CBM, Buku Energi-SafrianAF

36
Coal Bed Methane: Dari Dalam Bumi Membawa Solusi Sebuah Tinjauan Singkat Dari Segi Teknis dan Keekonomian Oleh : Safrian Adam Farizi, Teknik Perminyakan ITB Kondisi keenergian Indonesia saat ini berada di ujung tanduk. Berdasarkan data dari Kapusdatin ESDM pada Pertemuan Tahunan Pengelolaan Energi Nasional (PT-PEN) 2008 [15] , pertumbuhan pasokan energi primer adalah 1.5% per tahun, sementara pertumbuhan konsumsi energi final per sektor naik 4% per tahun, dengan pemakai terbesar adalah sektor transportasi sebesar 42,67%. Jelas terlihat dalam hal ini bahwa pertumbuhan pasokan tidak dapat memenuhi pertumbuhan konsumsi. Sebagai solusi hal tersebut, pemerintah menetapkan target pendayagunaan EBT 25% pada bauran energi primer tahun 2025. Sejalan dengan hal tersebut, Agenda 21 Sektor Energi [4] juga membahas tentang problematika keenergian secara umum. Dalam dokumen tersebut antara lain disebutkan bahwa salah satu problem utama perkembangan EBT terletak pada asimetri informasi, yaitu kurang pahamnya masyarakat terhadap teknologi dan pengembangan EBT di Indonesia. Tentunya sebagai masyarakat terpelajar, mahasiswa harus menjadi elemen yang mampu mengatasi hal tersebut, sehingga penting untuk memahami EBT sebagai solusi jangka panjang keenergian Indonesia. EBT Sebagai Solusi Masalah Keenergian Indonesia Pada prinsipnya, energi merupakan penggerak utama dari aktivitas manusia. Sekalipun energi kekal, keterbatasan teknologi manusia

description

tulisan ringan tentang CBM

Transcript of CBM, Buku Energi-SafrianAF

Page 1: CBM, Buku Energi-SafrianAF

Coal Bed Methane: Dari Dalam Bumi Membawa SolusiSebuah Tinjauan Singkat Dari Segi Teknis dan Keekonomian

Oleh : Safrian Adam Farizi, Teknik Perminyakan ITB

Kondisi keenergian Indonesia saat ini berada di ujung tanduk. Berdasarkan data dari Kapusdatin

ESDM pada Pertemuan Tahunan Pengelolaan Energi Nasional (PT-PEN) 2008[15], pertumbuhan

pasokan energi primer adalah 1.5% per tahun, sementara pertumbuhan konsumsi energi final per

sektor naik 4% per tahun, dengan pemakai terbesar adalah sektor transportasi sebesar 42,67%.

Jelas terlihat dalam hal ini bahwa pertumbuhan pasokan tidak dapat memenuhi pertumbuhan

konsumsi. Sebagai solusi hal tersebut, pemerintah menetapkan target pendayagunaan EBT 25%

pada bauran energi primer tahun 2025. Sejalan dengan hal tersebut, Agenda 21 Sektor Energi[4]

juga membahas tentang problematika keenergian secara umum. Dalam dokumen tersebut antara

lain disebutkan bahwa salah satu problem utama perkembangan EBT terletak pada asimetri

informasi, yaitu kurang pahamnya masyarakat terhadap teknologi dan pengembangan EBT di

Indonesia. Tentunya sebagai masyarakat terpelajar, mahasiswa harus menjadi elemen yang

mampu mengatasi hal tersebut, sehingga penting untuk memahami EBT sebagai solusi jangka

panjang keenergian Indonesia.

EBT Sebagai Solusi Masalah Keenergian Indonesia

Pada prinsipnya, energi merupakan penggerak utama dari aktivitas manusia. Sekalipun energi

kekal, keterbatasan teknologi manusia menghasilkan klasifikasi energi berdasarkan

keterbaruannya, yaitu energi terbarukan dan energi tak terbarukan. Energi terbarukan merupakan

energi yang tingkat pembaruannya mampu mengimbangi laju pemakaiannya, sedangkan energi

tak terbarukan adalah energi yang tingkat pembaruannya tidak mampu mengimbangi tingkat

konsumsinya.[22]

Selain energi terbarukan dan energi tak terbarukan, terdapat pula istilah energi baru. Energi baru

ini adalah sumber energi yang ditemukan dengan teknologi baru (recent technology) dan dapat

berasal dari energi tak terbarukan maupun terbarukan. Contoh dari energi baru adalah Coal Bed

Methane (CBM) dan nuklir. Energi baru dan energi terbarukan inilah dua komponen yang

menyusun EBT, yang dapat menjadi solusi masalah keenergian di Indonesia apabila dikelola

dengan baik.

Page 2: CBM, Buku Energi-SafrianAF

Berdasarkan data ESDM[14] pada tahun 2010, bauran energi primer masih bertumpu pada minyak

bumi, yaitu sebesar 43.9%, sementara EBT baru menempati 4.4%. Hal ini jelas memperlihatkan

ketimpangan bauran energi primer, dengan akibat makin cepatnya laju konsumsi salah satu

sumber energi yang dalam hal ini minyak, melebihi dari laju pembaruannya. Laju pembaruan

minyak dalam hal ini adalah penemuan cadangan-cadangan baru, menggantikan cadangan yang

telah dieksploitasi. Cadangan terbukti (proven reserve) minyak bumi Indonesia sendiri terdapat

pada angka 4.4 milyar barrel, dengan produksi kurang lebih 350 juta barrel per tahun, maka rasio

cadangan-produksi ada pada angka 12.4.[1] Sekalipun nantinya ditemukan cadangan-cadangan

baru, diprediksi penemuan ini tidak sebanding dengan pertumbuhan kebutuhan energi dari

masyarakat Indonesia.

Pertimbangan tersebut merupakan salah satu pendorong pemerintah untuk melakukan

diversifikasi energi, dan juga optimalisasi. Pada bauran energi primer tahun 2025, persentase

minyak bumi dibatasi sebanyak 20%, dan optimalisasi cadangan batubara dan gas menyebabkan

keduanya akan memiliki persentase 32% dan 23%. EBT akan menempati persentase 25%,

direvisi dari target bauran energi pemerintah tahun 2007 sebesar 17%. EBT sendiri memiliki

banyak macam seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sehingga persentasenya pun bervariasi

antara sumber energi yang satu dan yang lain. Dari sekian macam EBT yang ada, CBM

merupakan salah satu dari sumber energi yang menarik karena potensinya yang mumpuni di

Indonesia untuk dikembangkan lebih lanjut.

CBM: Sebuah Gambaran Umum

CBM, yang dikenal juga sebagai Gas Metana Batubara (GMB) merupakan sumber energi tak

terbarukan yang ditemukan dengan recent technology, sehingga diklasifikasikan sebagai EBT

dan termasuk dalam kategori cadangan gas non konvensional. Perbedaan cadangan konvensional

dan non konvensional terletak pada tingkat teknologi yang digunakan untuk mengambilnya, serta

perbedaan pola pikir yang dibutuhkan. Sebagai cadangan gas non konvensional, CBM

merupakan gas dengan kandungan metana tinggi, mencapai 88-98% dan terjebak pada pori-pori

batubara, dimana batubara ini tergenangi oleh air.[2] Kandungan metana yang tinggi

menguntungkan untuk dipakai secara langsung, karena tidak mengandung zat lain yang

merugikan dalam pengolahan semisal H2S, sehingga disebut sweet gas. Dengan sedikitnya

jumlah pengotor seperti H2S maka biaya pengolahan bisa diminimalisasi, berbeda dengan gas

Page 3: CBM, Buku Energi-SafrianAF

alam pada umumnya. Berdasar beberapa sampel yang diambil di lapangan, kandungan panas dari

CBM mencapai 900-1100 BTU/SCF (British Thermal Unit / Standard Cubic Feet). [19]Sebagai

perbandingan, dengan laju alir gas 1000 SCF/day, maka dapat terbangkitkan listrik sebesar 100

kWh. [9]

Berdasarkan segitiga sumberdaya Holditch (Gambar 1), cadangan non konvensional memiliki

jumlah yang lebih besar dari cadangan konvensional, sehingga ketika permintaan energi

meningkat dan teknologi telah mumpuni, eksplorasi dan eksploitasinya tidak terhindarkan. Untuk

minyak, cadangan konvensionalnya adalah minyak ringan, sementara cadangan non

konvensionalnya adalah minyak berat, minyak ekstra berat, serta oil shale. Untuk gas, cadangan

konvensionalnya adalah gas kualitas tinggi (high quality gas), sedangkan cadangan non

konvensionalnya adalah CBM, shale gas, gas mutu rendah, dan tight gas.

Berdasarkan data ESDM, cadangan batubara Indonesia adalah sekitar 18-22 miliar ton, sehingga

berimpilikasi cukup besarnya potensi CBM. Potensi CBM di cekungan batubara Indonesia

berkisar pada angka 337-450 TCF (Trillion Cubic Feet), yang tersebar dengan detil sebagai berikut

:

Nama Daerah Potensi (TCF) Cadangan (TCF)

Kabupaten Berau 8.4 4

Pasir/Asem 3 0.75

Tarakan 17.5 5

Gambar 1: Segitiga sumberdaya Holditch[18]

Page 4: CBM, Buku Energi-SafrianAF

Kutai 80.4 10

Kalimantan Timur (subtotal) 109.3 19.75

Barito, Kalimantan Tengah 101.6 10

Sumatera Tengah 52.5 5

Sumatera Selatan 183 10

Ombilin - 0.7

Sumatra Barat Daya - 0.5

Bengkulu 3.6 0.5

Jatibarang (Jawa Barat) 0.8 0.5

Sulawesi 2 -

Total 452.8 46.95

Dari Tabel 1 dapat terlihat bahwa potensi CBM yang paling besar terdapat di Sumatera dan

Kalimantan, yang merupakan konsekuensi yang wajar sebagai wilayah yang memiliki cadangan

batubara terbesar di Indonesia. Perbedaan utama cadangan dan potensi terletak pada tingkat

kepastiannya, dimana cadangan memiliki tingkat kepastian lebih besar. Untuk mengetahui

cadangan dibutuhkan investasi lebih lanjut dalam bentuk pemboran atau penambangan langsung.

Apabila dibandingkan dengan potensi gas alam pada tahun 2005 sebesar 384 TCF[14], maka CBM

memiliki keunggulan dalam jumlah potensi. Namun, cadangan gas alam pada 2005 telah

mencapai 180 TCF sedangkan proyek-proyek CBM baru dimulai di Indonesia pada tahun 2008.

Meskipun demikian, prospek CBM dapat dikatakan lebih baik dari gas alam, karena secara

prinsip “dimana ada batubara, disitu terdapat CBM”. Prinsip ini dikembangkan dengan acuan

teori pembentukan CBM dari lapisan batubara yang ada.

Tinjauan Singkat Proses Pembentukan CBM

Sebelum CBM dihasilkan oleh lapisan batubara, terdapat suatu proses yang mendahuluinya,

disebut coalification (pembentukan batu bara). Coalification dimulai dengan pemendaman

Tabel 1: Persebaran potensi dan cadangan CBM Indonesia[10][4]

Page 5: CBM, Buku Energi-SafrianAF

materi organik yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Pemendaman selama ratusan juta tahun

mengakibatkan meningkatnya suhu dan tekanan, dan menyebabkan perubahan fisik dan kimiawi

pada materi organik. Tergantung pada waktu pemendaman dan utamanya suhu, terdapat

tingkatan-tingkatan dalam batubara yang terbentuk, dengan lignit merupakan batubara paling

muda dan antrasit batubara yang paling tua. Tingkatan-tingkatan tersebut adalah sebagai berikut :

Kelas Sub kelas Singkatan

Antrasit

Meta Antrasit Ma

Antrasit An

Semi Antrasit Sa

Bitumen

Low Volatile Lvb

Medium Volatile Mvb

High Volatile A hvAb

High Volatile B hvBb

High Volatile C hvCb

Sub Bitumen

Sub Bitumen A subA

Sub Bitumen B subB

Sub Bitumen C subC

LignitLignit A ligA

Lignit B ligB

Gas metana yang merupakan komponen terbesar CBM terbentuk berdasar dua proses yaitu

biogenik dan termogenik. Proses biogenik adalah proses produksi metana dari aktivitas bakteri,

dan terjadi pada saat awal proses pembentukan batubara, yaitu pada saat di tingkat lignit dan

subbitumen. Proses termogenik adalah proses produksi metana berdasarkan temperatur, waktu,

tekanan, dan komposisi kimia materi organik, dimulai saat sudah melewati tingkat lignit.

Sebagian besar CBM merupakan hasil dari proses termogenik, karena metana yang terbentuk

pada saat proses biogenik di awal akan cepat hilang ke permukaan. Perkecualian kasus ini

contohnya ada di Montana, AS pada formasi Fort Union dimana kebanyakan CBM berasal dari

proses biogenik.[2]

Tabel 2: Klasifikasi batubara ASTM[2]

Page 6: CBM, Buku Energi-SafrianAF

Secara umum makin tinggi tingkatan batubaranya, semakin banyak gas metana yang terproduksi.

Lapisan antrasit sebagai contoh, dapat memproduksi 7000-30000 scf/ton gas metana, namun

pada tingkat batubara ini, pori-pori batubara sudah tidak maksimal karena rusak akibat tekanan

dan temperatur sehingga kebanyakan dari gas yang terproduksi akan hilang ke permukaan

ataupun bermigrasi ke tempat lain.[2] Sedangkan pada saat batubara pada tingkatan hvAb hingga

lvb, pori-porinya masih optimal untuk menampung metana yang terproduksi, yang secara rata-

rata berada pada kisaran 100-600 scf/ton. Berikut grafik yang dapat membantu mendeskripsikan

hal tersebut :

Setelah CBM terbentuk, sebagian besar gas ini akan lolos menuju permukaan atau lapisan lain,

dan hanya sekitar 5-20% yang tersimpan dalam batubara. Terdapat empat mekanisme

penyimpanan gas dalam batubara yaitu absorpsi, adsorpsi, gas bebas, dan gas larut dalam air.[9]

Absorpsi merupakan masuknya molekul gas ke dalam susunan molekul batubara. Adsorpsi

merupakan menempelnya lapisan molekul gas metana ke permukaan batubara, sehingga jumlah

metana tergantung dari luas daerah adsoprsi. Gas bebas akan menempati pori-pori berukuran

besar dalam batubara. Mekanisme terakhir merupakan larutnya gas dalam air yang menggenangi

lapisan batubara. Dari empat mekanisme tersebut, mekanisme yang memiliki kontribusi paling

besar adalah adsorpsi, yaitu sebesar 98% dari total kandungan metana.[2]

Gambar 2: Grafik jumlah metana terakumulasi untuk tiap batubara vs kedalaman[19]

Page 7: CBM, Buku Energi-SafrianAF

Terdapat beberapa perbedaan antara CBM dan gas alam konvensional. Dari segi asal, CBM

merupakan gas metana yang berasal dari batubara, sedangkan gas alam konvensional berasal dari

lapisan batupasir ataupun batuan berpori lainnya. Dengan demikian, sering kali terjadi bahwa

letak CBM lebih dangkal daripada letak gas alam (Gambar 3), sekalipun CBM kebanyakan

diambil dari lapisan batubara yang tidak dapat dijangkau pertambangan batubara saat ini, yang di

Indonesia berkisar pada kedalaman 1000ft.

Pada CBM, asal gas dan tempat gas terjebak merupakan batuan yang sama, sedangkan pada gas

alam, gas berasal dari tempat lain dan kemudian bermigrasi menuju reservoir (jebakan) gas

tersebut. Sehingga Dari segi sistem penyimpanan, gas alam tersimpan dalam sistem pori yang

terhubung satu sama lain, dan berada dalam suatu tekanan dan temperatur tertentu. CBM

tersimpan dalam suatu sistem gabungan antara micropores dan cleat seperti terdapat pada

Gambar 4.

Micropores dalam sistem CBM ini merupakan kunci utama tersedianya jumlah gas 3-10 kali

lipat dari batupasir, karena luas area adsorpsi gas menjadi 1000000-1500000 ft2/lb batubara[21]

atau sekitar 16-25 kali luas lapangan sepakbola dalam 1 pound batubara. Alasan terjadinya

adsorpsi pada permukaan batubara adalah karena ukuran dari porinya, yang hanya sebesar

beberapa lapisan molekul saja (5-20 Å) sehingga daya tarik lapisan batubara mampu mengikat

molekul metana yang ada. Sedangkan cleat lebih mirip rekahan yang memiliki prinsip dasar

Gambar 3: Perbedaan terminologi gas alam[8]

Page 8: CBM, Buku Energi-SafrianAF

yang sama dengan pori-pori biasa. Secara umum jumlah gas yang akan teradsorpsi akan semakin

banyak seiring dengan makin besarnya tekanan dalam batubara.

CBM yang terikat dengan tiga mekanisme yang telah disebutkan diatas akan tersimpan dalam

lapisan batubara selama ada tekanan yang menahannya. Tekanan ini dapat berasal dari tekanan

lapisan tanah diatasnya (tekanan overburden) dan juga berasal dari kolom air yang merendam

lapisan batubara, yaitu tekanan hidrostatik. Air dalam lapisan batubara dapat berasal dari akuifer

terdekat maupun air lain yang terperangkap ketika coalification. Semakin besar tekanannya,

semakin banyak metana yang dapat tersimpan, namun dapat juga berakibat pada semakin

sulitnya metana keluar dari lapisan batubara, karena pori-pori batubara sendiri menyempit akibat

tekanan tersebut.[2] Dengan demikian, diperlukan teknik tersendiri untuk mengambil CBM dari

batubara sebelum dapat digunakan.

Mengangkat CBM ke Permukaan

Setelah diputuskan tempat yang potensial untuk dilakukan pemboran CBM berdasarkan

pertimbangan ahli geologi dan geofisika, maka pemboran sumur CBM dilakukan. Inti dari

pemboran sendiri adalah membuat sambungan berdasarkan perbedaan tekanan antara lapisan

batubara yang mengandung CBM dengan permukaan, sehingga gas dapat mengalir. Pemboran

Gambar 4: Idealisasi struktur pori batubara[2]

Page 9: CBM, Buku Energi-SafrianAF

sumur CBM harus mempertimbangkan kekuatan batubara yang cukup lemah dibandingkan

batuan lain.

Sebelum produksi CBM dapat dilakukan, dewatering harus dilakukan terlebih dahulu (Gambar

5). Dewatering merupakan proses mengurangi ketinggian air dalam lapisan batubara, hingga

ketinggian air ini tidak lebih tinggi dari lapisan batubara terbawah yang ingin diproduksi

(dimungkinkan lebih dari satu lapisan batubara yang ingin diproduksi). Fungsi utama dari

dewatering adalah menginisiasi terjadinya desorbsi dari micropores yang ada, yang terjadi

apabila tekanan akibat ketinggian air berkurang. Proses ini dilakukan dengan menggunakan

pompa tertentu, misalnya pompa angguk, dimana sumur CBM yang dangkal biasanya tidak dapat

mengangkat air secara optimal karena kurangnya tekanan bawah permukaan. Pada Gambar 5

terlihat bahwa dewatering dilakukan dengan pompa, dan air melewati pipa kecil bernama tubing,

sementara CBM akan melewati anulus, yaitu ruang kosong diantara formasi (atau pipa selubung)

dan tubing. Gas secara umum tidak akan masuk melalui tubing, karena terhalang oleh kolom

hidrostatik air setinggi tubing.

Selain proses dewatering, terdapat juga proses yang dinamakan komplesi, yaitu untuk

melengkapi sumur dengan peralatan yang dibutuhkan untuk melakukan produksi. Problem utama

Gambar 5: Proses dewatering, open hole completion[9]

Page 10: CBM, Buku Energi-SafrianAF

dalam komplesi CBM adalah permeabilitas (ukuran kemudahan untuk mengalir) batubara yang

sangat kecil, yaitu 0.1-1 md. Selain itu, seringkali terakumulasi kepingan-kepingan kecil

batubara (coal fines) yang dapat menghambat produksi CBM. Untuk mengatasi hambatan

tersebut, secara umum dilakukan dua jenis komplesi dalam produksi CBM. Jenis pertama adalah

open hole completions dan jenis kedua adalah cased hole completions. Masing-masing tipe

komplesi memiliki pertimbangannya sendiri, dan memiliki kekurangan dan kelebihan masing-

masing.

Komplesi open hole memiliki artian komplesi dilakukan tanpa adanya casing (pipa selubung) di

sekitar lapisan batubara yang ingin diproduksi, sehingga gas CBM langsung masuk ke dalam

lubang bor. Secara umum ada tiga keunggulan komplesi jenis ini, yaitu :

1. Tidak ada casing yang ditinggalkan yang dapat menghalangi penambangan batubara

apabila dilakukan setelahnya.

2. Penyemenan casing seperti pada Gambar 5, tidak merusak permukaan lapisan batubara.

3. CBM dapat masuk tanpa halangan apapun.[2]

Sejalan dengan perkembangan, maka juga dilakukan multi-zone open hole completion, yaitu

komplesi open hole yang dilakukan pada beberapa lapisan batubara sekaligus. Meskipun cukup

murah, dan juga memiliki laju alir yang besar, komplesi ini memiliki beberapa kekurangan,

yaitu:

1. Batubara akan memproduksi kepingan kecil-kecil dan terakumulasi sepanjang waktu

tertentu dan apabila tidak dibersihkan akan mengurangi produksi CBM.

2. Hanya dapat dilakukan apabila lapisan-lapisan batubara cukup berdekatan letaknya

(untuk multi zone open hole).

3. Banyaknya lapisan batubara yang terhubung akan menyulitkan apabila lapisan yang lebih

diatas memiliki tekanan yang justru lebih besar daripada di bawah, sehingga akan terjadi

back flow yang merugikan karena dapat mematikan lapisan yang tekanannya lebih kecil,

dan akan mengurangi produksi total dari sumur.

Dalam komplesi open hole juga sering dilakukan cavity completion, yaitu proses meruntuhkan

sebagian lapisan batubara sehingga tercipta gerowong yang memperlancar produksi CBM.

Peruntuhan yang dimaksud adalah peledakan terkontrol, yang dilakukan dengan proses

Page 11: CBM, Buku Energi-SafrianAF

penurunan tekanan secara tiba-tiba selama jangka waktu tertentu. Berdasarkan pengalaman

perusahaan Amoco di cekungan San Juan yang terletak di Colorado, AS, peningkatan dari 22

MCFD (Metric Cubic Feet per Day)menggunakan open hole completion biasa menjadi 108

MCFD dengan cavity completion, atau sekitar lima kali dari semula. Namun perlu diingat bahwa

teknik ini hanya dapat dilakukan dengan kondisi lapisan batubara yang tebal dan memiliki

kelebihan tekanan dibandingkan keadaan normal.[2]

Komplesi jenis kedua adalah cased hole completions, dimana seluruh lapisan termasuk lapisan

batubara dilapisi dengan casing (Gambar 7). Casing merupakan pipa pelindung yang direkatkan

pada batuan dengan menggunakan semen. Komplesi ini sering dilakukan pada sumur yang

memiliki beberapa lapisan batubara yang ingin diproduksi batubaranya sehingga CBM dari

lapisan-lapisan yang berbeda dapat diproduksi baik bergantian maupun bersamaan sesuai

keinginan. Setelah dicasing dan dilakukan penyemenan, maka dilakukan perforasi untuk

membuka jalur masuk CBM ke lubang sumur. Perforasi merupakan proses menembak casing

hingga berlubang.

Pada komplesi cased hole sering juga dilakukan hydraulic fracturing, yaitu merekahkan lapisan

batuan batubara, dengan tujuan mempermudah CBM untuk mengalir. Prosesnya adalah dengan

Gambar 7: Komplesi cased hole pada sumur gob[16]

Page 12: CBM, Buku Energi-SafrianAF

penyuntikan fluida perekah dengan tekanan tinggi sehingga batuan rekah, dan selanjutnya

diganjal dengan suatu bahan tertentu (proppant) sehingga rekahan tidak tertutup kembali. Secara

umum, cased hole tidak perlu dilakukan fracturing, hanya perforasi saja, apabila CBM cukup

mudah untuk mengalir. Namun demikian, baik perforasi maupun fracturing dapat menimbulkan

kerusakan bagi lapisan batubara.

Selain dua jenis komplesi diatas, terdapat pula perkembangan lain dalam pengambilan CBM,

misalnya adalah sumur gob dan pemboran horizontal di Gambar 8. Sumur gob adalah

pengambilan gas metana setelah pengambilan CBM menyebabkan pilar batubara runtuh, dan

ruang kosongnya akan diisi oleh metana, dimana biasanya kandungan metannya lebih rendah.[19]

Pemboran horizontal merupakan suatu cara pemboran dimana lapisan batubara ditembus dengan

cara sejajar lapisan tersebut dimana dengan cara ini luas permukaan batubara yang terekspos

oleh lubang sumur akan lebih besar, sehingga CBM pun akan lebih banyak mengalir ke dalam

sumur. Selain pemboran horizontal, juga terdapat ERD (Extended Reach Drilling) dimana

dengan teknologi ini, satu lubang bor akan dapat menguras lebih banyak CBM dari lapisan

batubara yang ditargetkan.

Gambar 8: Fracture, pemboran horizontal, dan sumur gob[20]

Page 13: CBM, Buku Energi-SafrianAF

Lingkungan yang Lebih Sehat Serta Produksi CBM yang Meningkat

Seperti telah dibahas sebelumnya, metana menempel (teradsorpsi) di permukaan batubara pada

micropores. Demikian halnya dengan molekul gas lain juga memiliki kesempatan untuk

menempel pada permukaan batubara, bahkan ada yang lebih besar kesempatannya, dan ada pula

yang lebih kecil. Perbedaan diantara keduanya adalah diameter molekul, karena gaya yang

bekerja adalah gaya van der Waals. Prinsip ini yang digunakan untuk mengusir metana dari

permukaan batubara, yang akan berimplikasi pada peningkatan jumlah metana yang bisa diambil

dari lapisan batubara. Teknik ini disebut Enhanced Gas Recover (EGR), dan gas yang dipakai

adalah karbondioksida (CO2) dan nitrogen (N2). Kedua gas ini dipilih karena selain harganya

murah, juga inert (tidak merusak lapisan batubara).

Terdapat dua skema yang dapat dipakai dimana masing-masing skema memiliki subskema,

sebagai berikut :

1. Injeksi gas inert dari sumber lain

a. Injeksi karbondioksida

b. Injeksi nitrogen

c. Injeksi campuran nitrogen karbondioksida

2. Injeksi gas inert yang terintegrasi dengan CCS (Carbon Capture and Storage)

Untuk skema pertama, injeksi gas inert dilakukan dari sumber lain, dimana gas-gas ini dapat

dibeli ataupun dengan kerjasama dengan perusahaan tertentu diluar kontraktor yang

mengusahakan lapangan CBM. Semua gas diinjeksikan dengan tekanan tinggi sehingga pada

saat masuk ke dalam tanah berada dalam kondisi cair. Kemudian karbondioksida maupun

nitrogen akan melakukan “pengusiran” terhadap metana, yaitu untuk karbondioksida, ia akan

lebih melekat pada batubara dibandingkan metana dan akan menggantikan posisi metana di

lapisan batubara. Sedangkan untuk nitrogen, ia bertindak untuk menurunkan fraksi tekanan

metana, sehingga metana akan lebih mudah mengalami desorbsi.

Jamshidi dan Jessen[3] menunjukkan bahwa untuk injeksi karbondioksida murni akan

menunjukkan peningkatan perolehan yang semakin besar saat kemudahan mengalir

(permeabilitas) semakin kecil. Sebagai contoh untuk permeabilitas 1md (mili darcy) maka

peningkatan produksi mencapai 275% dari keadaan awal yang mencapai faktor perolehan sekitar

Page 14: CBM, Buku Energi-SafrianAF

85%, sementara pada saat permeabilitas semakin besar maka peningkatan ini menjadi penurunan,

yaitu faktor perolehan hanya 10%. Injeksi nitrogen murni akan menghasilkan peningkatan

sebesar sekitar 200% dari perolehan awal, dengan tambahan akan memberikan penurunan

produksi air. Untuk injeksi campuran nitrogen-oksigen akan menghasilkan peningkatan faktor

perolehan yang sama dengan injeksi karbondioksida murni, dengan pengurangan produksi air.

Perlu diperhatikan bahwa diperlukan laju injeksi dua kali lebih besar dari laju metana yang

diinginkan untuk kasus karbondioksida, sementara dibutuhkan laju injeksi yang sama dengan

laju produksi metana yang diinginkan untuk nitrogen. Sedangkan injeksi nitrogen akan

breakthrough lebih cepat daripada injeksi karbondioksida.[17] Breakthrough merupakan kejadian

dimana gas yang diinjeksikan ikut terproduksi bersama metana yang diinginkan. Breakthrough

yang diinginkan adalah yang lebih lambat.

Skema kedua adalah sumber gas yang diintegrasikan menjadi satu dengan lapangan CBM. Disini

merupakan letak solusi terhadap masalah lingkungan. Walsh[7] menyarankan agar dalam instalasi

terintegrasi ini, pembangkit listrik tenaga batubara dan CBM, disatukan pula instalasi produksi

bahan bakar hidrogen dan metanol (gambar 9). Selama ini, instalasi-instalasi produksi bahan

bakar hidrogen dan metanol memang memproduksi bahan bakar yang lebih ramah lingkungan,

namun dalam proses produksinya sendiri menghasilkan sangat banyak karbondioksida. Sehingga

dicari suatu cara untuk membatasi karbondioksida yang terlepas, dengan melakukan

penangkapan karbondioksida dari sumber-sumber yang sangat kaya akan elemen tersebut,

misalnya instalasi produksi metanol dan hidrogen. Setelah ditangkap, dalam bentuk cair ia akan

diinjeksikan ke bawah, sehingga prosesnya disebut CCS (Carbon Capture and Storage). Sumber

kaya karbondioksida lain misalnya adalah pembangkit tenaga listrik batubara + CBM. Pada

pembangkit tenaga listrik sengaja dipakai batubara untuk menambah jumlah karbondioksida dari

pembangkit, dan batubara ini kemungkinan besar berasal dari daerah sekitar proyek tersebut.

Diperlukannya sumber kaya karbondioksida ini adalah karena belum adanya teknologi untuk

menangkap karbondiosksida dari udara bebas.

Page 15: CBM, Buku Energi-SafrianAF

Dengan adanya sistem lapangan CBM dan CCS yang terintegrasi ini, maka emisi karbondioksida

maupun emisi metana sebagai gas rumah kaca akan jauh berkurang, dan akan menghasilkan

energi yang lebih banyak lewat pembangkit listrik, hydrogen fuel cell, dan metanol serta

menghasilkan udara yang lebih layak hirup dengan penangkapan 80% karbondioksida buangan

instalasi-instalasi diatas.

CBM di Indonesia : Problematika dan Keekonomian

Proyek CBM di Indonesia telah dimulai sejak tahun 2008. Sejak itu pula, banyak Kontraktor

Kontrak Kerja Sama (KKKS) telah ambil bagian dalam bisnis ini. Berdasarkan data dari ESDM,

untuk tahun 2011, tercatat 5 KKKS yang ditargetkan untuk memulai produksi gasnya (selesai

fasa dewatering), yaitu Selain West Sangatta, kontraktor lainnya adalah (Wilayah Kerja) WK

CBM Sekayu (Medco Energy International), Tanjung Enim (Arrow PTE), Barito Banjar

(Indobarambai) dan Sanga-Sanga (VICO). Masing-masing produksi direncanakan satu

MMSCFD, kecuali Sanga-Sanga yang produksinya 1,5 MMSCFD. Total produksi kelimanya

sekitar 5,5 juta kaki kubik per hari atau listrik yang dihasilkan setara dengan 13,75 megawatt.

Sedangkan untuk realisasi listrik dari CBM yang terdekat adalah dari WK West Sangatta I yang

direncanakan pada Mei 2011 menghasilkan 1 Million Cubic Feet per Day (MMSCFD) yang

diproyeksikan menghasilkan listrik 2.5 MW.[11]

Hingga saat ini, pemerintah telah memiliki 23 WK CBM yang merupakan bagian dari rencana

pemerintah untuk memanfaatkan potensi CBM Indonesia. Pada tahun 2011, rencana WK yang

ditawarkan berjumlah 13 buah sehingga diharapkan 2011 menjadi tahun awal pemenuhan listrik

skala kecil, sedangkan masing-masing pada 2015, 2020 dan 2025 akan diproduksi CBM

sebanyak 500, 1000, 1500 MMSCFD. [11]

Gambar 9: Skema CCS yang terintegrasi dengan produksi metanol,hidrogen dan lapangan CBM[7]

Page 16: CBM, Buku Energi-SafrianAF

Menilik potensi CBM di Indonesia, maka hal ini cukup menarik minat para investor untuk

mengembangkannya. Walaupun demikian, masih terdapat problem yang belum selesai dalam

kegiatan pengusahaan CBM di Indonesia. Untuk lebih menarik minat investor, harus terdapat

kajian lebih mendalam dari aspek teknis maupun ekonomis sehingga investor berani untuk

menanamkan modalnya pada proyek CBM yang belum pasti resikonya, dan juga akan melihat

kondusif tidaknya pasar gas bumi domestik, jangka waktu kontrak, dan harga gas.[1] Sementara

ini, pola kontrak yang dipakai masih memakai Production Sharing Contract (PSC) tradisional

yang dimodifikasi, dimana bagi keuntungan pemerintah-kontraktor adalah 55:45.[10]

Terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara keekonomian gas konvensional dan CBM.

Berikut grafik yang menggambarkan produksi CBM dan air hasil dewatering :

Dari gambar 9 terlihat karakteristik khusus yang dimiliki sumur CBM, yaitu produksi air yang

sangat banyak pada awal proyek. Air ini berasal dari dewatering yang berfungsi untuk

menurunkan muka air dari lapisan batubara. Sekalipun CBM sudah mulai terproduksi di awal,

produksinya baru mencapai puncak saat air sudah makin sedikit terproduksi, setelah itu mulai

menurun secara alamiah. Puncak produksi dari CBM kebanyakan hanya berkisar pada ratusan

MCFD. Disinilah terdapat permasalahan, dimana produksi gas yang sangat kecil pada awal,

maka investor kesulitan untuk mendapatkan modalnya kembali dalam waktu yang cepat.

Berbeda dengan gas alam, yang pada saat awal dimana tekanan reservoir masih sangat besar,

Gambar 9: Produksi air dan gas vs waktu[12]

Page 17: CBM, Buku Energi-SafrianAF

produksi gas akan sangat besar, sehingga dalam waktu singkat investor kembali mendapatkan

modalnya. Karakteristik ini merupakan karakteristik khusus CBM.

Karakteristik CBM (alami, tanpa ERG) Gas Alam

Produksi Awal Kebanyakan air Gas

Puncak laju produksi Berada di tengah-tengah proyek

setelah dewatering selesai (1-3

tahun)

Berada di awal proyek

Jumlah Sumur Rata-

rata*

5-10 1

Biaya per Sumur 0.5 juta US$ 2.5-5 juta US$

Faktor Perolehan 45-60% 60-70%

Bagi hasil (Pemerintah :

Kontraktor)

55 : 45 70 :30

Biaya Tambahan FracturingCavity completionKompresorFasilitas pengolahan airPompa (dewatering)

KompresorScrubber

* Jumlah sumur CBM yang dibutuhkan untuk menyamai produksi 1 sumur gas alam

Tabel 9 meringkas perbandingan CBM dengan gas alam dari faktor keekonomiannya. Dari tabel

terlihat bahwa CBM memiliki beberapa perbedaan karakteristik dengan gas alam. Produksi air

merupakan perbedaan karakteristik yang cukup mencolok dibanding gas alam, dimana pada saat

awal produksi air dapat berkisar 170-700 barel per hari[1], namun dapat menurun hingga hanya 10

barel per hari saat gas sudah banyak terproduksi. Kuantitas air yang besar ini memerlukan

penanganan lebih dengan fasilitas khusus karena secara alami mengandung ion klorida,

bikarbonat, mangan, maupun besi dalam jumlah besar. Terdapat beberapa opsi untuk menangani

hal ini, yaitu : (1) diinjeksikan kembali; (2) digunakan langsung; (3) digunakan dengan

pemrosesan terlebih dulu; (4) dibuang ke badan air; (5) diuapkan di permukaan. Pemilihan

proses ini sangat tergantung oleh baku mutu lingkungan, pertimbangan ekonomi, lapisan batuan

Tabel 3: Perbandingan beberapa faktor keekonomian CBM dan gas alam

Page 18: CBM, Buku Energi-SafrianAF

yang cocok untuk injeksi kembali, iklim, dan komposisi kimia dari air itu sendiri.[2] Saat ini di

Indonesia belum ada baku mutu khusus untuk air buangan lapangan CBM, sehingga hal ini

sering mempersulit turunnya izin melakukan produksi. Untuk karakteristik keekonomiannya,

biaya operasi pengolahan air akan menurun dengan sendirinya ketika produksi air menurun.

Untuk jumlah sumur dan biaya sumur, diasumsikan untuk suatu jumlah tertentu produksi gas

alam, dibutuhkan 5-10 sumur CBM untuk memproduksi gas dalam jumlah yang sama. Hal ini

karena memang faktor alami tekanan sumur CBM yang rendah (500-1000 psi) dibanding sumur

gas alam (1000-3000 psi), sehingga sumur gas akan berproduksi lebih banyak. Namun, karena

sumur CBM rata-rata lebih dangkal, biaya per sumurnya pun lebih rendah. Tergantung dari

produksi per sumur CBM, maka untuk memproduksi gas dengan jumlah yang sama, biaya

totalnya bisa 2 kali lebih mahal[1], namun juga bisa lebih murah. Perlu diingat untuk jumlah

sumur, perbanyakan jumlah sumur yang berdekatan di lapangan CBM tidak akan mengganggu

produksi (fenomena yang terjadi di sumur minyak dan gas) namun dapat lebih mempercepat

proses dewatering. Gambar 10 dan Gambar 11 dapat lebih memperjelas perbedaan antara proyek

gas konvensional dan CBM.

Gambar 10: Perbandingan CBM vs gas alam dari segi jumlah sumur, pembiayaan, dan produksi[5]

Page 19: CBM, Buku Energi-SafrianAF

Dari gambar 10 cukup terlihat perbedaan antara gas konvensional dan CBM, misalkan pada

jumlah sumur, seperti yang telah ditabulasikan pada Tabel 3. Jumlah sumur CBM akan makin

banyak seiring waktu untuk memperthankan laju produksi yang diinginkan. Namun, umur

proyek CBM lebih panjang karena lajunya yang kecil dibandingkan gas konvensional. Hal ini

sebenranya juga tergantung pada GIP (Gas In Place) atau cadangan awal dari CBM itu sendiri.

Untuk biaya (expenditure), kebanyakan sumur gas konvensional lebih mahal di awal proyek

karena sumur yang lebih dalam dan peralatan lain, namun akan segera berkurang sejalan dengan

perkembangan proyek. Sementara untuk CBM, justru bertambah seiring makin banyaknya sumur

yang harus dibuat, sekalipun lebih murah di awal proyek. Sedangkan pada gambar 11

karakteristik paling mencolok adalah selisih ketidakpastian antara skenario high estimate dan low

estimate yang lebih besar pada awal proyek CBM. Hal ini disebabkan oleh belum jelasnya

informasi teknis tentang kelakuan CBM pada awal proyek, misalnya model aliran dua fasa (air

dan gas) pada lapisan batubara. Sejalan dengan makin banyaknya informasi, maka ketidakpastian

akan semakin kecil.[5]

Terdapat lima tahapan penting[1] yang seyogyanya dilakukan dalam pengembangan lapangan

CBM, tahapan tersebut adalah berikut :

Gambar 11: Perbandingan CBM vs gas alam dari segi ketidakpastian volume sumberdaya[5]

Page 20: CBM, Buku Energi-SafrianAF

a) Identifikasi prospek CBM, menghasilkan potensi CBM.

b) Eksplorasi, untuk menemukan cadangan CBM. Digunakan untuk mengambil data

geologi, komposisi gas. Pemboran eksplorasi biasanya menggunakan 3-4 sumur

pemboran dengan analisa datanya adalah 750 ribu hingga 1 juta US$.

c) Pemboran pilot, sering disebut micro pilot. Digunakan untuk mengetahui kemampuan

produksi gas dari lapisan batubara. Biaya untuk 4-5 sumur dengan analisanya adalah 2-

2.5 juta US$.

d) Tes produksi. Merupakan langkah terakhir sebelum produksi skala besar, mengetahui

profil produksi air dan gas. Biaya untuk 10-25 sumur termasuk fasilitas pendukung

adalah 5-10 juta US$.

e) Pengembangan komersial.

Untuk evaluasi skenario keekonomian proyek CBM di Indonesia, terdapat beberapa pilihan yang

bisa dipakai, dimana masih mengacu pada PSC yang sekarang dengan modifikasi perbandingan

bagi hasil pemerintah-kontraktor adalah 55:45. Hal ini dilakukan karena pada bagi hasil

pemerintah kontraktor 70:30—sementara terdapat biaya tambahan sumur yang lebih banyak dan

fasilitas pengolahan—kontraktor mengalami penundaan waktu pengembalian modal awal,

karena Internal Rate of Return (IRR) yang lebih rendah dibanding proyek gas alam dengan bagi

hasil tersebut. Sebagai perbandingan, IRR proyek gas alam dengan perbandingan 70:30 adalah

20% sedangkan IRR CBM dengan perbandingan yang sama adalah 14%. Terdapat juga faktor

harga gas yang dipatok terlalu rendah dalam pasar domestik, sehingga menyebabkan investor

tidak mau menjual gasnya ke pasar domestik. Rangkuman skenario[1] yang memberikan IRR

20% (IRR yang sesuai dengan IRR gas alam pada perbandingan 70:30) pada proyek CBM

adalah:

a) Harga gas US$ 4.5/MCF, royalti 5%, perbandingan bagi hasil 70:30

b) Harga gas US$ 4/MCF, royalti 5%, perbandingan bagi hasil 55:45

c) Harga gas US$ 4.7/MCF, royalti 10%, perbandingan bagi hasil 70:30

d) Harga gas US$ 4.2/MCF, royalti 10%, perbandingan bagi hasil 55:45

Untuk harga gas saat ini US$ 3.5/MCF, hal ini jelas tidak akan menarik investor pada proyek

CBM karena lebih merugikan dari pengembangan gas alam, apalagi apabila diperparah oleh bagi

hasil 70 :30 dengan royalti 10%. Partowidagdo[1] menyarankan, seyogyanya royalti dibuat

Page 21: CBM, Buku Energi-SafrianAF

fleksibel sesuai harga jual gas, sehingga contohnya apabila diterapkan bagi hasil 55:45 dengan

harga gas US$ 3.5 /MCF, royaltinya 0%, sementara untuk harga gas US$ 4/MCF diberlakukan

royalti 10%. Selain itu, Indonesia seyogyanya menerapkan harga yang lebih tinggi pada gas,

minimal US$ 4/MCF atau US$ 5 MCF, karena pada harga yang disebutkan terakhir, setara

dengan US$ 30/ barel minyak, jauh dengan harga minyak saat ini yang diatas US$ 100/barel.

Dengan demikian, investor akan lebih tertarik untuk mengembangkan CBM di Indonesia,

termasuk mendayagunakan jalur pipa yang telah ada, misalnya jalur pipa Sumsel-Jabar dan

Kalsel-Jateng.

Hambatan lain dalam pengembangan CBM di Indonesia adalah masih tingginya subsidi Bahan

Bakar Minyak (BBM) di Indonesia. Sebagai sumber energi yang masih dipandang sebagai

sumber energi alternatif, tentu saja CBM dan EBT lainnya akan kesulitan untuk menembus pasar

domestik, ditambah paradigma masyarakat yang menganggap bahwa energi itu murah. Mengutip

pernyataan Prof. Rudi Rubiandini bahwa masyarakat tidak akan dapat menghemat energi, yang

bisa dihemat adalah uang. Implikasi dari pernyataan ini adalah bahwa selama masyarakay masih

menganggap energi mudah didapat, maka tidak akan pernah terjadi konservasi energi.

Masyarakat akan terus menerus memakai energi tanpa adanya budaya hemat energi. Budaya

hemat energi ini tidak akan timbul hanya dengan sosialisasi Earth Hour, Bike to Work dan lain

sebagainya. Budaya ini akan timbul apabila harga energi mulai dianggap mahal oleh masyarakat.

Memang, tidak dapat dipungkiri hal ini akan menimbulkan inflasi pada perekonomian kita,

dimana akan lebih terasa oleh masyrakat kalangan menengah bawah. Namun demikian apabila

sebagian dana subsidi tersebut dipakai untuk pengembangan hal-hal lain yang lebih bermanfaat,

lama kelamaan masyarakat akan terbiasa, contohnya adalah kebijakan pemakaian tabung gas 3kg

untuk menggantikan minyak tanah.

Salah satu alokasi pengalihan dana ini terutama dari bidang migas dinamakan Depletion

Premium (DP). Apabila dijelaskan dengan singkat, DP adalah suatu dana yang berasal dari

pendapatan sektor energi tak terbarukan dimana dana ini harus dialokasikan untuk menemukan

dan meneliti pengganti dari energi yang akan habis tersebut.[6] Dana ini merupakan insentif yang

diperlukan oleh kalangan pelaku pengembangan dan pengusahaan EBT, misalnya kontraktor

yang berminat dalam CBM, maupun badan-badan usaha lain yang mengusahakan mikrohidro

Page 22: CBM, Buku Energi-SafrianAF

maupun biofuel. Dengan adanya DP, maka pengembangan EBT diharapkan lebih cepat karena

ketiadaan insentif merupakan salah satu akar permasalahan EBT di Indonesia.

Apabila kita kembali pada falsafah PSC yang dikembangkan oleh Presiden Soekarno setelah

melihat buruh di ladang yang dimiliki oleh seorang pemilik lahan, sistem ini adalah sistem

belajar dari kontraktor asing. Pemilik lahan adalah Indonesia, sedangkan buruhnya adalah

kontraktor asing. Pada saat PSC dikembangkan, Indonesia belum memiliki teknologi dan

pemikiran yang diperlukan untuk mengangkat migas dari dalam buminya sendiri, sehingga pada

saat itu banyak kontraktor diundang, dan dengan sistem dimana kontraktor harus melaporkan

setiap kegiatannya pada pemerintah, maka kita juga melakukan transfer ilmu dan teknologi.

Namun tentu saja tidak selamanya seorang murid belajar, dan tidak selamanya Indonesia

membutuhkan transfer teknologi tersebut. Faktanya pada saat ini posisi engineer muda di

sebagian besar kontraktor asing telah diisi oleh anak bangsa, sehingga transfer ilmu seharusnya

sudah terjadi. Umur PSC juga sudah sangat cukup sebagai sistem pembelajaran yang terjadi

selama 30-40 tahun.

Saat ini problem utamanya terjadi pada teknologi dan modal. Pemecahan dari masalah ini sangat

jelas. Perusahaan dalam negeri belum mampu untuk membuat peralatan-peralatan dasar dalam

eksplorasi dan ekploitasi migas, sebut saja casing yang selalu buatan luar negeri. Pemerintah

sebagai pihak yang memiliki otoritas harus melakukan langkah-langkah untuk mengkondusifkan

pasar dalam negeri agar perusahaan lebih tertarik untuk memproduksi peralatan-peralatan

tersebut. Langkah nyata yang dapat dilakukan misalnya adalah menambah pajak masuk bagi

barang-barang eksplorasi migas luar negeri, dan mengurangi pajak bagi peralatan produksi dalam

negeri. Dengan sistem ini diharapkan kemandirian teknologi dapat terjadi. Sedangkan untuk

modal, kenyataannya di Indonesia banyak terdapat dana dengan jumlah besar yang mengendap

di bank-bank dimana dana ini tidak liquid.[1] Persoalan yang sering terjadi adalah lembaga

keuangan seringkali tidak ingin mencairkan dana tersebut apabila resiko besar dan tidak

diketahui, yang justru merupakan karakteristik dunia energi khususnya migas. Hal ini dapat

diatasi dengan melakukan konsorsium untuk pembiayaan dana tersebut dimana pinjaman

terhadap kegiatan migas ditanggung bersama oleh beberapa lembaga. Selain itu, ketidakpastian

resiko ini dapat ditanggulangi dengan menggunakan DP dari migas, untuk melakukan pencarian

data geologi dan geofisik dengan kualitas yang lebih baik, sehingga badan keuangan lebih

Page 23: CBM, Buku Energi-SafrianAF

mengetahui resiko yang ada. Langkah ini harus diimbangi dengan duduk bersamanya seluruh

stakeholder yang ada, sehingga permasalahan modal dapat diatasi.

CBM yang saat ini juga memakai PSC dapat memakai solusi yang mirip dengan yang telah

dipaparkan diatas. Namun perlu diketahui bahwa resiko awal CBM lebih besar dari proyek migas

konvensional. Meskipun pada saat ini beberapa diantara WKP yang telah ada menggunakan

bantuan kontraktor asing, sedapat mungkin dimasa yang akan datang Indonesia mampu untuk

mengeksplorasi cadangan CBM yang dimilikinya sendiri. Pelaku pengusahaannya telah jelas,

yaitu mendayagunakan perusahaan nasional seperti PHE (Pertamina Hulu Energy), juga Medco

E&P dan perusahaan dalam negeri lainnya. Skema bagi hasil yang mendatangkan IRR besar bagi

kontraktor dalam proyek CBM memang dapat menjaring investor asing, namun hal ini tidak

dapat berlangsung terus menerus, karena dapat membuat negara kita menjadi tergantung oleh

asing seperti pada migas saat ini. Kerjasama dalam ilmu dan teknologi memang akan diperlukan

kedepannya baik dalam ekplorasi maupun ekploitasi CBM sebagai sumber energi yang baru,

namun prinsip yang perlu diingat adalah dalam tiap kerjasama tersebut Indonesia tidak boleh

sebagai posisi yang lebih rendah, harus benar-benar setara. Alih ilmu dan teknologi harus

menghasilkan sumber daya manusia dan korporasi nasional yang siap untuk mandiri tanpa

bantuan luar lagi. Dengan demikian, CBM akan segera didayagunakan dengan teknologi, ilmu,

dan modal dalam negeri demi kemandirian energi Indonesia.

Kesimpulan

CBM merupakan salah satu jenis EBT yang berasal dari sisa proses pembentukan batubara di

bawah permukaan, sehingga gas ini adalah 88-98% metana yang terperangkap dalam pori

batubara dengan sistem adsorbsi. Produksinya dilakukan dengan pertama kali dewatering agar

gas bisa terdesorbsi dan terproduksi ke permukaan. Sebelum dapat diproduksi, sumur harus

dikomplesi dengan pertimbangan yang tepat. Karakteristik produksinya yang kecil menyebabkan

dilakukan injeksi karbondioksida maupun nitrogen dengan pilihan integrasi dengan sistem

pembangkit listrik dan metanol-hydrogen fuel cell dan akan berimplikasi pada berkurangnya

emisi karbondioksida dan bertambahnya produksi metana. Dari sisi keekonomian, perbedaan

karakteristik bisnis CBM dan gas konvensional menyebabkan digunakannya bagi hasil yang

berbeda dari PSC gas, yaitu 55:45. Namun demikian, harga domestik dan royalti seharusnya juga

dibuat lebih fleksibel untuk menarik investor. PSC sendiri merupakan sistem belajar sehingga

Page 24: CBM, Buku Energi-SafrianAF

alih teknologi dan ilmu seharusnya sudah terjadi, sementara modal dapat menggunakan dana

dalam negeri, dengan opsi konsorsium. Kerjasama teknologi seharusnya dilakukan dengan tidak

mengubah posisi Indonesia sebagai pemilik sumber daya. Sehingga pada akhirnya Indonesia

akan mencapai kemandirian pengusahaan energi pada sektor CBM dengan menggunakan modal,

ilmu, teknologi, dan sumber daya dalam negeri.

Pustaka

1. Partowidagdo, Widjajono, Migas dan Energi di Indonesia : Permasalahan dan Analisis Kebijakan, Development Studies Foundation, 2009

2. Rogers, Rudy E., Coalbed Methane: Principles and Practice, Prentice Hall Petroleum Engineering Series, 1994

3. Jamshidi, M. dan Jessen, K., Impact of Reservoir Characteristics on Water Production in Enhanced Coalbed Methane Operations, Paper SPE No. 132521, SPE, 2010

4. Partowidagdo, W., Dicky E. Hindarto, Asclepias Rachmi S.I., dan Arsegianto, Agenda 21 Sektor Energi: Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia Indonesia Melalui Pembangunan Sektor Energi yang Berkelanjutan, Jakarta, 2000

5. Atkins, Bruce, Coal Bed Methane-From Resource to Reserves, Issue No. 34, Gaffney,Cline & Associates, 2003

6. Wijaya, Agus Rendi, Kajian Penerapan Depletion Premium Dalam Analisis Keekonomian Proyek Minyak dan Gas Bumi

7. Walsh, John H., The Linkage of Coal Bed Methane Production to Energy Conversion Technologies Equipped for Capture of Carbon Dioxide, http://pages.ca.inter.net/

8. Dongeng Geologi : Sumberdaya Gas Alam – 2 : CBM, http://rovicky.wordpress.com/2010/07/27/sumberdaya-gas-alam-2-cbm/

9. De Bruin, Rodney H., Robert M. Lyman, Richard W. Jones, dan Lance W. Cook, Coalbed Methane in Wyoming, Black Diamond Energy, Inc.

10. Dira, Bisnis CBM Indonesia: All About CBM Business in Indonesia, http://cbm-indonesia.blogspot.com/, 2009

11. Listrik Dari CBM, Kuartal II 2011 Ditargetkan Capai 2,5 MW, http://www.reffburn.org/energy/, 201112. Lubis, Ibrahim, Potensi Coal Bed Methane (CBM) Sebagai Energi Alternatif di Indonesia,

http://ibrahimlubis.wordpress.com/, 200913. Coal Bed Methane, Energy Justice Network, http://www.energyjustice.net/naturalgas14. Blueprint Pengelolaan Energi Nasional, Sekretariat Panitia Teknis Sumber Energi, 200615. Ringkasan Ekseskutif Pertemuan Tahunan Pengelolaan Energi Nasional, 200816. Schwoebel, Jeff, “Applications of Current CBM Technology for Enhanced CMM Drainage”,

dipresentasikan pada 26-27 September 2006 , Colorado, AS17. Coal Bed Methane Development in The Midcontinent Area, Petroleum Technology Transfer Council, 199918. Ertekin, T, “Coalbed Methane as Unconventional Gas ” dipresentasikan pada September 2006, Bandung,

Indonesia19. Ertekin, T, “Coal Seam as A Natural Gas Reservoir”, dipresentasikan pada September 2006, Bandung,

Indonesia20. Ertekin, T, “Field Operations in Coalbed Methane Reservoir”, dipresentasikan pada September 2006,

Bandung, Indonesia21. Ertekin, T, “Reservoir Engineering of Coalbed Methane Reservoirs”, dipresentasikan pada September

2006, Bandung, Indonesia22. Farizi, Safrian A., Mahasiswa dan Energi Baru Terbarukan Sebagai Solusi Permasalahan Energi di

Indonesia, essay tata kelola energi KENMI, 2011