Cerpen Tahun 2000

6
Cerpen Tahun 2000-an Karakteristik karya sastra angkatan 2000-an yang mencakup semua genre, di antaranya: 1. Menggunakan kata-kata maupun frase yang bermakna konotatif 2. Banyak menyindir keadaan sekitar baik sosial, budaya, politik, atau lingkungan 3. Revolusi tipografi atau tata wajah yang bebas aturan dan kecenderungan ke puisi kongkret yang di sebut antromofisme 4. Kritik sosial sering muncul lebih keras 5. Penggunaan estetika baru 6. Karya cenderung vulgar, 7. Mulai bermunculan fiksi-fiksi islami, 8. Munculnya cyber sastra di Internet, dan 9. Ciri-ciri bahasa diambil dari bahasa sehari-hari yaitu ke rakyat jelataan 10. Sudah memasukkan filsafat dalam karya sastranya. Kesaksian atas Carut-Marut Kehidupan Judul buku: Dua Tengkorak Kepala: Cerpen Pilihan Kompas 2000 Penyunting: Kenedi Nurhan Penerbit: Harian Kompas, Jakarta Cetakan: Pertama, Juni 2000 Tebal: xxxiv + 156 halaman

description

q

Transcript of Cerpen Tahun 2000

Page 1: Cerpen Tahun 2000

Cerpen Tahun 2000-an

Karakteristik karya sastra angkatan 2000-an yang mencakup semua genre, di

antaranya:

1. Menggunakan kata-kata maupun frase yang bermakna konotatif

2. Banyak menyindir keadaan  sekitar  baik sosial, budaya, politik, atau lingkungan

3. Revolusi tipografi atau tata wajah yang bebas aturan dan kecenderungan ke puisi

kongkret yang di sebut antromofisme

4. Kritik sosial sering muncul lebih keras

5. Penggunaan estetika baru

6. Karya cenderung vulgar,

7. Mulai bermunculan fiksi-fiksi islami,

8. Munculnya cyber sastra di Internet, dan

9. Ciri-ciri bahasa diambil dari bahasa sehari-hari yaitu ke rakyat jelataan

10. Sudah memasukkan filsafat dalam karya sastranya.

Kesaksian atas Carut-Marut Kehidupan

Judul buku: Dua Tengkorak Kepala: Cerpen Pilihan Kompas 2000

Penyunting: Kenedi Nurhan

Penerbit: Harian Kompas, Jakarta

Cetakan: Pertama, Juni 2000

Tebal: xxxiv + 156 halaman

Tradisi mengantologikan sejumlah karya sastra ternyata masih marak dilakukan oleh

banyak kalangan, termasuk Harian Kompas—koran nasional dengan jumlah pembaca

terbesar di Indonesia. Harian Kompas sendiri belakangan memang berusaha mengintensifkan

divisi penerbitannya, yakni untuk menerbitkan buku-buku yang bersumber dari Harian

Kompas sendiri. Tradisi mengantologikan cerpen adalah tradisi penerbitan yang “paling tua”

di Harian Kompas. Sejak 1992 Kompas tiap tahun (kecuali tahun 1998) menerbitkan

kumpulan cerpen terbaik.

Page 2: Cerpen Tahun 2000

Cerpen pilihan Kompas tahun 2000 ini diantologikan dengan judul Dua Tengkorak

Kepala, yaitu mengambil dari judul cerpen pilihan terbaik dalam antologi ini, yakni karya

Motinggo Busye. Cerpen ini menampilkan potret tragedi kehidupan masyarakat Aceh selama

dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM). Cerpen yang merupakan cerpen terakhir karya

Motinggo Busye ini—sebelum ia meninggal dunia—mengisahkan tokoh bernama Ali yang

tewas dalam pembantaian militer dan dikubur secara massal di Desa Dayah Baureuh.

Kisah tragis Ali dalam cerpen ini mampu dikelola secara baik oleh Motinggo Busye sehingga

cukup memperkental makna dan pesan yang hendak disampaikan. Lihatlah misalnya di

bagian akhir cerita, ketika Motinggo Busye berusaha memperhadapkan tragedi pembantaian

terhadap kakek si “aku” yang merupakan korban pembantaian fasisme Jepang dengan

pembantaian terhadap Ali, seperti tergambar dalam kalimat: “Lalu teman saya Ali,

bagaimana? Dia malah bukan korban kekejaman tentara penjajah, melainkan korban

kekejaman tentara bangsa sendiri?”. Ada nada sinis yang terasa getir dalam kalimat itu yang

semakin mempertebal kesan pembaca.

Cerita tentang Aceh juga ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma dalam cerpennya

berjudul Telepon dari Aceh. Cerpen ini berkisah tentang sekeluarga pejabat Orde Baru yang

korup yang sedang makan-makan bersama di sebuah restoran, hingga kemudian menerima

interlokal dari Aceh. Interlokal itu mengabarkan tentang kematian saudara bungsu istri

pejabat itu. Setibanya di rumah, di luar kemudian terjadi hujan darah—darah korban

kekerasan militer yang dikirim dari Aceh.

Selain tentang tragedi Aceh, profil kehidupan mahasiswa yang lekat dengan simbol

reformasi di Indonesia juga tak lepas dari pengamatan cerpenis Kompas. Cerpen Harris

Effendi Thahar misalnya, berjudul Darmon, berkisah tentang profil seorang aktivis

pergerakan mahasiswa bernama Darmon. Dalam cerita ini digambarkan sosok Darmon yang

secara fisik sama sekali tidak necis, bahkan kelihatan tidak intelek, ternyata memiliki kadar

pengetahuan dan kepedulian sosial yang cukup tinggi. Seorang pegawai yang kebetulan

bertemu dengan Darmon, lantaran Darmon mengantarkan anaknya, terkejut dan kagum

dengan kenyataan itu, Diam-diam si pegawai mengidealkan sosok Darmon yang aktivis itu.

Kisah tentang mahasiswa yang tergolong aktivis reformasi ternyata tidak melulu

mengantarkan kepada pujian dan perasaan kagum semata. Jujur Prananto melalui cerpennya

yang berjudul Seusai Revolusi tampaknya berusaha menampilkan tipe aktivis mahasiswa

yang lain dengan apa yang diceritakan Harris Effendi Thahar. Jujur menyajikan paradoks

Page 3: Cerpen Tahun 2000

sosok aktivis mahasiswa yang hanya menjadikan isu reformasi sebagai komoditas politik

belaka—tidak didasarkan atas kepekaan dan tanggung jawab sosial sebagai mahasiswa.

Tokoh bernama Hendaru dalam cerpen ini digambarkan kebingungan ketika mengetahui dana

organisasinya—yakni organisasi yang menjadi wadah para aktivis mahasiswa—mulai

menipis dan mulai kekurangan untuk kegiatan sehari-hari. Apa yang dilakukan Hendaru di

akhir cerpen ini adalah sebuah tindakan yang terkesan paradoks: “menjual” proposal kepada

sebuah yayasan internasional untuk sebuah isu buruh yang sebenarnya tidak proporsional.

Sebuah sindiran yang sepertinya memang patut direnungkan!

Cerpen-cerpen dalam antologi ini pada umumnya memang banyak memberikan

kesaksian atas carut-marut kehidupan Indonesia saat ini yang sedang tertimpa krisis multi-

dimensional. Fenomena realitas sosial yang begitu beragam dan bersifat tragis dikemukakan

dengan sarana cerpen.

Persoalannya adalah, apakah cerpen cukup mampu memberikan alternatif bagi

pembaca untuk menemukan “sesuatu yang lain” yang tidak didapatkan dalam berita di koran

atau majalah. Goenawan Mohamad dalam pengantar buku ini mengutip Walter Benjamin

yang mengatakan: “setiap pagi membawa kita berita dari seantero bumi, tapi toh kita hampir

tak punya cerita-cerita yang layak dicatat.” Apa yang hendak dikemukakan Goenawan

dengan kutipan tersebut adalah bahwa sebenarnya cerpen berhadapan dengan realitas sosial

memiliki ruang yang cukup lebar untuk menempatkan dirinya, yakni untuk mengendapkan

makna berbagai peristiwa dalam suatu formulasi kisah yang menawan. Seorang penyair,

dengan demikian, bergelut dengan berbagai peristiwa faktual untuk kemudian mengantarkan

pembaca kepada suatu penghayatan atas fakta melalui makna peristiwa yang bersifat dalam.

Peran bahasa yang menjadi elemen penting dalam bercerita tentu saja sangat penting. Karena

itu, menurut Goenawan, penjelajahan terhadap potensi-potensi bahasa seharusnya dijadikan

prioritas utama dalam penulisan cerpen. Kritik Goenawan terhadap cerpen-cerpen yang

termuat dalam antologi ini adalah keterikatannya terhadap realitas faktual yang terlalu besar

sehingga memiskinkan kreativitas penulisnya untuk bermain-main dengan dunia bahasa

secara lebih maksimal.

Beberapa cerpen dalam antologi ini yang mengambil latar kehidupan sosial-politik di

Indonesia memang mengalami dilema tersebut di atas. Ketika cerpen ditulis, dan ada tuntutan

agar cerpen itu memberikan pesan tertentu kepada pembaca, maka ketika itu cerpen menjadi

“kuda tungganggan” gagasan atau pesan yang henak disampaikan itu. Karena itu, tak heran

Page 4: Cerpen Tahun 2000

bila dalam pengamatan Goenawan beberapa cerpenis Kompas dalam antologi ini terjebak

dalam persoalan ini. Terlepas dari hal itu, pembaca tentu dapat memberikan penilaian

tersendiri terhadap kualitas cerpen-cerpen dalam antologi ini.

Kumpulan cerpen Kompas tahun 2000 ini berisi 16 cerpen pilihan yang ditulis oleh

cerpenis-cerpenis terkemuka: Motinggo Busye, Herlino Soleman, Hamsad Rangkuti, Umar

Kayam, Prasetyohadi, Harris Effendi Thahar, Ratna Indraswari Ibrahim, Yanusa Nugroho,

Abel Tasman, Jujur Prananto, Seno Gumira Ajidarma, Arie MP Tamba, Bre Redana, Nenden

Lilis A, A.A., Navis, dan Gus tf Sakai.

Pada umumnya, cerpen-cerpen dalam antologi ini memang seperti memberi kesaksian

atas dinamika kehidupan Indonesia saat ini. Selain potret kehidupan demokrasi yang kental

dengan suasana politis, seperti dalam cerpen Dua Tengkorak Kepala, Telepon dari Aceh,

Darmon, atau Seusai Revolusi, cerpen berjudul Usaha Beras Jrangking karya Prasetyohadi,

Bulan Angka 11 karya Arie MP Tamba, atau Metropolitan Sakai karya Abel Tasman

berusaha menampilkan berbagai gejolak perubahan sosial yang terjadi di tanah air.

Cerpen-cerpen dalam antologi ini memang layak diapresiasi bersama. Setidaknya, ada tiga

alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, antologi ini dapat dijadikan sebagai tolok ukur

perkembangan “sastra koran” yang marak dalam kehidupan kesusastraan di tanah air. Kedua,

cerpen-cerpen dalam antologi ini dapat dilihat sebagai sebuah cara pandang para sastrawan

Indonesia berhadapan dengan realitas sosial-politik di negerinya. Ketiga, secara umum dapat

dikatakan bahwa cerpen berusaha mengail gagasan dan pesan dari realitas sosial melalui

realitas tekstual yang ia bangun. Pada gilirannya, kepada pembaca, cerpen akhirnya

menyajikan semacam pengalaman tekstual yang bersifat alternatif berhadapan dengan realitas

faktual di masyarakat.