Chapter II(3)
-
Upload
wenny-maharani -
Category
Documents
-
view
244 -
download
0
description
Transcript of Chapter II(3)
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
Tanah dalam pandangan teknik sipil adalah himpunan mineral, bahan organic dan
endapan-endapan yang relatif lepas (loose) yang terletak di atas batu dasar (bedrock).7
Tanah merupakan material yang terdiri dari agregat (butiran) padat yang tersementasi
(terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan-bahan organic yang telah melapuk
(yang berpartikel padat) disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang-ruang
kosong diantara partikel-partikel tersebut.(2)
Tanah juga didefenisikan sebagai akumulasi partikel mineral yang tidak
mempunyai atau lemah ikatan partikelnya, yang terbentuk karena pelapukan dari batuan.
Diantara partikel-partikel tanah terdapat ruang kosong yang disebut pori-pori yang berisi
air dan udara. Ikatan yang lemah antara partikel-partikel tanah disebabkan oleh karbonat
dan oksida yang tersenyawa diantara partikel-partikel tersebut, atau dapat juga
disebabkan oleh adanya material organic. Bila hasil dari pelapukan tersebut berada pada
tempat semula maka bagian ini disebut tanah sisa (residu soil). Hasil pelapukan
terangkut ke tempat lain dan mengendap di beberapa tempat yang berlainan disebut
tanah bawaan (transportation soil). Media pengangkut tanah berupa gravitasi, angin, air
dan gletsyer. Pada saat akan berpindah tempat, ukuran dan bentuk partikel-partikel dapat
berubah dan terbagi dalam beberapa rentang ukuran.
Proses penghancuran dalam pembentukan tanah dari batuan terjadi secara fisis
atau kimiawi. Proses fisis antara lain berupa erosi akibat tiupan angin, pengikisan oleh
air dan gletsyer, atau perpecahan akibat pembekuan dan pencairan es dalam batuan
sedangkan proses kimiawi menghasilkan perubahan pada susunan mineral batuan
asalnya. Salah satu penyebabnya adalah air yang mengandung asam alkali, oksigen dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
karbondioksida. Pelapukan kimiawi menghasilkan pembentukan kelompok-kelompok
partikel yang berukuran koloid (< 0,002 mm) yang dikenal sebagai mineral lempung.
Tanah lempung terdiri dari butir-butir yang sangat kecil (< 0,002 mm) serta
menunjukkan sifat-sifat plastisitas dan kohesi. Kohesi menunjukkan kenyataan bahwa
bagian-bagian itu melekat satu sama lainnya, sedangkan plastisitas adalah sifat yang
memungkinkan bentuk bahan itu dirubah-rubah tanpa perubahan isi atau tanpa kembali
ke bentuk aslinya dan tanpa terjadi retakan-retakan atau terpecah-pecah.(11)
Partikel lempung dapat berbentuk seperti lembaran yang mempunyai permukaan
khusus. Karena itu, tanah lempung mempunyai sifat sangat dipengaruhi oleh gaya-gaya
permukaan. Umumnya, terdapat kira-kira 15 macam mineral yang diklasifikasikan
sebagai mineral lempung. Beberapa mineral yang diklasifikasikan sebagai mineral
lempung yakni : montmorrillonite, illite, kaolinite dan polygorskite.(7)
Semua macam tanah secara umum terdiri dari tiga bahan, yaitu butiran tanahnya
sendiri, air dan udara yang terdapat dalam ruangan antara butir-butir tersebut seperti
yang terlihat pada gambar 1. Ruangan pada tanah disebut pori (voids). Apabila tanah
sudah benar-benar kering maka tidak akan ada air sama sekali dalam porinya. Keadaan
semacam ini jarang ditemukan pada tanah yang masih dalam keadaan asli di lapangan.
Air hanya dapat dihilangkan sama sekali dari tanah apabila diambil tindakan khusus,
misalnya dengan memanaskannya di adalam oven.(11)
Tanah merupakan komposisi dari dua atau tiga fase yang berbeda. Tanah yang
benar-benar kering terdiri dari dua fase yang disebut butiran dan udara pengisi pori,
tanah yang jenuh juga terdiri dari dua fase yaitu butiran dan air pori sedangkan tanah
yang jenuh sebagian terdiri dari tiga fase yaitu butiran, udara pori dan air pori. Berat
udara dianggap sama dengan nol. Komponen-komponen tanah dapat digambarkan dalam
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
suatu diagram fase, seperti terlihat pada gambar 1. Persamaan yang dapat dibentuk dari
gambar 1 adalah sebagai berikut : W = W + Ww
V = Vs + Vw + Va
Vv = Vw + Va
Dengan pengertian :
Ws = Berat butiran padat
Ww = Berat air
Vs = Volume butiran padat
Vw = Volume air
Va = Volume udara
Vv = Volume pori
Gambar 1. Diagram Fase Tanah
(Sumber : Wesley, L.D, 1997, Mekanika Tanah, Hal. 2)
Peranan tanah sangat penting dalam perencanaan atau pelaksanaan bangunan
karena tanah tersebut berfungsi untuk mendukung beban yang ada di atasnya. Oleh
karena itu, tanah yang akan dipergunakan untuk mendukung konstruksi harus
dipersiapkan terlebih dahulu sebelum dipergunakan sebagai tanah dasar (subgrade).
Gambar 2. Distribusi Beban pada Struktur Jalan
Gambar 2. Distribusi Beban pada Struktur Jalan
Struktur perkerasan jalan terdiri dari beberapa lapis elemen struktur perkerasan.
Pada struktur perkerasan lentur terdiri dari tanah dasar (subgrade), lapis pondasi bawah
(subbase course), lapis pondasi atas (base course) dan lapis permukaan/penutup (surface
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
course). Pada struktur perkerasan kaku terdiri dari lapis tanah dasar, lapis pondasi bawah
dan pelat beton.(6)
Gambar 3. Penampang Melintang Perkerasan Lentur Jalan Raya
2.2. Sistem Klasifikasi Tanah
2.2.1. Sistem Unified Soil Classification System (USCS)
Sistem klasifikasi berdasarkan hasil-hasil percobaan laboratorium yang paling
banyak adalah sistem USCS. Standar Indonesia, SNI 03-6371-2000 yakni : Tata Cara
Pengklasifikasian Tanah Dengan Cara Unifikasi Tanah, menguraikan prosedur untuk
mengklasifikasikan tanah berdasarkan Unified Soil Classification System (USCS).
Sistem klasifikasi ini dikembangkan oleh Casagrande selama perang dunia kedua untuk
Kesatuan Engineering Angkatan Darat Amerika. Pada tahun 1969 sistem ini diadopsi
oleh American Society for Testing and Materials (ASTM) sebagai metode klasifikasi
tanah (ASTM D 2487). Pengklasifikasian tanah ini dilakukan berdasarkan hasil
pengujian laboratorium, yaitu : analisa distribusi partikel dan batas-batas Atterberg.
Unified Soil Classification System (USCS) mengelompokkan tanah ke dalam 2
kelompok, yakni :
1. Tanah berbutir kasar (coarsed grained – soil)
Tanah berbutir kasar (coarsed grained – soil) yaitu tanah kerikil dan pasir yang
kurang dari 50 % berat total contoh tanah lolos saringan No. 200. Simbol kelompok ini
adalah G (untuk tanah berkerikil) dan S (untuk tanah berpasir). Selain itu juga
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dinyatakan gradasi tanah dengan symbol W (untuk tanah bergradasi baik) dan P (untuk
tanah bergradasi buruk).
2. Tanah berbutir halus (fine – grained – soil)
Tanah berbutir halus (fine – grained – soil) yaitu tanah yang lebih dari 50 % berat
contoh tanahnya lolos dari saringan No. 200. Simbol kelompok ini adalah C (untuk tanah
lempung organic, clay) dan O (untuk lanau organik), Plastisitas dinyatakan L (rendah)
dan H (tinggi). Simbol-simbol yang digunakan untuk klasifikasi tanah dapat dilihat pada
tabel 2.2.
Tabel. 2.1. Ukuran saringan menurut ASTM
No. Saringan
Lubang saringan
Inch mm
1 ½ in 1,5 38,1
1 in 1,0 25,4
3/4 in 0,75 19,0
1/2 in 0,5 12,7
3/8 in 0,375 9,51
No. 4 0,187 4,76
No. 8 0,0937 2,38
No. 16 0,0469 1,19
No. 30 0,0234 0,595
No. 50 0,0117 0,297
No. 100 0,0059 0,149
No. 200 0,0029 0,074 Sumber : Buku 1 Petunjuk Umum, Manual Pekerjaan Campuran Beraspal Panas Departemen Kimpraswil
Prosedur untuk menentukan klasifikasi tanah sistem Unified yakni :
a. Menentukan tanah apakah berupa butiran halus atau butiran kasar secara visual atau
dengan cara menyaringnya dengan saringan No. 200,
b. Jika tanah berupa butiran kasar :
− Menyaring tanah tersebut dan menggambarkan grafik distribusi butirannya,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
− Menentukan persen butiran lolos ≤ 50 %, klasifikasikan tanah tersebut sebagai
kerikil atau pasir,
− Menentukan jumlah butiran yang lolos saringan No. 200 jika prosentase butiran
yang lolos ≤ 5 %, pertimbangkan bentuk grafik distribusi dengan menghitung Cu
dan Cc. Jika termasuk bergradasi baik, maka klasifikasikan sebagai GW (bila
kerikil) atau SW (bila pasir). Jika termasuk bergradasi buruk, Klasifikasikan
sebagai GP (bila berkerikil) atau SP (bila pasir),
− Jika proesentase butiran tanah yang lolos saringan No. 200 di antara 5 sampai
dengan 12 %, tanah akan mempunyai symbol dobel dan mempunyai sifat
keplastisan (GW – GM, SW – SM, dan sebagainya),
− Jika proesentase butiran tanah yang lolos saringan No. 200 > 12 %, harus
diadakan pengujian batas-batas Atterberg dengan menyingkirkan butiran tanah
yang tertinggal dalam saringan No. 40. Kemudian, dengan menggunakan diagram
plastisitas, tentukan klasifikasinya (GW, GC, SM, SC, GM – GC, atau SM - SC).
c. Jika tanah berbutir halus :
− Menguji batas-batas Atterberg dengan menyingkirkan butiran tanah yang tinggal
dalam saringan No. 40. Jika batas cair > 50 %, klasifikasikan tanah sebagai H
(plastisitas tinggi) dan jika batas cair < 50 %, klasifikasikan tanah sebagai L
(plastisitas rendah),
− Untuk H (plastisitas tinggi), jika plot batas-batas Atterberg pada grafik plastisitas
di bawah garis A, tentukan apakah tanah organic (OH) atau anorganik (MH). Jika
plotnya jatuh di garis A, klasifikasikan sebagai CH,
− Untuk L (plastisitas rendah), jika plot batas-batas Atterberg pada grafik plastisitas
di bawah garis A dan area yang diarsir, tentukan klasifikasi tanah tersebut sebagai
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
organic (OL) atau anorganik (ML) berdasar warna, bau, atau perubahan batas cair
dan batas plastisnya dengan mengeringkannya di dalam oven,
− Jika plot batas-batas Atterberg pada grafik plastisitas jatuh pada area yang diarsir,
dekat dengan garis A atau nilai LL sekitar 50 %, gunakan symbol ganda.
Metode klasifikasi tanah menurut USC (Unified Soil Classification)
diperkenalkan oleh Casagrande (1942). Pada tahun 1985, cara klasifikasi ini disetujui
oleh ASTM untuk digunakan secara umum sebagai metoda ASTM. Ada beberapa
perbedaan antara kedua cara, tetapi tidak mendasar. (12)
Tabel 2.2. Simbol Klasifikasi Tanah Casagrande
Simbol Nama Klasifikasi Tanah
G Kerikil (gravel)
S Pasir (sand)
C Lempung (clay)
M Lanau (silt)
O Lanau atau Lempung organic (organic silt or clay)
Pt Tanah gambut dan Tanah organic tinggi (peat and highly organic clay)
F Terlampau halus
S Seragam
L Plastisitas rendah (low plasticity)
I Plastisitas sedang (intermediate plasticity)
H Plastisitas tinggi (high plasticity)
W Bergradasi baik (well graded)
P Bergradasi buruk (poor graded)
Sumber : Sistem Klasifikasi Tanah Casagrande
Gambar 4. Rentang Nilai Lanau dan Lempung Berdasarkan Batas Cair dan Indeks Plastisitas
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Tabel 2.3. Sistem Klasifikasi Tanah Unified
Sumber : Sifat-sifat Tanah dan Metoda Pengukurannya, Penerbit Universitas Sriwijaya
2.2.2. Sistem Klasifikasi AASHTO
Sistem klasifikasi AASHTO (American Association of State Highway and
Transportation Officials Classification) berguna untuk menentukan kualitas tanah dalam
perencanaan timbunan jalan, subbase dan subgrade. Sistem klasifikasi AASHTO
membagi tanah ke dalam 8 kelompok, A-1 sampai A-7 termasuk sub-sub kelompok.
Tanah-tanah dalam tiap kelompoknya dievaluasi terhadap indeks kelompoknya yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dihitung dengan rumus-rumus empiris. Pengujian yang dilakukan adalah analisis
saringan dan batas-batas Atterberg. Sistem ini didasarkan pada kriteria sebagai berikut :
1. Ukuran butir, yakni dibagi menjadi :
− Kerikil : bagian tanah yang lolos ayakan dengan diameter 75 mm
dan tertahan pada ayakan diameter 2 mm.
− Pasir : bagian tanah yang lolos ayakan dengan diameter 2 mm dan
tertahan pada ayakan diameter 0,0075 mm.
− Lanau & Lempung : bagian tanah yang lolos ayakan diameter 0,0075 mm.
2. 2. Plastisitas
Nama berlanau dipakai apabila bagian-bagian yang halus dari tanah mempunyai
indeks plastisitas (IP) sebesar 10 atau kurang. Nama berlempung dipakai bila bagian-
bagian yang halusdari tanah mempunyai indeks plastisitas sebesar 11 atau lebih.
3. Apabila batuan (ukuran > 75 mm) ditemukan dalm contoh tanah yang akan diuji
maka batuan-batuan tersebut harus dikeluarkan terlebih dahulu, tetapi persentase dari
batuan yang dikeluarkan tersebut harus dicatat.
Pengujian yang dijadikan patokan untuk mengklasifikasi adalah sama dengan
sistem klasifikasi tanah Unified yaitu analisis saringan dan batas-batas Atterberg. Untuk
mengevaluasi pengelompokan lebih lanjut digunakan indeks kelompok/group index (GI).
GI = (F – 35) [0,2 + 0,005 (LL – 40)] + 0,01 (F – 15) (PI – 10)
Dengan Pengertian : GI = indeks kelompok/group index
F = persen butiran lolos saringan No. 200 (0,0075 mm)
LL = batas cair
PI = indeks plastisitas
Bila indeks kelompok (GI) semakin tinggi, maka tanah semakin berkurang
ketepatan penggunaannya. Tanah granular diklasifikasikan ke dalam A-1 sampai A-3.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Tanah A-1 merupakan tanah granular bergradasi baik, sedangkan A-3 adalah pasir bersih
bergradasi buruk. Tanah berbutir halus diklasifikasikan dari A-4 sampai A-7, yaitu tanah
lempung lanau. Klasifikasi tanah menurut sistem AASHTO dapat dilihat pada tabel 2.4.
Tabel 2.4. Sistem Klasifikasi AASHTO
Sumber : Sifat-sifat Tanah dan Metoda Pengukurannya, Penerbit Universitas Sriwijaya
2.3. Sifat-Sifat Umum Mineral Lempung
Sifat yang khas dari tanah lempung adalah dalam keadaan kering dia akan
bersifat keras, dan jika basah akan bersifat lunak plastis dan kohesif, mengembang dan
menyusut dengan cepat, sehingga mempunyai perubahan volume yang besar dan itu
terjadi karena pengaruh air. Sifat-sifat umum mineral lempung yaitu :
1. Hidrasi
Partikel mineral lempung biasanya bermuatan negatif sehingga partikel lempung
selalu mengalami hidrasi, yaitu dikelilingi oleh lapisan-lapisan molekul air dalam jumlah
yang besar. Lapisan ini sering mempunyai tebal dua molekul dan disebut lapisan difusi,
lapisan difusi ganda atau lapisan ganda yakni lapisan yang dapat menarik molekul air
atau kation yang disekitarnya. Lapisan ini akan hilang pada temperatur yang lebih tinggi
dari 60o C sampai 100o C dan akan mengurangi plastisitas alamiah, tetapi sebagian air
juga dapat menghilang cukup dengan pengeringan udara saja.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2. Aktifitas (A)
Hary Christady (2006) mendefenisikan aktivitas tanah lempung sebagai
perbandingan antara Indeks Plastisitas (IP) dengan persentase butiran yang > 0,002 mm
yang dinotasikan dengan huruf C, disederhanakan dalam persamaan berikut : A =
Aktivitas digunakan sebagai indeks untuk mengidentifikasi kemampuan
mengembang dari tanah lempung. Ketebalan air mengelilingi butiran tanah lempung
tergantung dari macam mineralnya. Jadi dapat disimpulkan plastisitas tanah lempung
tergantung dari sifat mineral lempung yang ada pada butiran dan jumlah mineral.
Bila ukuran butiran semakin kecil, maka luas permukaan butiran akan semakin
besar. Pada konsep Atterberg, jumlah air yang tertarik oleh permukaan partikel tanah
akan bergantung pada jumlah partikel lempung yang ada di dalam tanah.
Swelling Potensial atau kemampuan mengembang tanah dipengaruhi oleh nilai
aktivitas tanah. Setiap tanah lempung memiliki aktifitas yang berbeda-beda. Tingkat
aktifitas tanah dapat diidentifikasi dalam 4 kelompok yaitu :
a) Rendah (Low) : Tanah yang memiliki nilai Swelling Potensial ≤ 1,5 %
b) Sedang (Medium) : Tanah yang memiliki nilai Swelling Potensial > 1,5 % dan ≤ 5 %
c) Tinggi (High) : Tanah yang memiliki nilai Swelling Potensial > 5 % dan ≤ 25 %
d) Sangat Tinggi (Very High) : Tanah yang memiliki nilai Swelling Potensial > 25 %
3. Flokulasi dan Disversi
Apabila mineral lempung terkontaminasi dengan substansi yang tidak
mempunyai bentuk tertentu atau tidak berkristal (amophus) maka daya negative netto,
ion-ion H+ di dalam air, gaya Van der Waals, dan partikel berukuran kecil akan bersama-
sama tertarik dan bersinggungan atau bertabrakan di dalam larutan tanah dan air.
Beberapa partikel yang tertarik akan membentuk flok (flock) yang berorientasi secara
acak, atau struktur yang berukuran lebih besar akan turun dari larutan itu dengan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
cepatnya dan membentuk sedimen yang sangat lepas. Flokulasi larutan dapat dinetralisir
dengan menambahkan bahan-bahan yang mengandung asam (ion H+), sedangkan
penambahan bahan-bahan alkali akan mempercepat flokulasi. Lempung yang baru saja
berflokulasi dengan mudah tersebar kembali dalam larutan semula apabila
digoncangkan, tetapi apabila telah lama terpisah penyebarannya menjadi lebih sukar
karena adanya gejala thiksotropic (Thixopic), dimana kekuatan didapatkan dari lamanya
waktu.
Gambar 5. Hubungan Antara Persentase Butiran Lempung dengan Aktivitas
4. Pengaruh Zat Cair
Fase air yang berada di dalam struktur tanah lempung adalah air yang tidak murni
secara kimiawi. Pada pengujian di laboratorium untuk batas Atterberg, ASTM
menentukan bahwa air suling ditambahkan sesuai dengan keperluan. Pemakaian air
suling yang relative bebas ion dapat membuat hasil yang cukup berbeda dari apa yang
didapatkan dari tanah di lapangan dengan air yang telah terkontaminasi. Air berfungsi
sebagai penentu sifat plastisitas dari lempung. Satu molekul air memiliki muatan positif
dan muatan negative pada ujung yang berbeda (dipolar). Fenomena hanya terjadi pada
air yang molekulnya dipolar dan tidak terjadi pada molekul yang tidak dipolar seperti
karbon tetraklorida (CCl4) yang jika dicampur lempung tidak akan terjadi apapun.
5. Sifat Kembang Susut (Swelling)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Tanah-tanah yang banyak mengandung lempung mengalami perubahan volume
ketika kadar air berubah. Perubahan itulah yang membahayakan bangunan. Secara umum
sifat kembang susut tanah lempung tergantung pada sifat plastisitasnya. Semakin plastis
mineral lempung, semakin potensial untuk menyusut dan mengembang. Tingkat
pengembangan secara umum bergantung pada beberapa faktor, yaitu :
a) Tipe dan jumlah mineral yang ada di dalam tanah,
b) Kadar air,
c) Susunan tanah,
d) Sementasi,
e) Konsentrasi garam dalam air pori, serta adanya bahan organic, dll.
2.3.1. Hubungan Volume dan Berat Isi
1. Berat Isi
Cara menentukan berat isi tanah adalah dengan mengukur berat sejumlah tanah
yang isinya diketahui. Untuk tanah asli biasanya dipakai sebuah cincin yang dimasukkan
ke dalam tanah sampai terisi penuh, kemudian atas dan bawahnya diratakan dan cincin
serta tanahnya ditimbang. Apabila ukuran cincin serta beratnya diketahui, maka berat isi
dapat ditimbang langsung. Untuk tanah yang tidak asli, misalnya pada percobaan
pemadatan, maka tanah dipadatkan di dalam suatu alat cetak yang isinya diketahui.
Setelah permukaan atasnya diratakan, maka cetakan serta tanah ditimbang dan berat isi
tanah dapat langsung dihitung.
2. Kadar Air
Perbandingan komposisi antara butiran dan air di dalam tanah dapat dipakai
menjadi tolak ukur perhitungan kekuatan tanah dimana tanah yang mengandung air
sesuai dengan besar dan banyaknya pori tanah. Besarnya kandungan air tanah akan
mempengaruhi kekuatan tanah dalam memikul beban yang diberikan. Adanya
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kandungan air yang cukup akan mempebesar daya dukung tanah, tetapi jika kandungan
air terlalu banyak akan menyebabkan rembesan air tanah pada waktu tanah tersebut
dibebani. Perembesan ini akan menyebabkan terjadinya penurunan tanah yang sangat
membahayakan konstruksi yang ada di atasnya.(8)
3. Berat Jenis (Specific Gravity)
Berat jenis adalah angka perbandingan antara berat isi butir tanah dan berat isi air
suling pada temperature dan volume yang sama. Berat jenis tanah akan digunakan untuk
menentukan sampel tanah yang diuji termasuk pada jenis tanah tertentu.(8)
Berat isi tanah ditentukan dalam gr/cm3 (sama dengan ton/m3). Nilai berat isi
pada tanah asli jarang lebih kecil daripada 1,2 kg/cm3 atau lebih besar darpada 2,5
kg/cm3. Nilai paling biasa adalah dari 1,6 sampai 2,0 kg/cm3. Berat isi kering ditentukan
dengan satuan yang sama yaitu gr/cm3, nilainya berkisar antara 0,6 sampai 2,4. Kadar air
tanah selalu dinyatakan dalam persen dan nilainya dapat berkisar dari 0 % sampai 300 %.
Pada tanah dalam keadaan aslinya kadar air biasanya adalah dari 15 % hingga 100 %.
Berat jenis tanah dinyatakan sebagai bilangan saja. Nilainya rata-rata adalah sebesar 2,65
dengan variasi yang agak kecil, yaitu jarang di bawah 2,4 atau di atas 2,8.
4. Pemadatan Tanah (Proctor Standard)
Pemadatan merupakan usaha untuk mempertinggi kerapatan tanah yaitu dengan
mengeluarkan udara pada pori-pori tanah yang biasanya menggunakan energy mekanis.
Di lapangan, usaha pemadatan dihubungkan dengan jumlah gilasan dari mesin gilas, atau
hal lain yang prinsipnya sama untuk suatu volume tanah tertentu. Di laboratorium
menggunakan pengujian standar yang disebut uji proctor, dengan cara suatu palu
dijatuhkan dari ketinggian tertentu beberapa lapis tanah di dalam sesuai mold. Dengan
dilakukan pengujian pemadatan tanah ini maka akan menghasilkan hubungan antara
kadar air dengan berat volume. Tujuan pemadatan adalah untuk memadatkan tanah
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dalam keadaan kadar air optimum, sehingga udara dalam pori-pori tanah akan keluar.
Beberapa keuntungan yang didapatkan dengan adanya pemadatan ini adalah :
− Menaikkan kekuatan tanah,
− Memperkecil pengaruh air terhadap tanah,
− Berkurangnya penurunan permukaan (subsidence), yaitu gerakan vertical didalam
masa tanah itu sendiri akibat berkurangnya angka pori,
− Mengurangi perubahan volume sebagai akibat perubahan kadar air.
5. Penentuan Kadar Air Optimum
Untuk mengetahui kadar air yang optimum pada tanah, maka dilakukan
pengujian pemadatan proctor standar, pengujian tersebut dilakukan dengan pemadatan
sampel tanah basah (pada kadar air terkontrol) dalam suatu cetakan dengan jumlah 3
lapisan. Setiap lapisan dipadatkan dengan 25 tumbukan yang ditentukan dengan
penumbuk dengan massa 2,5 kg dan tinggi jatuh 30 cm. Energi pemadatan sebesar
592,57 kilo Joule/m3.
Gambar 6. Kurva Hubungan Kadar Air dengan Berat Volume Kering (Sumber : Hardiyatmo, H.C, 2006, Mekanika Tanah 1, Hal. 78)
Kadar air yang memberikan berat kering yang maksimal disebut kadar air optimum.
Untuk tanah berbutir halus dalam mendapatkan kadar air optimum digunakan batas
plastisnya. Buat kurva hubungan antara kadar air (w) sebagai absis dan berat volume
tanah kering sebagai ordinat, puncak kurva sebagai nilai γd (maks), kurva yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
digunakan adalah kurva dari uji pemadatan tanah (proktor standar). Dari titik puncak
ditarik garis vertical memotong absis, pada titik ini adalah kadar air optimum.
2.3.2. Kepadatan Tanah Dasar
Nilai CBR sangat bergantung kepada proses pemadatan. Subgrade dipadatkan
hingga mencapai kepadatan kering maksimum dan membentuk profil sesuai dengan yang
direncanakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepadatan material tanah dasar
(subgrade) adalah :
1) Karakteristik material tanah dasar,
2) Kadar air material tanah dasar,
3) Jenis alat pemadat yang digunakan,
4) Massa (berat) alat pemadat yang tergantung pada lebar roda dan pelat dasarnya,
5) Ketebalan lapisan material yang dipadatkan,
6) Jumlah lintasan alat yang diperlukan.
2.3.3. Plastisitas dan CBR Pada Tanah Lempung (Clay)
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi plastisitas dan CBR pada tanah
lempung adalah :
a. Faktor Lingkungan
Tanah dengan plastisitas tinggi dalam keadaan kadar air rendah atau hisapan yang
tinggi akan menarik air lebih kuat dibanding dengan tanah yang sama dengan kadar air
yang lebih tinggi. Perubahan kadar air pada zona aktif dekat permukaan tanah akan
menentukan besarnya plastisitas. Pada zona ini terjadi perubahan kadar air dan volume
yang lebih besar. Variasi peresapan dan penguapan mempengaruhi perubahan kedalaman
zona aktif. Keberadaan fasilitas seperti drainase, irigasi dan kolam, akan memungkinkan
tanah memiliki akses terhadap sumber air. Keberadaan air pada fasilitas tersebut akan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
memperngaruhi perubahan kadar air tanah. Selain itu vegetasi seperti pohon, semak dan
rumput menghisap air tanah dan menyebabkan terjadinya perbedaan kadar air pada
daerah dengan vegetasi berbeda.
b. Karakteristik Material
Plastisitas yang tinggi terjadi akibat adanya perubahan sistem tanah dengan air
yang mengakibatkan terganggunya keseimbangan gaya-gaya di dalam struktur tanah.
Gaya tarik yang bekerja pada partikel yang berdekatan terdiri dari gaya elektrostatis yang
bergantung pada komposisi mineral serta gaya Van der Walls yang bergantung pada
jarak antar permukaan partikel. Partikel lempung pada umumnya berbentuk pelat pipih
dengan permukaan bermuatan listrik negative dan ujung-ujungnya bermuatan positif.
Muatan positif ini dikembangkan oleh kation air tanah yang terikat pada permukaan pelat
oleh suatu gaya listrik. Sistem gaya internal kimia – listrik ini harus dalam keadaan
seimbang antara gaya luar dan hisapan matrik. Apabila susunan kimia air tanah berubah
sebagai akibat adanya perubahan komposisi maupun keluar masuknya air tanah,
keseimbangan gaya-gaya dan jarak antar partikel akan membentuk keseimbangan baru.
Perubahan jarak antar partikel ini disebut sebagai proses kembang – susut.
c. Kondisi Tegangan
Tanah yang terkonsolidasi berlebih bersifat lebih ekspansif dibandingkan tanah
yang terkonsolidasi normal, untuk angka pori yang sama. Proses pengeringan –
pembasahan yang berulang cenderung mengurangi potensi pengembangan sampai suatu
keadaan stabil. Besarnya pembebanan akan menyeimbangkan gaya antar partikel
sehingga akan mengurangi besarnya pengembangan. Ketebalan dan lokasi kedalaman
lapisan tanah ekspansif mempengaruhi besarnya potensi kembang – susut dan yang
paling besar terjadi apabila tanah ekspansif yang terdapat pada permukaan sampai
dengan kedalaman zona aktif.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
d. Energi Pemadatan (Compaction Effort)
Jika energi pemadatan untuk suatu tanah dirubah, maka hubungan antara kadar
air dan berat isi kering akan berubah. Gambar 7 menunjukkan kurva pemadatan tanah
lempung kepasiran yang dipadatkan menggunakan metode standar dengan menerapkan
energy pemadatan yang berbeda. Dari gambar 7 terlihat bahwa energi pemadatan yang
diberikan dapat mempengaruhi tingkat kepadatan dan kadar air optimumnyang
dibutuhkan. Semakin besar energi pemadatan yang diberikan kepada tanah tersebut,
semakin besar kepadatan tanah yang dihasilkannya dan semakin kecil kadar air
optimumnya. Namun kepadatan akan berkurang bila tanah dipadatkan lebih dari kadar
air optimumnya, walaupun energi pemadatan ditingkatkan.
Gambar 7. Pengaruh Energi Pemadatan
Pada tanah lempung, pemadatan merubah struktur tanah kohesif. Dengan energy
pemadatan yang sama, struktur tanah akan semakin beraturan dengan bertambah
tingginya kadar air pemadatan. Pemadatan yang dilakukan pada kondisi kadar air berada
di daerah sisi kering selalu menghasilkan struktur tanah yang tidak beraturan atau
menggumpal (flocculated). Sebaliknya jika pemadatan dilakukan pada kondisi kadar air
berada di daerah sisi basah maka akan menghasilkan struktur tanah yang beraturan
dengan orientasi yang sama.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.3.4. Batas – Batas Atterberg
Tanah yang berbutir halus biasanya memiliki sifat plastis. Sifat plastis tersebut
merupakan kemampuan tanah menyesuaikan perubahan bentuk tanah setelah bercampur
dengan air pada volume yang konstan tanpa retak – retak dan remuk. Tanah tersebut
akan berbentuk cair, plastis, semi padat atau padat tergantung jumlah air yang bercampur
pada tanah tersebut. Penentuan batas-batas Atterberg pada bagian tanah melalui saringan
No. 40 (∅ = 0,42 mm). Batas-batas ini bukanlah merupakan sifat-sifat fisik yang jelas,
tetapi dapat dihubungkan secara empiris dengan sifat-sifat lainnya. Misalnya dengan
kekuatan geser atau compression index dan sebagainya. Indeks Plastisitas biasanya
dipakai sebagai salah satu syarat untuk pemeriksaan sampel yang akan dipakai sebagai
bahan pembuatan jalan raya.(8)
Tanah yang batas cairnya tinggi biasanya mempunyai sifat teknik yang buruk,
yaitu kekuatannya rendah dan kompresibilitasnya tinggi serta sulit untuk
memadatkannya, seperti untuk pembuatan jalan. Batas Atterberg memperlihatkan
terjadinya bentuk tanah dari benda padat hingga menjadi cairan kental sesuai dengan
kadar airnya. Dari test batas Atterberg akan didapatkan parameter batas cair, batas
plastis, batas lengket dan batas kohesi yang merupakan keadaan konsistensi tanah.
Basah Makin Kering Kering Keadaan Cair Keadaan Plastis Keadaan Semi Plastis Kedaan Padat (Liquid) (Plastic) (Semi Plastic) (Solid)
Batas Cair Batas Plastis Batas Susut (Liquid Limit) (Plastic Limit) (Shrinkage Limit)
Gambar 8. Batas – batas Atterberg
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pengujian batas-batas Atterberg meliputi :
1. Batas Cair (Liquid Limit)
Batas cair (LL) adalah kadar air tanah pada batas antara keadaan tanah berubah
dari keadaan cair dan keadaan plastis menjadi keadaan cair (batas antara keadaan cair
dan keadaan plastis). Batas cair ini adalah kadar air tanah dimana diperlukan 25 x
pukulan untuk membuat dua tepi dasar dari akar tanah yang terpisah menjadi berhimpit
(bersinggungan sepanjang 1,25 cm).
2. Batas Plastis (Plastic Limit)
Batas plastis (PL) adalah kadar air yang untuk nilai-nilai dibawahnya, tanah tidak
lagi berpengaruh sebagi bahan yang plastis. Tanah akan bersifat sebagai bahan yang
plastis dalam kadar air yang berkisar antara LL dan PL. Kisaran ini disebut indeks
plastisitas.
3. Indeks Plastisitas (Plasticity Index)
Indeks Plastisitas merupakan interval kadar air, yaitu tanah masih bersifat plastis.
Karena itu, indeks plastis menunjukkan sifat keplastisitasan tanah. Jika tanah mempunyai
interval kadar air daerah plastis kecil, maka keadaan ini diseut dengan tanah kurus. Jika
tanah mempunyai interval kadar air daerah plastis besar disebut tanah gemuk. Nilai
indeks plastisitas dapat dihitung dengan persamaan berikut : IP = LL – PL
Batasan mengenai indeks plastis, sifat, macam tanah dan kohesi diberikan oleh
Atterberg terdapat dalam Tabel 2.5.
Tabel 2.5. Sifat-sifat Tanah Ditinjau dari Nilai Indeks Plastisitas
PI Sifat Jenis Tanah Kohesi
0 Non Plastis Pasir Non Kohesif
< 7 Plastisitas Rendah Lanau Kohesif Sebagian
7 – 17 Plastisitas Sedang Lempung Berlanau Kohesif
> 17 Plastisitas Tinggi Lempung Kohesif
Sumber : Hardiyatmo, H.C, 2006, Mekanika Tanah 1, Hal. 48
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.4. Persyaratan Material Tanah Dasar (Subgrade)
Material yang digunakan untuk tanah dasar harus memenuhi ketentuan sesuai
dengan spesifikasi. Material berplastisitas tinggi golongan A-7-6 tidak boleh digunakan
sebagai lapisan tanah dasar (Pengendalian Mutu Pekerjaan Tanah, Balai Geoteknik Jalan,
hal 37). Menurut AASHTO tanah berplastisitas tinggi termasuk golongan A-7-6. Pada
kelas A-7-6 adalah jenis tanah kelempungan berplastisitas tinggi dengan tingkatan umum
‘sedang sampai jelek’. Batasan kelas A-7-6 antara lain :
− Lolos saringan No. 200 > 36 %
− Batas cair > 41 %
− Indeks Plastisitas > LL – 30
Apabila material tanah dasar termasuk dalam spesifikasi kelas A-7-6, maka tanah
tersebut terlebih dahulu distabilisasi sebelum dilakukan proses pekerjaan berikutnya.(3)
2.5. Stabilisasi Tanah Dasar (Subgrade)
Stabilisasi tanah dasar (subgrade) adalah usaha untuk memperbaiki mutu tanah
(daya dukung tanah) yang tidak baik dan meningkatkan mutu dari tanah agar
mendapatkan kondisi tanah dasar (subgrade) yang memenuhi spesifikasi teknis yang
disyaratkan. Stabilisasi tanah dasar (subgrade) bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan daya dukung tanah serta mendapatkan tanah dasar yang stabil pada semua
kondisi musim dan selama umur rencana perkerasan jalan tersebut.
Metode-metode stabilisasi tanah yang dikenal adalah sebagai berikut :
1. Stabilisasi Mekanis
Stabilisai mekanis adalah penambahan kekuatan atau daya dukung tanah dengan
jalan mengatur gradasi tanah yang dimaksud, dengan tujuan utnuk mendapatkan tanah
yang berdaya dukung baik. Metode ini biasanya digunakan pada tanah yang berbutir
kasar dengan fraksi tanah (lolos saringan No. 200) < 25 %. Tanah yang telah berhasil
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
distabilisasi secara mekanis ini akan memiliki kemampuan tertentu terhadap deformasi
oleh muatan lalu lintas yang bekerja di atasnya. Hal ini disebabkan karena adanya kait
mengkait dan geseran antar butiran tanah serta daya antar butiran tanah oleh bagian yang
halus dan kestabilan akan tercapai setelah diberi usaha pemadatan yang cukup.
2. Stabilisasi Kimiawi
Stabilisasi kmiawi adalah penambahan bahan stabilisasi yang dapat mengubah sifat-
sifat kurang menguntungkan dari tanah. Metode stabilisasi ini biasanya dilakukan untuk
tanah yang berbutir halus. Bahan pencampur yang dipergunakan untuk stabilisasi disebut
stabilizing agent karena setelah diadakan pencampuran menyebabkan tanah menjadi
lebih stabil. Bahan pencmpur yang digunakan seperti semen portland, kapur, abu sekam
padi, abu batubara (fly ash), sodium dan lain-lain.
Stabilisasi tanah dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :
1) Menambah kepadatan (secara teknis),
2) Mencampur dengan tanah lain,
3) Mencampur dengan material seperti: semen, kapur, belerang, abu sekam padi atau
yang lainnya (stabilisasi secara kimiawi),
4) Merendahkan muka air (drainase tanah),
5) Pemanasan dengan temperatur tinggi,
6) Mengganti tanah-tanah yang buruk, dan lain sebagainya.
Metode atau cara memperbaiki sifat-sifat tanah ini juga sangat bergantung pada
lama waktu pemeraman (curing time), hal ini disebabkan karena didalam proses
perbaikan sifat-sifat tanah terjadi proses kimia dimana memerlukan waktu untuk zat
kimia yang ada di dalam adiktif untuk bereaksi dengan tanah dan air.
Stabilisasi tanah lempung (clay) A-7-6 sebagai media dengan bahan pencampur
kapur Ca(OH)2 dan abu sekam padi (rice husk ash) yang dilakukan dalam penelitian ini
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
termasuk stabilisasi secara kimiawi. Dimana kapur Ca(OH)2 dan abu sekam padi (rice
husk ash) berfungsi untuk menambah daya dukung tanah lempung (clay) A-7-6 sebagai
tanah dasar (subgrade) pada perkerasan jalan.
2.5.1. Stabilisasi Tanah Dasar (Subgrade) Dengan Menggunakan Zat Additive
Jenis-jenis bahan additive yang dapat digunakan sebagai bahan stabilisasi tanah
adalah sebagai berikut :
1) kapur, semen dan polimer,
2) Ground Granulated Blast Furnace Slag (GGBFS) dan kapur,
3) Semen, kapur dan abu terbang (fly ash),
4) Kapur dan abu terbang,
5) GGBFS, kapur dan abu terbang,
6) Kapur dan abu sekam padi (rice husk ash), dll.
Dalam penelitian ini, penggunaan kapur Ca(OH)2 dan abu sekam padi (rice husk
ash) dimaksudkan untuk menambah kemampuan daya dukung (nilai CBR) tanah
lempung (clay) A-7-6 sebagai tanah dasar (subgrade) pada perkerasan jalan, dengan
alasan apabila kapur dengan mineral lempung atau dengan mineral halus lainnya atau
dengan komponen pozzolan seperti silika hidrat (hydrous silica) bereaksi, maka akan
membentuk suatu gel yang kuat dan keras yaitu kalsium silikat yang mengikat butir-butir
atau partikel tanah (Diamond & Kinter, 1965 dalam Ingles dan Metcalf, 1972). Gel silika
bereaksi dengan segera melapisi dan mengikat partikel lempung dan menutup pori-pori
tanah. Terisinya rongga pori tanah menyebabkan sifat saling mengunci (inter locking)
antara butir-butir tanah semakin besar sehingga menghasilkan stabilitas yang lebih tinggi
dan menaikkan nilai CBR yang lebih tinggi pula. Dengan menggunakan bahan stabilisasi
yang lebih optimum dalam meningkatkan daya dukung (nilai CBR) tanah dasar,
diharapkan potensi kegagalan konstruksi jalan akan dapat dikurangi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.5.1.1. Stabilisasi Tanah Dengan Kapur
Stabilisasi tanah dengan kapur telah banyak digunakan pada proyek-proyek jalan
di banyak Negara. Stabilisasi dengan kapur dan pozzolan cocok digunakan untuk tanah
kohesif (berbutir halus), seperti pada tanah lempung. Sementara stabilisasi dengan semen
cocok untuk tanah yang tidak kohesif (tanah berpasir atau kerikil) yang mengandung
sedikit tanah berbutir halus (Soedarmo dan Purnomo, 1997).
Kapur dapat diklasifikasikan dalam beberapa jenis yaitu :
a. Kapur tohor (CaO) : hasil pembakaran batu alam yang komposisinya sebagian besar
berupa kalsium karbonat,
b. Kapur padam (Ca(OH)2) : hasil pemadaman kapur tohor dengan air dan membentuk
hidrat,
c. Kapur udara : kapur padam yang apabila diaduk dengan air setelah beberapa waktu
dapat mengeras di udara karena pengikatan karbon dioksida,
d. Kapur hidrolis : kapur padam yang apabila diaduk dengan air setelah beberapa waktu
dapat mengeras baik di dalam air atau di udara.
Kapur yang umum digunakan untuk bahan stabilisasi adalah : Kapur kembang
CaO dan Kapur padam : Ca(OH)2.
Kapur hidrasi digunakan di laboratorium dan komponen Ca(OH)2 merupakan
penentu reaksi dengan material tanah dasar. Sedangkan di lapangan, digunakan kapur
mentah CaO untuk stabilisasi tanah dasar. Nilai konversi sangat penting untuk jumlah
tingkat penghamparan karena adanya perbedaan dari sumber pabrik pengolahan kapur.
Secara ringkas, kapur hidrasi Ca(OH)2 tidak murni dan variasi penggunaan kapur
di lapangan sangat beragam. Keuntungan dan kekurangan menggunakan Ca(OH)2 dan
CaO dapat dilihat pada table 2.7.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Tabel 2.6. Persyaratan Sifat-sifat Kapur untuk Stabilisasi Tanah
Unsur Calsium Hidroksida Calsium Oksida
Komposisi Ca(OH)2 CaO
Bentuk Serbuk Tepung Granular
Kepadatan Curah (t/m3) 0,45 – 0,56 0,9 – 1,3
Ekuivalensi dengan Ca(OH)2 1,00 1,32
Magnesium dan Kalsium Oksida > 95 % > 92 %
Kalsium Dioksida 5 % - 7 % 3 % - 10 %
Sumber : AustStab Technical Note, lime stabilization practice, 2008
Tahapan proses kimia pada stabilisasi tanah menggunakan kapur adalah sebagai berikut :
a. Absorbsi air, reaksi eksotermis dan reaksi ekspansif
Pada temperature di bawah 350oC, komponen kalsium oksida dari kapur mentah
bereaksi dengan air untuk menghasilkan kalsium hidroksida seperti halnya pembebasan
panas. Persamaan di bawah ini menunjukkan bahwa 56 unit berat dari kalsium oksida
murni akan berhidrasi dengan 18 unit berat air. Dan sebaliknya, akan diperlukan 320 liter
air untuk menghidrasi satu ton CaO. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :
CaO + H2O Ca(OH)2 + heat
(Calsium Oxide) (Calsium hydroxide)
(Quicklime) (Hydrated lime)
(Heat of hydration ∼ 272 kcal/kg CaO)
b. Reaksi pertukaran ion
Butiran lempung dalam kaqndungan tanah berbentuk halus dan bermuatan
negative. Ion positif seperti ion hydrogen (H+), ion sodium (Na+), ion kalsium (K+), serta
air yang berpolarisasi, semuanya melekat pada permukaan butiran tanah.
Jika kapur ditambahkan pada tanah dengan kondisi seperti di atas, maka
pertukaran ion segera terjadi, dan ion sodium yang berasal dari larutan kapur diserap
oleh permukaan butiran tanah. Jadi, permukaan butiran tanah tadi kehilangan kekuatan
tolaknya (repulsion force), dan terjadilah kohesi pada butiran itu sehingga berakibat
kenaikan kekuatan konsistensi tanah tersebut.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Tabel 2.7. Perbandingan antara Ca(OH)2 dengan CaO
Jenis Kapur Keuntungan Kekurangan
Ca(OH)2 Tidak memerlukan banyak air Lebih peka untuk berdebu
CaO
1. Lebih hemat penggunaanya sekitar
30 % daripada kapur jenis lain
2. Kepadatan curah lebih besar 3. Lebih cepat kering di lahan yang basah
1. Memerlukan banyak air daripada penggunaan kapur Ca(OH)2
2. Mengeluarkan uap air saat proses slaking
Sumber : AustStab Technical Note, lime stabilization practice, 2008
c. Reaksi pozolan
Reaksi antara silica (SiO2) dan alumina (Al2O3) halus yang terkandung dalam
tanah lempung dengan kandungan mineral reaktif, sehingga dapat bereaksi dengan kapur
dan air. Hasil reaksi adalah terbentuknya kalsium silikat hidrat seperti : tobermorit,
kalsium aluminat hidrat 4CaO. Al2O3.12H2O dan gehlenit hidrat 4CaO. Al2O3.SiO2.6H2O
yang tidak larut dalam air. Pembentukan senyawa-senyawa ini berlangsung lambat dan
menyebabkan tanah menjadi lebih keras, lebih padat dan lebih stabil. Ringkasan
(summary) kelebihan umum dari stabilisasi tanah dengan menggunakan kapur (lime
stabilization) dapat dilihat pada table 2.8.
Tabel 2.8. Kelebihan Stabilisasi dengan Kapur Ditinjau dari Tiap-tiap Properties Properties Kelebihan
Plasticity Indeks plastisitas akan berkurang, ini diakibatkan karena pengurangan liquid limit
dan peningkatan plastis limit.
Moisture
density
relationship
Hasil dari reaksi antara kapur dengan tanah adalah perubahan yang substansial pada
berat isi. Perubahan berat isi mencerminkan keadaan tanah yang baru dan ini adalah
bukti bahwa terjadi perubahan fisik pada tanah selama masa perawatan. Swell
potensial
Potensial pengembangan tanah dan pengembangan tekanan akan berkurang selama
masa perawatan.
Drying Kapur sangat membantu pengeringan tanah yang basah. Kondisi ini memungkinkan
untuk segera melakukan pemadatan.
Strenght
properties
USCS dan CBR tanah yang distabilisasi dengan kapur akan mengalami peningkatan
yang sangat besar. Kondisi ini akan semakin meningkat apabila kemudian
dikombinasikan dengan semen setelah perawatan kapur.
Water
resistance
Tanah yang distabilisasi dengan kapur akan menghasilkan lapisan yang kedap air dan
menhalangi penetrasi dari kadar air tanah. Sehingga lapisan perkerasan tidak
dipengaruhi oleh cuaca.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Kondisi yang akan terjadi dari stabilisasi menggunakan kapur antara lain :
− Meningkatkan kekakuan tanah dasar untuk pembangunan jalan baru atau
merehabilitasi jalan yang telah ada,
− Mengurangi PI dari perkerasan semula dan material tanah dasar,
− Meningkatkan stabilitas volume untuk lapisan paling atas dari material yang dipilih,
− Memodifikasi lapisan subbase untuk meningkatkan kekakuan perkerasan.
2.5.1.2. Stabilisasi Tanah Dengan Abu Sekam Padi (Rice Husk Ash)
Abu sekam padi merupakan bahan hasil sampingan produk pertanian, sekam
yang dibakar mempunyai sifat pozzolan yang mengandung unsur silikat yang tinggi.
Secara visual abu sekam padi yang digunakan dalam penelitian ini adalah berwarna abu-
abu (grey colour-ash).
Pada pembakaran padi menjadi abu akan kehilangan zat organik dan
menghasilkan silika yang banyak. Pengaruh panas terhadap silika dalam sekam dapat
menghasilkan perubahan struktural yang berpengaruh terhadap dua hal, yaitu tingkat
aktifitas pozzolan dan kehalusan butirnya. Menurut Swamy, 1986, temperatur
pembakaran untuk kulit gabah adalah sekitar 350oC dan kehilangan berat terjadi pada
suhu 500oC. Analisis abu dengan difraksi sinar X terjadi pada suhu 700oC, abu terutama
terdiri dari silika amorpous, tetapi diluar temperature 700oC silika akan mengkristalisasi
menjadi kristobalit dan tridimit, sifat dari kedua silika ini kurang reaktif.
Pada temperatur yang lebih tinggi pembakaran sekam padi dapat menghasilkan
abu sekam padi yang berwarna lebih cerah. Laju reaksi pozzolan dapat ditingkatkan
dengan meningkatkan kehalusan. Proses-proses lain telah dikembangkan untuk
memperoleh material yang bersifat seperti semen dari bahan kulit padi, namun aktifitas
pozzolanik yang dihasilkan sangat buruk (Swamy, 1986). Reaksi pozzolanik yang terjadi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
antara abu sekam padi dengan kapur adalah sebagai berikut (Tjokrodimulyo, 1992 dalam
Muntahar, 1997) :
3Ca(OH)2 + 2SiO2 3CaO. 2SiO2. 3H2O
Reaksi ini jauh lebih kompleks dan bergantung kepada bahan-bahan penyusun pozzolan,
termasuk silika. Menurut Swamy, 1986, silika termasuk unsur kimia yang paling
dominan dan menguntungkan pada abu sekam padi. Kandungannya pada abu sekam padi
mencapai 93%.
Penggunaan abu sekam padi sebagai bahan stabilisasi (stabilizing agents) pada
tanah lempung dimungkinkan karena material ini banyak mengandung unsur silikat
(SiO2) dan aluminat (Al2O3), sehingga dikategorikan sebagai pozzolan. Pozzolan ini
mengandung sifat sementasi jika bercampur dengan kapur padam dan air.(9)
Apabila kapur Ca(OH)2, abu sekam padi dan mineral lempung bereaksi, maka
akan terjadi reaksi pozzolanisasi yang menghasilkan kristal Ca(SiO3) yang bersifat
mengikat butiran lempung dengan butiran lempung serta butiran lempung dengan
Ca(SiO3). Reaksi pozzolanisasi yang terjadi antara kapur dan abu sekam padi tersebut
sebagai berikut (Wijaya, 1994 dalam Sujatmaka 1998) :
SiO2 + Ca(OH)2 + H2O Ca(SiO3) + 2H2O
2.5.2. Pengaruh Masa Perawatan (Curing Time)
Masa perawatan (curing time) dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki
interaksi antara air dengan partikel-partikel tanah serta bahan stabilisasi (zat aditif kapur
dan abu sekam padi) melalui reaksi permukaan (berupa reaksi kimia) yang sedemikian
rupa sehingga membuat sifat tanah dalam hubungannya dengan air memberi efek yang
paling menguntungkan untuk suatu keperluan tertentu dan memberikan pengaruh
terhadap perbaikan kekuatan tanah.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pada pencampuran tanah lempung dengan kapur dan abu sekam padi serta air
membentuk hydrated gel yang mengikat butiran. Proses tersebut memakan waktu
beberapa hari, karena setelah mengalami perawatan (curing time), perendaman dalam air
justru membantu proses hidrasi tadi. Hal ini mengakibatkan campuran tanah-kapur-abu
sekam padi menjadi semakin kuat yang kemudian meningkatkan nilai CBR-nya.
Qunik Wiqoyah, 2006, dalam penelitian pengaruh kadar kapur, waktu perawatan
dan perendaman terhadap kuat dukung tanah lempung, menemukan bahwa hasil uji CBR
perawatan 3 hari dan perendaman 4 hari menunjukkan peningkatan nilai CBR seiring
penambahan kapur. Peningkatan maksimum baik pada perawatan 3 hari maupun
perendaman 4 hari terjadi pada penambahan 7,5 % kapur. Besarnya peningkatan masing-
masing berturut-turut ; 23,64 % dan 28,78 %. Penambahan kapur samapi pada 7,5 %
dengan perawatan 3 hari dan perendaman 4 hari dapat meningkatkan kuat dukung tanah
dan dapat menurunkan nilai swelling potential dengan besar penurunan 3,03 %.
Fachri ghazali, 2010, dalam penelitiannya terhadap waktu perawatan (curing
time), menemukan bahwa persentase kenaikan nilai batas plastis maksimum terjadi pada
masa curing 14 hari yakni sebesar 5,56 % dari masa curing 7 hari. Sedangkan masa
pemeraman 28 hari kenaikan nilai batas plastis adalah sebesar 1,02 % dari masa
pemeraman 14 hari. Akibat penambahan kapur, terjadi penurunan indeks plastisitas dari
43,43 % menjadi 8,35 % atau sebesar 80,77 % pada penambahan 5 % masa pemeraman
14 hari. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 9. Nilai CBR maksimum diperoleh pada
penambahan kapur sebesar 5 % dengan masa perawatan 14 hari, yaitu dari 1,99 %
menjadi 23,6 %. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 10. Nilai kuat tekan bebas (Qu)
maksimum juga terjadi pada penambahan kapur 5 % dengan masa pemeraman 14 hari,
yaitu dari 0,204 kg/cm2 menjadi 0,703 kg/cm2. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 11.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Gambar 9. Perbandingan indeks plastisitas lempung yang telah dicampur Ca(OH)2
dengan berbagai variasi kadar kapur dan waktu pemeraman
Gambar 10. Perbandingan nilai CBR lempung yang dicampur Ca(OH)2 dengan
berbagai variasi kadar kapur dan waktu pemeraman
Gambar 11. Perbandingan nilai kuat tekan bebas maksimum lempung yang dicampur
Ca(OH)2 dengan berbagai variasi kadar kapur dan waktu pemeraman
2.6. California Bearing Ratio (CBR)
Percobaan dengan cara CBR dikembangkan oleh California State Highway
Department sebagai cara untuk menilai kekuatan tanah dasar jalan (subgrade). Nilai CBR
adalah nilai yang menyatakan kualitas suatu bahan dibanding dengan bahan standar
berupa batu pecah yang mempunyai nilai CBR sebesar 100 %. CBR menunjukkan nilai
relative kekuatan tanah, semakin tinggi kepadatan tanah maka nilai CBR akan semakin
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
tinggi. Walaupun demikian, tidak berarti bahwa sebaiknya tanah dasar dipadatkan
dengan kadar air rendah supaya mendapat nilai CBR yang tinggi, karena air
kemungkinan tidak akan konstan pada kondisi ini.
Nilai CBR adalah nilai banding antara gaya yang diperlukan untuk menembus
tanah dengan piston berukuran standar (1935 mm2) dengan kecepatan standar (1,27
mm/menit) terhadap gaya yang diperlukan untuk menembus bahan standar tertentu.
Besarnya nilai CBR tanah akan menetukan ketebalan lapis keras yang akan dibuat
diatasnya. Nilai CBR dinyatakan dalam persen.
Nilai CBR merupakan salah satu parameter yang digunakan dalam perhitungan
struktur perkerasan jalan raya. Semakin besar nilai CBR, semakin besar pula daya
dukung tanah dasar sehingga untuk beban lalu lintas yang sama akan membutuhkan
ketebalan perkerasan yang lebih tipis. Ditinjau dari sisi finansial, pengurangan ketebalan
perkerasan akan berdampak pada penghematan biaya konstruksi jalan.
Menurut Soedarmo dan Purnomo (1997), CBR dapat dibagi sesuai dengan cara
mendapatkan contoh tanahnya yaitu CBR lapangan (CBR inplace atau field CBR), CBR
lapangan rendaman (undisturbed soaked CBR) dan CBR laboratorium (laboratory
CBR). CBR laboratorium dibedakan menjadi dua macam yaitu CBR laboratorium
rendaman (soaked laboratory CBR) dan CBR laboratorium tanpa rendaman (unsoaked
laboratory CBR).
Penentuan nilai CBR dilaksanakan terhadap contoh tanah yang sudah dipadatkan
dengan pemadatan standar. Dalam penelitian ini nilai CBR ditentukan dengan rendaman
(soaked laboratory CBR) yang dilaksanakan selama 4 hari (96 jam). Uji CBR metode
rendaman adalah untuk mengasumsikan keadaan hujan atau saat kondisi terjelek di
lapangan yang akan memberikan pengaruh penambahan air pada tanah yang telah
berkurang airnya, sehingga akan terjadinya pengembangan (swelling) dan penurunan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kuat dukung tanah. Nilai CBR dapat diperoleh dengan mengukur besarnya beban pada
penetrasi 0,1” dan 0,2”. Dari kedua nilai tersebut digunakan nilai terbesar.
2.7. Unconfined Compression Test (Kuat Tekan Bebas)
Kuat tekan bebas adalah besarnya gaya aksial persatuan luas pada saat benda uji
mengalami keruntuhan atau pada saat regangan aksial mencapai 20 %. Kuat tekan bebas
(Qu) merupakan perbandingan antara beban dengan luasan yang dinyatakan dalam Mpa
atau kg/cm2. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menetukan besarnya kekuatan tekan bebas
contoh tanah yang bersifat kohesif dalam keadaan asli atau terganggu/rusak (remoulded).
Tabel 2.9. Klasifikasi Tanah Berdasarkan Nilai Kuat Tekan Bebas (Unconfined Compression Test)
Sifat Tanah Unconfined Compression Test
Very soft (sangat lunak) < 0,25 kg/cm2
Soft (lunak) 0,25 – 0,50 kg/cm2
Firm/Medium (tengah) 0,50 – 1,00 kg/cm2
Stiff (kenyal) 1,00 – 2,00 kg/cm2
Very stiff (sangat kenyal) 2,00 – 4,00 kg/cm2
Hard (keras) > 4,00 kg/cm2
Sumber : Buku Panduan Praktikum, Laboratorium Mekanika Tanah, Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara, 2010/2011
2.8. Penelitian Yang Pernah Dilakukan
Fachri Ghazali (2010) mengadakan penelitian dengan menambahkan kapur
Ca(OH)2 pada tanah lempung (clay). Dari hasil percobaan di laboratorium kadar kapur
optimum untuk menstabilisasi tanah adalah 5 % dengan waktu pemeraman 14 hari.
Pengaruh yang paling dominan akibat stabilisasi tanah dengan kapur yaitu penurunan
indeks plastisitas, yaitu dari 43,43 % menjadi 8,35 % dengan persentase penurunan
sebesar 80,77 %. Nilai CBR laboratorium juga mengalami kenaikan yang signifikan,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
yaitu dari 1,99 % menjadi 23,6 %. Tetapi kondisi ini perlu dikontrol dengan teknik CBR
lapangan yaitu dengan percobaan Dynamic Cone Penetrometer atau Cone Penetrometer.
Stabilisasi dengan kapur juga mengubah sifat tanah dalam sistem klasifikasi kuat tekan
bebas tanah, yaitu dari 0,204 kg/cm2 menjadi 0,703 kg/cm2 atau dari jenis very soft
menjadi medium.
Ratna Yuniarti, 2008, mengadakan penelitian perbandingan nilai daya dukung
tanah dasar badan jalan yang distabilisasi semen dan abu sekam padi, menemukan bahwa
pemberian semen dan abu sekam padi telah menurunkan nilai indeks plastisitas tanah
dari 84,1 % menjadi 59,41 % dan 50,18 %. Penurunan nilai PI tersebut dapat mengurangi
potensi pengembangan dan penyusutan tanah.
Penelitian dalam tugas akhir ini mengambil ide dari penelitian yang telah
dilakukan oleh Fachri Gazali (2010) dan Ratna Yuniarti (2008). Dimana pada sub saran
menyebutkan bahwa proses pembangunan jalan pada tanah dasar lempung dengan
plastisitas tinggi memerlukan biaya tambahan untuk stabilisasi. Jika bahan stabilisasi
tanah yang digunakan tergolong kepada bahan yang relatif murah baik dari segi
penggunaan biaya serta cara memperolehnya, maka dalam studi ini memilih bahan
stabilisasi yang bersifat ekonomis, aman dan mudah untuk mendapatkannya. Sehingga
dipakai bahan stabilisasi tanah lempung (clay) berupa kapur Ca(OH)2 dan abu sekam
padi, dengan penambahan kapur Ca(OH)2 sebesar 4,5 % dan abu sekam padi dengan
variasi penambahan sebesar 4 %, 8 % dan 12 %. Masa perawatan yang dilakukan pada
sampel tanah adalah 0 hari, 4 hari dan 7 hari, dan lama perendaman adalah 4 x 24 jam.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA