Case Amy Pph

38
BAB I STATUS PASIEN A. DATA DASAR 1. Karakteristik Penderita Data Pasien Nama : Ny. K Umur : 35 tahun Alamat : Tranjang, Siman Agama : Islam Suku : Jawa Pendidikan : SD Pekerjaan : IRT Data Suami Pasien Nama : Tn. M Umur : 50 tahun Alamat : Tranjang, Siman Agama : Islam Suku : Jawa Pendidikan : SD Pekerjaan : Petani Status Perkawinan : Kawin Jumlah Perkawinan : 1 kali Umur Pertama Kawin : 15 tahun No. RM : 30xxxx Tanggal Masuk RS : 24 Desember 2013 pukul 22.45 WIB Bangsal : Melati 2. Keluhan Utama Pasien rujukan dari bidan dengan perdarahan post partum.

description

pph

Transcript of Case Amy Pph

Page 1: Case Amy Pph

BAB I

STATUS PASIEN

A. DATA DASAR

1. Karakteristik Penderita

Data Pasien

Nama : Ny. K

Umur : 35 tahun

Alamat : Tranjang, Siman

Agama : Islam

Suku : Jawa

Pendidikan : SD

Pekerjaan : IRT

Data Suami Pasien

Nama : Tn. M

Umur : 50 tahun

Alamat : Tranjang, Siman

Agama : Islam

Suku : Jawa

Pendidikan : SD

Pekerjaan : Petani

Status Perkawinan : Kawin

Jumlah Perkawinan : 1 kali

Umur Pertama Kawin : 15 tahun

No. RM : 30xxxx

Tanggal Masuk RS : 24 Desember 2013 pukul 22.45 WIB

Bangsal : Melati

2. Keluhan Utama

Pasien rujukan dari bidan dengan perdarahan post partum.

3. Riwayat

a. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien rujukan dari bidan datang ke ruang VK Melati RSUD

Dr.Hardjono Ponorogo pada pukul 22.45, datang dengan perdarahan

pasca melahirkan. Pasien baru saja melahirkan bayi laki-laki dengan

berat badan lahir 3300 gram di bidan pada pukul 19.45.

Page 2: Case Amy Pph

b. Riwayat Obstetri

PIII A0

♂ lahir tahun 1996, spontan

♂ lahir tahun 2006, spontan

♂ lahir tahun 2013, spontan BB 3300 gram

B. PEMERIKSAAN FISIK

1. Status Generalis (24 Desember 2013)

Keadaan umun : lemah

Kesadaran : somnolen

Berat badan : -

Tinggi badan : -

Vital sign :

Tekanan darah: 60 mmHg (palpasi)

Nadi : 80 x/menit

Suhu : 36,5 0C

Respirasi : 36 x/menit

Kepala : konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)

Leher : dalam batas normal

Thorax :

Pulmo : dalam batas normal

Cor : dalam batas normal

Mammae : tidak ada kelainan

Abdomen : pemeriksaan obstetri

Ekstremitas : edema - - , akral dingin + +

- - + +

2. Pemeriksaan Obstetri

a. Pemeriksaan Luar (24 Desember 2013)

Inspeksi : dinding perut < dinding dada, striae

(-), hipervenektasi (-), sikatriks (+)

Palpasi : kontraksi uterus (-), TFU tidak teraba

Page 3: Case Amy Pph

b. Pemeriksaan Dalam : V/V = perdarahan (+++), laserasi grade II. V/U =

portio pembukaan 5 cm

C. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

HASIL RANGE

WBC 15.4 x 10^3/μl 4.0 - 10.0

Lymph# 2.5 x 10^3/μl 0.8 – 4.0

Mid# 0.7 x 10^3/μL 0.1 – 0.9

Gran# 12.2 x 10^3/μl 2.0 – 7.0

Lymph% 16.3 % 20.0 - 40.0

Mid% 4.4 % 3.0 – 9.0

Gran% 79.3 % 50.0 – 70.0

Hb 4.3 g/dL 11.0 – 16.5

RBC 1.65 x 10^6/μL 3.50 -5.50

HCT 12.8 % 37.0 – 50.0

MCV 77.8 fL 82.0 – 95.0

MCH 26.0 pg 27.0 – 31.0

MCHC 33.5 g/dL 32.0 – 36.0

RDW-CV 15.8 % 11.5 – 14.5

RDW-SD 47.8 fL 35.0 – 56.0

PLT 115 x 10^3/μL 100 – 300

MPV 7.4 fL 7.0 – 11.0

PDW 17.1 15.0 – 17.0

PCT 0.085 % 0.108 – 0.282

D. DAFTAR IDENTIFIKASI MASALAH

1. Anamnesis

- Pasien baru melahirkan ± 3 jam sebelumnya di bidan secara spontan,

dengan BB bayi yang dilahirkan 3300 gram

- Perdarahan pervaginam setelah melahirkan bayi secara spontan.

2. Pemeriksaan Fisik

Page 4: Case Amy Pph

- Pada pemeriksaan kepala didapatkan konjungtiva anemis (+/+)

- Pada inspeksi abdomen didapatkan dinding perut < dinding dada

- Pada palpasi abdomen didapatkan kontraksi uterus (-), TFU tidak

teraba

- Pemeriksaan Dalam : V/V : perdarahan (+++), laserasi grade II, portio

pembukan 5 cm

E. DIAGNOSIS

Multipara ( P3A0) dengan perdarahan postpartum

F. RENCANA TERAPI

- Rehidrasi grojog infus RL kanan-kiri

- Transfusi whole blood 6 kolf

- O2 2 L/menit

- Pasang DC

- Inj. Metergin iv

- Inj. Dopamine (dosis 2 – 20 μg/KgBB/menit)

- Inj. Furosemid

- Inf. Drip oxytosin 2 amp

- Cytotec 4 tab per rectal

- Kompresi bimanual internal/ekternal pasang tampon balon kateter

- Hysterectomy

BAB II

Page 5: Case Amy Pph

TINJAUAN PUSTAKA

A. PERDARAHAN PASCA PERSALINAN

1. Definisi

Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan masif yang berasal

dari tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir dan jaringan

sekitarnya dan merupakan salah satu penyebab kematian ibu di samping

perdarahan karena hamil ektopik dan abortus (Prawirohardjo, 2009).

Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan pervaginam 500 cc atau

lebih setelah kala III selesai (setelah plasenta lahir) (Wiknjosastro, 2000).

Perdarahan pasca persalinan ada kalanya merupakan perdarahan yang

hebat dan menakutkan sehingga dalam waktu singkat ibu jatuh ke dalam

syok, atau suatu perdarahan yang menetes perlahan-lahan tetapi terus

menerus dan ini juga berbahaya karena akhirnya jumlah perdarahan

menjadi banyak yang mengakibatkan ibu menjadi lemas dan jatuh dalam

syok (Mochtar, 1995).

2. Etiologi

Penyebab perdarahan pasca persalinan antara lain :

a. Atonia uteri (50%-60%)

Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang

menyebabkan uterus tidak mampu mnutup perdarahan terbuka dari

tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir.

b. Robekan jalan lahir (4%-5%)

Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan

trauma. Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan

traumatik akan memudahkan robekan jalan lahir dan karena itu

dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan servik

belum lengkap.

Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet, laserasi), luka episiotomy,

robekan perineum spontan derajat ringan sampai ruptur perinea

Page 6: Case Amy Pph

totalis (sfingter ani terputus), robekan pada dinding vagina, foniks

uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan uretra dan bahkan yang

terberat ruptur uteri (Prawirohardjo, 2009)

c. Retensio Plasenta (16%-17%)

Reteniso plasenta adalah keadaan dimana plasenta tertinggal dalam

uterus setengah jam setelah anak lahir. Plasenta yang sukar

dilepaskan dengan pertolongan aktif kala tiga bisa disebabkan

adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus.

Sisa plasenta bisa diduga bila kala uri berlangsung tidak lancar,

atau setelah melakukan plasenta manual atau menemukan adanya

kotiledon yang tidak lengkap pada saat pemeriksaan plasenta dan

masih ada perdarahan dari ostium uteri eksternum pada saat

kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan larir sudah terjahit

(Prawirohardjo, 2009).

d. Inversi Uterus

Inversi uterus adalah keadaan di mana lapisan dalam uterus

(endometrium) turun dan keluar lewat ostium uteri ekternum, yang

dapat bersifat inkomplit dampai komplit (Prawirohardjo, 2009).

3. Klasifikasi Perdarahan Pasca Persalinan

Klasifikasi klinis perdarahan pasca persalinan yaitu (Manuaba,

1998):

a. Perdarahan Pasca Persalinan Primer yaitu perdarahan pasca

persalinan yang terjadi dalam 24 jam pertama kelahiran. Penyebab

utama perdarahan pasca persalinan primer adalah atonia uteri,

retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dan inversio

uteri. Sering terjadi umumnya pada 2 jam pertama.

b. Perdarahan Pasca Persalinan Sekunder yaitu perdarahan pasca

persalinan yang terjadi setelah 24 jam pertama kelahiran.

Perdarahan pasca persalinan sekunder disebabkan oleh infeksi,

Page 7: Case Amy Pph

penyusutan rahim yang tidak baik, atau sisa plasenta yang

tertinggal.

4. Gejala Klinik Perdarahan Pasca Persalinan

Seorang wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak

10% dari volume total tanpa mengalami gejala-gejala klinik, gejala-gejala

baru tampak pada kehilangan darah sebanyak 20%. Gejala klinik berupa

perdarahan pervaginam yang terus menerus setelah bayi lahir. Kehilangan

banyak darah tersebut menimbulkan tanda-tanda syok yaitu penderita

pucat, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas

dingin dan lain-lain ( Wiknjosastro, 2005).

5. Diagnosis Perdarahan Pasca Persalinan

Diagnosis perdarahan pasca persalinan pada umumnya tidak sukar,

yaitu :

a. Terjadi perdarahan segera setelah bayi lahir: sebelum plasenta lahir

atau sesudah plasenta lahir.

b. Keluar pada umumnya mendadak, tanpa disadari.

c. Dapat diikuti dengan menurunnya kesadaran.

d. Dapat dikuti dengan perubahan system kardiovaskular.

Banyaknya perdarahan mempengaruhi timbul gejala penurunan

tekanan darah, nadi, nafas cepat, pucat, akral dingin,sampai terjadi syok.

Berikut langkah-langkah sistematik untuk mendiagnosa perdarahan

pasca persalinan:

a. Palpasi uterus: bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri

b. Memeriksa plasenta dan ketuban: lengkap atau tidak.

c. Eksplorasi kavum uteri: untuk mencari sisa plasenta dan ketuban,

robekan rahim, dan plasenta succenturiata.

d. Inspekulo: melihat robekan pada serviks, vagina, dan varises yang

pecah.

e. Pemeriksaan laboratorium: waktu perdarahan, hemoglobin, clot

observation test, dan lain-lain.

Diagnosis Perdarahan Postpartum (Saifuddin et al, 2006)

Page 8: Case Amy Pph

6. Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Persalinan

Penanganan pada perdarahan pasca persalinan terdapat dua agian

sebagai berikut:

Gejala dan tanda yang selalu ada Tanda dan gejala yang kadang ada

Diagnosis Kemungkinan

Uterus tidak berkontraksi dan lembek Perdarahan segera setelah anak lahir

Syok Atonia Uteri

perdarahan segera, setelah bayi lahir darah segar yang mengalir uterus kontraksi baik plasenta langkap

pucatlemahmenggigil

Laserasi Jalan Lahir

plasenta belum lahir setelah 30 menit perdarahan segera uterus kontraksi baik

tali pusat putus akibat traksi berlebihan

Inversio Uteri akibat tarikan

Perdarahan lanjutan

Retensio Plasenta

Plasenta/sebagian selaput tidak lengkap (mengandung pembuluh darah)

Perdarahan segera

Uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak berkurang

Sisa Plasenta

Uterus tidak teraba Lumen vagina terisi massa Tampak tali pusat (jika plasenta

belum lahir) Perdarahan segera Nyeri sedikit atau berat

Syok neurogenikPucat dan limbung

Inversio Uteri

Perdarahan segera ( perdarahan intraabdominal/vaginum)

Nyeri perut berat

SyokNyeri tekan perutDenyut nadi cepat

Ruptur Uteri

Page 9: Case Amy Pph

a. Suportif, yaitu perbaikan keadaan umum, penambahan cairan dan

darah serta komponen-komponennya.

b. Kausatif, yaitu dengan melakukan identifikasi penyebab perdarahan

dan usaha untuk menghentikannya.

Ada beberapa cara untuk menghentikan perdarahan yaitu:

a. Pemberian uteritonika dengan oksitosin, metal ergometrin atau

prostaglandin.

b. Hemostasis secara mekanis dengan manual plasenta, kuret sisa

plasenta, kompresi manual atau packing.

c. Pembedahan, yaitu penjahitan laserasi, ligasi pembuluh darah atau

dilakukan histerektomi.

Tujuan utama penanganan perdarahan pasca persalinan adalah:

a. Mengembalikan volume darah dan mempertahankan oksigenasi.

b. Menghentikan perdarahan dengan menangani penyebab perdarahan

pasca persalinan.

Idealnya stabilisasi dilakukan terlebih dahulu sebelum tindakan

definitif dikerjakan, tetapi hal ini terkadang tidak mungkin dikerjakan

sendiri-sendiri melainkan seringkali dikerjakan perbaikan keadaan umum

(resusitasi) sambil dilakukan tindakan untuk menghentikan perdarahan

tersebut.

Pada saat awal resusitasi cairan juga diambil sampel darahnya

untuk diperiksakan laboratorium sederhana dahulu, yaitu kadar

hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit, faal pembeku darah atau

dikerjakan pemeriksaan waktu pembekuan darah dan waktu perdarahan

secara langsung.

Page 10: Case Amy Pph

7. Prognosis

Menurut Hakimi (2010), kematian karena perdarahan pasca

persalinan akibat terus menerus terjadi perdarahan yang jumlahnya

kadang-kadang tidak menimbulkan kecurigaan. Yang menimbulkan

kematian bukanlah perdarahan yang sekaligus dalam jumlah yang banyak

Page 11: Case Amy Pph

tetapi justru perdarahan terus menerus yang terjadi sedikit demi sedikit.

Interval rata-rata antara kelahiran dan kematian adalah 5 jam 20 menit.

Kenyataan ini menunjukkan adanya cukup waktu untuk melangsungkan

terapi yang efektif jika pasiennya selalu diamati dengan seksama,

diagnosis dibuat secara dini, dan tindakan yang tepat segera dikerjakan.

B. ATONIA UTERI

1. Definisi

Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang

menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat

implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir (Prawirohardjo, 2009).

Sedangkan menurut Hakimi (2010), perdarahan pasca persalinan bisa

dikendalikan melalui kontraksi dan retraksi serat-serat miometriu. Kontraksi

dan retraksi ini menyebabkan terlipatnya pembuluh-pembuluh darah sehingga

aliran darah ke tempat plasenta menjadi terhenti. Kegagalan mekanisme akibat

gangguan fungsi miometrium dinamakan atonia uteri. Atonia uteri merupakan

penyebab tersering perdarahan pasca persalinan, sekurang-kurangnya 2/3 dari

semua perdarahan pasca persalinan disebabkan oleh atonia uteri (Depkes RI,

2007).

2. Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi terjadinya atonia uteri menurut Nelson (2006)

adalah:

a. Regangan rahim berlebihan karena kehamilan gemelli, polihidramnion,

atau anak terlalu besar (BB > 4000 gram).

b. Kehamilan lewat waktu.

c. Kelelahan karena persalinan lama atau persalinan kasep.

d. Kehamilan grande-multipara.

e. Penggunaan uterus relaxants (Magnesium Sulfat)

f. Perdarahan antepartum (Plasenta previa atau solution plasenta)

g. Riwayat perdarahan pasca persalinan.

Page 12: Case Amy Pph

h. Obesitas.

i. Umur > 35 tahun.

j. Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis, atau menderita

penyakit menahun.

k. Mioma uteri yang mengganggu kontraksi rahim.

l. Infeksi intrauterine (korioamnionitis).

m. Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya.

n. Tindakan operasu dengan anestesi terlalu dalam.

Jika seorang wanita memiliki salah satu dari kondisi-kondisi yang

berisiko ini, maka penting bagi penolong persalinan untuk mengantisipasi

kemungkinan terjadinya atonia uteri pasca persalinan. Meskipun demikian,

20% atonia uteri pasca persalinan dapat terjadi pada ibu tanpa faktor-faktor

risiko ini. Penting bagi semua penolong persalinan untuk mempersiapkan diri

dalam melakukan penatalaksanaan awal terhadap masalah yang mungkin

terjadi selama proses persalinan (Depkes RI, 2007).

3. Etiologi

a. Disfungsi uterus: atonia uteri primer merupakan disfungsi intrinsik

uterus.

b. Penatalaksanaan yang salah pada kala III. Mencoba mempercepat kala

III dengan dorongan dan pemijatan uterus sehingga mengganggu

mekanisme fisiologis pelepasan plasenta dan dapat menyebabkan

pemisahan sebagian plasenta yang mengakibatkan perdarahan.

c. Anestesi yang dalam dan lama menyebabkan terjadinya relaksasi

miometrium yang berlebihan, kegagalan kontraksi dan retraksi

menyebabkan atonia uteri dan perdarahan pasca persalinan.

d. Kerja uterus sangat kurang efektif selama kala persalinan yang

kemungkinan besar akan diikuti oleh kontraindikasi serta retraksi

miometrium jika dalam kala III.

Page 13: Case Amy Pph

e. Overdistensi uterus: uterus yang mengalami distensi secara berlebihan

akibat keadaan bayi yang besar, kehamilan kembar, polihidramnion,

cenderung mempunyai daya kontraksi yang jelek.

f. Kelemahan akibat partus lama: bukan hanya rahim yang lemah,

cenderung berkontraksi lemah setelah melahirkan, tetapi juga ibu yang

keletihan kurang bertahan terhadap kehilangan darah.

g. Grande-multipara: uterus yang lemah banyak melahirkan anak

cenderung bekerja tidak efisien dalam semua kala persalinan.

h. Mioma uteri: dapat menimbulkan perdarahan dengan mengganggu

kontraksi dan retraksi miometrium uteri.

4. Pencegahan

Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko

perdarahan pasca persalinan lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi

kebutuhan obat tersebut sebagai terapi. Manajemen aktif kala III dapat

mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan

transfusi darah (Schuurmans et al, 2000).

Manajemen aktif kala III terdiri atas intervensi yang direncanakan

untuk mempercepat pelepasan plasenta dengan meningkatkan kontraksi uterus

dan untuk mencegah perdarahan pasca persalinan dengan menghindari atonia

uteri. Atonia uteri dapat dicegah dengan manajemen aktif kala III, yaitu:

a. Memberikan oxitisin 10 IU segera setelah bahu bayi lahir.

b. Melakukan penegangan tali pusat terkendali.

c. Masase uterus segera setelah plasenta dilahirkan agar uterus tetap

berkontraksi.

5. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan bila setelah bayi lahir ternyata perdarahan masih

aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri masih

setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek. Perlu diperhatikan

bahwa pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada

Page 14: Case Amy Pph

darah sebanyak 500-1000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi

masih terperangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan dalam kalkulasi

pemberian darah pengganti (Prawirohardjo, 2009).

6. Penatalaksanaan

Menurut Kartaka yang dikutip Prawirohardjo (2009), banyaknya darah

yang hilang mempengaruhi keadaan pasien. Pasien bisa masih dalam keadaan

sadar, sedikit anemis, atau syok hipovolemik berat. Perdarahan yang lebih dari

1000 ml atau bahkan lebih dari 1500 ml (20%-25% volume darah) akan

menimbulkan gangguan vascular hingga terjadi syok hemoragik sehingga

transfusi darah diperlukan. Pada umumnya dilakukan secara simultan (bila

pasien syok) hal-hal sebagai berikut:

a. Sikap Trendelenburg, memasang venous line dan memberikan oksigen.

b. Sekaligus merangsang kontraksi uterus dengan cara:

1) Masase fundus uteri dan merangsang puting susu.

2) Pemberian obat uterotonika.

a) Oksitosin dan turunan ergot melalui suntikan secara im, iv,

atau sc.

Page 15: Case Amy Pph

b) Memberikan derivat prostaglandin F2α (carboprost

tromethamine) yang kadang memberikan efek samping berupa

diare, hipertensi, mual, muntah, febris, dan takikardi.

c) Pemberian misoprostol (800-1000 μg) per rektal.

3) Kompresi bimanual eksternal dan/atau internal.

4) Kompresi aorta abdominalis.

5) Pemasangan tampon kondom.

Page 16: Case Amy Pph

Pada tahun 2003, Sayeba Akhter dkk mengajukan alternatif

baru dengan pemasangan kondom yang diikatkan pada kateter.

Dari penelitiannya disebutkan angka keberhasilannya 100%,

kondom dapat dilepas 24-48 jam kemudian dan tidak didapatkan

komplikasi yang berat. Cara ini kemudian disebut dengan Metode

Sayeba. Cara pemasangannya adalah secara aseptic kondom yang

telah diikatkan pada kateter dimasukkan dalam kavum uteri.

Kondom diisi dengan cairan garam fisiologis sebanyak 250-500 cc

sesuai kebutuhan. Dilakukan observasi perdarahan dan pengisian

kondom dihentikan ketika perdarahan sudah berkurang. Untuk

menjaga kondom agar tetap di kavum uteri, dipasang tampon kasa

gulung di vagina.

Bila penanganan dengan tindakan non operatif tidak berhasil, baru

dilakukan penanganan secara operatif (laparotomi dengan pilihan bedah

konservatif / mempertahankan uterus atau melakukan histerektomi), yaitu

a. Laparotomi pemakaian metode B-Lynch

b. Ligasi arteri uterin, arteri hipogastrika (iliaka interna)

Bila dengan cara ini belum berhasil menghentikan perdarahan,

dilakukan:

a. Histerektomi supravaginal

b. Histerektomi total abdominal

Page 17: Case Amy Pph
Page 18: Case Amy Pph

C. SYOK HIPOVOLEMIK

1. Definisi

Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi

kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa

organ, disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat

pada perfusi yang tidak adekuat. Paling sering syok hipovolemik merupakan

akibat dari kehilangan darah yang cepat (syok kardiogenik).

2. Patofisiologi

Aliran darah kapiler pada berbagai organ dikendalikan arteriol, dan

setelah kembali ke pembuluh darah besar sebagian dikontrol oleh sistem saraf

pusat. Setidaknya 70 persen dari total volume darah berada di dalam

pembuluh darah vena, dimana pembuluh darah resisten secara pasif dikontrol

oleh faktor humoral. Pelepasan katekolamin selama perdarahan menyebabkan

secara umum penebalan pada vena, yang menyebabkan autotranfusion dari

kapasitansi reservoir. Perubahan ini diikuti dengan kompensasi peningkatan

detak jantung, resistensi sistemik dan vaskular pulmonal dan kontraktilitas

miokard. Sebagai akibatnya ada redistribusi dari curah jantung dan volume

darah selektif yang berakibat adanya vasokontriksi pembuluh darah. Hal ini

mengakibatkan penurunan perfusi pada ginjal, kulit, uterus, tetapi aliran darah

ke jantung, otak , kelenjar adrenal relative dipertahankan ( Williams, 2010 ).

Pada saat kehilangan darah melebihi 25 persen, mekanisme

kompensasi biasanya kurang adekuat untuk menjaga curah jantung dan

tekanan darah. Pada titik ini jika ada kehilangan sedikit darah saja akan

memperburuk keadaan klinis secara cepat. Meskipun ada peningkatan dari

total oxygen estraction oleh jaringan maternal, tetapi maldistribusi aliran

darah akan menyebabkan jaringan lokal hipoksia dan asidosis metabolik,

sehingga akan menyebabkan vasokontriksi, iskemik organ dan kematian sel.

3. Gambaran Klinis

Gejala-gejala klinis pada suatu perdarahan bisa belum terlihat jika

kekurangan darah kurang dari 10% dari total volume darah karena pada saat

ini masih dapat dikompensasi oleh tubuh dengan meningkatkan tahanan

Page 19: Case Amy Pph

pembuluh dan frekuensi dan kontraktilitas otot jantung. Bila perdarahan terus

berlangsung maka tubuh tidak dapat mengkompensasinya dan menimbulkan

gejala-gejala klinis. Secara umum syok hipovolemik menimbulkan gejala

peningkatan frekuensi jantung dan nadi (takikardi), pengisian nadi yang

lemah, kulit dingin dengan turgor yang jelek, ujung-ujung ekstremitas yang

dingin dan pengisian kapiler yang lambat (Guyton, 2010).

4. Klasifikasi Syok

Stadium syok dibagi berdasarkan presentase kehilangan darah, yaitu :

5. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan syok hipovolemik meliputi mengembalikan tanda-

tanda vital dan hemodinamik kepada kondisi dalam batas normal.

Selanjutnya kondisi tersebut dipertahankan dan dijaga agar tetap pada

kondisi satabil. Penatalaksanaan syok hipovolemik tersebut yang utama

terapi cairan sebagai pengganti cairan tubuh atau darah yang hilang. Jika

Page 20: Case Amy Pph

ditemukan oleh petugas dokter atau petugas medis, maka penatalaksanaan

syok harus dilakukan secara komprehensif yang meliputi penatalaksanaan

sebelum dan di tempat pelayanan kesehatan atau rumah sakit (Udeani et

al, 2013).

Penatalaksanaan sebelum di tempat pelayanan kesehatan harus

memperhatikan prinsip-prinsip tahapan resusitasi. Selanjutnya bila kondisi

jantung, jalan nafas dan respirasi dapat dipertahankan, tindakan

selanjutnya adalah adalah menghentikan trauma penyebab perdarahan

yang terjadi dan mencegah perdarahan berlanjut. Menghentikan perdarahan

sumber perdarahan dan jika memungkinkan melakukan resusitasi cairan

secepat mungkin. Selanjutnya dibawa ke tempat pelayaan kesehatan, dan

yang perlu diperhatikan juga adalah teknik mobilisai dan pemantauan

selama perjalanan. Perlu juga diperhatikan posisi pasien yang dapat

membantu mencegah kondisi syok menjadi lebih buruk, misalnya posisi

pasien trauma agar tidak memperberat trauma dan perdarahan yang

terjadi, pada wanita hamil dimiringkan kearah kiri agar kehamilannya

tidak menekan vena cava inferior yang dapat memperburuh fungsi

sirkulasi. Sedangkan saat ini posisi tredelenberg tidak dianjurkan lagi

karena justru dapat memperburuk fungsi ventilasi paru (Kolecki et al, 2013).

Pada pusat layanan kesehatan atau dapat dimulai sebelumnya

harus dilakukan pemasangan infus intravena. Cairan resusitasi yang

digunakan adalah cairan isotonik NaCl 0,9% atau ringer laktat. Pemberian

awal adalah dengan tetesan cepat sekitar 20 ml/KgBB pada anak atau

sekitar 1-2 liter pada orang dewasa. Pemberian cairan terus dilanjutkan

bersamaan dengan pemantauan tanda vital dan hemodinamiknya. Jika

terdapat perbaikan hemodinamik, maka pemberian kristaloid terus

dilanjutnya. Pemberian cairan kristaloid sekitar 5 kali lipat perkiraan

volume darah yang hilang dalam waktu satu jam, karena istribusi cairan

koloid lebih cepat berpindah dari intravaskuler ke ruang intersisial. Jika

tidak terjadi perbaikan hemodinamik maka pilihannya adalah dengan

pemberian koloid, dan dipersiapkan pemberian darah segera.

Page 21: Case Amy Pph

BAB III

PEMBAHASAN

Pasien multipara rujukan dari bidan, datang dengan perdarahan pasca

melahirkan. Pasien baru saja melahirkan bayi laki-laki dengan berat badan lahir

3300 gram di bidan kurang lebih 3 jam sebelumnya.

Riwayat menikah 20 tahun, pertama kali menikah usia 15 tahun. Anak

pertama laki-laki, lahir spontan tahun 1996, anak kedua laki-laki, lahir spontan

tahun 2006, dan anak ketiga laki-laki, lahir spontan BBL 3300 gram tahun 2013.

Keadaan umum pasien lemah, kesadaran somnolen. Vital sign didapatkan TD: 60

mmHg (palpasi), nadi 80 x/menit, pernapasan 36 x/menit. Dari pemeriksaan fisik

di bagian mata ditemukan adanya konjuntivitas anemis (+/+), dan ekstremitas

dingin. Dari pemeriksaan obstetrik didapatkan kontraksi uterus (-) dan TFU tidak

teraba. Pada pemeriksaan dalam V/U: portio pembukaan 5, V/V: perdarahan (++

+) dan laserasi grade II. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan penurunan Hb

(4.3 g/dL), hematokrit, dan sel darah merah.

Diagnosis kerja kasus ini adalah multipara dengan perdarahan pasca

persalinan. Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan masif yang berasal dari

tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir dan jaringan sekitarnya dan

merupakan salah satu penyebab kematian ibu di samping perdarahan karena hamil

ektopik dan abortus. Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan pervaginam

500 cc atau lebih setelah kala III selesai (setelah plasenta lahir).

Diagnosis perdarahan pasca persalinan dapat diketahui dari adanya

perdarahan segera setelah bayi lahir, dapat diikuti dengan penurunan kesadaran

dan perubahan system kardiovaskular, seperti penurunan tekanan darah, takikardi,

nafas cepat, pucat, akral dingin sampai terjadi syok. Langkah-langkah sistematik

untuk mendiagnosisi perdarahan pasca persalinan antara lain, palpasi uterus,

memeriksa plasenta dan ketuban, eksplorasi kavum uteri, inspekulo, dan

pemeriksaan laboratorium.

Penyebab terjadinya perdarahan pasca persalinan ada beberapa yaitu

atonia uteri, robekan jalan lahir, retensio plasenta dan inversio uterus. Atonia uteri

Page 22: Case Amy Pph

merupakan penyebab tersering perdarahan pasca persalinan. Sekurang-kurangnya

2/3 dari semua perdarahan pasca persalinan disebabkan oleh atonia uteri.

Diagnosis atonia uteri ditegakkan bila setelah bayi lahir ternyata perdarahan masih

aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri masih

setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek. Perlu diperhatikan bahwa

pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah

sebanyak 500-1000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi masih

terperangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian

darah pengganti. Banyaknya darah yang hilang mempengaruhi keadaan pasien.

Pasien bisa masih dalam keadaan sadar, sedikit anemis, atau syok hipovolemik

berat. Perdarahan yang lebih dari 1000 ml atau bahkan lebih dari 1500 ml (20%-

25% volume darah) akan menimbulkan gangguan vaskular hingga terjadi syok

hemoragik sehingga transfusi darah diperlukan.

Pada umumnya penatalaksanaan pasien yang sudah terjadi syok dilakukan

secara simultan yaitu: sikap Trandelenburg; sekaligus merangsang kontraksi

uterus dengan cara masase fundus uteri, pemberian obat uterotonika, kompresi

bimanual (KBI/KBE), kompresi aorta abdominalis, dan menggunakan tampon

kondom kateter. Bila penanganan non-operatif tidak berhasil maka baru dilakukan

tindakan operatif (laparotomi dengan mempertahankan uterus atau histerektomi).

Pada pasien ini kondisinya sudah buruk dengan Hb 4,3 g/dL, TD: 60

mmHg, kesadaran somnolen, akral dingin, pernafasan cepat. Hal ini menunjukkan

pasien sudah mengalami syok. Hal ini dikarenakan kehilangan darah dan

berkurangnya cairan di dalam tubuh pasien, sehingga akan mengganggu curah

jantung dengan mengurangi aliran balik vena ke jantung. Bila kehilangan cairan

500 mL (ringan) aktivitas respon simpatis umumnya akan cukup memadai untuk

memulihkan curah jantung dan tekanan darah hingga hampir mendekati normal,

meskipun denyut jantung masih tetap lebih cepat. Tetapi apabila kehilangan cairan

lebih berat ( > 1000 ml ) maka vasokontriksi simpatis dan vasokontriksi yang

diperantarai angiotensin II juga meningkat. Darah dipirai dari ginjal, saluran

cerna, otot dan kulit, sedangkan aliran darah menuju jantung dan otak relatif

dipertahankan. Pada pasien ini dilakukan histerektomi dengan pertimbangan

Page 23: Case Amy Pph

pasien sudah mempunyai 3 anak (multipara), kehilangan banyak darah dan cairan

dan sudah menunjukkan tanda syok, sedangkan perdarahan yang terjadi masih

berlangsung atau belum berhenti.

Page 24: Case Amy Pph

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan masif yang berasal dari

tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir dan jaringan

sekitarnya dan merupakan salah satu penyebab kematian ibu di samping

perdarahan karena hamil ektopik dan abortus. Perdarahan pasca

persalinan adalah perdarahan pervaginam 500 cc atau lebih setelah kala

III selesai (setelah plasenta lahir).

2. Etiologi perdarahan pasca persalinan yaitu atonia uteri, robekan jalan

lahir, retensio plasenta dan inversio uterus, dimana yang paling sering

menjadi penyebab perdarahan pasca persalinan adalah atonia uteri.

3. Atonia uteri diagnosisnya ditegakkan bila setelah bayi lahir ternyata

perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi

didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan

kontraksi yang lembek.

4. Perdarahan pasca persalinan dapat menyebabkan pasien syok

hipovolemik. Tanda-tandanya antara lain penurunan tekanan darah,

takikardi, pernafasan cepat, pucat, dan akral dingin.

5. Pada umumnya penatalaksanaan pasien yang sudah terjadi syok

dilakukan secara simultan yaitu: sikap Trandelenburg; sekaligus

merangsang kontraksi uterus dengan cara masase fundus uteri,

pemberian obat uterotonika, kompresi bimanual (KBI/KBE), kompresi

aorta abdominalis, dan menggunakan tampon kondom kateter. Bila

penanganan non-operatif tidak berhasil maka baru dilakukan tindakan

operatif (laparotomi dengan mempertahankan uterus atau histerektomi).

B. Saran

1. Ibu hamil sebaiknya rajin melakukan ANC.

Page 25: Case Amy Pph

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007.

Guyton A., Hall, J. 2010. Circulatory shock and physiology og its

treatment (chapter 24). Textbook of Medical Physiology. 12th ed.

Philadelphia, Pensylvania: Saunders

Hakimi, M. 2010. Ilmu kebidanan: patologi & fisiologi persalinan. Edk 1.

ANDI; YEM: Yogyakarta

Kolecki, P., Menckhoff C. R., Dire, D. J., Talavera, F., Kazzi, A. A.,

Halamka, J. D., et al. 2013. Hypovolemic shock treatment and

management.

Leveno, K. J., Cunningham, F. G., Gant, n. F., Alexander, J.

M., Bloom. S. L., Casey, B. M., Dashe, J. S., Sheffield,

J. S., Yost, n. P., 2004. Obstetri Williams. Jakarta: EGC

Mochtar, R. 1995. Perdarahan Postpartum, Sinopsis Obstetri, Jilid I Edisi

2,. Jakarta: EGC

Nelson GS, Birch C. Compression jahitans for uterine atony and

hemorrhage following Sesareaean delivery. Int J Gynecol Obstet

2006;92:248–250.

Saifuddin A. B. Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan

Neonatal, edisi ke-1. Yayasan Bina Pustaka, Jakarta 2006.

Schuurmans, et al, 2000, SOGC Clinical Practice Guidelines, Prevention

and Management of postpartum Haemorrhage, No. 88.

Udeani, J., Kaplan, L. J., Talavera, F., Sheridan, R. L., Rice, T. D., Geibel,

J. 2013. Hemorhagic Shock.

Wiknjosastro H. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo, Jakarta 2009.

Wiknjosastro H. Ilmu Bedah Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Prawiroharjo, Jakarta, 2007.