Buletin slilit arena oktober 2013

24
www.lpmarena.com

description

 

Transcript of Buletin slilit arena oktober 2013

Page 1: Buletin slilit arena oktober 2013

www.lpmarena.com

Page 2: Buletin slilit arena oktober 2013

INDEKS

SLiLiT ARENA

SLiLiT ARENA mengundang semua kalangan civitas akademika UIN Sunan Kalijaga untuk mengirimkan tulisan maupun artikel ke alamat redaksi LPM ARENA. Dan bagi pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan pemberitaan SLiLiT ARENA, bisa menuliskan hak jawabnya, atau datang langsung ke kantor redaksi LPM ARENA guna berdiskusi lebih lanjut.

Wartawan SLiLiT ARENA dibekali tanda pengenal dalam setiap peliputan dan tidak menerima amplop dalam bentuk apapun

Diterbitkan Oleh:Lembaga Pers Mahasiswa (LPM)ARENA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

PelindungAllah SWT

PenasehatRektor UIN Sunan Kalijaga

PembinaAbdur Rozaki, S.Ag, M.Si

Pemimpin UmumTaufiqurrohman

Wk. Pemimpin UmumAhmad Jamaludin

Sekretaris UmumAyu Usada Rengkaning Tyas

BendaharaPuji Hariyanto

Dewan RedaksiAnik Malussolehah, Munfa’ati

Pemimpin RedaksiRobi Kurniawan

Redaktur OnlineFolly Akbar

Redaktur SLiLiTJanuardi Husin S

Redaktur BahasaIndah Fajar Rosalina

Staf RedaksiN Hafsanatul H, Ulufun N, Imra’atu S, Istikhana NH, Elmi, Andy, Fendi, Arif, Lilik, Khusni H,Chusna, Lugas, Mugiarjo, Ulfatul F, Anis, Dedik, Ghafur, Novi, Arifki, Ichus, Haetami, Bayu, Soim, Wulan, Riswan, Irsal, Ifa, Chafid

Rancang Sampul & Tata LetakS Ghidafian Hafidz

Lukisan Sampul MukaEnggar RomadioniJudul: Pengembara

FotograferAbdul Majid

Direktur Perusahaan & ProduksiIntan Pratiwi

Koordinator PusdaHasbullah Syarif

Koordinator JarkomHartanto Ardi Saputra

Koordinator PSDMAhmad Taufiq

Kantor Redaksi/Tata UsahaStudent Center Lantai 1 No. 1/14UIN Sunan Kalijaga YogyakartaJl. Laksda Adi Sucipto Yogyakarta 55281Telp. 085282638050 (Intan Pratiwi)http//: www.lpmarena.com

No Rekening0216 2175 90 BNI Unit UGM atas nama Taufiqurrohman

8|Fakultas Pendidikan Bermasalah dalam KuotaFITK tengah gencar membuka jurusan baru.

Alasannya untuk menjawab kebutuhan

masyarakat. Namun di balik itu semua,

fakultas yang seharusnya mencerminkan

6|Kemahalan, Mahasiswa Ogah Pakai Bus UINSalah satu tujuan pengadaan bus UIN ialah untuk mendukung kegiatan mahasiswa. Namun pada keyataannya, mahasiswa enggan untuk menyewa bus UIN. Alasannya karena

biaya sewa bus dianggap terlalu mahal dan

9|Mahasiswa KUI Keluhkan Kemelut KonversiMandeknya koordinasi konversi matakuliah 2013 di Jurusan KUI antara Kajur dan dosen-dosennya membuat hubungan kedua belah pihak menjadi renggang. Mahasiswa terkena dampak nyata atas kejadian ini.

10|FEBI Pindah, Fasilitas SusahKeterpisahan geografis antara kampus FEBI dan kampus pusat menyulitkan para mahasiswa FEBI dalam mengakses berbagai fasilitas yang ada di kampus pusat.

12|Nafas Ormawa di Kampus DuaPindahnya FEBI dari kampus pusat berdampak kepada kegiatan Ormawa yang dijalani oleh mahasiswa. Mengingat pentingnya hal ini bagi mahasiswa, birokrat diharapkan mengambil langkah-langkah yang pro terhadap kegiatan mahasiswa.

UNIVERSITARIABUDAYA

13|Satu Tembang untuk Dies

Natalis

SASTRA

19|Kaki Telanjang

18|Diperbatasan Sebuah Negeri

15|Logika Mayoritas

KANCAH

14|Menyegarkan Kembali

Pemikiran OPAK

OPINI

21|Melawan “Jihad” Penebar

Teror

PUSTAKA

5|AutogestionKita tahu, perpincangan tentang gerakan

mahasiswa acapkali berakhir dengan

keletihan. Klimaks dari perpincangan itu

biasanya adalah ke-gerundelan;

EDITORIAL

4|KeluargaSeorang kawan bercerita, teman

dekatnya pengen membuat sebuah

Keluarga mahasiswa daerah di kampus.

“Pendiri pertama bung !” ujar kawan saya

CATATAN KAKI

Sabtu, 12 Oktober 2013

Page 3: Buletin slilit arena oktober 2013

SLiLiT ARENA| 3

SURAT PEMBACA

Tempo hari saya pernah ditanya oleh seorang

mahasiswa baru, “Mas, menurut sampeyan kampus yang

baik itu yang seperti apa?”. Ditanya dengan pertanyaan

spontan tersebut, sejujurnya saya agak tercengan juga.

Sudah cukup lama saya kuliah bahkan saya sendiri belum

pernah menanyakan hal tersebut kepada diri saya sendiri.

Setelah terdiam beberapa saat lantas saya menjawab,

“Menurut saya kampus yang baik adalah kampus yang

dapat memberikan input yang baik bagi mahasiswa dan

juga mampu menyiapkan output yang baik pula kepada

mahasiswa.”

Saya jadi teringat dalam suatu buku sejarah ketika

dulu Bung Karno memberikan pidatonya di Universitas

Hasanudin Makassar, beliau berkata “Kalau ingin

membangun Indonesia timur, bangunlah sumber daya

manusianya. Kalau ingin membangun sumber daya

manusia, bangunlah universitasnya!” Dari sini setidaknya

saya mendapat gambaran bahwa kampus yang baik

adalah kampus yang mampu membangunkan sumber

daya manusia dimana dalam usaha tersebut pastilah

harus selalu ada dua hal yang saling berkaitan yakni

proses internalisasi dan proses eksternalisasi.

Bila kita bedah kampus putih kita UIN Sunan Kaliga

ini, setiap tahun selalu diupayakan peningkatan mutu

pendidikan dan fasilitas pengembangan hardskill dan

softskill untuk civitas di dalamnya. Meski selalu ada

kekurangan dan ketidakpuasan, tapi upaya tersebut

patut kita apresiasi karena setiap tahun selalu ada

progress yang nyata meski tidak kita rasakan di semua

bidang.

Namun yang disayangkan di sini adalah, tidak adanya

konsentrasi terhadap upaya eksternalisasi atau wahana

output mahasiswa. Dalam bidang tulis-menulis misalnya,

jarang sekali media yang disediakan kampus untuk

mahasiswa. Seperti misalnya mediasi riset untuk

mahasiswa, saya menilai upaya kampus masih minim.

Padahal riset adalah salah satu jantung pengembangan

intelektual universitas. Atau bila kita menyoroti lembaga

pengabdian masyarakat yang ada di kampus, mungkin

akan bergerak secara agresif pada program KKN (Kuliah

Kerja Nyata) saja. Pengembangan dan pemberdayaan

masyarakat sekitar kampus (baca: warga sekitar, anak

jalanan, pengemis, orang gila, dsb.) pun tidak dilakukan

oleh kampus secara sistematis dan terorganisir, hanya

sebatas upaya individual saja. Padahal seharusnya

kampus dapat menjadikan masyarakat lebih hidup dan

lebih manusiawi. Terlebih lagi bila melihat aspek

kewirausahaan, bila di kampus lain seperti UII dan UGM

selalu membuka program pendanaan usaha mahasiswa,

maka di UIN Sunan Kalijaga hal tersebut tidak dapat

dinikmati secara massive oleh mahasiswa. Bahkan

informasi tentangnya pun sangat sulit diakses.

Memang, tidak ada sesuatu yang dibangun langsung

menjadi mapan. Perlu proses tiada henti untuk

meningkatan eksistensi dan mutu sebuah institusi. Dan

sehubungan dengan hal tersebut, kritik dan nilai-nilai

ideal adalah makanan wajib bila kita ingin terus

bertumbuh.*Abdul Jawad, mahasiswa Jurusan Perbandingan Agama FUSPI

2011

Kurangnya Media Pengembangan Output Mahasiswa*

Tahun ajaran 2013-2014 menjadi tahun yang berbeda

bagi mahasiswa FEBI karena perkuliahan dilakukan di

kampus dua, yang berada di Maguwoharjo.Beberapa

mahasiswa baru kadang mengeluhkan jauhnya jarak

antara kampus FEBI dengan kampus pusat.

Namun, ada hal yang tak kalah penting dari dampak

kepindahan FEBI, yaitu kegiatan organisasi, baik intra

maupun ekstra, yang dominan diselenggarakan di kampus

pusat. Hal ini menyebabkan beberapa mahasiswa harus

rela tidak mengikuti kegiatan organisasi, karena jauhnya

jarak antara kos dan kampus pusat.

Oleh sebab itu, kami mengaharapkan agar seluruh

organisasi-organisasi baik ekstra maupun intra, membuka

pendaftaran di sekitar FEBI. Kami (mahasiswa semester

tiga) juga akan mengadakan kegiatan silaturahim dengan

mahasiswa baru. Kegiatan tersebut bisa berupa

pengenalan kampus, pengenalan organisasi baik intra

maupun ekstra, dan sharing seputar kesan-pesan selama

pembelajaran di kampus FEBI.

Kegiatan ini nantinya diharapkan, para mahasiswa baru

bisa mengutarakan seluruh kesan dan pesannya selama

melakukan aktifitas pembelajaran di FEBI dan akan

diserahkan kepada pihak fakultas sebagai media

pembenahan fakultas.*Fauza, mahasiswa Jurusan Ekonomi Syariah semester tiga,

FEBI

Sepetik Asa di Kampus Baru*

Sabtu, 12 Oktober 2013

Page 4: Buletin slilit arena oktober 2013

CATATAN KAKI

SLiLiT ARENA4 |

eorang kawan bercerita, teman dekatnya pengen

membuat sebuah Keluarga mahasiswa daerah di Skampus. “Pendiri pertama bung !” ujar kawan saya

menirukan teman dekatnya. Kawan saya meneruskan,

bahwa teman dekatnya adalah penggalang, ketua,

sekaligus sekretaris merangkap bendahara. “Benar-benar

pioneer,” tutur kawan saya.

Setiap hari teman dekat itu membuka stan

pendaftaran anggota, seorang diri. Pagi-pagi ia akan

terlihat menggotong meja lipat, tikar, dan selembar

banner yang bertuliskan nama keluarga mahasiswa

daerah yang ia dirikan. Banner itu berukuran sekira 50 x

100 cm dengan empat tali kekang pada tiap ujungnya.

Biasanya ia kaitkan tali itu pada tiang atau pohon

disekitar trotoar tempatnya mangkal. Seharian ia

menunggu, anggota-anggota keluarga yang diharapnya

pulang.

Demi sebuah keluarga, guna membangun tempat

istirah bersama. Mencipta sebuah komunitas alami

seperti terbayang dalam ikatan darah, laiknya keluarga di

rumah, keluarga mahasiswa. Berbeda dengan keluarga di

rumah, tali kekang yang dipakai dalam keluarga ini

bukanlah denyut nadi, tali kekangnya adalah kesamaan

etnis, ras atau suku, mungkin juga daerah.

Komunitas adalah sebuah “bayang” menurut Ben

Anderson. Bayangan atas suatu konsep utuh sebagai

kelompok yang mengidentifikasikan persamaan identitas,

mungkin bertali suku, ras, pun daerah. Mereka meyakini

sebuah kesatuan dimana sebenarnya tak murni tunggal.

Meski sama etnis, kita tak mengenal tiap-tiap seorang di

dalamnya. Meski satu daerah, kita tak tahu nama dan

alamat dari tiap anggota yang terdaftar didalamnya.

“Komunitas Diaspora” begitu istilah kontemporer,

keluarga mahasiswa daerah mungkin termasuk dalam

kategorinya, meski dalam bentuk yang lebih kecil dan

sederhana. Sebuah Kelompok sosial jalinan dari orang-

orang yang berpindah dari daerah asal ke tempat yang

baru demi suatu kepentingan, dalam hal ini kita adalah

seorang yang berkepentingan studi.

Floya Anthias menyebut bahwa Komunitas Diaspora

adalah mereka yang membangun identitas dan

solidaritas “origin” di tempat baru. Mendasarkan dan

menegakkan pondasi dasar komunitas mereka ditempat

baru dengan memori serta mitos tentang daerah asal.

Ada berbagai lipatan keterkaitan emosi yang

berkelindan disini. Setiap yang merasa jauh dari rumah

akan menyimpan kerinduan untuk pulang. Bisa juga rasa

tak bisa menyatu denga situasi dan keadaan baru,

perasaan dislokasi. Dalam kondisi ini, “keluarga duplikat”

berkemungkinan meredam tekanan. Setidaknya

membuat nyaman sebagai tempat pulang, meski hanya

sekedar temporal.

Sebagai landasan pribadi, komunitas-komunitas ini

tentu hal yang perlu bahkan niscaya adanya.

Menyambung komunikasi individu ditempat baru,

membantu proses adaptasi, juga sebagai komunitas yang

saling bantu antar satu dengan yang lain. Guna melawan

perasaan diasporis-keterpisahan dari komunitas asli-

pertautan nilai dan moral karena keterkaitan identitas

tentu banyak berkontribusi disini.

Karena hidup tak melulu tentang diri. Dalam konteks

yang lebih luas, terlihat secercah “gelap”, mungkin juga

persoalan yang menjelma dalam bentuk kekhawatiran.

Keberagaman kelompok adalah lahan kering yang

mudah sekali terbakar oleh sulut api perbedaan.

Pembentukan kelompok/komunitas baru di satu sisi

adalah penarikan sebuah garis batas. Lebih jauh dari

sekedar embel-embel nama dan warna, adalah identitas.

Ada prasangka-prasangka dan stereotif sebab garis

batas identitas. Dalam realita perbedaan identitas sangat

sensitif memicu gerak-reaksi individu, karena ia bermain

di wilayah emosi. Pada Komunitas Diaspora ada

pengaktifan solidaritas berdasarkan identitas jatidiri,

sehingga apapun yang mengusiknya, berarti konflik.

Kejadian keributan antar kelompok warga di Sapen

pada sabtu malam 14 september lalu mungkin bisa

menjadi pengingat yang tepat. Sehingga niatan baik

membangun “keluarga” tak terjerumus dalam

disorientasi sosial. Terlebih kita adalah orang-orang

terdidik, meski bukan jaminan tetapi alangkah baiknya

terlebih dahulu sedia payung. Sebelum benar-benar

turun hujan.

*Ahmad Jamaludin

Email : [email protected]

Keluarga*

Sabtu, 12 Oktober 2013

Page 5: Buletin slilit arena oktober 2013

SLiLiT ARENA| 5

ita tahu, perpincangan tentang gerakan

mahasiswa acapkali berakhir dengan keletihan. KKlimaks dari perpincangan itu biasanya adalah ke-

gerundelan; mahasiswa hari ini gak ada gaung-gaung

nya, atau muncul klaim lain-dengan nada yang serupa;

Mahasiswa sekarang ngak kritis lagi..! kemudian berbagai

macam tanggapan akan saling menyahuti. Ada yang ikut

membenarkan, ada pula yang muak –mungkin

menurutnya gerakan mahasiswa tak bisa lagi diharapkan,

jadi sia-sia saja membicakannya- dan ada pula yang

mencoba untuk menahan dulu klaim itu untuk

dinyatakan absah. Persis di kelompok terakhir ini soal jadi

menarik, bukan karena kita ingin berpanjang-panjang

dalam pembicaraan, namun karena asa itu belum habis

dan 'menahan' berarti ingin memikirkan ulang –yang

berarti tidak ingin menerimanya secara mentah tanpa

syarat.

Asa itu belum hilang karena kita melihatnya sebagai

gerakan sosial, bukan hanya gerakan politik. Dalam

artian gerakan mahasiswa tidak berorientasi pada

perubahan an sich, namun lebih dari itu gerakan

mahasiswa telah tertelan pada masyarakat yang

–niatnya- akan diperjuangkan. Pilihan ini terasa sulit

karena sebelumnya –dengan sadar- kita telah

menyatakan diri meninggalkan eforia kegagahan

mahasiswa masa silam atau heroiknya perubahan

nasional dengan menampilkan mahasiswa sebagai

agent-nya. Meninggalkan itu berarti fokus menatap hari

ini, dengan kedilemaan dan keriuhan tantangannya,

namun tetap dengan 'menggendong' beban sejarah

mahasiswa.

Ini baik karena sikap ini berarti upaya untuk terus

memproduksi makna, untuk terus mempertanyakan

keadaan serta melahirkan pola-pola baru. Upaya-upaya

ini-lah yang terganjal dalam laju gerakan mahasiswa hari

ini. Demikian terjadi, lebih pelik, karena factor dari

dalam; Ketergantungan pada alumni dan

ketidakmampuan mengkritisi ideologi.

Ketergantungan pada generasi tua yang telah

meninggalkan 'nama' mahasiswa menjadi problem serius

ketika; 'menolong berarti menguasai', si 'tua' terus terikat

pada cerita-cerita lamanya dan tidak menyalangkan

matanya untuk persoalan mahasiswa hari ini. Generasi

hari ini, jika terus dipandang sebagai anak baru kemarin

yang tidak tahu apa-apa akan membekukan fikiran

mereka. Kita tahu, fikiran kreatif tidak akan disebut

gebrakan baru jika tertahan di pola lama. Yang mesti

dilakukan gerakan berkaitan dengan generasi

terdahulunya adalah mempertanyakan laku baik mereka

dan meninggalkan kesalahan hari lalu. Bagi generasi

lewat atau generasi yang akan lewat, dengan pahit harus

disebutkan, hendaknya siap untuk tidak didengarkan lagi

atau siap untuk akan ditinggalkan –dan mungkin

dilupakan. Bisa saja yang terakhir ini menjadi

keniscayaan; bukankah sebuah idealism hendaknya tanpa

pamrih?

Selanjutnya persoalan ideologi. Kebanyakan kita

melihat soal terakhir ini sebagai sesuatu yang telah

selesai dan tak perlu di pertanyakan lagi. Ini benar-benar

keliru. Mempertanyakan berarti membongkar ulang,

mempertanyakan bisa juga bermakna mencari lebih

telaten. Namun pertanyaan-pertanyaan yang muncul

dalam diskusi ideologi internal gerakan acapkali

kamuflase dari pembenaran-pembenaran ideologi.

Ideologi dimaknai doktrin.

Lantas itulah, nan bisa dihadirkan disini hanya sebuah

gambaran umum. Setiap gerakan pasti punya pertanyaan

lanjutan untuk gambaran ini. Demikian terjadi, karena

setiap gerakan mempunyai semangat serta sejarah yang

berbeda. Ketika ini dihadirkan, bisa saja dipahami

sebagai pembuka lorong tanpa ujung. Reformulasi

gerakan sebagai agenda yang mesti dibayar tunai.

Ketika formula 'baru' ditemui, gerakan mahasiswa bisa

saja tidak heroik. Tak masalah. Namun jelas gerakan itu

akan mawas diri dengan pembacaan kondisi

kontemporer. Kita rasa ini hasil yang mesti

dipertimbangkan.

Selagi kita belum keburu menghakimi gerakan

mahasiswa –yang kita masuk didalamnya- sebagai

gerakan abal-abal, pengaturan internal gerakan sebagai

subyek (autogestion) bisa jadi tawaran atas pertimbangan

itu. Belum lagi persoalan eksternal yang menusuk sampai

kejantung lembaga dan cultural gerakan kita. Mulai dari

hal lumrah namun sulit seperti tuntutan orang tua dan

ketidakpastian masa depan, hingga hal transendental

seperti soal tawar posisi dan eksistensi. Ketika ini

disebutkan, kita rasa kelompok lain –mungkin kelompok

diluar gerakan mahasiswa- akan merenungkan diri juga.[]

Redaksi

EDITORIAL

Autogestion

Redaksi SLiLiT ARENA menerima kritik dan saran terhadap editorial.Silahkan kirim ke alamat redaksi LPM ARENA atau lewat e-mail [email protected]. Bentuk tulisan utuh 400-700 kata. Sertakan biodata lengkap. Judul file: Saran/Kritik Editorial_SLiLiT ARENA

Sabtu, 12 Oktober 2013

Page 6: Buletin slilit arena oktober 2013

us UIN merupakan fasilitas dari universitas untuk mahasiswa Byang sekarang mulai jarang

digunakan oleh mahasiswa. Hal tersebut bukan tanpa a lasan . Pera turan pemerintah yang telah ditetapkan mulai 29 Mei 2012 bahwa nomor kendaraan berplat merah atau milik pemerintah harus memakai pertamina dek atau non subsidi. Akibatnya tarif penyewaan bus UIN meningkat, apalagi pada hari libur kerja Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sedangkan banyak kegiatan mahasiswa yang mengambil hari-hari tersebut, sehingga mahasiswa lebih memilih menyewa bus luar.

Seperti yang diakui oleh Ibnu Hibban, panitia Pelatihan Kader Dasar (PKD) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Pada tanggal 20-25 September 2013, Hibban berencana akan melakukan PKD di Kalasan. Ia meengaku enggan menyewa bus UIN, dan lebih memilih menyewa bus luar dengan alasan harganya lebih murah. “Kan itu sesuatu

yang lucu, fasilitas yang ada di UIN terkadang mahasiswa yang mau memakai kesulitan. Harus mengikuti prosedur-prosedur tertentu, kemudian dihalangi dengan harga yang sangat tinggi menurut saya, karena dibandingkan dengan bus luar malah lebih murah,” katanya.

Ia juga mengatakan, prosedur peminjaman bus UIN sangat lama. “Kita memutuskan memakai bus luar karena memang pertimbangannya daripada megikuti proses yang ada lebih baik kita memakai bus luar tanpa prosedur yang penting DP selesai,” kata Hibban.

Sementara itu Riyadi Suryana, ketua Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Al-Jamiah menceritakan pengalamannya beberapa kali ketika proses menyewa bus UIN. Bulan oktober tahun lalu, UKM Al-Jamiah berencana ingin menggunakan bus UIN untuk melaksanakan agenda Perekrutan Anggota Baru di Magelang. Namun mereka gagal memakai bus UIN dikarenakan hingga hari-H belum ada kesepakatan biaya dengan Nur Hadiyah,

Kasubag Perlengkapan dan Transportasi Bagian Rumah Tangga Biro Adum. Akhirnya mereka menyewa bus luar. “Kita lebih memilih bus luar, karena bus UIN operasionalnya lebih mahal. Memang normal, bus UIN kan plat nya merah, jadi tidak ada subsidi sehingga biaya lebih mahal. Hampir lebih mahal sekitar 60%,” jelasnya.

R i y a d i j u g a m e n c e r i t a k a n pengalaman yang lain. Sekitar delapan bulan yang lalu ketika UKM Al-Jamiah ingin mengadakan promosi UKM di MAN Gandekan Bantul. Ia mengakui bahwa sudah fix akan menyewa bus UIN. Tetapi ternyata ketika akan berangkat, bus UIN tidak bisa berangkat. “Kita dil-dilannya sama pak Budi (supir bus UIN) sudah oke. Cuma pas paginya itu bus tidak bisa keluar karena kunci masih di bu Nur, ya mungkin itu harganya nggak pas,” ungkapnya.

Riyadi menyarankan, lebih baik masalah perhitungan biaya sewa bus UIN diserahkan pada supir bus. “Serahkan

UNIVERSITARIA

SLiLiT ARENA6 |

Oleh: Faridatul Chusna, wawancara bersama Hartanto Ardi Saputra

Salah satu tujuan pengadaan bus UIN ialah untuk mendukung kegiatan mahasiswa. Namun pada keyataannya, mahasiswa enggan untuk menyewa bus UIN. Alasannya karena biaya sewa bus dianggap terlalu mahal dan mekanisme yang terlalu menyulitkan mahasiswa.

Kemahalan, Mahasiswa Ogah Pakai Bus UIN

Senin (30/9) Bidang

Pemberdayaan Masyarakat

(Dayamas) BNNP DIY

melakukan tes urine pada

mahasiswa UIN Suka. Tes

Urine kali ini diiukti sekitar 50

mahasiswa Jurusan PMI

Fakultas Dakwah. Kegiatan

yang bertajuk “Peran serta

Kampus dalam Menciptakan

Kampus Bebas Narkoba” ini

merupakan agenda Dayamas

BNNP-DIY guna

mensosialisasikan bahaya

narkoba. Kegiatan ini

melibatkan 5 kampus yang

ada di Yogyakarta. Yakni UIN

Suka, Janabadra, Atmajaya,

Amikom, dan Poltekkes Bhakti

Sosial Indonesia.[] Abdul

MadjidAb

du

l Ma

djid

/LP

M A

RE

NA

Sabtu, 12 Oktober 2013

Page 7: Buletin slilit arena oktober 2013

UNIVERSITARIA

saja pada driver nya. Driver nya kan lebih tau. Kalau bu Nur kan di dalam ruangan sehinga peritungannya kan kurang valid. Mungkin lebih bagusnya diserahkan ke driver nya. Nanti dari driver kan komunikasi ke bu Nur dari perjalanan ke mana habisnya sekian”. Ia berharap bus UIN lebih bisa membantu kegiatan mahasiswa.

Menanggapi masalah bus UIN yang semakin mahal Nur mengatakan bahwa bus UIN sekarang menggunakan solar non subsidi sejak peraturan pemerintah pada 29 Mei 2012. Selain itu, salah satu faktor sewa bus UIN mahal dikarenakan honor untuk supir pada Sabtu-Minggu diluar jam kerja. “Penyewaan hari Sabtu dan Minggu itu kan hari libur. Driver kan mesti kalo tidak sesuai dengan (maaf) ganti kecapean. Karena kan istilahnya kita manusia. Beliau kan juga punya waktu buat keluarga, ngapain kalau kesana nganter-nganter kalau tidak sesuai dengan penghasilan,” tuturnya.

Kabag Rumah Tangga UIN Suka Ali Sodiq mengatakan, bus UIN saat ini berjumlah dua unit. Yang satu ber-AC dan yang lain tak ada fasilitas AC nya. Bus yang ber-AC khusus untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat tamu, sedangkan yang non-AC khusus untuk mem-back up kegiatan mahasiswa. Alur peminjaman bus UIN yaitu dengan cara mengajukan surat permohonan peminjaman bus, ditujukan ke Rumah Tangga. Tapi surat diserahkan pada bagian TU, kemudian baru didisposisi ke bagian Rumah Tangga.

Tak jauh berbeda degan Nur, Ali Sodiq mengatakan, biaya sewa hari Sabtu-Minggu lebih mahal dikarenakan tambahan biaya sopir. Jika hari Senin-Jum'at itu peminjam tidak dikenakan biaya sopir, karena sopir itu PNS. Tapi kalau hari Sabtu-Minggu, peminjam dikenakan biaya sopir, karena diluar jam kerja PNS. Antara Rp 50.000, - Rp 100.000, dan juga menginap atau tidak. “Karena sopir itu kan terbatas, cuma seorang. Pemakaian kebanyakan hari Sabtu-Minggu, siapa sih orang yang dalam satu minggu pergi terus. Senin-Jumat masuk kerja. Sabtu-Minggu masih suruh anter mahasiswa, dia kan punya hak untuk keluarga,” katanya.

Mekanisme penghitungan harga sewa bus UIN ditentukan dari jarak tempuhnya, karena berpengaruh pada BBM. Harga BBM untuk mobil plat merah yaitu Rp 10.700,-/liter. Bus UIN

bengung-bengung

satu liter maksimal menempuh jarak 5 Km. Jika jaraknya jauh, semisal luar Provinsi, akan dikenakan biaya pemeliharaan bus kepada si peminjam. Karena dana pemeliharaan bus dari negara tidak cukup bila tingkat pemakaiannya terlalu jauh. Semua dana yang diperoleh dari penyewaan bus UIN akan masuk dalam Badan Layanan Umum.

“Misalnya ke Parangtritis, pulang-pergi katakanlah 80 Km, maka biaya sewanya Rp 171.200,-. Karena plat merah itu harus menggunakan pertamina dek (non subsidi), jika melanggar akan diberi sanksi terhitung mulai 29 Mei 2012 lalu,” kata Ali Sodiq.

Hal yang berbeda dialami oleh UKM Korps Suka Rela (KSR). Pada bulan Mei 2013 lalu, UKM KSR melakukan kunjungan Palang Merah Indonesia ke Jakarta Timur dan Universitas Negeri Jakarta selama 4 hari 3 malam. Ciheni, bendahara KSR mengatakan, penyewaan bus UIN dihitung 3 hari yaitu Rp 300.000,-. Tetapi biaya kru bus dan BBM, tarif tol, perawatan, dan lain-lain ditanggung sendiri. Karena keterbatasan dana, KSR minta keringatan kepada rektorat. Akhirnya biaya Rp 300.000,- tersebut dihilangkan. BBM juga mendapat yang subsidi dari rektorat. Hanya dikenakan biaya supir Rp 1 .200 .000 , - . To ta l b i aya yang dikeluarkan selama 3 hari penyewaan bus UIN yaitu Rp 3.170.000,-.

“Kalau dibanding dengan bus lain, bus UIN jauh lebih murah. Kalau perhitungan bus pariwisata Yogyakarta-Jakarta sewa 2 juta perhari,” kata Ciheni.

Ketika dimintai alasan rektorat memberi subsidi terhadap UKM KSR terkait penggunaan bus ke Jakarta terkait adanya subsidi dari rektorat, ia mengungkapkan tidak tahu menahu. “Saya tidak tahu itu, subsidi apa? Saya tidak paham,” katanya.

Sementara itu, Budi, supir bus UIN Suka mengatakan dirinya tidak mengenal istilah uang lembur. “Kalau kerja Sabtu-Minggu boleh dihitung lembur, tapi tidak ada hitungan uang lembur. Ya cuman kalau ada tarikan bus, ya sisa-sisa dari

pembelian solar. Kalau Sabtu-Minggu nganter mahasiswa saya nggak pandang hari kerja atau libur,” ungkapnya lantas tertawa.

Budi mengiyakan bahwa kegiatan mahasiswa yang memerlukan jasa bus UIN kebanyakan hari Sabtu, Minggu, dan hari libur/tanggal merah. “Kalau mau minta tarif tambahan buat anak-anak, saya nggak tega. Dapatnya ya dari uang solar. Umpamanya dapatnya Rp 350.000,- katakan, buat belanja solar Rp 200.000,-. Masih Rp 150.000,- ,ya itu uang lembur saya,” kata Budi.

Budi menjelaskan, ketentuan harga semuanya diatur oleh Nur, dengan penghitungan biaya sewa yaitu jarak tempuh. Ia menyadari tarif sewa bus UIN terlalu mahal untuk dijangkau oleh mahasiswa UIN, karena hitungannya ialah BBM non subsidi.

Ia mengatakan, “Kalau dipakai anak-anak (mahasiswa UIN) saya usahakan pakai solar subsidi. Saya beli nggak pakek bus UIN, saya beli ke teman. Kadang Rp 6.000,-/liter, kadang Rp 6.500,-. Bu Nur tahu, kebetulan yang ngejok teman kantor. Harusnya dikurangi, tapi saya nggak tahu bu Nur mintanya ke mereka berapa.”

“Sebenarnya ini tadi rahasia. Seharusnya kan kita beli solar yang non subsidi, karena untuk anak-anak akhirnya tak bantu kayak gitu biar operasional jalan.”

Budi mengkritisi kepemimpinan Nur dalam mekanisme penyewaan bus UIN. Menurutnya, lebih baik dirinya yang l a n g s u n g b e r h u b u n g a n d e n g a n m a h a s i s w a . K e r u w e t a n d a l a m mekanisme penyewaan bus yang menyebabkan mahasiswa enggan menggunakan bus UIN.

“Ya saya bilang ke bu Nur gitu. Dalam arti kalau untuk anak-anak itu dilangsungkan ke saya. Saya tu sering marah sama bu Nur, sampek kunci saya serahkan. Saya gak mau, males super bis trimo dadi tukang sapu ae. Sekarang anak-anak belum ada yang pinjem, dari sebelum lebaran sampai sekarang,” ungkapnya.[]

SLiLiT ARENA| 7

Ya saya bilang ke bu Nur gitu. Dalam arti kalau untuk anak-anak itu dilangsungkan ke saya. Saya tu sering marah sama bu Nur, sampek kunci saya serahkan. Saya gak mau, males super bis trimo dadi tukang sapu ae. Sekarang anak-anak belum ada yang pinjem, dari sebelum lebaran sampai sekarang

Sabtu, 12 Oktober 2013

Page 8: Buletin slilit arena oktober 2013

SLiLiT ARENA8 |

akultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Sunan FKalijaga yang kedepannya akan

melahirkan insan-insan pendidik, sangat ironis ketika permasalahan dalam hal proses pendidikan (belajar mengajar) masih terkendala masalah kuota dan ruang perkuliahan. Setelah dibukanya Prodi Pendidikan Guru Rhaudatul Athfal (PGRA) dan juga sedang menggodok jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, t e r n y a t a m a s i h m e n i n g g a l k a n permasalahaan yang belum terselesaikan.

PGRA sendi r i d ibuka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat serta undang-undang dimana pemerintah memberikan perintah pada perguruan tinggi untuk memenuhi tuntutan masyarakat serta masyarakat pun menghendaki adanya jurusan baru tersebut. Seperti halnya PGRA, penggodokan Pendidikan Bahasa Inggris pun memiliki alasan yang sama.

Gencarnya FITK membuka jurusan baru ternyata belum diimbangi dengan penyelesaian masalah perkuliahan. Seperti yang terjadi di Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) dimana beberapa kuota ada yang mencapai 60. Hal tersebut ditanggapi K a j u r P G M I I s t i n i n g s i h y a n g mengatakan, sebenarnya pada awal penginputan PGMI hanya akan menawarkan kuota 45 namun dari pihak PKSI justru membuka kuota 60.

Dulu sebelum masa revisi selesai, PGMI pernah mengkomunikasi dengan pihak PKSI. Intinya mencari solusi dari masalah kuota itu, dimana akan ada rencana pemerataan kelas di PGMI. Yang k o n s e k u e n s i n y a m e m i n d a h k a n mahasiswa dari kelas gemuk ke kelas yang longgar. Secara sistem hal tersebut masih mungkin dilakukan. PKSI nantinya hanya akan mensupport secara teknis jika akan ada pemerataan. PKSI hanya tinggal menunggu konfirmasi

karena dalam hal tersebut m e n j a d i w e w e n a n g jurusan.

Rencana pemerataan mahas i swa PGMI dari kuota yang terlalu gendut ke kelas yang kuotanya longgar ditegaskan oleh Kajur bahwa hal tersebut bukan kepentingan jurusan, namun hal tersebut dilakukan untuk kepentingan mahasiswa sendiri agar perkuliahan berjalan dengan nyaman dan efektif. Ini semua baru simulasi dengan memperhatikan makin sedikit kuota maka kuliah akan semakin efektif. “Dalam hal kuota yang tidak sesuai dengan yang ditawarkan dari PGMI dimana kuotanya ditambah adalah karena kesalahan sistem,” kata Isti.

Dari pihak Pusat Komunikasi dan Sistem Informasi (PKSI) menanggapinya dengan mengatakan, masalah kuota ataupun ruang perkuliahan adalah hak dari tiap-tiap jurusan. Karena masalah kuota sebenarnya sudah dirapatkan d a l a m r a p a t a k a d e m i k y a n g diselenggarakan di PAU (Pusat Administrasi Umum) yang dihadiri oleh W R I ( b a g i a n A k a d e m i k d a n Kemahasiswaan), Biro AAK, serta Wakil Dekan I dari tiap-tiap fakultas. “Yang menjadi miss komunikasi mungkin karena tidak semua Kaprodi/Kajur mengetahui,” ujar Agung, ketua PKSI.

Dalam hal kuota, sampai saat ini dari masing-masing pihak (PKSI dan Prodi-Red.) sedang menuggu kepastian untuk memastikan pemerataan. Dari pihak PKSI yang menunggu persetujuan dari pihak Prodi dan dari pihak fakultas yang berusaha mengkomunikasikan tentang hal ini.

Sampai berita ini diturunkan, pemerataan mahasiswa tersebut belum juga direalisasikan. “Belum ada info

lebih lanjut dari fakultas dan Kabag TU. Saya sudah menghubungi ibunya (Kajur PGMI-Red.). Tapi belum fix,” kata Agung.

Ternyata dari jurusan baru yang dibukapun memiliki permasalahan tidak jauh berbeda PGMI yaitu mengenai kuota yang gemuk. Kuota di PGRA pada awalnya hanya akan menerima 40 mahasiswa, namun sekarang berjumlah 52 mahasiswa. Menurut penuturan Kaprodi PGRA Sumedi, hal ini disebabkan kekhawatiran dari pihak Fakultas jika yang registrasi ternyata kurangdari 40 mahasiswa, sehingga yang diterima jumlahnya 62 mahasiswa, dan yang melakukan registrasi ada 52 mahasiswa.

“Harusnya mahasiswa yang diterima diatas 40, diterima dengan syarat apabila dari 40 mahasiswa yang diterima ada yang mengundurkan diri atau tidak daftar ulang. Dengan begitu jumlah mahasiswa yang ada tidak akan lebihdari 40 orang,” ujar Sumedi.

Dalam hal perkuliahan apabila jumlah mahasiswanya terlalu gendut dirasa kurang efektif hal proses belajar mengajar tersebut disampaikan Nur dan Tika mahasiswa PGMI semester tiga. Hal senada juga disampaikan Agustin mahasiswa PGMI semester lima yang menyayangkan terjadinya masalah kuota dalam proses belajar mengajar. Karena semisal terjadi pemerataan dan mahasiswa harus mengikuti kelas lain se te lah pemera taan , sedangkan mahasiswa menginput KRS tujuannya untuk menyesuaikan jadwal kegiatan

Fakultas Pendidikan Bermasalah dalam Kuota

Oleh Annisatul Ummah

FITK tengah gencar membuka jurusan baru. Alasannya untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Namun di balik itu semua, fakultas yang seharusnya mencerminkan pendidikan yang ideal ini masih bermasalah dalam hal kuota kelas yang dianggap terlalu gendut.

UNIVERSITARIA

Kuota input KRS Jurusan PGMI

An

nisa

tul U

mm

ah

/LP

M A

RE

NA

Sabtu, 12 Oktober 2013

Page 9: Buletin slilit arena oktober 2013

mahasiswa. “Dengan gencarnya fakultas membuka jurusan baru dimana perkuliahan terselenggara sampai menjelang magrib, dikhawatirkan akan terjadi jam kuliah malam,” tutur Agustin.

Ta n g g a p a n l a i n d i l o n t a r k a n

Sugiantoro, mahasiswa Manajemen Pendidikan Islam semester sembilan yang mengatakan pembukaan jurusan baru di FITK menurutnya bagus, namun yang terpenting disini bagaimana menerima mahasiswa baru yang merata.

“Dalam hal pendidikan, Tarbiyah akan melahirkan kader-kader pendidik. Perihal kedepannya akan ditentukan masing-masing kepala yang akan terjun dalam dunia pendidikan,” katanya.[]

erubahan kurikulum wajib dilakukan oleh semua Perguruan PTinggi setiap lima tahun sekali.

Konversi matakuliah merupakan bagian di dalamnya, sebagai usaha untuk memperbaiki kurikulum agar lebih baik. Kurikulum sendiri merupakan milik beberapa pihak di dalamnya, yakni mahasiswa, dosen, dan instansi kampus itu sendiri.

UIN Sunan Kalijaga pada tahun ini untuk pertamakalinya melakukan perubahan kurikulum secara serempak di semua fakultasnya. Akan tetapi perubahan kurikulum tahun ini belum dipersiapkan sepenuhnya, sehingga dampaknya membawa kebingungan kepada mahasiswanya, terkecuali mahasiswa baru 2013.

Molornya pengimputan Kartu Rencana Studi (KRS) dan masa revisi sudah menjadi fenomena setiap tahunnya. Tahun ini hal tersebut kembali terjadi. Pengimputan KRS dan masa revisi yang semula ditetapkan pada tanggal 19 Agustus diperpanjang sampai pada tanggal 14 Oktober. Hal tersebut karena adanya konversi mata kuliah.

Bukan hanya itu. Telatnya sosialisasi konversi matakuliah, yang ternyata disebabkan ketidakjelasan koordinasi pihak-pihak yang terkait dalam proses konversi matakuliah menjadi persoalan tersendiri. Hal tersebut dialami Jurusan Keuangan Islam (KUI) yang sampai minggu ketiga masa perkuliahan masih ada penambahan matakuliah baru.

Muhammad Saefullah, mahasiswa Jurusan KUI mengeluhkan konversi yang

terkesan muncul tiba-tiba tanpa ada pemberitahuan dan sosialisasi konversi matakul iah . Hal te rsebut yang menyebabkan dirinya kebingungan dalam pengimputan KRS.

“Waktu awal, bingung juga sih mas ngisi KRS nya. Soalnya di KUI sendiri tidak ada pemberitahuan atau sosialisasi bahwa ada konversi matakuliah,” ucap mahasiswa yang sudah menginjak semester lima itu.

Senada dengan itu, problematika mandeknya koordinasi di internal Jurusan KUI juga dirasakan oleh mahasiswa la in seper t i Wahid , mahasiswa Jurusan KUI semester tujuh “Nggak cuma saya mas yang belum paham konversi itu seperti apa, temen-temen saya juga,” paparnya.

Ia juga menyayangkan proses civitas akademik yang sampai minggu ketiga belum juga kondusif. Masih juga ada mata kuliah yang dalam pengisian KRS dosennya default, kelas yang diliburkan, sampai absensi yang belum jadi, “Wah kacau mas, sampai sekarang belum kondusif, masih ada dosen default, absensi belum jadi, ya banyak lah,” tutur mahasiswa yang sedang menunggu jam perkuliahan.

Ditemui di sekretariat BEM-J, Sururuddin selaku ketua BEM-J KUI sendiri menjelaskan, isu renggangnya hubungan Kajur dengan dosen di internal KUI terkait konversi saat ini tengah merebak. Isu tersebut juga disebabkan karena terbaginya fokus dosen-dosen KUI yang sebagian dari mereka juga mengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Islam (FEBI). “Saya rasa tidak hanya karena

koordinasi Kajur ke dosen yang m e n g h a m b a t c i v i t a s a k a d e m i k mahasiswa KUI, tapi terbaginya fokus dosen oleh FEBI juga. Makanya kelas sering kosong atau libur,” terangnya. Menurut mahasiswa semester lima itu, harusnya problematika gejolak di internal KUI bisa cepat diatasi sebelumnya, sehingga tidak menghambat proses perkuliahan mahasiswa.

Terkait sosialisasi, pihak jurusan sendiri sudah mengirimkan surat kepada BEM-J untuk memberitahukan kepada mahasiswa KUI tentang adanya konversi matakuliah. Namun BEM-J sendiri tidak mengetahui per iha l sura t yang dilayangkan oleh jurusan untuk mengumumkan konversi tersebut. “Surat dari Kajur saya kurang tahu ya mas, karena kami juga waktu itu sedang sibuk mengagendakan OPAK,” tambahnya.

Di ruangannya, Widiarini yang baru d i a n g k a t s e b a g a i K a j u r K U I m e m b e n a r k a n b a h w a k o n v e r s i matakuliah tahun ini tidak melalui koordinasi terlebihdahulu dengan dosen-dosen KUI. Menurutnya, hal ini disebabkan waktu yang diberikan oleh Wakil Rektor I untuk pembuatan format kurikulum Jurusan KUI terbatas. Sehingga dirinya belum mempersiapkan dan mengkoordinasikan dengan dosen-dosen KUI. Disamping itu, dirinya baru diangkat sebagai Kajur KUI, yang sebelumnya dijabat oleh Slamet Hilmi.

“Waktu yang diberikan untuk mengkonversi terbatas mas, jadi ya

Mandeknya koordinasi konversi matakuliah 2013 di Jurusan KUI antara Kajur dan dosen-dosennya membuat hubungan kedua belah pihak menjadi renggang. Mahasiswa terkena dampak nyata atas kejadian ini.

Mahasiswa KUI Keluhkan Kemelut Konversi

Oleh Andy Robandi

SLiLiT ARENA| 9

UNIVERSITARIASabtu, 12 Oktober 2013

Page 10: Buletin slilit arena oktober 2013

nggak sempet koordinasi, dan saya juga soalnya baru diangkat jadi Kajur jadi agak sedikit kebingungan juga,” ucapnya.

Terkait sosialisasi , Widiarini mengatakan, dirinya telah mengirimkan s u r a t k e p a d a B E M - J u n t u k mengumumkan bahwa akan ada konversi matakuliah. Begitu juga dengan dosen-dosen KUI, juga telah dikirimi surat untuk menghadiri rapat perubahan kurikulum. Namun tak ada satupun dosen yang hadir di dalam ruang rapat.

“Saya sudah ngirim surat ke anak BEM-J dan dosen-dosen tentang adanya konversi mas, tapi ya mungkin masih pada sibuk. Yang satu ngurusin OPAK, dan yang dosen-dosen mungkin juga masih berkumpul sama keluarganya, karena habis lebaran juga kan mas,” katanya.

Akhmad Yusuf Khoiruddin, salah seorang dosen di KUI menanggapi hal ini. Dirinya mengakui tidak adanya koordinasi dari awal antara dosen-dosen KUI dan Kajur. “Selama ini ada kesan yang tidak bisa ditutup-tutupi memang, tapi bukan karena kami sibuk mas, tapi

karena tidak adanya pemberitahuan dari awal soal konversi,” kata dosen yang juga mengajar di FEBI ini.

Ketidakhadiran dosen-dosen dalam rapat adalah bagian dari kekecewaan para dosen terhadap Kajur, yang sebelumnya sudah membuat format kurikulum baru tanpa perundingan atau koordinasi dengan dosen-dosen KUI. Menurut Yusuf, kesibukan dosen KUI yang juga mengajar di FEBI tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak melakukan koordinasi. Kerena sejauh ini, dosen-dosen tersebut masih bisa mengatur waktu.

“Kemaren-kemaren memang mau ngadain rapat, tapi buat apa rapat kalau ternyata format kurikulum itu sendiri sudah dibuat. Menurut saya, rapat kemarin itu kayak pembentukan silabi,” kata Yusuf.

Dari gedung rektorat, Sekar Ayu Aryani selaku Wakil Rektor I, angkat bicara terkait perubahan Kurikulum 2013. Sekar menjelaskan, aturan perubahan kurikulum tersebut sudah lama, yaitu semenjak kepemimpinan Musa Asy'ari. “SK perubahan kurikulum udah ada mas, itu sudah ada tiga tahun

yang lalu sejak pak Musa diangkat sebagai rektor. Kalau terkait waktu yang dikasih sebenarnya enggak kok, itu kan sudah lama dan kita sudah melakukan rapat dengan semua Kajur sebelumnya,” katanya.

“Kalau terkait format kurikulum, yang berhak menentukan ya memang prodi/jurusan, bukan hanya Kajur,” kata Sekar menambahi.

Noorhaidi selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum juga angkat bicara. Menurutnya, isu tersebut hanya provokasi dari segelintir orang, di tengah kondisi Jurusan KUI yang memang sedang tidak maksimal. Noorhaidi mengatakan, terbaginya fokus dosen KUI dengan FEBI membuat konversi jadi tidak maksimal.

“KUI memang sedang dikasih cobaan mas. Sebagian dosennya kan ngajar juga di FEBI, jadi ya agak terganggu juga, harus ngurus dua fakultas. Saya berani menjamin mas, design kurikulum di Syariah yang paling baik dibanding dengan fakultas lain,” katanya.[]

erhitung sejak tahun akademik 2013-2014, para mahasiswa TFakultas Ekonomi dan Bisnis

Islam (FEBI) Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka) Yogyakarta kini tidak lagi menjalani proses perkuliahan di gedung TK Raudlatul Athfal UIN Suka. Proses perkuliahan FEBI kini dilakukan di gedung baru yang berada di kawasan University Hotel di Maguwoharjo.

Perpindahan tempat perkuliahan tersebut menjadikan FEBI secara geografis terpisah dari kampus pusat. Kondisi tersebut berdampak pada kesulitan mahasiswa FEBI dalam mengakses fasilitas-fasilitas universitas yang ada di kampus pusat. Mahasiswa

FEBI kini tidak bisa semudah mahasiswa fakultas lain dalam mengakses berbagai fasilitas seperti perpustakaan, Pusat Bahasa Asing (PBA), laboratorium

Information and Communication Technology (ICT) di PKSI (Pusat Komunilasi dan Sistem Informasi), hotspot area, Student Center (SC),

FEBI Pindah, Fasilitas Susah

Keterpisahan geografis antara kampus FEBI dan kampus pusat menyulitkan para mahasiswa FEBI dalam mengakses berbagai fasilitas yang ada di kampus pusat.

Oleh M Arif Setiawan

UNIVERSITARIA

SLiLiT ARENA10 |

Gedung baru perkuliahan FEBI masih dalam tahap pembangunan

M Arif Setiawan/LPM ARENA

Sabtu, 12 Oktober 2013

Page 11: Buletin slilit arena oktober 2013

Oleh Annisatul Ummah

Poliklinik, dan fasilitas-fasilitas lain di kampus pusat. Kesulitan tersebut terjadi lantaran jarak antara kampus FEBI dan kampus pusat dianggap cukup jauh oleh mahasiswa sedangkan fasilitas-fasilitas tersebut tidak tersedia di kampus FEBI.

Kenyataan tersebut disesalkan oleh beberapa mahasiswa FEBI. Seperti yang diungkapkan Jundi, mahasiswa baru Jurusan Ekonomi Syariah yang merasa kecewa tidak bisa mengakses fasilitas-fasilitas di kampus pusat seperti mahasiswa fakultas lain. Padahal, menurutnya mahasiswa FEBI juga punya hak yang sama dengan fakultas lain karena sama-sama bayar. “Pasti kecewa bang, apalagi sebelumnya kita juga udah bayar kayak yang lain. Sehingga ketika kampus FEBI itu pindah ke Maguwo, otomatis fasilitas-fasilitas tersebut tidak bisa kita nikmati setiap hari bang kayak di fakultas-fakultas lain,” keluhnya.

Jundi menuturkan jika selama ini mahasiswa FEBI yang mengikuti kuliah bahasa asing harus bolak-balik menuju kampus FEBI dan kampus pusat. Bahkan ada beberapa mahasiswa FEBI yang selisih antara jam matakuliah di FEBI dengan jam kuliah Bahasa Asing hanya satu jam, sehingga para dosen Pusat B a h a s a m e m b e r i k a n t o l e r a n s i keterlambatan kepada mahasiswa-mahasiswa FEBI. “Sebenarnya ada beberapa hari tertentu mahasiswa FEBI selesai kuliah itu pukul 11.30 kemudian pada pukul 12.30 sudah harus mulai kuliah bahasa sehingga jarak waktu yang dia habiskan untuk shalat, makan siang, dan perjalanan harus cukup dengan waktu satu jam. Dosen-dosen bahasa itu masih memberikan toleransi 15 menit kepada mahasiswa FEBI,” tuturnya.

Ia juga merasa kesulitan jika ada tugas-tugas kelompok karena harus mencari bahan-bahan referensi ke perpustakaan yang berada di kampus pusat. Ia mengatakan “Susahnya kalau ada tugas-tugas kelompok, bahan-bahannya pun mau tidak mau ke perpustakaan, jadi harus main ke kampus pusat lagi.”

Kesulitan lain juga dirasakan Atik mahasiswa Perbankan Syariah semester III yang merasa keadaan di kampus pusat lebih nyaman bagi mahasiswa daripada di kampus FEBI. “Ya enakan disinilah (kampus pusat-Red.). Kalau disini banyak fasilitasnya, mau ngapa-ngapain enak kayak mau ke perpus dan lainnya. Kalau di sana (kampus FEBI) kan

aksesnya lebih sulit karena harus kesini,” ungkapnya pada ARENA.

Kekecewaan lain juga datang dari Mahadir, mahasiswa Keuangan Syariah semester I yang pasrah menerima kebijakan kampus. “Ya kecewa juga sih, tapi gimana ya, kembali kalau kebijakan kampus udah kaya gini kan,” ujarnya. Mahasiswa yang berasal dari Medan tersebut berharap pihak kampus memberi fasilitas bus bagi mahasiswa yang hendak kuliah bahasa asing karena selama ini jika mahasiswa naik TransJogja memakan waktu 30 hingga 40 menit perjalanan dari FEBI ke kampus pusat. “Kalau masalah bahasa gitu kan kalau bisa ada bus gitu supaya kita gak naik Trans. Karena kasihan temen-temen yang jarak jam matakuliah bahasa dengan yang lain mepet. Biasanya paling cepet setengah jam naik Trans, sebenarnya nunggu T r ansnya yang l ama seh ingga perjalanannya bisa sampai rata-rata 40 menit,” harapnya.

Harapan tersebut senada dengan Fauzan mahasiswa Ekonomi Syariah semester III yang berharap setidaknya mahasiswa baru diberikan fasilitas bus supaya tidak kesulitan dalam menjalani perkuliahan bahasa asing.“Kita juga sebenarnya pengen supaya minimal ada akses bus buat mahasiswa baru karena ada kan Maba yang keluar jam 11.30 sedangkan setelah itu harus ke pusat bahasa 12.45, ini kan kendala banget gitu mas,” katanya. Mahasiswa yang aktif di Forum Studi Ekonomi Islam tersebut turut merasa prihatin dengan kesulitan mahasiswa FEBI terutama mahasiswa baru. Mulai dari keadaan gedung FEBI yang dinilai belum kondusif dijadikan perkuliahan karena masih dalam masa pembangunan hingga masalah kesuliatan para mahasiswa dalam mengakses fasilitas kampus.

Keprihatinan lain juga disampaikan Sri Hartati yang merasa kasihan dengan mahasiswa baru yang harus menjalani kuliah bahasa asing di kampus pusat. Ia berharap kuliah bahasa asing bagi mahassiwa FEBI dilakukan di FEBI saja supaya terasa lebih efisien bagi mahasiswa. “Menurut aku kasihan juga mahasiswa baru itu, kan mereka harus repot-repot kesana (kampus pusat-Red.)

terus kalau ada kuliah lagi kan harus ke sini (kampus FEBI-Red.). Seharusnya yang kayak kuliah bahasa itu dilaksanain disini biar lebih efisien gitu,” ucapnya. Mahasiswa Perbankan Syariah semester III tersebut juga berharap jika di FEBI disediakan perpustakaan fakultas supaya mahasiswa FEBI tidak kesulitan dalam mengakses kepustakaan. “Kalau soal p e r p u s t a k a a n , F E B I d i k a s i h perpustakaan lah gitu , alangkah baiknya,” katanya.

Guna mengantisipasi kesulitan-kesulitan tersebut tak ayal membuat beberapa mahasiwa FEBI memilih kost di dekat kampus pusat. Seperti yang dilakukan Ma'ruf yang lebih memilih kost di sekitar kampus pusat tepatnya di Sapen karena ia dapat mengakses fasilitas-fasilitas kampus lebih mudah. “Saya kost di Sapen mas, karena disana kan lebih enak, fasilitas lebih banyak di kampus pusat, terus kayak perpustakaan juga ada disana.” Ia tidak merasa kesulitan ketika hendak kuliah menuju kampus FEBI karena ia memiliki kendaraan roda dua.

Langkah menempati kost di sekitar kampus pusat juga dilakukan Na'mauz Zahirah, mahsiswa Perbankan Syariah semester III. Selain karena dapat dengan mudah mengakses fasilitas-fasilitas di kampus pusat, harga sewa yang ditawarkan tempat kostnya juga lebih murah bila dibandingkan dengan kebanyakan tempat kost disekitar kampus FEBI. Selain itu kebutuhan-kebutuhan seperti makan dan fotokopi, di sekitar kampus FEBI terbatas dan harganya relatif lebih mahal. Berbeda dengan lingkungan kampus pusat yang menawarkan banyak pilihan dan relatif lebih murah. “Kost sekitar sini (sekitar kampus FEBI-Red.) lebih mahal mas, terus kalau mau kayak fotokopi dan makan itu masih sulit lah dan secara harga juga lebih mahal. Kalau disana kan pilihannya banyak, kalau disini terbatas mas,” ungkapnya.

Pilihan menempati kost di sekitar kampus pusat memang menjadi pilihan alternatif bagi beberapa mahasiswa FEBI dalam mengatasi keterbatasan fasilitas di kampus FEBI. Khususnya bagi mereka yang memiliki kendaraan pribadi.[]

SLiLiT ARENA| 11

UNIVERSITARIA

Menurut aku kasihan juga mahasiswa baru itu, kan mereka harus repot-repot kesana (kampus pusat-Red.) terus kalau ada kuliah lagi kan harus ke sini (kampus FEBI-Red.). Seharusnya yang kayak kuliah bahasa itu dilaksanain disini biar lebih efisien gitu

Sabtu, 12 Oktober 2013

Page 12: Buletin slilit arena oktober 2013

rganisasi mahasiswa (Ormawa) sangatlah penting untuk diikuti Okarena dengan mengikutinya

m a h a s i s w a m e m p e r o l e h s u a t u pengalaman yang sangat berharga. Selain itu, Ormawa juga merupakan wahana pengembangan softskill yang tidak didapatnya di kelas reguler.

Ormawa-ormawa yang ada di UIN Suka, baik itu yang intra (seperti UKM dan BEM) maupun yang ekstra (PMII, HMI, KAMMI, IMM, dan lain-lain) selain sebagai wadah para mahasiswa untuk berorganisasi juga akan melatih mahasiswa dalam hal kepemimpinan, manajemen, membangun wawasan akademik, menumbuhkembangkan idealisme, menumbuhkan rasa tanggung jawab, solidaritas, rela berkorban dan lain sebagainya. Sehingga mahasiswa bisa belajar banyak disana dan juga sebagai proses pendewasaan diri.

Hal ini selaras dengan pandangan Zundi, mahasiswa Jurusan Ekonomi Syariah semester I, “Terkait kegiatan keorganisasian adalah suatu hal yang penting pastinya karena ketika di perkuliahan kita hanya belajar dan belajar. Namun ketika kita mengikuti organisasi ataupun UKM kita dapat merefresh baik dengan musawarah, bertemu temen-temen di organisasi ataupun UKM.”

Hal yang sama disampaikan Fita mahasiswi FEBI semester III, “Tergantung orangnya kalau orangnya aktif, suka dengan hatinya, ya penting. Tapi kalau dia setengah-setengah dalam mengikuti ya kurang penting jadinya,” kata Fita.

Ketika crew ARENA berkunjung ke FEBI di kampus dua yang berlokasi di daerah Maguwohar jo , ak t iv i tas mahasiswa masih jarang terlihat. Hanya terlihat aktifitas perkuliahan di beberapa ruang kelas. Tampak juga beberapa organisasi ekstra yang membuka stand pendaftaran. Diantaranya ialah PMII,

Forum Studi Ekonomi Islam (ForSEI), dan Kopma UIN Suka.

Ageng, salah satu perwakilan dari ForSEI menyebutkan, “Di ForSEI tidak membuka cabang dikarenakan ForSEI sendiri memang lingkupnya seluruh kampus. Kami disini membuka stand bertujuan untuk menjaring mahasiswa FEBI supaya ikut bergabung bersama-sama mengkaji Ekonomi Islam.”

Terkait kegiatan yang berada di kampus pusat yang lokasinya cukup jauh, ForSEI menghimbau mahasiswa FEBI yang sudah tergabung bisa tetap mengikuti kegiatan diskusi di pusat. ForSEI rencananya akan mengadakan diskusi tidak hanya di pusat melainkan di fakultas FEBI.

“Nanti ketika sudah jadi gedung, di sini (FEBI-Red.) kita akan mengadakan diskusi untuk menjalin kekerabatan,” kata Ageng.

Kegiatan Ormawa FEBI saat ini belum ada. Bahkan organisasi internal (BEM-F) pun juga belum terbentuk. Dimas, mahasiswa Jurusan Ekonomi Syariah semester I menyebutkan, kegiatan organisasi di FEBI masih belum ada karena belum ada prosedur yang dibentuk. “Bahkan disini untuk BEM-Fakultas juga belum terbentuk karena merupakan kampus baru,” terangnya.

Pemindahan FEBI dari kampus pusat secara tidak langsung mempengaruhi kegiatan mahasiswa yang sebelumnya sudah mengikuti dan aktif di beberapa Ormawa. Lokasi kampus yang terbilang jauh menjadi faktor terkendalanya beberapa aktifitas kegiatan mahasiswa, pasalnya untuk kegiatan organisasi serta UKM hanya terdapat di kampus pusat.

Hal inilah yang dirasakan Fauzan, mahasiswa Jurusan Ekonomi Syariah semester I, yang sebelumnya sudah lebih dulu mengikuti organisasi ekstra kampus. “Keluhan pasti ada, khususnya untuk anak-anak FEBI itu sendiri karena banyak temen-temen yang masih

memanfaatkan Transjogja. Kalau dari UIN pusat ke sini (FEBI-Red.) masih bisa ditempuh dengan waktu sekitar 15-20 menit. Tapi dari sini ke UIN pusat itu harus ditempuh selama 30-45 menit karena ketika naik Trans harus ikut transit ke bandara Adi Sucipto dulu kemudian baru pindah bus lagi belum lagi kalau tidak kedapatan bus, hal ini tentu sangat melelahkan untuk kami,” kata mahasiswa yang aktif di KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) tersebut.

Hal yang senada juga di ungkapkan Dimas yang mengikuti UKM Olahraga. “Dalam hal perkuliahan di semester ini, setiap hari rabu contohnya, saya full mengikuti kuliah baik di kampus pusat ataupun kampus sini. Dari pukul 07:00 –12.00 WIB di kampus dua, lalu pukul 12:30–14:30 WIB di kampus pusat untuk mengikuti kuliah di Pusat Bahasa. Kemudian pukul 16:00 WIB harus balik lagi ke kampus dua, sehingga hal ini lumayan melelahkan,” kata Dimas.

Kejadian ini tentu menjadi suatu hal yang perlu diperhatikan untuk para pemegang kebijakan baik di FEBI, rektorat, dan pihak-pihak terkait. Karena bagaimanapun, FEBI juga bagian dari UIN Suka yang mahasiswanya berhak untuk berorganisasi. Sehingga perlu adanya terobosan-terobosan baru menyikapi hal ini.

“Keorganisasian serta UKM sangat penting. Pasalnya di FEBI ini belum terdapat yang namanya BEM Fakultas. Sehingga kami diharapkan untuk mengikuti suatu keorganisasian maupun kegiatan lain seperti UKM. Harapannya mungkin untuk kedepannya antara pihak F a k u l t a s a t a u p u n U n i v e r s i t a s bekerjasama khususnya untuk membantu mahasiswa FEBI dengan menyediakan fasilitas mahasiswa FEBI. Mungkin dengan menyediakan bus Universitas untuk melayani mahasiswa FEBI, ” kata Zundi.[]

Pindahnya FEBI dari kampus pusat berdampak kepada kegiatan Ormawa yang dijalani oleh mahasiswa. Mengingat pentingnya hal ini bagi mahasiswa, birokrat diharapkan mengambil langkah-langkah yang pro terhadap kegiatan mahasiswa.

Nafas Ormawa di Kampus Dua

UNIVERSITARIA

Oleh Dedik Prihatmoko

SLiLiT ARENA12 |

Sabtu, 12 Oktober 2013

Page 13: Buletin slilit arena oktober 2013

tulah sepenggal lirik tembang Jawa yang terdengar merdu dari sudut Iruangan kecil Multi Purpose (MP)

sayap barat sore itu, Selasa (24/9). Alunan lagu ini sembari diringi musik tradisional Jawa yang sayup-sayup berbunyi, atau biasa disebut gamelan. Yang memainkannya ialah grup musik karawitan, yang menamai dirinya Suka Laras.

Terlihat disana ada beberapa orang yang sudah lanjut usia. Tetapi memperlihatkan wajah-wajah yang semangat dan kecintaan yang tinggi pada seni. Terlihat ada beberapa orang laki-laki dan satu perempuan yang menabuh gamelan seperti kendang, saron, bonang, rebab, gong, kenong, sleten, gender, dan tak lupa juga ada kecrek sebagai pelengkap. Terlihat juga dua orang perermpuan yang sedang serius menembang lirik tembang diatas.

Sore itu mereka memang sengaja latihan untuk persiapanian pentas pada tanggal 27 September 2013 pada acara dies natalis UIN Sunan Kalijaga yang ke-62. Ini adalah kesempatan mereka pentas yang kesekian kalinya di acara yang diselenggarakan UIN Suka, karena sebelumnya karawitan Suka Laras juga sudah sering tampil di momen-momen besar yang diselenggarakan UIN seperti acara syawalan UIN Suka, sertifikasi guru di UIN Suka, temu kangen alumni Fakultas Dakwah, dan hampir setiap wisuda di UIN Suka pasti mereka ngisi di acara tersebut.

Tembang ini memang sengaja diciptakan oleh Sutiman, selaku penggubah lagu di grup karawitan Suka Laras untuk dipentaskan diacara Dies N a t a l i s U I N S u n a n K a l i j a g a . “Sebenarnya tembang ini menceritakan

tentang bagaimana perubahan PTAIN menjadi UIN,” kata Sutiman di sela-sela menabuh bonang. Tembang ini akan disuguhkan ketika mereka tampil agar orang-orang tahu cerita bagaimana perubahan PTAIN menjadi UIN.

***

Komunitas Karawitan Suka Laras hadir di UIN Suka pada tahun 2009. Kehadirannya dipelopori oleh Sutiman selaku Kamtib Perpus UIN Suka dan t e m a n n y a K a w i t y a n g i n g i n memfungsikan kembali gamelan yang ada di UIN. “ Banyak gamelan tapi tidak digunakan,” jelas Sutiman.

Nama Suka Laras ini diambil dari kata Suka dari kata “Sunan Kalijaga” sebagai simbol kalau komunitas ini berasal dari UIN Sunan Kalijaga dan Laras diambil dari bahasa Jawa yang artinya nada. Hadirnya Suka laras ini memiliki tujuan untuk mensyiarkan agama lewat gamelan. “Sebenarnya kalau kita melihat sejarah dulu, Sunan Kalijaga juga salah satu wali yang menyebarkan agama Islam lewat gamelan. Jadi sangat pas jika karawitan Suka Laras ini juga hadir di UIN Suka,” kata Sedya Sentosa, selaku ketua dua di Suka Laras.

Suka Laras in i hadi r untuk masayarakat UIN. Semuanya bisa berlatih, baik dosen, staf, karyawan, hingga mahasiswa. Sampai saat ini anggota Suka Laras sudah ada 19 anggota yang berasal dari kalangan dosen dan staf karyawan UIN Suka dan 40 orang yang berasal dari mahasiswa.

Karawitan suka Laras ini mempunyai jadwal latihan seminggu dua kali. Pada hari Selasa dan Jumat, pukul 14:00 WIB sampai 16:00 WIB. Hari Selasa khusus

untuk anggota dosen dan staf karyawan, dan Jumat untuk para mahasiswa. Untuk pelatih karawitan sendiri meminta kepada masyarakat sekitar UIN Suka yang berdomisili di daerah Sapen yang memang berkompeten dalam bidang ini yakni Jumadi.

Sedangkan untuk reqruitment anggota sendiri Suka Laras memang tidak ada buka stan atau persyaratan tertentu, bagi yang punya minat dan kemauan langsung saja daftar dan ikut latian bersama Suka Laras. “Kita memang tidak buka stan, tapi cukup gethok tular dari mulut ke mulut, karena kalau ada niat pasti ada kemauan,” kata Sedya .

Layaknya komunitas yang lain, keberadaan karawitan Suka Laras juga mengalami pasang surut dalam perjalanannya. “Tetapi pada saat itu UIN Suka pernah mengadakan pagelaran wayang dengan mengundang dalang Ki Anom Suroto, ternyata mendapat tanggapan yang luar biasa di masyarakat UIN dan sekitarnya, dan mulai dari situlah karawitan Suka Laras ini mulai bangkit kembali,” kenang Sedya dengan mengulum senyum. Harapannya dengan manusia berlatih karawitan akan menjadi manusia yang berkarakter.

Adanya karawitan Suka laras ini diharapkan menjadi sebuah sarana untuk mengaktualisasikan nilai-nilai budaya lokal, serta menggali budaya lokal itu sendiri karena pentingnya budaya lokal yang harus dilestarikan. “Anglaras ilining banyu, angeli ananging ora keli 'Islam itu harus mengikuti perkembangan zaman, tetapi bukan berarti larut dalam zaman tersebut',” tutur Sedya diujung pembicaraan sore itu.[]

Satu Tembanguntuk Dies Natalis Anglaras ilining banyu, angeli ananging ora keli 'Islam itu harus mengikuti perkembangan zaman, tetapi bukan larut dalam zaman tersebut'

Jaman kang kapungkurP.T.A.I.N kang namiTemah institut sanyataPawiyatan luhur yektiJumangkah universitasRongewu papat dumadi

Oleh Wakhidatul Khoiriyah

SLiLiT ARENA| 13

Suka Laras tampil pada acara Syawalan UIN Sunan Kalijaga 2013 di Gedung Multi Purpose

BUDAYA

Lu

ga

s S

ub

ark

ah

/LP

M A

RE

NA

Sabtu, 12 Oktober 2013

Page 14: Buletin slilit arena oktober 2013

pakah di luar negeri ada

OPAK? Pertanyaan itu Amenggambarkan rasa ingin

tahu yang mendalam terhadap

OPAK. Karena selama ini, yang

terlihat dan terekam di benak calon

mahasiswa atau bisa dikatakan

mahasiswa baru adalah kesiapan

mental untuk berhadapan dengan

kakak senior mereka di kampus dan

akan “dikerjain” habis-habisan. Tentu

banyak alasan yang akan

dikemukakan oleh para senior untuk

menepis hal tersebut. Dan yang paling masyhur adalah

untuk melatih dan menanamkan jiwa kekritisan dan

kepekaan mahasiswa terhadap kondisi social saat ini.

Akan tetapi, pertanyaannya sekarang adalah apakah

menanamkan jiwa kekritisan dan kepekaan itu hanya bisa

dilakukan dengan kekerasan dan senioritas? Yang lebih

memprihatinkan lagi, tidak sedikit dari senior yang justru

mencontohkan sikap yang kurang baik kepada juniornya.

Inilah permasalahan yang harus dikaji kembali atau

meminjam istilah Nurkholis Majid yaitu “menyegarkan

pemikiran”. Kita butuh penyegaran pemikiran, untuk

merefresh kembali paradigma yang salah terhadap

implementasi OPAK.

Kembali ke pertanyaan di awal, apakah di luar negeri

ada OPAK? Kalau kita browsing internet, kita bias

mengetahui bahwa di luar negeri pun ternyata ada OPAK.

Hanya saja, dalam hal ini yang perlu ditekankan adalah

implementasi OPAK nya yang tidak mengenal kekerasan

dan senioritas. Peran OPAK sebagai wadah bagi

mahasiswa baru untuk mengenal lingkungan kampus

dan akademik benar-benar berjalan dengan kondusif.

Berbeda halnya dengan yang terjadi di Indonesia saat ini.

Mayoritas universitas baik negeri maupun swasta,

berlomba-lomba untuk menunjukkan kehebatannya

dalam mengelola OPAK. Hal ini dibuktikan dengan

pengadaan atribut yang aneh dan unik bagi mahasiswa

baru. Seolah-olah mahasiswa baru itu laksana anak ayam

yang mau untuk disuruh apa saja. Tentunya hal ini sudah

lari dari tujuan awal diadakannya OPAK.

Oleh karena itu, yang perlu dirombak bukanlah

peniadaan OPAK, tetapi peniadaan kekerasan ataupun

senioritas termasuk pengadaan atribut-atribut yang tidak

perlu. Disadari atau tidak, atribut-atribut tersebut hanya

membuang-buang uang saja dan mengotori lingkungan.

Kalau mau observasi, beberapa hari setelah OPAK selesai,

sampah bekas atribut OPAK masih ada yang berserakan

di halaman fakultas tertentu.

Dilihat dari sudut pandang manapun, tentunya akan

bertabrakan dengan nilai-nilai kebenaran. Termasuk juga

sikap yang berlebihan dalam membuat yel-yel dan saling

menjatuhkan antar fakultas, sehingga secara tidak

langsung menanggalkan akhlak al-karimah sebagai

pakaian kepribadian kita. Itu merupakan sekelumit

catatan kelam OPAK yang harus dirombak. Meminjam

istilah kaidah ushul fiqh yaitu “menjaga tradisi dulu yang

baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik”. Inilah

sikap yang tepat bagi kita dalam menyikapi dilematis

OPAK : pro dan kontra.

Secara umum, gambaran OPAK yang ideal tanpa

kehilangan dimensi ruh OPAK itu sendiri adalah dengan

menanamkan sikap kritis dan analitis tanpa kekerasan

dan senioritas. Banyak hal yang bisa menumbuhkan jiwa

kritis mahasiswa, diantaranya melalui permainan-

permainan edukatif yang cerdas ataupun dibuat sistem

pelatihan seperti pramuka. Selain itu, jika kita berkaca

pada negara-negara barat (misalnya di Amerika Serikat),

sistem yang diberlakukan adalah sistem kekeluargaan.

Mahasiswa baru disambut dengan suka cita laksana

anak raja, bukan anak pembantu yang siap untuk

“dikerjain”. Selain itu, mahasiswa baru juga diajak untuk

berinteraksi dengan lingkungan kampus secara langsung

guna mengenalkan wawasan wiyata mandala serta ruang

lingkup visi misi kampus. Tidak ada ceramah ataupun

orasi dari senior yang membuat kita menjadi mengantuk.

Dan hal ini, sudah mulai diikuti oleh beberapa universitas

negeri di Indonesia, Tentunya, untuk mengubah sistem

ini juga tidak mudah. Pastilah akan ada perlawanan-

perlawanan dari berbagai pihak, tetapi jika kita kembali

ke pemahaman awal dari diadakannya OPAK, maka

tentunya tidak ada jalan lain kecuali mengubah

paradigma yang salah tersebut.

Selain itu, sebagai seorang muslim yang juga

berkuliah di kampus yang berlabel Islam, sudah

sepantasnya OPAK yang dilaksanakan tidak berbenturan

dengan nilai Islam itu sendiri. Seperti mengulur waktu

shalat terlalu lama. Hal ini sangat disayangkan, justru

seharusnya dalam situasi OPAK inilah mahasiswa baru

perlu ditanamkan sikap keislamannya. Seperti shalat

tepat waktu secara berjama'ah, shalat sunnah dhuha,

Menyegarkan Kembali Pemikiran OPAKOleh Rahmatullah*

SLiLiT ARENA14 |

OPINI Sabtu, 12 Oktober 2013

Page 15: Buletin slilit arena oktober 2013

bertutur kata dan berpakaian yang sopan dan syar'i.

Sehingga yang nampak dari implementasi OPAK itu

mencerminkan ke-UIN-an yang selalu mengintegrasikan

dan menginterkoneksikan keilmuannya.

Tetapi, tentunya ada beberapa tradisi lama OPAK pula

yang tetap harus dijaga. Seperti adanya kompetisi antar

fakultas dalam rangka fastabiq al-khoirot. Hal semacam

ini tetap harus dilestarikan dan dikembangkan, agar

kedepannya juga bisa menumbuhkan mahasiswa yang

berani mengutarakan pendapatnya sebagai wujud

implementasi mahasiswa yang kritis analitis. Tidak kalah

pentingnya, kedisiplinan yang dilaksanakan selama OPAK

juga perlu dipertahankan, tetapi dengan tanpa

kekerasan. Misalnya bagi mahasiswa baru yang terlambat

datang diberikan sanksi yang mendidik tentunya bukan

yang keras dan tidak mendidik.

Dan akhirnya, kita semua bisa menimbang dan

menakar, poin-poin apa saja yang terus bisa dilestarikan

dan yang harus dirombak. Sehingga kedepan, OPAK

menjadi sarana bagi mahasiswa baru untuk beradaptasi

dengan lingkungan akademik kampus dengan nyaman

tanpa ada rasa galau atau takut kepada senior. Sekaligus

juga mencitrakan senior yang baik kepada juniornya.[]

* Penulis adalah mahasiswa Jurusan Ilmu al-Qur'an dan

Tafsir, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam

ika Anda sedang berada di kelas. Kemudian di dalam

kelas tersebut tengah membuat suatu kesepakatan. JMisalnya saja menentukan jam pengganti matakuliah

yang dulunya sempat kosong. Setelah hitung punya

hitung, disepakati hari, jam, dan tempat yang dianggap

tepat. Namun kemudian Anda dan beberapa teman Anda

(anggaplah dua atau tiga orang) memprotes begini, “Pak,

saya tidak bisa karena bentrok dengan matakuliah yang

lain.” Maka dosen Anda bilang begini, “Apa Anda punya

solusi lain?” Anda pun akan bingung. Karena toh tidak

ada waktu lain yang semua bisa sepakat.

Mengikuti keinginan Anda berarti menelantarkan

teman-teman Anda yang kebanyakan. Mengikuti teman-

teman Anda yang mayoritas berarti membuat posisi

Anda mengharuskan untuk dikorbankan. Kemudian

dosen tersebut akan memberi solusi begini, “Tidak apa-

apa Anda tidak masuk, atau terlambat masuk.” Anda pun

lega. Seolah-olah itulah solusi yang paling tepat dan

toleran.

Ya. Memang begitu lah solusi yang paling adil. Tidak

ada yang lain yang lebih memungkinkan.

***

Jika Anda berjumpa dengan seorang teman Anda.

Kemudian teman Anda tersebut menyampaikan berita

begini, “Di pertigaan A ada kecelakaan. Satu orang

tewas.” Belum sempat Anda menanggapi, datang teman

Anda yang lain. Kemudian menyampaikan berita seperti

ini, “Di pertigaan B ada kecelakaan. Lima orang tewas.”

Anda dan teman Anda yang datang pertama akan

berpikir begini, “Di pertigaan B lebih mengerikan dan

memperihatinkan daripada pertigaan A.”

Sepakat punya sepakat, Anda dan kedua teman Anda

akan menyumbangkan sejumlah uang kepada korban di

pertigaan A dan B. Ternyata jumlahnya berbeda. Yang

dipertigaan B ternyata menghasilkan sumbangan yang

lebih besar. Ketika harus ditanya kenapa seperti ini. Anda

dan kedua teman Anda tentunya tidak perlu menjawab

dengan susah. Serempak akan bilang, “Yang di pertigaan

B lebih membutuhkan sumbangan yang lebih besar.”

Ya. Memang begitu tindakan yang tepat. Hanya orang

yang (dianggap) tidak waras ketika bilang dipertigaan A

lebih membutuhkan yang lebih banyak.

***

Jika Anda seorang presiden. Kemudian datang

menteri Anda dan menyampaikan kondisi darurat begini,

“Dengan segala hormat pak pres. Di jalan A telah terjadi

bentrok antar massa. Massa yang satu jumlahnya lima

orang, dan yang lain jumlahnya limapuluh orang. Mohon

diambil kebijakan pak pres.” Maka Anda sebagai kepala

negara akan mengambil keputusan begini, “Dengan

mempertimbangkan banyak hal. Saya perintahkan untuk

menangkap dan mengamankan yang lima orang. Adili

mereka dan tanyakan kenapa bisa begitu banyak orang

yang menyerang mereka.”

Dengan sangat perkasa menteri Anda akan

menangkap kelima orang tersebut dan mengadili

mereka. Sidang punya sidang. Mengahasilkan keputusan

bahwa yang kelima orang tersebut terbukti bersalah.

Logika MayoritasOleh Januardi Husin S*

SLiLiT ARENA| 15

KANCAH

OPINISabtu, 12 Oktober 2013

Page 16: Buletin slilit arena oktober 2013

Kemudian seorang wartawan bertanya begini kepada

hakim yang paham hukumm, “Pak hakim, kenapa kelima

orang tersebut divonis bersalah?”

Hakim tersebut akan menjawab, “Mereka meresahkan

warga yang kebanyakan.”

Wartawan mengejar kembali dengan bertanya,

“Mengapa dianggap meresahkan?”

Hakim menjawab begini, “Ya karena mereka berbeda

dengan warga. Warga merasa risih, kemudian meminta

mereka untuk pergi. Masak warga yang jumlahnya

limapuluh orang yang harus divonis bersalah dan

diminta untuk meninggalkan rumah mereka? Itu kan

dzalim dan mudharatnya lebih besar.”

Ya. Jawaban hakim benar dan masuk akal. Ringkasnya

begini. Tentunya lebih bermanfaat mengusir yang lima

orang daripada mengusir yang limapuluh orang. Satu sel

muat untuk menampung lima orang daripada

menampung limapuluh orang.

***

Ketiga kondisi yang saya contohkan di atas

menggambarkan keadaan kita saat ini. Bahwa

sebenarnya logika yang kita pakai ialah logika mayoritas.

Apakah salah? Tidak salah. Apakah adil? Pilihan yang

diambil dalam keadaan di atas tepat dan yang paling

adil.

Tapi belum adil!

Kok bisa? Karena bagi saya paling adil bukan berarti

adil. Adil menaungi semuanya. Paling adil hanya

menaungi yang paling banyak. Artinya masih ada pihak-

pihak yang dianggap tidak perlu untuk “diadilkan”.

Kemudian diambilkanlah solusi yang terbaik bagi yang

tidak mendapatkan perlakuan yang adil.

Tapi yang terbaik tidak semerta-merta menjadi yang

baik!

Lah kok bisa? Karena yang baik ialah mereka

mendapatkan yang adil. Bukan yang teradil.

Kondisinya memang seperti ini kawan. Tapi jangan

berkecil hati. Karena bukan hanya di UIN Suka dan

Indonesia. Hampir di seluruh penjuru dunia juga begitu

keadaannya. Dan anehnya, kondisi yang seperti ini

ternyata disepakati oleh kita. Dilegalkan pula dengan

hukum dengan undang-undangnya. Yang melanggar

harus siap menerima hukaman. Atau paling tidak

dikucilkan.

Dengan tidak sadar kita terjebak pada kondisi yang

sangat sempit. Kita terjebak pada keadaan dimana kita

harus memilih yang terbaik, dan menganggap itulah hal

yang baik. Pernah dengar hadits Nabi SAW yang

mengatakan, “Jika terjebak pada hal yang buruk, maka

pilihlah yang paling baik.”

Maaf-maaf saja. Dalam kondisi yang seperti saat ini,

walaupun saya bukan ahli hadits, saya akan menolak

logika seperti hadits di atas.

“Loh? Berarti sampean kafir dong mas? Tidak percaya

pada Nabi SAW,” kata Anda.

Astaga. Ampuni hamba ya Tuhan. Tapi tak apalah

dibilang kafir. Daripada harus mengikuti apa yang

bertolak belakang dengan akal sehat. Paling tidak saya

masih bisa bilang begini.

“Yang terjadi saat ini kita bukan berada pada kondisi

yang buruk, sehingga harus memilih yang paling baik.

Tapi kita berada pada kondisi yang disepakati bersama

sebagai sesuatu yang buruk. Maka diambillah suatu

tindakan yang kita anggap paling baik.”

Artinya apa? kondisi yang “Kepepet” ini sebenarnya

kita sendiri yang membuat. Kita sendiri yang bersepakat.

Logika mayoritas ini kita yang buat, kita yang patuh, dan

kita pula yang mengamini. Kita tidak pernah berfikir

(bahkan sekedar bertanya) kenapa hal ini bisa terjadi. Kita

hanya patuh pada apa yang kita sepakati. Jika kita

sepakat pada baju putih (biasanya yang putih itu

lambang kebaikan), maka kita akan menyalahkan ketika

ada seorang teman kita yang pakai baju hitam. Bila

teman kita yang pakai baju hitam mengatakan, “Saya ini

orang bener loh,” maka kita lebih memilih untuk

mengusir teman kita itu daripada mendengarkan apa

yang ia katakan. Malang sekali nasibnya.

Jika saya dan abang saya (yang saya sayangi) berada

pada satu ring. Dan kami diharuskan saling membunuh.

Jika tidak, maka kami berdua yang akan mati dibunuh.

Ketika abang saya kemudian berhasil membunuh saya,

maka demi Allah, yang saya kutuk bukan abang saya.

Tapi keadaan yang mengaharuskan kami untuk saling

membunuh. Saya akan mengutuk siapa kira-kira

“Dedengkot” yang mengatur ini semua. Kalau penonton

yang menginginkannya, maka penonton yang akan saya

kutuk. Walaupun mereka jumlahnya sangat banyak.

Pernah menonton film kartun Spongebob? Tahu

tokoh Squidward? Bagi saya dan beberapa teman saya,

Squidward yang paling rasional dan paling pintar dari

yang lain. Tapi aneh bin ajaib, karena justru ia yang

digambarkan tokoh yang paling bodoh. Yang paling

sering terkena kesialan pula.

Nah. Persisi seperti itulah yang ingin saya sampaikan.

Kenapa tidak bertanya dan menganalisis siapa yang buat

keadaan seperti ini. Jika salah, kenapa kemudian tetap

kita ikuti dan sangat patuh. Tepat seperti film

Spongebob, kita hanya penonton. Cuma bisa tertawa

melihat hal yang lucu. Cuma bisa menganggap

SLiLiT ARENA16 |

KANCAH Sabtu, 12 Oktober 2013

Page 17: Buletin slilit arena oktober 2013

Squidward gila ketika ia tertimpa kesialan.

Terlalu berbelit-belit memang omongan saya tentang

logika mayoritas ini. Mungkin juga terlalu banyak contoh

dengan yang menggunakan kata “Jika”. Sehingga seolah

hanya “Ngaur” saja yang terlihat. Tak apalah. Saya paham

bahwa orang kita senang berkhayal (termasuk saya loh).

Saya juga paham bahwa orang kita senang jika berada

ada keadaan yang sangat nyaman (saya juga). Itu sudah

kodratnya manusia.

Akhirnya, Gus Mus pernah bilang begini:

“Demi semua yang baik, maka halal lah semua sampai

yang paling tidak baik.”

Inilah logika mayoritas yang kita sepakati bersama.

Kritik Atas SistemYang saya salahkan dalam logika mayoritas bukan

pelakunya. Bukan pula saya menyalahkan limapuluh

orang yang telah mengusir lima orang. Tepat seperti

ketika saya tidak menyalahkan abang saya yang telah

membunuh saya. Namun yang saya serang ialah

sistemnya, dan orang-orang yang telah menelurkan

sistem seperti ini.

Ingin rasanya saya mengubah sistem seperti ini. Ingin

rasanya saya membalik dunia yang menurut saya ditata

dengan terbalik ini. Ingin rasanya saya mengganti kata

“teradil” menjadi “adil”. Tapi saya tidak tahu siapa yang

telah mengatur ini semua. Siapa yang menambahkan

imbuhan “ter-“ dalam kata adil.

Jika semuanya bisa saya lakukan, maka tidak perlu

ada lima orang yang diusir. Tidak ada mahasiswa yang

tidak datang atau datang terlambat dalam matakuliah

yang sesungguhnya bentrok. Juga tidak akan malang

nasib korban meninggal satu orang karena harus

menerima jumlah sumbangan yang lebih sedikit dari

korban yang meninggal lima orang.

Sungguh saya akui dan sadari. Mengharapkan apa

yang saya katakan di atas memang terlihat utopis. Sama

halnya ketika mengarapkan air di tengah gurun pasir

yang gersang. Kemudian kita pun berdoa, “Ya Tuhan.

Hanya Engkau yang dapat memberikan hamba air untuk

melegakan tergorokan hamba.”

Tapi saya juga malu untuk meminta kepada Tuhan.

Karena saya telah sadar bahwa saya yang ingin

ditempatkan di gurun pasir. Saya bisa saja memilih

ditempatkan di tempat yang tropis, seperti Indonesia

misalnya. Tapi saya lebih memilih terbuang di Arab.

Lalu seorang teman saya yang membenarkan apa

yang saya katakan di atas mengatakan begini, “Kalau

begitu kita harus melakukan revolusi. Ubah dengan

paksa keadaan yang seperti ini!”

Saya pun manggut-manggut. Membenarkan balik

saran teman saya. kemudian kami berdua kerahkan

massa. Terjadilah pemberontakan di sana-sini. Bakar-

bakaran ban, rumah, dan manusia. Korban tak terhitung

lagi jumlahnya. Babak awal pertarungan kelas dimulai.

Minoritas menantang mayoritas.

Namun suatu ketika saya duduk dan merenung. Ya

ampun. Dengan keadaan yang seperti ini sesungguhnya

saya telah terjebak dalam logika mayoritas yang saya

kutuk di atas (dan sangat sempit). Maka saya pun

sangat-sangat menyesal. Saya menangis mengenang

korban beserta darahnya yang tumpah.

Jika saya boleh mengulang keadaan. Maka saya tidak

akan mengiyakan pendapat teman saya. Sehingga tidak

terjadi pemahaman revolusi yang sangat dangkal.

Kemudian teman saya marah. Dengan gaya Gus Mus ia

berkata, “Kau ini bagaimana? Lalu kita harus

bagaimana?”

Maka saya akan berlari meninggalkan teman saya

tersebut. Karena jika dikejar-kejar pun, saya tidak tahu

harus bagaimana. Tidak ada solusi konkret yang dapat

saya berikan. Perubahan hanya akan terjadi jika sudah

ada kesadaran kolektif. Bukan individu atau kelompok.

Jika tidak demikian, maka yang terjadi ialah pertarungan

kelas, dan dengan sendirinya kita akan terjebak pada

logika mayoritas.

Yang bisa menghentikan pertumpahan darah antara

saya dan abang saya di atas ring ialah panitia acara dan

para penontonnya secara keseluruhan. Jika hanya

seorang atau sebagian yang bilang, “Saya dan abang

saya tidak boleh saling membunuh.” Maka saya dan

abang saya tetap akan saling membunuh di atas ring.

Sementara penonton sibuk saling menyalahkan. Karena

ketika masih terjadi pertarungan antar penonton, saya

maupun abang saya tetap tidak akan merasa aman dari

ancaman untuk sama-sama dibunuh.

Lain halnya jika penonton dan panitia acara sudah

sepakat semua bahwa apa yang terjadi ialah salah. Saya

dan abang saya tidak boleh saling membunuh. Maka kita

tinggal mencari siapa “Dedengkot” sesungguhnya. Siapa

yang punya ide untuk “Mengadu” saya dan abang saya.

Temukan. Kemudian hancurkan!

Sistem memang kejam kawan. Tapi kita harus sadar,

“Yang buat sistem juga kita. Yang sepakat kita. Yang

menjalankanpun tidak lain ialah kita sendiri. Tapi kenapa

kita tidak bisa merubah sistem?”

Mari bertanya![]

*Mahasiswa semester VII Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas

Saintek UIN Sunan Kalijaga

SLiLiT ARENA| 17

KANCAHSabtu, 12 Oktober 2013

Page 18: Buletin slilit arena oktober 2013

Dulu, ketika kesederhanaan meniupkan kemesraan

Ketika kebersamaan merindukan harapan

Wajahmu luruh dipangkuan alam

Karena ketulusan yang meniadakan beban

Terbersit makna-makna kesungguhan manis dalam sapaan

Waktu itu kerinduan adalah gejolak rakyat

Pemimpin bangsa yang senantiasa dekat

Namun langkah yang tak berketipak kini

Adalah geliat setiap ambisi

Menghentak jejak birokrasi yang beranjak

Menegak dalam gejolak

Sebuah negeri dongengkah atau lagu kesengsaraan?

Teronggok letih di perbatasan

Antara budaya yang tak lagi fakta

Agama yang kehilangan keindahannya

Dan demokrasi yang tak bisa terjaga

Adalah nuansa kelam dalam kehampaan peristiwa-peristiwa

Diperbatasan ini, apa yang mesti kita sampaikan?

Kalau perjalanan pupus diujung mimpi

Dan para pemimpin yang jauh dari jiwanya

Lapang didalam janji

Sempit menuai arti

Padahal kerinduan rakyat tiada pernah bertepi

Menopang harap diperbatasan ini

Diperbatasan ini, apa yang mesti kita sampaikan?

Kalau penguasa sudah tak lagi mampu mendengarkan bicara

Telinganya tuli, matapun buta

Maka harta, tahta dan wanita adalah sesungguhnya bencana

Riwayat kelam diperbatasan

Torehan politik dan kehidupan

Diperbatasan ini, apa yang mesti kita sampaikan?

Kalau kemungkaran merasuk dikedamaian

Dalam belai lembut narkoba yang menggoda adalah generasi

dan sensasi meliuk dilema

Tawuran massal yang asal

Antar warga dan antar pelajar

Menggetar setiap nalar

Atau kekerasan ormas yang menyesak nafas

Tercuar sanksi nanar tatap-Mu

Para koruptor yang kian berlagu

Dengan dalil-dalil kemunafikannya yang memburu

Adalah bangsa yang terkapar letih dalam sejarah

Mendedah jiwa-jiwa terengah

Pada noktah zaman yang basah

Dan kemiskinan yang gamang

Jua ketertinggalan yang sungsang

Sunyi dalam kelalaian para pejabat

Para penegak hukum dan penikmat hukum

Jaksa agung yang tak agung

Walau ceramahnya laksana kultum

Namun karena kebijaksanannya membuatnya jadi terhukum

Sedang lawyer ataupun pengacara

Khotbahnya laksana burung manyar yang camar

Tapi ternyata slogannya “maju tak gentar membela yang bayar”

Ini karena demoralisasi telah mengusung moralitas pada asa

yang tatas

Racau dan terhimpit di ruang-ruang kesombongan yang tak

berlingkungan

Sementara kenyataan bagaikan system feodalisme

Karena hilangnya jiwa nasionalisme

Bertindak tanpa berjuang

Berjuang menjaring bayang-bayang

Karena ketulusan yang teronggok

Menorehkan kebimbangan

Diperbatasan ini, apa yang mesti kita sampaikan?

Kalau perbatasan adalah lagu setiap penantian

Menguntai asa di negeri beribu wacana

Terukir sepi sosok-sosok pencari makna

Teoronggok dan makin terpojok

Sebuah perbatasan yang menggetar sukma

Mengurai pandang

Menyesak dada

Bila saksikan saudara-saudara teronggok dalam dilema

Dalam berbagai pertimbangan yang tak selesai

Menimang lecutan waktu

Melaras nalar tercumbu

Karena harap yang tak berlaku

Merasakan beratnya ongkos pendidikan

Meski dalam langkah telah dilafalkan

Namun keringat yang membasah tak selalu jadi sentuhan

Akhirnya hanyalah teka-teki sebagai jawaban

Lalu yang bersimpuh dalam larutnya harap

Dalam cerita dan kekosongannya

Dan dalam kelelahannya

Derita sakit yang merakit

Terhimpit ekonomi yang menjepit

Sungguh takdirpun jadi berpalit

DiperbatasanSebuahNegeriOleh Pipit Pitoyo*

SLiLiT ARENA18 |

SASTRASebuah Puisi Sabtu, 12 Oktober 2013

Page 19: Buletin slilit arena oktober 2013

ore pukul 17.00. matahari menghilang di barat.

Langit mulai menguning. Dan beberapa kelelawar Sbeterbangan di udara. Tempat ini mulai lengang.

Kendaraan bermotor berangsur-angsur meninggalkan

area parkir. Dari kejauhan, beberapa orang singgah di

ATM sebelah warung. Setelah itu, juga bergerak pergi.

Lampu-lampu neon mulai dinyalakan. Di ruangan ini,

kursi dan meja makan, semuanya kosong. Di dapur

belakang, juru masak membereskan alat-alat dapurnya.

Sementara itu, yang tertinggal di ruangangan ini hanya

kita ber-dua. Entah setan dari mana yang membuat kita

masih menahan duduk berlama-lama disini.

“Bagaimana kamu melihat, orang seperti itu?” ia

meneruskan pembicaraan.

“Nampaknya, jarang sekali orang yang mau

melakukan hal-hal konyol seperti itu. Mereka semua bisa

kita sebut sebagai orang-orang yang ambisius. Coba

bayangkan saja, berapa banyak tenaga yang harus di

keluarkan untuk itu. Tetapi toh buktinya mereka semua

masih mau mempertahankanya sampai sekarang,”

jawabku.

Gelas putih yang ada di meja, menyisakan ampas

kopi. Asap putung rokok, menari-nari gemuali. Di

hadapan kami, air putih hanya tinggal setengah gelas

kecil. Lalat-lalat sesekali datang dan pergi di piring sisa

makanan. Angin malam berangsur-angsur membelai

ujung-ujung rambut. Ia mengenakan jaket kulit berwarna

hitam, miliknya.

“Ya, aku setuju denganmu. Tetapi aku lebih setuju

mengatakan mereka adalah orang-orang gila yang mau

melakukan apa yang orang lain tidak mau melakukan,“

katanya kemudian.

“Belum tentu mereka itu gila. Orang-orang di luar

sana itu mempunyai jalan. Begitu juga dengan kita. Bisa

jadi, kita yang dianggap “gila” oleh mereka. Mereka tidak

mau jikalau dikatakan “katrok”, dan kitapun tidak ingin

jikalau dikatakan begitu.”

Hukum alam memang kejam, katanya kemudian.

Manusia harus memilih ini ataupun itu. Semuanya sama

saja. Sementara masing-masing dari kita diberikan

kebebasan untuk memilih jalan, katanyanya lagi.

“Itu bukan sesuatu yang kejam,” bantahku. Setiap

perbuatan selalu memakan korban. Entah itu kecil atau

besar. Semua yang kita lakukan, seolah dengan fikiran

Kaki TelanjangDimanakah arti keadilan?

Jika mata terasa dipermainkan oleh setiap keadaan

Dimanakah arti hak asasi?

Jika hati selalu memberontak oleh setiap aksi yang menusuki

Dimanakah arti kemerdekaan?

Jika kebebasan semakin membingungkan oleh aturan-aturan

yang disediakan

Dimanakah arti kesejahteraan?

Jika langkah kehidupan semakin menepis ingatan karena nafsu

serakah yang tak pernah terpenjarakan

Dimanakah arti kebijaksanaan?

Jika suara rakyat tak pernah didengarkan

Dimanakah arti birokrasi?

Jika hukum selalu bisa dijual dan bisa dibeli

Dimanakah arti pemimpin?

Jika penyuapan, korupsi dan manipulasi semakin menjadi-jadi

Dimanakah arti beriman?

Jika agama hanya dijadikan alat untuk mencapai tujuan

Tuhan dibohongi

Agama didustai

Dan hukum dikhianati

Demokrasi bahkan mencari-cari jati diri

Transparansi hanyalah sebuah fantasi

Beginilah jerat kesetiaan

Tegar dalam keangkuhan

Gontai dalam kebenaran

Diperbatasan ini, apa yang mesti kita sampaikan?

Kalau perjalanan yang jauh adalah kesungguhan

Adalah hati dan perilaku

Dalam iman dan jiwa seribu

Namun perbatasan yang kelam

Rakyat senantiasa mengurai dendam

Karena kemesraan yang terjalin

Tak terbayanag jiwa-jiwa para pemimpin

Maka kecintaan, pengayoman dan perhatian pada peristiwa-

peristiwa sosial

Serta kemanusiaan juga tanggungjawab kesejahteraan adalah

makna awal perbatasan

Diperbatasan ini, apa yang mesti kita sampaikan?

Perbatasan adalah lagu realita yang berkumandang disetiap

dada rakyat dan pemimpinnya

Karena perjalanan adalah kebenaran dan ketulusan dalam

juang dan dalam cinta

Diperbatasan ini, apa yang mesti kita sampaikan?

Kalau kesungguhan adalah tembang-tembang jelmaan

ternyata.

Skp, 17 Agustus 2013.*Penulis adalah seorang mendiami sudut sebuah desa di sudut Magelang

yang memilih bergelut dengan cangkul dan bercengkrama dengan

gembala.

Oleh RM Bayu

SLiLiT ARENA| 19

SASTRASebuah CerpenSabtu, 12 Oktober 2013

Page 20: Buletin slilit arena oktober 2013

yang benar. Itulah “penyakit”.

“Penyakit? Kenapa kau mengatakan seperti itu.”

Keningnya mengkerut. Seketika badanya tegap. Kaget.

Kedua matanya berkedip lebih cepat dari sebelumnya.

“Ya, penyakit,” ucapku tegas. “Satu-satunya penyakit

yang belum bisa disembuhkan oleh dokter medis,” aku

terkekeh.

“Ah, kau pandai membuat “bayolan”, “ ucapnya

dengan nada kecewa. “Mana mungkin penyakit tidak ada

dokter yang bisa menyembuhkan. Sekarang obat-obat

yang ada di negeri seberang lebih ampuh dan higenis.

Tidakkah kau mendengar kabar itu,” katanya dengan

semangat.

“Setiap manusia diciptakan dengan “penyakit diri”.

Itupun kita tak akan bisa menolak. Kita hanya bisa

berlindung di balik raut wajah yang palsu. bayang-

bayang. Ia tidak bisa tersentuh sekalipun kita telah

berusaha sekuat tenaga. Begitulah penyakit yang aku

maksudkan,” balasku pelan.

Ia menghela nafas panjang. Termenung. Dari sakunya

ia kelurkan satu bungkus rokok. Di bawah meja,

beberapa putung rokok mengotori lantai.

“Sekarang ini orang lebih suka berdandan modis. Baik

perempuan atau laki-laki. Entah tua, ataupun muda.

Kemana-mana orang lebih mudah karena serba ada.

Lalu, dimana penyakit itu?“ rupa-rupanya, ia masih

sangat penasaran.

“Ya. Di situlah letak penyakitnya. Aku sendiri

mempunyai kata yang tepat untuk mewakili itu.“

“ apa?”

“Penyakit Gengsi,” kataku “Mereka butuh

keseimbangan. Dan mau tidak mau, mereka harus

melakukan hal itu,” aku melanjutkan.

Azan magrib berkumandang. Sahut menyahut

menggema di udara. Tak lama, juru masak datang dari

belakang mengambil piring dan gelas kotor. Dilemparnya

senyum kepada kami, dan kemudian menghilang di balik

pintu belakang.

“Kenapa kau mengatakan hal itu sebagai penyakit,”

tanyanya lagi.

“Manusia semacam itu bisa dikatakan sakit jikalau ia

terlepas dari masalah kehidupan. Coba bayangkan saja,

mereka lebih suka menghabiskan waktu untuk sesuatu

yang tidak ada ujungnya,” Kataku.

“Tetapi, bukankah semua jalan itu tak pernah ada

ujungnya?”

“Memang. Aku sendiri berfikir, jalan memang tak

pernah ada ujungnya. Semu. Tetapi, bukan berarti

manusia seperti itu harus lepas dari kehidupan.”

“Apa maksudmu?”

“Pada hakikatnya, kita diciptakan untuk saling

mengenal satu sama lain. Saling membantu, dan saling

bekerja sama. Namun kemudian, penyakit itu datang.

Penyakit yang membut manusia tidak lagi mengenal satu

sama lain. Ia lebih suka mengenal dirinya sendiri. Dan ia

lebih suka mempercantik dirinya.”

“Ya, aku mulai mengerti sekarang. “

“Tetapi, aku tidak yakin jikalau kau mengerti,” aku

terkekeh.

“Setidak-tidaknya aku sedikit mengerti.” Balasnya

kecewa.

“Orang-orang yang digerakan oleh kesadaran,

barangkali lebih paham daripada kamu,” kataku lagi.

“Ini terlalu singkat untuk aku lebih mengerti dari

sebelumnya,” bantahnya.

“Barangkali esok atau lusa, kamu akan mengerti. “

Juru masak itu datang lagi. Kali ini ia tidak

menggunakan baju dinasnya lagi. Nampaknya, ia telah

bersiap untuk menutup warung ini. Dan benar saja, ia

mendekat dan berkata : “Mas, warungnya akan saya

tutup.” Kami mengangguk seraya membereskan barang

bawaan yang tercecer. Kami telah bersiap pergi. Namun

ia masih terdiam seribu bahasa. Entah apa yang ia

fikirkan sekarang ini.

Jarum jam mengarah pukul 18.30. “Sebentar lagi akan

isya,” katanya. Dan aku meng-iyakan. Setelah barang-

barang selesai dibereskan, kami beranjak pergi. “Terima

kasih mbak,“ teriakku kepada juru masak itu. Dari

kejauhan, ia hanya mengangguk dan tersenyum kecil.

Tepat di depan pintu gerbang, kita berpisah. Ia menuju

barat, dan aku ke timur.

Hari rupanya telah gelap. Namun lampu-lampu di

pinggir jalan memancarkan cahaya kemilauan. Ah, waktu

selalu saja bergerak cepat sekali. Sementar aku tidak bisa

berbuat apa-apa. Rasanya seperti awan yang bergerak

tanpa tujuan. Ya. Barangkali hidup memang seperti ini,

kataku dalam hati.

*Mahasiswa semester VII

Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam

Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga

SLiLiT ARENA20 |

SASTRASebuah Cerpen

Redaksi SLiLiT ARENA mengundang semua kalangan sivitas akademika UIN Sunan Kalijaga untuk mengirimkan tulisan cerpen atau puisi.Silahkan kirim ke alamat redaksi LPM ARENA atau lewat e-mail [email protected]. Sertakan biodata lengkap. Judul file: Cerpen/Puisi_SLiLiT ARENA

Sabtu, 12 Oktober 2013

Page 21: Buletin slilit arena oktober 2013

uku ini dengan memakai teori

filsafat Ludwing Wittgenstein, Bberusaha menemukan akar-akar

terorisme, yang antara lain terwujud

dalam pola permainan bahasa teror

yang khas. Dalam buku ini,

Hendropriyono, mantan Badan Inteljen

Negara (BIN) menyatakan, hanya lewat

kajian filsafat, kita bisa menyusun

metode, strategi dan taktik yang tepat

dalam usaha menumpas terorisme.

Kajian sejarah yang juga dilakukan

menunjukkan, terorisme juga tak cuma

kenal di dunia Islam. Gerakan terorisme

global juga ada di antara kaum

fundamentalis agama-agama samawi

lain, termasuk Yahudi dan Kristen.

Indonesia dalam beberapa tahun

terakhir menunjukkan indikasi nyata

sebagai lahan subur dan strategis bagi

tumbuh berkembangnya segala

aktifitas yang berbau terorisme. Tak sulit rasanya melihat

kenyataan tersebut karena para teroris tak pernah absen

dalam melakukan aksi-aksinya. Selain karena faktor

pemahaman keagaman yang dogmatis-tekstualitas atau

literal-skripturalis yang menyimpang, kemiskinan secara

ekonomi dan prilaku kaum elit penguasa yang seenaknya

saja mempertontokan kebobrokan moral di depan

publik, yang menyulut kekekecewaan massal, menjadi

pemicu semakin nekatnya aksi-aksi terorisme yang

belakangan ini marak terjadi. Kasus bom bunuh diri di

masjid Ad-Dzikro di Cirebon, beberapa waktu lalu, bukan

saja akibat dari keprustasian para teroris melihat situasi

negeri ini yang semakin kacau balau. Aksi tersebut

sekaligus ingin menunjukkan eksistensi mereka bahwa

“jihad” di negeri ini belum selesai bahkan semakin

menantang bagi para pelakunya.

Melihat sepak terjang para teroris yang bergerak

seperti hantu, setidaknya ada tiga tesis yang

berkembang mengenai basis terorisme di Indonesia.

Pertama, basis ideologis terorisme berada di Solo, Jawa

Tengah. Asumsi ini berdasarkan banyaknya gerakan

fundamentalisme Islam yang lahir di

Solo dan juga tokoh-tokohnya.

Kedua, basis ideologi terorisme di

Yogyakarta. Asumsi ini mengacu

pada keterbukaan kota ini terhadap

penerimaan beragam kultur dan

agama. Ketiga adalah Jawa Barat.

Alasan ini mengacu pada banyaknya

pengangguran dan tingginya angka

kemiskinan, padahal dekat dengan

ibu kota Jakarta sebagai pusat

metropolitan yang megah sekaligus

sebagai roda ekonomi.

Tesis di atas tidaklah salah, juga

tidaklah dapat dibenarkan

seluruhnya. Perlu penelitian dan pengkajian lebih jauh

mengenai basis ideologis para teroris tersebut. Penelitian

selama ini menunjukkan bahwa akar terorisme

mendapatkan lahan yang subur justru berasal dari

lapisan paling bawah (grass root) di negeri ini.

Yogyakarta, Solo dan Jawa Tengah, pada umumnya

merupakan basis ideologis gerakan fundamentalisme

yang cukup solid. Terlebih didukung oleh beberapa

tempat latihan yang cukup strategis seperti di hutan

Tawang Mangu atau hutan di bawah kaki gunung merapi.

Sementara di Jawa Barat, Jakarta dan Bali, merupakan

wilayah aksi terorisme yang kerap menjadi lahan aksi

para teroris. Bahkan ada indikasi bahwa, Yogyakarta yang

kini sedang bergiat melakukan pembangunan pasar-

pasar modern, merupakan target dan sasaran empuk

para teroris. Hal ini mengacu pada semakin berubahnya

tata ruang kota dan pergeseran kultural di Yogyakarta

beberapa tahun terakhir ini.

Walau pergerakan terorisme terus mengalami

perubahan taktik dan strategi, pelatihan di Aceh dan

perampokan salah satu bank di Medan, Sumatera Utara,

merupakan gerak gerilya para teroris untuk beradu taktik

MELAWAN”JIHAD”

PENEBAR TEROR TERORISMEFundamentalis Kristen, Yahudi, Islam

PenulisAM HendropriyonoPenerbitPT Kompas Media Nusantara Cetakan I,IIOktober 2009, November 2009TebalXXXII + 488 halaman

Oleh M. Nur Aris Shoim

SLiLiT ARENA| 21

PUSTAKASabtu, 12 Oktober 2013

Page 22: Buletin slilit arena oktober 2013

dan strategi dengan aparat keamanan. Fakta ini mengacu

pada satu pandangan bahwa, disiang bolong dan

dikeramaain kota sekalipun, para teroris nekat melakukan

aksi perampokan dan bom bunuh diri. Strategi ini

merupakan skenario “jihad” gerilya kota. Artinya, hampir

di seluruh wilayah di negeri ini, para teroris

mengembangan jaringan sel pergerakan dan

menjadikannya ladang jihad yang siap meledak

kapanpun waktunya dan dimanampun tempatnya.

Lapisan bawah inilah yang menurut hemat penulis

merupakan lapisan yang jarang dimasuki oleh para

peneliti akar gerakan fundamental keagamaan di negeri

ini. Para pengamat dan peneliti terkesan asik

menyimpulkan dari sudut pandang fenomenologi,

disamping lemahnya peran intelejen. Padahal, lapisan

inilah yang paling strategis karena bersentuhan langsung

dengan jaringan yang sebenarnya. Ikatan emosional dan

spiritual yang kuat menjadikan gerakan bawah tanah

terorisme di negeri ini cukup solid dan kuat. Tidak bisa

disimpulkan dengan mudah bahwa gerakan mereka telah

lemah hanya karena satu bom bunuh diri yang sporadis.

Gerakan mereka tidaklah seperti yang kita bayangkan.

Kehidupan permukaan para pelaku teroris yang sering

terlihat biasa-biasa saja, layaknya kehidupan masyarakat

biasa dimana tempat mereka berbaur. Tetapi dalam

perbauran itulah, meminjam istilah Giddens, terjadinya

transformasi nilai dan ideologi. Bahkan keluarga dekat

para pelaku, pun terkadang tak mengetahui kalau salah

satu diantara keluarga mereka adalah pelaku teroris.

Setidaknya ada beberapa kesimpulan yang perlu kita

diskusikan melihat gerak dan perubahan taktik para

teroris di negeri ini. Pertama, merekrut dan menempa

orang-orang seperti Amrozi dan Imam Samudra paling

tidak membutuhkan kurun waktu 20 tahun atau lebih. Ini

mengacu pada UU pergerakan fundamentalisme di Timur

Tengah seperti Ikhwanul Muslimin, JI dan HT, yang

kemudian di copi paste oleh MMI masa kepemimpinan

Abu Bakar Ba'asyir dan sekarang sempalannya, Jamaah

Ansarut Tauhid (JAT), serta HTI, yang berkeinginan

mendirikan negara yang berideologi Islam. Tentu saja

waktu yang tidak singkat menjadikan seorang Amrozi

dan Imam Samudera menjadi seorang militan sempurna,

yang oleh karib kerabat mereka disebut sebagai ”mujahid

Islam” atau “pejuang Islam”. Amrozi dan Imam Samudera

adalah produk jihad teroris jilid pertama dari misi

perjuangan mengusir orang-orang asing seperti AS,

Inggris atau Australia, beserta korporasinya yang

menganut paham liberal, sekuler dan kapitalistik dari

Indonesia, dan lebih luas, di Asia Tenggara. Bayangkan,

betapa beraninya Amrozi dan Imam Samudera

menghadapi bedil kematian tanpa rasa khawatir

sedikitpun. Sulit rasanya menandingi militansi seperti itu.

Sementara kekokohan pendirian mereka yang berani

mati mempertahankan ideologinya, membuat ketir nyali

aparat-aparat kita yang telah susah payah menangkap

dan meringkus mereka, terlebih aparat kita hanya

mengandalkan loyalitas kepada bangsa-negara dengan

gaji yang tidak sebanding dengan resiko yang sewaktu-

waktu menimpa mereka, seperti cacat bahkan kematian.

Kedua, pasca tewasnya Amrozi, Imam Samudera

beserta Azhari dan Nurdin M Top, dua gembong arsitek

teroris yang terkenal lihai dari Malaysia. Regenerasi

teroris telah dipersiapkan jauh hari sebelumnya, yang tak

kalah militannya dengan para teroris-teroris top di atas.

Penempaan generasi ini pun tidak tanggung-tanggung,

bahkan ada yang sudah ditempa hampir 10 tahun lebih.

Tidak sulit mencari pengganti Amrozi dan Imam

Samudera dalam tubuh organisasi teroris. Generasi

teroris ini pun semakin termotipasi dan menjadikan

”tokoh-tokoh mujahid” di atas sebagai inspirasi

kharismatik perjuangan mereka selanjutnya. Posisi

Amrozi dan Imam Samudera diperebutkan oleh generasi-

genarasi teroris tersebut karena dianggab menempati

posisi istimewa/prestisius.

Sementara generasi lapis ketiga, generasi belia yang

ditempa dalam kurun waktu lebih kurang 5 tahun atau

lebih, sebagai pengganti lapisan kedua yang akan

mencapai kematangan emosional dan spiritualitas untuk

menempati posisi ”top mujahid” dilapisan pertama yang

telah di tinggalkan oleh Amrozi, Imam Samudera, DR.

Azhari, Nurdin M. Top, dan pentolan teroris top lainya.

Reproduksi bibit-bibit teroris ini sangatlah terorganisir

dan sistematis. Sulit rasanya meraba keberadaan mereka

ditengah situasi bangsa yang tengah mengalami sakit.

Kondisi karut marutnya wajah negara kita justru

memotifasi kembali ambisi gerakan terorisme melakukan

aksi-aksinya yang terkadang tidak terantisipasi tempat

dan waktunya. Karena kondisi demikianlah yang menjadi

tempat ideal berkembangnya sel-sel terorisme.

Kewaspadaan melihat secara peka lingkungan sosial

terdekat kita merupakan modal penting agar kita tidak

lagi kecolongan. Kelalaian sedikit saja akan berakibat

fatal yang dapat menimbulkan korban jiwa dan teror

ketakutan. Yang pasti, terorisme secara sosiologis

merupakan batu ujian kokoh tidaknya fondasi

keberbangsaan maupun keberagamaan kita dewasa ini.

*Mahasiswa jurusan Ilmu Hukum fakultas Syariah UIN Sunan

Kalijaga

SLiLiT ARENA22 |

PUSTAKA Sabtu, 12 Oktober 2013

Page 23: Buletin slilit arena oktober 2013

SLiLiT ARENA| 23

Mapalaska Adakan Fun Raffting

Orang Indonesia Terbuka Dalam Hal Agama

UIN Disulap

1.979 Mahasiswa Minati UKM*

Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Mapalaska UIN Sunan Kalijaga akan menyelenggarakan kegiatan kepecinta alaman dan fun raffting akhir Oktober 2013. Acara yang bertema “Lestari alamku, damai hatiku” tersebut akan diselenggarakan di sungai Elo, Magelang, Jawa Tengah. Rian Hermawan, ketua kegiatan fun raffting mengungkapkan acara akan diselenggarakan selama dua hari satu malam. Hari pertama akan diisi dengan materi kepecinta alaman, Out bond, dan malam sarasean. Hari kedua diisi dengan fun raffting.

Pendaftaran akan dibuka pada 1 Oktober 2013 di secretariat UKM Mapalaska, lantai satu gedung student center dengan membayar Rp 80.000,-. Jumlah peserta akan dibatasi hingga 70 orang dan mendapat fasilitas berupa transportasi truk, makan, stiker, dan water guide (pemandu). Rian Hermawan mengatakan, “Kita ingin memberi pengalaman bahwa kegiatan kepecinta alaman itu tidak hanya naik gunung. Ada raffting, caving, rock clambing, mountenering, lingkungan hidup, dan pengabdian pada masyarakat.” Ia juga menambahkan bahwa tidak ada syarat khusus untuk mengikuti Fun Rafting, “Tidak bisa renang pun tidak apa-apa, yang penting sehat jasmani rohani.”[] Hartanto Ardi Saputra

Melalui Cross Cultural programme (CCP) yang diselenggarakan oleh Kemenlu RI, tujuh mahasiswa Universitas Wroslaw Polandia, berkunjung ke UIN Suka selama satu bulan, 8 September-7 Oktober 2013. Program tersebut bertujuan sebagai interaksi calon pemimpin untuk belajar harmoni agama dan budaya di Indonesia. Selama di UIN Suka, mahasiswa jurusan Filologi (ilmu terjemah teks kuno), yang terdiri enam wanita dan satu laki-laki itu ditampung di gedung Clup House.

Monika Chojnacka, salah satu mahasiswa Polandia, merasa senang selama berada di UIN Suka, “Karena orang Indonesia terbuka dan tidak hanya ingin tahu kami, tetapi juga ingin tahu tentang Negara Polandia,” ujarnya, yang saat diwawancarai diterjemahkan oleh Rifki Fairuz. Sebelum datang di Indonesia, Monika memiliki pandangan bahwa dengan kemayoritasan penduduk Negara Indonesia beragama Islam, maka sedikit dialog antar umat beragama. “Kami terkejut ternyata dialog tentang agama antar umat beragama di Indonesia itu sangat terbuka. Justru di Polandia yang mayoritas beragama nasrani bila berdialog tentang agama sangat sensitif atau tabu.”

Monika juga memberi masukan terhadap pendidikan di UIN Suka yang kurang mempelajari budaya Indonesia. “Kenapa mahasiswa UIN lebih dijejali dengan politik, ekonomi, sains, tetapi tidak kebudayaan, musik , bahasa dll.”[] Hartanto Ardi Saputra

Kalijaga Creatif Festival (KCF) tahun ini bertema “Unit Kegiatan Mahasiswa Sebagai Ruang Pengembangan Produksi Pengetahuan”, telah diselenggarakan pada 7 Oktober, dan akan berakhir tanggal 12 Oktober 2013, bertempat di panggung demokrasi dan multy purpose.

Momen KCF tahun ini terdapat berbagai hal yang berbeda dengan sebelumnya. Salah satunya stan pameran UKM menggunakan bambu dan anyaman daun kelapa. “Kalau di kemasannya kami mencoba membikin semenarik mungkin. Ya bahasaku, akan aku sulaplah lingkungan UIN Sunan Kalijaga. Stannya itu kita tidak pakai tenda , tapi kita bikin seperti gasebo, terbuat dari bambu dan anyaman welid (daun kelapa),” ujar Abdul Waris, Ketua KCF tahun ini.[] Hartanto Ardi Saputra

Pada tahun ini jumlah mahasiswa yang meminati Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) sebanyak 1979 orang. Kebanyakan UKM masih membuka pendaftaran anggota baru. Hanya ada dua UKM yang telah menutup pendaftaran, yaitu LPM ARENA dan Korps Sukarela (KSR) Palang Merah Indonesia. UKM Mapalaska belum membuka pendaftaran. Sedangkan teater ESKA tidak membuka perekrutan anggota baru pada tahun ini.

Selengkapnya, berikut jumlah mahasiswa yang mendaftar di setiap UKM: Pramuka 180 Orang; Korps Dakwah UIN Suka 50 Orang; Studi Pengembangan Bahasa

Asing 350 Orang; ARENA 100 Orang; Inkai 134 Orang; Olahraga 150 Orang; Cepedi 55 Orang; Orkes Gambus Al-Jamiah 30 Orang; Al-Mizan 346 Orang; Jemaah Cinema Mahasiswa 100 Orang; PSM Gita Savana 350 Orang; KSR 150 Orang; Taekwondo 43 Orang; dan Menwa 21 Orang. [] Hasbullah Syarif

*data diambil pada tanggal 8 Oktober 2013

KALEIDOSKOP

Opini EsaiPuisiCerpen

Tips dan Trik

Aspirasi Pembaca

Redaksi menerimat u l i s a n b e r u p a

Portal Berita UIN Sunan Kalijagalpmarena.com

update terusberita kampus

di

Page 24: Buletin slilit arena oktober 2013

Iklan Layanan Masyarakat ini dipersembahkan olehLembaga Pers Mahasiswa ARENA