CERITA RAKYAT KANJENG RADEN ADIPATI TUMENGGUNG …/Cerita... · 2. Keadaan Penduduk ... di Desa...
Transcript of CERITA RAKYAT KANJENG RADEN ADIPATI TUMENGGUNG …/Cerita... · 2. Keadaan Penduduk ... di Desa...
i
CERITA RAKYAT KANJENG RADEN ADIPATI TUMENGGUNG KOLOPAKING DI DESA KALIJIREK KECAMATAN KEBUMEN
KABUPATEN KEBUMEN JAWA TENGAH
(Suatu Tinjauan Folklor)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra
Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Oleh:
Renggo Jatmiko C0104029
JURUSAN SASTRA DAERAH FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2009
ii
CERITA RAKYAT KANJENG RADEN ADIPATI TUMENGGUNG KOLOPAKING DI DESA KALIJIREK KECAMATAN KEBUMEN
KABUPATEN KEBUMEN JAWA TENGAH
(Suatu Tinjauan Folklor)
Disusun oleh : Renggo Jatmiko
C0104029
Telah disetujui oleh pembimbing
Pembimbing I
Drs. Christiana Dwi Wardhana, M. Hum. NIP. 130 935 347
Pembimbing II
Dra. Sundari, M. Hum. NIP. 130 935 348
Mengetahui Ketua Jurusan Sastra Daerah
Drs. Imam Sutarjo, M. Hum. NIP. 131 695 222
iii
CERITA RAKYAT KANJENG RADEN ADIPATI TUMENGGUNG KOLOPAKING DI DESA KALIJIREK KECAMATAN KEBUMEN
KABUPATEN KEBUMEN JAWA TENGAH
(Suatu Tinjauan Folklor)
Disusun oleh : Remggo Jatmiko
C0104029
Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
pada tanggal 2009
Jabatan Nama Tanda Tangan
Ketua Dra. Dyah Padmaningsih, M. Hum. .................. NIP. 131 569 259 Sekretaris Siti Muslifah, SS. M. Hum .................. NIP. 132 309 444 Penguji I Drs. Christiana D. W, M. Hum. ………....... NIP. 130 935 347 Penguji II Dra. Sundari, M. Hum. ...……….... NIP. 130 935 348
Dekan
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Drs. Sudarno, M.A NIP. 131 472 202
iv
PERNYATAAN
Nama : Renggo Jatmiko NIM : C0104029 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa, skripsi berjudul Cerita Rakyat Kanjeng Raden Adipati Tumenggumg Kolopaking di Desa Kalijirek Kecamatan Kebumen Kabupaten kebumen Jawa Tengah (Suatu Tinjauan Folklor) adalah betul-betul karya sendiri, dan bukan plagiat, dan tidak dibuatkan orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda atau kutipan dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut. Surakarta, 2009
Yang membuat pernyataan
Renggo Jatmiko
v
MOTTO
Percayalah pada dirimu sendiri dan apapun yang kamu impikan.
Jangan pernah katakan
“aku tak bisa ” tapi katakanlah
“aku pasti bisa” dan kau akan mendapat impianmu
(Penulis)
“Kalau anda tidak berpikir tentang masa depan,
Anda tidak akan pernah memilikinya ”
(John Gale)
“Masa depan tidak pernah terjadi begitu saja
Masa depan itu mesti diciptakan”
(Will and Ariel Durrant)
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan untuk:
1. Bapak, Ibu tercinta
2. Almamaterku
3. Kekasih tercinta “Mediawati Fitriani”
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, karena
berkat petunjuk dan kemudahan dari-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul Cerita Rakyat Kanjeng Raden Adipati Tumenggung Kolopaking di
Desa Kalijirek Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen Jawa Tengah (Suatu
Tinjauan Folklor). Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah
Muhammad SAW.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana pada Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas
Sebelas Maret Surakarta. Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari dorongan,
bantuan dan bimbingan dari banyak pihak.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. Drs Sudarno, M.A. selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa,
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah mengijinkan dalam
penyusunan skripsi ini.
2. Drs. Imam Sutarjo, M. Hum. selaku Ketua Jurusan Fakultas Sastra dan
Seni Rupa, yang telah memberikan kesempatan dan ilmunya dalam
penyusunan skripsi ini.
3. Dra. Dyah Padmaningsih, M. Hum. selaku Sekretaris Jurusan Sastra
Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
viii
4. Drs. Christiana Dwi Wardhana, M. Hum. selaku Pembimbing I yang telah
memberi bimbingan dengan tulus dan dorongan sebagai sumber inspirasi
untuk penulisan skripsi ini.
5. Dra. Sundari, M. Hum. selaku Koordinator Bidang Sastra, sekaligus
Pembimbing II yang banyak memberi nasehat dan dorongan untuk
menyelesaikan skripsi ini.
6. Drs. Wakit Abdullah, M. Hum. selaku Pembimbing Akademik yang telah
membembing penulis selama setudi di Jurusan Sastra Daerah, dengan
penuh perhatian dan kebijaksanaan.
7. Seluruh Dosen-dosen Jurusan Sastra Daerah yang telah memberikan
ilmunya sebagai bekal untuk penulis semoga bermanfaat khususnya
penulis sendiri dan bagi masyarakat umumnya.
8. Pimpinan Staf Tata Usaha Fakultas Sastra dan seni Rupa Universitas
Sebelas Maret yang telah membantu dalam Administrasi.
9. Kepala dan Staf perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa maupun
Pusat Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan kemudahan
dalam pelayanan kepada penulis, khususnya selama menyelesaikan skripsi.
10. Kakak-kakakku, Mas Pur, Mas Aris, Mas Dodo, Mas Koko, Mas Uung,
Mas Ambar, keceriaan, kesedihan dan dorongan moril kalian memberikan
motivasi kepada penulis.
11. Keluarga besar Bapak Sugeng Riyadi, S,Pd. yang telah memperlakukan
penulis layaknya anak sendiri, terima kasih atas kebaikan yang telah
diberikan pada saat penelitian dilaksanakan.
ix
12. Bapak Mulyadi, Juru Kunci Makam Kanjeng Raden Adipati Tumenggung
Kolopaking, yang telah banyak memberikan informasi mengenai data
skripsi ini.
13. Bapak Amad Miftahudin,selaku Kepala Desa Kalijirek yang telah
menerima penulis dengan baik.
14. Keluarga Bapak Margo Mulyono, yang telah banyak mendukung atas
pembuatan skripsi ini, terima kasih atas suport dan doa-doanya.
15. Sahabat-sahabatku yang selalu ceria: Didik, Nana, Licka, Landung, Dewi
dan Ayu Jurusan Sastra Daerah angkatan 2004.
16. Teman seperjuangan Amad, Arif, Galih, Wira, Redes, Bakti, dan anak-
anak Gedung Putih yang tidak bisa saya sebutkan satu-per satu. Terima
kasih atas semua bantuan, dukungan dan doanya.
17. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih
atas bantuan dan dorongannya selama menjalankan penulisan skripsi ini.
Semoga kebaikan dan ketulusan hati semua pihak yang telah diberikan
kepada penulis mendapat pahala dan balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari
bahwa penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan, segala kritik dan saran
yang bersifat membangun terbuka bagi penulis. Semoga hasil penulisan skripsi ini
bermanfaat bagi pembaca.
Surakarta, 2009
Penulis
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN....................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ iii
HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................... iv
HALAMAN MOTTO.................................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................... vi
KATA PENGANTAR ................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................. x
DAFTAR SINGKATAN............................................................................... xiii
DAFTAR TABEL.......................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR..................................................................................... xv
ABSTRAK..................................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Perumusan Masalah .................................................................... 10
C. Tujuan Penelitan.......................................................................... 11
D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 12
E. Sistematika penulisan................................................................... 13
BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian Cerita Rakyat ............................................................ 14
B. Ciri-ciri Cerita Rakyat................................................................. 15
xi
C. Bentu-bentuk Cerita Rakyat ........................................................ 16
D. Fungsi Cerita Rakyat................................................................... 17
E. Pendekatan Folklor...................................................................... 17
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian ........................................................................ 20
B. Bentuk Penelitian ........................................................................ 20
C. Sumber Data dan Data ................................................................ 21
D. Populasi dan Sampel ................................................................... 22
E. Teknik Pengumpulan Data.......................................................... 23
F. Validitas Data.............................................................................. 25
G. Teknik Analisis Data................................................................... 25
BAB IV ANALISIS
A. Profil Masyarakat Desa Kalijirek................................................ 27
1. Demografi Masyarakat ........................................................... 27
2. Keadaan Penduduk ................................................................. 27
B. Bentuk dan Deskripsi Cerita K.R.A.T. Kolopaking.................... 34
1. Bentuk Cerita Rakyat K.R.A.T. Kolopaking.......................... 34
2. Deskripsi Cerita Rakyat K.R.A.T. Kolopaking...................... 35
C. Artefak-artefak dan Tradisi Budaya yang terkait dengan Cerita Rakyat
K.R.A.T. Kolopaking .................................................................. 51
1. Artefak-artefak K.R.A.T. Kolopaking.................................... 51
2. Tradisi Budaya Masyarakat.................................................... 51
D. Nilai-nilai yang terkandung dalam Cerita Rakyat K.R.A.T.
Kolopaking.................................................................................. 53
xii
1. Kesetiaan ................................................................................ 54
2. Kasih Sayang.......................................................................... 56
3. Keberanian.............................................................................. 59
4. Patriotisme.............................................................................. 61
5. Tanggung Jawab...................................................................... 63
6. Kejujuran................................................................................. 64
E. Respon Masyarakat Desa Kalijirek terhadap Cerita K.R.A.T.
Kolopaking.................................................................................. 65
1. Generasi muda mengaku asing............................................... 65
2. Ceritanya telah lama terkubur ................................................ 68
3. Perlu dilakukan penggalian data-data sejarah Kolopaking .... 70
4. Belum masuk ke bahan ajar sekolah sebagai muatan lokal.... 71
5. Belum dipandang sebagai suatu aset ...................................... 72
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 73
B. Saran............................................................................................ 76
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 79
LAMPIRAN .................................................................................................. 80
xiii
DAFTAR SINGKATAN
Dok : Dokumen
Dll : Dan lain-lain
Dsb : Dan sebagainya
Ha : Hektar
K.R.A.T. Kolopaking : Kanjeng Raden Adipati Tumenggung Kolopaking
Kab. : Kabupaten
Kec. : Kecamatan
Km : Kilometer
M : Meter
MAN : Madrasah Aliyah Negeri
SDN : Sekolah Dasar Negeri
SMA : Sekolah Menengah Atas
SMP : Sekolah Menengah Pertama
SWT : Subbhannaahu Waa Ta’ala
Th : Tahun
YME : Yang Maha Esa
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin
di Desa Kalijirek Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen
Tabel 2. Jumlah komposisi penduduk berdasarkan pendidikan
di Desa Kalijirek Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen
Tabel 3. Komposisi penduduk berdasarkan pekerjaan atau mata pencaharian di
Desa Kalijirek Kecematan Kebumen Kabupaten Kebumen
Tabel 4. Penganut agama dan kepercayaan di Desa Kalijirek Kecamatan Kebumen
Kabupaten Kebumen
Tabel 5. Jumlah sarana peribadatan di Desa Kalijirek Kecamatan Kebumen
Kabupaten Kebumen
xv
DAFTAR GAMBAR
Petilasan (Makam) K.R.A.T. Kolopaking
Gambar 1 : Area Makam K.R.A.T. Kolopaking.
Gambar 2 : Pintu Masuk Makam K.R.A.T. Kolopaking.
Gambar 3 : Peneliti Renggo Jatmiko di Pintu Masuk Makam K.R.A.T.
Kolopaking.
Gambar 4 : Makam K.R.A.T. Kolopaking I dan II.
Gambar 5 : Makam K.R.A.T. Kolopaking III.
Gambar 6 : Makam K.R.A.T. Kolopaking IV.
Gambar 7 : Makam Keluarga K.R.A.T. Kolopaking.
Gambar 8 : Peneliti dengan Juru Kunci.
Gambar 9 : Makam Tan Peng Nio dilihat dari depan.
Gambar 10: Makam Tan Peng Nio dilihat dari samping.
Gambar 11: Peziarah Mengadakan Tahlilan.
Gambar 12: Rombongan Bupati Membaca Doa.
Gambar 13: Doa Penutup oleh Pak Kyai Sahiyat.
Gambar 14: Persiapan Penaburan Bunga.
Gambar 15: Penaburan Bunga oleh Peziarah.
Gambar 16: Silsilah Keluarga K.R.A.T. Kolopaking.
Gambar 17: Kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan.
Gambar 18: Reruntuhan yang berdiri di tanah Sikenceng.
xvi
Masjid Kalijirek
Gambar 19: Masjid Mubarok di Desa Kalijirek dilihat dari depan.
Gambar 20: Masjid Mubarok di Desa Kalijirek dilihat dari samping.
Desa Kalijirek
Gambar 21: Kantor Kepala Desa Kalijirek dilihat dari samping.
Gambar 22: Kantor Kepala Desa Kalijirek dilihat dari depan.
xvii
ABSTRAK
Renggo Jatmiko C0104029. Cerita Rakyat Kanjeng Raden Adipati Tumenggung Kolopaking di Desa Kalijirek Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen Jawa Tengah (Suatu Tinjauan Folklor). Skripsi: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Latar belakang Penelitian ini adalah Cerita Rakyat dapat di kategorikan sebagai Sastra lisan. Sastra lisan merupakan manifestasi kreativitas manusia yang hidup dalam kolektifitas masyarakat yang memilikinya dan diwariskan turun-temurun secara lisan dari generasi ke generasi. Cerita Rakyat K.R.A.T. Kolopaking mengandung nilai-nilai, kegunaan, sehingga perlu penguraian terhadap nilai-nilai kultural bagi masyarakat pendukungnya dan melalui penelitian ini dapat diketahui pula sejauh mana profil masyarakat Desa Kalijirek Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen Jawa Tengah, bentuk, dan isi Cerita Rakyat K.R.A.T. Kolopaking, adat atau tradisi yang dilakukan oleh masyarakat sekitar petilasan K.R.A.T. Kolopaking dalam merawat serta melestarikannya.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah profil masyarakat pemilik cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking? (2) Bagaimanakah bentuk dan isi cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking? (3) Adakah artefak-artefak dan tradisi budaya yang terkait dengan cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking? (4) Nilai-nilai ajaran apakah yang terkandung dalam cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking? (5) Bagaimanakah respon masyarakat terhadap keberadaan cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking?
Tujuan penelitian ini adalah (1) Mendeskripsikan profil masyarakat pemilik cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking. (2) Mendeskripsikan bentuk dan isi cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking. (3) Menjelaskan artefak-artefak dan tradisi budaya yang terkait dengan cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking. (4) Mendeskripsikan nilai-nilai ajaran yang terkandung dalam cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking. (5) Menjelaskan respon masyarakat terhadap keberadaan cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking.
Manfaat penelitian berkaitan dengan penelitian ini dapat ditinjau dari beberapa sudut pandang diantaranya sumber data dan data. Sumber data primer adalah data utama, dalam penelitian ini sumber data primernya adalah informan atau responden yang mengetahui cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking. Sumber data sekunder adalah data pelengkap atau data pendukung yang sedikit banyak membantu kesahihan suatu penelitian. Data juga dibedakan menjadi data primer dan data sekunder. Data primer adalah hasil wawancara dengan informan tentang cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking. Data sekunder adalah keterangan dan data yang terambil dari buku-buku atau referensi yang relevan dengan topik penelitian.
Metode penelitian yang digunakan sebagai berikut: Lokasi penelitian berada di Desa Kalijirek Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen Jawa
xviii
Tengah. Penelitian ini bertumpu pada landasan teori Folklor dan pendekatan yang dipakai ialah Folklor. Langkah-langkah yang dilakukan untuk mencapai tujuan dari penelitian ini dengan mengunakan teknik wawancara, observasi langsung (lapangan), studi dokumen atau kepustakaan, dan teknik analisis isi (content analisys). Teknis analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi: pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, penganalisaan dan penarikan kesimpulan.
Berdasarkan hasil analisis data, dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Profil masyarakat pemilik cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking, ditinjau dari segi geografis, demografis, agama dan kepercayaan, sosial budaya, tradisi masyarakat. (2) Bentuk dan isi cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking juga mengandung mite, diantaranya kepercayaan bahwa tokoh ceritanya memiliki kekuatan istimewa. Misalnya tetesan darah K.R.A.T. Kolopaking berubah menjadi ular-ular “jadi-jadian”. Selain itu cerita rakyat tersebut juga mengandung legenda, yaitu kejadian atau penamaan suatu tempat. Misalnya pemberian nama pesawahan Si Kenceng dan asal mula Desa Jatimalang. (3) Artefak-artefak dan tradisi budaya yang terkait dengan cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking, tidak ada peninggalan benda-benda pusaka selain makam tersebut,lemari, dan meja ukir. Sedangkan tradisi budaya berupa ritual doa bersama, tahlilan, membaca surat-surat pendek,dan tabur bunga. (4) Nilai-nilai ajaran yang terkandung dalam cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking, sebagai berikut: kesetiaan, kasih sayang, keberanian, patriotisme, tanggung jawab dan kejujuran. (5) Respon masyarakat terhadap keberadaan cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking adalah sebagai berikut: generasi muda mengaku asing, ceritanya telah lama terkubur, perlu dilakukan penggalian data-data sejarah Kolopaking, belum masuk ke bahan ajar sekolah sebagai muatan lokal, belum dipandang sebagai suatu aset.
BAB I
xix
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Warisan budaya nenek moyang kita mengandung nilai-nilai atau ajaran luhur seperti
kejujuran, keberanian, patriotisme, kesetiaan, kasih sayang, rela berkorban, dan sebagainya.
Nilai-nilai atau ajaran luhur tersebut bersifat universal , tak lekang dimakan usia dalam arti
tetap aktual dan sesuai diterapkan di segala zaman. Warisan nilai-nilai budaya adi luhur
tersebut banyak terdapat dalam folklor.
Folklor adalah suatu budaya kolektif yang memiliki sejumlah ciri khas yang tidak
dimiliki budaya lain (Laelasari dan Nurlaela, 2006: 100). Folklor juga didefinisikan sebagai
bagian dari kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun-menurun di
antara kolektif macam apa saja secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam
bentuk lisan maupun disertai contoh dengan gerak isyarat atau alat bantu (James Danandjaja,
1984: 2). Folklor berupa karya sastra yang lahir dan berkembang dalam masyarakat
tradisional dan disebarkan dalam bentuk yang relatif tetap atau dalam bentuk baku dan
disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama disebut cerita rakyat
(James Danandjaja, 1984: 4).
Salah satu cerita rakyat yang hingga kini masih hidup di kalangan masyarakat
Kebumen adalah kisah tentang Kanjeng Raden Adipati Tumenggung Kolopaking
selanjutnya ditulis K.R.A.T. Kolopaking. Kisah yang tepat dikelompokkan ke dalam epos
tersebut diwariskan dari generasi ke generasi secara lisan. Pernah pula dipentaskan melalui
sebuah pertunjukan kethoprak pada acara memperingati Hari Jadi Kebumen.
K.R.A.T. Kolopaking adalah penguasa Kebumen yang pada waktu itu masih
bernama Panjer Roma. Wilayahnya meliputi Rowo Ambal, Bocor, Petanahan, Puring,
Gombong, Karanganyar, Panjer, Kutowinangun, dan Prembun dengan ibukota Panjer.
K.R.A.T. Kolopaking adalah sosok yang teguh dalam berpendirian, memiliki kesetiaan atau
loyalitas yang tinggi, dan berani menentukan pilihan dengan berbagai resikonya.
xx
Diceritakan bahwa pada suatu ketika Istana Kerajaan Mataram berhasil direbut oleh
pemberontak bernama Pangeran Trunojoyo dari Madura. Raja Mataram, yakni Sunan
Amangkurat I menyingkir. Sunan bersama rombongannya bergerak menuju Kasunanan
Cirebon. Beberapa hari kemudian, pada waktu menjelang Magrib, Sunan dan rombongannya
tiba di Rowo Ambal. K.R.A.T. Kolopaking yang masih mengakui Sunan Amangkurat I
sebagai raja yang sah menjemputnya dan mempersilakannya singgah di Panjer.
Keputusan menerima Sunan Amangkurat I, di satu sisi merupakan bentuk kesetiaan
atau loyalitasnya yang tinggi terhadap raja Mataram yang sedang dalam pelarian itu. Di sisi
lain menunjukkan keberaniannya dalam menentukan pilihan yang mengandung resiko besar,
sebab jika hal itu diketahui oleh Pangeran Trunojoyo, maka ia dianggap oleh penguasa baru
itu membantu pelarian dan hukumannya tidak ringan.
K.R.A.T Kolopaking melihat Sunan Amangkurat I, selain menderita kelelahan
setelah melakukan perjalanan panjang juga mengidap suatu penyakit. Setelah melakukan
analisa K.R.A.T. Kolopaking mendiagnosa Sunan Amangkurat I menderita keracunan. Ia
segera mencari buah kelapa untuk diambil airnya sebagai penawar racun. Oleh karena
keadaan Sunan sudah sangat gawat, maka buah kelapa yang kulitnya sudah kering ( klapa
aking) pun jadilah. Air kelapa segera diminumkan dan tak lama kemudian Sunan muntah-
muntah. Selanjutnya keadaannya berangsur-angsur membaik.
Beliau selain menderita penyakit fisik seperti kelelahan dan keracunan, Sunan
Amangkurat I menderita batin yang luar biasa. Ia telah dilengserkan dari kursi kekuasaannya
dan harus berkelana. Ketika banyak orang menghargai orang lain karena kedudukannya,
K.R.A.T. Kolopaking tidak. Sunan Amangkurat I, walaupun tahtanya telah direbut orang lain
dan tidak lagi memiliki kekuasaan, K.R.A.T.. Kolopaking masih menganggap dan
memperlakukannya sebagai raja. Sikap demikian dapat dikatakan sebagai nguwongake atau
menghargai orang lain pada tataran terhormat. Di sisi lain sikap dan K.R.A.T. Kolopaking
merupakan obat bagi penyakit batin yang sedang diderita oleh Sunan Amangkurat I. Semua
itu dilakukan K.R.A.T. Kolopaking dengan tanpa pamrih.
xxi
Jiwa patriotisme dan kepahlawanan ditunjukkan oleh K.R.A.T Kolopaking masa
pecahnya Perang Diponegoro. K.R.A.T. Kolopaking secara terang-terangan membela
Pangeran Diponegoro dalam usahanya memerangi Kolonial Belanda. Ia mengerahkan seluruh
kemampuan yang ada guna membantu Pangeran Diponegoro yang berperang demi menjaga
martabat tanah kelahirannya. Akibat dari sikapnya itu, karena Belanda menerapkan siasat adu
domba, K.R.A.T. Kolopaking harus berhadapan dengan Adipati Arungbinang. Akibat yang
lebih parah ia harus menyerahkan kekuasaannya atas Panjer Roma (Kebumen) kepada
Adipati Arungbinang yang mendapat bantuan penuh dari Kolonial Belanda.
Berani menjatuhkan pilihan harus berani pula menanggung resikonya. Akibat
memilih membantu perjuangan Pangeran Diponegoro K.R.A.T. Kolopaking kehilangan
kedudukannya. Ia juga harus menyaksikan pembantu-pembantu setianya satu-persatu
ditangkap dan dihukum mati. Bahkan K.R.A.T. Kolopaking sendiri harus beradu satu lawan
satu melawan Adipati Arumbinang. Menurut cerita peristiwa itu terjadi di sawah Sikenceng
yang sekarang lokasinya di timur Stadion Candradimuka, Kebumen. Pada pertarungan itu
lengan K.R.A.T. Kolopaking terluka dan mengeluarkan darah. Sebagian masyarakat masih
percaya bahwa ceceran darahnya berubah menjadi banyak ”ular”. Sampai sekarang sawah
Sikenceng terkenal angker dan dihuni banyak ular yang bukan ular biasa Mitos tersebut
masih hidup hingga kini. Terbukti rumah yang dibangun di sudut sawah Sikenceng hanya
beberapa hari dihuni setelah dibangun, karena ”ular” sering mengganggu penghuninya. Hal
itu terjadi pada tahun 1980-an dan hingga kini pondasi rumah dan puing-puingnya masih
terlihat.
K.R.A.T. Kolopaking juga merupakan sosok yang tidak memandang suku dalam
pergaulannya. Untuk membantu Pangeran Mas Garendi yang sedang berperang melawan
Kolonial Belanda, K.R.A.T. Kolopaking merekrut pemuda-pemuda Cina untuk dilatih
kemiliteran dan kemudian diperbantukan kepada Pangeran Mas Garendi di Boyolali-
Kartosuro Mataram (Kotapraja). Sampai beberapa tahun kemudian ia bersahabat dengan
pemuda Cina bernama Tan Ping.
xxii
Banyak nilai-nilai luhur yang terkandung dalam cerita rakyat tentang K.R.A.T.
Kolopaking dan relevan di-ejawantah-kan pada kehidupan masa kini. Adapun alasan
mengapa Cerita Rakyat K.R.A.T. Kolopaking penulis pilih sebagai objek kajian dapat
diterangkan sebagai berikut:
1. Kejujuran
Pada waktu Mataram merencanakan penyerangan terhadap VOC di Batavia
(Jakarta), penguasa Panjer Roma dipercaya menjadi Adipati bidang pangan. Didirikanlah
lumbung-lumbung sebagai tempat penyimpanan bahan pangan yang disediakan bagi tentara
yang akan mengadakan perjalanan jarak jauh ke Batavia.
Penunjukan penguasa Panjer Roma sebagai Adipati bidang pangan tentu ada
alasannya. Satu hal yang pasti adalah kejujuran. Tanpa memiliki predikat jujur mustahil dia
diberi jabatan ”basah” itu. Bagi orang yang tidak kuat imannya atau tidak jujur, jabatan itu
dapat digunakan untuk memperkaya diri sendiri atau yang sekarang populer dengan sebutan
korupsi.
Pada era sekarang kita mendambakan pemimpin-pemimpin yang jujur. Kita tak ingin
mendengar lagi berita: oknum Kepala Dinas ”anu” ; Gubernur ”itu”; Bupati ”sana”; Ketua
”apa” ; atau pemegang jabatan strategis lainnya dimasukkan penjara gara-gara korupsi. Uang
negara dicatut mulai dari ratusan juta hingga milyaran, bahkan sampai trilyunan rupiah
berpindah ke pundi-pundi kekayaan pribadi para koruptor. Sementara di pihak lain, rakyat
masih menderita. Kita menginginkan pemimpin yang dapat membawa rakyatnya sejahtera.
Pemimpin yang mampu berbuat seperti itu adalah pemimpin yang jujur. Pepatah: siapa jujur
akan hancur hendaknya dibuang jauh-jauh dari benak pemimpin-pemimpin masa kini.
Kejujuran dalam Cerita Rakyat Kolopaking ini bisa dijadikan satu teladan.
2. Keberanian
Sikap berani letaknya di dalam hati. Keberanian itu baru dapat dilihat dari tindakan
yang dilakukan oleh si pemilik hati . Wujud dari sikap berani dapat bermacam-macam.
Kolopaking memilih bergabung dengan Pangeran Diponegoro memerangi VOC termasuk
manifestasi keberanian itu. Tanpa memiliki keberanian mustahil ia memilih jalan itu.
xxiii
Bukankah dengan memilih bergabung dengan Pangeran Diponegoro sama dengan mengambil
Belanda sebagai musuh? Padahal kita tahu persenjataan mereka lebih modern dan
pengikutnya lebih banyak, termasuk orang-orang pribumi pengkhianat.
Keberanian semacam itu juga ditunjukkan oleh Kolopaking ketika menerima
Amangkurat I singgah di Panjer Roma. Padahal pada waktu itu beliau adalah raja yang terusir
dari tahtanya oleh Pangeran Trunojoyo. Berani menampung Amangkurat I sebagai pelarian
berarti menjadi musuh Pangeran Trunojoyo.
Keberanian juga penting dimiliki oleh pemimpin masa kini, tentu saja untuk
membela kebenaran dan kepentingan rakyat. Berita-berita mengecewakan tentang pemimpin
yang ”tidak mau” menunjukkan sikap keberaniannya santer terdengar akhir-akhir ini.
Misalnya kasus pembalakan liar terus saja terjadi, walaupun banyak pihak menyerukan hal itu
agar segera dihentikan. Pelaku yang telah tertangkap juga tak diberi ganjaran hukuman
setimpal. Ada sinyalemen ”Sang Pemimpin” takut karena si pembalak di-beking-i oleh
seseorang yang sangat disegani. Dengan kata lain ”Sang Pemimpin” takut resiko, misalnya
jabatannya dicabut. Demikian pula dalam beberapa kasus lainnya. Cukuplah keberanian
Kolopaking jadi teladan.
3. Patriotisme
Pada sisi yang lain ketetapan Kolopaking memilih bergabung dengan Amangkurat I
dan Pangeran Diponegoro di masa berikutnya adalah karena didorong oleh kecintaannya
terhadap negeri tumpah darahnya. Sedumuk bathuk, senyari bhumi, itulah semboyan yang
terpatri di sanubarinya. Jiwa dan raga ia relakan demi kejayaan negeri. Lebih baik mati
berkalang tanah daripada hidup terjajah. Oleh karena itu kehilangan jabatan bukanlah hal
yang ditakuti. Apalagi berjuang mempertahankan kejayaan negara termasuk ibadah.
4. Kesetiaan
Kesetiaan bisa jadi berkait erat dengan sikap teguh dalam berpendirian. Kesetiaan
dapat ditujukan kepada seseorang, dapat pula terhadap prinsip atau keyakinannya sendiri. Di
mata Kolopaking, Amangkurat I, sekalipun telah terusir dari istananya tetaplah Raja
Mataram. Oleh karena itu kedatangannya di Panjer Roma dalam pelariannya menuju Cirebon
xxiv
disambut dengan sangat hormat. Andaikata Amangkurat I berkenan pasti dimohon untuk tetap
tinggal di Panjer Roma. Keputusan semacam itu, termasuk ketika memilih bergabung dengan
Pangeran Diponegoro melawan Kolonial Belanda tentu telah melalui berbagai pertimbangan.
Pilihan itulah akhirnya yang diyakini paling benar. Oleh karena itu selanjutnya ia berjuang
sekuat tenaga untuk mempertahankan prinsipnya. Dengan kata lain ia setia terhadap pilihan
atau keyakinannya itu.
Kesetiaan dan sikap teguh dalam berpendirian juga relevan dimiliki oleh generasi
sekarang, bukan hanya para pemimpin, melainkan juga rakyat jelata. Suap-menyuap dan
politik uang tak mungkin dapat dijalankan jika setiap orang memilih kesetiaan terhadap
”nilai-nilai kebenaran” dan teguh dalam berpendirian. Sayangnya semangat seperti itu telah
mengendor. Bahkan pada pemilihan kepala desa saja, jika tidak ada money politics atau
wuwuran para calon pemilihnya mengancam tidak akan menggunakan hak pilihnya. Parah
sekali. Keinginan berpolitik uang yang pada mulanya inisiatif dari calon pemimpin, ternyata
gayung bersambut dengan yang dimaui calon rakyatnya. Dengan demikian nilai-nilai luhur
dari cerita-cerita rakyat, termasuk Cerita Rakyat Kolopaking perlu dimunculkan lagi dan
dipersering agar dapat merasuk ke sanubari generasi muda.
5. Kasih-sayang
Seorang pemimpin yang disegani bukanlah pemimpin yang otoriter, yang
menjalankan kekuasaanya dengan tangan besi dan tanpa kasih-sayang. Sebaliknya dengan
kasih-sayang seseorang, bukan hanya pemimpin dapat menjadi sosok yang sangat dihormati.
Kasih-sayang semacam itu yang ditunjukkan oleh Kolopaking ketika masih bernama
Kertowongso, antara lain ketika melihat Amangkurat I dalam kondisi sangat kritis karena
menderita keracunan. Bagai seorang dokter terhadap pasiennya, Kertowongso meracik
ramuan berupa air kelapa agar diminum oleh Amangkurat I. Kertowongso juga sangat
memahami bahwa ketika itu Sang Raja sedang menderita lahir batin. Dengan kasih-sayang
yang diwujudkan melalui penerimaan yang ramah dan bentuk penghormatan lainnya ia
berharap penderitaan batin Amangkurat I berkurang. Perasaan kasih-sayang juga diwujudkan
xxv
oleh Kolopaking dengan menerima orang lain tanpa mempermasalahkan latar belakang. Ia
dapat menjalin hubungan yang wajar dengan warga keturunan Cina, maupun suku lain.
Semangat kasih sayang tetap relevan dikembangkan dalam kehidupan masa kini.
Dengan semangat kasih-sayang persatuan dan kesatuan bangsa dapat diwujudkan. Dengan
kasih-sayang akan terbina hubungan yang harmonis antar anggota keluarga, antar warga
masyarakat, bahkan antar elemen suatu bangsa.
6. Rela berkorban
Kerelaan berkorban dapat diartikan sebagai bentuk keikhlasan melaksanakan atau
menerima akibat dari sebuah pilihan yang telah dijatuhkan. Kerelaan berkorban juga berarti
kesediaan melepaskan segala sesuatu miliknya menjadi milik pihak lain tanpa rasa
berkeberatan. Satu contoh: Kolopaking memilih bergabung dengan Pangeran Diponegoro,
maka ia pun harus menerima akibat bahwa dirinya akan menjadi musuh VOC Belanda. Ia
harus pula merelakan apa saja miliknya untuk kepentingan memperjuangkan keyakinannya.
Jadi, kerelaan berkorban adalah syarat wajib bagi orang yang bertanggung-jawab, lebih-lebih
seorang pemimpin. Nilai-nilai luhur lainnya tentu masih banyak yang tersirat dalam Cerita
Rakyat Kolopaking. Nilai-nilai luhur tersebut dapat diwariskan kepada generasi muda antara
lain melalui media cerita rakyat.
B. PERUMUSAN MASALAH
Bertolak dari latar belakang seperti yang telah diuraikan di atas, maka perumusan
masalah dalam penelitian ini sebagai berikut.
1. Bagaimanakah profil masyarakat Desa Kalijirek, khususnya sebagai pemilik cerita
rakyat K.R.A.T Kolopaking?
2. Bagaimanakah bentuk dan isi cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking?
3. Adakah artefak-artefak dan tradisi budaya yang terkait dengan cerita rakyat K.R.A.T.
Kolopaking?
xxvi
4. Nilai-nilai ajaran apakah yang terkandung dalam cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking dan
Relevansinya pada masa kini bagi masyarakat Kebumen?
5. Bagaimanakah respon masyarakat terhadap keberadaan cerita rakyat K.R.A.T.
Kolopaking?
C. TUJUAN
Dari beberapa permasalahan tersebut penulis menetapkan tujuan penelitian sebagai
berikut.
1. Mendeskripsikan profil masyarakat Desa Kalijirek, Kecamatan Kebumen, Kabupaten
Kebumen sebagai pemilik cerita rakyat K.R.A.T Kolopaking.
2. Mendeskripsikan bentuk dan isi cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking.
3. Menjelaskan artefak-artefak dan tradisi budaya yang terkait dengan cerita rakyat
K.R.A.T. Kolopaking.
4. Mendeskripsikan nilai-nilai ajaran apakah yang terkandung dalam cerita rakyat K.R.A.T.
Kolopaking dan Relevansinya pada masa kini bagi masyarakat Kebumen.
5. Menjelaskan respon masyarakat terhadap keberadaan cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking.
D. MANFAAT PENELITIAN
Dalam hal manfaat berkaitan dengan penelitian ini, maka dari obyek kajian, batasan
masalah serta tujuan yang ingin dicapai, maka manfaat dari penelitian ini dapat ditinjau dari
beberapa sudut pandang, diantaranya sebagai berikut.
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan terhadap kajian
Folklor, selain itu hasil penelitian ini menambah khasanah penelitian folklor di tanah air.
2. Manfaat Praktis
xxvii
Memberikan dorongan kepada pihak-pihak terkait, misalnya Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan, Dinas Pariwisata dan Kesenian, Tokoh-tokoh Pendidikan, dan Penerbit
untuk melakukan kegiatan pendokumentasian cerita rakyat Kolopaking untuk kepentingan
pelestarian dan upaya penanaman nilai-nilai luhur warisan para pendahulu, khusunya bagi
masyarakat Kebumen dan umumnya generasi muda.
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat pula sebagai:
a) Sebagai bahan dokumentasi cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking.
b) Dapat dipahami sebagai referensi ajaran moral dan etika bagi masyarakat.
SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pendahuluan meliputi latar belakang masalah, ruang lingkup, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : LANDASAN TEORI
Landasan teori meliputi definisi cerita rakyat. Pendekatan cerita rakyat
terdiri dari pengertian cerita rakyat, jenis, ciri dan fungsi dari cerita
rakyat,bentuk-bentuk cerita rakyat.
BAB III : METODE PENELITIAN
Metode penelitian meliputi lokasi penelitian, bentuk penelitian, data dan
sumber data, teknik pengumpulan data, validitas data dan teknik analisa
data.
BAB IV : PEMBAHASAN
Pembahasan meliputi deskripsi dan analisis.
BAB V : PENUTUP
Penutup meliputi kesimpulan dan saran.
xxviii
BAB II
LANDASAN TEORI
Definisi Cerita Rakyat
Menurut Atar Semi (1993: 74) cerita rakyat adalah suatu cerita yang pada
dasarnya disampaikan secara lisan. Tokoh-tokoh cerita atau peristiwa-peristiwa yang
diungkapkan dianggap pernah terjadi dimasa lalu atau merupakan suatu kreasi atau hasil
rekaman semata yang terdorong oleh keinginan untuk menyampaikan pesan atau amanat
tertentu, atau merukan suatu upaya anggota masyarakat untuk memberi atau mendapatkan
hiburan atau sebagai pelipur lara.
Menurut James Danandjaya (1984:4) cerita rakyat adalah suatu karya sastra
yang lahir dan berkembang dalam masyarakat tradisional dan disebarkan dalam bentuk
relatif tetap atau dalam bentuk baku, disebarkan di antara kalangan tertentu dan dalam
waktu yang relatif lama.
Menurut Elli Konggas Maranda berpendapat ( dalam Yus Rusyana 1981:10 )
bahwa cerita rakyat adalah cerita lisan sebagai bagian dari folklor dan merupakan bagian
persediaan cerita yang telah mengenal huruf maupun belum. Perbedaannya dengan sastra
tulis adalah bahwa sastra lisan tidak mempunyai tulisan. Walaupun jika cerita lisan itu
ditulis, maka naskah itu hanya merupakan catatan dari sastra lisan itu, misalnya mengenai
guna dan perilaku yang menyertainya.
Dengan demikian, sastra lisan akan lebih mudah dipahami sebab ada unsur-unsur yang
mudah dikenal oleh masyarak setempat (Rusyana, dalam sastra lisan Wolio: 1978).
1. Ciri-Ciri Cerita Rakyat
James Danandjaya ( 1984:4 ) berpendapat bahwa cerita rakyat sebagai
folklor mempunyai beberapa ciri pengenal yang membedakan dari kesusasteraan
secara tertulis sebagai berikut.
a. Penyebaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan yaitu disebarkan dari
mulut ke mulut dari satu generasi ke generasi berikutnya.
xxix
b. Cerita rakyat memiliki versi yang berbeda-beda karena penyebarannya secara
lisan.
c. Cerita rakyat bersifat tradisional dan disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau
dalam bentuk standar disebarkan diantara kolektif tertentu dalam waktu yang
cukup lama.
d. Cerita rakyat anonim karena pengarangnya tidak diketahui lagi, maka cerita
rakyat telah menjadi milik masyarakat pendukungnya.
e. Cerita rakyat selalu menggunakan bentuk berpola yaitu menggunakan kata-kata
klise, ungkapan-ungkapan tradisional, ulangan-ulangan dan mempunyai
pembukaan dan penutupan yang baku. Gaya ini berlatar belakang kultus
terhadap peristiwa dan tokoh utamanya.
f. Cerita rakyat mempunyai kegunaan dalam kehidupan kolektif yaitu sebagai
sarana pendidikan, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan
terpendam.
g. Cerita rakyat mempunyai sifat-sifat prologis, dalam arti mempunyai logika
tersendiri, yaitu tentu saja lain dengan logika umum.
h. Cerita rakyat menjadi milik bersama dari suatu kolektif tertentu. Dasar
anggapan ini sebagai akibat sifatnya yang anonim.
i. Cerita rakyat bersifat polos dan lugu, sehingga sering kali kelihatan kasar,
terlalu spontan.
2. Bentuk-Bentuk Cerita Rakyat
Cerita rakyat memiliki ciri-ciri seperti yang telah disebutkan di muka dan
memiliki bentuk-bentuk seperti di bawah ini.
a. Mite mengandung tokoh-tokoh dewa atau setengah dewa. Tempat terjadinya di
tempat lain dan masa terjadinya jauh di masa purba.
b. Legenda adalah cerita yang mengandung ciri-ciri hampir sama dengan mite.
Tokoh dalam legenda tidak disakralkan oleh pendukungnya. Tokoh merupakan
manusia biasa yang mempunyai kekuatan-kekuatan gaib, tempat terjadinya di
xxx
dunia kita. Legenda tidak setua mite. Legenda menceritakan terjadinya tempat,
seperti pulau, gunung, daerah/desa, danau/sungai, dan sebagainya.
c. Dongeng adalah cerita yang dianggap tidak benar-benar terjadi dan tidak terikat
oleh ketentuan tentang pelaku, waktu dan tempat. Dongeng hanyalah cerita
khayalan belaka.
3. Fungsi Cerita Rakyat
James Danandjaja (1984:19), berpendapat bahwa cerita rakyat memiliki
fungsi sebagai berikut.
a. Sistem proyeksi (projective system) sebagai alat pencerminan angan-angan
suatu kolektif.
b. Alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga kebudayaan.
c. Alat pendidikan anak (paedagogical devide).
d. Alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat dipatuhi.
4. Pendekatan Folklor
Secara etimologis, kata folklor adalah pengindonesiaan kata Inggris
folklore. Kata itu adalah kata majemuk, yang berasal dari dua kata dasar yaitu folk
dan lore. Folk adalah sinonim dengan kolektif, yang juga memiliki ciri-ciri pengenal
fisik atau kebudayaan yang sama, serta mempunyai kesadaran kepribadian sebagai
kesatuan masyarakat. Sedangkan yang dimaksud dengan lore adalah tradisi folk,
yaitu sebagai kebudayaan, yang diwariskan secra turun-temurun secara lisan atau
melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat
(mnemonic device) (James Danandjaya, 1991:1).
Definisi folklor secara keseluruhan menurut James Danandjaya adalah
sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar yang diwariskan turun-temurun,
diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik
dalam bentuk lisan contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu
pengingat (mnemonic device) (James Danandjaya 1991 : 1-2).
xxxi
Pendekatan folklor terdiri dari tiga tahap, yaitu pengumpulan,
pengulangan, dan penganalisaan. Dalam hal ini yang akan diterapkan mengenai
tahapan-tahapan dalam melakukan penelitian folklor.
James Danandjaya berpendapat, ada tiga tahap yang harus dilakukan oleh
seorang peneliti di objek.
1. Tahap pra penelitian di tempat
Sebelum memulai penelitian, yaitu terjun ke tempat atau daerah, kita
hendak melakukan penelitian suatu bentuk folklor, kita harus mengadakan
persiapan matang, jika hal ini tidak kita lakukan maka usaha penelitian kita akan
mengalami banyak hambatan yang seharusnya tidak akan terjadi.
2. Tahap penelitian di tempat sesungguhnya
Tahap ini dimaksud untuk menjalin hubungan yang haronis dengan
informan, maka sebagai peneliti harus jujur, rendah hati, dan tidak bersikap
menggurui. Sikap yang demikian akan membuat informan dengan cepat
menerima dan memberikan semua keterangan yang diperlukan. Sedangkan cara
yang dapat dipergunakan untuk memperoleh semua bahan folklor di tempat
adalah melalui wawancara dengan informan dan melakukan pengamatan.
3. Cara pembuatan Naskah Folklor bagi Kearsipan
Pada setiap naskah koleksi folklor harus mengandung tiga macam bahan
yaitu:
a. Teks bentuk folklor yang dikumpulkan
b. Konteks teks yang bersangkutan
c. Pendekatan dan penilaian informasi maupun pengumpulan folklor
(James Danandjaya, 1991 : 193).
Jadi kesimpulannya jika folklor itu belum diakui atau dipercaya oleh
masyarakat, maka bukan termasuk cerita rakyat. Cerita rakyat Kanjeng Raden
Adipati Tumenggung Kolopaking (K.R.A.T. Kolopaking) telah diakui
keberadaannya oleh masyarakat pemiliknya yaitu masyarakat Desa Kalijirek,
xxxii
Kecamatan Kebumen, Kabupaten Kebumen dan sekitarnya. Masyarakat di Desa
Kalijirek sebagai pemilik cerita tersebut masih melaksanakan norma-norma yang
berlaku dalam masyarakat yang timbul karena adanya cerita tersebut.
xxxiii
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian meliputi alat, prosedur dan teknik yang dipilih dalam
melaksanakan penelitian. Selain itu metode juga berarti cara mengamati atau menganalisis
suatu fenomena. Penelitian mencakup kesatuan atau serangkaian proses penentuan kerangka
pikiran, perumusan masalah, penentuan sample data, teknik pengumpulan dan ada analisis
data.
1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini terletak di Desa Kalijirek, Kecamatan Kebumen,
Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah. Di desa Kalijirek K.R.A.T. Kolopaking dan
keluarganya dimakamkan.
2. Bentuk Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu bentuk penelitian
yang berupa kumpulan data-data berwujud kata-kata, kalimat atau gambar-gambar yang
memiliki arti lebih luas dibanding sekedar angka-angka atau jumlah.
Penelitian ini berusaha menganalisis data dengan semua kekayaan wataknya
yang penuh nuansa, sedekat mungkin dengan bentuk aslinya seperi pada waktu dicatat.
(H.B. Sutopo,2002:35). Penelitian ini dilakukan terhadap tingkah laku manusia dalam
kehidupannya sehari-hari dalam keadaan yang rutin dan secara wajar. Hasil analisis yang
dicapai diusahakan sedekat mungkin sesuai dengan data yang diperoleh di lapangan, yaitu
dengan cara mendiskripsikan peristiwa yang sebenarnya.
3. Sumber Data dan Data Penelitian
a. Sumber Data
xxxiv
Sumber data primer adalah data utama. Dalam penelitian ini sumber data
primernya adalah informan atau responden yang mengetahui dan paham cerita
tentang cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking dan informan atau orang-orang yang
ziarah ke makam K.R.A.T. Kolopaking, baik penduduk asli maupun pendatang.
Sumber data sekunder adalah data pelengkap atau data pendukung yang
sedikit banyak membantu kesahihan suatu penelitian. Dalam penelitian ini data
sekunder yang digunakan oleh peneliti adalah buku-buku yang relevan dengan
penelitian yaitu berupa dokumen; buku-buku, peta, monografi, hasil rekaman.
b. Data Penelitian.
Data penelitian juga dibedakan menjadi data primer dan data sekunder. Data
primer berupa data lisan, berwujud hasil wawancara dengan informan tentang cerita
rakyat K.R.A.T. Kolopaking, dan data mengenai penghayatan masyarakat terhadap
keberadaan cerita rakyat K.R.A.T. Kolopaking tersebut. Sedangkan data sekunder
penelitian ini ialah data tulis yaitu data yang terambil dari buku-buku atau referensi
yang relevan dengan topik penelitian.
4. Populasi dan Sampel
a. Populasi Penelitian
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang dapat terdiri dari
manusia, benda, hewan, dan sebagainya yang memiliki karakteristik tertentu dalam suatu
penelitian (Nawawi, 1983). Dalam penelitian kali ini
penulis menetapkan populasi penelitian antara lain, pejabat di Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Kabupaten Kebumen, pejabat di Dinas Pariwisata dan Kesenian Kabupaten
Kebumen, para tokoh masyarakat terutama seniman atau budayawan yang relevan dengan
cerita rakyat tersebut, yaitu para pemain kethoprak dan dalang.
b. Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat Desa Kalijirek, sebagai
pemilik Cerita Rakyat K.R.A.T. Kolopaking yang mengetahui dan memahami Cerita
xxxv
Rakyat tersebut. Dalam penentuan sampel dalam populasi yang tinggi tersebut digunakan
cara purposive sampling (penentuan sampel). Dalam purposive sampling subyeknya
didasarkan atas diri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut
dengan ciri-ciri sifat populasi itu sendiri (Sutrisno Hadi, 1982: 29)
5. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Wawancara merupakan alat pengumpul data untuk memperoleh informasi
langsung dari sumbernya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi arus informasi dalam
wawancara, yaitu pewawancara (interviewer), responden (interviewe), pedoman
wawancara, dan situasi wawancara.
Pewawancara adalah pengumpul informasi. Oleh karena itu pewawancara
diharapkan dapat menyampaikan semua pertanyaan dengan jelas, merangsang responden
untuk menjawab semua pertanyaan, dan mencatat semua informasi yang dibutuhkan
dengan benar.
Responden merupakan pemberi informasi yang diharapkan dapat menjawab
semua pertanyaan dengan jelas dan lengkap. Untuk itu diperlukan motivasi atau
kesediaan responden menjawab pertanyaan dan hubungan selaras antara responden
dengan pewawancara,
Pedoman wawancara yang digunakan pewawancara harus menguraikan
masalah penelitian yang biasanya dituangkan dalam bentuk pertanyaan. Dalam hal ini
penulis berusaha menghindari pertanyaan yang sulit dan peka karena dapat menghambat
jalannnya wawancara.
Hasil wawancara diperoleh dari wawancara kepada masyarakat setempat dan
pendatang yang berziarah, serta instansi Pemerintahan khususnya Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Kabupaten Kebumen, sedangkan yang menjadi responden antara lain juru
kunci K.R.A.T. Kolopaking, tokoh masyarakat, para pengunjung makam K.R.A.T.
Kolopaking dan masyarakat umum yang benar-benar mengetahui dan paham tentang
xxxvi
cerita tersebut, responden yang diambil meliputi orang-orang atau masyarakat dari
golongan tua yang berumur 30 tahun keatas dan responden dari golongan muda yang
berumur 20-29 tahun.
b.Teknik Pengamatan
Dalam teknik pengamatan, peneliti melakukan pengamatan dan pencatatan
secara sistematik terhadap subjek penelitian. Berdasarkan pelaksanaannya, pengamatan
ini dibedakan menjadi pengamatan langsung dan pengamatan tak langsung.
Pengamatan langsung adalah teknik pengamatan dilaksanakan secara
langsung dengan indera peneliti, tanpa menggunakan peralatan khusus. Sedangkan
pengamatan tak langsung menggunakan bantuan peralatan, misalnya mikroskop, kamera,
tape rekorder, dan sebagainya. Pengamatan dapat dilakukan terhadap situasi sebenarnya
dan dapat pula pada situasi buatan, misalnya dengan permainan peran ( roleplaying )
yang direkam atau dishooting.
c. Teknik Kepustakaan
Teknik kepustakaan adalah teknik pengumpulan data terhadap buku-buku
dan atau catatan yang ada dan relevan dengan subjek penelitian. Cara kerjanya adalah
dengan mengumpulkan data yang bersumber dari penelitian, seminar dan sebagainya.
Dalam analisis dokumen yang penting untuk diperhatikan adalah reabilitas data.
Pengecekan atau penegasan reliabilitas hasil kesimpulan dicapai dengan
menginformasikan hasil kesimpulan tersebut kepada informan yang bersangkutan. Hal ini
dilakukan untuk menghindari kesalahan dalam penafsiran informasi, mengingat cara
penyampaianya yang berbeda.
6. Validitas Data
Dalam suatu penelitian data yang telah dikumpulkan wajib diusahakan
kemantapannya, artinya peneliti harus berupaya meningkatkan validitas data yang
diperoleh.
xxxvii
Teknik tringulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk pengecekan sebagai pembanding data.
Tringulasi metode yaitu wawancara, observasi, dan analisis dokumen untuk
mengecek kevalidan data yang diperoleh. (Lexy J. Moleong, 1990: 178).
7. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisa
interaktif. Teknik interaktif adalah penelitian yang bergerak diantara tiga komponen, yang
meliputi reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Wujud data merupakan
suatu kesatuan siklus yang menempatkan peneliti tetap brrgerak diantara ketiga siklus.
Untuk lebih jelasnya, proses analisa data dengan model interaktif ini dapat dilihat
dari bagan sebagai berikut di bawah:
Bagan 1. Analisis Data Interaktif
(Millis dan Huberman, dalam H.B. Sutopo, 2002: 96)
PENGUMPULAN DATA
REDUKSI DATA
SAJIAN DATA
PENARIKAN KESIMPULAN
xxxviii
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Profil Masyarakat Desa Kalijirek Kecamatan Kebumen
1. Letak dan Luas
Desa yang luasnya 138 hektar itu terletak 3,5 kilometer di sebelah timur ibu kota
kabupaten yaitu Kebumen. Keadaan wilayah desa tersebut adalah 68,5 % dari luas
wilayahnya berupa tanah kering atau seluas 85 hektar yang terdiri atas tanah pekarangan
dan tegalan. Selebihnya 31,5 % merupakan tanah sawah atau seluas 39 hektar.
2. Keadaan Penduduk
Berdasarkan data yang tertera pada Buku Potensi Desa Kalijirek, jumlah
penduduk Desa Kalijirek pada Akhir September 2008 adalah 1.743 jiwa, terdiri dari 902
orang penduduk laki-laki dan 841 orang penduduk perempuan.
Untuk mempermudah pelayanan di bidang pemerintahan, maka di Desa
Kalijirek dibentuk 2 wilayah Rukun Warga (RW) dan 9 wilayah Rukun Tetangga (RT).
a. Komposisi Penduduk Berdasarkan Umur
Tabel 1. Komposisi Penduduk Desa Kalijirek menurut Usia dan Jenis
Kelamin Bulan Oktober Tahun 2008.
Umur Laki-laki Perempuan
Jumlah
0 – 4 tahun 83 79 162
5 – 14 tahun 348 284 632
15 - 24 tahun 178 141 319
25 - 64 tahun 214 241 455
Lebih dari 65 th 83 92 175
xxxix
Sumber: Data Monografi Kelurahan Kalijirek, Kec. Kebumen,
Oktober 2008
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa kelompok usia terbesar terdapat
pada kelompok usia 5 – 14 tahun yaitu dengan jumlah 632 jiwa, yang terdiri dari 348
laki-laki dan 284 perempuan.Sedangkan kelompok usia terendah terdapat pada kelompok
usia 0 – 4 tahun dengan jumlah 162 jiwa yaitu terdiri dari 83 laki-laki dan 79 perempuan.
Sehingga dapat diketahui bahwa desa Kalijirek memiliki sumber daya manusia yang
berpontensial untuk dikembangkan. Dari sumber daya manusia tersebut diharapkan dapat
di manfaatkan secara maksimal untuk menunjang pembangunan wilayah desa Kalijirek.
b. Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan
Sarana pendidikan merupakan unsur yang terpenting guna menunjang
kemajuan dan perkembangan bagi suatu daerah, karena hal tersebut sangat berhubungan
erat dengan pola sikap dan tingkah laku masyarakat di suatu daerah. Sarana pendidikan
yang memadai akan memungkinkan perkembangan masyarakat dan budaya semakin baik.
Dengan tingkat pendidikan yang tinggi maka akan meningkatkan kualitas sumber daya
manusia, sehingga dapat membawa bangsa Indonesia ke arah lebih lanjut.
Fasilitas pendidikan yang terdapat di Desa Kalijirek hanya untuk tingkat SD /
sederajat yaitu memiliki 2 ( dua ) buah gedung SD ( Sekolah Dasar ) dan 2 ( dua ) buah
gedung MI ( Madrasah Islam ). Keterbatasan ini yang menyebabkan anak-anak yang
ingin melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi harus keluar desanya. Sehingga
akan menambah kebutuhan biaya sekolah dan biaya hidup warga.
Tabel 2. Jumlah Penduduk Desa Kalijirek menurut Tingkat Pendidikan (
bagi umur 5 tahun ke atas)
Belum bersekolah 179 orang
Tamat SD atau yang sederajat 886 orang
Tamat SMP atau yang sederajat 298 orang
xl
Tamat SMA atau yang sederajat 234 orang
Diploma II/III 4 orang
Sarjana 3 orang
Tidak tamat SD 139 oorang
Jumlah 1.743 orang
Sumber: Data Monografi Kelurahan Kalijirek Kec. Kebumen
Oktober 2008
c. Komposisi Penduduk Berdasarkan Pekerjaan
Sebagian masyarakat Desa Kalijirek bermata pencaharian Buruh Tani dan
Wiraswasta. Hal itu disebabkan karena Sesa Kalijirek sebagian besar wilayahnya terdiri
dari dataran tinggi yang berupa perbukitan dan memiliki hawa yang sejuk, sehingga
lahan-lahan yang ada sangat cocok sekali digunakan untuk bercocok tanam, dan
kemudian hasil-hasil panennya dapat diperjual-belikan.
Berdasarkan tabel diatas menunjukan bahwa penduduk Desa Kalijirek
sebagian besar sebagai buruh tani dan tani. Sedangkan yang bermata pencaharian
berternak hanya 2 orang. Hal ini disebabkan oleh kondisi daerah sebagai daerah
pebukitan sehingga lahannya dipakai untuk bercocok tanam. Begitu pula pengrajin hanya
5 orang, karena masyarakat belum dapat memanfaatkan secara maksimal potensi alam
yang tersedia. Adapun proposisi penduduk desa Kalijirek dapat diamati pada tabel di
bawah ini:
Tabel 3. Komposisi Penduduk Desa Kalijirek, Kec. Kebumen
menurut Mata Pencaharian / Pekerjaan ( Umur 10 th ke atas )
Petani 220 orang
Buruh Tani 327 orang
Wiraswasta 79 orang
xli
Pegawai Negeri Sipil 14 orang
Perajin 5 orang
Pedagang 10 orang
Peternak 2 orang
Pensiunan 70 orang
Perangkat Desa 11 orang
Sumber: Data Monografi Kelurahan Kalijirek Kec. Kebumen
Oktober 2008.
3. Agama dan Kepercayaan
Sebagian besar masyarakat di pedesaan Indonesia terutama di pulau Jawa
memeluk agama Islam dan sebagian kecil lagi memeluk agama lain seperti agama
Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Agama-agama tersebut oleh masyarakat desa diyakini
kebenarannya. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian masyarakat Jawa
khususnya masyarakat desa masih berpegang pada Kejawen, yaitu masih menghormati
kepercayaan asli yang tumbuh dalam masyarakat.
Orang-orang pedesaan khususnya masyarakat di Desa Kalijirek bersifat sangat
religius, sifat ini di tandai dengan agama atau dengan kepercayaan yang mereka anut.
Pengakuan dan keyakinan atas kuasa Tuhan Yang Maha Esa tercemin dalam pemeluk
agama di Desa Kalijirek yaitu Islam.Untuk lebih jelasnya, di bawah ini merupakan
jumlah penduduk di Desa Kalijirek menurut agama dan kepercayaan yang mereka anut,
dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel 4. Banyaknya Pemeluk Agama di Desa Kalijirek
No Agama Jumlah
1. Islam 1785 orang
2. Kristen Protestan - orang
3. Katholik - orang
xlii
4. Hindu - orang
5. Budha - orang
Sumber: Data Monografi Kelurahan Kalijirek, Kec. Kebumen
Oktober 2008
Macam-macam sarana peribadahan yang beradsa di Desa Kalijirek, Kecamatan
Kebumen, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel 5. Jumlah Sarana Peribadatan di Desa Kalijirek
No Sarana Peribadatan Jumlah
1. Masjid dan Mushola 4 buah
2. Gereja - buah
3. Pura - buah
4. Vihara - buah
Sumber: Data Monografi Kelurahan Kalijirek, Kec. Kebumen,
Oktober 2008
Berdasarkan data di atas diketahui bahwa mayoritas penduduk desa Kalijirek
memeluk Agama Islam. Hal ini terbukti adanya sarana ibadah yang ada di Desa Kalijirek
yaitu Masjid dan Mushola. Penduduk di desa Kalijirek yang mayoritas beragama Islam
masih melakukan berbagai kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat.
Kegiatan keagamaan ini meliputi Tahlilan atau Wiridan dan pengajian di selenggarakan
oleh kelompok pria dan kelompok wanita. Sedangkan upacara-uapacra keagamaan atau
ritual biasanya dilakukan bersamaan dengan upacara tradisi leluhur, yaitu berupa
selamatan ( Kenduren ), bersih desa, memberikan sesaji untuk roh-roh penunggu atau
roh-roh leluhur yang telah meninggal.
Para petani biasanya selalu mengadakan upacara ritual, seperti selamatan dan
sesaji serta doa yang dilakukan dalam rangka memulai usaha seperti halnya akan
menanam padi, menanam palawija, dan lain-lain. Serta etika akan panen mereka
melakukan hal itu untuk menjaga keseimbangan dengan alam sekitarnya. Di samping
xliii
dilakukan selamatan dengan doa secara Islam, juga dilakukan persembahan berupa
makanan atau sesaji untuk roh-roh leluhur atau roh-roh lain yang dianggap dapat
membantu terkabulnya doa mereka.
Orang-orang percaya akan adanya Tuhan, Nabi dan Rasul, namun mereka juga
percaya adanya alam gaib atau mahluk gaib dan kekuatan sakti atau kejadian aneh yang
kadang-kadang muncul di sekitarnya yang tidak bisa dijangkau oleh akal pikiran manusia,
namun mereka tidak memuja penghuni alam gaib. Kepercayaan adat istiadat dan tradisi
yang diwariskan oleh nenek moyang mereka masih merupakan hal utama dalam
kehidupan mereka, sehingga tidak mengherankan apabila ada hari-hari tertentu yang
dianggap keramat oleh masyarakat desa pada umumnya yaitu seperti halnya malam
jum’at kliwon atau malam sabtu suro, masih sering dijumpai orang-orang, melakukan
tahlilan atau wiridan, selamatan (kenduren) dan penyediaan sesaji ( sajen ) di tempat-
tempat keramat misalnya di Petilasan Kanjeng Raden Adipati Tumenggung Kolopaking.
B. Bentuk dan Deskripsi Cerita K.R.A.T Kolopaking
1. Bentuk Cerita K.R.A.T. Kolopaking
Cerita K.R.A.T. Kolopaking pada mulanya diwariskan oleh generasi pendahulu
ke generasi berikutnya dan seterusnya secara lisan. Hal itu menjadikan cerita tersebut
memiliki berberapa versi. Walaupun demikian antara versi satu dengan yang lainnya
tidaklah jauh berbeda.
Cerita rakyat K.R.A.T Kolopaking juga mengandung mite,
diantaranya kepercayaan bahwa tokoh ceritanya memiliki kekuatan istimewa. Misalnya
tetesan darah K.R.T.A Kolopaking berubah menjadi ular-ular ”jadi-jadian” yang sangat
berbisa. Selain itu cerita rakyat tersebut juga mengandung legenda, yaitu kejadian atau
penamaan suatu tempat. Misalnya pemberian nama persawahan Si Kenceng dan asal
mula desa Jatimalang.
xliv
K.R.A.T. Kolopaking sebenarnya tokoh nyata yang pernah hidup, bahkan
menjadi tokoh penting di Kebumen, maka ada upaya-upaya untuk penggalian data-data
sebenarnya. Hal itu antara lain dilakukan oleh Keluarga Besar Trah Kolopaking
2. Deskripsi Cerita K.R.A.T. Kolopaking
Raden Tirto Wenang Kolopaking adalah salah satu di antara keturunan K.R.A.T.
Kolopaking. Beliau ingin mengungkapkan cerita K.R.A.T. Kolopaking berdasarkan fakta
atau sejarah. Namun diakuinya bahwa data-data yang mendukung masih sangat terbatas,
sehingga selebihnya merupakan cerita rakyat.
Raden Tirto Wenang Kolopaking mengemas ceritanya tersebut dalam bentuk
tulisan atau buku yang hanya dibaca oleh kalangan terbatas. Dalam sampul bukunya
ditulisi ” Untuk Kalangan Sendiri”. Adapun isinya adalah sebagai berikut.
Raden Kyai Ageng Kertowongso adalah penguasa wilayah Panjer Roma yang
merupakan daerah perdhikan, yaitu daerah otonom dengan dikepalai oleh seorang
Demang. Wilayahnya meliputi Ambal, Bocor, Petanahan, Puring, Gombong,
Karanganyar, Panjer, Kutowinangun, dan Prembun.
Pada tahun 1677 terjadi pemberontakan di Mataram yang dikomandoi Pangeran
Trunojoyo, seorang pangeran dari Madura. Pasukan pemberontak berhasil merebut ibu
kota Mataram. Raja Mataram, yaitu Sunan Amangkurat Agung I beserta keluarga dan
beberapa pengawalnya meninggalkan istana. Mereka berjalan ke barat. Tempat yang
dituju adalah Cirebon karena wilayah tersebut masih merupakan kekuasaan Mataram.
Pada tanggal 30 Juni 1677 rombongan Sunan Amangkurat Agung I memasuki
wilayah Panjer Roma, yaitu di Rowo Ambal. Beliau dijemput oleh Raden Kyai Ageng
Kertowongso dan langsung dibawa ke Panjer untuk diadakan perjamuan. Pada waktu itu
Raden Kyai Ageng Kertowongso melihat ada yang tidak wajar pada diri Sunan
Amangkurat Agung I. Badannya lemas dan mukanya pucat. Raden Kyai Ageng
Kertowongso memastikan bahwa hal itu bukan penyakit biasa, malainkan karena
keracunan. Oleh karena itu Raden Kyai Ageng Kertowongso berinisiatif mengambil buah
xlv
kelapa yang telah kering sabutnya ( klapa aking, jawa ) dan airnya diminumkan kepada
Sunan Amangkurat Agung I dengan maksud untuk menawarkan racun di dalam
badannya. Konon beberapa saat kemudian Sunan Amangkurat Agung I muntah-muntah
dan racun di tubuhnya turut keluar. Untuk memulihkan kesehatannya Sunan Amangkurat
Agung I beristirahat beberapa hari di Panjer dibawah pengawasan Raden Kyai Ageng
Kertowongso.
Sunan Amangkurat Agung I merasa sangat berterima kasih kepada Raden Kyai
Ageng Kertowongso. Selain telah memberikan penyambutan yang menyenangkan, Raden
Kyai Ageng Kertiowongso juga telah membebaskannya dari keracunan. Atas jasa baiknya
itu, maka Sunan Amangkurat Agung I menganugerahinya pangkat Raden Adipati
Tumenggung dan sebuah gelar Kelapa Aking I yang kemudian disingkat menjadi
Kolopaking I. Raden Kyai Ageng Kertowongso juga diambil menantu oleh Sunan
Amangkurat Agung I dinikahkan dengan Raden Ayu Dewi Mulat.
Pada tanggal 3 Juli 1677 rombongan Sunan Amangkurat Agung I bersama
rombongannya bermaksud melanjutkan perjalanan mereka ke barat. Raden Kyai Ageng
Kertowongso mengantar beliau melalui Bocor, Petanahan, Puring, dan berpisah di
Gombong. Sunan Amangkurat Agung selanjutnya beristirahat di Napudadi. Di sana
beliau disambut oleh Pangeran Adipati Anom (Tedjo Ningrat).
Raden Kyai Ageng Kertowongso atau Ki Kertowongso yang telah mendapat
gelar Kanjeng Raden Adipati Tumenggung (K.R.A.T) Kolopaking I memanggil orang-
orang kepercayaannya. Beliau berencana menyerbu kedudukan Pangeran Trunojoyo di
Mataram. Beliau kemudian memerintahkan para Adipati untuk mengumpulkan para
pemuda untuk dididik ilmu perang dan ilmu kanuragan. Pusat pelatihan tersebut berada di
desa Karangwono. K.R.A.T Kolopaking I menugasi Ki Demang Margonoyo untuk
melayani segala keperluan untuk kegiatan tersebut, antara lain perlengkapan senjata dan
konsumsi.
Desa Karangwono, pusat penggemblengan para pemuda yang semula sepi
menjadi ramai. Dibangunlah beberapa tempat pelayanan masyarakat. Desa itu kemudian
xlvi
diganti namanya menjadi Kutho Winangun (kota yang dibangun). Sekarang namanya
menjadi Kutowinangun. K.R.A.T Kolopaking I mengangkat Ki Honggoyudo (anak dari
Ki Demang Margonoyo) sebagai Demang Kutowinangun. Ki Honggoyudo menikah
demngan Putri Klegen dan beranak 7 orang. Salah seorang diantaranya diberi nama
Raden Honggoyudo atau yang di kemudian hari lebih dikenal dengan nama Jaka
Sangkrib.
Pada pertengahan tahun tersebut Pangeran Puger dan Senopati Mertoseno
dengan dibantu oleh laskar Panjer Roma dan laskar dari Bagelen menyerbu Mataram.
Laskar Panjer Roma dipimpin oleh Raden Mendingen, anak K.R.A.T Kolopaking I.
Pada saat yang hampir bersamaan, dari sisi yang lain, Pangeran Adipati Anom
juga menyerang Mataram. Pangeran Adipati Anom adalah Raja Mataram yang diakui
oleh Pemerintah Penjajah Belanda. Beliau diberi gelar oleh Pemerintah Penjajah Belanda
Amangkurat Amral (Admiral). Amangkurat Amral menyerang Mataram dengan
mendapat bantuan tentara Belanda dari Semarang.
Pangeran Trunojoyo berhasil diusir dari Mataram. Pangeran Trunojoyo mundur
hingga ke Kediri, namun terus dikejar oleh tentara Amangkurat Amral. Akhirnya
Pangeran Trunojoyo berhasil ditangkap dan dibunuh. Pasukan Panjer Roma tidak ikut
dalam pengejaran tersebut, melainkan tetap berada di ibu kota Mataram.
Pangeran Puger menyerahkan tahta Mataram kepada Amangkurat Amral.
Pemerintah Penjajah Belanda atau yang sering disebut Kompeni mulai diberri wewenang
dan kekuasaan yang lebih luas dalam urusan Kerajaan Mataram. Prajurit Panjer Roma
yang merasa tidak dapat bekerja sama dengan Pemerintah Belanda memilih
meninggalkan ibu kota Mataram dan kembali ke wilayahnya.
K.R.A.T. Kolopaking I setelah bertahta selama 46 tahun K.R.A.T. Kolopaking I
menyerahkan kekuasaan atas Panjer Roma kepada putranya, yaitu Ki Kertowongso
Mendingen. Selanjutnya Ki Kertowongso Mendingen bergelar K.R.A.T. Kolopaking II.
K.R.A.T. Kolopaking II, pada tahun 1741 merekrut para pemuda untuk dilatih
olah keprajuritan. Tidak sedikit pemuda keturunan Cina yang mengikuti pelatihan tersebut.
xlvii
Setelah dipandang cukup para pemuda itu dikirim ke Mataram untuk membantu Pangeran
Mas Garendi yang sedang bertempur melawan Penjajah Belanda yang telah terlalu jauh
mencampuri dan mendikte kebijakan dan urusan Kerajaan Mataram. Sunan Pakubuwono
II, yang berkuasa di Mataram pada saat itu dinilai terlalu lemah dan selalu tunduk kepada
kehendak Pemerintah Penjajah Belanda. Pasukan dari Panjer Roma dipimpin oleh R.
Sulaiman Kertowongso, anak sulung K.R.A.T. Kolopaking II.
R.Sulaiman Kertowongso turut mengenakan pakaian seragam seperti yang
dipakai oleh kebanyakan pemuda Cina. Dalam rombongan tersebut ada seorang gadis yang
menyamar sebagai laki-laki. Di medan pertempuran R. Sulaiman Kertowongso dan gadis
Cina yang menyamar sebagai laki-laki itu sering bahu-mambahu dalam melawan musuh.
Oleh karena itu keduanya lalu bertambah akrab.
Pangeran Mas Garendi berhasil menguasai Keraton Mataram dan Sunan
Pakubuwono II terpaksa lari dan mengungsi ke Ponorogo. Pangeran Garendi yang juga
cucu dari Sunan Amangkurat III diangkat menjadi Raja Mataram dengan gelar Sunan
Amangkurat IV. Beliau kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Kuning, karena yang
mengangkat beliau adalah para pemuda keturunan Cina yang berkulit kuning.
Para pemuda Cina setelah melihat situasi aman, para pemuda Cina itu kembali
ke Panjer Roma. Dalam perjalanan pulang R. Sulaiman Kertowongso banyak bertukar
pengalaman dengan gadis Cina yang menyamar sebagai laki-laki itu dan mengaku
bernama Tan Ping. Pada suatu sore, ketika rombongan itu memutuskan untuk bermalam,
R. Sulaiman Kertowongso bermaksud berjalan-jalan menyusuri bukit. Tanpa disengaja
terlihat olehnya Tan Ping membuka topinya. Rambutnya yang panjang tergerai hingga ke
punggung. R. Sulaiman Kertowongso bergemetar kakinya. Tak disangka pemuda yang
akrab dengannya ternyata seorang gadis yang sangat menawan. Untunglah Tan Ping tak
mengetahui hal itu, sehingga sampai di Panjer Roma mereka bergaul sebagaimana biasa.
Pada suatu hari R. Sulaiman Kertowongso berziarah ke makam eyangnya
K.R.A.T Kolopaking I di Desa Kalijirek. Tan Ping diajak serta. Di perjalanan mereka
beradu kepandaian dan kesaktian. Mereka bertaruh, siapapun yang kalah harus mau
xlviii
mengikuti kemauan yang menang. Setelah bersepakat mereka mulai bertarung hingga
sehari penuh. Dalam pertarungan itu R. Sulaiman Kertowongso berhasil menjamah ikat
topi Tan Ping hingga terlepas dan terurailah rambutnya yang panjang. Tan Ping
terperanjat dan menyesal karena kedok penyamarannya terbuka. Dengan secepat kilat Tan
Ping melarikan diri dengan merobohkan beberapa pohon jati untuk menghalangi langkah
R. Sulaiman Kertowongso yang hendak mengejarnya. Sekarang tempat itu diberi nama
Desa Jatimalang. Tan Ping memang tidak terkejar pada waktu itu.
Pemuda Tan Ping sebenarnya bernama Tan Peng Nio. Kelak ia menjadi istri R.
Sulaiman Kertowongso yang kemudian menggantikan ayahnya menjadi penguasa Panjer
Roma dan bergelar K.R.A.T. Kolopaking III. Sementara itu Demang Kutowinangun, Ki
Honggoyudo mempunyai 7 orang anak, yaitu (1) Nyai Wirarana, (2) Ki Honggowongso,
(3) Nyai Wirawijaya, (4) Nyai Wirawangsa, (5) Ki Sutajaya, (6) Nyai Suradjaya, dan (7)
Ki Djoko Sangkrib. Setelah menginjak usia dewasa Ki Djoko Sangkrib mengembara ke
Mataram.
Ki Djoko Sangkrib diterima menjadi abdi di keraton karena memiliki banyak
kelebihan. Selain terampil berolah kanuragan ia juga jujur dan berani bertanggungjawab.
Konon dialah yang diberi tugas untuk mencari tempat di Solo yang banyak ditumbuhi
bunga yang segar dan harum dibangun menjadi Kotapraja Surakarta
Hadiningrat.Selanjutnya Ki Djoko Sangkrib diangkat menjadi nayago dan diberi gelar
Adipati Arumbinang I.
Sunan Pakubuwono II diikat oleh suatu perjanjian bahwa untuk pengangkatan
seorang Patih harus mendapatkan persetujuan pihak Pemerintah Penjajah Belanda. Selain
itu tanah di sepanjang pantai utara Jawa, mulai dari Tegal hingga Jawa Timur ke selatan
dan seluruh Pulau Madura boleh disewa atau diminta oleh Pemerintah Penjajah Belanda.
Hal inilah yang membuat Pangeran Mangkubumi berselisih paham dengan Sunan
Pakubuwono II. Terjadilah perang saudara. Dalam hal ini K.R.A.T. Kolopaking II
xlix
memihak kepada Pangeran Mangkubumi dengan mengirim pasukan dipimpin oleh R.
Sulaiman Kertowongso. Pada tahun 1749 Sunan Pakubuwono II meninggal. Pemerintah
Penjajah Belanda kemudian mengangkat anak dari Sunan Pakubuwono II dengan diberi
gelar Sunan Pakubuwono III.
K.R.A.T. Kolopaking II setelah memerintah selama 28 tahun kemudian mengangkat
putranya, yaitu R. Sulaiman Kertowongso menggantikan kedudukannya dan memberinya
gelar K.R.A.T. Kolopaking III. Pada awal pemerintahannya K.R.A.T. Kolopaking III
masih banyak meninggalkan Panjer Roma, karena beliau masih menjadi senopati perang
membantu Pangeran Mangkubumi hingga tercapainya Perjanjian Giyanti. Dalam
perjanjian itu disepakati bahwa Mataram dibagi dua, yakni Negara Surakarta Hadiningrat
dengan ibukota Surakarta dan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Pangeran
Mangkubumi kemudian menjadi raja dan bergelar Sultan Hamengkubuwono I. Setelah itu
K.R.A.T. Kolopaking III dapat berkonsentrasi menjalankan pemerintahannya di Panjer
Roma. K.R.A.T. Kolopaking III mengutamakan kemajuan di bidang pertanian dan
perdagangan.
Di Keraton Surakarta Hadiningrat Adipati Arumbinang I setelah bertugas selama
33 tahun digantikan oleh anaknya dan diberi gelar Adipati Arumbinang II. Adipati
Arumbinang II beertugas selama 30 tahun dan kemudian digantikan oleh putranya dengan
memperoleh gelar Adipati Arumbinang III. Beliau juga diangkat menjadi Adipati untuk
Kadipaten Gunung Kutowinangun. Sedangkan wilayah Kutowinangun masuk wilayah
Kasultanan Ngayogyakarta dan pemerintahannya dipegang oleh K.R.A.T. Kolopaking III.
K.R.A.T. Kolopaking III memegang pemerintahan selama 58 tahun. Setelah
wafat beliau digantikan oleh anaknya yang bernama R. Kertowongso yang selanjutnya
bergelar K.R.A.T. Kolopaking IV. K.R.A.T. Kolopaking IV berkonsentrasi
mengembangkan usaha pertanian, peternakan, perdagangan, dan industri. Di bawah
pemerintahan K.R.A.T. Kolopaking IV Panjer Roma mengalami zaman keemasan.
Pada bulan Juli 1825 Perang Diponegoro sudah meluas hingga ke daerah Kedu,
Pekalongan, Tegal, Banyumas, dan Bagelen. Pada suatu hari datanglah utusan Pangeran
l
Diponegoro yang berkedudukan di Ledok ( hulu Sungai Serayu), yaitu Senopati Suro
Mataram dan Adipati Sigaluh ( Ki Kertodrono) ke Panjer Roma. Utusan itu disambut oleh
K.R.A.T. Kolopaking IV, Senopati Gumowidjoyo, Banaspati Djojomenggolo, dan Ki
Tjokronegoro ( Karang Tengah ) yang kebetulan sedang bertamu di Panjer Roma. Pada
malam hari itu juga mereka langsung mengadakan perundingan. Mereka sepakat
membantu Pangeran Diponegoro melawan Penjajah Belanda.
Penjajah Belanda menerapkan politik adu domba. Mereka melibatkan Pasukan
Mangkunegoro, Kasunanan Pakubuwono Surakarta, dan Pasukan Keraton Ngayogyakarta
di bawah pimpinan Pangeran Murdaningrat, Pangeran Panular, Pengeran Hadiwinoto, dan
Pangeran Hadiwijoyo. K.R.A.T. Kolopaking IV diberi tugas menyediakan logistik dan
perlengkapan senjata. Sebagian prajurit Panjer Roma dipimpin oleh Senopati Gomowijoyo
berperang melawan pasukan Penjajah Belanda di daerah Banjarnegara dan meluas hingga
ke Banyumas. Pertempuran besar terjadi di Purworejo Klampok. Pasukan Belanda mundur
dan bersembunyi di Benteng Sokawara. Pangeran Diponegoro bersama prajurit Panjer
Roma menunggu sambil beristirahat di Somagede. Senopati Gomowijoyo dan Ki
Kertodrono berembug tentang strategi peperangan. Tanpa disangka-sangka mereka
diserang dari arah utara dan timur. Pasukan Belanda dipimpin oleh Mayor Biskus dan
Magilis. Pasukan Pangeran Diponegoro terpaksa mundur ke selatan. Mereka berjalan
melalui lereng dan lembah pegunungan sambil melakukan konsolidasi dengan pasukan
yang terpencar. Di pihak lain, Bala bantuan tentara Penjajah Belanda berdatangan dari
Surakarta dan Batavia (Jakarta) dengan persenjataan modern. Mereka lalu mendesak
pasukan Pangeran Diponegoro yang dibantu pasukan dari Panjer Roma hingga ke
kabupaten Sigaluh. Di situ pasukan Pangeran Diponegoro mengadakan perlawanan mati-
matian hingga sebulan lamanya.
Api peperangan berkobar di mana-mana di Pulau Jawa bagian tengah. Kedua
belah pihak mengalami banyak kerugian jiwa dan material. Belanda lalu mengggunakan
strategi lain, yaitu membujuk para pejabat dengan hadiah-hadiah yang jumlahnya banyak
dan juga jabatan-jabatan yang menggiurkan. Tidak sedikit pejabat-pejabat yang tergiur dan
li
menuruti ajakan Belanda. Akhirnya perang saudara berkecamuk di berbagai tempat. Ini
adalah bagian dari politik adu domba yang diterapkan oleh Belanda. Sayang hal itu tidak
disadari oleh pejabat-pejabat yang haus harta dan pangkat.
Pada bulan November 1828 Pangeran Diponegoro hampir tertangkap di
Lobangadung setelah jatuh sakit beberapa hari. Untunglah ia masih diselamatkan oleh
Tuhan. Selanjutnya beliau berangkat ke Panjer Roma untuk menemui K.R.A.T.
Kolopaking IV dan para pemimpin prajurit Panjer Roma. Di Perjalanan Pangeran
Diponegoro dan Raden Basah Mertonegoro bersama dengan para pengiringnya mendapat
serangan mendadak dari paasaukan Belanda. Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya
turun dari kuda masing-masing dan bersembunyi dalam jurang. Pasukan Belanda tidak
berhasil menemukan mereka.
Pangeran Diponegoro sampai di Panjer Roma disambut oleh K.R.A.T.
Kolopaking IV. Kemudian Pangeran Diponegoro mengadakan pembicaraan dengan para
pemimpin prajurit di antaranya Senopati Gomowijoyo, Banaspati Djoyomenggolo, dan
Penasihat Endang Kertowongso. Ketika berada di Panjer Roma sakit Pangeran Diponegoro
kambuh, sehingga beliau harus beristirahat beberapa hari. Setelah sembuh barulah beliau
berangkat ke Dekso melalui hutan Laban dan Desa Sebodo.
K.R.A.T. Kolopaking IV terus mengirimkan peralatan perang dan logistik bahan
pangan dari Panjer Roma melalui Kaliwero, Tunggoro, Sadang, Tuk Pitu, Kutowaringin,
ke Sigaluh dan Mandireja.
Di Panjer Roma, pasukan Pangeran Diponegoro yang dipimpin oleh Sanopati
Suro Mataram berhasil mengambil alih Kadipaten Kutowinangun. Arumbinang III selaku
penguasa Kadipaten Kutowinangun ditawan. Atas saran K.R.A.T. Kolopaking IV,
Arumbinang III dibebaskan karena usianya yang telah uzur. Selanjutnya Arumbinang III
dipulangkan ke Kasunanan Surakarta.
Pada saat mengikuti perundingan ( 28 Maret 1830) Pengeran Diponegoro
ditangkap oleh Penjajah Belanda. Beberapa hari kemudian para pengikut Pangeran
Diponegoro juga ditangkap. Di antaranya adalah Sunan Pakubuwono VI yang secara diam-
lii
diam membantu perjuangan Pangeran Diponegoro.Sunan Pakubuwono VI dibuang ke
Ambon. Sebagai penguasa Kasunanan Surakarta diangkatlah Pangeran Purboyo yang
kemudian diberi gelar Sunan Pakubuwono VII.
Kedatangan Arumbinang III di Kesunanan Surakarta disambut dingin, karena
gagal mempertahankan Kadipaten Kutowinangun. Belanda dan Sunan Pakubuwono VII
marah. Seketika itu juga jabatannya selaku Adipati dicabut dan diserahkan kepada anaknya
yang kemudian diberi Gelar Adipati Arumbinang IV.
Kadipaten Sigaluh diserang oleh pasukan Belanda dari arah barat. Prajurit
Sigaluh dengan dibantu pasukan Pangeran Diponegoro dan pasukan dari Panjer Roma
mengadakan perlawanan. Perang seru berlangsung hingga dua bulan. Karena unggul dalam
peralatan perang pasukan Belanda berhasil memaksa lawannya mundur. Pasukan Pangeran
Diponegoro, pasukan Si Galuh, dan dari Panjer Roma bertahan di pegunungan. Sementara
itu bala bantuan tentara Belanda berdatangan. Mereka kemudian menggempur daerah
Buntu. Karena persenjataan yang tidak seimbang, maka perlawanan terhadap pasukan
Belanda dilakukan secara bergerilya. Selama beberapa bulan kedua belah pihak saling
serang. Garis depan pertempuran secara silih berganti dikuasai oleh kedua belah pihak.
Sekarang daerah itu diberi nama Sumpiuh (sampyuh= jawa). Bala bantuan pasukan
Belanda terus didatangkan dengan dilengkapi persenjataan yang lengkap. Kali ini bantuan
itu datang dari Batavia (Jakarta). Prajurit Panjer Roma yang berkedudukan di Gunung Ijo
digempur oleh pasukan Belanda hingga tercerai-berai. Prajurit Panjer Roma mundur.
Mereka lalu bertahan di gua-gua yang banyak terdapat daerah Rowokele, Ayah, dan
Buayan.
Pangeran Diponegoro setelah tertangkap, perlawanan terhadap Belanda terus
berkobar, namun tidak sekuat dahulu. Apalagi banyak pimpinan lainnya yang juga
ditangkap dan ditawan. Sekarang Panjer Romalah sebagai benteng terakhir pasukan
Pangeran Diponegoro.
Adipati Arumbinang IV diangkat menjadi Senopati Perang pasukan Surakarta.
Dengan dibantu pasukan Belanda mereka bergerak menuju Panjer Roma. Pasukan Belanda
liii
dari Semarang juga datang. Pasukan Arumbinang menyerang Panjer Roma dari arah timur.
Terjadilah pertempuran sengit di daerah rawa-rawa. Pasukan Panjer Roma yang dipimpin
oleh Ki Djoyo Lurik kewalahan menghadapai mereka. Akhirnya daerah Rawa berhasil
diduduki oleh Arumbinang IV. Prajurit Panjer Roma mundur ke Ambal. Di Kadipaten
Kutowinangun Senopati Suro Mataram menyerahkan jabatan senopati diserahkan kepada
K.R.A.T Kolopaking IV. Pertahanan parajurit Panjer Roma di Ijo dan Rowokele bobol
diserbu oleh pasukan Belanda. Prajurit Panjer Roma mundur untuk menghindari perang
berhadap-hadapan. Pasukan Panjer Roma mundur ke Sikayu dan Rowokele. Sebagian
yang lain mundur ke Sempor dan akhirnya bertahan di Grenggeng. Di sini pasukan yang
dipimpin oleh Senopati Gomowijoyo berhasil menyergap pasukan Belanda yang sedang
menyeberangi Sungai Kemit dan memaksa mereka mundur. Banyak pasukan Belanda yang
terbunuh dalam penyergapan tersebut.
Di bagian timur pasukan Adipati Arumbinang IV yang dibantu oleh pasukan
Belanda di bawah pimpinan Mayor Van Royen menggempur parjurit Panjer Roma yang
dipimpin oleh Ki Demang Djoyo Lurik. Ki Demang Djoyo Lurik gugur di medan
pertempuran. Pasukan Adipati Arumbinang IV berhasil mengobrak-abrik prajurit Panjer
Roma yang akhirnya mundur ke Kutowinangun.
Kedudukan prajurit Panjer Roma mendapat serangan dari berbagai penjuru.
Mereka terus menjalankan perang gerilya. Akhirnya Senopati Gomowijoyo
memerintahkan agar semua kekuatan dikonsentrasikan ke Bocor dan sebagian bertahan di
sepanjang Sengai Lukulo.
Pasukan Belanda dibawah pimpinan Mayor Magelis dan Mayor Biskus terus
mendesak prajurit Panjer Roma hingga ke Sungai Lukulo. Dari arah timur pasukan
Kasunanan Surakarta yang dipimpin oleh Adipati Arumbinang IV dan dibantu oleh
pasukan Belanda terus bergerak maju. Jebakan-jebakan berupa lubang-lubang, jala, dan
panah, meskipun dapat menghambat pergerakannya namun akhirnya dapat dilewati.
Barak-barak dan lumbung-lumbung tempat penyimpanan bahan makanan dibakar. Orang-
liv
orang yang setia membantu K.R.A.T. Kolopaking IV ditangkap dan disiksa. Kadipaten
Kutowinangun akhirnya jatuh ke tangan Adipati Arumbinang IV.
Prajurit Panjer Roma membuat pertahanan di daerah-daerah Wonosari,
Buluspesantren, Sruni, Selang, Kedawung, Sruweng, Karangpule, Kebagoran, dan Panjer
Roma. Perlengkapan sejata mereka berupa tombak, tolop beracun, lembing, dan pedang
atau parang. Mereka akan mati-matian mempertahankan Panjer Roma.
Pasukan gabungan antara Pasukan Kasunanan Surakarta dengan pasukan
Belanda mulai melakukan gempuran lagi terhadap Panjer Roma. Satu persatu daerah
pertahanan Panjer Roma dijatuhkan. Gempuran tersebut juga mereka lakukan dari arah
barat. Akhirnya Panjer Roma dikepung dari berbagai arah. Selanjutnya pertempuran
sengit terjadi hingga beberapa minggu.
Pada suatu hari Adipati Arumbinang IV berhadapan langsung dengan K.R.A.T.
Kolopaking IV. Terjadilah pertarungan satu lawan satu lahan sawah si Kenceng.
Lokasinya sekarang di sebelah timur Stadion Candradimuka. Keduanya memiliki
kesaktian yang luar biasa. Oleh karena itu pertarungan berjalan dengan sangat seru. Pada
suatu kesempatan Adipati Arumbinang IV berhasil melukai lengan K.R.A.T. Kolopaking
IV sehingga mengucurkan darah. Anehnya kucuran darah dari lengan K.R.A.T.
Kolopaking IV setelah menyentuh tanah berubah menjadi ular. Ular-ular tersebut
kemudian secara bersama-sama menyerang Adipati Arumbinang IV. Adipati Arumbinang
IV cepat-cepat menyingkir. K.R.A.T. Kolopaking IV kondisinya terus memburuk karena
darah terus mengucur dari lukanya. Pada saat sudah tidak berdaya akhirnya ia berhasil
ditawan oleh pasukan Belanda dan akhirnya meninggal.
Sawah Si Kenceng hingga sekitar tahun 1990-an masih terkenal angker. Sebuah
rumah di sudut sawah Si Kenceng hanya dihuni beberapa minggu sejak selesai dibangun.
Konon penghuninya sering diganggu oleh ular-ular jadi-jadian. Di bawah tudung saji tanpa
diketahui dari mana masuknya ternyata ada ular. Di lemari pakaian juga ada ular. Di bak
mandi juga sering terlihat ada ularnya. Akhirnya rumah itu tak pernah dihuni dan rusak
lv
dengan sendirinya. Hingga sekarang (tahun 2008) pondasi rumah itu masih dapat kita
saksikan.
C. Artefak-artefak dan Tradisi Budaya yang terkait dengan Cerita Rakyat K.R.A.T.
Kolopaking
1. Artefak-artefak
Artefak adalah suatu peninggalan pada zaman dahulu yang berupa benda-
benda pusaka seperti keris, tombak dan ada juga yang berupa patung, batu, petilasan, dan
sebagainya. Di dalam Cerita Rakyat K.R.A.T. Kolopaking sebenarnya tidak ada
peninggalan benda-benda pusaka, tetapi beliau hanya meninggalkan sebuah lemari ukir
dan meja ukir yang di serahkan pada juru kunci yang sekarang sudah meninggal dan
kemudian di turunkan kepada anaknya yang bernama Bapak Mulyadi guru SMA
mengajar di Gombong, dan tidak ada benda-benda pusaka yang berupa keris atau tombak.
2. Tradisi Budaya Masyarakat
Dewasa ini masyarakat desa dalam kehidupannya masih diwarnai oleh
berbagai ragam tradisi yang berbeda-beda. Dalam mewujudkan hubungan antara manusia
dengan Tuhan (hambluminnallah), manusia dengan sesama manusia (habluminnannas),
manusia dengan lingkungannya diliputi dengan simbol-simbol dan tradisi-tradisi
kebudayaan.
Orang Jawa pada dasarnya memiliki identitas diri (sebagai hakekat Jawa) yaitu
pandangan ”kejawen” yang mengatur perilaku kehidupan manusia Jawa. Tradisi kejawen
misalnya ritual, mempersembahkan sesaji atau sesajen khususnya pada masyarakat Jawa,
sangat kaya dan telah hidup selama seribu tahun, dan kejawen bukanlah suatu kategori
keagamaan, tetapi menunjukan kepada suatu etika dan gaya hidup yang diilhami oleh cara
berpikir Jawanisme. Orang-orang inilah yang memelihara warisan budaya Jawa secara
mandalam dan dapat dianggap sebagai kejawen
Unsur utama pandangan kejawen adalah kesadaran adanya kesatuan eksistensi
secara kosmologi, kesatuan yang meliputi segalanya. Hukum kosmis adalah hukum
pinesthi. Kesatuan eksistensi mencapai puncaknya pada pusat yang meliputi segalanya
lvi
pada Yang Maha Tunggal (Hyang Suksma) yang hidup (urip) dan yang ada dan tiada,
yang kepada setiap manusia itu kembali (inna lillahi wa inna ilaihi rojiun)
Masyarakat di Desa Kalijirek, tradisi nenek moyang seperti slametan dan
mengikuti tata cara yang selalu dilaksanakan maka masyarakat Desa Kalijirek pada
umumnya akan di jaga keselamatannya serta diberi (rejeki) yang melimpah. Masyarakat
di Desa Kalijirek yang merupakan bagian dari masyarakat Jawa, dalam kehidupan mereka
sehari-hari masih diwarnai berbagai macam tradisi religius maupun non religius.
Tradisi religius yang begitu kuat mengikat dalam diri manusia semenjak
manusia ada dalam kandungan, contoh upacara mitoni (biasanya menyiapkan umbarampe
antara lain tumpeng merupakan simbol keselamatan, jenang abang putih agar si jabang
bayi kelak dapat menjalani kehidupannya di dunia yang penuh dengan warna-warni),
selapanan, khitanan, perkawinan, dan lain-lain. Dalam masyarakat Desa Kalijirek hal-hal
semacam itu masih mereka lakukan karena merupakan warisan nenek moyangnya. Selain
itu mereka menganggap bahwa upacara-upacara yang mereka lakukan itu terkandung
maksud untuk membina kerukunan antar anggota masyarakat.
Pola kebudayaan daerah (Jawa) yang telah berakar pada jiwa setiap
pendukungnya diwariskan dari generasi berikutnya yang dinamai tradisi daerah. Tradisi
daerah yang berkaitan dengan kematian biasanya diwujudkan dalam bentuk pembuatan
makam dan upacara penghormatan kepada para leluhur mereka. Seperti halnya yang
dilakukan masyarakat Desa Kalijirek dan sekitarnya melakukan tradisi ziarah ke petilasan
K.R.A.T. Kolopaking. Sebagaimana umumnya makam orang-orang dianggap linuwih
pada masa hidupnya, petilasan K.R.A.T. Kolopaking dari dahulu hingga sekarang
menjadi tempat ziarah yang selalu ramai. Tradisi ziarah bertujuan untuk mendoakan
arwah para leluhur, dan biasanya tradisi ini disertai dengan wiridan (pembaca ayat-ayat
sucu Al’Quran atau tahlilan) yang banyak dilakukan khususnya pada hari-hari tertentu
yaitu syawal dan hari jadi Kebumen.
D. Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Cerita K.R.A.T Kolopaking
lvii
Banyak nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam cerita K.R.A.T. Kolopaking.
Nilai-nilai luhur itu tidak akan lekang dimakan oleh zaman sehingga tetap sesuai
diterapkan di zaman sekarang. Nilai-nilai luhur itu juga bersifat manusiawi dan universal
sehingga tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya manapun. Nilai-nilai luhur tersebut
di antaranya sebagai berikut.
1. Kesetiaan
Ki Kertowongso (K.R.A.T. Kolopaking I ) menyadari sepenuhnya bahwa
wilayah Panjer Roma yang dikuasainya adalah bagian dari Kerajaan Mataram. Ia sangat
menghormati Raja Mataram yang berkuasa melalui suksesi yang wajar. Oleh karena itu
ketika tampuk kekuasaan direbut paksa oleh Pangeran Trunojoyo melalui suatu
pemberontakan, kesetiaannya tidak ditujukan kepada Pangeran dari Madura itu,
melainkan tetap kepada Sunan Amangkurat I, Raja Mataram yang terpaksa meninggalkan
istananya untuk menyelamatkan diri. Bahkan ketika Sunan Amangkurat I berserta para
pengikutnya sampai di wilayahnya dalam perjalanannya menuju Cirebon, dia menjemput
mereka secara pribadi di perbatasan. Ia mempersilakan Sunan Amangkurat I dan para
pengikutnya singgah di Panjer Roma dengan tetap memperlakukannya sebagai Raja
Mataram.
Kesetiaan yang serupa juga ditunjukkan oleh K.R.A.T. Kolopaking II. Ia
mengirimkan para pemuda Panjer Roma yang telah dilatih olah kaparajuritan guna
membantu Pangeran Mas Garendi (Sunan Amangkurat V ) yang sedang bertempur
melawan tentara Belanda yang telah mendikte Raja Mataram. Para pemuda Panjer Roma
itu dipimpin oleh Raden Sulaiman Kertowongso yang kelak menjadi K.R.A.T.
Kolopaking III.
Pada waktu itu suksesi di tampuk kekuasaan Mataram telah dikotori oleh campur
tangan Belanda, sehingga kekuasaan jatuh ke tangan orang-orang yang dapat diajak
kerjasama oleh Belanda. Hal ini di luar adat dan bertentangan dengan tatanan yang telah
ada. Oleh karena itu kesetiaan K.R.A.T. Kolopaking IV ( anak K.R.A.T. Kolopaking III )
tetap ditujukan kepada trah Mataram yang diyakininya sah. Ketika pecah Perang
lviii
Diponegoro, K.R.A.T. Kolopaking IV dengan sepenuh daya membantu perjuangan
Pangeran Dipongoro hingga menjelang ajalnya.
Kesetiaan yang ditunjukkan oleh K.R.A.T. Kolopaking bukanlah kesetiaan buta,
melainkan telah diselaraskan dengan nilai-nilai adat dan norma yang berlaku. Di sisi lain
banyak orang menyatakan kesetiaannya kepada seseorang yang telah berjaya. Ketika
orang yang berjaya itu jatuh, maka kesetiaannya dialihkan kepada orang baru yang
berjaya. Kesetiaan semacam ini biasanya didorong oleh pamrih untuk mendapat
keuntungan secara pribadi. Bukan kesetiaan semacam itu yang ditunjukkan oleh K.R.A.T.
Kolopaking.
Perwujudan kesetiaan di zaman sekarang tentu sangat luas pengejawantahannya.
Kesetiaan atau loyalitas semacam itu tidak sekedar harus dimiliki oleh para menteri
terhadap presidennya, melainkan juga pegawai, karyawan, bahkan para siswa. Seorang
pegawai yang kurang setia akan bekerja seolah-olah baik di depan pimpinannya dan
sebaliknya jika ditinggal. Kesetiaan seperti ini adalah palsu. Akibatnya si pemilik
kesetiaan palsu tidak dapat memperoleh hasil kerja yang maksimal. Biasanya pemilik
kesetiaan palsu hanya mengharapkan keuntungan duniawi saja yang bersifat material.
Orang semacam itu tidak memiliki etos kerja yang tinggi dan tidak melandasi kerjanya
dengan nilai-nilai ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Kasih Sayang
K.R.A.T. Kolopaking juga sebagai pribadi yang penuh kasih sayang. Perasaan
kasih sayang ini hanya dapat diwujudkan oleh seseorang yang memiliki empati, artinya
dapat merasakan kesedihan, kepedihan, dan penderitaan oleh orang lain. Kasih sayang
tulus hanya dimiliki oleh seorang pemimpin sejati (Andreas Harefa, Mengasah Indera
Pemimpin), terlepas orang itu mendapat kesempatan memegang jabatan formal atau
tidak. Artinya jika orang itu berkesempatan memegang jabatan tertentu, maka ia dapat
mewujudkan kasih sayangnya kepada para bawahan dan orang-orang di sekitarnya. Jika
tidak, maka perasaan kasih sayangnya itu tercurah kepada orang-orang di sekitarnya.
lix
Ki Kertowongso ( K.R.A.T. Kolopaking I ) menjemput Sunan Amangkurat I dan
para pengikutnya di perbatasan Panjer Roma ketika dalam pelariannya merupakan satu
wujud kasih sayangnya, selain kesetiaan yang telah diungkapkan sebelumnya. Secara de
facto Sunan Amangkurat I pada waktu itu bukanlah Raja Mataram lagi, karena
kekuasannya telah jatuh ke tangan Pangeran Trunojoyo. K.R.A.T. Kolopaking melihat
dengan mata kasih sayangnya, bahwa saat itu Sunan Amangkurat I sedang sakit luar
dalam. Sakit luarnya adalah sakit dalam arti fisiknya, karena beliau kelelahan setelah
menempuh perjalanan panjang. Sedangkan batinnya remuk karena tersingkir dari istana.
Penyambutan yang dilakukan oleh K.R.A.T. Kolopaking sungguh menjadi obat
sakit batin yang diderita oleh Sunan Amangkurat I. Sunan Amangkurat I batinnya merasa
terhina karena pemberontakan telah mencampakkannya hingga menjadikan dirinya
seorang pelarian yang harus segera ditangkap dan dibunuh atau seperti gelandangan yang
yang tak punya rumah. Justru pada saat dia dipuncak kepedihannya, K.R.A.T.
Kolopaking berada di depannya dengan tetap mengakuinya sebagai Raja Mataram yang
sah. Dalam hal ini sikap yang ditunjukkan oleh K.R.A.T. Kolopaking I adalah sikap
nguwongake. Sikap nguwongake dapat diartikan sebagai mengormati seseorang pada
kedudukannya yang mulia. Setiap orang mengharapkan perlakuan demikian. Buktinya
banyak orang menjadi marah ketika harga dirinya direndahkan oleh orang lain. Sikap
menghormati tidak hanya ditunjukan oleh K.R.A.T Kolopaking kepada rajanya,
melainkan juga kepada semua orang, termasuk rakyatnya di Panjer Roma. Para pemuda
keturunan Cina tidak dianggap sebagai orang lain. Mereka diperlakukan sama dengan
pemuda pribumi, memiliki hak dan kewajiban yang sama. Ketika K.R.A.T. Kolopaking
mengadakan pelatihan olah kanuragan dan keprajuritan, para pemuda Cina juga turut
dilibatkan.
Kasih sayang kapada rakyatnya diwujudkan dengan memajukan bidang
pertanian dan perdagangan. Kedua bidang tersebut diyakininya dapat mengantar
rakyatnya ke gerbang kesejahteraan. Pemimpin sejati adalah orang yang berusaha
membuat kehidupan rakyatnya bahagia lahir maupun batin. Dan hal itu terbukti. Ketika
lx
Mataram hendak mengadakan penyerbuan ke Batavia (Jakarta), K.R.A.T. Kolopaking
ditugasi mengurus logistik bahan pangan. Salah satu alasannya adalah karena di Panjer
Roma tersedia bahan pangan yang cukup melimpah.
Sikap kasih sayang tentu masih relevan untuk terus dikembangkan di zaman
sekarang. Apalagi kita tumbuh sebagai bangsa yang terdiri dari berbagai ragam suku,
agama, budaya, sosial lainnya. Terjadinya kesenjangan yang jauh antara si kaya dan si
miskin antara lain karena kurangnya kasih sayang. Seandainya para orang kaya
menyisihkan sebagian kekayaannya untuk menyantuni yang miskin, maka sedikit akan
memperkecil kesenjangan tersebut. Terjadinya bentrok antar warga juga karena
kurangnya kasih sayang, termasuk dari pemimpinnya. Pemimpin yang memiliki empati
pasti telah mendengar berbagai keluhan warganya. Kesalah-pahaman di antara warganya
telah diketahui sejak dini sehingga tidak sampai pecah menjadi bentrokan.
Hingga sekarang masih banyak pemuda yang tidak berkesempatan mengenyam
pendidikan di perguruan tinggi karena tidak memiliki dana yang cukup. Keadaan ini
dapat diatasi dengan kasih sayang. Di antaranya orang-orang kaya menghimpun dana
untuk dijadikan beasiswa. Para pengelola perguruan tinggi, walaupun penyelenggaraan
kuliah bermutu memang membutuhkan dana besar, tetapi tidak memaksakan kepada yang
miskin untuk turut menanggungnya. Orang yang duduk di pemerintahan maupun para
wakil rakyat di DPR hendaknya juga memiliki perasaan kasih sayang semacam ini.
3. Keberanian
Keberanian K.R.A.T. Kolopaking mengemuka ke dalam berbagai bentuk, di
antaranya dalam bentuk menentukan pilihan dengan resiko besar. Keputusannya
menerima Sunan Amangkurat I ketika dalam pelariannya menuju Cirebon termasuk
sebuah keputusan yang berani. Betapa tidak, pada waktu itu kekuasaan atas Mataram
telah jatuh ke tangan Pangeran Trunojoyo. Melindungi Sunan Amangkurat I sama saja
dengan membangkang kepada Pangeran Trunojoyo. Salah satu resiko yang mungkin
adalah Panjer Roma dihancurkan pula oleh Pangeran Trunojoyo. Namun K.R.A.T.
Kolopaking tetap yakin terhadap pilihannya itu.
lxi
Keberanian yang luar biasa juga diperlihatkan oleh K.R.A.T. Kolopaking II. Ia
mengirimkan pasukannya yang dipijmpin oleh R. Sulaiman Kertowongso untuk
membantu Pangeran Mangkubumi yang sedang berperang melawan Sunan Pakubuwono
II yang dibantu oleh Belanda. Jika disadari bahwa kekuatan Belanda pada waktu itu
demikian kuatnya dengan persenjataan yang lengkap dan modern, maka keputusan
K.R.A.T. Kolopaking tergolong berani.
K.R.A.T. Kolopaking III juga memiliki keberanian yang tidak kalah dibanding
Kolopaking sebelumnya. Berkat keberanian K.R.A.T. Kolopaking III (R.Sulaiman
Kertowongso) peperangan dihentikan dan diadakan perjanjian antara dua pihak yang
bertikai yang terkenal dengan sebutan Perjanjian Gianti. Pada waktu Panjer Roma
dikuasakan kepada K.R.A.T. Kolopaking IV keadaannya sudah demikian gawat. Namun
demikian K.R.A.T. Kolopaking IV tetap pada pendiriannya. Ia memutuskan untuk
membantu Pangeran Diponegoro berperang melawan Penjajah Belanda. K.R.A.T.
Kolopaking bahkan harus bertarung satu lawan satu dengan Arungbinang IV yang sama-
sama berasal dari Panjer Roma. K.R.A.T. Kolopaking IV sampai terluka dalam
pertempuran tersebut dan tak lama setelah itu meninggal.
Zaman sekarang keberanian juga sangat diperlukan. Mengatakan sesuatu yang
benar itu benar dan yang salah itu salah tidak selamanya mudah. Seorang bawahan di
suatu instansi, misalnya, belum tentu mampu mengingatkan atasannya yang bertindak
melawan hukum. Berani berkata benar, walaupun dilakukan dengan penuh hormat dan
hati-hati bisa membuat atasannya tersinggung. Akibat tindakan ”berani” itu seorang
bawahan bisa terhambat kariernya. Ia tak akan diberi jabatan tertentu di instansi itu.
Pangkatnya bisa terhenti. Bahkan bisa dipecat karena dinilai tidak loyal. Terungkapnya
beberapa kasus korupsi di lembaga-lembaga atau instansi pemerintah akhir-akhir ini
antara lain akibat dari tidak adanya keberanian mengatakan yang salah itu salah. Segala
sesuatu yang dikatakan oleh seorang atasan dianggap sebagai suatu kebenaran.
Memang keberanian mengandung resiko. Kadang-kadang resikonya sangat
buruk dan mengancam jiwa. Namun, bagi orang yang telah tertanam nilai ketakwaan di
lxii
dalam hatinya, mati demi membela kebenaran bukanlah hal yang harus ditakuti. Sikap
berani juga perlu ditanamkan kepada jiwa generasi muda, bahkan sejak dini. Melalui
latihan Pramuka, Mata Pelajaran Agama, Pendidikan Budi Pekerti, maupun cerita-cerita
sikap berani berusaha ditanamkan ke dalam dada para siswa.
4. Patriotisme
Patriot adalah pembela negara. Patriotisme adalah sikap atau semangat yang
gigih dalam mempertahankan keutuhan dan kehormatan negaranya. Jiwa patriotisme ini
benar-benar melekat pada diri K.R.A.T. Kolopaking mulai dari yang pertama hingga yang
keempat. Ketika Mataram berencana menyerbu Batavia (Jakarta), K.R.A.T. Kolopaking I
ditugasi menyiapkan lumbung-lumbung bahan pangan. K.R.A.T. Kolopaking II
mengirimkan prajuritnya di bawah pimpinan R. Sulaiman Kertowongso ke Mataram
untuk membantu Pangeran Mangkubumi termasuk tindakan seorang patriot. Pada waktu
itu Penjajah Belanda telah melakukan campur tangan terlalu dalam terhadap urusan
kerajaan di bawah kekuasaan Sunan Pakubuwono II. Pangeran Mangkubumi tidak dapat
membiarkan hal itu berlanjut. Oleh karena itu ia melakukan pemberontakan. Demi untuk
menjaga kehormatan kerajaan Mataram, K.R.A.T. Kolopaking mengirimkan prajuritnya
untuk membantu Pangeran Mangkubumim memerangi Penjajah Belanda. K.R.A.T.
Kolopaking II melatih para pemuda Cina untuk dilatih ilmu keprajuritan (perang). Para
pemuda keturunan Cina itu kemudian dikirim untuk membantu Pangeran Garendi yang
sedang berperang melawan Panjajahan Belanda di Boyolali-Kartosuro. Perjuangan
tersebut diteruskan oleh K.R.A.T. Kolopaking III. Perjuangan tersebut dilakukannya
dengan sangat gigih hingga diadakan Perjanjian Giyanti.
Pada waktu K.R.A.T. Kolopaking IV berkuasa di Panjer Roma, permusuhan
dengan Panjajah Belanda telah demikian meruncing. K.R.A.T. Kolopaking IV memihak
kepada Pangeran Diponegoro. Bahkan akhirnya K.R.A.T. Kolopaking IV harus bertarung
satu lawan satu berhadapan dengan Adipati Arumbinang IV. Ia terluka tangannya dan
meninggal dunia selang beberapa bulan kemudian.
lxiii
Patriotisme perlu terus digelorakan di dada generasi muda Indonesia hingga
sekarang. Wujud tindakan yang mencerminkan jiwa patriotisme di antaranya adalah
mengedepankan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi maupun kelompoknya.
Wujud lain dari jiwa patriotisme adalah kerelaan berkorban untuk kepentingan umum.
Para patriot di masa lampau rela mengorbankan harta maupun jiwa dan raganya demi
menjaga keutuhan dan kehormatan negerinya. Perjuangan para patriot bangsa dewasa ini
tentu berbeda, namun tujuannya sama, yaitu demi menjaga keutuhan negara dan
mengharumkan nama Indonesia.
Tindakan korupsi, penyelundupan, penjarahan hutan, dan mempermainkan
hukum adalah tindakan-tindakan yang bertentangan dengan jiwa patriotisme. Tingkat
korupsi yang tinggi bukan saja merusak sendi-sendi perekonomian negara juga
menimbulkan citra buruk bagi Negara Indonesia. Demikian pula penjarahan hutan dan
tindakan mempermainkan hukum. Hukum diperjual-belikan sehingga rasa keadilan
menjadi hilang. Kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum menipis.
Akibatnya tindakan-tindakan anarkis merajalela. Masyarakat cenderung bertindak main
hakim sendiri. Jiwa patriotisme sungguh wajib dimiliki oleh para penegak hukum, aparat
pemerintah, dan seluruh warga negara lainnya.
Upaya menanamkan jiwa patriotisme dapat dilakukan melalui berbagai macam
cara, di antaranya adalah melalui media cerita rakyat. Cerita Rakyat K.R.A.T. Kolopaking
ini merupakan satu di antara sekian banyak cerita rakyat lainnya.
5. Tanggung Jawab
K.R.A.T. Kolopaking merupakan sosok yang penuh tanggung jawab. Tanpa
memiliki sifat mulia, yaitu bertanggung jawab tak mungkin penguasa Mataram
memberinya kepercayaaan yang begitu besar. Pada waktu Mataram berencana menyerang
Batavia (Jakarta) K.R.A.T. Kolopaking diberi tugas membangun lumbung-lumbung
persediaan makanan dan perlengkapan senjata. Tugas besar itu mustahil diberikan kepada
K.R.A.T. Kolopaking jika citranya selama ini buruk. Tugas-tugas besar lainnya terus
dipercayakan kepada K.R.A.T. Kolopaking, antara lain untuk memimpin parajurit hingga
lxiv
menjadi penguasa di Panjer Roma. Sikap tanggung jawab diwujudkan antara lain dengan
berupaya menjalankan tugas sebaik-baiknya agar sukses. Kalaupun akhirnya gagal, ia
harus berani menanggung akibatnya. Sikap tanggung jawab juga penting diwariskan
kepada generasi muda. Generasi muda hendaknya memiliki jiwa tanggung jawa.
Tanggung jawab menuntut dimilikinya kecakapan dan semangat pantang menyerah.
Artinya untuk menyelesaikan tugas yang dipikulkan kepadanya seseorang harus memiliki
kecakapan atau kemampuan yang memadai serta semangat yang terus menyala dan tidak
mudah menyerah.
6. Kejujuran
Kejujuran jelas dimiliki oleh K.R.A.T. Kolopaking. Mengelola lumbung pangan
dan perlengkapan senjata, bagi orang yang tidak jujur bisa dipandang sebagai tempat
yang ”basah” atau ”subur” Artinya di situ orang bisa melakukan tindakan-tindakan kotor
untuk memperkaya diri sendiri. Namun hal itu tidak dilakukan oleh K.R.A.T.
Kolopaking. Ia bahkan rela mengorbankan sebagian miliknya demi menjaga kejujuran
itu.
Jiwa kejujuran sungguh harus ditanamkan kepada generasi muda. Pameo ”siapa
jujur akan hancur” harus disirnakan dan diganti dengan ”siapa jujur bakal mujur dan
makmur”. Kemujuran dan kemakmuran hendaknya tidak dilihat sebagai kesuksesan
dalam arti berhasil menumpuk-numpuk kekayaan, melainkan kedamaian dan ketenangan
batin. Orang yang berhasil menumpuk harta dari korupsi hendaknya tidak dipandang
sebagai sebuah kesuksesan, melainkan mengundang malapetaka, baik bagi diri dan
keluarganya maupun negaranya.
E. Respon Masyarakat Desa Kalijirek terhadap Cerita K.R.A.T Kolopaking
1. Generasi muda mengaku asing
Responden dari kalangan siswa SD dan SMP kebanyakan mengaku tidak tahu
tentang cerita Kolopaking. Mereka hanya mengetahui bahwa Kolopaking adalah nama sebuah
pemakaman di wilayah desa mereka. Kuburan itu berada di atas bukit kecil dan tidak
lxv
digunakan untuk umum. Mereka juga menyatakan belum pernah memasuki areal pekuburan
itu. Sebagian mengaku hanya sering lewat jalan di dekatnya karena mobilitasnya memang
harus melalui jalur jalan itu. Mereka tidak mengamati berapa nisan yang ada di pemakaman
itu. Maklumlah karena pemakaman tersebut berada di atas bukit. Nisan-nisan yang ada tidak
nampak dari jalan yang letaknya di bawah. Untuk dapat menghitung berapa batu nisan yang
ada harus menaiki bukit yang diselimuti semak-semak dan dipayungi beberapa batang pohon
jati. Mereka mengaku takut memasuki areal pekuburan karena menurut kabar yang mereka
yakini bahwa kuburan itu ”angker” atau ”wingit” Apakah pernah ada kejadian aneh yang
menimpa atau dialami oleh seseorang? Mereka tidak dapat menjelaskannya.
Siswa-siswa SMA dan mahasiswa mengetahui sedikit tentang Kolopaking. Menurut
mereka Kolopaking adalah seorang yang pernah menjadi Bupati Kebumen pada masa lalu.
Mereka pun mengaku belum pernah mengetahui ada berapa batu nisan dan jenazah siapa saja
yang dimakamkan di pekuburan itu. Mereka juga turut percaya bahwa kuburan itu angker
tanpa dapat menjelaskan alasannya. Menurut mereka makam itu pernah didatangi oleh Bupati
Wanita pertama di Kebumen pada awal masa pemerintahannya. Begitu juga pada malam
menjelang peringatan Hari Jadi Kebumen yang jatuh setiap tanggal 1 Januari. Kegiatan itu
biasanya dilakukan dengan pengamanan yang ketat sehingga orang awam tidak dapat
menyaksikannya. Kadang-kadang makam itu didatangi pula oleh orang-orang yang disebut
”Trah” Kolopaking. Selebihnya orang-orang yang datang berziarah ke makam tersebut pada
waktu-waktu tertentu, konon, adalah orang yang menginginkan kesaktian dan semacamnya.
Suatu kenyataan yang memprihatinkan adalah merek terkesiap ketika diberitahu
bahwa Kolopaking bukan nama seseorang, melainkan sebuah gelar. Mereka bahkan tidak
mengenal Ki Kertowongso, orang yang oleh Sunan Amangkurat I diberi gelar K.R.A.T.
Kolopaking I, apalagi yang diberi gelar K.R.A.T. Kolopaking II, III, dan IV. Jika diingat
bahwa tokoh-tokoh yang menerima gelar Kolopaking begitu besar jasanya bagi negeri ini,
maka kenyataan itu sungguh ironis.
Para pemuda dan mahasiswa, kebanyakan kalangan tua juga tidak mengetahui
tentang cerita Kolopaking. Mereka hanya mengetahui bahwa Kolopaking pernah menjadi
lxvi
penguasa Kebumen dan pernah berseteru dengan Arumbinang. Mereka pun mengenal
Arumbinang sebagai sebuah nama, bukan gelar. Oleh karena itu mereka sempat bingung
ketika ditanya Kolopaking keberapa dan Arumbinang keberapa yang berseteru. Mereka
memang dapat menceritakan bahwa pertarungan satu lawan satu antara keduanya berlangsung
di sawah ”si Kenceng” yang letaknya di timur Stadion Candradimuka sekarang. Mereka dapat
menceritakan bahwa lokasi sawah tersebut ”angker”, terutama di pojok timur-utara atau timur
laut.. Terbukti sebuah rumah yang didirikan di tempat itu kemudian tidak ditinggali lebih dari
sebulan oleh pemiliknya. Menurut cerita mereka ”ular jadi-jadian” selalu mengganggu
penghuni rumah itu. Ketika pemilik rumah hendak mandi, ternyata ular ada di bak mandi. Saat
mau makan ular sudah berada di balik tutup saji. Begitu juga ketika hendak berangkat tidur,
ulau-ular pengganggu telah lebih dahulu di tempat tidur, walaupun beberapa saat sebelumnya
baru saja dibersihkan. Keanehan-keanehan itulah yang membuat penghuni rumah itu
hengkang dan membiarkan rumah itu rusak. Sekarang puing-puing rumah itu masih dapat
disaksikan.
Menurut penuturan kalangan orang tua, bahwa keberadaan ular-ular yang
mengganggu penghuni rumah tersebut di atas ada hubungannya dengan cerita di akhir
pertempuran antara Kolopaking dan Arumbinang. Pada pertarungan itu lengan Kolopaking
terkena sabetan pedang Arumbinang sehingga meninggalkan luka. Tetesan darah dari luka
itulah yang menjadi ular-ular jadi-jadian. Konon karena takut Arumbinang melarikan diri.
Kolopaking yang terluka menyingkir.
Seorang Juru Kunci Makam seharusnya mengetahui secara persis cerita di sekitar
tokoh yang jenazahnya dimakamkan di pekuburan yang dijaganya. Sayang tidak demikian
yang ada di Pemakaman Kolopaking. Mungkin karena jabatannya sebagai Juru Kunci hanya
jabatan sampingan. Beliau sendiri berprofesi sebagai guru dan mengajar di sebuah SMA di
Gombong. Beliau juga mengaku masih baru menyandang jabatan tersebut. Tugasnya sebagai
Juru Kunci sebatas membukakan gerbang manakala ada peziarah yang datang dengan
pemberitahuan dahulu.
lxvii
Sang Juru Kunci maupun kalangan tua terkesan enggan menceritakan kisah sekitar
Kolopaking. Berbagai alasan mereka kemukakan, mulai dari tidak tahu, enggan bercerita,
takut salah, dan alasan lainnya. Mereka terkesan ingin menghindar dari pertanyaan sekitar
Kolopaking. Hal ini sungguh ironis. Bagaimana mungkin kisah perjuangan Kolopaking yang
menyimpan nilai-nilai luhur dan patut diwariskan kepada generasi penerus justru tidak
dipublikasikan.
2. Ceritanya telah lama terkubur
Responden yang berprofesi guru dan penulis buku nonfiksi menyatakan bahwa
keengganan atau perasaan takut salah jika menceritakan kisah seputar Kolopaking sudah
terjadi sejak dahulu. Hal yang sama disampaikan pula oleh seorang pensiunan Penilik
Kebudayaan yang pernah berdinas di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan
Kebumen. Menurut mereka kengganan masyarakat menceritakan kisah sekitar Kolopaking
memang telah terjadi sejak zaman dahulu. Bahkan di masa lalu bukan hanya enggan,
melainkan takut,bukan sekedar takut salah. Kondisi seperti itu bermula sejak Arumbinang IV
dinobatkan menjadi Bupati Kebumen.
Kedua responden tersebut tidak yakin, bahwa pada masa lalu pernah dilakukan
pelarangan terhadap orang untuk bercerita tentang Kolopaking oleh Arumbinang sendiri. Jika
ada, maka pelarangan itu barangkali dilakukan oleh orang di sekitarnya. Bisa saja pelarangan
itu datang secara otomatis di hati tiap orang Kebumen sebagai bentuk perasaan ”ewuh” atau
tidak etis menceritakan ”keunggulan” yang dimiliki oleh musuh ”gustine”. Siapapun
orangnya, tanpa dicegah oleh orang lain pantang melanggar etika itu. Hal demikian telah
menjadi budaya. Orang Jawa ”tabu” menceritakan hal-hal yang bukan kebaikan yang dimiliki
”gustine”, apalagi hal-hal yang telah benar-benar merupakan ’wadi”.
Menceritakan patriotisme K.R.A.T. Kolopaking IV bisa ditafsiri sedang
memposisikan Arumbinang IV pada peran antagonis. Anggapan seperti itu pun Tentu hal ini
membahayakan bagi pengisahnya karena Arumbinang IV adalah penguasa. Itulah sebabnya
banyak orang yang kemudian mengunci mulutnya rapat-rapat dari menceritakan kisah
lxviii
Kolopaking. Apalagi sebuah kewajaran bahwa di sekitar penguasa selalu ada para penjilat.
Orang pun menjadi sangat berhati-hati jika mengungkapkan sesuatu berkaitan dengan
Kolopaking, Bisa-bisa apa yang dikatakan orang itu sampai ke telinga penguasa.
Berziarah ke makam Kolopaking sangat jarang dilakukan, bahkan seolah-olah
dilarang. Jika ada seorang wedono, camat, glondhong, maupun lurah ketahuan berziarah ke
makam tersebut, konon, pemecatan adalah resiko yang harus diterima. Ini baru cerita orang
yang harus diteliti kebenarannya. Akan tetapi isu tersebut telah menyebar dan diterima
mentah-mentah oleh umum. Itulah sebabnya kemudian tak seorang pun pamong praja yang
berani mengelebat di dekat kuburan tersebut. Mereka takut keberadaannya di dekat pekuburan
itu akan sampai di telinga atasannya sebagai sedang berziarah.
Kalangan pedagang juga dihantui ketakutan jika hendak mendatangi pemakaman
itu. Entah siapa yang mula-mula mengembuskan isu bahwa pedagang yang berziarah ke
makam tersebut akan segera bangkrut. Nasib sial konon akan menimpa siapa saja yang
berziarah ke makam Kolopaking. Akibat sangat jarang dikunjungi peziarah, maka pantaslah
tempat itu dianggap wingit.
3. Perlu dilakukan penggalian data-data sejarah Kolopaking.
Responden yang berprofesi sebagai penulis buku nonfiksi dan pensiunan Penilik
Kebudayaan mempunyai pendapat senada, yaitu bahwa perlu dilakukan penggalian data-data
sejarah berkaitan dengan perjuangan Kolopaking. Upaya ini bukan ditujukan untuk
memposisikan tokoh yang pernah berseteru dengannya di peran antagonis.
Menurut pendapat Bapak Sardjoko dan Bapak Sugeng, bahwa perseteruan antara
Kolopaking IV dengan Arumbinang IV pada waktu itu mirip dengan ”Lakon Karna
Tandhing” dalam dunia perwayangan. Arjuna dari Pandawa melawan Adipati Karna dari
Kurawa. Keduanya bersaudara, kakak beradik. Keduanya maju ke medan laga demi
memperjuangkan kebenaran. Arjuna berperang demi membela tanah airnya, sedangkan
Adipati Karna demi membalas budi dan demi menunjukkan loyalitasnya kepada Kurawa.
K.R.A.T. Kolopaking IV berperang demi membela tanah airnya, sedangakan Arumbinang IV
lxix
demi menjalankan tugas yang diberikan kepadanya oleh Pemerintah Belanda. Apakah
Arumbinang IV dalam hal ini salah? Tentu tidak semudah itu menilainya. Arumbinang IV
bertempur melawan Kolopaking IV karena sedang dalam menjalankan tugasnya. Dia
mendapat tugas meberangus para pembangkang dan para pemberontak. Mengenai predikat
pembangkang atau pemberontak maupun pengkhiatan harus dilihat secara arif. Pandangan
sebagai pemberontak maupun pembangkang jika dilihat satu pihak. Namun dari sudut yang
lain aksi itu justru sebagai tindakan patriotisme.
4. Belum masuk ke bahan ajar sekolah sebagai muatan lokal
Para guru mengakui, bahwa kurikulum sekolah dasar yang berlaku sekarang ini,
khususnya pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial kelas 4, salah satu kompetensi
dasarnya adalah menggali informasi sejarah termasuk tentang tokoh sejarah yang ada di
wilayahnya. Untuk para siswa sekolah dasar di Kebumen menggali informasi tentang
Kolopaking tentu sangat tepat. Namun untuk melakukan itu para guru masih ragu-ragu.
Alasan utamanya mereka merasa kurang ahli sehingga takut membuat kesalahan. Kesalahan
dalam hal ini, menurut mereka, dapat berakibat fatal. Bisa dianggap memfitnah bahkan yang
lebih mengerikan lagi. Alasan lainnya adalah bahwa buku-buku sumber yang memuat kisah
perjuangan Kolopaking belum mereka temukan.
5. Belum dipandang sebagai suatu aset.
Keberadaan Makam Kolopaking di Desa Kalijirek, menurut penulis dan pensiunan
Penilik Kebudayaan sebetulnya merupakan keuntungan utamanya bagi Desa Kalijirek itu
sendiri. Makam itu dapat dijadikan sebagai objek wisata sejarah. Untuk menarik wisatawan
bisa dibangun sebuah museum di dekat pemakaman tersebut. Tentu saja harus dipersiapkan
informasi sejarah yang lengkap tentang Kolopaking sejak yang pertama hingga terakhir yang
ke IV. Berbagai barang peninggalan yang masih ada diinventarisasi. Hal ini mungkin dapat
ditempuh dengan menghubungi keturunan dan para kerabatnya yang tergabung dalam ”Trah
Kolopaking”.
lxx
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan serangkaian kegiatan di lapangan berkaitan dengan cerita tentang
Kolopaking penulis memperoleh kesimpulan sebagai berikut.
1. Profil masyarakat Desa Kalijirek
Profil masyarakat Desa Kalijirek sebagian besar berpendidikan SMA
ke bawah dari 1.743 orang penduduknya hanya 7 orang yang melanjutkan
pendidikan tinggi, penduduk yang bersekolah di SMA atau yang sederajat
sebanyak 234 orang atau 13 %, penduduk yang tamat SMP atau yang sederajat
sebanyak 298 orang atau 17 %, dengan kata lain penduduk Desa Kalijirek
sebagai pemilik cerita rata-rata berpendidik rendah, terutama hanya tamat SD.
Yaitu sebanyak 886 orang atau 50 % sangat di pahami jika warga Desa Kalijirek
sendiri merasa asing terhadap cerita rakyat Kolopaking.
2. Bentuk dan isi cerita rakyat Kolopaking
Cerita rakyat Kolopaking sebenarnya bertolak dari fakta sejarah yaitu
kisah hidup Ki Kertowongso yang kemudian diberi gelar Kolopaking I dan
Kolopaking-kolopaking berikutnya hingga Kolopaking IV. Kolopaking I hingga
Kolopaking IV setia kepad pemimpin atau penguasa yang sah pada masanya dan
turut berjuang mempertahankan jatidiri bangsanya atau tanah tumpah darahnya.
3. Artefak dan tradisi budaya yang terkait dengan cerita rakyat
Kolopaking
Artefak-artefak dari zaman Kolopaking tidak banyak yang tersisa
hingga kini, beberapa artefak yang masih dapat diselamatkan hanya 1 buah meja
dan 1 buah lemari milik Kolopaking IV dan sekarang berada di rumah penjaga
kunci makam, artefak lainnya adalah makam Kolopaking tersebut di Desa
Klijirek.
lxxi
Tradisi budaya terkait dengan cerita Kolopaking yang masih hidup
hingga sekarang juga tidak ada lagi. Pada menjelang perayaan hari jadi
Kebumen setiap tahunnya, para pejabat di lingkungan Pemda Kabupaten
bersama pejabat Bupati mengadakan upacara ziarah ke makam Kolopaking di
Desa Klijirek.
4. Nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat Kolopaking
Sarat dengan nilai-nilai luhur yang pantas diwariskan kepada generasi
muda cerita tentang Kolopaking benar-benar sarat dengan nilai-nilai luhur yang
patut diwariskan kepada generasi muda dan tetap relevan diterapkan dalam
kehidupan saat ini. Nilai-nilai luhur itu nampak mulai dari kisah Ki
Kertowongso yang bergelar K.R.A.T Kolopaking I hingga Kolopaking IV
meskipun permasalahan dan tantangan yang dihadapi berbeda-beda. Nilai-nilai
luhur tersebut antara lain kesetiaan, kerja keras, patriotisme, kejujuran,
keberanian, bertanggung jawab, dan masih banyak lagi.
5. Respon masyarakat terhadap keberadaan cerita rakyat
Kolopaking
Ceritanya telah lama terkubur dan dilupakan orang cerita tentang
Kolopaking memang telah lama terbenam, yaitu sejak Arumbinang IV menjadi
penguasa di Kebumen. Walaupun demikian bukan berarti bahwa pelarangan
mengisahkan cerita Kolopaking datang dari Arumbinang. Pelarangan itu bisa
saja datang dari orang-orang dekatnya di kala itu maupun masyarakat sendiri
yang masih menjunjung tinggi pantang membuka ”wadi” lebih-lebih dari
penguasa di wilayahnya. Sayangnya keengganan dan ada juga ketakutan
bercerita tentang Kolopaking berlanjut hingga sekarang. Bahkan keengganan
menceritakan kisah Kolopaking dikait-kaitkan dengan hal-hal mistik, misalnya
pedagang yang berziarah ke makam Kolopaking akan mengalami kebangkrutan.
Perlu dilakukan upaya penggalian data-data sejarah tentang
lxxii
Kolopaking.Kalangan tua menghimbau pemerintah atau instansi terkait untuk
dilakukan upaya menggali informasi sejarah mengenai Kolopaking.
B. Saran
Ki Kertowongso adalah tokoh yang telah memberi warna bagi Kebumen. Karena
jasanya kemudian diberi gelar K.R.A.T. Kolopaking I oleh Sunan Amangkurat I dari
Mataram. Penerusnya, yaitu Kolopaking II hingga IV terus berkiprah bagi kemajuan
Kebumen di zamannya. Mereka juga berperan dalam usaha mengusir penjajah Belanda
dari bumi pertiwi. Dengan gagah berani mereka menerjang lawan, bahkan sampai daerah
di luar Kebumen, misalnya ketika harus membantu pasukan Mataram di Karanganyar,
Surakarta. Ketika Mataram bermaksud melakukan penyerangan terhadap kedudukan
Belanda di Batavia (Jakarta) Kolopaking bertugas menyediakan lumbung pangan. Beliau
juga membantu perjuangan Pangeran Diponegoro melawan Belanda yang arogan. Masih
banyak lagi sepak terjangnya, sayang sekarang kisahnya hilang bagai ditelan bumi. Oleh
karena itu, sependapat dengan para responden dari kalangan tua dan berpengetahuan luas,
penulis menyarankan hal-hal berikut.
a. Perlu upaya-upaya melestarikan cerita-cerita sekitar Kolopaking.
Banyak nilai-nilai luhur yang terkandung dalam cerita atau kisah
tentang Kolopaking yang pantas diteladani oleh generasi muda masa kini. Oleh
karena itu perlu ada upaya-upaya serius melestarikannya. Salah satu alternatif,
misalnya, dengan membuka sayembara penulisan naskah cerita tentang
Kolopaking. Pada gilirannya naskah yang menjadi juara dibukukan. Jika
dikemas dengan perwajahan yang menarik pasti akan banyak dibaca oleh anak-
anak.
b. Perlu penggalian fakta-fakta dan data-data sejarah berkait dengan
Kolopaking.
lxxiii
Harus diakui bahwa betapa besar sumbangsih Kolopaking bagi negeri
ini, khususnya Kebumen dan Mataram. Didasarkan pada fakta-fakta yang ada,
paling tidak menurut penuturan para tokoh yang dianggap mengetahui tentang
Kolopaking, maka tidaklah berlebihan kiranya jika Kolopaking diusulkan agar
diakui menjadi salah satu pahlawan agar diakui oleh pemerintah.
Kolopaking memang besar artinya bagi negeri dan bangsa ini, maka
upaya penggalian data sejarah yang lebih akurat. Dengan demikian
kepahlawanan Kolopaking paling tidak diketahui oleh generasi muda Kebumen,
khususnya, dan Indonesia umumnya. Tanpa mengetahui kisahnya, mana
mungkin seseorang akan menghargai jasa-jasanya. Peribahasa mengatakan
bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para
pahlawannya. Tanpa ada data yang akurat , maka perjuangan yang dilakukan
Kolopaking tak pernah diketahui dan dihargai orang. Artinya, kita belum
bisadikatakansebagai bangsa yang besar, karena data tentang salah seorang
pahlawannya tercecer.
c. Pemakaman Kolopaking untuk dijadikan objek wisata sejarah.
Makam Kolopaking sebetulnya termasuk makam yang istimewa, paling
tidak bagi warga Kebumen. Lokasi itu berpotensi untuk dikembangkan menjadi
sebuah objek wisata sejarah. Tentu saja di lokasi itu harus dilengkapi museum.
Museum itu dapat diisi dengan berbagai benda peninggalan Kolopaking mulai
dari yang pertama hingga keempat. Benda-benda itu bisa didapatkan dari
keturunan dan kerabat beliau yang tergabung dalam ”Trah Kolopaking.
lxxiv
DAFTAR PUSTAKA
Atar Semi. 1993. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.
Danandjaja, James. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain. Jakarta: Grafitti. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Struktur Sastra Lisan Wolio. Jakarta: Dekdikbut. Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik Sampai Post Modernisasi.
Yogyakarta: Pustaka Jaya. Koentjaraningrat. 1983. Beberapa Dasar Metode Statistik dan Sampling Dalam Penelitian
Masyarakat Dalam Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. Laelasari dan Nurlaela. 2006. Kamus Istilah Sastra. Bandung: Nuansa Aulia.
Moleong, Laxy J. 1990. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rusda Karya. Mursal Esten. 1984. Kesustraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa. Panuti Sudjiman. 1992. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Rachmat Djoko Pradopo. 1995. Beberapa Teori Sastra Metode Kritik dan Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sutopo, HB. 2002. Pengantar Penelitian Kualitatif Dasar-dasar Teori Praktis. Surakarta: UNS
Press. Teew, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wasita, Hermawan, Drs. 1992. Pengantar Metode Penelitian, Buku Panduan Mahasiswa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
lxxv
LAMPIRAN
CERITA RAKYAT K.R.A.T KOLOPAKING
lxxvi
Raden Kyai Ageng Kertowongso adalah penguasa wilayah Panjer Roma yang merupakan
daerah perdhikan, yaitu daerah otonom dengan dikepalai oleh seorang Demang. Wilayahnya
meliputi Rowo Ambal, Bocor, Petanahan, Puring, Gombong, Karanganyar, Panjer, Kutowinangun,
dan Prembun.
Pada tahun 1677 terjadi pemberontakan di Mataram yang dikomandoi Pangeran
Trunojoyo, seorang pangeran dari Madura. Pasukan pemberontak berhasil merebut ibu kota
Mataram. Raja Mataram, yaitu Sunan Amangkurat Agung I beserta keluarga dan beberapa
pengawalnya meninggalkan istana. Mereka berjalan ke barat. Tempat yang dituju adalah Cirebon
karena wilayah tersebut masih merupakan kekuasaan Mataram.
Pada tanggal 30 Juni 1677 rombongan Sunan Amangkurat Agung I memasuki wilayah
Panjer Roma, yaitu di Rowo Ambal. Beliau dijemput oleh Raden Kyai Ageng Kertowongso dan
langsung dibawa ke Panjer untuk diadakan perjamuan. Pada waktu itu Raden Kyai Ageng
Kertowongso melihat ada yang tidak wajar pada diri Sunan Amangkurat Agung I. Badannya lemas
dan mukanya pucat. Raden Kyai Ageng Kertowongso memastikan bahwa hal itu bukan penyakit
biasa, malainkan karena keracunan. Oleh karena itu Raden Kyai Ageng Kertowongso berinisiatif
mengambil buah kelapa yang telah kering sabutnya ( klapa aking, jawa ) dan airnya diminumkan
kepada Sunan Amangkurat Agung I dengan maksud untuk menawarkan racun di dalam badannya.
Konon beberapa saat kemudian Sunan Amangkurat Agung I muntah-muntah dan racun di
tubuhnya turut keluar. Untuk memulihkan kesehatannya Sunan Amangkurat Agung I beristirahat
beberapa hari di Panjer dibawah pengawasan Raden Kyai Ageng Kertowongso.
Sunan Amangkurat Agung I merasa sangat berterima kasih kepada Raden Kyai Ageng
Kertowongso. Selain telah memberikan penyambutan yang menyenangkan, Raden Kyai Ageng
Kertiowongso juga telah membebaskannya dari keracunan. Atas jasa baiknya itu, maka Sunan
Amangkurat Agung I menganugerahinya pangkat Raden Adipati Tumenggung dan sebuah gelar
Kelapa Aking I yang kemudian disingkat menjadi Kolopaking I. Raden Kyai Ageng Kertowongso
juga diambil menantu oleh Sunan Amangkurat Agung I dinikahkan dengan Raden Ayu Dewi
Mulat.
Pada tanggal 3 Juli 1677 rombongan Sunan Amangkurat Agung I bersama
rombongannya bermaksud melanjutkan perjalanan mereka ke barat. Raden Kyai Ageng
Kertowongso mengantar beliau melalui Bocor, Petanahan, Puring, dan berpisah di Gombong.
Sunan Amangkurat Agung selanjutnya beristirahat di Napudadi. Di sana beliau disambut oleh
Pangeran Adipati Anom (Tedjo Ningrat). Raden Kyai Ageng Kertowongso atau Ki Kertowongso
yang telah mendapat gelar Kanjeng Raden Adipati Tumenggung (K.R.A.T) Kolopaking
memanggil orang-orang kepercayaannya. Beliau berencana menyerbu kedudukan Pangeran
Trunojoyo di Mataram. Beliau kemudian memerintahkan para Adipati untuk mengumpulkan para
pemuda untuk dididik ilmu perang dan ilmu kanuragan. Pusat pelatihan tersebut berada di desa
lxxvii
Karangwono. K.R.A.T Kolopaking I menugasi Ki Demang Margonoyo untuk melayani segala
keperluan untuk kegiatan tersebut, antara lain perlengkapan senjata dan konsumsi.
Desa Karangwono, pusat penggemblengan para pemuda yang semula sepi menjadi
ramai. Dibangunlah beberapa tempat pelayanan masyarakat. Desa itu kemudian diganti namanya
menjadi Kutho Winangun (= kota yang dibangun). Sekarang namanya menjadi Kutowinangun.
K.R.A.T Kolopaking I mengangkat Ki Honggoyudo (anak dari Ki Demang Margonoyo) sebagai
Demang Kutowinangun. Ki Honggoyudo menikah demngan Putri Klegen dan beranak 7 orang.
Salah seorang diantaranya diberi nama Raden Honggoyudo atau yang di kemudian hari lebih
dikenal dengan nama Jaka Sangkrib.
Pada pertengahan tahun tersebut Pangeran Puger dan Senopati Mertoseno dengan
dibantu oleh laskar Panjer Roma dan laskar dari Bagelen menyerbu Mataram. Laskar Panjer Roma
dipimpin oleh Raden Mendingen, anak K.R.A.T Kolopaking I.
Pada saat yang hampir bersamaan, dari sisi yang lain, Pangeran Adipati Anom juga
menyerang Mataram. Pangeran Adipati Anom adalah Raja Mataram yang diakui oleh Pemerintah
Penjajah Belanda. Beliau diberi gelar oleh Pemerintah Penjajah Belanda Amangkurat Amral
(Admiral). Amangkurat Amral menyerang Mataram dengan mendapat bantuan tentara Belanda
dari Semarang.
Pangeran Trunojoyo berhasil diusir dari Mataram. Pangeran Trunojoyo mundur hingga
ke Kediri, namun terus dikejar oleh tentara Amangkurat Amral. Akhirnya Pangeran Trunojoyo
berhasil ditangkap dan dibunuh. Pasukan Panjer Roma tidak ikut dalam pengejaran tersebut,
melainkan tetap berada di ibu kota Mataram. Selanjutnya Pangeran Puger menyerahkan tahta
Mataram kepada Amangkurat Amral. Pemerintah Penjajah Belanda atau yang sering disebut
Kompeni mulai diberri wewenang dan kekuasaan yang lebih luas dalam urusan Kerajaan Mataram.
Prajurit Panjer Roma yang merasa tidak dapat bekerja sama dengan Pemerintah Belanda memilih
meninggalkan ibu kota Mataram dan kembali ke wilayahnya. Setelah bertahta selama 46 tahun
K.R.A.T. Kolopaking I menyerahkan kekuasaan atas Panjer Roma kepada putranya, yaitu Ki
Kertowongso Mendingen. Selanjutnya Ki Kertowongso Mendingen bergelar K.R.A.T. Kolopaking
II.
K.R.A.T. Kolopaking II, pada tahun 1741 merekrut para pemuda untuk dilatih olah
keprajuritan. Tidak sedikit pemuda keturunan Cina yang mengikuti pelatihan tersebut. Setelah
dipandang cukup para pemuda itu dikirim ke Mataram untuk membantu Pangeran Mas Garendi
yang sedang bertempur melawan Penjajah Belanda yang telah terlalu jauh mencampuri dan
mendikte kebijakan dan urusan Kerajaan Mataram. Sunan Pakubuwono II, yang berkuasa di
Mataram pada saat itu dinilai terlalu lemah dan selalu tunduk kepada kehendak Pemerintah
Penjajah Belanda. Pasukan dari Panjer Roma dipimpin oleh R. Sulaiman Kertowongso, anak
sulung K.R.A.T. Kolopaking II.
lxxviii
R.Sulaiman Kertowongso turut mengenakan pakaian seragam seperti yang dipakai oleh
kebanyakan pemuda Cina. Dalam rombongan tersebut ada seorang gadis yang menyamar sebagai
laki-laki. Di medan pertempuran R. Sulaiman Kertowongso dan gadis Cina yang menyamar
sebagai laki-laki itu sering bahu-mambahu dalam melawan musuh. Oleh karena itu keduanya lalu
bertambah akrab.
Pangeran Mas Garendi berhasil menguasai Keraton Mataram dan Sunan Pakubuwono II
terpaksa lari dan mengungsi ke Ponorogo. Pangeran Garendi yang juga cucu dari Sunan
Amangkurat III diangkat menjadi Raja Mataram dengan gelar Sunan Amangkurat IV. Beliau
kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Kuning, karena yang mengangkat beliau adalah para
pemuda keturunan Cina yaang berkulit kuning.
Setelah situasi aman, para pemuda Cina itu kembali ke Panjer Roma. Dalam perjalanan
pulang R. Sulaiman Kertowongso banyak bertukar pengalaman dengan gadis Cina yang menyamar
sebagai laki-laki itu dan mengaku bernama Tan Ping. Pada suatu sore, ketika rombongan itu
memutuskan untuk bermalam, R. Sulaiman Kertowongso bermaksud berjalan-jalan menyusuri
bukit. Tanpa disengaja terlihat olehnya Tan Ping membuka topinya. Rambutnya yang panjang
tergerai hingga ke punggung. R. Sulaiman Kertowongso bergemetar kakinya. Tak disangka
pemuda yang akrab dengannya ternyata seorang gadis yang sangat menawan. Untunglah Tan Ping
tak mengetahui hal itu, sehingga sampai di Panjer Roma mereka bergaul sebagaimana biasa.
Pada suatu hari R. Sulaiman Kertowongso berziarah ke makam eyangnya K.R.A.T
Kolopaking I di Desa Kalijirek. Tan Ping diajak serta. Di perjalanan mereka beradu kepandaian
dan kesaktian. Mereka bertaruh, siapapun yang kalah harus mau mengikuti kemauan yang menang.
Setelah bersepakat mereka mulai bertarung hingga sehari penuh. Dalam pertarungan itu R.
Sulaiman Kertowongso berhasil menjamah ikat topi Tan Ping hingga terlepas dan terurailah
rambutnya yang panjang. Tan Ping terperanjat dan menyesal karena kedok penyamarannya
terbuka. Dengan secepat kilat Tan Ping melarikan diri dengan merobohkan beberapa pohon jati
untuk menghalangi langkah R. Sulaiman Kertowongso yang hendak mengejarnya. Sekarang
tempat itu diberi nama Desa Jatimalang. Tan Ping memang tidak terkejar pada waktu itu.
Pemuda Tan Ping sebenarnya bernama Tan Peng Nio. Kelak ia menjadi istri R.
Sulaiman Kertowongso yang kemudian menggantikan ayahnya menjadi penguasa Panjer Roma
dan bergelar K.R.A.T. Kolopaking III.
Sementara itu Demang Kutowinangun, Ki Honggoyudo mempunyai 7 orang anak, yaitu
(1) Nyai Wirarana, (2) Ki Honggowongso, (3) Nyai Wirawijaya, (4) Nyai Wirawangsa, (5) Ki
Sutajaya, (6) Nyai Suradjaya, dan (7) Ki Djoko Sangkrib. Setelah menginjak usia dewasa Ki
Djoko Sangkrib mengembara ke Mataram. Ki Djoko Sangkrib diterima menjadi abdi di keraton
karena memiliki banyak kelebihan. Selain terampil berolah kanuragan ia juga jujur dan berani
bertanggungjawab. Konon dialah yang diberi tugas untuk mencari tempat di Solo yang banyak
ditumbuhi bunga yang segar dan harum untuk dibangun menjadi Kotapraja Surakarta
lxxix
Hadiningrat.Selanjutnya Ki Djoko Sangkrib diangkat menjadi nayago dan diberi gelar Adipati
Arumbinang I.
Sunan Pakubuwono II diikat oleh suatu perjanjian bahwa untuk pengangkatan seorang
Patih harus mendapatkan persetujuan pihak Pemerintah Penjajah Belanda. Selain itu tanah di
sepanjang pantai utara Jawa, mulai dari Tegal hingga Jawa Timur ke selatan dan seluruh Pulau
Madura boleh disewa atau diminta oleh Pemerintah Penjajah Belanda. Hal inilah yang membuat
Pangeran Mangkubumi berselisih paham dengan Sunan Pakubuwono II. Terjadilah perang
saudara. Dalam hal ini K.R.A.T. Kolopaking II memihak kepada Pangeran Mangkubumi dengan
mengirim pasukan dipimpin oleh R. Sulaiman Kertowongso.
Pada tahun 1749 Sunan Pakubuwono II meninggal. Pemerintah Penjajah Belanda
kemudian mengangkat anak dari Sunan Pakubuwono II dengan diberi gelar Sunan Pakubuwono
III. K.R.A.T. Kolopaking II setelah memerintah selama 28 tahun kemudian mengangkat putranya,
yaitu R. Sulaiman Kertowongso menggantikan kedudukannya dan memberinya gelar K.R.A.T.
Kolopaking III. Pada awal masa pemerintahannya K.R.A.T. Kolopaking III masih banyak
meninggalkan Panjer Roma, karena beliau masih menjadi senopati peerang membantu Pangeran
Mangkubumi hingga tercapainya Perjanjian Giyanti. Dalam perjanjian itu disepakati bahwa
Mataram dibagi dua, yakni Negara Surakarta Hadiningrat dengan ibukota Surakarta dan Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Pangeran Mangkubumi kemudian menjadi raja dan bergelar Sultan
Hamengkubuwono I. Setelah itu K.R.A.T. Kolopaking III dapat berkonsentrasi menjalankan
pemerintahannya di Roma. K.R.A.T. Kolopaking III mengutamakan kemajuan di bidang pertanian
dan perdagangan.
Di Keraton Surakarta Hadiningrat Adipati Arumbinang I setelah bertugas selama 33
tahun digantikan oleh anaknya dan diberi gelar Adipati Arumbinang II. Adipati Arumbinang II
beertugas selama 30 tahun dan kemudian digantikan oleh putranya dengan memperoleh gelar
Adipati Arumbinang III. Beliau juga diangkat menjadi Adipati untuk Kadipaten Gunung
Kutowinangun. Sedangkan wilayah Kutowinangun masuk wilayah Kasultanan Ngayogyakarta dan
pemerintahannya dipegang oleh K.R.A.T. Kolopaking III. K.R.A.T. Kolopaking III memegang
pemerintahan selama 58 tahun. Setelah wafat beliau digantikan oleh anaknya yang bernama R.
Kertowongso yang selanjutnya bergelar K.R.A.T. Kolopaking IV. K.R.A.T. Kolopaking IV
berkonsentrasi mengembangkan usaha pertanian, peternakan, perdagangan, dan industri. Di bawah
pemerintahan K.R.A.T. Kolopaking IV Panjer Roma mengalami zaman keemasan.
Pada bulan Juli 1825 Perang Diponegoro sudah meluas hingga ke daerah Kedu,
Pekalongan, Tegal, Banyumas, dan Bagelen. Pada suatu hari datanglah utusan Pangeran
Diponegoro yang berkedudukan di Ledok ( hulu Sungai Serayu), yaitu Senopati Suro Mataram dan
Adipati Sigaluh ( Ki Kertodrono) ke Panjer Roma.Utusan itu disambut oleh K.R.A.T. Kolopaking
IV, Senopati Gumowidjoyo, Banaspati Djojomenggolo, dan Ki Tjokronegoro (Karang Tengah)
yang kebetulan sedang bertamu di Panjer Roma. Pada malam hari itu juga mereka langsung
lxxx
mengadakan perundingan. Mereka sepakat membantu Pangeran Diponegoro melawan Penjajah
Belanda.
Penjajah Belanda menerapkan politik adu domba. Mereka melibatkan Pasukan
Mangkunegoro, Kasunanan Pakubuwono Surakarta, dan Pasukan Keraton Ngayogyakarta di
bawah pimpinan Pangeran Murdaningrat, Pangeran Panular, Pengeran Hadiwinoto, dan Pangeran
Hadiwijoyo. K.R.A.T. Kolopaking IV diberi tugas menyediakan logistik dan perlengkapan senjata.
Sebagian prajurit Panjer Roma dipimpin oleh Senopati Gomowijoyo berperang melawan pasukan
Penjajah Belanda di daerah Banjarnegara dan meluas hingga ke Banyumas. Pertempuran besar
terjadi di Purworejo Klampok. Pasukan Belanda mundur dan bersembunyi di Benteng Sokawara.
Pangeran Diponegoro bersama prajurit Panjer Roma menunggu sambil beristirahat di Somagede.
Senopati Gomowijoyo dan Ki Kertodrono berembug tentang strategi peperangan. Tanpa disangka-
sangka mereka diserang dari arah utara dan timur. Pasukan Belanda dipimpin oleh Mayor Biskus
dan Magilis. Pasukan Pangeran Diponegoro terpaksa mundur ke selatan. Mereka berjalan melalui
lereng dan lembah pegunungan sambil melakukan konsolidasi dengan pasukan yang terpencar. Di
pihak lain, Bala bantuan tentara Penjajah Belanda berdatangan dari Surakarta dan Batavia (Jakarta)
dengan persenjataan modern. Mereka lalu mendesak pasukan Pangeran Diponegoro yang dibantu
pasukan dari Panjer Roma hingga ke kabupaten Sigaluh. Di situ pasukan Pangeran Diponegoro
mengadakan perlawanan mati-matian hingga sebulan lamanya.
Api peperangan berkobar di mana-mana di Pulau Jawa bagian tengah. Kedua belah pihak
mengalami banyak kerugian jiwa dan material. Belanda lalu mengggunakan strategi lain, yaitu
membujuk para pejabat dengan hadiah-hadiah yang jumlahnya banyak dan juga jabatan-jabatan
yang menggiurkan. Tidak sedikit pejabat-pejabat yang tergiur dan menuruti ajakan Belanda.
Akhirnya perang saudara berkecamuk di berbagai tempat. Ini adalah bagian dari politik adu domba
yang diterapkan oleh Belanda. Sayang hal itu tidak disadari oleh pejabat-pejabat yang haus harta
dan pangkat.
Pada bulan November 1828 Pangeran Diponegoro hampir tertangkap di Lobangadung
setelah jatuh sakit beberapa hari. Untunglah ia masih diselamatkan oleh Tuhan. Selanjutnya beliau
berangkat ke Panjer Roma untuk menemui K.R.A.T. Kolopaking IV dan para pemimpin prajurit
Panjer Roma. Di Perjalanan Pangeran Diponegoro dan Raden Basah Mertonegoro bersama dengan
para pengiringnya mendapat serangan mendadak dari paasaukan Belanda. Pangeran Diponegoro
dan para pengikutnya turun dari kuda masing-masing dan bersembunyi dalam jurang. Pasukan
Belanda tidak berhasil menemukan mereka.
Pangeran Diponegoro sampai di Panjer Roma disambut oleh K.R.A.T. Kolopaking IV.
Kemudian Pangeran Diponegoro mengadakan pembicaraan dengan para pemimpin prajurit di
antaranya Senopati Gomowijoyo, Banaspati Djoyomenggolo, dan Penasihat Endang Kertowongso.
Ketika berada di Panjer Roma sakit Pangeran Diponegoro kambuh, sehingga beliau harus
beristirahat beberapa hari. Setelah sembuh barulah beliau berangkat ke Dekso melalui hutan Laban
lxxxi
dan Desa Sebodo. K.R.A.T. Kolopaking IV terus mengirimkan peralatan perang dan logistik bahan
pangan dari Panjer Roma melalui Kaliwero, Tunggoro, Sadang, Tuk Pitu, Kutowaringin, ke
Sigaluh dan Mandireja. Di Panjer Roma, pasukan Pangeran Diponegoro yang dipimpin oleh
Sanopati Suro Mataram berhasil mengambil alih Kadipaten Kutowinangun. Arumbinang III selaku
penguasa Kadipaten Kutowinangun ditawan. Atas saran K.R.A.T. Kolopaking IV, Arumbinang III
dibebaskan karena usianya yang telah uzur. Selanjutnya Arumbinang III dipulangkan ke
Kasunanan Surakarta.
Pada saat mengikuti perundingan ( 28 Maret 1830) Pengeran Diponegoro ditangkap oleh
Penjajah Belanda. Beberapa hari kemudian para pengikut Pangeran Diponegoro juga ditangkap. Di
antaranya adalah Sunan Pakubuwono VI yang secara diam-diam membantu perjuangan Pangeran
Diponegoro.Sunan Pakubuwono VI dibuang ke Ambon. Sebagai penguasa Kasunanan Surakarta
diangkatlah Pangeran Purboyo yang kemudian diberi gelar Sunan Pakubuwono VII.. Kedatangan
Arumbinang III di Kesunanan Surakarta disambut dingin, karena gagal mempertahankan
Kadipaten Kutowinangun. Belanda dan Sunan Pakubuwono VII marah. Seketika itu juga
jabatannya selaku Adipati dicabut dan diserahkan kepada anaknya yang kemudian diberi Gelar
Adipati Arumbinang IV.
Kadipaten Sigaluh diserang oleh pasukan Belanda dari arah barat. Prajurit Sigaluh dengan
dibantu pasukan Pangeran Diponegoro dan pasukan dari Panjer Roma mengadakan perlawanan.
Perang seru berlangsung hingga dua bulan. Karena unggul dalam peralatan perang pasukan
Belanda berhasil memaksa lawannya mundur. Pasukan Pangeran Diponegoro, pasukan Si Galuh,
dan dari Panjer Roma bertahan di pegunungan. Sementara itu bala bantuan tentara Belanda
berdatangan. Mereka kemudian menggempur daerah Buntu. Karena persenjataan yang tidak
seimbang, maka perlawanan terhadap pasukan Belanda dilakukan secara bergerilya. Selama
beberapa bulan kedua belah pihak saling serang. Garis depan pertempuran secara silih berganti
dikuasai oleh kedua belah pihak. Sekarang daerah itu diberi nama Sumpiuh (sampyuh= jawa).
Bala bantuan pasukan Belanda terus didatangkan dengan dilengkapi persenjataan yang lengkap.
Kali ini bantuan itu datang dari Batavia (Jakarta). Prajurit Panjer Roma yang berkedudukan di
Gunung Ijo digempur oleh pasukan Belanda hingga tercerai-berai. Prajurit Panjer Roma mundur.
Mereka lalu bertahan di gua yang banyak terdapat daerah Rowokele, Ayah, dan Buayan. Setelah
Pangeran Diponegoro tertangkap, perlawanan terhadap Belanda terus berkobar, namun tidak
sekuat dahulu. Apalagi banyak pimpinan lainnya yang juga ditangkap dan ditawan. Sekarang
Panjer Romalah sebagai benteng terakhir pasukan Pangeran Diponegoro. Adipati Arumbinang IV
diangkat menjadi Senopati Perang pasukan Surakarta. Dengan dibantu pasukan Belanda mereka
bergerak menuju Panjer Roma. Pasukan Belanda dari Semarang juga datang. Pasukan Arumbinang
menyerang Panjer Roma dari arah timur. Terjadilah pertempuran sengit di daerah rawa-rawa.
Pasukan Panjer Roma yang dipimpin oleh Ki Djoyo Lurik kewalahan menghadapai mereka.
lxxxii
Akhirnya daerah Rawa berhasil diduduki oleh Arumbinang IV. Prajurit Panjer Roma mundur ke
Ambal.
Di Kadipaten Kutowinangun Senopati Suro Mataram menyerahkan jabatan senopati
diserahkan kepada K.R.A.T Kolopaking IV. Pertahanan parajurit Panjer Roma di Ijo dan
Rowokele bobol diserbu oleh pasukan Belanda. Prajurit Panjer Roma mundur untuk menghindari
perang berhadap-hadapan. Pasukan Panjer Roma mundur ke Sikayu dan Rowokele. Sebagian yang
lain mundur ke Sempor dan akhirnya bertahan di Grenggeng. Di sini pasukan yang dipimpin oleh
Senopati Gomowijoyo berhasil menyergap pasukan Belanda yang sedang menyeberangi Sungai
Kemit dan memaksa mereka mundur. Banyak pasukan Belanda yang terbunuh dalam penyergapan
tersebut.
Di bagian timur pasukan Adipati Arumbinang IV yang dibantu oleh pasukan Belanda di
bawah pimpinan Mayor Van Royen menggempur parjurit Panjer Roma yang dipimpin oleh Ki
Demang Djoyo Lurik. Ki Demang Djoyo Lurik gugur di medan pertempuran. Pasukan Adipati
Arumbinang IV berhasil mengobrak-abrik prajurit Panjer Roma yang akhirnya mundur ke
Kutowinangun. Kedudukan prajurit Panjer Roma mendapat serangan dari berbagai penjuru.
Mereka terus menjalankan perang gerilya. Akhirnya Senopati Gomowijoyo memerintahkan agar
semua kekuatan dikonsentrasikan ke Bocor dan sebagian bertahan di sepanjang Sengai Lukulo.
Pasukan Belanda dibawah pimpinan Mayor Magelis dan Mayor Biskus terus mendesak prajurit
Panjer Roma hingga ke Sungai Lukulo. Dari arah timur pasukan Kasunanan Surakarta yang
dipimpin oleh Adipati Arumbinang IV dan dibantu oleh pasukan Belanda terus bergerak maju.
Jebakan-jebakan berupa lubang-lubang, jala, dan panah, meskipun dapat menghambat
pergerakannya namun akhirnya dapat dilewati. Barak-barak dan lumbung-lumbung tempat
penyimpanan bahan makanan dibakar. Orang-orang yang setia membantu K.R.A.T. Kolopaking
IV ditangkap dan disiksa. Kadipaten Kutowinangun akhirnya jatuh ke tangan Adipati Arumbinang
IV. Prajurit Panjer Roma membuat pertahanan di daerah-daerah Wonosari, Buluspesantren, Sruni,
Selang, Kedawung, Sruweng, Karangpule, Kebagoran, dan Panjer Roma. Perlengkapan sejata
mereka berupa tombak, tolop beracun, lembing, dan pedang atau parang. Mereka akan mati-matian
mempertahankan Panjer Roma.
Pasukan gabungan antara Pasukan Kasunanan Surakarta dengan pasukan Belanda mulai
melakukan gempuran lagi terhadap Panjer Roma. Satu persatu daerah pertahanan Panjer Roma
dijatuhkan. Gempuran tersebut juga mereka lakukan dari arah barat. Akhirnya Panjer Roma
dikepung dari berbagai arah. Selanjutnya pertempuran sengit terjadi hingga beberapa minggu.
Suatu hari Adipati Arumbinang IV berhadapan langsung dengan K.R.A.T. Kolopaking
IV. Terjadilah pertarungan satu lawan satu lahan sawah si Kenceng. Lokasinya sekarang di
sebelah timur Stadion Candradimuka. Keduanya memiliki kesaktian yang luar biasa. Oleh karena
itu pertarungan berjalan dengan sangat seru. Pada suatu kesempatan Adipati Arumbinang IV
berhasil melukai lengan K.R.A.T. Kolopaking IV sehingga mengucurkan darah. Anehnya kucuran
lxxxiii
darah dari lengan K.R.A.T. Kolopaking IV setelah menyentuh tanah berubah menjadi ular. Ular-
ular tersebut kemudian secara bersama-sama menyerang Adipati Arumbinang IV. Adipati
Arumbinang IV cepat-cepat menyingkir. K.R.A.T. Kolopaking IV kondisinya terus memburuk
karena darah terus mengucur dari lukanya. Pada saat sudah tidak berdaya akhirnya ia berhasil
ditawan oleh pasukan Belanda dan akhirnya meninggal. Sawah Si Kenceng hingga sekitar tahun
1990-an masih terkenal angker. Sebuah rumah di sudut sawah Si Kenceng hanya dihuni beberapa
minggu sejak selesai dibangun. Konon penghuninya sering diganggu oleh ular-ular jadi-jadian. Di
bawah tudung saji tanpa diketahui dari mana masuknya ternyata ada ular. Di lemari pakaian juga
ada ular. Di bak mandi juga sering terlihat ada ular. Akhirnya rumah itu tak pernah dihuni dan
rusak dengan sendirinya. Hingga sekarang (tahun 2009) pondasi rumah itu masih dapat kita
saksikan.
Interview Guide
Penelitian Mengenai Cerita Rakyat K.R.A.T. Kolopaking
lxxxiv
Di Desa Kalijirek, Kecematan Kebumen, Kabupaten Kebumen
Jawa Tengah
Pertanyaan kepada: Berprofesi Penulis, Guru, P dan K dan Dinas Pariwisata
Nama :
Tahun : Usia:
Alamat:
1. Siapakah sebenarnya tokoh Kolopaking itu?
2. Bagaimana hubungan antara Kolopaking dengan Arumbinang?
3. Mengapa cerita Kolopaking kurang dikenal oleh masyarakat?
4. Apakah cerita Kolopaking mengandung nilai-nilai yang baik diwariskan untuk
generasi muda?
5. Apa sajakah jasa-jasa Kolopaking bagi Kebumen khusunya dan Indonesia
umumnya?
6. Apakah ada upaya-upaya menyebarluaskan cerita Kolopaking?
7. Mengapa sejarah Kolopaking belum dijadikan bahan ajar di SD sebagai muatan
lokal?
Interview Guide
Penelitian Mengenai Cerita Rakyat K.R.A.T. Kolopaking
Di Desa Kalijirek, Kecematan Kebumen, Kabupaten Kebumen
Jawa Tengah
Pertanyaan kepada: Kepala Desa dan Perangkat Desa
Nama :
Tahun : Usia:
lxxxv
Alamat:
1. Siapakah sebenarnya tokoh Kolopaking itu?
2. Bagaimana hubungan antara Kolopaking dengan Arumbinang?
3. Mengapa cerita Kolopaking kurang dikenal oleh masyarakat?
4. Apakah belum ada rencana untuk mengelola Makam Kolopaking sebagai tempat
tujuan wisata sejarah?
5. Apa sajakah kendalanya?
6. Menurut Bapak apakah nilai-nilai luhur dalam cerita Kolopaking pantas untuk
diwariskan kepada generasoi muda?
7. Tindakan apakah yang sudah pernah Bapak lakukan guna melestarikan cerita
Kolopaking?
Interview Guide
Penelitian Mengenai Cerita Rakyat K.R.A.T. Kolopaking
Di Desa Kalijirek, Kecematan Kebumen, Kabupaten Kebumen
Jawa Tengah
Pertanyaan kepada: Juru Kunci Makam
Nama :
Tahun : Usia:
Alamat:
1. Sudah berapa tahun Anda diberi tugas sebagai Juru Kunci Makam?
2. Adakah hal-hal aneh yang Bapak alami atau saksikan selama menjadi Juru Kunci?
3. Kapankah makam itu ramai dikunjungi peziarah?
lxxxvi
4. Siapa sajakah yang biasanya datang berziarah ke makam itu?
5. Jenazah siapa sajakah yang dimakamkan di pemakaman itu?
6. Selain menjaga makam apakah Bapak merawat benda-benda peninggalan
Kolopaking, seperti pakaian kebesaran, senjata, atau yang lainnya?
7. Mohon kesediaan Bapak menceritakan kepada saya kisah perjuangan Kolopaking!
Interview Guide
Penelitian Mengenai Cerita Rakyat K.R.A.T. Kolopaking
Di Desa Kalijirek, Kecematan Kebumen, Kabupaten Kebumen
Jawa Tengah
Pertanyaan kepada: Para Peziarah
Nama :
Tahun : Usia:
Alamat:
1. Bagaimanakah isi Cerita Kanjeng Raden Adipati Tumenggung Kolopaking?
2. Menurut bapak apakah nilai-nili luhur dalam cerita Tumenggung Kolopaking pantas
diwariskan untuk generasi muda?
3. Tradisi apakah yang masih hingga sekarang dilaksanakan oleh masyarakat?
4. Benda-benda apa saja yang masih dapat dikenang oleh masyarakat?
5. adakah hari khusus menurut kepercayaan pengunjung?
6. mengapa cerita Tumenggung Kolopaking kurang dikenal masyarakat?
7. Apakah ada kekuatan magis atau kepercayaan masyarakat mengenai keberadaan
peninggalan petilasan Tumenggung Kolopaking?
8. Apakah upaya pemerintah daerah memajukan obyek wisata ini?
lxxxvii
DAFTAR PEMBERI INFORMASI
(INFORMAN)
1. Siswa Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah
1. Muhammad Soleh L Kelas V
2. Dias Pratama L Kelas V
3. Kukuh Tejo Mukti L Kelas VI
4. Nuril Anwar L Kelas VI
5. Akhmad Fadilah L Kelas VI
2. Siswa Sekolah Menegah Pertama/ Madrasah Tsnawiyah
1. Atiek Nurkhasanah (P) Kls. VIII SMP Negeri 1 Kebumen
2. Desti Pratiwi (P) Kls. VII SMP Muhammadiyah 1
3. Akhmad Lutfi Hakim (L) Kls. IX SMP Negeri 7 Kebumen
4. Fajar Mahargyono (L) Kls. VIII MTsN Kebumen
5. Muhammad Rizki Fauzi (L) Kls. VII MTsN Kebumen
3. Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah dan Mahasiswa
1. Syarief H (L) Kls. X SMA Negeri 2 Kebumen
2. Tri Uji Rahayu (P) Kls. XII SMA Muhammadiyah
3. Rakhmat W (L) Kls. X MAN 1 Kebumen
4. Rizqi Habibie (L) Kls. XII MAN 1 Kebumen
5. Khisnatul M (P) Kls. XII SMA Muhammadiyah
4. Guru-guru dan Kepala SD Kalijirek
1. Niken Suwardani,S.Pd (P) 43 tahun Kepala Sekolah
2. Imam Supardi HS (L) 58 tahun Guru Kelas II
3. Hj. Suripah (P) 56 tahun Guru Kelas I
4. Sri Sumyati, A.Ma.Pd (P) 49 tahun Guru Kelas IV
5. H. Dalilan, S.Pd (L) 56 tahun Guru Agama Islam
6. Musiyati, A.Ma.Pd (P) 42 tahun Guru Kelas V
7. Sri Mumi, A.Ma (P) 40 tahun Guru Kelas VI
8. Khanifah Hermawati,S.Pd (P) 30 tahun Guru Kelas III
9. Siti Nurul Khikmah (P) 27 tahun Guru Penjaskes
10.Moh Sobirin (L) 40 tahun Penjaga Sekolah
lxxxviii
5. Kepala Desa dan Perangkat Desa Kalijirek
1. Akhmad Miftahudin (L) 28 tahun Kepala Desa
2. M. Muchtarom (L) 52 tahun Kadus I
3. M. Tarman (L) 35 tahun Kadus II
4. Makhludin (L) 49 tahun Kaur Pemerintahan
5. M. Badri (L) 40 tahun Kaur Pembangunan
6. M. Nasir (L) 38 tahun Kaur Keuangan
7. N. Kholis (L) 40 tahun Kaur Kesra
6. Informan Lainnya
1. Sardjoko (L) 60 tahun Pensiunan Penilik
2. Sugeng Riyadi,S.Pd (L) 46 tahun Guru/Penulis
3. Sudibyo (L) 56 tahun Dinas Pariwisata Kebumen
4. Sadiyo (L) 49 tahun Pensiunan Dinas P dan K
5. Mulyadi (L) 51 tahun Juru Kunci Makam
DATA-DATA PENELITIAN
1. Pernahkan Anda mendengar Cerita Kolopaking?
a. Pernah SD= 3 SMP=2 SMA/MHS=3
b. Tidak SD= 7 SMP=8 SMA/MHS=7
2. Dari siapa Anda mendengar Cerita Kolopaking?
a. Orang tua SD=1 SMP=1 SMA/MHS=1
lxxxix
b. Guru SD=1 SMP=0 SMA/MHS=1
c. Bacaan SD=0 SMP=0 SMA/MHS=0
d. Lainnya SD=1 SMP=1 SMA/MHS=1
3. Apakah Anda bersedia menceritakan Cerita Kolopaking?
a. Tidak SD=2 SMP=2 SMA/MHS=2
b. Bersedia SD=1 SMP=0 SMA/MHS=1
4. Jika Anda tidak bersedia menceritakannya apakah alasan Anda?
a. Tidak tahu SD=1 SMP=2 SMA/MHS=0
b. Ragu-ragu SD=1 SMP=0 SMA/MHS=2
c. Alasan lain SD=0 SMP=0 SMA/MHS=0
5. Pernahkan Anda masuk ke areal Makam Kolopaking?
a. Pernah SD=0 SMP=0 SMA/MHS=0
b. Tidak SD=10 SMP=10 SMA/MHS=10
6. Jika belum pernah masuk Makam Kolopaking apakah Alasan Anda?
a. Takut SD=10 SMP=3 SMA/MHS=4
b. Tidak ada perlu SD=0 SMP=5 SMA/MHS=5
c. Alasan lain SD=0 SMP=2 SMA/MHS=1
7. Apakah Anda ingin mengetahui Cerita Kolopaking?
a. Ya SD=8 SMP=6 SMA/MHS=4
b. Ragu-ragu SD=2 SMP=1 SMA/MHS=3
c. Tidak SD=0 SMP=3 SMA/MHS=3
xc
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PEMBERI INFORMASI
(INFORMAN)
1. Sardjoko, lahir di Klaten 4 Agustus 1949, anak kelima dari seorang dalang di
Dukuh Corocanan ( 4 kilometer utara Prambanan), Desa Saladiran, Kecamatan
Manisrenggo, Kabupaten Klaten. Sejak pindah ke Kebumen, 1 Mei 1971, ia aktif
melatih seni tari dan karawitan di berbagai tempat di wilayah kebumen. Pada 1
Maret 1976 namanya tercatat sebagai salah seorang staf di Seksi Kebudayaan
Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kebumen. Mulai
Juli 1986 dia diangkat menjadi Penilik Kebudayaan di Kantor Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Alian hingga masa pensiunnya. Selain
kegiatan tersebut di atas, Sardjoko juga aktif mencipta tari dan lagu-lagu
(gendhing) yang diiringi alat musik gamelan. Beberapa karya tari dan lagu-
lagunya adalah:
a. Sedratari Jaka Sangkrib
b. Dramatari Menakjinggo Lena
c. Dramatari Kabut Wirata
xci
d. Dramatari Ngundhuh Sarang Burung Lawet
e. Tari Wajib Belajar 9 Tahun
f. Gendhing Kebumen Binuka
g. Gendhing Wajib Belajar 9 Tahun
h. Gendhing Gebyar Warna Kuning
i. Gendhing HUT PGRI
j. Gendhing HUT Golkar
k. Gendhing Lawet Aneba
Di antara tari-tari dan gendhing-gendhing di atas dalam penciptaannya memerlukan
dukungan pengetahuan tentang sejarah Kebumen, misalnya Sendratari Jaka Sangkrib dan
Gendhing Kebumen Binuka. Oleh karena itu sejak lama ia telah menggali dan
mengumpulkan berbagai informasi sejarah tentang Kebumen dari berbagai sumber,
termasuk di dalamnya kisah tentang Kolopaking. Selain itu sejarah lokal (dalam hal ini
Kebumen) memang menjadi salah satu bidang garapannya selaku Penilik Kebudayaan.
Sardjoko memaparkan, bahwa dalam kisah tentang Kolopaking terdapat banyak
sekali nilai luhur yang sebaiknya diteladani oleh generasi masa kini. Nilai-nilai luhur itu
antara lain sikap andhap asor, aja dumeh, jujur, suka bekerja keras, cinta tanah air atau
patriotisme (handarbeni hangrungkebi), mengormati, dan masih banyak lagi lainnya.
Sardjoko mengakui, bahwa dalam rangka memasyarakatkan kisah tentang
Kolopaking masih menghadapi kendala. Pada masa lalu kendalanya adalah perasaan
ewuh pakewuh. Sebagaimana telah diketahui bahwa setelah Kolopaking surut, tampuk
kekuasaan di Kebumen dipegang oleh Arumbinang yang berseteru dengan Kolopaking.
Tidak etis rasanya bagi orang-orang yang hidup pada waktu itu menceritakan kebaikan
Kolopaking di hadapan Arumbinang. Akibatnya kisah tentang Kolopaking bagai
terkubur, apalagi beberapa pengganti penguasa Kebumen berikutnya masih merupakan
Trah Arumbinang.
xcii
Sebagai fakta sejarah Sardjoko berpendapat bahwa kisah Kolopaking baik untuk
dimasyarakatkan. Tidak ada masalah. Paparkan saja seperti apa adanya. Masyarakat
sekarang sudah dewasa.
2. Sugeng Riyadi,S.Pd, lahir di Kalirancang, Alian, Kebumen pada 27 Maret 1963.
Sejak menjadi guru, 1 April 1983 aktif mengikuti berbagai lomba dan sayembara
menulis naskah buku bacaan dan pengayaan, terutama yang diselenggarakan
oleh Pusat Perbukuan, Depdiknas Jakarta. Hingga tahun 2006 telah lima kali
juara di Tingkat Pusat. Selain itu ia pernah menjuarai Lomba Menulis yang
diselenggarakan oleh majalah Bobo.
Beberapa buku tulisannya telah diterbitkan oleh penerbit-penerbit
Jakarta(Depdiknas, PT Margi Wahyu, Intimedia) , Bandung (Rosda Karya),
Yogyakarta (Adi Cita), dan Surakarta (Tiga Serangkai). Buku-bukunya yang
berkait dengan Kebumen, antara lain Kebumen pada Masa Perang Kemerdekaan
(1949-1950), Kebumen Beriman, dan Jakasura.
Pendapatnya mengenai Kisah Kolopaking tak berbeda jauh dari
Sardjoko. Ia membenarkan bahwa banyak nilai luhur yang terkandung dalam
kisah Kolopaking yang pantas diwariskan kepada generasi muda sekarang. Ia
juga setuju jika Kisah Kolopaking diungkap secara terbuka dan jujur. Sugeng
Riyadi sendiri menulis tentang Jaka Sangkrib (yang kemudian menjadi
Arumbinang I) dengan judul Jakasura berbentuk buku bergambar yang bagus
dibaca oleh anak-anak kelas I-III. Menurutnya, dari kisah seseorang ada nilai-nilai
positif yang bisa dijadikan pelajaran, tentu saja termasuk kisah hidup
Kolopaking.
DATA INFORMAN
xciii
Nama : Jabatan : Usia : 1. Ceritanya begini, saat Sunan Amangkurat Agung I pemimpin kerajaan Mataram sedang
mengadakan perjalanan bersama pengawalnya kewilayah Roma beliau di jemput oleh Kyai
AgengKertowongso, atau nama lain dari Kanjeng Raden Adipati Tumenggung Kolopaking 1,
beliau bersamasama akan mengadakan pertemuan. Di lihatnya Raja Agung Mataram, nampak
sangat pucat seperti orang yang sedang sakit, kemudian Raden Kolopaking berinisiatif untuk
mengambilkan sebuah penawar racun yaitu buah pohon kelapa yang sudah kering istilah Jawa
adalah Aking atau Garing. Setelah airnya diminum Raja Agung, wajah beliau nampak lebih
terlihat sehat dan racun di dalam tubuhnya dapat keluar. Raja Agung sangat berterima kasih
dan memberikan gelar Kyai Ageng Kertowongso Raden Kolopaking I dan dinikahkan dengan
Raden Ayu Mulat setelah menikah Raden Kolopaking bersama mertuanya melanjutkan
perjalanan kewilayah barat, mereka berencana akan menyerbu pasukan Trunojoyo di
Mataram. Setelah terjadi peperangan di kutowinangun Raden Kolopaking mengangkat
seorang putera dari Demang Kutowinangun dan dinikahkan dengan putri Klegen.
Selama bertahta kurang lebih 46 tahun Raden Kolopaking I menyerahkan tahtanya kepada
putranya Ki Kertowongso Mendingen dan di juluki sebagai Raden Kolopaking II untuk
memimpin kekuasaan Panjer Roma. Setelah berkuasa kurang lebih 28 tahun, Raden
Kolopaking II menyerahkan kekuasaannya kepada putranya yang bernama Raden Sulaiman
Kertowongso dan mendapatkan gelar Raden Kolopaking III disini ia membantu Pangeran
Mangkubumi untuk menciptakan Perjajian Giyanti, isinya tidak lain adalah membagi wilayah
Mataram menjadi 2, yakni Surakarta Hadiningrat beribu Kota di Solo sedangkan Kraton
Ngayogyokarto berada di Yogyakarta, setelah berkuasa kurang lebih 58 tahun sesampai
wafatnya Raden Kolopaking III diganti putranya Raden Kolopaking IV dan seterusnya.
xciv
2. Ya pasti, soalnya mengandung petuah-petuah yang dapat memberikan contoh positif bagi
anak-anak sekarang untuk senantiasa berbuat baik, diantaranya saling menolong sesama,
berjiwa kepahlawanan membela yang benar karena terdapat jiwa patriotismenya.
3. Tradisi biasanya mengadakan slametan pembacaan doa-doa, seperti tahlilan, yasinan berdoa
agar diberikan keselamatan di dalam keluarganya maupun penduduk setempat agar aman
terhindar dari mara bahaya.
4. Benda-benda diantaranya ada lemari ukir dan meja ukir, adapun petilasan Raden Kolopaking
sendiri yang masih sampai sekarang.
5. Hari khusus bagi pengunjung ngga ada, tapi biasanya pengunjung yang datang ke Makam
Kanjeng Raden Adipati Tumenggung Kolopaking adalah rewah menjelang puasa.
6. Ya, bukannya dikenal tapi generasi sekarang itu paling males mendengar cerita Raden
Kolopaking ini bagi Masyarakat Desa sini tidak asing lagi, tapi yang namanya lupa-lupa ingat
gitu.
7. Kepercayaan gaib itu sih tergantung manusia ada yang percaya dan ada yang tidak percaya,
tetapi ada kejadian yang sangat di takuti oleh masyarakat jika mendirikan bangunan rumah di
sawah sikenceng rumah itu akan di jadikan sebagai sarang ular dan apabila oarang yang lagi
kerja di sawah sikenceng tersebut melebihi batas waktu akan di ganggu ular itu masih terjadi
sampai sekarang.
8. Upaya pemerintah saya berharap dari Dinas Pariwisata untuk membangun obyek wisata
ziarah tersebut, dengan memberikan fasilitas-fasilitas yang memadahi.
xcv
Nama : Jabatan : usia :
1. Cerita Kolopaking itu, nama aslinya Raden Kyai Kertowongso pemimpin wilayah Panjer
Roma, pada awalnya berebut kekuasaan wilayah kekuasaan Mataram yang pada waktu itu
masih dipimpin oleh Sunan Agung Amangkurat I, nah pada waktu pemimpin Mataram
memasuki wilayah Panjer Roma tidak terjadi permusuhan melainkan Raja Mataram disambut
dengan lapang dada diadakan perjamuan, diobatinya Raja Mataram yang kelelahan habis
perjalanan dengan air kelapa tua (degan tua). Setelah sembuh Raden Kolopaking diambil
menantu dan dijadikan pemimpin pasukan perang setelah sekian lama bertahta Raden
Kolopaking merasa sudah tidak sanggup lagi untuk memipin dan akhirnya digantikan
puteranya dan di beri gelar Raden Ageng Kolopaking II, hingga seterusnya. Munculah
perjanjian giyanti yang isinya diantaranya adalah membagi dua wilayah Kraton Kasunanan
Surakarta yang di pimpin oleh Paku Buwono, sedangkan Kraton wilayah Yogyakarta yang
dipimpin oleh Sri Sultan Hamengkubuwono. Pada masa pemerintahan Kolopaking IV terjadi
perebutan kekuasaan dengan pangeran Diponegoro dan Belanda.
2. Nilai-nilai yang terkandung dalam cerita sangat baik jika diterangkan kepada generasi muda
karena mengandung perbelajaran buat kita semua, jadi pada intinya Raden Kolopaking sangat
tangguh tidak takut musuh.
3. Tradisi ziarah berupa tahlilan dan berdoa di makam Raden Kolopaking paling begitu.
4. Benda-benda yang masih ada berupa bangunan rumah yang konon banyak dihuni ular-ular
konon cerita zaman dahulu dan hingga sampai sekarang.
xcvi
5. Tidak ada hari khusus buat para pengunjung karena peziarah yang berdatangan tidak pasti
tergantung keperluan para peziarah yang datang ke makam Raden Kolopaking tersebut.
6. Kurang di kenalnya masyarakat karena masyarakat tidak memperdulikan cerita akan tetapi
lebih kerealisasi contohnya meskipun tidak tau cerita aslinya namun mereka tetap ingin
menghormati Raden Kolopaking dengan ziarah misalnya.
7. Kekuatan magis itu ada di masing-masing jiwa, kalau kita tidak percaya ternyata nyatanya juga
ada hal-hal gaib, hal begitulah yang bisa dikatakan magis.
8. Upaya pemerintah khususnya Dinas Pariwisata sudah berusaha semaksimal mungkin untuk
memperbaharui kondisi makamnya dan mendokumentasi ceritanya dalam bentuk buku-buku
yang saat ini sudah mulai kami realis buat generasi mendatang.
Nama : Jabatan : Usia : 1. Raden Kolopaking menika pemimpin kerajaan saking Panjer Roma (Raden Kolopaking itu
pemimpin kerajan dari Panjer Roma). Pada mulanya Kebumen dahulubernama Panjer Roma
sempat terjadi kekacauan pada saat terjadi pertempuran di wilayah Mataram yang pada saat itu
dipimpin oleh Amangkurat I, ia bertanding dengan Trunojoyo yang dari Madura, tetapi setelah
Trunojoyo berhasil menduduki kekuasaan Mataram hanya sebentar kemudian tumbang dan
dihukum yang berat. Dilihatnya Sunan Amangkurat oleh Raden Kolopaking sangat kecapaian
ia diduga sudah keracunan, akhirnya diberi penawar oleh Raden Kolopaking hingga kemudian
xcvii
Raden Kolopaking diberi kepercayaan untuk memimpin tahta kerajaan hingga ke 3
keturunannya di beri jabatan untuk memimpin pertempuran. Maaf mas saya tidak bisa
menceritakan semua karena tidak begitu paham.
2. Sangat pantas sekali, apalagi jiwa kepahlawannanya patut di contoh untuk para generasi muda,
tetapi jangan sampai generasi muda jadi sok pahlawan untuk tidak yang berguna, jadilah
pahlawan yang membela kebenaran bagi bangsa dan negara ini.
3. Tradisi yang ada pada makam Raden Kolopaking hanyalah berupa slametan, tahlilan dan hanya
berziarah biasa dengan doa-doa.
4. Benda-benda peninggalan hanyalah berupa makam, benda-benda antik yang berupa lemari ukir,
meja ukir setahu saya cuma itu.
5. Hari khusus buat peziarah sebenarnya tidak ada karena tergantung keperluan para peziarah,
tetapi paling banyak peziarah yang berdatangan pada waktu rewah mendekati puasa.
6. Kurang dikenal kayaknya ga juga karena masyarakat dan anak-anak za yang tidak mau
memahami cerita rakyat Raden Kolopaking tersebut, padahal sebenarnya ceritanya bagus
banget buat anak-anak atau generasi muda karena terdapat nilai-nilai yang sangat patut di
contoh atau sebagai syuri tauladan.
7. Kekutan magis ada sebagian masyarakat yang percaya dan ada yang tidak akan tetapi saya
sendiri percaya dikarenakan dah terbuktinya dengan adanya ular-ular yang berdatangan di
daerah sawah sikenceng tempat terjadinya perkelahian antara Kolopaking dengan Arumbinang,
untuk memperebutkan daerah kekuasaan Panjer Roma.
8. saya berharap bagi Dinas Pariwisata agar jalan menuju loksi makam di perlebar dan area makam
yang sudah hancur dan berantakan agar segera di perbaiki buat kenyamanan para peziarah dan
pengujung yang berdatangan.
xcviii
Nama : Jabatan : Usia : 1. Saya diberi kepercayaan sebagai juru kunci atau yang menangani area makam K.R.A.T.
Kolopaking sudah hampir 1 tahun 4 bulan sampai sekarang.
2. Hal-hal yang aneh selama saya manjadi juru kunci tidak ada masalah dan selama itu juga saya
tidak pernah di ganggu dan tidak pernah terjadi pada diri saya pribadi dan keluarga.
3. Para peziarah yang banyak berdatangan sebenarnya tidak pasti karena tergantung keperluan
peziarah yang datang, akan tetapi peziarah yang banyak berdatangan yakni rewah mendekati
bulan puasa dan hari jadi kota Kebumen biasanya yang datang Bupati Kebumen beserta
rombongannya yang akan mengadakan tahlilan dan membaca doa-doa, yaitu pada tanggal 31
desember atau 1 januari.
4. Yang datang ke makam Raden Kolopaking kebanyakan dari derah Jawa Timur dan dari
Yogyakarta, belum lama juga rombongan dari keluarga keraton kasunanan dari Yogyakarta
berziarah ke makam K.R.A.T. Kolopaking bilau berdoa dan mengadakan tahlilan meminta
keselamatan, kesejahteraan buat masyarakat sekitar.
5. Jenazah yang di makamkan di Desa Kalijirek adalah Kanjeng Raden Adipati Tumenggung
Kolopaking 1-3 beserta keluarga-keluargannya.
6. Saya selain sebagai juru kunci (penjaga makam) juga mengajar di SMU Gombong yang kurang
lebih 20 Km dari rumah, sedangkan buat peninggalan dari Raden Kolopaking sebenarnya tidak
ada tetapi saya cuma ada benda-benda antik yang berupa lemari ukir dan meja ukir selebihnya
tidak ada, lemari dan meja tersebut yang konon zaman dahulu buat menyimpan baju-baju dan
buat meja tamu.
xcix
7. Ceritanya begini, saat Sunan Amangkurat Agung I pemimpin kerajaan Mataram sedang
mengadakan perjalanan bersama pengawalnya kewilayah Roma beliau di jemput oleh Kyai
AgengKertowongso, atau nama lain dari Kanjeng Raden Adipati Tumenggung Kolopaking 1,
beliau bersamasama akan mengadakan pertemuan. Di lihatnya Raja Agung Mataram, nampak
sangat pucat seperti orang yang sedang sakit, kemudian Raden Kolopaking berinisiatif untuk
mengambilkan sebuah penawar racun yaitu buah pohon kelapa yang sudah kering istilah Jawa
adalah Aking atau Garing. Setelah airnya diminum Raja Agung, wajah beliau nampak lebih
terlihat sehat dan racun di dalam tubuhnya dapat keluar. Raja Agung sangat berterima kasih
dan memberikan gelar Kyai Ageng Kertowongso Raden Kolopaking I dan dinikahkan dengan
Raden Ayu Mulat setelah menikah Raden Kolopaking bersama mertuanya melanjutkan
perjalanan kewilayah barat, mereka berencana akan menyerbu pasukan Trunojoyo di Mataram.
Setelah terjadi peperangan di kutowinangun Raden Kolopaking mengangkat seorang putera
dari Demang Kutowinangun dan dinikahkan dengan putri Klegen.
Selama bertahta kurang lebih 46 tahun Raden Kolopaking I menyerahkan tahtanya kepada
putranya Ki Kertowongso Mendingen dan di juluki sebagai Raden Kolopaking II untuk
memimpin kekuasaan Panjer Roma. Setelah berkuasa kurang lebih 28 tahun, Raden
Kolopaking II menyerahkan kekuasaannya kepada putranya yang bernama Raden Sulaiman
Kertowongso dan mendapatkan gelar Raden Kolopaking III disini ia membantu Pangeran
Mangkubumi untuk menciptakan Perjajian Giyanti, isinya tidak lain adalah membagi wilayah
Mataram menjadi 2, yakni Surakarta Hadiningrat beribu Kota di Solo sedangkan Kraton
Ngayogyokarto berada di Yogyakarta, setelah berkuasa kurang lebih 58 tahun sesampai
wafatnya Raden Kolopaking III diganti putranya Raden Kolopaking IV dan seterusnya.
c
FHOTO
ATAU
DOKUMENTASI
ci
Gambar 1. Area Makam K.R.A.T. Kolopaking
cii
Gambar 2. Pintu Masuk Makam K.R.A.T. Kolopaking
Gambar 3. Peneliti di Pintu Masuk Makam K.R.A.T. Kolopaking Gambar 4. Makam K.R.A.T. Kolopaking I dan II
ciii
Gambar 5. Makam K.R.A.T. Kolopaking III Gambar 6. Makam K.R.A.T. Kolopaking IV
civ
Gambar 7. Makam Keluarga K.R.A.T. Kolopaking Gambar 8. Peneliti dengan Juru Kunci
cv
Gambar 9. Makam Tan Peng Nio dilihat dari depan Gambar 10. Makam Tan Peng Nio dilihat dari samping Gambar 11. Peziarah mengadakan tahlilan
cvi
Gambar 12. Rombongan Bupati membaca doa Gambar 13. Doa Penutup oleh Pak Kyai
cvii
Gambar 14.Persiapan Penaburan Bunga Gambar 15. Penaburan Bunga oleh Peziarah Gambar 16. Silsilah Keluarga K.R.A.T. Kolopaking
cviii
Gambar 17. Kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Gambar 18. Reruntuhan Rumah yang berdiri di tanah Sikenceng
cix
Gambar 19. Masjid di Desa Kalijirek dilihat dari depan Gambar 20. Masjid di Desa Kalijirek dilihat dari samping
Gambar 21. Kantor Kepala Desa Kalijirek di lihat dari samping
cx
Gambar 22. Kantor Kepala Desa Kalijirek di lihat dari depan
cxi