Case 1 Seorang Wanita Usia 18 Tahun Dengan Ascites Dan Dyspepsia
-
Upload
dedik-hartono-putra -
Category
Documents
-
view
181 -
download
4
Transcript of Case 1 Seorang Wanita Usia 18 Tahun Dengan Ascites Dan Dyspepsia
CASE REPORT
SEORANG WANITA 18 TAHUN DENGAN ASCITES DAN GASTRITIS
Oleh:
Budi Iswanto J 500 080 098
Pembimbing:
dr. I Wayan Mertha, Sp. PD
KEPANITERAAN KLINIK SMF/BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2012
1
CASE REPORT
SEORANG WANITA 18 TAHUN DENGAN ASCITES DAN GASTRITIS
Yang diajukan Oleh :
Budi Iswanto J 500 080 098
Tugasi ini dibuat untuk memenuhi persyaratan Program Profesi Dokter
Pada hari ......., tanggal ........ Desember 2012
Pembimbing
dr. I Wayan Mertha, Sp. PD ( )
Dipresentasikan dihadapan
dr. I Wayan Mertha, Sp. PD ( )
Disahkan Ka Profesi FK UMS
dr. Yuni Prasetyo K, M.MKes ( )
2
BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama pasien : Ny. L
Umur : 18 tahun
Jenis kelamin : perempuan
Alamat : Pacitan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status perkawinan : kawin
Agama : Islam
Suku : Jawa
Tanggal rawat di RS : 22 November 2012
Tanggal pemeriksaan : 24 November 2012
II. ANAMNESIS
Riwayat penyakit pasien diperoleh secara autoanamnesis
A. Keluhan Utama : perut membesar
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS dr.Hardjono Ponorogo dengan keluhan perut
membesar. Keluhan ini sudah dirasakan kurang lebih 3 minggu SMRS,
semakin hari dirasakan semakin membesar, untuk beraktivitas terasa berat.
Pasien juga mengeluhkan perutnya sebah setiap kali makan. Pasien tidak
mengeluhkan berat badan berkurang.
Pasien mengeluhkan ada nyeri ulu hati (+) setiap telat makan, nyeri
terasa melilit, menjalar ke dinding perut, disertai panas di ulu hati.Setelah
makan keluhan yang dirasakan ini menghilang. Keluhan ini dirasakan
kurang lebih 2 bulan SMRS. Pusing (+), mual (+), muntah (-), demam (-),
sesak (-), batuk (-), nyeri dada (-). Leher tegang (-),kedua kaki bengkak (-).
3
mengeluhkan lemas (+) sejak 3 hari SMRS, kulit kering (+), nafsu makan
menurun, minum air putih sedikit 3 gelas sehari. BAK normal, 4 x sehari
kurang lebih 2 gelas belimbing, nyeri saat BAK (-), darah (-), panas (-)
berwarna keruh (-),BAB normal, konsistensi padat warna kuning.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat Hipertensi : disangkal
2. Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
3. Riwayat Penyakit Ginjal : disangkal
4. Riwayat Penyakit Liver : disangkal
5. Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
6. Riwayat Atopi : disangkal
7. Riwayat maag : diakui
8. Riwayat Operasi : disangkal
9. Riwayat Opname : disangkal
10. Riwayat Trauma : disangkal
D. Riwayat penyakit keluarga
1. Riwayat sakit seperti pasien : disangkal
2. Riwayat alergi : diakui yaitu makanan
3. Riwayat DM : disangkal
4. Riwayat hipertensi : diakui
5. Riwayat penyakit jantung : disangkal
6. Riwayat penyakit paru : disangkal
E. Riwayat pribadi
1. Merokok : disangkal
2. Konsumsi jamu : disangkal
3. Konsumsi minuman berenergi : disangkal
4. Konsumsi alkohol : disangkal
5. Makan tidak teratur : diakui
4
6. Obat bebas : disangkal
7. Minum kopi : disangkal
8. Menstruasi : tidak teratur
9. Batuk lama : disangkal
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan umum : sedang
B. Kesadaran : compos mentis, GCS E4V5M6
C. Vital Sign
Tekanan darah : 120/80 mmHg (berbaring, pada lengan kanan)
Nadi : 92 x/menit ( isi dan tegangan cukup), irama reguler.
RR : 22 x/menit tipe thoracoabdominal
Suhu : 36.2 0C per aksiler
D. Kulit
Ikterik (-), purpura (-), acne (-), turgor cukup, hiperpigmentasi (-), bekas
garukan (-), kulit kering (-), kulit hiperemis (-)
E. Kepala
Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, mudah rontok (-), luka (-)
F. Mata
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), perdarahan subkonjungtiva
(-/-), pupil isokor dengan diameter 4 mm/4 mm, reflek cahaya (+/+)
normal, oedem palpebra (-/-), strabismus (-/-).
G. Hidung
Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)
H. Telinga
Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-)
5
I. Mulut
Sianosis (-), gusi berdarah (-), kering (-), stomatitis (-), mukosa pucat (-),
lidah tifoid (-), papil lidah atropi (-), luka pada tengah bibir (-), luka pada
sudut bibir (-).
J. Leher
Leher simetris, deviasi trakea (-), JVP R0, pembesaran kelenjar limfe (-)
K. Thorax :
a. Paru
Inspeksi : kelainan bentuk (-), gerakan pernafasan simetris
kanan kiri, retraksi intercostae (-), ketinggalan gerak (-).
Palpasi :
- Ketinggalan gerak
Depan Belakang
- - - -- - - -- - - -
- Fremitus
Depan Belakang
N N N NN N N NN N N N
Perkusi :
Depan Belakang
S S S SS S S SS S S S
S : sonor
6
Auskultasi :
- Suara dasar vesikuler
Depan Belakang
+ + + ++ + + ++ + + +
- Suara tambahan : wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
b. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : ictus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung.
- Batas kiri jantung :
▪ Atas : SIC II linea parasternalis sinistra.
▪ Bawah : SIC V linea midclavicula sinistra.
- Batas kanan jantung
▪ Atas : SIC II linea parasternalis dextra
▪ Bawah : SIC IV linea parasternalis dextra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, reguler, bising(-),
gallop (-)
L. Abdomen:
a. Inspeksi : dinding abdomen lebih tinggi dari dinding dada,
caput medusa (-), venektasi (-), distended (+).
b. Auskultasi : peristaltik (+) normal 8 x/menit, metallic sound (-).
c. Perkusi : timpani, pekak alih (+), undulasi (+), hepatomegali (-),
splenomegali (-)
d. Palpasi : hepar dan lien tidak teraba membesar, defans
muskular (-), nyeri tekan epigastrium (+).
7
e. Nyeri Tekan:
- + -
- - -
- - -
M. Pinggang : nyeri ketok kostovertebrae (-/-)
N. Ekstremitas
a. Clubing finger tidak ditemukan, palmar eritema (-)
b. Edema dan pitting edema ekstrimitas (-), akral hangat (+)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan darah rutin (tanggal 22 November 2012)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
WBC 7.8 103 uL 4.0-10.0
Lymph # 1.4 103 uL 0,8-4
Mid# 0,6 103 uL 0,1-0,9
Gran# 5,8 103 uL 2-7
Lymph% 18.0 % 20-40
Mid% 7,2 % 0.7-1.4
Gran% 74.8 % 50-70
Hb 10.8 gr/dl 11,0-16,0
Eritrosit 3.96 106 uL 3,50 – 5,50
Hematokrit 39.7 % 37-50
Indeks Eritrosit
MCV
MCH
MCHC
77.7
27.0
33.5
fl
Pg
%
82-95
27-31
32-36
8
Trombosit 374 103 uL 100-300
Gula Darah Sewaktu
75 mg/dl <140
B. Pemeriksaan laboratorium (tanggal 22 November 2012)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
DBIL 0,14 mg/dl 0-0,35
TBIL 0,57 mg/dl 0.2-1.2
SGOT 18.2 UI 0-31
SGPT 9.1 UI 0-31
ALP 152 mg/dl 98-279
Gama GT 15.8 mg/dl 8-34
TP 8,2 mg/dl 6.6-8.3
ALB 3.6 mg/dl 3.5-5.5
GLB 4,6 g/dl 2-3,9
Urea 19.27 mg/dl 10-50
Creatinin 0,77 mg/dl 0.7-1.2
UA 5.3 g/dl 2.4-5.7
Chol 153 mg/dl 140-200
TG 118 mg/dl 36-165
HDL 20 mg/dl 35-150
LDL 109 mg/dl 0-190
C. Pemeriksaan laboratorium (tanggal 26 November 2012)
9
Gambaran: ascites permagna
Hepar normal, ginjal normal
D. Pemeriksaan Patologi/ Sitologi ( 29 November 2012)
Mikroskopis :
Hapusan tampak sebaran sel radang PMN, sel mononuclear serta
bahan nekrotik. Tidak ada tanda keganasan
BTA (-)
Kesimpulan :
Ascites
FNAB : radang non spesifik
V. RESUME/ DAFTAR MASALAH (yang ditemukan positif)
10
A. Anamnesis
1. Keluhan utama perut membesar
2. Semakin hari dirasa membesar
3. Nyeri ulu hati (+), terasa melilit, disertai panas
4. Setelah makan keluhan nyeri menghilang
5. Lemas.
6. Kulit kering, nafsu makan menurun
7. Riwayat maag (+)
8. Makan tidak teratur (+)
9. Menstruasi tidak teratur (+)
B. Pemeriksaan Fisik
1. Vital Sign
Tekanan darah: 120/80 mmHg (berbaring, pada lengan kanan)
Nadi : 92 x/menit ( isi dan tegangan cukup), irama reguler.
RR : 22 x/menit tipe thoracoabdominal
Suhu : 36.2 0C per aksiler
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : distended (+)
Perkusi : pekak beralih (+), undulasi (+)
Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+)
3. Pemeriksaan Penunjang 22 November 2012
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Hb 10.8 g/dl 11-16
Lymph% 18.9 % 20-40
Gran% 74,8 % 50-70
11
Indeks Eritrosit
MCV 77.7 fl 82-95
Trombosit 374 103 uL 100-300
GDA 75 mg/dl <140
4. Pemeriksaan USG abdomen:
Ascites permagna
5. Pemeriksaan Sitologi :
Ascites
FNAB : radang non spesifik
VI. ASSESMENT/ DIAGNOSIS KERJA
1. Peritonitis TB
2. Gastritis
3. Hipoglikemia
VII. POMR (Problem Oriented Medical Record )
12
Daftar masalah Problem AssesmentPlanning Diagnosa
Plannning Terapi
Planning Monitoring
Anamnesis : perut membesar, Riwayat mens tidak teraturDistended (+), pekak alih (+), undulasi (+) USG abdomen :asites permagnaSitologi : ascites, radang non spesifik
Ascites(eksudat: Karsinoma peritoneum,Peritonitis TB, Asites biliaris,Penyakit jaringan ikat,Sindrom nefrotik Transudat : Sirosis hepatis,Gagal hati akut,Metastasis hati massif,Gagaljantung kongestif
Peritonitis TB
Analisa cairan ascitesSitologi Thorak fhoto
Inj. Farsix 1-1-0
Inj. Cefotaxim 2x1g
Diet rendah garam
Pungsi ascites
Klinis
Nyeri ulu hati, terasa melilit, panas ± 2 bulan, Setelah makan keluhan menghilang sering telat makan, mual (+)
Dyspepsia fungsional ( gastritis H.pylori, idiopatik)Dyspepsia organic (ulkus gaster, gastritis kronis)
Gastritis Endoskopi Inj. Ranitidine 2x 1 amp
Inj. Ondancentron 3x1 amp
Lansoprazol cap 30 mg 0-0-1
Antasida tab 3x1
Klinis
Lemes, nafsu makan menurun, kult kering (+), pusing (+)GDA 75
Hipoglikemia
Hipoglikemia
Infuse Pz 20 tpm drip bolus D40% 1 fl
KlinisGDA
FOLLOW UP
Tanggal 25 November 2012 Tanggal 26 November 2012
13
S: nyeri di ulu hari, kalau makan perut terasa penuh, mual(-), muntah (-), nafsu makan menurun. BAK (N), BAB (N)
O: Keadaan umum: sedangKesadaran: Compos Mentis Vital Sign:TD: 110/80 mmHgS: 36,3˚CN: 78 x/menitRR: 18x/menitAbdomen : Nyeri epigastrium, ascites (+)
A: ascites, susp. Peritonitis TB
P:Infus Rl/ D5% 20 tpmInj. Ceftriaxon 2x1 gInj.trovensis 3 x 1 ampInj.Ranitidin 2 x 1 ampInj. Alinamin F 2x1
S: nyeri di ulu hati, perut tambah terasa penuh, maual (-), muntah (-), sesak (-)
O:Keadaan umum: sedangKesadaran : Compos Mentis Vital Sign:TD: 110/70mmHgS: 36,4˚CN: 72 x/menitRR: 22x/menitAbdomen: nyeri tekan epigastrium, ascites (+)USG abdomen : Ascites permagna
A: ascites, susp. Peritonitis TB
P:infus Rl/D5% 20 tpminj. Ceftriaxon 2x1 gdrip metronidazol 2 x 500inj. Ranitidine 2x1 ampinj. Ondancentron 3x1 ampinj. Alinamin k/p
Tanggal 27 November 2012 Tanggal 28 November 2012S: nyeri ulu hati, perut tambah membesar, terasa berat untuk bernafas, mual (-), muntah (-)
O:Keadaan umum: sedang Kesadaran : compos mentisVital Sign:TD: 110/70S: 36,2˚CN: 80 x/menitRR: 20 x/menitAscites (+)Nyeri tekan epigastrium (+), nyeri tekan dinding abdomen.
S: nyeri ulu hati, tidak terasa berat saat nafas, mual (-), muntah (-), BAK dan BAB normal
O:Keadaan Umum: sedangKesadaran: Compos MentisVital Sign :TD: 110/80 mmHgS: 36,5˚CN: 80x/menitRR: 22 x/menitNyeri tekan epigastrium (+), cairan ascites warna kuning bening, darah (-), nanah(-)
14
A: susp. Peritonitis TB
P:infus Rl/D5% 20 tpminj. Ceftriaxon 2x1 gdrip metronidazol 2 x 500inj. Ranitidine 2x1 ampinj. Ondancentron 3x1 ampinj. Alinamin F 2x 1pungsi ascites
A: susp. Peritonitis TB
P:infus Rl/D5% 20 tpminj. Ceftriaxon 2x1 gdrip metronidazol 2 x 500inj. Ranitidine 2x1 ampinj. Ondancentron 3x1 ampinj. Alinamin F 2x 1thorak fhotoUSG kandungan
Tanggal 29 November 2012
S : nyeri ulu hati (-), mual (-), muntah (-), BAK kayak teh
O : keadaan umum : sedang Kesadaran compos mentis TD : 100/60 Nadi : 80 x/menit RR : 20 x/menit Suhu : 36,4o C Abdomen : supel, pekak alih (-), undulasi (-)
A : meig sindrom
P : Pelepasan pungsi asciesFarsix tab 1-0-0Ranitidin 2x1B complex tab 3x1Po : USG kandungan Fhoto thoraks
BAB II
15
TINJAUAN PUSTAKA
A. ASCITES
a.1. Definisi
Asites adalah keadaan patologis berupa terkumpulnya cairan dalam rongga
peritoneal abdomen. Asites biasanya merupakan tanda dari proses penyakit
kronis yang mungkin sebelumnya bersifat subklinis.
Secara klinis dikelompokkan menjadi eksudat dan transudat:
1. Asites eksudatif:
Biasanya terjadi pada proses peradangan (biasanya infektif, misalnya pada
tuberculosis) dan proses keganasan. Eksudat merupakan cairan tinggi protein,
tinggi LDH, ph rendah (<7,3), rendah kadar gula, disertai peningkatan sel darah
putih.
Beberapa penyebab dari asites eksudatif: keganasan (primer maupun
metastasis), infeksi (tuberkulosis maupun peritonitis bakterial spontan),
pankretitis, serositis, dan sindroma nefrotik.
2. Asites transudatif:
Terjadi pada sirosis akibat hipertensi portal dan perubahan bersihan
(clearance) natrium ginjal, juga bisa terdapat pada konstriksi perikardium dan
sindroma nefrotik. Transudat merupakan cairan dengan kadar protein rendah
(<30g/L), rendah LDH, pH tinggi, kadar gula normal, dan sel darah putih
kurang dari 1 sel per 1000 mm³.
Beberapa penyebab dari asites transudatif: sirosis hepatis, gagal jantung,
penyakit vena oklusif, perikarditis konstruktiva, dan kwasiokor.1
a.2. Patofisiologi
Ada 3 kondisi yang memungkinkan terjadinya asites, yaitu:
16
a. Hipoalbumin
b. Retensi natrium dan air,
ada tiga teori yang menyebabkan, yaitu underfill, overflow, dan
vasodilatasi perifer
c. Sintesis dan aliran limfe yang meningkat
Menurut teori underfilling asites dimulai dari volume cairan plasma yang
menurun akibat hipertensi porta dan hipoalbuminemia. Hipertensi porta akan
meningkatkan tekanan hidrostatik venosa ditambah hipoalbuminemia akan
menyebabkan transudasi, sehingga volume cairan intravascular menurun.
Akibat volume cairan intravascular menurun, ginjal akan bereaksi dengan
melakukan reabsorpsi air dan garam melalui mekanisme neurohormonal..
Teori overfilling mengatakan bahwa asites dimulai dari ekspamsi cairan
plasma akibat reabsorpsi air oleh ginjal. Gangguan fungsi itu terjadi akibat
peningkatan aktivitas hormone anti-diuretik (ADH) dan penurunan aktivitas
hormone natriuretik karena penurunan fungsi hati. Teori vasodilatas perifer
menyebutkan factor patogenesis pembentukan asites yang amat penting
adalah hipertensi portal yang sering disebut sebagai factor local dan gangguan
fungsi ginjal yang sering disebut factor sistemik. Pada karsinoma Ovari,
cairan asites diproduksi oleh ovarium yang akan mensekresikan cairan yang
dapat bersifat serous atau musin.
Akibat vasokonstriksi dan fibrotisasi sinusoid terjadi peningkatan system
portal dan terjadi hipertensi portal. Peningkatan resistensi vena porta
diimbangi dengan vasodilatasi splanchnic bed menyebabkan hipertensi portal
menjadi menetap. Hipertensi portal akan meningkatkan tekanan transudasi,
terutama di sinusoid dan selanjutnya kapiler usus. Transudat akan terkumpul
di rongga peritoneum. Vasodilator endogen yang dicurigai berperan antara
lain : glukagon , nitric oxide ( NO), calcitonine gene related peptide (CGRP),
17
endotelin, factor natriuretik atrial (ANF), polipeptida vasoaktif intestinal
(VIP), substansi P, prostaglandin, enkefalin, dan tumor necrosis factor (TNF).
Vasodilatasi endogen pada saatnya akan mempengaruhi sirkulasi arterial
sistemik; terdapat peningkatan vasodilatasi perifer sehingga terjadi proses
underfilling relative. Tubuh akan bereaksi dengan meningkatkan aktivitas
system saraf simpatik, sisten rennin-angiotensin-aldosteron dan arginin
vasopressin. Akibat selanjutnya adalah peningkatan reabsorpsi air dan garam
oleh ginjal dan peningkatan indeks jantung. 2
a.3. Gejala Klinis
Derajat Ascites dapat ditentukan secara semikuantitatif sebagai berikut :
1. Tingkatan 1 : bila terdeteksi dengan pemeriksaan fisik yang sangat
teliti.
2. Tingkatan 2 : mudah diketahui dengan pemeriksaan fisik biasa tetapi
dalam jumlah cairan yang minimal.
3. Tingkatan 3 : dapat dilihat tanpa pemeriksaan fisik khusus akan tetapi
permukaan abdomen tidak tegang.
4. Tingkatan 4 : ascites permagna.
a.3. Diagnosis
Pada inspeksi perut membuncit seperti perut katak, umbilicus seolah
bergerak ke kaudal mendekati simpisis os pubis. Pada perkusi, pekak samping
meningkat dan terjadi shifting dullness. Asites yang masih sedikit belum
menunjukan tanda-tanda fisis yang nyata. Diperlukan cara pemeriksaan
khusus misalnya dengan pudle sign untuk menentukan asites.
Pemeriksaan penunjang yang dapat memberikan informasi untuk
mendeteksi asites adalah ultrasonografi (USG), karena memiliki ketelitian
yang tinggi.
Parasentesis diagnostic sebaiknya dilakukan pada setiap pasien asites baru,
pemeriksaan cairan asites dapat memberikan informai yang amat penting
untuk mengelolaan selanjutnya, misalnya:
18
1) Gambaran makroskopis, cairan asites hemoragik sering dihubungkan
dengan keganasan. Warna kemerahan juga dijumpai pada sirosis hati
akibat rupture kapiler peritoneum.
2) Gradient nilai albumin serum dan asites (serum ascites albumin
gradient). Pemeriksaan ini sangat penting untuk membedakan asites
yang ada hubungannya dengan hipertensi porta atau asites eksudat.
Gradient dikatakan tinggi bila nilainya > 1,1 gram/dL. Kurang dari itu
dianggap rendah, gradient tinggi terdapat pada asites transudasi dan
berhubungan dengan hipertensi porta sedangkan gradient rendah lebih
sering berhubungan dengan asites eksudat.
Gradien tinggi > 1,1 mg/dL Gradien rendah < 1,1 mg/dL
Sirosis hepatis
Gagal hati akut
Metastasis hati massif
Gagal jantung kongestif
Syndrom Budd-Chiari
Penyakit veno-oklusif
Miksedema
Karsimomatosis peritoneum
Peritonitis TB
Asites surgical
Asites biliaris
Penyakit jaringan ikat
Sindrom nefrotik
Asites pankreatik
3) Hitung sel, peningkatan jumlah sel leukosit menunjukan proses
inflamasi. Untuk menilai asal inflamasi lebih tepat digunakan hitung
jenis sel. Sel PMN meningkat > 250/mm3 menunjukan peritonitis
bacterial spontan, sedang peningkatan MN lebih sering pada peritonitis
TB atau karsinomatosis.
4) Biakan kuman, dilakukan pada pasien asites yang dicurigai terinfeksi.
5) Pemeriksaan sitologi.
a.4. Penatalaksanaan Ascites
Asites dapat dikendalikan dengan terapi konservatif yang terdiri atas :
19
a. Tirah baring dapat memperbaiki efektifitas diuretika, tirah baring akan
menyebabkan aktifitas simpatis dan sistem rennin-angiotensin-
aldosteron menurun. Yang dimaksud tidah baring adalah tidur
terlentang, kaki sedikit diangkat, selama beberapa jam setelah minum
obat.
b. diet rendah garam ringan sampai sedang untuk membantu dieresis.
Konsumsi NaCl sehari dibatasi hingga 40-60 meq/hari.
c. Diuretik yang dianjurkan adalah diuretika yang bekerja sebagai
antialdosteron (spironolakton). Diuretic loop sering dibutuhkan sebagai
kombinasi. Pada sirosis hepatic kurang efektif karena mekanisme utama
reabsopsi air dan natrium.
d. Terapi parasintesis. Mengenai parasintesis cairan asites dapat dilakukan
5 10 liter / hari, dengan catatan harus dilakukan infus albumin sebanyak
6 – 8 gr/l cairan asites yang dikeluarkan. Ternyata parasintesa dapat
menurunkan masa opname pasien. Prosedur ini tidak dianjurkan pada
Child’s C, Protrombin < 40%, serum bilirubin > dari 10 mg/dl,
trombosit < 40.000/mm 3, creatinin > 3 mg/dl dan natrium urin < 10
mmol/24 jam.
e. Pengobatan terhadap penyakit yang mendasari asites. Asites sebagai
komplikasi dari penyakit yang dapat diobati, dengan menyembuhkan
penyakit yang mendasari maka asites dapat menghilang.contoh
peritoneal TB. Asites eksudat yang penyebabnya tidak dapat
disembuhkan, misalnya karsinomatosis peritoneum. 2
B. Peritonitis TBa. Definisi
20
Tuberculosis peritoneal merupakan suattu peradangan peritoneum parietal
atau visceral yang disebabkan oleh kuma Mycobacterium tuberculosis, dan
terlihat penyakit ini juga sering mengenai seluruh peritoneum, alat-alat system
gastrointestinal, mesenterium dan organ genital interna. Penyakit ini jarang
berdiri sendiri dan biasanya merupakan kelanjutan proses tuberkulosa dari
tempat lain terutama dari tuberkulosa paru, namun sering ditemukan bahawa
pada waktu diagnose ditegakkan proses tuberkulosa di paru sudah tidak
kelihatan lagi. Hal ini bisa terjadi keranan proses tuberkulosa di paru mungkin
sudah menyembuh terlebih dahulu sedangkan penyebarannya masih
berlangsung di tempat lain.3
b. Epidemiologi
Peritonitis tuberkulosis lebih sering dijumpai pada wanita dibanding pria
dengan perbandingan 1.5:1 dan lebih sering pada decade ke 3 dan 4.
Peritonitis tuberkulosis dijumpai 2% dari seluruh tuberculosis paru dan 59.8%
dari tuberculosis abdominal. Di Amerika Serikat penyakit ini adalah ke-6
terbanyak di antara penyakit TB extra-paru sedangkan penelitian lain
menemukan hanya 5-20% dari penderita tuberculosis peritoneal yang
mempunyai TB paru yang aktif. Pada saat ini dilaporkan bahawa kasus
tuberculosis peritoneal di negara maju semakin meningkat dan peningkatan ini
sesuai dengan meningkatnya insiden AIDS di negara maju.3
c. Patogenesis
Peritoneum dapat dikenai oleh tuberculosis melalui beberapa cara:
1. Melalui penyebaran hematogen terutama dari paru-paru
2. Melalui sputum TB aktif yang tertelan
3. Melalui dinding usus yang terinfeksi
4. Dari kelenjar limfe ynag terinfeksi
5. Melalui tuba falopi yang terinfeksi
Peritonitis tuberkulosa terjadi bukan sebagai akibat penyebaran
perkontinuitatum tapi sering kerana reaktifasi proses laten yang terjadi pada
21
peritoneum yang diperoleh melalui penyebaran hematogen preses primer
terdahulu ( infeksi laten “Dorman infection”). Seperti diketahui lesi
tuberkulosa biasa mengalami supressi dan menyembuh. Infeksi masih dalam
fase laten selama hidup namun infeksi tadi bisa berkembang menjadi
tuberkulosa pada setiap saat, jika organism intarselluler tadi mulai
bermutiplikasi secara cepat.4
d. Patologi
Terdapat 3 bentuk peritonitis tuberkulosa.5
Bentuk eksudatif
Bentuk ini dikenal juga sebagai bentuk yang basah atau bentuk asites yang
banyak, gejala yang menonjol adalah perut membesar dan berisi cairan
(asites). Pada bentuk ini perlengketan tidak banyak dijumpai. Tuberkel sering
dijumpai kecil-kecil berwarna putih kekuningan milier, Nampak tersebar di
peritoneum atau pada alat-alat tubuh yang berada di rongga peritoneum.
Disampaing partikel yang kecil-kecil yang dijumpai tuberkel lebih besar
sampai sebesar kacang tanah. Disekitar tuberkel terdapat reaksi jariangan
peritoneum berupa kongesti pembuluh darah. Eksudat dapat terbentuk cukup
banyak, menutupi tuberkel dan peritoneum sehingga merubah dinding perut
menjadi tegang. Cairan asites kadang-kadang bercampur darah dan kelihatan
kemerahan sehingga mencurigakan kemungkinan adanaya keganasan.
Omentum dapat terkena sehingga terjadi penebalan dan teraba seperti
benjolan tumor.
Bentuk adhesif
Disebut juga sebagai bentuk kering atau plastic dimana cairan tidak
banyak dibentuk. Pada jenis ini lebih banyak terjadi perlengketan.
Perlengketan yang luas antara usus dan peritoneum sering memberikan
gambaran seperti tumor, kadang-kadang terbentuk fistel. Hai ini disebabkan
kerna perlengketan dinding usus dan peritoneum parietal yang kemudiannya
22
timbul proses nekrosis. Bentuk ini sering menimbulkan keadaan ileus
obstruksi. Turberkel-tuberkel biasanya lebih besar.
Bentuk campuran
Bentuk ini kadang-kadang disebut juga kista, pembengkakan kista terjadi
melalui proses eksudasi bersama-sama dengan adhesi sehingga terbentuk
cairan dalam kantong-kantong perlengketan tersebut.
e. Gejala klinis
Gejala klinis bervariasi, pada umumnya keluhan dan gejala timbul
perlahan-lahan sampai berbulan-bulan, sering pendrita tidak menyadari
keadaan ini. Pada penelitian yang dilakukan di RSCM lama keluhan berkisar
dari 2 minggu s/d 2 tahun dengan rata-rata lebih dari 16 minggu. Keluhan
terjadi secara perlahan-lahan sampai berbulan-bulan disertai nyeri perut,
pembengkakan perut, disusul tidak nafsu makan, batuk dan demam. Pada tipe
plastic sakit perit lebih terasa dan muncul manifestasi seperti obstruksi.
Tabel 1. Keluhan pasien peritonitis tuberkulosis
Keluhan Sulaiman A
30 pasien
%
Sandikci
135 pasien
%
Manohar dkk
45 pasien
%
Sakit perut
Pembengkakan
perut
Batuk
Demam
Keringat malam
Anoreksia
Berat badan
menurun
Mencret
57
50
40
30
26
30
23
20
82
96
-
69
-
73
80
-
35.9
73.1
-
53.9
-
46.9
44.1
-
23
Pada pemeriksaan fisik gejala yang sering dijumpai adalah asites, demam,
pembengkakan perut, nyeri perut, pucat dan kelelahan, tergantung lamanya
keluhan. Keadaan umum pasien bisa masih cukup baik sampai keadaan kurus
dan kahexia, pada wanita sering dijumpai peritonitis tuberkulosis disertai oleh
proses tuberculosis pada ovarium atau tuba, sehingga pada alat genital bisa
ditemukan tanda-tanda peradangan yang sering sukar dibedakan dengan kista
ovari.3,4
Diagnosis
Diagnosa peritonitis tuberkulosis ditegakkan sama halnya seperti
penegakkan diagnosa penyakit-penyakit yang lain yaitu harus meliputi dari
temuan dalam anamnesa, pemeriksaan fisik, dan dibantu oleh beberapa hasil
dari pemeriksaan penunjang.
Paustian in 1964 menyatakan untuk menegakkan diagnosa peritonitis
tuberkulosis satu atau lebih dari empat criteria ini harus terpenuhi: (i) adanya
bukti histologi tuberkel dengan nekrosis caseation; (ii) hasil biopsi yang bagus
dari kelenjar getah bening mesenterika menunjukkan adanya tuberculosis; (iii)
kultur atau biakan pada binatang percobaan menemukan pertumbuhan M.
tuberculosis; (iv) hasil pemeriksaan histology menemukan bateri tahan asam
pada lesi.
f. Pemeriksaan penunjang:
Laboratorium
Pemeriksaan darah tepi sering dijumpai adanya anemia penyakit
kronis, leukositosis ringan ataupun leucopenia, trombositosis, gangguan faak
hati dan sering dijumpai laju endap darah (LED) yang meningkat, sedangkan
pada pemeriksaan tes tuberculin hasilnya sering negatif.2,10 Pada pemeriksaan
analisa cairan asites umumnya memperlihatkan eksudat dengan protein > 3
gr/dl jumlah sel diatas 100-300 sel/ml. Biasanya lebih dari 90% adanya
peningkatan limfosit LDH. Cairan asites yang perulen dapat ditemukan begitu
24
juga cairan asites yang bercampur darah ( serosanguinous). Pemeriksaan basil
tahan asam (BTA) didapati hasilnya kurang dari 5% yang positif dan dengan
kultur cairan ditemukan kurang dari 20% hasilnya positif.
Ada beberapa peneliti yang mendapatkan hampir 66% kultur BTAnya
positif dan akan lebih meningkat lagi sampai 83% bila menggunakan kultur
cairan asites yang telah disentrifugekan dengan jumlah cairan lebih dari 1
liter. Dan hasil kultur cairan asites ini dapat diperoleh dalam waktu 4-8
minggu. Perbandingan glukosa cairan asites dengan darah pada peritonitis
tuberculosis < 0.96 sedangkan pada asites dengan penyebab lain rationya
>0.96.3
Perbandingan serum asites albumin (SAAG) pada peritonitis
tuberculosis ditemukan rationya <1.1 gr/dl namun hal ini juga bisa terjadi
pada keadaan keganasan, sindroma nefrotik, penyakit pancreas, kandung
empedu atau jaringan iakt sedangkan bila ditemukan >1.1 gr/dl ini merupakan
cairan asites akibat hipertensi portal. Penurunan pH cairan asites dan
peningkatan kadar laktat dapat dijumpai pada peritonitis tuberculosis dan
berbeda dengan cairan asites pada sirosis hepatis yang steril, namun
pemeriksaan pH dan kadar laktat cairan acites ini kurang spesifik dan belum
merupakan suatu kepastian jerna hal ini juga dijumpai pada kasus asites oleh
kerna keganasan atau spontaneous bacterial peritonitis.4
Pemeriksaan lain adalah pemeriksaan CA-125. CA-125 ( cancer
antigen 125) termasuk tumor associates glycoprotein dan terdapat pada
permukaan sel. CA-125 merupakan antigen yang terkait dengan karsinoma
ovarium, antigen ini tidak ditemukan pada ovarium orang dewasa normal,
namun CA-125 ini dilaporkan juga meningkat pada keadaan benigna dan
maligna, dimana kira-kira 80% meningkat pada wanita dengan keganasan
ovarium, 26% pada trimester pertama kehamilan, menstruasi, endometriosis
dll juga pada kondisi bukan keganasan seperti gagal ginjal kronik, penyakit
autoimun, sirosis hepatis, peradangan peritoneum seperti tuberc\kulosis,
25
pericardium dan pleura. Zain LH di Medan pada tahun 1996 menemukan dari
8 kasus peritonitis tuberculosis dijumpai kadar CA-125 meninggi dengan
kadar rata-rata 370.7 u/ml dan menyimpulkan bila dijumpai peninggian serum
CA-125 disertai dengan cairan asites yang eksudat, jumlah sel >350/m3,
limfosit yang dominan maka peritonitis tuberculosis dapat dipertimbangkan
sebagai diagnosa.
Pemeriksaan Rongten
Tampak gambaran tuberculosis paru pada foto x-ray dada dapat
mendukung diagnosa namun foto x-ray dada normal tidak dapat
menyingkirkan kemungkinan diagnosa peritonitis tuberculosis. Sharma dkk
melakukan kajian terhadap 70 kasus peritonitis tuberculosis mendapatkan
terdapat sebanyak 22 kasus (46%) penderita mempunyai aktif lesi atau bekas
lesi tuberculosis pada rontgen dadanya. Pemeriksaan rongten pada sistem
pencernaan mungkin dapat membantu jika didapat kelainan usus kecil atau
usus besar seperti terlihatnya gambaran obstruksi.4
Ultrasonografi (USG)
Pada pemeriksaaan USG dapat dilihat adanya cairan dalam rongga
peritoneum yang bebas atau terfiksasi ( dalam bentuk kantong-kantong)
menurut Rama & Walter B, gambaran USG tuberculosis yang sering dijumpai
antara lain cairan yang bebas atau terlokalisasi dalam rongga abdomen, abses
dalam rongga abdomen, massa di daerah ileosaecal dan pembesaran kelenjar
limfe retroperitoneal, adanya penebalan mesentrium, perlengketan lumen usus
dan penebalan omentum, mungkin bisa dilihat dan harus diperiksa dengan
seksama.3
CT Scan
Pemeriksaan CT Scan untuk peritonitis tuberculosis tidak ada ditemui
suatu gambaran yang khas, namun secara umum ditemui adanya gambaran
peritoneum yang berpasir dan untuk pembuktiannya perlu dijumpai
bersamaan dengan adanya gejala klinis dari peritonitis tuberculosis. Rodriguez
26
E dkk yang melakukan suatu penellitian ang membandingkan peritonitis
tuberculosis dengan peritoneal karsinoma dengan melihat gambaran CT Scan
terhadap peritoneum parietalis mendapatkan, adanya gambaran peritoneum
yang licin dengan penebala yang minimal dan pembesaran yng jelas
menunjukkan suatu peritonitis tuberculosis sedangkan adanya nodul yang
tertanam dan penebalan peritoneum yang teraktur menunjukkan peritoneal
karsinoma.
Peritonoskopi ( Laparoskopi)
Laparoskopi merupakan cara yang relative aman, mudah dan terbaik untuk
mendiagnosa peritonitis tuberculosis terutama bila ada cairan asites dan sangat
berguna untuk mendapatkan diagnosa pada pasien-pasien muda dengan
symptom sakit perut yang tidak jelas penyebabnya dan cara ini dapat
mendiagnosa peritonitis tuberculosis 85% sampai 95% dan dengan bantuan
biopsy terarah dapt dilakukan pemeriksaan histology dan bisa menemukan
adanya gambaran granuloma sebesar 85% sampai 90% dari seluruh kasus dan
bila dilakukan kultur bisa ditemukan BTA hamper 75%. Hasil histology ynag
lebih penting lagi adalah bila didapat granuloma yang lebih spesifik yaitu
granuloma dengan pengkejuaan.3
Gambaran yang dapat dilihat pada peritonitis tuberculosis:
1. Tuberkel kecil ataupun besar dengan ukuran yang bervariasi yang dijumpai
tersebar luas pada dinding peritoneum, usus dan dapat juga dijumpai di
permukaan hepar atau alat lain.
2. Perlengketan yang dapat bervariasi dari yang sedikit sampai luas diantara alat-
alat di dalam rongga peritoneum. Sering keadaan ini merubah letak anatomi
normal. Permukaan hepar dapat melengket pada dinding peritoneum da n sulit
dikenali. Perlengketan diantara usus, mesenterium dan peritoneum dapat
sangat ekstensif.
3. Peritoneum sering mengalami perubahan dengan permukaan yang sangat
kasar yang kadang-kadang berubah gambarannya menyerupai nodul.
27
4. Cairan asites sering dijumpai berwarna kuning jernih, kadang-kadang cairan
tidak jernih lagi tetapi menjadi keruh, cairan yang hemoragis juga
dapatdijumpai.
Biopsi dapat ditujukan pada turberkel-tuberkel secara terarah atau pada
jaringan lain yang tersangka mengalami kelainan dengan menggunakan alat
biopsi khusus sekaligus cairan dapat dikeluarkan. Walaupun pada umumnya
gambaran laparoskopi peritonitis tuberculosis dapat dikenal dengan mudah,
namun gambarannya bisa menyerupai penyakitlain seperti peritonitis
karsinoma, kerna itu biopsi harus selalu diusahakan dan pengobatan sebaiknya
diberikan jika hasil pemeriksaan patologi anatomi menyokong suatu
peritonitis tuberculosis.
Laparatomi
Dahulu laparatomi eksplorasi merupakan tindakan diagnosa yang sering
dilakukan, namun saat ini banyak penulis menganggap pembedahan hanya
dilakukan jika dengan cara yang lebih sederhana tidak memberikan kepastian
diagnosa atau jika dijumpai indikasi yang mendesak seperti obstruksi usus,
perforasi, adanya cairan asites yang bernanah.4
g. Penatalaksanaan
Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan tuberculosis paru,
obat-obat seperti streptomisin, INH, Etambutol, Rifampisin, dan Pirazinamid
memberikan hasil yang baik, dan perbaikan akan terlihat setelah 2 bulan
pengobatan dan lamanya pengobatan biasanaya mencapai 9 sampai 18 bulan
atau lebih.1 Beberapa penulis berpendapat bahawa kortikosteroid dapat
mengurangi perlengketan peradangan dan mengurangi terjadinya asites.
Terbukti juga penggunaan kortikosteriod dapat mengurangi kesakitan dan
kematian, namun pemberian kortikosteroid ini harus dicegah pada daerah
endemis dimana terjadi resistensi terhadap M. tuberculosis. Alrajhi dkk yang
mengadakan penelitian secara retrospektif terhadap 35 pasien dengan
peritoneal tuberkulosis mendapatkan bahawa pemberian kortikosteroid
28
sebagai obat tambahan terbukti dapat mengurangi insidensi sakit perut dan
sumbatan pada usus. Pada kasus-kasus yang dilakukan peritonoskopi sesudah
pengobatan terlihat bahawa partikel menghilang namun di beberapa tempat
masih terlihat adanya perlengketan. 3
Prognosis
Peritonitis tuberkulosa jika dapat segera ditegakkan dan mendapat
pengobatan umumnya akan menyembuh dengan pengobatan yang adequate.3
C. Dyspepsia
c.1. Definisi
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani "δυς-" (Dys-), berarti sulit , dan
"πέψη" (Pepse), berarti pencernaan. Dispepsi merupakan kumpulan keluhan
atau gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak atau sakit di perut bagian
atas yang menetap atau mengalami kekambuhan. Keluhan refluks
gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi
asam lambung, kini tidak lagi termasuk dispepsi . Pengertian dispepsi terbagi
dua, yaitu :
1. Dispepsi organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai
penyebabnya. Sindroma dispepsi organik terdapat kelainan yang nyata
terhadap organ tubuh misalnya tukak (luka) lambung, usus dua belas jari,
radang pankreas, radang empedu, dan lain-lain.
2. Dispepsi nonorganik atau dispepsi fungsional, atau dispesia nonulkus
(DNU), bila tidak jelas penyebabnya. Dispepsi fungsional tanpa disertai
kelainan atau gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis,
laboratorium, radiologi, dan endoskopi (teropong saluran pencernaan). 6
Definisi lain, dispepsi adalah nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut
bagian atas atau dada, yang sering dirasakan sebagai adanya gas, perasaan
penuh atau rasa sakit atau rasa terbakar di perut. Setiap orang dari berbagai
29
usia dapat terkena dispepsi, baik pria maupun wanita. Sekitar satu dari empat
orang dapat terkena dispepsi dalam beberapa waktu. 7
Dispepsia Organik Dispepsia Fungsional
Ulkus peptic kronik Gastro-oesophageal reflux disease dengan
atau tanpa esofagitis Obat : OAINS, aspirin Kolelitiasis simptomatik Pancreatitis kronik Gangguan metabolik(uremia, hiperkalsemia,
gastroparesis DM Keganasan Insufisiensi vaskula mesenterikus Nyeri dinding perut
Disfungsi sensorik-motorik gastroduodenum
Faktor psikos\osial Gastritis H.pylori Idiopatik Disritme gaster Hipersensitivitas
gaster
c.2. Manifestasi Klinis
Klasifikasi klinis praktis, didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan,
membagi dispepsi menjadi tiga tipe :
1. Dispepsi dengan keluhan seperti ulkus (ulkus-like dyspepsia), dengan gejala:
a. Nyeri epigastrium terlokalisasi
b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid
c. Nyeri saat lapar
d. Nyeri episodik
2. Dispepsi dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspesia), dengan
gejala:
a. Mudah kenyang
b. Perut cepat terasa penuh saat makan
c. Mual
d. Muntah
e. Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)
f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan
3. Dispepsi nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas)
30
Sindroma dispepsi dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat
akut atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Pembagian akut dan
kronik berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan.
Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai
dengan sendawa dan suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa
penderita, makan dapat memperburuk nyeri; pada penderita yang lain, makan
bisa mengurangi nyerinya. Gejala lain meliputi nafsu makan yang menurun,
mual, sembelit, diare dan flatulensi (perut kembung). 6
Jika dispepsi menetap selama lebih dari beberapa minggu, atau tidak
memberi respon terhadap pengobatan, atau disertai penurunan berat badan
atau gejala lain yang tidak biasa, maka penderita harus menjalani
pemeriksaan.
c.3. Pemeriksaan
Pemeriksaan untuk penanganan dispepsi terbagi beberapa bagian, yaitu:
1. Pemeriksaan laboratorium biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang
lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urine. Dari hasil
pemeriksaan darah bila ditemukan lekositosis berarti ada tanda-tanda
infeksi. Pada pemeriksaan tinja, jika tampak cair berlendir atau banyak
mengandung lemak berarti kemungkinan menderita malabsorpsi.
Seseorang yang diduga menderita dispepsi tukak, sebaiknya diperiksa
asam lambung. Pada karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa
petanda tumor, misalnya dugaan karsinoma kolon perlu diperiksa CEA,
dugaan karsinoma pankreas perlu diperiksa CA 19-9.8
2. Barium enema untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau usus halus
dapat dilakukan pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau
muntah, penurunan berat badan atau mengalami nyeri yang membaik atau
memburuk bila penderita makan.6
31
3. Endoskopi bisa digunakan untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau
usus kecil dan untuk mendapatkan contoh jaringan untuk biopsi dari
lapisan lambung. Contoh tersebut kemudian diperiksa dibawah mikroskop
untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi oleh Helicobacter pylori.
Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai diagnostik
sekaligus terapeutik. Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi
adalah:
a. CLO (rapid urea test)
b. Patologi anatomi (PA)
c. Kultur mikroorgsanisme (MO) jaringan
d. PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian
4. Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan radiologi, yaitu OMD
dengan kontras ganda, serologi Helicobacter pylori, dan urea breath
test (belum tersedia di Indonesia).6 Pemeriksaan radiologis dilakukan
terhadap saluran makan bagian atas dan sebaiknya dengan kontras
ganda. Pada refluks gastroesofageal akan tampak peristaltik di
esofagusnyang menurun terutama di bagian distal, tampak anti-
peristaltik di antrum yang meninggi serta sering menutupnya pilorus,
sehingga sedikit barium yang masuk ke intestin.8 Pada tukak baik di
lambung, maupun di duodenum akan terlihat gambar yang disebut
niche, yaitu suatu kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk
niche dari tukak yang jinak umumnya reguler, semisirkuler, dengan
dasar licin. Kanker di lambung secara radiologis, akan tampak massa
yang ireguler tidak terlihat peristaltik di daerah kanker, bentuk dari
lambung berubah. Pankreatitis akuta perlu dibuat foto polos abdomen,
yang akan terlihat tanda seperti terpotongnya usus besar (colon cut off
sign), atau tampak dilatasi dari intestin terutama di jejunum yang
disebut sentinal loops. 8
32
c.4. Penatalaksanaan
Berdasarkan Konsensus Nasional Penanggulangan Helicobacter pylori
1996, ditetapkan skema penatalaksanaan dispepsia, yang dibedakan bagi
sentra kesehatan dengan tenaga ahli (gastroenterolog atau internis) yang
disertai fasilitas endoskopi dengan penatalaksanaan dispepsia di masyarakat.
Pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu:
1. Antasid 20-150 ml/hari
Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir
sekresi asam lambung. Antasid biasanya mengandung Na bikarbonat,
Al(OH)3, Mg(OH)2, dan Mg triksilat. Pemberian antasid jangan terus-
menerus, sifatnya hanya simtomatis, unutk mengurangi rasa nyeri. Mg
triksilat dapat dipakai dalam waktu lebih lama, juga berkhasiat sebagai
adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun dalam dosis besar akan
menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2.
2. Antikolinergik
Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak
selektif yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang
dapat menekan seksresi asama lambung sekitar 28-43%. Pirenzepin juga
memiliki efek sitoprotektif
33
3. Antagonis reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik
atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan
antagonis respetor H2 antara lain simetidin, roksatidin
, ranitidin, dan famotidin.Obat Indikasi Dosis Cara waktu
dan lama pemakaian
Efek samping
Simetidin Tukak peptic akut dan kronik Gastritis kronik dengan hipersekresi HCl
3x200 mg, ditambah 200mg sebelum tidur 200mg
Selama 4 mingguLanjutkan setiap malam
Penekanan eritropoesis, sampai pansitopeniaGangguan SSP
Roksatidin Gastritis akut dan kronik, daya selektif reseptor H2 6x lebih baik daripada simetidin, setara ranitidin
75mg/hari, disesuaikan dengan bersihan kreatinin
Oral, malam hari, selama 1 minggu
Ranitidine Dyspepsia akut dan kronik., khususnya tukak duodenum aktif
2x150 mg lanjutkan 1x150mg
Selama 4-6 mingguMalam hari
Golongan obat antagonis reseptor H2
4. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI)
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir
dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan
PPI adalah omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol.
Obat Indikasi Dosis Pemakaian Efek
samping
Omeprazol Tukak peptic
Tukak duodenum
1x20mg/hari
1x20-50 mg/hari
Setiap pagi , selama 1-2 minggu, oral
Sakit kepala ,nausea,diare , mabuk, lemes, nyeri epigastrium, banyak gas
34
LanzoprazolPantoprazol
Tukak peptic, inhibitor pompa proton yang ireversibel
1x30mg/hari
1x40mg/hari
4 minggu , oral
Idem
Golongan obat penghambat pompa proton
5. Sitoprotektif
Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2).
Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh
sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostoglandin
endogen, yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan
produksi mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta
membentuk lapisan protektif (site protective), yang bersenyawa dengan
protein sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian atas (SCBA).
6. Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan
metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia
fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan
memperbaiki bersihan asam lambung (acid clearance).6
DAFTAR PUSTAKA
35
1. Davey Petrick, 2005. Ascites in at a glance Medicine. Jakarta : Erlangga.
2. Hirlan, 2006. Asites Dalam: Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed:4 Jakarta. Pusat
penerbitan, departemen ilmu penyakit dalam FKUI; 449.
3. Zain LH. Tuberkulosis peritoneal. Dalam : Noer S ed. Buku ajar ilmu penyakit
dalam, Jakarta Balai penerbit FKUI, 1996: 403-6
4. Sulaiman A. Peritonitis tuberkulosa. Dalam : Sulaiman A, Daldiyono, Akbar N,
dkk Buku ajar gastroenterology hepatologi Jakarta: informatika 1990: 456-61
5. Ahmad M. Tuberkulosis peritonitis : Fatality associated with delayed diagnosis.
South Med J 1999: 92: 406-408
6. Mansjoer, Arif et al. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Edisi Ketiga.
Jakarta.: 488-491.
7. Bazaldua, O.V. et al. 2006. Dyspepsia: What It Is and What to Do About It.
http://familydoctor.org/online/famdocen/home/common/digestive/dyspepsia.html,
November 2012.
8. Hadi, Sujono. 2002. Gastroenterologi. Bandung : 156,159
36