Ctg Cesarea

37
http://dikamed.com/kardiotokografi-ctg-alat-memantau- kesejahteraan-janin-yang-wajib-dimiliki-fasilitas-pelayanan- persalinan.html KARDIOTOKOGRAFI JANIN Pendahuluan Salah satu upaya untuk menurunkan angka kematian perinatal yang disebabkan oleh penyakit penyulit hipoksi janin dalam rahim antara lain dengan melakukan pemantauan kesejahteraan janin dalam rahim. Pada dasarnya pemantauan ini bertujuan untuk mendeteksi adanya gangguan yang berkaitan hipoksi janin dalam rahim, seberapa jauh gangguan tersebut dan akhirnya menentukan tindak lanjut dari hasil pemantauan tersebut. Kardiotokografi (KTG) merupakan salah satu alat elektronik yang digunakan untuk tujuan di atas, melalui penilaian pola denyut jantung janin (djj) dalam hubungannya dengan adanya kontraksi ataupun aktifitas janin dalam rahim. Cara pemantauan ini bisa dilakukan secara langsung (invasive/internal) yakni dengan alat pemantau yang dimaksudkan dengan rongga rahim atau secara tidak langsung (non infasif/eksternal) yakni dengan alat yang dipasang pada dinding perut ibu. Pada saat ini cara eksternal yang lebih populer karena bisa dilakukan selama antenatal ataupun intranatal, praktis, aman, dengan nilai prediksi positif yang kurang lebih sama dengan cara internal yang lebih invasive. Mekanisme Pengaturan Denyut Jantung Janin Frekuensi denyut jantung janin rata-rata sekitar 140 denyut permenit (dpm) dengan variasi normal 20 dpm di atas atau di bawah nilai rata-rata. Sehingga harga normal denyut jantung janin antara 120 – 160 dpm (beberapa penulis menganut harga normal djj antara 120 – 150 dpm). Seperti telah diketahui bahwa mekanisme pengaturan djj dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain melalui : 1. Sistem syaraf simpatis, yang sebagian besar berada di dalam miokardium. Rangsangan syaraf simpatis, misalnya dengan obat

description

bd

Transcript of Ctg Cesarea

Page 1: Ctg Cesarea

http://dikamed.com/kardiotokografi-ctg-alat-memantau-kesejahteraan-janin-yang-wajib-dimiliki-fasilitas-pelayanan-persalinan.html

KARDIOTOKOGRAFI JANIN

Pendahuluan

Salah satu upaya untuk menurunkan angka kematian perinatal yang disebabkan oleh penyakit penyulit hipoksi janin dalam rahim antara lain dengan melakukan pemantauan kesejahteraan janin dalam rahim. Pada dasarnya pemantauan ini bertujuan untuk mendeteksi adanya gangguan yang berkaitan hipoksi janin dalam rahim, seberapa jauh gangguan tersebut dan akhirnya menentukan tindak lanjut dari hasil pemantauan tersebut.Kardiotokografi (KTG) merupakan salah satu alat elektronik yang digunakan untuk tujuan di atas, melalui penilaian pola denyut jantung janin (djj) dalam hubungannya dengan adanya kontraksi ataupun aktifitas janin dalam rahim.Cara pemantauan ini bisa dilakukan secara langsung (invasive/internal) yakni dengan alat pemantau yang dimaksudkan dengan rongga rahim atau secara tidak langsung (non infasif/eksternal) yakni dengan alat yang dipasang pada dinding perut ibu. Pada saat ini cara eksternal yang lebih populer karena bisa dilakukan selama antenatal ataupun intranatal, praktis, aman, dengan nilai prediksi positif yang kurang lebih sama dengan cara internal yang lebih invasive.

Mekanisme Pengaturan Denyut Jantung JaninFrekuensi denyut jantung janin rata-rata sekitar 140 denyut permenit (dpm) dengan variasi normal 20 dpm di atas atau di bawah nilai rata-rata. Sehingga harga normal denyut jantung janin antara 120 – 160 dpm (beberapa penulis menganut harga normal djj antara 120 – 150 dpm). Seperti telah diketahui bahwa mekanisme pengaturan djj dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain melalui :1. Sistem syaraf simpatis, yang sebagian besar berada di dalam miokardium. Rangsangan syaraf simpatis, misalnya dengan obat beta-adrenergic akan meningkatkan frekuensi djj, menambah kekuatan kontraksi jantung dan meningkatkan volume curah jantung. Dalam keadaan stres, sistem syaraf simpatis ini berfungsi mempertahankan aktivitas jantung. Hambatan pada syaraf simpatis, misalnya dengan obat propanolo, akan menurunkan frekuensi dan sedikit mengurangi variabilitas djj.2. Sistem syaraf parasimpatis, yang terutama terdiri dari serabut n. vagus yang berasal dari batang otak. Sistem syaraf ini akan mengatur nodus SA, VA dan neuron yang terletak diantara atrium dan ventrikel jantung. Rangsangan n. vagus, misalnya dengan asetilkolin, akan menurunkan frekuensi djj, sedangkan hambatan n. vagus, misalnya dengan atropin, akan meningkatkan frekuensi djj.3. Baroreseptor, yang letaknya pada arkus aorta dan sinus karotid. Bila tekanan meningkat maka reseptor ini akan merangsang n. vagus dan n. glosofaringeus, yang akibatnya akan terjadi penekanan aktivitas jantung yang berupa penurunan frekuensi djj.4. Kemoreseptor, yang terdiri dari 2 bagian, yakni bagian perifer yang terletak di daerah karotid dan korpus aorta serta bagian sentral yang terletak pada batang otak. Reseptor ini berfungsi mengatur perubahan kadar O2 dan CO2 dalam darah serta cairan otak. Bila kadar O2 menurun

Page 2: Ctg Cesarea

dan CO2 meningkat, akan terjadi reflek dari reseptor yang berupa takhicardi dan peningkatan tekanan darah untuk memperlancar aliran darah meningkatkan kadar O2 dan menurunkan kadar CO2. Keadaan hipoksia atau hiperkapnea akan mempengaruhi reseptor perifer dan menimbulkan reflek bradikardi. Hasil interaksi dari kedua macam reseptor tersebut akan menyebabkan bradikardi dan hipertensi.5. Susunan syaraf pusat. Variabilitas djj akan meningkat sesuai dengan aktivitas otak dan gerakan janin. Pada keadaan janin tidur, aktivitas otak menurun maka variabilitas djj juga akan menurun. Rangsangan hypothalamus akan menyebabkan takhikardi.6. Sistem hormonal juga berperan dalam pengaturan djj. Pada keadaan stres, misalnya asfiksia, maka medulla adrenal akan mengeluarkan epinefrin dan non – epinefrin dengan akibat takhikardi, peningkatan kekuatan kontraksi jantung dan tekanan darah.

Karakteristik Gambaran djjGambaran djj dalam pemeriksaan KTG ada dua macam :1. Denyut jantung janin basal (Basal fetal heart rate), yakni frekuensi dasar (baseline rate) dan variabilitas (variability) djj saat uterus dalam keadaan istirahat (relaksasi)2. Perubahan periodik (reactivity), merupakan perubahan djj yang terjadi saat ada gerakan janin atau kontraksi uterus

Frekuensi Dasar djj (basaline rate)Dalam keadaan normal, frekuensi dasar djj berkisar antara 120 – 160 dpm. Beberapa penulis menyatakan frekuensi dasar yang normal antara 120-150 dpm. Disebut takhikardi apabila frekuensi dasar > 160 dpm. Bila terjadi peningkatan frekuensi yang berlangsung cepat (< 1-2 menit) disebut suatu ekselerasi (acceleration). Peningkatan djj pada keadaan akselerasi ini paling sedikit 15 dpm di atas frekuensi dasar dalam waktu 15 detik. Bradikardi bila frekuensi dasar <120 dpm. Bila terjadi penurunan frekuensi yang berlangsung cepat (<1-2 menit) disebut deselerasi (deceleration). Takhikardi Takhikardi dapat terjadi pada keadaan : 1. Hipoksia janin (ringan / kronik) 2. Kehamilan preterm (<30 minggu) 3. Infeksi ibu atau janin 4. Ibu febris atau gelisah 5. Ibu hipertiroid 6. Takhiaritmia janin 7. Obat-obatan (mis. Atropin, Betamimetik) Biasanya gambaran takhikardi tidak berdiri sendiri. Bila takhikardi disertai gambaran variabilitas djj yang masih normal biasanya janin masih dalam kondisi baik. Bradikardi Bradikardi dapat terjadi pada keadaan : 1. Hipoksia janin (berat/akut) 2. Hipotermi janin 3. Bradiaritmia janin 4. Obat-obatan (propanolol, obat anesthesia lokal) 5. Janin dengan kelainan jantung bawaan Gambaran bradikardi inipun biasanya tidak berdiri sendiri, sering disertai dengan gejala yang lain. Bila bradikardi antara 100-120 disertai dengan variabilitas yang masih normal biasanya menunjukkan keadaan hipoksia tersebut. Bila hipoksia janin menjadi lebih berat lagi akan terjadi penurunan frekuensi yang makin rendah (<100 dpm) disertai dengan perubahan variabilitas yang jelas (penurunan variabilitas yang abnormal). Variabilitas djj (variability) Variabilitas djj adalah gambaran osilasi yang tak teratur, yang tampak pada rekamam djj. Variabilitas djj diduga terjadi akibat keseimbangan interaksi dari sistem simpatis (kardioakselerator) dan parasimpatis (kardiodeselerator). Akan tetapi ada pendapat yang lain mengatakan bahwa varabilitas terjadi akibat rangsangan di daerah kortek otak besar (serebri) yang diteruskan ke pusat pengatur denyut jantung di bagian batang otak dengan perantaraan n. vagus. Variabilitas djj yang normal menunjukkan sistem persyarafan janin mulai dari korteks-batang otak n. vagus dan sistem konduksi jantung semua dalam keadaan baik. Pada keadaan hipoksi otak (asidosis/asfiksia janin), akan menyebabkan gangguan mekanisme kompensasi hemodinamik untuk mempertahankan

Page 3: Ctg Cesarea

oksigenasi otak, dalam rekaman kardiotokografi akan tampak adanya perubahan variabilitas yang makin lama akan makin rendah sampai menghilang (bila janin tidak mampu lagi mempertahankan mekanisme hemodiamik di atas). Variabilitas djj dapat dibedakan atas 2 bagian : 1. Variablitas jangka pendek (short term variability) Variabilitas ini merupakan perbedaan interval antar denyut yang terlihat pada gambaran KTG yang juga menunjukkan variasi dari frekuensi antar denyut pada djj. Rata-rata variabilitas jangka pendek djj yang normal antara 2-3 dpm. Arti klinis dari variabilitas jangka pendek masih belum banyak diketahui, akan tetapi biasanya tampak menghilang pada janin yang akan mengalami kematian dalam rahim. 2. Variabilitas jangka panjang (long term variability) Variabilitas ini merupakan gambaran osilasi yang lebih kasar dan lebih jelas tampak pada rekaman KTG dibanding dengan variablitas jangka pendek di atas. Rata-rata mempunyai siklus 3-6 kali permenit. Berdasarkan amplitudo kluktusi osilasi tersebut, variabilitas jangka panjang dibedakan menjadi : a. Normal : bila amplitudo antara 6-25 dpm b. Berkurang : bila amplitudo antara 2-5 dpm c. Menghilang : bila amplitudo kurang dari 2 dpm d. Saltatory : bila amplitudo lebih dari 25 dpm Pada umumnya variabilitas jangka panjang lebih sering digunakan dalam penilaian kesejahteraan janin. Bila terjadi hipoksia otak maka akan terjadi perubahan variabilitas jangka panjang ini, tergantung derajat hipoksianya, variabilitas ini masih normal biasanya menghilang sama sekali. Sebaliknya bila gambaran ini masih normal biasanya janin masih belum terkena dampak dari hipoksia tersebut. Berkurangnya variabilitas djj dapat juga disebabkan oleh beberapa keadaan yang bukan karena hipoksia, misalnya : 1. Janin tidur (keadaan fisiologik dimana aktivitas otak berkurang) 2. Kehamilan preterm (SSP belum sempurna) 3. Janin anencephalus (korteks serebri tak sempurna) 4. Blokade vegal 5. Kelainan jantung bawaan 6. Pengaruh obat-obat narkotik, diazepam, MgSO4 dsb Suatu keadaan dimana variabilitas jangka pendek menghilang sedangkan variabilitas jangka panjang tampak dominan sehingga gambaran sinusoidal. Hal ini sering ditemukan pada : 1. Hipoksia janin yang berat 2. Anemia kronik 3. Fetal Erythroblastosis 4. Rh-Sensitized 5. Pengaruh obat-obat Nisentil, Alpha prodine Perubahan periodik djj Perubahan periodik djj ini merupakan perubahan frekuensi dasar yang biasanya terjadi oleh pengaruh rangsangan gerakan janin atau kontraksi uterus. Ada 2 jenis perubahan frekuensi dasar, yakni : 1. Akselerasi Merupakan respon simpatetik, dimana terjadi peningkatan frekuensi djj, suatu respon fisiologik yang baik (reaktif) dan lebih sering ditemukan pada janin letak sungsang. Diri-ciri akselerasi yang normal adalah dengan amplitudo >15 dpm, lamanya sekitar 15 detik dan terjadi paling tidak 2 kali dalam waktu rekaman 20 menit.Yang penting dibedakan antara akselerasi oleh karena kontraksi dan gerakan janin.a. Akselerasi yang seragam (Uniform Acceleration)Terjadinya akselerasi sesuai dengan kontraksi uterusb. Akselerasi yang bervariasi (Variable Acceleration)Terjadi akselerasi sesuai dengan gerakan atau rangsangan pada janin

2. DeselerasiMerupakan respon parasimpatis (n. vagus) melalui reseptor-reseptor (baroreseptor / kemoreseptor) sehingga menyebabkan penurunan frekuensi djj.a. Deselerasi diniCiri-ciri deselerasi dini adalah :- Timbul dan menghilangnya bersamaan / sesuai dengan kontraksi uterus. Gambaran deselerasi ini seolah merupakan cermin kontraksi uterus- Penurunan amplitudo tidak lebih dari 20 dpm

Page 4: Ctg Cesarea

- Lamanya deselerasi kurang dari 90 detik- Frekuensi dasar dan variablitas masih normalDeselerasi dini sering terjadi pada persalinan normal/fisiologis dimana terjadi kontraksi uterus yang periodik dan normal. Deselerasi saat ini disebabkan oleh penekanan kepala janin oleh jalan lahir yang mengakibatkan hipoksia dan merangsang refleks vagal (lihat skema 1).

Skema 1. Mekanisme terjadinya deselerasi dini oleh karena tekanan kepala janinKontraksi UterusTekanan kepala janinDeselerasi DiniAliran darah ke otak berkurangRangsangan Vagus

b. Deselerasi variabelCiri-ciri deselerasi variabel ini adalah :- Gambaran deselerasi yang bervariasi, bila saat timbulnya, lamanya, amplitudo dan bentuknya- Saat dimulai dan berakhirnya deselerasi terjadi dengancepat dan penurunan frekuensi dasar djj (amplitudo) bisa sampai 60 dpm.- Biasanya terjadi akselerasi sebelum (akselerasi pra deselerasi) atau sesudah (akselerasi pasca deselerasi) terjadinya deselerasi- Deselerasi variabel dianggap berat apabila memenuhi rule of sixty yaitu deselerasi mencapai 60 dpm atau lebih di bawah frekuensi dasar djj dan lamanya deselerasi lebih dari 60 detik- Bila terjadi deselerasi variabel yang berulang terlalu sering atau deselerasi variabel yang memanjang (prolonged) harus waspada terhadap kemungkinan terjadinya hipoksia janin yang berlanjut.Deselerasi variabel ini sering terjadi akibat penekanan tali pusat pada masa hamil atau kala I. Penekanan tali pusat ini bisa oleh karena lilitan tali pusat, tali pusat tumbung atau jumlah air ketuban berkurang (oligohidramnio)/ Selama variabilitas djj masih baik, biasanya janin tidak mengalami hipoksia yang berarti. (lihat skema 2). Penanganan yang dianjurkan pada keadaan ini adalah perubahan posisi ibu, reposisi tali pusat bila ditemukan adanya tali pusat terkemuka atau menumbung, pemberian oksigen pad ibu, amnio-infusion untuk mengatasi oligohidramion bila memungkinkan dan terminasi persalinan bila diperlukan

Kontraksi UterusPenekanan arteri tali pusatHipertensi janinBaroreseptorHipoksin janinKemoreseptorRangsangaagusHipoksi MiokardDeselerasi variableSkema 2. Mekanisme terjadinya deselerasi variabel akibat penekanan tali pusat

Page 5: Ctg Cesarea

c. Deselerasi lambatCiri-ciri deselerasi lambat adalah :- Timbulnya sekitar 20-30 detik setelah kontraksi uterus dimulai- Berakhirnya sekitar 20-30 detik setelah kontraksi uterus menghilang- Lamanya kurang dari 90 detik (rata-rata 40-60 detik)- Timbulnya berulang pada setiap kontraksi, dan beratnya sesuai dengan intensitas kontraksi uterus- Frekuensi dasar djj biasanya normal atau takhikardi ringan. Akan tetapi pada keadaan hipoksia yang berat bisa bradikardiAdapun deselerasi lambat dapat terjadi pada beberapa keadaan yang pada dasarnya semua bersifat patologis. Penurunan aliran darah pada sirkulasi ibu akan menyebabkan janin mengalami hipoksia. Apabila janin masih mempunyai cadangan O2 yang mencukupi dan masih mampu mengadakan kompensasi keadaan tersebut maka tidak tampak adanya gangguan pada gambaran KTG selama tidak ada stres yang lain. Bila terjadi kontraksi uterus, maka aliran darah ke plasenta akan semakin berkurang dan akan memperberat keadaan hipoksia janin. Keadaan terakhir ini akan menyebabkan rangsangan pada kemoreseptor dan n. vagus dan terjadilah deselerasi lambat tersebut. Jarak waktu antara timbulnya kontraksi dan terjadinya deselerasi sesuai dengan waktu yang diperlukan untuk rangsangan kemoreseptor dan n. vagus. Pada fase awal, dimana tingkat dipoksia belum sampai menyebabkan hipoksia otak dan tubuh masih mampu mengadakan kompensasi untuk mempertahankan sirkulasi otak, variabilitas djj biasanya masih normal. Akan tetapi bila keadaan hipoksia makin berat atau berlangsung lebih lama maka jaringan otak akan mengalami hipoksia dan otot jantungpun mengalami depresi oleh karena hipoksia, sebagai akibatnya adalah variabilitas djj akan menurun dan akhirnya menghilang sebelum janin akhirnya mati dalam rahim. Penanganan apabila ditemukan suatu deselerasi lambat adalah memberikan infuse, ibu tidur miring, berikan oksigen, menghentikan kontraksi uterus dengan obat-obat tokolitik, segera direncanakan terminasi kehamilan dengan SD.

Skema 3. Mekanisme terjadinya deselerasi lambat oleh karena insufisiensi utero-plasental.Kontraksi UterusInsufisiensi utero-plasentaKemoreseptorRespon adrenergikHipertensi janinBaroreseptorRespon parasim patisDeselerasi lambatDepresiMiokardASIDOSIS (-)ASIDOSIS (+)

Page 6: Ctg Cesarea

Hasil rekaman KTG yang normal pada umumnya memberikan gambaran sebagai berikut :1. Frekuensi dasar djj sekitar 120-160 dpm2. Variabel djj antara 6-25 dpm3. Terdapat akselerasi4. Tidak terdapat deselerasi atau kalaupun ada hanya suatu deselerasi dini

Dalam praktek sehari-hari sering dijumpai gambaran KTG yang menyimpang dari normal, namun saat lahir dalam kondisi baik, sebaliknya juga ditemukan keadaan dimana hasil KTG normal akan tetapi ternyata bayi lahir dalam kondisi asfiksia. Hal ini menunjukkan bahwa kesalahan dalam memberikan kesimpulan pada hasil KTG sering terjadi. Oleh karena itu diperlukan kemampuan yang memadai untuk dapat menyimpulkan hasil pemeriksaan KTG sehingga pemeriksaan KTG mempunyai nilai ketepatan yang cukup memadai dalam menentukan diagnosa

Pemeriksaan KTG pada masa kehamilanPada awalnya pemeriksaan KTG dikerjakan saat persalinan (inpartu), namun kemudian terbukti bahwa pemeriksaan KTG ini banyak manfaatnya pada masa kehamilan khususnya pada kasus-kasus dengan faktor resiko untuk terjadinya gangguan kesejahteraan janin (hipoksia) dalam rahim seperti :1. Hipertensi dalam kehamilan / gestosis 2. Kehamilan dengan DM3. Kehamilan post-term4. Pertumbuhan janin dalam rahim terhambat5. Ketuban pecah premature (KPP)6. Gerakan janin berkurang7. Kehamilan dengan anemia8. Kehamilan ganda9. Oligohidramnion10. Polihidramnion11. Kehamilan dengan penyakit ibu

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Persalinan Sectio Caesarea di Kabupaten Pati (Studi pada RSUD RAA Soewondo dan Rumah Sakit Islam Pati)

Thursday, 20 February 2014 Last Updated on Thursday, 20 February 2014 06:32 Written by MasterAdmin Hits: 3837Бензопила Карпаты БП-4500 купитьcмс любимому скучаюNaskah Masuk: 29 Oktober 2013 Naskah Revisi: 7 November 2013 Naskah Diterima: 14 November 2013

PENDAHULUAN

Page 7: Ctg Cesarea

Hampir setiap wanita akan mengalami proses persalinan. Kodratnya wanita dapat melahirkan secara normal yaitu persalinan melalui vagina atau jalan lahir biasa (Siswosuharjo dan Chakrawati, 2010). Apabila wanita tidak dapat melahirkan secara normal maka tenaga medis akan melakukan persalinan alternatif untuk membantu pengeluaran janin (Bobak, et.al, 2005). Salah satu penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah persalinan sectio caesarea. Persalinan sectio caesarea adalah melahirkan janin melalui irisan pada dinding perut dan dinding uterus.

Persalinan sectio caesarea harus dipahami sebagai salah satu jalan untuk menolong persalinan jika persalinan normal tidak dapat dilakukan dengan tujuan tercapai bayi lahir sehat dan ibu juga selamat. Pertimbangan medis dilakukannya persalinan caesar antara lain karena faktor dari ibu hamil dan faktor janin. Faktor ibu antara lain ibu berpenyakit jantung, paru, ginjal, atau tekanan darah tinggi atau pada ibu dengan komplikasi pre-eklampsia / eklampsia atau ibu dengan kelelahan saat persalinan. Selain itu keadaan yang mendesak kehamilan dengan pendarahan, perjalanan persalinan yang terhambat, kesempitan panggul, kelainan letak janin dalam rahim, kelainan posisi kepala di jalan lahir dan persalinan lama merupakan alasan yang dibenarkan secara medis untuk dilakukan persalinan sectio caesarea. Faktor janin antara lain gawat janin akibat air ketuban kurang, posisi bayi sungsang, pertumbuhan janin kurang baik, dan kematian janin dalam rahim (Manuaba, dkk., 2009).

Jumlah persalinan sectio caesarea di Indonesia, terutama di rumah sakit pemerintah adalah sekitar 20-25% dari total jumlah persalinan, sedangkan di rumah sakit swasta jumlahnya lebih tinggi yaitu sekitar 30-80% dari total jumlah persalinan (Mulyawati, dkk., 2011). Peningkatan persalinan dengan sectio caesarea dilakukan dengan berbagai alasan. Survei Majalah Kartini edisi ibu dan anak (2008) menunjukkan bahwa sebanyak 83,5% responden melakukan persalinan sectio caesarea karena keputusan dokter berdasarkan komplikasi medis, 10% responden lainnya beralasan memilih persalinan sectio caesarea karena kehamilan sebelumnya juga melalui cara yang sama, sementara sisanya sebanyak 6,5% responden memilih melahirkan secara sectio caesarea karena tidak ingin merasakan nyeri hebat, merasakan persalinan dengan proses yang relatif cepat, faktor estetika (tidak ingin elastisitas vagina berubah), bisa menentukan tanggal kelahiran bayi, dan adanya rekomendasi kerabat (Sari, 2009).

Persalinan sectio caesarea, yang merupakan jalan keluar jika persalinan pervaginam (normal) tidak memungkinkan ternyata juga memiliki kelemahan. Kelemahan tersebut bersumber dari risiko kematian dan infeksi yang lebih tinggi dibandingkan persalinan pervaginam. Hasil penelitian oleh Sadiman dan Ridwan (2009) menyatakan Angka Kematian Ibu (AKI) dengan persalinan sectio caesarea sebesar 40-80 setiap 100.000 kelahiran hidup, sementara risiko kematian ibu pada persalinan section caesarea meningkat 25 kali dan risiko infeksi 80 kali lebih tinggi dibandingkan persalinan pervaginam.

RSUD RAA Soewondo merupakan rumah sakit pemerintah yang menjadi rujukan dari seluruh wilayah di Kabupaten Pati. Berdasarkan Profil RSUD RAA Soewondo Kabupaten dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan persalinan dengan sectio caesaria periode tahun 2010-2011. Pada tahun 2010, persentase persalinan sectio caesarea sebesar 26,68% dari total 2.721 persalinan, sedangkan di tahun 2011 persentase tersebut meningkat menjadi 27,87% dari total 2.924 persalinan. Selain RSUD RAA Soewondo, terdapat beberapa rumah sakit di Kabupaten Pati yang melayani persalinan sectio caesare, diantaranya Rumah Sakit Islam (RSI) Pati.

Page 8: Ctg Cesarea

Berdasarkan data persalinan di RSI Pati tahun 2012, persentase persalinan section caesarea sebesar 26,91%. Berdasarkan latar belakang tersebut, tujuan penelitian adalah mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan persalinan sectio caesarea di Kabupaten Pati: Studi pada RSUD RAA Soewondo dan Rumah Sakit Islam Pati

TINJAUAN PUSTAKA

Sectio Caesarea

Sectio caesarea adalah upaya mengeluarkan janin melalui pembedahan pada dinding abdomen dan uterus. Sectio aesarea merupakan bagian dari metode obstetrik operatif. Persalinan sectio caesarea dilakukan sebagai alternatif jika persalinan lewat jalan lahir tidak dapat dilakukan. Tujuan dilakukan persalinan sectio caesarea agar ibu dan bayi yang dilahirkan sehat dan selamat (Reeder et.al, 2011).

Indikasi Persalinan Sectio Caesarea

Menurut Reeder, et.al. (2011), indikasi persalinan sectio caesarea terdiri atas faktor ibu, faktor janin, faktor plasenta atau kombinasi satu dengan yang lain. Faktor ibu terdiri atas penyakit ibu yang berat (seperti penyakit jantung berat, diabetes mellitus, preeklamsia berat atau eklampsia, dan kanker serviks) atau infeksi berat (virus herpes simpleks tipe II atau herpes genitalis dalam fase aktif atau dalam 2 minggu lesi aktif). Penyakit tersebut membutuhkan persalinan sectio caesarea karena beberapa alasan: (1) untuk mempercepat persalinan dalam suatu kondisi yang kritis; (2) karena ibu dan janinnya tidak mampu menoleransi persalinan; (3) janin akan terpajan dengan risiko bahaya yang meningkat saat melalui jalan lahir. Faktor ibu yang lain adalah pembedahan uterus sebelumnya, termasuk miomektomi, persalinan sectio caesaria sebelumnya dengan insisi klasik, rekonstruksi uterus, dan obstruksi jalan lahir karena adanya fibroid atau tumor ovarium.

Faktor janin terdiri atas gawat janin, seperti janin dengan kasus prolaps tali pusat, insufisiensi uteroplasenta berat, dan malpresentasi (seperti letak melintang, janin dengan presentasi dahi). Kehamilan ganda dengan bagian terendah janin kembar adalah pada posisi melintang bokong. Faktor plasenta berupa plasenta previa dan solusio plasenta (pemisahan plasenta sebelum waktunya). Faktor kombinasi antara faktor ibu dan janin pada umumnya adalah distosia (kemajuan persalinan abnormal) yang ditunjukkan sebagai suatu “kegagalan kemajuan” dalam persalinan. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan ketidaksesuaian antara ukuran panggul dan ukuran kepala janin (disproporsi sefalopelvik), kegagalan induksi, atau aksi kontraksi uterus yang abnormal.

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Persalinan Sectio Caesarea

1. Usia Ibu

Usia merupakan salah satu tolok ukur kesiapan seorang ibu untuk melahirkan, dimana usia ideal untuk menjalani proses kehamilan dan persalinan adalah usia 20-35 tahun. Wanita berusia kurang dari 20 tahun biasanya memiliki kondisi psikis yang belum matang serta kemampuan

Page 9: Ctg Cesarea

finansial yang kurang mendukung, sementara wanita berusia lebih dari 35 tahun cenderung mengalami penurunan kemampuan reproduksi (Harnowo, 2013).

2. Paritas

Paritas adalah jumlah anak yang pernah dilahirkan. Paritas merupakan faktor penting yang menunjang keberhasilan kehamilan dan persalinan. Persalinan yang pertama sekali biasanya mempunyai risiko relatif tinggi terhadap ibu dan anak, kemudian risiko ini menurun pada paritas kedua dan ketiga, dan akan meningkat lagi pada paritas keempat dan seterusnya (Mochtar, 1998). Ibu yang sering melahirkan memiliki risiko mengalami komplikasi persalinan pada kehamilan berikutnya apabila tidak memperhatikan kebutuhan nutrisi. Pada paritas lebih dari empat keadaan rahim biasanya sudah lemah yang dapat menimbulkan persalinan lama dan pendarahan saat kehamilan (Depkes RI, 2003)

3. Kadar Hb

Kadar Haemoglobin (Hb) merupakan salah satu indikator status gizi seseorang. Selama kehamilan, anemia lazim terjadi dan biasanya disebabkan oleh defisiensi besi sekunder karena kebutuhan besi seorang ibu hamil akan meningkat sebagai suplai besi untuk janin. Kadar Hb menunjukkan status anemia. Ibu yang mempunyai kadar Hb < 11 gr % berarti menderita anemia. Penelitian oleh Mulyawati, dkk. (2011) di RSI YAKKIS Gumolong Kabupaten Sragen menunjukkan adanya hubungan usia ibu dengan persalinan sectio caesarea. Anemia pada ibu hamil merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia dan merupakan salah satu penyebab pendarahan pascapersalinan yang dapat menyebabkan kematian ibu.

4. Riwayat Persalinan

Persalinan sectio caesarea dengan irisan perut dan rahim secara vertikal membuat ibu hamil rentan mengalami perobekan pada rahim saat mengejan pada proses persalinan normal yang dapat berpotensi menyebabkan perdarahan. Oleh karena itu, untuk menghindari morbiditas dan mortalitas pada ibu dengan riwayat sectio caesarea terutama sectio caesarea dengan irisan vertikal, maka persalinan sectio caesarea menjadi pilihan (Anonim, 2009).

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan adalah survei analitik dengan rancangan cross sectional. Variabel bebas dalam penelitian ini terdiri atas umur, paritas, kadar Hb, dan riwayat persalinan sectio caesarea, sedangkan variabel terikat adalah persalinan sectio caesarea. Penelitian dilaksanakan mulai bulan April hingga Oktober 2013. Tempat penelitian di RSUD RAA Soewondo dan Rumah Sakit Islam Pati.

Populasi penelitian adalah semua ibu yang melahirkan dengan persalinan normal dan persalinan sectio caesarea di RSUD RAA Soewondo dan Rumah Sakit Islam Pati tahun 2012 berjumlah 1.881 persalinan. Besar sampel dihitung berdasarkan Tabel Krecjie, sehingga sampel penelitian berjumlah 320 persalinan. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik random sederhana.

Page 10: Ctg Cesarea

Pengumpulan data dilakukan dengan pencatatan di bagian rekam medis Rumah Sakit dengan alat bantu cek list. Data dianalisis dengan menggunakan uji statistik Chi square.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Proporsi Persalinan Sectio Caesarea

Berdasarkan jenis persalinan, jumlah sampel dengan persalinan normal adalah 199 persalinan (62,2%) sedangkan sampel dengan persalinan sectio caesarea sebanyak 121 persalinan (37,8%). Ringkasan persebaran sampel berdasarkan jenis persalinan ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1.

Distribusi Sampel Penelitian Berdasarkan Jenis Persalinan

No

Jenis Persalinan

Jumlah

Persentase

1

Normal

199

62,2

2

Sectio caesarea

121

37,8

Total

320

100

Sumber: Pengolahan Data (2013)

Page 11: Ctg Cesarea

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sadiman dan Ridwan (2009) di RSUD Ahmad Yani Metro Tahun 2008 yang menyebutkan proporsi ibu yang melahirkan dengan persalinan normal lebih besar (70,3%) dibandingkan persalinan sectio caesarea (29,7%). Pengamatan terhadap data menunjukkan bahwa persalinan sectio caesarea dilakukan berdasarkan pertimbangan beberapa alasan sebagaimana disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2.

Alasan Persalinan Sectio caesarea di Kabupaten Pati Tahun 2012

No

Alasan

Jumlah

Persentase

1

menolak pervaginam

41

33,9

2

partus macet

24

19,8

3

riwayat sc

20

16,5

4

induksi gagal

Page 12: Ctg Cesarea

15

12,4

5

Gamely

3

2,5

6

kala II lama

3

2,5

7

serotinus

3

2,5

8

fetal compromised

2

1,7

9

Ketuban Pecah Dini

2

1,7

10

Page 13: Ctg Cesarea

letak sungsang

2

1,7

11

Pre-Eklamsi Berat

2

1,7

12

hidrocepalus

1

0,8

13

Anemia

1

0,8

14

oligohidramnion

1

0,8

15

preeklamsi ringan

1

0,8

Page 14: Ctg Cesarea

Total

121

100,0

Sumber: Pengolahan Data (2013)

Berdasarkan Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa alasan utama dilakukannya persalinan sectio caesarea adalah menolak persalinan pervaginam (33,9%), selain partus macet (19,8%), mempunyai riwayat sectio caesarea (16,5%) dan induksi gagal (12,4%). Persalinan sectio caesarea dengan alasan menolak persalinan pervaginam juga menjadi temuan penelitian oleh Gondo dan Sugiharto (2006) dengan persentase sebesar 34,82%, sedangkan sisanya sebesar 65,18% merupakan persalinan sectio caesarea dengan alasan medis. Namun demikian, hasil berbeda dikemukakan oleh Annisa (2011) melalui penelitian yang dilakukan di RSUD Dr. Adjidarmo Lebak yang menyebutkan alasan terbanyak dilakukannya persalinan sectio caesarea adalah ketuban pecah dini (18,6%), kala II lama (14,7%), partus tak maju (14,0), dan malposisi (13,6%).

Dewi dan Fauzi (2007) menyatakan indikasi nonmedis yang mendasari persalinan sectio caesarea dapat berasal dari pasien itu sendiri, suami bahkan keluarga. Beberapa alasan nonmedis antara lain : ibu tidak ingin keadaan vaginanya agak longgar dan terlalu sayang pada anak, sehingga tidak tega membiarkan anak menunggu lahir atau bersusah payah melewati jalan lahir. Selain itu terdapat kepercayaan adanya hubungan antara saat kelahiran dengan perjalanan nasib yang selanjutnya memunculkan upaya merekayasa waktu persalinan, yaitu dengan cara menentukan tanggal dan bulan yang sesuai dengan yang diyakini oleh ibu dan keluarga.

Distribusi frekuensi sampel dilakukan berdasarkan variabel yang diteliti, yaitu usia, paritas, kadar Hb, dan riwayat section caesarea (SC). Variabel usia mengelompokkan sampel menjadi tiga kategori yaitu <20 tahun, 20-35 tahun, dan >35 tahun. Observasi terhadap usia sampel menunjukkan sampel termuda berusia 16 tahun dan sampel tertua berusia 44 tahun. Variabel paritas menggolongkan sampel menjadi dua, yaitu tidak berisiko (paritas 2-3) dan berisiko (paritas 1 atau ≥4). Kadar Hb dibedakan dalam dua kelompok, yaitu anemia yaitu jika kadar Hb <11% dan tidak anemia jika kadar Hb ≥ 11%. Riwayat persalinan sectio caesarea dibedakan dalam dua kelompok, yaitu tidak punya riwayat Sectio Caesarea (SC) dan riwayat SC. Distribusi frekuensi sampel berdasarkan variabel bebas ditampilkan pada Tabel 3.

Tabel 3.

Distribusi Sampel Penelitian Berdasarkan Variabel Bebas

No

Variabel

Page 15: Ctg Cesarea

Jumlah

Persentase

1

Umur

usia < 20 tahun

34

10,6

usia 20-35 tahun

244

76,3

usia >35 tahun

42

13,1

2

Paritas

Tidak berisiko (2 atau 3)

Berisiko (1 atau ≥4)

168

Page 16: Ctg Cesarea

152

52,5

47,5

3

Kadar Hb

Tidak anemia

174

54,4

Anemia

146

45,6

4

Riwayat persalinan sectio caesarea (SC)

Tidak punya riwayat SC

295

92,2

Riwayat SC

Page 17: Ctg Cesarea

25

7,8

Sumber: Data diolah (2013)

Tabel 3 menunjukkan persentase sampel yang melahirkan pada usia reproduksi tidak sehat lebih rendah daripada persentase sampel yang melahirkan pada usia reproduksi sehat atau persentase usia reproduksi >35 tahun lebih tinggi daripada persentase usia reproduksi < 20 tahun. Berdasarkan paritas persentasenya tidak berisiko (2 atau 3) lebih tinggi dibandingkan paritas berisiko (1 atau ≥ 4). Hasil penelitian ini selaras dengan hasil penelitian Mulyawati, dkk (2011) di Rumah Sakit Islam YAKSSI Gemolong Kabupaten Sragen yang menyatakan sebagian besar persalinan sectio caesarea pada kelompok primipara dan grandmultipara sebanyak 64,6% dan persalinan sectio caesarea pada kelompok multipara 62,2%. Distribusi frekuensi kadar Hb menunjukkan persentase kelompok anemia lebih tinggi dibandingkan kelompok tidak anemia, walaupun perbedaannya tidak terlalu jauh. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Setyaningrum (2005) di RB. Annisa Semarang yang menyebutkan bahwa jumlah ibu dengan kadar Hb rendah atau anemia lebih sedikit dibandingkan ibu dengan kadar Hb tidak anemia pada persalinan lama dan persalinan sectio caesarea. Kadar Hb terendah yang dimiliki oleh sampel sebesar 6,4 g% dan kadar Hb tertinggi sebesar 14,9 g%. Berdasarkan riwayat persalinan sectio caesarea dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh sampel penelitian tidak memiliki riwayat persalinan dengan section caesarea.

Faktor –faktor yang Berhubungan dengan Persalinan Sectio caesarea

Hasil Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Persalinan sectio caesarea di Kabupaten Pati Tahun 2012 ditampilkan pada Tabel 4.

Tabel 4.

Hasil Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Persalinan sectio caesarea

di Kabupaten Pati Tahun 2012

No

Variabel

Persalinan Normal

Persalinan SC

OR

95% CI

Page 18: Ctg Cesarea

P

n

%

n

%

1.

Umur Ibu

20-35 tahun <20 th dan >35th

153

46

62,7

60,5

91

30

37,3

39,5

1,10

Page 19: Ctg Cesarea

0,65-1,19

0,836

2.

Paritas

Tidak berisiko (2 atau 3)Berisiko (1 atau ≥4)

110

89

65,5

58,6

58

63

34,5

41,4

1,34

0,85-2,11

0,246

Page 20: Ctg Cesarea

3.

Kadar Hb

Tidak anemia (≥11g%)Anemia (<11g%)

113

86

64,9

58,9

61

60

35,1

41,1

1,29

0,82-2,03

0,320

4.

Riwayat SC

Page 21: Ctg Cesarea

Tidak pernah SCPernah SC

194

5

65,8

20,0

101

20

34,2

80,0

7,68

2,80-21,08

0,001

Sumber: Data diolah (2013)

Hasil analisis chi square untuk menguji hubungan usia dengan persalinan sectio caesarea menunjukkan nilai P-value sebesar 0,836. Nilai P-value lebih besar dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan usia ibu dengan kejadian persalinan sectiocaesarea. Hasil penelitian ini mendukung penelitian terdahulu oleh Annisa (2011) di RSUD Dr. Adjidarmo Lebak yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan usia ibu dengan kejadian persalinan sectio caesarea. Namun hasil penelitian berbeda ditunjukkan oleh Muliawati, dkk. (2011) yang membuktikan asosiasi antara usia ibu dengan persalinan sectio caesarea di RSI YAKKIS

Page 22: Ctg Cesarea

Gumolong Kabupaten Sragen. Ibu yang berusia < 20 tahun atau ibu yang berusia >35 tahun lebih berisiko mengalami persalinan dengan sectio caesarea dibandingkan dengan ibu yang berusia 21-34 tahun. Hal ini dikarenakan rahim dan panggul wanita dengan usia <20 tahun belum berkembang dengan baik, sehingga dapat menimbulkan kesulitan persalinan (Depkes RI, 2003). Sementara ibu yang hamil setelah usia 40 tahun lebih mudah lelah, mempunyai risiko keguguran lebih besar, berisiko bersalin dengan alat bantu, seperti dengan forsep atau sectio caesarea (Akhmad, 2008). Hal tersebut diperkuat oleh Manuaba, dkk. (2009) yang menyatakan kehamilan pada usia reproduksi tidak sehat dapat meningkatkan risiko preeklamsi dan eklamsi. Pada kehamilan usia di bawah 20 tahun potensi preeklamsi dan eklamsi muncul sebagai akibat ketidaksiapan alat reproduksi menerima kehamilan, sedangkan pada kehamilan usia di atas > 35 tahun preeklamsi dan eklamsi berasal dari kecenderungan peningkatan tekanan darah karena pertambahan usia.

Analisis Chi square yang menguji hubungan paritas dengan persalinan sectio caesarea menunjukkan nilai P-value sebesar 0,246. Nilai P-value lebih besar dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara paritas dengan kejadian persalinan sectio caesarea. Hasil yang sama ditunjukkan penelitian oleh Annisa (2011) di RSUD Dr. Adjidarmo Lebak yang menyatakan bahwa tidak ada asosiasi antara paritas dengan kejadian persalinan sectio caesarea. Hasil penelitian berbeda ditunjukkan oleh Mulyawati, dkk., (2011) yang menunjukkan hubungan paritas dengan persalinan sectio caesarea di RSI YAKKIS Gumolong Kabupaten Sragen. Persalinan pertama sekali (primigravida) biasanya mempunyai risiko relatif tinggi terhadap ibu dan anak, kemudian risiko ini menurun pada paritas kedua dan ketiga, dan akan muncul lagi pada paritas keempat dan seterusnya (Mochtar, 1998). Risiko terjadinya kelainan dan komplikasi yang besar pada ibu dengan persalinan pertama dikarenakan belum pernah memiliki pengalaman melahirkan, sedangkan pada ibu yang melahirkan lima kali atau lebih kali berisiko terjadi peningkatan komplikasi karena elastisitas uterusnya menurun, terjadi peregangan berlebihan dari uterus yang menyebabkan atonia uteri dan meningkatkan risiko perdarahan pascapersalinan (Prawiroharjo, 2008). Tidak adanya hubungan paritas dengan persalinan sectio caesarea diduga disebabkan persalinan sectio caesarea banyak dilakukan karena alasan nonmedis. Keadaan ini menyebabkan paritas sebagai alasan medis tidak terbukti sebagai faktor risiko persalinan sectio caesarea.

Hasil analisis statistik chi square untuk menguji hubungan kadar Hb dengan persalinan sectio caesarea menunjukkan nilai P-value sebesar 0,320. Nilai P-value lebih besar dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara kadar Hb dengan persalinan sectio caesarea. Hal ini berarti kadar Hb <11% bukan merupakan faktor risiko persalinan sectio caesarea di Kabupaten Pati. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Annisa (2011) di RSUD Dr. Adjidarmo Lebak yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan kadar Hb dengan kejadian persalinan sectio caesarea. Namun, hasil penelitian berbeda dengan hasil penelitian Mulyawati, dkk., (2011) yang menunjukkan ada hubungan anemia dengan persalinan sectio caesarea di RSI YAKKIS Gumolong Kabupaten Sragen. Manuaba (1999) menyatakan anemia pada kehamilan meningkatkan frekuensi komplikasi kehamilan dan persalinan, seperti perdarahan perdarahan antepartum dan postpartum, berat badan bayi lahir rendah, hingga risiko kematian maternal dan kematian perinatal. Tidak adanya hubungan anemia dengan persalinan sectio caesarea diduga disebabkan pengkategorian kadar Hb hanya dua tingkatan yaitu anemia jika Hb <11g% dan tidak anemia jika Hb ≥11g%. Menurut Depkes RI (2005), kadar Hb dapat diklasifikasikan lebih

Page 23: Ctg Cesarea

terperinci menjadi tidak anemia (Hb ≥11g%), anemia ringan ( Hb 9,0 g% - 10,9 g%), dan anemia berat (≤ 8,0 g%).

Hasil analisis statistik Chi square menunjukkan nilai P-value sebesar 0,001, sehingga dapat disimpulkan adanya hubungan bermakna riwayat sectio caesarea dengan persalinan sectio caesarea. Nilai OR sebesar 7,68 menunjukkan ibu yang pernah melahirkan dengan sectio caesarea berisiko 7,68 kali mengalami persalinan sectio caesarea pada persalinan berikutnya dibandingkan ibu yang tidak mempunyai riwayat persalinan sectio caesarea. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian oleh Annisa (2011) di RSUD Dr. Adjidarmo Lebak yang menyatakan terdapat hubungan riwayat sectio caesarea dengan kejadian persalinan sectio caesarea, dimana ibu yang pernah melahirkan dengan sectio caesarea berisiko 3,09 kali mengalami persalinan sectio caesarea pada persalinan berikutnya dibandingkan ibu yang tidak mempunyai riwayat persalinan sectio caesarea. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Jovany (2012) yang menyatakan bahwa 33,3% persalinan sectio caesarea kedua di RS UP Fatmawati karena riwayat persalinan sectio caesarea sebelumnya.

Riwayat persalinan sectio caesarae tidak selalu menyebabkan section caesarea pada penelitian selanjutnya. Ibu yang telah melakukan persalinan sectio caesarea masih mempunyai kesempatan melahirkan dengan normal apabila alasan persalinan sectio caesarea yang pernah dialami tidak muncul kembali dan kandungan ibu tidak terganggu serta normal. Persalinan pervaginam yang dilakukan oleh ibu yang telah melakukan persalinan sectio caesarea pertama kali dikenal dengan Vaginal Birth After Cesarean (VBAC). VBAC merupakan suatu metode yang digunakan untuk meningkatkan persalinan pervaginam setelah sectio caesarea. Yunus dalam Anonim (2012) mendukung hal tersebut dengan menyatakan fakta terbaru bahwa lebih kurang 80% wanita bisa melakukan persalinan normal setelah pernah dilakukan persalinan sectio caesarea. Syarat utamanya, jarak kelahiran dari yang pertama dengan yang kedua ini minimal harus dua tahun. Syarat lainnya, ibu harus memiliki panggul yang besar sehingga bayi dapat melalui rongga panggul dan jalan lahir, hanya memiliki 1 atau 2 sayatan operasi berbentuk mendatar bukan melintang, tidak memiliki luka operasi lainnya selain bekas sayatan (contohnya bekas operasi usus buntu), tidak memiliki komplikasi yang berkaitan dengan kesehatan organ reproduksi yang dapat menghambat atau mengganggu kelancaran proses persalinan normal misalnya kanker mulut rahim, plasenta previa (letak plasenta menutupi jalan lahir). Selain itu, ibu juga harus dipastikan tidak memiliki historis penyakit generatif seperti hipertensi atau jantung yang bisa membahayakan proses kelahiran.VBAC memberikan keuntungan baik pada ibu atau pun pada janin. Selain pemulihan luka yang lebih cepat, VBAC mencegah resiko-resiko dari pembedahan dan komplikasinya seperti resiko infeksi sekunder, kehilangan darah, gangguan saluran kemih. VBAC juga memberikan keuntungan secara ekonomis, karena melahirkan normal biayanya jauh lebih murah dibandingkan dengan sectio caesarea. Dengan adanya keinginan, kemauan serta kesiapan psikologis ibu untuk melahirkan normal dan mengontrol kehamilan secara teratur sehingga bisa dipastikan tidak ditemukan tanda-tanda kelainan letak, seperti letak sunsang, lintang dan kelainan kelainan patologis lain (seperti plasenta previa, mioma) maka rencana ibu untuk melahirkan normal bisa diwujudkan. Pemilihan rumah sakit yang tepat harus menjadi prioritas karena jika dalam saat proses melahirkan normal ditemukan tanda-tanda yang mengharuskan untuk dilakukan tindakan operasi untuk meminimalisir resiko sehingga dapat dilakukan tindakan segera (Anonim, 2012). Terdapat banyak pertimbangan untuk dapat melakukan persalinan pervaginam bagi ibu yang mempunyai riwayat persalinan sectio caesarea,

Page 24: Ctg Cesarea

sehingga alasan dilakukan persalinan sectio caesarea yang kedua sebagian besar karena alasan medis sebagaimana hasil penelitian Jovany (2012) menyatakan bahwa 90,7% persalinan sectio caesarea kedua di RSUP Fatmawati karena alasan medis.

Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini mempunyai keterbatasan yang dapat mempengaruhi hasil penelitian, yaitu, (1) Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder sehingga validatas data penelitian tidak dapat dilakukan. (2) terdapat beberapa variabel bebas (pendidikan, tinggi badan, dan riwayat pemeriksaan kehamilan) yang tidak diikutsertakan dalam penelitian karena ketidaklengkapan pencatatan rekam medis.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Alasan terbanyak persalinan sectio caesarea di RSUD RAA. Soewondo dan RSI Pati adalah nonmedis yaitu menolak persalinan pervaginam.Faktor yang memiliki hubungan dengan persalinan sectio caesarea adalah riwayat persalinan sectio caesarea sebelumnya (OR=7,89, P-value= 0,001), sementara variabel usia, paritas, dan kadar Hb tidak berhubungan secara bermakna dengan persalinan sectio caesarea.Saran

1. Bagi Ibu hamil dan keluarga

Meningkatkan pengetahuan tentang indikasi persalinan sectio caesarea dan akibat yang ditimbulkan sehingga keputusan untuk melakukan persalinan sectio caesarea hendaknya didasarkan pada indikasi medis. Hal ini guna menghindari risiko sectio caesarea pada persalinan berikutnya dimana kemungkinan komplikasi persalinannya akan lebih besar.

2. Bagi Petugas Kesehatan

Melakukan promosi kesehatan ke masyarakat tentang indikasi medis dilakukannya persalinan sectio caesarea, untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang indikasi dilakukannya persalinan sectio caesarea agar masyarakat tidak melakukan persalinan sectio caesarea tanpa indikasi medis.

3. Bagi Rumah Sakit

Hendaknya dilakukan konseling kepada ibu dan keluarga yang menginginkan persalinan sectio caesarea tanpa indikasi medis berkaitan dengan risiko komplikasi yang mengiringi persalinan sectio caesarea. Selain itu, Rumah Sakit agar senantiasa melengkapi data yang sudah tersedia dalam form rekam medis pasien untuk keperluan penelitian-penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Page 25: Ctg Cesarea

Akhmad, S. A. 2008. Panduan Lengkap Kehamilan, Persalinan, dan Perawatan Bayi. Yogjakarta : DIGLOSSIA MEDIA.

Annisa, S. A. 2011. Faktor-faktor Risiko Persalinan Sectio Caesarea di RSUD Adjidarmo Lebak pada Bulan Oktober-Desember 2010. Skripsi. Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Jakarta : Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulloh.

Anonim, 2009. Sekali Operasi Caesar, Caesar Selamanya. http://femae.kompas.com/read/2009/08/03/1011717/sekali.Operasi.Caesar.Selamanya. Caesar. Diakses tanggal 13 November 2013.

Anonim, 2012. Liputan khusus I: Melahirkan Normal Adalah Fitroh Seorang Ibu. http://www.omni-hospitals.com/omni_alamsutera/blog_detail.php?id_post=42. Diakses tanggal 30 Oktober 2013.

Bobak, Lowdermilk dan Jensen. 2004. Keperawatan Maternal. (Penerjemah: Maria dan Peter). Jakarta : EGC.

Departeman Kesehatan RI. 2003. Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu, dan Anak (PWS-KIA). Jakarta : Depkes RI.

-------------------------------2005. Materi Ajar Upaya Penurunan Kematian Ibu dan bayi baru Lahir. Jakarta : Depkes RI- FKM UI.

Dewi, Y. danH.Fauzi. 2007. Operasi Caesar Pengantar Dari A sampai Z. Jakarta : Edsa Mahkota.

Gondo H. K. dan K. Sugiharta . 2010. Profil Operasi Sectio Caesarea di SMF Obstetri dan Ginekologi RSUP Sanglah Denpasar Bali Tahun 2001 dan 2006. CDK .Vol 175, No. 37 : 97-101.

Harnowo, P. A. 2013.Saat Terlalu Tua atau Terlalu Muda Tak Sehat, Ini Usia Idealnya. http://health.detik.com/read/2013/02/06/142659/2162704/775/hamil-saat-terlalu-tua-atau-terlalu-muda-tak-sehat-ini-usia-idealnya. Diakses tanggal 13 November 2013.

Jovany, M. 2012. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Ibu Dilakukan Sectio Caesarea yang Kedua. Skripsi. Fakultas Ilmu Keperawatan. Jakarta : Universitas Indonesia.

Manuaba, I. A C., I. B. G. F. Manuaba, I. B. G. Manuaba. 2009. Mamahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta : EGC.

Manuaba, I. A. C. 1999. Ilmu Kebidanan, Penyakit kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC.

Mochtar, R. 1998. Sinopsis Obstetri Jilid II (Edisi II). Jakarta : EGC.

Page 26: Ctg Cesarea

Mulyawati, I., M. Azam, D.N. A. Ningrum, 2011. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tindakan Persalinan melalui Operasi Sectio Caesarea. Jurnal Kesehatan Masyarakat.Vol 7, No. 1 : 15-24.

Prawirohardjo, S. 2008. Ilmu Kebidanan (Edisi IV). Jakarta : Bina Pustaka.

Reeder,S. J., Martin, L. L., dan Griffin, D. K. 2011. Keperawatan Maternitas:Kesehtan Wanita, Bayi dan Keluarga. Ed.18. Vol.2, Penerjemah: Yanti Afiyanti, dkk. Jakarta : EGC.

RSI Pati. 2013. Profil Rumah Sakit Islam (RSI) Pati Tahun 2012. Pati.

RSUD RAA Soewondo. 2012. Profil RSUD RAA. Soewondo Pati Tahun 2011. Pati.

Sadiman dan M. Ridwan. 2009. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Persalinan Seksio Caesaria di RSUD Ahmad Yani Metro Tahun 2008. Jurnal Kesehatan “Metro Sai Wawai”. Vol. II No. 2 : 1-10.

Sari, D. S., 2010. Persalinan Normal vs Operasi Caesar: Pahami, Pilih, dan tentukan dari Sekarang. http://www.kemangmedicalcare.com/. Diakses tanggal 23 April 2013

Setyaningrum, D. 2005. Hubungan Kadar Hemoglobin Ibu Hamil Trimester III dengan Lama Persalinan di RB Annisa Kota Semarang. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Semarang: Universitas Diponegoro

Siswosuharjo dan Chakrawati. 2010. Panduan Super Lengkap Hamil Sehat. Semarang: Pesona Plus. B.

BIODATA PENULIS

Aeda Ernawati, lahir 22 November 1976 di kota Purworejo Jawa Tengah. Magister Gizi Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang. Bekerja sebagai peneliti di Kantor Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Pati.

Email: [email protected]

Kak,,,section caesarea lebih lengkap di sini,coba buka ya

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/136/jtptunimus-gdl-retnowulan-6757-2-babii.pdf