. Namun tidak ada perbedaan pada kelompok tanpa perlakuan. c) Penggunaan media audio visual dalam penyuluhan kesehatan sangat efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap siswa tentang NAPZA di Sekolah Menengah Umum Negeri 4 Samarinda Tahun 2012. Untuk itu ; Bagi Pemerintah Kota Samarinda, melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Kalimantan Timur ; a) Peningkatan berbagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan siswa didik mengenai penyalahgunaan NAPZA dengan menggunakan media audia visual agar meingkatkan kepedulian dan sikap siswa untuk mencegah dan menghindari penyalahgunaan NAPZA terutama dikalangan usia sekolah yang saat ini termasuk dalam usia penyalahgunaan NAPZA tertinggi di Indonesia. b) Peningkatan Program Promosi Kesehatan melalui sekolah-sekolah dan berbagai media yang dikemas menarik dalam bentuk-bentuk kegaitan yang lebih menarik seperti lomba cerdas cermat, mading, permainan-permainan, serta diskusi maupun seminar antar kelompok-kelompok pelajar guna mananamkan sejak dini mengenai sikap anti-NAPZA dikalangan para pelajar. c) Penyuluhuan tentang NAPZA hendaknya selalu menggunakan media audio visual mengingat kontribusinya yang besar dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang NAPZA dan sikap terhadap penyalahgunaan NAPZA. d) Hendaknya diberikan penyuluhan NAPZA sedikitnya dua kali dalam setahun guna mempertahankan dan meningkatkan pengetahuan tentang NAPZA dan sikap positif untuk menghindari penyalahgunaannya.

DAFTAR PUSTAKAAzwar. (2007). Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan. Pustaka Seminar, Jakarta.Badan Narkotika Propinsi Kalimantan Timur. (2011). Jurnal Data Pencegahan dan

Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN) Kaltim 2011. Diskominfo Kaltim. (2011). Ayo! Berantas dan Perangi Narkoba di Kaltim. Fitri Rosawani Argarini. (2011). Pengaruh pendidikan Kesehatan Dengan Media Video

Terhadap Peningkatan Pengetahuan, Sikap Dan Perilaku Ibu Dalam Memberi Asupan Vitamin A pada balita di Desa Sumberjo Kabupaten Rembang Tahun 2010.

Hawari, D. (2006). Penyalahgunaan dan ketergantungan NAZA (Narkotika, Alkohol, dan Zat Adiktif)“. Balai Penerbit Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia.

Jones, Rebecca A. Patronis, Beck, Sharon E. (1996). Decision Making in Nursing. Delmar Publisher, USA.

84 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 85: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Kanayana, A.A.G.R. (2001). Pengaruh Pendidikan Gizi tentang Garam Beryodium terhadap Pengetahuan, Sikap, dan Penggunaan Garam Beryodium Berkualitas di Daerah Gondok Endemik di Propinsi Bali. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Kartono, K. (2003). Patologi Sosial II, Kenakalan Remaja. CV. Rajawali, Jakarta.Nursalam. (2003). Konsep dan Perawatan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan

Professional. Salemba Medika, Jakarta.Sriyono. (2001). Pendidikan Kesehatan Melalui Metode Diskusi Kelompok Dan Ceramah

Menggunakan Audio Visual Untuk Meningkatkan, Pengetahuan, Sikap, Dan Ketrampilan Kader Posyandu Dalam Menemukan Tersangka Tuberculosis Paru. Thesis, Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30158/4/Chapter%20I.pdf

The Report of the International Narcotics Kontrol Board for 2009. (2009). http://www.incb.org/pdf/annual-report/2009/en/AR_09_English.pdf

http://www.unodc.org/documents/data-and-analysis/WDR2011/World_Drug_Report 2011_ebook.pdf

Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden di Kota Samarinda Kalimantan Timur

VariabelEksperimen Kontrol 1 Kontrol 2

n % n % n %

Usia

14 3 6 4 8 8 16

15 35 70 21 42 26 52

16 9 18 18 36 12 24

17 2 4 7 14 4 8

18 1 2 0 0 0 0

Jenis Kelamin

Laki-laki 22 44 46 92 0 0

Perempuan 28 56 4 8 50 100

Kebiasaan Merokok

Merokok 4 8 8 16 3 6

Tidak Merokok 46 92 42 84 47 94

Informasi NAPZA

Pernah 36 72 30 60 50 100

Tidak Pernah 14 28 20 40 0 0

Pengetahuan NAPZA

Baik 30 60 39 78 28 56

Kurang 20 40 11 22 22 44

Sikap Responden

Positif 50 100 50 100 50 100

Negatif 0 0 0 0 0 0

85 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 86: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Tabel 2. Distribusi Pengetahuan dan Sikap Responden tentang NAPZA

Variabel

Eksperimen Kontrol 1 Kontrol 2

Pre Post Pre Post Pre Post

n % n % n % n % n % n %

Pengetahuan NAPZA

Baik30 60 50 100 39 78

47 94 28 56

32 64

Kurang20 40 0 0 11 22 3 6 22 44

18 36

Sikap Responden

Positif50 100 50 100 50 100

50 100 50 100

50 100

Negatif 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Tabel 3. Hasil Uji Regresi Pengaruh Penggunaan Media Audio Visual Terhadap

Perubahan Pengetahuan dan Sikap Tentang NAPZA di Sekolah Menengah

Umum Negeri 4 Samarinda Tahun 2012    

KelompokMean Beda

P Value NPre Post Mean

Pengetahuan          

Eksperimen 17,5200 26,7800 9,2600 0,000 50

Kontrol 1 19,6000 24,8000 5,2000 0,000 50

Kontrol 2 17,8400 17,5400 -0,3000 0,387 50

Sikap

Eksperimen 62,7600 71,8000 9,0400 0,000 50

Kontrol 1 61,2600 65,0200 3,7600 0,000 50

Kontrol 2 62,9800 61,9200 -1,0600 0,070 50

86 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 87: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

UPAYA-UPAYA PENCEGAHAN DAN POLA PENCARIAN PELAYANAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) PEREMPUAN PEKERJA SEKS DI TEMPAT

PROSTITUSI BANDANG RAYA KOTA SAMARINDA

Hariyati,1 HM. Rusli Ngatimin,2 Sudirman Natsir 2

1Konsentrasi Promosi Kesehatan Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin2Konsentrasi Promosi Kesehatan Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin

ABSTRAKPerempuan Pekerja Seksual merupakan kelompok resiko tinggi tertular dan menularkan

IMS. Berdasarkan Laporan Bulanan Penderita Infeksi Menular Seksual pada wanita pekerja seksual di Puskesmas Pembantu Bandang Raya tahun 2011 mengalami peningkatan sebanyak 236 kasus dengan 303 orang penderita. Tujuan penelitian adalah menggali secara mendalam perilaku dan kepercayaan kesehatan wanita pekerja seks dalam pencegahan infeksi menular seksual.Penelitian ini berjenis studi kualitatif dengan rancangan penelitian studi kasus. Pemilihan informan penelitian dilakukan secara incidental. Informan dalam penelitian ini adalah wanita pekerja seksual, petugas kesehatan dan perwakilan mucikari.Hasil penelitian terhadap upaya pencegahan infeksi menular seksual menunjukkan bahwa penyebab IMS karena hubungan seks dan kotoran pada kelamin dan dapat dicegah dengan menggunakan kondom. Walaupun keseriusan dan manfaat yang dirasa baik namun dalam kenyataannya kerentanan terhadap kondisi kesehatannya masih kurang. Hambatan terhadap konsistensi penggunaan alat pelindung di pengaruhi oleh pelanggan. Faktor pendorong untuk bertindak berasal dari kesadaran sendiri, pengalaman dan penyuluhan.Saran perlu kerjasama lintas sektoral instansi kesehatan, masyarakat khususnya lembaga swadaya, dan perguruan tinggi untuk mengintervensi komunitas wanita pekerja seksual sehingga kasus infeksi menular seksual di Lokalisasi Bandang Raya dapat ditekan.

Kata Kunci : Wanita Pekerja Seks, Perilaku, dan Infeksi Menular Seksual

ABSTRACTFemale Sexual Workers are a group at high risk of contracting and transmitting STIs.

Based on the Monthly Report on Sexually Transmitted Infections Patients prostitute at the health center Bandang Kingdom in 2011 increased by 236 cases with 303 sufferers. The purpose of research is exploring in depth the behavior and health beliefs of female sex workers in the prevention of sexually transmitted infections.The research was a qualitative study of type design case study. Selection of studies conducted incidental informant. Informants in this study were female sex workers, health officials and representatives of the pimps.The study of the prevention of sexually transmitted infections suggests that the cause of STIs because of sex and dirt on the genitals and can be prevented by using condoms. Despite the seriousness and the perceived benefits of both, but in reality susceptibility to the condition of his health is still lacking. Barriers to consistent use of personal protective equipment is influenced by the customer. Motivating factor to act comes from his own consciousness, experience and education.Advice agencies need cooperation across the health sector, the public, especially non-governmental organizations, and

87 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 88: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

community colleges to intervene prostitute so that cases of sexually transmitted infections in the localization Bandang Kingdom can be suppressed.

Keywords: Female Sex Workers, Behavior, and Sexually Transmitted Infections

PENDAHULUANorld Health Organization (WHO) memperkirakan setiap tahun terdapat 350 juta penderita baru IMS di negara-negara berkembang di Afrika, Asia, Asia Tenggara, dan Amerika Latin. Di negara-negara berkembang infeksi dan komplikasi IMS adalah salah

satu dari lima alasan utama tingginya angka kesakitan. Dalam kaitannya dengan infeksi HIV-AIDS, United States Bureau of Census pada 1995 mengemukakan bahwa di daerah yang tinggi prevalensi IMS-nya, ternyata tinggi pula prevalensi HIV-AIDS dan banyak ditemukan perilaku seksual berisiko tinggi. Salah satu kelompok seksual yang berisiko tinggi terkena IMS adalah Perempuan Pekerja Seks (Sarwi, 2003).

W

Di Indonesia lokasi transaksi seks komersial terdapat hampir di setiap Kabupaten/Kota. Seks komersial ditandai dengan perilaku yang berisiko secara berganti-ganti pasangan, rendahnya penggunaan kondom pada transaksi seks, akses pada layanan kesehatan yang masih terbatas. Pekerja seks bekerja dalam berbagai macam bentuk. Mereka dapat bekerja di lokalisasi terdaftar di bawah pengawasan medis yang disebut sebagai WPS Langsung (direct sex workers) atau dapat juga sebagai WPS Tidak Langsung (indirect sex workers). WPS Tidak Langsung (indirect sex workers) mendapatkan klien dari jalan atau ketika bekerja di tempat-tempat hiburan seperti kelab malam, panti pijat, diskotik, cafe, tempat karaoke atau bar (Wong, et.al, 1999).

Berdasarkan laporan bulanan penderita yang berkunjung ke klinik IMS Program Pengobatan Berkala tahun 2010 Puskesmas Temindung merupakan salah satu Puskesmas yang mengalami peningkatan kasus dan penderita IMS di Samarinda. Dengan WPS merupakan kelompok yang berisiko tinggi IMS yaitu 605 kasus dan 339 orang penderita (Dinas Kesehatan Kota Samarinda, 2010).

Tempat Prostitusi Bandang Raya adalah salah satu Lokalisasi yang memiliki Klinik IMS atau disebut juga Puskesmas Pembantu Bandang Raya yang merupakan wilayah kerja Puskesmas Temindung Samarinda. Karena letaknya yang strategis dengan jaraknya yang dekat menyebabkan Lokalisasi ini mudah untuk dikunjungi, sehingga dapat dikatakan tempat ini berisiko terhadap penularan penyakit IMS. Berdasarkan Laporan Bulanan Penderita Infeksi Menular Seksual di Puskesmas Pembantu Bandang Raya tahun 2011 dari bulan januari sampai juni IMS mengalami peningkatan sebesar 1.219 kasus dengan penderita 1.168 orang pada kelompok perempuan. Dengan kelompok yang berisiko tinggi pada WPS sebanyak 236 kasus dan 303 orang penderita. Hal ini menunjukkan bahwa WPS merupakan salah satu kelompok berisiko tinggi yang rentan terhadap penularan IMS. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya pencegahan terhadap IMS pada WPS (Puskesmas Temindung, 2011). Tujuan Penelitian ini untuk menggali secara mendalam tentang perilaku perempuan pekerja seks dalam upaya-upaya pencegahan dan pola pencarian pelayanan IMS dikalangan perempuan pekerja seks di tempat prostitusi Bandang Raya tahun 2012. Teknik Pengumpulan Data dengan Wawancara, Focus Group Discussion dan Observasi.

METODE PENELITIANJenis Penelitian adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian yang bertujuan untuk

memperoleh informasi yang spesifik mengenai nilai, opini, perilaku dan konteks sosial menurut keterangan populasi. Rancangan penelitian adalah studi kasus (case study) yaitu studi yang mengeksplorasi suatu masalah dengan batasan yang terperinci, memiliki pengambilan data yang mendalam dan menyertakan berbagai sumber informasi (Saryono & Anggraeni, 2010).

88 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 89: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

HASIL PENELITIANDari kegiatan wawancara mendalam (Indepth Interview) yang dilakukan pada saat

penelitian, maka diperoleh hasil sebagai berikut :Pengetahuan wanita pekerja seks mengenai upaya pencegahan IMS

Pengetahuan mengenai cara pencegahan IMS, Pemakaian kondom saat berhubungan seksual, dinyatakan oleh Informan sebagai upaya pencegahan infeksi menular seksual. Selain itu, menggunakan antibiotic atau mengkonsumsi obat-obatan seperti ampicillin/ supertetra/ binotal juga dianggap perlu untuk membantu mencegah infeksi seperti pernyataan Informan dibawah ini :“ pake kondom, jaga kebersihan itu, kadang-kadang suntik, ampisilin, kebersihan harus dijaga pake ampisilin, supertetra atau apalah pokoknya antibiotiklah agar mencegah ”(WTT, Wisma MND) “ obat-obat, antibiotic itu aja ya kayak ampisilin, binotal. Beli mba, dari apotik, klu dari penyuluhan cuma dikasi kondom aja. Iya, selalu menjaga kesehatan ”(WFT, Wisma MND)

Praktik perempuan pekerja seks terhadap upaya pencegahan IMSYang dimaksud dengan praktik Informan terhadap upaya pencegahan IMS adalah tindakan

yang berhubungan dengan upaya yang dilakukan untuk pencegahan terhadap infeksi menular seksual oleh Informan.

Penggunaan alat pelindung dalam berhubungan seksual dengan klien, Semua Informan berusaha untuk menggunakan alat pelindung yaitu kondom selama melakukan hubungan seksual (intercourse) namun hanya beberapa orang saja yang tetap berupaya menggunakan kondom. Mereka menyadari bahwa dengan menggunakan kondom maka akan mencegah penularan IMS. “aku nanya dulu, pake kondom kah, ya sudah bisa pake aja katanya, kadang-kadang kalau udah kenal ya uda, kalau lama uda tau, klu yang baru aku ngga tau, ya dipaksa, ya uda klu ngga mau, ya uda, ya kadang-kadang ngga mau, ya uda klu ngga mau pake kondom, ya uda gapapa (g jadi) ”(WMI, Wisma BNT)

Tetapi tidak semua tamu yang Informan layani mau memakai kondom. Tidak jarang mereka pun kalah posisi dengan para tamu dan akhirnya melakukan hubungan seksual tanpa kondom. Selain itu ada juga Informan yang minum obat terlebih dahulu seperti supertetra, ampisilin atau pinotal sebelum melayani klien.“kadang-kadang tamunya ngga mau, ya terpaksa kita layani, ya ada tamunya sendiri yang, yang ngga kondom padahal mbanya sebenarnya lebih suka kondom kan lebih, lebih apa, lebih menjaga gitu na, kadang-kadang tamunya ngga mau. Ya, tergantung kitanya jaga kebersihan, klu lakinya jorok kita jorok waduh sudah, hahaaa…”(WTT, Wisma MND)

Cara memperoleh alat pelindung , Sebagian Informan mengakui mereka mendapatkan alat pelindung dengan gratis dari Puskesmas yang datang ke lokalisasi atau di klinik. Terkadang ada juga yang mendapatkan alat pelindung dengan membeli. Mereka pada umumnya selalu mempersiapkan kondom di dalam kamarnya jika habis mereka akan meminta di klinik atau membelinya lagi di eceran di lokalisasi.“ kemarin thu ada edaran dari anu thu juga dari puskesmas juga, itu dikasi waktu pengobatan thu na, presumtif thu, 4 bulan sekali kayaknya, itu stok klu kita ngga ngambil pasti dibagi-bagi, tapi gratis ”(WMN, Wisma GMB)

Kerentanan yang dirasa perempuan pekerja seks terhadap IMS

89 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 90: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Kerentanan yang dirasakan yaitu persepsi/pemahaman subyektif subjek penelitian menyangkut resiko dari kondisi kesehatannya terhadap IMS. Pemahaman tentang perempuan pekerja seks termasuk kelompok resiko tinggi IMS, Informan mengakui bahwa menjadi Wanita pekerja Seks beresiko terkena IMS. Sebenarnya ada juga yang sudah mau berhenti akan tetapi karena masalah ekonomi dan hutang sehingga mereka mau bekerja sebagai Informan. Seperti pernyataan dibawah ini:“ Mudah sekali. Karena kan sering gonta-ganti pasangan. Ada yang ngga mau pake kondom, kebanyakan tamu-tamukan ngga mau pake kondom kan”(WMA, Wisma CND)“ ya batin tersiksa mba tapi semua demi anak, kerja apa, sebenarnya mba ngga mau melakukan mau berhenti, tapi yang berhentikan ini modalnya apa gitu, ya memang keadaanlah yang bikin kita begini, sebenarnya ngga ada mba cewek atau perempuan batinnya tersiksa kayak gini, wis namanya liku-liku masa depan kan pasti, banyak aja ngga disini jugakan, ya, kadang-kadang tu orang menilai kita itu kotor sampah padahal kita ya sama-sama perasaan thu na “(WTT, Wisma MND)

Terdapat pula WPS yang menyatakan tidak berpikir terhadap peluang terkena IMS yang penting adalah mereka sehat dan bisa tetap mendapatkan uang. “ kadang ya berpikir kadang ya ngga, klu kita memang sehat kita ngga berpikir sampe kesitu. klu waktu kita sehat-sehat haha..yang penting uang hehee.. ”(WMN, Wisma GMB)

Keseriusan yang dirasa perempuan pekerja seks terhadap IMSKeseriusan yang dirasakan yaitu keyakinan subjek penelitian mengenai kegawatan terhadap

suatu penyakit dalam hal ini yaitu IMS. Tempat pengobatan yang dijangkau perempuan pekerja seks, Pelayanan kesehatan seperti pengobatan berkala menjadi salah satu tujuan perempuan pekerja seks apabila akan melakukan pengobatan. Untuk tempat selalu berpindah-pindah setiap bulannya sehingga koordinator lokalisasi akan memberikan surat kepada seluruh wisma yang datang agar mereka bisa hadir untuk berobat. “ wisma gunung sari itukan tempatnya berobatkan, ya disitu sering aku ikut (pengobatan berkala)”(WMI, Wisma BNT)“ga tentu juga kadang klu itu, apa itu tempat pengobatannya kadang pindah juga, diwisma apa, kadang pindah-pindah pokonya, itukan kebersamaan jadi kitakan harus datang, waktu ada apa, undangan itu datang. Ya, undangannya biasanya dikasi anu koordinatornya, adakan sini kayak itu lho dikasi lembaran pemberitahuan gitu lho, itukan ada petugasnya sendiri . itu yang periksa orang puskesmas juga, puskesmas temindung he’e, oo banyak ”(WMN, Wisma GMB)

Berobat atas anjuran orang lain atau kesadaran sendiri, Berdasarkan hasil wawancara mendalam informan melakukan pengobatan itu berasal dari kemauan sendiri. Mereka mengakui akan berobat jika mereka merasakan sesuatu yang terjadi pada tubuh mereka. “ ya anjuran sendirilah, kan kita sendiri mau jaga kesehatan sendiri ”(WFT, Wisma MND)

Manfaat dan rintangan-rintangan yang dirasa Perempuan pekerja seks dalam upaya pencegahan IMS

Manfaat dan rintangan-rintangan yang dirasa (Perceived Barriers) yaitu keuntungan dan hambatan yang dirasakan atau dialami oleh Perempuan pekerja seks dalam mencegah dan mengobati IMS

Sikap terhadap penggunaan kondom ketika berhubungan seksual, Berdasarkan hasil wawanvcara mendalam, Informan setuju terhadap penggunaan kondom ketika berhubungan.

90 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 91: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Mereka sadar terhadap penyakit yang dapat menyerang kapan saja ketika berhubungan seksual dengan pola berganti - ganti pasangan.

“ supaya sehat kita, ya tapi klu ngga mau ya ngga jadi gitu aja hehee..,orang kita jaga kok ”

(WFT, Wisma MND)“ kita ngga tau laki-laki itu punya apa-apakan (penyakit) ngga tau, kita dapat 200 terus

kena penyakit habis buat berobat ”(WMI, Wisma BNT)Pengertian mengenai manfaat dari pemakaian kondom, Berdasarkan wawancara mendalam

Informan mengatakan bahwa keuntungan pemakaian kondom pada saat berhubungan yaitu mencegah penyakit dan mencegah penularan penyakit dari laki-laki.

“ ya bagus untuk pencegahan itu…”(WMA, Wisma CND)“ ya supaya ngga sakit aja, supaya ngga tertular, menjaga kesehatan gitu aja ”(WFT, Wisma MND)

Pengertian mengenai kerugian dari pemakaian kondom, Informan menyatakan tidak ada kerugian dalam pemakaian kondom terhadap kesehatan mereka sendiri. Sedangkan sebagian menyatakan tidak ada keuntungan maupun kerugian dalam hal penggunaan kondom, yang penting kondisinya sehat .

“ ya ‘ya ruginya tamunya ngga mau ”(WTT, Wisma MND)“ ngga ada untung ngga ada rugi..sama aja, ngga juga gapapa yang penting orangnya

sehat, bersih ”(WMN, Wisma GMB)

Faktor pendorong untuk melakukan upaya pencegahan IMS, Faktor pendorong untuk bertindak (cues to action) yaitu media massa, nasehat dokter, dan lain-lain, memberikan pengaruh secara tidak langsung yang berkaitan dengan perilaku dalam upaya pencegahan dan pengobatan IMS.

Akses media informasi tentang IMS, Informan menyatakan bahwa informasi tentang IMS di dapatkan dari pengalaman penyakit yang pernah mereka dapatkan dan dari hasil pemeriksaan oleh dokter/klinik. Ada juga yang menyatakan bahwa mereka pernah mempelajarinya semasa duduk di bangku sekolah.seperti materi pelajaran IPA.

“ Pengalaman aja, cuma waktu sakit itu kedokter, oo ini infeksi ini ”(WMN, Wisma MND) “ ya dari kesehatan juga, iya, kan bukannya kesehatan itu, masalahnya itu apa, kami thu

pernah kena sakit itu nda. Cuma dulukan pernah metode pelajaran IPA, walaupun SD thu sudah dipelajari, kalau di Jawa itu mulai kelas 3 sampe kelas 6 sudah dipelajari ”

(WLS, Wisma MND)

Hasil ObservasiBerdasarkan hasil observasi yang dilakukan selama penelitian berlangsung di lokalisasi

Bandang Raya Samarinda. Dalam hal ini Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) melakukan kerjasama dengan Puskesmas Temindung dalam lebih sering melakukan pelaksanaan pengobatan berkala di Lokalisasi Bandang Raya.

Selain itu ada juga penjangkau dari LSM seperti BKKBN, LARAS biasanya terlebih dahulu lapor ke Puskesmas Temindung. LARAS merupakan LSM yang kadang melakukan pemeriksaan secret dan penyuluhan di lokalisasi Bandang Raya. Walaupun harapan coordinator lokalisasi LSM maupun instansi kesehatan ini dapat bergabung namun dalam perjalanannya terkadang jalan masing-masing tergantung program yang dilakukannya sehingga kurang kerjasama

91 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 92: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

dalam penanggulangan pencegahan IMS. Dalam upaya mendukung pelaksanaan kegiatan di Lokalisasi, oleh koordinator lokalisasi dilakukan kerjasama dengan pihak kepolisian dan dinas kesehatan Samarinda.

KPA merupakan bagian dari unsur pemerintah yang menjalankan fungsi koordinasi. Diantara tugasnya memfasilitasi dan koordinasi semua kegiatan oleh berbagai sektor, seperti polisi, pelayanan sosial, dan kesehatan melalui KPA di setiap jenjang, melakukan advokasi kepada para pengambil keputusan dalam pengembangan peraturan perundangan dan memberikan dukungan kepada lingkungan demi terlaksananya program pengendalian IMS.

Pelaksanaan untuk pengobatan berkala di tempat prostitusi Bandang Raya yang paling sering dilakukan baik oleh KPA satu bulan sekali maupun dari Puskesmas dua kali sebulan biasanya dilakukan di wisma-wisma secara bergantian agar dapat menjangkau kesadaran dan perhatian perempuan pekerja seks. Sehingga koordinator akan memberikan undangan yang berisi pengumuman pelakasanaan kegiatan pada seluruh wisma yang ada.

Berdasarkan hasil penelitian selama meneliti sering juga peneliti bertemu dengan perempuan pekerja seks yang mendatangi pelayanan kesehatan ada yang jalan kaki bersama teman-temannya dan ada juga yang diantar naik motor. Hal yang dilakukan seperti melakukan pemeriksaan terhadap kesehatannya, meminta KB ataupun suntik KB, ada juga yang melakukan pemeriksaan kehamilan biasanya petugas klinik memeriksanya namun untuk kelanjutan lebih disarankan ke Puskesmas pembantu solong atau Puskesmas temindung. Hal ini dikarenakan klinik IMS lebih kepada pelayanan IMS baik pemeriksaan, pengobatan, kondom maupun KB serta pemberian penyuluhan.

PEMBAHASANPenelitian ini memperlihatkan bahwa umur PPS pada penelitian ini di dominasi kelompok

umur 20 – 27 tahun yaitu sebanyak 6 orang. Untuk tingkat pendidikan PPS ada yang SD, SMP maupun SMA. Mayoritas status pernikahannya yaitu sudah bercerai dengan lamanya bekerja sebagai PPS paling lama 3 tahun. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa wanita yang berprofesi sebagai WPS adalah wanita yang tidak terikat oleh pernikahan sehingga ia harus menghidupi diri sendiri dan keluarga di sekitarnya. Mayoritas pekerja berasal dari pulau jawa yaitu Surabaya, Bondowoso, Lumajang maupun Madura.

Uraian berikut memberikan gambaran mengenai perilaku perempuan pekerja seks dalam pencegahan infeksi menular seksual di tempat prostitusi Bandang Raya Samarinda :

Perilaku KesehatanMenurut Green (2000), perilaku ditentukan oleh 3 faktor yaitu faktor predisposisi

(predidposing factors) yaitu faktor-faktor yang dapat mempermudah terjadinya suatu perilaku, faktor pendukung atau pemungkin (enabling factors) meliputi semua karakter lingkungan dan semua sumber daya atau fasilitas yang mendukung atau memungkinkan terjadinya suatu perilaku dan faktor pendorong atau penguat (reinforcing factors) yaitu faktor yang memperkuat terjadinya perilaku antara lain tokoh masyarakat, teman atau kelompok sebaya, peraturan, undang-undang, surat keputusan dari para pejabat pemerintahan daerah atau pusat (Ngatimin Rusli, 2005).

Pengetahuan WPS mengenai upaya pencegahan IMS, Pengetahuan merupakan domain yang penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Penerimaan seseorang terhadap suatu perilaku baru karena suatu rangsangan yang melalui proses kesadaran, merasa tertarik, menimbang, mencoba dan akhirnya subyek berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus. (Notoatmodjo, S. 2003)

Praktik WPS terhadap upaya pencegahan IMS, Dalam pembahasan ini akan dijelaskan mengenai tindakan yaitu tindakan perempuan pekerja seks berhubungan dengan upaya yang dilakukan untuk pencegahan dan pengobatan terhadap IMS, dalam hal ini penggunaan kondom sebelum melakukan hubungan seksual.

92 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 93: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Mereka menyadari bahwa dengan menggunakan kondom maka akan mencegah penularan IMS. Penggunaan kondom tidak hanya dapat mencegah kehamilan tetapi juga dapat mencegah IMS termasuk HIV/AIDS. Penggunaan kondom yang konsisiten (selalu menggunakan kondom dalam setiap hubungan seksual) merupakan perilaku yang efektif untuk mencegah penularan IMS.

Hal ini sejalan dengan pernyataan petugas klinik IMS bahwa hanya beberapa orang saja yang tetap berupaya menggunakan kondom. Karena tidak semua klien yang mereka layani mau memakai kondom seperti merasa tidak enak walaupun sudah diberi penjelasan bagaimana cara supaya pake kondom dengan usaha merayunya. Namun tidak jarang mereka pun kalah posisi dengan para klien dan akhirnya melakukan hubungan seksual tanpa kondom. Sehingga minum obat baik sebelum melakukan hubungan seksual menjadi hal yang biasa bagi WPS demi mencegah terjadinya infeksi menular seksual.

Salah satu faktor resiko tingginya penularan IMS adalah banyaknya pelanggan yang dilayani seorang perempuan pekerja seks. Makin besar pelanggan, makin besar kemungkinan tertular IMS. Sebaliknya jika Perempuan pekerja seks telah terinfeksi IMS maka makin banyak pelanggan yang mungkin tertular darinya. Di lain pihak, sedikitnya jumlah pelanggan dapat memperlemah kekuatan negoisasi perempuan pekerja seks untuk pemakain kondom, karena mereka takut kehilangan pelanggan (Jazan S, dkk, 2004). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Sarwi (2003) bahwa penggunaan kondom di Resosialisasi Argorejo sebesar 4,7%, hal ini dikarenakan posisi tawar PSK yang lemah sehingga ketidakberhasilan dipengaruhi oleh pelanggan. Kepercayaan Kesehatan

Apabila individu bertindak untuk melawan atau mengobati penyakitnya, ada 4 variabel kunci yang terlibat didalam tindakan tersebut, yakni kerentanan yang dirasakan terhadap suatu penyakit, keseriusan yang dirasakan, manfaat yang diterima dan rintangan yang dialami dalam tindakan melawan penyakitnya, dan hal-hal yang memotivasi tindakan tersebut. (Notoatmodjo, 2007).

Kerentanan yang dirasa perempuan pekerja seks terhadap IMS, Agar seseorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya, ia harus merasakan bahwa ia rentan (susceptibility) terhadap penyakit tersebut. Dengan kata lain, suatu tindakan pencegahan terhadap suatu penyakit akan timbul apabila seseorang telah merasakan bahwa ia atau keluarganya rentan terhadap penyakit tersebut. (Notoatmodjo, 2007).

Terdapat dua pemahaman perempuan pekerja seks yaitu yang menyatakan bahwa perempuan pekerja seks sebagai kelompok resiko tinggi dan yang menyatakan semua pekerjaan memiliki resiko tinggi. Berdasarkan hasil wawancara mendalam, didapatkan bahwa alasan informan utama memilih jalan hidupnya untuk menjadi perempuan pekerja seks adalah karena alasan ekonomi dan hutang, mereka membutuhkan uang untuk membiayai hidup anak dan keluarganya.

Namun dilain pihak beberapa wanita pekerja seks menikmati perannya sebagai wanita pekerja seks. Wanita pekerja seks dianggap sebagai pekerjaan yang menjanjikan karena dengan menjadi wanita pekerja seks, uang dapat dengan mudah diperoleh sehingga kebutuhan sehari-hari dapat terpenuhi, namun dibalik itu semua, wanita pekerja seks mengalami konflik dalam dirinya. Sehingga mereka tidak mengetahui/berpikir bahwa sebagai perempuan pekerja seks mudah terkena IMS karena menurut mereka itu semua tergantung dari orangnya sendiri.

Hal ini sejalan dengan teori konsep teori proteksi motivasi bahwa seseorang yang mempunyai persepsi yang baik mengenai kerentanan terkena penyakit, keparahan penyakit yang dideritanya dan memiliki respon efektif serta kemampuan diri yang baik untuk mengatasi atau mencegah suatu penyakit maka akan memiliki niat dan perilaku yang baik (Shaluhiyah, 2007).

Menurut hasil penelitian perempuan pekerja seks menyatakan bahwa hak mereka untuk menjaga diri dilakukan dengan bernegosiasi dengan klien tentang penggunaan kondom dan ada juga dengan cara minum obat-obtan, antibiotik antiseptik. Hal ini dilakukan untuk menjaga kesehatan mereka untuk melindungi diri dari tertularnya IMS.

93 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 94: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Perempuan pekerja seks berusaha menggunakan kondom pada saat berhubungan seksual. Adapula perempuan pekerja seks yang menyatakan tidak berpikir terhadap peluang terkena IMS yang penting adalah mereka sehat dan bisa tetap mendapatkan uang. Mereka mengakui memang bekerja seperti itu tetap ada resiko jika tidak dapat menjaga kesehatan. Tetapi hal itu tidak berpengaruh besar bagi mereka. Justru mereka merasa tidak suka atau mereka pikir akan berakibat buruk jika mereka tidak mendapatkan uang. Padahal mereka termasuk dalam kelompok resiko tinggi yang perlu diwaspadai. Mereka adalah kelompok yang sering sekali bergonta-ganti pasangan sehingga sangat memudahkan penularan IMS.

Keseriusan yang dirasa perempuan pekerja seks terhadap IMS, Tindakan individu untuk mencari pengobatan dan pencegahan penyakit akan didorong pula oleh keseriusan penyakit tersebut terhadap individu atau masyarakat. (Ngatimin Rusli, 2005)

Sebagian besar dari mereka memeriksakan diri ke Klinik IMS dan Pengobatan Presumtif Berkala yang di adakan di lokalisasi dengan tempat yang berpindah-pindah di setiap wisma. sehingga koordinator lokalisasi akan memberikan surat kepada seluruh wisma yang datang agar mereka bisa hadir untuk berobat. Bahkan ada yang pergi keluar periksa ke bidan yang ada di Puskesmas setempat.

Perempuan pekerja seks mengaku motivasi pergi untuk berobat atas keinginan sendiri karena untuk menjaga kesehatan mereka sendiri jika sakit, mereka sangat merasakan dampaknya secara pribadi. Biaya pengobatan gratis sehingga tidak begitu memberatkan bagi semua subjek yang diteliti. Walaupun gratis tidak semua dari mereka yang rutin melakukan pengobatan tapi hanya sebagian dari mereka yang merasa bahwa pengobatan ini untuk kepentingan mereka sendiri yang akan berakibat fatal bagi pekerjaannya jika keluhan yang dirasakan tidak segera diobati.

Rata-rata perempuan pekerja seks melihat IMS sebagai suatu penyakit yang menakutkan. Tetapi adapula yang mengatakan bahwa kalau mau berusaha maka segala penyakit akan dapat diobati. Secara umum mereka memang dapat melihat suatu masalah dalam diri mereka yaitu resiko terkena IMS. Mereka cukup tahu dengan perilaku mereka yang bergonta-ganti pasangan maka akan mempermudah IMS masuk ke dalam tubuh. Tetapi ada anggapan bahwa semuanya itu dapat dicegah dengan berbagai pengobatan yang sebenarnya merupakan mitos di dalam komunitas mereka.

Semua sikap perempuan pekerja seks membenarkan jika orang yang sering berganti-ganti pasangan mempunyai resiko lebih tinggi tertular IMS. Tetapi ada sebagian kecil dari perempuan pekerja seks yang mempunyai angapan bahwa seseorang yang dapat menjaga kebersihan alat kelamin dengan baik dapat membantu mengeluarkan kuman-kuman yang menurut mereka ada di dalam alat kelamin. Padahal anggapan tersebut merupakan salah satu mitos seputar IMS. Disamping itu meskipun mereka yang terkena penyakit kelamin tampak sehat dan bersih tetap saja bisa menularkan penyakit tersebut pada orang lain.

Pengobatan berkala di wisma adalah salah satu tempat yang mereka datangi untuk memeriksakan kesehatan secara rutin. Pengobatan berkala dilakukan satu bulan sekali bersama KPA dan dua bulan sekali oleh petugas dari puskesmas Temindung. Sebagian informan menyatakan tidak pergi jika memang tidak sangat memerlukan.

Manfaat dan penghalang yang dirasa perempuan pekerja seks dalam upaya pencegahan IMS, Berdasarkan teori Health Belief Model oleh Rosentock menyebutkan bahwa variabel manfaat dan rintangan mendorong individu serius dalam melakukan suatu tindakan tertentu. Tindakan ini akan tergantung pada manfaat yang dirasakan dan rintangan yang ditemukan dalam mengambil tindakan tersebut. Sehingga untuk meningkatkan pengetahuan tentang IMS tidak selalu memperhatikan pendidikan tetapi lebih ditekankan pada upaya memberikan kesadaran akan manfaat yang dirasakan.

Faktor pendorong untuk melakukan upaya pencegahan IMS, Untuk mendapatkan tingkat penerimaan yang benar tentang kerentanan, kegawatan dan keuntungan tindakan, maka diperlukan isyarat-isyarat yang berupa faktor-faktor eksternal. Faktor-faktor tersebut misalnya pesan-pesan

94 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 95: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

pada media massa, nasihat atau anjuran kawan-kawan atau anggota keluarga lain dari si sakit dan sebagainya. (Notoatmodjo, S. 2007)

Informasi dari teman sebenarnya membawa pengaruh yang lebih besar karena belajar dari pengalaman lebih efektif dari pada membaca. Mereka menanggapi secara positif akan kehadiran dari informasi tersebut. Manfaat yang mereka terima dari informasi yang mereka dapatkan cukup memuaskan mereka, dari yang tidak pernah atau tidak suka berobat menjadi mau berobat. Dari yang tidak tahu tentang sesuatu hal menjadi tahu akan sesuatu hal walaupun terkadang pengetahuan yang mereka miliki masih kurang tepat dan bercampur dengan mitos yang sebelumnya sudah dipegang.

Sesuai dengan penelitian Oktarina (2009), orang yang memiliki sumber informasi yang lebih banyak akan memiliki pengetahuan yang lebih luas pula. Salah satu sumber informasi yang berperan penting bagi pengetahuan adalah media massa. Pengetahuan masyarakat khususnya tentang kesehatan bisa didapat dari beberapa sumber antara lain media cetak, tulis, elektronik, pendidikan sekolah dan penyuluhan.

KESIMPULAN DAN SARANBerdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap Perempuan Pekerja Seks di tempat

prostitusi Bandang Raya Kota Samarinda dapat disimpulkan perilaku perempuan pekerja seks dalam pencegahan IMS dalam hal ini pengetahuan tentang IMS masih cukup rendah sedangkan tindakan (praktik) yang dilakukan adalah dengan menggunakan kondom. Kerentanan dan keseriusancukup dirasakan oleh PPS terhadap IMS sehingga mereka cukup menyadari manfaat kondom dalam menjaga diri dari penularan IMS.

Adapun saran, Bagi para perempuan pekerja seks di tempat prostitusi Bandang Raya Samarinda diharapkan dapat lebih meningkatkan perilaku pencegahan terhadap IMS dengan menggunakan kondom dengan benar dan melakukan pemeriksaan secara rutin pada pengobatan berkala, pengobatan berkala yang dilakukan oleh Puskesmas maupun KPA merupakan akses terdekat pelayanan kesehatan perempuan pekerja seks. Oleh karena itu ke depan dapat lebih meningkatkan pelayanan dan pembinaan kepada para WPS dengan lebih memperluas jaringan kerjasama misalnya bekerja sama dengan institusi pendidikan kesehatan (Kedokteran, Keperawatan dan Analis Kesehatan), institusi Pendidikan Kesehatan harapannya dapat memberikan perhatian pada kasus IMS yang menimpa para perempuan pekerja seks. Support mental dan sosial diperlukan oleh para perempuan pekerja seks disamping tambahan pengetahuan tentang IMS. Selain itu perguruan tinggi dapat membuat rancangan sebuah model penyuluhan efektif berupa iklan spot di tempat-tempat lokalisasi untuk segmentasi klien, perlunya dilakukan penelitian lanjut tentang hubungan antara perilaku perempuan pekerja seks terhadap kejadian IMS dengan mengangkat variabel lain seperti douching vaginal dan sosial ekonomi, bagi dinas kesahatan kota samarinda agar rutin melakukan kegiatan VCT pada daerah lokalisasi yang ada di kota Samarinda khususnya pada lokalisasi bandang raya, bagi dinas kesejahteraan sosial kota samarinda agar melakukan upaya pembinaan keterampilan bagi perempuan pekerja seks seperti salon kecantikan, kursus menjahit, Komputer dll agar mereka bisa meninggalkan pekerjaan sebagai PPS dan membuka usaha sendiri.

DAFTAR PUSTAKADaily,S.F. (2007).Tinajuan Penyakit Menular Seksual Dalam ilmu penyakit Kulit dan kelamin

edisi 3 Jakarta FK UIDinas Kesehatan Kota Samarinda.Laporan Program PengobatanBerkala (2010). Samarinda.Green L.W.,Kreuter M.W., (2000). Health Promotion Planning an Educationaland Environmental

Approach.Maylield Publishing Company.Widodo, Edy. (2008). Praktik Wanita Pekerja Seks (WPS) Dalam Pencegahan Penyakit Infeksi

Menular Seksual (IMS) Dan HIV&AIDS Di Lokalisasi Koplak, Kabupaten Grobogan. JurnalPromosi Kesehatan Indonesia, Vol. 4.

95 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Page 96: Daftar Isi Jurnal Ed.10

Jurnal Promosi KesehatanNUSANTARA INDONESIA

Lokollo, Yuliawati, Fitriana. (2009). Studi Kasus Perilaku Wanita Pekerja Seksual Tidak Langsung Dalam Pencegahan IMS, HIV dan Aids di Pub&Karaoke, Cafe dan Diskotek di Kota Semarang.Tesis Tidak Diterbitkan. Semarang : Program Studi Magister Promosi Kesehatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.

Notoatmodjo, Soekidjo. (2003). PendidikandanPerilakuKesehatan. Jakarta : PT. RinekaCipta. PuskesmasTemindung. Laporan Bulanan Penderita Infeksi Menular Seksual 2011. Samarinda.Saryono & Anggraeni, D. Mekar. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif Dalam Bidang

Kesehatan. Yogyakarta : Mulia Medika.Sarwi. (2003). Hubungan anatara pengetahuan, sikap dengan praktik pekerja seks komersial

(PSK) dalam pencegahan penyakit infeksi menular seksual (IMS) di Resosialisasi Argorejo kelurahan kalibanteng kulon kecamatan semarang barat kota Semarang. Skripsi Tidak Diterbitkan.Semarang : Program Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro.

Wong, ML., et.al. (1999).Sexually transmitted diseases and condom use among free-lance sex and brothel-based sex workers in Singapore. Singapore.

World Health Organization and UNAIDS. (2000). Guidelines for Second Generation Surveillance for HIV,The Next Decade. Geneva : World Health Organization.

96 Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012