D1BED081d01

44
Profil Empat Desa Pesisir: Singajaya, Karangsong, Pabean Udik dan Brondong, di Kab. Indramayu 1 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Pengenalan terhadap suatu wilayah selalu diawali oleh proses pengamatan, penyelidikan bahkan penelitian yang dapat memakan waktu panjang atau pendek tergantung dari berapa banyak data dan informasi yang ingin didapat. Desa Karangsong, Pabean Udik, Brondong dan Singajaya memiliki sejarah panjang perkembangan desa. Mulai dari wilayah kosong tak berpenghuni sampai menjadi desa yang padat dengan rumah, sawah, kebun dan tambak. Ketika penduduknya semakin beranekaragam, kegiatan seputar desa semakin bermacam-macam dan desa semakin terbuka bagi masuknya investasi dari luar, maka persoalan-persoalan yang timbul dari benturan-benturan kepentingan menjadi semakin banyak. Dalam kondisi sedemikian maka pengamatan yang cermat, penyelidikan yang teliti dan penelitian yang komprehensif akan mampu mengupas dan menyajikan fakta serta data yang dibutuhkan untuk mulai melakukan perencanaan. Data dan informasi dibutuhkan untuk mengenali wilayah secara utuh dari segala aspek. Pengenalan terhadap wilayah ini merupakan dasar bagi tersusunnya perencanaan yang mampu mewadahi berbagai kepentingan dan mengarahkan perkembangan. Dalam konteks wilayah pesisir, posisi perencanaan penting karena secara fisik wilayah ini memiliki potensi sumberdaya alam yang sangat kaya sehingga mengundang berbagai kepentingan masuk kedalamnya. Selain itu letaknya yang di hilir menyebabkan wilayah ini rentan terhadap kegiatan-kegiatan yang terjadi di hulu. Desa Karangsong, Pabean Udik, Brondong dan Singajaya adalah empat desa pesisir yang berkembang karena kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam, yaitu penangkapan ikan di laut, pengembangan budidaya tambak, dan usaha pertanian sawah. Maju atau mundurnya usaha masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam di desa-desa ini berarti sangat dipengaruhi oleh jenis kegiatan yang ada di dalam dan sekitar desa sampai ke arah hulu, kondisi pemanfaatan secara fisik wilayah pesisir desa dan pelaku-pelaku kegiatan di wilayah ini. Oleh karena itu untuk mencapai suatu taraf perkembangan wilayah yang makmur, berkelanjutan, berkeadilan dan demokratis diperlukan perencanaan yang mampu memacu pertumbuhan ekonomi sambil tetap memperhatikan kelestarian alam, memberikan peluang secara setara kepada semua pihak dan dibangun atas kesepakatan bersama. Perencanaan yang baik dapat tersusun bila data dan informasi pendukungnya lengkap dan pelaku- pelaku kegiatan yang mempengaruhi perkembangan wilayah mau duduk bersama untuk menyusun serta memutuskan perencanaan wilayah yang bersangkutan. Lebih jauh lagi, perencanaan yang baik baru akan berhasil bila dilaksanakan dengan baik pula. Oleh karena itu wilayah Desa Karangsong, Pabean Udik, Brondong dan Singajaya perlu berangkat dari proses yang baik, yaitu menyusun rencana wilayah bersama untuk pada akhirnya mendapatkan hasil untuk kebaikan bersama pula. Lingkup dan Tujuan Laporan ini menyajikan profil lingkungan dan penduduk yang ada di empat desa di Kecamatan Indramayu, yaitu Karangsong, Pabean Udik, Brondong dan Singajaya. Informasi yang dicakup adalah informasi-informasi yang menonjol tentang kondisi sosial ekonomi dan budaya penduduk keempat desa, serta karakteristik fisik lingkungannya. Fokus diarahkan pada wilayah pesisir dan aktivitas yang berkaitan dengan wilayah ini.

Transcript of D1BED081d01

Page 1: D1BED081d01

Profil Empat Desa Pesisir: Singajaya, Karangsong, Pabean Udik dan Brondong, di Kab. Indramayu 1

1. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengenalan terhadap suatu wilayah selalu diawali oleh proses pengamatan, penyelidikan bahkan penelitian yang dapat memakan waktu panjang atau pendek tergantung dari berapa banyak data dan informasi yang ingin didapat. Desa Karangsong, Pabean Udik, Brondong dan Singajaya memiliki sejarah panjang perkembangan desa. Mulai dari wilayah kosong tak berpenghuni sampai menjadi desa yang padat dengan rumah, sawah, kebun dan tambak. Ketika penduduknya semakin beranekaragam, kegiatan seputar desa semakin bermacam-macam dan desa semakin terbuka bagi masuknya investasi dari luar, maka persoalan-persoalan yang timbul dari benturan-benturan kepentingan menjadi semakin banyak. Dalam kondisi sedemikian maka pengamatan yang cermat, penyelidikan yang teliti dan penelitian yang komprehensif akan mampu mengupas dan menyajikan fakta serta data yang dibutuhkan untuk mulai melakukan perencanaan. Data dan informasi dibutuhkan untuk mengenali wilayah secara utuh dari segala aspek. Pengenalan terhadap wilayah ini merupakan dasar bagi tersusunnya perencanaan yang mampu mewadahi berbagai kepentingan dan mengarahkan perkembangan. Dalam konteks wilayah pesisir, posisi perencanaan penting karena secara fisik wilayah ini memiliki potensi sumberdaya alam yang sangat kaya sehingga mengundang berbagai kepentingan masuk kedalamnya. Selain itu letaknya yang di hilir menyebabkan wilayah ini rentan terhadap kegiatan-kegiatan yang terjadi di hulu. Desa Karangsong, Pabean Udik, Brondong dan Singajaya adalah empat desa pesisir yang berkembang karena kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam, yaitu penangkapan ikan di laut, pengembangan budidaya tambak, dan usaha pertanian sawah. Maju atau mundurnya usaha masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam di desa-desa ini berarti sangat dipengaruhi oleh jenis kegiatan yang ada di dalam dan sekitar desa sampai ke arah hulu, kondisi pemanfaatan secara fisik wilayah pesisir desa dan pelaku-pelaku kegiatan di wilayah ini. Oleh karena itu untuk mencapai suatu taraf perkembangan wilayah yang makmur, berkelanjutan, berkeadilan dan demokratis diperlukan perencanaan yang mampu memacu pertumbuhan ekonomi sambil tetap memperhatikan kelestarian alam, memberikan peluang secara setara kepada semua pihak dan dibangun atas kesepakatan bersama. Perencanaan yang baik dapat tersusun bila data dan informasi pendukungnya lengkap dan pelaku-pelaku kegiatan yang mempengaruhi perkembangan wilayah mau duduk bersama untuk menyusun serta memutuskan perencanaan wilayah yang bersangkutan. Lebih jauh lagi, perencanaan yang baik baru akan berhasil bila dilaksanakan dengan baik pula. Oleh karena itu wilayah Desa Karangsong, Pabean Udik, Brondong dan Singajaya perlu berangkat dari proses yang baik, yaitu menyusun rencana wilayah bersama untuk pada akhirnya mendapatkan hasil untuk kebaikan bersama pula.

Lingkup dan Tujuan

Laporan ini menyajikan profil lingkungan dan penduduk yang ada di empat desa di Kecamatan Indramayu, yaitu Karangsong, Pabean Udik, Brondong dan Singajaya. Informasi yang dicakup adalah informasi-informasi yang menonjol tentang kondisi sosial ekonomi dan budaya penduduk keempat desa, serta karakteristik fisik lingkungannya. Fokus diarahkan pada wilayah pesisir dan aktivitas yang berkaitan dengan wilayah ini.

Page 2: D1BED081d01

2 Wetlands International – Indonesia Programme

Empat desa ini dipilih bukan berdasarkan perbandingan karakteristik terhadap 31 desa pesisir lain di Kabupaten Indramayu, tapi lebih disebabkan oleh letaknya yang berada paling dekat dengan pusat pemerintahan kabupaten Indramayu. Kedekatan jarak diharapkan mempermudah komunikasi, interaksi dan intensitas keterlibatan masyarakat maupun pemerintah kabupaten dalam proses perencanaan wilayah. Dengan demikian proses ‘bottom-up’ dalam perencanaan wilayah yang merupakan pembalikkan dari proses yang berlangsung sebelumnya dapat lebih mudah diadopsi oleh pemerintah kabupaten dan diterapkan pada wilayah lainnya. Data dan informasi yang dimuat dalam laporan ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan analisa dan pertimbangan untuk penyusunan rencana wilayah pesisir dalam cakupan masing-masing batas wilayah desa. Pengembangan rencana di tingkat desa dan mencakup satu wilayah desa tidak bisa terlepas dari wilayah sekitarnya yang secara fisik saling mempengaruhi, misalnya sebagai satu kesatuan wilayah dalam satu garis pantai ataupun satu kesatuan daerah aliran sungai. Dengan demikian data dan informasi ini bisa dimanfaatkan untuk perencanaan pesisir di masing-masing desa maupun dalam batas wilayah yang lebih luas.

Page 3: D1BED081d01

Profil Empat Desa Pesisir: Singajaya, Karangsong, Pabean Udik dan Brondong, di Kab. Indramayu 3

2. Gambaran Umum Desa Karangsong dan 3 Desa Sekitarnya (Pabean Udik, Brondong dan Singajaya)

2.1 Sejarah Pembentukan Desa

Desa Karangsong, Pabean Udik dan Brondong pada awalnya berasal dari satu desa, yaitu Desa Pabean Udik. Pada mulanya Pabean Udik masih merupakan wilayah luas yang minim penduduk dan belum berkembang. Pada akhir tahun 1950-an masuklah pendatang dari Losari (Brebes) dan Rambatan Wetan (Kabupaten Indramayu) ke wilayah ini. Mereka mulai membagi-bagi lahan dan membuka usaha tambak. Seiring dengan semakin lajunya perkembangan desa, maka pada tahun 1983 Desa Pabean Udik dipecah dari satu desa menjadi tiga desa, yaitu Desa Karangsong, Brondong dan Pabean Udik. Pendatang dari Losari (Brebes) tersebar di wilayah Desa Karangsong dan Pabean Udik, sedangkan pendatang dari Rambatan Wetan di wilayah Desa Brondong. Penamaan Desa Karangsong adalah gambaran situasi pada saat awal perkembangan desa. Karang artinya hamparan tanah dan Song diambil dari kata kosong.Dengan kata lain Karangsong awalnya adalah hamparan tanah yang masih kosong. Namun sejak kedatangan penduduk dari Losari, kegiatan pertambakan telah mewarnai pesatnya perkembangan desa. Pada akhir tahun 60-an dan awal 70-an pertambakan menjadi jenis usaha dominan di Karangsong dan kedua desa tetangganya yaitu Pabean Udik dan Brondong. Di sebelah Timur Desa Karangsong terdapat Desa Singajaya. Meskipun bertetangga sangat dekat, desa ini memiliki karakteristik dan latar belakang sejarah yang agak berbeda. Singajaya merupakan pecahan dari Desa Singaraja, sebuah desa yang terletak di sebelah Timur Singajaya. Berbeda dengan ketiga desa diatas, Singajaya lebih memiliki karakter sebagai desa agraris ketimbang desa pesisir. Areal persawahan dan kebun merupakan areal yang dominan di wilayah ini. Disamping itu wilayah pantainya yang berpasir kurang mendukung adanya pertambakan. Namun ketika tambak udang mulai marak pada tahun 1990-an, Singajaya merupakan salah satu wilayah yang juga menjadi sasaran pembangunan tambak baru, terutama di daerah yang paling dekat dengan aliran sungai atau di daerah persawahan. 2.2 Keadaan Geografi Desa

Desa Singajaya, Karangsong, Pabean Udik dan Brondong merupakan 4 desa yang masuk ke dalam wilayah Kecamatan Indramayu yang merupakan ibukota Kabupaten Indramayu. Keempat desa ini terletak di sepanjang pesisir Kecamatan Indramayu dan lokasinya berdampingan dari arah Timur ke Barat. Terletak di lokasi paling Timur dari keempat desa adalah Singajaya dan paling Barat adalah Brondong. Di sebelah Timur Desa Singajaya berbatasan dengan Singaraja dan Desa Brondong berbatasan di sebelah Baratnya dengan Kecamatan Sindang. Desa Karangsong terletak di tengah-tengah antara Desa Singajaya dan Pabean Udik. Karangsong memiliki luas wilayah terkecil diantara 3 desa tetangganya, yaitu 512.93 ha. Desa Brondong merupakan desa terluas, yaitu 1.187,32 ha, Pabean Udik 624.93 ha dan Singajaya 977,77 ha (Bappeda Indramayu, 1999). Rata-rata antara 35%-60% dari luas total di masing-masing desa merupakan wilayah pertambakan. Sisanya merupakan perumahan, kebun dan sedikit luasan persawahan. Khusus untuk Singajaya, tetua desa menyebutkan bahwa pada awalnya luas areal persawahan pernah mendominasi total luas desa. Namun data monografi desa tahun 1999 menunjukkan bahwa luas persawahan tinggal 232 ha, lebih kecil dari luas tambak yang sudah mencapai 260 ha. Pengamatan di lapangan tahun 2000 menunjukkan bahwa luas tambak yang ada sudah mencapai 377 ha.

Page 4: D1BED081d01

4 Wetlands International – Indonesia Programme

2.3 Keadaan Penduduk dan Budaya

Kebanyakan penduduk di Desa Karangsong, Pabean Udik, Brondong dan Singajaya adalah penduduk asli Kabupaten Indramayu atau pendatang dari Losari (Brebes) yang sudah berdiam di wilayahnya sejak 30-40 tahun terakhir dan 98% dari mereka beragama Islam.

Data statistik pada tahun 1999 menunjukkan bahwa angka kepadatan penduduk di keempat desa ini relatif rendah, yaitu antara 7-17 orang per ha. Hal ini mungkin disebabkan lebih banyaknya wilayah desa yang terbangun sebagai lahan pertambakan dan/atau pertanian dibandingkan untuk hunian. Jumlah penduduk di Desa Karangsong tahun 1999 tercatat 4,462 orang atau 17 orang/ha dan merupakan wilayah terpadat dibandingkan ketiga desa lainnya. Pabean Udik memiliki jumlah penduduk 8,302 orang, Singajaya 5,468 orang dan Brondong 4,451 orang atau merupakan desa yang terlengang dengan kepadatan penduduk hanya 7 orang/ha (Monografi Desa, 1999).

Dari jenis matapencarian, tercatat bahwa presentase terbesar dari masyarakat Desa Karangsong berprofesi sebagai petambak dan nelayan, begitu pula dengan Desa Pabean Udik dan Brondong. Namun di Singajaya meskipun luas lahan pertanian menyusut ternyata kelompok tani atau buruh tani tetap dominan, sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Jenis mata pencaharian penduduk Desa Karangsong, Pabean Udik, Brondong,

dan Singajaya tahun 1999.

Profesi Ds. Karangsong (org)

Ds. Pabean Udik (org)

Ds. Brondong (org)

Ds. Singajaya (org)

Pegawai Negri Sipil 32 259 148 59 Pegawai swasta 1 10 20 350 TNI/Polri 6 10 20 2 Wiraswasta/pedagang 70 28 296 60 Tani* 254 562 Tani sawah 1138 Tani tambak 350 137 Peternak 1061 Pertukangan 50 31 20 76 Buruh tani 252 53 918 Pensiunan 2 10 177 Nelayan 766 2100 503 12 Pemulung 0 0 29 Jasa 0 0 59 166

* tidak digolongkan secara khusus tani tambak atau tani sawah

Sumber : Monografi Desa Karangsong, Pabean Udik, Brondong, Singajaya tahun 1999 Sebagian besar tingkat pendidikan masyarakat di ke-4 desa adalah tamatan sekolah dasar. Dari diskusi dengan guru-guru di SDN Karangsong terdapat kesan bahwa pendidikan belum menjadi kebutuhan prioritas masyarakat. Tidak dilanjutkannya sekolah ke jenjang yang lebih tinggi seringkali bukan disebabkan oleh ketidakmampuan dari segi ekonomi, tetapi karena persepsi orang tua yang mengganggap sekolah tidak terlalu penting.

Sebagai desa pesisir, Karangsong, Pabean Udik, Brondong dan Singajaya tidak terlepas dari beberapa tradisi nelayan, seperti Upacara Nadran. Upacara ini adalah acara sedekah laut yang mencerminkan rasa terima kasih nelayan atas rejeki yang didapatnya dari hasil laut. Biasanya upacara ini diadakan nelayan Indramayu setiap tahun dan jatuh pada bulan-bulan tujuh atau delapan. Disamping itu satu fenomena sosial yang tidak dapat diabaikan adalah tawuran. Perkelahian antar desa ini merupakan hal lumrah yang terjadi hampir di seluruh pelosok Indramayu dan merupakan budaya yang mereka sendiripun tidak banggakan. Pemicu perkelahian bisa dari hal-hal yang paling sepele, seperti mabuk di acara pesta perkawinan atau adu kuat pemilihan Kepala Desa.

Page 5: D1BED081d01

Profil Empat Desa Pesisir: Singajaya, Karangsong, Pabean Udik dan Brondong, di Kab. Indramayu 5

2.4 Keadaaan Sosial Ekonomi

Sebagai desa pesisir kondisi sosial ekonomi yang menonjol di wilayah Karangsong, Pabean Udik, Brondong dan Singajaya adalah kondisi masyarakat nelayan dan petambak dengan kegiatan perikanannya. Kegiatan ekonomi di 4 desa pesisir ini di bidang perikanan terbagi atas 2 kategori, yaitu:

Perikanan budidaya/ pertambakan Perikanan tangkap

Perikanan budidaya/pertambakan • Pola budidaya

Kegiatan pertambakan berawal tahun 1958 dari Desa Karangsong yang dimulai oleh petani-petani tambak Losari (Brebes-Jawa Tengah). Mereka membuka daerah baru untuk pertambakan seluas 14 ha dengan komoditi ikan bandeng. Kemudian pada tahun 1960-1965 Karangsong diperkenalkan pada budidaya mujair. Pada saat itu nener dengan mudah didapat dari pantai sekitar, terutama di daerah Langgen (Singaraja) dan bibit mujair dari Bandung. Selanjutnya tahun 1972 perkembangan budidaya tambak semakin pesat sejak Koperasi Perikanan Darat (Koperda) didirikan oleh petani tambak pelopor dengan tujuan untuk mewadahi potensi perikanan darat di wilayah ini.

Budidaya udang windu dengan pola tradisional mulai berkembang di Karangsong, Pabean Udik dan Brondong sekitar tahun 1988. Pada masa-masa ini benur masih mudah didapat dari pantai sekitar Indramayu. Namun pada tahun 1994-1995 benur maupun nener harus didapat dari hatchery karena mulai berkembangnya pola tambak intensif dan semi-intensif yang mendorong kenaikan kebutuhan benur dengan sangat pesat, sementara suplai dari pantai di wilayah sekitar semakin langka. Dengan pola budidaya semi-intensif produksi udang windu di Karangsong, Pabean Udik dan Brondong terus mengalami peningkatan sampai dengan tahun 1995 dan mulai mengalami masa sulit pada tahun 1996 karena selalu gagal panen. Sampai tahun 2001 tambak udang windu di Karangsong, Pabean Udik, Brondong masih sulit berproduksi terutama untuk tambak-tambak yang berada di wilayah pantai yang masih terpengaruh pasang surut air laut. Meskipun hasilnya tidak memuaskan (± 50-100kg/ha), untuk mempertahankan kemampuan berproduksi, tambak di wilayah pantai kembali menerapkan pola tradisional, yaitu padat tebar kurang dari 4 benur/m2, pola mix-farming (udang-bandeng) atau membudidayakan bandeng saja dengan masa budidaya sampai 6 bulan. Sementara itu tambak-tambak baru yang berada di wilayah bekas persawahan –seperti di Singajaya- yang hanya mengandalkan air tawar dan sedikit sekali terpengaruh pasang surut air laut, masih mampu berproduksi lebih baik (sampai ±400kg/ha).

• Potensi Area Sampai tahun 1999 potensi area tambak produktif yang terdapat di Kecamatan Indramayu adalah 2.190 ha (Dinas Perikanan, 2000). Potensi ini belum termasuk area persawahan yang telah dirubah menjadi petak-petak tambak baru. Tabel 2 menyajikan perkembangan area pertambakan produktif di Kecamatan Indramayu.

Tabel 2. Potensi Tambak tahun 1998 dan 1999 di Kecamatan Indramayu

Tahun Tanah Milik (ha) Lahan Perum Perhutani (ha)

1998 1.730 248

1999 1.842 248

Page 6: D1BED081d01

6 Wetlands International – Indonesia Programme

Secara umum terlihat penambahan potensi luas areal tambak di Kecamatan Indramayu. Hal ini kemungkinan terjadi karena penambahan luasan areal tanah timbul dan pembukaan tambak baru di sepanjang DAS Cimanuk dan Cabang Cimanuk ke arah darat yang dipacu oleh penurunan produktivitas tambak di daerah tepi pantai. Salah satu wilayah potensial untuk tambak darat ini adalah Desa Singajaya. Perluasan areal tambak ke areal persawahan di Singajaya mulai berkembang tahun 1998, yaitu sejak hancurnya budidaya udang di wilayah tambak pantai. Sampai dengan saat ini luas areal tambak sudah melebihi areal persawahan/pertanian (lihat bab 2.2).

• Kondisi Produksi

Hasil produksi pertambakan di Kabupaten Indramayu umumnya menunjukkan fluktuasi jumlah yang cukup dinamis dalam satu tahun masa produksi sebagaimana tergambar pada diagram dibawah ini.

Gambar 1. Fluktuasi produksi udang windu di Kabupaten Indramayu.

Pada diagram diatas terlihat tiga puncak produksi dalam setahun yaitu Februari, Mei dan September. Berdasarkan pengamatan dan wawancara, kondisi ini diduga berkaitan dengan beberapa beberapa hal, yaitu: 1. Kondisi cuaca yang tidak menentu, dimana suhu udara sering berubah-ubah

menyebabkan stres pada udang yang mengakibatkan turun naiknya produksi 2. Secara umum ada kecenderungan pengalihan komoditi pertambakan dari udang

menjadi ikan bandeng untuk menghindari resiko yang lebih besar 3. Pada bulan-bulan kering ataupun bulan-bulan dengan curah hujan yang terlalu tinggi,

petambak cenderung menunda masa budidaya karena kondisi alam yang tidak kondusif. Tingginya tingkat ketergantungan pada cuaca dan suplai air tawar menyebabkan rendahnya kontinuitas produksi yang mengakibatkan penurunan produktivitas secara keseluruhan.

Sementara itu untuk jenis komoditi tambak, wilayah Kecamatan Indramayu menghasilkan 4 komoditi perikanan antara lain : udang windu, udang putih, udang api, dan bandeng. Meskipun demikian dalam kurun waktu lima tahun (1995-2000) sebagian besar tambak di wilayah pantai Karangsong, Pabean Udik, Brondong dan Singajaya hanya mengandalkan budidaya bandeng dan penangkapan udang harian (udang api dan udang putih). Udang harian yang didapat mencapai 1-5 kg per hari. Dalam satu bulan hanya terdapat sepuluh hari produktif dan selama masa budidaya bandeng (4-6 bulan) biasanya pemasangan perangkap ini produktif untuk masa 3 bulan.

Fluktuasi Produksi Udang WinduTahun 1999

0200400600800

1,0001,2001,4001,600

Janu

ari

Februa

riMare

tApri

lMei

Juni Ju

li

Agustu

s

Septem

ber

Oktobe

r

Novem

ber

Desem

ber

Ton

Page 7: D1BED081d01

Profil Empat Desa Pesisir: Singajaya, Karangsong, Pabean Udik dan Brondong, di Kab. Indramayu 7

Produksi tambak per musim dalam satu tahun di empat desa yaitu Karangsong, Pabean Udik, Brondong dan Singajaya digambarkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Persentase produksi udang windu di Karangsong, Pabean Udik, Brondong dan Singajaya Tahun 1999

Komoditi Produksi (%) Jumlah bibit per 1000 ekor (%)UDANG WINDU

< 3 kw 3-3.5 kw 3.5-4 kw >4 kw < 3 3 – 4 4 – 5 > 5

Musim I 75 14 0 11 3 3 3 91 Musim II 59 22 8 11 8 3 0 89

BANDENG Musim I 41 3 11 45 18 15 22 45 Musim II 32 5 11 52 26 10 25 39

Tabel diatas menunjukkan padat tebar yang mereka lakukan untuk budidaya udang windu adalah lebih dari 5.000 benur dengan hasil 60% - 75% kurang dari 3 kw. Sedangkan budidaya ikan bandeng berkisar 4 kw dengan padat tebar lebih dari 5000 nener dengan waktu budidaya mencapai 6 bulan. Di keempat desa budidaya tambak dilakukan pada luasan rata-rata 1-2 ha dengan jumlah petak yang biasanya lebih dari satu buah dalam satu musim. Dalam satu tahun paling tidak terdapat dua musim tanam. Dengan kondisi produksi sebagaimana tersebut diatas, produktivitas tambak di keempat desa ini, terutama untuk komoditi udang windu, terhitung sangat kecil dibandingkan dengan produksi di tahun 1991-1993. Pada saat itu produksi per ha bisa mencapai 1-2 ton dengan padat tebar lebih dari 30 benur per m² atau mencapai 300.000 benur/ha. Penurunan tingkat produksi tambak, terutama pada tambak di dekat pantai, diduga akibat dari menurunnya kualitas lingkungan di dalam dan di luar tambak. Tambak di lokasi Karangsong, Pabean Udik dan Brondong umumnya sudah beroperasi minimal antara 10-15 tahun dengan pola semi-intensif. Artinya pestisida, pupuk dan bahan-bahan anorganik sudah digunakan oleh petambak sejak kurun waktu tersebut, karenanya sangat mungkin terjadi penumpukan bahan-bahan anorganik dan pestisida yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air dalam tambak. Kondisi tersebut dapat dilihat dari grafik penggunaan pestisida dibawah ini.

Gambar 2. Persentase pemakaian pestisida pada budidaya perikanan.

Persentase Pemakaian Saprodi Pestisida37%

2%

25%

15%

1%

20%

0%5%

10%15%

20%25%30%35%

40%

Supercide Drusban Thiodan Akodan Diazinon Bristan

Jenis Pestisida

Page 8: D1BED081d01

8 Wetlands International – Indonesia Programme

Diperkirakan hampir semua petani tambak pernah menggunakan pestisida dan 56% dari petambak sudah menggunakannya sejak tahun 1980-an. Tingkat penggunaan jenis pestisida pada tahun 1980-an saat tambak udang mendominasi, diperkirakan berbeda dengan tingkat penggunaan jenis pestisida pasca 1997 dimana bandeng adalah komoditi utama. Namun kondisi tersebut sangat mungkin memberikan kontribusi cukup besar pada kegagalan produksi tambak udang antara tahun 1995-1997 di Karangsong, Pabean Udik dan Brondong.

• Pemasaran hasil

Penjualan hasil tambak biasanya dilakukan kepada bakul (pengumpul) dan hampir tidak ada petambak yang langsung berhubungan dengan pasar lokal. Ada 2 jenis bakul, yaitu bakul langgan dan bakul eceran. Bakul langgan adalah pembeli/pengumpul hasil tambak dari petambak yang secara berlangganan mengambil pakan, bibit atau obat-obatan secara berhutang kepada yang bersangkutan. Bakul eceran adalah pengumpul hasil pertambakan dari petambak, termasuk yang tidak memiliki ikatan hutang piutang terhadapnya. Dalam hubungan jual beli, petambak yang terikat hutang terhadap bakul harus menjual hasil tambaknya kepada bakul langgan. Sedangkan petambak yang tidak memiliki hubungan hutang piutang dengan bakul, bebas menjual hasil pertambakannya kepada bakul mana saja. Selisih harga beli bakul eceran mencapai Rp. 1.000 lebih tinggi dibandingkan dengan bakul langgan. Penjualan hasil tambak pada bakul langgan dengan alasan hutang piutang dilakukan oleh 64 % petambak, hubungan jual beli karena ikatan saudara dilakukan oleh 24% petambak, sedangkan sisanya melakukan penjualan ke pihak lain karena harga lebih tinggi (lihat Gambar 3). Sembilan puluh persen cara pembayaran hutang dilakukan berdasarkan sistem yarnen (bayar setelah panen) dan hanya 7% yang melakukan pembayaran dengan cara mencicil. Sebagian besar yang memiliki hutang piutang adalah petani tambak ikan bandeng.

Gambar 3. Tempat penjualan hasil panen budidaya pertambakan.

• Tingkat pendapatan Dari segi pendapatan, rata-rata petani tambak mempunyai penghasilan bersih pada kisaran Rp 500 ribu – 1 juta dan antara Rp 300 ribu – 500 ribu rupiah per bulan. Penghasilan ini mereka dapatkan dari penjualan hasil tangkapan udang harian dan hasil budidaya. Petani tambak sendiri pada umumnya terlihat memiliki tingkat kesejahteraan yang cukup baik. Hal ini terlihat pada luas rumah yang ditempati, yaitu antara 60-120 m², tipe rumah yang kebanyakan permanen, beratap genteng, berdinding tembok dan berlantai tegel/keramik.

Tempat Menjual Hasil Panen

Bakul Eceran10%

Bakul Langgan76%

TPI0% Lain-lain

14%

Page 9: D1BED081d01

Profil Empat Desa Pesisir: Singajaya, Karangsong, Pabean Udik dan Brondong, di Kab. Indramayu 9

Sebagian besar rumah adalah milik sendiri dan rata-rata sudah mempunyai fasilitas kamar mandi dan WC sendiri. Hampir semua petambak memiliki sambungan listrik dan sebagian besar sudah menikmati instalasi ledeng untuk penyaluran air bersih dari PDAM.

• Kepemilikan lahan Area pertambakan di keempat desa merupakan tanah timbul hasil pengendapan lumpur dari sungai Cimanuk yang dibawa oleh Kali Prajagumiwang, Kali Cabang Cimanuk dan Kali Prawirokepolo yang bermuara di wilayah pantai Karangsong, Pabean Udik, Brondong dan Singajaya. Tanah timbul dianggap penduduk sebagai tanah tak bertuan, sehingga bebas untuk dimiliki. Proses perijinan kepemilikan bisa diurus hanya sampai ke Kepala Desa saja. Meskipun tanah masih belum terbentuk, masyarakat dapat meminta hak atas tanah di bibir pantai tersebut untuk pertambakan. Seringkali terjadi karena abai meninjau kondisi sesungguhnya di lapangan, Kepala Desa mengeluarkan ijin atas tanah tersebut, sehingga terjadi tumpang tindih kepemilikan yang kerap memicu konflik. Kondisi tersebut diatas berjalan sejak dimulainya usaha pertambakan di keempat desa. Oleh karena itu guna menata kepemilikan lahan, maka pada tahun 1974 masyarakat berinisiatif membentuk panitia informal yang bertugas memetakan dan mendokumentasikan catatan kepemilikan. Permohonan ijin menggarap tetap diajukan ke Kepala desa, namun harus dikoordinasikan dengan panitia ini untuk mencek apakah tanah yang diajukan sudah lebih dahulu dikeluarkan ijin garapannya kepada orang lain. Setelah pembelokkan Sungai Cimanuk menjauhi kota Indramayu, aliran sungai ini melalui Kali Prajagumiwang terputus, sehingga tanah timbul tidak lagi terbentuk di Karangsong, Pabean Udik dan Singajaya. Bahkan lahan tambak yang sudah punya ijin menggarap cenderung rawan terhadap bahaya abrasi. Terhitung pada tahun 2000 terdapat 147,2 ha lahan tambak yang habis tergerus ombak. Kondisi ini dengan sendirinya mereduksi konflik penggunaan tanah timbul antar masyarakat, tapi tetap berpotensi untuk menimbulkan konflik vertikal dengan pemerintah, karena masyarakat yang melakukan penanaman mangrove di lokasi diatas menginginkan hak pengelolaan terhadap areal mangrove tersebut.

Perikanan tangkap • Jenis dan Jumlah Alat tangkap serta Wilayah Penangkapan

Di Kecamatan Indramayu terdapat 6 desa pantai, yaitu : Pabean Ilir, Brondong, Pabean Udik, Karangsong, Singajaya dan Singaraja. Pada tahun 1998 jumlah kapal penangkap ikan yang tercatat beroperasi di keenam desa ini adalah 1.116 buah dan jumlah nelayan tercatat 7.783 orang. Nelayan yang ada di pesisir Indramayu terbagi dalam beberapa kategori berdasarkan ukuran kapal, yaitu : 1. Nelayan kecil dengan ukuran kapal 1 – 5 ton 2. Nelayan sedang dengan ukuran kapal 5 – 10 ton 3. Nelayan besar dengan ukuran kapal diatas 10 ton Secara umum nelayan kecil mendominasi tipe nelayan yang beroperasi di Kecamatan Indramayu, yaitu sekitar 88%. Sebagian besar nelayan menggunakan perahu berukuran 1 – 5 ton dengan kapasitas mesin 8- 12 PK . Nelayan sedang hanya 8% dan nelayan besar 4% dari jumlah nelayan. Lazimnya ukuran perahu sangat mempengaruhi wilayah penangkapan. Untuk nelayan yang memiliki perahu kecil dan sedang wilayah penangkapannya hanya di wilayah pantai dengan daerah jelajah sampai 4 – 12 mil dari pantai di kedalaman 5 – 20 m. Sedangkan untuk nelayan besar wilayah penangkapan bisa sampai di wilayah ZEE atau diluar 12 mil dari pantai. Namun kenyatannya ukuran perahu tidak membatasi daerah penangkapan nelayan Indramayu. Banyak nelayan-nelayan kecil yang beroperasi sampai ke daerah Kalimantan dan Sumatera, terutama nelayan jaring rampus (jaring rajungan).

Page 10: D1BED081d01

10 Wetlands International – Indonesia Programme

Keberanian untuk mengarungi laut ke wilayah tangkap yang jauh dimotivasi oleh keinginan untuk memanfaatkan waktu tangkap sepanjang tahun. Oleh karena itu nelayan-nelayan kecil di Karangsong, Pabean Udik, Brondong dan Singajaya rata-rata memiliki lebih dari satu alat tangkap, seperti: jaring rampus, jaring belanak, jaring icik/jaring kantong, atau pukat pantai yaitu : arat dan otok. Untuk jumlah jaring, sebagian besar nelayan hanya memiliki 30 – 40 piece per set jaring, sedangkan untuk ukurannya, pukat pantai (jaring arat) memilki lebar 8 –12 m. Dengan memiliki alat tangkap yang beragam, musim tidak begitu berpengaruh terhadap kegiatan penangkapan dan mereka dapat melaut sepanjang tahun.

Berdasarkan data dari Dinas Perikanan dan TPI Brondong jumlah dan jenis alat tangkap yang ada di Kabupaten Indramayu adalah sebagai berikut :

Tabel 4. Perkembangan jumlah alat tangkap

Jumlah Alat Tangkap (unit) No Jenis Alat Tangkap

1998 1999 1 Purse seine 84 75 2 Lampara (jr. kantong) 553 673 3 Pukat pantai 91 62 4 Jaring insang 1.717 1.326 5 Pancing 354 160 6 Sero 92 270 7 Jaring klitik 3.280 2.652 8 Dogol 100 81

Jumlah alat tangkap ini sangat berpengaruh dan dipengaruhi oleh hasil produksi perikanan tangkap di Indramayu. Terlihat pada tabel bahwa hampir sebagian besar alat tangkap mengalami penurunan jumlah. Hal ini disebabkan hasil tangkapan yang cenderung menurun, sehingga pendapatan menurun. Sementara itu biaya operasional cenderung naik, sehingga mengurangi kemampuan nelayan untuk membeli alat baru. Disamping itu harga alat tangkap, yang kebanyakan masih impor, sangat dipengaruhi oleh melemahnya nilai rupiah terhadap dollar, sehingga harga semakin mahal dan tak terjangkau. Dilain pihak harga jual hasil tangkapan tidak mengalami peningkatan.

• Produksi Hasil Perikanan Tangkap

Produksi perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu mencapai 61.968 ton dengan nilai Rp 424.653.070.000 (1998) dan 60.976,5 ton dengan nilai Rp 421.386.315.000 (1999). Terlihat kecenderungan penurunan produksi. Diduga penurunan produksi ini disebabkan oleh: 1. Masih banyaknya muara sungai yang berfungsi sebagai pintu lalu lintas nelayan

mengalami pendangkalan.

2. Pelayanan KUD sebagai pengelola TPI (tempat pelelangan ikan) terhadap nelayan yang masih kurang sehingga menyebabkan banyak nelayan mendaratkan hasil produksinya di tempat lain, terutama untuk nelayan yang beroperasi di laut lepas.

3. Keterikatan nelayan terhadap bakul dalam hubungan hutang piutang sehingga nelayan harus menjual ke bakul terutama bagi nelayan kecil.

4. Teknologi penanganan pasca panen (penangkapan) yang masih kurang baik, sehingga mengurangi tingkat mutu produksi perikanan yang akan di pasarkan.

Page 11: D1BED081d01

Profil Empat Desa Pesisir: Singajaya, Karangsong, Pabean Udik dan Brondong, di Kab. Indramayu 11

Produksi perikanan tangkap untuk Karangsong, Pabean Udik, Brondong dan Singajaya dapat dilihat dari data perikanan di 3 buah TPI yang terkait. Untuk wilayah Desa Pabean Udik dan Brondong berada di daerah kerja TPI Mina Sumitra, untuk Desa Karangsong berada pada wilayah kerja TPI Jaya Makmur sedangkan untuk Desa Singajaya berada pada daerah kerja TPI Sangkan Ulaban (Desa Singaraja). Produksi penangkapan di TPI Jaya Makmur Desa Karangsong, dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 4. Poduksi penangkapan di TPI Jaya Makmur, Desa Karangsong.

Grafik diatas menunjukkan produksi tahunan TPI Jaya Makmur Desa Karangsong cenderung menurun, terutama pada bulan-bulan April-Oktober. Hal ini karena minimnya kegiatan lelang pada bulan-bulan tersebut. Permasalahan mendasar di TPI Karangsong adalah dangkalnya muara Sungai Prajagumiwang sehingga menyulitkan pendaratan ikan hasil tangkapan bagi nelayan-nelayan besar. Sementara itu sebagian besar nelayan kecil di wilayah kerja TPI Jaya Makmur langsung menjual tangkapannya ke bakul langgan karena adanya ikatan hutang piutang kepada bakul, baik berupa modal kerja, operasional penangkapan atau kebutuhan rumah tangga.

Untuk produksi penangkapan di wilayah kerja TPI Sangkan Ulaban Desa Singaraja disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Produksi penangkapan di TPI Sangkan Ulaban, Desa Singaraja.

Grafik Produksi Penangkapan di TPI Jaya Makmur Karangsong

0

10000

20000

30000

40000

50000

60000

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

Pro

duks

i (kg

)

1995 1996 1997 1998 1999

Grafik Produksi Penangkapan di TPI Sangkan Ulaban Singaraja

0

5000

10000

15000

20000

25000

30000

35000

40000

45000

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

Prod

uksi

(kg)

1995 1996 1997 1998 1999

Page 12: D1BED081d01

12 Wetlands International – Indonesia Programme

Sama halnya dengan TPI Jaya Makmur, nelayan-nelayan yang masuk ke TPI Sangkan Ulaban adalah nelayan kecil dan sedang, dimana wilayah penangkapan mereka adalah di daerah 4 –12 mil dari pantai dan sangat tergantung pada musim. Umumnya nelayan besar tidak masuk ke TPI ini karena dangkalnya muara sungai. Implikasinya adalah produksi tangkapan mencapai puncaknya hanya antara bulan Januari – April, karena pada bulan-bulan tersebut angin barat (musim barat) masih terjadi sehingga nelayan kecil dengan mudah melaut di wilayah pesisir, dimana angin dan gelombang tidak terlalu besar karena terhalang oleh Tanjung Indramayu. Sedangkan pada musim Timur nelayan cukup sulit melaut karena pantai Indramyu menghadap ke arah Timur yang menyebabkan angin dan gelombang cukup besar. Sebagian besar nelayan yang masuk ke daerah ini adalah nelayan pukat pantai seperti jaring otok, jaring arat dan jaring icik, jaring kantong, jaring rampus (jaring rajungan), jaring belanak dan jaring gillnet, sero serta pancing. Tingkat keterikatan nelayan dengan TPI Sangkan Ulaban cukup besar. Semua kapal nelayan yang masuk ke Singaraja harus melelang ikannya di TPI sehingga nenunjang peningkatan produksi TPI Sangkan Ulaban Singaraja. Produksi TPI di 2 desa yaitu Karangsong dan Singaraja sebagian besar mencerminkan produktifitas nelayan berukuran kecil sampai sedang. Sedangkan untuk tingkat produktifitas nelayan kecil sampai nelayan besar dapat dilihat dari kegiatan pelelangan TPI Mina Sumitra Desa Brondong pada Gambar 6. Fluktuasi produksi hasil perikanan di TPI Mina Sumitra Brondong mencapai puncaknya antara bulan September – November dan bulan April sepanjang tahun. Pada tiga tahun terakhir (1997-1999) hasil produksi perikanan tangkap mengalami penurunan signifikan. Hal ini disebabkan oleh pengaruh iklim global yang tidak lagi dapat diprediksi, kemungkinan besar karena dampak dari fenomena El Nino dan La Nina. Disamping itu terjadi peningkatan biaya operasional melaut yang tidak diikuti peningkatan harga ikan yang cukup berarti. Kondisi ini membuat nelayan lebih memilih mengurangi waktu penangkapan. Ada kecenderungan sebagian nelayan-nelayan besar mendaratkan ikannya langsung ke PPI (pusat pendaratan ikan) Muara Baru Jakarta, karena alasan harga jauh lebih baik dibandingkan dengan TPI Mina Sumitra.

Gambar 6. Produksi penangkapan di TPI Mina Sumitra, Desa Brondong.

Sementara itu untuk kondisi produksi bulanan dalam satu tahun dapat dilihat pada Gambar 7.

Grafik Produksi Penangkapan di TPI Mina Sumitra Desa Brondong

0

100000

200000

300000

400000

500000

600000

700000

800000

900000

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

Pro

duks

i (kg

)

1995 1996 1997 1998 1999

Page 13: D1BED081d01

Profil Empat Desa Pesisir: Singajaya, Karangsong, Pabean Udik dan Brondong, di Kab. Indramayu 13

Gambar 7. Fluktuasi produksi penangkapan ikan bulanan tahun 2000 di TPI Mina Sumitra.

Dari fluktuasi produksi bulanan selama tahun 2000 (Januari – September) terlihat bahwa produksi penangkapan bulanan di TPI Mina Sumitra mencapai puncaknya pada bulan Maret-Mei dan Agustus – September. Bulan-bulan tersebut merupakan transisi antara Musim Barat dan Musim Timur atau sebaliknya, dimana pada saat itu nelayan mulai berani untuk melaut ke laut lepas dan ZEE setelah menunggu berlalunya Musim Barat yang biasanya disertai dengan kondisi cuaca yang buruk dan angin yang kencang. Hasil tangkapan nelayan-nelayan besar yang masuk ke TPI di Kecamatan Indramayu tidak dapat menggambarkan produktifitas sumberdaya hayati perairan Kabupaten Indramayu. Hal ini karena wilayah penangkapan kapal-kapal nelayan jauh berada di luar wilayah Propinsi Jawa Barat, yaitu di perairan Laut Jawa (antara Jawa Tengah sampai Kalimantan) bahkan sampai ke wilayah ZEE. Hanya nelayan kecil yang umumnya beroperasi di sekitar Indramayu. Sangat sulit sekali mendata produktifitas sumberdaya hayati perairan pesisir Indramayu, karena banyak nelayan kecil yang penjualannya langsung ke bakul. Sedikit sekali nelayan kecil yang tergarap oleh pihak TPI yang ada di kecamatan Indramayu, kecuali di TPI Sangkan Ulaban Singaraja.

• Pemasaran hasil tangkap TPI merupakan sarana pemasaran hasil tangkapan yang sangat penting bagi nelayan. Pada umumnya peranan TPI terhadap peningkatan harga jual hasil tangkapan nelayan cukup signifikan, karena penjualan dilakukan dengan sistem lelang. Namun disisi lain, keberadaan bakul atau tengkulak ikan merupakan komponen yang hampir tidak dapat dipisahkan dalam struktur sosial ekonomi nelayan Indramayu.

Di Karangsong, Pabean Udik, Brondong dan Singajaya sebagian besar nelayan kecil langsung menjual hasil tangkapannya kepada bakul langgan karena adanya ikatan hutang piutang kepada bakul, baik dalam modal kerja, operasional penangkapan maupun kebutuhan rumah tangga. TPI lebih banyak dirasakan manfaatnya oleh nelayan besar, anggota KUD dari TPI yang bersangkutan atau nelayan yang tidak memiliki hutang ke bakul.

Sementara itu bakul yang memiliki modal besar dikatagorikan sebagai depot. Kemampuan depot menghutangi nelayan cukup tinggi, biasanya lebih dari 10 orang nelayan, dengan jumlah pinjaman per nelayan dapat berkisar 1 – 3,5 juta rupiah dan cicilan berdasarkan kesepakatan bersama. Sampai saat ini fasilitas kredit dari lembaga keuangan formal masih belum menjangkau nelayan sehingga ketergantungan dengan bakul sangat tinggi.

Sebagian besar nelayan kecil lebih memilih mendapatkan pinjaman modal dari bakul langgan karena persyaratan yang diajukan bakul langgan sangat fleksibel. Pihak bakul langgan tidak membatasi waktu pinjaman maupun meminta jaminan. Mereka hanya

241,242 241,369

426,120 428,392

492,784

285,221326,737

440,302

507,200

-

100,000

200,000

300,000

400,000

500,000

600,000

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep

Page 14: D1BED081d01

14 Wetlands International – Indonesia Programme

mensyaratkan hasil penangkapan harus dijual kepada mereka. Namun dari sinilah mereka meraup keuntungan, karena selisih harga yang terjadi antara bakul eceran dan TPI dengan bakul langgan (tengkulak) bisa mencapai Rp 5.000.

Pada dasarnya jumlah biaya operasional yang dibutuhkan nelayan kecil untuk melaut hanya berkisar antara Rp 20 – 50 ribu. Ini berkaitan dengan wilayah penangkapan yang sangat dekat dengan pantai (4 – 12 mil) dan waktu melaut yang hanya memakan waktu 1 hari atau setiap hari pulang pergi, karena lama perjalanan ke wilayah penangkapan biasanya kurang dari 6 jam. Biaya yang terhitung besar adalah biaya-biaya perbaikan kapal dan alat tangkap. Dengan porsi biaya sedemikian, peranan KUD yang mengelola TPI di keempat desa ini sangat diperlukan bagi nelayan untuk kegiatan simpan pinjam. Pada umumnya nelayan mengharapkan keterlibatan KUD untuk mengatasi permasalahan hutang piutang mereka pada bakul agar mereka dapat melelang ikannya di TPI dengan bebas dan harga bersaing.

Gambar 8. Kegiatan pelelangan ikan di TPI Mina Sumitra, Desa Brondong.

• Tingkat pendapatan

Rata-rata pendapatan bersih nelayan per bulan berkisar antara Rp 300.000-Rp 500.000. Pendapatan ini digunakan membiayai jumlah anggota keluarga antara 5-7 orang dalam satu rumah tangga. Dari sisi kecukupan tempat tinggal, sebagian besar nelayan memiliki rumah sendiri dengan tipe sederhana dan semi permanen dengan luasan rata-rata <60 m², dengan konstruksi dinding berupa tembok dan/atau gedek, kebanyakan berlantai tanah dan beratap genteng. Sebagian besar rumah-rumah nelayan ini sudah memanfaatkan fasilitas listrik dan hampir semua menggantungkan suplai air tawarnya dari PDAM, baik melalui penyambungan ledeng sendiri atau membeli ke tetangga. Untuk nelayan yang terikat hubungan dengan bakul, kebutuhan sehari-haripun dapat dipenuhi dengan menghutang pada bakul.

• Struktur sosial

Dalam struktur sosial nelayan Indramayu terdapat istilah juragan, jurumudi dan bendega. Juragan adalah pemilik kapal. Juragan mempekerjakan jurumudi dan bendega atau bisa juga mengemudikan sendiri kapalnya dengan dibantu para bendega baik dari keluarga sendiri maupun orang lain. Jurumudi merupakan pemimpin kapal selama melaut, sedangkan bendega adalah anak buah kapal yang bekerja di kapal tersebut. Garis tanggungjawab sangat tegas, jurumudi merupakan pemimpin kapal yang paling bertanggungjawab terhadap keberhasilan operasi penangkapan. Oleh karena itu terdapat sistem pembagian upah yang bertingkat berdasarkan hasil tangkapan atau sistem bagi hasil bertingkat. Juragan menerima 50% dari pendapatan hasil operasi setelah di potong biaya operasional yang ditanggung oleh bendega (ABK) dan jurumudi, serta biaya perbaikan kapal/alat tangkap. Jurumudi mendapat bagian lebih tinggi dibandingkan bendega.

Page 15: D1BED081d01

Profil Empat Desa Pesisir: Singajaya, Karangsong, Pabean Udik dan Brondong, di Kab. Indramayu 15

2.5 Keadaan Lingkungan Pesisir

2.5.1 Karakter pantai

Pantai utara Jawa menghadap ke arah Laut Jawa yang pada dasar lautnya merupakan paparan Sunda, dengan kedalaman laut kurang dari 200 m. Pada paparan tersebut merupakan tempat bertemunya lempeng litosfer yang berpengaruh terhadap bentuk topografi pantai. Secara mikro pada Desa Singajaya, Karangsong, Pabean Udik dan Brondong yang keempatnya merupakan desa pesisir memiliki bentuk topografi relatif datar, karena terbentuk dari endapan sedimen yang dihasilkan dari sungai Cimanuk. Pola arus pantai Utara Jawa, khususnya wilayah Indramayu dipengaruhi oleh tiga macam pola angin yang bertiup yaitu angin musim timur, musim angin barat dan musim peralihan. Pada bulan Desember sampai Pebruari pada saat bertiup angin barat, arus laut bergerak dari arah Barat ke Timur dan sebaliknya antara bulan Juli sampai Agustus arus laut bergerak dari arah Timur ke Barat karena pengaruh musim angin timur. Pada Periode bulan Maret sampai Mei dan September sampai Nopember merupakan periode peralihan arah arus. Pada periode ini kekuatan arus relatif rendah dan laut dalam kondisi relatif tenang. Di sekitar pesisir Indramayu, kecepatan arus permukaan pada musim barat dan musim angin timur diperkirakan mencapai 25 cm/detik sementara pada periode peralihan diperkirakan hanya berkisar 12 cm/dt. Oleh karena fenomena tersebut maka pada musim angin barat dan musim angin timur terjadi pola penggerusan pantai yang berbeda. Pada musim angin barat penggerusan pantai terjadi lebih intensif di sebelah barat Tanjung Indramayu, yaitu dari Desa Brondong ke arah Barat, sementara di sebelah Timur relatif terlindung oleh bentukan Tanjung Indramayu yang menjorok ke arah laut. Sebaliknya pada musim angin Timur penggerusan pantai terjadi lebih intensif pada bagian Timur Tanjung Indramayu, yaitu di wilayah Pabean Udik, Karangsong dan Singajaya. Sebagai desa-desa yang terletak di wilayah pesisir Laut Jawa, wilayah laut dimana sedikitnya bermuara 22 buah sungai di Jawa Barat, maka tingkat laju penambahan tanah karena sedimentasi atau disebut tanah timbul cukup pesat terjadi di Karangsong, Pabean Udik, Brondong dan Singajaya. Sebaliknya, pengikisan lahan karena abrasi juga terjadi sebagaimana diilustrasikan diatas. Dari foto udara tahun 1969 dan peta rupa bumi Kabupaten Indramayu 1983 terlihat bahwa dalam kurun waktu 14 tahun tersebut Desa Karangsong, Pabean Udik dan Brondong mengalami perubahan bentuk muka pantai karena sedimentasi dengan total luas penambahan ± 444 ha, dengan rincian : a) Brondong 260 ha, b) Pabean udik 103 ha, c) Karangsong 45 ha dan d) Singajaya 36 ha. Untuk skala Kabupaten, catatan Bappeda Indramayu menunjukkan bahwa jumlah luasan tanah timbul di Kabupaten Indramayu sampai dengan tahun 1999 adalah seluas ± 3000 ha. Pada tahun 1982-1983 sungai Cimanuk yang sedianya mengalir di tengah kota Indramayu dan memiliki anak-anak sungai yang bermuara ke Karangsong dan Pabean Udik dibelokkan arahnya menjauhi kota guna menghindari bahaya banjir. Akibatnya pasokan air tawar permukaan ke desa-desa tersebut terputus dan aliran sedimen yang diharapkan memperluas penambahan tanah timbul tidak lagi terjadi. Kondisi ini kemudian mengakibatkan rentannya wilayah muara di Karangsong , Pabean Udik, Singajaya dan Brondong terhadap abrasi. Berdasarkan perbandingan antara luas pemetaan wilayah pesisir keempat desa tersebut pada tahun 1974 dengan ground check kondisi di lapangan pada tahun 2000 di wilayah pesisir yang sama, maka terhitung bahwa total luasan lahan yang tergerus abrasi di keempat desa tersebut adalah 147,2 ha, dengan rincian : a) Brondong 42 ha, b) Pabean udik 62,1 ha, c) Karangsong 27,3 ha dan d) Singajaya 15,8 ha. Untuk skala Kabupaten, catatan Bappeda Indramayu menunjukkan bahwa jumlah luasan tanah yang terkena abrasi di Kabupaten Indramayu sampai dengan tahun 1999 adalah seluas ± 1800 ha.

Page 16: D1BED081d01

16 Wetlands International – Indonesia Programme

Ombak pada pantai Indramayu termasuk tipe ombak landai, sehingga secara alami apabila vegetasi pesisir tidak diganggu atau dirusak maka kawasan pesisir relatif aman dari gangguan ombak dan sebaliknya intensitas arus dan ombak yang relatif konstan tersebut akan berubah menjadi bencana penghancuran stabilitas garis pantai apabila terjadi perubahan bentang alam dari kondisi alamiahnya maupun perusakan vegetasi pesisir khususnya hutan mangrove. Karakteristik ini menjelaskan kondisi abrasi yang terjadi diatas, karena menurut data tahun 1998 wilayah potensial mangrove di Kabupaten Indramayu seluruhnya sudah dikategorikan rusak (Kusmana, 1998). Pasang surut (pasut) adalah gerakan naik turunnya muka laut secara beraturan yang disebabkan oleh gaya tarik bumi dan matahari. Pasang surut pantai utara Jawa termasuk kedalam tipe campuran condong ke harian tunggal. Pada daerah dengan tipe pasut tipe ini dalam 24 jam terjadi satu kali pasang dan satu kali surut, akan tetapi kadang-kadang untuk sementara terjadi dua kali pasang dan dua kali surut. Untuk wilayah keempat desa ini pasang surut terjadi dua kali sehari dengan perbedaan tinggi pasang surut antara 50-100 cm. 2.5.2 Tanah dan pembentukan lahan

Pembentukan lahan Daerah Brondong, Pabean Udik, Karangsong dan Singajaya merupakan 4 desa dari 6 desa pesisir di Kecamatan Indramayu yang terletak di wilayah delta yang sangat luas di bagian muara sungai Cimanuk. Proses pembentukan delta tersebut terjadi dua kali yang mengakibatkan terjadinya endapan lama dan endapan baru. Kedua endapan ini dipisah oleh beting pasir pantai lama yang sejajar dengan pantai saat ini. Endapan lama dicirikan dengan adanya bahan yang lebih matang dan halus, sedangkan endapan baru dicirikan dengan adanya bahan tanah yang belum matang dan kasar. Secara fisik hal diatas dapat dilihat pada peta bentuk lahan (landform) di bawah ini ° Beting pasir (A1.3), ° Endapan delta baru (A1.5), ° Dataran rendah bekas delta lama (A1.6), dan ° Tanggul sungai (A2.6). Dataran rendah bekas delta lama (A1.6) dan endapan delta baru (A1.5) merupakan delta yang terbentuk oleh sungai Cimanuk pada masa lalu dengan batas alami beting pasir lama (A1.3). Endapan delta baru dipengaruhi oleh bahan dari laut (marin) termasuk adanya air pasang surut, sedangkan dataran rendah bekas delta lama sudah tidak dipengaruh oleh bahan marin dan lebih banyak dipengaruh oleh bahan baru dari sungai, tetapi diantara keduanya terdapat daerah peralihan. Beting pasir lama (A1.3) merupakan bekas pantai lama yang hampir sejajar dengan pantai sekarang. Tanggul sungai (A2.6) merupakan tanggul alami di sepanjang sungai Cimanuk. Peta tentang fisiografi tanah dapat dilihat pada Gambar 9.

Tanah • Proses pembentukan tanah

Pembentukan tanah di ke-4 desa dimulai dengan proses erosi pada daerah hulu yang dilanjutkan dengan proses pengendapan di daerah hilir. Bahan-bahan tersebut terangkut melalui sungai Cimanuk, kemudian diendapkan di laut. Karena adanya tekanan oleh air laut bahan tersebut dihempaskan kembali ke arah darat. Proses tarik-menarik antara banjir dan tekanan air laut (ombak) ini akan membentuk beting pantai. Tanah pada daerah ini umumnya bertekstur kasar, mengandung sulfida, susunannya berlapis-lapis karena pengendapan bahan-bahan di daerah hulu yang terangkut oleh sungai Cimanuk dan berlangsung secara periodik.

Page 17: D1BED081d01

Profil Empat Desa Pesisir: Singajaya, Karangsong, Pabean Udik dan Brondong, di Kab. Indramayu 17

Sumber: Peta Rupa Bumi – Indonesia, Lembar 1309-423, Edisi 1-1990, dan adaptasi di lapangan.

Gambar 9. Peta Fisiografi Tanah.

Page 18: D1BED081d01

18 Wetlands International – Indonesia Programme

• Klasifikasi tanah Tanah-tanah di ke-4 desa sebagian besar merupakan lahan basah yang berpenyebaran sangat luas. Lahan basah ini selalu dipengaruhi oleh air pasang surut secara permanen dengan ketinggian air pasang mencapai + 1 meter.

• Sifat Umum tanah

Tanah di ke-4 desa umumnya memiliki sifat-sifat sebagai berikut : - merupakan endapan pasir dan liat yang selalu jenuh air, mengandung sulfat dan

karbon organik tinggi - merupakan bentukan dari endapan sungai dan laut. Tersebar pada endapan delta

lama dan sebagian kecil pada endapan delta baru. Tanah mengandung kadar garam yang cukup tinggi dan bersifat hidromorf.

• Peta Tanah dan Kesesuaian Lahan

Legenda Peta Tanah menggambarkan keadaan tanah di ke-4 desa dengan masing-masing ciri, letak, kondisi pemanfaatannya sekarang dan kesesuaian lahan yang dianjurkan (Tabel 5). Secara lengkap sebaran lokasi sesuai dengan jenis tanah dan kesesuaian lahannya dapat dilihat pada Gambar 10.

Tabel 5. Uraian Satuan Peta Tanah

Uraian SPT 1 SPT 2 SPT 3 SPT 4 SPT 5

Luas (ha) 631 418 254 966 165

Ciri-ciri Lumpur, kadar garam tinggi

Lempung, kadar garam dan pirit tinggi

Berpasir, tidak menyerap air

Tanah liat, kadar garam tinggi, penyerapan air terhambat

Tanah liat, penyerapan air sedang

Letak endapan delta baru bagian tengah di sepanjang pantai, terbentuk dari bahan induk endapan sungai dan laut berupa endapan lumpur

delta baru bagian hilir hampir berbatasan dengan pantai, terbentuk dari bahan induk endapan lumpur.

terdapat di sepanjang beting pantai (sand dunes), terbentuk dari bahan induk pasir pantai.

dataran delta lama, terbentuk dari endapan sungai.

dataran delta lama, terbentuk dari endapan sungai.

Pemanfaatan Empang/tambak. empang/tambak dan hutan mangrove (api-api)

dataran pasir bervegetasi cemara laut dan sebagian belukar pantai.

sawah yang diberakan kecenderungan akan dijadikan empang

kebun campuran dan pemukiman

Kesesuaian Lahan

Lahan sesuai untuk tambak (Bandeng)

Lahan sesuai untuk tanaman kehutanan

Lahan sesuai untuk tanaman kehutanan dan pariwisata

Lahan sesuai untuk pertanian (padi sawah dan tanaman pangan)

Lahan sesuai untuk tanaman buah-buahan

• Kesesuaian Lahan

Di wilayah ke-4 desa ini secara umum status kesuburan tanah di daerah penelitian tergolong tinggi. Tinggi tingkat kesuburan tanah tersebut disebabkan oleh pH tanah netral, kandungan karbon organik sedang, Nitrogen rendah, Fosfor dan Kalium sangat tinggi. Kondisi fisik tanah tergolong agak baik untuk pertanian, perikanan dan konstruksi bangunan, namun kurang baik untuk infrastruktur (jalan dan saluran).

Page 19: D1BED081d01

Profil Empat Desa Pesisir: Singajaya, Karangsong, Pabean Udik dan Brondong, di Kab. Indramayu 19

Sumber: Peta Rupa Bumi – Indonesia, Lembar 1309-423, Edisi 1-1990, dan adaptasi di lapangan.

Gambar 10. Peta Kesesuaian Lahan.

Page 20: D1BED081d01

20 Wetlands International – Indonesia Programme

Penilaian kesesuaian lahan dilakukan berdasarkan kecocokannya untuk penggunaan pertanian khususnya komoditas padi sawah, tanaman pangan (palawija), buah-buahan dan non pertanian yaitu tanaman kehutanan dan tambak.

Kesesuaian untuk pertanian Lahan pertanian yang dijumpai di wilayah Brondong sampai dengan Singajaya pada umumnya tidak dapat dikembangkan untuk lahan pertanian. Karena adanya alih fungsi lahan dari persawahan menjadi tambak (empang) yang cenderung menyebabkan peningkatan kadar garam, maka dalam pemanfaatannya lahan ini memerlukan biaya yang sangat tinggi.

- Padi sawah dan tanaman buah-buahan

Hasil penilaian kesesuaian lahan untuk padi sawah dan tanaman pangan (jagung, kedele, kacang panjang, ketela pohon dan ubi jalar) tergolong tidak sesuai (N) pada SPT 1, 2 dan 3 dengan faktor kendala drainase yang sangat terhambat dan kegaraman tinggi. Perbaikan lahan semacam ini sangat sulit dilakukan. Namun pada SPT 5 kesesuaian lahan untuk tanaman buah-buahan (mangga, kelapa, nangka dll) tergolong cukup sesuai (S2) dengan faktor kendala yang hampir tidak ada. Untuk meningkatkan produktivitas perlu adanya pemeliharaan tanaman seperti pemupukan dan penggunaan bibit unggul.

Kesesuaian untuk non pertanian - Tanaman Kehutanan

Hasil penilaian kesesuaian lahan untuk tanaman kehutanan (bakau, api-api dan cemara laut) tergolong sesuai (S2) pada SPT 1, 2, 3 dan 4 dengan hampir tidak ada faktor penghambat, tapi teknik penanaman (silvikultur) yang baik sangat perlukan.

- Tambak Hasil penilaian kesesuaian lahan untuk tambak (udang) tergolong tidak sesuai (N1) pada SPT 1, 2 dan 3 dan 4. Sedangkan kesesuaian untuk bandeng tergolong sesuai bersyarat (S3) pada SPT 2 dan 3 dengan faktor kendala kualitas air sangat buruk karena ketersediaan air tawar sangat rendah, serta kandungan garam dan bahan sulfida tinggi.

Kesesuaian Lahan Terpilih Dari hasil penilaian kesesuaian lahan yang telah dilakukan terhadap beberapa kelompok komoditas pertanian serta dengan mempertimbangkan penggunaan lahan yang ada saat ini, maka dapat disimpulkan beberapa alternatif pengembangan pertanian sebagaimana tercantum pada Tabel 6.

Tabel 6. Kelas Kesesuaian Terpilih di Lokasi Penelitian.

Kelas Faktor pembatas

NO. SPT Perbaikan L u a s

Ha

I. Lahan Sesuai Untuk Pertanian (padi sawah dan tanaman pangan)

Kegaraman dan Ketersediaan air

4 Pengelolaan air tawar (hujan), pemupukan/ pengapuran

966

II. Lahan Sesuai untuk Tanaman buah-buahan

- 5 pemupukan dan pemeliharaan

165

III. Lahan sesuai untuk tambak (Bandeng)

Ketersediaan air tawar

1 Pengelolaan air dan pengapuran

631

IV Lahan sesuai untuk tanaman Kehutanan

2 dan 3 Tehnik silvikultur 672

Page 21: D1BED081d01

Profil Empat Desa Pesisir: Singajaya, Karangsong, Pabean Udik dan Brondong, di Kab. Indramayu 21

2.5.3 Iklim

Curah hujan tahunan Data curah hujan tahunan di daerah Karangsong, Pabean Udik, Brondong dan Singajaya selama 15 tahun berturut-turut diperoleh dari stasiun Indramayu yang terletak pada ketinggian 1,17 m.dpl (lihat Lampiran 5). Curah hujan tahunan di Indramayu rata-rata sebesar 1.730 mm/tahun dengan jumlah hari hujan rata-rata 91 hari (Gambar 11). Gangguan iklim yang diakibatkan oleh El-Nino pada tahun 1991, 1994 dan 1997 sedikit berpengaruh terhadap kondisi iklim di daerah ini dengan penurunan curah hujan 4-21% dari rata-rata hujan tahunannya.

Pola curah hujan Pola curah hujan menggambarkan fluktuasi rata-rata curah hujan bulanan dalam setahun yang dapat diketahui dengan cara membandingkan nilai curah hujan bulanan tersebut dengan nilai intensitas rata-rata. Pola curah hujan di daerah Karangsong, Pabean Udik, Brondong dan Singajaya merupakan pola hujan tunggal/sederhana yang menggambarkan adanya perbedaan yang jelas antara jumlah curah hujan pada musim hujan dengan musim kering (Gambar 11).

Gambar 11. Fluktuasi Jumlah Curah Hujan (mm) dan Hari Hujan Selama Periode Tahun 1985 – 1999 di Desa Singajaya, Karangsong, Brondong dan Pabean Udik,

Kabupaten Indramayu.

Tipe curah hujan Tipe curah hujan merupakan suatu analisis yang menunjukkan tingkat kebasahan atau kekeringan di suatu wilayah berdasarkan data curah hujan bulanan. Kriteria bulan basah menurut Schmidt dan Ferguson adalah bulan-bulan yang memiliki curah hujan lebih dari 100 mm, sedangkan kriteria bulan kering adalah bulan-bulan yang memiliki curah hujan kurang dari 60 mm. Daerah Karangsong, Pabean Udik, Brondong dan Singajaya mempunyai jumlah bulan basah sebanyak 7 bulan yaitu : Januari, Februari, Maret, April, Juni, November dan Desember sedangkan jumlah bulan kering 3 bulan yaitu : Juli, Agustus, dan September. Dengan demikian daerah survei termasuk dalam tipe hujan C atau daerah agak basah. Bulan kering mengalami peningkatan terutama pada tahun-tahun El-Nino (Tahun 1991, 1994, dan 1997) (Gambar 12).

Page 22: D1BED081d01

22 Wetlands International – Indonesia Programme

Gambar 12. Fluktuasi Jumlah Bulan Basah dan Bulan Kering Selama Periode

Tahun 1985 – 1999 di Desa Singajaya, Karangsong, Brondong dan Pabean Udik, Kabupaten Indramayu. Menurut Klasifikasi Schmidt&Ferguson (1957)

Zone agroklimat

Zone agroklimat merupakan analisis yang dapat memberikan gambaran seberapa jauh potensi masa tanam untuk padi sawah, palawija serta teknologi yang dibutuhkan. Metoda ini pertama kali dikemukakan oleh Oldeman (1975) yang didasarkan pada kondisi curah hujan bulanan di suatu tempat dengan menghitung jumlah bulan basah yang terjadi berturut-turut dan jumlah bulan kering berturut-turut. Kriteria bulan basah menurut Oldeman adalah bulan-bulan yang memiliki jumlah curah hujan >200 mm, sedangkan bulan-bulan kering adalah bulan yang memiliki curah hujan <100 mm. Zone Agroklimat di keempat desa termasuk zone D3 dengan jumlah bulan basah berturut-turut 3 bulan yaitu: Desember, Januari, dan Februari serta jumlah bulan kering berturut-turut 4 bulan yaitu: Juli, Agustus, September, dan Oktober. Kejadian El-Nino tidak banyak mempengaruhi fluktuasi bulan basah maupun bulan keringnya. Kondisi tersebut dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Fluktuasi Jumlah Bulan Basah dan Bulan Kering Selama Periode Tahun 1985 – 1999 di Desa Singajaya, Karangsong, Brondong dan Pabean Udik. Kabupaten Indramayu.

Menurut Klasifikasi Oldeman (1980)

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999

Waktu Pengamatan

Jum

lah

Bul

an B

asah

ata

u B

ulan

Ker

ing

BB BK

Page 23: D1BED081d01

Profil Empat Desa Pesisir: Singajaya, Karangsong, Pabean Udik dan Brondong, di Kab. Indramayu 23

Tipe Iklim Daerah survei termasuk tipe iklim Aw. Tipe iklim Aw merupakan tipe iklim hujan tropis dengan musim basah yang kering yang mempunyai curah hujan tahunan di bawah 2500 mm, curah hujan pada bulan terkering lebih kecil dari 60 mm serta suhu udara rata-rata bulanan terdingin lebih dari 18 0C dan suhu bulan terpanas lebih besar dari 22 oC.

2.5.4 Hidrologi dan sumberdaya air

Sungai • Kondisi Hidrologi

Desa Singajaya, Karangsong, Pabean Udik dan Brondong merupakan kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang dibatasi dua sungai yaitu Sungai Cimanuk dan Sungai Prawirokepolo. Diantara kedua sungai tersebut terdapat S. Cabang Cimanuk, S. Prajagumiwang, S. Samad dan S. Ceblok. S. Cimanuk yang melintas di Desa Pabean Udik dan Desa Brondong mempunyai kedalaman antara 0.68 -1.10 m dan lebar antara 21.23 – 77.00 m. S. Cabang Cimanuk yang bermuara ke Desa Brondong mempunyai kedalaman antara 0.45 - 0.84 m dan lebar antara 14.50 – 47.94 m. S. Prawirokepolo yang melintasi Desa Singajaya mempunyai kedalaman berkisar antara 1.65 - 1.71 m dan lebar antara 37 - 60 m. S. Prajagumiwang di Desa Karangsong mempunyai kedalaman antara 0.61 - 0.85 m dan lebar antara 13.33 – 50,00 m.

Dari keempat sungai diatas, sungai yang paling deras adalah S. Cimanuk, yaitu mencapai 0.52 m/dt dengan debit 18,28 m³/dt. Hal ini dikarenakan S. Cimanuk merupakan sungai besar dan merupakan sungai utama dari ketiga sungai lainnya. S. Cimanuk memiliki kecepatan arus rata-rata 0,27 m/dt dan tergolong sungai berarus sedang (kecepatan arus dibawah 25 - 50 cm/dt). S. Cabang Cimanuk memiliki kecepatan arus rata-rata 0,19 m/dt dan S. Prajagumiwang 0,21 m/dt. Kedua sungai ini tergolong sungai berarus lambat (kecepatan arus dibawah 10 - 25 cm/dt). Sedangkan S. Prawirokepolo memiliki kecepatan arus rata-rata 0,09 m/dt dan tergolong sungai berarus sangat lambat (kecepatan arus dibawah 10 cm/dt).

Pada saat musim hujan, air pada sungai-sungai diatas cukup melimpah dan pada musim kemarau air sungai sedikit tetapi masih dapat mengairi tambak disekitarnya. Hubungan antara curah hujan dan debit air rata-rata Sungai Cimanuk dapat dilihat pada Gambar 14.

050

100150200250300350400

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

B u l a n

Cur

ah H

ujan

(mm

)

0

50

100

150

200

250

Deb

it (m

/det

ik)

c h debit

Gambar 14. Hubungan Pola Curah Hujan dan Debit Sungai Cimanuk rata-rata bulanan selama 15 tahun. Di Desa Brondong, Pabean Udik, Karangsong dan Singajaya, Kabupaten Indramayu.

Page 24: D1BED081d01

24 Wetlands International – Indonesia Programme

Debit sungai di wilayah ini mencapai puncak pada bulan Februari sebesar 236,79 m3/detik kemudian menurun hingga mencapai titik terendah pada bulan Agustus dan September masing-masing sebesar 21,78 m3/detik dan 17,36 m3/detik. Kemudian memasuki bulan Oktober debit meningkat kembali hingga mencapai puncaknya pada bulan Februari. Bila dikaitkan dengan curah hujan maka pola debit berhimpit dengan pola curah hujan. Hal tersebut menunjukkan bahwa disamping debit sungai dipengaruhi oleh curah hujan di daerah hulu, curah hujan setempat juga cukup besar pengaruhnya terhadap debit sungai di keempat desa ini. Desa Pabean Udik dan Brondong merupakan daerah yang dipengaruhi langsung oleh aktivitas pasang surut S. Cimanuk. Desa Karangsong tidak dipengaruhi oleh aktivitas pasang surut S. Prajagumiwang karena bagian hulu sungai ini yang berhubungan dengan S. Cimanuk telah ditutup sejak tahun 1983. Demikian pula dengan Desa Singajaya tidak dipengaruhi oleh pasang surut S. Prawirokepolo karena sebenarnya sungai ini merupakan saluran drainase. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa S. Prajagumiwang dan S, Prawirokepolo merupakan sungai ‘mati’ dan hanya tergantung pada pasang surut air laut. Menurut Informasi dari Dinas Perikanan Kabupaten Indramayu, frekuensi pasang surut cukup rapat, terjadi 2 - 4 jam tetapi kejadian pasang-surut tidak terlalu tinggi sedangkan pasang tinggi terjadi 4 - 6 kali dalam satu bulannya. Sedangkan berdasarkan jangkauan air pasang, kekuatan arus air sungai dan pengaruh daya jangkau air pasang surut di musim hujan dan pengaruh air laut di musim kemarau, daerah keempat desa dapat digolongkan kedalam wilayah dimana kekuatan arus pasang dari laut lebih dominan dari kekuatan arus sungai. Daerah ini umumnya termasuk ke dalam tipe luapan yang terjadi hanya pada saat pasang besar (spring tide). Tiga sungai masing-masing S. Cimanuk, S.Prajagumiwang dan S. Prawirokepolo merupakan sungai yang digunakan untuk kegiatan transportasi dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI). S. Cimanuk merupakan PPI Brondong dan Pabean Udik, S. Prajagumiwang merupakan PPI Karangsong, dan S. Prawirokepolo merupakan PPI Singajaya.

S. Cabang Cimanuk dan S. Ceblok tidak dapat digunakan untuk transportasi karena muara S. Cabang Cimanuk pada saat pengamatan tertutup oleh endapan lumpur pasir, sedangkan muara S. Ceblok sudah tertutup oleh tambak-tambak yang dibuat penduduk setempat. Sementara itu S. Samad relatif berukuran kecil dan lebih berfungsi sebagai saluran air ke tambak.

• Kualitas air Kualitas air sungai di Desa Pabean Udik dan Brondong pada umumnya masih relatif baik jika dibandingkan dengan kualitas air sungai di Desa Karangsong dan Singajaya. Salinitas S. Cimanuk dan S. Cabang Cimanuk berkisar antara tawar (0 º/οο) sampai payau (13 º/οο). Salinitas S. Prajagumiwang berkisar dan S. Prawirokepolo 22 – 41 º/οο. Hal ini berarti S. Cimanuk dan S. Cabang Cimanuk masih berpotensi cukup baik sebagai pemasok air tawar bagi tambak-tambak di Desa Pabean Udik dan Brondong, sedangkan S. Prajagumiwang dan S. Prawirokepolo tidak berpotensi untuk memasok air tawar bagi tambak-tambak di Desa Karangsong dan Singajaya. Suhu air di keempat sungai berkisar antara 30 – 32 0C. Menurut Boyd (1990) suhu antara 25 – 32 0C masih mendukung kehidupan organisme akuatik. Kecerahan air di keempat sungai sangat rendah, yaitu kurang dari 30 cm. Kondisi ini selain berpengaruh terhadap rendahnya produktivitas primer perairan, juga menyebabkan rendahnya produktivitas sekunder (benthos) maupun perikanan pada umumnya. Rendahnya kecerahan ini berkaitan dengan padatan tersuspensi di keempat sungai rata-rata tinggi. Jumlah padatan tersuspensi (TSS) S. Cimanuk dan S. Cabang Cimanuk rata-rata antara 25-80 mg/l. TSS S. Prajagumiwang dan S. Prawirokepolo rata-rata antara 81-400 mg/l. Jika dilihat bagi kepentingan perikanan, maka S. Cimanuk dan S. Cabang Cimanuk masih tergolong baik, sedangkan S. Prajagumiwang dan S. Prawirokepolo tergolong kurang baik.

Page 25: D1BED081d01

Profil Empat Desa Pesisir: Singajaya, Karangsong, Pabean Udik dan Brondong, di Kab. Indramayu 25

Dihubungkan dengan debit air dan kandungan TSS, maka masing-masing sungai setiap harinya akan membawa padatan tersuspensi cukup besar. Padatan tersuspensi yang terangkut oleh S. Cimanuk sebesar 12.00-189.51 ton/hari, S. Cabang Cimanuk 8.94-31.49 ton/hari, S. Prajagumiwang 11.80-346,20 ton/hari dan S. Prawirokepolo 37,57-181,73 ton/hari. Keadaan tersebut mengakibatkan pendangkalan sungai dan bahkan tambak-tambak masyarakat. Kondisi ini dapat dilihat pada muara S. Cimanuk, Cabang Cimanuk dan Prajagumiwang dimana terjadi pengendapan lumpur berpasir. Untuk mengatasinya sudah dilakukan pengerukan S. Cimanuk oleh masyarakat yang tergabung dalam koperasi TPI setempat. Sedangkan di muara S. Prajagumiwang dilakukan pengerukan oleh Departemen Perhubungan yang berlangsung selama bulan Oktober 2000 sampai dengan Januari 2001.

Hasil analisis contoh air sungai menunjukkan kadar oksigen terlarut di keempat sungai mengalami penurunan dari arah muara ke hulu. Artinya kualitas air sungai di wilayah ini rata-rata menunjukkan kategori baik di muaranya dan semakin kritis kualitas airnya ke arah hulu. Namun dari kandungan bahan organik yaitu BOD, kondisi air sungai di lokasi keempat desa masih berada dibawah batas pencemaran, kecuali di S. Cimanuk bagian hulu dan S. Prajagumiwang (telah melebihi 10 mg/l) yang disebabkan masukan limbah domestik di sekitarnya yang cukup padat serta buangan dari kapal-kapal yang bersandar pada badan sungai. Dilihat dari kadar COD, keempat sungai tergolong ke dalam perairan yang tercemar bahan organik (telah melebihi 20 mg/l).

Secara umum pH pada keempat sungai tidak jauh berbeda, yaitu berkisar antara 7.65 - 8.25. Realtif tingginya nilai pH pada keempat sungai menunjukkan adanya pengaruh air laut yang cenderung basa terhadap perairan sungai tersebut. Nilai pH di keempat sungai masih baik bagi kegiatan budidaya perikanan (6.5 – 9).

Untuk kondisi pencemaran oleh logam berat, meskipun keberadaan ion-ion logam di perairan dalam jumlah yang sedikit, tetapi bila kadar ion-ion tersebut tinggi akan mengakibatkan keracunan. Seperti keracunan merkuri (Hg) di Teluk Minamata, Jepang pada tahun 1950 an akibat makanan laut yang dikonsumsi ternyata tercemar merkuri. Pada kasus tersebut 43 orang meninggal dari 111 kasus keracunan yang terjadi serta ibu-ibu melahirkan anak-anak cacat bawaan. (Sawyer dan McCarty, 1978 dalam Effendi. H., 2000). Selain itu Pb atau timah hitam banyak digunakan pabrik-pabrik dan dalam tingkat tertentu dapat menimbulkan keracunan bagi mahluk hidup. Kandungan Pb dalam perairan dapat mengalami peningkatan karena aktifitas transpotrasi yang menggunakan bahan bakar solar atau bensin sebagai bahan bakarnya. Batas-batas logam berat yang diperbolehkan di perairan menurut Keputusan Menteri Kantor Lingkungan Hidup tahun 1988 untuk budidaya biota laut adalah : o unsur Tembaga (Cu) <0.06 mg/l o unsur Timbal (Pb) <0.01 mg/l o unsur Merkuri (Hg) < 0.003 mg/l. Di perairan sungai keempat desa, kandungan Cu dan Pb masing-masing telah melewati batas yang diperbolehkan oleh Kantor Lingkungan Hidup untuk budidaya biota laut. Kandungan Cu di keempat sungai berkisar antara 0.147-0.618 mg/l dan Pb antara 0.013-0.087 mg/l. Hasil analisa kualitas air sungai Prajagumiwang, Prawirokepolo, Cimanuk dan Cab. Cimanuk dapat dilihat pada Lampiran 7.

• Keanekaragaman hayati Pada sungai-sungai di lokasi ini ditemukan sebanyak 38 spesies phytoplankton. Masing-masing sungai mempunyai jumlah kelimpahan sekitar 2.940 - 10.692 individu/liter, terendah terdapat di S. Prajagumiwang dan tertinggi di S. Prawirokepolo. Secara keseluruhan dapat digambarkan bahwa penyebaran jumlah tiap individu phytoplankton sedang, kestabilan komunitas sedang serta tidak ada kecenderungan adanya dominansi oleh satu jenis individu.

Benthos yang ditemukan pada muara-muara sungai di daerah survei relatif sedikit berkisar antara 3-6 spesies dengan jumlah kepadatan sekitar 528 ind/m2. Jumlah benthos terbanyak ditemukan di muara sungai Prawirokepolo.

Page 26: D1BED081d01

26 Wetlands International – Indonesia Programme

Tambak • Kondisi Hidrologi

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan pada bulan Oktober 2000, perkiraan luas tambak di Desa Karangsong, Pabean Udik, Brondong dan Singajaya adalah : 378 ha, 411 ha, 664 ha dan 377 ha. Areal tambak ini telah berkembang sejak 1960-1970 dan untuk meningkatkan produktivitas tambak telah dibuat saluran-saluran tambak di ke-4 desa yang berfungsi meningkatkan sebaran pasokan air laut maupun sungai. Di Desa Singajaya terdapat 9 saluran tambak yaitu : ADB, Prosida, Ceblok, Kalen senen, Babadan, Angking, Jangas, Demang, dan Gunungan. Seluruh saluran tambak tersebut merupakan jenis saluran sederhana dengan panjang saluran berkisar antara 200 - 4000 m, luas tambak yang diairi antara 22 - 146 ha. Tingkat salinitas 10 sampai dengan 25 º/οο. Di Desa Karangsong terdapat 7 saluran tambak yaitu : Pramuka, Kalendewa, Sigudang, Caia, Sali, H. rabun, dan Pantai Laut. Semuanya merupakan jenis saluran sederhana kecuali saluran Pramuka dan H. rabun merupakan jenis saluran semi teknis. Panjang saluran antara 500 - 1000 m, dengan luasan tambak yang dapat diairi antara 24 - 135 ha. Tingkat salinitas saluran berkisar antara 20 sampai dengan 25 permil. Di Desa Brondong terdapat 9 saluran tambak yaitu : Warna, Madrah, H. Tasmin, Gabang, Payang, H. Mahrudi, Sobari, Kalen Kider, Kalen Sana. 4 saluran yang termasuk katagori semi teknis adalah : Warna, Madrah, Gabang dan Payang. Sedangkan 5 saluran lainnya termasuk dalam saluran sederhana. Panjang saluran antara 500 - 2000 m dengan luasan tambak yang dapat diairi antara 25 sampai dengan 156 ha. Salinitas berkisar antara 10 hingga 20 permil. Di Desa Pabean Ilir terdapat 7 saluran tambak yaitu : Jenggo, Sawur, Basari, Salman, Beri, Tengah, dan Sanyep. Seluruh saluran tambak termasuk jenis saluran sederhana dengan salinitas berkisar antara 10 sampai dengan 20 permil. Panjang saluran antara 500 - 2000 m dengan luasan tambak yang diairi antara 25 - 130 ha.

• Kualitas air

Kualitas air di masing-masing areal pertambakan menunjukkan kondisi yang berbeda. Banyak faktor yang mempengaruhinya, terutama sumber air tambak itu sendiri, yaitu sungai dan laut. Air tambak yang di analisis dibedakan menjadi tiga (3) kelompok bedasarkan jarak dari garis pantai yaitu : (1) Tambak di pesisir pantai (terdekat dengan laut); (2) Tambak-tambak tengah; (3) Tambak - tambak terjauh dari pantai. Kecerahan Dari segi fisik salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam menentukan kualitas air yang baik bagi pertambakan adalah kecerahan air berkisar antara 30 – 40 cm. Tambak-tambak yang dibuat penduduk di Desa Singajaya, Karangsong, Pabean Udik dan Brondong merupakan tambak-tambak sederhana dengan kedalaman 0,3 - 0,8 m. Kecerahan relatif merata baik tambak-tambak yang berada dekat dengan pantai, di tengah maupun tambak-tambak yang paling jauh dari pantai. Dengan demikian tambak-tambak yang berada di keempat desa masih dapat memenuhi kriteria kecerahan air tambak. Kecerahan ini juga ditentukan oleh kandungan bahan-bahan yang tersuspensi dalam air. Bahan-bahan tersuspensi pada perairan alami tidak bersifat toksik tetapi jika jumlahnya berlebihan dapat meningkatkan nilai kekeruhan yang selanjutnya menghambat penetrasi cahaya matahari ke kolom air dan akhirnya berpengaruh pada proses fotosintesis di perairan (Effendi, 2000). Dengan demikian semakin kecil nilai padatan tersusupensi (TSS) berarti kualitas kecerahan air semakin baik.

Page 27: D1BED081d01

Profil Empat Desa Pesisir: Singajaya, Karangsong, Pabean Udik dan Brondong, di Kab. Indramayu 27

Padatan tersuspensi (TSS) Tambak-tambak yang berada di Desa Singajaya pada umumnya relatif baik dengan kisaran TSS antara 26 - 66 mg/l, tetapi tambak-tambak yang berada dekat dengan pantai nilai padatan tersuspensi (TSS) lebih tinggi hingga mencapai 128 mg/l. Di Desa Brondong, tambak-tambak yang relatif baik bagi perikanan berada di tengah dan sebagian tambak-tambak yang berada cukup jauh dari pantai dengan nilai TSS 12 - 76 mg/l, sedangkan tambak-tambak yang dekat dengan pantai termasuk dalam kategori kurang baik bagi kepentingan perikanan karena mempunyai nilai TSS 82 - 128 mg/l. Tambak-tambak yang cukup ideal sebenarnya terdapat di Desa Pabean Udik, baik tambak-tambak yang berada di tepi pantai, tengah maupun jauh dari pantai dengan kisaran TSS antara 14 - 84 mg/l. Nilai kisaran rata-rata tertinggi terdapat di Desa Karangsong. Tambak-tambak yang berada di pesisir pantai mempunyai nilai TSS berkisar 194 - 222 mg/l, tambak-tambak yang berada di tengah mempunyai nilai TSS antara 42 - 54 mg/l, sedangkan tambak-tambak terjauh dari pantai mempunyai nilai TSS antara 84 - 238 mg/l. Adanya perbedaan TSS ini disebabkan tambak-tambak di daerah pesisir sangat terpengaruh dengan kualitas air laut, dimana di daerah ini kekeruhan sangat tinggi akibat pengaruh gelombang yang menghamtam pantai berlumpur. TSS tambak terjauh dari pantai juga tinggi disebabkan air sungai dan saluran –saluran air yang menjadi sumber air tambak mendapat masukan dari sampah organik rumah tangga yang di buang di sepanjang sungai. Untuk di daerah tengah, TSS cenderung kecil karena air yang masuk dari dari laut terlebih dahulu diendapkan di daerah pesisir dan air dari hulu terlebih dahulu terserap tambak-tambak daerah hulu. Salinitas Salinitas adalah faktor yang juga mempengaruhi kelayakan kualitas air tambak, karena salinitas mempengaruhi tekanan osmotik darah dalam tubuh udang/ikan. Salinitas air sungai yang digunakan untuk keperluan tambak air payau merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan. Kisaran salinitas optimal untuk budidaya perikanan tambak air payau adalah 10 - 30 permil, sedangkan kisaran ideal berkisar antara 15-25 permil (Tan and Chen, 1966; Puslitbangkan 1987). Dari 4 desa tersebut ternyata tambak-tambak yang berada di Desa Karangsong dan Desa Singajaya mempunyai tingkat salinitas yang cukup tinggi, yaitu 38 º/οο - 56 º/οο. Sedangkan tambak-tambak yang cukup ideal pada umumnya terdapat di Desa Brondong dan Pabean Udik, terutama tambak-tambak yang relatif jauh dari tepi laut dengan salinitas 8 º/οο – 23 º/οο. Pada umumnya tingkat salinitas tambak di keempat desa cenderung menurun sejalan dengan letak tambak yang semakin jauh dari tepi pantai. Suhu Menurut Ray dan Rao (1964), suhu optimal bagi pertumbuhan fitoplankton berkisar antara 20 - 30 0C. Sedangkan menurut Poernomo (1988) kisaran suhu perairan yang diperbolehkan dalam pemeliharaan udang windu adalah 26 - 32 0C. Baik suhu sungai maupun suhu tambak di lokasi survei pada umumnya bersuhu normal berkisar antara 30-32 0C, tetapi suhu beberapa tambak di Desa Karangsong terutama pada daerah tengah dan pesisir menunjukkan suhu yang relatif lebih tinggi yaitu berkisar antara 34 - 350C.

Kemasaman (pH) Nilai pH digunakan untuk menggambarkan tentang kemampuan suatu perairan dalam memproduksi garam mineral, garam mineral tersebut digunakan oleh tanaman air dan fitoplankton untuk proses fotosintesis dan pertumbuhan. Tanaman air dan fitoplankton tersebut merupakan makanan udang/ikan. pH air yang ideal bagi perikanan adalah berkisar dari 6,5 sampai 8,5 (Pescod, 1973). Selanjutnya Puslitbangkan (1987) menyatakan bahwa sumber air yang berkualitas baik bagi tambak udang adalah pH 7,50 - 8,50.

Page 28: D1BED081d01

28 Wetlands International – Indonesia Programme

Air sungai dan air tambak di keempat desa masing-masing mempunyai pH 7,65 - 8,25 dan 7,75 - 8,60. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemasaman (pH) air di areal ini masih berada dalam batas-batas toleransi. Namun pada saat musim kemarau, pH air di tambak-tambak Desa Karangsong dan Singajaya kurang dari 7 dan di sungai serta saluran air mencapai kurang dari 6. Oksigen Terlarut (DO) Kandungan oksigen terlarut (DO) dalam perairan sangat dibutuhkan untuk proses respirasi (pernafasan), baik oleh tumbuhan air, udang/ikan, maupun organisme lain yang hidup di dalam air. Schmitz (1971) dalam Wisnawa (1991) menggolongkan kualitas air berdasarkan kandungan oksigen terlarut mulai <2 mg/l dengan kualitas sangat buruk sampai dengan >8 mg/l dengan kualitas air sangat baik.

Berbeda dengan DO air sungai, DO air tambak penyebarannya hampir merata. Kisaran nilai DO terendah terdapat di Desa Pabean Udik sekitar 3,6 - 6 mg/l. Berikutnya adalah tambak-tambak yang berada di Desa Brondong dan Singajaya dengan nilai DO masing-masing sekitar 3,5 - 7 mg/l dan 4,0 - 7,5 mg/l. Sedangkan tambak-tambak yang berada di Desa Karangsong mempunyai nilai DO tertinggi yaitu sekitar 4,5 - 8,0 mg/l. Kualitas air tambak-tambak tersebut termasuk dalam kategori kualitas yang baik hingga sangat baik.

BOD (biochemical Oxygen Demand) BOD merupakan gambaran tidak langsung kadar bahan organik adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air (Davis and Cornwell, 1991) yang hanya menggambarkan dekomposisi secara biologis. Perairan alami mempunyai nilai BOD berkisar antara 0,5 - 7,0 mg/l. Perairan dengan nilai BOD melebihi 10 mg/l dianggap telah mengalami pencemaran (UNESCO/WHO/UNEP 1992 dalam Effendi, H., 2000).

Dari hasil analisis sampel air tambak menunjukkan bahwa tambak-tambak yang berada di Desa Singajaya dan Brondong masih berada di bawah batas pencemaran dengan nilai BOD masing-masing berkisar antara 4,4 - 7,6 mg/l dan 6,4 - 8,6. Sedangkan di Desa Pabean Udik dan Karangsong, terdapat tambak-tambak yang sudah tercemar terutama tambak-tambak yang agak jauh dari pantai di beberapa tempat dengan kisaran BOD antara 12-15 mg/l.

COD ( Chemical Oxygen Demand) COD menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi secara kimiawi bahan organik, baik yang bisa didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi secara biologis (non biodegradable) menjadi CO2 dan H2O (Boyd, 1988).

Perairan yang memiliki nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi kegiatan pertanian maupun perikanan. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/l dan pada perairan tercemar dapat melebihi 200 mg/l (UNESCO/WHO/UNEP 1992 dalam Effendi, H., 2000).

Dari hasil analisis, ternyata banyak tambak-tambak yang mempunyai nilai COD melebihi 200 mg/l bahkan di Desa Karangsong dan Singajaya seluruhnya menunjukkan kisaran antara 242,62 - 324,80 mg/l dan 263,32 - 314,10 mg/l. Sedangkan di Desa Brondong nilai COD yang melebihi 200 mg/l terdapat pada tambak-tambak yang relatif jauh dari pantai dengan kisaran 206,29 - 296,37 mg/l. Sebaliknya di Desa Pabean Udik terdapat pada tambak-tambak di pesisir pantai dengan kisaran 236,32 - 340,26 mg/l.

Berdasarkan hasil pengukuran dan pengamatan, kualitas air tambak di Desa Singajaya, Karangsong, Pabean Udik dan Brondong secara umum cukup baik. Desa Brondong mempunyai tambak-tambak paling baik dibandingkan dengan tambak-tambak di desa lainnya terutama tambak-tambak yang terletak agak jauh dari pantai. Sedangkan tambak-tambak yang berada di Desa Karangsong mempunyai kualitas air yang paling buruk dibandingkan dengan tambak-tambak di desa lainnya. Hal tersebut karena tambak-tambak yang berada di Desa Karangsong mempunyai nilai salinitas, TSS, BOD serta COD yang lebih tinggi dari nilai idealnya. Hasil analisa kualitas air tambak secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 8.

Page 29: D1BED081d01

Profil Empat Desa Pesisir: Singajaya, Karangsong, Pabean Udik dan Brondong, di Kab. Indramayu 29

• Keanekaragaman hayati Pada tambak-tambak di lokasi survei ditemukan sebanyak 62 spesies phytoplankton. Secara umum baik tambak-tambak yang berada relatif jauh dari pantai, di tengah, maupun di pesisir pantai menunjukkan tingkat heterogenitas phytoplankton rendah sampai dengan sedang, indeks keseragaman sedang sampai dengan tinggi, hanya tambak-tambak yang berada di pesisir Karangsong yang mempunyai nilai indeks keragaman rendah. Pada umumnya terdapat dua spesies benthos yang ditemukan pada tambak-tambak di lokasi survei yaitu Cerithium articulatum dan Amauropsis islandica. Selain kedua spesies tersebut di atas, di Desa Karangsong ditemukan Nectonema sp dan di Desa Singajaya ditemukan Nectonema agile.

2.5.5 Vegetasi

Vegetasi mangrove Berdasarkan pengamatan di 4 desa ditemukan 13 jenis mangrove sejati, dan 15 jenis mangrove ikutan. Beberapa jenis mangrove tersebut hanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit atau bahkan hanya beberapa individu. Selain itu ada 7 spesies lain yang banyak dijumpai pada habitat yang sama dengan tempat tumbuhnya mangrove. Daftar temuan jenis-jenis mangrove ini dapat dilihat pada Lampiran 9. Jenis mangrove yang dominan ditemukan adalah Api-Api Avicenia marina, dan Bakau Rhizophora mucronata. Api-api Avicenia marina kebanyakan tumbuh di sepanjang pantai dan sepanjang saluran air. Jenis Bakau Rhizophora mucronata kebanyakan ditemukan di tengah tambak, sebagian saluran air dan sebagian kecil di dekat pantai. Khusus di Desa Singajaya di sepanjang kanal yang membelokkan aliran S. Ceblok ke arah muara S. Prawiro Kepolo banyak terdapat tumbuhan Bakau Rhizophora mucronata dan Buta-buta Exoecaria agalocha yang bercampur dengan Api-api Avicenia marina. Jenis Pedada putih Sonneratia alba dan Pedada merah S. caseolaris ditemukan di dekat muara. Di muara S. Bondol (Cabang Cimanuk) ditemukan jenis Pedada merah Sonneratia caseolaris beberapa individu pada tingkat pancang (pohon muda). Di muara Pancer Balok ditemukan jenis Pedada putih Sonneratia alba dan Pedada merah S. caseolaris pada tingkat pohon (pohon dewasa) dan pancang (pohon muda). Di lokasi tersebut jumlah individu cukup banyak meskipun belum bisa disebut dominan. Bantaran sungai-sungai juga ditumbuhi oleh Phragmites karka. • Sebaran dan perkiraan luas

Tumbuhan mangrove, sebagian besar berada di sepanjang pantai dan sebagian saluran air (kanal). Jenis tertentu, Dungu/Dungun Heritiera litoralis dan Butun Baringtonia acutangula ditemukan agak jauh ke daratan sampai jarak lebih kurang 1,5 km dari pantai. Baik mangrove yang tumbuh di sepanjang pantai maupun yang tumbuh di sepanjang saluran air, tidak seluruhnya merupakan baris yang kontinyu. Sebagian merupakan bercak-bercak tegakan mangrove dengan luasan yang kecil. Beberapa tambak mempunyai tegakan mangrove di bagian tengah, umumnya dari jenis Bakau Rhizophora mucronata dan beberapa ada yang jenis Api-api Avicennia atau campuran keduanya.

Data luas tegakan mangrove yang masih ada sulit diketahui, karena banyak diantara tegakan mangrove yang ada, bukan merupakan tegakan yang kontinyu. Selain itu ada beberapa tegakan atau sisa tegakan mangrove yang berupa bercak dengan luasan kecil bahkan sangat kecil atau hanya satu baris Avicenia atau Rhizophora. Dengan tidak memperhitungkan luas mangrove yang sedang ditanam baik di pantai maupun di saluran air, diperkirakan luas tegakan mangrove berkisar 37000 - 40000 m2.

Page 30: D1BED081d01

30 Wetlands International – Indonesia Programme

Struktur vegetasi dinyatakan oleh tingkat pertumbuhan pohon yang diukur berdasarkan diameter batang dan tinggi pohon. Penggolongannya terbagi atas : Tingkat semai : diameter batang < 4 cm, tinggi < 1 meter Tingkat pancang : diameter batang < 4 cm, tinggi > 1 meter Tingkat pohon : diameter batang > 4 cm dan tinggi > 2 meter Struktur vegetasi di setiap lokasi di keempat desa berbeda-beda. Pada umumnya pada tegakan –tegakan dengan luasan kecil dan tersebar, hanya ditemukan vegetasi pada tingkat pohon atau tiang, hanya sedikit dari bercak-bercak tegakan manngrove tersebut yang mempunyai struktur vegatasi yang lengkap mulai dari tingkat semai sampai ke tingkat individu dewasa (pohon atau tiang). Pada tegakan yang tumbuh di sepanjang saluran air umunnya mempunyai struktur vegetasi yang lengkap dari tingkat semai sampai dengan pohon. Tegakan yang ada di sepanjang pantai, kondisinya beragam. Umumnya masih pada tingkat pancang, beberapa lokasi berupa pohon atau tiang. Pada pantai yang tidak berpasir atau berpasir tipis dapat dijumpai tingkat semai. Pada pantai yang berpasir, umunya individu masih pada tingkat sapling atau beberapa dalam tingkat tiang, tanpa semai.

• Pemanfaatan mangrove

1. Pemanfaatan untuk kayu bakar Pada saat ini penggunaan mangrove untuk kayu bakar menurun. Penyediaan kayu bakar umumnya menggunakan kayu Lamtara (Leucaena glauca). Pada tambak dengan tegakan mangrove di tengahnya, penyediaan kayubakar relatif kontinyu yaitu dengan menjarangkan tegakan yang ada. Perlakuan tersebut selain bisa menyediakan kayu bakar dalam jumlah yang cukup, juga bisa meminimalkan predator dan bisa mempertahankan kesuburan perairan dengan meningkatnya penetrasi cahaya matahari ke tambak.

2. Pemanfaatan untuk tanggul Untuk memperkuat tanggul tambak biasanya digunakan kayu Avicennia sp. Biasaya dilakukan pada tambak-tambak dengan tanah yang lembek atau dekat lokasi yang tanggulnya rawan longsor (jebol).

3. Pemanfaatan untuk rumpon

Pada awalnya penancapan ranting-ranting (umumnya Avicennia) adalah untuk menghindari pencurian dengan menggunakan jala. Kebanyakan petambak, berdasarkan pengalaman budidaya mereka beranggapan bahwa pemasangan rumpon tersebut memberikan pengaruh positif pada pertumbuhan ikan.

Vegetasi non mangrove (Tanaman budidaya)

Vegetasi hutan non mangrove semuanya merupakan vegetasi tanaman budidaya. Termasuk diantaranya adalah kebun dan pekarangan. Umumnya kebun dan pekarangan terisi oleh tanaman keras. Jenis yang dominan adalah Kelapa Mangifera indica, Mangga Cocos nucifera, Jambu air Syzygium aqueum dan Jamblang Eugenia cummini. Jenis lain yang cukup banyak dijumpai adalah Srikaya Annona squamosa, Sirsak Annona muricata dan Delima Punica granatum. Dari sekian jenis tanaman keras yang dibudidayakan di kebun dan pekarangan Kelapa dan Mangga mempunyai nilai ekonomi yang cukup penting. Berdasarkan penuturan Nara Sumber di Desa Singajaya, kedua komoditas tersebut memberikan sumbangan yang cukup signifikan pada pendapatan masyarakat, namun pada kurun waktu sekitar 2 tahun terakhir, produksi cenderung menurun karena gangguan penyakit pad tanaman mangga dan kumbang (Artona) pada tanaman kelapa. Dari keempat desa hanya Desa Singajaya yang mempunyai vegetasi tanaman budidaya yang paling luas. Di Desa Brondong masih dijumpai kebun, sedangkan Desa Pabean Udik dan Karangsong tanaman budidaya hanya ada di sekitar pekarangan rumah.

Page 31: D1BED081d01

Profil Empat Desa Pesisir: Singajaya, Karangsong, Pabean Udik dan Brondong, di Kab. Indramayu 31

Tumbuhan air non mangrove

Tumbuhan air non mangrove hanya sedikit jenis dan jumlah individunya. Tumbuhan air ini hanya dijumpai di bantaran sungai dan di saluran air sawah-sawah di sawah di dekat perumahan Bumi Patra. Di bagian lain hanya di temukan tumbuhan air secara terpencar dan jumlah individu yang sangat sedikit.

Kondisi habitat pantai

Pantai di lokasi pengamatan sebagian besar adalah pantai berpasir atau pantai berlumpur yang tertutup pasir. Pasir pantai tersebut bisa berpindah, kemungkinan besar akibat pasang besar atau perubahan pola arus yang diakibatkan perubahan musim. Pada beberapa lokasi, daratan mangalami abrasi. Abrasi terjadi pada lokasi dengan pasir pantai yang bergeser ke arah laut. Tegakan mangrove yang umumnya tipis bahkan tidak ada sama sekali tidak mampu menahan gelombang. Pada lokasi lain, pasir pantai cenderung stabil. Hal ini terlihat dari ditumbuhinya pasir tersebut dengan jenis-jenis pioner seperti, Kangkung laut Ipomoea pes-caprae, dan Spinifex sp. Beberapa individu Scaveola taccada juga bisa ditemukan pada habitat pasir tersebut. Umumnya pada lokasi dengan pasir yang stabil daratan tidak terkena abrasi. Pasir inilah yang menjadi penyelamat dari abrasi. Secara umum ada 4 model pantai bila dibuat penampang melintangnya ditinjau dari posisi pasir dan vegetasi yang ada:

1. Pantai dengan substrat pasir tanpa tegakan mangrove. Tumbuhan yang ada adalah dari jenis pioner pantai seperti Kangkung laut Ipomoea pes-caprae.

Pantai dengan tipe ini terdapat di Singajaya. Saat ini tidak terabrasi tetapi mempunyai potensi untuk terabrasi bila ombak sangat besar atau pasir bergeser.

2. Pantai dengan substat lumpur dengan tegakan mangrove kontinyu atau tidak.

Tipe pantai ini terdapat di Karangsong dekat muara Prajagumiwang, sebagian pantai Pabean Udik dan Pantai Desa Brondong dekat muara Pancer Payang dan Pancer Balok. Jika tegakan mangrove kontinyu pantai tidak terabrasi, tetapi hampir semua pantai dengan tipe ini mempunyai tegakan mangrove tidak kontinyu atau tipis sehingga tidak mampu mencegah abrasi.

Page 32: D1BED081d01

32 Wetlands International – Indonesia Programme

3. Pantai dengan substrat lumpur dengan gegara lebih ke arah laut sehingga terbentuk genangan air laut yang terisi saat pasang. Mempunyai tegakan mangrove kontiyu atau tidak.

Pantai dengan tipe ini terdapat di Karangsong sebelah selatan, Pabean Udik sebelah utara. Pantai dengan tipe ini potensial untuk terabrasi.

4. Pantai dengan substrat pasir stabil yang ditumbuhi Ipomoea pes-caprae dan atau Spinifex

sp dan mempunyai tegakan mangrove kontinyu atau tidak.

Pantai dengan tipe ini paling aman dari abrasi. tetapi potensi abrasi masih ada, jika ombak sangat besar.

Sabuk hijau sepanjang pantai rata-rata tipis, tidak kontinyu dan berupa tegakan muda. Dengan kondisi seperti ini potensi abrasi besar. Melihat kondisi saat ini pantai yang tidak terabrasi adalah pantai dengan substrat pasir lebar dan stabil. Jika karena perubahan alam yang menyebabkan pasir bergeser, diperkirakan ancaman abrasi akan meningkat.

2.5.6 Hidupan liar

Burung • Populasi Dan Status

Sebanyak 50 jenis burung dari 23 famili telah berhasil ditemukan atau dilaporkan ditemukan dalam pengamatan di keempat desa. Dari seluruh jenis burung yang teramati atau dilaporkan ditemukan di lokasi pengamatan, 13 jenis (26%) diantaranya termasuk kedalam jenis-jenis yang dilindungi oleh peraturan di Indonesia. Menurut aturan yang ada (UU No. 5 Tahun 90, Pasal 21), disebutkan bahwa untuk jenis-jenis yang dilindungi, maka dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakannya, baik dalam keadaan hidup maupun mati, termasuk bagian-bagian tubuh, telur maupun sarangnya.

Page 33: D1BED081d01

Profil Empat Desa Pesisir: Singajaya, Karangsong, Pabean Udik dan Brondong, di Kab. Indramayu 33

Urang-urangan

Cekahkeh

Dilihat dari status perlindungannya secara internasional, satu jenis burung diketahui termasuk dalam daftar satwa terancam punah dari IUCN (Red Data Book), yaitu Wilwo Mycteria cinerea yang termasuk dalam kategori Vulnerable (Rentan). Jenis yang termasuk dalam kategori ini dianggap bahwa jumlahnya merosot terus sebagai akibat adanya eksploitasi berlebihan serta akibat kerusakan habitat dan kerusakan lingkungan lainnya. Dalam kaitannya dengan status perlindungan yang dikaitkan dengan status perdagangan mereka, jenis Wilwo Mycteria cinerea tersebut juga termasuk dalam kategori Appendix I dari konvensi perdagangan internasional CITES (Convention on International Trade on Endangered Species of Flora and Fauna). CITES telah membuat suatu daftar appendix satwa dalam kaitannya dengan perdagangan Internasional, dimana Indonesia telah meratifikasi Konvensi tersebut, sehingga terikat dengan aturan yang ada di dalamnya. Menurut aturan yang berlaku dalam CITES, jenis-jenis yang termasuk dalam Appendix I adalah jenis-jenis yang telah terancam kepunahan dan oleh karena itu perdagangannya harus diatur dengan aturan yang benar-benar ketat dan hanya diperkenankan untuk hal-hal yang khusus saja. Daftar lengkap jenis-jenis burung yang ditemukan di daerah penelitian beserta status perlindungannya disajikan dalam Lampiran 3 dan 4. - Pertelaan Kelompok Jenis

Dari seluruh jenis yang ditemukan, burung-burung yang teramati dapat dibagi kedalam beberapa kelompok sesuai dengan relungnya (niche). Beberapa jenis dapat saja dikategorikan kedalam lebih dari satu kelompok, akan tetapi kami menempatkannya dalam kelompok yang paling sesuai, untuk memudahkan pembahasan.

- Burung Air Konvensi Ramsar (Konvensi mengenai lahan basah yang memiliki kepentingan Internasional) mendefinisikan burung air sebagai jenis-jenis burung yang secara ekologis kehidupannya bergantung kepada keberadaan lahan basah. Dengan memakai batasan tersebut maka dalam penelitian ini dapat ditemukan dan/atau dilaporkan ditemukan sebanyak 25 jenis burung air dari keluarga, masing-masing Ardeidae, Threskiornitidae, Ciconiidae, Anatidae, Rallidae, Charadriidae dan Scolopacidae. Pertelaan untuk masing-masing jenis diuraikan di Lampiran 3.

- Burung Pemangsa Ikan Kelompok ini dibedakan dengan burung air karena tidak selalu hidup di dekat perairan, meskipun makanan mereka pada umumnya adalah ikan dan udang. Jenis-jenis yang ditemukan adalah:

Alcedo caerulescens Small-blue Kingfisher Urang-urangan Dilindungi. Ditemukan soliter di seluruh daerah pengamatan. Umumnya

ditemukan tengah mencari ikan kecil di daerah tambak atau mangrove, bertengger diatas tonggak kayu atau ranting di tengah tambak. Jenis yang

teramati adalah:

Halcyon chloris Collared King Fisher Cekahkeh Dilindungi. Hanya satu ekor teramati di tegakan mangrove Desa Karangsong.

Page 34: D1BED081d01

34 Wetlands International – Indonesia Programme

Sesap madu

Puyuh

- Burung Pemangsa Yang dimaksud dengan burung pemangsa adalah jenis-jenis burung karnivora yang memangsa hewan lain sebagai makanan utamanya. Di lokasi pengamatan tidak satupun dari kelompok ini yang teramati. Meskipun demikian, dari pengamatan di daerah lain yang berdekatan dengan lokasi pengamatan serta dari penuturan penduduk setempat di lokasi pengamatan, diperoleh keterangan bahawa burung Alap-alap Accipiter soloensis kadang-kadang ditemukan melintas perkampungan dan daerah tambak. Selain itu, Burung hantu Tyto alba juga dilaporkan kadang terdengar suaranya pada malam hari.

- Burung Pengais Tanah Termasuk dalam kelompok ini adalah jenis-jenis yang mencari makan terutama dengan berjalan dan berlari diatas tanah dan kemudian mengais tanah untuk memperoleh makanannya. Umumnya mereka dikelompokan dalam Ordo Galliformes. Jenis yang ditemukan adalah:

Turnix suscitator Barred Buttonquail Puyuh Hanya satu ekor ditemukan di perbatasan antara perkampungan dan tambak Desa Karangsong.

- Burung Pemakan Biji dan Buah-buahan Beberapa jenis dari kelompok burung pemakan biji dan buah-buahan (frugivorous) ini sebenarnya juga memakan serangga, akan tetapi dimasukan dalam kelompok ini karena umum ditemukan sedang memakan biji dan buah-buahan. Umumnya dicirikan oleh bentuk paruh yang pepal, dimana perbandingan antara panjang, lebar dan tinggi paruh tidak terlalu berbeda.

- Burung Pengisap Madu

Kelompok burung pengisap madu (nectarivorous) umumnya dicirikan dari bentuk paruhnya yang panjang dan lancip. Di lapangan, hanya satu jenis burung dari kelompok ini yang ditemukan, yaitu: Nectarinia jugularis Olive-backed Sunbird Sesap madu Dilindungi. Sepasang teramati bersuara dan mencari makan di tajuk pohon Desa Karangsong.

- Burung Pemakan Serangga Selain serangga, biji-bijian juga sering digunakan sebagai suplemen makanan kelompok burung pemakan serangga (insectivorous). Selain menangkap serangga yang terbang juga menangkap serangga permukaan.

Dari hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa daerah pengamatan memiliki keanekaragaman jenis burung air yang tinggi, tetapi jumlah individu per jenisnya cenderung rendah. Absennya jenis-jenis burung pemangsa (Birds of prey) yang menempati posisi puncak dalam rantai makanan mengindikasikan telah terjadi penurunan keseimbangan ekosistem di keempat desa.

Page 35: D1BED081d01

Profil Empat Desa Pesisir: Singajaya, Karangsong, Pabean Udik dan Brondong, di Kab. Indramayu 35

• Habitat dan Daya Dukung Habitat Dalam kaitannya dengan kehadiran jenis-jenis burung serta relung mereka, tipe habitat yang ada dibedakan menjadi 3 jenis habitat, yaitu pemukiman, tambak dan mangrove. Pembagian seperti ini tidak didasarkan kepada suatu batasan yang pasti, tetapi lebih didasarkan kepada adanya jenis-jenis tumbuhan dan/atau substratnya.

- Pemukiman

Di hampir seluruh daerah pengamatan, pemukiman dikelilingi atau berbatasan dengan tambak. Pemukiman masih berpola "tradisional" dimana setiap rumah masih memiliki halaman yang relatif cukup luas dan tidak terdapat pagar pembatas antara satu rumah dengan rumah yang lain. Halaman umumnya ditanami oleh perdu dan bunga-bungaan, seperti Puring Codiaeum variegatum, Kembang kertas Bougenvilia spectabilis dan Hanjuang Cordyline fruticosa. Selain itu, pada halaman serta kebun yang berdekatan dengan rumah umumnya ditanami oleh tanaman tahunan yang bernilai ekonomis, seperti Jambu air Syzigium aqueum, Kersen Muntingia calabura, Mangga Mangifera indica, Kapuk randu Ceiba pentandra dan Petai Parkia speciosa. Untuk kehidupan burung, vegetasi yang terdapat di lokasi pemukiman memberikan dukungan hidup yang baik bagi berbagai jenis burung pengisap madu (nectarivorous) dan pemakan serangga (insectivorous). Burung Cici Orthotomus sutorius dan Burung Madu Nectarinia jugularis sering ditemukan hinggap dan mencari makan pada pohon-pohon tersebut. Hasil pengamatan ini menunjukan sangat kurangnya ditemukan jenis-jenis burung di pekarangan. Hal ini lebih disebabkan oleh adanya fragmentasi habitat pemukiman yang dikelilingi oleh habitat tambak, sehingga kurang terdapat koridor ekosistem yang menghubungkan tempat mencari makan burung-burung di pemukiman daerah pengamatan dengan pemukiman di daerah lain. Hasil pengamatan ini menunjukkan sangat terbatasnya jenis-jenis burung yang ditemukan. Jenis-jenis yang umum atau lebih sering ditemukan di pemukiman daerah lain, seperti Burung Gereja Passerus montanus, Burung Cabe Dicaeum trochileum, Cipeuw Aegithina tiphia dan Burung Madu Anthreptes malacensis, ternyata tidak atau sangat jarang ditemukan.

- Tambak

Tambak merupakan habitat yang paling umum ditemukan di daerah pengamatan. Dibandingkan dengan tambak yang terdapat di daerah lainnya di pantai utara Jawa Barat, misalnya di Serang, tambak di lokasi pengamatan umumnya memiliki luas lahan yang lebih besar. Pada saat pengamatan ini dilakukan, sebagian besar lahan tambak telah selesai atau sedang dipanen dan berair dangkal atau tidak berair sama sekali dan merupakan hamparan lumpur atau lahan kering. Pada beberapa tambak yang masih ditanami ikan/udang, umumnya ditancapi dengan tonggak bambu atau untaian tali plastik. Di beberapa lokasi, pada pematang tambak ditumbuhi oleh tumbuhan perdu, seperti Jarong Stachytarpeta sp., Krokot Sesuvium portulacastrum dan Deruju Acanthus ilicifolius. Selain itu juga terdapat beberapa tegakan tunggal tumbuhan bakau, seperti Api-api Avicennia marina dan Bakau Rhizopora sp. Terdapatnya lahan tambak yang berair dangkal memungkinkan berbagai jenis burung air mencari makan di lokasi-lokasi tersebut. Jenis-jenis burung air pemakan ikan (Piscivorous) yang umum ditemukan mencari makan di lokasi tambak antara lain adalah Belekok Ardeola speciosa, Onggok co Butorides striatus dan Kuntul kecil Egretta garzetta. Sementara itu, lahan tambak berlumpur dan lahan tambak kering merupakan habitat yang baik bagi berbagai jenis burung air migran dari famili Scolopacidae dan Charadriidae. Beberapa jenis burung migran yang ditemukan antara lain adalah Trinil kali Actitis hypoleucos, Songsongan Tringa nebularia, Bayeman Tringa stagnatilis dan Cerek-kalung kecil Charadrius dubius.

Page 36: D1BED081d01

36 Wetlands International – Indonesia Programme

Pengamatan ini menunjukkan bahwa ketiga desa yang diamati merupakan lokasi penting bagi singgahnya jenis-jenis burung migran yang bermigrasi dari belahan bumi utara (Siberia, Jepang, Cina) menuju arah selatan (Australia, Selandia Baru, Pasifik) (Southward migration). Dalam cakupan areal yang lebih luas, telah diketahui bahwa Pantai Utara Jawa, khususnya Indramayu dan Cirebon, telah tercatat sebagai salah satu lokasi penting bagi persinggahan burung air migran di Indonesia (Rusila Noor, 1988).

Meskipun demikian, hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa jumlah individu per jenis burung air migran jumlahnya tidak terlalu banyak. Hal ini kemungkinan besar disebabkan karena terlalu awalnya waktu pengamatan, dibandingkan dengan kedatangan tahunan rombongan mereka, yang puncaknya biasa terjadi pada bulan Desember – Januari. Hal ini juga dapat dilihat dari warna bulu sebagian besar burung air migran yang diamati. Sebagian besar dari mereka masih memiliki bulu yang masih gelap, yang merupakan fase transisi dari breeding plumage menuju non-breeding plumage. Kondisi ini misalnya terlihat jelas pada warna bulu Cerek besar Pluvialis squatarola.

Tersedianya tonggak-tonggak yang ditancapkan di tengah tambak oleh para petambak digunakan oleh beberapa jenis burung air sebagai tempat untuk bertengger disela-sela kegiatan mencari makan. Tercatat dua jenis burung air yang umum memanfaatkan tonggak tersebut, yaitu Truyang Chlidonias hybridus dan Truyun Chlidonias lecopterus. Kedua jenis tersebut teramati sering mencari makan dengan cara terbang berputar-putar diatas tambak dalam kelompokan besar, kadang-kadang mencapai 300 ekor. Pada saat berisitirahat, selain bertengger pada tonggak-tonggak bambu, kelompokan tersebut sering terlihat berdiri berkelompok pada tambak kering. Dibandingkan dengan jenis-jenis burung lainnya, kedua jenis burung air tersebut paling umum ditemukan.

Lahan tambak yang ditumbuhi oleh perdu, kerap digunakan sebagai hinggapan bagi beberapa jenis burung pemakan serangga (Insectivorous), seperti Bentet Lanius schach, Cikrak Phylloscopus sp, dan Kerakbasi Acrocephalus stentorius. Mereka umumnya menggunakan lahan berperdu sebagai tempat beristirahat atau hinggapan di sela kegiatan mencari makan, yang umumnya dilakukan di daerah tambak. Sementara itu, pada lahan tambak yang ditumbuhi oleh perdu dan tumbuhan yang lebih rindang dan rapat, digunakan sebagai habitat bagi jenis-jenis burung air yang lebih banyak melakukan kegiatannya dengan berjalan di permukaan tanah dan lebih pemalu (secretive). Jenis-jenis ini umumnya akan keluar jika dirasakan tidak ada ancaman disekitarnya. Jenis-jenis yang teramati dari kelompok ini diantaranya adalah Tikusan Rallus striatus dan Kareo Amaurornis phoenicurus.

- Mangrove dan Hamparan lumpur Tegakan mangrove hanya ditemukan pada spot-spot kecil (sekitar 1 ha) yang tersebar di daerah pengamatan. Sementara itu, hamparan lumpur dan pasir terbentang di seluruh pantai daerah pengamatan. Meskipun tersedia dalam jumlah yang tidak terlalu luas, tegakan mangrove merupakan hinggapan dan habitat yang baik bagi berbagai jenis burung air. Secara umum, tegakan mangrove dan hamparan lumpur memberikan manfaat sebagai tempat beristirahat, mencari makanan dan tempat berbiak bagi jenis-jenis burung air. Sebagai tempat beristirahat, akar pohon mangrove, terutama dari jenis Rhizopora spp. menyediakan tempat yang baik sebagai tenggeran pada saat air laut pasang. Tegakan mangrove juga diketahui mampu mengembangkan wilayahnya kearah laut, sehingga dapat membentuk lahan baru (Rusila Noor dkk., 1999). Akar mangrove mampu mengikat dan menstabilkan substrat lumpur, sementara vegetasi secara keseluruhan dapat memerangkap sedimen (Davies and Claridge, 1993 dan Othman, 1994), meskipun beberapa penelitian (misalnya van Steenis, 1958 dan Chapman, 1977) menyebutkan bahwa hal tersebut tidak selalu terjadi dan hanya

Page 37: D1BED081d01

Profil Empat Desa Pesisir: Singajaya, Karangsong, Pabean Udik dan Brondong, di Kab. Indramayu 37

terjadi pada pantai yang telah berkembang baik. Pada pulau-pulau di daerah delta yang berlumpur halus, peranan mangrove sangat besar untuk mempertahankan pulau tersebut, sementara pada pulau yang tidak ada mangrovenya, pulau tersebut mudah disapu ombak dan arus musiman (Chambers, 1980). Bagi burung air, bertambahnya hamparan lumpur baru akan menyediakan lebih banyak habitat untuk mencari makan. Guguran daun mangrove akan menyediakan pakan bagi berbagai jenis biota yang hidup di lumpur, seperti kepiting dan krustasea lainnnya, yang kemudian akan menjadi makanan burung air. Macintosh (1984) menyebutkan bahwa dari setiap meter persegi hamparan lumpur yang berasosiasi dengan tegakan mangrove dapat ditemukan sekitar 10 – 70 ekor kepiting. Jenis-jenis yang umum ditemukan terutama adalah dari kelompok penggali, seperti Uca, Sesarma dan Macrophthalmus (Wada & Wowor, 1989 & Sasekumar, dkk., 1989).

Adanya daur makan-memakan yang melibatkan burung air di habitat mangrove dan hamparan lumpur tersebut menjadikan burung air sebagai indikator biologis yang baik bagi kesehatan suatu habitat mangrove dan hamparan lumpur.

Beberapa jenis burung air yang teramati pada tegakan mangrove antara lain adalah Belekok Ardeola speciosa, Onggok co Butorides striatus dan Kuntul kecil Egretta garzetta. Kelompok lain yang umum ditemukan pada tegakan mangrove adalah burung pemakan serangga, seperti Kipasan Rhipidura javanica, Cici Zosterops palpebrosus dan Rametuk laut Gerygone sulphurea.

Hamparan lumpur dan gosong pasir merupakan habitat yang baik bagi jenis-jenis burung air migran, baik sebagai tempat beristirahat maupun sebagai tempat mencari makan. Pada saat pengamatan, lebih dari 200 ekor Dara-laut jambul Sterna bergii teramati sedang beristirahat pada gosong pasir di Desa Brondong, sementara pada hamparan lumpur didekatnya digunakan untuk mencari makan oleh Gajahan Numenius arquata, Songsongan Tringa nebularia, Bayeman Tringa stagnatilis dan Cerek-kalung kecil Charadrius dubius.

Mammalia • Populasi dan Status

Selama penelitian telah tercatat sebanyak 13 jenis kelompok Mammalia, baik yang terlihat langsung maupun yang dilaporkan ditemukan oleh penduduk setempat. Jumlah spesies tersebut sangat rendah dibandingkan dengan luas areal yang diamati. Meskipun demikian, jumlah jenis yang berhasil diamati hendaknya dianggap sebagai jumlah minimum, terutama karena pada pengamatan ini tidak berhasil mengidentifikasi satwa yang keluar pada malam hari (nocturnal), serta tidak dilakukannya penangkapan dengan perangkap. Jenis-jenis mammalia lain yang nampaknya hadir di lokasi pengamatan tetapi tidak berhasil ditemukan, diantaranya berasal dari Ordo Kelelawar Chiroptera, Jenis-jenis tupai Scandentia dan Ordo Bajing Rodentia. Dari 13 jenis yang tercatat, hanya 1 jenis yang termasuk satwa yang dilindungi di Indonesia, yaitu Macan gogor Prionailurus viverrina.

- Pertelaan Kelompok Jenis

Amblonyx cinereus Linsang Tidak umum. Linsang dianggap sebagai hama karena hewan ini diyakini penduduk setempat sebagai predator ikan yang dipelihara di tambak masyarakat. Jenis ini biasanya ditemukan di sekitar sungai dan wilayah pemukiman. Lutra perspicillata Linsang Besar Jarang. Jenis ini menurut informasi penduduk setempat sudah sangat jarang dijumpai dan hanya ditemukan di sekitar sungai Cimanuk sampai ke arah muara.

Page 38: D1BED081d01

38 Wetlands International – Indonesia Programme

Herpestes javanicus Lenggarangan Tidak umum. Tidak hanya aktif di malam hari saja tetapi juga dapat ditemui mencari makan atau bergerak pada siang hari. Jenis ini sesekali dapat juga ditemukan di wilayah pemukiman dan menurut informasi yang diperoleh, jenis ini umumnya terlihat di sekitar tambak dan sungai. Paradoxurus hemaphroditus Musang Tidak umum. Informasi yang diperoleh menunjukkan bahwa keberadaan jenis ini sudah sangat jarang ditemukan. Pada masa lalu jenis ini dikenali karena sering menangkap ayam peliharaan penduduk. Prionailurus viverrina Macan Gogor Jarang. Dilindungi. Hanya dilaporkan diketemukan di wilayah dekat muara sungai, pertambakan serta sekitar wilayah hutan bakau yang relatif masih cukup baik. Crocidura sp Curut Umum. Satwa ini sering terlihat di wilayah pemukiman penduduk. Teramati aktif pada malam hari. Rattus sp Wirog Umum. Merupakan jenis tikus yang besar dan sering berada di daerah/berdekatan dengan wilayah pemukiman. Umumnya terlihat pada malam hari, meskipun kadang-kadang juga terlihat pada malam hari. Mus caroli Tikus rumah Umum. Sesuai dengan namanya jenis ini banyak terdapat di rumah-rumah pemduduk serta di selokan-selokan yang ada di daerah pemukiman dengan jumlahnya yang relatif cukup banyak. Rattus rattus Tikus Umum. Tikus banyak dikenal sebagai hama sehingga cenderung diberantas, namun jumlahnya masih cukup banyak.

Beberapa jenis mammalia domestik juga dicatat dalam survei ini, antara lain Kerbau (Bubalus bubalis), Kambing (Capra hircus), Anjing (Canis familiaris) dan Kucing rumah (Felis silvestris).

• Daya Dukung Habitat

Berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk setempat, jumlah jenis mamalia di desa Karangsong, Pabean Udik, Singajaya dan Brondong nampaknya telah banyak mengalami penurunan. Beberapa orang penduduk, misalnya, menginformasikan bahwa pada tahun 1965-an di lokasi pengamatan masih dapat ditemukan beberapa mamalia besar, seperti Monyet Macaca fascicularis, Babi Sus scrofa, Lutung Trachypitecus cristata. Namun sekitar 10 tahuan kemudian, jenis-jenis tersebut berangsur-angsur tidak ditemukan lagi. Faktor utama yang menyebabkan hal tersebut adalah hilangnya habitat mereka sebagai akibat konversi lahan bakau menjadi lahan-lahan pertambakan. Dilaporkan pula bahwa hal tersebut diakibatkan oleh perburuan.

Herpetofauna • Populasi dan Status

Kelompok herpetofauna meliputi satwa melata (Reptilia) dan Amphibia. Hasil pengamatan ini menunjukan rendahnya keanekaragaman jenis satwa Herpetofauna, terlihat dari sedikitnya daftar jenis yang berhasil dicatat, baik dari pengamatan langsung maupun informasi penduduk setempat. Meskipun demikian, terbatasnya daftar jenis tersebut disebabkan oleh tidak teridentifikasinya jenis-jenis reptilia dan amfibia nocturnal.

Page 39: D1BED081d01

Profil Empat Desa Pesisir: Singajaya, Karangsong, Pabean Udik dan Brondong, di Kab. Indramayu 39

- Pertelaan kelompok jenis Anura Katak dan kodok Jenis-jenis katak dan kodok yang umum dite-mukan dan/atau dilaporkan di daerah penelitian adalah Kodok bangkong hijau Rana erythraea, Kodok kikir/Kintel (Bufo melanostictus), dan kodok bangkong (Limnonectes microdiscus). Pada saat pengamatan, jumlah individu yang ditemukan tidak terlalu banyak. Menurut informasi masyarakat setempat jenis ini lebih banyak ditemukan pada saat musim penghujan tiba.

Ophidia Ular Jenis-jenis ular yang ditemukan langsung di daerah pengamatan adalah Lempek Boiga dendrophilla, Ular tambak Cerbuerus rhynchops dan Sanca Python reticulatus. Sementara itu, jenis-jenis yang dilaporkan ditemukan oleh penduduk adalah Ular kadut, Dot, Telorong (hijau), Dumung (tedung), macan, Tembirang (laut), Weduduk lemah, Coklat, Cabe, Sapi lanang dan Ular bengkong. Jenis-jenis ular tersebut sudah sangat jarang dan susah untuk ditemukan secara langsung, hal ini selain disebabkan jumlah populasi yang semakin sedikit juga perubahan habitat mereka yang telah dikonversi menjadi areal pemanfaatan lahan lain seperti menjadi tambak atau pengembangan wilayah untuk pemukiman. Varanus salvator Biawak Biawak (Varanus salvator) sering dijumpai di sepanjang sungai Cimanuk serta daerah mangrove di daerah pengamatan. Jenis ini banyak diburu masyarakat untuk diambil kulit serta dagingnya, sedangkan hatinya diyakini masyarakat setempat dapat dijadikan obat penyakit kulit serta luka. Lacertilia Kadal-kadalan Kadal sering ditemukan di daerah pemukiman, sekitar tambak serta areal persawahan. Satwa ini sangat adaptif terhadap lingkungannya, termasuk di daerah dimana banyak aktivitas manusia berlangsung, seperti di kebun-kebun. Jenis yang sering ditemukan yaitu Kadal coklat merah Mabouya sp dan kadal hijau. Pada daerah pemukiman juga dijumpai Tokek Geyko gecko serta Cicak rumah Hemidactylus frenatus.

Invertebrata Lain Keanekaragaman fauna lahan basah di Desa Karangsong, Pabean Udik, Singajaya dan Brondong juga mencakup keanekaragaman jenis hewan-hewan kecil yang sering terabaikan oleh perhatian manusia. Kelompok besar jenis-jenis hewan ini digolongkan dalam kelompok jenis hewan yang tidak bertulang belakang (invertebrata). Beberapa di antaranya sangat berkaitan erat keberadaannya dengan lahan basah sebagai habitatnya, antara lain kelompok jenis capung Odonata, dan Keong Mollusca. Selama survei berlangsung, pada daerah yang terbuka seperti sekitar tambak, areal persawahan sering kali menjadi habitat jenis-jenis capung Kinjeng hijau Orthetrum sabina, Capung/kinjeng kuning Brachytemis contaminata, dan Capung/kinjeng Merah Crocothemis servilia. Jenis-jenis tersebut merupakan capung yang umum di jumpai, di samping beberapa jenis capung jarum Agrionidae/Coenagriidae. Meskipun kelimpahannya tidak terlihat banyak, beberapa jenis Keong Mollusca yang dijumpai hidup di dasar perairan tambak dan sungai.

Page 40: D1BED081d01

40 Wetlands International – Indonesia Programme

3. Isu-Isu dan Permasalahan Desa Karangsong dan 3 Desa Sekitarnya (Pabean Udik, Brondong dan Singajaya)

Penurunan Produktivitas Perikanan Budidaya/Tambak Secara teknis persoalan yang dihadapi adalah kegagalan budidaya udang windu karena penyebab-penyebab yang belum pasti, baik itu dari faktor internal, yaitu kondisi masing-masing tambak mereka sendiri yang sudah jenuh dengan akumulasi bahan toksik dari pestisida maupun sisa pakan dan ekskresi; ataupun dari faktor eksternal yaitu kualitas perairan pantai yang semakin buruk karena peningkatan limbah, serta musim hujan dan kemarau yang panjangnya tidak menentu. Selain itu keempat desa ini mengalami kekurangan pasokan air tawar untuk kegiatan pertambakan maupun pertaniannya. Penyebab utama adalah kegiatan pembangunan yang mengakibatkan pembelokan sungai atau pengurugan saluran. Tidak adanya sungai yang mengalir ke wilayah ini juga berarti hilangnya pasokan sedimen. Ditambah dengan tidak adanya lagi mangrove yang melindungi tambak dari kikisan ombak, maka wilayah Karangsong, sebagian Pabean Udik dan Singajaya cenderung mengalami abrasi yang cukup serius. Kegagalan panen dan kehilangan lahan usaha berimplikasi pada penurunan tingkat pendapatan. Penurunan tingkat pendapatan masyarakat petambak di wilayah ini potensial untuk menggulirkan persoalan-persoalan sosial ekonomi yang lebih besar dalam cakupan wilayah yang lebih luas. Disamping itu terdapat pula masalah status kepemilikan dan pengelolaan lahan potensial untuk pertambakan yang perlu dicari solusinya.

Penurunan Produktivitas Perikanan Tangkap Produktifitas perairan pantai maupun laut sangat terkait dengan kondisi wilayah pesisir, karena wilayah pesisir merupakan tempat bersarang, memijah, merawat dan membesarkan benih ikan. Paling tidak 80 jenis komoditi komersial perikanan berpijah di daerah hutan mangrove. Oleh karena itu menurunnya produksi ikan dan sumberdaya hayati laut lainnya tidak terlepas dari kerusakan wilayah pesisir yang diakibatkan oleh deforestasi mangrove. Pesatnya pembangunan industri, perumahan, pertanian di sepanjang pantai utara Jawa mendorong kerusakan ekosistem mangrove yang sangat berperan dalam produktifitas perairan. Penurunan produktifitas perikanan tangkap mengakibatkan semakin melemahnya kemampuan ekonomi nelayan. Produksi yang semakin menurun tidak diiringi harga jual yang meningkat, sementara itu biaya operasional cenderung semakin mahal karena kondisi ekonomi makro. Akibatnya pendapatan nelayan semakin berkurang. Kecilnya pendapatan memaksa nelayan untuk mencari modal dari pihak ketiga. Dalam kondisi seperti ini nelayan yang menjadi anggota KUD masih beruntung karena masalah permodalan bisa diatasi tanpa harus kehilangan keuntungan dari harga jual. Namun bagi nelayan kecil yang tidak terfasilitasi oleh KUD, bakul/tengkulak adalah pilihan satu-satunya. Ketika keterikatan pada tengkulak sudah terbentuk, maka nelayan sulit sekali untuk keluar dari jeratan hutang yang berujung pada kemiskinan.

Page 41: D1BED081d01

Profil Empat Desa Pesisir: Singajaya, Karangsong, Pabean Udik dan Brondong, di Kab. Indramayu 41

Permasalahan Kondisi Tanah dan Kesesuaian Lahan Ada beberapa faktor kendala pada kondisi tanah, yaitu:

1. lahan rata-rata memiliki kandungan garam dan bahan sulfida tinggi, 2. tidak adanya/terbatasnya ketersediaan air tawar dan 3. tanah di SPT 1 dan 2 merupakan tanah dengan tingkat kematangan rendah, artinya bahan

pembentuknya masih kasar (masih berupa pasir). Dengan kondisi seperti diatas maka meskipun tingkat kesuburan tanah tinggi akan tetapi kandungan garam dan bahan sulfida tergolong tinggi, sehingga menjadi faktor penghambat bagi pertumbuhan tanaman. Kemudian tingkat kematangan tanah pada daerah tambak atau empang belum matang, karena berada pada lokasi endapan tanah yang tergolong baru. Akibatnya kesesuaian lahan pada SPT 4 untuk pengembangan pertanian (padi sawah dan tanaman pangan) tergolong sesuai marginal (S3)/sesuai bersyarat, yaitu memiliki faktor kendala ketersediaan air dan kandungan garam tinggi. Untuk pengembangan non pertanian pada SPT 3 yaitu untuk tambak udang tergolong tidak sesuai (N) dan untuk tambak bandeng tergolong sesuai marginal (S3)/sesuai bersyarat, dengan kendala kualitas air sangat buruk dan kandungan garam dan bahan sulfida tinggi. Untuk lahan kehutanan tergolong sesuai (S2) terdapat pada SPT 1 dan 2.

Penurunan kondisi hidrologi dan kualitas perairan Sungai-sungai yang berada di keempat desa ini tergolong bukan sungai yang baik untuk fungsi pendaratan ikan, karena pendangkalan akibat berbagai limbah yang banyak terhanyut serta aktifitas transportasi terutama saat pasang akibat koloid lumpur masuk bersamaan dengan intrusi air laut. Disamping itu badan sungai di daerah muara sudah tertutup oleh tambak-tambak yang dibangun penduduk, sehingga tidak terdapat aliran air permukaan yang normal di wilayah ini. Dari segi kualitas air sungai, salinitas merupakan kendala utama. Salinitas yang tinggi ke arah muara menyebabkan pasokan air tawar untuk tambak-tambak daerah pantai tidak lagi dapat terpenuhi. Dibandingkan dengan sungai-sungai lain yang mengalir di wilayah ini, ternyata Sungai Prajagumiwang memiliki kualitas air yang terburuk. Sementara itu untuk pertambakan terlihat bahwa dari sisi kualitas air, tambak-tambak di Karangsong memiliki permasalahan kualitas air yang paling serius. Kemungkinan karena minimnya sumber air untuk pertambakan yang cukup baik di desa ini, juga umur dari tambak-tambak di lokasi ini sudah mencapai 10-15 tahun. Kondisi ini perlu dipertimbangkan untuk mengkaji ulang peruntukan wilayah desa.

Penurunan Hutan Mangrove Secara umum penurunan luas hutan mangrove sejalan dengan semakin ekstensif dan intensifnya budidaya perikanan (tambak). Tidak seluruh pembukaan tambak yang ada berasal dari hutan mangrove. Sebagian berasal dari tanah timbul, bahkan tanah timbul tersebut sudah diproses menjadi tambak sejak tanah tersebut belum stabil. Umumnya pembukaan hutan mangrove dilakukan pada tegakan muda dengan diameter antara 7 - 10 cm. Penebangan hutan mangrove juga dilakukan pada lokasi-lokasi yang tidak dibuat tambak, misalnya pada sepanjang saluran air dan sungai. Hal itu dilakukan dengan anggapan bahwa tegakan mangrove tersebut menjadi sarang burung pengganggu dan predator lain. Pembukaan hutan mangrove dimulai sejak awal tahun 50 an, tetapi intensitas pembukaan masih kecil. Pada tahun-tahun sekitar itu beberapa lokasi seperti sekitar muara sungai Prawirokepolo yang sekarang menjadi pemukiman Pecantilan Langgeng masih merupakan hutan mangrove.

Page 42: D1BED081d01

42 Wetlands International – Indonesia Programme

Pertengahan tahun 60-an intensitas pembukaan lahan meningkat sejalan dengan kedatangan orang - orang ke sekitar Karangsong. Penuturan nara sumber di Karangsong menyebutkan bahwa pada sekitar tahun-tahun tersebut pembuatan tambak dilakukan di sebelah utara S Prajagumiwang sampai ke S Bondol. Tegakan mangrove yang ada di sekitar areal tersebut rata-rata pada tingkat tiang, antara 8 - 12 cm. Diperkirakan pembukaan lahan di sekitar S. Ceblok juga terjadi pada kisaran tahun yang sama.

Pada tahun 70-an, pembukaan lahan mulai dilakukan di sekitar Desa Brondong. Aktivitas pembukaan lahan itu diikuti dengan penebangan mangrove di lokasi lain dengan alasan menjadi sarang hewan pengganggu. Pertengahan tahun 80-an diperkirakan hutan mangrove yang ada benar-benar “habis’. Disimpulkan dari penuturan nara sumber bahwa pada awal 80-an di bantaran - bantaran sungai umumnya masih memiliki tegakan mangrove yang cukup bagus. Pada saat survei dilakukan dapat diperkirakan bahwa kondisi mangrove sudah sangat memprihatinkan, baik dari segi luasan, jumlah jenis, maupun keanekaragaman hayati makhluk hidup yang menghuni areal mangrove di keempat desa.

Penurunan Keanekaragaman Hayati Hidupan Liar Secara umum dapat dikatakan bahwa seluruh daerah pengamatan merupakan areal dimana manusia juga melakukan aktivitas sehari-hari mereka. Kondisi ini menyebabkan terjadinya kontak langsung menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan. Bagi kelompok jenis satwa yang diamati, adanya pembangunan serta kontak langsung dengan manusia, pada umumnya berakibat negatif. Dua hal utama yang dapat disebutkan sebagai kegiatan yang dapat menimbulkan akibat negatif adalah hilangnya habitat (berbiak/mencari makan) dan perburuan/penangkapan berlebih. • Perubahan peruntukan habitat

Tipe habitat utama yang sangat mendukung kehidupan satwa liar di kawasan pesisir adalah hutan mangrove. Sebagaimana diuraikan pada topik “Daya dukung habitat bagi burung”, hutan mangrove memberikan dukungan kehidupan tidak hanya bagi burung (air), tetapi juga bagi berbagai satwa lainnya, seperti ikan dan moluska. Satwa yang menggunakan hutan mangrove kemudian melakukan simbiose diantara mereka yang kemudian dapat dijelaskan sebagai suatu proses makan-memakan atau rantai makanan. Telah diketahui secara umum bahwa hilangnya atau berkurangnya salah satu organisme yang merupakan bagian dari proses tersebut akan menyebabkan terganggunya keseimbangan dari rantai makanan yang ada. Pada Bab mengenai Hutan Mangrove/Botani pada laporan ini, diketahui bahwa tegakan mangrove di daerah penelitian telah mengalami penyusutan yang cukup signifikan. Pada umumnya, mangrove dialihfungsikan menjadi peruntukan lain yang “lebih menjanjikan” secara ekonomi, yaitu dijadikan tambak. Pada mulanya, tegakan mangrove yang luas akan menyediakan habitat berbiak yang baik bagi berbagai jenis burung dari Ordo Ciconiiformes, khususnya dari famili Ardeidae dan Ciconiidae. Fungsi lain dari mangrove yang juga umum diketahui adalah sebagai tempat pemijahan berbagai jenis ikan laut dan sebagai pemerangkap sedimen lumpur. Sedimen lumpur tersebut kemudian menyediakan organisme yang menjadi makanan burung air. Meskipun tambak masih “menyediakan” ikan yang dapat dikonsumsi oleh berbagai jenis burung air yang mulanya menghuni hutan mangrove, akan tetapi hal tersebut telah menyebabkan terjadinya perubahan pola peruntukan dan penggunaan habitat. Hilang/berkurangnya tegakan mangrove akan menyebabkan hilang/berkurangnya pula berbagai jenis organisme perairan pantai dan hamparan lumpur, sehingga burung air yang tadinya mencari makan di perairan pantai dan hamparan lumpur kemudian akan mencari makan di lokasi tambak. Karena akses menuju tambak yang lebih terbatas dibandingkan dengan perairan pantai dan hamparan lumpur (tinggi air tambak yang terlalu tinggi, jenis ikan yang dipelihara bukan merupakan diet utama, serta penjagaan tambak oleh pemilik),

Page 43: D1BED081d01

Profil Empat Desa Pesisir: Singajaya, Karangsong, Pabean Udik dan Brondong, di Kab. Indramayu 43

maka hanya jenis burung air tertentu yang dapat memanfaatkan tambak, terutama jenis-jenis diving and swimming waterbirds atau jenis-jenis burung air yang bisa menyelam dan berenang, seperti Pecuk padi Phalacrocorax spp. Sementara itu, jenis-jenis yang lain akan mencari makan di lokasi lain atau hanya menggunakan tambak pada saat air turun. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa hilang atau berkurangnya tegakan mangrove dapat menyebabkan terjadinya kerugian bagi petani tambak, berupa serangan burung air yang memakan ikan serta turunnya keanekaragaman hayati di lokasi tersebut karena perginya beberapa jenis burung air yang kehilangan habitat berbiak dan berkurangnya organisme perairan pantai dan hamparan lumpur.

• Perburuan atau penangkapan berlebih

Milton & Marhadi (1989) dan Rusila Noor (1988) mengindikasikan bahwa Pantai Utara Pulau Jawa, khususnya Indramayu dan Cirebon, merupakan pusat perdagangan burung air tangkapan. Data tahun 1980-an menunjukan bahwa tidak kurang dari 300.000 ekor burung air migran dan residen ditangkap oleh penduduk setempat untuk diperjual-belikan sebagai lauk-pauk. Daerah Krangkeng (Indramayu) dan Singakerta (Cirebon) yang berjarak sekitar 30 km. dari lokasi penelitian diketahui merupakan pusat pengumpulan burung air buruan tersebut. Meskipun tidak sebesar di kedua daerah di atas, perburuan burung air dalam skala kecil juga terjadi di daerah pengamatan. Menurut informasi, perburuan dilakukan oleh penduduk setempat maupun oleh penduduk luar. Pada umumnya burung-burung tersebut ditangkap dengan menggunakan jaring yang dibuat sendiri. Hasil yang diperoleh pada umumnya digunakan untuk keperluan rumah tangga sendiri. Pengamatan ini tidak dapat mengkuantifikasi hasil penangkapan serta pengaruhnya terhadap keseimbangan populasi di alam. Selain terhadap burung air, laporan dari penduduk setempat juga menyebutkan terjadinya perburuan terhadap Biawak Varanus salvator. Pada umumnya mereka memburu biawak untuk memanfaatkan kulitnya.

• Penggunaan bahan kimia/pestisida di tambak

Informasi di lapangan menunjukan bahwa petani tambak menggunakan berbagai jenis bahan kimia/pestisida bagi kegiatan pertambakan mereka. Bahan kimia/pestisida yang dikonsumsi oleh ikan berpotensi untuk meracuni satwa liar lain, terutama burung air dan mammalia pemakan ikan, melalui proses pemekatan biologi (Biological magnification). Pengamatan ini tidak bisa menentukan sejauh mana pengaruh bahan kimia/pestisida terhadap populasi satwa liar yang mencari makan di areal tambak. Meskipun demikian, informasi yang diperoleh dari penduduk setempat menunjukan indikasi adanya beberapa individu burung air yang mati terkena racun di sekitar tambak.

• Pengambilan kayu bakar Pengamatan di lapangan menunjukan adanya kegiatan pengambilan kayu bakar di areal mangrove oleh penduduk setempat. Karena hanya dipergunakan untuk konsumsi rumah tangga sendiri, dalam jangka pendek hal tersebut tidak akan menimbulkan akibat yang berarti. Meskipun demikian, apabila dibiarkan terus, maka dalam jangka panjang kegiatan tersebut akan berpotensi menimbulkan pengaruh negatif berupa hilang/berkurangnya areal mangrove.

Page 44: D1BED081d01

44 Wetlands International – Indonesia Programme

Daftar Pustaka

Boyd, C.E. 1988. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Fourth Printing. Auburn University Agricultural Experiment Station. Alabama. USA. 359 p.

Davis, M.L. dan Cornwell, D.A. 1991. Introduction to Environmental Engineering. Second Edition. Mc-Graw-Hill, Inc. New York. 822 p.

Effendi,H., 2000. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. 259 hal.

Hadian dkk. 1999. Sifat Fisik dan Kimia Air dari Beberapa Sungai, Rawa, dan Sumur di Areal Kerja A, Proyek Lahan Gambut Kalimantan Tengah dalam Prosiding Seminar Nasional Sumber Daya Tanah, Iklim dan Pupuk. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Hal 425-435.

Mason, C.F. 1981. Biology of Fresh Water Pollution. Longman. New York. 351p.

Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. Third Edition. W.B. Sounder Co. Philadelphia. 574p.

Oldeman, L. R. 1975. The Agroclimatic Map of Java. Contribution from The Central Research Institute for Agriculture. CRIA. no.17. Bogor.

Pescod, M.B. 1973. Investigation of Rational Effluent and Stream Standars for Tropical Countries. A.I.T : Bangkok. 59 p.

Poernomo.A. 1988. Faktor Lingkungan Dominan pada Budidaya Udang Intensif. Dalam Seminar Budidaya Udang Untensif. Patra Utama. Jakarta. 68 hal.

Puslitbangkan. 1987. Petunjuk Teknik bagi Pengoperasian Unit Usaha Pembesaran Udang Windu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

Ray, P. dan N.G.S. Rao. 1964. Density of Freshwater Diatoms in Relation to Some Physico-Chemical Condition of Water. Indian. J. Fish., 11 (1) : 479-484.

Schmidt, F.H. and J.H.A. Ferguson. 1951. Rainfall type based on wet and dry period ratios for Indonesia with W.N. Guinea. Verh.42. Kementrian Perhubungan RI. Jakarta.

Tang, Y.A. and S.H. Chen. 1966. A Survey of the Algae pasture Soil of Milkfish pond in Taiwan. Contribution to FAO. World Symposium on Warm-Water Pond Fish Culture. Rome.

Tim Puslittanak. 1997. Laporan Program Reklamasi dan Pengelolaan Lahan Rawa. Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan dan Agroklimat. Tidak Dipublikasikan. 59 hal.

Trojer, H. 1976. Weather Classification and Plant-Weather Relationship. FAO Working Paper no.11. Soil Research Institute. Bogor, Indonesia. 85p.

Widjaja Adhi, IPG., K. Nugroho, Didi Ardi S., dan A. Syarifuddin Karama, 1992. Sumberdaya Lahan Pasang Surut. Rawa dan Pantai: Potensi, Keterbatasan dan Pemanfaatan. Makalah Utama disajikan dalam Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa. Bogor, 3-4 Maret 1992.