Cerita Pendek

12
Viana Saat itu aku sedang melihat pertunjukan Vani Florisa, gadis yang bisa dikatakan seumuran denganku yang piawai dalam bermain piano. Bagaimana tidak, dari kecil mainannya adalah keyboard kecil yang diberikan ayahnya. Ia membuat not-not yang digabungnya sendiri sehingga menjadi sebuah karya, aku ingat pada saat kita kecil ia membuatkanku instrumen tentang persahabatan. Dan sangat berantakan, aku mencelanya pada saat itu karena tak dapat kupungkiri bahwa lagu yang ia ciptakan tidak tersusun secara rapi. Vani bukan orang yang pemarah, ia suka mendapat kritikan yang membangun bagi dirinya. Gak heran kalau sekarang dia mulai bisa membagikan karya-karyanya di kancah musik nasional, dan sungguh. Karyanya sekarang bisa dikatakan sempurna dengan penampilannya yang elegan. Aku menemuinya dirumah, sehari setelah pertujukannya digelar. “Rasanya gak nyangka banget ya, dulu kau membuatkanku instrument tentang sahabat. Sedangkan aku tidak menyukainya, sekarang aku tahu. Kau lebih hebat dari yang kubayangkan.” kataku setelah meneguk es teh manis yang baru saja disuguhkannya. “Kau tahu, saat itu aku membayangkan sedang bermusuhan denganmu.” jawabnya sambil menerawang jauh kedepan. “Setiap hari kita memang bermusuhan, namun itu bertujuan baik. Aku bisa melindungimu dengan omelanku itu.”

description

Viana, cerita lanjutan dari Florisa

Transcript of Cerita Pendek

Page 1: Cerita Pendek

Viana

Saat itu aku sedang melihat pertunjukan Vani Florisa, gadis yang bisa dikatakan seumuran denganku yang piawai dalam bermain piano. Bagaimana tidak, dari kecil mainannya adalah keyboard kecil yang diberikan ayahnya. Ia membuat not-not yang digabungnya sendiri sehingga menjadi sebuah karya, aku ingat pada saat kita kecil ia membuatkanku instrumen tentang persahabatan. Dan sangat berantakan, aku mencelanya pada saat itu karena tak dapat kupungkiri bahwa lagu yang ia ciptakan tidak tersusun secara rapi. Vani bukan orang yang pemarah, ia suka mendapat kritikan yang membangun bagi dirinya. Gak heran kalau sekarang dia mulai bisa membagikan karya-karyanya di kancah musik nasional, dan sungguh. Karyanya sekarang bisa dikatakan sempurna dengan penampilannya yang elegan. Aku menemuinya dirumah, sehari setelah pertujukannya digelar.

“Rasanya gak nyangka banget ya, dulu kau membuatkanku instrument tentang sahabat. Sedangkan aku tidak menyukainya, sekarang aku tahu. Kau lebih hebat dari yang kubayangkan.” kataku setelah meneguk es teh manis yang baru saja disuguhkannya.

“Kau tahu, saat itu aku membayangkan sedang bermusuhan denganmu.” jawabnya sambil menerawang jauh kedepan.

“Setiap hari kita memang bermusuhan, namun itu bertujuan baik. Aku bisa melindungimu dengan omelanku itu.”

“Ya benar, sampai saat ini. Aku belum bisa menemukan teman seperti dirimu, aku cenderung menutup diri dari dunia luar. Aku bukan orang yang gampang bergaul, sepertimu.”

“Ah sudahlah, aku berharap kau takkan menemukan orang sepertiku di dunia ini.”

“Mulai lagi deh, iya aku tahu. Kamu hanya satu, Erika Saviana sahabatku selamanya.” ia mengucapkan sandi kita saat masih kecil. Bahwa aku dan dia tak akan ada duanya, Vani yang sekarang adalah Vani yang masih aku kenal dari dulu. Pendiam dan asyik jika aku sudah berhasil memancingnya bercerita, dan kita telah berjanji bahwa akan menjadi sahabat untuk selamanya. Terkesan sedikit berlebihan memang, namun janji anak kecil takkan bisa terlupakan. Itu yang dapat kuterima dari persahabatan kita.

***

Page 2: Cerita Pendek

Saat ini aku tidak sedang melewati liburan panjang, aku menyempatkan pulang ke Boyolali untuk rehat sejenak dari tugas-tugas skripsiku. Terkesan nyantai memang, karena tinggal bagian akhir dari yang kukerjakan. Selain itu aku mendapat informasi bahwa Vani akan menjadi bintang tamu di Boyolali, alasan terkuat untuk pulang dan menemuinya. Undangan rapat karang taruna tergeletak dimeja belajarku, kertas itu tertiup angin yang menerobos masuk dari jendela kamar yang sedari tadi kubuka. Seakan ingin dibaca, kuambil kertas itu dan kuletakkan kembali diatas meja. “Gak lihat orang lagi berlibur aja.”

“Sayang, nanti malem kamu ada rapat karang taruna loh.” mama mengingatkanku saat beliau lewat didepan kamar.

“Hm, Rika pasti dateng kok Ma.” jawabku sedikit malas.

“Halah, kamu itu. Dapet undangan kok selalu saja suntuk.”

“Lagian, mereka ngundang pas aku liburan. Dulu waktu senggang, gak ada undangan.”

“Emang sekarang kamu sibuk apa?”

“Eh he he, gak ada sih Ma. Yaudah, Rika mandi dulu deh.”

Undangan mulai pukul 7.30 malam, sedangkan aku berangkat pukul 7 malam setelah sholat Isya’. Aku setipe sama Vani, dari dulu kita selalu datang setengah jam lebih awal setiap kita menghadiri acara. Selain jadi pengisi presensi paling awal, kita juga bisa bantu-bantu tuan rumah jika mereka membutuhkan bantuan. Dan yang pasti, kita tidak akan ditunjuk sebagai pembawa acara untuk kegiatan rutin.

Tidak seperti biasa, acara kali ini on time. Waktu menunjukkan pukul 19.25 dan ketua karang taruna memberikan pidato singkatnya. Sungguh kejadian yang luar biasa sepanjang sejarah perkarang tarunaan di wilayahku. Seperti biasa, ketua mengadakan presensi dan menanyakan siapa yang tidak menghadiri acara malam ini. Mereka melihat kearahku seperti hendak menanyakan sesuatu. Aku tahu maksud mereka, siapa lagi kalau bukan Vani. Dia orang yang selama ini selalu datang awal bersamaku. Kali ini aku tidak bisa memaksanya untuk mengikuti rapat ini, bahkan aku yang menyarankannya untuk tidak datang. Dia tidak sepertiku, yang seenaknya bisa memecahkan konsentrasi. Jadi kusarankan saja dia untuk mempersiapkan penampilannya dikampus, daripada pikirannya mulai terpecah.

Kampungku termasuk ahli dalam mengorganisir suatu perlombaan dan acara. Selain salah satu dari kami ada yang bekerja sebagai EO professional, anggotanyapun sangat care dan respect terhadap kampung kita. Gak ada senioritas, semuanya bekerja secara adil dan nyaman dengan pekerjaannya. Sebentar lagi kami akan memperingati HUT karang taruna ke 20, tahun lalu kami tidak mengadakan acara apa-apa karena suatu hal. Sekarang kami bisa kembali memeriahkan kampung dengan acara-acara yang kami susun.

Page 3: Cerita Pendek

“Ok, untuk kegiatannya kita minta tolong Vani bisa gak ya buat ngisi?” kata mas Ardan, ketua karang taruna kita.

“Maaf Mas, kayaknya gak bisa deh. Dia lagi prepare buat acaranya dikampus.” kataku menjawab pertanyaan mas Ardan.

“Yaelah, acara buat kampus aja bisa. Masa buat karang taruna kita gak bisa sih Rik?” sergah mas Jono, ketua panitia acara kami nanti.

“Ya kan kasian dia kalo harus mecah konsentrasi.” kataku cuek. Aku memang dikenal sebagai anak yang cuek dan gampang diajak berdebat. Aku selalu mempertahankan argumenku jika kurasa benar, tapi kadang cuman Vani yang bisa menyadarkanku kalau sudah keterlaluan. Namun aku cukup sportif jika sudah diambil keputusan bersama, meskipun aku akan selalu mengkritik mereka langsung ditempat.

Mas Ardan tidak menggubris argumenku tentang Vani, ia berusaha menghubungi Vani saat itu juga. Aku yang langsung nimbrung dalam obrolan mereka dicegah oleh Vani, nampaknya dia tertarik untuk menjadi pengisi acara. Namun dengan syarat bahwa ia tidak dimasukkan dalam kepanitiaan.

“Yah Rika, kamu sih jahat. Ntar yang bantuin aku nyiapin konsumsi jadi gak lengkap dong?” kata mbak Sofi yang menjadi koordinator seksi konsumsi. Vani jago masak, apalagi bikin kue. Pantes aja mbak Sofi kehilangan banget, karena dia sangat mengharapkan kue bikinan Vani.

“Ealah mbak, apa mau aku bantuin?” kataku sembari tersenyum jahil.

“Aduh ogah, bisa habis makananku sebelum selesai acara.” mbak Sofi mencibir kearahku, meskipun umurnya satu tahun lebih tua dari aku. Sifatnya masih kekanak-kanakan, kini dia baru nunggu hasil lamaran kerjanya di kejaksaan Boyolali.

Aku ada di seksi acara, bersama dengan Riko dan mas Febri yang jadi Koordinator seksi kami. Hal yang paling kubenci semenjak karang taruna ini ketika dinobatkan jadi satu seksi dengan Riko. Semua orang manggil kita dengan sebutan ‘Rik’ dan terkadang, banyak yang jahil memanggil kami disaat sedang bekerja bersama. Dan selalu saja aku yang menjadi korban kejahilan mereka, yang biasanya seperti ini “Eh Rik,” ketika aku yang menoleh si pemanggil menjawab “Riko maksudnya, GR banget sih.” Begitupun sebaliknya. Namun seiring berjalannya waktu, kami berdua sepakat akan meneriaki mereka jika tidak memanggil kami dengan nama yang lengkap. Seperti yang sedang kami lakukan sekarang,

Mas Ardan sedang membetulkan lampu yang terpasang miring dipanggung, “Rik, tolong ambilin obeng!” serunya.

Page 4: Cerita Pendek

“RIK SIAPAA? RIK NYA ADA DUA. YANG SATU COWOK. YANG SATU CEWEK.” seru kami bergantian. Mas Febri hanya geleng-geleng melihat ulah kami.

“Ya Allah kompak bener, Erika aja deh.” seru mas Ardan kemudian. Lalu aku memberikan obengnya dan membantu mas Ardan membetulkan lampu-lampu itu. Dia pemuda paling alim dikampung kita, selain itu juga bening. Gak salah kalau banyak cewek yang cari perhatian dengannya jika sedang kumpul. Tapi aku gak tertarik untuk cari perhatian sama dia, Vani taruhannya. Kabarnya sih mas Ardan masih suka dengan Vani sampai sekarang, tapi gadis itu gak pernah menanggapinya.

“Eh mas, gimana kalo kita terbangin lampion untuk acara terakhirnya?” kataku kemudian.

“Ide bagus tuh, kamu suka yang romantis ya?”

“Kok gitu?”

“Ya kan kalo pake lampion tuh kesannya romantis gitu.”

“Yeee sok tau.” kataku saat mengikuti kursi mas Ardan yang sedang digesernya. “By the way, mas Ardan bakal bawa cewek gak besok waktu acara? Denger-denger sih, pada mau ngajak pasangannya kesini.”

“Oya?” ia masih serius membetulkan lampunya “Kalo aku sih gak usah ngajak, dia udah ada disini kok.” katanya kemudian sambil menatap kearahku. Sumpah berantakan banget rambutnya.

“Hah? Serius mas? Kok dia gak cerita ya sama aku.” sebelum aku sempat mengintrogasinya, mas Jono memintaku untuk membantu Riko lagi. Akan kuremas rambut Vani jika kita bertemu besok, enak aja udah jadian sama mas Ardan tapi gak ada traktiran buat aku.

Menjadi seksi acara itu gak ribet pada saat ini, kita ribetnya kalo udah hari-H. Seperti saat ini, aku dan Riko sedang asyik angkat junjung meja yang nantinya digunakan untuk lomba kelereng. Membeli peralatan kesana kemari untuk acara lomba, bantuin kak Sofi ambil makan siang untuk hari ini, bantuin pasang dekorasi buat dipanggung. Rasanya kerjaan ini kaya cuman aku dan Riko yang ngerjain, setelah mas Ardan memberi tahu bahwa kita hanya dikerjain. Batinku gak karuan sama temen-temen yang lain, kita buat ulah ke mereka sebagai balasannya.

“Er, kita makan es degan dulu yuk. Gerah banget nih.” ajak Riko saat kita sedang mengambil makan siang untuk mereka.

“Heh, sekalian aja jatah makan kita dimakan disini. Biar tau rasa mereka tu kelaparan,” senyum jahat kuberikan kepada Riko. Dia yang selalu asyik diajak bicara mengangguk tanda setuju. Kamipun melahap jatah makanan kami yang telah dibungkus sambil meminum es degan yang sangat menyegarkan. Telepon yang masuk tidak kami gubris, adapun satu yang diangkat

Page 5: Cerita Pendek

Riko dibilangnya kami sedang kemacetan. Okefix, sejak kapan Boyolali kena macet? Sungguh ironi jika mereka mempercayai kami.

Seperti yang kami duga, mereka telah menunggu dibalai pertemuan untuk mendapat jatah makanan. Kebanyakan dari mereka menjitak kepala kami karena kelamaan. Setelah dibagikan, mbak Sofi sadar bahwa makanannya kurang 2. Ia memintaku untuk kembali membelinya, “Eh, gak usah mbak. Aku sama Riko udah makan kok tadi, ya ambil di jatah makan maksudnya” kataku saat mbak Sofi mulai resah.

“Iya mbak gak usah, kami juga udah minum es degan kok tadi disana. Sekarang kami mau pulang dulu, boleh kan mas Ardan?” lanjut Riko sambil memutar-mutar kunci motornya.

“Wooo lha pasangan semprul! Makane og lama banget! Jangan boleh pulang Dan, paling mau pacaran sama Erik kui” kata mas Fatih, ia orang yang paling kompor untuk urusan ejekanku sama si Riko.

“Heh sembarangan! Ini wujud protes kita karena sering ditindas mas, lagian siapa suruh ngerjain kita habis-habisan. Kelaparan to welk?” aku menjulurkan lidahku kearah mas Fatih, ia bersiap-siap menjitak kepalaku lagi namun dilerai oleh mas Ardan. Kami diperbolehkan pulang untuk acara nanti sore. Kami sebagai seksi acara harus datang satu jam sebelum acara dimulai, ternyata mas Febri juga menyusul kami pulang untuk mempersiapkan segala sesuatunya nanti.

Acara hari ini adalah perlombaan anak-anak, seperti perlombaan tujuh belasan. Anak kecil dikampung kami lumayan banyak dan mereka sangat antusias mengikuti acara yang kami selenggarakan. Mulai dari lomba pecah air yang diestafet dengan balap karung, lomba kelereng dengan memasukkan pensil dalam botol, lomba makan kuaci dengan kempit balon, dan masih 3 pasang perlombaan lagi. Semuanya diikuti anak-anak itu hingga larut malam, mereka akan mendapatkan hadiahnya esok ketika malam puncak HUT karang taruna kami. Saat kita semua memberesi barang-barang yang berserakan, seseorang datang membawakan martabak telor kesukaan kita. Dari dulu setiap kita selesai event, kita selalu iuran untuk membeli martabak telor langganan kita. Sekarang ada yang ngebayarin kita buat makan martabak. Siapa lagi kalau bukan Vani, dia satu-satunya panitia yang gak ikut ngurusi acara ini. “Hallo semua,” sapanya ketika sampai dibalai rapat kami. “Maaf ya, Vani gak ikut bantu-bantu kalian disini.”

“Gapapa Van, udah ada pengganti kamu kok. Dobel malah.” kata mas Fatih sambil mencomot martabaknya. Aku hanya memberikan tatapan sinis kepadanya. Riko menawariku acar yang ia perebutkan dari kami semua, mereka selalu menyembunyikan acar dariku karena pada dasarnya. Aku menyukai acar martabak, rasanya memang beda dari acar-acar yang lain dan cucok banget buat disantap bareng martabaknya. Setelah selesai menghabiskannya, Vani mendekatiku,

“Kamu balikan sama Riko?” tanyanya kemudian.

Page 6: Cerita Pendek

Aku menatapnya kaget “Hah? Kapan aku pernah pacaran sama dia?”

“Dulu waktu kita kelas 6, kamu pernah kan pacaran sama dia?”

“Yaelah Van, itu cinta monyet. Cuman seminggu.”

“Yah, sama aja. Jadi beneran kalian balikan?” aku menatapnya dengan tatapan lebih heran lagi. “Kamu gak bisa nyembunyiin itu dari aku Ka, dari tadi aku memperhatikan kalian berdua. Dan kamu keliatan seneng banget.”

Kali ini aku menyerah, Vani paling bisa ngerti suasana hatiku. “Iya deh aku ngaku. Seminggu ini aku deket sama dia, kita dikerjain bareng sama temen-temen. Aku juga ngerasa nyaman sama dia, nyambung kalo diajak ngobrol, dia sedikit perhatian sama aku dan yang paling penting, dia bilang kalo dia juga nyambung kalo ngobrol sama aku. Tadi sore sebelum acara dan sebelum temen-temen dateng, dia kasih kalung yang belum sempat dia kasih ke aku waktu kita pacaran dulu. Nih kalungnya. Dan kamu tahu, kalung itu udah gak ada dipasaran, dia nyimpen kalung itu cuman buat aku Van. Dia sempet mau ngasih kalung itu ke pacar barunya pada saat itu, tapi gak jadi. Dia nungguin aku meskipun dia udah pacaran sama banyak cewek. Aku juga gak bisa mangkir, dia pacar pertamaku dan mungkin dia juga bisa jadi pacar terakhirku?”

Vani tersenyum mendengarkan penjelasanku. “Aku udah duga sebelumnya, senyumanmu terhadap dia memang beda dengan senyumanmu dengan cowok lain. Apalagi sama mantan-mantan kamu. Aku seneng kamu balikan sama dia.”

Kali ini aku memeluk gadis itu, dia gak berubah sama urusan perasaan temannya. Selalu bisa ngerti situasi yang aku rasain saat ini, sampai pada akhirnya ia pulang lebih awal karena Aira mengajaknya pulang. Dan aku lupa menanyakan hubungannya dengan mas Ardan. Sial!

***

Malam ini adalah puncak HUT karang taruna kami, seperti biasa. Aku, Riko, dan mas Febri datang satu jam lebih awal dari yang lainnya. Terlihat mas Ardan dan mas Jono pun telah siap dibangku panitia. Aku segera menyalami mereka dan memastikan semuanya sudah siap. Karena pengisi acara juga hanya sebatas warga kampung, aku meminta mereka untuk datang setengah jam lebih awal. Mereka kami minta untuk duduk dibackstage yang notabene adalah balai rapat kami. Suara lantang dek Galang dan dek Risma mengantarkan kita ke awal acara, mereka adalah pasangan yang klop untuk dijadikan pembawa acara. Suaranya yang mirip penyiar radio dan dapat menggugah suasana membuat mereka semakin cocok sebagai MC.

Acara dibuka dengan sambutan ketua RT setempat, pemotongan tumpeng, dan sambutan ketua panitia. Dilanjutkan dengan acara dance oleh anak-anak dan remaja kampung, pembagian hadiah, acara menyanyi ibu-ibu dan bapak-bapak, games, band dari bapak-bapak dan perwakilan remaja, dan gak kalah penting adalah penampilan Vani yang memukau. Ia selalu tampil

Page 7: Cerita Pendek

professional dimanapun ia berada, kemudian dilanjutkan potong kue ulang tahun karang taruna yang diiringi alunan piano dari Vani.

Acara terakhir adalah penerbangan lampion, sesuai dengan ideku yang muncul saat membantu mas Ardan membetulkan lampu hias dipanggung. Para pemuda telah bersiap untuk menerbangkan lampion yang berjumlah 20 itu, sesuai dengan umur karang taruna kami. Ternyata benar, temen-temen kami yang memiliki pacar semuanya berkumpul disini. Lampion satu persatu mulai meninggalkan kami disusul dengan tepuk tangan warga yang menyaksikannya. Aku melihat Riko sedang tersenyum kearahku, dan kubalas senyumannya.

“Keren banget ya, kamu memang spesialis romantis deh Ka.” kata Vani sambil mengamati lampion-lampion itu

Aku tersenyum dan menatap Vani seperti teringat sesuatu. “Eh Van, emang kamu dah jadian ya sama mas Ardan?”

Vani menatapku kaget “Hah, kata siapa?”

“Kata mas Ardan sih, dia gak akan ngajak siapa-siapa kesini. Soalnya ceweknya udah ada disini. Siapa lagi sih kalo bukan kamu?” kataku menjelaskan.

“Oya? Tapi dia gak pernah deketin aku lagi tuh.”

“Halah gak perlu bohong, traktir aku lah Van.”

“Apaan sih Ka, aku gak jadian sama mas Ardan.” kini aku melihat Vani jujur, gak terlihat seneng kalo lagi diejek.

“Kamu serius?” tanyaku sekali lagi. Vani hanya mengangguk dan menatap lampion-lampion itu lagi, dari dulu ia memang tidak menarik minat dengan cowok itu. Tapi kalau bukan Vani, lalu siapa?

Warga satu persatu pulang meninggalkan tempat ini, kali ini kita dibantu petugas kebersihan untuk beres-beres daerah panggung. Namun bukan berarti beliau juga memberesi balai kami. Mas Ardan naik ke atas panggung dan menekan tombol on di mic nya.

“Selamat malam semuanya.” sorak sorai terdengar saat mas Ardan mulai bersuara. Kita mencari tempat duduk yang nyaman untuk mendengarkan pidato mas Ardan “Terimakasih untuk semuanya yang udah kerja keras untuk acara kita malam ini. Alhamdulillah acara kita SUKSES!! Untuk kesekian kalinya.”

“Wooohooooy, I love you Ardan!” teriak mbak Sofi yang tiba-tiba dipelototi pacarnya.

Page 8: Cerita Pendek

“Terima kasih buat kalian yang udah rela pulang ke kampung halaman untuk mengurusi acara kita ini. Thank you sooo much buat Vani yang mau tampil untuk kami meskipun ditentang oleh Rika.”

Aku menyenggol bahu Vani yang tersipu. Semua temen-temen nge-cie-cie-in Vani dan mas Ardan. Suasana kembali hening ketika mas Ardan mulai serius dalam suaranya.

“Okey, hari ini aku ingin berbagi perasaan dengan kalian. Perasaan yang selama ini memang aku sengaja pendam untuk kebaikan bersama khususnya. Ehm, mungkin kalian pikir selama ini aku gak pernah bisa dapetin Vani. Kalian pasti mengira bahwa aku dan Vani ada hubungan khusus, sebenarnya anggapan kalian salah. Aku dan Vani hanya berteman biasa, kita memang dekat karena kita memang saling membutuhkan. Maksudnya disini adalah, aku selalu main kerumah Vani karena aku mengajarinya untuk mendalami pelajaran fisika pada saat itu. Selain itu, aku juga pengen tau informasi tentang seseorang.” mas Ardan menghela napasnya, aku melihat Vani tersenyum tanpa melepaskan pandangannya kepada mas Ardan.

“Aku menyukai seseorang, dan tentunya bukan Vani. Gadis ini sudah mengajariku cara bersabar dalam menghadapi perdebatan, memberikanku kesempatan untuk bisa mendekati Vani meskipun bukan itu tujuanku selama ini. Setelah aku paham, aku sadar, hal yang belum aku lakukan sampai saat ini adalah menyatakan perasaanku terhadapnya.” Aku mulai sadar Riko menatap dingin kearahku, namun aku hanya berusaha menatap lurus kearah panggung, entah apa yang kulihat. Semua terasa samar. Kini mas Ardan mulai menatapku.

“Aku ingin ungkapkan saai ini juga…

“Gadis yang selama ini kuincar adalah kau. Erika Saviana. Maukah kau menjadi kekasihku?”

Kini tubuhku benar-benar kaku, pandanganku mulai kabur, kuarahkan bola mataku kearah Riko yang sedari tadi menatap dingin kearahku. Sorak sorai temen-temen yang mendukung mas Ardan terdengar agar aku menerimanya, aku hanya bisa menelan ludah sambil mengalihkan pandanganku dari Riko. Aku salah, selama ini orang yang kuanggap mendekati sahabatku ternyata hanya memanfaatkannya untuk mengorek informasi tentangku. Dia tak pernah menunjukkan bahwa dirinya menginginkanku untuk menjadi kekasihnya. Dadaku terasa sesak dan air mataku mulai menetes, mengapa aku harus menangis? Apa yang kutangisi? Kudengar seseorang memintaku untuk memberikan jawaban. Seketika semuanya terdiam, aku melihat mas Ardan yang masih menungguku untuk bersuara dan aku menatap Riko yang masih memberikan tatapan dingin terhadapku. Aku hanya bisa menghela napas dan memberanikan diri untuk berkata “Maaf, aku …” kulihat Riko masih dalam posisinya “Aku … gak bisa nerima kamu” aku gak tau kenapa berat banget mengatakannya. Ku tundukkan pandanganku, tak ada satupun orang yang berbicara. Akhirnya aku mengangkat suara “Aku sudah mencintai orang lain, dan dia juga berada disini. Maafkan aku.”

Page 9: Cerita Pendek

Aku memutar badan untuk pergi dari sini, memberikan sedikit senyumanku kepada mas Ardan dan Riko. Terlihat wajah Riko tidak sedingin tadi, aku menghela napas yang sangat panjang. Rasanya malam ini dadaku kembali longgar setelah sulit untuk bernafas. Aku telah mematahkan hati seseorang.