CONCEPT_PAPER_PENCEGAHAN_BENCANA_BANJIR_YLI_OXFAM.pdf

download CONCEPT_PAPER_PENCEGAHAN_BENCANA_BANJIR_YLI_OXFAM.pdf

of 20

Transcript of CONCEPT_PAPER_PENCEGAHAN_BENCANA_BANJIR_YLI_OXFAM.pdf

  • Page 1 of 20

    CONCEPT PAPER

    Perencanaan Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Banjir

    Berbasis Wilayah DAS (Daerah Aliran Sungai)

    Untuk Mewujudkan

    VISI INDONESIA BEBAS BANJIR

    Disusun oleh:

    Yayasan Lestari Indonesia

    (Gunawan, Aris Sustiyono, Anggoro, M)

    Direvisi oleh:

    1. Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc

    2. Dr. Al. Sentot Sudarwanto, S.H. M.Hum.

    3. Lukman Hakim, Msi.

    Kerjasama,

    YOGYAKARTA, Oktober 2014

  • Page 2 of 20

    CONCEPT PAPER

    Perencanaan Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Banjir

    Berbasis Wilayah DAS (Daerah Aliran Sungai)

    Abstrak

    Maksud dan tujuan penulisan Concept Papaer ini adalah untuk menyamakan

    persepsi stakeholders terkait sebab akibat dan proses terjadinya bencana banjir. Dan

    merumuskan rekomendasi penyusunan perencanaan penyelenggaraan penanggulangan

    bencana banjir berbasis wilayah daerah aliran sungai (DAS) dan penguatan kapasitas

    penyelenggara penanggulangan bencana di daerah, penguatan kapasitas kelembagaan

    pengelola DAS. Idea penyusunan Concept Paper ini berawal dari pernyataan para pihak

    yang hadir dalam Workshop Meningkatkan Koordinasi Kesiapsiagaan Terhadap

    Ancaman Banjir Sungai Bengawan Solo, yang dilaksanakan pada Bulan Desember

    Tahun 2013 di Surakarta. Dalam workshop tersebut disepakati bahwa penanggulangan

    bencana banjir selain dengan kesiapsiagaan juga harus dilakukan upaya pencegahan

    secra terpadu dan terintegrasi mulai dari hulu sampai hilir.

    Untuk memahami keterkaitan banjir dengan wilayah DAS dan permasalahan yang

    ada di dalamnya, kemudian diselenggarakan Simposium Regional Revitalisasi Sungai

    Bengawan Solo; Menyelaraskan Tata Kehidupan dan Ekosistem di Surakarta dan

    dilanjutkan di Jakarta dengan Simposium Nasional Membangun Sinergi Antar

    Multistakeholder Dalam Menghadapi Ancaman Bencana Hidrologi di Indonesia. Dari

    kedua simposium tersebut diperoleh gambaran umum sebab akibat bencana banjir, serta

    gambaran hambatan dan kendala yang dialami stakeholders dalam penyelenggaraan

    penanggulangan bencana banjir.

    Untuk melengkapi informasi yang sudah di hasilkan dalam workshop dan

    simposium, kemudian dilakukan kajian literatur dengan pendekatan induktif dan

    deduktif melalui kegiatan desk review dan focus group discusion (FGD) yang

    melibatkan pihak-pihak yang berkompeten dan representatif dari unsur masyarakat sipil

    (CSO), lembaga swadaya masyarkat (LSM) dan akademisi. Kajian literatur ditujukan

    kepada peraturan perundang-undangan, hasil kajian lain, dan kebijakan

    penyelenggaraan penanggulangan bencana banjir yang sudah diterapkan.

    Kesimpulan yang dapat ditarik adalah: (1) bencana banjir sangat terkait erat dengan

    kondisi wilayah DAS; (2) penyelenggaraan penanggulangan bencana banjir di daerah

  • Page 3 of 20

    belum sesuai seperti yang di mandatkan dalam UU PB, khususnya pada tahapan

    prabencana dalam situasi tidak terjadi bencana; (3) ketentuan-ketentuan yang diatur

    dalam peraturan perundang-undangan di bidang penanggulangan bencana tidak cukup

    untuk menjawab permasalahan bencana banjir di wilayah DAS lintas provinsi dan DAS

    lintas kabupaten/ kota.

    Dalam concept paper ini, berdasarkan hasil workshop, simposium dan kajian

    literatur, direkomendasikan perlu penyusunan perencanaan penanggulangan bencana

    banjir berbasis wilayah DAS dan penguatan kapasitas kelembagaan penyelenggara

    penanggulangan bencana di daerah.

    Kata kunci: Kebijakkan, Perencanaan, Penanggulangan Bencana, Banjir, Daerah

    Aliran Sungai (DAS)

    I. LATAR BELAKANG

    Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis,

    geologis, hidrologis, dan demografis yang unik dan spesifik yang tidak ada di

    wilayah lain di dunia. Secara geografis, wilayah Indonesia terletak di daerah

    khatulistiwa di antara Benua Asia dan Australia serta di antara Samudera Pasifik

    dan Hindia, berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia merupakan

    wilayah teritorial yang sangat rawan terhadap bencana alam seperti gempa bumi,

    dan letusan gunung api. Selain itu, Indonesia yang beriklim tropis dengan dua

    musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau juga sangat rawan terjadinya

    bencana yang terkait hidroklimatologis seperti angin puting beliung, banjir,

    kekeringan dan kebakaran hutan.

    Dengan sumber daya alam yang melimpah, jumlah penduduk yang mencpai

    237,6 juta jiwa dengan penyebaran tidak merata serta ketimpangan sosial dan

    masalah penyimpangan pemanfaatan kekayaan alam dapat meningkatkan eskalasi

    dan macam bencana. Bencana yang muncul tidak hanya bersumber dari gejala

    alam tapi juga berkaitan dengan prilaku manusia terhadap alam/ lingkungan.

    Iklim sudah dan akan terus berubah, perubahan iklim ini menimbulkan

    potensi bencana di Indonesia1. Dari laporan para ahli di dunia, iklim global

    1Nurhayati. (2014). Peran BMKG dalam menghadapi Bencana Hidrometeorologi. Presentasi dalam Simposium Nasional, Yayasan Lestari Indonesia Oxfam, Jakarta.

  • Page 4 of 20

    mengalami perubahan yang cukup signifikan dan Indonesia sebagai negara

    kepulauan juga terpengaruh dengan adanya perubahan iklim tersebut. Hasil

    kajian yang dilakukan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC),

    sebuah panel ahli internasional yang ditunjuk untuk mengkaji aspek-aspek

    ilmiah tentang perubahan iklim dan memberikan masukan kepada Unaited

    Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), bahwa dampak

    perubahan iklim di kawasan Asia Tenggara, termasuk di Indonesia,

    diperkirakan akan meningkatkan ancaman terhadap ketahanan pangan,

    kesehatan manusia, ketersediaan air, keragaman hayati, dan kenaikan muka

    air laut2.

    Cuaca ekstrim seperti curah hujan yang tinggi memang menjadi faktor

    pemicu terjadinya banjir. Tetapi selain itu masih ada penyebab lain yang

    mengakibatkan terjadinya banjir. Perubahan iklim memicu lebih banyak cuaca

    ekstrem yang menghasilkan bencana, seperti yang terjadi di Daerah Khusus

    Ibukota (DKI) Jakarta pada Januari hingga Februari 2013.3 Pemerhati sekaligus

    pakar lingkungan dari Universitas Riau, Tengku Ariful Amri, mengatakan, cuaca

    ekstrem yang melanda sebagian besar wilayah Tanah Air adalah dampak dari

    terhambatnya siklus hidrologi4. Berubahnya pola siklus hidrologi ini menurut

    Tengku Ariful Amri disebabkan karena adanya perubahan kondisi wilayah DAS.

    Menurut Data dan Informasi Bencana Indonesia Badan Nasional

    Penanggulangan Bencana (DIBI-BNPB) kejadian banjir di Indonesia yang dicatat

    mulai Tahun 1815 2014 sebanyak 5,541 kejadian, atau sebanyak 37 % dari

    seluruh kejadian jenis bencana. Sedangkan sebaran jumlah kejadian bencana

    banjir terbanyak berada di pulau Jawa. Kemudian melihat data jumlah penduduk

    hasil sensus penduduk Tahun 2010, penduduk pulau Jawa mendominasi dengan

    jumlah mencapai 58 % dari 237,6 juta jiwa. Hal ini mengindikasikan bahwa

    kerusakan wilayah DAS sebagai salah satu penyebab terjadinya banjir lebih

    banyak dipengaruhi oleh kegiatan manusia yang tidak ramah terhadap lingkungan.

    2http://www.wwf.or.id/?29541/Laporan-IPCC-ke-5-Kelompok-Kerja-I-Perubahan--Iklim--Nyata--Umat

    Manusia-Menghadapi-Ancaman-Serius diakses pada tanggal 07 Oktober 2014 pukul 14:19 WIB

    3http://sains.kompas.com/read/2013/01/20/17502648/Enam.Dampak.Perubahan.Iklim.pada.Hidup.Kita

    diakses pada tanggal 06 Oktober 2014 pukul 14:47 WIB

    4http://www.republika.co.id/berita/nasional/lingkungan/12/01/06/lxcuef-ini-dia-faktor-penyebab cuaca-

    ekstrem-di-indonesia diakses pada tanggal 07 Oktober 2014 pukul 14:13 WIB

  • Page 5 of 20

    II. TUJUAN

    Penyusunan Concept Paper ini bertujuan untuk:

    1. Menyamakkan persepsi stakeholders terkait sebab akibat bencana banjir;

    2. Merumuskan rekomendasi penyusunan perencanaan penyelenggaraan

    penanggulangan bencana banjir berbasis wilayah daerah aliran sungai

    (DAS);

    Keluaran yang diharapkan adalah:

    1. Adanya kesamaan persepsi dari stakeholders terhadap penyebab dan

    akibat bencana banjir;

    2. Adanya rekomendasi penyusunan perencanaan penyelenggaraan

    penanggulangan bencana banjir berbasis DAS;

    Kajian ini difokuskan pada aspek non teknis. Untuk mempertajam analisis,

    ruang lingkup kajian ini dibatasi pada: (1) pengumpulan dan analisis data

    sekunder tentang sebab akibat dan proses terjadinya banjir; (2) analisis kebijakan

    penyelenggaraan penangulangan bencana banjir; (3) penyusunan rekomendasi

    penyusunan perencanaan penyelenggaraan penanggulangan bencana banjir

    berbasis wilayah DAS.

    III. METODOLOGI

    Dalam penyusunan Concept Paper ini menggunakan dua pendekatan, yaitu

    dengan pendekatan induktif dan pendekatan deduktif.

    1. Pendekatan induktif dilakukan dengan cara analisis pengalaman empirik

    berkenaan dengan penanggulangan bencana banjir. Untuk mengeksplorasi

    dan mencari data melalui kegiatan Desk Review, workshop, simposium dan

    focus group dicussion (FGD) dengan melibatkan pihak-pihak yang

    berkompeten dan representatif. Pihak yang terlibat adalah masyarakat sipil

    (CSO), lembaga swadaya masyarkat (LSM), akademisi dan pemerintah.

    2. Pendekatan deduktif dikerjakan dengan cara analisis perspektif dan

    konseptual dari buku-buku yang membahas mengenai DAS dan bencana

    alam, khususnya bencana banjir, analisis regulasi dan kebijakan.

  • Page 6 of 20

    Penyusunan Concept Paper ini berpijak dari pernyataan para pihak yang

    hadir dalam Workshop Meningkatkan Koordinasi Kesiapsiagaan Terhadap

    Ancaman Banjir Sungai Bengawan Solo, yang dilaksanakan pada Bulan

    Desember Tahun 2013 di Surakarta. Dalam workshop tersebut disepakati bahwa

    penanggulangan bencana banjir selain dengan kesiapsiagaan juga harus dilakukan

    upaya pencegahan untuk pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan

    pihak yang terancam bencana.

    Untuk memahami keterkaitan banjir dan wilayah DAS serta untuk memahami

    permasalahan yang ada di Sungai Bengawan Solo kemudian diselenggarakan

    Simposium Regional Revitalisasi Sungai Bengawan Solo; Menyelaraskan Tata

    Kehidupan dan Ekosistem di Surakarta dan dilanjutkan di Jakarta dengan

    Simposium Nasional Membangun Sinergi Antar Multistakeholder Dalam

    Menghadapi Ancaman Bencana Hidrologi di Indonesia. Dari kedua simposium

    tersebut diperoleh gambaran umum sebab akibat bencana banjir, serta gambaran

    hambatan dan kendala yang dialami pemerintah daerah dalam penyelenggaraan

    penanggulangan bencana banjir.

    A. KERANGKA ANALISIS

    1. Sebab Akibat Banjir

    Banjir didefinisikan sebagai peristiwa atau keadaan dimana

    terendamnya suatu daerah atau daratan karena volume air yang

    meningkat. (Pusat Data dan Informasi, BNPB, 2008). Secara alamiah

    banjir, adalah proses alam yang biasa dan merupakan bagian penting dari

    mekanisme pembentukkan dataran di bumi. Proses terjadinya banjir

    dibagi dua yaitu proses yang terjadi secara alamiah dan non alamiah.

    Proses terjadinya banjir secara alamiah seperti, air hujan yang turun

    sebagian tidak terserap oleh tanah dan menjadi aliran permukaan (run

    off) kemudian menggenang di dataran yang lebih rendah. Sedangkan

    proses terjadinya banjir secara non alamiah, karena ulah manusia sebagai

    contoh adalah prilaku manusia membuang sampah ke sungai dan

    mendirikan bangunan di sepadan sungai mengakibatkan terhambatnya

    aliran air dan kemudian melimpas ke daratan.

    Terjadinya banjir sangat terkait erat dengan siklus hidrologi yang

    terjadi di wilayah DAS sebagaimana yang digambarkan pada Gambar 1.

  • Page 7 of 20

    Gambar 1.

    Siklus Hidrologi

    (Sumber : Rahayu dkk., Banjir dan Upaya Penanggulangannya,)

    Siklus hidrologi menggambarkan mekanisme pendistribusian

    massa air yang bergerak melalui berbagai media dan dalam berbagai

    bentuk karena adanya pengaruh radiasi matahari dan gravitasi bumi.

    Banjir terjadi pada saat pergerakan massa air dalam bentuk aliran

    permukaan terhambat oleh rendahnya kapasitas pembuangan sehingga

    terjadi genangan di wilayah yang lebih rendah5.

    Kategori atau jenis banjir terbagi berdasarkan lokasi sumber aliran

    permukaannya dan berdasarkan mekanisme terjadinya banjir.

    Berdasarkan sumber aliran permukaannya, banjir ada dua jenis, yaitu

    banjir kiriman dan banjir lokal. Sedangkan berdasarkan mekanisme

    terjadinya, banjir bisa dibedakan antara banjir yang diakibatkan oleh

    hujan dan banjir yang diakibatkan oleh selain hujan, seperti tsunami,

    gelombang pasang (ROB) dan banjir akibat rusaknya bendungan

    (Rahayu dkk, 2009).

    2. Manajemen Bencana

    Momentum upaya penanggulangan bencana di tingkat global

    terjadi pasca bencana besar berupa gempa bumi dan tsunami yang

    melanda beberapa negara di asia tenggara, termasuk Indonesia pada

    tahun 2004. Setahun kemudian pada bulan Januari 2005, lahirlah

    5 P. Rahayu, H. et al (2009) Banjir dan Upaya Penanggulangannya. ......

  • Page 8 of 20

    kesepakatan global tentang Kerangka Aksi Hyogo (Hyogo Framework

    for Action/HFA). Kerangka Aksi ini ditandatangani oleh 168 negara

    (termasuk Indonesia) di Kobe, Jepang pada World Conference on

    Disaster Reduction. Jauh sebelum adanya kesepakatan tersebut,

    sebetulnya sudah ada perhatian dari salah satu badan PBB (Perserikatan

    Bangsa-Bangsa) tentang bencana. Pada tahun 1990-an Unaited Nations

    Development Programe (UNDP) dan Unaited Nation Disaster Risk

    Organization (UNDRO) sudah menjalankan program pelatihan

    manajeman bencana, dalam program ini kemudian menerbitkan modul

    dasar untuk pelatihan manajemen bencana.

    Dalam Modul Dasar yang diterbitkan oleh UNDP/UNDRO dengan

    judul Tinjauan Umum Manajemen Bencana edisi ke 2 pada tahun 1992

    untuk Program Pelatihan Manajemen Bencana, Bencana adalah

    gangguan yang serius dari berfungsinya satu masyarakat, yang

    menyebabkan kerugian-kerugian yang besar terhadap lingkungan,

    material dan manusia, yang melebihi kemampuan dari masyarakat yang

    tertimpa bencana untuk menanggulangi dengan hanya menggunakan

    sumber-sumber daya masyarakat itu sendiri. Bencana sering

    diklasifikasikan sesuai dengan cepatnya serangan bencana tersebut

    (secara tiba-tiba atau perlahan-lahan) atau sesuai dengan penyebab

    bencana itu (secara alami atau karena ulah manusia).

    Proses terjadinya bencana tidak terlepas dengan adanya bahaya,

    kerentanan dan kapasitas yang ada di masyarakat. Bencana terjadi saat

    bahaya muncul dalam lingkungan masyarakat dengan kerentanan yang

    tinggi sementara kapasitasnya rendah. Faktor-faktor penyebab bencana

    antara lain; kemiskinan, pertumbuhan penduduk, urbanisasi yang cepat,

    transisi-transisi di dalam praktek-praktek kultural, degradasi lingkungan,

    kurangnya kesadaran dan informasi, perang dan kerusuhan sipil

    (UNDP/UNDRO, 1992).

    Pengertian bencana secara normatif tercantum dalam Pasal 1 UU

    PB disebutkan; Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang

    mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang

    disebabkan, baik oleh faktor alam dan/ atau faktor nonalam maupun faktor

  • Page 9 of 20

    manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa

    manusia,kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

    Definisi manajemen bencana menurut UNDP/UNDRO adalah

    sekumpulan kebijakan dan keputusan- keputusan administratif dan

    aktivitas-aktivitas operasional yang berhubungan dengan berbagai

    tahapan dari semua tingkatan bencana. Di Indonesia, dalam UU PB tidak

    menggunakan istilah manajemen bencana, tetapi dengan istilah

    penanggulangan bencana yang pengertiannya disebutkan dalam Pasal

    1, Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian

    upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko

    timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan

    rehabilitasi.

    Seiring meningkatnya perhatian dan kesadaran manusia terhadap

    permasalahan bencana, kemudian muncul konsep pengurangan risiko

    bencana (PRB). Salah satu peneliti yang mengenalkan konsep ini adalah

    John Twigg dari University College London pada tahun 2007. Sedangkan

    pengertian PRB adalah sebuah pendekatan sistematis untuk

    mengidentifikasi, menilai, dan mengurangi risiko bencana (Jhon Twigg,

    2009).

    Istilah PRB kemudian digunakan oleh berbagai lembaga NGO

    (Non Goverment Organization) sebagai istilah yang memayungi untuk

    membantu mengintegrasikan bencana dan pekerjaan pembangunan. Para

    penggagas konsep ini berpandangan bahwa dalam mengatasi

    permasalahan bencana, faktor bahaya, baik bahaya alamiah atau bahaya

    akibat prilaku manusia tidak bisa sama sekali dihilangkan. Usaha yang

    bisa dilakukan dengan mengurangai kerentanan dan meningkatkan

    kapasitas lingkungan dan masyarakat dengan mengintegrasikannya

    dalam proses pembangunan. Proses pembangunan selain berdampak

    positif bagi perkembangan masyarakat, disisi lain juga menciptakan

    kerentanan-kerentanan. Pada Gambar 2 berikut ini bisa dilihat hubungan

    antara bencana dengan pembangunan.

  • Page 10 of 20

    Gambar 2.

    Hubungan Bencana dengan Pembangunan

    (Sumber: UNDP/UNDRO, Tinjauan Umum Manajemen Bencana)

    Dalam proses PRB bahaya yang ada di identifikasi dan dihitung

    risiko-risiko yang mungkin muncul di masa yang akan datang. Tugas

    keseluruhan dari manajemen risiko harus mencakup baik estimasi dari

    besarnya risiko khusus dan juga evaluasi terhadap betapa pentingnya

    risiko. Proses manajemen risiko mempunyai dua bagian: penilaian risiko

    dan evaluasi risiko. Penilaian risiko memerlukan penghitungan risiko dari

    data dan pemahaman proses-proses yang terlibat. Evaluasi risiko adalah

    penilaian bahwa satu masyarakat menempatkan risiko-risiko yang

    menghadang mereka dalam menentukan apa yang harus dilakukan

    terhadap risiko-risiko tersebut (UNDP/UNDRO, 1992)

    3. Kebijakan Pemerintah

    Kebijakan pemerintah atau kebijakan publik diartikan sebagai

    pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang

    keberadaannya mengikat. Dalam hal ini hanya pemerintah yang dapat

    melakukan suatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut

    merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang

    merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat.

    Definisi kebijakan publik menurut Easton ini dapat diklasifikasikan

  • Page 11 of 20

    sebagai suatu proses management, yang merupakan fase dari serangkaian

    kerja pejabat publik.6

    Namun dalam hal ini kebijakan diartikan dalam arti sempit, yaitu

    kebijakan yang masih harus dijabarkan terlebih dahulu di dalam berbagai

    peraturan perundang-undangan. Di dalam Pasal 1 Undang Undang

    Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan,

    kebijakan adalah arah/ tindakan yang diambil oleh Pemerintah Pusat/

    Daerah untuk mencapai tujuan.

    Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang

    Pembentukan Perundang-Undangan Pasal 7 ayat (1) disebutkan jenis dan

    hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut : a.

    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b.

    Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c.

    Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah.

    B. DATA

    Dalam kajian ini menjaring informasi tentang penyebab dan dampak

    banjir, kebijakan dan strategi penanggulangan bencana, hambatan dan

    kendala yang dihadapi, pada tahapan prabencana ketika tidak terjadi bencana.

    Data sekunder diperoleh dari instansi terkait, sedangkan workshop dan

    simposium dilakukan dengan melibatkan stakeholders dari unsur

    decision/policy maker di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota,

    terutama dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), instansi yang

    menangani pengelolaan wilayah sungai (WS) dan instansi yang berwenang

    dalam pengelolaan DAS. Dari unsur intermediaries, FGD dilakukan dengan

    pakar dari perguruan tinggi, profesional dan pemerhati bidang sumberdaya air

    dan DAS, serta LSM yang peduli terhadap masalah banjir dan pengelolaan

    DAS.

    6 Drs. Hessel Nogi S. Tangkilisan, MSi, Teori dan Konsep Kebijakan Publik dalam Kebijakan Publik

    yang Membumi, konsep, strategi dan kasus, Yogyakarta : Lukman Offset dan YPAPI, 2003,

  • Page 12 of 20

    IV. HASIL KAJIAN

    A. Temuan Hasil Workshop, Simposium, dan Penelusuran Data Sekunder

    Dari hasil workshop dan simposium, terungkap penyebab banjir di

    wilayah DAS Bengawan Solo antara lain: (1) tingginya curah hujan dengan

    durasi yang panjang; (2) berkurangnya daerah tangkapan air di wilyah hulu

    karena alih fungsi lahan, sementara upaya penghijauan belum optimal; (3)

    terjadinya pendangkalan di waduk dan sungai dari sedimen yang menumpuk

    karena tingkat erosi yang cukup tinggi; (4) daya tampung sungai dan drainase

    yang tidak memadai dan kurang terpelihara; (5) banyak sampah padat yang

    dibuang ke sungai maupun drainase dan masih ada bangunan yang didirikan

    di bantaran sungai sehingga menghambat aliran air, dalam hal ini kesadaran

    masyarakat masih rendah. Berdasarkan data dan informasi yang berhasil

    dikumpulkan, dan dilihat dari proses terjadinya banjir yang terjadi di wilayah

    DAS Bengawan Solo lebih banyak dipengaruhi oleh faktor non alam, yaitu

    karena faktor manusia.

    Sedangkan akibat atau dampak banjir di DAS Bengawan Solo yaitu; (1)

    adanya korban jiwa baik yang meninggal atau sakit; (2) terganggunya

    aktifitas sosial ekonomi dan proses pendidikan di masyarakat; (3)

    terganggunya akses transportasi antar daerah; (4) terganggunya ases air bersih

    bagi masyarakat; (5) menurunnya produktifitas hasil pertanian; (6) kerusakan

    infrastruktur di wilayah sekitar sungai; (7) munculnya bahaya sekunder

    seperti menyebarnya wabah penyakit.

    Melihat persebaran wilayah yang terdampak banjir Sungai Bengawan

    Solo dan penyebab terjadinya banjir, dalam kajian ini juga mengidentifikasi

    stakeholders dari unsur decision/policy maker terkait pemanfaatan dan

    pengelolaan wilayah DAS lintas provinsi. Dari identifikasi dan penelusuran

    data sekunder, stakeholders tersebut yaitu: (1) BP DAS (Balai Pengelolaan

    Daerah Aliran Sungai), di koordinasikan oleh Kementerian Kehutanan; (2)

    BBWS (Balai Besar Wilayah Sungai), di koordinasikan oleh Kementerian

    Pekerjaan Umum; (3) pemerintah daerah, baik Pemerintah Provinsi dan

    Pemerintah Kabupaten/ Kota. Berdasarkan peraturan perundang-undangan

    yang ada, Stakeholders inilah yang memiliki kewenangan dan tanggung

    jawab dalam menentukan kebijakan-kebijakan dalam pembangunan di

    wilayah DAS.

  • Page 13 of 20

    Kemudian sektor-sektor yang mempengaruhi kondisi wilayah DAS,

    antara lain; (1) sektor kehutanan; (2) sektor pertanian; (3) sektor SDA

    (sumber daya air); dan (4) sektor pemukiman. Ke 4 (empat) sektor tersebut

    masing-masing memiliki regulasi dan kebijakan sendiri-sendiri dalam

    mengimplemntasikan program kerjanya. Meskipun dalam peraturan

    perundang-undangan mengintruksikan untuk melakukan koordinasi dan

    sinkronisasi dalam menerapkan kebijakannya, tetapi pada kenyataannya hal

    tersebut belum dilakukan secara optimal.

    Usaha penanggulangan banjir sudah dilakukan baik oleh pemerintah

    daerah maupun pemerintah pusat mulai pada tahapan prabencana, saat

    terjadinya bencana dan setelah terjadinya bencana. Berdasarkan informasi

    yang terhimpun, penyelenggaraan penanggulangan bencana banjir pada

    tahapan ketika terjadinya bencana atau pada saat tanggap darurat, pemerintah

    daerah dan masyarakat terlihat lebih siap. Sedangkan penyelenggaraan

    penanggulangan bencana banjir pada tahapan prabencana belum

    menunjukkan hasil yang optimal. Pemerintah daerah selaku penanggung

    jawab penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah mengahadai

    berbagai hambatan dan kendala, antar lain: a) tidak adanya aturan hukum

    yang spesifik mengatur tentang penanggulangan bencana banjir; b)

    kewenangan pemerintah daerah terbatas pada wilayahnya masing-masing,

    sementara persolaan banjir faktor penyebabnya tidak selalu berada di

    wilayahnya; c) belum memadainya kapasitas penyelenggara penanggulangan

    bencana yang ada di daerah.

    Kebijakan pemerintah terkait penanggulangan bencana banjir yang

    kemudian dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan antara lain; (1)

    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, dengan

    istilah daya rusak air; (2) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011

    Tentang Sungai (PP 34/2011); (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007

    Tentang Penanggulangan Bencana; (4) Peraturan Pemerintah Nomor 21

    Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana; (5)

    Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2006 Tentang Pedoman

    Umum Mitigasi Bencana; (6) Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 4

    Tahun 2012 Tentang Penanggulangan Bencana Banjir Dan Tanah Longsor.

  • Page 14 of 20

    B. Analisis

    1. Penyebab dan Proses Terjadinya Banjir

    Dari data sekunder dan informasi yang terkumpul, penyebab banjir

    pada dekade sebelum tahun 1970-an lebih disebabkan oleh faktor alam,

    yaitu dari curah hujan. Seperti banjir besar yang pernah terjadi di Sungai

    Bengawan Solo pada Tahun 1966. Seiring pesatnya proses pembangunan

    dan pesatnya pertambahan jumlah penduduk, penyebab banjir setelah

    tahun 1970-an lebih disebabkan oleh faktor non alam, yaitu karena

    prilaku manusia yang kurang bijak dalam memanfaatkan lingkungan.

    Aktifitas pembangunan yang tidak ramah lingkungan dalam beberapa

    dekade terakhir telah mengubah kondisi wilayah DAS secara massif,

    terutama di Pulau Jawa. Hal ini terbukti dari data kejadian bencana banjir

    yang sebagian besar terjadi di Pulau Jawa dengan jumlah penduduk

    mencapai 58 % dari total jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010.

    Untuk menemukan pemahaman yang utuh, perlu dilihat juga

    keterkaitan bencana banjir dengan wilayah DAS. Pengertian DAS

    menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang

    Pengelolaan Sumber Daya Air (UU SDA) dan Pasal 1 Peraturan

    Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Daerah Aliran

    Sungai, yaitu;

    Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang

    merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang

    berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal

    dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat

    merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah

    perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.

    DAS sebagai suatu kesatuan ekosistem yang terdiri dari wilayah

    daratan, sungai dan anak sungainya yang berfungsi menampung,

    menyimpan dan mengalirkan air hujan merupakan bagian dari siklus

    hidrologi. Terhambatnya siklus hidrologi akan memicu terjadinya cuaca

    ekstrim seperti curah hujan yang tinggi. Hal ini seperti yang disampaikan

  • Page 15 of 20

    Tengku Ariful Amri, pemerhati sekaligus pakar lingkungan dari

    Universitas Riau7.

    Perubahan kondisi wilayah DAS sangat dipengaruhi oleh kinerja

    beberapa sektor yang ada di dalam wilayah DAS. Sektor-sektor yang

    memiliki pengaruh kuat antara lain, sektor kehutanan, sektor pertanian,

    sektor sumber daya air dan sektor pemukiman. Selain ke 4 (empat) sektor

    tersebut juga masih ada sektor yang lain seperti sektor pertambangan.

    Tetapi untuk konteks di Jawa, sektor ini tidak terlalu signifikan dalam

    mempengaruhi kondisi DAS.

    2. Kebijakan Penanggulangan Bencana Banjir

    Jauh sebelum lahirnya UU PB, permasalahan banjir sebetulnya

    sudah disinggung dalam UU SDA dengan istilah daya rusak air yang

    dalam hal ini bisa dikatakan sebagai banjir. Dalam UU SDA ini daya

    rusak air di definisikan sebagai daya air yang dapat merugikan

    kehidupan. Kemudian pada bab V (lima) tentang pengendalian daya

    rusak air sudah diatur secara detail siapa yang bertanggung jawab dan

    bagaimana strategi pengendalian daya rusak air, yang diatur mulai Pasal

    51 sampai Pasal 58. Sedangkan dalam PP 38/2011 Tentang Sungai

    diataur dalam Pasal 34 sampai Pasal 48.

    Pendekatan yang digunakan dalam UU SDA dan PP 34/2011 ini

    sudah lebih tepat dengan berbasis pada kesatuan wilayah sungai (WS).

    Pengertia WS menurut UU SDA adalah kesatuan wilayah pengelolaan

    sumber daya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau

    pulau pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km2.

    Dengan pengertian tersebut WS bisa berupa; WS dalam satu kabupaten/

    kota, WS lintas kabupaten/kota, WS lintas provinsi, WS lintas negara,

    dan WS strategis nasional. Pendekatan ini masih perlu dikaji lebih dalam

    seberapa efektif dalam pengendalian daya rusak air atau bencana banjir,

    pada kenyataannya kejadian bencana banjir masih terus terjadi dan

    cenderung meningkat. Mengingat bahwa kejadian bencana banjir sangat

    7 http://www.republika.co.id/berita/nasional/lingkungan/12/01/06/lxcuef-ini-dia-faktor-

    penyebab cuaca-ekstrem-di-indonesia diakses pada tanggal 07 Oktober 2014 pukul 14:13 WIB

  • Page 16 of 20

    terkait dengan siklus hidrologi dan kesatuan ekosistem wilayah DAS,

    pendekatan yang lebih tepat dalam penyelenggaraan penanggulangan

    bencana banjir adalah berbasiskan wilayah kesatuan ekosistem DAS. Hal

    ini juga mengingat dalam penentuan batas WS tidak ada dasar ilmih

    seperti halnya dalam penentuan batas wilayah DAS.

    Selain menggunakan UU SDA, PP 34/2011 pemerintah daerah

    dalam upaya penanggulangan bencana banjir juga berpedoman pada

    Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2006 Tentang

    Pedoman Umum Mitigasi Bencana. Dalam pedoman ini ruang

    lingkupnya sudah lengkap meliputi kebijakan, strategi, manajemen,

    upaya-upaya dan aspek koordinasi mitigasi bencana. Terkait kebijakan

    disebutkan dalam pelaksanaan mitigasi bencana dilaksanakan secara

    terpadu dan terkoordinir. Dalam salah satu strateginya sudah memasukan

    prosedur kajian resiko bencana ke dalam perencanan tata ruang/tata guna

    lahan. Dari segi langkah-langkah yang dilakukan dalam mitigasi bencana

    banjir juga sudah cukup lengkap. Tetapi jika pedoman tersebut

    dilaksankan dengan berbasis administratif sesuai dengan batas-batas

    wilayah pemerintah daerah tentu tidak cukup untuk mengatasi

    permasalahan bencana banjir yang terjadi di wilayah DAS lintas

    pemerintah daerah.

    UU PB yang lahir atas kesadaran betapa pentingnya peraturan

    perundang-undangan sebagai landasan hukum dalam penanggulangan

    bencana memberikan dimensi baru dalam usaha penanggulangan

    bencana. Namun dalam UU PB ini juga belum muncul kesadaran bahwa

    bencana banjir sangat terkait dengan siklus hidrologi yang terjadi dalam

    wilayah DAS. Sehingga dalam UU PB ini tidak ada ketentuan yang

    mengatur usaha pencegahan dan mitigasi bencana banjir yang berbasis

    wilayah kesatuan ekosistem DAS. Kemudian untuk mengisi kekosongan

    hukum terkait penanggulangan bencana banjir, pada tahun 2012 Presiden

    Republik Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia

    Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Penanggulangan Bencana Banjir Dan

    Tanah Longsor. Dalam Inpres ini disebutkan beberapa kementerian dan

    lembaga negara yang di instruksikan untuk melakukan penanggulangan

    bencana banjir dan tanah longsor mulai dari status siaga darurat, tanggap

  • Page 17 of 20

    darurat, transisi darurat ke pemulihan dan pasca bencana. Inpres ini juga

    belum cukup untuk dijadikan landasan hukum dalam penyelnggaraan

    penanggulangan bencana banjir pada tahapan prabencana.

    V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

    A. Kesimpulan

    Berdasarkan informasi, data dan literatur yang telah dikumpulkan dan

    dianalisis menggunakan kerangka teori sebagaimana dijelaskan diatas, maka

    dalam concept paper ini kesimpulannya sebagai berikut :

    1. Penyebab bencana banjir lebih banyak disebabkan karena faktor non

    alam, yaitu karena aktifitas manusia yang telah merubah kondisi wilayah

    DAS. Proses pembangunan yang dilakukan di dalam DAS yang tidak

    memperhatikan kelestarian ekosistem telah menimbulkan kerentanan-

    kerentanan.

    2. Penyelenggaraan penanggulangan bencana banjir di daerah belum sesuai

    seperti yang diamanatkan dalam UU PB, khususnya pada tahapan

    prabencana dalam situasi tidak terjadi bencana.

    3. Tidak adanya aturan hukum yang secara lengkap dan spesifik mengatur

    penanggulangan bencana banjir. Sedangkan ketentuan-ketentuan yang

    diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang penanggulangan

    bencana yang sudah ada tidak cukup untuk menjawab permasalahan

    bencana banjir di wilayah DAS lintas provinsi dan DAS lintas kabupaten/

    kota.

    B. Rekomendasi

    Permasalahan bencana merupakan permasalahan yang komplek

    menyangkut semua unsur dalam masyarakat. Maka dari itu, urusan bencana

    juga merupakan urusan bersama, dan membutuhkan keterlibatan semua pihak

    dalam penyelesaiannya. Dalam negara hukum seperti di Indonesia kebijakan

    pemerintah yang dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan mutlak

    diperlukan dalam rangka mencapai tujuan bangsa. Dengan banyaknya

    kejadian bencana baik secara langsung maupun tidak langsung akan

    menghambat proses pembangunan. Sedangkan proses pembangunan yang

  • Page 18 of 20

    tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan juga

    berpotensi menimbulkan kerentanan-kerentanan baru di masyarakat.

    Dalam semangat untuk berpartisipasi dalam upaya pencegahan dan

    pengurangan risiko bencana banjir, concept paper ini merekomendasikan

    kepada semua pihak terutama kepada pemerintahan baru yang sedang

    berproses dalam penyusunan RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka

    Menengah Nasional) 2014 2019 sebagai berikut:

    1. Bencana banjir merupakan dampak dari terganggunya sistem hidrologi di

    dalam DAS, maka penyelenggaraan penanggulangan bencana banjir

    dilakukan dengan berbasis wilayah daerah aliran sungai (DAS),

    khususnya perencanan pada tahapan prabencana. Dokumen perencanaan

    yang dimaksud antara lain; RENAS-PB (Rencana Nasional

    Penanggulangan Bencana), RAN-PRB (Rencana Aksi Nasional

    Pengurangan Risiko Bencana), RPBD (Rencana Penanggulangan

    Bencana Daerah), RAD-PRB (Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko

    Bencana) dan Rencana Kontijensi Bencana Banjir.

    2. Untuk memantapkan penyelenggaraan penanggulangan bencana di

    daerah, perlu adanya penguatan kapasitas penyelenggara penanggulangan

    bencana di daerah. Sedangkan dalam upaya pencegahan dan pengurangan

    risiko bencana banjir yang terkait dengan wilayah DAS, perlu dilakukan

    penguatan kelembagaan pengelola DAS dengan membentuk badan

    otonom yang berwenang dan bertanggung jawab dalam pengelolaan

    DAS. Pengelola DAS saat ini adalah Balai Pengelolaan Daerah Aliran

    Sungai (BP DAS) yang menginduk pada Kementerian Kehutanan.

    3. Dalam upaya pencegahan kerusakan ekosistem DAS/ lingkungan,

    idealnya perencanaan pencegahan dilakukan secara terintegrasi dan

    terpadu mulai dari hulu sampai hilir. Kebijakan yang perlu di

    integrasikan antara lain ketentuan yang diatur dalam Pasal 53 UU 7/2004

    PSDA, Pasal 34 Pasal 47 UU 24/2007 PB, Pasal 14 Pasal 52 UU

    32/2009 PPLH dan PP 37/2012 Tentang Pengelolaan DAS. Kemudian

    hasil inventarisasi SDA, kajian analisis resiko bencana, inventarisasi

    lingkungan hidup dan inventarisasi DAS disusun dalam satu dokumen

    sebagai dasar dalam perencanaan pembangunan.

  • Page 19 of 20

    DAFTAR PUSTAKA

    Peraturan Perundang undangan

    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air

    Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Perundang-Undangan

    Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan

    Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana

    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan

    Lingkungan Hidup

    Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2011 Tentang Sungai

    Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan

    Penanggulangan Bencana

    Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Daerah Aliran

    Sungai

    Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2006 Tentang Pedoman Umum

    Mitigasi Bencana

    Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Penanggulangan

    Bencana Banjir Dan Tanah Longsor

    Buku dan Makalah

    Drs. Hessel Nogi S. Tangkilisan, MSi, Teori dan Konsep Kebijakan Publik dalam

    Kebijakan Publik yang Membumi, konsep, strategi dan kasus, Yogyakarta,

    Lukman Offset dan YPAPI, 2003

    Lassa Jonatan. (2008) Kajian Disaster Risk Governance in Indonesia. PRIME

    Project. Dapat di akses di http://www.zef.de/module/register/media/8b80_Lassa-

    rise-of-risk.pdf

    Nurhayati. (2014). Peran BMKG dalam menghadapi Bencana Hidrometeorologi.

    Presentasi dalam Simposium Nasional, Yayasan Lestari Indonesia Oxfam,

    Jakarta.

    Harkunti P. Rahayu et al Banjir dan Upaya Penanggulangannya, Bandung, PROMISE

    Indonesia (Program for Hydro - Meteorological Risk Mitigation Secondary

    Cities in Asia). 2009.

    Program Pelatihan Manajemen Bencana (1992) Tinjauan Umum Manajemen Bencana

    (edisi ke 2), Unaited Nations Development Programe dan Unaited Nation

    Disaster Risk Organization UNDP/UNDRO.

  • Page 20 of 20

    Dr John Twigg, (2009) Karakteristik Masyarakat Tahan Bencana (edisi ke 2) dapat di

    akses di www.proventionconsortium.org/?pageid=90