Cholangitis 1

26
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cholangitis akut merupakan infeksi bakteri dari sistem duktus bilier, yang bervariasi tingkat keparahannya dari ringan dan dapat sembuh sendiri sampai berat dan dapat mengancam nyawa. Pertama kali dikemukakan pada tahun 1877 oleh Charcot, ia mempostulatkan bahwa penyakit ini berhubungan dengan proses patologi berupa obstruksi bilier dan infeksi bakteri. Cholangitis merupakan salah satu komplikasi dari batu pada ductus choledochus. Penyakit ini perlu diwaspadai karena insidensi batu empedu di Asia Tenggara cukup tinggi, serta kecenderungan penyakit ini untuk terjadi pada pasien berusia lanjut, yang biasanya memiliki penyakit penyerta yang lain yang dapat memperburuk kondisi dan mempersulit terapi. Penting bagi dokter umum untuk mengetahui penyakit ini, agar dapat menegakkan diagnosis secara tepat, melakukan penanganan pertama, memberikan penjelasan yang baik kepada pasien, dan merujuk secara tepat. B. Rumusan Masalah

description

cholangitis

Transcript of Cholangitis 1

Page 1: Cholangitis 1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cholangitis akut merupakan infeksi bakteri dari sistem duktus bilier, yang

bervariasi tingkat keparahannya dari ringan dan dapat sembuh sendiri sampai

berat dan dapat mengancam nyawa.

Pertama kali dikemukakan pada tahun 1877 oleh Charcot, ia

mempostulatkan bahwa penyakit ini berhubungan dengan proses patologi

berupa obstruksi bilier dan infeksi bakteri. Cholangitis merupakan salah satu

komplikasi dari batu pada ductus choledochus.

Penyakit ini perlu diwaspadai karena insidensi batu empedu di Asia

Tenggara cukup tinggi, serta kecenderungan penyakit ini untuk terjadi pada

pasien berusia lanjut, yang biasanya memiliki penyakit penyerta yang lain

yang dapat memperburuk kondisi dan mempersulit terapi.

Penting bagi dokter umum untuk mengetahui penyakit ini, agar dapat

menegakkan diagnosis secara tepat, melakukan penanganan pertama,

memberikan penjelasan yang baik kepada pasien, dan merujuk secara tepat.

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan

Page 2: Cholangitis 1

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi

Kolangitis akut merupakan superimposa infeksi bakteri yang terjadi pada

obstruksi saluran bilier, terutama yang ditimbulkan oleh batu empedu,

namun dapat pula ditimbulkan oleh neoplasma ataupun striktur.

B. Patofisiologi

Faktor utama dalam patogenesis dari cholangitis akut adalah obstruksi

saluran bilier, peningkatan tekanan intraluminal, dan infeksi saluran

empedu. Saluran bilier yang terkolonisasi oleh bakteri namun tidak

mengalami pada umumnya tidak akan menimbulkan cholangitis. Saat ini

dipercaya bahwa obstruksi saluran bilier menurunkan pertahanan

antibakteri dari inang. Walaupun mekanisme sejatinya masih belum jelas,

dipercaya bahwa bakteria memperoleh akses menuju saluran bilier secara

retrograd melalui duodenum atau melalui darah dari vena porta. Sebagai

hasilnya, infeksi akan naik menuju ductus hepaticus, menimbulkan infeksi

yang serius. Peningkatan tekanan bilier akan mendorong infeksi menuju

kanalikuli bilier, vena hepatica, dan saluran limfatik perihepatik, yang

akan menimbulkan bacteriemia (25%-40%). Infeksi dapat bersifat

supuratif pada saluran bilier.

Saluran bilier pada keadaan normal bersifat steril. Keberadaan batu

pada kandung empedu (cholecystolithiasis) atau pada ductus choledochus

(choledocholithiasis) meningkatkan insidensi bactibilia. Organisme paling

umum yang dapat diisolasi dalam empedu adalah Escherischia coli (27%),

Spesies Klebsiella (16%), Spesies Enterococcus (15%), Spesies

Streptococcus (8%), Spesies Enterobacter (7%), dan spesies Pseudomonas

aeruginosa (7%). Organisme yang ditemukan pada kultur darah sama

dengan yang ditemukan dalam empedu. Patogen tersering yang dapat

diisolasi dalam kultur darah adalah E coli (59%), spesies Klebsiella (16%),

Pseudomonas aeruginosa (5%) dan spesies Enterococcus (4%). Sebagai

Page 3: Cholangitis 1

tambahan, infeksi polimikrobial sering ditemukan pada kultur empedu

(30-87%) namun lebih jarang terdapat pada kultur darah (6-16%).

Saluran empedu hepatik bersifat steril, dan empedu pada saluran

empedu tetap steril karena terdapat aliran empedu yang kontinu dan

keberadaan substansi antibakteri seberti immunoglobulin. Hambatan

mekanik terhadap aliran empedu memfasilitasi kontaminasi bakteri.

Kontaminasi bakteri dari saluran bilier saja tidak menimbulkan cholangitis

secara klinis; kombinasi dari kontaminasi bakteri signifikan dan obstruksi

bilier diperlukan bagi terbentuknya cholangitis.

Tekanan bilier normal berkisar antara 7 sampai 14 cm. Pada

keadaan bactibilia dan tekanan bilier yang normal, darah vena hepatica dan

nodus limfatikus perihepatik bersifat steril, namun apabila terdapat

obstruksi parsial atau total, tekanan intrabilier akan meningkat sampai 18-

29 cm H2O, dan organisme akan muncul secara cepat pada darah dan

limfa. Demam dan menggigil yang timbul pada cholangitis merupakan

hasil dari bacteremia sistemik yang ditimbulkan oleh refluks

cholangiovenososus dan cholangiolimfatik.

Penyebab tersering dari obstruksi bilier adalah choledocholithiasis,

striktur jinak, striktur anastomosis bilier-enterik, dan cholangiocarcinoma

atau karsinoma periampuler. Sebelum tahun 1980-an batu

choledocholithiasis merupakan 80% penyebab kasus cholangitis yang

tercatat.

C. Insidensi

Di Amerika Serikat, Cholangitis cukup jarang terjadi. Biasanya

terjadi bersamaan dengan penyakit lain yang menimbulkan obstruksi bilier

dan bactibilia (misal: setelah prosedur ERCP, 1-3% pasien mengalami

cholangitis). Resiko tersebut meningkat apabila cairan pewarna

diinjeksikan secara retrograd.

Insidensi Internasional cholangitis adalah sebagai berikut.

Cholangitis pyogenik rekuren, kadangkala disebut sebagai

cholangiohepatitis Oriental, endemik di Asia Tenggara. Kejadian ini

Page 4: Cholangitis 1

ditandai oleh infeksi saluran bilier berulang, pembentukan batu empedu

intrahepatik dan ekstrahepatik, abses hepar, dan dilatasi dan striktur dari

saluran empedu intra dan ekstrahepatik.

D. Mortalitas/Morbiditas

Mortalitas dari cholangitis tinggi karena predisposisinya pada

penderita dengan penyakit penyerta yang lain. Pada zaman dahulu, tingkat

mortalitasnya mencapai 100%. Dengan ditemukannya Endoscopic

retrograde cholangiography, sphincterotomy terapeutik secara endoskopik,

ekstraksi batu dan stenting bilier, tingkat mortalitas telah menurun sampai

kira-kira 5-10%.

Pasien-pasien dengan karakteristik berikut berhubungan dengan

tingkat morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi:

1. Hipotensi

2. Gagal ginjal akut

3. Abses hepar

4. Sirosis

5. Inflammatory bowel disease

6. Striktur karena malignansi

7. Radiologic cholangitis – post percutaneus transhepatic

cholangiography

8. Jenis kelamin perempuan

9. Usia lebih tua dari 50 tahu

10. Kegagalan merespon terhadap terapi antibiotik dan

konservatif.

Usia lanjut, masalah medis penyerta, dan keterlambatan

dekompresi bilier meningkatkan tingkat kematian operatif yang timbul

(17-40%). Tingkat mortalitas dari pembedahan elektif setelah stabilisasi

keadaan pasien lebih rendah secara signifikan (kira-kira 3%). Pada masa

lalu, cholangitis suppurativa diduga meningkatkan morbiditas; namun,

studi prospektif tidak menunjukkan bahwa dugaan tersebut benar.

Page 5: Cholangitis 1

Cholangitis seringkali terjadi secara sekunder karena batu empedu

yang mengobstruksi ductus choledochus, oleh karena itu memiliki faktor

resiko yang sama dengan cholelithiasis. Prevalensi batu empedu tertinggi

terdapat pada orang-orang berkulit terang keturunan Eropa utara, juga

pada populasi Hispanik, Suku-suku asli amerika, dan Indian Pima.

Sebagai tambahan, populasi Asia tertentu dan penduduk negara

dimana insidensi parasit intestinal tinggi juga memiliki resiko yang lebih

tinggi. Orang Asia lebih mungkin memiliki batu primer karena infeksi

bilier kronis, parasit, stasis bilier, dan striktur bilier. Cholangitis pyogenik

Rekuren jarang terjadi di Amerika Serikat. Orang kulit hitam dengan

penyakit sickle cell anemia memiliki resiko yang lebih tinggi.

Walaupun batu empedu lebih sering terjadi pada wanita daripada

pada pria, rasio pria-wanita sama pada cholangitis.

Pasien berusia lanjut dengan batu empedu asimtomatik lebih

mungkin mengalami komplikasi serius dan cholangitis. Cholangitis pada

pasien tua yang datang dengan sepsis dan perubahan status mental harus

selalu dipikirkan, pasien tua lebih rentan terhadap batu kandung empedu

dan batu saluran empedu, dan oleh karena itu, cholangitis. Usia median

presentasi cholangitis adalah antara usia 50-60 tahun.

E. Pemeriksaan klinis

1. Riwayat

Pada tahun 1877, Charcot menjelaskan cholangitis sebagai “triad”

yang ditemukan pada pemeriksaan fisik berupa: nyeri kuadran kanan

atas, demam, dan Jaundice. Pentad Reynolds menambahkan perubahan

status mental dan sepsis pada triad tersebut. Terdapat berbagai

spektrum cholangitis, mulai dari gejala yang ringan sampai sepsis.

Apabila terdapat shock septik, diagnosis cholangitis mungkin dapat

tidak terduga. Pikirkan cholangitis pada setiap pasien yang nampak

septik, terutama pada pasien-pasien tua, mengalami jaundice, atau

yang mengalami nyeri abdomen. Riwayat nyeri abdomen atau gejala

kolik bilier dapat merupakan petunjuk bagi penegakkan diagnosis.

Page 6: Cholangitis 1

Triad Charcot terdiri dari demam, nyeri abdomen kanan atas, dan

Jaudice. Dilaporkan terjadi pada 50%-70% pasien dengan cholangitis.

Namun, penelitian yang dilakukan baru-baru ini mengemukakan

bahwa gejala tersebut terjadi pada 15%-20% pasien. Demam terjadi

pada kira-kira 90% kasus. Nyeri abdomen dan jaundice diduga terjadi

pada 70% dan 60% pasien. Pasien datang dengan perubahan status

mental pada 10-20% kasus dan hipotensi terjadi pada 30% kasus.

Tanda-tanda tersebut , digabungkan dengan triad Charcot, membentuk

pentad Reynolds.

Banyak pasien yang datang dengan ascending cholangitis tidak

memiliki gejala-gejala klasik tersebut. Sebagian besar pasien

mengeluhkan nyeri pada abdomen kuadran lateral atas; namun

sebagian pasien (misal: pasien lansia) terlalu sakit untuk melokalisasi

sumber infeksi.

Gejala-gejala lain yang dapat terjadi meliputi: Jaundice, demam,

menggigil dan kekakuan (rigors), nyeri abdomen, pruritus, tinja yang

acholis atau hypocholis, dan malaise.

Riwayat medis pasien mungkin dapat membantu. Contohnya

riwayat dari keadaan-keadaan berikut dapat meningkatkan resiko

cholangitis:

a. Batu kandung empedu atau batu saluran empedu

b. Pasca cholecystectomy

c. Manipulasi endoscopik atau ERCP, cholangiogram

d. Riwayat cholangitis sebelumnya

e. Riwayat HIV atau AIDS: cholangitis yang berhubungan

dengan AIDS memiliki ciri edema bilier ekstrahepatik, ulserasi,

dan obstruksi bilier. Etiologinya masih belum jelas namun

dapat berhubungan dengan cytomegalovirus atau infeksi

Cryptosporidium. Penanganannya akan dijelaskan di bawah,

dekompresi biasanya tidak diperlukan.

2. Pemeriksaan Fisik

Page 7: Cholangitis 1

Pada umumnya, pasien dengan cholangitis nampak sakit cukup

berat dan cukup sering datang dalam keadaan shock septik tanpa

sumber infeksi yang jelas.

Pemeriksaan fisik dapat ditemukan keadaan sebagai berikut:

a. Demam (90%) walaupun pasien tua dapat tidak mengalami

demam

b. Nyeri abdomen kuadran lateral atas (65%)

c. Hepatomegali ringan

d. Jaundice (60%)

e. Perubahan status mental (10-20%)

f. Sepsis

g. Hipotensi (30%)

h. Takikardia

i. Peritonitis (jarang terjadi, dan apabila terjadi, harus dicari

diagnosis alternatif yang lain)

F. Penyebab

Pada negara-negara barat, Choledocholithiasis merupakan

penyebab utama cholangitis akut, diikuti oleh ERCP dan tumor.

Setiap kondisi yang menimbulkan stasis atau obstruksi saluran

bilier pada ductus choledochus, termasuk striktur jinak atau ganas, infeksi

parasit, ataupun kompresi ekstrinsik yang ditimbulkan oleh pancreas,

dapat menimbulkan infeksi bakteri dan cholangitis. Obstruksi parsial

memiliki tingkat infeksi yang lebih tinggi daripada infeksi komplit.

Batu saluran empedu merupakan predisposisi bagi cholangitis.

Kira-kira 10-15% pasien dengan cholecystitis memiliki

choledocholithiasis, kira-kira 1% pasien pasca cholecystectomy memiliki

choledocholithiasis yang tersisa. Sebagian besar choledocholithiasis

bersifat simtomatik, sementara sebagian dapat bersifat asimtomatik selama

bertahun-tahun.

Tumor yang bersifat obstruktif dapat menyebabkan cholangitis.

Obstruksi parsial berhubungan dengan peningkatan tingkat infeksi

Page 8: Cholangitis 1

dibandingkan dengan obstruksi neoplastik total. Tumor-tumor yang dapat

menyebabkan cholangitis adalah:

1. Kanker pancreas

2. Cholangiocarcinoma

3. Kanker ampulla vateri

4. Tumor porta hepatis atau metastasis

Penyebab lain yang dapat menimbulkan cholangitis adalah:

1. Striktur atau stenosis

2. Manipulasi CBD secara endoskopik

3. Choledochocele

4. Sclerosing cholangitis (dari sklerosis bilier)

5. AIDS cholangiopathy

6. Infeksi cacing Ascaris lumbricoides.

G. Diagnosis Diferential

1. Cholecystitis dan kolik Bilier

2. Penyakit Divertikuler

3. Hepatitis

4. Iskemia mesenterika

5. Pancreatitis

6. Shock Septik

Diagnosis lain yang perlu dipertimbangkan:

1. Sirosis

2. Liver Failure

3. Abses hepar

4. Appendicitis accuta

5. Ulcus pepticum yang mengalami perforasi

6. Pyelonephritis

7. Diverticulitis colon kanan

H. Pemeriksaan Penunjang

1. Uji Laboratorium

Page 9: Cholangitis 1

Pemeriksaan darah rutin: Leukositosis: Pada pasien dengan

cholangitis, 79% memiliki sel darah putih melebihi 10.000/mL, dangan

angka rata-rata 13.600. Pasien sepsis dapat leukopenik.

Pemeriksaan elektrolit dengan fungsi ginjal dapat dilakukan.

Pemeriksaan kadar kalsium darah diperlukan untuk memeriksa

kemungkinan pancreatitis, yang dapat menimbulkan hipokalsemia,

dicurigai. Tes fungsi liver kemungkinan besar konsisten dengan

keadaan cholestasis, hiperbilirubinemia terdapat pada 88-100% pasien

dan peningkatan kadar alkali fosfatase pada 78% pasien. SGOT dan

SGPT biasanya sedikit meningkat.

PTT dan aPTT biasanya tidak meningkat kecuali bila terdapat

sepsis yang menimbulkan Koagulasi intravaskuler diseminata (DIC)

atau apabila terdapat sirosis pada pasien tersebut. Pemeriksaan

koagulasi tersebut diperlukan apabila pasien memerlukan intervensi

operatif. Golongan darah, screening darah dan crossmatch biasanya

dilakukan apabila pasien memerlukan cadangan darah untuk operasi.

Kadar C-reactive protein dan LED pada umumnya meningkat.

Kultur darah (2 set): antara 20% dan 30% kultur darah memberikan

hasil yang positif, banyak diantaranya menunjukkan infeksi

polimikrobial.

Hasil urinalisis biasanya normal

Lipase: keterlibatan ductus choledochus bagian bawah dapat

menimbulkan pancreatitis dan peningkatan kadar lipase. Sepertida dari

pasien mengalami sedikit peningkatan pada kadar lipase. Peningkatan

enzim pankreas menunjukkan bahwa batu saluran empedu

menimbulkan cholangitis, dengan ataupun tanpa gallstone pancreatitis

(pancreatitis yang disebabkan oleh batu empedu). Kultur empedu:

kultur empedu dilakukan apabila pasien mengalami drainase bilier oleh

interventional radiology atau endoscopy.

I. Studi Pencitraan

Page 10: Cholangitis 1

Studi pencitraan penting untuk mengkonfirmasi keberadaan dan

penyebab obstruksi bilier dan untuk menyingkirkan kondisi yang lain.

Ultrasonografi dan CT scan merupakan pemeriksaan yang paling sering

dilakukan.

Ultrasonografi sangat baik untuk melihat batu empedu dan

cholecystitis. Pemeriksaan ini sangat sensitif dan spesifik untuk

memeriksa kandung empedu dan menilai dilatasi saluran bilier, namun

pemeriksaan ini sering melewatkan batu yang terdapat pada ductus biliaris

distal.

Ultrasonografi transabdominal merupakan pemeriksaan awal

pilihan. Ultrasonografi dapat membedakan obstruksi intrahepatik dari

obstruksi ekstrahepatik dan memperlihatkan dilatasi ductus. Pada sebuah

penelitian, hanya 13% choledocholithiasis dapat diamati pada USG,

namun dilatasi CBD terdapat pada 64% kasus. Keuntungan USG adalah

dapat dilakukan secara cepat di UGD (dengan USG portabel), kemampuan

untuk melihan struktur lain (aorta, pancreas, liver), kemampuan untuk

mengidentifikasi komplikasi (misal perforasi, empyema, abscess) dan

tidak terdapatnya resiko radiasi.

Kerugian dari USG adalah hasil pemeriksaan yang bergantung

pada kemampuan operator dan pasien (kadar lemak pasien dll), tidak

mampu untuk melihat ductus cysticus, dan penurunan sensitivitas bagi

batu saluran empedu distal. Hasil USG yang normal tidak dapat

menyingkirkan diagnosis cholangitis.

Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP)

merupakan pemeriksaan yang bersifat diagnostik dan terapeutik, dan

merupakan kriteria standar bagi pencitraan sistem bilier. ERCP hanya

dilakukan bagi pasien yang memerlukan intervensi terapeutik. Pasien

dengan kecurigaan klinis yang tinggi bagi cholangitis sebaiknya segera

dilakukan ERCP. ERCP memiliki tingkat keberhasilan yang besar (98%)

dan dianggap lebih aman daripada intervensi bedah dan percutaneus.

Page 11: Cholangitis 1

Penggunaan ERCP sebagai alat diagnostik memiliki tingkat

komplikasi sebesar 1,38% dan tingkat mortalitas sebesar 0,21%.

Komplikasi utama dari ERCP terapeutik sebesar 5,4% dan tingkat

mortalitasnya sebesar 0,49%. Komplikasinya meliputi pancreatitis,

perdarahan, dan perforasi.

Pemeriksaan CT bersifat tambahan dan dapat menggantikan USG.

CT helical atau spiral dapat meningkatkan pencitraan saluran bilier. CT

cholangiography mempergunakan zat kontras yang diambil oleh hepatosit

dan disekresi menuju saluran bilier. Hal ini meningkatkan kemampuan

untuk memvisualisasikan batu radioluscent dan meningkatkan tingkat

deteksi dari patologi bilier lain. Ductuc intrahepatik dan ekstrahepatik dan

inflamasi saluran bilier dapat terlihat pada CT scan. Batu empedu tidak

dapat terlihat dengan baik pada CT Scan biasa.

Keuntungan dari CT adalah: Kemampuan untuk melihat proses

patologis lain yang merupakan penyebab ataupun komplikasi dari

cholangitis (misal: tumor ampulla, cairan pericholecystic, abses hepar).

Diagnosis diferential juga kadang dapat terlihat (misal: diverticulitis kolon

kanan, nekrosis papilla, sebagian bukti pyelonephritis, iskemia

mesenterium, dan appendix yang ruptur. Deteksi patologi bilier dengan CT

cholangiography lewat pendekatan ERCP.

Kerugian dari CT meliputi kemampuan pencitraan batu empedu

yang buruk, reaksi alergi terhadap kontras, paparan terhadap radiasi, dan

kurangnya kemampuan untuk memvisualisasikan saluran bilier dengan

kadar bilirubin serum yang meningkat.

Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP)

merupakan studi noninvasif yang semakin sering dipergunakan untuk

diagnosis batu bilier dan patologi bilier lain. MRCP akurat untuk

mendeteksi choledocholithiasis, neoplasma, striktur, dan dilatasi sistem

bilier. Keterbatasan MRCP meliputi ketidakmampuan untuk melakukan

tes diagnostik invasif seperti pengambilan sample empedu, uji sitologis,

Page 12: Cholangitis 1

pengambilan batu, ataupun stenting. Pemeriksaan MRCP memiliki

keterbatasan dalam melihat batu dengan ukuran kecil (<6mm>

Kontraindikasi absolutnya sama dengan MRI tradisional, termasuk

keberadaan alat pacu jantung (pacemaker), klip aneurisma serebral, implan

okuler atau cochlear, dan benda asing pada okuler. Kontraindikasi relatif

meliputi terdapatnya prosthesa katup jantung, neurostimulator, prosthese

logam dan implan pada penis. Resiko MRCP pada kehamilan masih belum

diketahui.

Pada umumnya, foto polos abdomen tidak banyak membantu pada

diagnosis cholangitis akut. Ileus dapat diamati pada kasus tersebut. Antara

10-30% batu empedu memiliki cincin kalsium, sebagai akibatnya bersifat

radioopak. Foto abdomen dapat menunjukkan udara dalam saluran bilier

setelah manipulasi endoscopik apabila pasien mengalami cholecystitis

emphysematosa, cholangitis, ataupun fistula cholecystic-enteric. Udara

dalam dinding kandung empedu mengindikasikan cholecystitis

emphysematosa.

J. Pemeriksaan lain

Scintigrafi bilier (hepatic 2,6-dimethyliminodiacetic acid [HIDA]

dan diisopropyl iminodiacetic acid [DISIDA]). Scan HIDA dan DISIDA

merupakan uji fungsional dari kandung empedu. Obstruksi CBD

menimbulkan nonvisualisasi dari usus kecil. Scan HIDA pada obstruksi

total dari saluran bilier tidak memperlihatkan saluran bilier.

Keuntungannya adalah kemampuan untuk menilai fungsi empedu dan

hasilnya dapat positif dapat muncul sebelum pembesaran ductus dapat

dilihap melalui USG.

Kerugiannya adalah apabila terdapat kadar bilirubin yang tinggi

(>4,4) dapat menurunkan sensitifitas pemeriksaan ini. Keadaan baru

makan atau tidak makan selama 24 jam juga dapat mempengaruhi

pemeriksaan ini, selain itu pencitraan anatomis bagi struktur-struktur lain

selain saluran bilier tidak memungkinkan. Pemeriksaan ini memerlukan

Page 13: Cholangitis 1

waktu beberapa jam, sehingga tidak direkomendasikan pada pasien kritis

atau pada pasien yang tidak stabil.

K. Penanganan

Leukositosis, hiperbilirubinemia, dan peningkatan fosfatase alkali

dan transaminase cukup sering terjadi, dan apabila terjadi, mendukung

diagnosis klinis dari cholangitis. USG berguna apabila pasien belum

pernah didiagnosa dengan batu empedu, karena USG dapat

memperlihatkan batu kandung empedu, memperlihatkan ductus yang

berdilatasi, dan dapat menentukan lokasi obstruksi. Tes diagnostik definitif

adalah ERCP. Pada kasus dimana ERCP tidak dapat dilakukan, PTC

diindikasikan. ERCP dan PTC akan menunjukkan tingkat obstruksi,

namun penyebabnya tidak dapat ditentukan dengan cara ini. ERCP dan

PTC dapat memungkinkan kultur empedu, memungkinkan pengangkatan

batu (apabila ada), dan drainase saluran empedu dengan kateter drain atau

stent.

Pengobatan pertama pada pasien dengan cholangitis meliputi

antibiotik intravena dan resuscitasi cairan. Antibiotik cephalosporin (misal

cefazolin, cefoxitin) merupakan obat pilihan pada kasus-kasus ringan

sampai sedang. Apabila kasusnya berat atau memburuk secara progresif,

obat-obatan aminoglikosida ditambah clindamycin ataupun metronidazole

sebaiknya ditambahkan pada regimen pengobatan. Pasien tersebut

mungkin memerlukan pemantauan di ICU dan dukungan vassopressor.

Sebagian besar pasien akan merespon terhadap tindakan ini. Namun,

saluran empedu yang mengalami obstruksi harus didrainase sesegera

mungkin setelah pasien stabil. Sekitar 15% pasien tidak akan merespon

terhadap terapi antibiotik intravena dan resusitasi cairan, dan dekompresi

bilier darurat mungkin diperlukan. Dekompresi bilier dapat diakukan

melalui endoskopi, melalui rute transhepatic percutaneus, ataupun secara

bedah. Pemilihan prosedur tersebut sebaiknnya berdasarkan pada tingkat

dan sigat obstruksi bilier. Pasien dengan choledocholithiasis atau

keganasan periampuler paling baik ditangani menggunakan pendekatan

Page 14: Cholangitis 1

endoskopik, dengan sphincterotomy dan pengangkatan batu, atau dengan

penempatan stent bilier secara endoskopi. Pada pasien dengan obstruksi

yang lebih proksimal atau terletah pada perihiler, atau penyakitnya

disebabkan striktur pada anastomosis enterik-bilier, atau apabila usaha

melalui jalur endoskopi mengalami kegagalan, drainase transhepatik

perkutaneus dipergunakan. Apabila ERCP atau PTC tidak memungkinkan,

operasi darurat dan dekompresi ductus choledochus dengan T tube

mungkin diperlukan untuk menyelamatkan nyawa. Namun perlu diingat

bahwa mortalitas pasien yang diobati dengan terapi bedah lebih tinggi

daripada pasien yang berhasil diobati dengan endoskopi. Secara

keseluruhan tingkat kematian pada pasien dengan cholangitis karena batu

empedu sebesar 2% dan kematian pada pasien dengan toxic cholangitis

adalah sebesar 5%.

Terapi operasi definitif sebaiknya ditunda sampa cholangitis

selesai ditangani dan diagnosis yang tepat ditegakkan. Pasien dengan stent

yang terpasang dan mengalami cholangitis biasanya memerlukan uji

pencitraan berulang dang penggantian stent dengan guidewire.

Intervensi segera (misal: sphincterotomy endoscopik, PTC, atau

operasi dekompresi) diperlukan pada 10% pasien dengan cholangitis akut.

90% sisanya pada akhirnya akan diobati dengan pembedahan elektif atau

sphincterotomy endoskopik setelah terapi antibiotik dan evaluasi

diagnostik yang seksama.

Cholangitis akut berhubungan dengan tingkat mortalitas total

sebesar 5%. Saat terdapat gagal ginjal, gangguan jantung, abses hepar dan

keganasan, tingkat mortalitas dan morbiditasnya jauh lebih tinggi.

L. Pengobatan Lain

Extracorporeal shock-wave lihotripsy (ESWL) pertama kali

dipergunakan untuk menghancurkan batu ginjal. Teknik ini telah

dikembangkan untuk pengobatan batu empedu, baik pada kandung

empedu maupun pada saluran empedu. Pengobatan ini sering

dikombinasikan dengan prosedur endoskopik untuk memudahkan

Page 15: Cholangitis 1

lewatnya batu yang telah terfragmentasi atau pengobatan oral yang dapat

melarutkan fragmen tersebut. Kadang kala, batu dapat dilarutkan dengan

mempergunakan berbagai bahan kimia yang dimasukkan langsung pada

slauran bilier.

Page 16: Cholangitis 1

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pasien-pasien dengan gejala nyeri abdomen kuadran kanan atas, jaundice,

demam patut dicurigai menderita Cholangitis, terutama apabila mempunyai

riwayat batu empedu. Karena penyakit ini berhubungan dengan obstruksi

saluran bilier.

Pemeriksaan yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan darah rutin,

fungsi hati (SGOT & SGPT), alkali fosfatase, dan bilirubin serum, dan kultur

bakteri dari sampel darah. Studi pencitraan yang dapat membantu adalah

USG, ERCP, PTC, CT scan Helical dengan kontras, dan MRCP.

Penanganan pertama adalah antibiotik intravena dan resusitasi cairan

untuk stabilisasi pasien, kadangkala diperlukan dekompresi darurat pada

kasus-kasus berat. Pada pasien yang dapat distabilisasi dengan antibiotik dan

cairan IV, terapi elektif untuk dekompresi dapat dilakukan kemudian. Terapi

dapat dilakukan secara endoskopik, dengan PTC, ataupun dengan

pembedahan.

Page 17: Cholangitis 1

DAFTAR PUSTAKA

http://emedicine.medscape.com/article/774245-overview

FC Brunicardi, DK Andersen et al., 2007. Schwartz Principle’s of Surgery, 8th

Ed. Mc Graww Hill Companies.

CM Townsend, RD Beauchamp et al., 2004. Sabiston Textbook of Surgery,

Biological basis of modern surgical practice, 17th Ed, Elsevier-Saunders

CT Albanese, JT Anderson et al., 2006. Current surgery diagnosis and treatment.

Mc Graww Hill Companies.