Case Anestesi SC (RA)Fix

download Case Anestesi SC (RA)Fix

of 31

description

word

Transcript of Case Anestesi SC (RA)Fix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat serta karuniaNya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul Anestesi Regional pada Pasien Sectio Caesarea G2P2A0 dengan riwayat Bayi Besar. Dalam menyelesaikan laporan kasus ini, kami mendapat bantuan dan bimbingan, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :1. dr. Dublianus, Sp.An selaku kepala SMF dan sebagai pembimbing yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu dan menjalani Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi di Rumah Sakit Umum Daerah Cilegon.2. dr. Evita, SpAn dan dr. Tati, SpAn selaku pemimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi di Rumah Sakit Umum Daerah Cilegon.3. Staf dan paramedis yang bertugas di Kamar Operasi Rumah Sakit Umum Daerah Cilegon, khususnya kepada seluruh penata anestesi yang telah membantu selama kami menjalankan kepaniteraan.Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh karena kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Penulis berharap laporan khusus ini dapat memberikan manfaat yaitu menambah ilmu pengetahuan bagi seluruh pembaca, khususnya untuk mahasiswa kedokteran dan masyarakat pada umumnya.

Cilegon, Januari 2015

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR1DAFTAR ISI2BAB I PENDAHULUAN3BAB II LAPORAN KASUS42.1 IDENTITAS PASIEN42.2 ANAMNESIS42.3 PEMERIKSAAN FISIK42.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG62.5 KESAN ANESTESI62.6 PENATALAKSANAAN62.7 KESIMPULAN6BAB III LAPORAN ANESTESI73.1 PRE OPERATIF73.2 PREMEDIKASI ANESTESI73.3 TINDAKAN ANESTESI73.4 PEMANTAUAN ANESTESI8BAB IV ANALISA KASUS11BAB V TINJAUAN PUSTAKA135.1 REGIONAL ANESTESIA 135.2 PREMEDIKASI 255.2.1 ONDANSETRONE255.3 OBAT ANESTESI SPINAL265.3.1 BUPIVACAINE265.4 EFEDRINE265.5 INDUXIN275.6 POSPARGIN295. 7 TRAMADOL305.8 KETOPROFEN (PRONALGES)31BAB VI KESIMPULAN32DAFTAR PUSTAKA33

BAB IPENDAHULUAN

Ilmu Anestesi dan Reanimasi adalah cabang Ilmu Kedokteran yang mempelajari tatalaksana untuk me matikan rasa, baik rasa nyeri, takut dan rasa tidak nyaman yang lain sehingga pasien nyaman dan ilmu yang mempelajari tatalaksana untuk mempelajari tatalaksana untuk menjaga/mempertahankan hidup dan kehidupan pasien selama mengalami kematian akibat obat anesthesia.1Tindakan anestesi yang memadai, meliputi tiga komponen yaitu hipnotik (mati ingatan), analgesia (mati rasa) dan relaksasi otot rangka (mati gerak). Untuk mencapai ke tiga target tersebut, dapat digunakan hanya dengan satu jenis obat atau dengan memberikan beberapa kombinasi obat yang mempunyai efek khusus seperti tersebut di atas. Ke tiga target anesthesia tersebut popular disebut trias anesthesia.1Sectio caesarea adalah proses lahirnya janin, plasenta dan selaput ketuban melalui irisan yang dibuat pada dinding perut dan rahim. Pilihan anestesi yang digunakan biasanya adalah anestesi regional (spinal atau epidural) atau anesthesia umum melalui pipa endotrakea dan nafas kendali apabila ada permintaan khusus dari pasien. Anestesi spinal lebih disukai untuk bedah sesar dikarenakan onset cepat, teknik sederhana, relatif mudah dilakukan dan menimbulkan relaksasi otot yang sempurna dibandingkan dengan anestesi epidural, dan profil keselamatan ibu dan bayi lebih besar dibandingkan dengan anestesi umum.2

BAB IILAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIENNama: Ny. EmahUmur: 32 tahunJenis Kelamin: PerempuanAlamat: Kampung Jambu, Desa Bulukan, Kecamatan EnangkaPekerjaan: Ibu Rumah TanggaAgama: IslamStatus: KawinTanggal masuk: 21 Januari 2015

2.2 ANAMNESISAnamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 21 Januari 2015, pukul 07.15WIB di bangsal Edelweis RSUD Cilegon.Pasien merupakan pasien obsgyn dengan diagnosis G2P2A0 usia kehamilan 38 minggu, dengan riwayat Bayi Besar. Riwayat penyakit asma, penyakit jantung, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit paru, hipertensi, dan diabetes mellitus disangkal. Alergi terhadap obat-obatan maupun makanan juga disangkal. Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok dan minum minuman beralkohol. Pasien tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan tertentu maupun jamu-jamuan. Pasien mengaku tidak menggunakan gigi palsu dan tidak ada gigi pasien yang sedang goyang. Pasien tidak demam dan batuk. Pasien juga mengaku tidak pernah menjalani operasi sebelumnya.

2.3 PEMERIKSAAN FISIKDilakukan pada 21 Januari 2015 pukul 07.30 WIB.Keadaan umum: tampak sakit ringanKesadaran: compos mentisBB: 83 kgTB: 165 cmTekanan darah: 120/80Nadi: 80x/menitSuhu: 36,60 CPernapasan: 20x/menitStatus generalis: 1. Kulit: warna sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor cukup, CRT < 2 detik, teraba hangat.1. Kepala: tidak ditemukan jejas, tidak ada bekas trauma. Hidung: tidak ada polip, perdarahan, maupun deviasi septum. Mata: konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik. Mulut: jumlah gigi 32. Tidak ada kripta dan detritus. Tidak ada hipertrofi tonsil. Mandibula: tidak ada sikatrik, fraktur, maupun trismus. 1. Leher: leher panjang, tidak terdapat jejas, struma, sikatrik, mobilitas sendi-sendi servikal baik.1. Toraks: Jantung: tampak ictus cordis pada ICS V garis midklavikula sinistra. Ictus cordis teraba kuat pada ICS V garis midklavikula sinistra. Batas atas kiri: ICS II garis parasternal sinistra. Batas atas kanan: ICS II garis sernalis dekstra. Batas bawah kiri: ICS V garis midklavikula sinistra. Batas bawah kanan: ICS IV garis sternal dekstra. Auskultasi: BJ I-II regular, tidak ditemukan gallop dan murmur. Paru: dinding dada simetris statis-dinamis, tidak ada retraksi maupun ketertinggalan gerak. Vokal fremitus kanan kiri sama kuat. Sonor kedua lapang paru. Suara napas vesikuler, tidak terdengar ronkhi maupun wheezing di kedua lapang paru.1. Abdomen: perut cembung, simetris, tidak terdapat jejas, ditemukan striae, terdapat pelebaran vena.1. Ekstremitas: tidak terdapat jejas, sikatrik, sianosis, maupun edema di kedua tungkai. Turgor kulit baik, akral hangat.1. Pemeriksaan Kehamilan: bunyi jantung janin: 146x/menit, teratur. Tinggi fundus uteri: 40 cm.

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANGLab darah: Jenis PemeriksaanNilai PasienNilai normal

Gula Darah Sewaktu9570-125 mg/dL

Hemoglobin12,512-14 g/dL

Trombosit415.000150.000-450.000/L

Masa Perdarahan2 menit1-6 menit

Masa Pembekuan11 menit5-15 menit

HbsAgNegatifNegatif

Anti HIVNon reaktifNon reaktif

Golongan DarahB Rh (+)

2.5 KESAN ANESTESIPasien perempuan berusia 32 tahun G2P2A0 usia kehamilan 38 minggu dengan riwayat Bayi Besar. Klasifikasi ASA I.

2.6 PENATALAKSANAANMeliputi: 1. Intravena fluid drip RL 500 cc 20 tpm.1. Informed consent tindakan operasi section caesaria.1. Konsult ke bagian anestesi.1. Informed consent pembiusan: dilakukan operasi pembedahan Sectio Caesaria dengan regional anestesi klasifikasi ASA I.

2.7 KESIMPULANBerdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka diagnosis preoperative: G2P2A0 usia kehamilan 38 minggu dengan riwayat Bayi Besar . Status operatif ASA I. Jenis operasi section caesaria. Jenis anestesi regional anestesi (spinal anestesi).

BAB IIILAPORAN ANESTESI

3.1 PreoperatifInformed consent (+)Puasa sekitar 6-8 jamTidak terdapat gigi goyang dan pemakaian gigi palsuIV Line terpasang dengan infus RL 500 cc, mengalir lancarKeadaan umum tampak sakit ringanKesadaran compos mentisTanda vital:TD: 120/80RR: 20X/menitNadi: 80x/menitSuhu: 36,60C

3.2 Premedikasi AnestesiSebelum dilakukan tindakan anestesi diberikan Ondansentron 4 mg secara bolus IV.

3.3 Tindakan AnestesiPasien dalam posisi duduk, kepala menunduk, kemudian menentukan lokasi penyuntikkan di L3-L4, yaitu di atas titik hasil perpotongan antara garis yang menghubungkan crista iliaca dekstra dan sinistra dengan garis vertical tulang vertebra yang berpotongan di vertebral lumbal IV. Kemudian dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis dengan kassa steril dan povidon iodine. Lalu dilakukan penyuntikkan di titik L3-L4 paramediana yang sudah ditandai sebelumnya dengan menggunakan jarum spinal no. 27 G, kemudian jarum spinal dilepaskan hingga tersisa kanulnya, lalu dipastikan bahwa LCS yang berwarna jernih mengalir melalui kanul (ruang subarachnoid), kemudian obat anestesi, yaitu Bupivakain 20 mg disuntikkan dengan terlebih dahulu melakukan aspirasi untuk memastikan kanul spinal masih tetap di ruang subarachnoid. Setelah Bupivakain disuntikkan setengah volumenya kembali dilakukan tindakan aspirasi LCS untuk memastikan kanul tidak bergeser, lalu Bupivakain disuntikkan semua. Setelah itu luka bekas suntian ditutup dengan kassa steril dan micropore. Kemudian pasien dibaringkan di meja operasi.

3.4 Pemantauan Selama Tindakan AnestesiDilakukan pemantauan keadaan pasien terhadap tindakan anestesi yang telah dilakukan. Yang dipantau adalah fungsi kardiovaskular dan fungsi respirasi, serta cairan. Kardiovaskular: pemantauan terhadap tekanan darah dan frekuensi nadi setiap 5 menit Respirasi: inspeksi pernapasan spontan kepada pasen dan saturasi oksigen Cairan: monitoring input cairan infus

Lampiran Monitoring Tindakan OperasiPukulTindakanTDNadiSaturasi

13.00Pasien masuk kamar operasi, dibaringkan di meja operasi kemudian dilakukan pemasangan manset di lengan kiri atas dan pulse oxymetri di ibu jari tangan kanan. Setelah itu dilakukan spinal anestesi.136/888399

13.05Operasi dimulai127/818499

13.10113/748197

13.15Diberikan ephedrine HCl 10 mg bolus84/618398

13.20121/829198

13.25Diberikan induxin 10 IU drip dalam cairan RLDiberikan pospargin 0,2 mg bolus135/858899

13.30124/818699

13.35111/838198

13.40104/867998

13.45106/838299

13.50106/7885100

13.55105/768499

14.00Diberikan pronalges sup IDiberikan Tramadol 100 mgOperasi selesai101/738699

Laporan Anestesi1. Diagnosis Pra BedahG2P2A0 usia kehamilan 38 minggu dengan Bayi Besar1. Diagnosis Pasca BedahG2P2A0 Post Sectio Caesaria1. Penatalaksanaan PreoperasiInfus RL 500 cc1. Penatalaksaan Anestesi1. Jenis pembedahan: section caesaria1. Jenis anestesi: regional anestesi1. Teknik anestesi: sub arachnoid block, L3-L4, LCS +, jarum spinal no. 27 G1. Mulai anestesi: 13.00 WIB1. Mulai operasi: 13.05 WIB1. Premedikasi: Ondansentron 4 mg IV1. Medikasi: Bupivakain 20 mg1. Medikasi tambahan: Induxin 10 IU drip dalam 500 cc RL, pospargin 0,2 mg IV, ephedrine 10 mg IV, pronalges supp I1. Maintainance: -1. Respirasi: pernapasan spontan1. Cairan durante op: RL 500 cc1. Selesai operasi: 14.00 WIB1. Post Operatif1. Pasien masuk ke dalam ruang pemulihan kemudian dibawa kembali ke ruang rawat inap.1. Observasi tanda vital:Keadaan umum: tampak sakit ringanKesadaran: compos mentisTD: 105/75Nadi : 75x/menitSaturasi oksigen: 98%Penilaian pemulihan kesadaran

Skor AldreteVariabelSkorSkor pasien

AktivitasGerak ke-4 anggota gerak atas perintahGerak ke-2 anggota gerak atas perintahTidak merespon2101

RespirasiDapat bernapas dalam dan batukDispnoe, hipoventilasiApneu 2102

SirkulasiPerubahan 50% TD sistol preoperasi2102

KesadaranSadar penuhDapat dibangunkanTidak merespon2102

Warna kulitMerahPucatSianotik2102

Skor total9

BAB IVANALISIS KASUS

Berdasarkan anamnesis dan riwayat pasien, maka pasien dapat diklasifikasikan dengan ASA 1, yaitu pasien tanpa kelainan maupun penyakit sistemik. Persiapan yang dilakukan sebelum operasi yaitu memastikan pasien dalam keadaan sehat, memasang infus, dan dalam keadaan puasa selama 6-8 jam sebelum operasi. Menjelang operasi pasien dalam keadaan tampak sakit ringan dan kesadaran compos mentis. Jenis anestesi yang akan dilakukan adalah regional anestesi dengan teknik spinal anestesi subarachnoid block sit position. Dari anamnesis didapatkan pasien G2P2A0 usia kehamilan 38 minggu dengan riwayat Bayi Besar, tidak ada riwayat SC sebelumnya. Pasien direncanakan untuk operasi sectio caesaria.Sebelum operasi dimulai, pasien dipersiapkan terlebih dahulu dengan memastikan infus berjalan lancar agar obat-obatan yang diberikan melalui jalur intravena dapat bekerja secara efektif, lalu memasang alat-alat yang berhubungan dengan tanda vital yaitu tensimeter dan saturasi O2 agar dapat dimonitor selama operasi berlangsung, karena obat anestesi dapat memengaruhi tekanan darah dan suplai oksigen pasien. Setelah itu dipastikan bahwa pasien dalam keadaan tenang dan kooperatif.Pasien diberikan obat premedikasi yaitu Ondansetron 4 mg secara bolus IV, agar dapat mengurangi rangsang muntah pada pasien akibat obat-obat anestesi lainnya yang akan diberikan.Ondansetron adalah suatu antagonis reseptor serotonin 5-HT3 selektif. Serotonin 5-hydroxytriptamine merupakan zat yang akan dilepaskan jika terdapat toksin dalam saluran cerna, berikatan dengan reseptornya dan akan merangsang saraf vagus menyampaikan rangsangan ke CTZ (chemoreceptor trigger zone) dan pusat muntah, sehingga terjadi mual & muntah.Kemudian dilakukan anestesi terhadap pasien menggunakan obat Bupivacaine 5mg/ml, yaitu anestesi local yang bekerja memblok konduksi impuls saraf dengan meningkatkan ambang eksitasi listrik pada saraf, dengan memperlambat penyebaran impuls, juga mengurangi laju kenaikan potensial aksi. Bupivacaine mengikat bagian saluran intraseluler natrium dan memblok masuknya natrium ke dalam sel saraf sehingga mencegah depolarisasi, dengan sifat reversible. Bupivacaine memiliki onset cepat dan masa kerja panjang.Efedrin 10 mg secara bolus intravena diberikan kepada pasien karena pasien mengalami hipotensi, yang dapat terjadi akibat obat anestesi bersifat vasodilator sehingga menurunkan tekanan darah. Keadaan tersebut dapat membahayakan ibu maupun janin sehingga harus segera diatasi. Ephedrine memiliki efek vasokonstriksi pembuluh darah.Setelah bayi lahir, pasien diberikan Oxytocin 10 IU secara drip dalam ringer laktat dan Metergin 0,2 mg lewat intravena agar membantu kontraksi uterus sehingga dapat mencegah perdarahan pasca persalinan.Setelah operasi selesai, pasien diberikan tramadol 100 mg dalam ringer laktat untuk mengurangi rasa sakit pasca operasi. Pasien dipindahkan ke recovery room untuk dilakukan pemantauan sebelum dibawa kembali ke ruangan.

BAB VTINJAUAN PUSTAKA

5.1 Regional AnestesiaDalam praktek anestesi, ada tiga jenis anestesia yang diberikan pada pasien yang akan menjalani pembedahan, yaitu anestesia umum, anestesia lokal, dan anestesia regional. Anestesia regional sendiri merupakan tindakan analgesia yang dilakukan dengan cara menyuntikan obat anestika lokal pada lokasi serat saraf yang menginervasi region terntentu, yang menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat temporer. Adapun jenis-jenis anestesia regional yaitu: Blok saraf Blok fleksus brakhialis Blok spinal sub arakhnoid Blok spinal epidural Blok regional intravenaAnastesia SpinalAnastesia spinal merupakan bagian dari anastesia regional yang terdiri dari blok spinal sub arakhnoid dan blok spinal epidural. Blok spinal menghasilkan blokade sistem saraf simpatis, analgesia atau anastesia sensorik dan blokade motorik yang bergantung pada dosis, konsentrasi atau volum anastetika lokal setelah pemberian melalui jarum plana ke neuroaksial. Anastesia spinal dan epidural terkenal mampu menumpulkan tanggapan terhadap stress terhadap pembedahan, menurunkan kehilangan darah intraoperatif, menurunkan kejadian tromboemboli pascabedah dan menurunkan morbiditas dan mortalitas pada pasien-pasien yang beresiko tinggi. Kekurangan tekhnik ini terutama di periode awal penggunannya adalah risioko toksisitas kepada sel saraf dan sistemik. Seiring dengan perkembangan zaman ditemukan teknik-tekhnik dan generasi anastetika lokal baru dengan profil keamanan lebih baik disertai dengan prosedur-prosedur untuk mencegah kejadian yang membahayakan ini. Pengetahuan mengenai barisitas larutan anastetika lokal dan penerapannya dengan penambahan glukosa sehingga ketinggian blok bisa diperkirakan. Pengembangan pada teknik meliputi ukuran jarum spinal dan penggunaan kateter baik intra tekhal maupun intra epidural.3Blok spinal subarachnoidAnalgesi spinal sub arakhnoid adalah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid. Teknik ini sederhana, cukup efektif dan mudah dikerjakan.Persiapan anestesia spinal subaracknoidSebelum dilakukan anestesi perlu dipersiapkan 1. peralatan monitor (tekanan darah, nadi, oksimetri denyut dan EKG)2. peralatan resusitasi atau anestesia umum3. jarum spinal (jarum tajam atau jarum pinsil) 4. Obat anastetik lokal 5. Terpasang akses intravena untuk pemberian cairan dan obat-obatan6. Sarung tangan dan masker steril7. Perlengkapan desinfeksi, duk, dan kasa penutup steril 2,4Tata laksana anestesi spinal subarakhnoid1. Pasang peralatan monitor yang diperlukan2. Atur posisi pasien, sesuai dengan indikasi3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alcohol4. Lakukan pungsi lumbal dengan jarum spinal pada celah interspinosum L2-3, L3-4 atau L4-5 sampai keluar cairan cerebrospinal. Sebagai panduan, perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-5. Tusukan pada L1-2 atau diatasnya beresiko trauma terhadap medulla spinalis. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,23G atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan utuk jarum kecil 27G atau 29G, dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer) , yaitu jarum suntik biasa 10cc. Tusukan introducer sedalam kira-kira 2cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian masukan jarum spinal ke lubang jarum tersebut. 5. Setelah resistensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat anastetik lokal dan obat dimasukan pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.6. Tutup luka tusukan dengan kasa steril7. Atur posisi pasien sedemikian rupa agar posisi kepala sedemikian rupa agar posisi kepala dan tungkai lebih tinggi dari badan8. Nilai ketinggian blok dengan skor bromage9. Segera pantau tekanan darah dan denyut nadi.2Indikasi1. Bedah ekstremitas bawah2. Bedah panggul3. Tindakan sekitar rektum-perineum4. Bedah obstetri-ginekologi5. Badah urologi6. Bedah abdomen bawahKontra Indikasi Relatif1. Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)2. Infeksi sekitar tempat suntikan3. Kelainan neurologis4. Kelainan psikis5. Bedah yang memakan waktu yang lama6. Penyakit jantung7. Hipovolemia ringan8. Nyeri punggung kronisKontra Indikasi Absolut1. Pasien menolak2. Infeksi pada tempat suntikan3. Hipovolemia berat, syok4. Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan5. Tekanan intrakranial meninggi6. Fasilitas resusitasi minim7. Kurang pengalaman/ tanpa didampingi konsultan anestesia.2Cairan Serebrospinal (CSS) dan BarisitasCairan serebrospinalis (CSS) adalah produk ultrafiltrasi plasma yang dihasilkan oleh pleksus koroidalis lateral, ventrikel III dan ventrikel IV. Cairan ini diserap oleh vili arakhnoidea dengan kecepatan penyerapan normalnya sama dengan kecepetan produksinya,yaitu 0,35 mL/menit atau kurang lebih 500 mL/hari. Total volum cairan serebrospinalis adalah 120 sampai 150 mL, yang didistribusi merata ke kranial dan spinal. Tekanan cairan serebrospinalis normalnya pada daerah lumbal pada daerah horizontal adalah 60 sampai 80 mmH2O. Berat jenis cairan serebrospinalis ini (densitas dalam gram/mL per densitas air) adalah 1,0006 0,0003 pada suhu 37oC.Suatu larutan obat anastetik lokal disebut hiperbarik bila barisitasnya (perbandingan jenis larutan anastetika lokal dibandingkan berat jenis CSF) lebih besar dari 1,0; dan isobarik bila berat jenisnya hampir sama dengan 1,0; dan hipobarik bila kurang 1,0. Pada penggunaan klinis, larutan hiperbarik dibuat dengan menambahkan larutan dekstrosa 7,5 atau 10% dan larutan hipobarik dibuat dengan menambahkan H2O destilasi steril. Larutan hiperbarik digunakan khusus untuk injeksi intratekal atau blok subarakhnoid. Contoh larutan hiperbarik adalah Bupivacain 0,5% yang telah dikemas khusus untuk blok subarakhnoid oleh pembuatnya. Posisi pasienAda tiga posisi yang biasa digunakan pada teknik penyuntikan obat anastetika lokal pada anastesia spinal yaitu lateral dekubitus, duduk dan tengkurap. Pemilihan posisi pasien ini tergantung dari situasi dan kebutuhan dari pasien.1

Jarum spinal dan penuntun (Introduver)Jarum spinal yang baik permukaan ujungnya tertutup dan bentuknya cocok serta mudah dipindah-pindahkan posisinya. Hal ini agar saat lumbal pungsi dilakukan sel-sel epitel kulit dan bahan-bahan lain tidak masuk ke dalam ruang subarakhnoid. Dipasaran jarum spinal tersedia dalam ukuran Gauce 16-30, dan menurut jenis bentuk jarum spinal ini terdapat 5 bentuk, yaitu : standart cutting atau Quinckle needle, directional Tuohy needle; pencil-point needle, Greene, Whitacre, dan Sprotte 1

Menguji keberhasilan blokade Lima menit setelah dilakukan anastesia spinal, sebaiknya dilakukan pengujian. Pada saat ini blok sensorik dan motorik sudah tercapai. Tes blokade motorik dapat diuji dengan cara menyuruh pasien mengangkat kakinya dalam keadaan lurus. Ketidakmampuan mengangkat kaki dalam keadaan lurus merupakan tanda keberhasilan blokade motorik pada dermatom lumbalis. Sensorik lapangan operasi sebaiknya diuji dengan jarum tumpul. Jika setelah lima menit tidak ada tanda-tanda yang secara objektif menunjukan keberhasilan blokade, maka kita harus mengulangi melakukan anastesi spinal, atau tekhnik anestesia diganti menjadi anestesia umum. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran obat anastesi lokal dalam cairan serebrospinal: Umur : Pada usia tua,penyebaran obat anastesi lokal lebih ke sefalad akibat dari ruang subarachnoid dan epidural menjadi lebih kecil dan terjadi penurunan progresif jumlah cairan serebrospinal Tinggi badan: Makin tinggi pasien, makin panjang medula spinalisnya dan volum cairan serebrospinal dibawah L2 makin banyak sehingga pasien memerlukan dosis yang lebih besar daripada yang pendek Berat badan : Pada pasien gemuk terjadi penurunan volume cairan serebrospinal berhubungan dengan penumpukan lemak dalam rongga epidural sehingga mempengaruhi penyebaran obat anastesi lokal dalam ruang subarachnoid Jenis kelamin : Jenis kelamin tidak berpengaruh langsung terhadap penyebaran obat anastesia lokal dalam cairan serebrospinal Anatomi kolumna vertebralis : Lekukan kolumna vertebralis mempengaruhi penyebaran obat anastesi lokal dalam ruang subarachnoid Tempat penyuntikan : Penyuntikan obat pada ketinggian L2-3 atau L3-4 memudahkan penyebaran ke arah cranial, sedangkan penyuntikan pada L4-5 karena bentuk vertebra memudahkan obat berkumpul di daerah sacral Kecepatan penyuntikan : Makin cepat penyuntikan obat makin tinggi tingkat analgesia yang tercapai Berat jenis : Penyebaran obat hipobarik dan hiperbarik dalam cairan serebrospinal dipengaruhi oleh posisi pasien. Penyebaran obat isobarik selama dan sesudah penyuntikan tidak dipengaruhi oleh posisi pasien Konsentrasi larutan : Pada umumnya intensitas analgesia meningkat dengan bertambah pekatnya konsentrasi larutan obat anastesi lokal Manuver valsava : Mengejan akan meningkatkan tekanan cairan serebrospinalis, sehingga analgesia yang dicapai lebih tinggi,terutama bila dilakukan oleh pasien segera setelah penyuntikan obat kedalam rongga subarachnoid.1Awitan dan DurasiSebagian pasien merasakan awitan blok spinal dalam beberapa menit setelah injeksi obat. Bupivacain membutuhkan lebih dari 20 menit untuk mencapai tinggi blok puncak. Blokade spinal tidak berhenti serta merta setelah periode waktu tertentu. Blokade ini akan hilang secara bertahap mulai dari dermatom paling sefalad sampai ke paling kaudal. Anastesi spinal untuk pembedahan bertahan lebih lama di tingkat sacral dibandingkan di tingkat toraks. Durasi anastesi pada lokasi pembedahan sangat berbeda dengan durasi yang dibutuhkan blok sampai hilang sepenuhnya. Durasi pertama penting untuk mengukur anastesia pembedahan sementaran durasi kedua penting untuk mengetahui waktu pemulihan. Penentuan durasi utama ialah anastesi lokal yang digunakan seperti bupivakain adalah agen durasi yang panjang. Penentuan selanjutnya ialah dosis obat dan tinggi blokade. Dosis anastesi lokal bila ditingkatkan jumlahnya akan meningkatkan durasi blok spinal. Apabila dosis obat dibuat konstan, blok yang lebih tinggi akan beregresi lebih cepat dibandingkan blok yang lebih rendah. Larutan anastetik lokal isobarik akan menghasilkan blok lebih panjang daripada larutan hiperbarik dengan dosis yang sama. Penyebaran sefalad yang lebih jauh akan menyebabkan konsentrasi obat yang lebih rendah dalam CSS dan spinal nerve root. Hal ini menyebabkan waktu yang dibutuhkan untuk konsentrasi anastesi lokal untuk turun dibawah konsentrasi efektef minimal menjadi lebih singkat.Efek Fisiologis Anastesia RegionalPenghentian transmisi otonom eferen pada serat sarap spinal menghasilkan blockade simpatis dan beberapa serat parasimpatis. Sistem saraf simpatis keluar dari batang otak setinggi daerah thorakolumbalis, sedangkan parasimpatis keluar setinggi kraniosakral. Serat saraf preganglion simpatis keluar melalui saraf spinal dari level T1 sampai L2. Sebaliknya serat preganglion simpatis keluar dari saraf kranialis dan sakralis. Anastesia neuroaksial tidak dapat memblok saraf vagus (parasimpatis), tetapi hanya memblok simpatis dan menimbulkan respon fisiologis yang bervariasi. Penurunan aktivitas simpatis akan menyebabkan dominannya aktivitas parasimpatis. Efek pada Sistem KardiovaskularBiasanya akan terjadi penurunan tekanan darah akibat penurunan frekuensi laju jantung dan kontraktilitas miokard. Ini adalah efek yang normal terjadi akibat blok simpatis yang keluar dari T5-L1 untuk kemudian mempersarafi otot polos arteri dan vena. Blokade berkas saraf ini menyebabkan vasodilatasi pembuluh-pembuluh darah vena, penurunan pengisian darah dan penurunan venous return ke jantung. Di perifer juga akan terjadi penurunan resistensi vascular sistemik (SVR) akibat vasodilatasi arterial. Efek pada Sistem RespirasiBlok neuroaksial mempengaruhi fungsi respirasi secara minimal. Meskipun pada level blok yang tinggi volume tidal tidak berubah. Penurunan kapasitas vital hanya akan terjadi sedikit akibat lumpuhnya otot-otot abdomen kekuatan eksipirasi berkurang.

Efek pada GastrointestinalSistem saraf simpatis yang keluar dari T5-L1 mengakibatkan penurunan peristaltik, mengatur tonus sfinkter dan menyeimbangkan aktivitas vagal. Efek pada Traktus UrinariusAliran darah ginjal dipertahankan lewat mekanisme autoregulasi. Fungsi renal dipengaruhi minimal akibat blok neuroaksial. Anastesia regional pada level lumbal atau sakral akan memblok saraf simpatis dan parasimpatis yang mengatur fungsi ginjal. Kehilangan kontrol otonom dari kandung kemih akan menyebabkan retensi urin sampai blokadea hilang. Efek pada Metabolik dan Sistem EndokrinTrauma pembedahan menimbulkan respons neuroendokrin, diantaranya yaitu : peningkatan hormon adenokortikotropin, kortisol, epinefrin, norepinefrin dan vasopressin lainnya serta aktivasi sisten rennin-angiotensin-aldosteron. Manifestasi klinis intraoperatif dan postoperatif termasuk hipertensi, takikardia, hiperglikemia, katabolisme protein, penekanan respons imun dan perubahan fungsi renal. Blok neuroaksial mendepresi sebagian (selama pembedahan mayor) respon stress ini. Mekanisme kerja anastetika lokalObat anastesi lokal secara reversible akan memblok konduksi potensial aksi. Tempat kerja anastetika lokal adalah di intraseluler. Anastetika lokal harus berdifusi terlebih dahulu melalui membrane saraf yang lipofilik. Anastetika lokal biasanya berada dalam sediaan yang asam sehingga menyebabkan sebagian besar obat berada dalam keadaan terionisasi yang bersifat lipofobik. Oleh karenanya obat harus dikonversikan dahulu menjadi bentuk tidak terionisasi dalam yang cukup untuk bisa masuk melalui membrane saraf. Hal ini bergantung pada pKa obat anstetika lokal tersebut dan pH jaringan. Begitu berada dalam sel, pH yang rendah akan mengkonversikan kembali obat tersebut menjadi bentuk yang terionisasi, yang kemudian akan memblok kanal natrium. Kanal natrium yang terblok akan menghalani influks natrium dan karenanya depolarisasi akan melambat. Bila sejumlah kanal natrium telah terblok, ambang potensial aksi tidak akan tercapai dan potensial aksi tidak akan terjadi, tanpa mempengaruhi baik potensial membran saraf (yang besarnya tidak bergantung pada kanal natrium voltage gated) maupun besarnya threshold potensial aksi sendiri.Obat anastetika lokal memiliki afinitas berbeda dengan tempat terikatnya, bergantung pada keadaan kanal natrium, sesuai dengan keadaaan siklus potensial aksi. Afinitias terbesar bila kanal dalam keadaan terbuka (aktif atau inaktif) dan kurang bila kanal dalam keadaan tertutup (deaktif atau istirahat). Semakin besar frekuensi stimulus semakin banyak kanal natrium dalam keadaan terbuka, sehingga semakin banyak obat anastetika lokal yang dapat diikat. Keadaan ini menenunjukan bahwa akses anastetika lokal terhadap tempat terikatnya berbeda-beda, bergantung pada frekuensi stimuli saraf yang disebut sebagai state dependent block. Sampai saat ini belum ditemukan cara untuk memanfaatkan hal ini untuk mempengaruhi kualitas anastetik blok lokal.Selain keadaan kanal natrium, obat-obatan anastetika lokal sendiri memiliki perbedaan sifat dalam berikatan dengan kanal natrium. Bupivakain berdisosiasi lebih lambat dibandingkan dengan lidokain. Perbedaan ini tidak begitu bermakna mempengaruhi kondisi saraf akan tetapi sangat berperan dalam hal toksisitas kardiak. Konduksi impuls kardiak dimediasi oleh kanal natrium voltage gated. Bupivakain berdisosiasi lebih lambat sehingga blok yang bergantung pada frekuensi akan lebih nyata. Dapat terjadi perlambatan konduksi kardiak dan aritmia yang mematikan akibat bupivakain. 1Komplikasi HipotensiHipotensi terjadi pada 8,2-33 % pasien akibat anastesia spinal, namun sebesar 81 % mengalami episode hipotensi ketika hambatan sensorik melebihi T5. Anastesia spinal menyebabkan hambatan simpatis yang menyebabkan dilatasi arterial dan bendungan vena (penurunan tahanan vascular sistemik) dan hipotensi. Bendungan di vena menyebabkan penurunan aliran balik ke jantung, penurunan curah jantung menyebabkan hipotensi. Faktor-faktor yang mempengaruhi derajat penurunan tekanan darah adalah usia dan keadaan fungsi jantung pasien, volum intravascular, dan ketinggian hambatan simpatis. Hipotensi ini dapat diatasi dengan memberikan bolus cairan intravena sampai 500 mL larutan kristaloid seiring dengan dilakukannya blok spinal atau dengan koloid sebelum dilakukan spinal. Jika tekanan darah tetap menurun dapat diberikan obat-obat vasopresor seperti efedrin 5-10 mg intravena. Keuntungannya selain membuat vasokonstriksi juga meningkatkan curah jantung. Usaha lainnya untuk mencegah terjadinya hipotensi adalah dengan mengelevasi kaki tapi hati-hati dengan penyebaran hiperbarik kearah cefalad yang menyebabkan level blokade yang lebih tinggi. Alternatifnya ialah dengan mengubah posisi operasi menjadi agak fleksi. BradikardiaKejadian bradikardia akibat anastesi spinal berkisar 8,9-13% namun bisa melebihi 75% jika ketinggian hambatan lebih dari T5. Jika serabut simpatis kardioakselator yang berasal dari T1-T5 dihambat maka tonus vagal parasimpatis menjadi dominan menyebabkan bradikardia ringan sampai sedang. Bradikardia dapat muncul akibat penurunan aliran balik vena atau stimulus seperti tarikan peritoneum namun pada beberapa kasus tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Faktor resiko terjadinya bradikardia adalah (laju nadi