Chapter I.pdf

12
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tuberkulosis (TBC) Paru merupakan salah satu jenis penyakit generatif yang telah berjangkit dalam periode waktu lama di tengah-tengah masyarakat Indonesia, yang menyerang kelompok usia produktif maupun anak-anak dan merupakan penyakit menular pembunuh nomor satu (Depkes RI, 2007). Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat penderita Tuberkulosis paru yang sangat tinggi yang menempati urutan ketiga setelah negara Cina dan India (Depkes RI, 2007). Hingga saat ini penanggulangan TBC di Indonesia memang masih banyak difokuskan pada sisi suplai melalui misalnya melalui penyediaan obat gratis, pelatihan petugas, dan penyediaan fasilitas diagnosa seperti laboratorium dan mikroskop. Melalui upaya-upaya tersebut Indonesia telah mencapai kemajuan yang pesat dalam pencapaian angka keberhasilan pengobatan (Succes Rate), bahkan melewati target global 85% di tahun 2005. Namun keberhasilan ini belum diikuti dengan peningkatan angka temuan kasus. Hingga tahun 2005, tingkat temuan kasus (Case Detection Rate) baru mencapai 68%, masih di bawah target global sebesar 70%. Melihat kondisi tersebut diperlukan upaya peningkatan dari sisi permintaan (demand) dengan menggerakkan masyarakat untuk memeriksakan. diri dan mencari pelayanan pengobatan TBC yang juga diikuti dengan upaya meningkatkan dukungan Universitas Sumatera Utara

Transcript of Chapter I.pdf

Page 1: Chapter I.pdf

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuberkulosis (TBC) Paru merupakan salah satu jenis penyakit generatif yang

telah berjangkit dalam periode waktu lama di tengah-tengah masyarakat Indonesia,

yang menyerang kelompok usia produktif maupun anak-anak dan merupakan

penyakit menular pembunuh nomor satu (Depkes RI, 2007).

Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat penderita Tuberkulosis

paru yang sangat tinggi yang menempati urutan ketiga setelah negara Cina dan India

(Depkes RI, 2007).

Hingga saat ini penanggulangan TBC di Indonesia memang masih banyak

difokuskan pada sisi suplai melalui misalnya melalui penyediaan obat gratis,

pelatihan petugas, dan penyediaan fasilitas diagnosa seperti laboratorium dan

mikroskop. Melalui upaya-upaya tersebut Indonesia telah mencapai kemajuan yang

pesat dalam pencapaian angka keberhasilan pengobatan (Succes Rate), bahkan

melewati target global 85% di tahun 2005. Namun keberhasilan ini belum diikuti

dengan peningkatan angka temuan kasus. Hingga tahun 2005, tingkat temuan kasus

(Case Detection Rate) baru mencapai 68%, masih di bawah target global sebesar

70%. Melihat kondisi tersebut diperlukan upaya peningkatan dari sisi permintaan

(demand) dengan menggerakkan masyarakat untuk memeriksakan. diri dan mencari

pelayanan pengobatan TBC yang juga diikuti dengan upaya meningkatkan dukungan

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Chapter I.pdf

politis untuk memastikan tersedianya pelayanan TBC yang berkualitas serta

meneguhkan kewajiban pejabat publik untuk mewujudkan hak hak dasar warganya

untuk hidup.

Hasil survei insiden dan prevalensi TB terakhir tahun 2004 diperoleh

perbedaan insidensi dan prevalensi antar wilayah . Insidensi BTA positif bervariasi,

yaitu 64/100,000 untuk DI Yogyakarta dan Bali, 107/100.000 untuk propinsi di Jawa

(kecuali DIY), 160/100.000 untuk Sumatera dan 210/100,000 untuk propinsi-propinsi

di wilayah Indonesia Timur (Depkes RI, 2005).

Menurut WHO (World Health Organization), sampai dengan tahun 2006,

diperkirakan setiap tahun terjadi 539.000 kasus baru Tuberkulosis (TBC) dengan

kematian sekitar 101.000. Secara kasar diperkirakan dari setiap 100.000 penduduk

Indonesia terdapat 110 penderita baru TBC paru BTA positif yang sebagian besar

menyerang kelompok usia produktif (Depkes RI, 2007).

Data Depkes RI (2007), menunjukkan bahwa rata-rata angka temuan kasus

(CDR) TBC paru di seluruh Indonesia belum mencapai target yang diharapkan yaitu

69,1%. Namun beberapa propinsi sudah mencapai standart minimal 70% seperti

DKI, Sulawesi Utara dan Banten.

Menurut Depkes RI (2007) Target program penanggulangan TB adalah

tercapainya penemuan pasien baru TB BTA positif paling sedikit 70% dari perkiraan

dan menyembuhkan 85% dari semua pasien. Target ini diharapkan dapat menurunkan

tingkat prevalensi dan kematian akibat TB hingga separuhnya pada tahun 2010

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Chapter I.pdf

dibanding tahun 1990, dan mencapai tujuan millenium development goals (MDGs)

pada tahun 2015.

Berdasarkan wilayah administratif di Indonesia, Provinsi Sumatera Barat

menempati urutan ke 10 angka temuan kasus TBC paru terbesar di tahun 2007,

meskipun belum mencapai target yang ditetapkan. Sebaran angka temuan kasus

tersebut yaitu DKI Jakarta (88,14%), Sulawesi Utara (81,36%), Banten (74,62%),

Jawa Barat (67,57%), Sumatera Utara (65,48%), Gorontalo (62,15%), Bali (61,39%),

Jawa Timur (59,83%), DI Yokyakarta (53,23%), Sumatera Barat (51,36%) (Depkes

RI, 2007).

Kota Bukittinggi sebagai wilayah administratif Provinsi Sumatera Barat

merupakan salah satu Daerah Tingkat II yang belum mencapai target nasional dalam

penemuan kasus TB paru. Tahun 2009, Kota Bukittinggi hanya mencapai 61,25%,

yang meningkat dari tahun sebelumnya (48,8%). Hanya beberapa Puskesmas yang

telah mencapai target yang telah ditetapkan. Sebaran angka temuan kasus pada tiap

Puskesmas yaitu Puskesmas Nilam Sari (81,3%), Puskesmas Perkotaan (76%),

Puskesmas Gulai Bancah (64,3%), Puskesmas Mandiangin (63,6%), Puskesmas

Guguk Panjang (58,3 %), Puskesmas Tigo Baleh (30,6%). Angka temuan tersebut di

beberapa puskesmas perlu ditingkatkan agar target yang telah ditetapkan dapat

tercapai (Dinkes Kota Bukittinggi, 2009).

Pencapaian target penemuan kasus yang diperoleh oleh Puskesmas Guguk

Panjang masih perlu ditingkatkan lagi. Jika dibandingkan dengan dengan angka

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Chapter I.pdf

prevalensi tuberkulosis di wilayah Sumatera (160/100.000), dengan jumlah penduduk

di wilayah kerja Puskesmas Guguk Panjang, maka dengan jumlah penduduk 22.919

jiwa diharapkan ditemukan kasus sebanyak 36 orang. Dari 36 kasus tersebut

diharapkan tercapai target minimal 25 temuan kasus baru. Ternyata temuan kasus

sampai bulan desember 2009 hanya mencapai 21 temuan kasus. Sehingga

pencapaian temuan hanya mencapai 58,3%.

Upaya yang sudah dilakukan Dinas Kesehatan dalam penanganan TBC

adalah melalui strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcase ) dengan

kegiatan tatalaksana pasien TBC ( penemuan tersangka TBC, diagnosis, pengobatan),

manajemen, program (perencanaan, pelaksanaan, pencatatan dan pelaporan),

pelatihan (bimbingan teknis, pemantapan mutu laboratorium, pengelolaan logistik,

pemantauan dan evaluasi), kegiatan penunjang ( promosi, kemitraan, penelitian),

Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan

kepada pasien TBC tipe menular. Namun upaya penanggulangan TBC paru belum

menunjukkan hasil yang belum optimal; dengan indikasi rendahnya angka temuan

kasus dan masih terdapat penderita yang putus minum obat (Dinkes Kota Bukittinggi,

2007).

Berdasarkan hasil wawancara dengan staf PMK Dinkes Kota Bukittinggi

(April, 2010) diketahui bahwa salah satu masalah mendasar dalam penaggulangan

TBC paru adalah peranan dukungan keluarga, baik pada fase pelayanan promotif,

preventif, dan rehabilitatif . Adapun masalah peran keluarga adalah (1). pemahaman

keluarga tentang pencegahan dan penularannya; (2). dukungan dan pemahaman

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Chapter I.pdf

terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan; (3). dukungan terhadap pengawasan

pengobatan penderita.

Hasil wawancara dengan Petugas TBC di Puskesmas Guguk Panjang (April,

2010) diketahui bahwa promosi penanganan TBC paru diperkirakan belum

menunjukkan tingkat pengaruh yang tinggi. Upaya promosi yang dilakukan adalah

penyuluhan terhadap pasien yang datang dan berobat di Puskesmas. Hal ini

disebabkan oleh keterbatasan sumber daya yang dimiliki. Menurut hasil Riset

Operasional Tuberkulosis di Bukittinggi yang dilakukan Dinkes provinsi Sumatera

Barat Tahun 2008 diperoleh bahwa stigma negatif terhadap penyakit tuberkulosis

masih besar terutama penyakit keturunan dan kutukan (Warta Gerdunas TB, 2010).

Disamping itu dari hasil pengamatan petugas di puskesmas pasien dan keluarganya

masih merasa malu dengan keberadaan penyakit yang dideritanya. Ini terlihat dari

pasien yang mengatakan “ minta obat yang minumnya enam bulan” saat meminta

obat ke puskesmas.

Penanggulan TBC memerlukan upaya terpadu dan sistematis dalam berbagai

aspek diantaranya melalui strategi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) untuk

perubahan perilaku serta mobilisasi kekuatan elemen-elemen sosial kemasyarakatan

(Lembaga Koalisi untuk Indonesia Sehat, 2006).

Menurut Notoatmodjo (2003) dapat disimpulkan bahwa pendidikan kesehatan

pada hakikatnya adalah suatu upaya menyampaikan pesan kesehatan kepada

masyarakat, kelompok, individu agar memperoleh pengetahuan kesehatan yang lebih

baik. Pengetahuan tersebut diharapkan dapat berpengaruh terhadap perilaku.

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Chapter I.pdf

Penyuluhan pada dasarnya merupakan proses komunikasi dan proses

perubahan perilaku melalui pendidikan. Agar kegiatan penyuluhan dapat mencapai

hasil yang maksimal, maka metode dan media penyuluhan perlu mendapat perhatian

yang besar dan harus disesuaikan dengan sasaran. Penggunaan kombinasi berbagai

media akan sangat membantu dalam proses penyuluhan kesehatan. Menurut Edgar

Dale dalam Notoatmodjo (2003), semakin banyak indera yang digunakan untuk

menerima sesuatu maka semakin banyak dan semakin jelas pula

pengertian/pengetahuan yang diperoleh. Penggunaan alat peraga dalam melakukan

penyuluhan akan membantu penyampaian pesan kepada seseorang/masyarakat secara

lebih jelas dan dapat diterima dengan jelas.

Pada penelitian Basuki (2006) mengemukakan bahwa metode penyuluhan

mempunyai hubungan yang bermakna dalam peningkatan pengetahuan. Penelitian

Sriyono (2001) juga memperlihatkan bahwa penggunaan audiovisual dikombinasikan

dengan diskusi kelompok cukup efektif untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap

kader posyandu dalam menemukan tersangaka penderita tuberkulosis. Hasil

penelitian Silitonga (2000) menunjukkan bahwa risiko putus berobat penderita TB

lebih besar bila penyuluhan dilakukan tanpa menggunakan media dibanding bila

penyuluhan dilakukan dengan menggunakan media.

Menurut Jaramillo (1998) pendidikan kesehatan berbasis komunitas dapat

membantu dalam meningkatkan angka penemuan kasus TB paru, mengurangi

keterlambatan pengobatan dan mempromosikan pendekatan pengobatan. Penyuluhan

dengan menggunakan berbagai media dilakukan untuk dapat menjangkau masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Chapter I.pdf

yang lebih luas, untuk mengubah persepsi masyarakat tentang TBC dari "suatu

penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan memalukan" menjadi penyakit yang

berbahaya, tapi dapat disembuhkan". Bila penyuluhan ini berhasil, akan

meningkatkan penemuan penderita secara pasif (Depkes RI, 2007).

Masih kurangnya pengetahuan mengenai bahaya TBC serta pelayanan

kesehatan yang tersedia, membuat jumlah pasien yang dapat menjangkau layanan

TBC masih relatif rendah. Dalam konteks TBC, ditemukan bahwa pengetahuan,

kesadaran dan perilaku nyata warga untuk menjaga mutu asupan makanan minuman

yang bergizi, menjaga sanitasi diri dan lingkungan, memeriksakan diri ke pelayanan

kesehatan serta berobat teratur tuntas bila terkena TBC, masih relatif rendah. Untuk

itu, diperlukan pula keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan TBC (Lembaga

Koalisi untuk Indonesia Sehat, 2006).

Dalam pemberantasan Tuberkulosis, keluarga diharapkan bukan hanya

berperan dalam pengawasan minum obat penderita saja, tetapi juga berperan dalam

mengajarkan hidup sehat dan menganjurkan ke pelayanan kesehatan. Keluarga yang

merupakan elemen masyarakat mempunyai peranan penting dalam

penanggulangannya. Dukungan lingkungan sosial dan keluarga diharapkan mampu

meningkatkan temuan kasus dan membantu kesembuhan penderita dalam pengobatan

(Lembaga Koalisi untuk Indonesia Sehat, 2006).

Menurut Notoadmodjo yang mengutip pendapat Sadli (2003) dapat

disimpulkan bahwa individu sejak lahir berada dalam satu kelompok, terutama

keluarga. Kelompok ini akan membuka kemungkinan untuk dipengaruhi dan

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Chapter I.pdf

mempengaruhi anggota kelompok lain, demikian juga perilaku individu tersebut

terhadap masalah-masalah kesehatan.

Survei Prevalensi Tuberkulosis di Indonesia tahun 2004, menunjukkan

sebagian besar masyarakat di Indonesia memperoleh informasi TB melalui keluarga

atau tetangga (57%), petugas kesehatan (35,6%), guru (12%) dan yang lainnya

(3,2%). Untuk kawasan Sumatera lebih banyak mendengar penyakit TBC melalui

TV (58%), majalah/koran (19%), tokoh agama/masyarakat (17%) dan melalui guru

(17%) ( Depkes RI, 2005).

Menurut studi implikasi survei Tuberkulin penelusuran anak dengan mantoux

positif terhadap kejadian sakit tuberkulosis di Sumatera Barat Tahun 2008 didapatkan

bahwa sumber kontak TB pada anak bukan hanya pada anak yang punya riwayat TB

pada keluarga saja. Ini berarti anak pada setiap keluarga memiliki resiko tinggi

tertular tuberkulosis walaupun di keluarganya tidak terdapat penderita TB. Untuk itu

perlu mencari sumber kontak lainnya yaitu sumber kontak yang bukan pada

keluarga penderita TB di lingkungan masyarakat tempat tinggal (Warta Gerdunas

TB, 2010).

Melihat pentingnya peran keluarga dalam penanganan tuberkulosis, untuk itu

keluarga sebagai organisasi terkecil dalam masyarakat diharapkan dapat menjadi

agen perubahan sosial. Peran serta masyarakat di dalam penanggulangan penyebaran

tuberkulosis amat penting dilakukan dan dikembangkan, karena bukan hanya

menyangkut kepada penemuan kasus saja, namun dapat membantu pemberantasan

berbagai penyakit yang berbasis kepada perilaku masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Chapter I.pdf

Menurut Rogers dan Shoemaker yang mengutip pendapat Graeff dkk (1996)

dalam mengubah perilaku masyarakat terdapat suatu kegiatan yang dikenal dengan

difusi inovasi, yaitu suatu proses penyebarserapan ide-ide atau hal-hal yang baru

dalam merubah suatu masyarakat. Dalam penerimaan suatu inovasi biasanya melalui

beberapa tahapan yang disebut dengan tahap putusan inovasi atau dikenal dengan

model difusi inovasi. Komunikasi yang dilakukan melalui penyuluhan diharapkan

akan menjadi bagian dalam tahapan perubahan perilaku dalam masyarakat. Model

difusi inovasi menegaskan peran agen – agen perubahan dalam lingkungan sosial,

yang mengambil fokus bukan pada individu sasaran utama. Secara relatif, tetangga,

petugas kesehatan atau agen perubahan yang lain ikut membantu menghasilkan

perubahan perilaku dengan cara-cara tertentu.

Dalam konteks penanganan tuberkulosis, selain keluarga pasien, keluarga

yang bukan berasal dari penderita TB juga turut berperan penting sebagai agen dalam

menciptakan perubahan perilaku masyarakat agar sesuai dengan perilaku yang

diharapkan seperti, menganjurkan memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan jika

menemui gejala, dukungan terhadap pencegahan TB dan cara hidup sehat, serta

dukungan keluarga terhadap pengawasan pengobatan. Oleh sebab itu mereka yang

bukan dari keluarga pasien, memiliki kontribusi yang penting dalam perubahan

perilaku sehingga dapat dijadikan sebagai sasaran perubahan perilaku.

Dari penjelasan yang telah dijelaskan dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa

peranan pendidikan kesehatan adalah melakukan intervensi faktor perilaku sehingga

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Chapter I.pdf

perilaku individu, kelompok atau masyarakat sesuai dengan nilai-nilai kesehatan.

Pendidikan kesehatan adalah suatu usaha untuk menyediakan kondisi psikologis dari

sasaran agar mereka berperilaku sesuai dengan tuntutan nilai-nilai kesehatan.

Menurut Notoatmodjo (2003) pendidikan kesehatan tidak lepas dari proses

belajar karena proses belajar itu dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Beberapa

ahli pendidikan mengelompokkan faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar

ke dalam 4 kelompok besar, yakni faktor materi (bahan belajar), lingkungan,

instrumental dan subjek belajar. Faktor instrumental ini terdiri dari perangkat keras

(hardware) seperti perlengkapan belajar dan alat-alat peraga dan perangkat lunak

(software) seperti fasilitator belajar, metode belajar, organisasi dan sebagainya.

Berbagai bentuk pendidikan kesehatan telah dilakukan selama ini, khususnya

berkaitan dengan TBC lebih banyak dilakukan secara tidak langsung antara lain

melalui berbagai media baik elektronik maupun dalam bentuk spanduk dan poster.

Namun dari hasil laporan belum menunjukkan peningkatan jumlah temuan kasus.

Bertitik tolak kepada hal tersebut peneliti mencoba melakukan pendekatan

metode belajar melalui dua metode ceramah yakni metode ceramah tanpa

menggunakan film dan leaflet, dengan metode ceramah menggunakan film dan

leaflet. Dengan melihat pengaruh dan membandingkan efektifitas kedua metode

tersebut, diharapkan akan lebih berhasil meningkatkan perilaku keluarga dalam

penanganan TB paru dan diharapkan terbinanya kelompok-kelompok motivator

dalam masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Chapter I.pdf

1.2. Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas maka dipandang perlu dilakukan penelitian

mengenai efektivitas metode ceramah yang diberikan pada keluarga untuk dapat

meningkatkan pengetahuan dan sikap keluarga dalam penanganan TB paru sehingga

mempunyai dampak pada peningkatan temuan kasus TB paru di wilayah kerja

Puskesmas Guguk Panjang.

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun yang merupakan tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis

efektivitas metode ceramah terhadap pengetahuan dan sikap keluarga dalam

penanganan TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Guguk Panjang Kota Bukittinggi.

1.4. Hipotesis

Adapun yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini yaitu terdapat efektivitas

metode ceramah terhadap pengetahuan dan sikap keluarga dalam penanganan

tuberkulosis paru.

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Bagi Dinas Kesehatan Kota Bukittinggi agar dapat menjadi bahan acuan (model)

untuk program pencegahan dan pemberantasan TB Paru .

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Chapter I.pdf

2. Bagi Puskesmas Guguk Panjang agar dapat memberdayakan keluarga sebagai

potensi yang besar untuk ikut berperan dalam pencegahan dan penanggulangan

TB paru.

Universitas Sumatera Utara