Cetak Saring Kelompok Decenta 1973–1983: Infrastruktur...

27
Decenta merupakan sebuah biro desain yang didirikan oleh Adriaan Palar, G. Sidharta, dan A.D. Pirous setelah mereka mendapatkan proyek penggarapan elemen estetik Gedung Convention Hall tahun 1973 di Jakarta. Untuk eksekusi proyek tersebut ketiganya mengajak T. Sutanto, Sunaryo, dan Priyanto Sunarto. Sebagai perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas, Decenta berkembang sebagai sebuah perusahaan desain. Decenta banyak dipercaya oleh institusi negara ataupun partikelir untuk menggarap perancangan dan eksekusi elemen estetik seperti relief, monumen, dan lain-lain. Selain itu mereka juga menggarap perancangan interior dan grafis. Terkecuali Adriaan Palar, para anggota Decenta tersebut, adalah seniman sekaligus pengajar di Departemen Seni Rupa ITB. Novum, sebuah majalah desain grafis yang berbasis di Munchen, Jerman Barat (saat itu) pernah menjadikan Decenta sebagai topik utama. Novum memuat profil Decenta pada edisi 6 Juni tahun 1978. Sebelum membahas Decenta, majalah tersebut menampilkan profil Studio Desain Grafis ITB secara sekilas dan menampilkan beberapa tugas desain mahasiswa yang diasuh oleh A.D. Pirous dan Priyanto Sunarto. Cetak Saring Kelompok Decenta 1973–1983: Infrastruktur Seni dan Identitas Keindonesiaan* Sabtu, 20 Februari 2016 CoffeeWar, Kemang Chabib Duta Hapsoro

Transcript of Cetak Saring Kelompok Decenta 1973–1983: Infrastruktur...

Page 1: Cetak Saring Kelompok Decenta 1973–1983: Infrastruktur …dgi.or.id/wp-content/uploads/2016/02/160219-DGITalk-Makalah.pdf · Sebagai perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas,

Decenta merupakan sebuah biro desain yang didirikan oleh

Adriaan Palar, G. Sidharta, dan A.D. Pirous setelah mereka

mendapatkan proyek penggarapan elemen estetik Gedung

Convention Hall tahun 1973 di Jakarta. Untuk eksekusi proyek

tersebut ketiganya mengajak T. Sutanto, Sunaryo, dan Priyanto

Sunarto.

Sebagai perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas,

Decenta berkembang sebagai sebuah perusahaan desain. Decenta

banyak dipercaya oleh institusi negara ataupun partikelir

untuk menggarap perancangan dan eksekusi elemen estetik

seperti relief, monumen, dan lain-lain. Selain itu mereka juga

menggarap perancangan interior dan grafis. Terkecuali Adriaan

Palar, para anggota Decenta tersebut, adalah seniman sekaligus

pengajar di Departemen Seni Rupa ITB.

Novum, sebuah majalah desain grafis yang berbasis di Munchen,

Jerman Barat (saat itu) pernah menjadikan Decenta sebagai

topik utama. Novum memuat profil Decenta pada edisi 6 Juni

tahun 1978. Sebelum membahas Decenta, majalah tersebut

menampilkan profil Studio Desain Grafis ITB secara sekilas dan

menampilkan beberapa tugas desain mahasiswa yang diasuh oleh

A.D. Pirous dan Priyanto Sunarto.

Cetak SaringKelompok Decenta1973–1983:Infrastruktur Seni dan Identitas Keindonesiaan*

Sabtu, 20 Februari 2016CoffeeWar, Kemang

Chabib Duta Hapsoro

Page 2: Cetak Saring Kelompok Decenta 1973–1983: Infrastruktur …dgi.or.id/wp-content/uploads/2016/02/160219-DGITalk-Makalah.pdf · Sebagai perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas,

D E C E N TA : I N F R A S T R U K T U R S E N I D A N I D E N T I TA S K E I N D O N E S I A A N 0 2D G I TA L K # 4

Reinhard Eisele, penulis laporan tersebut, mencatat bahwa

Decenta berkiprah dalam bidang desain. Sekalipun membatasi

ruang geraknya pada bidang tersebut namun sesekali mereka juga

bertindak sebagai kontraktor. Decenta memiliki beragam aktivitas

seperti dekorasi interior, grafis, tekstil, perancangan produk

serta mural relief, lukisan, patung monumen dan bentuk-bentuk

ekspresi lain. Kebanyakan seniman dan desainer profesional yang

tergabung dalam Decenta juga bekerja sebagai staf pengajar di

Departemen Seni Rupa ITB.1

Makalah ini berfokus pada karya-karya cetak saring para

seniman anggota kelompok Decenta, G. Sidharta, A.D. Pirous,

Sunaryo, T. Sutanto, Priyanto Sunarto, dan Diddo Kusdinar

(seorang lulusan Studio Seni Grafis, ITB angkatan 1968 yang

belakangan direkrut oleh Decenta) yang dibuat di studio Decenta.

Mengapa demikian?

Oleh publik seni rupa Indonesia, Decenta dikenal sebagai

kelompok, terutama setelah mereka berpameran cetak saring di

beberapa kota di Indonesia. Cetak saring pada awalnya digunakan

Decenta dalam kepentingan komersial. Namun, kemudian

teknik tersebut digunakan sebagai misi kelompok ini untuk

mempromosikan seni grafis. Tulisan ini hendak menampilkan

pencapaian-pencapaian kelompok ini pada cetak saring sebagai

salah satu teknik dalam seni grafis.

Selain itu, tulisan ini akan menjabarkan proses penciptaan karya-

karya cetak saring yang menyatukan mereka sebagai sebuah

kolektif/kelompok seniman. Melalui hal tersebut tulisan ini akan

merefleksikan bagaimana karakteristik-karakteristik Decenta

sebagai sebuah kelompok. Terakhir, tulisan ini juga hendak

menunjukkan pengaruh upaya Decenta dalam memproduksi dan

memediasi karya cetak saring serta dalam infrastruktur seni rupa

dan desain di Indonesia.

Menurut Diddo Kusdinar, Decenta adalah pengguna istilah cetak

saring pertama kali sebagai terjemahan dari silkscreen.2

Pada gambar ilustrasi di halaman berikut, terlihat sebuah

judul besar yang bertuliskan “PAMERAN GAMBAR CETAK

SARING MCMLXXV”. Di sebelah kiri terdapat tulisan “exhibition

of screenprints 1975”. Frasa bahasa Inggris tersebut menjadi

penerjemahan atas judul besar yang berbahasa Indonesia. Melihat

sampul liflet tersebut kita dapat mengasumsikan bahwa daripada

CETAK SARING:

PERBENDAHARAAN

TEKNIS BARU SENI

GRAFIS INDONESIA

Page 3: Cetak Saring Kelompok Decenta 1973–1983: Infrastruktur …dgi.or.id/wp-content/uploads/2016/02/160219-DGITalk-Makalah.pdf · Sebagai perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas,

D E C E N TA : I N F R A S T R U K T U R S E N I D A N I D E N T I TA S K E I N D O N E S I A A N 0 3D G I TA L K # 4

serigraphy, istilah screenprint lebih dikenal oleh medan seni rupa

Indonesia, sebagai istilah asing dari cetak saring. Patut dipercayai

pula bahwa beberapa orang Decenta menerjemahkan cetak

saring dari istilah screenprint secara tidak serta merta, melainkan

disesuaikan dengan logika kesesuaian dalam Bahasa Indonesia.

Pada akhirnya screenprint diterjemahkan sebagai “cetak saring”

daripada “cetak layar”. Penggunaan cetak saring berdasarkan

atas logika proses teknik cetak ini yang menggunakan proses

penyaringan. Cetak saring akhirnya melengkapi peristilahan-

peristilahan lokal teknik seni grafis setelah cetak tinggi, cetak

datar dan cetak dalam.3

Menurut Kusdinar teknik cetak saring sudah banyak diketahui

oleh masyarakat Indonesia dan dikenal dengan sablon. Kusdinar

sendiri sudah mengenal dan cukup menguasai teknik cetak ini

sebelum ia masuk ke Studio Seni Grafis Murni, ITB. Pada tahun

1970-an penggunaan teknik sablon sudah digunakan secara

besar-besaran pada industri tekstil yang kemudian berkembang

menjadi bagian dari teknik percetakan dalam industri pakaian

dan kemasan. Sunarto juga menambahkan bahwa di tahun 1970-

an teknik cetak sablon sudah umum dikenali terutama dalam

industri tekstil dan pencetakan stiker.4

Bab ini mengelaborasi bagaimana karakter-karakter Decenta

sebagai sebuah kelompok yang mempengaruhi penciptaan karya-

karya cetak saring para anggotanya.

a. Pencarian Keindonesiaan

Hampir seluruh anggota kelompok Decenta yang saya wawancarai

menyatakan bahwa sebagai seniman mereka melakukan

pencarian keindonesiaan pada karya-karya mereka. Bukti dari

karakter tersebut dapat kita awali dengan pernyataan A.D. Pirous:

Setelah selesai kita dapat bayaran (atas pekerjaan

commisioned-pen) dan kita terkejut karena uang yang

kita dapat terlalu besar. Kenapa kita tidak berkumpul

untuk membentuk semacam asosiasi seperti pelukis,

pematung, gerafikus dan textile designer. Kita berkumpul

dengan intensitas dan kecanduan kita yakni bicara

dan mencari diri identitas dalam seni rupa modern

Indonesia.5

Frasa “intensitas dan kecanduan” dapat dimaknai sebagai

sensasi kenikmatan saat seorang mengalami sesuatu. Hal

KARAKTERISTIK

DECENTA

Sampul Liflet Pameran Gambar Cetak Saring 1975 (Decenta)

Page 4: Cetak Saring Kelompok Decenta 1973–1983: Infrastruktur …dgi.or.id/wp-content/uploads/2016/02/160219-DGITalk-Makalah.pdf · Sebagai perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas,

D E C E N TA : I N F R A S T R U K T U R S E N I D A N I D E N T I TA S K E I N D O N E S I A A N 0 4D G I TA L K # 4

ini menyiratkan adanya pencarian keindonesiaan itu tidak

berjarak dan menjadi sebuah proses yang alamiah. Pernyataan

tersebut juga menandai bahwa para anggota Kelompok Decenta

dipertemukan bukan hanya melalui proyek, tetapi juga atas

dasar kesamaan pandangan kesenimana: pencarian identitas

keindonesiaan.

Sunarto juga menyampaikan hal serupa:

Yang Barat itu kami (mengacu pada anggota Decenta-

pen) tidak merasa akrab. Kami malah ingin yang Timur.6

Frasa “Yang Barat, itu kami tidak merasa akrab” merefleksikan

adanya perbedaan pandangan para anggota Kelompok Decenta

pada kecenderungan Mazhab Bandung, yang menjadi ciri

Departemen Seni Rupa ITB saat itu yang dipengaruhi oleh

wacana Modernisme-Formalisme. Pernyataan Sunarto

menegaskan perbedaan para anggota Kelompok Decenta dengan

kecenderungan modernisme:

Sebetulnya, Pak Dharta, Pak Pirous, Pak Sunaryo, Pak

Tanto dan saya kelirulah tidak bisa patuh oleh seni

modern yang diajarkan ITB. Bagi saya lukisan abstrak

itu ajaib. Seni modern itu sudah menjadi keharusan bagi

mahasiswa. Kecuali mahasiswa studio grafis Pak Apin

tidak terlalu ketat melaksanakannya.7

Frasa “ajaib” yang disampaikan oleh Sunarto mengindikasikan

sesuatu yang asing. Pernyataan Sunarto di atas juga

menyingkirkan stereotip bahwa Departemen Seni Rupa ITB

hanya identik dengan seni rupa modern yang bertaut pada

modernisme-formalisme.

Melalui Jim Supangkat, Sidharta juga telah menyampaikan

pernyataan tentang kesenimanannya, sebelum ia tergabung di

Decenta, yakni tahun 1971. Jim Supangkat menemukan tulisan

Sidharta yang menyatakan:

Apakah pikiran dan jalan yang ditempuh Barat satu-

satunya cara untuk mencapai seni masa kini di

Indonesia. Saya ingin lepas dari kemutlakan nilai. Saya

ingin mencari alternatif, saya ingin mencari nilai-nilai

lokal Indonesia.8

Bagaimana nilai-nilai keindonesiaan tersebut dicari oleh

Kelompok Decenta? Beberapa kali A.D Pirous, Sunaryo dan T.

Page 5: Cetak Saring Kelompok Decenta 1973–1983: Infrastruktur …dgi.or.id/wp-content/uploads/2016/02/160219-DGITalk-Makalah.pdf · Sebagai perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas,

D E C E N TA : I N F R A S T R U K T U R S E N I D A N I D E N T I TA S K E I N D O N E S I A A N 0 5D G I TA L K # 4

Sutanto menyebutkan kalimat berbahasa Prancis: Dialogue Avec

La Pass sebagai landasan estetik berkarya Decenta. Dialogue Avec

Le Pass yang berarti berdialog dengan masa lalu dimaksudkan

mereka untuk mencoba menggali kekayaan seni rupa tradisi khas

Nusantara untuk diaplikasikan pada karya-karya mereka.

Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Eisele pada majalah

Novum:

Keunikan asosiasi ini (Decenta) adalah penggalian

kembali nilai-nilai budaya tradisional yang berkembang

di Indonesia dan kemudian diekspresikan kembali

dalam idiom-idiom modern. Percakapan kreatif dengan

masa lalu, sebagai bagian dari proses pengembangan,

bersamaan dengan usaha untuk meningkatkan kepekaan

dalam mengalami lingkungan adalah elemen-elemen

yang dipertimbangkan dalam identitas seni rupa

Indonesia.9

“Percakapan kreatif dengan masa lalu” berbeda maknanya

dengan “kembali ke masa lalu”. Percakapan dengan masa lalu

menyiratkan bahwa seseorang yang bercakap-cakap dengan

masa lalu tersebut masih menjejakkan diri di masa kini. Masa

lalu dapat dimaknai sebagai sebuah rujukan atau referensi

yang menuntun seseorang dalam kehidupan masa kini. Kenapa

percakapan masa lalu ini menjadi penting untuk dilakukan?

Dapat diartikan bahwa pernyataan tersebut memiliki nuansa

poskolonial di mana oleh penjajahan yang panjang, masyarakat

Indonesia menjadi terasing dan tercerabut dari kehidupan masa

lalu/aslinya. Melalui peninggalan benda-benda tradisi yang

masih hadir dalam kehidupan modern, masyarakat Indonesia

yang tidak mengalami kehidupan tradisi menjadi tergugah dan

menemukan banyak nilai-nilai yang tidak mereka temukan

dalam kehidupan modern.

Di Decenta perbincangan tentang keindonesian sering dilakukan.

Sunarto menceritakan bagaimana peristiwa itu terjadi:

Selalu ada saat-saat kita duduk ngobrol-ngobrol tentang

Keindonesiaan. Dan setiap orang biasanya punya

argumen sendiri-sendiri. Biasanya itu dilangsungkan di

meja rapat yang besar dan dilangsungkan sore hari. Saat

siang meja itu dipakai untuk rapat, menemui klien dan

lain-lain.10

Pembicaraan tentang keindonesiaan dapat berlangsung secara

Page 6: Cetak Saring Kelompok Decenta 1973–1983: Infrastruktur …dgi.or.id/wp-content/uploads/2016/02/160219-DGITalk-Makalah.pdf · Sebagai perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas,

D E C E N TA : I N F R A S T R U K T U R S E N I D A N I D E N T I TA S K E I N D O N E S I A A N 0 6D G I TA L K # 4

simultan karena terjadi saat mereka berkarya. Hal ini diceritakan

Pirous bagaiamana anggota kelompok Decenta bekerja di tempat

yang sama sehingga bisa saling mempengaruhi:

Dan di ruang besar itu ada meja saya, meja Naryo,

Dharta dan lain-lain. Jadi masing-masing kami bisa

saling melihat saling mempengaruhi dan seterusnya.

Decenta seperti itu. Saya mempengaruhi mereka dan

mereka mempengaruhi saya. Begitu seterusnya.11

Decenta sebenarnya pernah sekali mengeluarkan semacam

manifesto kelompok, meskipun tidak terlihat secara langsung

sebagai sebuah manifesto. Manifesto itu tampil dalam liflet

Pameran Gambar Cetak Saring 1975 dan tampil dalam sejumlah

pertanyaan-pertanyaan.12

Kelompok Decenta dipersatukan oleh corak kesenimanan yang

sama, yakni pencarian Keindonesiaan. Meskipun tidak semua

anggota tidak mengaitkan pencarian keindonesiaan pada tradisi

hal tersebut tidak mengurangi karakter pencarian Keindonesiaan

tersebut. Di sisi lain, karakter pencarian keindonesiaan Kelompok

Decenta melibatkan diri pada pergulatan identitas seni rupa

Indonesia pada masa tersebut, dekade 1960-1970an.

b. Eksperimentasi

Eksperimen dapat diartikan sebagai melakukan prosedur-

prosedur saintifik, yang secara khusus dilakukan di sebuah

laboratorium untuk menemukan sesuatu. Meskipun tidak

melakukan prosedur-prosedur yang saintifik Decenta sebenarnya

menerapkan eksperimen, khususnya dalam teknik cetak saring.

Eksperimen-eksperimen tersebut hadir dalam konteks teknis

karya cetak saring secara umum dan khusus yang dijelajahi

masing-masing anggotanya.

Dalam konteks teknis secara umum, dapat terlihat dari pola

produksi cetak saring Decenta dengan keberadaan fasilitas

bengkel cetak saring yang lengkap, anggota Kelompok Decenta,

terutama Sunarto dan Kusdinar melakukan eksperimentasi-

eksperimentasi untuk didapatkan satu rumusan teknis yang

bisa diterapkan pada karya-karya cetak saring mereka.

Eksperimentasi teknis itu dapat terjadi dalam penggunaan

warna, bagaimana menemukan komposisi warna yang tepat

dan menghasilkan karya yang baik secara teknis kendati tidak

menggunakan cat khusus sablon. Aspek eksperimentasi juga

Page 7: Cetak Saring Kelompok Decenta 1973–1983: Infrastruktur …dgi.or.id/wp-content/uploads/2016/02/160219-DGITalk-Makalah.pdf · Sebagai perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas,

D E C E N TA : I N F R A S T R U K T U R S E N I D A N I D E N T I TA S K E I N D O N E S I A A N 0 7D G I TA L K # 4

timbul saat Sunarto dan Kusdinar melatih sejumlah orang untuk

menjadi asisten-asisten mereka dalam menciptakan karya cetak

saring.

Sunarto memperlihatkan bagaimana sebuah eksperimentasi

teknis cetak saring berlangsung:

Ada pameran di Soemardja, yakni pameran grafis

Amerika. Ada satu seniman perempuan yang membuat

karya screen dan tahu kalau itu bisa menjadi karya seni.

Dan warnanya ada nuansanya. Dan itu tidak mungkin

dicetak dua kali. Kita lalu tahu ternyata tintanya

dicampur di atas screen dan ditarik. Nah, ekstasenya

seperti itu. Apalagi di Decenta, kita tidak punya

bayangan efisiensi. Dan bisa mengacak-acak warna.13

Frasa “tidak punya bayangan efisiensi” memperlihatkan amat

difasilitasinya para anggota Decenta untuk bereksperimentasi.

Seperti yang diungkapkan Kusdinar di bawah ini:

Decenta itu sebetulnya memfasilitasi semua, dari cat,

sampai tenaga bengkel bisa dipakai. Jadi saya mau bikin

apa saja tinggal bikin, mau pakai kertas berapapun

boleh.xiv

Pirous menyebutkan bahwa anggota kelompok Decenta

menempati satu ruang kerja bersama-sama, sehingga ketika

mereka berkarya mereka juga dapat saling mempengaruhi satu

sama lain. Pernyataan Kusdinar mengamini hal tersebut:

Kami menciptakan suatu atmosfer di mana bekerja itu

dengan apapun di situ, bila menarik perhatian masing-

masing bisa saling melihat. Akhirnya satu bikin, semua

bikin. Itu yang menarik, ada influence dari suasana itu

sehingga kita juga menjadi bergairah.15

Kusdinar melanjutkan bahwa selain itu mereka memiliki

referensi yang cukup. Decenta memiliki sumber visual seperti

dokumentasi foto pola hias seni rupa tradisional Indonesia.

Kalimat yang diungkapkan Pirous yakni, “Kita berkumpul dengan

intensitas dan kecanduan kita yakni bicara dan mencari diri

identitas dalam seni rupa modern Indonesia”, sesungguhnya juga

merepresentasikan suasana kerja eksperimen Decenta kondusif

dan menghadirkan sejenis ekstase dalam berkarya. Pernyataan di

atas dapat menjadi menjadi alasan bagaimana dicapainya kualitas

Page 8: Cetak Saring Kelompok Decenta 1973–1983: Infrastruktur …dgi.or.id/wp-content/uploads/2016/02/160219-DGITalk-Makalah.pdf · Sebagai perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas,

D E C E N TA : I N F R A S T R U K T U R S E N I D A N I D E N T I TA S K E I N D O N E S I A A N 0 8D G I TA L K # 4

artistik karya-karya cetak saring anggota kelompok Decenta.

Eksperimentasi dapat bermakna bahwa sebagai kelompok,

anggota Decenta dibebaskan dalam menjelajahi karya cetak

saring dalam bentuk dan tema apapun.

Pernyataan Sidharta di bawah ini menyimpulkan motif

eksperimentasi karya cetak saringnya:

Salah satu praktik berkesenian yang saya lakukan adalah

menggambar dan sejak 1974 mulai membuat serigrafi.

Kenapa saya memilih serigrafi karena media ini berbeda

dengan lukis dan patung. Saya menginginkan media

yang belum pernah saya pakai dengan proses kerja

yang lain dan teknik yang baru. Praktik serigrafi ini

memungkinkan saya untuk melatih ‘kepekaan’ saya

terhadap seni tradisi, dengan banyak mempergunakan

motif-motif ornamen.16

Pada penciptaan karya-karya cetak saring ini para seniman

menggunakan beberapa teknik. Misalnya peniruan ragam hias

yang digambar di atas kaca untuk kemudian ditransfer ke atas

screen cetak saring. Selain itu mereka juga menggunakan citraan

fotografi dengan menggunakan ortofilm (semacam negatif) yang

kemudian ditransfer di atas screen. Citraan fotografis tersebut

bermacam-macam, misalnya ragam hias, foto-foto sosok yang

difoto sendiri oleh seniman maupun diambil dari majalah dan

lain-lain. Beberapa orang juga menerapkan metode menggambar

langsung di atas screen.

Eksperimentasi-eksperimentasi yang dilakukan oleh anggota

kelompok Decenta pada akhirnya dapat menuntun mereka kepada

sebuah hal yang baru, baik metode berkarya ataupun penemuan

teknik.

A.D. Pirous misalnya, melalui teknik cetak saring akhirnya ia

menemukan sebuah alternatif penciptaan teknik etsa viscosity

yang tidak bisa diciptakannya di Indonesia. Teknik etsa viscosity

yang dapat menghasilkan banyak warna akhirnya dapat

digantikan oleh teknik cetak saring.

Teknik cetak saring juga mempengaruhi karya-karya Sunaryo

yang lain yang memungkinkan ia menemukan medium ekspresi

baru. Sunaryo menceritakan bagaimana metode penciptaan

karya cetak saringnya mempengaruhi karya-karya patung dan

lukisannya:

Sunaryo, A.D. Pirous dan T. Sutanto di ruang kerja Decenta

Page 9: Cetak Saring Kelompok Decenta 1973–1983: Infrastruktur …dgi.or.id/wp-content/uploads/2016/02/160219-DGITalk-Makalah.pdf · Sebagai perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas,

D E C E N TA : I N F R A S T R U K T U R S E N I D A N I D E N T I TA S K E I N D O N E S I A A N 0 9D G I TA L K # 4

Justru di cetak saring saya mendapat peluang mengarah

ke sana, Saya menggambar di kaca. Tapi, susahnya di

kaca kalau mengubah harus dikerik dulu akhirnya pakai

film. Film, geser-geser saya gunting akhirnya seperti

assembling itu munculnya dari sana (cetak saring).

Akhirnya ke relief dan lain-lain.17

Kendati tidak dapat memastikan, Sunarto mengamati bahwa

karya cetak saring mempengaruhi karya-karya Sidharta yang

lain:

Suatu media itu bisa dia kembangkan ke mana-mana.

Pengaruh cetak saring kepada Pak Dharta juga bukan

hanya warna saja. Tapi juga unsur-unsur dekoratif. Saya

tidak berani positif bilang tapi sepertinya karya Pak

Dharta juga terpengaruh oleh karya Pak Tanto. Karya

Pak Dharta menjadi Indonesia dalam arti menggunakan

bahasa dan idiom-idiom yang sangat Indonesia.18

Sutanto menceritakan motivasi pribadinya dalam menjelajahi

teknik cetak saring, yakni:

Namanya juga sablon, seni rendah dibandingkan yang

lain-lain. Tapi ternyata, kita berpikirnya secara industri

kan cepat, mudah, dan bisa colorful sekaligus. Jadi dulu

itu mikirnya sebagai industri. Tapi ternyata kita bisa

apa saja dengan sablon, dan lebih kreatif dan sensitif.

Kuncinya di senimannya sebenarnya.19

Sutanto, Sunarto dan Kusdinar dapat dikatakan memiliki corak

eksperimentasi tersendiri karena latar belakang mereka dari

pendidikan seni grafis, terlebih Sunarto dan Kusdinar sudah lama

menekuni cetak saring. Sunarto menyatakan:

Di Decentalah Pak Sidharta mulai coba-coba untuk

mengecat patung. Dan itu diterapkan di cetak saringnya.

Dan Pak Dharta kan suka menggambar model. Dia tidak

bisa melepaskan model. Saya dan Pak Tanto biasalah

nakal-nakalan begitu. Yang ajaib-ajaib.20

Frasa “nakal-nakalan dan ajaib” menyiratkan ada eksperimentasi

di luar kewajaran yang mungkin sukar dipahami oleh orang lain.

Sutanto bercerita tentang salah satu karyanya:

Saya pernah bikin karya sablon, sebetulnya cuma garis.

Page 10: Cetak Saring Kelompok Decenta 1973–1983: Infrastruktur …dgi.or.id/wp-content/uploads/2016/02/160219-DGITalk-Makalah.pdf · Sebagai perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas,

D E C E N TA : I N F R A S T R U K T U R S E N I D A N I D E N T I TA S K E I N D O N E S I A A N 1 0D G I TA L K # 4

Tapi garis itu terdiri dari bermacam-macam warna titik.

Tekniknya sebenarnya sulit, tapi orang tidak terkesan.

Yang terkesan malah Pak Pri.21

Eksperimentasi menjadi karakteristik kedua Kelompok Decenta.

Terkhusus pada teknik cetak saring hal ini mempengaruhi

pencapaian kualitas artistik pada penciptaan tersebut. Pada

lingkup yang lebih khusus eksperimentasi tersebut dapat

beberapa anggotanya untuk menemukan pola kekaryaan baru.

Selain itu karakteristik eksperimentasi ini juga berhubungan

dengan karakteristik Decenta pertama, pencarian keindonesiaan.

Eksperimentasi cetak saring dibuat dengan tujuan untuk

mencapai nilai estetik tertentu yang berhubungan dengan tujuan

mereka masing-masing dalam mencari indentitas keindonesiaan.

Bagian ini menampilkan pembacaan terhadap sebuah karya

masing-masing seniman anggota Kelompok Decenta, yang

mewakili kecenderungan-kecenderungan kekaryaan mereka pada

penjelajahan teknik cetak saring.

a. A.D Pirous: Doa XII/Penghormatan Kepada Tanah Abee

Doa XII/Penghormatan Kepada Tanah Abee mewakili seluruh

kecenderungan karya cetak saring A.D. Pirous. Pilihan artistik

yang dipraktikkan oleh A.D. Pirous dalam konteks teknis adalah

penggunaan citraan-citraan reproduksi fotografi, penumpukan

warna, teknik cut-out (penggunaan satu screen untuk

menghasilkan banyak warna) dan gradasi warna. Beberapa pokok

soal yang diterapkan oleh Pirous pada karya cetak saringnya

adalah interaksi kebudayaan Barat dan Timur. Secara khusus

tema tersebut ditampilkan dengan menggunakan bentuk-bentuk

budaya tradisional Aceh. Pokok soal yang ditampilkan karya-

karya cetak saring Pirous adalah nilai-nilai religiusitas Islam

dan representasi kondisi sosial politik. Karya-karya cetak saring

Pirous juga memiliki pokok soal formalisme di mana terdapat

kualitas tekstur, warna dan bidang yang dipolakan olehnya.

Doa VI/Penghormatan Kepada Tanoh Abee merupakan salah satu

karya cetak saring A.D. Pirous yang menggunakan unsur-unsur

tulisan Arab dan Al Quran selain menggunakan unsur tekstur

tembok kuno. Karya ini, yang berangkatahun 1981 secara garis

besar juga menandai penggunaan unsur-unsur serupa yang ia

lakukan pada lukisan-lukisan kaligrafinya. Doa XII/Penghormatan

Kepada Tanoh Abee menampilkan pemandangan yang terdiri

atas langit, awan, matahari, bukit dan pengunungan serta laut.

KARYA-KARYA

CETAK SARING

DECENTA

A.D. Pirous, Doa XII/Penghormatan Kepada Tanah Abee

Page 11: Cetak Saring Kelompok Decenta 1973–1983: Infrastruktur …dgi.or.id/wp-content/uploads/2016/02/160219-DGITalk-Makalah.pdf · Sebagai perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas,

D E C E N TA : I N F R A S T R U K T U R S E N I D A N I D E N T I TA S K E I N D O N E S I A A N 1 1D G I TA L K # 4

Hamparan bukit dan gunung ditumpangi manuskrip yang berupa

tulisan-tulisan Arab. Matahari dan awan pun ditampilkan dalam

wujud tulisan Arab pula.22

Penilaian atas karya Doa IX/ Penghormatan kepada Tanoh Abee pun

tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor di atas. Kesan tekstur

nisan pada karya ini dapat hadir dengan dua cara yakni, pertama,

memproses salah satu koleksi foto nisan yang dikumpulkan

Pirous melalui proses fotografi untuk menghasilkan kontras

yang tinggi untuk screen cetak saring. Kedua, dengan memotret

salah satu lukisan Pirous yang memiliki tekstur nisan untuk

selanjutnya diproses secara fotografi seperti yang pertama.

Proses penciptaan karya Doa IX/ Penghormatan kepada Tanoh

Abee banyak melibatkan aspek perancangan, mengingat

suasana kerja dan visi Decenta sebagai biro desain. Namun jika

aspek perancangan diidentikan dengan hasil akhir yang sudah

terbayang oleh senimannya, sebenarnya banyak ruang antara

yang dihadapi Pirous saat mengerjakan karya-karya cetak

saringnya. Penggunaan gradasi warna misalnya. Seniman harus

mencampur dua atau lebih warna di atas screen menawarkan

aspek-aspek ketidakterdugaan. Tantangan juga hadir saat

seniman dituntut untuk menghasilkan banyak edisi karya dan

semuanya harus memiliki kualitas yang sama.

b. G. Sidharta: Alam II

Karya ini mengesankan kerja tangan yang ekspresif. Pada setiap

sulur, garis atau bidang (juga tidak dapat dipastikan) tampil

dengan kualitas tebal-tipis yang berbeda. Kualitas karya cetak

saring yang demikian terindikasi melalui stensil yang tercipta

dengan gambar tangan. Modus seperti ini dimungkinkan yakni

dengan teknik mengambar di atas kaca yang kemudian difoto

sehingga dihasilkan ortofilm yang dapat ditransfer di atas screen.

Teknologi fotografi memungkinkan adanya penampilan pola yang

rumit dan menangkap garis-garis yang ekspresif.

Karya Alam II menunjukkan kecenderungan awal yang

dijelajahi oleh Sidharta pada teknik cetak saring. Oleh Sidharta

penggamitan unsur budaya tradisi dilakukan melalui metode

salin-tempel (copy-paste) pada citraan ornamen yang hadir di

buku ataupun melalui metode gambar langsung di atas screen

ataupun kertas kalkir. Alam II menampilkan kecenderungan

kedua. Garis-garis pembentuk ornamen pada karya itu nampak

ekspresif dan mustahil dihasilkan melalui metode salin-tempel.

G. Sidharta, Alam II, 1975

Page 12: Cetak Saring Kelompok Decenta 1973–1983: Infrastruktur …dgi.or.id/wp-content/uploads/2016/02/160219-DGITalk-Makalah.pdf · Sebagai perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas,

D E C E N TA : I N F R A S T R U K T U R S E N I D A N I D E N T I TA S K E I N D O N E S I A A N 1 2D G I TA L K # 4

Secara teknis hal ini merepresentasikan penggunaan proses

fotografi yang baik.

Secara teknis pula hal ini merepresentasikan dikuasainya teknik

penumpukan warna yang baik. Maka dari itu aspek-aspek

keberadaan Decenta sebagai biro desain dan memiliki teknologi

fotografi yang lengkap amat berpengaruh pada penciptaan karya

ini. Hal-hal di atas mewakili karakteristik Decenta dalam hal

eksperimentasi.

Karya-karya Sidharta seringkali juga tersusun atas beberapa

objek yang dengan teknik assemblage serta memasukkan ornamen

dua dimensi dari khazanah seni tradisi. Penyimpangan juga ia

lakukan dengan mengecat patungnya, yang dalam konteks seni

rupa modern dilarang karena sebagai pematung ia seharusnya

memperlakukan material secara jujur dan apa adanya.

Secara umum, periode cetak saring Sidharta memberikan

kemungkinan padanya untuk menghadirkan berbagai ornamen

atau ragam hias tradisional, khususnya ragam hias Jawa.

Ornamen itu hadir sebagai citraan yang digambar secara

manual. Metode manual ini diimplementasikan dengan cara

menggambarkan objek di atas kaca yang kemudian ditransfer

atau dipindahkan ke atas screen cetak saring. Ornamen tersebut

juga hadir di dalam reproduksi fotografis.

Dalam aspek piktorial, dapat diketahui bahwa pencarian

keindonesiaan terlihat melalui karya-karya cetak Sidharta

yang menggunakan unsur budaya tradisi yang secara khusus

dilakukan Sidharta dengan mengadaptasi ornamen Irian. Sebagai

karya yang berorientasi formal pelihat dapat mengapresiasi ini

menimbang komposisi warna dan garis yang ditampilkan. Gejala

ini juga masuk dalam kecenderungan karya abstrak di mana

seniman tidak hanya menampilkan abstrak murni melainkan

menampilkan unsur-unsur ornamen dekoratif yang digayakan

secara formal. Di samping masih merasakan aspek liris dan visual

karya, pelihat juga mampu merasakan adanya bentuk-bentuk

representasional.

Dalam aspek isi pengalaman secara sekilas karya ini tidak bisa

dibaca melalui kacamata tersebut. Namun perubahan kekaryaan

Sidharta yang tadinya menampilkan unsur formalis murni

pada patung menjadi terdapatnya unsur-unsur budaya tradisi

mencerminkan peneladanannya terhadap budaya itu. Unsur

budaya tradisi etnik yang menyatu dengan sistem kepercayaan

dimaknai oleh Sidharta adalah memiliki orientasi pada

Page 13: Cetak Saring Kelompok Decenta 1973–1983: Infrastruktur …dgi.or.id/wp-content/uploads/2016/02/160219-DGITalk-Makalah.pdf · Sebagai perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas,

D E C E N TA : I N F R A S T R U K T U R S E N I D A N I D E N T I TA S K E I N D O N E S I A A N 1 3D G I TA L K # 4

keseimbangan alam. Hal ini terlihat melalui judul karya ini yang

mencerminkan pola-pola abstraksi penciptaan ornamen suku-

suku asli di Irian pada unsur alam khususnya tumbuhan. Hal ini

merepresentasikan pula sikap penghormatan mereka terhadap

alam.

Maka dari itu, dalam konteks tersebut karya ini merupakan kritik

karya-karya Sidharta pada kehidupan modern yang sebetulnya

banyak merusak alam. Jikapun kehidupan modern mustahil

dihindari, nilai-nilai tradisi seharusnya juga tidak bisa dilupakan.

c. Sunaryo: Citra Irian II

Seri karya Citra Irian Sunaryo merupakan perluasan dari karya

patungnya yang berjudul serupa. Karya cetak saring seri Citra

Irian tampil setelah karya patung Citra Irian dalam Torso di

tahun 1971. Tercatat, seri karya ini adalah seri karya Citra

Irian merupakan yang terbanyak yang ia buat, hingga akhir

dekade 1980-an. Karya cetak saring ini tersusun atas beberapa

potongan-potongan motif Irian (serta Bali dan Nias) yang

disusun secara digeser-geser namun masih terdapat tujuan

untuk menyatukan beberapa garis. Metode itu pada akhirnya

mendekonstruksi karakteristik ornamen hias tersebut: Adanya

upaya untuk mencari bentuk keseimbangan atau harmoni

lain (tidak simetris) setelah melakukan upaya pemotongan,

penggeseran dan penyatuan motif-motif Irian itu. Tampilan

karya-karya cetak saring Sunaryo berbeda dengan dengan karya

anggota Kelompok Decenta yang lain.

Citra Irian II menghadirkan ruang kosong hitam yang cukup luas

dan memberikan aksen yang penting. Ia hadir sebagai penentu

komposisi. Jika digabung secara keseluruhan, komposisi ini

menampilkan kualitas liris. Karya ini menampilkan teknik

yang tidak terlampau rumit. Melihat kecenderungan bidang

dan pewarnaan nampak bahwa sang seniman tidak banyak

melakukan penumpukan warna.

Komposisi Citra Irian II ada yang tampil dalam sepotong bidang

gambar yang besar (hitam dan putih) ataupun memenuhi

satu bidang. Komposisi tersebut kebanyakan tampil secara

abstrak. Sesekali figuratif dan representasional, namun tidak

kehilangan kecenderungan abstraksinya dan selalu tampil dalam

kepentingan penyusunan garis dan bidang. Dalam karya-karya

cetak saringnya Sunaryo, sering menggunakan warna-warna

tanah yakni cokelat, kuning tua dan hitam. Maka dari itu dalam

Sunaryo, Citra Irian II, 1975

Page 14: Cetak Saring Kelompok Decenta 1973–1983: Infrastruktur …dgi.or.id/wp-content/uploads/2016/02/160219-DGITalk-Makalah.pdf · Sebagai perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas,

D E C E N TA : I N F R A S T R U K T U R S E N I D A N I D E N T I TA S K E I N D O N E S I A A N 1 4D G I TA L K # 4

konteks keindonesiaan khas Decenta, yang secara khusus

dalam konteks piktorial karya-karya Sunaryo mencerminkan

kecenderungan kultural di mana ia melakukan pengambilan

unsur-unsur visual seni rupa lama.

Menurut pernyataannya, di awal-awal masa penjelajahan cetak

saringnya ia menggunakan metode menggambar di atas kaca

untuk kemudian ia transfer ke screen cetak saring. Setelah

menemukan teknik ortofilm seperti anggota-anggota Decenta

lain. Pada akhirnya karya-karya Sunaryo banyak bergantung pada

teknologi ini. Sunaryo menyatakan pula bahwa metode potong-

tempel-geser ini mempengaruhi metode penciptaan karyanya

yang lain seperti patung, lukisan dan relief.

Meskipun secara kasat mata hanya terlihat Sunaryo memetik

unsur lama untuk kemudian dikelola dalam pendekatan formalis

terdapat intensi lain dari penciptaan karya-karya cetak saring

ini. Karya Sunaryo nampak meneladani penciptaan ragam-

ragam hias Irian tersebut dari pencipta-pencipta aslinya yang

dibuat bukan sebagai karya seni melainkan sebagai penyaluran

daya-daya transenden sebagai manifestasi suatu kepercayaan

suku tersebut. Hal tersebut pada akhirnya menggarisbawahi

aspek isi pengalaman juga pada karya-karya Sunaryo tersebut.

Karya Sunaryo hendak mengingatkan sebagai orang Indonesia—

setidaknya dirinya sendiri—dibutuhkan keseimbangan orientasi

untuk menggali kebudayaan Timur untuk pencapaian kehidupan

yang lebih baik. Problem pergulatan identitas juga menghampiri

Sunaryo sebagai seniman. Ia pun mengakui bahwa cetak saring

menjadi alat eksperimentasi pencariannya terhadap identitas

keindonesiaan.

Karya Sunaryo baik setelah cetak saring seperti patung, lukisan

dan lain-lain mengalami perubahan. Ia berulangkali menerapkan

ornamen visual khas Indonesia Timur hingga mendapatkan titik

getarnya sendiri. Melihat karya-karya Sunaryo pelihat mampu

merasakan aspek-aspek ekspresif dan liris.

d. T. Sutanto: Pemandangan Merah

Pemandangan Merah karya T. Sutanto menampakkan kecakapan

teknis dari senimannya terutama mengesankan adanya

penumpukan beberapa warna. Kemudian detil-detil pada

ornamen dan obyek-obyek bergaris tipis juga mengesankan

penguasaan teknis fotografi yang baik sehingga tampil pada

dengan perbedaan warna yang tegas antar bidang, meskipun

dalam ukuran kecil.

Page 15: Cetak Saring Kelompok Decenta 1973–1983: Infrastruktur …dgi.or.id/wp-content/uploads/2016/02/160219-DGITalk-Makalah.pdf · Sebagai perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas,

D E C E N TA : I N F R A S T R U K T U R S E N I D A N I D E N T I TA S K E I N D O N E S I A A N 1 5D G I TA L K # 4

Karya cetak saring Sutanto yang lain juga menyiratkan kerja-

kerja tangan saat menggambar dan memperlihatkan penumpukan

warna yang dalam beberapa hal diintensikan untuk menghasilkan

warna baru. Karya-karya cetak saring Sutanto juga mewakili

kecakapan teknis lain misalnya adanya gradasi warna. Sutanto

adalah salah satu seniman kelompok Decenta yang menampilkan

kekayaan warna pada karyanya, yang contohnya dihasilkan

dengan warna-warna transparan yang saling bertumpuk.

Hal tersebut tidak akan dicapai oleh Sutanto tanpa adanya

karakteristik eksperimentasi yang dimiliki oleh Decenta.

Dibandingkan dengan A.D. Pirous, G. Sidharta dan Sunaryo,

cetak saring menjadi medium kekaryaan utama T. Sutanto. Dapat

dinyatakan bahwa Sutanto memiliki kedekatan dengan medium

tersebut, terlebih ia juga menjadi pengajar di Studio Desain

Grafis, Departemen Seni Rupa ITB. Lebih dari itu Sutanto juga

berprofesi sebagai desainer grafis dan di bawah Decenta ia banyak

mengerjakan perancangan grafis. Maka dari itu pengerjaan

karya seni dan pekerjaan perancangan menjadi memiliki irisan

penciptaan yang unik bagi Sutanto.

Misalnya karya-karya cetak saring Sutanto menampilkan

reproduksi citraan-citraan yang diambil dari dunia perancangan

dan periklanan. Pada karya Pemandangan Merah, ia

menampilkan citraan gigi palsu yang diambil dari iklan-iklan

tukang gigi di Indonesia. Selain itu banyak karya-karya lain yang

menggunakan metode serupa. Pada akhirnya citraan-citraan itu

menjadi ikon khas budaya populer di Indonesia. Di sini terdapat

intensi Sutanto pula untuk menggunakan ikon-ikon populer,

masinal dan bersifat kitsch yang berseberangan dengan orientasi

karya seni rupa yang berorientasi kepada seni tinggi. Oleh karena

hal tersebut, kita dapat membaca keterpengaruhan Sutanto

terhadap Gerakan Pop Art di Amerika Serikat tahun 60-an.

Hal itu juga mempengaruhi sisi pemaknaan yang ditampilkan

pada karya-karya cetak saring Sutanto. Jika tujuan perancangan

adalah memberikan solusi, dalam arti berorientasi pada

kepentingan audiens maka karya cetak saring Sutanto adalah

berorientasi kepada senimannya sendiri. Maka dari itu kita akan

mendapatkan sejumlah tanda-tanda dan simbol-simbol yang

susah dirangkai menjadi sebuah makna yang utuh, jika tidak

disebut sebagai pemaknaan yang absurd.

Pemetikan unsur lama yakni elemen-elemen seni rupa tradisi,

yang menandai karakteristik pencarian keindonesiaan Decenta,

juga digunakan secara spesifik oleh Sutanto, yang berbeda

T. Sutanto, Pemandangan Merah, 1975

Page 16: Cetak Saring Kelompok Decenta 1973–1983: Infrastruktur …dgi.or.id/wp-content/uploads/2016/02/160219-DGITalk-Makalah.pdf · Sebagai perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas,

D E C E N TA : I N F R A S T R U K T U R S E N I D A N I D E N T I TA S K E I N D O N E S I A A N 1 6D G I TA L K # 4

dibandingkan A.D. Pirous, G. Sidharta dan Sunaryo. Jika ketiga

seniman tersebut memiliki peneladanan terhadap bentuk-

bentuk visual dan penciptaannya. Mengingat keberadaan kualitas

pemaknaan yang absurd pada karyanya. Sutanto juga terlihat

menempatkan elemen seni rupa tradisi itu secara sedikit remeh

dan bermain-main. Menelisik karya-karya Sutanto, elemen-

elemen tradisional pada karyanya juga memiliki orientasi folk

art. Selain menampilkan ornamen-ornamen yang dekoratif,

beberapa karya cetak saring Sutanto juga menampilkan suasana

karnaval atau pawai tradisional Jawa yang ia buat dengan coretan

naif. Dalam konteks ini, folk art Sutanto juga berorientasi

mendekonstruksi seni tinggi. Melalui hal tersebut kita juga

dapat menilai bahwa aspek bermain-main Sutanto pada seni

tradisi disebabkan tidak berjaraknya ia terhadap budaya tradisi

itu. Menurut pengakuannya sejak kecil Sutanto hidup dengan

seni tradisi, seperti wayang, ketoprak dan lain-lain. Sutanto

juga mengakrabi dunia dan folklor Jawa selain budaya populer-

populer seperti iklan, film dan lain sebagainya.

e. Priyanto Sunarto: R

Priyanto Sunarto juga menempatkan cetak saring sebagai

medium kekaryaan yang utama sehingga karya-karya cetak

saringnya menampilkan eksplorasi yang kaya. Kecenderungan

kekaryaan Sunarto dalam beberapa hal juga mirip dengan Sutanto

yakni keterpengaruhan pada aspek-aspek perancangan. Setelah

lulus dari Studio Seni Grafis, Sunarto mengajar di Studio Desain

Grafis yang didirikan oleh A.D. Pirous tahun 1971. Sama seperti

Sutanto, Priyanto juga menjadi perancang grafis di mana sering

menangani pekerjaan perancangan grafis seperti poster, sampul

buku dan lain-lain.

Kemiripan kekaryaan Sunarto dengan Sutanto juga terletak pada

penggunaan ikon-ikon budaya populer yang bersifat masinal

dan kitsch untuk diterapkan pada penciptaan karya-karya seni

tinggi (high art). Pemakaian citraan pulau-pulau pada peta pada

karya Peta Bumi Indonesia Baru menunjukkan hal demikian.

Secara sepintas kita akan melihat karya itu menyaru sebagai

peta Indonesia yang biasanya terpajang di dinding kelas. Namun

setelah diamati ternyata terdapat perubahan letak susunan

pulau-pulau tersebut. Karya ini merepresentasikan adanya

karakter senimannya yang gemar melakukan eksperimen, yang

kemudian juga merepresentasikan karakter kelompok Decenta.

Karya R menampillkan kecakapan teknis sang seniman terutama

Priyanto Sunarto, R, 1974

Page 17: Cetak Saring Kelompok Decenta 1973–1983: Infrastruktur …dgi.or.id/wp-content/uploads/2016/02/160219-DGITalk-Makalah.pdf · Sebagai perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas,

D E C E N TA : I N F R A S T R U K T U R S E N I D A N I D E N T I TA S K E I N D O N E S I A A N 1 7D G I TA L K # 4

dalam menampilkan teknik gradasi warna pada komposisi garis

yang rumit. Aspek perancangan pada karya Sutanto juga terjadi

pada Sunarto, di mana ada intensi untuk menampilkan tanda-

tanda yang tidak bisa dihubungkan untuk menjadi makna. Pada

karya R kehadiran motif tersebut bukan untuk menyampaikan

suatu makna tertentu namun hanya untuk menghadirkan sensasi

visual. Judul R susah dikaitkan dengan tanda-tanda apapun di

dalam karya tersebut.

Melihat kecenderungan tersebut terlihat kesamaan Sunarto

dengan Sutanto yakni penggunaan motif-motif atau ornamen

tradisional yang dekoratif, selain berorientasi pada dekonstruksi

seni tinggi, juga tidak digunakan dalam kepentingan peneladanan

pada budaya ataupun penciptaan kebentukan ornamen tersebut.

Sunarto juga tidak memiliki jarak dengan kebudayaan tradisi. Ia

juga memiliki ketertarikan pada budaya-budaya populer yang

berkembang di sekitar tempat ia tinggal. Hal ini menjadi ciri khas

Sunarto saat mengeksplorasi bentuk visual seni tradisi, yang pada

akhirnya mencerminkan pencarian keindonesiaan.

Hampir sama seperti Sutanto, Sunarto juga tidak mengalami

keberjarakan pada seni tradisi, melihat beberapa karya-

karya cetak saringnya yang menggunakan ornamen-ornamen

seni tradisi tanpa tendensi apapun dan cenderung bermain-

main. Ketiadaan beban Sunarto untuk mencari identitas

keindonesiaan mematahkan stereotip Orientalisme bangsa Barat

yang memandang bangsa Timur dalam sebagai bangsa yang

terbelakang. Dengan itu pula Sunarto tanpa beban melakukan

banyak eksperimentasi pada karya-karyanya serta menghampiri

persoalan-persoalan keseharian. Selain itu beberapa karya

Sunarto juga menampilkan ironi identitas keindonesiaan sendiri.

Indentitas kesatuan itu dalam beberapa hal dipakai untuk

melakukan penjajahan terhadap bangsa sendiri.

f. Diddo Kusdinar: Nomer 3

Lulus dari Studio Seni Grafis, Departemen Seni Rupa ITB, Diddo

Kusdinar merupakan praktisi desain grafis. Selain itu ia sudah

sejak lama mengenal teknik cetak saring. Di Decenta ia juga

sering menangani pekerjaan perancangan grafis. Terkhusus

pada teknik cetak saring sebagai karya seni, Diddo juga sering

melakukan eksperimentasi pada teknik ini, terutama pada

penggunaan cat serta eksperimen-eksperimen lain. Ia juga

sempat menjadi asisten Mochtar Apin pada penciptaan karya-

karya cetak saring seniman itu. Maka, dapat ditengarai bahwa

Diddo menguasai teknik ini.

Diddo Kusdinar, Nomer 3, 1974

Page 18: Cetak Saring Kelompok Decenta 1973–1983: Infrastruktur …dgi.or.id/wp-content/uploads/2016/02/160219-DGITalk-Makalah.pdf · Sebagai perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas,

D E C E N TA : I N F R A S T R U K T U R S E N I D A N I D E N T I TA S K E I N D O N E S I A A N 1 8D G I TA L K # 4

Namun melihat karya-karya cetak saring yang dianalisis

Nomer 3 dan Nomer 4, tidak nampak kerumitan teknisnya yang

misalnya tampil pada karya-karya Pirous dan Sutanto. Karya-

karya Kusdinar tampil dengan sedikit warna yang mencirikan

sedikitnya penumpukan warna. Karya-karya Kusdinar juga

tidak memperlihatkan adanya gradasi-gradasi warna. Maka kita

mendapati kualitas-kualitas rupa yang minimal dan efisien.

Maka dari itu penciptaan karya cetak saring Kusdinar memiliki

kesamaan dengan Sutanto dan Sunarto yakni menjadi antitesis

dari penciptaan karya cetak saring yang berorientasi desain

namun dengan cara yang berbeda. Karya-karya Kusdinar

menampakkan intensinya untuk menjadikan cetak saring sebagai

medium pembebasan yang menghindarkan diri dari kerumitan

teknis-teknis cetak saring.

Selain karya Nomer 3, karya-karya Kusdinar yang juga tidak

terlalu banyak memperlihatkan elemen-elemen seni rupa tradisi

maupun kuno. Pada titik ini karya-karya Kusdinar dinilai dari

aspek-aspek formal meskipun juga menghadirkan figur-figur.

Melalui karya Nomer 3, dalam konteks identitas, terdapat

ironi saat pencarian identitas keindonesiaan selalu dipandang

bagaimana seniman mengadopsi elemen seni tradisi. Kusdinar

yang tidak pernah mengecap kebudayaan tradisi secara langsung

karena lahir dan dibesarkan di kota, tidak pernah merasakan

tradisi sebagai sebuah identitas. Dapat dinyatakan pula bahwa

identitas keindonesiaan menurut Kusdinar adalah senafas dengan

ia menjadi seorang warga dunia.

Selain menampilkan karakter pada pencarian identitas

Keindonesiaan dan eksperimentasi, karya-karya cetak saring

Decenta juga merefleksikan aspek mediasi, distribusi dan

konsumsi karya seni rupa yang spesifik.

a. Mediasi

Kelompok Decenta memiliki inisiatif mediasi karya cetak saring

mereka kepada publik seni rupa Indonesia, yakni berupa pameran

keliling. Penjelajahan anggota-anggota Decenta pada karya cetak

saring sekurang-kurangnya berlangsung di antara tahun 1973-

1975 tanpa ada orientasi pameran. Hingga pada awal tahun 1975

terlontar sebuah ide dari beberapa anggota untuk memamerkan

karya-karya mereka.

MEDIASI DAN

KONSUMSI CETAK

SARING DECENTA

Page 19: Cetak Saring Kelompok Decenta 1973–1983: Infrastruktur …dgi.or.id/wp-content/uploads/2016/02/160219-DGITalk-Makalah.pdf · Sebagai perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas,

D E C E N TA : I N F R A S T R U K T U R S E N I D A N I D E N T I TA S K E I N D O N E S I A A N 1 9D G I TA L K # 4

Gagasan itu dikembangkan dengan menyelenggarakan pameran

keliling yakni di Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya.

Berlangsunglah pameran di empat kota tersebut judul PAMERAN

GAMBAR CETAK SARING MCMLXXV (1975) oleh G. Sidharta, A.D.

Pirous, T. Sutanto, Soenarjo, Priyanto S., Diddo K. Pameran ini

berlangsung berturut-turut pada:

1. 11-26 Agustus 1975 di Galeri Cipta, TIM, Jakarta

2. 21-26 Agustus 1975 di Gelanggang Remaja, Bandung

3. 17-23 September 75, di Gedung Seni Sono, Yogyakarta

4. 24-28 Oktober 1975 di Gedung Maranatha, Surabaya.

Sunarto kemudian merancang poster pameran. Sementara itu

Sutanto dan Kusdinar merancang liflet pameran. Dalam rilis

pameran tersebut mereka menyatakan bahwa teknik cetak saring

sudah lama dikenal di Indonesia untuk pencetakan tekstil dan

pembuatan poster-poster. Sebagai ungkapan karya seni baru

tahun 1972 diperkenalkan oleh Mochtar Apin dalam “Batik

Variant”-nya. Hal tersebut mereka disampaikan dalam sebuah

siaran pers di Harian Pikiran Rakyat (1975).

Tiap orang menampilkan belasan karya mereka. Mereka

menyatakan kepuasannya menanggapi pameran ini dan

menyatakan bahwa pameran ini mampu mendorong kegairahan

seni grafis Indonesia.23

Setelah pameran berlangsung terdapat tulisan yang mengulas

pameran itu. Salah satunya adalah tulisan Rudi Isbandi yang

dimuat di mana ia secara khusus mengulas pameran di Surabaya.

Ia menyebutkan bahwa karya-karya cetak saring itu ditampilkan

dengan baik:

Mengamati gambar-gambar cetak saring yang dipamerkan,

orang-orang akan terkesan oleh keserba-rapian bentuk

lukisan itu. Itu kesan pertama. Dan memang tidak keliru, sebab

seluruhnya memang dipersiapkan dalam pembuatannya yang

cermat, rapi dan bersih. Tak ada kesan asal jadi. Dari proses

pembuatan bahannya, sampai lukisan dan bingkainya masuk di

perhitungan secara teliti.24

Beberapa kata dan frasa yang disebutkan Isbandi di atas

menyiratkan beberapa hal. Frasa “terkesan oleh keserba-rapian”

secara historis menyiratkan sebuah pengalaman positif saat

mengalami karakter-karakter seni yang baru. Terlebih lagi

terdapat frasa “pembuatannya yang cermat, rapi dan bersih”.

Karakter-karakter teknik cetak saring yang ditampilkan Decenta

Poster PAMERAN GAMBAR CETAK SARING MCMLXXV (1975)

Page 20: Cetak Saring Kelompok Decenta 1973–1983: Infrastruktur …dgi.or.id/wp-content/uploads/2016/02/160219-DGITalk-Makalah.pdf · Sebagai perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas,

D E C E N TA : I N F R A S T R U K T U R S E N I D A N I D E N T I TA S K E I N D O N E S I A A N 2 0D G I TA L K # 4

mampu memberikan pengalaman apresasi seni yang baru bagi

publik seni rupa saat itu.

Pengalaman baru tersebut oleh Isbandi tampil secara tersirat oleh

kerancuannya saat menyebut karya-karya cetak saring tersebut

sebagai “lukisan”. Bagaimanapun, penyebutan lukisan alih-alih

grafis menyiratkan sudah diakuinya karya cetak saring sebagai

karya seni rupa dua dimensi, lebih-lebih dengan penyebutan kata

“bingkai”. Aspek-aspek yang bereleasi dengan ketelitian seperti

“cermat”, “rapi, bersih”, “masuk perhitungan secara teliti”

menyiratkan ciri-ciri yang menjadi bentuk kebaruan dalam

karya seni rupa. Melihat tulisan Isbandi di atas, dapat dinyatakan

bahwa upaya mediasi cetak saring sebagai sebuah kemungkinan

baru seni grafis berhasil dilakukan oleh Decenta.

Meskipun pameran ini tidak mengatasnamakan Decenta

sebagai kelompok, publik seni rupa Indonesia banyak yang

mengindentifikasi seniman-seniman ini tergabung dalam

Kelompok Decenta. Pernyataan tersebut dapat terungkap melalui

beberapa orang anggota Decenta yang penulis wawancarai.25

Selain itu, dapat disimpulkan, melalui pameran ini terbukti

berhasil mengenalkan dan mempopulerkan teknik cetak saring

sebagai bentuk karya seni rupa yang baru.

b. Distribusi dan Konsumsi

Penciptaan karya cetak saring Kelompok Decenta memiliki latar

belakang yang unik. Sunarto menceritakan bagaimana teknik

cetak saring mulai dipakai oleh Decenta:

Sebetulnya cetak saring itu ketemunya tidak disengaja. Saat itu

Adri Palar memberikan proyek dari PT. Krakatau Steel, untuk

mengisi interior rumah-rumah para pegawainya mulai dari

korden, kursi dan lain-lain. Termasuk juga hiasan dinding. Saya

tidak ingat siapa yang mengusulkan, sepertinya Pak Dharta

(G. Sidharta), agar hiasan dindingnya memakai cetak saring

saja yang mereproduksi karya-karya lukisan atau gambar kami.

Itu kan ada 400 rumah, jadi tinggal dibagi-bagi saja tiap orang.

Itulah sebetulnya dimulainya eksplorasi cetak saring di Decenta.26

Mekanisme distribusi karya cetak saring Decenta juga diperankan

oleh Galeri Decenta. Galeri ini sudah ada sejak Decenta berdiri.

Fungsinya adalah sebagai balai pajang karya cetak saring, lukisan

dan benda kriya hasil karya anggota Decenta. Dalam hal ini

Sutanto menyatakan:

Page 21: Cetak Saring Kelompok Decenta 1973–1983: Infrastruktur …dgi.or.id/wp-content/uploads/2016/02/160219-DGITalk-Makalah.pdf · Sebagai perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas,

D E C E N TA : I N F R A S T R U K T U R S E N I D A N I D E N T I TA S K E I N D O N E S I A A N 2 1D G I TA L K # 4

Sebetulnya tadinya untuk dagangan, tapi dipakai untuk

pameran. Dibukanya juga dengan pameran.27

Maksud pernyataan Sutanto tersebut adalah bahwa galeri tersebut

pada awalnya hanya digunakan sebagai balai pajang yang bersifat

komersial. Namun lama kelamaan visinya diperluas yakni

menyelenggarakan pameran yang berorientasi non-komersial

seperti yang dinyatakan oleh Setiawan Sabana, anggota Decenta

yang bergabung pada tahun 1983, sebagai berikut:

Galeri itu sifatnya untuk memenuhi fungsi distribusi dan mediasi

seni. Tidak hanya karya seni saja yang dipamerkan, melainkan

juga kriya. Jadi di galeri tersebut ada penjualan karya juga, di

samping pameran-pameran. Karya maupun kriya dapat dijual

kalau mau. Yang dipamerkan adalah hasil karya para anggota

Decenta seperti Pak Pirous, Pak Naryo dan lain-lain. Tidak dijual

karya-karya yang selain mereka dan anggota Decenta lain.

Ataupun karya-karya seniman lain yang sedang berpameran di

galeri Decenta tersebut.28

Dari aspek konsumsi karya cetak saring mereka, Decenta

memiliki kesadaran untuk menjual karya-karya mereka sendiri,

dengan infrastruktur galeri yang dimilikinya. Di bawah ini

pernyataan Sabana mengenai hal tersebut:

Permanent collection artinya orang-orang Decenta

memajang karya-karya mereka di galeri dan boleh dibeli.

Dulu kan waktu pameran kalau untuk menjual karya

itu tidak terang-terangan. Kalau di Decenta modus itu

sudah dimulai sebenarnya. Makanya di situ ada harga

saat pameran di bawah karya. Di tiap pameran ada daftar

harga karya-karya yang dipamerkan. Ada petugas yang

menerima tamu dan menjadi semacam petugas kalau ada

orang yang mau beli karya.29

Dengan upaya distribusi semacam itu pada akhirnya Kelompok

Decenta, menikmati aspek-aspek konsumsi karya seni, yakni

karya-karya mereka mulai banyak terjual. Di bawah ini

pernyataan lanjutan Sabana yang menggarisbawahi hal tersebut.

Pernyataan Sabana di bawah ini juga memperlihatkan bahwa saat

itu peran distribusi karya seni oleh seniman masih belum dikenal,

bahkan dianggap tabu:

Dan yang beli mulai banyak. Makanya waktu itu

katakanlah gerak-gerak komodifikasi dan komersialiasi

harga itu dimulai di Decenta. Jadi sebelumnya tidak

Page 22: Cetak Saring Kelompok Decenta 1973–1983: Infrastruktur …dgi.or.id/wp-content/uploads/2016/02/160219-DGITalk-Makalah.pdf · Sebagai perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas,

D E C E N TA : I N F R A S T R U K T U R S E N I D A N I D E N T I TA S K E I N D O N E S I A A N 2 2D G I TA L K # 4

begitu. Setiap seniman pameran hal tersebut tidak terjadi

terang-terangan. Komersialisasi itu tabu. Pelukis itu

bukan pedagang. Waktu Decenta akhirnya terbuka. Apalagi

grafis-grafisnya terjangkau. Tapi lewat merchandising

itu juga. Kalau kemahalan, grafis itu terjangkau, dan

itu yang paling terjangkau. Tapi itu dibuat oleh orang-

orang Decenta craft sebagai produk massal. Ada sentuhan

senimannya. Craft-nya misalnya patung kecil, alat tulis,

jam dan lain-lain.30

Sub bab ini menyimpulkan bahwa Mekanisme distribusi dipenuhi

oleh Galeri Decenta. Galeri Decenta, selain memiliki orientasi

pada publik seni dengan menyelenggarakan pameran, diskusi

dan seminar seni rupa adalah sebuah badan perusahaan untuk

mendistribusikan karya-karya cetak saring anggota Kelompok

Decenta. Belakangan, distribusi ini tidak hanya karya cetak

saring, melainkan juga medium lain dan tidak terbatas pada

karya seni rupa melainkan juga karya desain dan kriya.

Decenta adalah sebuah kolektif yang mempertemukan

karakteristik-karakteristik kesenimanan para personilnya. Di

samping mereka memiliki peran atau jabatan tertentu dalam

Decenta, karakteristik kesenimanan tersebut masih diwadahi oleh

kelompok ini. Kerja utama Decenta adalah sebagai biro desain

yang menggarap atau menekel pekerjaan-pekerjaan berorientasi

pesanan seperti elemen estetik, monumen, perancangan interior

dan perancangan grafis. Untuk memenuhi penggarapan proyek-

proyek tersebut mereka memiliki faktor produksi yang berupa

sumber daya manusia dan non manusia. Sumber daya manusia

terdiri atas desainer, sketcher, fotografer dan asisten-asisten

teknis lainnya. Sementara itu mereka juga memiliki sumber daya

non manusia yang terdiri atas kantor dan beberapa studio (cetak

saring dan patung lengkap dengan alat-material pendukungnya).

Kedua jenis sumber daya ini diadakan dan dikelola melalui dana

keuntungan hasil proyek-proyek mereka.

Dalam konteks Decenta sebagai biro desain, anggota

Decenta yang notabene seniman berperan menjadi manajer,

perencana, perancang dan eksekutor. Peran-peran tersebut

diimplementasikan misalnya saat mereka mendapat proyek

elemen estetik berskala besar. Satu atau beberapa orang menjadi

perancang. Di saat yang sama mereka juga menjadi manajer

terkait koordinasi dan instruksi kepada banyak pekerja. Mereka

sering pula menjadi eksekutor pada pengadaan proyek-proyek

DECENTA DAN

INFRASTRUKTUR

SENI RUPA

Page 23: Cetak Saring Kelompok Decenta 1973–1983: Infrastruktur …dgi.or.id/wp-content/uploads/2016/02/160219-DGITalk-Makalah.pdf · Sebagai perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas,

D E C E N TA : I N F R A S T R U K T U R S E N I D A N I D E N T I TA S K E I N D O N E S I A A N 2 3D G I TA L K # 4

tersebut karena mereka memiliki landasan atau bekal teknis

sebagai seniman.

Sebagai seniman yang berkumpul dalam biro desain, para

personil Decenta juga masih memiliki hasrat untuk berkaryaseni.

Hasrat tersebut diimplementasikan pada penciptaan karya cetak

saring. Sebetulnya pemilihan teknik cetak saring ini berkaitan

dengan aspek keberadaan Decenta sebagai biro desain. Dalam

salah satu proyek perancangan interior karya-karya cetak

saring digunakan untuk mengisi tembok-tembok ruangan

sebagai elemen estetik. Inisiasi itu akhirnya berlanjut dengan

pengembangan karya-karya cetak saring oleh orang-orang ini

yang berujung pada pameran di beberapa kota besar di Pulau Jawa

yakni Bandung, Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya. Melalui cetak

saring, Decenta juga mendayagunakan kelebihan teknik ini dalam

konteks komersial. Dibandingkan dengan teknik grafis lain,

cetak saring paling mudah diberdayakan baik dari sisi pengadaan

alat dan teknis. Industri percetakan dan tekstil yang sudah

berkembang saat itu memungkinkan beberapa orang mengenal

teknik cetak saring, yang sering disebut sebagai cetak sablon.

Di samping itu, teknik cetak saring yang memiliki pakem edisi,

secara kebetulan juga berkaitan dengan karakter komersial. Cetak

saring Decenta yang dibuat hingga puluhan edisi itu memenuhi

karakter tersebut karena diciptakan secara “massal”. Melalui

pakem edisi ini harga karya cetak saring menjadi tidak semahal

lukisan.

Sistem produksi karya cetak saring Kelompok Decenta

menghadirkan proses mendesain di mana desainer membuat

rancangan terlebih dahulu yang kemudian diperbanyak oleh

asisten atau artisan. Maka dari itu, Decenta dapat dinyatakan

menjadi salah satu seniman (kelompok) yang memulai

penciptaan karya seni dengan pendekatan desain di Indonesia.

Decenta sering mendapatkan proyek-proyek pesanan

(kebanyakan dari pemerintah) yang berorientasi pada

pengaplikasian elemen-elemen seni rupa tradisi yang

merepresentasikan identitas keindonesiaan. Aspek-aspek

desain dan pemenuhan pesanan pada akhirnya mempengaruhi

penciptaan karya-karya cetak saring Decenta. Dapat disimpulkan,

penciptaan karya-karya cetak saring Kelompok Decenta, yang

memiliki orientasi pencarian terhadap identitas Keindonesiaan,

dipengaruhi oleh aspek desain dan aspek komersial.

Selain itu, fungsi distribusi dan mediasi karya-karya cetak saring

Page 24: Cetak Saring Kelompok Decenta 1973–1983: Infrastruktur …dgi.or.id/wp-content/uploads/2016/02/160219-DGITalk-Makalah.pdf · Sebagai perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas,

D E C E N TA : I N F R A S T R U K T U R S E N I D A N I D E N T I TA S K E I N D O N E S I A A N 2 4D G I TA L K # 4

mereka juga dijalankan oleh galeri yang Decenta dirikan. Galeri

ini juga dikelola oleh para personil utama Decenta tersebut. Galeri

Decenta, selain digunakan sebagai ruang pajang komersial hasil

karya seni dan kriya juga sering menyelenggarakan pameran

yang berorientasi edukasi seni bagi masyarakat. Melihat visi

tersebut kita juga melihat peran para anggota Decenta sebagai

dealer, promotor seni dan bahkan kurator, meskipun peran

kurator belum dikenali dalam medan seni rupa Indonesia saat itu.

Decenta merintis proses distribusi yang baru, yakni distribusi

terbuka. Pada awalnya seniman hanya bertindak sebagai pencipta

dan tidak berperan pada pemasar karya mereka sendiri. Jikapun

menjadi pemasar, seniman tidak berinisiatif untuk menyebutkan

peran tersebut secara langsung. nfrastruktur Decenta pada

akhirnya membuat mereka memiliki peran tersebut. Fungsi

distribusi seni juga secara profesional dipenuhi oleh Decenta di

mana ia memiliki dan membangun mata rantai pencinta seni

yang pada akhirnya membeli karya-karya mereka. Mata rantai

tersebut dibangun melalui interaksi anggota Decenta terhadap

orang-orang institusi pemerintahan dan perusahaan yang

menjadi klien elemen estetik Decenta. Melalui interaksi dengan

orang-orang yang dapat disebut sebagai kalangan menengah

atas Decenta dapat membentuk selera atau preferensi artistik

mereka untuk dapat mengoleksi karya seni sebagai pemenuhan

kebutuhan estetik. Oleh Decenta, pemenuhan kebutuhan

estetik itu dilakukan dengan cara membuat elemen estetik,

membuat karya-karya yang berorientasi masinal seperti kriya

dan mengeksploitasi karakter edisi seni grafis pada karya cetak

saring yang membuat karya-karya tersebut relatif murah dan

terjangkau.

Decenta memberikan sebuah lingkungan penciptaan seni yang

kondusif bagi orang-orang di dalamnya yang melayani seluruh

kebutuhan eksplorasi artistik tiap-tiap orang sehingga dapat

produktif dalam berkarya. Eksplorasi artistik tersebut akhirnya

menjadi wahana bagi para seniman tersebut untuk mencapai

konsep atau pokok soal kekaryaan mereka, yakni pencarian

terhadap identitas.

Suasana kondusif yang berujung pada produktivitas juga

merefleksikan sistem kerja Deccenta sendiri sebagai perusahaan.

Infrastruktur yang dimiliki Decenta membuat orang-orang

ini tidak hanya berperan sebagai seniman sebagai pencipta

melainkan juga sebagai dealer atas karya-karya mereka

sendiri. Melalui galeri mereka juga dapat memamerkan karya-

karya mereka sendiri, sembari juga melakukan promosi dan

Page 25: Cetak Saring Kelompok Decenta 1973–1983: Infrastruktur …dgi.or.id/wp-content/uploads/2016/02/160219-DGITalk-Makalah.pdf · Sebagai perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas,

D E C E N TA : I N F R A S T R U K T U R S E N I D A N I D E N T I TA S K E I N D O N E S I A A N 2 5D G I TA L K # 4

menghimpun jejaring dengan institusi seni di dalam maupun

di luar negeri. Infrastruktur Decenta tidak hanya mewadahi

penciptaan karya seni melainkan juga distribusi dan mediasi

karya seni. Dengan dikombinasikannya fungsi-fungsi tersebut

secara teroganisir dan sistematis mereka akhirnya mampu

Decenta berikut personil-personilnya mendapatkan pengakuan

dalam bentuk modal ekonomi. Modal sosial dan kultural bukan

hanya baik oleh publik di dalam maupun di luar medan seni

rupa. Multi peran yang dilaksanakan para anggota Decenta

ini berkaitan pada visi mereka sebagai seniman, perusahaan

dan kolektif untuk melakukan pencarian terhadap identitas

keindonesiaan. Hal tersebut secara berhasil dapat disampaikan

kepada publik seni yang terbagi antara lain klien (perusahaan

dan perorangan), kolektor, serta kritikus dan pecinta seni.

Karya-karya cetak saring Kelompok Decenta merefleksikan

sebauah infrastruktur seni yang unik dan spesifik, yakni

menggabungkan peran-peran produksi, distribusi dan mediasi

seni sekaligus. Menimbang penggabungan peran-peran tersebut

dan mengingat bahwa karya-karya cetak saring Decenta awalnya

diciptakan untuk memenuhi pesanan, tidak dapat dipungkiri

bahwa pencarian keindonesiaan pada karya-karya cetak saring

Decenta juga berkaitan erat dengan aspek-aspek desain dan

aspek komersial. Infrastruktur yang dimiliki Decenta menjadi

perintis dalam medan seni rupa Indonesia saat itu.[]

Page 26: Cetak Saring Kelompok Decenta 1973–1983: Infrastruktur …dgi.or.id/wp-content/uploads/2016/02/160219-DGITalk-Makalah.pdf · Sebagai perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas,

D E C E N TA : I N F R A S T R U K T U R S E N I D A N I D E N T I TA S K E I N D O N E S I A A N 2 6D G I TA L K # 4

Catatan Akhir

1. Eisele juga mencatat capaian-capaian kelompok ini. Misalnya adalah penggarapan banyak elemen-elemen estetik

yang bekerjasama dengan pemerintah. Mereka juga menggarap proyek-proyek desain grafis seperti perancangan

sampul buku, kartu ucapan, poster dan kalender. Dalam publikasi tersebut ditampilkan juga beberapa foto hasil desain

Decenta baik elemen-elemen estetik, rancang grafis dan beberapa karya cetak saring mereka.Eisele juga menyebut

bahwa Decenta mendukung seniman-seniman anggotanya untuk dapat mengikuti pameran nasional dan internasional

selain menyediakan sarana fasilitas untuk berkarya. Decenta disebut pula aktif menyelenggarkan pameran dan

mengikutksertakan beberapa senimannya untuk berpameran di luar negeri terutama pada karya-karya cetak saring.

Reinhard Eisele, Decenta, Bandung Indonesia, Novum International Monthly for Visual Communication + Graphic Design,

(1978, Juni) 6,51.

2. Istilah cetak saring adalah hasil diskusi antara Sidharta dan Pirous di mana saat itu banyak orang yang belum

mengetahui istilah serigrafi. Istilah tersebut pada awalnya digunakan saat Kelompok Decenta melakukan pameran

keliling cetak saring pada tahun 1975 (Wawancara Diddo Kusdinar, 8-2-2014).

3. Meskipun terdapat kerancuan pada penggunaan “gambar” pada “GAMBAR CETAK SARING” yang identik dengan

medium gambar (drawing), dapat dinyatakan, melalui pameran ini Decenta pertama kali menggunakan cetak saring

sebagai penerjemahan screenprint dan serigraphy dalam medan seni rupa Indonesia. Mochtar Apin juga dikenal

sebagai sosok yang memperkenalkan teknik cetak saring di Indonesia baik sebagai seniman maupun penulis.

4. Menurut Sunarto dan Kusdinar, kemunculan teknik cetak saring di ITB adalah atas peran Mochtar Apin, dengan

mendirikan bengkel cetak saring untuk kebutuhan pencetakan poster-poster pameran dan pementasan teater yang

diselenggarakan oleh dosen-dosen dalam Departemen Seni Rupa, ITB. Bengkel ini didirikan pada tahun 1970 dan

berada di bawah Studio Seni Grafis. Bengkel ini merekrut tukang-tukang yang sudah terlatih. Oleh Mochtar Apin,

Sunarto dan Kusdinar diserahi tanggung jawab untuk menjalankan operasional sehari-hari bengkel ini. Sunarto

mengingat bahwa salah satu debut proyek berskala besar bengkel ini adalah proyek pencetakan poster dan materi

publikasi Expo 70 di Osaka, Jepang (1970), walaupun menurut dia hasilnya masih belum memuaskan. Tidak hanya

untuk pencetakan poster, bengkel cetak saring ini juga mencetak produk-produk publikasi lain, misalnya kartu nama.

Melalui peristiwa inilah pada akhirnya Sunarto dan Kusdinar mulai mengenal teknik cetak saring dan selanjutnya

menjadikannya sebagai teknik kekaryaan utama mereka sebagai seniman, meskipun pada awalnya teknik ini belum

diperkenalkan sebagai salah satu teknik yang diakui dalam seni grafis.

5. (Wawancara dengan Pirous, 5-9-2011)

6. (Wawancara dengan Sunarto, 16-12-2013)

7. (Wawancara dengan Sunarto, 16-12-2013)

8. Pernyataan tersebut dikutip oleh Supangkat pada katalog Pameran Lukisan Patung dan Grafis G. Sidharta (1995).

Supangkat bahkan menyebut bahwa pernyataan Sidharta di atas merupakan respon dari pernyataan Oesman Effendi

bahwa seni lukis Indonesia tidak ada. Berikut kutipan langsung dari tulisan Supangkat: “Dharta ternyata terpancing

pernyataan Oesman Effendi, dan justru tertarik untuk memasalahkan identitas seni rupa Indonesia. Ini sikap yang

janggal bagi kubu Bandung.” Jim Supangkat juga mengaitkan bahwa pernyataan Effendi perihal seni lukis Indonesia

tidak ada sebenarnya menyiratkan kembali ramainya perdebatan Timur-Barat dalan seni rupa modern Indonesia.

Pernyataan Effendi ditafsirkan oleh Supangkat bahwa sikap kebarat-baratan yang menjadi stereotip Kubu Bandung

sebagai tidak menampilkan ciri khas Indonesia. Supangkat menandai pula bahwa pada era tersebut muncul masalah

mencari “identitas Indonesia” (Supangkat, 1995: 20).

9. Reinhard Eisele, Decenta, Bandung Indonesia, Novum International Monthly for Visual Communication + Graphic

Design, (1978, Juni) 6,51.

10. (Wawancara dengan Sunarto, 16-12-2013)

11. (Wawancara dengan Pirous 13-1- 2014)

12. Secara ringkas, belasan butir pertanyaan itu mengungkapkan bagaimana wajah seni rupa Indonesia saat itu di tengah

usia Bangsa Indonesia yang sudah 30 tahun. Misalnya terdapat sebuah pertanyaan Apakah seni yang sekarang yang

berkaitan pada nasionalisme. Pertanyaaan itu dilanjutkan dengan pertanyaan berikutnya, bahwa apakah apakah

masalah nasionalisme dalam seni itu satu tendensi yang sempit, yang chauvinis, yang latah, yang slogan. Di situ,

mereka juga mempertanyakan bahwa apakah seni rupa Indonesia itu harus bersifat universal yang berkaitan dengan

seni rupa modern. Keberadaan seni modern yang berkembang di Indonesia juga mereka pertanyakan dengan apakah

ini sebagai pertanda dominasi Barat dalam seni. Kelompok Decenta juga mempertanyakan seni-seni itu memiliki peran

dalam merepresentasikan persoalan lingkungan misalnya lingkungan adat, lingkungan feodal, lingkungan intelek,

lingkungan pemerintah, agama, lingkungan pedagang, partai politik, pekerja atau lingkungan nelayan.Selanjutnya

mereka mempertanyakan bahwa apakah seni pada akhirnya juga bisa membawa kebudayaan bangsa-bangsa

berkembang ke arah kebudayaan Dunia yang satu. Mereka kemudian mempertanyakan kembali, justru bukankah seni

yang berkorelasi dengan kreativitas seharusnya menampilkan keberagaman.Pada bagian akhir terdapat pertanyaan

apakah barangkali seni Indonesia tidak perlu ada karena umur Indonesia masih terlalu muda, yakni 30 tahun.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut pada akhirnya menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi pencarian identitas

seni rupa Indonesia. Seluruh pertanyaan seperti menanggapi pernyataan Oesman Effendi bahwa banyak masalah-

masalah kebangsaan yang dihadapi Indonesia yang masih berumur 30 tahun. Pertanyaan-pertanyaan tersebut

menyiratkan bahwa identitas seni rupa Indonesia seharusnya dapat dipandang dalam konteks “proses mencari” dan

tidak berada pada satu bingkai.

13. (Wawancara dengan Sunarto, 16-12-2013)

Page 27: Cetak Saring Kelompok Decenta 1973–1983: Infrastruktur …dgi.or.id/wp-content/uploads/2016/02/160219-DGITalk-Makalah.pdf · Sebagai perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas,

D E C E N TA : I N F R A S T R U K T U R S E N I D A N I D E N T I TA S K E I N D O N E S I A A N 2 7D G I TA L K # 4

14. (Wawancara dengan Kusdinar, 20-12-2013)

15. (Wawancara dengan Kusdinar, 4-3-2014)

16. Hendro Wiyanto, Women to Christ: Patung dan Cetak Saring G. Sidharta, 2005, Galeri Semarang, hal:35)

17. (Wawancara dengan Sunaryo 23-2-2014)

18. (Wawancara dengan Sunarto, 16-12-2013)

19. (Wawancara dengan Sutanto 4-2-2014)

20. (Wawancara dengan Sunarto, 16-12-2013)

21. (Wawancara dengan Sutanto 4-2-2014)

22. Tanoh Abee adalah sebuah nama pesantren di Kecamatan Seulimeum. Aceh Besar. Dayah itu, istilah bahasa Aceh untuk

menyebut pesantren Teuku Chik Tanoh Abee merupakan salah satu tempat pendidikan Islam tertua di wilayah Asia

Tenggara. Pesantren ini didirikan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, raja tersukses di Kerajaan Aceh.

yakni tahun 1625 Masehi. Pesantren ini didirikan oleh ulama asal Bagdad yang bernama Fairus Al Bagdady. Pesantren

ini mengalami masa kejayaan saat dipimpin oleh Syeikh Abdul Wahab yang dijuluki dengan Teuku Chik Tanoh

Abee. Nama inilah yang akhirnya menjadi nama pesantren ini sampai sekarang. Pesantren ini tidak hanya menjadi

tempat pendidikan agama Islam melainkan juga menjadi tempat berkumpulnya para cendekiawan dan ulama Aceh

dalam banyak kepentingan, misalnya menyusun strategi untuk melawan kolonialisme Belanda. Masa kepemimpinan

Teuku Chik Tanoh Abee juga dilakukan usaha untuk memajukan perpustakaan. Ia berkeinginan untuk menjadikan

perpustakaan Islam di pesantren ini menjadi yang terbesar di kawasan Asia Tenggara. Untuk mewujudkan ini Tanoh

Abee memberi kebijakan untuk menerjemahkan ribuan kitab berbahasa Arab dengan beragam ilmu pengetahuan

ke dalam bahasa Jawa kuno. Keberadaan perpustakaan ini menjadi terkenal dengan koleksi-koleksi manuskripnya

(http://sekilasinfoaceh.blogspot.com/2013/06/perpustakaan-kuno-tanoh-abee.html). Hamparan tulisan Arab pada

karya Doa XII/Penghormatan Kepada Tanoh Abee mengidentifikasi keberadaan pesantren tersebut. Tulisan Arab yang

menggantung di langit tersebut dapat diidentifikasikan sebagai matahari. Namun jika merujuk pada suasana senja

serta melihat perspektif gambar, potongan tulisan Arab itu tidak bisa diidentifikasikan sebagai matahari. Potongan

ayat itu terbaca sebagai Wallahu alla kulli syaiin qodir. Ayat ini merupakan potongan dari Surat Al Baqarah yang

berarti Allah maha kuasa atas segala sesuatu. Merujuk pada judul Doa Penghormatan, potongan ayat ini bisa saja

menjadi doa sang seniman kepada Tanoh Abee.

23. Pirous menyatakan: “Pameran itu tidak kata lain selain fantastis. Saat itu seni grafis indonesia Indonesia sedang

tidur, dormant, laten. Di Jogja tidak ada kegiatan. Di Bandung ada barang-barang dan alat-alat banyak tapi tidak

diolah. Jadi waktu kami pameran di Jogja banyak seniman yang terangsang, di Jakarta juga untuk mencoba teknik

tersebut.” (Wawancara dengan Pirous, 13-1-2014).

24. Rudi Isbandi, Harian Sinar Harapan, 8 November 1975

25. Misalnya Sunarto menjelaskan sebagai berikut: “Pameran cetak saring itu tidak disebutkan jika atas nama Decenta

karena kita memisahkan antara pekerjaan perusahaan dan kesenian. Tapi sebetulnya mau tidak mau orang

menyebutnya Kelompok Decenta. Dan dari dulu Decenta dikenalnya bukan sebagai perusahaannya tapi misinya yang

tentang keindonesiaan. Banyak orang menulis tentang kami itu biasanya yang dibahas itu. Jadi kita tidak perlu

membawa identitas perusahaan saat pameran itu, walaupun semua administrasi, publikasi dilakukan di Kantor

Decenta.” (Wawancara dengan Sunarto, 16-12-2013).

26. (Wawancara dengan Sunarto, 16-12-2013)

27. (Wawancara dengan Sutanto 4-2-2014)

28. Setiawan Sabana menjabat sebagai “penata programa seni” yakni mengelola program-program pameran dan program

publik lain yang berorientasi seni rupa. Perluasan visi galeri Decenta terjadi saat Sabana masuk. Sabana kemudian

menerangkan bagaimana situasi sehari-hari Galeri Decenta: “Ada pameran permanent collection, yakni karya-karya

anggota Decenta dengan orientasi untuk dijual, termasuk karya cetak saring. Setiap hari selalu ada pameran. Ada

pula pameran craft. Saat itu craft modern itu belum ada. Sampai kartu lebaran yang disablon dan didesain khusus itu

populernya di Galeri Decenta saat itu dan produk-produk craft lain yang ada coretan dan sentuhan Pak Sunaryo, yang

bisa disebut merchandising itu mulai ada.” Melalui pernyataan Sabana tersebut teknik cetak saring pada akhirnya

tidak hanya diterapkan pada karya seni melainkan benda-benda pakai seperti kartu ucapan ataupun kalender.

(Wawancara dengan Sabana, 22-2- 2014)

29. (Wawancara dengan Sabana, 22-2- 2014).

30. (Wawancara dengan Sabana, 22-2- 2014)

*Makalah ini merupakan ringkasan dari tesis yang berjudul Kajian Karya-karya Cetak Saring Kelompok Decenta 1973 – 1983,

Program Studi Magister Seni Rupa, Institut Teknologi Bandung, 2014.

Chabib Duta Hapsoro (lahir di Salatiga, 1986) adalah seorang kurator dan penulis, bekerja untuk Selasar Sunaryo Art

Space (SSAS), Bandung dan juga bekerja dalam beberapa proyek-proyek independen. Pada 2014 menyelesaikan pendidikan

magister di Program Studi Seni Rupa, Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB. Tesisnya menelaah karya-karya cetak saring

Kelompok Decenta yang berkaitan dengan identitas keindonesiaan dalam seni rupa Indonesia. Chabib telah mengkuratori

beberapa pameran di antaranya di antaranya Temporal, Gedung Gas Negara, Bandung (2015); ‘Lipat Ganda’, Dia.Lo.Gue

Art Space, Jakarta (2015); ‘Sehat Walafiat’ , Ruang Mes56, Yogyakarta (2015); Apin: Sang Petualang dari Gelanggang, SSAS

(2014); E, Pameran Tunggal Prilla Tania, SSAS (2013); Bongkar/Muat, Nadi Gallery (2012); Bandung New Emergence vol. 4,

SSAS (2012). Chabib juga beberapa kali menjadi pembicara dalam diskusi dan symposium, salah satunya Simposium Ekuator,

Yayasan Biennale Yogyakarta (2014).