CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti...

122
I Vol. 7 No. 1 April 2014 ISSN 1978-6506 Terakreditasi LIPI No. 507/Akred/P2MI-LIPI/10/2012 Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 Hal. 1-102 Jakarta April 2014 ISSN 1978-6506 CONFLICTUS LEGEM

Transcript of CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti...

Page 1: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

I

Vol. 7 No. 1 April 2014

ISSN 1978-6506

Terakreditasi LIPI No. 507/Akred/P2MI-LIPI/10/2012

Jurnal Yudisial

Vol. 7 No. 1 Hal. 1-102

Jakarta April 2014

ISSN 1978-6506

CONFLICTUS LEGEM

Page 2: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

II

DIS

CLA

IME

R

MIT

RA

BE

STA

RI Segenap pengelola Jurnal Yudisial menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas

sumbangsih Mitra Bestari yang telah melakukan review terhadap naskah Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014. Semoga bantuan mereka mendapatkan balasan dari Allah SWT.

1. Dr. Shidarta, S.H., M.Hum. (Pakar Filsafat Hukum dan Penalaran Hukum)

2. Dr. Anton F. Susanto, S.H., M.Hum. (Pakar Metodologi Hukum dan Etika)

3. Dr. Yeni Widowati, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum Pidana dan Viktimologi)

4. Dr. Niken Savitri, S.H., M.CL. (Pakar Hukum Pidana, HAM, dan Gender)

5. Dr. Widodo Dwi Putro, S.H., M.H. (Pakar Filsafat Hukum dan Sosiologi Hukum)

6. Dr. An An Chandrawulan, S.H., L.LM. (Pakar Hukum Perdata)

7. Mohamad Nasir, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum Lingkungan dan Sumber Daya Alam)

Page 3: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

III

Jurnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal ini terbit setiap awal April, Agustus dan Desember, memuat hasil kajian/riset atas putusan-

putusan pengadilan oleh jejaring peneliti dan pihak-pihak lain yang berkompeten. Penerbitan jurnal ini bertujuan untuk memberi ruang kontribusi bagi komunitas hukum Indonesia dalam mendukung eksistensi peradilan yang akuntabel, jujur dan adil, yang pada gilirannya ikut membantu tugas dan wewenang Komisi Yudisial Republik Indonesia dalam menjaga dan menegakkan kode etik dan pedoman perilaku hakim.

Isi tulisan dalam jurnal sepenuhnya merupakan pandangan independen masing-masing penulis dan tidak merepresentasikan pendapat Komisi Yudisial Republik Indonesia. Sebagai ajang diskursus ilmiah, setiap hasil kajian/riset putusan yang dipublikasikan dalam jurnal ini tidak pula dimaksudkan sebagai intervensi atas kemandirian lembaga peradilan, sebagaimana telah dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat pada halaman akhir jurnal.

Alamat Redaksi:Gedung Komisi Yudisial Lantai 3

Jalan Kramat Raya Nomor 57 Jakarta Pusat

Telp. 021-3905876, Fax. 021-3906189

Email: [email protected]

DIS

CLA

IME

R

Page 4: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

IV

PE

NG

AN

TARPenanggung Jawab : Danang Wijayanto, Ak., M.Si.

Redaktur : 1. Roejito, S.Sos., M.Si. (Bidang Studi Administrasi Negara dan Kebijakan Publik)

2. Dra. Titik A. Winahyu (Bidang Studi Komunikasi)

Penyunting : 1. Hermansyah, S.H., M.Hum. (Bidang Hukum Ekonomi/Bisnis)

2. Imran, S.H., M.H. (Bidang Hukum Pidana)

3. Nur Agus Susanto, S.H., M.M. (Bidang Hukum Internasional)

4. Muhammad Ilham, S.H. (Bidang Hukum Administrasi Negara)

5. Ikhsan Azhar, S.H. (Bidang Hukum Tata Negara)

Sekretariat : 1. Agus Susanto, S.Sos., M.Si.

2. Arnis Duwita Purnama, S.Kom.

3. Andhika Reza Pratama, S.Kom.

4. Yuni Yulianita, S.S.

5. Festy Rahma Hidayati, S.Sos.

6. Andry Kurniadi, A.Md.

7. Eka Desmi Hayati, A.Md.

Desain Grafis & Fotografer : 1. Dinal Fedrian, S.IP.

2. Widya Eka Putra, A.Md.

TIM

PE

NY

US

UN

Page 5: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

V

PE

NG

AN

TAR CONFLICTUS LEGEM

Terminologi “conflictus legem” selama ini lebih dikenal dalam hukum perselisihan, yang di Indonesia biasanya disebut dengan hukum antar-tata hukum, atau lebih spesifik lagi dalam hukum perdata internasional. Tatkala negara kita masih

belum memiliki tata hukum nasional sendiri karena secara konkordansi masih berada di bawah dominasi hukum kolonial, masalah perselisihan di antara berbagai stelsel hukum yang ada merupakan sesuatu yang jamak terjadi. Oleh sebab itu, kita mengenal ada hukum antar-tata hukum internal seperti hukum antar-golongan dan hukum antar-tempat. Seiring dengan makin sempurnanya tata hukum nasional kita, perselisihan yang terutama menyangkut hukum antar-gologan dan hukum-antar tempat harus kian diminimalisasi.

Tidak dapat dihindari bahwa dinamika kehidupan sosial juga sangat berpengaruh pada timbulnya konflik di dalam sistem hukum. Edisi Jurnal Yudisial kali ini secara kasatmata menyoroti hal tersebut. Untuk satu pasal yang sama di dalam undang-undang pun terkadang muncul konflik terkait pemaknaannya. Jika pemaknaan ini dikaitkan dengan pesan-pesan legal-filosofis di dalam konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi yang akan bertugas memastikan rentang tafsirnya. Kendati demikian, persoalannya terkadang tidak selesai begitu saja. Putusan Mahkamah Konstitusi yang dianggap final dan mengikat, ternyata tidak sepenuhnya dijalankan sebagaimana dikehendaki oleh lembaga-lembaga peradilan di bawah yurisdiksi Mahkamah Agung.

Apabila dalam beberapa edisi terakhir ini Jurnal Yudisial memberi ruang yang cukup luas pada tulisan-tulisan yang menganalisis putusan Mahkamah Konstitusi, hal tersebut disebabkan beberapa alasan. Pertama, banyak penulis yang memandang putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan pengujian undang-undang, memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap cara pandang hakim-hakim ketika mereka harus menerapkan hukum. Dengan demikian, kajian terhadap putusan Mahkamah Konstitusi menjadi penting untuk dilakukan dengan mengingat konsekuensinya di dalam putusan-putusan in-concreto. Kedua, pengelola Jurnal Yudisial sejak awal memang bermaksud menjadikan jurnal ini sebagai media kajian putusan dalam arti yang luas, sehingga keberadaannya dapat dimanfaatkan sebanyak mungkin kalangan peminat dan pemerhati putusan hakim.

Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini konflik klasik antara dua antinomi berupa kepastian dan keadilan, sangat mengemuka. Demikian pula halnya dengan tulisan M. Syamsudin yang menghadap-hadapkan keadilan prosedural versus keadilan substantif dalam putusan sengketa tanah di Magersari Yogyakarta. Konflik dalam sengketa agraria juga hadir dalam analisis Ria Casmi Arrsa yang mengaitkan perjuangan pembela hak asasi manusia dan potensi kriminalisasi terhadap aktivitas mereka dalam membela

Page 6: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

VI

DA

FTA

R IS

Imasyarakat. Konflik dalam penafsiran terhadap nilai kesaksian “testimonium de auditu” terkait dengan daya ikat putusan Mahkamah Konstitusi vis-a-vis putusan sela di sebuah pengadilan negeri, juga diungkapkan dalam tulisan dalam jurnal kali ini, buah karya Steven Suprantio. Masih ada tulisan lain lagi yang diangkat oleh Wahyu Nugroho yang mempersoalkan tindak pidana korupsi di daerah melalui kaca mata pendekatan hukum progresif. Di dalam tulisan inipun terlihat konflik antara pendekatan progresif yang diapresiasinya dengan pendekatan hukum konvensional yang terbilang tumpul dalam mengikis lonjakan perilaku koruptif di Tanah Air.

Tema conflictus legem yang diangkat dalam edisi jurnal kali ini menunjukkan bahwa konflik-konflik di dalam tata hukum ini yang secara ajeg menuntut kecermatan dan kehati-hatian di dalam upaya mengatasinya. Majelis hakim yang mengadili perkara yang disodorkan kepada mereka tidak boleh hanya memusatkan perhatiannya pada kasus tersebut secara an sich, melainkan juga harus mempertimbangkan dampak disparitas yang mungkin timbul akibat putusan yang satu dengan putusan yang lain. Jika hal ini tidak ikut dipertimbangkan secara bijak, tidak mengherankan apabila pendulum keadilan dan kepastian hukum bakal kian bergerak liar akibat conflictus legem. Dapat diduga, pada gilirannya kondisi demikian akan merusak sendi-sendi sistem hukum nasional kita dan kerusakan itu berpotensi diawali di ruang-ruang pengadilan kita.

Terima kasih

TertandaPemimpin Redaksi Jurnal Yudisial

Page 7: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

VII

DA

FTA

R IS

I Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014

KEPASTIAN HUKUM PENGAJUAN KASASI OLEHJAKSA PENUNTUT UMUM TERHADAP VONIS BEBAS ......................... 1Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012Janpatar Simamora, Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen, Medan

KEADILAN PROSEDURAL DAN SUBSTANTIf DALAMPUTUSAN SENGKETA TANAH MAGERSARI ............................................ 18Kajian Putusan Nomor 74/PDT.G/2009/PN.YKM. Syamsudin, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

DAYA IKAT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG“TESTIMONIUM DE AUDITU” DALAM PERADILAN PIDANA ............ 34Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010Steven Suprantio, Magister Hukum Bisnis Universitas Katolik Parahyangan.Bandung

INDIKASI KRIMINALISASI PEMBELA HAMDALAM SENGKETA AGRARIA .................................................................... 53Kajian Putusan Nomor 250.Pid.B.2013/PN.PLG danNomor 76/PID/2013/PT.PLGRia Casmi Arrsa, Pusat Pengembangan Otonomi Daerah (PPOTODA) Universitas Brawijaya, Malang

RULE BREAKING DAN INTEGRITASPENEGAK HUKUM PROGRESIfDALAM PEMBERANTASAN KORUPSI PEJABAT DAERAH ................. 70Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011Wahyu Nugroho, Fakultas Hukum Universitas Sahid, Jakarta

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG KEBERADAAN LEMBAGA NEGARA .................................. 88Kajian Tiga Putusan Mahkamah Konstitusi: Nomor 005/PUU-IV/2006; Nomor 006/PUU-IV/2006 dan Nomor 030/SKLN-IV/2006Puguh Windrawan, Fakultas Hukum Universitas Proklamasi 45, Yogyakarta

ISSN 1978-6505

Page 8: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

VIII

UDC 343.163

Simamora J (Fakultas Hukum, Universitas HKBP Nommensen, Medan)

Kepastian Hukum Pengajuan Kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum Terhadap Vonis Bebas

Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012

Jurnal Yudisial 2014 7(1), 1-17

Secara teori, jaksa penuntut umum (JPU) tidak diperkenankan mengajukan upaya hukum kasasi terhadap vonis bebas sebagaimana diatur dalam Pasal 244 KUHAP. Namun dalam praktik selama ini, JPU telah beberapa kali mengajukan kasasi terhadap vonis bebas dan beberapa di antaranya dikabulkan oleh Mahkamah Agung. Hal ini terjadi karena larangan mengajukan kasasi atas vonis bebas sebagaimana diatur dalam Pasal 244 KUHAP terkesan multitafsir sehingga menimbulkan perbedaan pendapat dalam penerapannya. Kondisi semacam ini sangat berseberangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, khususnya dalam upaya mewujudkan kepastian hukum. Atas dasar itulah, maka kemudian Mahkamah Konstitusi melalui putusannya dengan Nomor 114/PUU-X/2012 menyatakan bahwa frasa “kecuali terhadap putusan bebas” sebagaimana tercantum dalam Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Menurut pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi, larangan mengajukan kasasi atas vonis bebas oleh JPU tidak memberikan upaya hukum biasa terhadap putusan bebas serta menghilangkan fungsi Mahkamah Agung sebagai pengadilan

kasasi terhadap putusan bebas, sehingga tidak tercapai kepastian hukum yang adil dan prinsip perlakuan yang sama di hadapan hukum.

(Janpatar Simamora)

Kata kunci: putusan bebas, kasasi, negara hukum, kepastian hukum.

UDC 349.423 (094.5)

Syamsudin M (Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta)

Keadilan Prosedural dan Substantif dalam Putusan Sengketa Tanah Magersari

Kajian Putusan Nomor 74/PDT.G/2009/PN.YK

Jurnal Yudisial 2014 7(1), 18-33

Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji isi putusan hakim tentang sengketa tanah Magersari, Yogyakarta, dengan mempertanyakan apakah majelis hakim sudah mempertimbangkan semua fakta hukum yang terungkap di persidangan secara berimbang dan didasarkan pada hukum formil dan materiil. Penelitian ini tergolong kajian hukum doktrinal dengan pendekatan kasus. Objek kajian adalah Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 74/PDT.G/2009/PN.YK. Hasil kajian menunjukkan bahwa isi putusan tersebut sudah mencerminkan keadilan prosedural, karena sudah memuat hal-hal yang harus ada dalam suatu putusan pengadilan sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 dan Pasal 184 HIR/195 RBG dan sudah mencermati alat-alat bukti yang sah sesuai dengan Pasal 164, 153, dan 154 HIR atau 284, 180, dan 181 RBG. Akan tetapi jika dilihat dari aspek keadilan substansial, isi

JURNAL YUDISIAL

ISSN 1978-6506..................................................................... Vol. 7 No. 1 April 2014Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya.

Page 9: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

IX

putusan tersebut belum sepenuhnya mencerminkan keadilan substantif. Hal tersebut dapat diukur dari tidak adanya yurisprudensi yang diacu oleh hakim dalam membuat pertimbangan hukum, absennya doktrin atau teori yang dijadikan dasar pertimbangan hukum, dan tidak ditemukannya penggalian nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat.

(M. Syamsudin)

Kata kunci: keadilan substantif, keadilan prosedural, sengketa tanah.

UDC 347.993 (094.5); 343.1

Suprantio S (Magister Hukum Bisnis, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)

Daya Ikat Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang “Testimonium de Auditu” dalam Peradilan Pidana

Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010

Jurnal Yudisial 2014 7(1), 34-52

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 65/PUU-VIII/2010 memberikan interpretasi baru mengenai saksi dalam KUHAP, yang mengakui saksi testimonium de auditu. Sejak saat ini putusan Mahkamah Konstitusi menjadi hukum yang mengikat semua orang. Walaupun demikian, tidak semua putusan Mahkamah Konstitusi diikuti oleh badan-badan peradilan tatkala mengadili kasus-kasus konkret, contohnya putusan sela dalam Perkara Nomor 884/Pid.B/2010/PN.Bdg yang tidak mempertimbangkan dan memutuskan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi. Padahal, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 seharusnya mengikat semua orang secara hukum.

(Steven Suprantio)

Kata kunci: hak asasi, daya ikat, testimonium de auditu.

UDC 342.7; 349.4

Arrsa RC (Pusat Pengembangan Otonomi Daerah (PPOTODA) Universitas Brawijaya, Malang)

Indikasi Kriminalisasi Pembela HAM dalam Sengketa Agraria

Kajian Putusan Nomor 250.Pid.B.2013/PN.PLG dan Nomor 76/PID/2013/PT.PLG

Jurnal Yudisial 2014 7(1), 53-69

Dikeluarkannya Putusan Pengadilan Negeri Nomor 250.Pid.B.2013/PN.PLG dan Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 76/PID/2013/PT.PLG yang menghukum dua pegiat hak asasi manusia merupakan indikasi terjadinya kriminalisasi terhadap aktivitas pihak-pihak yang memperjuangkan keadilan di sektor agraria. Tulisan ini ingin menjawab pertanyaan tentang optik kajian sociolegal dalam menelaah Putusan Nomor 250.Pid.B.2013/PN.PLG dan Putusan Nomor 76/PID/2013/PT.PLG terhadap upaya perlindungan hukum dalam kerangka kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum guna mencegah praktik kriminalisasi terhadap aktivis pembela hak asasi manusia. Putusan tersebut dinilai merupakan preseden buruk mengingat tindakan kriminalisasi memiliki akibat terhentinya aktivitas pembelaan hak asasi manusia, sedangkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia tersebut justru berakhir pada praktik impunitas.

(Ria Casmi Arrsa)

Kata kunci: hak asasi manusia, sengketa agraria, kriminalisasi.

UDC 340.131; 343.352

Nugroho W (Fakultas Hukum, Universitas Sahid, Jakarta)

Rule Breaking dan Integritas Penegak Hukum

Page 10: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

X

Progresif dalam Pemberantasan Korupsi Pejabat Daerah

Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011

Jurnal Yudisial 2014 7(1), 70-87

Putusan progresif Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011 dengan mengabulkan sebagian permohonan pemohon atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah cukup melegakan bagi penyidik kepolisian dan kejaksaan untuk memberantas tindak pidana korupsi oleh pejabat daerah. Putusan tersebut menghilangkan frase “persetujuan tertulis Presiden atas permintaan penyidik” dan “jangka waktu 60 (enam puluh) hari” pada Pasal 36 UU Pemerintahan Daerah masing-masing ayat (1) dan ayat (2). Prinsip negara hukum (legal state) di antaranya bercirikan equality before the law dan independent judiciary akan terganggu manakala proses penyelidikan dan penyidikan bagi pejabat daerah harus melalui izin tertulis dari Presiden. Paradigma hukum progresif adalah salah satu pendekatan yang dapat membantu aparat hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, termasuk yang dilakukan oleh pejabat daerah. Penulis menilai positif Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011 sebagai kontribusi bagi pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

(Wahyu Nugroho)

Kata kunci: hukum progresif, tindak pidana korupsi, Mahkamah Konstitusi, pejabat daerah.

UDC 347.993 (094.5); 342.37

Windrawan P (Fakultas Hukum, Universitas Proklamasi 45, Yogyakarta)

Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Keberadaan Lembaga Negara

Kajian Tiga Putusan Mahkamah Konstitusi: Nomor 005/PUU-IV/2006; Nomor 006/PUU-IV/2006 dan Nomor 030/SKLN-IV/2006

Jurnal Yudisial 2014 7(1), 88-102

Pendapat Mahkamah Konstitusi terkait dengan keberadaan lembaga negara serta komisi negara bisa ditelaah melalui beberapa putusannya. Beberapa di antaranya adalah berkaitan dengan kewenangan Komisi Yudisial, keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan Komisi Penyiaran Indonesia. Putusan terhadap keberadaan tiga lembaga tersebut menunjukkan bahwa ada persoalan tafsir hukum yang harus dikritisi. Dengan melihat tiga putusan terkait, Mahkamah Kontitusi menunjukkan bahwa yang bisa disebut sebagai lembaga negara adalah lembaga yang memang disebutkan secara nyata dalam UUD 1945. Meskipun demikian, ada beberapa hal yang harus dilihat secara kritis. Konsistensi putusan Mahkamah Konstitusi saat menyidangkan perkara terkait dengan Komisi Penyiaran Indonesia menjadi hal yang harus dipertimbangkan. Pada putusan pertama, menganggap Komisi Penyiaran Indonesia sebagai lembaga negara, akan tetapi dalam putusan selanjutnya menyatakan bukan sebagai lembaga negara. Di lain sisi, Mahkamah Konstitusi, sesuai dengan tugas kewenangannya juga bisa menyidangkan perkara berkaitan dengan lembaga negara. Meskipun, lembaga negara tersebut sederajat kedudukannya dengan Mahkamah Konstitusi dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.

(Puguh Windrawan)

Kata kunci: lembaga negara, komisi negara, Mahkamah Konstitusi.

Page 11: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

XI

JURNAL YUDISIAL

ISSN 1978-6506..................................................................... Vol. 7 No. 1 April 2014The Descriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge

UDC 343.163

Simamora J (Fakultas Hukum, Universitas HKBP Nommensen, Medan)

The Legal Certainty of Prosecutor’s Cassation against Acquittal

An Analysis of Constitutional Court’s Decision Number 114/PUU-X/2012 (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2014 7(1), 1-17

In theory, a public prosecutor is not permitted to file an appeal against acquittal as set forth in Article 244 of the Criminal Procedure Code. However, in practice these days, from a few cassation filed against acquittal, some of which were given by the Supreme Court. The thing is the prohibition of filing an appeal against acquittal seems to have multiple interpretations that lead to differences in its application. This condition does not conform to the principle of rule of law, especially in the efforts to achieve legal certainty. On this basis it is then through the Decision Number 114/PUU-X/2012, the Constitutional Court stated that the phrase: “except against acquittal,” as contained in Article 244 of the Law Number 8 of 1981 on Criminal Procedure Code, is inconsistent with the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. According to the Constitutional Court’s legal reasoning, the prohibition of appeal against acquittal filed by the prosecutor could not provide such a usual legal remedy against acquittal and also eliminate the function of the Supreme Court as the court of appeal against acquittal. Thus, legal certainty and the principle of equality before the law could be obtained.

(Janpatar Simamora)

Keywords: acquittal, cassation, rule of law, legal certainty.

UDC 349.423 (094.5)

Syamsudin M (Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta)

Procedural and Substantive Justice in the Case of Land Dispute of Magersari

An Analysis of Decision Number 74/PDT.G/2009/PN.YK (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2014 7(1), 18-33

This analysis is intended to review the District Court’s Decision Number 74/PDT.G/2009/PN.YK regarding a case of land disputes in Magersari, Yogyakarta, whether the judges have considered all the legal facts revealed in the trial consistently and based on formal and substantive law. This is just an analysis of doctrinal law using a case approach. In the analysis, it shows that the judge’s decision has reflected procedural justice. It contains the conditions that must be present in a court decision as contained in Article 2 paragraph (1) of Law Number 48 of 2009 and Article 184 HIR/195 RBG, and has the evidence revealed, as in accordance with Article 164, 153, and 154 HIR or 284, 180, and 181 RBG. On the other hand, the decision has not fully reflected substantive justice. This can be seen from the absence of jurisprudence referred to by the judge in making legal considerations, and the absence of doctrine or theory that forms the basis of legal reasoning as well as legal values that lives in the community.

Page 12: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

XII

(M. Syamsudin)

Keywords: substantial justice, procedural justice, land dispute.

UDC 347.993 (094.5); 343.1

Suprantio S (Magister Hukum Bisnis, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)

Binding Force of the Constitutional Court Decision on “Testimonium de Auditu” in Criminal Judiciary

An Analysis of Constitutional Court’s Decision Number 65/PUU-VIII/2010 (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2014 7(1), 34-52

The Constitutional Court’s Decision Number 65/PUU-VIII/2010 has provided a new interpretation concerning witness matter in the Criminal Procedure Code, which is an admission to have testimonium de auditu. Yet, the judiciary does not seem to take heed of that decision of the Constitutional Court when prosecuting certain cases, for example, the interlocutory injunction of the Decision Number 884/Pid.B/2010/PN.Bdg which is not considered and decided based on it. Where in fact, the Constitutional Court’s Decision Number 65/PUU-VIII/2010 should be legally binding to everyone.

(Steven Suprantio)

Keywords: human right, binding force, testimonium de auditu.

UDC 342.7; 349.4

Arrsa RC (Pusat Pengembangan Otonomi Daerah (PPOTODA) Universitas Brawijaya, Malang)

An Indication of Criminalization to Human Rights Defenders in Agrarian Disputes

An Analysis of Decision Number 250.Pid.B.2013/PN.PLG and Number 76/PID/2013/PT.PLG (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2014 7(1), 53-69

The issuance of District Court’s Decision Number 250/Pid.B.2013/PN.PLG and High Court’s Decision Number 76/PID/2013/PT.PLG which punish two human rights defenders indicates criminalization measures to the activities of justice seekers in the agrarian sector. This analysis tries to answer to the socio-legal studies applied in reviewing both decisions towards legal safeguards within the framework of freedom of expression in public in order to prevent criminalization measures to human rights defenders. The decisions are seen as bad precedence considering that the criminalization measures could cause a cessation of human rights defenders’ activities, but then the violation of human rights precisely ends on the practice of impunity.

(Ria Casmi Arrsa)

Keywords: human right, agrarian dispute, criminalization.

UDC 340.131; 343.352

Nugroho W (Fakultas Hukum, Universitas Sahid, Jakarta)

Rule Breaking and Progressive Law Enforcer’s Integrity in the Effort of Eradicating Corruption Committed by Local Officials

An Analysis of Constitutional Court’s Decision Number 73/PUU-IX/2011 (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2014 7(1), 70-87

The Progressive Decision Number 73/PUU-IX/2011 of the Constitutional Court which approves several petition of Law Number 32 of

Page 13: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

XIII

2004 on Regional Government has become a relief for police investigators and prosecutors in efforts of eradicating corruption committed by local officials. The decision eliminates the phrase “written approval by the President at the request of the investigator” and “period of 60 (sixty) days” in article 36 of Law on Local Government, in each paragraph (1) and paragraph (2). The principles of Legal State, which are the equality before the law and an independent judiciary, will be disturbed when the investigation of local officials must first pass a written permission of the President. The progressive law paradigm is one of the approaches used by law enforcement agencies in efforts of eradicating corruption which include corruption committed by local officials. The author considers positively to the Constitutional Court’s Decision Number 73/PUU-IX/2011 as a contribution to the efforts of corruption eradication in Indonesia.

(Wahyu Nugroho)

Keywords: progressive law, corruption, Constitutional Court, local official.

UDC 347.993 (094.5); 342.37

Windrawan P (Fakultas Hukum, Universitas Proklamasi 45, Yogyakarta)

The Constitutional Court Decision Concerning the Position of Three Commissions as State Institutions

An Analysis of Three Decisions of the Constitutional Court: Number 005/PUU-IV/2006; Number 006/PUU-IV/2006 and Number 030/SKLN-IV/2006 (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2014 7(1), 88-102

The Constitutional Court’s viewpoint regarding

the respective positions of some commissions as state institutions can be explored from its decisions Number 005/PUU-IV/2006, 006/PUU-IV/2006, and 030/SKLN-IV/2006. The three decisions set forth the issues of position of three institutions, which are the Judicial Commission, the Truth and Reconciliation Commission, and the Indonesian Broadcasting Commission. From these decisions, there seem to be a question of legal interpretation that should be criticized. In these decisions, the Constitutional Court indicates that a state institution is that has been raised in the 1945 Constitution. Besides, there is another thing to stress. The Constitutional Court’s inconsistency the ruling of the case related to the Indonesian Broadcasting Commission must be considered as well. In its original decision, the Constitutional Court regards the Indonesian Broadcasting Commission as a state institution, but in the subsequent decisions, it does not. Indeed the Constitutional Court has the authority to review cases of a state institution, even when they both (the court and the commission) have equal positions in the constitutional state structure.

(Puguh Windrawan)

Keywords: state institution, state commission, Constitutional Court.

Page 14: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini
Page 15: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

Kepastian Hukum Pengajuan Kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum (Janpatar Simamora) | 1

ABSTRAK

Secara teori, jaksa penuntut umum (JPU) tidak diperkenankan mengajukan upaya hukum kasasi terhadap vonis bebas sebagaimana diatur dalam Pasal 244 KUHAP. Namun dalam praktik selama ini, JPU telah beberapa kali mengajukan kasasi terhadap vonis bebas dan beberapa di antaranya dikabulkan oleh Mahkamah Agung. Hal ini terjadi karena larangan mengajukan kasasi atas vonis bebas sebagaimana diatur dalam Pasal 244 KUHAP terkesan multitafsir sehingga menimbulkan perbedaan pendapat dalam penerapannya. Kondisi semacam ini sangat berseberangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, khususnya dalam upaya mewujudkan kepastian hukum. Atas dasar itulah, maka kemudian Mahkamah Konstitusi melalui putusannya dengan Nomor 114/PUU-X/2012 menyatakan bahwa frasa “kecuali terhadap putusan bebas” sebagaimana tercantum dalam Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Menurut pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi, larangan mengajukan kasasi atas vonis

bebas oleh JPU tidak memberikan upaya hukum biasa terhadap putusan bebas serta menghilangkan fungsi Mahkamah Agung sebagai pengadilan kasasi terhadap putusan bebas, sehingga tidak tercapai kepastian hukum yang adil dan prinsip perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Kata kunci: putusan bebas, kasasi, negara hukum, kepastian hukum.

ABSTRACT

In theory, a public prosecutor is not permitted to file an appeal against acquittal as set forth in Article 244 of the Criminal Procedure Code. However, in practice these days, from a few cassation filed against acquittal, some of which were given by the Supreme Court. The thing is the prohibition of filing an appeal against acquittal seems to have multiple interpretations that lead to differences in its application. This condition does not conform to the principle of rule of law, especially in the

KEPASTIAN HUKUM PENGAJUAN KASASIOLEH JAKSA PENUNTUT UMUM TERHADAP VONIS BEBAS

Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012

THE LEGAL CERTAINTY OF PROSECUTOR’SCASSATION AGAINST ACqUITTAL

Janpatar SimamoraFakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen

Jl. Sutomo No. 4A Medan 20234Email: [email protected]

An Analysis of Constitutional Court’s Decision Number 114/PUU-X/2012

Diterima tgl 1 November 2013/Disetujui tgl 24 Maret 2014

Page 16: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

2 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 1- 17

efforts to achieve legal certainty. On this basis it is then through the Decision Number 114/PUU-X/2012, the Constitutional Court stated that the phrase: “except against acquittal,” as contained in Article 244 of the Law Number 8 of 1981 on Criminal Procedure Code, is inconsistent with the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. According to the Constitutional Court’s legal reasoning, the prohibition of appeal against

acquittal filed by the prosecutor could not provide such a usual legal remedy against acquittal and also eliminate the function of the Supreme Court as the court of appeal against acquittal. Thus, legal certainty and the principle of equality before the law could be obtained.

Keywords: acquittal, cassation, rule of law, legal certainty.

I. PENDAHULUAN

Dalam Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) disebutkan bahwa “terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.” Kemudian pelaksanaannya bahwa ternyata ketentuan ini kerap menimbulkan perdebatan terkait dengan boleh tidaknya jaksa penuntut umum (JPU) mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung terhadap putusan atau vonis bebas (vrijspraak). Para praktisi dan pakar, termasuk kalangan akademisi bidang hukum selama ini telah berupaya menggulirkan sejumlah pandangan dalam rangka mengurai polemik dimaksud.

Kini polemik berkepanjangan seputar sah tidaknya upaya hukum kasasi yang diajukan oleh jaksa penuntut umum (JPU) atas vonis bebas di pengadilan tingkat pertama akhirnya terjawab sudah. Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor 114/PUU-X/2012 yang diucapkan pada sidang pleno Mahkamah Konstitusi pada Kamis, 28 Maret 2013 lalu, menyatakan bahwa frasa

“kecuali terhadap putusan bebas” sebagaimana tercantum dalam Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian, maka sejak saat pembacaan putusan dimaksud, jaksa penuntut umum berwenang mengajukan kasasi atas putusan bebas yang dijatuhkan pada pengadilan tingkat pertama. Sebab putusan Mahkamah Konstitusi berlaku prospektif ke depan (forewerd looking), tidak retrospektif ke belakang (backward looking) (Asshiddiqie, 2010: 224).

Perkara konstitusi ini sendiri bermula dari adanya permohonan yang diajukan oleh I, seorang pensiunan PNS dari Sumatera Barat. Menurut pemohon, bahwa frasa “kecuali terhadap putusan bebas” sebagaimana yang tercantum pada bagian akhir Pasal 244 merupakan suatu dalil hukum yang multitafsir dan menjadi sumber ketidakpastian hukum, baik bagi seorang terdakwa maupun penuntut umum. Atas dasar itu, kemudian pemohon meminta majelis hakim MK untuk menguji Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) terhadap:

• Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

Page 17: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

2 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 1- 17 Kepastian Hukum Pengajuan Kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum (Janpatar Simamora) | 3

yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum.”

• Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

• Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum.“

Pemohon sendiri sebelumnya telah divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Lubuk Sikaping pada tanggal 18 Juni 2008. Namun kemudian, jaksa penuntut umum melakukan upaya kasasi atas dasar ketentuan dalam Pasal 244 KUHAP dengan mengajukan argumen hukum bahwa kata “bebas” dalam pasal dimaksud dibagi dalam dua kategori, yaitu “bebas murni” dan “bebas tidak murni.” Ketika itu, JPU mengartikulasikan bahwa vonis yang dijatuhkan kepada pemohon bukanlah vonis bebas dalam kategori “bebas murni.” Dengan demikian, maka JPU berkesimpulan bahwa upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung atas vonis yang dijatuhkan kala itu cukup dimungkinkan.

Fakta inilah yang kemudian dijadikan oleh pemohon sebagai alasan dengan mendalilkan bahwa hak konstitusional pemohon yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 telah dirugikan karena rumusan norma yang diatur pada Pasal 244 KUHAP bersifat multitafsir. Sebab pada awalnya, pemohon berkeyakinan ketika Pengadilan Negeri Lubuk Sikaping pada tanggal 19 Juni 2008 telah menjatuhkan putusan yang membebaskan pemohon maka putusan tersebut adalah final,

sebab atas dasar ketentuan Pasal 244 KUHAP, jaksa penuntut umum tidak bisa melakukan upaya hukum kasasi. Namun kenyataannya penuntut umum melakukan upaya kasasi atas dasar Pasal 244 KUHAP karena menurut jaksa penuntut umum kata “bebas” dalam pasal ini dibagi dalam dua kategori yaitu “bebas murni” dan “bebas tidak murni.”

Atas dasar permohonan itu, maka kemudian MK menjatuhkan putusan dalam perkara ini dengan amar putusan sebagai berikut:

• Menyatakan frasa, “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

• Menyatakan frasa, “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

II. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian sebagaimana dituangkan dalam bagian Pendahuluan tersebut di atas, maka hal yang ingin dikaji lebih dalam adalah sebagai berikut: Apakah putusan hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012 dapat dijadikan dasar hukum dalam pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap vonis

Page 18: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

4 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 1- 17

bebas (vrijspraak)?

III. STUDI PUSTAKAA. Urgensi Prinsip Kepastian Hukum

dalam Negara Hukum

Memperbincangkan urgensi prinsip kepastian hukum dalam negara hukum ada baiknya diawali dari pembahasan mengenai konsepsi pemikiran tentang negara hukum itu sendiri. Konsepsi pemikiran tentang negara hukum sudah muncul jauh sebelum terjadinya Revolusi 1688 di Inggris, namun dalam perjalanannya baru muncul kembali pada abad ke XVII dan mulai populer pada abad ke XIX (Huda, 2005: 1). Lahirnya pemikiran tentang negara hukum merupakan reaksi atas tindakan sewenang-wenang yang dilakukan penguasa ketika itu. Oleh karena itu maka pembatasan kekuasaan penguasa perlu dilakukan melalui perangkat hukum agar pemerintahan dapat terkendali dengan baik dan jauh dari tindakan sewenang-wenang.

Cita negara hukum untuk pertama kalinya dikemukakan oleh seorang filosof Yunani bernama Plato. Dalam bukunya yang berjudul Nomoi, Plato menggambarkan bagaimana pentingnya posisi hukum dalam mengatur negara. Bahkan kemudian Plato menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang diatur dan didasarkan pada hukum. Pandangan Plato tersebut cukup menyiratkan makna bagaimana pentingnya hukum dalam penyelenggaraan sebuah kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada awalnya, Plato dalam bukunya berjudul Republic, menginginkan agar negara diperintah oleh seorang raja filosof dengan harapan bahwa negara akan dapat diperintah secara bijak tanpa harus tunduk pada aturan hukum (Fuady, 2009: 27). Namun dalam

perjalanannya bahwa apa yang dicita-citakan Plato sejak awal ternyata sangat sulit untuk direalisasikan. Karena faktanya bahwa negara yang diperintah oleh seorang filosof yang bijak tidak selamanya berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itulah maka Plato kemudian menegaskan bahwa sesungguhnya pilihan terbaik dalam mengelola negara harus tunduk pada aturan-aturan yang berlaku.

Dalam perjalanan berikutnya, pemikiran Plato dikembangkan oleh muridnya yang bernama Aristoteles. Dalam pandangannya, Aristoteles berusaha mewariskan ajaran gurunya dengan melakukan penyempurnaan terhadap pengertian negara hukum. Aristoteles mengatakan bahwa suatu negara yang baik adalah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum (Ence, 2008: 32). Menurut Aristoteles, sesungguhnya yang memerintah dalam negara bukanlah manusia, melainkan pikiran yang adil dan kesusilaan berperan guna menentukan baik buruknya suatu hukum. Manusia harus dididik menjadi warga negara yang baik dan ber-asusila, sehingga kemudian pada akhirnya manusia akan menjadi warga negara yang mampu bersikap adil dalam kehidupannya sehari-hari. Aristoteles tidak mengadakan pembedaan antara “dunia cita-cita” (wereld van ideeen) dan dunia gejala-gejala (verschijnselen), akan tetapi bahwa pikirannya langsung ditujukan pada kenyataan dari dunia yang dapat diamati (zinnelijke wereld) (Sutikno, 2008: 52).

Adapun Immanuel Kant menggambarkan negara hukum sebagai penjaga malam, artinya bahwa tugas negara hanya menjaga hak-hak rakyat (Kurde, 2005: 17). Namun demikian, gagasan ini tentunya masih mengandung kelemahan, karena dalam praktik ada kalanya negara tidak hanya bertugas menjaga dan

Page 19: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

4 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 1- 17 Kepastian Hukum Pengajuan Kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum (Janpatar Simamora) | 5

melindungi hak-hak rakyat, namun harus turut campur tangan pada kondisi dan hal-hal tertentu. Dari pandangan Aristoteles itu dapat dipahami bahwa negara hukum memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan keadilan dan konstitusi. Oleh sebab itulah, maka berbagai negara, termasuk Indonesia menempatkan pengaturan konsepsi negara hukum dalam konstitusinya. Hal ini dilakukan agar penegasan konsep negara hukum dapat terpatri dalam kehidupan kenegaraan dan menjadi landasan yang sangat kuat dalam menjalankan roda pemerintahan dan kehidupan bernegara.

Dalam perjalanannya, konsep negara hukum sering diterjemahkan dengan berbagai istilah yang berbeda-beda. Di negara-negara Eropa Continental, konsep negara hukum disebut dengan istilah rechtsstaat. Istilah rechtsstaat adalah merupakan bahasa Belanda yang memiliki makna dan pengertian sejajar dengan rule of law di negara-negara yang menganut sistem Anglo Saxon. Di Indonesia dikenal dengan istilah ”negara hukum,” yang dalam bahasa Jerman disebut dengan istilah ”rechtsstaat” atau dalam bahasa Perancis disebut dengan istilah ”Etat de Droit” dan istilah ”Stato di Diritto” dalam bahasan Italia (Fuady, 2009: 2).

Dicey dalam Munir Fuady (2009: 3-4) menyebutkan bahwa ada tiga arti dari negara hukum dalam arti rule of law, yaitu:

1. Supremasi absolut ada pada hukum, bukan pada tindakan kebijaksanaan atau prerogatif penguasa;

2. Berlakunya prinsip persamaan di muka hukum (equility before the law), di mana semua orang harus tunduk kepada hukum dan tidak seorangpun yang berada di atas hukum (above the law);

3. Konstitusi merupakan dasar dari segala hukum bagi negara yang bersangkutan. Dalam hal ini, hukum yang berdasarkan konstitusiharus melarang setiap pelanggaran terhadap hak dan kemerdekaan rakyat.

Sedangkan Hans Kelsen (Huda, 2005: 106) memberikan argumentasi bahwa dalam kaitan negara hukum yang juga merupakan negara demokratis setidaknya harus memiliki empat syarat rechtsstaat, yaitu:

1. Negara yang kehidupannya sejalan dengan konstitusi dan undang-undang yang proses pembuatannya dilakukan oleh parlemen;

2. Negara yang mengatur mekanisme pertanggungjawaban atas setiap kebijakan dan tindakan yang dilakukan oleh elit negara;

3. Negara yang menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman;

4. Negara yang melindungi hak asasi manusia.

Kemudian terkait dengan posisi norma hukum dalam sebuah negara, Hans Kelsen dalam bukunya “General Theory of Law and State” yang dialihbahasakan oleh Somardi (2007: 179) menjelaskan bahwa norma-norma konstitusi yang mengatur pembentukan norma-norma umum yang harus diterapkan oleh pengadilan dan organ-organ penegak hukum lainnya bukanlah norma-norma yang lengkap dan berdiri sendiri. Norma itu bagian intrinsik dari segenap norma hukum yang harus diterapkan oleh pengadilan dan organ-organ penegak hukum lainnya. Atas dasar itulah, maka konstitusi tidak dapat disebut sebagai satu contoh norma hukum yang tidak mempunyai sanksi. Pandangan Hans Kelsen itu setidaknya

Page 20: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

6 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 1- 17

semakin menguatkan pemaknaan negara hukum khususnya pengertian konstitusi yang tidak dapat dimaknai hanya sebatas pengaturan hal-hal umum dan abstrak dalam kehidupan bernegara.

Friedrich Julius Stahl (Fuady, 2009: 27), seorang sarjana hukum Jerman menjelaskan bahwa suatu negara hukum formal harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Adanya pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia;

2. Adanya pemisahan kekuasaan;

3. Pemerintah dijalankan berdasarkan kepada undang-undang (hukum tertulis);

4. Adanya pengadilan administrasi.

Pada prinsipnya, kendati ditemukan beberapa perbedaan istilah dan pengertian serta ciri-ciri terkait dengan negara hukum, namun dari keseluruhan pandangan yang ada selalu berusaha menegaskan bahwa negara hukum adalah negara yang melandaskan setiap kehidupan kenegaraannya didasarkan pada mekanisme hukum yang jelas dan tidak bersifat multitafsir. Hukum haruslah mampu menciptakan kepastian di tengah-tengah masyarakat. Kalau kemudian suatu produk hukum justru melahirkan kondisi sebaliknya, yaitu kondisi ketidakpastian dan serba multitafsir, maka kiranya patut ditelisik lebih jauh akan efektivitas dari produk hukum yang bersangkutan.

Dari uraian tersebut di atas, kiranya dapat dipahami bahwa betapa urgensinya prinsip kepastian hukum dalam negara hukum seperti Indonesia. Kepastian hukum merupakan salah satu tujuan hukum, selain sejumlah tujuan lainnya seperti keadilan dan kemanfaatan. Hukum diciptakan untuk mewujudkan kepastian

di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu, maka kepastian hukum harus selalu terakomodir dalam setiap produk hukum agar kemudian hukum itu mampu memberikan rasa aman dan menciptakan situasi tenteram di tengah-tengah masyarakat.

Hukum yang berlaku dalam suatu negara hukum seyogianya dirumuskan secara demokratis, artinya bahwa hukum yang terbentuk dan berlaku adalah hukum yang benar-benar dikehendaki oleh rakyat (Wahjono, 1986: 8). Dengan demikian, maka upaya menciptakan negara hukum yang demokratis (democratise rechtsstaat) akan dapat diwujudnyatakan. Oleh sebab itu, maka Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana telah ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 sepenuhnya harus menjalankan roda pemerintahan berdasarkan ketentuan hukum yang telah digariskan dalam konstitusi. Negara hukum harus menjunjung tinggi prinsip kepastian hukum agar kemudian hukum itu benar-benar mampu memberikan manfaat maksimal bagi warga negaranya.

Bagir Manan (2005: 72) menjelaskan bahwa paling kurang terdapat lima unsur atau komponen yang sangat mempengaruhi perwujudan kepastian hukum, di antaranya: peraturan perundang-undangan, pelayanan birokrasi, proses peradilan, kegaduhan politik dan kegaduhan sosial. Pandangan ini menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan mendapat prioritas utama sebagai salah satu unsur dalam mewujudkan kepastian hukum. Oleh sebab itu, maka seyogianya suatu peraturan perundang-undangan, termasuk KUHAP tidak menimbulkan suatu kondisi yang melahirkan multitafsir dalam pengimplementasian peraturan perundang-undangan tersebut.

Page 21: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

6 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 1- 17 Kepastian Hukum Pengajuan Kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum (Janpatar Simamora) | 7

B. Kasasi Sebagai Salah Satu Upaya Hukum

Menurut ketentuan dalam Pasal 1 angka (12) KUHAP, yang dimaksud dengan upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Sebagai suatu hak, maka tentunya upaya hukum tersebut sangat tergantung kepada terdakwa maupun penuntut umum apakah akan mempergunakannya atau tidak. Jika, baik terdakwa maupun penuntut umum dapat menerima suatu putusan yang dijatuhkan pengadilan, maka mereka dapat untuk tidak menggunakan hak dimaksud. Namun demikian juga sebaliknya, jika terdakwa ataupun penuntut umum merasa keberatan dengan suatu putusan yang dijatuhkan pengadilan, maka hak tersebut dapat dipergunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Berdasarkan ketentuan dalam KUHAP, dikenal dua macam upaya hukum, yaitu upaya hukum biasa (gewone rechtsmiddelen) dan upaya hukum luar biasa (buiten gewone rechtsmiddelen). Upaya hukum biasa terdiri dari perlawanan (verzet), banding (revisi/hoger beroep), kasasi (cassatie). Ketentuan terhadap upaya hukum biasa diatur dalam BAB XVII Bagian Kesatu dan Bagian Kedua. Sedangkan upaya hukum luar biasa (buiten gewone rechtsmiddelen) yang terdiri dari pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan hukum (cassatie in het belang van hetrecht) serta peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (herziening). Upaya hukum luar biasa diatur dalam BAB XVIII.

Kasasi adalah merupakan salah satu hak yang termasuk dalam kategori upaya hukum biasa. Sebagai suatu hak, maka pengajuan kasasi menimbulkan kewajiban bagi pihak lain, yaitu pengadilan. Pengajuan kasasi wajib diterima oleh pihak pengadilan, jadi tidak ada alasan untuk menolaknya. Persoalan apakah nantinya permohonan itu diterima atau ditolak, hal itu sepenuhnya merupakan kompetensi dari Mahkamah Agung untuk memutuskannya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia versi offline 1.3, istilah kasasi didefinisikan sebagai pembatalan atau pernyataan tidak sah oleh Mahkamah Agung terhadap putusan hakim karena putusan dimaksud dianggap menyalahi atau tidak sesuai dengan undang-undang.

Jadi, kasasi dapat dipahami sebagai suatu langkah pembatalan oleh Mahkamah Agung atas putusan pengadilan di tingkat bawahnya karena dianggap tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Coops mencoba mendefinisikan kasasi dalam bukunya yang berjudul “Grondtrekken van het Nederlansch Burgerlijk Procesrecht” dengan pengertian bahwa perkataan “kasasi” yang di negeri kelahirannya Perancis disebut “cassation” berasal dari kata kerja casser yang berarti membatalkan atau memecahkan (Soedirdjo, 1984: 1). Kasasi juga dapat diartikulasikan sebagai hak yang diberikan kepada terdakwa dan penuntut umum untuk meminta kepada Mahkamah Agung agar dilakukan pemeriksaan terhadap putusan perkara pidana yang diberikan oleh pengadilan tingkat bawahnya (Muhammad, 2007: 266).

Adapun tujuan kasasi dapat dijelaskan sebagai upaya untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang-undang atau keliru dalam menerapkan hukum

Page 22: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

8 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 1- 17

(Hamzah, 2005: 292). Tujuan utama upaya hukum kasasi juga dapat dimaksudkan (Harahap, 2006: 539-542) sebagai berikut:

1. Sebagai koreksi terhadap kesalahan putusan bawahan.

Dalam tujuan ini, upaya hukum kasasi dimaksudkan dalam rangka meluruskan kesalahan penerapan hukum, agar kemudian hukum benar-benar diimplementasikan sebagaimana mestinya serta cara mengadili perkara dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Tujuan ini dapat dipahami mengingat bahwa majelis hakim yang memutus pada tingkat bawahan adalah juga manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan maupun kekhilafan. Sehingga sebagai manusia biasa, sangat dimungkinkan terjadi kesalahan maupun kekhilafan dalam memutus suatu perkara. Dengan upaya kasasi, maka akan terbuka ruang untuk melakukan koreksi atas kesalahan yang terjadi pada saat proses persidangan di tingkat bawahan.

2. Menciptakan dan membentuk hukum baru.

Selain sebagai tindakan koreksi, adakalanya kasasi di Mahkamah Agung sekaligus berperan menciptakan hukum baru dalam bentuk yurisprudensi. Berdasarkan jabatan dan wewenang yang melekat padanya dalam bentuk judge making law, tidak jarang Mahkamah Agung menciptakan hukum baru yang disebut “hukum kasus” atau case law. Hal ini umumnya ditujukan dalam rangka mengisi kekosongan hukum maupun dalam rangka menyejajarkan makna dan jiwa ketentuan undang-undang sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan nilai-nilai yang muncul di

tengah-tengah masyarakat. Hal ini menjadi sangat relevan mengingat berbagai bentuk pengaturan dalam peraturan perundang-undangan yang ada tidak selamanya mampu menjangkau berbagai persoalan hukum yang ada. Apalagi tidak jarang bahwa hukum justru ketinggalan jauh dari ragam perbuatan yang semestinya perlu diatur oleh hukum. Tingkat perkembangan perbuatan yang bertentangan dengan hukum kerap tidak berjalan seirama dengan pola pengaturannya dalam bentuk hukum. Oleh karenanya, maka menjadi sesuatu yang wajar bila kemudian ditemukan suatu kondisi di mana terjadi kekosongan hukum dan harus dijawab segera melalui pembentukan hukum baru agar tidak menimbulkan persoalan yang lebih runyam.

3. Pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum.

Adapun tujuan lain dari pemeriksaan kasasi adalah dalam rangka mewujudkan kesadaran akan keseragaman penerapan hukum atau unified legal frame work dan unified legal opinion. Melalui putusan kasasi dalam bentuk yurisprudensi, akan mengarahkan keseragaman pandangan dan titik tolak penerapan hukum. Dengan demikian, manakala muncul suatu peristiwa hukum di kemudian hari yang memiliki sejumlah persamaan dengan suatu peristiwa hukum sebelumnya yang telah dijatuhi vonis oleh Mahkamah Agung, akan dapat diputus dengan merujuk pada putusan sebelumnya.

Dalam perundang-undangan Belanda, setidaknya terdapat tiga alasan pokok untuk

Page 23: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

8 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 1- 17 Kepastian Hukum Pengajuan Kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum (Janpatar Simamora) | 9

melakukan kasasi, yaitu: apabila terdapat kelalaian dalam acara (vormverzuim), peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan pada pelaksanaannya, dan apabila tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan menurut cara yang ditentukan dalam undang-undang (Hamzah, 2005: 292-293). Dalam proses penerapannya, tidak semua putusan yang dapat diajukan kasasi. Bila kemudian muncul persoalan semacam ini, yaitu terkait putusan mana yang sesungguhnya dapat diajukan kasasi, maka dalam menjawab persoalan yang demikian, ketentuan Pasal 244 KUHAP menjadi sangat relevan untuk dijadikan ukuran, kendatipun sesungguhnya belum memberikan makna secara terang benderang. Pasal 244 KUHAP berbunyi: “terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.” Menurut ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa bahwa putusan perkara pidana yang dapat diajukan permohonan pemeriksaan kasasi adalah semua putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan, kecuali terhadap, pertama, putusan Mahkamah Agung dan kedua, putusan bebas (vrijspraak).

Terhadap putusan pertama, yakni putusan Mahkamah Agung, adalah merupakan suatu hal yang wajar bila terhadap putusan ini tidak dimungkinkan untuk diajukan permohonan kasasi. Dasar pertimbangannya adalah jelas bahwa bila suatu putusan kasasi dapat dikasasi kembali, maka tidak akan tercipta suatu kepastian hukum dari mekanisme peradilan yang demikian. Selain itu, bila suatu putusan kasasi dapat diajukan kasasi, maka tidak akan ditemukan

titik akhir dari suatu proses peradilan yang pada akhirnya berpotensi menimbulkan ketidakpastian di tengah-tengah masyarakat. Padahal salah satu tujuan hukum adalah dalam rangka mewujudkan kepastian hukum.

Selanjutnya, terhadap putusan kedua, yakni putusan bebas, bahwa menurut ketentuan Pasal 244 KUHAP, putusan bebas sebenarnya tidak dapat diajukan kasasi. Hanya saja dalam praktik yang terjadi selama ini bahwa putusan bebas tidak jarang diajukan kasasi oleh penuntut umum. Selain itu, sejumlah putusan bebas yang pernah diajukan kasasi oleh penuntut umum tidak jarang pula dikabulkan oleh Mahkamah Agung. Sejumlah putusan kasasi yang diberikan Mahkamah Agung atas vonis bebas pada akhirnya melahirkan yurisprudensi yang kemudian dijadikan rujukan dalam menangani perkara yang sama di kemudian hari.

IV. ANALISISA. Pengaturan dan Pelaksanaan Pengajuan

Kasasi Atas Vonis Bebas oleh JPU Sebelum Keluarnya Putusan MK Nomor 114/PUU-X/2012

Pengaturan mengenai pengajuan kasasi atas vonis bebas diatur dalam Pasal 244 KUHAP yang berbunyi “terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.” Selanjutnya dalam Pasal 67 KUHAP dijelaskan bahwa terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum

Page 24: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

10 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 1- 17

yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat. Dari kedua ketentuan pasal dimaksud, maka secara teori, terhadap putusan bebas tidak dimungkinkan adanya upaya hukum banding maupun kasasi. Baik Pasal 67 maupun Pasal 244 KUHAP mengecualikan putusan bebas dari upaya hukum banding dan kasasi. Bahkan dalam Pasal 233 ayat (2) ditegaskan bahwa hanya permintaan banding sebagaimana dimaksud pada Pasal 67 yang boleh diterima panitera pengadilan negeri dalam waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (2).

Kendati secara teori ditemukan larangan untuk mengajukan kasasi atas vonis bebas oleh penuntut umum, namun di sisi lain, ditemukan pula pola pengaturan yang memungkinkan diajukannya kasasi atas vonis bebas dimaksud dalam bentuk regulasi yang lebih rendah dari KUHAP. Pengaturan dimaksud dituangkan dalam bentuk Keputusan Menteri Kehakiman dengan Nomor M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP, khususnya pada angka 19 Lampiran Keputusan dimaksud yang pada intinya menyebutkan bahwa terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding, namun berdasarkan situasi dan kondisi serta demi hukum, keadilan dan kebenaran, maka terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi. Jadi artinya bahwa bila memang situasi dan kondisi serta demi hukum, keadilan dan kebenaran membutuhkan perlunya dilakukan kasasi atas vonis bebas, maka Mahkamah Agung akan memproses permintaan kasasi dimaksud. Hanya saja, proses kasasi dimaksud akan didasarkan pada yurisprudensi Mahkamah Agung, jadi bukan

lagi berpatokan pada mekanisme sebagaimana diatur dalam Pasal 244 KUHAP.

Jika dikaji dari substansi Keputusan Menteri Kehakiman dengan Nomor M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP itu, maka ditemukan adanya pengecualian dalam hal pengajuan banding atas putusan bebas. Banding atas putusan bebas dapat dimintakan dengan didasarkan pada situasi dan kondisi serta demi upaya penegakan hukum, keadilan dan kebenaran. Ketentuan ini kemudian dimaknai oleh jaksa penuntut umum sebagai sebuah peluang dalam rangka mengajukan banding maupun kasasi terhadap vonis bebas selama ini. Sejumlah kasus dengan vonis bebas (vrijspraak) oleh pengadilan tingkat pertama diajukan kasasi oleh JPU. Ironisnya, tidak jarang pengajuan kasasi yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum melahirkan putusan yang sangat bertolakbelakang dengan vonis bebas yang dijatuhkan sebelumnya. Sederet kasus yang pernah terjadi atas pengajuan kasasi sebuah vonis bebas di pengadilan tingkat pertama adalah perkara pidana korupsi yang menimpa Raden Sonson Natalegawa, Direktur Bank Bumi Daya yang kala itu divonis pidana 2 tahun 6 bulan oleh MA dalam perkara kasasi. Kasus lain yang juga pernah terjadi adalah perkara yang menimpa Gubernur Bengkulu, Agusrin M. Najamuddin yang diputus bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, namun kemudian dimintakan kasasi oleh jaksa.

Demikian juga dalam perkara Wali Kota Bekasi, Mochtar Mohammad yang dijatuhi vonis bebas oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, namun kemudian diajukan kasasi oleh jaksa dan oleh MA dijatuhi hukuman selama 4 tahun penjara. Hal yang sama juga pernah menimpa Bupati Subang, Eep Hidayat yang sebelumnya

Page 25: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

10 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 1- 17 Kepastian Hukum Pengajuan Kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum (Janpatar Simamora) | 11

divonis bebas pada pengadilan tingkat pertama, namun kemudian diajukan kasasi dan berhasil dijerat hukuman 5 tahun penjara melalui putusan Mahkamah Agung (Simamora, 2013: 4). Deretan perkara dimaksud tentu kian menunjukkan bahwa upaya kasasi atas vonis bebas pengadilan tingkat pertama telah memperoleh ruang pembenar sepanjang jaksa mampu membuktikan segala dakwaannya di tingkat kasasi atau Mahkamah Agung mampu menemukan sejumlah fakta terkait ketidaktepatan proses hukum yang dijalankan pada pengadilan tingkat bawahnya sebagaimana tujuan utama dari upaya hukum kasasi. Gayung pun bersambut. Dengan adanya sejumlah putusan Mahkamah Agung yang merespons pengajuan kasasi atas vonis bebas oleh JPU, maka kemudian putusan tersebut pada akhirnya dijadikan sebagai yurisprudensi dalam menangani permintaan kasasi oleh penuntut umum atas vonis bebas selama ini.

Sekalipun pola pengaturan pengajuan kasasi atas vonis bebas oleh JPU tidak dimungkinkan menurut KUHAP, namun jika dilihat dari langkah Mahkamah Agung yang melahirkan yurisprudensi melalui sejumlah putusannya terkait kasasi atas vonis bebas, maka Mahkamah Agung tidaklah serta merta dapat dipersalahkan. Pasalnya, bisa jadi Mahkamah Agung berpandangan bahwa larangan mengajukan kasasi atas vonis bebas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 244 KUHAP kurang sejalan dengan situasi dan kondisi masyarakat, sehingga demi kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan, maka pengajuan upaya hukum kasasi terhadap vonis bebas dapat dibenarkan.

Selain itu, dalam rangka menguatkan sejumlah putusan kasasi atas vonis bebas yang pernah dikabulkan, Mahkamah Agung sebenarnya memiliki dasar hukum yang kuat dalam mengabulkannya. Berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah

Agung (Undang-Undang ini terakhir kali diubah menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009) disebutkan bahwa Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan tingkat banding atau tingkat terakhir dari semua lingkungan peradilan. Lebih lanjut dalam Pasal 30 ayat (1) disebutkan bahwa Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena:

1. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;

2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;

3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

Dengan didasarkan pada sejumlah ketentuan dimaksud, maka dapat dikatakan bahwa Mahkamah Agung memiliki dasar hukum yang cukup kuat dalam menerima permohonan kasasi atas vonis bebas. Selain itu, upaya pengajuan kasasi yang digulirkan JPU atas vonis bebas yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama bisa saja dimaknai oleh Mahkamah Agung sebagai upaya dalam rangka menciptakan berjalannya fungsi kontrol Mahkamah Agung sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tertinggi atas setiap putusan pengadilan yang berada di tingkat bawahnya.

Bagaimanapun harus diakui bahwa hakim adalah manusia biasa yang tidak mungkin luput dari berbagai kesalahan dan kekhilafan. Oleh sebab itu, menjadi sangat beralasan bagi Mahkamah Agung untuk menerima dan memutus vonis bebas dalam rangka menguji kebenaran

Page 26: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

12 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 1- 17

materil vonis terdahulu. Dengan demikian, maka upaya mewujudkan keadilan dan kemanfaatan sebagai bagian penting dari pilar-pilar hukum itu sendiri akan lebih dimungkinkan untuk diwujudnyatakan. Hukum bukan hanya soal kepastian, tetapi juga menyangkut keadilan dan kemanfaatan.

Pada akhirnya, situasi dan kondisi yang demikian memang telah menimbulkan kontradiksi dalam hal pengajuan kasasi atas vonis bebas oleh JPU. Di satu sisi, pengaturan yang ada kurang memungkinkan bagi JPU untuk mengajukan kasasi atas vonis bebas, namun di sisi lain, bahwa dalam pelaksanaannya justru tidak jarang JPU mengajukan kasasi atas vonis bebas dan direspons pula oleh Mahkamah Agung. Kondisi yang demikian pada akhirnya menjadi kurang sejalan dengan prinsip-prinsip negara hukum. Dalam negara hukum, keberadaan hukum memperoleh ruang pengakuan yang cukup besar. Sementara hukum itu sendiri ditujukan dalam rangka menciptakan kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Manakala di antara unsur-unsur tujuan hukum dimaksud tidak tercapai, maka menjadi sangat beralasan untuk mengkaji ulang aturan hukum yang ada.

Munculnya kondisi yang bertolak belakang antara pengaturan dan praktik pengajuan kasasi atas vonis bebas oleh JPU selama ini pada akhirnya menimbulkan perdebatan berkepanjangan di tengah-tengah masyarakat. Hal ini juga mengakibatkan upaya perwujudan kepastian hukum dalam hal pengajuan kasasi atas vonis bebas oleh JPU menjadi samar-samar. Di satu sisi, secara teori tidak dimungkinkan diajukan kasasi atas vonis bebas oleh JPU, namun dalam pelaksanaannya justru telah berulang kali diajukan kasasi atas vonis bebas oleh JPU dan direspons oleh Mahkamah Agung.

B. Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Rangka Mewujudkan Kepastian Hukum Atas Pengajuan Kasasi oleh JPU Terhadap Vonis Bebas (Vrijspraak)

Harus diakui bahwa selama ini, pro dan kontra atas upaya kasasi terhadap putusan bebas pengadilan tingkat pertama nampaknya mendapat argumen pembenar yang sama kuatnya. Di satu sisi, tidak dibukanya ruang kasasi atas vonis bebas pengadilan tingkat pertama dipandang sebagai upaya menciptakan kepastian hukum. Namun di sisi lain, bahwa ketentuan ini seolah melepaskan hakim yang mengadili perkara pada tingkat pertama terbebas dari kontrol dan kesalahan maupun kekhilafan atas putusan yang dijatuhkannya. Kedua hal ini pada akhirnya berujung pada situasi yang penuh dengan ketidakpastian.

Hakim MK sendiri terbelah dalam dua pandangan berbeda (dissenting opinion) dalam menguji konstitusionalitas Pasal 244 KUHAP. Menurut Hakim Konstitusi Harjono, ketentuan Pasal 244 KUHAP tidaklah bertentangan dengan UUD 1945. Hal itu didasarkan pada argumen bahwa keberadaan Pasal 244 KUHAP merupakan upaya perlindungan terhadap hak asasi manusia terhadap mereka yang haknya pernah dilanggar karena statusnya terdakwa, setelah adanya putusan pengadilan yang sah. Oleh sebab itu, menurut Harjono, sekalipun ditemukan sejumlah praktik yang berseberangan dengan ketentuan Pasal 244 KUHAP, hal itu tidaklah dapat dijadikan rujukan untuk menyatakan sebuah undang-undang bertentangan dengan UUD. Yang semestinya harus dilakukan adalah sebaliknya, pengujian undang-undang harus dijadikan koreksi terkait apakah praktik yang dijalankan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.

Page 27: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

12 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 1- 17 Kepastian Hukum Pengajuan Kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum (Janpatar Simamora) | 13

Untuk melihat lebih lengkap pendapat berbeda hakim MK Harjono dalam putusan ini, berikut kutipan sebagian dari pendapatnya:

“…Dengan dihilangkannya frasa “kecuali putusan bebas” Pasal 244 KUHAP maka secara fundamental telah merobohkan sistem KUHAP, yang implikasinya akan memandulkan banyak pasal KUHAP yang lain, padahal penghilangan tersebut tidak ada dasar konstitusionalnya. Praktik bukanlah rujukan untuk menyatakan sebuah undang-undang bertentangan dengan Undang Undang Dasar dan justru pengujian undang-undang seringkali dimaksudkan untuk mengoreksi apakah praktik yang berlaku telah sesuai dengan konstitusi, oleh karenanya tidak jarang Mahkamah memutuskan dengan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) untuk mengoreksi praktik yang tidak benar tersebut dan tidak sebaliknya.”

Namun kemudian pendapat berbeda ini tidak berada dalam posisi seimbang dengan pendapat hakim lainnya. Mayoritas hakim konstitusi berpendapat bahwa frasa “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 KUHAP bertentangan dengan konstitusi dan oleh karenanya dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Lalu bagaimana sesungguhnya pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam rangka menciptakan kepastian hukum atas upaya JPU dalam mengajukan kasasi terhadap vonis bebas? Jika dicermati secara seksama putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian konstitusionalitas Pasal 244 KUHAP, maka dapat dilihat bahwa upaya mewujudkan kepastian hukum dalam hal pengajuan kasasi atas vonis bebas oleh JPU mendapat pertimbangan yang sangat mendasar. Setidaknya hal itu tercermin

dari pendapat Mahkamah pada bagian (3.13.1) yang dimuat dalam putusan tersebut dengan bunyi sebagai berikut:

“...Apabila Pasal 67KUHAP menentukan pengecualian untuk memohon pemeriksaan banding terhadap putusan tingkat pertama yang menyatakan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat, maka Pasal 244 KUHAP mengecualikan permohonan pemeriksaan kasasi terhadap putusan bebas. Kedua ketentuan tersebut sama sekali tidak memberikan upaya hukum biasa terhadap putusan bebas, yang berarti fungsi Mahkamah Agung sebagai pengadilan kasasi terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh pengadilan yang ada di bawahnya sama sekali ditiadakan;

Selain itu, pada bagian (3.13.2) pendapat Mahkamah juga disebutkan pertimbangan hukum sebagai berikut:

“Bahwa tanpa bermaksud melakukan penilaian atas putusan-putusan Mahkamah Agung, kenyataan selama ini menunjukkan bahwa terhadap beberapa putusan bebas yang dijatuhkan oleh pengadilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, memang tidak diajukan permohonan banding (vide Pasal 67 KUHAP), akan tetapi diajukan permohonan kasasi dan Mahkamah Agung mengadilinya. Padahal, menurut ketentuan Pasal 244 KUHAP terhadap putusan bebas tidak boleh dilakukan upaya hukum kasasi. Hal itu mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum dalam praktik karena terjadinya kontradiksi dalam implementasi pasal tersebut. Di satu pihak pasal tersebut

Page 28: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

14 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 1- 17

melarang upaya hukum kasasi, namun di lain pihak Mahkamah Agung dalam praktiknya menerima dan mengadili permohonan kasasi terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh pengadilan di bawahnya. Oleh karena itu, untuk menjamin kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum, Mahkamah perlu menentukan konstitusionalitas Pasal 244 KUHAP khususnya frasa “kecuali terhadap putusan bebas.”

Dari pendapat Mahkamah tersebut dapat dipahami bahwa terjadinya kontradiksi dalam implementasi Pasal 244 KUHAP selama ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum di tengah-tengah masyarakat. Pelarangan permintaan kasasi atas putusan bebas oleh penuntut umum di satu sisi dan diterimanya permohonan kasasi atas putusan bebas oleh Mahkamah Agung di sisi lain pada akhirnya menjadi problem yang tidak semestinya terjadi dan harus segera diakhiri. Atas dasar sejumlah pertimbangan itulah, maka kemudian putusan Mahkamah Konstitusi dengan Nomor 114/PUU-X/2012 yang diucapkan pada sidang pleno Mahkamah Konstitusi pada Kamis, 28 Maret 2013 lalu, yang menyatakan bahwa frasa “kecuali terhadap putusan bebas” sebagaimana tercantum dalam Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dianggap telah memberi kepastian hukum dalam hal pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap vonis bebas.

Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud, maka jaksa penuntut umum telah memperoleh kepastian hukum dalam mengajukan kasasi atas putusan bebas yang dijatuhkan pada pengadilan tingkat pertama. Selain itu, sebagaimana diungkapkan oleh Cleiren

and Nijboer, et. Al., seperti dikutip Andi Hamzah (2008: 41) yang mengatakan bahwa hukum pidana itu adalah hukum tertulis, tidak seorangpun dapat dipidana berdasarkan hukum kebiasaan dan hukum kebiasaan tidak menciptakan hal dapat dipidana (strafbaarheid), maka KUHAP sebagai hukum tertulis harus terlepas dari ragam ketentuan yang terkesan samar-samar dan tidak menimbulkan ragam penafsiran agar proses penerapannya dapat dijalankan dengan baik. Jika terdapat peraturan perundang-undangan yang tidak jelas, maka hal itu menuntut untuk diberikan penjelasan (Kurnia, 2009: 58).

Patut juga dicatat bahwa berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam upaya penegakan hukum dan keadilan, tentu tidak dapat dilepaskan dari sebuah kejujuran tentang makna kebenaran. Yang benar akan dinyatakan benar dan yang salah akan dinyatakan salah. Oleh sebab itu, maka sekalipun permintaan kasasi atas vonis bebas (vrijspraak) telah memperoleh ruang legitimasi yang memadai, namun demikian tidak berarti serta merta dapat dimaknai bahwa Mahkamah Agung akan selalu menyatakan dan memutuskan seseorang terdakwa selalu bersalah dan dijatuhi pidana sebagaimana didakwakan penuntut umum. Karena bagaimanapun perlindungan hak-hak tersangka atau terdakwa yang terdapat dalam sistem peradilan pidana merupakan salah satu prasyarat terselenggaranya proses hukum yang adil (Tahir, 2010: 9).

Jadi semestinya tidak ada yang perlu dirisaukan dengan putusan MK yang satu ini. Para terpidana yang memperoleh vonis bebas di pengadilan tingkat pertama tidak perlu merisaukan

Page 29: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

14 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 1- 17 Kepastian Hukum Pengajuan Kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum (Janpatar Simamora) | 15

putusan ini sepanjang mampu membuktikan ketidakterlibatannya dalam sebuah perkara yang didakwakan kepadanya. Artinya bahwa upaya kasasi atas putusan bebas yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama tidak dengan sendirinya akan membatalkan putusan pengadilan di tingkat bawahnya. Bisa saja menguatkan atau membatalkan putusan bebas yang diajukan kasasi ke MA. Semua itu tergantung pada pertimbangan MA dalam mengadili perkara yang diajukan.

Harap diingat juga bahwa salah satu tujuan hukum adalah dalam rangka menciptakan adanya kepastian, selain keadilan dan kemanfaatan. Manakala hukum justru melahirkan ketidakpastian, maka semestinya hukum yang demikian patut dikoreksi keberadaannya. Langkah itulah yang sesungguhnya dilakukan MK melalui pengujian atas Pasal 244 KUHAP. Ketentuan pelarangan pengajuan kasasi oleh penuntut umum terhadap vonis bebas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 244 KUHAP sangat tidak sejalan dengan fakta hukum yang selama ini terjadi. Oleh karena itu, maka dalam rangka mewujudkan tujuan hukum, khususnya mewujudkan kepastian, menjadi sangat tepat untuk menghilangkan frasa “kecuali terhadap putusan bebas” sebagaimana tertuang dalam Pasal 244 KUHAP selama ini.

Bagaimanapun harus diakui bahwa hakim adalah manusia biasa yang tidak mungkin luput dari berbagai kesalahan dan kekhilafan. Oleh sebab itu, selayaknya sebuah vonis bebas difasilitasi dengan ruang terbuka untuk menguji kebenaran materil vonis dimaksud. Dengan demikian, maka upaya mewujudkan keadilan dan kemanfaatan sebagai bagian penting dari pilar-pilar hukum itu sendiri akan lebih dimungkinkan untuk diwujudnyatakan. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi ini, maka bagi para terpidana yang telah memperoleh vonis bebas

di pengadilan tingkat pertama, tidak lagi dapat mengasumsikan hal itu sebagai sebuah putusan final (inkracht). Sebab jaksa penuntut umum telah memiliki ruang legalitas yang cukup untuk mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Putusan ini sekaligus menutup ruang bagi upaya memperdebatkan keabsahan kasasi yang diajukan jaksa atas vonis bebas di pengadilan tingkat pertama.

Yang patut dipikirkan kemudian adalah bagaimana kemudian agar Mahkamah Agung dapat bekerja dengan profesional, transparan dan independen serta objektif dalam menangani setiap permintaan kasasi atas vonis bebas yang diajukan oleh penuntut umum. Hal ini perlu diingatkan agar jangan sampai putusan kasasi Mahkamah Agung atas vonis bebas justru melahirkan suatu putusan yang berseberangan dengan nilai kebenaran dan keadilan. Mahkamah Agung juga perlu membentengi integritas para punggawanya agar tidak mudah tergoda dan terpengaruh dengan berbagai iming-iming pihak tertentu dalam menangani suatu perkara. Sehingga dengan demikian, maka kepercayaan publik terhadap Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi dalam mewujudkan keadilan dan kebenaran dapat terpelihara dengan utuh.

Oleh sebab itu, maka putusan MK dengan Nomor 114/PUU-X/2012 yang mengabulkan permohonan pemohon dalam menentukan konstitusionalitas Pasal 244 KUHAP patut dimaknai sebagai ruang yang sangat efektif dalam mengakhiri kontradiksi yang terjadi selama ini. Kalaupun kemudian ditemukan pendapat berbeda antara sesama hakim konstitusi dalam menguji konstitusionalitas Pasal 244 KUHAP, hal itu harus dilihat dan diletakkan dalam porsi yang semestinya, yaitu sebagai sebuah dinamika

Page 30: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

16 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 1- 17

dalam rangka mewujudkan independensi, transparansi dan objektivitas hakim dalam menangani suatu perkara. Pertimbangan yang digunakan Mahkamah Konstitusi dalam memutus judicial review atas perkara ini lebih didasarkan dalam rangka memberikan kepastian hukum atas pengajuan kasasi oleh JPU terhadap vonis bebas.

V. SIMPULAN

Berdasarkan analisis sebagaimana diuraikan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa selama ini, dalam hal pengajuan kasasi atas vonis bebas (vrijspraak) oleh jaksa penuntut umum telah terjadi kontradiksi antara pengaturan dan pelaksanaannya. Secara teori, Pasal 244 KUHAP mengecualikan pengajuan kasasi atas vonis bebas (vrijspraak) oleh jaksa penuntut umum, namun dalam pelaksanaannya justru terdapat sejumlah vonis bebas pada pengadilan tingkat pertama dimintakan kasasi oleh jaksa penuntut umum. Hal ini tidak terlepas dari larangan mengajukan kasasi atas vonis bebas sebagaimana diatur dalam Pasal 244 KUHAP terkesan multitafsir sehingga menimbulkan perbedaan pendapat dalam penerapannya selama ini. Kondisi semacam ini justru berseberangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, khususnya dalam upaya mewujudkan kepastian hukum.

Atas dasar itulah, maka kemudian Mahkamah Konstitusi melalui putusannya dengan Nomor 114/PUU-X/2012 yang diucapkan pada sidang pleno Mahkamah Konstitusi pada Kamis, 28 Maret 2013 lalu, menyatakan bahwa frasa “kecuali terhadap putusan bebas” sebagaimana tercantum dalam Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi

mendasarkan pertimbangannya bahwa larangan mengajukan kasasi atas vonis bebas oleh JPU sebagaimana diatur dalam Pasal 244 KUHAP tidak memberikan upaya hukum biasa terhadap putusan bebas, yang berarti fungsi Mahkamah Agung sebagai pengadilan kasasi terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh pengadilan yang ada di bawahnya sama sekali ditiadakan.

Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga mengedepankan pertimbangan bahwa di satu pihak Pasal 244 KUHAP melarang upaya hukum kasasi, namun di lain pihak Mahkamah Agung dalam praktiknya menerima dan mengadili permohonan kasasi terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh pengadilan di bawahnya, sehingga tidak tercapai kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Kini, dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang telah memberikan kepastian hukum atas pengajuan kasasi terhadap vonis bebas oleh JPU, maka diharapkan putusan ini dapat dimaksimalkan menjadi sarana legal untuk mengoreksi putusan hakim yang terlalu “bermurah hati” dalam mengabulkan vonis bebas.

DAfTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. 2010. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Edisi Kedua. Cetakan Pertama. Jakarta: Sinar Grafika.

Ence, Irianto A Baso. 2008. Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi: Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi. Bandung: Alumni.

Fuady, Munir. 2009. Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat). Bandung: Refika Aditama.

Page 31: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

16 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 1- 17 Kepastian Hukum Pengajuan Kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum (Janpatar Simamora) | 17

Hamzah, Andi. 2005. Hukum Acara Pidana Indonesia. Edisi Revisi. Cetakan Keempat. Jakarta: Sinar Grafika.

___________. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana. Edisi Revisi. Cetakan Keempat. Jakarta: Rineka Cipta.

Harahap, M. Yahya. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali. Edisi Kedua. Cetakan Kedelapan. Jakarta: Sinar Grafika.

Huda, Ni’matul. 2005. Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review. Yogyakarta: UII Press.

Kelsen, Hans. 1973. General Theory of Law and State. Dialihbahasakan oleh Somardi. 2007. Teori Hukum dan Negara: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik. Jakarta: Bee Media Indonesia.

Kurde, Nukthoh Arfawie. 2005. Telaah Kritis Teori Negara Hukum, Konstitusi dan Demokrasi dalam Kerangka Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Berdasarkan UUD 1945. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kurnia, Titon Slamet. 2009. Pengantar Sistem Hukum Indonesia. Bandung: PT. Alumni.

Manan, Bagir. 2005. Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian). Yogyakarta: FH UII Press.

Muhammad, H. Rusli. 2007. Hukum Acara Pidana Kontemporer. Bandung: Citra Aditya Bhakti.

Simamora, Janpatar. 15 April 2013. “Legalitas Kasasi Vonis Bebas.” Koran Jakarta.

Soedirdjo. 1984. Kasasi dalam Perkara Pidana. Jakarta: Akademika Pressindo.

Sutikno, Mr. 2008. Filsafat Hukum. Cetakan Keduabelas. Jakarta: Pradnya Paramita.

Tahir, Heri. 2010. Proses Hukum yang Adil dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo.

Wahjono, Padmo. 1986. Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum. Cetakan Kedua. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Page 32: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

18 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 18 - 33

ABSTRAK

Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji isi putusan hakim tentang sengketa tanah Magersari, Yogyakarta, dengan mempertanyakan apakah majelis hakim sudah mempertimbangkan semua fakta hukum yang terungkap di persidangan secara berimbang dan didasarkan pada hukum formil dan materiil. Penelitian ini tergolong kajian hukum doktrinal dengan pendekatan kasus. Objek kajian adalah Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 74/PDT.G/2009/PN.YK. Hasil kajian menunjukkan bahwa isi putusan tersebut sudah mencerminkan keadilan prosedural, karena sudah memuat hal-hal yang harus ada dalam suatu putusan pengadilan sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 dan Pasal 184 HIR/195 RBG dan sudah mencermati alat-alat bukti yang sah sesuai dengan Pasal 164, 153, dan 154 HIR atau 284, 180, dan 181 RBG. Akan tetapi jika dilihat dari aspek keadilan substansial, isi putusan tersebut belum sepenuhnya mencerminkan keadilan substantif. Hal tersebut dapat diukur dari tidak adanya yurisprudensi yang diacu oleh hakim dalam membuat pertimbangan hukum, absennya

doktrin atau teori yang dijadikan dasar pertimbangan hukum, dan tidak ditemukannya penggalian nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat.

Kata kunci: keadilan substantif, keadilan prosedural, sengketa tanah.

ABSTRACT

This analysis is intended to review the District Court’s Decision Number 74/PDT.G/2009/PN.YK regarding a case of land disputes in Magersari, Yogyakarta, whether the judges have considered all the legal facts revealed in the trial consistently and based on formal and substantive law. This is just an analysis of doctrinal law using a case approach. In the analysis, it shows that the judge’s decision has reflected procedural justice. It contains the conditions that must be present in a court decision as contained in Article 2 paragraph (1) of Law Number 48 of 2009 and Article 184 HIR/195 RBG, and has the evidence revealed, as in accordance with Article 164, 153, and 154 HIR or 284, 180,

KEADILAN PROSEDURAL DAN SUBSTANTIF DALAMPUTUSAN SENGKETA TANAH MAGERSARI

Kajian Putusan Nomor 74/PDT.G/2009/PN.YK

PROCEDURAL AND SUBSTANTIVE JUSTICEIN THE CASE OF LAND DISPUTE OF MAGERSARI

M. SyamsudinFakultas Hukum Universitas Islam IndonesiaJl. Tamansiswa No. 158 Yogyakarta 55151

Email: [email protected]

An Analysis of Decision Number 74/PDT.G/2009/PN.YK

Diterima tgl 7 November 2013/Disetujui tgl 24 Maret 2014

Page 33: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

18 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 18 - 33 Keadilan Prosedural dan Substantif dalam Putusan Sengketa Tanah Magersari (M. Syamsudin) | 19

I. PENDAHULUAN

Bagi masyarakat tradisional dan juga modern, tanah mempunyai arti penting baik dari aspek ekonomi, sosial, dan budaya. Bahkan tanah terkadang mempunyai makna magis bagi masyarakat tertentu, khususnya masyarakat adat. Arti penting itu antara lain sebagai tempat tinggal untuk mempertahankan kehidupan, tempat persemayaman terakhir, alat pengikat masyarakat dalam suatu persekutuan dan juga sebagai modal atau aset produksi utama dalam suatu hubungan bisnis. Oleh karena itu, dalam realitas empiriknya tanah justru sering menjadi sumber sengketa di antara anggota warga masyarakat, baik secara perseorangan maupun kolektif. Sengketa tersebut dapat terkait dengan berbagai hal seperti ketidakjelasan status, perbatasan, pengelolaan, hak/kepemilikan, penguasaan, pemakaian, dan juga hubungan-hubungan transaksi lainnya.

Keberadaan tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), mempunyai keunikan tersendiri. Keunikan tersebut tentunya tidak lepas dari sejarah pertanahan di DIY. Pertanahan yang ada di DIY sekarang ini, tidak terlepas dari kesinambungan sejarah yang tentunya sangat dipengaruh oleh ugeran dan kebijakan Keraton Yogyakarta. Termasuk dalam hal ini adalah tradisi hukum lokal terkait hak atas tanah yang disebut “Ngindung” dan/atau “Magersari.” Ngindung dan/atau magersari merupakan hak perorangan atas tanah yang lahir dari budi baik pemilik tanah didasarkan pada asas tolong menolong dan

kekeluargaan. Seseorang yang diberi hak ngindung dan/atau magersari oleh pemilik tanah, dapat mendirikan bangunan rumah di atas tanah tersebut atau mendiami sebagian bangunan rumah pemilik tanah tersebut tanpa dipungut pembayaran tertentu. Jika hal tersebut terdapat pembayaran, hanyalah sekedar tanda (simbol) masuk pekarangan atau rumah milik orang lain tersebut (Bzn, 1959: 115).

Dalam praktik, keberadaan status tanah magersari di DIY tidak lepas dari berbagai permasalahan yang muncul. Berikut ini merupakan kasus tanah magersari yang diangkat untuk dijadikan objek kajian. Permasalahan diawali dengan munculnya kasus Sultan Ground (SG) yang obyek sengketanya adalah tanah dengan status magersari atas SG yang dikuasai oleh CA, yang beralamat di Jalan Suryowijayan No. 20 RT 23/RW 07 Kelurahan Gedongkiwo, Kecamatan Mantrijeron, Daerah Istimewa Yogyakarta. CA adalah pemilik sah sebidang tanah yang terletak di Jl. Suryowijayan No. 20 RT 23/RW 07 Kelurahan Gedongkiwo, Kecamatan Mantrijeron, DIY sebagaimana yang tercantum dalam Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor M.1402/Gdk seluas 413 m2, gambar situasi No. 441 tanggal 1 Februari 1994 yang saat ini juga sedang ditempatinya.

Di depan/batas sebelah timur tanah SHM milik CA tersebut terdapat tanah milik Sri Sultan Hamengku Buwono Keraton Yogyakarta yang telah diberikan hak pakai/magersari kepada CA sebagaimana tersebut dalam surat perjanjian

and 181 RBG. On the other hand, the decision has not fully reflected substantive justice. This can be seen from the absence of jurisprudence referred to by the judge in making legal considerations, and the absence of doctrine or theory that forms the

basis of legal reasoning as well as legal values that lives in the community.

Keywords: substantial justice, procedural justice, land dispute.

Page 34: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

20 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 18 - 33

Pinjam Pakai No. 60/HI/KPK/2003 tertanggal 17 November 2003, seluas 124 m2, dengan gambar situasi tertanggal 06-01-2003, dengan batas-batas sebagai berikut:

Sebelah Utara : Jalan Kampung.

Sebelah Timur : Jalan Suryowijayan.

Sebelah Selatan : Tanah Kosong milik Keraton Yogyakarta.

Sebelah Barat : Tanah SHM 1402 milik Cahyo.

Namun tanah yang telah diberikan hak pakai tersebut di atas oleh pihak keraton kepada CA ternyata dalam kenyataannya dikuasai oleh MTH yang beralamat di Kios Jl. Suryowijayan No. 20, Kelurahan Gedongkiwo, Kecamatan Mantrijeron; HM yang beralamat di Jl. Suryowijayan No. 85 Kelurahan Gedongkiwo, Kecamatan Mantrijeron; ES yang beralamat di Suryowijayan Mj I/404 RT 25/RW 07 Kelurahan Gedongkiwo, Kecamatan Mantrijeron; SB yang beralamat di Suryowijayan Mj I/590 RT 30/RW 06 Kelurahan Gedongkiwo, Kecamatan Mantrijeron; PY yang beralamat di Suryowijayan Mj I/335 RT 23/RW 07 Kelurahan Gedongkiwo, Kecamatan Mantrijeron dan PJ yang beralamat di Suryowijayan Mj I/265 RT 13/RW 02 Kelurahan Gedongkiwo, Kecamatan Mantrijeron, Yogyakarta, yang tanpa memiliki atas hak apapun bahkan tanpa izin dari CA selaku pemegang hak pakai telah mendirikan bangunan semi permanen untuk berjualan.

Tanah yang diberikan hak pakai/magersari tersebut awalnya akan dipergunakan sendiri oleh CA sesuai dengan peruntukannya, karena itu CA meminta para pihak yang menduduki tanah tersebut untuk mengosongkannya, namun tidak ditanggapi dengan baik, akibatnya CA sama

sekali tidak dapat menikmati hak atas tanah yang dimilikinya itu bahkan tidak dapat hidup nyaman tinggal di rumahnya sendiri akibat kehadiran MTH dkk yang menguasai tanah tersebut.

CA sudah berkali-kali mengingatkan MTH dkk untuk secara sukarela segera mengosongkan tanah tersebut karena ditempati tanpa izin dan juga telah menghalangi jalan masuk ke rumah CA, bahkan sudah berulangkali pula mengusahakan dialog secara musyawarah dan kekeluargaan dengan mengundang MTH dkk, yang juga dihadiri dan disaksikan oleh pengurus RT dan RW setempat, Lurah Gedongkiwo, Camat Mantrijeron, Kapolsek Mantrijeron, Danramil Mantrijeron, namun tidak juga ditanggapi positif oleh MTH dkk. Padahal CA sudah membayar biaya pisungsung/penanggalan sebesar Rp.48.800,- (empat puluh delapan ribu delapan ratus rupiah) setiap tahunnya untuk jangka waktu 6 tahun, sehingga totalnya adalah Rp.292.800,- (dua ratus sembilan puluh dua ribu delapan ratus rupiah).

Menurut HM, alasan kenapa mereka tidak mau untuk mengosongkan tanah tersebut adalah karena sejak awal penerbitan Surat Kekancingan yang dimiliki CA sudah tidak wajar. Mereka beralasan bahwa sudah menempati tanah itu sejak tahun 1973 dan tidak pernah diajak bicara tentang proses penerbitan kekancingan tersebut dan tiba-tiba ada orang yang membawa Surat Kekancingan dan mengusirnya. Menurutnya, pada saat terjadi proses ukur dari pengurus setempat yaitu dari RT, RW, Kelurahan, sampai petugas Panitikismo tidak pernah memberikan penjelasan, saat ditanyapun jawaban mereka adalah “tidak tahu.”

HM juga mengatakan, penerbitan Surat Kekancingan tersebut penuh dengan kejanggalan,

Page 35: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

20 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 18 - 33 Keadilan Prosedural dan Substantif dalam Putusan Sengketa Tanah Magersari (M. Syamsudin) | 21

surat tersebut juga bertolak belakang dengan pernyataan HB X soal tanah-tanah Sultan Ground yang menyatakan tidak ada penggusuran terhadap tanah-tanah keprabon atau tanah-tanah di luar keprabon yang telah ditempati oleh rakyat, langkah yang dilakukan hanya penertiban administrasi. HM menambahkan, hal ini tentu saja merupakan pengingkaran atau pembangkangan terhadap amanat Sultan Hamengku Buwono X.

MH menambahkan, bahwa awal mula tanah tersebut adalah tanah tempat pembuangan sampah, hingga akhirnya pada tahun 1973 dirinya mengolah tanah tersebut menjadi warung, kemudian pada tahun 1990-an, setelah rumah di belakang (yang sekarang kediaman CA) dijual, tiba-tiba pemiliknya mengusir kami (Putusan PN Yogyakarta Nomor 74/PDT.G/2009/PN.YK).

II. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan gambaran permasalahan yang telah diuraikan di bagian pendahuluan, dirumuskan pertanyaan hukum yaitu ”Apakah dalam membuat putusan, hakim sudah mempertimbangkan semua fakta hukum yang terungkap di persidangan secara berimbang dan didasarkan pada norma-norma hukum baik formil dan materiil, yurisprudensi, doktrin dan juga nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat sehingga menghasilkan putusan yang adil baik secara substantif maupun prosedural?

III. STUDI PUSTAKA

Paham realisme hukum berpandangan bahwa putusan hakim adalah hukum yang sebenar-benarnya (the real law). Doktrin yang menjadi asumsi dasarnya adalah adagium yang berbunyi all the law is judge made law, artinya semua hukum itu pada hakikatnya adalah

putusan hakim. Berdasarkan cara berpikir seperti ini, posisi dan kedudukan hakim menjadi sangat sentral dalam konteks pembentukan hukum (Gray dalam Darmodiharjo & Shidarta, 2004: 138). Oleh karena itu putusan hakim sebagai hukum yang sejatinya, harus dapat mewujudkan tujuan dari hukum itu sendiri. Setidak-tidaknya terdapat tiga tujuan hukum yang harus diwujudkan dalam putusan hakim, yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan (Ali, 1996: 84-96).

Ketiga tujuan hukum tersebut (keadilan, kemanfaatan dan kepastian) dalam praktik sulit diwujudkan secara bersamaan sekaligus dalam putusan hakim. Dalam praktik sering terjadi benturan atau tegangan antara kepastian hukum dengan kemanfaatan, antara keadilan dengan kepastian, dan pula keadilan dengan kemanfaatan. Menurut Radbruh, jika terjadi hal seperti itu disarankan agar digunakan asas prioritas, di mana prioritas pertama jatuh pada keadilan, baru diikuti kemanfaatan dan kepastian. Achmad Ali sendiri menyarankan menggunakan asas prioritas yang kasuistis. Artinya ketiga tujuan hukum itu diprioritaskan sesuai dengan konteks kasus yang dihadapi. Oleh karena itu dapat saja kasus A mungkin prioritasnya pada kemanfaatan, kasus B prioritasnya pada kepastian, dan kasus C prioritasnya pada keadilan (Ali, 1996: 96).

Proses pembuatan putusan oleh hakim di pengadilan, merupakan suatu proses yang kompleks dan sulit dilakukan sehingga memerlukan pelatihan, pengalaman, dan kebijaksanaan. Menurut Artidjo Alkostar, sebagai figur sentral penegak hukum, para hakim memiliki kewajiban moral dan tanggung jawab profesional untuk menguasai knowledge, memiliki skill berupa legal technical capacity dan kapasitas moral yang standar. Dengan adanya kecukupan pengetahuan dan keterampilan teknis, para hakim dalam

Page 36: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

22 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 18 - 33

memutus suatu perkara akan dapat memberikan pertimbangan hukum (legal reasoning) yang tepat dan benar. Jika suatu putusan pengadilan tidak cukup mempertimbangkan (Ovoldoende Gemotiveerd) tentang hal-hal yang relevan secara yuridis dan sah muncul di persidangan, maka akan terasa adanya kejanggalan yang akan menimbulkan matinya akal sehat (the death of common sense). Putusan pengadilan yang tidak logis akan dirasakan pula oleh masyarakat yang paling awam, karena putusan pengadilan menyangkut nurani kemanusiaan. Penegak hukum bukanlah budak kata-kata yang dibuat pembentuk undang-undang, tetapi lebih dari itu mewujudkan keadilan berdasarkan norma hukum dan akal sehat (Alkostar, 2009: 3).

Menurut Mertokusumo, seorang sarjana hukum, khususnya hakim, selayaknya menguasai kemampuan menyelesaikan perkara yuridis (the power of solving legal problems), yang terdiri dari tiga kegiatan, yaitu: (i) merumuskan masalah hukum (legal problem identification); (ii) memecahkannya (legal problem solving); dan (iii) mengambil putusan (decision making). Oleh karena itu dibutuhkan langkah-langkah penalaran hukum yang tepat dalam proses memecahkan masalah hukum itu (Mertokusumo, 1990: 4).

Setidak-tidaknya terdapat enam langkah utama dalam proses penalaran hukum dalam proses pembuatan putusan hakim, yaitu: (i) mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur (peta) kasus yang sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang riil terjadi; (ii) menghubungkan (mengsubsumsi) struktur kasus tersebut dengan sumber-sumber hukum yang relevan, sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum dalam peristilahan yuridis (legal term); (iii) menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk kemudian

mencari tahu kebijakan yang terkandung di dalam aturan hukum itu (the policies underlying those rule), sehingga dihasilkan suatu struktur (peta) aturan yang koheren; (iv) menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus; (v) mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang mungkin; dan (vi) menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian diformulasikan sebagai putusan akhir (Shidarta, 2004: 177).

Penalaran hukum tersebut perlu memberikan ruang kepada pendekatan-pendekatan socio legal. Dengan pendekatan socio legal akan dapat memahami persoalan hukum dalam masyarakat lebih kontekstual terkait dengan kondisi sosio-kultural masyarakatnya. Hal-hal demikian itulah yang dianggap melahirkan keadilan substantif. Keadilan yang ukurannya bukan kuantitatif sebagaimana yang muncul dalam keadilan formal, tapi keadilan kualitatif yang didasarkan pada moralitas publik dan nilai-nilai kemanusiaan dan mampu memberikan kepuasan dan kebahagiaan bagi masyarakat (Umar, 2011: 44).

Putusan keadilan substantif tidak hanya mengakomodir aturan yang berlaku dalam tahapan penemuan keadilan yang paling sosial. Keadilan bukan semata-mata persoalan yuridis semata, akan tetapi masalah sosial yang dalam banyak hal disoroti oleh sosiologi hukum. Karakter keadilan substantif yang bertumpu pada ‘respon’ masyarakat, dengan indah membentuk penyelesaian permasalahan bersandar pada hukum yang ‘mendalami suara hati masyarakat.’ Artinya, hukum mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen bagi tercapainya keadilan substantif (Ridwan, 2008: 170).

Isi dari keadilan subtantif dalam putusan hakim, lebih lanjut dijelaskan oleh Luthan dan Syamsudin (2013: 67) sebagai berikut: keadilan

Page 37: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

22 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 18 - 33 Keadilan Prosedural dan Substantif dalam Putusan Sengketa Tanah Magersari (M. Syamsudin) | 23

substantif terkait dengan isi putusan hakim dalam mengadili suatu perkara, yang dibuat berdasarkan pertimbangan yang objektif , jujur, imparsial dan rasional (logis). Berdasarkan konsep tersebut, ada empat ciri untuk mengukur apakah putusan hakim mengandung keadilan substantif atau tidak, yaitu adanya objektivitas, kejujuran, imparsialitas, dan rasionalitas.

Istilah objektif sering dipertentangkan dengan istilah subjektif, di mana parameter objektif menggunakan kriteria eksternal yang bersifat rasional yang berada di luar diri orang yang memberi penilaian, sedangkan istilah subjektif menggunakan parameter internal yang terdapat dalam diri orang yang memberi penilaian, misalnya berdasarkan persepsi, berdasarkan asumsinya atau keyakinannya. Suatu keterangan atau pendapat atau informasi atau fakta dikualifikasikan objektif bila sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya tentang objek tersebut.

Dalam penelitian, suatu putusan hakim dikualifikasikan bersifat objektif bila informasi, keterangan, fakta atau bukti yang dijadikan dasar untuk membuktikan kesalahan terdakwa/tergugat adalah informasi, keterangan, fakta atau bukti yang sesungguhnya dan bukti yang benar. Parameter objektif itu dilihat dari empat hal, yaitu (i) terdakwa/tergugat terbukti melakukan perbuatan/tindak pidana dengan didukung alasan yang kuat; (ii) pernyataan terdakwa/tergugat terbukti melakukan tindak pidana/perbuatan yang melawan hukum didukung oleh dua alat bukti; (iii) kualitas pertimbangan hakim dalam menyimpulkan terdakwa/tergugat terbukti melakukan tindak pidana/perbuatan melawan hukum sekurang-kurangnya dengan nilai cukup; dan (iv) kualitas argumentasi hakim dalam membuktikan tindak pidana/perbuatan melawan

hukum yang dilakukan terdakwa/tergugat dengan nilai cukup.

Parameter kedua dari keadilan substantif adalah pertimbangan yang jujur. Jujur atau kejujuran berarti adanya korelasi antara keberadaan (esensi atau sifat atau identitas atau kualitas yang melekat atau dimiliki sesuatu hal sesuai dengan pernyataan mengenai keberadaan atau sifat identitas atau kualitas mengenai sesuatu hal tersebut). Misalnya keberadaan atau sifat atau identitas atau kualitas suatu informasi bersesuaian dengan pernyataan mengenai keberadaan atau sifat atau identitas informasi tersebut. Informasi atau keterangan yang salah dinyatakan sebagai informasi atau keterangan yang salah, informasi atau keterangan yang benar dinyatakan sebagai informasi atau keterangan yang benar.

Indikator pertimbangan yang jujur diukur dari: (i) adanya kesesuaian antara keberadaan fakta-fakta yang diterangkan saksi-saksi dan terdakwa atau terdakwa-terdakwa atau tergugat di persidangan dengan keterangan fakta-fakta yang disimpulkan hakim sebagai fakta yang benar; (ii) adanya kesesuaian antara fakta dalam persidangan dan fakta dalam putusan; dan (iii) sikap kejujuran hakim dalam membuktikan unsur-unsur tindak pidana/perbuatan yang didakwakan/digugat kepada terdakwa/tergugat dan dalam membuktikan kesalahan terdakwa/tergugat bernilai cukup.

Parameter ketiga dari keadilan substantif adalah pertimbangan imparsialitas. Imparsial yang berasal dari kata impartial dalam arti leksikal ditempatkan sebagai lawan kata dari partial (memihak), bias (condong), dan prejudice (prasangka). Secara konseptual imparsial dapat dikonsepsikan sebagai sikap atau tindakan yang tidak memihak bila menghadapi dua hal yang

Page 38: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

24 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 18 - 33

berbeda atau dua kepentingan yang bertolak belakang. Imparsial dapat juga dikonsepsikan sebagai sikap atau tindakan memperlakukan segala sesuatu secara sama, tanpa membeda-bedakan (diskriminasi), atau tanpa mengistimewakan (priviligasi).

Putusan hakim dalam mengadili suatu perkara dikualifikasikan bersifat imparsial apabila dalam memutuskan perbuatan yang didakwakan/digugat kepada terdakwa/tergugat dan memutuskan kesalahan terdakwa/tergugat apakah terbukti atau tidak hakim bersikap tidak memihak di antara pihak yang berkonflik, yaitu antara negara atau masyarakat yang direpresentasikan oleh jaksa dan terdakwa /tergugat yang diduga melakukan tindak pidana/perbuatan melawan hukum. Walaupun misalnya jaksa dalam persidangan peradilan pidana mewakili kepentingan negara atau masyarakat (kepentingan publik) sedangkan terdakwa mewakili dan memperjuangkan kepentingan pribadinya. Walaupun hakim harus bersikap imparsial atau tidak memihak, tapi dia harus berpihak kepada kebenaran, informasi yang benar, keterangan yang benar, fakta yang benar, alat bukti yang benar, dan ketentuan hukum yang benar.

Parameter pertimbangan imparsial diukur dari (i) bobot uraian keterangan saksi atau saksi-saksi a charge proporsional dengan uraian keterangan terdakwa/tergugat dan keterangan saksi-saksi a de charge; (ii) dalam membuktikan unsur-unsur tindak pidana/perbuatan hakim mempertimbangkan keterangan terdakwa/tergugat dan keterangan saksi a decharge; (iii) dalam membuktikan unsur-unsur tidak pidana/perbuatan yang dilakukan terdakwa/tergugat dan kesalahan terdakwa/tergugat hakim mempertimbangkan pembelaan penasihat hukum

dan atau pembelaan terdakwa/tergugat, dan sikap imparsialitas hakim tergambar dalam pembuktian unsur-unsur tindak pidana/perbuatan melawan hukum tergugat dan kesalahan terdakwa/tergugat.

Parameter keempat dari keadilan substantif adalah pertimbangan yang rasional yang melahirkan putusan yang rasional dan logis. Rasional artinya sesuai dengan nalar atau dapat diterima oleh akal sehat, dan logis artinya sesuai dengan logika dan hukum-hukum logika. Indikator parameter rasional diukur dari (i) kualitas pemikiran hukum hakim yang runtut dan logis; (ii) kualitas penalaran hukum hakim dalam memberikan argumentasi yang minimal bernilai cukup; dan (iii) tingkat kemudahan memahami pemikiran hakim dan argumentasinya.

Dalam konteks putusan pengadilan tentang sengketa tanah magersari di Yogyakarta, hakim berkewajiban untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat (Pasal 5 UU No. 48/2009 jo. Pasal 27 ayat (1) UU No. 14/1970). Nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tersebut tentunya dapat digali dari sumber-sumber hukum yang berlaku secara faktual di masyarakat, seperti hukum adat.

Dalam hukum adat di Yogyakarta yang terkait dengan tanah, dikenal adanya lembaga ngindung dan/atau magersari. Sebutan ngindung lazimnya diperuntukan dan dikaitkan dengan tanah-tanah yang titel haknya dimiliki oleh masyarakat pada umumnya. Di sisi lain sebutan magersari diperuntukan dan dikaitkan dengan pengertian khusus untuk tanah pekarangan yang titel haknya dimiliki oleh Keraton Yogyakarta dan antara orang dengan tanah tersebut terdapat ikatan yang bersifat historik (Pasal 1 Keputusan Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Harto Kriyo Nomor

Page 39: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

24 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 18 - 33 Keadilan Prosedural dan Substantif dalam Putusan Sengketa Tanah Magersari (M. Syamsudin) | 25

29/W&Kl/1981).

Walaupun UUPA telah diberlakukan secara penuh di DIY sejak tahun 1984, namun pengaruh latar belakang sejarah atas penguasaan tanah dengan status hak ngindung dan magersari masih berlangsung terus sampai sekarang. Dalam perkembangannya sekarang ini, Kumoro menjelaskan bahwa hak ngindung atau magersari atas tanah menampakkan diri dengan karakteristik sebagai berikut:

1. Hak ngindung atas tanah pada dasarnya lahir dari suatu hubungan hukum atau perjanjian yang sepihak yakni hanya meletakkan beban kewajiban pada salah satu pihak saja. Hak ngindung atas tanah terjadi pada saat izin atau perkenan untuk mendirikan dan memiliki bangunan rumah diberikan oleh pihak pemilik tanah. Ditinjau dari hukum perdata barat, hak ngindung atas tanah dapat digolongkan pada perjanjian cuma-cuma, karena keuntungan atau manfaat dari hubungan ngindung hanya dapat dirasakan oleh salah satu pihak saja yaitu pihak pengindung.

2. Hubungan hukum yang melahirkan hak ngindung atas tanah pada dasarnya hanya mengikat pihak pemilik tanah dan pengindung saja. Oleh karenanya ahli waris pengindung yang meneruskan hak ngindung tanpa sepengetahuan dan seizin pemilik tanah dapat dikualifikasi sebagai telah melakukan perbuatan menempati atau menggunakan tanah milik orang lain tanpa hak. Atas dasar itu maka orang yang bersangkutan dapat digugat sebagai telah melakukan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad).

3. Sejalan dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk mengadakan perubahan-perubahan guna menyesuaikan diri dengan

perkembangan yang terjadi, hubungan hukum yang melahirkan hak ngindung atas tanah yang pada mulanya disandarkan pada hubungan batih (kekeluargaan) bergeser ke arah hubungan yang bersifat pamrih. Hal ini ditandai dengan adanya kewajiban memberikan pembayaran tetap untuk setiap bulan atau tahun yang lazim disebut dengan istilah uang sewa atau uang penanggalan (Kumoro, 1996: 115-116).

Sebenarnya proses terjadinya hubungan ngindung atau magersari di atas tanah milik Keraton Yogyakarta telah diatur dalam Surat Keputusan Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarto Kriyo Keraton Ngayogyakarta No. 29/W 7K/1981. Dalam Pasal 2 disebutkan, bahwa hak ngindung diberikan kepada mereka yang menempati/menggunakan tanah Keraton Ngayogyakarta dan kemudian dibuat suatu perjanjian dengan membayar uang sewa setinggi-tingginya 3% x harga tanah setiap tahun. Sementara itu hubungan ngindung di atas tanah milik perorangan pada umumnya hanya didasarkan pada kesepakatan lisan atau tidak tertulis. Hal ini berakibat pada ketidakjelasan mengenai ketentuan-ketentuan yang menyertai timbulnya atau terjadinya hubungan hukum antara pengindung dengan pemilik tanah.

Terkait dengan ngindung atau magersari ini, pihak Keraton telah menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh siapa saja yang menempati atau menggunakan tanah Keraton Ngayogyakarta dalam status sebagai pengindung atau pemagersari. Syarat-syarat tersebut tertuang dalam suatu naskah surat perjanjian yang diterbitkan oleh Kantor Panitikismo dengan menggunakan Bahasa Jawa sebagai berikut:

1. Samangsa pekarangan kagungan

Page 40: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

26 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 18 - 33

Dalem ingkang kula engeni wau wonten karsa Dalem bade kagem kula inggih nyumanggaaken, boten bade damel angel punapa-punapa, namun nyuwun paring Dalem kerugian (1/3) sapara tiganipun pengaosing griya miturut tapsiran, sarta nyuwun inah tumrap bede pindah kula saking ngriki lami-laminipun (3) tigang wulan kapetang wiwit titimangsa serat dawuh. (Sewaktu pekarangan kepunyaan Sultan yang saya tempati tadi akan dipergunakan Sultan, saya akan mengikuti dan tidak akan mempersulit, akan tetapi saya mohon ganti kerugian sepertiganya (1/3) harga rumah sesuai perkiraan harga, dan minta waktu kurang lebih tiga bulan dimulai surat ini diberlakukan);

2. Tumrap tetaneman kula piyambak ingkang kula tanem wonten ngriku boten bade nyuwun kerugian punapa-punapa. (Untuk tanaman yang saya tanam di tanah tersebut, saya tidak akan meminta ganti kerugian);

3. Boten kenging ngrisak utawi unduh-unduh kerangkitri ing pekarangan kagungan Dalem ingkang kula enggeni, kajawi sampun angsal izin Dalem mawi serat. (Dilarang merusak atau memetik hasil tanaman di pekarangan tanah kepunyaan Sultan yang saya tempati, kecuali sudah ada izin dengan surat);

4. Boten kenging: ngewahi wewangunaning griya punapa dene ngedeaken griya enggal sakderengipun angsal izin Dalem mawi serat, angliyaraken wewenang dados magersari dateng tiyang sanes sarta sade griya tanpo izin Dalem mawi serat. (Dilarang mengubah bentuk rumah dan menambah bangunan baru sebelum ada

izin dari Sultan dengan surat, mengalihkan hak magersari pada orang lain dan juga menjualnya tanpa surat izin dari Sultan);

5. Samangsa bade andadosi griya ingkang risak langung rumiyin kedah ngawuningaken angsal izin Dalem mawi serat boten kenging miyagah lajeng andadosi sakajeng kula piyambak. (Sewaktu akan memperbaiki rumah yang rusak harus mendapat izin terlebih dahulu dari Sultan dengan surat dan tidak boleh memperbaiki sekehendak sendiri);

6. Kedah anjagi tata tentreming pekarangan ingkang kula anggeni, awit saking punika mila boten kenging damel reroyoman ingkang tumuju dateng reresah. (Harus menjaga ketentraman pekarangan yang saya tempati, dan tidak boleh berbuat kegaduhan);

7. Pangindung menawi nrajang (nyulayani) prajanjian kasebat salah satunggal, menawi wonten dawuh Dalem andikakaken kesah, inggih kedah kesah boten mawi nyuwun kerugian punapa-punapa. (Pengindung apabila mengingkari janji dari salah satu butir dalam surat ini, dan diminta meninggalkan pekarangan oleh Sultan, maka tidak akan mendapatkan ganti kerugian apapun);

8. Menawi wonten dawuh Dalem Ngewahi tatananing magersari, kulo inggih sagah angestoaken. (Jika ada perubahan perjanjian ini, saya juga akan mengikutinya);

9. Kula sagah bayar arta penanggalan ing saben wulanipun Rp........., (Saya sanggup membayar uang “penanggalan” setiap bulan Rp….);

Page 41: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

26 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 18 - 33 Keadilan Prosedural dan Substantif dalam Putusan Sengketa Tanah Magersari (M. Syamsudin) | 27

10. Menawi ladosan arta penanggalan ngantos kasep tigang wulan dumuginipun pitung wulan mboten ngadosi, menawi wonten dawuh Dalem andikaaken kesah inggih kedah kesah boten mawi nyuwun kerugian punapa-punapa. (Jika pembayaran terlambat dari tiga bulan sampai dengan tujuh bulan, jika Sultan meminta meninggalkan pekarangan tersebut, maka harus meninggalkan tanpa adanya ganti kerugian);

11. Samangsa kula tilar donyo, waris supados ngawuningaken ing Ngarsa Dalem. (Jika saya meninggal dunia, maka ahli waris supaya memberitahukan ke Sultan);

12. Yen salebetipun (1) satunggal tahun kepetang saking titimangsa serat izin siti gaduhanipun wau boten dipun degi griya, siti wau kaanggep kundur, hak anggaduh lajeng sampun lebur. (Jika dalam waktu satu tahun terhitung dari pemberlakuan surat ini, kemudian tidak didirikan rumah, maka tanah tersebut dianggap kembali ke Sultan, dan haknya hapus) (Syamsudin, 2012: 10)

Berdasarkan ugeran yang ditetapkan oleh keraton tersebut dapat dipahami bahwa hak ngindung dan/atau magersari atas tanah pada hakikatnya adalah hak menumpang bangunan rumah di atas tanah milik orang lain. Ini dapat dimaknai bahwa hak ngindung atas tanah tersebut bersifat sementara. Oleh karena itu wajar bahwa pemilik tanah mensyaratkan agar bangunan rumah milik pengindung tidak berbentuk permanen. Ini dimaksudkan jika sewaktu-waktu pengindung harus memindahkan bangunan rumah miliknya berhubung tanah tersebut akan digunakan sendiri oleh pemiliknya atau ahli warisnya, maka

tidak kesulitan untuk membongkarnya. Sifat sementara atas hak ngindung atas tanah ini yang seringkali kurang disadari oleh para pengindung. Tidak jarang dijumpai pengindung yang setelah beberapa lama mendiami atau tinggal di atas tanah milik orang lain itu bukannya kemudian berusaha mencari tanah pekarangan yang dapat dimilikinya sendiri, malahan justru sedikit demi sedikit berusaha memperbaiki rumah miliknya itu, bahkan ada juga yang mengarah kepada bentuk yang lebih permanen (Kumoro, 1996).

IV. ANALISIS

Analisis yang dimaksud di sini adalah kegiatan penelaahan dan interpretasi atas fakta-fakta hukum dikaitkan dengan bahan-bahan hukum yang relevan. Penelaahan dan interpretasi ini didasarkan pada isu atau masalah hukum yang telah diajukan untuk dicari pemecahannya atau penyelesaiannya dari segi hukumnya. Bahan-bahan hukum tersebut berfungsi sebagai patokan dan dasar yang dipergunakan untuk menilai fakta-fakta hukum yang ada, sehingga akan dapat ditemukan jawabannya dari pertanyaan hukum yang diajukan. Jika isu atau masalah hukum itu sudah dapat ditemukan hukumnya, berarti masalah hukum itu sudah terpecahkan atau sudah terjawab (Syamsudin, 2008: 40).

Analisis pada kajian ini lebih ditekankan untuk menggali isi dari putusan hakim terkait dengan keadilan prosedural dan substantif yang terdapat dalam putusan hakim. Secara konseptual, untuk kebutuhan analisis didasarkan pada parameter-parameter keadilan seperti pada Tabel 1.

Hasil kajian terhadap putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 74/PDT.G/2009/PN.YK yang mengacu pada lima parameter keadilan prosedural dapat dipaparkan bahwa

Page 42: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

28 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 18 - 33

Tabel 1. Parameter Keadilan Substantif dan Prosedural pada Putusan Pengadilan dalam Perkara Perdata

Keadilan Substantif Keadilan Prosedural

• Asumsi dasar: • Keadilan substantif adalah keadilan yang terkait

dengan isi putusan hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang harus dibuat berdasarkan pertimbangan rasionalitas, kejujuran, objektivitas, tidak memihak (imparsiality), tanpa diskriminasi dan berdasarkan hati nurani (keyakinan hakim).

• Hasil pengukuran: • Jika hasil pengukuran nilainya positif, maka

dianggap memenuhi keadilan substantif, sebaliknya jika hasil pengukuran nilainya negatif tidak ada keadilan substantif.

• Asumsi dasar: • Keadilan prosedural adalah keadilan yang

terkait dengan perlindungan hak-hak hukum para pihak penggugat/tergugat/pihak yang berkepentingan ) dalam setiap tahapan proses acara di pengadilan.

• Hasil pengukuran: • Jika hasil pengukuran nilainya positif, maka

dianggap terdapat keadilan prosedural, sebaliknya jika hasil pengukuran nilainya negatif maka tidak ada keadilan prosedural.

Penjabarannya: Penjabarannya:

1. Apakah hakim menggunakan yurisprudensi sebagai dasar pertimbangan?

2. Apakah hakim menggunakan sumber hukum berupa doktrin sebagai dasar pertimbangan?

3. Apakah putusan hakim menggunakan sumber berupa nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, yaitu berupa hukum adat, hukum lokal, dan/atau kebiasaan?

4. Apakah amar putusan hakim merupakan kesimpulan yang logis terkait dengan fakta dan hukum?

5. Apakah konklusi dalam putusan hakim ini sudah runtut dan sistematis yang didukung oleh pertimbangan fakta dan hukum, sehingga tidak ada konklusi yang dipaksakan?

6. Dalam menetapkan amar putusan, apakah teridentifikasikan adanya pertimbangan faktor-faktor non-yuridis (psikologis, sosial, ekonomi, edukatif, lingkungan, religius)?

1. Apakah putusan hakim sudah memuat hal-hal yang harus ada dalam suatu putusan pengadilan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 dan Pasal 184 HIR/195 RBG?

2. Apakah putusan hakim sudah mencermati alat-alat bukti yang sah sesuai dengan Pasal 164, 153, dan 154 HIR atau 284, 180, dan 181 RBG, yang digunakan di dalam memutuskan perkara?

3. Apakah penerapan hukum pembuktian sesuai dengan perjanjian/undang-undang, doktrin dan/atau yurisprudensi?

4. Apakah hakim sudah memuat secara proporsional antara argumen penggugat dan tergugat di dalam pertimbangannya?

5. Apakah hari/tanggal dilakukan musyawarah majelis hakim PN (dalam pengambilan keputusan) berbeda dengan hari/tanggal putusan diucapkan?

Sumber: Diadopsi dari Term of Reference Penelitian Putusan Hakim Komisi Yudisial RI 2012, dengan penyederhanaan seperlunya berdasarkan teori-teori keadilan subtantif dan prosedural.

Page 43: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

28 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 18 - 33 Keadilan Prosedural dan Substantif dalam Putusan Sengketa Tanah Magersari (M. Syamsudin) | 29

putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 74/PDT.G/2009/PN.YK sudah mencerminkan keadilan prosedural, karena semua parameter yang ditetapkan sudah dipenuhi oleh majelis hakim. Hal tersebut ditunjukkan pada Tabel 2.

Sementara itu untuk pengukuran enam parameter keadilan subtantif dalam putusan dapat dipaparkan hasilnya sebagaimana pada Tabel 3.

Berdasarkan pada tabel tersebut dapat diketahui bahwa tidak semua parameter yang dijadikan dasar untuk menganalisis putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 74/

PDT.G/2009/PN.YK dapat terpenuhi. Berdasarkan enam parameter yang ditetapkan terdapat tiga parameter yang ditemukan dalam putusan dan tiga parameter lain tidak ditemukan dalam putusan. Tiga parameter yang tidak ditemukan dalam putusan yaitu:

1. Tidak adanya yurisprudensi yang dijadikan acuan majelis hakim dalam membuat pertimbangan hukum;

2. Tidak adanya doktrin atau teori-teori hukum yang dijadikan referensi dalam menyusun pertimbangan hukum;

Tabel 2. Hasil Pengukuran Keadilan Prosedural pada Putusan PN Yogyakarta Tentang Sengketa Tanah Magersari

Parameter Temuan dalam Isi Putusan

1. Apakah putusan hakim sudah memuat hal-hal yang harus ada dalam suatu putusan pengadilan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 dan Pasal 184 HIR/195 RBG?

1. Majelis hakim sudah memuat hal-hal yang harus ada dalam suatu putusan pengadilan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 dan Pasal 184 HIR/195 RBG;

2. Apakah putusan hakim sudah mencermati alat-alat bukti yang sah sesuai dengan Pasal 164, 153, dan 154 HIR atau 284, 180, dan 181 RBG, yang digunakan di dalam memutuskan perkara?

2. Majelis hakim sudah mencermati alat-alat bukti yang sah sesuai dengan Pasal 164, 153, dan 154 HIR atau 284, 180, dan 181 RBG, yang digunakan di dalam memutuskan perkara;

3. Apakah penerapan hukum pembuktian sesuai dengan perjanjian/undang-undang, doktrin dan/atau yurisprudensi?

3. Majelis hakim sudah menerapkan hukum pembuktian;

4. Apakah hakim sudah memuat secara proporsional antara argumen penggugat dan tergugat di dalam pertimbangannya?

4. Majelis hakim sudah memuat secara proporsional antara argumen penggugat dan tergugat di dalam pertimbangannya;

5. Apakah hari/tanggal dilakukan musyawarah majelis hakim PN (dalam pengambilan keputusan) berbeda dengan hari/tanggal putusan diucapkan?

5. Hari/tanggal dilakukan musyawarah majelis hakim PN (dalam pengambilan keputusan) berbeda dengan hari/tanggal putusan diucapkan.

Page 44: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

30 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 18 - 33

Tabel 3. Hasil Pengukuran Keadilan Substantif pada Putusan PN Yogyakarta Tentang Sengketa Tanah Magersari

Parameter Temuan dalam Isi Putusan

1. Fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan.

1. Terbukti bahwa tanah sengketa seluas 124 m2 adalah milik Keraton Yogyakarta;

2. Terbukti bahwa penggugat adalah sebagai penyewa yang mempunyai hak pakai/magersari dengan bukti antara lain adanya surat perjanjian pinjam pakai antara KGPH HW a.n. Sultan HB IX dengan penggugat (CA) yang diperkuat dengan keterangan para saksi;

3. Terbukti bahwa tergugat mengakui sudah menguasai dan menempati tanah sengketa selama bertahun-tahun akan tetapi tidak mempuyai surat izin dari keraton dan tidak ada upaya untuk mendapatkan izin dari keraton;

4. Terbukti bahwa penggugat sudah berupaya menyelesaikan sengketa tanah tersebut dengan musyawarah dengan para tergugat dengan bukti-bukti dari pengakuan para saksi.

2. Dasar hukum yang digunakan. 2. Tergugat dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum (pmh) akan tetapi tidak disebut pasalnya.

3. Ada tidaknya yurisprudensi yang dijadikan acuan.

3. Tidak ada dasar yurisprudensi yang diacu oleh majelis hakim dalam membuat pertimbangan hukum.

4. Ada tidaknya doktrin atau teori-teori hukum yang dijadikan referensi.

4. Tidak ada doktrin atau teori yang dijadikan dasar pertimbangan hukum oleh majelis hakim.

5. Ada tidaknya hakim menggali nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat.

5. Tidak ditemukan mejelis hakim menggali nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat dalam membuat pertimbangan hukum.

6. Logis tidaknya dasar pertimbangan dengan putusan yang dijatuhkan.

6. Pertimbangan hukum sudah menunjukkan hal yang logis dikaitkan dengan putusan yakni majelis hakim berhasil membuktikan kebenaran dalil gugatan oleh penggugat dan membuktikan ketidakbenaran eksepsi dari tergugat sehingga putusannya mengabulkan gugatan penggugat dan menghukum para tergugat.

Page 45: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

30 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 18 - 33 Keadilan Prosedural dan Substantif dalam Putusan Sengketa Tanah Magersari (M. Syamsudin) | 31

3. Hakim tidak menggali nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat.

Terkait dengan kedudukan yurisprudensi dalam putusan hakim di Indonesia, khususnya yang memutuskan tentang sengketa magersari atau ngindung sudah ada Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 778 K/Pdt/1989. Yurisprudensi ini selayaknya menjadi dasar dan referensi hakim dalam memutuskan perkara magersari tersebut meskipun permasalahannya berbeda. Hal ini penting untuk memperkaya pengetahuan dan informasi majelis hakim dalam proses pengambilan putusan dalam rangka memperkuat argumentasi dan dasar pembenar hakim dalam menyusun pertimbangan hukumnya. Meskipun memang dalam sistem hukum Indonesia yang mengikuti sistem hukum sipil seperti di Belanda posisi yurisprudensi tidak mengikat hakim dalam memutuskan perkara, tidak seperti pada sistem hukum di Inggris atau Amerika.

Menurut Mertokusumo (1986: 93) dalam sistem Anglo Saxon putusan pengadilan (yurisprudensi) itu bersifat ‘binding precedent,’ sebaliknya di dalam sistem Kontinental putusan pengadilan itu bersifat ‘persuasive precendent,’ artinya tidak mempunyai kekuatan mengikat tetapi kekuatan yang meyakinkan. Akan tetapi sejak abad ke-19 kedua sistem tersebut saling bertemu dan pada saat sekarang ini batas yang tajam antara keduanya dapat dikatakan tidak ada lagi. Di Indonesia sendiri tidak lagi dapat dikatakan bahwa secara mutlak hakim tidak terikat pada yurisprudensi, demikian sebaliknya di negara-negara Anglo Saxon tidak lagi dapat dikatakan bahwa hakim terikat sepenuhnya pada yurisprudensi. Doktrin atau teori-teori hukum juga mempunyai arti penting bagi hakim dalam menyusun pertimbangan-pertimbangan hukum

terkait dengan landasan teori atau keilmuannya. Dengan acuan teori atau doktrin hukum yang kuat maka pertimbangan hukum hakim memperoleh dasar pembenar dari segi keilmuan hukum.

Landasan teori atau doktrin tentang tanah magersari atau ngindung sebagaimana diuraikan pada bagian landasan teori dalam tulisan ini selayaknya dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim PN Yogyakarta dalam membuat dasar pertimbangan dalam putusan hakim. Tanpa landasan teori atau doktrin dalam membuat pertimbangan hukum, maka isi putusan hakim menjadi kering dan jauh dari dasar pembenar dari segi keilmuan hukum. Jika demikian adanya maka putusan tersebut pertanggungjawaban isinya jauh dari kebenaran hukum. Sebagaimana kita ketahui bahwa doktrin atau teori-teori dalam keilmuan hukum merupakan sumber informasi untuk menggali kebenaran-kebenaran hukum.

Penggalian nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat menjadi kewajiban hakim dalam menyusun dasar pertimbangan. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ditentukan bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti,dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (jo. Pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970).

Dengan konstruksi norma hukum sebagaimana terdapat pada Pasal 5 ayat (1) tersebut, maka konsekuensinya hakim yang memutuskan perkara tidak menggali nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat maka dapat dikenai sanksi. Namun demikian kelemahan undang-undang tersebut tidak mengatur tentang sanksi bagi hakim yang tidak melakukan penggalian nilai-nilai yang hidup tersebut, sehingga pasal tersebut tidak berlaku efektif.

Page 46: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

32 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 18 - 33

Dengan tidak adanya atau tidak ditemukannya yurisprudensi, doktrin dan penggalian nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat dalam putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 74/PDT.G/2009/PN.YK dalam menyelesaikan sengketa tanah magersari, maka dapat dikatakan bahwa putusan tersebut kurang mencerminkan sebuah standar putusan yang baik dan komprehensif dari segi subtansinya. Ini berkonsekuensi pada pertimbangan-pertimbangan yang dibuat oleh majelis hakim kurang mendapatkan landasan yang kuat dari segi dasar yurisprudensi yang menjadi kekuatan meyakinkan hakim, dasar teori atau doktrin hukum yang banyak memberikan informasi tentang kebenaran keilmuan hukum dan dasar sosiologis tentang nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat yang mendukung dasar pertimbangan hakim.

V. SIMPULAN

Berdasarkan permasalahan dan hasil analisis terhadap isi putusan, dapat disimpulkan bahwa putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 74/PDT.G/2009/PN.YK sudah mencerminkan keadilan prosedural, karena sudah memuat:

1. Hal-hal yang harus ada dalam suatu putusan pengadilan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 dan Pasal 184 HIR/195 RBG;

2. Sudah mencermati alat-alat bukti yang sah sesuai dengan Pasal 164, 153, dan 154 HIR atau 284, 180, dan 181 RBG, yang digunakan di dalam memutuskan perkara;

3. Hakim sudah menerapkan hukum pembuktian;

4. Hakim sudah memuat secara proporsional

antara argumen penggugat dan tergugat di dalam pertimbangannya; dan

5. Hari/tanggal dilakukan musyawarah majelis hakim PN (dalam pengambilan keputusan) berbeda dengan hari/tanggal putusan diucapkan.

Akan tetapi jika dikaji dari aspek keadilan substansial putusan tersebut belum sepenuhnya mencerminkan keadilan substantif dilihat dari aspek-aspek sebagai berikut:

1. Tidak ada dasar yurisprudensi yang diacu oleh hakim dalam membuat pertimbangan hukum;

2. Tidak ada doktrin atau teori yang dijadikan dasar pertimbangan hukum oleh majelis hakim;

3. Tidak ditemukan mejelis hakim menggali nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat.

Dengan tidak adanya yurisprudensi, doktrin dan penggalian nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat dalam putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta tersebut dalam menyelesaikan sengketa tanah magersari, maka dapat dikatakan bahwa putusan tersebut kurang mencerminkan sebuah standar putusan yang baik dan komprehensif dari segi substansinya. Ini berkonsekuensi pada pertimbangan-pertimbangan yang dibuat oleh majelis hakim kurang mendapatkan landasan yang kuat dari segi dasar yurisprudensi yang menjadi kekuatan meyakinkan hakim, dasar teori atau doktrin hukum yang banyak memberikan informasi tentang kebenaran keilmuan hukum dan dasar sosiologis tentang nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat yang mendukung dasar pertimbangan hakim.

Page 47: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

32 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 18 - 33 Keadilan Prosedural dan Substantif dalam Putusan Sengketa Tanah Magersari (M. Syamsudin) | 33

DAfTAR PUSTAKA

Ali, Ahmad. 1996. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis). Jakarta: Chandra Pratama.

Alkostar, Artidjo. 2009. “Peran dan Upaya Mahkamah Agung dalam Menjaga dan Menerapkan Hukum yang Berkepastian Hukum, Berkeadilan dan Konsisten melalui Putusan-Putusan MA.” Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional PROSPEK POLITIK PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA: Pemberdayaan Peran Institusi Penegakan Hukum dan HAM dalam Menjunjung Tinggi Peradilan Bermartabat, Berwibawa, dan Berkeadilan oleh Center for Local Law Development Studies UII di Auditorium UII Lt. 3, Jl Cik Dik Tiro No. 1 Yogyakarta, Sabtu, 7 Maret 2009.

Bzn, Ter Haar. 1959. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. Terjemahan K.Ng.Soebekti Poesponoto. Jakarta: Pradnya Paramita.

Darmodiharjo, Darji & Shidarta. 2004. Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Keputusan Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Harto Kriyo Nomor 29/W&Kl/1981.

Komisi Yudisial Republik Indonesia. 2012. “Term of Reference Penelitian Putusan Hakim 2012.”

Kumoro, Endro. 1996. “Aspek-Aspek Hukum Hak Ngindung atas Tanah di Kotamadya Yogyakarta.” Tesis Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya.

Luthan, Salman & Muhamad Syamsudin. 2013. “Kajian Putusan-Putusan Hakim untuk Menggali Keadilan Substantif dan Prosedural”. Laporan Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi 2013. Direktorat Penelitian Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

Mertokusumo, Sudikno. 1986. Mengenal Hukum. Ctk pertama. Yogyakarta: Liberty.

___________________. 1990. “Pendidikan Hukum di Indonesia dalam Sorotan.” Kompas. 7 Nopember 1990.

Ridwan. 2008. “Mewujudkan Karakter Hukum Progresif dari Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik Solusi Pencarian dan Penemuan Keadilan Substantif.” Jurnal Hukum Pro Justicia Vol. 26 No.2.

Shidarta. 2004. Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan. Bandung: CV. Utama.

Syamsudin, Muhamad. 2008. Mahir Menulis Legal Memorandum. Ctk ke-2. Jakarta: Prenada Media Group.

__________________. 2012. “NGINDUNG & MAGERSARI: A Harmonization of Local Law Dealing with State Law and Shifting Meaning in Jogjakarta.” Proceding on THE 4th INTERNATIONAL GRADUATE STUDENT CONFERENCE ON INDONESIA INDIGENOUS COMMUNITIES AND “THE PROJECT OF MODERNITY” OCTOBER 30-31, 2012. Organized by: Graduate School, Gadjah Mada University.

Umar, Sholehudin. 2011. Hukum & Keadilan Masyarakat. Malang: Setara Press.

Page 48: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

34 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 34 - 52

ABSTRAK

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 65/PUU-VIII/2010 memberikan interpretasi baru mengenai saksi dalam KUHAP, yang mengakui saksi testimonium de auditu. Sejak saat ini putusan Mahkamah Konstitusi menjadi hukum yang mengikat semua orang. Walaupun demikian, tidak semua putusan Mahkamah Konstitusi diikuti oleh badan-badan peradilan tatkala mengadili kasus-kasus konkret, contohnya putusan sela dalam Perkara Nomor 884/Pid.B/2010/PN.Bdg yang tidak mempertimbangkan dan memutuskan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi. Padahal, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 seharusnya mengikat semua orang secara hukum.

Kata kunci: hak asasi, daya ikat, testimonium de auditu.

ABSTRACT

The Constitutional Court’s Decision Number 65/PUU-VIII/2010 has provided a new interpretation concerning witness matter in the Criminal Procedure Code, which is an admission to have testimonium de auditu. Yet, the judiciary does not seem to take heed of that decision of the Constitutional Court when prosecuting certain cases, for example, the interlocutory injunction of the Decision Number 884/Pid.B/2010/PN.Bdg which is not considered and decided based on it. Where in fact, the Constitutional Court’s Decision Number 65/PUU-VIII/2010 should be legally binding to everyone.

Keywords: human right, binding force, testimonium de auditu.

DAYA IKAT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG“TESTIMONIUM DE AUDITU” DALAM PERADILAN PIDANA

Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010

BINDING FORCE OF THE CONSTITUTIONAL COURT DECISION ON “TESTIMONIUM DE AUDITU” IN CRIMINAL JUDICIARY

Steven SuprantioMagister Hukum Bisnis Universitas Katolik Parahyangan

Jl. Merdeka No. 30 Bandung 40117Email: [email protected]

An Analysis of Constitutional Court’s Decision Number 65/PUU-VIII/2010

Diterima tgl 6 November 2013/Disetujui tgl 24 Maret 2014

Page 49: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

34 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 34 - 52 Daya Ikat Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang “Testimonium de Auditu” (Steven Suprantio) | 35

I. PENDAHULUAN

Mahkamah Konstitusi yang didirikan pada tahun 2003, merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka. Pembentukannya adalah amanat dari Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Tujuan dari pembentukan itu adalah sebagai check and balance dengan Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya serta dengan kekuasaan legislatif DPR dan eksekutif lembaga penyidik dan lembaga penuntut (Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2007: 113).

Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945 (Eddyono, 2010: 7). Kewenangan-kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur di dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a, b, c dan d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Terdapat empat kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diatur di dalam pasal tersebut, yaitu:

a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. Memutus pembubaran partai politik; dan

d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Menurut Jimly Asshiddiqie, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan the sole interpreter, pengawal konstitusi, penafsir

konstitusi, pengawal demokrasi, pelindung hak asasi manusia (Asshiddiqie, 2006: 152-153) dan perkara “impeachment” terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden (Asshiddiqie, 2012: 15).

Hingga saat ini, Mahkamah Konstitusi telah menghasilkan cukup banyak putusan yang berguna dan penting untuk tegaknya konstitusi. Salah satu putusan yang monumental yang pernah diputus adalah putusan Nomor 65/PUU-VIII/2010 mengenai pengujian Pasal 1 angka 26 dan angka 27 jo. Pasal 65 jo. Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) jo. Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Jika kita mencermati dengan baik bunyi dari amar putusan tersebut, maka majelis hakim Mahkamah Konstitusi dengan jelas memperluas makna saksi yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Perluasan makna itu disebabkan telah “diakuinya” saksi testimonium de auditu sebagai saksi.

Untuk membuat putusan seperti itu, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya mempertimbangkan soal “... konteks pembuktian sangkaan atau dakwaan apakah tersangka atau terdakwa melakukan atau terlibat perbuatan atau tindak pidana tertentu, pembuktian bahwa suatu tindak pidana adalah benar-benar terjadi atau tidak terjadi.” Sehubungan dengan itu, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa dalam konteks membuktikan tindak pidana adalah benar-benar terjadi atau tidak terjadi, peran saksi alibi menjadi penting, meskipun ia tidak mendengar sendiri, ia tidak meIihat sendiri, dan ia tidak mengalami sendiri adanya perbuatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa.

Page 50: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

36 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 34 - 52

Pengertian saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak meliputi saksi alibi dan secara umum mengingkari pula keberadaan jenis saksi lain yang dapat digolongkan sebagai saksi yang menguntungkan. Mahkamah Konstitusi berpendapat “arti penting saksi bukan terletak pada apakah dia melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana, melainkan pada relevansi kesaksiannya dengan perkara pidana yang sedang diproses.”

Terhadap ketentuan Pasal 65 jo. Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan “harus ditafsirkan dapat dilakukan tidak hanya dalam tahap persidangan di pengadilan, tetapi juga dalam tahap penyidikan. Penghilangan hak tersangka atau terdakwa untuk mengajukan (memanggil dan memeriksa) saksi dan/atau ahli yang menguntungkan bagi diri tersangka atau terdakwa pada tahap penyidikan, dan hanya memanggil saksi yang menguntungkan pada tahap pemeriksaan di muka pengadilan saja, merupakan pelanggaran terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.” Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya, memutuskan:

1. Menyatakan Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); serta Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 sepanjang pengertian saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209), tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri;”

2. Menyatakan Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); serta Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang pengertian saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209), tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010, menurut Pasal 10 Undang-

Page 51: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

36 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 34 - 52 Daya Ikat Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang “Testimonium de Auditu” (Steven Suprantio) | 37

Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengikat dan bersifat final. Dalam penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, merupakan putusan yang langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).

Dalam praktiknya putusan Mahkamah Konstitusi menimbulkan permasalahan, dikarenakan dalam peraturan perundang-undangan tidak terdapat ketentuan yang mengatur daya ikat putusan Mahkamah Konstitusi bagi setiap orang, dan tidak terdapat ketentuan yang mewajibkan Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya untuk mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi. Permasalahan ini tampak pada putusan sela Nomor 884/Pid.B/2012/PN.Bdg.

Kasus ini pada mulanya, HM alias S melakukan tindak pidana pencurian sepeda motor dengan menggunakan kekerasan. Sepeda motor tersebut kemudian ditaruh di lapangan (tempat parkir umum) di depan Rumah Singgah Yayasan Bina Sejahtera Indonesia (Yayasan Bahtera) yang bertempat di Jalan Citepus I RT 02/05 Kelurahan Pajajaran, Kecamatan Cicendo. Kunci kontak motor hasil curian tersebut diserahkan kepada warga setempat.

Beberapa waktu setelahnya kunci kontak tersebut diserahkan oleh warga setempat kepada HS alias D, yang tidak mengetahui kejahatan yang dilakukan oleh HM alias S. Atas perbuatannya tersebut HS alias D diduga oleh penyidik telah

melakukan tindak pidana penadahan (heling) yang diatur dalam Pasal 480 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pada saat diperiksa sebagai tersangka di hadapan penyidik, terdakwa melalui penasihat hukumnya mengajukan permohonan untuk menghadirkan saksi yang dapat memberikan keterangan yang menguntungkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 KUHAP jo. Pasal 116 ayat (3) jo. Pasal 116 ayat (4) KUHAP. Atas permohonan tersebut penyidik kemudian memberikan kesempatan kepada tim penasihat hukum dan tersangka untuk menghadirkan saksi yang dapat memberikan keterangan yang menguntungkan.

Saksi-saksi yang berupaya dihadirkan oleh tim penasihat hukum adalah saksi-saksi yang tidak melihat sendiri, tidak merasakan sendiri dan tidak mendengarkan sendiri (testimonium de auditu). Saksi-saksi tersebut memiliki relevansi karena dapat menerangkan HS alias D sedang berada di luar kota pada saat HM alias S menaruh motor di depan Rumah Singgah Yayasan Bina Sejahtera Indonesia (Yayasan Bahtera) yang bertempat di Jalan Citepus I RT 02/05 Kelurahan Pajajaran, Kecamatan Cicendo dan memberikan keterangan lapangan di depan rumah singgah dapat digunakan oleh siapa saja untuk parkir kendaraan bermotor.

Pada saat dihadirkan di hadapan penyidik, saksi-saksi yang dihadirkan tidak diperiksa dan tidak dibuat berita acara pemeriksaan (BAP). Tersangka dan tim penasihat hukum mengajukan keberatan (eksepsi) di persidangan, dikarenakan hak tersangka Pasal 65 KUHAP jo. Pasal 116 ayat (3) jo. Pasal 116 ayat (4) KUHAP tidak dipenuhi maka penyidikan tersebut menurut undang-undang adalah tidak sah, karena itu berita

Page 52: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

38 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 34 - 52

acara penyidikan yang dibuat penyidik mengenai para terdakwa adalah tidak sah dan tidak dapat dijadikan dasar oleh jaksa penuntut umum untuk menyusun dakwaannya, dengan akibat tuntutan jaksa penuntut umum harus dinyatakan tidak dapat diterima. Sebagai pertimbangan hukum tim penasihat hukum mengajukan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010.

Terhadap eksepsi tersebut majelis hakim dalam perkara a quo mempertimbangkan, eksepsi penasihat hukum telah memasuki pokok perkara dan dakwaan jaksa penuntut umum sudah memenuhi Pasal 143 ayat (2) KUHAP. Majelis hakim dalam perkara a quo putusan sela menjatuhkan putusan sela sebagai berikut:

1. Menolak eksepsi dari penasihat hukum terdakwa;

2. Melanjutkan pemeriksaan perkara ini berdasarkan surat dakwaan penuntut umum No. Reg Perkara PDM-797/BDUNG07/2012 tanggal 30 Juli 2013;

3. Menangguhkan biaya perkara sampai pada akhir putusan.

Majelis hakim dalam putusan sela sama sekali tidak mempertimbangkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 yang sudah berkekuatan hukum mengikat.

II. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penulis mengidentifikasi permasalahan, yaitu bagaimana daya ikat dan pengaruh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 dalam peradilan pidana? Atas jawaban terhadap pertanyaan ini, penulis mengajukan rekomendasi terkait upaya hukum

yang dapat dilakukan terhadap putusan Nomor 884/Pid.B/2012/PN.Bdg, yang dijadikan sebagai contoh kasus dalam kajian ini.

III. STUDI PUSTAKA A. Sejarah Singkat Mahkamah Konstitusi

dan Constitutional Review

Sejarah judicial review dimulai di dalam praktik peradilan Amerika Serikat pada tahun 1803 dalam kasus Marbury melawan Madison (Asshiddiqie, 2012: 2). Chief Justice John Marshal bersama empat orang hakim agung lainnya menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi (Gaffar, 2009: 3). William Marbury, pada saat-saat akhir sebelum pemerintahan Thomas Jefferson diangkat sebagai hakim tetapi ketika pemerintahan telah beralih kepada Thomas Jefferson, surat keputusannya tidak sempat diserahkan oleh pemerintah yang lama kepada pemerintah yang baru.

Marbury menggugat berdasar undang-undang tentang kekuasaan kehakiman (judiciary act) tahun 1789, Supreme Court sesungguhnya berhak mengeluarkan writ of mandamus yang memberi wewenang untuk memerintahkan agar surat keputusan pengangkatan tersebut diserahkan (Siahaan, 2010: 28). Marshall melihatnya sebagai kasus yang mengandung kesempatan unik untuk merebut kewenangan judicial review ketika publik melihat ke arah lain, dengan cara yang menentang bahaya Marshall bergerak ke arah lain dengan membatalkan judiciary act tersebut (Siahaan, 2010: 29).

Undang-Undang Dasar Amerika Serikat sendiri tidak mencantumkan judicial review (Gaffar, 2009: 3). Adapun keputusan tersebut merupakan keputusan yang penting dicatat

Page 53: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

38 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 34 - 52 Daya Ikat Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang “Testimonium de Auditu” (Steven Suprantio) | 39

dalam sejarah peradilan di Amerika dan di dunia. Semenjak putusan tersebut banyak undang-undang federal maupun undang-undang negara bagian yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh Supreme Court (Gaffar, 2009: 3).

Chief Justice John Marshall dalam pertimbangannya untuk memeriksa perkara Marbury melawan Madison, “... melalui kewenangan yang ditafsirkannya dari konstitusi”. Pertimbangan inilah kemudian yang berkembang menjadi pengertian Mahkamah Agung pada pokoknya merupakan lembaga pengawal konstitusi (the Guardian of the Constitution of the United States of America) yang bertanggung jawab menjamin agar norma dasar yang terkandung di dalamnya sungguh-sungguh ditaati dan dilaksanakan (Asshiddiqie, 2012: 4).

Menurut John Marshall dengan sendirinya, segala undang-undang buatan kongres, apabila bertentangan dengan konstitusi sebagai the supreme law of the land harus dinyatakan null and void. Kewenangan inilah yang kemudian dikenal sebagai doktrin judicial review sebagai sesuatu yang sama sekali baru dalam perkembangan sejarah hukum di Amerika Serikat sendiri dan juga di dunia (Asshiddiqie, 2012: 4).

Menurut Mahfud MD terdapat tiga alasan John Marshall mengambil tindakan tersebut, yaitu: pertama, hakim bersumpah untuk menjunjung tinggi konstitusi sehingga kalau ada undang-undang yang bertentangan dengannya maka hakim harus berani membatalkannya; kedua, konstitusi adalah the supreme law of the land sehingga harus ada lembaga pengujian terhadap peraturan yang di bawahnya agar konstitusi itu tidak diselewengkan; ketiga, hakim tidak boleh menolak perkara sehingga kalau ada yang meminta uji materi hakim harus

melakukannya (Isra et.al., 2010: 54).

Kewenangan judicial review juga tidak terlepas dari teori jenjang norma hukum dari Hans Nawiasky yang menyatakan bahwa ‘staatsfundamentalnorm’ (norma dasar negara) sebagai norma tertinggi yang harus menjadi acuan bagi norma-norma hukum yang berada di bawahnya. Permasalahan yang timbul adalah apabila norma atau undang-undang di bawah norma dasar bertentangan dengan staatsfundamentalnorm tersebut, sehingga harus dibentuk sebuah mekanisme tersendiri agar penyimpangan yang terjadi dapat diluruskan (Siahaan, 2010: 14).

Fungsi dari judicial review adalah untuk mengoreksi produk hukum di bawah staatsfundamentalnorm, produk perundang-undangan di bawah undang-undang dasar dan untuk mempertahankan objektivitas (Siahaan, 2010: 14).

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pertama kali diperkenalkan oleh Hans Kelsen. Menurutnya bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini produk badan legislatif tersebut tidak konstitusional. Menurut Hans Kelsen perlu dibentuk organ pengadilan khusus berupa constitutional court, atau pengawasan konstitusionalitas undang-undang yang dapat juga diberikan kepada pengadilan biasa. Pemikiran Kelsen mendorong Verfassungsgerichtshoft di Austria yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung. Verfassungsgerichtshoft di Austria merupakan Mahkamah Konstitusi pertama di

Page 54: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

40 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 34 - 52

dunia (Gaffar, 2009: 3-4).

Kelahiran Mahkamah Konstitusi di Indonesia merupakan buah pemikiran dari Mohammad Yamin dalam salah satu rapat BPUPKI, bahwa diperlukan lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa di bidang pelaksanaan konstitusi, lazim disebut constitutioneele geschilatau constitutional disputes. Mohammad Yamin menggagas perlunya Mahkamah Agung diberi wewenang membanding undang-undang (Gaffar, 2009: 4). Gagasan Yamin muncul kembali pada proses amandemen Undang-Undang Dasar 1945.

Gagasan membentuk Mahkamah Konstitusi mengemuka pada sidang kedua Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI (PAH I BP MPR) di bulan Maret hingga April tahun 2000 (Gaffar, 2009: 5). Terjadi perdebatan panjang, pembahasan mendalam, serta dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang di berbagai negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai pembentukan Mahkamah Konstitusi diakomodir dalam Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945. Hasil Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945 (Gaffar, 2009: 6)

B. Putusan Mahkamah Konstitusi Bersifat final, Mengikat, dan Erga Omnes

Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman menurut ketentuan Pasal 24 C ayat (1) berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap

Undang-Undang Dasar (Faqih, 2010: 114). Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki sifat putusannya yang unik, karena putusan bersifat final dan mengikat; dan putusan bersifat erga omnes.

Putusan bersifat final dan mengikat menurut penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dijelaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam undang-undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat.

Sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat berpengaruh sangat luas, oleh karena itu setiap putusannya haruslah didasari nilai-nilai filosofi dan mempunyai nilai kepastian hukum yang mengikat, yang bertengger nilai-nilai keadilan (Faqih, 2010: 114). Mahkamah Konstitusi mengemban tugas mulia untuk menjaga agar semua produk hukum di negara ini tidak boleh bertentangan dengan konstitusi, apalagi melanggar konstitusi (Mahfud MD, 2009: 7).

Putusan bersifat erga omnes berarti putusan Mahkamah Konstitusi yang mempunyai kekuatan mengikat yang berlaku bagi siapa saja, tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa (Fadel, 2012: 19). Menurut Bagir Manan, erga omnes adalah putusan yang akibat-akibatnya berlaku bagi semua perkara yang mengandung persamaan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang, jadi ketika peraturan perundang-undangan dinyatakan tidak sah karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau

Page 55: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

40 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 34 - 52 Daya Ikat Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang “Testimonium de Auditu” (Steven Suprantio) | 41

peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi, maka menjadi batal dan tidak sah untuk setiap orang (Aziz, 2010: 132-133).

Bagir Manan menjelaskan putusan erga omnes, dapat dianggap memasuki fungsi perundang-undangan (legislative function), hakim tidak lagi semata-mata menetapkan hukum untuk suatu peristiwa konkret tetapi hukum bagi peristiwa yang akan datang (abstract) dan ini mengandung unsur pembentukan hukum. Pembentukan hukum untuk peristiwa yang bersifat abstrak adalah fungsi perundang-undangan bukan fungsi peradilan (Aziz, 2010: 133). Putusan bersifat erga omnes adalah sebagai konsekuensi pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi merupakan peradilan pada ranah publik (Fadel, 2012: 19).

c. Saksi Testimonium de Auditu dalam Peradilan Pidana

Pasal 1 angka 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP menentukan keterangan saksi adalah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Pembentuk undang-undang menentukan secara limitative hanya saksi yang melihat, mendengar, dan mengalami yang merupakan alat bukti dalam perkara pidana.

Keterangan saksi di luar apa yang didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi atau di luar yang dilihat atau dialaminya dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan di luar pendengaran, penglihatan, atau pengalaman sendiri mengenai suatu peristiwa pidana yang terjadi, tidak dapat dijadikan dan

dinilai sebagai alat bukti (Harahap, 2008: 287). Pendapat yang sama dikemukakan oleh Ismujoko, bahwa keterangan saksi menyebutkan keterangan saksi yang tidak memenuhi kriteria Pasal 1 angka 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP tersebut, tidak mempunyai kekuatan sebagai alat bukti. Keterangan saksi seperti itu disebut “testimonium de auditu” (Ismujoko, 1997: 1).

Pembatasan mengenai keterangan saksi berubah sama sekali ketika Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 65/PUU-VIII/2010 memperluas makna saksi dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dengan diakuinya saksi testimonium de auditu dalam peradilan pidana. Mahkamah Konstitusi berpendapat arti penting saksi bukan terletak pada apakah dia melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana, melainkan pada relevansi kesaksiannya dengan perkara pidana yang sedang diproses dan adalah kewajiban penyidik, jaksa penuntut umum, dan hakim untuk memanggil dan memeriksa saksi yang menguntungkan bagi tersangka.

Melaksanakan kewajiban yang demikian adalah bagian sekaligus penerapan prinsip due process of law dalam proses peradilan pidana, dan upaya mewujudkan kepastian hukum yang adil dalam sebuah negara hukum. Hukum acara pidana menurut Mahkamah Konstitusi adalah alat agar pelaksanaan proses hukum dijalankan secara adil demi penghormatan terhadap hak asasi manusia, yang antara lain mencakup upaya perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang dari pejabat negara, pemberian berbagai jaminan bagi tersangka dan terdakwa untuk membela diri sepenuhnya, penerapan asas praduga tidak bersalah, serta penerapan asas persamaan di hadapan hukum.

Page 56: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

42 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 34 - 52

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 yang mengakui saksi testimonium de auditu dalam peradilan pidana merupakan cerminan perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa. Perlindungan dan pemenuhan hak-hak tersangka dan terdakwa merupakan prinsip utama dalam hukum acara pidana, yang dijamin pemenuhannya dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan asas perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan yang diakui serta dijunjung tinggi oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

Mengingat pentingnya putusan ini seyogianya penyidik, jaksa penuntut umum dan hakim wajib melaksanakan kewajibannya melaksanakan due process of law dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip hak asasi manusia, karena pada akhirnya penyelenggaraan peradilan adalah untuk menemukan keadilan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.

IV. ANALISISA. Daya Ikat Putusan Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang menyelenggarakan peradilan konstitusi (constitutional court) (Bintari, 2013: 84) memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, umumnya kewenangan tersebut disebut oleh sebagian sarjana hukum sebagai judicial review. Indonesia memiliki dua lembaga yang berwenang melakukan judicial review yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar

1945 secara teknis disebut constitutional review (Mahfud MD, 2007: 11). Istilah yang akan digunakan pada tulisan ini adalah constitutional review agar dapat dibedakan dengan judicial review yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Judicial review sendiri berarti pengujian yang dilakukan oleh lembaga yudisial (Mahfud MD, 2007: 11).

Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan memeriksa, dan mengadili suatu ketentuan undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, apabila benar terdapat suatu ketentuan yang bertentangan, maka Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan putusan untuk membatalkan ketentuan yang dimaksud dan menyatakannya tidak berkekuatan hukum tetap (constitutional review). Mahkamah Agung memiliki kewenangan memeriksa dan mengadili ketentuan perundang-undangan terhadap undang-undang, apabila benar terdapat suatu ketentuan di dalamnya yang bertentangan, maka Mahkamah Agung dapat mengeluarkan putusan untuk membatalkan ketentuan yang dimaksud dan menyatakannya tidak berkekuatan hukum tetap (judicial review) (Nugroho, 2009: 8).

Constitutional review itu sendiri baru saja kita adopsikan ke dalam sistem konstitusi negara kita dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi pada bulan Agustus 2003. Pengujian konstitusional itu dimaksudkan untuk memastikan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 sungguh-sungguh dijalankan atau ditegakkan dalam proses penyelenggaraan negara sehari-hari. Pengujian terhadap lembaga lain oleh lembaga yang berbeda apakah yang bersangkutan sungguh-sungguh melaksanakan Undang-Undang Dasar atau tidak merupakan mekanisme yang sama sekali baru (Asshiddiqie, 2012: 12).

Page 57: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

42 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 34 - 52 Daya Ikat Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang “Testimonium de Auditu” (Steven Suprantio) | 43

Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, mengatur dua macam constitutional review, yakni:

i. pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945; dan/atau (pengujian formil).

ii. materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (pengujian materil).

Dua jenis pengujian itu bertujuan untuk menguji apakah suatu undang-undang (formal dan/atau materil) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Kewenangan constitutional review menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi (Gaffar, 2009: 14).

Pembagian constitutional review menjadi dua macam pengujian dikarenakan di dalam pembagian pengujian produk hukum secara umum (toetsingrecht), yaitu (a) formele toetsingrecht dan (b) materiele toetsingrecht. Sehingga dalam judicial review terdapat pula jenis formil judicial review dan materil judicial review (Isra et.al., 2010: 12). Jimly Asshiddiqie sebagaimana dikutip oleh Saldi Isra, berpendapat hal ini paralel dengan pembedaan antara hukum materil dan hukum formil. Hukum materil atau substantive law mengatur mengenai substansi normanya, sedangkan hukum formil atau procedural law mengatur prosedur penegakan norma hukum materil itu (Isra et.al., 2010: 12).

Ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

menentukan putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan binding. Penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam undang-undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat.

Ketentuan tersebut menunjukan tidak ada peluang menempuh upaya hukum berikutnya pasca putusan itu sebagaimana putusan pengadilan biasa yang masih memungkinkan kasasi dan peninjauan kembali (Gaffar, 2009: 17). Putusan Mahkamah Konstitusi secara hukum mengikat setiap orang, argumentasinya dapat dilakukan dengan merujuk pada jenis dan sifat putusan Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi melakukan constitutional review, yang diuji adalah suatu perundang-undangan yang bersifat abstrak dan mengikat umum. Meskipun dasar permohonan pengujian adalah adanya hak konstitusional pemohon yang dirugikan, namun sesungguhnya tindakan tersebut adalah mewakili kepentingan hukum seluruh masyarakat, yaitu tegaknya konstitusi (Gaffar, 2009: 17). Konstitusi sebagai bentuk perjanjian di antara negara dengan warga negara, bertujuan untuk mengatur, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar (basic right) warga negara, demi terciptanya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Mahkamah Konstitusi lahir sebagai salah satu pilar demokrasi yang mengambil peran strategis dalam mewujudkan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara (Subiyanto, tanpa tahun: 8).

Page 58: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

44 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 34 - 52

Keputusan Mahkamah Konstitusi menurut Abdul Rasyid Thalib bersifat erga omnes yakni adalah putusan yang akibat hukumnya berlaku bagi semua perkara yang mengandung persamaan yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat erga omnes mengikat secara obligatoir bagi seluruh organ negara, baik tingkat pusat dan daerah serta semua otoritas lainnya (Saleh, tanpa tahun: 6). Pendapat yang sama dikemukakan oleh Bambang Sutisyo, menurutnya putusan Mahkamah Konstitusi bersifat publik sehingga putusannya tersebut mempunyai kekuatan hukum mengikat bukan hanya terhadap para pihak (interparties), tetapi juga harus ditaati oleh siapapun (erga omnes) (Saleh, tanpa tahun: 3).

Kedudukan pembentuk Undang-Undang (DPR dan Presiden) bukan sebagai tergugat atau termohon yang harus bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan. Pembentuk undang-undang hanya sebagai pihak terkait yang memberikan keterangan tentang latar belakang dan maksud dari ketentuan undang-undang yang dimohonkan (Gaffar, 2009: 18).

Keterangan pembentuk undang-undang diperlukan agar ketentuan yang diuji tidak hanya ditafsirkan menurut pandangan pemohon atau Mahkamah Konstitusi saja, sehingga diperoleh keyakinan hukum apakah bertentangan atau tidak dengan konstitusi. Pihak yang terikat dan harus melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya dan tidak harus selalu pembentuk undang-undang, tetapi semua pihak yang terkait dengan ketentuan yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi (Gaffar, 2009: 18).

Constitutional review merupakan salah satu bentuk penegakan hukum ketatanegaraan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dalam

perkara pengujian undang-undang adalah melalui putusan-putusan yang tidak hanya terpaku pada suatu undang-undang melainkan pada suatu kondisi tertentu guna mencapai keadilan karena putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya berdampak pada pemohon dan/atau termohon saja melainkan berdampak pada masyarakat luas mengingat sifat putusan erga omnes yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi (Bintari, 2013: 84).

Satu catatan penting mengenai constitutional review adalah Mahkamah Konstitusi boleh menafsirkan isi Undang-Undang Dasar 1945 sesuai dengan original intent yang dibuat melalui perdebatan oleh lembaga yang berwenang menetapkannya. Mahkamah Konstitusi hanya boleh menyatakan sebuah undang-undang bertentangan atau tidak dengan Undang-Undang Dasar dan tidak boleh memasuki ranah legislatif (ikut mengatur) dengan cara apa pun. Pada umumnya pembatasan tugas yang demikian dikaitkan dengan pengertian bahwa DPR dan pemerintah adalah positive legislator (Mahfud MD, 2008: 11).

Catatan itu menjadi penting karena secara historis dan filosofis Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak membolehkan Mahkamah Konstitusi mengintervensi ranah legislatif dengan ikut menjadi positive legislator (memberlakukan norma). Mahkamah Konstitusi hanya diperkenankan menjadi negative legislator (membatalkan norma) atau membiarkan norma yang diberlakukan oleh lembaga legislatif tetap berlaku dengan menggunakan original intent Undang-Undang Dasar 1945 sebagai tolok ukurnya (Mahfud MD, 2008: 12). Negative legislator berarti kewenangan mengesampingkan dan membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi (Mualimin Abdi, 2010: 6).

Page 59: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

44 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 34 - 52 Daya Ikat Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang “Testimonium de Auditu” (Steven Suprantio) | 45

Pendapat sarjana-sarjana hukum tersebut di atas menunjukkan putusan Mahkamah Konstitusi dapat dibedakan menjadi dua, yakni:

1. Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan norma; atau

2. Putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan penafsiran pada undang-undang sesuai dengan original intent Undang-Undang Dasar 1945.

Ketentuan Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi berlaku pada dua jenis putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu “Jika diperlukan perubahan terhadap undang-undang yang telah diuji, DPR atau Presiden segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi tidak memberikan penjelasan mengapa DPR atau Pemerintah diberikan perintah untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi, tidak diberikan kriteria atau ukuran yang dapat digunakan bagi DPR atau Pemerintah untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi, juga tidak diberikan penjelasan seperti apa yang dimaksud dengan tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi.

DPR atau Pemerintah diberikan perintah oleh undang-undang dikarenakan, menurut ketentuan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke empat, DPR diberikan kekuasaan untuk membentuk undang-undang. Presiden menurut ketentuan Pasal 22 ayat (1)

Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke empat diberikan kekuasaan untuk menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Kegentingan yang memaksa menurut Jimly Asshiddiqie sebagaimana dikutip oleh Ibnu Sina Chandranegara, harus memenuhi tiga unsur yaitu, (i) adanya unsur ancaman yang membahayakan (dangerous threat), (ii) adanya unsur kebutuhan yang mengharuskan (reasonable necessity), dan (iii) adanya unsur keterbatasan waktu (limited time) yang tersedia (Chandranegara, 2012: 5).

Kriteria atau ukuran yang wajib digunakan DPR atau Pemerintah untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi adalah berasaskan pada asas-asas yang terdapat dalam Pasal 5 dan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan khususnya adalah asas keadilan dan asas kepastian hukum.

Selanjutnya untuk memahami maksud pembentuk undang-undang, perlu dilakukan penafsiran secara sistematis terhadap ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d dan (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Kedua Pasal tersebut memberikan perintah kepada DPR atau Presiden untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi, pada bagian Penjelasan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dijelaskan sebagai tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum.

Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi hanya diperlukan sepanjang terjadi

Page 60: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

46 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 34 - 52

peristiwa hukum recht vacuum, sedangkan untuk putusan Mahkamah Konstitusi yang bentuknya memberikan penafsiran pada undang-undang sesuai dengan original intent Undang-Undang Dasar 1945, DPR atau Presiden diberikan kebebasan untuk menindaklanjuti atau tidak menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi. Secara Yuridis, apabila DPR atau Presiden tidak menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi berarti secara serta merta putusan itu menjadi hukum yang erga omnes.

B. Pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 Terhadap Putusan Sela Pada Perkara Nomor 884/Pid.B/2012/PN.Bdg

Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of the constitution yang memiliki kewenangan the sole interpreter, pengawal konstitusi, penafsir konstitusi, pengawal demokrasi, pelindung hak asasi manusia, pada bagian 1 dan 2 telah diuraikan putusannya bersifat final dan binding. Final berarti putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Binding berarti sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam undang-undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat.

Keistimewaan putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusannya memiliki kekuatan hukum mengikat setiap orang (erga omnes) tidak terbatas pada pemohon atau Pemerintah atau Pembentuk Undang-Undang. Keistimewaan putusan Mahkamah Konstitusi merupakan konsekuensi yuridis dari pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, yang mana suatu undang-undang

bersifat yang bersifat abstrak dan mengikat umum. Constitutional review adalah mewakili kepentingan hukum seluruh masyarakat, berupa tegaknya konstitusi.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 yang telah final dan binding semenjak diputuskan bersifat final dan binding dan erga omnes, semenjak final dan binding putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 telah menjadi sumber hukum acara pidana mengenai saksi testimmonium de auditu.

Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 65/PUU-VIII/2010 telah memberikan tafsiran Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); serta Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sesuai dengan original intent Undang-Undang Dasar 1945, yakni:

i. Pengertian saksi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”

ii. Pengertian saksi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang pengertian saksi tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”

Putusan tersebut, adalah termasuk jenis putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan

Page 61: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

46 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 34 - 52 Daya Ikat Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang “Testimonium de Auditu” (Steven Suprantio) | 47

penafsiran pada undang-undang sesuai dengan original intent Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi berpendapat, pengertian saksi yang selaras dengan original intent Undang-Undang Dasar 1945 adalah saksi dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar, ia lihat dan ia alami sendiri. Mahkamah Konstitusi berpendapat arti penting saksi bukan terletak pada apakah dia melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana, melainkan pada relevansi kesaksiannya dengan perkara pidana yang sedang diproses.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 telah menjadi sumber hukum, yang bersifat erga omnes, karena DPR atau Pemerintah tidak menggunakan kewenangan yang diberikan Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi.

Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menurut ketentuan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Mahkamah Agung. Dapat dipahami maksud dari Pembentuk Undang-Undang bahwa Keputusan Mahkamah Konstitusi akan berdampak pada perubahan undang-undang, oleh karena itu putusan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah,

Presiden, dan Mahkamah Agung.

Pembentuk Undang-Undang dalam Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi memerintahkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memuat putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke dalam berita negara. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 sendiri telah dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Konsekuensinya Penyidik, Jaksa, Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya wajib mengetahui dan mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010. Majelis hakim dalam perkara a quo wajib memeriksa, mengadili dan memutus perkara berdasarkan hukum yang berlaku, yakni memeriksa, mengadili dan mempertimbangkan Pasal 1 angka 26 dan angka 27 jo. Pasal 65 jo. Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) jo. Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang telah ditafsirkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010.

Konsekuensi yuridis, apabila terdapat hak tersangka yang tidak dipenuhi maka “penyidikan” tersebut menurut undang-undang adalah tidak sah, sehingga karena itu Berita Acara Penyidikan yang dibuat penyidik mengenai para terdakwa adalah tidak sah dan tidak dapat dijadikan dasar oleh jaksa penuntut umum untuk menyusun dakwaannya, dengan akibat tuntutan jaksa penuntut umum harus dinyatakan tidak dapat diterima.”

Page 62: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

48 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 34 - 52

Faktanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 tidak dipenuhi oleh penyidik dan majelis hakim dalam putusan sela Nomor 884/Pid.B/2012/PN.Bdg tidak mempertimbangkannya, pada bagian selanjutnya akan dilakukan analisa terhadap fakta dan upaya hukumnya.

C. Upaya Hukum yang Dapat Dilakukan Terhadap Putusan Sela pada Perkara Nomor 884/Pid.B/2012/PN.Bdg

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 yang memberikan pengakuan dan jaminan bagi tersangka dan/atau terdakwa untuk menghadirkan saksi yang dapat memberikan keterangan menguntungkan wajib dipatuhi dan ditaati oleh setiap orang, khususnya penyidik, jaksa penuntut umum dan hakim.

Penyidik dalam kasus dengan HS alias D pada faktanya tidak melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 oleh karena itu HS alias D dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian, berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yang berbunyi “Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.”

Majelis hakim dalam putusan sela Nomor 884/Pid.B/2012/PN.Bdg pada pertimbangannya sama sekali tidak mempertimbangkan dan menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 sebagai sumber

hukum acara pidana. Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan “peradilan negara wajib menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.” Kewajiban bagi majelis hakim dalam perkara a quo untuk mempertimbangkan dan menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010. Tidak dipenuhinya hak tersangka atau terdakwa untuk menghadirkan saksi testimonium de auditu tidak dapat dibenarkan karena tidak sesuai dengan cita-cita luhur kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Hukum harus mampu menjaga agar yang lemah tidak dibiarkan menghadapi sendiri pihak yang kuat yang sudah pasti akan dimenangkan oleh yang kuat (Mahfud MD, 2007: 3). Pelanggaran terhadap hak tersangka dan/atau terdakwa tidak sejalan dengan prinsip negara hukum, yang mengandung tiga prinsip pokok, yaitu adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka, penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kekuasaan dijalankan berdasarkan atas prinsip due process of law (Zoelva, 2006: 1) dan bertentangan dengan hak asasi manusia, khususnya Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.”

Pelanggaran atas hak tersangka dan/atau terdakwa juga tidak sejalan dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi “Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat

Page 63: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

48 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 34 - 52 Daya Ikat Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang “Testimonium de Auditu” (Steven Suprantio) | 49

kemanusiaannya di depan hukum.”

Konsekuensi yuridis tidak mempertimbangkan dan menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 sebagai sumber hukum acara pidana dalam putusan sela Nomor 884/Pid.B/2012/PN.Bdg berarti terdapat kelalaian dalam penerapan hukum acara. Terdakwa atau penasihat hukum dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan, namun perlu menjadi catatan ihwal ketidaksempurnaan dalam ketentuan Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dihubungkan dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Ketidaksempurnaan tersebut tampak pada ketentuan Pasal 156 yang mengatur alasan-alasan yang dapat digunakan untuk pengajuan keberatan tersangka, yaitu:

1. Pengadilan tidak berwenang mengadili;

2. Dakwaan tidak dapat diterima; Dakwaan tidak dapat diterima apabila tidak

memenuhi syarat formal sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Pasal 143 ayat (2) huruf a (Harahap, 2009: 391-392);

3. Dakwaan harus dibatalkan. Dakwaan harus dibatalkan apabila tidak

memenuhi syarat materil sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Pasal 143 ayat (2) huruf b (Harahap, 2009: 391-392).

Pasal 156 ayat (4) menentukan pengadilan

tinggi berwenang untuk “membatalkan putusan pengadilan negeri dan memerintahkan pengadilan negeri yang berwenang untuk itu.” Ketentuan tersebut menimbulkan persoalan hukum karena alasan pengajuan keberatan hanya pengadilan tidak berwenang mengadili, atau dakwaan tidak dapat diterima atau dakwaan harus dibatalkan.

Ketentuan Pasal 156 ayat (4) hanya terbatas pada keberatan pengadilan tidak berwenang mengadili, sedangkan untuk keberatan tidak dapat diterima atau dakwaan harus dibatalkan tidak ditentukan. Keberatan yang diajukan oleh penasihat hukum HS alias D termasuk dalam jenis eksepsi tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima. Eksepsi tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima diajukan apabila tata cara pemeriksaan yang dilakukan tidak memenuhi syarat yang ditentukan atau diminta ketentuan undang-undang (Harahap, 2008: 125).

Salah satu contoh dari eksepsi tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima adalah putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1565 K/Pid/1991 (Harahap, 2009: 339) dan putusan sela Pengadilan Negeri Indramayu tanggal 5 April 1990 No. 63 PTS.Pid.B/1990/PN.Im. Keduanya masih terbatas pada tidak dipenuhinya hak-hak tersangka dan/atau terdakwa untuk didampingi penasihat hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP, selain daripada hal tersebut belum pernah terdapat yurisprudensinya.

Persoalan belum terdapat ketentuan hukum yang mengatur dan belum terdapat yurisprudensi, memberikan wewenang bagi hakim untuk melakukan rechtsvinding, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan “Pengadilan

Page 64: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

50 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 34 - 52

mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang” dan Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Hakim sebagai penegak hukum seyogianya memperhatikan adagium: “summum ius summa iniura” yang berarti undang-undang yang diterapkan secara rigid akan menyebabkan timbulnya ketidakadilan (Sudirman, 2007: 54).

Bismar Siregar menjelaskan adagium tersebut berarti “kedudukan hakim dalam lembaga peradilan di Indonesia ditempatkan sebagai penggali, penemu, dan pencipta hukum dan keadilan, bukan sekedar penerap hukum dan pemutus perkara saja, seperti yang dianut oleh kaum positivism yuridis. Ia dalam tugasnya wajib merumuskan galian dan temuan nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat menjadi hukum positif. Putusan seperti itu diharapkan dapat mendekati yang disebut sesuai perasaan hukum dan nilai keadilan” (Sudirman, 2007: 167).

Argumentasi-argumentasi di atas menunjukkan hakim wajib melakukan rechtsvinding karena terdapat keadaan hukum recht vacuum. Argumentasi ini juga sejalan dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Demi kebenaran dan keadilan hakim wajib memeriksa, mengadili dan memutus keberatan yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukum meskipun terdapat keadaan recht vacuum.

Persoalan ini menunjukkan di masa mendatang perlu dilakukan penyempurnaan terhadap KUHAP. Penyempurnaan yang menarik adalah dalam RUU KUHAP yang disusun oleh ahli hukum Andi Hamzah telah dikembangkan lembaga Hakim Komisaris sebagai pengganti lembaga praperadilan. Tujuannya adalah sebagai lembaga penyaring, di samping hakim sidang (trial judge) maka dapat dihindari penuntutan yang sewenang-wenang karena alasan pribadi atau balas dendam (Hamzah, 2008: 21). Satu wewenang Hakim Komisaris yang sangat progresif diatur di dalam Pasal 111 ayat (1) rancangan berupa menetapkan atau memutuskan: “j. pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama tahap penyidikan” (Hamzah, 2008: 23).

V. SIMPULAN

Putusan Mahkamah Konstitusi, bersifat final dan binding dan mengikat setiap orang (erga omnes) karena constitutional review merupakan pengujian yang bersifat abstrak dan mengikat umum dan bertujuan untuk tegaknya konstitusi, karenanya mengikat setiap orang termasuk Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya. Oleh karena itu berpengaruh bagi pengadilan untuk mempertimbangkan, mengadili dan memutus dengan memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi demi tegaknya prinsip-prinsip hak asasi tersangka dan/atau terdakwa.

DAfTAR PUSTAKA

Abdi, Mualimin. 2010. “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Proses Legislasi di Indonesia.” Akses 8 September

Page 65: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

50 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 34 - 52 Daya Ikat Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang “Testimonium de Auditu” (Steven Suprantio) | 51

2013. http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/919_Implikasi%20putusan%20MK%20terkai t%20penyusunan%20UU%20[Compatibility%20Mode].pdf.

Asshiddiqie, Jimly. 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

_______________. 2012. “Sejarah Constituional Review dan Gagasan Pembentukan Mahkamah Konstitusi.” Akses 12 September 2013. http://jimlyschool.com/read/analisis/276/sejarah-constitutional-review-gagasan-pembentukan-mk/.

Aziz, Machfud. 2010. Pengujian Peraturan Perundang-Undangan dalam Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Jakarta: Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Bintari, Aninditya Eka. 2013. “Mahkamah Konstitusi Sebagai Negative Legislator dalam Penegakan Hukum Tata Negara.” Akses 11 September 2013. http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pandecta/article/view/2355.

Chandranegara, Ibnu Sina. 2012. Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional Antar-Lembaga Negara Kajian Putusan MK No. 138 /PUU-VII/2009. Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia.

Eddyono, Luthfi Widagdo. 2010. Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Fadel. 2012. Tinjauan Yuridis Prinsip Ultra Petita oleh Mahkamah Konstitusi Sebagai Upaya Mewujudkan Keadilan Substantif di Indonesia. Makassar: Universitas Hasanudin.

Faqih, Mariyadi. 2010. Nilai-nilai Filosofi Putusan Mahkamah Konstitusi yang Final dan Mengikat. Jakarta: Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Gaffar, Janedjri M. 2009. Kedudukan, Fungsi dan Peran Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Repulik Indonesia. Jakarta: Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Hamzah, Andi. 2008. “Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang nomor tahun tentang Hukum Acara Pidana.” Akses 7 September 2013. http://icjrid.files.wordpress.com/2011/07/naskah-akademik-ruu-hukum-acara-pidana-2008.pdf.

Harahap, M. Yahya. 2008. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan dalam KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding dan PK. Jakarta: Sinar Grafika.

_______________. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan dalam KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.

Ismujoko. 1997. “Surat B-69/E/02/1997 perihal Hukum Pembuktian dalam Hukum Pidana yang ditujukan kepada Para Kepala Kejaksaan Tinggi di Seluruh Indonesia.” Akses 23 Februari 2014. <acarapidana .¬bphn.¬go.¬id /¬wp-¬content/¬uploads/¬2011/¬12/¬SE-¬JAMPIDUM-¬B-¬69-¬E-¬02-¬1997-

Page 66: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

52 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 34 - 52

¬Hukum--Pembuktian-¬Dalam-¬Perkara-¬Pidana.¬pdf>.

Isra, Saldi et.al., 2010. Perkembangan Pengujian Perundang-Undangan di Mahkamah Konstitusi (Dari Berpikir Hukum Tekstual ke Progresif). Padang: Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Mahfud MD, Moh. 2007. “Penuangan Pancasila di dalam Peraturan Perundang-Undangan.” Akses 9 September 2013. http://www.m a h f u d m d . c o m / p u b l i c / m a k a l a h /Makalah_8.pdf.

_______________. 2008. “Rambu Pembatas dan Perluasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi.” Akses 11 September 2013. <http://www.mahfudmd.com/public/makalah/Makalah_11.pdf.

_______________. 2009. “Konstitusi Negara.” Akses 2 Februari 2014. < https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0CCgQFjAA&url=http%3A%2F%2Fwww.mahfudmd.com%2Findex.php%3Fpage%3Dweb.MakalahVisit%26id%3D15&ei=RzXuUonyHqaWiQe0s4CIAg&usg=AFQjCNEw6gwuWr9HqIg-8AglYQkj52Pi2w&bvm=bv.60444564,d.aGc>.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. 2007. Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal dan Ayat. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.

Nugroho, Setio Sapto. 2009. “Harmonisasi Pembentukan Perundang-Undangan. Akses 11 September 2013.” <jdih.r i s t e k . g o . i d / ? q = s y s t e m / f i l e s /dokumentasi/586130112.pdf>.

Saleh, Moh. “Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Pendapat DPR RI mengenai Impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden.” Akses 10 September 2013. http://mfile.narotama.ac.id/files/M.%20Sholeh/IMPEACHMENT/ARTIKEL%20IMPEACHMENT_REVISI-2.doc.

Siahaan, Maruarar. 2010. Uji Konstitusionalitas Peraturan Perundang-Undangan Negara Kita: Masalah dan Tantangan. Jakarta: Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Subiyanto, Achmad Edi. “Prospek Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal dan Penafsir Konstitusi”. Akses 11 September 2013. http: / /www.esaunggul.ac. id/art icle/prospek-mahkamah-konstitusi-sebagai-pengawal-dan-penafsir-konstitusi-achmad-edi-subiyanto-s-h-m-h-3/.

Sudirman, Antonius. 2007. Hati Nurani Hakim dan Putusannya: Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum (Behavorial Jurisprudance) Kasus Hakim Bismar Siregar. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Zoelva, Hamdan. 2006. “Sistem Penyelenggaraan Kekuasaan Negara Setelah Perubahan UUD 1945.” Akses 10 September 2013. http://www.setneg.go.id/index2.p h p ? o p t i o n = c o m _ c o n t e n t & d o _pdf=1&id=11.

Page 67: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

52 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 34 - 52 Indikasi Kriminalisasi Pembela HAM dalam Sengketa Agraria (Ria Casmi Arrsa) | 53

ABSTRAK

Dikeluarkannya Putusan Pengadilan Negeri Nomor 250.Pid.B.2013/PN.PLG dan Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 76/PID/2013/PT.PLG yang menghukum dua pegiat hak asasi manusia merupakan indikasi terjadinya kriminalisasi terhadap aktivitas pihak-pihak yang memperjuangkan keadilan di sektor agraria. Tulisan ini ingin menjawab pertanyaan tentang optik kajian sociolegal dalam menelaah Putusan Nomor 250.Pid.B.2013/PN.PLG dan Putusan Nomor 76/PID/2013/PT.PLG terhadap upaya perlindungan hukum dalam kerangka kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum guna mencegah praktik kriminalisasi terhadap aktivis pembela hak asasi manusia. Putusan tersebut dinilai merupakan preseden buruk mengingat tindakan kriminalisasi memiliki akibat terhentinya aktivitas pembelaan hak asasi manusia, sedangkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia tersebut justru berakhir pada praktik impunitas.

Kata kunci: hak asasi manusia, sengketa agraria, kriminalisasi.

ABSTRACT

The issuance of District Court’s Decision Number 250/Pid.B.2013/PN.PLG and High Court’s Decision Number 76/PID/2013/PT.PLG which punish two human rights defenders indicates criminalization measures to the activities of justice seekers in the agrarian sector. This analysis tries to answer to the socio-legal studies applied in reviewing both decisions towards legal safeguards within the framework of freedom of expression in public in order to prevent criminalization measures to human rights defenders. The decisions are seen as bad precedence considering that the criminalization measures could cause a cessation of human rights defenders’ activities, but then the violation of human rights precisely ends on the practice of impunity.

Keywords: human right, agrarian dispute, criminalization.

INDIKASI KRIMINALISASI PEMBELA HAMDALAM SENGKETA AGRARIA

Kajian Putusan Nomor 250.Pid.B.2013/PN.PLG dan Nomor 76/PID/2013/PT.PLG

AN INDICATION OF CRIMINALIzATION TO HUMAN RIGHTS DEFENDERS IN AGRARIAN DISPUTES

Ria Casmi ArrsaPusat Pengembangan Otonomi Daerah (PPOTODA) Universitas Brawijaya

Gedung Munir Lt 2 Jl. MT.Haryono No 169 Malang 65145Email: [email protected], [email protected]

An Analysis of Decision Number 250.Pid.B.2013/PN.PLG and Number 76/PID/2013/PT.PLG

Diterima tgl 10 Februari 2014/Disetujui tgl 24 Maret 2014

Page 68: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

54 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 53 - 69

I. PENDAHULUAN

Kebijakan di bidang pertanahan adalah suatu kebijakan publik yang dibuat oleh Pemerintah RI dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat berlandaskan konstitusi UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Pasal tersebut dipakai sebagai asas kerohanian negara dan cita-cita bangsa, khususnya dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat, diletakkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA yang menyatakan bahwa “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia merupakan kekayaan nasional” (Suhariningsih, 2010: 1).

Keberadaan tanah bagi pembangunan merupakan komponen penting dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Eksistensi tanah, sampai kapanpun akan menjadi sumber daya paling penting yang pernah ada. Jumlahnya tidak akan pernah bertambah, berlawanan dengan jumlah manusia yang terus bertambah, seiring dengan kebutuhan, keinginan, dan hasrat akan tanah yang semakin kompleks. Tesis tersebut merupakan logika dasar dari terjadinya konflik atau sengketa atas tanah. Di sisi lain, persoalan tanah sampai kapanpun akan menjadi kompleksitas permasalahan di ruang-ruang publik. Oleh karenanya pengakuan dan perlindungan dari pemegang kekuasaan atas tanah yang dimiliki rakyat merupakan suatu hal yang mutlak (Zuhro, 2011: 1). Terlebih lagi bagi kelompok petani penggunaan tanah merupakan modal utama sebagai sumber penghidupan yang

layak untuk melakukan berbagai aktivitas yang produktif di sektor pertanian maupun perkebunan.

Namun demikian di tengah perkembangan teknologi, informasi dan modernisasi di era otonomi daerah dalam bingkai pembangunan telah menempatkan posisi yang tidak konsisten terhadap upaya-upaya dalam mendukung terwujudnya pembangunan perekonomian yang pro terhadap peningkatan kesejahteraan bagi kelompok petani. Alih-alih terjadinya program investasi dengan dalih peningkatan kesejahteraan rakyat, justru yang terjadi adalah praktik-praktik monopoli terhadap pemanfaatan tanah yang menempatkan petani sebagai kelompok yang kian termarginalkan.

Peningkatan kesejahteraan ekonomi yang sedang berjalan justru tidak diimbangi dengan terpeliharanya sumber daya alam (tanah) yang merupakan aset nasional untuk menyejahterakan dan memberi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Banyak diketemukan lahan perkebunan yang tidak diusahakan dengan baik hingga produktivitasnya menurun. Dari sisi ekonomi pemberian HGU (perkebunan) merupakan harapan terjadinya kemakmuran dan peningkatan terhadap perekonomian masyarakat sekitar perkebunan maupun masyarakat luar perkebunan. Demikian juga terhadap hak-hak atas tanah lainnya yang sengaja dibiarkan tidak dipergunakan karena tanah sudah menjadi objek spekulasi bagi orang-orang tertentu (tuan tanah) sehingga tanah menjadi mahal harganya, akibatnya rakyat petani tidak punya akses lagi terhadap tanah yang menjadi sumber kehidupannya (Supriadi, 2010: 31).

Fenomena tersebut merupakan indikasi adanya penyimpangan terhadap norma-norma yang telah digariskan oleh ketentuan UUPA

Page 69: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

54 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 53 - 69 Indikasi Kriminalisasi Pembela HAM dalam Sengketa Agraria (Ria Casmi Arrsa) | 55

dalam pengelolaan pertanahan. Misalnya, dalam Pasal 6 bahwa setiap hak atas tanah mempunyai fungsi sosial; Pasal 7-15 mengatur tentang adanya larangan penguasaan tanah melebihi ketentuan maksimum, kesempatan yang sama dalam memperoleh hak atas tanah dan manfaat serta hasilnya, kewajiban mengerjakan tanahnya secara aktif, mencegah pemerasan dan perlindungan golongan ekonomi lemah, larangan monopoli sebagaimana terdapat di dalam ketentuan Pasal 27, Pasal 34, dan Pasal 40 mengenai hapusnya hak atas tanah apabila diterlantarkan. Demikian juga Pasal 15 UUPA menyatakan bahwa pemilik tanah wajib memelihara, menambah kesuburan dan mencegah kerusakan tanah. Selanjutnya Pasal 52 UUPA mengatur tentang pemberian sanksi atas pelanggaran Pasal 15 UUPA.

Ketika negara melaksanakan mandat konstitusi sebagaimana ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 di mana bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat maka Pasal 2 ayat (2) UUPA mengamanatkan bahwa berdasarkan hak menguasai, negara berwenang mengatur, melaksanakan pengelolaan pertanahan meliputi penguasaan/pemilikan tanah, pemanfaatan dan penggunaan tanah serta menjamin kepastian dan perlindungan hukum serta administrasi pertanahan. Semuanya telah diatur dalam UUPA dan peraturan-peraturan lainnya. Tentu saja pengelolaan pertanahan dilakukan oleh para subjek hukum termasuk pemerintah sebagai pemberi hak atas tanah kepada subjek hukum perorangan/badan hukum sebagai penerima hak atas tanah.

Hubungan hukum (keperdataan) antara pemberi dan penerima hak atas tanah menimbulkan adanya suatu kewajiban. Bertalian

dengan pemaparan di atas, maka di tengah situasi dan kondisi ketidakadilan di sektor agraria yang terjadi di Indonesia keprihatinan muncul tatkala kepedulian masyarakat yang diaspirasikan melalui penolakan warga atas sejumlah pelanggaran dalam penguasaan hak atas tanah justru berujung pada praktik kriminalisasi terhadap individu, para pekerja hak asasi manusia dan/atau aktivis.

Salah satu bentuk keprihatinan tersebut dapat ditelusuri atas tindakan kriminalisasi aktivis yang terjadi di Sumatera Selatan. Perkara tersebut sangat disesalkan karena berlanjut hingga di meja pengadilan dengan dasar bahwa kedua aktivis ketika aksi unjuk rasa yang bertujuan membela petani memperjuangkan hak atas lahan mereka yang dikuasai oleh PT. PN VII yang mengusahakan perkebunan tebu dan pabrik gula di Kabupaten Ogan Ilir berujung pada kericuhan.

Selain itu, dalam aksi unjuk rasa yang berakhir ricuh itu berdasarkan data yang dihimpun di lapangan, keterangan sejumlah saksi, dan pemberitaan sejumlah media massa diperoleh informasi bahwa AS ketika bentrokan terjadi antara massa dan aparat kepolisian yang melakukan pengamanan dalam aksi itu tidak terlibat secara langsung terhadap bentrokan yang terjadi dan berada jauh dari pagar Mapolda Sumsel atau objek pengerusakan yang dimasukkan dalam salah satu dakwaan jaksa penuntut umum.

Pada akhirnya kericuhan dimaksud berujung pada kriminalisasi terhadap kedua aktivis yang memperjuangkan keadilan di sektor agraria tersebut yang kemudian oleh pengadilan negeri diputus bersalah melalui Putusan Nomor 250/Pid.B/2013/PN.PLG. Sebagaimana diketahui bahwa AS dan DC divonis di Pengadilan Negeri Palembang karena telah melanggar Pasal 160 KUH Pidana tentang penghasutan dan dijatuhi

Page 70: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

56 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 53 - 69

hukum 7 bulan penjara potong masa tahanan. Atas vonis tersebut kedua aktivis tersebut mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan.

Menurut Muhnur Satyahaprabu selaku tim kuasa hukum mengutarakan bahwa banding ini adalah upaya hukum yang dilakukan oleh tim kuasa hukum guna mendapatkan keadilan dan kebenaran. Pernyataan tim kuasa hukum yang dihimpun melalui media menyatakan “kami resmi menyatakan banding atas dua perkara yaitu AS dan DC yang didakwa Pasal 170 atau Pasal 160 KUHP dan K yang didakwa Pasal 351 KUHP melalui Pengadilan Negeri Palembang.” Terdakwa merasa putusan Pengadilan Negeri Palembang tidak sesuai dengan fakta yang terungkap di persidangan, putusan kedua perkara tersebut jauh dari rasa adil bagi para terdakwa. Kedua putusan tersebut memberikan ruang untuk diperbaiki oleh pengadilan yang lebih tinggi. Putusan atas AS dan DC misalnya sangat terbuka untuk diperbaiki karena kami meyakini ada alasan dari kuasa hukum yang tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim, begitu juga dengan K yang diputus 1 tahun 2 bulan yang dianggap putusan tersebut jauh dari kebenaran materil.

Melalui pengadilan tingkat banding, majelis hakim mengabulkan permintaan banding dari jaksa penuntut umum dan penasihat hukum terdakwa sebagaimana termaktub di dalam Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 76/PID/2013/PT.PLG dengan menyatakan memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor 250/Pid.B/2013/PN.PLG yang dimintakan banding sekedar mengenai pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa-terdakwa sehingga amar selengkapnya berbunyi: (1) Menyatakan terdakwa I AS alias S dan terdakwa II DC telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, “Di muka umum dengan lisan menghasut

supaya melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum.” (2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa I AS alias S dan terdakwa II DC dengan pidana penjara masing-masing selama 5 (lima) bulan 15 (lima belas) hari. (3) Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. (4) Memerintahkan terdakwa I AS dan terdakwa II DC segera dikeluarkan dari tahanan.

Terhadap posisi kasus di atas meskipun majelis hakim pengadilan tinggi melakukan koreksi atas putusan pengadilan tingkat pertama setidaknya penulis berpandangan bahwa terdapat preseden buruk terhadap upaya perlindungan hukum bagi pegiat hak asasi manusia yang secara kritis memperjuangkan keadilan agraria atas praktik kriminalisasi yang terjadi. Beranjak dari posisi kasus tersebut penulis berpandangan bahwa praktik kriminalisasi terhadap aktivis yang memperjuangkan hak asasi manusia atas tanah harus diletakkan pada domain dalam rangka perlindungan hukum terhadap hak-hak atas kemerdekaan untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Oleh karenanya beranjak dari perspektif sociolegal dalam kasus-kasus sengketa agraria penulis berpandangan bahwa dalih investasi dalam serangkaian sengketa agraria tidak semata hanya diletakkan dalam perspektif yuridis normatif semata akan tetapi aspek sosiologis merupakan variabel terdampak yang tidak boleh di kesampingkan.

II. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian di atas maka dalam penulisan karya ilmiah ini penulis merumuskan permasalahan yaitu bagaimanakah optik kajian sociolegal dalam menelaah Putusan Nomor 250.Pid.B.2013/PN.PLG dan Putusan Nomor 76/

Page 71: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

56 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 53 - 69 Indikasi Kriminalisasi Pembela HAM dalam Sengketa Agraria (Ria Casmi Arrsa) | 57

PID/2013/PT.PLG terhadap upaya perlindungan hukum dalam kerangka kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum guna mencegah praktik kriminalisasi terhadap aktivis pembela hak asasi manusia?

III. STUDI PUSTAKA

Untuk menganalisis permasalahan di atas berikut ini penulis paparkan landasan teoritik dan studi kepustakaan sebagai dasar argumentasi untuk menelaah inkonsistensi praktik penguatan perlindungan hukum dengan tindakan kriminalisasi yang cenderung ditempatkan dalam ruang keadilan yang prosedural sehingga mengesampingkan prinsip keadilan substantif dalam memandang kasus-kasus sengketa agraria yang berelasi dengan kekuasaan dan penguasa modal.

A. Konsep Perlindungan Hukum dalam Optik Ilmu Hukum Normatif dan Sociolegal

Dalam kehidupan bernegara modern yang disebut kehidupan negara bangsa, sebagaimana yang telah dibentangkan di muka, hukum itu selalu atau hampir selalu diartikan sebagai seluruh norma sosial yang telah diformalkan oleh institusi-institusi kekuasaan negara. Menilik keterangan di muka, tak salah kiranya apabila dikatakan bahwa hukum dalam modelnya sebagai undang-undang adalah invensi negara bangsa yang terjadi di kawasan negeri-negeri Eropa Barat dalam kurun sejarah yang mengabarkan pula bangkitnya kesadaran berbangsa penduduk negeri di wilayah itu, yang kemudian mengakhiri sejarah Eropa sebagai sejarah raja-raja. Itulah kurun waktu yang mengatakan betapa “the making of Europe is the making of Kings and Queens no more, but the making of nations” (Wignyosoebroto, 2002: 45).

Beranjak dari pemahaman di atas, maka dalam aspek sejarah perkembangan ilmu hukum itu sendiri berimplikasi pada upaya untuk mencari dan menemukan kebenaran. Menurut Soetandyo Wignyosoebroto ada dua paradigma utama yang berebut unggul untuk menegaskan apakah sesungguhnya yang harus disebut hukum menurut hakikatnya. Pertama mengklaim bahwa pada hakikatnya hukum itu tak lain daripada keniscayaan moral yang normatif sifatnya, sedangkan yang kedua, bergeser ke posisi oposisional, pada hakikatnya hukum itu suatu keniscayaan empirik yang faktual sifatnya. Perkembangan paradigma ilmu hukum seiring zaman telah berimplikasi pada konstruksi kenegaraan tatkala relasi antara hukum dan negara bersifat fluktuatif (Wignyosoebroto, 2007: 4).

Hukum pada dasarnya adalah suatu aktivitas kebudayaan yang mempunyai fungsi sebagai alat untuk menjaga keteraturan sosial atau sebagai sarana pengendalian sosial (social control) dalam masyarakat. Karena itu, untuk membedakan peraturan hukum dengan norma-norma lain, yang sama-sama mempunyai fungsi sebagai sarana pengendalian sosial dalam masyarakat, maka peraturan hukum dicirikan mempunyai 4 atribut hukum (attributes of law) (Pospisil, 1971: 25-41), yaitu:

Pertama, Atribut Otoritas (Attribute of Authority), yaitu peraturan hukum adalah keputusan-keputusan dari pemegang otoritas untuk menyelesaikan sengketa atau ketegangan sosial dalam masyarakat, karena adanya ancaman terhadap keselamatan warga masyarakat, keselamatan pemegang otoritas, atau ancaman terhadap kepentingan umum. Kedua, Atribut dengan maksud untuk diaplikasikan secara universal (Attribut of Intention of Universal Application), yaitu keputusan-keputusan dari

Page 72: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

58 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 53 - 69

pemegang otoritas tersebut dimaksudkan sebagai keputusan-keputusan yang juga akan diaplikasikan terhadap peristiwa-peristiwa yang sama secara universal. Ketiga, Atribut Obligasio (Attribute of Obligatio), yaitu keputusan-keputusan dari pemegang otoritas tersebut mengandung suatu pernyataan bahwa pihak pertama memiliki hak untuk menagih sesuatu dari pihak kedua, dan pihak kedua mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak pihak pertama tersebut sepanjang mereka masih hidup. Keempat, Atribut Sanksi (Attribute of Sanction), yaitu keputusan-keputusan dari pihak pemegang otoritas tersebut juga disertai dengan penjatuhan sanksi-sanksi, baik berupa sanksi yang bersifat fisik seperti hukuman badan dan penyitaan harta benda, atau sanksi non fisik seperti dipermalukan di depan orang banyak, diasingkan dari pergaulan sosial, dibuat menjadi ketakutan, dan lain-lain.

Konsep hukum yang menekankan atribut otoritas dan atribut sanksi juga dikemukakan oleh Hoebel untuk membedakan antara norma hukum dengan norma-norma lain yang juga mempunyai fungsi sebagai alat pengedalian masyarakat (social control). Basis peraturan hukum adalah norma-norma sosial, dan norma-norma sosial akan berubah menjadi norma hukum apabila setiap pelanggaran atas norma sosial tersebut secara reguler dijatuhi sanksi fisik berdasarkan keputusan pemegang otoritas yang secara sosial diberi wewenang khusus untuk menjatuhkan sanksi tersebut (Nurjaya, 2006: 5). Sebagaimana diutarakan oleh Hoebel bahwa, “A social norm is legal if its neglect or infraction is regularly met, in threat or in fact, by the application of phisical force by an individual or group possesing the socially recognized previlege of so acting” (Hoebel, 1968: 28). Berdasarkan penjelasan di atas maka perspektif hukum yang memandang

bahwa hukum merupakan bagian dari kenyataan empiris melahirkan paradigma pemikiran mengenai sosiologi hukum.

Sociological jurisprudence adalah salah satu aliran dalam teori hukum yang digagas oleh Roscoe Pound, dan berkembang di Amerika mulai tahun 1930-an. Mengutip Soetandyo Wignjosoebroto (2002: 8-16), istilah “sociological” mengacu kepada pemikiran realisme dalam ilmu hukum, yang meyakini bahwa meskipun hukum adalah sesuatu yang dihasilkan melalui proses yang dapat dipertanggungjawabkan secara logika imperatif, namun the life of law has not been logic, it is (socio-psychological) experience. Hakim yang bekerja haruslah proaktif membuat putusan untuk menyelesaikan perkara dengan memperhatikan kenyataan-kenyataan sosial. Dengan demikian putusan hakim selalu dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Dari pemikiran inilah lahir doktrin baru dalam sociological jurisprudence tentang law is a tool of social engineering.

Dalam perkembangannya perspektif keilmuan mengenai terminologi sociolegal adalah nama lain untuk istilah law and societies studies. Socio-legal studies adalah istilah generik untuk menyebutkan semua ilmu-ilmu sosial yang mempelajari hukum. Di dalam socio-legal studies terdapat sejumlah ilmu sosial seperti sosiologi hukum, antropologi hukum, sejarah hukum, politik hukum dan psikologi hukum. Dalam bahasa yang lain, socio-legal studies dianggap juga sebagai istilah generik untuk setiap pendekatan perspektif sosial terhadap hukum.

Socio-legal studies berangkat dari asumsi bahwa hukum adalah sebuah gejala sosial yang terletak dalam ruang sosial dan dengan itu tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial. Hukum bukanlah entitas yang sama sekali terpisah dan

Page 73: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

58 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 53 - 69 Indikasi Kriminalisasi Pembela HAM dalam Sengketa Agraria (Ria Casmi Arrsa) | 59

bukan merupakan bagian dari elemen sosial yang lain. Hukum tidak akan mungkin bekerja dengan mengandalkan kemampuannya sendiri sekalipun ia dilengkapi dengan perangkat asas, norma dan institusi (Simarmata, 2007: 8).

Hukum dapat dipelajari baik dari perspektif ilmu hukum atau ilmu sosial, maupun kombinasi di antara keduanya. Studi sosio-legal merupakan kajian terhadap hukum dengan menggunakan pendekatan ilmu hukum maupun ilmu-ilmu sosial. Studi hukum di negara berkembang memerlukan kedua pendekatan baik pendekatan ilmu hukum maupun ilmu sosial. Pendekatan dan analisis ilmu hukum diperlukan untuk mengetahui isi dari legislasi dan kasus hukum. Namun pendekatan ini tidak menolong memberi pemahaman tentang bagaimana hukum bekerja dalam kenyataan sehari-hari, dan bagaimana hubungan hukum dengan konteks kemasyarakatan atau bagaimana efektivitas hukum dan hubungannya dengan konteks ekologinya.

Oleh karena itu dibutuhkan pendekatan interdisipliner, yaitu konsep dan teori dari berbagai disiplin ilmu dikombinasikan untuk mengkaji fenomena hukum, yang tidak diisolasi dari konteks-konteks sosial, politik, ekonomi, budaya, di mana hukum itu berada (Bedner, 2012: 10). Dalam konteks relasi antara hukum ekonomi, dan pembangunan hal senada juga diungkapkan oleh Steven Sanderson bahwa, “The relationship among economic growth, rural development, poverty alleviation and conservation of nature will influence the course of biodiversity in the coming decades.”

Berdasarkan penjelasan di atas maka aspek perlindungan hukum terhadap pembela hak asasi manusia yang memperjuangkan keadilan agraria harus diletakkan pada konstruksi norma hukum

peraturan perundang-undangan dan keberlakuan yang mengikat secara filosofis maupun sosiologis. Hal itu dilakukan dengan pertimbangan bahwa tindakan kritik merupakan bagian dari dinamika kebebasan masyarakat sebagai warga negara untuk menyatakan pendapat maupun kebebasan berpikir atas dasar mengungkap fakta ketidakadilan yang sedang berjalan di tengah mata rantai manipulasi antara kuasa modal dan lemahnya komitmen penegakan hukum. Tatkala serangkaian tindakan manipulasi tersebut berjalan maka kuasa rakyat untuk melakukan pembangkangan atas berjalannya penegakan hukum yang lemah dilakukan agar hukum dapat bekerja secara efektif dalam memenuhi aspek keadilan maupun kepastian hukum bagi kemanfaatan hajat hidup masyarakat secara luas.

B. Keadilan Agraria dalam Perspektif Konstitusi

Kebijakan pertanahan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari fakta sejarah pendirian bangsa. Dalam proses pendirian bangsa ini, pemikiran the founding fathers Republik Indonesia sangat diwarnai oleh pandangan sosialis dan nasionalistis atau lebih tepat dikatakan neo-populis. Hal ini tercermin dalam Pasal 27, 33 dan 34 UUD Tahun 1945. Pandangan Moh. Hatta melalui pidatonya pada tahun 1946 mengatakan bahwa tanah harus dipandang sebagai alat atau faktor produksi untuk kemakmuran bersama. Bukan untuk kepentingan orang perorangan yang pada akhirnya dapat mendorong terjadinya akumulasi penguasaan tanah pada segelintir elit tuan tanah maupun kelompok masyarakat. Tanah tidak boleh dipakai sebagai alat untuk menindas karena hal itu bertentangan dengan prinsip pembangunan ekonomi untuk kemakmuran bersama (Wiradi, 2000: 25).

Page 74: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

60 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 53 - 69

Berdasarkan pemahaman di atas maka dalam konteks keadilan agraria sangat erat bertalian dengan isu pembangunan berkelanjutan. Longgena Ginting menyarankan agar pemerintah menggunakan pendekatan right-base approch dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan di mana hak-hak asasi warga menjadi pertimbangan utama yang harus dikedepankan. Tidak boleh hanya karena alam (tanah) dikuasai oleh negara maka masyarakat disingkirkan, dimarjinalkan, bahkan dimiskinkan karena aksesnya diputus terhadap sumber daya alam. Pendekatan right-base approch ini sekaligus merupakan upaya untuk melawan mainstream pembangunan yang ada yang cenderung memarjinalkan manusia dan lingkungannya demi pertumbuhan ekonomi. Karena sejatinya pembangunan itu untuk kehidupan manusia dan oleh karena itu kepentingan manusia yang harus diutamakan mengingat bahwa kehidupan itu merupakan bagian inheren dari hak asasi manusia yang tidak bisa ditawar.

C. Instrumen Perlindungan Hukum Hak Asasi Manusia Versus Penegakan Hukum

Konflik agraria pada dasarnya disebabkan oleh sejumlah ketimpangan (incompabilities), baik mengenai struktur kepemilikan tanah, peruntukan tanah, dan persepsi serta konsepsi mengenai konsep agraria (Christodolou dalam Wiradi, 2000: 86-87). Apabila dilihat dari sisi objeknya, konflik agraria atau sengketa tanah di Indonesia berbentuk sengketa yang menyangkut tanah perkebunan yaitu berbentuk penyerobotan tanah-tanah perkebuan yang telah dilekati dengan Hak Guna Usaha (HGU), baik yang masih berlaku maupun yang sudah berakhir. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sendiri mencatat pada tahun 2011 setidaknya ada 163

kasus konflik agraria di seluruh Indonesia dengan kasus terbanyak di Jawa Timur (36 kasus) disusul Sumatera Utara (25 kasus), Sulawesi Tenggara (15 kasus), Jambi (11 kasus), dan Riau (10 kasus). Sedang menurut jenisnya, konflik agraria yang terjadi pada tahun 2011 ditempati oleh konflik perkebunan di urutan pertama (97 kasus), konflik kehutanan (36 kasus), konflik infrastruktur (21 kasus) (KPA, 2011: 5).

Berdasarkan penjelasan di atas maka penyelesaian konflik agraria tidak terlepas dari aspek penegakan hukum itu sendiri. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penegakan hukum merupakan usaha untuk menegakkan norma-norma dan kaidah-kaidah hukum sekaligus nilai-nilai yang ada di belakangnya. Aparat penegak hukum hendaknya memahami benar-benar jiwa hukum (legal spirit) yang mendasari peraturan hukum yang harus ditegakkan, terkait dengan berbagai dinamika yang terjadi dalam proses pembuatan perundang-undangan (law making process) (Muladi, 2002: 69). Nilai-nilai hukum substantif berisikan asumsi-asumsi fundamental mengenai distribusi dan penggunaan sumber-sumber di dalam masyarakat, hal-hal yang secara sosial dianggap benar atau salah, dan seterusnya.

Nilai-nilai hukum ajektif mencakup sarana pengaturan sosial maupun pengelolaan konflik yang terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam perkembangan selanjutnya, Friedman memperkenalkan konsepsi sistem hukum yang mencakup struktur hukum, substansi hukum dan kultur atau budaya hukum. Struktur hukum merupakan suatu wadah, kerangka maupun bentuk dari sistem hukum, yakni susunan dari unsur-unsur sistem yang bersangkutan. Substansi hukum mencakup norma-norma atau kaidah-kaidah mengenai patokan perilaku yang pantas dan

Page 75: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

60 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 53 - 69 Indikasi Kriminalisasi Pembela HAM dalam Sengketa Agraria (Ria Casmi Arrsa) | 61

prosesnya. Kultur atau budaya hukum mencakup segala macam gagasan, sikap, kepercayaan, harapan maupun pendapat-pendapat (pandangan-pandangan) mengenai hukum (Friedman dalam Soekanto, 1986: 35).

Menurut Jimly Asshiddiqie penegakan hukum (the enforcement of law), yaitu menyangkut kegiatan pengawasan terhadap penyimpangan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, penghakiman, dan pemidanaan atau penetapan vonis oleh hakim, serta kegiatan eksekusi putusan, dan kegiatan pemasyarakatan kembali (resosialisasi). Beranjak dari penjelasan tersebut maka, penegakan hukum merupakan sub-sistem sosial, sehingga penegakannya dipengaruhi lingkungan yang sangat kompleks seperti perkembangan politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam, iptek, pendidikan dan sebagainya (Asshiddiqie, 2009: 5).

Beranjak dari penjelasan di atas maka kedudukan perlindungan hukum terhadap aktivis hak asasi manusia dalam konteks penegakan hukum harus diletakkan pada upaya untuk menjamin kemerdekaan setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Setiap isu dan/atau kepentingan umum terutama merupakan penjumlahan atas berbagai kasus spesifik dari jenis-jenis isu yang sama, misalnya seperti dalam berbagai upaya untuk membela kepentingan kelompok tani yang tergusur dan tertindas karena sedikit sekali jembatan aspirasi di antara mereka.

Mengingat bahwa HAM melekat pada setiap manusia, maka dengan sendirinya setiap orang memiliki hak untuk memperoleh dan mempertahankan haknya sebagai manusia, bahkan merupakan tanggung jawabnya sebagai manusia. Jika konsepsi HAM telah menjadi suatu

keyakinan dan suara hati nurani, maka adalah hak asasi seseorang untuk mempertahankan, menyampaikan keyakinan tersebut, dan memperjuangkannya melalui organisasi atau perkumpulan. Hal ini merupakan konsekuensi dari jaminan hak atas kemerdekaan berpikir dan berkeyakinan, kemerdekaan berpendapat dan kebebasan berserikat sebagaimana dijamin dalam Pasal 18, 19, dan 20 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Secara konstitusional hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 28E UUD 1945. Hak untuk menjadi pembela HAM adalah bagian dari HAM itu sendiri. Karena merupakan bagian dari HAM, maka hak ini tidak dapat dihilangkan walaupun negara telah diwajibkan untuk melindungi dan memajukan HAM.

Dalam konsep hukum HAM, negara dalam hal ini adalah pemerintah mempunyai kedudukan sebagai pemangku kewajiban (duty bearer). Kewajiban yang diemban negara terdiri atas tiga bentuk, yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfil). Kewajiban untuk menghormati (obligation to respect) adalah kewajiban negara untuk menahan diri untuk tidak melakukan intervensi, kecuali atas hukum yang sah (legitimate) (Prasetyo, 2010: 2). Atas dasar itulah maka dengan meminjam istilah dari Meuwissen, pengembangan hukum (rechtbeofening) antara yang praktis dan yang teoritis pada masa sekarang, terutama di Indonesia mutlak untuk mengalami suatu pergeseran paradigma pemikiran yang baru tentang gagasan perlindungan hak asasi manusia dalam konteks persintuhan gagasan HAM dan konflik sosial yang sedang berjalan. Para ahli hukum Indonesia mempertanyakan kembali jarak antara law in books dengan law in action yang sudah cukup memprihatinkan. Ketidakmampuan hukum dalam mengatasi masalah-masalah sosial di luar hukum

Page 76: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

62 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 53 - 69

akan berakibat pada kewibawaan hukum itu sendiri. Masyarakat memberikan kepercayaan kepada hukum untuk dapat menyelesaikan konflik dan sengketa yang sedang terjadi (Sidharta, 1999: 177).

IV. ANALISIS

A. Perspektif Sociolegal Terhadap Putusan Nomor 250.Pid.B.2013/PN.PLG dan Putusan Nomor 76/PID/2013/PT.PLG

Beranjak pada uraian latar belakang permasalahan dan kerangka teoritik yang telah dipaparkan maka menarik untuk dilakukan analisis Putusan Nomor 250.Pid.B.2013/PN.PLG dan Putusan Nomor 76/PID/2013/PT.PLG dari perspektif sociolegal yang berelasi erat dengan serangkaian praktik kriminalisasi aktivis hak asasi manusia yang mencerminkan adanya kondisi yang tidak seimbang dalam konteks perlindungan hukum bagi setiap warga negara yang memperjuangkan keadilan di sektor agraria. Hal ini ditandai dengan adanya mekanisme hukum yang ditempuh oleh aparat kepolisian dan/atau pihak investor untuk membawa persoalan-persoalan sengketa agraria ke meja peradilan. Upaya dimaksud lazimnya dialamatkan pada tindakan kriminalisasi dengan dalih penghasutan atas tindakan yang menggerakkan massa untuk menolak suatu kebijakan penguasaan atas tanah yang telah dikeluarkan oleh pemerintah.

Sebagaimana didakwakan kepada AS dan DC atas tindakan penghasutan terhadap kericuhan yang terjadi pada saat demonstrasi massa di Mapolda Sumatera Selatan maka patut untuk kemudian dicermati bahwa delik penghasutan dalam optik hukum pidana materiil harus dapat dibuktikan secara materiil pula. Dalam ilmu hukum pidana, kualifikasi delik dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu delik formil dan

delik materiil. Delik formil ialah delik yang dalam perumusannya hanya menitik beratkan pada suatu perbuatan yang dilarang/diancam pidana oleh undang-undang, tanpa perlu melihat ada tidaknya akibatnya dari perbuatan itu. Sementara delik materiil dalam perumusannya, lebih menekankan pada terjadinya akibat dari suatu perbuatan pidana.

Sebagaimana disebutkan di atas, R. Soesilo menggolongkan delik penghasutan sebagai delik formil, hal ini dapat dilihat dari penjelasannya yang pada pokoknya menganggap seseorang cukup telah dapat dianggap melakukan penghasutan walaupun isi dari kata-kata hasutan yang diucapkannya tidak betul-betul dilakukan oleh orang yang terhasut. Dalam kaitannya dengan kualifikasi delik ini, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 7/PUU-VII/2009, menegaskan bahwa: “... dalam penerapannya, pasal a quo (baca: Pasal 160 KUHP) harus ditafsirkan sebagai delik materiil dan bukan sebagai delik formil. Hal ini berarti, penjelasan R. Soesilo sepanjang mengenai kualifikasi delik dalam Pasal 160 KUHP tidak dapat diterapkan lagi, sehingga persyaratan terjadinya perbuatan penghasutan dalam Pasal 160 KUHP bertambah satu syarat sejalan dengan sifat delik materiil yaitu akibat dari perbuatan penghasutan itu harus benar-benar terjadi, yakni: si terhasut melakukan isi hasutan (Soesilo, 1976: 117).

Terhadap ketentuan Pasal 160 KUHP, yang juga dimohonkan oleh Rizal Ramly, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 160 dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Keberadaan pasal itu masih relevan dan diperlukan. Namun demikian, dalam pertimbangan hukum putusan tersebut Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir baru, bahwa Pasal 160 merupakan delik material, bukan delik formal. Dengan demikian dalam

Page 77: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

62 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 53 - 69 Indikasi Kriminalisasi Pembela HAM dalam Sengketa Agraria (Ria Casmi Arrsa) | 63

penerapan hukumnya harus dibuktikan hubungan antara tindakan seseorang dengan suatu tindakan atau peristiwa untuk dapat memenuhi unsur penghasutan.

Demikian halnya dengan mengacu pada penerapan asas culpabilitas yaitu asas tiada pidana tanpa kesalahan (afwijzigheid van alle schuld). Adapun ajaran kesalahan (schuld) yang dikenal dalam ilmu hukum pidana yaitu sebagaimana terurai bahwa kesalahan (schuld) terdiri dari adanya unsur kesengajaan (dolus/opzet) ataupun kealpaan (culpa) yang dimaksud dengan kesengajaan (dolus/opzet) adalah perbuatan yang dikehendaki dan si pelaku menginsafi akan akibat dari perbuatan itu. Sedangkan yang dimaksud dengan kealpaan (culpa) adalah sikap tidak hati-hati dalam melakukan suatu perbuatan sehingga menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang di samping dapat menduga akibat dari perbuatan itu adalah hal yang terlarang.

Dalam ajaran hukum pidana maka unsur kesengajaan (dolus/opzet) mempunyai tiga bentuk yaitu: 1) kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk); 2) kesengajaan dengan keinsyafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn) dan 3) kesengajaan dengan keinsyafan kemungkinan (dolus eventualis), sedangkan kealpaan atau disebut culpa dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu kealpaan dengan kesadaran (bewuste schuld) dan kealpaan tanpa kesadaran (onbewuste schuld) (Marpaung, 2008: 35). Dengan demikian, penulis berpendapat, perlu adanya penambahan satu syarat lagi untuk menyatakan seseorang bersalah melakukan delik penghasutan yaitu orang yang malakukan tindakan untuk menghasut harus melakukannya dengan sengaja.

Penulis berpandangan bahwa pelaksanaan demonstrasi sendiri merupakan bentuk

kemerdekaan dalam menyatakan pendapat yang dijamin dalam konstitusi (UUD 1945). Sebagai anak kandung demokrasi keberadaan mekanisme dimaksud sah dilakukan oleh siapa saja yang percaya dan menganut paham demokrasi sebagai jalan hidup dalam dinamika bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu unjuk rasa atau demonstrasi (“demo”) lebih bersubstansikan pada sebuah gerakan massa dan protes yang dilakukan sekumpulan orang di hadapan khalayak. Unjuk rasa biasanya dilakukan untuk menyatakan pendapat kelompok atau menentang kebijakan yang dilaksanakan suatu pihak atau dapat pula dilakukan sebagai sebuah upaya penekanan secara politik oleh kepentingan-kepentingan kelompok secara bersama-sama (collective).

Sebagai bagian dari pelaksanaan ekspresi demokrasi tentulah tindakan menyatakan pendapat di muka umum memiliki dasar konstitusional yaitu kemerdekaan dan kebebasan menyatakan pendapat sebagaimana termaktub di dalam ketentuan Pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi,“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.” Oleh sebab itu praktik demonstrasi sebagai pilar pelaksanaan dan penegakan demokrasi tidak akan pernah lekang dari praktik penyelenggaraan negara yang demokratis. Atas dasar itulah maka penulis berpandangan vonis atas tindakan kriminalisasi yang ditujukan kepada aktivis hak asasi manusia yang secara kritis memperjuangkan keadilan di sektor agraria merupakan cermin inkonsistensi terhadap pemenuhan hak-hak warga negara bagi keadilan agraria. Upaya hukum melalui tindakan kriminalisasi dimaksud memiliki dua akibat, pertama, adalah terhentinya aktivitas pembela HAM yang sedang dilakukan sehingga

Page 78: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

64 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 53 - 69

pelanggaran HAM yang diperjuangkan tidak mendapat penyelesaian atau berunjung pada impunity. Kedua, perhatian publik akan teralihkan dari kasus utama pelanggaran HAM yang sedang diperjuangkan pembela HAM kepada kriminalisasi yang ditujukan kepada pembela HAM itu sendiri.

B. Perlindungan Hukum Bagi Pembela Hak Asasi Manusia dalam Perjuangan Agraria di Masa yang Akan Datang

Berdasarkan penjelasan di atas maka potret konflik agraria dengan motif alih fungsi tanah tidak sebatas pada persoalan sosial akan tetapi telah meluas menjadi lebih ke persoalan ekonomi dan politik yang membuat struktur kepemilikan tanah di Indonesia menjadi sangat timpang. Pemilik modal, dari kalangan perusahaan swasta maupun perusahaan milik pemerintah, yang mengendalikan penguasaan tanah yang ekstra luas mengakibatkan masyarakat biasa hanya dapat memiliki “beberapa jengkal” tanah saja, sehingga menciptakan banyak petani kelas “gurem” dan petani penggarap.

Seharusnya, masuknya investasi di sektor perkebunan, diharapkan bisa memberi peningkatan manfaat secara ekonomi dan sosial kepada masyarakat luas. Namun, harapan itu seringkali hanya ada di atas kertas saja. Karena pada kenyataannya, konflik-konflik yang berbasis pertanahan justru erat kaitannya dengan kegiatan investasi di sektor perkebunan, pertambangan dan kehutanan ini.

Persoalannya adalah bagaimana kegiatan ekonomi yang digerakkan melalui sektor perkebunan tidak memunculkan adanya konflik yang berbasis masalah pertanahan. Inilah yang harus mendapatkan perhatian secara serius, karena

konflik pertanahan yang terjadi pada akhirnya cenderung membawa dampak yang panjang dan berlarut-larut, baik di bidang sosial, ekonomi, politik, ketertiban dan keamanan dalam negeri. Itulah sebabnya, masyarakat kecil yang lemah modal, misalnya masyarakat adat, petani gurem, dan petani penggarap selalu menjadi pihak yang kian termarginalkan tatkala mencuat masalah konflik pertanahan. Serikat Petani Indonesia (SPI) mencatat bahwa dalam berbagai konflik agraria, banyak terjadi kriminalisasi petani dan memakan korban jiwa, sebagaimana data berikut ini (SPI, 2011: 4):

Berdasarkan data di atas maka berbagai kasus konflik pertanahan yang bermunculan menggambarkan bahwa ternyata negara belum bisa mengelola konflik pertanahan yang ada. Indikasinya, eskalasi konflik pertanahan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Kasus-kasus tersebut menumpuk dan belum dapat terselesaikan. Terlebih lagi banyak dari kasus-kasus tersebut yang cenderung diwarnai adanya kekerasan-kekerasan dalam dinamika konfliknya.

Beranjak dari penjelasan di atas maka bagi kelompok petani maupun individu yang memberikan perhatian terhadap pemajuan maupun perjuangan atas berjalannya konflik agraria yang terjadi maka diperlukan adanya upaya perlindungan hukum atas aktivitas yang sedang dijalankan. Perlindungan hukum bagi setiap warga negara yang memberi perhatian terhadap perjuangan keadilan di sektor agraria merupakan suatu keniscayaan di tengah tatanan hukum agraria yang berlaku di Indonesia. Dalam kenyataan empiris menunjukkan bahwa kemajuan pembangunan juga diiringi dengan berbagai celah kelemahan baik dari sisi kewenangan, administrasi, model perencanaan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable

Page 79: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

64 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 53 - 69 Indikasi Kriminalisasi Pembela HAM dalam Sengketa Agraria (Ria Casmi Arrsa) | 65

development). Perhatian dan perjuangan umat manusia untuk memenuhi haknya pada akhirnya mengharuskan manusia hidup secara berkelompok dan terorganisasi. Pembentukan negara adalah manifestasi keinginan untuk melindungi kemanusiaan dan hak asasi manusia. Negara memperoleh kekuasaan dari warga negara sebagai pemegang kedaulatan semata-mata untuk memenuhi dan melindungi hak asasi warga negara. Konsepsi ini melahirkan prinsip demokrasi di mana negara adalah “dari, oleh, dan untuk rakyat.”

Pada tahun 1998 Majelis Umum PBB mengesahkan Declaration on the Right and Responsibility of Individuals, Groups, and Organs of Society to Promote and Protect Universally Recognized Human Rights and Fundamental Freedom. Deklarasi tersebut merupakan pernyataan yang mengikat secara moral bagi para negara-negara anggota untuk melakukan upaya perlindungan terhadap pembela HAM. Ketentuan

Pasal 1 Deklarasi Pembela HAM menyatakan “Everyone has the right, individually and in association with others, to promote and to strive for the protection and realization of human rights and fundamental freedoms at the national and international levels”. (Setiap orang mempunyai hak, secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, untuk memajukan dan memperjuangkan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dan kebebasan dasar di tingkat nasional dan internasional).

Beranjak dari penjelasan di atas maka permasalahan-permasalahan tentang sengketa agraria semakin banyak diperbincangkan mengingat masyarakat sudah mulai menyadari kondisi marginalisasi kelompok petani kian menggerus di tengah praktik privatisasi yang sedang berjalan. Yang menjadi pertanyaan, mengapa sengketa maupun konflik agraria terus terjadi? Maka jawaban sederhana yang akan

Tabel 1Perkembangan Kasus Agraria 2009-2011

Tahun KasusLuasan

Lahan (Ha)Kriminalisasi

PetaniTergusur Tewas

2007 76 196.179 166 orang 24.257 KK 8 orang

2008 63 49.000 312 orang 31.267 KK 6 orang

2009 24 328.497,86 84 orang 5.835 KK 4 orang

2010 22 77.015 106 orang 21.367 KK 5 orang

2011 120 342.360,43 35 orang 2 7 3 . 8 8 8 KK

18 orang

Sumber: Serikat Petani Indonesia 2011

Page 80: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

66 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 53 - 69

terlontar yaitu tingkat kesadaran dan kepedulian yang rendah, juga ditunjang oleh kurangnya pemahaman tentang pentingnya penegakan aspek hukum di sektor agraria. Aspek hukum sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari nilai (values) yang berlaku di suatu masyarakat, bahkan hukum itu sendiri merupakan pencerminan daripada nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

Mengacu pada penjelasan di atas maka dalam hal penyelenggaraan suatu negara dalam sistem yang desentralistik maka problematika perlindungan dan pengelolaan di sektor agraria tidak akan selesai dengan pemberlakuan undang-undang dan komitmen untuk melaksanakannya. Penetapan suatu undang-undang yang mengandung instrumen hukum masih harus diuji dalam pelaksanaannya (uitvoering atau implementation) sebagai bagian dari mata rantai pengaturan (regulatory chain) pengelolaan di sektor agraria.

Berdasarkan laporan dari Imparsial pada tahun 2005 hingga 2009 kasus kekerasan terhadap pembela HAM tetap banyak terjadi. Terdapat beberapa bentuk kekerasan yang dialami oleh pembela HAM antara lain intimidasi atau ancaman kekerasan baik terhadap diri sendiri maupun keluarga, penganiayaan fisik, penangkapan secara sewenang-wenang, penyiksaan, kriminalisasi, bahkan pembunuhan dan penembakan hingga tewas. Dari berbagai bentuk kekerasan tersebut, dalam banyak kasus terjadi sebagai satu rangkaian tindakan, misalnya mulai dari penangkapan secara sewenang-wenang, penganiayaan dalam proses pemeriksaan, serta kriminalisasi terhadap aktivitas pembelaan HAM yang dilakukan para pembela HAM (Al Araf & Indarti, 2005: 30). Berikut ini data bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi pada pembela HAM pada 2005 sampai 2009:

Beranjak dari data di atas maka upaya perlindungan hukum bagi setiap warga negara yang berjuang untuk memajukan dan/atau membangun keadilan di sektor agraria tidak semata-mata diletakkan pada kerangka legal atas penegakan hukum agraria dengan semangat reformasi agraria (land reform) bagi kesejahteraan rakyat. Pada bagian ini ditegaskan prinsip dasar bahwa setiap orang berhak untuk menjadi pembela HAM (vide Pasal 1 Deklarasi Pembela HAM). Untuk dapat diakui sebagai pembela HAM, aktivitas yang dilakukan harus merupakan aktivitas dalam upaya perlindungan, penghormatan, pemenuhan, dan

Tabel 2Bentuk Kekerasan Terhadap Pembela HAM

(Human Rights Defender)

No Bentuk Pelanggaran Jumlah

1 Intimidasi/Ancaman Kekerasan/Teror 21

2 Penangkapan/Penculikan 26

3 Penyiksaan 2

4 Penganiayaan 39

5 Kriminalisasi 15

6 Perampasan properti 4

7 Perusakan properti 10

8 Penembakan 5

9 Penyanderaan 1

10 Pelarangan buku 1

11 Pembunuhan 1

Sumber: Imparsial, 2009.

Page 81: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

66 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 53 - 69 Indikasi Kriminalisasi Pembela HAM dalam Sengketa Agraria (Ria Casmi Arrsa) | 67

pemajuan HAM dengan cara: (1) Non violence; (2) Non combatan; dan (3) Imparsial.

Prinsip selanjutnya yang perlu ditegaskan adalah kewajiban negara untuk melindungi dan menghormati hak setiap orang sebagai pembela HAM, serta melindungi dan menghormati hak yang melekat dan diperlukan dalam menjalankan aktivitas sebagai pembela HAM. Kewajiban negara tersebut harus dilaksanakan oleh setiap lembaga negara, institusi pemerintahan, dan aparat penegak hukum. Pada saat melakukan aktivitas sebagai pembela HAM, seseorang memiliki seperangkat hak yang diperlukan untuk dapat berperan serta dalam perlindungan, penghormatan, pemenuhan, dan pemajuan HAM. Seperangkat hak tersebut perlu ditegaskan sebagai salah satu bentuk jaminan perlindungan yang harus dipenuhi terutama oleh negara. Hak tersebut meliputi:

1. Hak untuk mewujudkan perlindungan dan realisasi HAM baik pada level nasional maupun internasional.

2. Hak untuk melakukan kerja-kerja HAM baik secara individu maupun dalam organisasi dengan individu lain.

3. Hak untuk membentuk asosiasi dan organisasi non-pemerintah.

4. Hak untuk bertemu atau membuat pertemuan secara damai.

5. Hak untuk mencari, mendapatkan, menerima, dan menyimpan informasi terkait dengan HAM.

6. Hak untuk mendiskusikan dan mengembangkan ide-ide dan prinsip-prinsip baru tentang HAM dan memperjuangkan penerimaannya.

7. Hak untuk menyampaikan proposal dan kritik tentang masalah publik kepada lembaga-lembaga dan organisasi pemerintahan demi meningkatkan fungsinya dan untuk memberikan perhatian terhadap berbagai aspek dari kerja HAM yang dapat mendorong realisasi HAM.

8. Hak untuk menyatakan keberatan dan mendapatkan tanggapan terhadap kebijakan dan tindakan pejabat terkait dengan HAM.

9. Hak untuk menawarkan dan memberikan bantuan hukum profesional atau bantuan dan nasihat-nasehat lain dalam membela HAM.

10. Hak untuk menghadiri dengar pendapat (public hearing), proses pemeriksaan (penyelidikan dan penyidikan) dan persidangan untuk menilai kesesuaiannya dengan hukum nasional dan ketentuan HAM internasional.

11. Hak untuk tidak dihambat atas akses dan komunikasi dengan organisasi non pemerintah dan organisasi internasional.

12. Hak untuk mendapatkan keuntungan dari suatu ganti kerugian.

13. Hak untuk melakukan pekerjaan atau profesi pembela HAM.

14. Hak atas perlindungan efektif menurut hukum nasional dalam mereaksi atau melawan, secara damai, atas tindakan atau pembiaran yang dilakukan negara yang menghasilkan pelanggaran HAM.

15. Hak untuk mengumpulkan, menerima, dan menggunakan sumber-sumber daya untuk melindungi HAM. (Termasuk hak untuk

Page 82: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

68 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 53 - 69

menerima dana dari luar negeri).

Pembela HAM dalam melakukan aktivitasnya juga terikat dengan prinsip-prinsip HAM dan aturan hukum dalam masyarakat yang demokratis. Oleh karena itu pembela HAM juga memiliki kewajiban antara lain memberikan informasi data secara jujur dan bertanggung jawab dan menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan penjelasan dimaksud maka dengan adanya perlindungan hukum bagi aktivis pembela HAM yang memperjuangkan keadilan di sektor agraria diharapkan akan mampu untuk mencegah motif kriminalisasi dan labelisasi negatif bagi aktivis HAM dalam mengaspirasikan perbedaan pendapat di ruang-ruang publik. Terwujudnya kondisi perlindungan hukum yang optimal bagi pembela HAM dengan sendirinya akan mendorong upaya-upaya untuk mewujudkan tatanan bernegara yang demokratis dan partisipatif sebagai tonggak untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

V. SIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas maka dalam penulisan karya ilmiah ini dapat disimpulkan bahwa, pertama, bahwa dalam perspektif sociolegal terhadap Putusan Nomor 250.Pid.B.2013/PN.PLG dan Putusan Nomor 76/PID/2013/PT.PLG harus tetap dihormati sebagai sebuah produk hukum yang dilahirkan dari lembaga peradilan yang sah di Indonesia. Namun demikian atas keluarnya putusan dimaksud hakim dalam memutus perkara lebih menekankan penggunaan penerapan delik formil atas tindakan penghasutan dalam kegiatan demonstrasi yang berujung pada kericuhan. Bagi perjuang aktivis HAM di sektor agraria dikeluarkannya putusan dimaksud merupakan preseden buruk

mengingat tindakan kriminalisasi memiliki akibat terhentinya aktivitas pembela HAM yang sedang dilakukan sehingga pelanggaran HAM berujung pada praktik impunity. Demikian halnya terhadap perhatian publik akan teralihkan dari kasus utama pelanggaran HAM yang sedang berjalan. Kedua, oleh karena Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 7/PUU-VII/2009 memberikan tafsir bahwa delik penghasutan harus dikualifikasi sebagai delik materiil maka dari itu terhadap putusan yang dijatuhkan pada tingkat banding hendaknya dilakukan kasasi agar dilakukan upaya pemulihan hukum terhadap hak-hak terdakwa pada posisi semula. Ketiga, upaya perlindungan hukum bagi pembela hak asasi manusia di sektor agraria perlu diupayakan untuk meratifikasi mandat Majelis Umum PBB yang telah mengesahkan Declaration on the Right and Responsibility of Individuals, Groups, and Organs of Society to Promote and Protect Universally Recognized Human Rights and Fundamental Freedom.

DAfTAR PUSTAKA

Al Araf, Muchamad Ali Safa’at & Poengky Indarti. 2005. Perlindungan Pembela HAM. Jakarta: Imparsial.

Asshiddiqie, Jimly. 2009. Menuju Negara Hukum yang Demokratis. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.

Bedner, Adriaan W. 2012. Kajian Sosio-Legal. Denpasar: Pustaka Larasan bekerjasama dengan Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Universitas Groningen.

Hoebel, E. Adamson. 1968. The Law of Primitive Man, A Study in Comparative Legal Dynamics. New York: Antheum.

Page 83: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

68 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 53 - 69 Indikasi Kriminalisasi Pembela HAM dalam Sengketa Agraria (Ria Casmi Arrsa) | 69

Konsorsium Pembaruan Agraria. 2011. “Tahun Perampasan Tanah dan Kekerasan Terhadap Rakyat.” Laporan Akhir Tahun KPA Tahun 2011. Jakarta.

Marpaung, Leden. 2008. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Penerbit Sinar Grafika.

Muladi. 2002. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Nurjaya, I Nyoman. 2006. Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif Antropologi Hukum. Diterbitkan atas kerjasama Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana, Arena Hukum Majalah Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dengan Penerbit Universitas Negeri Malang (UM Press) Malang.

Pospisil, L. 1971. Anthropology of Law, A Comparative Theory. London: Harper & Row Publisher.

Prasetyo, Stanley Adi. 2010. Landsekap HAM di Indonesia. Jakarta: KOMNAS HAM RI.

Serikat Petani Indonesia. 2011. “Tahun Korporasi dan Penggusuran Pertanian Rakyat.” Catatan Akhir Tahun 2011 SPI. Jakarta.

Sidharta, Bernard Arief. 1999. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. Bandung: Mandar Maju.

Simarmata, Rikardo. 2007. “Socio-Legal Studies dan Gerakan Pembaharuan Hukum.” Digest Law, Society & Development. Volume I Desember 2006-Maret 2007.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press.

Soesilo, R. 1976. Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Penerbit Politeia.

Suhariningsih. 2010. “Kebijakan Pertanahan di Bidang HGU (Perkebunan) Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat di Era Otonomi Daerah.” Makalah disampaikan pada Simposium Nasional Satu Dasawarsa Otonomi Daerah yang diselenggarakan oleh PPOTODA Universitas Brawijaya 1 Desember 2010.

Supriadi. 2010. Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Wignyosoebroto, Soetandyo. 2002. Tentang Kajian“Hukum Dalam Masyarakat” (Sebuah Pengenalan). Akses tanggal 1 Januari 2014. http://www.soetandyowignyosoebroto.wordpress.com.

_______________________. 2002. Hukum Paradigma, Metode dan Masalah. Jakarta: Elsam dan Huma.

_______________________. 2007. Hukum dalam Masyarakat (Perkembangan dan Masalah) sebuah Pengantar ke Arah Sosiologi Hukum. Malang: Bayumedia Publishing.

Wiradi, Gunawan. 2000. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Yogyakarta: Insist Press.

Zuhro, Siti. 2011. Negara dan Konflik Agraria: Penyelesaian Konflik Perkebunan di Jawa Timur. Jakarta: LIPI.

Page 84: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

70 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 70 -87

ABSTRAK

Putusan progresif Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011 dengan mengabulkan sebagian permohonan pemohon atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah cukup melegakan bagi penyidik kepolisian dan kejaksaan untuk memberantas tindak pidana korupsi oleh pejabat daerah. Putusan tersebut menghilangkan frase “persetujuan tertulis Presiden atas permintaan penyidik” dan “jangka waktu 60 (enam puluh) hari” pada Pasal 36 UU Pemerintahan Daerah masing-masing ayat (1) dan ayat (2). Prinsip negara hukum (legal state) di antaranya bercirikan equality before the law dan independent judiciary akan terganggu manakala proses penyelidikan dan penyidikan bagi pejabat daerah harus melalui izin tertulis dari Presiden. Paradigma hukum progresif adalah salah satu pendekatan yang dapat membantu aparat hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, termasuk yang dilakukan oleh pejabat daerah. Penulis menilai positif putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011 sebagai kontribusi bagi pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Kata kunci: hukum progresif, tindak pidana korupsi, Mahkamah Konstitusi, pejabat daerah.

ABSTRACT

The Progressive Decision Number 73/PUU-IX/2011 of the Constitutional Court which approves several petition of Law Number 32 of 2004 on Regional Government has become a relief for police investigators and prosecutors in efforts of eradicating corruption committed by local officials. The decision eliminates the phrase “written approval by the President at the request of the investigator” and “period of 60 (sixty) days” in article 36 of Law on Local Government, in each paragraph (1) and paragraph (2). The principles of Legal State, which are the equality before the

RULE BREAKING DAN INTEGRITAS PENEGAK HUKUM PROGRESIF DALAM PEMBERANTASAN

KORUPSI PEJABAT DAERAH

Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011

Rule BReaking AND PROGRESSIVE LAw ENFORCER’S INTEGRITY IN THE EFFORT OF ERADICATING CORRUPTION

COMMITTED BY LOCAL OFFICIALS

Wahyu NugrohoFakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta

Jl. Prof. Soepomo, SH. No. 84 Tebet Jakarta Selatan 12870Email: [email protected]

An Analysis of Constitutional Court’s Decision Number 73/PUU-IX/2011

Diterima tgl 14 Februari 2014/Disetujui tgl 24 Maret 2014

Page 85: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

70 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 70 -87 Rule Breaking dan Integritas Penegak Hukum Progresif (Wahyu Nugroho) | 71

I. PENDAHULUAN

Tugas negara adalah melaksanakan peraturan perundang-undangan untuk menegakkan ketertiban. Selain itu negara juga bertugas untuk mencapai kesejahteraan rakyat (welfare state) sebagai bentuk keadilan (Husodo, 2009: 65). Negara Indonesia adalah negara yang menganut prinsip hukum. Menurut Jimly Asshiddiqie terdapat dua belas prinsip pokok sebagai pilar-pilar utama yang menyangga berdirinya negara hukum, antara lain: supremasi hukum (supremacy of law), persamaan dalam hukum (equality before the law), asas legalitas (due process of law), pembatasan kekuasaan, organ-organ penunjang yang independen, peradilan bebas dan tidak memihak, peradilan tata usaha negara, mahkamah konstitusi (constitutional court), perlindungan hak asasi manusia, bersifat demokratis (democratishe rechtsstaat), berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (welfare rechtsstaat) dan transparansi dan kontrol sosial. Prinsip-prinsip negara hukum tersebut selalu berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat dan negara (Asshiddiqie, 2004: 122).

Korupsi merupakan salah satu masalah yang terjadi dalam kehidupan kenegaraan Indonesia. Sesuai dengan konsep negara hukum yang dianut Indonesia maka upaya pemberantasan korupsi pun dilakukan. Semangat dan upaya memberantas

korupsi di era reformasi ditandai terutama dengan keluarnya berbagai produk perundang-undangan, dimulai dengan keluarnya:

a. TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN);

b. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang di dalamnya memuat ketentuan kriminalisasi delik “kolusi” (Pasal 21) dan delik “nepotisme” (Pasal 22); dan

c. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengubah dan mengganti Undang-Undang Lama (UU Nomor 3 Tahun 1971), dan terakhir diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kebijakan legislatif itu masih ditambah lagi dengan keluarnya beberapa Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden yang berhubungan dengan “Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara,” Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara dan Komisi Ombudsman Nasional.

law and an independent judiciary, will be disturbed when the investigation of local officials must first pass a written permission of the President. The progressive law paradigm is one of the approaches used by law enforcement agencies in efforts of eradicating corruption which include corruption

committed by local officials. The author considers positively to the Constitutional Court’s Decision Number 73/PUU-IX/2011 as a contribution to the efforts of corruption eradication in Indonesia.

Keywords: progressive law, corruption, Constitutional court, local official.

Page 86: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

72 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 70 -87

Memperhatikan berbagai langkah kebijakan penanggulangan korupsi di atas, Barda Nawawi Arief memandang bahwa strategi kebijakan lebih fokus pada upaya melakukan “pembaharuan undang-undang” (law reform). Upaya melakukan pembaharuan undang-undang merupakan langkah yang sepatutnya dilakukan di satu sisi, namun di sisi lain masalah korupsi sarat dengan berbagai kompleksitas masalah. Maka Profesor Barda menekankan untuk menggunakan pendekatan integral. Tidak hanya menggunakan “law reform,” tetapi juga seyogianya disertai dengan “social, economic, political, cultural, moral, and administrative reform (Arief, 2003: 66).

Senada dengan hal ini, Sudarto pernah menyatakan: “Suatu clean government, di mana tidak terdapat atau setidak-tidaknya tidak banyak terjadi perbuatan-perbuatan korupsi, tidak bisa diwujudkan hanya dengan peraturan-peraturan hukum, meskipun hukum pidana dengan sanksinya yang tajam. Jangkauan hukum pidana adalah terbatas. Usaha pemberantasan secara tidak langsung dapat dilakukan dengan tindakan-tindakan di lapangan politik, ekonomi, pendidikan dan sebagainya” (Sudarto, 1981: 124).

Dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemohon menilai ketentuan Pasal 36 Undang-Undang Pemerintahan Daerah menghambat upaya pemberantasan korupsi dengan mewajibkan adanya persetujuan tertulis atau izin dari Presiden, apabila penyidik dari Kepolisian dan Kejaksaan akan melakukan

pemeriksaan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dalam perkara tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi.

Ketentuan Pasal 36 Undang-Undang Pemerintahan Daerah dinilai bertentangan dengan UUD 1945, yakni Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2). Adapun isi dari masing-masing pasal tersebut antara lain:

Pasal 24 ayat (1):

Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Pasal 27 ayat (1):

Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Pasal 28D ayat (1):

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Pasal 28I ayat (2):

Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

Berdasarkan atas jaminan-jaminan yang diberikan UUD 1945, maka ketentuan Pasal 36 Undang-Undang Pemerintahan Daerah dinilai

Page 87: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

72 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 70 -87 Rule Breaking dan Integritas Penegak Hukum Progresif (Wahyu Nugroho) | 73

oleh pemohon mengabaikan berbagai jaminan tersebut. Adapun isi dari Pasal 36 Undang-Undang Pemerintahan Daerah yaitu:

1. Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik;

2. Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan;

3. Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan diperlukan persetujuan tertulis sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2);

4. Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:

a. Tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; atau

b. Disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.

5. Tindakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) setelah dilakukan wajib dilaporkan kepada Presiden paling lambat dalam waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam.

Pemberantasan korupsi pejabat daerah hendaknya dilakukan secara luar biasa hingga “rule breaking.” Dalam psikologi, “rule breaking” termasuk ke dalam berpikir dengan menggunakan SQ, yang membuat kita mampu berpikir kreatif dan penuh wawasan (insightful). Oleh Zohar dan Marshall, “rule breaking” tersebut sebagai “an ability to reframe or contextualize our experience, and thus an ability to transform our understanding of it.”

Di sini kita tidak lagi mengalami dan menjalani kehidupan secara biasa-biasa, melainkan (tiba-tiba) menyadari adanya suatu kehidupan “yang lain.” Keadaan seperti itu oleh Zohar dan Marshall disebut sebagai “recontextualize” membangun suatu pemahaman baru dengan meluaskan konteks pengalaman di waktu lalu. “He has recontextualized his original situation and transformed his view of reality” (Zohar & Marshall, 2000: 178).

Ketentuan mengenai Pasal 36 UU Pemerintahan Daerah dapat diklasifikasikan sebagai bentuk pembatasan-pembatasan (restrictions) yang dilakukan pemerintah dalam hal ini Presiden dan berpotensi menimbulkan pengaruh yang buruk atau tidak tepat (improper influences) dan gangguan secara langsung atau tidak langsung terhadap kemerdekaan aparat penegak hukum dalam upaya menegakkan hukum secara adil dan tanpa pandang bulu.

Hasil kajian kejaksaan menyatakan bahwa prosedur izin dalam melakukan pemeriksaan pejabat negara merupakan salah satu hambatan dalam proses penegakan hukum. Hambatan dalam proses hukum perkara korupsi pejabat daerah akan menyebabkan terpasungnya tindakan “rule breaking” dan ujian integritas penegak hukum menjadi terganggu. Pertama,

Page 88: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

74 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 70 -87

proses penyidikan menjadi terhambat karena menunggu keluarnya izin pemeriksaan. Bahkan seringkali izin yang diminta tidak pernah ada jawaban apakah disetujui atau ditolak, sehingga penanganan perkaranya menjadi tidak jelas dan terkatung-katung penyelesaiannya. Kedua, terhambatnya proses pemeriksaan bagi pejabat negara, memengaruhi proses penyidikan terhadap tersangka lainnya dalam perkara yang melibatkan pejabat negara, sehingga penyidikannya menjadi lamban dan terkesan macet. Ketiga, dengan rentang waktu yang cukup lama sampai keluarnya izin pemeriksaan, tersangka masih bebas menghirup udara segar, sehingga dikhawatirkan melarikan diri, menghilangkan alat bukti surat, dapat mengulangi tindak pidana korupsi, dapat memengaruhi para saksi dan memindahtangankan kekayaan hasil korupsi kepada orang lain.

Melihat sejumlah variabel di atas hambatan dalam proses hukum tindak pidana korupsi bagi pejabat daerah akan menyebabkan beberapa hal antara lain: menumpuknya kasus-kasus korupsi pejabat daerah yang tidak dapat ditangani, prosedural, hanya menggunakan logika rasional, memakan waktu yang lama, dihadang oleh tembok kuat yaitu izin tertulis presiden, dinilai masyarakat bahwa penegak hukum tidak memiliki integritas dan komitmen yang kuat dalam pemberantasan korupsi serta mencederai rasa keadilan masyarakat. Hal tersebut sangat bertentangan dengan spirit hukum progresif antara lain:

a. Mempunyai tujuan besar berupa kesejahteraan dan kebahagiaan manusia;

b. Memuat kandungan moral kemanusiaan yang sangat kuat;

c. Hukum progresif adalah hukum yang membebaskan, meliputi dimensi yang

amat luas, tidak hanya bergerak pada ranah praktik, melainkan juga teori;

d. Bersifat kritis dan fungsional, oleh karena itu ia tidak henti-hentinya melihat kekurangan yang ada dan menemukan jalan untuk memperbaikinya (Rahardjo, 2007: 214).

Proses yang sangat prosedural dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi pejabat daerah ini pernah disindir sekaligus dikritik oleh Satjipto Rahardjo dengan kata-kata “Seharusnya tidak hanya prosedur yang dibaca, tetapi juga bertanya lebih jauh, apakah makna prosedur ini? Apakah yang ingin saya lakukan tidak bertentangan dengan keinginan bangsa untuk memberantas korupsi? Apakah ini bukan bentuk korupsi? Sudah benar dan adilkah bila saya berbuat begini?”

Sindiran Satjipto juga dikaitkan dengan negara hukum, beliau mengatakan: “negara hukum dan hukum bukan proyek dokumen kertas, tetapi proyek kultural yang memiliki roh keadilan. Oleh karena itu, membaca dan memahaminya sebagai kalimat-kalimat yang kering, linier dan masinal bisa membawa malapetaka, apalagi kalau ia dibaca dengan tujuan untuk menyelundupkan niat jahat.

Dalam tulisan ini, penulis memberikan secercah harapan kepada penegak hukum daerah (polisi dan jaksa) dalam pemberantasan korupsi pejabat daerah agar tidak terpasung oleh doktrin, prosedur dan teks-teks hukum yang sangat baku. Oleh karena itu berpikir dan bertindak yang luar biasa dalam pemberantasan korupsi daerah perlu dilakukan dengan mematahkan aturan lama (rule breaking), yakni dalam praktik hukum harus berani membebaskan diri dari konsep, doktrin, serta asas yang berlaku.

Page 89: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

74 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 70 -87 Rule Breaking dan Integritas Penegak Hukum Progresif (Wahyu Nugroho) | 75

II. RUMUSAN MASALAH

Melihat realitas empiris (empirical evidents) di kalangan pejabat daerah, baik kapasitas sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah dalam kasus korupsi atau perilaku yang menunjukkan koruptif, maka aparat penegak hukum daerah (polisi dan jaksa) mengambil peranan penting dalam proses penegakan hukum oleh pejabat daerah ini untuk berani dan bertindak yang luar biasa, lebih dari sekadar biasa. Karena tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary crime dan pelakunya pun (pejabat negara) juga masuk kategori extra ordinary, maka penanganannya harus dilakukan dengan ekstra pula dengan pendekatan hukum progresif. Bertitik tolak pada pemikiran inilah penulis memfokuskan pada dua permasalahan, yakni:

a. Bagaimana rule breaking dan integritas penegak hukum progresif dalam proses hukum pejabat daerah atas perkara tindak pidana korupsi berdasarkan ketentuan izin tertulis oleh presiden?

b. Bagaimana kontribusi hukum progresif dalam pemberantasan korupsi di kalangan birokrat pemerintah daerah sebagai upaya menciptakan good governance?

III. STUDI PUSTAKA

1. Watak Hukum Progresif dalam Keilmuan Hukum dan Praksis; Secercah Harapan bagi Penegak Hukum

Dasar filosofi dari hukum progresif adalah hukum merupakan suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia (Kusuma, 2009: 31). Hukum progresif berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk

manusia, dan bukan sebaliknya (Kristiana, 2009: 32). Berdasarkan hal itu, maka kehadiran hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan kemuliaan manusia. Itulah sebabnya ketika terjadi permasalahan di dalam hukum, maka hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum (Faisal, 2008: 6).

Orientasi hukum progresif bertumpu pada peraturan dan perilaku (rules and behavior). Di sini hukum ditempatkan sebagai aspek perilaku, namun juga sekaligus sebagai aspek peraturan. Peraturan akan membangun suatu sistem hukum positif yang logis dan rasional. Sedangkan aspek perilaku atau manusia akan menggerakkan peraturan dan sistem yang telah (akan) terbangun itu. Karena asumsi yang dibangun di sini, bahwa hukum bisa dilihat dari perilaku sosial penegak hukum dan masyarakatnya (Rahardjo, 2005: 6).

Satjipto Rahardjo mengutip ucapan Taverne, “berikan pada saya jaksa dan hakim yang baik, maka dengan peraturan yang buruk sekalipun saya bisa membuat putusan yang baik.” Mengutamakan perilaku (manusia) daripada peraturan perundang-undangan sebagai titik tolak paradigma penegakan hukum, akan membawa kita untuk memahami hukum sebagai proses dan proyek kemanusiaan. Hukum progresif menempatkan diri sebagai kekuatan ‘pembebasan,’ yaitu membebaskan diri dari tipe, cara berpikir, asas dan teori hukum yang legalistik-positivistik. Dengan ciri “pembebasan” itu, hukum progresif lebih mengutamakan “tujuan” daripada “prosedur.” Dalam konteks demikian, untuk melakukan penegakan hukum, maka perlu melakukan “mobilisasi hukum” maupun “rule breaking.”

Page 90: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

76 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 70 -87

Progresivisme mengajarkan bahwa hukum bukan raja, tetapi alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi memberikan rahmat kepada dunia dan manusia. Progresivisme tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral kemanusiaan. Oleh karena itu, menurut Satjipto asumsi yang mendasari progresivisme hukum adalah bahwa:

i. Hukum ada adalah untuk manusia, dan tidak untuk dirinya sendiri;

ii. Hukum itu selalu berada pada status law in the making dan tidak bersifat final;

iii. Hukum adalah institusi yang bermoral kemanusiaan, dan bukan teknologi yang tidak berhati nurani (Rahardjo, 2007: 228-229).

Penulis berpandangan bahwa penegak hukum yang progresif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tidak terbelenggu oleh tembok-tembok dogmatis, sehingga proses hukum terhadap pejabat daerah dapat dilakukan dalam rangka mencapai keadilan masyarakat (social justice). Prinsip proses hukum yang berkeadilan (due process of law) akan berjalan dengan baik manakala penegak hukum (polisi dan jaksa) menerapkan proses hukum terhadap pejabat daerah dalam kasus tindak pidana korupsi memiliki nilai-nilai persamaan seperti warga negara biasa (equality before the law).

Anthon Susanto memandang bahwa hukum progresif sebenarnya merupakan pertentangan dari paham positivistik yang dianut oleh hampir semua aparat penegak hukum, terutama hakim di Indonesia. Paham posivitistik ini selalu berpegang teguh kepada hukum tertulis (law in book), karena meyakini bahwa keadilan dapat terwujud

dengan menerapkan hukum tertulis. Dengan demikian seolah keadilan didefinisikan dalam hukum tertulis, pendefinisian apa yang adil dan tidak dalam hukum tertulis merupakan bentuk “kekerasan keadilan” yang mempersempit serta mensubjektivikasi makna keadilan (Susanto, 2010: 91).

2. Rule Breaking dan Integritas Penegak Hukum di dalam Melakukan Proses Hukum Pejabat Daerah Atas Perkara Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Ketentuan Izin Tertulis oleh Presiden

Menurut Suteki, sesungguhnya karakteristik hukum progresif terletak pada “rule breaking”-nya. Karakter ini yang penting berisi harapan lompatan berhukum yang ditujukan bagi penegak hukum untuk menghadirkan keadilan kepada masyarakat (bringing justice to the people). Proses menghadirkan keadilan tersebut, dapat dilakukan melalui tiga kegiatan pokok, yakni: pertama, mempergunakan kecerdasan spiritual untuk bangun dari keterpurukan hukum memberikan peran penting bagi kita untuk berani mencari jalan baru (rule breaking) dan tidak membiarkan diri terkekang cara lama, menjalankan hukum yang lama dan tradisional yang jelas-jelas lebih banyak melukai rasa keadilan. Kedua, pencarian makna lebih dalam hendaknya menjadi ukuran baru dalam menjalankan hukum dan bernegara hukum. Masing-masing pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum didorong untuk selalu bertanya kepada hati nurani tentang makna hukum yang lebih dalam. Ketiga, hukum hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip logika saja, tetapi dengan perasaan, kepedulian dan keterlibatan (compassion) kepada kelompok yang lemah (Suteki, 2012: 105). Dalam atmosfer berhukum di abad ke-21 ini, tentunya dibutuhkan

Page 91: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

76 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 70 -87 Rule Breaking dan Integritas Penegak Hukum Progresif (Wahyu Nugroho) | 77

pemikiran yang holistik oleh aparat penegak hukum, semua aspek kehidupan manusia yang bersifat meta-juridical (di luar hukum), dan tidak menggunakan paradigma berpikir positivistik seperti yang berkembang pada abad ke-19.

Selanjutnya apabila dimaknai secara gramatikal, kata integritas berasal dari bahasa Inggris “integrity,” artinya kejujuran, ketulusan hati, integritas dan keutuhan (Peterson, 2005: 199). Integritas berarti mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan, bisa juga berarti kejujuran. Dalam konteks hukum, Black Law Dictionary menyatakan bahwa istilah ini biasanya dikaitkan dengan persyaratan dari pejabat tertentu. Dalam hal ini, maka integrity berarti: “soundness or moral principle and character, as shown by one person dealing with others in the making and performance of contracts, and fidelity and honesty in the discharge of trust” (Black, 1979: 315). “Integrity adalah sinonim dengan “probity,” “honesty,” dan “uprightness.”

Topo Santoso memaparkan arti penting integritas dalam penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia. Legal maxim yang berbunyi menjadi suatu kepentingan bagi negara bahwa masyarakat harus dilindungi. Legal maxim ini sangat relevan dalam mendiskusikan korupsi karena kejahatan mengancam masyarakat sehingga negara harus melindungi dan sekuat tenaga merumuskan kebijakan yang tepat (Santoso, 2012: 87). Dalam konteks ini, diperlukan integritas bagi penyelenggara negara yang masuk dalam lingkaran trias politica.

Integritas merupakan sifat yang sangat penting sehingga menjadi persyaratan para pejabat negara sebagaimana tercantum di dalam

UUD 1945. Dalam Pasal 27 ayat (1) dinyatakan dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah, salah satu kewajibannya adalah melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik.

Perkataan integritas juga terdapat di dalam Pasal 24A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: “Hakim Agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.” Pasal 24B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa: “Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.” Selanjutnya pada Pasal 24C UUD 1945 menyatakan: “Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.” Jadi, kehadiran sosok penegak hukum (termasuk kepolisian dan kejaksaan) yang berintegritas sangatlah penting dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi bagi pejabat daerah.

3. Konsep dalam Doktrin Due Process of Law dan Good Governance

Konsep due process of law yang prosedural pada dasarnya didasari atas konsep hukum tentang “keadilan yang fundamental” (fundamental fairnesss). Dalam perkembangannya, due process of law yang prosedural merupakan suatu proses atau prosedur formal yang adil, logis dan layak, yang harus dijalankan oleh yang berwenang, misalnya dengan kewajiban membawa surat perintah yang sah, memberikan pemberitahuan yang pantas, kesempatan yang layak untuk membela diri, termasuk memakai tenaga ahli,

Page 92: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

78 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 70 -87

seperti pengacara bila diperlukan, menghadirkan saksi-saksi atau musyawarah yang pantas, yang harus dilakukan manakala berhadapan dengan hal-hal yang dapat mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia, seperti hak untuk hidup, hak untuk kemerdekaan atau kebebasan (liberty), hak atas kepemilikan benda, hak mengeluarkan pendapat, hak untuk beragama, hak untuk bekerja dan mencari penghidupan yang layak, hak pilih, hak untuk bepergian, hak privasi, hak atas perlakuan yang sama (equal protection) (Fuady, 2009: 46-47).

Perlu juga diketahui bahwa doktrin due process yang prosedural sebenarnya dirancang untuk melindungi hak-hak fundamental dari manusia atas perbuatan salah tindak oleh pemerintah. Karena itu, penggunaan doktrin due process prosedural ini janganlah sampai menyimpang atau over acting, sehingga dapat menghambat jalannya birokrasi dan administrasi. Jika birokrasi atau administrasi terus-menerus menjalankan tugas hearing model yang diperagakan di pengadilan, tentu saja pekerjaannya akan terhambat dan akan banyak menguras waktu dan tenaga sehingga pelaksanaan tugas birokrasi dan administrasi menjadi sulit dan tidak efisien.

Karena itu, dalam teori hukum diberikan batasan-batasan sehingga dalam hal apa saja dianggap berlaku doktrin due process prosedural secara penuh, atau setengah penuh, dan dalam hal apa dianggap tidak ada masalah due process prosedural, dan bahkan dalam hal apa bahkan dianggap sebagai kekecualian dari berlakunya doktrin due process. Kriteria utama yang dipakai untuk menentukan berlakunya doktrin due process prosedural ini adalah “kelayakan” (reasonableness), equilibrium, efektif, dan efisien. Penerapan konsep good governance ke dalam suatu pemerintahan diyakini sudah menjadi

suatu keharusan bagi negara-negara modern. Pada prinsipnya, dengan istilah good governance berarti bagaimana manajemen pemerintahan mengelola pemerintahan tersebut secara baik, benar dan penuh integritas.

Ada beberapa faktor utama yang berpengaruh satu sama lain, saling kait mengait dalam menerapkan prinsip good governance ke dalam suatu pemerintahan, yaitu:

1. Aturan hukum yang baik, yakni seperangkat aturan yang mengatur hubungan antara warga masyarakat, pemerintah, parlemen, pengadilan, pers, lingkungan hidup, serta para stakeholders yang lain;

2. Law enforcement yang baik, yakni seperangkat mekanisme yang secara langsung atau tidak langsung mendukung upaya penegakan aturan;

3. Sistem pemerintahan yang efektif, efisien, jujur, transparan, accountable, dan berwawasan hak asasi manusia;

4. Sistem pemerintahan yang dapat menciptakan masyarakat yang cerdas dan egaliter; dan

5. Sistem pemerintahan yang kondusif terhadap pertumbuhan ekonomi dan pemerataan (Fuady, 2009: 78-79).

Konsepsi suatu pemerintahan dengan tata kelola yang baik (good governance) dalam negara hukum, setiap orang, baik yang memerintah, maupun yang diperintah, harus tunduk kepada hukum, dalam hal ini hukum yang adil dan harus ditegakkan secara adil pula. Hal tersebut merupakan penjabaran dari elemen fairness/equity dan law enforcement dari good governance.

Page 93: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

78 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 70 -87 Rule Breaking dan Integritas Penegak Hukum Progresif (Wahyu Nugroho) | 79

4. Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi di Lingkungan Pemerintahan Daerah

Modus operandi tindak pidana korupsi adalah cara-cara pelaku melaksanakan tindak pidana korupsi. Cara-cara tersebut tidak selalu dimulai pada tahap pelaksanaan, tetapi adakalanya dimulai dari tahap perencanaan. Berikut ini diungkap oleh Leden Marpaung terkait modus operandi dari tindak pidana korupsi di pemerintahan daerah, sebagaimana yang sudah diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi antara lain:

a. Pengusaha menggunakan pengaruh pejabat pusat untuk membujuk kepala daerah/pejabat daerah mengintervensi proses pengadaan dalam rangka memenangkan pengusaha/rekanan tertentu dan meninggikan harga atau nilai kontrak dan pengusaha/rekanan dimaksud memberikan sejumlah uang kepada pejabat pusat maupun daerah;

b. Pengusaha mempengaruhi kepala daerah/pejabat daerah untuk mengintervensi proses pengadaan agar rekanan tertentu dimenangkan dalam tender atau ditunjuk langsung dan harga barang atau jasa dinaikkan (di-mark up). Kemudian selisih dibagi-bagikan;

c. Panitia pengadaan membuat spesifikasi barang yang mengarah ke merek atau produk tertentu dalam rangka memenangkan rekanan tertentu dan melakukan mark up harga atau kontrak;

d. Kepala daerah/pejabat daerah memerintahkan bawahannya untuk mencairkan dan menggunakan dana/anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Kemudian

dipertanggungjawabkan pengeluaran-pengeluaran dimaksud dengan menggunakan bukti-bukti yang tidak benar atau fiktif;

e. Kepala daerah/pejabat daerah memerintahkan bawahannya menggunakan dana/uang daerah untuk kepentingan pribadi, koleganya atau untuk kepentingan pribadi pejabat daerah yang bersangkutan atau kelompok tertentu, kemudian mempertanggungjawabkan pengeluaran dimaksud dengan menggunakan bukti-bukti fiktif;

f. Kepala daerah menerbitkan peraturan daerah sebagai dasar pemberian upah pungut atau honor dengan menggunakan dasar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang tidak berlaku lagi;

g. Pengusaha, pejabat eksekutif dan pejabat legislatif daerah bersepakat melakukan tukar guling (ruislag) atas aset pemda dan melakukan mark down atas aset pemda serta mark up atas aset pengganti dari pengusaha/rekanan;

h. Para kepala daerah meminta uang jasa (dibayar di muka) kepada pemenang tender sebelum melaksanakan proyek;

i. Kepala daerah menerima sejumlah uang dari rekanan dengan menjanjikan akan diberikan proyek pengadaan;

j. Kepala daerah membuka rekening atas nama kas daerah, dengan spesimen pribadi (bukan pejabat dan bendaharawan yang ditunjuk) dimaksudkan untuk mempermudah pencairan dana tanpa melalui prosedur;

Page 94: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

80 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 70 -87

k. Kepala daerah meminta atau menerima jasa giro (tabungan dana pemerintah) yang ditempatkan di bank;

l. Kepala daerah memberi izin pengelolaan sumber daya alam kepada pengusaha yang tidak memiliki kemampuan dan finansial untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya;

m. Kepala daerah menerima uang/barang yang berhubungan dengan proses perizinan yang dikeluarkannya;

n. Kepala daerah/keluarga/kelompoknya membeli lebih dahulu barang dengan harga murah, kemudian dijual kembali kepada instansi dengan harga yang sudah di-mark up;

o. Kepala daerah meminta bawahannya untuk mencicilkan kebutuhan pribadinya dengan menggunakan anggaran daerah;

p. Kepala daerah memberikan dana kepada pejabat tertentu dengan beban anggaran dengan alasan pengurusan DAU/DAK;

q. Kepala daerah memberikan dana kepada DPRD dalam proses penyusunan RAPBD;

r. Kepala daerah mengeluarkan dana untuk perkara pribadi dengan beban anggaran daerah (Marpaung, 2009: 77-79).

IV. ANALISIS

Berlakunya Pasal 36 UU Pemda, menurut ratio decidendi atau dasar pertimbangan hukum mahkamah membuat terhambatnya proses hukum yang dibiayai negara untuk diterapkan kepada kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diduga melakukan kejahatan (tindak

pidana korupsi), berupa pembatasan dengan syarat adanya persetujuan tertulis dari presiden untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penahanan. Penulis memandang, hukum progresif yang berwatak pembebasan dan pemikiran rule breaking bersumber dari pola pikir majelis hakim konstitusi, yakni kreativitas berpikir yang tidak terpaku kepada teks hukum, dengan mencairkan kebekuan legal formal yang berhadapan (vis a vis) dengan eksekutif (presiden) dalam hal perizinan tertulis bagi pejabat daerah atas perbuatan tindak pidana korupsi dan memperhatikan keadilan masyarakat (social justice).

Sebelum perkara ini diperiksa, pemikiran rule breaking muncul melalui gagasan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD pada waktu itu meminta untuk diputar rekaman percakapan antara Artalita Suryani dengan Jaksa Urip Tri Gunawan atas kasus suap, guna menguak semua aktor yang terlibat dalam tindak pidana korupsi. Pemikiran rule breaking pada akhirnya diterapkan oleh aparat penegak hukum progresif di daerah melalui tindakan-tindakan kreativitas, keberanian dan tidak terjebak oleh legal prosedural dalam memeriksa pejabat daerah atas tindak pidana korupsi yang dilakukannya. Mahkamah berpandangan dengan adanya syarat persetujuan tertulis dari presiden untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, akan menghambat proses peradilan dan secara tidak langsung mengintervensi sistem penegakan keadilan, selain itu juga menghambat proses hukum yang seharusnya sesuai asas, yaitu bersifat cepat, sederhana dan biaya ringan.

Mahkamah berpendapat bahwa persetujuan tertulis pada tahap penyelidikan dan penyidikan terhadap pejabat daerah tidak memiliki rasionalitas hukum yang cukup dan akan memperlakukan warga negara secara berbeda di hadapan hukum.

Page 95: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

80 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 70 -87 Rule Breaking dan Integritas Penegak Hukum Progresif (Wahyu Nugroho) | 81

Pejabat negara dalam menjalankan tugas dan kewenangannya terkait jabatan negara yang diembannya berbeda dari warga negara lain yang bukan pejabat negara, namun pejabat negara juga merupakan warga negara. Sebagai subjek hukum, terlepas dari jabatannya, pejabat daerah pun harus diperlakukan sama di hadapan hukum.

Mahkamah berpandangan bahwa persetujuan tertulis dari presiden tidak boleh menjadi hambatan bagi proses penyelidikan dan penyidikan pejabat daerah yang bersangkutan, karena esensi dari persetujuan tertulis presiden hanyalah agar presiden sebagai pimpinan dari para kepala daerah mengetahui bahwa pimpinan dari suatu daerah akan mengalami proses hukum yang membatasi ruang geraknya, sehingga yang bersangkutan tidak dapat menjalankan tugas pemerintahan dengan baik, dan akan berakibat terjadinya kekosongan pimpinan daerah. Berdasarkan hal itu, presiden melalui Menteri Dalam Negeri segera mengambil langkah-langkah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perlakuan yang khusus bagi pejabat daerah guna menjaga harkat dan martabatnya agar tidak diperlakukan secara sewenang-wenang. Namun, perlakuan demikian tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum dan asas-asas peradilan pidana, apalagi sampai berakibat pada terhambatnya proses hukum.

Satjipto Rahardjo mengajarkan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, bukan hanya menggunakan kecerdasan intelektual saja, melainkan juga melibatkan kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual tidak ingin dibatasi patokan (rule-bound), juga tidak hanya bersifat kontekstual, tetapi ingin keluar dari situasi yang ada dalam usaha untuk mencari kebenaran, makna, atau nilai yang lebih dalam (Rahardjo,

2007: 17). Dalam kreativitas penegak hukum yang progresif, yakni polisi dan jaksa untuk memberantas korupsi pejabat daerah, ia bekerja dengan mematahkan patokan yang ada (rule-breaking), sekaligus membentuk yang baru (rule-making).

Mahkamah berpendapat bahwa proses penyelidikan dilakukan dalam rangka menentukan ada atau tidaknya suatu tindak pidana dalam kasus tertentu dan untuk mencari bukti-bukti awal untuk menentukan siapa pelaku tindak pidana. Tindakan rule breaking ini apabila dihambat hanya karena izin tertulis dari presiden, maka tidak akan melahirkan penegak hukum progresif dengan spirit pembebasan.

Sistem perizinan dari presiden yang tercantum di dalam Pasal 36 UU Pemerintah Daerah merupakan duri dalam daging yang memberikan rasa aman kepada pejabat daerah apabila tersandung kasus korupsi, namun hal tersebut apabila tidak segera diproses hukum, akan terjadi tindak pidana korupsi yang bersifat masif, bahkan tersistem. Oleh karena itu, penegak hukum, khususnya polisi dan jaksa mulai berani berpikir dan bertindak bebas dan kreatif, tidak submisif, demi untuk menyelamatkan bangsanya dari keambrukan karena korupsi pejabat daerah atau jajarannya. Apabila tidak ditopang oleh pemikiran dan tindakan seperti itu, misalnya mengikuti aturan main yang ada, sesuai dengan prosedur hukum, terpasung oleh Pasal 36 UU Pemerintah Daerah dan lebih mengedepankan aspek legal formal belaka, maka akan jauh dari harapan dalam semangat memberantas korupsi. Karakteristik inilah yang mencerminkan watak rule breaking dalam perspektif hukum progresif. Penegak hukum yang progresif selalu bertanya-tanya, bagaimana saya harus menciptakan keadilan masyarakat dan didukung banyak

Page 96: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

82 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 70 -87

pihak untuk memberantas kejahatan negara yang merugikan bangsanya sendiri.

Integritas penegak hukum akan membawa ke arah penegakan hukum yang lebih adil dan memiliki kemanfaatan bagi masyarakat menuju kesejahteraan (welfare state). Keadilan sosial (social justice) akan tercabik-cabik dan tidak akan pernah terwujud di dalam masyarakat ketika penegak hukum di ranah penyelidikan, penyidikan dan penuntutan (polisi dan jaksa) tidak berintegritas dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Maka di sini integritas penegak hukum benar-benar diuji demi menjaga nama baik, martabat, dan profesionalisme dalam diri polisi dan jaksa di institusi kepolisian dan kejaksaan. Publik (civil society) sekarang sudah cerdas dan kritis terhadap birokrasi penegakan hukum maupun pemerintahan.

Selain itu, bekerjanya hukum dalam masyarakat sangatlah dipengaruhi oleh banyak faktor non hukum yang melingkupinya. Selain integritas, hati nurani pun juga penting. Penulis memberikan contoh seorang pejabat publik yang terkena perkara (korupsi) di Jepang biasanya segera mengundurkan diri dari jabatannya, sekaligus proses hukumnya (penyelidikan atau penyidikan) baru dimulai. Sanksi moral ternyata bekerja lebih efektif. Maka pejabat di Indonesia pun juga perlu mencontoh bangsa Jepang yang tidak membaca hukum sebagai seperangkat aturan normatif, tetapi lebih kepada kaidah moral.

Selain menerapkan cara-cara rule breaking di atas, penegakan hukum yang dimulai dari kepolisian dan kejaksaan dalam memproses pejabat negara atas kasus tindak pidana korupsi haruslah melihatnya dengan pendekatan holistik. Pendekatan holistik selain mencakup aspek rule and logic, juga menyentuh aspek ethic, religion,

moral, behavior and environment. Kacamata hukum progresif menempatkan faktor perilaku sebagai objeknya. Maka, yang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan tidak hanya membaca dan mempelajari teks dan menggunakan logika peraturan saja, tetapi perlu mendalami makna hukum, seperti makna sosial (social meaning) dan budaya.

Dalam perspektif lain, para teoritisi/akademisi/cendekiawan di dunia kampus, juga bergiat untuk mensuplai para praktisi penegak hukum dengan gagasan, konsep, teori dan doktrinasi baru yang berwatak pembebasan, demi mendukung para praktisi yang berlaga di front pemberantasan korupsi. Selain itu, juga elemen civil society, seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), masyarakat luas atau NGO lainnya turut berkontribusi melalui penunjukan data-data valid, pelaporan ke penegak hukum apabila perilaku pejabat daerah cenderung korup.

Penegak hukum yang lahir dari semangat reformasi juga muncul Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan kewenangan yang ganda, yakni penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan hendaknya dimaknai oleh penegak hukum kepolisian dan kejaksaan sebagai pendukung dan memiliki fungsi koordinatif dari kewenangannya. Hal ini agar tidak menimbulkan anggapan “cari aman” dari masyarakat karena kewenangannya sudah diambil oleh KPK dan ditebas habis dalam pemberantasan tindak pidana korupsi pejabat daerah.

Oleh karena itu, dalam keadaan yang disorder atau ketidaktertiban hukum seperti di Indonesia, proses penegakan hukum membutuhkan keberanian dari aparat hukum sendiri. Berani mengungkap tindak pidana korupsi di antara teman koleganya dan berani

Page 97: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

82 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 70 -87 Rule Breaking dan Integritas Penegak Hukum Progresif (Wahyu Nugroho) | 83

untuk bersikap jujur sesuai dengan aturan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap pejabat negara. Penegakan hukum progresif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tidak dapat diserahkan kepada cara-cara konvensional sistem pencet tombol, melainkan membutuhkan suatu tipe penegakan hukum yang penuh greget (compassion, empathy, commitment, dan dare atau courage). Maka faktor keberanian pun menjadi penting dan mendapat tempat.

Mencermati putusan MK ini, penulis berpendapat bahwa bukan karena masalah diskriminasi di dalam pemeriksaan kepala daerah atau wakil kepala daerah yang tersangkut kasus pidana, termasuk korupsi yang harus melalui mekanisme izin tertulis dari presiden, namun itu lebih kepada pencederaan terhadap konsep negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Penulis tidak sependapat dengan pemohon pengujian undang-undang, begitu juga dengan pendapat DPR yang mempermasalahkan diskriminasi yang menyandarkan kepada pengertian Pasal 1 angka 3 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Dalam kajian hukum administrasi negara, kedudukan yang sama di muka hukum (equality before the law) itu berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat (Budiardjo, 1982: 58). Perkembangan konsep negara hukum juga menyebutkan salah satu unsurnya yakni adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri, dalam artian lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di bawah pengaruh eksekutif (Soemantri, 1992: 29-30).

Penulis menyatakan bahwa Pasal 36 UU Pemda akan melahirkan penegak hukum yang terpaku oleh doktrin positivisme, sehingga

sulit untuk menerapkan tindakan-tindakan rule breaking tadi dan terdapat ambiguitas di dalam menjalankan kewenangan satu atap kekuasaan eksekutif dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana atau yang dikenal dengan istilah criminal justice system.

Seorang warga negara yang terlibat dalam kasus pidana tidak dapat langsung diadili di peradilan, namun harus melalui proses kepolisian terlebih dahulu. Konteks inilah yang selalu menjadi alasan pembenar mengapa presiden turut serta dalam proses penegakan hukum, karena aparat kepolisian dan aparat kejaksaan itu masih dalam ranah eksekutif, bukan yudikatif. Seharusnya, unsur negara hukum yang salah satunya pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak seorang warga negara perlu ditempatkan pada posisi yang benar, sehingga tidak tumpang tindih dengan pemahaman criminal justice system.

Progresivitas Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara pengujian Undang-Undang Pemerintahan Daerah tampak dalam argumennya yang menyatakan persetujuan tertulis dari presiden yang disyaratkan dalam proses penyelidikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UU Pemda akan menghambat proses penyelidikan, karena presiden diberi waktu 60 hari untuk mengeluarkan persetujuan tersebut. Dalam tenggang waktu itu, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana berpeluang melakukan upaya penghapusan jejak tindak kejahatan atau penghilangan alat bukti. Bahkan penyelidikan yang dirahasiakan dapat diketahui oleh yang bersangkutan.

Makna hukum progresif terkandung dalam pasal ini bahwa faktor human behavior atau

Page 98: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

84 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 70 -87

perilaku manusia menjadi objek, yakni aparat penegak hukum (polisi dan jaksa) meminta agar izin tertulis dapat diberikan dari presiden kepada penyidik polri saat akan melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah atau wakil kepala daerah yang tersangkut korupsi.

Proses penyelidikan sebagaimana tercantum di dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dilakukan dalam rangka menentukan ada tidaknya suatu tindak pidana dalam kasus tertentu dan untuk mencari bukti-bukti awal untuk menentukan siapa pelaku tindak pidana. Apabila penyelidikan harus melalui izin dari presiden, dikhawatirkan akan terjadi penghilangan alat bukti dalam jangka waktu 60 hari atau menghapus jejak tindak pidana. Selain itu, permohonan persetujuan tertulis dari presiden untuk melakukan penyelidikan terhadap kepala atau wakil kepala daerah dapat membuka kerahasiaan proses penyelidikan itu sendiri. Dalam tahapan penyelidikan belum ada kepastian seseorang akan disidik atau tidak disidik, belum dilakukan pencarian dan pengumpulan bukti, namun hanya pengumpulan informasi. Dengan demikian, terhadap proses penyelidikan, seseorang tidak akan dikurangi dan dibatasi gerak dan aktivitasnya, kecuali jika dilakukan penangkapan.

Upaya pencegahan korupsi di pemerintahan daerah antara lain dilakukan dengan penerapan good governance, konsep integrity island, manajemen berbasis kinerja, minimalisasi korupsi proses pengadaan barang dan jasa, pakta integritas, menciptakan mekanisme pengaduan masyarakat, memperkuat lembaga audit dan auditor, memperkuat pemerintah daerah dalam bentuk identifikasi kemauan politik dan kapasitas pemerintah daerah dalam bentuk identifikasi kemauan politik dan kapasitas untuk

melaksanakan reformasi lokal, reformasi pada pelayanan sektor publik dengan kebijakan one stop services, membuat kode etik dan aturan perilaku, membuka akses masyarakat atas informasi, mobilisasi publik melalui pendidikan dan ukuran peningkatan kesadaran dan pelatihan serta investigasi untuk jurnalistik.

Hubungan antara good governance dengan hukum progresif sangatlah erat. Keduanya memiliki spirit bahwa untuk menyelenggarakan suatu negara yang baik dan bersih, diperlukan moralitas yang baik oleh para penyelenggara negara, etika yang baik dan perilaku yang baik. Sebab, hal tersebut akan berpengaruh kepada setiap kebijaksanaan atau pengambilan keputusan oleh pejabat negara yang nantinya akan diterapkan oleh semua warga negaranya dan stakeholders lainnya. Meminjam bahasa salah seorang pendiri bangsa ini, yaitu Soepomo dikatakan bahwa keberhasilan penyelenggara negara Indonesia bergantung pada “semangat para penyelenggara negara.” Semangat di sini bukan persoalan otak yang rasional, melainkan lebih kepada persoalan batiniah berupa spirit, moralitas dan kemauan atau kehendak (will). Jadi, good governance tidak dapat hanya menggunakan pendekatan rasional saja.

Ajaran hukum progresif yang perlu diterapkan oleh kepolisian dan kejaksaan di dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap pejabat negara yang tersandung kasus korupsi adalah berpikir dan bertindak luar biasa. Satjipto Rahardjo menganalogkan berpikir luar biasa dengan tren penggunaan SQ (spiritual quetient). SQ mengandalkan cara-cara melompat, kreatif, mematahkan aturan lama (rule-breaking) dengan membuat aturan baru (rule-making). Pasca putusan MK ini, penegak hukum dapat

Page 99: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

84 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 70 -87 Rule Breaking dan Integritas Penegak Hukum Progresif (Wahyu Nugroho) | 85

menerapkan secara langsung proses pemeriksaan yang dimulai dari penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan terhadap pejabat daerah dalam tindak pidana korupsi, tanpa melalui izin tertulis dari presiden.

Pemikiran dan tindakan seperti inilah yang diharapkan oleh kebanyakan orang, di tengah krisis kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum. Maka sejak diumumkan keinginan untuk menempuh langkah luar biasa, kita juga harus berani melakukan pembelotan, pembebasan terhadap konvensi-konvensi lama, dan menegaskan kehadiran suatu aturan baru. Filosofi terhadap hukum progresif akan bermakna ketika dipahami dan diimplementasikan di dalam penegakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi bagi siapapun, termasuk pejabat negara.

Paradigma keadilan substantif dalam penegakan hukum, khususnya pemberantasan tindak pidana korupsi dengan optik hukum progresif akan melahirkan kesejahteraan sosial. Masyarakat (civil society) sangat berharap bahwa penghukuman terhadap pelaku korupsi, nilai keadilannya seimbang dengan kasus-kasus yang menimpa warga masyarakat kelas menengah ke bawah.

Perlu dicontoh proses hukum yang hasilnya dilahirkan dari rahim MK bagaimana gaya-gaya berhukum dengan pendekatan rule breaking yang digunakan Mahfud MD, di saat memimpin pengujian undang-undang dan setiap penyelesaian perkara/sengketa lainnya di Mahkamah Konstitusi yang membawa paradigma baru keadilan substantif sekalipun itu menggeser nilai kepastian hukum atau dominasi penafsiran hukum lama (asas-asas, doktrin, konsep). Putusan-putusan yang lahir dari progresivitas Mahkamah Konstitusi dalam mendukung upaya

tegaknya konstitusi, demokrasi dan nilai-nilai keadilan substantif sudah banyak.

Dalam konteks ini, aparat penegak hukum kepolisian dan kejaksaan saatnya mengikuti proses hukum pemberantasan tindak pidana korupsi terhadap pejabat negara di daerah dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa, guna melahirkan keadilan sosial dan membawa angin perubahan bagi penegakan hukum tindak pidana korupsi pejabat daerah dan/atau jajarannya. Bangsa yang maju adalah bangsa yang mau berpikir dan bertindak dengan cara-cara yang luar biasa, lebih dari sekadar yang biasa-biasa saja, termasuk spirit semua elemen bangsa dalam pemberantasan korupsi.

V. SIMPULAN

Berdasarkan hasil kajian dan analisis terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011, maka penulis menyimpulkan bahwa:

a. Rule breaking dan integritas penegak hukum di dalam proses hukum terhadap pejabat daerah atas kasus korupsi dipengaruhi oleh faktor-faktor meta-juridical (non hukum) yang melingkupinya, yakni kekuasaan dan administratif melalui izin presiden. Melalui pemikiran dan tindakan rule breaking, pemeriksaan terhadap pejabat daerah dapat diterobos tanpa melalui mekanisme perizinan tertulis dari presiden guna menciptakan keadilan yang progresif atau keadilan masyarakat. Pasca putusan ini, aparat kepolisian dan kejaksaan dapat menjalankan kewenangannya tanpa dihambat oleh tembok izin tertulis dari presiden.

Page 100: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

86 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 70 -87

b. Kontribusi hukum progresif dalam pemberantasan korupsi di kalangan birokrat pemerintah daerah sebagai upaya menciptakan good governance lebih ditekankan pada aspek moralitas, etika dan nurani para penyelenggara negara. Sebab, spirit pembebasan dan selalu mencari kebenaran dan keadilan substansial (substantial justice or social justice) merupakan paradigma hukum progresif yang harus dipahami dan diimplementasikan setiap penyelenggara negara, termasuk aparat penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) dalam memeriksa pejabat daerah atas kasus korupsi. Bagaimana faktor behavior (perilaku) pejabat daerah yang menjadi objek pemeriksaan lebih mendapat prioritas daripada sekadar peraturan normatif.

Pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan komitmen bersama (political will) bagi semua warga negara tanpa kecuali. Karena korupsi merupakan penyakit yang sudah lama menggurita hampir di setiap jajaran trias politica dan masuk dalam extra ordinary crime. Peran serta masyarakat (civil society, termasuk akademisi) sangat dibutuhkan dan penanganannya pun dilakukan secara ekstra atau luar biasa, seperti spirit hukum progresif yang harus berani mendobrak pintu-pintu penafsiran hukum konvensional/positivistik/legalistik dan berani melakukan the rule breaking demi pencapaian keadilan sosial/substantif (social justice/substantial justice). Integritas, moralitas, etika dan nurani haruslah melekat di setiap pejabat negara, termasuk aparat penegak hukum sendiri yang memeriksa perkara korupsi.

DAfTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana. Cet. 1. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Asshiddiqie, Jimly. 2004. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Cet. 1, Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Black, Henry Cambell. 1979. Black’s Law Dictionary. St. Paul. Minn: West Publishing Co.

Budiardjo, Miriam. 1982. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.

Faisal. September 2008. “Menggagas Pembaharuan Hukum Melalui Studi Hukum Kritis.” Jurnal Ultimatum. Edisi II. Jakarta: STIH IBLAM, Jakarta.

Fuady, Munir. 2009. Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat). Cet. 1. Bandung: PT Refika Aditama.

Husodo, Siswono Yudo. 2009. Menuju Welfare State, Kumpulan Tulisan tentang Kebangsaan, Ekonomi dan Politik. Cet. 1. Jakarta: Baris Baru.

Kristiana, Yudi. 2009. Menuju Kejaksaan Progresif; Studi tentang Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi. Cet. 1. Yogyakarta: LSHP.

Kusuma, Mahmud. 2009. Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi Paradigmatik atas Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia. Cet. 1. Yogyakarta: LSHP.

Page 101: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

86 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 70 -87 Rule Breaking dan Integritas Penegak Hukum Progresif (Wahyu Nugroho) | 87

Marpaung, Leden. 2009. Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan Pencegahan. Ed. rev. Cet. 4. Jakarta: Djambatan.

Peterson, Yan. 2005. Kamus Lengkap Inggris-Indonesia Indonesia-Inggris. Surabaya: Karya Agung.

Rahardjo, Satjipto. 2007. Membedah Hukum Progresif. Cet. 2. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Rahardjo, Satjipto. April 2005. “Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan.” Jurnal Hukum Progresif. Vol. 1/ No. 1. PDIH Ilmu Hukum UNDIP.

Santoso, Topo. Desember 2012. Di dalam tulisannya “Hukum dan Integritas Anti Korupsi”, dalam Buku Professor Safri Nugraha “Dalam Kenangan,” Dedikasi Tak Henti pada “Good Governance.” Cet. 1. Depok: Djokosoetono Research Center Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Soemantri, Sri. 1992. Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung: Alumni.

Sudarto. 1981. “Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.” Ceramah di Undip, 1971. Dipublikasikan dalam Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni.

Susanto, Anthon F. 2010. Dekonstruksi Hukum: Eksplorasi Teks dan Model Pembacaan. Yogyakarta: Genta Publishing.

Suteki. 2012. “Perkembangan Ilmu Hukum dan Implikasi Metodologisnya.” Dalam Satjipto Rahardjo dkk., Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum Indonesia. Yogyakarta: Thafa Media.

Zohar, Danah, & Ian Marshall. 2000. IQ, Spiritual Intelligence, The Ultimate Intelligence. London: Bloomsbury Publishing.

Page 102: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

88 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 88 - 102

ABSTRAK

Pendapat Mahkamah Konstitusi terkait dengan keberadaan lembaga negara serta komisi negara bisa ditelaah melalui beberapa putusannya. Beberapa di antaranya adalah berkaitan dengan kewenangan Komisi Yudisial, keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan Komisi Penyiaran Indonesia. Putusan terhadap keberadaan tiga lembaga tersebut menunjukkan bahwa ada persoalan tafsir hukum yang harus dikritisi. Dengan melihat tiga putusan terkait, Mahkamah Kontitusi menunjukkan bahwa yang bisa disebut sebagai lembaga negara adalah lembaga yang memang disebutkan secara nyata dalam UUD 1945. Meskipun demikian, ada beberapa hal yang harus dilihat secara kritis. Konsistensi putusan Mahkamah Konstitusi saat menyidangkan perkara terkait dengan Komisi Penyiaran Indonesia menjadi hal yang harus dipertimbangkan. Pada putusan pertama, menganggap Komisi Penyiaran Indonesia sebagai lembaga negara, akan tetapi dalam

putusan selanjutnya menyatakan bukan sebagai lembaga negara. Di lain sisi, Mahkamah Konstitusi, sesuai dengan tugas kewenangannya juga bisa menyidangkan perkara berkaitan dengan lembaga negara. Meskipun, lembaga negara tersebut sederajat kedudukannya dengan Mahkamah Konstitusi dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.

Kata kunci: lembaga negara, komisi negara, Mahkamah Konstitusi.

ABSTRACT

The Constitutional Court’s viewpoint regarding the respective positions of some commissions as state institutions can be explored from its decisions Number 005/PUU-IV/2006, 006/PUU-IV/2006, and 030/SKLN-IV/2006. The three decisions set forth the issues of position of three institutions, which are the Judicial Commission, the Truth and Reconciliation Commission, and the Indonesian Broadcasting

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG KEBERADAAN LEMBAGA NEGARA

Kajian Tiga Putusan Mahkamah Konstitusi: Nomor 005/PUU-IV/2006; Nomor 006/PUU-IV/2006 dan Nomor 030/SKLN-IV/2006

THE CONSTITUTIONAL COURT DECISION CONCERNING THE POSITION OF THREE COMMISSIONS

AS STATE INSTITUTIONS

Puguh WindrawanFakultas Hukum Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

Jl. Proklamasi No. 1 Babarsari, Sleman, Yogyakarta, 55281Email: [email protected]

An Analysis of Three Decisions of the Constitutional Court: Number 005/PUU-IV/2006; Number 006/PUU-IV/2006 and Number 030/SKLN-IV/2006

Diterima tgl 17 Februari 2014/Disetujui tgl 24 Maret 2014

Page 103: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

88 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 88 - 102 Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Keberadaan Lembaga Negara (Puguh Windrawan) | 89

I. PENDAHULUAN

Pasca Amandemen UUD 1945, beberapa perubahan terjadi dalam struktur kelembagaan negara di Indonesia. Perubahan tersebut terasa sangat signifikan. Jika dirunut melalui perubahan yang terjadi, maka terlihat bahwa ada beberapa lembaga yang bersifat baru, baik ditinjau dari tugas dan wewenangnya, maupun dari proses pembentukannya. Sebelum perubahan UUD 1945, Indonesia sangat kental dengan supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Seiring perjalanan waktu, Amandemen UUD 1945 mengisyaratkan bahwa semua lembaga negara mempunyai kedudukan yang sederajat (Huda, 2013: 159).

Organ konstitusional yang sifatnya sederajat seperti tersebut dalam Amandemen UUD 1945, masing-masing adalah (1) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); (2) Dewan Perwakilan Daerah (DPD); (3) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); (4) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); (5) Presiden dan Wakil Presiden; (6) Mahkamah Agung (MA); (7) Mahkamah Konstitusi; (8) Komisi Yudisial (KY). Lembaga lain juga diatur kewenangannya dalam UUD 1945, seperti (1) Tentara Nasional Indonesia (TNI); Kepolisian Negara Republik Indonesia; (3) Pemerintah Daerah; (4) Partai Politik.

Selain yang tertera dalam UUD 1945, beberapa lembaga lain diatur dengan undang-undang sebagai lembaga yang mempunyai kategori independen. Ada Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan sebuah bank sentral yang disebut sebagai Bank Indonesia. Lembaga lain yang juga diatur dengan undang-undang, di antaranya adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK), dan masih ada lembaga-lembaga lain.

Sebelum muncul beberapa putusan MK terkait keberadaan lembaga negara, posisi dan tingkat kesederajatan lembaga-lembaga negara ini masih menimbulkan tanda tanya. Tulisan ini sebenarnya hendak melihat bagaimana peran dan posisi lembaga-lembaga tersebut. Kajian ini akan memfokuskan diri pada tiga putusan terkait hal tersebut, yaitu Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006; No. 006/PUU-IV/2006 dan No. 030/SKLN-IV/2006.

Ketiga putusan tersebut terdiri atas pengujian terhadap apa yang kemudian bisa disebut sebagai lembaga negara. Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006 yang sudah seringkali dibahas adalah menyangkut kewenangan KY. Dilihat dari dampak putusan MK terkait keberadaan KY,

Commission. From these decisions, there seem to be a question of legal interpretation that should be criticized. In these decisions, the Constitutional Court indicates that a state institution is that has been raised in the 1945 Constitution. Besides, there is another thing to stress. The Constitutional Court’s inconsistency the ruling of the case related to the Indonesian Broadcasting Commission must be considered as well. In its original decision,

the Constitutional Court regards the Indonesian Broadcasting Commission as a state institution, but in the subsequent decisions, it does not. Indeed the Constitutional Court has the authority to review cases of a state institution, even when they both (the court and the commission) have equal positions in the constitutional state structure.

Keywords: state institution, state commission, Constitutional Court.

Page 104: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

90 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 88 - 102

ternyata ada hubungannya dengan kewenangan MK sebagai lembaga negara. Dalam putusan ini juga bisa dilihat bagaimana hakim konstitusi memutuskan sebuah perkara yang sebenarnya tidak berkaitan dengan kelembagaan MK. Akan tetapi, dalam putusannya, ternyata melakukan interpretasi terhadap UUD 1945. Padahal, kewenangan MK tidak sejauh itu.

Putusan MK No. 006/PUU-IV/2006 sangat erat kaitannya dengan keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), yang dengan putusan ini dibatalkan keberadaannya oleh MK. Bisa dilihat secara kritis, bahwa pada putusan MK terkait hal ini terdapat kesalahan konseptual. Hal ini menyangkut putusan yang berkaitan dengan dihapuskannya KKR. Putusan lain adalah menyangkut kewenangan dan independensi KPI yang termaktub dalam Putusan MK No. 030/SKLN-IV/2006.

Secara garis besar, kronologi di atas menggambarkan bagaimana putusan MK harus disikapi secara kritis. Selain menyangkut pengertian tentang posisi dan peran lembaga negara, paling tidak, dari putusan yang nantinya akan dianalisis ini muncul pertanyaan terkait dengan pemahaman terhadap konseptualitas sebuah perkara dan konsistensi putusan itu sendiri.

II. RUMUSAN MASALAH

Melalui ketiga putusan MK ini, apakah ada konsistensi sikap MK dalam pengujian undang-undang tentang peran dan posisi ketiga lembaga tersebut dalam putusan-putusannya?

III. STUDI PUSTAKA

Dalam sebuah negara, pemisahan kekuasaan menjadi elemen penting untuk

mentasbihkan keberadaan negara hukum. Konsep pemisahan kekuasaan ini merujuk kepada prinsip organisasi politik. Konsep ini mendalilkan bahwa bidang-bidang kekuasaan yang dimaksud dikoordinasikan secara berbeda, dan ditentukan batas-batas yang memisahkan masing-masing fungsi (Kelsen, 2006: 382). Pemisahan kekuasaan sendiri merupakan salah satu syarat agar tercipta negara hukum yang demokratis (Ridwan, 2011: 5).

Dari sudut perkembangannya, pemisahan kekuasaan merupakan sebuah hal yang harus dilakukan. Jika Kelsen mendalilkan pemisahan kekuasaan dikarenakan munculnya fungsi-fungsi yang berbeda, maka pertimbangan lain adalah persoalan permasalahan yang makin kompleks. Kompleksitas permasalahan ini tidak bisa kemudian disandarkan pada satu lembaga atau organisasi semata. Spesifikasi keahlian dalam bidang tertentu juga muncul akibat kompleksitas permasalahan tersebut. Tuntutan ini menjadi berkembang dikarenakan juga muncul kebutuhan terhadap persoalan administrasi terhadap spesifikasi-spesifikasi keahlian tersebut (Halevy, 2011: 47).

Dengan alasan-alasan tersebut, baik ditinjau dari sudut fungsionalitas maupun kepentingan administratif, maka pemisahan kekuasaan menjadi hal yang harus dilakukan. Jika hal ini diwujudkan dalam konsep ketatanegaraan, maka pemisahan kekuasaan terealisasi dalam kemunculan lembaga-lembaga yang sifatnya saling mendukung dan saling mengawasi satu sama lain. Ini dimaksudkan agar tercipta kehidupan ketatanegaraan yang sehat dan demokratis.

Doktrin pemisahan kekuasaan memang mempunyai sejumlah konsekuensi konseptual

Page 105: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

90 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 88 - 102 Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Keberadaan Lembaga Negara (Puguh Windrawan) | 91

penting bagi lembaga atau organisasi. Doktrin ini sama sekali tidak mengizinkan penyerobotan bidang kekuasaan lain. Ini berarti, salah satu kekuasaan tidak boleh menjalankan fungsi-fungsi utama yang merupakan kewenangan dari cabang kekuasaan lainnya (Pompe, 2012: 33).

Kebutuhan munculnya pemisahan kekuasaan melalui kelembagaan atau organisasi yang mempunyai fungsi masing-masing, sesuai dengan kerangka pemikiran Max Weber. Dalam pemikiran Weber, kenyataan ini menjadikan negara masuk dalam kategori negara modern dalam perwujudannya sebagai negara dengan model kekuasaan dengan ‘tipe otoritas yang rasional.’

Tipe otoritas yang rasional ini terwujud dalam kekuasaan formal untuk berkuasa berdasarkan kualitas dan kemampuan teknis yang dikukuhkan secara formal oleh negara. Dalam pandangan Weber, pembentukan hukum sudah dilakukan secara terencana dan sistematis. Penemuan hukum mudah dilakukan. Dengan membuka kitab hukum, seorang aparat dapat menemukan hukum mengenai suatu kasus. Jika tidak ada, bantuan asas dan doktrin bisa dipergunakan oleh penegak hukum untuk melakukan interpretasi yang memungkinkan penerapan hukum secara tepat. Dalam hal ini, penerapan hukum ditangani secara profesional oleh tenaga-tenaga terdidik yang terbina secara khusus untuk menjalankan hukum.

Meskipun dalam kadar tertentu, interpretasi dalam penggunaan atau penerapan hukum sendiri perlu disikapi secara kritis. Dalam hal ini, dengan mengambil persepsi sosiologi hukum, dikatakan bahwa proses pemeriksaan perkara oleh hakim di pengadilan tidak semata-mata berurusan dengan teknis yuridis tetapi melibatkan pilihan-pilihan

nilai dan sarat dengan kepentingan. Hakim selalu bergumul dan berdialog dengan nilai-nilai yang bersemayam di balik kepala hakim yang bersangkutan. Pilihan itu dipengaruhi oleh tingkat kepentingan, kebutuhan hidup, lingkungan, dan kebiasaan, serta karakter pribadi hakim. Setidaknya, dengan pengaruh ini, maka putusan bisa jadi akan bersifat subjektif (Syamsudin, 2012: 154-155).

Terlepas dari kemunculan pendapat tentang interpretasi hakim, keberadaan lembaga atau organisasi menjadi penting dalam konsep pemisahan kekuasaan. Meski harus disadari, pembentukan dan perkembangan lembaga, dalam hal ini lembaga negara, tidak mesti sama antara satu negara dengan negara yang lain. Meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa perkembangan lembaga negara di sebuah negara menjadi inspirasi bagi negara lain untuk membentuknya.

Fakta dan kondisi ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Jean Jacques Rousseau (2007: 113). Ia menjelaskan bahwa tahapan demokrasi, dalam hal ini pemisahan kekuasaan dianggap sebagai bagian dari demokrasi, akan berjalan sesuai dengan perkembangan zaman dan akan sangat dipengaruhi oleh faktor budaya sebuah negara. Oleh karenanya, yang menjadi ukuran ada tidaknya sebuah demokrasi dalam sebuah negara bukan ditentukan oleh tujuan akhir, melainkan lebih melihat pada fakta tahapan yang ada.

Di lain sisi, khususnya di Indonesia, pembentukan lembaga-lembaga negara di Indonesia dalam pandangan Ni’matul Huda (2013: 160), terbagi dalam beberapa model. Dapat dibedakan antara kewenangan organ negara berdasarkan perintah UUD (constitutionally entrusted power) dan kewenangan organ negara

Page 106: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

92 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 88 - 102

yang hanya berdasar pada undang-undang (legislatively entrusted power). Pada kenyataan selanjutnya, bahkan ada lembaga atau organ negara yang kewenangannya hanya bersumber pada keputusan presiden saja. Contohnya adalah Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Hukum Nasional, dan sebagainya.

IV. ANALISIS

A. Diskripsi Putusan dan Analisis Kritis

1. Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006

Ada pertanyaan mendasar sebenarnya, terkait dengan putusan MK. Pertanyaan itu adalah apakah putusan MK adalah setara dengan undang-undang ataukah dengan UUD 1945? Tentu logika yang dipergunakan adalah bahwa putusan MK ini lebih tepat setara dengan undang-undang. Jelas dikatakan bahwa salah satu kewenangan MK adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945, yang artinya perubahan akan terjadi pada undang-undang apabila dianggap oleh MK, undang-undang itu bertentangan dengan UUD 1945.

Akan tetapi, sebuah kritikan muncul pada saat MK mengeluarkan Putusan No. 005/PUU-IV/2006 terkait kewenangan Komisi Yudisial (KY) yang pada waktu putusan ini diambil, masih bernaung di bawah UU No. 22 Tahun 2004. Judicial review itu diajukan oleh 31 hakim agung Mahkamah Agung (MA) yang menganggap kewenangan KY dalam mengawasi perilaku hakim, tidak termasuk hakim agung dan hakim konstitusi.

Dalam putusan itu, MK menyatakan bahwa permohonan para pemohon dikabulkan sebagian. Kewenangan KY untuk mengawasi perilaku hakim tetap berlaku pada hakim agung, tetapi

sebaliknya, tidak berlaku bagi hakim konstitusi. Hal ini menjadi titik terpenting dalam sejarah perkembangan MK di Indonesia. Dengan putusan ini, maka tidak akan ada pengawasan lembaga eksternal di MK. Konteks pengawasan akhirnya hanya dilakukan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang berada di internal MK. Seperti yang tertuang dalam Pasal 27A UU No. 8 Tahun 2011.

Ada beberapa hal yang bisa menjadi perhatian terkait dengan Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006 ini:

1. Dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa: “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.” Jika diperhatikan secara seksama pada kata-kata ‘hakim’ pada Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tersebut, dapat dikatakan tidak ada perbedaan antara hakim yang ada di MA atau MK. Jika kemudian putusan MK lebih menitikberatkan pengawasan KY kepada MA, dalam hal ini menyangkut kode etik, daripada pengawasan KY kepada MK, maka akan muncul sebuah pertanyaan; apakah perbedaan hakim MA dan hakim MK? Jika melihat alasan yang dipergunakan hakim konstitusi menilai sudah mempunyai pengawas yaitu Majelis Kehormatan. Hakim konstitusi juga dianggap bukan sebagai hakim berdasarkan profesi melainkan karena jabatan. Kemudian satu hal tentang kekhawatiran, apabila dilakukan pengawasan oleh KY maka independensi hakim konstitusi akan terganggu. Beberapa alasan itulah yang

Page 107: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

92 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 88 - 102 Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Keberadaan Lembaga Negara (Puguh Windrawan) | 93

membuat hakim konstitusi tidak menjadi objek pengawasan KY, dan ini berbeda dengan MA. Ada beberapa alasan mengapa putusan ini bisa dipertanyakan secara akademis, yaitu:

a. Berkaitan dengan independensi hakim, jika dikhawatirkan bahwa pengawasan KY dianggap mempengaruhi independensi hakim konstitusi, lalu bagaimana dengan independensi hakim MA? Bukankah independensi hakim MA juga akan terganggu apabila KY melakukan pengawasan? Pertanyaannya kemudian mengapa pengertian independensi hakim MA dan independensi hakim konstitusi seolah berbeda dalam Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006 ini?

b. Putusan ini menganggap bahwa dalam konteks pengawasan, hakim konstitusi sudah mempunyai pengawasan tersendiri yang dinamakan Majelis Kehormatan. Dalam hal sistem dan mekanisme check and balances, konteks pengawasan dilakukan bukan oleh pengawas internal seperti Majelis Kehormatan, tetapi dilakukan oleh pengawas eksternal. Di samping itu, ada keterputusan pengertian tentang pengawasan oleh KY. Seolah dipahami bahwa sebagai lembaga negara, KY mempunyai wewenang untuk mengawasi terhadap lembaga. Pada kenyataannya, KY hanya melakukan pengawasan etik terhadap individu-individu yang ada dalam lembaga yudikatif.

c. Dengan tidak adanya pengawasan eksternal terhadap MK tentunya posisi MK menjadi satu-satunya lembaga negara tanpa pengawasan eksternal. Jika fungsi pengawasan dilakukan DPR terhadap Presiden, kemudian MA mempunyai lembaga pengawasan bernama KY meski dalam konteks etik, maka berbeda dengan MK yang sama sekali tidak mempunyai pengawas eksternal.

d. Jika diperhatikan secara serius, hakim konstitusi ternyata tidak hanya melakukan interpretasi terhadap undang-undang, akan tetapi juga melakukan interpretasi terhadap UUD 1945. Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menyatakan dengan tegas bahwa KY meliputi semua hakim. Tidak ada satu frasa pun yang menyebutkan bahwa hakim terbagi dalam hakim MA dan hakim konstitusi. Jika kemudian dalam putusan MK menyatakan sebaliknya, maka bisa dikatakan bahwa MK melakukan interpretasi terhadap Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Jelas bahwa dalam hal ini MK telah melampui batas kewenangannya. Logikanya, jika putusan MK melampaui batas kewenangannya, maka putusan itu bisa dikatakan ‘batal demi hukum.’

2. Dengan interpretasi bahwa MK tidak masuk dalam pengawasan KY seperti yang tercantum dalam Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006, padahal dalam risalah Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 kata-kata ‘hakim’ bisa dianggap bagi semua hakim, maka konsekuensi yang ditimbulkan akan sangat

Page 108: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

94 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 88 - 102

luas. Bisa dikatakan bahwa MK membuat norma baru, bukan dalam karakter undang-undang, tetapi pembentukan norma baru dalam UUD. Hal ini tentu saja bertentangan dengan kewenangan MK.

3. Asas bahwa seseorang tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri (nemo judex ideneus in propria causa) sebagai salah satu asas dalam hukum acara, tidak boleh disimpangi MK. Artinya, alasan bahwa berperkara di MK tidak sama dengan berperkara di pengadilan biasa, tidak dijadikan argumentasi untuk mengabaikan prinsip nemo judex ideneus in propria causa. Dari pengalaman yang ada, MK sudah beberapa kali menggunakan argumentasi bahwa berperkara di MK tidak sama dengan berperkara di pengadilan biasa, namun belum ada argumentasi yang dapat menjelaskan hal ini secara tuntas. Dalam Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006, Saldi Isra (2010: 303-304) menganggap MA berupaya ‘menarik’ MK sebagai pihak yang dirugikan kepentingan konstitusionalnya oleh UU No. 22 Tahun 2004. Sadar atau tidak, MK terjebak membangun argumentasi untuk tidak masuk dalam ranah pengawasan KY. Untuk kepentingan ini, MK berani menyimpangi dan menyatakan tidak berlaku asas bahwa tidak seorang pun dapat menjadi hakim dalam kepentingan perkaranya sendiri dalam permohonan uji materill UU No. 22 Tahun 2004.

Persoalan lain yang muncul di kemudian hari ternyata tak jauh dari sisi ini. Saat salah satu hakim konstitusi terkena masalah terkait dengan kewenangannya sebagai hakim konstitusi polemik muncul karena adanya usulan

pemberlakuan pengawasan terhadap hakim konstitusi. Ringkas kata, polemik ini kemudian berwujud pada munculnya UU No. 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi Undang-Undang.

Saat UU No. 4 Tahun 2014 ini diujikan di MK, kejadiannya hampir sama. MK mengabulkan permohonan tersebut. Pada akhirnya, MK tetap bersumber pada UU No. 24 Tahun 2003. Apa yang dikhawatirkan oleh Saldi Isra terkait dengan asas nemo judex ideneus in propria causa, ternyata muncul kembali.

2. Putusan MK No. 006/PUU-IV/2006

Ada kalanya, putusan MK juga tidak melihat urgensi dibentuknya sebuah lembaga. Ini terjadi saat MK memutus perkara menyangkut uji materi keberadaan UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dalam Putusan No. 006/PUU-IV/2006. Permohonan uji materi pada putusan tersebut menyangkut Pasal 1 angka 9 UU KKR yang dianggap bertentangan dengan Pasal 28D dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945. Kemudian, Pasal 27 UU KKR yang dianggap bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945. Permohonan ketiga berkaitan dengan Pasal 44 UU KKR yang dianggap pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945.

Para pemohon adalah aktivis yang bergiat di bidang hak asasi manusia (HAM) dan masyarakat yang menjadi korban peristiwa G-30 S/ PKI. Putusan MK No. 006/PUU-IV/2006 mendalilkan bahwa permohonan pemohon

Page 109: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

94 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 88 - 102 Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Keberadaan Lembaga Negara (Puguh Windrawan) | 95

dikabulkan sekaligus menyatakan bahwa UU No. 27 Tahun 2004 tentang KKR tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan begitu, MK ingin mengatakan bahwa UU KKR tidak lagi berlaku.

Alasan yang dipergunakan MK di antaranya adalah UU KKR ini menimbulkan ketidakpastian hukum. MK menganggap ada beberapa pasal dalam UU KKR ini yang bertentangan satu sama lain. MK juga berpendapat, bahwa untuk melakukan rekonsiliasi bisa dilakukan melalui undang-undang yang lebih serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal, atau melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara politik. Meski demikian, muncul pendapat berbeda (dissenting opinion) dari salah satu hakim konstitusi, I Dewa Gede Palguna, pada putusan MK ini.

Beberapa hal yang bisa dilihat secara kritis dari putusan MK terkait penghapusan UU KKR ini adalah:

1. Kesalahan teknis dalam sebuah undang-undang, bukan berarti kemudian membatalkan isi keseluruhan dari undang-undang yang dimaksud. MK memang menemukan beberapa kesalahan teknis, di luar permohonan yang diajukan pemohon, misalnya:

“Pasal 28 ayat (1) UU KKR menyatakan dalam hal antara pelaku dan korban pelanggaran HAM berat telah saling memaafkan dan melakukan perdamaian, maka KKR dapat memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk memberikan amnesti. Akan tetapi Pasal 29 ayat (1) menyatakan dalam hal pelaku dan korban saling memaafkan, rekomendasi amnesti wajib diputuskan oleh KKR. Dengan

digunakannya kata ‘dapat’ dalam Pasal 28 ayat (1) dan kata ‘wajib’ dalam Pasal 29 ayat (1), maka tidak ada konsistensi dalam UU KKR yang menimbulkan ketidakpastian hukum.”

Kesalahan seperti demikian sebenarnya harus dilihat menggunakan penafsiran yang lebih teologis (Mertokusumo & Pilto, 1993: 54). Contohnya, dengan menggunakan landasan filosofis mengapa UU KKR ini diperlukan. Ini bisa dilihat dalam bagian ‘menimbang’ UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Di antaranya dikatakan bahwa: “pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yang terjadi pada masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia harus ditelusuri kembali untuk mengungkapkan kebenaran, menegakkan keadilan, dan membentuk budaya menghargai hak asasi manusia sehingga dapat diwujudkan rekonsiliasi dan persatuan nasional.”

Landasan filosofis ini tentu saja sangat berguna karena memang bangsa ini mempunyai permasalahan konflik yang belum selesai. Di samping itu, penghargaan atas HAM merupakan nilai yang sama sekali tak bisa ditawar lagi. Hal ini sesuai dengan sebagian isi UUD 1945 yang memang menghargai norma HAM yang berlaku secara universal.

2. Kesalahan penafsiran atas gagasan KKR sebagaimana dimaksud oleh UU No. 27 Tahun 2004 juga terlihat dalam pertimbangan MK atas permohonan pengujian Pasal 44.

Page 110: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

96 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 88 - 102

Pasal tersebut menyatakan: ”Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc.” (Saptaningrum et.al., 2007: 14-15).

MK dalam pertimbangannya menyatakan bahwa KKR merupakan suatu mekanisme Alternative Dispute Resolution (ADR) yang apabila berhasil akan menutup mekanisme penyelesaian secara hukum. Penyelesaian pelanggaran HAM semacam ini menurut MK telah diterima dalam praktik internasional seperti di Afrika Selatan maupun dalam hukum adat, sehingga tidak dapat dikatakan sebagai pembenaran impunitas, dan karenanya tidak bertentangan dengan konstitusi. Pertimbangan demikian jelas merupakan penafsiran yang keliru karena tidak disandarkan pada konsep umum yang sudah sering digunakan dan dijadikan pedoman oleh para akademisi maupun praktisi tentang ADR (Saptaningrum et.al., 2007: 14-15).

Penerapan konsep ADR untuk melihat KKR jelas merupakan kekeliruan yang besar karena kompetensi absolut dari ADR haruslah sengketa perdata yang sebelumnya sudah disepakati oleh para pihak bahwa apabila timbul sengketa di antara mereka, maka perkaranya akan diperiksa melalui mekanisme ADR. KKR bukanlah suatu gagasan yang muncul dari suatu hubungan keperdataan melainkan suatu mekanisme transisional untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat yang terjadi pada masa lalu di suatu negara (Saptaningrum et.al., 2007: 14-15).

Pemahaman hakim konstitusi yang keliru terhadap konsep pelanggaran HAM berakibat fatal dengan dibatalkannya UU KKR. Ini menjadi penanda bahwa hakim konstitusi memiliki pengetahuan yang terbatas. Persoalan yang kemudian bisa dibahas adalah jika terlihat bahwa putusan MK tersebut mengalami kesalahan konsep, seperti yang terjadi dalam pembatalan UU KKR ini, apakah terminologi ‘final dan mengikat’ dari putusan MK tersebut bisa dibatalkan?

Dengan begitu, jelas dalam hal ini bahwa MK memutus perkara dengan menggunakan prinsip ultra petita. Ultra petita sendiri dimaknai sebagai penjatuhan putusan oleh hakim melebihi apa yang diminta oleh pemohon. Secara teoritik, ultra petita ini akan muncul dalam konteks peranan hakim yang aktif. Jika dilihat, peranan hakim yang aktif ada pada lingkaran hakim dalam peradilan pidana dan peradilan administrasi. Sebaliknya, dalam peradilan perdata, ultra petita memang tidak bisa muncul. Ini bisa dipahami dalam konteks filsafat lingkungan peradilan itu sendiri. Peradilan perdata menyangkut persoalan privat yang tidak menimbulkan dampak kepada khalayak umum. Bandingkan dengan peradilan pidana dan peradilan administrasi yang memang ada hubungannya dengan banyak orang (publik). Peradilan yang putusannya bersifat publik ini secara langsung akan mengikat publik (erga omnes) dan bukan hanya mengikat para pihak yang bersengketa (inter partes) (Marbun, 2011: 231-233).

3. Putusan MK No. 030/SKLN-IV/2006

Dalam sejarah terbentuknya MK, UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tercatat telah lima

Page 111: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

96 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 88 - 102 Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Keberadaan Lembaga Negara (Puguh Windrawan) | 97

kali dimintakan uji materinya dengan substansi dan pemohon yang berbeda-beda. Sesuai dengan urutan pemohon dan tahun permohonan berturut-turut adalah: Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia pada 2003, KPI melakukannya dua kali pada 2006, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) pada 2009, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada 2011 (http://www.mahkamahkonstitusi.go.id).

UU No. 32 Tahun 2002 memang senantiasa menjadi bahan perdebatan. Selain menyangkut masalah kewenangan antara KPI dan pemerintah, juga menyangkut kepemilikan modal televisi dan persoalan penggunaan frekuensi yang menjadi ranah publik. Pada awalnya permasalahan penyiaran yang diajukan ke MK terkait dengan kedudukan Komisi Penyiaran Indonesia. Para praktisi pertelevisian menegaskan keberatan mereka terhadap KPI sebagai lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU No. 32 Tahun 2002. KPI dianggap oleh para pemohon bisa bertindak represif terhadap dunia penyiaran di Indonesia. Putusan MK No. 005/PUU-I/2003 kemudian mengabulkan sebagian permohonan pemohon. Eksistensi KPI sebagai lembaga negara masih tetap ada.

UU Penyiaran kembali menjadi objek uji materi pada 2006. Dalam pokok perkara ini, KPI mempermasalahkan independensinya sebagai lembaga negara. KPI sebagai sebuah lembaga yang independen ini tercantum secara jelas dalam Pasal 1 angka 13 dan Pasal 7 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2002. Hanya saja, KPI mempermasalahkan Pasal 62 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 32 Tahun 2002 terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Pasal 62 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 32 Tahun 2002 tersebut mengisyaratkan masih

munculnya campur tangan pemerintah, termasuk dalam soal izin penyelenggaraan lembaga penyiaran. Di lain sisi, KPI mendasarkan Putusan MK No. 005/PUU-I/2003, yang menyatakan bahwa KPI adalah sebuah lembaga negara dengan mengutip isi putusan tersebut:

“Mahkamah berpendapat bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia istilah lembaga negara tidak selalu dimaksudkan sebagai lembaga negara yang disebutkan dalam UUD yang keberadaannya atas dasar perintah konstitusi, tetapi juga ada lembaga negara yang dibentuk atas perintah UU dan bahkan ada lembaga negara yang dibentuk atas dasar Keppres. KPI yang oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran disebut lembaga negara tidak menyalahi dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.”

Berkaitan dengan permohonan ini, putusan MK menyatakan bahwa permohonan itu tidak dapat diterima. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa KPI tidak mempunyai tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing), karena menguji undang-undang yang justru melahirkan lembaga KPI itu sendiri. KPI dianggap mempersoalkan eksistensi atau keberadaannya sendiri.

Gugatan terhadap UU No. 32 Tahun 2002 kembali muncul dari lima organisasi, yaitu Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), Media Link, Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), dan Yayasan Dua Puluh Delapan (Y28). Para pemohon menganggap ada multitafsir terhadap Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2002.

Page 112: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

98 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 88 - 102

Pemohon beralasan bahwa pada kenyataannya, di lapangan terjadi tumpang tindih penggunaan frekuensi. Pemohon mencontohkan bahwa di Jakarta ada sepuluh frekuensi yang dikuasai dan dimiliki oleh sekitar lima badan hukum/ perseorangan. Kejadian ini tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga di daerah-daerah. Hal ini bisa terjadi karena badan hukum tersebut menguasai stasiun jaringan berlokasi di Jakarta yang juga menguasai frekuensi yang ada di daerah.

Hal ini yang dianggap para pemohon sebagai pasal yang multitafsir. Pembatasan wilayah siaran yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2002 dianggap tidak memiliki kejelasan. Putusan MK terhadap permasalahan ini menyatakan bahwa jika terjadi penyimpangan terhadap peraturan tersebut, bukan berarti ada masalah pada norma undang-undang. Permasalahannya ada pada implementasi terhadap norma tersebut.

Khusus dalam Putusan MK No. 030/SKLN-IV/2006, awalnya sebagai lembaga negara, KPI merasa bahwa kewenangannya mengenai izin dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran telah diambil alih oleh pemerintah. Perkara ini masuk dalam kategori sengketa kewenangan lembaga negara. Berbeda dengan pokok perkara sebelumnya, di mana KPI melakukan permohonan pengujian undang-undang terhadap Pasal 62 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 32 Tahun 2002.

Pemohon menyatakan bahwa kewenangan untuk menentukan izin penyelenggaraan penyiaran berada di KPI. Hal ini sesuai Pasal 33 ayat (4) dan ayat (5) UU No. 32 Tahun 2002 bahwa:

1. Ayat (4): “Izin dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara setelah memperoleh:

a. Masukan dan hasil evaluasi dengar pendapat antara pemohon dan KPI

b. Rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran dari KPI

c. Hasil kesepakatan dalam forum rapat bersama yang diadakan khusus untuk perizinan antara KPI dan Pemerintah, dan

d. izin alokasi dan penggunaan spektrum frekuensi radio oleh Pemerintah atas usul KPI.”

2. Ayat (5): “Atas dasar hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf c, secara administratif izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara melalui KPI.”

Meskipun tertera jelas dalam aturan undang-undang, akan tetapi pada kenyataannya, peran perpanjangan dan izin penyelenggaraan penyiaran diambil alih oleh pemerintah. Mendasarkan pada pasal ini, maka KPI berpendapat bahwa kata ‘negara’ tidak dapat dipahami sebagai ‘pemerintah.’ Hal ini yang kemudian menurut KPI menjadi masalah menyangkut sengketa lembaga negara. Akan tetapi, pokok permohonan ini tidak menjadi bahan perbincangan. Hal ini dikarenakan putusan MK menyataan bahwa KPI bukanlah lembaga negara. Alasan yang dikemukakan oleh MK, bahwa kewenangan KPI diberikan oleh undang-undang dan bukan oleh UUD. Di sini bisa dilihat bahwasanya permasalahan antara KPI dan pemerintah menyangkut kewenangan yang dipersengketakan belum menemukan kejelasan.

Terlihat bahwa ada ketidakkonsistenan hakim konstitusi menyangkut keberadaan KPI. Tentu saja hal ini merugikan KPI sebagai lembaga

Page 113: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

98 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 88 - 102 Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Keberadaan Lembaga Negara (Puguh Windrawan) | 99

negara yang salah satu tugas dan wewenangnya adalah melakukan izin penyelenggaraan penyiaran. Perbandingan antara Putusan MK No. 005/PUU-I/2003 yang menyatakan bahwa KPI adalah lembaga negara dan Putusan MK No. 030/SKLN-IV/2006 yang menyatakan sebaliknya, tentu menimbulkan kebingungan.

Dalam hal ini juga bisa diihat interpretasi hakim konstitusi menyangkut persoalan siapa yang bisa disebut sebagai ‘lembaga negara.’ Jika berdasar pada putusan MK ini, maka yang bisa disebut sebagai lembaga negara adalah MPR, Presiden, DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), MA, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), KY, dan termasuk MK itu sendiri.

Pertanyaannya kemudian dari sudut pandang ketatanegaraan adalah bagaimana apabila sengketa ini juga dialami oleh lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang? Seperti diketahui, di Indonesia, ada beberapa lembaga negara yang terbentuk karena perintah undang-undang. Di antaranya adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Persaingan dan Pengawasan Usaha (KPPU), Bank Indonesia, dan Ombudsman. Jika di antara lembaga negara yang tidak disebut dalam UUD 1945 tersebut misalnya bersengketa dengan lembaga negara yang lain, maka belum ada media untuk menyelesaikannya.

Ada permasalahan lain yang kemudian mengemuka. Ini berhubungan dengan munculnya conflict of interest salah seorang hakim konstitusi yang ternyata mempunyai saham di salah satu media televisi. Tidak ada salahnya memang bahwa sebagai individu membeli saham di sebuah industri penyiaran. Akan tetapi, dengan kepemilikan tersebut seharusnya hakim konstitusi

yang bersangkutan tidak bisa menangani perkara yang berkaitan dengan UU No. 32 Tahun 2002. Perbenturan kepentingan pasti akan terjadi dan dalam hal ini, MK mengabaikan situasi ini (http://news.detik.com).

B. Tafsir MK Tentang Lembaga Negara

Jika kita melihat tafsir tentang lembaga negara yang dilakukan oleh MK berkaitan dengan tiga putusan, masing-masing Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006; No. 006/PUU-IV/2006 dan No. 030/SKLN-IV/2006, terlihat bahwa ada inkonsistensi putusan. Pada putusan menyangkut KY yang termaktub dalam Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006 terlihat bahwa MK melakukan interpretasi atau tafsir terhadap lembaga yang dalam UUD 1945 kedudukannya sederajat dengan MK sendiri. Bahkan, melakukan ultra petita dengan menyimpulkan bahwa hakim MK tidak bisa ‘diawasi’ oleh KY. Sebuah penilaian yang sama sekali berada di luar koridor permohonan pemohon.

Dalam hal ini bisa dinyatakan bahwa MK bisa melakukan tafsir terhadap kewenangan terhadap lembaga negara yang dalam sistem ketatanegaraan posisinya sederajat dengannya. Meskipun pada akhirnya, wewenang ultra petita MK ini dianulir dengan munculnya perundangan MK yang baru, kenyataan ini tidak bisa dihilangkan. Proses sejarah telah mencatat bahwa MK bisa melakukan tafsir terhadap lembaga yang kedudukannya sederajat dengannya.

Pada putusan yang menyangkut keberadaan KKR, seperti yang terlihat dalam Putusan MK No. 006/PUU-IV/2006, juga dilihat mengandung ultra petita. Bahkan, MK kemudian menafsirkan bahwa keberadaan KKR sama sekali tidak diperlukan keberadaannya.

Page 114: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

100 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 88 - 102

Di lain sisi, KKR sebagai sebuah organ negara memang tidak tertulis jelas dalam UUD 1945. Ini bisa dibandingkan dengan KY, sebuah lembaga negara yang memang disebutkan secara jelas dalam UUD 1945.

Dengan meminjam kategori, seperti yang disebutkan oleh Ni’matul Huda (2013: 160), bahwa lembaga negara terbagi atas perintah UUD dan undang-undang, maka MK menyimpulkan ada perbedaan derajat dalam kelembagaan negara yang dimaksud. Dengan kenyataan bahwa MK menyebut yang dimaksud dengan lembaga negara adalah lembaga yang nyata-nyata disebutkan dalam UUD 1945.

Hal yang sama terjadi dengan KPI, seperti yang tercantum dalam Putusan MK No. 030/SKLN-IV/2006. Dalam permohonannya, KPI dilanggar independensinya karena pemerintah juga turut mengatur frekuensi bagi industri penyiaran, yang notabene merupakan ranah kewenangan KPI. Hal tersebut dianggap KPI, tercantum dalam UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

KPI sendiri menganggap bahwa penggunaan frekuensi masuk dalam kategori ‘kekayaan alam yang dipelihara oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.’ Dalam hal ini, MK mengganggap bahwa pemerintah adalah representasi dari negara. Oleh karenanya, ia juga berhak untuk menyelenggarakan izin penyiaran bagi industri penyiaran di Indonesia. Dalam hal ini bisa dilihat, bahwa MK menafsirkan lembaga independen bukanlah sebagai lembaga negara yang kedudukannya sederajat dengan lembaga negara yang lain. Di satu sisi, MK menganggap bahwa pemerintah adalah representasi dari negara.

Pada sisi lain, jika kita melihat konsekuensi dari frasa ‘kekayaan alam yang dipelihara

oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat,’ sebenarnya mempunyai maksud tertentu. Konsekuensi dari frasa tersebut adalah membawa sebuah pemahaman bahwa Indonesia, secara konseptual merupakan negara yang menganut paham negara kesejahteraan (welfare state). Tujuan dari frasa tersebut adalah untuk penciptaan kesejahteraan rakyat di Indonesia (Magnar et.al., 113: 2010).

Inkonsistensi putusan MK terkait lembaga negara sebenarnya bisa dilihat dengan memperbandingkan Putusan MK No. 005/PUU-I/2003 dengan Putusan MK No. 030/SKLN-IV/2006. Pada Putusan MK No. 005/PUU-I/2003, MK menyatakan bahwa KPI adalah sebuah lembaga negara, tetapi sebaliknya, pada Putusan MK No. 030/SKLN-IV/2006, KPI dianggap bukan sebagai lembaga negara, lantaran tidak disebutkan secara jelas keberadaannya dalam UUD 1945. Sekali lagi bisa dilihat, MK bisa mengubah posisi dan peran sebuah lembaga negara. Dari ketiga putusan yang diteliti tersebut, peran dan posisi itu bahkan bisa dihilangkan sama sekali oleh MK, seperti yang terjadi pada KKR.

V. SIMPULAN

Dengan memperbandingkan ketiga putusan MK, masing-masing No. 005/PUU-IV/2006; No. 006/PUU-IV/2006 dan No. 030/SKLN-IV/2006, terlihat bahwa yang dimaksud dengan lembaga negara adalah lembaga yang nyata-nyata disebutkan dalam UUD 1945. Jika kita melakukan kesimpulan tanpa bias kepentingan dan normatif, tafsir MK memang menyatakan demikian. Akan tetapi, jika disikapi secara kritis, maka dapat dilihat bahwa MK inkonsisten dalam melihat posisi lembaga negara. Mungkin yang paling bisa dilihat adalah saat MK memutus

Page 115: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

100 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 88 - 102 Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Keberadaan Lembaga Negara (Puguh Windrawan) | 101

perkara yang berkaitan dengan KPI. Pada putusan sebelumnya, KPI dianggap sebagai lembaga negara, namun pada putusan selanjutnya justru KPI bukan dianggap sebagai lembaga negara.

Tafsiran MK mengenai makna kata “hakim” yang terbagi dalam dua macam kategori, yaitu hakim agung dan hakim konstitusi menyebabkan putusan MK menyatakan yang bisa diawasi oleh KY dalam konteks etik dan perilaku hanyalah hakim agung. Sementara dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dinyatakan bahwa makna kata ‘hakim’ adalah bagi semua hakim. Tidak ada pembagian atau kategori seperti yang ditafsirkan MK dalam putusannya. Artinya, MK bukan hanya menafsirkan undang-undang tetapi juga turut menafsirkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.

Penafsiran menggunakan konsep yang salah dilakukan MK pada saat memutuskan untuk menghapuskan KKR. Dalam putusannya, MK menyamakan KKR dengan lembaga yang menggunakan logika Alternative Dispute Resolution (ADR). Padahal KKR adalah sebuah lembaga yang menggunakan konsep hak asasi manusia (HAM) dan bukan ADR yang lebih dikenal dalam dunia perdata.

Kesalahan dalam putusan lain juga masih terus terjadi. Antara lain menimpa KPI. Di satu putusan, KPI dianggap sebagai lembaga negara, namun pada putusan lain, KPI malah dianggap bukan sebagai lembaga negara. Alasannya, bahwa kewenangan KPI diberikan oleh undang-undang dan bukan oleh UUD 1945. Ketidakkonsistenan putusan MK membuat KPI kehilangan wewenangnya.

Ketidakkonsistenan putusan yang dilakukan oleh MK merupakan lawan kata dari kepastian hukum. Agar menjadi sebuah kepastian hukum, maka harus ada transparansi hukum yang

menghindarkan masyarakat dari kebingungan normatif. Konsistensi dalam tindakan dan ucapan dari pejabat negara maupun aparat penegak hukum merupakan bagian yang menentukan dari transparansi hukum itu sendiri (Latif, 2010: 55).

Bagaimana dengan persoalan conflict of interest? Ternyata ini juga muncul pada saat MK memutuskan perkara menyangkut UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Ada satu hakim konstitusi yang ternyata mempunyai saham di sebuah lembaga penyiaran. Meskipun demikian, hakim konstitusi itu turut dalam membuat putusan menyangkut undang-undang ini. Secara etika dan asas hukum, tentunya apa yang dilakukan hakim konstitusi ini tidak dapat dibenarkan.

Berbagai contoh putusan yang bermasalah tersebut menjadi indikasi kuat bahwa hakim konstitusi tidak selalu memberikan putusan yang benar. Logika ini tentu saja menjadi pertanyaan bagi sifat putusan MK yang berkategorikan final dan mengikat. Pandangan sistem common law, bahwa putusan hakim konstitusi dipandang selalu benar, harus ditinjau kembali. Hal ini menyangkut tatanan kenegaraan dan kepentingan dengan skala yang lebih luas.

Di lain sisi, ada sebuah hal yang memang harus dilihat. Dengan kewenangan yang besar, MK menjadi harapan bagi munculnya legislasi yang berkualitas dan lebih berpihak kepada rakyat. Dinyatakan sebagai negative legislator, MK bisa mengubah wajah undang-undang yang sebelumnya telah disepakati oleh Presiden dan DPR. Tidak hanya mengubah, MK melalui sembilan hakim yang ada di dalamnya bahkan bisa menghapuskan pasal atau bahkan menghapus kewenangan sebuah lembaga.

Page 116: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

102 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 88 - 102

DAfTAR PUSTAKA

“DPR: Putusan MK Soal UU Penyiaran Wajib Ditinjau Lagi.” Akses 24 Maret 2014 pukul 21:51 WIB. http://news.detik.com/read/2006/02/16/124739/540655/10/dpr-putusan-mk-soal-uu-penyiaran-wajib-ditinjau-lagi?nd992203605.

Akses 17 Oktober 2013 pukul 23:55 WIB. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Putusan&id=1&kat=2&cari=Penyiaran.

Halevy, Eva Etzioni. 2011. Demokrasi dan Birokrasi; Sebuah Dilema Politik. Cetakan pertama. Yogyakarta: Totalmedia dan Matapena Institute.

Huda, Ni’matul. 2013. Hukum Tata Negara Indonesia. Cetakan ke-8. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Isra, Saldi. 2010. Pergeseran Fungsi Legislasi; Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia. Cetakan 1. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Kelsen, Hans. 2006. Teori Umum tentang Hukum dan Negara. Cetakan 1. Bandung: Penerbit Nusamedia dan Penerbit Nuansa.

Latif, Abdul. 2010. “Jaminan UUD 1945 dalam Proses Hukum yang Adil.” Jurnal Konsttusi. Volume 7 Nomor 1, Februari 2010. Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Magnar, Kuntara et.al. “Tafsir MK Atas Pasal 33 UUD 1945: Studi Atas Putusan MK Mengenai Judicial Review UU No. 7/2004, UU No. 22/2001, dan UU No. 22/2002.”

Jurnal Konsttusi. Volume 7 Nomor 1, Februari 2010. Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Marbun, S.F. 2011. Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia. Cetakan ketiga. Yogyakarta: FH UII Press.

Mertokusumo, Sudikno dan Mr. A. Pilto. 1993. Bab-bab tentang Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Pompe, Sebastiaan. 2012. Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung. Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan.

Ridwan, HR. 2011. Hukum Administrasi Negara. Cetakan 7. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Rousseau, Jean Jacques. 2007. Du Contract Sosial (Perjanjian Sosial. Cetakan pertama. Jakarta: Visimedia.

Saptaningrum, Indraswaty D., et.al. 2007. “Menjadikan Hak Asasi Manusia sebagai Hak Konstitusional: Pandangan Kritis atas Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Judicial Review UU KKR dan Implikasinya bagi Penyelesaian Pelanggaran HAM di Masa Lalu.” Seri Briefing Paper No. 01-Januari 2007. Cetakan pertama. Jakarta: ELSAM.

Syamsudin. 2012. Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif. Cetakan 1. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Page 117: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

102 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014: 88 - 102

BIODATA PENULIS

Janpatar Simamora adalah dosen tetap Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen, Medan. Menyelesaikan pendidikan sarjana hukum dengan konsentrasi Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan pada tahun 2005. Selama mahasiswa, pernah menjabat sebagai Wakil Ketua BEM Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen dan Pengurus Pusat DPP ISMAHI serta staf khusus di BBH FH UHN. Pendidikan Magister Hukum diselesaikan di Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada tahun 2011. Saat ini, (2013) sedang mengikuti Program Doktor Ilmu Hukum di Universitas Padjadjaran Bandung. Selain mengajar, juga aktif sebagai kolumnis di berbagai media cetak, baik lokal maupun nasional. Sampai saat ini, lebih dari 600 tulisan telah dipublikasikan di berbagai surat kabar di tanah air serta puluhan tulisan ilmiah di berbagai jurnal ilmiah nasional. Di samping itu, juga aktif mengikuti berbagai pertemuan ilmiah dan narasumber pada sejumlah kegiatan seminar, diskusi maupun lokakarya. Selain itu, juga aktif sebagai legal drafter di sejumlah institusi pemda. Penulis dapat dihubungi melalui email: [email protected]

M. Syamsudin, lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 4 September 1969. Menyelesaikan sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang tahun 1994, Magister Hukum di Program Pascasarjana Universitas Airlangga (Unair) Surabaya tahun 2002, dan Program Doktor Ilmu Hukum di Pascasarjana Undip Semarang tahun 2010. Bekerja sebagai dosen tetap pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta (Program S1, S2 dan S3) mengampu matakuliah: Hukum Adat, Metode Penelitian Hukum, Filsafat Hukum, dan Teori Hukum. Jabatan yang pernah dipegang Kepala Pusat Penelitian Sosial Lembaga Penelitian UII Yogyakarta (2002-2005), Kepala Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII (2010-sekarang), Sekretaris Senat FH UII (2005-2010), Komisioner pada Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI periode 2013-2016. Email: [email protected].

Steven Suprantio, lahir pada tahun 1986 di Bandung, adalah sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, saat ini sedang menempuh studi hukum bisnis di Magister Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan. Sejak tahun 2011 hingga saat ini bekerja sebagai asisten advokat di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung. LBH Bandung merupakan organisasi non pemerintah di bawah naungan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang bergerak dalam bidang bantuan hukum dan hak asasi manusia. Penulis dapat dihubungi melalui email di [email protected], telepon 08161960589 atau surat ke alamat Jalan Karasak Utara III Nomor 9, Kelurahan Karasak Kecamatan Astana Anyar, Bandung.

Ria Casmi Arrsa, dilahirkan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Menyelesaikan studi pada program S1 Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang dengan konsentrasi Hukum Tata Negara (HTN). Menyelesaikan Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya pada tahun 2012. Semasa kuliah penulis aktif pada kegiatan penelitian/penulisan ilmiah, aktif pada kelompok diskusi dan advokasi kebijakan publik. Adapun karya ilmiah yang sudah diterbitkan antara lain The

Page 118: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

Brilliant Idea of The Champ (Spirit Hukum) UB Press 2009; Deideologi Pancasila UB Press 2011; Teori dan Hukum Perancangan Perda, UB Press 2012; ASEAN Inter Parleiamentary Assembly dan Realisasi Komunitas ASEAN 2015 diterbitkan BKSAP DPR RI 2013; Strategic Management, The Ary Suta Center Press 2013; Rumah Tuhan yang Illegal (Catatan Kritis Perspektif HAM dan Konstitusi (PPOTODA dan Tifa Foundation); Harmonisasi Hukum PUU Bidang Penataan Ruang (PPOTODA-DPD RI); Hubungan Pusat dan Daerah (PPOTODA-MPR RI); Masa Depan Mahkamah Konstitusi RI (Setara Institut-Kedutaan Jerman) dan berbagai jurnal ilmiah. Saat ini penulis aktif sebagai tim ahli peneliti, analis kebijakan publik dan legal drafter pada Pusat Pengembangan Otonomi Daerah (PPOTODA) Universitas Brawijaya. Motto hidup penulis: “Ikhtiar, Do’a dan Tawakkal Sukses Sebuah Keniscayaan.”

Wahyu Nugroho, lahir di Wonogiri, 20 Juni 1986, menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum Islam di Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang tahun 2009, dengan predikat istimewa. Prestasi yang pernah diukir semenjak masa studi akhirnya mendapatkan penghargaan sebagai wisudawan terbaik berprestasi. Semangat untuk terus belajar itu membuat penulis terpilih sebagai penerima Beasiswa Unggulan Kementerian Pendidikan dan kebudayaan RI pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang dan selesai tahun 2011. Pernah bekerja sebagai staf legal bagian advokasi non litigasi dan penyuluhan hukum di Lembaga Bantuan Hukum Jawa Tengah (LBH Jateng) tahun 2009. Mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Semarang ini semenjak mendalami ilmu hukum di almamater pascasarjananya aktif dalam forum diskusi komunitas Kaum Tjipian pemikiran Satjipto Rahardjo sampai menyentuh ke ranah filsafat hukum dan postmodernisme. Pengajar muda ini pernah memenangkan Hibah Penelitian Dosen Pemula oleh DIKTI tahun anggaran 2012 tentang “Konsistensi Political Will Pemerintah RI pasca Ratifikasi HAM Internasional.” Penulis menerbitkan buku terbarunya: Penegakan Hukum Lingkungan (Administrasi) di Indonesia, Suatu Tinjauan Sosiologis. Wakil Sekretaris Umum Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Kota Depok ini giat menulis di berbagai jurnal, di antaranya: Jurnal Yudisial Komisi Yudisial, Jurnal Legislasi Indonesia Kementerian Hukum dan HAM, Jurnal Hukum UNISSULA, Jurnal Supremasi Hukum Usahid, Jurnal Kewirausahaan Usahid, Media Kampus, serta beberapa artikel hukum di majalah Konstitusi. Penulis aktif sebagai anggota Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia (ASHI) dan peneliti hukum di Satjipto Rahardjo Institute dengan visinya “menguak tabir hukum untuk manusia: menjadi organisasi keilmuan hukum progresif.” Sekarang penulis sehari-hari sebagai staf peneliti dan koordinator Satjipto Rahardjo Institute Kantor Perwakilan Jakarta, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta dan Dosen Luar Biasa di Fakultas Hukum Universitas Ibnu Chaldun. Penulis gemar berdiskusi seputar sosiologi hukum, teori hukum dan filsafat hukum dalam jagad penegakan hukum di Indonesia. Email: [email protected].

Puguh Windrawan, lahir 9 Desember 1978 di Wonosobo, Jawa Tengah. Saat ini menjadi Dosen Fakultas Hukum Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta. Bidang keahlian Hukum Tata Negara. Pendidikan Magister Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Aktif di berbagai penelitian dan pengabdian. Saat ini juga aktif menjadi peneliti di Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII).

Page 119: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

Jurnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan Komisi Yudisial pada bulan April, Agustus, dan Desember. Naskah yang diterima merupakan hasil penelitian putusan pengadilan (court decision) atas suatu kasus konkret yang memiliki aktualitas dan kompleksitas permasalahan hukum, baik dari pengadilan di Indonesia maupun luar negeri. Penerbitan jurnal ini bertujuan mendukung eksistensi peradilan yang akuntabel, jujur, dan adil. Isi tulisan dalam jurnal sepenuhnya merupakan perspektif penulis dan tidak merepresentasikan pendapat Komisi Yudisial.

fORMAT NASKAH

1. Naskah diketik dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku. Apabila ada kutipan langsung yang dipandang perlu untuk tetap ditulis dalam bahasa lain di luar bahasa Indonesia atau Inggris, maka kutipan tersebut dapat tetap dipertahankan dalam bahasa aslinya dengan dilengkapi terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris

2. Naskah diketik di atas kertas ukuran A-4 sepanjang 20 s.d. 25 halaman (sekitar 6.000 kata), dengan jarak antar-spasi 1,5. Ketikan menggunakan huruf (font) Times New Roman berukuran 12 poin.

3. Semua halaman naskah diberi nomor urut pada margin kanan bawah.

SISTEMATIKA NASKAH

Judul NaskahJudul ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Judul utama ditulis

di awal naskah dengan menggunakan huruf Times New Roman 14 poin, diketik dengan huruf kapital seluruhnya, ditebalkan (bold), diletakkan di tengah margin (center text), dan maksimal 12 kata (anak judul tidak dihitung). Tiap huruf awal anak judul ditulis dengan huruf kapital, ditebalkan, dengan menggunakan huruf Times New Roman 12 poin. Contoh:

PENERAPAN SANKSI PIDANA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA ANAK

Kajian Putusan Nomor 50/Pid.B/2009/PN.Btg

IMPOSING PENAL SANCTIONS fOR CRIMES COMMITED BY KIDSAn Analysis of Decision Number 50/Pid.B/2009/PN.Btg

PEDOMAN PENULISAN

Page 120: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

Nama dan Identitas PenulisNama penulis ditulis tanpa gelar akademik. Jumlah penulis dibolehkan maksimal dua orang.

Nama penulis dilengkapi dengan keterangan identitas penulis, yakni nama dan alamat lembaga tempat penulis bekerja, serta akun email yang bisa dihubungi. Nama penulis dicetak tebal (bold), tetapi identitas tidak perlu dicetak tebal. Semua keterangan ini diketik dengan huruf Times New Roman 12 poin, diletakkan di tengah margin. Contoh:

Mohammad TariganFakultas Hukum Universitas Tarumanagara

Jl. S. Parman No. 1 Jakarta 11440, Email: [email protected].

Ilyasa Sitanggang & Ibrahim PelupessyFakultas Hukum Universitas YudisialJl. Kramat Raya No. 57 Jakarta 10450

Email: [email protected] & [email protected]

Abstrak

Abstrak ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan jumlah kata masing-masing antara 150 s.d. 200 dalam satu paragraf dengan jarak satu spasi. Abstrak dilengkapi dengan kata kunci (keywords) sebanyak 3 s.d. 5 terma (legal terms).

I. PENDAHULUAN

Subbab ini berisi latar belakang dari rumusan masalah dan ringkasan jalannya peristiwa hukum (posisi kasus) yang menjadi inti permasalahan dalam putusan tersebut. Pertimbangan majelis terkait permasalahan yang akan disorot wajib dijadikan bagian dari latar belakang. Nama–nama para pihak dan majelis hakim yang dikutip dari putusan, ditulis dengan inisial. Pendahuluan harus memberi pengantar yang cukup bagi masalah yang akan dirumuskan.

II. RUMUSAN MASALAH

Subbab ini memuat formulasi permasalahan yang menjadi fokus utama yang akan dijawab nanti melalui analisis. Rumusan masalah sebaiknya diformulasikan dalam bentuk pertanyaan (maksimal tiga pertanyaan).

Page 121: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

III. STUDI PUSTAKA

Subbab ini memuat tinjauan data/informasi yang diperoleh melalui bahan-bahan hukum seperti perundang-undangan dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, juga hasil-hasil penelitian, buku, dan artikel yang relevan dan mutakhir. Paparan dalam studi pustaka tersebut harus menjadi kerangka analisis terhadap rumusan masalah yang ingin dijawab.

IV. ANALISIS

Subbab ini memuat analisis yang harus dikemas secara runtut, logis, dan terfokus, yang di dalamnya terkandung pandangan orisinal dari penulisnya. Bagian analisis ini harus menyita porsi terbesar dari keseluruhan substansi naskah.

V. SIMPULAN

Subbab terakhir ini memuat jawaban secara lengkap dan singkat atas semua rumusan masalah.

VI. DAfTAR PUSTAKA

Daftar pustaka harus terdiri dari referensi yang digunakan sebagai acuan naskah, tidak termasuk peraturan perundang-undangan, peraturan kebijakan, dan/atau putusan pengadilan berjumlah minimal 15 referensi. Untuk kemutakhiran, pengacuan pustaka 80% harus dari terbitan lima tahun terakhir dan 80% harus berasal dari sumber acuan primer (bukan mengutip dari sumber kedua). Pengacuan pustaka harus dari situs ilmiah yang kredibel dan bukan berasal dari blog pribadi.

PENGUTIPAN DAN DAfTAR PUSTAKA

Sumber kutipan ditulis dengan menggunakan sistem catatan perut (body note atau side note) dengan urutan nama penulis/lembaga, tahun terbit, dan halaman yang dikutip. Tata cara pengutipannya adalah sebagai berikut:

1. Satu penulis: (Grassian, 2009: 45); Menurut Grassian (2009: 45), ...2. Dua penulis: (Abelson & Friquegnon, 2010: 50-52); 3. Lebih dari dua penulis: (Hotstede et.al., 1990: 23);4. Terbitan lembaga tertentu: (Cornell University Library, 2009: 10).

Kutipan tersebut harus ditunjukkan dalam daftar pustaka (bibliografi) pada akhir naskah. Tata cara penulisan daftar pustaka dilakukan secara alfabetis, dengan contoh sebagai berikut:

Abelson, Raziel & Marie-Louise Friquegnon. Eds. 2010. Ethics for Modern Life. New York: St. Martin’s Press.

Abdi, Mualimin. 2012. “Kewajiban Verifikasi Parpol Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012.” Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 9 No. 4. Hlm. 535-546.

Page 122: CONFLICTUS LEGEM Yudisial/jurnal-april-2014.pdf · Tulisan Janpatar Simamora, misalnya, menyoroti pengajuan kasasi oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan (vonis) bebas. Di sini

Cornell University Library. 2009. “Introduction to Research.” Akses 20 Januari 2010. <http://www.library.cornell.edu/resrch/intro>.

Grassian, Victor. 2009. Moral Reasoning: Ethical Theory and Some Contemporary Moral Problems. New Jersey: Prentice-Hall.

Komisi Yudisial Republik Indonesia. 2012. Laporan Tahunan 2011. Jakarta: Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial.

Pengacuan pustaka 80% harus dari terbitan lima tahun terakhir dan 80% harus berasal dari sumber acuan primer. Pengacuan pustaka tidak boleh berasal dari blog pribadi, harus dari situs ilmiah yang kredibel.

PENILAIAN

Semua naskah yang masuk akan dinilai dari segi format penulisannya oleh tim penyunting. Naskah yang memenuhi format selanjutnya diserahkan kepada mitra bestari untuk diberikan catatan terkait kualitas substansinya. Setiap penulis yang naskahnya diterbitkan dalam Jurnal Yudisial berhak mendapat honorarium dan beberapa eksemplar bukti cetak edisi jurnal tersebut.

CARA PENGIRIMAN NASKAH

Naskah dikirim dalam bentuk digital (softcopy) ke alamat email: [email protected] dengan tembusan ke: [email protected] dan [email protected]

Personalia yang dapat dihubungi (contact persons): Ikhsan Azhar (085299618833); atauArnis (08121368480).

Alamat redaksi: Pusat Analisis dan Layanan Informasi, Gd. Komisi Yudisial Lt. 3, Jl. Kramat Raya No. 57

Jakarta Pusat 10450, Fax. (021) 3906189.