DA Indonesia

31
Pedoman Pengelolaan Dermatitis Atopik ABSTRAK Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit kulit eksem kambuhan yang kronis, ditandai dengan pruritus dan inflamasi, dan disertai dengan disfungsi fisiologi kulit (kulit kering dan barrier-nya terganggu). Sebagian besar pasien memiliki diathesis atopik. Pedoman standar untuk pengelolaan (diagnosis, klasifikasi keparahan, dan terapi) DA telah ditetapkan. Pada pedoman kami, perlunya pelatihan dermatologis ditekankan untuk menjamin keterampilan diagnostik dan untuk memungkinkan evaluasi keparahan DA. Diagnosis definitif DA memerlukan adanya tiga gambaran: (i) pruritus; (ii) morfologi dan distribusi yang khas; (iii) kronis dan kambuhan. Untuk klasifikasi keparahan DA, tiga elemen erupsi (eritema/papul akut, eksudasi/krusta dan papul kronik/nodul/likenifikasi) dievaluasi pada bagian yang paling parah terkena dampaknya dari 5 regio tubuh (kepala/leher, punggung anterior, tubuh anterior, tubuh posterior, tungkai atas, dan tungkai bawah). Area erupsi 5 regio tubuh juga dievaluasi, dan kedua skor dijumlah (maksimum 60 poin). Terapi standar untuk DA terdiri dari penggunaan kortikosteroid topikal dan salep tacrolimus

description

translate jurnal

Transcript of DA Indonesia

Page 1: DA Indonesia

Pedoman Pengelolaan Dermatitis Atopik

ABSTRAK

Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit kulit eksem kambuhan yang kronis,

ditandai dengan pruritus dan inflamasi, dan disertai dengan disfungsi fisiologi kulit

(kulit kering dan barrier-nya terganggu). Sebagian besar pasien memiliki diathesis

atopik. Pedoman standar untuk pengelolaan (diagnosis, klasifikasi keparahan, dan

terapi) DA telah ditetapkan. Pada pedoman kami, perlunya pelatihan dermatologis

ditekankan untuk menjamin keterampilan diagnostik dan untuk memungkinkan

evaluasi keparahan DA. Diagnosis definitif DA memerlukan adanya tiga gambaran:

(i) pruritus; (ii) morfologi dan distribusi yang khas; (iii) kronis dan kambuhan. Untuk

klasifikasi keparahan DA, tiga elemen erupsi (eritema/papul akut, eksudasi/krusta dan

papul kronik/nodul/likenifikasi) dievaluasi pada bagian yang paling parah terkena

dampaknya dari 5 regio tubuh (kepala/leher, punggung anterior, tubuh anterior, tubuh

posterior, tungkai atas, dan tungkai bawah). Area erupsi 5 regio tubuh juga

dievaluasi, dan kedua skor dijumlah (maksimum 60 poin). Terapi standar untuk DA

terdiri dari penggunaan kortikosteroid topikal dan salep tacrolimus sebagai terapi

utama untuk inflamasi, pemberian emolien topikal untuk mengobati disfungsi

fisiologi kulit, obat antihistamin dan antialergi sistemik sebagai terapi tambahan

untuk pruritus, menghindari faktor yang jelas memperburuk, konseling psikologis dan

nasehat mengenai kehidupan sehari-hari. Salep tacrolimus (0.1%) dan salep densitas

rendahnya (0.3%) tersedia untuk pasien dewasa dan pasien berusia 2 – 15 tahun,

masing-masing. Pentingnya pilihan kortikosteroid topikal yang tepat sesuai dengan

keparahan erupsi juga ditekankan. Selain itu, penggunaan siklosporin oral untuk DA

dewasa yang berat dan membandel disarankan.

Page 2: DA Indonesia

PENDAHULUAN

Dermatitis atopik (DA) ialah penyakit yang sering terjadi dalam pengelolaan

medis sehari-hari. Memerlukan penjelasan yang cukup terhadap pasien untuk

mencapai kepatuhan terapi medis. Pedoman pengobatan untuk DA telah

dipublikasikan di berbagai negara di dunia baru-baru ini. Seluruh pedoman

pengobatan tersebut didasarkan pada definisi penyakit dan sistem terapi yang sama.

DA adalah penyakit kulit inflamasi kambuhan yang kronis, disebabkan oleh

intervensi stimulasi non-spesifik atau allergen yang spesifik disertai dengan disfungsi

fisiologis kulit. Terapi standar untuk DA terdiri dari kortikosteroid topikal dan salep

tacrolimus sebagai terapi utama untuk inflamasi, pemberian emolien topikal untuk

mengobati disfungsi fisiologis, obat antihistamin dan antialergi sistemik sebagai

terapi tambahan untuk pruritus, dan menghindari fakto-faktor yang jelas

memperburuk. Kriteria diagnostik untuk DA oleh Japanese Dermatological

Association (JDA) dirumuskan pada tahun 1994, dan klasifikasi keparahan DA

dirumuskan pada tahun 2001 melalui laporan sementara tahun 1998. Pedoman JDA

untuk terapi DA pertama kali dirumuskan pada tahun 2000 dan direvisi pada tahun

2003 dan 2004. Pada tahun 2008, kami merumuskan pedoman baru untuk

pengelolaan DA, mengintegrasikan kriteria diagnostik, klasifikasi keparahan, dan

pedoman untuk terapi DA. Terapi baru (siklosporin oral) untuk DA telah

ditambahkan pada asuransi kesehatan Jepang, yang menyebabkan revisi. Pedoman ini

pada dasarnya dirancang untuk ahli dermatologi yang merawat pasien dari tahap

perawatan primer hingga tahap dimana spesialisasi tingkat tinggi diperlukan pada

terapi DA.

Pada survey cross-sectional multisenter nasional pasien kulit yang dilakukan

pada tahun 2007 oleh JDA, distribusi usia pasien dengan penyakit menunjukkan pola

bimodal dengan puncak insidensi pada usia 0 – 5 dan 21 – 25 tahun. Selain itu, pasien

berusia 46 tahun atau lebih tua terhitung 9.64%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa

pasien dari berbagai usia dikenakan pemeriksaan harian dan terapi. Disarankan untuk

menghormati kebijakan ahli dermatologi, mempertimbangkan keinginan pasien, dan

Page 3: DA Indonesia

memilih terapi yang paling tepat untuk setiap pasien dengan mengacu pada pedoman

ini.

PATOGENESIS

Dermatitis atopik ialah penyakit kulit eksem kambuhan yang kronis, ditandai

dengan pruritus dan inflamasi, dan disebabkan oleh intervensi berbagai stimulasi non-

spesifik dan alergen spesifik. Disertai dengan disfungsi fisiologis kulit dari kulit yang

kering dan barrier-nya terganggu akibat kelainan epidermis, terutama lapisan sel

tanduk. Sebagian besar pasien memiliki diathesis atopik, digambarkan dengan: (i)

riwayat pribadi atau keluarga (asma, rhinitis/konjunctivitis alergi, dan DA); dan/atau

(ii) kecenderungan produksi antibodi immunoglobulin (Ig)E berlebih.

Meskipun DA pada umumnya kronik dan kambuhan, remisi spontan dapat

diharapkan ketika gejala terkontrol dengan baik secara terus menerus dengan terapi

yang tepat.

DIAGNOSIS

Kriteria Diagnosis

Berdasarkan “Definisi dan kriteria diagnosis untuk DA” yang dibentuk oleh

JDA pada tahun 1994 (dan direvisi pada tahun 2008), diagnosis definitif DA

memerlukan adanya tiga gambaran: (i) pruritus; (ii) morfologi dan distribusi yang

khas; (iii) kronik dan kambuhan, tanpa mempertimbangkan tingkat keparahan. Kasus

yang tidak memenuhi kriteria harus dievaluasi berdasarkan usia dan perjalanan klinis

dengan diagnosis tentatif eksema non-spesifik, akut atau kronik. Terjemahan bahasa

Inggris kriteria diagnostik tersebut diterbitkan pada tahun 1995. Limfoma kulit,

psoriasis, penyakit defisiensi imun, penyakit kolagen (SLE, dermatomyositis) dan

sindrom Netherton telah ditambahkan sebagai kondisi eksklusi pada tahun 2008

(Tabel 1). Hal ini diperlukan untuk dapat membedakan kondisi eksklusi tersebut dan

memahami komplikasi yang signifikan dengan baik.

Page 4: DA Indonesia

Acuan

Kriteria diagnostik yang dibuat oleh Hanifin dan Rajka pada tahun 1980

sering digunakan di seluruh dunia. Salah satu perbedaan antara kriteria Hanifin dan

Rajka dan kriteria JDA ialah bahwa riwayat penyakit atopik pribadi atau keluarga

(asma, rhinitis/konjunctivitis alergi, dan DA) ditentukan sebagai gambaran dasar dan

sebagai alat bantu diagnostik. Namun, diathesis atopik jelas dibahas pada definisi DA

JDA (Tabel 1). Sebanyak 23 gambaran minor tercantum dalam kriteria Hanifin dan

Rajka ialah tanda-tanda DA dan sering diamati pada penyakit ini. Namun, frekuensi

perkembangannya bervariasi, dan ekspresi diskret digunakan untuk beberapa

gambaran; oleh karena itu, mereka dieksklusi dari kriteria diagnostik oleh JDA,

meskipun beberapa masih disarankan sebagai alat bantu diagnostik, tipe klinis atau

komplikasi yang signifikan (Tabel 1). Selanjutnya, “edisi ringkasan kriteria

diagnostik Hanifin & Rajka” dipublikasi pada tahun 2003.

Kriteria Diagnostik pada Pemeriksaan Kesehatan

“Definisi dan kriteria diagnostik untuk DA” oleh JDA dapat digunakan secara

rutin. Pada pemeriksaan kesehatan bayi, bagi yang reliabilitas gejala subyektif dan

jawaban mengenai klinisnya tidak dapat diharapkan, diagnosis dapat dilakukan

terutama dengan “morfologi dan distribusi yang khas”. Poin ini perlu lebih jelas

dibahas pada saat publikasi.

Acuan: Investigasi Nasional dengan Penyelidikan/Kuesioner

Kuesioner untuk diagnosis DA dikembangkan pada tahun 1994 oleh UK

Working Party, dan telah digunakan di seluruh dunia. Versi terjemahan bahasa

Jepang telah terbukti bermanfaat. Selanjutnya, berdasarkan kuesioner yang

dikembangkan oleh the International Study of Asthma and Allergies in Childhood

(ISAAC), survei epidemiologis global mengenai eksema, termasuk DA, telah

dilakukan secara periodik. Versi terjemahan bahasa Jepang digunakan untuk survei

epidemiologi.

Page 5: DA Indonesia

KLASIFIKASI KEPARAHAN

Klasifikasi Keparahan Bermanfaat untuk Percobaan Klinis

Reliabilitas dan kecukupan statistik klasifikasi keparahan DA yang

dikembangkan oleh komite penasihat klasifikasi keparahan DA dari JDA telah

diverifikasi, sehingga dapat digunakan untuk percobaan klinis (Gambar 1). Untuk

klasifikasi keparahan, tiga elemen erupsi (eritema/papul akut, eksudasi/krusta, dan

papul kronik/nodul/likenifikasi) dievaluasi di bagian yang paling parah terkena

dampak dari masing-masing 5 regio tubuh (kepala/leher, tubuh anterior, tubuh

posterior, tungkai atas, dan tungkai bawah). Area erupsi kelima region tubuh juga

dievaluasi, dan kedua skor ditotal (maksimum 60 poin) (Gambar 1). Metode

sederhana klasifikasi keparahan juga telah diusulkan oleh komite ini. Dalam metode

ini, seluruh tubuh dibagi menjadi 5 regio yang sama, keparahan dievaluasi secara

globa untuk setiap regio dan totalnya dihitung (maksimum 20 poin) (Gambar 2).

Acuan

Sebagai metode yang lebih sederhana dan lebih mudah, ukuran-ukuran lain

dari keparahan telah diusulkan oleh Kelompok Riset dari Departemen Kesehatan,

Tenaga Kerja dan Kesejahteraan (Tabel A1). Di dunia, the Severity Scoring of Atopic

Dermatitis (SCORAD) yang dibuat oleh the European Task Force on Atopic

Dermatitis (maksimum 103 poin) atau the Eczema Area and Severity Index (EASI)

yang dikembangkan oleh Kelompok Evaluator EASI (maksimum 72 poin) sering

digunakan.

Acuan: Klasifikasi Keparahan dengan Pertimbangan Klinis

Karena klasifikasi keparahan dengan pertimbangan klinis, sistem grading

keparahan DA yang dipublikasikan oleh Rajka dan Langeland sering digunakan.

Selain itu, pada kuesioner ISAAC yang disebutkan di atas, pertanyaan “dalam 12 jam

terakhir, seberapa sering, rata-rata, apakah Anda (anak Anda) terbangun di malam

Page 6: DA Indonesia

hari karena ruam gatal ini?”, mendiagnosis pasien sebagai parah ketika mereka

menjawab,”1 atau lebih malam per minggu”.

Acuan: Evaluasi Pruritus

Visual Analog Scale (VAS) bermanfaat untuk evaluasi pruritus. Dalam VAS,

pasien menempatkan tanda pada segmen 10 cm berdasarkan derajat pruritus. Pada

segmen, 0 di ujung kiri skala menunjukkan “tidak pruritus” dan 100 di ujung kanan

menunjukkan “pruritus terberat”. Jarak dari ujung kiri hingga poin yang ditandai

(mm) digunakan sebagai nilai skala untuk pruritus. Sebagaimana dijelaskan pada

SCORAD (dievaluasi dengan skala 0 – 10 pada SCORAD), VAS juga dapat

digunakan untuk kurang tidur. Tabel A2 menunjukkan kriteria evaluasi untuk derajat

pruritus dengan skor penilaian tingkah laku. Ini digunakan untuk percobaan klinis

dengan evidence level lebih dari 2.

Acuan: Evaluasi Kualitas Kehidupan (QOL/Quality of Life)

Skindex-16 dan the Dermatology Life Quality Index (DLQI) telah dianalisis

rinci secara statistik dan tersedia dalam terjemahan bahasa Jepang.

Acuan: Petanda Penyakit DA

Petanda penyakit DA yang mencerminkan tingkat keparahan atau aktivitas

penyakit meliputi hitung eosinofil darah tepi, IgE total serum, laktat dehidrogenase,

dan kadar TARC (Thymus and Activation-Regulated Chemokine). Sehubungan

dengan petanda jangka pendek, TARC telah terbukti mencerminkan aktivitas

penyakit yang lebih sensitive dibandingkan petanda laboratorium lainnya.

Keparahan Erupsi

Pemilihan terapi topikal, yang merupakan kunci pengobatan, harus ditentukan

pada setiap regio dengan “keparahan erupsi” (Tabel 2). Dengan kata lain, pemberian

topikal yang cukup intensif harus dipilih untuk erupsi berat bahkan ketika lesinya

Page 7: DA Indonesia

kecil, sementara di sisi lain, pemberian topikal intensif tidak perlu untuk erupsi ringan

bahkan ketika lesinya besar. Oleh karena itu, untuk pilihan terapi topikal, “keparahan

erupsi” merupakan aspek yang paling penting. Keparahan erupsi harus ditentukan

oleh dokter dengan kemampuan dermatologis yang cukup untuk memprediksi efek

terapi (Tabel 2).

TERAPI

Tujuan Terapi

Tujuan terapi ialah untuk membiarkan pasien mencapai status berikut:

1. Tidak terdapat gejala atau gejala minor, dan kehidupan harian pasien tidak

terganggu oleh penyakit. Selain itu, terapi obat tidak banyak dibutuhkan.

2. Bahkan jika gejala ringan, penyakit ini jarang menunjukkan eksaserbasi akut atau

intens; mereka tidak berlarut-larut, jika ada.

Terapi Obat

Dermatitis atopik merupakan penyakit plurikausal dengan faktor genetik

terkait dan tidak terdapat terapi obat yang dapat benar-benar menyembuhkan

penyakit. Oleh karena itu, terapi pada dasarnya berfokus pada mengurangi gejala-

gejala.

Terapi Topikal untuk Inflamasi

Saat ini, obat-obatan yang cukup dapat menenangkan inflamasi DA dan yang

efektivitas serta keamanannya terbukti secara ilmiah ialah salep kortikosteroid dan

tacrolimus (inhibitor kalsineurin topikal). Inhibitor kalsineurin topikal lainnya banyak

digunakan di tempat-tempat lain di dunia, krim primecrolimus, tidak tersedia di

asuransi kesehatan Jepang. Efek anti-inflamasi obat-obatan anti inflamasi non-steroid

(OAINS) sangat lemah, dan kadang-kadang menyebabkan dermatitis kontak; oleh

karena itu, mereka tidak cocok untuk pengobatan topikal DA.

Page 8: DA Indonesia

Tacrolimus ialah obat yang menghambat kalsineurin dan mengontrol

inflamasi dengan mekanisme yang berbeda dari kortikosteroid topikal. Terdapat 2

macam salep tacrolimus: 0.1% untuk dewasa dan 0.03% untuk anak. Salep tacrolimus

diakui sebagai obat yang sangat cocok untuk erupsi pada wajah dan leher. Namun,

salep tacrolimus berbeda dari kortikosteroid topikal dimana tidak dapat digunakan

untuk erosi dan ulkus, dan terdapat batas kekuatan efikasi obat. Obat ini didasarkan

pada penggunaan oleh dokter dengan keahlian dermatologis yang cukup untuk

memahami hal-hal penting seperti usia pasien, kontraindikasi dan pemberian yang

hati-hati.

Penting bagi sebuah terapi untuk mempertimbangkan bagaimana memilih dan

mengkombinasi kortikosteroid topikal dan salep tacrolimus yang telah banyak diteliti

sebagai obat-obatan topikal yang dapat menenangkan inflamasi kulit DA secara

konsisten dan segera. Pemberian berbagai macam kortikosteroid topikal pada sisi

kanan atau kiri masing-masing secara terpisah dapat efektif, sementara dapat

diberikan kortikosteroid topikal dan obat topikal jenis lain tanpa kortikosteroid pada

sisi kanan atau kiri secara terpisah, untuk menentukan obat yang efektif untuk pasien

tertentu.

Kortikosteroid Topikal

Peringkat kortikosteroid topikal (Tabel 3): Pada umumnya, efektivitas

kortikosteroid topikal dan angka kejadian efek samping topikal paralel satu sama

lain; oleh karena itu penting untuk memilih obat pada peringkat yang tepat untuk

“keparahan erupsi” tanpa perlu memilih kortikosteroid yang kuat (Tabel 2).

Sediaan kortikosteroid topikal: Sediaan seperti salep, krim, lotio, tape harus

dipilih sesuai dengan kondisi dan lokasi lesi kulit.

Waktu pemberian kortikosteroid topikal: Biasanya obat ini diberikan dua kali

sehari pada eksaserbasi akut (pagi dan sore/setelah mandi). Namun, saat

menggunakan kortikosteroid topikal dengan peringkat yang lebih rendah atau

mengganti dengan obat-obatan tanpa kortikosteroid, perlu untuk mengkonfirmasi

Page 9: DA Indonesia

bahwa tidak terdapat kekambuhan dengan merubah ke pola intermiten seperti

pemberian hari alternatif atau sehari sekali. Sehubungan dengan kortikosteroid

topikal pada peringkat yang lebih tinggi dan kelas kuat, tidak terdapat perbedaan

yang signifikan antara pemberian dua kali sehari dan pemberian sekali sehari pada

efek kuratif setelah 3 minggu (evidence level II: dengan 1 atau lebih RCT).

Mengingat fakta bahwa efek samping berkurang karena waktu pemberian

menurun, lebih baik untuk memberikan dua kali sehari pada eksaserbasi akut

untuk menenangkan inflamasi dengan cepat dan untuk memberikan sekali sehari

setelah perbaikan erupsi (rekomendasi grade A: sangat direkomendasikan untuk

dilakukan). Namun, saat menggunakan kortikosteroid topikal peringkat medium,

pemberian dua kali sehari lebih efektif dibandingkan pemberian sekali sehari

(evidence level II).

Jumlah pemberian kortikosteroid topikal: FTU (Finger-Tip Unit) merupakan

jumlah salep yang dikeluarkan dari tube dengan nozzle berdiameter 5 mm dan

diukur dari lipatan kulit distal ke ujung jari telunjuk (0.5 g); ini merupakan jumlah

yang cukup untuk pemberian terhadap 2 area tangan orang dewasa, yang kira-kira

2% area permukaan tubuh orang dewasa.

Hasil tes penggunaan kortikosteroid topikal yang lama dengan peringkat yang

sangat kuat telah mengungkapkan bahwa, jika terapi dimulai dengan 5 g atau 10 g per

hari, yang cukup untuk pasien dewasa biasa, sebagai jumlah awal (meskipun

tergantung pada area erupsi), dan jumlah tersebut diturunkan secara bertahap karena

gejala mereda, tidak terdapat efek samping sistemik yang ireversibel yang terjadi

selama 3 bulan penggunaan (meskipun penekanan fungsi adrenal sementara dan

reversibel mungkin terjadi. Sangat jarang untuk menggunakan kortikosteroid topikal

5 g atau 10 g sehari selama lebih dari 3 bulan. Namun, pada kasus tersebut, perlu

untuk memeriksa efek sistemik secara teratur dan mempertimbangkan kembali

pengobatan topikal yang sesuai bagi pasien yang terkena untuk mengurangi jumlah

kortikosteroid topikal. Bagi bayi dan anak-anak, terapi kortikosteroid topikal harus

Page 10: DA Indonesia

dimulai dengan volume yang dikonversi dari jumlah yang digunakan orang dewasa

berdasarkan berat badan mereka.

Penghentian pemberian: Saat kortikosteroid topikal dihentikan setelah inflamasi

berakhir, penting untuk menghentikannya secara bertahap sambil mengamati

gejala, misalnya, memberikannya secara intermiten bukan dengan

menghentikannya tiba-tiba. Namun, prinsip ini tidak berlaku jika efek samping

kortikosteroid topikal terjadi.

Bayi dan anak: Pada prinsipnya, saat erupsi berat atau sedang, kortikosteroid

topikal satu peringkat lebih rendah dari yang ditunjukkan pada Tabel 2 harus

digunakan. Namun, saat efek yang cukup tidak diperoleh, kortikosteroid topikal

dengan peringkat lebih tinggi harus digunakan di bawah pengawasan yang hati-

hati.

Wajah: Mengingat tingkat absorbsi obat yang tinggi pada wajah, kortikosteroid

topikal medium atau peringkat lemah harus digunakan pada prinsipnya. Bahkan

pada kasus tersebut, pemberian dua kali sehari harus dibatasi selama kurang lebih

1 minggu dan kemudian terapi harus diubah dengan pemberian intermiten.

Periode penghentian harus diatur untuk jenis pengobatan ini. Sebagian besar lesi

eritematosa wajah sering ditemukan pada pasien dewasa dalam beberapa tahun

terakhir disebabkan oleh faktor-faktor selain kortikosteroid topikal, termasuk

menggaruk. Namun, wajah merupakan regio yang perlu diwaspadai terhadap

terjadinya efek samping topikal; oleh karena itu, pemeriksaan yang cermat

diperlukan sebelum peresepan.

Selain itu, wajah merupakan regio dimana salep tacrolimus sangat dapat

menyesuaikan; oleh karena itu, akan lebih bermanfaat untuk secara aktif

mempertimbangkan menggunakannya sesuai dengan pedoman.

Kepatuhan: Karena ketidakpahaman mengenai kortikosteroid topikal (sebagian

besar kebingungan dengan efek samping kortikosteroid sistemik dan/atau

kebingungan antara eksaserbasi DA itu sendiri dan efek samping kortikosteroid

topikal), ketakutan dan penghindaran muncul karena kortikosteroid topikal dan

Page 11: DA Indonesia

penurunan kaptuhan sering terlihat. Untuk memperbaiki kesalahpahaman tersebut,

perlu mengambil cukup waktu untuk menjelaskan obat-obatan dan

menginstruksikan pasien mengenai penggunaannya. Hal ini mempengaruhi efek

pengobatan.

Efek samping kortikosteroid topikal: Dilaporkan bahwa jumlah harian yang dapat

menyebabkan penekanan fungsi adrenal ialah 10 g salep betamethasone valerat

0.12% (peringkat kuat) dalam tekhnik pembalutan oklusif dan 20 g sebagai

pemberian sederhana. Namun, sangat jarang untuk penggunaan jumlah besar

obat-obatan topikal secara kontinu pada perawatan medis sehari-hari. Jika

kortikosteroid topikal digunakan dengan benar, efek samping sistemik seperti

insufisiensi adrenal, diabetes mellitus dan moon face, semua yang disebabkan

oleh kortikosteroid sistemik, tidak akan terjadi dengan konsumsi normal. Di

antara efek samping topikal, acne steroid, steroid flushing, atrofi kulit,

hipertrikosis, dan infeksi kulit bakterial/jamur/virus kadang-kadang terjadi;

namun, pasien yang terkena pulih dengan penghentian atau terapi yang tepat.

Pigmentasi dapat muncul setelah penggunaan kortikosteroid topikal; namun, ini

adalah pigmentasi pasca-inflamasi dan bukan efek samping kortikosteroid topikal.

Dermatitis kontak alergi jarang dapat terjadi sebagai respon terhadap

kortikosteroid topikal; namun, juga perlu diwaspadai dermatitis kontak yang

disebabkan oleh sediaan atau aditif obat tersebut.

Salep Tacrolimus

Tacrolimus menekan fungsi limfosit T dengan mekanisme yang berbeda dari

kortikosteroid. Salep tacrolimus diharapkan dapat menunjukkan tingkat efektivitas

yang tinggi terhadap DA yang dulit diobati dengan kortikosteroid. Namun, efektivitas

obat tersebut tergantung pada absorbansi obat dan diperngaruhi oleh regio pemberian

dan kondisi fungsi barrier. Tidak dapat digunakan untuk bayi di bawah 2 tahun

karena keamanannya belum terbukti. Selain itu, tidak dapat digunakan pada wanita

hamil atau menyusui.

Page 12: DA Indonesia

Jumlah pemberian salep tacrolimus: Saat salep tacrolimus digunakan, jumlah

maksimum pemberian per penggunaan ialah 5 g salep 0.1% untuk dewasa, 1 g

salep 0.03% untuk anak-anak berusia 2 – 5 tahun (di bawah 20 kg BB), 2 – 4 g

untuk anak-anak berusia 6 – 12 tahun (>20 kg dan <50 kg) dan 5 g untuk anak-

anak berusia 13 tahun atau lebih tua (>50 kg). Selain itu, jumlah kali pemberian

terbatas dua kali sehari. Satu gram per penggunaan dapat diberikan pada 4 area

tangan orang dewasa. Saat ini digunakan di area yang luas, dokter perlu

menyarankan metode seperti menggunakan kortikosteroid topikal bersama-sama

sesuai dengan tingkat erupsi; namun, tidak dianjurkan untuk menerapkan

campuran salep tacrolimus dan kortikosteroid topikal, atau mengoleskan satu di

atas yang lain di lokasi yang sama pada waktu yang sama.

Metode pemberian salep tacrolimus: Obat ini sering menyebabkan gejala

stimulasi seperti sensasi terbakar sementara dan rasa panas pada regio yang

dioleskan. Namun, cenderung menghilang dengan remisi erupsi; oleh karena itu,

perlu untuk menjelaskan efek ini kepada pasien sebelumnya. Salep tacrolimus

cukup efektif pada wajah dan leher, yang menunjukkan absorbsi perkutan yang

baik. Ketika efek terapi seperti kortikosteroid topikal tidak memadai atau dokter

ragu-ragu untuk memberikan obat tersebut karena efek samping topikalnya, salep

tacrolimus dapat sering digunakan. Selain itu, efektivitas obat ini (0.1% untuk

dewasa) pada badan dan ekstremitas kurang lebih setara dengan kortikosteroid

topikal peringkat kuat (evidence level II). Saat ini digunakan pada regio dengan

erupsi berat yang memerlukan efek obat yang kuat, pada awalnya dianjurkan

untuk mencoba memperbaiki erupsi dengan kortikosteroid topikal peringkat

sangat kuat atau kuat dan kemudian beralih ke penggunaan salep tacrolimus. Pada

banyak kasus, konsumsi kortikosteroid topikal dapat dikurangi dengan

menggunakan obat ini dalam kombinasi. Jika perbaikan terlihat pada erupsi

dengan obat ini, jumlah obat per penggunaan harus diturunkan dengan tepat atau

interval pemberian harus diperpanjang.

Page 13: DA Indonesia

Bagi pasien dengan eritroderma iktiosiform (misal, sindrom Netherton), salep

tacrolimus tidak dapat digunakan, karena efek samping seperti gangguan ginjal dapat

berkembang karena absorbsi perkutan yang tinggi dan peningkatan resultan obat ini

dalam konsentrasi darah.

Penggunaan jangka panjang saleo tacrolimus, yaitu, selama lebih dari 3 tahun,

belum ditemukan menyebabkan efek samping sistemik yang serius. Meskipun kita

perlu memperhatikan stimulasi kulit sementara yang telah dilaporkan di sebagian

besar studi klinis, salep tacrolimus pada dasarnya dianggap sebagai obat yang aman.

Sejumlah laporan juga telah menunjukkan kurangnya hubungan antara paparan

terhadap tacrolimus topikal dan limfoma atau kanker kulit. Pedoman di AS dan Eropa

merekomendasikan penggunaan salep tacrolimus sebagai terapi pemeliharaan serta

terapi induksi. Studi terbaru melaporkan efektivitas terapi intermiten untuk

pencegahan rasa terbakar dengan dua atau tiga kali seminggu pemberian tacrolimus

pada DA yang stabil (terapi proaktif).

Terapi Topikal untuk Disfungsi Fisiologi Kulit/Perawatan Kulit

Untuk tujuan memperbaiki kulit kering dengan menurunkan fungsi barrier

dan mencegah kekambuhan inflamasi, perlu untuk merawat kulit dengan menerapkan

emolien/agen protektif topikal yang tidak mengandung kortikosteroid atau tacrolimus.

Dengan kata lain, perlu untuk menggunakan pelembab terus menerus bahkan untuk

erupsi kulit yang ringan. Bila hal ini diabaikan, inflamasi berulang dengan mudah dan

menyebabkan penurunan efektivitas kortikosteroid topikal dan salep tacrolimus.

Dilaporkan bahwa menerapkan pelembab (preparat heparinoid) dua kali sehari secara

signifikan mengurangi kekambuhan inflamasi DA dibandingkan dengan kelompok

kontrol yang tidak diobati (evidence level II, rekomendasi grade A). Standar untuk

menggunakannya dua kali sehari. Ketika dikonfirmasi tidak ada kekambuhan, terapi

harus diganti menjadi sekali sehari atau pemberian intermiten. Hal ini diperlukan

untuk mewaspadai terjadinya dermatitis kontak sebagai efek samping, yang harus

dibedakan dari kambuhnya DA. Jika kekambuhan DA terlihat selama terapi

Page 14: DA Indonesia

pemeliharaan dengan perawatan kulit, dokter harus kembali ke pengobatan dengan

kortikosteroid topikal atau salep tacrolimus di regio yang terkena untuk mencapai

sedasi awal sesuai dengan derajat inflamasi dan kemudian kembali ke terapi

pemeliharaan lagi.

Terapi Sistemik

Dermatitis atopik ditandai dengan pruritus sebagai gejala subyektif. Obat-

obatan dengan efek antihistamin (disebut juga antihistamin, antihistamin generasi

pertama, atau obat-obatan antialergi dengan efek antihistamin, antihistamin generasi

kedua) digunakan untuk tujuan menekan pruritus dan mencegah eksaserbasi akibat

garukan (Tabel 4). Telah dijelaskan bahwa tambahan antihistamin pada kortikosteroid

topikal mengurangi pruritus terkait DA (evidence level II). Selain itu, investigasi

skala besar telah mengungkapkan bahwa efek penekanan pruritus diperoleh dari

pemberian intermiten selama terapi pemeliharaan 12 minggu. Hal ini juga

menunjukkan bahwa antihistamin harus diklasifikasikan menjadi 3 kelompok – non-

sedatif, kurang sedatif, dan sedatif – berdasarkan analisis reseptor H1 histamin di otak

manusia (Tabel 5). Saat memperhatikan mengenai angka kejadian efek samping

seperti mengantuk dan kekusaman, dokter harus memilih antihistamin generasi kedua

non-sedatif atau kurang sedatif pada awalnya dan mempertimbangkan tambahan

pemberian antihistamin lain sambil mengamati efek samping dan efek penekanan

terhadap pruritus (Tabel 4). Efek seperti supresi pelepasan mediator kimiawi oleh

obat-obatan antialergi, termasuk antihistamin generasi kedua, telah diduga berfungsi

sebagai terapi pembantu untuk pengobatan topikal (Tabel 4), tetapi inflamasi DA

tidak dapat ditekan oleh obat antialergi saja.

Meskipun belum terdapat studi banding tersamar ganda, kortikosteroid

kadang-kadang diberikan per oral terhadap pasien DA berat sebagai terapi induksi

dan diketahui efektif berdasarkan pengalaman. Mengingat efek samping sistemik,

pemberian jangka panjang harus direkomendasikan.

Page 15: DA Indonesia

Siklosporin untuk terapi DA telah dijamin oleh asuransi kesehatan sejak

Oktober 2008 di Jepang. Siklosporin dapat diberikan per oral terhadap pasien dewasa

dengan DA berat dan membandel. Menurut pedoman, penggunaan siklosporin dapat

diulang secara intermiten, namun, perlu untuk menghentikannya dalam 3 bulan

pertama penggunaan awal (atau melanjutkan penggunaan). Untuk detailnya, lihat

“Pedoman penggunaan MEPC Siklosporin untuk Dermatitis Atopik” yang

dipublikasikan di tempat lain.

Pasien dengan DA cenderung mengalami komplikasi seperti infeksi bakteri

kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus atau Streptococcus hemolyticus dan

erupsi varicelliform Kaposi yang disebabkan oleh virus herpes simpleks. Jika pasien

diduga menderita infeksi tersebut selama terapi, antibiotik atau obat antiviral yang

tepat harus diberikan per oral dengan segera.

Dengan mempertimbangkan evidence-based medicine, sebagian besar laporan

mengenai pengobatan herbal untuk DA merupakan studi gabungan kasus dengan

puluhan kasus. “Percobaan acak, tersamar ganda, terkontrol plasebo” telah dilakukan

pada 4 studi “Zemaphite” atau “Hochu-ekki-to”. Meskipun efektivitas Zemaphite

telah dilaporkan, hasil negatif juga dilaporkan oleh kelompok lain. Dilaporkan bahwa

penggunaan tambahan Hochu-ekki-to dapat menurunkan dosis kortikosteroid topikal.

Secara keseluruhan, sejumlah studi termasuk pasien anak, di antaranya remisi spontan

harus dipertimbangkan. Oleh karena itu, tampaknya perlu untuk melakukan

pemeriksaan yang cermat dalam memilih kasus-kasus subyek yang sesuai, melakukan

studi skala besar, dan mengumpulkan hasil perbandingan acak tersamar ganda dari

berbagai fasilitas.

Menghindari Faktor-Faktor yang Memperburuk

Tujuan remedial dicapai dalam banyak kasus jika hubungan kepercayaan

dibangun antara pasien dan dokter dan terapi obat yang disebutkan di atas digunakan

secukupnya. Namun, faktor-faktor memperburuk yang khas pada masing-masing

pasien dalam kehidupan sosial dan sehari-hari terlihat pada banyak kasus; oleh karena

Page 16: DA Indonesia

itu, sangat penting untuk mendeteksi faktor-faktor yang memperburuk dan

menghindarinya. Respon terhadap alergen makanan dapat ditemukan pada bayi.

Setelah masa bayi, alergen lingkungan seperti tungau dan debu rumah cenderung

terlibat, dan alergen kontak termasuk obat topikal, dan stress mental dapat menjadi

faktor yang memperburuk untuk seluruh kelompok usia.

Dokter harus menentukan keterlibatan alergen setelah menyingkirkannya atau

menjalani tes alergi (jika mungkin) sambil mengacu riwayat medis dan hasil tes kulit

dan tes darah. Alergen tidak dapat ditentukan hanya dengan mengamati gejala klinis

atau hasil tes darah saja. Selain itu, harus dipahami bahwa bahkan ketika alergen

dapat diklarifikasi, DA adalah penyakit plurikausal, dan penyingkiran alergen

hanyalah terapi pembantu untuk terapi obat. Pasien tidak dapat sembuh hanya dengan

menggunakan terapi pembantu tersebut.

Pendekatan Psikosomatik

Pada beberapa kasus berat pasien dewasa dengan DA, stress psikososial

seperti hubungan manusia, tekanan pekerjaan, kekhawatiran mengenai karir dan

kecemasan mengenai kebebasan dapat terlibat. Pasien tersebut cenderung memiliki

perilaku kebiasaan menggaruk, yang dapat disebut “menggaruk yang adiktif” atau

“ketergantungan menggaruk”; perilaku ini memperburuk erupsi. Selain itu, beberapa

pasien anak DA cenderung memiliki perilaku kebiasaan menggaruk yang serupa

karena mereka merasa tidak dicintai. Dalam kasus tersebut, perlu untuk melakukan

perawatan baik fisik maupun mental. Selain itu, dalam beberapa kasus, perawatan

medis tim dengan psikiater diperlukan.

Saran Mengenai Kehidupan Sehari-hari/Komplikasi

Pada umumnya, saran mengenai kehidupan sehari-hari berikut berguna bagi

pasien DA:

Menjaga kulit bersih dengan mandi.

Page 17: DA Indonesia

Menjaga kamar bersih dan menciptakan lingkungan dengan suhu serta

kelembaban yang tepat.

Mengatur kehidupan sehari-hari dan menghindari minum/makan berlebihan.

Kenakan pakaian dengan sedikit stimulasi.

Potong kuku untuk menghindari kerusakan kulit dengan menggaruk.

Pada kasus dengan erupsi wajah berat, dokter harus membuat pasien berkonsultasi

dengan dokter mata secara teratur. Harus dicatat bahwa komplikasi okuler

(katarak, kerusakan retina, dan ablasi retina) tidak disebabkan oleh penggunaan

kortikosteroid topikal tetapi karena menggaruk dan menekan kulit di sekitar mata.

Infeksi kulit bakterial/fungi/virus muncul dengan mudah; oleh karena itu, perlu

untuk mempertahankan kondisi kulit yang baik.

Acuan: DA dan Katarak

Dokter harus memberikan perhatian khusus terhadap komplikasi okuler DA

seperti katarak dan ablasi retina. Komplikasi okuler cenderung terjadi pada kasus

dengan erupsi wajah berat yang terutama disebabkan karena bola mata ditekan secara

mekanis dengan menggaruk. Hubungan katarak dengan DA dilaporkan untuk pertama

kalinya pada tahun 1921. Pada tahun 1936, Brunsting mengklarifikasi bahwa katarak

remaja muncul pada sekitar 10% pasien DA. Katarak cenderung terjadi pada pasien

DA berusia 10 – 20 tahun; dalam banyak kasus, operasi mata diperlukan dan kadang-

kadang dapat menyebabkan kebutaan. Hubungan katarak dengan DA kadang-kadang

salah didiagnosis sebagai efek samping kortikosteroid topikal tanpa pertimbangan

yang cermat. Pada tahun 1952, kortikosteroid topikal pertama kali diperkenalkan

untuk terapi penyakit kulit. Prevalensi komplikasi katarak pada DA belum terlalu

meningkat sejak kortikosteroid topikal diperkenalkan; oleh karena itu, perlu untuk

mengobati katarak atopik sebagai penyakit yang benar-benar independen. Karena

katarak atopik berhubungan dengan keparahan erupsi wajah, maka perlu untuk

memperbaiki erupsi wajah sedini mungkin. Namun, kita juga perlu mengamati

Page 18: DA Indonesia

glaukoma yang disebabkan oleh penggunaan kortikosteroid topikal pada kelopak

mata.

Terapi Lain

Sehubungan dengan terapi non-standar lainnya, efektivitasnya hanya diklaim

pada beberapa fasilitas, dan sebagian besar efektivitasnya belum terbukti secara

ilmiah; oleh karena itu, penulis tidak memperkenalkannya pada pedoman ini, yang

menguraikan terapi dasar untuk DA. Selain itu, perlu memperhatikan gangguan

kesehatan yang dapat mereka sebabkan.

Terapi ultraviolet (UV) merupakan salah satu alternatif untuk DA. PUVA

(Psoralen and Ultraviolet A Therapy), terapi UV-A1, UV-B, NB UV-B (narrow-

band), UV-A plus UV-B, dan UV-A1 plus NB UV-B telah dilaporkan efektif untuk

DA. Di Jepang, terapi UV diduga efektif, terutama untuk pasien DA yang resisten

terhadap kortikosteroid topikal atau pasien dengan efek samping terhadap terapi

tradisional. Terdapat berbagai protokol seperti terapi UV yang dikombinasi dengan

kortikosteroid oral jangka panjang atau topikal. Setiap lembaga memiliki variasi

sendiri pada protokol untuk mencapai efek terapi yang lebih baik. Selain itu, terdapat

berbagai jenis aplikator terapi dan tabung fluorosen; oleh karena itu, perlu untuk

menggunakannya dengan hati-hati.

Meskipun beberapa pedoman di AS dan Eropa menganggap terapi UV

sebagai terapi lini kedua, masalah teknis membuat sulit untuk melakukan tes tersamar

ganda atau tes half-side untuk memperoleh bukti yang bagus. Terapi UV harus

dilakukan dengan hati-hati oleh ahli dermatologi yang sepenuhnya memahami

mekanisme dan tahu bagaimana menerapkannya pada pasien, dan bagaimana cara

mengatasi efek sampingnya.

Algoritma Terapi

Page 19: DA Indonesia

Akhirnya, algoritma terapi DA ditunjukkan pada Figure 3. Penting untuk

mengkombinasi terapi yang tepat mengingat kondisi kulit pasien setelah diagnosis

definitif dan penilaian keparahan.

Levels of Evidence dan Grade of Recommendation

Evidence level dan grade rekomendasi yang disebutkan pada pedoman ini

ditentukan dengan “Kriteria untuk Levels of Evidence dan Grade of

Recommendation” (Tabel 6) yang ditetapkan oleh The Skin Cancer Group.