Cairan Intraperitoneal
Click here to load reader
-
Upload
galant-lefebvre- -
Category
Documents
-
view
218 -
download
0
description
Transcript of Cairan Intraperitoneal
-
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Peritonium
Peritoneum merupakan membran serosa tipis yang melapisi dinding kapiti abdomen
dan kapiti pelvis, serta meliputi visera abdomen dan pelvis. Peritoneum dapat dianggap
sebagai sebuah balon yang kedalamnya organ-organ didorong ke dalam dari luar. Peritonium
terdiri atas peritoneum parietal dan peritoneum visceral. Peritoneum parietal melapisi dinding
kapitas abdomen dan kapitas pelvis, sedangkan peritoneum visceral meliputi organ-organ.
Rongga potensial di antara peritoneum parietal dan visceral yang berfungsi sebagai bagian
dalam dari balon dinamakan kavitas peritonealis. Pada laki-laki kavitas peritonealis merupakan
ruang tertutup, tetapi pada perempuan terdapat hubungan dengan dunia luar melalui tuba
uterine, uterus, dan vagina (Snell, 2006) .
Rongga peritoneum dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu peritonealis yang
merupakan ruang utama kavitas peritonealis yang terletak dari diaphragma ke bawah sampai
pelvis dan bursa omentalis yang berukuran lebih kecil dan terletak di belakang lambung.
Kavitas peritonealis dan bursa omentum ini berhubungan bebas satu dengan yang lainnya
melalui sebuah jendela oval yang dinamakan foramen omentale atau foramen epiploicum.
Sekret peritoneum berbentuk cairan serosa dalam jumlah kecil yang membasasi permukaan
peritoneum dan memungkinkan pergerakan diantara visera (Snell, 2006) .
Istilah intraperitoneal dan retroperitoneal dipergunakan utuk melukiskan hubungan
berbagai organ dengan peritoneum yang meliputinya. Sebuah organ dikatakan intraperitoneal
kalau hampir seluruh organ tersebut diliputi oleh peritoneum visceral. Gaster, jejunum, ileum,
dan lien merupakan contoh organ-organ intraperitoneal. Organ-organ retroperitoneal terletak
dibelakang peritoneum dan hanya sebagian diliputi oleh peritoneum visceral. Prankreas, colon
asendens, dan colon desendent merupakan contoh organ retroperitoneal (Snell, 2006) .
-
Gambar 2.1. Penempangan tranversal abdomen memperlihatkan susunan peritoneum.
Peritoneum parietal peka terhadap rasa nyeri, suhu, raba, dan tekan. Peritoneum
parietal dipersyarafi oleh enam nervi thoracici bagian bawah dan nervus lumbalis l yaitu syaraf
yang meyarafi kulit dan otot-otot yang ada diatasnya. Bagian sentra peritoneum diaphragmatika
dipersarafi oleh nervus phrenicus. Sedangkan di perifer, peritoneum diaphragmatika dipersarafi
oleh enam nervi thoracici bagian bawah. Peritoneum parietal didalam pelvis terutama
dipersararafi oleh nervus obturatorius, sebuah cabang plexus lumbalis (Snell, 2006) .
Peritoneum visceral hanya peka terhadap regangan atau robekan, dan tidak peka
terhadap rasa raba, tekan, dan suhu. Peritoneum visceral dipersarafi oleh saraf aferen otonom
-
yang mensarafi visceral atau yang berjalan melalui mesenterium. Peregangan yang berlebihan
dari organ berongga menimbulkan rasa nyeri (Snell, 2006) .
Cairan peritoneal yang berwarna kuning pucat dan sedikit kental, mengandung
leukosit. Cairan ini disekresi oleh peritoneum dan menjamin visceral abdomen dapat bergerak
dengan mudah satu sama lainnya. Sebagai akibat pergerakan diaphragma dan otot-otot
abdomen, disertai dengan pergerakan peristaltik saluran pencernan, cairan peritoneal tidak
statis (Snell, 2006) .
Lipatan peritoneum memegang peranan penting untuk menggantungkan berbagai
organ di dalam kavitas peritonealis dan memegang peranan sebagai tempat jalannya pembuluh
darah, pembuluh limfe, dan saraf-saraf ke organ-organ tersebut (Snell, 2006) .
2.2. Micobacterium tubercolosis 2.2.1. Ciri khas organisme
Mycobacterium tuberkulosis merupakan bakteri berbentuk batang aerob yang tidak
membentuk spora. Pada jaringan, basil tuberkulosis adalah bakteri batang lurus berukuran
sekitar 0,4x3m. Mycobacterium tidak dapat diklasifikasikan menjadi gram negatif atau gran
positif. Basil tuberkulosis sejati ditandai dengan tahan asam. Sifat tahan asam ini tergantung
pada integritas selubung yang terbuat dari lilin. Teknik pewarnaan Ziehl-Neelsen digunakan
untuk mengidentifikasi bakteri tahan asam (Jawezt, 2008) .
2.2.2. Sifat pertumbuhan
Mikrobakterium adalah aerob obligat dan mendapat energi dari oksidasi banyak
komponen karbon sederhana. Peningkatan tekanan CO2 mendukung pertumbuhan. Waktu
replikasi basilus tuberkulosis sekitar 18 jam. Bentuk saprofitik cendrung untuk tumbuh lebih
cepat untuk berproliferasi lebih baik pada suhu 22-23C, untuk memproduksi pigmen, dan
tidak terlalu tahan asam dibandingkan patogennya (Jawezt, 2008) .
2.2.3. Biakan
Medium untuk biakan primer mikobakterium harus meliputi medium nonselektif
dan medium selektif. Medium selektif mengandung antibiotik untuk mencegah pertumbuhan
berlebihan bakteri yang menkontaminasi dan fungi. Terdapat tiga formulasi umum yang dapat
digunakan untuk kedua medium selektif dan nonselektif.
-
1. Medium agar semisintetik
Medium ini mengandung garam, kofaktor, asam oleat, albumin, katalase, gliserol,
glukosa, vitamin , dan malakit hijau.
2. Medium telur inspissated
Medium ini mengandung garam, gliserol, dan subtansi organik komplek
( misalnya, telur segar atau kuning telur, tepung kentang, dan bahan-bahan lainnya dalam
berbagai macam kombinasi ). Malakit hijau dimasukan untuk menghambat bakteri lain.
3. Medium Kaldu (Jawezt, 2008) .
2.2.4. Penularan
Micobacterium tuberculosis ditularkan dari orang ke orang melalui jalan nafas.
Walaupun mungkin terjadi jalur penularan lain dan kadang-kadang terbukti, namun tidak
satupun yang penting. Basilus tuberkel di sekret pernapasan membentuk nuclei droplet cairan
yang dikeluarkan selama batuk, bersin, dan berbicara. Droplet keluar dalam jarak dekat dari
mulut, dan sesudah itu basilus yang ada tetap berada di udara dalam waktu yang lama. Infeksi
berkaitan dengan jumlah sputum yang dibatukkan, luas penyakit paru, dan frekuensi batuk.
Bakteri ini rentan terhadap penyinaran ultraviolet, dan penularan infeksi di luar rumah jarang
terjadi pada siang hari. Ventilasi yanhg memadai merupakan tindakan yang terpenting untuk
mengurangi tingkat infeksi lingkungan (Harrison, 1999) .
2.2.5. Patogenesis
Jalan masuk awal bagi basilus tuberkel ke dalam paru atau ke tempat lainnya pada
individu yang sebelumnya sehat meninbulkan respon peradangan akut nonspesifik yang
jarang diperhatikan dan biasanya disertai dengan sedikit atau sama sekali tanpa gejala. Basilus
kemudian ditelan oleh makrofag dan diangkut ke kelenjer limfa regional. Bila penyebaran
organisme tidak terjadi pada tingkat kelenjer limfe regional, lalu basilus tuberkel mencapai
aliran darah dan terjadi diseminata yang luas. Kebanyakan lesi tuberkulosis diseminata
menyembuh, sebagaimana lesi paru primer, walau tetap ada fokus potensial untuk reaktifasi
selanjutnya (Harrison, 1999) .
Selama 2 hingga 8 minggu setelah infeksi primer, saat basilus terus berkembang di
intraseluler, timbul hipersensitivitas penjamu yang terinfeksi. Limfosit akan menuju daerah
infeksi dan menguraikan faktor kemotaktik, interleukin, dan limfokin. Sebagai responnya,
-
monosit masuk kedaerah tersebut dan berubah menjadi makrofag kemudian melanjut menjadi
histiosit yang khusus, yang akhirnya tersusun menjadi granuloma. Mikobakterium dapat
bertahan dalam makrofag bertahun-tahun walaupun terjadi peningkatan lisozom dalam sel
ini, namun multipikasi dan penyebarannya terbatas. Kemudian terjadi penyembuhan, sering
kali dengan klasifikasi granuloma yang lambat yang akan kadang meninggalkan lesi sisa yang
tampa pada foto rontsen paru. Kombinasi lesi paru perifer terklasifikasi dan kelenjer limfe
hilus yang terklasifikasi dikenal sebagai komplek ghon (Harrison, 1999) .
2.2.6. Tes tuberkulin
Uji kulit tuberkulin intrakutan merupakan cara handal untuk mengenali infeksi
mycobacterium dini. Antigen yang dipilih adalah defirat protein tuberkulin yang dimurnikan
(tuberculin purified protein derivative,PPD), dan sebaiknya digunakan dosis intermedia
(Harrison, 1999) .
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux
lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada bagian atas lengan
bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin
dilakukan 4872 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi)
yang terjadi (Kenyorini, 2006) .
Tabel 2.1. Hasil tes mantoux
Indurasi (mm) Interpretasi
0-5 Mantoux negatif
6-9 Hasil meragukan
10-15 Mantoux positif
>15 Mantoux positif kuat
(Amin, 2009)
2.2.7. Uji laboratorium diagnostik
-
Uji tuberkel yang positif bukan merupakan bukti adanya penyakit yang aktif
akibat basil turberkel. Isolasi basil tuberkel dapat dijadikan bukti. Spesisme untuk uji ini dapat
didapat dari sputum segar, hasil bilas lambung, urine, cairan pleura, serobrospinal, cairan
sendi, materi biopsi, darah, atau materi lain yang dicurigai. Spesismen ini diperiksa dengan
pewarnaan Ziehl-Neelsen (Jawezt, 2008) .
2.3. TB Peritoneal 2.3.1. Definisi
TB peritoneal merupakan suatu peradangan peritoneum parietal atau visceral yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini sering mengenai seluruh
peritoneum dan alat-alat sistem gastrointestinal, mesenterium, serta organ ginetal interna
(Zain, 2009) .
2.3.2. Patogenesis
TB peritoneal dapat terjadi melalui beberapa cara:
1. Melalui penyebaran hematogen melalui paru-paru.
2. Melalui dinding usus yang terinfeksi.
3. Dari kelenjer limfe mesenterium.
4. Melalui tuba fallopi yang terinfeksi (Zain, 2009) .
2.3.3. Patologi
Diketahui tiga jenis tuberkulosis peritoneal
1. Bentuk eksudat
Dikenal dengan bentuk basah atau bentuk asites yang banyak gejala yang meninjol
adalah perut yang membesar dan berisi cairan asites. Turbekel sering dijumpai kecil-kecil
berwarna putih kekuning-kuningan. Nampak tersebar di peritoneum atau pada alat-alat tubuh
yang berada di rongga peritoneum. Bentuk ini paling banyak dijumpai.
2. Bentuk asedif
Dikenal juga dengan bentuk kering atau palastik. Cairan asites sedikit dijumpai.
Usus yang dibungkus olehperitoneum dan omentum yang mengalami reaksi fibrosis. Pada
-
bentuk ini terdapat perleketan antara peritoneum dan omentum. Perlengketan yang luas
antara peritoneum dan usus sering memberi gambaran seperti tumor, kadang-kadang
terbentuk fistel.
3. Bentuk campuran
Bentuk ini kadang disebut bentuk kista. Pembentukan kista terjadi melalui proses
eksudasi dan adesi sehingga terbentuk cairan dalam kantong-kantong perlekatan tersebut
(Zain, 2009) .
2.3.4. Gejala klinis
Gejala klinis dapat berupa:
Berat badan menurun, nafsu makan berkurang.
Nyeri perut,demam,keringat malam walaupun tidak sedang beraktifitas, diare, dan
hilangnya siklus haid.
Adanya massa di abdomen, dan asites.
Batuk dan sputum (Harun, 2002).
Tabel 2.2. Gejala klinis dalam % pada pasien TB abdominal dan TB peritoneal menurut
beberapa penelitian.
Keluhan Uzunkoy, 2004 (11
pasien TB abdominal,
9 diantaranya TB
peritoneal)
Baloch, 2008 (86
pasien TB abdominal)
Dinler, 2008 (9
pasien TB
peritoneal)
Sakit perut 72% 86% 55,5%
Pembengkakan
perut
63% 70% 100%
Batuk - - 33,3%
Demam - 52% 44,4%
Keringat malam 36% - 33,3%
Anoreksia 45% - -
-
Kelelahan 81% - -
Berat badan
menurun
81% 46% 33,3%
2.3.5. Diagnosa
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan
fisik pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya (tuberkulosi,
pedoman diagnosa dan penatalaksanaanya di Indonesia, 2002).
1. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik yang sering dijumpai adalah asites, demam,
pembengkakan perut, nyeri perut, pucat, dan kelelahan.
2. Laboratorium
Pada pemeriksaan darah sering dijumpai anemia penyakit kronik, leukositosit
ringan atau leukopenia, trombositosis dan sering laju endap darah yang meningkat.
Sebagian pasien mungkin negatif uji tuberkulinya (Zain, 2009) .
Pemeriksaan cairan asites umumnya memperlihatkan eksudat dengan protein >
3% g/dl. Jumlah sel diantara 100-3000 sel/ml, biasanya lebih dari 90% sel limfosit.
Cairan asites purulen dapat ditemukan begitu juga cairan asites dengan darah
(serasanguineus). Basil tahan asam dapat didapati kurang dari 5% positif dan kultur
cairan didapati kurang daari 20% yang positif. Perbandingan albumin pada caira asites
ditemukan rasionya 42 IU/L dan >33
U/L dalam cairan asites, ini sangat signifikan (Niaz,2010). Tingginya nilai adeno
deaminase activity (ADA) pada cairan asites merupapakan diagnosa yang tepat untuk
-
mendiagnosa TB peritoneal dengan sensitivitas 100% dan specificity 97%. Namun
analisa ADA memerlukan biaya yang mahal dan terbatas pada daerah tertentu(Dinler,
2008) (Niaz, 2010) .
Tabel 2.3. Karakteristik cairan asites TB peritoneal
Variabel Karakteristik
Tampilan makroskopis Cairan bias jernih, keruh,
hemoragik atau chylous
Berat jenis Bervariasi, >1,061 (50%)
Protein >25 g/L (50%)
Eritrosit (>10.000/L 7 %
Leukosit >1000 /L (70%), biasanya 70%
limfosit
( Harison, 1999)
Pemeriksaan lainnya adalah mengukur konsentrasi CA-125 (cancer antigen-
125). CA-125 merupakan antigen yang terkait karsinoma ovarium. Antigen ini tidak
ditemukan pada antigen ovarium dewasa normal. Namun, dijumpai juga meningkat pada
kista ovarian, gagal ginjal kronik, penyakit auto imun, prangkeas, sirosis hati, dan TB
peritoneal (Zain, 2009) .
3. Pemeriksaan penunjang
a. Ultrasonografi
Pada pemeriksaan ultrasonografi dapat dilihat adanya cairan dalam rongga
peritoneum yang bebas atau terfiksasi (dalam bentuk kantong-kantong) (Zain, 2009) .
Selain itu juga dapat ditemukan penebalan peritoneal dan lympanodenopati (Umer,
2011) . USG merupakan metode yang mudah untuk mendeteksi cairan dan
lympanodenopati. Oleh karena itu, USG dapat digunakan untuk step awal investigasi
untuk mendiagnosaTB peritoneal (Dinler, 2008) .
-
b. CT-scan
Tidak ada gambaran yang khas,secara umum ditemukan gambaran peritoneum
yang berpasir. Alat ini memiliki sensitivitas 69% (Niaz, 2010) . CT-scan lebih baik dari
USG dalam menggambarkan densitas asites dan nekrosis dari limfa nodes (NO, 1997
dalam Umer, 2011) .
Tabel 2.4. Hasil CT-scan dari beberapa penelitian.
Hasil CT-scan khan dkk, 2011 (45
pasien TB peritoneal)
Uzunkoy dkk,2004
(11 pasien TB
Peritoneal)
Penebalan peritoneal 91% 18 %
Asites 97,7% 100 %
Mesenteric strand 66,7% 36 %
Penebalan mesenterika 51 % -
Penebalan omental 64,4 % -
Omental strand 68,9 % 27%
Retroperitoneal
lympanodenopaty
- 36 %
Massa di pelvik - 45 %
c. Peritoneoskopi
Gambaran yang dapat dilihat berupa tuberkel kecil ataupun besar pada dinding
peritoneum atau organ di dalam rongga peritoneum, Selain itu juga dapat dilihat adanya
penebalan mesenterium, perlengketan lumen usus, penebalan omentum, lengketan
-
diantara usus, omentum, hati, kendung empedu, dan peritoneum, penebalan peritoneum,
dan adanya cairan eksudat mungkin purulen atau bercampur darah (Zain, 2009) .
d. Laparoskopi
Penebalan peritoneum, bercak keputihan dari tuberkel, asites, dan
perlengketannya dapat dilihat dengan menggunakan laparoskopi (Dinler, 2008).
Laparoskopi memiliki sensitivitas 82% (Niaz, 2010) .
Tabel 2.5. Hasil laparoskopi dari penelitian Fahmi Yousef Khan dkk tahun 2011 pada 43
penderita peritoneal TB.
Variable Presentase
1. Asites
2. Bercak keputihan dari tuberkel
3. Adhesion
4. Adhesion berhubungan dengan
tuberkel
1. 97,7%
2. 60,4%
3. 14%
4. 25,6%
(Khan, 2011)
4. Biopsi
Peritonium biopsi merupakan gold standar diagnosa TB peritoneal. Peritonium
biopsi lebih reliable, cepat, aman untuk mendiagnosa TB peritoneal (Dinler, 2008).
Biopsi memiliki sensitivitas 97%( Niaz, 2010) .
Gambaran patologi hasil biopsi berupa tuberkulum yang biasanya besarnya 1
sampai 3 mm, terbentuk sebagai reaksi radang di sekitar sekelompok basil TBC.
Sebagian besar terdiri atas sel epiteloid yang berasal dari histiosit dan makrofag.
Beberapa sel itu akan membesar dan berinti banyak dan terjadi nekrosis keju, sedangkan
lapisan luarnya terdiri atas sel limfosit (Sjamsuhidajat, 2005) .
5. Tes serologi
Serologi tes bertujuan untuk mendeteksi antibodi spesifik untuk bakteri
Mycobacterium tuberculosis. ELISA dapat mendiagnosa dengan cepat komponen IgG
-
yang mempunyai spesifik tinggi untuk TB peritoneal. PCR dapat digunakan untuk
mendeteksi DNA mycobacterium. Selain itu terdapat cara baru yaitu dengan luciferase
reseptor assay, restrintion fragment length polymorphism, dan tes T.spot (untuk melihat
reaksi T-helper). Cara-cara tersebut mempunyai sensitivitas 98% dan spesifik 97%
(Niaz, 2010) .
1.3.6. Pengobatan
Pengobatan TB peritoneal sama dengan tuberkulosis paru (Zain, 2009) .
Pengobatan tuberkulosis terbagi atas dua fase yaitu fase intensif 2 atau 3 bulan dan fase
lanjutan 4 atau 7 bulan.
Obat Anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan pada lini pertama adalah :
Rifampisin
INH
Pirazinamid
Streptomisim
Enthambutol
jenis obat lainnya atau lini kedua
Kanamisin
Amikasin
Kuinolon
Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam klavulanat
Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain :
o Kapreomisin o Sikloserino PAS (dulu tersedia) o Derivat rifampisin dan INH o Thioamides (ethionamide dan prothionamide) (tuberkulosis, pedoman diagnosa
dan penata laksanaanya di Indonesia, 2002) .
Tabel 2.6. Mekanisme kerja dan efek samping beberapa obat TB.
Obat untuk Mekanisme kerja Efek samping Tata laksana akibat
-
tuberkulosis efek samping obat
Isoniazid Menghambat biosintesis
asam mikloat, unsur
penting pada dinding sel
mikroba, bersifat
bakteriosid.
Ruam pada kulit Hentikan obat dan
beri antihistamin
dan evaluasi ketat.
Rifampin Menghambat
pertumbuhan bakteri
(bakteriosid).
Ruam,mual,muntah,syok,dan
purpura
Hentikan pemberian
rifampin
Ethambutol Menekan pertumbuhan
basil tuberkel yang
resisten dengan
ishoniazid dan
streptomisin, bersifat
bakteriostatik.
Neuritis optik Hentikan pemberian
enthambutol
Sterptomisin Bersifat bekteriosid
untuk basil tuberkel
invitro dan pada
konsentrasi 0.4g/ml
dapat menghambat
pertumbuhan .
Tuli dan gangguan
keseimbangan
Ganti dengan
ethambutol
Pirazinamida Bersifat bakteriosid Cedara hati Pirazinamida
dihentikan
Etionamida Menekan multifikasi
bakteri
Anaroksia,mual,dan muntah Hentikan obat
Asam
aminosalisilat
Bersifat bakteriostatik. Anemia hemolitik
akut,demam tinggi
mendadak
Hentikan obat
(Goodman, 2008 )
Penggunaan OAT sekunder ditujukan pada pengobatan TB yang resisten terhadap
OAT sekunder. Adanya resistensi dapat ditegakkan dengan drug susceptibility testing (DTS)
-
atau secara klinis apabila terjadi kegagalan pengobatan atau kekambuhan. Regimmen yang
disarankan dapat dilihat pada tabel.
Tabel 2.7. Regimen yang disarankan pada berbagai penderita dengan berbagai jenis
resisten.
Obat yang resisten Regimen yang disarankan Lama pengobatan
minimal
-INH
-RIF
-INH, RIF
-INH, RIF, EMB
-INH, RIF, EMB,
PZA
-RIF,PZA,EMB,FQN
-INH, PZA, EMB, FQN
-PZA, EMB, FQN,
AMK, PAS
-PZA, FQN,AMK, PAS,
beta-laktam
-FQN, AMK, PAS, ETA,
beta-laktam
-6 bulan
-9 bulan
-18 bulan
-18 bulan
-18 bulan
(Muchtar, 2006)
Dalam pengobatan tuberkulosis dapat digunakan terapi adjuvant yang digunakan
untuk pencegahan, vaksin perlindungan terhadap bakteri dan untuk menghasilkan antibodi.
Terapi adjuvant yang dapat digunakan yaitu OAT yang diberikan pada sebagian penderita
tersangka TB yang tidak didukung oleh gambaran klinis, mikrobiologi ataupun patologi
pemberian obat ini dapat dilakukan. Efek anti tuberkulosis ini paling sedikit dapat dilihat
dalam 3 minggu (Sjamsuhidajat, 2005). Selain itu juga dapat digunakan Complete Freunds
Adjuvant (CFA) yang akan menghasilkan antibodi humoral tubuh. CFA terdiri atas mineral
oil, mannide monooleate ( surfactant agent), dan komponen mikrobakterium (Stills, 2005) .
1.3.7. Prognosis
Prognosis TB peritoneal cukup baik bila diagnosa dapat ditegakkan dan biasanya
akan sembuh dengan pengobatan antituberkolosis yang adekuat (Zain, 2009) .