CERITA I DARAMATASIA SEBAGAI MEDIA AJARAN MORAL BAGI MASYARAKAT BUGIS DI SULAWESI SELATAN
description
Transcript of CERITA I DARAMATASIA SEBAGAI MEDIA AJARAN MORAL BAGI MASYARAKAT BUGIS DI SULAWESI SELATAN
CERITA I DARAMATASIA SEBAGAI MEDIA AJARAN MORAL BAGI MASYARAKAT BUGIS DI SULAWESI SELATAN
OLEHDRA. DAFIRAH, M.HUM
JURUSAN SASTRA DAERAH FAK.SASTRA UNHAS
PENDAHULUAN
Cerita I Daramatasia adalah salah satu cerita rakyat lisan yang ada
di tengah-tengah masyarakat Sulawesi-Selatan. Cerita ini masih hidup hingga
sekarang apalagi di daerah pelosok. Karya ini merupakan tergolong dalam
cerita rakyata yang berbentuk Legenda keagamaan yaitu legenda mengenai
orang-orang beriman.
Cerita Daramatasia di sosialisasikan ke dalam masyarakat Bugis melalui
tuturan. Penuturan dilakukan oleh seorang atau lebih tukang tutur dan dihadiri
atau didengar oleh sejumlah orang dari komunitas mereka. Masyarakat yang
mendengar pelisanan cerita tersebut merasa terhibur dengan keindahan bahasa
dan teknik penuturan yang biasanya dinyanyikan dengan lagu tertentu.
Di pasar-pasar tradisiional rekaman cerita ini masih kadang di
dapatkan dalam bentuk kaset. Pertanda bahwa cerita ini masih mendapat
tempat di hati masyarakat Sulawesi Selatan bahkan pesan yang
dikandungnya masih dibutuhkan oleh mereka . Meskipun tentunya tidak semua
pesan yang ada dalam cerita ini relevan dengan kondisi dewasa ini .
Khususnya dalam masyarakat Bugis, cerita ini biasanya diceriterakan
oleh seorang penutur pada waktu-waktu tertentu seperti saat acara
pengantinan. Pada malam hari sebelum esoknya acara pernikahan, cerita ini
dituturkan menemani para keluarga yang berkumpul untuk mempersiapkan
segala sesuatunya yang diperlukan pada esok hari di acara pernikahan. Cerita
ini digunakan untuk mengajari sang calon mempelai dan juga kepada segenap
hadirin. Penuturan ini biasa berlangsung semalam suntuk .
Selain itu penuturan cerita ini biasa juga dilakukan oleh orang tua
kepada anak-anaknya menjelang tidur.
Penuturan cerita I Daramatasia bisa dilakukan dengan iringan
musik ataupun tanpa iringan. Musik yang biasa menyertai penuturab cerita
ini adalah alat musik kecapi.
William R. Bascom (dalam James Dananjadja; 1984: 19)
mengemukakan 4 (empat) fungsi folklor yakni: (a) sebagai sistem proyeksi
(projective sistem), yakni sebagai alat pencerminan angan-angan suatu kolektif;
(b) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga
kebudayaan; (c) sebagai alat pendidikan anak (pedagogical device): dan (d)
sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu
dipatuhi anggota kolektifnya. Naskah Daramatasia di sosialisasikan ke dalam
Bugis dengan jalan melisankan naskah tersebut. Penuturan naskah ini dilakukan
oleh seorang atau lebih tukang tutur dan dihadiri atau didengar oleh sejumlah
orang dari komunitas mereka. Masyarakat yang mendengar pelisanan cerita
tersebut merasa terhibur dengan keindahan bahasa dan teknik penuturan yang
biasanya dinyanyikan dengan lagu tertentu.
AJARAN MORAL DALAM CERITA I DARAMATASIA
Cerita I Daramatasia menceritakan perjalanan hidup seorang perempuan
yang bernama I Daramatasia . Cerita diawali saat I Daramatasia menuntut
ilmu yang meliputi ilmu tata bahasa, hokum, fikhi, sampai pada ilmu
kebatinan. Kemudian menikah atas pilihan orang tua, pengabadiannya
kepada suaminya , saat diusir oleh suami dan orang tuanya, saat suaminya
meninggal sampai pada ketika I Daramatasia menikah lagi atas pilihannya
sendiri .
Tokoh utama dalam cerita ini adalah seorang perempuan . Sebelum
menikah beliau adalah sosok perempuan yang cerdas dalam menuntut ilmu .
Selain itu, sebagai anak tunggal tidak pernah menunjukkan sifat
kecengengan dan ketergantungan pada orang-orang yang ada di sekitarnya.
Selain sebagai media menghibur, para pendengarnya juga mendapat
pengajaran dari isi cerita yang dinyanyikan. Kisah Daramatasia memiliki fungsi
mendidik dan mengajarkan kepada pembacanya bagaimana sepatutnya suami
istri hidup berumah tangga. Tokoh Daramatasia menunjukkan sikap atau prilaku
seorang istri yang mengabdi kepada suaminya sesuai apa yang diajarkan oleh
Rasulullah Muhammad SAW. Kedua fungsi di atas sangat menonjol dalam
naskah cerita Daramatasia.
Masyarakat Bugis ataupun mungkin semua suku bangsa di muka bumi
ini senantiasa memiliki pengharapan bahwa melalui perkawinan manusia dapat
mengciptakan kehidupan yang lebih baik dan merasa bahagia. Karena dengan
demikian kebahagiaan dan ketentraman masyarakat luas dapat tercipta. Maka
dengan itu kehidupan rumah tangga yang dibangun oleh suami dan istri harus
menciptakan kehidupan harmonis. Suami dan istri harus mampu saling
menghargai dan menyadari hak dan kewajiban-kewajibannya, suami dan istri
mesti pula menyadari posisinya dalam rumah tangga.
Sebagai istri I Daramatasia menyadari posisinya sehingga ia
menunjukkan pengabdiannya yang sangat tinggi kepada suaminya. Setiap hari ia
menunggu suaminya pulang dan mencuci kakinya, lalu melapnya dengan
rambutnya. Setelah itu ia menemani suami makan hingga selesai. Segala
perkataan dan perintah suaminya ia patuhi, ia takut melanggar perintah
suaminya karena ia tahu membantah perintah suami adalah dosa menurut
ajaran agama Islam yang ia pelajari.
Karena takutnya berbuat kesalahan sampai pada suatu saat ia
menemani suaminya makan sambil menyusui anaknya yang mulai tertidur, pada
waktu itu pelita yang digunakan sebagai penerangan kehabisan sumbu, maka
dengan spontan ia memotong rambutnya beberapa helai untuk dijadikan sumbu,
karena ia takut kalau suaminya makan dalam kegelapan dan kalau ia berdiri ia
khawatir jika anaknya terbangun yang baru saja tertidur. Namun demikian
ternyata tindakannya itu dinilai salah oleh suaminya karena memotong
rambutnya tanpa sepengetahuan dan seizin suaminya. Daramatasia dipukul oleh
suaminya yang amat marah lalu mengusirnya pergi dari rumahnya.
Daramatasiapun pergi meninggalkan rumah suaminya dan menuju ke rumah
orang tuanya.
Hal tersebut di atas adalah juga sebuah pelajaran bahwa setiap
kelakuan istri harus diketahui dan seizin sang suami. Ajaran serupa
sesungguhnya telah pula dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad dalam
kehidupan rumah tangganya dan juga dalam rumah tangga anaknya Sitti
Fatimah Azzahra, yang juga terdapat pada cerita Daramatasia. Anak yang
berdosapun akan ditolak oleh orang tuanya sekalipun. Hal tersebut ditunjukkan
oleh kedua orang tuanya ketika melihat Daramatasia diusir dari rumah suaminya.
Kedua orang tua Daramatasia beranggapan bahwa orang yang diusir oleh
suaminya adalah orang yang melakukan kesalahan dan berbuat dosa maka
orang seperti itu tidak sewajarnya di lindungi. Maka Daramatasiapun berjalan
tanpa tujuan dan akhirnya tiba pada hutan belantara. Selain itu orang tua I
Daramatasia menunjukkan sikap orang tua yang memberi kesempatan
kepada anaknya untuk menyelesaikan masalah dalam keluarganya. Beliau
tidak ingin mencampuri urusan rumah tangga anak mereka .
Cerita ini juga mengajarkan bahwa orang yang sabar menjalani
penderitaan akan mendapat pertolongan dari Allah. Karena setibanya di tengah
hutan Daramatasia ingin shalat akan tetapi ia tidak memiliki pakaian yang layak
digunakannya. Sehingga datanglah malaikat dari langit menemuinya dan
memberikan pertolongan. Daramatasia diberikan pakaian yang indah dan
mengubah wajah dan tubuhnya menjadi lebih cantik dan muda.
Ajaran lain yang ditampilkan dalam cerita ini adalah bahwa hidup
di dunia ini tidak boleh dihiasi dengan rasa dendam dan dengki terutama
kepada orang yang telah menyakiti dan menganiaya kita . Saat Daramatasia
kembali kerumah orang tua dan ke rumah suaminya atas perintah Malaikat Jibril
ia tidak dikenali lagi. Orang tua dan suaminya tidak menyangka kalau wanita
yang cantik dan muda yang datang ke rumah mereka adalah Daramatasia yang
telah ia usir dan mereka tolak. Namun demikian Daramatasia tidak menunjukkan
sikap dendam dan sakit hati. Ia senantiasa menunjukkan sikap sebagai mana
layaknya seorang istri dalam melayani suaminya dan mengasuh anaknya, serta
tetap bersikap hormat terhadap orang tuanya.
Demikianlah diantaranya unsur-unsur pendidikan dan keteladanan yang
dapat ditemukan dalah cerita ini. Tentunya dengan pengkajian yang lebih dalam
akan ditemukan lebih banyak lagi.
Daftar Pustaka:
- Bua, M. As’ad, (1988), I Daramatasiah (Transliterasi dan Terjemahan), Fak.
Sastra Univ. Hasanuddin, Ujung Pandang.
- Chanafiah, Yayah, (1999), Hikayat Darma Tahsiyah: Sebuah Telaah Filologis,
Tesis S2 Program Pascasarjana Univ. Padjadjaran, Bandung.
- Dananjadja, James, (1984), Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-
lain, Grafitti Pers, Jakarta.
- Hatta, Bakar, Drs. (1984), Sastra Nusantara; Suatu Pengantar Studi Sastra
Melayu), Ghalia Indonesia, Jakarta.
- Ikram, Achdiat, (1997), Filologi Nusantara, Pustaka Jaya, Jakarta.
- Mattulada, (1990), Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah,
Hasanuddin University Press, Ujung Pandang.
- Rahman, Nurhayati, (1990), Episode Meongpalo Bolongnge dalam Naskah La
Galigo: Kajian Stuktur Mitologis Karya Sastra Bugis Klasik,
Tesis S2, Program Pascasarjana Univ. Padjadjaran, Bandung.
- Sharif, Zalila dan Jamila Haji Ahmad (1993), Kesusastraan Melayu Tradisional,
Universitas, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementrian
Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur.