Chapter I.pdf
Transcript of Chapter I.pdf
-
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Gaya hidup kota yang serba praktis memungkinkan masyarakat modern sulit
untuk menghindar dari fast food. Fast food memiliki beberapa kelebihan antara lain
penyajian yang cepat sehingga tidak menghabiskan waktu lama dan dapat
dihidangkan kapan dan dimana saja, higienis dan dianggap sebagai makanan
bergengsi dan makanan gaul (Irianto, 2007). Perubahan dari pola makan tradisional
ke pola makan barat seperti fast food yang banyak mengandung kalori, lemak dan
kolesterol, ditambah kehidupan yang disertai stress dan kurangnya aktivitas fisik,
terutama di kota-kota besar mulai menunjukkan dampak dengan meningkatnya
masalah gizi lebih (obesitas) dan penyakit degeneratif seperti jantung koroner,
hipertensi dan diabetes mellitus (Khasanah, 2012).
Dengan adanya transisi ekonomi, juga berpengaruh terhadap pola konsumsi
dan gaya hidup masyarakat. Perubahan pola konsumsi mulai terjadi di kota-kota
besar, yaitu dari pola makanan tradisional yang banyak mengandung karbohidrat,
protein, serat, vitamin dan mineral bergeser ke pola makanan berat yang cenderung
banyak mengandung lemak, protein, gula dan garam serta miskin serat, vitamin dan
mineral sehingga mudah merangsang terjadinya penyakit-penyakit gangguan saluran
pencernaan, penyakit jantung, obesitas dan kanker ( Elnovriza, 2008).
Survei yang dilakukan oleh AC Nilsen bahwa 69% masyarakat kota di
Indonesia mengonsumsi fast food yaitu 33% menyatakan makan siang sebagai waktu
Universitas Sumatera Utara
-
yang tepat untuk makan di restoran fast food, 25% untuk makan malam, 9%
menyatakan sebagai makanan selingan dan 2% memilih untuk memilih untuk makan
pagi (Nilsen, 2008). Hal tersebut diperkirakan akan semakin berkembang sesuai
dengan meningkatnya tingkat konsumsi makanan fast food di Indonesia.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Health Education Authority
(2002), usia 15 34 tahun adalah konsumen terbanyak yang memilih menu fast food.
Keadaan tersebut dapat dipakai sebagai cermin dalam tatanan masyarakat Indonesia,
bahwa rentang usia tersebut adalah golongan pelajar dan pekerja muda. Data
demografi menunjukkan bahwa remaja merupakan populasi yang besar dari
penduduk dunia. Menurut WHO dalam Soetjiningsih (2007) sekitar seperlima dari
penduduk dunia adalah remaja berumur 10-19 tahun. Sekitar 900 juta berada di
negara sedang berkembang. Data Depkes RI (2006), menunjukkan jumlah remaja
umur 10-19 tahun di Indonesia sekitar 43 juta (19,61%) dari jumlah penduduk.
Berdasarkan profil Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara tahun 2006
menunjukkan bahwa jumlah penduduk propinsi Sumatra Utara sebanyak 12.643.494
jiwa. Dari jumlah tersebut kelompok umur 10-14 tahun sebanyak 1.431.092 jiwa dan
kelompok umur 15-19 tahun sebanyak 1.409.386 jiwa (Dinkes Propsu, 2007). Dari
data tersebut dapat dilihat penanganan terhadap kesehatan kelompok umur 15-19
tahun harus mendapat perhatian yang lebih dari sektor kesehatan karena masalah
remaja merupakan masalah yang perlu diperhatikan dalam pembangunan nasional di
Indonesia. Hal ini berdasarkan target untuk mencapai keluarga berkualitas tahun 2015
melalui peningkatan pengetahuan, kesadaran sikap dan perilaku remaja dan orangtua
agar peduli dan bertanggungjawab dalam kehidupan berkeluarga, serta pemberian
Universitas Sumatera Utara
-
pelayanan kepada remaja yang memiliki permasalahan kesehatan (BAPPENAS,
2010).
Perkembangan dari seorang anak menjadi dewasa pasti melalui fase remaja.
Pada fase ini fisik seseorang terus berkembang, demikian aspek sosial dan
psikologisnya. Perubahan ini membuat seorang remaja mengalami ragam gaya hidup,
perilaku, tidak terkecuali pengalaman dalam menentukan makanan apa yang
dikonsumsi. Hal terakhir inilah yang akan berpengaruh pada keadaan gizi seorang
remaja ketika menginjak tahap independensi. Remaja bisa memilih makanan apa saja
yang disukainya, bahkan tidak berselera lagi makan bersama keluarga di rumah.
Aktivitas yang banyak dilakukan di luar rumah membuat seorang remaja sering
dipengaruhi teman sebayanya. Pemilihan makanan tidak lagi didasarkan pada
kandungan gizi tetapi sekadar bersosialisasi, untuk kesenangan dan supaya tidak
kehilangan status (Khomsan, 2004).
Masa remaja adalah masa yang sangat labil dan masa dimana mudah sekali
terpengaruh oleh lingkungan dan orang-orang terdekat. Mudah mengikuti alur zaman
seperti mode dan trend yang sedang berkembang di masyarakat khususnya dalam hal
makanan modern (Thyana dalam Kristianti, 2009). Menurut Moehji (2003) kebiasaan
makan yang kurang pada remaja berawal pada kebiasaan makan keluarga yang tidak
baik yang sudah tertanam sejak kecil dan akan terus terjadi pada usia remaja mereka
makan seadanya tanpa mengetahui kebutuhan akan zat-zat gizi dan dampak tidak
terpenuhinya kebutuhan zat gizi tersebut terhadap kesehatan mereka. Kebiasaan
makan yang diperoleh semasa remaja akan berdampak pada kesehatan dalam fase
kehidupan selanjutnya (Arisman, 2009).
Universitas Sumatera Utara
-
Kesukaan yang berlebihan terhadap makanan yang tertentu saja menyebabkan
kebutuhan gizi tidak terpenuhi keadaan ini berkaitan dengan mode yang tengah
marak di kalangan remaja seperti kebiasaan makan fast food dan makanan siap saji.
Usia remaja merupakan usia yang sangat mudah terpengaruh oleh siapa saja teman
pergaulan dan media masa terutama iklan yang menarik perhatian remaja tentang
makanan yang baru dan harga yang terjangkau (Elnovriza, 2008).
Pola makan remaja akan menentukan jumlah zat-zat gizi yang diperoleh untuk
pertumbuhan dan perkembangannya. Selain itu remaja umumnya melakukan aktivitas
fisik lebih tinggi dibanding usia lainnya, sehingga diperlukan zat gizi yang lebih
banyak (Mitayani, 2010). Kesalahan dalam memilih makanan dan kurang cukupnya
pengetahuan tentang gizi akan mengakibatkan timbulnya masalah gizi yang akhirnya
memengaruhi status gizi. Status gizi yang baik hanya dapat tercapai dengan pola
makan yang baik, yaitu pola makan yang didasarkan atas prinsip menu seimbang,
alami dan sehat (Sediaoetama dalam Kristianti, 2009).
Adanya kecenderungan perubahan pola makan pada remaja yang terjadi
dewasa ini, tidak lepas dari pengaruh peningkatan sosial ekonomi dan banyaknya
restoran. Restoran-restoran ini menjual berbagai makanan produk olahan dan dikenal
sebagai makanan modern (fast food) ala Barat. Umumnya restoran ini menyediakan
makanan-makanan impor seperti fried chicken, hamburger, pizza, spaghetti, dan
sejenisnya dari berbagai merek dagang. Penelitian mengenai fast food yang dilakukan
oleh Mudjianto dalam Heryanti (2009) seperti fried chicken dan french fries, sudah
menjadi jenis makanan yang biasa dikonsumsi pada waktu makan siang atau makan
malam remaja di enam kota besar di Indonesia seperti di Jakarta, Bandung,
Universitas Sumatera Utara
-
Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Denpasar. Menurut penelitian tersebut 15-20%
dari 471 remaja di Jakarta mengonsumsi fried chicken dan burger sebagai makan
siang dan 1-6% mengonsumsi hotdog, pizza dan spaghetti. Bila makanan tersebut
dikonsumsi secara terus-menerus dan berlebihan dapat mengakibatkan gizi lebih.
Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004, bahwa
prevalensi gizi lebih pada anak sekolah dan remaja umur 15-17 tahun sebesar 8%
(Depkes RI, 2004). Sedangkan menurut Virgianto dan Purwaningsih dalam Heryanti
(2009), penelitiannya mengenai konsumsi fast food sebagai faktor resiko terjadinya
obesitas pada remaja usia 15-17 tahun di SMUN 3 Semarang, menunjukkan siswa
dengan 6% energinya berasal dari makanan siap saji (fast food). Semakin tinggi
konsumsi makanan siap saji pada total energinya maka semakin tinggi terjadinya
obesitas. Sari dalam Heryanti (2009) meneliti 176 siswa Sekolah Menengah Atas di
Bogor didapatkan prevalensi obesitas sebesar 34,7% dan overweight sebesar 23,82%.
Perubahan gaya hidup pada remaja memiliki pengaruh dalam pemilihan
makanan yang akan dimakannya, mereka juga sering mencoba-coba makanan baru,
salah satunya adalah fast food (Virgianto dan Purwaningsih, 2006). Remaja juga
belum sepenuhnya matang baik secara fisik, kognitif maupun psikososial. Dalam
tahapan pencarian identitas ini, remaja cepat sekali terpengaruh oleh lingkungan
sekitarnya terutama dengan adanya arus kebudayaan barat yang masih terlalu sulit
untuk dibendung, tidak terkecuali pengaruh terhadap pola konsumsi makan (WHO,
2000). Kesalahan dalam memilih makanan dan kurang cukupnya pengetahuan
tentang gizi akan mengakibatkan timbulnya masalah gizi yang akhirnya memengaruhi
status gizi. Status gizi yang baik hanya dapat tercapai dengan pola makan yang baik,
Universitas Sumatera Utara
-
yaitu pola makan yang didasarkan atas prinsip menu seimbang, alami dan sehat
(Sediaoetama, 2000).
Banyak faktor yang membuat para remaja lebih memilih mengkonsumsi fast
food antara lain kesibukan orang tua khususnya ibu yang tidak sempat menyiapkan
makanan di rumah sehingga remaja lebih memilih membeli makanan diluar (fast
food), lingkungan sosial dan kondisi ekonomi yang mendukung dalam hal besarnya
uang saku remaja. Selain itu, penyajian fast food yang cepat dan praktis tidak
membutuhkan waktu lama, rasanya enak, sesuai selera dan seringnya mengkonsumsi
fast food dapat menaikkan status sosial remaja, menaikkan gengsi dan tidak
ketinggalan globalitas (Kristianti, 2009). Hasil penelitian di SMU Cendrawasih
Makassar menunjukkan sebanyak 18,4% rata-rata remaja di sekolah tersebut memilih
mengonsumsi energi yang berlebihan yaitu mencapai 2200 kkal/hari yang bersumber
dari makanan fast food. Banyaknya konsumsi energi lebih tersebut menyebabkan
remaja beresiko untuk mengalami obesitas (Misnadiarly, 2007).
Berdasarkan data dari Riskesdas 2007 diketahui sekitar 35,7% orang
Indonesia memiliki masalah hipertensi. Pada tahun 2011 hipertensi menjadi
penyebab kematian ketiga di Indonesia setelah stroke dan tuberculosis yang dipicu
oleh pola makan yang berlebihan terhadap makanan siap saji modern (fast food)
(Anonim, 2012). Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan pada remaja kelas II di
SMU Negri 6 Makassar menunjukan bahwa pola makan fast food yang tinggi
didapatkan pada remaja yang memiliki status gizi lebih (obesitas) yaitu 6,6%
sedangkan yang pola makan fast food rendah didapatkan pada status gizi lebih hanya
Universitas Sumatera Utara
-
1,7%. Disini jelas bahwa remaja yang memiliki status gizi lebih, sering mengonsumsi
fast food (Asmawati, 2005).
SMA Swasta Cahaya Medan adalah salah satu sekolah swasta yang ada di
Kota Medan. SMA ini letaknya sangat strategis dimana dekat dengan pusat
perbelanjaan beberapa mall yang di dalamnya terdapat restoran-restoran fast food.
Hal ini dikhawatirkan akan banyaknya siswa yang cenderung memilih fast food.
Kecenderungan dalam mengonsumsi fast food yang terlalu sering dapat menimbulkan
ketidakseimbangan gizi dalam hal ini status gizi lebih karena pada umumnya fast
food miskin sayuran yang merupakan sumber serat dan terlalu tinggi protein untuk
tiap porsinya (Siswono dalam Kristianti, 2009).
Berdasarkan survei pendahuluan terhadap 11 orang siswa dan siswi SMA
Swasta Cahaya Medan, 8 orang menyatakan alasan memilih makanan fast food
karena lebih praktis, malas membawa bekal makanan, aksesnya dekat dari sekolah
dan biasanya frekuensinya 2-3 kali dalam seminggu. Sedangkan 2 orang menyatakan
dengan alasan karena selera dan rasanya sangat enak dan ketika siap les bimbingan
langsung ke tempat restoran fast food dan 1 orang lagi menyatakan memilih fast food
karena malas makan di rumah dan juga sering mengonsumsi fast food bersama
keluarga. Dari hasil survei pendahuluan tersebut peneliti tertarik untuk mengadakan
penelitian dengan judul Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Pola Pemilihan Makanan
Siap Saji Modern (Fast Food) Pada Pelajar di SMA Swasta Cahaya Medan Tahun
2012. Penelitian ini akan dilaksanakan mulai bulan April sampai dengan bulan Juli
tahun 2012.
Universitas Sumatera Utara
-
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan bahwa
permasalahan penelitian adalah faktor-faktor yang memengaruhi pola pemilihan
makanan siap saji modern (fast food) pada pelajar di SMA Swasta Cahaya Medan
Tahun 2012.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang
memengaruhi pola pemilihan makanan siap saji modern (fast food) pada pelajar di
SMA Swasta Cahaya Medan Tahun 2012.
1.3.2. Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui gambaran karakteristik individu, sumber informasi, dukungan
sosial, kondisi dan situasi, pengetahuan, sikap, niat, dan pemilihan konsumsi
makanan siap saji modern (fast food).
2. Untuk mengetahui hubungan karakteristik individu dan sumber informasi terhadap
pengetahuan mengenai makanan siap saji modern (fast food).
3. Untuk mengetahui hubungan dukungan sosial terhadap sikap mengenai makanan
siap saji modern (fast food).
4. Untuk mengetahui hubungan kondisi dan situasi terhadap niat mengenai makanan
siap saji modern (fast food).
5. Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan, sikap dan niat terhadap
pemilihan konsumsi makanan siap saji modern (fast food).
Universitas Sumatera Utara
-
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat mempunyai manfaat bagi beberapa
pihak :
1. Bagi Institusi
Memberikan informasi bagi Dinas Kesehatan dan pihak sekolah tentang
permasalahan pola konsumsi makanan siap saji modern pada remaja.
2. Bagi Pelajar
Memberikan informasi mengenai pengetahuan, sikap dan tindakan pelajar tentang
bahaya kebiasaan konsumsi makanan siap saji modern (fast food) bagi kesehatan.
3. Bagi Peneliti
Sebagai bahan kepustakaan bagi peneliti lain yang akan meneliti tentang fast food.
Universitas Sumatera Utara