Cairan Intraperitoneal

14

Click here to load reader

description

mengenal lebih jauh mengenai cairan intra peritoneal

Transcript of Cairan Intraperitoneal

  • BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Peritonium

    Peritoneum merupakan membran serosa tipis yang melapisi dinding kapiti abdomen

    dan kapiti pelvis, serta meliputi visera abdomen dan pelvis. Peritoneum dapat dianggap

    sebagai sebuah balon yang kedalamnya organ-organ didorong ke dalam dari luar. Peritonium

    terdiri atas peritoneum parietal dan peritoneum visceral. Peritoneum parietal melapisi dinding

    kapitas abdomen dan kapitas pelvis, sedangkan peritoneum visceral meliputi organ-organ.

    Rongga potensial di antara peritoneum parietal dan visceral yang berfungsi sebagai bagian

    dalam dari balon dinamakan kavitas peritonealis. Pada laki-laki kavitas peritonealis merupakan

    ruang tertutup, tetapi pada perempuan terdapat hubungan dengan dunia luar melalui tuba

    uterine, uterus, dan vagina (Snell, 2006) .

    Rongga peritoneum dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu peritonealis yang

    merupakan ruang utama kavitas peritonealis yang terletak dari diaphragma ke bawah sampai

    pelvis dan bursa omentalis yang berukuran lebih kecil dan terletak di belakang lambung.

    Kavitas peritonealis dan bursa omentum ini berhubungan bebas satu dengan yang lainnya

    melalui sebuah jendela oval yang dinamakan foramen omentale atau foramen epiploicum.

    Sekret peritoneum berbentuk cairan serosa dalam jumlah kecil yang membasasi permukaan

    peritoneum dan memungkinkan pergerakan diantara visera (Snell, 2006) .

    Istilah intraperitoneal dan retroperitoneal dipergunakan utuk melukiskan hubungan

    berbagai organ dengan peritoneum yang meliputinya. Sebuah organ dikatakan intraperitoneal

    kalau hampir seluruh organ tersebut diliputi oleh peritoneum visceral. Gaster, jejunum, ileum,

    dan lien merupakan contoh organ-organ intraperitoneal. Organ-organ retroperitoneal terletak

    dibelakang peritoneum dan hanya sebagian diliputi oleh peritoneum visceral. Prankreas, colon

    asendens, dan colon desendent merupakan contoh organ retroperitoneal (Snell, 2006) .

  • Gambar 2.1. Penempangan tranversal abdomen memperlihatkan susunan peritoneum.

    Peritoneum parietal peka terhadap rasa nyeri, suhu, raba, dan tekan. Peritoneum

    parietal dipersyarafi oleh enam nervi thoracici bagian bawah dan nervus lumbalis l yaitu syaraf

    yang meyarafi kulit dan otot-otot yang ada diatasnya. Bagian sentra peritoneum diaphragmatika

    dipersarafi oleh nervus phrenicus. Sedangkan di perifer, peritoneum diaphragmatika dipersarafi

    oleh enam nervi thoracici bagian bawah. Peritoneum parietal didalam pelvis terutama

    dipersararafi oleh nervus obturatorius, sebuah cabang plexus lumbalis (Snell, 2006) .

    Peritoneum visceral hanya peka terhadap regangan atau robekan, dan tidak peka

    terhadap rasa raba, tekan, dan suhu. Peritoneum visceral dipersarafi oleh saraf aferen otonom

  • yang mensarafi visceral atau yang berjalan melalui mesenterium. Peregangan yang berlebihan

    dari organ berongga menimbulkan rasa nyeri (Snell, 2006) .

    Cairan peritoneal yang berwarna kuning pucat dan sedikit kental, mengandung

    leukosit. Cairan ini disekresi oleh peritoneum dan menjamin visceral abdomen dapat bergerak

    dengan mudah satu sama lainnya. Sebagai akibat pergerakan diaphragma dan otot-otot

    abdomen, disertai dengan pergerakan peristaltik saluran pencernan, cairan peritoneal tidak

    statis (Snell, 2006) .

    Lipatan peritoneum memegang peranan penting untuk menggantungkan berbagai

    organ di dalam kavitas peritonealis dan memegang peranan sebagai tempat jalannya pembuluh

    darah, pembuluh limfe, dan saraf-saraf ke organ-organ tersebut (Snell, 2006) .

    2.2. Micobacterium tubercolosis 2.2.1. Ciri khas organisme

    Mycobacterium tuberkulosis merupakan bakteri berbentuk batang aerob yang tidak

    membentuk spora. Pada jaringan, basil tuberkulosis adalah bakteri batang lurus berukuran

    sekitar 0,4x3m. Mycobacterium tidak dapat diklasifikasikan menjadi gram negatif atau gran

    positif. Basil tuberkulosis sejati ditandai dengan tahan asam. Sifat tahan asam ini tergantung

    pada integritas selubung yang terbuat dari lilin. Teknik pewarnaan Ziehl-Neelsen digunakan

    untuk mengidentifikasi bakteri tahan asam (Jawezt, 2008) .

    2.2.2. Sifat pertumbuhan

    Mikrobakterium adalah aerob obligat dan mendapat energi dari oksidasi banyak

    komponen karbon sederhana. Peningkatan tekanan CO2 mendukung pertumbuhan. Waktu

    replikasi basilus tuberkulosis sekitar 18 jam. Bentuk saprofitik cendrung untuk tumbuh lebih

    cepat untuk berproliferasi lebih baik pada suhu 22-23C, untuk memproduksi pigmen, dan

    tidak terlalu tahan asam dibandingkan patogennya (Jawezt, 2008) .

    2.2.3. Biakan

    Medium untuk biakan primer mikobakterium harus meliputi medium nonselektif

    dan medium selektif. Medium selektif mengandung antibiotik untuk mencegah pertumbuhan

    berlebihan bakteri yang menkontaminasi dan fungi. Terdapat tiga formulasi umum yang dapat

    digunakan untuk kedua medium selektif dan nonselektif.

  • 1. Medium agar semisintetik

    Medium ini mengandung garam, kofaktor, asam oleat, albumin, katalase, gliserol,

    glukosa, vitamin , dan malakit hijau.

    2. Medium telur inspissated

    Medium ini mengandung garam, gliserol, dan subtansi organik komplek

    ( misalnya, telur segar atau kuning telur, tepung kentang, dan bahan-bahan lainnya dalam

    berbagai macam kombinasi ). Malakit hijau dimasukan untuk menghambat bakteri lain.

    3. Medium Kaldu (Jawezt, 2008) .

    2.2.4. Penularan

    Micobacterium tuberculosis ditularkan dari orang ke orang melalui jalan nafas.

    Walaupun mungkin terjadi jalur penularan lain dan kadang-kadang terbukti, namun tidak

    satupun yang penting. Basilus tuberkel di sekret pernapasan membentuk nuclei droplet cairan

    yang dikeluarkan selama batuk, bersin, dan berbicara. Droplet keluar dalam jarak dekat dari

    mulut, dan sesudah itu basilus yang ada tetap berada di udara dalam waktu yang lama. Infeksi

    berkaitan dengan jumlah sputum yang dibatukkan, luas penyakit paru, dan frekuensi batuk.

    Bakteri ini rentan terhadap penyinaran ultraviolet, dan penularan infeksi di luar rumah jarang

    terjadi pada siang hari. Ventilasi yanhg memadai merupakan tindakan yang terpenting untuk

    mengurangi tingkat infeksi lingkungan (Harrison, 1999) .

    2.2.5. Patogenesis

    Jalan masuk awal bagi basilus tuberkel ke dalam paru atau ke tempat lainnya pada

    individu yang sebelumnya sehat meninbulkan respon peradangan akut nonspesifik yang

    jarang diperhatikan dan biasanya disertai dengan sedikit atau sama sekali tanpa gejala. Basilus

    kemudian ditelan oleh makrofag dan diangkut ke kelenjer limfa regional. Bila penyebaran

    organisme tidak terjadi pada tingkat kelenjer limfe regional, lalu basilus tuberkel mencapai

    aliran darah dan terjadi diseminata yang luas. Kebanyakan lesi tuberkulosis diseminata

    menyembuh, sebagaimana lesi paru primer, walau tetap ada fokus potensial untuk reaktifasi

    selanjutnya (Harrison, 1999) .

    Selama 2 hingga 8 minggu setelah infeksi primer, saat basilus terus berkembang di

    intraseluler, timbul hipersensitivitas penjamu yang terinfeksi. Limfosit akan menuju daerah

    infeksi dan menguraikan faktor kemotaktik, interleukin, dan limfokin. Sebagai responnya,

  • monosit masuk kedaerah tersebut dan berubah menjadi makrofag kemudian melanjut menjadi

    histiosit yang khusus, yang akhirnya tersusun menjadi granuloma. Mikobakterium dapat

    bertahan dalam makrofag bertahun-tahun walaupun terjadi peningkatan lisozom dalam sel

    ini, namun multipikasi dan penyebarannya terbatas. Kemudian terjadi penyembuhan, sering

    kali dengan klasifikasi granuloma yang lambat yang akan kadang meninggalkan lesi sisa yang

    tampa pada foto rontsen paru. Kombinasi lesi paru perifer terklasifikasi dan kelenjer limfe

    hilus yang terklasifikasi dikenal sebagai komplek ghon (Harrison, 1999) .

    2.2.6. Tes tuberkulin

    Uji kulit tuberkulin intrakutan merupakan cara handal untuk mengenali infeksi

    mycobacterium dini. Antigen yang dipilih adalah defirat protein tuberkulin yang dimurnikan

    (tuberculin purified protein derivative,PPD), dan sebaiknya digunakan dosis intermedia

    (Harrison, 1999) .

    Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux

    lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada bagian atas lengan

    bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin

    dilakukan 4872 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi)

    yang terjadi (Kenyorini, 2006) .

    Tabel 2.1. Hasil tes mantoux

    Indurasi (mm) Interpretasi

    0-5 Mantoux negatif

    6-9 Hasil meragukan

    10-15 Mantoux positif

    >15 Mantoux positif kuat

    (Amin, 2009)

    2.2.7. Uji laboratorium diagnostik

  • Uji tuberkel yang positif bukan merupakan bukti adanya penyakit yang aktif

    akibat basil turberkel. Isolasi basil tuberkel dapat dijadikan bukti. Spesisme untuk uji ini dapat

    didapat dari sputum segar, hasil bilas lambung, urine, cairan pleura, serobrospinal, cairan

    sendi, materi biopsi, darah, atau materi lain yang dicurigai. Spesismen ini diperiksa dengan

    pewarnaan Ziehl-Neelsen (Jawezt, 2008) .

    2.3. TB Peritoneal 2.3.1. Definisi

    TB peritoneal merupakan suatu peradangan peritoneum parietal atau visceral yang

    disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini sering mengenai seluruh

    peritoneum dan alat-alat sistem gastrointestinal, mesenterium, serta organ ginetal interna

    (Zain, 2009) .

    2.3.2. Patogenesis

    TB peritoneal dapat terjadi melalui beberapa cara:

    1. Melalui penyebaran hematogen melalui paru-paru.

    2. Melalui dinding usus yang terinfeksi.

    3. Dari kelenjer limfe mesenterium.

    4. Melalui tuba fallopi yang terinfeksi (Zain, 2009) .

    2.3.3. Patologi

    Diketahui tiga jenis tuberkulosis peritoneal

    1. Bentuk eksudat

    Dikenal dengan bentuk basah atau bentuk asites yang banyak gejala yang meninjol

    adalah perut yang membesar dan berisi cairan asites. Turbekel sering dijumpai kecil-kecil

    berwarna putih kekuning-kuningan. Nampak tersebar di peritoneum atau pada alat-alat tubuh

    yang berada di rongga peritoneum. Bentuk ini paling banyak dijumpai.

    2. Bentuk asedif

    Dikenal juga dengan bentuk kering atau palastik. Cairan asites sedikit dijumpai.

    Usus yang dibungkus olehperitoneum dan omentum yang mengalami reaksi fibrosis. Pada

  • bentuk ini terdapat perleketan antara peritoneum dan omentum. Perlengketan yang luas

    antara peritoneum dan usus sering memberi gambaran seperti tumor, kadang-kadang

    terbentuk fistel.

    3. Bentuk campuran

    Bentuk ini kadang disebut bentuk kista. Pembentukan kista terjadi melalui proses

    eksudasi dan adesi sehingga terbentuk cairan dalam kantong-kantong perlekatan tersebut

    (Zain, 2009) .

    2.3.4. Gejala klinis

    Gejala klinis dapat berupa:

    Berat badan menurun, nafsu makan berkurang.

    Nyeri perut,demam,keringat malam walaupun tidak sedang beraktifitas, diare, dan

    hilangnya siklus haid.

    Adanya massa di abdomen, dan asites.

    Batuk dan sputum (Harun, 2002).

    Tabel 2.2. Gejala klinis dalam % pada pasien TB abdominal dan TB peritoneal menurut

    beberapa penelitian.

    Keluhan Uzunkoy, 2004 (11

    pasien TB abdominal,

    9 diantaranya TB

    peritoneal)

    Baloch, 2008 (86

    pasien TB abdominal)

    Dinler, 2008 (9

    pasien TB

    peritoneal)

    Sakit perut 72% 86% 55,5%

    Pembengkakan

    perut

    63% 70% 100%

    Batuk - - 33,3%

    Demam - 52% 44,4%

    Keringat malam 36% - 33,3%

    Anoreksia 45% - -

  • Kelelahan 81% - -

    Berat badan

    menurun

    81% 46% 33,3%

    2.3.5. Diagnosa

    Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan

    fisik pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya (tuberkulosi,

    pedoman diagnosa dan penatalaksanaanya di Indonesia, 2002).

    1. Pemeriksaan fisik

    Pada pemeriksaan fisik yang sering dijumpai adalah asites, demam,

    pembengkakan perut, nyeri perut, pucat, dan kelelahan.

    2. Laboratorium

    Pada pemeriksaan darah sering dijumpai anemia penyakit kronik, leukositosit

    ringan atau leukopenia, trombositosis dan sering laju endap darah yang meningkat.

    Sebagian pasien mungkin negatif uji tuberkulinya (Zain, 2009) .

    Pemeriksaan cairan asites umumnya memperlihatkan eksudat dengan protein >

    3% g/dl. Jumlah sel diantara 100-3000 sel/ml, biasanya lebih dari 90% sel limfosit.

    Cairan asites purulen dapat ditemukan begitu juga cairan asites dengan darah

    (serasanguineus). Basil tahan asam dapat didapati kurang dari 5% positif dan kultur

    cairan didapati kurang daari 20% yang positif. Perbandingan albumin pada caira asites

    ditemukan rasionya 42 IU/L dan >33

    U/L dalam cairan asites, ini sangat signifikan (Niaz,2010). Tingginya nilai adeno

    deaminase activity (ADA) pada cairan asites merupapakan diagnosa yang tepat untuk

  • mendiagnosa TB peritoneal dengan sensitivitas 100% dan specificity 97%. Namun

    analisa ADA memerlukan biaya yang mahal dan terbatas pada daerah tertentu(Dinler,

    2008) (Niaz, 2010) .

    Tabel 2.3. Karakteristik cairan asites TB peritoneal

    Variabel Karakteristik

    Tampilan makroskopis Cairan bias jernih, keruh,

    hemoragik atau chylous

    Berat jenis Bervariasi, >1,061 (50%)

    Protein >25 g/L (50%)

    Eritrosit (>10.000/L 7 %

    Leukosit >1000 /L (70%), biasanya 70%

    limfosit

    ( Harison, 1999)

    Pemeriksaan lainnya adalah mengukur konsentrasi CA-125 (cancer antigen-

    125). CA-125 merupakan antigen yang terkait karsinoma ovarium. Antigen ini tidak

    ditemukan pada antigen ovarium dewasa normal. Namun, dijumpai juga meningkat pada

    kista ovarian, gagal ginjal kronik, penyakit auto imun, prangkeas, sirosis hati, dan TB

    peritoneal (Zain, 2009) .

    3. Pemeriksaan penunjang

    a. Ultrasonografi

    Pada pemeriksaan ultrasonografi dapat dilihat adanya cairan dalam rongga

    peritoneum yang bebas atau terfiksasi (dalam bentuk kantong-kantong) (Zain, 2009) .

    Selain itu juga dapat ditemukan penebalan peritoneal dan lympanodenopati (Umer,

    2011) . USG merupakan metode yang mudah untuk mendeteksi cairan dan

    lympanodenopati. Oleh karena itu, USG dapat digunakan untuk step awal investigasi

    untuk mendiagnosaTB peritoneal (Dinler, 2008) .

  • b. CT-scan

    Tidak ada gambaran yang khas,secara umum ditemukan gambaran peritoneum

    yang berpasir. Alat ini memiliki sensitivitas 69% (Niaz, 2010) . CT-scan lebih baik dari

    USG dalam menggambarkan densitas asites dan nekrosis dari limfa nodes (NO, 1997

    dalam Umer, 2011) .

    Tabel 2.4. Hasil CT-scan dari beberapa penelitian.

    Hasil CT-scan khan dkk, 2011 (45

    pasien TB peritoneal)

    Uzunkoy dkk,2004

    (11 pasien TB

    Peritoneal)

    Penebalan peritoneal 91% 18 %

    Asites 97,7% 100 %

    Mesenteric strand 66,7% 36 %

    Penebalan mesenterika 51 % -

    Penebalan omental 64,4 % -

    Omental strand 68,9 % 27%

    Retroperitoneal

    lympanodenopaty

    - 36 %

    Massa di pelvik - 45 %

    c. Peritoneoskopi

    Gambaran yang dapat dilihat berupa tuberkel kecil ataupun besar pada dinding

    peritoneum atau organ di dalam rongga peritoneum, Selain itu juga dapat dilihat adanya

    penebalan mesenterium, perlengketan lumen usus, penebalan omentum, lengketan

  • diantara usus, omentum, hati, kendung empedu, dan peritoneum, penebalan peritoneum,

    dan adanya cairan eksudat mungkin purulen atau bercampur darah (Zain, 2009) .

    d. Laparoskopi

    Penebalan peritoneum, bercak keputihan dari tuberkel, asites, dan

    perlengketannya dapat dilihat dengan menggunakan laparoskopi (Dinler, 2008).

    Laparoskopi memiliki sensitivitas 82% (Niaz, 2010) .

    Tabel 2.5. Hasil laparoskopi dari penelitian Fahmi Yousef Khan dkk tahun 2011 pada 43

    penderita peritoneal TB.

    Variable Presentase

    1. Asites

    2. Bercak keputihan dari tuberkel

    3. Adhesion

    4. Adhesion berhubungan dengan

    tuberkel

    1. 97,7%

    2. 60,4%

    3. 14%

    4. 25,6%

    (Khan, 2011)

    4. Biopsi

    Peritonium biopsi merupakan gold standar diagnosa TB peritoneal. Peritonium

    biopsi lebih reliable, cepat, aman untuk mendiagnosa TB peritoneal (Dinler, 2008).

    Biopsi memiliki sensitivitas 97%( Niaz, 2010) .

    Gambaran patologi hasil biopsi berupa tuberkulum yang biasanya besarnya 1

    sampai 3 mm, terbentuk sebagai reaksi radang di sekitar sekelompok basil TBC.

    Sebagian besar terdiri atas sel epiteloid yang berasal dari histiosit dan makrofag.

    Beberapa sel itu akan membesar dan berinti banyak dan terjadi nekrosis keju, sedangkan

    lapisan luarnya terdiri atas sel limfosit (Sjamsuhidajat, 2005) .

    5. Tes serologi

    Serologi tes bertujuan untuk mendeteksi antibodi spesifik untuk bakteri

    Mycobacterium tuberculosis. ELISA dapat mendiagnosa dengan cepat komponen IgG

  • yang mempunyai spesifik tinggi untuk TB peritoneal. PCR dapat digunakan untuk

    mendeteksi DNA mycobacterium. Selain itu terdapat cara baru yaitu dengan luciferase

    reseptor assay, restrintion fragment length polymorphism, dan tes T.spot (untuk melihat

    reaksi T-helper). Cara-cara tersebut mempunyai sensitivitas 98% dan spesifik 97%

    (Niaz, 2010) .

    1.3.6. Pengobatan

    Pengobatan TB peritoneal sama dengan tuberkulosis paru (Zain, 2009) .

    Pengobatan tuberkulosis terbagi atas dua fase yaitu fase intensif 2 atau 3 bulan dan fase

    lanjutan 4 atau 7 bulan.

    Obat Anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan pada lini pertama adalah :

    Rifampisin

    INH

    Pirazinamid

    Streptomisim

    Enthambutol

    jenis obat lainnya atau lini kedua

    Kanamisin

    Amikasin

    Kuinolon

    Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam klavulanat

    Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain :

    o Kapreomisin o Sikloserino PAS (dulu tersedia) o Derivat rifampisin dan INH o Thioamides (ethionamide dan prothionamide) (tuberkulosis, pedoman diagnosa

    dan penata laksanaanya di Indonesia, 2002) .

    Tabel 2.6. Mekanisme kerja dan efek samping beberapa obat TB.

    Obat untuk Mekanisme kerja Efek samping Tata laksana akibat

  • tuberkulosis efek samping obat

    Isoniazid Menghambat biosintesis

    asam mikloat, unsur

    penting pada dinding sel

    mikroba, bersifat

    bakteriosid.

    Ruam pada kulit Hentikan obat dan

    beri antihistamin

    dan evaluasi ketat.

    Rifampin Menghambat

    pertumbuhan bakteri

    (bakteriosid).

    Ruam,mual,muntah,syok,dan

    purpura

    Hentikan pemberian

    rifampin

    Ethambutol Menekan pertumbuhan

    basil tuberkel yang

    resisten dengan

    ishoniazid dan

    streptomisin, bersifat

    bakteriostatik.

    Neuritis optik Hentikan pemberian

    enthambutol

    Sterptomisin Bersifat bekteriosid

    untuk basil tuberkel

    invitro dan pada

    konsentrasi 0.4g/ml

    dapat menghambat

    pertumbuhan .

    Tuli dan gangguan

    keseimbangan

    Ganti dengan

    ethambutol

    Pirazinamida Bersifat bakteriosid Cedara hati Pirazinamida

    dihentikan

    Etionamida Menekan multifikasi

    bakteri

    Anaroksia,mual,dan muntah Hentikan obat

    Asam

    aminosalisilat

    Bersifat bakteriostatik. Anemia hemolitik

    akut,demam tinggi

    mendadak

    Hentikan obat

    (Goodman, 2008 )

    Penggunaan OAT sekunder ditujukan pada pengobatan TB yang resisten terhadap

    OAT sekunder. Adanya resistensi dapat ditegakkan dengan drug susceptibility testing (DTS)

  • atau secara klinis apabila terjadi kegagalan pengobatan atau kekambuhan. Regimmen yang

    disarankan dapat dilihat pada tabel.

    Tabel 2.7. Regimen yang disarankan pada berbagai penderita dengan berbagai jenis

    resisten.

    Obat yang resisten Regimen yang disarankan Lama pengobatan

    minimal

    -INH

    -RIF

    -INH, RIF

    -INH, RIF, EMB

    -INH, RIF, EMB,

    PZA

    -RIF,PZA,EMB,FQN

    -INH, PZA, EMB, FQN

    -PZA, EMB, FQN,

    AMK, PAS

    -PZA, FQN,AMK, PAS,

    beta-laktam

    -FQN, AMK, PAS, ETA,

    beta-laktam

    -6 bulan

    -9 bulan

    -18 bulan

    -18 bulan

    -18 bulan

    (Muchtar, 2006)

    Dalam pengobatan tuberkulosis dapat digunakan terapi adjuvant yang digunakan

    untuk pencegahan, vaksin perlindungan terhadap bakteri dan untuk menghasilkan antibodi.

    Terapi adjuvant yang dapat digunakan yaitu OAT yang diberikan pada sebagian penderita

    tersangka TB yang tidak didukung oleh gambaran klinis, mikrobiologi ataupun patologi

    pemberian obat ini dapat dilakukan. Efek anti tuberkulosis ini paling sedikit dapat dilihat

    dalam 3 minggu (Sjamsuhidajat, 2005). Selain itu juga dapat digunakan Complete Freunds

    Adjuvant (CFA) yang akan menghasilkan antibodi humoral tubuh. CFA terdiri atas mineral

    oil, mannide monooleate ( surfactant agent), dan komponen mikrobakterium (Stills, 2005) .

    1.3.7. Prognosis

    Prognosis TB peritoneal cukup baik bila diagnosa dapat ditegakkan dan biasanya

    akan sembuh dengan pengobatan antituberkolosis yang adekuat (Zain, 2009) .