cdk_083_infeksi_nosokomial_(ii)

download cdk_083_infeksi_nosokomial_(ii)

of 65

Transcript of cdk_083_infeksi_nosokomial_(ii)

  • 1993

    Daftar Isi : 2. Editorial 4. English Abstract

    5. Pengertian Imunokompromais dan Respons Imun Karnen Ba-ratawidjaja

    10. Faktor-faktor Penyebab Kerentanan Pasien Imunokompromi ter-hadap Penyakit Infeksi H. Soemarsono

    13. Jenis Infeksi Nosokomial pada Pasien KankerH. Muchlis Ramli 18. Total Protected Environment untuk Mencegah Infeksi Nosokomial

    di Ruang Transplantasi Sumsum Tulang RSCM/FKUI A. Harryanto Reksodiputro, Aru W. Sudoyo, Abdulmuthalib, Karmel L. Tambunan, Zubairi Djoerban, Abidin Widjanarko, Djumhana Atmakusuma

    24. Surveilans Infeksi Nosokomial Luka Operasi di Bagian Bedah dan di Bagian Kebidanan/Penyakit Kandungan RSU Bekasi Dean Wahyudy Satyaputra, Hario Untoro

    26. Sanitasi Rumah Sakit sebagai Investasi D. Anwar Musadad 29. Peranan Dokter dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial Djoko

    Roeshadi 31. Peranan Perawat dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial Djoko

    Roeshadi 33. Masalah Pencemaran Flora Kuman Rumah Sakit pada Pasien

    Imunokompromi aspek perawatan dan pengelolaan makanan Made Nursari, Linda Amiati, Rusmiati

    37. Tinjauan Mikrobiologi Makanan, Minuman dan Air pada Beberapa Rumah Sakit di Jakarta Pudjarwoto Triatmodjo

    41. Penelitian Kuman Patogen dalam Makanan Katering di Jakarta Noer Endah Pracoyo, Sri Harjining, Pudjarwoto T.

    44. Survai Poliomielitis Paralitik di Lokasi Transmigrasi Kecamatan Tinanggea, Kabupaten Kendari, Sulawesi Tenggara (1985 1986) Eko Rahardjo, Suharyono Wuryadi, Gendrowahyuhono, Bambang Basuki, Nur Daini

    49. Serokonversi terhadap Vaksin Polio Oral di Kalangan Anak-anak di Daerah Kumuh di Jakarta Gendrowahyuhono

    52. Demam Tifoid epidemiologi dan perkembangan penelitian Cyrus H. Simanjuntak

    55. Perkembangan Antibiotik Usman Suwandi 58. Obat Anti Malaria Baru Emiliana Tjitra 62. Abstrak 64. RPPIK

    International Standard Serial Number: 0125 913X

  • Seri ke dua dalam pembahasan infeksi nosokomial ini membicarakan segi imunologi dan masalah perawatan pasien imunokompromi; sebagian di anta-ranya telah dibahas dalam Simposium Infeksi Nosokomial pada Pasien Imuno-kompromi yang diselenggarakan beberapa waktu yang lalu.

    Masalah perawatan ini tidak hanya mengenai pasiennya, tetapi juga meli-batkan peranan dokter, perawat, bahkan faktor makanan dan minuman yang disajikan; dan ternyata tidak semua makanan dan minuman yang disajikan di rumah sakit telah memenuhi syarat kesehatan; apalagi makanan yang disajikan untuk masyarakat umum.

    Artikel-artikel ini disajikan agar selain faktor pengobatan, masalah ling-kungan dan perawatan juga mendapat perhatian yang selayaknya.

    Redaksi

    Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 2

  • 1992

    International Standard Serial Number: 0125 913X

    REDAKSI KEHORMATAN

    Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

    Prof. Dr. R.P. Sidabutar Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

    Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

    Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soe- darmo

    Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

    Prof. DR. B. Chandra Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

    Prof. Dr. R. Budhi Darmojo

    Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

    Drg. I. Sadrach

    Lembaga Penelitian Universitas Trisakti, Jakarta

    DR. Arini Setiawati

    Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,

    REDAKSI KEHORMATAN

    DR. B. Setiawan PH.D

    KETUA PENGARAH Dr Oen L.H

    KETUA PENYUNTING Dr Budi Riyanto W

    PEMIMPIN USAHA Rohalbani Robi

    PELAKSANA Sriwidodo WS

    TATA USAHA Sigit Hardiantoro

    ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Telp. 4892808 Fax. 4893549, 4891502

    NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976

    PENERBIT Grup PT Kalbe Farma

    PENCETAK PT Midas Surya Grafindo

    DR. Ranti Atmodjo

    Drs. Victor S Ringoringo, SE, MSc.

    Dr. P.J. Gunadi Budipranoto

    DR. Susy Tejayadi

    PETUNJUK UNTUK PENULIS

    Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang-bidang tersebut.

    Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan menge-nai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.

    Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus di-sertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pem-baca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.

    Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pe-ngarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor

    sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk meng-hindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuseripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 1749. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mecha-nisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.

    Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002

    Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis.

    Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

    Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 3

    Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.

  • English Summary THE CONCEPT OF IMMUNOCOM-PROMISE AND IMMUNE RESPONSE Karnen Baratawidjaja AllergyImmunology Subdepartment, Department ofInternal Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia/Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta, Indonesia

    A well-functioning immune

    system is necessary for the main-tenance of health. Microorga-nisms are eliminated by several ways involving phagocytes, APC, T cells (rh, Is, Tc and Tdh cells), B cells (antibody), complement, NK cells and K cells.

    The Th cells Is considered to function as the regulator of the immune system since it regulates the functions of the other immune-system-related cells.

    If one or more components of the immune system do not function properly, the patient is more prone to nosocomial infection.

    Cermin Dunia Kedokt. 1993; 83: 5-9 St

    NOSOCOMIAL INFECTIONS AMONG CANCER PATIENTS Muchlis Ramli Oncology Subdepartment, Department of Surgery, Faculty of Medicine, University of Indonesia/Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta, Indonesia

    Cancer patients can be classi-fied as immunocompromised cases, because their immune system can be influenced by

    several factors: The cancer itself, the diagnostic measures or even the therapeutic regimens.

    And since most of those pa-tients are usually treated in hospi-tals, they are prone to nosocomial infections which can be fatal; 5070% of deaths among cancer patients are said to be caused by bacterial or fungal infections.

    The main problems in cancer in Indonesia nowadays are the prevention and early detection, since more than 50% of cases who come to medical facilities have already in advanced stages. But with the advance-ment of therapeutic and pallia-tive care, nosocomial infections among cancer patients should be considered as a potential threat.

    Cermin Dunia Kedokt. 1993; 83: 13-6

    brw

    NURSING AND FOOD-HANDLING ASPECTS IN MINIMIZING THE BACTERIA CONTAMINATION IN IMMUNOCOMPROMISED PA-TIENTS Made Nursari Cipto Man gunkusumo General Hospital, Jakarta, Indonesia

    This report shows that one way

    to nurse patients with compro-mised immunity such asTST(bone marrow transplant) patients is by practicing nursing principles which involve setting rules and regulations for the patients him/ herself, his/her family, the hospi-

    tal employees, the hospital envi-ronment and a well planned nutritional program.

    In this way, infections by micro-organisms can be minimized.

    Cermin Dunla Kedokt. 1993; 83: 33-6

    st

    MICROBIOLOGICAL STUDIES ON FOOD AND WATER IN SEVERAL HOSPITALS IN JAKARTA Pudjarwoto Triatmodjo Health Research and Development Centre, Departement of Health, Indo-nesia, Jakarta

    The types and microbial count

    of the microorganisms present in foods, drinks and water in the bathrooms for patients in several hospitals in Jakarta were studied to obtain qualitative and quanti-tative data of the microorga-nisms responsible for nosocomial infections among the patients; WHO standard methods were used in these investigations.

    The gram-negative bacteria - E. coil - was found to be the dominant contaminant in several types of foods, drinks and water in the bathrooms for patients. Other bacteriae found were Staphylococcus, Pseudomonas, Proteus, Klebsiellaand molds such as Aspergillus. Thirty seven and half percent of the water and tea served to the patients did not meet the potable water standard listed in Permenkes no. 426/ MENKES/PER/IX/1990.

    Cermin Dunia Kedokt. 1993; 83: 37-40 st/olh

    Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 4

  • Artikel

    Pengertian Imunokompromais dan Respons Imun

    Karnen Baratawidjaja Subbagian Alergi-Imunologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/

    Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta

    PENDAHULUAN

    Yang diartikan dengan imunokompromais ialah fungsi sis-tim imun yang menurun. Sistim imun terdiri atas komponen nonspesifik dan spesifik. Fungsi masing-masing komponen atau keduanya dapat terganggu baik oleh sebab kongenital maupun sebab yang didapat. Pada hal yang akhir, sistim imun tersebut sebelumnya berfungsi baik. Hal inilah yang dalam praktek se-hari-hari dimaksudkan dengan imunokompromais.

    Keadaan imunokompromais yang sering ditemukan di dalam klinik dapat terjadi oleh infeksi (AIDS, virus mononukleosis, rubela dan campak), tindakan pengobatan (steroid, penyinaran, kemoterapi, imunosupresi, serum anti-limfosit), neoplasma dan penyakit hematologik (limfoma/Hodgkin, leukemi, mieloma, neutropenia, anemi aplastik, anemi sel sabit), penyakit metabolik (enteropati dengan kehilangan protein, sindrom nefrotik, diabe-tes melitus, malnutrisi), trauma dan tindakan bedah (luka bakar, splenektomi, anestesi) dan lainnya (lupus eritematosus sistemik), hepatitis kronis)(1,2).

    Berbagai 'tnikroorganisme (kuman, virus, parasit, jamur) yang ada di lingkungan maupun yang sudah ada dalam badan penderita, yang dalam keadaan normal tidak patogenik atau me-miliki patogenesitas rendah, dalam keadaan imunokompromais dapat menjadi invasif dan menimbulkan berbagai penyakit. Oleh karena itu penderita yang imunokompromais mempunyai risiko yang lebih tinggi terhadap infeksi yang berasal dari badan sendiri maupun yang nosokomial dibanding dengan yang tidak imu-nokompromais.

    Untuk mengerti hal-hal yang dapat terjadi pada keadaan imunokompromais, komponen-komponen sistim imun dan fungsinya masing-masing, respons imun serta mekanisme eliminasi antigen perlu dimengerti dengan baik.

    Dipresentasikan pada : Simposium Infeksi Nosokomial pada Pasien Imuno-kompromi, Jakarta 8 Februari 1992.

    SISTIM IMUN Sistim imun yang mempertahankan keutuhan tubuh terdiri

    atas sistim imun nonspesifik (natural/innate) dan spesifik (adap-tive/acquired) (Gambar 1). Sistim imun nonspesifik sudah ada dan berfungsi sejak lahir, sedang yang spesifik baru berkembang sesudah itu(3)

    Fagosit yang terdiri alas sel mononuklear (monosit dan makrofag) dan sel polimorfonuklear (granulosit yang terdiri atas neutrofil, eosinofil dan basofil) dibentuk dalam sumsum tulang. Gambar 1. Sistim Imun

    Setelah berada dalam sirkulasi untuk 24 jam, sel monosit

    bermigrasi ke tempat tujuan di berbagai jaringan dan di sana berdiferensiasi menjadi makrofag. Menurut fungsinya, makro-fag dapat berupa fagosit profesional atau Antigen Presenting Cell (APC).

    Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 5

  • Monosit dan makrofag memiliki reseptor untuk Fc dari Imunoglobulin, komplemen (C3b), IFN, MIF dan MAF. Di samping itu monosit dan makrofag dapat melepas bahan-bahan seperti lisozim, komplemen, IFN dan sitokin yang semuanya memberikan kontribusi dalam pertahanan tubuh.

    Granulosit yang dibentuk dengan kecepatan 8 juta sel/menit hanya hidup 2-3 hari, sedang monosit/makrofag dapat hidup untuk beberapa bulan-tahun. Granulosit yang merupakan 60-70% dari seluruh sel darah putih, ditemukan juga di luar pembu-luh darah karena dapat menembus dinding pembuluh darah. Sel polimorfonuklear bergerak cepat dan sudah berada di tempat infeksi dalam 2-4 jam, sedang monosit bergerak lebih lambat dan memerlukan waktu 7-8 jam untuk sampai di tempat tujuan.

    Sel sistim imun spesifik terdiri atas sel B dan sel T yang masing-masing merupakan sekitar 10% dan 70-85% dari semua limfosit dalam sirkulasi(4). Sel B tidak mempunyai subset tetapi sel T terdiri atas beberapa subset: sel Th, Ts, Tc dan Tdh.

    Sel B merupakan asal dari sel plasma yang membentuk imunoglobulin (Ig) yang terdiri atas IgG,IgM,IgA,IgE dan IgD. IgD berfungsi sebagai opsonin, dapat mengaglutinasikan kuman/ virus, menetralisir toksin dan virus, mengaktifkan komplemen (jalur klasik) dan berperanan pada Antibody Dependent Cellular Cytotoxicity (ADCC). ADCC tidak hanya merusak sel tunggal tetapi juga mikroorganisme multiselular seperti telur skistosoma, kanker, penolakan transplan, sedang ADCC melalui neutrofil dan eosinofil berperan pada imunitas parasit(5). IgM dibentuk ter-dahulu pada respons imun primer sehingga kadar IgM yang tinggi menunjukkan adanya infeksi dini. IgM merupakan agluti-nator antigen serta aktivator komplemen (jalur klasik) yang poten. IgA ditemukan sedikit dalam sekresi saluran napas, cerna dan kemih, air mata, keringat, ludah dan air susu ibu dalam bentuk IgA sekretori (sIgA). IgA dan sIgA dapat menetralisir toksin, virus, mengagglutinasikan kuman dan mengaktifkan komplemen (jalur alternatif). IgE berperanan pada alergi, infeksi cacing, skistosomiasis, penyakit hidatid, trikinosis. Peranan IgD belum banyak diketahui dan diduga mempunyai efek antibodi pada alergi makanan dan autoantigen.

    Sel Th yang disebut sel inducer merupakan regulator sistim imun oleh karena mengatur fungsi sel-sel sistim imun lainnya termasuk makrofag, sel B dan subset sel T lainnya.

    Di samping sel-sel tersebut di atas masih ada sel non T non B yang terdiri atas sel NK (Natural Killer) dan sel K (Killer). Sel NK dapat membunuh sel tumor dan sel yang diinfektir virus secara nonspesifik tanpa bantuan antibodi, sedang sel K me-rupakan efektor dari ADCC yang dapat membunuh sel secara spesifik tetapi hanya dengan bantuan antibodi. RESPONS IMUN

    Sel-sel utama yang berperan pada respons imun yaitu makrofag, sel T dan sel B. Sel-sel tersebut berinteraksi satu de-ngan yang lain secara langsung atau melalui interleukin (IL). Selain itu diikutsertakan pula komplemen, sel NK dan sel K.

    Mikroorganisme yang menembus pertahanan mekanik norispesifik masih dapat dieliminir oleh elemen-elemen dari

    sistim imun nonspesifik lainnya. Enzim lisozom yang ditemukan dalam banyak sekresi mampu menghancurkan dinding banyak bakteri. Komplemen dapat diaktifkan secara alternatif oleh ber-bagai bakteri. Aktivasi tersebut akan mengeliminir bakteri melalui lisis atau peningkatan fagositosis (melalui faktor kemotaktik, opsonin dan reseptor untuk komplemen pada permukaan fago-sit). Acute phase protein meningkat dan salah satu dari protein tersebut adalah C Reactive Protein (CRP) dan disebut demikian oleh karena mengikat protein C dari pneumokok. Ikatan antara CRP dan protein C tadi akan mengaktifkan komplemen secara alternatif. Aktivasi komplemen terlihat pada Gambar 2(6).

    Gambar 2. Aktivasi komplemen

    Yang berperanan pada imunitas virus adalah sel NK dan

    interferon (IFN). IFN mengaktifkan sel NK dan meningkatkan resistensi sel normal terhadap infeksi virus (Gambar 3)(3). IFN alfa dan beta dibentuk leukosit dan sel yang diinfektir virus.

    Gambar 3. Interferon dan sel NK .

    Bila pertahanan sistim imun nonspesifik tidak dapat

    mengeliminir kuman, sistim imun spesifik akan dikerahkan. Sistim ini bekerja spesifik dan menggunakan rnemori. Antigen akan mencetuskan serentetan reaksi yang menghasilkan aktivasi limfosit, produksi antibodi dan limfosit efektor yang spesifik untuk imunogen.

    Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 6

  • Pada pertahanan spesifik ini, antigen mula-mula ditangkap oleh APC dan dipresentasikan ke sel T. Pada waktu yang ber-samaan sel APC melepas IL-1 yang mengaktifkan sel T. Sel T yang diaktifkan melepas berbagai interleukin (Gambar 4).

    Dalam respons terhadap kebanyakan antigen (kecuali anti-gen se! T independen) antigen perlu diproses dahulu oleh sel APC. Hal ini disebabkan oleh karen sel T yang merupakan regulator dari respons imun, hanya mengenal antigen melalui molekul MHC kelas II (MHC restricted). Sel-sel yang memiliki

    permukaan MHC kelas II dan berfungsi sebagai APC adalah makrofag, sel dendritik, sel Langerhans di kulit, sel Kupffer di hati, sel mikroglia di susunan saraf pusat, sel B dan sekitar 1% dari semua sel monosit periferr'1.

    Sebagai regulator respons imun, sel Th mengaktifkan limfosit lainnya dari sistim imun seperti sel B, sel Te dan sel Tdh. Aktivasi sel Th tersebut memerlukan 2 signal, yang pertama berasal dari ikatan antara reseptor antigen pada permukaan sel T dengan kompleks antigen MHC krlas II pada sel APC dan yang kedua

    Gambar 4. Sistim Imun Spesirik

    Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 7

  • berasal dari interleukin-1 (protein larut yang diproduksi sel APC). Kedua signal bersama-sama akan meningkatkan reseptor/ ekspresi permukaan untuk limfokin lain, IL-2 serta produksi faktor pertumbuhan dan diferensiasi (growth and differentiation factor) antara lain untuk sel B dan makrofag. IL-2 meningkatkan pertumbuhan sel yang memiliki ekspresi IL-2 (reseptor untuk IL-2) termasuk sel Th sendiri (efek autokrin) dan sel Tc. Jadi fungsi utama dari IL-2 ialah meningkatkan respons imun.

    Sel Th akan mengaktifkan pula sel Tc yang fungsi utamanya membunuh semua sel yang non-self. Sel Tc dapat dibedakan dari sel Th oleh karena memiliki antigen CD8 dan dapat mengenal antigen asing dengan profil MHC kelas I. Protein CD4 mengikat molekul MHC kelas II dan CD8 mengikat molekul MHC kelas I pada APC. Jadi baik sel CD4 maupun CD8 berpartisipasi dalam pengenalan kompleks antigen-MHC.

    Aktivasi sel Tc juga memerlukan 2 signal; yang pertama berasal dari interaksi antara reseptor pada sel T dengan kompleks asing molekul MHC kelas I pada sel sasaran (yang dapat berupa sel yang diinfektir virus, sel tumor atau sel transplan). Signal kedua berasal dari IL-2 yang diproduksi sel Th yang diaktifkan. Sel Tc yang diaktifkan memproduksi sitokin yang dapat meng-hancurkan sel.

    Sel B menjadi scl plasma yang memproduksi antibodi. Di samping aktivasi sel Th seperti digambarkan di atas, sel B yang relevan juga mengikat antigen melalui reseptornya (berupa anti-bodi yang diikat pada permukaan selnya dan sama dengan jenis antibodi yang akan disekresinya kemudian). Ikatan tersebut merupakan signal aktivasi awal. Untuk aktivasi lengkap dari sel B masih diperlukan signal dari sel Th berupa B Cell Growth Factor (BCGF) dan B Cell Differentiating Factor (BCDF) (Gambar 4). Sebetulnya sel B dapat pula berfungsi sebagai sel APC, mengolah antigen. Kompleks antigen MHC kelas II dapat mengaktifkan sel T (kurang poten dibanding dengan APC) atau membentuk sel T memori.

    BCGF merangsang proliferasi sel B dan BCDF merangsang sel B untuk diferensiasi menjadi sel plasma dan membentuk antibodi. Jadi proses lengkap aktivasi dan diferensiasi sel B memerlukan sedikitnya 3 signal, satu dari antigen dan 2 dari sel Th. Sebagian sel B yang diaktifkan berproliferasi tetapi tidak berdiferensiasi menjadi sel plasma. Mungkin hal tersebut dise-babkan oleh karena tidak mendapat cukup BCDF. Sel tersebut menjadi sel memori yang hidup lama.

    Sel Ts dapat menekan baik fungsi sel Th maupun sel B. Sel Ts memiliki petanda permukaan CD8 seperti sel Tc, tetapi sel Ts tidak memiliki efek sitotoksik. Bekerjanya diduga melalui penglepasan mediator yang menekan fungsi sel Th dan sel B(7).

    MEKANISME ELIMINASI ANTIGEN

    Fungsi akhir dari sistim imun adalah mengeliminir bahan asing. Hal ini dilakukan melalui berbagai jalan(5,7,8): 1) Sel Tc dapat menghancurkan antigen asing seperti sel kanker dan sel yang mengandung virus secara langsung melalui penglepasan sitotoksin. 2) Antibodi berfungsi dalam respons imun melalui beberapa

    jalan a) Neutralisasi toksin

    Antibodi yang spesifik (IgG, IgA) untuk toksin bakteri atau bisa serangga/ular dapat mengikat antigen dan menginaktif-kannya. Kompleks ikatan tersebut selanjutnya akan dieliminir oleh sistim fagosit makrofag. b) Neutralisasi virus Antibodi yang spesifik (IgG, IgA) ter-hadap epitop pada permukaan virus akan mencegah ikatan virus dengan sel mukosa sehingga mencegah infeksi, Sel NK dapat menghancurkati sel yang diinfeksi virus. c) Opsonisasi bakteri

    Antibodi (IgG, IgM) dapat menyelimuti permukaan bakteri sehingga memudahkan eliminasi oleh fagosit (yang memiliki reseptor untuk Fc dari Ig).

    Ikatan dengan makrofag tersebut memudahkan fagositosis (opsonin). d) Aktivasi komplemen

    Beberdpa kelas antibodi (IgG, IgM, IgA) dapat mengaktif-kan komplemeti. Bila epitop ada pada permukaan sel misalnya bakteri, maka komplemen yang diaktifkan dapat menghancur-kan sel tersebu melalui efek enzim. Beberapa komponen kom-plemen (C3b, C4b) juga memiliki sifat opsonin. Opsonin terse-but berikatan dengan kompleks antigen-antibodi dan akhirnya denganreseptor pada permukaan makrofag sehingga memu-dahkan fagositosis. Ada komponen komplemen yang berupa kemotaktik (C3a, C5a) untuk neutrofil dan ada yang mengaktif-kan mastositdan basofil (anafilatoksin) untuk melepas histamin. Beberapa bakteri seperti E. coil dan S. aureus dapat mengaktif-kan komplemen langsung melalui jalur alternatif. Respons me-lalui komplemen sangat kompleks dan penting dalam inflamasi yang juga merupakan mekanisme pertahanan. Sistim enzim lain yang berperanan pada inflamasi ialah sistim kinin, clotting dan fibrinolitik. e) ADCC

    Antibodi utama IgG dapat diikat Killer cell (sel K) (atau sel lain seperti eosinofil, neutrofil, yang memiliki reseptor untuk Fc dari IgG). Sel yang dipersenjatai olch IgG tersebut dapat meng-ikat sel sasaran (bakteri, sel tumor, penolakan transplan,penyakit autoimun dan parasit) dan membunuhnya. Beda sel K dari sel Tc ialah karena sel K tidak memiliki petanda CD8 dan memerlukan antibodi dalam fungsinya. 3) Inflamasi dan hipersensitivitas lambat (Delayed Type Hypersensitivity, DTH)

    Menyusul presentasi antigen oleh sel APC, sel Th melepas limfokin yang mengerahkan dan mengaktilkan makrofag dan menimbulkan reaksi inflamasi. Respons inflamasi ini disebut. lambat atau hiperreaktivitas lambat oleh karena memerlukan 24-28 jam sedang respons inflamasi yang terjadi melalui antibodi terjadi dalam beberapa menit-jam. Kedua respons inflamasi tersebut juga berbeda dalam jenis sel yang dikerahkan: pada respons lambat sel mononuklear dan pada inflamasi antibodi-komplemen, terutama sel polimorfonuklear.

    Inflamasi mempunyai efek baik dan buruk oleh karena di samping eliminasi bahan asing, juga dapat menimbulkan keru-

    Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 8

  • sakan jaringan. 4) Eliminasi protozoa

    Baik imunitas humoral maupun selular (makrofag dan sel T yang diaktifkan) berperanan pada eliminasi P. carinii, Giardia dan T. gondi. 5) Eliminasi jamur

    Respons imun terhadap jamur adalah kompleks; yang pen-ting antara lain mekanisme selular clan efek toksik melalui neutrofil. Dinding sel jamur dapat mengaktifkan komplemen (jalur alternatif) yang menghasilkan opsonin dan memudahkan fagositosis. KESIMPULAN

    Fungsi sistim imun yang baik diperlukan untuk memper-tahankan keutuhan tubuh. Eliminasi mikroorganisme dapat ter-jadi melalui berbagai cara yang melibatkan fagosit, APC, sel T (sel Th, Ts, Tc dan Tdh), sel B (anti,bodi), komplemen, sel NK dan sel K.

    Sel Th merupakan regulator dari sistim imun oleh karena mengatur fungsi sel-sel sistim imun lainnya.

    Terganggunya fungsi satu komponen sistim imun atau

    lebih, jelas akan meningkatkan risiko terhadap infeksi termasuk infeksi nosokomial.

    KEPUSTAKAAN

    1. Cohen J. Infection in the compromised host. Medicine International 1988; 2320-5.

    2. Fireman P. Immunodeficiency and Allergic Diseases. Dalam: Fireman P, Slavin RG (Eds). Atlas of Allergies. Philadelphia: JB Lippincott Company, 1991: 17.2-17.19.

    3. Kamen Baratawidjaja. Sistim Imun. Dalam: Imunologi Dasar. J. akarta: Pe-nerbit FKUI, 1991: 3-12.

    4. Macris NT. The Evaluation of immunologic deficiencies in the community hospital. Current Concepts. Allergy Clin Immunology 1978; 8: 1-8.

    5. Kamen Baratawidjaja. Antigen dan Antibodi. Dalam: Imunologi Dasar. Jakarta: Penerbit FKUI, 1991: 13-23.

    6. Kamen Baratawidjaja. Komplemen. Dalam: Imunologi Dasar. Jakarta: Penerbit FKUI, 1991: 24-35.

    7. Goodman JW. The Immune Response. Dalam: Stites DP, Terr AL (Eds). Basic Human Immunology. USA: Prentice-Hall International Inc, 1991: 34-44.

    8. Wells JV, Nelson DS. Infections and Immunodeficiency. Dalam: Clinical Immunology Illustrated. Sydney: Williams & Wilkins, 1986: 63-87.

    Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 9

  • Faktor-faktor Penyebab Kerentanan Pasien Imunokompromi

    terhadap Penyakit Infeksi

    H. Soemarsono Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

    Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta PENDAHULUAN

    Pengertian imunokompromi mempunyai konotasi, bahwa defek (kerusakan) imun diperoleh oleh seseorang yang sebe-lumnya sehat sistim imunnya. Defek ini jelas mengakibatkan kepekaan dan risiko yang tinggi terhadap infeksi. Di negara berkembang diperkirakan jumlah pasien imunokompromi yang disebabkan pengobatan medik lebih besar daripada yang dikom-promi oleh proses penyakit primer seperti limfoma.

    Kondisi klinis yang diobati dengan obat-obat imunokom-promi saat ini luas sekali, termasuk : keadaan inflamasi, vaskuli-tis, autoalergi, arthritis dan keganasan. Obat-obat yang biasa dipakai sebagai pengobatan tumor menyebabkan serangkaian efek samping terhadap pertahanan pejamu; terutama granulosi-topeni, fungsi fagositosis menurun, respon imun yang terganggu dan kerusakan kulit, dan penurunan pertahanan mukosa. Tidak berlebihan kiranya bila keadaan tersebut di atas merupakan akibat yang terciptakan secara iatrogenik, dan wajib diperkecil.

    FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB I. Faktor Intrinsik 1) Faktor utama penyebab kerentanan terhadap infeksi pada pasien imunokompromi adalah perangkat imunitasbeserta kerja sistimnya yang tidal( sempurna (defisien). 2) Faktor intrinsik lainnya adalah : a) Penyakit

    Penyakit primer atau kondisi yang diderita pasien yang me-nyebabkan supresi imun berupa defek humoral, seluler, kombi-nasi humoral-seluler, defek fagosit dan defek campuran. Dalam hal ini agaknya ada hubungan antara macam defek imunologi, macam penyakit/kondisi dengan macam infeksi yang tertentu (tabel I). Dipresentasikan pada Simposiwn Infeksi Nosokomial pada Pasien /munokom-promi. Jakarta, 8 Februari 1992.

    Tabel 1. Pola Infeksl pada Paslen Imunokompromi

    Kondisi/Infeksi Derek Infeksi Spesifik

    Mieloma Multipel Hodgkin Neutropenia Diabetes Uremia

    Humoral Seluler Fagosit Campuran Campuran

    Pneumonia, Bakteremia, Peritonitis, Herpes Zoster. Pneumonia, Tuberkulosis, Herpes, Hepatitis. Pneumonia, Bakteremia, Abses, Ulserasi mulut, fa- ring anus. Selulitis, Infeksi Traktus Urinarius, Pneumonia, Tu- berkulosis. Infeksi Traktus Urinarius, Pneumonia, Septikemi.

    b) Keadaan gizi Malnutrisi protein-kalori meningkatkan kepekaan terhadap

    infeksi dan sering menjadi sebab kesakitan dan kematian. Pada keadaan PCM kapasitas bakterisid neutrofil masih dalam batas normal, namun imunitas seluler terganggu berat : jumlah sel T pada darah tepi berkurang menjadi hanya sepertiga dari normal. Kadar komponen komplemen di bawah normal, dan titer kom-plemen hemolitik total rendah. Kadar imunoglobulin serum biasanya normal atau bahkan meninggi, namun respon antibodi spesifik terhadap imunisasi dengan antigen standar amat ber-kurang.

    Hal ini berakibat meningkatnya angka infeksi jalan napas, infeksi kulit dan gastroenteritis bahkan septikemi gram negatif. Respon inflamasi berkurang dan tak terbentuk jaringan granulasi secara normal. Luka infeksi kulit dapat berkembang ke arah gangren dan tidak ke arah supurasi seperti pada pasien normal. c) Umur

    Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 10

  • Pada pasien berumur lanjut, infeksi perorangan mengan-dung risiko kematian yang tinggi; infeksi seringkali merupakan pukulan terakhir bagi para lanjut usia yang menderita satu atau lebih penyakit menahun. Selain itu, mereka ini lebih banyak mengidap penyakit-penyakit yang justru lebih berat, seperti pneumonia, bronkhitis khronis, dan tuberkulosis.

    Dan bermacam-macam komponen respon imun, yang ter-banyak menurun adalah fungsi imun seluler (cell mediated immune function): fungsi sel menurun, sel B baik jumlah maupun fungsinya hanya sedikit menurun. Kadar IgM serum menurun bermakna sesuai usia, IgG menetap, IgA meninggi sedikit. Leko-sit neutrofil agak meningkat jumlahnya, dan mempertahankan kapasitas bakterisidal yang normal, meski kapasitas fagositiknya mungkin berkurang. II. Faktor Ekstrinsik

    Unsur-unsur ekstrinsik yang langsung berhubungan dengan kepekaan terhadap infeksi dapat dirangkum menjadi faktor : 1) Kuman patogen atau potensial 2) Cara mendekatkan/mengintroduksi kuman pada badan penderita 3) Pengobatan : a) Obat-obat yang menghasilkan imunosupresi b) Obat-obat yang menciptakan kuman yang resisten ad. 1) Kuman penyebab dapat berasal dan masyarakat RS yang terdiri dari : a) Pasien lain pengidap infeksi

    Staff medik/paramedik pembawa kuman Pengunjung pembawa kuman

    b) Peralatan kedokteran yang dipakai dan lingkungan c) Makanan dan minuman yang disajikan. ad. 2) Cara mendekatkan/mengintroduksi kuman ke dalam ba-dan penderita melalui rudapaksa integritas pertahanan kulit dan mukosa, seperti : a) Operasi, atau tindakan invasif lainnya b) Tindakan non invasif. ad. 2.a) Invasif : 1) Kateter intra vaskuler masuknya kuman sebagai berikut : a. Kontaminasi kulit

    Flora kulit masuk melalui ujung kateter pada saat insersi. b. Kontaminasi endoluminal

    Kateter dapat terkontaminasi oleh teknik aseptik yang salah, waktu memegang kateter atau sistim infus. c. Kontaminasi endogen

    Kuman dalam darah yang berasal dari fokus lain dapat mengkontaminasi kateter; dalam hal ini hasil biakan ujung kateter akan berupa kuman gram negatif, karena kuman-kuman berasal dari infeksi paru-paru, jalan kemih maupun intra abdominal adalah gram negatif.

    Sebaliknya biakan yang gram positif biasanya berasal dari kuman kulit pasien atau tangan pelaku pemasangan kateter intra vaskuler. Patogenesis ini dapat diikuti dengan gambar 1. ad. 2.b) Tindakan non invasif

    Patogenesis masuknya kuman adalah melalui jalan pen-cernaan (mulut) atau jalan nafas (hidung).

    Gambar 1. Sumber-sumber infeksi yang berkaitan dengan kateter/infus intra vaskuler

    Contoh untuk kontaminasi melalui jalan pencernaan adalah : menyajikan makanan minuman melalui mulut, atau langsung melalui nasogastrik.

    Contoh kontaminasi melalui jalan nafas adalah : menghirup udara yang mengandung kuman, atau melalui slang oksigen, slang penghisap lendir, slang endotrakheal, trakheostomi. 3) Pengobatan

    Pengobatan yang menyebabkan pasien rentan terhadap infeksi dimaksud adalah : a) Obat-obat secara langsung meninggikan kerentanan.

    Obat-obat dimaksud adalah obat-obat imunosupresif yang diberikan untuk penyakit-penyakit primer lainnya yaitu : 1. Obat-obat limfolitik, termasuk : a. Obat Alkylating : Nitrogen Mustard dan Cytoxan. b. Steroid : Hidrokortison, prednison. c. Radiasi Ro"; efek samping merusak limfosit dengan cara merusak DNA nya, mengakibatkan terganggunya replikasi. 2. Anti-metabolit :

    Analog purine : contoh dengan azathioprin, limfosit tak dapat berreplikasi dan tak dapat membentuk antibodi. 3. Antibiotik : Actinomycin D menghentikan sintesis RNA Khloramfenikol menghalangi (blok) sintesis protein, menyebabkan anemia aplastik. b) Cara pengobatan yang menghasilkan kuman-kuman resisten

    Cara yang dimaksud adalah cara pengobatan dengan anti- biotika untuk suatu infeksi yang sedang berlangsung, namun se-cara tidak diharapkan, melalui interaksi antara antibiotik dengan

    Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 11

  • mikroflora pasien menciptakan flora baru dengan kuman-kuman yang resisten di dalam traktus digestivus.

    Proses ini terjadi dalam tatalaksana pasien netropenik, di mana dekontaminasi usus pasien dengan suatu regimen anti-biotik dipersyaratkan sebagai prosedurbaku, untuk mengurangi risiko infeksi secara bermakna; kuman-kuman ini amat potensial untuk tersebar di dalam unit yang bersangkutan (gambar 2).

    Gambar 2. Bagan Mekanisme Pengembangan Flora Resisten

    KESIMPULAN Penatalaksanaan infeksi pada pasien imunokompromi ada-

    lah pelik. Selain keadaan sistim imunnya sendiri yang defektif dan kritis terhadap infeksi, masalah pengobatannya di pihak lain mengandung ancaman menambah kerentanan.

    Data mikroorganisme, tersedianya antibiotik dan khemote-rapeutik yang sesuai, dasar-dasar perawatan yang baik, serta data fisik-imunologik penderita merupakan prasyarat keberhasilan pengobatan infeksi pada pasien imunokompromi.

    KEPUSTAKAAN 1. Hydi RM, Patnode RA. Immunology. Reston, Virginia: Reston Publ Co. 2. Durack DT. Infection in compromised host. Dalam: Clinical Aspects of

    Immunology. Oxford: Blackwell Scient Publ, 1982. 3. Van Der Waai D. The digestive tract as a central endogenous source of

    bacterial and fungal infections. Dalam: Pros Simposium Penanggulangan Infeksi. Jakarta: FKUI, 1990.

    4. Van Dalen R. Intravascular catheters and infection. Dalam: Pros Simposium Penanggulangan Infeksi. Jakana: FKUI, 1990.

    5. Pincing AJ. The Spectrum of HIV Infection : routes of infection. Clin Immunol Allerg 1986; 6(3): 46788.

    6. Klatersky J. A Review of chemoprophylaxis and therapy of bacterial infec-tions in neuropenic patients. Dalam: Diagnostic Microbiology and Infectious Disease 1989; 12: 201 s - 207 s.

    Man has his will, but woman has her way (Oliver WendeffHtofines)

    Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 12

  • Jenis Infeksi Nosokomial pada Pasien Kanker

    H. Muchiis Ramli

    Subbagian Bedah Onkologi/HNB Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta

    PENDAHULUAN

    Penderita kanker tergolong kasus immunocompromised, yaitu kasus yang dapat disertai oleh gangguan daya imunitas tubuh penderita; gangguan tersebut dapat disebabkan oleh kan-kernya sendiri atau akibat terapi atau tindakan yang dilakukan untuk menanggulangi penyakit kanker tersebut. Dan infeksi nosokomial secara umum dapat diartikan sebagai infeksi yang terjadi atau didapat oleh penderita karena atau selama dirawat di rumah sakit. Umumnya kuman-kuman penyebabnya sudah resisten terhadap banyak antibiotik. Berbagai keadaan dapat mempengaruhi terjadinya infeksi nosokomial tersebut.

    Dua kondisi di atas akan menyebabkan seorang penderita kanker akan mudah mendapat infeksi yang sukar diatasi; dan sering fatal. Bonnadona mengatakan bahwa 50-70% kematian pada kanker adalah akibat infeksi bakterial atau fungal.

    Masalah pokok kanker di Indonesia termasuk di RSCM dan mendapat prioritas adalah masalah-masalah prevention, early detection dan diagnosis dini; karena hingga kini > 50% kasus kanker datang dalam stadium lanjut. Masalah ke dua yang tidak kalah pentingnya adalah pengobatan kanker itu sendiri yang bertitik tolak dari ketepatan diagnosis, stadium penyakit dan kelengkapan sarana serta obat-obat yang ada. Dan berikutnya adalah masalah rehabilitasi, palliative care dan pain relief.

    Masalah infeksi nosokomial pada penderita kanker pada dua dekade terakhir ini mulai diangkat ke permukaan sejalan dengan perkembangan terapi kanker dengan obat-obat anti kan-ker; namun karena masalah prioritas tadi, tampaknya masalah infeksi nosokomial pada penderita kanker ini belum mendapat perhatian serius. Dipresentasikan pada : Simposiwn Infeksi Nosokomial pada Pasien Imuno-kompromi, Jakarta 8 Februari 1992.

    PATOGENESIS Ada beberapa hal penting yang perlu diketahui dalam infeksi

    pada penderita kanker, khususnya infeksi nosokomial, yaitu : I. Faktor predisposisi II. Pol kuman/jenis mikroorganisme patogen III. Sumber-sumber infeksi nosokomial.

    I. Faktor Predisposisi Berbagai jenis faktor predisposisi dapat dikemukakan di sini

    yaitu faktor umum seperti : usia tua, alkoholisme, perokok berat, diabetes melitus, defisiensi imunitas kongenital atau yang di-dapat. Dan predisposisi khusus berupa : 1) Rusaknya natural barrier (kulit, mukosa) : tumor yang ulseratif baik di kulit maupun di mukosa (Ca kulit, Ca colon, Ca rongga mulut, Ca cervix uteri). akibat tindakan diagnostik yang invasif: misalnya pe-meriksaan endoskopi (sistoskopi, gastroskopi, kolonoskopi, bronkhoskopi) yang dapat merusak mukosa sampai ulserasi dan perforasi. arteriografi, limfografi dll. mukositis akibat side effect obat khemoterapi dan radiasi.

    Perusakan permukaan yang normal baik kulit atau mukosa akan memudahkan terjadinya infeksi. 2) Adanya obstruksi baik di saluran napas, di gastrointestinal atau di traktus urinarius akan memudahkan terjadinya infeksi karena pertumbuhan kuman/mikroorganisme proksimal dari obstruksi; contoh: obstruksi akibat Ca rckti/Ca kolon, akan menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme dan flora usus proksimal dari obstruksi, di samping adanya gangguan kese-imbangan cairan dan elektrolit yang memperburuk kondisi pen-

    Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 13

  • derita. 3) Radiasi

    Terapi radiasi yang luas dan dosis tinggi misalnya pada Hodgkin's, seminoma dan lain-lain dapat menimbulkan mielo-supresi sehingga terjadi anemia, leukopenia; khususnya lim-fositopenia.

    Di samping itu radiasi daerah abdominal juga dapat menim-bulkan mukositis dari mukosa usus serta perubahan flora usus. Keluhan-keluhan subyektif berupa mual-mual, menurunkan juga nafsu makan, yang pada akhirnya jika berlangsung lama akan menyebabkan penurunan daya tahan pula. Gejala-gejala ini oleh karena gangguan keseimbangan elektrolit dan infeksi.

    Herpes zoster pun dapat terjadi. 4) Khemoterapi

    Pemberian khemoterapi dengan bermacam-macam obat itu dapat menimbulkan mielosupressi dan immunosupressi.

    Pada granulositopeni (neutropeni) < 500/mm3; risiko ter-jadinya infeksi sangat tinggi, risiko ini semakin tinggi apabila neutropeni berlangsung lebih lama.

    Untuk mencegah atau mengurangi terjadinya efek samping atau dampak negatif, pemberiannya perlu dilakukan oleh dokter yang :

    14

    mengetahui cara kerja obat dan dosisnya mengetahui efek samping yang dapat timbul mengetahui cara mengatasi efek samping. berpengalaman. 5) Defisiensi imunitas

    Dapat berupa : Neutropeni; terjadi pada keganasan/keadaan tertentu, misal-nya leukemia, anemia aplastik akibat radiasi dan pemberian obat sitostatika, atau keganasan lan jut yang sudah bermetastasis ke sumsum tulang. Defek T limfosit mononukleus phagosit; misalnya pada Hodgkin, limfoma sehubungan dengan terapi sitostatik dan kortikosteroid yang diberikan. Penurunan limfosit B, misalnya juga terdapat pada multiple myeloma, chronic lymphocitic leukemia.

    Pada tumor ganas solid yang lanjut juga dapat terjadi hal yang sama tetapi tidak begitu hebat, misalnya pada Ca mamma, Ca gaster dan lain-lain. 6) Terapi supportif

    Terapi supportif yang lama pada penderita kanker lanjut; juga transfusi darah atau derivat darah memungkinkan timbul-nya infeksi oleh karena terkontaminasi/pencemaran oleh mikro-organisme. 7) Pembedahan

    Infeksi akibat pembedahan sangat tergantung dari persiapan operasi, ekstensi tumor; tipe operasi dan lain-lain.

    Pembedahan dalam bidang onkologi dapat bersifat kuratif dan paliatif. Pembedahan yang bersifat kuratif bertujuan untuk mengangkat tumor sampai sel terakhir; umumnya operasi kuratif ini cukup ekstensif/radikal dan dikerjakan pada keganasan sta-dium awal/operabel. Sebagai contoh : Mastektomi radikal pada Ca mamma stadium I - II. Diseksi leher radikal pada keganasan kelenjar getah bening

    leher setclah/bersamaan dengan pengangkatan tumor primernya (Ca lidah, parotis, toroid, larynx dan lain-lain). Hemikolektomi pada Ca kolon. Miles procedure pada Ca rekti. Gastrektomi pada Ca gaster. Hemipelvektomi pada keganasan daerah pelvis atau tungkai bagian proksimal. Eksisi luas dan diseksi inguinal pada keganasan kulit, mi-salnya melano karsinoma yang bermetastasis ke kelenjar getah bening inguinal.

    Pembedahan di atas yang cukup ekstensif umumnya ber-langsung lama dan merupakan stress operasi tersendiri yang da-pat menurunkan imunitas penderita. Di samping itu tergantung lokasi tumor, beberapa operasi dapat terkontaminasi oleh kuman/ flora endogen dalam tubuh penderita, misalnya operasi daerah mulut, usus, paru, traktus urogenital (operasi daerah septik).

    Lain halnya dengan pembedahan paliatif, yang hanya ber-tujuan untuk memperbaiki kualitas hidup atau mengurangi keluhan misalnya : operasi bypass atau kolostomi pada keganasan usus (GIT) yang inoparabel yang menyebabkan sumbatan (Ca kolon,rektum yang inoperabel). operasi trakeostomi pada sumbatan jalan nafas bagian atas oleh tumor yang sudah inoperabel.

    Keadaan obstruksi traktus respiratorius atau traktus diges-tivus akan menurunkan keadaan umum penderita akibat hipoksi dan gangguan keseimbangan elektrolit akibat cairan dan intake yang kurang sempurna. Di samping itu setiap obstruksi akan menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme atau flora endogen yang berlebihan, terjadi kolonisasi mikroorganisme dan penye-baran/diseminasi sistemis; mikroorganisme yang tadinya ber-sifat saprofit apatogen menjadi patogen. Pertumbuhan oportunis ini khas untuk jamur.

    Jadi permasalahan pada pembedahan yang paliatif ialah : kasusnya sudah lanjut, sehingga imunitas sudah sangat menurun. keadaan obstruksi yang memperburuk keadaan. tergantung lokasi, dapat terkontaminasi oleh mikroorga-nisme endogen. intake makanan yang tidak baik juga memperburuk kondisi penderita.

    Jadi penderita kanker yang mengalami pembedahan poten-sial atau mempunyai risiko yang tinggi untuk terjadinya infeksi; karena : lokasi yang bisa terkontaminasi (Miles procedure, hemiko-lektomi, glosektomi + RND). operasi yang cukup ekstensif, menimbulkan stress operasi yang menurunkan daya tahan tubuh. imunitas tubuh yang menurun akibat kankemya sendiri. terapi radiasi atau khemoterapi yang dlerikan pada keada-an tertentu. adanya keadaan-keadaan yang memperburuk kondisi pende-rita (antara lain obstruksi saluran cema, obstruksi jalan nafas, obstruksi saluran kemih).

    Tidak kalah pentingnya adalah transmisi kuman dari per-

    Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993

  • sonil kamar operasi/team operasi; kamar operasi dengan peralat-annya. Pemakaian ventilator atau respirator juga sangat berpe-ngaruh untuk timbulnya infeksi pada penderiia kanker khususnya infeksi nosokomial. Dapat dikemukakan di sini bahwa : Lamanya perawatan berbanding linear dengan insidens infeksi nosokomial, baik infeksi luka operasi, infeksi traktus urinarius, bronkhopneumonia atau septisemia.

    Infeksi luka operasi pada kasus-kasus yang dioperasi pada hari yang sama dengan hari perawatan cukup tinggi; dan Iebih rendah pada kasus-kasus yang dioperasi setelah dirawat satu hari dan kembali tinggi sampai lima kali lipat pada perawatan preoperatif 10 hari. Lamanya operasi berbanding linear pula dengan insidens infeksi nosokomial, semakin lama operasi kemungkinan untuk dapat infeksi post operatif semakin tinggi. Pemakaian ventilator akan menyebabkan terjadinya pneu-monia (21 kali lebih sering), infeksi traktur urinarius (16 kali lebih sering), infeksi luka operasi dan septisemia (6 kali lebih sering). Lokasi operasi; risiko pneumonia 38 kali lebih tinggi pada kasus-kasus yang mengalami operasi kombinasi thorakoabdomi-nal daripada operasi yang tidak melalui daerah-daerah thorax, abdomen tersebut. Kateterisasi urin; infeksi nosokomial sebanding dengan lamanya pemakaian kateter.

    II. Jenis Mikroorganisme Berbagai mikroorganisme dapat menyebabkan infeksi no-

    sokomial penderita kanker; yaitu infeksi bakterial, infeksi virus, mikosis.

    Dilihat dari asalnya dapat berupa mikroorganisme yang memang berada dalam tubuh penderita (endogen) berupa flora saprofit yang menjadi virulen/patogen pada keadaan imunitas pcnderita yang rendah, misalnya kandida, enterobakter; dapat pula berupa mikroorganisme yang berasal dari luar tubuh pen-derita (eksogen) namun terdapat di rumah sakit.

    Dikatakan bahwa 80% infeksi pada penderita kanker ber-sumber dari populasi mikroorganisme endogen, yang hampir separuhnya berasal dari lingkungan rumah sakit. Oleh karena itu pcndekatan dilakukan dengan tujuan mencegah membesarnya populasi mikroorganisme hingga mempunyai potensi untuk menjadi patogen.

    Jenis mikroorganisme penyebab infeksi pada penderita kanker antara lain : Bakteria : Pseudomonas, E. coli, Klebsiella pneumonia, Serratia marcescens, Enterobacter, Proteus. Virus : semua jenis virus. Jamur : Candida, Aspergillus, Phycomycetes, Cryptococcus, Ilistoplasma capsulatum, Coccidiodes. Protozoa : Toxoplasma gondli, Pneumocytis carinii.

    Infeksi Bakterial Infeksi di ruang perawatan onkologi 75% disebabkan oleh

    hasil berupa E. coli, Ps. aeruginosa, Kl. pneumonia, S. marces-cens, Enterobacter dan Proteus.Infeksi ini dapat menjadi serius dan fatal pada keadaan penderita yang buruk (imunitas rendah);

    dan umumnya resisten terhadap bermacam-macam antibiotika. Bronkhopneumonia pada penderita kanker sering disebab-

    kan oleh Klebsiella dan Pseudomonas, dan pada limfoma selain kuman di atas sering disertai/disebabkan oleh jamur, Pneu-mocystis carinii, Cytomegalovirus.

    Septisemia gram negatif umumnya disebabkan oleh Pseudo-monas, Klebsiella dan E. coli. Angka mortalitas pada septisemia oleh Pseudomonasdan pada kasus granulositopeni (< 500/mm3) cukup tinggi, dikatakan sampai 100% pada limfoma, 70% pada leukemia dan 60% pada keganasan yang lain. Septisemia gram positif juga dapat terjadi namun lebih jarang (< 15%) dan umum-nya karena Stafilokokus aureus, Streptokokus betahemolitikus dan lain-lain.

    Infeksi Virus Dapat terjadi pula pada penderita kanker; jenisnya dapat

    berupa : herpes zoster, varicella, herpes simplex, cytomegalo-virus.

    Infeksi Jamur Infeksi jamur pada penderita kanker umumnya disebabkan

    oleh : Candida albicans (40%), C. tropicalis (23%), dan Asper-gillosis (8%).

    Infeksi jamur ini umumnya bersifat opportunistis, yaitu ber-asal dari jamur yang tadinya hidup saprofit yang karena daya imunitas yang rendah berubah menjadi patogen/virulen.

    Infeksi jamtu ini secara klinis dapat diperkirakan apabila sindrom demam, neutropeni dan infeksi tidak membaik dengan pemberian antibiotika yang adekuat. Fig. 1. Etiopathogenesis of Infections in cancer patients

    III. Jenis Sumber Infeksi Nosokomial

    Membicarakan sumber-sumber infeksi nosokomial ini, tidak kalah pentingnya dengan pembicaraan di alas. Air, ma-kanan, udara, alat-alat kedokteran (infus set, kateter dll), perso-nil, penderita sendiri, pengunjung dapat pembawa atau menjadi sumber infeksi nosokomial.

    Berikut ini diperlihatkan suatu daftar yang memperlihatkan sumber-sumber infeksi nosokomial serta mikroorganisme yang biasa ditemukan di situ dalam hubungan kerusakan defens me-kanisme penderita yang akhirnya menyebabkan terjadi infeksi (Tabel 2).

    Dengan membicarakan sumber-sumber ini, dapatlah diperkirakan usaha-usaha pencegahan dilihat dari sisi sumber

    Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 15

  • Tabel 2. Sources of nosocomial infections in high-risk patients

    Source Predominant organism Altered defenses

    Air Food Water Catheters, infusions, equipment Contacts

    Ventilation system Enterobacteriaceae, air conditioners, pseudomonas, staphylococcus, building materials aspergillus, varicella zoster Vegetables, fresh,, Enterobacteriaceae, uncooked or pseudomonas, klebsiella, unprocessed meat staphylococcus, streptococcus Tap water, ice, Enterobacteriaceae, vaporizers, humidifiers, pseudomonas, klebsiella sink drains, bathrooms, flowers iv. solutions, Enterobacteriaceac, blood and analog klebsiella, toxoplasma, products, catheters, candida, torulopsis, drainage tubes, cytomegalovirus, endoscopes, hepatitis B virus Personnel, patients, Enterobacteriaceae, visitors, objects pseudomonas, staphylococcus (e.g., soap, cleaning fluids)

    Gastrointestinal > Mucosalor cutaneous defects,tract. Oropharynx Malnutrition, body orifices

  • pembersihan ruang rawat/kamar operasi sebersih mungkin/ steril mungkin hindari pengunjung yang berlebihan atau personil kamar operasi yang berlebihan jika perlu ruangan isolasi. 5) Hindari faktor predisposisi lain sedapat mungkin, antara lain : hati-hati dengan pemberian radioterapi, khemoterapi dan kortikosteroid. 6) Khusus untuk penderita yang dioperasi : persiapan lapangan operasi sesteril mungkin lamanya operasi diusahakan sesingkat mungkin kamar operasi dan alat-alat memenuhi syarat asepsis untuk kasus-kasus operasi bersih tercemar (operasi usus, traktus urinarius, rongga mulut, genitalia wanita dan lain-lain) perlu pemberian antibiotik profilaksis.

    KEPUSTAKAAN

    1. Anaissie EI, Bodey GP. Fungal infection in patients with cancer. Pharma-cotherapy 1990; 10(6).

    2. Bodey GP, Middleman E, Umsawadi T, Rodrigues V. Infections in cancer patients. Cancer, June 1972.

    3. Bonadonna G, Gianni AM. Infections in the cancer patient. Hand Book of Medical Oncology Chap. 56, 1988.

    4. Donowitz GR. Infection prevention in the compromised host. Chap 30.

    5. Gold Jonathan WM. Infectious complications of neoplastic disease in the Critical Care Unit. Critical care of the cancer patient.'

    6. Gunther I, Kaben U, Dunker H, Gunther RB, Konrad H. Fungal infections in acute leukemia patients during selective decontamination of the digestive tract Tokai J Exp Clin Med 1986; 11.

    7. Haley RW, Hooton TM, Culver DH dick. Nosokomial infections in US Hospital 1975-1976. Estimated frequency by selected characteristic of patients. Am J Med 1981; 70 (April).

    8. Kamadihardja W. Tinjauan terhadap Penelitian Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Hasan Sadikin dalam usaha menggunakan antimikroba secara rasional. Diskusi Panel Pemakaian Antibiotika secara Rasional pada Kasus Bedah, September 1989.

    9. Laporan Koordinator Pelayanan Masyarakat Bagian Bedah FKUlIRSCM 1989.

    10. Pokok Kegiatan Penanggulangan Penyakit Kanker di Indonesia, DepKes RI 1989.

    11. Ramli M, Darwis I. Infeksi jamur pada penderita kanker yang mengalami pembedahan. Temu Ilmiah Penatalaksanaan Infeksi Jamul. Sistemik Tan-tangan Baru Bidang Kedokteran. FKUI, September 1991.

    12. Rasyid H, Sugandi, Heyder AF. Pengamatan infeksi nosokomial bedah rumah sakit Dr. Kariadi Semarang. Kumpulan Naskah Lengkap Munas IKABI VIII, Ujung Pandang, 1984.

    13. Syukur A. Infeksi nosokomial di Laboratorium Emu Bedah R.S. Dr. Soetomo/FK. Unair Surabaya. Diskusi Panel Pemakaian Antibiotika secara Rasional pada Kama Bedah, September 1989.

    14. Skeleton J, Pizzo PA. The Immuno Compromised patient. Chapter 23. 15. Sudadio E, Sitohang R, Soewandi S. Penelitian populasi kuman aerob di

    kamar bedah Rumah Sakit Dr. Pimgadi Medan dalam kaitannya dengan infeksi pasta bedah. Kumpulan Naskah Ilmiah Lengkap Muktamar 1KABI 1X, Denpasar, 1987.

    16. TolcouJA, Finberg R, Mayer RI, Goldman L The medical course of cancer patients with fever and neutropenia. Arch Intern Med December 1988; 148.

    Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 17

    KALENDER PERISTIWA

    April 2930, 1993 FIRST ASIA PACIFIC REGIONAL MEETING WORLD FEDERATION OF PRO- PRIETARY MEDICINE MANUFAC- TURERS Hotel Horizon, Jakarta, INDONESIA Secr.: PT Global Eramas Gd. Bina Mulia II Jl. Rasuna Said Kav. 11 Jakarta 12950 INDONESIA Fax: (021) 5201857

    Agustus 2325, 1993 SEMINAR PARASITOLOGI NASIONAL VII dan KONGRES PERKUMPULAN PEMBERANTASAN PENYAKIT PARASIT INDONESIA VI

    Kuta Pertamina Cottages, Bali, INDONESIA

    Secr.: Lab. Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Jl. P.B. Sudirman Denpasar 80232 INDONESIA

  • Total Protected Environment untuk Mencegah Infeksi Nosokomial di Ruang

    Transplantasi Sumsum Tulang RSCM/FKUI

    A. Harryanto Reksodiputro, Aru W. Sudoyo, Abdulmuthalib, Karmel L. Tambunan, Zubairi Djoerban, Abldin Widjanarko, Djumhana Atmakusuma

    Subbagian Hematologi-Onkologi Medik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta

    PENDAHULUAN

    Infeksi merupakan penyebab kematian utama pada pen-derita kanker, khususnya pada penderita leukemia. Hal itu di-sebabkan oleh penurunan kekebalan tubuh sebagai konsekuensi penyakit itu sendiri dan sebagai akibat pengaruh sitotatika pada sumsum tulang.

    Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusutno memiliki Unit Transpiantasi Sumsum Tulang (TST) yang terdiri dari beberapa ruangan dengan ciri dan perlakuan khusus, semuanya ditujukan untuk pencegahan infeksi pada pasien yang memiliki gangguan berat kekebalan tubuh. Ruang ini digunakan untuk merawat penderita yang menjalani transplantasi sumsum tulang dan pen-derita leukemia akut yang menjalani pengobatan sitostatika agresif pada tahap induksi dan konsolidasi. Hal ini disebabkan oleh karena pada penderita tersebut terjadi gangguan pada sistim imunitas tubuh yang amat berat, di mana terjadi kerusakan pada semua tahap sistim imunitas tubuh mulai dari kulit serta selaput lendir sampai dengan sistim imunitas seluler dan humoral. Pem-bahasan akan meliputi gangguan imunitas yang terjadi, upaya pencegahan infeksi, serta hasil upaya.ini di ruang TST RSCM/ FKUI.

    Penderita dirawat di kamar isolasi steril dengan sistim lami-nary down-airflow isolator dan udara dihembuskan melalui saringan HEPA (High Efficiency Particulate Air) ganda. Filter ini sanggup menyaring partikel sebesar 0,3 urn dan menghalau mikroorganisme yang bertebaran dari penderita, dokter dan petugas paramedik. Dengan sistim ini diharapkan terjadi penurunan konsentrasi patogen dalam ruangan dari 3000 per 1000 kaki kubik menjadi 15 per 1000 kaki kubik. Tekanan udara dalam kamar lebih tinggi dibanding dengan tekanan di luar kamar (over-pressure).

    Di ruangan seperti diuraikan di atas, pasien berada dalam keadaan terlindung secara maksimal, dalam lingkungan yang melindungi pasien secara menyeluruh dan dikenal sebagai Total Protected Environment.

    18

    Dipresentasikan pada Simposium infeksi Nosokomial pada Penderita lmunokompromi , Jakarta, 8 Februari 1992.

    Perlindungan terhadap infeksi bahkan sudah diupayakan

    sebelum pasien masuk, dengan pembersihan kamar sebelum penderita masuk dirawat, kamar dibersihkan seluruhnya (lantai, dinding, alat-alat di dalam kamar) dengan desinfektan. Alat-alat kesukaan (hobby) penderita sudah dimasukkan lebih dahulu bersama dengan alat-alat kedokteran lainnya. Kemudian kamar difumigasi dengan antiseptik (formalin, misalnya) memakai alat khusus/fumigator (Aero-diffuser) ditutup selama 24 jam penuh. Fumigasi mi dilakukan dua kali berturut-turut kemudian pen-derita barn dapat dirawat setelah bau antiseptik hilang dan uji sterilitas (kultur) memenuhi syarat.

    GANGGUAN IMUNITAS PADA PENDERITA

    Pada penyakit keganasan seperti leukemia didapatkan pe-nurunan kekebalan tubuh sehingga pasien menjadi lebih rentan terhadap infeksi (immunocompromised). Keadaan ini, di mana pasien mendapat infeksi dari mikroorganisme yang berasal dari lingkungannya maupun tubuhnya sendiri, diakibatkan oleh pe-nyakitnya sendiri atau obat sitostatika yang diterimanya.

    Pada keadaan tersebut terjadi defek yang terjadi secara se-kunder, artinya bahwa sebelumnya pasien memiliki kekebalan tubuh yang cukup dan penyakit leukemianya mengubah keada-an tersebut dengan akibat infeksi.

    Berbagai keadaan dapat merusak fungsi sistim imunitas per-tahanan tubuh yang normal. Faktor-faktor yang menyebabkan meningkatnya risiko terhadap infeksi pada pasien leukemia dapat dibagi menjadi : a) Gangguan pada integumen. Keadaan ini dapat menyebabkan terbuka jalan masuk bagi mikroorganisme patogen, misalnya erosi pada mukosa akibat kemoterapi dan adanya luka jalur selang infus atau kateter. b) Gangguan pada satu atau lebih sistim kekebalan tubuh spesifik, atau c) Granulositopenia.

    Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993

  • Pada pasien leukemia dengan penurunan kekebalan tubuh, infeksi dapat pula disebabkan oleh kuman yang biasanya tidak patogen seperti Streptococcus faecalis atau Staphylococcus epidermidis.

    Seperti diketahui, kulit dan selaput lendir merupakan sawar (barrier) paling depan sistim imunitas tubuh manusia. Mikroorganisme harus menembus kulit dan selaput lendir terlebih dahulu bila hendak menyerang tubuh kita. Lapisan permukaan kulit dan selaput lendir melepaskan diri secara terus menerus, turut membantu upaya tubuh membersihkan kulit dari mikroorganisme patogen. Di samping itu peranan rambut, sebum dan keringat serta berbagai cairan yang dikeluarkan oleh selaput lendir (Hu, asam lambung dan sebagainya) dan silia serta imunoglobulin A yang terdapat pada selaput lendir cukup besar peranannya dalam upaya membersihkan permukaan tubuh dari berbagai mikroorganisme yang patogen.

    Pada penderita leukemia dan mereka yang menjalani rtans-plantasi sumsum tulang terjadi kerusakan cukup hebat pada kedua sistim tadi. Hal ini disebabkan oleh sitostatika yang di-berikan dengan dosis tinggi, sehingga daya proliferasi sel-sel kulit dan selaput lendir turut terhambat sedangkan umur sel-sel permukaan kedua organ tersebut tidak bertambah bahkan se-baliknya menjadi lebih pendek. Di samping itu terjadi erosi dan ulserasi sehingga bagian-bagian tertentu lapisan kulit dan selaput lendir sama sekali hilang dan bagian tubuh yang berada di bawahnya menjadi terpapar langsung dengan lingkungan di luar tubuh. Sitostatika yang diberikan secara amat agresif pada pen-derita ini menekan daya proliferasi sel-sel sumsum tulang. Di antara berbagai sel sumsum tulang yang berperan dalam sistim imunitas tubuh sel granulosit yang mengalami kehancuran paling hebat karena umumya yang amat pendek. Kadar set granulosit pada penderita-penderita ini dapat turun demikian hebat sehingga kadarnya dalam darah menurun sampai nol. Seperti diketahui set granulosit yang melaksanakan reaksi imunitas nonspesifik amat penting peranannya dalam upaya tubuh melindungi diri terhadap berbagai mikroorganisme.

    Berbagai penelitian membuktikan adanya hubungan yang amateratantaraberatnya granulositopenia dengan infeksi. Telah dapat dibuktikan bahwa penurunan kadar granulosit dalam darah masing-masing di bawah 1000/mm3, di bawah 500/mm3 dan di bawah 100/mm3 meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi berat, masing-masing sebesar 10%, 19% dan 28%. Angka ke-matian penderita dapat meningkat sampai dengan 80% pada penderita yang kadar granulosit darahnya di bawah 100/mm3 selama tujuh hari.

    Imunitas seluler pada penderita leukemia akut dan penderita

    transplantasi sumsum tulang amat menurun. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh rendahnya jumlah limfosit T, melainkan lebih-lebih oleh adanya gangguan pada faal limfosit T yang telah ada sebelum pemberian sitostatika. Sebab terjadinya gangguan foal limfosit T pada penderita-penderita ini telah dibahas pada ber-bagai kepustakaan dan tidak akan dibahas di sini.

    Gangguan imunitas humoral juga mengalami kelumpuhan berat. Hal ini disebabkan oleh rendahnya jumlah makrofag yang berperan panting dalam hal penyampaian antigen asing pada limfosit, ditambah oleh gangguan fungsi limfosit T yang me-megang peran penting pada reaksi imunitas humoral. Di samping itu sitostatika menurunkan kadar limfosit B sedangkan limfosit B yang masih tersisa tidak dapat berproliferasi secara efektif.

    Uraian singkat di atas kiranya dapat menjelaskan mengapa sistim imunitas tubuh penderita-penderita ini menjadi hampir-hampir lumpuh total. Akibat kelumpuhan total ini maka tubuh penderita selain menjadi amat rentan terhadap mikroorganisme eksogen juga mengalami infeksi oleh mikroorganisme endogen. Bahaya infeksi oleh mikroorganisme endogen menjadi lebih hebat lagi akibat pemberian antibiotika. Infeksi yang terjadi hampir selalu memerlukan antibiotika amat poten yang ber-spektrum luas untuk mengatasinya. Penggunaan antibiotika yang amat agresif ini mengganggu keseimbangan berbagai flora usus; akibat gangguan flora usus ini terjadilah kolonisasi dalam traktus gastrointestinal yang selaput lendirnya penuh dengan ulserasi (akibat pemberian sitostatika). Tabel 2. Berbagai gangguan imunitas tubuh dan jenis mikroorganisme yang biasanya menyebabkan infeksi

    I. Granulositopenia : a. Bakteri : 1. Gram negatif: Pseudomonas, E. coli, Klebsiella pneumonia 2. Gram positif: Staph aureus, Staph epidermidis b. Ragi : Candida c. Jamur : Aspergillus, Mucor II. Gangguan Immunitas seluler : (Misalnya pada limfoma malignum, kanker payudara, paru, lambung, dan urogenital) a. Bakteri : Salmonella, mikobalQeri, Nocardia asteroid, Legionella pneumophilia b. Virus : Varicella-Zoster, herpes simplex, cytomegalovirus c. Jamur : Cryptococcur neoformans, Histoplasma capsulation, Coccidiodes immitis d. Protozoa : Pneunocystis carinii, Toxoplasma gondii e. Helmintes : Strong yloides stercoralis III. Defisiensi Immunitas humoral : (Misalnya pada mieloma multipel, leukemia limfoblastik menahun) Bakteri : Streptococcus sp. Haemophilus

    Tabel 1. Sumber infeksi dan mikroorganisme penyebab infeksi utama

    Udara Makanan Air Kontak personil Kateter

    1. Enterobacteria 2. Pseudomonas 3. Staphylococcus 4. Aspergillus 5. Varicella

    Enterobacteria Pseudomonas StaphylococcusStreptococcus Klebsiella

    Enterobacteria Pseudomonas Klebsiella

    EnterobacteriaPseudomonas Staphylococcus

    Enterobacteria Pseudomonas lozoplan Candida

    Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 19

  • Dapat dimengerti bahwa upayapencegahan infeksi merupa-kan persiapan mutlak pada penderita leukemia akut, lebih-lebih pada penderita transplantasi sumsum tulang yang selain men-dapat sitostatika agresif juga menjalani radiasi seluruh tubuh. CARA MENCEGAH INFEKSI

    I. Umum Pada langkah-langkah pencegahan secara umum dijalankan

    berbagai prosedur yang umum dilaksanakan dalam perawatan seorang penderita yang mendapat sitostatika, yaitu : a) Mempertahankan keutuhan integumen tubuh merupakan tujuan utama pada perawatan pasien dengan leukemia. Dalam hal ini semua peralatan medik yang dapat melukai atau mengganggu keutuhan integumen seperti mukosa harus digunakan dengan sangat hati-hati. b) Menjaga kecukupan nutrisi pasien dianggap sama penting-nya dengan aspek perawatan lainnya dalam penanggulangan infeksi, termasuk jamur sistemik.

    II. Khusus 1) Ruangan penderita :

    Penderita dirawat di kamar isolasi steril dengan sistem laminar airflow isolator dan udara dihembuskan melalui Double HEPA (High Efficiency Particulate Air) filter.

    Saringan ini sanggup menyaring partikel sebesar 0,3 um dan menghalau mikroorganisme yang bertebaran dari penderita, dokter dan petugas paramedik; dengan sistim ini diharapkan terjadi penurunan konsentrasi bahan patogen dalam ruangan dari 3000/1000 feet kubik menjadi 15/1000 feet kubik.

    Tekanan udara dalam kamar lebih tinggi dibanding dengan tekanan di luar kamar (over-pressure). 2) Tata cara pembersihan kamar :

    Sebelum penderita masuk dirawat, kamar dibersihkan seluruhnya (lantai, dinding, alat-alat di dalam kamar) dengan desinfektah. Alat-alat kesukaan (hobby) penderita sudah dimasukkan lebih dahulu bersama dengan alat-alat kedokteran lainnya. Kemudian kamar difumigasi dengan bahan antiseptik memakai alat fumigator (Aero-diffuser) dan ditutup selama 24 jam penuh. Fumigasi ini dilakukan 2 kali berturut-turut kemudian penderita baru dapat dirawat setelah bau antiseptik hilang dan uji sterilitas (kultur) memenuhi isyarat.

    Untuk mempertahankan sterilitas ruangan dilakukan halhal sebagai berikut : a) Perlengkapan yang ada di dalam kamar (meja pasien, tempat tidur dan sebagainya), dinding dibersihkan dengan menggunakan lap kerja dan alkohol 70%. b) Antisepsis terhadap lantai dalam ruangan. c) Laci-laci lemari semua dalam keadaan terbuka. d) Formalisasi ruangan selama 2 x 24 jam. Untuk ruang steril, cukup mengaturnya dari kotak panel. Setelah formalisasi selesai, dilakukan pengambilan kultur mikroorganisme dari lantai, dinding, pinta, tempat tidur, dan semua perabotan ruangan. Kultur ruangan diulang setiap 2 minggu. e) Setelah kultur ruangan bisa digunakan untuk merawat.

    3) Prosedur masuk ke dalam kamar bagi petugas : Pertama dan sangat penting adalah ditanamkannya sikap

    cara kerja pada semua personil yang masuk ke dalam kamar steril, yaitu pemahaman mengenai arti dari langkah yang diambil serta dampak bagi pasien. Secara konkrit dibakukan keharusan seperti pencucian tangan, pemakaian tutup muka dan sarung tangan dan gaun khusus.

    Setiap masuk semua petugas tanpa kecuali harus melepas sepatu dan mengganti baju dengan pakaian steril di Ruang Antara. Setelah memakai masker dan penutup kepala dengan baik, petugas mencuci tangan dengan antiseptik barulah petugas memasuki koridor ruang isolasi steril.

    Petugas masih harus memakai penutup sepatu (shoe-cover) dan gaun steril (surgical gown) sebelum memasuki kamar pen-derita dan memakai sarung tangan steril bila akan memeriksa/ menyentuh penderita atau berhubungan dengan peralatan yang dikenakan oleh penderita. 4) Higiene penderita

    Untuk membasmi mikroorganisme di kulit, pada pasien yang akan pertama kali masuk kamar steril dilakukan prosedur mandi dengan larutan antiseptik. Prosedur ini dikenal sebagai "mandi matahari" di RSCM dan dilakukan pada pasien trans-plantasi sumsum tulang sekali seminggu, dan pasien leukemia satu kali sebelum perawatan. Kekhususan prosedur ini adalah bahwa pasien menjalani pembasuhan seluruh tubuhnya dengan larutan povidon (konsentrasi 1:20) untuk kemudian dibungkus dengan sprei steril selama 1.5 jam sebelum masuk ruangan. Di samping itu setiap habis buang air besar/kecil daerah perineum atau anal dibasuh dengan povidone iodine yang diencerkan dengap air steril. Empat kali sehari berkumur-kumur dengan betadine dan melapisi mukosa rongga mulut dengan pasta de-kontaminan (orabase) berisi antibiotik yang tak diserap usus (amphotericin-B). 5) Kateter sentral

    Penderita rutin dipasang kateter sentral melalui vena sub-clavia sampai atrium kanan dan dibuat tunelisasi subkutis ke arah distal. Perawatan kateter sentral setiap hari dilakukan oleh pe-tugas kamar steril dengan memperhatikan sikap sterilitas yang amat tinggi. Persiapan yang cermat dalam pemasangannya, memakai prinsip a- dan antisepsis surgikal, dengan pembuatan "terowongan" di bawah kulit sebelum keluar tubuh, semuanya merupakan prasyarat yang harus dipenuhi agar tidak terjadi infeksi melalui kateter yang digunakan baik untuk memberi nutrisi maupun obat dan berjangka lama. Setelah terpasang, pemeliharaan dilanjutkan dengan memastikan kateter tidak ba-nyak bergeser (menghindari infeksi lokal) dan pembersihan setiap 1-2 hari dengan desinfektan di tempat masuknya. 6) Makanan

    Makanan yang dihidangkan berasal dari dapur rumah sakit dengan prinsip semua makanan harus steril (low bacterial food). Makanan yang baru dimasak dimasukkan dalam tempat steril dan dibawa ke ruang persiapan kamar steril (ruang/lorong se-bclum masuk kamar steril). Kemudian makanan ditata di atas baki tertutup plastik dan disinar 30 menit dengan sinar ultra violet

    Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 20

  • dan 5 menit dalam oven gelombang mikro (microwave). Telah kami buktikan sterilitas makanan yang diproses dengan cara ini.

    DEKONTAMINASI SELEKTIF SALURAN CERNA

    Delapan puluh lima persen mikroorganisme penyebab infeksi pada penderita leukemia akut maupun transplantasi sumsum tulang berasal dari flora dalam tubuh penderita, dan 50% dari mikroorganisme dalam flora dalam tubuh penderita tadi berasal dari lingkungannya dalam rumah sakit. Karena se-bagian besar infeksi pada penderita tersebut disebabkan oleh mikroorganisme yang terdapat dalam flora traktus gastrointesti-nal maka untuk mencegah infeksi, pada penderita diberikan antibiotika yang tidak diserap usus.

    Pemberian antibiotika untuk tujuan "membersihkan" usus tadi bukannya tidak mengandung risiko karena dapat meng-akibatkan terjadinya Resistensi Kolonisasi. Dalam hal ini akibat terjadinya gangguan keseimbangan flora traktus gastrointestinal yang disebabkan pemberian antibiotika tadi terjadilah kolonisasi mikroorganisme.

    Untuk mencegah bahaya kolonisasi tadi dipilih : a) antibiotika yang tidak diserap usus, b) antibiotika tadi harus mampu memusnahkan mikro-organisme endogen yang potensial untuk menjadi patogen, c) antibiotika tersebut tidak memusnahkan sebagian mikro-organisme anaerob (dekontaminasi selektif). Mikroorganisme anaerob yang tertinggal diharapkan dapat mencegah terjadinya kolonisasi.

    Di ruang Transplantasi Sumsum Tulang RSCM/FKUI digunakan obat-obat neomisin, kolistin, asam pipemidik dan mikostatin. Untuk membersihkan mulut, selain dipakai cairan bctadin, mulut penderita tiga kali sehari dilapisi oleh pasta yang mengandung 3% neomisin dan 3% amfoterisin-B. Kadang-kadang diberikan tablet isap amfoterisin-B (sulit didapat di Jakarta).

    POLA KUMAN DI RUANG TRANSPLANTASI SUMSUM TULANG RSCM-FKUI

    Dalam kepustakaan dilaporkan bahwa dengan langkah-langkah pencegahan seperti diutarakan tadi, penyebab infeksi yang masih merupakan bahaya utama adalah sebagai berikut : 1) Pneumosistis carinii 2) Virus Sitomegalo 3) Virus Herpes Zoster 4) Virus Hepatitis B 5) Pneumokokus 6) Mikrobakterium tuberkulosis

    Di samping itu pola kuman yang masih dapat merupakan ancaman infeksi tentu saja bergantung pada keadaan lingkung-an masing-masing.

    Menurut urutan frekuensi penemuan berdasarkan hasil pe-meriksaan biakan kuman yang masuk, jenis mikroorganisme yang sering ditemukan adalah : 1) Streptococcus alpha hemolyticus 2) Staphylococcus epidermidis

    3) Streptococcus viridans 4) Kuman batang berspora 5) Candida.

    Di samping itu secara sporadis masih ditemukan : a. Staphilokokus aureus (kulit) b. Gaffika tetragena (ketiak, saluran kemih) c. Proteus vulgaris (tinja) d. Spesies Streptokokus (tinja) e. E. coli (satu orang - urin).

    Apusan biakan kuman dilakukan secara rutin di berbagai lokasi tubuh serta bahan atau sekret yang diproduksi pasien, yaitu: 1) kulit (lipat paha, ketiak dan perineum); 2) hidung; 3) tenggorokan; 4) gusi; 5) vagina; 6) urin; 7) feses; 8) darah; 9) kateter, dan 10) sekret lainnya seperti cairan pus bila ada. Ternyata jenis kuman yang ditemukan agak berbeda pada ber-bagai spesimen tersebut dan didapatkan pola kuman yang khas. Pola tersebut berbeda pula pada waktu sebelum induksi, setelah induksi dan konsolidasi. Sebagai contoh berikut ini gambaran atau pola kuman daerah gusi, tenggorokan, vagina, dan feses. Dapat dilihat pada pemeriksaan terhadap gusi, misalnya, bahwa munculnya mikroorganisme justru setelah pasien masuk kamar steril, yaitu setelah mengalami aplasia sumsum tulang akibat pengobatan (lihat Gambar 1).

    Gambar 1. Pula kuman daerah gusi paslen leukemia Jumlah penemuan

    Jumlah penemuan

    Pra induksi Pasca induksi

    Tahapan tempi

    Mikroorganisme

    Keterangan : Strep Alpha Strep Viridans Staph Epidermidis Batang berspora Candida Lain-lain

    Sebelum induksi 1 minggu pasca induksi

    Pada gambar 1 jelas terlihat peranan mikroorganisme non-patogen, yaitu Streptococcus alpha hemolyticus, yang menjadi patogen akibat tidak adanya kekebalan tubuh, hal mana akan tampak muncul pada pemeriksaan-pemeriksaan di lokasi lain. Dari dua contoh lokasi lainnya, yaitu tenggorokan dan feses, kuman kehadiran tersebut amat menonjol (Gambar 2, 3).

    Kadang terdapat predominansi jenis kuman tertentu sesuai dengan kekhususan lokasi dan sifat jaringan, seperti pada pe-meriksaan terhadap daerah vagina, di mana ditemukan candida sebagai mikroorganisme yang dominan (Gambar 4).

    Secara kumulatif, bila dibandingkan pola kuman sebelum dan sesudah pemberian sitostatika maka terlihatkeadaan seperti

    Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 21

  • Gambar 2. POLA KUMAN PASIEN LEUKEMIA DAERAH TENGGOROKAN PRA DAN PASCA SITOSTATIKA

    yang diperlihatkan pada gambar 5.

    Dari gambar di atas tampak bahwa pada tahap pasca induksi, yaitu pada waktu pasien kehilangan kekebalan tubuhnya, pen-emuan kuman lebih banyak dari segi jumlah (digambarkan sebagai lingkaran yang lebih besar) sedangkan pola jenis kuman didapatkan tetap. Hal ini menunjukkan bahwa memang terdapat

    Gambar 4. POLA KUMAN PASIEN KEGANASAN DAERAH VAGINA

    kecenderungan untuk munculnya beberapa mikroorganisme tertentu pada keadaan immunocompromised. POLA DEMAM

    Dengan upaya seperti yang telah dikemukakan di atas, pada penderita masih juga terjadi infeksi. Kesulitan yang dihadapi dalam pengobatan "demam" yang terjadi adalah bahwa umum-nya sulit untuk mendeteksi tempat terjadinya infeksi. Hal ini disebabkan oleh rendahnya reaksi imunitas tubuh sehingga tanda-tanda radang menjadi kurang jelas, sehingga harus di-ambil asumsi bahwa pada peristiwa demam ada kejadian infeksi kecuali bila dapat dibuktikan bahwa demam bukan akibat infeksi (reaksi alergi dan sebagainya). Penderita diobati dengan antibiotik yang efektif terhadap semua mikroorganisme yang ditemukan (tenggorok, kulit, air kemih, tinja). Seperti yang dapat dilihat pada label di bawah ini, infeksi tersering tumbuh saat kadar granulosit amat rendah seperti terlihat :

    Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 22

  • Pola Demam dan Granulosit pada Leukemia Pasca Induksi

    Perlu diketahui bahwa selain terhadap petugas dan pasien, paling esensial adalah bahwa ruangan itu sendiri harus sudah bebas kuman sebelum pasien masuk. Sungguhpun demikian, dalam proses perawatan seorang pasien yang memakan waktu rata-rata enam sampai delapan minggu itu, tetap ada kemungkin-an kontaminasi. Karena itu, biakan ulang seringkali dilakukan bila seorang pasien mengalami demam berkepanjangan. Pe-meriksaan ulang tersebut beberapa kali dilakukan pada masa perawatan 10 orang pasien yang kami teliti, terhadap: 1) dinding, 2) kaca jendela, 3) tirai plastik pembatas, 4) meja, 5) tempat tidur, 6) lantai, 7) air leding dalam ruangan, 8) meja obat, 9) udara di sudut ruangan, dan 10) udara ditawah aliran udara AC.

    Jenis mikroorganisme yang pernah (satu kali, pada hasil biakan susulan) ditemukan pada pemeriksaan ulang tersebut adalah: Batang gram positif yang ditemukan di lantai. Kadang-kadang pada biakan udara (piring petri) dilaporkan adanya bakteri (tidak disebutkan jenisnya) lebih dari 4 koloni. Sungguhpun demikian, belum pemah didapatkan keadaan yang memerlukan pemindahan pasien ke ruang lain karena penemuan sporadis kuman di perabotan ruangan cukup diatasi dengan pembersihan ulang dengan antiseptik dan pengetahuan prosedur pencegahan bagi petugas.

    KESIMPULAN Dui pengumpulan data pasien yang dirawat di kamar steril

    di atas, penyebab infeksi utama dari aspek jenis kuman adalah Streptococcus alpha hernolyticus, diikuti oleh Staphylococcus epidermidis. Pseudomonas aeruginosa, mikroorganisme yang ditakuti sebagai penyebab infeksi nosokomial di bangsal pera-watan rumah sakit pada umumnya, tidak ditemukan sama sekali. Hal ini mencerminkan perbedaan utama yang ditemukan pada sistim Total Protected Environment, yaitu bahwa bahaya infeksi datang dari kuman komensal atau nonpatogen (biasanya yang terdapatpada tubuh pas ien sendiri) yang berubah perangai akibat hilangnya kekebalan tubuh sungguhpun telah dilakukan langkah pencegahan optimal.

    Gejala berupa demam pada pasien seperti di atas perlu dianggap sebagai tanda infeksi tetapi lokasi infeksi amat sulit, bahkan kadang-kadang tidak pernah, dapat ditentukan. Situasi ini diakibatkan oleh keadaan immunokompromi itu sendiri di mana didapatkan beberapa jenis kuman sekaligus yang masing-masing dapat menjadi penyebab infeksi (dan demam) tersebut. Mengingat kondisi di atas, pemantauan pola kuman perlu di-lakukan terus-menerus karena kemungkinan perubahan dalam pola dan pentingnya mengatasi secara tepat.

    SARAN 1) Perlu dipertimbangkan peningkatan hemopoesis secara cepat pada tahap aplasia, dengan penggunaan bahan faktor penumbuh (growth factor) seperti GM-CSF atau G-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) untuk mengembalikan jumlah lekosit/granulosit sehingga masa perawatan diperpendek dan bahaya kematian akibat sepsis diperkecil. 2) Untuk menanggulangi infeksi secara optimal,deteksi mikroorganisme dengan pemeriksaan biakan kuman harus cepat dan tepat. Waktu satu minggu yang dibutuhkan dalam pelayanan "biasa" dianggap terlalu lama, sehingga dalam unit kamar steril kami saat ini sudah dapat di jalankan kerjasama yang baik di mana hasil sudah masuk pada hari ketiga. 3) Pengetahuan, pengadaan, dan penggunaan obat antibiotika yang optimal perlu dikembangkan, karena perbedaan pola dan sulitnya mengatasi infeksi pada pasien dengan kelumpuhan kekebalan tubuh. Pada pasien seperti ini, kerap kali perlu di-gunakan antibiotika dalam kombinasi sejak infeksi dicurigai.

    Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 23

  • Surveilans Infeksi Nosokomial Luka Operasi di Bagian Bedah dan di

    Bagian Kebidanan/Penyakit Kandungan RSU Bekasi

    Dean Wahjudy Satyaputra, Harlo Untoro

    Panitia Pemantauan Infeksi Nosokomial Rumah Sakit Umum Kabupaten DT. II Bekasi, Jawa Barat

    PENDAHULUAN

    Di Indonesia saat ini kejadian penyakit infeksi merupakan yang tertinggi. Infeksi Nosokomial, walaupun belum ada angka yang pasti, juga ikut serta dal= mengkontribusi jumlah kejadian infeksi. Di samping itu juga sering menimbulkan kematian, memperpanjang waktu rawat nginap, menambah beban pende-rita dengan biaya tambahan untuk perawatan clan pengobatan pasien.

    Rumah Sakit Umum Bekasi sebagai tempat rujukan di daerah, berfungsi menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan pasien. Bukan sebaliknya menambah jumlah orang sakit karena terjadinya infeksi noso-komial.

    Surveilans sebagai inti dari pengendalian infeksi noso-komial, berguna untuk memperkirakan Incidence Rate infeksi luka operasi di RSU DT. II Bekasi; juga merupakan data dasar untuk mengidentifikasi masalah. Sebagai kegiatan pertama, kami membatasi surveilans ini pada Infeksi Nosokomial Luka Operasi pasien Bedah dan Kebidanan Kandungan yang di-operasi di RSU DT. II Bekasi selama bulan Februari s/d April 1991. BAHAN DAN CARA KERJA

    Pengumpulan data dilakukan secara prospektif. Status pasien yang termasuk ke dalam cohort diberi tanda dan dicatat identitasnya t dalam formulir yang telah disediakan. Pencatatan dilakkukan sebelum operasi, setelah operasi dan selama penga-wasan dalam ruang perawatan. Data dikumpulkan, dibuat ta-bulasi kemudian dianalisis untuk selanjutnya dibuat laporan. HASIL

    .Selama bulan Februari s/d April 1991 tercatat sebanyak

    228 operasi dilakukan oleh bagian Bedah dan Kebidanan Kan-dungan RSU DT. II Bekasi (Tabel 1). Jumlah ini mencakup 84,1% dari seluruh operasi yang dilakukan. Pemilihan cohort sepenuhnya diserahkan pada operator dengan pertimbangan bahwa pasien tersebut dirawat lebih dari 3 hari pasca operasi dan petugas tidak mendapatkan kesulitan dalam teknis observasi pasien.

    Dari 228 pasien, terkumpul 41 pasien yang dimonitor dengan surveilans. Sebagian besar dari mereka adalah pasien operasi dari bagian kebidanan kandungan (75,6%).

    Angka kejadian infeksi nosokomial luka operasi bedah dan kebidanan kandungan RSU Bekasi adalah 14,6%, sedangkan Cause Specified Rate adalah nol perseratus ribu (Tabel 2).

    Tabel 1. Jenis Operasi menurut Bagian di RSU DT. II Bekasi bulan Februari s/d April 1991

    Bagian/Jenis Operasi Besar Sedang Kecil Jumlah

    Bedah Umum Kebidanan & Kandungan Mata + THT + Gigi Mulut

    8 31 10

    33 18 8

    60 78 25

    101 127 43

    Jumlah 49 59 163 271

    Tabel 2. Gambaran Umum Hasil Survellans Infeksi Nosokomial Luka Operasi Baglan Bedah dan Kebidanan Kandungan RSU DT. II Bekasi, bulan Februari s/d April 1991

    A. Jumlah Pasien

    Jumlah %

    Jumlah pasien Surveilans 41 100

    Bedah Umum Kebidanan Kandungan

    10 31

    24,4 75,6

    Jumlah 41

    Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 24

  • B. Golongan Luka Kasus IN

    Golongan Luka Jumlah % n 9b

    Luka bersih Luka bersih terkontaminasi Luka terkontaminasi Luka kotor

    34 6 1

    83 14,6

    2,4

    4 1 1

    11,7 16,7

    100

    41 100 6 14,6

    PEMBAHASAN

    Dari tabel 1 dapat dilihat jumlah seluruh operasi adalah alas 228 pasien terdiri dari 101(44,3%) kasus Bedah Umum dan 127 (55,7%) kasus Kebidanan Kandungan. Tabel 2 me-nunjukkan dari 41 pasien yang dimasukkan sebagai cohort 10 orang (24,4%) pasien Bedah dan 31 (75,6%) pasien Kebidanan Kandungan. Pasien yang memenuhi cohort dari bagian Bedah lebih sedikit; ini terjadi karena banyak pasien yang hari rawatnya kurang dari 3 hari. Selain itu ada juga pasien yang dikeluarkan dari cohort karena petugas sulit memonitor luka operasi (misalnya operasi haemorrhoidektomi).

    Dari penggolongan luka operasi didapatkan : sebagian besar adalah luka bersih yaitu 34 orang (83,0%) sisanya 6 orang luka bersih terkontaminasi dan 1 orang luka kotor. Pasien dengan luka operasi bersih pada surveilans ini menjadi infeksi sebanyak 4 orang (11,7%), pada yang golongan luka bersih terkontaminasi 1 dari 6 pasien menjadi infeksi (16,7%) dan 100% terjadi infeksi pada yang kotor.

    Hasil ini sesuai dengan temuan Haley (1985) yang berhasil mengembangkan satu model faktor-faktor yang paling dominan dalam kaitan dengan perkiraan kemungkinan risiko terjadinya infeksi; salah satunya adalah derajat luka.

    Surveilans Infeksi Nosokomial Luka Operasi di bagian Bedah dan Kebidanan Kandungan RSU DT. II Bekasi men-dapatkan Incidence Rate sebesar 14,6% (Tabel 2). Untuk memperkirakan angka infeksi dapat dipergunakan Insidens atau Prevalens asal saja metodenya diterangkan dengan jelas. Lagi pula penelitian Prevalens mungkin bisa mengandung bias oleh karena representasi yang berlebih dari penderita yang dirawat terlalu lama.

    Angka kejadian infeksi (Insidens) luka operasi di atas sulit untuk dibandingkan dengan yang lainnya mengingat situasi dan kondisi yang saling berbeda. Tabel 3 memperlihatkan hasil beberapa penelitian di tempat lain.

    Tabel 3. Hasil Beberapa Penelitlan Infeksi Nosokomial

    Penelitian Cara Pelaksana Raglan JumlahKasus % IN

    Ismono. Retrospektif Dr. Ahli Onhopedi 580 19,6 RSHS 1983 Djojo Sugito ICN/Ahli Bedah 848 16,9 RSHS 1989 Bedah maidens Orthopedi Orthopedi 806 23,1 Wahjudy. RS Bekasi 1991 maidens Dr. Umum Bedah dan 41 14,6

    Kebidanan

    Hasil Surveilans ini ada baiknya bila bisa dibandingkan dengan hasil Rumah Sakit lain yang setingkat (Rumah Sakit Daerah Type C). Sayangnya belum ada referensi yang seperti ini. Meskipun begitu surveilans ini sangat berguna sebagai data dasar bagi RSU DT. II Bekasi; juga bisa digunakan sebagai pembanding untuk Rumah Sakit daerah lain. Dalam pelaksana-an perawatan pasien, Surveilans ini digunakan untuk meng-evaluasi tindakan penanggulangan pasien dengan memonitor perubahan-perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu.

    KESIMPULAN

    Incidence Rate infeksi nosokomial luka operasi di RSU DT. II Bekasi adalah 14,6%. Meskipun sulit mencari referensi penelitian yang sejenis, angka ini berguna sebagai data dasar bagi Rumah Sakit kami dan bisa dipergunakan sebagai pembanding apabila Rumah Saki' yang setingkat melakukan kegiatan yang sama.

    Didapatkan pula bahwa faktor golongan luka pada pasien mempengaruhi risiko terjadinya infeksi.

    KEPUSTAKAAN

    1. Ramah Surbakti R. Pelaksanaan Surveilans Infeksi Nosokomial Dit. Jen. PPM dan PLP, Dep.Kes RI Jakarta, 1983.

    2. Ismono D. Infeksi Luka Pasca Bedah Orthopaedi di Rumah Sakit Hasan Sadikin, 1982.

    3. Haley RW, Culver DH, Morgan WM, White JW, Emori TG, Hooton TM. Identifying patients at high risk of surgical wound infection. A simple multivariate index of patient susceptibility and wound contamination, Am J Epidemiol 1985; 121 : 206 -15.

    4. Djojosugito MA. Infeksi Luka Operasi Nosokomial (Penentuan faktor risiko, kuman penyebab dan cars surveilans serta penentuan pengaruhnya terhadap biaya langsung perawatan biaya Rumah Sakit. Disertasi, Jakarta, November 1990.

    Keep your mouth shut and your eyes open

    Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 25

  • Sanitasi Rumah Sakit sebagai Investasi

    D. Anwar Musadad Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

    Departemeri Kesehatan RI, Jakarta PENDAHULUAN

    Sanitasi, menurut kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai 'pemelihara kesehatan'. Menurut WHO, sanitasi lingkungan (environmental sanitation) adalah upaya pengendalian semua faktor lingkungan fisik manusia yang mungkin menimbulkan atau dapat menimbulkan hal-hal yang merugikan bagi perkem-bangan fisik, kesehatan dan daya tahan hidup manusia.

    Dalam lingkup Rumah Sakit (RS), sanitasi berarti upaya pengawasan berbagai faktor lingkungan fisik, kimiawi dan bio-logik di RS yang menimbulkan atau mungkin dapat meng-akibatkan pengaruh buruk terhadap kesehatan petugas, pen-derita, pengunjung maupun bagi masyarakat di sekitar RS.

    Dari pengertian di atas maka sanitasi RS merupakan upaya dan bagian