DAFTAR ISI ..i ii HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI ... · 1.7.1 Teori Negara Hukum ... 1.7.4...
Transcript of DAFTAR ISI ..i ii HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI ... · 1.7.1 Teori Negara Hukum ... 1.7.4...
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN……………………………………………………..i
HALAMAN SAMPUL DALAM ……………………………………………….......ii
HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM ……………….....iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ……………………….iv
HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI …………………...v
KATA PENGANTAR ………………………………………………………….......vi
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN …………………………………………......x
DAFTAR ISI………………………………………………………………………...xi
ABSTRAK ……………………………………………………………………........xiv
ABSTRACT ………………………………………………………………………...xv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah………………………………………………1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………......6
1.3 Ruang Lingkup Masalah………………………………………………7
1.4 Orisinalitas Penelitian ………………………………………………...7
1.5 Tujuan Penelitian……………………………………………………...8
1.5.1 Tujuan Umum…………………………………………………8
1.5.2 Tujuan Khusus………………………………………………...8
1.6 Manfaat Penelitian………………………………………………….....9
1.6.1 Manfaat Teoritis…………………………………………….....9
1.6.2 Manfaat Praktis………………………………………………..9
1.7 Landasan Teoritis……………………………………………………...9
1.7.1 Teori Negara Hukum……………………………………….....9
1.7.2 Teori Hak Asasi Manusia……………………………………10
1.7.3 Teori Good Governance……………………………………..12
1.7.4 Teori Penegakan Hukum…………………………………….14
1.8 Metode Penelitian……………………………………………………18
1.8.1 Jenis Penelitian………………………………………………19
1.8.2 Jenis Pendekatan……………………………………………..19
1.8.3 Sumber Data…………………………………………………20
1.8.4 Teknik Pengumpulan Data…………………………………..21
1.8.5 Teknik Analisis……………………………………….….......24
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEGAKKAN HUKUM,
KEWENAAN DAN PEKERJA DISABILITAS
2.1 Penegakkan Hukum………………………………………………….24
2.1.1 Pengertian Penegakkan Hukum………………………………..24
2.1.2 Penegakkan Hukum Administrasi……………………………...26
2.2 Kewenangan.…..................……………………………………...…...28
2.2.1 Pengertian Kewenangan………………………………………..28
2.2.2 Kewenangan Pemerintah Daerah ……………………………...30
2.3 Tinjauan Umum Pekerja Disabilitas………………………………....34
2.3.1 Pengertian Pekerja dan Pekerja Disabilitas…………………….34
2.3.2 Klasifikasi Penyandang Disabili………………………….........36
BAB III PERANAN APARAT PEMERINTAH DALAM PERLINDUNGAN
DAN PEMENUHAN HAK PENYANDANG DISABILITAS SEBAGAI
TENAGA KERJA
3.1. Dasar Hukum Dan Aparat Yang Berwenang Dalam Penegakan
Hukum Terkait Perlindungan Dan Pemenuhan Hak Penyandang
Disabilitas Sebagai Tenaga Kerja……………………………………42
3.2. Efektivitas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2015
Tentang Perlindungan Dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
Sebagai Tenaga Kerja………………………………………………..46
3.2.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas suatu peraturan
hukum…………………………………………………………46
3.2.2 Faktor yang mempengaruhi penerapan peraturan daerah Provinsi
Bali Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perlindungan Dan
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Sebagai Tenaga
Kerja…………………………………………………..............49
BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN DALAM PENERIMAAN TENAGA
KERJA PENYANDANG DISABILITAS DI PROVINSI BALI
4.1 Hambatan Yang Dihadapi Pemerintah Dalam Perlindungan Dan
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Sebagai Tenaga
Kerja……………………….................................................................54
4.2 Upaya Yang Dilakukan Dalam Mengatasi Hambatan Yang
Dihadapi……………………………………………………………...59
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan…………………………………………………………….63
5.2 Saran…………………………………………………………………...64
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RESPONDEN
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RINGKASAN SKRIPSI
ABSTRAK
Penyandang disabilitas merupakan kelompok masyarakat yang beraragam,
diantaranya penyandang disabilitas yang mengalami disabilitas mental, disabilitas
fisik maupun gabungan dari disabilitas mental dan fisik. Kondisi penyandang
disabilitas tersebut mungkin hanya sedikit berdampak pada kemampuan untuk
berpartisipasi di tengah masyarakat, atau bahkan berdampak besar sehingga
memerlukan suatu dukungan dan bantuan dari orang lain. Selain itu penyandang
disabilitas menghadapi kesulitan yang lebih besar dibandingkan masyarakat non
disabilitas dikarenakan hambatan dalam mengakses layanan umum, seperti akses
dalam layanan pendidikan, kesehatan, maupun dalam hal ketenagakerjaan Untuk
hidup maju dan berkembang secara adil dan bermartabat serta dapat mencari
penghasilan penyandang disabilitas memiliki hak untuk mendapat pekerjaan. Dalam
hal ini maka diperlukannya peran pemerintah Provinsi Bali guna memperkerjakan
penyandang disibilitas dengan adanya ketentuan Peraturan Daerah Provinsi Bali
Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang
Disabilitas pemerintah berharap pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas dalam
ketenagakerjaan bisa terpenuhi.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah
metode penelitian yang bersifat empiris dengan mengkaji permasalahan dengan
metode pendekatan perundang-undangan dan pendekatan fakta berdasarkan data yang
diperoleh langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama dengan melalui
penelitian lapangan, yang dilakukan baik melalui pengamatan dan wawancara.
Adapun hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah peran Pemerintah
provinsi Bali dalam upaya pemenuhan hak penyandang disabilitas sebagai tenaga
kerja berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas belum dilaksanakan
secara mkasimal karena terkait penerimaan tenaga kerja belum berlaku secara efektif
karena terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas tersebut yaitu faktor
hukum, faktor penegak hukum, faktor masyarakat dan faktor budaya. Terdapat pula
hambatan dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2015 Tentang
Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas tersebut yaitu adanya
penerapan sanksinya belum dijalankan secara efektif, peraturan perlu disosialisasikan
kembali, kurangnya pemahaman perusahaan dan penyandang disabilitas terhadap
peraturan yang berlaku, perlu dilakukan pengawasan secara berkala terhadap
perusahaan yang tidak menerima penyandang disabilitas sebagai tenaga kerja.
Kata Kunci : Efektifitas Hukum, Penerimaan Tenaga Kerja, Penyandang
Disabilitas
ABSTRACT
Disabilities are diverse social groups including the disability has mental
disability, physical disability or a combination of both mental and physical
disabilities. Conditions of the disability may has few impacts on the ability to
participate in society, or even have a major impact, therefore the disabilities need
support and assistance from others. Besides that, the disabilities face greater
difficulties than non-disabled people due to barriers in accessing public services, such
as access to education, health services, and in terms of employment.
The disabilities have the right to get job for live and developing their life
fairly with dignity and can earn money. In this case, the role of the Bali provincial
government is important to employ the disabilities. The government hopes with Bali
Provincial Regulation Number 9 of 2015 Concerning the Protection and Fulfilling
Rights of Disabilities, the fulfilling rights of the disabilities in employment can be
met.
The method used in reseach is empirical methods which observe problems
with the method of approach to law and fact based on the data that directly obtained
from society as the first source through field research, conducted either through
observation and interviews.
The results obtained in this study is the role of government was in an effort to
fulfill the rights of persons with disabilities as workers under Bali Provincial
Regulation Number of 2015 Concerning the Protection and Fulfilling Rights of
Disabilities has not become effective because there are factors that influence the
effectiveness, such as legal factors, law enforcement factors, community factors and
cultural factors. There are also obstacles in Bali Provincial Regulation Number 9 of
2015 Concerning the Protection and Fulfilling Rights of Disabilities that is the
implementation of sanctions has not been implemented effectively, the rules need to
be re-socialized, lack of understanding of the company and the disabilities with
applicable regulations. It is necessary to supervise periodically against companies that
do not receive the disabilities as workers.
Keywords: Effectiveness Legal, Acceptance of Labor, Disability
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Istilah penyandang disabilitas di Indonesia memiliki beragam arti
.Kementerian Sosial menyebut penyandang disabilitas sebagai penyandang cacat,
Kementerian Pendidikan Nasional menyebut dengan istilah berkebutuhan khusus,
sedangkan Kementerian Kesehatan menyebut dengan istilah Penderita Cacat. 1
WHO mendefinisikan disabilitas dengan berbasis pada model sosial sebagai
berikut : 2
a. Impairment (kerusakan atau kelemahan) yaitu ketidaklengkapan atau
ketidaknormalan yang disertai akibatnya terhadap fungsi tertentu. Misalnya
kelumpuhan di bagian bawah tubuh disertai ketidakmampuan untuk
berjalan dengan kedua kaki.
b. Disability/handicap (cacat/ketidakmampuan) adalah kerugian/keterbatasan
dalam aktivitas tertentu sebagai akibat faktor-faktor sosial yang hanya
sedikit atau sama sekali tidak memperhitungkan orang-orang yang
1 Eko Riyadi,at.al, 2012, Vulnerable Groups: Kajian dan Mekanisme Perlindungannya,
PUSHAM UII, Yogyakarta, h. 293.
2 Coleridge Peter, 2007, Pembebasan dan Pembangunan, Perjuangan Penyandang Cacat di
Negara-Negara Berkembang, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h.132.
menyandang “kerusakan/kelemahan” tertentu dan karenanya mengeluarkan
orang-orang itu dari arus aktivitas sosial.
Pengertian lain disebutkan pula oleh The International Classification of
Functioning (ICF) yaitu “Disability as the outcome of the interaction between a
person with impairment and the environmental and attitudinal barriers s/he
may face”. Pengertian ini lebih menunjukkan disabilitas sebagai hasil dari
hubungan interaksi antara seseorang dengan penurunan kemampuan dengan
hambatan lingkungan dan sikap yang ditemui oleh orang tersebut. 3
Penyandang disabilitas mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang
sama dengan masyarakat pada umumnya atau non disabilitas. Sebagai bagian dari
warga negara Indonesia, sudah sepantasnya penyandang disabilitas mendapatkan
perlakuan khusus, yang dimaksudkan sebagai upaya perlindungan dari sesuatu yang
tidak dapat diduga terhadap berbagai tindakan diskriminasi dan terutama
perlindungan dari berbagai pelanggaran hak asasi manusia. Perlakuan khusus tersebut
dipandang sebagai upaya maksimalisasi penghormatan, pemajuan, perlindungan dan
pemenuhan hak asasi manusia universal.4
Penyandang disabilitas merupakan kelompok masyarakat yang beraragam,
diantaranya penyandang disabilitas yang mengalami disabilitas mental, disabilitas
3 UNESCO Bangkok, 2009, Teacing Children With Disabilities in Inclusive Settings,
UNESCO Bangkok, Bangkok, h.5.
4 Majda El Muhtaj, 2008, Dimensi‐Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 273.
fisik maupun gabungan dari disabilitas mental dan fisik. Kondisi penyandang
disabilitas tersebut mungkin hanya sedikit berdampak pada kemampuan untuk
berpartisipasi di tengah masyarakat, atau bahkan berdampak besar sehingga
memerlukan suatu dukungan dan bantuan dari orang lain.5Selain itu penyandang
disabilitas menghadapi kesulitan yang lebih besar dibandingkan masyarakat non
disabilitas dikarenakan hambatan dalam mengakses layanan umum, seperti akses
dalam layanan pendidikan, kesehatan, maupun dalam hal ketenagakerjaan.
Disabilitas seharusnya tidak menjadi halangan untuk memperoleh hak hidup
dan hak mempertahankan kehidupannya. Landasan konstitusional bagi perlindungan
penyandang disabilitas di Indonesia, dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 28 A UUD
1945, yakni : "Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup
dan kehidupannya". Hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling dasar bagi seluruh
manusia. Hak hidup merupakan bagian dari hak asasi yang memiliki sifat tidak dapat
ditawar lagi (non derogable rights). Hak hidup mutlak harus dimiliki setiap orang,
karena tanpa adanya hak untuk hidup, maka tidak ada hak-hak asasi lainnya. Secara
tegas Indonesia juga memiliki Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas yang memberikan landasan hukum secara tegas mengenai
kedudukan dan hak penyandang disabilitas. Dalam konsideran UU Penyandang Cacat
ditegaskan bahwa "Penyandang Disabilitas mempunyai kedudukan hukum dan
5 International Labour Office, 2006, Kaidah ILO tentang Pengelolaan Penyandang Cacat
di Tempat Kerja, ILO Publication, Jakarta, h. 3.
memiliki hak asasi manusia yang sama sebagai Warga Negara Indonesia dan sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari warga negara dan masyarakat Indonesia
merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, untuk hidup maju dan
berkembang secara adil dan bermartabat". Selain itu hak-hak fundamental berikut
kewajiban penyandang disabilitas juga ditegaskan dalam Pasal 41 Ayat 2 Undang-
Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), yang
menyebutkan bahwa : "Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita
hamil dan anak anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus". Begitu
pula dengan Pasal 42 UU HAM yang berbunyi : "Setiap warga negara yang berusia
lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan,
pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang
layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan
kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara". Dalam hal ini penyandang cacat seharusnya memiliki kedudukan, hak
dan kewajiban yang sama dengan warga negara non disabilitas.
Jumlah penyandang disabilitas khususnya di Provinsi Bali mencapai 19.640
orang, terdiri dari orang 10.679 laki-laki dan 8.961 orang perempuan. Data
peningkatan jumlah penyandang disabilitas ini berdasarkan data penyandang
disabilitas tahun 2015 di Dinas Sosial Provinsi Bali.
Penyandang disabilitas membutuhkan perhatian dari pemerintah, khususnya
dalam hal ketenagakerjaan perlu mendapat perhatian dari pemerintah karena
penyandang disabilitas dianggap tidak layak untuk melakukan suatu pekerjaan. Hal
ini dikarena penyandang disabilitas memiliki kekurangan yang dapat dilihat dalam
ketentuan pasal 4 ayat 1 UU No 8 Tahun 2016 tentang penyandang Disabilitas seperti
:
1. Penyandang Disabilitas fisik, yaitu terganggunya fungsi gerak, antara lain
amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, celebral palsy (CP), akibat stroke,
akibat kusta, dan orang kecil.
2. Penyandang Disabilitas intelektual, yaitu terganggunya fungsi pikir karena
tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain lambat belajar, disabilitas
grahita dan down syndrom.
3. Penyandang Disabilitas mental, yaitu terganggunya fungsi pikir, emosi, dan
perilaku, antara lain:
a. Psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan
gangguan kepribadian dan
b. Disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi
sosial di antaranya autis dan hiperaktif.
4. Penyandang Disabilitas sensorik, yaitu terganggunya salah satu fungsi dari panca
indera, antara lain disabilitas netra, disabilitas rungu, dan/atau disabilitas wicara.
Untuk hidup maju dan berkembang secara adil dan bermartabat serta
mencari penghasilan penyandang disabilitas memiliki hak untuk mendapat pekerjaan.
Dalam hal ini maka diperlukannya peran pemerintah Provinsi Bali guna
memperkerjakan penyandang disibilitas tersebut, dengan adanya ketentuan Peraturan
Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perlindungan dan Pemenuhan
Hak Penyandang Disabilitas mengenai penerimaan tenaga kerja, dapat dilihat dalam
ketentuan pasal 13 yakni:
“Setiap penyandang disabilitas mempunyai kesamaan hak dan kesempatan
untuk mendapatkan pekerjaan dan/melakukan pekerjaan yang layak sesuai
dengan jenis dan derajat kedisabilitas”.
Seperti yang telah diuraikan pada paragraf di atas, penyandang disabilitas
memiliki hak yang sama atau peluang bagi penyandang disabilitas dalam bidang
ketenagakerjaan tidak berbeda dengan nondisabilitas . Maka dari itu Perda ini perlu
diteliti lebih lanjut untuk mengetahui sudah efektif atau belum dan hal tersebut
menjadi suatu permasalahan yang dirasa penulis menarik untuk dibahas dan dijadikan
skripsi yang berjudul " PENERAPAN PERATURAN DAERAH PROVINSI
BALI NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN
PEMENUHAN HAK PENYANDANG DISABILITAS DALAM PENERIMAAN
TENAGA KERJA".
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, Penulis mengangkat beberapa
permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut. Adapun permasalahan tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana efektivitas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2015
Tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas dalam
penerimaan tenaga kerja penyandang disabiliitas di Provinsi Bali?
2. Hambatan apa saja yang terjadi terhadap penerimaan tenaga kerja penyandang
disabilitas di Provinsi Bali?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Dalam penulisan karya tulis yang bersifat ilmiah, perlu ditegaskan mengenai
materi yang diatur didalamnya.Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
menyimpangnya pembahasan materi dari pokok permasalahan yang telah dirumuskan
sebelumnya, sehingga dapat diuraikan secara sistematis. Adapun ruang lingkup
permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Dalam permasalahan pertama, ruang lingkup permasalahannya meliputi
pembahasan mengenai efektivitas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9
Tahun 2015 Tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang
Disabilitas terhadap penerimaan tenaga kerja penyandang disabilitas di Provinsi
Bali.
2. Dalam permasalahan kedua, ruang lingkup permasalahannya meliputi
pembahasan mengenai hambatan yang terjadi terhadap penerimaan tenaga kerja
penyandang disabilitas di Provinsi Bali.
1.4 Orisinalitas Penelitian
“Penerapan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2015 Tentang
Perlindungan Dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Dalam Penerimaan
Tenaga Kerja” ini sengaja penulis angkat menjadi judul penelitian. Judul ini
merupakan karya ilmiah yang sejauh ini belum pernah ditulis di lingkungan Fakultas
Hukum Universitas Udayana. Penulis menyusun penelitian ini berdasarkan referensi
buku-buku, peraturan perundang-undangan, media cetak dan media elektronik, juga
melalui bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, keaslian penelitian ini dapat
penulis pertanggung jawabkan.
1.5 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini
adalah sebagai berikut:
1.5.1 Tujuan umum
Adapun tujuan umum dalam penulisan skripsi ini, yaitu untuk mengetahui
efektivitas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2015 Tentang
Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas dalam penerimaan tenaga
kerja
1.5.2 Tujuan khusus
Adapun tujuan khusus penulisan skripsi ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui efektivitas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9
Tahun 2015 Tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang
Disabilitas terhadap penerimaan tenaga kerja penyandang disabilitas di
Provinsi Bali.
2. Untuk mengetahui hambatan yang terjadi terhadap penerimaan tenaga
kerja penyandang disabilitas di Provinsi Bali.
1.6 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut:
1.6.1 Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai
efektivitas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2015 Tentang
Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas terhadap penerimaan
tenaga kerja penyandang disabiliitas di Provinsi Bali.
1.6.2 Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi upaya untuk mengembangkan
wawasan dan pendewasaan cara berfikir serta meningkatkan daya nalar terhadap
masalah-masalah yang menyangkut Tenaga Kerja Penyandang disabilitas dari
prespektif hukum, sehingga diharapkan lebih aktif dan kritis dalam menyikapi
permasalahan-permasalahan yang berkenaan dengan hal tersebut.
1.7 Landasan Teoritis
Adapun landasan teori yang digunakan penulis dalam penyusunan skripsi ini
antara lain:
1.7.1 Teori Negara Hukum
Sesuai Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945, Indonesia adalah negara hukum,
dengan demikian, negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan
pengakuan terhadap hak – hak asasi seluruh warganegara termasuk orang-orang
disabilitas salah satunya ialah dalam hak atas pekerjaan.
Pengusaha memikul tanggungjawab utama dan secara moral pengusaha
mempunyai kewajiban untuk meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan tenaga
kerja,6 termasuk pekerja disabilitas.Perlindungan tenaga kerja ditujukan pada
perbaikan upah, syarat kerja, kondisi kerja dan hubungan kerja, keselamatan kerja,
jaminan sosial di dalam rangka perbaikan kesejahteraan tenaga kerja secara
menyeluruh.7
6 Imam Soepomo, 1987, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Djambatan, Jakarta,
h.81
7 G. Kartasapoetra, R.G Kartasapoetra, dan A.G Kartasapoetra,Op.cit, h.127
Pekerja disabilitas fisik memiliki hak, kewajiban, kesempatan, dan peran
yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagaimana
yang didapatkan oleh pekerja non disabilitas. Hal tersebut telah ditegaskan di dalam
Pasal 5 UU Ketenagakerjaan bahwa setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang
sama untuk memperoleh pekerjaan tanpa adanya suatu diskriminasi.
1.7.2 Teori Hak Asasi Manusia
Istilah hak asasi manusia merupakan terjemahan dari Droits de L’homme
(Perancis), Human Rights (Inggris), dan mensekelije rechten (Belanda). Di Indonesia,
hak asasi lebih dikenal dengan istilah hak-hak asasi atau juga dapat disebut sebagai
hak fundamental.8
Menurut Prof. Koentjoro Poerbapranoto, hak asasi adalah hak yang bersifat
asasi, artinya hak yang dimiliki oleh manusia secara kodrat dan tidak dapat
dipisahkan dari manusia itu sendiri sehingga sifatnya suci.9Sehingga dapat juga
dikatakan bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang dimiliki oleh
seseorang sebagai anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir.
Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 disebutkan
mengenai pengertian hak asasi manusia, bahwa :
8 Budiyanto, 2000, Dasar-Dasar Ilmu Tata Negara, Erlangga,Jakarta, h. 56.
9 Ibid, h. 58.
“Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan
keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, dan
merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia".
Dari bunyi undang-undang tersebut ditegaskan bahwa adanya kewajiban
dari setiap individu untuk menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban tersebut
dengan tegas dituangkan dalam undang-undang sebagai seperangkat kewajiban
sehingga apabila tidak dilaksanakan maka tidak mungkin akan terlaksana dan
tegaknya perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Undang-undang ini memandang kewajiban dasar manusia merupakan sisi
lain dari hak asasi manusia. Tanpa menjalankan kewajiban dasar manusia, adalah
tidak mungkin terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia, sehingga dalam
pelaksanaannya, hak asasi seseorang harus dibatasi oleh kewajiban untuk
menghormati hak asasi orang lain.
1.7.3 Teori Good Governance
Governance diartikan sebagai mekanisme, praktek dan tata cara
pemerintahan dan warga mengatur sumber daya serta memecahkan masalah-masalah
publik. Dalam konsep governance, pemerintah hanya menjadi salah satu aktor dan
tidak selalu menjadi aktor yang menentukan. Implikasi peran pemerintah sebagai
pembangunan maupun penyedia jasa layanan dan infrastruktur akan bergeser menjadi
bahan pendorong terciptanya lingkungan yang mampu memfasilitasi pihak lain di
komunitas. Governance menuntut redefinisi peran negara, dan itu berarti adanya
redefinisi pada peran warga. Adanya tuntutan yang lebih besar pada warga, antara
lain untuk memonitor akuntabilitas pemerintahan itu sendiri.10
Dalam United National Development Program (1997) mengemukakan
bahwa karakteristik atau prinsip-prinsip yang harus dianut dan dikembangkan dalam
praktek penyelenggaraan kepemerintahan yang baik meliputi 11
:
1. Partisipasi (Participation) : setiap orang atau setiap warga masyarakat, baik
laki-laki maupun perempuan harus memiliki hak suara yang sama dalam
proses pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui
lembaga perwakilan, sesuai dengan kepentingan dan aspirasi masing-
masing.
2. Aturan Hukum (Rule og Law): kerangka aturan hukum dan perundang-
undangan harus berkeadilan, ditegakan, dan dipatuhi secara utuh, terutama
aturan hukum tentang hak asasi manusia.
3. Transparansi (Transparency): Transparansi harus dibangun dalam kerangka
kebebasan aliran informasi .
10
Sumarto Hetifa Sj, 2003, Partisipasi dan Good Governance,Yayasan Obor Indonesia ,
Bandung, h.1
11 Srijanti , A Rahman HI dan Purwanto SK, 2009, Pendidikan kewarganegaraan untuk
Mahasiswa,Graha Ilmu,Yokyakarta, h. 220.
4. Daya tanggap (Responsiveness): setiap institusi dan prosesnya harus
diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan
(Stakeholders).
5. Berorientasi Konsensus (Consensus Orientation): pemerintah yang baik
(good govermance) akan bertindak sebagai penengah (mediator) bagi
berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau
kesepakatan yang terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak, dan jika
dimungkinkan juga dapat terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak,
dan jika dimungkinkan juga dapat diberlakukan terhadap berbagai
kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah.
6. Berkeadilan (Equity): pemerintah yang baik akan memberikan kesempatan
yang sama baik terhadap laki-laki maupun perempuan dalam upaya mereka
meningkatkan dan memelihara kualitas hidupnya.
7. Efektivitas dan Efesien (Effectiveness and Effciency): setiap proses kegiatan
dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar
sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya
berbagai sumber-sumber yang tersedia.
8. Akuntabilitas (Accountability): para pengambil keputusan dalam organisasi
sektor publik, swasta, dan masyarakiat madani memiliki pertanggung
jawaban (akuntabilitas) kepada publik ( masyarakat umum), sebagaimana
halnya kepada para pemilik kepentingan (stakeholders).
9. Visi Strategis (Strategic Vision): para pemimpin dan masyarakat memiliki
perspektif yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan
pemerintahan yang baik (good govermance) dan pembangunan manusia
(human development) bersamaan dengan dirasakannya kebutuhan untuk
pembangunan tersebut.
Dari keseluruhan prinsip-prinsip Good Govermance diatas memiliki
keterkaitan antara prinsip satu dengan prinsip lainya sehingga perlu adanya
keselarasan agar terciptanya pemerintahan yang baik.
1.7.4 Teori Penegakan Hukum
a. Teori Penegakan Hukum
Negara Republik Indonesia merupakan Negara Hukum sehingga dalam
penyelenggaraannya Negara harus dilandasi oleh hukum dan dapat dipertanggung
jawabkan secara hukum. Dalam negara hukum juga memperhatikan mengenai
kedaulatan hukum dalam penyelenggaraan pemerintahannya, namun tidak boleh
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan Pancasila.
Secara konsepsional, inti dan arti dari penegakan hukum terletak pada
kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah
yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai penjabaran nilai tahap
akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan
hidup.12
Menurut Soekanto inti dari penegakan hukum adalah keserasian hubungan
antara nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan berwujud
dengan perilaku sebagai rangkaian penjabaran nilai akhir untuk menciptakan,
memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Lebih lanjut dikatakan
bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan Perundang-
undangan, walaupun kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah demikian
Teori Efektivitas Hukum.13
Gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada ketidak
serasian antara “tritunggal” nilai, kaidah, dan pola perilaku. Gangguan tersebut terjadi
apabila terjadi ketidak serasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma di
dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur, dan pola perilaku tidak terarah yang
mengganggu kedamaian pergaulan.14
Berdasarkan uraian penjelasan-penjelasan tersebut diatas, masalah pokok
dalam penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin
mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral sehingga
12 Soerjono Soekanto, 2005, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja
Grafindo, Jakarta, h. 5
13
Ibid.
14 Ibid, h. 7.
dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor
tersebut antara lain:
1. Faktor hukumnya sendiri, yaitu faktor dari Undang-Undangnya
2. Faktor penegak hukum, yakni para pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.15
Apabila kelima faktor tersebut memiliki keterkaitan yang sangat erat, hal
tersebut dikarenakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari
efektivitas penegakan hukum.16
b. Teori Efektivitas Hukum
Soerjono Soekanto berpendapat bahwa hukum sebagai kaidah merupakan
patokan mengenai sikap tindak atau prilaku yang pantas. Metode berpikir yang
dipergunakan adalah metode deduktif-rasional, sehingga akan menimbulkan jalan
pikiran yang dogmatis. Disisi lain terdapat pandangan yang memandang bahwa
15 Ibid, h. 8.
16 Ibid, h. 9.
hukum sebagai sikap tindak atau perilaku yang teratur. Metode berpikir yang
digunakan adalah induktif-empiris, sehingga hukum itu dilihatnya sebagai tindak
pengulangan dalam bentuk yang sama dan mempunyai tujuan tertentu.
Efektivitas hukum artinya efektivitas hukum yang nantinya akan disoroti
dari tujuan yang ingin dicapai. Salah satu upaya yang biasanya dilakukan agar
masyarakat mematuhi kaidah hukum adalah dengan mencantumkan sanksi, karena
dalam sanksi tersebut maka dapat dilihat dapat atau tidaknya suatu hukum tersebut
diterapkan dan ditegakkan di dalam masyarakat. Efektivitas dapat diartikan sebagai
suatu proses pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Suatu usaha
atau kegiatan dapat dikatakan efektif apabila usaha atau kegiatan tersebut telah
mencapai tujuannya. Apabila tujuan yang dimaksud adalah tujuan suatu instansi,
maka proses pencapaian tujuan tersebut merupakan keberhasilan dalam
melaksanakan program atau kegiatan menurut wewenang, tugas dan fungsi instansi
tersebut.
Membicarakan tentang efektivitas hukum berarti membicarakan daya kerja
hukum itu dalam mengatur dan/atau memaksa masyarakat untuk mentaati hukum
tersebut. Hukum dapat dikatakan efektif jika faktor-faktor yang mempengaruhi
hukum tersebut dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya. Ukuruan dari efektif atau
tidaknya suatu Peraturan yang berlaku dapat dilihat dari perilaku masyarakat itu
sendiri. Suatu hukum atau Peraturan akan efektif apabila masyarakat berperilaku
sesuai dengan yang diharapkan atau dikehendaki oleh Peraturan tersebut, maka
efektivitas hukum atau Peraturan tersebut telah dicapai.
Teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono Soekanto relevan
dengan teori yang dikemukakkan oleh Romli Atmasasmita, yaitu bahwa faktor-fakor
yang menghambat efektivitas penegakan hukum tidak hanya terletak pada sikap
mental aparatur penegak hukum (hakim, jaksa, polisi dan penasihat hukum) akan
tetapi juga terletak pada faktor sosialisasi hukum yang sering diabaikan.17
1.8 Metode Penelitian
Metode penelitian adalah ilmu tentang metode-metode yang digunakan
dalam penelitian.Untuk membuktikan kebenaran ilmiah dari sebuah penelitian yang
dilaksanakan, dilakukan pengumpulan data dan fakta yang keseluruhannya
berhubungan erat dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian tersebut.
Kerangka pemikiran yang diperlukan di dalam penelitian hukum,
merupakan suatu paradigma mengenai pengertian-pengertian pokok atau pengertian-
pengertian dasar di dalam sistem hukum yang sifatnya universal.18
Penelitian dalam dunia perguruan tinggi merupakan bagian yang sangat
penting, vital, dan wajib dilakukan karena mengandung muatan akademis dan
17 Romli Atmasasmita, 2001, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & PenegakanHukum,
Mandar Maju, Bandung, h. 55.
18 Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir abad Ke-20,
Alumni, Bandung, h. 76.
pengabdian kepada masyarakat. Sebuah penelitian dapat membantu, memberi
masukan dan solusi dalam memecahkan problem yang sedang dihadapi oleh hukum
dan masyarakat. Secara akademik, penelitian merupakan bagian dari pengembangan
keilmuan. Sehinggga sebuah perguruan tinggi tanpa adanya program atau aktifitas
penelitian, maka patut dipertanyakan keberadaannya.19
Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini
menggunakan metode penelitian hukum empiris. Metode studi empiris merupakan
metode penelitian terhadap fakta empiris yang diperoleh berdasarkan observasi atau
pengalaman, objek yang diteliti lebih ditekankan pada kejadian sebenarnya daripada
persepsi orang mengenai kejadian.
1.8.1 Jenis penelitian
Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini
menggunakan metode penelitian studi empiris. Metode studi empiris merupakan
metode penelitian terhadap fakta empiris yang diperoleh berdasarkan observasi atau
pengalaman, objek yang diteliti lebih ditekankan pada kejadian sebenarnya daripada
persepsi orang mengenai kejadian.
1.8.2 Jenis pendekatan
19
Arief Furqan (tanpa tahun), Potret Penelitian Di PTAI: Harapan Dan Kenyataan,
Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, Departemen Agama Republik Indonesia, Jakarta, h.1.
Pendekatan penelitian yang digunakan oleh penulis dalam skripsi ini adalah
penelitian deskriptif. Etna Widodo dan Mukhtar menjelaskan penelitian deskriptif
sebagai berikut :
“Penelitian deskriptif kebanyakan lebih pada menggambarkan apa adanya suatu
gejala, variabel, atau keadaan. Namun demikian, tidak berarti semua penelitian
deskriptif tidak menggunakan hipotesis. Penggunaan hipotesis dalam penelitian
deskriptif bukan dimaksudkan untuk diuji melainkan bagaimana berusaha
menemukan sesuatu yang berarti sebagai alternatif dalam mengatasi masalah
penelitian melalui prosedur ilmiah.”
Melalui pendekatan deskriptif penulis dalam skripsi ini melakukan
penelitian dengan langsung tarjun ke lapangan dengan menguji suatu fakta yang
terjadi apa adanya.
1.8.3 Sumber data
Dalam metode penelitian ini, untuk memperoleh data yang lengkap penulis
menggunakan:
a. Data primer, yaitu sejumlah keterangan atau fakta yang diperoleh langsung
melalui penelitian lapangan atau berasal dari sumber yang pertama. Adapun
data primer yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu berupa observasi
dan wawancara.
b. Data sekunder, yaitu data-data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan
dokumen-dokumen yang terkait penelitian. Adapun bahan hukum sekunder
yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
3. Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan sosial.
5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
6. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: KEP-
205/MEN/1999 tentang Pelatihan Kerja Dan Penempatan Tenaga Kerja
Penyandang Cacat.
7. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2015 Tentang
Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Data
Dalam peneletian ini teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis
yaitu:
1. Studi Lapangan
Studi lapangan yaitu penelitian yang dilakukan secara langsung pada
lembaga atau perusahaan yang bersangkutan untuk memperoleh data primer yang
dibutuhkan dengan cara:
a. Observasi
Observasi merupakan teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data
dengan cara melakukan pengamatan secara langsung ke tempat yang dijadikan objek
penelitian. Agar observasi yang dilakukan oleh peneliti memperoleh hasil yang
maksimal, maka perlu dilengkapi format atau blangko pengamatan sebagai instrumen.
Dalam pelaksanaan observasi, peneliti bukan hanya sekedar mencatat, tetapi juga
harus mengadakan pertimbangan kemudian mengadakan penilaian ke dalam suatu
skala bertingkat.
Seorang peneliti harus melatih dirinya untuk melakukan pengamatan.
Banyak yang dapat kita amati di dunia sekitar kita dimanapun kita berada. Hasil
pengamatan dari masing-masing individu akan berbeda, disinilah diperlukan sikap
kepekaan calon peneliti tentang realitas diamati. Boleh jadi menurut orang lain
realitas yang kita amati, tidak memiliki nilai dalam kegiatan penelitian, akan tetapi
munurut kita hal tersebut adalah masalah yang perlu diteliti.
Observasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu observasi partisipasi dan
non-partisipan. Observasi partisipasi dilakukan apabila peneliti ikut terlibat secara
langsung, sehingga menjadi bagian dari kelompok yang diteliti. Sedangkan observasi
non partisipan adalah observasi yang dilakukan dimana peneliti tidak menyatu
dengan yang diteliti, peneliti hanya sekedar sebagai pengamat.
Menurut Nasution, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
melakukan observasi, antara lain:
1. Harus diketahu dimana observasi dapat dilakukan, apakah hanya ditempat-
tempat pada waktu tertentu atau terjadi diberbagai lokasi.
2. Harus ditentukan siapa-siapa sajakah yang dapat diobservasi, sehingga benar-
benar representative.
3. Harus diketahui dengan jelas data apa yang harus dikumpulkan sehingga
relevan dengan tujuan penelitian.
4. Harus diketahui bagaimana cara mengumpulkan data, terutama berkaitan
dengan izin pelaksanaan penelitian.
5. Harus diketahui tentang cara-cara bagaimana mencatat hasil observasi.
b. Wawancara
Wawancara merupakan proses komunikasi yang sangat menentukan dalam
proses penelitian. Dengan wawancara data yang diperoleh akan lebih mendalam,
karena mampu menggali pemikiran atau pendapat secara detail. Oleh karena itu
dalam pelaksanaan wawancara diperlukan ketrampilan dari seorang peneliti dalam
berkomunikasi dengan responden. Seorang peneliti harus memiliki ketrampilan
dalam mewawancarai, motivasi yang tinggi, dan rasa aman, artinya tidak ragu dan
takut dalam menyampaikan wawancara. Seorang peneliti juga harus bersikap netral,
sehingga responden tidak merasa ada tekanan psikis dalam memberikan jawaban
kepada peneliti.
Secara garis besar ada dua macam pedoman wawancara, yaitu:
1. Pedoman wawancara tidak terstruktur, yaitu pedoman wawancara yang hanya
memuat garis besar yang akan ditanyakan. Dalam hal ini perlu adanya kreativitas
pewawancara sangat diperlukan, bahkan pedoman wawancara model ini sangat
tergantung pada pewawancara.
2. Pedoman pewawancara terstruktur, yaitu pedoman wawancara yang disusun
secara terperinci sehingga menyerupai chek-list. Pewawancara hanya tinggal
memberi tanda v (check).
Dalam pelaksanaan penelitian dilapangan, wawancara biasanya wawancara
dilaksanakan dalam bentuk ”semi structured”. Dimana interviwer menanyakan
serentetan pertanyaan yang sudah terstruktur, kemudian satu persatu diperdalam
dalam menggali keterangan lebih lanjut. Dengan model wawancara seperti ini, maka
semua variabel yang ingin digali dalam penelitian akan dapat diperoleh secara
lengkap dan mendalam.
2. Studi Kepustakaan
Studi Kepustakaan yaitu mencari dan mengumpulkan bahan yang
berhubungan dengan masalah yang diteliti untuk memperoleh data sekunder dengan
membaca, mempelajari, dan mendalami literatur-literatur yang berhubungan dengan
masalah yang diteliti.
1.8.5 Teknik Analisis
Teknik analisis data dalam suatu penelitian merupakan hal yang penting
untuk menguraikan dan memecahkan masalah yang diteliti berdasarkan pada data-
data yang sudah dikumpulkan. Di tahapan ini, semua data yang telah terkumpul baik
dari studi dokumen maupun studi penelitian secara wawancara dan observasi akan
diolah serta akan dianalisis secara deskripsi kualitatif yaitu dengan menghubungkan
antara data yang ada yang berkaitan dengan pembahasan dan selanjutnya disajikan
secara deskriptif analisis. Yang dengan kata lain, artinya bahwa data yang telah
rampung akan dipaparkan disertai analisis sesuai dengan teori yang terdapat pada
buku literatur serta peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk nantinya
didapatkan kesimpulan sebagai akhir dari penulisan penelitian ini.