BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - bi.go.id · Selain itu, untuk meminimalkan dampak negatif...

128

Transcript of BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - bi.go.id · Selain itu, untuk meminimalkan dampak negatif...

1ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2007

SUSUNAN PENGURUSBULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN

Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan MoneterBank Indonesia

PelindungPelindungPelindungPelindungPelindungDewan Gubernur Bank Indonesia

Dewan EditorDewan EditorDewan EditorDewan EditorDewan EditorProf. Dr. Anwar Nasution

Prof. Dr. Miranda S. GoeltomProf. Dr. Insukindro

Prof. Dr. Iwan Jaya AzisProf. Iftekhar HasanDr. M. Syamsuddin

Dr. Perry WarjiyoDr. Halim Alamsyah

Dr. Iskandar SimorangkirDr. Solikin M. JuhroDr. Haris Munandar

Dr. Andi M. Alfian Parewangi

Pimpinan EditorialPimpinan EditorialPimpinan EditorialPimpinan EditorialPimpinan EditorialDr. Perry Warjiyo

Dr. Iskandar Simorangkir

Direktur EksekutifDirektur EksekutifDirektur EksekutifDirektur EksekutifDirektur EksekutifDr. Andi M. Alfian Parewangi

SekretariatSekretariatSekretariatSekretariatSekretariatToto Zurianto, MBA

MS. Artiningsih, MBA

Buletin ini diterbitkan oleh Bank Indonesia, Direktorat Riset Ekonomidan Kebijakan Moneter. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisandibuletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukanmerupakan pandangan resmi Bank Indonesia.

Kami mengundang semua pihak untuk menulis pada buletin inipaper dikirimkan dalam bentuk file ke Direktorat Riset Ekonomi danKebijakan Moneter, Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 20;Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat, email : [email protected]

Buletin ini diterbitkan secara triwulan pada bulan April, Juli, Oktober danJanuari, bagi yang ingin memperoleh terbitan ini dapat menghubungiSeksi Publikasi - Bagian Administrasi, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter,Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 2; Jl. M.H. Thamrin No. 2,Jakarta Pusat, telp. (021) 381-8206. Untuk permohonan berlangganan:telp. (021) 3818202, fax. (021) 3802283, email: [email protected].

BULETIN EKONOMI MONETERDAN PERBANKAN

Volume 13, Nomor 4, April 2011

Analisis Triwulanan: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran

Triwulan I - 2011

Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia

Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan

Produk Tekstil Indonesia

Iwan Hermawan

Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi

Threshold Model

Rizki E. Wimanda

Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang

Haryo Kuncoro

Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia

Akhis R. Hutabarat

373

433

369

409

455

369ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan I - 2011

ANALISIS TRIWULANAN:Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran,

Triwulan I - 2011

Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 12 April 2011 memutuskan untuk

mempertahankan BI Rate sebesar 6,75%. Keputusan ini tidak mengubah arah kebijakan moneter

Bank Indonesia yang cenderung ketat sebagai upaya untuk pengendalian tekanan inflasi yang

masih tinggi, di tengah upaya Pemerintah menurunkan tekanan inflasi dari kelompok volatile

foods. Dewan Gubernur memandang bahwa penguatan nilai tukar Rupiah sejauh ini dapat

menurunkan tekanan inflasi, khususnya yang berasal dari kenaikan harga komoditi internasional

(imported inflation). Selain itu, untuk meminimalkan dampak negatif aliran modal asing jangka

pendek terhadap stabilitas moneter dan sistem keuangan, Dewan Gubernur juga memutuskan

untuk menggantikan ketentuan one-month holding period terhadap SBI menjadi six-month

holding period mulai berlaku 13 Mei 2011. Ke depan, Bank Indonesia menilai masih terbuka

ruang penyesuaian level BI Rate untuk meredam tekanan inflasi lebih lanjut. Bank Indonesia

meyakini bahwa penerapan bauran kebijakan moneter dan makroprudensial tersebut, serta

didukung pula dengan penguatan koordinasi kebijakan Pemerintah, akan mampu untuk menjaga

stabilitas makro dan membawa inflasi pada sasaran yang ditetapkan, yaitu 5%±1% pada tahun

2011 dan 4,5%±1% pada tahun 2012.

Dewan Gubernur memandang bahwa pemulihan ekonomi global ke depan lebih baik

sebagaimana terlihat dari penyesuaian ke atas proyeksi pertumbuhan ekonomi global oleh

berbagai lembaga internasional. Optimisme global yang membaik ini akan berdampak pada

volume perdagangan dunia yang juga meningkat. Hal tersebut akan berpengaruh positif

terhadap permintaan terhadap produk ekspor sehingga turut mendorong pertumbuhan ekonomi

domestik. Namun, proses pemulihan ekonomi global ini masih menghadapi risiko ketidakpastian

terkait krisis utang yang melanda sejumlah negara di Eropa dan potensi gangguan proses

produksi pascagempa di Jepang. Selain itu, kenaikan harga minyak dan komoditi pangan dunia

diperkirakan masih berlanjut sehingga memberikan tekanan inflasi di banyak negara maju dan

emerging economies, termasuk Indonesia.

Di sisi domestik, Dewan Gubernur berpandangan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia

diprakirakan meningkat sebesar 6,0-6,5% pada tahun 2011 dan 6,1-6,6% pada tahun 2012.

370 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Pertumbuhan ekonomi tersebut ditopang oleh sumber pertumbuhan yang semakin berimbang

seiring dengan kinerja investasi yang terus meningkat dan kinerja ekspor yang masih tetap

solid. Pada triwulan II-2011, pertumbuhan ekonomi diprakirakan tumbuh cukup tinggi yaitu

sebesar 6,4%. Peran investasi untuk penambahan kapasitas perekonomian, terutama melalui

PMA, diperkirakan akan meningkat sejalan dengan masih kuatnya permintaan, baik dari

domestik maupun eksternal, serta membaiknya sovereign credit rating. Secara sektoral, seluruh

sektor ekonomi diprakirakan akan tumbuh tinggi, dengan pertumbuhan tertinggi pada sektor

transportasi & komunikasi, sektor perdagangan, hotel & restoran, dan sektor bangunan.

Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia diperkirakan masih akan mencatat surplus yang

cukup besar pada 2011. Surplus tersebut berasal baik dari transaksi berjalan maupun transaksi

modal dan finansial. Ekspor diprakirakan masih akan tumbuh cukup tinggi. Aliran masuk modal

asing dalam bentuk portofolio diperkirakan masih akan tetap besar, sedangkan investasi asing

langsung (PMA) diperkirakan meningkat. Dengan perkembangan sampai dengan akhir Maret

2011, cadangan devisa tercatat sebesar 105,7 miliar dolar AS atau setara dengan 6,3 bulan

impor dan pembayaran utang luar negeri.

Tren penguatan nilai tukar Rupiah terus berlanjut pada Maret 2011. Di samping sejalan

dengan kinerja NPI yang mencatat surplus yang besar dan positifnya persepsi investor asing

terhadap kuatnya fundamental ekonomi Indonesia, penguatan Rupiah juga sebagai bagian

dari respons kebijakan Bank Indonesia untuk pengendalian tekanan inflasi, khususnya yang

berasal dari kenaikan harga komoditi internasional (imported inflation). Hingga akhir bulan

Maret 2011 nilai tukar Rupiah menguat sebesar 3,47% (ptp) menjadi Rp8.708 per dolar AS.

Apresiasi Rupiah sejauh ini belum mempengaruhi daya saing Indonesia dari sisi nilai tukar,

antara lain tercermin dari kinerja ekspor nonmigas Indonesia yang terus menunjukkan

peningkatan yang relatif tinggi.

Di sisi harga, meskipun inflasi sudah menunjukkan kecenderungan menurun, risiko

tekanan inflasi ke depan diperkirakan masih cukup tinggi. Inflasi IHK pada bulan Maret 2011

mencapai 6,65% (yoy) atau deflasi 0,32% (mtm) seiring dengan koreksi inflasi bahan pangan.

Meskipun masih relatif tinggi, tekanan inflasi dari kelompok volatile foods menunjukkan

kecenderungan yang menurun sejalan dengan langkah-langkah Pemerintah untuk memperkuat

pangan nasional. Sementara inflasi administered prices cukup moderat terkait dengan

minimalnya kebijakan penyesuaian harga oleh Pemerintah. Namun, inflasi inti menunjukkan

tren meningkat, tercatat sebesar 4,45% (yoy) atau 0,25% (mtm) pada Maret 2011, sebagai

dampak rambatan dari tingginya harga pangan dan meningkatnya ekspektasi inflasi. Ke depan,

risiko tekanan inflasi diperkirakan masih cukup tinggi, dipengaruhi oleh meningkatnya harga

komoditi internasional, kuatnya permintaan domestik, dan tingginya ekspektasi inflasi. Bank

371ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan I - 2011

Indonesia akan terus mewaspadai risiko tekanan inflasi tersebut dan memperkuat bauran

kebijakan moneter dan makroprudensial untuk mengendalikan inflasi ke sasaran yang telah

ditetapkan.

Stabilitas sistem keuangan tetap terjaga yang disertai terus membaiknya fungsi

intermediasi perbankan dan likuiditas perbankan yang terkendali. Industri perbankan cukup

stabil ditandai oleh terjaganya kondisi permodalan dan likuiditas sebagaimana tercermin pada

tingginya rasio kecukupan modal (CAR/Capital Adequacy Ratio) pada level 18% dan terjaganya

rasio kredit bermasalah (NPL/Non Performing Loan) gross di bawah 5%. Intermediasi perbankan

juga semakin membaik tercermin dari pertumbuhan kredit yang terus meningkat, yakni pada

Maret 2011 mencapai 25,1% (yoy), ditopang oleh pertumbuhan pada seluruh jenis kredit

termasuk kredit kepada UMKM.

372 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

halaman ini sengaja dikosongkan

373Analisis Dampak Kebijakan MakroekonomiTerhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia

ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI TERHADAPPERKEMBANGAN INDUSTRI TEKSTIL DAN

PRODUK TEKSTIL INDONESIA

Iwan Hermawan, SP. MSi 1

Textile and textile»s product play an important role in the Indonesian economy. During the last five

years, however, share of these industries and commodities to gross domestic product tend to decrease.

The objectives of this study are to analyze factors affecting Indonesian textile and textile»s product, and

the prospect of Indonesian textile and textile»s product in the future. Results of the study show that

domestic textile production was affected by world cotton price and wage rate, while the domestic garment

production was affected by wage rate in the garment sector. Indonesia»s textile export to world market

was influenced by domestic textile price, and Indonesia»s export garment was influenced by exchange

rate (Rp/US$). Indonesian textile demand was affected by wage rate and domestic garment demand was

affected by income per capita of Indonesia. In general, the prospect of Indonesian textile and textile»s

product seems not too good. In fact, Indonesian textile and textile»s product had depended on high

import cotton, investment, and exchange rate. So why, economy policies are still needed to accelerate

Indonesian textile and textile»s product development.

JEL ClassificationJEL ClassificationJEL ClassificationJEL ClassificationJEL Classification Number: C53, E60, F43, and F4.

Keyword: export, open economy, forecasting, simulation, textile and textile»s product.

1 Calon Peneliti Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik, P3DI, Setjen DPR RI. Alamat email: [email protected]

Abstract

374 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

I. PENDAHULUAN

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menawarkan kesempatan yang penting bagi suatu

negara untuk memulai industrialisasi ekonominya. Industri ini memainkan peranan penting

dalam meningkatkan orientasi ekspor di negara-negara Asia, seperti Hong Kong, Singapura,

Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, Cina, Indonesia, Thailand, dan Vietnam.2 Selain itu jumlah

penduduk negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang mencapai sekitar 597

juta orang3 dan penerapan ASEAN single window (ASW) dengan bea masuk 0 persen (kecuali

negara Laos, Kamboja, dan Myanmar menerapkan free duty pada tahun 2012) menjadi peluang

besar bagi pasar TPT (Sunarno, 2008)4.

Sektor TPT menjadi sektor kunci di negara Pakistan, Vietnam, Thailand, Sri Lanka, dan

Indonesia. Pada tahun 2010 pertumbuhan ekspor TPT Vietnam mencapai sebesar US$ 11,2

miliar5. Di Indonesia, kinerja TPT juga memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi di

Indonesia. Industri TPT mempunyai kontribusi 2,18 persen terhadap Produk Domestik Bruto

(PDB) dan 8,01 persen terhadap industri pengolahan pada tahun 2010 (BPS, 2008). Bahkan

komoditas ekspor non migas yang memberikan kontribusi terbesar selama lebih dari 20 tahun

terakhir adalah TPT. Peningkatan tersebut tidak terlepas dari kebijakan pemerintah pada awal

pengembangan industri ini.

Industri TPT6 juga penyumbang terbesar dalam perolehan devisa Indonesia. Pada tahun

2009, industri TPT berkontribusi sebesar 12,72 persen dalam perolehan devisa terhadap ekspor

hasil industri tidak termasuk minyak dan gas (migas) dan sebesar 9,58 persen terhadap total

ekspor non migas, meskipun 85 persen bahan baku berupa kapas masih diimpor. Nilai tersebut

meningkat tajam dari hanya sebesar US$ 559 juta pada tahun 1985 (BPS, 2010). Selain

mempunyai kontribusi yang besar di dalam PDB dan devisa, industri ini juga menyerap banyak

tenaga kerja, baik yang bekerja secara langsung ataupun tidak langsung.

Arti penting TPT dapat dilihat dari perannya sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia

selain pangan dan papan. Oleh karena itu, konsumsi sandang akan cenderung meningkat

seiring dengan laju pertumbuhan penduduk (Grafik 1). Potensi pasar Indonesia untuk komoditas

TPT relatif besar sebab kebutuhan kain masyarakat perkotaan tidak hanya berupa pakaian, tapi

2 UNCTADUNCTADUNCTADUNCTADUNCTAD. TNCs and the Removal of Textiles and Clothing Quotas. Geneva: United Nations Conference on Trade and Development,2005, hal 3.

3 PRB.PRB.PRB.PRB.PRB. World Population Data Sheet 2009. Washington DC: Population Reference Bureau and USAID, 2009, hal. 8.4 Susanna Sunarno.Susanna Sunarno.Susanna Sunarno.Susanna Sunarno.Susanna Sunarno. ASEAN, Basis Produksi TPT Dunia. IndonesianTextile.com. Serial Online. 2008. http://indonesia textile.com/

index.php?option=com_content&task=view&id=73&Itemid=50. Diakses tanggal 17 Maret 2010.5 VBN.VBN.VBN.VBN.VBN. Vietnam Textile and Garment Export Cross $ 11.2 Biliion in 2010. Vitenam Business News. SerialOnline, 2011. http://

vietnambusiness.asia/vietnam-textile-and-garment-exports-cross-11-2b-in-2010/. Diakses tanggal 10 Januari 20116 Ekspor hasil industri pakaian jadi dan tekstil lainnya.

375Analisis Dampak Kebijakan MakroekonomiTerhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia

juga kebutuhan non pakaian. Pada tahun 2005 konsumsi TPT Indonesia menurun secara

signifikan dibandingkan tahun 2004. Hal ini karena pada tanggal 1 Januari 2005, sistem kuota

dicabut dan disesuaikan dengan ketentuan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT).

Kesepakatan tersebut dimulai dari Putaran Uruguay tanggal 15 April 1994 di Marakesh yang

menghasilkan Agreement on Textile and Clothing (ATC) terhadap menetapkan sistem kuota

impor.

Di sisi lain perubahan sistem kuota tersebut akan berdampak positif bagi perkembangan

industri TPT melalui perdagangan yang lebih adil dan menandai era baru perdagangan TPT

dunia. Sistem kuota TPT yang bersifat diskriminasi dihapuskan dan market share TPT semakin

besar melalui persaingan internasional serta peluang pengembangan industri TPT akan semakin

besar. Indonesia adalah salah satu di antara negara-negara produsen TPT terbesar di dunia.

Pada tahun 2000 ekspor TPT Indonesia mencapai sebesar US$ 8,2 miliar (Rp. 74,9 triliun) dan

menduduki ranking 10 di antara negara produsen TPT dunia. Tahun 2003, ekspor TPT Indonesia

hanya mencapai US$ 7,03 miliar, hal ini membuat posisi ranking menurun menjadi 17. Namun

pada tahun 2004, sektor ini mampu menaikan perolehan devisa sebesar US$ 7,6 miliar. Menurut

Thuborn, 20108 pada tahun 2007 secara keseluruhan nilai ekspor TPT Indonesia sebesar US$

9,73 miliar, dimana menduduki ranking 12 untuk ekspor tekstil dan ranking 8 untuk ekspor

garmen.

7 Susanna Sunarno.Susanna Sunarno.Susanna Sunarno.Susanna Sunarno.Susanna Sunarno. Amankan Pasar Dalam Negeri. www.indonesiatextile.com. Serial Online, 2008. http://indonesiatextile. com/index.php?option=com_content&task=view&id=76&Itemid=50, Diakses Tanggal 17 Maret 2010.

8 John Thoburn.John Thoburn.John Thoburn.John Thoburn.John Thoburn. The Impact of World Recession on the Textile and Garment Industries of Asia. Working Paper No. 17. Vienna: UnitedNations Industrial Development Organization, 2010, hal. 31.

Grafik 1. Perkembangan Konsumsi TPT PerKapita dan Jumlah Penduduk di Indonesia

Tahun 2002-2010

kg/Kapita

3,4

3,6

3,8

4,0

4,2

4,4

4,6Konsumsi TPT

Jumlah Penduduk

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Juta Orang

195,0

200,0

205,0

210,0

215,0

220,0

225,0

230,0

235,0

240,0

Sumber : Sunarno, 2008 dan IMF, 2011.Keterangan : Permintaan TPT per kapita tahun 2009 dan 2010 adalah angka perkiraan.

376 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Gambaran di atas mengindikasikan bahwa industri TPT Indonesia mempunyai potensi

dan peluang perkembangan yang cukup baik. Hal ini didukung oleh kemampuan industri TPT

dalam memberikan kontribusi terhadap PDB, perolehan devisa. dan sekaligus penyerapan tenaga

kerja. Selain itu industri TPT mempunyai peluang yang besar, dimana permintaan TPT akan

meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk. Namun demikian, potensi dan peluang

perkembangan industri TPT tersebut bukan tanpa kendala. Kendala-kendala yang dihadapi

industri TPT dikhawatirkan dapat mengganggu atau menurunkan kontribusinya terhadap

pembangunan ekonomi Indonesia.

Globalisasi yang ditandai dengan berakhirnya sistem kuota tahun 2005 telah mendorong

perdagangan TPT dunia semakin terbuka dan mengubah peta pasar dari sisi supply manajemen

importir. Perubahan perdagangan TPT dunia menimbulkan peluang dan ancaman bagi industri

TPT Indonesia. Peluang yang muncul adalah pangsa pasar negara-negara yang selama ini

terlindungi oleh sistem kuota akan menjadi terbuka. Sedangkan ancaman industri TPT Indonesia

adalah kompetisi yang ketat antar negara-negara produsen TPT di dunia, seperti Cina, India,

Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Isu-isu non tarrif barrier, seperti transshipment dan dumping

ikut mempengaruhi arus penetrasi perdagangan TPT dari negara berkembang ke negara maju.

Sementara persaingan di pasar dunia semakin meningkat, kondisi industri TPT di dalam

negeri justru relatif memprihatinkan. Salah satu keadaan yang memperburuk prospek

perkembangan industri TPT di Indonesia adalah iklim investasi yang sangat tidak kondusif.

Padahal industri TPT sangat membutuhkan investasi yang besar untuk merevitalisasi mesin-

mesin maupun teknologi yang sudah tua. Iklim investasi yang tidak kondusif disebabkan antara

lain, belum adanya kepastian hukum, meluasnya korupsi, birokrasi yang berbelit-belit masalah

tenaga kerja, dan perpajakan.

Pada tahun 1997 krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Timur, termasuk

Indonesia, mengakibatkan nilai tukar Rupiah terdepresiasi. Hal ini seharusnya membuat produk

TPT Indonesia lebih kompetitif bagi konsumen luar negeri, karena harga TPT Indonesia menjadi

lebih murah. Namun kenyataannya nilai ekspor TPT menurun hingga US$ 1,3 miliar pada tahun

1997 (CIC, 2001).

Dengan berbagai permasalahan tersebut di atas, apakah industri TPT masih mampu

bertahan atau berkembang? Oleh sebab itu adalah penting untuk menganalisis faktor-faktor

yang mempengaruhinya serta prospek industri TPT Indonesia di masa depan. Tujuan penelitian

ini adalah untuk: (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhinya perkembangan industri

TPT Indonesia, dan (2) menganalisis prospek perkembangan industri TPT Indonesia di masa

mendatang. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyusunan kebijakan

yang mampu mendukung perkembangan industri TPT Indonesia.

377Analisis Dampak Kebijakan MakroekonomiTerhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia

Bagian kedua dari paper ini akan mengulas teori dan tinjauan empiris industri tekstil,

bagian ketiga mengulas metodologi penelitian yang digunakan, sementara hasil dan analisis

akan diuraikan pada bagian keempat. Kesimpulan menjadi bagian penutup.

II. TEORI

2.1. Teori Keseimbangan Umum Perdagangan

Pada dasarnya beberapa faktor yang mendorong timbulnya perdagangan internasional

suatu negara dengan negara lainnya bersumber dari keinginan untuk memperluas pemasaran

komoditas ekspor, memperbesar devisa bagi kegiatan pembangunan, perbedaan penawaran

dan permintaan antar negara, serta akibat perbedaan biaya relatif dalam menghasilkan

komoditas tertentu (Gonarsyah, 1987).

Pada Grafik 2 dijelaskan bagaimana perdagangan dapat terjadi antara dua negara

(Indonesia dan Cina) dan antara dua komoditas (garmen dan beras). Perdagangan terjadi karena

adanya perbedaan slope yang menunjukkan rasio harga relatif antara beras dan garmen. Asumsi

yang digunakan meliputi, yaitu hanya ada dua negara yang melakukan perdagangan, constant

opportunity costs dan masing-masing negara berusaha mencapai tingkat kesejahteraan yang

paling tinggi (titik tangen antara kurva indiferen dan garis barter).

Grafik 2.Keseimbangan Umum Perdagangan

Sumber: Dunn and Mutti, 2004.Keterangan: SB dan SL adalah garis barter; titik T dan M adalah titik dimana rasio harga sama dengan marginal rate of substitution; dan i

1-i

4 adalah kurva

indiferen.

b. Cinaa. Indonesia

1000

40 55

100

200

60

W

SD

P

T R

i1 i2i3

i4

Garmen

Beras

GB

Ekspor Garmen

Impor Beras

B

8040 45

N

LG

K

M

i1

i2

Garmen

G

B

Ekspor Beras

Impor Garmen

120

B

0

150

120

240

378 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Sebelum perdagangan terjadi (autarki), rasio pertukaran domestik adalah berbeda pada

dua negara tersebut. Hal ini juga menunjukkan adanya perbedaan comparative advantage,

dimana garmen relatif lebih murah di Indonesia daripada di Cina. Ketika perdagangan dimulai

antara dua negara, rasio pertukaran internasional (term of trade) mendasari antara dua rasio

domestik, misalkan 1 garmen:1 beras dan 1 garmen:3 beras. Rasio pertukaran internasional

tersebut akan berimbang tergantung pada willingness setiap negara untuk menawarkan

komoditas ekspornya dan membeli impor pada harga relatif.

Pada posisi keseimbangan akhir, Indonesia akan memproduksi pada titik S dan

mengkonsumsi pada titik T. Dimana Indonesia memproduksi garmen sebesar OS (100 juta

ton), konsumsi dalam negeri sebesar OD (55 juta ton), dan ekspor sebesar SD (45 juta ton)

yang akan ditukar dengan impor beras sebesar DT (90 juta ton). Segitiga TRS adalah segitga

perdagangan. TR merepresentasikan ekspor dari garmen, RS merepresentasikan impor dari

beras, dan slope TS merepresentasikan harga relatif garmen. Manfaat perdagangan juga akan

diperoleh oleh Cina dari mengimpor garmen dan mengekspor beras, dimana gain perdagangan

secara total dapat dilihat pada Tabel 1. Jadi tanpa perdagangan, konsumsi beras Cina hanya

sebesar 120 juta ton dan garmen sebesar 40 juta ton. Setelah melakukan perdagangan dengan

Indonesia, ekspor beras Cina meningkatkan sebesar NB (90 juta ton) dan impor garmen Cina

meningkat sebesar NM (45 juta ton).

Tabel 1.Produksi dan Konsumsi Sebelum dan Sesudah Melakukan Perdagangan

Negara/Negara/Negara/Negara/Negara/WilayahWilayahWilayahWilayahWilayah

BerasBerasBerasBerasBeras GarmenGarmenGarmenGarmenGarmen

Sebelum PerdaganganSebelum PerdaganganSebelum PerdaganganSebelum PerdaganganSebelum Perdagangan

Cina 120 - - 120 40 - - 40Indonesia 60 - - 60 40 - - 40Dunia 180 - - 180 80 - - 80

Cina 240 90 0 150 0 0 45 45Indonesia 0 0 90 90 100 45 0 55Dunia 240 240 100 100

Cina +30 +5Indonesia +30 +15Dunia +60 +20

ProduksiProduksiProduksiProduksiProduksi(1)(1)(1)(1)(1)

KonsumsiKonsumsiKonsumsiKonsumsiKonsumsi(4) = (1)-(2)+(3)(4) = (1)-(2)+(3)(4) = (1)-(2)+(3)(4) = (1)-(2)+(3)(4) = (1)-(2)+(3)

ImporImporImporImporImpor(3)(3)(3)(3)(3)

EksporEksporEksporEksporEkspor(2)(2)(2)(2)(2)

ProduksiProduksiProduksiProduksiProduksi(1)(1)(1)(1)(1)

KonsumsiKonsumsiKonsumsiKonsumsiKonsumsi(4) = (1)-(2)+(3)(4) = (1)-(2)+(3)(4) = (1)-(2)+(3)(4) = (1)-(2)+(3)(4) = (1)-(2)+(3)

ImporImporImporImporImpor(3)(3)(3)(3)(3)

EksporEksporEksporEksporEkspor(2)(2)(2)(2)(2)

Sumber: Dunn and Mutti, 2004.

Setelah PerdaganganSetelah PerdaganganSetelah PerdaganganSetelah PerdaganganSetelah Perdagangan

GainGainGainGainGain dari Perdagangan dari Perdagangan dari Perdagangan dari Perdagangan dari Perdagangan

379Analisis Dampak Kebijakan MakroekonomiTerhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia

2.2. Konstruksi Model Ekonomi Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia

Berdasarkan teori perusahaan, permintaan input diturunkan dari fungsi produksi setiap

perusahaan dengan asumsi produsen memaksimumkan keuntungan dengan kendala teknologi

dan pasar (harga output dan input) (Varian, 1978 dalam Sinaga, 1989). Asumsi lainnya bahwa

setiap perusahaan menghadapi pasar persaingan sempurna, baik pada pasar input maupun

output, sehingga setiap perusahaan adalah price taker.

Penurunan permintaan input dan penawaran output tersebut membutuhkan syarat First

Order Necessary Condition (FONC) dan Second Order Sufficient Condition (SOSC) dalam

memaksimisasi keuntungan (Henderson dan Quandt, 1980). Diasumsikan bahwa fungsi produksi

dapat diturunkan (twice differentiable), permintaan perusahaan terhadap input tertentu

mensyaratkan kondisi produktivitas input (produk marginal) senilai dengan harganya. Komoditas

tekstil sebagai derived demand dari komoditas garmen. Oleh sebab itu peubah-peubah yang

terkandung di dalam persamaan permintaan tekstil domestik tampak berbeda dengan

permintaan final goods seperti pada umumnya.

Dalam penelitian ini, juga diasumsikan bahwa hanya terdapat satu jenis tekstil dan garmen

yang diperdagangkan. Oleh sebab itu tekstil dan garmen dianggap sebagai komoditas yang

kemudian dikonversi dalam satuan berat yang sama (ton). Faktor konversi tersebut menggunakan

perhitungan umum yang diaplikasikan oleh API. Sedangkan peubah harga komposit tekstil

dan garmen di dalam negeri berdasarkan data yang diterbitkan oleh API dan peubah harga

komposit tekstil dan garmen di luar negeri menggunakan proksi dari harga ekspor tekstil dan

garmen dunia.

Selain itu, Indonesia adalah termasuk negara kecil yang terbuka (small open economy).

Kategori negara kecil atau besar didasarkan pada perilaku ekonominya, dimana Indonesia tidak

dapat mempengaruhi harga dunia atau peubah harga dunia sebagai peubah eksogenus (Krantz,

2006). Menurut Houck, 1986 bahwa negara impotir kecil menghadapi excess supply yang

datar dan tidak mampu mempengaruhi harga dunia. Oleh sebab itu asumsi yang digunakan

adalah negara kecil berperilaku sebagai

price taker, baik di pasar input maupun pasar output. Selain itu biaya transportasi adalah

nol serta tidak ada hambatan perdagangan. Kondisi ini dikonstruksikan di dalam model dengan

memposisikan peubah harga tekstil dan garmen dunia sebagai peubah eksogen pada persamaan

produksi, ekspor, dan impor tekstil dan garmen domestik.

Hubungan ekonomi antara peubah dalam model diformulasikan berdasarkan teori

ekonomi mikro, teori ekonomi makro, teori perdagangan internasional, dan hasil-hasil penelitian

yang terkait. Tanda parameter dugaan menjadi bentuk lain dari hipotesis yang ditindaklanjuti

380 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Gambar 1.Keterkaitan Antar Blok dalam Model Ekonomi Tekstil dan

Produk Tekstil Indonesia

sebagai landasan untuk menentukan metode analisis dan olah data yang sesuai. Keterkaitan

antara industri TPT Indonesia dan dunia merupakan alasan model ini dikonstruksi dengan model

dinamis dalam bentuk persamaan simultan (simultaneous equation). Sifat dinamis dari aspek

penawaran, permintaan, harga di domestik, maupun harga dunia juga diakomodasikan dengan

cara memasukkan peubah-peubah tahun sebelumnya ke dalam model. Pada Gambar 3 disajikan

secara sederhana hubungan antara peubah endogen dan eksogen dalam blok pasar tekstil dan

garmen di Indonesia dan dunia. Persamaan-persamaan tersebut dibagi dalam empat blok,

yaitu (1) blok pasar tekstil Indonesia, (2) blok pasar garmen Indonesia, (3) blok pasar tekstil

dunia, dan (4) blok pasar garmen dunia.

Sedangkan berdasarkan keterkaitan antar peubah dalam blok, maka disusun persamaan-

persamaan yang terdiri dari peubah-peubah endogen dan eksogen. Penentuan peubah-peubah

tersebut didasarkan pada kerangka teoritis, studi empiris, dan juga kondisi di lapangan. Peubah-

peubah yang dipilih merupakan peubah yang dianggap berpengaruh dan terutama disesuaikan

dengan ketersediaan data. Industri TPT terdiri dari sub sektor serat, benang, kain, pakaian jadi,

dan tekstil lainnya. Tidak semua sub sektor tersebut akan dijelaskan secara eksplisit dalam

model ekonomi. Sub sektor serat, benang, dan kain akan dimasukkan ke dalam kelompok

Blok Tekstil Indonesia1. Produksi2. Penawaran3. Permintaan4. Ekspor5. Impor6. Harga Indonesia

Blok Garmen Indonesia1. Produksi2. Penawaran3. Permintaan4. Ekspor5. Impor6. Harga Indonesia

Blok Tekstil Dunia1. Harga Dunia2. Ekspor Dunia3. Impor Dunia4. Ekspor Jerman5. Ekspor USA6. Ekspor Cina7. Impor Italia8. Impor USA9. Impor Cina

Blok Garmen Dunia1. Harga Dunia2. Ekspor Dunia3. Impor Dunia4. Ekspor Jerman5. Ekspor Cina6. Ekspor Turki7. Impor Jerman8. Impor USA9. Impor Jepang

381Analisis Dampak Kebijakan MakroekonomiTerhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia

tekstil, sedangkan pakaian jadi dan tekstil lainnya dimasukkan kelompok garmen. Alasan

pengelompokan ini dilakukan karena sangat berkaitan dengan ketersediaan data. Model

operasional yang dikembangkan dalam penelitian ini diupayakan dapat menangkap semua

fenomena ekonomi dalam industri TPT, baik di pasar Indonesia maupun dunia. Model operasional

terdiri 24 persamaan perilaku dan 6 persamaan identitas. Namun demikian hanya 12 persamaan

perilaku dan 6 persamaan identitas yang dijelaskan lebih lanjut karena keterkaitannya langsung

dengan industri TPT di dalam negeri. Perilaku ekspor tekstil dan garmen Jerman, Amerika Serikat,

dan China Italia, Turki, dan Jepang tidak dijelaskan. Persamaan-persamaan tersebut disajikan

sebagai berikut:

1.1.1.1.1. Produksi tekstil domestikProduksi tekstil domestikProduksi tekstil domestikProduksi tekstil domestikProduksi tekstil domestik

PTDt = a

0 + a

1HTDR

t-1 + a

2HCWR

t-1 + a

3(IRR

t-IRR

t-1) +

a4UTKTR

t-1 + a

5BBMR

t-1 + a

6T + a

7PTD

t-1 + U

1 ........................ (1)

Tanda parameter dugaan yang diharapkan dalam persamaan adalah:

a1, a

6 > 0; a

2, a

3, a

4, a

5 < 0 dan 0 < a

7 < 1.

2. Ekspor tekstil Indonesia2. Ekspor tekstil Indonesia2. Ekspor tekstil Indonesia2. Ekspor tekstil Indonesia2. Ekspor tekstil Indonesia

XTIt = b

0 + b

1HTWR

t+ b

2(HTDR

t-HTDR

t-1) + b

3PTD

t-1 +

b4ERIR

t-1 + b

5DKG + b

6T + b

7XTI

t-1 + U

2 ................................... (2)

Tanda parameter dugaan yang diharapkan dalam persamaan adalah:

b1, b

3, b

4 > 0; b

2 < 0 dan 0 < b

5 < 1.

3. Penawaran tekstil domestik3. Penawaran tekstil domestik3. Penawaran tekstil domestik3. Penawaran tekstil domestik3. Penawaran tekstil domestik

STDt = PTD

t + MTI

t - XTI

t ............................................................................... (3)

4. Permintaan tekstil domestik4. Permintaan tekstil domestik4. Permintaan tekstil domestik4. Permintaan tekstil domestik4. Permintaan tekstil domestik

DTDt = c

0 + c

1(HTWR

t-1/HTDR

t) + c

2HGDR

t-1 + c

3UTKTR

t-1 +

c4BBM

t-1 + c5(IRR

t-IRR

t-1) + c

6T + c

7DTD

t-1 + U

3 ...................... (4)

Tanda parameter dugaan yang diharapkan dalam persamaan adalah:

c1, c

2, c

3, c

4, c

5 < 0; c

6 > 0 dan 0 < c

7 < 1.

5. Impor tekstil Indonesia5. Impor tekstil Indonesia5. Impor tekstil Indonesia5. Impor tekstil Indonesia5. Impor tekstil Indonesia

MTIt = d

0 + d

1HMTIR

t-1 + d

2(HTWR

t/HCWR

t) + d

3TFT

t-1 + d

4ERIR

t-1 +

d5(GDPIR

t/GDPIR

t-1) + d

6POPI

t-1 + d

7T + d

8MTI

t-1 + U

4 ............ (5)

382 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Tanda parameter dugaan yang diharapkan dalam persamaan adalah:

d1, d

2, d

3, d

4, d

7 < 0; d

5, d

6 > 0, dan 0 < d

8 < 1.

6. Harga tekstil domestik6. Harga tekstil domestik6. Harga tekstil domestik6. Harga tekstil domestik6. Harga tekstil domestik

HTDRt = e

0 + e

1STD

t-1 + e

2(HGDR

t-HGDR

t-1) +

e3(HTWR

t-1/HCWR

t-1) + e

4HTDR

t-1 + U

5 .................................. (6)

Tanda parameter dugaan yang diharapkan dalam persamaan adalah:

e1 < 0; e

2, e

3 > 0 dan 0 < e

4 < 1.

7. Harga tekstil dunia7. Harga tekstil dunia7. Harga tekstil dunia7. Harga tekstil dunia7. Harga tekstil dunia

HTWRt = f

0 + f

1XTW

t + f

2MTW

t-1 + f

3HTWR

t-1 + U

6 ..................................... (7)

Tanda parameter dugaan yang diharapkan dalam persamaan adalah:

f1 < 0; f

2 > 0 dan 0 < f

3 < 1.

8. Ekspor tekstil dunia8. Ekspor tekstil dunia8. Ekspor tekstil dunia8. Ekspor tekstil dunia8. Ekspor tekstil dunia

XTWt = XTI

t + XTG

t + XTA

t + XTC

t + XTR

t ................................................. (8)

9. Impor tekstil dunia9. Impor tekstil dunia9. Impor tekstil dunia9. Impor tekstil dunia9. Impor tekstil dunia

MTWt = MTI

t + MTL

t + MTA

t + MTC

t + MTR

t ............................................. (9)

10. Produksi garmen domestik10. Produksi garmen domestik10. Produksi garmen domestik10. Produksi garmen domestik10. Produksi garmen domestik

PGDt = g

0 + g

1(HGWR

t-1/HGDR

t-1) + g

2(HTDR

t-HTDR

t-1) + g

3HCWR

t-1 +

g4(IRR

t-IRR

t-1) + g

5UTKGR

t-1 + g

6BBMR

t +

g7T + g

8PGD

t-1 + U

7 ...................................................................... (10)

Tanda parameter dugaan yang diharapkan dalam persamaan adalah:

g1, g

7 > 0; g

2, g

3, g

4, g

5, g

6 < 0 dan 0 < g

8 < 1.

11. Ekspor garmen Indonesia11. Ekspor garmen Indonesia11. Ekspor garmen Indonesia11. Ekspor garmen Indonesia11. Ekspor garmen Indonesia

XGIt = h

0 + h

1HGWR

t + h

2(HTWR

t/HGDR

t-1) + h

3PGD

t +

h4ERIR

t-1 + h

5DKG + h

6T + h

7XGI

t-1 + U

8 .................................. ....... (11)

383Analisis Dampak Kebijakan MakroekonomiTerhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia

Tanda parameter dugaan yang diharapkan dalam persamaan adalah:

h2, h

5 < 0, h

1, h

3, h

4, h

6 > 0 dan 0 < h

7 < 1.

12. Penawaran garmen domestik12. Penawaran garmen domestik12. Penawaran garmen domestik12. Penawaran garmen domestik12. Penawaran garmen domestik

SGDt = PGD

t + MGI

t - XGI

t ........................................................................... (12)

13. Permintaan garmen domestik13. Permintaan garmen domestik13. Permintaan garmen domestik13. Permintaan garmen domestik13. Permintaan garmen domestik

DGDt = i

0 + i

1(HGWR

t/HTWR

t-1) + i

2(HGDR

t*ERIR

t) +

i3(GDPIR

t/POPI

t) + i

4(MGI

t-MGB

t-1) + i

5DGD

t-1 + U

9 .............. (13)

Tanda parameter dugaan yang diharapkan dalam persamaan adalah:

i1, i

2, i

4 < 0; i

3 > 0 dan 0 < i

5 < 1.

14. Impor garmen Indonesia14. Impor garmen Indonesia14. Impor garmen Indonesia14. Impor garmen Indonesia14. Impor garmen Indonesia

MGIt = j

0 + j

1HMGIR

t + j

2(HGWR

t-HGWR

t-1) + j

3TFG

t + j

4PGD

t-1 +

j5ERIR

t + j

6(GDPIR

t/POPI

t) + j

7MGI

t-1 + U

10 ............................ (14)

Tanda parameter dugaan yang diharapkan dalam persamaan adalah:

j1, j

2, j

3, j

4, j

5 < 0; j

6 > 0 dan 0 < j

7 < 1.

15. Harga garmen domestik15. Harga garmen domestik15. Harga garmen domestik15. Harga garmen domestik15. Harga garmen domestik

HGDRt = k

0 + k

1(DGD

t/DGD

t-1) + k

2(HTWR

t-HTWR

t-1) +

k3(HTWR

t-HTWR

t-1) + k

4(HGWR

t-1/HTWR

t) + k

5T

k6HGDR

t-1 + U

11 ............................................................................. (15)

Tanda parameter dugaan yang diharapkan dalam persamaan adalah:

k1, k

2, k

3, k

4 > 0; k

5 < 0 dan 0 < k

6 < 1.

16. Harga garmen dunia16. Harga garmen dunia16. Harga garmen dunia16. Harga garmen dunia16. Harga garmen dunia

HGWRt = l

0 + l

1XGW

t + l

2MGW

t-1 + l

3HGWR

t-1 + U

12 .º........................... (16)

Tanda parameter dugaan yang diharapkan dalam persamaan adalah:

l1 < 0; l

2 > 0 dan 0 < l

3 < 1.

17. Ekspor garmen dunia17. Ekspor garmen dunia17. Ekspor garmen dunia17. Ekspor garmen dunia17. Ekspor garmen dunia

XGWt = XGI

t + XGG

t + XGC

t + XGT

t + XGR

t ............................................ (17)

18. Impor garmen dunia18. Impor garmen dunia18. Impor garmen dunia18. Impor garmen dunia18. Impor garmen dunia

MGWt = MGI

t + MGG

t + MGA

t + MGJ

t + MGR

t ......................................... (18)

384 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

2.3. Tinjauan Empiris Tekstil dan Produk Tekstil

2.3.1 Tinjauan Empiris Tekstil dan Produk Tekstil di Indonesia

Penelitian Pracoyo (1995) berkaitan dengan ekspor industri tekstil yang menggunakan

data time series tahun 1983-1992 dan metode pendugaan Two Stage Least Squares (2SLS).

Pracoyo mengadopsi model permintaan dan penawaran ekspor yang telah dilakukan oleh

Muscatelli, Srinivasan, dan Vines (1992). Hasil adaptasinya bahwa penawaran ekspor tekstil

Indonesia dipengaruhi oleh harga tekstil, biaya bahan baku, upah, tarif, dan teknologi.

Sedangkan dari sisi permintaan ekspor tekstil dipengaruhi oleh harga tekstil, harga tekstil dunia,

harga barang substitusi (harga wool dunia), pendapatan negara lain, dan selera konsumen.

Selain itu disimpulkan bahwa (1) penurunan tarif akan mendorong perdagangan dunia lebih

kompetitif. Pengurangan tarif sebesar 30 persen akan mendorong perdagangan dunia lebih

kompetitif, (2) pemberian upah sebesar 1 persen akan mengurangi kuantitas yang ditawarkan

4,5 persen, hal ini terjadi karena upah termasuk komponen biaya dalam produksi, dan (3)

perubahan teknologi, yang ditunjukkan peubah trend, mendorong produksi tekstil menjadi

lebih efisien.

Penelitian menggunakan metode pendugaan Ordinary Least Squares (OLS) dilakukan

oleh Wintala (1999). Kesimpulan yang dapat diambil dari analisis faktor-faktor yang

mempengaruhi ekspor tekstil Indonesia ke Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang pada tahun

1978-1997, bahwa trend volume ekspor tekstil Indonesia ke Amerika Serikat, Inggris, dan

Jepang adalah positif dan signifikan secara statistik. Devaluasi Rupiah, kenaikan cadangan devisa,

peningkatan jumlah penduduk, dan indeks harga sandang cenderung menaikkan volume ekspor

tekstil Indonesia.

Penelitian Istojo (2002) menganalisis struktur industri TPT Indonesia terhadap World Trade

Organization (WTO) tahun 2005. Metode yang digunakan adalah deskripsi karakteristik industri,

five forces model, driving forces, dan key success factor. Hasil yang diperoleh bahwa

ketergantungan industri TPT adalah tinggi terhadap pemasok dan pembeli serta persaingan

yang ketat antara perusahaan dalam industri TPT Indonesia. Pemberlakuan WTO tahun 2005

menambah persaingan dan perebutan pasar di dalam dan luar negeri. Pemberlakuan WTO

juga akan merubah struktur industri TPT menjadi mass customization yang cenderung pada

non price factor dan secara penuh didukung oleh prinsip quick response dan just in time stock.

Disebutkan pula bahwa perusahaan-perusahaan dalam industri TPT harus dapat melakukan

banyak inovasi manufacture sehingga diferensiasi produk akan meningkat.

Agustineu (2004) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ouput industri tekstil

di Jawa Barat dengan menggunakan model Cobb Douglas tahun 1980-2001. Hasilnya ternyata

385Analisis Dampak Kebijakan MakroekonomiTerhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia

modal, bahan baku, dan bahan bakar memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan

output industri tekstil di Jawa Barat. Faktor tenaga kerja memberikan pengaruh yang

berkebalikan dengan faktor-faktor yang pertama disebutkan. Industri tekstil di Jawa Barat berada

pada kondisi increasing return to scale.

2.3.2. Tinjauan Penelitian Tekstil dan Produk Tekstil Dunia

Mlachila dan Yongzheng (2004) menggunakan General Trade Analysis Project (GTAP)

untuk menganalisis berakhirnya kuota tekstil dengan studi kasus di Bangladesh. Terdapat tiga

faktor yang mempengaruhi kinerja ekspor tekstil dan pakaian jadi Bangladesh pada tahun

1990an, yaitu upah yang rendah, aliran masuk Foreign Direct Investment (FDI), dan kuota yang

diberlakukan di negara pesaing. Bangladesh menghadapi masalah yang serius dengan daya

saing setelah sistem kuota berakhir, karena infrastruktur yang lemah dan berbagai iklim makro

yang tidak mendukung. Hasil simulasi menunjukkan bahwa ekspor Bangladesh akan menurun

setelah penghapusan kuota dan berpengaruh terhadap Balance of Payment (BOP).

WTO (2004) dengan menggunakan GTAP menjelaskan kondisi industri TPT global setelah

berakhirnya ATC. Cina dan India merupakan negara-negara yang akan mendominasi pasar TPT

Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Kanada setelah sistem kuota berakhir. Bahkan Cina diprediksikan

akan mengambil pangsa pasar TPT dunia hingga 50 persen. Selain itu, spesialisasi vertikal dalam

supply chain TPT adalah sangat penting dan bagi negara-negara yang mempunyai kedekatan

secara geografis akan banyak diuntungkan dengan perjanjian bilateral dan tarif yang lebih

rendah. Temuan yang penting bagi TPT Indonesia adalah perubahan pangsa pasar TPT di pasar

Uni Eropa dan Amerika Serikat. Di pasar Uni Eropa, setelah kuota berakhir Indonesia akan

mendapatkan kenaikan pangsa pasar sebesar 1 persen (dari 4 persen menjadi 5 persen) untuk

pasar garmen. Sedangkan untuk pasar tekstil, Indonesia mengalami stagnan (dari 3 persen

menjadi 3 persen). Berbeda yang terjadi di pasar Amerika Serikat, tekstil Indonesia akan

mengalami stagnan (dari 3 persen menjadi 3 persen). Penurunan terjadi untuk komoditas garmen

di pasar Amerika Serikat (dari 4 persen menjadi 2 persen).

Dari berbagai telaah penelitian tentang industri TPT yang telah dilakukan, secara umum

memberikan gambaran tentang perkembangan ekspor TPT dan faktor-faktor yang

mempengaruhinya, baik di tingkat nasional maupun internasional. Selain itu, banyak penelitian

yang melakukan prediksi terhadap perkembangan industri TPT pasca kuota tahun 2005. Namun

demikian, tetap ada bagian yang belum dielaborasi secara mendalam oleh peneliti-peneliti

sebelumnya. Keterkaitan antara pasar Indonesia dan pasar dunia berperan penting dalam

menelaah perkembangan industri TPT Indonesia. Penelitian agregat dan deskriptif industri TPT

386 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

cenderung menghasilkan kesimpulan yang tidak spesifik, sedangkan penelitian dengan skala

mikro juga akan menghasilkan kesimpulan yang tidak dapat digeneralisasi. Oleh sebab itu,

pada kesempatan ini dianalisis perkembangan industri TPT secara holistik, baik industri tekstil

dan maupun industri garmen, dengan mengaitkan industri TPT secara simultan melalui peubah-

peubah ekonomi, termasuk kebijakan moneter dan fiskal.

III. METODOLOGI

Alat analisis utama yang digunakan adalah ekonometrika time series, yang berguna untuk

menganalisis faktor-faktor melalui nilai (sign dan size) parameter penduga setiap persamaan

perilaku dan prospek perkembangan industri TPT Indonesia melalui simulasi peramalan. Selain

itu, seluruh persamaan struktural telah mengalami respsesifikasi model secara trial and error

sehingga pada akhirnya diperoleh persamaan-persamaan yang sesuai dengan syarat keharusan

dan kecukupan dalam menyusun persamaan simultan tanpa mengabaikan asumsi-asumsi dasar

persamaan regresi (multikolinearitas, homoskedastisitas, dan autokorelasi).

3.1. Identifikasi Model dan Metode Pendugaan

Menurut order condition, persamaan dapat diidentifikasi jika jumlah peubah yang tercakup

dalam persamaan lebih besar atau sama dengan jumlah seluruh peubah endogen dikurangi

satu. Formula identifikasi model struktural menurut order condition (Koutsoyiannis, 1978) adalah

sebagai berikut:

(K - M) > (G - 1) ............................................................................................. (II.18)

dimana:

K = Total peubah dalam model (peubah endogen dan predetermined).

M = Jumlah peubah endogen dan eksogen dalam satu persamaan.

G = Total persamaan dalam model.

Jika suatu persamaan dalam model menunjukkan kondisi (K - M) > (G - 1) maka

persamaan dinyatakan over identified, jika (K - M) = (G - 1) maka persamaan dinyatakan

exactly identified, dan jika (K - M) < (G - 1) maka persamaan dinyatakan under identified.

Model struktural dalam penelitian ini terdapat 30 persamaan, terdiri dari 24 persamaan perilaku

(behavioral) dan 6 persamaan identitas. Jumlah peubah endogen (G) adalah 24 dan 80 peubah

predeterminan. Jumlah seluruh peubah yang tercakup dalam model (K) adalah 104. Mengikuti

387Analisis Dampak Kebijakan MakroekonomiTerhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia

formula identifikasi model dengan kriteria order condition, maka setiap persamaan adalah

over identified.

Jika persamaan dalam model struktural semuanya over identified maka persamaan ini

dapat diduga dengan metode Limited Information Maximum Likelihood (LIML), Full Information

Maximum Likelihood (FIML), Two Stage Least Squares (2SLS) atau Three Stage Least Squares

(3SLS). Metode yang digunakan di dalam penelitian ini untuk menduga parameter dugaan

struktural adalah 2SLS. Metode 2SLS dibentuk dengan asumsi (1) syarat gangguan harus

memenuhi asumsi stokastik dengan nol, varian konstan dan kovarian sama dengan nol, (2)

spesifikasi model struktural adalah tepat sekali sejauh menyangkut peubah predetermined,

(3) jumlah pengamatan sampel adalah lebih besar dari jumlah peubah predetermined dalam

model, dan (4) peubah penjelas tidak mengalami kolinearitas sempurna. Dengan

memperhatikan asumsi tersebut maka DW statistik (Durbin Watson) tidak valid untuk menduga

persamaan struktural dari model persamaan simultan, terutama dengan adanya peubah

endogen bedakala.

Pengolahan data untuk mengestimasi model ekonomi dilakukan dengan menggunakan

program software komputer SAS versi 6.12. Untuk menguji peubah penjelas secara bersama-

sama digunakan uji statistik F, sedangkan untuk menguji peubah penjelas secara individual

digunakan uji statistik t.

Validasi model ekonomi bertujuan untuk manganalisis sejauhmana model tersebut dapat

mewakili dunia nyata. Adapun kriteria statistik validasi pendugaan model ekonomi yang

digunakan adalah Root Means Square Error (RMSE), Root Means Square Percent Error (RMSPE),

dan Theil»s Inequality Coefficient»(U-theil).

Statistik RMSPE digunakan untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai peubah endogen

hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya dalam ukuran relatif (persen).

Sedangkan nilai statistik U-theil untuk mengetahui kemampuan model menganalisis simulasi

peramalan. Nilai U-theil berkisar antara 1 dan 0. Jika U-theil = 0 maka pendugaan model

sempurna, jika U-theil = 1 maka pendugaan model naif. Untuk melihat keeratan arah (slope)

antara aktual dengan hasil yang disimulasi dilihat dari nilai koefisien determinasi (R2). Pada

dasarnya makin kecil nilai RMSPE dan U-theil dan makin besar nilai koefisien determinasi, maka

pendugaan model semakin baik. Dengan model yang sudah valid,maka simulasi kebijakan

dapat di lakukan.

Kebijakan-kebijakan yang disimulasikan untuk peramalan (ex-ante) tahun 2007-2012

yaitu, penurunan suku bunga bank di Indonesia, penyesuaian nilai tukar Rupiah/US$, kenaikan

biaya produksi industri TPT melalui upah dan harga BBM, kenaikan PDB Indonesia, kenaikan

388 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

jumlah penduduk Indonesia, kenaikan PDB Amerika Serikat, kenaikan PDB Cina, dan

penghapusan tarif TPT, serta kombinasinya.

3.2. Sumber dan Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam model ekonometrika adalah data sekunder time

series tahun 1980-2006. Data bersumber dari publikasi resmi, yaitu Asosiasi Pertekstilan Indonesia

(API), Badan Pusat Statistik (BPS), United Nations Conference on Trade and Development

(UNCTAD), United Nation (UN), International Monetary Fund (IMF), WTO, Kementrian

Perdagangan, Kementrian Perindustrian, harian terbitan Jakarta, dan internet.

Seluruh data-data yang bersatuan Rupiah dideflasi menggunakan Indeks Harga Konsumen

(IHK) Indonesia tahun 2000 (2000=100) dan peubah yang bersatuan US$ dideflasi menggunakan

proksi IHK Amerika Serikat tahun 2000 (2000=100). Hal ini dilakukan untuk menghilangkan

efek dari inflasi.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Struktur Model Ekonomi Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia

a. Produksi Tekstil Indonesia

Keragaan produksi tekstil Indonesia dapat dijelaskan sebesar 98 oleh lag harga tekstil

Indonesia, lag harga kapas dunia, suku bunga bank, lag upah tenaga kerja tekstil, lag harga

BBM, tren waktu, dan lag produksi tekstil Indonesia. Semua tanda parameter dugaan sesuai

dengan harapan dan secara statistik semua peubah tersebut berpengaruh nyata.

Koefisien parameter dugaan lag harga tekstil Indonesia bertanda positif dan sebesar

0,514. Hal ini berarti jika terjadi peningkatan lag harga tekstil Indonesia sebesar 10 US$ per

ton, maka produksi tekstil Indonesia akan naik sebesar 5.140 ribu ton, ceteris paribus.

Peningkatan produksi tekstil Indonesia yang searah dengan peningkatan harga tekstil Indonesia

menunjukkan bahwa harga tekstil Indonesia merupakan sinyal ekonomi bagi produsen tekstil

dalam memproduksi tekstil di pasar Indonesia.

Bahan baku utama tekstil adalah serat tekstil dan memiliki keunggulan yang belum dapat

digantikan sepenuhnya oleh bahan baku non kapas. Salah satunya adalah mudah menyerap

keringat atau bersifat higroskopis. Oleh sebab itu perubahan harga kapas dunia mempengaruhi

perubahan produksi tekstil Indonesia. Menurut Istojo (2002) industri tekstil Indonesia sangat

tergantung kepada pemasok dan pembeli. Lebih dari 85 persen kebutuhan kapas untuk industri

389Analisis Dampak Kebijakan MakroekonomiTerhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia

tekstil Indonesia diimpor dari Australia, Amerika Serikat, Cina, India, Pakistan, Tanzania, dan

lainnya. Hal ini karena tanaman kapas belum dapat dibudidayakan secara maksimal di dalam

negeri. Di dalam penelitian ini, produksi tekstil Indonesia juga dipengaruhi secara nyata oleh

lag harga kapas dunia dengan arah yang berlawanan. Apabila lag harga kapas dunia meningkat

sebesar 10 US$ per ton, maka akan menurunkan produksi tekstil Indonesia sebesar 354.812

ribu ton, ceteris paribus. Dalam jangka pendek maupun jangka panjang produksi tekstil Indonesia

sangat responsif terhadap lag harga kapas dunia.

Suku bunga bank diproksi dengan suku bunga bank untuk kegiatan investasi. Suku bunga

bank memberikan kontribusi berlawanan arah dengan produksi tekstil Indonesia. Jika suku

bunga bank dinaikkan melalui kebijakan moneter sebesar 1 persen, ceteris paribus, maka

tindakan itu akan menurunkan produksi tekstil Indonesia sebesar 2.410 ribu ton. Keadaan

tersebut menurunkan insentif bagi produsen sehingga mengurangi produksi tekstil Indonesia

sebesar 0,053 persen dalam jangka pendek dan 0,772 persen dalam jangka panjang.

Industri TPT menyerap banyak tenaga kerja sehingga upah tenaga kerja menjadi salah

satu komponen biaya produksi yang penting dalam keberlanjutan proses produksi. Upah tenaga

kerja di sektor industri tekstil berpengaruh nyata terhadap produksi tekstil Indonesia dengan

arah negatif. Jika besaran upah tenaga kerja di sektor industri tekstil dinaikkan sebesar Rp. 1

000 000 per kapita per tahun, maka akan menurunkan produksi tekstil Indonesia sebesar

0,110 ribu ton, ceteris paribus. Respon produksi tekstil Indonesia terhadap upah tenaga kerja

di sektor industri tekstil adalah inelastis dalam jangka pendek dan elastis dalam jangka panjang.

Sama seperti yang dilakukan oleh Pracoyo (1995) bahwa peubah upah tenaga kerja berpengaruh

nyata secara statistik pada produksi tekstil Indonesia.

Selain upah tenaga kerja, harga BBM (terutama solar dan minyak bakar) juga berkontribusi

dalam biaya produksi di sektor industri tekstil. Harga BBM berhubungan negatif dengan produksi

tekstil Indonesia dan berpengaruh signifikan secara statistik. Jika harga BBM meningkat sebesar

Rp. 10 per liter, maka akan menurunkan produksi tekstil Indonesia sebesar 1.444 ribu ton,

ceteris paribus. Dalam jangka pendek dan jangka panjang, produksi tekstil Indonesia kurang

responsif terhadap harga BBM.

Kecenderungan waktu menunjukkan terjadinya peningkatan produksi tekstil Indonesia

sebesar 51.830 ribu ton. Hal ini sangat terkait dengan industri garmen yang sangat

membutuhkan ouput industri tekstil sebagai bahan bakunya.

Lag produksi tekstil Indonesia juga menjadi informasi dasar bagi produsen untuk berproduksi

di tahun berikutnya. Apabila lag produksi tekstil mengalami kenaikan sebesar 1 000 ton, maka

pada tahun berikutnya produknya akan naik sebesar 0,720 ribu ton, ceteris paribus.

390 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

b. Ekspor Tekstil Indonesia

Persamaan ekspor tekstil Indonesia mempunyai nilai koefisien determinasi yang tinggi,

yaitu 0,961, menunjukkan tingginya kemampuan peubah-peubah penjelas dalam menjelaskan

perilaku ekspor tekstil Indonesia. Semua peubah penjelas mempunyai tanda parameter dugaan

sesuai harapan. Namun demikian, tidak semua peubah mempunyai pengaruh nyata terhadap

ekspor tekstil Indonesia. Peubah yang berpengaruh nyata adalah perubahan harga tekstil

Indonesia, dummy integrasi perdagangan TPT dunia, dan lag ekspor tekstil.

Harga tekstil Indonesia yang meningkat akan menjadi insentif bagi produsen untuk

berproduksi. Jika perubahan harga tekstil Indonesia naik sebesar US$ 10 per ton, maka akan

menurunkan ekspor tekstil Indonesia sebesar 5.854 ribu ton, ceteris paribus. Dalam jangka

pendek, respon ekspor tekstil Indonesia terhadap perubahan harga tekstil Indonesia adalah

inelastis dan menjadi elastis dalam jangka panjang.

Perdagangan TPT dunia mengalami perubahan signifikan dari tahun 1950an hingga

tahun 2005. Tahap pengintegrasian perdagangan TPT sesuai ketentuan GATT dimulai tahun

1995 hingga tahun 2005. Proses tersebut mengurangi jumlah dan jenis TPT kuota impor dari

negara pengimpor, seperti Amerika Serikat, Kanada, Uni Eropa, Finlandia, Norwegia, dan Turki.

Keadaan ini berdampak pada ekspor tekstil Indonesia. Di dalam penelitian ini dummy

pengintegrasian perdagangan TPT berpengaruh nyata terhadap ekspor tekstil Indonesia. Proses

pengintegrasian perdagangan TPT selama 10 tahun menurunkan ekspor tekstil Indonesia hingga

134.367 ribu ton.

Lag ekspor tekstil Indonesia juga berpengaruh secara nyata terhadap ekspor tekstil

Indonesia pada tahun berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa ekspor tekstil Indonesia

memerlukan waktu yang relatif lambat untuk menyesuaikan kembali pada tingkat

keseimbangan, atau dengan kata lain ekspor tekstil Indonesia relatif tidak stabil.

c. Penawaran Tekstil Indonesia

Total penawaran tekstil Indonesia merupakan penjumlahan dari produksi tekstil, impor

tekstil, dan tekstil yang diekspor Indonesia. Berdasarkan hubungan identitas tersebut, maka

setiap perubahan dalam produksi tekstil, impor tekstil, dan ekspor tekstil yang ditimbulkan

akibat intervensi pemerintah, antara lain melalui instrumen kebijakan moneter dan fiskal, akan

mempengaruhi jumlah tekstil yang tersedia di pasar Indonesia. Besaran perubahan penawaran

tekstil Indonesia tergantung pada nilai elastisitas produksi tekstil, impor tekstil, dan juga ekspor

tekstil Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung.

391Analisis Dampak Kebijakan MakroekonomiTerhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia

d. Harga Tekstil Indonesia

Nilai koefisien determinasi persamaan harga tekstil Indonesia sebesar yaitu 0,833. Hal

tersebut mengindikasikan tingginya kemampuan peubah-peubah penjelas dalam menjelaskan

perilaku harga tekstil Indonesia. Tanda parameter dugaan peubah dalam persamaan struktural

juga telah sesuai dengan harapan dan peubah yang berpengaruh nyata terhadap harga tekstil

Indonesia adalah perubahan harga garmen Indonesia, dan lag harga tekstil Indonesia.

Perubahan harga gamen Indonesia berpengaruh nyata terhadap harga tekstil Indonesia

dengan arah yang positif. Jika perubahan harga garmen Indonesia naik sebesar US$ 100 per

ton, maka akan menstimulasi kenaikan harga tekstil Indonesia sebesar US$ 0,819 per ton,

ceteris paribus. Responsinya dalam jangka pendek dan jangka panjang adalah inelastis, hal ini

menunjukkan bahwa harga tekstil Indonesia kurang responsif terhadap perubahan harga garmen

Indonesia.

Selain perubahan harga garmen Indonesia, lag harga tekstil Indonesia juga berpengaruh

sangat nyata. Hal ini mengindikasikan bila harga tekstil Indonesia memerlukan waktu yang

relatif lambat untuk menyesuaikan kembali pada tingkat keseimbangan, atau dengan kata lain

harga tekstil Indonesia relatif tidak stabil. Jika lag harga tekstil Indonesia naik sebesar US$ 10

per ton, maka akan meningkatkan harga tekstil Indonesia tahun berikutnya sebesar US$ 6.889

per ton, ceteris paribus.

e. Permintaan Tekstil Indonesia

Persamaan permintaan tekstil Indonesia mempunyai nilai koefisien determinasi cukup

tinggi, yaitu 0,819. Keadaan ini menggambarkan tingginya kemampuan peubah-peubah

penjelas dalam menjelaskan perilaku permintaan tekstil Indonesia. Permintaan tekstil Indonesia

dijelaskan oleh perubahan harga tekstil Indonesia, lag harga garmen Indonesia, lag upah tenaga

kerja sektor industri tekstil, perubahan suku bunga bank, tren waktu, dan lag permintaan

tekstil Indonesia. Tanda parameter dugaan semuanya sesuai dengan harapan. Lag harga garmen

Indonesia, lag upah tenaga kerja sektor industri tekstil, dan lag permintaan tekstik Indonesia

berpengaruh nyata terhadap permintaan tekstil Indonesia.

Lag harga garmen Indonesia mempunyai hubungan yang berlawanan dengan permintaan

tekstil Indonesia. Jika lag harga garmen naik sebesar US$ 10 per ton, maka permintaan tekstil

Indonesia akan turun sebesar 0,270 ribu ton, ceteris paribus. Selain itu permintaan tekstil

Indonesia kurang responsif terhadap perubahan lag harga garmen Indonesia, baik di dalam

jangka pendek maupun jangka panjang. Permintaan tekstil Indonesia merupakan cerminan

392 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

permintaan tekstil oleh industri tekstil itu sendiri dan pada akhirnya output industri tekstil akan

digunakan sebagai input oleh industri garmen.

Lag upah tenaga kerja di sektor tekstil berkontribusi mempengaruhi perubahan tekstil

Indonesia yang diminta. Jika lag upah tenaga kerja di sektor industri tekstil naik 1 persen, maka

akan menurunkan permintaan tekstil Indonesia sebesar 0,715 persen dalam jangka pendek

dan 1.856 persen dalam jangka panjang. Permintaan tekstil merupakan derived demand untuk

industri garmen. Informasi lag permintaan tekstil Indonesia berperan penting untuk

memperkirakan permintaan tekstil Indonesia pada tahun berikutnya. Jika lag permintaan tekstil

Indonesia naik sebesar 1 000 ton, maka ada kecenderungan juga akan menaikan permintaan

tekstil Indonesia pada tahun berikutnya sebesar 0,615 ribu ton, ceteris paribus.

f. Impor Tekstil Indonesia

Berdasarkan hasil signifikansi parameter dugaan, hanya lag impor tekstil Indonesia yang

berpengaruh secara nyata terhadap impor tekstil Indonesia pada tahun berikutnya. Hal ini

menunjukkan bahwa impor tekstil Indonesia memerlukan waktu yang relatif lambat untuk

menyesuaikan kembali pada tingkat keseimbangan.

g. Produksi Garmen Indonesia

Keragaan produksi garmen Indonesia dapat dijelaskan sebesar 0,939 oleh peubah-peubah

penjelasnya. Tanda parameter dugaan peubah dalam persamaan struktural juga telah sesuai

dengan harapan. Peubah yang berpengaruh signifikan adalah ag upah tenaga kerja garmen,

tren waktu, dan ag produksi garmen.

Selain industri tekstil menyerap banyak tenaga kerja, sektor industri garmen juga demikian.

Terdapat bagian dalam proses produksi garmen, seperti menjahit, yang tidak bisa digantikan

sepenuhnya oleh mesin. Penggunaan tenaga kerja yang banyak akan berpengaruh terhadap

biaya produksi. Lag upah tenaga kerja garmen dalam penelitian ini berbeda nyata secara statistik.

Jika ada kenaikan lag upah tenaga kerja garmen sebesar Rp. 1 000 000 per kapita per tahun,

maka akan menurunkan produksi garmen Indonesia sebesar 0,055 ribu ton, ceteris paribus.

Dalam jangka pendek, produksi garmen Indonesia kurang responsif jika dibandingkan dalam

jangka panjang.

Di samping lag upah tenaga kerja garmen, tren waktu juga berpengaruh sangat nyata

terhadap produksi garmen Indonesia. Garmen adalah produk yang sangat berkaitan dengan

tren mode dan berubah sesuai perkembangan jaman. Berdasarkan kecenderungan waktu,

393Analisis Dampak Kebijakan MakroekonomiTerhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia

produksi garmen Indonesia mengalami kenaikan 26.869 ribu ton. Selain itu lag produksi garmen

menjadi informasi memproduksi garmen tahun berikutnya. Jika lag produksi garmen Indonesia

naik sebesar 1 000 ton, maka produksi garmen Indonesia tahun berikutnya meningkat sebesar

0,453 ribu ton, ceteris paribus.

h. Ekspor Garmen Indonesia

Keragaan ekspor garmen Indonesia sebesar 0,952 dapat dijelaskan oleh peubah-peubah

penjelasnya. Tanda parameter dugaan peubah dalam persamaan struktural juga telah sesuai

dengan harapan. Ekspor garmen Indonesia dijelaskan oleh rasio lag harga garmen dunia dengan

harga tekstil dunia, harga garmen Indonesia, rasio produksi garmen Indonesia dengan lag

produksi garmen Indonesia, lag nilai tukar Rupiah terhadap US$, dummy integrasi perdagangan

TPT dunia, dan lag ekspor garmen Indonesia. Dari enam peubah tersebut, hanya lag nilai tukar

Rupiah terhadap US$ dan lag ekspor garmen Indonesia yang berpengaruh nyata.

Eksportasi garmen berkaitan dengan nilai tukar Rupiah terhadap US$. Nilai tukar Rupiah

yang terdepresiasi akan meningkatkan daya saing garmen Indonesia. Lag nilai tukar Rupiah

terhadap US$ berpengaruh sangat nyata dengan elastisitas jangka pendek sebesar 0,310 dan

jangka panjang sebesar 1,353. Artinya bila lag nilai tukar Rupiah terhadap US$ depresiasi sebesar

10 persen, maka ekspor garmen Indonesia akan meningkat sebesar 3,10 persen dalam jangka

pendek dan 13,530 persen dalam jangka panjang atau elastis, ceteris paribus.

Koefisien lag ekspor garmen Indonesia mempunyai hasil parameter dugaan bertanda positif

sebesar 0,771. Artinya jika lag ekspor garmen Indonesia bertambah 1 000 ton, maka ekspor

garmen Indonesia tahun berikutnya akan meningkat sebesar 0,771 ribu ton, ceteris paribus.

i. Penawaran Garmen Indonesia

Total penawaran garmen Indonesia merupakan persamaan identitas dari produksi garmen

Indonesia, impor garmen Indonesia, dan ekspor garmen Indonesia. Besaran perubahan

penawaran garmen Indonesia tergantung pada nilai elastisitas produksi garmen, impor garmen,

dan juga ekspor garmen Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung.

j. Harga Garmen Indonesia

Persamaan harga garmen Indonesia mempunyai nilai koefisien determinasi yang tinggi,

yaitu 0,889. Hal ini menunjukkan tingginya kemampuan peubah-peubah penjelas menjelaskan

394 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

perilaku harga garmen Indonesia. Tanda parameter dugaan peubah dalam persamaan juga

telah sesuai dengan harapan. Harga garmen Indonesia dapat dijelaskan secara bersama-sama

oleh rasio permintaan garmen Indonesia dengan lag produksi garmen Indonesia, lag harga

garmen dunia, perubahan harga teksil dunia, dan lag harga garmen Indonesia.

Satu-satunya peubah yang berpengaruh nyata adalah lag harga garmen Indonesia.

Informasi lag harga menjadi hal penting untuk menetapkan harga pada tahun berikutnya. Lag

harga garmen Indonesia ternyata sangat berpengaruh nyata dimana koefisien lag harga garmen

Indonesia bertanda positif sebesar 0,861. Artinya jika lag harga garmen Indonesia naik sebesar

1 000 ton, maka harga garmen Indonesia tahun berikutnya akan meningkat sebesar 0,8261

ribu ton, ceteris paribus.

k. Permintaan Garmen Indonesia

Keragaan permintaan garmen Indonesia dijelaskan secara bersama-sama oleh harga

garmen dunia, perubahan harga tekstil Indonesia, PDB per kapita Indonesia, perubahan impor

garmen bekas Indonesia,dummy integrasi perdagangan TPT dunia, dan lag permintaan garmen

Indonesia. Terdapat tiga dari lima peubah yang berpengaruh secara nyata terhadap perubahan

permintaan garmen Indonesia.

Harga adalah faktor penting yang mempengaruhi pergerakan permintaan, begitu pula

dari hasil penelitian ini. Harga garmen Indonesia berpengaruh nyata secara statistik dengan

hubungan yang negatif. Sedangkan berdasarkan elastisitasnya, maka elastisitas jangka pendek

sebesar 0,387 persen dan jangka panjang sebesar 0,553 persen. Hal ini dapat diartikan secara

khusus, bahwa apabila ada kenaikan harga garmen Indonesia sebesar US$ 10 per ton, maka

akan menurunkan permintaan garmen Indonesia sebesar 3.870 ribu ton dalam jangka pendek

dan sebesar 5.530 ribu ton dalam jangka panjang, ceteris paribus.

PDB per kapita Indonesia juga berpengaruh nyata dengan hubungan yang searah dengan

perubahan permintaan garmen Indonesia. Bila PDB per kapita Indonesia meningkat sebesar

Rp. 1 miliar, maka keadaan tersebut akan menstimulasi peningkatan permintaan garmen

Indonesia sebesar 0,011 ribu ton, ceteris paribus. Responsi permintaan garmen Indonesia

terhadap PDB per kapita Indonesia adalah inelastis, baik dalam jangka pendek maupun jangka

panjang.

Kebijakan kuota impor TPT bersifat diskriminasi. Pasar-pasar tradisional, seperti Amerika

Serikat, Kanada, Uni Eropa, Finlandia, Norwegia, dan Turki membatasi jumlah impor yang berasal

dari Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian, disebutkan bahwa pada saat integrasi perdagangan

395Analisis Dampak Kebijakan MakroekonomiTerhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia

TPT dunia diterapkan, maka akan menaikan permintaan garmen Indonesia sebesar 66.548

ribu ton, ceteris paribus. Selain itu lag permintaan garmen Indonesia juga berpengaruh nyata

terhadap permintaan garmen Indonesia tahun berikutnya. Jika lag permintaan garmen Indonesia

naik sebesar 1 000 ton, maka akan menaikkan permintaan garmen Indonesia tahun berikutnya

sebesar 0,300 ribu ton, ceteris paribus.

l. Impor Garmen Indonesia

Impor garmen Indonesia dijelaskan oleh harga impor garmen Indonesia (dalam Rupiah),

perubahan harga garmen dunia, lag tarif impor garmen, lag produksi garmen Indonesia,

lag jumlah penduduk Indonesia, rasio PDB Indonesia dengan lag PDB Indonesia, dan lag

impor garmen Indonesia. Peubah yang berpengaruh nyata adalah perubahan harga garmen

dunia, lag tarif impor garmen, lag produksi garmen Indonesia, dan lag impor garmen

Indonesia.

Koefisien parameter dugaan perubahan harga garmen dunia adalah sebesar 0,006 dengan

arah yang berlawanan. Artinya jika perubahan harga garmen dunia meningkat US$ 10 per ton,

maka impor garmen Indonesia akan menurun sebesar 0,064 ribu ton, ceteris paribus. Sedangkan

responsi impor garmen Indonesia, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang adalah

inelastis.

Lag tarif impor garmen mempengaruhi impor garmen Indonesia dengan arah yang

berlawanan. Artinya jika ada kenaikan besaran lag tarif impor garmen sebesar 1 persen, maka

akan menurunkan impor garmen Indonesia sebesar 2.119 ribu ton, ceteris paribus. Baik dalam

jangka pendek maupun jangka panjang, impor garmen Indonesia bersifat elastis terhadap lag

tarif impor garmen.

Impor garmen Indonesia juga dipengaruhi oleh lag produksi garmen Indonesia. Jika lag

produksi garmen Indonesia meningkat sebesar 1 000 ton, maka impor garmen Indonesia

akan menurun sebesar 0,221 ribu ton, ceteris paribus. Responsi impor garmen Indonesia

terhadap lag produksi garmen Indonesia adalah elastis, baik dalam jangka pendek dan jangka

panjang.

Peubah lainnya yang juga signifikan secara statistik adalah lag impor garmen Indonesia.

Koefisien lag impor garmen Indonesia bertanda positif dan sebesar 0,615. Artinya jika lag

impor garmen Indonesia bertambah 1 000 ton, maka impor garmen Indonesia tahun berikutnya

akan meningkat sebesar 0,615 ribu ton, ceteris paribus.

396 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

4.2. Validasi Model Ekonomi Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia

Dari 30 persamaan yang membentuk model, 27 persamaan memiliki nilai RMSPE di bawah

50 persen, dan 1 persamaan mempunyai nilai RMSPE antara 50 persen sampai 100 persen, serta

2 persamaan memiliki nilai RMSPE di atas 100 persen. Artinya nilai prediksi dapat mengikuti

kecenderungan data historisnya dengan baik Sedangkan berdasarkan nilai U-theil, 29 persamaan

memiliki nilai U-theil di bawah 0,20, dan ada 1 persamaan yang memiliki nilai U-theil di atas 0,20.

Artinya bahwa simulasi model mengikuti data aktualnya dengan baik. Berdasarkan semua kriteria

di atas, maka model ekonomi yang dibangun mempunyai daya ramal yang cukup valid untuk

melakukan simulasi alternatif kebijakan makroekonomi melalui simulasi peramalan (ex-ante).

4.3. Hasil Simulasi Peramalan Perkembangan Industri Tekstil dan ProdukTekstil Indonesia Tahun 2007-2012

Pada Tabel 2 disajikan hasil simulasi kebijakan makroekonomi terhadap perkembangan

TPT di Indonesia.

Tabel 2.Dampak Kebijakan Makroekonomi terhadap Perubahan Nilai Rata-Rata

Peubah Endogen Tahun 2007-2012

Peubah EndogenPeubah EndogenPeubah EndogenPeubah EndogenPeubah EndogenPerubahan Akibat Simulasi (%)Perubahan Akibat Simulasi (%)Perubahan Akibat Simulasi (%)Perubahan Akibat Simulasi (%)Perubahan Akibat Simulasi (%)

Produksi Tekstil Indonesia (PTDt) 0.0000 0.1936 -25.4114 -0.2904 -25.4114 12.8267Produksi Garmen Indonesia (PGDt) -0.0049 -0.0018 -12.6301 0.0013 -12.6298 1.5850Permintaan Tekstil Indonesia (DTDt) 0.0000 -0.2822 -73.4549 0.3763 -73.4562 0.8467Permintaan Garmen Indonesia (DGDt) 0.0002 0.1286 -0.2371 -0.0917 3.2676 3.4647Penawaran Tekstil Indonesia (STDt) 0.0567 -11.9239 -34.3066 12.4333 -34.1153 29.7464Penawaran Garmen Indonesia (SGDt) 0.0002 -63.9076 -18.7352 21.9497 -18.5225 22.4123Harga Tekstil Indonesia (HTDRt) 0.0000 0.5344 1.8036 -0.6012 1.7368 -1.5364Harga Garmen Indonesia (HGDRt) 0.0000 -0.7217 1.2831 0.4812 1.4435 0.3208Ekspor Tekstil Indonesia (XTIt) 0.0000 6.0591 -8.9655 0.1478 -8.9655 4.9261Impor Tekstil Indonesia (MTIt) -0.0021 0.1675 0.5522 13.7351 0.7630 13.5237Harga Tekstil Dunia (HTWRt) -0.0580 -2.2042 2.9582 2.0302 2.9582 2.2622Harga Garmen Dunia (HGWRt) 0.0000 -11.5351 2.4718 0.2168 2.4718 -18.6904Ekspor Garmen Indonesia (XGIt) -0.0032 21.6763 -4.7985 -0.0237 -4.8009 1.5617Impor Garmen Indonesia (MGIt) 0.0789 -5.1755 125.1513 179.8909 126.8318 172.2973Ekspor Tekstil Dunia (XTWt) 0.0000 0.1970 -0.2845 0.0031 -0.2845 0.8880Impor Tekstil Dunia (MTWt) 0.0000 0.0304 -0.0138 0.3367 -0.0083 2.1058Ekspor Garmen Dunia (XGWt) 0.0000 0.3160 -0.0683 -0.0020 -0.0683 0.6573Impor Garmen Dunia (MGWt) 0.0000 0.0072 0.0018 0.0045 0.0018 0.0573

11111 22222 33333 44444 55555 66666

Keterangan:Simulasi 1 : Suku bunga bank turun 5 persen.Simulasi 2 : Penyesuaian nilai tukar Rupiah=Rp. 9 000/US$.Simulasi 3 : Upah tenaga kerja industri tekstil dan garmen naik 14.5 persen dan 15 persen.Simulasi 4 : Liberalisasi perdagangan.Simulasi 5 : Kombinasi 4, PDB Indonesia naik 8 persen, dan populasi Indonesia naik 1.1 persen.Simulasi 6 : Kombinasi 3, 5, PDB Indonesia naik 8 persen, populasi Indonesia naik 1.1 persen, PDB Amerika Serikat naik 3.1

persen, dan PDB Cina naik 8.5 persen.

397Analisis Dampak Kebijakan MakroekonomiTerhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia

a. Penurunan Tingkat Suku Bunga Bank

Kebijakan menurunkan suku bunga bank sebesar 5 persen merupakan salah satu kebijakan

moneter yang dapat meningkatkan produksi tekstil Indonesia. Industri tekstil adalah industri

yang bersifat padat modal (capital intensive) dibandingkan dengan industri garmen. Namun

demikian penurunan suku bunga bank hanya sebesar 5 persen tidak direspon oleh produsen

tekstil di Indonesia dengan menaikan produksi tekstilnya. Produksi tekstil Indonesia yang tidak

berubah juga menyebabkan ekspor tekstil Indonesia tidak berubah. Sedangkan impor tekstil

Indonesia menurun sebesar 0,002 persen. Secara total penawaran tekstil Indonesia meningkat

sebesar 0,057 persen. Sedangkan penurunan penawaran tekstil Indonesia tidak merubah

volatilitas harga tekstil Indonesia sehingga permintaan tekstil Indonesia juga tidak berubah.

Harga garmen Indonesia yang tidak berubah, sebagai harga output bagi industri garmen,

berkontribusi dalam menurunkan produksi garmen Indonesia sebesar 0,005 persen. Penurunan

produksi garmen pada tahap selanjutnya akan mendorong penurunan ekspor garmen Indonesia

sebesar 0,003 persen. Di sisi lain impor garmen meningkat sebesar 0,079 persen. Secara total,

penawaran garmen Indonesia sedikit meningkat sebesar 0,0002 persen. Penurunan suku bunga

bank sebesar 5 persen menyebabkan masyarakat cenderung tidak melakukan saving. Hal

tersebut membuat permintaan garmen meningkat sebesar 0,0002 persen.

b. Penyesuaian Nilai Tukar Rp. 9 000 terhadap US$

Nilai tukar yang relatif tidak berfluktuasi akan membantu produsen dalam menghitung

dan menentukan biaya produksi dan risiko usaha. Oleh sebab itu kebijakan moneter ini mampu

meningkatkan ekspor tekstil dan garmen Indonesia, masing-masing sebesar 6.059 persen dan

21.676 persen. Secara bersama-sama pula juga meningkatkan impor tekstil sebesar 0,167

persen dan menurunkan impor garmen sebesar 5.175 persen. Total penawaran tekstil dan

garmen Indonesia menurun, masing-masing sebesar 11.924 persen dan 63.908 persen.

Penawaran tekstil Indonesia yang menurun menyebabkan harga tekstil Indonesia

meningkat sebesar 0,534 persen, sehingga permintaan tekstil Indonesia menurun sebesar 0,282

persen. Harga tekstil Indonesia yang meningkat pada gilirannya akan membuat produksi garmen

Indonesia menurun sebesar 0,002 persen.

Kebijakan penyesuaian nilai tukar juga mendorong ekspor garmen Indonesia sebesar

21.676 persen. Penurunan harga garmen Indonesia sebesar 0,722 persen makin menstimulasi

peningkatan eksportasi, menurunkan impor garmen Indonesia sebesar 5.175 persen, dan

meningkatkan permintaan garmen Indonesia sebesar 0,129 persen. Selain itu dampak lainnya

398 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

adalah penurunan produksi garmen Indonesia sebesar 0,002 persen. Secara total penawaran

garmen Indonesia menurun sebesar 63.908 persen.

c. Kenaikan Upah Tenaga Kerja Industri Tekstil dan Garmen

Industri tekstil dan garmen banyak menyerap tenaga kerja, khususnya tenaga kerja wanita.

Kebijakan peningkatan upah tenaga kerja di kedua sektor tersebut masing-masing sebesar

14.5 persen dan 15 persen akan mendorong penurunan produksi tekstil dan garmen. Produksi

tekstil Indonesia menurun sebesar 25.411 persen. Ekspor tekstil Indonesia akan terdorong turun

sebesar 8.965 persen dan impor tekstil Indonesia meningkat sebesar 0,552 persen. Secara

total penawaran tekstil Indonesia menurun sebesar 34.307 persen.

Penurunan penawaran tekstil Indonesia akan menaikan harga tekstil Indonesia sebesar

1.804 persen. Dampak selanjutnya permintaan tekstil Indonesia menurun sebesar 73.455 persen.

Bagi produksi garmen Indonesia, kenaikan harga tekstil Indonesia akan menurunkan produksi

garmen Indonesia sebesar 12.630 persen. Ekspor garmen Indonesia pada tahap selanjutnya

ikut mengalami penurunan, yaitu sebesar 4.798 persen. Impor garmen Indonesia akan meningkat

sebesar 125.151 persen, sehingga secara total penawaran garmen Indonesia menurun, sebesar

18.735 persen.

Selain itu harga garmen Indonesia naik sebesar 1.283 persen, sebagai akibat tidak langsung

dari kenaikan upah tenaga kerja. Pada akhirnya hal ini akan membuat permintaan garmen

Indonesia menurun sebesar 0,237 persen.

d. Liberalisasi Perdagangan Tekstil dan Produk Tekstil

Liberalisasi perdagangan dengan penurunan tarif hingga nol persen sebagai salah satu

bentuk kebijakan perdagangan, ternyata memberikan dampak pada peningkatan impor tekstil

Indonesia sebesar 13.735 persen. Penurunan produksi tekstil dalam negeri sebesar 0,290 persen

makin memperbesar peningkatan impor tersebut. Peningkatan impor tekstil Indonesia akan

meningkatkan penawaran tekstil Indonesia sebesar 12.433 persen. Peningkatan penawaran

tekstil ternyata menurunkan harga tekstil Indonesia sebesar 0,601 persen, sehingga permintaan

tekstil Indonesia meningkat sebesar 0,376 persen. Harga tekstil Indonesia yang menurun juga

direspon oleh ekspor tekstil Indonesia yang meningkat sebesar 0,148 persen.

Penurunan tarif impor garmen hingga nol persen akan meningkatkan impor garmen

Indonesia sebesar 179.891 persen, sehingga secara total penawaran garmen Indonesia

meningkat sebesar 21.950 persen. Di sisi lain, harga garmen Indonesia yang meningkat sebesar

399Analisis Dampak Kebijakan MakroekonomiTerhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia

0,481 persen membuat permintaan garmen Indonesia menurun sebesar 0,092 persen.

Peningkatan harga garmen Indonesia menjadi insentif bagi produsen garmen Indonesia untuk

meningkat produksinya, yaitu sebesar 0,001 persen. Selain itu harga garmen Indonesia yang

meningkat juga mendorong peningkatan ekspor sebesar 0,024 persen di masa mendatang

e. Kenaikan Upah Tenaga Kerja di Sektor Tekstil dan Garmen, Kenaikan PDBIndonesia, dan Kenaikan Jumlah Penduduk Indonesia

Kombinasi kebijakan kenaikan upah tenaga kerja di sektor tekstil dan garmen, kenaikan

PDB Indonesia sebesar 8 persen, dan kebijakan demografi melalui peningkatan jumlah penduduk

sebesar 1.1 persen menjadikan produksi tekstil Indonesia menurun sebesar 25.411 persen

sehingga mendorong penurunan ekspor tekstil Indonesia sebesar 8.965 persen. Di samping itu

impor tekstil Indonesia meningkat sebesar 0,763 persen. Secara total penawaran tekstil Indonesia

menurun sebesar 34.115 persen. Penurunan penawaran tekstil ini akan meningkatkan harga

tekstil Indonesia sebesar 1.737 persen. Pada gilirannya keadaan tersebut membuat permintaan

tekstil Indonesia menurun sebesar 73.456 persen.

Peningkatan PDB dan pertumbuhan penduduk Indonesia secara alami mendorong

peningkatan permintaan garmen Indonesia sebesar 3.268 persen. Keadaan ini membuat harga

garmen Indonesia meningkat sebesar 1.443 persen. Selain itu juga diakibatkan upah tenaga

kerja di sektor garmen cukup mendominasi dalam biaya produksi yang pada akhirnya

meningkatkan harga output industri garmen.

Peningkatan harga tekstil Indonesia sebagai harga input industri garmen dapat

menurunkan produksi garmen Indonesia sebesar 12.630 persen. Sedangkan ekspor garmen

Indonesia menunjukkan penurunan sebesar 4.801 persen. Hal ini karena harga garmen di

dalam negeri yang meningkat ternyata menarik bagi produsen garmen Indonesia untuk

menggarap pasar Indonesia. Di samping itu impor garmen Indonesia meningkat sebesar 126.832

persen. Secara total penawaran garmen Indonesia menurun sebesar 18.522 persen

f. Kenaikan Harga BBM, Liberalisasi Perdagangan Tekstil dan Produk Tekstil,Kenaikan PDB Indonesia, Amerika Serikat, dan Cina serta Kenaikan JumlahPenduduk Indonesia

Kebijakan kenaikan harga BBM sebesar 8.5 persen, liberalisasi perdagangan, kenaikan

PDB Indonesia sebesar 8 Persen, peningkatan jumlah penduduk Indonesia sebesar 1.1 Persen,

kenaikan PDB Amerika Serikat sebesar 3.1 Persen, dan PDB Cina sebesar 8.5 persen ternyata

400 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

mampu menaikan produksi tekstil Indonesia, masing-masing sebesar 12.827 persen dan 1.585

persen. Oleh sebab itu ekspor tekstil Indonesia juga meningkat sebesar 4.926 persen dan

sekaligus meningkatkan impor tekstil Indonesia sebesar 13.524 persen. Jadi secara total penawar

tekstil Indonesia meningkat sebesar 29.746 persen. Keadaan ini membuat harga tekstil Indonesia

menurun sebesar 1.536 persen, sehingga permintaan tekstil dalam negeri meningkat sebesar

0,847 persen.

Di sisi kenaikan PDB Indonesia dan jumlah penduduk Indonesia akan mendorong

peningkatan permintaan garmen Indonesia sebesar 3.465 persen, sehinnga harga garmen

Indonesia juga meningkat sebesar 0,321 persen. Eksportasi garmen Indonesia masih

menunjukkan peningkatan sebesar 1.562 persen begitu pula dengan importasi garmen Indonesia

yang meningkat sebesar 172.297 persen. Secara total penawaran garmen Indonesia meningkat

sebesar 22.412 persen.

Peningkatan PDB Amerika Serikat dan Cina akan meningkatkan impor tekstil Amerika

Serikat sebesar 1.341 persen dan impor tekstil Cina sebesar 5.746 persen. Oleh sebab itu total

impor tekstil dunia akan meningkat sebesar 2.106 persen sehingga harga tekstil dunia meningkat

sebesar 2.262 persen. Peningkatan harga ini akan berdampak pada peningkatan harga garmen

Indonesia. Sedangkan di sisi garmen, peningkatan PDB Amerika Serikat akan mendorong

peningkatan total impor garmen dunia sebesar 0,057 persen. Pada akhirnya peningkatan impor

garmen dunia tersebut belum mampu meningkatkan harga garmen dunia. Hal ini terjadi karena

total ekspor dunia meningkat lebih besar daripada impornya. Penurunan harga garmen dunia

sebesar 18.690 persen akan berdampak pada penurunan harga tekstil Indonesia dan

peningkatan harga garmen Indonesia.

4.4. Diskusi

Kenaikan produksi industri tekstil dan garmen pada umumnya terkait dengan peningkatan

penyerapan tenaga kerja. Sedangkan ekspor industri tekstil dan garmen berhubungan dengan

perolehan devisa yang diperlukan untuk menunjang pembangun ekonomi Indonesia. Kebijakan-

kebijakan yang dapat menurunkan produksi dan sekaligus ekspor pada industri tekstil dan juga

garmen adalah kebijakan menaikan upah tenaga kerja di sektor tekstil dan garmen masing-

masing sebesar 14.5 persen dan 15 persen (simulasi 3) dan liberalisasi perdagangan, kenaikan

PDB Indonesia dan jumlah penduduk (simulasi 5). Salah satu komponen biaya produksi yang

berperan besar dalam keberlanjutan produksi tekstil dan garmen adalah upah tenaga kerja.

Tenaga kerja yang dibutuhkan, khususnya pada industri garmen, adalah pekerja dengan

keterampilan tertentu tanpa harus dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Oleh sebab itu

401Analisis Dampak Kebijakan MakroekonomiTerhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia

peningkatan penyerapan tenaga kerja industri TPT pada akhirnya dapat mengurangi jumlah

pengangguran di masyarakat yang notabene muncul sebagai akibat keterbatasan mengenyam

pendidikan tinggi. Kebijakan menaikkan upah tenaga kerja yang disebabkan oleh adanya

kebijakan pemerintah, seperti kenaikan upah minimum regional, akan menstimulasi penurunan

produksi dan ekspor, serta rasionalisasi tenaga kerja. Liberalisasi perdagangan TPT yang ditandai

dengan penghapusan tarif hingga nol persen justru cenderung meningkatkan volume impor

tekstil dan garmen Indonesia. Namun demikian di sisi lain ekspor tekstil Indonesia masih

menunjukkan peningkatan, tapi tidak dengan ekspor garmen Indonesia. Hal ini terjadi terjadi

persaingan yang semakin ketat antar negara produsen TPT di dunia, terutama Cina dan negara-

negara di Asia Selatan.

Kebijakan yang hanya mampu meningkatkan produksi dan ekspor di salah satu sektor

adalah kebijakan menaikkan tingkat suku bunga (simulasi 1). Kebijakan ini menurunkan produksi

dan ekspor garmen Indonesia dan membuat produksi dan ekspor tekstil stagnan. Industri TPT

merupakan salah satu dari industri yang berisiko tinggi, sehingga

bank kurang tertarik memberikan kredit investasi. Pada umumnya bank hanya memberikan

pinjaman atau kredit jangka pendek (90 persen) dan jangka menengah (10 persen) kepada

industri TPT. Sementara restrukturisasi permesinan industri TPT membutuhkan bentuk pinjaman

dalam jangka panjang antara 10 sampai 15 tahun. Industri tekstil bersifat padat modal

dibandingkan industri garmen, sehingga permasalahan restrukturisasi lebih banyak dirasakan

oleh industri tekstil. Permesinan yang sudah usang dan teknologi yang tidak modern dapat

mempengaruhi produktivitas industri TPT.

Kebijakan yang masih mampu meningkatkan produksi dan ekspor di kedua sektor adalah

simulasi ke 2, yaitu kebijakan moneter melalui penyesuaian nilai tukar Rupiah terhadap US$

dan simulasi ke 6, yaitu kombinasi kebijakan upah, liberalisasi, dan kenaikan PDB Indonesia

serta beberapa negara maju. Semenjak Indonesia menganut floating exchange rate regime,

nilai tukar Rupiah menjadi berfluktuasi sepanjang waktu. Meskipun demikian, bank Indonesia

masih dapat melakukan intervensi untuk menstabilkannya melalui instrumen kebijakan moneter.

Nilai tukar Rupiah yang stabil membantu eksportir dan importir dalam menghitung dan

memprediksikan biaya dan sekaligus keuntungan di masa mendatang.

402 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

V. KESIMPULAN

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan industri TPT Indonesia adalah sebagai

berikut:

1. Produksi tekstil Indonesia dipengaruhi oleh lag harga kapas dunia dan perubahan lag upah

tenaga kerja di sektor industri tekstil dengan hubungan yang negatif. Produksi garmen

Indonesia dipengaruhi oleh lag upah tenaga kerja di sektor garmen.

2. Ekspor tekstil Indonesia ke pasar dunia bersifat elastis dalam jangka panjang terhadap

perubahan harga tekstil Indonesia. Sedangkan ekspor garmen Indonesia di pasar dunia

dipengaruhi oleh lag nilai tukar terhadap US$ dengan hubungan yang positif.

3. Permintaan tekstil Indonesia mempunyai respon yang elastis terhadap lag upah tenaga kerja

di sektor industri tekstil dan permintaan garmen Indonesia dipengaruhi oleh pendapatan

per kapita penduduk Indonesia dengan hubungan yang positif.

Berdasarkan simulasi kebijakan yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:

1. Kebijakan yang dapat meningkatkan produksi dan ekspor di industri tekstil dan garmen

adalah (1) kebijakan tunggal melalui penyesuaian nilai tukar Rupiah terhadap US$ dan (2)

kombinasi kebijakan menaikkan upah, kebijakan liberalisasi perdagangan, dan kenaikan

PDB Indonesia serta beberapa negara maju sebagai bentuk potensi pasar TPT dunia.

2. Kebijakan menurunkan produksi dan ekspor di industri tekstil dan garmen adalah (1) kebijakan

tunggal melalui kenaikan upah tenaga kerja di industri tekstil dan garmen dan (2) kombinasi

kebijakan menaikan upah tenaga kerja di industri tekstil dan garmen, kenaikan PDB Indonesia,

dan kebijakan demografi melalui pertumbuhan penduduk Indonesia.

Secara keseluruhan dari hasil pendugaan koefisien parameter dan simulasi kebijakan

menunjukkan bahwa menaikkan suku bunga bank untuk kegiatan investasi, BBM, dan juga

upah tenaga kerja di sektor industri tekstil dan garmen, dapat menurunkan produksi tekstil

dan garmen domestik di masa depan. Harga kapas dunia juga mempengaruhi penurunan

ekspor tekstil dan garmen Indonesia. Sedangkan penyesuaian nilai tukar Rupiah akan mendorong

peningkatan ekspor tekstil dan garmen Indonesia pada periode tahun 2007 sampai 2012.

Kesimpulan ini memberikan beberapa implikasi sebagai berikut:

1. Produksi industri TPT Indonesia yang meningkat dapat mendorong peningkatan penyerapan

tenaga kerja. Oleh sebab itu diperlukan insentif ekonomi, antara lain melalui penurunan

suku bunga bank untuk investasi.

2. Ekspor TPT Indonesia yang meningkat dapat meningkatkan penerimaan devisa negara.

Peningkatan ekspor TPT dapat dipacu melalui penyesuaian nilai tukar Rupiah Rp 9 000/US$.

Nilai tukar Rp/US$ yang relatif stabil akan membantu produsen TPT dalam menghitung

biaya bahan baku dan keuntungan.

403Analisis Dampak Kebijakan MakroekonomiTerhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia

3. Pengembangan tanaman kapas, sebagai salah satu bahan baku utama, perlu segera

diwujudkan. Ketergantungan yang sangat tinggi terhadap kapas impor dapat menurunkan

posisi daya saing TPT Indonesia di pasar dunia.

404 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

DAFTAR PUSTAKA

Agustineu, S. D. 2004. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Output Industri Tekstil di

Jawa Barat. Skripsi Sarjana. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor,

Bogor.

BPS. 2009. Statistik Indonesia 2008. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

. 2010. Indikator Ekonomi, Buletin Statistik Bulanan. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

CIC. 2004, Prospek Industri Garmen Indonesia. Indocommercial, No. 350. PT. Capicorn Indonesia

Consultant, Inc, Jakarta.

Dunn, R. M. Jr. and J. H. Mutti. 2004. International Economics. Sixth Edition. Routledge Tailor

and Francis Group, London.

Gonarsyah, I. 1987. Landasan Perdagangan Internasional. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial dan

Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Henderson, J. M. and R. E. Quandt. 1980. Microeconomic Theory, A Mathematical Approach.

McGraw Hill International Book Company, London.

Houck, J. P. 1986. Elements of Agricultural Trade Policies. MacMillan Publishing Company, New

York.

Istojo, D. 2002. Analisis Struktur Industri Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia terhadap WTO

2005. Tesis Magister Manajemen. Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta.

Koutsoyiannis, A. 1978. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometrics

Methods. Second Edition. Harper & Row Publishers, Inc., Barner & Noble Import Division,

New York.

Krantz, O., 2006, ≈Small European Countries in Economic Internationalisation: An Economic

Historical PerspektiveΔ. Umea Universitet, Umea-Swedia. Umea Papers in Economic History.

Mlachila, M. and Y. Yang, 2004, ≈The End of Textiles Quotas: A Case Study of the Impact of

BangladeshΔ. International Monetary Fund, Washington DC. IMF Working Paper No. 04/

108.

PRB. 2009. World Population Data Sheet 2009. Population Reference Bureau and USAID,

Washington DC.

Pracoyo, A. 1995. Pengaruh GATT terhadap Perekonomian Indonesia, Studi Kasus Ekspor Industri

Tekstil. Tesis Magister Manajemen. Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta.

405Analisis Dampak Kebijakan MakroekonomiTerhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia

Sinaga, B. M. 1989. Econometric Model of the Indonesian Hardwood Products Industry: A

Policy Simulation Analysis. PhD, Dissertation. University of The Philippines, Los Banos.

Sunarno, S. 2008. ASEAN, Basis Produksi TPT Dunia. Indonesian Textile Serial Online. http://

indonesiatextile.com/index.php?option=com_content& task=view&id=73&Itemid=50.

Diakses tanggal 17 Maret 2010.

. 2008 Amankan Pasar Dalam Negeri. Indonesia Textile Serial Online. http://

indonesiatextile.com/index.php?option=com_content&task =view&id=76&Itemid=50,

Diakses Tanggal 17 Maret 2010.

Thoburn, J., 2010, ≈The Impact of World Recession on the Textile and Garment Industries of

AsiaΔ. United Nations Industrial Development Organization, Vienna. Working Paper No. 17.

UNCTAD. 2005. TNCs and the Removal of Textiles and Clothing Quotas. United Nations

Conference on Trade and Development, Geneva.

VBN. 2011. Vietnam Textile and Garment Export Cross $ 11.2 Biliion in 2010. Vitenam Business

News. Serial Online, http://vietnambusiness.asia/vietnam-textile-and-garment-exports-cross-

11-2b-in-2010/. Diakses tanggal 10 Januari 2011.

Wintala. 1999. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Tekstil Indonesia: Ke Amerika

Serikat, Inggris dan Jepang Tahun 1978-1997. Tesis Magister Manajemen. Program

Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

WTO. 2005. International Trade Statistics 2005. World Trade Organization, Geneva.

406 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Lampiran

PTDt : Produksi tekstil domestik tahun t (1 000 ton)

PTDt-1 : Produksi tekstil domestik tahun t-1 (1 000 ton)

PGDt : Produksi garmen domestik tahun t (1000 ton)

PGDt-1 : Produksi garmen domestik tahun t-1 (1000 ton)

HTDRt : Harga riil tekstil domestik tahun t (USD/ton)

HTDRt-1 : Harga riil tekstil domestik tahun t-1 (USD/ton)

HCWRt-1 : Harga riil kapas dunia tahun t-1 (cent/pound)

HTWRt : Harga riil tekstil dunia tahun t (USD/ton)

HTWRt-1 : Harga riil tekstil dunia tahun t-1 (USD/ton)

HMTIRt-1 : Harga impor tekstil Indonesia tahun t-1 (USD/ton)

HGDRt : Harga riil garmen domestik tahun t (USD/ton)

HGDRt-1 : Harga riil garmen domestik tahun t-1 (USD/ton)

HGWRt : Harga riil garmen dunia tahun t (USD/ton)

HGWRt-1 : Harga riil garmen dunia tahun t-1 (USD/ton)

HMGIRt : Harga riil impor garmen Indonesia tahun t (USD/ton)

IRRt : Tingkat suku bunga riil bank tahun t (%/tahun)

IRRt-1 : Tingkat suku bunga riil bank tahun t-1 (%/tahun)

UTKTRt-1 : Upah riil tenaga kerja industri tekstil tahun t-1 (Rp juta)

UTKGRt-1 : Upah riil tenaga kerja industri tahun t-1 (1 000 Rp)

BBMRt : Harga riil BBM tahun t (Rp/liter)

BBMRt-1 : Harga riil BBM tahun t-1 (Rp/liter)

T : Tren waktu

XTIt : Ekspor tekstil Indonesia tahun t (1 000 ton)

XTIt-1 : Ekspor tekstil Indonesia tahun t-1 (1 000 ton)

XGIt : Ekspor garmen Indonesia tahun t (1 000 ton)

XGIt-1 : Ekspor garmen Indonesia tahun t-1(1 000 ton)

ERIRt : Nilai tukar riil Rupiah terhadap USA tahun t (Rp/USD)

ERIRt-1 : Nilai tukar riil Rupiah terhadap USA tahun t-1 (Rp/USD)

DKG : Dummy integrasi perdagangan TPT dunia

STDt : Penawaran tekstil domestik tahun t (1 000 ton)

SGDt : Penawaran garmen domestik tahun t (1 000 ton)

Tabel 1.Keterangan Peubah Endogen dan Eksogen yang Digunakan dalam Model

407Analisis Dampak Kebijakan MakroekonomiTerhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia

MTIt : Impor tekstil Indonesia tahun t (1 000 ton)

MTIt-1 : Impor tekstil Indonesia tahun t-1 (1000 ton)

MGIt : Impor garmen Indonesia tahun t (1 000 ton)

MGIt-1 : Impor garmen Indonesia tahun t-1 (1 000 ton)

DTDt : Permintaan tekstil domestik tahun t (1 000 ton)

DTDt-1 : Permintaan tekstil domestik tahun t-1 (1000 ton)

DGDt : Permintaan garmen domestik tahun t (1000 ton)

DGDt-1 : Permintaan garmen domestik tahun t-1 (1 000 ton)

TFTt-1 : Tarif impor tekstil tahun t-1 (%/tahun)

TFGt : Tarif impor garmen tahun t (%/tahun)

GDPIRt : PDB riil Indonesia (Rp 1000)

GDPIRt-1 : PDB riil Indonesia t-1 (Rp 1000)

POPIt : Jumlah penduduk indonesia tahun t (juta jiwa)

POPt-1 : Jumlah penduduk Indonesia tahun t-1 (juta jiwa)

MGBt : Impor garmen bekas tahun t (1 000 ton)

MGBt-1 : Impor garmen bekas tahun t-1 (1 000 ton)

XTWt : Ekspor tekstil dunia tahun t (USD/ton)

MTWt : Impor tekstil dunia tahun t (1 000 ton)

MTWt-1 : Impor tekstil dunia tahun t-1 (USD/ton)

XTGt : Ekspor tekstil Jerman tahun t (1 000 ton)

XTAt : Ekspor tekstil USA tahun t (1 000 ton)

XTCt : Ekspor tekstil China tahun t (1 000 ton)

XTRt : Sisa ekspor tekstil dunia tahun t (1 000 ton)

MTLt : Impor tekstil Italia tahun t (1 000 ton)

MTAt : Impor tekstil USA tahun t (1 000 ton)

MTCt : Impor tekstil China tahun t (1 000 ton)

XGWt : Ekspor garmen dunia tahun t (1 000 ton)

MGWt-1 : Impor garmen dunia tahun t-1 (1 000 ton)

XGWt : Ekspor garmen dunia tahun t (1 000 ton)

MGWt : Impor garmen dunia tahun t (1 000 ton)

MGWt-1 : Impor garmen dunia tahun t-1 (1 000 ton)

XGCt : Ekspor garmen China tahun t (1 000 ton)

Tabel 1.Keterangan Peubah Endogen dan Eksogen yang Digunakan dalam Model (lanjutan)

408 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

XGTt : Ekspor garmen Turki tahun t (1 000 ton)

XGRt : Sisa ekspor garmen dunia tahun t (1 000 ton)

MGGt : Impor garmen Jerman tahun t (1 000 ton)

MGAt : Impor garmen USA tahun t (1 000 ton)

MGJt : Impor garmen Jepang tahun t (1 000 ton)

MGRt : Sisa impor garmen dunia tahun t (1 000 ton)

Tabel 1.Keterangan Peubah Endogen dan Eksogen yang Digunakan dalam Model (lanjutan)

409Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model

DAMPAK DEPRESIASI NILAI TUKAR DANPERTUMBUHAN UANG BEREDAR TERHADAP INFLASI:

APLIKASI THRESHOLD MODEL 1

Rizki E. Wimanda 2

This paper investigates the impact of exchange rate depreciation and money growth to the CPI

inflation in Indonesia. Using monthly data from 1980:1 to 2008:12, our econometric evidence shows

that there are indeed threshold effects of money growth on inflation, but no threshold effect of exchange

rate depreciation on inflation. Even though the threshold value for exchange rate depreciation is found

at 8.4%, the F-test suggests that there is no significant difference between the coefficient below and

that above the threshold value. While, two threshold values are found for money growth, i.e. 7.1% and

9.8%, and they are statistically different. The impact on inflation is high when money grows by up to

7.1%, it is moderate when money grows by 7.1% to 9.8%, and it is low when money grows by above

9.8%.

JEL Classification: C22; E31; E51.

Keywords: Inflation, Threshold Effect; Indonesia

1 Disarikan dari Wimanda (2010), Doctoral Thesis, Bab 4, yaitu ≈Threshold Effects of Exchange Rate and Money Growth on InflationΔ.2 Peneliti Ekonomi di Bank Indonesia, email: [email protected].

Abstract

410 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

I. PENDAHULUAN

Perhatian terhadap inflasi begitu besar sejak Indonesia mengadopsi inflation targeting pada

tahun 2000. Salah satu topik studi yang penting adalah meneliti faktor-faktor penyebab inflasi.

Wimanda (2010)3 menemukan bahwa inflasi di Indonesia dipengaruhi secara signifikan

oleh ekspektasi inflasi (backward-looking dan forward-looking), output gap, depresiasi nilai

tukar, dan pertumbuhan uang beredar. Analisis terhadap sample bulanan mulai dari awal tahun

1980 sampai dengan akhir tahun 2008 menunjukkan bahwa pembentukan ekspektasi inflasi

di Indonesia masih didominasi oleh ekspektasi inflasi ke belakang (backward-looking) dengan

porsi sekitar 0.7, sementara porsi ekspektasi inflasi ke depan (forward-looking) sekitar 0.2.

Dalam analisisnya dia juga menemukan bahwa dampak nilai tukar lebih besar dibandingkan

dengan dampak pertumbuhan uang beredar (M1). Analisis tersebut mengasumsikan bahwa

dampak kedua variable tersebut adalah linear, dalam arti dampaknya adalah konstan untuk

setiap tingkat depresiasi nilai tukar dan pertumbuhan uang beredar.

Dengan menggunakan threshold model paper ini menguji apakah dampak nilai tukar

dan pertumbuhan uang beredar terhadap inflasi linear atau tidak. Selanjutnya, akan diuji apakah

terdapat nilai threshold, berapa banyak nilai threshold yang dapat diidentifikasi, dan berapa

berapa besar dampaknya.

Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut. Studi literatur akan dibahas

pada bagian kedua. Metodologi dan data akan dibahas pada bagian ketiga dari paper ini.

Sementara hasil estimasi dan kesimpulan akan dipaparkan pada bagian keempat dan kelima.

II. TEORI

2.1. Pass-through Nilai Tukar

Salah satu isu sentral di ekonomi internasional adalah pass-through nilai tukar dimana

didefinisikan sebagai dampak dari 1 persen depresiasi nilai tukar pada inflasi domestik. Secara

umum, untuk menguji pass-through nilai tukar adalah dengan mengetimasi pada persamaan

berikut:

dimana πt adalah inflasi domestik, e

t adalah depresiasi nilai tukar (nominal), dan adalah variabel-

variabel control lainnya (dalam bentuk pertumbuhan).

3 Pada Bab 3 Doctoral Thesis, yaitu ≈Determinants of Inflation and The Shape of Phillips CurveΔ.

(1)πt = α + γe

t + δx

t + ε

t

411Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model

Secara umum, studi mengenai pass-through nilai tukar ini dapat dikelompokkan menjadi

3. Kelompok pertama adalah studi dampak nilai tukar pada harga impor industri tertentu,

misalnya Bernhofen and Xu (1999) and Goldberg (1995). Kelompok kedua adalah studi dampak

nilai tukar pada harga import secara aggregat, misalnya Hooper dan Mann (1989) dan Campa

dan Goldberg (2005). Dan kelompok ketiga adalah studi dampak nilai tukar pada CPI atau

WPI, misalnya Papell (1994) dan McCarthy (2000).

Meskipun literatur pada pass-through nilai tukar ini sangat banyak, namun studi empiris

yang ada lebih banyak fokus pada negara-negara maju. Sebuah survey yang dilakukan oleh

Menon (1995) menunjukkan bahwa dari 48 studi mengenai pass-through nilai tukar sebagian

besar adalah Amerika dan Jepang. Begitu pula dengan Goldberg dan Knetter (1997) yang

menyatakan bahwa studi pass-through nilai tukar selama tahun 1980-an didominasi oleh Amerika.

Untuk negara-negara yang bergabung dalam OECD, studi dampak pass-through nilai

tukar pada harga impor dilakukan oleh Campa dan Goldberg (2005). Mereka menemukan

bahwa pass-through nilai tukar adalah parsial, dimana harga impor mencerminkan 60 persen

pergerakan nilai tukar dalam jangka pendek dan hampir 80 persen dalam jangka panjang.

Mereka juga menemukan bahwa negara-negara yang memiliki volatilitas nilai tukar yang rendah

dan inflasi yang rendah memiliki dampak pass-through nilai tukar yang rendah.

Menggunakan data 71 negara dari tahun 1979 sampai dengan 2000, Choudhri dan

Hakura (2006) memperlihatkan bahwa ada hubungan positif yang kuat antara pass-through

nilai tukar dengan rata-rata inflasi. Negara-negara yang memiliki inflasi yang rendah cenderung

memiliki pass-through nilai tukar yang rendah. Begitu pula sebaliknya.

Hubungan nilai tukar dan inflasi di Malaysia, Philipines, dan Singapore diteliti oleh Alba

dan Papper (1998) selama periode 1979:Q1 sampai dengan 1995:Q2. Mereka menemukan

bahwa pass-through nilai tukar untuk Philipina lebih tinggi dibandingkan Malaysia, sementara

pass-through nilai tukar untuk Singapore justru bernilai negatif.

Untuk mensupport argumen Δfear of floatingΔ, Calvo dan Reinhart (2000) meneliti hal

yang sama untuk sejumlah negara maju dan berkembang, termasuk Malaysia dan Indonesia.

Dengan menggunakan data bulanan dari Agustus 1997 sampai November 1999, mereka

menemukan pass-through nilai tukar di Indonesia adalah 0.062.

2.2. Hubungan antara Uang dan Inflasi

Teori kuantitas dan persamaan pertukaran memberikan kerangka yang berguna untuk

menganalisa secara empiris relevansi uang di dalam perekonomian. Hubungan uang dan inflasi

dapat diturunkan dari persamaan permintaan uang. Masyarakat ingin memegang uang untuk

412 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

membeli barang dan jasa. Jika harga barang dan jasa naik, masyarakat cenderung akan

memegang uang lebih banyak. Faktor yang paling penting dalam permintaan uang adalah

pendapatan. Pada saat pendapatan masyarakat naik, masyarakat akan cenderung untuk

berbelanja lebih. Pengeluaran yang lebih banyak berhubungan dengan memegang uang yang

lebih banyak. Dengan demikian, hubungan ini dapat ditulis sebagai:

dimana M adalah uang nominal, P adalah tingkat harga berdasarkan CPI atau deflator PDB, Y

adalah pendapatan dan k merupakan faktor proporsi. Persamaan (2) dapat ditulis ulang menjadi:

(3)

Dengan mengasumsikan adanya kausalitas dari M ke P, persamaan (3) menyebutkan

bahwa kuantitas uang menentukan level harga, namun uang bukan merupakan satu-satunya

faktor. Misalnya, pendapatan dan faktor lainnya yang terrefleksi dalam k tidak berubah, pada

saat kuantitas uang meningkat, maka level harga akan meningkat.

Milton Friedman (1968) berargumen bahwa inflasi merupakan fenomena moneter. Studi-

studi yang dilakukan oleh Lucas (1980), Dwyer dan Hafer (1988), Friedman (1992), Barro (1993),

McCandless dan Weber (1995), Dewald (1998), Rolnick dan Weber (1997) dan lainnya

berkesimpulan bahwa perubahan kuantitas uang dan perubahan harga mempunyai hubungan

yang erat.

Dwyer dan Hafer (1999) memperlihatkan level harga mempunyai hubungan yang positif

dan proporsional dengan kuantitas uang di Amerika, Inggris, Jepang, Brazil, dan Chile selama

abad 20. Mereka juga menunjukkan bahwa dalam jangka waktu yang lebih pendek, yaitu 5

tahun, hubungan pertumbuhan uang dan inflasi tetap berlaku.

Studi empiris hubungan antara pertumbuhan uang (M1 dan M2) dan inflasi pada 160

negara dilakukan oleh De Grauwe dan Polan (2005). Mereka menunjukkan bahwa selama

kurun waktu 30 tahun, hubungan pertumbuhan uang beredar dan inflasi masih berlaku. Namun

demikian, setelah membagi sampel berdasarkan tingkat inflasi, mereka menunjukkan bahwa

negara-negara yang memiliki inflasi yang rendah (di bawah 10%) hubungan kedua variabel

tersebut melemah. Sebaliknya, hubungan tersebut kuat untuk negara-negara yang tingkat

inflasinya tinggi. Namun demikian, studi ini tidak menentukan pada level berapa uang beredar

akan memberikan dampak yang berbeda pada inflasi.

(2)= k Y,ΜP

=P1k

ΜY

413Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model

2.3. Aplikasi Threshold Model

Threshold model merupakan kasus spesial dari kerangka statistik yang kompleks, seperti

mixture model, switching model, Markov-switching model, dan smooth transition threshold

model (Hansen, 1997).

Threhold model dapat diaplikasikan pada banyak kasus. Misalnya, Galbraith (1996)

melakukan studi mengenai hubungan antara uang dan output. Dengan menggunakan data

Amerika dan Canada, dia menemukan bahwa uang memiliki pengaruh yang kuat pada output

pada saat pertumbuhan uang di bawah nilai theshold tertentu. Hasil ini konsisten dengan

proposisi bahwa kebijakan moneter mempunyai dampak yang kecil atau bahkan tidak memiliki

dampak sama sekali pada saat pertumbuhan uang sangat tinggi.

Khan dan Senhadji (2001) meneliti hubungan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi

pada 140 negara selama periode 1960 sampai dengan 1998. Mereka berargumentasi bahwa

inflasi memiliki dampak yang negatif terhadap perekonomian manakala inflasi di atas nilai

threshold tertentu. Sebaliknya, inflasi memberikan dampak yang positif bagi perekonomian

manakala inflasi di bawah nilai thresholdnya. Mereka menemukan bahwa nilai threshold untuk

negara maju adalah 1-3 persen, sementara untuk negara berkembang nilai threholdnya adalah

11-12 persen.

Threshold model juga digunakan Papageorgiou (2002) dalam mengevaluasi tingkat

keterbukaan terhadap perekonomian. Foster (2006) menguji hubungan ekspor dan pertumbuhan

ekonomi untuk negara-negara Afrika. Evaluasi terhadap defisit fiskal juga dilakukan dengan

menggunakan threhold model, misalnya untuk kasus Amerika (lihat Arestis, Cipollini dan Fattouh,

2004) dan untuk kasus Spanyol (lihat Bajo-Rubio, Diaz-Roldan and Esteve, 2004).

Sementara itu, studi mengenai threshold nilai tukar ke inflasi dan threhold uang beredar

ke inflasi, sepanjang pengetahuan kami, belum ada. Untuk itu, studi ini dilakukan dengan

maksud mengisi gap literatur.

III. METODOLOGI

3.1. Model Empiris dan Teknik Pengolahan Data

Studi ini menggunakan threshold model untuk menjawab pertanyaan di atas. Threshold

model merupakan sebuah kasus spesial dari kerangka statistika yang kompleks, seperti mixture

models, switching models, Markov-switching models, dan smooth transition threshold models.

Secara umum, threshold model dapat ditulis seperti berikut:

414 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

dimana adalah dependent variable, adalah explanatory variable yang ingin diuji, adalah vektor

dari explanatory variable yang lain, adalah fungsi indikator, adalah variabel threshold, dan adalah

nilai dari threshold. Pada persamaan di atas, observasi dibagi menjadi dua regime tergantung

pada apakah variable threshold lebih kecil atau lebih besar dari nilai.

Untuk mengestimasi model, nilai threshold dan nilai parameter slope diestimasi secara

bersamaan. Hansen (1997) merekomendasikan untuk mencari estimasi dengan mencari nilai

dari sum of squared errors yang minimal. Untuk meyakinkan bahwa jumlah observasi di tiap

regime adalah cukup, maka model diestimasi untuk semua nilai threshold dari variabel threshold

antara 10th dan 90th percentile.

Setelah ditemukan nilai threshold, kita perlu menguji apakah nilai tersebut signifikan

secara statistik atau tidak. Dalam hal ini, apakah hipotesa nol dari ditolak atau diterima. Satu

hal yang menjadi komplikasi adalah nilai threshold tidak terindentifikasi pada hipotesa nol. Hal

ini berimplikasi bahwa classical test tidak memiliki distribusi yang standar, sehingga nilai-nilai

kritis tidak dapat diperoleh dari tabel distribusi standar.

Studi ini mengikuti Hansen (1997, 2000) dalam pencarian multiple regimes pada data

dengan menggunakan depresiasi nilai tukar dan pertumbuhan M1 sebagai threshold variable.

Metode yang berdasarkan asymptotic distribution ini dapat menguji signifikansi dari regime

yang terpilih oleh data.

Dalam studi ini, kami tidak mengevaluasi hubungan jangka panjang dari nilai nilai tukar

dan uang beredar kepada tingkat harga, namun kami lebih tertarik untuk melihat hubungan

jangka pendek dari depresiasi nilai tukar dan pertumbuhan uang beredar terhadap inflasi.

Untuk menguji keberadaan threshold effect dari depresiasi nilai tukar pada inflasi, model

hybrid NKPC Phillips curve ini akan diestimasi adalah sebagai berikut:

(4)

dimana , πt adalah inflasi, π

t - 1 adalah

ekspektasi inflasi backward-

looking, adalah πt + 1

ekspetasi inflasi forward-looking, gapt adalah output gap, er

t adalah

(5)

yt = β‘

j x

t + δ

1z

tI (th

t < λ) + δ

2 z

t I (th

t > λ) + μ

t

πt = c + α

t - 1 + α

t + 1 +

βgap

t + γ

1(1 - d

t ) [(er

t)I (er

t > er*)] +

γ2d

t [(er

t)I (er

t < er*)] + θm

t + δ

1crisis + δ

2 fuel + δ

3 fitri + ε

t

e

e

415Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model

depresiasi nilai tukar4, er* adalah nilai threshold dari nilai tukar, mt adalah pertumbuhan uang

beredar (M1), crisis adalah dummy variable untuk menangkap krisis finansial tahun 1997-

1998, fuel adalah dummy variable untuk menangkap kenaikan harga BBM pada bulan Januari

2005 dan Oktober 2005, dan fitri adalah dummy variable untuk menangkap fenomena hari

raya Idul Fitri.

Kami menggunakan Instrumental variables (IV) estimators, yaitu two stage least squares

(TSLS). Metode estimasi ini dapat mengatasi endogeneity problems mengingat model yang

digunakan terdapat nilai inflasi di masa datang.

Estimasi model dilakukan dengan metode conditional least squares yang dapat dijelaskan

sebagai berikut: Untuk setiap nilai threshold ert*, model diestimasi melalui TSLS, kemudian

diperoleh sum of squared residuals (SSR). Estimasi least squares dari ert* diperoleh dengan

memilih nilai threshold ert* dimana yang memiliki nilai SSR yang minimum. Jika kita

menempatkan seluruh observasi nilai threshold ke dalam vector, maka notasi kompak dari

persamaan (2) adalah sebagai berikut:

Setelah nilai threshold diperoleh, kita perlu menguji apakah threshold effect-nya signifikan

secara statistic atau tidak. Pada persamaan (2), untuk menguji apakah threshold effectnya ada

atau tidak kita perlu menguji hipotesa nol, yaitu H0 : γ

1 = γ

2. Hansen (1997, 2000) menyarankan

metode bootstrap untuk mensimulasikan asymptotic distribution dari likelihood ratio test dari

H0

sebagai berikut:

4 Nilai tukar didefinisikan sebagai mata uang domestic per mata uang asing. Dalam hal ini digunakan Rp/USD. Dengan demikian, nilaier yang negatif berarti depresiasi, sementara nilai er yang positif berarti apresiasi.

(6)y = xβ

er + ε , er = er,....er ,

er* = argmin [ S

1(er), er = er,....,er ] (7)

dimana βer

= ( c α1 α2 β γ

1 γ

2 θ δ

1 δ

2 δ

3 )’

adalah vektor dari parameter, y adalah dependent

variable, dan x adalah matrix dari explanatory variables. Patut dicatat bahwa koefisien vector βdi-index-kan dengan er untuk memperlihatkan ketergantungannya pada nilai threshold, dimana

berkisar dari er sampai er . Kita definisikan S1 (er) sebagai SSR dengan nilai threshold depresiasi

nilai tukar pada er. Nilai estimasi er* threshold yang diperoleh adalah nilai threshold yang

mempunyai nilai yang minimal, yaitu:

416 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

dimana S0 and S

1 adalah SSR untuk H

0 : γ

1 = γ

2 dan H

1 : γ

1 = γ

2. Dengan kata lain, S

0 dan S

1 adalah

SSR dari persamaan (2) tanpa threshold effect dan dengan threshold effects. Distribusi

asymptotic dari LR0 adalah non-standard dan mendominasi distribusi χ2. Distribusi dari secara

umum tergantung pada moments of sample, sehingga nilai-nilai kritis tidak dapat ditabulasikan.

Mengingat γ belum terindentifikasi, distribusi asymptotic dari LR0 bukanlah χ2. Hansen

(1997) memperlihatkan bahwa hal ini dapat di-aproksimasi dengan menggunakan prosedur

bootstrap berikut ini:

1. Tetapkan μt* , t = 1,....,n sebagai angka random yang diambil dari distribusi normal yang

mempunyai rata-rat nol dan varian satu, yaitu i.e. N(0,1).

2. Tetapkan yt* = μ

t*.

3. Dengan menggunakan observasi xt, t = 1,....,n regres y

t* pada x

t dan dapatkan residual

variance dari model linear, dimana .

4. Dengan menggunakan observasi xt, t = 1,....,n regres y

t* pada x

t ( γ ) dan dapatkan residual

variance dari threshold model, dimana ,

dan γ adalah threshold value.

5. Hitung =

.

6. Ulangi langkah nomor 4 dan 5 untuk γ yang lain.

7. Cari

8. Ulangi langkah ke-1 sampai ke-7 berulang kali.

Hansen (1997) juga memperlihatkan bahwa pengambilan sample yang berulang-ulang

dari Fn

∗ dapat digunakan sebagai aproksimasi untuk distribusi asymptotic dari Fn. Adapun p-

value dari test ini adalah dengan menghitung prosentase dari bootstrap sample yang nilai Fn∗ -

nya melebihi LR0 (lihat persamaan (5)).

LR0 = n ,

(S0 - S

1)

S1

(8)

σn∗2∼

σn∗2∼

(γ)

417Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model

dimana S1(er) and S

1(er*) adalah SSR dari persamaan (II.2) dengan threshold er and er*. Tetapkan

cξ (β ) sebagai β-level nilai kritikal untuk ξ dari Table 1 pada Hansen (2000). Tetapkan

(9)

(10)Γ = [er : LR(er) < cξ (β )]

LR(er) = n ,S

1(er) - S

1(er*)

S1(er*)

Hansen (2000) memperlihatkan bahwa adalah asymptotically valid untuk β-level

confidence pada er. Untuk mendapatkan confidence interval, kami plot likelihood ratio LR(er)

dengan threshold value (er), tarik garis lurus pada cξ (β ), dan beri tanda pada nilai threshold

dengan likelihood ratio yang berada di bawah nilai kritikal. Perlu diperhatikan bahwa LR(er)

akan sama dengan nol pada saat er = er*.

Untuk menguji keberadaan threshold effect dari money growth terhadap inflasi, kami

menggunakan model yang sama, namun kami mengganti depresiasi nilai tukar dengan

pertumbuhan uang beredar sebagai threshold variable. Model berikut selanjutkan akan

diestimasi:

πt = c + α

t - 1 + α

t + 1 +

βgap

t + γer

t + θ

1(1 - d

t ) [(m

t ) I (m

t > m*)]

+ θ2d

t [(m

t)I (m

t < m*)] + δ

1crisis + δ

2 fuel + δ

3 fitri + ε

t

e

(11)

dimana

Adapun prosedur estimasi dan pengujian untuk threshold pertumbuhan uang beredar adalah

sama seperti prosedur di atas.

3.2. Data

Kami menggunakan data CPI, output gap, nilai tukar, dan M1. Data-data tersebut kami

peroleh dari Bank Indonesia (BI) dan BPS. Untuk analisis, kami menggunakan data bulanan dari

1980 sampai dengan 2008 (lihat Tabel 1).

Studi ini mengikuti Hansen (2000) dalam membentuk confidence region untuk er*.

Confidence intervals untuk threshold parameter dibangun dengan meng-inversi distribusi

asymptotic dari statistik likelihood ratio. Dalam hal ini, kami menguji hipothesa nol H0 : er* = er

dengan menghitung likelihood test sebagai berikut:

418 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

IV . HASIL DAN ANALISIS

4.1 Threshold Effect pada Depresiasi Nilai Tukar

Tabel 3 di bawah ini menunjukkan hasil estimasi TSLS dari persamaan (2) tanpa adanya

threshold effect (dengan men-set γ1 = γ

2). Dari table tersebut dapat kita lihat semua parameter

signifikan, kecuali konstanta. Dengan menggunakan adjusted HP filter sebagai proxy dalam

perhitungan potensial output, kami menemukan bahwa koefisien dari depresiasi nilai tukar

(yoy) adalah sebesar -0,050 dan koefisien dari pertumbuhan M1 adalah 0,021. Hasil ini

Tabel 1. Data

NoNoNoNoNo D a t aD a t aD a t aD a t aD a t a FrequencyFrequencyFrequencyFrequencyFrequency PeriodePeriodePeriodePeriodePeriode SumberSumberSumberSumberSumber

1 Inflasi CPI Bulanan 1980:1 to 2008:12 BPS dan BI2 Output gap Bulanan 1980:1 to 2008:12 Penulis3 Nilai Tukar Bulanan 1980:1 to 2008:12 BI4 M1 Bulanan 1980:1 to 2008:12 BI

Tabel 2.Statistik deskriptif data (year-on-year)

1980 - 19971980 - 19971980 - 19971980 - 19971980 - 1997

CPI Inflation 9,01 3,37 57,59 23,28 10,52 9,52Exchange Rate Depreciation -6,63 10,67 -67,97 13,04 1,32 18,91M1 Growth 19,53 11,52 29,17 9,02 17,70 6,39Output Gap - HPA 0,19 3,39 -11,76 1,97 -2,31 3,25Output Gap - Peak-to-Peak -2,50 1,54 -13,13 2,03 -5,20 3,29

D a t aD a t aD a t aD a t aD a t a 19981998199819981998 1999 - 20081999 - 20081999 - 20081999 - 20081999 - 2008

MeanMeanMeanMeanMean Std DevStd DevStd DevStd DevStd Dev MeanMeanMeanMeanMean Std DevStd DevStd DevStd DevStd Dev MeanMeanMeanMeanMean Std DevStd DevStd DevStd DevStd Dev

Table 1: Robustness check untuk Phillips curve dengan threshold depresiasi nilai tukar

Tabel 3.Phillips Curve Tanpa Threshold

Constant -0.148 0.141 -1.051 0.294Inflation (-1)0.710 0.042 17.078 0.000Inflation(1) 0.225 0.058 3.911 0.000Output Gap (-9) 0.062 0.023 2.703 0.007Exchange Rate Dep(-1) -0.050 0.009 -5.223 0.000M1 Growth(-2) 0.024 0.007 3.261 0.001Dummy Crisis 1.293 0.539 2.400 0.017Dummy Fuel 2.940 0.676 4.349 0.000Dummy Fitri 0.548 0.213 2.567 0.011

Adjusted R-squared 0.991S.E. of regression 1.093SSR 393.024

Coef Std. Error t-Statistic Prob.

419Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model

Tabel 4.Phillips curve dengan threshold depresiasi nilai tukar

Constant -0.169 0.144 -1.179 0.239Inflation(-1) 0.719 0.045 16.071 0.000Inflation(1) 0.211 0.062 3.382 0.001Output Gap(-9) 0.064 0.024 2.703 0.007Exchange Rate Dep(-1) <= -8.4% -0.056 0.012 -4.652 0.000-8.4% > Exchange Rate Dep(-1) -0.045 0.010 -4.567 0.000M1 Growth(-2) 0.026 0.008 3.294 0.001Dummy Crisis 1.154 0.547 2.109 0.036Dummy Fuel 2.973 0.693 4.293 0.000Dummy Fitri 0.548 0.218 2.516 0.012

Adjusted R-squared 0.991S.E. of regression 1.116SSR 408.247

Coef Std. Error t-Statistic Prob.

menunjukkan bahwa secara rata-rata dampak depresiasi nilai tukar terhadap inflasi lebih besar

dibandingkan dengan dampak pertumbuhan uang beredar.

Untuk mengestimasi threshold depresiasi nilai tukar, kami menggunakan persamaan (2).

Nilai threshold dicari mulai dari -30% s.d. 0%; dengan kenaikan 0,06% terdapat 500 kandidat

nilai threshold. Dari 500 nilai threshold tersebut, ditemukan nilai SSR yang paling minimum, yaitu

408,25, pada nilai -8,4%. Hal ini berarti threshold depresiasi nilai tukar adalah sebesar 8,4%.

Tabel 4 menunjukkan hasil estimasi model dengan menggunakan adjusted HP filter untuk

menghitung output potensial. Dari table dapat kita lihat bahwa dampak depresiasi nilai tukar

pada inflasi pada saat tingkat depresiasi nilai tukar lebih besar atau sama dengan 8,4% adalah

sebesar 0,056, sedangkan dampaknya pada saat tingkat depresiasi nilai tukar di bawah 8,4%

adalah sebesar 0,045. Kedua koefisien tersebut di atas adalah signifikan pada tingkat 1%.

Garis horizontal pada Grafik 1 menunjukkan 90% confidence interval. Daerah di bawah

garis horizontal membentuk daerah penerimaan. Statistik LR(γ) akan bernilai nol pada threshold

yang optimal. Dari gambar tersebut dapat kita lihat bahwa confidence interval untuk threshold

nilai tukar ini terlalu lebar. Daerah di bawah garis dimana LR(γ) = 5,945 bernilai -23,52% s.d.

-2,64%. Hal ini menunjukkan bahwa estimasi nilai threshold effect untuk depresiasi nilai tukar

adalah kurang akurat.

Untuk menguji apakah benar terdapat perbedaan antara model linear dengan model

threshold, kami melakukan bootstrapping sebanyak 1.000 kali. Kami mengikuti prosedur yang

disarankan oleh Hansen (1997) untuk menghasilkan nilai kritis.

5 Ini adalah nilai kritis untuk 90% confidence interval dari Table 1 Hansen (2000).

420 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Grafik 1. Nilai likelihood ratio dan 90%confidence interval untuk threshold

depresiasi nilai tukar

Threshold (%)

LR ( γ )

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

20

-29.

94-2

8.86

-27.

78-2

6.70

-25.

62-2

4.54

-23.

46-2

2.38

-21.

30-2

0.22

-19.

14-1

8.06

-16.

98-1

5.90

-14.

82-1

3.74

-12.

66-1

1.58

-10.

50-9

.42

-8.3

4-7

.26

-6.1

8-5

.10

-4.0

2-2

.94

-1.8

6-0

.78

Tabel 5.Model alternative untuk threshold depresiasi nilai tukar

ModelModelModelModelModel Output Gap MeasurementOutput Gap MeasurementOutput Gap MeasurementOutput Gap MeasurementOutput Gap Measurement Output Gap FunctionOutput Gap FunctionOutput Gap FunctionOutput Gap FunctionOutput Gap Function ER Dep.ThresholdER Dep.ThresholdER Dep.ThresholdER Dep.ThresholdER Dep.Threshold

1 Peak-to-Peak Linear No2 Peak-to-Peak Linear Yes3 Adjusted HP Filter Non-Linear No4 Adjusted HP Filter Non-Linear Yes

Ditemukan bahwa sebagian besar Fsup

berada di atas nilai Fo , yaitu -12,12, dimana nilai

p-value sebesar 0,957. Hal ini menunjukkan bahwa kita tidak dapat menolak hipotesa nol

dimana γ1 = γ

2. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan dampak

depresiasi nilai tukar yang signifikan terhadap inflasi pada level di bawah threshold dan di atas

threshold. Dengan kata lain, dampak depresiasi nilai tukar pada inflasi adalah linear, yaitu

sebesar 0,05% untuk setiap 1% tingkat depresiasi.

Sebagai robustness check, kami menggunakan berbagai model alternatif, yaitu model

dengan menggunakan peak-to-peak output gap dan model dengan mengadopsi hubugan

asymmetris antara inflasi dan output, yaitu L-shaped function6. Adapun alternative model dapat

dilihat pada Tabel 5.

Tabel 6 menunjukkan hasil estimasi dengan dan tanpa threshold effect. Dari table tersebut

dapat kita lihat bahwa koeffisien dari depresiasi nilai tukar di bawah atau sama dengan nilai

6 Menurut hasil dari Bab 3 Doctoral Thesis Wimanda (2010), Phillips curve di Indonesia lebih cocok dimodelkan dengan L-shapefunction dengan wall parameter sebesar 8.5%. Funsi ini sebenarnya adalah fungsi parabola dimana dampak output gap kepadainflasi akan sangat besar jika output gap mendekati 8.5%.

421Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model

Tabel 6.Robustness check untuk Phillips curve dengan threshold depresiasi nilai tukar

VariableVariableVariableVariableVariable Model-1Model-1Model-1Model-1Model-1 Model-2Model-2Model-2Model-2Model-2 Model-3Model-3Model-3Model-3Model-3 Model-4Model-4Model-4Model-4Model-4

Constant 0.007 0.011 -0.325*** -0.358***(0.186) (0.192) (0.122) (0.127)

Inflation (-1) 0.714*** 0.730*** 0.694*** 0.705***(0.043) (0.048) (0.037) (0.041)

Inflation(1) 0.223*** 0.199*** 0.249*** 0.233***(0.059) (0.067) (0.051) (0.056)

Output Gap Linear (-9) 0.071** 0.081**(0.03) (0.032)

Output Gap Non-Linear(-9) 0.0003** 0.0004**(0.00016) (0.00017)

Exchange Rate Dep(-1) -0.048*** -0.047***(0.009) (0.009)

Exchange Rate Dep(-1) <= Threshold -0.057*** -0.054***(0.013) (0.011)

Threshold < Exchange Rate Dep(-1) -0.041*** -0.041***(0.009) (0.009)

M1 Growth(-2) 0.027*** 0.030*** 0.027*** 0.031***(0.008) (0.009) (0.008) (0.008)

Dummy Crisis 1.228** 1.154** 0.652 0.462(0.536) (0.547) (0.405) (0.422)

Dummy Fuel 2.944*** 2.973*** 2.772*** 2.805***(0.683) (0.693) (0.648) (0.665)

Dummy Fitri 0.551** 0.548** 0.554*** 0.554***(0.215) (0.218) (0.208) (0.213)

Adjusted R-squared 0.991 0.991 0.992 0.991S.E. of regression 1.103 1.116 1.066 1.091SSR 400.161 408.247 373.986 390.569

Threshold ER -8.40 -8.40

p-value 0.999 0.966

Catatan:- Angka dalam tanda kurung adalah standard error.- ***, **, dan * mengindikasikan tingkat signifikansi pada level 1%, 5%, dan 10%.

threshold-nya (γ1 ) dan di atas nilai threshold-nya pada model 2 dan model 4 (γ

2 ) adalah negative

dan signifikan. Kami menemukan bahwa nilai threshold adalah sama dengan nilai threshold

pada model sebelumnya, yaitu -8,4%. Nilai koeffisien γ1 berada pada kisaran -0,054 sampai

dengan -0,057, sementara nilai koefisien γ2 relative sama, yaitu -0,041.

Setelah melakukan bootstrapping sebanyak 1.000 kali, model 2 and model 4

menghasilkan kesimpulan yang sama dengan model utama. Secara keseluruhan, dari bootstrap

test statistics pada variabel ini tidak ditemukan adanya signifikansi secara statistik. Nilai p-

values berkisar antara 0,966 dan 0,999. Hal ini mengimplikasikan bahwa tidak ada perbedaan

yang signifikan antara dampak depresiasi nilai tukar terhadap inflasi pada di atas dan di bawah

nilai threshold-nya.

422 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Apabila kita membandingkan model 1 dan model 2, begitu pula model 3 dan model 4,

dapat kita lihat bahwa nilai SSR untuk threshold model adalah lebih besar dibandingkan dengan

nilai SSR pada model linear. Hal ini mengkonfirmasi kesimpulan di atas.

Grafik 2. Dampak Depresiasi Nilai Tukarpada Inflasi: Sebuah Ilustrasi

Grafik 2 di atas menggambarkan dampak depresiasi nilai tukar pada inflasi. Dari gambar

tersebut, dapat kita lihat bahwa kemiringan (slope) garis warna biru solid adalah sama untuk

setiap titik. Dampak linear tersebut (garis biru solid) lebih preferable dibandingkan dampak

non-linear (garis coklat putus-putus).

4.2 Threshold Effect pada Pertumbuhan Uang

Untuk mengestimasi nilai threshold untuk pertumbuhan uang beredar, kami menggunakan

persamaan (8) dengan output gap dihitung berdasarkan adjusted HP filter. Pencarian nilai

threshold dilakukan mulai dari 0% sampai dengan 40%, dengan kenaikan sebesar 0,08. Hal

ini berarti terdapat 500 kandidat nilai threshold. Kami menemukan bahwa nilai threshold untuk

pertumbuhan M1 adalah 9,84%7.

Tabel 7 menunjukkan hasil estimasi threshold dengan menggunakan adjusted HP filter

sebagai pengukuran output gap. Mengingat hasil dari variable utama cukup robust, yaitu semua

koefisien signifikan secara statistik, maka kita dapat langsung menganalisa hasil thresholdnya.

Dari table tersebut, koefisien pertumbuhan uang beredar pada saat di bawah atau sama dengan

9,84% ( θ1 ) adalah 0,099, sedangkan koefisien pertumbuhan uang beredar pada saat di atas

9,84% ( θ2 ) adalah 0,032. Kedua koefisien tersebut signifikan pada level 1%.

Inflation (%)

0

0,2

0,4

0,6

0,8

1

1,2

1,4

ER (%)-8.4

-25,0 -23,8 -22,5 -21,3 -20,0 -18,8 -17,5 -16,3 -15,0 -13,8 -12,5 -11,3 -10,0 -8,8 -7,5 -6,3 -5,0 -3,8 -2,5 -1,3 0,0

7 Nilai ini menghasilkan angka SSR yang terkecil.

423Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model

Hasil ini berimplikasi bahwa ada perbedaan dampak dari pertumbuhan M1 terhadap

inflasi pada saat di atas atau di bawah nilai thresholdnya, yaitu 9,84%. Sebagai ilustrasi, apabila

M1 tumbuh sebesar 5% di bulan ini, maka terdapat tambahan inflasi sebesar 0,5% di dua

bulan yang akan datang. Sedangkan apabila M1 tumbuh 10% di bulan ini, maka akan ada

tambahan inflasi rata-rata sebesar 0,98% pada 2 bulan mendatang.

Tabel 7.Phillips Curve dengan Threshold Pertumbuhan M1: Titik Pertama

Constant -0.361 0.150 -2.405 0.017Inflation(-1) 0.695 0.039 17.947 0.000Inflation(1) 0.241 0.054 4.468 0.000Output Gap(-9) 0.053 0.022 2.455 0.015Exchange Rate Dep(-1) -0.047 0.009 -5.257 0.000M1 Growth(-2) <= 9.84% 0.099 0.030 3.341 0.0019.84% < M1 Growth(-2) 0.032 0.008 3.877 0.000Dummy Crisis 1.229 0.516 2.384 0.018Dummy Fuel 2.983 0.656 4.549 0.000Dummy Fitri 0.583 0.207 2.821 0.005

Adjusted R-squared 0.992S.E. of regression 1.057SSR 366.404

Coef Std. Error t-Statistic Prob.

Grafik 3. Nilai Likelihood Ratio dan 90%Confidence Interval untuk Threshold

Pertumbuhan M1: Titik Pertama

Setelah nilai threshold diidentifikasi, maka pertanyaan penting berikutnya adalah seberapa

akurat estimasi tersebut. Hal ini membutuhkan perhitungan daerah kepercayaan (confidence

region) di sekitar nilai threshold. Grafik 3 mengilustrasikan nilai likelihood ratio dan nilai

LR ( γ )

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

0,08

1,68

3,28

4,88

6,48

8,08

9,68

11,2

812

,88

14,4

816

,08

17,6

819

,28

20,8

822

,48

24,0

825

,68

27,2

828

,88

30,4

832

,08

33,6

835

,28

36,8

838

,48

Threshold (%)

424 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

threshold, serta 90% confidence intervals. Seperti yang dijelaskan di atas, confidence region

dihitung dengan mengambil nilai-nilai pertumbuhan M1 dimana nilai LR(M1) terletak di bawah

garis horizontal. Dari gambar tersebut terlihat bahwa confidence interval untuk pertumbuhan

uang adalah cukup sempit, yaitu 7,12% - 10%. Hal ini mengindikasikan bahwa nilai threshold

yang diestimasi tersebut adalah cukup akurat.

Langkah selanjutnya adalah menguji apakah nilai threshold tersebut ada atau tidak dengan

melakukan bootstrapping. Dengan men-generate sample baru dan diulangi sebanyak 1.000

kali untuk keperluan estimasi percentile dari asymptotic null distribution Fn

*, kami mendapatkan

bahwa nilai dari p-value adalah 0,001. Dengan demikian, hipotesa nol (model linear) dapat

ditolak dan disimpukan bahwa ada nilai threshold untuk pertumbuhan M1.

Setelah menemukan nilai threshold yang pertama, kami mencari kemungkinan adanya

nilai threshold yang lain. Kita dapat mencari 3 regime pada saat bersamaan, namun cara ini

sangat tidak efisien dalam hal waktu perhitungan. Chong (1994) dan Bai (1997) menunjukkan

bahwa estimasi secara sekuensial adalah konsisten, sehingga hal ini dapat menghindari dari

masalah perhitungan. Hal ini berarti kita dapat mem-fix-kan angka threshold yang pertama

kemudian mencari nilai threshold kedua dengan mengasumsikan bahwa threshold pertama

sudah fix.

Kami memulainya dengan mempertimbangkan kemungkinan adanya nilai threshold yang

lain antara 9,84% sampai dengan 40%. Dengan penambahan nilai sebanyak 0,075 terdapat

400 kandidat nilai threshold. Ditemukan bahwa SSR terkecil pada threshold 17,13%. Hal ini

berarti bahwa 17,13% adalah kandidat threshold kedua. Hasil estimasi TSLS dapat dilihat pada

Tabel A (lihat Lampiran). Meskipun semua koefisien pertumbuhan M1 tersebut signifikan pada

level 1%, namun setelah melakukan bootstrapping kami mendapatkan nilai p-value sebesar

0,177 yang mana agak lebih besar dari 10%. Dengan demikian, hipotasa nol dari 2 regime

threshold tidak dapat ditolak. Dengan kata lain, hubungan antara inflasi dan pertumbuhan M1

adalah linear pada saat M1 tumbuh di atas 9,84%.

Usaha pencarian kandidat threshold berikutnya adalah antara 0% sampai dengan

9,84%. Kami menyeleksi 350 nilai dan menemukan SSR yang paling minimal ada pada titik

7,08%. Hasil estimasi TSLS dengan 2 threshold, yaitu 9,84% dan 7,08% dapat dilihat pada

Tabel 8. Dari table tersebut dapat kita perhatikan bahwa koefisien dari pertumbuhan M1

pada saat tumbuh di bawah 7,08% adalah 0,146; pada saat tumbuh antara 7,08% dan

9,84% koefisiennya adalah 0,088; dan pada saat tumbuh di atas 9,84% koefisiennya turun

menjadi 0,033. Semua koefisien tersebut di atas adalah signifikan padal level 1%. Hal ini

menunjukkan bahwa semakin tinggi pertumbuhan M1, dampaknya terhadap inflasi akan

semakin berkurang.

425Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model

Grafik 4 menunjukkan bahwa likelihood ratio minimum ditemukan pada titik threshold

7,08%. Adapun 90% confidence interval-nya cukup sempit, yaitu antara 6,94% sampai dengan

8,04%. Hal ini mengindikasikan bahwa 7,08% adalah kandidat yang potensial untuk threshold

kedua.

Tabel 8.Phillips Curve dengan Threshold Pertumbuhan M1: Titik Ke Dua

Constant -0.404 0.151 -2.671 0.008Inflation(-1) 0.687 0.038 18.160 0.000Inflation(1) 0.252 0.053 4.772 0.000Output Gap(-9) 0.049 0.021 2.318 0.021Exchange Rate Dep(-1) -0.045 0.009 -5.152 0.000M1 Growth(-2) <= 7.08% 0.146 0.049 2.997 0.0037.08% < M1 Growth(-2) <= 9.84% 0.088 0.030 2.922 0.0049.84% < M1 Growth(-2) 0.033 0.008 4.003 0.000Dummy Crisis 1.151 0.506 2.276 0.024Dummy Fuel 2.954 0.645 4.580 0.000Dummy Fitri 0.602 0.204 2.951 0.003

Adjusted R-squared 0.992S.E. of regression 1.041SSR 354.107

Coef Std. Error t-Statistic Prob.

Grafik 4. Nilai Likelihood Ratio dan 90%Confidence Interval untuk Threshold

Pertumbuhan M1: Titik Kedua

Threshold (%)

0

5

10

15

20

25

LR ( γ )

0,03

0,39

0,76

1,12

1,49

1,86

2,22

2,59

2,95

3,32

3,68

4,05

4,41

4,78

5,14

5,51

5,88

6,24

6,61

6,97

7,34

7,70

8,07

8,43

8,80

9,17

9,53

Uji secara formal dilakukan dengan bootstrapping sample. Dengan mereplikasi sample

dan mengulanginya sebanyak 1.000 kali, kami mendapatkan p-value sebesar 0,004. Dengan

demikian, kami menolak hypothesa nol dari 2 regime. Atas dasar test tersebut, kami

menyimpulkan bahwa terdapat 3 regime threshold untuk pertumbuhan M1.

426 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Selanjutkan kami mencari kandidat nilai threshold yang lain di antara 0% dan 7,08%.

Dengan penambahan sebesar 0,028%, kami mengevaluasi 250 kandidat. Dari 250 kandidat

tersebut, kami menemukan nilai SSR yang paling minimum terdapat pada titik 4,93%.

Tabel B (lihat Lampiran) melaporkan hasil estimasi TSLS dengan empat regime. Semua

koefisien signifikan, kecuali koefisien untuk pertumbuhan M1 antara 0% sampai dengan 4,93%

(p-value = 0,273). Adapun test formal melalui bootstrapping menghasilkan p-value sebesar

0,191. Hal ini mengindikasikan bahwa hubungan inflasi dengan pertumbuhan M1 adalah linear

pada saat M1 tumbuh antara 0% sampai dengan 7,12%. Mengingat threshold ketiga ini tidak

signifikan, kita tidak mungkin memisahkan sample lebih jauh lagi.

Tabel 9.Model Alternative untuk Threshold Pertumbuhan M1

ModelModelModelModelModel Output Gap MeasurementOutput Gap MeasurementOutput Gap MeasurementOutput Gap MeasurementOutput Gap Measurement Output Gap FunctionOutput Gap FunctionOutput Gap FunctionOutput Gap FunctionOutput Gap Function M1 ThresholdM1 ThresholdM1 ThresholdM1 ThresholdM1 Threshold

5 Peak-to-Peak Linear No6 Peak-to-Peak Linear Yes7 Adjusted HP Filter Non-Linear No8 Adjusted HP Filter Non-Linear Yes

Sebagai robustness check, kembali kami menggunakan berbagai model dengan perbedaan

terletak pada pengukuran output gap dan non-linear Phillips curve. Tabel 9 menunjukkan

perbedaan tersebut.

Seperti terlihat pada Tabel 10, hasil empiris ini menghasilkan beberapa hal yang menarik.

Pertama, semua koefisien, kecuali konstanta dan dummy variabel untuk krisis pada sebagian

model, adalah signifikan. Kedua, estimasi dari nilai threshold adalah sama, yaitu 9,84% and

7,08%. Ketiga, koefisien dari threshold effect agak berbeda, namun perbedaannya sangat

kecil. Koefisien dari pertumbuhan M1 pada saat tumbuh di bawah 7,08% adalah berkisar

0,156-0,160; koefisien dari pertumbuhan M1 pada saat tumbuh antara 7,08% dan 9,84%

berkisar 0,094-0,096; dan koefisien dari pertumbuhan M1 pada saat tumbuh di atas 9,84%

adalah berkisar 0,035-0,037.

Mengingat semua nilai p-values dari bootstrapping kurang dari 1%, maka kita dapat

menolak hipotasa nol untuk dua regime dan prefer kepada tiga regime. Selain itu, jika

dibandingkan nilai SSR pada threshold model (model 6 dan model 8) dan nilai SSR pada linear

model (model 5 dan model 7), kami menemukan bahwa model threshold lebih baik dari

model linear.

427Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model

Tabel 10:Robustness check untuk threshold pertumbuhan M1

VariableVariableVariableVariableVariable Model-1Model-1Model-1Model-1Model-1 Model-2Model-2Model-2Model-2Model-2 Model-3Model-3Model-3Model-3Model-3 Model-4Model-4Model-4Model-4Model-4

Constant 0.062 -0.284 -0.279** -0.559***(0.187) (0.183) (0.12) (0.137)

Inflation (-1)0.714*** 0.689*** 0.694*** 0.672***(0.043) (0.039) (0.037) (0.034)

Inflation(1) 0.223*** 0.250*** 0.251*** 0.273***(0.059) (0.053) (0.051) (0.047)

Output Gap Linear(-9) 0.074** 0.060**(0.03) (0.028)

Output Gap Non-Linear(-9) 0.000334** 0.00033**(0.000161) (0.000153)

Exchange Rate Dep(-1) -0.048*** -0.043*** -0.047*** -0.042***(0.009) (0.008) (0.009) (0.008)

M1 Growth(-2) 0.024*** 0.026***(0.007) (0.007)

M1 Growth(-2) <= 2nd Threshold 0.156*** 0.160***(0.049) (0.048)

2nd Threshold < M1 Growth(-2) <= 1st Threshold 0.096*** 0.094***(0.031) (0.03)

1st Threshold < M1 Growth(-2) 0.035*** 0.037***(0.008) (0.008)

Dummy Crisis 1.235** 1.122** 0.644 0.633(0.539) (0.503) (0.406) (0.386)

Dummy Fuel 2.929*** 2.968*** 2.752*** 2.819***(0.685) (0.65) (0.649) (0.619)

Dummy Fitri 0.550** 0.608*** 0.553*** 0.611***(0.216) (0.205) (0.209) (0.199)

Adjusted R-squared 0.991 0.992 0.992 0.992S.E. of regression 1.107 1.045 1.070 1.014SSR 403.146 357.419 376.347 336.461

1st Threshold 9.84 9.842nd Threshold 7.08 7.08

p-value 0.005 0.005

Catatan:- Angka dalam tanda kurung adalah standard error.- ***, **, dan * mengindikasikan tingkat signifikansi pada level 1%, 5%, dan 10%.

Dari hasil analisis dan uji di atas, hasil empiris ini memberikan bukti yang kuat bahwa

hubungan pertumbuhan M1 dan inflasi dapat digambarkan dengan tiga regime. Grafik 5

mengilustrasikan hubungan tersebut. Dari gambar tersebut, dapat kita lihat bahwa kemiringan

dari garis solid warna coklat ketika M1 tumbuh sampai dengan 7,1% adalah lebih curam

dibandingkan dengan garis ketika M1 tumbuh antara 7,1%-9,8%. Demikian pula pada saat

M1 tumbuh lebih dari 9,8%, kemiringan garis menjadi lebih landai.

428 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

V. KESIMPULAN

Paper ini memberikan kontribusi pada literatur yang ada dimana penentuan threshold

dilakukan dengan menggunakan teknik yang dikembangkan oleh Hansen (1997, 2000).

Dibandingkan dengan penentuan threshold yang dilakukan secara arbitrary, teknik ini

memberikan keuntungan dimana nilai threshold dapat ditentukan oleh karakteristik data itu

sendiri. Lebih jauh lagi, teknik ini memungkinkan untuk mendeteksi kemungkinan nilai threshold

lainnya. Apabila nilai threshold ditetapkan satu, padahal sebenarnya terdapat lebih dari satu,

maka nilai koefisiennya dapat under/over estimate.

Paper ini memberikan pemahaman mengenai threshold effect dari depresiasi nilai tukar

dan pertumbuhan uang beredar (M1) terhadap inflasi di Indonesia. Dengan menggunakan

data bulanan dari 1980:01 sampai 2008:12 model ini memberikan bukti yang kuat bahwa

terdapat threshold effect dari pertumbuhan uang beredar terhadap inflasi, namun tidak

ditemukan threshold effect antara depresiasi nilai tukar dan inflasi.

Seluruh eksperimen dilakukan sebanyak 1.000 kali. Dengan menggunakan dua

pengukuran output gap yang berbeda, yaitu adjusted HP filter dan peak-to-peak method, dan

dua jenis hubungan inflation-output, yaitu linear and L-shape function, kesimpulan kami adalah

sama. Nilai threshold dari depresiasi nilai tukar adalah 8,4%. Namun demikian, koefisien dari

nilai tukar pada saat tingkat depresiasi di bawah 8,4% ( γ1 ) dan koefisien dari nilai tukar pada

saat di atas 8,4% ( γ2 ) tidak berbeda banyak. F-test memberikan kesimpulan bahwa tidak ada

perbedaan yang signifikan antara γ1 dan γ

2. Dengan demikian, dampak depresiasi nilai tukar

pada inflasi adalah linear untuk semua tingkat depresiasi (yaitu 0,05).

Untuk pertumbuhan uang beredar, kami menemukan bukti bahwa ada dua nilai threshold,

yaitu 7,1% and 9,8%. F-tests memberikan kesimpulan bahwa efek dari ketiga regime tersebut

Grafik 5. Dampak pertumbuhan M1pada Inflasi: sebuah Ilustrasi

Money (%)

Inflation (%)

Th-1 = 9,84Th-2 = 7,080,0

0,2

0,4

0,6

0,8

1,0

1,2

1,4

1,6

1,8

2,0

0,0 1,3 2,5 3,8 5,0 6,3 7,5 8,8 10,0 11,3 12,5 13,8 15,0 16,3 17,5 18,8 20,0 21,3 22,5 23,8 25,0

429Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model

adalah berbeda secara signifikan. Hasil empiris ini menunjukkan bahwa dampak pertumbuhan

uang beredar terhadap inflasi tidaklah linear. Dampak terbesar pada saat uang beredar tumbuh

antara 0% s.d. 7,1% (yaitu 0,15), dampak moderat terjadi pada saat uang beredar tumbuh

antara 7,1% s.d. 9,8% (yaitu 0,09), dan dampak terendah pada saat uang beredar tumbuh di

atas 9,8% (yaitu 0,03). Semakin tinggi uang beredar yang tumbuh, maka dampaknya terhadap

inflasi akan semakin berkurang.

Secara umum, temuan kami ini sejalan dengan Galbraith (1996) yang melakukan studi

hubungan antara uang beredar dengan output. Dia menemukan bahwa uang mempunyai

dampak yang besar pada output jika pertumbuhan uang beredar di bawah nilai threshold-nya

dibandingkan dengan di atas threshold. Temuan kami dan temuannya adalah konsisten dengan

proposisi bahwa kebijakan moneter mempunyai pengaruh yang kecil atau tidak memberikan

pengaruh pada saat pertumbuhan uang beredar sangat tinggi.

Hasil temuan ini memberikan kesimpulan bahwa dampak uang beredar pada inflasi pada

saat uang beredar tumbuh di bawah 9,8% akan lebih besar dibandingkan dengan dampak

depresiasi nilai tukar terhadap inflasi. Kesimpulan ini berbeda dengan studi sebelumnya yang

tidak memasukkan threshold effect, dimana dampak depresiasi nilai tukar terhadap inflasi adalah

lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan uang beredar pada setiap tingkat.

Meskipun dampak depresiasi nilai tukar terhadap inflasi adalah linear, tidak berarti bahwa,

sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia dapat mengesampingkan tingkat depresiasi nilai tukar

mengingat dampaknya yang moderat. Lebih jauh lagi, studi ini menyarankan Bank Indonesia

sebaiknya memperhatikan pertumbuhan uang beredar, dalam hal ini M1, mengingat dampak

pertumbuhan M1 cukup besar pada saat berada pada tingkat di bawah nilai thresholdnya.

Meskipun dampak pertumbuhan M1 pada inflasi tidak linear dengan dampak yang lebih kecil

pada saat M1 tumbuh di atas nilai thresholdnya, studi ini tidak berarti menyarankan untuk

membiarkan M1 agar tumbuh pesat.

Hasil temuan kami di atas berdasarkan methodology yang diajukan oleh Hansen (1997,

2000). Namun demikian, studi ini tidak menjelaskan mengapa pertumbuhan uang beredar

yang semakin tinggi memberikan dampak yang lebih mild kepada inflasi. Dengan demikian,

studi lanjutan di masa mendatang untuk area ini sangat diperlukan untuk menjelaskan alasan

dampak yang asimetris ini.

Analisis di atas berdasarkan analisis parsial, yaitu menggunakan single equation model,

meskipun pada kenyataannya nilai tukar dan uang beredar tidak independen. Penggunaan

model yang lebih kompleks dimana nilai tukar dan uang beredar dijadikan sebagai variable

endogen dan mengevaluasi nilai threshold, sebagaimana yang ditemukan di studi ini, akan

menjadi studi yang menarik. Hal ini patut direserve untuk studi lanjutan.

430 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

DAFTAR PUSTAKA

Alba, J. D., Papell, D. (1998), «Exchange Rate Determination and Inflation in Southeast Asian

Countries», Journal of Development Economics, 55(2), 421-437.

Arestis, P., Cipollini, A., Fattouh, B. (2004), «Threshold Effect in the U.S. Budget Deficit», Economic

Inquiry, 42(2), 214-222.

Bai, J. (1997), «Estimating Multiple Breaks One at a Time», Econometric Theory, 13, 315√52.

Bajo-Rubio, O., Diaz-Roldan, C., Esteve, V. (2004), «Searching for Threshold Effects in the Evolution

of Budget Deficits: An Application to the Spanish Case», Economics Letters, 82, 239-243.

Barro, R. J. (1993), Macroeconomics, 4th edition, New York: Wiley

Bernhofen, D. M., Xu, P. (2000), «Exchange Rates and Market Power: Evidence from the

Petrochemical Industry», Journal of International Economics, 52, 283-297.

Calvo, G. A., Reinhart, C. M. (2000), «Fixing for Your Life», NBER Working Paper, 8006.

Campa, J. M., Goldberg, L. S. (2005), «Exchange Rate Pass-Through into Import Prices: A Macro

or Micro Phenomenon?», Review of Economics and Statistics, 87(4), 679-690.

Chong, T.T.L. (1994), «Consistency of Change-Point Estimators when the Number of Change-

Points in Structural Change Models is Underspecified», Working Paper, Chinese University

of Hong Kong.

Choudhri, E. U., Hakura, D. S. (2006), «Exchange Rate Pass-through to Domestic Prices: Does

the Inflationary Environment Matter?», Journal of International Money and Finance, 25,

614-639.

De Grauwe, P., Poland, M. (2005), «Is Inflation always and Everywhere a Monetary Phenomenon?»,

Scandinavia Journal of Economics, 107(2), 239-259.

Dewald, W. G. (1998), «Money Still Matters», Federal Reserve Bank of St. Louis Review, 80, 13√

24.

Dwyer, G. P., Hafer, R. W. (1988), «Is Money Irrelevant?», Federal Reserve Bank of St. Louis

Review, (May/June), 3√17.

Dwyer, G. P., Hafer, R. W. (1999), «Are Money Growth and Inflation Still Related?», Economic

Review, Federal Reserve Bank of Atlanta, Second Quarter.

Foster, N. (2006), «Export, Growth and Threshold Effects in Africa», Journal of Development

Studies, 42(6), 1056-1074.

431Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model

Friedman, M. (1968), «The Role of Monetary Policy», American Economic Review, 58(1): 1-17.

Friedman, M. (1992), Money Mischief: Episodes in Monetary History, New York: Harcourt Brace

Jovanovich

Galbraith, J.W. (1996), «Credit Rationing and Threshold Effects in the Relation between Money

and Output», Journal of Applied Econometrics, 11(4), 419-429.

Goldberg, P. K. (1995), «Product Differentiation and Oligopoly in International Markets: the

Case of the U.S. Automobile Industry», Econometrica, 63(4), 891-951.

Goldberg, P. K., Knetter, M. (1997), «Goods Prices and Exchange Rates: What Have We Learned?»,

Journal of Economic Literature, 35, 1243-1272.

Lucas, R. E. (1980), «Two Illustrations of the Quantity Theory of Money», American Economic

Review, 70, 1005√14.

Hansen, B.E. (1997), «Inference in TAR Models», Studies in Nonlinear Dynamics and Econometrics,

2(1), 1-14.

Hansen, B.E. (2000), «Sample Splitting and Threshold Estimation», Econometrica, 68(3).

Hooper, P., Mann, C. L. (1989), «Exchange Rate Pass-Through in the 1980s: the Case of U.S.

Imports of Manufactures», Brookings Papers of Economic Activity, 1.

Khan, M. S., Senhadji, A.S. (2001), «Threshold Effect in the Relation between Inflation and

Growth», IMF Staff Paper, 48(1).

McCandless, G. T., Weber, W. E. (1995), «Some Monetary Facts», Federal Reserve Bank of

Minneapolis Quarterly Review, 19(3), 2√11.

McCarthy, J. (2000), «Pass-Through of Exchange Rates and Import Prices to Domestic Inflation

in Some Industrialized Economies», Federal Reserve Bank of New York Staff Report, 3.

Menon, J. (1995), «Exchange Rate Pass-Through», Journal of Economic Surveys, 9(2), 197-231.

Papageorgiou, C. (2002), «Trade as Threshold Variable for Multiple Regimes», Economics Letters,

77, 85-91.

Papell, D. H. (1994), «Exchange Rates and Prices: An Empirical Analysis», International Economic

Review, 35(2), 397-410.

Rolnick, A. J., Weber, W. E. (1997), «Money, Inflation, and Output under Fiat and Commodity

Standards», Journal of Political Economy, 105(6): 1308√21.

Wimanda, R.E. (2010), «Inflation and Monetary Policy Rules: Evidence from Indonesia», Doctoral

Thesis, Loughborough University.

432 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Tabel A.Phillips Curve dengan Threshold Pertumbuhan M1: Titik Ke Dua di Atas

Constant -0.571 0.190 -3.000 0.003Inflation(-1) 0.689 0.0371 8.537 0.000Inflation(1) 0.248 0.052 4.751 0.000Output Gap(-9) 0.052 0.021 2.447 0.015Exchange Rate Dep(-1) -0.045 0.009 -5.302 0.000M1 Growth(-2) <= 9.84% 0.127 0.035 3.502 0.0019.84% < M1 Growth(-2) <= 17.13% 0.057 0.018 3.079 0.00217.13% < M1 Growth(-2) 0.038 0.009 3.977 0.000Dummy Crisis 1.219 0.508 2.400 0.017Dummy Fuel 2.835 0.643 4.406 0.000Dummy Fitri 0.543 0.206 2.639 0.009

Adjusted R-squared 0.992S.E. of regression 1.047SSR 358.479

Coef Std. Error t-Statistic Prob.

Lampiran

Tabel B.Phillips Curve dengan Threshold Pertumbuhan M1: Titik Ketiga

Constant -0.387 0.152 -2.549 0.011Inflation(-1) 0.684 0.037 18.475 0.000Inflation(1) 0.256 0.052 4.972 0.000Output Gap(-9) 0.049 0.021 2.317 0.021Exchange Rate Dep(-1) -0.045 0.009 -5.186 0.000M1 Growth(-2) <= 4.93% 0.085 0.077 1.097 0.2734.93% < M1 Growth(-2) <= 7.08% 0.169 0.055 3.094 0.0027.08% < M1 Growth(-2) <= 9.84% 0.085 0.030 2.848 0.0059.84% < M1 Growth(-2) 0.031 0.008 3.900 0.000Dummy Crisis 1.116 0.498 2.242 0.026Dummy Fuel 2.926 0.639 4.576 0.000Dummy Fitri 0.600 0.203 2.963 0.003

Adjusted R-squared 0.992S.E. of regression 1.034SSR 348.456

Coef Std. Error t-Statistic Prob.

433Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang

KETANGGUHAN APBNDALAM PEMBAYARAN UTANG

Haryo Kuncoro 1

This paper is designed to analyze the sustainability of the central government budget in the case of

Indonesia over the period of 1999-2009. First, we explore the theoretical background of the fiscal

sustainability. Second, we develop a model to capture some factors determining the fiscal sustainability.

Unlike the previous studies, we use both domestic debt and foreign debt to assess the fiscal solvency.

Finally, we estimate it empirically.

Based on the quarterly data analysis, we concluded that the government budget is unsustainable.

This is associated with domestic debt rather than foreign debt. They imply that the central government

should manage the debts carefully including re-profile, re-schedule, and re-structure them in order to

spread the excess burden in the future. Also, the fiscal risks should be calculated comprehensively in order

to maintain solvency.

1 Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta ([email protected])

Abstract

Key words: Domestic debt, Foreign debt, Fiscal sustainability, Primary balance

JEL Classification: E62, H63

434 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

I. PENDAHULUAN

Ketangguhan fiskal (fiscal sustainability) sedang menjadi topik diskusi yang intensif di

kalangan ekonomi makro baik di negara maju maupun negara berkembang. Pembahasan

semakin kencang terutama sejak krisis ekonomi yang terjadi tahun 1997 dan berulang lagi

tahun 2008. Krisis ekonomi ditandai dengan meningkatnya belanja pemerintah terutama untuk

penanggulangan dampak krisis. Di sisi lain, penerimaan pemerintah mengalami penurunan

yang sangat drastis.

Keadaan di atas juga dihadapi Indonesia. Krisis ekonomi telah membuat pemerintah

Indonesia terbelit utang yang berat untuk menutup defisit APBN. Utang pemerintah telah

bertambah menjadi tiga sampai empat kali lipat dari kondisi sebelum krisis, dan hampir tiga

perempat dari pertambahan ini merupakan utang dalam negeri yang harus dibayar untuk

restrukturisasi perbankan (Boediono, 2009).

Kewajiban-kewajiban penutupan utang (bunga dan amortisasi) akan melebihi 40 persen

dari penerimaan pemerintah selama beberapa tahun, sedangkan kebutuhan pembiayaan baru

(baik dari luar maupun dalam negeri) di tahun-tahun mendatang masih tetap dibutuhkan untuk

memenuhi kebutuhan pengeluaran. Hal ini akan sangat membatasi ruang gerak fiskal (fiscal

space) pada masa pemerintahan sekarang ini, sehingga telah menggeser permasalahan dari

stimulus fiskal menjadi sustainabilitas fiskal (Rahmany, 2004).

Secara konseptual, APBN dikatakan berkesinambungan apabila ia memiliki kemampuan

untuk membiayai seluruh belanjanya selama jangka waktu yang tidak terbatas (Langenus, 2006;

Yeyati dan Sturzenegger, 2007). Konsekuensinya, kesinambungan fiskal harus mampu pula

memperhitungkan risiko fiskal. Risiko fiskal muncul tatkala terjadi kewajiban langsung (direct

liabilities) yang dapat diperkirakan sebelumnya dan kewajiban kontingensi (contingent liabilities)

akibat suatu peristiwa di luar kendali (Brixi dan Mody, 2002).

Lebih lanjut, isu mengenai risiko fiskal ini merupakan bagian integral dari pembahasan

mengenai kemampuan bayar utang (solvency) dalam jangka panjang. Ketidakmampuan

menyeimbangkan melonjaknya beban pengeluaran dengan peningkatan penerimaan jelas

sangat membahayakan kemampuan anggaran negara dalam membayar utang. Untuk menjaga

solvensi fiskal, keuangan negara harus surplus (Chalk dan Hemming, 2000).

Problem utama kelangsungan APBN adalah masih adanya defisit anggaran. Persoalannya

adalah bagaimana dapat menjaga defisit anggaran pada tingkat yang aman sehingga defisit

tersebut masih dapat dicarikan pembiayaannya. Penjelasan Pasal 12 ayat 3 Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyebutkan bahwa defisit anggaran dibatasi

maksimal sebesar 3 persen dan utang maksimal 60 persen dari produk domestik bruto (PDB).

435Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang

Terjadinya risiko fiskal yang tidak diantisipasi dengan baik akan membebani anggaran

dan mempengaruhi target pertumbuhan ekonomi dengan cakupan dan kedalaman efek yang

berbeda antara negara maju dengan negara sedang berkembang. Risiko fiskal yang terjadi

pada negara-negara maju akan menimbulkan beban pada anggaran dan berpeluang

menghambat pertumbuhan ekonomi.

Pada negara-negara berkembang implikasinya lebih berat. Terjadinya risiko fiskal yang

membebani anggaran akan menjalar dengan cepat pada perekonomian secara keseluruhan,

mendorong pelarian modal (capital outflow), dan bahkan mengubah arah pertumbuhan

ekonomi. Lebih jauh, pada negara-negara berkembang dengan kelembagaan ekonomi yang

masih lemah, ekspektasi terjadinya risiko fiskal akan mempengaruhi perilaku agen-agen ekonomi

sehingga berpeluang menghambat pertumbuhan ekonomi kendati risiko fiskal tersebut belum

terjadi sesungguhnya (Barnhill dan Kopits, 2003).

Paper ini berupaya mengkaji ketangguhan fiskal dengan kasus Indonesia. Untuk sampai

pada target tersebut, pada awalnya profil utang pemerintah akan diamati. Berikutnya, tinjauan

konsepsional ketangguhan fiskal akan diulas beserta studi-studi yang pernah dilakukan

sebelumnya. Metode penelitian dihantarkan pada bagian keempat. Hasil estimasi empirik

ditampilkan pada bahasan di bawahnya. Akhirnya, paper ini akan ditutup dengan beberapa

catatan.

II. PROFIL UTANG INDONESIA

Utang merupakan bagian integral dari kebijakan fiskal dalam kerangka kebijakan

pengelolaan ekonomi secara keseluruhan. Utang menjadi konsekuensi dari postur APBN yang

mengalami defisit.

Konfigurasi antara defisit dan utang (dari dalam dan luar negeri) dapat diamati pada

Grafik 1. Selain untuk menutup defisit, utang juga dipergunakan untuk membayar kembali

utang yang jatuh tempo (debt refinancing).

Jumlah nominal utang Indonesia yang besar berakumulasi dari warisan rejim pemerintahan

sebelumnya. Jika ditilik ke belakang, sejak rezim Orde Lama, Indonesia telah menggunakan

pinjaman luar negeri untuk membiayai pembangunan. Utang luar negeri digunakan selama

periode pertama tahun 1966 untuk merekonstruksi ekonomi setelah gejolak politik. Setelah

itu, rezim Orde Baru memiliki negara donatur tetap yang tergabung dalam IGGI

(Intergovernmental Group on Indonesia). Setiap tahun, IGGI menyediakan dana (dari ADB,

Bank Dunia, IMF, UNDP, dan beberapa negara maju besar) untuk membiayai belanja

pembangunan dirancang dalam anggaran negara.

436 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Selama boom minyak di tahun 1970-an utang luar negeri meningkat pesat untuk

mendorong pertumbuhan ekonomi. Harga minyak tinggi diikuti oleh utang yang tinggi pula.

Sebagai salah satu negara pengekspor minyak (pada waktu itu), Indonesia memiliki windfall

profit sebagai semacam ≈jaminanΔ untuk memperoleh pinjaman baru dari negara-negara

kreditor (Kuncoro, 1997). Utang luar negeri dan pendapatan minyak yang tinggi telah berhasil

meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pada periode itu, tingkat pertumbuhan ekonomi

mencatat rekor tertinggi, pada rata-rata 20 persen setahun.

Anehnya, ketika harga minyak menurun pada paruh pertama tahun 1980-an tetap saja

utang bertambah. Resesi ekonomi dunia dan proteksi perdagangan yang diberlakukan oleh

sebagian besar negara mitra dagang adalah penyebab utama. Persentase utang luar negeri

total terhadap PDB meningkat dari 26,8 persen pada tahun 1980 menjadi 53,6 persen pada

tahun 1986.

Pada akhir 1980-an dan selama boom ekonomi pada pertengahan 1990-an, utang luar

negeri jangka panjang yang dilakukan oleh perusahaan milik negara khususnya dan swasta.

Utang pemerintah meningkat karena PERTAMINA sebagian besar diperluas. BULOG mengambil

utang luar negeri untuk mewujudkan ketahanan pangan sendiri. Akibatnya, rasio pengembalian

utang terhadap ekspor pada akhir 1980-an, naik menjadi rata-rata 40 persen. Pada tahun

1992, IGGI dibubarkan dan diganti menjadi CGI (Consultative Group on Indonesia).

Grafik 1. Defisit dan UtangPemerintah Indonesia, 1999-2010

Sumber : Kementrian KeuanganCatatan : APBN 1996-2008 adalahangka PAN/LKPP-Audited + APBN 2010

Deflait (Surplus) APBNSBN - Nato

Pinjaman DN & LN -neto

Non-Utang-netoDeflait APBN, % thd. PDB (RHS)

- Sejak tahun 2005 SBN menjadi instrumen utama pembiayaan APBN- Kenaikan SBN periode 2005-2010, antara lain untuk refinancing utang lama

yang jatuh tempo, dan refinancing dilakukan dengan utang baru yangmempunyai terms & conditions yang lebih baik.

Triliun Rupiah

140

120

100

80

60

40

20

-

(20)

(40)

% thd. PDB

7

6

5

4

3

2

1

-

(1)

(2)

44

29

14188

40

10

30

4.0

1.2

2.4

1.324

10

(2) (3)

17

3538

1.7

(29)

24

7

42

23141.1

0.5

(10)(1)

2030

0.9

20

6057

1.3

9

4

(27) (24)

83

(18) (18)

17

89

99

134

108

1.6

2.1

0.1

29

25

1

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010+

437Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang

Ketika krisis keuangan Asia pada pertengahan 1997, utang luar negeri meningkat secara

signifikan dari lebih dari USD 136 milyar pada tahun 1997 menjadi lebih dari Rp 151 miliar

pada tahun 1998, terutama disebabkan oleh depresiasi Rupiah. Ketika itu, pemerintah Indonesia

mengalami penurunan penerimaan dan, di sisi lain, peningkatan belanja pemerintah untuk

menanggulangi dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan dari krisis.

Dalam era reformasi, pemerintah dan DPR membuat keputusan politik yaitu defisit harus

dibiayai oleh sumber keuangan domestik. Oleh karena itu, CGI dibubarkan pada tahun 2007.

Akibatnya, jumlah stok utang dalam negeri (Surat Berharga Negara) telah melejit hingga sepuluh

kali (100 triliun pada tahun 1998 menjadi hampir 1,000 triliun pada tahun 2009). Hanya dalam

satu dekade, utang domestik telah lebih tinggi dari utang luar negeri (Gambar 2). Akibatnya,

bunga utang publik juga meroket. Pembayaran bunga utang dalam negeri pun dua kali lipat

lebih besar daripada utang luar negeri.

Grafik 2. Saldo Utang Pemerintah Indonesia,1997-2009 (Triliun Rupiah)

(dalam %) 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009Pinj. LN 100% 82% 47% 47% 48% 47% 47% 49% 47% 43% 42% 45% 43%SBN 0% 18% 53% 53% 52% 53% 53% 51% 53% 57% 58% 55% 57%

Sumber : Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan RI

1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

1800

1600

1200

1400

1000

800600

400200

0

Sutar Berharga Negara

Pinjaman Luar Negeri

Sebagian besar utang pemerintah jatuh tempo pada awal tahun 2000. Konsekuensinya,

pembayaran suku bunga dan amortisasi menelan porsi sekitar 40 persen dari total pengeluaran

APBN. Pengeluaran penting lainnya adalah pendidikan (20 persen) subsidi untuk pupuk dan

energi (15 persen) dan transfer ke pemerintah daerah (26 persen). Komposisi pengeluaran di

atas, tentu saja, sangat terbatas pada ruang gerak fiskal.

Kendati ruang gerak fiskal mengalami penurunan, rasio utang Indonesia telah

menunjukkan tren penurunan yang konsisten selama satu dasa warsa terakhir (Grafik 3). Sejalan

438 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

dengan pemulihan ekonomi yang terus berlangsung, pendapatan nasional mengalami tren

pertumbuhan yang mantab (rata-rata 4,5 persen pertahun). Dengan kondisi ini, pada tahun

2000, misalnya, rasio total utang Indonesia mencapai 89 persen dan menurun hingga 32 persen

pada tahun 2009.

Angka rasio utang tersebut jauh lebih baik daripada negara-negara lain yang mengalami

dampak krisis. Diperbandingkan dengan beberapa negara dengan tingkat pendapatan

perkapitanya yang relatif sama, seperti Phillipina, Argentina, dan Turki, rasio utang Indonesia

juga lebih baik, bahkan dengan negara maju seperti Amerika, Inggris, Itali, dan Jepang

(Grafik 4).

Grafik 3.Rasio Utang Indonesia, 1999-2009

6000

5000

4000

3000

2000

1000

01999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

%

100

90

80

70

60

50

40

30

20

10

0

HutangPDBPDB

32%

85%

89%

77%

67%61%

57%

47%39%

35% 33%

Sumber : Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan RI

Grafik 4. Rasio UtangBeberapa Negara Terpilih, 1999-2010

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Sumber : Economist Intelligence Unit

Argentina

Jepang

IndonesiaFilipina

Turki

Italia

InggrisAmerika Serikat

180

140

100

60

20

198.8

121.3

82.8

62.260.354.9

50.725.5

439Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang

III. TEORI

Peta utang pemerintah di atas menimbulkan kerisauan atas seberapa jauh ketangguhan

APBN untuk menanggulangi semua kewajiban yang ditimbulkannya. Secara teoretis, sejauh ini

belum ada batasan tentang ketangguhan fiskal yang secara umum dapat diterima. Literatur

ekonomi makro mengenalkan tiga pendekatan definisi tentang ketangguhan fiskal. Pendekatan

pertama berlandaskan pada kaidah akuntansi yang menghubungkan antara kondisi fiskal dan

utang:

Dt+1

= (1+r) Dt + (R

t – G

t) (1)

Jika defisit (selisih antara penerimaan dan belanja, R – G) pada tahun anggaran yang sedang

berjalan dibiayai dengan utang sebesar D, maka besar utang pada periode anggaran berikutnya

(t+1) akan menjadi sebesar D itu sendiri ditambah dengan beban tingkat bunganya (r).

Suku (R – G) adalah keseimbangan primer (primary balance, PB) di luar pembayaran

bunga utang. Dengan menata ulang persamaan (III.1) di atas diperoleh

Dt+1

– Dt ≡ D D

t = r D

t-1 – PB

t (2)

Dari persamaan (2) di atas dapat disimpulkan beberapa hal:

a.Ω Apabila PBt = 0, maka utang akan bertambah sebesar bunga atas utang sebelumnya;

b.Ω Apabila PBt < 0, maka Δ D

t positif, yang berarti pokok utang pemerintah terus meningkat;

c.Ω Apabila PBt > 0, maka Δ D

t negatif, yang berarti pokok utang pemerintah terus menurun.

Mengikuti pendekatan akuntansi ini, ketangguhan fiskal dapat dicapai jika tidak ada

utang. Kalaupun pemerintah harus berutang, kondisi ketangguhan fiskal masih dapat

dipertahankan apabila besaran tambahan utang harus sebanding dengan nilai surplus PB.

Persamaan (2) jika diungkapkan dalam bentuk relatif terhadap pendapatan nasional (PDB

atau Y) akan menjadi

Δ [D / Y]

t = r [D / Y]

t-1 – [PB / Y]

t (3a)

Δ dt = r d

t-1 – pb

t (3b)

Dalam konteks ini, ketangguhan fiskal terjadi jika posisi keseimbangan fiskal sekarang

(dan prospeknya ke depan) tumbuh lebih lambat daripada kenaikan rasio utang terhadap PDB

(Ouanes dan Thakur, 1997).

440 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Definisi pendekatan sustainabilitas fiskal yang kedua dijelaskan melalui keterkaitannya

dengan solvabilitas. Dinh (1999) menyatakan solvabilitas fiskal suatu negara sangat tergantung

pada aset dan kewajiban negara, yang secara sederhana dapat didefinisikan net worth = assets

√ liabilities. Jika net worth menunjukan nilai negatif maka negara tersebut dalam kondisi insolven.

Mengikuti (3), pembagian terhadap PDB membawa konsekuensi bahwa pertumbuhan Y

juga harus diperhitungkan. Jika Y tumbuh sebesar g, maka penambahan utang akan menjadi

r – g

1 + gΔ d

t = d

t-1 – pb

t (4)

r – g

1 + g pb

t = d

t-1

Dari definisi (5) di atas, suatu negara dapat dikatakan sebagai net debtor (yang dicerminkan

melalui dt > 0 ) akan menghadapi dua kemungkinan sebagai berikut:

a. Jika (r–g) > 0, maka untuk mencapai solvabilitas fiskal dibutuhkan surplus dalam

keseimbangan primer sejumlah nilai pb.

b. Jika (r–g) < 0, meskipun suatu negara sudah memiliki stok pinjaman sejumlah dt, masih

dimungkinkan memiliki defisit anggaran (diukur dalam keseimbangan primer) tanpa

membahayakan solvabilitas fiskal asal defisit tersebut tidak melebihi nilai pb.

Dengan demikian, besarnya pinjaman suatu negara, tidak secara langsung dapat

menggambarkan kesinambungan fiskal. Suatu negara yang memiliki tingkat pinjaman rendah

namun masih tetap menghadapi masalah solvabilitas fiskal, apabila prospek perekonomian

negara tersebut buruk yang dicerminkan (r–g) > 0. Sebaliknya, suatu negara bisa memiliki

tingkat pinjaman yang relatif tinggi tanpa membahayakan solvabilitas fiskal karena memiliki

prospek perekonomian yang cerah secara teknis dicerminkan (r–g) < 0. Namun patut dicatat

bahwa hal semacam ini bukan berarti suatu negara dapat memiliki tingkat pinjaman yang

terlalu tinggi. Risiko paling berat adalah ketika suku bunga tinggi dan prospek pertumbuhan

ekonomi yang rendah.

Definisi pendekatan ketangguhan fiskal yang ketiga mengembangkan pendekatan

akuntansi dengan mensyaratkan faktor diskonto atas utang. Metode ini dikenal dalam literatur

ekonomi sebagai pendekatan kendala nilai sekarang (present value constraint approach) atas

utang. Inovasi yang dilakukan adalah melakukan iterasi ke depan sampai k periode terhadap

persamaan (1), menjadi sebagai berikut:

Apabila tidak ada penambahan utang baru (Δ dt = 0), maka

(5)

441Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang

Sebagai catatan nilai minus PB adalah defisit dan nilai plus adalah surplus.

Persamaan di atas disebut jugaΩsebagai kendala pembiayaan pemerintah antarwaktu

(intertemporal government financing constraint). Persamaan (7) ini menyatakan bahwa jumlah

utang pemerintah pada saat tertentu harus sama besar dengan nilai sekarang dariΩdefisit

keseimbangan primer di masa mendatang (Cuddington, 1996). Artinya, pertumbuhan utang

harus lebih rendah daripada pertumbuhan tingkat bunga (Buiter, 2002). Apabila kondisi tersebut

terpenuhi maka kebijakan anggaran dikatakanΩberkelanjutan.

Ketiga definisi di atas memberikan pemahaman yang sama, yaitu bahwa sustainabilitas

fiskal adalah kemampuan fiskal untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan dan program

pemerintah dengan mempertahankan stabilitas makro ekonomi dengan titik berat memelihara

agar rasio utang negara terhadap PDB relatif konstan. Beberapa konsep yang dikemukakan di

atas kemudian mengilhami berbagai riset empirik untuk mengkaji ketangguhan fiskal.

Secara umum, riset yang berkembang dapat dikategorikan ke dalam empat perspektif

(Arnone, Bandiera, dan Presbitero, 2005), yaitu (1) model optimasi, (2) model non optimasi, (3)

model ruang gerak fiskal, dan (4) model efek disinsentif. Model optimasi menelaah sustainabilitas

fiskal dengan memberikan penekanan pada biaya pinjaman. Model non optimasi melihat

dinamika utang dengan menghubungkannya pada tingkat pertumbuhan bunga pinjaman.

Model (3) mengamati perubahan ruang gerak fiskal akibat beban pengeluaran untuk

bunga pinjaman. Pada akhirnya model ini hendak mendeteksi konsekuensi terhadap

pertumbuhan ekonomi apabila pemerintah memelihara ruang gerak fiskal guna

mempertahankan sustainabilitas fiskal. Lebih mendalam, model (4) meluaskan analisis dampak

Dt = Σ

1

(1+r)1+k{ D

t+1+k – PB

t+k } (6)

Nilai limit untuk waktu yang tak terhingga atas suku pertama pada bentuk di sebelah

kanan persamaan (6) akan berakhir (asimtotis) sama dengan nilai nol (converges to zero)2.

Persamaan yang masih tersisa tinggal

(7)Dt = − Σ

1

(1+r)1+kPB

t+k

2 Persamaan yang bersangkutan ketika tidak sama dengan 0 (nol) menunjukkan adanya Ponzi Game. Sebuah istilah yang diambil darinama pencetusnya, Charles Ponzi (1919) untuk menyatakan utang baru untuk menutup utang lama sedemikian rupa sehingga hasilakhir sebesar nilai tertentu yang tidak sama dengan nol.

442 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

depresiasi mata uang, defisit, inflasi, dan ketidakpastian pada sustainabilitas fiskal. Tampak

sekilas model (1) merupakan operasionalisasi empiris atas pendekatan akuntansi. Sementara,

model (2), (3), dan (4) menjabarkan pendekatan solvabilitas dan pendekatan kendala nilai

sekarang.

Hamilton dan Flavin (1986) adalah orang yang pertama kali meneliti kesinambungan

fiskal. Dalam kerangkan model optimasi, pertanyaan yang diajukannya adalah apakah defisit

yang berlangsung terus-menerus masih tetap dalam kendali sustainabilitas anggaran jangka

panjang. Mereka menggunakan suku bunga tetap dalam analisisnya untuk data Amerika.

Simpulannya adalah adanya kesesuaian antara defisit dengan kemampuan membayar utang.

Wilcox (1989) mengembangkan pendekatan Hamilton dan Flavin (1986) dengan

menganggap suku bunga tidak lagi tetap. Hasil studinya dengan model non optimasi

menunjukkan utang Amerika tetap berkesinambungan sejauh fluktuasi perubahan suku bunga

stasioner. Kedua studi tersebut menegaskan sustainabilitas jangka panjang (kemampuan

membayar utang) tercapai melalui sustainabilitas jangka pendek (pengendalian stabilitas

defisit).

Selain faktor-faktor yang telah baku di atas, beberapa peneliti mulai berupaya

mengidentifikasi faktor lainnya dalam kerangka model ruang gerak fiskal. Buiter (1993)

mengidentifikasi tingkat inflasi yang tinggi akan meningkatkan defisit primer melalui penurunan

nilai riil atas penerimaan pajak. Akibatnya, negara pengutang mengalami kesulitan dalam operasi

fiskalnya. Konsekuensinya, penyesuaian maturitas utang dengan jangka waktu penerimaan

pajak (tax smoothing) akan menjadi solusi bagi ketangguhan fiskal (Barro, 1997).

Chouraqui, Hagemann, dan Sartor (1999) menekankan pentingnya konsistensi kebijakan

fiskal. Penerapan kebijakan yang berubah-ubah akan menyulitkan pengukuran kinerja.

Tampaknya mereka mencoba memasukkan faktor kelembagaan ke dalam analisisnya. Dalam

observasinya terhadap sejarah fiskal negara-negara OECD tersebut, mereka menemukan bahwa

Cyclically-Adjusted Budget Balance (CAB) merupakan cara efektif untuk saling mengontrol

kestabilan fiskal masing-masing negara anggota.

Buiter (1997) mengidentifikasi faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi kesinambungan

fiskal, yaitu nilai tukar, cadangan devisa, belanja konsumsi, dan belanja investasi pemerintah.

Dalam kompleksitas masalah semacam ini, Buiter (2002) menyarankan utang pemerintah

digunakan hanya untuk keperluan belanja investasi guna mendorong konservatisme fiskal.

Sementara, pertambahan pajak hanya sebagai bagian yang konstan dari PDB.

Dalam hubungannya dengan nilai tukar, Turner (2002) mencatat bahwa permintaan

obligasi berdenominasi Dolar Amerika Serikat biasanya akan meningkat bila rezim moneter

443Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang

menggunakan nilai tukar bebas (mengambang). Hal ini disebabkan karena kepercayaan terhadap

nilai tukar di negara berkembang dan pasar yang tengah berkembang (emerging market)

umumnya masih rendah.

Calvo (2003) menemukan contoh menarik tentang dampak perekonomian terhadap

beban fiskal. Pada tahun 1981-83 Meksiko mengalami mandeg seketika (sudden stop), yaitu

terhentinya aliran modal masuk ke negeri itu dalam jumlah besar. Hal ini disebabkan menurunnya

kepercayaan investor terhadap kinerja perekonomian dan situasi politik yang tidak menentu.

Akibatnya, cadangan devisa Mexico mengalami penurunan 20 persen dari PDB.

Mendoza dan Oviedo (2004) mempelopori analisis kesinambungan utang luar negeri

dengan mengintroduksikan batas utang alami (natural debt limit, NDL). Batas utang alami

adalah nilai anuitas keseimbangan fiskal pada saat terjadi krisis fiskal. Hasil studinya untuk

empat negara di Amerika Latin menunjukkan rasio utang terhadap PDB bervariasi yang berada

di atas NDL, sehingga solvabilitasnya juga berbeda-beda.

Penelitian serupa untuk kasus negara-negara sedang berkembang telah pula dilakukan,

misalnya oleh Yamauchi (2004) untuk kasus Eritrea, Yilanci dan Ozcan (2008) untuk negara

Turki, dan Makin (2005) untuk negara-negara Asia tenggara. Studi-studi tersebut tidak

memberikan satu simpulan yang tegas tentang ketangguhan fiskal. Keragaman hasil ini lebih

disebabkan oleh karakteristik kebijakan fiskal dan lingkungan ekonomi makronya yang khas

terjadi di tiap negara.

Riset yang dilakukan di Indonesia tentang utang khususnya utang dalam negeri masih

jarang dilakukan. Hal ini bisa dimaklumi karena pasar obligasi pemerintah dalam negeri baru

dimulai pada tahun 2001. Konsekuensinya, sebagian besar riset yang berkembang di Indonesia

masih tercurah pada utang luar negeri. Kuncoro (1999) memperoleh fakta empirik kebijakan

defisit yang dibiayai dari utang luar negeri mendesak keluar (crowd out) investasi swasta yang

membawa konsekuensi pada minimnya peran utang luar negeri pada pertumbuhan ekonomi.

Saleh (2002) meneliti peran utang luar negeri dalam perekonomian Indonesia dengan hasil

yang juga negatif. Nihilnya kontribusi utang disebabkan karena utang luar negeri tidak cukup

mampu menciptakan penerimaan dalam negeri.

Di Indonesia, risiko fiskal itu sendiri baru muncul secara eksplisit ke dalam APBN tahun

2008. Sebelumnya, risiko fiskal dinyatakan secara implisit bahkan sedikit perhatian yang ditujukan

kepadanya. Kesadaran akan risiko fiskal mencuat setelah krisis ekonomi tahun 1997. Studi

Soelistijaningsih (2002) menunjukkan risiko utang bisa berkurang dengan mendiversifikasi mata

uang pinjaman. Hasil ini didukung oleh temuan Mark (2004). Ketangguhan fiskal Indonesia

hanya dapat dipelihara jika tidak terjadi depresiasi yang berat.

444 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

PPE UGM dan BAF (2004) menyimpulkan utang luar negeri Indonesia yang besar karena

biaya peminjamannya lebih murah daripada biaya utang dalam negeri. Hal ini pulalah yang

menyebabkan rendahnya efisiensi utang luar negeri. Kendati demikian, PPE UGM dan BAF

(2004) menegaskan utang Indonesia masih cukup aman dari risiko gagal bayar. Di sisi lain, Ulfa

dan Zulfadin (2004) mendapatkan hasil yang mendua. Beberapa kebijakan fiskal yang mereka

identifikasi (seperti reformasi penganggaran) berhasil mengurangi kewajiban kontingensi berupa

penurunan utang, di sisi lain beberapa kebijakan fiskal justru memperbesar kewajiban kontingensi

(yaitu berupa penjaminan simpanan).

Dalam kaitannya dengan desentralisasi fiskal sejak tahun 2001, Kuncoro (2005) meneliti

dampak kewajiban kontingensi berupa transfer terhadap pertumbuhan ekonomi dan disparitas

regional. Hasil studinya membuktikan bahwa pemerintah daerah merespon transfer secara

overaktif. Implikasinya, pemerintah pusat dituntut untuk mengalokasikan transfer dalam jumlah

yang semakin besar guna mengurangi disparitas antardaerah.

Hanni (2006) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi sustainabilitas fiskal Indonesia.

Hasil studinya menyimpulkan beberapa variabel ekonomi makro eksternal menjadi determinan

penting bagi kesinambungan fiskal. Jha (2009) memasukkan faktor harga minyak ke dalam

analisis kesinambungan fiskal. Hasil analisis untuk 32 negara Asia (termasuk Indonesia)

menegaskan bahwa fluktuasi harga minyak secara signifikan berpengaruh pada ketangguhan

fiskal melalui jalur besaran subsidi dan perolehan penerimaan pemerintah.

Berbekal dari hasil identifikasi faktor-faktor penentu kesinambungan fiskal, riset yang

berkembang belakangan mengarah pada deteksi kerentanan fiskal (fiscal vulnerability) akibat

beban utang. Ciarlone dan Trebeschi (2006) meneliti beban utang luar negeri negara-negara

berkembang. Mereka menemukan sedikit kesuksesan faktor-faktor kunci tersebut dalam

memperkirakan terjadinya krisis utang.

Tunner dan Samake (2006) menemukan probabilitas terjadi kerentanan fiskal bisa dikurangi

dengan melakukan penyesuaian fiskal (fiscal adjustment). Celasun, Debrun, dan Ostry (2007)

mengamati kemungkinan kesinambungan fiskal di 5 negara berkembang. Temuannya yang

paling menarik adalah bahwa kebijakan fiskal itu sendiri menjadi faktor penting dalam

menciptakan risiko terjadinya kerentanan fiskal.

IV. METODOLOGI

Banyak studi di atas menyarankan beberapa hal penting. Pertama bahwa konfigurasi

anggaran pemerintah akan membawa dampak yang sangat besar bagi perekonomian. Kedua,

445Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang

faktor-faktor eksternal tampak lebih dominan dalam mempengaruhi kondisi fiskal suatu negara.

Ketiga, sejauh ini belum ada studi di Indonesia yang khusus memperkirakan kondisi fiskal ke

depan terkait dengan integrasi seluruh faktor-faktor eksternal tadi.

Penelitian ini berupaya menutup kesenjangan empirik dalam studi tentang kebijakan

fiskal di Indonesia dengan mengambil sudut kajian yang bersifat sintesa. Tidak seperti model

pada riset-riset sebelumnya, inovasi pertama penelitian ini dalam menganalisis permasalahan

adalah penggunaan 2 jenis utang, yaitu utang dalam negeri (DD) dan utang luar negeri (FD).

Dtotal = DD + FD (8)

Mengikuti persamaan (2), model dasar ketangguhan fiskal Indonesia (8) dapat dituliskan

sebagai

Δ Dtotal = f (DDt-1

, FDt-1

, PBt) (9)

Persamaan (9) ini masih dalam bentuk absolut. Tanpa bermaksud mengubahnya, ia dapat

diubah ke dalam bentuk relatif ke dalam rasio terhadap PDB.

Δ (RDtotal)t = α

0 + α

1 (RDD)

t-1 + α

2 (RFD)

t-1 + α

3 (RPB)

t + μ

t (10)

Persamaan (10) yang diturunkan dari persamaan (5) secara implisit mengasumsikan tingkat

bunga dan pertumbuhan ekonomi (EG) bersifat konstan.

Asumsi ini akan dibongkar dengan memunculkannya secara eksplisit sebagai variabel

penjelas. Selanjutnya, beberapa variabel lain dimasukkan ke dalam model sebagai kontrol.

Terkait dengan dua macam utang, suku bunga luar negeri (r) dan suku bunga dalam negeri

(SBI) akan ditampilkan. Sehubungan dengan utang luar negeri yang diukur dengan mata uang

domestik, depresiasi (Dep) juga dijadikan sebagai variabel penjelas. Model selengkapnya adalah:

Δ (RDtotal)t = α

0 + α

1 (RDD)

t-1 + α

2 (RFD)

t-1 + α

3 (RPB)

t

+α4 (r)

t + α

5 (SBI)

t + α

6 (EG)

t + α

7 (Dep)

t + μ

t (11)

Inovasi kedua penelitian ini adalah ketangguhan APBN diestimasi dengan data kuartalan

selama periode pasca krisis (1999-2009). Data yang diperlukan untuk keperluan studi ini pada

umumnya sudah tersedia secara triwulanan sehingga memudahkan pelaksanaan eksekusi model.

Satu perkecualian terjadi pada keseimbangan primer. Data yang tersedia dari publikasi secara

resmi adalah data tahunan. Data tersebut kemudian diinterpolasi secara linier sedemikian rupa

sehingga sesuai dengan data lainnya.

446 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Secara umum, data tersebut diperoleh dari Bank Indonesia, Kementerian Keuangan (cq

DMO, Debt Management Office), dan Badan Pusat Statistik. Variabel yang akan dipergunakan

dispesifikasikan sebagai berikut. Utang yang dianalisis di sini adalah utang pemerintah pusat

(tidak termasuk Bank Indonesia, BUMN, BUMD, ataupun pemerintah daerah). Suku bunga

Federal Amerika dipakai sebagai perwakilan suku bunga luar negeri. Suku bunga SBI jangka

waktu 3 bulan didudukkan sebagai suku bunga dalam negeri3. Depresiasi dihitung sebagai

prosentase perubahan kurs tengah Rupiah terhadap Dolar Amerika publikasi resmi BI. Demikian

pula, pertumbuhan ekonomi dihitung sebagai prosentase perubahan PDB atas harga konstan

2000.

V. HASIL DAN ANALISIS

Hasil penaksiran model ketangguhan fiskal disajikan pada Tabel 1 berikut. Dengan

signifikansi 92 persen, utang dalam negeri dipercaya mendorong peningkatan total utang

pemerintah sebesar rata-rata 36 persen. Di sisi lain, dengan signifikansi yang lebih kecil, utang

luar negeri mendorong penurunan total utang pemerintah sebesar 20 persen. Hasil terakhir ini

mendukung klaim pemerintah bahwa rasio utang pemerintah terhadap PDB menunjukkan

penurunan yang konsisten.

Peningkatan suku bunga luar negeri cenderung mengurangi rasio tingkat utang total

sebesar 22 persen. Mengikuti kerangka teoretis, pengaruh suku bunga ini terhadap perubahan

utang seharusnya positif. Untungnya, koefisien ini secara statistik tidak signifikan pada tingkat

keyakinan 95 persen. Intepretasi yang paling memungkinkan adalah bahwa nilai negatif ini

semata-mata terkait dengan penurunan rasio utang pemerintah yang tengah terjadi. Di sisi

lain, suku bunga luar negeri selama periode analisis mengalami tren peningkatan.

Perubahan suku bunga SBI menambah beban utang total (terutama utang yang berasal

dalam negeri) sebesar 27 persen. Apabila diperbandingkan, koefisien pengaruh kenaikan suku

bunga dalam negeri (secara absolut) lebih tinggi daripada pengaruh kenaikan suku bunga luar

negeri. Hasil ini mendukung temuan studi PPE UGM dan BAF (2004) bahwa biaya utang luar

negeri lebih murah daripada pembiayaan utang dalam negeri sedemikian rupa sehingga

efisiensinyapun juga lebih tinggi.

3 Suku bunga yang lebih cocok sebetulnya adalah BI rate sebagai suku bunga kebijakan. BI rate itu sendiri baru diintroduksikan sejak2005. Oleh karena itu, suku bunga SBI dapat dianggap merepresentasikan suku bunga kebijakan.

447Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang

Depresiasi Rupiah terhadap mata uang luar negeri secara signifikan membawa peningkatan

rasio stok utang pemerintah total sebesar 14 persen. Nilai utang pemerintah sebagian besar

didenominasikan ke dalam mata uang Dolar Amerika. Dengan jumlah utang luar negeri yang

sama, beban pemerintah akan 14 persen lebih berat dengan menurunnya 1 persen depresiasi

Rupiah terhadap Dolar Amerika. Hasil ini juga sejalan dengan hasil studi Soelistijaningsih (2002)

dan Mark (2004) bahwa diversifikasi utang ke dalam beberapa mata uang asing akan

meringankan beban utang pemerintah.

Pertumbuhan ekonomi juga membawa dampak pada peningkatan rasio utang luar negeri

pemerintah sebesar 5 persen. Pertumbuhan ekonomi mencerminkan dinamika kekuatan

ekonomi masyarakat. Peningkatan kekuatan ekonomi ini membawa dampak pada peningkatan

permintaan masyarakat akan barang dan jasa, tidak terkecuali kepada barang publik yang

dipasok pemerintah. Konsekuensinya, pemerintah dituntut untuk meningkatkan pasokannya

dalam bentuk peningkatan belanjanya. Ketika besarnya belanja tidak bisa ditopang oleh

penerimaan dalam negeri, peningkatan utang menjadi alternatif terakhir yang tak terelakkan.

Apabila diperbandingkan dengan koefisien suku bunga SBI, besaran pengaruh

pertumbuhan ekonomi ini lebih kecil sedemikian rupa sehingga koefisien (SBI √ EG) > 0. Kondisi

ini merupakan prasyarat untuk mencapai solvabilitas fiskal dengan asumsi sementara dukungan

konfigurasi APBN yang tidak mengalami perubahan. Hasil ini menunjukkan tampaknya kondisi

APBN masih cukup aman untuk memenuhi kewajiban utang pemerintah.

Tabel 1.Hasil Estimasi Tingkat Utang Total Pemerintah, 1999(1)-2009(4)

Dependent Variable: D(RDTOT)Method: Least Squares

Date: 03/17/10 Time: 04:38Sample(adjusted): 1999:1 2009:4

Included observations: 44 after adjusting endpoints

VariableVariableVariableVariableVariable CoefficientCoefficientCoefficientCoefficientCoefficient Std. ErrorStd. ErrorStd. ErrorStd. ErrorStd. Error t-Statistict-Statistict-Statistict-Statistict-Statistic Prob.Prob.Prob.Prob.Prob.

C 0.487018 0.911836 0.534107 0.5966RDD(-1) 0.365373 0.200261 1.824487 0.0764RDF(-1) -0.200480 0.142465 -1.407227 0.1679

R -0.219580 0.143448 -1.530730 0.1346SBI 0.270587 0.123241 2.195586 0.0347DEP 0.144565 0.022899 6.313181 0.0000EG 0.047568 0.028054 1.695606 0.0986RPB -0.614607 0.205085 -2.996836 0.0049

R-squared 0.668796 Mean dependent var -0.319798Adjusted R-squared 0.604396 S.D. dependent var 1.789638S.E. of regression 1.125630 Akaike info criterion 3.237529Sum squared resid 45.61356 Schwarz criterion 3.561927

Log likelihood -63.22564 F-statistic 10.38493Durbin-Watson stat 2.099574 Prob(F-statistic) 0.000000

448 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Variabel terakhir sebagai penentu utang total pemerintah dalam model di atas adalah

surplus primer APBN. Koefisien RPB memperlihatkan nilai minus. Hasil ini sudah sesuai dengan

hasil penelusuran teori pada bagian sebelumnya. Apabila surplus keseimbangan primer dapat

dipelihara kenaikannya, misalnya 1 persen, maka tambahan utang pemerintah dapat diturunkan

rata-rata sebesar 61 persen. Hal ini, sekali lagi, berarti penurunan beban utang mensyaratkan

keharusan surplusnya keseimbangan primer melalui disiplin anggaran.

Surplusnya keseimbangan primer ini juga mempertontonkan posisi ruang gerak fiskal

yang sesungguhnya. Sayangnya, surplus primer selama periode analisis masih relatif minim

(rata-rata hanya 6.84 persen dari angka PDB). Minimnya volume surplus primer mengakibatkan

kecilnya ketersediaan dana yang bisa dimanfaatkan untuk cadangan pembayaran utang apabila

ada gejolak yang tidak terantisipasi sebelumnya. Konsekuensi lainnya, stimulus perekonomian

di dalam negeri untuk meredam dampak krisis guna memacu pertumbuhan ekonomi juga

tidak memadahi. Dengan demikian, upaya pelestarian surplus keseimbangan primer menjadi

kunci kebijakan pengelolaan APBN.

Syarat kedua ketangguhan fiskal adalah koefisien PB sebesar -1 (satu). Pengujian dilakukan

melalui 2 prosedur, yaitu dengan uji ANOVA dan c2 untuk membuktikan apakah koefisien pada

PB benar-benar memenuhi kaidah sama besar dengan -1. Hasil pengujian disodorkan pada

Tabel 2.

Tabel 2.Pengujian Ketangguhan APBN, 1999(1)-2009(4)

Wald Test:Equation: Untitled

Test StatisticTest StatisticTest StatisticTest StatisticTest Statistic ValueValueValueValueValue dfdfdfdfdf ProbabilityProbabilityProbabilityProbabilityProbability

F-statistic 3.531335 (1, 36) 0.0683Chi-square 3.531335 1 0.0602

Null Hypothesis Summary:

Normalized Restriction (= 0) ValueValueValueValueValue Std. Err.Std. Err.Std. Err.Std. Err.Std. Err.

1 + C(4) 0.385393 0.205085

Restrictions are linear in coefficients.

Pengujian kedua prosedur menghasilkan nilai F dan c2-hitung masing-masing sebesar

3.3513. Dengan hipotesis awal C(4) = 1, simpulan untuk menerimanya diperlukan tenggat

derajad kepercayaan sebesar 90-an persen. Artinya, dengan risiko kesalahan sebesar 5 persen,

ketangguhan APBN tidak didukung oleh data. Apabila risiko kesalahan dinaikkan jadi sebesar

10 persen, ketangguhan APBN baru dapat diterima.

449Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang

Hasil pengujian di atas memberi pesan singkat bahwa ketangguhan APBN masih sangat

rapuh. Kerapuhan ini sangat terkait dengan situasi dan kondisi perekonomian yang akan terjadi.

Konsekuensinya, risiko kerapuhan fiskal ini perlu diantisipasi sejak dini. Antisipasi yang bisa

ditempuh adalah (jika keputusan politik memang mendukung) dengan menyusun anggaran

mengikuti sistem multitahun. Artinya, APBN untuk 3 tahun ke depan, misalnya, ditetapkan

pada tahun yang sedang berjalan. Pengalaman Australia, Kanada, Jerman, dan Belanda dalam

penyusunan anggaran negara layak menjadi model yang dapat diadopsi pemerintah.

Sebagai gambaran tambahan, Australia dan New Zealand telah memasukkan kewajiban

kontingensi eksplisit dan belanja kontingensi dalam laporan keuangan pemerintah. Italia dan

Amerika Serikat memasukkannya dalam persetujuan anggaran berbagai pinjaman dengan

melakukan present value atas besaran nilainya. Perkembangan seperti ini kemudian menjalar

ke berbagai negara berkembang lainnya seperti Kolombia, Malaysia, dan Filipina khususnya

untuk risiko proyek-proyek infrastruktur yang dijamin oleh pemerintah (Subyantoro, 2008).

Kesemuanya ini diproyeksikan guna meminimisasi berbagai macam risiko yang potensial akan

muncul.

Terlepas dari semua itu, simpulan utama studi ini bertolak belakang dengan hasil penelitian

di Indonesia sebelumnya yang pada umumnya menemukan sustainabilitas fiskal. Perbedaan

simpulan tersebut dimungkinkan karena perbedaan data, metode, dan definisi yang

dipergunakan. Penggunaan data tahunan (seperti yang dilakukan riset-riset sebelumnya)

cenderung akan menghilangkan fluktuasi dalam kurun waktu 1 tahun sedemikian rupa sehingga

pada umumnya memberikan gambaran ketangguhan fiskal. Penelitian ini justru meliput fluktuasi

yang terjadi dalam periode kuartalan dan ternyata memberikan gambaran yang berbeda.

VI. KESIMPULAN

Paper ini telah memberikan fakta empirik tentang ketangguhan fiskal dengan studi kasus

di Indonesia. Kajian atas data kuartalan memberikan hasil yang berbeda dengan studi-studi

setema sebelumnya yang berbasis pada data tahunan. Temuan utama adalah bahwa

ketangguhan fiskal Indonesia tidak/belum tercapai kendati memiliki solvensi untuk pembayaran

utang domestik dan utang luar negeri. Sumber ketidaksinambungan ini adalah beban utang

dalam negeri yang peningkatannya jauh lebih pesat daripada peningkatan utang luar negeri.

Studi ini memberikan implikasi bahwa penerbitan Surat Utang Negara perlu dilakukan

dengan kehatihatian dengan mempertimbangkan beban pembayaran SUN yang jatuh tempo.

Saat jatuh tempo SUN sepatutnya disesuaikan dengan kemampuan APBN pada tahun yang

bersangkutan. Dalam kaitan ini, telaah yang cermat beban-beban APBN lain perlu dikalkulasi

450 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

dengan lebih matang. Untuk itu, eksposure risiko fiskal sepantasnya menjadi panduan dalam

setiap penerbitan SUN.

Dalam hal utang luar negeri, penggeseran beban utang dapat dilakukan melalui penataan

ulang (reprofiling), penjadwalan kembali (rescheduling), dan restrukturisasi utang agar bebannya

bisa disebar sesuai dengan maturitas jatuh temponya. Beban tersebut perlu diselaraskan pula

dengan beban jatuh tempo utang dalam negeri. Rasio utang luar negeri pemerintah memang

menunjukkan tren penurunan. Momentum ini perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya guna

meminimisasi risiko utang yang masih tersisa. Untuk tujuan ini, koordinasi kebijakan sektoral,

regional, fiskal, moneter, dan luar negeri perlu disinergikan secara optimal.

Turunnya rasio utang pemerintah terhadap PDB tidak berarti terjadi peningkatan posisi

keuangan pemerintah. Hal ini disebabkan adanya kemungkinan penjualan perusahaan negara,

penipisan sumber-sumber kepemilikan publik, dan penurunan modal tetap pemerintah.

Kemungkinan lain yang perlu diwaspadai adalah mencari utang baru, terutama yang di luar

anggaran (off budget) untuk menutup utang lama dengan jumlah yang sama.

Selain kesinambungan fiskal, pemerintah juga perlu memikirkan kemungkinan beban

fiskal yang lain jika perekonomian mengalami gangguan internal. Aktivitas semi-fiskal (quasi

fiscal) Bank Indonesia, BUMN, dan BUMD dapat merupakan kewajiban kontingensi jika mereka

tidak dikelola dengan benar. Keuangan internal Bank Indonesia, BUMN, dan BUMD memang

terpisah dari keuangan negara, tetapi aktivitasnya dalam utang dan bisnis juga merupakan

public and publicly guaranteed dan semi guaranteed karena pemerintah adalah pemilik saham

dan alasan ≈too big to failΔ.

Studi lebih lanjut tentang ketangguhan fiskal Indonesia masih terbuka untuk dilakukan.

Kajian yang lebih mendalam dapat dilakukan untuk memeriksa sumber-sumber kerapuhan

fiskal. Studi ketaangguhan fiskal dengan mempertimbangkan asumsi-asumsi yang dipergunakan

dalam setiap penyusunan APBN, seperti harga minyak dan produksi minyak (oil lifting) tentu

menarik untuk disimak. Kelemahan yang masih tersisa pada studi ini dapat ditutup dengan

memasukkan faktor-faktor dari besaran sisi moneter.

451Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang

DAFTAR PUSTAKA

Barnhill, T.M. dan G. Kopits, 2003, ≈Assessing Fiscal Sustainability under UncertaintyΔ, IMF

working paper.

Barro, R., 1997, ≈Optimal Management of Indexed and Nominal Debt,ΔΔNBER, working paper

No. 6197.

Boediono, 2009, Ekonomi Indonesia Mau ke Mana?, Kumpulan Esai Ekonomi, KPG & Freedom

Institute, Jakarta.

Buiter, W. H., 1993, ≈Public Debt in the USA: How Much, How Bad, and Who Pays?Δ, NBER,

working paper No. 4362.

Buiter, W.H., 1997,

≈Aspects of Fiscal Performance in some Transition Economies under Fund √ Supported Programs,Δ

IMF Policy Discussion Paper.

Buiter, W. H., 2002, ≈The Fiscal Theory of the Price Level: A Critique,Δ Economic Journal, Royal

Economic Society, 112(127): 459-480.

Celasun, O., X. Debrun, dan J.D. Ostry, 2007, ≈Primary Surplus Behavior and Risks to Fiscal

Sustainability in Emerging Market Countries: A ≈Fan-ChartΔ ApproachΔ, IMF working paper.

Chalk, N., dan R. Hemming, 2000, ≈Assessing Fiscal Sustainability in Theory and PracticeΔ, IMF

working paper.

Chouraqui, J.C., R.P. Hagemann, dan N. Sartor, 1999, ≈Indicators of Fiscal Policy: A

Reexamination,ΔΔOECD Working Paper, No. 78.

Ciarlone, A. dan G. Trebeschi, 2006, ≈A Multinomial Approach to Early Warning System for

Debt CrisesΔ, Banca D»Italia, working paper no. 588.

Cuddington, J.T., 1996, ≈Analysing the Sustainability of Fiscal Deficits in Developing Countries,Δ

WP6.0:sustain7.wpd, Economics Department Georgetown University, Washington, D.C.,

USA.

Brixi, P.H. dan A. Mody, 2002, ≈Dealing with Government Fiscal Risk: An OverviewΔ, dalam

Government at Risk, World Bank & Oxford University Press.

Dinh, H.T., 1999, Fiscal Solvency and Sustainability in Economic Management. The World Bank,

1999.

Enders, W., 2004, Applied Econometric Time Series, Second edition, John Wiley & Sony Inc.

452 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Hamilton, J.D. dan Flavin, M.A., 1986, ≈On the Limitations of Government Borrowing: A

Framework for Empirical Testing,Δ American Economic Review, American Economic

Association, 76(4), September: 808-19.

Hanni, U., 2006, ≈Sustainabilitas Fiskal Indonesia dan Faktor Faktor Yang Mempengaruhinya,

JurnalΩKeuanganΩPublik, 4(2), September: 19-37

Jha, S., 2009, ≈Macroeconomic Uncertainties, Oil Subsidies and Fiscal Sustainability in AsiaΔ,

ADB Research Paper.

Kuncoro, H., 1999, Dampak Kebijaksanaan Pengeluaran Pemerintah terhadap Pertumbuhan

Ekonomi Indonesia, Tesis M.Si., Sekolah Pascasarjana UGM, tidak dipublikasikan.

Kuncoro, H., 2005, Pengaruh Transfer Antarpemerintah terhadap Kinerja Fiskal Pemerintah

Daerah, Pertumbuhan Ekonomi, dan Disparitas Pendapatan Regional, Kota dan Kabupaten

di Indonesia, Disertasi Doktor Ilmu Ekonomi, Sekolah Pascasarjana UGM, tidak dipublikasikan.

Langenus, G., 2006, ≈Fiscal Sustainability Indicators and Policy Design in the Face of AgeingΔ,

working paper, National Bank of Belgium.

Makin, T., 2005, ≈Fiskal Risk in ASEANΔ, Agenda, 12(3): 227-38.

Mark, S.V., 2004, ≈Fiscal Sustainability and Solvency: Theory and Recent Experience in IndonesiaΔ,

Bulletin of Indonesian Economic Studies, 40(2), Agustus: 227-42.

Ouanes, A and S. Thakur, 1997, Macroeconomic Accounting and Analysis in Transition

Economies, International Moneteray Fund, Washington D.C.

PPE UGM dan BAF, 2004, Studi Manajemen Utang Luar Negeri dan Dalam Negeri Pemerintah

dan Assessment terhadap Optimal BorrowingΔ, Laporan Akhir Penelitian.

Rahmany, F.A., 2004, ≈Ketangguhan Fiskal dan Manajemen Utang Dalam Negeri PemerintahΔ,

dalam Kebijakan Fiskal, Pemikiran, Konsep, dan Implementasinya, Kompas, Jakarta.

Saleh, S., 2002, Pengaruh Kebijakan Defisit Anggaran Pemerintah terhadap Perekonomian

Indonesia, Disertasi Doktor dalam Ilmu Ekonomi, UGM, Yogyakarta, tidak diterbitkan.

Soelistijaningsih, L., 2002, Model Portofolio dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri sebagai

Alternatif mengurangi Gejolak Eksternal: Kasus Indonesia, Disertasi Doktor, Universitas

Indonesia.

Subyantoro, H., 2008, ≈Adakah Persoalan≈Contingent Liabilities dan Fiscal Risk di Indonesia?:

Sebuah Pelajaran yang Sangat BerhargaΔ, Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas

Borobudur, Jakarta, 23 Desember.

Tunner, E. dan I. Samake, 2006, ≈Probabilistic Sustainability of Public Debt: A Vector

Autoregression Approach for Brazil, Mexico, and TurkeyΔ, IMF working paper.

Turner, P., 2002,Δ≈Bond Markets in Emerging Economies: an Overview of Policy Issues,ΔΔBank

for International Settlement, No. 11, Basel, Switzerland.

453Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang

Ulfa, A. dan R. Zulfadin, 2004, ≈Seberapa Seriuskah Perhatian Indonesia terhadap Isu-isu

Kontingensi Fiskal?Δ, Kajian Ekonomi dan Keuangan, 8(2), Juni.

Wilcox, D., 1989, ≈The Sustainability of Government Deficits: Implications of the Present-Value

Borrowing ConstrainΔ, Journal of Money, Credit and Banking, 3: 291-306.

Yamauchi, A., 2004, ≈Fiscal Sustainability, the Case of EritreaΔ, IMF working paper.

Yeyati, E. L. dan F. Sturzenegger, 2007, ≈A Balance-Sheet Approach to Fiscal Sustainability»,

working paper, Universidad Torcuato Di Tella.

Yilanci, V. dan B. Ozcan, 2008, ≈External Debt Sustainability of Turkey: A Nonlinear ApproachΔ,

International Research Journal of Finance and Economics, 20: 91-98.

454 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

halaman ini sengaja dikosongkan

455Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia

MONETARY TRANSMISSIONOF PERSISTENT SHOCK TO THE RISK PREMIUM:

THE CASE OF INDONESIA

Akhis R. Hutabarat 1

This paper investigates the relative importance of monetary transmission channel to inflation of

passing persistent shock to the risk premium. The findings show that nominal exchange rate depreciation,

triggered by a more persistent shock to interest risk premium, worsens the state of the economy in the

short- and long-run. Such distinctive shocks effect is transmitted through the economy that typifies lack

of response of consumer price disinflation to interest rate tightening caused by high real rigidity, strong

cost channel of interest rate, strong cost channel of exchange rate pass-through and weak demand-side

channel of exchange rate pass-through. This study suggests a proper monetary policy response, which is

the smallest interest rate increases within the feasible set of monetary policy responses that the model

recommends, to minimize the adverse effects of the shocks.

1 Ekonom senior, Bank Indonesia, email [email protected]. Makalah ini berdasarkan hasil penelitian di Departemen Ekonomi, Universityof Leicester antara 2006 dan 2008. Pendapat yang muncul di makalah ini merupakan opini penulis dan tidak merepresentasikanpandangan Bank Indonesia

Abstract

JEL Classification: F41; E52; D58

Keywords: Exchange rate, Balance of Payment, Monetary transmission and policy, Dynamic General

Equilibrium.

456 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

I. PENDAHULUAN

Guncangan yang berpengaruh negatif pada nilai tukar kerap melanda Indonesia.

Guncangan seperti ini dapat terjadi dalam sekali waktu atau dapat pula bertahan dalam jangka

waktu yang lebih lama. Krisis mata uang yang menimpa Indonesia pada tahun 1997-1998

dapat dianggap sebagai guncangan parah terhadap premi resiko yang mendevaluasi nilai tukar

dan mengubah keseimbangan dinamis perekonomian nasional. Kita harus terus belajar untuk

mencapai pengelolaan moneter yang lebih baik dalam mengantisipasi kemungkinan terulangnya

krisis tersebut. Karenanya, pemahaman yang lebih baik mengenai mekanisme transmisi moneter

dan konsekuensinya terhadap keterbatasan kebijakan moneter menjadi suatu kebutuhan yang

akan bermanfaat.

Jalur biaya transmisi kebijakan moneter telah banyak dieksplorasi dalam kasus-kasus

perekonomian negara-negara maju. Barth dan Ramey (2001) memberikan bukti empiris untuk

jalur biaya kebijakan moneter berdasarkan data pada level industri. Ravenna dan Walsh (2006)

menunjukkan bahwa jika penyesuaian tingkat suku bunga nominal secara langsung

mempengaruhi biaya marjinal riil, maka kebijakan tingkat suku bunga secara langsung akan

mempengaruhi inflasi. Mereka juga menunjukkan bahwa setiap guncangan ekonomi yang

disertai kehadiran saluran tersebut akan menghasilkan trade-off antara stabilisasi inflasi dan

stabilisasi kesenjangan output. Chowdhury, et al. (2006) menerapkan pendekatan struktural

untuk menemukan bahwa efek perkiraan biaya langsung dari tingkat suku bunga nominal

jangka pendek secara signifikan akan memberikan kontribusi pada dinamika inflasi di sebagian

besar negara-negara G7. Agénor dan Montiel (2008) mencatat bahwa saluran biaya suku bunga

telah diusulkan sebagai penjelasan atas fenomena ≈price puzzle ≈, istilah yang diberikan oleh

Eichenbaum (1992), mengacu pada adanya korelasi positif antara peningkatan suku bunga

dalam jangka pendek dengan tingkat harga di hasil temuan anomali empiris dari Sims «(1992).

Studi empiris mengenai transmisi moneter di Indonesia yang disusun oleh Warjiyo dan

Juda Agung (2002), tidak menyertakan saluran biaya suku bunga. Namun, penelitian ini, yang

memakai metode VAR, menemukan ≈price puzzleΔ dalam kaitannya dengan pengetatan

kebijakan moneter. Fenomena ini biasanya dihubungkan dengan kesalahan spesifikasi pada

VAR atau adanya kemungkinan jalur biaya kebijakan moneter yang kuat. Sebagai kekuatan

ekonomi yang muncul dengan produktivitas tenaga kerja relatif rendah, ada kemungkinan

dimana akumulasi modal telah menjadi sumber utama pertumbuhan output di Indonesia. Hossain

(2006) menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas dan menemukan bahwa akumulasi modal

merupakan 60 persen sumber pertumbuhan di Indonesia selama empat puluh tahun terakhir.

Dalam tulisannya, Young (1995) menyatakan bahwa pertumbuhan di negara-negara Asia Timur

terutama didorong oleh tingginya tingkat pembentukan modal. Dikombinasikan dengan suku

457Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia

bunga pinjaman yang lebih tinggi, produktivitas modal yang lebih rendah, dan upah lebih

rendah dibandingkan dengan negara maju, kita dapat berargumen bahwa pangsa modal

(pendapatan pemilik modal sebagai fraksi dari PDB) lebih besar daripada pangsa tenaga kerja.

Argumen ini mendorong pentingnya menyelidiki saluran biaya transmisi kebijakan moneter.

Penelitian ini menggunakan model keseimbangan umum dinamis New Keynesian pada

perekonomian kecil yang terbuka yang melibatkan empat pelaku ekonomi domestik, yaitu

rumah tangga, perusahaan-produsen, pemerintah, dan bank sentral, yang berinteraksi dengan

ekonomi asing. Model ini mencirikan uang yang dimasukkan kedalam fungsi kepuasan rumah

tangga (money in utility function) dan elastisitas substitusi yang konstant dalam proses produksi

perusahaan yang menggunakan tenaga kerja, barang modal, dan bahan baku domestik dan

impor. Kebijakan tingkat suku bunga diterjemahkan ke inflasi jenis kurva New Keynesian Phillips

melalui saluran permintaan agregat, pass-through nilai tukar, dan biaya modal. Penulis berasumsi

bahwa saluran ekspektasi atas kebijakan moneter sepenuhnya kredibel. Hal ini terkait dengan

harapan rasional agen terhadap harga dan otoritas moneter yang sangat kredibel, yang

menerapkan aturan kebijakan suku bunga yang sederhana pada saat guncangan terjadi.

Guncangan terhadap premi resiko suku bunga diberlakukan melalui penetapan nilai tukar sesuai

paritas terlindung suku bunga (covered interest rate parity). Model ini diadaptasi dan

dikembangkan dari model optimasi dengan kondisi staggered price dan staggered wage, yang

telah banyak digunakan dalam literatur mengenai inflasi dan kebijakan moneter2.

Model ini digunakan untuk melihat pengaruh shock yang pesisten dalam jangka pendek

terhadap premi resiko dari performa perekonomian, yang dimaksudkan agar lebih dekat dengan

struktur dan perilaku ekonomi Indonesia. Fokus penelitian ini pertama adalah urutan pentingnya

jalur-jalur transmisi moneter yang menyalurkan guncangan dan respon suku bunga terhadap

inflasi dan kedua, bagaimana kebijakan moneter merespon secara optimal terhadap jenis dan

keadaan guncangan tertentu, dan dengan kondisi jalur transmisi moneter yang berbeda-beda.

Paper ini menunjukkan bahwa depresiasi nilai tukar nominal yang dipicu oleh guncangan

persisten pada premium resiko bunga, akan memperburuk kondisi perekonomian dalam jangka

pendek dan jangka panjang. Guncangan ini mempengaruhi perekonomian yang ditandai dengan

kurangnya respon disinflasi harga konsumen terhadap kontraksi kebijakan moneter. Hal ini

disebabkan oleh kekakuan riil yang tinggi, saluran biaya suku bunga yang kuat, saluran biaya

dari pass-through nilai tukar yang kuat, lemahnya saluran sisi permintaan atas pass-through

nilai tukar, dan lemahnya saluran penawaran agregat dari suku bunga.

2 Lihat,£ sebagai contoh,£ Ravenna dan Walsh (2006), Christiano et al. (2005), Smets dan Wouters (2003), Erceg dan Levin ( 2003),Woodford ( 2003), dan Murchison ( 2004). Dua saluran biaya bunga pertama yang disertakan pada kebijakan moneter.

458 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Studi ini menunjukkan respon kebijakan moneter yang tepat adalah dalam bentuk

peningkatan suku bunga sekecil mungkin diantara set pilihan respon kebijakan moneter yang

layak yang direkomendasikan oleh model untuk meminimalisasi dampak guncangan. Kebijakan

ekonomi lainnya mungkin diperlukan untuk melengkapi ruang yang terbatas dari kebijakan

moneter, yang pada gilirannya dapat membantu memperkuat saluran permintaan agregat dari

suku bunga. Yang paling penting adalah kebijakan yang dapat membantu mengurangi pangsa

modal dari output perekonomian dan secara berurut dapat melemahkan saluran biaya dari

suku bunga.

Susunan makalah ini adalah sebagai berikut: Bagian kedua menyajikan model

keseimbangan dinamis dalam kondisi harga dan upah yang kaku. Bagian ketiga menyajikan

skenario simulasi, kalibrasi parameter dan solusi model. Bagian keempat menganalisis hasil

simulasi, sementara bagian kelima menyimpulkan hasil penelitian dan menyimpulkan beberapa

rekomendasi kebijakan.

II. TEORI

Tulisan ini meneliti pentingnya saluran transmisi moneter untuk inflasi dalam meneruskan

guncangan yang persisten kepada premi resiko. Ada banyak literatur mengenai topik ini dan

salah satu pendekatan yang berkembang cepat adalah kerangka keseimbangan umum dinamis.

Penelitian ini memperluas model ekuilibrium umum dinamis yang digunakan dan dijelaskan

rinci oleh Hutabarat (2007) dan makalah ini memperbesar jangkauan model dengan

memasukkan premi suku bunga resiko atas aset mata uang asing sebagai fungsi dari rasio

utang luar negeri bersih terhadap PDB. Kemudian, neraca blok pembayaran dikembangkan

yang menghasilkan persamaan neraca berjalan, neraca modal, neraca perdagangan dan jasa,

dan aset asing bersih. Selain itu, penulis berasumsi bahwa pemerintah juga mengumpulkan

pajak penghasilan atas barang pemilik modal dan dividen pemilik perusahaan selain pajak

pendapatan upah dalam model sebelumnya. Penulis juga mengubah teknologi produksi Cobb-

Douglas dengan teknologi Constant Elasticity Substitution (CES) untuk memungkinkan elastisitas

permintaan input yang lebih rendah terhadap harga. Pengembangan model ini diuraikan dalam

bagian lebih lanjut.

2.1 Rumah Tangga

Kendala dinamis anggaran dinyatakan dalam mata uang domestik nominal dan riil sebagai

berikut.

459Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia

Sumber pendapatan rumah tangga adalah pendapatan dari penyediaan jasa tenaga kerja

(upah), penjualan barang impor, penyewaan barang modal ke perusahaan, kepemilikan

perusahaan (dividen) dan penjualan barang modal yang susut pada periode sebelumnya, serta

pendapatan bunga atas obligasi pemerintah dan aset asing.

Penulis berasumsi bahwa aset asing bersih dari rumah tangga berada dalam posisi negatif,

(BtH* < 0) yang berarti rumah tangga merupakan debitur bersih dari aset asing. Penulis lebih

lanjut berasumsi bahwa investor asing memerlukan premi resiko, κt , untuk tingkat suku bunga,

it * , dari pinjaman dalam mata uang asing yang disalurkan ke rumah tangga domestik, sehingga

(1+ it * ) = (1+ i

t * ) (1+ κ

t). Dengan demikian, maka pendapatan pokok dan bunga dari aset

asing sebesar (1+ i*t-1

) = (1+ κt-1

)stB

t-1 < 0.

Penulis mengikuti Al-EYD dan Hall (2006), Murchison, et. al (2004), dan Schmitt-Grohe

dan Uribe (2003) dalam menentukan premi resiko negara tertentu, κt , yang bergantung pada

rasio utang bersih asing terhadap PDB. Premi resiko juga terpengaruh oleh guncangan, εκt ,

mewakili perubahan yang tidak dapat diperkirakan dalam preferensi investor asing terhadap

aset domestik.

(2)

(1)

H*

(3)

dimana ς merupakan scaling parameter. Persamaan diatas menjelaskan bahwa premi resiko

suku bunga dari aset asing tergantung pada utang luar negeri bersih, nilai tukar, output, dan

guncangan eksogen pada premi resiko: Sebuah peningkatan pada utang luar negeri bersih

(atau penurunan aset luar negeri bersih) secara negatif mempengaruhi kemampuan masyarakat

untuk membayar utang.; Penyusutan nilai tukar akan meningkatkan jumlah mata uang domestik

yang dibutuhkan untuk membayar utang luar negeri dan, pada gilirannya, memperburuk

kemampuan masyarakat untuk membayar utang luar negeri mereka,; Penurunan pendapatan

riil turut memperburuk kemampuan perekonomian dalam membayar utang luar negeri.

))(1(~))1(()()()(

11*1

*111

1*11

*11

tttttttttmt

Httt

HGtt

tttHtt

Htt

HGt

HGt

dt

dttt

PkPzlWimPBsiBikkPBsBsBBMMcP

Π++−+++≤

−−+−+−+−+

−−−−−−

−−−−−

τ

δ

))(1(~1

))1(()()()(

11*11

*1111

1*11

*11

tttttttmt

Httt

HGtt

dt

t

t

ttHtt

Htt

HGt

HGt

dt

dtt

kzlwimpbqrbrm

kkbqbqbbmmc

Π++−+++++

≤−−+−+−+−+

−−−−−−−−

−−−−−

τππ

δ

κεςκ tyPBs

ttt

tt

e +⎟⎟⎟

⎜⎜⎜

⎛−=

1

*

460 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Premi resiko pada utang luar negeri tidak muncul saat aset luar negeri seimbang dengan

utang luar negeri dan bernilai negatif jika aset luar negeri bersih bernilai positif. Kondisi ini

berarti bahwa rumah tangga domestik dapat menikmati tarif yang lebih rendah dari bunga

dunia untuk utang luar negeri mereka.

Dari maksimisasi fungsi utilitas rumah tangga yang berkenaan dengan penawaran tenaga

kerja dan konsumsi, kita dapat menurunkan biaya kerja marjinal riil dalam bentuk sebagai

berikut:

(4)

Rumah tangga menyewakan barang modal kepada perusahaan dengan tingkat sewa modal

riil, Zt, yang diperoleh dengan menggabungkan kondisi turunan pertama dari maksimisasi utilitas

terhadap stok modal riil dan obligasi domestik nominal sebagai berikut:

(5)

Harga sewa riil dari modal yang dikenakan oleh pemilik modal rumah tangga kepada perusahaan

harus mencakup tingkat bunga riil, tingkat depresiasi modal dan tarif pajak yang diharapkan

kedepannya.

Biaya marjinal riil dari impor setara dengan persamaan harga impor riil ketika harga

sepenuhnya fleksibel, yang sama dengan nilai tukar riil.

(6)

Nilai tukar nominal diperoleh dengan menggabungkan kondisi turunan pertama dari maksimisasi

utilitas rumah tangga, terhadap obligasi nominal dalam dan luar negeri. Kondisi ini

mencerminkan paritas suku bunga terlindung (covered interest rate parity),

mctm = q

t

(7)

Dalam rangka mendapatkan aset keuangan dan neraca keuangan rumah tangga, kita

bisa menguraikan persamaan kendala anggaran nominal (persamaan 2) dengan mengganti

keuntungan riil perusahaan, (Πt = y

t - w

tlt - p

tmim

t - z

t-1k

t-1), persamaan akumulasi modal, [ k

t = (1

11

)1(

1)( +−

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

−=

νλλσνλ

τα

t

tLttwt

ycAmc

11 +−+

=tt

tt E

rzτδ

)1(11 *

1 tt

tttt i

isEs κ+⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

++

= +

461Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia

- δ)kt-1

+ ivt ], dan dekomposisi dari investasi riil menjadi barang modal dalam negeri dan impor

(ivt =

iv

td + im

tkg) . Selanjutnya kita dapat menggantikan dekomposisi barang impor sebagai

barang jadi, barang setengah jadi dan barang modal (imt =

im

trm + im

tcg + im

tkg ), termasuk

mendekomposisi output domestik, yt, menjadi bagian yang dipasok kepada rumah tangga

domestik sebagai barang konsumsi (cdt), kepada perusahaan sebagai barang modal tambahan

(ivtd), kepada pemerintah sebagai barang konsumsi dan investasi (g

t), dan kepada importir luar

negeri sebagai barang ekspor (xt). Substitusi ini menghasilkan batasan anggaran riil dinamis

dari rumah tangga yang dapat disusun kembali untuk mendapatkan aset keuangan riil dari

rumah tangga dalam bentuk:

dimana btH

adalah investasi keuangan riil dari rumah tangga dalam bentuk obligasi pemerintah

dan obligasi luar negeri pada periode t. Hal ini sama dengan pendapatan bersih riil mereka

sebagai eksportir dan importir dan sebagai pemasok barang kepada pemerintah, ditambah

dengan pendapatan pokok dan pendapatan bunga riil dari investasi keuangan pada periode

sebelumnya, dikurangi pengeluaran pajak penghasilan riil dan perubahan dalam kepemilikan

uang riil.

2.2 Perusahaan-Produsen

Perusahaan menghasilkan output dengan menggunakan teknologi produksi Constant

Elasticity of Substitution (CES) yang menggunakan tenaga kerja, modal, dan barang setengah

jadi baik yang diproduksi di dalam negeri dan dari luar negeri sebagai input produksi. Output

riil agregat dari perekonomian mengikuti Murchison et al. (2004) untuk mendapatkan bentuk:

(8)

(9)

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

+−−−++++++−= −

−−−−−t

dtd

tttHtttt

HGtttttt

Ht

mmybqrbrgimqxbπ

τκ1

])1)(1()1[()( 1*11

*111

1111

1

111)()()(

−−−

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛++=

νν

νν

ννν

ννν

ν ααα rmtMttK

dttLt imkulAy

di αL, α

K, α

M mana merupakan pangsa tenaga kerja, modal dan impor, yang masing-masing

diasumsikan konstan dan membentuk teknologi produksi Constan Return to Scale (CRS), dan

v merupakan elastisitas subtitusi antara input. Tujuan perusahaan adalah untuk memilih tingkat

input yang memaksimalkan present value dari keuntungan riil seumur hidup, yang merupakan

selisih dari pendapatan riil total terhadap total biaya riil.

462 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Dari kondisi turunan pertama dari maksimisasi keuntungan perusahaan, kita bisa mendapatkan

permintaan untuk barang setengah jadi impor dalam bentuk

(10)11

1111

1

111)()()( −−

−−−

−−−⎟⎟

⎜⎜

⎛++=Π tt

rmt

mt

dtt

rmtMttK

dttLt kzimplwimkulA

νν

νν

ννν

ννν

ν ααα

Persamaan permintaan tenaga kerja diperoleh dari turunan pertama terhadap tenaga kerja:

(11)ν

να

t

ttLdt

wyAl

1−

=

(12)ν

αmt

tMrmt

p

yim =

Stok barang modal perusahaan yang dibutuhkan untuk produksi diperoleh dari turunan pertama

dari maksimisasi keuntungan perusahaan terhadap modal:

(13)ν

νβα

t

ttttKt

zyEuEk 1

11 +−

+=

Biaya marjinal riil dari produksi barang diturunkan dari proses minimisasi biaya riil dimana

perusahaan memilih tingkat input yang meminimalkan total biaya riil, tct = w

tlt + p

tmim

trm +z

t-1k

t-1,

dengan kendala fungsi produksi CES (persamaan 9). Biaya marjinal riil agregat dari perusahaan,

mctd, dinyatakan sebagai fungsi dari upah riil, harga sewa riil dari modal, harga impor riil dan

tingkat teknologi dalam bentuk:

(14)

11

11

1

1

11

111−

−−−

− ⎟⎟⎟

⎜⎜⎜

⎟⎟⎟

⎜⎜⎜

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛+⎟⎟

⎞⎜⎜⎝

⎛⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛+=

νννν

ν

αααα

mt

Mt

tK

t

t

LLt

tdt

pzu

Aw

A

wmc

Deviasi Kurva Phillips Keynesian yang baru dari kondisi steady state, mengikuti mekanisme

staggered price dari Calvo (Calvo, 1983).

(15)dt

dtt

dt cmE ˆ)1)(1(ˆˆ 1 ⎟

⎠⎞

⎜⎝⎛ −−

+= + θβθθ

πβπ

dimana, πtd = ln P

td - ln Pd

t-1, π

td = Pd

t - Pd

t-1 dan θ merupakan derajat kekakuan harga barang

yang diproduksi di dalam negeri.

463Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia

Mengganti biaya marjinal riil dengan perbedaan output aktual dengan output alami

(kesenjangan output) dianggap tidak tepat dalam model kesetimbangan dinamis umum karena

kesenjangan output (yt / y

tn) pada model tersebut bukanlah suatu ukuran dari siklus bisnis

yang bisa dikaitkan dengan pergerakan biaya marjinal riil. Output alami akan unggul jika

kekakuan nominal tidak hadir. Sebagai contoh, Clarida, et al. (1999, hal 1665) mendefinisikan

≈tingkat outputalamiahΔ sebagai ≈tingkat output yang akan timbul jika upah dan harga sangat

fleksibelΔ. Kita dapat menafsirkan output alami sebagai output yang sesuai dengan kondisi

dimana semua perusahaan menjadi kompetitif dengan cara menetapkan harga mereka pada

biaya marjinal nominal, yang menyiratkan mark-up yang konstan. Output alami ( ytn ) dalam

model ekuilibrium umum dinamis tidak merepresentasikan tingkat kecenderungan dari output

aktual di pasar kompetitif yang monopolistik dengan kekakuan nominal.

2.3 Otoritas Fiskal

Pengeluaran pemerintah dibiayai melalui pajak penghasilan yang ditarik dari importir,

pemilik barang modal, dividen pemilik perusahaan atau dari penerbitan obligasi dalam mata

uang domestik dan asing. Batasan anggaran dinamis nominal dari pemerintah dinyatakan

sebagai berikut:

(16)ttGtttt

GHtt

st

stttt

Gtt

GHt gPBsiBiMMyPBsB +++++=−+++ −−−−−−

*11

*1111

* )1)(1()1( κτ

dimana BtG = B

tGH + s

tB

tG* adalah penerimaan pemerintah dari penerbitan obligasi domestik

(BtGH ) dan obligasi asing (B

tG* ), τ

tP

ty

t merupakan pendapatan pajak, ( M

ts- M

ts-1

) merupakan

pendapatan hak pemilik tanah, gt adalah belanja riil pemerintah, dan s

t merupakan nilai tukar

nominal. Utang riil pemerintah, yang meliputi utangnya kepada rumah tangga dan perekonomian

asing, btG = b

tGH + q

tb

tG* , dapat diformulasikan sebagai berikut

(17)( ) ⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

+−−−+++++= −

−−−−−t

sts

ttttGttt

GHttt

Gt

mmyqbrbrgbπ

τκ1

)1)(1()1( 1*11

*111

Aturan kebijakan fiskal mengambil bentuk berupa fungsi reaksi laju pajak yang menjamin

keberlanjutan keseimbangan fiskal. Tujuan pemerintah adalah untuk mencapai dan

mempertahankan rasio tetap dari defisit fiskal primer terhadap PDB.

(18)⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛−

−Θ+= − ψ

τττ

t

ttttt y

yg1

464 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

dimana τt adalah respon atas kebijakan tarif pajak, g

t adalah konsumsi riil pemerintah, y

t adalah

output riil, Θ adalah parameter respon kebijakan fiskal, dan ψ adalah parameter konstan yang

mewakili target dari rasio defisit fiskal primer riil terhadap PDB.

2.4 Utang Riil Bersih Luar Negeri dan Neraca Keuangan

Utang riil bersih luar negeri, dt* , diperoleh dari batasan anggaran riil dari rumah tangga

dan pemerintah. Hal ini digunakan untuk membiayai defisit perdagangan dan membayar utang

luar negeri dari periode sebelumnya.

(19)*11

*1

* )1)(1()/( −−− +++−= ttttttt drqximd κ

Neraca keuangan (aliran utang luar negeri), , adalah total perubahan pada utang luar

negeri bersih pemerintah dan perubahan dalam utang luar negeri bersih dari sektor swasta.

Kita bisa mendapatkan aliran utang nasional dari rumah tangga dan batasan anggaran nominal

pemerintah dengan mengasumsikan bahwa utang dalam negeri pemerintah sama dengan

kepemilikan rumah tangga pada obligasi pemerintah ( BtGH = B

tHG ), dan bahwa warga asing

tidak memiliki obligasi pemerintah dalam mata uang dalam negeri, serta terciptanya

keseimbangan pasar uang.

(20)*

11*

1* ]1)1)(1[()/( −−− −++−−= ttttttttt BisxPimPFA κ

2.5 Kesetimbangan Pasar Barang

Kesetimbangan pasar barang didefinisikan oleh batasan sumber daya yang

menyeimbangkan permintaan agregat dengan penawaran agregat dari output (persamaan 9)

dalam bentuk berikut

(21)

1111

1

111)()()(

−−−

⎟⎟

⎜⎜

⎛++=−+++

νν

νν

ννν

ννν

ν ααα rmtMttK

dttLttttt imkulAimxivgc

2.6 Kebijakan Moneter

Bank sentral secara implisit merupakan bagian dari pemerintah yang mengedarkan uang

ke rumah tangga melalui konsumsi pemerintah. Karenanya, saluran peminjaman bank tidak

ada dalam model ini.

465Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia

Bank sentral mempengaruhi inflasi melalui permintaan agregat, penawaran agregat, nilai

tukar, dan saluran biaya atas kebijakan tingkat suku bunga. Bank Sentral menggunakan aturan

kebijakan tingkat bunga tipe Taylor yang bersifat forward looking, sebagaimana didefinisikan

oleh Clarida, et al. (1999). Ini adalah respon tingkat bunga nominal jangka pendek terhadap

perkiraan kesenjangan inflasi periode berikutnya, yang merupakan deviasi dari proyeksi inflasi

ke depan dari target inflasi, yang juga mempertimbangkan kelancaran pergerakan tingkat

bunga.

(22))]()[1( 111Ttttt rii ++− −++−+= ππαπχχ π

dimana r adalah tingkat kondisi steady state dari suku bunga riil dan πtT merupakan jalur target

inflasi pada periode t, χ adalah smoothing parameter untuk tingkat suku bunga, dan απ

merupakan parameter respon kebijakan moneter.

Kebijakan moneter tidak merespon perbedaan antara output aktual dan output alami

(kesenjangan output). Jika kebijakan moneter merespon suatu ukuran kesenjangan output,

tujuannya adalah untuk mencapai tingkat harga output yang fleksibel dalam pasar persaingan

sempurna, yang lebih tinggi dari tren output aktual dalam kondisi pasar persaingan monopolistic

dengan harga yang tidak fleksibel (ytn > y

t). Jika otoritas moneter mencapai target output alami,

akan ada kecenderungan untuk melakukan kebijakan yang bias-inflasi karena akan bisa terus

menerus menghasilkan inflasi ( πt > E

t )

, dengan besaran rata-rata guncangan suplai bernilai

nol (Sorensen et al, 2005.). Dengan menggunakan aturan kebijakan yang hanya tanggap

terhadap kesenjangan inflasi, maka diasumsikan bahwa kebijakan moneter tidak hanya bertujuan

untuk mencapai target inflasi secara langsung, tetapi juga menargetkan output secara tidak

langsung. Namun, target output untuk kebijakan stabilisasi yang dihasilkan dari New Keynesian

Phillip Curve, merupakan tren dari output aktual ( yt ).

Kebijakan tingkat suku bunga diteruskan ke permintaan agregat melalui tiga saluran

transmisi. Pertama, suku bunga riil yang mempengaruhi konsumsi melalui efek substitusi dan

pendapatan. Kedua, suku bunga riil yang menentukan biaya pengadaan barang modal, yang

mempengaruhi permintaan untuk investasi. Ketiga, kebijakan suku bunga yang memiliki efek

pada nilai tukar nominal dan kemudian ditransmisikan ke nilai tukar riil sebagai penentu

permintaan luar negeri untuk barang-barang domestik. Yang terakhir ini juga disebut sebagai

transmisi moneter melalui efek pass-through tidak langsung dari nilai tukar.

Kebijakan moneter ditransmisikan ke inflasi konsumen melalui tiga saluran. Pertama,

saluran permintaan agregat atas kebijakan tingkat suku bunga yang diteruskan ke inflasi

domestik melalui perubahan upah dan marjin profit. Saluran kedua adalah biaya bunga dari

466 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

saluran produksi, secara khusus yaitu biaya tingkat bunga dari pengadaan barang modal, baik

yang dibiayai oleh modal atau pinjaman3. Ketiga, kebijakan moneter yang mempengaruhi inflasi

konsumen melalui dua saluran nilai tukar. Yang pertama adalah melalui biaya impor barang

setengah jadi dengan harga dalam negeri dan satu lainnya adalah melalui inflasi dari barang-

barang konsumsi impor. Keduanya disebut sebagai, secara berturut-turut, intermediate direct

pass-through effect dan immediate direct pass-through effect dari nilai tukar terhadap harga

konsumen.

III. METODOLOGI

3.1. Metode Solusi Model

Penelitian ini memberikan solusi kondisi steady state statis dan model dinamik linear

dalam penyimpangan dari kondisi steady state dengan menggunakan solver CONOPT dibawah

sistem GAMS. Solver ini menggunakan metode solusi Generalized Reduced Gradient untuk

masalah pemrograman nonlinier (Rosenthal, 2006 dan Drud, 2006), dan didefinisikan sebagai:

min or max f(z)=J=0 (performance index) (23)

dengan kendala vektor fungsi log-linear implisit:

)(zg = )( x,yθ,;x,y,y,y t1tt1t +−tg = ⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

+−

+−

)(

)(

,

,1

x,yθ,;x,y,y,y

x,yθ,;x,y,y,y

t1tt1t

t1tt1t

tm

t

g

gM = 0

uzl <<

(24)

(25)

dimana z adalah vektor variabel optimasi, l dan u merupakan vektor batas bawah dan batas

atas, yang beberapa di antaranya mungkin minus atau positif tak terhingga, dan f dan g adalah

fungsi nonlinear terdiferensialkan yang membentuk model. Kendala (6.2) adalah kendala umum

dan (6.3) adalah batasan variabel.

Fungsi objektif f adalah variabel yang akan diminimalisir atau dimaksimalkan, m adalah

jumlah persamaan dan n menunjukkan jumlah variabel. Vektor z terdiri dari yt-1

, yt , y

t+1 dan x

t,

3 Biaya bunga saluran ekuitas modal juga dapat disebut ≈saluran profitabilitas perusahaan≈. Model ini mengasumsikan bahwa perubahansuku bunga sepenuhnya secara simetris dilalui dalam jangka pendek untuk biaya modal ekuitas, yang juga menyebabkan penyesuaianmarjin laba. Dimasukkannya biaya ekuitas dalam saluran biaya bunga bergantung pada dua asumsi. Pertama, bahwa rasio utangterhadap ekuitas dari perusahaan di unit bisnis non-keuangan di Indonesia lebih rendah dibandingkan di negara maju. Kedua,bahwa kekuatan perusahaan dalam pasar perekonomian sebelumnya lebih kuat daripada di kemudian hari, yang menyebabkankemungkinan tingkat penegembalian ekuitas yang lebih besar dari pada biaya bunga ekuitas. Hal ini sejalan dengan pandanganChowdhury et al. (2006), yakni logika efek tingkat suku bunga pada biaya perusahaan juga berlaku bila perusahaan dibiayaiterutama oleh dana internal.

467Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia

yang secara berurut merupakan vektor dari variabel lag endogen, variabel endogen

contemporaneous, variabel lead endogen dan variabel eksogen yang telah ditentukan. θ adalah

vektor parameter, y adalah vektor nilai steady-state variabel endogen, dan x adalah vektor nilai

steady-state variabel eksogen. Untuk periode solusi T, seluruh persamaan implisit untuk semua

periode digabungkan untuk memperoleh sistem yang mengandung persamaan M = mT dan

variabel N = nT.

(26)g(z)=

⎥⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢⎢

+ x,yθ,;xy,y(yg

)x,yθ,;xy,y(yg)x,yθ,;xy,y(yg

T1,TT1,-TT

23,21,2

12,10,1

M=

⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢

+−

+−

)(g

)(g

)(g

)(g)(g

)(g

Tm,

T1,

m,2

1,2

m,1

1,1

Tm,1Tm,Tm,1Tm,

T1,1T1,T1,1T1,

m,2m,3m,2m,1

1,21,31,21,1

m,1m,2m,1m,0

1,11,21,11,0

x,y,y,y

x,y,y,y

x,y,y,y

x,y,y,yx,y,y,y

x,y,y,y

M

M

M

M

M

= 0

Dimana y0 + y

T+1 dan secara berurut merupakan vektor dari variabel lag endogen pada t = 1

dan vektor variabel lead endogen pada t = T, yang telah ditentukan sebelumnya dalam kondisi

steady state.

3.2. Skenario Simulasi dan Pengaturan Parameter

Penulis melakukan simulasi dengan memberikan satu persen guncangan eksogen positif

terhadap persamaan premi resiko selama delapan kwartal. Jenis, besar dan lamanya guncangan

dimaksudkan untuk menyerupai krisis mata uang rata-rata. Tujuan simulasi adalah untuk

mengevaluasi pengaruh guncangan tersebut terhadap kinerja ekonomi, khususnya nilai tukar,

neraca pembayaran dan respon kebijakan moneter. Dengan menerapkan satu jenis guncangan,

secara implisit diasumsikan bahwa tidak ada jenis lain dari guncangan dan perekonomian tidak

sedang menargetkan disinflasi.

Penulis menerapkan simulasi guncangan ke model versi log-terlinearisasi dalam

penyimpangan dari nilai-nilai kondisi steady state. Karena variabel-variabel lag dependen

mengambil nilai kondisi steady state mereka, itu berarti guncangan saat simulasi terjadi dalam

468 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

kondisi steady state ekonomi, di mana tingkat variabel riil dan variabel pertumbuhan, seperti

inflasi, tidak mengalami perubahan, dan tingkat pertumbuhan variabel nominal berada pada

tingkat yang konstan bukan nol. Oleh karenanya kita perlu menginterpretasikan hasil simulasi

untuk guncangan aktual yang menghantam perekonomian sebelum kondisi steady state, di

mana tingkat variabel riil dan nominal dapat tumbuh pada tingkat bukan-nol dan tingkat

pertumbuhan variabel tidak selalu konstan.

Grafik 1.Ilustrasi Simulasi Guncangan terhadap Suatu Variabel Riil

Ketika kita memberikan satu kali guncangan dalam kondisi steady state, deviasi yang

dihasilkan dari variabel riil dari nilai konstan kesetimbangan steady state dapat berarti ekspansi

atau kontraksi atas nilai variabel riil tersebut. Namun, ketika guncangan terjadi pada kondisi

dinamis perekonomian, sebelum kondisi steady state, biasanya akan timbul baik tingkat

percepatan atau perlambatan dari variabel rill kecuali jika guncangan cukup besar untuk

menggerakkan variabel rill. Oleh karenanya, kita bisa menafsirkan ekspansi atau kontraksi suatu

variabel riil dalam kondisi steady state sebagai peningkatan atau penurunan pertumbuhan

variabel riil sebelum kondisi steady state. Grafik 1 mengilustrasikan interpretasi dari efek kontraksi

pada variabel riil saat diberikan satu kali simulasi guncangan saat kondisi steady state. Kita bisa

menyimpulkan interpretasi yang sama untuk sebuah variabel nominal dalam kasus satu kali

guncangan, dalam kondisi steady state (Grafik 2). Sementara itu, penafsiran efek pada variabel

pertumbuhan atas satu kali guncangan pada saat kondisi steady state adalah sama dengan

satu kali guncangan sebelum kondisi steady state.

History Projection

xt

t

Steady-state

A one-time shock insteady-state contractthe level of xt

A one-time shock beforesteady-state decreasesthe growth of xt (can becontracting)

Deviation of dynamicequilibrium of the level ofreal variable x from itssteady-state equilibrium(xt - x

ss)

xss

469Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia

Tabel 1 menampilkan parameter kalibrasi. Keuntungan masa depan bagi perusahaan,

importir dan penentu upah didiskon dengan discount factor β = 0.99. Dari persamaan konsumsi

Euler, kita mendapatkan suku bunga riil kondisi steady state yang sama dengan tingkat preferensi

waktu dari rumah tangga. Pengaturan suku bunga riil pada angka 0,02 sesuai dengan discount

factor rumah tangga, ϑ, pada angka 0,98. Struktur output perekonomian dan permintaan

untuk output diasumsikan untuk mengikuti kisaran angka saat ini. Pangsa barang modal,

tenaga kerja dan barang setengah jadi yang diimpor dalam output agregat dari perekonomian

ditetapkan pada besaran αK = 0.5, α

L = 0.35, dan α

M = 0.15.

Rasio belanja pemerintah terhadap PDB ditetapkan pada level αg = 0,18 dan rasio ekspor

terhadap PDB pada. Pangsa barang konsumsi yang diimpor dalam total konsumsi, αmcg

, dan

barang modal impor dalam total investasi, αmkg

, keduanya sebesar 0,14. Bagian obligasi

pemerintah dalam aset rumah tangga, αHG

, diasumsikan sama dengan 0,5, dan bagian utang

dalam negeri terhadap kewajiban pemerintah, αGH

, adalah 0,6. Rasio utang terhadap PDB

dalam kondisi steady state adalah 20%.

Penulis mengatur elastisitas antarwaktu dari konsumsi riil dengan besaran substitusi pada

σ −1 = 0.004. Asumsi efek substitusi yang rendah ini sejalan dengan temuan Kusmiarso et al.

(2002) yang secara tersirat menunjukkan adanya efek pendapatan yang kuat. Studi mereka di

saluran suku bunga dari transmisi moneter dengan menggunakan VAR menemukan bahwa

peningkatan suku bunga pada awalnya direspon dengan pertumbuhan negatif dari konsumsi.

Grafik 2.Ilustrasi Simulasi Guncangan terhadap Suatu Variabel Nominal

xt

Xtss

t

Steady-state

A one-time shock insteady-state decreasesthe growth of Xt (inthis case, a negativegrowth)

A one-time shock beforesteady-state decreases thegrowth of Xt

Deviation of dynamic equilibriumof the level of nominal variable Xfrom its steady-state equilibrium(Xt - Xt

ss)

History Projection

470 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Namun, konsumsi rumah tangga ikut menurun ketika suku bunga mulai menurun. Elastisitas

suku bunga nominal dari kepemilikan uang riil ditetapkan sebesar ρ−1 = 0.008, yang

mencerminkan tingkat yang lebih rendah dari ekonomi tanpa uang cash dibandingkan dengan

negara-negara maju. Elastisitas terhadap nilai tukar riil dari ekspor ditentukan sebesar η = 0,2

sesuai dengan koefisien yang terkait dalam model makroekonometrik BI. Penulis mengkalibrasi

elastisitas upah riil dari penawaran tenaga kerja pada angka λ−1 = 0,002. Nilai ini jauh lebih

rendah dibandingkan dengan elastisitas di negara-negara maju yang biasa digunakan dalam

penelitian serupa. Hal ini mencerminkan pasar tenaga kerja yang ditandai dengan pendapatan

upah riil rendah, kelebihan pasokan tenaga kerja dan apresiasi rendah untuk waktu luang.

Elastisitas konstan dari substitusi antara input faktor ditetapkan sebesar v = 0,3.

Tabel 1.Kalibrasi Model

discount factor rumah tangga 0,98

discount factorperusahaan, importir dan penentu tingkat upah 0,99

elastisitas konsumsi antarwaktu dari substitusi 0,004

elastisitas suku bunga nominal dari kepemilikan uang riil 0,008

elastisitas upah riil dari penawaran tenaga kerja 0,015

depresiasi tingkat modal 0,01

elastisitas dari substitusi antara input faktor 0,3

pangsa modal 0, 5

pangsa tenaga kerja 0,35

pangsa barang setengah jadi 0,15

pangsa ekspor produk domestik dalam permintaan total dari seluruh dunia 0,00018

pangsa barang konsumsi impor 0,14

pangsa investasi barang modal impor 0,14

rasio pengeluaran-output pemerintah 0,08

rasio ekspor-output 0,28

elastisitas nilai tukar riil dari ekspor 0,2

derajat kekakuan harga 0,35

derajat kekakuan harga impor 0,1

derajat kekakuan upah 0,75

derajat indeksasi upah terjadap lag inflasi 0,9

target dari rasio defisit fiskal 2%

derajat inersia suku bunga 0,5

parameter respon kebijakan moneter large

parameter respon kebijakan fiskal 0,5

parameter pengukuran premi resiko 0,00000001

pangsa obligasi pemerintah pada aset rumah tangga 0,5

pangsa obligasi domestik terhadap kewajiban pemerintahan 0,6

ParameterParameterParameterParameterParameter DeskripsiDeskripsiDeskripsiDeskripsiDeskripsi NilaiNilaiNilaiNilaiNilai

ϑβ

σ −1

ρ −1

λ −1

δv

αK

αL

αM

α∗M

αmcg

αmkg

αg

αx

ηθ

θ m

θ w

γ w

ψχ

απ

Θς

αHG

αGH

471Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia

Tingkat kekakuan harga barang produksi dalam negeri, θ , dibuat sebesar 0,35 yang

berarti bahwa waktu rata-rata antara penyesuaian harga domestik adalah sekitar satu setengah

triwulan. Harga domestik dari barang impor dianggap lebih tidak kaku dibandingkan barang

produksi dalam negeri ( θ m = 0,1), yang menunjukkan bahwa durasi rata-rata dari suatu harga

impor adalah sekitar 3,3 bulan. Dalam menetapkan parameter kekakuan, penulis merujuk pada

survei penetapan harga usaha bagi perekonomian Indonesia oleh Darsono et al. (2002), yang

menemukan bahwa harga barang-barang manufaktur bertahan selama rata-rata 4,6 bulan

dan perubahan nilai tukar diteruskan kepada harga impor di triwulan yang sama. Kekakuan

upah diasumsikan sebesar θ w = 0,75, sesuai dengan perubahan upah nominal tahunan. Namun,

acuan untuk perubahan upah sangat bergantung pada inflasi upah sebelumnya, bukan pada

penetapan harga optimal yang bergerak maju. Fenomena ini tercermin dalam parameter γ w

pada kisaran nilai 0,9.

Parameter umpan balik inflasi dalam aturan suku bunga sederhana, ditetapkan pada

nilai yang meminimalkan nilai sekarang dari kerugian kesejahteraan dinamis terdiskon, setelah

lebih dari 100 triwulan pasca guncangan. Fungsi kerugian bersifat simetris dalam bentuk,

( )∑∞

=++ −+−=

0

22 )()(s

ststsLt yyEL ππβ

di mana para pembuat kebijakan moneter memiliki

preferensi yang sama terhadap inflasi dan stabilisasi output. Koefisien umpan balik inflasi

bergantung pada besar dan luasnya guncangan terhadap premi resiko. Penulis mencari koefisien

umpan balik kebijakan yang optimal dengan menetapkan smoothing coefficient suku bunga

sebesar χ = 0,5, yang mencerminkan perilaku backward-looking dan forward-looking yang

sama dari otoritas moneter dalam merumuskan kebijakan tingkat suku bunga.

Grafik 3. Jangkauan Parameter Responyang Dapat Digunakan

Total PDV of welfare lossInterest rate gap at period 1

Sonsumer inflation gap at period 1Output gap at period 1

InfeasibleSolution

4

3

2

1

0

-1

-2

-3-1 4 9 14 19 24 29 34 39 44 49 54 59 64 69 74 79 84 89 94 99

Loss

Response Parameter

472 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Grafik 3 menunjukkan berbagai parameter umpan balik inflasi yang dapat digunakan

saat suku bunga menanggapi kesenjangan inflasi di waktu masa depan. Angka-angka diatas

menunjukkan bahwa himpunan dari respon otoritas moneter yang tepat terhadap kejutan

premi resiko adalah tingkat suku bunga yang menaik. Namun, respon yang optimal, yang

menghasilkan efek inflasi terendah dan kontraksi output terkecil dalam jangka pendek, adalah

kenaikan suku bunga terkecil diantara himpunan yang layak. Kenaikan suku bunga tertinggi

dalam himpunan tersebut berkesesuaian dengan respon yang paling tidak optimal. Jika

memungkinkan, respon yang optimal digambarkan oleh garis putus-putus pada grafik.

IV. HASIL DAN ANALISIS

4.1 Nilai Tukar dan Neraca Pembayaran

Grafik 4-5 dan Grafik 7-14 menunjukkan tanggapan variabel ekonomi terhadap satu

persen guncangan untuk premi resiko selama delapan triwulan. Nilai tukar nominal tertekan

diawal sebagai respon terhadap guncangan premi resiko, tetapi pengaruhnya diperkecil oleh

respon suku bunga yang cepat. Nilai tukar nominal pada akhirnya mencapai kondisi steady

state yang baru yang lebih lemah ketika suku bunga nominal kembali stabil pada tingkat awal,

dan meninggalkan jalur ekspektasi bekerja sendirian. Kesetimbangan jangka panjang nilai tukar

nominal menjadi lebih lemah untuk mengimbangi harga yang relatif lebih rendah dari barang

dalam negeri dan asing sehingga nilai tukar riil tidak berubah dalam jangka panjang.

Ekspor rill mengikuti pergerakan nilai tukar riil bila tidak ada perubahan permintaan

asing. Dengan elastisitas ekspor riil terhadap nilai tukar riil yang rendah, maka ekspor rill hanya

bergerak naik sekitar 0,027%, yang kemudian turun dibawah kondisi steady state awal saat

Grafik 4. Respon Nilai Tukar terhadap Satu Persen Guncangan Premi ResikoSelama Delapan Triwulan

Optimal Response

Non Optimal Response

Nominal Exchange RatePercent

0.25

0.2

0.15

0.1

0.05

0

-0.05

-0.1

-0.151 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101106

Percent

Optimal Response

Non Optimal Response

Real Exchange Rate0.15

0.1

0.05

0

-0.05

-0.1

-0.150 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100

473Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia

nilai tukar riil menguat beberapa triwulan setelah guncangan. Dalam Jangka Panjang, ekspor

kembali ke level kondisi steady state awal .

Menyusul peningkatan dari harga impor riil, impor riil turun sebesar 1,6%, jauh lebih

besar daripada pertumbuhan ekspor riil pada periode awal saat terjadinya guncangan. Nilai

harga asing dari impor juga menurun tajam sejak inflasi triwulan dari harga asing tidak mengalami

perubahan. Di sisi lain, nilai harga asing dari barang ekspor turut menurun seiring depresiasi

nilai tukar nominal yang lebih besar dibandingkan dengan peningkatan pada ekspor riil dan

harga konsumen. Efek bersihnya adalah sebuah lompatan besar dalam surplus perdagangan,

yang menunjukkan fenomena kurva J-terbalik. Surplus perdagangan Indonesia serta ekspor

dan impor riil pada periode krisis mata uang, telah membuktikan hasil simulasi, pada sisi tertentu,

yakni dalam hal arah dari variabel yang terkait. Gambar 6 menunjukkan bahwa pada masa

setelah krisis moneter tahun 1998, ketika nilai tukar nominal tertekan 123%, ekspor riil

meningkat 11,2% dan impor riil menyusut 2,9%, mengakibatkan kenaikan surplus perdagangan

sebesar 83%.

Grafik 5.Respon Ekspor dan Impor

Optimal Response

Non Optimal Response

Real ExportsPercent

0.03

0.02

0.01

0

-0.01

-0.02

-0.030 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95

Optimal Response

Non Optimal Response

Real ImportsPercent

1.5

1

0.5

0

-0.5

-1

-2.5

-1.5

-2

1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101106

Real Import PricePercent

0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

0.5

-2

-0.5

1

0

-1

-1.5

Real Imported Intermediate GoodsPercent

0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

1

-2

0

1.5

0.5

-0.5

-1

-1.5

474 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Hasil ini sejalan dengan studi empiris pada efek kurva J. Dengan menggunakan model

VECM pada data triwulan Indonesia dan mitra-mitra dagang terkait, Husman (2005)

menyimpulkan bahwa fenomena kurva J tidak ditemukan dalam data tingkat agregat. Hal ini

hanya ditemukan dalam neraca perdagangan bilateral dengan Jepang, Korea Selatan dan Jerman.

Pergerakan output, harga impor riil dan inflasi konsumen mempengaruhi pola siklus

neraca perdagangan berikut ini. Impor riil mengalami rebound seiring dengan pulihnya

permintaan dan output agregat, serta turunnya harga impor riil, yang berakibat nilai impor

dalam mata uang asing yang lebih tinggi. Sebaliknya, permintaan eksternal untuk barang-

barang domestik menurun karena apresiasi nilai tukar riil yang menyebabkan nilai ekspor dalam

mata uang asing lebih rendah. Surplus perdagangan lebih rendah dibandingkan nilai awal

dalam jangka menengah dan akhirnya stabil dalam jangka-panjang pada tingkat yang sedikit

lebih rendah dari nilai kondisi steady state awal.

Beberapa faktor dapat mempengaruhi dinamika surplus perdagangan. Depresiasi nilai

tukar lebih mempengaruhi volume impor dibandingkan ekspor karena harga impor lebih tidak

kaku dibandingkan harga barang domestik yang diekspor. Selain itu, impor jatuh secara lebih

signifikan dibandingkan peningkatan ekspor dalam jangka pendek karena komposisi impor

yang cukup tinggi dalam struktur produksi. Selain itu, elastisitas impor riil terhadap harga,

lebih tinggi dari elastisitas ekspor terhadap nilai tukar riil sehingga jumlah nilai elastisitas kurang

dari satu. Faktor terakhir ini menjelaskan mengapa kondisi Marshall-Lerner tidak bertahan.

Oleh karenanya guncangan premi resiko bisa memperburuk neraca perdagangan dalam jangka

panjang. Tidak seperti hasil simulasi model ini, Husman (2005) justru berpendapat bahwa kondisi

Marshall-Lerner terpenuhi dalam sampel secara keseluruhan, yang menunjukkan bahwa

Grafik 6. Ekspor Riil, Impor Riil dan SurplusPerdagangan Indonesia

log of billion Rp

7,5

8,0

8,5

9,0

9,5

10,0

10,5

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

5

5,2

5,4

5,6

5,8

6

6,2

6,4

6,6

Trade Surplus (US$)Real ExportsReal Imports

Exchange Rate (Rp/US$)

475Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia

Grafik 7.Respon Komponen Neraca Pembayaran

Trade Account SurplusPercent

0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

12000

10000

8000

6000

4000

2000

-2000

0

Trade Account SurplusPercent

0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

20

0

-20

-40

-60

-100

-80

Trade Account SurplusPercent

0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

25

20

15

10

5

-10

0

-5

Service Account DeficitPercent

0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

12

10

8

6

2

-6

0

-2

4

-4

Current Account DeficitPercent

0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

2000

0

-2000

-4000

-12000

-6000

-8000

-1000

Financial Account SurplusPercent

0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

1600

1400

1000

800

-200

600

400

200

1200

0

Financial Account SurplusPercent

0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

1600

1400

1000

800

-200

600

400

200

1200

0

Real Net Foreign DebtPercent

14

12

8

6

-4

4

2

0

10

-2

-60 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Optimal ResponseNon Optimal Response

476 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

depresiasi nilai tukar Rupiah akan meningkatkan ekspor Indonesia dalam jangka-panjang.

Husman lebih lanjut menemukan bahwa meskipun kondisi Marshall-Lerner terpenuhi, elastisitas

nilai tukar dari neraca perdagangan bilateral cukup kecil. Satu persen perubahan nilai tukar riil

hanya akan meningkatkan rasio ekspor terhadap impor sebesar 0,37%. Temuan yang berbeda

mengenai kondisi Marshall-Lerner mungkin memperlihatkan over estimasi elastisitas harga dari

impor atau elastisitas harga dari ekspor yang under-estimated.

Perbaikan jangka-pendek dari surplus neraca perdagangan memungkinkan

perekonomian untuk mengurangi utang bersih luar negeri. Setelahnya, sebagaimana surplus

neraca perdagangan memburuk dalam jangka menengah dan pada akhirnya kembali stabil

di bawah tingkat kondisi steady state-nya, perekonomian harus meningkatkan utang luar

negeri bersih secara terus menerus dalam jangka-panjang. Sejalan dengan dinamika utang

luar negeri bersih, defisit neraca jasa membaik dalam jangka-pendek dan memburuk dalam

jangka-panjang, menjadi divergen dari tingkat kondisi steady state awal. Secara keseluruhan,

neraca berjalan yang defisit berkurang dalam jangka-pendek karena surplus neraca

perdagangan yang lebih baik, yang dipicu oleh defisit neraca jasa yang lebih kecil. Pada

akhirnya, defisit neraca berjalan menjadi stabil dalam jangka-panjang pada tingkat yang lebih

buruk. Surplus neraca keuangan mengalami penurunan dalam jangka-pendek, kemudian

meningkat dalam jangka menengah dan akhirnya mencapai surplus kondisi steady state yang

lebih tinggi dalam jangka-panjang.

4.2 Permintaan dan Penawaran Input-Output

Saluran permintaan agregat dari kebijakan tingkat suku bunga bekerja melalui ekspor,

konsumsi dan investasi. Konsumsi turun diawal sebagaimana konsumsi di masa datang yang

diperkirakan lebih rendah melampaui sedikit penurunan pada suku bunga riil saat ini. Lebih

lanjut terjadi penurunan di beberapa periode lainnya dikarenakan kenaikan suku bunga riil

pada periode tersebut. Saat suku bunga menjadi stabil dalam jangka-panjang, yang lebih rendah

dibandingkan saat kondisi steady state awal, maka konsumsi menjadi stabil pada kondisi steady

state baru yang lebih tinggi.

Permintaan stok barang modal untuk digunakan pada periode berikutnya mengalami

penurunan ketika guncangan terhadap premi resiko menghantam perekonomian. Permintaan

agregat yang diperkirakan melemah pada periode berikutnya merupakan penyebab dibalik

keputusan perusahaan untuk mengurangi stok modalnya. Hal ini sering disebut sebagai saluran

neraca perusahaan dari suku bunga terhadap permintaan agregat. Permintaan eksternal yang

lebih kuat terhadap barang domestik dan permintaan domestik untuk barang setengah jadi

477Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia

dan barang jadi domestik, akan mengurangi kontraksi permintaan investasi. Efek bersihnya

adalah penurunan permintaan agregat terhadap output domestik setelah terjadinya guncangan.

Dengan demikian, depresiasi nilai tukar yang dipicu oleh guncangan sementara terhadap premi

resiko berakibat pada menyusutnya output.

Permintaan untuk input faktor lainnya juga mengalami penurunan. Karena harga impor

lebih tidak kaku, nilai tukar riil yang tertekan menyebabkan harga impor riil menjadi lebih

mahal. Dikombinasikan dengan penurunan contemporaneous permintaan agregat, maka

permintaan terhadap barang impor setengah jadi akan mengalami penurunan.

Tingkat penyerapan tenaga kerja turut jatuh karena lebih dipengaruhi oleh permintaan

agregat yang menurun, dibanding karena upah riil yang sedikit lebih murah. Hasil ini disebabkan

oleh elastisitas permintaan tenaga kerja terhadapoutput riil yang bernilai satu dan rendahnya

elastisitas penawaran tenaga kerja terhadap upah riil.

Grafik 8.Respon Permintaan dan Penawaran Output

Real ConsumptionPercent

0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

0.002

0.001

-0.001

-0.002

-0.007

-0.003

-0.004

-0.005

0

-0.006

Real InvestmentPercent

0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

100

80

40

20

-100

0

-20

-40

60

-60

-80

Real OutputPercent

1

0.5

0

-2.5

-0.5

-1

-1.5

-2

1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101 106

Optimal ResponseNon Optimal Response

478 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

4.3 Biaya, Harga dan Inflasi

Permintaan tenaga kerja yang menurun memberi tekanan menurun terhadap biaya kerja

marjinal riil. Di sisi lain, waktu luang juga menurun karena permintaan untuk konsumsi juga

menurun dan karenanya pasokan tenaga kerja meningkat dan menekan biaya marjinal riil

kerja. Karena upah nominal cukup rigid dan sangat terpaku pada inflasi di masa lampau, maka

upah nominal menjadi tidak responsif terhadap perubahan biaya kerja marjinal riil akibat

penyesuaian langsung pada konsumsi dan output.

Grafik 9.Respon Permintaan dan Pasokan Input

Labour DemandPercent

0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

1

0.5

-2

-0.5

-1

-1.5

0

Labour SupplyPercent

0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

0.003

0.002

-0.001

0.001

0

UnemploymentPercent

0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

0.015

0.01

-0.001

0.005

0

0.005

Optimal ResponseNon Optimal Response

Real Capital GoodsPercent

0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

0.5

0

-2

-0.5

-1

-1.5

Real Rental Rate of CapitalPercentage Point

0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

0.25

0.2

-0.05

0.15

0.1

1.05

0

479Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia

Upah riil mengalami penurunan karena harga output yang naik dan lebih fleksibel

dibandingkan upah. Oleh karenanya, respon langsung inflasi domestik terhadap permintaan

agregat yang lebih rendah adalah mengalami penurunan. Pada periode guncangan berikutnya,

investasi mulai meningkat dan konsumsi menguat, yang menyebabkan tekanan ke atas terhadap

biaya kerja marjinal riil dan inflasi upah. Upah riil sementara waktu masih di bawah tingkat

kondisi steady state awal disebabkan oleh harga output yang lebih fleksibel dibandingkan

upah. Oleh karena itu, sepanjang sisa periode guncangan, respon dari inflasi domestik terhadap

permintaan agregat yang lebih tinggi adalah menurun.

Kekakuan yang rendah dari upah riil akibat kekakuan upah nominal yang tinggi dan

kekakuan harga yang rendah dapat dikaitkan dengan kekakuan riil yang tinggi. Romer (2006)

mendefinisikan kekakuan riil sebagai keengganan perusahaan untuk merubah harga relatif

mereka dalam merespon perubahan dalam output riil akibat variasi permintaan agregat riil.

Kekakuan riil yang lebih besar berarti pertimbangan yang lebih besar terhadap harga pesaing

dalam perilaku penetapan harga. Ini menunjukkan bahwa saat kekakuan riil tinggi, setiap

perusahaan ingin harganya bergerak lebih dekat dengan harga lainnya. Survei pengaturan

Grafik 10.Respon Upah Riil dan Nominal terhdap Satu Persen Guncangan

Real WagePercent

0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

0.4

0.3

-0.3

0.2

0.1

0

-0.1

-0.2

Nominal WagePercent

0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

0.4

0.3

-0.2

0.2

0.1

0

-0.1

0.5

0.6Optimal ResponseNon Optimal Response

Wage Inflation (qtq)Percent

0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

0.06

0.04

-0.06

0.02

0

-0.02

-0.04

0.08

0.1

480 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

harga usaha oleh Bank Indonesia (Darsono et al, 2002.) mengungkapkan bahwa pendekatan

berbasis biaya adalah strategi penetapan harga yang paling banyak diadopsi oleh perusahaan-

perusahaan manufaktur dan perdagangan. Temuan ini dapat membenarkan keberadaan

kekakuan harga. Ini mencerminkan keengganan perusahaan untuk mengubah harga bila tidak

ada perubahan biaya yang terjadi. Survei tersebut juga menemukan bahwa strategi penentuan

harga berikutnya adalah «biaya plus marjin variabel dari profit» dan «harga pesaing» untuk

perusahaan manufaktur dan ritel, sementara «kondisi pasar» saat ini bukan faktor penting dalam

menetapkan kebijakan harga. Hasil survei ini dapat diartikan sebagai adanya kekakuan harga

yang rendah dalam menanggapi perubahan biaya dan perubahan harga pesaing. Yang terakhir

ini berarti kekakuan riil yang tinggi4.

Depresiasi niai tukar yang diakibatkan oleh premi resiko diteruskan ke inflasi barang-

barang buatan dalam negeri menggunakan tiga saluran. Pertama, direct pass-through melalui

biaya barang impor setengah jadi, yang berefek pada peningkatan inflasi domestik. Kedua,

indirect pass-through melalui permintaan untuk input impor, yang memiliki efek penurunan

terhadap inflasi domestik. Ketiga, indirect pass-through melalui permintaan eksternal untuk

output domestik. Yang terakhir ini memiliki pengaruh pada penurunan inflasi domestik

dikarenakan peningkatan ekspor akan memberikan sedikit tekanan ke atas terhadap upah

yang kaku. Sehingga, dengan harga output yang tidak terlalu kaku, akan ada penurunan biaya

riil dari penyerapan tenaga kerja.

Sebuah direct cost-push pass-through dari nilai tukar terhadap inflasi domestik sangat

mendominasi demand side pass-through yang disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, konten

impor yang tinggi dalam struktur produksi. Kedua, elastisitas nilai tukar riil yang rendah dari

ekspor. Ketiga, tingkat kekakuan upah nominal yang tinggi, artinya elastisitas permintaan agregat

yang rendah terhadap inflasi upah. Keempat, elastisitas harga impor riil dari permintaan barang

impor setengah jadi. Nilai tukar yang diteruskan ke inflasi konsumen bahkan lebih tinggi karena

merupakan kombinasi dari net-cost push pass-through untuk inflasi domestik dan direct cost-

push pass-through dari barang impor konsumsi terhadap inflasi konsumen.

Besarnya biaya modal mencerminkan saluran biaya yang kuat dari kebijakan suku bunga,

yang memberikan tekanan ke atas terhadap inflasi domestik. Ini memperkuat yang perpanjangan

pass-through yang kuat dari depresiasi nilai tukar yang diakibatkan oleh premi resiko terhadap

harga dalam negeri yang lebih tinggi.

4 Romer (2006) menjelaskan bahwa, dengan asumsi kurva permintaan agregat yang sudah dimodifikasi, ln y = ln M - ln P (di manaP mencerminkan faktor-faktor yang menggeser permintaan agregat), ekspresi kekakuan riil untuk harga relative yang memaksimalkan

keuntungan atas perwakilan perusahaan itu, ln Pi* - ln P = φ ln y, menunjukkan, ln P

i* = φ ln M + (1-φ) ln P di mana

kekakuan riil tinggi ditunjukkan dengan rendahnya φ.

481Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia

Grafik 11.Respon Harga, Inflasi dan Biaya Marginal

Imported Goods Inflation (qtq)Percentage Point

0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

0.4

0.2

-1

-0.2

0

-0.4

-0.6

0.6

0.8

-0.8

Domestic Inflation (qtq)Percentage Point

0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

0.1

-0.1

0.05

0

-0.05

0.15

Real Marginal CostPercent

0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

0.06

-0.12

0

-0.02

-0.08

0.08

0.04

0.02

-0.04

-0.06

-0.1

Import PricePercent

0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

0.5

-2

-0.5

1

0

-1

-1.5

Consumer Inflation (qtq)Percentage Point

0.08

-0.02

0.04

0.1

0.06

0.02

0

1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101106

Optimal Response

Non Optimal Response

Consumer PricePercent

0.14

0

0.1

0.16

0.12

0.08

0.08

0.04

0.02Optimal Response

Non Optimal Response

0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

Real Domestic PricePercent

0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

0.3

-0.15

0.2

0.35

0.3

0.15

0.1

0.05

0

-0.05

-0.1

Domestic PricePercent

0.45

0

0.35

0.5

0.4

0.3

0.25

0.2

0.15

0.1

0.05

Optimal Response

Non Optimal Response

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

482 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

4.4 Pajak dan Utang Pemerintah

Sebagai konsekuensi dari permintaan agregat yang lebih kecil dan tingkat suku bunga

yang lebih tinggi, pemerintah harus menghadapi basis pajak yang berkurang dan pembayaran

bunga yang lebih tinggi atas utang yang ada. Dengan demikian, otoritas fiskal perlu menaikkan

tarif pajak dan meningkatkan pembayaran utang untuk menjaga pengeluaran konsumsi agar

tetap konstan di tengah tekanan defisit primer yang meningkat. Karena aturan pajak merespon

defisit primer, pembayaran utang bunga yang lebih tinggi tidak memiliki efek penguatan pada

kenaikan pajak. Dengan demikian, utang pemerintah tetap berkelanjutan, tetapi perekonomian

memerlukan waktu yang lebih lama untuk menyelesaikan utang pemerintah.

Kenaikan tarif pajak memiliki efek kecil dalam meredam penawaran tenaga kerja yang

tidak elastis, dan menyebabkan sedikit tekanan ke atas terhadap biaya kerja marjinal riil. Namun,

besaran pass-through terhadap upah tetap jauh lebih kecil karena upah cukup kaku namun

terindeksasi oleh inflasi. Karena harga output lebih fleksibel dibandingkan upah, respon langsung

inflasi domestik terhadap suku bunga mengalami penurunan tetapi sangat lemah. Respon

langsung ini lebih tinggi melalui saluran penawaran tenaga kerja agregat atas kebijakan tingkat

suku bunga.

Grafik 12.Respon Pajak, Utang Pemerintah dan Defisit Fiskal

Tax RatePercentage Point

0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

0.04

0.02

-0.03

0.01

0.03

0

-0.01

0.05

-0.02

Fiscal DefisitPercent

0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

2.5

1.5

-0.03

1

2

0.5

0

3

-0.5

-1

-1.5

Governmen DebtPercent

0.18

0

0.14

0.2

0.16

0.12

0.1

0.08

0.06

0.04

0.02

Optimal Response

Non Optimal Response

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

483Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia

4 .5 Suku Bunga

Model ini merekomendasikan bank sentral untuk menaikkan tingkat bunga pertahun

sampai ke tingkat yang lebih tinggi yakni 1,33 persen lebih tinggi dari tingkat awal setahun

setelah guncangan awal. Angka ini harus kembali diturunkan namun tetap di atas nilai kondisi

steady state selama sembilan triwulan sebelum akhirnya stabil di kisaran tingkat awal sebesar

7%. Respon suku bunga ini menyebabkan lompatan 0,09 persen pada inflasi konsumen tahun

ke tahun. Karena suku bunga nominal meningkat dengan lebih dari satu peningkatan inflasi

konsumen, suku bunga riil ex-ante naik sementara sampai tingkat 1,27 persen lebih tinggi di

atas level kondisi steady state awal sebesar 2%.

Penting untuk menyorot dampak pelaksanaan respon kebijakan moneter yang tidak

optimal, yang dikarenakan kenaikan suku bunga tertinggi di antara parameter respons yang

dapat digunakan. Hasil respon kebijakan macam ini memperburuk keadaan ekonomi dalam

jangka pendek dalam bentuk suku bunga nominal yang lebih tinggi, inflasi konsumen yang

lebih persisten, kontraksi output yang lebih dalam, lebih banyak pengangguran, neraca uang

yang lebih tinggi dan harga serta upah yang lebih mahal. Perekonomian juga menjadi lebih

buruk dalam jangka-panjang diakibatkan nilai tukar nominal yang susut, harga dan upah yang

lebih mahal, utang luar negeri bersih yang lebih tinggi, utang pemerintah yang lebih tinggi,

neraca uang riil yang lebih besar, surplus neraca perdagangan yang lebih kecil, defisit neraca

berjalan yang lebih besar dan surplus neraca finansial yang lebih besar.

Simulasi ini mengungkapkan seberapa kuat saluran biaya dari kebijakan moneter.

Peningkatan suku bunga menghasilkan tekanan pada inflasi domestik melalui peningkatan

biaya modal. Sumber utama tekanan ke bawah terhadap inflasi domestik dan konsumen adalah

biaya riil dari impor barang yang disebabkan oleh nilai tukar yang terapresiasi dalam

Grafik 13.Respon Suku Bunga

Nominal Interest Rate (p.a)Percentage Point

0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

1.4

1

-0.4

0.8

1.2

0.6

0.4

1.6

0.2

0

-0.2

Optimal Response :Very Large Response Parameter

Non Optimal Response :Smallest Feasible Response Parameter

Real Interest Rate (p.a)Percentage Point

1.2

-0.4

1.4

1

0.8

0.6

0.4

0.2

0

-0.2

Optimal Response

Non Optimal Response

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

484 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

perekonomian yang memiliki harga impor yang lebih fleksibel dibandingkan harga domestik,

serta konten impor yang tinggi. Saluran biaya yang kuat dari kebijakan tingkat suku bunga,

upah yang lebih kaku dibandingkan harga output dan indeksasi upah yang tinggi terhadap

inflasi masa lalu menjadi faktor yang berpengaruh terhadap kurangnya respon disinflasi harga

konsumen terhadap kenaikan suku bunga. Hal ini sejalan dengan sifat-sifat model

makroekonometrik kecil Bank Indonesia yang memperkirakan lemahnya pengaruh dari

pengetatan suku bunga dalam menurunkan inflasi konsumen. Ini menunjukkan bahwa satu

persen kenaikan suku bunga hanya dapat mengurangi inflasi konsumen sekitar 0,06 persen.

4.6 Neraca Uang

Permintaan uang riil, menurun dalam jangka pendek dan mencapai nilai kondisi steady

state yang lebih tinggi dalam jangka panjang. Respon langsung tidak disebabkan oleh kenaikan

suku bunga melainkan hanya mengikuti pola konsumsi riil. Hal ini disebabkan oleh elastisitas

konsumsi riil yang tinggi terhadap permintaan uang riil yakni sebesar σ / ρ = 2,2.

Di sisi lain, elastisitas permintaan uang riil terhadap tingkat suku bunga nominal yang

rendah ( 1/ρ = 0,0083 ), meredam pengaruh kenaikan tingkat suku bunga yang relatif cukup

besar. Oleh karena itu, melemahnya permintaan atas barang konsumsi, akan berpengaruh

besar terhadap penurunan permintaan memegang uang.

Grafik 14.Respon Neraca Uang

Real Money BalancePercent

0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96

0

-0.016

0.004

-0.004

0.008

-0.008

-0.012 Optimal Response

Non Optimal Response

Nominal Money BalancePercent

0.14

0

0.16

0.12

0.1

0.08

0.06

0.04

0.02Optimal Response

Non Optimal Response

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Dalam jangka pendek, penurunan permintaan uang riil, lebih rendah dibandingkan

kenaikan harga konsumen. Karenanya, ketika bank sentral merespon guncangan premi resiko

dengan menaikkan suku bunga, penawaran uang nominal harus lebih tinggi untuk

485Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia

meyeimbangkan pasar uang. Dalam hal ini, arah uang dan tingkat bunga saling berkebalikan,

dalam artian bahwa kebijakan moneter ketat terhadap tingkat suku bunga, namun longgar

terhadap pasokan uang.

Tabel 2 menunjukkan bahwa tingkat suku bunga berkorelasi positif dengan pertumbuhan

uang selama krisis. Namun, hubungan itu sebagian besar dikarenakan peningkatan besar-besaran

dalam bantuan likuiditas dikombinasikan dengan peningkatan suku bunga yang signifikan.

Lebih lanjut, Grafik 15 memperlihatkan bahwa kenaikan (atau penurunan) pada suku bunga

kebijakan Bank Indonesia (tingkat SBI), yang secara positif sangat berhubungan dengan

perubahan tingkat deposito, tidak serta merta memperlambat (atau mempercepat) pertumbuhan

mata uang yang beredar selama periode pasca-krisis. Korelasi negatif antara suku bunga dan

pertumbuhan mata uang melemah selama periode observasi seperti yang ditunjukkan pada

Tabel 2. Karena pertumbuhan dan suku bunga kebijakan bisa bergerak dalam arah yang sama,

dan pengetatan atau pelonggaran kebijakan moneter seharusnya hanya diwakili dan jelas

dikomunikasikan dalam bentuk kebijakan suku bunga.

Tabel 2.Korelasi antara Pertumbuhan Mata Uang dan Tingkat Bunga

1990Q1-1997Q2 -0,33 -0,65

1997Q3-1998Q4 0,84 0,42

1999Q1-2007Q1 -0,13 -0,28

Koefisien Korelasi

tingkat SBI 1 bulan tingkat deposit 3 bulanPeriode

Grafik 15. Arah Suku Bunga danPertumbuhan Mata Uang di Indonesia

%

(3.00)

(2.00)

(1.00)

-

1.00

2.00

3.00

Increase (decrease) in SBI rateAcceleration (deceleration) of Currency in Circulation

2000

q01

2000

q02

2000

q03

2000

q04

2001

q01

2001

q02

2001

q03

2001

q04

2002

q01

2002

q02

2002

q03

2002

q04

2003

q01

2003

q02

2003

q03

2003

q04

2004

q01

2004

q02

2004

q03

2004

q04

2005

q01

2005

q02

2005

q03

2005

q04

2006

q01

2006

q02

2006

q03

2006

q04

2007

q01

2007

q02

486 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

V. KESIMPULAN

Studi ini menemukan bahwa meski dengan respon kebijakan moneter yang optimal,

depresiasi nilai tukar nominal yang dipicu oleh guncangan premi resiko suku bunga selama dua

tahun, memberikan dampak bagi perekonomian dalam bentuk inflasi yang lebih tinggi, output

yang lebih rendah, suku bunga riil dan nominal yang lebih tinggi, biaya modal yang lebih

tinggi, investasi yang lebih rendah, utang dan defisit pemerintahan yang lebih tinggi, tingkat

pajak yang lebih tinggi, dan pengangguran yang lebih tinggi.

Guncangan yang terus-menerus juga memperburuk perekonomian dalam jangka-panjang.

Hal ini ditandai dengan kesetimbangan jangka panjang nilai tukar nominal yang lebih lemah ,

harga domestik, impor serta upah yang lebih mahal, dan neraca pembayaran yang lebih buruk

(surplus neraca perdagangan yang lebih rendah, defisit neraca berjalan yang lebih tinggi, arus

masuk modal yang lebih tinggi, utang luar negeri bersih yang lebih besar, utang pemerintah

yang lebih tinggi namun berkelanjutan). Namun, respon kebijakan moneter yang tepat, yakni

kenaikan suku bunga terkecil dalam himpunan respon suku bunga yang layak, mampu

mengurangi dampak merugikan tersebut.

Karateristik guncangan seperti ini terjadi karena kurangnya respon disinflasi terhadap

kenaikan pada kebijakan suku bunga, yang disebabkan oleh kombinasi kekakuan riil yang

tinggi dan kuatnya saluran biaya atas suku bunga dan pass-through nilai tukar. Baik saluran

permintaan agregat atas suku bunga dan saluran sisi permintaan atas pass-through dari nilai

tukar mempunyai efek yang lemah terhadap inflasi.

Beberapa implikasi kebijakan mungkin sesuai, namun karakteristik transmisi moneter

seperti ini menyulitkan respon kebijakan moneter yang optimal. Akan lebih baik bagi bank

sentral untuk mengejar inflasi yang lebih rendah yang dipengaruhi oleh permintaan, ketika

guncangan yang merusak tidak muncul atau ketika terdapat guncangan pasokan yang

menguntungkan. Ketika disinflasi berhasil, suku bunga pada gilirannya dapat diturunkan dan

akhirnya dapat membantu mengurangi biaya jalur suku bunga dan memperkuat saluran

permintaan agregat.

Karena guncangan nilai tukar dan cost-push sering kali merugikan perekonomian, maka

diperlukan kebijakan lain untuk melengkapi kebijakan moneter untuk memperkuat saluran

permintaan agregat dari kebijakan moneter. Penting untuk diketahui bahwa saluran biaya suku

bunga perlu diturunkan. Ini menyiratkan bahwa proporsi pendapatan domestik untuk pemilik

modal, investor atau pemberi pinjaman, harus dikurangi. Perombakan struktur produksi dengan

menambah produsen barang yang padat karya, bisa menjadi kebijakan industri yang tepat

untuk membantu mengurangi proporsi modal dalam output.

487Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia

Kebijakan lain yang bisa diterapkan adalah yang terkait dengan upaya pengurangan

biaya modal. Model dan hasil simulasi tidak dapat merekomendasikan kebijakan yang secara

langsung dapat mengurangi biaya modal, karena tidak adanya saluran pinjaman bank yang

menunjukkan kesetaraan suku bunga kebijakan bank sentral dan suku bunga pinjaman bank.

Namun, ketika saluran itu muncul, rekomendasi kebijakan yang mendorong pengurangan biaya

marjin perantara keuangan dan marjin profit, mungkin dapat mengurangi biaya modal. Kebijakan

lainnya adalah yang membantu mengurangi inflasi yang disebabkan alasan non-moneter, yang

dalam praktiknya, secara tidak langsung akan mengurangi biaya modal pada tingkat bunga riil

tertentu dan spread antara pinjaman dan suku bunga deposito. Dalam kerangka pemodelan

dari studi ini, keberhasilan dari kebijakan ini secara langsung akan mengurangi baik suku bunga

pinjaman maupun suku bunga kebijakan. Mengingat bahwa harga sama dengan biaya marjinal

ditambah marjin keuntungan, kebijakan seperti ini dapat memiliki bentuk (i) mengurangi biaya

marjinal yang dipicu alasan non-moneter, (ii) mengurangi marjin profit, dan (iii) meningkatkan

fleksibilitas marjin profit terhadap peningkatan biaya5.

Biaya marjinal yang dipicu alasan non-moneter, yang tidak dimodelkan dalam penelitian

ini, mungkin mengambil bentuk biaya marjinal atas «tenaga kerja eksternal»6 dan juga penentu

lain dari biaya marjinal yang tidak dimasukkan dalam persamaan biaya marjinal (2.6).

Dan pada akhirnya, penting untuk menelusuri keterbatasan model yang harus

dipertimbangkan ketika menginterpretasikan hasil simulasi untuk tujuan pengeluaran kebijakan.

Model ini masih memiliki kekurangan di saluran pinjaman banknya yang berarti menyiratkan

tidak adanya bank dan bahwa bank sentral merupakan bagian dari pemerintah. Akan menarik

untuk mengetahui bagaimana perekonomian bereaksi dengan kehadiran bank sebagai perantara

keuangan.

5 Harga barang produksi dalam negeri dapat ditetapkan sebagai biaya marjinal nominal dikalikan dengan marjin laba kotor, P = MCd

( 1 + μ), yakni mcd = mcdm + mcdnm , di mana mcdm adalah biaya marjinal riil yang dipicu alasan moneter, seperti pada (II.14),

adalah biaya marjinal riil yang dipicu alasan non-moneter dan μ adalah marjin laba bersih .

6 Biaya « tenaga kerja eksternal « adalah biaya tambahan harus dikeluarkan perusahaan terus-menerus, untuk alasan apapun, bagiorang-orang yang bukan pegawai perusahaan atau tidak memasok tenaga kerja mereka dalam bentuk input produksi.

488 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

Agénor, Pierre-Richard dan Peter J. Montiel (2008). Development Macroeconomics, Third Edition.

Princeton University Press.

Al-Eyd, Ali dan Stephen G. Hall (2006). ≈Financial Crisis, Effective Policy Rules and Bounded

Rationality in a New keynesian FrameworkΔ. NIESR Discussion Paper No. 272.

Barth, M.J., Ramey, V. (2001).Δ≈The Cost Channel of Monetary TransmissionΔ. NBER

Macroeconomic Annual,Δhal. 199√239.

Calvo, Guillermo (1983).√≈Staggered Process in A Utility Maximizing FrameworkΔ, Journal of

Monetary Economics 12 (1983), hal. 89-100.

Chowdhury, Ibrahim, Mathias Hoffmanna, dan Andreas Schabert (2006). ≈Inflation dynamics

and the cost channel of monetary transmissionΔ. European Economic Review 50, hal. 995√

1016

Christiano, Lawrence J., Martin Eichenbaum, dan Charles L. Evans (2005).√≈Nominal Rigidities

and the Effects of a Shock to Monetary Policy,ΔΔJournal of Political Economy, Vol. 113(1),

1"45.

Clarida, R., J. Gali, M. Gertler (1999). ≈The Science of Monetary Policy: A New Keynessia

PerspectiveΔ. Journal of Economic Literature, Vol.37, Issue 4, 1661-1707.

Darsono, Akhis R. Hutabarat, Diah Esti Handayani, Hery Indratno, Retno Muhardini (2002).

≈Survey of Bussiness Price Setting BehaviorΔ. Makalah dipresentasikan pada The 26th CIRET

Conference, Taipei, October 2002.

Drud, Arne (2006). ≈CONOPTΔ, GAMS √ The Solver Manuals, ARKI Consulting and Development

A/S, Bagsvaerd, Denmark.

Eichenbaum, M. (1992). ≈Comment on «Interpreting the macroeconomic time series facts: the

effects«of monetary policy» by C.A. SimsΔ.ΔEuropean Economic Review, 36, pp. 1001√1011.

Erceg, Christopher J., Andrew T. Levin (1983). ≈Imperfect credibility and inflation persistenceΔ,

Journal of Monetary Economics 50 (2003), hal. 915-955.

Hall, Simon, Mark Walsh, Anthony Yates (1997). ≈How do UK companies set prices?Δ. Bank of

England Working Paper 8905.

Hossain, A (2006). ≈Sources of Economic Growth in Indonesia, 1966-2003Δ Journal of Applied

Econometrics and International Development, Vol.6 Issue 2.

DAFTAR PUSTAKA

489Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia

Husman, Jardine A. (2005). ≈Pengaruh Nilai Tukar Riil Terhadap Neraca Perdagangan Bilateral

Indonesia: Kondisi Marshall-Lerner dan Fenomena J-CurveΔ. Buletin Ekonomi Moneter dan

Perbankan Bank Indonesia (Volume 8 No.3).

Hutabarat, Akhis R. (2007). ≈Monetary policy response to transient exchange rate and cost

shocksΔ. Working Paper, University of Leicester.ΔTidak dipublikasikan.

Murchison, Stephen, Andrew Rennison, dan Zhenhua Zhu (2004). ≈A Structural Small Open-

Economy Model for CanadaΔ. Bank of Canada Working Paper 2004-4.

Ravenna, Federico, Carl E. Walsh (2006). ≈Optimal monetary policy with the cost channelΔ.

Journal of Monetary Economics Vol. 53, pp. 199-216.

Romer, D. (2006). Advanced Macroeconomics, 3rd edn. New York: McGraw-Hill.

Rosenthal, Richard E. (2006). ≈GAMS≈ƒ A User»s GuideΔ. GAMS Development Corporation,

Washington, DC, USA

Sims, Christopher A. (1992). ≈Interpreting the macroeconomic time series facts: the effects of

monetary policyΔ. European Economic Review, 36, hal. 975√1000.

Smets, Frank, dan Raf Wouters (2003). ≈An estimated stochastic dynamic general equilibrium

model of the Euro areaΔ, ECB Working Paper No.171. Sorensen, Peter Birch, Hans Jorgen

Whitta-Jacobsen (2005). ≈Introducing Advanced Macroeconomics √ Growth and Business

CyclesΔ. The McGraw-Hill Companies.

Young, Alwyn (1995).

≈The Tyranny of Numbers: Confronting the Statistical Realities of the East Asian Growth

ExperienceΔ. The Quarterly Journal of Economics, Vol. 110, No.3, hal.641-680.

Woodford, M (2003). ≈Interest and Prices. Foundations of a Theory of Monetary PolicyΔ. Princeton

University Press.

Warjiyo, Perry dan Juda Agung (2002). ≈Transmission Mechanisms of Monetary Policy in

IndonesiaΔ, Bank Indonesia: Direktorat Penelitian Ekonomi dan Kebijakan Moneter.

490 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011

halaman ini sengaja dikosongkan

PETUNJUK PENULISAN

1. Naskah harus merupakan karya asli penulis (perorangan, kelompok atau institusi) yang tidak

melanggar hak cipta. Naskah yang dikirimkan, belum pernah diterbitkan dan tidak sedang

dikirimkan ke penerbit lain pada waktu yang bersamaan. Hak cipta atas naskah yang diterima,

TETAP menjadi hak penulis.

2. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan, akan mendapatkan kompensasi finansial

sebesar Rp 2.500.000,-.

3. Naskah dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy (file). Sangat disarankan untuk mengirimkan

softcopy anda ke:

[email protected] (Cc. to: [email protected].)

Jika tidak memungkinkan, file tersebut dapat disimpan dalam disket atau CD dan dikirimkan

melalui pos ke alamat redaksi berikut:

BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN

Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia

Gedung B, Lt. 20, JI. M. H. Thamrin No.2

Jakarta Pusat, INDONESIA Telpon: 62-21-3818202, Fax: 62-21-3800394

4. Naskah dibatasi.+ 25 halaman berukuran A4, spasi satu (1), font Times New Roman dengan

ukuran font 12.

5. Persamaan matematis dan simbol harap ditulis dengan mempergunakan Microsoft Equation.

6. Setiap naskah harus disertai abstraksi, maksimal satu (1) halaman ukuran A4. Untuk naskah

yang ditulis dalam bahasa Indonesia, abstraksi-nya ditulis dalam Bahasa Inggris, dan

sebaliknya.

7. Naskah harus disertai dengan kata kunci (Keyword) dan dua digit nomor Klasifikasi Journal

of Economic Literature (JEL). Lihat klasifikasi JEL pada, http:// www.aeaweb.org/journal/

jel_class_system.html.

8. Naskah ditulis dengan penyusunan BAB secara konsisten sebagai berikut,

492 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, April 2011

I. JUDUL BAB

I.1. Sub Bab

I.1.1. Sub Sub Bab

9. Rujukan dibuat dalam footnote (catatan kaki) dan bukan endnote.

10.Sistem referensi dibuat mengikuti aturan berikut,

a. Publikasi buku:

John E. HankeJohn E. HankeJohn E. HankeJohn E. HankeJohn E. Hanke dan Arthur G. ReitschArthur G. ReitschArthur G. ReitschArthur G. ReitschArthur G. Reitsch, (1940), Business Forecasting, PrenticeHall, New

Jersey.

b. Artikel dalam jurnal:

Rangazas, Peter.Rangazas, Peter.Rangazas, Peter.Rangazas, Peter.Rangazas, Peter. ≈Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with

Human CapitalΔ, Journal of Monetary Economics, Oktober 2000,46(2), hal. 397-416.

c. Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Frankel, Jeffrey A.Frankel, Jeffrey A.Frankel, Jeffrey A.Frankel, Jeffrey A.Frankel, Jeffrey A. dan Rose, Andrew K.Rose, Andrew K.Rose, Andrew K.Rose, Andrew K.Rose, Andrew K.

≈Empirical Research on Nominal Exchange RatesΔ, dalam Gene Grossman dan Kenneth

Rogoff, eds., Handbook of International Economics. Amsterdam: North-Holland, 1995,

hal. 397-416.

d. Kertas kerja (working papers):

Kremer, MichaelKremer, MichaelKremer, MichaelKremer, MichaelKremer, Michael dan Chen, DanielChen, DanielChen, DanielChen, DanielChen, Daniel. ≈Income Distribution Dynamics with Endogenous

FertilityΔ. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working Paper

No.7530, 2000.

e. Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Knowles, JohnKnowles, JohnKnowles, JohnKnowles, JohnKnowles, John. ≈Can Parental Decision Explain

U.S. Income Inequality?Δ, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999.

f. Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Summers, RobertSummers, RobertSummers, RobertSummers, RobertSummers, Robert dan HestonHestonHestonHestonHeston, Alan

W. ≈Penn World Table, Version 5.6Δ http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997.

g. Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Begley, Sharon.Begley, Sharon.Begley, Sharon.Begley, Sharon.Begley, Sharon. ≈Killed by KindnessΔ,

Newsweek, April 12, 1993, hal. 50-56.

11.Naskah harus disertai dengan biodata penulis, lengkap dengan alamat, telepon, rekening

Bank dan e-mail yang dapat dihubungi. Disarankan untuk menulis biodata dalam bentuk

CV (curriculum vitae) lengkap.