DA Indonesia
-
Upload
dewirosita33 -
Category
Documents
-
view
6 -
download
0
description
Transcript of DA Indonesia
Pedoman Pengelolaan Dermatitis Atopik
ABSTRAK
Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit kulit eksem kambuhan yang kronis,
ditandai dengan pruritus dan inflamasi, dan disertai dengan disfungsi fisiologi kulit
(kulit kering dan barrier-nya terganggu). Sebagian besar pasien memiliki diathesis
atopik. Pedoman standar untuk pengelolaan (diagnosis, klasifikasi keparahan, dan
terapi) DA telah ditetapkan. Pada pedoman kami, perlunya pelatihan dermatologis
ditekankan untuk menjamin keterampilan diagnostik dan untuk memungkinkan
evaluasi keparahan DA. Diagnosis definitif DA memerlukan adanya tiga gambaran:
(i) pruritus; (ii) morfologi dan distribusi yang khas; (iii) kronis dan kambuhan. Untuk
klasifikasi keparahan DA, tiga elemen erupsi (eritema/papul akut, eksudasi/krusta dan
papul kronik/nodul/likenifikasi) dievaluasi pada bagian yang paling parah terkena
dampaknya dari 5 regio tubuh (kepala/leher, punggung anterior, tubuh anterior, tubuh
posterior, tungkai atas, dan tungkai bawah). Area erupsi 5 regio tubuh juga
dievaluasi, dan kedua skor dijumlah (maksimum 60 poin). Terapi standar untuk DA
terdiri dari penggunaan kortikosteroid topikal dan salep tacrolimus sebagai terapi
utama untuk inflamasi, pemberian emolien topikal untuk mengobati disfungsi
fisiologi kulit, obat antihistamin dan antialergi sistemik sebagai terapi tambahan
untuk pruritus, menghindari faktor yang jelas memperburuk, konseling psikologis dan
nasehat mengenai kehidupan sehari-hari. Salep tacrolimus (0.1%) dan salep densitas
rendahnya (0.3%) tersedia untuk pasien dewasa dan pasien berusia 2 – 15 tahun,
masing-masing. Pentingnya pilihan kortikosteroid topikal yang tepat sesuai dengan
keparahan erupsi juga ditekankan. Selain itu, penggunaan siklosporin oral untuk DA
dewasa yang berat dan membandel disarankan.
PENDAHULUAN
Dermatitis atopik (DA) ialah penyakit yang sering terjadi dalam pengelolaan
medis sehari-hari. Memerlukan penjelasan yang cukup terhadap pasien untuk
mencapai kepatuhan terapi medis. Pedoman pengobatan untuk DA telah
dipublikasikan di berbagai negara di dunia baru-baru ini. Seluruh pedoman
pengobatan tersebut didasarkan pada definisi penyakit dan sistem terapi yang sama.
DA adalah penyakit kulit inflamasi kambuhan yang kronis, disebabkan oleh
intervensi stimulasi non-spesifik atau allergen yang spesifik disertai dengan disfungsi
fisiologis kulit. Terapi standar untuk DA terdiri dari kortikosteroid topikal dan salep
tacrolimus sebagai terapi utama untuk inflamasi, pemberian emolien topikal untuk
mengobati disfungsi fisiologis, obat antihistamin dan antialergi sistemik sebagai
terapi tambahan untuk pruritus, dan menghindari fakto-faktor yang jelas
memperburuk. Kriteria diagnostik untuk DA oleh Japanese Dermatological
Association (JDA) dirumuskan pada tahun 1994, dan klasifikasi keparahan DA
dirumuskan pada tahun 2001 melalui laporan sementara tahun 1998. Pedoman JDA
untuk terapi DA pertama kali dirumuskan pada tahun 2000 dan direvisi pada tahun
2003 dan 2004. Pada tahun 2008, kami merumuskan pedoman baru untuk
pengelolaan DA, mengintegrasikan kriteria diagnostik, klasifikasi keparahan, dan
pedoman untuk terapi DA. Terapi baru (siklosporin oral) untuk DA telah
ditambahkan pada asuransi kesehatan Jepang, yang menyebabkan revisi. Pedoman ini
pada dasarnya dirancang untuk ahli dermatologi yang merawat pasien dari tahap
perawatan primer hingga tahap dimana spesialisasi tingkat tinggi diperlukan pada
terapi DA.
Pada survey cross-sectional multisenter nasional pasien kulit yang dilakukan
pada tahun 2007 oleh JDA, distribusi usia pasien dengan penyakit menunjukkan pola
bimodal dengan puncak insidensi pada usia 0 – 5 dan 21 – 25 tahun. Selain itu, pasien
berusia 46 tahun atau lebih tua terhitung 9.64%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
pasien dari berbagai usia dikenakan pemeriksaan harian dan terapi. Disarankan untuk
menghormati kebijakan ahli dermatologi, mempertimbangkan keinginan pasien, dan
memilih terapi yang paling tepat untuk setiap pasien dengan mengacu pada pedoman
ini.
PATOGENESIS
Dermatitis atopik ialah penyakit kulit eksem kambuhan yang kronis, ditandai
dengan pruritus dan inflamasi, dan disebabkan oleh intervensi berbagai stimulasi non-
spesifik dan alergen spesifik. Disertai dengan disfungsi fisiologis kulit dari kulit yang
kering dan barrier-nya terganggu akibat kelainan epidermis, terutama lapisan sel
tanduk. Sebagian besar pasien memiliki diathesis atopik, digambarkan dengan: (i)
riwayat pribadi atau keluarga (asma, rhinitis/konjunctivitis alergi, dan DA); dan/atau
(ii) kecenderungan produksi antibodi immunoglobulin (Ig)E berlebih.
Meskipun DA pada umumnya kronik dan kambuhan, remisi spontan dapat
diharapkan ketika gejala terkontrol dengan baik secara terus menerus dengan terapi
yang tepat.
DIAGNOSIS
Kriteria Diagnosis
Berdasarkan “Definisi dan kriteria diagnosis untuk DA” yang dibentuk oleh
JDA pada tahun 1994 (dan direvisi pada tahun 2008), diagnosis definitif DA
memerlukan adanya tiga gambaran: (i) pruritus; (ii) morfologi dan distribusi yang
khas; (iii) kronik dan kambuhan, tanpa mempertimbangkan tingkat keparahan. Kasus
yang tidak memenuhi kriteria harus dievaluasi berdasarkan usia dan perjalanan klinis
dengan diagnosis tentatif eksema non-spesifik, akut atau kronik. Terjemahan bahasa
Inggris kriteria diagnostik tersebut diterbitkan pada tahun 1995. Limfoma kulit,
psoriasis, penyakit defisiensi imun, penyakit kolagen (SLE, dermatomyositis) dan
sindrom Netherton telah ditambahkan sebagai kondisi eksklusi pada tahun 2008
(Tabel 1). Hal ini diperlukan untuk dapat membedakan kondisi eksklusi tersebut dan
memahami komplikasi yang signifikan dengan baik.
Acuan
Kriteria diagnostik yang dibuat oleh Hanifin dan Rajka pada tahun 1980
sering digunakan di seluruh dunia. Salah satu perbedaan antara kriteria Hanifin dan
Rajka dan kriteria JDA ialah bahwa riwayat penyakit atopik pribadi atau keluarga
(asma, rhinitis/konjunctivitis alergi, dan DA) ditentukan sebagai gambaran dasar dan
sebagai alat bantu diagnostik. Namun, diathesis atopik jelas dibahas pada definisi DA
JDA (Tabel 1). Sebanyak 23 gambaran minor tercantum dalam kriteria Hanifin dan
Rajka ialah tanda-tanda DA dan sering diamati pada penyakit ini. Namun, frekuensi
perkembangannya bervariasi, dan ekspresi diskret digunakan untuk beberapa
gambaran; oleh karena itu, mereka dieksklusi dari kriteria diagnostik oleh JDA,
meskipun beberapa masih disarankan sebagai alat bantu diagnostik, tipe klinis atau
komplikasi yang signifikan (Tabel 1). Selanjutnya, “edisi ringkasan kriteria
diagnostik Hanifin & Rajka” dipublikasi pada tahun 2003.
Kriteria Diagnostik pada Pemeriksaan Kesehatan
“Definisi dan kriteria diagnostik untuk DA” oleh JDA dapat digunakan secara
rutin. Pada pemeriksaan kesehatan bayi, bagi yang reliabilitas gejala subyektif dan
jawaban mengenai klinisnya tidak dapat diharapkan, diagnosis dapat dilakukan
terutama dengan “morfologi dan distribusi yang khas”. Poin ini perlu lebih jelas
dibahas pada saat publikasi.
Acuan: Investigasi Nasional dengan Penyelidikan/Kuesioner
Kuesioner untuk diagnosis DA dikembangkan pada tahun 1994 oleh UK
Working Party, dan telah digunakan di seluruh dunia. Versi terjemahan bahasa
Jepang telah terbukti bermanfaat. Selanjutnya, berdasarkan kuesioner yang
dikembangkan oleh the International Study of Asthma and Allergies in Childhood
(ISAAC), survei epidemiologis global mengenai eksema, termasuk DA, telah
dilakukan secara periodik. Versi terjemahan bahasa Jepang digunakan untuk survei
epidemiologi.
KLASIFIKASI KEPARAHAN
Klasifikasi Keparahan Bermanfaat untuk Percobaan Klinis
Reliabilitas dan kecukupan statistik klasifikasi keparahan DA yang
dikembangkan oleh komite penasihat klasifikasi keparahan DA dari JDA telah
diverifikasi, sehingga dapat digunakan untuk percobaan klinis (Gambar 1). Untuk
klasifikasi keparahan, tiga elemen erupsi (eritema/papul akut, eksudasi/krusta, dan
papul kronik/nodul/likenifikasi) dievaluasi di bagian yang paling parah terkena
dampak dari masing-masing 5 regio tubuh (kepala/leher, tubuh anterior, tubuh
posterior, tungkai atas, dan tungkai bawah). Area erupsi kelima region tubuh juga
dievaluasi, dan kedua skor ditotal (maksimum 60 poin) (Gambar 1). Metode
sederhana klasifikasi keparahan juga telah diusulkan oleh komite ini. Dalam metode
ini, seluruh tubuh dibagi menjadi 5 regio yang sama, keparahan dievaluasi secara
globa untuk setiap regio dan totalnya dihitung (maksimum 20 poin) (Gambar 2).
Acuan
Sebagai metode yang lebih sederhana dan lebih mudah, ukuran-ukuran lain
dari keparahan telah diusulkan oleh Kelompok Riset dari Departemen Kesehatan,
Tenaga Kerja dan Kesejahteraan (Tabel A1). Di dunia, the Severity Scoring of Atopic
Dermatitis (SCORAD) yang dibuat oleh the European Task Force on Atopic
Dermatitis (maksimum 103 poin) atau the Eczema Area and Severity Index (EASI)
yang dikembangkan oleh Kelompok Evaluator EASI (maksimum 72 poin) sering
digunakan.
Acuan: Klasifikasi Keparahan dengan Pertimbangan Klinis
Karena klasifikasi keparahan dengan pertimbangan klinis, sistem grading
keparahan DA yang dipublikasikan oleh Rajka dan Langeland sering digunakan.
Selain itu, pada kuesioner ISAAC yang disebutkan di atas, pertanyaan “dalam 12 jam
terakhir, seberapa sering, rata-rata, apakah Anda (anak Anda) terbangun di malam
hari karena ruam gatal ini?”, mendiagnosis pasien sebagai parah ketika mereka
menjawab,”1 atau lebih malam per minggu”.
Acuan: Evaluasi Pruritus
Visual Analog Scale (VAS) bermanfaat untuk evaluasi pruritus. Dalam VAS,
pasien menempatkan tanda pada segmen 10 cm berdasarkan derajat pruritus. Pada
segmen, 0 di ujung kiri skala menunjukkan “tidak pruritus” dan 100 di ujung kanan
menunjukkan “pruritus terberat”. Jarak dari ujung kiri hingga poin yang ditandai
(mm) digunakan sebagai nilai skala untuk pruritus. Sebagaimana dijelaskan pada
SCORAD (dievaluasi dengan skala 0 – 10 pada SCORAD), VAS juga dapat
digunakan untuk kurang tidur. Tabel A2 menunjukkan kriteria evaluasi untuk derajat
pruritus dengan skor penilaian tingkah laku. Ini digunakan untuk percobaan klinis
dengan evidence level lebih dari 2.
Acuan: Evaluasi Kualitas Kehidupan (QOL/Quality of Life)
Skindex-16 dan the Dermatology Life Quality Index (DLQI) telah dianalisis
rinci secara statistik dan tersedia dalam terjemahan bahasa Jepang.
Acuan: Petanda Penyakit DA
Petanda penyakit DA yang mencerminkan tingkat keparahan atau aktivitas
penyakit meliputi hitung eosinofil darah tepi, IgE total serum, laktat dehidrogenase,
dan kadar TARC (Thymus and Activation-Regulated Chemokine). Sehubungan
dengan petanda jangka pendek, TARC telah terbukti mencerminkan aktivitas
penyakit yang lebih sensitive dibandingkan petanda laboratorium lainnya.
Keparahan Erupsi
Pemilihan terapi topikal, yang merupakan kunci pengobatan, harus ditentukan
pada setiap regio dengan “keparahan erupsi” (Tabel 2). Dengan kata lain, pemberian
topikal yang cukup intensif harus dipilih untuk erupsi berat bahkan ketika lesinya
kecil, sementara di sisi lain, pemberian topikal intensif tidak perlu untuk erupsi ringan
bahkan ketika lesinya besar. Oleh karena itu, untuk pilihan terapi topikal, “keparahan
erupsi” merupakan aspek yang paling penting. Keparahan erupsi harus ditentukan
oleh dokter dengan kemampuan dermatologis yang cukup untuk memprediksi efek
terapi (Tabel 2).
TERAPI
Tujuan Terapi
Tujuan terapi ialah untuk membiarkan pasien mencapai status berikut:
1. Tidak terdapat gejala atau gejala minor, dan kehidupan harian pasien tidak
terganggu oleh penyakit. Selain itu, terapi obat tidak banyak dibutuhkan.
2. Bahkan jika gejala ringan, penyakit ini jarang menunjukkan eksaserbasi akut atau
intens; mereka tidak berlarut-larut, jika ada.
Terapi Obat
Dermatitis atopik merupakan penyakit plurikausal dengan faktor genetik
terkait dan tidak terdapat terapi obat yang dapat benar-benar menyembuhkan
penyakit. Oleh karena itu, terapi pada dasarnya berfokus pada mengurangi gejala-
gejala.
Terapi Topikal untuk Inflamasi
Saat ini, obat-obatan yang cukup dapat menenangkan inflamasi DA dan yang
efektivitas serta keamanannya terbukti secara ilmiah ialah salep kortikosteroid dan
tacrolimus (inhibitor kalsineurin topikal). Inhibitor kalsineurin topikal lainnya banyak
digunakan di tempat-tempat lain di dunia, krim primecrolimus, tidak tersedia di
asuransi kesehatan Jepang. Efek anti-inflamasi obat-obatan anti inflamasi non-steroid
(OAINS) sangat lemah, dan kadang-kadang menyebabkan dermatitis kontak; oleh
karena itu, mereka tidak cocok untuk pengobatan topikal DA.
Tacrolimus ialah obat yang menghambat kalsineurin dan mengontrol
inflamasi dengan mekanisme yang berbeda dari kortikosteroid topikal. Terdapat 2
macam salep tacrolimus: 0.1% untuk dewasa dan 0.03% untuk anak. Salep tacrolimus
diakui sebagai obat yang sangat cocok untuk erupsi pada wajah dan leher. Namun,
salep tacrolimus berbeda dari kortikosteroid topikal dimana tidak dapat digunakan
untuk erosi dan ulkus, dan terdapat batas kekuatan efikasi obat. Obat ini didasarkan
pada penggunaan oleh dokter dengan keahlian dermatologis yang cukup untuk
memahami hal-hal penting seperti usia pasien, kontraindikasi dan pemberian yang
hati-hati.
Penting bagi sebuah terapi untuk mempertimbangkan bagaimana memilih dan
mengkombinasi kortikosteroid topikal dan salep tacrolimus yang telah banyak diteliti
sebagai obat-obatan topikal yang dapat menenangkan inflamasi kulit DA secara
konsisten dan segera. Pemberian berbagai macam kortikosteroid topikal pada sisi
kanan atau kiri masing-masing secara terpisah dapat efektif, sementara dapat
diberikan kortikosteroid topikal dan obat topikal jenis lain tanpa kortikosteroid pada
sisi kanan atau kiri secara terpisah, untuk menentukan obat yang efektif untuk pasien
tertentu.
Kortikosteroid Topikal
Peringkat kortikosteroid topikal (Tabel 3): Pada umumnya, efektivitas
kortikosteroid topikal dan angka kejadian efek samping topikal paralel satu sama
lain; oleh karena itu penting untuk memilih obat pada peringkat yang tepat untuk
“keparahan erupsi” tanpa perlu memilih kortikosteroid yang kuat (Tabel 2).
Sediaan kortikosteroid topikal: Sediaan seperti salep, krim, lotio, tape harus
dipilih sesuai dengan kondisi dan lokasi lesi kulit.
Waktu pemberian kortikosteroid topikal: Biasanya obat ini diberikan dua kali
sehari pada eksaserbasi akut (pagi dan sore/setelah mandi). Namun, saat
menggunakan kortikosteroid topikal dengan peringkat yang lebih rendah atau
mengganti dengan obat-obatan tanpa kortikosteroid, perlu untuk mengkonfirmasi
bahwa tidak terdapat kekambuhan dengan merubah ke pola intermiten seperti
pemberian hari alternatif atau sehari sekali. Sehubungan dengan kortikosteroid
topikal pada peringkat yang lebih tinggi dan kelas kuat, tidak terdapat perbedaan
yang signifikan antara pemberian dua kali sehari dan pemberian sekali sehari pada
efek kuratif setelah 3 minggu (evidence level II: dengan 1 atau lebih RCT).
Mengingat fakta bahwa efek samping berkurang karena waktu pemberian
menurun, lebih baik untuk memberikan dua kali sehari pada eksaserbasi akut
untuk menenangkan inflamasi dengan cepat dan untuk memberikan sekali sehari
setelah perbaikan erupsi (rekomendasi grade A: sangat direkomendasikan untuk
dilakukan). Namun, saat menggunakan kortikosteroid topikal peringkat medium,
pemberian dua kali sehari lebih efektif dibandingkan pemberian sekali sehari
(evidence level II).
Jumlah pemberian kortikosteroid topikal: FTU (Finger-Tip Unit) merupakan
jumlah salep yang dikeluarkan dari tube dengan nozzle berdiameter 5 mm dan
diukur dari lipatan kulit distal ke ujung jari telunjuk (0.5 g); ini merupakan jumlah
yang cukup untuk pemberian terhadap 2 area tangan orang dewasa, yang kira-kira
2% area permukaan tubuh orang dewasa.
Hasil tes penggunaan kortikosteroid topikal yang lama dengan peringkat yang
sangat kuat telah mengungkapkan bahwa, jika terapi dimulai dengan 5 g atau 10 g per
hari, yang cukup untuk pasien dewasa biasa, sebagai jumlah awal (meskipun
tergantung pada area erupsi), dan jumlah tersebut diturunkan secara bertahap karena
gejala mereda, tidak terdapat efek samping sistemik yang ireversibel yang terjadi
selama 3 bulan penggunaan (meskipun penekanan fungsi adrenal sementara dan
reversibel mungkin terjadi. Sangat jarang untuk menggunakan kortikosteroid topikal
5 g atau 10 g sehari selama lebih dari 3 bulan. Namun, pada kasus tersebut, perlu
untuk memeriksa efek sistemik secara teratur dan mempertimbangkan kembali
pengobatan topikal yang sesuai bagi pasien yang terkena untuk mengurangi jumlah
kortikosteroid topikal. Bagi bayi dan anak-anak, terapi kortikosteroid topikal harus
dimulai dengan volume yang dikonversi dari jumlah yang digunakan orang dewasa
berdasarkan berat badan mereka.
Penghentian pemberian: Saat kortikosteroid topikal dihentikan setelah inflamasi
berakhir, penting untuk menghentikannya secara bertahap sambil mengamati
gejala, misalnya, memberikannya secara intermiten bukan dengan
menghentikannya tiba-tiba. Namun, prinsip ini tidak berlaku jika efek samping
kortikosteroid topikal terjadi.
Bayi dan anak: Pada prinsipnya, saat erupsi berat atau sedang, kortikosteroid
topikal satu peringkat lebih rendah dari yang ditunjukkan pada Tabel 2 harus
digunakan. Namun, saat efek yang cukup tidak diperoleh, kortikosteroid topikal
dengan peringkat lebih tinggi harus digunakan di bawah pengawasan yang hati-
hati.
Wajah: Mengingat tingkat absorbsi obat yang tinggi pada wajah, kortikosteroid
topikal medium atau peringkat lemah harus digunakan pada prinsipnya. Bahkan
pada kasus tersebut, pemberian dua kali sehari harus dibatasi selama kurang lebih
1 minggu dan kemudian terapi harus diubah dengan pemberian intermiten.
Periode penghentian harus diatur untuk jenis pengobatan ini. Sebagian besar lesi
eritematosa wajah sering ditemukan pada pasien dewasa dalam beberapa tahun
terakhir disebabkan oleh faktor-faktor selain kortikosteroid topikal, termasuk
menggaruk. Namun, wajah merupakan regio yang perlu diwaspadai terhadap
terjadinya efek samping topikal; oleh karena itu, pemeriksaan yang cermat
diperlukan sebelum peresepan.
Selain itu, wajah merupakan regio dimana salep tacrolimus sangat dapat
menyesuaikan; oleh karena itu, akan lebih bermanfaat untuk secara aktif
mempertimbangkan menggunakannya sesuai dengan pedoman.
Kepatuhan: Karena ketidakpahaman mengenai kortikosteroid topikal (sebagian
besar kebingungan dengan efek samping kortikosteroid sistemik dan/atau
kebingungan antara eksaserbasi DA itu sendiri dan efek samping kortikosteroid
topikal), ketakutan dan penghindaran muncul karena kortikosteroid topikal dan
penurunan kaptuhan sering terlihat. Untuk memperbaiki kesalahpahaman tersebut,
perlu mengambil cukup waktu untuk menjelaskan obat-obatan dan
menginstruksikan pasien mengenai penggunaannya. Hal ini mempengaruhi efek
pengobatan.
Efek samping kortikosteroid topikal: Dilaporkan bahwa jumlah harian yang dapat
menyebabkan penekanan fungsi adrenal ialah 10 g salep betamethasone valerat
0.12% (peringkat kuat) dalam tekhnik pembalutan oklusif dan 20 g sebagai
pemberian sederhana. Namun, sangat jarang untuk penggunaan jumlah besar
obat-obatan topikal secara kontinu pada perawatan medis sehari-hari. Jika
kortikosteroid topikal digunakan dengan benar, efek samping sistemik seperti
insufisiensi adrenal, diabetes mellitus dan moon face, semua yang disebabkan
oleh kortikosteroid sistemik, tidak akan terjadi dengan konsumsi normal. Di
antara efek samping topikal, acne steroid, steroid flushing, atrofi kulit,
hipertrikosis, dan infeksi kulit bakterial/jamur/virus kadang-kadang terjadi;
namun, pasien yang terkena pulih dengan penghentian atau terapi yang tepat.
Pigmentasi dapat muncul setelah penggunaan kortikosteroid topikal; namun, ini
adalah pigmentasi pasca-inflamasi dan bukan efek samping kortikosteroid topikal.
Dermatitis kontak alergi jarang dapat terjadi sebagai respon terhadap
kortikosteroid topikal; namun, juga perlu diwaspadai dermatitis kontak yang
disebabkan oleh sediaan atau aditif obat tersebut.
Salep Tacrolimus
Tacrolimus menekan fungsi limfosit T dengan mekanisme yang berbeda dari
kortikosteroid. Salep tacrolimus diharapkan dapat menunjukkan tingkat efektivitas
yang tinggi terhadap DA yang dulit diobati dengan kortikosteroid. Namun, efektivitas
obat tersebut tergantung pada absorbansi obat dan diperngaruhi oleh regio pemberian
dan kondisi fungsi barrier. Tidak dapat digunakan untuk bayi di bawah 2 tahun
karena keamanannya belum terbukti. Selain itu, tidak dapat digunakan pada wanita
hamil atau menyusui.
Jumlah pemberian salep tacrolimus: Saat salep tacrolimus digunakan, jumlah
maksimum pemberian per penggunaan ialah 5 g salep 0.1% untuk dewasa, 1 g
salep 0.03% untuk anak-anak berusia 2 – 5 tahun (di bawah 20 kg BB), 2 – 4 g
untuk anak-anak berusia 6 – 12 tahun (>20 kg dan <50 kg) dan 5 g untuk anak-
anak berusia 13 tahun atau lebih tua (>50 kg). Selain itu, jumlah kali pemberian
terbatas dua kali sehari. Satu gram per penggunaan dapat diberikan pada 4 area
tangan orang dewasa. Saat ini digunakan di area yang luas, dokter perlu
menyarankan metode seperti menggunakan kortikosteroid topikal bersama-sama
sesuai dengan tingkat erupsi; namun, tidak dianjurkan untuk menerapkan
campuran salep tacrolimus dan kortikosteroid topikal, atau mengoleskan satu di
atas yang lain di lokasi yang sama pada waktu yang sama.
Metode pemberian salep tacrolimus: Obat ini sering menyebabkan gejala
stimulasi seperti sensasi terbakar sementara dan rasa panas pada regio yang
dioleskan. Namun, cenderung menghilang dengan remisi erupsi; oleh karena itu,
perlu untuk menjelaskan efek ini kepada pasien sebelumnya. Salep tacrolimus
cukup efektif pada wajah dan leher, yang menunjukkan absorbsi perkutan yang
baik. Ketika efek terapi seperti kortikosteroid topikal tidak memadai atau dokter
ragu-ragu untuk memberikan obat tersebut karena efek samping topikalnya, salep
tacrolimus dapat sering digunakan. Selain itu, efektivitas obat ini (0.1% untuk
dewasa) pada badan dan ekstremitas kurang lebih setara dengan kortikosteroid
topikal peringkat kuat (evidence level II). Saat ini digunakan pada regio dengan
erupsi berat yang memerlukan efek obat yang kuat, pada awalnya dianjurkan
untuk mencoba memperbaiki erupsi dengan kortikosteroid topikal peringkat
sangat kuat atau kuat dan kemudian beralih ke penggunaan salep tacrolimus. Pada
banyak kasus, konsumsi kortikosteroid topikal dapat dikurangi dengan
menggunakan obat ini dalam kombinasi. Jika perbaikan terlihat pada erupsi
dengan obat ini, jumlah obat per penggunaan harus diturunkan dengan tepat atau
interval pemberian harus diperpanjang.
Bagi pasien dengan eritroderma iktiosiform (misal, sindrom Netherton), salep
tacrolimus tidak dapat digunakan, karena efek samping seperti gangguan ginjal dapat
berkembang karena absorbsi perkutan yang tinggi dan peningkatan resultan obat ini
dalam konsentrasi darah.
Penggunaan jangka panjang saleo tacrolimus, yaitu, selama lebih dari 3 tahun,
belum ditemukan menyebabkan efek samping sistemik yang serius. Meskipun kita
perlu memperhatikan stimulasi kulit sementara yang telah dilaporkan di sebagian
besar studi klinis, salep tacrolimus pada dasarnya dianggap sebagai obat yang aman.
Sejumlah laporan juga telah menunjukkan kurangnya hubungan antara paparan
terhadap tacrolimus topikal dan limfoma atau kanker kulit. Pedoman di AS dan Eropa
merekomendasikan penggunaan salep tacrolimus sebagai terapi pemeliharaan serta
terapi induksi. Studi terbaru melaporkan efektivitas terapi intermiten untuk
pencegahan rasa terbakar dengan dua atau tiga kali seminggu pemberian tacrolimus
pada DA yang stabil (terapi proaktif).
Terapi Topikal untuk Disfungsi Fisiologi Kulit/Perawatan Kulit
Untuk tujuan memperbaiki kulit kering dengan menurunkan fungsi barrier
dan mencegah kekambuhan inflamasi, perlu untuk merawat kulit dengan menerapkan
emolien/agen protektif topikal yang tidak mengandung kortikosteroid atau tacrolimus.
Dengan kata lain, perlu untuk menggunakan pelembab terus menerus bahkan untuk
erupsi kulit yang ringan. Bila hal ini diabaikan, inflamasi berulang dengan mudah dan
menyebabkan penurunan efektivitas kortikosteroid topikal dan salep tacrolimus.
Dilaporkan bahwa menerapkan pelembab (preparat heparinoid) dua kali sehari secara
signifikan mengurangi kekambuhan inflamasi DA dibandingkan dengan kelompok
kontrol yang tidak diobati (evidence level II, rekomendasi grade A). Standar untuk
menggunakannya dua kali sehari. Ketika dikonfirmasi tidak ada kekambuhan, terapi
harus diganti menjadi sekali sehari atau pemberian intermiten. Hal ini diperlukan
untuk mewaspadai terjadinya dermatitis kontak sebagai efek samping, yang harus
dibedakan dari kambuhnya DA. Jika kekambuhan DA terlihat selama terapi
pemeliharaan dengan perawatan kulit, dokter harus kembali ke pengobatan dengan
kortikosteroid topikal atau salep tacrolimus di regio yang terkena untuk mencapai
sedasi awal sesuai dengan derajat inflamasi dan kemudian kembali ke terapi
pemeliharaan lagi.
Terapi Sistemik
Dermatitis atopik ditandai dengan pruritus sebagai gejala subyektif. Obat-
obatan dengan efek antihistamin (disebut juga antihistamin, antihistamin generasi
pertama, atau obat-obatan antialergi dengan efek antihistamin, antihistamin generasi
kedua) digunakan untuk tujuan menekan pruritus dan mencegah eksaserbasi akibat
garukan (Tabel 4). Telah dijelaskan bahwa tambahan antihistamin pada kortikosteroid
topikal mengurangi pruritus terkait DA (evidence level II). Selain itu, investigasi
skala besar telah mengungkapkan bahwa efek penekanan pruritus diperoleh dari
pemberian intermiten selama terapi pemeliharaan 12 minggu. Hal ini juga
menunjukkan bahwa antihistamin harus diklasifikasikan menjadi 3 kelompok – non-
sedatif, kurang sedatif, dan sedatif – berdasarkan analisis reseptor H1 histamin di otak
manusia (Tabel 5). Saat memperhatikan mengenai angka kejadian efek samping
seperti mengantuk dan kekusaman, dokter harus memilih antihistamin generasi kedua
non-sedatif atau kurang sedatif pada awalnya dan mempertimbangkan tambahan
pemberian antihistamin lain sambil mengamati efek samping dan efek penekanan
terhadap pruritus (Tabel 4). Efek seperti supresi pelepasan mediator kimiawi oleh
obat-obatan antialergi, termasuk antihistamin generasi kedua, telah diduga berfungsi
sebagai terapi pembantu untuk pengobatan topikal (Tabel 4), tetapi inflamasi DA
tidak dapat ditekan oleh obat antialergi saja.
Meskipun belum terdapat studi banding tersamar ganda, kortikosteroid
kadang-kadang diberikan per oral terhadap pasien DA berat sebagai terapi induksi
dan diketahui efektif berdasarkan pengalaman. Mengingat efek samping sistemik,
pemberian jangka panjang harus direkomendasikan.
Siklosporin untuk terapi DA telah dijamin oleh asuransi kesehatan sejak
Oktober 2008 di Jepang. Siklosporin dapat diberikan per oral terhadap pasien dewasa
dengan DA berat dan membandel. Menurut pedoman, penggunaan siklosporin dapat
diulang secara intermiten, namun, perlu untuk menghentikannya dalam 3 bulan
pertama penggunaan awal (atau melanjutkan penggunaan). Untuk detailnya, lihat
“Pedoman penggunaan MEPC Siklosporin untuk Dermatitis Atopik” yang
dipublikasikan di tempat lain.
Pasien dengan DA cenderung mengalami komplikasi seperti infeksi bakteri
kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus atau Streptococcus hemolyticus dan
erupsi varicelliform Kaposi yang disebabkan oleh virus herpes simpleks. Jika pasien
diduga menderita infeksi tersebut selama terapi, antibiotik atau obat antiviral yang
tepat harus diberikan per oral dengan segera.
Dengan mempertimbangkan evidence-based medicine, sebagian besar laporan
mengenai pengobatan herbal untuk DA merupakan studi gabungan kasus dengan
puluhan kasus. “Percobaan acak, tersamar ganda, terkontrol plasebo” telah dilakukan
pada 4 studi “Zemaphite” atau “Hochu-ekki-to”. Meskipun efektivitas Zemaphite
telah dilaporkan, hasil negatif juga dilaporkan oleh kelompok lain. Dilaporkan bahwa
penggunaan tambahan Hochu-ekki-to dapat menurunkan dosis kortikosteroid topikal.
Secara keseluruhan, sejumlah studi termasuk pasien anak, di antaranya remisi spontan
harus dipertimbangkan. Oleh karena itu, tampaknya perlu untuk melakukan
pemeriksaan yang cermat dalam memilih kasus-kasus subyek yang sesuai, melakukan
studi skala besar, dan mengumpulkan hasil perbandingan acak tersamar ganda dari
berbagai fasilitas.
Menghindari Faktor-Faktor yang Memperburuk
Tujuan remedial dicapai dalam banyak kasus jika hubungan kepercayaan
dibangun antara pasien dan dokter dan terapi obat yang disebutkan di atas digunakan
secukupnya. Namun, faktor-faktor memperburuk yang khas pada masing-masing
pasien dalam kehidupan sosial dan sehari-hari terlihat pada banyak kasus; oleh karena
itu, sangat penting untuk mendeteksi faktor-faktor yang memperburuk dan
menghindarinya. Respon terhadap alergen makanan dapat ditemukan pada bayi.
Setelah masa bayi, alergen lingkungan seperti tungau dan debu rumah cenderung
terlibat, dan alergen kontak termasuk obat topikal, dan stress mental dapat menjadi
faktor yang memperburuk untuk seluruh kelompok usia.
Dokter harus menentukan keterlibatan alergen setelah menyingkirkannya atau
menjalani tes alergi (jika mungkin) sambil mengacu riwayat medis dan hasil tes kulit
dan tes darah. Alergen tidak dapat ditentukan hanya dengan mengamati gejala klinis
atau hasil tes darah saja. Selain itu, harus dipahami bahwa bahkan ketika alergen
dapat diklarifikasi, DA adalah penyakit plurikausal, dan penyingkiran alergen
hanyalah terapi pembantu untuk terapi obat. Pasien tidak dapat sembuh hanya dengan
menggunakan terapi pembantu tersebut.
Pendekatan Psikosomatik
Pada beberapa kasus berat pasien dewasa dengan DA, stress psikososial
seperti hubungan manusia, tekanan pekerjaan, kekhawatiran mengenai karir dan
kecemasan mengenai kebebasan dapat terlibat. Pasien tersebut cenderung memiliki
perilaku kebiasaan menggaruk, yang dapat disebut “menggaruk yang adiktif” atau
“ketergantungan menggaruk”; perilaku ini memperburuk erupsi. Selain itu, beberapa
pasien anak DA cenderung memiliki perilaku kebiasaan menggaruk yang serupa
karena mereka merasa tidak dicintai. Dalam kasus tersebut, perlu untuk melakukan
perawatan baik fisik maupun mental. Selain itu, dalam beberapa kasus, perawatan
medis tim dengan psikiater diperlukan.
Saran Mengenai Kehidupan Sehari-hari/Komplikasi
Pada umumnya, saran mengenai kehidupan sehari-hari berikut berguna bagi
pasien DA:
Menjaga kulit bersih dengan mandi.
Menjaga kamar bersih dan menciptakan lingkungan dengan suhu serta
kelembaban yang tepat.
Mengatur kehidupan sehari-hari dan menghindari minum/makan berlebihan.
Kenakan pakaian dengan sedikit stimulasi.
Potong kuku untuk menghindari kerusakan kulit dengan menggaruk.
Pada kasus dengan erupsi wajah berat, dokter harus membuat pasien berkonsultasi
dengan dokter mata secara teratur. Harus dicatat bahwa komplikasi okuler
(katarak, kerusakan retina, dan ablasi retina) tidak disebabkan oleh penggunaan
kortikosteroid topikal tetapi karena menggaruk dan menekan kulit di sekitar mata.
Infeksi kulit bakterial/fungi/virus muncul dengan mudah; oleh karena itu, perlu
untuk mempertahankan kondisi kulit yang baik.
Acuan: DA dan Katarak
Dokter harus memberikan perhatian khusus terhadap komplikasi okuler DA
seperti katarak dan ablasi retina. Komplikasi okuler cenderung terjadi pada kasus
dengan erupsi wajah berat yang terutama disebabkan karena bola mata ditekan secara
mekanis dengan menggaruk. Hubungan katarak dengan DA dilaporkan untuk pertama
kalinya pada tahun 1921. Pada tahun 1936, Brunsting mengklarifikasi bahwa katarak
remaja muncul pada sekitar 10% pasien DA. Katarak cenderung terjadi pada pasien
DA berusia 10 – 20 tahun; dalam banyak kasus, operasi mata diperlukan dan kadang-
kadang dapat menyebabkan kebutaan. Hubungan katarak dengan DA kadang-kadang
salah didiagnosis sebagai efek samping kortikosteroid topikal tanpa pertimbangan
yang cermat. Pada tahun 1952, kortikosteroid topikal pertama kali diperkenalkan
untuk terapi penyakit kulit. Prevalensi komplikasi katarak pada DA belum terlalu
meningkat sejak kortikosteroid topikal diperkenalkan; oleh karena itu, perlu untuk
mengobati katarak atopik sebagai penyakit yang benar-benar independen. Karena
katarak atopik berhubungan dengan keparahan erupsi wajah, maka perlu untuk
memperbaiki erupsi wajah sedini mungkin. Namun, kita juga perlu mengamati
glaukoma yang disebabkan oleh penggunaan kortikosteroid topikal pada kelopak
mata.
Terapi Lain
Sehubungan dengan terapi non-standar lainnya, efektivitasnya hanya diklaim
pada beberapa fasilitas, dan sebagian besar efektivitasnya belum terbukti secara
ilmiah; oleh karena itu, penulis tidak memperkenalkannya pada pedoman ini, yang
menguraikan terapi dasar untuk DA. Selain itu, perlu memperhatikan gangguan
kesehatan yang dapat mereka sebabkan.
Terapi ultraviolet (UV) merupakan salah satu alternatif untuk DA. PUVA
(Psoralen and Ultraviolet A Therapy), terapi UV-A1, UV-B, NB UV-B (narrow-
band), UV-A plus UV-B, dan UV-A1 plus NB UV-B telah dilaporkan efektif untuk
DA. Di Jepang, terapi UV diduga efektif, terutama untuk pasien DA yang resisten
terhadap kortikosteroid topikal atau pasien dengan efek samping terhadap terapi
tradisional. Terdapat berbagai protokol seperti terapi UV yang dikombinasi dengan
kortikosteroid oral jangka panjang atau topikal. Setiap lembaga memiliki variasi
sendiri pada protokol untuk mencapai efek terapi yang lebih baik. Selain itu, terdapat
berbagai jenis aplikator terapi dan tabung fluorosen; oleh karena itu, perlu untuk
menggunakannya dengan hati-hati.
Meskipun beberapa pedoman di AS dan Eropa menganggap terapi UV
sebagai terapi lini kedua, masalah teknis membuat sulit untuk melakukan tes tersamar
ganda atau tes half-side untuk memperoleh bukti yang bagus. Terapi UV harus
dilakukan dengan hati-hati oleh ahli dermatologi yang sepenuhnya memahami
mekanisme dan tahu bagaimana menerapkannya pada pasien, dan bagaimana cara
mengatasi efek sampingnya.
Algoritma Terapi
Akhirnya, algoritma terapi DA ditunjukkan pada Figure 3. Penting untuk
mengkombinasi terapi yang tepat mengingat kondisi kulit pasien setelah diagnosis
definitif dan penilaian keparahan.
Levels of Evidence dan Grade of Recommendation
Evidence level dan grade rekomendasi yang disebutkan pada pedoman ini
ditentukan dengan “Kriteria untuk Levels of Evidence dan Grade of
Recommendation” (Tabel 6) yang ditetapkan oleh The Skin Cancer Group.