Case Anes Laparotomi
-
Upload
hendra-sinaga -
Category
Documents
-
view
240 -
download
0
description
Transcript of Case Anes Laparotomi
LAPORAN KASUS
GENERAL ANESTESI PADA LAPAROTOMI
Pembimbing:
Dr. Ratna E. Hutapea, Sp.An
Disusun oleh:
Ayu Saraswati (0861050084)
Hendra Utomo Mudito Sinaga (0961050181)
KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI
PERIODE 5 OKTOBER – 7 NOVEMBER 2015
RUMAH SAKIT UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
BAB I
STATUS PASIEN
1.1 Identitas pasien
Nama : Ny. S
No. RM : 00 07 00 51
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 38 tahun
Agama : Islam
Suku : Jawa
Status : Menikah
Berat Badan : 54 kg
Tinggi Badan : 155cm
Golongan Darah : A
Diagnosis preoperatif : Kista Ovarium Dextra + Appendicitis Kronis
Tindakan operasi : Laparatomie eksplorasi + Appendictomie
Jenis anestesi : General Anestesi
Tanggal operasi : 16 Oktober 2015
1.2 Anamnesis
Keluhan utama
Nyeri perut kanan bawah
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 2 minggu SMRS. Nyeri
dirasakan hilang timbul tapi tidak sampai menjalar ke punggung belakang, mual (-) muntah (-),
pasien mengaku baru pertama kali merasakan keluhan seperti ini. Selama itu pasien mengaku
sering keluar darah dari kemaluan, sampai mengganti pembalut 2x sehari.
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat Operasi : disangkal
1.3 Pemeriksaan fisik
KU : tampak sakit sedang, compos mentis
Vital Sign : TD : 110/80 mmHg RR : 22x/menit
HR : 90x/menit Suhu : 370C
Airway/Respirasi : Airway clear, BND vesikuler, Rhonki -/-,
Wheezing -/-, Mallampati II, Gigi palsu (-),
Gigigoyang (-)
Sirkulasi : Akral hangat, CRT <2”, Konjungtiva anemis -/-,
BJ I & II reguler,murmur (-), gallop (+),
EKG : Sinus Rhythm
Foto Thorax : Dalam batas normal
Saraf : GCS E4M6V5, Kesadaran kompos mentis,
Pupil isokor 3mm/3mm, Refleks cahaya +/+
GIT : Mual (-), Muntah (-), Maag disangkal, BAB tidak
ada keluhan
Renal : BAK tidak ada keluhan, Nyeri ketok CVA -/-
Metabolik : DM disangkal
Hati : Ikterik, Hepatitis disangkal
1.4 Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
Hb : 10,7 g/dl
Leukosit : 4,9 ribu/ul
Hematokrit : 33,1 %
Trombosit : 447 ribu/ul
Masa perdarahan : 2 menit
Masa pembekuan : 15 menit
Ureum : 17 mg/dl
Creatinin : 0,83 mg/dl
GDS : 111 mg/dl
Natrium : 143 mmoL
Kalium : 4,1 mmoL
Clorida : 109 mmoL
1.5 Status ASA : 1
1.6 TatalaksanaAnestesi
1. Persiapan Pre-operasi
Cek surat persetujuan operasi dan anestesi
O2 3 lpm
N2O 2 lpm
Isofluranse 2 vol%
IVFD 1 line : RL (total cairan masuk 100 ml)
Premedikasi:
Dormicum 3 mg
Fentanyl 100 mcg
2. Di kamar operasi
Scope : Stetoskop, Laringoskop
Tubes : ETT (cuffed) size 7 kink, fix di tepi bibir
Airway : Intubasi
Tape : Plester untuk fiksasi
Introducer : Untuk memandu agar pipa ETT mudah
dimasukkan
Connector : Penyambung antara ETT dan alat anestesi
Suction : Memastikan tidak ada kerusakan pada alat
suction
3. Medikasi
Propofol 80 mg
Fentanyl 25 mcg
Ecron 5 mg
Asam tranexamat 500 mg
Ondansetron 4 mg
Tramadol 100 mg
4. Langkah Tindakan Anestesi
Persiapan alat :
a. Menyiapkan meja operasi dan aksesorisnya
b. Menyiapkan mesin dan alat anestesi
c. Menyiapkan komponen STATICS
d. Menyiapkan obat-obat anestesia yang diperlukan
e. Menyiapkan obat-obat resusitasi ; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat, dll
f. Menyiapkan tiang infus, cairan infus, plester, dll
Persiapan pasien :
Jam 13.05 pasien masuk kamar operasi, manset dan monitor dipasang
Jam 13.15 mulai dilakukan anestesi umum dengan prosedur sebagai berikut :
- Pasien berbaring posisi supine, monitor dipasang.
- Oksigen 3 lpm mulai dialirkan ke hidung pasien.
- Dilakukan premedikasi anestesi dengan pemberian dormikum 3 mg, fentanyl
100 mcg.
- Dilakukan induksi anestesi dengan propofol 80mg intravena.
- Periksa refleks bulu mata pasien untuk mengecek kesadaran pasien, pasang
guedel setelah pasien dipastikan tidak sadar.
- Cuff dipasang dan dilakukan bantuan nafas dengan bagging.
- Oksigen 3 lpm, N2O 2 lpm, dan isofluran 2% dialirkan melalui cuff untuk
rumatan anestesi.
- Dilakukan intubasi endotrakeal dengan ETT nomor 7.
- Pukul 13.20operasi dimulai, selama operasi dilakukan bagging.
- Monitoring terhadap tanda vital dan saturasi O2 tiap 15 menit.
- Jam 14.30 operasi selesai, pasien dipindahkan ke ruang pemulihan.
- Monitoring Selama Anestesi
Jam Tensi Nadi Sa02
13.20 120/85 75 100
13.35 105/70 80 100
13.50 100/60 80 100
14.05 90/57 60 100
14.20 100/60 58 100
5. Monitoring cairan yang masuk dan keluar
a. Cairan Masuk
i. Pre operasi : RL 100 ml
ii. Durante Operasi : RL 550 ml
b. Cairan Keluar
i. Pre Op : Urin 100 cc
ii. Durante operasi :
1. Perdarahan : ±300 cc
2. Urin : 150 ml
6. Pemeriksaan Fisik Post Operasi
B1 : Airway paten (ekstubasi), napas spontan, RR 18 x/menit, Rh (-), Wh (-)
B2 : Akral hangat, kemerahan; nadi 76 x/menit, reguler, kuat angkat; TD 115/75
mmHg; CRT< 2”; S1S2 single regular, murmur (-)
B3 : kontak (+), compos mentis
B4 : terpasang DC, urin (+) 150cc warna kuning jernih
B5 : BU (+), luka operasi bersih
B6 : mobilitas (+), mampu menggerakkan kedua ekstremitas atas, sedangkan
ekstremitas bawah masih belum bisa digerakkan , edema (-), sianosis (-), anemis(-),
ikterik (-), CRT<2detik
7. Post Operasi
Bila kesakitan à Tramadol 2-3x 100 mg i.v
Bila mual/muntah à Ondansentron 4 mg i.v
Makan/minum : Bertahap setelah sadar penuh
Infus : Sesuai dr. Januar S, SpOG
Monitor tekanan darah, frekuensi nadi dan pernafasan setiap 15 menit selama 1 jam
8. Ruang Pemulihan
Jam 14.35 : pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dalam posisi terlentang dan
diberikan O2 2 liter/menit.
Jam 16.05 : Pasien dipindah ke bangsal.
Tinjauan Pustaka
2.1 Pemilihan Teknik Anestesi
Secara umum, pemilihan teknik anestesi harus selalu memprioritaskan keamanan dan
kenyamanan pasien. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam hal ini adalah:
1. Usia pasien
Pada bayi dan anak paling baik dilakukan teknik general anestesi. Pada pasien dewasa
untuk tindakan singkat dan hanya dipermukaan dapat dilakukan teknik anestesi lokal atau
umum.
2. Status fisik pasien
a. Riwayat penyakit dan anestesi terdahulu. Penting untuk mengetahui apakah pasien
pernah menjalani suatu pembedahan dan anestesi. Apakah ada komplikasi anestesi dan
paska pembedahan yang dialami saat itu. Pertanyaan mengenai riwayat penyakit
terutama diarahkan pada ada tidaknya gejala penyakit kardiorespirasi, kebiasaan
merokok, meminum alkohol, dan obat-obatan. Harus menjadi suatu perhatian saat
pasien memakai obat pelumpuh otot nondepolarisasi bila didapati atau dicurigai adanya
penyakit neuromuskular, antaralain poliomielitis dan miastenia gravis. Sebaiknya
tindakan anestesi regional dicegah untuk pasien dengan neuropati diabetes karena
mungkin dapat memperburuk gejala yang telah ada.
b. Gangguan fungsi kardiorespirasi berat. Sedapat mungkin hindari penggunaan anestesi
umum dan sebaiknya dilakukan dengan anestesi lokal atau regional.
c. Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi, dan/atau dengan gangguan jiwa sebaiknya
dilakukan dengan anestesi umum.
d. Pasien obesitas. Bila disertai leher pendek atau besar atau sering timbul gangguan
sumbatan jalan nafas, sebaiknya dipilih teknik anestesi regional, spinal, atau anestesi
umum endotrakeal.
3. Posisi pembedahan
Posisi seperti miring, tengkurap, duduk, atau litotomi memerlukan anestesi umum
endotrakea untuk menjamin ventilasi selama pembedahan. Demikian juga dengan
pembedahan yang berlangsung lama.
4. Keterampilan dan kebutuhan dokter bedah
Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan keterampilan dan kebutuhan
dokter bedah, antara lain teknik hipotensif untuk mengurangi perdarahan, relaksasi otot
pada laparotomi, pemakaian adrenalin untuk bedah plastik, dan lain-lain.
5. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesi
Preferensi pengalaman dan keterampilan dokter anestesiologi sangat menentukan pilihan-
pilihan teknik anestesi. Sebaiknya tidak melakukan teknik anestesi tertentu bila belum ada
pengalaman dan keterampilan.
6. Keinginan pasien
Keinginan pasien untuk pilihan teknik anestesi dapat diperhatikan dan dipertimbangkan bila
keadaan pasien memang memungkinkan dan tidak membahayakan keberhasilan operasi.
7. Bahaya kebakaran dan ledakan
Pemakaian obat anestesi yang tidak terbakar dan tidak eksploratif adalah pilihan utama
pada pembedahan dengan memakai alat elektrokauter.
8. Pendidikan
Di kamar bedah rumah sakit pendidikan, operasi mungkin dapat berjalan lama karena
sering terjadi percakapan instruktor dengan residen, mahasiswa, atau perawat. Oleh sebab
itu, sebaiknya pilihan adalah anestesi umum atau bila dengan anestesi spinal atau regioal
perlu diberikan sedasi yang cukup (Latief dkk, 2009).
A. ANESTESI UMUM
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen anestesi yang ideal terdiri dari
hipnotik, analgesia dan relaksasi otot. Pada kasus ini anestesi yang digunakan adalah anestesi
umum.
Tanda-tanda klinis anestesi umum (menggunakan zat anestesi yang mudah menguap,
terutama diethyleter) menurut Guedel, dengan teknik open drop ada beberapa stadium :5
1. Stadium I: analgesia dari mulanya induksi anestesi hingga hilangnya kesadaran. Rasa
nyeri belum hilang sama sekali sehingga hanya pembedahan kecil yang dapat dilakukan
pada stadium ini. Stadium ini berakhir ditandai dengan hilangnya reflek bulu mata.
2. Stadium II :excitement, dari hilangnya kesadaran hingga mulainya respirasi teratur,
mungkin terdapat batuk, kegelisahan atau muntah.
3. Stadium III : stadium pembedahan, dari mulai respirasi teratur hingga berhentinya
respirasi. Dibagi 4 plana yaitu :
Plane 1: dari timbulnya pernafasan teratur thoracoabdominal, anak mata terfiksasi
kadang – kadang eksentrik, pupil miosis, reflek cahaya positif, lakrimasi meningkat,
reflek faring dan muntah negative, tonus otot mulai menurun.
Plane 2: ventilasi teratur, abdominothoracal, volume tidal menurun, frekuensi nafas
meningkat, anakmata terfiksasi di tengah, pupil mulai midriasis, reflek cahaya mulai
menurun dan reflek kornea negative.
Plane 3: ventilasi teratur dan sifatnya abdominal karena terjadi kelumpuhan saraf
interkostal, lakrimasi tidak ada, pupil melebar dan sentral, reflek laring dan
peritoneum negative, tonus otot makin menurun.
Plane 4: ventilasi tidak teratur dan tidak adekuat karena otot diafragma lumpuh yang
makin nyata pada akhir plana, tonus otot sangat menurun, pupil midriasis dan reflek
sfingter ani dan kelenjsar air mata negative.
4. Stadium IV : overdosis, dari timbulnya paralisis diafragma hingga cardiac arrest.
B. PERSIAPAN PRA ANESTESI
Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik
elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Kunjungan pra
anestesi pada bedah elektif dilakukan satu sampai dua hari sebelumnya, sedangkan pada kasus
bedah darurat waktu yang tersedia lebih singkat.
Tujuan pra anestesi adalah:
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, laboratorium dan pemeriksaan lain. Terdiri dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri atau dari keluarga pasien. Dengan cara ini
kita dapat mengadakan pendekatan psikologis terhadap pasien dan keluarganya.
Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan fisik dan penunjang dilakukan dengan teliti, bila ada indikasi dapat
dilakukan konsultasi dengan bidang lain seperti ahli penyakit jantung, paru, penyakit
dalam dan lain-lain.
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan fisik dan
kehendak pasien.
Macam-macam teknik anestesi :
No Teknik Resevoir Bag Valve Rebreathing Sodalime
1 Open - - - -
2 Semi Open + + - -
3 Semi Closed + + + +
4 Closed + + + +
Keterangan :
o Rebreathing (-) = CO2 langsung ke udara kamar
o Rebreathing (+) = CO2 langsung ke udara kamar dan sebagian udara ekspirasi
kembali dalam respirasi/inspirasi sesudah C02 diikat oleh soda
lime.
o Rebreathing (+) = sebagian udara ekspirasi kembali dalam respirasi / inspirasi
sesudah CO2 diikat oleh soda lime.
Open drop method: Cara ini dapat digunakan untuk anestesik yang menguap,
peralatan sangat sederhana dan tidak mahal. Zat anestetik diteteskan pada kapas yang
diletakkan di depan hidung penderita sehingga kadar yang dihisap tidak diketahui, dan
pemakaiannya boros karena zat anestetik menguap ke udara terbuka.
Semi open drop method: Hampir sama dengan open drop, hanya untuk mengurangi
terbuangnya zat anestetik digunakan masker. Karbondioksida yang dikeluarkan sering
terhisap kembali sehingga dapat terjadi hipoksia. Untuk menghindarinya dialirkan volume
fresh gas flow yang tinggi minimal 3x dari minimal volume udara semenit.
Semi closed method : Udara yang dihisap diberikan bersama oksigen murni yang
dapat ditentukan kadarnya kemudian dilewatkan pada vaporizer sehingga kadar zat anestetik
dapat ditentukan. Udara napas yang dikeluarkan akan dibuang ke udara luar.
Keuntungannya dalamnya anestesi dapat diatur dengan memberikan kadar tertentu dari zat
anestetik, dan hipoksia dapat dihindari dengan memberikan volume fresh gas flow kurang
dari 100% kebutuhan.
Closed method: Cara ini hampir sama seperti semi closed hanya udara ekspirasi
dialirkan melalui soda lime yang dapat mengikat CO2, sehingga udara yang mengandung
anestetik dapat digunakan lagi.
Pada kasus ini dipakai semi closed anestesi karena memiliki beberapa keuntungan yaitu
:
konsentrasi inspirasi relatif konstan
konservasi panas dan uap
menurunkan polusi kamar
menurunkan resiko ledakan dengan obat yang mudah terbakar7
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society Anesthesiology).
ASA I
Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali, biokimiawi,
dan psikiatris. Angka mortalitas 2%
ASA II
Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang sebagai akibat
kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%
ASA III
Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian /live style
terbatas. Angka mortalitas 38%
ASA IV
Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak selalu sembuh
dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka mortalitas
68%
ASA V
Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir tak ada harapan.
Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka
mortalitas 98%.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda huruf
E (emergensi ), misal ASA I E, ASA II E.
C. PREMEDIKASI ANESTESI
Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya kecelakaan
dalam anestesia. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan kunjungan pasien terlebih
dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien dalam keadaan bugar. Tujuan kunjungan
praanestesi adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah
selanjutnya adalah dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesi.
Premedikasi ringan banyak digunakan terutama untuk menenangkan pasien sebagai
persiapan anestesia dan masa pulih setelah pembedahan singkat. Adapun tujuan dari
premedikasi antara lain :
1. Meredakan kecemasan dan ketakutan.
2. Memperlancar induksi anestesi.
3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus.
4. Meminimalkan jumlah obat anestetik.
5. Mengurangi mual muntah pasca bedah.
6. Menciptakan amnesia.
7. Mengurangi isi cairan lambung.
8. Mengurangi refleks yang membahayakan.
Obat premedikasi yang digunakan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing
pasien karena kebutuhan masing-masing pasien berbeda. Pemberian premedikasi secara
intramuskular dianjurkan 1 jam sebelum operasi, sedangkan untuk kasus darurat yang perlu
tindakan cepat bisa diberikan secara intravena. Adapun obat –obat yang sering digunakan
sebagai premedikasi adalah :
Narkotik analgetik, misal morfin, fentanil, pethidin.
Transquillizer yaitu dari golongan benzodiazepin, misal diazepam dan midazolam
Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital.
Antikolinergik, misal atropin dan hiosin.
Antihistamin, misal prometazine.
Antasida, misal gelusil
H2 reseptor antagonis, misal cimetidine
STADIUM ANESTESI
Tahapan dalam anestesi terdiri dari 4 stadium yaitu stadium pertama berupa analgesia sampai kehilangan
kesadaran, stadium 2 sampai respirasi teratur, stadium 3 dan stdium 4 sampai henti napas dan henti jantung.
Stadium I
Stadium I (St. Analgesia/ St. Cisorientasi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik
sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan
terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi
dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini. Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh
hilangnya reflekss bulu mata (untuk mengecek refleks tersebut bisa kita raba bulu mata).
Stadium II
Stadium II (St. Eksitasi; St. Delirium) Mulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan
pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss cahaya (+), pergerakan bola mata tidak
teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan diakhiri dengan hilangnya reflekss menelan dan
kelopak mata.
Stadium III
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan hingga hilangnya
pernapasan spontan. Stadia ini ditandai oleh hilangnya pernapasan spontan, hilangnya reflekss
kelopak mata dan dapat digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan dengan mudah.
Stadium IV
Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian akan segera diikuti
kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien meninggal. Pasien sebaiknya tidak
mencapai stadium ini karena itu berarti terjadi kedalaman anestesi yang berlebihan.
TANDA REFLEKS PADA MATA
Refleks pupil
Pada keadaan teranestesi maka refleks pupil akan miosis apabila anestesinya dangkal,
midriasis ringan menandakan anestesi reaksinya cukup dan baik/ stadium yang paling baik untuk
dilakukan pembedahan, midriasis maksimal menandakan pasien mati.
Refleks bulu mata
Refleks bulu mata sudah disinggung tadi di bagian stadium anestesi. Apabila saat dicek
refleks bulu mata (-) maka pasien tersebut sudah pada stadium 1.
Refleks kelopak mata
Pengecekan refleks kelopak mata jarang dilakukan tetapi bisa digunakan untuk
memastikan efek anestesi sudah bekerja atau belum, caranya adalah kita tarik palpebra atas ada
respon tidak, kalau tidak berarti menandakan pasien sudah masuk stadium 1 ataupun 2.
Refleks cahaya
Untuk refleks cahaya yang kita lihat adalah pupilnya, ada / tidak respon saat kita beri
rangsangan cahaya.
Obat – Obat Premedikasi
a. Narkotik Analgetik (Opioid)
Fentanil
Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 x morfin. Fentanil
merupakan opioid sintetik dari kelompok fenilpiperedin. Lebih larut dalam lemak dan lebih
mudah menembus sawar jaringan. Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten.
Sebagai suatu analgesik, fentanil 75-125 kali lebih poten dibandingkan dengan morfin.
Awitan yang cepat dan lama aksi yang singkat mencerminkan kelarutan lipid yang lebih
besar dari fentanil dibandingkan dengan morfin. Fentanil (dan opioid lain) meningkatkan aksi
anestetik lokal pada blok saraf tepi. Keadaan itu sebagian disebabkan oleh sifat anestetsi
lokal yamg lemah (dosis yang tinggi menekan hantara saraf) dan efeknya terhadap reseptor
opioid pada terminal saraf tepi. Fentanil dikombinasikan dengan droperidol untuk
menimbulkan neureptanalgesia. Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya.
Dosis 1-3 /kg BB analgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan
untuk anastesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150 mg/kg BB
digunakan untuk induksi anastesia dan pemeliharaan anastesia dengan kombinasi
bensodioazepam dan inhalasi dosis rendah, pada bedah jantung. Sediaan yang tersedia adalah
suntikan 50 mg/ml. Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya
dapat dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar gula,
katekolamin plasma, ADH, rennin, aldosteron dan kortisol.
Petidin
Petidin merupakan derivat fenil piperidin yang efek utamanya adalah depresi susunan
saraf pusat. Gejala yang timbul antara lain adalah analgesia, sedasi, euforia dan efek sentral
lainnya. Sebagai analgesia diperkirakan potensinya 80 kali morfin. Lamanya efek depresi
napas lebih pendek dibanding meperidin. Dosis tinggi menimbulkan kekakuan pada otot
lurik, ini dapat diantagonis oleh nalokson. Setelah pemberian sistemik, petidin akan
menghilangkan reflek kornea akan tetapi diameter pupil dan refleknya tidak terpengaruh.
Obat ini juga meningkatkan kepekaan alat keseimbangan sehingga dapat menimbulkan
muntah – muntah, pusing terutama pada penderita yang berobat jalan. Pada penderita rawat
baring obat ini tidak mempengaruhi sistem kardiovaskular, tetapi pada penderita berobat
jalan dapat timbul sinkop orthostatik karena terjadi hipotensi akibat vasodilatasi perifer
karena pelepasan histamin.
Petidin dimetabolisme dihati, sehingga pada penderita penyakit hati dosis harus
dikurangi. Petidin tidak mengganggu kontraksi atau involusi uterus pasca persalinan dan
tidak menambah frekuensi perdarahan pasca persalinan . Preparat oral tersedia dalam tablet
50 mg, untuk parenteral tersedia dalam bentuk ampul 50 mg per cc. Dosis dewasa adalah 50
– 100 mg, disuntikkan secara SC atau IM. Bila diberikan secara IV efek analgetiknya
tercapai dalam waktu 15 menit.
b. Antikolinergik
Sulfas Atropin
Sulfas atropin termasuk golongan anti kolinergik. Berguna mengurangi sekresi lendir
dan mengurangi efek bronkhial dan kardial yang berasal dari perangsangan parasimpatis
akibat obat anestesi atau tindakan operasi. Dalam dosis 0,5 mg, atropin merangsang N. vagus
dan bradikardi. Pada dosis lebih dari 2 mg, terjadi hambatan N. vagus dan timbul takikardi.
Pada dosis yang besar sekali, atropine menyebabkan depresi napas, eksitasi, disorientasi,
delirium, halusinasi. Pada orang muda efek samping mulut kering, gangguan miksi,
meteorisme. Pada orangtua dapat terjadi sindrom demensia. Keracunan biasanya terjadi pada
anak-anak karena salah menghitung dosis, karena itu atropin tidak dianjurkan untuk anak
dibawah 4 tahun. Sebagai antidotumnya adalah fisostigmin, fisostigmin salisilat 2-4 mg
subkutan dapat berhasil mengatasi semua gejala susunan saraf pusat.
Sediaan : dalam bentuk sulfat atropin dalam ampul 0,25 mg dan 0,50 mg.
Dosis : 0,01 mg/ kgBB dan 0,1 – 0,4 mg untuk anak – anak.
Pemberian : SC, IM, IV.
c. Benzodiazepin
Midazolam
Midazolam adalah obat induksi tidur jangka pendek untuk premedikasi, induksi dan
pemeliharaan anestesi. Dibandingkan dengan diazepam, midazolam bekerja cepat karena
transformasi metabolitnya cepat dan lama kerjanya singkat. Pada pasien orang tua dengan
perubahan organik otak atau gangguan fungsi jantung dan pernafasan, dosis harus ditentukan
secara hati-hati. Efek obat timbul dalam 2 menit setelah penyuntikan. Dosis premedikasi
dewasa 0,07-0,10 mg/kgBB, disesuaikan dengan umur dan keadaan pasien. Dosis lazim
adalah 5 mg. pada orang tua dan pasien lemah dosisnya 0,025-0,05 mg/kgBB. Efek
sampingnya terjadi perubahan tekanan darah arteri, denyut nadi dan pernafasan, umumnya
hanya sedikit.
D. INDUKSI ANESTESI
Induksi anestesia adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar,
sehingga memungkinkan dimulainya anestesia dan pembedahan. Induksi anestesia dapat
dikerjakan dengan secara intravena, inhalasi, intramuskular, atau rectal. Induksi merupakan
saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya stadium pembedahan yang selanjutnya
diteruskan dengan tahap pemeliharaan anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam
stadium anestesi setelah induksi. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia langsung
dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan pembedahan selesai.
Induksi intravena merupakan cara imduksi yang paling sering digunakan karena cepat
dan mudah. Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan 30-6- detik. Selama induksi
anestesia, pernafasan pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan
oksigen.
Obat Induksi Anestesi
a. Propofol
Propofol adalah campuran 1% obat dalam air dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil,
1,2% phosphatide telur dan 2,25% glycerol. Pemberian intravena propofol (2 mg/kg BB)
menginduksi anestesi secara cepat seperti tiopental. Setelah injeksi intravena secara cepat
disalurkan ke otak, jantung, hati, dan ginjal. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat
suntikan, tetapi jarang disertai dengan plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan
dengan infus propofol yang berkesinambungan dengan opiat, N2 dan atau anestesi inhalasi
lain.
Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% teapi efek ini lebih
disebabkan karena vasodilatsai perifer daripada penurunan curah jantung. Tekanan sismatik
kembali normal dengan intubasi trakea. Propofol tidak menimbulkan aritmia atau iskemik
otot jantung. Sesudah pemberian propofol IV terjadi depresi pernafasan sampai apnea selama
30 detik. Hal ini diperkuat dengan premediaksi dengan opiat.
Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak
dan tekanan intrakranial akan menurun. Tak jelas adanya interaksi dengan obat pelemas otot.
Keuntungan propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konfusi pasca operasi
yang minimal. Terjadi mual, muntah dan sakit kepala mirip dengan tiopental.
Obat Muscle Relaxant
a. Succynil choline
Suksinil kolin merupakan pelumpuh otot depolarisasi dengan mula kerja cepat, sekitar
1 – 2 menit dan lama kerja singkat sekitar 3 – 5 menit sehingga obat ini sering digunakan
dalam tindakan intubai trakea. Lama kerja dapat memanjang jika kadar enzim kolinesterase
berkurang, misalnya pada penyakit hati parenkimal, kakeksia, anemia dan hipoproteinemia.
Komplikasi dan efek samping dari obat ini adalah bradikardi, bradiaritma dan asistole,
takikardi dan takiaritmia, peningkatan tekanan intra okuler, hiperkalemi dan nyeri otot
fasikulasi.
Obat ini tersedia dalam flacon berisi bubuk 100mg dan 500 mg. Pengenceran dengan
garam fisiologis / aquabidest steril 5 atau 25 ml sehingga membentuk larutan 2% sebagai
pelumpuh otot jangka pendek. Dosis untuk intubasi 1 – 2 mg / kgBB/IV.
b. Atrakurium Besilat (tracrium)
Atrakurium besilat merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang mempunyai
struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman leontice leontopetaltum. Beberapa
keunggulan atrakurium dibandingkan dengan obat terdahulu antara lain adalah :
Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia unik
yang disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini tidak bergantung pada fungsi hati dan
ginjal.
Tidak mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang.
Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna
Mula dan lama kerja atrakurium bergantung pada dosis yang dipakai. Pada umumnya
mulai kerja atrakium pada dosis intubasi adalah 2-3 menit, sedang lama kerja antrakium
dengan dosis relaksasi 15-35 menit. Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan
(sesudah lama kerja obat berakhir) atau dibantu dengan pemberian antikolinesterase.
Antrakurium dapat menjadi obat terpilih untuk pasien geriatrik atau pasien dengan penyakit
jantung dan ginjal yang berat. Kemasan 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg
atrakurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung pada penyimpanan pada suhu dingin
dan perlindungan terhadap penyinaran.
Dosis intubasi : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis relaksasi otot : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis pemeliharaan : 0,1 – 0,2 mg/kgBB/ iv
Obat Analgesik
a. Ketamin
Ketamin hidroklorida adalah golongan fenil sikloheksilamin, merupakan “rapid acting
non barbiturate general anesthesia”. Ketalar sebagai nama dagang yang pertama kali
diperkenalkan oleh Domino dan Carson tahun 1965 yang digunakan sebagai anestesi umum.
Ketamin untuk induksi anastesia dapat menimbulkan takikardi, hipertensi , hipersalivasi ,
nyeri kepala, pasca anastesi dapat menimbulkan muntah-muntah, pandangan kabur dan
mimpi buruk. Ketamin juga sering menyebabkan terjadinya disorientasi, ilusi sensoris dan
persepsi dan mimpi gembira yang mengikuti anesthesia, dan sering disebut dengan
emergence phenomena. Obat ini bekerja dengan blok terhadap reseptor opiat dalam otak dan
medulla spinalis yang memberikan efek analgesik, sedangkan interaksi terhadap reseptor
metilaspartat dapat menyebabkan anastesi umum dan juga efek analgesik.
Pemberian ketamin dapat dilakukan secara intravena atau intramuskular. Ketamin
bersifat larut air sehingga dapat diberikan secara IV atau IM dosis induksi adalah 1 – 2
mg/KgBB secara IV atau 5 – 10 mg/KgBB IM , untuk dosis sedatif lebih rendah yaitu 0,2
mg/KgBB dan harus dititrasi untuk mendapatkan efek yang diinginkan. Untuk pemeliharaan
dapat diberikan secara intermitten atau kontinyu. Pemberian secara intermitten diulang setiap
10 – 15 menit dengan dosis setengah dari dosis awal sampai operasi selesai. Ketamin lebih
larut dalam lemak sehingga dengan cepat akan didistribusikan ke seluruh organ. Efek muncul
dalam 30 – 60 detik setelah pemberian secara IV dengan dosis induksi, dan akan kembali
sadar setelah 15 – 20 menit. Jika diberikan secara IM maka efek baru akan muncul setelah 15
menit. Obat ini dapat menyebabkan efek samping berupa takikardi, agitasi dan perasaan
lelah, halusinasi dan mimpi buruk juga terjadi pasca operasi, pada otot dapat menimbulkan
efek mioklonus serta dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
Kontraindikasi pada pasien yang alergi dengan ketorolac trometamin, aspirin, atau obat
AINS lainnya, tukak lambung aktif, pasien dengan penyakit cerebrovaskuler, pasien dengan
riwayat penyakit asma, gangguan ginjal berat, proses persalinan , ibu menyusui, gangguan
hemostasis. Ketorolac dapat memperpanjang waktu perdarahan.
E. Intubasi Endotrakeal
Intubasi endotrakeal adalah suatu tindakan untuk memasukkan pipa khusus ke dalam
trakea, sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan. Intubasi trakea
bertujuan untuk :
1. Mempermudah pemberian anestesi.
2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas dan kelancaran pernafasan.
3. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
4. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
5. Pemakaian ventilasi yang lama.
6. Mengatasi obstruksi laring akut.
F. Rumatan Anestesi
Rumatan anestesi (maintenance) dapat dikerjakan dengan cara intravena (anestesia
intravena total), inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesia
biasanya mengacu pada trias anestesia yaitu tidur ringan (hypnosis), analgesia cukup, dan
diusahakan agar pasien selama dibedah tidak mengalami nyeri dan relaksasi otot lurik yang
cukup.
Obat Rumatan Anestesi
a. Enfluran
Enfluran berbentuk cairan, mudah menguap, tidak mudah terbakar dan berbau tidak
enak. Merupakan anestesi yang poten, mendepresi SSP menimbulkan efek hipnotik.
Resorpsinya setelah inhalasi cepat dengan waktu induksi 2-3 menit. Sebagian besar (80-90%)
diekskresikan melalui paru-paru dalam keadaan utuh dan hanya 2,5-10% diubah menjadi ion
fluorida bebas. Pada anestesi yang dalam dapat menimbulkan penurunan tekanan darah
disebabkan depresi pada miokardium. Penggunaan pada seksio caesarea cukup aman pada
konsentrasi rendah (0,5-0,8%) tanpa menimbulkan depresi pada foetus. Berhati-hati
penggunaan konsentrasi tinggi karena dapat menimbulkan relaksasi pada otot uterus yang
dapat meningkatkan pendarahan pada persalinan. Efek samping berupa hipotensi, menekan
pernapasan, aritmia, merangsang SSP, pasca anestesi dapat timbul hipoermi serta mual
muntah.
Untuk induksi, enfluran 2-4,5% dikombinasi dengan O2 atau campuran N2 O
- O2 . Untuk mempertahankan anestesi diperlukan 0,5-3 % volume.
b. Nitrous Oksida / N2O
Nitrous oksida merupakan gas yang tidak berwarna, berbau amis, dan tidak iritasi.
Mempunyai sifat analgetik kuat tapi sifat anestesinya lemah, tetapi dapat melalui stadium
induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai
relaksasi otot, oleh karena itu operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat
relaksasi otot. Gas ini memiliki efek analgesic yang baik, dengan inhalasi 20% N2O dalam
oksigen efeknya seperti 15 mg morfin. Kadar optimum untuk mendapatkan efek analgesic
maksimum ±35%. N2O diekskresi dalam bentuk utuh melalui paru-paru dan sebagian kecil
melalui kulit. Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous
Oksida mendesak oksigen dengan ruangan – ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah
dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai.
Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Perbandingan
N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40 % ; 70% : 30% atau 50% : 50%.
G. Terapi Cairan
Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk mencukupi kebutuhan cairan, elektrolit dan
darah yang hilang selama operasi dan replacement dan dapat untuk tindakan emergency
pemberian obat.
Pemberian cairan operasi dibagi :
1. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan kaena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan isi
lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif, perdarahan,
luka bakar dan lain – lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml /
kgBB / jam. Bila terjadi dehidrasi ringan 2% BB, sedang 5% BB, berat 7% BB. Setiap
kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10 – 15 %.
2. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada dewasa
untuk operasi :
a. Ringan = 4 ml / kgBB / jam
b. Sedang = 6 ml / kgBB / jam
c. Berat = 8 ml / kg BB / jam
Bila terjadi perdarahan selama operasi, dimana perdarahan kurang dari 10% EBV maka
cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume darah yang hilang.
Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma /
koloid / dekstran dengan dosis 1 – 2 kali darah yang hilang.
3. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama operasi
ditambah kebutuhan sehari – hari pasien.
H. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi yang
biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk observasi
pasien pasca operasi atau anestesi. Ruang pulih sadar adalah batu loncatan sebelum pasien
dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian
pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena
operasi atau pengaruh anestesinya.
SKOR PEMULIHAN PASCA ANESTESI
Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi terutama yang
menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan penilaian terlebih dahulu untuk
menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke ruangan atau masih perlu di observasi di
ruang
RECOVERY ROOM (RR).
A. Aldrete Score
Nilai Warna
Merah muda, 2
Pucat, 1
Sianosis, 0
Pernapasan
Dapat bernapas dalam dan batuk, 2
Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1
Apnoea atau obstruksi, 0
Sirkulasi
Tekanan darah menyimpang <20% dari normal, 2
Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal, 1
Tekanan darah menyimpang >50% dari normal, 0
Kesadaran
Sadar, siaga dan orientasi, 2
Bangun namun cepat kembali tertidur, 1
Tidak berespons, 0
Aktivitas
Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2
Dua ekstremitas dapat digerakkan,1
Tidak bergerak, 0
Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan
TEKNIK OPERASI
Menurut definisi, sebuah laparotomi eksplorasi adalah laparotomi dilakukan dengan
tujuan memperoleh informasi yang tersedia melalui metode diagnostik klinis. Hal ini biasanya
dilakukan pada pasien dengan sakit perut akut atau tidak dijelaskan, pada pasien yang telah
menderita trauma abdomen, dan kadang-kadang untuk pembuktian pada pasien dengan
keganasan.
Setelah patologi yang mendasari telah ditentukan, sebuah laparotomi eksplorasi dapat
terus sebagai prosedur terapi; kadang-kadang, hal itu dapat berfungsi sebagai sarana
mengkonfirmasikan diagnosis (seperti dalam kasus laparotomi dan biopsi untuk massa intra-
abdomen yang dianggap bisa dioperasi). Aplikasi ini berbeda dari laparotomi dilakukan untuk
pengobatan khusus, di mana rencana bedah dan mengeksekusi prosedur terapi.
Dengan meningkatnya ketersediaan modalitas pencitraan canggih dan teknik investigasi
lainnya, indikasi untuk dan ruang lingkup laparotomi eksplorasi telah menyusut dari waktu ke
waktu. Meningkatnya ketersediaan laparoskopi sebagai alat invasif minimal dari memeriksa
perut telah lebih jauh mengurangi aplikasi dari laparotomi eksplorasi. Namun demikian,
pentingnya laparotomi eksplorasi sebagai sarana yang cepat dan hemat biaya untuk mengelola
kondisi perut akut dan trauma bisa tidak ditekankan.
Terapi Cairan
a. Defisit cairan karena puasa 6 jam
2 cc x 54 kg x 6 jam = 648 cc
b. Kebutuhan cairan selama operasi besar dan karena trauma operasi selama 1 jam
= (2 cc x 54 kg x 1 jam) + (8 cc x 54 kg x 1 jam)
= 108 cc + 432 cc = 540 cc
C . PERDARAHAN YANG TERJADI = 300 CC
EBV = 70 CC X 54KG = 3500 CC
JADI KEHILANGAN DARAH = 100/3500 X 100% = 3 %
Diganti dengan cairan kristaloid 3 x 90 cc = 270 cc
d. Kebutuhan cairan total = 648 + 540 + 270 = 1458 cc
e. Cairan yang sudah diberikan :
1). Pra anestesi = 100 cc
2). Saat operasi = 550 cc
Total cairan yang masuk =650 cc
Jadi kebutuhan cairan pada pasien ini tidak terpenuhi sehingga di bangsal perlu diberikan cairan tambahan untuk memenuhi kehilangan cairan saat terjadi operasi dan mengganti kehilangan darah awal dengan pemberian cairan kristaloid.
B. PERMASALAHAN DARI SEGI BEDAH
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pembedahan. Oleh karena itu, lakukan
pembalutan dan awasi edema, kemerahan, dan nyeri pada daerah insisi.
2. Kemungkinan akan timbul nyeri post operasi. Oleh karena itu, jika terdapat nyeri post
operasi dapat dilakukan pemberian analgesik.
3. Kemungkinan perdarahan durante dan post operasi.
4. Iatrogenik (resiko kerusakan organ akibat pembedahan)
KESIMPULAN
Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada operasi
laparotomy biopsi pasien wanita, usia 38 tahun, status fisik ASA Idengan diagnosis Kista
ovarium + Appendicitis, teknik anestesi yang digunakan adalah teknik anestesi umum
pemasangan intubasi endotrakeal nomor 7,0 respirasi terkontrol.
Pemeriksaan pre anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi. Pemeriksaan
yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang
mungkin timbul sehingga komplikasi anestesi dapat diantisipasi ataupun ditekan seminimal
mungkin.
Prosedur anestesi umum pada laparotomy dalam kasus ini tidak mengalami hambatan
yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan
pasien sadar penuh, hemodinamik stabil, dan tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan
serius. Secara umum penatalaksanaan operasi dan penatalaksanaan anestesi pada kasus ini
berjalan lancar tetapiterdapat kekurangan cairan pasca operasi sehingga masih perlu pemberian
cairan dan pengawasan produksi urin di bangsal.
1. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi
Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI
2. Morgan, G. E., Mikhail, M. S., Murray, M. J. 2013. Clinical Anesthesiology. 5 th Edition.
USA: McGraw-Hill Companies, Inc.
3. Dachlan, R.,dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi FK
UI. Jakarta
4. Stanhiser,J , Moullie, B et all.2015.Surgical outcomes and cost analysis of abdominal, mini-
laparotomy, and traditional and robotic-assisted laparascopy with and without tandem mini-
laparotomy: a comparison of myomectomy techniques. Dapat di unduh dari :
http://www.fertstert.org/article/S0015-0282(15)01046-8/fulltext
5. Wang CJ et al.2002. Minilaparoscopic Cystectomy and Appendectomy in Late Second
Trimester.