Case Report Word

8
CASE REPORT KEJANG DAN PENURUNAN KESADARAN SUSPEK EPILEPSI Elda Oncossya Panggabean ABSTRAK Epilepsi merupakan suatu gangguan kelistrikan pada otak yang ditandai dengan bangkitan kejang lebih dari 2 kali sehari tanpa penyebab yang jelas dan tanpa adanya rangsangan atau hasutan. Kejadian epilepsi semakin banyak setiap tahunnya, terutama di negara berkembang, prevalensi bervariasi mulai dari lanjut usia, dewasa, hingga anak-anak. Bangkitan kejang karena epilepsi pada anak-anak dapat berulang, jenis kejangnya pun ada yang lokal maupun keseluruhan tubuh. Kata Kunci : Epilepsi, Kejang, Penurunan Kesadaran ABSTRACT Epilepsy is a disorder of the electricity in the brain characterized with an unprovoked seizure more than twice in a day. The prevalence of epilepsy is increasing per year, especially in developing country, from the elders, adults and children. The recurrent seizure in children shows different type of seizure, partial ,local or general. Keywords : Epilepsy, Seizure, Loss of consciousness pilepsi adalah sindroma kelainan faal otak berulang yang tampak dengan seizure, fit atau kejang/konvulsi ≥ 2 kali tanpa penyebab dan yang tidak dihasut (unprovoked). 1 Satu bangkitan kejang dalam 24 jam tidak dapat dikatakan sebagai epilepsi. 2 E Kejang adalah perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai akibat dari aktifitas neuronal yang abnormal dan sebagai pelepasan listrik serebral yang berlebihan. Aktivitas ini bersifat dapat parsial atau vokal, berasal dari daerah spesifik korteks serebri, atau umum, melibatkan kedua hemisfer otak. Manifestasi jenis ini bervariasi, tergantung bagian otak yang terkena. Penyebab kejang mencakup factor-faktor perinatal, malformasi otak kongenital, faktor genetik, penyakit infeksi (ensefalitis, meningitis), penyakit dengan demam, gangguan metabolisme, trauma, neoplasma, toksin, gangguan sirkulasi, dan penyakit degeneratif susunan saraf. Kejang disebut Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia 1

description

:)

Transcript of Case Report Word

Page 1: Case Report Word

CASE REPORT

KEJANG DAN PENURUNAN KESADARAN SUSPEK EPILEPSI

Elda Oncossya Panggabean

ABSTRAKEpilepsi merupakan suatu gangguan kelistrikan pada otak yang ditandai dengan bangkitan kejang lebih dari 2 kali sehari tanpa penyebab yang jelas dan tanpa adanya rangsangan atau hasutan. Kejadian epilepsi semakin banyak setiap tahunnya, terutama di negara berkembang, prevalensi bervariasi mulai dari lanjut usia, dewasa, hingga anak-anak. Bangkitan kejang karena epilepsi pada anak-anak dapat berulang, jenis kejangnya pun ada yang lokal maupun keseluruhan tubuh.

Kata Kunci : Epilepsi, Kejang, Penurunan Kesadaran

ABSTRACTEpilepsy is a disorder of the electricity in the brain characterized with an unprovoked seizure more than twice in a day. The prevalence of epilepsy is increasing per year, especially in developing country, from the elders, adults and children. The recurrent seizure in children shows different type of seizure, partial ,local or general.

Keywords : Epilepsy, Seizure, Loss of consciousness

pilepsi adalah sindroma kelainan faal otak berulang yang tampak dengan seizure, fit atau kejang/konvulsi ≥ 2 kali tanpa

penyebab dan yang tidak dihasut (unprovoked).1

Satu bangkitan kejang dalam 24 jam tidak dapat dikatakan sebagai epilepsi. 2

EKejang adalah perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai akibat dari aktifitas neuronal yang abnormal dan sebagai pelepasan listrik serebral yang berlebihan. Aktivitas ini bersifat dapat parsial atau vokal, berasal dari daerah spesifik korteks serebri, atau umum, melibatkan kedua hemisfer otak. Manifestasi jenis ini bervariasi, tergantung bagian otak yang terkena. Penyebab kejang mencakup factor-faktor perinatal, malformasi otak kongenital, faktor genetik, penyakit infeksi (ensefalitis, meningitis), penyakit dengan demam, gangguan metabolisme, trauma, neoplasma, toksin, gangguan sirkulasi, dan penyakit degeneratif susunan saraf. Kejang disebut idiopatik bila tidak dapat ditemukan penyebabnya.1,2

Epilepsi merupakan serangan kejang paroksismal berulang dua kali atau lebih tanpa penyebab yang jelas dengan interval serangan lebih dari 24 jam,

akibat lepas muatan listrik berlebihan di neuron otak. Sedangkan sindrom epilepsi adalah epilepsi yang ditandai adanya sekumpulan gejala dan tanda klinis yang terjadi bersama-sama, meliputi jenis serangan, etiologi, anatomi, faktor pencetus, umur onset, berat penyakit, dan kronisitas penyakit.1,2,3

Epilepsi merupakan salah satu penyebab terbanyak morbiditas di bidang saraf anak, yang berdampak terhadap tumbuh-kembang anak. Epilepsi merupakan diagnosis klinis, insidensnya bervariasi di berbagai negara. Perkiraan insidens atau prevalens epilepsi pada anak di berbagai negara sangat bervariasi sekitar 4-8 per 1000 populasi.2 Sampai sekarang, penyebab epilepsi masih diteliti, 2/3 kasus tidak diketahui (67,6%), kongenital (20%), trauma (4,7%), injeksi (4%), stroke (1,5%), tumor (1,5%). 2

Jenis serangan epilepsi yang paling umum (60%) adalah konvulsi/kejang.4 Dari serangan-serangan ini, dua per tiga mulai dengan serangan kejang fokal/partial (yang kemudian bisa menjadi umum) sementara sepertiganya mulai dengan serangan kejang umum atau general – seluruh tubuh.4 Sisa 40% adalah jenis serangan lain yang disebut

Departemen Ilmu Kesehatan AnakFakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia 1

Page 2: Case Report Word

sebagai serangan non konvulsi. Contoh dari jenis ini adalah serangan absens, yang menunjukkan adanya penurunan level kesadaran dan biasanya berlangsung sekitar 10 detik, tanpa disertai adanya kejang.5,6

Pembagian klasifikasi kejang pada anak menurut Nelson Textbook of Pediatric, 18th edition adalah partial, general, dan unclassified. Dari ketiga jenis tersebut dibagi lagi menjadi :PartialSimple Partial SeizuresComplex Partial SeizuresBenign Partial Epilepsy of Centrotemporal Spikes (BPEC)Rasmussen EncephalitisGeneralAbsence SeizuresGeneralized Tonic-Clonic SeizuresMyoclonic Epilepsies of ChildhoodUnclassified Seizures

Serangan epilepsi fokal sering kali diawali dengan pengalaman tertentu, yang biasa dikenal dengan aura.7  Ini bisa termasuk: fenomena indera (penglihat, pendengar atau pembau), psikis, otonomik, atau motorik.5,6 Awal timbulnya kejang bisa mulai dengan sekelompok otot tertentu dan menyebar ke kelompok otot sekitarnya yang biasa dikenal/ disebut dengan serangan epilepsi Jacksonian.7 Otomatisme bisa terjadi; ini adalah gerakan yang tidak disadari dan kebanyakan gerakan berulang sederhana seperti memainkan bibir atau gerakan yang lebih kompleks seperti mencoba mengambil sesuatu.7

Semua jenis serangan ini melibatkan hilangnya kesadaran dan biasanya terjadi tanpa peringatan. Serangan tonik-klonik terjadi dengan kontraksi anggota tubuh diikuti dengan ekstensi disertai dengan punggung melengkung ke belakang yang berlangsung selama 10–30 detik (fase tonik). Jeritan mungkin terdengar karena kontraksi otot-otot dada. Ini kemudian diikuti dengan gerakan anggota tubuh secara serempak (fase klonik). Serangan tonik menyebabkan kontraksi otot terus-menerus. Penderita sering menjadi biru karena pernafasan terhenti.Dalam serangan klonik anggota tubuh bergerak serempak. Setelah gerakan terhenti, penderita mungkin perlu waktu 10–30 menit untuk kembali normal; periode ini disebut "fase

postiktal".2,7,8 Hilangnya kontrol buang air besar atau air kecil bisa muncul selama serangan epilesi.2 Ujung atau sisi lidah bisa tergigit selama serangan epilespi.9 Dalam kejang tonik-klonik, gigitan pada sisi lidah lebih sering terjadi.2

Setelah serangan aktif/ kejang biasanya diikuti periode kebingungan pada penderita epilepsi yang disebut dengan periode postiktal, sebelum tingkat kesadaran normal kembali sepenuhnya. Hal ini biasanya berlangsung selama 3 hingga 15 menit tetapi bisa berlangsung selama berjam-jam.10,111

Gejala umum lainnya termasuk: merasa lelah, sakit kepala, susah bicara, dan tingkah laku abnormal.11 Psikosis setelah sebuah serangan cukup sering, terjadi pada 6-10% penderita.10 Penderita sering tidak ingat apa yang terjadi selama waktu ini.

Epilepsi merupakan diagnosis klinis, pemeriksaan untuk epilepsi adalah Elektroensefalografi (EEG), merupakan pemeriksaan neurofisiologi yang diperlukan untuk melihat adanya fokus epileptogenik, menentukan sindrom epilepsi tertentu, evaluasi pengobatan, dan menentukan prognosis. Pemeriksaan pencitraan (neuroimaging) yang paling terpilih adalah magnetic resonance imaging (MRI) untuk melihat adanya fokus epilepsi dan kelainan struktural otak lainnya yang mungkin menjadi penyebab epilepsi.1,2,8

LAPORAN KASUS

IDENTITAS

Nama : An. ATempat/tgl lahir : Jakarta, 29/11/2005Usia : 8 tahun 5 bulanAlamat : Dewi Sartika, CililitanAgama : Kristen Protestan Pekerjaan : Pelajar Berat badan : 20 kg

Dikirim oleh UGD Tanggal masuk : 21 Mei 2014 Jam masuk : 01:08:41 Tanggal keluar : 23 Mei 2014RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT

Pasien datang ke UGD dengan keluhan kejang kelojotan di seluruh tubuh, kejang sebelumnya

Departemen Ilmu Kesehatan AnakFakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia 2

Page 3: Case Report Word

sudah berlangsung 30 menit SMRS. Menuru ibu kandung pasien, kejang muncul diawali dengan demam, tetapi suhu tidak diukur. Saat kejang, lidah pasien keluar, mulut mencong dan mata melihat ke sisi kiri. Awalnya pasien sakit tenggorokan, dan batuk ± 7 hari SMRS. Batuk berdahak warna kuning kehijauan, darah tidak ada. Hidung tersumbat, sekret warna kuning kehijauan. Pasien sudah diberi antibiotik dari dokter klinik namun keluhan tidak berkurang. Tidak ada mual dan muntah . BAB & BAK tidak ada keluhan. Nafsu makan baik dan pasien mau minum. Pasien tidak pernah kejang sebelumnya, tidak ada keluarga yang pernah kejang sebelumnya. Riwayat imunisasi lengkap sesuai usia, riwayat tumbuh kembang sesuai usia. Pasien memiliki riwayat trauma kepala ± 1 bulan SMRS, terjatuh dari tangga cukup tinggi dan esok harinya pasien muntah, nyeri kepala disangkal.

Saat kejang, penanganan pertama pasien adalah pemberian O2 face mask 6 lpm, kemudian diberikan Stesolid supp 10 mg dan evaluasi 10 menit kemudian tidak ada perubahan, pasien tetap kejang dan mulai timbul sianosis di seluruh tubuh. Pasien dibawa ke ruang resusitasi. Pertama pasien dipasang orofaringeal tube untuk dibebaskan jalan nafasnya dari air liur di dalam mulut dan dihitung saturasi O2 pasien melalui alat yang terpasang di jari pasien, saturasi O2 85%. Setelah dipasang O2, pasien menjadi lemas dan tidak sadarkan diri, sesekali pasien bangun dan merintih kesakitan lalu tertidur lagi.

Setelah pasien tertidur, face mask diganti dengan nasal kanul O2 2 lpm. Kesadaran pasien sopor (E2M4V2 pada Pediatric Coma Scale), tekanan darah pasien 130/80 mmHg, nadi 128 kali per menit (ireguler, kuat angkat, isi cukup), suhu 36,8o

celcius (axilla), frekuensi pernafasan 28 kali per menit (reguler, adekuat). Keadaan akhir di UGD pasien lemas dan tertidur kemudian dibawa ke Anggrek untuk diobservasi.

Diagnosa pasien adalah penurunan kesadaran et causa suspek ensefalopati, hipokalemia dan bronkopneumonia. Pasien diberi terapi obat Ceftriaxone 2x1 gr, Ranitidine 2x20 mg, Ambroxol (10 mg) dan Sanmol (3x200 mg), keduanya 3x1 pulv dengan infus Ringer Laktat 500 cc selama 3

jam kemudian diganti dengan KAEN 3B 15 tetes/menit (tetesan makro) dan Stesolid supp 10 mg kalau perlu.

Hasil pemeriksaan laboratorium pasien An.A tanggal 21 Mei 2014 sebagai berikut :

Analisa Gas DarahpH darah : 7,377pCO2 : 33,9 L mmHgpO2 : 72,6 mmHgSaturasi O2 : 93,5 %Base Excess : - 3,7 mmol/LHCO3

- : 20,1 mmol/L

TCO2 : 21,1 mmol/LKonsentrasi O2 : 17,7 VOL %

ElektrolitNatrium : 142 mmol/LKalium : 3,0 mmol/LClorida : 103 mmol/L

Darah RutinHemoglobin : 13,2 g/dlLeukosit : 15,4 ribu/µlHematokrit : 38,6 %Trombosit : 361 ribu/µl

GDS : 250 mg/dl

Pada perawatan hari pertama tanggal 22 Mei 2014, pasien masih mengeluh hidung tersumbat, batuk berdahak, nyeri tenggorokan serta pasien muntah pada jam 06:30. Kejang dan penurunan kesadaran sudah tidak timbul lagi. Kesadaran composmentis, tekanan darah 110/70 mmHg, frekuensi nadi 96 kali per menit (reguler, kuat angkat, isi cukup), frekuensi pernafasan 22 kali per menit (reguler, adekuat), suhu 37,3o celcius (axilla). Tonsil T2-T2

hiperemis, faring hiperemis. Pada auskultasi thorax ditemukan bunyi nada dasar bronkovesikuler kasar dan ronkhi terdengar di kedua lapangan paru.

Diagnosa pasien adalah penurunan kesadaran et causa ensefalopati, bronkhitis, hipokalemia dan kejang suspek epilepsi. Terapi yang diberikan adalah diet makanan lunak, infusan KAEN 3B 15 tetes per menit (tetesan makro), Cefmaxone 2x1 gr, Ranitidine 2x20 mg, Ambroxol (10 mg) dan Sanmol (3x200 mg), keduanya 3x1 pulv. Instruksi dr. Dian adalah pasien dianjurkan melakukan pemeriksaan penunjang, yaitu Elektroensefalografi (EEG), menghitung kadar elektrolit setelah infusan KAEN 3B habis 3 kolf. Jika ditemukan kelainan

Departemen Ilmu Kesehatan AnakFakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia 3

Page 4: Case Report Word

khas pada EEG, disarankan untuk melakukan pemeriksaan CT Scan.

Pada perawatan hari kedua tanggal 23 Mei 2014, pasien masih mengeluh hidung tersumbat, batuk berdahak, nyeri tenggorokan serta sesak nafas. Kejang dan penurunan kesadaran sudah tidak timbul lagi. Kesadaran composmentis, tekanan darah 100/90 mmHg, frekuensi nadi 100 kali per menit (reguler, kuat angkat, isi cukup), frekuensi pernafasan 24 kali per menit (reguler, adekuat), suhu 36,5o celcius (axilla). Tonsil T2-T2 tenang, faring tidak hiperemis. Pada auskultasi thorax ditemukan bunyi nada dasar vesikuler, wheezing dan ronkhi tidak ada.

Diagnosa pasien adalah penurunan kesadaran et causa ensefalopati, bronkhitis, hipokalemia dan kejang suspek epilepsi. Terapi yang diberikan adalah diet makanan lunak, infusan KAEN 3B 10 tetes per menit (tetesan makro), Ceftriaxone 2x1 gr, Ranitidine 2x20 mg, Ambroxol (10 mg) dan Sanmol (3x200 mg), keduanya 3x1 pulv. Instruksi dr. Dian adalah penambahan obat Tremenza ¼ tablet dan CTM 2,5 mg tablet (3x1 pulv).

Hasil pemeriksaan laboratorium pasien An.A tanggal 23 Mei 2014 sebagai berikut :

ElektrolitNatrium : 144 mmol/LKalium : 3,4 mmol/LClorida : 107 mmol/L

Pada perawatan hari ketiga tanggal 24 Mei 2014, pasien meminta pulang sehingga ibu kandung pasien menandatangani surat keterangan pulang atas permintaan sendiri pukul 08:44.

KESIMPULAN

Pada pasien, kejang yang terjadi baru sekali seumur hidupnya, disertai kenaikan suhu yang tidak terlalu tinggi, yaitu 36,8oC. Hal ini menimbulkan banyak pemikiran mengenai diagnosis kerja An.A. Menurut WHO, dapat dikatakan epilepsi apabila sudah terjadi ≥ 2 kali, tetapi kejang baru sekali. Tidak terlihat pula perubahan prilaku pada pasien selama perawatan. Dalam Buku Konsensus Kejang Demam, dikatakan kejang demam apabila

memenuhi kriteria usia dari 6 bulan hingga 5 tahun, sedangkan usia pasien sudah lebih dari 8 tahun, suhu pasien pun saat kejang tidak memenuhi kriteria kejang demam, yaitu bangkitan kejang yang disebabkan oleh kenaikan suhu rektal > 38o

yang diakibatkan oleh proses ekstrakranial. Riwayat trauma kepala yang dialami pasien 1 bulan yang lalu juga memungkinkan adanya perdarahan intrakranial yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial secara perlahan. Terapi yang diberikan pada pasien saat kejang terbukti efektif karena kejang dapat teratasi dan kondisi pasien tetap stabil selama perawatan, karena pasien tidak mengalami kejang atau penurunan kesadaran. Selama masa perawatan, pasien hanya mengeluhkan batuk berdahak serta hidung tersumbat yang sangat mengganggu, sehingga diberikan mukolitik dan bronkodilator untuk mengurangi keluhan, tetapi hal ini tidak bisa dikatakan efektif karena sampai hari terakhir perawatan, pasien tidak mengalami perbaikan untuk keluhan tersebut.

Diagnosa akhir pasien tidak dapat dipastikan melalui anamnesis dan pemeriksaan laboratorium, dibutuhkan pemeriksaan penunjang lainnya seperti EEG, untuk melihat adanya fokus epileptogenik pada otak apabila pasien menderita epilepsi, serta pemeriksaan CT Scan untuk melihat ada tidaknya perdarahan intrakranial.

Sayangnya, hal ini tidak dapat dibuktikkan secara pasti karena pada perawatan hari ketiga tanggal 24 Mei 2014, pasien meminta pulang sehingga ibu kandung pasien menandatangani surat keterangan pulang atas permintaan sendiri pukul 08:44.

DAFTAR PUSTAKA

1. Major P, Thiele EA. Seizure in children: laboratory, diagnosis, and management. Pediatr Rev 2007; 28:405-14.

2. Media Centre: Management of Acute Convulsive Seizures and Epilepsy. World Health Organization. [Internet] 2012. [cited 26 Mei 2014]. Available from:http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs999/en/

3. I Gusti Ngurah Made Suwarna. Insidens dan Karakteristik Epilepsi pada Anak. Sari Pediatri 2011; 12:123-128

Departemen Ilmu Kesehatan AnakFakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia 4

Page 5: Case Report Word

4. National Institute for Health and Clinical Excellence (January 2012)."Chapter 1: Introduction". The Epilepsies: The diagnosis and management of the epilepsies in adults and children in primary and secondary care. National Clinical Guideline Centre. 21–28.

5. Hammer, edited by Stephen J. McPhee, Gary D. (2010). "7". Pathophysiology of disease : an introduction to clinical medicine (ed. 6th ed.). New York: McGraw-Hill Medical. 

6. Hughes, JR (August 2009). "Absence seizures: a review of recent reports with new concepts.". Epilepsi & behavior : E&B 15 (4): 404–12.

7. Bradley, Walter G. (2012). "67". Bradley's neurology in clinical practice. (ed. 6th ed.). Philadelphia, PA: Elsevier/Saunders.

8. National Institute for Health and Clinical Excellence (January 2012). "Chapter 9: Classification of seizures and epilepsy syndromes".The Epilepsies: The diagnosis and management of the epilepsies in adults and children in primary and secondary care. National Clinical Guideline Centre.119–129.

9. Engel, Jerome (2008). Epilepsi : a comprehensive textbook (ed. 2nd ed.). Philadelphia: Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins. hlm. 2797. 

10.Holmes, Thomas R. (2008). Handbook of epilepsi(ed. 4th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 34. 

11. Panayiotopoulos, CP (2010). A clinical guide to epileptic syndromes and their treatment based on the ILAE classifications and practice parameter guidelines (ed. Rev. 2nd ed.). [London]: Springer. 445

12. Larner, Andrew J. (2010). A dictionary of neurological signs (ed. 3rd ed.). New York: Springer. hlm. 348.

Departemen Ilmu Kesehatan AnakFakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia 5