Command Resposibility Icc
-
Upload
fajri-filardi -
Category
Documents
-
view
258 -
download
1
Transcript of Command Resposibility Icc
NAMA : FAJRI FIL’ARDI
NPM : 110110070296
TUGAS : ICC (COMMAND RESPONSIBILITY)
1. Pengertian Tanggungjawab Komando Menurut Hukum Internasional
Berbicara tentang konsep pertanggungjawaban komando berlaku bagi seorang atasan
dalam pengertian yang luas, termasuk kepala negara, kepala pemerintahan, menteri dan pimpinan
perusahaan. Dalam hal ini seorang dapat dikenakan pertanggungjawaban atas tindakan yang
dilakukan oleh orang lain apabila memenuhi dua elemen, yaitu (1) pengetahuan (2) gagal untuk
mencegah.
Akar dari doktrin ini dapat juga ditelusuri melalui sejarah kemiliteran dimana syarat
untuk menempatkan tanggung jawab yang paling besar ada di tangan komandan militer.
Misalnya, seorang komandan militer yang profesional harus selalu menjalankan fungsi
pengendalian terhadap anak buahnya, mengarahkan, memberi petunjuk mengenai pelaksanaan
tugas-tugas yang berbahaya, mengawasi pelaksanaan tugas hingga selesai, dan mengambil
tindakan disiplin apabila ada anak buahnya tidak atau lalai menyelesaikan tugasnya. Doktrin ini
kemudian menjadi dasar hukum bagi komandan militer atau individu lain yang berada dalam
posisi atasan atau pemegang kekuasaan komando lainnya untuk bertanggung jawab secara
pidana atas kelalaian atau kegagalannya untuk melaksanakan pengendalian terhadap anak
buahnya sehingga terjadi kejahatan Internasional.
Kegagalan bertindak (failure to act) ini dikatakan sebagai tindakan pembiaran
(ommision) sehingga komandan harus bertanggung jawab. Bentuk tanggung jawab komando ini
berbeda dengan bentuk pertanggungjawaban pidana secara individu yang dapat dikenakan
kepada komandan atau atasan apabila ia ikut merencanakan, menghasut, memerintahkan,
membantu, melakukan, dan turut serta melakukan kejahatan. Apabila komandan melakukan dari
salah satu tindakan seperti tersebut di atas, maka komandan telah melakukan tindakan
penyertaan (joint criminal enterprise) dan statusnya disamakan dengan pelaku langsung.
Selanjutnya, dalam konteks hukum perang atau hukum sengketa bersenjata, doktrin
tanggung jawab komando didefinisikan sebagai tanggung jawab komandan militer terhadap
kejahatan perang yang dilakukan oleh prajurit bawahannya atau orang lain yang berada dalam
pengendaliannya. Jadi, tanggung jawab komando yang diatur dalam hukum perang berkaitan
dengan tanggung jawab pidana seorang komandan (Commander criminal responsibility) dan
bukan tanggung jawab umum dari suatu pemegang komando (general responsibility of
command).
Akan tetapi dalam praktek dan perkembangannya, doktrin tanggung jawab komando
bukan hanya diberlakukan para komandan militer saja tetapi juga terhadap atasan atau penguasa
sipil yang memiliki kewenangan untuk memberikan komando atau perintah kepada pejabat
militer atau menggerakkan kekuatan militer. Berdasarkan hal tersebut maka muncullah istilah
tanggung jawab atasan (superior responsibility) di samping tanggung jawab komandan
(commander responsibility). Selain itu, penerapan doktrin tanggung jawab komando dan
tanggung jawab atasan tidak terbatas pada kejahatan yang terjadi di waktu perang belaka, tetapi
mencakup kejahatan terhadap kemanusiaan dan Hak asasi manusia yang universal yang terjadi
baik di waktu perang maupun dimasa damai. Berdasarkan hal tersebut maka baik komandan
militer maupun penguasa sipil dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas kejahatan perang
dan/atau kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh bawahannya baik secara sendiri-sendiri
maupun bersama-sama. Kaitannya dengan superior responsibility dan command responsibility,
merupakan dua hal yang berbeda, dalam hal superior responsibility berkaitan dengan
pemidanaan terhadap komandan apabila memerintahkan anak buah/bawahan melakukan
kejahatan perang. Sedangkan command responsibility adalah dasar pemidanaan terhadap para
komandan/atasan apabila anak buah/bawahan yang berada di bawah komando dan
pengendaliannya terlibat kejahatan pada waktu pelaksanan tugas.
2. Contoh Kasus Yang Menjadi Doktrin Mengenai Command Responsibility
Di bawah ini dijelaskan beberapa praktik penerapan tanggung jawab komando yang
terjadi pada masa awal perkembangan doktrin ini. Beberapa contoh kasus yang terjadi pada masa
awal perkembangan doktrin ini, memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai situasisituasi
yang memungkinkan seorang komandan atau atasan dimintai pertanggungjawaban karena
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh bawahannya. Dari ketentuan-ketentuan yang mengatur
mengenai tanggung jawab komando serta proses hukum yang berkaitan dengan kasus-kasus
tersebut, akan dikemukakan elemen-elemen pokok yang menjadi dasar penentuan kesalahan
seorang komandan atau atasan atas dasar doktrin tanggung jawab komando atau tanggung jawab
atasan. Mulanya, Raja Charles Vll dari Perancis di Orleans pada tahun 1493 mengeluarkan
perintah yang tegas berkaitan dengan doktrin tanggung jawab komando. Perintah tersebut
menyatakan: ”Raja memerintahkan bahwa setiap kapten atau letnan bertanggung jawab atas
penyimpangan, tindakan buruk dan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kompinya, dan
setelah ia menerima suatu pengaduan mengenai adanya kesalahan atau penyimpangan tersebut,
ia membawa pelakunya ke pengadilan sehingga pelakunya dihukum sesuai dengan pelanggaran
yang dilakukannya. Jika ia tidak melakukan hal itu atau menutupi kesalahan atau tidak
mengambil tindakan, atau jika, karena kelalainnya atau kesengajaannya pelaku kejahatan
melarikan diri sehingga terhindar dari hukuman, kapten tersebut harus dianggap bertanggung
jawab atas kejahatan tersebut seolah-olah ia telah melakukan sendiri kejahatan itu dan harus
dihukum sama seperti yang akan dijatuhkan kepada pelaku kejahatan”.
Beberapa aspek penting mengenai doktrin tanggung jawab komando yang terdapat dalam
perintah raja Charles tersebut adalah: pertama, komandan bertanggung jawab untuk
mengendalikan perilaku termasuk cara bertindak yang dilaksanakan oleh bawahannya agar tidak
menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku; kedua, komandan berkewajiban untuk
memproses setiap bawahannya yang terlibat sebagai pelaku kejahatan secara hukum; ketiga, jika
komandan karena kelalaian atau kesengajaan membiarkan kejahatan terjadi dan tidak melakukan
kedua hal tersebut di atas, maka ia bertanggung jawab secara pidana atas kejahatan yang
dilakukan oleh prajurit bawahannya. Selanjutnya, perkembangan doktrin tanggung jawab
komando ini, diberlakukan oleh penguasa Austria (the archduke of austria) yang pada tahun
1474 ia mengadili Peter Von Hagenbach, yang telah memimpin rangkaian kejahatan selama ia
berkuasa untuk kepentingan Charles dari Burgundy di wilayah Upper Rhine yang baru
ditaklukkan. Ia dipersalahkan karena melakukan kejahatan perkosaan, pembunuhan, melanggar
sumpah dan kejahatan terhadap Tuhan dan manusia (the law of god and man).76 Dalam
pembelaannya di depan pengadilan, Peter menyatakan tindakan tersebut dilakukan atas dasar
perintah atasan.
Namun pengadilan menolak pembelaan atas dasar perintah atasan tersebut dan dalam
putusannya menyatakan Peter bersalah melakukan kejahatan yang semestinya ia berkewajiban
untuk mencegah terjadinya kejahatan tersebut. Putusan dalam kasus Peter ini sejalan dengan
pandangan yang dikemukakan oleh Hugo Grotius yang menyatakan bahwa: ”negara dan pejabat
yang berkuasa bertanggung jawab terhadap kejahatan yang dilakukan oleh orang yang berada di
bawah kekuasaannya, jika mereka mengetahui kejahatan tersebut dan tidak melakukan
pencegahan padahal mereka dapat dan harus melakukan hal itu”.
3. Pengaturan Pertanggungjawaban Komando Dalam Instrumen Internasional
Doktrin pertanggungjawaban komando diatur dala instrumen hukum Humaniter
Internasional. Yang pertama yaitu dalam Th Regulation Annexed to 1907 Haque Convention IV
mengenai penghormatan terhadap hukum dan kebiasaan dalam perang didarat. Dalam Regulation
ini dikatakan bahwa sebagian dari hukum, hak-hak dan kewajiban dalam perang yang berlaku
bagi angkatan bersenjata, juga berlaku bagi para milisi dan korps sukarelawan. Adapun syarat-
syarat yang harus dipenuhi oleh milisi dan korps sukarelawan, agar dapat dikategorikan sebagai
kombatan yang sah, antara lain yakni harus dipimpin oleh orang yang bertanggungjawab
terhadap anak buahnya dan melaksanakan operasi militer berdasarkan hukum dan kebiasaan
dalam hukum perang. Dari ketentuan Regulation ini dapat dilihat adanya aspek tanggung jawab
sebagai salah satu syarat seseorang atau sekelompok orang untuk dapat dikatakan sebagai
kombatan.
Selanjutnya secara lebih eksplisit, pengaturan tanggungjawab komando terdapat dalam Pasal 3
Konvensi Den Haag IV 1907 tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat. Ayat (1) dari Pasal
3 Konvensi Den Haag IV 1907 ini mengatakan bahwa setiap pihak yang bersengketa yang
melanggar ketentuan hukum perang bertanggung jawab untuk membayar kompensasi jika
kasusnya menghendaki demikian. Kemudian ayat (2) dari pasal yang sama mengatur bahwa
pihak yang bersengketa bertanggung jawab terhadap setiap tindakan yang dilakukan oleh
anggota angkatan bersenjatanya. Dari ketentuan Pasal 3 Konvensi Den Haag IV 1907 ini dapat
disimpulkan adanya konsep peranggungjawaban Komando, meskipun tidak secara spesifik
menunjuk pada seseorang komandan. Hal yang sama terdapat dalam Konvensi Jenewa tahun
1949 yang tidak mengatur secara tegas mengenai tanggungjawab komando, namun ada pasal-
pasal yang meletakkan tugas dan tanggungjawab yang secara langsung maupun tidak langsung
yang diberikan kepada seorang komandan militer. Di antara pasal-pasal tersebut adalah Pasal 1
Konvensi Jenewa I tahun 1949, Pasal 45 Konvensi Jenewa I tahun 1949 dan Pasal 46 Konvensi
Jenewa II tahun 1949.
Dengan melihat ketiga Konvensi tersebut terdapat pengaturan tentang tanggung jawab negara
dan khususnya para Komandan berkaitan dengan pelaksanaan Konvensi Jenewa 1949. Hal yang
sama juga terdapat dalam Pasal 49 dan Pasal 50 Konvensi jenewa I Tahun 1949 yang mengatur
tentang tanggung jawab negara untuk menjatuhkan sanksi pidana kepada mereka yang
melakukan pelanggaran berat hukum humaniter.
Dalam sejarah peradilan internasional, masalah tentang tanggung jawab komando ini juga
diterapkan dalam Pengadilan Nuremberg dan Pengadilan Tokyo terhadap pelaku kejahatan
perang dari Nazi Jerman (Pengadilan Nuremberg) dan pelaku kejahatan perang Jepang
(Pengadilan Tokyo). Adapun pengadilan Nurenberg dibentuk berdasarkan piagam Nurenberg
atau piagam London. Didalam Piagam London ini ditetapkan tiga kategori pelanggaran atau
kejahatan yang menjadi yuridiksi dari mahkamah Nurenberg yaitu; kejahatan terhadap
perdamaian (crimes against peace), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan terhadap
kemanusiaan (crimes against humanity). Yuridiksi Mahkamah tersebut diatur dalam Pasal 6
piagam Nurenberg, selain itu juga didalam Pasal 6 menegaskan tentang tanggungjawab
individual dari pelaku kejahatan-kejahatan tersebut. Hal ini berarti bahwa tanggung jawab pelaku
ketiga kejahatan tersebut tidak dilimpahkan kepada tanggungjawab negara (state responsibility)
melainkan merupakan tanggungjawab individu, dalam hal ini adalah tanggungjawab atasan yang
member perintah.
Dengan melihat kedua mahkamah tersebut (Nurenberg serta Tokyo) dapat dijelaskan bahwa
apabila terjadi suatu kejahatan maka tanggungjawab berlaku bagi para pemimpin, organisator,
pemicu dan penyerta yang ikut serta dalam merumuskan, atau melaksanakan rencana umum atau
konspirasi untuk melakukan setiap kejahatan. Baik pihak yang memberi perintah dan yang
malaksanakan perintah sama-sama bersalah melaksanakan kejahatan. Apabila Komandan yang
bersangkutan tidak memerintahkan (memberi perintah secara langsung) kejahatan tersebut tetapi
ia mengetahui atau semestinya mengetahui tindakan yang melanggar hukum dan tidak
mengambil tindakan yang semestinya (reasonable action) maka komandan tersebut dapat
dihukum atau dipersalahkan karena terjadi ”wrongful act” yaitu tidak melaksanakan
pengendalian yang patut dan tidak melaksanakan ”legal obligation” serta tidak menggunakan
”legal authority” yang dimilikinya untuk mencegah atau menghentikan atau melaporkan pelaku
kejahatan.