buletin selasa sastra

8
Selasa Sastra EDISI I JUNI 2013 D�l� 13’ Kerja Belum Selesai, Belum Apa-apa

Transcript of buletin selasa sastra

Page 1: buletin selasa sastra

1Selasa SastraEdisi I

Selasa SastraEDISI I JUNI 2013

D�l� 13’

Kerja Belum Selesai, Belum Apa-apa

Page 2: buletin selasa sastra

2 Selasa SastraEdisi I

Penasehat: Mas Bagas | Pemimpin Umum: Muhammad ShodiqPemimpin Redaksi: Armada Nurliansyah | Redaktur Pelaksana: Muhammad Qadhafi | Redaktur: Rozi Kembara, Dea Anugrah | Editor: Mawaidi D Mas, Mohammad Farid Anshori | Layouter: Rio Anggoro Pangestu | Ilustrasi: Della | Kontributor: Rozi Kembara, Mohammad Qadhafi, Dea Anugerah | Alamat Redaksi: Komplek Wisata kuliner Pringwulung-Yoyakarta| Buletin Selasa Sastra ini menerima banyak tulisan berupa esai, puisi, dan cerpen kirim ke [email protected] | Twitter: @selasa_Sastra

“Hidup pada akhirnya membawa kita menuju keterasingan.” Saya lupa saat itu hari apa. Seorang kawan menelpon saya dan mengajak untuk mengadakan kegiatan sastra. Kamipun akhirnya berkumpul, berembug bersama untuk mengadakan kegiatan apa yang ingin kami buat. Saya sadar betul bahwa dalam perkumpulan tersebut , sedikit diantara kami yang paham betul tentang sastra. Kawan saya, berkata dengan senyum kecilnya, “Kita berangkat dari suka.” Lanjut. Kami menentukan nama yang mewakili perkumpulan yang sedang dibuat dengan nama Ruang Selasa Sastra. Awalnya sempat terpikir nama, Komunitas bukan ruang. Akan tetapi kami menginginkan bahwa kegiatan yang kami lakukan ini seperti halnya ruang: kapanpun dan siapapun bisa datang, kapanpun dan sia-papun bisa meninggalkan. Bukan berarti menandakan kegiatan ini menjadi kegiatan yang tak termenejemen tetapi kami ingin menghadirkan bahwa ini adalah sebuah ruang yang terbuka. Seperti halnya orang yang mempunyai ruang pasti dia akan mengundang kawan lainnya. Hal itu, kami lakukan dengan meminta bantuan kawan-kawan dari kampus-kampus di Yogyakarta walaupun hal tersebut be-lum maksimal. Akhirnya kami menetapkan bahwa Ruang Selasa Sastra akan melakukan kegiatan yaitu men-gadakan acara Selasa Sastra setiap bulan dan pembuatan Buletin Ruang Selasa Sastra. Kegiatan tersebut akan diadakan dan bekerjasama dengan Zuparella café.

*** Tidak ada alasan yang progresif ataupun revolusioner dalam mendirikan Ruang Selasa Sastra ini. Sep-erti yang kami sampaikan bahwa kegiatan ini berawal dari rasa suka. Sehingga kami susah sekali menterjemah-kan, atas alasan apa kami mendirikan kegiatan ini? Seperti halnya perasaan, muncul secara tiba-tiba. Untuk melakukan kroscek terhadap perasaan tersebut, saya kemudian bertanya pada beberapa kawan. Apakah usaha yang saya lakukan ini salah? Apakah kegiatan yang bakal kami lakukan ini akan bermanfaat dan dibutuhkan oleh sastrawan? Dengan tenang salah satu kawan yang sudah lama menggeluti dunia sastra berkata,” Mungkin bermanfaat, mungkin tidak.” Baginya sastra adalah ruang yang hening, perjumpaan antara pembaca dengan teks. “Semuanya akan baik asal kita tidak terlalu bereuforia dengan hasil pementasaan yang digelar dan berutopia bahwa Ruang Sastra bakal menyelesaikan problem kesusastraan Indonesia.”tuturnya. Selama ini saya hanya menyakini bahwa kita harus percaya pada apa yang kita lakukan. Hidup yang penuh dengan kejutan, dan pertemuan-pertemuan lain yang belum kita mengerti, bukan berarti harus membuat kita begitu pesimis. Memang terkadang segalanya tidak sesuai dengan apa yang kita angankan dan tak sejalan terhadap apa yang pernah kita sukai. Tetapi saya percaya bahwa Ruang Selasa Sastra ini akan menjadi salah satu ruang alternatif untuk melakukan silaturahmi antara sastrawan dengan publik. Silaturahmi antara karya sastra dengan masyarakat.

*** Dalam kehidupan yang selalu dihdapkan pada kebutuhan akan materi yang meningkat, sastra seolah menjadi entitas budaya yang mulai melemah eksistensinya. Saya paham bahwa kita semua membutuhkan materi untuk bertahan hidup namun saya pun sadar bahwa kita membutuhkan budaya untuk menciptakan peradaban. Begitu pula dengan sastra, kita tetap akan membutuhkannya, seperti sepasang kekasih membutuhkan cinta un-tuk menjalin hubungan yang romantis. Namun apabila muncul ketakutan sastra berjalan menuju pengasingan, lantas kita harus bagaimana? Apakah kita harus menangis? Ataukah kita hanya diam saja? Atau kita bergerak dan melepaskan sastra dari ku-tukan keterasingan? Dalam hal ini Goenawan Mohammad menyampaikan, seraya demikian puisi memang tetap terasing. Tapi keterasingannya bukan karena ia berkhianat. Keterasingannya justru sebuah kesaksian, bagaimana di zaman ini, ketika kata bertebaran dan berduyun-duyun bersama kapital, orang mudah untuk mengakui bahwa ada fragmen-fragmen, ada peristiwa-peristiwa yang seakan-akan terdiam. Kembali lagi, bahwa dalam ruang apapun terkadang manusia butuh jeda, butuh sedikit waktu untuk terdiam dan merenung. Melakukan proses kontemplasi pada diri adalah hal yang sangat perlu dalam mengolah hidup. Dalam hal ini sastra: puisi, novel, cerpen dan kisah-kisah lainnya telah menyajikan kepada kita dunia-dunia baru yang belum kita setapaki. Saya secara pribadi tidak takut, apakah sastra akan berjalan menuju pengasingan. Sebab bagi saya, selama cinta dan perasaan itu masih ada maka sampai kapanpun puisi dan kisah-kisah, tetap abadi menghuni dunia ini.

*** Dengan penuh kerendahan hati saya mengajak kawan-kawan untuk bergabung dalam Ruang Selasa Sastra.

(M. Shodiq)

PENGANTAR

Page 3: buletin selasa sastra

3Selasa SastraEdisi I

PERANG SUDAH LAMA REDA

reguk lah segelas nyanyian yang kusuling dari birahi musim penghujanagar sepasang matamu tidak lagi parau. tidak lagi memanggil-manggilarwah para martir yang sedih di kedalaman lautan.

perang sudah lama reda.

harum arak murni menyentuh permukaan langitpesta-pesta dikibarkan mengusir malam dan ketakutan ke perbatasan kota.anak-anak menggali lubang bagi masa depan yang gelap

kemarilah, masuki jantungku dari mana pun kau mau.akan kau dengar riwayat pertikaian,petaka yang menjalar dari jurang jaman, juga gaung duka lara yang sambung-menyambung tanpa pernah bisa kita ketahui di mana ujungnya

tapi perang sudah lama reda bukan?

dan kita hanya bisa menjalin persaudaraan dengan pagi hari yang bersahaja sambilmendekap setiap mimpi yang meninggalkan jam-jam tidur

2013

REPETISI PADA PAGI HARI

kalau pada pagi hari nyawaku utuh dan waktu mengalir lepaske arah jendela kamar. kalau pada pagi hari masih bisakuhirup dalamdalam aroma rambutmu dan masasilamyang manis berkejaran di antara ranting serta daundaunyang basah oleh embun. maka, akan kuciptakan lagisebuah ruang keramat dalam dirimu. tempat menulissegala hal yang belum terjamah kenyataan. segala hal yang benar-benar baru. tidak bermasa dan tidak berusia. sesuatu yang melebihi katakatamelebihi yang fana.

bila pagi hari datang kembali dan nyawaku telah melelehdi dalam maupun di luar diri. bila pagi hari datang kembalidan aroma rambutmu telah padu dengan masa silamyang gigil di pucuk musim ganjil akan kau dapati sebuah ruang dalam dirimu yang padat sekaligus hampa. kemudian segala yang kutulis itu mendapatkan bentuknya segala yang kutulis itu perlahan-lahan menjelma menjadi sesuatu yang fana

2013

Rozi Kembara, Mahasiswa Sasindo UNY yang asik menulis puisi dan laporan pertanggungjawaban kkn tahun ini. Konon sebelum rambutnya gondrong pernah mengaku mukanya mirip angry bird. Bergiat di sindikat rawa-rawa dan Malam Perjamuan Sastra. Penyair idolanya adalah Mawaidi.

APAKAH YANG BERDENYUT DALAM DIRIKU

apakah yang berdenyut dalam dirikunyawa atau residu dari waktuwaktu yang hilang

sesuatu yang menghidupkanku manakala hari bersalinatau sesuatu yang akan mengantarkanku

ke wilayah gelap pikiran manusia

aku tidak tahu. tapi kulihat anak-anak bermain hujansore hari berdiri tepat di muka pintu kamar. bunga dan pohonan

mengajarkan warna dan seluruh benda seakan berbisik kepadaku ihwal bentuk dan ketabahan

segala yang sementara menjadi terasa lebih memukausekaligus merisaukan

apakah yang berdenyut dalam dirikunyawa atau residu dari waktuwaktu yang hilang

aku tidak tahutapi rantingranting senantiasa basah mendekap dinihari

dan setiap pagi sebuah nyanyian gaib senantiasa mengalun

mengalirkan darahku

2013

D�l� 13’

RUANG PUISI

Page 4: buletin selasa sastra

4 Selasa SastraEdisi I

KAU akan mendapati banyak sekali anjing—daripada kucing, babi jadi-jadian, atau pun kelicikan—yang berkeliaran di kampung ini. Namun jika sungguh-sungguh kau perhatikan; anjing-anjing liar itu banyak yang diliputi keanehan, bahkan banyak pula yang bu-kan anjing. Sedangkan warga kampung ini, mereka te-lah terbiasa dengan keganjilan. Barangkali awalnya kau hanya akan heran dengan tingkah anjing-anjing di sini. Ada yang duduk diam berhari-hari dan matanya mata melamun, ada yang lebih sering terisak-isak menangis daripada menggonggong, ada yang sengaja menjatuhkan diri ke jurang, dan banyak lagi tingkah yang tak sewajarnya anjing. Tetapi lama-kelamaan kau akan mengerti; an-jing-anjing itu tak berkelamin, mereka seolah menga-jakmu bicara, bercerita, memintamu paham dan me-nyembuhkan penderitaannya. Maka akan kuceritakan padamu tentang kes-engsaraan: SEKITAR sepuluh tahun lalu kampung ini dilanda bencana kekurangan air. Satu tahun tak disu-guh hujan. Tanah-tanah retak. Hampir semua tum-buh-tumbuhan mati kehausan. Dan warga kampung yang sebelumnya gemar membuang-buang air; saat itu mendadak hemat—ya memang karena tak ada air yang bisa dihamburkan lagi. Beruntung masih tersisa satu sumber mata air yang rupanya kebal kemarau panjang. Sebuah sumur sedalam tiga puluh meter milik kepala desa. Se-lama setahun itu, saban hari, seluruh warga kampung antre untuk mendapatkan jatah—tiap keluarga—sep-uluh liter dari kepala desa. Air itu praktis hanya bisa mereka pakai untuk keperluan masak dan minum, bahkan kurang. Karenannya kampung itu jadi berbau busuk, kecut, pesing, dan amis. Segala macam najis dan bau tidak enak berserikat di sana. Bagaimana tidak, orang-orang—selain keluarga kepala desa—tak per-nah gosok gigi, mencuci, mandi junub, cebok, apalagi menyiram kotorannya sendiri. Karena tak ingin rumah mereka terlalu me-nyengat dihuni bau busuk, maka orang-orang selalu buang air di luar rumahnya; di jalan, di kebun tetangga, di sungai kering, atau di mana saja asalkan tidak setor di rumah sendiri. Mengetahui kebiasaan buruk warg-anya, kepala desa yang juga keturunan paranormal itu lantas mengumpulkan ketua-ketua RT dan para pemu-da desa. Ia memberi mandat supaya mereka menem-pel larangan buang air sembarang di tempat-tempat umum. Hari berikutnya, mandat itu segera dilaksan-akan. Muncullah berbagai larangan buang air semba-rangan di sudut-sudut desa. “Bukan toilet, GOBLOK!”, “Dilarang kencing di sini, KECUALI ANJING!”, “BERAK,

DUPAK!” dan banyak lagi larangan berupa corat-coret yang semakin bikin lengkap derita jorok kampung itu. Sedangkan masih saja ada yang buang air sembaran-gan, sembunyi-sembunyi. Kepala desa lagi-lagi mengumpulkan para ketua RT dan pemuda. Tak ada yang lolos kena perci-kan murkanya. Semua dimaki “ANJING!”. Dan karena dipuncaki amarah, atau mungkin demi terwujudnya kampung yang bersih dari sampah-sampah buangan tubuh manusia, ia putuskan mengisi larangan-laran-gan itu dengan jampi-jampi. Mereka yang hadir pun hanya manggut-manggut tak berani mencela keputu-san kepala desa yang kelewat sakti itu. Hari itu juga, mereka membuat lagi tulisan-tulisan yang kali ini diseragamkan isinya. Isinya laran-gan, umpatan, sekaligus kutukan. Kepala desa komat-kamit, menabur suatu ramuan ke dalam nyala tungku, kemudian asapnya disemburkan ke arah tulisan-tu-lisan yang direntangkannya bergantian. Mereka pun ikut mengamini apa yang tak jelas diucapkan kepala desa. Sebelum mereka menempel larangan-larangan di berbagai sudut kampungnya, kepala desa berpesan. Kira-kira begini bunyinya, “jangan kaget kalau setelah ini akan ada banyak anjing di sini. Jangan dibunuh, apalagi dimakan. Atau kalian sendiri akan jadi anjing. Tak perlu khawatir, yang penting kalian tidak melang-gar tulisan-tulisan itu, juga amanat saya barusan”. Pada suatu malam yang dipenuhi dingin, kantuk, dan rasa malas yang mendalam, seorang per-onda tak bisa menahan hasratnya kencing di belakang pos ronda. Matanya sudah setengah tiang dan dengan entengnya ia membuka retsleting celana, menjulurkan kemaluannya yang menyusut kedinginan. Belum sem-pat air kencingnya meresap tanah, seluruh pakaiannya tiba-tiba lucut. Dan yang kembali ke pos ronda ialah seekor anjing hitam tak berkemaluan. Itu hanya salah satu kejadian yang kemu-dian diikuti kejadian-kejadian yang hampir serupa; di semak-semak, di lapangan bola, di tengah jalan, di kebun ketela, di halaman rumah, dan banyak lagi. Hingga hampir setengah jumlah penduduk kampung itu berkurang. Sebenarnya tidak berkurang, hanya saja tidak tersensus lagi sebagai manusia. Tak hanya warga kampung, bahkan para pendatang atau orang yang sekedar melintasi kampung dan buang air di sini—lebih banyak yang jadi anjing. Kejadian ganjil itu tidak terlalu berdampak buruk bagi kampung, khususnya bagi kepala desa. Soalnya selain kampung tidak lagi bau menjijikkan dan terlihat kumuh, program KB Masuk Kampung—secara tak sengaja—terlaksana, dan untungnya lagi; kas kam-pung bertambah dengan ditemukannya dompet-dom-pet tak beridentitas, juga penjualan pakaian-pakaian

ANJING KEBIRI

RUANG CERPEN

Page 5: buletin selasa sastra

5Selasa SastraEdisi I

bekas tak bertuan. Kampung itu pun jadi kampung yang bersih, makmur, sepi manusia, banyak anjing, juga dibangun pemakaman khusus anjing. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang ditinggalkan kerabatnya yang jadi anjing? Mereka tak sesedih yang kau bayangkan. Kepala desa mendata orang-orang yang hilang—dan hampir pasti itu telah menjadi anjing—lalu memberikan dana PSM (Pensiun sebagai Manusia) kepada keluarga yang ditinggalkan, banyaknya tergantung jumlah keluarga yang hilang. Di depan umum, mereka memang menangis. Tapi setelah mendapat ganti rugi, mereka seolah tak pernah mera-sa kehilangan anggota keluarga. Setelah setahun bencana kekurangan air ber-langsung, suatu malam hujan berkunjung dan menga-hiri kesulitan warga kampung. Kegembiraan itu tak berlangsung lama. Hujan turun tanpa henti dalam seminggu penuh, kemudian satu tahun setelahnya tak ada hujan lagi. Kejadian itu berulang selama sembilan tahun.

TETAPI kau juga perlu tahu, sudah tiga pu-luh sembilan hari lalu kepala desa itu mati menge-naskan. Tubuhnya ditemukan tercabik-cabik di da-lam kamar, meninggalkan bau yang sama sekali tidak anyir, melainkan bau pesing yang membakar hidung orang-orang yang berbondong-bondong menyaksikan mayatnya. Aku tahu betul duduk kematiannya. Ketika purnama—dan sedang khusuk-khusuknya bertapa mengultuskan aroma ganjil yang menyeruak dari tung-ku api—ia dibunuh gerombolan anjing tak berkemalu-an yang memang telah lama bersekongkol mencopot nyawanya, sedangkan lampu-lampu api yang meng-

gelayut berkilauan pada beberapa bait dinding kayu kamarnya menjadi saksi pembunuhan paling bisu.Setelah kematian kepala desa itu, hujan kembali tu-run dengan wajar. Aku pun baru sadar kemarin; kalau kepala desa itulah yang telah mempermainkan hujan, kampung, dan manusianya demi kesaktian dan kes-ejahteraannya sendiri; kalau kepala desa itulah yang bisa mengembalikan anjing-anjing tak berkemaluan itu sebagai manusia lagi; dan kini tak mungkin ia hidup lagi. Kau dengar baik ceritaku bukan? Kuharap kau paham dan bisa menyembuhkan penderitaan anjing-anjing tak berkemaluan itu. Aku ingin kau mengerti. Memang aku bukan warga kampung ini yang berubah wujud sebagai anjing kebiri. Hanya saja, sepuluh tahun lalu aku berhenti di tengah perjalananku pulang bek-erja, lantas—tanpa rencana dan segala kesengajaan—aku kencing di kebun ketela dekat rumah kepala desa itu.

***Yogyakarta, Februari 2013

Muhammad Qadhafi, Mahasiswa Sasindo angkatan 2008. Tengah sibuk menulis beberapa cerpen. Memiliki julukan sang penjaring hadiah. Bergiat di komunitas Malam Perjamuan Sastra dan sedang sibuk rekaman untuk band metalnya.

Google.com

Page 6: buletin selasa sastra

6 Selasa SastraEdisi I

Seorang kawan, dengan nada guyon, pernah berkata kepada

saya: “Jujur, saya lebih suka membaca tulisan-tulisan (kritik) tentang puisi

ketimbang puisi-puisi itu sendiri.” Kemudian dia tertawa kecil. Saya ikut

tertawa meski tidak tahu letak kelucuannya, sekadar untuk basa-basi.

Kawan saya itu lantas menjelaskan, “Di dalam kritik-kritik itu saya pasti

memperoleh dua hal sekaligus. Saya dapat puisi-puisinya, juga dapat ko-

mentar orang atas puisi-puisi itu. Kalau bagus, saya bisa tahu di mana ba-

gusnya tanpa membaca sendiri. Dan kalau jelek, ya, saya juga tahu di mana

buruknya tanpa—Puji Tuhan—menghabiskan waktu untuk membacanya!”

Dia kembali tertawa, lebih lepas dan geli dari sebelumnya. Tapi saya tidak

lagi ikut-ikut. Kalau tak salah, waktu itu saya pura-pura kesulitan mencari

korek api di saku celana. Perasaan saya campur aduk.

Kawan saya tersebut memang ada benarnya. Dari sekian ratus

juta karya sastra yang ditulis umat manusia sepanjang sejarah dan sekian

ratus juta lainnya yang akan dituliskan di masa mendatang, kita tentu harus

membikin prioritas. Mana yang mesti dibaca dan mana yang harus dilewat-

kan sama sekali. Bahkan Dr. Faustus yang punya sejenis waham terhadap

pengetahuan pun sekiranya tetap memilih buku apa saja yang perlu diba-

canya dan yang tidak.

Persoalannya, tidak setiap kritik bisa dipercaya dan layak di-

amini. Kadangkala saya menemukan karya yang dipuji setinggi orbit satelit

ternyata (setelah saya baca sendiri) hanya membikin migren atau kejang

saraf. Sebaliknya, yang disepelekan dan dicemooh tak jarang menyimpan

satu-dua iris kebeningan yang berharga, atau setidaknya lebih layak dibaca

ketimbang yang sebelumnya. Dan di luar dua kutub ekstrem yang nyaris

hitam-putih itu, sesekali dalam benak saya juga terlintas pikiran-pikiran

semacam: Saya pikir buku A tidak seperti yang dibahas kritikus B itu deh;

atau masa iya dalam puisi-puisi si C ada gagasan Z seperti dikatakan Prof.

D? Rasanya itu berlebihan; dan sebagainya. Pada akhirnya, seringkali saya

tetap melakukan kerja dobel, membaca karya sekaligus kritik atasnya. Dan

itu menyenangkan.

Memang kita bisa membicarakan soal kritik tadi lebih jauh.

Misalnya seluas apa cakrawala pengetahuan saya, seberapa dalam pema-

haman saya, berikut faktor-faktor lain yang menentukan pembacaan saya

atas sebuah karya, sehingga pada gilirannya berujung pada kesamaan atau

ketidaksamaan frekuensi dengan kritik-kritik tersebut. Namun saya pikir

pembicaraan itu mesti ditunda untuk kali lain, sebab hal-hal yang saya sing-

gung di atas hanyalah semacam pengantar. Tulisan ini sendiri saya niatkan

sebagai pembacaan bandingan—bedakan dengan tandingan—terhadap

sebuah esei yang membahas sebuah buku puisi.

Buku puisi yang saya maksud adalah Hikayat Pemanen Ken-

tang karya Mugya Syahreza Santosa—seorang penyair kelahiran Cianjur

yang sekitar dua tahun lalu masih memperkenalkan dirinya sebagai Faisal

Syahreza. Sedangkan esei yang saya jadikan titik tolak berjudul “Hikayat

Pemanen Kentang: Meneroka Ladang Pengucapan,” karya Wahyu Arya, se-

orang kritikus sastra sekaligus penyair asal Banten yang baru saja mener-

bitkan buku himpunan eseinya, Sebuah Pintu yang Terbuka.

Sebagaimana terbaca dari judul esei tersebut, Wahyu mensin-

yalir adanya usaha mencari kebaruan, atau lebih tepatnya kekhasan pen-

gucapan yang dilakukan Mugya dalam Hikayat Pemanen Kentang, seperti

telah dilakukan beberapa penyair terdahulu. Dia menulis: “Syahreza tam-

pak berusaha menggali pengucapan baru dengan tekun mencatat segala hal

yang sebelumnya terserak dan diabaikan, menjadi semacam isotopi yang

saling berpiuh antara pengalaman aku lirik puisi-puisinya dengan dunia

ladang dan tetumbuhan (sic).”

Mari kita telisik pernyataan tersebut. Pertama, “Dengan tekun

mencatat segala hal yang sebelumnya terserak dan diabaikan” tentu saja bu-

kan hal baru. Dalam arti tertentu, saya pikir itu adalah tugas semua penyair.

Kedua, saya tidak tahu apa yang dimaksud dengan isotopi, namun sesuatu

yang saling berpiuh antara pengalaman aku lirik puisi dengan dunia ladang

dan tetumbuhan itu mungkin bisa dikatakan khas, atau baru. Bergantung

pada sedalam apa, atau se-khas apa hasil pemiuhan itu akhirnya.

Wahyu memulai bahasannya dengan puisi “Musim Panen

Pekebun Muda.” Dalam puisi itu, kita bisa mendapati si pekebun sedang

asik mensyukuri hari-hari panen yang menjelang. Ia bukan hanya memuji

kebun sebagai kiblat tempat menghimpun cuaca./udara, air, dan tanah/

yang senantiasa mulia-setia/di dalam dada. Tetapi juga menyebut tanaman

kentang sebagai paras bulat/lonjong pematut bulan. Kubis sebagai berlem-

bar labirin/penyimpan sari putih manis. Dan wortel: jemari besar pemalu/

merah-tumpah bercincin di dalamnya.

Puisi tersebut ditafsirkan Wahyu sebagai perpanjangan dari

sebuah khotbah yang klise: “Barangsiapa menanam kebaikan akan menuai

kebaikan pula, dan yang menanam keburukan akan memanen buah kebu-

rukannya.” Lalu tafsir itu diperpanjangnya lagi menjadi: “… Hidup seseorang

menjadi semacam proses berladang yang tak putus-putus untuk menanam

kebajikan, dan sisanya menyerahkan (sic) pada keberpihakan musim. Bisa

jadi si Pekebun dalam puisi ini adalah kita semua yang mencoba peruntun-

gan dengan bertanam.”

Di satu sisi, saya sepakat ketika Wahyu mengatakan bahwa

“Dalam puisi ini ada hubungan mengikat yang cukup kuat antara posisi

aku lirik dengan lanskap alam berupa kebun dan tumbuhan.” Tapi di sisi

lain, saya pikir, makna yang kemudian diandaikannya dari puisi ini agak ke-

blinger dan tidak pada tempatnya.

Mari mulai dengan pertanyaan: Apa kesan pertama yang kita

rasakan dari personifikasi atas kentang, kubis, dan wortel dalam puisi

“Musim Panen Pekebun Muda”? Ya, berlebih-lebihan. Berlebih-lebihan da-

lam hal apa? Dalam hal membicarakan sayur-mayur sebagai sayur-mayur

seperti sudah dikenal semua orang, tentunya. Tapi untuk puisi ini, kebetulan,

hal itu bukanlah sesuatu yang buruk. Menurut saya, puisi ini relatif berha-

sil. Dan keberhasilan itu justru berasal dari tiadanya tendensi Mugya untuk

menjejal-jejalkan “gagasan besar.” Yang ditampilkannya adalah nada, mood,

atau stimmung seorang pekebun desa yang riang-gembira menghadapi

hari-hari panen yang segera tiba. Maka wajar-wajar saja sang aku-lirik

berlebih-lebihan dalam memuji kebunnya, memuja tanaman-tanamannya,

membayangkan hidangan nikmat, menanti sejuknya istirahat—meski ses-

aat, serta menutup semua itu dengan syukur kepada Tuhan yang asih. Dan

saya kira, puisi itu cukuplah kita pahami demikian.

Setelah menyatakan pengamatan Mugya yang teliti terhadap

tumbuh-tumbuhan sebagai sebuah arsip perenungan, Wahyu memberikan

sebuah ilustrasi perihal cara Mugya menangkap sebuah peristiwa (atau hal-

VARIASI PEMBACAAN ATAS HIKAYAT PEMANEN KENTANG

RUANG ESAI

Page 7: buletin selasa sastra

7Selasa SastraEdisi I

hal lain) untuk kemudian dikristalisasi menjadi puisi: “Jika suatu hari ada

seorang ibu menggantung diri entah karena apa, di sebuah pohon misalnya,

maka titik yang diambil Syahreza bukan si ibu yang mati … tetapi pohon

tempat peristiwa itu berlangsung. Pohon sebagai fokus.” Dengan kata lain,

Wahyu membaca adanya kecenderungan Mugya untuk menghindari ke-

jenuhan manusia sebagai pusat, menghindari antroposentrisme, baik seba-

gai titik yang ditilik maupun sebagai mata-kamera. Anggapan ini mungkin

benar untuk puisi “Ketapang,” namun perlu dipertanyakan ulang ketika kita

membaca puisi “Rebung” berikut:

bertahanlah rebung-rebung di rumpun aur itu,

hidup kalian memang akan sampai di situ.

akan sampai kalian ke dalam mangkuk-mangkuk

yang wajar, juga dilahap kami orang-orang sabar.

jangan lagi hiraukan masa depan,

merasuki langit, terlibat seteru angin yang sengit.

kalian akan direbus sekian menit dalam kuali

sampai hilang rasa pahit, sampai hilang kenangan sepi.

ruap kalian yang membubung

memanggil selera kami bangkit

menuju kuah yang legit

jangan menjerit, jangan pula merasa sakit!

kami lebih tahu apa itu namanya perih

nyeri, juga sedih.

...........................................

kalian bergiliran tersuap ke mulut kami yang dzikir,

yang karib. setelah kehabisan usianya menebak

apa itu takdir, apa itu nasib dan apa itu

kebahagiaan.

Puisi di atas justru merupakan sebentuk antroposentrisme

yang paling mengerikan dan keji. Kami-lirik (manusia) menasehati rebung

(tumbuhan) agar pasrah saja mereka lahap. Alasannya, toh kami-lirik (ma-

nusia) yang mendaku sebagai orang-orang sabar itu lebih tahu apa yang

disebut perih, nyeri, sedih, sementara rebung-rebung yang hendak disan-

tap itu kehabisan usia menebak apa itu takdir, nasib, serta kebahagiaan.

Mengikuti pola hubungan semacam ini, seandainya rebung dalam puisi itu

diganti dengan jenis tumbuhan lain, dengan hutan, atau dengan alam raya,

barangkali kita baru akan menyadari bahwa hubungan kami-lirik dengan

rebung dalam puisi itu tak ubahnya hubungan umat manusia dengan dunia

sejak logosentrisme bercokol di singgasananya: Sebuah “penjajahan” ultra-

masif atas nama kebutuhan manusia sembari mempersetankan makhluk-

makhluk hidup lain dan alam semesta. Puisi ini bukan hanya tak memberi

suara kepada rebung (menjadikannya mata kamera), tetapi juga tidak

berbicara tentang rebung (menjadikannya titik yang ditilik) selain semata-

mata sebagai konsumsi manusia.

Puisi “Shalawat Pohon Salak” yang juga dibahas oleh Wahyu

sebetulnya menarik. Suara dalam puisi tersebut adalah milik pohon salak

yang ranting-ranting dan daun-daun keringnya sedang dibakar. Bersamaan

dengan asap membubung, pohon salak itu mengirimkan shalawat kepada

Sang Nabi. Pohon salak, sebagaimana kita tahu, adalah tanaman berduri.

Jika kurang berhati-hati dalam mengambil buahnya, jari bisa tertusuk

dan berdarah. Di sinilah menariknya, ketika si “tanaman buruk rupa” pun

ternyata memiliki kecintaan serta pengharapan kepada seorang nabi.

Namun ada yang sangat saya sayangkan dari puisi ini, yaitu tiga

baris terakhir dari bait pertama: “salam yang sebesar biji kami,/yang kesat

di daging putih ini/yang perih bila tertusuk hati dengki.” Apa maksudnya ini?

Siapakah kiranya yang mendengki pada salam-salawat-berukuran-sebutir-

biji yang dikirimkan sebatang pohon salak? Ataukah “yang perih bila ter-

tusuk hati dengki” itu sekadar penjelasan tambahan atas daging putih buah

salak? Entahlah. Yang jelas, saya pikir, tiga baris tersebut (terutama baris

terakhirnya) berpotensi merusak keseluruhan puisi ini. Ia begitu terasa se-

bagai suara pretensius si penyair yang menyelundup di antara salam serta

doa pohon salak yang tulus dan bersahaja.

Di bagian akhir eseinya, Wahyu mempertanyakan masalah

kedalaman perenungan Mugya. Lalu dia menarik semacam kesimpulan,

terutama dari puisi-puisi yang membicarakan rupa-rupa masakan, bahwa

ada kecenderungan yang lebih besar untuk mencari kesegaran pengucapan

daripada menemukan kebeningan puisi yang hakiki dalam Hikayat Pemanen

Kentang. Saya sepakat sepenuhnya dengan kegelisahan serta pembacaan

Wahyu di titik ini.

Ada beberapa hal di luar teks yang bisa kita jadikan catatan.

Pertama, hampir seluruh puisi dalam Hikayat Pemanen Kentang bertiti-

mangsa 2011 (sisanya 2010). Dengan kata lain, himpunan puisi ini adalah

sebuah kerja cepat. Kedua, puisi-puisi tersebut merupakan hasil “eksperi-

men” Mugya Syahreza Santosa, setelah sebelumnya ia menulis puisi-puisi

yang “wajar” (jenis yang belakangan ini justru agak jarang kita temukan di

Kompas dan Tempo, dua koran nasional yang kadung dianggap sebagai me-

dia publikasi puisi utama di Indonesia [di luar jurnal dan majalah sastra]

karena besarnya jumlah tiras serta honor pemuatan).

Namun kedua hal tersebut sebaiknya segera dilupakan oleh

Mugya selaku seorang penyair yang sungguh-sungguh. Kita ingat, puisi-pui-

si Sapardi Djoko Damono pada periode 1967-68 yang dikumpulkan dalam

DukaMu Abadi juga merupakan perombakan pengucapan, pembaruan, ser-

ta penemuan kembali. Sebagaimana dikatakan Goenawan Mohamad dalam

esei “Nyanyi Sunyi Kedua,” ketika itu Sapardi akhirnya berhasil melepas-

kan diri dari kungkungan sajak-sajak “berjuang” (yang sumbang dan jelek)

yang bahkan masih ditulisnya hingga tahun 1966. Seperti burung-burung

yang bermigrasi ke Selatan agar dapat bertahan hidup, puisi-puisi Sapardi

pun “bermigrasi” dari puja-puji serta kutuk-sumpah yang sama sekali tidak

menggugah menuju renungan-renungan yang lebih menggetarkan, lebih

mendalam, atas teka-teki kehidupan dan kematian.

Pada akhirnya, jika boleh berharap, saya harap Mugya Syah-

reza Santosa tidak berkeberatan melakukan kerja ekstra untuk menukik

ke kedalaman sumur renungan, di samping migrasi tema dan bahasa yang

telah ia lakukan dalam Hikayat Pemanen Kentang. Sebab, otentisitas (ori-

sinalitas?) seorang penyair dan puisi-puisinya mustahil semata-mata dida-

tangkan oleh pencarian tema di kebun sayuran serta penggalian kata-kata

arkaik dari tesaurus.

Dea Anugerah, Mahasiswa Filsafat UGM angkatan akhir ini sering menulis puisi, cerpen, dan esai. Bergiat di sindikat rawa-rawa. Selain itu ia juga menjadi pemilik sebuah penerbit ternama “Sputnik Publishing”.

Page 8: buletin selasa sastra

8 Selasa SastraEdisi I

LEO TOLSTOY dikenal sebagai sastrawan Rusia terbesar yang berpengaruh luas dalam pemben-tukan perkembangan sastra dunia. Sebelum akhirnya mapan sebagai novelis ulung Rusia, ia dikenal sebagai penulis cerita pendek yang piawai. Sejumlah ceritanya pun abadi, dibaca dari generasi ke generasi. Ia juga se-orang pemikir sosial dan moral terkemuka pada masan-ya. Karya-karyanya bercorak realis dan bernuansa reli-gius sarat renungan moral dan filsafat. Termasuk dari salah satu karyanya adalah buku ini yang berisi 11 cerpen Tolstoy bernuansa spiri-tualitas. Kumpulan cerpen ini, bisa dibilang cerpen-cer-pen terbaiknya. Bagaimana tidak? Dari sekian banyak cerpennya yang melagenda semisal “Ilyas”, “Alyosha”, “Sebutir Gandum dari Tanah Tuhan”, “Berapakah Luas Tanah yang Dibutuhkan Seseorang?”, “Ziarah” serta “Tuhan dan Manusia”%dapat kita banyak dalam buku ini. Serta sebuah cerita berjudul “Matinya Ivan Ilich”, yang dianggap sebagai salah satu masterpiece aliran realisme psikologis, sangat kuat dan mempesona. “Tuhan Maha Tahu, Tapi Dia Menunggu” merupa-kan sebuah judul cerpen dalam buku ini yang dijadikan judul utama. Dalam beberapa cerita ini, Tolstoy menceritakan per-jalanan spiritual seorang sau-dagar muda bernama Aksenof. Kenyataan pahit harus diterima Aksenof setelah suatu ketika di musim panas, di tengah per-jalanan menuju kota Nizhmi un-tuk mengunjungi pasar malam, ia digrebeg polisi dan ditemu-kan sebilah pisau berlumuran darah di dalam tasnya. Kejujuran Aksenof menjadi tak berdaya mengh-adapi sebilah pisau itu. Aksenof menjadi kambing hitam atas pembunuhan terhadap temannya sendiri. Ia dijeblosk-an ke dalam penjara. Seluruh harta kekayaannya disita. Sungguh, hatinya seperti dipukul dengan palu besar, berkali-kali. Hancur dan perih. Namun demikian, Akse-nof yakin Tuhan tidak akan memberikan cobaan di luar batas keterjangkauannya. Banyaknya waktu luang dalam penjara digu-nakannya untuk berpikir dan beribadah kepada Tuhan. Ia justru merasa menemukan kembali kedamaian ji-wanya di dalam penjara. Keyakinannya semakin mantap bahwa Tuhan tidaklah buta, Dia maha tahu yang benar

dan salah. Tuhan menurunkan cobaan kepada hamba-Nya supaya hamba-Nya menjadi lebih tangguh, kreatif dan sadar akan kelemahan dirinya. Sebab itulah, ia tidak pernah bosan meminta kepada Tuhan agar diberikan jalan yang terbaik un-tuknya. Tuhan pun menjawab do’anya. Di luar dugaan Aksenof sebelumnya, datanglah Makar, orang yang te-lah membunuh temannya dan menaruh pisau berlumur darah ke dalam tasnya, mengakui kesalahannya pada yang berwajib. Aksenof dinyatakan tidak bersalah. Na-mun sayang, ketika Aksenof hendak dibebaskan, dia di-jumpai sudah tidak bernyawa lagi. Aksenof mati dengan kedamaian jiwa yang tak ternilai harganya. Dari paparan cerita tersebut sangat terlihat

kepiawaian Tolstoy dalam meramu cerita bernuansa religius. Memba-ca antologi cerpen Tolstoy ini, kita seperti diajak untuk merenungkan kembali arti penting sebuah ke-hidupan. Hidup, bagaimana pun pahitnya, harus tetap dijalani den-gan penuh optimisme. Sebab, han-ya orang yang mengerti pahit yang akan tahu nikmatnya manis. Sepintas dari gambaran cerita di atas, tanpa harus dibilang menjustifikasi kebenaran subjek-tif. Cerpen-cerpen ini dimaksud-kan menjadi referensi menjalani hidup yang tak selamanya lurus dan mulus. Berliku-liku itu sudah pasti, namun cara menghadap-inya yang terkadang justru men-jerumuskan pada jalan yang lebih tajam. Karena salah kita yang tak bisa mengatasinya dengan baik, masalah kecil yang seharusnya tak berarti apa-apa malah mendatang-kan konsekuensi yang gampang kita hadapi. Maka, di sinilah peran cerita-cerita yang dibawakan oleh Tolstoy. Ia ingin mengajak manu-sia keluar dari keterpurukan yang mencampak-campakkan Tuhan.

Pada dasarnya ia hanya ingin mengatakan bahwa hidup adalah sesuatu yang berarti dan perlu untuk disikapi dengan kerendahan hati yang harus pada kuasa Tuhan dengan usaha kebaikan. (*)

CERITA-CERITA SPIRITUAL LEO TOLSTOY

RUANG BUKU

Mawaidi D Mas, Mahasiswa Sastra Indonesia UNY, menulis berbagai macam bentuk karya sastra. Hobi berfilsafat, telah menggagas sebuah teori baru yang kini tengah dirahasiakan. Berbagai karyanya telah dimuat di media cetak maupun online.

Judul Buku : Tuhan Maha Tahu, Tapi Dia Menunggu

Penulis : Leo TolstoyPenerbit : Jalasutra

Cetakan : 2011Tebal : xvi+ 398 halaman