Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

53
Aberasi kromosom metafase dan interfase sel limfosit pada awak penerbangan, suatu kajian awal Biomarker kerusakan sel akibat radiasi pengion di bidang medik Potensi pemanfaatan biomarker γ-H2AX dalam biodosimetri medis Keselamatan radiasi pada pasien yang menjalani terapi kanker dengan LINAC energi tinggi Peran instrumen pencitraan hewan coba pada perkembangan kedokteran nuklir di Indonesia Menghadirkan unsur-unsur transuranium dengan teknik transmutasi inti ALARA Volume 17 Nomor 2, Desember 2015 ISSN 1410-4652 Buletin Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi Badan Tenaga Nuklir Nasional ALARA

Transcript of Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

Page 1: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

Aberasi kromosom metafase dan interfase sel limfosit pada awak penerbangan, suatu kajian awal

Biomarker kerusakan sel akibat radiasi pengion

di bidang medik

Potensi pemanfaatan biomarker γ-H2AX dalam biodosimetri medis

Keselamatan radiasi pada pasien yang menjalani

terapi kanker dengan LINAC energi tinggi

Peran instrumen pencitraan hewan coba pada perkembangan kedokteran nuklir di Indonesia

Menghadirkan unsur-unsur transuranium dengan

teknik transmutasi inti A

LAR

A Volume 17 Nomor 2, Desember 2015

ISSN 1410-4652

Buletin

Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi Badan Tenaga Nuklir Nasional

ALA

RA

Page 2: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

ISSN 1410 – 4652

Buletin Alara PUSAT TEKNOLOGI KESELAMATAN DAN

METROLOGI RADIASI BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL Volume 17 Nomor 2, Desember 2015

Buletin Alara, Volume 17 Nomor 2, Desember 2015

TIM REDAKSI

Penanggung Jawab

Kepala PTKMR

Pemimpin Redaksi

Dr. Mukh Syaifudin

Penyunting/Editor & Pelaksana

Prof. Drs. Eri Hiswara, M.Sc Dr. Heny Suseno

Drs. Hasnel Sofyan, M.Eng Drs. Gatot Wurdiyanto, M.Eng

dr. Fadil Nazir, Sp.KN

Sekretariat

Setyo Rini, SE Salimun

Alamat Redaksi/Penerbit : PTKMR – BATAN

⇒ Jl. Lebak Bulus Raya No. 49 Jakarta Selatan (12440)

Tel. (021) 7513906, 7659512 ; Fax. (021) 7657950

⇒ PO.Box 7043 JKSKL, Jakarta Selatan (12070)

e-mail : [email protected] [email protected]

Dari Redaksi

Radiasi pengion dapat menginduksi sejumlah kerusakan pada deoxyribonucleic acid (DNA) dari yang paling ringan seperti kerusakan pada basa nitrogen sampai kerusakan yang paling parah yaitu double strand breaks (DSB) dan complex clustered DSBs. Sebagai kerusakan yang kompleks DSB dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan atau aberasi pada struktur kromosom dan juga kematian sel khususnya apoptosis (programmed cell death).

Para astronot yang terpapar radiasi pengion selama eksplorasi ruang angkasa telah menjadi perhatian yang serius untuk dikaji. Kebanyakan studi untuk mempelajari radiasi LET tinggi yang menginduksi kerusakan kromosom pada sel tahap metaphase yang dikumpulkan pada suatu waktu setelah menerima paparan. Perkiraan risiko kesehatan dapat dilakukan dengan pengukuran dosis serap menggunakan dosimeter pasif. Berdasarkan studi sitotoksisitas aberasi kromosom dan transformasi onkogenik yang diinduksi oleh ion berat telah dilaporkan oleh beberapa peneliti untuk digunakan dalam mengkaji risiko kesehatan yang diakibatkan oleh paparan radiasi. Bukti dari studi sitogenetik menunjukkan bahwa dosis radiasi terakumulasi selama penerbangan panjang dapat menginduksi peningkatan frekuensi kerusakan kromosom disentrik limfosit perifer.

Pada bagian lain juga dibahas tentang Potensi pemanfaatan biomarker γ-H2AX dalam biodosimetri medis, Keselamatan radiasi pada pasien yang menjalani terapi kanker dengan LINAC energi tinggiPeran instrumen pencitraan hewan coba pada perkembangan kedokteran nuklir di Indonesia dan Menghadirkan unsur-unsur transuranium dengan teknik transmutasi inti

Akhirnya disampaikan ucapan selamat membaca, semoga apa yang tersaji dalam Buletin ini dapat menambah wawasan yang lebih luas mengenai ilmu dan teknologi nuklir serta menggugah minat para pembaca yang budiman untuk menekuni iptek ini. Jika ada kritik dan saran yang menyangkut tulisan dan redaksional untuk meningkatkan mutu Buletin Alara, akan kami terima dengan senang hati.

redaksi

Buletin ALARA terbit pertama kali pada Bulan Agustus 1997 dan dengan frekuensi terbit 3 kali dalam setahun (Agustus, Desember dan April) ini diharapkan dapat menjadi salah satu sarana informasi, komunikasi dan diskusi di antara para peneliti dan pemerhati masalah keselamatan radiasi dan lingkungan di Indonesia.

Page 3: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

ISSN 1410 – 4652

Buletin Alara PUSAT TEKNOLOGI KESELAMATAN DAN

METROLOGI RADIASI BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL Volume 17 Nomor 2, Desember 2015

Buletin Alara, Volume 17 Nomor 2, Desember 2015

IPTEK ILMIAH POPULER

51 – 57

Aberasi kromosom metafase dan interfase sel limfosit pada awak penerbangan, suatu kajian awal

Yanti Lusiyanti

61 – 68 Biomarker kerusakan sel akibat radiasi pengion di bidang medik Zubaidah Alatas

69 – 73 Potensi pemanfaatan biomarker γ-H2AX dalam biodosimetri medis Iin Kurnia dan Yanti Lusiyanti

75 – 84

Keselamatan radiasi pada pasien yang menjalani terapi kanker dengan LINAC energi tinggi

Hasnel Sofyan

INFORMASI IPTEK

87 – 92

Peran instrumen pencitraan hewan coba pada perkembangan kedokteran nuklir di Indonesia

Nur Rahmah Hidayati dan Teja Kisnanto

93 – 100 Menghadirkan unsur-unsur transuranium dengan teknik transmutasi inti Mukhlis Akhadi

LAIN – LAIN

58 Informasi SERIR-2 & SPERA 60 Kontak Pemerhati 74 Tata cara penulisan naskah/makalah

Tim Redaksi menerima naskah dan makalah ilmiah semi populer yang berkaitan dengan Keselamatan radiasi dan keselamatan lingkungan dalam pemanfaatan iptek nuklir untuk kesejahteraan masyarakat. Sesuai dengan tujuan penerbitan buletin, Tim Redaksi berhak untuk melakukan editing atas naskah/makalah yang masuk tanpa mengurangi makna isi. Sangat dihargai apabila pengiriman naskah/makalah disertai dengan CD-nya.

Page 4: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

IPTEK ILMIAH POPULER

Aberasi kromosom metafase dan interfase sel limfosit pada awak penerbangan, suatu kajian awal (Y. Lusiyanti) 51

ABERASI KROMOSOM METAFASE

DAN INTERFASE SEL LIMFOSIT PADA

AWAK PENERBANGAN, SUATU KAJIAN AWAL

Yanti Lusiyanti • Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi – BATAN

Jalan Lebak Bulus Raya 49, Jakarta – 12440 PO Box 7043 JKSKL, Jakarta – 12070

[email protected] PENDAHULUAN Selama masa penerbangan di Angkasa, para astronot telah menerima paparan dari radiasi kosmik yang komplek dari lingkungan yang terdiri dari proton energy tinggi, radiasi padat/mampat (densely ionizing), ion berat (heavy ions), maupun radiasi sekunder termasuk neutron. Perhatian telah dipusatkan pada efek dari paparan tersebut terhadap induksi kerusakan genetik yang diakibatkan oleh efek tertunda dan ketidak pastian dalam memperkirakan risiko. Telah diketahui bahwa ion berat dengna linear energy transfer (LET) tinggi mempunyai Relative Biological Effectiveness (RBE) yang lebih besar dibandingkan sinar-X atau sinar gamma untuk semua kerusakan genetik termasuk aberasi kromosom, mutasi, transformasi dan karsino-genesis dari Galactic cosmic rays (CGR) atau lebih dikenal sebagai radiasi kosmik, merupakan partikel bermuatan yang memiliki energi mencapai lebih dari 10 eV. Apabila dibandingkan dengan pemercepat partikel buatan manusia yang hanya mampu menghasilkan partikel dengan energi 5 x 1011 eV, maka energi dari GCR ini sangat tinggi. Namun berdasarkan pengamatan oleh beberapa peneliti diketahui bahwa radiasi yang berasal dari luar tata surya tersebut tidak melebihi 10% dan lebih 90 % berasal dari dalam sistem galaksi Bimasakti itu sendiri. Paparan radiasi yang diterima oleh awak pesawat telah mendapatkan perhatian serius mengingat tingginya paparan radiasi yang diterima untuk setiap kali penerbangan. Komisi

untuk proteksi radiasi International Commision on Radiological Protection (ICRP) merekomendasikan bahwa paparan radiasi kosmik yang diterima para awak pesawat diklasifikasikan sebagai paparan akibat pekerjaan. Paparan radiasi pengion pekerja radiasi direkomendasikan ICRP sebesar 20 mSv/tahun, akan tetapi diperbolehkan menerima 50 mSv dalam setahun tertentu asalkan selama 5 tahun nya tidak melebihi rerata sebesar 20 mSv. Untuk masyarakat umum telah ditetapkan selama 5 tahun dengan rerata sebesar 1 mSv/tahun, sedangkan untuk pekerja radiasi wanita yang hamil direkomendasikan maksimum sebesar 2 mSv dalam satu tahun.

Gambar 1. Ruang antar planet yang menunjukkan

kombinasi toksisitas dari galaksi radiasi kosmik (GCR) dan (sebagian besar) radiasi proton karena peristiwa partikel

Surya (SPE) (NASA/JPL-Caltech).

Page 5: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

IPTEK ILMIAH POPULER

52 Buletin Alara, Volume 17 Nomor 2, Desember 2015, 51 – 57

Aberasi kromosom telah digunakan dalam mempelajari mekanisme efek radiasi dalam biodosimetri dan sebagai biomarker dalam karsinogenetik. Frekuensi aberasi kromosom dalam sirkulasi limfosit dianggap oleh beberapa peneliti sebagai gold standar sebagai indicator yang realistis dari dosimeter biologi, dan telah digunakan untuk mengetahui akibat paparan radiasi pada kasus kedaruratan dan para astronot yang terpapar pada saat di luar angkasa. Dalam makalah ini dilaporkan kajian terkait efek sitogenetik yang digunakan untuk mengkaji kerusakan kromosom atau aberasi kromosom pada para awak pesawat/astronot.

EFEK BIOMEDIK AKIBAT PAPARAN RADIASI RUANG ANGKASA

Risiko kesehatan untuk para awak pesawat ruang angkasa secara umum dilakukan dengan pengukuran dosis fisik menggunakan dosimeter pasif thermoluminecent (TLDs), detektor plastik jejak nuklir (PAEDs). Pengukuran terkait dosis serap fisik belum cukup untuk menginformasikan secara komplit karakteristik dari radiasi yang mampu secara nyata memperkirakan risiko kesehatan. Efek kesehatan jangka pendek dan panjang para astronot terpapar radiasi pengion selama eksplorasi ruang angkasa telah menjadi perhatian yang serius untuk dikaji. Kebanyakan studi untuk mempelajari radiasi LET tinggi yang menginduksi kerusakan kromosom pada sel tahap metaphase yang dikumpulkan pada suatu waktu setelah menerima paparan. Namun demikian setelah paparan LET tinggi kerusakan kromosom dalam interfase secara nyata lebih tinggi dibanding dalam metaphase. Hal ini menandakan adanya perpanjangan mitotik atau penundaan mitotik atau kematian sel interfase.

Berdasarkan studi sitotoksisitas aberasi kromosom dan transformasi onkogenik yang diinduksi oleh ion berat (heavy ion) telah dilaporkan oleh beberapa peneliti untuk digunakan dalam mengkaji risiko kesehatan yang diakibatkan oleh paparan radiasi. Sedangkan implementasi dosimeter biologi berdasarkan parameter yang spesifik terhadap induksi radiasi

yaitu perubahan struktur kromosom yang telah dikenal sebagai aberasi kromosom telah digunakan sebagai biomarker untuk monitoring efek paparan radiasi ruang angkasa. Bukti dari studi sitogenetik menunjukkan bahwa dosis radiasi terakumulasi selama penerbangan panjang dapat menginduksi peningkatan frekuensi kerusakan kromosom disentrik limfosit perifer.

Metode sitogenetik berdasarkan parameter aberasi kromosom pada sel limfosit perifer merupakan indikator yang sensitif terhadap paparan radiasi. Target utama kerusakan yang diakibatkan paparan radiasi pada sel yaitu kerusakan untai tunggal maupun untai ganda DNA. Kerusakan tersebut dapat divisualisasikan sebagai kerusakan kromosom berupa patahan kromosom (fragmen) kromosom disentrik (kromosom dengan dua sentromer), sentrik rings (kromosom cincin) dan pertukaran lengan kromosom (kromosom translokasi) (Gambar 2). Kelainan tersebut telah menjadi petunjuk dari kualitas radiasi karena dapat memberikan informasi secara langsung dan berkorelasi dengan risiko kesehatan.

Studi sitogenetik pertama kali dilaporkan pada limfosit darah perifer dari anggota awak anggota yang berpartisipasi dalam missi penerbangan luar angkasa program Gemini dan Mir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kru anggota yang berpartisipasi dalam penerbangan kurang lebih 3 minggu tidak ditemukan adanya kenaikan frekuesi kerusakan kromosom disentrik yang signifikan setelah penerbangan sedangkan pada awak pesawat yang terbang selama 4-6 bulan ditemukan kenaikan frekuensi disentrik yang signifikan setelah penerbangan namun variasi antar individu dilaporkan pula karena beberapa individu tidak menunjukkan peningkatan frekuensi disentrik. Secara umum keberadaan kromosom disentrik memiliki waktu paruh yaitu sekitar tiga tahun dalam limfosit darah perifer manusia, namun baru-baru ini studi menunjukkan variabilitas yang besar antar individu. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan parameter kromosom disentrik untuk analisis biodosimetri

Page 6: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

IPTEK ILMIAH POPULER

Aberasi kromosom metafase dan interfase sel limfosit pada awak penerbangan, suatu kajian awal (Y. Lusiyanti) 53

setelah misi berlangsung beberapa bulan atau lebih mungkin tidak dapat diandalkan karena informasi estimasi dosis berdasarkan parameter tersebut tidak memberikan hasil yang akurat.

Gambar 2. Visualisasi kerusakan kromosom fragmen

disentrik (A) ring (B) dengan metode pewarna Giemsa dan translokasi kromosom nomor 1 dengan teknik FISH (C).

Pengenalan metode fluoresensi in situ hybridization (FISH) dengan melakukan pengecatan pada kromosom tertentu dapat mempermudah melakukan pemeriksaan terhadap kerusakan kromosom tipe translokasi. Pada Gambar 3 diperlihatkan variasi individu berbasis frekuensi translokasi pada para sampel darah astronot yang terukur sebelum dan setelah penerbangan. Tipe kelainan kromosom selanjutnya dikenal dengan kelainan kromosom yang bersifat stabil karena memiliki probabilitas lebih tinggi untuk bertahan hidup pada sel darah perifer selama bertahun-tahun. Hal ini menunjukkan bahwa analisis translokasi dapat menjadi indikator yang lebih tepat daripada analisis disentrik untuk menilai efek kronis paparan radiasi seperti yang ditemui selama misi penerbangan jangka panjang, yang dikenal dengan retrospektif. Terjadinya perpindahan kromosom khususnya translokasi secara positif berkorelasi dengan berbagai macam kanker dan translokasi ini selanjutnya dapat dijadikan sebagai biomarker dari risiko kanker yang diakibatkan oleh paparan radiasi.

Pada Tabel 1 diperlihatkan hasil penelitian pada 10 astronot yang diambil sampel darahnya untuk dilakukan pemeriksaan kromosom disentrik dan translokasi kromosom sebelum melakukan perjalanan luar angkasa dan setelah melakukan perjalanan. Terlihat bahwa frekuensi disentrik mengalami kenaikkan pasca penerbangan, sedangkan untuk translokasi maupun inversi secara statistic tidak menunnjukaan kenaikan yang significant. Namun sampel responden masih terlalu sedikit untuk studi ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya

Hasil penelitian analisis sitogenetik dari limfosit astronot dari 7 awak pesawat setelah melakukan perjalanan selama 3 minggu hingga 6 bulan. Pada perjalanan 2 sampai 3 minggu hasil pemeriksaan kromosom disentrik tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dibandingkan control, hal ini menunjukkan bahwa penerimaan dosis pada awak pesawat selama penerbangan jangka pendek masih di bawah level dosis ambang untuk sitogenetik (20

Page 7: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

IPTEK ILMIAH POPULER

54 Buletin Alara, Volume 17 Nomor 2, Desember 2015, 51 – 57

mGy). Namun pada perjalanan selama 6 bulan terjadi kenaikan frekuensi disentrik pada beberapa awak pesawat.

Implementasi biodosimetri berdasarkan parameter frekwensi aberasi kromosom telah banyak dilaporkan oleh beberapa peneliti dalam memprediksi dosis dengan menggunakan kurva kalibrasi pra-penerbangan pada individu dan sampel darah yang disampling beberapa hari setelah kembali ke bumi, menunjukkan bahwa frekuensi aberasi kromosom disentrik masih dalam kisaran yang setara dengan dosimeter fisik. Beberapa pendekatan penelitian yang lain juga dipelajari dengan menggunakan model prediksi dengan membandingkan berbagai data berdasar-kan parameter aberasi kromosom dari metode Giemsa untuk kromosom disentrik dan metode FISH untuk kromosom translokasi. Hasil penelitian menunjukkan adanya hasil yang baik antara kurva respon dosis yang diperoleh dengan model simulasi Monte Carlo untuk aberasi kromosom disentrik/sel yang diinduksi sinar gamma dibandingkan dengan kromosom disentrik yang teramati pada sampel darah limfosit astronot

yang diambil setelah penerbangan pertama (Gambar 4).

Gambar 4. Frekuensi rerata kromosom disentrik per sel

pada beberapa sampel limfosit astronot sebagai fungsi dosis ekuivalent untuk sinar gamma menggunakan simulasi

Monte Carlo. Sedangkan prediksi respon dosis yang

diperoleh dengan parameter translokasi kromosom no 2, 3 dan 5 pasca irradiasi sinar gamma juga dilakukan. Prediksi dengan menggunakan model Monte Carlo dibandingkan dengan data hasil penelitian in-vitro dari sampel

Gambar 3. Frekuensi kromosom translokasi yang terukur pada sampel darah astronot yang disampling

sebelum dan setelah penerbangan pada 24 individu.

Tabel 1. Data frekuensi aberasi kromosom pada sampel darah astronot.

Sampel Disentrik/sel* Translokasi/sel* Inversi/sel pada kromosom no 5

Pra-Penerbangan 0 ± 00037 0,0025 ± 0,0047 0 ± 0,0056 Pasca-Penerbangan 0,0006 ± 0,0010 0,0031 ± 0,0059 0 ± 0,0031

Astronot

Page 8: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

IPTEK ILMIAH POPULER

Aberasi kromosom metafase dan interfase sel limfosit pada awak penerbangan, suatu kajian awal (Y. Lusiyanti) 55

limfosit astronot yang diiradisi sinar gamma ditampilkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Prediksi dan pengukuran respon translokasi

resiprokal/sel yang melibatkan kromosom no 2, 3 dan 5 dengan menggunakan simulasi Monte Carlo.

Peneliti lainnya telah menggunakan teknik

pengecatan kromosom untuk mempelajari kerusakan kromosom translokasi pada sel darah limfosit perifer dari 6 astronot yang telah terbang selama 3 bulan dan 2 awak pesawat yang bertugas pada misi antar jemput 10 hari yang diambil sampel darahnya menunjukkan hasil peningkatan frekuensi kerusakan kromosom terdeteksi di semua anggota awak, serta tidak ada perubahan signifikan terdeteksi pada awak pada misi ulang-alik pendek. Sedangkan hasil prediksi dosis dengan menggunakan preflight in vitro menggunakan kurva dosis-respons translokasi untuk sinar gamma menunjukkan hasil yang bervariasi antara individu. Perkirakan dosis dari 31-166 mGy, tergantung pada individual, dan nilai ini kira-kira berkorelasi dengan pengukuran dosis fisik. VARIABILITAS RESPON ADAPTIF PADA INDIVIDU

Makhluk hidup yang terkena berbagai kerusakan DNA secara alamiah terjadi karena paparan radiasi UV, alkilasi atau oksidator dan panas, adaptasi respon yang terbentuk terjadi karena adanya induksi dan membuat mereka resisten terhadap zat mutagenik. Telah banyak

dilaporkan bahwa di atas tingkat paparan radiasi latar dapat menginduksi respon adaptif dalam limfosit manusia. Dari sampel biakan limfosit penduduk daerah dengan radiasi alam tingkat tinggi di Ramsar, Iran, yang diradiasi sinar gamma pada dosis 1,5 Gy menunjukkan kelainan kromosom lebih sedikit dibandingkan kelompok kontrol. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian pada daerah radiasi latar tinggi, dilaporkan bahwa respon radioadaptif mungkin memiliki implikasi dalam pengkajian risiko radiasi dan proteksi radiasi. Studi juga telah membuka cakrawala dalam proteksi radiasi terhadap tingginya tingkat paparan radiasi kosmik pada perjalanan ruang angkasa jangka panjang.

Studi respon adaptif pada sel manusia yang diakibatkan oleh proton dan ion berat yang termasuk LET tinggi menunjukkan bahwa dosis yang sangat rendah akibat paparan radiasi elektromagnetik pengion atau neutron dapat menginduksi mekanisme sensitifitas sel terhadap panas yang dapat menginduksi efek merugikan. Dari data efek sitogenetik menunjukkan bahwa paparan radiasi ruang angkasa telah terbukti mampu menginduksi kerusakan yang signifikan pada sel. Secara umum diyakini bahwa kehadiran respon adaptif tidak berarti bahwa radiasi dosis rendah adalah menguntungkan untuk organisme hidup. Setelah publikasi hasil awal pada kehadiran respon adaptif pada penduduk daerah radiasi latar belakang tinggi Ramsar, beberapa ilmuwan melaporkan bahwa respons adaptif mungkin memiliki implikasi yang cukup besar dalam proteksi radiasi. Percobaan awal menunjukkan bahwa neutron belum menunjukkan respon yang dapat menginduksi respon adaptif dalam limfosit manusia.

Pada hasil penelitian lain dinyatakan respon radioadaptif yang sangat kecil dalam limfosit manusia yang telah dibiakkan. Hal ini dilaporkan karena adanya variabilitas antar individu terhadap induksi respon adaptif terhadap radiasi. Dalam beberapa kasus, respon adaptif dalam donor bervariasi dengan waktu, beberapa faktor fisiologis maupun genetik mungkin berkontribusi terhadap variabilitas respon radioadaptif. Hasil

Page 9: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

IPTEK ILMIAH POPULER

56 Buletin Alara, Volume 17 Nomor 2, Desember 2015, 51 – 57

penelitian terkait respon adaptif pada donor yang sehat yang tidak menunjukkan respon radioadaptif namun kadang-kadang menunjukkan respon sinergis setelah mendapat paparan dosis adaptif. Dalam penelitian lebih lanjut telah dipelajari apakah kurangnya respon adaptif dan induksi efek sinergis ini adalah fenomena yang permanen. Beberapa penelitian untuk menguji apakah kurangnya respon adaptif dan induksi efek sinergis ini adalah fenomena permanen teah dilakukan untuk mengetahui variabilitas respon radioadaptif pada individu dengan menggunakan parameter kelainan kromosom berdasarkan kelainan kromatid dan frekuensi mikronuklei dalam sel binukleat.

Pada Tabel 2 diperlihatkan frekuensi kelainan kromatid yang diperoleh dari limfosit 4 donor yang sehat yang diberi perlakuan radiasi dengan dosis adaptif (radioadaptif) 5 cGy dan dosis tantang (challenging dose) 2 Gy. Hasil penelitian menunjukkan pada donor pertama teramati efek sinergis yang signifikan (p <0,01) sementara tiga donor lainnya menunjukkan respon radioadaptif yang signifikan (p<0,05). Nilai K-responden yang merupakan koefisien untuk induksi respon adaptif berkisar antara 0,74 - 0,79, yang menunjukkan variabilitas yang cukup besar dalam besarnya respon induksi radioadaptif antara individu.

Sedangkan untuk frekuensi mikronuklei dilaporkan bahwa untuk non responder tidak menunjukkan respon radioadaptif tapi menunjukkan efek sinergistik (p<0.001). Sedangkan diantara tiga donor kontrol, dua individu menunjukkan respon radioadaptif yang signifikan (P<0.005). Salah satu dari mereka juga

telah menunjukkan respon radioadaptif yang signifikan untuk aberasi kromatid. Hal ini menunjukkan bahwa pengamatan mikronuklei dengan uji blok sitokinesis merupakan teknik yang perlu diaplikasikan dalam penelitian epidemiologi terkait survei respon radioadaptif untuk populasi sampel dalam skala besar.

PENUTUP

Paparan radiasi kosmik dalam penerbangan misi ruang angkasa melibatkan paparan medan radiasi heterogen yang didominasi oleh pengaruh latar belakang radiasi LET rendah, dikombinasikan dengan fluens/aliran yang lebih rendah dari radiasi LET tinggi. Kerusakan kromosom dalam limfosit darah para awak pesawat angkasa telah menjadi biomarker kerusakan tingkat sel yang diakibatkan oleh penerimaan paparan radiasi ruang angkasa. Data respon adaptasi radiasi untuk kelainan kromosom akibat paparan ruang angkasa menunjukkan variabilitas yang tinggi antar individu. Diantara faktor yang mempengaruhi adalah faktor fisiologi dan konstitusi genetik. Penelitian dasar perlu terus dikembangkan dan dipelajari untuk mengkaji relevansi dari efek biologis yang diakibatkan oleh paparan radiasi kosmik untuk mengkaji risiko kesehatan para kru pesawat dan astronot. DAFTAR PUSTAKA BILSKI, P., PAWEL, O., HORWACIK, T., Air Crew

Exposure to Cosmic Radiation on Board of Polish Passenger Aircraft, Nukleonika, 49 (2), 77-83, 2004.

CHANCELLOR, J.C., SCOTT, G.B.I., SUTTON, J.P., Space radiation: the number one risk to astronaut health beyond low earth orbit, Life, 4, 491-510, 2014.

Tabel 2. Frekuensi aberasi kromosom pada limfosit manusia pasca irradiasi 150 kVpX-ray pada dosis adaptasi 5 cGy dan dosis tantang 2 Gy.

Donor Aberasi kromosom/Sel*

Dn1 Dn2 Dn3 Dn4 Aberasi kromosom yang teramati 0,6 O,45 0,46 0,62 Aberasi kromosom yang diharapkan 0,32 0,60 0,62 0,78 p-Value <0,01 <0,05 <0,05 <0,05 Respon Synergistik Adaptive Adaptive Adaptive k-Value 1,86 0,75 0,74 0,79

*400 Sel metafase

Page 10: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

IPTEK ILMIAH POPULER

Aberasi kromosom metafase dan interfase sel limfosit pada awak penerbangan, suatu kajian awal (Y. Lusiyanti) 57

CUCINOTTA, F.A., DURANTE, M., Cancer risk from exposure to galactic cosmic rays: implications for space exploration by human beings, Lancet Oncology, 7, 431-435, 2006.

DURANTE, M., BONASSI, S., GEORGE, K. and CUCINOTTA, F.A., Risk estimation based on chromosomal aberrations induced by radiation, Radiation Research, 156, 662-667, 2001.

DURANTE, M., CUCINOTTA, F.A., Heavy ion carcinogenesis and human space explo-ration, Nat. Rev. Cancer, 8, 465–472, 2008.

DURANTE M., MANTI, L., Human response to high-background radiation environments on Earth and in space, Advances in Space Research, 42, 999–1007, 2008.

BLAKELY, E.A., Biological effects of cosmic radiation: deterministic and stocastic, Health Physics, 79(5), 495-506, 2000.

BONASSI, S., HAGMAR, L., STROMBERG, U., HUICI-MONTAGUD, A., TIMMERBERG, H., FORNI, A., HEIKKILA, P., WANDERS, S. and NORPPA, H. for the European Study Group on Cytogenetic Biomarkers and Health (ESCH), Chromosomal aberrations in lymphocytes predict human cancer independently of exposure to carcinogens, Cancer Research, 60, 1619-1625, 2000.

GEORGE, K., CUCINOTTA, F.A., Biological dosimetry in astronauts, Iran. J Radiat. Res., 1(1), 55-61, 2003.

GEORGE, K., RHONE, J., BEITMAN, A., CUCINOTTA F.A., Cytogenetic damage in the blood lymphocytes of astronauts: Effects of repeat long-duration space missions, Mutation Research, 756, 165-169, 2013.

ICRP, International Commission on Radiological Protection, Recommendations of the International Commission on Radiological Protection, ICRP Publication 60 Annals of ICRP 21, 1991.

KAWATA, T., DURANTE, M., FURUSAWA, Y., GEORGE, K., TAKAI, N., WU, H., CUCINOTTA, F.A., Chromosome abberation induced by high-LET radiations, Biological Science in Space, 18(4), 216-223, 2004

MORTAZAVI, S.M.J., IKUSHIMA, T., MOZDARANI, H., Variability of chromosomal radioadaptive response in human lymphocytes Iran. J. Radat. Res., 1(1), 55-61, 2003.

NAKAMURA, N., SUYAMA, A., NODA, A., KODAMA, Y., Radiation effects on human heredity, Annu. Rev. Genet., 47, 33–50, 2013.

TAWN, E.J., Hereditary effects of radiation, UNSCEAR 2001 report to the general assembly, with scientific annex, J. Radiol. Prot., 22, 121, 2002

Page 11: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

FIRST ANNOUNCEMENT

2-nd International Conference on the Sources, Effects and Risks of Ionizing Radiation

In cooperation / conjunction with

14-th Biennial Conference of the South Pacific Environmental Radiation Association (SPERA)

“Enhancing Awareness and Improving Understanding among Stakeholders on the Levels of Ionizing Radiation and the Related Health and Environmental Effects"

Bali, 5 – 9 September 2016

Organized and hosted by the

National Nuclear Energy Agency (BATAN)

Supported by:

Ministry of Research, Technology and Higher Education

Indonesian Radiation Oncology Society

Ministry of Health

Indonesian Society of Radiology

Nuclear Energy Regulatory Agency

Indonesian Society of Nuclear Medicine

Conference website:

http://www.batan.go.id/serir_conference_2/

Important Deadlines and Dates • Deadline for early registration: 20 August 2016 • Submission of abstract: 30 June 2016 • Submission of contributed paper: 30 July 2016 • Notification of acceptance of contributed paper: 6 August 2016

Page 12: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

Conference Description

The Indonesian National Nuclear Energy Agency (BATAN) is pleased to announce that it organizes the 2-nd International Conference on the Sources, Effects and Risks of Ionizing

Radiation that will be held in the same as the first conference, Bali, Indonesia, on 5 September 2016.

The Conference will deal with the efforts to enhance data collection and disseminate

scientific findings related to the issues of sources, effects and risks of the ionizing radiation, as well as to seek the way of communication among stakeholders (scientific

communities, regulatory authorities, and general public) on those issues.

The conference will be in cooperation or conjunction with The 14th Biennial Conference of the South Pacific Environmental Radioactivity Association (SPERA) held at September 5-9,

2016 that provides a platform for discussion and debate among scientists on the occurrence, behaviour, impact and measurement of radioactive species present in the environment

through natural processes, or resulting from human activities. This international conference facilitates knowledge sharing on environmental radioactivity and related topics of local and

global significance. Researchers, students and enthusiasts are encouraged to attend the conference and submit an abstract for oral or poster presentation.

Conference Topics

• Exposures from Natural and/or Man-Made Radiation • Occupational Radiation Exposures

• Medical Radiation Exposures • Health and Environmental Effects of Radiation

• Radiological/Nuclear Emergency Preparedness and Response

Conference Venue (is being considered)

Griya Agung Ballroom, Sanur Paradise Plaza Hotel Jalan Hang Tuah No.46, Sanur, Bali, Indonesia

(http://www.sanurparadise.com/plaza-hotel/)

Conference Secretariat PTKMR BATAN, Jalan Lebak Bulus Raya No. 49, Jakarta Selatan 12070, INDONESIA

Telp: +62 21 7513906 ext. 309, Fax: +62 21 7657950, Mobile: +62 85885682186 Email: [email protected]

Contact Person

Dr. Iin Kurnia, M.Biomed ([email protected]) Dr. Heny Sesuno, M.Si ([email protected])

Setyorini, SE ([email protected])

Page 13: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

KONTAK PEMERHATI

60 Buletin Alara, Volume 17 Nomor 2, Desember 2015

KONTAK PEMERHATI

Sesuai dengan tujuan diterbitkannya Buletin ALARA ini, yaitu sebagai salah satu sarana informasi, komunikasi dan diskusi di antara para peneliti dan pemerhati masalah keselamatan radiasi dan lingkungan di Indonesia, maka mulai edisi berikut

akan dimuat “Paket Kontak Pemerhati”. Para pembaca dapat menanyakan tentang permasalahan yang telah dikemukakan pada buletin ini atau memberikan saran/komentar serta tanggapan/kritikan yang sifatnya membangun.

Surat dapat dikirimkan melalui POS ke Tim Redaksi Buletin ALARA atau melalui e-mail : [email protected] dan [email protected] atau Fax. (021) 7657950

Jawaban serta Surat/tanggapan akan dimuat pada edisi berikutnya.

Tim Redaksi

Ykh. Tim Redaksi

Sebelumnya kami ingin menyampaikan rasa senang dan sangat berterima kasih kami atas adanya Buletin Alara ini yang selalu dapat hadir dengan memberikan informasi-informasi tentang keselamatan radiasi.

Kami melihat perkembangan peralatan di bidang kedokteran/medis yang menggunakan nuklir (radiasi), sangat cepat sekali. Kadang muncul rasa kawatir, apakah ada peneliti di Indonesia yang peduli dengan hal tersebut. Yang ingin kami tanyakan, bagaimana perkembangan penelitian di Indonesia terkait efek radiasi terhadap tubuh manusia?

Atas perhatiannya kami mengucapkan terima kasih dan selalu berdoa semoga Buletin Alara dapat hadir untuk menambah wawasan kami terkait keselamatan radiasi.

Nungki – Bandung

Bu Nungki di Bandung yang kami hormati, Kami sangat berterima kasih atas respon-

nya, dan juga sangat senang dengan adanya manfaat yang diperoleh dari Buletin Alara ini.

Kami juga akui bahwa perkembangan yang disebabkan oleh tuntutan kebutuhan untuk kesembuhan dari suatu penyakit (mis.: kanker)

juga semakin tinggi. Sampai saat ini, dari beberapa metoda dalam pengobatan banyak yang memanfaatkan radiasi. Radiasi selama dalam kontrol atau di bawah pengawasan, tentu efek radiasi yang kemungkinan dapat ditimbulkannya dapat diminimalisir.

PTKMR berdasarkan Perka BATAN No.14 Tahun 2013 merupakan salah satu dari satuan kerja yang ada di BATAN bertugas melakukan penelitian terkait efek radiasi. Jadi, dengan penelitian efek radiasi terhadap tubuh manusia dapat dipelajari pada tingkat sel atau tingkat molekuler yang dikenal dengan efek Sitogenetik. Saat ini, di laboratorium Sitogenetik PTKMR-BATAN telah dikembangkan metode standar untuk pemeriksaan efek sitogenetik akibat paparan radiasi berdasarkan kerusakan kromosom atau aberasi kromosom dari sel limfosit perifer.

Untuk lebih jelasnya, dengan sengaja kami terbitkan pada edisi ini beberapa naskah yang berkaitan dengan efek radiasi. Semoga bu Nungki bisa memahami lebih jauh tentang hal itu.

Selamat membaca

Redaksi

Bersambung ke hal 85…

Page 14: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

IPTEK ILMIAH POPULER

Biomarker kerusakan sel akibat radiasi pengion di bidang medik (Z Alatas) 61

BIOMARKER KERUSAKAN SEL

AKIBAT RADIASI PENGION DI BIDANG MEDIK

Zubaidah Alatas • Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi – BATAN

Jalan Lebak Bulus Raya 49, Jakarta – 12440 PO Box 7043 JKSKL, Jakarta – 12070

[email protected] PENDAHULUAN

Teknologi radiasi untuk diagnostik dan terapi telah berkembang pesat dimana penggunaannya memberikan manfaat klinik secara nyata di bidang medik. Penggunaan radiologi diagnostik sangat perlu diimbangi dengan kemampuan dalam memprediksi risiko kanker sebagai konsekuensi dari paparan radiasi dosis rendah. Dengan meningkatnya laju ketahanan hidup pasien kanker yang menerima tindakan radioterapi dan penggunaan prosedur radiologi intervensional, maka akan meningkat pula kekhawatiran tentang risiko jangka panjang dan efek samping dari tindakan tersebut.

Biomarker radiasi adalah materi biologik yang digunakan sebagai indikator yang mengalami perubahan setelah paparan radiasi. Berdasarkan aplikasinya, biomarker dapat diklasifikasikan atas biomarker paparan dan dosis, biomarker risiko dan sensitivitas, dan biomarker penyakit. Biomarker risiko dan sensitivitas merupakan biomarker yang berpotensi untuk diaplikasikan di bidang medik untuk meningkatkan keberhasilan diagnostik dan terapi dengan risiko serendah mungkin pada pasien. Biomarker ini dapat membantu dokter dalam memprediksi respon tumor dan memperkirakan risiko efek akut atau tertunda pada jaringan normal pasien terhadap radiasi. Dengan demikian informasi ini dapat digunakan untuk perencanaan tindakan medik yang diperlukan terhadap pasien, dan juga dapat mengidentifikasi pasien dengan potensi risiko tinggi untuk menderita kanker di masa mendatang

sehingga pemantauan rutin dapat direncanakan pelaksanaannya.

Perkembangan biomarker dalam radiologi dan radioterapi ditujukan untuk mengetahui potensi efek klinik dari penggunaan radiasi dan tindakan optimasi yang perlu dilakukan untuk memperkecil risiko. Terdapat sejumlah biomarker radiasi yang telah dikembangkan, tetapi tidak ada satupun yang dapat diaplikasikan pada semua kondisi paparan radiasi. Metode yang paling sering digunakan sebelumnya untuk memperkirakan dan biomonitoring potensi risiko kerusakan akibat paparan radiasi adalah menggunakan sel limfosit perifer sebagai sel tubuh yang paling sensitif terhadap radiasi dan mudah untuk disampling. Kerusakan struktur pada DNA dan kromosom dan perubahan ekspresi gen beserta protein yang dihasilkan merupakan biomarker radiasi pengion yang sangat berpotensi untuk digunakan di bidang medik.

BIOMARKER SITOGENETIK Radiasi pengion dapat menginduksi sejumlah kerusakan pada deoxyribonucleic acid (DNA) dari yang paling ringan seperti kerusakan pada basa nitrogen sampai kerusakan yang paling parah yaitu double strand breaks (DSB) dan complex clustered DSBs. Sebagai kerusakan yang kompleks DSB dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan atau aberasi pada struktur kromosom dan juga kematian sel khususnya apoptosis (programmed cell death). Kerusakan DNA dapat segera mengalami proses perbaikan secara spontan dan spesifik oleh berbagai sistem

Page 15: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

IPTEK ILMIAH POPULER

62 Buletin Alara, Volume 17 Nomor 2, Desember 2015, 61 – 68

perbaikan kerusakan DNA yang sangat akurat dan efektif yang dikontrol oleh sejumlah gen yang terintegrasi. Proses perbaikan terhadap kerusakan DNA yang salah dapat mengakibatkan terbentuknya berbagai jenis aberasi kromosom seperti dilesi, translokasi, cincin, dan aberasi yang spesifik akibat radiasi yaitu aberasi kromosom disentrik.

Teknik sitogenetik sudah mapan untuk analisis aberasi kromosom tidak stabil (disentrik, cincin, mikronukleus) atau stabil (translokasi, dilesi, inversi) akibat paparan radiasi dan untuk keperluan biodosimetri. Dengan meningkatnya penggunaan peralatan radiasi dalam prosedur medik seperti pemindai computed tomography (CT), biomarker sitogenetik juga digunakan untuk mengkaji risiko efek kesehatan jangka panjang. Teknik pemeriksaan yang digunakan dalam terkait biomarker sitogenetik adalah kromosom disentrik, mikronuklei, Premature Chromosome Condensation (PCC) dan kromosom translokasi. Pemeriksaan Kromosom Disentrik

Kerusakan DSB pada DNA akibat paparan radiasi pengion dapat mengalami rekombinasi antara DSB dalam rangkaian proses perbaikan dengan mekanisme penggabungan kembali yang tidak sempurna sehingga dihasilkan aberasi kromosom jenis pertukaran yang dapat berupa inter kromosom (kromosom disentrik dan translokasi) atau intra kromosom (kromosom cincin dan inversi parasentrik) (Gambar 1). Keberadaan aberasi kromosom khususnya disentrik dapat dijumpai pada sel limfosit darah tepi dengan waktu paro sekitar 3 tahun. Pada teknik ini, sampel darah dikultur selama 48 jam dan diberikan colcemid untuk menghentikan mitosis agar kromosom dapat divisualisasi pada tahap metafase dengan mikroskop setelah dilakukan pewarnaan. Teknik pemeriksaan kromosom disentrik merupakan gold standard untuk biodosimetri yang paling sensitif akibat paparan radiasi pengion dengan dosis yang berlebih karena kecelakaan dan kerja. Keberhasilan pemeriksaan kromosom disentrik

sebagai biomarker terutama dikarenakan kromosom ini spesifik hanya diinduksi oleh radiasi pengion baik akibat paparan lokal maupun seluruh tubuh dan memiliki frekuensi kejadian spontan atau latar alam yang rendah. Hal ini memungkinkan untuk digunakan dalam memperkirakan dosis di bawah 0,1 Gy secara akurat.

Gambar 1. Ilustrasi kesalahan pada proses penggabungan kembali patahan inter kromosom (translokasi) dan intra

kromosom (inversi parasentrik) akibat radiasi [Brenner and Sachs, 1994].

Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan dalam

waktu 24 jam setelah paparan radiasi melalui pengambilan sampel darah tepi yang telah mengalami pencampuran sempurna antara sel yang teriradiasi dan yang tidak teriradiasi dalam sistem limfoid. Dibutuhkan waktu lebih dari 51 jam untuk preparasi sampel yang dilanjutkan dengan penghitungan 500–1000 sel tahap metafase dengan mikroskop. Saat ini pemeriksaan aberasi kromosom disentrik dapat dilakukan secara otomatis untuk mempersingkat waktu pengamatan. Pemeriksaan Mikronuklei Mikronuklei (MN) adalah suatu struktur yang berada di luar inti sel yang berasal dari fragmen/potongan kromosom asentrik atau seluruh kromosom yang tertinggal dalam sitoplasma pada tahap anafase dalam proses mitosis atau pembelahan sel (Gambar 2). Metode cytokinesis-blocked micronucleus (CBMN)

Page 16: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

IPTEK ILMIAH POPULER

Biomarker kerusakan sel akibat radiasi pengion di bidang medik (Z Alatas) 63

dikembangkan dengan menggunakan senyawa cytochalasin-B dalam proses kultur sel limfosit yang secara efektif akan memblok sitokinesis dan memungkinkan identifikasi sel mikronuklei binukleat. Mikronuklei yang terjadi secara spontan umumnya tersusun dari seluruh kromosom (whole chromosomes). Sedangkan MN yang diinduksi radiasi berkembang dari fragmen kromosm asentrik dengan dosis ambang dalam kisaran 0,2 hingga 0,3 Gy. Pewarnaan sentromer kromosom dalam pemeriksaan ini menghasilkan batas deteksi menjadi lebih rendah (0,1 Gy) yang menyebabkan pemeriksaan ini menjadi sensitif untuk dosis rendah. Untuk keperluan tindakan diagnostik, penghitungan dengan teknik CBMN adalah cepat, sederhana dan dapat diotomatisasi dalam kasus kedaruratan dengan keterbatasan hanya dapat memperkitrakan rerata dosis seluruh tubuh dan tidak untuk paparan radiasi lokal.

Gambar 2. Beberapa mikronuklei dalam sebuah sel

binukleat [Thomas, 2003]. Pemeriksaan Premature Chromosome Condensation Biomarker lain yang terdapat dalam sel limfosit darah tepi adalah Premature Chromosome Condensation (PCC). Teknik PCC dapat digunakan untuk mengevaluasi aberasi kromosom pada sel limfosit dalam tahap interfase yang dilebur (fusi) dengan sel Chinese Hamster Ovary (CHO) atau sel HeLa dalam tahap mitosis dan menggunakan polyethylene glicol (PEG) sebagai fusing agent (Gambar 3). Kondensasi

kromosom ini memungkinkan patahan kromosom menghasilkan kelebihan fragmen yang dapat divisualisasikan dengan cepat setelah paparan radiasi. Teknik ini tidak diperlukan proses kultur sel sehingga preparasi preparat menjadi lebih cepat yaitu sekitar 3 jam untuk fusion-based PCC. Teknik ini khususnya berguna untuk menentukan dosis rendah dan tinggi untuk paparan akut, mendiskriminasi paparan seluruh tubuh dan paparan local. Teknik ini digunakan untuk pengamatan tingkat aberasi kromosom akibat paparan radiasi dosis tinggi (>5 Gy) sedangkan pemeriksaan kromosom disentrik dan MN paling baik untuk dosis radiasi < 5 Gy. Pemeriksaan Kromosom Transalokasi Di atas telah dibahas teknik sitogenetik yang digunakan untuk mengamati kerusakan pada kromosom dalam waktu mingguan sampai bulanan setelah paparan radiasi, yaitu aberasi kromosom yang bersifat tidak stabil seperti disentrik dan cincin. Sel limfosit yang mengalami kerusakan kromosom ini akan mati (rerata waktu paro 2-4 tahun). Radiasi pengion dapat pula menginduksi pembentukan aberasi kromosom yang bersifat stabil seperti kromosom translokasi, inversi dan delesi yang dapat dideteksi dengan teknik pengecatan kromosom yaitu Fluorescence in situ Hybridization (FISH). Aberasi kromosom stabil ini tidak menyebabkan kematian pada sel limfosit yang berada dalam darah selama beberapa tahun setelah paparan radiasi dan dapat diturunkan pada sel limfosit turunannya. Pembentukan kromosom translokasi melibatkan pertukaran segmen/patahan kromosom antar dua kromosom yang berbeda. FISH dapat mengecat satu atau lebih kromosom menggunakan chromosome-specific library of DNA probes yang telah dilabel dengan fluorochrome yang memungkinkan translokasi dapat divisualisasikan dengan mikroskop fluorescence. Umumnya kromosom ukuran besar (nomor 1–12) yang dicat dengan satu warna dan kromosom sisanya diberikan pewarna fluorescent DNA (Gambar 4) Dengan teknik ini sekitar 30% dari semua translokasi yang ada

Page 17: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

IPTEK ILMIAH POPULER

64 Buletin Alara, Volume 17 Nomor 2, Desember 2015, 61 – 68

dapat dideteksi sebagai kromosom dengan dua warna. Pan-centromeric probes dapat pula diaplikasikan ke dalam teknik ini untuk membedakan kromosom translokasi dan kromosom disentrik. BIOMARKER PROTEIN Patahan ganda (DSB) pada DNA merupakan kerusakan yang bersifat letal dan spesifik akibat radiasi. Terbentuknya DSB segera memicu proses fosforilasi pada protein histon H2AX menjadi gamma-H2AX foci (Gambar 5) dalam waktu sekitar 30 menit. Pembentukan γ-

H2AX foci yang diperlukan untuk proses perbaikan DNA dilakukan oleh sejumlah mediator Phosphoinositide 3-Kinase-Related Protein Kinases (PIKKs) seperti Ataxia Telangiectasia Mutated (ATM) sebagai respon spontan terhadap keberadaan DSB. Dengan demikian γ-H2AX foci adalah biomarker terhadap keberadaan kerusakan pada DNA dan/atau perbaikan DSB pada DNA. Kuantifikasi γ-H2AX foci dilakukan dengan metode immunositokimia dan diamati dengan mikroskop immunofluorescence atau flow cytometry. Pemeriksaan γ-H2AX foci adalah metode yang

Gambar 3. Sel limfosit distimulasi dengan mitogen untuk masuk siklus sel dan melakukan mitosis dalam waktu kultur 48 jam sehingga aberasi kromosom dapat diamati pada tahap metafase. Sedangkan PCC dan dilesi DNA mitokondria

(mtDNA) dilakukan pada tahap interfase [Blakely, 2001].

Gambar 4. Sel lomfosit tahap metafase yang dilabel dengan teknik FISH. Kiri, kromosom sel normal dan kanan, kromosom

dengan traslokasi (tanda panah). Kromosom 1, 2 dan 4 dicat kuning dan sisanya di cat merah [Nakano, 2001].

Page 18: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

IPTEK ILMIAH POPULER

Biomarker kerusakan sel akibat radiasi pengion di bidang medik (Z Alatas) 65

paling sensitif untuk deteksi DSB dengan batas deteksi dosis radiasi hingga 1 mGy. Dengan demikian, teknik ini dianggap sebagai gold standard untuk analisis DSB yang sensitif dan spesifik sehingga sangat sesuai untuk pasien yang menerima tindakan medik dengan peralatan radiologi diagnostik dan radioterapi.

Gambar 5. γ-H2AX foci dengan ukuran yang bervariasi

(Muslimovic et al). BIOMARKER EKSPRESI GEN

Sel manusia mempunyai respon molekuler yang kompleks terhadap tekanan fisiologis dan genotoksik yang antara lain dapat ditunjukkan melalui perubahan ekspresi gen. Ekspresi gen merupakan suatu proses yang menghasilkan protein tertentu dari gen dengan urutan kode tertentu pada DNA dan mRNA-nya. Sel dengan karakteristik sensitif terhadap radiasi akan menunjukkan perubahan ekspresi gen yang nyata pada sel tersebut. Dengan demikian, sel limfosit perifer yang merupakan sel yang paling sensitif terhadap radiasi menjadi pilihan terbaik untuk mengetahui profil ekspresi gen akibat radiasi. Ekspresi sejumlah gen terhadap paparan radiasi dapat digunakan sebagai biomarker yang informatif akibat radiasi. Dalam genom manusia terdapat beberapa gen yang memberikan ekspresi terhadap paparan

radiasi dan berperan penting dalam proses perbaikan kerusakan DNA, siklus sel dan apoptosis. Ekspresi gen bervariasi bergantung pada dosis, laju dosis, jenis sel, jenis radiasi dan waktu setelah paparan. Teknik yang telah dikembangkan untuk identifikasi peningkatan ekspresi sejumlah gen pada sel limfosit manusia sebagai respon terhadap radiasi pengion adalah cDNA microarray hybridization dan Quantitative Polymerase Chain Reaction (qPCR). Beberapa gen yang responsif antara lain Ferredoxin Reductase (FDXR), Cyclin-Dependent Kinase Inhibitor 1A(CDKN1A), p53 Upregulated Modulator of Apoptosis (PUMA), Phospho-histidine Phosphatase 1 (PHPT1), cyclin G, Activating Transcription Factor 3 (ATF3), Four and A Half Lim Domains 2 (FHL2) dan Growth Arrest and DNA-Damage-Inducible (GADD45). Semua gen tersebut berpotensi untuk digunakan sebagai biomarker akibat paparan radiasi yang lebih akurat. BIOMARKER UNTUK RADIOLOGI DIAGNOSTIK DAN INTERVENSIONAL Sinar-X adalah alat diagnostik dengan radiasi di bidang medik yang telah digunakan lebih dari 100 tahun. Alat radiologi diagnostik yang saat ini meningkat penggunaannya adalah pemindai Computed Tomography (CT) sebagai alat test medik non invasif yang cepat, akurat dan sangat nyaman bagi pasien untuk deteksi, diagnostik dan bahkan mengobati penyakit. CT merupakan kombinasi antara sumber sinar-X dan system komputerisasi yang canggih untuk menghasilkan sejumlah citra atau gambar tentang kondisi internal tubuh pasien dalam waktu singkat.

Berdasarkan sifatnya, CT menggunakan dosis radiasi pengion yang lebih besar dibandingkan dengan pencitraan sinar-X konvensional. Dosis efektif radiasi dari prosedur ini berkisar dari 5 sampai 100 mSv, kurang lebih setara dengan rerata manusia menerima paparan radiasi alam selama 8 bulan sampai 3 tahun. Terdapat bukti epidemiologi yang meskipun kecil tetapi signifikan terhadap peningkatan risiko

Page 19: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

IPTEK ILMIAH POPULER

66 Buletin Alara, Volume 17 Nomor 2, Desember 2015, 61 – 68

kanker akibat dosis radiasi dari tindakan CT. Data dari studi epidemiologi terakhir pada korban bom atom dan populasi lain yang teriradiasi menunjukkan risiko yang kecil tetapi dengan peningkatan risiko kanker yang signifikan pada tingkat radiasi yang rendah yang relevan dengan CT pada anak. Dengan demikian akan semakin besar masalah pada kesehatan masyarakat jika populasi anak yang terpapar dengan risiko yang kecil ini meningkat terus dengan cepat. Meskipun risiko individual terhadap kanker tidak besar, tetapi peningkatan paparan radiasi dalam populasi berpotensi menjadi isu kesehatan masyarakat di masa datang. Untuk mempelajari efek paparan radiasi dosis rendah dari pesawat sinar-X, penghitungan biomarker γ-H2AX foci yang sensitif untuk dosis serendah 1 mGy telah digunakan secara luas. Gamma-H2AX foci dijumpai pada sel darah perifer pasien dewasa yang diberi tindakan CT yang linier dengan meningkatnya dosis radiasi. Radiologi intervensional seperti kateterisasi jantung anak juga menunjukkan adanya peningkatan γ-H2AX foci pada sel limfosit darah perifer setelah dilakukan kateterisasi. Studi efek radiasi dari penggunaan CT melalui pemeriksaan hubungan dosis-respon kromosom disentrik dan γ-H2AX foci pada sel limfosit dari donor sehat ex vivo dengan dan tanpa iodine sebagai bahan kontras menunjukkan peningkatan efek radiasi yang jelas untuk suatu dosis kontras yang berada di luar rentang diagnostik CT (Gambar 6).

Gambar 6. Preparasi sel dengan respon sebelum dan

sesudah tindakan CT (0,77 mGy pada sel darah) anak laki berusia 15 bulan yang menunjukkan adanya penigkatan

jumlah γ-H2AX foci (koloni warna putih) [Halm, 2014].

Skrining mammografi menggunakan sinar-X energi rendah secara umum juga berpotensi tinggi dalam merusak DNA. Hasil studi identifikasi γ-H2AX foci pada sel epitel pasien yang ditindak mammografi menunjukkan bahwa pasien dengan BRCA carriers memiliki risiko kanker payudara 1,54 kali lebih tinggi setelah paparan radiodiagnostik sinar-X thorax/ dada dibandingkan dengan pasien BRCA carriers yang tidak diiradiasi. Individu dengan risiko kanker payudara yang tinggi dari mutasi BRCA1 atau BRCA2 akan menunjukkan tingkat DSB yang tinggi. Pola serupa dijumpai pada wanita yang ditindak dengan sinar-X terkait dengan penyakit tuberkulosis. Disarankan untuk merubah protokol dalam skrining mammografi seperti mereduksi jumlah citra yang diperoleh, dalam rangka mereduksi risiko kanker. BIOMARKER UNTUK RADIOTERAPI

Biomarker dalam radioterapi difokuskan untuk mengidentifikasi pasien yang radiosensitif, memprediksi risiko terkait tindakan medik, dan memungkinkan untuk menentukan tindakan yang lebih berhasil terhadap pasien kanker secara individual. Biomarker yang perlu dikembangkan adalah untuk mendapatkan pemahaman lebih baik dalam mengkuantifikasi respon biologik individual yang dikaitkan dengan tindakan radiologi dan personalisasi rencana tindakan radioterapi.

Tindakan radioterapi selalu disertai dengan efek samping akut seperti dermatitis dan bone marrow suppression, dan risiko efek tertunda seperti penyakit kardivaskular, ketidaksuburan, fibrosis atau malignansi kedua sebagai respon pasien terhadap tindakan radiasi yang sangat bervariasi. Radiosensitivitas yang ekstrim biasanya dihasilkan dari suatu mutasi pada gen utama dalam perbaikan DNA seperti ATM pada penderita Ataxia telangiectasia, Nijmegen Breakage Syndrome (NBS1), DNA-dependent protein kinase, catalytic subunit( DNA-PKcs) dan DNA ligase IV yang banyak dijumpai pada individu dengan kelainan sistem imunitas. Tingkat keparahan dari efek yang timbul pada

Page 20: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

IPTEK ILMIAH POPULER

Biomarker kerusakan sel akibat radiasi pengion di bidang medik (Z Alatas) 67

beberapa pasien menjadi pembatas dosis radiasi yang digunakan selama tindakan radioterapi.

Dengan adanya suatu uji yang dapat digunakan untuk memprediksi respon pasien terhadap radiasi pengion dapat menjadi dasar dalam merencanakan tindakan radioterapi secara individual dengan probabilitas keberhasilan yang lebih besar dalam mematikan sel kanker. Untuk pasien yang radioresisten, dosis radiasi yang lebih tinggi dapat digunakan untuk mematikan kanker, sedangkan untuk pasien yang sensitif terhadap radiasi maka dosis radiasi yang lebih rendah yang diterapkan atau perlu dipertimbangkan untuk diberikan tindakan alternatif seperti pembedahan atau kemoterapi.

Variasi dalam radiosensitivitas yang ditentukan oleh faktor genetik diperkirakan berperan sekitar 70% dari variasi toksisitas jaringan normal. Sampai saat ini belum ada teknik yang mampu mengidentifikasi radio-sensitivitas pasien terkait dengan perencanaan tindakan klinik. Sejauh ini pemeriksaan ekspresi gen yang dianggap berpotensi untuk identifikasi biomarker terkait tingkat radiosenstivitas dan telah berhasil digunakan untuk memprediksi respon tumor terhadap tindakan radioterapi tetapi belum secara rutin digunakan dalam klinik. Penelitian terakhir terkait ekspresi gen ditujukan untuk prediksi tingkat toksisitas radiasi pada pasien sebelum tindakan dan pemantauan perubahan ekspresi gen selama tindakan. Sebagai contoh, ekspresi gen P21 dengan teknik QPCR dapat digunakan untuk memprediksi radio-sensitivitas pasien dalam waktu 2 jam setelah tindakan iradiasi. Gen BCL-X memiliki karakteristik proteksi pada sel normal yang terpapar radiasi pengion dan kemoterapi dan sebagai indikator laju apotosis yang dapat memberikan prediksi tingkat keberhasilan tindakan. Studi klinik tentang hubungan antara toksisitas radioterapi dan ekspresi gen pada sel darah tepi pasien kanker telah berhasil mengidentifikasi beberapa gen dan jalur (pathways) yang terlibat. Frekuensi aberasi kromosom pada sel limfosit irradiasi mempunyai

hubungan dengan tingkat kerusakan segera dan tertunda pada jaringan normal pasien radioterapi. Tingkat radiosensitivitas seseorang secara genetik sangat ditentukan oleh sejumlah variasi dalam sekumpulan gen yang dapat dianalisis menggunakan Single Nucleotide Polymorphisms (SNPs). Beberapa proyek penelitian skala besar seperti Genetic Predictors of Adverse Project (Gene-PARE), GENEtic pathways for the Prediction of the Effects of Irradiation (GENEPI), Radiation Genomics (RadGenomics) dan Radiogenomics: Assessment of Polymor-phisms for Predicting the Effects of Radiotherapy (RAPPER) sampai saat ini masih terus dilakukan untuk mengetahui hubungan antara data genom individual dengan tingkat radiosensitivitas pasien kanker yang menerima tindakan radioterapi. Hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat bagi para dokter dalam menentukan tindakan secara invidual pada pasien kanker.

KESIMPULAN

Pemanfaatan peralatan radiologi diagnostik dan radioterapi dengan tingkat kecanggihan yang tinggi umumnya disertai dengan penerimaan dosis radiasi yang tinggi pula yang mengakibatkan peningkatan nyata terhadap tingkat paparan radiasi pada masyarakat. Dalam melakukan kajian risiko, penting untuk membedakan antara risiko individual dan risiko kolektif kesehatan masyarakat. Meskipun risiko terhadap individual adalah kecil dan dapat diterima untuk pasien simptomatik, tetapi populasi terpapar adalah besar dan terus mengalami peningkatan. Bahkan risiko radiasi individual yang kecil, ketika dimultiplikasi dengan sebuah jumlah yang besar, maka akan menjadi masalah kesehatan masyarakat jangka panjang yang signifikan yang akan terbukti beberapa tahun kemudian. Ini berarti tanpa disadari kita sedang menciptakan masalah kesehatan masyarakat di masa depan.

Penggunaan biomarker di bidang medik di masa mendatang akan dapat memberikan perawatan kesehatan secara individual pada pasien yang menerima tindakan diagnostik

Page 21: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

IPTEK ILMIAH POPULER

68 Buletin Alara, Volume 17 Nomor 2, Desember 2015, 61 – 68

maupun terapi dengan menggunakan radiasi pengion. Kegiatan penelitian biomarker yang sedang berlangsung memfokuskan diri pada mengembangkan strategi tindakan medik yang dapat melakukan pemantauan tingkat paparan radiasi dan penerapan tindakan yang sesuai dan berhasil secara individual pada pasien kanker. Dengan demikian, penelitian biomarker memiliki peran penting dalam membantu meningkatkan keluaran (outcome) klinik dan keselamatan pasien. DAFTAR PUSTAKA ANDRIEU, N., EASTON, D.F., CHANG-CLAUDE, J.,

ROOKUS, M.A., BROHET, R., et al, Effect of chest x-rays on the risk of breast cancer among BRCA1/2 mutation carriers in the international BRCA1/2 carrier cohort study: a report from the EMBRACE, GENEPSO, GEO-HEBON and IBCCS collaborators group, Journal of Clinical Oncology 24, pp. 3361-3366, 2006.

BLAKELY, W.F., MILLER, A.C, GRACE, M.B., MILLER, A.C., Radiation exposure assessment using cytological and molecular biomarkers, Radiat Prot Dos 97(1), pp. 17-23, 2001.

BOURTON, E.C., PLOWMAN, P.N., SMITH, D., ARLETT, C.F., PARRIS, C.N., Prolonged expression of the γ-H2AX DNA repair biomarker correlates with excess acute and chronic toxicity from radiotherapy treatment, International Journal of Cancer, 129(12), pp. 2928–2934, 2011.

BRENNER, D.J. and SACHS, R.K., Chromosomal “fingerprints” of prior exposure to densely ionizing radiation. Radiat Res, 140, 134-142, 1994.

COLIN, C., DEVIC, C., NOËL, A. RABILLOUD, M., ZABOT, M.T., et al, DNA double-strand breaks induced by mammographic screening procedures in human mammary epithelial cells, International Journal of Radiation Biology 87, pp. 1103–1112, 2011.

HALM, BM., FRANKE, A.A., LAI, J.F., TURNER, H.C., BRENNER, D.J., et al, γ-H2AX foci are increased in lymphocytes in vivo in young children 1 h after very low-dose X-irradiation: a pilot study, Pediatric Radiology 44(10), pp. 1310-1317, 2014.

KABACIK, S., MACKAY, A., TAMBER, N., MANNING, G., FINNON, P., et al, Gene expression following ionising radiation: identification of biomarkers for dose estimation and prediction of individual response, International Journal of Radiation Biology 87, pp. 115-129, 2011.

MUSLIMOVIC, A., JOHANSSON, P. and HAMMARSTEN, O., Measurement of H2AX phosphorylation as a marker of ionizing radiation induced cell damage (www.intechopen.com)

NAKANO, M., KODAMA, Y., OHTAKI, K., ITOH, M., DELONGCHAMP, R.R., et al, Detection of stable chromosome aberrations by FISH in A-bomb survivors: Comparison with previous solid Giemsa staining data on the same 230 individuals, International Journal of Radiation Biology 77, pp. 971-917, 2001.

PEARCE, M.S., SALOTTI, J.A., LITTLE, M.P., MCHUGH, K., LEE, C., et al., Radiation exposure from CT scans in childhood and subsequent risk of leukaemia and brain tumours: a retrospective cohort study, Lancet 380, pp. 499–505, 2012.

PRASANNA, P.G. and BLAKELY, W.F., Premature chromosome condensation in human resting peripheral blood lymphocytes for chromosome aberration analysis using specific whole-chromosome DNA hybridisation probes, Methods in Molecular Biology 291, pp. 49–57, 2005.

THOMAS, P., UMEGAKI, K. and FENECH, M., Nucleoplasmic bridges are a sensitive measure of chromosome rearrangement in the cytokinesis-block micronucleus assay, Mutagenesis 18, pp. 187–194, 2003.

Page 22: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

IPTEK ILMIAH POPULER

Potensi pemanfaatan biomarker γ-H2AX dalam biodosimetri medis (I. Kurnia dan Y. Lusiyanti) 69

POTENSI PEMANFAATAN BIOMARKER γ-H2AX

DALAM BIODOSIMETRI MEDIS

Iin Kurnia dan Yanti Lusiyanti • Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi – BATAN

Jalan Lebak Bulus Raya 49, Jakarta – 12440 PO Box 7043 JKSKL, Jakarta – 12070

[email protected]

PENDAHULUAN Sejak penemuan sinar-X dan radionuklida,

peranan radiasi pengion semakin terasa untuk perbaikan kehidupan manusia, peranan ini semakin terasa dengan adanya aplikasi nuklir dalam sejumlah sektor seperti pertanian, kedokteran serta teknologi listrik. Di sisi lain teknologi lainya tenologi nuklir tidak sepenuhnya dapat menimbulkan risiko. Disisi lain juga timbul ancaman yang lebih komplek seperti perang, bencana alam seperti yang terjadi di Fukushima beberapa waktu yang lalu. Risiko ini semakin besar seiring dengan meningkatnya permintaan pemakaian sumber radiasi dalam bidang industri yang sekaligus berpotensi timbulnya kesalahan prosedur penggunaan sehingga dapat menyebabkan efek radiasi pengion yang merugikan.

Di antara efek yang merugikan akibat pajanan radiasi pengion pada masyarakat adalah efek pajanan radiasi pengion pada DNA yang berpotensi menimbulkan ketidakstabilan genom. Semakin merumitkan risiko efek stokastik, efek ini di samping efek yang terjadi dengan dosis terukur seperti mandul, eritema cenderung menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan yang lebih tinggi di kalangan masyarakat karena efek seperti ini tidak dapat diprediksi secara langsung.

Perbaikan DNA merupakan mekanisme biologi yang sangat penting dalam memeriksa dan memperbaiki kerusakan atau ketidak normalan pada genom. Satu kerusakan DNA seperti patahan untai ganda atau double strand break (DSB) sangat sitotoksik dan jika tidak dapat diperbaiki sempurna dapat menginisiasi

ketidak stabilan genom, aberasi kromosom dan mutasi yang bahkan dapat menyebabkan kanker. DSB dapat diinduksi secara linear seiring dengan peningkatan dosis radiasi, secara total dapat terbentuk 20 – 40 DSB tiap sel sel per 1 Gy pajanan radiasi sinar-X atau sinar-γ. Selain pajanan radiasi pengion seperti sinar-X atau sinar-γ hanya sedikit faktor luar lain yang dapat menginduksi terjadinya DSB yang bermakna.

Apabila terjadi kerusakan DSB maka H2AX sebagai bagian dari histon (suatu protein yang ada di sekitar DNA) akan membentuk suatu struktur tertentu berupa fosforilasi H2AX asam amino Ser-139 membentuk foci disekitar kromosom tempat DSB itu terjadi. Jumlah foci γ-H2AX setelah pajanan radiasi pengion juga disepakati sama dengan jumlah DSB yang terbentuk. Foci γ-H2AX akan menghilang setelah DSB yang terbentuk dapat diperbaiki.

Pembentukan dan hilangnya foci γ-H2AX telah diketahui setelah pajajan radiasi pengion 1 mGy dan meningkat secara linier seiring peningkatan dosis dan juga mempunyai asosiasi dengan radiosensitifitas pada pasien yang menerima pajanan radiasi pengion dalam tindakan medis untuk diagnosis penyakit atau tindakan pengobatan kanker.

Dengan demikian di samping dapat mendeteksi adanya kerusakan DSB akibat pajanan radiasi pengion, foci γ-H2AX juga dapat digunakan sebagai biomarker untuk mengetahui dosis pajanan radiasi pengion yang diterima oleh manusia serta mempunyai asosiasi dengan radiosensitifitas sel dalam tindakan medis. Pada tulisan berikut ini akan dibahas lebih lanjut

Page 23: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

IPTEK ILMIAH POPULER

70 Buletin Alara, Volume 17 Nomor 2, Desember 2015, 69 – 73

tentang fungsi biologik, potensi aplikasi pengamatan foci γ-H2AX secara umum, biodosimeter dan radiosensitifitas sel pada aplikasi medis. FUNGSI BIOLOGIK DAN DETEKSI γ-H2AX

Histon merupakan protein yang mengikat DNA. Histon terdiri dari kelompok H2A, H2B, H3 dan H4 yang terkait dengan H1. Masing masing kelompok histon terdiri dari sejumlah gen yang menyandi protein yang hamper sama, perbedaan proteinnya lebih disebabkan proses seleksi pada tahap transkripsi RNA dibanding perbedaan fungsi. Yang menarik H2AX dan H2AZ dari kelompok histon H2A dapat ditemukan dari ragi sampai eukariot walau jumlahnya sedikit pada mamalia. Konsentrasi protein ini sekitar 2% pada limfosit dan sel HeLa, 20% pada sel glioma manusia. Histon in berfungsi sebagai bagian dari sensor biologis akibat perubahan atau cekaman atau stress yang bersifat endogen atau eksogen. Stress ini akan menyebabkan adanya modifikasi paska translasi pada histon seperti terlihat pada Gambar 1.

Modifikasi histon paska translasi (PTM) dapat disebabkan oleh sejumlah stress yang juga

berhubungan dengan sejumlah penyakit seperti kanker maka deteksi ekspresi histon ini akan menjadi petanda atau biomarker dapat juga menjadi informasi klinik atau pengobatan yang sedang berlangsung. Peningkatan ekspresi PTM menandakan adanya aktifitas kromatin yang terkait dengan replikasi DNA, transkripsi, perbaikan kerusakan DNA, dan siklus sel.

Karena begitu pentingya peran fosforilasi γ-H2AX (foci H2AX) maka ekspresi protein ini yang paling banyak diketahui sebagai bagian utama dari proses terjadinya PTM.

Kehilangan salah satu alel H2AX pada tikus p53-/- dapat menyebabkan pertumbuhan dramatis sel tumor, hal ini membuktikan bahwa respon terhadap kerusakan DNA mempunyai peranan yang kritis yang ditampilkan dengan ekspresi H2AX. Sel yang tanpa (knock out) H2AX bersifat radiosensitif dan menunjukkan penurunan kapasitas perbaikan DSB. Selanjutnya fungsi biologik H2AX diantaranya pada : sinyal kerusakan dan perbaikan DSB, amplifikasi sinyal penghentikan siklus sel pada G2, kohesi pada proses rekombinasi kromosom, pengolahan DSB dan mencegah pemisahan kromosom pada saat perbaikan DSB. γ-H2AX merupakan bagian dari protein histon yang berfosforilasi akibat adanya

Gambar 1. Penggunaan biomarker modifikasi histon paska translasi [Redon].

Page 24: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

IPTEK ILMIAH POPULER

Potensi pemanfaatan biomarker γ-H2AX dalam biodosimetri medis (I. Kurnia dan Y. Lusiyanti) 71

kerusakan DNA dari total komponen protein H2A (bagian protein histon).

Saat ini γ-H2AX dapat diamati dengan teknik immunositokimia, western blot dan dengan menggunakan flow-sitometri. Pengamatan γ-H2AX ini difokuskan pada darah perifer limfosit. Ini disebabkan karena limfosit merupakan bagian tubuh yang sensitif terhadap radiasi sehingga dapat dijadikan sebagai biomarker pajanan radiasi pada tubuh. Ekspresi foci γ-H2AX pada limfosit yang dideteksi dengan teknik immunofloresen dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 1. Foci γ-H2AX pada limposit pekerja radiasi, magnifikasi 100x (Kurnia, I dkk, 2015)

Di samping pengambilan limposit sebagai sumber sampel deteksi foci γ-H2AX dapat diamati dari sumber jaringan atau organ lain seperti terlihat pada Gambar 3.

Pada Gambar 3, jaringan tumor yang dianggap sebagai sumber paling potensial untuk mengamati perubahan selama pemberian pengobatan namun akan menjadi susah diperoleh apalagi dengan pengabilan biopsi berulang. Untuk mengatasi kondisi seperti ini dapat dilakukan pengambilan sampel yang berasal dari darah atau sel tumor yang ditemukan dalam sirkulasi (CTC), sel bukkal, rambut atau biopsi kulit.

Gambar 3. Sampel jaringan atau organ deteksi γ-H2AX, M=mikroskopi, = untuk biodosimetri, =untuk

pengembangan obat [Redon dkk, 2013] APLIKASI γ-H2AX SECARA UMUM

Secara umum tren aplikasi deteksi biomarker γ-H2AX dapat dilihat pada Gambar 4.

Seperti pada Gambar 4 tren penelitian dan aplikasi biomarker γ-H2AX yang berawal dari penelitian dasar yang ekstensif meliputi perbaikan kerusakan DNA, mekanisme kerja obat,biologi radiasi dan lain lain. Pengamatan biomarker γ-H2AX dilanjutkan pada studi tingkat hewan meliputi baik untuk penelitian biologi radiasi maupun pengembangan obat. Dalam rangka menunjang aplikasi klinik juga sedang dikembangkan untuk menunjang diagnostic, biodosimetri radiasi, serta pengembangan obat. Dengan sentsitifnya γ-H2AX untuk mendeteksi kerusakan DNA sehingga berpotensi juga untuk mendeteksi kerusakan DNA baik akibat bahan kimia atau factor yang terkait dengan pekerjaan atau okupasional γ-H2AX DALAM BIODOSIMETRI MEDIS

Seperti teknologi lainnya, resiko pada pemakaian paparan radiasi pengion dapat

• •

Page 25: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

IPTEK ILMIAH POPULER

72 Buletin Alara, Volume 17 Nomor 2, Desember 2015, 69 – 73

diminimalkan dengan ketelitian dalam penggunaan dan aturan yang jelas, misalnya dengan membatasi paparan maksimal yang boleh diterima. Menurut Komite Internasional Perlindungan Radiologi dosis akumulasi yang boleh diterima pekerja radiasi adalah 20 mSv/tahun dan masyarakat umum 1 mSv/tahun. Akumulasi dosis ini dipantau dengan dosimeter fisik seperti thermoluminescence dosimeter dan film badge. Penerapan batasan di atas tidak akan menjadi permasalahan apabila pajanan radiasi pengion dari sumber pada situasi yang terkondisikan, sebaliknya jika terjadi suatu kecelakaan mulai dari skala kecil seperti kebocoran radioaktif atau penyinaran yang berlebih pada tindakan medis yang berpotensi menimbulkan efek toksisitas atau tertunda seperti kanker primer atau sekunder. Di antara efek tertunda itu adalah ketidak stabilan genom yang dapat bermuara menjadi penyakit kanker yang diawali dengan terjadinya DSB yang tidak dapat diperbaiki. Memperkirakan dosis yang diterima selama disengaja kondisi dan pengelolaan individu terpapar, dengan tidak adanya perangkat monitoring personil isu penting terhadap manajemen medis; biomarker menjadi bagian yang penting untuk digunakan.

Timbulnya foci γ-H2AX sebagai respon terjadinya DSB dalam beberapa jam setelah

paparan radiasi, menyebabkan biomarker ini berpotensi untuk digunakan sebagai biodosimeter pada penggunaan radiasi medis yang dikelompokkan seperti berikut: a. Radiasi Eksternal

Dengan meningkatnya secara tajam pejanan radiasi pengion sebagai bagian prosedur medis maka biodosimetri radiasi menjadi prioritas untuk digunakan. Sebelumnya penghitungan dosis radiasi yang mengenai pasien dihitung dengan menggunakan model matematika dan atau pengukuran fisika dan belum ada alat atau metode untuk mengukur dosis sekaligus memperkirakan efek biologis pada pasien.

Timbulnya foci γ-H2AX diharapkan sekaligus dapat berfungsi untuk mengevaluasi resiko kesehatan akibat pajanan radiasi pengion, dan menentukan dosis yang diterima pasien sekaligus efek biologis yang terjadi pada individu tersebut serta dapat berkontribusi membantu klinisi memperbaiki prosedur penggunaan radiasi ionik baik untuk pengobatan ataupun diagnostik. Sejumlah penelitian klinis membuktikan bahwa foci γ-H2AX dapat digunakan untuk menghitung terjadinya DSB, secara mikroskopi jumlah γ-H2AX setelah iradiasi sama dengan jumlah DSB.

Penelitian yang pertama dilakukan dengan menghitung foci γ-H2AX dari biopsi jaringan kanker prostat yang menerima radioterapi. Dari

Gambar 4. Tren penelitian dan aplikasi deteksi biomarker γ-H2AX secara umum [Redon dkk, 2013] .

Page 26: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

IPTEK ILMIAH POPULER

Potensi pemanfaatan biomarker γ-H2AX dalam biodosimetri medis (I. Kurnia dan Y. Lusiyanti) 73

penelitian ini ditemukan bahwa γ-H2AX selain menunjukkan dosis radiasi yang diterima juga dapat digunakan untuk mengetahui efek biologi secara in vivo radiasi. Pada pengamatan limfosit pasien yang menerima tindakan CT-Scan diketahui hubungan antara pembentukan dan hilangnya foci γ-H2AX limfosit dengan dosis radiasi yang diterima. Selanjutnya juga ada hubungan secara liner antara dosis serap tubuh dengan foci γ-H2AX pada pasien yang menerima radioterapi, walaupun hal ini dipengaruhi oleh faktor distribusi limfosit pada organ yang menjadi target radiasi contohnya antara pembuluh kapiler dan vessel. b. Radiasi Internal

Sebagaimana radiasi eksternal, penggunaan γ-H2AX pada terapi dengan menggunakan radioisotop yang diberikan secara infuse atau ingesti oral. Dari pengujian secara in vitro pemberian radiosisotop dapat menyebabkan peningkatan jumlah foci γ-H2AX sebagai biomarker terjadinya DSB. Karena adanya sirkulasi limfosit dalam tubuh diketahui puncak foci γ-H2AX dapat diamati setelah 2 jam pemberian radiosotop, namun foci γ-H2AX masih dapat diamati sampai 6 hari. Kemunculan dan hilangnya γ-H2AX berarti kemunculan dan terjadinya proses perbaikan DSB serta adanya korelasi antara γ-H2AX dengan dosis serap selama pemberian radioisotop.

Pada pengamatan foci γ-H2AX pada pasien yang menerima angiografi, kateter jantung pada anak-anak dan dewasa juga ditemukan adanya korelasi foci γ-H2AX dengan dosis radiasi, tetapi yang menarik foci γ-H2AX pada anak-anak lebih besar pada dosis rendah yang diterima, walaupun dalam penelitian awal pada pasien CT-Scan foci γ-H2AX juga terkait dengan hipersensitifitas akibat radiasi. PENUTUP Adanya keterkaitan terbentuknya foci γ-H2AX dengan dosis, dosis serap serta hipersensitifitas akibat radiasi dengan diketahui lama terbentuknya, puncak dan penurunan

jumlah foci γ-H2AX selama proses pemberian radiasi dalam tindakan medis semoga dapat menjadi tambahan informasi dalam memperkirakan terjadinya DSB dan waktu yang dibutuhkan untuk proses pemulihannya, ini sekaligus berpotensi menjadi salah tau bahan pertimbangan dalam pemberian radiasi pada tindakan medis. DAFTAR PUSTAKA. HORN S, ROTHKAMM K. Candidate protein biomarkers

as rapid indicators of radiation exposure. Radiat Meas 46: pp. 903–906, 2011

KURNIA, I., DAN LUSIYANTI, Y. Studi Awal Ekspresi γ-H2ax dan mikro nukleus pada pekerja radiasi. Seminar Nasional Sains dan Teknologi Nuklir 2015 Aula Timur ITB - Bandung, 3 Desember 2015.

LOBRICH, M., RIEF, N., KUHNE M., et al In vivo formation and repair of DNA double-strand breaks after computed tomography examinations. PNAS; 102;25;8985, 2005.

MOUQUET, J., BARNARD, S. AND ROTKHAMM, K. Gamma-H2AX biodosimetry for use in large scale radiation incidents: comparison of a rapid ‘96 well lyse/fix’ protocol with a routine method. Peer J.e282, 2014.

NOLL, M,,AND KORNBERG, R,D. Action of micrococcal nuclease on chromatin and the location of histone H1.J Mol Biol. 109: pp. 393–404, 1977.

REDON, C., PILCH, D., ROGAKOU, E., et.al., Histone H2A variants H2AX and H2AZ. 2009. Curr Opin Genet Dev. 12: pp. 162–169, 2002.

REDON, C., WEYEMI, U., PAREKH, P.R., et alγ-H2AX and other histone post-translational modifications in the clinic. Biochim Biophys Acta.; 1819(7): pp. 743–756, 2012.

ROTHKAMM, K. AND HORN, S. γ-H2AX as protein biomarker for radiation exposure. Ann Ist Super Sanità Vol. 45, No. 3: pp. 265-271, 2009.

TALBERT, P,B., AND HENIKOFF, S. Histone variants--ancient wrap artists of the epigenome. Nat Rev Mol Cell Biol.; 11:264–275, 2010.

TRIPPUTI, P., EMANUEL, B.S., CROCE. C.M., et al Human histone genes map to multiple chromosomes. Proc Natl Acad Sci U S A; 83: pp. 3185–3188, 1986.

WYRICK JJ, PARRA MA. The role of histone H2A and H2B post-translational modifications in transcription: a genomic perspective. Biochim Biophys Acta.; 1789: pp. 37–44.

Page 27: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

TATA CARA PENULISAN NASKAH/MAKALAH

140

74 Buletin Alara, Volume 17 Nomor 2, Desember 2015

Pembaca yang budiman,

Buletin ALARA menerima naskah atau makalah iptek ilmiah populer yang membahas tentang “Aspek Keselamatan Radiasi dan Keselamatan Lingkungan dalam Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir untuk Kesejahteraan Masyarakat”. Naskah/makalah yang dikirimkan ke Redaksi Buletin ALARA adalah naskah/makalah yang khusus untuk diterbitkan oleh Buletin ALARA dengan melampirkan 1 eksemplar dan disket yang berisi file makalah tersebut. Apabila naskah/makalah tersebut telah pernah dibahas atau dipresentasikan dalam suatu pertemuan ilmiah, harus diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isi dan maksud tulisan.

Naskah/makalah ditulis dalam Bahasa Indonesia yang baku dan mengikuti tata cara (format) penulisan

suatu makalah yang benar. Istilah asing dalam naskah/makalah harus ditulis miring dan diberi padanan kata Bahasa Indonesia yang benar. Naskah/makalah diketik menggunakan font 12 Times New Romans dengan 1,5 spasi pada kertas ukuran kuarto, satu muka, margin kiri 3 cm; margin atas, bawah, kanan 2,5 cm. Lebih disukai bila panjang tulisan kira-kira 8 – 15 halaman kuarto. Nama (para) penulis ditulis lengkap disertai dengan keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerja dan bidang keahlian (jika ada) pada catatan kaki. Tabel/skema/grafik/ilustrasi dalam naskah/makalah dibuat sejelas-jelasnya dalam satu file yang sama. Kepustakaan ditulis berdasarkan huruf abjad, mengikuti ketentuan penulisan kepustakaan, dan sangat diharapkan menggunakan literatur 5 tahun terakhir, adalah sbb ; AFFANDI, Pengukuran radionuklida alam pada bahan bangunan plaster board fosfogipsum dengan

menggunakan spektrometer gamma, Skripsi S-1, Jurusan Fisika FMIPA UI, 2010. (Bila yang diacu skripsi/thesis)

BOZIARI, A., KOUKORAVA, C., CARINOU, E., HOURDAKIS CJ. AND KAMENOPOULOU, V, The use of active personal dosemeters as a personal monitoring device: Comparison with TL dosimetry, Radiat. Prot. Dosim. 144, pp. 173 – 176, 2011. (Bila yang diacu jurnal/majalah/prosiding)

MARTINA and HARBISON, S.A., An introduction to radiation protection, Chapman and Hall, London, New York, 2012

NEVISSI, A.E., Methods for detection of radon and radon daughters, in : indoor radon and its hazards, edited by D. Bodansky, M.A. Robkin, D.R. Stadler, University of Washington Press, pp. 30 – 41, 2010 (Bila yang diacu dalam satu buku yang merupakan kumpulan tulisan, seperti Handbook, Ensiklopedi dll).

Tim Redaksi

Naskah/makalah dapat ditujukan kepada : Tim Redaksi Buletin ALARA u.p. Setyo Rini, SE PTKMR – BATAN • Jalan Lebak Bulus Raya No. 49,

Kawasan Nuklir Pasar Jumat Jakarta (12440) • PO. Box 7043 JKSKL, Jakarta 12070

• e-mail : [email protected] [email protected]

Page 28: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

IPTEK ILMIAH POPULER

Keselamatan radiasi pada pasien yang menjalani terapi kanker dengan LINAC energi tinggi (H. Sofyan) 75

KESELAMATAN RADIASI PADA

PASIEN YANG MENJALANI TERAPI KANKER

DENGAN LINAC ENERGI TINGGI

Hasnel Sofyan • Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi – BATAN

Jalan Lebak Bulus Raya 49, Jakarta – 12440 PO Box 7043 JKSKL, Jakarta – 12070

[email protected] PENDAHULUAN

Kanker merupakan penyakit tidak menular (Non-Communicable Diseases) yang berbahaya dan sangat menakutkan serta menjadi penyebab kematian terbesar manusia di dunia. Menurut data WHO (World Health Organization) tahun 2012, jumlah kematian yang disebabkan oleh kanker mencapai 8,2 juta kasus dan dalam 2 dekade ke depan diperkirakan menjadi 22 juta kasus. Sekitar 60-70% diantara penderitanya terdapat di negara-negara berpenghasilan rendah sampai menengah atau di negara berkembang, seperti di Afrika, Asia, Amerika Tengah dan Selatan.

Di Indonesia, jumlah pasien penderita kanker setiap tahunnya mengalami peningkatan secara signifikan. Berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan tahun 2013, pasien penderita kanker didominasi oleh kanker payudara, kemudian kanker leher rahim (serviks) dan kanker prostat. Prevalensi kanker secara keseluruhan diperkirakan telah mencapai 1,4 per 1.000 penduduk.

Kanker merupakan suatu penyakit karena terjadinya kehilangan kontrol selular dalam tubuh yang dapat menyebabkan pertumbuhan sel yang tidak normal atau sel yang bermutasi menjadi tidak terkontrol dan kemudian menyerang jaringan lokal, berpindah dan berkembang biak pada tempat tertentu. Salah satu metode yang dapat menghambat perkembangan sel kanker adalah dengan memanfaatkan teknologi nuklir berupa terapi radiasi atau radioterapi. Terapi radiasi berfungsi merusak sel kanker dengan

menghancurkan materi genetika sel yang dapat mengontrol pertumbuhan dan pembelahan diri sel kanker. Metode radioterapi pada umumnya dapat dilakukan secara internal (susuk/implant) dan eksternal (menggunakan peralatan di luar tubuh) serta radiasi sistemik yang mengikuti aliran darah ke seluruh tubuh. Dari metode-metode ini, metode radioterapi eksternal yang memanfaatkan proton, sinar-X energi tinggi secara intensif untuk membunuh sel kanker merupakan metode yang banyak mendapatkan perhatian dan menjadi pilihan utama dalam pengobatan.

Dalam beberapa dekade terakhir, teknologi nuklir yang banyak digunakan dalam bidang kesehatan untuk terapi kanker seperti pesawat Linac (medical linear accelerator) telah mengalami peningkatan yang sangat pesat. Meskipun banyak manfaat yang telah dipetik oleh umat manusia, namun kemungkinan dampak atau sisi bahaya yang dapat ditimbulkan dari paparan radiasinya tidak bisa diabaikan, terutama bagi pasien yang terpapar secara langsung dalam proses penyembuhan dan juga pekerja radiasi yang terlibat dalam proses tersebut.

Dalam Keputusan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) Nomor 01-P/Ka-BAPETEN/I-03 dan Perka Bapeten Nomor 4 tahun 2013 telah dijelaskan bahwa penyinaran medik yang diberikan kepada setiap pasien harus memperhatikan sisi optimisasi proteksi dan keselamatan radiasi dengan cara menetapkan tingkat panduan paparan medik. Sedangkan, untuk pekerja radiasinya harus selalu dipantau

Page 29: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

IPTEK ILMIAH POPULER

76 Buletin Alara, Volume 17 Nomor 2, Desember 2015, 75 –84

secara terus menerus agar dosis radiasi pengion yang diterimanya tidak melampaui nilai batas dosis (NBD) yang telah ditetapkan.

MEDICAL LINEAR ACCELERATOR (LINAC)

Wilhelm Conrad Rontgen (1845-1923) pada 8 November 1895 menemukan sinar-X dan semenjak itu banyak inovasi yang telah terjadi di dalam dunia medis. Pada awalnya berupa pembangkit sinar-X dengan menggunakan tabung sinar-X, Generator Van de Graafff kemudian Betatron dan sekarang ini Linac.

Linac dengan sinar-X berenergi tinggi dapat menyesuaikan diri dengan bentuk tumor dan menghancurkan sel kanker tanpa merusak jaringan normal di sekitarnya. Linac memiliki beberapa langkah keamanan untuk memastikan bahwa hal itu tidak akan memberikan dosis yang lebih tinggi dari yang telah ditentukan dan secara rutin akan diperiksa oleh tim fisika medis untuk memastikan semuanya bekerja sesuai ketentuan. Keunggulan Pesawat Linac

Pesawat Linac semakin banyak digunakan untuk penyembuhan/terapi kanker karena memiliki beberapa keunggulannya. Menurut Takam dkk (2010), kanker serviks yang terletak pada posisi jauh dari permukaan kulit merupakan salah satu jenis kanker yang paling sering diradiasi menggunakan pesawat Linac energi tinggi di atas 10 MV. Saat ini, keberadaan pesawat Linac sudah dirasakan sangat efisien dan memberikan manfaat yang cukup besar, serta relatif lebih aman dibandingkan dengan pesawat teleterapi cobalt dan cesium.

Menurut A. Facure (2005), keunggulan utama pesawat Linac ditinjau dari sudut pandang radiologi adalah karena tidak lagi menggunakan sumber radioaktif (cobalt dan cesium), sehingga dapat dikatakan bahwa pesawat Linac menjadi lebih aman. Selain itu, pesawat Linac dengan Teknik Rapid Arc atau volumetric arc therapy dapat memfokuskan paparan radiasi secara langsung ke target sel kanker sesuai dengan bentuk dan ukurannya, sehingga teknik ini sangat

cocok dimanfaatkan untuk meradiasi sel kanker yang berukuran relatif kecil dan sulit terjangkau tanpa merusak sel sehat di sekitar kanker. Teknik Rapid Arc memiliki keakurasian yang cukup tinggi mencapai 95,5% lebih baik dibandingkan teknik-teknik lainnya.

Pada saat ini, tercatat lebih dari 17 rumah sakit yang sudah mengoperasikan pesawat Linac di atas 10 MV. Pesawat Linac selain tidak lagi menggunakan sumber radioaktif, merupakan teknik radioterapi mutakhir yang memungkinkan radiasi yang optimal dengan satu putaran gantry mengelilingi tubuh pasien, sehingga memberikan banyak keuntungan bagi pasien, seperti; • Dosis yang diberikan pada saat terapi kanker

lebih homogen. • Paparan radiasi yang berlebihan pada jaringan

sehat di sekitar sel kanker dapat dikurangi. • Waktu yang dibutuhkan dalam proses radiasi

kanker relatif lebih singkat sehingga dapat mengurangi timbulnya efek samping akibat perubahan posisi pasien relatif tidak terjadi.

• Secara radiobiologi lebih menguntungkan dan efek samping jauh lebih kecil dibandingkan teknik lainnya.

• Paparan radiasinya dapat disesuaikan dengan bentuk dan ukuran organ yang akan diradiasi.

Linac Energi Tinggi Sinar-X

Pesawat Linac (Gambar 1) yang digunakan untuk terapi pada pasien yang menderita kanker telah memberikan manfaat yang nyata, sehingga menjadi salah satu alternatif pilihan utama dalam penyembuhan kanker. Namun, pada sisi lain Linac dapat memberikan dampak negatif berupa adanya tambahan dosis radiasi di luar dosis yang diberikan dalam proses penyembuhan. Ketika Linac dioperasikan pada energi di atas 10 MeV, akan terjadi reaksi fotoneutron (γ, n) sebagai hasil interaksi energi tinggi sinar-X dengan material dari komponen yang terdapat pada kepala Linac seperti pada kolimator, target, filter dan komponen lainnya.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh J. Chao dkk (2007), telah dilaporkan bahwa meskipun dosis neutronnya masih tergolong

Page 30: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

IPTEK ILMIAH POPULER

Keselamatan radiasi pada pasien yang menjalani terapi kanker dengan LINAC energi tinggi (H. Sofyan) 77

relatif kecil di dalam ruangan treatment, namun fotoneutron tersebut memiliki potensi besar memberikan kontribusi dosis radiasi sebagai tambahan dosis neutron pada pasien, dan juga dapat mengaktivasi materi-materi di sekitarnya menjadi radioaktif. Beberapa isotop yang teraktivasi dan posisinya berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh K. Polaczek-Grelik, dkk (2012) ditunjukan pada Tabel 1.

Neutron thermal yang dihasilkan dari Linac yang dioperasikan dengan energi tinggi sinar-X di atas 10 MV akan mengaktivasi gas di udara yang awalnya stabil menjadi radioaktif. Gas radioaktif ini berpotensi besar untuk masuk ke dalam tubuh melalui kulit dan pernafasan. Selama ini, upaya untuk meningkatkan proteksi radiasi dalam penggunaan pesawat pemercepat Linac belum terlaksana secara menyeluruh, terutama yang berkaitan dengan paparan radiasi neutron dan produk aktivasinya. Keberadaaan neutron sebagai produk samping pesawat pemercepat Linac yang dioperasikan pada energi di atas 10 MV memiliki implikasi yang cukup signifikan untuk diperhatikan terkait dengan proteksi radiasi.

Gambar 1. Pengukuran tambahan dosis pada pasien yang

menjalani terapi kanker cerviks dengan Linac menggunakan simulasi fantom yang dilakukan PTKMR di

salah satu rumah sakit besar di Indonesia. DOSIMETRI RADIASI

Dosimetri radiasi merupakan metode ilmiah yang digunakan dalam mengukur, menghitung, dan mengestimasi energi radiasi yang diserap melalui proses ionisasi maupun proses eksitasi atom, pada jaringan tubuh manusia melalui paparan dari luar tubuh manusia. Adapun besaran -besaran dan satuan pada dosis radiasi adalah:

Tabel 1. Produk aktivasi di komponen kepala Linac hasil penelitian yang dilakukan oleh K. Polaczek-Grelik (2012)

Page 31: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

IPTEK ILMIAH POPULER

78 Buletin Alara, Volume 17 Nomor 2, Desember 2015, 75 –84

Dosis Serap Dosis serap (D) merupakan energi rata-rata

yang diberikan radiasi pengion sebesar dE kepada bahan yang dilaluinya dengan massa dm. Satuan dari dosis serap dalam SI adalah joule/kg atau sama dengan gray (Gy).

𝐷 = 𝑑𝐸

𝑑𝑚 satuan Gy

Dalam proteksi radiasi, dosis serap merupakan besaran dasar. Turunan dosis serap terhadap waktu disebut laju dosis serap dan dirumuskan dengan persamaan:

�̇� = 𝑑𝐷

𝑑𝑡 satuan Gy.s-1

Dosis Ekivalen

Dosis Ekivalen atau dosis tara (equivalent dose, HT) merupakan dosis serap yang diterima oleh tubuh manusia secara keseluruhan akan bergantung pada kualitas radiasi. Dosis serap dari jenis dan energi radiasi yang berbeda akan memberikan efek biologik yang berbeda pula di dalam merusak organ atau jaringan tubuh. Besaran yang merupakan kuantisasi radiasi R untuk menimbulkan kerusakan pada organ atau jaringan T disebut faktor bobot radiasi (WR). Dosis ekivalen (HT) diformulasikan sebagai;

satuan Sv

Dengan DT,R adalah dosis serap dari radiasi R pada organ atau jaringan T dan WR adalah faktor bobot radiasi. Faktor bobot radiasi menurut jenis dan kelompok energi radiasi yang dikeluarkan oleh International Commission on Radiological Protection (ICRP) dapat dilihat pada Tabel 2. Dosis Efektif

Dosis Efektif (effective dose, HE) merupakan besaran proteksi yang digunakan dalam menentukan dan mengendalikan dosis radiasi yang diterima manusia, dan juga untuk

menerapkan prinsip optimisasi. Dosis efektif dimaksudkan untuk digunakan pada dosis rendah dalam pengelolaan risiko efek stokastik. Besaran ini juga merupakan besaran utama dalam proteksi radiasi untuk tiga situasi paparan radiasi yang diberikan pada publikasi 103 ICRP, yaitu situasi paparan terencana, situasi paparan kedaruratan, dan situasi paparan yang ada.

Tabel 2. Nilai faktor bobot radiasi yang digunakan untuk mewakili RBE (relative biological effectiveness)

menurut ICRP Report 103

Tipe Radiasi Faktor Bobot Radiasi WR

Sinar-X, Gamma, Partikel Beta dan Muon (seluruh energi)

1

Neutron, sesuai energi < 1 MeV 2.5 + 18,2·e-[ln(E)]²/6 1 MeV – 50 MeV 5,0 + 17,0·e-[ln(2·E)]²/6 > 50 MeV 2,5 + 3,25·e-[ln(0.04·E)]²/6

Proton, Pion 2 Partikel α, Produk Fisi Nuklir, Partikel Bermuatan

20

Besaran dosis bergantung pada sensitivitas

organ/jaringan yang terpapar radiasi. Tingkat kepekaan organ/jaringan tubuh terhadap efek stokastik akibat radiasi disebut faktor bobot organ tubuh (Tabel 3) dengan WT. Dosis efektif (HE) secara matematis dapat diformulasikan sebagai,

atau,

satuan Sv (Sievert)

dengan HT adalah dosis ekivalen pada organ atau jaringan, WT adalah faktor bobot jaringan, WR adalah faktor bobot radiasi 𝐷�𝑇,𝑅 adalah dosis rerata pada jaringan T oleh radiasi R.

Dalam dunia medis, dosimetri radiasi menjadi syarat penting dalam tindakan untuk mengatur pengawasan pekerja radiasi di bagian radiologi, kedokteran nuklir dan onkologi radiasi.

Page 32: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

IPTEK ILMIAH POPULER

Keselamatan radiasi pada pasien yang menjalani terapi kanker dengan LINAC energi tinggi (H. Sofyan) 79

Selain itu, juga dibutuhkan sebagai QA (quality assurance) dalam ketepatan memperkirakan dosis yang diterima setiap pasien yang menjalani terapi radiasi. Perkiraan dosis dapat diukur dengan menggunakan dosimeter. Tabel 3. Nilai faktor bobot jaringan pada organ-organ tubuh

dan perubahan nilainya menurut ICRP

Organ Faktor Bobot Jaringan

ICRP26 1977

ICRP60 1990

ICRP103 2007

Gonad (Testis/Ovarium) 0,25 0,20 0,08 Red bone marrow (Sum-sum tulang)

0,12 0,12 0,12

Colon (Usus besar) - 0,12 0,12 Lung (Paru-paru) 0,12 0,12 0,12 Stomach (Perut) - 0,12 0,12 Breasts 0,15 0,05 0,12 Bladder (kandung kemih) - 0,05 0,04 Liver (Hati) - 0,05 0,04 Oesophagus - 0,05 0,04 Thyroid 0,03 0,05 0,04 Skin - 0,01 0,01 Bone surface 0,03 0,01 0,01 Salivary glands - - 0,01 Brain - - 0,01 Remainder of body 0,30 0,05 0,12 Whole Body 1 1 1

Secara umum, jenis dosimeter dapat diklasifikasikan menjadi dosimeter aktif dan dosimeter pasif.

Dosimeter Aktif

Dosimeter aktif memiliki kemampuan untuk memberikan informasi dosis yang diterima atau hasil pengukuran nilai paparan radiasi (dosis) secara langsung dalam bentuk analog atau digital dan bacaan dosis kumulatif selama masa pemakaian atau nilai dosis keduanya. Dosimeter aktif pada umumnya dapat menyimpan informasi dosis dalam memori yang sudah disediakan. Dosimeter aktif terdiri dari; • Dosimeter Elektronik: termasuk detektor GM

(Geiger-Muller) dan detektor semikonduktor yang dapat mendeteksi sinar-X, gamma dan neutron. Dosimeter ini pada umumnya sudah memiliki sejumlah fitur yang canggih, seperti; pemantauan terus-menerus dengan peringatan

alarm pada tingkat preset dan pembacaan langsung dosis akumulasi. Dosimeter dapat di-setting ulang (biasanya pengambilan bacaan untuk tujuan rekaman). Penggunaan aplikasi pada dosimeter sangat mudah, namun harganya relatif lebih mahal, dan agak berat.

• Quartz Fiber Electroscope (QFE) disebut juga self indicating pocket dosimeter (SIPD) atau self reading pocket dosimeter (SRPD), merupakan dosimeter ionization chamber kecil dengan serat kuarsa yang bekerja berdasarkan penurunan muatan elektrostatik pada konduktor logam dalam ruang ionisasi sebagai akibat dari adanya interaksi radiasi. Kelemahan dari dosimeter ini; diantaranya adalah akurasi pengukuran yang rendah, rentan terhadap kesalahan dalam proses pembacaan, rentan terhadap kelembaban yang dapat mempercepat kebocoran muatan dan keterbatasan muatan pada elektroda.

Dosimeter Pasif

Berbeda dengan dosimeter aktif, dosimeter pasif tidak dapat memberikan informasi dosis secara langsung, karena memerlukan proses tambahan untuk menganalisis atau perhitungan dalam menentukan dosis radiasi yang diterima. Beberapa dosimeter pasif yang banyak digunakan dalam menentukan dosis terdiri dari dosimeter film, dosimeter luminescence, Solid State Nuclear Track Detector (SSNTD), Dosimeter Bubble dll; • Dosimeter Film: Sensitif dan dengan variasi

filter dapat digunakan untuk menentukan paparan radiasi beta, sinar-X, gamma dan neutron thermal. Nilai dosis yang diterima akan diperoleh berdasarkan tingkat kehitaman (densitas optik), mampu memberikan catatan permanen dari dosis individu. Dan kelemahan dosimeter ini, memiliki umur simpannya lebih pendek, hanya dapat digunakan untuk satu kali pemakaian, sensitif terhadap efek cahaya, perubahan panas dan dalam penyimpanan membutuhkan fasilitas ruangan gelap.

• Dosimeter Luminescence, merupakan dosimeter yang memberikan informasi dosis berdasarkan intensitas luminescence yang

Page 33: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

IPTEK ILMIAH POPULER

80 Buletin Alara, Volume 17 Nomor 2, Desember 2015, 75 –84

dipancarkan pada saat menerima stimulasi. Berdasarkan stimulasi yang diberikan, dosimeter luminescence dapat dikelompokkan menjadi Thermo-luminescence Dosimeter (TLD) dengan stimulasi panas, Optically Stimulated Luminescence Dosimeters (OSLD) dengan stimulasi sinar laser hijau atau biru dan Radiophoto Luminescence Dosimeter (RPLD) dengan stimulasi UV (ultra violet). Lebih sensitif bila dibandingkan dosimeter film dan dapat digunakan ulang.

• SSNTD dikenal juga sebagai etched track detector (ETD) atau dielectric track detector (DTD) merupakan material padat (emulsi fotografi, kristal, kaca atau plastik) yang apabila terpapar radiasi (neutron atau partikel bermuatan) akan menimbulkan jejak (track) dalam ukuran nanometer setelah proses etsa. Dengan bantuan mikroskop, bentuk dan ukuran jejak-jejak tersebut akan memberikan informasi tentang massa, muatan, energy dan arah gerak partikel. Bahan yang biasa digunakan untuk dosimeter SSNTD adalah polyallyl diglycol carbonate (PADC) atau CR-39 (rumus kimia C12H18O7).

• Bubble Detector merupakan dosimeter perorangan neutron berdasarkan gelembung cairan superheated yang sangat sensitif dan akurat yang telah digunakan lebih dari 25 tahun yang lalu di fasilitas nuklir, institusi penelitian, militer, astronot, medis dll). Ketika dosimeter terpapar radiasi neutron, maka gelembung gas dengan segera akan terbentuk yang dapat terlihat dengan jelas. Jumlah dari gelembung tersebut setara dengan dosis ekivalen jaringan.

Dosimeter luminescence menjadi pilihan

yang banyak digunakan dalam pemantauan dosis baik untuk personal maupun pasien. Pemantauan dosis harus diberlakukan agar paparan radiasi pengion yang diterima tidak melampaui nilai batas dosis (NBD) yang telah ditetapkan, kecuali dosis yang diterima pasien. Khusus untuk pasien yang menjalani terapi radiasi, ketentuan terkait dosis dijelaskan dalam Keputusan Ka. Bapeten

No. 01-P/Ka-BAPETEN/I-03 dan Perka Bapeten No. 4 tahun 2013. Dosis yang diterima pasien harus mengikuti ketentuan yang diberlakukan dalam penyinaran medik, yaitu, besarnya dosis yang akan diberikan harus memperhatikan prinsip optimisasi proteksi dan keselamatan radiasi yang telah ditetapkan dalam tingkat panduan paparan medik.

Beberapa dosimeter luminescence dengan stimulasi panas (TLD) yang digunakan untuk mengetahui informasi dosis radiasi eksternal dan sudah dikomersialisasikan, diantaranya adalah dosimeter Li2B4O7:Mn; Al2O3:C; CaF2:Dy; CaF2:Tm; CaF2:Mn; CaSO4:Dy; LiF:Mg,Cu,P; LiF:Mg,Ti; LiF:Mg,Cu,Na,Si dan LiF:Mg,Cu,Si. Masing-masing TLD ini memiliki keunggulan dan kekurangan, sehingga harus memperhatikan dan disesuaikan dengan tujuan penggunaannya. TLD yang akan dimanfaatkan dalam berbagai aplikasi medik, termasuk untuk menetapkan panduan paparan medik dibutuhkan TLD yang memiliki tingkat akurasi dan presisi yang tinggi agar keselamatan radiasi yang menjadi prioritas dapat dicapai. THERMOLUMINESCENCE DOSIMETER (TLD)

TLD merupakan dosimeter yang sudah cukup lama digunakan secara luas dalam dosimetri medik sebagai alat untuk quality assurance (QA) dosis yang diterima pasien, seperti; radio-terapi, radiodiagnostik, dan dosimetri radioterapi yang dikirimkan melalui pos. Pemilihan jenis fosfor sebagai bahan dasar untuk produksi Thermoluminescence (TL) sangat bergantung pada persyaratan dan kebutuhan spesifik dalam aplikasi tersebut. Misalkan, untuk keperluan mamografi dibutuhkan TLD yang memiliki ketergantungan energi yang baik dengan deviasi yang rendah terutama untuk foton energi rendah. Sementara itu, kebutuhan TLD dalam dosimetri yang mengharuskan adanya proses pengiriman, harus mempertimbangkan kemungkinan TLD akan terkena paparan radiasi lingkungan yang ekstrim. Untuk itu, TLD yang memenuhi persyaratan ini merupakan TLD yang

Page 34: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

IPTEK ILMIAH POPULER

Keselamatan radiasi pada pasien yang menjalani terapi kanker dengan LINAC energi tinggi (H. Sofyan) 81

memiliki tingkat fading yang sangat rendah. Fading merupakan proses pemudaran informasi dosis setelah TLD menerima paparan radiasi pengion, semakin rendah fading suatu TLD berarti kemampuan dosimeter dalam menyimpan informasi dosis semakin baik atau kehilangan informasi dosis pada TLD tidak signifikan dan dapat diabaikan.

Berdasarkan bahan dasar yang digunakan dalam pembuatan TLD, maka TLD yang berbahan dasar LiF memiliki banyak keunggulan dibandingkan TLD lainnya. TLD LiF dengan aktivator Mg, Ti (LiF:Mg,Ti/TLD-100) dan LiF dengan aktivator Mg, Cu, dan P (LiF:Mg,Cu,P/ TLD-100H) merupakan TLD yang sangat sensitif, fading-nya dapat diabaikan (< 5%/tahun) dan memiliki kesetaraan yang sangat baik dengan jaringan tubuh manusia (Zeff(TLD)=8,14; Zeff(soft tissue)=7,4). Selain itu, TLD LiF yang masing-masingnya diperkaya dengan unsur 6Li (> 95,6%) dan unsur 7Li (> 99,93%) merupakan pasangan TLD yang dapat digunakan dalam menentukan dosis neutron dan gamma secara terpisah. Dalam hal ini, TLD 6LiF sensitif terhadap neutron dan radiasi gamma, sedangkan 7LiF hanya sensitif terhadap gamma. PERKIRAAN TAMBAHAN DOSIS

Linac yang dioperasikan pada energi tinggi di atas 10 MV, akan memberikan dosis tambahan pada organ-organ kritis di sekitar organ target (iso-center). Meskipun tambahan dosis yang diterima pasien relatif kecil dibandingkan dengan dosis yang dihasilkan dari hamburan foton, namun tidak dapat diabaikan begitu saja dan perlu menjadi perhatian yang serius. Dari beberapa litbang dosimetri eksternal yang dilakukan sebelumnya, diperkirakan dosis tersebut terutama untuk dosis neutron dapat menyebabkan munculnya secondary cancer.

Pengukuran yang akan dilakukan untuk mengetahui tambahan dosis neutron dan gamma yang relatif kecil, dibutuhkan dosimeter yang memiliki sensitivitas tinggi, sehingga nilai dosis yang diperoleh akan lebih akurat. Dosimeter dari kelompok LiF, sudah diketahui dan sudah

digunakan cukup lama dalam berbagai aplikasi medis, karena sensitivitasnya yang relatif tinggi dibandingkan dosimeter lainnya. Dari penelitian yang dilakukan H. Sofyan dkk (2012) diketahui bahwa TLD LiF:Mg,Cu,P memiliki sensitivitas 23 kali lebih besar dari TLD LiF:Mg,Ti. Untuk itu, dalam aplikasi pengukuran dosis rendah akan digunakan TLD LiF:Mg,Cu,P dan untuk dosis yang tinggi (terapi) digunakan TLD LiF:Mg,Ti.

Dosimeter LiF yang digunakan dalam memperkirakan tambahan dosis neutron dan gamma harus menggunakan pasangan TLD 6,7LiF, sehingga dapat diketahui masing-masing tambahan dosis neutron dan gamma secara terpisah. Secara umum, tambahan dosis neutron (Dn) dan gamma (Dγ) dapat diperkirakan dengan menggunakan persamaan,

𝐷𝑛 = 𝑅600𝑛+𝛾

𝑓600𝑛 − 𝑓600𝛾

𝑓700𝛾 𝑓600𝑛

𝑅700𝛾 dan 𝐷𝛾 = 𝑅700

𝛾

𝑓700𝛾

Dengan, 𝑅600

𝑛+𝛾 merupakan tanggapan TLD 6LiF pada medan campuran yang berasal paparan radiasi Linac, 𝑅700

𝛾 tanggapan TLD 7LiF untuk radiasi gamma atau foton. Sementara itu, 𝑓600

𝛾 dan 𝑓600𝑛 secara berurutan adalah faktor sensitivitas TLD 6LiF dari gamma dan neutron, sedangkan 𝑓700𝛾 adalah sensitivitas TLD 7LiF terhadap radiasi

gamma. Dalam memperkirakan tambahan dosis

pada pasien yang menjalani terapi menggunakan Linac, setiap TLD harus melalui proses-proses annealing, pengelompokan TLD, penentuan faktor sensitivitas atau faktor kalibrasi dan pembuatan kurva kalibrasi. Annealing TLD

Annealing harus dilakukan pada setiap TLD yang akan digunakan untuk pengukuran dosis. Annealing merupakan proses pemberian panas pada temperatur tertentu sesuai rekomendasi dari pabrik pembuat agar dapat membersihkan setiap TLD dari elektron-elektron yang kemungkinan masih tersisa pada perangkap-perangkap dangkal.

Rekomendasi temperatur annealing yang dikeluarkan oleh pabrikan untuk bahan TLD

Page 35: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

IPTEK ILMIAH POPULER

82 Buletin Alara, Volume 17 Nomor 2, Desember 2015, 75 –84

LiF:Mg,Ti berbeda dengan TLD LiF:Mg,Cu,P. Proses annealing untuk TLD LiF:Mg,Ti dilakukan dalam 2 tahap. Annealing diawali dengan menggunakan furnace pada temperatur 400°C selama 1 jam dan dilanjutkan dengan menggunakan oven pada temperatur 80°C selama 24 jam. Namun, proses annealing dengan oven pada sebagian peneliti dilakukan pada temperatur 200°C selama 2 jam. Sementara itu, untuk TLD LiF:Mg,Cu,P, rekomendasi proses annealing hanya dilakukan satu kali menggunakan oven pada temperatur 240°C selama 10 menit.

TLD LiF:Mg,Cu,P sangat sensitif terhadap stimulasi panas yang diberikan, karena dapat menyebabkan terjadinya efek thermal quenching. Dari penelitian M. Lupke dkk (2006), sensitivitas TLD LiF:Mg,Cu,P (Tabel 4) terlihat mengalami penurunan yang cukup signifikan terhadap perubahan stimulasi panas. Dengan data ini, H. Sofyan dkk (2012) melakukan proses annealing pada temperatur 220°C selama 10 menit agar sensitivitas tidak mengalami penurunan yang signifikan.

Tabel 4. Penurunan sensitivitas TLD LiF:Mg,Cu,P terhadap perubahan temperatur

Cycle no.

Sensitivitas Relatif (%) Temp. 243°C

Temp. 240°C

Temp. 239°C

Temp. 238°C

Temp. 237°C

1 100 100 100 100 100 10 99 97 96 99 95 20 90 92 91 93 92 30 87 90 91 94 88 40 71 80 80 84 85 50 60 73 74 80 83

Pengelompokan TLD

Pengelompokan merupakan proses untuk mendapatkan kelompok TLD yang memiliki tanggapan yang sama, dan ini harus dilakukan terhadap TLD-TLD yang akan digunakan dalam pengukuran dosis, terutama TLD yang baru atau TLD yang belum pernah digunakan sebelumnya. Pengelompokan TLD menjadi penting dilakukan karena kemungkinan dapat terjadinya perbedaan komposisi pada setiap TLD, meskipun di dalam satu batch pembuatan yang sama. Berdasarkan

standar sensitivtitas yang diberikan pabrikan terhadap TLD LiF:Mg,Ti berkisar pada ± 15%. Sementara pada sisi lain, TLD yang dapat digunakan dalam pengukuran yang membutuhkan ketelitian dan keakuratan dalam pengukuran dengan batas akurasi antara 3 – 5% untuk tingkat keseragamannya. Dengan demikian, proses pengelompokan dalam batasan yang ditetapkan dapat memperkecil kesalahan dalam pengukuran dosis.

Dalam proses pengelompokan, TLD harus disinari secara bersamaan pada lapangan radiasi yang seragam pada jarak dan dosis yang diberikan sama. Dengan pengkondisian seperti ini, TLD akan menerima paparan radiasi yang sama juga. Melalui proses pembacaan TLD dengan menggunakan alat baca (TLD-reader), tanggapan setiap TLD dapat diketahui. Namun, sebelumnya TLD tersebut harus melalui proses penyimpanan selama ± 24 jam pada temperatur kamar, agar elektron-elektron yang terperangkap pada perangkap dangkal atau elektron-elektron yang tidak stabil akan melepaskan diri dari perangkapnya. Penentuan Faktor Sensitivitas TLD

Faktor sensitivitas TLD dapat diperoleh dari hasil bacaan tanggapan TLD terhadap dosis yang diberikan menggunakan sumber standar. Penyinaran dilakukan di Secondary Standard Dosimetry Laboratory (SSDL) Bidang Metrologi Radiasi PTKMR menggunakan 137Cs dan 60Co. Faktor diperlukan untuk menentukan nilai dosis TLD yang terpapar radiasi di lapangan. Dalam hal ini untuk menentukan nilai dosis dari TLD yang terpapar radiasi Linac.

𝑓 =𝑅𝑇𝐿𝐷𝐷� 𝐶𝑠137 �

dengan f merupakan faktor sensitivitas TLD yang akan digunakan, RTLD, tanggapan TLD yang disinari dengan dosis 𝐷� 𝐶𝑠137 � menggunakan sumber standar 137Cs.

Penentuan faktor sensitivitas ini dapat dilakukan secara individual, yaitu setiap TLD

Page 36: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

IPTEK ILMIAH POPULER

Keselamatan radiasi pada pasien yang menjalani terapi kanker dengan LINAC energi tinggi (H. Sofyan) 83

memiliki faktor sensitivitas. Atau, faktor sensitivitas untuk kelompok TLD yang memiliki tanggapan yang sama terhadap radiasi. Metoda ini memiliki kelemahan dan keunggulan masing-masing.

PENUTUP

Pesawat Linac sudah cukup lama diketahui memiliki banyak keunggulan dalam aplikasinya untuk terapi kanker pada pasien dibandingkan dengan metoda pengobatan kanker lainnya. Secara umum, pesawat Linac merupakan alat pemercepat partikel bermuatan yang dapat menghasilkan berkas dengan energi tinggi. Energi ini dimanfaatkan menumbuk target berbentuk lempengan, sehingga menyebabkan terjadinya peristiwa Bremstrahlung yang menghasilkan gamma. Intensitas berkas tersebut akan menjadi seragam setelah melewati flattening filter. Dengan memanfaatkan kolimator, maka berkas dapat dimodifikasi disesuaikan dengan geometri kanker.

Dalam usaha memenuhi tuntutan kebutuhan metoda atau peralatan pengobatan kanker sebagai dampak peningkatan jumlah pasien kanker setiap tahunnya, maka jumlah pesawat Linac juga harus meningkat agar dapat mengimbanginya. Seiring dengan itu, litbang atau peralatan yang digunakan dalam upaya untuk meningkatkan keselamatan radiasi bagi pasien juga perlu mendapatkan perhatian serius. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan mengetahui dosis yang diterima organ-organ kritis di sekitar organ target, melalui pemantauan paparan radiasi dengan menggunakan pasangan TLD. Selanjutnya adalah mengembangkan metode proteksi radiasi yang tepat. Jadi, tidak hanya memberikan dosis optimal pada organ target, tetapi juga dapat meminimalisir dosis pada organ-organ kritis yang sehat, sehingga tidak ada peluang munculnya kanker sekunder.

DAFTAR PUSTAKA ANINOMUS, Angka Prevalensi Kanker di Indonesia |

SEHAT. link http://sehat.link/angka-prevalensi-kanker-di-indonesia.info, 10/19/2015 18:26

BOS, A.J.J., High Sensitivity Thermoluminescence Dosimetry, Nucl. Instr. Meth Phys. Res. B 184, pp. 3–28, 2001.

BUDZANOWSKI, M., BILSKI, P., OLKO, P., et al., Dosimetric Properties of New Cards with High-Sensitivity MCP-N (LiF:Mg,Cu,P) Detectors for Harshaw Automatic Reader, Radiat. Prot. Dosim. 125, pp. 251–253, 2007.

CHAO, J. H., LIU, W. S. AND CHEN, C. Y.. Estimation of Argon-41 Concentrations in the Vicinity of a High-Energy Medical Accelerator. Radiat. Meas. 42, pp. 1538-1544, 2007.

FACURE, A., FALCAO, R.C., SILVA, A.X., CRISPIM, V.R., VITORELLI, J.C., A Study of Neutron Spectra from Medical Linear Acceleretors. Appl. Radiat. Isot. 62, pp. 69-72, 2005.

FEBRIANTOKO, A., NOOR, J.A.E., SOFYAN, H., Perkiraan Distribusi Dosis Ekivalen Foton pada Pasien Radioterapi Linac 15 MV dengan Target Abdomen, Prosiding Semnas KKL dan Bangtek Nuklir, PTKMR-BATAN, KEMENKES-RI, FKM-UI dan FISIKA-ITB, pp. 156-160, Agustus 2015.

GONZALEZ P.R., FURETTA, J. AND AZORIN, C., Comparison of the TL Responses of Two Different Preparations of LiF:Mg,Cu,P Irradiated by Photons of Various Energies. Appl Radiat Isotopes 65, pp. 341–344, 2007.

GRENEE, D. AND WILLIAMS, P.C., Linear Accelerators for Radiation Therapy 2nd Edition. Bristol: Medical Science Series, institute of Physics Publishing, 2001.

GUO, S., & ZIEMER, P. L., Health Physics Aspects of Neutron Activated Components In a Linear Accelerator. Health Physics, 86, pp. S94–S102, 2004.

HENTIHU, F.K., NOOR, J.A.E, BUNAWAS, Perkiraan Dosis Ekuivalen Neutron Thermal pada Pasien Radioterapi, Prosiding Semnas KKL dan Bangtek Nuklir, PTKMR-BATAN, KEMENKES-RI, FKM-UI dan FISIKA-ITB, Agustus 2015.

HISWARA, E., PRASETIO, H. DAN SOFYAN, H., Dosis Pasien pada Pemeriksaan Sinar-X Medik Radiografi, Prosiding Semnas KKL VI, PTKMR-BATAN, FKM-UI, KEMENKES-RI, pp. 21 – 34, 2010

IBADURROHMAN, M., NOOR, J.A.E., SOFYAN, H., Penentuan Dosis Fotoneutron pada Pasien Terapi Linac 15 MV Menggunakan TLD-600H DAN TLD-100H, Prosiding Semnas KKL dan Bangtek Nuklir, PTKMR-BATAN, KEMENKES-RI, FKM-UI dan FISIKA-ITB, pp. 161-166, Agustus 2015.

ICRP Pub 103, The 2007 Recommendations of the International Commission on Radiological Protection, Annals of the ICRP. ICRP publication 103 37 (2-4). 2007. ISBN 978-0-7020-3048-2. Retrieved 17 May 2012.

KAFADAR, V.E., YAZICI, A.N., YILDIRIM, R.G., The Effects of Heating Rate on the Dose Response Characteristics of TLD-200, TLD-300 and TLD-400,

Page 37: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

IPTEK ILMIAH POPULER

84 Buletin Alara, Volume 17 Nomor 2, Desember 2015, 75 –84

Nucl. Instr. Meth Phys. Res. B 267, pp. 3337–3346, 2009.

KEPUTUSAN KEPALA BAPETEN No. 01-P/Ka-BAPETEN/I-03 tentang Pedoman Dosis Pasien Radiodiagnostik, Badan Pengawas Tenaga Nuklir, 14 Januari 2003.

KUMAR, M., KHER, R.K., SAHNI, G., and CHHOKRA, K., Studies on the Response of the TLD Badge for High-Energy Photons, Radiat. Prot. Dosim. 128, pp. 266–273, 2008.

LEE, J.I., CHANG, I., KIM, J.L., et al., LiF:Mg,Cu,Si Material with Intense High-Temperature TL Peak Prepared by Various Thermal Treatment Conditions, Radiat. Meas. 46, pp. 1496–1499, 2011.

LUPKE, M., GOBLET, F., POLIVKA, B., SEIFERT, H. Sensitivity loss of LiF:Mg,Cu,P thermoluminescence dosimeters caused by oven annealing. Radiat. Prot. Dosim.121:pp. 195–201, 2006.

MAJER, M., KNEZEVIC, Z., AND MILJANIC, S., Current trends in estimating risk of cancer from exposure to low doses of ionising radiation, Arh Hig Rada Toksikol 65, pp. 251-257, 2014.

McKEEVER, S.W.S. and MOSCOVITCH, M., On the Advantages and Disadvantages of Optically Stimulated Luminescence Dosimetry and Thermo-luminescence Dosimetry, Radiat. Prot. Dosim. 104, pp. 263–270, 2003.

MOSCOVITCH M., AND HOROWITZ Y.S., Thermo-luminescent Materials for Medical Applications: LiF:Mg,Ti and LiF:Mg,Cu,P., Radiat Meas 41, pp. S71–S77, 2007.

NCRP, Limitation of Exposure to Ionizing Radiation. Bethesda, MD, NCRP (National Council on Radiation Protection and Measurements), NCRP Report No. 116, USA, 1993.

OLKO, P., CURRIVAN, L., VAN-DIJK, J.W.E., et al., Thermo-luminescence Detectors Applied in Individual Monitoring of Radiation Workers in Europe – a Review Based on the EURADOS Questionnaire. Radiat. Prot. Dosim. 120, pp. 298–302, 2006.

PERKA BAPETEN No. 4 tahun 2013 tentang Proteksi dan Keselamatan Radiasi Dalam Pemanfaatan Tenaga Nuklir, Badan Pengawas Tenaga Nuklir, 13 Maret 2013.

POLACZEK-GRELIK, K., KARACZYN, B., AND A. KONEFAL. Nuclear Relations in linear Medical Accelerators and Their Exposure Consequences. Appl Radiat Isot.. 70: pp. 2332-2339, 2012

RADCARD, LiF:Mg,Cu,P Thermoluminescent Phosphor & Pellets. Radcard TLD Dosemeters. Available from: http://www.radcard.pl/det/mcpn.html [Accessed 7 Januari 2016], 2013.

RAH J.E., HONG J.Y., KIM G.Y., KIM Y.L., SHIN D.O., SUH T.S., A Comparison of the Dosimetric Characteristics of a Glass Rod Dosimeter and a Thermoluminescent Dosimeter for Mailed Dosimeter, Radiat Meas 44, pp. 18–22, 2009.

SÁNCHEZ-DOBLADO, F., DOMINGO, C., GÓMEZ, F., AND SÁNCHEZ-NIETO, B., Estimation of Neutron-Equivalent Dose In Organs of Patients Undergoing Radiotherapy by the Use of a Novel Online Digital Detector. Physics in Medicine and Biology 57, pp. 6167–6191, 2012.

SOFYAN, H. DAN KUSUMAWATI, D.W., Perbandingan Tanggapan Dosimeter Termoluminisensi LiF:MgTi dengan LiF:MgCuP terhadap Dosis dalam Aplikasi Medik, Jurn. Sain dan Teknologi Nuklir Indonesia XIII (2), pp. 109-118, 2012.

SOKOLOV, M. AND RONALD NEUMANN, R., Effects of Low Doses of Ionizing Radiation Exposures on Stress-Responsive Gene Expression in Human Embryonic Stem Cells, Int. J. Mol. Sci. 15, pp. 588-604, 2014.

TAKAM, R., BEZAK, E., MARCU, L.G., AND YEOH, E. Out-of-Field Neutron and Leakage Photon Exposures and the Associated Risk of Second Cancers in High-Energy Photon Radiotherapy. Radiat Res, 176(4), pp. 508–520, 2011.

Page 38: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

KONTAK PEMERHATI

Buletin Alara, Volume 17 Nomor 2, Desember 2015 85

Sambungan dari halaman 60…… Yth. Redaksi Buletin Alara PTKMR,

Saya sudah cukup lama menjadi salah satu pemerhati keselamatan radiasi melalui B. Alara. Ada yang selalu mengganggu pikiran saya, dan pada kesempatan ini saya berharap mendapatkan jawabannya.

Adapun pertanyaan yang ingin saya sampaikan adalah sejauh mana sebenarnya efek sitogenetik sebagai akibat paparan radiasi yang dialami oleh pekerja radiasi akibat menerima paparan medik?

Daniel – Jawa Barat Mas Daniel yang kami hormati,

Kami benar-benar merasa senang dan bahagia membaca informasi dari mas Daniel yang telah cukup lama menjadi pemerhati keselamatan radiasi.

Dari penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya, dilaporkan bahwa analisis dengan sitogenetik berdasarkan aberasi kromosom dan mikronuklei telah banyak digunakan untuk mengevaluasi efek paparan radiasi untuk para pekerja medik. Dan ini tentu sangat membantu dalam menarik kesimpulan tentang hubungan radiasi yang diterima dengan efek yang ditimbulkannya.

Semoga jawaban ini dapat membantu mas Daniel untuk ke depannya. Kami menunggu pertanyaan, kritikan dan saran yang membangun.

Selamat membaca.

Redaksi Redaksi B. Alara ykh,

Bagi kami, kehadiran Buletin Alara sangat membantu, terutama untuk informasi-informasi yang ada kaitannya dengan keselamatan dan kesehatan radiasi.

Akhir-akhir ini, kita dapat melihat bahwa perkembangan peralatan yang memanfaatkan

teknologi nuklir sangat pesat sekali, terutama peralatan-peralatan dalam bidang kedokteran. Memang tidak dapat dipungkiri, jika teknologi nuklir dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau mengikuti persyaratan yang diberlakukan badan internasional tentang radiasi (IAEA), maka akan lebih banyak manfaat yang diterima. Hal ini dapat kita lihat dalam terapi kanker menggunakan pesawat Linac (Linear Accelerator). Namun demikian, kami merasa ingin mengetahui lebih jauh tentang pekerja radiasi yang menerima paparan radiasi melebihi batasan yang telah ditetapkan.

Kami berharap Tim Redaksi dapat memberikan informasi terkait hal ini.

Atas perhatian dan bantuannya, kami mengucapkan banyak terima kasih. Semoga Buletin Alara selalu dapat hadir tepat waktunya. Aamiin.

Sulastri – Semarang

Bu Sulastri yang kami hormati, Terima kasih atas perhatian dan doanya

untuk B. Alara. Untuk menjawab pertanyaan bu Sulastri, kami sedikit ceritakan tentang peraturan dan per-undangan yang mengatur hal tersebut.

Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) telah mengeluarkan peraturan pada tanggal 6 Mei 2013 (Perka Bapeten No. 4 tahun 2013) tentang Proteksi dan Keselamatan Radiasi dalam Pemanfaatan Tenaga Nuklir. Dalam salah satu pasalnya terdapat penatalaksanaan kesehatan bagi pekerja radiasi yang menerima dosis berlebih yang harus dilakukan oleh pemegang izin (PI). Di dalam Perka Bapeten sebelumnya (Perka Bapeten No. 6 tahun 2010) tentang “Pemantauan kesehatan untuk pekerja radiasi”.

Jika dalam melaksanakan pekerjaannya pekerja radiasi yang menerima dosis melebihi nilai batas dosis (NBD) yang diizinkan atau, • melebihi 20 mSv dalam satu tahun tetapi

masih kurang dari 50 mSv atau, • melebihi 50 mSv dalam satu tahun tertentu

atau,

Page 39: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

KONTAK PEMERHATI

86 Buletin Alara, Volume 17 Nomor 2, Desember 2015

• melebihi 50 mSv kurang dari satu tahun tertentu atau,

• melebihi 100 mSv untuk jangka waktu kurang dari lima tahun),

maka PI berdasarkan Perka Bapeten No. 04 tahun 2013 wajib menyelenggarakan penata-laksanaan kesehatan bagi pekerja radiasi tersebut. Untuk pelaksanaannya telah diatur di dalam Perka Bapeten No. 06 tahun 2010.

Penatalaksanaan kesehatan para pekerja yang mendapatkan paparan radiasi berlebih, dilaksanakan melalui: kajian terhadap dosis yang diterima, konseling dan pemeriksaan kesehatan serta tindak lanjut. Hasil penatalaksanaan kesehatan bagi pekerja radiasi ini harus dilaporkan ke BAPETEN sebagai bagian dari wujud pertanggungjawaban PI terhadap adanya penerimaan dosis berlebih. • Kajian terhadap penerimaan dosis pekerja

dilakukan dengan: a) mengetahui beban kerja dan frekuensi dalam pelaksanaan pekerjaan tersebut; b) mengetahui riwayat pekerjaan sebagai pembuktian dosis berlebih yang diterima pekerja, yang meliputi tanggal dan lamanya pelaksanaan, jenis dan lokasi pekerjaan, jenis dan besarnya laju dosis sumber radiasi yang digunakan; c) Kamparasi dosis yang diperoleh dari hasil perhitungan dengan dosis yang diterima berdasarkan hasil evaluasi dosimeter (mis: TLD badge); dan d) Jika hasilnya menunjukkan nilai dosis di atas nilai ambang efek deterministik, maka pekerja radiasi yang bersangkutan harus mendapatkan pemeriksaan dosimetri biologi yang meliputi aberasi kromosom sel darah, pemeriksaan limfosit absolut dan pemeriksaan sel darah lengkap.

• Pekerja radiasi yang menerima dosis secara berlebihan dapat mempengaruhi psikologis-nya. Untuk mencegah dampak psikologis yang dialami oleh pekerja radiasi yang kemungkinan dapat berkepanjangan, maka Pemegang Izin (PI) harus melakukan konseling kepada dokter atau psikolog yang

ditunjuk untuk pekerja radiasi sebagaimana telah diatur di dalam PP No. 33 tahun 2007. (Buletin Alara Vol. 15 (1), 2013)

Semoga informasi ini dapat memberikan

jawaban terhadap pertanyaan mas Daniel. Selamat membaca.

Redaksi

Page 40: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

INFORMASI IPTEK

Peran instrumen pencitraan hewan coba pada perkembangan kedokteran nuklir di Indonesia (N.R. Hidayati dan T. Kisnanto) 87

PERAN INSTRUMEN PENCITRAAN

HEWAN COBAPADA PERKEMBANGAN

KEDOKTERAN NUKLIR DI INDONESIA

Nur Rahmah Hidayati dan Teja Kisnanto • Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi – BATAN

Jalan Lebak Bulus Raya 49, Jakarta – 12440 PO Box 7043 JKSKL, Jakarta – 12070

[email protected] PENDAHULUAN

Pemanfaatan energi nuklir dalam bidang kedokteran berkembang pesat dengan berkembangnya ilmu baru dalam bidang kedokteran yaitu bidang ilmu kedokteran nuklir. Ilmu kedokteran nuklir merupakan salah satu wujud pemanfaatan energi nuklir untuk tujuan damai, lahir dari perkembangan berbagai disiplin ilmu dan teknologi pendukungnya seperti fisika nuklir, mikroelektronika, dan alat-alat deteksi radasi, sistem komputer/informatika, biologi, farmasi dan tentunya ilmu kedokteran sendiri terutama ilmu biomedik.

Penemuan radionuklida buatan pertama, yaitu P-30, oleh pasangan suami istri Jean Frederic Joliot dan Irene Joliot-Curie pada tahun 1934 merupakan revolusi teknologi yang mengawali pemanfaatan teknik nuklir dalam berbagai bidang kehidupan manusia seperti industri, pertanian, irigasi, biologi dan kedokteran sendiri. Dalam bidang kedokteran, penemuan tersebut kemudian dilengkapi dengan dirancangnya alat-alat deteksi radiasi seperti tabung Geiger-Muller (GM tube), pencacah sintilasi, scanner, probes, kamera gamma planar, serta terakhir kamera SPECT (Single Photon Emission Tomography) dan PET (Positron Emission Tomography). Dalam tahun-tahun terakhir ini berkembang pula kamera hibrida yang menggabungkan kamera SPECT atau PET dengan CT scan atau MRI (dikenal sebagai kamera SPECT-CT dan kamera PET-MRI),

menjadikan kemampuan pencitraan lebih baik dan spesifik.

Di Indonesia, pelayanan kedokteran nuklir dimulai sejak tahun 1967 setelah reaktor atom pertama didirikan di Bandung pada tahun 1965. Awalnya pelayanan kedokteran nuklir dilaksanakan di PRAB (Pusat Reaktor Atom Bandung) tempat reaktor atom didirikan. Pelayanan kedokteran tersebut pada tahun 1971 dipindahkan ke RSUP Dr. Hasan Sadikin yang merupakan RS pertama di Indonesia yang memberikan pelayanan kedokteran nuklir. Beberapa rumah sakit seperti RSCM, RS Dr. Soetomo, RS Gatot Soebroto dan RS Dr. Sardjito kemudian membuka pelayanan kedokteran nuklir. RS Swasta pertama yang memberikan pelayanan kedokteran nuklir adalah RSP Pertamina. Selanjutnya beberapa rumah sakit lain ikut serta memberikan pelayanan kedokteran nuklir. Saat ini terdapat 12 RS yang dapat memberikan pelayanan kedokteran nuklir, 3 diantaranya sudah dapat memberikan pelayanan dengan kamera gamma PET/CT. Sebagian besar RS tersebut terletak di Jakarta. Perkembangan kedokteran nuklir sangat erat kaitannya dengan perkembangan radiofarmaka.

Radiofarmaka memegang peranan penting dalam perkembangan pengobatan masa kini dan mendatang. BATAN telah mengembangkan radiofarmaka-radiofarmaka untuk diagnostik dan terapi, terutama dalam tata laksana penyakit kanker. Radiofarmaka diagnostik dikembangkan untuk melakukan deteksi dini penyakit kanker

Page 41: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

INFORMASI IPTEK

88 Buletin Alara, Volume 17 Nomor 2, Desember 2015, 87 – 92

dengan menggunakan peralatan kedokteran nuklir seperti SPECT dan PET dengan akurasi yang tinggi. Sedangkan radiofarmaka untuk terapi dapat dilakukan dengan menggunakan antibodi monoklonal dan peptida telah terbukti memberikan hasil yang efektif dan terarah.

Sebagaimana halnya uji praklinis pada obat biasa (non radioaktif), proses pengembangan radiofarmaka harus melalui uji praklinis, yaitu uji coba obat dengan menggunakan hewan coba. Penggunaan hewan coba dalam dunia kedokteran/biomedis telah memberikan kontribusi terhadap kesehatan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan manusia. Hewan sebagai model atau sarana percobaan yang digunakan harus dipilih yang mendekati karakteristik biologis manusia yaitu mampu memberikan reaksi biologis yang mirip kejadiannya pada manusia dan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.

UJI PRAKLINIS HEWAN COBA DALAM PENGEMBANGAN RADIOFARMAKA

Etika penelitian di bidang kesehatan termasuk di dalamnya pengembangan senyawa obat (radiofarmaka) tercantum dalam World Medical Association. Prinsip yang tercantum di dalam dokumen ini meliputi respect (menghormati hak dan martabat makhluk hidup, kebebasan memilih dan berkeinginan, serta bertanggung jawab terhadap dirinya, termasuk di dalamnya hewan coba), beneficiary (bermanfaat bagi manusia dan makhluk lain, manfaat yang didapatkan harus lebih besar dibandingkan dengan risiko yang diterima), dan justice (bersikap adil dalam memanfaatkan hewan percobaan).

Etika penggunaan hewan percobaan dalam uji praklinis dan penggunaan volunter dalam uji klinis semakin memainkan peran penting dalam perkembangan suatu radiofarmaka. Untuk uji praklinis, penggunaan hewan percobaan pertama kali diatur dalam sebuah regulasi oleh negara-negara Eropa yang berjudul “The Cruelty of Animals Act.” Pada regulasi ini ditekankan batas-batas yang harus dipatuhi dalam praktek

penggunaan hewan percobaan. Di tahun 1966, Amerika Serikat mengeluarkan Animal Welfare of Act (AWA) sebagai hukum pertama yang mengatur tentang hak-hak hewan.

Seiring berjalannya waktu, etika dalam pemanfaatan hewan percobaan menjadi semakin ketat. Tidak hanya menyangkut kuantitas hewan yang digunakan, saat ini berbagai faktor seperti metodologi penelitiaan hewan hingga yang menyangkut masalah kesejahteraan hewan wajib diperhatikan. Khusus di BATAN, etika pemanfaatan hewan percobaan diatur secara jelas dalam Perka BATAN No. 195/KA/XI/2011 tentang Pedoman Etik Penggunaan dan Pemeliharaan Hewan Percobaan.

Di dalam etika pemanfaatan hewan percobaan, penggunaan hewan untuk penelitian radiofarma penyidik kanker harus dilakukan dengan prinsip manusiawi yang mengacu pada kesejahteraan hewan baik itu sebelum, pada saat, dan setelah penelitian berlangsung. Oleh sebab itu, pemanfaatan hewan percobaan harus didasarkan pada prinsip 3R, yaitu Replacement (pengganti), Reduction (pengurangan), dan Refinement (penyempurnaan). Ketiga prinsip ini merupakan dasar etika yang harus dipatuhi dalam memanfaatkan hewan percobaan pada kegiatan uji praklinis.

Sama halnya dengan uji praklinis, di dalam uji klinis suatu radiofarmaka juga terdapat etika dalam memanfaatkan manusia sebagai objek percobaan. Di dalam uji klinis tercakup prinsip dasar bahwa manfaat klinis radiofarmaka yang diberikan harus melebihi resiko yang mungkin terjadi sehubungan dengan pemakaiannya. Dalam hal ini metode uji klinis merupakan faktor utama dalam menentukan nilai manfaat dari suatu radiofarmaka baik skala individual maupun populasi. Secara garis besar uji klinis bertujuan untuk mambuktikan atau menilai manfaat klinis dari suatu radiofarmaka. Prinsip utama yang dipegang pada saat uji klinis mengharuskan para peneliti untuk melaksanakan kegiatan penelitian berdasarkan etika yang telah ditetapkan dengan menjamin keselamatan dan kesehatan pasien sebagai pertimbangan dan perhatian utama.

Page 42: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

INFORMASI IPTEK

Peran instrumen pencitraan hewan coba pada perkembangan kedokteran nuklir di Indonesia (N.R. Hidayati dan T. Kisnanto) 89

Dengan kata lain, uji klinis lebih ditekankan pada kepentingan keselamatan dan kesehatan pasien ketimbang hanya uji coba manfaat suatu radiofarmaka.

PENGGUNAAN METODE PENCITRAAN HEWAN COBA DALAM PENGEMBANGAN RADIOFARMAKA

Secara umum, pencitraan hewan coba dalam pengembangan radiofarmaka bertujuan untuk mengganti metode uji praklinis yang memerlukan dikorbankannya hewan coba pada satu titik pengamatan sehingga hewan coba dapat digunakan untuk beberapa titik pengamatan yang berbeda pada hewan yang sama. Hal ini selain telah terbukti mengurangi biaya dan mengefisienkan proses pengamatan hewan coba, metode pencitraan dianggap memiliki kelebihan secara statistik dan secara farmakokinetis, sehingga dianggap mampu untuk mempelajari proses-proses interaksi molekuler dan mengevaluasi efektivitas pengobatan pada proses penelitian dan pengembangan radiofarmaka untuk keperluan terapi.

Beberapa instrumen/modalitas pencitraan yang sering digunakan dalam uji praklinis diantaranya adalah modalitas menggunakan

resonansi magnet, yaitu MRI (Magnetic Resonance Imaging), PET, SPECT, CT-scan (Computed Tomography) dan US (Ultra-sonography). Masing-masing modalitas tersebut memiliki kemampuan untuk memisahkan dua obyek pencitraan yang berbeda, yang disebut dengan resolusi spasial (spatial resolution). Perbedaan spesifikasi masing-masing modalitas tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Sejalan dengan perkembangan modalitas pencitraan untuk studi klinis pada manusia, modalitas pencitraan hewan coba seperti micro SPECT dan PET juga mengalami perkembangan dalam hal fitur sensitifitas, resolusi spasial, rekonstruksi dan kuantifikasi hasil pencitraannya. Terlebih lagi dengan munculnya penggabungan teknologi micro SPECT dan PET dengan CT menjadikan perkembangan penelitian radio-farmaka di bidang kardiologi, neurologi, dan onkologi yang menggunakan instrumen pencitraan hewan coba menjadi lebih menjanjikan.

Hasil suatu survei yang memetakan penggunaan pencitraan hewan coba untuk penelitian dan pengembangan obat telah menggamabarkan bahwa dalam bidang onkologi, metode pencitraan uji praklinis untuk penelitian

Gambar 1. Kondisi yang nyaman dalam pengkandangan hewan coba

Page 43: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

INFORMASI IPTEK

90 Buletin Alara, Volume 17 Nomor 2, Desember 2015, 87 – 92

obat kanker telah menduduki peringkat tertinggi diantara penelitian obat-obat lainnya (Gambar 2). Penelitian obat untuk terapi kanker memerlukan proses pengamatan untuk memonitor interaksi obat dan jaringan tumor, sehingga dapat mengevaluasi efektivitas pengobatan. Sebagai contoh, penggunaan 18FDG micro PET sebagai salah teknik pencitraan yang sangat baik untuk mendeteksi tingkat keganasan, memantau dan mengevaluasi prognosis kanker. Dalam hal ini 18FDG dapat memberikan deteksi tumor dan memberikan deteksi tumor yang akurat pada beberapa kasus-kasus keganasan seperti kanker paru-paru, ginjal, prostat dan kanker pankreas.

Tabel 1. Perbedaan spesifikasi beberapa modalitas alat pencitraan pada uji praklinis

Alat Resolusi Spasial jumlah

hewan/studi (ekor)

Waktu (menit) Klinis pra klinis

MRI ~ 1 mm ≤ 100 µm sd 10 ~ 60 PET ~ 5 mm ~ 1- 2 mm 1 5 ~ 60 SPECT ~ 1 cm 0,5 – 2 mm 1 30 ~ 90 CT ~ 1-2 mm ≤ 200 µm 1 10 ~ 19 US ~ 1-2 mm ≤ 100 µm 1 ~ 60

TREND INSTRUMEN PENCITRAAN HEWAN COBA

Peran instrumentasi pencitraan hewan coba pada uji praklinis telah dibuktikan dengan munculnya publikasi-publikasi yang menampilkan keunggulan-keunggulan pemakaian

instrument pencitraan hewan coba dan perannya yang begitu penting dalam penemuan obat-obat jenis baru. Hal ini juga ditunjukkan oleh berkembangnya pasar instrument pencitraan hewan coba yang saling berkompetisi untuk memberikan perbaikan pada fitur-fitur yang diinginkan. Survei pasar telah menunjukkan bahwa instrument pencitraan hewan coba untuk tujuan penelitian radiofarmaka di Kedokteran Nuklir, yaitu PET dan SPECT menempati porsi kedua terbesar pasar instrumen pencitraan hewan coba, sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 3.

Prediksi lainnya menyebutkan bahwa nilai pasar intrumen pencitraan hewan coba akan meningkat 9,1 % dan mencapai USD 2,1 M pada tahun 2020. Hal ini disebabkan oleh terjadinya peningkatan pemanfaatan instrumen hewan coba dalam uji praklinis yang diiring oleh peningkatan kemampuan resolusi dan penyimpanan data secara real time. Hal ini membuktikan bahwa instrumen pencitraan hewan coba akan lebih banyak berperan dalam penelitian dan pengembangan obat-obatan di dunia, dalam beberapa tahun ke depan.

Beberapa fabrikan berusaha menyediakan fitur-fitur terbaru, diantaranya Agilent Technologies, Aspect Imaging, Bruker Corporation, TriFoil Imaging, LI-COR Biosciences, Inc., Fuji Film Visual Sonics, Inc., Miltenyi Biotec GmbH, Perkin Elmer, Promega

Gambar 2. Hasil survei suatu studi tentang penggunaan pencitraan dalam uji praklinis obat

(Sumber: Comley, J. (2011)

Page 44: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

INFORMASI IPTEK

Peran instrumen pencitraan hewan coba pada perkembangan kedokteran nuklir di Indonesia (N.R. Hidayati dan T. Kisnanto) 91

Corporation, Siemens AG, SCANCO Medical AG, and Targeson, Inc.

Gambar 3. Survei pasar instrumen pencitraan hewan coba

(Sumber Zanchi, A. 2015) PERKEMBANGAN PRODUKSI RADIOFARMAKA DAN KEDOKTERAN NUKLIR DI INDONESIA

Perkembangan teknologi dan produksi radiofarmaka yang dilakukan oleh BATAN sangat berperan penting dalam perkembangan kedokteran nuklir di Indonesia. Terlebih lagi dengan hadirnya teknologi SPECT dan PET di Indonesia telah meningkatkan jumlah layanan kedokteran nuklir untuk mendiagnosis dan mengobati penyakit kanker yang dari tahun ke tahun jumlah penderitanya meningkat secara signifikan.

Beberapa produk radiofarmaka produksi BATAN seperti kit MIBI, kit MDP, kit DTPA, 153Sm-EDTMP saat ini telah memasuki tahap pendayagunaan melalui PT. Kimia Farma kepada mitra pengguna di beberapa rumah sakit seperti Rumah Sakit Hasan Sadikin, Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, Rumah Sakit Pertamina, Rumah Sakit Kanker Dharmais, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Rumah Sakit Sardjito, dan lain-lain. Sehingga dengan berkembangnya produksi berbagai radiofarmaka tersebut, uji praklinis dengan menggunakan hewan coba akan banyak diperlukan sebagai salah satu syarat dalam pemenuhan persyaratan cara pembuatan obat yang baik (CPOB) yang diterbitkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan di Indonesia.

Sayangnya, saat ini di Indonesia belum ada instrument pencitraan khusus hewan coba untuk uji praklinis radiofarmaka, sehingga uji praklinis yang dilakukan saat ini masih menggunakan cara konvensional yaitu dengan mengorbankan hewan coba dan melakukan pembedahan untuk mengetahui respon obat/radiofarmaka pada organ-oragan tertentu pada satu titik pengamatan. Sehingga untuk beberapa titik pengamatan dibutuhkan jumlah hewan coba yang cukup banyak untuk memenuhi kaidah statistik yang diperlukan. Meskipun beberapa penelitian radiofarmaka baru telah menggunakan instrumen pencitraan untuk mengetahui respon fisiologis hewan pada radiofarmaka yang disuntikkan dengan menggunakan kamera gamma biasa (bukan kamera gamma khusus pencitraan hewan), namun hal tersebut kurang memadai, dan tidak bisa dilakukan analisis secara kuantitatif.

Analisis pencitraan hewan coba secara kuantitatif diperlukan dalam perhitungan dosis radiasi internal pada hewan coba, sehingga nantinya hasil analisis tersebut dapat dipakai untuk melakukan estimasi pemberian dosis radiofarmaka ke manusia. Terlebih lagi untuk dosis radiofarmaka yang berperan sebagai terapi penyakit tertentu, misalnya kanker. Jumlah dosis yang diberikan pada terapi dengan pemberian radiofarmaka harus diprediksikan aman bagi organ-organ lain yang dapat terkena dampak pemberian obat tersebut. Sehingga, prediksi pemberian dosis terapi yang tepat sangat diperlukan agar efektifitas terapi dapat tercapai tanpa memberikan resiko merusak pada organ-organ lainnya. PENUTUP

Meskipun etika penggunaan hewan coba dalam uji praklinis dan prinsip etika 3R untuk hewan coba telah ditegakkan dalam mempertimbangkan Animal Welfare, namun sebagian besar penelitian dengan hewan coba di Indonesia masih menggunakan cara konvensional dengan cara mengorbankan hewan coba pada satu titik pengamatan. Sehingga dibutuhkan banyak hewan coba pada setiap jenis percobaan hewan

Optical Imaging

Micro-PET and SPECT

Micro-CT

Micro-USG

Micro-MRI

Page 45: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

INFORMASI IPTEK

92 Buletin Alara, Volume 17 Nomor 2, Desember 2015, 87 – 92

baru. Oleh karena itu, merujuk pada informasi-informasi di atas, uji praklinis hewan coba dengan metode pencitraan akan memberikan keuntungan secara statistik dan farmakokinetik, serta mengurangi jumlah hewan coba yang harus dikorbankan dalam setiap uji praklinis. Oleh karena itu, sangat diharapkan adanya institusi yang memiliki fasiltas pencitraan khusus untuk hewan coba khususnya yang menggunakan teknologi kedokteran nuklir seperti SPECT dan PET. Sehingga penelitian dan pengembangan produksi radiofarmaka di Indonesia akan berkembang lebih maju dan mendukung perkembangan aplikasi radiofarmaka dan kedokteran nuklir di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA ANONIM, Proposal Fokus Kegiatan Bidang Kesehatan,

Pusat Teknologi Radioisotop dan Radiofarmaka (2014).

ANONIM, World Small Animal Imaging (In-Vivo) Market - Opportunities and Forecasts, 2013 – 2020 diunggah dari http://www.alliedmarketresearch.com/small-animal-imaging-market tanggal 23 Desember 2015.

COMLEY, J. In vivo preclinical imaging: An essential tool in translational research. Drug Discovery World, 12(3), 58–71. 2011

FRANC, B. L., dkk, Small-Animal SPECT and SPECT / CT : Important Tools for Preclinical Investigation *, 1651–1663, 2008.

KARTAMIHARDJA, S, Perkembangangn Kedokteran Nuklir dan Radiofarmaka di Indonesia, Pelatihan Evaluasi Mutu Produk Radiofarmaka BPOM RI, Jakarta, 2013.

KARTIKO,N.Y., ALAMSYAH, R, Pendahuluan Teknologi, Keselamatan dan Jaminan Mutu PET-Scan, Prosiding Seminar Keselamatan Nuklir, Jakarta, 2006.

KIMMAN, et al, The burden of cancer in member countries of the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Asian Pacific journal of cancer prevention : APJCP, 13(2), 411–420(2012).

LAKSMI A, dkk, Stabilitas dan Uji Praklinis 99mTc-EC untuk Radiofarmaka Penatah Fungsi Ginjal, Journal of Radioisotopes and Radiopharmaceuticals Vol 16. No 1 April 2013

MASJHUR, S.J., Perkembangan Aplikasi Teknologi Nuklir dalam Bidang Kedokteran, Seminar Keselamatan Nuklir BAPETEN, Jakarta, 2009.

MULYANI, E., SILAKHUDIN,. SANTOSA,S., Studi Prospek Penggunaan Positron Emission Tomography (PET) untuk Aplikasi Klinis di Indonesia, Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah – Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir, Yogyakarta, 2011

NURLAILA Z., Radiofarmaka Peptida untuk Diagnosis dan Terapi Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 8, Agustus 2007

WANG, Z. J., dkk. Use of Imaging for Preclinical Evaluation. A Comprehensive Guide to Toxicology in Preclinical Drug Development (pp. 759–775). 2013

WIDYASTUTI, dkk. Perbandingan Mutu Radiofarmaka Metoksi Isobutil Isonitril Produksi Lokal Dengan Produk Impor, Prosiding Seminar Nasional Sains dan Pendidikan Sains IX, Fakultas Sains dan Matematikam UKSW, Salatiga, 21 Juni 2014, Vol.5, No.1

WONGSO, H., HALIMAH, I., Prinsip Uji Praklinis dan Klinis dalam Pengembangan Radiofarmaka Penyidik Kanker, Prosiding Seminar Nasional VIII SDM Teknologi Nuklir, Yogyakarta, 2013.

ZANCHI A., Small Animal Imaging Crucial for Drug Development and Non-Invasive Identification of Diseases in Humans, Website images.discover. frost.com diunggah dari http://images.discover. frost.com/Web/FrostSullivan/EU_PR_AZanchi_D690-TI_10Jul15.pdf tanggal 23 Desember 2015.

Page 46: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

INFORMASI IPTEK

Menghadirkan unsur-unsur transuranium dengan teknik transmutasi inti (M. Akhadi) 93

MENGHADIRKAN UNSUR-UNSUR

TRANSURANIUM DENGAN TEKNIK

TRANSMUTASI INTI

Mukhlis Akhadi • Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi – BATAN

Jalan Lebak Bulus Raya 49, Jakarta – 12440 PO Box 7043 JKSKL, Jakarta – 12070

[email protected]

PENDAHULUAN Banyak unsur baru ditemukan dan

dipelajari oleh para ilmuwan sejak masa John Dalton dan sesudahnya. Pada tahun 1869, seorang ahli kimia dari Rusia Dmitri Ivanovich Mendeleev menemukan pola alami tertentu dengan keteraturan yang mendasari perbedaan sifat-sifat berbagai unsur kimia. Beliau selanjutnya menerbitkan catatan pendek dengan judul The Correlation Between Properties of Elements and Their Atomic Weights. Catatan itu dibuat setelah Mendeleev melakukan pengamatan terhadap 63 unsur kimia yang sudah dikenalnya. Beliau menyimpulkan bahwa sifat-sifat unsur adalah fungsi periodik dari massa atom relatifnya. Artinya, jika unsur-unsur disusun menurut kenaikan massa atom relatifnya, maka sifat tertentu akan berulang secara periodik.

Mendeleev menempatkan unsur-unsur yang mempunyai kemiripan sifat dalam satu lajur vertikal yang disebut golongan. Lajur-lajur horizontal, yaitu lajur unsur-unsur berdasarkan kenaikan massa atom relatifnya, disebut periode. Karya yang dihasilkan Mendeleev ini sangat mendasar baik dalam ilmu kimia maupun ilmu fisika dan memiliki bentuk khusus sehingga sangat mudah disajikan dan difahami. Urutan penyusunan unsur-unsur itu selanjutnya dikenal sebagai tabel periodik karena Mendeleev menemukan sifat berulang dari unsur-unsur yang disusun berdasarkan teknik pengelompokan yang telah dilakukannya.

Karena belum lengkapnya jumlah unsur kimia yang diketahui pada saat itu, Mendeleev sengaja mengkosongkan beberapa tempat dalam kotak tabel periodiknya. Beliau menduga bahwa penyimpangan yang ditemukan dalam susunan berkala unsur-unsur itu karena para ahli kimia belum menemukan beberapa unsur kimia di alam. Dengan susunan berkala itu beliau meramalkan sifat-sifat beberapa unsur kimia yang saat itu belum ditemukan. Ramalan tersebut didasarkan pada sifat unsur lain yang sudah dikenal, yang letaknya berdampingan baik secara mendatar maupun secara tegak. Tidak lama kemudian, unsur-unsur baru seperti gallium (Ga), scandium (Sc) dan germanium (Ge) berhasil ditemukan dengan sifat-sifat kimia yang dimilikinya cocok dengan yang diramalkan Mendeleev sebelumnya.

Pada 1913, Ahli kimia Inggris Henry Moseley melakukan eksperimen pengukuran panjang gelombang unsur-unsur kimia menggunakan sinar-X. Beliau menyimpulkan bahwa sifat dasar atom bukan didasari oleh massa atom relatif seperti dugaan Mendeleev sebelumnya, melainkan berdasarkan kenaikan jumlah proton dalam inti atomnya. Moseley mengamati adanya unsur-unsur yang memiliki massa atom berbeda, tetapi memiliki jumlah proton sama atau dalam ilmu kimia lazim disebut isotop. Kenaikan jumlah proton ini mencerminkan kenaikan nomor atom unsur tersebut.

Berdasarkan percobaan Moseley para ilmuwan sepakat untuk menyempurnakan sistem

Page 47: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

INFORMASI IPTEK

94 Buletin Alara, Volume 17 Nomor 2, Desember 2015, 93 – 100

periodik Mendeleev sehingga lahirlah sistem periodik modern. Pengelompokan unsur-unsur dalam sistem periodik modern merupakan penyempurnaan dari sistem periodik Mendeleev sebelumnya. Sistem periodik modern yang di sebut juga sistem periodik bentuk panjang itu disusun berdasarkan kenaikan nomor atom dan kemiripan sifat-sifat atom. Lajur-lajur horizontal yang disebut periode disusun berdasarkan kenaikan nomor atom, sedangkan lajur-lajur vertikal yang disebut golongan disusun berdasarkan kemiripan sifat.

Sistem periodik modern terdiri atas tujuh periode dan dua golongan utama (A dan B). Setiap golongan dibagi lagi menjadi 8 golongan A (IA-VIIIA) dan 8 golongan B (IB-VIIIB). Sedang golongan VIIIB terdiri atas tiga golongan, yaitu golongan 8, 9 dan 10. Dari penyusunan itu akhirnya dihasilkan golongan-golongan unsur yang menempati 18 kolom vertikal berbeda-beda. Unsur-unsur yang menempati kolom sama ternyata memiliki sifat-sifat kimia maupun fisika yang hampir sama. Perhatikan misalnya, pada kolom 17 diisi oleh flour (F), clour (Cl), brom (Br) dan iodine (I) yang semuanya masuk dalam kelompok unsur halogen dengan sifat-sifat kimianya sangat mirip. Sedang pada kolom 18 di bagian paling kanan tabel periodik diisi oleh gas-gas mulia helium (He), neon (Ne), argon (Ar), kripton (Kr), xenon (Xe) dan radon (Rn) dengan sifat-sifat yang sangat mirip antara satu dengan lainnya.

Berbagai disiplin ilmu mengkhususkan diri menelaah materi-materi yang ditemukan dalam berbagai jenis benda yang berbeda-beda. Dalam astronomi dikaji jenis-jenis materi yang ditemukan di bintang, planet, satelit, asteroid, komet, meteor dan nebula. Bidang biologi mengkaji komposisi materi yang menyusun tubuh makhluk hidup. Ilmu kimia mempelajari komposisi dan sifat-sifat zat serta perubahan yang dialaminya. Ahli kimia mampu mengenali dan mengidentifikasikan semua zat murni dengan ketelitian tinggi melalui serangkaian uji penelitian.

Berbekal keakuratan data yang disajikan pada tabel periodik, para ilmuwan berspekulasi tentang masih adanya kemungkinan menemukan beberapa unsur super berat yang berada jauh di belakang uranium (U), bersifat stabil atau mempunyai waktu paro relatif panjang dan terjadi secara alamiah. Unsur dengan nomor atom 114 dengan jumlah neutron dalam intinya 184 merupakan salah satu unsur sangat berat yang diramalkan mempunyai sifat fisika seperti itu. Unsur ini diramalkan muncul dalam tabel periodik sekolom di bawah timbal (Pb) dan mempunyai sifat-sifat yang sama dengan Pb.

Adanya unsur-unsur super berat yang diperkirakan memiliki waktu hidup cukup panjang telah mendorong munculnya kegiatan penelitian di Amerika serikat, Eropa Barat dan Rusia untuk membuat unsur super berat dalam akselerator (alat pemercepat partikel) atau mendapatkan unsur itu di alam. Pencarian unsur super berat di alam didasarkan para teori yang menduga bahwa unsur tersebut telah ada sebelum bumi itu sendiri terbentuk dan hingga kini diperkirakan masih ada asal waktu hidup unsur itu cukup panjang.

Pemburuan unsur-unsur juga dilakukan di ruang angkasa. Para astronom telah berhasil mengenali sejumlah besar unsur yang ada di matahari dan bintang-bintang lainnya. Unsur-unsur itu ternyata diketahui juga ada di bumi. Sejauh ini belum pernah dijumpai adanya unsur di ruang angkasa yang tidak ditemukan di bumi. Analisis terhadap sejumlah meteor yang jatuh di bumi menunjukkan bahwa lebih dari 50 jenis unsur yang dikenal di bumi diketahui terkandung di dalam meteor dari ruang angkasa tersebut. TRANSMUTASI INTI

Reaksi nuklir atau reaksi inti pada dasarnya adalah suatu proses yang menyebabkan terjadinya perubahan struktur inti suatu atom. Perubahan itu dapat terjadi secara spontan melalui proses peluruhan seperti yang terjadi pada inti-inti atom radioaktif, atau sebagai hasil dari penembakan inti menggunakan partikel maupun radiasi elektromagnetik. Ada banyak jenis reaksi nuklir

Page 48: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

INFORMASI IPTEK

Menghadirkan unsur-unsur transuranium dengan teknik transmutasi inti (M. Akhadi) 95

yang melibatkan kira-kira 2000 macam isotop yang saat ini sudah ditemukan dan dikenali dengan baik oleh para ilmuwan. Reaksi nuklir dapat berlangsung dengan melibatkan beberapa jenis partikel nuklir dan radiasi elektromagnetik yang dapat dipakai sebagai pemicu atau proyektil terjadinya reaksi nuklir, seperti neutron (n), proton (p), alfa (α) serta partikel inti lainnya seperti deuteron (d) dan triton (t) serta sinar gamma (γ).

Gambar 1. Unsur-unsur yang tidak ditemukan di alam

ternyata dapat dihadirkan di laboratorium menggunakan teknik nuklir (Sumber gambar : Fermi Lab, USA)

Di laboratorium fisika energi tinggi,

perubahan atau transmutasi (transmutation) inti biasanya dihasilkan melalui penembakan target inti atom A dengan proyektil berupa partikel nuklir a yang sebelumnya dipercepat di dalam akselerator sehingga memiliki energi yang cukup untuk mengatasi gaya tolak elektrostatik dari inti A. Dari hasil penembakan itu akan dihasilkan inti baru B disertai dengan pelepasan partikel baru b. Dalam fisika nuklir, peristiwa transmutasi inti itu biasa ditulis dengan persamaan reaksi inti A(a,b)B. Jenis reaksi inti yang terjadi dikenal sebagai reaksi (a,b), dengan a dan b biasanya berupa partikel-partikel ringan seperti n, p, α dan sebagainya, atau inti-inti ringan seperti d dan t.

Fenomena tentang adanya reaksi nuklir pertama kali ditemukan oleh Ernest Rutherford pada tahun 1919. Pada saat itu Ruthreford mengamati bahwa inti atom 14N dapat memancarkan p apabila ditembaki dengan

partikel α yang dipancarkan dari radionuklida alamiah radium-C. Melalui percobaan itu Rutherford menyimpulkan bahwa partikel α yang masuk ke dalam inti 14N dapat membentuk sebuah inti gabungan yang sifatnya tidak stabil sehingga segera mengeluarkan p untuk menjadi inti baru 17O. Persamaan reaksi nuklir untuk proses transmutasi inti yang pertama kali diamati oleh Rutherforrd tersebut adalah 14N(α,p)17O.

Radiasi yang dipancarkan oleh radionuklida alamiah dapat dimanfaatkan sebagai proyektil, dan partikel α merupakan jenis proyektil yang cukup efektif untuk penembakan inti karena energi dan momentumnya yang relatif tinggi. Dalam transmutasi dengan partikel α ini biasanya hanya digunakan atom-atom ringan untuk mengurangi terjadinya hamburan proyektil sehingga kemungkinan terjadinya transmutasi inti akan lebih besar. Penggunaan target atom ringan dapat mengurangi gaya tolak Coulomb antara inti atom target dan partikel α. Beberapa contoh reaksi nuklir jenis (α,p) adalah 10Be(α,p)13C, 23Na(α,p)26Mg dan 27Al(α,p)30Si. Pada reaksi (α,p), jika diamati pada peta nuklida, muatan atau nomor atom inti hasil reaksi naik satu satuan dan massanya naik tiga satuan.

Meski hanya ada 92 jenis unsur kimia yang dapat ditemukan di alam, namun kini para ilmuwan telah berhasil menghadirkan atom-atom buatan sehingga jumlah atom mencapai lebih dari 100 jenis. Proses-proses nuklir telah dimanfaatkan dalam kerja tersebut, salah satunya adalah transmutasi inti melalui reaksi nuklir. Reaksi nuklir dilangsungkan melalui proses penembakan inti atom target dengan partikel-partikel tertentu yang lebih sering disebut sebagai peluru (projectile), n, p, α dan sebagainya.

Transmutasi inti buatan mula-mula dihasilkan dengan cara menembaki target dengan partikel α yang dipancarkan oleh bahan radioaktif alam. Penembakan partikel α pada target beryllium menghasilkan n. Perkembangan dalam bidang transmutasi inti sangat terbatas karena partikel α yang diperoleh dari unsur radioaktif alam hanya menghasilkan berkas dengan intensitas rendah dan transmutasi ini hanya dapat

Page 49: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

INFORMASI IPTEK

96 Buletin Alara, Volume 17 Nomor 2, Desember 2015, 93 – 100

dilakukan terhadap unsur-unsur bernomor atom rendah. Namun dalam perkembangan berikutnya manusia menyadari bahwa partikel-partikel inti lainnya seperti p, deuteron (d) dan bahkan sinar gamma (γ) ternyata dapat dimanfaatkan sebagai peluru untuk melangsungkan transmutasi inti. Keberhasilan ummat manusia dalam melakukan proses transmutasi ini telah menghadirkan banyak unsur baru yang sebelumnya tidak dikenal atau ditemukan di alam.

Penyerapan partikel α oleh inti atom target tidak selalu membentuk inti atom gabungan yang mengeluarkan p, namun bisa juga partikel yang dikeluarkannya berupa n. Bukti-bukti adanya pancaran n dan pengembangan metode dalam menganalisis reaksi nuklir dimana salah satu produknya adalah n telah mengantarkan manusia ke penemuan reaksi jenis (α,n) lainnya. Pada reaksi jenis ini, nomor atom inti hasil reaksi meningkat dua satuan dan massanya meningkat tiga satuan. Contoh dari transmutasi inti yang dihasilkan melalui proses reaksi jenis (α,n) ini adalah 14N(α,n)17F, 23Na(α,n)26Al dan 27Al(α,n)30P.

Pemanfaatan p sebagai proyektil merupakan kasus pertama dalam transmutasi inti yang seluruh prosesnya dilakukan secara buatan. JD. Cockcroft dan ETS. Walton di Laboratorium Cavendish, Universitas Cambridge, menembaki target berupa atom lithium (Li) dengan proyektil p yang dipercepat hingga berenergi 0,1-0,7 MeV. Perpendaran oleh partikel yang keluar dari target Li diamati menggunakan layar seng sulfide yang ditempatkan tidak jauh di belakang target. Dari hasil pengamatan jejak partikel dalam detektor kamar kabut diketahui bahwa partikel yang keluar dari reaksi itu ternyata partikel α. Dari pengamatan di dalam kamar kabut terlihat ada dua partikel α meninggalkan titik pusat terjadinya transmutasi dan bergerak dengan energi yang sama dengan arah saling berlawanan. Reaksi inti yang terjadi dapat ditulis dalam bentuk persamaan reaksi inti sebagai berikut:

7Li + p → [8Be]* → α + α (α = inti 4He)

Penemuan reaksi tersebut memiliki arti historis yang cukup menarik karena reaksi itu melengkapi bukti-bukti kuantitatif paling awal tentang kebenaran hukum yang menunjukkan hubungan kesetaraan antara massa dan energi sebagaimana dikemukakan sebelumnya oleh Albert Einstein. Reaksi itu juga merupakan jenis reaksi yang cukup bagus untuk pembuktian hukum tersebut karena energi radiasi yang dilepaskan sebagai produk reaksi dapat diukur secara teliti, sedang massa produk reaksi itu sudah diketahui sebelumnya. Sejak tahun 1932, beberapa jenis transmutasi inti telah dipelajari secara detil dan hasilnya sangat bersesuaian dengan hubungan kesetaraan massa-energi yang diturunkan dari persamaan relativitas Einstein.

Beberapa contoh transmutasi inti melalui proses reaksi inti jenis (p,α) lainnya adalah 6Li(p,α)3He, 9Be(p,α)6Li, 19F(p,α)16O dan 27Al(p,α)24Mg. Reaksi (p,α) yang cukup menarik terjadi jika digunakan target 11B dengan persamaan reaksi intinya 11B(p,α)8Be, dimana inti 8Be bersifat sangat tidak stabil sehingga langsung pecah menjadi dua inti 4He yang tak lain adalah partikel α. Jadi hasil akhir dari reaksi (p,α) terhadap target atom 11B adalah tiga partikel α.

Neutron merupakan partikel nuklir yang sangat efektif untuk menghasilkan berbagai jenis reaksi nuklir. Karena tidak bermuatan listrik, proyektil n tidak akan mengalami gaya tolak Coulomb pada saat mendekati inti target, sehingga kemampuannya dalam menerobos inti lebih besar dibandingkan dengan p, d maupun α. Bukan hanya n berenergi tinggi saja yang dapat memicu terjadinya reaksi nuklir, tetapi n yang berenergi sangat rendah sekalipun (berenergi thermik sekitar 0,0025 eV) dapat dengan efektif dipakai untuk melangsungkan transmutasi inti. Karena sifat netral pada proyektil n, maka reaksi nuklir yang dihasilkannya jauh lebih banyak dan bervariasi dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh proyektil lainnya.

Neutron cepat dari suatu sumber dapat diperlambat gerakannya melalui tumbukan n tersebut dengan bahan yang banyak mengandung atom hidrogen (H) seperti air dan paraffin.

Page 50: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

INFORMASI IPTEK

Menghadirkan unsur-unsur transuranium dengan teknik transmutasi inti (M. Akhadi) 97

Melalui proses tumbukan itu, n akan menyerahkan sebagian besar energinya kepada inti atom H, dan setelah beberapa kali proses tumbukan, energi rata-ratanya berkurang hingga mencapai beberapa eV. Neutron lambat ini ternyata sangat bermanfaat dan reaksi nuklir yang ditimbulkannya cukup menarik perhatian. Reaksi (n,α) pada inti 6Li dengan persamaan reaksi nuklirnya 6Li(n,α)3H dan pada inti 10B dengan persamaan reaksi nuklirnya 10B(n,α)7Li mempunyai penampang lintang yang cukup tinggi sehingga sering dimanfaatkan untuk pemantauan n. Reaksi (n,α) menghasilkan inti baru dengan nomor atomnya berkurang dua satuan dan massa intinya berkurang tiga satuan. Pada inti atom target 27Al, reaksi (n,α) menghasilkan inti baru 24Na.

Gambar 2. Reaksi nuklir antara 11B dengan proton yang

menghasilkan tiga partikel alfa UNSUR TRANSURANIUM

Pada tahun 1934, ketika Enrico Fermi dan kelompoknya di Roma, Italia, menembaki target U dengan n lambat, mereka mengamati adanya unsur-unsur radioaktif baru terbentuk di dalam target U. Mereka menduga adanya peluang bahwa penembakan U dengan n dapat dipakai untuk memproduksi unsur-unsur dengan muatan inti lebih besar dari 92. Antara tahun 1934 hingga 1939, beberapa usaha telah dilakukan untuk membuat dan mengidentifikasi unsur-unsur superberat tersebut. Meski para peneliti telah memperoleh bukti-bukti baru yang cukup meyakinkan tentang adanya unsur-unsur baru, namun masih ada beberapa kesulitan yang ditemui para ilmuwan dalam mengidentifikasi unsur baru tersebut.

Mulai tahun 1940, berbagai spesien unsur radioaktif baru dengan muatan inti lebih besar dari 92 mulai berhasil ditemukan. Unsur-unsur itu melakukan transformasi inti dengan memancarkan sinar beta (β) sehingga menghasilkan unsur baru lainnya dengan muatan inti lebih besar dari U. Melalui analisis kimia diketahui bahwa unsur-unsur baru itu memiliki sifat-sifat kimia yang berbeda dengan unsur-unsur lain yang muncul di sekitar U pada tabel periodik. Unsur-unsur kimia yang muncul atau memiliki nomor atom lebih besar dari uranium (nomor atom 92) biasanya dikenal dengan sebutan unsur transuranium. Sebagian besar unsur transuranium adalah unsur buatan manusia yang bersifat radioaktif sehingga meluruh dan berubah menjadi unsur lain. Unsur-unsur tersebut dapat dihadirkan oleh para ilmuwan di laboratorium melalui proses transmutasi inti.

Apabila 238U ditembaki dengan n, maka akan terjadi reaksi (n,γ) sehingga dihasilkan isotop 239U yang bersifat radioaktif dengan umur paro 23 menit. Isotop ini meluruh sambil memancarkan sinar β menjadi salah datu jenis unsur transuranium dengan muatan intinya 93. EM. McMillan dan P. Aberson membuktikan bahwa salah satu unsur transuranium itu memiliki waktu paro 2,3 hari. Unsur baru kelompok transuranium itu selanjutnya diberi nama neptunium (Np), yang diambil dari Neptunus, salah satu nama planet dalam sistem tatasurya.

Karena bersifat radioaktif, unsur Np melakukan proses peluruhan sambil memancarkan sinar β menjadi unsur baru dengan muatan intinya 94. Unsur ke 94 itu selanjutnya diberi nama plutonium (Pu), diambil dari salah satu nama benda ruang angkasa Pluto. Unsur Pu pertama kali ditemukan oleh GT. Seaborg, EM. McMillan, JW. Kennedy dan AC. Wahl. Karena bersifat radioaktif, Pu meluruh sambil memancarkan sinar β menghasilkan unsur baru dengan muatan inti 95. Unsur ini selanjutnya diberi nama americium (Am). Karena bersifat radioaktif, peluruhan unsur Am akan menghasilkan unsur transuranium baru dengan muatan inti 96 yang diberi nama curium (Cm).

Page 51: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

INFORMASI IPTEK

98 Buletin Alara, Volume 17 Nomor 2, Desember 2015, 93 – 100

Unsur transuranium dengan muatan inti 97 dapat dihadirkan melalui penembakan target 241Am dengan partikel α. Unsur ke 97 itu diberi nama berkelium (Bk). Unsur-unsur transuranium lainnya telah diproduksi melalui penembakan U dengan inti-inti atom yang dipercepat di dalam akselerator hingga berenergi 100 MeV. Unsur transuranium ke 98 diberi nama californium (Cf), ke 99 diberi nama einstenium (Es), ke 100 diberi nama fermium (Fm), ke 101 diberi nama mendelevium (Md), ke 102 diberi nama nobelium (No) dan ke 103 diberi nama lawrencium (Lr). Jumlah unsur dalam tabel periodik yang baru mencapai 103 jenis unsur terdiri atas unsur-unsur alamiah dan buatan, terutama dari produk fisi dan transmutasi inti lainnya.

Setelah deret aktinida pada tabel periodik unsur-unsur, para ilmuwan sebenarnya masih mengusulkan adanya satu deret lagi yang dikenal dengan nama deret transaktinida. Deret ini dimulai dari unsur ke-104. Sebelumnya memang pernah ada konflik yang muncul antara para peneliti di Lawrence Berkeley Laboratory di California dan peneliti di Dubna Joint Institute for Nuclear Research di Rusia berkaitan dengan klaim dalam penemuan unsur-unsur baru dengan nomor atom 104 dan 105. Para peneliti di Berkeley mengusulkan nama Rutherfordium (Rf) untuk unsur nomor 104 dan Hahnium (Ha) untuk unsur nomor 105, sementara ilmuwan Rusia mengusulkan nama Kurchatovium dan Nielsbohrium.

Kontroversi dalam penamaan unsur ke 104 dan 105 menunjukkan perlunya aturan dasar atau kriteria dalam masalah klaim penemuan unsur kimia baru. Terkait dengan masalah klaim tersebut, Darlene C. Hoffman dari Los Alamos Scientific Laboratory mengusulkan kriteria adanya penemuan unsur baru itu didasarkan pada pembuktian dengan berbagai macam cara bahwa nomor atom (Z) unsur baru yang diklaim itu betul-betul beda dengan Z dari atom-atom yang sudah dikenal sebelumnya. Cara-cara pembuktian yang dapat diterima oleh kalangan ilmuwan adalah melalui identifikasi kimia, identifikasi pancaran sinar-X karakteristik unsur tersebut atau

proses peluruhannya serta adanya keterkaitan dengan model peluruhan alfa dari unsur-unsur yang telah dikenal sebelumnya.

Klaim penemuan unsur ke 104 dan 105 oleh para imuwan Rusia didasarkan terutama pada penggunaan teknik non-diskriminasi relatif yang biasanya digunakan untuk pencacahan unsur-unsur hasil fisi, tidak menggunakan metode pengujian sebagaimana diusulkan oleh Hoffman. Upaya eksperimen yang sangat hati-hati oleh peneliti di Amerika Serikat untuk meniru dan menguji hasil yang diklaim oleh ilmuwan Rusia ternyata tidak mengkonformasi hasil yang sama. Karena alasan itu, pada tabel periodik dimunculkan nama sesuai dengan yang diusulkan oleh Tim Berkeley, yaitu Rf untuk unsur ke 104 dan Ha untuk unsur ke 105.

Dengan teknik transmutasi inti, penemuan unsur ke-106 juga telah diklaim oleh beberapa kelompok peneliti, namun selama ini belum ada nama yang diusulkan untuk unsur tersebut. Bukti-bukti awal adanya unsur ke-107, 108 dan 109 telah didapatkan oleh sekelompok peneliti di Gesellschaft fur Schwerionenfarschung (GSI) di Darmstadt, Jerman. Juga belum ada nama diusulkan untuk unsur-unsur tersebut. Unsur dengan nomor atom 109 atom tunggalnya berhasil dihadirkan di laboratorium dan diamati para ilmuwan pada tahun 1982. Karena bersifat radioaktif dengan umur paronya sangat pendek, unsur itu hanya berhasil bertahan selama 5 x 10-3

detik. Tiga elemen baru kini telah ditambahkan di

Table Periodik Unsur. Majelis Umum International Union of Pure and Applied Physics (IUPAP) telah menyetujui nama-nama untuk ketiga unsur itu. Ketiga unsur memiliki nomor 110, 111 dan 112, masing-masing bernama Darmstadtium (Ds), Roentgenium (Rg) dan Copernicium (Cn). Majelis umum yang beranggotakan 60 orang menyetujui penamaan dalam rapat di Institute of Physics (IOP), London, pada hari Sabtu tanggal 5 November 2011.

Dr Robert Kirby-Harris, kepala IOP dan juga Sekretaris Jenderal IUPAP, menyatakan bahwa penamaan unsur ini telah mendapat

Page 52: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

INFORMASI IPTEK

Menghadirkan unsur-unsur transuranium dengan teknik transmutasi inti (M. Akhadi) 99

persetujuan dalam konsultasi dengan fisikawan dari seluruh dunia. Mereka menyatakan senang dan setuju dengan nama-nama baru yang dicantumkan pada tabel Periodik unsur-unsur. Jurnal Ilmiah Livescience dalam publikasinya menyatakan bahwa ketiga unsur baru itu disebut elemen superberat atau transuranium. Unsur-unsur itu kemunculannya hanya dapat diusahakan di laboratorium, dan tidak ditemukan di alam. Untuk sementara, para ilmuwan masih mengalami kesulitan untuk mempelajarinya karena bersifat radioaktif dengan umur paro sangat pendek sehingga cepat sekali berubah menjadi unsur lain. Jadi untuk saat ini, memang belum banyak yang diketahui tentang ketiga elemen baru itu.

Meski baru ditambahkan ke Tabel Periodik Unsur, ketiga unsur itu sebenarnya telah lama ditemukan. Hanya saja, penamaan tak langsung dilakukan sebab harus sesuai persetujuan organisasi ilmuwan. Secara umum, unsur dinamai sesuai penemunya, tempat ditemukan atau nama kehormatan. Keberadaan copernicium misalnya, telah diamati sejak 9 Februari 1996 dengan nama ununbium. Nama tidak berubah sampai tahun 2009 saat eksistensi unsur itu berhasil dibuktikan. Nama Copernicium lalu diambil untuk menghormati Copernicus, ilmuwan pertama yang menyatakan bahwa Bumi mengelilingi Matahari. Sementara Roentgenium telah ditemukan sejak 8 Desember 1994 dengan nama asli unununium. Nama Roentgenium lalu dipakai sebagai penghormatan atas jasa Wilhelm Conrad Roentgen, ilmuwan yang mendeteksi sinar X dan memenangkan nobel fisika tahun 1901.

Darmstadtium dibuat oleh Peter Armbruster and Gottfried Munzenberg dengan nama awal ununnilium. Nama Darmstadtium diambil sebab pembuatan dilakukan di fasilitas GSI Helmholtz Centre for Heavy Ion Research di Jerman yang terletak di dekat kota Darmstadt. Setelah penamaan Darmstadtium, Roentgenium dan Copernicium, ilmuwan kini tengah bekerja untuk menamai unsur 114 dan 116 yang telah ditambahkan di Tabel Periodik unsur sejak bulan Juli tahun 2011.

Gambar 3. Fasilitas riset fisika energi tinggi untuk

melangsungkan reaksi nuklir (Sumber gambar : Fermi Lab, USA)

Gambar 4. Visualisasi proses transmutasi inti di dalam

akselerator (Sumber gambar : Fermi Lab, USA)

PENUTUP

Kemajuan dalam riset fisika nuklir energi tinggi yang didukung dengan penggunaan mesin pemercepat partikel ukuran super besar telah mengantarkan para ilmuwan mampu menghadirkan unsur-unsur kimia baru dengan nomor atom tinggi. Pintu keberhasilan dalam menghadirkan material-material baru terbuka lebih lebar dan manusiapun berharap suatu ketika akan dapat mengambil manfaat dari hadirnya

Page 53: Buletin ALARA - Badan Tenaga Nuklir Nasional

INFORMASI IPTEK

100 Buletin Alara, Volume 17 Nomor 2, Desember 2015, 93 – 100

material-material superberat yang dibuat di laboratorium untuk dimanfaatkan dalam berbagai bidang kehidupan. Terbuka juga kemungkinan untuk memodifikasi atom-atom yang ada di alam ini sehingga diperoleh material baru dengan karakteristik tertentu sesuai dengan yang diinginkan manusia untuk berbagai keperluan dalam kehidupan. DAFTAR PUSTAKA ALONSO, M. and FINN, EJ., Fundamental University

Physics (volume III), Addison-Wesley Publishing Company, London (1980).

ARNIKAR, HJ., Essentials of Nuclear Chemistry (4th Edition), New Age International (P) Limited Publishers, New Delhi (1996).

BIRCH, B., Marie Curie (alih bahasa oleh Alex Tri Kantjono Widodo), P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta (1993).

CHEMBER, H., Introduction to Health Physics (2nd edition), Pergamon Press, New York (1987).

COHEN, BL., Concept of Nuclear Physics, Tata McGraw-Hill Publishing Company Ltd., New Delhi (1982).

COOK, JE., Environmental Radiation and Radioactivity, Australian School of Nuclear Technology, Lucas Heights, NSW 2234, Australia (1986).

FOWLER, E., Radioisotop, Ilmu Pengetahuan Populer, Vol. 5, Grolier International Inc./P.T. Widyadara (1997) hal. 131-135.

FRIEDLANDER, G., et. al., Nuclear and Radiochemistry (3rd edition), John Wiley & Sons, New York (1981).

HALLIDAY, D. and RESNIC, R., Fisika Modern (alih bahasa oleh P. Silaban), Penerbit Erlangga, Jakarta 10430 (1990).

HERMAN, A., The New Physics, the Route Into Atomic Age, International Bonn-bad Godesberg, Federal Republic of Germany (1979).

HODDESON, L., Teori Kuantum, Ilmu Pengetahuan Populer, Vol. 5, Grolier International Inc./P.T. Widyadara (1997) hal. 137-148.

KAPLAN, I., Nuclear Physics (2nd edition), Addison-Wesley Publishing Company, London (1979).

KRANE, KS., Fisika Modern (Cetakan I, terjemahan oleh Hans J. Wospakrik & Sofia Niksolihin), Penerbit Universitas Indonesia, Salemba 4, Jakarta 10430 (1992).

STANDEN, A., daftar Berkala, Ilmu Pengetahuan Populer, Vol. 4, Grolier International Inc./P.T. Widyadara (1997) hal. 139-161.

TAYLOR, JR. and ZAFIRATOS, CD., Modern Physics For Scientist and Engineers, Prentice Hall, Engelwood Cliffs, New Yersey 07632 (1991).

WALKER, FW., et. al., Nuclides and Isotopes (14th edition), GE Nuclear Energy, California 95125, USA (1989).