cepalgia

51
BAB I PENDAHULUAN

Transcript of cepalgia

BAB I

PENDAHULUAN

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Nyeri Kepala

Nyeri pada kepala dan wajah diakibatkan oleh iritasi pada struktur – struktur sensitif

yang berada di daerah tersebut, diantaranya pembuluh darah, bagian basal dari

duramater dan piamater; sinus venosus; komponen sensorik nervus kranial; dan

struktur ekstrakranial. Otak sendiri tidak memiliki kepekaan terhadap stimulus nyeri.

Berikut adalah pendekatan yang dilakukan terhadap pasien dengan keluhan nyeri

kepala.

Tabel 2.1. Anamnesis Nyeri Kepala1

Dari etiologinya, nyeri kepala dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Headache

Classification Committee of the International Headache Society):

Tabel 2.2. Klasifikasi Nyeri Kepala1

2.1.1. Nyeri Kepala Sekunder

Nyeri kepala sekunder merupakan nyeri kepala yang disebabkan oleh suatu etiologi

(disease entity) dengan nyeri kepala sebagai manifestasinya. Nyeri kepala sekunder

yang paling sering ditemui adalah: (1) Nyeri kepala karena penyakit vaskular organik;

(2) Nyeri kepala karena massa intrakranial; (3) Nyeri kepala karena gangguan

sirkulasi CSF; (4) Nyeri kepala spondilogenik; (5) Psikogenik; (6) Nyeri kepala non-

neurologis; dan (7) Neuralgia wajah serta nyeri wajah atipikal.

2.1.1.1. Nyeri Kepala pada Penyakit Vaskular Organik

2.1.1.1.1. Oklusi Arteri Kranial. Etiologi ini jarang menyebabkan nyeri kepala,

namun nyeri kepala yang terjadi biasanya cukup hebat. Oklusi carotid

biasanya menyebabkan nyeri kepala orbital, sedangkan oklusi basilar akan

menyebabkan nyeri difus nyang melingkari kepala. Diseksi spontan dari

arteri karotis interna dapat membuat nyeri yang luar biasa hebat pada satu

sisi wajah. Sedangkan diseksi pada arteri vertebral dapat membuat nyeri

pada satu sisi leher dan bagian oksipital kepala.

2.1.1.1.2. Perdarahan Subarakhnoid. Sembilan puluh persen pasien dengan SAH

datang dengan keluhan nyeri kepala hebat; sebagian besar diantaranya

mengeluhkan “nyeri kepala ekstrem yang paling menyakitkan dan belum

pernah dialami sebelumnya” (thunderclap headache) yang persisten. Pada

setengah dari kasus, nyeri kepala dimulai dari bagian oksipital dan dengna

cepat menyebar secara holosefalik. Pada kejadian ini, sering terjadi

penurunan kognitif.

2.1.1.1.3. Hipertensi. Pada orang dengan hipertensi kronik atau hipertensi kritis,

nyeri kepala yang biasa mereka alami biasanya menyerupai TTH. Nyeri

ini biasanya muncul di pagi hari dan persisten selama seharian penuh

dengan intensitas sedang secara difus. Dengan hipertensi dan papilledema,

diagnosis banding dari gangguan ini adalah peningkatan TIK. Bedanya,

pasien yang mengalami peningkatan TIK biasanya juga datang dengan

defisit neurologis defisit.

2.1.1.1.4. Arteritis. Kondisi ini sering disebut juga sebagai Sindroma Horton,

Giant-Cel Arteritis, atau Arteritis Kranial. Mekanisme autoimun pada

penderitanya menyerang tunika media dan lapisan elastis dari arteri,

iasanya dialami pasien dengan usia >50 tahun. Keluhan utama nyeri

kepala sangat hebat; biasanya bilateral, pada pelipis atau dahi, dengan

klaudikasio intermiten pada rahang saat mengunyah. Kualitasnya adalah

berdenyut dan nyeri terus-menerus, dengan arteri temporal yang menebal.

Gejala lainnya adalah kelelahan, anoreksia, kehilangan berat badan,

keringat malam, demam subfebris, dan polimialgia rematika.

2.1.1.2. Nyeri Spondilogenik dan Migrain Servikal

Perubahan patologis pada medulla spinalis servikal dapat menyebabkan nyeri yang

menjalar ke kepala. Perubahan degenerative atau post traumatic pada segmen servikal

ketiga teratas dapat menyebabkan nyeri oksipital. Nyeri kepala spondilogenik hanya

boleh didiagnosis apabila tanda radikuler atau vegetatif nyeri sudah jelas, terdapat

gangguan atau trauma servikal, serta nyeri khas spondilogenik (unilateral leher,

radiasi ke oksipital hingga regio frontal).

2.1.1.3. Nyeri Kepala Karena Peningkatan Tekanan Intrakranial

Nyeri kepala dapat menjadi gejala yang muncul di awal atau pertengahan onset.

Nyeri biasanya awalnya ringan sehingga tidak terlalu dikeluhkan, namun pada banyak

kasus dapat bertambah berat, dengan kualitas berdenyut, diiringi dengan muntah

proyektil, defisit neurologis, serta gangguan kesadaran. Lokasi paling sering adalah di

oksipital.

Nyeri terjadi secara hebat saat berbaring (nyeri postural), pada pagi hari atau saat

pasien baru bangun dari tidur, karena tidur membuat penurunan laju respirasi yang

berakibat pada kenaikan kadar CO2, menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah

termasuk pembuluh darah otak – yang meningkatkan tekanan intrakranial. Fenomena

ini jugalah yang membuat pasien seringkali mengeluhkan terbangun tengah malam

karena nyeri. Nyeri juga bertambah saat maneuver mengejan, batuk, atau bersin

(Valsava). Diagnosis dari gangguan ini terletak pada deteksi adanya gejala fokal,

defisit neurologis seperti gangguan kesadaran, papilledema, dan SOL yang menjadi

agen kausatif (tumor, hematoma, abses, dll). Pada presentasi gejala seperti ini,

scanning otak secara radiologis sangatlah direkomendasikan.

Nyeri kepala tak hanya diakibatkan oleh peningkatan TIK, tapi juga penurunan.

Gejala yang terjadi adalah kebalikannya; pasien merasa lega saat berbaring, namun

nyeri kembali saat posisi tubuh ditegakkan. Penyebabnya bisa karena pasca pungsi

lumbal (kebocoran CSF pada teka terjadi secara persisten), atau terjadi secara

spontan, karena kebocoran pada selubung nervus torakal setelah batuk. Nyeri juga

mereda dengan istirahat dan kafein.

2.1.1.4. Nyeri Kepala Karena Obstruksi Aliran Serebrospinal

Mirip dengan nyeri kepala TIK namun terjadi secara lebih episodic (dengan attack

atau serangan hebat yang berlangsung tiba-tiba memberat). Penyebab paling sering

adalah kista koloid atau tumor lainnya pada ventrikel ketiga.

2.1.1.5. Nyeri Kepala Karena Penyebab Non-neurologis

Dapat disebabkan oleh penyakit okular (nyeri periorbital yang semakin menurun

seiring dengan berjalannya hari), seperti glaukoma. Pada glaukoma akut, dapat terjadi

nyeri kepala frontal mendadak dengan muntah, bradikardia, dan gangguan visus.

Penyebab lainnya adalah sistem telinga, hidung, dan tenggorokan; yaitu sinusitis,

otitis kronik, serta massa di THT.

2.1.1.6. Nyeri Kepala Psikogenik

Faktor psikologis dikatakan berperan beesar dalam munculnya tension headache

(tidak sama dengan TTH). Keluhan yang dilaporkan baisanya nyeri seperti kontraksi

spasmodil pada regio oksipital, yang memberat saat terdapatnya stressor mental.

Gejala ini sulit dibedakan dengan neuralgia oksipital.

2.1.1.7. Drug-Induced Headache

Penggunaan analgesia yang rutin dan kronik dapat menimbulkan nyeri kepala yang

difus dan persisten. Kejadian ini meningkat apabila analgesik yang digunakan dalam

satu hari lebih dari 1 macam, atau penggunaan lebih dari 6 bulan, serta

penggunaannya pada nyeri kepala terdahulu dan bukan pada pasien dengan nyeri di

tempat lain tanpa ada nyeri kepala.

2.1.1.8. Neuralgia

2.1.1.8.1. Neuralgia Trigeminal (Tic Douloreux)

Kondisi ini diakibatkan oleh adanya konduksi aberan dari impuls saraf somatosensori

ke nosiseptif pada nervus trigeminal pada lokasi di mana terjadi kerusakan lokal di

selubung myelin. Lesi myelin ini sendiri berkontribusi terhadap stress mekanik

neuralgia, walaupun mekanismenya masih belum diketahui dengan jelas.Neuralgia ini

juga dapat disebabkan oleh sklerosis multipel, iskemia pontin, serta lesi massa pada

nervus trigeminal.

Rasa nyeri biasanya menjalar pada regio yang dipersarafi oleh nervus trigeminus

pertama dan kedua (maksila dan mandibula). Oleh karena itu, yang khas pada

penyakit ini adalah biasanya pasien mengunjungi dokter gigi terlebih dahulu. Rasa

sakitnya selalu unilateral, dan selalu di tempat yang sama. Nyeri yang terasa adalah

lightning-like atau lancinating dengan durasi beberapa detik, dengan intensitas sangat

hebat. Serangan ini dapat diprovokasi dengan gerakan mengunyah atau menekan titik

tertentu di wajah atau mulutnya (berbeda-beda tiap individu).

2.1.1.8.2. Neuralgia Aurikulotemporal

Rasa nyeri pada depan telinga dan pelipis, akrena penyakit yang melibatkan kelenjar

parotid, dan merusak bagian intraparotid dari nervus tersebut. Mengunyah dan stimuli

gustatory, seperti makanan yang panas atau pedas, akan menimbulkan nyeri yang

membakar serta berkeringat pada sepanjang inervasi (depan telinga).

2.1.1.8.3. Neuralgia Nasosiliar

Kondisi ini jarang terjadi. Penyebabnya adalah gangguan fungsional dari ganglion

silier. Ciri-cirinya adalah nyeri yang bersifat episodic atau terus-menerus pada regio

hidung dan canthus dalam, serta eritema dahi, pembengkakan mukosa hidung, hingga

injeksi konjungtiva dan lakrimasi.

Singkatnya, diagnosis dari nyeri kepala dan wajah dapat dilihat pada tabel di bawah

ini.

2.2. Meningoensefalitis TB

Meningoensefalitis tuberkulosis adalah peradangan pada meningen dan otak yang

disebabkan oleh Mikobakterium tuberkulosis (TB). Penderita dengan

meningoensefalitis dapat menunjukkan kombinasi gejala meningitis dan ensefalitis.

2.2.1. Epidemiologi

Sebelum era antibiotik, penyakit susunan saraf pusat (SSP) karena TB sering

ditemukan terutama pada anak-anak. Ditemukan 1000 anak dengan TB aktif di kota

New York diantara tahun 1930 sampai tahun 1940. Hampir 15% diantaranya

menderita meningitis TB dan meninggal. Setelah perang dunia kedua, terutama pada

negara berkembang, terdapat prevalensi yang luas infeksi TB. Pada awal tahun 2003,

WHO memperkirakan terdapat sekitar 1/3 penduduk dunia menderita TB aktif dan

70.000 diantaranya meningitis TB.

Tabel 2.3. Diagnosis Banding Nyeri Kepala1

2.2.2. Etiologi dan Patogenesis

Infeksi TB pada SSP disebabkan oleh Mikobakterium tuberkulosis, bakteri obligat

aerob yang secara alamiah reservoirnya manusia. Organisme ini tumbuh perlahan,

membutuhkan waktu sekitar 15 sampai 20 jam untuk berkembang biak dan

menyebar. Seperti semua jenis infeksi TB, infeksi SSP dimulai dari inhalasi partikel

infektif. Tiap droplet mengandung beberapa organisme yang dapat mencapai alveoli

dan bereplikasi dalam makrofag yang ada dalam ruang alveolar dan makrofag dari

sirkulasi. Pada 2 – 4 minggu pertama tak ada respons imun untuk menghambat

replikasi mikobakteri, maka basil akan menyebar ke seluruh tubuh menembus paru,

hepar, lien, sumsum tulang. Sekitar 2 sampai 4 minggu kemudian akan dibentuk

respons imun diperantarai sel yang akan menghancurkan makrofag yang mengandung

basil TB dengan bantuan limfokin. Kumpulan organisme yang telah dibunuh,

limfosit, dan sel sel yang mengelilingnya membentuk suatu fokus perkejuan. Fokus

ini akan diresorpsi oleh makrofag disekitarnya dan meninggalkan bekas infeksi. Bila

fokus terlalu besar maka akan dibentuk kapsul fibrosa yang akan mengelilingi fokus

tersebut, namun mikorobakteria yang masih hidup didalamnya dapat mengalami

reaktivasi kembali. Jika pertahanan tubuh rendah maka fokus tersebut akan semakin

membesar dan encer karena terjadi proliferasi mikrobakterium. Pada penderita

dengan daya tahan tubuh lemah, fokus infeksi primer tersebut akan mudah ruptur dan

menyebabkan TB ekstra paru yang dapat menjadi TB milier dan dapat menyerang

meningen.

2.2.3. Patofisiologi

Meningitis TB tak hanya mengenai meningen tapi juga parenkim dan vaskularisasi

otak. Bentuk patologis primernya adalah tuberkel subarakhnoid yang berisi eksudat

gelatinous. Pada ventrikel lateral seringkali eksudat menyelubungi pleksus koroidalis.

Secara mikroskopik, eksudat tersebut merupakan kumpulan dari sel polimorfonuklear

(PMN), leukosit, sel darah merah, makrofag, limfosit diantara benang benang fibrin.

Selain itu peradangan juga mengenai pembuluh darah sekitarnya, pembuluh darah

ikut meradang dan lapisan intima pembuluh darah akan mengalami degenerasi

fibrinoid hialin. Hal ini merangsang terjadinya proliferasi sel sel subendotel yang

berakhir pada tersumbatnya lumen pembuluh darah dan menyebabkan infark serebral

karena iskemia. Gangguan sirkulasi cairan serebrospinal (CSS) mengakibatkan

hidrosefalus obstruktif (karena eksudat yang menyumbat akuaduktus spinalis atau

foramen luschka, ditambah lagi dengan edema yang terjadi pada parenkim otak yang

akan semakin menyumbat. Adanya eksudat, vaskulitis, dan hidrosefalus merupakan

karakteristik dari menigoensefalitis yang disebabkan oleh TB. Efek yang ditimbulkan

dari kemoterapi meningoensefalitis memiliki peran yang sangat penting karena akan

menekan angka kematian dan kecacatan. Setelah 2 tahun, eksudat akan berubah

menjadi jaringan ikat hialin dan lapisan intima akan mengalami fibrosis.

2.2.4. Manifestasi Klinis

Stadium meningitis TB telah diperkenalkan sejak tahun 1947 dan sejak itu banyak

kalangan yang menerapkannya untuk penanganan awal sekaligus menentukan

prognosis. Penderita dengan stadium pertama hanya memiliki manifestasi klinis yang

tidak khas karena tanpa disertai dengan gejala dan tanda neurologis. Sedangkan

penderita dengan stadium kedua (intermediet) telah menunjukkan gejala iritasi

meningeal disertai dengan kelumpuhan saraf kranial namun tak ada defek kerusakan

lain serta tidak ada penurunan kesadaran. Pada stadium tiga, penderita mengalami

kerusakan neurologis yang besar, stupor, dan koma. Penyakit ini lebih samar pada

penderita dewasa, anamnesis tentang riwayat pernah mengalami penyakit TB

biasanya jarang. Lamanya gejala biasanya tidak berhubungan dengan derajat klinis.

Sakit kepala biasanya menonjol pada penderita dewasa, perubahan tingkah laku

seperti apatis, bingung sering ditemukan. Kejang biasanya tak terjadi pada tahap awal

penyakit, hanya pada 10% sampai 15% pasien.

2.2.5. Diagnosis

Dari gejala klinis biasanya penderita mengalami panas tinggi dan sakit kepala yang

hebat yang diikuti dengan mual dan muntah. Gejala ensefalitis adalah demam, sakit

kepala, muntah, penglihatan sensitif terhadap cahaya, kaku kuduk dan punggung,

pusing, cara berjalan tak stabil, iritabilitas kehilangan kesadaran, kurang berespons,

kejang, kelemahan otot, demensia berat mendadak dan kehilangan memori juga dapat

ditemukan. Jika gejala dan tanda (kaku kuduk, tanda kernig dan tanda laseque)

ditemukan maka dianjurkan untuk pemeriksaan Computer Tomography beserta

pungsi lumbal (bila tidak ada tanda edema otak). Kemungkinan ensefalitis harus

dipikirkan pada penderita dengan panas dan disertai dengan perubahan status mental,

gejala neurologis fokal dan pola kebiasaan yang tiba tiba menjadi abnormal. Dilihat

dari patologinya, inflamasi akut pada pia arahnoid menyebabkan pelebaran ruangan

subarakhnoid karena eksudat yang dihasilkan dari inflamasi tersebut. Selanjutnya saat

korteks subpia dan jaringan ependim yang menyelimuti ventrikel juga ikut meradang

maka akan menyebabkan terjadinya serebritis dan atau ventrikulitis. Pembuluh darah

yang terpapar dengan dengan eksudat inflamasi subarakhnoid mengalami spasme dan

atau trombosis yang selanjutnya akan menyebabkan iskemia dan akhirnya infark.

Pada CT scan kepala penderita dengan meningitis kronik yang berat akan ditemukan

gambaran hiperdensitas ruangan subarakhnoid yang lebih terlihat pada fisura

hemisfer serebri. Selanjutnya gambaran CT tanpa kontras akan menunjukkan

peningkatan densitas pada sisterna basalis dan fisura hemisfer serebri, serta

menghilangnya kecembungan sulkus. Pada pemeriksaan foto roentgen dada, jarang

ditemukan pembesaran hilus, adenopati dan bayangan inflitrat. Gambaran radiologi

dapat berkisar dari bayangan samar pada apeks sampai adanya kalsifikasi. Tes

tuberkulin tidak bermanfaat pada penderita dewasa karena jarang menunjukkan hasil

yang positif, sekitar 35% sampai 60% penderita meningitis TB tidak bereaksi pada tes

tuberkulin, faktor yang dapat menjelaskan hal tersebut adalah karena adanya

malnutrisi, imunosupresi, debilitasi, dan imunosupresi umum karena penyakit

sistemik.

Telah diketahui bahwa pemeriksaan CSS memiliki peran yang sangat penting dalam

menegakkan diagnosis meningoensefalitis. Pungsi lumbal tidak perlu dilakukan bila

penderita dengan meningitis bakterialis beresons baik terhadap pengobatan. Pungsi

lumbal dilakukan dengan cara menusukkan jarum ke dalam kanalis spinalis.

Dinamakan pungsi lumbal karena jarum memasuki daerah lumbal (tulang punggung

bagian bawah). Dalam pemeriksaan serebrospinal. Dalam pemeriksaan biokimia dan

sitologi maka CSS pada penderita dengan meningoensefalitis akan ditemukan cairan

yang jernih dan agak pekat, jaringan protein akan terlihat setelah proses pengendapan.

CSS hemoragik dapat ditemukan pada meningitis TB yang mengalami vaskulitis.

Adanya gambaran yang khas yang disebut dengan “pelikel” , yakni hasil dari

tingginya konsentrasi fibrinogen dalam cairan disertai dengan sel sel proinflamatori.

Tekanan pembuka pada waktu memasukkan jarum spinal meningkat sampai 50%,

pada meningitis TB kadar glukosa dalam CSS rendah namun mengandung protein

yang tinggi nilai glukosa mendekati 40 mg/dl., protein dapat berkisar antara 150-200

mg/dl.

2.2.6. Tata Laksana

Prinsip penanganan meningitis TB mirip dengan penanganan TB lain dengan syarat

obat harus dapat mencapai sawar darah otak dengan konsentrasi yang cukup untuk

mengeliminasi basil intraselular maupun ekstraselular. Untuk dapat menembus cairan

serebrospinal maka tergantung pada tingkat kelarutannya dalam lemak, ukuran

molekul, kemampuan berikatan dengan protein, dan keadaan meningitisnya.

Keterlambatan dalam pemberian terapi pada penderita dengan meningitis bakterial

dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Selain itu perlu dilakukan pengawasan

terhadap toksisitas obat selama terapi (pengawasan terhadap hitung jenis darah dan

fungsi hati dan ginjal). Penderita yang dicurigai meningitis pada gambaran CT scan

kepala sebelum dilakukan pungsi lumbal sebaiknya dilakukan pemeriksan kultur CSS

dan pemberian terapi antibiotik dan kortikosteroid. Panduat obat antituberkulosis

dapat diberikan selama 9 – 12 bulan, panduan tersebut adalah 2RHZE / 7-10 RH.

Pemberian kortikosteroid dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari selama 3 – 6 minggu untuk

menurunkan gejala sisa neurologis.

2.2.7. Komplikasi

Komplikasi meningoensefalitis terdiri dari komplikasi akut, intermediet dan kronis.

Komplikasi akut meliputi edema otak, hipertensi intrakranial, SIADH (syndrome of

Inappropriate Antidiuretic Hormone Release), Kejang, ventrikulitis. meningkatnya

tekanan intrakrania (TIK). Patofisiologi dari TIK rumit dan melibatkan banyak peran

molekul proinflamatorik. Edema intersisial merupakan akibat sekunder dari obstruksi

aliran serebrospinal seperti pada hidrosefalus, edema sitotoksik (pembengkakan

elemen selular otak) disebabkan oleh pelepasan toksin bakteri dan neutrofil, dan

edema vasogenik (peningkatan permeabilitas sawar darah otak). 4 Komplikasi

intermediet terdiri atas efusi subdural, demam, abses otak, hidrosefalus. Sedangkan

komplikasi kronik adalah memburuknya fungsi kognitif, ketulian, kecacatan motorik.

2.3. Spondilitis Tuberkulosis

Spondilitis tuberkulosis merupakan peradangan granulomatosa yang bersifak kronik

destruktif yang disebabkan oleh infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis. Penyakit

ini disebut juga Penyakit Pott (bila disertai paraplegia atau defisit neurologis).

Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8-L3 dan paling jarang pada

vertebra C1-2. Spondilitis tuberkulosis biasanya mengenai korpus vertebra, jarang

arkus vertebra.

Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi.

Pada negara yang sedang berkembang, sekitar 60% kasus terjadi pada usia dibawah

usia 20 tahun sedangkan pada negara maju, lebih sering mengenai pada usia yang

lebih tua. Meskipun perbandingan antara pria dan wanita hampir sama, namun

biasanya pria lebih sering terkena dibanding wanita yaitu 1,5:2,1.

Spondilitis korpus vertebra dibagi menjadi 3 bentuk, yaitu bentuk sentral, paradiskus,

dan anterior. Pada bentuk sentral, destruksi awal terletak di sentral korpus vertebra.

Bentuk paradiskus terletak di bagian korpus vertebra yang bersebelahan dengan

diskus intervertebral. Pada bentuk anterior, lokus awal terletak di bagian anterior

korpus vertebra dan merupakan penjalaran per kontinuatum dari vertebra di atasnya.

2.3.1. Patogenesis

Infeksi tuberkulosis merupakan infeksi granulomatosa yang spesifik, dengan

karakteristik destruksi tulang progresif lambat (osteolisis lokal) pada bagian anterior

korpus vertebra yang disertai dengan osteoporosis setempat.

Penyebaran tuberkulosis biasanya terjadi karena kelenjar hilus yang mengalami

perkijuan memecah dan basil tuberkulosis masuk kedalam pembuluh darah. Infeksi

bermula pada korpus vertebra dengan terbentukya ruangan yang berisi bahan

perkijuan, dikelilingi jaringan fibrosis dan tulang yang atrofi. Proses infeksi kadang

disertai pembentukan banyak cairan yang nantinya mengalami nekrosis. Nekrosis ini

bisa menghasilkan massa seperti keju (limfadenitis kaseosa) yang mencegah

pembentukan tulang dan membuat tulang menjadi avaskuler sehingga timbul

tuberculous sequstra. Jaringan granulasi tuberkulosis masuk ke dalam korteks korpus

vertebra membentuk abses paravertebra yang meluas hingga ke beberapa vertebra, ke

atas, ke bawah, ligamen longitudinal anterior dan posterior.

Pada vertebra, kerusakan terjadi pada korteks epifisis, diskus intervertebralis dan

vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus akan menyebabkan

kompresi vertebra sehingga terjadi kifosis yang dikenal sebagai gibbus. Pada bentuk

sentral akan terjadi osteoporosis dan destruksi hingga dapat terjadi kompresi vertebra.

Bentuk paradiskal yang disertai destruksi korpus vertebra yang bersebelahan dengan

diskus akan mengakibatkan iskemia sehingga terjadi nekrosis diskus, yang pada foto

Rontgen akan tampak gambaran penyempitan diskus intervertebra. Bila proses terus

berlanjut, akan terjadi osteoporosis dan penyebaran ke seluruh korpus vertebra

sehingga timbul kompresi vertebra. Proses ini bisa menyerang lebih dari satu korpus

vertebra. Jaringan granulasi tuberkulosis dapat pula menembus korteks korpus

vertebra, yang akan membentuk abses paravertebra yang dapat menyebar dari satu

vertebra ke vertebra lainnya. Diskus intervertebra yang avaskular relatif resisten

terhadap infeksi tuberkulosis, namun diskus yang berdekatan dengan tempat infeksi

dapat menyempit karena dehidrasi atau yang lebih sering karena dirusak oleh jaringan

granulasi.

Selain merusak vertebra, abses dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke

berbagai arah di sepanjang garis ligamen yang lemah. Di vertebra lumbal, abses akan

turun ke bawah melalui sela aponeurosis otot psoas dan nanahnya akan dikeluarkan

melalui fasia otot psoas sehingga terbentuk abses psoas. Abses dapat turun ke regio

inguinal dan teraba sebagai benjolan. Abses dingin di daerah torakal dapat menembus

rongga pleura sampai terjadi abses pleura, atau ke paru bila parunya melengket pada

pleura. Di daerah servikal, abses dapat menembus dan berkumpul di antara vertebra

dan faring.

Abses dapat pula berkumpul dan mendesak ke arah belakang sehingga menekan

medula spinalis dan mengakibatkan paraplegia Pott yang disebut paraplegia awal.

Paraplegia awal selain karena tekanan abses dapat juga disebabkan oleh kerusakan

medula spinalis akibat gangguan vaskuler. Namun keadaan ini sangat jarang

ditemukan pada tuberkulosis karena merupakan proses kronik sehingga telah

membentuk pembuluh darah kolateral. Paraplegia dapat juga disebabkan oleh

tuberkulosis pada medula spinalis.

2.3.2. Manifestasi Klinis

Secara klinik gejala spondilitis tuberkulosis hampir sama dengan gejala tuberkulosis

pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan

menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama pada malam hari. Pasien

biasanya anak-anak, dengan keluhan utama berupa nyeri punggung atau nyeri

pinggang bawah. Pada umumnya nyeri meningkat pada malam hari, makin lama

makin berat, terutama pada pergerakan. Pada pemeriksaan fisik tulang belakang dapat

ditemukan kifosis (gibbus), abses retroperitoneal atau abses inguinal. Selain itu, dapat

ditemukan gangguan medula spinalis berupa paresis dan gangguan sensibilitas.

Gejala awal paraplegia pada tuberkulosis tulang belakang dimulai dengan keluhan

kaki terasa kaku atau lemah, atau penurunan koordinasi tungkai. Proses ini dimulai

dengan penurunan daya kontraksi otot tungkai dan peningkatan tonusnya. Kemudian

terjadi spasme otot fleksor dan akhirnya kontraktur. Pada permulaan, paraplegi terjadi

karena udem sekitar abses paraspinal, tetapi akhirnya karena kompresi. Karena

tekanan timbul terutama dari depan, gangguan pada paraplegia ini umumnya terbatas

pada traktus motorik. Paraplegia kebanyakan ditemukan di daerah torakal dan bukan

lumbal, karena kanalis lumbalis agak longgar dan kauda ekuina tidak mudah tertekan.

Berdasarkan defisit neurologisnya, Frankel mengklasifikasikan spondilitis

tuberkulosis menjadi beberapa tipe, yaitu:

Frankel A (complete paraplegia)

Frankel B (preserved sensation)

Frankel C (useless motor)

Frankel D (useful motor)

Frankel E (normal)

2.3.3. Diagnosis

Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan laju endap darah meningkat, sedangkan

kadar hemoglobin rendah. Pemeriksaan imunologi dengan uji tuberkulin dapat

membantu menegakkan diagnosis. Untuk melakukan pemeriksaan bakteriologis,

dapat dilakukan pungsi abses atau dari debris yang didapat melalui pembedahan.

Diagnsosis dapat dipastikan dengan aspirasi pus paravertebra, yaitu dengan

melakukan pemeriksaan mikroskopik untuk menemukan basil tuberkulosis serta

ditanam di media agar (guinea pig). Sensitivitas basil tuberkulosis terhadap obat-obat

antituberkulosis harus diperiksa. Jaringan yang diperoleh baik melalui biopsi tertutup

atau biopsi terbuka saat pembedahan dapat menunjukkan gambaran histologi infeksi

tuberkulosis yang khas, termasuk histiosit dan giant cells.

Pada pemeriksaan rontgen stadium awal ditemukan lesi osteolitik pada pars anterior

korpus vertebra, osteoporosis regional dan penyempitan diskus intervertebralis.

Sementara pada stadium lanjut ditemukan destruksi pars anterior korpus vertebra

yang menyebar ke vertebra dan gambaran bayangan otot psoas yang melebar karena

adanya abses psoas ataupun bayangan paravertebra karena terbentuknya abses

paravertebra.

Pada CT Scan dan MRI, gambaran di atas akan tampak lebih jelas. CT scan dapat

memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi irreguler, sklerosis, kolaps

diskus dan gangguan sirkumferensi tulang. CT Scan juga dapat mendeteksi lebih awal

serta lebih efektif untuk menegaskan bentuk dan kalsifikasi dari abses jaringan lunak.

MRI baik untuk mengevaluasi infeksi diskus intervertebra dan osteomielitis tulang

belakang, menunjukkan adanya penekanan saraf, serta membedakan spondilitis

tuberkulosis dari spondilitis piogenik dari gambaran absesnya.

2.3.4. Tata Laksana

Tujuan penatalaksanaan tuberkulosis pada vertebra ini adalah untuk menghilangkan

kuman penyebab dan mencegah deformitas dan komplikasi paraplegi. Terapi

konservatif berupa istirahat serta diet tinggi kalori dan protein. Tuberkulostatik

diberikan untuk mengatasi sumber infeksinya. Pemberian tuberkulostatik dilakukan

sebelum, sewaktu, dan sesudah pembedahan untuk mencegah kekambuhan. Selain

itu, perlu dilakukan upaya pencegahan untuk menghindari dekubitus serta kesulitan

miksi dan defekasi.

Tindakan pembedahan dilakukan setelah 3 minggu pemberian tuberkulostatik. Terapi

bedah dilakukan untuk menghilangkan pus dan sequestra, serta untuk

menggabungkan segmen-segmen vertebra yang terkena, terutama bagian anterior

dengan menggunakan autogenous bone grafts. Biasanya dilakukan bedah

kostotransversektomi, berupa debrideman dan penggantian korpus vertebra yang

rusak dengan tulang spongiosa atau kortikospongiosa. Tulang ini sekaligus berfungsi

menjembatani vertebra yang sehat, yaitu di atas dan di bawah yang terkena

tuberkulosis. Pada paraplegia, terapi ini dilakukan untuk dekompresi medula spinalis.

Disamping itu, akhir-akhir ini dilakukan tindakan stabilisasi posterior tulang belakang

untuk koreksi deformitas.

Di negara dimana fasilitas pembedahan masih kurang, dapat dilakukan terapi

alternatif dengan kemoterapi antituberkulosis jangka panjang dikombinasikan dengan

spinal brace atau cast.

2.3.5. Komplikasi

Komplikasi yang paling serius dari spondilitis tuberkulosis adalah paraplegia

(paraplegia Pott), yang dapat terjadi di awal atau akhir perjalanan penyakit.

Paraplegia of active disease muncul lebih cepat, terjadi karena penekanan ekstradural

(pus, sequestra, sequestrated intervertebral disc) atau keterlibatan langsung medulla

spinalis oleh jaringan granulasi. Paraplegia of healed disease selalu muncul lebih

lambat, terjadi karena perluasan tulang yang mempengaruhi kanalis spinalis atau

fibrosis jaringan granulasi. Mielografi atau MRI dapat membantu membedakan

paraplegia tipe tekanan (dapat diatasi dengan pembedahan) dengan paraplegia karena

invasi ke dura dan medulla spinalis.

Paraplegia yang terjadi karena penekanan selama perjalanan penyakit tuberkulosis

sendiri relatif merupakan suatu kegawatan yang harus diatasi dengan pembedahan

dekompresi medula spinalis dan akar-akar saraf.

Komplikasi yang lebih jarang adalah ruptur abses paravertebra torakal kedalam

pleura yang menyebabkan empiema tuberkulosis. Di regio lumbal, abses dapat masuk

ke otot iliopsoas dan menyebar sebagai abses psoas, yang merupakan salah satu

contoh abses dingin.

BAB III

ILUSTRASI KASUS

Anamnesis dilakukan pada tanggal 20 Agustus 2014

Identitas

Nama : Nn. N

TTL : 13 Agustus 1985

Usia : 27 tahun

Pekerjaan : Karyawan pabrik

Status : Belum menikah

Agama : Islam

Suku : Batak

Keluhan Utama

Sakit kepala yang memberat sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengeluh sakit kepala yang semakin memberat sejak 3 bulan yang lalu. Nyeri

kepala dirasakan hilang timbul. Sakit kepala awalnya tidak terlalu berat (VAS = 2),

dengan durasi 1 kali sehari selama 2 jam. Semakin lama sakit kepala semakin berat

dan semakin sering. Sampai sekitar satu bulan smrs, sakit kepala sangat berat (VAS =

9), terjadi 3 kali sehari, dengan durasi 2 jam dan sangat mengganggu aktivitas. Lokasi

sakit kepala di sebelah kiri, yang kadang berpindah ke bagian depan. Nyeri kepala

seperti ditekan dan ditusuk-tusuk. Nyeri kepala timbul tidak dipengaruhi oleh

aktivitas. Nyeri kepala tidak lebih berat bila di tempat silau atau keadaan bising. Mual

muntah disangkal.

Enam minggu smrs, pasien mengeluh demam yang naik turun namun tidak terlalu

tinggi. Pasien juga mengeluhkan batuk, dahak jarang, keringat malam positif, batuk

darah disangkal, mual muntah disangkal, lemas positif, penurunan berat badan

sebesar 12 kg dalam 2 bulan terakhir. Orang tua pasien juga mengatakan pasien

sering bingung dan melamun.

Empat minggu smrs, pasien mengalami kejang ketika mau ke WC. Kejang kaku,

langsung pada seluruh tubuh, tidak mencong ke salah satu sisi, tidak sadar, dan terjadi

dengan durasi sekitar 3 menit. Pasien baru sadar sekitar 1 jam kemudian. Setelah

kejang, pasien tidak dapat BAK dan BAB, dan kaki lemas tidak dapat berdiri. Pasien

merasakan kelemahan pada kedua kaki, dan tangan kanan. Pasien juga merasakan

baal dan dan kesemutan pada keempat ekstremitas. Pasien juga mengalami bicara

pelo. Pasien juga mengeluh nyeri pada pinggang. Pandangan ganda disangkal,

gangguan pendengaran disangkal, berdenging disangkal, gangguan penciuman

disangkal, kesulitan menelan disangkal.

Kemudian pasien dirawat di RSUD BK sekitar 4 minggu. Dipasang selang kateter,

pasien dapat BAK. Selama perawatan pasien tidak lagi mengalami kejang. Saat

perawatan, pasien mengalami kesulitan mengutarakan sesuatu namun sebenarnya

mengerti apa yang dikatakan orang lain. Pasien diberikan obat untuk paru yang

membuat kencing berwarna merah. Dokter mengatakan bahwa pasien mengalami

bisul di otak dan akan dilakukan MRI. Kemudian pasien dirujuk di RSBK.

Saat datang ke RSBK, pasien masih mengeluhkan lemah pada kedua kaki. Kesemutan

pada keempat ekstremitas.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah mengalami sakit seperti ini sebelumnya. Pasien belum pernah

menggunakan Obat Anti Tuberkulosis sebelumnya. Hipertensi disangkal, DM

disangkal, Stroke disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga pasien tidak pernah mengalami sakit seperti ini sebelumnya. Riwayat sakit

TB pada keluarga disangkal, hipertensi disangkal, DM disangkal, stroke disangkal.

Riwayat Sosial

Pasien bekerja sebagai karyawan pabrik di daerah dekat dengan rumah pasien.

Pemeriksaan Fisik

Status Generalis

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Kompos mentis

Tekanan Darah : Kanan : 124/76 mmHg Kiri: 128/78 mmHg

Frekuensi Nadi : 99x/menit, isi cukup, teratur

Napas : 18x/menit, abdominotorakal, dalam, teratur

Suhu : 36,40C

Kulit : Coklat, tidak tampak ada bekas luka

Mata : Normal

Kepala : Normocephal, tampak benjolan difus leher depan dan

belakang sebelah kiri, serta benjolan seukuran koin di dahi

sebelah kanan

Rambut : Rambut hitam, kuat, persebaran merata

Wajah : Simetris

Mulut : oral hygiene baik

Leher : terdapat benjolan di sebelah leher kiri, KGB tidak membesar

Jantung : Bunyi jantung 1 dan 2 normal, gallop negatif, murmur negatif

Paru : Bunyi nafas vesikuler, rhonki negatif/negatif, wheezing

negatif/negatif

Abdomen : Datar, lemas, nyeri tekan negatif, bising usus + normal, nyeri

ketok CVA negatif/negatif

Punggung : deformitas negatif

Ekstremitas : Akral hangat, edema negatif/negatif

Status Neurologis

Skala Koma Glasgow : E4 M6 V5

Pupil

Ukuran : 3 mm/3 mm

Bentuk : Bulat/Bulat

Refleks Cahaya Langsung : +/+

Refleks Cahaya Konsensual : +/+

Konvergensi : +/+

Isokorik : Ya

Tanda Rangsang Meningeal

Kaku Kuduk : negatif

Bruzinsky I : negatif

Bruzinsky II : negatif

Laseque : > 70o / > 70o, Nyeri negatif/negatif

Kernique : > 135o / > 135o, Nyeri negatif/negatif

Saraf Kranialis

I. N. I : Anosmia bilateral

II. N. II :

Visus : > 6/60 / >6/60

Lapang Pandang : Sama dengan pemeriksa

Warna : Baik / Baik

III. N. III, IV, dan VI :

Kelopak Mata : Normal

Kedudukan Bola Mata : Normal

Gerak Bola Mata :

N. III : normal/normal

N. IV : normal/normal

N. VI : normal/normal

IV. N. V

Sensoris : Normal

Motorik : Normal

Refleks Kornea : Normal

V. N. VII

Motorik otot wajah : Normal

Kelenjar air mata : Normal

Kelenjar liur : Normal

Pengecapan lidah : Normal

Sensorik retro auricular : Normal

VI. N. VIII

Cochlearis

Tes berbisik/gesekan : +/+, Kanan = Kiri

Rhinne : Konduksi tulang dan udara normal

Webber : Tidak ada lateralisasi

Schwabach : Sama dengan pemeriksa

Tinnitus : Tidak ada

Vestibularis

Romberg Test : Normal

Romberg Test dipertajam : Normal

Nistagmus : Normal

Fukuda Test : Normal

Tandem Gait Test : Normal

VII. N. IX, X

Arkus faring : Normal

Uvula : Normal

Tes Menelan : Normal

Refleks Muntah : Normal

Disfonia : Normal (riwayat disfonia sebelumnya)

VIII. N. XI

M. Trapezius : Normal

M. Sternocleidomastoideus : Normal

XI. N. XII

Saat lidah istirahat : Normal

Saat lidah dijulurkan : Normal

Kekuatan otot lidah : Normal

Disarthria : Tidak ada

Motorik

Ekstremitas atas :

Tonus : eutoni/eutoni

Trofi : atrofi negatif/atrofi negatif

Kekuatan :

-Lengan atas : +5/+5

-Lengan bawah : +5/+5

-Pergelangan tangan : +5/+5

-Jari tangan : +5/+5

Ekstremitas bawah :

Tonus : eutoni/eutoni

Trofi : atrofi negatif/atrofi negatif

Kekuatan :

-Tungkai atas : +4/+4

-Tungkai bawah : +4/+4

-Pergelangan kaki : +4/+4

-Jari kaki : +4/+4

Refleks Fisiologis :

Biceps : +2/+2

Triceps : +2/+2

Patella : +2/+2

Achilles : +2/+2

Refleks Patologis

Hoffman-tromer : negatif/negatif

Babinsky : negatif/negatif

Chaddock : negatif/negatif

Schaeffer : negatif/negatif

Oppenheim : negatif/negatif

Gordon : negatif/negatif

Mendel Bechterew : negatif/negatif

Rosollimo : negatif/negatif

Patrick : negatif/negatif

Kontra Patrick : negatif/positif (ada pengapuran)

Sensorik :

Eksteroseptif

Raba : normal

Nyeri : normal

Suhu : normal

Propioseptif

Sikap : normal

Getar/Vibrasi : normal

Posisi : normal

Koordinasi

Disdiadokinesis : normal

Pass-pointing test : normal

Knee-to-heel test : normal

Fungsi Luhur:

Berbicara : baik

Orientasi waktu : baik

Orientasi orang : baik

Orientasi tempat : baik

Nilai MMSE = 30

CT Scan

Diagnosis

1. Meningoensefalitis susp TB

2. Spondilitis TB

Rencana Terapi

1. Pemeriksaan CSS

2. Rifampisin 1 x 450 mg

3. INH 1 x 450 mg

4. Pirazinamid 1 x 1000 mg

5. Etambutol 1 x 1000 mg

6. B6 3 x 10 mg p.o.

7. Tramadol 3 x 450 mg p.o. k/p

BAB IV

PEMBAHASAN KASUS

Pasien datang dengan keluhan nyeri kepala. Onset nyeri kepala 3 bulan yang lalu dan

bertambah berat.selain itu, frekuensi nyeri kepala pasien juga bertambah sering.

Dapat dikatakan bahwa nyeri kepala pasien bersifat kronik, progresif. Hal ini berbeda

dengan karakteristik nyeri kepala primer yang cenderung memiliki intensitas dan

frekuensi yang menetap. Selain itu, keluhan juga disertai dengan defisit neurologik

berupa:

1. Kejang

2. Kelemahan ekstremitas

3. Rasa baal dan kesemutan

4. Kesulitan BAK dan BAB

Hal ini memperkuat bukti untuk nyeri kepala sekunder.

Nyeri kepala yang bersifat kronik progresif, dapat diduga merupakan suatu kelainan

infeksi atau neoplasma. Keluhan lain berupa demam dan riwayat batuk, serta riwayat

pengobatan OAT sebelumnya mengarahkan diagnosis pasien kearah infeksi. Apabila

pasien dicurigai mengalami infeksi intrakranial, maka pasien dilakukan pemeriksaan

HIV. Pada pasien, test HIV adalah nonreaktif. Dan pada hasil CT scan menujukan

lesi nonfokal. Sehingga diagnosis mengarah kepada penyakit meningoensefalitis TB,

meningobakterial, ensefalitis HSV.

Infeksi TB yang dialami pasien mengarahkan pasien mengalami meningoensefalitis

dengan suspect TB. Pada stadium awal penyakit, manifestasi iritasi meningeal

biasanya tidak ditemukan. Gejala yang paling menonjol biasanya sakit kepala,

perubahan tingkah laku seperti bungung dan apatis, dan beberapa pasien mengalami

kejang. Gejala lain pada pasien yang mendukung kearah ensefalitis adalah demam,

cara berjalan yang tidak stabil, kejang, kelemahan otot. Pasien memiliki riwayat

kelemahan sisi kanan. Sehingga kemungkinan terdapat lesi pada hemisfer kiri.

Saat ini kaki kanan dan kiri mengalami kelemahan yang didugaterjadi pada medula

spinalis. Pada pasien dengan riwayat TB, diduga lesi pada vertebra disebabkan oleh

spondilitis TB. Hasil CT scan vertebra menunjukan lesi di T12 – L3. Hal ini sesuai

dengan predileksi spondilitis, yaitu sering ditemukan pada vertebra T8-L3.

Spondilitis TB sering mengenai korpus vertebra.

Diagnosis Klinis : nyeri kepala, meningoensefalitis suspek TB, Spodilitis TB

Diagnosis Topis : Hemisfer kiri, vertebra torakalis 12 – lumbal 3

Diagnosis Patologis : Lesi perkijuan

Diagnosis Etiologis : infeksi TB

BAB V

DAFTAR PUSTAKA

1. Mumenthaler M, Mattle H, editor. Neurology. 4th Ed. Philadelphia: Thiemer Publishing;

2004. (841-62)

2. Wilkinson, Lennox G. Essential Neurology. 4th Ed. New York: Blackwell Publishing; 2007.

(213-20)

3. Ropper AH, Brown RH. Adam and Victor’s Principles of Neurology. 8 th Ed. San Fransisco:

McGraw-Hill Companies; 2008.

4. Mansjoer, A. Meningitis Tuberkulosis. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga.

Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2000. h.11

5. Tunkel, A. Practice Guidelines for the Management of Bacterial Meningitis. Clinical

Infectious Disease. Infectious Disease Society of America. Phyladelpia. 2004.

6. Ravighone M, O’Brien R. Tuberculosis. Dalam : Harrison’s Principles of Internal Medicine

Edisi 16. New York: McGraw-Hill. 1998. h. 1004 – 1014.

7. Linssen WHJP, Gabreels FJM, Wevers RA. Infective acute transverse myelopathy. Report of

two cases. Neuropediatrics 1991;22:107-9.

8. Kalita J, Misra U.K: Neurophysiological studies in acute transverse myelitis. J-Neurol. 2000

Dec; 247(12): 943-8.

9. Altrocchi P.H. Acute transverse myelopathy. Arch Neurol.1963:9;111-9.