cdk_135_napza

58

Transcript of cdk_135_napza

Page 1: cdk_135_napza
Page 2: cdk_135_napza

2002

http. www.kalbe.co.id/cdk

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

135. NAPZA

Daftar isi : 2. Editorial 4. English Summary

Artikel

5. Manajemen Laboratoris Penyalahgunaan Obat dan Kompli-kasinya - Suwarso

14. Pengaruh Narkotika terhadap Susunan Saraf Pusat – Budi Riyanto Wreksoatmodjo

17. Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) – Ketut Kusminarno

21. Pengobatan/Perawatan Pasien Ketergantungan NAPZA Pasca Detoksifikasi – Hartati Kurniadi

24. Gambaran Klinik dan Psikofarmaka pada Gangguan Ke-cemasan – Yusuf Alam Romadhon

27. Penatalaksanaan Baku dan Menyeluruh pada HIV/AIDS – Candra Wibowo

Karya Sriwidodo WS 32. Efek Toksik dan Cara Menentukan Toksisitas Bahan Kimia –

Satmoko Wisaksono 37. Marine Toxin : Saxitoxin – Winarti Andayani, Betty Marita

Subrata, Esther Budiman 43. Bumbu Alami sebagai Penyedap, Pengawet dan Penghambat

Cemaran Aflatoksin pada Sambal Kacang – Nunik Siti A., Supraptini, Enny W.L., Inswiasri, Suyitno, Sukijo

47. Gambaran Kadar Mangan (Mn) pada Sumber Air Rumah Tangga di Jabotabek : studi kasus pemeriksaan air di Puslit-bang Farmasi – Ni’mah Bawahab, Kelik MA, Ani Isnawati

50. Kapsul 51. Kegiatan Ilmiah 53. Produk Baru 54. Internet 55. Abstrak 56. RPPIK

CDK dapat diperoleh cuma-cuma melalui MedRep Grup PT. Kalbe Farma, ATAU dengan mengganti ongkos Rp. 10.000,-/eks

Page 3: cdk_135_napza

Di zaman modern ini dunia kesehatan sedang mengalami suatu epidemi; kali ini bukan akibat penyakit infeksi, tetapi akibat suatu perubahan gaya hidup – suatu epidemi yang jauh lebih sulit dibasmi dibandingkan dengan epidemi ‘klasik’ penyakit infeksi yang mudah diatasi dengan perbaikan lingkungan dan antibiotik.

Epidemi yang sedang mengancam kita semua tak lain dari meluasnya penyalahgunaan narkotika dan zat-zat lainnya, yang meskipun tidak infeksius, penyebarannya jauh lebih cepat dan luas dibandingkan penyakit infeksi apapun.

Masalah ini kami bahas dalam edisi Cermin Dunia Kedokteran kali ini; beberapa artikel akan mengupasnya dari berbagai segi – masalah deteksi, efeknya terhadap tubuh, masalah pengobatan dan rehabilitasinya – mudah-mudahan dapat menambah pengetahuan dan dengan demikian lebih siap dalam menghadapi tantangan yang akan makin mengemuka di masa mendatang.

Selamat membaca, dan jangan segan-segan untuk menyampaikan komentar dan pendapat Sejawat ke alamat redaksi; kami selalu mengharapkan umpan balik Sejawat untuk lebih meningkatkan mutu pelayanan dan informasi untuk para Sejawat sekalian.

Salam dari Redaksi

Redaksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 2

Page 4: cdk_135_napza

2003

REDAKSI KEHORMATAN

– Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo Staf Ahli Menteri Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

– Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno

SKM, MScD, PhD. Bagian Periodontologi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

– Prof. Dr. R. Budhi Darmojo

Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

– Prof. DR. Hendro Kusnoto Drg.,Sp.Ort

Laboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, Jakarta

– DR. Arini Setiawati Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

DEWAN REDAKSI

KETUA PENGARAH Prof. Dr Oen L.H. MSc

PEMIMPIN UMUM Dr. Erik Tapan

KETUA PENYUNTING Dr. Budi Riyanto W.

PELAKSANA Sriwidodo WS.

TATA USAHA Dodi Sumarna

ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510, P.O. Box 3117 Jkt. Telp. (021)4208171 E-mail : [email protected] : http://www.kalbe.co.id/cdk NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976

PENERBIT Grup PT Kalbe Farma

PENCETAK PT Temprint

– Dr. Boenjamin Setiawan Ph.D – Prof. Dr. Sjahbanar SoebiantoZahir MSc.

http://www.kalbe.co.id/cdk

PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang-bidang tersebut.

Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan me-ngenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.

Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.

Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto disertai/atau dalam bentuk disket program MS Word. Nama (para) pe-ngarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/ skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor sesuai dengan

urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari ke-mungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pe-munculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: 1. Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore.

London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. 2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading micro-

organisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic phy-siology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974;457-72.

3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990; 64: 7-10.

Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.

Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 Jakarta. Tlp. (021) 4208171. E-mail : [email protected]

Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis.

Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 3

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulisdan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.

Page 5: cdk_135_napza

English Summary LABORATORY MANAGEMENT OF DRUG ADDICTION AND ITS COMPLICATIONS Suwarso Department of Clinical Pathology, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia

Problems of drug addiction were very complex, particularly in developing countries.

It is not only concerning the direct medical problems, but also the complications, particularly among chronic users, such as hepatitis, HIV infection and bacterial endocarditis.

The laboratory management should consist of screening, diag-nostic and monitoring of drug use and also its complications.

Cermin Dunia Kedokt. 2002; 135: 5-13

so

EFFECTS OF NARCOTICS ON THE CENTRAL NERVOUS SYSTEM Budi Riyanto Wreksoatmodjo Marzuki Mahdi Hospital, Bogor, Indonesia

Narcotics have been used since antiquity; formerly as a medi-cation for variety of symptoms, in-cluding pain killer and cough re-medy; but scientific investigations that began in 19th century revealed their potential for abuse and other side effects.

Narcotics exerts their effects on human body through their influence on several receptors in the brain, and depending on the properties of receptors, the clinical effects may varies. Recent experiments also found opioid receptors in peripheral nervous system. Cermin Dunia Kedokt. 2002; 135: 14-6

brw

CLINICAL PICTURE AND PSYCHO-PHARMACOLOGY OF ANXIETY Yusuf Alam Romadhon Kartasura Community Health Centre, Central Java, Indonesia

Anxiety can be found in indi-viduals with normal stress, in chronic physical ailments, in persons with psychiatric disorders or as an independent symptom.

There are five categories of anxiety; namely : panic disorder, generalized anxiety disorder, phobic disorder, obssesive-compulsive disorder and post-traumatic stress disorder.

Anxiolytic drugs should be used in combination with psychotherapy; recently there are many kinds of anxiolytic drugs: benzodiazepines, tricyclic,monoamine inhibitor, sero-tonin reuptake inhibitor and specific serotonin reuptake inhibitor.

Clinicians should be familiar with their actions, side effects and close-ly monitor their patients pattern of use

Cermin Dunia Kedokt.2002;135:24-6 brw

Misfortunes come on wings and depart on feet

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 4

Page 6: cdk_135_napza

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Manajemen Laboratoris Penyalahgunaan Obat

dan Komplikasinya

Suwarso

Bagian Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/ Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito, Yogyakarta

ABSTRAK

Di negara yang sedang berkembang kasus dan masalah penyalahgunaan obat sangat kompleks. Permasalahan tidak hanya pada psikososialekonomi, tetapi juga pada per-masalahan medis yang merupakan dampak komplikasi dari efek pemakaian obat yang terus menerus. Hepatitis virus dan/atau non-virus, infeksi HIV, dan endokarditis bakteri-alis merupakan komplikasi medis dari penyalahgunaan obat, yang penyebarannya sangat cepat meluas di antara sesama pemakai. Untuk membantu penanganan penyalahgunaan obat agar lebih akurat, akan dibahas manajemen laboratoris dalam skrining, diagnosis, monitoring penyalahgunaan obat dan komplikasinya.

Kata Kunci: Rapid test, Hepatitis, Human immunodeficiency virus (HIV), Endokarditis bakterialis, Narkoba, Drug-addict.

PENDAHULUAN

Manajemen laboratoris penyalahgunaan obat dan metabolit-nya dirancang dengan mempertimbangkan latarbelakang perma-salahan penyalahgunaan obat yang umumnya demikian kompleks di negara yang sedang berkembang, sehingga selain mengakibat-kan masalah psikososialekonomi yang luas, juga masalah medis yang variatif dan cepat penyebarannya.

Manajemen laboratoris yang ditulis di sini meliputi pe-meriksaan skrining yang akan menetapkan ada-tidaknya obat, bahan atau metabolitnya dalam sampel subyek yang diperiksa, dan menetapkan ada-tidaknya komplikasi akibat pemakaiannya, sehingga dari hasilnya bisa diambil langkah-langkah lanjutan yang akurat dan efektif. LATAR BELAKANG

Pengetahuan tentang obat/bahan yang diyakini mampu me-mecahkan masalah fisik dan psikis (thinking, behaviour, feeling), baik langsung maupun tidak langsung, ilmiah maupun tidak, akhirnya akan diperoleh oleh individu. Efektifitas atau mujarab-nya obat/bahan yang dipilih akan membuat individu mengulang

penggunaannya (recurrent), sementara toleransi tubuh akibat pengulangan tersebut diatasi selain dengan cara menaikkan frekuensi dan dosis, juga dengan cara mengkombinasi beberapa macam obat/bahan dan memvariasi rute pemakaian (ingesti, in-halan, injeksi, snorting).

Pengulangan/recurrenting yang sering akan menimbulkan kondisi withdrawal (akut lamanya 5-10 hari, kronis 26-30 minggu), yakni kondisi ketersiksaan fisik dan psikis non-fatal yang muncul jika 6-12 jam obat/bahan tidak dikonsumsi1. Kondisi semacam ini membuat individu tergantung (dependent) sehingga sangat sulit untuk tidak menggunakan ulang obat/bahan tersebut. Recurrenting yang ekstrim akan membuat kondisi withdrawal berat ("Sakaw", sakit karena putaw) yang akan membuat individu secara kompulsif (kecanduan) menggunakan obat/bahan, tanpa mempedulikan lagi untung-rugi, ada-tidak manfaat medis, legal-ilegalnya cara yang diperoleh, yang selanjutnya menimbulkan masalah baik di keluarga, lingkungan kerja maupun sosial. Jumlah kematian pertahun karena penyalahgunaan obat (over-dose) opiat mencapai 40-50% dari semua kematian karena obat16.

Salah satu bentuk preventif yang umum dilakukan oleh ber-

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 5

Page 7: cdk_135_napza

bagai instansi perusahaan di negara maju antara lain dengan cara skrining acak narkoba atas sampel urin dari karyawan atau calon karyawannya. Hasil positif (obat mencapai atau melebihi batas dosis toksik/tes sensitivitas) atau negatif (obat tidak mencapai dosis toksik/tes sensitivitas) digunakan untuk mengambil keputus-an, sementara untuk hasil ragu-ragu dan hasil positif yang ber-urusan dengan hukum, keputusan diambil dari hasil test konfir-masi atas sampel urin yang sama.

Tabel 1 memuat kadar batas pengambilan keputusan (cutoff) hasil test skrining, dan test konfirmasi menurut the Substance Abuse and Mental Health Services Administration (SAMHSA)7. Tabel 2 memuat tipe narkotik (penurun kesadaran atau rasa sakit) dan psikotropik (khasiat spesifik pada mental dan perilaku) menurut potensi disalahgunakan (abuse) dan manfaat medisnya. Tabel 3 memuat jenis, bentuk fisik, cara umum pemakaian dan efek klinis narkoba. Tabel 4 memuat jenis dan nama lain narkoba yang secara komersial dapat ditest skrining dalam sampel urin. Tabel 5 memuat obat/bahan yang diketahui tidak menimbulkan reaksi silang pada test skrining amfetamin urin 100ug/ml. KOMPLIKASI PENYALAHGUNAAN OBAT

Komplikasi penyalahgunaan obat yang akan dibahas di sini meliputi hepatitis, infeksi HIV dan endokarditis. Hepatitis

Hepatitis dicirikan dari meningkatnya SGPT minimum 1,5 kali batas atas normal dengan atau tanpa kenaikan SGOT. Darah semacam ini terbukti infeksius. Peluang hepatitis pada resipien yang mendapat 1 unit darah transfusi dengan SGOT SGPT me-ningkat adalah 6 kali lebih besar. Sementara di Yogyakarta sekitar 4,8% dan 3,1% individu yang secara klinis sehat dan berpotensi menjadi donor darah diketahui masing-masing mengandung virus hepatitis-B dan -C, 80 dan 100% di antaranya terbukti infeksius (HBeAg positip, HCV RNA positif)5,6. Sementara hepatitis lain (hepatitis tifosa) merupakan hepatitis non-B,non-C yang sering ditemukan di Yogyakarta (tidak dipublikasi). Analog dengan ini maka pemakaian jarum suntik yang tercemar di antara IVDA yang klinis sehat memiliki potensi tinggi untuk menularkan hepatitis virus-B, -C dan -tifosa. Infeksi HIV

Efisiensi infeksi HIV melalui satu kali pajanan dengan jarum suntik yang tercemar adalah 0,5-1%, dan ini bertanggung jawab pada 60-100% kasus-kasus HIV pada heteroseksual dan neonatus di negara maju. Secara global kontribusi IVDA dalam kasus infeksi HIV adalah 5-10%. Kontribusi terbesar berasal dari IVDA di negara yang sedang berkembang yang mencapai 30-60%, dan ini bertanggung jawab pada 20-30% dari keseluruhan prevalensi anti-HIV di negara tersebut.

Deteksi infeksi HIV secara klinis sangat sukar, pendekatan laboratoris karenanya merupakan salah satu cara yang sampai saat ini masih dianggap lebih efektif. Sindrom klinis seperti flu-like syndromes, demam, limfadenopatia, diare, berat badan menurun dapat merupakan gejala prodromal infeksi HIV.

Endokarditis

IVDA merupakan penyebab pada 5-15% dari keseluruhan

insiden endokarditis bakterialis yang di USA; mencapai 20/100.000 penduduk. Mortalitas sangat tergantung pada lokasi, kuman penyebab dan daya tahan tubuh yang di USA mencapai 5-40%. Mortalitas di kalangan IVDA relatif lebih tinggi karena umumnya memiliki daya tahan tubuh yang rendah. Lesi berupa vegetasi di katup triskupid, aorta, mitral dan pulmonal terdeteksi masing-masing pada 45%, 25%, 15%, dan 2% penderita. Kuman penyebab meliputi stafilokokus koagulasi (50%), streptokokus faekalis (8%), streptokokus viridan, -bovis, difteroid, kuman Gram negatif, jamur (masing-masing 5%), dan kultur negatif 5%2. MANAJEMEN LABORATORIS

Manajemen laboratoris meliputi skrining dan diagnosis ada-nya narkoba serta komplikasinya. A) SKRINING, KONFIRMASI NARKOBA & META-BOLITNYA

Metode atau teknologi laboratorium yang digunakan untuk skrining harus memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi.

EIA (enzyme immunoassay) dan imunokromatografi merupa-kan dua metode yang memenuhi kriteria ini. Pertimbangan tekniknya yang sederhana, membuat kedua metode ini menjadi umum digunakan untuk skrining narkoba. Hasil skrining yang "ragu" atau positif yang bertalian dengan hukum selanjutnya dikonfirmasi dengan metode GC/MS; metode ini merupakan paduan optimal antara alat ukur mass spectrometry yang memiliki sensitivitas sangat tinggi (mengukur intensitas ion obat) dengan gas chromatography yang memiliki spesifisitas tinggi [men-diferensiasi obat menurut intensitas ion (m/z), hambatan waktu (HW) dan bentuk kromatografi (K)], dan terbukti bahwa cara ini mampu membedakan jutaan obat tanpa satupun diketahui me-miliki m/z, HW dan K yang sama). Paduan optimal ini selain mampu mendeteksi narkoba secara spesifik juga mampu men-deteksi dosis abuse/toksik paling minim (Tabel 1).

Gambar 1 memuat deteksi dan konfirmasi narkoba sampel

(NKs) yang diduga memiliki narkoba standar (NKst) dengan HW = 21,6 menit dan intensitas ion (m/z) = 184 oleh GC/MS.

Kadar NKs didapat dengan rumus:

Tinggi Puncak NKs Kadar NKs = X Kadar NKst Tinggi Puncak NKst

Jenis narkoba yang sampai saat ini secara komersial dapat

dites meliputi semua narkoba yang tertera pada Tabel 4 (Seratec. GermanyR, Home-test Drug Abuse Insta Test.USAR). meng-gunakan antibodi mono- dan poliklonal yang spesifik terhadap narkoba dan metabolitnya. Dirancang sedemikian rupa sehingga dapat dibuat dalam bentuk imunokromatografi kompetitif kua-litatif yang praktis, tidak memerlukan tenaga trampil dan cepat (hasil dapat diperoleh dalam 3-10 menit). Dengan sampel urin teknik ini memiliki sensitivitas sesuai dengan standard National Institute on Drug Abuse (NIDA, sekarang SAMHSA), dan spesifisitas 99,7%.

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 6

Page 8: cdk_135_napza

Tabel 1: Kadar batas pengambilan keputusan (cutoff) narkotik dan bahan

adiktif (narkoba) dalam sampel serum/urin menurut Samhsa. NARKOBA/Metabolitnya Kadar awal/Skrining

(ng/ml) Kadar Konfirmasi

(ng/ml) Metabolit Marijuana 50 15 Metabolit Kokain 300 150 Metabolit Opiat: 300 - Morfin - 300 Kodein - 300 Metabolit Amfetamin: 1000 - Amfetamin - 500 Metamfetamin - 500 Phencyclidine 25 25

Tabel 2: Jenis Narkotik dan Psikotropik menurut Potensi Abuse dan Manfaat

Tipe Potensi Abuse/ Manfaat Medis Narkotik Psikotropik

I. Tinggi/Nihil Heroin Kokain Ganja

MDMA Ekstasi LSD

STP

II. Tinggi/Pilihan akhir

Morfin Petidin

Amfetamin Fensiklidin Sekobarbital

Metakualon Metilfenidat (Ritalin)

III. Minim-Menengah/Umum

Kodein Fenobarbital Flunitrazepam

IV. Minim/Umum - Klordiazepoksid Diazepam Bromazepam Klonazepam Klobazam Nitrazepam(BK, DUM, MG)

Tabel.3: Jenis, bentuk fisik, cara umum pemakaian dan efek klinis NARKOBA.

NARKOBA Bentuk Fisik Cara Pemakaian Efek Klinis

Temperatur ↑ Tekanan darah ↑ Denyut jantung ↑ Nafsu makan ↓

Melambung Energi & Kesigapan ↑ Gelisah

Dizziness Insomnia Eufori Depresi

Toxic psychosis, paranoia dan delusi

AMFETAMIN/ METAMFETAMIN

Serbuk kasar Kristal Potongan (chunks) Kapsul/tablet berba gai ukuran, warna

Ditelan Dihisap Dirokok Injeksi

Takikardi, Palpitasi, Aritmi Sedasi KOKAIN SERBUK KOKAIN:

Serbuk kristal putih pahit, tidak berbau CRACK COCAINE: Potongan crack kecil putih kecoklatan

Dihisap Dirokok Injeksi

Tonus CNS ↑ Simpatik ↑ Denyut jantung ↑ Tekanan darah ↑ Mood ↑ Vasokonstriksi

Melambung Paranoid Midriasis Depresi Sedasi Seizures

Takipneu Heart failure Kenaikan penampilan karena overestimation Eufori diikuti disfori, agitasi, ansietas, delusi obat

Penggunaan bersama alkohol akan memperlama efek toksik. CANNABINOIDS Bubuk daun kering

Rokok lintingan Potongan hashish Hashish oil

Dirokok Makanan kering/ dimasak

Cardiac output ↑ Nadi ↑ Tekanan.Intraokuler ↓ Bronkodilatasi

Nafsu makan↑ Koordinasi ↓ Fotofobia Apati

Halusinasi Relaxation inhibiion Intoksikasi Subjective slowing of time

PHENCYCLIDINE Tablet/Kapsul

Serbuk

Dihisap Dirokok Injeksi Oral

Tekanan darah ↑ Nistagmus vertikal-horizontal Berkeringat

Analgesia Euforia Mual/muntah

Kejang umum tonik-klonik Ekstrim agresif Intoksikasi Skizofrenia

OPIAT Bubuk putih, hitam

coklat. Liquid injeksi Tablet/kapsul

Dihisap Injeksi Oral

CNS ↓ Sensasi nyeri ↓ Emosi nyeri ↓ Respirasi ↓

Sedasi Rasa lemah Miosis Mual/muntah

Konstipasi Pucat Eufori Analgesi

Drowsiness Pusing

METHADONE Serbuk kristal putih

Tablet/kapsul Liquid injeksi

Oral Injeksi

CNS ↓ Sensasi nyeri ↓ Emosi nyeri ↓ Respirasi ↓

Sedasi Rasa lemah Miosis Fotofobia

Konstipasi Retensi urin Libido ↓ Rasa lemah

Pusing Pening

BARBITURAT Bubuk putih

Tablet/Kapsul Liquid injeksi

Oral Injeksi

CNS ↓ Ansietas ↓ Akuiti mental ↓ Denyut jantung ↓

Eufori Anestesi Hipnotik Hipotensi

Kardiovaskuler ↓ Respirasi ↓ Fungsi miokard ↓ Kontraksi miokard ↓

Slowed speech

BENZODIAZEPINES Bubuk kristal

berbagai warna Oral

Depresi Drowsiness Pening Pusing

Mual/muntah Konstipasi Ansietas ↓ Fatigue

Letargi Mulut kering Inkoordinasi motorik

1) Dasar Dan Validitas Test

Test didasarkan pada kompetisi penjenuhan IgG anti-narkoba yang mengandung substrat enzim (ada dalam keadaan bebas di zone S) oleh narkoba sampel atau narkoba yang telah dikon-jugasi enzim (ada dan terfiksir di zone T). Jika dijenuhi oleh

narkoba sampel (sampel positif narkoba), maka IgG anti-narkoba-substrat tidak akan berikatan dengan narkoba-enzimnya, sehingga tidak terjadi reaksi enzim-subtrat yang berwarna. Sebaliknya jika tidak dijenuhi (sampel negatif narkoba) atau hanya sebagian dijenuhi (sampel mengandung narkoba dalam jumlah di bawah

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 7

Page 9: cdk_135_napza

ambang batas pemeriksaan), maka IgG anti-narkoba-substrat akan berikatan dengan narkoba-enzimnya secara penuh atau sebagian, sehingga terjadi reaksi enzim-substrat yang berwarna penuh (gelap) atau lamat-lamat (ragu-ragu).

Valid tidaknya test dikontrol dengan mengikutsertakan pada zone S suatu kontrol validitas yang berupa IgG goat-substrat. Karena IgG goat bukan antibodi spesifiknya narkoba, maka baik pada sampel urin yang ada, ada dalam jumlah di bawah ambang batas pemeriksaan atau tidak ada sama sekali narkobanya, semua-nya tidak akan menjenuhi dan hanya akan mendifusikan IgG goat-substrat dari zone S ke zone C untuk menemui dan mengikat IgG anti-IgG goat yang dikonjugasi enzim (KAGE) sehingga terjadi reaksi enzim-substrat yang berwarna di zone C.

a. Bila Sampel Urin Negatif Pada sampel urin yang tidak mengandung narkoba, maka jika

urin ini diteteskan di zone S, urin hanya mendifusikan IgG anti-narkoba-substrat dan IgG goat-substrat dari zone S ke zone T dan zone C. Di zone T IgG anti-Narkoba akan berikatan dengan nar-koba-enzimnya (KNE); sementara di zone C IgG goat akan berikatan dengan IgG anti-IgG goat-enzim (KAGE), sehingga baik di zone T maupun zone C terjadi reaksi enzim-substrat berupa pita warna pink. b. Bila Sampel Urin Positif Di zone S narkoba urin positif akan langsung berikatan dan

Tabel 4. Jenis dan nama lain narkoba yang secara komersial dapat diskrin

Kelompok Nama Narkoba Nama lain Nama Farmakologi Kapan terdeteksi pada Urine

Tersekresi pada Urine sebagai Nama Sensitivitas

Amphetamine - Speed - Ice - Crystal - Crank - Essence

-Ecstasy(MDMA)-Evo (MDMA) -Shabu-shabu -Adam -Clarity

-Dexedrine -Benzodrine -Desoxyne -Methedrine

1-2 hari Amphetamine Seratec-AMP Instant view Hone test Huma drug Acon

1000 ng/ml

Methamphetamin Sama dengan Amphetamine -Dexies -Uppers

Sama dengan Amphetamine

1-2 hari Metamphetamine, Amphetamine

Seratec-M-AMP Instant view

500 ng/ml

Stimulan

Cocaine -Coke -Crack -Snow -Rock Cocaine -Flake

Cocaine 1-3 hari Benzoylecgonine Seratec-COC Instant view

300 ng/ml

Cannabinoid -Marijuana -Dope -Weed -Hemp -Hash -Cimeng -Pot -Maryjane

-Colombian -Sinsemilla -Ganja -Barang -Gele -Grass -THC

-Marinol - 1-2 joint : 2-3 hari - Dirokok : 1-5 hari - Perokok moderat (4 kali/mg): s/d 5 hari - Perokok berat: s/d 10 hari - Pengguna kronis- (lebih dari 5 joint sehari) : 14 s/d 18 hari

THC-Asam karboksilat senyawa glukonoid

Seratec - THC Instant view Home test Huma drug Acon First sign genix

50 ng/ml Halusinogen

Phecyclidine -Angel Dust -PCP-HOG -Crystal cyclone -Killer Weed

Phencyclidine -14 hari -s/d 30 hari pada pengguna kronis

Phencyclidine Seratec-PCP Instant view

25 ng/ml

Oplate -Smack -Tar -Tiger -Horse -White lady -White stuff

-Opium -Junk -Putauw -Scaq -Morpho. m

-Heroin -Morphine -Percodan -Codeine -Paracodin -Oxycodone -Lorphan -Dilaudid -Vicodin

- 2 hari Opiate Seratec-MOR Instant view Home test Huma drug Acon First sign

300 ng/ml Analgesik- Narkotik

Methadone -Amidone -Fizzles

-Dolophine -Methadone -L-Polamidon -Physeptone

- 3 hari Methadone Acon Seratec –MDT Instant view Home test Huma drug

300 ng/ml

Barbiturate -Barbs -Downers -Tranqs

-Amytal -Tuinal -Butisol -Fiorinal -Nembutal -Neoderm -Luminal -Immenocial -Seconal -Stadodorm -Phenobarbital

-Short acting : 1 hari -Long acting : 2-3 minggu

Barbiturate Seratec -BAR Instant view Home test Huma drug Acon First sign Genix

300 ng/ml Depresan, Sedatif, Hipnotik

Benzodiazepine -Bennies -Rophies (Rohypnol) Pil Koplo

-Ativan -Rohypnol -Halcion -Tranxene -Librium -Valium -Novopoxide -Vivol -Remestan -Xanax -Restoril

-Dosis terapi : 3 hari -Overdosis atau pengguna kronis (1 th atau lebih : 4-6 minggu

Benzodiazepines Seratec -BZO Instant view Home test Huma drug Acon First sign Genix

300 ng/ml

menjenuhi IgG anti-narkoba-substrat, sehingga waktu didifusikan ke zone T tidak bisa mengikat (bercelah) narkoba-enzimnya (KNE), tidak terjadi reaksi enzim-substrat dan karenanya tidak muncul reaksi warna. Sebaliknya di zone C tetap terjadi reaksi warna (pita pink) sebab narkoba urin tidak spesifik untuk dapat berikatan dengan IgG goat.

c. Bila Sampel Urin Ragu-Ragu Di zone S narkoba urin yang berkadar tepat di batas ambang

pemeriksaan akan menjenuhi IgG anti-narkoba-substrat tidak secara penuh. Penjenuhan berikutnya akan dipenuhi oleh Narkoba-ensim di zone T, sehingga terjadi reaksi ensim-substrat yang tidak penuh, yang akan memberikan warna lamat-lamat (ragu-ragu) di zone T.

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 8

Page 10: cdk_135_napza

Tabel 5: Obat/bahan yang diketahui tidak menimbulkan reaksi silang pada test skrining 1000 ug/ml Aphetamine.

Acetaminophen Creatinine Hydromorphone Naltrexone Phenytoin Acetylsalicylate Deoxycorticosterone O-Hydroxyhippuric acid Naproxen L-Phenylethylamine Aminopyrine Dextromethorphan Ibuprofen Niacinamide L-Phenylpropanilamine Amitryptyline Diazepam Imipramine Nifedipine Prednisolone Amobarbital Diethylpropion Iproniazid Norcodein Prednisone Amoxapine Diflunisal (-) Isoproteranol Norethindrone Procaine Amoxicillin Digoxine Isoxsuprine Noroxymorphone Promazine L-Amphetamine Diphenhydramine Ketamine D-Norpropoxyphene Promethazine Apomorphine Doxylamine Ketoprofen (-)Norpseudoephedrine D,L-Propanolol Ascorbic acid Ecgonine Labetalol Noscapine Propiomazine Aspartame Ecgonine methyleste Levorphanol Nylidrin D-Propoxyphene Atropin (+) Ephedrine Lidocaine D,L-Octopamine D-Pseudoephedrine Benzocaine (±) Ephedrine Loperamide Oxalic acid Quinidine Benzoylecgonine (-) Ephedrine Loxapine succinate Gentisic acid Quinine Benzphetamine (-) w Ephedrine Maprotiline Oxazepam Ranitidine Butabarbital Erythromycin Meperidine Oxolinic acid Salicylic acid Cannabidiol β-Estradiol Mephentermine Oxycodone Secobarbital Chloralhydrate Estrone-3-sulfate Meprobamate Oxymetazoline Serotonin Chloramphenicol Ethyl-p-aminobenzoat Methadone Oxymorphone Sulfamethazine Chlordiazepoxide Fenoprofen Methaqualone pHydroxymethamphetamine Sulindac Chlorothiazide Furoxamide Methoxyphenamine Pavaperine Temazepam Chlorpromazine Glucuronide (±)3,4-Methylenedioxy Penicillin-G Tetracycline Chloroquine Glutethimide methamphetamine Pentazocine Tetrahydrocortisone Cholesterol Guaifenesin Methylphenidate Pentobarbital Tetrahydrozoline Clomipramine Hipuric acid Methyprilon Perphenazine t9-THC Clonidine Hydralazine Morphine-3βDglucuronide Phencyclidine 11norty-carboxy-THC Cocaine Hydrochlorothiazide Nalidixic acid Phenelzine Thebaine Cortisone Hydrocodone Nalorphine Phendimetrazine Thiamine (-) Cortinine Hydrocortisone Naloxone Phenobarbital Thioridazine DL-Thyroxine Triamterene Trimipramine DL-Tyrosine Verapamil Tolbutamide Trifluoperazine DL-Tryptophan Uric acid Zomepirac Tranylcypromine Trimethoprim

Intensitas Hasil kromatografi selama Ion (m/z) pengamatan 45 menit Narkoba Standar

(1,5 ug/ml) Narkoba Sampel (Dengan rumus

didapat = 3,4 ug/ml) Obat/Bahan lain Hambatan Waktu (Menit) Gambar 1. Deteksi, konfirmasi narkoba sampel urin dengan cara gas

chromatography dan mass spectrometry (GC/MS): Diduga NKs memiliki NKst dengan HW = 21,6 menit & m/z = 184

d. Bila Test Valid atau Tidak Valid

Zone C adalah zone kontrol validitas yakni zone untuk menilai apakah test valid atau tidak. Reaksi hanya membutuhkan H2O urin, karenanya tidak tergantung pada ada tidaknya narkoba, hasil reaksi pada zone C ini akan selalu muncul warna. Jika warna ini muncul berarti test dikatakan valid dan dengan demikian hasil test dapat dipercaya dan siap diberikan ke yang berkepentingan. Sebaliknya jika warna tidak muncul ini berarti test tidak valid,

dan harus diulang dengan test-kit yang baru, atau dengan kit dari pabrik lain (Gambar 2). A. SAMPEL URIN NEGATIP. B. SAMPEL URIN POSITIF.

Berikatan (Tidak bercelah) Tidak berikatan (bercelah) Muncul reaksi ensim (Warna) Tidak muncul reaksi warna. Gambar 2. Skema reaksi imunokromatografi kompetitif dalam

mendeteksi narkoba dan metabolitnya dalam urin. Keterangan: Zone.S=Sample. Zone.T=Test. Zone.C=Control. Sub=Substrat Nar(-)/(+) = Narkoba negatif/positif <> = Narkoba. KNE = Konjugat narkoba-ensim. KAGE = Konjugat IgG anti-IgG "goat"-ensim. 2) Sampel Test dan Penyimpanannya

Urin merupakan sampel yang representatif untuk pendeteksi-an narkoba dan metabolitnya, cara ini tidak menyakiti, urin me-

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 9

Page 11: cdk_135_napza

miliki kadar narkoba dan metabolitnya tinggi sebaliknya hanya dalam waktu singkat dalam darah. Urin harus jernih (sentrifus jika keruh), tanpa pengawet. Penyimpanan dalam cawan, tabung plastik/gelas yang kering dan bersih. Pada 2-80C stabil 48 jam, -200C stabil >48 jam.

3) Cara Kerja & Interpretasi Hasil 3.1. Deteksi Tunggal Narkoba dan Metabolitnya (Gambar 3). - Biarkan sampel dan reagennya mencapai temperatur ruang. Jangan membuka kemasan reagen dan sampel sebelum siap dikerjakan, tidak menggunakan reagen yang telah melebihi tanggal kadaluarsa. - Teteskan 5 tetes (200ul) urin pada zone sampel (sample well). Pada cara stick, celupkan stick kedalam urin sampel dan tidak melebihi tanda batas bantalan (pad) spreading layer. - Biarkan dalam temperatur kamar, hasil dibaca pada 3-5 menit pertama, kemudian 3-5 menit kedua: - Hasil dikatakan positif, jika muncul hanya 1 garis pink di zone C. - Hasil dikatakan negatif, jika muncul 2 garis pink, satu di zone C dan lainnya di zone T. - Hasil dikatakan invalid (rusak), jika tidak muncul garis pink di "C" dengan atau tanpa di "T". Untuk ini test diulang dengan card yang baru, dengan card pabrik lain atau konsul ke dokter spesialis patologi klinik. - Hasil ragu-ragu (warna lamat-lamat atau tidak cocok dengan klinis), dikonfirmasi dengan test konfirmasi seperti telah dibahas di atas.

A. CARD

Test Area Sample well POSITIF NEGATIF B. STICK.

STICK SUPPORT LAYER ZONE DIPEGANG DETECTOR/REGIS ZONE BACA TRATION LAYER HASIL C/T SEMIPERMEABLE ZONE PENA MEMBRANE PIS REAKSI REAGENT LAYER ZONE REAGEN SPREADING LAYER ZONE KONTAK URIN KONTAK Gambar 3: Deteksi narkoba tunggal dan metabolitnya dengan cara card

atau stick. 3.2. Deteksi 3-6 Narkoba dan Metabolitnya (Gambar 4). - Ambil urin sampel secukupnya atau seukuran cawan obat (pot plastik obat). - Buka penutup bagian bawah dari alat test lalu celupkan ke enam bagian kertas (strip) ke dalam urin sampel jangan melebihi batas (kotak plastik) selama 10-20 detik.

- Kemudian angkat dan tunggu, hasilnya akan terbaca dalam waktu paling lambat 5-10 menit. Pembacaan hasil sesuai dengan cara deteksi tunggal narkoba tersebut di atas.

Gambar 4. Deteksi 3-6 Narkoba dan metabolitnya dengan cara card atau

stick.

B) SKRINING, DIAGNOSIS, DAN MONITORING KOMPLIKASI

Meliputi penyakit-penyakit kronis infeksius yang secara epidemiologi terbukti merupakan komplikasi yang sering ditemu-kan pada IVDA, yakni infeksi HBV, HCV, Non-B,non-C, HIV, hepatitis tifosa dan endokarditis bakterialis. 1. HEPATITIS VIRUS-B & -DELTA (HDV), KARIER HBsAg & SUBYEK NON-IMUN

Tanpa mempedulikan ada tidaknya manifestasi klinis, hepa-titis ditentukan dengan meningkatnya SGPT ≥ 1,5 batas atas normal; dikatakan hepatitis dengan hepatolisis jika disertai kenaikan SGOT dan HBDH sebagai konfirmasinya, dikatakan dengan kolangitis intra dan posthepatik jika GGT dan AP serta 5'NT sebagai konfirmasinya juga meningkat. Sebaliknya hanya kolangitis atau kolestasis jika hanya hanya GGT atau AP dan 5'NT saja yang meningkat tanpa disertai peningkatan SGPT dan SGOT. Dikatakan akut jika peningkatan SGPT ini <6-9 bulan, dan kronis jika >6-9 bulan8-12

Dikatakan hepatitis virus-B, jika pada SGPT yang meningkat ini ditemukan HBsAg, dan hepatitis non-B jika HBsAg negatif. Dikatakan karier HBsAg jika kepositifan HBsAg ini ditemukan pada subyek dengan SGPT, SGOT normal, dan dikatakan karier HBsAg infeksius jika HBeAg atau DNA HBV positif dan anti-HBeAgnya negatif; sebaliknya untuk karier HBsAg non-infeksius5.

Subyek dikatakan non-imun dan perlu vaksinasi hepatitis virus-B, jika kadar anti-HbsAg 0-≤10 mIU/ml, dikatakan rendah dan perlu booster jika kadarnya ≤100mIU/ml. Praktisnya peme-riksaan status hepatitis (SGOT, SGPT), status HBsAg dan status imun HBV (anti-HBsAg) dilakukan dalam satu kesatuan peme-riksaan skrining infeksi HBV. Keputusan medis dari pemeriksaan ini selanjutnya digunakan untuk pemeriksaan berikutnya, seperti

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 10

Page 12: cdk_135_napza

yang diorganisir pada skema (Gambar 5). Memonitor anti HDV tiap tahun dilakukan hanya pada

subyek-subyek yang HBsAg positif. Hal ini disebabkan karena HDV merupakan virus hepatotropisme yang telanjang (tidak memiliki sAg, surface-Ag), sehingga akan menggunakan HBsAg untuk masuk ke dalam sel hati. Prevalensi sebesar 12,5-27,3% terdapat di kalangan individu dengan hepatitis B kronis aktif13,14, 70-90% koinfeksi ini akan berjalan kronis, dan bertanggung jawab pada kasus-kasus sirosis hati yang terjadi pada usia muda (dekade 3-4)15.

Gambar 5. Skema skrining, diagnosis dan monitoring infeksi hepatitis

virus-B (HBV) dan –D (HDV) 2. HEPATITIS VIRUS-C DAN KARIER HCV

Seperti pada virus hepatitis-B, dikatakan hepatitis virus C, jika pada subyek dengan hepatitis (SGPT, SGOT meningkat) tersebut ditemukan anti-HCV positif. Dan dikatakan karier anti-HCV, jika petanda laboratoris SGOT, SGPT normal. Kepositifan anti-HCV harus dinilai infeksius, sebab >90% anti-HCV men-deteksi antibodi-antibodi non-struktural (NS1-NS5) yang me-rupakan petanda replikasi aktif HCV, juga >90% anti-HCV positif terbukti secara klinis dan epidemiologis ditemukan pada kasus-kasus hepatitis C akut, kronis aktif. Pendeteksian IgM anti-HCV dan aviditas IgG anti-HCV (masa mendatang ?) dapat membedakan anti-HCV yang baru (akut) atau telah lama (pernah, non-akut) terbentuk setelah infeksi HCV. Mengingat >90% anti-HCV mendeteksi protein non-struktural virus, maka hasil positif anti-HCV (jika tidak ditunjang data lain, klinis misalnya) harus

dikonfirmasi dengan Western-blot (WB) anti-HCV. Detail protokol seperti pada skema (Gambar 6).

Gambar 6. Skema skrining, diagnosis dan monitoring infeksi hepatitis

virus-C (HCV) 3. HEPATITIS NON-B, NON-C

Ditegakkan jika meningkatnya SGOT, SGPT tanpa disertai kepositifan HBsAg dan anti-HCV. 4. HEPATITIS TIFOSA

Memenuhi kriteria hepatitis non-B,non-C, dengan bukti serologi Widal/kultur positif. Untuk daerah endemis seperti Indo-nesia titer Widal yang signifikan demam tifoid (DT) dan para-tifoid (PT) salah satu atau kedua titer anti-O/-H ≥ 1/1603. Titer setinggi ini telah dikonfirmasi pada 7/7 (100%) IgM spesifik DT/PT untuk anti-O ≥1/160, dan pada 8/9 (88,9%) untuk anti-H ≥1/1604. 5. INFEKSI HIV1/2 DAN AIDS

Adanya infeksi HIV1/2 ditegakkan dengan anti-HIV1/2 seropositif baik dengan cara Dot EIA anti-core (p24) atau Dot EIA anti-HIV1/2. Kepositifan dot harus dikonfirmasi dengan EIA anti-HIV1/2 standar (reaksi EIA basah), dan hasil-hasil positif EIA anti-HIV1/2 standar harus dikonfirmasi dengan Western-blot (WB) anti-HIV1/2. Konfirmasi dengan 4-5 macam EIA anti-HIV1/2 standar dari pabrik lain tidak perlu lagi (kecuali jika fasilitas WB dan tenaga medis yang berwenang meng-interpretasi hasil WB tidak ada),karena kebanyakan menggunakan sistim dan antigen yang sama, sehingga selain tidak memenuhi kriteria test konfirmasi juga akan memberikan hasil yang sama. Infeksi HIV1/2 terkonfirmasi jika pada WB minimun ada satu anti core (anti-p24, anti-p17) positif dan satu antienvelope (anti-gp120, ant-gp41, anti-gp160).

Pemantauan CD4, CD8 dan penyakit-penyakit oportunistik tiap tahun pada subyek WB positif digunakan untuk menetapkan status kekebalan dan AIDS, sementara viral load digunakan untuk memantau dan menetapkan kapan terapi antiviral diberikan (antiviral sebaiknya dimulai pada CD4 300-400/ml, dan diper-tahankan jangan turun sampai <300/ml)17.

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 11

Page 13: cdk_135_napza

Berikut ini merupakan skema protokol manajemen labora-toris untuk infeksi HIV1/2 dan AIDS (Gambar 7).

Gambar 7. Skema skrining, diagnosis dan monitoring infeksi human

immunodeficiency virus. 8. ENDOKARDITIS BAKTERIALIS2

Ditegakkan jika memenuhi 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor + 3 kriteria minor, atau memenuhi semua 5 kriteria minor. • Kriteria Mayor: a) Bukti Mikroorganisme Spesifik Endokarditis: - Tanpa bukti adanya fokus primer, dua kali kultur darah selang waktu 12 jam, konsisten menemukan mikroorganisme spe-sifik endokarditis: Streptokok viridan, -bovis, HACEK, Stafilo-kok aureus, dan enterokokus. - 3 dari 4 kultur darah selang 1 jam, konsisten menemukan mikroorganisme spesifik endokarditis. b) Bukti Organik Endokarditis: - Ekokardiogram menemukan regurgitasi, abses, massa di katup lama/buatan tanpa bukti patologis lain. - Bising regugitasi • Kriteria Minor: a. Adanya faktor predisposisi: ada penyakit jantung yang mendasarinya, IVDA (Intravenous drug addict). b. Febris c. Fenomena vaskuler: emboli arteria besar, infark paru septik, aneurisma mikotik, perdarahan intrakranial atau konjunktiva, lesi Janeway. d. Fenomena imunologi: glomerulonefritis, faktor rheumatoid, nodus Osler, Roth spot. e. Kultur darah positif tetapi tidak memenuhi kriteria mayor di atas.

KESIMPULAN Manajemen laboratoris penyalahgunaan obat pada tingkat

skrining meliputi 1). deteksi obat atau metabolitnya dalam sampel (urin) subyek. 2. monitor komplikasi pada organ hati meliputi pemeriksaan SGOT, SGPT, GGT dan AP. 3. monitor infeksi HBV, HCV dan HIV1/2: HBsAg, anti-HBsAg, anti-HCV, anti-HIV1/2.

Hasil yang diperoleh pada tingkat skrining digunakan untuk mengambil langkah-langkah lanjutan yang akurat dan efektif.

KEPUSTAKAAN

1. Asikin N, Setiadji VS, Nanang S. Konsensus FKUI tentang Opiat,

Masalah Medis dan Penatalaksanaannya. FKUI Jakarta, 2000: 7-26. 2. Asikin N, Setiadji VS, Nanang S. Konsensus FKUI tentang Opiat,

Masalah Medis dan Penatalaksanaannya. FKUI, Jakarta, 2000: 52-5. 3. Wiwiek, Suwarso. Respon Imun Seluler Pada Individu Widal Positip

Demam Tifoid/Paratifoid: Frekuensi, Patogenitas strain, Arti klinis anti-O dan anti-H. Skripsi Sarjana I FK-UGM Yogyakarta, 2001.

4. Sitimuchayat P, Suwarso, Sukarmo. Hubungan DOT-EIA terhadap Biakan Empedu dan Uji Widal pada Penderita Tersangka Demam Tifoid. Tesis. Prog. PPDS-I.Pat. Klin. FK-UGM, Yogyakarta, 1999.

5. Suwarso. Seroprevalence of HBV infection among randomized ”healthy" peoples living in Yogyakarta, Indonesia: Correlation beetween seromarkers and HBV infection state. Tropical Disease Center (TDC) Airlangga University. Proc. Seminar on Hepatitis and Diarrhea in The Tropic 2000. Surabaya, February 15th 2000: 27-8.

6. Suwarso. Seroepidemiologische Unterschungen zur Antikoerper Praevalenz des Hepatitis C-Virus in der Bevoelkerung Indonesiens. Disertasi,1992.

7. Bishop ML, Engelkirk D,JL, Fody EP. Drugs of abuse testing. In: Toxicology. in Clinical Chemistry: Principles, Procedures, Correlations. 3th.ed. Philadelphia, NewYork Lippincott.: 1996: 573-9.

8. Suwarso. Seroprevalence of antibody to hepatitis-C virus in hemodialized patient: Anti HBcore as surrogate marker. The 3rd Asian Conference of Clinical Pathology. Taipei,. June 23-25,th 1993

9. Hetlaand G, Skaug K, Larsen J, Meland A, Strome JH, Storvold G. Prevalence of anti-HCV in Norwegian blood donors with anti-HBc or

increased ALT level.Transfusion 1990; 30: 776-9. 10. Tabor E, Drucker JA, Hoofnagle JH et al. Transmission of non-A,non-B

hepatitis from man to chimpanzee. Lancet 1978; 1: 463-6. 11. Yoshizaw H, Akahane Y, Itoh Y et al. Viruslike particles in

plasmafraction (fibrinogen) and in the circulation of apparently healthy blood donors capable of inducing non-A,non-B hepatitis in human and chimpanzees. Gastroenterol. 1980;79:512-20.

12. Takeuchi K, Kubo Y, Boonmar S et al. Nucleotide sequence of core and envelope genes of the hepatitis C virus genome derived directly from human healthy carriers. Nucleic Acid Res 1990;18: 4626-36.

13. Hadziyannis SJ, Hatzakis A, Papaioannou C, Anastassakos C, Vassiliadis E. Endemic HDV infection in a Greek community. In Rizzetto M, Gerin JL, Purcell RH: The hepatitis delta virus and its infection. Alan R, Liss Inc.; 1987:181-202.

14. Fattovich G, Boscaro S, Pornaro E, Stenico D, Doris R, Alberti A, Realdi G. HDV infection in chronic hepatitis B. In Rizzetto M, Gerin JL, Purcell RH: The hepatitis delta virus and its infection. Alan R. Liss Inc., 1987;219-220.

15. Brunetto MR, Baldi M, Bonino F et al. Chronic HDV infection: An important cause of HbsAg positive cirrhosis of young adults. In Rizzetto M, Gerin JL, Purcell RH. The hepatitis delta virus and its infection. Alan R. Liss Inc., 1987; 207-8.

16. Blanke RV, DeckerWJ. Analysis of toxic substance. In Tietz NW: Textbook of Clinical Chemistry. Philadelphia: WB Saunders Co.,.1986:1670-744.

17. Stewart GJ. The chronology of HIV induced disease. In: Could it be HIV? 2nd ed. Akhkfustral. Med. Publ. Co. 1994;1-3.

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 12

Page 14: cdk_135_napza

KALENDER KEGIATAN ILMIAH PERIODE APRIL - JUNI 2002

No Waktu Kegiatan Ilmiah Tempat dan Sekretariat APRIL 5-7 Pertemuan Neurogeriatri Perhimpunan Dokter

Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) Hotel Horison, Jakarta Telp. 021-391 7349, Facs. : 314 9424 E-mail : [email protected]

11

12-14

One Day Post Graduate Course FKUI TIA - KPPIK 50 Tahun FKUI ( Temu Ilmiah Akbar & Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran 2002 )

Assembly Hall JICC Jakarta Jakarta International Covention Center ( JICC ) E-mail : [email protected]

15

16

Kursus Pembelaan Hukum Tersangka Malpraktek Kursus Pemberdayaan Komite Medik

Ruang Senat FKUI Telp. : 021-3106976, Facs.: 3154626 e-mail : [email protected] [email protected]

20-21 3rd Jakarta Antimicrobial Update (JADE 2002 ) Hotel Sahid Jaya, Jakarta Telp. 021-390 8157, 021-392 9106 E-mail : [email protected]

23 -24 Continuing Ophthalmology Education 2002 Hotel Borobudur Jakarta E-mail: [email protected] Telp/facs. 021-334878, 3929106

25 - 27 1st Int’l Scientific Meeting On Immuno and Tropical Dermatology

Hotel Grand Bali Beach, Denpasar E-mail : [email protected] [email protected]

MEI 17 – 18

19

The 2nd Jakarta Nephrology and Hypertension Course (JNHC II) Symposium on Management of Hypertension in Special Condition

Hotel Borobudur, Jakarta Telp. : 021-314 9208, 021-314 1203 Facs. : 021-315 5551, 021-315 2278 E-mail : [email protected] [email protected]

25 - 26 Temu Ilmiah Geriatri Perhimpunan Geriatri Medik Indonesia

Hotel Sahid Jaya, Jakarta PERGEMI JAYA Telp./facs. : 021-3190 0275 E-mail : [email protected]

JUNI 07 - 09 Liver Update 2002 Hotel Borobudur, Jakarta

Telp. : 021-310 6968 Facs. : 021-3102927

8 Simposium Awam : Gagal Ginjal, Dialisis dan Transplantasi

Perpustakaan Nasional - Salemba E-mail: [email protected]

12 - 14 Course on Travel Medicine Simposium Kedokteran Wisata III

Hotel Acacia Jakarta E-mail : [email protected]

30 - 05 KONIKA XII Sheraton Nusa Dua Bali

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 13

Page 15: cdk_135_napza

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Pengaruh Narkotika terhadap Susunan Saraf Pusat

Dr. Budi Riyanto Wreksoatmodjo, Sp.S.

Rumah Sakit Marzuki Mahdi, Bogor, Jawa Barat, Indonesia PENDAHULUAN

Sejarah penggunaan narkotika oleh manusia telah tercatat sejak zaman purbakala; benih tanaman poppy (Papaver somni-ferum) yang getahnva merupakan bahan dasar opium telah ditemukan di antara peninggalan zaman batu, bahkan di Mesopotamia tanaman tersebut telah ditanam oleh bangsa Sumeria sejak 4000 - 3000 sebelum Masehi.

Data penggunaannya tercatat dalam papyrus Ebers (1600 - 1500 sebelum Masehi) sebagai hipnotik, analgesik, dan untuk efek konstipasi. Galen juga menyebutnya sebagai obat untuk mengatasi nyeri.

Di masa modern, awal abad 19, Serturner di Jerman telah berhasil memisahkan morfin dari opium (bahan dasar tanaman poppy), disusul dengan formulasi kodein oleh Robiquet pada tahun 1817. Sejak itu penggunaannya mulai popular di kalangan masyarakat saat itu. Opium pernah popular dan bahkan diiklan-kan sebagai obat pereda nyeri dan obat batuk.

Efek ketergantungan mulai muncul/menjadi perhatian sejak tahun 1700-an, tetapi baru menjadi masalah di Eropa sekitar tahun 1890, sejak itu dibuat peraturan untuk membatasi peng-gunaannya; meskipun demikian, problemnya makin luas menjadi masalah medis dan sosial sampai saat ini.

Saat ini narkotika dapat dibagi atas: − Jenis yang terdapat/berasal dari alam - opium, morfin, kodein − Jenis semi sintetik - heroin − Jenis sintetik - meperidin

EFEK TERHADAP SUSUNAN SARAF PUSAT

Mekanisme kerja opiat (dan derivatnya) di susunan saraf pusat terus diselidiki; secara klinis dapat bersifat depresan mau-pun stimulan, tergantung dari dosis, cara pemberian, dan individu pemakainya.

Penelitian awal menunjukkan bahwa opiat terikat pada reseptor spesifik di otak; selanjutnya melalui penelitian meng-gunakan teknik radioimmunoassay, receptor opiat diketahui terdapat di hampir semua area otak, kecuali serebelum (otak kecil); kepadatannya paling tinggi di daerah: − Traktus spinotalamikus ventralis − Periaquaduktal

− Nuklei interlaminaris thalami − Sistem ekstrapiramidal, terutama amigdala Juga ditemukan di substansia gelatinosa medulla spinalis, bah-kan akhir-akhir ini juga ditemukan di sekitar terminal serabut saraf presinap (tabel 1). Table 1. Localization and Possible Function of Opiate Receptors

Location Functions influenced by opiates Spinal cord Laminae I and II

Pain perception in body

Brainstem Substantia gelatinosa of spinal tract of caudal trigeminal

Pain perception in head

Nucleus of solitary tract, nucleus commissuralis, nucleus ambiguus

Vagal reflexes, respiratory depression, cough suppression, orthostatic hypotension, inhibition of gastric secretion

Area postrema Nausea and vomiting Locus coeruleus Euphoria Habenula-interpeduncular-nucleus-fasciculus retroflexus

Limbic, emotional effects, euphoria

Pretectal area (media and lateral optic nuclei)

Miosis

Superior colliculus Miosis Ventral nucleus of lateral geniculate Miosis Dorsal, lateral, medial terminal nuclei of accessory optic pathway

Endocrine effects through light modulation

Dorsal cochlear nucleus Unknown Parabrachial nucleus Euphoria in a link to locus

coeruleus Diencephalon Infundibulum ADH secretion Lateral part of medial thalamic nucleus, internal and external thalamic laminae, intralaminar (centromedian) nuclei, periventricular nucleus of thalamus

Pain perception

Telencephalon Amygdala Emotional effects Caudate, putamen, globus pellidus, nucleus accumbens

Motor rigidity

Subfornical organ Hormonal effects Interstitial nucleus of stria terminalis

Emotional effects

Sampai saat ini diketahui ada 5 (lima) jenis reseptor opiat

(tabel 2):

Dibacakan pada PIT/Muker Perdossi, Padang, 7-10 November 2001

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 14

Page 16: cdk_135_napza

Table 2. Opiates, Receptors, and Their Functions

Mu (µ ) Delta (∆) Sigma (δ) Kappa (Κ) Epsilon (ε)Morphine and related opiates Ketocyclozine Enkephalins Benzomorphan B-

EndorphinsEffects Analgesia .+ .+ (spinal) .+ .+ Pupils Constriction Constriction Dilatation Heart Rate Slow --------------- Rapid Affect Indifference Sedation Delirium Opiate Activity

Agonists .++ .+ Inhibits Antagonists Inhibits Inhibits Mixed Agonists Antagonists

Inhibits

.++

Masing-masing reseptor diduga memberikan efek yang berbeda, dan berbagai obat/jenis opiat mempunyai afinitas yang juga berbeda terhadap masing-masing reseptor tadi (tabel 3). Table 3. Actions of Narcotic Agonists and Antagonists on Opiate Receptors

Mu (µ)

Kappa (Κ)

Delta (∆)

Epsilon (ε)

Sigma (δ)

Effects Analgesia .++ .+ .+/- Euphoria .++ Respiratory depression

.+

.+

Sedation .+ .+ .+ Dysphoria .+ Hallucinations Stimulation

Drugs Morphine .++ .+ .+ Pentazocine .+/- .+ Nalbuphine .- .+ Butorphanol .+/- .+ Buprenorphine .+/- .-

.+ : agonist effect antagonist effect .- : antagonist effect .+/- :partial agonist effect Secara klinis efek tersebut ditandai dengan timbulnya berbagai gejala (tabel 4). Table 4. Effects of Morphine on the Central Nervous System

Effect Manifestation Analgesia Increase in ability to tolerate pain Dysphoria Anxiety, fear, nausea, vomiting Euphoria Relief from pain, anxiety, and tension; positive

feeling of pleasure Mental clouding, somnolence

Change in mentation, inability to concentrate, apathy, lethargy, drowsiness, sleep

Respiratory depresion Decrease in respiratory rate, minute volume tidal exchange, irregular breathing, respiratory arrest

Stimulation of chemoreceptor trigger zone in medulla

Nausea and vomiting

Interference with hypothalamic function

Induction antidiuretic hormone release; Inhibition of ACTH and gonadotropin release; Hyperglycemia; Disordered temperature regulation

Adanya reseptor yang spesifik terhadap opiat di dalam

susunan saraf pusat menyebabkan para peneliti menduga ada-nya zat serupa opiat endogen yang memang diproduksi dan terdapat di dalam tubuh. Zat tersebut ditemukan pada tahun 1975 berupa pentapeptida yang diberi nama met-enkephalin dan leu-enkephalin. Enkephalin ini berfungsi serupa dengan opiat.

Efek Analgesia

Pada manusia, efek analgesia dari morfin tidak disertai dengan penurunan kesadaran dan tidak mempengaruhi fungsi pancaindera ataupun fungsi motorik. Hilangnya rasa nyeri di-sertai dengan rasa tenang, oleh karena itu diduga efek analgesik morfin lebih banyak pada komponen afektif dibandingkan de-ngan pengaruhnya terhadap ambang nyeri.

Beberapa mekanisme diduga berperan dalam efek analgesia ini (tabel 5) : Table 5. Possible Mechanisms of Opiate Analgesia

Activation of limbic system Stimutation of descending serotonergic pathways Increase in doparnine turnover Suppression of dorsal horn nociceptive neurons

Efek terhadap Sistim Limbik

Sistim limbik mengandung reseptor opiat dalam jumlah besar, sistim ini antara lain berperan dalam timbulnya rasa nyeri menetap dan kronik (dull and chronic pain) yang efektif diatasi dengan opiat. EFEK TERHADAP MOOD (SUASANA HATI)

Penggunaan morfin pada individu sehat sering menyebab-kan disforia, juga rasa takut, gelisah, mual, dan muntah. Pada dosis terapeutik menyebabkan letargi, kesadaran berkabut, dan kesulitan konsentrasi; bicara pelo dan gangguan koordinasi motorik jarang dijumpai. Pada penggunaan khronik, efek ter-sebut berangsur-angsur menghilang. PERUBAHAN EEG

Pemberian morfin menyebabkan gambaran frekuensi lam-bat dan voltase tinggi, yang mirip dengan gambaran EEG saat tidur atau pada pemberian barbiturat dosis rendah. Terdapat pengurangan fase REM don non REM deep sleep, sedangkan fase non REM light sleep dan keadaan jaga bertambah panjang. Jenis opiat lain dapat memberikan efek berbeda, heroin di-hubungkan dengan gambaran EEG bifasik yang agaknya ber-kaitan dengan kedaan euphoria. Penggunaan metadon jangka panjang dikaitkan dengan penurunan irama alfa, beta, dan peningkatan irama theta, tetapi relevansi klinisnya belum jelas.

EFEK TERHADAP SISTIM SEROTONIN

Efek terhadap sistim serotonin ini merupakan hipotesis ter-hadap efek analgesik dari morfin, karena serotonin diketahui berperan dalam modulasi persepsi nyeri. Pada binatang, pem-berian 5HT intraventrikel (otak) mempotensiasi efek analgesik morfin, sedangkan inhibisi produksi 5HT dikaitkan dengan pengurangan efek analgesia dan berkurangnya kemungkinan dependensi dan toleransi.

Lesi nucleus raphe magnus -daerah padat 5HT- menyebab-

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 15

Page 17: cdk_135_napza

kan hilangnya efek analgetik dari morfin yang dapat dipulihkan melalui injeksi 5 HT. EFEK TERHADAP SISTIM NORADRENERGIK

Efek analgesik opiat juga diduga melalui pengaruhnya terhadap sistim noradrenergik karena aktivasi sistim nora-drenergik (A2) menghambat sensasi nyeri dan memberikan efek sinergi terhadap analgesik oleh opioid (mu reseptor).

EFEK TERHADAP SISTIM DOPAMIN

Metabolisme dopamin di otak distimulasi oleh narkotika; menyebabkan peningkatan turn over dopamin; efek ini diham-bat oleh nalokson. Selain itu zat antagonis dopamin ternyata memperkuat efek analgesik dari morfin. EFEK TERHADAP AKSIS HIPOTALAMUS-HIPOFISIS

Percobaan binatang menunjukkan pengaruh morfin ter-hadap aksis hipotalamus-hipofisis. Injeksi morfin berulang- ulang menyebabkan penurunan sekresi ACTH yang ber-hubungan dengan berkurangnya sekresi corticotropin releasing, factor (CRF) yang menyebabkan menurunnya aktivitas kortiko-adrenal; siklus diurnal dari kortikosteroid juga terganggu.

Penggunaan kronik menurunkan fungsi korteks adrenal, tetapi lama kelamaan timbul toleransi.

Penghentian penggunaan morfin menyebabkan efek re-bound berupa peningkatan sekresi hormon secara mendadak, yang dapat berhubungan dengan gejala abstinensi.

Morfin menekan sekresi TSH; pecandu heroin dan peng-guna metadon umumnya eutiroid meskipun dijumpai peningkat-an kadar T3 dan T4, mungkin akibat peningkatan thyroxin bind-ing globulin.

Sekresi GH juga meningkat pada pengguna khronik, selain itu juga menstimulasi sekresi ADH sehingga dapat menyebab-kan berkurangnya diuresis.

EFEK TERHADAP RESPIRASI

Depresi pernafasan pada dosis terapeutik disebabkan oleh efek langsung terhadap pusat respirasi di batang otak. Efek ini maksimal dalam 7 menit setelah pemberian intravena; dalam 30 menit setelah pemberian intramuskular dan dalam 90 menit setelah pemberian subkutan, dan kembali normal setelah 2 - 3 jam.

Morfin juga mengurangi sensitivitas kemoreseptor terhadap peningkatan kadar C02; hal ini penting diperhatikan dalam penanganan kasus-kasus overdosis yang pernafasannya semata- mata tergantung dari derajat hipoksia, ditambah dengan usaha nafas secara sadar yang juga menurun.

EFEK TERHADAP KARDIOVASKULER

Narkotik pada dosis terapeutik jarang mempengaruhi tekan-an darah dan irama jantung pada keadaan berbaring, tetapi mengurangi responnya terhadap perubahan posisi sehingga sering menyebabkan hipotensi ortostatik. Efeknya terhadap denyut jantung bervariasi, tetapi cardiac output tidak ter-pengaruh.

EFEK GASTROINTESTINAL Morfin dan narkotik lainnya menghambat peristalsis usus

halus, juga menghambat sekresi asam lambung, empedu, getah panikreas, motilitas saluran cerna menurun sehingga menyebab-kan konstipasi.

Mual dan Muntah

Berlawanan dengan efek depresi morfin terhadap sebagian besar area di otak, zat ini merangsang pusat chemoreceptor (chemoreceptor trigger zone) sehingga sering menyebabkan mual dan muntah.

Efek ini sangat bervariasi dari orang per orang, baik dalam hal frekuensi maupun intensitasnya; bahkan penggunaan kronis kadang-kadang justru menekan aktivitas pusat muntah.

Efek mual dan muntah ini lebih sering ditemui pada pasien yang aktif dibandingkan dengan jika berbaring; dan dapat di-cegah dengan antagonis narkotik dan derivat fenotiazin.

EFEK TERHADAP SARAF PERIFER Sampai saat ini efek analgesia dari narkotik dianggap me-

lalui aktivitasnya terhadap reseptor opioid di susunan saraf pusat; tetapi penelitian akhir-akhir ini menemukan adanya reseptor opioid di susunan saraf tepi, yang aktivitasnya mening-kat pada keadaan inflamasi; efek analgesik ini juga dapat dihilangkan dengan nalokson. Percobaan penyuntikan morfin dosis kecil yang tidak efektif secara sistemik ke dalam sendi ternyata juga menghasilkan analgesia yang sebanding dengan pemberian anestetik lokal. RINGKASAN 1. Narkotika telah dikenal dan digunakan oleh manusia sejak jaman purbakala, namun baru pada abad 19 khasiatnya diteliti secara ilmiah, dan juga mulai dibuat secara sintetik. 2. Efeknya terhadap tubuh manusia diperantarai oleh beberapa reseptor di dalam SSP yang masing-masing mempunyai sifat yang karakteristik sehingga memberikan efek klinis yang ber-beda.

KEPUSTAKAAN 1. Kurniadi H., Wreksoatmodjo BR. Napza dan Tubuh Kita. Jakarta.

Yayasan Jendela Peduli NAPZA; 2000. 2. Snyder SH. Drugs and The Brain. Scientific American Library, 1986. 3. Stimmel B. Pain and Its Relief without Addiction 2nd ed. Haworth

Medical. Press, 1997. 4. Zackon F. The Encyclopedia of Psychoactive Drugs, Heroin The Street

Narcotic. London: Burke Publ. Co., 1988. 5. NIDA Teaching Package. The Neurobiology of Drug Addiction.

http:/165.112.78.61 /Teaching 2/ teaching.html.

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 16

Page 18: cdk_135_napza

Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika

dan Zat Adiktif Lainnya (NAPZA)

Drs. Ketut Kusminarno Apt

Staf Direktorat Pengawasan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, Jakarta

PENDAHULUAN

Penyalahgunaan Napza merupakan suatu pola pengguna-an yang bersifat patologik, berlangsung dalam jangka waktu tertentu dan menimbulkan gangguan fungsi sosial dan oku-pasional. Istilah Napza (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya) lebih tepat dibandingkan dengan istilah Narkoba karena di dalarn singkatan tersebut tercantum juga psikotropika, yaitu obat yang biasanya digunakan untuk gang-guan kesehatan jiwa namun termasuk yang sering disalah-gunakan dan dapat menimbulkan adiksi.

Napza pada awalnya adalah sejenis obat-obatan tertentu yang digunakan oleh kalangan kedokteran untuk terapi misal-nya untuk menghilangkan rasa nyeri. Namun pada per-kembangannya obat-obatan itu disalahgunakan (abuse) sehing-ga menimbulkan ketergantungan (adiksi).

Napza dapat dikelompokkan dalam golongan Opiat dan Non Opiat.

Ada banyak alasan mengapa orang menggunakan Napza; pada awalnya ada yang hanya mencoba-coba atau sekedar ingin tahu; lama-kelamaan mengalami ketergantungan;sehingga akan muncul berbagai masalah dan persoalan. Persoalan yang dapat muncul antara lain : Kepribadian adiksi, terinfeksi berbagai penyakit (HIV/AIDS, Hepatitis B, C); reaksi putus obat (sakaw), pengobatan yang mahal, overdosis (OD), dan lain-lain. Selain itu seorang pengguna NAPZA akan banyak meng-alami kesulitan di masa depan serta dalam kehidupan sosialnya. SEJARAH AWAL

Kurang lebih tahun 2000 SM di Samaria dikenal sari bunga Papaver somniferum yang kemudian dikenal sebagai opium (candu). Bunga ini tumbuh subur di daerah dengan ketinggian 500 meter di atas permukaan laut Penyebaran se-lanjutnya adalah ke arah India, Cina dan wilayah-wilayah Asia lainnya.

Cina kemudian menjadi tempat yang sangat subur dalam penyebaran candu ini (dimungkinkan karena iklim dan keadaan negeri). Memasuki abad ke XVII masalah candu ini bagi Cina

telah menjadi masalah nasional; bahkan di abad XIX terjadi perang Candu yang berakhir dengan penaklukan Cina oleh Inggris dan harus merelakan Hong Kong.

Tahun 1806 seorang dokter dari Westphalia bernama Friedrich WiIhelm Serturner. menemukan modifikasi candu yang dicampur amoniak yang kemudian dikenal sebagai Morfin (diambil dari nama dewa mimpi Yunani yang bernama Morpheus).

Tahun 1856 waktu pecah perang saudara di Amerika, morfin ini sangat populer sebagai penghilang rasa sakit akibat luka-luka perang, menyebabkan sebagian tahanan perang ter-sebut ketagihan (adiksi), sehingga disebut sebagai "penyakit tentara".

Tahun 1874 seorang ahli kimia bernama Alder Wright dari London, merebus cairan morfin dengan asam anhidrat (asam yang ada pada sejenis jamur), campuran ini ketika diuji coba pada anjing menyebabkan anjing tersebut tiarap, ketakutan, mengantuk dan muntah-muntah. Namun tahun 1898 pabrik obat Bayer memproduksinya sebagai obat dengan nama Heroin, sebagai obat resmi penghilang sakit (pain killer).

Efek adiksi/ketergantungan heroin jauh melebihi efek analgesiknya, karena itu penggunaan heroin telah dilarang oleh WHO sejak tahun 1954.

Tahun 1960-70-an pusat penyebaran candu dunia berada pada daerah Golden Triangle yaitu Myanmar, Thailand, dan Laos, dengan produksi 700 ribu ton setiap tahun. Juga pada daerah Golden Crescent yaitu Pakistan, Iran, dan Afganistan. Kemudian menuju Afrika dan Amerika.

Selain morfin dan heroin masih ada lagi jenis lain yaitu kokain, berasal dari tumbuhan coca (Erythroxylon coca) yang tumbuh di Peru dan Bolivia. Kokain ini pernah digunakan untuk penyembuhan asma dan TBC. KEADAAN DAN MASALAH

Dalam lima tahun terakhir, penyalahgunaan Napza me-ningkat secara bermakna. Bukan saja jumlah penyalahguna bertambah banyak tetapi penyebarannyapun menjadi sangat

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 17

Page 19: cdk_135_napza

meluas dan menghinggapi semua lapisan sosial-ekonomi masyarakat baik strata sosial ekonomi atas sampai ke paling bawah. Tidak hanya anak-anak dari keluarga broken home, tetapi juga anak-anak dari keluarga harmonis, dan dari kampus-kampus perguruan tinggi sampai kesekolah-sekolah dasar, bahkan pesantren. Jenis Napza yang digunakannyapun menjadi sangat beragam.

Jumlah sesungguhnya dari penyalahguna NAPZA di Indonesia belum diketahui dengan tepat. Data dari Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) dan Rumah Sakit Polri menunjukkan bahwa jumlah kunjungan rawat jalan dan rawat inap meningkat dari ± 1779 pada tahun 1996 menjadi ± 8170 pada tahun 1999; meningkat sebanyak lebih dari 4 kali dalam tiga tahun. WHO (World Health Organization) memperkirakan jumlah penyalahguna yang tidak dirawat adalah sekitar sepuluh kali lebih besar daripada yang sempat dirawat.

Kecenderungan yang menyedihkan adalah bahwa para penyalahguna muda usia makin banyak dan berasal dari keluarga miskin. Tindak kriminal dan kekerasan akibat pe-nyalahgunaan Napza juga cenderung meningkat. Penyebaran HIV/AIDS melalui penyalahgunaan Napza suntikpun cen-derung meningkat dengan cepat akhir-akhir ini.

Tindakan hukum terhadap para pengedar, produsen gelap serta mereka yang terlibat dalam penyalahgunaan Napza di-rasakan masih sangat ringan, karena sanksinya hanya pidana penjara maksimal 10 tahun, sehingga ada seorang produsen Ecstacy yang hanya dijatuhi hukuman 3 bulan penjara.

Kondisi penyalahgunaan NAPZA saat ini dirasakan sudah sangat serius dan mengkhawatirkan serta mengancam kese-lamatan negara, mengingat sebagian besar korbannya adalah generasi muda yang merupakan generasi penerus kita. BAHAYA PENYALAHGUNAAN NAPZA Gejala-Gejala Pemakaian Napza Yang Berlebihan 1. Opiat (heroin, morfin, ganja) - perasaan senang dan bahagia - acuh tak acuh (apati) - malas bergerak - mengantuk - rasa mual - bicara cadel - pupil mata mengecil (melebar jika overdosis) - gangguan perhatian/daya ingat 2. Ganja - rasa senang dan bahagia - santai dan lemah - acuh tak acuh - mata merah - nafsu makan meningkat - mulut kering - pengendalian diri kurang - sering menguap/ngantuk - kurang konsentrasi - depresi 3. Amfetamin (shabu, ekstasi) - kewaspadaan meningkat - bergairah

- rasa senang, bahagia - pupil mata melebar - denyut nadi dan tekanan darah meningkat - sukar tidur/insomnia - hilang nafsu makan 4. Kokain - denyut jantung cepat - agitasi psikomotor/gelisah - euforia/rasa gembira berlebihan - rasa harga diri meningkat - banyak bicara - kewaspadaan meningkat - kejang - pupil (manik mata) melebar - tekanan darah meningkat - berkeringat/rasa dingin - mual/muntah - mudah berkelahi - psikosis - perdarahan darah otak - penyumbatan pembuluh darah - nystagmus horisonta/mata bergerak tak terkendali - distonia (kekakuan otot leher) 5. Alkohol - bicara cadel - jalan sempoyongan - wajah kemerahan - banyak bicara - mudah marah - gangguan pemusatan perhatian - nafas bau alkohol 6. Benzodiazepin (pil nipam, BK, mogadon) - bicara cadel - jalan sempoyongan - wajah kemerahan - banyak bicara - mudah marah - gangguan pemusatan perhatian Tanda-Tanda Kemungkinan Penyalahgunaan Napza a. Fisik - berat badan turun drastis - mata terlihat cekung dan merah, muka pucat, dan bibir kehitam-hitaman - tangan penuh dengan bintik-bintik merah, seperti bekas gigitan nyamuk dan ada tanda bekas luka sayatan. Goresan dan perubahan warna kulit di tempat bekas suntikan - buang air besar dan kecil kurang lancar - sembelit atau sakit perut tanpa alasan yang jelas b. Emosi - sangat sensitif dan cepat bosan - bila ditegur atau dimarahi, dia malah menunjukkan sikap membangkang - emosinya naik turun dan tidak ragu untuk memukul orang atau berbicara kasar terhadap anggota keluarga atau orang di sekitarnya - nafsu makan tidak menentu

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 18

Page 20: cdk_135_napza

c. Perilaku - malas dan sering melupakan tanggung jawab dan tugas-tugas rutinnya - menunjukkan sikap tidak peduli dan jauh dari keluarga - sering bertemu dengan orang yang tidak dikenal, pergi tanpa pamit dan pulang lewat tengah malam - suka mencuri uang di rumah, sekolah ataupun tempat pekerjaan dan menggadaikan barang-barang berharga di rumah. Begitupun dengan barang-barang berharga miliknya, banyak yang hilang - selalu kehabisan uang - waktunya di rumah kerapkali dihabiskan di kamar tidur, kloset, gudang, ruang yang gelap, kamar mandi, atau tempat-tempat sepi lainnya - takut air. Jika terkena akan terasa sakit - karena itu mereka jadi malas mandi - sering batuk-batuk dan pilek berkepanjangan, biasanya terjadi pada saat gejala "putus zat" - sikapnya cenderung manipulatif dan tiba-tiba tampak manis bila ada maunya, seperti saat membutuhkan uang untuk beli obat - sering berbohong dan ingkar janji dengan berbagai macam alasan - jantung berdebar-debar - sering menguap - mengeluarkan air mata berlebihan - mengeluarkan keringat berlebihan - sering mengalami mimpi buruk - nyeri kepala - nyeri/ngilu sendi-sendi LANGKAH-LANGKAH PENCEGAHAN PENYALAH GUNAAN NAPZA

Dalam pencegahan penyalahgunaan Napza, yang perlu dilakukan adalah : - memperkuat keimanan - memilih lingkungan pergaulan yang sehat - komunikasi keluarga yang baik - hindari pintu masuk Napza yaitu rokok

Sedangkan langkah-langkah yang dapat dipersiapkan dalam pencegahan penyalahgunaan NAPZA antara lain sebagai berikut : 1) Program Informasi

Hati-hati dalam mengemukakan sesuatu secara sensasio-nal, karena justru akan menarik bagi mereka untuk menguji keberaniannya. Teknik menakut-nakuti hanya efektif dalam keadaan terbatas. Materi dan cara memberikan informasi hendaklah sesuai dengan penerima informasi.

Suatu pesan yang sama sifatnya misalnya : mass media akan diterima oleh pelbagai kelompok dalam masyarakat yang berbeda-beda sehingga bisa diartikan secara berbeda pula sehingga timbul dampak yang tidak diinginkan. 2) Program Pendidikan Efektif

Bertujuan untuk pengembangan kepribadian, pendewasaan pribadi, meningkatkan kemampuan dalam mengambil keputus-an yang bijak, mengatasi tekanan mental secara efektif, me-ningkatkan kepercayaan diri, menghilangkan gambaran negatif

mengenai diri sendiri dan meningkatkan komunikasi inter-personal. 3) Program Penyediaan Pilihan yang Bermakna

Konsep ini bertujuan untuk mengalihkan penggunaan zat adiktif kepada pilihan lain yang diharapkan dapat memberikan kepuasan, baik fisik maupun psikologik. Kebutuhan yang dimaksud antara lain kebutuhan "ingin tahu", kebutuhan meng-alami hal-hal baru dalam hidupnya, kebutuhan terbentuknya identitas diri, kebutuhan akan bebas berfikir dan berbuat, kebutuhan akan penghargaan, serta kebutuhan diri diterima dalam kelompok. 4) Pengenalan Dini dan Intervensi Dini

Mengenal dengan baik ciri-ciri anak yang mempunyai risiko tinggi akan menggunakan zat, termasuk mereka yang telah berada dalam taraf eksperimental. Segera memberikan dukungan moril jika anak mengalami/menghadapi masa krisis dalam hidupnya. Di sini sangat penting peran guru BP dan orang tua. Bila tidak teratasi segera dirujuk ke tenaga ahli. 5) Program Latihan Ketrampilan Psikososial

Latihan ini diterapkan atas dasar teori bahwa gangguan penggunaan zat merupakan perilaku yang dipelajari seseorang dalam lingkup pergaulan sosialnya dan mempunyai maksud dan makna tertentu bagi yang bersangkutan.

Yang tergolong dalam pelatihan ini antara lain : a) Psychological Inoculation

Dalam pelatihan ini diputar film yang memperlihatkan bagaimana remaja mendapat tekanan dari pergaulannya agar ia merokok. Lalu dikembangkan sikap menentang dorongan dan tekanan untuk merokok itu. Dalam hal ini dikemukakan per-sepsi yang salah mengenai rokok dan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh rokok baik bagi perokok sesaat maupun kronis. b) Personal and Social Skill Training

Kepada remaja dikembangkan suatu ketrampilan untuk menghadapi problema hidup umum termasuk merokok dan menyalahgunakan zat. Ketrampilan itu akan menumbuhkan ke-mampuan mereka untuk menolak suatu ajakan (Just Say "No") serta mengembangkan keberanian dan ketrampilan untuk mengekspresikan pendapat sehingga ia terbebas dari bujukan atau tekanan kelompoknya. NAPZA dan PENGOBATANNYA Pengobatan NAPZA: 1) Pengobatan adiksi (detoksifikasi) 2) Pengobatan infeksi 3) Rehabilitasi 4) Pelatihan mandiri Pertolongan Pertama - Overdosis - Apabila penderita telah pingsan, baringkan dia di sisi kiri badannya - Periksalah agar tidak ada yang menghambat pernapasan-nya - Kalau penderita masih bernapas, biarkan terbaring di sisi kiri badannya dan pastikan berada di posisi aman, termasuk jalan napasnya. Kemudian cari pertolongan dokter. - Gejala-gejala sakaw mencapai puncak dalam 3-5 hari dan

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 19

Page 21: cdk_135_napza

PENUTUP hilang setelah 10 hari. Dengan makin meningkatnya kasus penyalahgunaan Nap-

za di Indonesia, maka keadaan ini sangat memprihatinkan dan dapat menjadi masalah atau bencana nasional. Oleh karena itu upaya penanggulangannya harus secara sungguh-sungguh, profesional, dan mampu mencakup wilayah atau masyarakat yang luas terutama di daerah-daerah dan kelompok-kelompok yang rawan akan masalah penyalahgunaan Napza.

Harm Reduction HIV menyebar di antara kelompok IDU terutama karena

penggunaan ulang atau bersama jarum suntik dan semprit yang telah tercemar dengan darah yang mengandung HIV. Alasan penggunaan jarum suntik bersama sangat berbeda-beda, tetapi sangat penting untuk diketahui dalam upaya penghentian pe-nyebaran ini. Strategi penanggulangan Napza adalah melakukan upaya

agar masyarakat terutama kelompok rawan secara sadar me-niadakan keinginannya untuk mencoba/menggunakan Napza; terhadap para pengguna yang telah telanjur menyalahgunakan-nya ditempuh strategi untuk meminimalkan/meniadakan pe-ngaruh buruk Napza tersebut.

Empat cara alternatif menurunkan risiko atau harm reduction. 1) Menggunakan jarum suntik sekali pakai 2) Mensuci hamakan (sterilisasi) jarum suntik 3) Mengganti kebiasaan menyuntik dengan menghirup atau oral dengan tablet Untuk itu harus dilaksanakan program penanggulangan

yang komprehensif, meliputi upaya promosi, konseling, peng-obatan yang adekuat dan rehabilitasi mediko-psikososial/ spiritual.

4) Menghentikan sama sekali penggunaan Napza. Detoksifikasi

Agar pelaksanaan program itu berlangsung secara ber-hasilguna dan berdaya guna, maka harus tersedia SDM yang handal yaitu memiliki pengetahuan yang cukup, mempunyai ketrampilan yang tinggi, dan mempunyai afeksi yang kuat untuk melaksanakan tugasnya di bidang penanggulangan pe-nyalahgunaan Napza.

Detoksifikasi adalah proses menghilangkan racun (narko-tika dan/atau zat adiktif lain) dari tubuh dengan cara menghentikan total pemakaian semua zat adiktif atau dengan penurunan dosis obat pengganti.

Detoksifikasi bisa dilakukan dengan berobat jalan atau dirawat di rumah sakit. Biasanya proses detoksifikasi dilakukan terus menerus selama satu sampai tiga minggu, sampai hasil tes urin menjadi negatif dari zat adiktif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ditjen Penerangan Umum, Bahan Penerangan tentang Obat/Zat Psiko-aktif dan Adiktif. Sekretariat Penerangan Penanggulangan Penyalahguna-an Narkotika. Deppen Rl, 1988.

Rehabilitasi Setelah menjalani detoksifikasi hingga tuntas (tes urin

sudah negatif), tubuh secara fisik memang tidak "ketagihan" lagi, namun secara psikis ada rasa rindu dan kangen terhadap zat tersebut masih terus membuntuti alam pikiran dan perasaan sang pecandu; sehingga rentan dan sangat besar kemungkinan kembali mencandu dan terjerumus lagi.

2. Indonesia Australia Specialised Training Project Phase II. Drug Informa-tion Short Course. Jakarta, 23-27 April 2001.

3. Ketut Kusminarno. Mengapa Heroin/Putaw Sangat Berbahaya. Maj. Kesehatan Depkes RI 1998; 150.

4. Chadha PV. Hand Book of Forensic Medicine & Toxicology (Medical Jurisprudence). 1st ed. Jaypee Brothers Med Publ (P) Ltd.. 1975.

5. Pudji Hastuti. Peranan Badan Kesejahteraan Sosial Nasional dalam Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Korban Narkoba, 2000, Untuk itu setelah detoksifikasi perlu dilakukan proteksi

lingkungan dan pergaulan yang bebas dari lingkungan pecandu, misalnya dengan memasukkan mantan pecandu ke pusat rehabilitasi.

6. Dreisbach RH. Handbook of Poisoning, Twelfth Ed, , Appleton & Lange, 1987.pp. 324 - 28.

7. Sudirman. Dampak Penyalahgunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif lainya Rumah Sakit Ketergantungan Obat, 1998.

We live by trusting one another

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 20

Page 22: cdk_135_napza

Pengobatan/Perawatan Pasien Ketergantungan NAPZA

Pasca Detoksifikasi

dr. Hartati Kurniadi SpKJ., MHA

Psikiater, Yayasan Jendela, Serpong Tangerang, Banten PENDAHULUAN

Banyak orang, terutama yang awam tentang pengobatan ketergantunqan napza, beranggapan bahwa setelah detoksi-fikasi maka seharusnya anak/pasien itu sudah sembuh/baik kembali seperti sebelum mereka tergantung pada napza atau bahkan ada yang berharap bahwa anaknya dapat baik seperti apa yang mereka harapkan.

Hal ini tentu saja akan menimbulkan kekecewaan baik bagi orangtua maupun anak/pasien tersebut.

Detoksifikasi adalah langkah awal dari suatu proses pe-nyembuhan pasien dengan ketergantungan napza; jadi setelah langkah awal ini, perlu dilakukan langkah solanjutnya agar pasien dapat tetap terbebas dari penggunaan napza.

Untuk fase awel ini masih dapat dilakukan pemaksaan pada pasien, misalnya dengan diborgol dan pengawasan ketat atau dilakukan dengan ultra rapid detoxification.

Tetapi untuk langkah selanjutnya perlu adanya kerjasama yang baik dari pasien tersebut, keluarga, lingkungan dan masyarakat sekitarnya.

Selanjutnya akan dibicarakan mengenai perawatan pasien setelah terapi detoksifikasi yaitu habilitasi dan rehabilitasi. HABILITASI

Perawatan ini ditujukan terutama untuk stabilisasi keadaan mental dan emosi pasien sehingga gangguan jiwa yang sering mendasari ketergantungan napza dapat dihilangkan atau di-atasi. Keadaan ini merupakan langkah yang sangat panting, sebab usaha rehabilitasi dan resosialisasi banyak tergantung dari berhasil atau tidaknya tahap ini.

Pada tahap ini kadang masih ditemukan juga keadaan yang kita sebut slip yang artinya episode penggunaan kembali napza setelah berhenti menggunakan selama kurun waktu tertentu. Atau dapat juga mereka terjatuh kembali menggunakan napza secara tidak terkontrol setelah berhenti menggunakan napza selama kurun waktu tertentu yang dikenal dengan istilah

relaps. Oleh sebab itu pada tahap ini perlu dilakukan berbagai

bentuk terapi atau kegiatan yang sesuai dengan individu/ keadaan pasien tersebut. Jadi penanganan pada setiap pasien tidak bisa disamaratakan, sangat personal.

Pada tahap ini tidak jarang farmakoterapi masih diperlukan untuk mengobati gangguan jiwa yang mendasari keter-gantungan napzanya. Dalam hal ini yang biasa dipakai adalah golongan anti-anxietas, anti-depresi atau anti-psikotik.

Motivasi pasien untuk sembuh memang merupakan kunci keberhasilan pada tahap ini. Pasien yang baik, dapat be-kerjasama dengan terapisnya tanpa pengaruh napza lagi. Sikap ini akan mempercepat tahap habilitasi, walaupun memang perlu waktu untuk dapat bersikap seperti itu. Selain itu, efek pemakaian napza di otak juga tidak dapat pulih dengan cepat karena berdasarkan penelitian, zat yang dipakai tersebut berkaitan dengan neurotransmitter dalam otak.

Untuk mernpercepat habilitasi ini, peran lingkungan, tera-pis dan pendamping yang mendukung proses penyembuhan pasien sangat diharapkan.

Habilitasi dapat berupa berbagai bentuk terapi atau ke-giatan yang dapat diberikan kepada pasien sesuai dengan indikasi yang ada. Jadi tidak semua bentuk terapi dan kegiatan harus diberikan kepada setiap pasien. Bentuk terapi/kegiatan tersebut antara lain : − Latihan Jasmani : misalnya lari-lari pagi; karena menurut penelitian, dapat meningkatkan kadar endorfin. − Akupunktur : dapat meningkatkan kadar andorfin sehingga mengurangi keadaan depresi. − Terapi Relaksasi : karena banyak pasien yang susah untuk relaks. − Terapi Tingkah Laku : teknik terapi yang dikembangkan berdasarkan teori belajar. Hukuman diberikan apabila pasien berperilaku yang tidak diinginkan (menggunakan napza) dan hadiah diberikan bila pasien berperilaku yang diinginkan (tidak

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 21

Page 23: cdk_135_napza

menggunakan napza). − Terapi Disulfiram (Antabuse) : merupakan terapi aversif pada ketergantungan alkohol; jadi merupakan suatu bentuk terapi tingkah laku. Disulfiram menghambat metabalisme al-kohol dalam darah sehingga kadar asetaldehida dalam plasma meningkat. Jadi bila minum Disulfiram, lalu kemudian me-minum juga alknhol, maka akan timbul suatu perasaan yang tidak enak misalnya mual, muntah, rasa penuh di kepala dan leher, nyeri kepala, muka merah, wajah berkeringat, ber-debar-debar, rasa napas pendek, rasa tak enak di dada, vertigo, penglihatan kabur, dan kebingungan. Kontra indikasi pem-berian disulfiram ialah penyakit jantung. Dosis 250 mg setiap hari atau 509 mg tiga kali seminggu selama satu tahun. Disulfiram sebaiknya diberikan bersama-lama dengan terapi lain seperti psikoterapi individual atau kelompok, konseling individual atau mengikuti pertemuan alkohol anonimus. Perlu pengawasan dari anggata kaluarga agar terjamin bahwa disulfiram tetap dimakan secara teratur. − Terapi antagonis opioida : misalnya neltrexon; kerjanya menghambat efek euforia dari opioida sehingga pasien akan merasa percuma menggunakan opioida karena tidak mengalami euforia. Di sini perlu sekali pengertian dari pasien, karena bila pasien tidak serius ingin berhenti memakai opioida, maka bila dia menggunakan naltrexon, dan juga menggunakan opioida, maka dapat terjadi overdosis opioida.

Naltrexon diberikan sebanyak 50 mg perhari atau disesuaikan dengan dosis pemakaian opioida; sebaiknya diberi-kan selama minimal 6-12 bulan. Kontra indikasinya : 1. Pasien yang mendapat pengobatan dengan analgesik opioida. 2. Pasien yang kadang-kadang masih menggunakan opioida. 3. Pasien yang test urin untuk opioidanya masih positif. 4. Pasien dengan hepatitis akut atau fungsi hepar buruk. − Methadone Maintenance Program : biasanya yang men-jalani program ini adalah mereka yang telah berkali-kali gagal mengikuti program terapi, habilitasi dan rehabilitasi lain. Untuk menjalankan program ini diperlukan administrasi yang baik; untuk menghindari kemungkinan adanya pasien yang mendapat jatah obat lebih. Jadi harus ada satu pusat catatan Medik terpadu.

Sebelum mengikuti program ini pasien harus diperiksa secara medis dahulu termasuk pemeriksaan darah rutin, test fungsi hati, rontgen paru-paru dan EKG. Dosis methadon setiap hari dimulai dari 30-40 mg, biasanya dosis maintenance sebesar 40-80 mg perhari. Jarang melebihi 120 mg perhari. Setiap hari pasien harus datang ke pusat terapi dan minum jatah methadon di hadapan petugas; biasanya diminum dengan segelas jus jeruk. Bagi mereka yang sekolah atau bekerja dan konditenya baik dapat datang ke pusat terapi dua kali seminggu dan membawa methadon pulang ke rumahnya (diberikan methadon yang berjangka waktu kerja lama yaitu LAAM - L Alfa Aceto-Methadol). Sewaktu-waktu urin harus diperiksa untuk memastikan bahwa methadon yang diperoleh dan dibawa pulang dipakai sendiri dan bukan dijual. − Psikoterapi individual : untuk mengatasi konflik intra-

psikik dan gangguan mental yang terdapat pada pasien, ter-masuk gangguan kepribadian. − Konseling : dapat membantu pasien untuk rnengerti dan memecahkan masalah penyesuaian dirinya dengan lingkungan. − Terapi Keluarga : sangat diperlukan karena pada umumnya keluarga mempunyai andil dalam terjadinya ketergantung napza pada pasien. Terapi ini juga mempersiapkan keluarga beradaptasi dengan pasien setelah yang bersangkutan tidak menggunakan napza lagi. − Psikoterapi Kelompok : banyak dilakukan dalam program habilitasi karena dirasakan banyak manfaatnya. Pasien lebih dapat menerima kritik, konfrontasi, dan saran yang diberikan pasien lain daripada terapis. − Psikodrama : suatu drama yang dirancang berkisar pada suatu krisis kehidupan atau masalah khusus. Drama ini dapat membantu pemainnya (pasien) mengenali masalah bagaimana ia mengambil inisiatif untuk menyelesaikan masalah tersebut, terapi ini barmanfaat terutama bagi orang yang sulit menyata-kan suatu peristiwa atau perasaan secara verbal. REHABILITASI

Dalam pengobatan ketergantungan napza perlu dilakukan hingga tingkat rehabilitasi. Alasannya, selain menimbulkan gangguan fisik dan kesehatan jiwa, ketergantungan napza juga memberi dampak sosial bagi pasien, lingkungan keluarga mau-pun masyarakat sekitarnya.

Rehabilitasi pada hakikatnya bertujuan agar penderita bisa melakukan perbuatan secara normal, bisa melanjutkan pen-didikan sesuai kemampuannya, bisa bekerja lagi sesuai dengan bakat dan minatnya, dan yang terpemting bisa hidup me-nyesuaikan diri dengan lingkungan keluarga maupun masya-rakat sekitarnya.

Satu hal lagi yang banyak diharapkan setelah mengikuti rehabilitasi, pasien dapat menghayati agamanya secara baik. Itulah sebabnya banyak lembaga rehabilitasi yang didirikan berdasarkan kepercayaan/agama.

Terapi rehabilitasl ini meliputi beberapa hal : − Rehabilitasi Sosial : meliputi segala usaha yang bertujuan memupuk, membimbing, dan meningkatkan rasa kesadaran dan tanggung jawab sosial bagi keluarga dan masyarakat. − Rehabilitasi Edukasional : bertujuan untuk memelihara dan maningkatkan pengetahuan dan mengusahakan agar pasien dapat mengikuti pendidikan lagi, jika mungkin memberi bim-bingan dalam memilih sekolah yang sesuai dengan kemampuan intelegensia dan bakatnya. Rehabilitasi Vokasional : bertujuan menentukan kemampuan kerja pasien serta cara mengatasi penghalang atau rintangan untuk penempatan dalam pekerjaan yang sesuai. Juga memberikan keterampilan yang belum dimiliki pasien agar dapat bermanfaat bagi pasien untuk mencari nafkah. − Rehabilitasi Kehidupan Beragama : bertujuan membang-kitkan kesadaran pasien akan kedudukan manusia di tengah-tengah mahluk hidup ciptaan Tuhan; menyadarkan kelemahan yang dimiliki manusia, arti agama bagi manusia, membangkitkan optimisme berdasarkan sifat-sifat Tuhan yang Mahabijaksana, Mahatahu, Maha pengasih, dan Maha peng-ampun.

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 22

Page 24: cdk_135_napza

PENUTUP setiap kemajuan yang sekecil apapun, dapat disyukuri dan merupakan dorongan untuk mencapai kemajuan yang lebih banyak.

Satu hal yang harus disadari dan dipahami oleh semua pihak adalah bahwa detoksifikasi bukanlah terapi tunggal dari ketergantungan napza, melainkan langkah awal dari suatu proses terapi ketergantungan napza. Selain itu harus dimaklumi juga bahwa pengobatan ketergantungan napza membutuhkan waktu yang cukup panjang. Bahkan untuk mengetahui dengan pasti bahwa pasien tersebut betul-betul pulih, baru bisa dipastikan setelah yang bersangkutan meninggal.

KEPUSTAKAAN 1. Leow KF. Medical Aspect of Naltrexone. Symposium : Advances in the

management of drug addiction - role of naltrexone in medical practice. Singapore, Feb. 11, 1996.

Oleh sebab itu agar pengobatan/perawatan ketergantungan napza berjalan dengan baik, perlu pemahaman diri (insight) pasien, dibantu dengan kerja sama yang baik dengan terapis serta dukungan yang kuat dari lingkungan terdekat. Untuk itu diperlukan usaha yang terus menerus dan perasaan yang selalu optimis baik dari pasien, terapis, maupun lingkungannya agar

2. Joewana S. Gangguan Penggunaan Zat. Narkotika, Alkohol, dan Zat Adiktif Lain. Jakarta: Gramedia, 1989.

3. Fisher GL, Harrison TC. Substance Abuse. Information for School Counselors, Social Workers, Therapists, and Counselors. Needham Heights, Massachusetts. A Simon & Schuster Company, 1997.

4. Bennett G. Treating Drug Abusers. Great Britain. Billing & Sons Ltd. 1989.

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 23

Page 25: cdk_135_napza

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Gambaran Klinik dan Psikofarmaka pada Penderita

Gangguan Kecemasan

Yusuf Alam Romadhon Dokter PTT Puskesmas Kartasura II Kabupaten Sukoharjo, Jawa Teqgah

ABSTRAK Dari aspek klinik kecemasan dapat dijumpai pada orang dengan stres normal;

pada orang dengan sakit fisik berat, lama dan kronis; pada penderita gangguan psikiatri berat atau merupakan gangguan yang berdiri sendiri. Dikenal 5 jenis gangguan kece-masan, yaitu 1) gangguan panik, 2) gangguan cemas umum, 3) gangguan fobik, 4) gangguan obsesif kompulsif dan 5) gangguan stress pasca trauma.

Untuk penyembuhan dengan baik dan mencegah ketergantungan obat anxiolitik diberikan terapi kombinasi yaitu psikoterapi dan psikofarmaka. Pendekatan psiko-farmaka adalah dengan obat-obatan anxiolitik yang meliputi tranquilizer minor baik golongan benzodiazepin maupun non benzodiazepin, hipnotik, antidepresan trisiklik, monoamin inhibitor (MAOI), serotonin reuptake inhibitor (SRI) dan specific seroto-nine reuptake inhibitor (SSRI). Kata kunci: gangguan kecemasan - gambaran klinik - psikofarmaka

PENDAHULUAN Istilah kecemasan dalam psikiatri muncul untuk merujuk

suatu respons mental dan fisik terhadap situasi yang menakut-kan dan mengancam. Secara mendasar lebih merupakan res-pons fisiologis ketimbang respons patologis terhadap ancaman. Sehingga orang cemas tidaklah harus abnormal dalam perilaku mereka, bahkan kecemasan merupakan respons yang sangat diperlukan. Ia berperan untuk meyiapkan orang untuk meng-hadapi ancaman (baik fisik maupun psikologik).(3)

Perasaan cemas atau sedih yang berlangsung sesaat adalah normal dan hampir semua orang pernah mengalaminya. Ce-mas pada umumnya terjadi sebagai reaksi sementara terhadap stress kehidupan sehari-hari.(9)

Bila cemas menjadi begitu besar atau sering seperti yang disebabkan oleh tekanan ekonomi yang berkepanjangan, pe-nyakit kronik dan serius atau permasalahan keluarga maka

akan berlangsung lama; kecemasan yang berkepanjangan sering menjadi patologis. Ia menghasilkan serombongan gejala-gejala hiperaktivitas otonom yang mengenai sistem muskuloskeletal, kardiovaskuler, gastrointestinal dan bahkan genitourinarius (Tabel 1). Respons kecemasan yang berke-panjangan ini sering diberi istilah gangguan kecemasan, dan ini merupakan penyakit.(1,3,9)

Dari aspek klinik kecemasan dapat dijumpai pada orang yang menderita stress normal; pada orang yang menderita sakit fisik berat, lama dan kronik; pada orang dengan gang-guan psikiatri berat (skizofrenia, gangguan bipoler dan depre-si); dan pada segolongan penyakit yang berdiri sendiri yang dinamakan gangguan kecemasan.(1,10) Yang dibahas di sini adalah kelompok terakhir yang terdiri dari 5 macam yaitu: 1) gangguan panik, dengan ciri munculnya mendadak tanpa faktor pencetus; 2) gangguan cemas umum, yaitu kecemasan

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 24

Page 26: cdk_135_napza

yang diderita bersifat mengambang bebas dan berlangsung menahun (kronik); 3) gangguan fobik yaitu kecemasan atau ketakutan terhadap situasi atau obyek tertentu (spesifik); 4) gangguan obsesif kompulsif, yaitu kecemasan yang men-dorong penderita secara menetap untuk mengulangi pikiran atau perilaku tertentu dan; 5) gangguan stress pasca trauma yaitu kecemasan yang timbul setelah penderita mengalami peristiwa yang sangat menegangkan.(1)

PREVALENSI GANGGUAN KECEMASAN

Survai terkini di Amerika (1996) melaporkan bahwa 15 - 33% pasien yang datang berobat ke dokter non psikiater me-rupakan pasien dengan gangguan mental.(1) Dari jumlah ter-sebut minimal sepertiganya menderita gangguan kecemasan.(1)

Di Indonesia penelitian yang dilakukan di Puskesmas Ke-camatan Tambora Jakarta Barat tahun 1984 menunjukkan bah-wa di puskesmas jumlah gangguan kesehatan jiwa yang sering muncul sebagai gangguan fisik adalah 28,73% untuk dewasa dan 34,39% untuk anak.(5)

DIAGNOSIS GANGGUAN KECEMASAN

Dalam makalah ini yang akan dibicarakan adalah diag-nosis praktis. Pendekatan ini dianjurkan untuk dipakai oleh para dokter umum yang mempunyai banyak pasien dalam praktek medis sehari-hari.(1)

Dari anamnesis dan pemeriksaan pasien dapat ditegakkan diagnosis kerja (secara cepat) untuk gangguan kecemasan apa-bila didapatkan keluhan baik somatik (fisik) maupun psiko-logik dan kognitif serta tanda-tanda obyektif kecemasan.(1,3) Keluhan-keluhan dan tanda-tanda obyektif yang sering dida-patkan dalam praktek medis sehari-hari yang merujuk pada gangguan kecemasan adalah sebagai berikut (Tabel 1).(1-3)

Tabel 1. Keluhan dan Tanda Obyektif dari Gangguan Kecemasan(1,3)

Keluhan Kognitif dan Psikologis − Perasaan cemas, khawatir, was-was − Ragu-ragu untuk bertindak atau memutuskan sesuatu, takut salah. − Perasaan takut dalam situasi, obyek atau keadaan tertentu (sendirian, gelap,

kamar tertutup, berada di ketinggian dsb.) − Tidak enak, gelisah − Takut mati, takut menjadi gila atau pikiran-pikiran yang cenderung negatif

baik terhadap diri-sendiri ataupun lingkungan − Merasa tegang − Insomnia, sulit untuk memulai (jatuh) tidur/early insomnia − Mudah terkejut, terlalu waspada − Mudah marah (iritable) − Perasaan cemas tersebut mempengaruhi hampir semua aspek kehidupan

penderita sehingga fungsi pertimbangan akal sehat, perasaan dan perilakunya terpengaruhi.

Keluhan Fisik • Neurologik dan Vaskuler − Sakit kepala, pusing, kepala terasa enteng − Nggliyer (dizziness), seperti mau pingsan − Vertigo (pusing berputar) − Tangan gemetaran − Pandangan kabur − Baal dan kesemutan • Kardiovaskuler

− Palpitasi (berdebar-debar/deg degan : Jawa) − Nyeri dada, dada terasa panas • Respirasi − Nafas pendek − Dispnoe (sesak nafas) − Hiperventilasi (frekuensi nafas sering) • Gastrointestinal − Mulut kering − Tenggorokan seperti tercekik; tenggorokan kering − Perasaan tidak enak di lambung − Nausea dan vomitus (mual dan muntah) − Diare • Genitourinarius − Sering berkemih − Nyeri saat berkemih − Ejakulasi prematur − Impotensia • Sistim Muskuloskeletal − Nyeri otot kepala terutama otot leher − Sakit dan nyeri otot • Kulit − Keringat berlebihan − Telapak tangan dan kaki basah dan terasa dingin

Tanda Obyektif − Penderita tampak gugup, gelisah, tidak dapat duduk santai − Suara bergetar, gagap − Palpitasi − Hiperventilasi − Berkeringat banyak atau telapak tangan dan kaki lembab PSIKOFARMAKOLOGI

Untuk penyembuhan dengan baik pasien dengan gangguan kecemasan adalah kombinasi farmakoterapi (psikofarmaka) dengan psikoterapi. Mengapa kombinasi? Pertimbangannya adalah bahwa psikoterapi mempunyai keunggulan tidak adiktif tetapi kerugiannya lambat dalam efek terapetiknya. Sebaliknya anxiolitik mempunyai keunggulan efek terapetik cepat dalam menurunkan tanda dan gejala kecemasan tetapi mempunyai kerugian resiko adiksi. Dalam terapi kombinasi diberikan obat anxiolitik terlebih dahulu sampai 2 minggu, kemudian dila-kukan psikoterapi yang dimulai pada awal minggu kedua di samping obat anxiolitik masih tetap diberikan tetapi secara bertahap diturunkan dosisnya (tapering off sampai minggu ke empat pengobatan).(1) Ada juga yang membedakan kasus baru dan lama. Kasus baru diberikan sampai 2 bulan bebas gejala kemudian dilakukan tapering off untuk penghentian peng-obatan; kasus lama diberikan sampai 6 bulan bebas gejala kemudian dilakukan tapering off untuk penghentian peng-obatan.(5) Psikoterapi yang sering digunakan untuk gangguan kecemasan adalah psikoterapi berorientasi insight, terapi peri-laku, terapi kognitif atau psikoterapi provokasi kecemasan jangka pendek.(l)

Obat-obatan yang sering digunakan untuk anxiolitik (me-ngurangi atau menghilangkan gejala gangguan kecemasan) adalah golongan benzodiazepin, non-benzodiazepin, anti-depresan: trisiklik, monoamin inhibitor [MAOI], serotonin reuptake inhibitor [SRI], specific serotonin reuptake inhibitor [SSRI]. Mengenai penggolongan (klasifikasi) obat-obat anxi-olitik, nama dagang serta dosis terapetiknya dapat dilihat pada Tabel 2.

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 25

Page 27: cdk_135_napza

Tabel 2. Klasifikasi Obat Anxiolitik, nama dagang di pasaran dan dosis terapetiknya(2,5,6,9)

Anxiolitik (tranquilizer minor)

a. Golongan benzodiazepin

Chlordiazepoxide Librium 15 -100 Diazepam Valium 4 - 80 Lorazepam Ativan 2 - 10 Bromazepam Lexotan 2 - 18 Chlorazepate Tranxene 15 Clobazam Frisium 20 - 30 Alprazolam Xanax 0,75 - 4 Clonazepam

Rivotril 0,75 - 8

b. Golongan non-benzodiazepin

Opipramol Insidon 50 - 300 Buspiron Buspar 10 - 60 Hipnotika/antiinsomnia a. Khasiat Panjang Flurazepam Dalmadorm 15 - 30 Diazepam Valium 4 - 80 b. Khasiat Menengah Estazolam Esilgan 1- 4 Nitrazepam Mogadon, Dumolid 2,5 - 5 c. Khasiat Pendek Triazolam Halcion 0,125 -

0,25 Lorazepam Ativan 2 - 10 Antidepresan a. Trisiklik Amitriptiline Laroxyl 75 -300 Imipramine Tofranil 75 - 300 b. Siklik atipik Amoxapine Asendin 200 - 300 Maprotiline Ludiomil 10 - 225 Mianserine

Tolvon 20 - 60

c. Monoamine Inhibitor (MAOI)

Moclobemide Aurorix 30 - 600 d. Serotonin Reuptake Inhibitor (SRI)

Clomipramine Anafranil 50 - 150 e. Specific Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)

Fluoxetine Prozac 20 - 80 Fluvoxamine Luvox 50 - 300 Paroxetine Seroxat 20 - 60 Sertraline Zoloft 50 - 200

Secara umum obat-obatan di atas efektif untuk terapi gangguan kecemasan, baik tunggal maupun kombinasi ter-gantung pada kondisi pasien, dan pengalaman dokter terhadap jenis atau golongan obat-obat tersebut.

Untuk gangguan obsesif kompulsif obat yang dikenal

efektif adalah clonazepam, SSRI yang meliputi fluoxetine, paroxetine, fluvoxamine dan sertraline(8)(Tabel 3). Tabel 3. Farmakoterapi untuk masing-masing jenis gangguan kece-

masan(2,4,6,8)

Jenis Gaugguan Kecemasan Farmakoterapi Gangguan Panik

Benzodiazepin

Antidepresan trisiklik MAOI Buspiron SRI SSRI Farmakoterapi kombinasi untuk

pasien membandel atau adanya komorbiditas dengan gangguan lainnya

Gangguan Fobik Sama Gangguan Cemas Umum Sama Gangguan Stress Pasca Trauma Sama Gangguan Obsesif Kompulsif Clonazepam Fluoxetine Paroxetine Sertraline Fluvoxamine

PROGNOSIS Dengan kombinasi farmakoterapi dan psikoterapi, anxietas

sekarang ini dapat disembuhkan dengan baik. Namun dalam praktek sehari-hari sering pasien diberikan anxiolitik saja dan tanpa kontrol yang ketat. Pada penderita seperti ini maka prog-nosisnya buruk atau minimal dubia.(1)

KEPUSTAKAAN

1. Aris Sudiyanto. Aspek Klinik Gangguan Kecemasan. Simposium Nasio-

nal Awareness Anxiety Programe. 5 Agustus 2000. 2. Biederman J. Psychopharmacology. In Wiener JM, editor. Textbook of

Child and Adolescent Psychiatry 1st ed. American Psychiatric Press, 1991; pp. 550, 552, 557.

3. Deva MP. Presentation and Management of Anxiety Disorder in Family Practice. Medical Progress January, 2001 pp. 16-20.

4. Dirjen Yanmed, Depkes RI. Pedoman penatalaksanaan Kedaruratan Psikiatri untuk RSU kelas C dan D. 1998; hal. 18-21.

5. Dirjen Yanmed, Depkes RI. Pedoman Pelayanan Kesehatan Jiwa di Fasi-litas Umum. 1995. hal. 2-3; 29; 65-6.

6. Joyce PR. Serotonine Reuptake Inhibitor A New Class of Anti-depressants. Medical Progress. (June) 1993; pp. 11 –4.

7. Menkes DB. Antidepressant Drugs. Medical Progress. July, 1992; 17-8. 8. Park T, et al. Obsessive Compulsive Disorder Treatment Option Medical

Progress (November) 1997; pp. 37-42. 9. Trisulo Wasyanto. Gangguan Cemas pada Penyakit Jantung. Simposium

Nasional Awareness Anxiety Program. 5 Agustus 2000. 10. Yul Iskandar. Aspek Biologik dari Anxietas. Simposium Nasional

Awareness Anxiety Program. 5 Agustus 2000.

The word that is heard perishes, the letter that is written remains

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 26

Page 28: cdk_135_napza

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Penatalaksanaan Baku

dan Menyeluruh pada HIV/AIDS

Dr. Candra Wibowo

Residen Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Manado PENDAHULUAN

Sejak 20 tahun yang lalu, human immunodeficiency virus (HIV) sudah diketahui sebagai penyebab penyakit acquired immunodeficiency syndrome (AIDS); namun penatalaksanaan-nya belum memberikan hasil yang memuaskan dalam hal penurunan angka kesakitan dan kematian HIV/AIDS, terutama di negara sedang berkembang. Banyak penelitian dilakukan bertujuan untuk mendapatkan penatalaksanaan yang baku dan menyeluruh; dari pencegahan penularan horizontal maupun vertikal, pemakaian kombinasi antiretrovirus (ARV) bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA), pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik (IO) dan pencegahan post exposure (PPE) HIV sampai pemberian imunisasi yang masih dalam penelitian. Kompleksnya masalah yang dihadapi dalam penatalaksanaan HIV/AIDS, memerlukan satu tim kerja terdiri dari berbagai bidang ilmu yang solid dan profesional untuk menurunkan angka insidensi dan prevalensi HIV/AIDS.(1-3)

Di Indonesia, jumlah ODHA dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Pada akhir Mei 2001 tercatat 1.956 kasus yang ditemukan pada saat uji darah donor, uji saring pecandu narkotika, tes gratis HIV dan ODHA yang dirawat/ memerlukan bantuan tenaga medis. Jumlah sebenamya pengidap HIV/AIDS di Indonesia belum diketahui, tetapi diperkirakan jauh lebih banyak dari angka tersebut di atas(4).

Saat ini baru Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo Jakarta yang mampu memberikan layanan hesehatan ODHA secara menyeluruh; padahal ODHA tersebar di seluruh daerah Indonesia, bahkan jumlah terbanyak di Irian(3,4).

Dalam tinjauan kepustakaan ini diuraikan penatalaksanaan HIV/AIDS yang baku dan menyeluruh, dengan harapan dapat diterapkan seoptimal mungkin sesuai dengan sumber dana dan sumber daya manusianya.

PENATALAKSANAAN PADA ORANG DEWASA Konseling dan Edukasi

Konseling dan edukasi perlu diberikan segera sesudah diagnosis HIV/AIDS ditegakkan dan dilakukan secara berke-sinambungan. Bahkan, konseling dan edukasi merupakan pilar pertama dan utama dalam penatalaksanaan HIV/AIDS; karena keberhasilan pencegahan penularan horizontal maupun ver-tikal, pengendalian kepadatan virus dengan ARV, peningkatan CD4, pencegahan dan pengobatan IO serta komplikasi lainnya akan berhasil jika konseling dan edukasi berhasil dilakukan dengan baik. Pada konseling dan edukasi perlu diberikan dukungan psikososial supaya ODHA mampu memahami, percaya diri dan tidak takut tentang status dan perjalanan alami HIV/AIDS, cara penularan, pencegahan serta pengobatan HIV/AIDS dan IO; semuanya ini akan memberi keuntungan bagi ODHA dan lingkungannya1,5-8. Antiretrovirus (ARV)

Indikasi pemberian ARV yaitu pada infeksi HIV akut, ODHA yang menunjukkan gejala klinis atau ODHA tanpa gejala klinis yang memiliki CD4 < 500/mm3 dan atau RNA HIV > 20.000/ml. serta pada PPE HIV1,2,6.

Kombinasi ARV merupakan dasar penatalaksanaan pem-berian antivirus terhadap ODHA; karena dapat mengurangi resistensi, menekan replikasi HIV secara efektif sehingga kejadian penularan/IO/komplikasi lainnya dapat dihindari, dan meningkatkan kualitas serta harapan hidup ODHA. Dua golongan ARV yang diakui Food and Drug Administration (FDA) dan World Health Organization (WHO) adalah penghambat reverse transcriptase (PRT), yang terdiri dari analog nukleosida dan non-analog nukleosida, serta peng-hambat protease (PP) HIV. Ketiga jenis ini dipakai secara kombinasi dan tidak dianjurkan pada pemakaian tunggal. Penggunaan kombinasi ARV merupakan farmakoterapi yang

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 27

Page 29: cdk_135_napza

rasional; sebab masing-masing preparat bekerja pada tempat yang berlainan atau memberikan efek sinergis terhadap yang lain. Preparat golongan PRT analog nukleosida menghambat beberapa proses polimerisasi deoxyribo nucleic adid (DNA) sel termasuk sintesis DNA yang tergantung pada ribonucleic acid (RNA) pada saat terjadi reverse transkripsi; sedangkan PRT analog non-nukleosida secara selektif menghambat proses reverse transkripsi HIV-1. Penghambat protease bekerja dengan cara menghambat sintesis protein inti HIV(1-3,6,9,10).

United States Public Health Service (USPHS) dan WHO menganjurkan kombinasi ARV yang dipakai sebagai peng-obatan pertama kali adalah 2 preparat PRT analog nukleosida dengan PP, atau 2 preparat PRT analog nukleosida dikom-binasikan dengan analog non-nukleosida. Sedangkan kom-binasi antara PRT nukleosida, non-nukleosida dengan PP dipertimbangkan sebagai kombinasi pada pengobatan kasus lanjut(1-3).

Perlu diperhatikan kombinasi saquinavir dengan ritonavir akan meningkatkan kadar saquinavir dalam plasma, karena ritonavir menghambat kerja enzim sitokrom P450. Sedangkan zidovudin (ZDV) dengan stavudin dan efavirenz dengan saquinavir merupakan kombinasi antagonis satu dengan yang lain. Nevirapin akan menurunkan berturut-turut kadar dalam plasma saquinavir, ritonavir, indinavir dan lopinavir jika dikombinasikan, sehingga kombinasi ARV ini jangan dilakukan1,2,11,12. Tabel 1. Kombinasi antiretroviral

Kriteria Kombinasi

Penghambat Reverse Transcriptase

Penghambat Protease

Sangat dianjurkan Didanosin+Lamivudin Didanosin+Stavudin Didanosin+Zidovudin Didanosin+Efirenz+ Lamivudin/ Stavudin/ Zidovudin Lamivudin+Zidovudin Lamivudin + Stavudin

Indinavir Indinavir+Ritonavir Lopinavir+Ritovanir Nelfinavir Ritonavir+Saquinavir

Altematif Zidovudin+Zalsitabin Amprenavir Nelfinavir+Saquinavir Ritonavir Saquinavir

Tidak dianjurkan Stavudin+Zidovudin Zalsitabin+Didanosin Zalsitabin + Lamivudin Zalsitabin + Stavudin

Sumber: US. Deportment of Health and Human Services. Guidelines for the use of antiretroviral agents in hiv-infected adults and adolescents. MMWR 2001; 50: 1-1152.

Kombinasi ARV pada pengobatan pertama perlu diubah jika ditemukan hal-hal sebagai berikut(1,2,5,6) : 1. Penurunan RNA HIV plasma < 0,5-0,75 log10 dalam 4 minggu atau < 1 log10 dalam 8 minggu setelah pengobatan pertama diberikan. 2. Kegagalan penekanan RNA HIV sampai batas tak ter-deteksi, dalam 4-6 bulan setelah pengobatan pertarna diberikan. 3. Deteksi ulang RNA HIV plasma setelah kepadatan virus

tak terdeteksi, berkembang mengalami peningkatan walaupun ARV masih terus diberikan. 4. Jumlah CD4 tetap mengalami penurunan. 5. Keadaan klinis yang memburuk. 6. Terdapatnya efek:samping ARV. Pencegahan dan Pengobatan Infeksi Oportunistik (IO)

Penyebab utama kematian ODHA adalah infeksi oppor-tunistik. Center of Disease Control (CDC)menganjurkan pemberian regimen pencegahan bagi semua pasien dengan status imun yang buruk tanpa kecuali. Infeksi oportunistik yang sering dijumpai di Amerika dan Eropa adalah Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP), sedangkan di negara berkembang (Afrika, Asia Tengah dan Asia Tenggara) termasuk Indonesia adalah tuberkulosis paru1-4,12-14.

Rifampisin menurunkan berturut-turut kadar plasma nevirapin, delavirdin (analog non-nukleosida), saquinavir, indinavir, nelfinavir, amprenavir dan lopinavir (penghambat protease); sedangkan ketokonazol menurunkan kadar plasma nevirapin sehingga pemberian bersama obat-obat tersebut harus dihindari2,12-14.

Imunisasi pasif dan aktif dilakukan untuk mencegah in-feksi oportunistik; pemberian imunisasi aktif sebaiknya bukan imunisasi yang meagandung mikroba hidup/yang dilemahkan. Beberapa penelitian menyimpulkan tak perlu penyesuaian dosis dan menunggu kadar tertentu CD4 untuk melakukan imuni-sasi12,15. PENATALAKSANAAN PADA IBU HAMIL/MELAHIR-KAN Konseling, Edukasi dan Uji Saring Antepartum

The American College of Obstetricians and Gynaecologists (AGOG) dan USPHS menganjurkan konseling, edukasi dan Uji saring HIV sebagai bagian perawatan antepartum yang di-lakukan secara rutin dan sukarela oleh ibu hamil dengan risiko tinggi infeksi HIV dan ibu hamil dengan HIV/AIDS (IHDHA). Dalam konseling dan edukasi, perlu dukungan psikososial ibu supaya tidak takut dan percaya diri mengenai status HIV dan kehamilannya, tentang perjalanan alami HIV, cara penularan dan pencegahan perinatal serta keuntungan pemberian ARV bagi ibu dan janin/bayi. Hasil negatif uji saring pada ibu risiko tinggi infeksi HIV perlu diulang 4 minggu kemudian mengingat kemungkinan window period pada saat pemeriksaan di-lakukan16-19. Antiretrovirus (ARV)

Pemberian kombinasi ARV merupakan penatalaksanaan baku IHDHA tanpa memandang status kehamilan, sama seperti pemberian ARV pada ODHA karena telah dipertimbangkan farmakokinetiknya dan tidak terbukti memberikan efek terato-genik pada janin/bayi jika diberikan setelah umur kehamilan 14 minggu16-19.

Pada pencegahan penularan HIV perinatal (PHP), baik ACOG, USHS maupun WHO menganjurkan kombinasi ARV untuk menekan replikasi virus secara cepat sampai batas yang

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 28

Page 30: cdk_135_napza

tidak dapat dideteksi; sehingga diharapkan PHP, tidak terjadi, mengurangi kejadian resistensi dan memberi kesempatan per-baikan imunitas ibu16,17,19. Pemberian kombinasi ARV mulai diberikan pada IHDHA yang memiliki CD4 < 500/mm3 atau kepadatan virus > 10.000/ml dengan atau tanpa gejala klinis; sedangkan pemberian ZDV tunggal dapat dilakukan jika CD4 > 500/mm3 dan kepadatan virus 4.000 - 10.000/ml dengan dosis 100 mg 5 kali sehari yang dimulai setelah trimester I sampai masa persalinan15. Pada saat mulai persalinan (kala I), ZDV diberikan secara intravena 2 mg/kg BB dalam 1 jam, dan diteruskan 1 mg/kg BB/jam sampai pengikatan tali pusat bayi; kemudian diikuti dengan pemberian ZDV oral pada bayi setelah berumur 12 jam dengan dosis 2 mg/kg BB/6 jam selama 6 minggu. Semua ARV diberikan setelah trimester I (14 minggu umur kehamilan) untuk menghindari beberapa efek teratogenik. Namun, jika ibu sedang menjalani pengobatan ARV dan kemudian hamil, pengobatan tersebut dilanjutkan sebab penghentian, ARVakan mengakibatkan rebound pheno-menon jumlah virus16,17,19-21.

Pada beberapa penelitian berskala besar, ZDV terbukti menurunkan PHP dari 22,6% menjadi 7,6% jika diberikan selama antepartum, intrapartum dan postpartum. Tidak didapat-kan perbedaan yang bermakna pada efek samping dan toksisitas ZDV dibandingkan plasebo, kecuali anemia pada bayi yang hilang setelah ZDV dihentikan; sedangkan kelainan kongenital tidak lebih tinggi dari populasi umum. Oleh sebab itu, ADV sebaiknya ada pada setiap regimen kombinasi karena terbukti menurunkan PHP16,17,19-21.

Sekarang sedang dilakukan penelitian penggunaan ZDV oral jangka pendek untuk mencegah PHP. Jika berhasil dan dapat dijadikan protokol, diharapkan akan menurunkan kejadi-an PHP lebih banyak lagi; mengingat biaya lebih murah, kepatuhan lebih tinggi dan jangkauan lebih luas dibandingkan dengan penggunaan ZDV jangka panjang22-24.

Pada penelitian di Afrika oleh Wiktor dkk22 dan Dabis dkk23 serta di Thailand oleh Shafter dkk24, pemberian ZDV jangka pendek memperlihatkan penurunan PHP 38-50% walau-pun air susu ibu masih tetap diberikan. Di sini, ZDV oral baru diberikan pada umur kehamilan 36 minggu dengan dosis 300 mg 2 kali sehari sampai masa persalinan (kala I), kemudian 300 mg 3 jam sekali dari kala I sampai kala IV dan diteruskan dengan 300 mg 2 kali sehari selama 7 hari postpartum; sedang-kan bayi diberikan ZDV oral setelah berumur 12 jam dengan dosis 2 mg/ kg BB/6 jam selama 6 minggu19,22-24. Pencegahan dan Pengobatan Infeksi Oportunistik (IO)

Sesuai CDC dan WHO, pencegahan dan pengobatan IO pada IHDHA sama dengan pencegahan dan pengobatan IO pada ODHA12-14,16-17. Lihat tabel 2. lmunoterapi dan Imunisasi

Uji tahap I hyperimmune anti HIV Immunoglobulin (HIVIG) yang diberikan ke IHDHA meningkatkan titer anti-bodi p24 yang tinggi pada bayi baru lahir, sehingga mampu menekan terjadinya PHP. Namun, penelitian Lambert dkk(25)

tidak menunjukkan efikasinya dalam penurunan PHP diban-dingkan dengan pemberian ZDV. Sedangkan penelitian me-ngenai imunisasi pasif dan aktif untuk mencegah PHP sedang dilakukan. Pemberian minimal 3 dosis vaksin recombinant envelope setiap bulan berturut-turut menunjukkan peningkatan; antibodi pada manusia tanpa efek teratogenik pada binatang ; percobaan15,16. Perawatan Antepartum

Perawatan antepartum IHDHA ditujukan bukan hanya perawatan rutin saja, melainkan juga strategi pencegahan PHP dan pengobatan serta komplikasi-komplikasinya. Setiap kunjungan antepartum diperhatikan masalah psikososial ibu, gejala dan tanda infeksi HIV serta IO. Pemantauan kesejah-teraan janin sebaiknya dilakukan secara non invasif, karena pemeriksaan diagnostik invasif meningkatkan risiko PHP, kecuali atas indikasi yang kuat16,17,19.

Jumlah CD4 dan kepadatan virus dipantau selama perawat-an antepartum setiap trimester atau setiap 4 minggu jika ARV diberikan guna mengikuti perkembangan penyakit, keberhasil-an ataupun resistensi ARV serta menentukan langkah lebih lanjut. Di samping itu, pemeriksaan hemoglobin, lekosit dan trombosit juga dilakukan setiap 4 minggu untuk menilai efek penekanan ARV terhadap sumsum tulang16,19. Cara Persalinan

Pada saat persalinan harus dihindari semua manipulasi yang dapat meningkatka risiko PHP melalui kontak darah atau sekret genital ibu; serperti persalinan vagina dengan solusio plasenta, plasenta previa, perdarahan jalan lahir, ketubah pecah dini serta partus lama. Pada kasus tersebut, mernpercepat kala II atau operasi cesarea perlu dilakukan16,17,26-28.

Penelitian di Swiss, Perancis, London dan daratan Eropa lainnya menunjukkan penurunan kejadian PHP 50-87% pada

IHDHA yang menjalani operasi cesarea eletif. Namun, sebagian besar subyek penelitian juga menggunakan ZDV selama kehamilannya(16,26). Penelitian di Rwanda mendapatkan kematian IHDHA post operasi cesarea yang' bermakna diban-dingkan dengan yang tidak terinfeksi HIV, walaupun hal ini tidak ditemukan di Eropa(16,17). Sebaliknya, hasil penelitian di Amerika dan Vietnam tidak didapatkan perbedaan bermakna dalam penurunan PHP antara kelompok yang dilakukan operasi cesarea elekif dengan kelompok yang diberikan profilaksis ZDV; bahkan untuk menyelamatkan seorang bayi dari PHP; memerlukan 12-16 operasi cesarea elektif. Oleh karena itu, operasi cesarea bukan untuk menurunkan kejadian PHP dan dilakukan atas indikasi obstetri(16,17,28). Air Susu Ibu (ASI)

Air susu ibu selain mengandung faktor imun non spesifik (secretary leucocyte protease inhibitor, lactoferrin, comple-ment, glycosaminoglycan), epidermal growth factor (EGF) dan transforming growth factor (TGF) β, ternyata juga me-ngandung HIV dan DNA provirus dalam jumlah yang cukup banyak untuk menambah risiko PHP sampai 14%16-18,29,30.

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 29

Page 31: cdk_135_napza

Tabel 2. Pengobatan dan Pencegahan Infeksi Oportunistik

Patogen Indikasi Pencegahan Pencegahan Pengobatan Pneumocytis carinii - CD4< 200/mm3

- panas > 2 minggu Pilihan : - kotrimoksasol forte sekali sehari Altematif : - kotrimoksasol forte 3 kali/minggu - dapson 50 mg 2 kali/hari atau 100 mg sekali sehari - dapson 50 mg/hari + pirimetamin 50 mg/minggu+leukovorin 25 mg/minggu - pentamidin aerosol 300 mg/hari - atovaquon 1500 mg sekali sehari

Pilihan : - kotrimoksasol forte 2 tablet 3 kali sehari selama 21 hari Altematif : - dapson 10o mg/had + trimetoprim 20 mg/kg BB/hari selama 21 hari - klindamisin 300.600 mg 4 kali sehari + primakuin 15 mg/hari selama 21 hari - atovaquon 1500 mg sekali sehari selama 21 hari

Toxoplasma gondii - CD4< 100/mm3

- IgG toksoplasma ↑

Pilihan : - kotrimoksasol forte sekali sehari Altematif : - dapson50 mg/hari+pirimetamin 50 mg/minggu + leukovoin 25 mg/minggu - atovaquon 1500 mg sekali sehari

Pilihan : - sulfadiazin 1-2mg+pirimetamin Ibu hamil : - spiramisin 1 g 3 kali/hari selama 1-2 mingguAltematif : - klindamisin 300-600 mg 4 kali sehari+ primakuin 15 mg/hari selama 21 hari - dapson 50 mg/hari + pirimetamin 50 mg/ minggu + leukovorin 25 mg/minggu - atovaquon 1500 mg sekali sehari

H. capsulatum - CD4< 100mm3

- Daerah endemis Pilihan : - itrakonazol 200 mg/hari Altematif : - flukonazol 400 mg/hari - amphoterisin 1 g/minggu IV

Amphoterisin 1 g/kg BB/hari secara IV selama 7 hari dilanjutkan dengan itrakonazol 200 mg/hari

Candida vagina/ oropharygeal

- CD4 < 500/mm3

- Sering kambuh Pilihan : - flukonazol 100-200 mg/hari Altematif : - itrakonazol 200 mg/hari

Pilihan : - flukonazol 100-200 mg/hari Altematif : - itrakonazo1200 mg/hari

M. avium complex - CD4< 50/mm3 Pilihan : - azitromisin 1200 mg/minggu Altematif : - klaritromisin 500 mg 2 kali sehari - rifampisin 300 mg sekali sehari

Klaritromisin 500 mg 2 kali sehari atau azitromisin 1200 mg/hari + rifampisin 300 mg sekali sehari + etambutol 15 mg/kg BB/hari

M. tuberculosis - Tes Mantoux > 5 mm - Kontak erat dengan penderita tb. aktif

Isoniazid 300 mg/hari + piridoksin 50 mg/hari selama 12 bulan Rifampisin 600 mg/hari + pirazinamid 15-20 mg/kg BB/hari, jika resisten terhadap isoniazid

Seperti pasien tuberkulosis paru pada umumnya (sesuai dengan kriteria WHO)

Cytomegalovirus (CMV)

- CD4 <50/mm3

- Antibodi CMV + Pilihan : gansiklovir 1 g 3 x sehari Altematif : sidofovir 5 mg/kg BB setiap minggu (IV)

Pilihan : gansiklovir 1 g 3 x sehari Altematif : foscarnet 90-120 mg/kg BB/hari (IV)

Varicella zoster Kontak dengan penderita

Ig varicella zoster (VIZIG) 6,25 ml, diberikan < 96 jam setelah kontak

Asiklovir 800 mg 5 kali sehari selama 2 minggu

Herpes simplex Kontak dengan penderita

Pilihan : asiklovir 200 mg 3 kali sehari atau 400 mg 2 kali sehari Altematif : famsiklovir 500 mg 2 kali sehari

Asiklovir 200 mg 3 kali sehari atau 400 mg 2 kali sehari

Salmonella sp. Terdapat bakteri salmonela

Siprofloksasin 500 mg 2 kali sehari - Siprofloksasin 500 mg 2 kali sehari

Virus hepatitis A Anti HAV - Vaksin hepatitis A : 2 dosis - Virus hepatitis B Anti HBs – dan

HBs - Vaksin hepatitis b : 3 dosis -

Virus influenza Semua ODHA Vaksin influenza inaktivasi, setiap tahun menjelang musim influenza

-

S. pneumoniae Semua ODHA Vaksin pneumokokus 23 valen polisakarida 0,5 ml IM

-

Sumber : US Public Health Services. Guidelines for the preventiopn of opportunistic infections in person infected with human immunodeficiency syndome. MMWR 2001; 50 : 322-4812.

Di negara maju, pemberian ASI sudah tidak dianjurkan lagi; narnun di negara berkembang dimana kesehatan sanitasi lingkungan tak mendukung dan tak cukup tersedianya susu formula serta masalah ekonomi, maka pemberian ASI eksklusif masih dapat dilakukan dibandingkan dengan pemberian mixed breast feeding7,16,17,29-31.

Pada penelitian Mofenson dkk31, pemberian ASI 3 bulan pertama menunjukkan penurunan kejadian PHP, karena kan-dungan EGF dan TGF (3 dalam ASI akan mematangkan per-kembangan epitel mukosa yang merupakan barrier penting di samping faktor imun non spesifik yang mampu bekerja sebagai antivirus.

PENATALAKSANAAN POST EXPOSURE Konseling, Edukasi dan uji Darah Post Exposure

Tenaga medis, paramedis dan pekerja di bidang kesehatan

lainnya merupakan salah satu kelompok risiko tinggi terinfeksi HIV akibat paparan produk ODHA. Konseling dan edukasi post exposure penting, terutama berhubungan dengan psikososial dan perilaku untuk mencegah penularan sekunder (seperti tidak melakukan hubungan seksual, pemakaian kondom, mencegah kehamilan, menghindari pemberian ASI) sampai terbukti sumber infeksi tidak mengandung HIV11,16,32.

Uji darah post exposure untuk menilai antibodi HIV atau RNA HIV dilakukan segera setelah terpapar untuk mengetahui status infeksi HIV yang bersangkutan; 6 minggu, 12 minggu sampai 6 bulan kemudian, jika hasil uji darah negatif baru disimpulkan tidakterinfeksi HIV1,32.

Antiretroviral (ARV), Pencegahan post exposure (PPE) HIV dengan ARV se-

baiknya dimulai secepat mungkin tanpa kecuali (hamil atau

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 30

Page 32: cdk_135_napza

tidak). Pada percobaan binatang, didapatkan bahwa pemberian ARV setelah 36 jam paparan tidak efektif mencegah infeksi HIV; narnun pada manusia belum ada penelitian mengenai hal ini16,32.

Saat ini, CDC dan USPHS menganjurkan pemberian kom-binasi ARV untuk PPE, walaupun ZDV sendiri mampu me-nurunkan serokonversi sampai 79% pada penelitian retros-pektif16,32. Kombinasi dasar ARV oral selama 4 minggu yang diberikan terdiri dari ZDV 300 mg 2 kali sehari, lamivudin 150 mg 2 kali sehari atau lamivudin 150 mg 2 kali sehari dengan stavudin 40 mg 2 kali sehari atau stavudin 40 mg 2 kali sehari dengan didanosin 400 mg sekali sehari. Sedangkan kombinasi lanjut ARV yang diindikasikan untuk kasus HIV positif kelas 1 dengan cidera kulit dalam dan HIV Positif kelas 2 terdiri dari regimen kombinasi dasar ditambah salah satu dari ARV yang disebutkan berturut-turut dengan dosisnya sebagai berikut: infinavir 800 mg 3 kali sehari, nelfinavir 750 mg 3 kali sehari, efavirenz 600 mg sekali sehari atau abakavir 300 mg 2 kali sehari32. PENUTUP

Penurunan angka kesakitan dan kematian HIV/AIDS memerlukan penatalaksanaan baku dan menyeluruh pada ODHA dan IHDHA. Konseling dan edukasi adalah pilar per-tama dan utama untuk mencapai keberhasilan penatalaksanaan HIV/AIDS. Pemberian ARV dianjurkan dalam bentuk kom-binasi untuk mengurangi resistensi dan mernpercepat penurun-an kepadatan HIV sampai batas yang tidak terdeteksi.

Cara persalinan dengan operasi caesarea dilakukan sesusi indikasi obstetri dan bukan untuk menurunkan kejadian PHP. Pemberian ASI di negara sedang berkembang masih dianjur-kan, karena PHP pada mixed feeding ternyata lebih tinggi.

Pencegahan post exposure sebaiknya dilakukan secepat mungkin dengan kombinasi ARV sesuai dengan keadaan waktu terpapar.

KEPUSTAKAAN 1. Fauci AS, Lane HC. Human immunodeficiency syndrome (HIV): AIDS

and related disorder. In : Braunwald E, Fauci AS, Kasoer DL, et al (Eds). Harrison's Principles of Internal Medicine. 15th ed. New York: McGraw-Hill; 2001; p.1852-908.

2. CDC. Guidelines for the use of antiretroviral agents in HIV-infected adults and adolescents. August 2001; p. 1-115.

3. Djoerban Z. Penatalaksanaan AIDS. Dalam : Setiati S, Sudoyo AW, Alwi I, dkk (Eds). Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 2000. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan FKUI; 2001; hal. 1-8.

4. Nes. Upaya turunkan laju infeksi HIV. Kompas 2001 Nov. 16; hal 10 (Col. l).

5. Chippindale S, French L. HIV counselling and the psychosocial ma-nagement of patients with HIV or AIDS. Br Med J 2001; 322:1533-5.

6. Mindel A, Tenant M. Natural history and management of early HIV Infection. Br Med J 2001; 322:1290-3.

7. Grant AD, Delock KM. HIV Infection and AIDS in the developing world. Br Med J 2001; 322 :1475-8.

8. Benyamini E, Coico R, Sunshine G. Aquired immunodeficiency syndrome. In: Benyamini E, Jeffrey DJ (Eds). Immunology A Short Course 4th ed. New York : Wiley-Liss; 2000. pp. 361-8.

9. Pillay D. Analysis of prevalence of HIV-1 drug resistance in primary infection. Br Med J 2001; 322 :1087-8.

10. Paterson DL, Swindells S, Mohr J, et al. Adherence to protease inhibitors

therapy and outcomes inpatients with HIV infection. Ann Intern Med 2000;133 : 21-30.

11. Gilbert DN, Moellering RC, Sande MA. The Stanford Guide to Antimicrobial Therapy 31th ed. New York : Antimicrobial Inc; 2001.

12. 2001 USPHS/IDSA. Guidelines for the prevention of opportunistic infections in person infected with human immunodeficiency syndrome. Jul. 2001. p.1-68.

13. Centre of Desease Control. Updated guidelines for the use of rifabutin or rifampin„ for the treatment and prevention of tuberculosis among HIV-infected patients taking protease inhibitor or non nucleoside reverse transcriptase inhibitors. MMWR 2000; 49 (RR 10).

14. American Thoracic Society.Targeted tuberculosis testing and treating off latent tuberculosis infection.Am J Respir Crit Care Med 2000 ; 217 : 41-7.

15. Heyward WL, MacQueen KM, Jaffe HW. Obstacles and progress forward development of a preventive HIV vaccine. Intern Assoc Phys AIDS Care. 2001.

16. Hueppchen NA, Anderson JR, Fox HE. Human immnunodeficiency virus infection. In : Cohen WR (Ed). Complications of Pregnancy 5th ed. Philadelphia: Lippicott Williams and Wilkins ; 2000. pp. 677-91.

17. Mofenson LM, Mantyre JA. Advanced and research directions in the prevention of mother-to-child HIV-1 transmission. Lancet 2000 ; 355 : 2237-44.

18. Newel ML, Peckham C. Vertica transmission of HIV in Europe. In : Jeffries DJ, Hudson CN (Eds). Viral Infections in Obstetrics and Gynaecology 1st ed. London: Arnold ; 1999. pp. 135-48.

19. CDC. Public Health Services task for recommendations for use of andretroviral drugs in pregnant women infected with HIV-1 for maternal health and for reducing perinatal HIV-1 transmission in the us. MMWR 2001 ; 50 (RR.11).

20. Ditrame ANRS 049 Study Group. 15-month efficacy of maternal oral zidovudine to decrease vertical transmission of HIV-1 in breastfed African children. Lancet 1999; 354 : 2050-7.

21. Guay LA, Musoka P, Fleeting T, et. al. Intrapartum and neonatal single-dose nevirapine compared,with zidovudine for prevention of mother-to-child transmission of HIV- I in Kampala, Uganda : hivnet 012 randomised trial. Lancet 1999; 354: 795-802.

22. Wiktor SZ, Ekpini E, Karon JM, et al. Short-course oral zidovudine for prevention of mother-to-child transmission of HIV-1 in Abidjan, Cote d’Ivoire : a randomised trial. Lancet1999;353:781-5.

23. Dabis F, Msellati P, Meda N, et al. 6-month efficacy, tolerance, and acceptability of a short regimen of oral zidovudin to reduce vertical transmission of HIV in breastfed children in Cote d’Ivoire and Burkina Faso : a double-blind placebo-controlled multi-centre trial. Lancet 1999; 353:786-92.

24. Shaffer N, Chuachoowong R, Mock PA, et al. Short-course zidovudine, for perinatal HIV-1 transmission in Bangkok, Thailand : a randomised controlled trial. Lancet 1999; 353 : 773-80.

25. Lambert JS, Mofenson LM, Fletcher CV, et al. Safety and pharmaco-kinetics of hyperimmune anti HIV immunoglobulin administered to HIV-infected pregnant women of and their newborns. Lancet 1998; 353:1477-82.

26. The European Mode of Delivery Collaboration. Elective caesarean section versus vaginal delivery in preventiop of vertical HIV-1 transmission : a randomised clinical trial. Lancet 1998; 353 : 1035-39.

27. Gcubert TA, Reindell D, Kastner Ralph, et A1. Complications after caesarean section in HIV-1 infected women not taking antiretroviral treatment. Lancet 1999; 353 :1612-4.

28. Newell ML, Lin HH, Kao JH, et al. Caesarean section and risk of vertical transmission of HIV-1 infection. Lancet 1994; 353 : 1464-7.

29. Wise J. Breast feeding safer than mixed feeding for babies of HIV mothers. Br Med J 2001; 322 : 511-3.

30. Coutsoudis A, Pillay K, Spooner E, Kuhn S. Influence of infant-feeding pattern on early mother-to-child transmission of HIV-1 in Durban, South Africa : a prospective cohort study Lancet 1999; 354 : 471-6.

31. Mofenson LM, Lambert JS, Steiehm ER, et al. Risk factors for perinatal transmission of human immnunodeficiency virus type 1. N Engl J Med 1999; 322 : 385-93.

32. US Departemen of Health and Human Services. Guidelines for the management of occupational exposure to HBV, HCV and HIV recom-mendations for postexposure prophylaxis. MMWR 2001; 50 (RR 11).

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 31

Page 33: cdk_135_napza

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Efek Toksik dan Cara Menentukan Toksisitas

Bahan Kimia

Satmoko Wisaksono

Direktorat Pengawasan Nazaba, Ditjen POM, Departemen Kesehatan RI Jakarta

PENDAHULUAN

Perkembangan produk kimia yang cepat selama satu abad ini telah berhasil meningkatkan mutu kehidupan. Namun di sisi lain keadaan tersebut menimbulkan kerugian bagi masyarakat terutama mereka yang secara langsung berhubungan dengan bahan kimia.

Diperkirakan paparan bahan kimia di tempat kerja mengakibatkan 4% kematian karena kanker, dan bahkan dapat mencapai 80% untuk jenis kanker tertentu. Sebagian besar pekerja dapat menderita berbagai jenis penyakit yang disebab-kan oleh bahan kimia. Efek jangka panjang akibat polusi bahan kimia terhadap makanan dan lingkungan sudah mulai disadari dan mendapat perhatian. Hal ini penting bagi setiap orang yang terlibat dalam pembuatan, penggunaan, penyimpanan, peng-angkutan, dan pembuangan bahan kimia untuk menyadari bahaya dari bahan-bahan kimia terhadap kesehatan. EFEK TOKSIK BAHAN KIMIA

Efek toksik atau toksisitas suatu bahan kimia dapat di-definisikan sebagai potensi bahan kimia untuk meracuni tubuh orang yang terpapar.

Potensi bahan kimia untuk dapat menimbulkan efek negatif terhadap kesehatan tergantung terutama pada toksisitas bahan kimia tersebut, dan besarnya paparan. Toksisitas merupakan sifat dari bahan kimia itu sendiri, sedangkan paparan tergantung dari bagaimana bahan itu digunakan, misalnya, apakah bahan dipanaskan, disemprotkan atau dilepaskan ke lingkungan kerja. Tetapi dalam menilai bahaya, perlu diperhitungkan juga kerentanan orang yang terpapar, yang dipengaruhi oleh antara lain jenis kelamin, umur; status gizi.

Beberapa konsep telah dikembangkan untuk membantu menggolongkan efek beracun bahan kimia, sebagai berikut: Efek akut

Istilah efek akut dapat diartikan sebagai paparan singkat

dengan efek seketika. Namun pemaparan akut selain dapat menimbulkan efek akut, juga dapat mengakibatkan penyakit kronik, sebagai contoh kerusakan otak yang permanen dapat disebabkan oleh paparan akut senyawa timah putih trialkil atau karena keracunan karbon monoksida berat. Efek kronik

Istilah kronik dapat diartikan sebagai pemaparan berulang dengan masa tunda yang lama antara paparan pertama hingga timbulnya efek yang merugikan kesehatan.

Efek akut dan kronik

Suatu bahan dapat mempunyai efek akut dan kronik sekaligus. Sebagai contoh pemaparan tunggal karbon disulfida dengan konsentrasi tinggi dapat mengakibatkan hilangnya kesadaran (efek akut), tetapi pemaparan berulang tiap hari selama bertahun-tahun dengan konsentrasi yang jauh lebih rendah yang jika dialami sebagai pemaparan tunggal tidak menimbulkan efek merugikan (efek kronik) dapat mengakibat-kan kerusakan pada sistem saraf pusat dan tepi, juga jantung.

Efek dapat balik (reversible)

Ef'ek yang hilang bila pemaparan berhenti/mereda. Sebagai contoh, dermatitis kontak, nyeri kepala dan mual karena terpapar pelarut. Efek tidak dapat balik (irreversible)

Efek yang tidak akan hilang atau permanen meskipun bahan kimia penyebabnya telah mereda atau hilang. Sebagai contoh, penyakit kanker yang disebabkan oleh pemaparan bahan kimia. Efek lokal

Efek berbahaya yang ditimbulkan oleh bahan kimia di bagian permukaan tubuh atau dapat masuk ke dalam tubuh. Sebagai contoh, luka bakar pada kulit.

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 32

Page 34: cdk_135_napza

Efek sistemik Efek suatu bahan kimia pada organ tubuh atau cairan tubuh

setelah penyerapan atau penetrasi ke dalam organ atau cairan tubuh. Sebagai contoh, masuknya bahan-bahan kimia seperti timbal, benzen, kadmium, raksa dan sebagainya dapat menye-babkan anemia, gangguan saraf, dan sebagainya. Efek sinergis

Efek gabungan dari lebih dari satu bahan kimia. Efek gabungan ini dapat lebih parah dari efek yang diiniliki oleh masing-masing bahan kimia.

Berdasarkan sifat bahayanya, toksisitas dapat digolongkan sebagai berikut: Korosif

Merusak (membakar) jaringan hidup apabila kontak. Seba-gai contoh, larutan asam pekat seperti sulfat atau basa seperti soda api dapat menimbulkan luka bakar. Iritan

Menimbulkan iritasi setempat atau peradangan pada kulit, hidung, atau jaringan paru. Sensitizer

Menimbulkan reaksi alergi. Seseorang yang peka terhadap bahan kimia akan mengalami reaksi alergi yang berat, sedang bagi individu yang tidak peka, dosis yang sama tidak akan membahayakan. Bagi individu yang peka, setiap pemaparan berikutnya apakah melalui kontak kulit atau inhalasi akan me-nimbulkan risiko kesehatan. Asfiksian

Mengganggu pengangkutan oksigen ke jaringan tubuh. Sebagai contoh, antara Iain karbon monoksida dan sianida. Karsinogen

Penyebab kanker. Mutagen

Dapat menimbulkan kerusakan DNA sel . DNA adalah molekul pembawa informasi genetik yang

mengendalikan pertumbuhan dan fungsi sel. Kerusakan DNA dalam sel telur atau sperma manusia dapat menurunkan kesuburan; aborsi spontan, cacad lahir, dan penyakit keturunan. Teratogen

Suatu bahan kimia yang apabila berada dalam aliran darah wanita harnil dan menembus plasenta, mempengaruhi per-kembangan janin dan menimbulkan kelainan struktur dan fungsional bawaan atau kanker pada anak.

Contoh yang telah diketahui secara luas sebagai teratogen adalah talidomid, yang pada tahun 1960an telah banyak menyebabkan kasus fokomelia (pengecilan lengan dan tungkai sedemikian rupa hingga tungkai dan lengan menempel lang-sung ke tubuh) pada bayi para wanita yang memakan obat tersebut selama tahap awal kehamilannya.

Fetotoksikan

Suatu bahan kimia yang berpengaruh buruk terhadap per-

kembangan janin sehingga bayi lahir dengan bobot yang rendah. EFEK BAHAN KIMIA PADA SISTEM TUBUH

Bahan kimia dapat meracuni sel-sel tubuh atau mem-pengaruhi organ tertentu yang mungkin berkaitan dengan sifat bahan kimia atau berhubungan dengan tempat bahan kimia memasuki tubuh atau disebut juga organ sasaran.

Efek racun bahan kimia atas organ-organ tertentu dan sis-tem tubuh : Paru-paru dan sistem pernafasan

Efek jangka panjang terutama disebabkan iritasi (menye-babkan bronkhitis atau pneumonitis)

Dalam luka bakar, bahan kimia dalam paru-paru yang dapat menyebabkan udema pulmoner (paru-paru berisi air), dan dapat berakibat fatal. Sebagian bahan kimia dapat mensen-sitisasi atau menimbulkan reaksi alergik dalam saluran nafas yang selanjutnya dapat menimbulkan bunyi sewaktu menarik nafas, dan nafas pendek.

Kondisi jangka panjang (kronis) akan terjadi penimbunan debu bahan kimia pada jaringan paru-paru sehingga akan ter-jadi fibrosis atau pneumokoniosis. Hati

Bahan kimia yang dapat mempengaruhi hati disebut hipotoksik. Kebanyakan bahan kimia menggalami metabolisme dalarn hati dan oleh karenanya maka banyak bahan kimia yang berpotensi merusak sel-sel hati.

Efek bahan kimia jangka pendek terhadap hati dapat me-nyebabkan inflamasi sel-sel (hepatitis kimia), nekrosis (ke-matian sel), dan penyakit kuning. Sedangkan efek jangka pan-jang berupa sirosis hati dari kanker hati. Ginial dan saluran kencing

Bahan kimia yang dapat merusak ginjal disebut nefro-toksin. Efek bahan kimia terhadap ginjal meliputi gagal ginjal sekonyong-konyong (gagal ginjal akut), gagal ginjal kronik dan kanker ginjal atau kanker kandung kemih. Sistem syaraf

Bahan kimia yang dapat menyerang syaraf disebut neuro-toksin. Pemaparan terhadap bahan kimia tertentu dapat mem-perlambat fungsi otak. Gejala-gejala yang diperoleh adalah mengantuk dari hilangnya kewaspadaan yang akhirnya diikuti oleh hilangnya kesadaran karena bahan kimia tersebut menekan sistem syaraf pusat.

Bahan kimia yang dapat meracuni sistem enzim yang mennuju ke syaraf adalah pestisida.

Akibat dari efek toksik pestisida ini dapat menimbulkan kejang otot dan paralisis (lurnpuh). Di samping itu ada bahan kirnia lain yang dapat secara perlahan meracuni syaraf yang menuju tangan dan kaki serta mengakibatkan mati rasa dan kelelahan.

Darah dan sumsum tulang

Sejumlah bahan kimia seperti arsin, benzen dapat rnerusah

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 33

Page 35: cdk_135_napza

sel-sel darah merah yang menyebabkan anemia hemolitik. Bahan kimia lain dapat merusak surnsum tulang dan organ lain tempat pembuatan sel-sel darah atau dapat menimbulkan kanker darah. Jantung dan pembuluh darah (sistem kardiovaskuler)

Sejumlah pelarut seperti trikloroetilena dan gas yang dapat menyebabkan gangguan fatal terhadap ritme jantung. Bahan kimia lain seperti karbon disulfida dapat menyebabkan pening-katan penyakit pembuluh darah yang dapat menimbulkan serangan jantung. Kulit

Banyak bahan kimia bersifat iritan yang dapat menye-babkan dermatitis atau dapat menyebabkan sensitisasi kulit dan alergi.

Bahan kimia lain dapat menimbulkan jerawat, hilangnya pigmen (vitiligo), mengakibatkan kepekaan terhadap sinar matahari atau kanker kulit.

Sistem reproduksi

Banyak bahan kimia bersifat teratogenik dan mutagenik terhadap sel kuman dalam percobaan. Disamping itu ada be-berapa bahan kimia yang secara langsung dapat mempengaruhi ovarium dan testis yang mengakibatkan gangguan menstruasi dan fungsi seksual.

Sistem yang lain

Bahan kimia dapat pula menyerang sistem kekebalan, tulang, otot dan kelenjar tertentu seperti kelenjar tiroid.

Cara menentukan toksisitas bahan kimia

Dalam pengertian umum, toksisitas suatu bahan dapat didefinisikan sebagai kapasitas bahan untuk mencederai suatu organisme hidup.

Pengetahuan mengenai toksisitas suatu bahan kimia di-kumpulkan dengan mempelajari efek-efek dari: - Pemaparan bahan kimia terhadap binatang percobaan. - Pemaparan bahan kimia terhadap organisme tingkat rendah seperti bakteri dan kultur sel-sel dari mamalia di laboratorium. - Pemaparan bahan kimia terhadap manusia. Studi terhadap binatang • Uji toksisitas akut (LD50 dan LC50)

Uji standar untuk tosisitas akut (jangka pendek) adalah memberi binatang bahan kimia dengan jumlah yang semakin meningkat dalam kurun waktu 14 hari hingga binatang per-cobaan tersebut mati. Cara lain adalah dengan menaruh bahan kimia pada kulit binatang hingga suatu reaksi dapat teramati.

Jumlah bahan kimia yang menyebabkan kematian 50% binatang percobaan dikenal sebagai dosis mematikan bagi 50% binatang percobaan atau LD50. Dalarn percobaan dengan LD50 ini dapat dilakukan secara oral atau dermal tergantung pada metoda pemaparannya.

Dosis mematikan untuk inhalasi bahan kimia dalam bentuk gas atau aerosol juga dapat diuji. Dalarn hal ini konsentrasi gas atau tiap yang membunuh separuh dari binatang dimasukkan

konsentrasi mematikan untuk 50% binatang percobaan atau disebut LC50.

LD50 dan LC50 digunakan secara luas sebagai indeks tok-sisitas. Kriteria di bawah ini sering dipakai untuk maksud klasifikasi efek toksik akut pada binatang. Tabel 1. Klasifikasi toksisitas akut pada binatang.

LD50 oral

Mencit (mg/kg)

LD50 dermal mencit atau

kelinci (mg/kg)

LC50 inhalasi mencit (mg/m3/4 jam)

Berbahaya 200 – 2000 400 – 2000 2000 – 20000 (harmful) Beracun 25 – 200 50 – 400 500 – 2000 Sangat beracun > 25 < 50 < 500

Selain itu dengan skala Hodge dan Sterner dapat meng-

klasifikasikan toksisitas akut bahan kimia terhadap manusia. Tabel 2. Klasifikasi toksisitas akut pada manusia.

No Peringkat toksisitas Dosis Dosis mungkin mematikan

bagi rata-rata orang dewasa

1 Praktis tidak beracun > 15 g/kg > 1 liter 2 Agak beracun 5 -15 g/kg 0,5 - 1 liter 3 Toksisitas sedang 0,5 - 5 g/kg 30 - 50 ml 4 Sangat beracun 50 - 500 mg/kg 3 - 30 ml 5 Luar biasa beracun 5 - 50 mg/kg 7 tetes - 3 ml (extremely toxic) 6 Super toksik < 5 mg/kg Dengan indoor (< 7 tetes)

Dalam menilai risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh

suatu bahan kimia tidak mungkin hanya berdasarkan atas LD50 dan LC50. Karena LD50 dan LC50 suatu bahan kimia tidak me-nyajikan informasi tentang mekanisme atau type toksisitas. Suatu bahan kimia atau kemungkinan-kemungkinan efek jang-ka panjang atau kronik.

Jadi LD50 dan LC50 hanya merupakan indeks kasar tok-sisitas.

Dalam penentuan dosis tetap, berbagai lembaga inter-nasional saat ini sedang memodifikasi atau mengganti uji LD50 dan LC50 dengan metode yang lebih sederhana, misalnya tatacara dosis tetap yang menggunakan lebih sedikit binatang percobaan.

Tatacara dosis tetap hanya dengan menggunakan jumlah binatang percobaan yang lebih sedikit dan dalam analisis pe-nilaian toksisitas bahan kimia tanpa harus membiarkan bina-tang mati pada akhir percobaan.

Dasar pemikirannya adalah menguji bagaimana suatu set dosis bahan kimia mempengaruhi sekelompok binatang. Dosis didasarkan alas apa yang tidak diketahui mengenai sifat fisika dan kimia bahan yang sedang dinilai.

• Uji iritasi dan korosi

Uji iritasi dan korosi memberikan sejumlah informasi khas. Bahan kimia yang sedang diuji ditaruh di atas kulit binatang percobaan dan kemudian diperiksa selama beberapa hari untuk

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 34

Page 36: cdk_135_napza

melihat tanda-tanda seperti ruam kulit atau reaksi panas. Pengujian dapat dilakukan pada mata binatang (dikenal

dengan Draize)

• Uji toksisitas sub kronik Secara normal uji toksisitas subkronik memerlukan studi

inhalasi atau penelanan selama 90 hari untuk mengetahui efek-efek spesifik dan nyata dari bahan kimia pada organ dan biokimia dari binatang. Pengujian toksisitas sebaiknya dilaku-kan secara berulang-ulang dan diarahkan terutama untuk men-deteksi efek toksik yang secara jelas bukan akibat dari pemaparan kulit.

Pengujian secara kasar hanya berdasarkan pengamatan abnormalitas secara pengamatan kasar dengan mata telanjang, tetapi untuk pengujian yang lebih mendalam perlu pengambilan irisan suatu jaringan dan diperiksa di bawah mikroskop untuk mengetahui terjadi abnormalitas sel-sel dalam organ. Pada umumnya dalam pengujian perlu pengarnbilan cuplikan darah atau urin secara teratur dari binatang percobaan untuk peme-riksaan dan analisis. Pengujian-pengujian ini merupakan dasar bagi dosis yang digunakan dalam uji hayati kronik.

• Uji hayati kronik (seumur hidup) Maksud dari uji hayati kronik (seumur hidup), untuk

menentukan apakah bahan kimia dapat menimbulkan setiap efek kesehatan yang mungkin memerlukan waktu yang lama untuk menimbulkan suatu efek seperti kanker, atau paparan jangka panjang terhadap bahan kimia menimbulkan efek kesehatan pada organ seperti ginjal.

Percobaan ini dilakukan dengan memberikan dosis tertentu bahan kimia terhadap hewan percobaan melalui penelanan atau inhalasi terhadap bahan kimia yang sedang diuji selama masa hidupnya. Untuk mencit dapat memakan waktu hingga 2 tahun sedangkan untuk tikus sedikit lebih singkat. Dalam suatu uji khusus, 50 ekor rnencit atau tikus dari tiap jenis kelamin diberi perlakuan paparan bahan kimia yang sedang diuji dengan dosis tinggi tetapi tidak mematikan. Binatang percobaan ini dibandingkan dengan binatang sebagai kontrol dalam jumlah yang sama dengan jumlah binatang percobaan dalam waktu yang sama. Binatang kontrol ini serupa dalam segala hal dengan binata.ng percobaan, perbedaannya bahwa binatang kontrol tersebut tidak diberi perlakuan pemaparan bahan kimia.

Suatu percobaan yang baik yaitu dengan memberikan perlakuan pemaparan untuk kedua jenis kelamin terhadap bahan kimia dengan dosis yang berbeda. Dalam suatu per-cobaan efek bahan kimia dapat menggunakan binatang percobaan hingga 500 ekor.

• Uji Mutagenitas jangka pendek

Bakteri dan sel binatang yang tumbuh dalam tabung uji dari koloni serangga buah-buahan atau serangga lain cocok untuk penyelidikan yang cepat dan rnurah dalarn usaha me-ngetahui bahan kirnia yang potensial mempunyai efek karsinogenik dan mutagenik. Uji yang paling baik dan paling banyak digunakan adalah uji rnutagenitas Salmonella (umum-nya dikenal sebagai uji Ames). Uji ini membutuhkan bakteri

yang tumbuh secara khusus di laboratorium dan memaparkan-nya terhadap bahan kimia yang diuji. Uji tersebut untuk men-deteksi mutasi dalam bakteri yaitu untuk uji efek mutagenik.

Terdapat sejumlah uji mutagenik jangka pendek yang lain atau pengujian mutagenitas (mutagenity assay). Uji ini sering-kali dirujuk sebagai uji in vitro.

Jadi uji ini dibedakan dengan uji in vivo yang mengguna-kan jaringan hidup seperti binatang dan manusia. Banyak bahan kimia dapat menyebabkan kanker pada binatang dan mungkin menimbulkan kanker pada manusia bersifat mutagenik.

• Uji yang herhubungan dengan reproduksi

Uji binatang percobaan untuk memeriksa efek yang me-rugikan dari suatu bahan kimia pada reproduksi memerlukan perlakuan pemaparan terhadap seekor atau kedua induk ter-hadap bahan kimia yang sedang diuji sebelum kawin, kemudian diamati efek-efeknya pada setiap keturunannya.

Kadang-kadang perlakuan paparannya diberikan pada seekor binatang yang sedang hamil.

Efek reproduksi dapat diklasifikasikan dengan hasil-hasil temuan seperti apakah keturunannya lebih sedikit jumlahnya, bobot tubuh yang lebih ringan atau dalam beberapa hal meng-alami kerusakan. Uji rnultigenerasi kadang-kadang diperlukan untuk mendeteksi efek yang dapat diwariskan bagi generasi berikutnya.

• Uji tingkah laku

Efek bahan kimia terhadap percobaan tingkah laku bina-tang percobaan. Misalnya pemberian paparan bahan kimia terhadap hewan percobaan kemudian hewan percobaan di-masukkan dalam kotak maze (kotak dengan jalan ruwet) kemudian diamati tingkah laku hewan percobaan tersebut apa-kah terjadi perubahan tingkah laku dengan adanya efek bahan kimia terhadap otak dan saraf. Namun kerapkali percobaan ini menunjukkan efek tidak nyata. • Studi epidemiologis

Studi epidemiologis menyelidiki kesehatan sekelompok orang atau menetapkan apakah mereka terpengaruh oleh paparan bahan kimia di tempat kerja atau dalam lingkungan umum. Dalam studi ini perlu perbandingan penyakit yang timbul akibat bahan kimia pada sekelompok orang yang ter-papar dengan orang-orang yang tidak terpapar dalam kurun waktu tertentu.

Dua metode penyelidikan yang paling umum dalam epide-miologi adalah studi kontrol kasus dan studi kohor. Studi kontrol kasus relatif lebih sederhana pelaksanaannya dan peng-gunaannya sedikit meningkat untuk menyelidiki penyebab penyakit terutama bagi penyakit yang jarang terjadi.

Pada dasarnya metode ini membandingkan orang yang jatuh sakit atau akibat lainnya dengan suatu kelompok kontrol yang sesuai, yang tidak dipengaruhi oleh penyakit tersebut atau akibatnya dalarn suatu usaha untuk mengidentifikasi penyebab.

Studi kohor juga disebut sebagai studi lanjutan atau studi insiden dengan melekat pada sekelompok penduduk (suatu kohor) yang digolongkan dalam sub kelompok berdasarkan

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 35

Page 37: cdk_135_napza

KESIMPULAN pemaparan terhadap suatu penyebab penyakit yang potensial atau akibat dari perbedaan dalam paparan (misalnya terhadap bahan kimia) kemudian diperiksa dan diukur kemudian pen-duduk keseluruhan ditindak lanjuti untuk melihat bagaimana perkembangan penyakit atau akibat selanjutnya antara kelom-pok yang terpapar dan tidak terpapar. Meskipun penyelidikan epidemiologis memberi bukti yang paling dapat dipercaya bahwa suatu bahan kimia tertentu rnempunyai efek merugikan kesehatan pada suatu populasi, narnun penyelidikan semacarn ini memiliki beberapa kelemahan. Hal ini dikarenakan selain biaya yang rnahal, juga membutuhkan jumlah pekerja yang terpapar dalam jumlah besar untuk rnemjamin kesahihan per-hitungan-perhitungan statistik.

Di samping itu, studi epidemiologis mungkin tidak dapat mendeteksi kasus-kasus mengenai peranan dari kasus satu bahan kimia tertentu ketika para pekerja terpapar terhadap campuran bahan kimia. Oleh karena informasi yang diberikan dalam studi epidemiologis sangat terbatas, maka tindakan pen-cegahan hendaknya dianjurkan berdasarkan atas studi binatang. Teori dengan menggunakan uji binatang adalah bahwa manusia dan binatang seperti mencit, tikus atau anjing memiliki bio-kimia dasar dan proses-proses hayati yang sama.

Uji binatang memungkinkan untuk menguji toksisitas suatu bahan kimia sebelum manusia terpapar.

Setiap bahan kimia mempunyai efek dan target sasaran organ tubuh yang akan rusak baik secara lokal, sistemik, akut, dapat pulih atau tidak dapat pulih.

Dalam penentuan toksisitas suatu bahan kimia yang terbaik adalah dengan melakukan studi dengan menggunakan binatang percobaan karena uji binatang memungkinkan untuk menguji toksisitas suatu bahan kimia sebelum manusia terpapat.

KEPUSTAKAAN

1. IPCS. User's Manual For the IPCS Health and Safety Guides, Published by WHO the International Programme on Chemical Safety. (1996).

2. IPCS. Risk Assessment Training Module. Prepared by The Edinburgh Control for Toxicology. (1997).

3. Budiawan, Franizal Nur. Criteria for Prioritization of Risk Assessment, Training Course on Risk Assessment, WHO. (1998).

4. Atmawidjaja Sudana. Toksikologi Bahan Berbahaya, Workshop Sentra Informasi Keracunan Propinsi Jawa Barat, Kanwil Kesehatan Departemen Kesehatan. (1997).

5. Dempsey JL. Guidelines to The Risk Assessment of Public Health Aspects of Human Risk From Exposure to Chemicals, Training Course on Risk Assessment, WHO. (1998).

6. Dempsey JL. Hazard Assessment and Dose Response, Training Course on Risk Assessment, WHO. (1998)

7. Dempsey JL. Exposure Assessment and Risk Characterization, Training Course on Risk Assessment, WHO. (1998).

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 36

Page 38: cdk_135_napza

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Marine Toxin Saxitoxin

Winarti Andayani*, Betty Marita Subrata**, dan Esther Budiman***

*Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Atom Nasional, Jakarta ** Staf Pengajar Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor

*** Mahasiswa Program Pasca Sarjana Kimia, Universitas Indonesia, Jakarta

PENDAHULUAN

Pada umumnya orang berpikir dengan memakan seafood, mereka akan mendapatkan keuntungan protein yang tinggi, asam lemak omega-3 dan mineral, yang disertai dengan kan-dungan lemak dan kalori yang rendah. Namun mereka menge-tahui bahwa seafood juga bisa mengakibatkan keracunan disebabkan oleh lingkungan yang tercemar. Tercemarnya seafood dapat terjadi secara alami (mikroorganisme dan toksin) maupun oleh kontaminasi bahan kirnia beracun.

Marine toksin (toksin yang terdapat di laut) sudah lama di-identifikasi di berbagai tempat antara lain Jepang, Filipina, dan Indonesia. Toksin ini sangat berbahaya dan tidak dapat rusak oleh panas dan pemrosesan. Mereka berasal dari alam dan aki-bat kegiatan manusia seperti limbah industri dan kebakaran hutan, namun yang terpenting dari fitoplankton. Hampir semua seafood bisa terkontaminasi oleh toksin dan dapat menim-bulkan sindrom yang berbeda-beda (Gambar 1).

Toksin yang berasal dari plankton ditemukan juga dalam kerang-kerangan. Hal ini karena kerang mempunyai sifat penyaring makanan (filter feeding shellfish). Jumlah toksin akan berlipat ganda sesuai dengan jumlah fitoplankton toksik yang dimakannya. Toksin ini dapat menyebabkan paralytic, neurotoxic, amnesic dan diarrhetic shellfish poisoning (PSP, NSP, ASP, dan DSP), disamping itu mungkin juga dapat memacu pertumbuhan tumor. Paralytic Shellfish Poisoning disebabkan oleh saxitoxin yang tidak berpengaruh pada tubuh kerang karena sudah kebal terhadap kondisi demikian setelah lama berhubungan dengan toksin tersebut, tetapi dapat berakibat kegagalan pernapasan yang fatal bagi manusia. SAXITOXIN

Mikroalgae adalah produsen utama yang menyusun dasar jaringan makanan laut dan air tawar. Banyak mikroalgae yang

Toxins Marine dinoflagelates

(Also bacteria) Toxins

Food chain Fish Shellfish Ciguatera Paralytic shellfish poisoning Palytoxin Neurotoxic shellfish poisoning Puffer fish poisoning Diarrhetic shellfish poisoning Amnesic shellfish poisoning (Diatoms)

Gambar 1. Beberapa Sindrom Akibat Keracunan Seafood(1)

juga memproduksi komponen-komponen baru yang menunjuk-kan aktivitas biologis yang kuat. Komponen-komponen ini di-anggap sebagai metabolik sekunder, yaitu komponen yang tidak esensial sebagai dasar metabolisme dan pertumbuhan pada organisme, dan terdapat dalam kelompok taksonomi yang terbatas. Biosintesis metabolit sekunder umum terjadi dalam bakteri seperti dalam mikroba eukariotik dan tanaman.

Dari banyak metabolit sekunder algae yang telah di-identifikasi, beberapa di antaranya merupakan toksin kuat yang bertanggung jawab terhadap sejumlah penyakit pada manusia, ketidaknormalan dan kematian hewan mamalia dan burung, serta kematian ikan. Toksin yang terutama berarti bagi kesehatan manusia berasal dari 3 kelas algae bersel satu, yaitu dinoflagelata, diatoms dan cyanobacteria. Dinoflagelata mem-

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 37

Page 39: cdk_135_napza

punyai jaringan yang luas, namun demikian hanya beberapa lusin spesies, dari beberapa ribu spesies dinoflagelata yang diketahui, kelihatan bersifat toksigenik. Pada diatoms, genus tunggal, pseudo-nitschia, menghasilkan toksin yang memiliki pengaruh kuat terhadap kesehatan manusia, sebaliknya pada cyanobacteria hanya beberapa yang teridentifikasi menghasil-kan toksin.

Toksin algae terdiri dari bermacam-macam berdasarkan struktur dna fungsinya dan banyak yang merupakan turunan dari jalur biosintesis yang unik. Misalnya dinoflagelata, men-sintesis semacam toksin polieter yang terbagi atas dua grup struktural linier dan gabungan (seperti tangga). Toksin algae yang mempunyai pengaruh kuat terhadap kesehatan manusia mungkin dikategorikan sebagai neurotoksin atau hepatotoksin. Neurotoksisitas dari toksin algae diperantarai oleh bermacam-macam interaksi yang sangat spesifik dengan saluran-saluran ion yang terlibat dalam neurotransmisi.

Saxitoxin dihasilkan oleh beberapa spesies dinoflagelata(2), antara lain Alexandrium catenella, Alexandrium minutum, Alexandrium tamarense, Gymnodium catenatum, dan Pyrodi-nium bahamense var. compressum (Tabel 1). Beberapa spesies dari genus Alexandrium, antara lain A. cohorticula dan A. tamayavanichi, masih belum dapat dipastikan toksisitasnya sehingga keberadaannya perlu diwaspadai. Ledakan populasi (blooming) dari spesies-spesies tersebut di atas menyebabkan perubahan warna air laut dari biru-biru menjadi merah kecoklatan. Perubahan warna air laut ini umumnya dikenal sebagai fenomena red tide. Fenomena red tide dapat dikaitkan dengan beberapa fenomena alam seperti El Nino, yang ikut menjadi penyebab red tide blooms di wilayah Indonesia. Diperkirakan awal musim hujan merupakan masa-masa terjadinya blooms dari spesies-spesies berbahaya yang ber-tujuan untuk mengambil makanan dari daratan. Namun tidak semua gejala red tide menyebabkan dampak negatif, bahkan umumnya red tide terjadi sebagai tanda

Tabel 1. Plankton penghasil PSP(2)

Spesies Areas PSP Components

Alexandrium catenella

Pacific coasts-California, British Columbia, Alaska, Japan, Venezuela, Chile

GTXs, STXs

A. tamarense North Atlantic coasts-New England, Canada, Denmark, W. Germany, Holland, Norway, Japan

GTXs, STXs

A. acatenella British Columbia unknown A. phoneus North Sea unknown A. cohorticula Gulf of Thai GTXs

Brunei, Papua New Guinea unknow Pyrodinium bahamense P. bahamense var. compressa

Palau Island GTXs, STXs

Gymnodinium calenatum

Tasman Sea, Japan PXs, GTXs

Cochlodinium sp. Japan Zn-bound PXs Aphanizomenon flan-aquae

New England (lakes) STXs

meningkatnya kesuburan suatu perairan. Red tide yang ber-dampak merugikan disebut Harmful Algal Bloom (HAB).

Saxitoxin berupa cairan tidak berwarna dengan bau me-nyengat (seperi asam cuka), dan mempunyai berat jenis 1,0 (g/mL) Saxitoxin bersifat racun dan menyebabkan iritasi apa-bila kontak dengan kulit, mata, pernafasan dan mulut. Senyawa ini mempunyai nilai LD50 sebesar 263 g/kg bobot badan (oral mencit).

Saxitoxin mempunyai sifat fisik larut dalam air dan metil alkohol, sedikit larut dalam etil alkohol dan asam asetat tetapi tidak larut dalam pelarut organik (non polar). Senyawa ini mudah terhidrolisis dalam larutan basa dan toksinnya tidak aktif setelah dididihkan selama 3 sampai dengan 4 jam pada pH 3. Racun PSP tidak dapat dihilangkan dari kerang-kerangan baik melalui proses pemanasan maupun hidrolisis.

Struktur kristal dari komponen induk saxitoxin mula-mula dilukiskan oleh Schantz dkk yang dapat dilihat pada Gambar 2.

Pada Gambar 2 terlihat bahwa struktur dari congener saxitoxin bervariasi, yang dibedakan oleh kombinasi substitusi OH dan sulfat pada 4 sisi dalam molekul (Rl-4). Berdasarkan substitusi pada R4, saxitoxin dapat dibagi atas 4 kelompok, yaitu toksin karbamat, sulfo-karbamoil, dekarbamoil dan de-oksikarbamoil. Adanya perbedaan substituen pada R4

STX H H H OCONH2 2483 Neo STX OH H H OCONH2 2295 GTX1 OH OSO3- H OCONH2 2468 Carbamate GTX2 H OSO3- H OCONH2 892 GTX3 H H OSO3- OCONH2 1584 GTX4 OH H OSO3- OCONH2 1803 GTX5 (B1) H H H OCONHSO3- 160 GTX6 (B2) OH H H OCONHSO3- - C1 H OSO3- H OCONHSO3- 15 Sulfocarbamoyl C2 H H OSO3- OCONHSO3- 239 C3 OH OSO3- H OCONHSO3- 33 C4 OH H OSO3- OCONHSO3- 143 dcSTX H H H OH 1274 dcNeoSTX OH H H OH - dcGTX1 OH OSO3- H OH - dcGTX2 H OSO3- H OH 1617 dcGTX3 H H OSO3- OH 1872 dcGTX4 OH H OSO3- OH - doSTX H H H H - Deoxydecarbamoyl doGTX2 H H OSO3- H - doGTX H OSO3- H H -

Gambar 2. Struktur Saxitoxin dan Tosisitas Relatif dari PSP (van Dolah, in press)

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 38

Page 40: cdk_135_napza

mengakibatkan perubahan yang besar pada sifat toksisitasnya. Toksin karbamat adalah yang paling kuat sifat toksisitasnya (892-2483 mouse unit (MU) /µmol). Toksin dekarbamoil mem-punyai potensi di tengah-tengah yaitu 1274-1872 MU/µmol dan toksin sulfo karbamoil merupakan toksin yang paling lemah (15-239 MU/µnol). Nilai toksisitas ditentukan dalam satuan Mouse Unit (MU), dimana 1 MU sama dengan jumlah toksin yang dibutuhkan untuk membunuh seekor mencit seberat 20 g dalam 15 menit. PARALYTIC SHELLFISH POISONING (PSP)

Seafood yang telah terkontaminasi oleh saxitoxin apabila dikonsumsi oleh manusia akan menyebabkan sindrom yang disebut Paralytic Shellfish Poisoning. Gejala utama dari kera-cunan saxitoxin adalah kelumpuhan (paralysis) pada otot, selain otot jantung (3). Penderita mula-mula akan merasakan kesemutan dan mati rasa pada bibir yang menjalar ke seluruh mulut dan leher. Gejala selanjutnya terasa pada ujung jari tangan dan kaki yang nyeri seperti ditusuk-tusuk, pusing, mual, muntah dan kejang pada otot perut, kesukaran bernafas dan akhirnya berhenti bernafas, tetapi jantung masih tetap ber-denyut. Bila tidak ditolong maka penderita akan meninggal dalam waktu 24 jam. Pertolongan hanya dapat dilakukan dengan cara menguras isi perut dan memberikan pernafasan buatan.

Pada suatu penelitian sampel klinis dari terjangkitnya PSP di Alaska tahun 1994, pembuangan saxitoxin dari darah manu-sia berlangsung dalam waktu kurang dari 24 jam, juga pada pasien yang mengalami kelumpuhan pernafasan dan dibantu dengan bantuan pernafasan. Pembuangan ini sebagian besar melalui urin. Saat ini masih belum tersedia penangkal untuk PSP Antibodi monoklonal anti saxitoxin yang diuji secara in vitro dan in vivo menunjukkan perlindungan terhadap terikat-nya saxitoxin dan pengurangan gerakan di sekeliling saraf aki-bat saxitoxin pada saraf mencit, diduga antibodi mungkin ber-potensi menyediakan reagen yang berguna untuk perlindungan terhadap toksisitas secara in vivo. Sebagai tambahan, peng-halang saluran K, 4-aminoantipirin, baru-baru ini menunjukkan pembalikan efek secara signifikan pada serangan saxitoxin dalarn mencit, mungkin hal ini berguna sebagai penangkal bagi PSP. PENYEBARAN PLANKTON PENGHASIL PSP

Penyebaran dari mikroalgae dapat terjadi mengikuti bebe-rapa pola, baik alami maupun karena kegiatan manusia. Dengan demikian mikroalgae tersebut dapat terbawa oleh arus ke arah tertentu dan apabila kondisinya sesuai, berkembang dengan baik. Dengan perantaraan arus inilah umumnya mikroalgae me-nyebar.

Di Jepang Alexandrium catenella pertama kali didapatkan sebagai penghasil PSP di Owase Bay. Survey lain menunjukkan bahwa spesies plankton ini secara luas terdistribusi di sebagian besar bagian utara sampai bagian selatan Jepang(2). Pyrodinium bahamense var. compressum merupakan spesies utama penye-bab PSP di perairan Indo-Pasifik, seperti di Papua Nugini, Sabah, Brunei Darussalam, Filipina, Sarawak dan Semenanjung Malaysia. Di Indonesia spesies ini sudah diidentifikasi dari

beberapa perairan, seperti Teluk Kao, Halmahera, Teluk Ambon, Teluk Peru, perairan sekitar Biak, Teluk Jakarta, dan Selat Bangka. Namun sampai seat ini masalah PSP hanya dijumpai di perairan Teluk Kao dan Nunukan. Tempat penye-baran plankton penghasil PSP dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Tempat penyebaran plankton penghasil PSP(4). Gejala PSP yang muncul di Jepang, teramati di Barat Daya

kepulauan Jepang. Terdapat paling sedikit 15 orang meninggal akibat mengkonsumsi kepiting selama 1909-1988. Selama 20 tahun (1972 sampai dengan 1992), lebih dari 90% makanan yang terkontaminasi oleh saxitoxin berakibat fatal. Jumlah kor-ban mencapai 11.157 orang, dengan jumlah korban yang me-ninggal sebanyak 271 orang.

Gejala PSP lainnya muncul di Taiwan bagian utara(5). Mereka melakukan penelitian di perairan Ilan County di Taipeh dari bulan November 1996 sampai dengan Oktober 1997, ternyata spesies Puffer takifugu rupripes telah terkontaminasi oleh saxitoxin.

Di Indonesia PSP umumnya terjadi di perairan Teluk Kao, Halmahera, Maluku. Di perairan sekitar Larantuka-Flores Timor, gejala keracunan PSP telah tercatat semenjak tahun 1959 dengan korban tiga orang meninggal dan lima orang mengalami kelumpuhan setelah memakan ikan laut. Kejadian ini berulang pada tahun 1983, 1985, 1992, dan terakhir tahun 1997. Semua musibah terjadi pada awal musim penghujan, sekitar bulan November-Desember. Musibah terparah terjadi pada tahun 1983 dengan korban empat orang meninggal dunia dan 236 orang mengalami kelumpuhan. Kejadian di Flores Timor ini agak menyimpang dari kebiasaan, karena korban jatuh setelah memakan ikan dan bukan kerang. Selain itu sampai sekarang belum dapat ditentukan spesies mikroalgae yang menghasilkan toksin PSP. Kesimpulan terjadinya kera-cunan PSP hanya didasarkan pada gejala klinis penderita.

Lokasi lain di Indonesia yang mengalami kejadian PSP tercatat di Kalimantan Timur, tepatnya di perairan Nunukan dan Pulau Sebatik sebelah selatan, suatu pulau yang berbatasan dengan Sabah. Kejadiannya berlangsung pada tahun 1988 se-telah orang mengkonsumsi sejenis kerang, Merethrix merethrix

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 39

Page 41: cdk_135_napza

(kerang tahu). Dua jam setelah memakan kerang, sebanyak 68 orang jatuh sakit dengan gejala PSP dan akhirnya 2 orang meniggal dunia.

MEKANISME SAXITOXIN DI DALAM TUBUH

Berdasarkan aktivitas tiap molar senyawa, ternyata saxitoxin paling aktif dalam menghambat (blocking) saluran- saluran. dari susunan saraf den membran-membran sel jika dibandingkan dengan senyawa-senyawa derivatnya yang lain.

Skema tahapan pengikatan saxitoxin terhadap saluran natrium afinitas tinggi dapat dilihat pada Gambar 4, yang menunjukkan bahwa ikatan ionik dari dari 7,8,9-guanidium ter-hadap gugus anionik dari reseptor (A, B) menyebabkan dehidrasi gemdiol pada posisi C-12, menghasilkan suatu keton (Cl) yang terdapat dalam keadaan kesetimbangan yang cepat dengan karbokation (C2). Ikatan kedua berupa ikatan kovalen yang terbentuk di antara reseptor den C-12 (D).

Saxitoxin terikat dengan afinitas yang kuat pada reseptor asetilkolin di saluran Natrium sehingga menghambat pem-bukaan saluran. Polaritas molekul saxitoxin sebagian besar menghambatnya untuk melintasi penghalang darah otak, karena itu sisi utama tempat aksi saxitoxin pada manusia adalah kemungkinan besar pada persimpangan otot saraf. Hal ini sesuai dengan cepatnya serangan (kurang dari satu jam) dari gejala yang klasik untuk PSP termasuk perasaan geli dan mati rasa pada daerah-daerah perioral dan kaki tangan, kehilangan kontrol motorik, perasaan mengantuk, berbicara tidak jelas, dan pada kasus dengan dosis tinggi, terjadi kelumpuhan pernafasan (sulit bernapas). Dosis letal untuk manusia adalah 1 - 4 mg saxitoxin ekuivalen. Gejala klinis PSP terjadi bila kurang lebih 2000 MU (0,72 mg) termakan, dan kasus serius melibatkan

konsumsi 5.000-20.000 MU toksin (0,9-3,6 mg).

KEPUSTAKAAN

1. Tucker BW. Overview of Current Seafood Nutritional Issues : Formation of Potentially Toxic Products. In : Seafood safety, Proccesing, and Biotechnology. Shahidi F, Jones Y, and DD. Kitts (eds). A Technomic Publishing Co. NY 1997

2. Takashi M. Recent Studies on Marine Toxins. Proceeding Fourth LIPI-JSPS Joint Seminar on marine Sciences. Jakarta 1994; Hal 183-193.

3. Hashimoto Y. Marine Toxins and Other Bioactive Marine Metabolites. Japan Scientific Societies Press. Tokyo 1977.

4. Van Dolah FM. Diversity of marine and Freshwater Algal Toxins. In Seafood Toxicity. L. Botana (ed). Marcel Dekker. NY (in press)

5. Lin, SJ. Chai, T.J. Jong SS. and Deng Fwu Hwang. Toxicity of the Puffer Takifugu Rubripes Cultured in Northern Taiwan. Fisheries Science 1998; 64 (5) : 766-770.

6. Kao YC and SR Levinson (eds). Tterodotoxin, Saxitoxin, and The Molecular Biology of The Sodium Channel. The New York Academy of Sciences. NY 1999.

7. AOAC Official Methods of Analysis Supplement. Natural Toxins 1995. Chapter 49 : 46 B-48.

8. International Atomic Energy Agency. Regional Training Workshop on Receptor Binding Assay Techniques for Harmful Algal Bloom Toxins Quantification. Philippines 1999.

LAMPIRAN 1. ANALISIS PSP DENGAN METODE BIOASSAY(7)

Bahan 1. Larutan standar induk PSP 100 µg/mL (dalam alkohol yang telah ditambah 20% asam), larutan ini stabil dalam tempat dingin (3-4°C). 2. Larutan standar kerja PSP 1 µg/mL, dibuat dengan cara melarutkan 1 mL larutan standar induk dalam 100 mL aquades, larutan stabil dalam beberapa minggu pada 3-4°C. 3. Mencit sehat berukuran 19-21 g. Jika ukuran mencit < 19 g atau > 21 g maka digunakan faktor koreksi untuk memperoleh waktu kematian yang benar.

Gambar 4. Tahapan Pengikatan Saxitoxin terhadap Saluran Natrium(6)

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 40

Page 42: cdk_135_napza

Pada analisis PSP mencit yang digunakan tidak boleh berukuran > 23 g, dan tidak boleh digunakan berulang. Standarisasi Bioassay 1. Sepuluh (10) mL larutan standar 1 µg/mL diencerkan dengan musing-masing 10, 15, 20, 25, dan 30 mL aquades dan pH dikontrol antara 2-4. Masing-masing 1 mL larutan disuntikkan secara intraperitoneal ke beberapa ekor mencit dan kemudian dipilih larutan dengan konsentrasi yang memberikan waktu kematian (death time) antara 5-7 menit. 2. Dari larutan dengan konsentrasi yang terpilih, masing-masing dibuat 3 ulangan dan disuntikkan 1 mL larutan secara intraperitoneal ke masing-masing 10 ekor mencit dan dicatat death time-nya. 3. Apabila ketiga ulangan dari sebuah larutan dengan konsentrasi yang memberikan median death time lebih kecil dari 5 menit atau lebih besar 7 menit, maka hasil dari konsentrasi ini diabaikan. Sebaliknya, apabila salah satu atau lebih dari sebuah larutan dengan konsentrasi yang memberikan median death time antara 5 - 7 menit, maka hasil ini digunakan untuk perhitungan lebih lanjut termasuk ulangan yang mungkin memberikan median death time lebih kecil dari 5 menit atau lebih besar 7 menit. 4. Perhitungan nilai faktor koreksi (FK), nilai MU/ml ditentukan dari median death time konsentrasi terpilih dengan menggunakan Tabel Sommer yaitu hubungan antara death time terhadap MU untuk PSP (Lampiran 1). FK dihitung dengan cara membagi konsentrasi terpilih (µg/mL) dengan nilai MU/ml. Nilai rata-rata FK yang diperoleh digunakan sebagai FK dalam analisis sampel. Persiapan Sampel

Bagian luar kerang-kerangan dicuci dengan air segar, kemudian dibuka dengan alat khusus pemotong kerang, selanjutnya bagian dalam dibersihkan dengan air bersih untuk menghilangkan pasir atau zat-zat asing lainnya. Bagian daging (100 -150 g) diambil dan dikumpulkan (hindari penggunaan pemanasan atau anestetik sebelum membuka kulit dan dilarang memotong atau merusak badan pada tahapan ini). Ekstraksi Sampel

Sampel sebanyak 100 gram ditambah 100 mL 0,1 N HCl, diaduk dengan cepat dan diperiksa pH nya, jika perlu pH ditepatkan < 4. Campuran dipanaskan dan dididihkan selama 5 menit, kemudian didinginkan pada suhu kamar. Campuran yang sudah dingin ditepatkan pH nya pada pH 2 - 4 dengan penambahan 5 N HCl atau 0,1 N NaOH setetes demi setetes sambil tetap diaduk. Sampel ditepatkan di dalam gelas piala sampai homogen atau jika diperlukan sampel disentrifugasi selama 5 menit pada 3000 rpm kemudian disaring melalui kertas saring. Filtrat diambil untuk pengujian pada mencit. Pengujian Mencit

Setiap mencit disuntik secara intraperitoneal dengan 1 mL ekstrak. Waktu suntikan dicatat dan mencit diamati dengan hati-hati untuk mengetahui death time nya yang ditunjukkan oleh hembusan nafas terakhir. Satu mencit boleh digunakan untuk penentuan awal, tetapi pengujian menggunakan 2 atau 3 mencit lebih baik. Jika death time dari beberapa mencit < 5 menit, maka perlu dibuat pengenceran sampel untuk memperoleh death time 5 - 7 menit. Jika death time dari 1 atau 2 mencit yang disuntik dengan sampel yang tidak diencerkan > 7 menit, maka paling sedikit 3 mencit harus disuntik untuk memastikan toksisitas dari sampel. Jika pengenceran besar diperlukan, maka pH sampel harus ditepatkan lagi antara 2 - 4. Sebanyak 3 mencit disuntik dengan larutan yang sudah diencerkan sampai memberikan death time 5 - 7 menit. Penghitungan Toksisitas

Waktu death time ditentukan, termasuk yang selamat, dan dari Tabel Sommer ditentukan bilangan MU. Jika beret mencit yang diuji < 19 g atau > 21 g, maka dibuat FK untuk setiap mencit dengan mengalikan MU terhadap death time mencit. Nilai MU diubah ke µg racun/mL dengan mengalikan FK.

µg racun/100 g daging = (µg/mL) x faktor pengenceran x 200

Nilai > 80 g/100 g merupakan indikasi bahwa sampel yang diuji sangat racun dan tidak aman untuk dikonsumsi. ANALISIS PSP DENGAN METODE SAXITOXIN BERTANDA(8)

Peralatan 1. Mikropipet berukuran 1 – 1000 µL

2. Pipet multi channel berukuran 5 – 200 µL. 3. Plate mikrotiter dengan 96 lubang 4. Tabung sentrifugasi 15 dan 30 mL 5. Vortex Bahan Kimia 1. [3H] STX diasetat 2. STX dihidroksi HCl (Lihat halaman berikutnya) LAMPIRAN 2. Tabel Sommer (AOAC,1995)

DT MU DT MU DT MU DT MU

1.00 100 3.00 3.70 5.00 1,92 9.00 1,16 1.10 66,2 3.05 3,57 5.05 1,89 9.30 1,13 1.15 38,3 3.10 3,43 5.10 1,86 10.00 1,11 1.20 26,4 3.15 3,31 5.15 1,83 10.00 1,09 1.25 20,7 3.20 3,19 5.20 1,80 11.00 1.075 1.30 16,5 3.25 3,08 5.30 1,74 11.30 1.06 1.35 13,9 3.3e 2,98 5,40 1,69 12.00 1.05 1.40 11,9 3.35 2,88 5,45 1,67 13.00 1.03 1.45 10,4 3 40 2,79 5.50 1,64 14.00 1.015 1.50 9,33 315 2,71 6.00 1,60 15.00 1.000 1.55 8,42 3.50 2,63 6.15 1,54 16.00 0,99 2.00 7,67 3.55 2,56 6.30 1,48 17.00 0,98 2.05 7,04 4.00 2,50 6.45 1,43 18.00 0,972 2.10 6,52 4.05 2,44 7.00 1,39 19.00 0,965 2.15 6,06 4.10 2,38 7.15 1,35 20.00 0,96 2.20 5,66 4.15 2,32 7.30 1,31 21.00 0,954 2.25 5,32 4.20 2,26 7.45 1,28 22.00 0,948 2.30 5,00 4.25 2,21 8.00 1,25 23.00 0,942 2.35 4,73 4.30 2,16 8.15 1,22 24.00 0,937 2.40 4,48 4.35 2,12 . 8.30 1,20 25.00 0,934 2.45 4,26 4.40 2,08 8.45 1,18 30.00 0,917 2.50 4,06 4.45 2,04 40.00 0,898 2.55 3,88 4.50 2,00 60.00 0,875 4.55 1,96

Keterangan : DT : death time dalam mencit MU : mouse unit LAMPIRAN 3. Tabel Sommer (AOAC, 1995)

WM MU WM MU

10 0,50 17 0,88 10,5 0,53 17,5 0,905 11 0,56 18 0,93 11,5 0,59 18,5 0,95 12. 0,62 19 0,97 12,5 0,65 19,5 0,985 13 0,675 20 1,000 13,5 0,70 20,5 1,015 14 0,73 21 1,03 14,5 0,76 21,5 1,04 15 0,785 22 1,05 15,5 0,81 22,5 1,06 16 0,84 23 1,07 16,5 0,86 - -

Keterangan : WM : berat mencit (gram) MU : mouse unit

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 41

Page 43: cdk_135_napza

(Lanjutan Lampiran 1) 3. STX binding buffer =75 mM HEPES + 140 mM NaCI buffer pH 7,5 4. Rat brain synaptosome Cara Kerja 1. Pengenceran larutan baku [3H] STX dalam tabung 15 mL, 3µL [3H] STX 3,8 mL STX binding buffer, 35 µL [3H] STX yang telah diencerkan dimasukkan dalam vial dengan scintilant dan di-counting dengan alat scintilation counter untuk memperoleh total count (cpm). 2. Persiapan kurva standar STX menggunakan STX dihidroksi HCl dalam tabung dengan berbagai konsentrasi, yaitu 6 x 106-6; 6 x 10-7; 6 x 10-8; 6 x 10-9; 6 x 10-10 M. 3. Pengenceran rat brain synaptosome murni dalam STX binding bufer. Jaringan dalam larutan 2 mL diencerkan dengan perbandingan 2 : 10 (2 mL jaringan + 18 mL buffer) dalam tabung sentrifugasi 50 mL, sampai didapatkan konsentrasi akhir 0,5 – 1,0 mg/mL. 4. Ekstrak sampel kerang yang diduga terkontaminasi STX diencerkan dengan binding buffer. 5. Masing-masing sebanyak 35 µL sampel dan standar STX dimasukkan ke dalam plate mikrotiter, ditambah dengan 35 µL, [3H] STX dan 140 µL rat brain sinaptosome yang telah diencerkan. Campuran ditutup dan diinkubasi

pada 4°C selama 1 jam. Toksin yang tidak terikat oleh jaringan dihilangkan dengan cara pencucian menggunakan buffer yang dilanjutkan dengan aseton, kemudian disaring. 6. Masing-masing residu dimasukkan ke dalam vial yang telah berisi 1 mL larutan scintilator dan di-count,dengan alat scintillator counter untuk memperoleh total count (cpm). Cara Perhitungan

Total count dari larutan standar STX dibuat kurva kalibrasi, log STX terhadap total count (cpm). Dengan mengetahui nilai total count sampel, maka konsentrasi STX dalarn sampel dapat dihitung. Konsentrasi sampel dihitung dalam µg STX equivalen/100 shellfish, menggunakan rumus sebagai berikut :

nM equiv STX dalam ekstrak = nM equiv STX x pengenceran sampel x (V total/ 35 µL)

µg STX equivalen/mL = nM equiv STX dalam ekstrak x (1 L/1000 mL) x

(372 ng/mmol) x 1 µg / 1000 ng) µg STX equivalent/100 g shellfish = µg STX eqaivalen/mL x (mL ekstrak

/ g shellfish) x 100

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 42

Page 44: cdk_135_napza

HASIL PENELITIAN

Bumbu Alami sebagai Penyedap, Pengawet dan Penghambat Cemaran

Aflatoksin pada Sambal Kacang

Nunik Siti Aminah, Supraptini, Enny W.L., Inswiasri, Suyitno, Sukijo

Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK

Cemaran jamur pada bahan makanan dapat menyebabkan timbulnya afla-toksin. Aflatoksin merupakan toksin yang dihasilkan jamur Aspergillus ter-utama A. flavus dan Penicillium sp. yang banyak mencemari bahan makanan, terutama kacang tanah kualitas rendah yaitu kacang retak dan pecah yang banyak dikonsumsi karena harganya lebih murah.

Penelitian pendahuluan ini menggunakan dua macam bumbu yaitu bumbu A terdiri dari cabe, terasi, gula merah dan garam dan bumbu B terdiri dari cabe, terasi, gula merah, garam, bawang putih, kencur, jeruk purut dan asam. Sampel kacang tanah dibagi menjadi tiga kelompok yaitu utuh, retak dan pecah. Masing-masing kelompok sebanyak 10 kg, diambil 100 g per kelom-pok untuk bahan baku sambal kacang. Setelah diolah menjadi sambal kacang disimpan selama tiga bulan.

Pengamatan jenis-jenis jamur yang tumbuh pada sambal kacang dilaku-kan setiap bulan, dengan hasil sebagai berikut: sambal kacang utuh sampai bulan ke tiga tidak dijumpai jenis A. flavus dan Penicillium sp. Untuk sambal kacang retak perlakuan dengan bumbu A dan bumbu B pada bulan pertama dan ke dua belum ditumbuhi kedua jamur tersebut tetapi pada bulan ke tiga bumbu A ditumbuhi Penicillium sp dan A. flavus sedangkan pada perlakuan bumbu B belum ditemukan kedua jenis jamur tersebut. Untuk sambal kacang pecah pada bulan pertama walaupun pada kontrol sudah ditumbuhi A. flavus dan Penicillium sp tetapi pada perlakuan dengan bumbu A dan bumbu B belum dijumpai kedua jamur tersebut. Pada bulan kedua, pada bumbu A dan Bumbu B sudah dijumpai Penicillium sp. Sedangkan pada bulan ketiga per-lakuan pada bumbu A sudah dijumpai A. flavus dan Penicillium sp tetapi pada bumbu B hanya ditumbuhi Penicillium sp.

Kata kunci : kacang tanah, bumbu alami, aflatoksin

PENDAHULUAN

Cemaran jamur pada bahan makanan dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia dan hewan. Adanya infeksi virus hepatitis B diduga merupakan prasyarat terjadinya per-

ubahan sifat sel yang mengarah ke adanya keganasan oleh aflatoksin. Aflatoksin merupakan toksin yang dihasilkan jamur Aspergillus terutama A flavus sedangkan Penicillium sp. me-rupakan jamur yang banyak mencemari bahan makanan. Pe-

Dibacakan pada seminar Lustrum IX Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada dan Kongres I KABIOGAMA

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 43

Page 45: cdk_135_napza

nelitian pendahuluan telah menemukan bahwa keadaan kacang tanah yaitu utuh, retak dan pecah mengandung cemaran aflatoksin yang berbeda. Cemaran aflatoksin terbesar pada kacang pecah kemudian berurutan retak dan utuh(1) .

Kacang tanah kualitas rendah yang pada umumnya terdiri dari kacang retak dan pecah banyak dikonsumsi karena harga-nya lebih murah daripada kacang kualitas baik yang umumnya dalam keadaan utuh. Selama ini kurang disadari bahwa kondisi kacang tanah yang mutunya rendah jika disimpan terlalu lama dalam bentuk olahan seperti sambal kacang sering ditumbuhi oleh jamur A. flavus penghasil aflatoksin.

Bumbu-bumbu penyedap alami seperti cabe (Capsicum sp) bawang putih (Allium sativum), kencur (Kaempferia galanga), daun jeruk purut (Citrus sp.) dan buah asam (Tamarindus sp). diduga dapat digunakan sebagai bahan pengawet alami dan menghambat tumbuhnya jamur-jamur seperti A. flavus dan Penicillium sp.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bumbu alami dapat sebagai penyedap, pengawet dan penghambat cemaran aflatoksin pada sambal kacang sehingga makanan aman untuk dikonsumsi.

Tujuan penelitian adalah untuk mengevaluasi lima jenis bumbu penyedap alami yang diperkirakan mempunyai sifat pengawet dan penghambat pertumbuhan jamur penyebab ke-racunan, apakah dapat menghambat timbulnya jamur penyebab aflatoksin yang tumbuh pada sambal kacang bila disimpan terlalu lama. METODOLOGI

Kacang tanah diperoleh dari pasar Kranji Bekasi Barat sebanyak 10 kg yang dibeli dari 5 toko masing-masing 2 kg. Sampel kacang tanah dibagi menjadi tiga kelompok berdasar-kan fisiknya yaitu kacang tanah utuh, retak, dan pecah (tanpa kulit ari). Setiap kelompok diolah menjadi sambal kacang dengan bumbu sebagai berikut : 1) Cabe, terasi, gula merah, dan garam.(Bumbu A) 2) Cabe, terasi, gula merah, garam, bawang putih, kencur, daun jeruk purut, dan asam. (Bumbu B) Masing-masing sempel ditumbuk halus sampai homogen. Untuk analisis jenis jamur yang dapat tumbuh pada sambal kacang, diambil 100g untuk setiap kelompok. Hal ini dilakukan untuk megurangi variasi nilai cemaran individual butiran contoh sempel.

Adonan setelah dibumbui dan menjadi olahan berupa sambal kacang, disimpan selama tiga bulan dan dilakukan pe-ngamatan jenis-jenis jamur yang dapat tumbuh dan mencemari setiap kelompok sambal kacang. Pemeriksan Jamur Cara pemeriksaan : a) Disiapkan petri dish yang steril. b) Diambil 1 ml spesimen (bahan pengencer 10-1 pada labu erlenmeyer) dengan pipet steril, masukkan pada petri dish. c) Saboraud agar yang telah dicairkan dalam waterbath 450C, dituang ke dalam petri dish tadi sebanyak 15-20 ml. d) Petri dish digoyang-goyangkan secara perlahan-lahan. e) Tunggu hingga media tersebut menjadi padat/beku.

f) Inkubasi pada suhu 300C – 370C selama 5-7 hari, petri dish jangan diletakkan terbalik. g) Dari koloni yang tumbuh dibuat sediaan dengan cara

sebagai berikut (Departemen Kesehatan RI, 1991): − Sediakan objek gelas yang bersih dan bebas lemak dengan tetesan 1 tetes KOH. − Ambil koloni yang tumbuh pada Saboraud agar tadi dengan menggunakan ose kawat yang cukup besar, atau dengan menggunakan pisau yang steril dan tajam ujungnya (bila perlu dicungkil bersama agarnya). − Tempatkan koloni tersebut pada tetesan KOH pada objek gelas tadi dan tekan sampai merata. − Periksa di bawah mikroskop. HASIL DAN PEMBAHASAN

Cemaran jamur pada sambal kacang yang disimpan selama tiga bulan dapat diketahui dari Tabel 1, 2, dan 3. Tabel 1. Cemaran jamur pada sambal kacang yang disimpan selama 1

bulan pada suhu kamar

Jenis-jenis jamur yang tumbuh Contoh fisik kacang tanah Kontrol Bumbu A Bumbu B

Kacang utuh A.niger Monascus sp Syncephalastrum sp Fusarium sp A.niger A.niger Syncephalastrum sp Syncephalastrum sp Khamir

Kacang retak A.niger A.niger A.niger A.glaucus A.glaucus Rhizopus sp Penicillium sp Rhizopus sp Fusarium sp Mucor sp

Kacang pecah A.niger A.niger A,niger Geotrichum sp Geotrichum sp Scopulariopsis sp Scopulariopsis sp Scopulariopsis sp Rhizopus sp A. flavus Fusarium sp A.parasiticus Rhizopus sp Penicillium sp Fusarium sp

Keterangan: Bumbu A : Cabe,terasi, gula merah, dan garam. Bumbu B : Cabe, terasi, gula merah, garam + bawang putih, kencur, jeruk purut asam.

Dari tabel 1, dapat diketahui bahwa penambahan bumbu alami yang semula digunakan sebagai penyedap dan pengawet sambal kacang, ternyata dapat menghambat pertumbuhan jamur-jamur patogen seperti Aspegillus flavus dan A para-siticus; pertumbuhan dan koloni kedua jamur tersebut sulit dibedakan secara makroskopis karena warna yang hampir sama yaitu kuning kehijauan(2). Perbedaannya terletak pada per-mukaan koloni yaitu jamur A. flavus, permukaaan koloninya halus, sedangkan A. parasiticus permukaan koloninya tidak rata (agak kasar), kedua jamur tesebut bersifat patogen pada hewan maupun manusia dapat menyebabkan aspergillosis; jamur dapat masuk ke dalam paru-paru karena mudah terhirup (Pons WA, dkk.1966)

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 44

Page 46: cdk_135_napza

Kasus aspergillosis belum banyak dilaporkan, demikian pula halnya dengan laporan tingkat pencemaran oleh jamur Aspergillus sp pada sebagian bahan makanan khususnya sam-bal kacang yang sering dikonsumsi oleh masyarakat. Tabel 2. Cemaran jamur pada sambal kacang yang disimpan selama 2

bulan pada suhu kamar

Jenis jamur yang ditemukan Bentuk fisik Kacang Kontrol Bumbu A Bumbu B

Kacang utuh Syncephalastrum sp A.niger A. niger A, niger A. glaucus Rhizopus sp A. glaucus Rhizopus sp Khamir Khamir Geotrichum sp

Kacang retak A.niger A.niger A.niger A.glaucus Rhizopus sp Rhizopus sp Geotrichum sp Mucor sp Khamir Mucor sp Geotrichum sp Rhizopus sp Fusarium sp Penicillium sp A.flavus

Kacang pecah A.niger A.niger A.niger Scopulariopsis sp A.flavus Penicillium sp Geotichum sp Penicillium sp Rhizopus sp A.flavus Moniliella sp Moniliella sp Penicillium sp Fusarium sp Fusarium sp Rhizopus sp Rhizopus sp

Hasil pengamatan pada bulan ke-2 (Tabel 2) menunjukkan bahwa pertumbuhan jamur jenis A. niger, Mucor sp, Rhizopus sp, Penicillium sp yang termasuk jenis jamur gudang makin meningkat bila dibanding dengan bulan ke-1; begitu juga jenis Geotrichum candidum, jamur ini berasal dari tanah dan udara, merupakan kontaminan yang dapat menimbulkan penyakit jamur pada alat pencernaan dan paru-paru anjing, burung dan manusia.

Sambal kacang yang terbuat dari kacang tanah pecah dengan bumbu A sudah ditumbuhi jamur A. flavus, tetapi pada sambal bumbu B belum. Hal ini mungkin karena sambal kacang bumbu B mengandung bumbu alami seperti bawang putih, kencur, jeruk purut, asam. Bumbu alami tersebut mengandung minyak atsiri yang dapat menghambat pertum-buhan jamur sehingga sambal kacang lebih tahan dari cemaran aflatoksin.

Sampai bulan ke tiga jenis jamur penghasil aflatoksin seperti A. flavus dan Penicilium sp sudah mulai tumbuh subur pada perlakuan kontrol dan perlakuan bumbu A sedangkan jenis A. flavus belum ditemukan pada perlakuan bumbu B yaitu penggunaan bumbu-bumbu alami. Hal tersebut diduga karena bumbu alami ternyata dapat membunuh atau menekan pertum-buhan jamur A. flavus yang sangat toksik.

Fusarium sp mulai tumbuh pada sambal kacang perlakuan kontrol dan kacang retak sejak bulan pertama, diduga jamur Fusarium sp berasal dari tanah tempat kacang tersebut ditumbuhkan(2). Penicillium sp mulai tumbuh pada perlakuan

kontrol, sambal kacang dari kacang yang retak maupun pecah mulai dari bulan pertama baik dengan perlakuan bumbu A maupun bumbu B; diduga Penicillium sp. tersebut berasal dari gudang penyimpanan karena Penicillium sp tergolong sebagai jamur gudang(3,4). Sampai bulan ke tiga jenis jamur Rhizopus sp ditemukan pada semua perlakuan yang menggunakan bumbu A maupun B karena bumbu-bumbu alami tersebut mengandung minyak atsiri atau minyak terbang yang dapat menghambat timbulnya jenis jamur tertentu kecuali Rhizopus sp yang tahan terhadap minyak atsiri.

Dari data di atas dapat diambil kesimpulan sementara bahwa bumbu-bumbu alami yang mengandung minyak atsiri sangat baik untuk digunakan sebagai bumbu masak. Tabel 3. Cemaran jamur pada sambal kacang yang disimpan selama 3

bulan pada suhu kamar

Jenis jamur yang ditemukan Bentuk fisik Kacang Kontrol Bumbu A Bumbu B

Kacang utuh Syncephalastrum sp A.niger A. niger A, niger A. glaucus Rhizopus sp A. glaucus Rhizopus sp A. glaucus Penicillium sp Geotrichum sp Geotrichum sp Rhizopus sp Mucor sp

Kacang retak A.niger A.niger A.niger A.glaucus Rhizopus sp Rhizopus sp Khamir Mucor sp Fusarium sp Mucor sp Penicillium sp Rhizopus sp Khamir Fusarium sp A.glaucus Penicillium sp A.flavus A.flavus Fusarium sp Moniliela sp

Kacang pecah A.niger A.niger A.niger Mucor sp A.flavus Penicillium sp Geotrichum sp Penicillium sp Rhizopus sp A.flavus Rhizopus sp Fusarium sp Penicillium Mucor sp Fusarium sp A. glaucus A. glaucus Fusarium sp Rhizopus sp Khamir A.parasiticus Moniliela

KESIMPULAN Sambal kacang utuh sampai bulan ke tiga tidak mengan-

dung jenis A. flavus dan Penicillium sp. Sambal kacang retak pada pengamatan bulan pertama dan

kedua belum ditumbuhi kedua jamur tersebut tetapi pada pe-ngamatan bulan ke tiga bumbu A ditumbuhi Penicillium sp dan A. flavus, sedangkan pada bumbu B belum.

Sambal kacang pecah perlakuan kontrol pada bulan per-tama sudah ditumbuhi A. flavus dan Penicillium sp tetapi pada perlakuan dengan bumbu A dan bumbu B belum. Pada pengamatan bulan ke dua pada perlakuan dengan bumbu A dan bumbu B sudah dijumpai Penicillium sp.

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 45

Page 47: cdk_135_napza

Pada pengamatan bulan ke tiga, pada bumbu A ditemukan

A..flavus dan Penicillium sp. tetapi pada bumbu B hanya ditumbuhi Penicillium sp.

Bumbu alami yang digunakan dalam penelitian ini se-bagian besar mengandung minyak atsiri yang dapat meng-hambat pertumbuhan jamur penghasil aflatoksin.

KEPUSTAKAAN

1. Nunik St Aminah, Joko Waluyo. Isolasi kapang khusus penghasil toksin. Maj Kes Mas Indon 1998; XXV (12): 841-3.

2. Christensen CM, Kauffman HH. Grain storage, the role of fungi in quality loss. Univ. Minnessota Press, Minn 1969.

3. Samson RA, Hoekstra ES, Van Oorschot CAN. Introduction to food- bome fungi. Centraalbureau voor schimmelcultures. Institute of the Royal Netherlands Academy of Arts and Sciences, 1984.

4. Nunik St Aminah, Marjan Soekirno. Jamur perusak pada koleksi serangga dan mamalia di laboratorium; Majalah Kesehatan Masyarakat Indon 1998; XXVI (2): 74-6.

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 46

Page 48: cdk_135_napza

HASIL PENELITIAN

Gambaran Kadar Mangan (Mn) pada Sumber Air Rumah Tangga

di Jabotabek studi kasus pemeriksaan air

di Puslitbang Farmasi

Ni'mah Bawahab, Kelik MA, Ani Isnawati

Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pergembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK

Gambaran kadar mangan (Mn) pada sumber air rumah tangga di Jabotabek bertujuan untuk mengetahui jumlah sampel dengan kandungan mangan (Mn) yang tidak memenuhi syarat air minum dan air bersih.

Pemeriksaan kadar mangan dalam air dilakukan dengan metode kolorimetri terhadap sampel dari contoh air yang diajukan penduduk di wilayah Jabotabek. Per-syaratan air minum dan air bersih ditetapkan berdasarkan Permenkes RI No. 416/Men. Kes/IX/1990.

Dari 237 sampel air yang diperiksa, 89 sampel (35,9%) tidak memenuhi syarat air minum, dan 50 sampel (21,1 %) di antaranya disebabkan karena tidak memenuhi per-syaratan kadar mangan. Di antara yang tidak memenuhi syarat air minum berasal dari wilayah Jakarta Timur 14 sampel (28%), dari wilayah Bekasi 13 sampel (26%) dan 46 sampel (92%) tidak memenuhi persyaratan air minum berasal dari sumber air jenis sumur pompa. Kadar mangan rata-rata 0.34 ppm, sedangkan yang tidak memenuhi syarat air bersih antara 0,67 ppm- 1,43 ppm dengan kadar rata-rata 0,91 ppm.

PENDAHULUAN

Air merupakan salah satu materi alam yang penting dalam kehidupan manusia karena dapat dipergunakan untuk keperluan rumah tangga, kesehatan, pertanian, peternakan, perikanan dan industri.

Penggunaan air rumah tangga khususnya sebagai air minum, masak, mandi dan mencuci. Sumber air yang diper-gunakan di rumah tangga biasanya berasal dari PDAM, sumur pompa, sumur terbuka, sumur artesis, kolam, mata air dan lain-lain.

Mangan merupakan salah satu logam yang banyak di-jumpai di kulit bumi dan sering terdapat bersama besi. Mangan terlarut dalam air tanah dan air permukaan yang miskin oksigen, sehingga kadar mangan dalam air dapat mencapai

miligram/liter. Dalam jumlah tertentu dengan pemajanan oksigen, mangan bisa membentuk oksida yang tidak larut dan menghasilkan endapan, sehingga menimbulkan masalah berupa penampilan fisik air yang mengganggu.

Dalam air minum diperlukan sejumlah mineral sebagai trace element untuk proses metabolisme tubuh, dengan per-kiraan kebutuhan mangan untuk nutrisi harian antara 30-50 ug/kg bobot badan. Kecepatan absorbsi dapat bervariasi me-nurut bentuk kimiawinya dan keberadaan logam-logam lain seperti besi dan tembaga pada makanan.

Bukti neurotoksik mangan terlihat pada para penambang yang terpajan debu Mn dalam jangka panjang. Sampai saat ini tidak terdapat bukti yarig meyakinkan tentang toksisitas pada manusia yang berkaitan dengan konsumsi mangan dalam air

Dibacakan pada seminar Lustrum IX Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada dan Kongres I KABIOGAMA

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 47

Page 49: cdk_135_napza

minum. Tetapi bukti percobaan pada binatang menunjukkan Mn dalam air minum bersifat neurotoksik; maka ditetapkan persyaratan Mn pada air minum dan air bersih berdasarkan ADI (acceptable daily intake) orang dewasa menurut peraturan Menteri Kesehatan RI No. 410/Men. KeS/Per/IX/1990 tentang syarat-syarat dalam pengawasan kualitas air : syarat kadar mak-simum mangan (Mn) yang diperbolehkan untuk diminum 0,1 ppm, sedangkan untuk air bersih 0,5 ppm.

Untuk mengetahui berapa banyak sampel air dengan kadar mangan yang tidak memenuhi syarat sebagai air minum dan air bersih berdasarkan peraturan di atas, maka dilakukan peng-amatan pemeriksaan mangan pada sampel dari contoh air yang diperiksakam di Laboratorium Kimia Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes, Jakarta. TUJUAN PENELITIAN 1) Menetapkan jumlah sampel yang tidak memenuhi syarat air minum dan air bersih mengenai kadar mangan menurut Permenkes No. 416 tahun 1990, berdasarkan wilayah dan sumber air. 2) Menetapkan jumlah rata-rata kadar mangan (Mn) yang tidak memenuhi syarat air minum dan air bersih menurut Permenkes No. 416 tahun 1990. BAHAN DAN CARA Bahan Kalium permanganat (KMNO4) Standar 0,01 N Asam Sulfat (H2SO4) 4 N Larutan Asam Nitrat (HN03) 8 N Perak Nitrat (Ag N03) 2% Kalium Peroxodisulfat (K2 S2O8) Natrium Oksalat (Na2 C2O4) Sampel

Contoh air yang diajukan penduduk wilayah Jabotabek untuk diperiksakan di Laboratorium Kimia Puslitbang Farmasi tahun 1999. Contoh air diperoleh dari berbagai sumber yaitu PDAM, sumur terbuka, sumur pompa, sumur artesis, kolam, mata air dan sumber-sumber lain. Peralatan

48

Pipet ukur Tabung Nessler dan alat gelas yang lain. Cara Kerja Standarisasi larutan standar KMnO4 0,1N

Ditimbang dengan tepat Natrium oksalat anhidrat (Na2 C2O4) diantara 200-400 mg (dibuat beberapa sampel), masing- masing dimasukkan ke dalarn Erlen Meyer 250 ml. Kemudian ditambah 100 ml akuades dan dipanaskan sampai 90°C-95°C. Dititrasi cepat-cepat dengan larutan permanganat yang akan distandarisasi sampai titik akhir, yaitu merah muda, yang tetap tampak selama 1 menit. Suhu dijaga jangan sampai turun di bawah 85° C. Bila perlu isi Erlen Meyer dipanaskan selama titrasi berlangsung. Blanko dilakukan dengan aquades dan H2S2O2.

g Na2C2O4Normalitas KMnO4 = (A-B) x 0,06701

A = ml titrasi sampel B = ml titrasi blanko Pemeriksaan Kadar Mangan (Mn) dalam air

100 ml bahan sampel, tambah 5 ml H2SO4 4 N dan 4 ml N HNO3 dan 4 ml AgNO3 2% dan 1 gram K2S2O8 panaskan, kemudian didihkan selama 5 menit, larutan tidak berwarna Mn (negatif), berwarna ungu Mn (positif). Masukkan secara kuan-titatif dalam tabung Nessler, sampai tanda dan digojok. Kon-sentrasi diperoleh dengan membandingkan warna dengan standar. Perhitungan : Kadar Mn = 1000 X a ml 0,01 N KMn X 11 X f KMn 04 100 100 Penetapan Persyaratan air minum dan air bersih

Air minum dan air bersih ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 410/Men Kes/Per/IX/1990. Per-syaratan air minum: apabila kadar maksimum mangan (Mn) yang diperbolehkan 0,1 ppm. Persyaratan air bersih: apabila kadar maksimum mangan (Mn) yang diperbolehkan 0,5 ppm. HASIL

Jumlah asal sampel yang diajukan penduduk untuk diperiksakan di Laboratorium Kimia Puslitbang Farmasi pada tahun 1999 dapat diketahui pada tabel 1. Tabel 1. Jumlah dan frekuensi sampel berdasarkan wilayah asal sampel

air pada tahun 1999.

No. Wilayah Jumlah %

1. Jakarta Pusat 22 9,3 2. Jakarta Timur 42 17,7 3. Jakarta Selatan 35 14,8 4. Jakarta Barat 10 4,2 5. Jakarta Utara 52 21,9 6. Bekasi 34 11,6 7. Depok 26 11,6 8. Tangerang 8 3,4 9. Bogor 8 3,4

Jumlah 237 100

Wilayah sampel air terbanyak dari Jakarta Utara (21,9%)

kemudian diikuti oleh wilayah Jakarta Timur (17,7%). Penggunaan air di rumah tangga khususnya diperuntukkan

sebagai air minum, mandi dan cuci, biasanya berasal dari ber-bagai sumber air. Adapun sumber-sumber air tersebut dapat di-lihat pada tabel 2.

Jumlah sampel terbanyak berasal dari sumur pompa 138 sampel (58,2%) dan dari PDAM 72 sampel (30,4%).

Sejumlah 237 sampel diperiksa kadar mangan dalam air dengan metoda kolorimetri dan ditentukan persyaratan air minum dan air bersih menurut kriteria Permenkes No. 416 tahun 1990. Hasil pemeriksaan kadar mangan dapat diketahui pada tabel 3.

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002

Page 50: cdk_135_napza

Tabel 2. Jumlah dan frekuensi sampel berdasarkan sumber air.

No. Sumber Air Jumlah Persentase %

1. PDAM 72 30,4 2. Sumur terbuka 11 4,6 3. Sumur pompa 138 58,2 4. Sumur artesis 11 4,6 5. Kolam 2 0,8 6. Mata air 2 0,8 7. Lain-lain 1 0,4

Jumlah 237 100 Tabel 3. Hasil pemeriksaan kadar mangan (Mn) menurut Permenkes No.

416 tahun 1990.

No. Hasil pemeriksaan kadar mangan Jumlah sampel

Persentase (%)

1. Memenuhi syarat air minum 187 78,9 2. Memenuhi syarat air bersih 33 13,9 3. Tidak memenuhi syarat air bersih 17 7,2

Jumlah 237 100

Tidak memenuhi syarat air minum mengenai kadar mangan 33 (13,9%) dan tidak memenuhi syarat air bersih 17 (7,2%) dari sejumlah 237 sampel.

Penentuan lebih lanjut adalah menetapkan jumlah sampel yang memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat air minum dan air bersih berdasarkan wilayah sampel berasal. Tidak me-menuhi syarat air minum berarti mencakup jumlah memenuhi syarat air bersih ditambah dengan yang tidak memenuhi syarat air bersih.. Adapun data jumlah yang memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat baik air minum maupun air bersih diketahui pada tabel 4. Tabel 4. Jumlah sampel berdasarkan wilayah dan kriteria Per. Men. Kes

416/Men.Kes/Per/IX/1990.

Jumlah Sampel No. Wilayah MS

air minum MS

air bersih TMS

air bersih Total

1. Jakarta Pusat 19 2 l 22 2. Jakarta Timur 28 9 5 42 3. Jakarta Selatan 27 6 2 35 4. Jakarta Barat 7 3 - l0 5. Jakarta Utara 50 2 - 52 6. Bekasi 21 7 6 34 7. Depok 24 1 1 26 8. Tangerang 5 3 - 8 9. Bogor 6 - 2 8

Jumlah 187 33 17 237

Keterangan : MS = memenuhi syarat TMS = tidal menenuhi syarat

Dari tabel diketahui bahwa wilayah Jakarta Timur mem-punyai jumlah sampel terbanyak tidak memenuhi syarat air minum 14 sampel (28%) dan Bekasi 13 sampel (26%). Sedang-kan jumlah sampel wilayah Bekasi yang tidak memenuhi syarat air bersih 6 sampel (35,29%) dan wilayah Jakarta Timur 5 sampel (29,41%).

Perhitungan selanjutnya adalah menetapkan jumlah sampel air yang memenuhi syarat maupun yang tidak memenuhi syarat air minum dan air bersih. Tabel 5. Kriteria Per. Men. Kes mengenai kadar Mn berdasarkan sumber

air.

Jumlah Sampel No. Sumber Air MS

air minum MS

air bersih TMS

air bersih Total

1. PDAM 71 1 - 172 2. Sumur terbuka 8 2 1 11 3. Sumur pompa 92 30 16 138 4. Sumur artesis 11 - - 11 5. Kolam 2 - - 2 6. Mata air 2 - - 2 7. Lain-lain 1 - - 1

Jumlah 187 33 17 237

Jenis sumur pompa merupakan jumlah terbanyak yang

tidak memenuhi syarat air minum yaitu 46 sampel (92%) dan 16 sampel (32%) tidak memenuhi syarat air bersih. PDAM meskipun jumlah sampel kedua terbanyak, tetapi yang tidak memenuhi syarat air minum hanya 1 sampel (2%).

Kadar rata-rata mangan dalam sampel air yang tidak me-menuhi syarat air minum maupun air bersih adalah sebagai berikut: (tabel 6). Tabel 6. Kadar rata-rata mangan (Mu) untuk yang tidak memenuhi syarat sebagai air minum dan air bersih.

No.Kriteria

Permenkes No. 410/1990

Kadar rata- rata (Mn)

Std. Deviasi

Nilai minimum

Nilai maksimum

1. Air minum 0,34 0,12 0,18 0,50 2. Air bersih 0,91 0,26 0,67 1,43

PEMBAHASAN

Mangan merupakan mineral yang terdapat di kulit bumi dan dapat terlarut pada air tanah, sehingga kadar mangan dalam berbagai sumber air tergantung dari daerah/jenis tanah tersebut. Dari hasil pemeriksaan kadar mangan berdasarkan wilayah asal sampel yang tidak memenuhi syarat air minum dan air bersih terbanyak adalah wilayah Jakarta Timur dan Bekasi. Tetapi selain kedua wilayah tersebut bukan berarti wilayah lain tidak mengandung mangan; karena dari hasil pemeriksaan secara keseluruhan belum menggambarkan bahwa daerah-daerah ter-tentu merupakan daerah yang banyak mengandung mangan, karena cara mendapatkan sampel dan jumlah sampel tidak sama atau memadai antara beberapa wilayah. KESIMPULAN 1. Jakarta Utara dengan jumlah 21,9% merupakan wilayah asal sampel terbanyak, diikuti oleh wilayah Jakarta Timur 17,7%. 2. Sumber air paling banyak sebagai sampel adalah sumur pompa 58,2% dan PDAM 30,4%. 3. Sejumlah 50 sampel (21,1%) tidak memenuhi syarat kadar mangan untuk air minum dan 17 sampel (7,17%) tidak memenuhi syarat air bersih.

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 49

Page 51: cdk_135_napza

4. Wilayah Jakarta Timur merupakan asal sampel terbanyak yang tidak memenuhi syarat air minum 14 sampel (28%) dan

2. Terangna N. Pengkajian kualitas sumber air sebagai sumber baku air

minum di Indonesia. Makalah Seminar Sehari Pengkajian Parameter Kualitas Air dalam Permenkes No. 416 tahun 1990, Jakarta, 1994. Bekasi 13 sampel (26%).

5. Sumber air untuk jenis sumur pompa 46 sampel (92%) tidak memenuhi syarat air minum dan tidak memenuhi syarat air bersih 16 sampel (32%).

3. Harsanto BJE. Kemampuan laboratorium pada pemeriksaan parameter kimia organik air minum dan air bersih. Makalah Seminar Sehari Pengkajian Parameter Kualitas Air dalam Permenkes No. 416 tahun 1990, Jakarta, 1994. 4. Perusahaan Air Minum DKI Jakarta. Pengolahan dan produksi air minum, air, April 1987. KEPUSTAKAAN

1. Departemen Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 416/Menkes/IX/1990 tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air minum, Berita Negara RI 1990.

5. WHO Manganese, Environmental Health Criteria 17, United Nation Environment Programe, International Labour Organisation and The World Health Organization, Geneva: 1981.

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 50

Page 52: cdk_135_napza

Kapsul

NYERI KEPALA – BERBAHAYAKAH ?

Semua orang pasti pernah merasakan nyeri kepala; kadang-kadang ringan dan hilang dengan sendirinya, tetapi bisa juga sampai berhari-hari; bahkan disertai gejala lain seperti mual dan/atau muntah.

Sebagian besar nyeri kepala akan hilang/sembuh, dengan ataupun tanpa obat meskipun bisa kambuh lagi di lain waktu; tetapi sebagian lagi dapat merupakan gejala awal dari suatu kelainan otak/susunan saraf yang lebih serius, yang jika tidak segera terdeteksi dapat menjadi makin parah dan lebih sulit diobati.

Bagaimana membedakan nyeri kepala yang ‘biasa’ dengan nyeri kepala yang ‘berbahaya’?

1. Jika nyeri kepala mulai diderita setelah usia 50 tahun – waspada terhadap kemungkinan arteritis temporalis atau lesi desak ruang/tumor otak; pemeriksaan penunjang yang berguna ialah laju endap darah dan pencitraan otak/susunan saraf pusat.

2. Nyeri kepala mendadak dan berat tanpa gejala awal – pikirkan kemungkinan perdarahan subarakhnoid, pecahnya malformasi arteriovena atau massa intrakranial terutama di fossa posterior. Pemeriksaan yang perlu segera dilakukan ialah pencitraan otak/susunan saraf pusat dan/atau punksi lumbal.

3. Nyeri kepala yang berangsur memberat dalam beberapa hari/minggu; keluhan semacam ini dapat disebabkan oleh massa intrakranial atau penggunaan zat/obat tertentu; mungkin diperlukan pemeriksaan/ screening darah dan/atau pencitraan otak/susunan saraf pusat.

4. Nyeri kepala yang disertai demam, mual dan muntah; jika tidak ditemukan kelainan/penyebab sistemik/ infeksi yang dapat menyebabkannya, pikirkan kemungkinan infeksi susunan saraf pusat atau penyakit kolagen. Pemeriksaan yang dapat berguna antara lain pemeriksaan darah dan/atau pencitraan otak/susunan saraf pusat.

5. Nyeri kepala yang disertai dengan gejala neurologik fokal seperti papiledema, gangguan kesadaran atau fungsi luhur, atau kaku kuduk; dalam hal ini pikirkan kemungkinan lesi desak ruang/tumor otak, malformasi arteriovena, stroke atau penyakit kolagen.

6. Nyeri kepala pada pasien AIDS atau kanker dapat merupakan gejala meningitis atau abses otak, atau metastasis; dugaan ini harus dibuktikan dengan pemeriksaan punksi lumbal dan/atau pencitraan otak/ susunan saraf pusat.

Brw

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 51

Page 53: cdk_135_napza

Kegiatan Ilmiah

SEQUENTIAL THERAPY AS A NEW PARADIGM IN LOWER RESPIRATORY TRACT INFECTIONS MANAGEMENT

Bertempat di Hotel Kempinski Jakarta tanggal 2 Maret 2002, diseleng-

garakan simposium dengan topik Sequential Therapy as A New Paradigm in Lower Respiratory Tract Infection Management. Simposium yang berakreditasi IDI yang dihadiri lebih dari 200 peserta, menampilkan pembicara Dra. Arini Setiawati, Ph D, dari Departemen Farmakologi, Universitas Indonesia, Prof. Dr. Hadiarto Mangunegoro, SpP(K) dari RS Persahabatan dan pembicara tamu, Dr. Michael P Habib MD, Clinical Director of Medicine and Subspecialities VAMC, Tucson, Arizona, University of Arizona College of Medicine.

Berikut disampaikan ringkasan dari simposium yang dimoderatori Dr.Tjandra Yoga Aditama, Sp. P dengan sekretaris Dr. Priyanti ZD, Sp P. Levofloxacin : Pharmacology and Switch therapy

Pembicara pertama, Dra. Arini Setiawati, Ph D menampilkan makalah dengan judul Levofloxacin : Pharmacology and Switch therapy.

Menurut Dosen Farmakologi UI tersebut, levofloxacin yang termasuk golongan flouroquinolone mempunyai aktifitas antibakterial 2 hingga 4 kali dari obat lain yang segolongan yaitu ofloxacin. Karena itu, levofloxacin diposisikan sebagai a new respiratory (antipneumococcal) flouroquinolone.

Mengenai sediaannya, Arini menjelaskan bahwa saat ini, baik oral maupun intravenous sudah tersedia. Dan karena profil farmakokinetiknya seru-pa maka bisa dilakukan terapi sequential. Berbeda dengan step-down therapy, dalam terapi sequential, tidak terjadi penurunan dosis. Artinya meskipun dilakukan perpindahan (switch) metode pemberian obat dari intravenous (iv) ke oral, namun tidak terjadi penurunan kadar zak aktif dalam darah. Makin cepat terjadi perpindahan kemasan obat (switch) makin baik, karena bisa menghemat biaya dan mengurangi risiko komplikasi di tempat suntikan.

Menurut Arini, levofloxacin oleh American Thoracic Society tahun 2001, telah disetujui untuk mengobati Community Acquired Pneumonia (CAP) yang disebabkan oleh Drug Resistant Streptococcus Pneumoniae (DRSP). Aktifitas antibakterial

Indikasi levofloxacin adalah untuk mengobati penyakit-penyakit seperti: - Sinusitis akut yang disebabkan oleh : Strep. pneumoniae, H. influenzae, M.

catarrhalis - Acute Exacerbations of Chronic Bronchitis (AECB) yang penyebabnya

adalah : Strep. pneumoniae, H. influenza, H. parainfluenza, M. catarrhalis, Staph. aureus.

- Community Acquired Pneumonia (CAP) oleh: Strept. pneumoniae, H. influenza, M. pneumoniae, C. pneumoniae, M. catarrhalis, Legionella pneu-mophila, Staph. aureus, Klebsiella pneumoniae.

- Infeksi saluran urinarius termasuk pyelonefritis yang disebabkan oleh E. coli, K. pneumoniae, Proteus mirabilis, Enterococcus faecalis, Entero-bacter cloacae, Ps. aeruginosa.

- Infeksi kulit dan jaringan lunak karena Staph. aureus, Strept. pyogenes.

Metabolisme dan Ekskresi Hampir seluruh ekskresi dilakukan melalui ginjal. Dalam 24 jam ekskresi

via ginjal ini, 79,6 % tidak berubah dan 5% adalah hasil metabolismenya (metabolit). Oleh karena itu tidak perlu penyesuaian dosis pada penderita gangguan hati. Untuk usia tua, dosis disesuaikan berdasarkan klirens kreatinin (Tabel 1).

Tabel 1. Dosis Levofloxacin berdasarkan klirens kreatinin Klirens Kreatinin Initial Dose Maintenance Dose

- RTIs/SSTIs : 50 – 80 ml/min No dosage adjustment No dosage adjustment 20 – 49 ml/min 500 mg 250 mg q 24 h 10 – 19 ml/min 500 mg 250 mg q 48 h (1/4 do)

Hemodialysis 500 mg 250 mg q 48 h (1/4 do) CAPD 500 mg 250 mg q 48 h (1/4 do) - Complicated UTI/ Pyelonephritis :

> 20 ml/min No dosage adjustment No dosage adjustment 10 – 19 ml/min 250 mg 250 mg q 48 h

Switch Therapy Switch therapy berarti mengubah sediaan obat dari intravenous ke sediaan

oral. Ada beberapa kriteria pelaksaanaannya, berdasarkan kondisi pasien dan sediaan obat oral tersebut. A. Kondisi pasien

Switch bisa dilakukan kalau secara klinik, pasien sudah stabil yang bisa diketahui dari (1) kondisi pasien menunjukkan peningkatan perbaikan klinik, misalnya pada CAP : (1) berkurangnya batuk dan sesak, (2) penurunan jumlah sel darah putih dan (3) tidak ada demam dalam 2 kesempatan yang berbeda selama 8 jam (meskipun yang terakhir ini tidak mutlak atau indikasi relatif). Indikasi yang lain adalah pasien sudah mempunyai kemampuan untuk mengkonsumsi obat secara oral, yaitu bila sistem pencernaannya sudah berfungsi baik dan tidak ada rasa mual atau muntah lagi. B. Dari sisi obat

Bisa dilakukan pengubahan sediaan jika obat oral tersebut mempunyai aktifitas luas spektrum yang sama dengan obat intravenous, dengan syarat kuman spesifiknya belum diketahui. Namun jika kuman patogennya telah di-ketahui maka obat penggantinya haruslah mempunyai spektrum dan sensitifitas yang paling sempit. Selain itu, kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat tersebut harus diperhatikan. Pasien akan lebih patuh jika obat tersebut mem-punyai efek samping yang minimal, paruh waktu yang panjang (bisa diminum sekali atau dua kali sehari), dan mempunyai interaksi obat yang minimal. Perlu juga memperhatikan bioavailabilitas yang konsisten agar kadar obat tetap dalam darah.

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 52

Page 54: cdk_135_napza

Levofloxacin oral Levofloxacin oral merupakan obat oral yang ideal untuk terapi penukar

(switch therapy) levofloxacin infus karena memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: - bioavailabilitas (consistent drug level) oralnya hampir 100%. - administrasinya sehari sekali - efek samping dan interaksinya minimal

Tolerabilitas dari jenis-jenis flouroquinolone Dibandingkan dengan flouroquinolone yang lain seperti Ofloxacin

(4,3%), Ciprofloxacin (5,5 %) dan Pefloxacin (8%) ternyata efek samping yang ditimbulkan lebih sedikit yaitu hanya 3,3%.

Dari 2.900 pasien yang menderita infeksi saluran napas, saluran kemih, kulit dan jaringan lunak yang diberikan terapi levofloxacin selama 5 - 14 hari, diperoleh efek samping seperti: - Pasien dengan 250 mg od efek samping terjadi 4 – 4,3 % - Pasien dengan 500 mg od 5,3 –26,9 % - Pasien dengan 500 mg bd 22 –28,8 %

Adapun jenis keluhan yang ditemui adalah - Diare 1,1 – 2,8 % - Insomnia 1,1 % - Nausea 1,1 – 3,0 % - Somnolence 2,2 % - Abdom. Pain 1,0 – 1,1 % - Liver Dysfurction 4,1 % - Flatulence 1,6 % - Thrombocytosis 7,7 % Sebanyak 1,8 % hingga 6,5 % tidak meneruskan terapi.

Efek samping yang serius Ditemukan beberapa efek samping yang serius seperti tendinitis (< 0,1%),

dan kolitis pseudomembran (< 0,01 %). Reaksi hemolitik bisa terjadi pada pasien-pasien defisiensi G6PD. Arthropathy pada anak dan dewasa tidak ditemukan. Phototoxicity terjadi pada 0,03% (bandingkan dengan Sparfloxacin yang mencapai 7,9%).

Efek samping pada susunan saraf pusat yaitu seizures terjadi pada kurang dari 0,1% dan halusinasi pada kurang dari 0,01%. Begitu juga dengan pening-katan enzim-enzim hati terjadi pada 1,5 hingga 2,5 % pasien.

Berbeda dengan Trovafloxacin dan Sparfloxacin, tidak ditemukan efek yang berat pada hati ataupun pada sistem pelistrikan jantung seperti QT prolongation.

Kontraindikasi Pemberian levofloxacin sebaiknya tidak dilakukan pada mereka yang

hipersensitif terhadap quionolon, epilepsi, mempunyai riwayat gangguan tendon akibat fluoroquinolone. Meskipun tidak ditemukan arthropathy pada anak-anak namun sebaiknya preparat ini tidak diberikan pada anak-anak dan remaja, wanita mengandung dan menyusui. Clinical Studies on Levofloxacin in the Treatment of LRTI in Persahabatan Hospital with Special Emphasis on Switch Therapy

Dengan makalah yang berjudul : Clinical Studies on Levofloxacin in the Treatment of LRTI in Persahabatan Hospital with Special Emphasis on Switch Therapy, Prof. Dr. Hadiarto Mangunegoro, Sp P(K) dari RS Persahabatan Jakarta, menjadi pembicara kedua.

Menurut Guru Besar Spesialis Paru ini, jika memungkinkan penderita pneumonia cukup rawat jalan saja, karena biaya rawat inap yang mahal. Obat-obat infus bukanlah obat yang tergolong murah. Adapun beberapa isu saat ini yang penting untuk diketahui dalam menangani pneumonia seperti: 1. Bisa memperkirakan hasil klinik pada pneumonia mempunyai pengaruh

yang besar dalam penanganannya. 2. Keputusan merawatinapkan atau merawatjalankan pasien merupakan suatu

keputusan klinik yang penting. 3. Parameter yang paling penting dalam melakukan rawat inap adalah men-

cari faktor-faktor risiko yang bisa menyebabkan kematian. 4. Biaya rawat inap penyakit ini, 20 kali lebih besar dari biaya rawat jalan. Sedangkan isu-isu lain sehubungan dengan pneumoni adalah: 1. Perubahan demografis.

Penderita pneumonia meningkat jumlahnya pada lanjut usia dan mereka yang tergolong imunokomprimais, penderita kanker, HIV, DM dan pe-nyalahgunaan obat.

2. Kuman patogen yang resisten dan baru. 3. Saat ini bermunculan S. pneumoniae yang resisten penicillin, MRSA,

baksil gram negatif: Pseudomonas aeruginosa, Acinobacter, hanta virus, dan Ebola

4. Ditinjau dari sisi ekonomi kesehatan (perawatan yang cost-effective) diupayakan adanya pelayanan kesehatan berkualitas dengan biaya yang rendah.

5. Pengobatan berdasarkan empirik Penelitian Pneumonia di RS Persahabatan Jakarta

Dalam presentasi tersebut, Hadiarto M., mengurai mengenai penelitian efikasi Ofloxacin injeksi pada pengobatan LRTI di RS Persahabatan pada tahun 1997. Kesimpulannya, Ofloxacin iv yang diikuti dengan terapi oral menunjuk-kan hasil yang baik pada pasien rawat inap dengan diagnosa macam-macam pneumonia. Dalam penelitian yang diberikan pada 25 pasien rawat inap ini rata-rata pemberian ofloxacin iv adalah 4,4 hari plus minus 2,1 hari. Data menarik juga terungkap dalam penelitian tersebut. Berbeda dengan angka kejadian yang sering diceritakan dalam buku ajar luar negeri, ternyata kuman gram negatif sebagai penyebab pneumonia lebih banyak (64%) dibandingkan dengan kuman gram positif (34%). Hubungan Levofloxacin dan Ofloxacin

Levofloxacin diketahui dua kali lebih poten dibandingkan ofloxacin. Keunggulan yang lain adalah aktifitas antibakterialnya lebih meningkat pada: gram positif (S. pneumoniae) dan kuman atipikal (M. pneumoniae, C pneu-moniae,L pneumophila). Selain itu pula, levofloxacin mempunyai kemampuan penetrasi ke jaringan paru yang sangat baik dan dengan dosis tunggal sehari baik oral maupun parenteral. Tidak diindikasikan untuk Pneumonia karena Pseudomonas

Levofloxacin tidak diindikasikan untuk pneumonia karena kuman pseu-domonas karena levofloxacin tidak efektif. Dalam hal ini saran Guru Besar Penyakit Paru, lebih baik menggunakan ciprofloxacin. Sebaliknya cipro-floxacin tidak efektif terhadap kuman gram positif. Clinical Efficacy and Safety of Fluoroquinolones

Pembicara terakhir adalah Michael P Habib MD, Clinical Director, Medicine and Subspecialities SAVAHCS Tucson, Arizona. Menurut Michael P Habib, fluoroquinolon adalah antibiotik yang mempunyai aktifitas bakteriosid yang baik untuk kuman yang bertanggung jawab pada infeksi-infeksi saluran napas bagian bawah. Obat ini hadir karena banyak kuman telah resisten ter-hadap penisilin misalnya Streptococcus pneumoniae, bakteri utama penyebab infeksi saluran napas bawah. Antimikroba ini juga mempunyai efek sangat baik terhadap bakteri atipikal seperti Legionella pneumophila, Chlamydia pneu-moniae dan Mycoplasma pneumoniae, yang merupakan penyebab yang penting dari CAP. Efek samping flouroquinolon

Meskipun demikian bukan berarti obat ini tidak mempunyai efek samping. Dari jenis-jenis flouroquinolone, ada beberapa yang sudah ditarik dari peredaran karena ditemukan efek samping seperti temofloxacin, sparfloxacin, grepafloxacin, clinafloxacin. Sedangkan Trovafloxacin penggunaannya sangat terbatas. Levofloxacin is the fluoroquionolone with the longest track record and best safety profile, tutup Guru Besar dari Universitas Arizona ini.

SIMPOSIUM LAIN Simposium lain yang selengkapnya bisa diakses di http: //www.kalbe.co.id

> Doctor > Seminar : 7th Asian Research Symposium in Rhinology, Bali 15 - 16 Februari 2002

Kegiatan ilmiah ini berlangsung di Hotel Kartika Plaza, Kuta Bali, mem-bahas topik-topik yang sangat luas di bidang rinologi, mulai dari rinosinusitis, alergi, polip nasal, imunoterapi, tehnik-tehnik operasi, penanganan keganasan, dan lain-lain. Pertemuan Ilmiah Paru Milenium 2002, Surabaya 16 - 17 Februari 2002

Pertemuan Ilmiah Paru Milenium 2002 (PIP-Milenium 2002) yang di-selenggarakan bersama oleh PDPI Cabang Jatim dan Cabang Malang berlang-sung dari tanggal 16 hingga 17 Pebruari 2002. Acara ini diikuti oleh sekitar 650 peserta terdaftar dari seluruh penjuru tanah air. Rekaman peserta menunjukkan berasal dari Jakarta, Surabaya, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Mataram-NTB, Denpasar, Bandung, Semarang, Yogyakarta dan Jawa Timur diluar Sura-baya. Slide presentation acara ini bisa diperoleh di http: //pdpi.malang.com. International Symposium on Dyspepsia, Bali 19-21 Februari 2002

Simposium internasional mengenai dispepsia ini didahului dengan sesi meet the expert sebelum dibuka secara resmi. Salah satu sesi yang menarik adalah mengenai The role of Cisapride in the management of gastroparesis yang dibahas oleh dua pakar dari Indonesia yaitu : Dr. Dharmika. D dan Dr. Dadang. M, serta seorang pakar dari Cina yaitu Prof. P.J.Hu. [SIM].

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 53

Page 55: cdk_135_napza

Produk Baru

Cravit® i.v. LEVOFLOXACIN INFUSION

KOMPOSISI: Tiap botol 100 ml cairan infus Cravit® mengandung 500 mg levofloxacin (5 mg/ml). FARMAKOLOGI: Cravit® adalah isomer optik S(-) ofloxacin yang me-miliki spektrum anti bakteri luas. Cravit® efektif untuk bakteri Gram positif, Gram negatif (termasuk anaerob) dan atipikal. Mekanisme kerjanya adalah dengan menghambat DNA gyrase sehingga bersifat bak-terisidal. INDIKASI: Cravit® diindikasikan untuk infeksi seperti Community-acquired Pneumonia (CAP), Acute Exacerbation of Chronic Bronchitis (AECB), infeksi saluran kemih yang sulit penatalaksanaannya (termasuk pielonefritis), infeksi kulit dan jaringan lunak yang disebabkan oleh mikroorganisme yang peka terhadap levofloxacin. DOSIS & CARA PEMBERIAN: Bioavailabilitas yang sama antara Cravit® tablet dengan i.v. memungkinkan pemberian dengan dosis yang sama secara bergantian. Dosis pada pasien dengan fungsi ginjal normal adalah 500 mg sehari, tergantung pada ke-parahan penyakit. Setelah pemakaian Cravit® i.v. selama beberapa hari, pengobatan dapat digantikan dengan Cravit® oral. Umumnya lama pengobatan dengan Cravit® adalah 7-14 hari. Cravit® i.v. adalah larutan infus siap pakai, dan harus diberikan secara lambat ke dalam vena. EFEK SAMPING: Reaksi alergi pada kulit (gatal ruam kulit), nausea, diare, pusing, gangguan tidur. PERINGATAN dan PERHATIAN: Perlu penyesuaian dosis pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal berat. Hati-hati pada pasien dengan gangguan sistem saraf pusat. Cravit® tidak diindikasikan untuk pasien di bawah usia 18 tahun. KEMASAN: Boks, botol @ 100 ml. PENYIMPANAN: Simpan pada suhu 15°-30° C, dalam tempat tertutup Informasi lebih lanjut, hubungi:

PT. KALBE FARMA, Tbk Gedung Enseval Jl. Letejen Suprapto, Jakarta 10510 PO Box 3105 JAK, Jakarta-Indonesia Telp.: (021) 428 73888. Fax (021) 428 73680 Home Page: http://www.kalbe.co.id Atas lisensi: DAIICHI PHARMACEUTICAL Co., LTD 14-10 Nihonbashi 3 – Chome Chou-Ku TOKYO 103-8234 – JAPAN

Let him who gives say nothing, and him who receives speak

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 54

Page 56: cdk_135_napza

INTERNET UNTUK DOKTER

INTERNET UNTUK DOKTER (Seri pertama)

Kegunaan internet sudah dirasakan banyak pihak, ter-masuk para dokter. Misalnya, dengan berinternet bisa diperoleh informasi kedokteran terbaru. Banyak journal kedokteran yang telah di-online-kan termasuk majalah CDK yang sedang Anda baca ini. Dengan internetpun, para dokter bisa berkomunikasi dan bersosialisasi dengan teman-teman sejawat yang seminat. Untuk memulai berinternet, diperlukan perangkat keras (hard-ware) dan perangkat lunak (software). Tulisan yang akan disampaikan berseri ini, mencoba memberi informasi dari awal mengenai internet baik dari sisi perangkat kerat, perangkat lunak maupun operatornya. Perangkat keras

Sebenarnya perangkat keras yang diperlukan untuk ber-internet hampir sama dengan perangkat keras pada komputer yang dipergunakan untuk menulis Refarat atau Laporan Kasus misalnya. Perbedaannya, hanyalah pada suatu perangkat yang disebut “modem”. Modem adalah suatu alat yang membuat komputer kita bisa terhubung dengan komputer di tempat lain. Tentunya dalam hal ini saluran komunikasi seperti line telpon mutlak diperlukan. Modem

Ada dua jenis modem, yaitu yang ‘diimplant’ di komputer (modem internal), dan yang terpisah dari komputer (modem eksternal). Dari sisi kepraktisan, memang lebih praktis (dan umumnya lebih murah) menggunakan modem internal. Modem ini tidak mempergunakan kabel power supply. Kabel dari telepon langsung dicolok ke komputer kita. Tetapi menurut informasi yang diterima, dari sisi koneksitas modem eksternal lebih baik. Tips yang lain dalam memilih modem, carilah kecepatan modem yang paling tinggi (saat ini dengan koneksi dial up biasa) bisa diperoleh misalnya 56 KB. Internet sama dengan alam/dunia maya

Dunia internet sering disebut alam maya. Begitu mema-suki dunia internet, seakan memasuki suatu lingkungan yang menyediakan segala hal. Apa saja bisa dilakukan, mulai dari mencari informasi kedokteran, berkomunikasi dengan para teman sejawat, membeli buku kedokteran, dan lain sebagainya. Semua itu bisa dilakukan tanpa beranjak dari komputer atau meja kerja. Kalau untuk membeli buku kedokteran, secara konvensional perlu ke toko buku, tidak demikian halnya jika itu dilakukan di internet. Malah kemungkinan artikel atau infor-masi yang dicari tersebut bisa diperoleh tanpa perlu membeli buku.

Internet Service Provider Seperti yang dijelaskan di atas, diperlukan modem agar

bisa berinternet. Karena modem menggunakan line telepon, tentu komputer –secara otomatis- mendial nomor telepon ter-

tentu. Nomor telepon yang dituju adalah nomor telepon Internet Service Provider (ISP), yaitu suatu perusahaan yang menyediakan jasanya sebagai pintu gerbang kita memasuki internet. Seperti diketahui informasi yang diakses itu sebenar-nya tersebar pada berjuta-juta komputer di seluruh dunia. Masing-masing perusahaan bisa menyediakan informasi di komputer yang dikhususkan untuk itu. PT Kalbe Farma, misal-nya menyediakan suatu server komputer di Cikarang, Jawa Barat, agar semua informasi yang disediakan oleh PT Kalbe Farma bisa diakses oleh para dokter dan netter (pengguna internet) dari mana saja. Namun untuk mengakses informasi tersebut, Anda tak perlu repot-repot menelpon ke PT Kalbe Farma, melainkan cukup menelpon ke ISP Anda (semuanya sudah diinstal otomatis di komputer Anda). Kemudian dengan menggunakan perangkat lunak (software) yg disebut browser menuju ke http://www.kalbe.co.id .

Pada website Kalbefarma tersebut, bisa diperoleh informasi terkini dalam bidang kedokteran, jadwal simposium berikut resumenya. Selain itu pula, informasi yang dimuat pada majalah CDK pun bisa diakses dari sana. Majalah Kedokteran Online

Berikut disampaikan beberapa majalah / journal kedokter-an yang sudah online: A. Informasi Situs Majalah Kedokteran Indonesia :

- Cermin Dunia Kedokteran, http://www.kalbe.co.id - The Electronic Journal of The Indonesian Medical

Association, http://www.e-jima.com - Alergika Online, http://www.alergi.co.id/ - Medika, http://www.pdat.co.id/medika - Farmasia, http://www.majalah-farmacia.com

B. Informasi Situs Majalah Kedokteran non Indonesia - British Medical Journal, http://bmj.com/

- The Lancet , http://www.thelancet.com/ - The New England Journal of Medicine,

http://content.nejm.org - The Journal of the American Medical Association

(JAMA), http://jama.ama-assn.org/ C. Lain-lain :

- Free Medical Journals, http://www.freemedicaljournals.com

- Health Internet Work, http://www.healthinternetwork.net

- PubMed, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi

- Komunitas pembaca Cermin Dunia Kedokteran, http://groups.yahoo.com/group/CDK-L

Demikian informasi yang diberikan. Semoga bermanfaat dan sampai jumpa di seri kedua.

[Erik Tapan]

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 55

Page 57: cdk_135_napza

ABSTRAK SIMVASTATIN UNTUK HIPER-KHOLESTEROL

Satu penelitian atas 120 pria hiper-kholesterolemik di Finlandia bertujuan untuk menilai pengaruh simvastatin, diet dan kombinasi keduanya atas kadar lipid plasma. Sejumlah masing-masing 60 orang diberi diet biasa dan diet mengandung lemak jenuh dan trans-unsaturated fat kurang dari 10%, selanjutnya dari masing kelompok ter-sebut 30 orang mendapat simvastatin 20 mg/hari atau plasebo selama 12 minggu. Ternyata perlakuan diet dapat menurunkan kadar kolesterol total se-besar 7,6% (p<0.01), LDL kolesterol sebesar 10,8% (p<0.001), HDL koles-terol sebesar 4,9% (p=0.01), apolipo protein B sebesar 5,7% (p=0.003), insulin serum turun sebesar 14.0% (p=0.02) dan alfa tokoferol sebesar 3,5% (p=0.04).

Sedangkan simvastatin menurunkan kadar kolesterol total sebesar 20,8%, LDL kolesterol sel sebesar 29,7%, tri-gliserid –13,6%, apolipoprotein B –22,4%, alfa tokoferol –16,2%, beta karoten –19,5% dan ubiquinol 10 se-besar 22,0% (semuanya p<0.001), me-ningkatkan kadar HDL sebesar 7.0% (p<0.001) dan insulin serum sebesar 13.2% (p=0.001). Kadar glukosa tidak berubah di semua kelompok.

JAMA 2002;287: 598-605

Brw PROGNOSIS PAYAH JANTUNG

Studi retrospektif atas 2568 pasien payah jantung yang diikuti selama 32 ± 15 bulan menunjukkan bahwa pening-katan tekanan vena jugularis me-ningkatkan risiko dirawat akibat payah jantung (RR 1,32; 95%CI: 1,08-1,62, p<0.01), risiko kematian atau dirawat (RR 1,37; 95%CI: 1,11-1,53. p<0.005) dan risiko kematian akibat gagal pompa jantung (RR 1,37; 95%CI: 1,07-1,53, p<0,05).

Selain itu adanya bunyi jantung ketiga juga meningkatkan risiko-risiko tersebut.

N. Engl. J. Med. 2001; 345: 574-81

Brw RISPERIDON INJEKSI

Risperdal® (risperidone) – suatu antipsikotik – dalam waktu dekat akan tersedia dalam bentuk sediaan suntikan depot, dalam sediaan ini, bahan aktif risperidone terbungkus dalam mikro-sfer yang kemudian akan pecah secara berangsur-angsur. Para dokter selama ini hanya mengenal sediaan nalo-peridol dekanoat sebagai antipsikotik jangka panjang.

Sediaan antipsikotik jangka panjang lebih ideal dan disukai karena kepatuh-an berobat di kalangan pasien skizo-frenia sangat rendah, ditambah dengan sifat penyakitnya yang kronis.

Scrip 2001; 2678: 19

Brw

TANAMAN OBAT UNTUK HATI Tanaman obat sejak dahulu telah

digunakan untuk berbagai penyakit, di antaranya untuk gangguan fungsi hati. Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa beberapa tanaman obat memang mengandung zat aktif yang mempunyai aktivitas hepatoprotektif, bahkan be-berapa di antaranya telah dibuat dan dipasarkan dalam bentuk preparat oral. Tanaman tersebut di antaranya : Silybum marianum – mengandung zat aktif silymarin yang telah dipasarkan dengan merk Lagalon®, Sohisandra chinensis – mengandung zat aktif schi-sandrin, Phyllantus amarus – mengan-dung zat aktif phyllantin dan hypo-phyllantin, Picrorhiza kurroa – me-ngandung zat aktif picroliv, Andro-graphis paniculata – mengandung zat aktif andrographolide, Glycyrrhizae radix-mengandung zat aktif glycytinic acid dan glycyrrhizin, Lycium chinense dengan zat aktifnya zeaxanthin, serta

Cochlospermum tinotorium yang me-ngandung arjunolic acid.

Selain itu beberapa sediaan kom-binasi juga sedang diselidiki manfaat-nya terhadap berbagai penyakit hepar.

DN&P 2001; 14(6): 353-63

Brw DIET KALSIUM DAN BATU SALURAN KEMIH

Selama ini orang masih bertanya-tanya mengenai hubungan antara asup-an kalsium dari diet makanan dengan risiko batu kalsium di saluran kemih.

Para peneliti di Italia meneliti masalah ini atas 120 pria penderita hiperkalsiuria dan batu oksalat rekuren selama 5 tahun; selama masa tersebut 60 pria mendapat diet biasa dengan kandungan kalsium 30 mmol/hari, te-tapi rendah protein hewani (52 g/hari) dan rendah garam (50 mmol NaCl/ hari), sedangkan 30 pria lainnya men-dapat diet rendah kalsium (10 mmol/ hari).

Setelah 5 tahun, 12 dari 60 pria dengan diet kalsium normal dan 23 dari 60 pria yang mendapat diet rendah kalsium (10 mmol Ca/hari), menderita batu rekuren (RR=0,49; 95%CI: 0,24-0,98; p=0,04).

Selama follow up kadar kalsium urine turun di kedua kelompok secara nyata (170 mg./4,2 mmol per hari) tetapi elskresi oksalat urine meningkat di kelompok rendah kalsium (rata-rata 5,4 mg/60 umol perhari) sebaliknya turun di kelompok diet kalsium nor-mal, rendah protein hewani dan rendah garam (rata-rata 7,2 mg/80 umol perhari).

Para peneliti menyimpulkan bah-wa di kalangan pria hiperkalsiuria dan batu oksalat rekuren pembatasan pro-tein hewani dan garam dengan asupan normal lehih bermanfaat daripada diet rendah kalsium.

N. Eng1. J. Med. 2002; 346: 77-84 Brw

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002 56

Page 58: cdk_135_napza

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran

Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?

1. Yang bukan cara penggunaan napza :

a) Ditelan (per oral) b) Suntikan intramuskular c) Sutikan intravena d) Dihirup uapnya e) Ditempel dikulit

2. Deteksi zat narkoba dalam tubuh dilakukan melalui pemeriksaan : a) Darah b) Urine c) Cairan lambung d) Cairan otak e) Radiologik

3. Yang dikenal sebagai pil koplo termasuk golongan : a) Opiat b) Amfetamin c) Kokain d) Benzodiazepin e) Ganja

4. Ecstasy termasuk golongan : a) Opiat b) Amfetamin c) Kokain d) Benzodiazepin e) Ganja

5. Putaw termasuk golongan : a) Opiat b) Amfetamin c) Kokain d) Benzodiazepin e) Ganja

6. Efek euforia akibat penggunaan narkotika adalah melalui pengaruhnya terhadap : a) Korteks serebri b) Talamus c) Serebelum d) Sistim limbik e) Batang otak

7. Golongan anti depresan yang mutakhir : a) Benzodiazepin b) Trisiklik c) MAO inhibitor d) Tetrasiklik e) SSRI

8. Preparat yang termasuk golongan tersebut ialah : a) Klobazam b) Amitriptilin c) Moklobemid d) Maprotilin a) Fluoksetin

JAWABAN RPPIK :

1. B 2. B 3. D 4. B 5. A 6. D 7. E 8. E

On the pinnacle of fortune man does not stand long firm

(Goethe)

Cermin Dunia Kedokteran No. 134, 2002 57