CONTOH_KASUS_MALPRAKTEK
-
Upload
hendri-saputra -
Category
Documents
-
view
385 -
download
2
Transcript of CONTOH_KASUS_MALPRAKTEK
KAIDAH DASAR BIOETIK DAN MALPRAKTEK KEDOKTERAN
A. KAIDAH DASAR BIOETIKA
Prinsip-prinsip dasar etika adalah suatu aksioma yang mempermudah penalaran
etik. Konsil Kedokteran Indonesia, dengan mengadopsi prinsip etika kedokteran
barat, menetapkan bahwa, praktik kedokteran Indonesia mengacu kepada kepada
4 kaidah dasar moral yang sering juga disebut kaidah dasar etika kedokteran atau
bioetika, antara lain:
1. Beneficence
Beneficence membawa arti menyediakan kemudahan dan kesenangan kepada
pasien mengambil langkah positif untuk memaksimalkan akibat baik dari hal yang
buruk. Ciri-ciri prinsip ini, yaitu;
Mengutamakan Alturisme
Memandang pasien atau keluarga bukanlah suatu tindakan tidak hanya
menguntungkan seorang dokter
Mengusahakan agar kebaikan atau manfaatnya lebih banyak dibandingkan
dengan suatu keburukannya
Menjamin kehidupan baik-minimal manusia
Memaksimalisasi hak-hak pasien secara keseluruhan
Meenerapkan Golden Rule Principle, yaitu melakukan hal yang baik seperti
yang orang lain inginkan
Memberi suatu resep
2. Non-malficence
Non-malficence adalah suatu prinsip yang mana seorang dokter tidak
melakukan perbuatan yang memperburuk pasien dan memilih pengobatan yang
paling kecil resikonya bagi pasien sendiri. Pernyataan kuno Fist, do no harm,
tetap berlaku dan harus diikuti. Non-malficence mempunyai ciri-ciri:
Menolong pasien emergensi
Mengobati pasien yang luka
Tidak membunuh pasien
Tidak memandang pasien sebagai objek
Melindungi pasien dari serangan
Manfaat pasien lebih banyak daripada kerugian dokter
Tidak membahayakan pasien karena kelalaian
Tidak melakukan White Collar Crime
3. Justice
Keadilan (Justice) adalah suatu prinsip dimana seorang dokter memperlakukan
sama rata dan adil terhadap untuk kebahagiaan dan kenyamanan pasien tersebut.
Perbedaan tingkat ekonomi, pandangan politik, agama, kebangsaan, perbedaan
kedudukan sosial, kebangsaan, dan kewarganegaraan tidak dapat mengubah sikap
dokter terhadap pasiennya. Justice mempunyai ciri-ciri :
Memberlakukan segala sesuatu secara universal
Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan
Menghargai hak sehat pasien
Menghargai hak hukum pasien
4. Autonomy
Dalam prinsip ini seorang dokter menghormati martabat manusia. Setiap
individu harus diperlakukan sebagai manusia yang mempunyai hak menentukan
nasib diri sendiri. Dalam hal ini pasien diberi hak untuk berfikir secara logis dan
membuat keputusan sendiri. Autonomy bermaksud menghendaki, menyetujui,
membenarkan, membela, dan membiarkan pasien demi dirinya sendiri. Autonomy
mempunyai ciri-ciri:
Menghargai hak menentukan nasib sendiri
Berterus terang menghargai privasi
Menjaga rahasia pasien
Melaksanakan Informed Consent
B. MALPRAKTIK
Pengertian Malpraktik
Makna harfiah = praktik buruk lawannya praktik baik.
Pengelompokan malpraktik :
a. Gatra etikolegal malpraktik ; perilaku tidak etis/tidak bermoral atau perilaku
menyimpang atau perilaku melanggar kewajiban hukum atau praktik jahat
profesi dokter.
b. Gatra ilmiah (yang sering dikonotasikan “gatra profesi”) malpraktik kedokteran
yakni kekurang-terampilan secara tak layak / tak pantas seorang dokter. Dalam
hal ini secara teknis medis kemampuan dokter kurang memadai.
Wanprestasi (Ingkar Janji)
Sebetulnya wanprestasi atau ingkar janji dalam hubungan kontraktual antara
dokter dan pasien dapat dilakukan oleh masing-masing pihak. Pasien dapat
menggugat dokter jika ternyata dokter tidak dapat melaksanakan kewajibannya
dan sebaliknya dokter dapat menggugat pasien jika ternyata pasien tidak
melaksanakan kewajibannya. Gugatan harus berdasarkan atas kerugian yang
terjadi, baik materiil maupun immateriil sebagai akibat tidak dilaksanakannya
sesuatu kewajiban oleh pihak lain.
Khusus gugatan kepada dokter yang melakukan wanprestasi atau lebih dikenal
dengan malpraktik, maka gugatan itu dibenarkan jika memenuhi syarat 4
D: Penyatuan istilah Malpraktik dengan Kelalaian Medik
Kelalaian Medik terdapat 4 kriteria “4D” yang secara kumulatif semuanya
harus terbukti untuk menjatuhkan sanksi dokter harus membayar ganti rugi
kepada pasien/keluarganya dalam forum pengadilan. Ke 4 D tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Duty of care by the doctor to the injured patient (kewajiban) = D1, dokter
yang digugat memang mempunyai kewajiban (duty) sebagai akibat adanya
hubungan kontraktual.
2. Dereliction of duty (pelanggaran kewajiban) = D2, adanya wanprestasi atau
melalaikan kewajiban (dereliction of duty).
3. Damage (kompensasi kerugian) yang foreseeable (laik bayang sebelumnya) =
D3, terjadi kerugian (damage atau compensable injury).
4. Direct cause (sebab langsung) yakni pelanggaran kewajiban mengakibatkan
kerugian (D2 ------- D3) = D4, adanya hubungan langsung antara kerugian itu
dengan kelalaian melaksanakan kewajiban (direct causation).
Jenis Malpraktik dalam Hukum
1. Criminal Malpractice
Masuk kategori ini, bila memenuhi rumusan delik pidana. Pertama, perbuatan
tersebut (baik positf maupun negatif) harus merupakan perbuatan tercela
(actus reus). Kedua, dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea); yaitu
berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (recklessness) atau kealpaan
(negligence).
1. Contoh kasus intensional
o Melakukan aborsi tanpa indikasi medik
o Melakukan euthanasia
o Membocorkan rahasia kedokteran
o Tidak melakukan pertolongan terhadap seseorang yang sedang dalam
keadaan emergensi meskipun tahu tidak ada dokter lain yang akan
menolongnya (negative act).
o Menerbitkan surat keterangan yang tidak benar.
o Membuat visum et repertum yang tidak benar.
o Memberikan keterangan yang tidak benar di sidang pengadilan dalam
kapasitasnya sebagai ahli.
2. Contoh kasus recklessness
o Melakukan tindakan medis yang tidak sesuai prosedur (legeartis).
o Melakukan tindakan medis tanpa informed consent.
3. Contoh kasus negligence
o Alpa atau kurang hari-hati sehingga meninggalkan gunting dalam perut
pasien.
o Alpa atau kurang hati-hati sehingga pasien menderita luka-luka (termasuk
cacat) atau meninggal dunia.
Pada criminal malpractice, tanggung jawabnya selalu bersifat individual
(bukan korporasi) dan personal (hanya pada yang melakukan). Oleh sebab itu
tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit.
2. Civil Malpractice
Jika dokter tidak melaksanakan kewajibannya (ingkar janji), yaitu tidak
memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati. Contohnya, seorang
dokter ahli kandungan sepakat menolong sendiri persalinan seorang wanita sesuai
keinginan wanita tersebut di suatu rumah sakit swasta. Mengingat pembukaan
jalan lahir baru mencapai satu sentimeter, maka dokter meninggalkannya untuk
suatu keperluan yang diperkirakan tidak lama. Ketika dokter itu kembali di tempat
ternyata pasien telah melahirkan dalam keadaan selamat dengan dibantu oleh
dokter lain. Dalam kasus seperti ini dokter dapat digugat atas dasar civil
malpractice untuk membayar ganti rugi immaterial, yaitu perasaan cemas selama
menunggu kedatangan dokter yang sangat dipercayainya. Dikategorikan
sebagai civil malpractice karena :
1. Tidak melakukan (negative act) apa yang menurut kesepakatannya wajib
dilakukan
2. Melakukan (positive act) apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
tetapi terlambat.
3. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak
sempurna.
4. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukannya.
Pada civil malpractice, tanggung gugat (liability) dapat bersifat individual atau
korporasi.Selain itu dapat pula dialihkan kepada pihak lain berdasarkan principle
of vicarious liability (respondeat superior, borrowed servant). Dengan ini maka
rumah sakit dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan oleh dokter-
dokternya (sub ordinatnya), asalkan dapat dibuktikan bahwa tindakan dokter itu
dalam rangka melaksanakan kewajiban rumah sakit.
3. Administrative Malpractice
Dikatakan Administrative Malpractice bila dokter melanggar hukum tata
usaha negara. Perlu diketahui bahwa dalam rangka melaksanakan police
power (the power of state to protect the health, safety, morals and general welfare
of its citizen) yang menjadi kewenangannya, pemerintah berhak mengeluarkan
berbagai macam peraturan di bidang kesehatan, seperti tentang persyaratan bagi
tenaga kesehatan untuk menjalankan profesi medik, batas kewenangan serta
kewajibannya. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang
bersangkutan dapaat dipersalahkan. Contoh yang dapat dikategorikan
sebagai adminsitrative malpractice antara lain :
o Menjalankan praktik kedokteran tanpa lisensi atau izin.
o Menjalankan tindakan medik yang tidak sesuai lisensi atau izin yang dimiliki.
o Melakukan praktik kedokteran dengan menggunakan lisensi atau izin yang
sudah kedaluwarsa.
o Tidak membuat rekam medik.
Pembuktian Malpraktik
1. Criminal Malpractice
Pembuktian berdasarkan atas dipenuhi tidaknya unsur pidananya, sehingga
tergantung dari jenis dari criminal malpractice yang dituduhkan. Dalam hal
dokter dituduh melakukan kealpaan sehingga pasien yang ditangani meninggal
dunia, menderita luka berat atau luka sedang maka yang harus dibuktikan adalah
adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa
alpa atau kurang hati-hati (kurang praduga).
2. Civil Malpractice
Pembuktiannya melalui dua cara :
a. Cara langsung
Yaitu membuktikan ke empat unsurnya (4D) secara langsung ; yang terdiri
atas unsur kewajiban (duty), menelantarkan kewajiban (dereliction of duty),
rusaknya kesehatan (damage) dan adanya hubungan langsung antara tindakan
menelantarkan dengan rusaknya kesehatan (direct causation).
Kewajiban dokter timbul jika secara afirmatif menerima suatu tanggung jawab
untuk melakukan tindakan medik melalui hubungan kontraktual (a contract
basis), baik yang dibuat atas beban atau dengan Cuma-Cuma (gratuitous service).
Kedua, jika berdasarkan ketentuan yang ada wajib melakukan tindakan medis (a
tort basis). Menelantarkan kewajiban terbukti jika dokter melakukan tindakan
medik yang kualitasnya di bawah standar yaitu suatu tindakan yang mutunya tidak
menggambarkan telah diterapkannya ilmu, keterampilan, perhatian dan
pertimbangan yang layak sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan dokter dengan
keahlian yang sama ketika menghadapi situasi dan kondisi yang sama pula. Untuk
membuktikan ini diperlukan kesaksian ahli dari dokter yang sama keahliannya
dengan dokter yang sedang diadili.
Rusaknya kesehatan terbukti jika pasien meninggal dunia, cacat, lumpuh,
mengalami luka berat atau luka sedang. Jika pasien meninggal dunia perlu
dilakukan otopsi dan bila masih hidup perlu dilakukan pemeriksaan oleh dokter
lain yang akan bertindak sebagai saksi ahli.
Sedangkan hubungan langsung terbukti jika ada hubungan kausalitas antara
rusaknya kesehatan dengan tindakan dokter yang kualitasnya di bawah standar.
Untuk membuktikan ini juga diperlukan kesaksian ahli.
b. Cara tak langsung
Cara ini adalah yang paling mudah yaitu dengan mencari fakta-fakta yang
berdasarkan doktrin Res Ipsa Loquitor (the thing speaks for itself) dapat
membuktikan adanya kesalahan di pihak dokter. Namun tidak semua kelalaian
dokter meninggalkan fakta semacam itu. Doktrin Res Ipsa Loquitor ini sebetulnya
merupakan varian dari ’doctrine of common knowledge” hanya saja di sini masih
diperlukan sedikit bantuan kesaksian dari ahli untuk menguji apakah fakta yang
ditemukan memang dapat dijadikan bukti adanya kelalaian dokter.
Perlu diketahui bahwa doktrin Res Ipsa Loquitor hanya dapat diterangkan jika
fakta yang ditemukan memenuhi kriteria berikut :
o Fakta tidak mungkin terjadi jika dokter tidak lalai.
o Fakta yang terjadi memang berada di bawah tanggung jawab dokter.
o Pasien tidak ikut menyumbang timbulnya fakta itu atau dengan kata lain tidak
ada contributory negligence.
Jika misalnya ada gunting atau tang tertinggal dalam perut pasien yang
menjalani operasi, maka gunting atau tang itu berdasarkan doktrin Res Ipsa
Loquitor, dapat dijadikan fakta yang secara tidak langsung dapat membuktikan
kesalahan dokter, mengingat :
o Gunting atau tang itu tak mungkin tertinggal kalau tidak ada kelalaian.
o Gunting atau tang yang tertinggal itu berada di bawah tanggung jawab dokter.
o Pasien dalam keadaan terbius sehingga tidak mungkin dapat memberikan andil
terhadap tertinggalnya alat-alat tersebut.
CONTOH KASUS MALPRAKTEK
Muhammad Raihan, bocah usia 10 tahun yang kini hanya dapat berbaring
lemah di tempat tidur salah satu kamar Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat
(RSPAD) Gatot Subroto Jakarta, dinyatakan lumpuh total. Pengakuan ini
disampaikan langsung oleh ayahanda Raihan, M Yunus, saat dihubungi oleh
liputan6.com, Selasa (8/1/2013)
Terhitung sejak November 2012, kini sudah hampir 2 bulan bocah kelas 5
sekolah dasar ini dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot
Subroto Jakarta. "Keadaan Raihan sekarang lumpuh total. Tidak bisa melihat dan
tidak bisa merespons. Sarafnya pun kini tak lagi berfungsi," kata Yunus.
Tindakan yang sedang dilakukan Yunus sekarang adalah mempertanyakan kepada
pihak dokter yang menangani Raihan mengenai langkah apa yang bisa dilakukan
untuk mengobati Raihan.
Bukan hanya Yunus yang meminta kepada tim dokter untuk tidak langsung
mengoperasi buah hatinya. Istrinya, Puspa Dewi, juga minta kepada tim dokter
untuk melakukan USG. Namun sayangnya, pihak Rumah Sakit Medika Permata
Hijau (RSMPH) Jakarta tidak melakukan itu.
"Saya tidak langsung menyetujui untuk Raihan melakukan operasi. Saya bilang ke
istri saya agar Raihan dirawat dulu selama 2 sampai 3 hari sambil dilakukan
observasi. Tapi, dokter yang menangani Raihan mengatakan, 'Saya sudah
berpengalaman untuk soal operasi ini. Saya biasa mengerjakan itu..'," kata Yunus.
Yunus juga sempat menanyakan kepada dokter yang memeriksa Raihan mengenai
efek apa yang akan terjadi jika anaknya tidak menjalani operasi atau efek apa
yang terjadi setelah anaknya menjalani operasi.
Tapi pihak dokter tetap kekeuh kalau operasi yang dijalani Raihan akan
berjalan lancar.
Hingga kini Yunus beserta istri masih menunggu itikad baik dari pihak Rumah
Sakit Medika Permata Hijau (RSMPH) Jakarta. Tapi sayangnya, sampai hari ini
pula tidak ada tanggapan dari pihak rumah sakit tersebut.
Pukul 04.00 WIB
Raihan dibawa oleh Ibundanya, Oti Puspa Dewi, ke Rumah Sakit Medika
Permata Hijau (MPH) Jakarta dengan maksud untuk mendapatkan pengobatan
atas sakit yang diderita Raihan. Penanganan awal ditangani oleh bagian IGD
Rumah Sakit Medika Permata Hijau (MPH) Jakarta. Setelah pihak IGD
melakukan tindakan, selanjutnya Raihan dimasukkan di ruang rawat inap anak di
lantai 5 Rumah Sakit Medika Permata Hijau (MPH) Jakarta.
Sekitar pukul 10.00 WIB
Dokter spesialis Anak melakukan kunjungan pada Raihan dan melakukan
diagnosa awal dan menduga Raihan mengalami sakit usus buntu.
Sekitar pukul 13.00 WIB
Ibunda Raihan melakukan konsultasi ke dokter Bedah Umum dan mendapat
penjelasan bahwa penyakit yang diderita oleh Raihan adalah usus buntu dan
disampaikan secara mendesak agar segera dilakukan tindakan operasi.
Pukul 13.30 WIB
Terjadi pembicaraan via telepon antara ayahanda Raihan, Muhammad Yunus
(yang sedang berada di Kalimantan Selatan) dengan dokter bedah umum Rumah
Sakit Medika Permata Hijau (MPH) Jakarta yang telah menyarankan untuk segera
dilakukan operasi pada Raihan. Muhammad Yunus pun menanyakan mengapa
anaknya harus segera dioperasi. Dijelaskan oleh dokter bedah umum bahwa
Raihan mengalami usus buntu akut yang secepatnya untuk segera dioperasi, jika
tidak dioperasi dikhawatirkan akan terjadi infeksi. Dalam pembicaraan via telepon
antara Yunus dengan dokter bedah umum tersebut, Yunus memohon kepada
dokter tersebut untuk dilakukan semacam second opinion atas dugaan usus
buntunya Raihan. Dan sekalian meminta dirawatinapkan terlebih dahulu guna
dilakukan observasi lebih lanjut atas dugaan dokter tersebut. Namun, dokter bedah
umum tersebut tetap menyatakan Raihan menderita usus buntu akut dan harus
sesegera mungkin diambil langkah operasi sore hari itu juga.
Muhammad Yunus menanyakan apa efek yang akan terjadi jika dilakukan
operasi dan jika tidak dilakukan operasi secepat itu seperti permintaan dokter
bedah tersebut. Dokter tersebut menjawab, bahwa operasi yang akan dilakukan
Raihan adalah operasi kecil dan biasa dilakukan oleh dokter tersebut. Lalu 2 atau
3 hari setelah operasi dokter meyakinkan bahwa Raihan sudah bisa pulang.
Namun jika tidak segera dioperasi, dikhawatirkan akan terjadi infeksi atau pecah
dan kemungkinan bisa menjadi operasi besar. Bukan hanya Yunus yang meminta
untuk tidak dilakukan operasi tersebut, istrinya Oti Puspa Dewi juga melakukan
hal yang sama. Oti meminta untuk dilakukan pemeriksaan berupa dilakukannya
USG untuk melihat kebenaran dugaan tersebut, namun tidak dilakukan oleh
dokter tersebut dan menyatakan tidak perlu.
Karena menurut pengalamannya, hal ini umum terjadi dan sudah 99 persen
usus buntu akut. Penolakan awal untuk tidak segera dilakukan operasi tersebut
mengingat kondisi psikologis Raihan, terlebih saat itu ayahnya sedang tidak
berada di sampingnya. Dan orangtua Raihan merasa bahwa hal ini tidak separah
dugaan dokter tersebut sambil menunggu kepulangan ayahnya dari Kalimantan.
Sekitar pukul 16.00 s/d selesai
Akhirnya setelah menerima keyakinan dokter tersebut dan harapan terbaik
untuk Raihan, operasi pada Raihan dilakukan dengan dokter yang terlibat dalam
operasi itu adalah dokter bedah umum dan dokter anastesi.
Sekitar pukul 18.00
Tiba-tiba ibunda Raihan, Oti Puspa Desi, dipanggil ke dalam ruang operasi
untuk melihat Raihan yang sudah dalam keadaan kritis dan terkulai tidak sadarkan
diri tanpa adanya pertolongan yang maksimal. Pihak keluarga pun akhirnya
menyangsikan kelengkapan peralatan di ruangan operasi tersebut.
Yang lebih membuat Yunus sesak adalah sewaktu Raihan akan melanjutan
pengobatan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto
Jakarta, pihak rumah sakit yang sebelumnya merawat Raihan tetap menagih biaya
perawatan kepada Yunus.
"Sewaktu saya mau melanjutkan pengobatan Raihan, saya tetap ditagih. Saya
bukan mau keluar. Saya hanya melanjutkan pengobatan anak saya. Dan itu tidak
ditanggapi," cerita Yunus.
Kini, Yunus hanya bisa berharap kalau Raihan yang dikenal sebagai anak yang
aktif di sekolah dan TPA, serta anak yang berprestasi, dapat pulih dan bisa
kembali berkumpul bersama keluarga serta dapat melanjutkan apa yang menjadi
kesenangannya, yaitu renang.
Sementara pihak Rumah Sakit Medika Permata Hijau (RSMPH) Jakarta yang
dituding melakukan malpraktik yang dilakukan dokter spesialis bedah umum Dr
A menolak memberi keterangan. Pihak rumah sakit berkali-kali menolak
memberikan keterangan saat dihubungi liputan6.com. (ADT/IGW)
Sumber berita: www.liputan6.com.
ANALISIS KASUS
Resume berita:
Anak Raihan (10 tahun) diduga menderita sakit usus buntu yang harus segera
di operasi (cito) oleh dokter spesialis bedah umum. Kedua orang tua menyatakan
pemberitahuan operasi dilakukan secara mendesak dan mendadak, dan sang Ayah
mendapat permintaan persetujuan melalui telepon. Ayah Raihan tidak setuju
dengan pelaksanaan operasi segera sehingga meminta agar anaknya
dirawatinapkan terlebih dahulu dan meminta dilakukan pemeriksaan lanjutan
seperti USG. Namun dokter yang menangani menyatakan hal tersebut tidak perlu
dilakukan berdasarkan pengalaman praktiknya sebelumnya.
Setelah dilakukan operasi, Raihan menjadi tidak sadarkan diri dan hingga
beberapa hari pasca operasi menderita kelumpuhan dan buta. Pihak rumah sakit
tidak memberi keterangan lanjutan dan tetap menagih biaya operasi serta biaya
perawatan. Oleh karena itu kedua orang tua anak tersebut menunggu itikad baik
atas tindakan dugaan malpraktik yang dilakukan oleh dokter di RS tersebut.
Beberapa hal dapat dikaji berdasarkan Kaidah Dasar Bioetika (KDB) pada
kasus ini:
Beberapa hal yang terkait kaidah dasar bioetika dalam kasus dugaan
malpraktik ini perlu ditelaah lebih lanjut. Kesalahan yang tampak dalam wacana
ini adalah dokter spesialis yang melakukan informed consent yang secara sepihak
terlihat memaksa harus dilakukan operasi segera pada anak tersebut. Walapun
memang pada kondisi medis anak tersebut perlu dioperasi. Namun, seharusnya
pemeriksaan USG dan labolatorium perlu dilakukan. Anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan tambahan untuk persiapan pre-anestesi harus dilakukan
secara detil karena hasil dari anamnesis dan pemeriksaan pre anestesi sangat
menentukan keadaan pada saat operasi dan setelah operasi.
Adapun prosedur garis besar tindakan sebelum dilakukan pembedahan adalah
sebagai berikut:
1. Ringkasan tentang anamnesis pasien , dan dan hasil-hasil pemeriksaan fisik
sehubungan dengan penatalaksanaan anastesi, buat dalam daftar masalah,
satukan bersamaan dengan beberapa daftar masalah yang digunakan
oleh dokter yang merawat.
2. Perencanaan teknik anestesi yang akan digunakan termasuk tehnik-tehnik
khusus (seperti intubasi fiberoptik, monitoring invasif ).
3. Perencanaan penanganan nyeri post operasi bila perlu.
4. Tindakan post operatif khusus jika terdapat indikasi (misalnya perawatan di
ICU).
5. Jika ada indikasi buat permintaan evaluasi medik lebih lanjut.
6. Pernyataan tentang resiko-resiko yang ada , informed consent, dan pernyataan
bahwa semua pertanyaan telah dijawab.
7. Klasifikasi status fisik dan penilaian singkat.
Dugaan malpraktik dalam kasus ini dapat digolongkan ke dalam civil
malpractice, dengan pembuktian langsung berupa bukti adanya kecacatan yang
dialami oleh pasien setelah operasi, serta pembuktian tidak langsung berupa fakta-
fakta yang berdasarkan doktrin Res Ipsa Loquitor (the thing speaks for itself)
dapat membuktikan adanya kesalahan di pihak dokter.
1. Tinjauan Kasus Ditinjau dari Sudut Pandang Hukum
a. Sangsi hukum
Jika perbuatan malpraktik yang dilakukan dokter terbukti dilakukan dengan
unsur kesengajaan (dolus) dan ataupun kelalaian (culpa)seperti dalam kasus
malpraktek dalam bidang orthopedy yang kami ambil, maka adalah hal yang
sangat pantas jika dokter yang bersangkutan dikenakan sanksi pidana karena
dengan unsur kesengajaan ataupun kelalaian telah melakukan perbuatan melawan
hukum yaitu menghilangkan nyawa seseorang. Perbuatan tersebut telah nyata-
nyata mencoreng kehormatan dokter sebagai suatu profesi yang mulia.
Pekerjaan profesi bagi setiap kalangan terutama dokter tampaknya harus
sangat berhati-hati untuk mengambil tindakan dan keputusan dalam menjalankan
tugas-tugasnya karena sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Tuduhan
malpraktik bukan hanya ditujukan terhadap tindakan kesengajaan (dolus)
saja.Tetapi juga akibat kelalaian (culpa) dalam menggunakan keahlian, sehingga
mengakibatkan kerugian, mencelakakan, atau bahkan hilangnya nyawa orang lain.
Selanjutnya, jika kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan tindakan medik
yang tidak memenuhi SOP yang lazim dipakai, melanggar Undang-undang No. 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan, maka dokter tersebut dapat terjerat tuduhan
malpraktik dengan sanksi pidana.
Dalam Kitab-Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang
mengakibatkan celaka atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Pasal 359,
misalnya menyebutkan, “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya
orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan
paling lama satu tahun”. Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan terancamnya
keselamatan jiwa seseorang dapat diancam dengan sanksi pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 360 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), (1)
‘Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka
berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan
paling lama satu tahun’. (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang
lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan
menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama
enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
Pemberatan sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap dokter yang terbukti
melakukan malpraktik, sebagaimana Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), “Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam
menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan
sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian
dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya
putusannya diumumkan.” Namun, apabila kelalaian dokter tersebut terbukti
merupakan malpraktik yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa dan
atau hilangnya nyawa orang lain maka pencabutan hak menjalankan pencaharian
(pencabutan izin praktik) dapat dilakukan.
Berdasarkan Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Tindakan malpraktik juga dapat berimplikasi pada gugatan perdata oleh seseorang
(pasien) terhadap dokter yang dengan sengaja (dolus) telah menimbulkan kerugian
kepada pihak korban, sehingga mewajibkan pihak yang menimbulkan kerugian
(dokter) untuk mengganti kerugian yang dialami kepada korban, sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata), “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada
seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut.” Sedangkan kerugian yang diakibatkan oleh
kelalaian (culpa) diatur oleh Pasal 1366 yang berbunyi: “Setiap orang
bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya,
tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.”
· b. Kepastian hukum
Melihat berbagai sanksi pidana dan tuntutan perdata yang tersebut di atas
dapat dipastikan bahwa bukan hanya pasien yang akan dibayangi ketakutan.
Tetapi, juga para dokter akan dibayangi kecemasan diseret ke pengadilan karena
telah melakukan malpraktik dan bahkan juga tidak tertutup kemungkinan
hilangnya profesi pencaharian akibat dicabutnya izin praktik. Dalam situasi
seperti ini azas kepastian hukum sangatlah penting untuk dikedepankan dalam
kasus malpraktik demi terciptanya supremasi hukum.
Apalagi, azas kepastian hukum merupakan hak setiap warga negara untuk
diperlakukan sama di depan hukum (equality before the law) dengan azas praduga
tak bersalah (presumptions of innocence) sehingga jaminan kepastian hukum
dapat terlaksana dengan baik dengan tanpa memihak-mihak siapa pun. Hubungan
kausalitas (sebab-akibat) yang dapat dikategorikan seorang dokter telah
melakukan malpraktik, apabila (1) Bahwa dalam melaksanakan kewajiban
tersebut, dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipakai. (2)
Pelanggaran terhadap standar pelayanan medik yang dilakukan merupakan
pelanggaran terhadap Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki). (3) Melanggar
UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Ditinjau dari Sudut Pandang Etika
(Kode Etik Kedokteran Indonesia /KODEKI).
Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna
yang berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian
formal tentang moralitas. Moralitas adalah hal-hal yang menyangkut moral, dan
moral adalah sitem tentang motifasi, perilaku dan perbuatan manusia yang
dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu
yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang
amat fundamental: bagaimana saya harus hidup dan bertindak?. Bagi seorang
sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan
budaya tertentu. Bagi praktisi professional termasuk dokter dan tenaga kesehatan
lainnya, etika berarti kewajiban dan tanggungjawab memenuhi harapan profesi
dan masyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang professional, etika adalah
salah satu kaidah yang menjaga terjadinya interaksi antara pemberi dan penerima
jasa profesi secara wajar, jujur, adil, professional dan terhormat.
Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “ seorang dokter harus senantiasa
berupaya melaksanakan profesinya sesuai denga standar profesi tertinggi”.
Jelasnya bahwa seeorang dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya
seebagai seorang proesional harus sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir,
hokum dan agama. KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter
hrus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”. Arinya
dalam setiap tindakan dokter harus betujuan untuk memelihara kesehatan dan
kebahagiaan manusia.
Peran pengawasan terhadap pelanggaran kode etik (KODEKI) sangatlah perlu
ditingkatkan untuk menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang
mungkin sering terjadi yang dilakukan oleh setiap kalangan profesi-profesi
lainnya seperti halnya advokat/pengacara, notaris, akuntan, dll. Pengawasan
biasanya dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk memeriksa dan memutus
sanksi terhadap kasus tersebut seperti Majelis Kode Etik. Dalam hal ini Majelis
Kode Etik Kedokteran (MKEK). Jika ternyata terbukti melanggar kode etik maka
dokter yang bersangkutan akan dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam
Kode Etik Kedokteran Indonesia. Karena itu seperti kasus yang ditampilkan maka
juga harus dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam kode etik.
Namun, jika kesalahan tersebut ternyata tidak sekedar pelanggaran kode etik
tetapi juga dapat dikategorikan malpraktik maka MKEK tidak diberikan
kewenangan oleh undang-undang untuk memeriksa dan memutus kasus tersebut.
Lembaga yang berwenang memeriksa dan memutus kasus pelanggaran hukum
hanyalah lembaga yudikatif. Dalam hal ini lembaga peradilan.
Jika ternyata terbukti melanggar hukum maka dokter yang bersangkutan dapat
dimintakan pertanggungjawabannya. Baik secara pidana maupun perdata. Sudah
saatnya pihak berwenang mengambil sikap proaktif dalam menyikapi fenomena
maraknya gugatan malpraktik. Dengan demikian kepastian hukum dan keadilan
dapat tercipta bagi masyarakat umum dan komunitas profesi. Dengan adanya
kepastian hukum dan keadilan pada penyelesaian kasus malpraktik ini maka
diharapkan agar para dokter tidak lagi menghindar dari tanggung jawab hukum
profesinya.
2. Ditinjau dari Sudut Pandang Agama
Adapun agama-agama memandang malpraktek, khususnya yang menyebabkan
kematian atau bisa pasien kehilangan nyawanya. Diantaranya dapat dilihat
bagaimana secara garis besar agama Islam dan Katolik memandang malpraktek.
· a. Menurut pandangan Islam
Dikatakan bahwa jatah hidup itu merupakan ketentuan yang menjadi hak
prerogatif Tuhan, biasanya disebut juga haqqullâh (hak Tuhan), bukan hak
manusia (haqqul âdam). Artinya, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas
bahwa saya menguasai diri saya sendiri, tapi saya sebenarnya bukan pemilik
penuh atas diri saya sendiri. Untuk itu, saya harus juga tunduk pada aturan-aturan
tertentu yang kita imani sebagai aturan Tuhan. Atau, meskipun saya memiliki diri
saya sendiri, tetapi saya tetap tidak boleh membunuh diri. Dari sini dapat kita
katakana bahwa, sebagai individu saja kita tidak berhak atas diri atau kehidupan
yang kita miliki, apalagi kehidupan orang lain. Karena itu maka setiap tindakan
yang oada akhirnya menghilangkan hidup atau nyawa seseorang bisa dianggap
sebagai satu tindakan yang melanggar hak prerogatif Tuhan. Dengan demikian
segala macam tindakan malpraktek adalah suatu pelanggaran.
Undang-undang Praktik Kedokteran diharapkan menjadi wahana yang dapat
membawa kita ke arah tersebut, sepanjang penerapannya dilakukan dengan benar.
Standar pendidikan ditetapkan guna mencapai standar kompetensi, kemudian
dilakukan registrasi secara nasional dan pemberian lisensi bagi mereka yang akan
berpraktek. Konsil harus berani dan tegas dalam melaksanakan peraturan,
sehingga akuntabilitas progesi kedokteran benar-benar dapat ditegakkan. Standar
perilaku harus ditetapkan sebagai suatu aturan yang lebih konkrit dan dapat
ditegakkan daripada sekedar kode etik. Demikian pula standar pelayanan harus
diterbitkan untuk mengatur hal-hal pokok dalam praktek, sedangkan ketentuan
rinci agar diatur dalam pedoman-pedoman. Keseluruhannya akan memberikan
rambu-rambu bagi praktek kedokteran, menjadi aturan disiplin profesi kedokteran,
yang harus diterapkan, dipantau dan ditegakkan oleh Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia (MKDKI). Profesional yang “kotor” dibersihkan dan
mereka yang “busuk” dibuang dari masyarakat profesi.
Ketentuan yang mendukung good clinical governance harus dibuat dan
ditegakkan. Dalam hal ini peran rmah sakit sangat diperlukan. Rumah sakit harus
mampu mencegah praktek kedokteran tanpa kewenangan atau di luar
kewenangan, mampu “memaksa” para profesional bekerja sesuai dengan standar
profesinya, serta mampu memberikan “suasana” dan budaya yang kondusif bagi
suburnya praktek kedokteran yang berdasarkan bukti hokum dank ode etik yang
berlaku.
PUSTAKA
1. www.liputan 6.com. diunduh pada 26 November 20132. Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja, Bioetik dan
Hukum Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum, Penerbit Pustaka Dwipar, Oktober 2005. diunduh pada 26 November 2013
3. Budi Sampurna, Program Non Gelar Blok II FKUI Juni 2007, Sistem Peradilan dan Pembuktian Malpraktik. diunduh pada 26 November 2013
4. Sofwan Dahlan, 2003, Hukum Kesehatan Rambu-rambu bagi Profesi Dokter, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang hal 37. diunduh pada 26 November 2013
5. Sofwan Dahlan, 2005, Hukum Kesehatan Rambu-rambu bagi Profesi Dokter, Balai Penerbit Universitas Diponegoro Semarang. diunduh pada 26 November 2013
6. Sofwan Dahlan, 2005, Hukum Kesehatan Rambu-rambu bagi Profesi Dokter, Balai Penerbit Universitas Diponegoro Semarang. diunduh pada 26 November 2013