CEPEN: Nyawa Palestina

6
IKI MILIK Nadya Luqyana Salsabila NYAWA PALESTINA Aku harap aku tidak pernah terbangun hari itu. Aku harap aku tidak pernah terlahir ke dunia itu. Goresan silet di pergelangan tanganku menjadi saksi atas hatiku yang labil dan tak tentu arah, walaupun aku tahu menyayat pembuluh nadi tidak akan pernah bisa membunuhku. Mataku seringkali terpejam, bukan karena debu masuk, hanya saja aku tak mampu memandang dunia di hadapanku. Jeritan, raungan, teriakan minta tolong, rasanya aku ingin muntah tiap kali telingaku mendengarnya. Perang Dunia memang sudah berakhir, tapi perang di dunia kami tidak pernah berakhir. Aku terbangun dari mimpiku yang indah, taman dengan pohon raksasa yang rindang, pemandangan yang hijau, dan keluargaku yang duduk melingkar saling bergandengan tangan, mimpi yang langka. Sudah sekian lama rasanya aku tidak bermimpi. Tidurku seringkali diisi kekosongan, hening, tak berwarna. Aku selalu menyesali tiap pagi dimana aku harus terbangun dan beranjak dari rumah yang bagiku adalah tempat paling aman di dunia ini. Rasanya aku ingin tertidur kembali dan tidak ingin terbangun lagi. Aku memang pengecut. Tapi siapa yang mau jadi pahlawan di dunia seperti ini? “Anisah! Ibrahim sudah menunggumu di luar!” dari lantai bawah terdengar suara Mama yang nyaring memanggil namaku. Aku harus berangkat ke sekolah bersama teman lelakiku, Ibrahim. Bisa dibilang kami sangat dekat sejak 3 tahun hingga usia kami beranjak 14. Rumah kami bersebelahan, jadi setiap hari kami akan selalu berangkat ke sekolah bersama, mengantisipasi adanya bahaya yang mungkin akan selalu terjadi tiap kali kami keluar rumah. Asal tau saja, kami bisa dibilang kelas kakap dalam menghindari ledakan dan reruntuhan bangunan. “Ma, apa hari ini ada sarapan?” tanyaku selagi Mama menyisir rambut kusamku. SMA NEGERI 2 SURABAYA Page 1

description

 

Transcript of CEPEN: Nyawa Palestina

Page 1: CEPEN: Nyawa Palestina

IKI MILIK Nadya Luqyana Salsabila

NYAWA PALESTINAAku harap aku tidak pernah terbangun hari itu. Aku harap aku tidak pernah terlahir

ke dunia itu. Goresan silet di pergelangan tanganku menjadi saksi atas hatiku yang labil dan tak tentu arah, walaupun aku tahu menyayat pembuluh nadi tidak akan pernah bisa membunuhku. Mataku seringkali terpejam, bukan karena debu masuk, hanya saja aku tak mampu memandang dunia di hadapanku. Jeritan, raungan, teriakan minta tolong, rasanya aku ingin muntah tiap kali telingaku mendengarnya. Perang Dunia memang sudah berakhir, tapi perang di dunia kami tidak pernah berakhir.

Aku terbangun dari mimpiku yang indah, taman dengan pohon raksasa yang rindang, pemandangan yang hijau, dan keluargaku yang duduk melingkar saling bergandengan tangan, mimpi yang langka. Sudah sekian lama rasanya aku tidak bermimpi. Tidurku seringkali diisi kekosongan, hening, tak berwarna. Aku selalu menyesali tiap pagi dimana aku harus terbangun dan beranjak dari rumah yang bagiku adalah tempat paling aman di dunia ini. Rasanya aku ingin tertidur kembali dan tidak ingin terbangun lagi. Aku memang pengecut. Tapi siapa yang mau jadi pahlawan di dunia seperti ini?

“Anisah! Ibrahim sudah menunggumu di luar!” dari lantai bawah terdengar suara Mama yang nyaring memanggil namaku. Aku harus berangkat ke sekolah bersama teman lelakiku, Ibrahim. Bisa dibilang kami sangat dekat sejak 3 tahun hingga usia kami beranjak 14. Rumah kami bersebelahan, jadi setiap hari kami akan selalu berangkat ke sekolah bersama, mengantisipasi adanya bahaya yang mungkin akan selalu terjadi tiap kali kami keluar rumah. Asal tau saja, kami bisa dibilang kelas kakap dalam menghindari ledakan dan reruntuhan bangunan.

“Ma, apa hari ini ada sarapan?” tanyaku selagi Mama menyisir rambut kusamku.

“Tidak. Penjual roti pergi sejak kemarin dan belum kembali.”

“Kemana dia pergi?” Mama terdiam sejenak dan berhenti menyisir rambutku.

“Ma?”

“Mungkin dia hilang di tengah kota. Sama seperti beberapa tetangga kita yang juga hilang dua hari lalu.” Tiba-tiba Ibrahim duduk di sebelah kursiku dengan wajah serius.

Dua hari lalu kami memang kehilangan tetangga dekat kami, Nyonya Fatonah dan Pak Abu. Mereka berdua dikabarkan pergi ke kota untuk mencari sisa-sisa reruntuhan bangunan yang mungkin bisa dijual kembali ke penduduk sekitar. Bagiku, mereka termasuk pemberani. Keadaan tengah kota di dunia kami, tidak seperti kota metropolitan dengan teknologi tinggi dan manusia yang sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Tengah kota bagi kami adalah tempat menakutkan yang amat sangat berbahaya. Dahulu tempat itu menjadi pusat peradaban bagi kami, namun semenjak kedatangan tentara Israel, kini hanya

SMA NEGERI 2 SURABAYA Page 1

Page 2: CEPEN: Nyawa Palestina

IKI MILIK Nadya Luqyana Salsabila

debu dan reruntuhan bangunan yang bisa kami ratapi. Tapi kami sudah biasa dengan keadaan itu. Kami yang tersisa hanya bisa tinggal di tempat terpencil di pinggiran kota yang mungkin belum saatnya bagi tentara Israel menjarah kemari.

“Sudah sana kalian cepat berangkat. Hati-hati di jalan, awas ranjau.” Mama mengusir kami untuk segera pergi ke sekolah. Rasanya aku sudah muak dengan berbagai rintangan yang harus kami hadapi untuk menuju kesana. Hanya untuk mendapat ilmu yang langka di dunia kami.

“Anisah, aku malas pergi ke sekolah.” Kata Ibrahim selagi kami melangkah menjauhi rumah.

“Lalu apa?” tanyaku yang merasa lebih malas daripada dia.

“Kita ke tempat biasanya aja yuk. Aku dengar kemarin malam ada seorang dari teman kita yang tidak sengaja menginjak ranjau hingga kakinya hilang sebelah. Tentara sialan itu meletakkan beberapa ranjau baru di jalan menuju sekolah.”

Mendengar kabar itu, aku dan Ibrahim sudah terbiasa. Kami terbiasa dengan rasa kehilangan, kematian, dan ranjau. Sekolah kami memang agak jauh dan membutuhkan tekad yang kuat untuk mencapai tempat itu dengan selamat semenjak tentara-tentara tidak tahu malu itu mengetahui bahwa ada satu sekolah yang masih bersikeras untuk membagi ilmu di tengah situasi perang seperti ini. Mereka meletakkan berbagai jenis ranjau yang tidak segan melukai bahkan mengambil nyawa manusia seperti kami.

Akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke sebuah rumah tua yang jauh dari pandangan tentara Israel. Kami duduk di atapnya dan memandang langit abu-abu kemerahan di pagi hari.

“Menurutmu, kenapa mereka terus melempari kita dengan bom dan peluru?” Ibrahim membuka pembicaraan.

“Mereka menginginkan tanah air kita.”

“Ya, seharusnya aku sudah tahu hal itu. Tapi kenapa dunia luar seolah membisu dan mematung melihat kondisi kita yang dijajah seperti ini? Ini dunia modern, seharusnya eksploitasi seperti ini dikecam oleh PBB.”

Aku memejamkan mata untuk kesekian kalinya. Aku menggenggam tangan Ibrahim dan berkata, “Kau tahu, aku bahkan tidak bisa menangis lagi. Semua air mataku telah habis ketika satu persatu orang-orang terdekatku dibantai secara keji oleh mereka. Kini yang tersisa hanya menunggu.”

Ibrahim juga telah terbiasa dengan jawabanku. Dia sering bertanya tentang keadilan, namun pertanyaan itu tidak pernah bisa dijawab, oleh siapapun.

SMA NEGERI 2 SURABAYA Page 2

Page 3: CEPEN: Nyawa Palestina

IKI MILIK Nadya Luqyana Salsabila

“Aku ingin tetap hidup. Tapi tiap kali aku melihat orang lain mati, rasanya aku juga ingin mati.” Aku melanjutkan kalimatku dengan nada datar.

“Kau menyayat tanganmu lagi?” tanya Ibrahim.

“Tidak. Aku tahu itu tidak berguna.”

Kami terdiam selama beberapa menit. Kami hanya bisa menatap langit dengan perasaan putus asa. Seringkali terlintas di pikiranku, untuk apa aku susah-susah pergi ke sekolah jika akhirnya nanti sekolah kami juga akan hangus? Hanya masalah waktu. Mama juga tidak jarang terlihat putus asa ketika sahabat-sahabatnya direnggut satu persatu, hari demi hari. Hanya masalah waktu bagi kami untuk bertahan dan akhirnya dimangsa juga.

“Aku punya banyak cita-cita.” Ucap Ibrahim lirih. “Aku ingin jadi presiden. Ingin menjadikan negaraku makmur dan bebas dari penjajahan. Aku juga ingin jadi pilot. Ingin menerbangkan Papa dan Mama ke Perancis. Mereka ingin sekali kesana. Kau bagaimana?”

Aku memandang wajah Ibrahim dengan raut muka pasrah dan berkata, “Aku juga punya banyak, banyak sekali. Tapi entah mengapa, satu persatu cita-citaku gugur seiring dengan kenyataan yang kuhadapi. Tapi aku punya satu cita-cita yang rasanya akan menjadi cita-cita terakhir yang akan gugur.”

“Apa itu?”

“Aku ingin Palestina merdeka, aku ingin dunia peduli, aku ingin Israel angkat kaki dari bumi kita, aku ingin hidup di hamparan hijau tanpa asap dan ledakan bom, aku ingin hidup damai di Palestina.”

Kami saling memandang dan tersenyum. Jika memang hanya itu satu-satunya cita-citaku yang akan abadi, memang hanya sampai di situ mimpi orang-orang seperti kami. Kadang kami iri dengan kehidupan di luar sana. Kadang kami bertanya kepada Tuhan, kenapa harus Palestina?

“Jika kau diberi kesempatan untuk melakukan sesuatu yang dapat merubah nasib Palestina, di hari terakhir kau akan hidup, apa yang akan kau lakukan?” tanyaku kepada Ibrahim.

“Kalau aku? Aku? Mungkin terdengar konyol. Tapi aku ingin Palestina dan Israel hidup berdampingan dalam kedamaian. Rasanya tidak mungkin.” Terdengar sedikit tawa di akhir kalimat.

“Jika memang pada akhirnya kita akan hidup berdampingan, mungkin aku akan memaafkan mereka.” Aku tersenyum kepada langit. Ibrahim nampak tenang, dia memejamkan matanya sambil tersenyum. Aku tidak tahu kenapa, tapi hari ini terdengar seperti mimpi, seolah kami sedang berbaring di taman yang indah, sama seperti dalam mimpiku. Kami memejamkan mata dan tidak menghiraukan suara ribut nan jauh di sana.

SMA NEGERI 2 SURABAYA Page 3

Page 4: CEPEN: Nyawa Palestina

IKI MILIK Nadya Luqyana Salsabila

Kami nampak bahagia, seolah apa yang kami impikan akan segera terwujud esok hari. Kami terelelap dalam senyuman di bawah langit yang sama. Langit yang memandang manusia di bawahnya, manusia yang serakah, manusia yang bekerja, manusia yang pemaaf, dan manusia yang putus asa.

Mungkin hari itu memang hari yang indah. Telingaku mendengar suara nyaring sekali, mataku terbuka perlahan dan mendapati sosok Ibrahim sedang berbaring jauh di pojok ruangan. Sejak kapan kami turun dari atap? Aku sulit menggerakkan tubuhku, rasanya seperti tertimpa kulkas. Jari-jariku berusaha untuk bergerak, berkeliling sekitarku, basah. Entah apa yang sedang terjadi, tapi hatiku berkata bahwa ini adalah hari yang indah. Hari dimana aku dan Ibrahim akan pergi jauh dari tempat ini. Aku melihat dua orang tentara Israel membalikkan tubuh Ibrahim yang kurasa sudah pergi terlebih dahulu, aku menatap wajahnya, berdarah-darah, namun tetap saja aku merasa bahwa Ibrahim merasa bahagia hari ini. Mereka menyeret tubuh Ibrahim dengan kasar keluar ruangan. Mataku bahkan tak sanggup untuk mengikuti kepergian Ibrahim, terlalu sakit untuk membuka mata. Aku menyadari di hadapanku ada tiga orang tentara yang siap menyarangkan pelurunya di keningku. Mereka menatapku sejenak. Mungkin mereka berpikir, apa yang sedang mereka lakukan. Perlahan aku memejamkan mata, untuk kesekian kalinya. Aku tersenyum. Dan kini suara nyaring di telingaku semakin memekik. Inilah saatnya aku pergi.

Memang, aku dan Ibrahim hanya dua anak yang bolos sekolah di hari itu. Tapi, kami punya harapan yang tidak akan pernah gugur. Kami ingin dunia ini damai, kami ingin tinggal di hamparan hijau tanpa peperangan antar manusia. Kami memang telah pergi, kami memang sudah kehabisan kesempatan untuk melakukan perubahan bagi Palestina, kami hanya bisa berharap, suatu hari nanti akan ada anak seperti kami yang juga berani bermimpi, yang mendapat kesempatan untuk tetap hidup demi kemerdekaan Palestina dan mewujudkan mimpinya. Cerita ini memang tidak seperti yang diharapkan, tidak seperti akhir kisah dongeng yang bahagia. Aku bercerita tentang kehidupan, berat, kejam, tidak kenal ampun. Aku harap, nyawa kami, pemimpi yang hidup di bawah penjajahan di tanah kami sendiri, akan terbayar suatu hari nanti, dengan kedamaian, cinta, dan hamparan hijau yang indah.

SMA NEGERI 2 SURABAYA Page 4