BUKU PANDUAN - Widyasari Press

103
BUKU PANDUAN PERTUMBUHAN IMAJINASI BERPIKIR MATEMATIS MAHASISWA PENDIDIKAN MATEMATIKA MELALUI KEGIATAN ECT DALAM MENCIPTAKAN ALAT PERAGA BAGI SISWA ABK DI SLB Disusun oleh: Sugiman Prof. Dr. Hardi Suyitno, M.Pd Dr. Dwijanto, M.S Dr. IwanJunaedi, M.Pd UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG TAHUN 2021 [i]

Transcript of BUKU PANDUAN - Widyasari Press

BUKU PANDUAN

PERTUMBUHAN IMAJINASI BERPIKIR

MATEMATIS MAHASISWA PENDIDIKAN MATEMATIKA

MELALUI KEGIATAN ECT DALAM MENCIPTAKAN ALAT

PERAGA BAGI SISWA ABK DI SLB

Disusun oleh:

Sugiman

Prof. Dr. Hardi Suyitno, M.Pd

Dr. Dwijanto, M.S

Dr. IwanJunaedi, M.Pd

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

TAHUN 2021

[i]

Buku Panduan

PERTUMBUHAN IMAJINASI BERPIKIR MATEMATIS

MAHASISWA PENDIDIKAN MATEMATIKA MELALUI

KEGIATAN ECT DALAM MENCIPTAKAN ALAT PERAGA

BAGI SISWA ABK DI SLB.

Hak Cipta@ Sugiman, 2021

Penulis

Sugiman

Prof. Dr. Hardi Suyitno, M.Pd

Dr. Dwijanto, M.S

Dr. IwanJunaedi, M.Pd

Cetakan 1, Edisi I, April 2021

ISBN 978-602-6977-92-2

[ii]

PRAKATA

Dengan mengucap rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa,

maka Buku Panduan dengan judul: “PERTUMBUHAN IMAJINASI

BERPIKIR MATEMATIS MAHASISWA PENDIDIKAN

MATEMATIKA MELALUI KEGIATAN ECT DALAM

MENCIPTAKAN ALAT PERAGA BAGI SISWA ABK DI SLB” ini

telah selesai dibuat. Pelaksanaan kegiatan penyusunan Buku Panduan

ini tidak dapat terlaksana tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh

karena itu, maka pada kesempatan ini, kami ingin mengucapkan rasa

terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Semarang,

2. Direktur Pascasarjana Universitas Negeri Semarang,

3. Koordinator Program Studi S3 Pendidikan Matematika

Pascasarjana UNNES,

4. Dekan FMIPA UNNES,

5. Ketua Jurusan Matematika FMIPA UNNES,

6. Promotor dan Kopromotor Disertasi, dan

7. Semua pihak yang telah membantu suksesnya penyusunan buku

ini.

Atas semua bantuan dan perhatiannya, semoga Tuhan Yang

Maha Kuasa berkenan melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya.

Semarang, 4 April 2021

Penulis,

[iii]

DAFTAR ISI

PRAKATA ………………………………………………………… iii

DAFTAR ISI …..................................................................................iv

DAFTAR TABEL ............................................................................... v

DAFTAR GAMBAR ........................................................................ vi

BAB I Pendahuluan .............................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1

1.2 Identifikasi Permasalahan di SLB ................................................. 6

1.3 Cakupan Masalah ........................................................................... 7

1.4 Pertanyaan Terkait Pertumbuhan Imajinasi Berpikir Matematis .... 8

BAB II Kajian teoritik tentang pertumbuhan imajinasi mahasiswa .. 10

2.1 Imajinasi Berpikir ......................................................................... 10

2.2 Manfaat Teoretis Imajinasi Berpikir Matematis ........................... 62

BAB III Kegiatan extra-curriculum training (ect) ............................. 63

3.1 Tujuan Kegiatan ECT ................................................................... 63

3.2 Manfaat Kegiatan ECT ................................................................. 64

3.3 Pembentukan, Materi, dan Jadwal Kegiatan ECT ........................ 65

BAB IV Pertumbuhan imajinasi berpikir matematis mahasiswa ....... 71

4.1 Pola Pertumbuhan Imajinasi Berpikir Matematis Mahasiswa ...... 71

4.2 Dukungan lembaga seameo-sen dan oleh guru slb di

malaysia...............................................................................................87

BAB V Penutup .................................................................................. 90

5.1 Simpulan .... ..................................................................................90

5.2 Saran yang Direkomendasikan ..................................................... 91

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 92

[iv]

DAFTAR TABEL

Table 4.1. Tabel Kategori Pertumbuhan IBM ............................... 73

Table 4.2. Tabel Rekapitulasi Penilaian oleh Dosen ..................... 74

Table 4.3. Tabel Kompetensi Dasar Matematika Kelas VI SMPLB

Tunarungu ………………………………………………………

Error! Bookmark not defined.82

[v]

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Skema Pola Pikir Peneliti ................................................. 5

Gambar 2.1 Abakus Bilangan Untuk Anak Awas ............................ 18

Gambar 2.2 Abakus bilangan untuk tunanetra ...................................18

Gambar 2.3 Pemanfaatan Abakus Bilangan bagi siswa Tunagrahita . 19

Gambar 2.4 Melalui Kerja Kelompok, Siswa Melakukan Kegiatan

Hand on Activity ................................................................................ 47

Gambar 2.5 Kubus dan Jaring-jaringnya ............................................ 48

Gambar 3.1 peserta ECT mendengarkan penjelasan pelatih ..............69

Gambar 3.2 peserta ECT praktik membaca Braile .............................69

Gambar 3.3 produk peserta ECT dipraktikan di SLB ........................69

Gambar 4.1 Alat Peraga Abanetra buatan mhs 1 ...............................74

Gambar 4.2 Menunjukan Angka 0 .....................................................80

Gambar 4.3 Menunjukan Angka 2 .....................................................80

Gambar 4.4 Menunjukan Angka -2 ....................................................80

Gambar 4.5 Menunjukan 2 + 3 = 5 ....................................................80

Gambar 4.6 Penjumlahan 2 - 3 = -1 ...................................................80

Gambar 4.7 Desain Alat Peraga Abanetra Penjumlahan &

Pengurangan Bilangan Bulat ..............................................................81

Gambar 4.8 Alat Peraga Dipraktikan dalam Pembelajaran Di SLB...81

Gambar 4.9 Wawancara Terbuka Dengan Siswa Tunanetra dalam

Suasana yang Akrab ..........................................................................85

Gambar 4.10 Wawancara Terbuka Dengan Siswa Tunagrahita ........85

Gambar 4.11 Video Pembelajaran Diisi Bahasa Isyarat ....................86

Gambar 4.12 Penulis Mewawancarai Guru Sambil Mengamati Siswa

SLB Menggunakan Alat Peraga Dalam Latihan Mengerjakan soal -

soal .....................................................................................................87

[vi]

[1]

BAB

I

1.1 Latar Belakang

Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika perlu

ditumbuhkan kompetensi Imajinasi Berpikir Matematisnya.

Dengan tumbuhnya Imajinasi Berpikir Matematis pada diri

mahasiswa Pendidikan Matematika, maka diharapkan akan

muncul ide-ide baru yang bermanfaat untuk meningkatkan

kualitas Pendidikan di bidang matematika sekolah. Tumbuhnya

kompetensi Imajinasi Berpikir Matematis dipandang sangat

penting. Tidak mungkin tercipta Candi Borobudur tanpa melalui

Imajinasi Berpikir terlebih dahulu. Etnomatematika bisa muncul

juga pasti didahului dengan tumbuhnya kompetensi Imajinasi

Berpikir Matematis pada diri penemunya.

Tumbuhnya kompetensi Imajinasi Berpikir Matematis bisa

dilakukan dengan berbagai cara. Imajinasi Berpikir Matematis

juga dapat diungkap melalui hasil produk berupa alat peraga yang

dihasilkan secara mandiri. Pada Buku Panduan ini, dikaji cara

untuk menumbuhkan kompetensi Imajinasi Berpikir Matematis

pada mahasiswa Pendidikan Matematika melalui cara yang belum

ditemukan oleh peneliti-peneliti lainnya. Cara yang diujicobakan,

dimulai dengan pembuatan suatu produk yang justru sama sekali

asing untuk dilakukan seorang mahasiswa yang kuliah di Jurusan

Matematika. Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika

disiapkan untuk menjadi guru pelajaran matematika di SMP,

SMA, atau SMK reguler. Dalam perkuliahan pada Program Studi

Pendidikan Matematika, mahasiswa tidak pernah dikenalkan pola

pendidikan untuk siswa yang berkebutuhan khusus yang sekolah

di SLB (Sekolah Luar Biasa). Oleh karena itu, kegiatan ini perlu

diawali dengan kegiatan Extra-Curriculum Training (ECT) yang

PENDAHULUAN

[2]

salah satu konten kegiatannya dilakukan dengan memberikan

pengantar tentang karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus

(ABK) dan pembelajarannya di SLB.

Selanjutnya, kajian dalam Buku Panduan ini mencoba

untuk menemukan tumbuhnya kompetensi Imajinasi Berpikir

Matematis mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika

melalui uji kemampuan mahasiswa untuk dapat

mengkristalisasikan Imajinasi Berpikir Matematisnya dalam

menemukan suatu alat peraga matematis yang bermanfaat bagi

siswa/anak berkebutuhan khusus. Banyak ahli berpendapat bahwa

suatu alat peraga matematis dikatakan bermanfaat, jika dimaknai

bahwa penerapan karya cipta seseorang atau mahasiswa Program

Studi Pendidikan Matematika dalam membuat alat peraga

matematis, bila penerapan alat peraga matematis tersebut di SLB

cocok dengan Kompetensi Dasar (KD) yang berlaku di SLB,

mampu mempercepat daya serap siswa/anak berkebutuhan khusus

dalam mengikuti pelajaran matematika, dan mampu

menumbuhkan suasana pembelajaran yang cocok dan

menyenangkan (Joyful Learning) bagi siswa.

Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) memiliki hak yang

sama dengan anak-anak normal untuk mendapatkan pendidikan

yang standar, efektif, dan berkelanjutan. Pemerintah dan pihak

swasta juga sudah menyelenggarakan Sekolah Luar Biasa (SLB),

dari SDLB, SMPLB, SMALB, maupun Sekolah Inklusi yang satu

atau lebih, ada siswanya yang merupakan ABK.

Idealnya, ABK harus dapat melanjutkan pendidikannya

sampai jenjang SMA, bahkan ke perguruan tinggi. Kenyataannya,

hampir di semua SLB belum siap dengan pengadaan guru mata

pelajaran umum seperti Matematika, Kimia, atau pelajaran yang

lain, yang berbasis SLB terutama pada jenjang sekolah menengah

pertama dan menengah atas. Mahasiswa Pendidikan Matematika

Universitas Negeri Semarang sebenarnya cukup banyak yang

[3]

berminat untuk menjadi guru matematika di SLB pada jenjang

SMP atau SMA. Namun, fasilitas, prasarana, sarana, dan

regulasinya belum memungkinkan untuk menghasilkan guru-guru

matematika untuk ABK.

Dengan demikian, ada gap/jurang pemisah antara

kebutuhan nyata di lapangan dengan fakta yang ada di perguruan

tinggi. SLB membutuhkan guru-guru matematika yang

profesional di bidang materi pelajarannya, tapi juga menguasai

kebutuhan dan karakteristik ABK dalam pembelajarannya. Di lain

pihak, perguruan tinggi khususnya Pendidikan Matematika

FMIPA UNNES belum ada regulasi untuk menghasilkan guru

matematika yang siap mengajar di SLB atau sekolah inklusif

dengan segala konsekuensinya.

Unsur kebaruan yang ditemukan melalui uraian pada

Buku Panduan ini ini adalah menemukan cara untuk

memunculkan dan menumbuhkan kompetensi Imajinasi Berpikir

Matematis bagi mahasiswa Pendidikan Matematika dalam

menciptakan Alat Peraga bagi ABK ke arah Joyful Learning

(pembelajaran yang menjadi tampak mudah dan menyenangkan),

melalui perancangan, pembuatan, dan penerapan alat peraga di

SLB dalam wadah ECT. Berdasarkan studi pendahuluan di SLB,

jenis alat peraga matematis yang dibutuhkan sangat banyak, salah

satunya adalah model alat peraga matematis berupa visual-auditif

multi fungsi.

Siswa di SLB perlu dan harus memberdayakan diri

potensi nalarnya dan daya serapnya dalam mempelajari

matematika. Guru di SLB wajib menjadi pendamping yang

mampu membawa siswanya dari berpikir mengingat sampai

memahami, serta memecahkan permasalahan yang komprehensif.

Kemampuan berpikir komprehensif akan menjadikan siswa SLB

terbiasa menghadapi sesuatu/masalah yang kompleks.

Menghadapi sesuatu/masalah yang kompleks ini membutuhkan

[4]

kemampuan berpikir komprehensif (Comprehensive Thinking

Skill). Siswa SLB yang mampu berpikir komprehensif diharapkan

akan dapat bersaing di dunia kerja yang kompetitif. Di era disrupsi

atau dikenal pula dengan era industri 4.0 seperti saat ini, mampu

berpikir saja tidak cukup melainkan harus mampu berpikir

komprehensif dalam menghadapi permasalahan sehari-hari yang

kompleks.

Mental kebergantungan siswa SLB yang lahir dari

ketidakmampuan berpikir komprehensif dalam menghadapi

realitas perlu dihilangkan. Semakin tumpul pikiran seseorang

akan semakin sulit menghadapi hidup. Sulit beradaptasi, sulit

mencari alternatif, dan buntu dalam melangkah merupakan

tantangan siswa SLB yang perlu dihilangkan. Guru SLB perlu

memanfaatkan alat peraga matematis, termasuk alat peraga

Visual-Auditif dan mengondisikan suasana pembelajaran yang

komprehensif dan agar pembelajaran menjadi bernuansa joyful

learning. Kemampuan mahasiswa Pendidikan Matematika untuk

menciptakan alat peraga matematis yang berupa visual-auditif

multi fungsi inilah yang dipakai sebagai alat pengungkap

tumbuhnya kompetensi Imajinatif Berpikir Matematis

Mahasiswa.

Kurikulum yang saat ini berlaku, memang menghendaki

agar siswa, tidak terkecuali siswa di SLB untuk mampu berpikir

komprehensif. Kemampuan berpikir komprehensif yang

diperkenalkan sejak dini di bangku SDLB akan berdampak positif

di kelak kemudian hari.

Hubungan antara pertumbuhan Imajinasi Berpikir

Matematis Mahasiswa dalam menciptakan Alat Peraga bagi ABK

agar siswa SLB Berpikir Komprehensif melalui Joyful Learning

berbasis Extra-Curriculum Training, digambarkan dalam Gambar

1.1. Skema pola pikir yang dikaji dalam Buku Panduan ini seperti

gambar berikut ini.

[5]

Penjelasan Skema:

1) Sasaran yang dituju adalah Pertumbuhan Imajinasi Berpikir

Matematis Mahasiswa dalam Menciptakan Alat Peraga bagi

ABK yang Spesifik, Visual-Auditif, Multi Fungsi agar

terbukti ABK mampu Berpikir Komprehensif.

2) Sarana dan prasarananya adalah diselenggarakannya Extra-

Curriculum Training tentang karakteristik pembelajaran

matematika di SLB, penulisan dan pembacaan kalimat dalam

huruf Braille dan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia

(SIBI/BISINDO), lengkap dengan alat Riglet dan penunjang

lainnya.

3) Perlu pemodelan tentang pembelajaran di SLB dengan

memanfaatkan Alat Peraga yang sesuai dengan sifat ketunaan

siswanya. Bukan Alat Peraga Reguler yang diperuntukkan

bagi siswa-siswa normal.

4) Indikasi tumbuhnya Imajinasi Berpikir Matematis

Mahasiswa dalam menciptakan Alat Peraga bagi ABK, wajib

ditandai dengan:

[6]

a. terciptanya Alat Peraga bagi ABK oleh mahasiswa yang

alat peraganya harus Spesifik, Visual-Auditif, dan Multi

Fungsi bagi ABK yang bersekolah di SLB;

b. alat peraga harus applycable, yang terbukti bahwa alat

peraga yang dihasilkan mahasiswa benar-benar mampu

membuat siswa SLB Berpikir Komprehensif, melalui

pembelajaran yang tampak mudah dan menyenangkan

(Joyful Learning).

Pengalaman memecahkan masalah dalam kehidupan

memerlukan berpikir komprehensif kini menjadi sebuah

keharusan. Kecerdasan berpikir komprehensif kini menjadi

sebuah modal bagi siswa SLB dalam menghadapi kehidupan yang

jauh lebih kompleks pada masa depan. Berpikir komprehensif

adalah ciri manusia berkualitas karena ia berada pada puncak

kesadaran. Guru SLB, dapat memanfatkan penggunaan alat

peraga Visual-Auditif multi fungsi yang berbasis Joyful Learning.

Buku Pandu aini menguraikan pertumbuhan Imajinasi Berpikir

Matematis Mahasiswa melalui terciptanya Alat Peraga bagi ABK

agar Berpikir Komprehensif melalui Joyful Learning berbasis

Extra-Curriculum Training. Dengan demikian, penggunaan alat

peraga matematis karya produk imajinasi berpikir matematis

mahasiswa dalam menciptakan alat peraga Visual-Auditif multi

fungsi berbasis Joyful Learning wajib diterapkan di SLB dan perlu

dianalisis kemanfaatannya dalam untuk menumbuhkan berpikir

komprehensif bagi siswa SLB.

1.2 Identifikasi Permasalahan di SLB

Berdasarkan uraian pada Latar Belakang di atas, maka

identifikasi masalah yang dapat dihimpun adalah sebagai berikut.

1.2.1 Apakah mahasiswa Pendidikan Matematika dapat

menciptakan Alat Peraga Matematis bagi siswa SLB?

[7]

1.2.2 Bagaimana menumbuhkan Imajinasi Berpikir Matematis

mahasiswa Pendidikan Matematika dalam menciptakan

Alat Peraga bagi ABK yang mampu diterapkan di SLB

untuk menciptakan Joyful Learning?

1.2.3 Apakah mahasiswa Pendidikan Matematika dapat

melaksanakan kegiatan berbasis Extra-Curriculum

Training untuk memperkenalkan karakterisktik ABK dan

pembelajaran joyful learning di SLB, sehingga

mahasiswa mampu untuk menciptakan Alat Peraga bagi

ABK?

1.2.4 Bagaimana pola pertumbuhan Imajinasi dalam berpikir

matematis mahasiswa Pendidikan Matematika dalam

menciptakan Alat Peraga bagi ABK melalui kegiatan

berbasis Extra-Curriculum Training untuk pembelajaran

joyful learning di SLB?

1.2.5 Bagaimana dampak pola berpikir komprehensif

(Comprehensive Thinking Skill) siswa SLB pada mata

pelajaran matematika dengan Joyful Learning?

1.2.6 Bagaimana analisis dan pola berpikir komprehensif

mahasiswa yang berbasis pada kemampuannya dalam

menciptakan alat peraga bagi ABK untuk pembelajaran

matematika yang Joyful Learning?

1.3 Cakupan Masalah

Cakupan masalah terkait dengan kajian dalam Buku Panduan ini

adalah sebagai berikut.

1) Untuk menelusuri pola pertumbuhan Imajinasi Berpikir

Matematis Mahasiswa dalam menciptakan Alat Peraga

Matematis bagi ABK, maka cakupan masalah yang dikaji

secara teoretis meliputi kajian tentang pengertian imajinasi,

imajinasi berpikir matematis, dan indikator-indikator

pertumbuhannya.

[8]

2) Kajian teoretis tentang karakteristik ABK dan pembelajaran

di SLB juga menjadi lingkup kajian untuk dibahas secara

mendalam.

3) Selanjutnya, ruang lingkup materi untuk berpikir

Komprehensif agar ada kesamaan persepsi, maka

pembahasan tentang berpikir komprehensif juga dikaji secara

teoretis. Cakupan masalah yang terkait dengan berpikir

komprehensif inipun juga merupakan tolok ukur

kebermanfaatan suatu alat peraga matematis yang dihasilkan

oleh mahasiswa.

4) Lingkup bahasan berikutnya adalah kajian tentang Alat

Peraga dan Alat Peraga Matematis, khususnya yang

digunakan dalam pembelajaran di SLB. Cakupan masalahnya

meliputi karakteristik alat peraga bagi ABK yang sekolah di

SLB yang jelas berbeda dengan alat peraga yang digunakan

untuk sekolah reguler.

5) Cakupan masalah tentang Joyful Learning, bidang kajiannya

mencakup pengamatan dan menganalisis proses tumbuhnya

Joyful Learning. Tumbuhnya Joyful Learning dalam proses

pembelajaran pada saat menerapkan Alat Peraga Matematis

ciptaan mahasiswa sebagai perwujudan tumbuhnya Imajinasi

Berpikir Matematis Mahasiswa inipun, juga merupakan tolok

ukur kebermanfaatan suatu alat peraga matematis yang

dihasilkan mahasiswa.

1.4 Pertanyaan Terkait Pertumbuhan Imajinasi Berpikir

Matematis

Berdasarkan latar belakang masalah dan skema hubungan

antara pertumbuhan Imajinasi Berpikir Matematis Mahasiswa

dalam menciptakan Alat Peraga bagi ABK agar Berpikir

Komprehensif melalui Joyful Learning berbasis Extra-

Curriculum Training yang sudah diuraikan di atas, maka

[9]

pertanyaan yang perlu dijawab, dijabarkan secara terperinci

seperti yang diuraikan berikut ini.

1.4.1 Bagaimana pola pertumbuhan Imajinasi berpikir

matematis mahasiswa Pendidikan Matematika dalam

menciptakan Alat Peraga bagi ABK melalui kegiatan

berbasis Extra-Curriculum Training untuk pembelajaran

joyful learning di SLB?

1.4.2 Bagaimana pola berpikir komprehensif (Comprehensive

Thinking Skill) siswa SLB pada mata pelajaran

matematika dengan Joyful Learning?

1.4.3 Bagaimana analisis dan pola berpikir komprehensif

mahasiswa yang berbasis pada kemampuannya dalam

menciptakan alat peraga bagi ABK untuk pembelajaran

matematika yang Joyful Learning?

[10]

Berikut ini, diuraikan kajian-kajian teori yang mendasari

pemikiran pada Buku Panduan ini. Teori yang dikaji antara lain

tentang Imajinasi Berpikir Matematis pada mahasiswa, berpikir

komprehensif bagi mahasiswa, kajian tentang ABK dan

karakteristiknya, kajian tentang SLB dan pembelajarannya, kajian

tentang Alat Peraga Matematis secara umum, kajian tentang Alat

Peraga Matematis yang dapat diterapkan di SLB, dan berpikir

komprehensif bagi siswa SLB.

2.1 Imajinasi Berpikir

2.1.1 Imajinasi Berpikir Matematis Mahasiswa

Imajinasi Berpikir Matematis perlu ditumbuhkan di

kalangan mahasiswa, khususnya mahasiswa pada Program Studi

Pendidikan Matematka. Menurut para ahli, tanpa imajinasi

berpikir matematis sulit untuk mengonseptualisasikan geometri,

pembelajaran matematika, pendesainan dan pembuatan Alat

Peraga Matematis, atau mengaitkan terapan-terapan matematika

dalam ilmu pengetahuan yang lain. Tanpa imajinasi itu sangat

memegang peranan penting dalam konteks pembangunan budaya

suatu bangsa. Dikatakannya bahwa, bangsa Mesir tidak akan dapat

membangun piramida tanpa didahului dengan munculnya

imajinasi.

Dengan imajinasi, orang-orang seperti Bill Gates dan

Steve Jobs, yang mampu membayangkan bahwa suatu hari nanti

terdapat komputer/laptop di setiap rumah, dan kini telah terwujud

yang tak terbayangkan oleh umumnya orang pada waktu itu. Jelas,

imajinasi dan pengetahuan tidak dapat dipisahkan. Demikian juga

dengan Imajinasi Berpikir Matematis.

BAB II

KAJIAN TEORETIK TENTANG

PERTUMBUHAN IMAJINASI BERPIKIR

MATEMATIS MAHASISWA

[11]

Berikut ini, disajikan pengertian imajinasi berpikir dari

beberapa ahli yang mengupas pengertian imajinasi berpikir.

2.1.1.1 Imajinasi berpikir adalah daya pikir untuk

membayangkan (dalam angan-angan) atau dalam

menciptakan karya (bisa berbentuk lukisan, karangan,

bentuk matematis, dan sebagainya) berdasarkan

kenyataan yang ada atau berdasarkan pengalaman

seseorang secara umum.

2.1.1.2 Imajinasi berpikir adalah hasil ciptaan seseorang yang

bersifat individu yang menyangkut refleksi diri,

perasaan, dan pikiran sendiri. Dengan demikian,

imajinasi berpikir ini merupakan pikiran kreatif atau

kekuatan pikiran seseorang untuk menemukan. Temuan

bisa berupa karya bahasa, matematis, atau karya real

berupa lukisan atau lainnya.

2.1.1.3 Imajinasi berpikir adalah proses kognitif matematis dan

non-matematis, abstrak maupun real yang merupakan

kegiatan mental yang kompleks di mana unsur-unsur

dalam kegiatan mental tersebut lepas dari sensasi

indrawi. Imajinasi berpikir melibatkan secara terpadu

aspek-aspek dari ingatan, kenangan, atau pengalaman

menjadi suatu konstruksi mental yang berbeda dari masa

lalu dan menjadi realitas baru di masa sekarang, atau

bahkan antisipasi realitas di masa yang akan datang.

Berdasarkan pendapat-pendapat ahli di atas, maka

penulis dapat menarik kesimpulan bahwa imajinasi berpikir

umumnya dianggap sebagai salah satu dari fungsi mental yang

lebih tinggi untuk menemukan hal yang baru. Imajinasi berpikir

dapat diasosiasikan juga sebagai fantasi, angan-angan, ide tentang

produk, atau bentuk pemecahan masalah secara orisinal yang

kreatif dan berbeda dari biasanya.

[12]

Bila imajinasi berpikir ini dikaitkan dengan pemikiran

yang bersifat matematika, maka imajinasi berpikir ini disebut

sebagai Imajinasi Berpikir Matematis. Ada kata-kata yang

terkenal dari Albert Einstein seorang ahli pikir bidang Matematika

dan Fisika. Menurut Eistein, Thinking Imagination is more

important than knowledge. For knowledge is limited to all we now

know and understand, while imagination embraces the entire

world, and all there ever will be to know and understand.

Pendapat penulis ini sesuai pula dengan ahli lainnya

yang menulis bahwa munculnya imajinasi berpikir matematis

memerlukan kreativitas. Imajinasi dan kreativitas sangat

dibutuhkan di masa depan. Perlu dikuasai mahasiswa calon guru.

Guru pelajaran matematika di masa depan dituntut untuk memiliki

Imajinasi Berpikir Matematis untuk meningkatkan kualitas

pembelajarannya.

Berikut ini, disajikan indikator-indikator tumbuhnya

kompetensi Imajinasi Berpikir Matematis yang dikemukakan oleh

beberapa pendapat ahli yang mengupasnya. Di antaranya adalah

sebagai berikut.

2.1.1.4 Ada ahli yang menulis bahwa untuk memunculkan

Imajinasi Berpikir Matematis, indikatornya perlu

produk yang bersifat: (1) fluency, yaitu kemampuan

untuk menghasilkan produk matematis yang

mengilhami banyak gagasan; (2) fleksibility, yaitu

kemampuan untuk menghasilkan produk guna

menyelesaikan masalah matematis dengan berbagai

macam cara atau pendekatan; (3) originality, yaitu

kemampuan mengemukakan gagasan dari dirinya

sendiri dan dengan caranya sendiri; (4)

elaboration (lengkap), yaitu produk matematis yang

dihasilkan memiliki manfaat untuk diterapkan guna

[13]

membantu menjelaskan sesuatu secara detail; (5)

redefinition, yaitu produk yang dihasilkan dapat

digunakan untuk melihat suatu masalah matematis

berdasarkan sudut pandang yang berbeda dengan apa

yang sudah ditemukan orang lain.

2.1.1.5 Ahli lain menulis bahwa untuk memunculkan imajinasi

berpikir matematis, indikatornya perlu produk yang

bersifat: (1) flexibility, artinya produk imajinasi

matematisnya mampu diterapkan guna membantu

dalam menyelesaikan suatu masalah matematis yang

memiliki banyak strategi berbeda dalam

penyelesaiannya, (2) fluency, artinya produk imajinasi

matematisnya mampu diterapkan guna menghasilkan

jawaban benar yang berbeda, (3) novelty, yakni

memiliki karya matematis yang bersifat baru.

2.1.1.6 Ada ahli lain yang menulis bahwa untuk memunculkan

imajinasi berpikir matematis, indikatornya perlu

produk yang bersifat: (1) transformation, pola pikir

secara analogi dalam soal matematika atau

pembelajarannya, misalnya dimulai dari melihat model

suatu Alat Peraga Matematis dan kemudian

mengembangkannya; (2) crystallization, merupakan

representasi dari kemampuan individu secara

asli/orisinal; (3) elaborasi, produk matematis yang

dihasilkan dari pemikirannya utuh, lengkap, dan dapat

diterapkan. (4) exploration, menggali temuan-temuan

baru, (5) intuition, menggunakan intuisi menuju ke

target matematis; (6) novelty,ada unsur kebaruan; (7)

production, ada produk matematis yang dihasilkan; (8)

sensibility, yang prosesnya dikerjakan dengan cara

yang beda dari cara biasa yang standar.

[14]

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis memilih

menggunakan gabungan dari teori para ahli di atas, yakni perlu

produk berupa Alat Peraga Matematis yang original, fluency,

flexibility, novelty, elaboration, dan sesuai dengan kebutuhan

siswa SLB. Penulis juga memiliki pemikiran bahwa untuk

menumbuhkan Imajinasi Berpikir Matematis, ada banyak jalan

yang bisa ditempuh. Untuk pengungkap tumbuhnya Imajinasi

Berpikir Matematis mahasiswa Pendidikan Matematika, penulis

sebagai dosen di Program Studi Pendidikan Matematika memilih

munculnya produk berupa Alat Peraga Matematis bagi siswa SLB,

yang dibuat oleh mahasiswa berdasarkan imajinasi berpikir

matematisnya. Mahasiswa Pendidikan Matematika yang dijadikan

Subjek Pengamatan penulis ini, sebelumnya tidak mengenal

karakteristik ABK dan pembelajaran matematika di SLB. Jadi,

keberadaan Alat Peraga Matematis yang dibuat, diduga benar-

benar muncul karena didahului dengan tumbuhnya Imajinasi

Berpikir Matematis dari para mahasiswa. Hasil pengamatan

penulis ini diharapkan mampu membuktikannya. Pertumbuhan

Imajinasi Berpikir Matematis mahasiswa dicermati dan diamati

melalui tahapan sebagai berikut.

2.1.1.1 Mahasiswa yang berminat dengan pembelajaran di SLB,

diajak untuk mengikuti kegiatan pelatihan berbasis

Extra-Curriculum Training (ECT) yang konten

utamanya memuat materi tentang karakteristik ABK dan

pembelajarannya, pembelajaran yang Joyful Learning

bagi siswa SLB, Latihan Dasar penulisan Braile dan

Bahasa Isyarat, serta latihan pengenalan Alat Peraga

Matematis bagi siswa di SLB.

2.1.1.2 Ada produk Alat Peraga Matematis yang perlu dihasilkan

mahasiswa peserta ECT. Untuk menumbuhkan Imajinasi

Berpikir Matematis pada mahasiswa Pendidikan

Matematika, peneliti meminta agar mahasiswa mampu

[15]

menghasilkan karya orisinal sebagai perwujudan

Imajinasi Berpikir Matematisnya berupa Alat Peraga

Matematis bagi siswa SLB. Alat Peraga Matematis

yang dihasilkan tidak hanya sekedar Alat Peraga

Matematis seperti Alat Peraga yang pada umumnya

dipakai pada sekolah-sekolah reguler, melainkan alat

peraga yang memiliki peran bermakna/signifikan bagi

ABK yang sekolah di SLB, yang menunjukkan

pemikiran menyeluruh atau komprehensif dari seorang

mahasiswa yang telah tumbuh Imajinasi Berpikir

Matematisnya.

2.1.1.3 Wujud kebermaknaan Alat Peraga Matematis bagi siswa

SLB yang dihasilkan mahasiswa Pendidikan Matematika

peserta ECT yang menunjukkan pemikiran

komprehensifnya ini, ditandai dengan aspek-aspek

berikut:

2.1.1.3.1 Alat Peraga Matematis yang dihasilkan

sesuai dengan Kompetensi Dasar yang ada

pada Kurikulum SLB yang berlaku, yaitu

Kurikulum 2013 revisi terakhir.

2.1.1.3.2 Alat Peraga Matematis bagi siswa SLB

yang dihasilkan mampu menumbuhkan

suasana Joyful Learning jika diterapkan di

SLB.

2.1.1.3.3 Alat Peraga Matematis bagi siswa SLB

yang dihasilkan mampu meningkatkan

daya serap siswa SLB dalam belajar

matematika.

2.1.1.3.4 Alat Peraga Matematis bagi siswa SLB

yang dihasilkan bisa digunakan oleh guru

dan siswa di SLB, sesuai dengan

karakteristik ketunaannya. Ini berarti,

[16]

penggunaan Braile atau Bahasa Isyarat

menjadi pendukung penting bagi

penerapan Alat Peraganya itu sendiri.

2.1.1.3.5 Alat Peraga Matematis ini mampu

mengajak siswa SLB berpikir

komprehensif pula yang ditandai dengan:

(1) setelah siswa SLB djelaskan guru

tentang penggunaan Alat Peraganya, siswa

bisa menggunakannya tanpa bantuan guru

lagi, (2) siswa bisa menggunakan Alat

Peragannya untuk mengerjakan soal-soal

sendiri yang sejenis, dan (3) siswa

akhirnya mampu menyelesaikan soal-soal

yang sejenis, tanpa bantuan guru dan tanpa

bantuan Alat Peraganya lagi.

Untuk memunculkan Imajinasi Berpikir Matematis

melalui karya dengan menciptakan alat peraga bagi ABK yang

didahului dengan kegiatan Extra-Curriculum Training ini, maka

indikatornya:

(1) Alat Peraga yang dihasilkan merupakan Alat Peraga yang

baik dan memenuhi persyaratan sebagai Alat Peraga

Pembelajaran.

(2) Alat Peraga yang dihasilkan merupakan Alat Peraga yang

dapat menunjang pada pencapaian Kompetensi Dasar (KD)

pada Kurikulum yang berlaku, yaitu Kurikulum 2013 edisi

revisi.

(3) Novelty, yaitu munculnya imajinasi atau ide/angan yang

ditandai dengan dihasilkannya alat peraga yang berbeda

dengan apa yang sudah ditemukan orang lain, yakni

gabungan antara exploration, redefinition, dan sensibility.

[17]

(4) Fluency pada Alat Peraga, yaitu jika alat peraga yang

dihasilkan mahasiswa memiliki manfaat yang dapat

digunakan untuk menjelaskan beberapa materi yang berbeda.

(5) Flexibility pada Alat Peraga, yaitu jika beberapa alat peraga

yang dihasilkan mahasiswa dapat dimanfaatkan untuk

menjelaskan sebuah materi.

(6) Originality, yaitu mahasiswa memiliki kemampuan untuk

menghasilkan alat peraga sebagai karya sendiri yang mandiri,

yakni gabungan dari transformation dan crystallization.

(7) Alat peraga yang dihasilkan mampu menumbuhkan Joyful

Learning bila diterapkan di SLB.

(8) Alat peraga yang dihasilkan mampu menumbuhkan berpikir

komprehensif siswa SLB bila Alat Peraga tersebut diterapkan

di SLB. Artinya, di tahap berikutnya siswa ABK mampu

mengerjakan soal yang sejenis tanpa menggunakan bantuan

alat peraga lagi.

2.1.2 Model Alat Peraga Matematika yang Cocok bagi

ABK

Berikut ini disajikan contoh produk alat peraga matematis

bagi ABK yang diharapkan dapat menjadi pemodelan bagi alat

peraga ciptaan dan buatan mahasiswa. Pembuatan dan

pemanfaatan Alat Peraga ini dilatihkan secara tatap muka melalui

kegiatan berbasis Extra-Curriculum Training yang dilaksanakan

jauh sebelum ada Pandemi Covid-19.

[18]

Perhatikan Gambar 2.1 dan Gambar 2.2 di atas.

Abakus Bilangan

Nama Alat Kegunaan Sasaran

Abakus

Bilangan

1. Menjelaskan konsep

bilangan

1. Tuna grahita

2. Tuna rungu

3. Tuna daksa

4. Autis

5. Tuna netra

2. Penjumlahan

bilangan buat

1. Tuna grahita

2. Tuna rungu

3. Tuna daksa

4. Autis

5. Tuna netra

Penerapannya pada anak Tunanetra di SLB tampak pada Gambar 2.3 di

bawah ini.

[19]

Gambar 2.3: Pemanfaatan Abakus Bilangan bagi siswa Tunagrahita

2.1.3 Kegiatan Extra-Curriculum Training bagi

Mahasiswa

Kegiatan Extra-Curriculum Training bagi mahasiswa

adalah suatu kegiatan semi perkuliahan yang dilaksanakan di luar

kegiatan perkuliahan formal terjadwal. Karena pelaksanaannya di

luar kegiatan perkuliahan formal terjadwal, maka kegiatan ini

dapat disebut sebagai pelatihan ekstra-kurikuler (Extra-

Curriculum Training). Kegiatan belajar dari sumber informal

yang terjadi dalam pelatihan ekstra-kurikuler atau di lingkungan

out-of-study telah terbukti efektif dan mampu memotivasi

pesertanya.

Selanjutnya, out-of-study membuat lingkungan belajar

akan berguna terutama untuk mahasiswa, baik karena pendekatan

manipulasi alat praktik-berorientasi dan dikontekstualisasikan

penalaran. Bukan dikaitkan dengan pemikiran semata atau sekedar

simbol manipulasi.

Ada ahli yang mengatakan bahwa pelatihan sangat

diperlukan agar guru atau calon guru memiliki kemampuan untuk

mengembangkan profesi dan memiliki kualitas tinggi dalam

proses pembelajaran yang diperlukan bagi siswa. Sedangkan ahli

lainnya menyatakan bahwa materi pelatihan sebaiknya yang

[20]

sangat bermanfaat bagi guru dan siswa yang dihadapi serta harus

sesuai dengan kebutuhan terkini. Jika yang dihadapi adaah ABK

maka materi yang terkait dengan pembelajaran ABK layak untuk

dipelajari dan dilatihkan.

Dalam penelitian ini, kegiatan pelatihan berupa Extra-

Curriculum Training diisi dengan pemberian materi dan latihan

intensif tentang karakteristik ABK yang bersekolah di SLB dan

pembelajarannya, cara membuat dan cara membaca huruf serta

angka Braille, pengenalan Bahasa Isyarat, mengajarkan

matematika di SLB dengan menggunakan lambang Braille,

menciptakan dan membuat alat peraga matematis yang akan

digunakan untuk ABK yang sekolah di SLB atau di sekolah

inklusi, kajian tentang Joyful Learning di SLB, dan peran guru di

SLB. Dengan alat peraga matematis buatan mahasiswa sebagai

produk wujud Imajinasi Berpikir Matematis ini, diharapkan

materi pelajaran matematika menjadi tampak mudah dan

menyenangkan (Joyful Learning) bagi ABK.

Terkait dengan Joyful Learning, Joy, menurut Kamus

Oxford English, digambarkan sebagai emosi atau perasaan

senang. Kata sifat sukacita adalah menyenangkan yang juga

menggambarkan semacam perasaan, mengekspresikan dan

menyebabkan rasa senang. Ini berarti, proses pembelajaran

matematika bagi ABK yang memanfaatkan alat peraga terjadi

"dalam suasana yang menyenangkan dan matematika menjadi

tampak mudah". Proses belajar atau pengalaman belajar bisa

membuat siswa SLB atau di sekolah inklusi merasa senang.

Sebuah persepsi pembelajaran yang menyenangkan ternyata

memiliki pengaruh positif terhadap motivasi belajar siswa.

2.1.4 Pertumbuhan Berpikir Komprehensif Mahasiswa

2.1.4.1 Pengertian Berpikir Komprehensif

Berpikir Komprehensif adalah suatu

pemikiran lanjutan yang bersifat menyeluruh

[21]

kepada semua aspek yang mungkin terkait

dengan pemikiran utamanya. Contoh pemikiran

komprehensif, misalnya seorang guru akan

mengajar, maka pemikiran utamanya tentang

akan mengajar perlu dikaitkan juga dengan

aspek-aspek yang terkait dengan kegiatan

mengajarnya, seperti perlunya memikirkan

apakah RPP sudah dibuat, apakah materi ajarnya

sudah dipelajari, apakah yang akan ditanyakan

kepada siswanya, kapankah siswa akan

diberikan ulangan, dan sebagainya.

2.1.4.2 Penanda Adanya Pemikiran Komprehensif

Mahasiswa

Pada Buku Panduan ini, fokus utamanya

adalah menganalisis pertumbuhan Imajinasi

Berpikir Matematis mahasiswa melalui

kemampuan mahasiswa untuk mewujudkan

imajinasinya dalam merancang dan membuat

Alat Peraga Matematis bagi ABK yang

bersekolah di SLB. Namun, Alat Peraga

Matematis yang dihasilkannya, haruslah

memiliki kebermaknaan. Kemampuan

mahasiswa untuk memikirkan kebermaknaan

Alat Peraga Matematis yang dibuatnya, berarti

mahasiswa telah berpikir secara komprehensif

tentang Alat Peraga Matematis yang dibuatnya.

Wujud kebermaknaan Alat Peraga

Matematis bagi siswa SLB yang dihasilkan

mahasiswa Pendidikan Matematika peserta ECT

yang menunjukkan pemikiran komprehensifnya

ini, ditandai dengan aspek-aspek berikut:

[22]

1) Alat Peraga Matematis yang dihasilkan

harus memiliki kecocokan atau kesesuaian

dengan Kompetensi Dasar yang ada pada

Kurikulum SLB yang berlaku, yaitu

Kurikulum 2013 yang sudah direvisi.

2) Alat Peraga Matematis bagi siswa SLB hasil

Imajinasi Berpikir Matematis yang

dihasilkan harus mampu menumbuhkan

suasana Joyful Learning jika diterapkan di

SLB.

3) Alat Peraga Matematis bagi siswa SLB hasil

Imajinasi Berpikir Matematis yang

dihasilkan harus mampu meningkatkan daya

serap siswa SLB dalam belajar matematika.

4) Alat Peraga Matematis bagi siswa SLB hasil

Imajinasi Berpikir Matematis yang

dihasilkan harus bisa digunakan oleh guru

dan siswa di SLB, sesuai dengan

karakteristik ketunaannya.

5) Jika Alat Peraga Matematis ini diterapkan di

SLB, harus mampu mengajak siswa SLB

berpikir komprehensif pula. Kajian tentang

berpikir komprehensif bagi siswa SLB

dibahas pada uraian berikutnya.

2.1.5 Sekolah Luar Biasa dan Pendidikan Inklusif

Pada saat ini perkembangan dunia pendidikan telah

berkembang dengan pesat, hal ini dapat dilihat dari paradigma

pendidikan yang berubah. Perubahan paradigma ini ditandai

dengan adanya perubahan kurikulum pendidikan. Perubahan ini

juga berdampak pada pelayanan pendidikan bagi Anak

Berkebutuhan Khusus (ABK). Hal ini sesuai dengan Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang

[23]

Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Bab IV Pasal 5 Ayat (1)

yang menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak

yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Dengan

demikian seluruh warga negara memiliki hak yang sama, tidak

membedakan fisik, suku, agama, dan lain-lain untuk memperoleh

pendidikan yang bermutu. Jadi, bagi anak-anak yang mengalami

kelainan fisik, mental, emosi, dan sosial (anak-anak berkebutuhan

khusus), berhak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.

Tercantum pula pada Pasal 32 Ayat 1 UU RI Nomor 20 Tahun

2003, yang menyatakan bahwa Pendidikan Khusus merupakan

pendidikan bagi siswa yang memiliki tingkat kesulitan dalam

mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional,

mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat

istimewa.

Sistem layanan pendidikan bagi ABK dapat dilakukan

secara segregasi dan integrasi/terpadu. Sistem pendidikan

segregasi adalah sistem pendidikan yang terpisah dari sistem

pendidikan anak normal. Pendidikan ABK melalui sistem

segregasi maksudnya adalah penyelenggaraan pendidikan yang

dilaksanakan secara khusus dan terpisah dari

penyelenggaraan pendidikan untuk anak normal. Dengan kata

lain anak berkebutuhan khusus diberikan layanan pendidikan pada

lembaga pendidikan khusus untuk anak berkebutuhan khusus,

seperti Sekolah Luar Biasa (SLB) dalam jenjang Sekolah Dasar

Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa

(SMPLB), dan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB).

Bentuk layanan pendidikan integrasi/terpadu adalah sistem

pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak

berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak

normal belajar dalam satu atap yang dikenal dengan Pendidikan

Inklusif. RPP dan Kurikulum pada pendidikan Inklusif juga sama

dengan yang dikenakan pada sekolah reguler biasa. Sistem

[24]

pendidikan integrasi disebut juga sistem pendidikan terpadu yakni

sistem pendidikan yang membawa anak berkebutuhan khusus

kepada suasana keterpaduan dengan anak normal. Keterpaduan

tersebut dapat bersifat menyeluruh, sebagian, atau keterpaduan

dalam rangka sosialisasi. Pada sistem keterpaduan secara penuh

atau sebagian, jumlah anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas

maksimal 10% dari jumlah siswa keseluruhan. Selain itu dalam

satu kelas hanya satu jenis ketunaan. Hal ini untuk menjaga agar

beban guru kelas tidak terlalu berat, dibanding jika guru harus

melayani berbagai macam ketunaan.

Pelajaran matematika sering disebut pelajaran yang sukar,

apalagi bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu,

penulis sebagai dosen di Program Studi Pendidikan Matematika

UNNES tertarik melakukan kajian tentang cara memunculkan

imajinasi dalam berpikir matematis bagi mahasiswa Pendidikan

Matematika dalam menciptakan Alat Peraga bagi ABK melalui

kegiatan berbasis Extra-Curriculum Training.

Dengan demikian, kegiatan pelatihan dan pendampingan

untuk menciptakan alat-alat peraga bagi ABK melalui kegiatan

berbasis Extra-Curriculum Training kepada mahasiswa

Pendidikan Matematika FMIPA UNNES ini perlu dilaksanakan.

Selanjutnya, produk imajinasi dalam berpikir matematis bagi

mahasiswa Pendidikan Matematika dalam menciptakan Alat

Peraga bagi ABK melalui kegiatan berbasis Extra-Curriculum

Training akan diteliti untuk pengungkap tumbuhnya Imajinasi

Berpikir Matematis.

2.1.6 Sekilas Sejarah SLB di Indonesia

Sekolah Luar Biasa di Indonesia dapat ditelusuri sampai

dengan awal abad XX. Sekolah Luar Biasa dimulai atas inisiatif

Dr. C.H.A. Westhoff, yang pada tahun 1901 membuka sebuah

lembaga untuk penyandang tuna netra yang pertama di Indonesia,

bertempat di Kota Bandung. Layanan yang diberikan, khususnya

[25]

kepada penyandang tunanetra yaitu masih berupa penampungan

dan latihan kerja dalam bentuk sheltered workshop (bengkel kerja

terbimbing).

Realisasinya, pada tanggal 6 Agustus 1901 didirikan

Yayasan Perbaikan Nasib orang-orang buta (Rumah Buta). Dr.

C.H.A. Westhoff adalah seorang dokter mata berkebangsaan

Belanda. Di tengah kesibukannya, Dr. C.H.A. Westhoff berusaha

menyampaikan gagasannya ke berbagai pihak. Saat itu, yakni

pada tahun 1901, jumlah penyandang tunanetra di Hindia Belanda

(Indonesia) sangat besar. Vereniging tot Vernetering van het lot

der Blinden in Nederlandsch Oost1Indie (Yayasan Perbaikan

Nasib Orang Buta di Nusantara) ini mendapatkan izin dari

pemerintah Belanda pada saat itu dengan keluarnya Surat

Keputusan Pemerintah Nomor 9 tanggal 6 Agustus 1901 oleh

Gubernur Jendral W.Roosemboom. Realisasi kegiatannya di

mulai sejak 16 September 1901 dengan dibukanya Bandoengsch

Blinden Instituut di bawah pimpinan J.W. Van der Zanden.

Kegiatannya di mulai di Tjitjendoweg (Jalan. Cicendo) dengan

dua orang siswa yang bernama Johana Everdina dan Albert

Bogehof van der Berg. Ternyata siswa-siswanya, semakin

bertambah, sehingga pada bulan Mei 1902, tempat kegiatannya

dipindahkan ke tempat yang lebih luas di Bragaweg (Jalan Braga).

Dengan tujuan memberi bekal pengetahuan dan keterampilan

untuk mengurangi ketergantungannya, kemudian dibuka bengkel

(Workshop). Sementara para pengurusnya aktif melakukan

kampanye dan penyuluhan mengenai pencegahan kebutaan.

Berkat kesungguhan usaha para pengurusnya, bantuan-bantuan

mulai berdatangan. Bantuan diterima dari negeri Belanda, Raja

Muangthai (Thailand), dan pemerintah jajahan. Usaha dr.

Wosthoff memerangi kebutaan dan penyantunan para penyandang

tuna netra kian berhasil. Dengan bantuan dari pemerintah

kemudian didirikan Koningin Wilhelmina-Ooglijder Gasthuis

[26]

yang merupakan cikal bakal dari rumah sakit mata Cicendo. Pada

tahun 1912, Dr. C. H. A. Westhoff meninggal dalam perjalanan

laut.

Selanjutnya, sekolah bagi anak Tunagrahita yang pertama

juga didirikan di kota Bandung pada tahun 1927. Pendiri sekolah

ini adalah Vereniging Bijzonder Onderwijs dengan promotornya

bernama Folker, sehingga sekolah ini diberi nama Folker School.

Pada tahun 1942, nama sekolah ini diganti menjadi Perkumpulan

Pengajaran Luar Biasa.

Sedangkan sekolah bagi anak tuna rungu-wicara yang

pertama juga dibuka di Bandung pada tahun 1930, berdasarkan

Surat keputusan Nomor 34 Tahun 1930 sebagai tambahan Berita

Negara 1930-09. Pendiri sekolah ini adalah Ny. C.M. Roelfsema,

isteri seorang dokter ahli THT. Sekolah bagi anak tuna rungu-

wicara ini bernama Vereniging Voor Ondervijs an Doofstomme

Kinderen in Indonesia.

Pada saat yang hampir sama, sebuah sekolah khusus bagi

anak tuna rungu-wicara putri juga didirikan di kota Wonosobo

Jawa Tengah. Nama sekolah ini adalah Werk Voor Misdeelde

Kinderen in Nederlands host Indie yang pada tahun 1958 diubah

menjadi Yayasan Dana Uphakara. Sedangkan bagi anak tuna

rungu-wicara putra didirikan Bruder Karitae yang kemudian

diganti menjadi Yayasan Karya Bakti.

Perkumpulan Penyelenggaraan Pengajaran kepada anak-

anak Bisu-Tuli di Indonesia didirikan pada tanggal 3 Januari 1930

atas inisiatif Ny. CM Roelfsema Wesselink istri Dokter H.L

Roelfsema, seorang ahli THT di Indonesia. Pada waktu itu, di

kediaman Ny. CM Roelfsema Wesselink di Jln. Riau No. 20

Bandung didirikan sekolah dan asrama yang pertama dengan

jumlah siswa 6 orang. Kemudian pindah ke Oude Hosfitalweg No.

27 Bandung. Tidak lama kemudian didatangkan 2 orang guru ahli

[27]

dari Nederland yaitu D.W. Bloemink dan Nona E. Gudberg, yang

kemudian D.W. Bloemink diangkat menjadi Direktur.

Pada tahun 1942-1945 gedung sekolah dan asrama

dipergunakan oleh tentara Jepang (selama peperangan Jepang)

dan setelah peperangan Jepang berakhir, lembaga pendidikan

sekolah dan asrama dipergunakan untuk klinik bersalin. Namun,

kemudian pada tanggal 1 Juni 1949 gedung sekolah dan asrama

dikembalikan kepada perkumpulan, sehingga sekolah dan asrama

bisa diselenggarakan sebagaimana mestinya dan kemudian

Kementrian Pendidikan dan Pengajaran saat itu mendatangkan

guru ahli dari Nederland yaitu Jivan Dooran dan disusul oleh Van

Derbeek pada tahun 1949. Jivan Doorn diangkat menjadi Direktur

Lembaga LPATB (Lembaga Pendidikan Anak Tuli Bisu) pada

tahun 1950.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 yang

kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1954,

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

menetapkan lembaga pendidikan untuk para penyandang cacat di

Indonesia, dengan nama Sekolah Luar Biasa (SLB). Selanjutnya,

SLB mulai berkembang hingga saat ini.

2.1.7 Lembaga Pemerintah yang Membawahi Pembinaan

SLB

Di Indonesia masih ditemukan Anak Berkebutuhan

Khusus dan Anak Penyandang Disabilitas. Pemerintah saat ini

membuka Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Sekolah Inklusif, yang

pembinaannya di bawah Kemendikbud. Kenyataannya, Anak

Berkebutuhan Khusus dan Anak Penyandang Disabilitas banyak

yang ditolak di sekolah umum maupun sekolah Inklusif. Berbagai

pemasalahan-permasalahan yang melatarbelakangi antara lain

karena tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang belum

[28]

ramah anak, guru pendamping yang kurang, pembiayaan yang

mahal untuk penyediaan guru pendamping, Anak Penyandang

Disabilitas rentan mendapat bully dan lainnya. Anak

Berkebutuhan Khusus (ABK) dan para penyandang disabilitas

merupakan sosok pribadi yang spesial. Di balik kelemahan fisik,

mereka memiliki kelebihan yang luar biasa namun sering

menerima dampak dari kondisi sosial budaya dan kebijakan yang

belum ramah ABK/Disabilitas. Berbagai persoalan yang muncul

di permukaan antara lain masalah diskriminasi kebijakan,

diskriminasi perlakuan masyarakat, deharmonisasi keluarga,

bullying, eksploitasi, dan perlakuan salah lainnya.

Menurut Deputi Perlindungan Perempuan dan Anak

Kemenko PMK, perhatian masyarakat masih rendah terhadap

disabilitas. Anak disabilitas di Indonesia menurut data tahun 2020

lebih dari 14,5%. Banyaknya anak-anak down syndrome yang

tidak sekolah menjadi perhatian masyarakat semua. Ada 11,5%

dari total tersebut masih bisa dididik tetapi 3% dari anak-anak ini

tidak bisa dilatih atau dididik. Pemerintah saat ini concern

terhadap masalah disabilitas ini. Salah satunya dengan melatih

keluarga agar dapat turut melatih anak-anak yang terkena down

syndrome. Lebih lanjutnya, anak-anak disabilitas ini telah

dilindungi oleh UU 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak; UU

35 Tahun 2014, UU 8 Tahun 2016 tentang Penyandang

Disabilitas; Prinsip SDG’s “No One will be left Behind” dan ini

merupakan tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Daerah. Saat ini perhatian Pemerintah adalah bagaimana ketika

keluarganya sudah tiada. Pemerintah Pusat dan Daerah serta

masyarakat termasuk LSM harus bekerjasama supaya mendorong

mereka mandiri.

Berdasarkan peraturan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2020 tentang

perubahan atas peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

[29]

Nomor 45 tahun 2019 tentang organisasi dan tata kerja

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, maka Kemdikbud,

memiliki Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini,

Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah yang terdiri atas:

a. Sekretariat Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini,

Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah;

b. Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini;

c. Direktorat Sekolah Dasar;

d. Direktorat Sekolah Menengah Pertama;

e. Direktorat Sekolah Menengah Atas; dan

f. Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus,

yang memiliki kewenangan dalam tugas Pembinaan pada

SLB dan Sekolah Inklusif.

Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus

merupakan unit organisasi Direktorat Jenderal Pendidikan Anak

Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah di bidang

Pendidikan Keaksaraan, Pendidikan Kesetaraan, dan Pendidikan

Khusus. Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan

Khusus dipimpin oleh Direktur yang berada di bawah dan

bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal.

Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus

mempunyai tugas melaksanakan perumusan kebijakan dan

standar, pelaksanaan kebijakan penjaminan mutu, penyusunan

norma, standar, prosedur, dan kriteria, fasilitasi penyelenggaraan,

pemberian bimbingan teknis dan supervisi, pemantauan, evaluasi,

dan pelaporan di bidang peserta didik, sarana prasarana, tata

kelola, dan penilaian pada pendidikan keaksaraan, pendidikan

kesetaraan, pendidikan khusus, pendidikan layanan khusus pada

Pendidikan Khusus (SLB), pendidikan inklusif, dan unit layanan

disabilitas pendidikan serta penyiapan pemberian izin

[30]

penyelenggaraan satuan pendidikan khusus yang diselenggarakan

perwakilan negara asing atau lembaga asing dan urusan

ketatausahaan Direktorat.

2.1.8 Kondisi Pembelajaran Matematika di SLB Masa

Kini

Proses pembelajaran matematika yang tematik, yang hanya

mengandalkan buku paket dan guru sebagai satu-satunya sumber

utama merupakan pengalaman yang sudah kurang sesuai dengan

perkembangan sekarang. Pemanfaatan big data sebagai sumber

belajar menjadi keniscayaan pembelajaran abad 21 sekarang ini,

termasuk pembelajaran di SLB. Pembelajaran yang berfokus

kepada materi penting, tetapi fokus kepada pengembangan

keterampilan belajar menjadi lebih penting. Hal ini merupakan

perubahan paradigma dalam pembelajaran, dari guru memberi

tahu, sekarang berubah guru mengajari mencari tahu. Siswa SLB

dalam belajar matematika harus dilatih agar mampu belajar

dengan cara melacak, menganalisis, mensintesis, mengubah,

mendekontruksi bahkan menciptakan, lalu membagikan

pengetahuan kepada orang lain, seperti siswa reguler. Fokus guru

SLB sebenarnya memberikan kesempatan siswa untuk

menghubungkan materi yang dipelajari dengan dunia nyata. Salah

satu pengaruh signifikan teknologi terhadap pembelajaran abad 21

sekarang ini adalah adanya kemudahan akses atau aksesibilitas

terhadap sumber belajar digital untuk memenuhi beragam

kebutuhan siswa.

Saat ini Indonesia dan dunia sedang terkena dampak

pandemi Covid-19. Hal ini berdampak pada sistem pembelajaran

matematika di sekolah termasuk SLB yang harus menggunakan

pembelajaran Daring. Sebenarnya, tidak ada pandemi Covid-19

pun, perubahan yang menonjol pada pembelajaran abad 21 di

antaranya adalah pembelajaran daring (dalam jaringan) atau

pembelajaran online dan pemanfaatan data sebagai sumber

[31]

belajar. Hal ini memberi konsekuensi pada fungsi dan peran guru

sebagai bagian dari merdeka belajar dan guru penggerak. Alat

peraga pembelajaran di SLB pun harus didesain agar dapat

disajikan dalam bentuk pembelajaran Daring/Online.

Fenomena perubahan pembelajaran abad 21 di era

Generasi Z ini yakni generasi yang lahir mulai tahun 1995, antara

lain pada setting ruang kelas. Dahulu saat duduk di bangku TK,

SD, SMP, maupun SMA, setting ruang kelas konvensional berisi

meja atau bangku, kursi, dan papan tulis yang terpampang di

depan kelas dengan sekotak kapur dan sebuah penghapus.

Perkembangan berikutnya hadir ruang kelas mungkin

menggunakan whiteboard dan spidol untuk menggantikan papan

tulis dan kapur. Alat peraga matematis manual, kini perlu didesain

ulang agar mampu disajikan guru SLB dalam pembelajaran

Daring. Berikutnya lagi bahwa setting ruang kelas sudah

menggunakan projektor LCD didukung laptop atau komputer

yang terhubung dengan jaringan internet, atau ruang-ruang kelas

multimedia yang dilengkapi papan tulis elektrik, komputer tablet,

smartphone, dan perangkat canggih lainnya yang dilengkapi pula

denan jaringan internet berkecepatan tinggi. Selanjutnya siswa

SLB secara bertahap perlu dilatih agar mampu hadir di kelas

virtual, yaitu pembelajaran jarak jauh berbasis online, yang

disebut kelas daring. Sekarang ini yang namanya kelas tidak harus

dibatasi tembok, adanya meja, kursi, papan tulis, dan lainnya.

Dalam pembelajaran matematika, menuntut guru SLB pada saat

ini untuk mengajarkannya secara kreatif, inovatif, dan tidak

gagap-teknologi dalam menyiapkan rancangan pembelajarannya.

2.1.9 Karakteristik Pembelajaran dengan Memanfaatkan

Alat Peraga

Fenomena lain di abad 21 ini, adalah adanya pergeseran

kebutuhan Sumber Daya Manusia (SDM) yang menggeser SDM

[32]

berketerampilan tingkat rendah (pekerjaan tangan) dengan

pekerjaan SDM berdaya kreativitas tinggi. Kreativitas adalah satu-

satunya kemungkinan bagi negara berkembang seperti Indonesia

untuk tumbuh sehingga, selaku guru SLB pada pembelajaran abad

21 perlu mengorientasikan pembelajaran untuk menghasilkan

siswa lulusan SLB yang juga berdaya kreativitas tinggi. Hal ini

lebih cepat tercapai manakala proses siswa SLB menjadi subjek

aktif mengonstruksi pengalaman belajar, berlatih berpikir tingkat

tinggi (HOTS), dan mengembangkan kebiasaaan mencipta (habit

creation). Orientasi-orientasi pembelajaran abad 21 harus

diwujudkan dalam bentuk berbagai keterampilan yang penting

dikuasai siswa, agar menjadi warga negara dan insan yang kreatif

dan produktif di abad 21.

Rancangan dan pelaksanaan pembelajaran yang

memanfaatkan Alat Peraga Matematis sehingga siswa SLB

merasa nyaman dan senang (Joyful Learning) dalam belajarnya

harus berorientasi pada keterampilan abad 21yang dikenal dengan

kompetensi 6C, yaitu kompetensi critical thinking, creativity,

collaboration, communication, citizenship, dan character. Untuk

menunjang keberhasilan tersebut, maka diperlukan ketersediaan

Alat Peraga Matematis bagi siswa SLB yang diharapkan

menjadikan siswa SLB memiliki kemampuan-kemampuan seperti

berikut.

1. Berpikir kritis dalam penyelesaian masalah (critical thinking

in problem solving). Alat peraga matematis diharapkan

mampu dalam menciptakan anak SLB berpikir kritis. Berpikir

kritis merupakan keterampilan yang diperlukan siswa SLB

untuk menghadapi kompleksitas tantangan sekarang dan yang

akan datang. Berpikir kritis merupakan proses berpikir siswa

yang meliputi kegiatan menganalisis, mensintesis

permasalahan untuk mendapatkan pemecahannya dan

menyimpulkan sesuai dengan ketunaannya.

[33]

Untuk memperoleh kemampuan seperti itu tentunya dalam

pembelajarannya guru SLB tidak sekedar menyampaikan

pengetahuan dan pemahaman saja, sudah seharusnya

memperhatikan pembelajaran berbantuan alat peraga

matematis yang menggunakan berpikir tinggi atau dikenal

dengan HOTS (Higher Order Thinking Skill). Pendekatan

Saintifik pada Kurikulum 2013 membiasakan siswa SLB

bertanya atau mempertanyakan sesuatu yang dipelajari.

2. Kreativitas dan inovasi (creativity and innovation). Kurikulum

2013 SLB memiliki tujuan mempersiapkan siswa SLB agar

memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi yang beriman,

produktif, kreatif, inovatif, dan afektif (memiliki rasa kasih

sayang). Dalam implementasinya guru SLB dapat

menggunakan model-model pembelajaran dan Alat Peraga

Matematis yang dapat menguatkan saintifik. Misalnya model

pembelajaran berbasis masalah, model pembelajaran berbasis

penemuan, model pembelajaran berbasis projek, atau model

pembelajaran yang mengaitkan dengan Science, pendekatan

Technology, Engineering, Art, Mathematics (STEAM) yang

berbantuan alat peraga. Model-model tersebut dapat

mengembangkan kreativitas guru dan siswa. Kreativitas akan

melahirkan daya tahan hidup dan menciptakan nilai tambah

bagi siswa SLB sehingga mengurangi kebiasaan untuk

mengeksploitasi sumber daya alam, namun berusaha

menciptakan ekonomi kreatif berbasis pengetahuan dan

warisan budaya.

3. Keterampilan bekerjasama dan berkomunikasi dengan baik

atau sering dikenal dengan collaboration dan

communication. Kerja sama dan komunikasi merupakan dua

kompetensi yang sangat erat hubungannya, apalagi di era

globalisasi atau era tanpa batas sekarang ini. Untuk bisa

bekerjasama diperlukan berkomunikasi dengan baik. Maksud

[34]

dari komunikasi di sini adalah kemampuan berinteraksi

dengan seluruh manusia di mana pun, karena Abad 21 tidak

ada lagi sekat negara yang memisahkan. Jadi, setiap siswa SLB

harus mampu berbahasa Internasional dalam menghadapi

Abad 21. Guru harus mampu memfasilitasi siswa-siswa SLB

melalui kegiatan yang bersifat kolaboratif, kontekstual, dan

terintegrasi dengan masyarakat.

4. Kemampuan dan keterampilan pada Komputer dan Teknologi

Informasi dan Komunikasi (Computing and ICT) perlu

diberikan kepada siswa SLB. Dalam TIK mengandung

kemampuan untuk memformulasikan pengetahuan,

mengekpresikan diri secara kreatif dan tepat, serta

menciptakan dan menghasilkan informasi bukan sekedar

memahami informasi. Memiliki kemampuan TIK bagi siswa

SLB memiliki cakupan lebih luas dari sekedar tahu komputer.

Perubahan paradigma dari guru “memberi tahu” menjadi

“mencari tahu” diperlukan keterampilan guru dan siswa SLB

untuk menggunakan teknologi internet untuk mengakses

berbagai sumber belajar termasuk penggunaan Alat Peraga

Matematis. Kemampuan dan keterampilan guru dan siswa

SLB untuk dapat menggunakan informasi dari berbagai

sumber yang dikenal dengan digital literacy. Dengan

kemampuan digital literacy ini, siswa SLB tidak sekedar

memiliki kemampuan mengoperasikan tetapi diharapkan akan

memiliki kemampuan keterampilan komunikasi, literasi

matematis, dan media literasi. Ini sebuah tantangan.

Keterampilan komunikasi dimaksudkan agar siswa SLB dapat

menjalin hubungan dan menyampaikan gagasan dengan baik

secara lisan, tulisan, maupun non verbal. Literasi matematis

dimaksudkan agar siswa SLB dapat mempergunakan internet

secara efektif yakni memahami matematika, bagaimana cara

[35]

mengidentifikasi, bagaimana cara membuktikan, dan

menyelesaikan masalah matematis. Literasi media

dimaksudkan siswa SLB mampu memahami, menganalisis,

dan adanya dekonstruksi pencitraan media, ada kesadaran cara

media dibuat dan diakses sehingga tidak menelan mentah-

mentah berita dari media. Dengan demikian, diperlukan juga

Alat Peraga Matematis yang dikaitkan penggunaannya dengan

suatu aplikasi program komputer, sehingga siswa SLB mulai

terbiasa dengan penggunaan TIK saat mereka belajar.

5. Kemampuan dan keterampilan beradaptasi (adaptability).

Salah satu kemampuan dan tantangan siswa SLB abad 21 yang

penting adalah kemampuan beradaptasi (adaptability).

Perkembangan TIK yang pesat, memerlukan penyesuaian

peran dan peningkatan kompetensi guru dan siswa. Banyak

negara melakukan reformasi terhadap tujuan dan praktik

pendidikan akibat pengaruh perkembangan TIK dalam

berbagai bentuk inovasi pendidikan. Harapan terbesar dari

inovasi adalah kemauan guru dan siswa di semua jenjang

untuk secara sadar mau meningkatkan profesionalisme diri

secara berkelanjutan sehingga semakin mempertinggi mutu

pengalaman belajar siswa, khususnya siswa SLB. Guru

memiliki peran utama bukan sekedar melaksanakan reformasi

pendidikan, namun harus terlibat dalam merumuskan konsep

dan desain reformasi pendidikan yang diperlukan. Guru abad

21 perlu bertindak akademis dan mampu mengambil

keputusan-keputusan pedagogis saat melaksanakan tugas

utama. Kemampuan guru dan calon guru ini harus terus

dipelihara dan berkembang secara akumulatif memanfaatkan

pengalaman sebelumnya.

6. Kemampuan dan keterampilan citizenship, merupakan

kemampuan dan keterampilan guru SLB maupun calon-calon

guru SLB dalam menumbuhkan dan meningkatkan rasa

[36]

nasionalisme siswanya. Kemajuan TIK di abad 21 selain

berdampak positif ada dampak pengiring yang kurang baik,

misalnya turunnya rasa nasionalisme, muncul rasa

individualisme, turunnya sopan-santun, dan lain-lain. Oleh

karena itu, guru SLB dan calon guru SLB harus memiliki

keterampilan dalam mendoktrin kepada siswanya menjadi

warga negara yang baik dan bertanggungjawab, dengan cara

berkontribusi membangun watak siswanya agar tetap memiliki

jiwa nasionalisme yang tinggi dan merasa ikut memiliki masa

depan negara RI. Pada saatnya, mampu untuk ikut serta dalam

mensejahterakan masyarakat di negara ini. Apa yang terkadi

jika suatu negara terjadi krisis nasionalismenya? Maka banyak

masalah yang akan muncul dan akan merepotkan negara itu

sendiri.

7. Memiliki karakter/perwatakan (character) yang baik untuk

menjalani kehidupan dan karir (life and career skill) bagi siswa

SLB. Guru SLB harus mampu memahami karakter dan potensi

setiap siswa dan mengembangkan potensi dan karakter yang

baik tersebut dalam karir dan kehidupan. Setiap siswa SLB

mempunyai potensi yang berbeda–beda, guru SLB harus

mampu meningkatkan rasa percaya diri kepada siswa dalam

mengembangkan potensinya. Siswa SLB harus bisa dilatih

untuk berkarya dan berkarir di masyarakat di mana dunia kerja

memerlukan orang-orang yang mandiri, suka mengambil

inisiatif, pandai mengelola waktu, dan berjiwa kepemimpinan.

Siswa SLB perlu memahami tentang pengembangan karir dan

bagaimana karir seharusnya diperoleh melalui karakter untuk

kerja keras dan sikap jujur.

2.1.10 Karakteristik Pembelajaran Matematika di SLB

Agar mahasiswa Program Studi Matematika mampu

mendesain Alat Peraga Matematis bagi siswa SLB sebagai wujud

tumbuhnya Imaginasi Berpikir Matematisnya, maka mahasiswa

[37]

perlu mampu untuk mengidentifikasi dan mengakomodasi

kebutuhan belajar siswa SLB. Mahasiswa juga penting untuk

menemukenali karakteristik siswa SLB melalui ECT. Setelah

mahasiswa menemukenali karakteristik siswa SLB, maka

diharapkan dapat menciptakan alat peraga matematis yang sesuai

dengan karakteristik pembelajaran matematika ABK. Berkaitan

dengan hal tersebut, maka dalam merancang alat peraga

pembelajaran matematika, mahasiswa perlu memikirkan juga

pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang sesuai

dengan alat peraga yang dibuatnya.

Perbedaan karakteristik pembelajaran di sekolah reguler dan

pembelajaran bagi ABK adalah setting pembelajaran yang harus

adaptif untuk semua ketunaan siswa SLB. Variabel adaptasi

sangat bergantung dari jenis dan tingkat karakteristik siswa SLB

khususnya berdasarkan ketunaan yang disandang, baik kelainan

fisik, emosi, sosial, dan intelektual. Adaptasi tersebut memiliki

empat tahap sebagai berikut:

1. Melakukan duplikasi/plagiasi alat peraga, artinya

mengambil seluruh bentuk dan model alat peraga dan

strategi pembelajaran pada anak ”normal” ke dalam

pembelajaran pada anak berkebutuhan khusus tanpa

melakukan perubahan, penambahan, dan pengurangan apa

pun. Untuk menumbuhkan Imajinasi Berpikir Matematis

mahasiswa, melakukan plagiasi seperti ini sangat tidak

dianjurkan.

2. Melakukan modifikasi, artinya melakukan adaptasi terhadap

bentuk dan model alat peraga matematis yang akan

digunakan untuk ABK. Sebagian atau keseluruhan bentuk

dan model alat peraga yang dipergunakan pada pembelajaran

anak “normal” diadaptasi sedemikian rupa sehingga baik

materi, medianya, dan strategi pembelajarannya sesuai

dengan karakteristik anak di SLB.

[38]

3. Melakukan substitusi, artinya mengganti bentuk dan model

alat peraga matematis yang berlaku pada pembelajaran anak

“normal”, agar dapat digunakan pada pembelajaran ABK di

SLB.

4. Melakukan omisi, artinya melakukan penghilangan bentuk

dan model alat peraga matematis tertentu yang berlaku pada

pembelajaran anak “normal” bagi ABK. Hal tersebut

dilakukan apabila ketiga prinsip di atas sudah tidak dapat

dilakukan, misalnya meniadakan warna, atau suara pada

alat peraga matematis tertentu, dan lain sebagainya.

2.1.11 Alat Peraga Matematis Berdasarkan pada

Ketunaannya

Berikut ini dikaji karakteristik alat peraga matematis

berdasarkan pada jenis ketunaan yang dialami siswa SLB. Pada

kajian ini didahului dengan kajian tentang siswa tunanetra,

tunagrahita, dan tunarungu. Karakteristik siswa di SLB berbeda-

beda, bergantung pada jenis ketunaannya.

Karakteristik Siswa Tunanetra

Siswa Tunanetra adalah individu siswa yang memiliki

hambatan dalam penglihatan. Tunanetra dapat diklasifikasikan ke

dalam dua golongan yaitu: buta total (Blind) dan Low Vision.

Definisi Tunanetra adalah individu yang memiliki lemah

penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah

dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan. Karena siswa

tunanetra memiliki keterbatasan dalam indra penglihatan maka

penggunaan Alat Peraga Matematis dalam proses

pembelajarannya menekankan pada alat indra yang lain yaitu

indra peraba dan indra pendengaran. Oleh karena itu, prinsip yang

harus diperhatikan dalam memberikan materi pembelajaran

berbantuan alat peraga matematis kepada individu Tunanetra

adalah alat peraga yang digunakan harus bersifat fisik dan

bersuara, contohnya adalah penggunaan tulisan Braille, gambar

[39]

timbul, benda model, atau benda nyata. Sedangkan alat peraga

matematis yang bersuara misalnya video pembelajaran.

Prinsip pembelajaran dengan menggunakan alat peraga

matematis untuk siswa Tunanetra agak berbeda

dengan pembelajaran untuk ketunaan yang lain. Bagi anak

tunanetra, untuk mengerti dunia sekelilingnya harus bekerja

dengan alat peraga berupa benda-benda konkret yang dapat diraba

atau yang dapat dimanipulasikan. Melalui observasi perabaan

benda-benda nyata, dalam tempatnya yang alamiah, mereka dapat

memahami bentuk, ukuran, berat, kekerasan, sifat-sifat

permukaan, kelenturan, suhu, dan sebagainya. Dengan menyadari

kondisi seperti ini, maka dalam proses pembelajaran yang

memanfaatkan alat peraga matematis, guru SLB perlu

semaksimal mungkin dapat menggunakan Alat Peraga Matematis

benda-benda konkret sebagai alat bantu atau media dan sumber

belajar untuk mencapai tujuan pembelajarannya.

Siswa Tunanetra menuntut penjelasan dan penjelajahan

secara langsung di lingkungan nyata. Prinsip ini menuntut guru

agar dalam proses pembelajaran tidak hanya bersifat informatif

akan tetapi semaksimal mungkin anak diajak ke dalam situasi

nyata sesuai dengan tuntutan tujuan yang ingin dicapai dan bahan

yang diajarkannya.

Karakteristik Siswa Tunagrahita

Anak tunagrahita adalah anak yang mengalami kelainan

dalam segi intelektual, sehingga inteligensi mereka di bawah rata-

rata. Akibatnya, dalam tugas-tugas akademik yang menggunakan

intelektual, mereka sering mengalami kesulitan. Dalam kegiatan

pembelajaran matematika berbantuan alat peraga, anak

tunagrahita membutuhkan kasih sayang yang tulus dari guru.

Guru yang mengajar pada siswa Tunagrahita hendaknya

berbahasa yang lembut, sabar, rela berkorban, dan memberi

contoh penggunaan alat peraga dengan baik, ramah, dan supel,

[40]

sehingga tumbuh kepercayaan dari siswa tunagrahita, yang pada

akhirnya mereka memiliki semangat untuk melakukan kegiatan

dan menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan guru.

Karakteristik Siswa Tunarungu

Karena memiliki hambatan dalam pendengaran individu

Tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka

biasa disebut Tunawicara. Cara berkomunikasi dengan individu

menggunakan bahasa isyarat, untuk abjad jari telah dipatenkan

secara internasional sedangkan untuk isyarat bahasa berbeda-beda

di setiap negara. Di Indonesia dikembangkan Sistem Isyarat

Bahasa Indonesia (SIBI), selain BISINDO. Saat ini di beberapa

sekolah sedang dikembangkan komunikasi total yaitu cara

berkomunikasi dengan melibatkan bahasa verbal, bahasa isyarat,

dan bahasa tubuh. Individu Tunarungu cenderung kesulitan dalam

memahami konsep dari sesuatu yang abstrak.

2.1.12 Persyaratan Umum Suatu Alat Peraga Matematika

2.1.12.1 Pengertian Alat Peraga Matematika

Tidak semua siswa SLB khususnya pada jenjang

pendidikan dasar memiliki bakat yang baik di bidang

matematika. Tetapi, pelajaran matematika harus diberikan di

semua jenjang pendidikan pada SLB. Agar siswa-siswa yang

kurang berbakat di bidang matematika memiliki daya serap

yang baik tentang matematika yang diterimanya, maka guru

pada saat memberikan pelajaran matematika harus

meningkatkan daya kreativitasnya agar siswa dapat meningkat

daya serapnya. Salah satu cara agar daya serap siswa SLB,

dapat ditumbuhkembangkan adalah melalui pembelajaran

matematika berbantuan alat peraga yang dikemas melalui

Joyful Learning.

Namun, tidak semua guru mampu memikirkan dan

menemukan cara bagaimana memanfaatkan alat peraga yang

[41]

harus dioperasikan melalui kegiatan yang dapat dilakukan oleh

siswa sendiri atau hand on activity yang juga sering disebut

dengan alat peraga manipulatif, sampai konsep atau materi

yang diajarkan guru dapat diterima dan diserap dengan baik

oleh para siswa SLB. Oleh karena itu, jika guru dan calon guru

mampu memikirkan dan menemukan cara memanfaatkan alat

peraga yang dapat dioperasikan melalui kegiatan yang harus

dikerjakan oleh siswa SLB sendiri; sampai konsep atau materi

yang diajarkan guru dapat diterima dengan baik oleh para

siswa maka seharusnya daya serap siswa akan semakin baik.

Harapannya, alat peraga tidak sekedar dibawa guru,

didemonstrasikan guru, para siswa hanya mengangguk-

angguk, mencatat, dan guru menganggap bahwa siswa telah

tahu. Alat peraga manipulatif resikonya memang mungkin ada,

seperti tambahnya biaya, lamanya waktu, perlunya peralatan

tambahan, atau belum munculnya ide dari guru.

Para siswa di jenjang pendidikan SLB, pada umumnya

masih berada pada tahap berpikir konkret. Jika ada siswa SLB

sudah mampu menjadi juara dalam lomba matematika tingkat

nasional untuk siswa SLB, itu hanya sebagian kecil atau amat

kecil dari seluruh siswa SLB. Anak-anak SLB yang ”khusus”

yang memiliki kecerdasan amat sangat istimewa tersebut tidak

dibahas dalam uraian ini. Yang dikaji adalah anak-anak SLB

standar, atau anak-anak dengan kepandaian biasa/normal

untuk ukuran SLB. Siswa-siswa seperti ini, tampaknya

memang perlu alat peraga untuk mempercepat daya serapnya

dalam menerima materi pelajaran, khususnya matematika.

Dalam pembelajaran, media pembelajaran diartikan sebagai

semua benda yang menjadi perantara dalam terjadinya

pembelajaran. Berdasarkan fungsinya media dapat berbentuk

alat peraga dan sarana.

[42]

Jadi, pengertian Alat Peraga dalam pembelajaran

matematika merupakan bagian dari media pembelajaran

matematika agar materi atau soal-soal matematika yang

dibahas menjadi lebih mudah untuk dipahami dan diserap

siswa. Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 Pasal 42

(1) menyatakan bahwa setiap satuan pendidikan termasuk SLB

wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan

pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber lainnya,

bahan-bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang

diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur

dan berkelanjutan. Jelas bahwa alat peraga yang merupakan

salah satu bentuk dari media pendidikan adalah bagian dari

sarana yang wajib dimiliki oleh setiap satuan pendidikan

khususnya di SLB. Media adalah berbagai jenis komponen

dalam lingkungan siswa yang dapat dipakai guru untuk

memotivasi dan memperjelas bagi siswa dalam belajarnya.

Sedangkan kedudukan alat peraga terkait dengan komponen

metode mengajar, merupakan salah satu upaya untuk

mempertinggi proses interaksi guru dengan siswa di

lingkungan belajarnya. Kegiatan pembelajaran yang

menggunakan alat peraga sangat besar artinya bagi

keberhasilan belajar siswa. Diharapkan dengan menggunakan

alat peraga, siswa SLB dapat melihat atau meraba meraba,

mengungkapkan dengan memikirkan secara langsung objek

yang sedang mereka pelajari. Dengan demikian, konsep

abstrak yang sedang dipelajari dapat mengendap, melekat, dan

tahan lama di benak pikiran siswa SLB. Penggunaan alat

peraga dapat dikaitkan dengan aspek penanaman konsep,

pemahaman konsep serta pembinaan keterampilan, dan juga

meningkatkan motivasi siswa.

Dalam buku guru Kurikulum 2013 juga tertulis secara

eksplisit bahwa guru disarankan memperhatikan hal-hal

[43]

berikut: Dianjurkan menggunakan media atau sumber belajar

alternatif yang tersedia di lingkungan sekolah dan media atau

sumber belajar alternatif tersebut dapat berupa orang, material,

atau peristiwa.

2.1.13 Fungsi dan Peran Alat Peraga Matematika

Secara umum, fungsi dan peran alat peraga

pembelajaran matematika antara lain untuk:

1. mengatasi perbedaan pengalaman pribadi siswa;

2. mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera;

3. membuat konkret konsep matematika yang abstrak;

4. memperjelas penyajian pesan, agar tidak terlalu verbal;

5. melengkapi dan memperkaya informasi dalam kegiatan

pembelajaran;

6. meletakkan dasar-dasar yang penting untuk

perkembangan belajar, oleh karena itu dapat membuat

pelajaran lebih mantap;

7. memberikan pengalaman nyata yang dapat

menumbuhkan kegiatan berusaha sendiri di kalangan

siswa SLB;

8. mengganti objek yang berbahaya atau sukar didapat di

dalam lingkungan belajar;

9. memungkinkan siswa berinteraksi langsung dengan

lingkungannya;

10. memungkinkan keseragaman pengamatan dan persepsi

pengalaman belajar siswa;

11. membangkitkan minat/motivasi belajar;

12. memberi kesan perhatian individual untuk seluruh

anggota kelompok;

13. mengontrol arah maupun kecepatan belajar siswa;

14. meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam

penyampaian pesan (pelajaran);

[44]

15. menambah variasi dalam penyajian dan atau

penyampaian pesan (pelajaran);

16. memberi kesamaan/kesatuan dalam pengamatan

terhadap sesuatu yang pada awal pengamatan siswa

mungkin berbeda-beda.

Dalam pemilihan alat peraga matematika untuk SLB,

terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh sebuah alat

peraga agar dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan

pembelajaran matematika di SLB. Alat peraga yang didesain,

dibuat, atau akan digunakan oleh seorang guru atau calon

guru, hendaknya menjadi sebuah alat bantu yang

mempermudah siswa untuk memahami suatu materi,

menemukan sebuah pembuktian rumus, atau mampu

membantu siswa SLB dalam latihan soal dalam suasana

pembelajaran yang menyenangkan.

2.1.14 Beberapa Persyaratan sebagai Indikator Alat

Peraga Matematis yang Cocok untuk Siswa SLB

Berikut ini dijelaskan persyaratan yang merupakan

indikator Alat Peraga Matematis yang cocok untuk siswa

SLB. Alat Peraga Matematis yang cocok untuk siswa SLB

adalah sebagai berikut.

1. Dibuat dari bahan yang kuat agar awet dan tidak

membahayakan siswa SLB.

2. Bentuk alat peraganya yang menarik dan enak untuk

dilihat, didengar, atau diraba.

3. Sederhana, mudah dibawa, dan mudah pemakaiannya.

4. Ukurannya sesuai dengan siswa SLB yang memakainya.

5. Dapat menyajikan suatu konsep matematika baik dalam

bentuk abstrak, gambar, atau diagram sesuai dengan

ketunaan siswanya.

6. Sesuai dengan konsep matematika yang sedang

diajarkan.

[45]

7. Dapat memperjelas konsep matematika dan bukan

sebaliknya.

8. Pemanfaatan alat peraga itu diharapkan menjadi dasar

bagi tumbuhnya konsep berpikir abstrak bagi siswa SLB.

9. Menjadikan siswa belajar aktif dan mandiri dengan

memanipulasi alat peraganya (Hand-on Activity).

10. Alat peraga tersebut dapat berfaedah untuk mengerjakan

soal-soal.

2.1.15 Kriteria Penggunaan Alat Peraga di SLB

Ada beberapa kriteria penggunaan Alat Peraga

Matematis di SLB. Kriteria ini terkait dengan tujuan, materi,

strategi pembelajaran yang dipilih, kondisi sekolah, dan siswanya

itu sendiri.

1. Tujuan. Pemilihan kriteria penggunaan alat peraga yang tepat

dapat mempengaruhi tujuan pembelajaran yang akan dicapai

apakah alat peraga tersebut mampu meningkatkan domain

kognitif, afektif, dan psikomotor yang merupakan tujuan

sebuah pembelajaran di SLB.

2. Materi pelajaran. Alat peraga yang dipilih biasanya dipakai

untuk membantu siswa memahami suatu konsep dasar dan

prinsip dalam materi pembelajaran matematika sehingga

memudahkan siswa untuk memahami materi dalam ruang

lingkup dan kesukaran yang lebih tinggi. Peragaan untuk

konsep dasar digunakan untuk mempermudah pemahaman

konsep selanjutnya.

3. Strategi pembelajaran. Dengan menggunakan alat peraga

maka akan mempermudah guru di dalam menerapkan

strategi pembelajarannya. Jadi kriteria penggunaan alat

peraga merupakan strategi pembelajaran dalam menerapkan

metode penemuan atau metode demonstrasi.

4. Kondisi sekolah dan manajemennya. Kriteria penggunaan

alat peraga juga perlu mempertimbangkan kondisi sekolah

[46]

dan manajemennya. Ada Alat Peraga yang perlu dibeli dan

keberadaan Alat Peraga bergantung pula pada kondisi

keuangan SLB dan kebijakan manajemen di SLB yang

bersangkutan. Alat peraga membantu guru SLB pada situasi

tertentu misalnya saja pada kelas Tunagrahita yang kurang

dapat fokus memperhatikan saat guru menjelaskan materi,

kelas Tunanetra yang perlu Alat Peraga yang dapat diraba,

dan sebagainya. Alat Peraga memang sangat dibutuhkan

siswa di SLB, namun keberadaannya perlu

mempertimbangkan dengan melihat kondisi keuangan

sekolah.

5. Siswa. Kriteria pemilihan alat peraga perlu disesuaikan

dengan apa yang disukai dan diperlukan oleh siswa SLB

sesuai dengan karakteristik ketunaannya. Misalnya saja

diperlukan alat peraga yang berupa permainan matematis,

namun hal tersebut tentunya tidak terlepas dari tujuan

pembelajarannya.

2.1.16 Hand-on Activity untuk Alat Peraga Matematis di

SLB

2.1.16.1 Pengertian Hand-on Activity

Alat peraga yang penggunaanya dapat dilakukan sendiri

oleh siswa SLB bahkan dapat dimodifikasi oleh siswa, sering

disebut sebagai alat peraga manipulatif. Kegiatan untuk

menerapkan pemakaian alat peraga manipulatif ini, disebut

Hand-on Activity (HoA). HoA, adalah suatu kegiatan

pembelajaran yang melibatkan para siswa khususnya di SLB

untuk melakukan kegiatan yang melibatkan panca indera yang

ada, aktivitas phisik, dan alat-alat pendukungnya. Para siswa

terlibat dalam kegiatan memikir, mengamati atau mendengarkan,

meraba, menanya, mengumpulkan segala informasi, mengukur,

menalar, menggambar, menggunting (disesuaikan dengan jenis

ketunaannya), melipat, atau menempelkan hasil karyanya, dan

[47]

akhirnya siswa diharapkan dapat mengomunikasikan idenya

kepada teman-temannya. Dalam kegiatan pembelajaran HoA ini,

kadang-kadang diperlukan sarana dan sedikit biaya tambahan

untuk pendukungnya, misalnya perlunya ketersediaan kertas

HVS, kertas manila, penggaris, gunting, lem, dan sejenisnya.

Foto di bawah ini menggambarkan, para siswa yang sedang

dilatih gurunya untuk menemukan sendiri jaring-jaring kubus

melalui kegiatan pembelajaran Hand-on Activity pada alat peraga

yang dapat dimanipulasi.

2.1.17 Pembelajaran Matematika di SLB Berbantuan Alat

Peraga dengan HoA

Misalnya pada Siswa Tunanetra:

Misalnya, seorang guru SLB akan membahas jaring-jaring

kubus. Rangkaian kegiatan HoA yang dapat dilakukan adalah

sebagai berikut. Pendahuluan: (1) Guru SLB Kelas IV akan

menjelaskan 11 jaring-jaring kubus yang berbeda. (2) Guru

memutuskan untuk hanya memberikan contoh sebuah jaring-

jaring kubus saja dengan memanfaatkan alat peraga. (3) Guru

memiliki sebuah ide untuk menyampaikan 10 jenis jaring-jaring

kubus yang berbeda lainnya melalui HoA. Berikut ini akan

diuraikan langkah-langkah operasional jika seorang guru di SLB

mengajarkan materi jaring-jaring kubus tersebut (Kelas IV SDLB

atau Kelas VIII SMPLB) melalui serangkaian HoA.

[48]

Tahap persiapan sebelum mengajar:

1. Guru perlu menyiapkan alat peraga manipulatif berupa

sebuah model bangun kubus yang dibuat dari kertas

tebal/manila. Guru juga menyiapkan 11 jaring-jaring kubus

yang benar dan 4 jaring-jaring bukan kubus yang mirip

dengan jaring-jaring kubus.

2. Siswa Tunanetra bekerja secara kelompok (umumnya hanya

ada 1 kelompok). Kemudian 1 kelompok siswa tersebut

diberikan 1 model kubus dan 1 model jaring-jaring kubus

yang benar.

3. Kemudian, siswa diberikan 15 potongan-potongan kertas di

mana ada 11 potongan kertas yang merupakan jaring-jaring

kubus dan 4 lainnya bukan jaring-jaring kubus. Siswa

Tunanetra, dengan indra perabaan diminta untuk memilih

dan menetapkan 11 jaring-jaring kubus yang benar dari 15

potongan-potongan kertas tersebut. Diharapkan, kelompok

siswa Tunanetra dapat menemukan sendiri ke-11 jaring-

jaring kubus yang berbeda.

[49]

4. Selanjutnya, guru menjelaskan bahwa ada 11 jaring-jaring

kubus yang berbeda. Penjelasan guru dipandang sebagai

penarikan kesimpulan bahwa ada 11 jaring-jaring kubus

yang berbeda.

2.1.18 Meningkatkan Daya Kreativitas Mahasiswa dalam

Pembuatan Alat Peraga yang Berdayaguna.

Mahasiswa Pendidikan Matematika diharapkan menjadi

guru Matematika setelah mereka lulus. Sebagai calon guru

Matematika di jenjang Pendidikan Dasar bahkan Pendidikan

Menengah, mereka harus berani berkreativitas untuk melakukan

perubahan dalam proses pembelajarannya kelak dengan

melakukan terobosan-terobosan atau memilih cara pembelajaan

yang mutakhir dan baru bagi guru. Tentu saja, penerapan cara baru

pembelajaran yang inovatif harus dilaksanakan dengan penuh

dedikasi dan tanggung jawab sebagai pendidik, khususnya sebagai

guru di jenjang pendidikan dasar dalam mengajarkan matematika

di kelas reguler maupun mungkin kelak mengajar di SLB yang

seharusnya masih berbantuan Alat Peraga Matematis.

[50]

Untuk meningkatkan daya kreativitas mahasiswa sehingga

dapat merancang, membuat, dan menggunakan alat peraga

pembelajaran matematika maka mahasiswa calon guru perlu: (1)

selalu memikirkan melalui imajinasinya, menindaklanjuti hasil

pemikirannya, dan melaksanakan ide dan imajinasinya tersebut

dalam mencari cara agar materi pembelajaran dapat diserap oleh

para siswanya dengan baik; (2) berusaha mencari cara

baru/inovatif agar dalam memanfaatkan alat peraga matematis

dapat dikemas/disajikan melalui Hand-on Activity; (3) dengan alat

peraga matematis, pembelajaran di kelas bisa menyenangkan bagi

siswa dan matematika terlihat mudah (Joyful Learning); (4) selalu

berusaha mengembangkan idenya agar alat peraga matematis

tidak hanya dibawa ke depan kelas, hanya ditunjukkan ke siswa,

didemonstrasikan ke siswa atau menyuruh 1 siswa untuk

mencobanya, siswa lainnya hanya duduk manis, dan akhirnya para

siswa hanya mencatat jika diperlukan atau disuruh guru.

Selain hal tersebut di atas, agar daya serap siswa dalam

belajar matematika dapat tumbuh dan berkembang, maka sikap

guru (yang sebaiknya perlu pula diketahui calon guru) adalah: (1)

bersedia mendengarkan pendapat, pertanyaan, atau bahkan

komplen dari siswa; (2) bersedia menghargai pendapat siswa,

walaupun pendapat itu salah; (3) memupuk dan mengembangkan

rasa percaya diri siswa; (4) siap dan mau memberikan tantangan

kepada siswa; (5) mendorong siswa untuk berani mengungkapkan

gagasan; (6) berani menciptakan rasa tidak takut salah pada diri

siswa. Ini sangat diperlukan oleh siswa, karena jika siswa di

jenjang pendidikan dasar takut salah, maka siswa tidak akan

berani mencoba hal-hal baru, yang artinya daya serap siswa

terhadap materi yang diajarkan guru masih belum optimal.

Berkaitan dengan hal di atas, jika mahasiswa Pendidikan

Matematika kelak bisa menjadi guru di jenjang pendidikan dasar

yang mampu meningkatkan daya serap siswanya dalam

[51]

pembelajaran matematika, maka perlu mencari strategi

pembelajaran yang mampu: (1) mengaktifkan cara belajar siswa,

salah satunya melalui HoA, (2) mendorong siswa untuk berani

mengungkap gagasan/temuannya sendiri, (3) mendorong siswa

untuk berpikir dengan cara lain atau berpikir alternatif, (4) siswa

merasa senang dalam belajar matematika (Joyful Learning), dan

(5) meningkatkan kerja sama di antara para siswa melalui cara-

cara yang santun dalam berperilaku. Cara guru dalam mendesain

dan membuat Alat Peraga Matematis untuk meningkatkan daya

serap siswanya dalam pembelajaran matematika yang

menyenangkan, sangat perlu diketahui dan dipelajari oleh

mahasiswa Pendidikan Matematika.

2.1.19 Alat Peraga untuk Meningkatkan Daya Serap Siswa

SLB

Dalam pembelajaran, perlu Student Oriented. Penekanan

kegiatan pembelajaran difokuskan ke siswa. Kegiatan

pembelajaran yang difokuskan ke siswa, dikenal sebagai

Pembelajaran Aktif. Pembelajaran Aktif adalah strategi

pembelajaran yang menuntut guru/pendidik untuk mampu

melibatkan siswa dalam proses pembelajaran. Siswa SLB tidak

boleh lagi hanya mendengar, mencatat, bahkan hanya bermain.

Tetapi siswa SLB juga harus mulai dilibatkan dalam diskusi,

belajar menjelaskan untuk idenya (misalnya melalui latihan

presentasi), dan juga harus mampu melakukannya sendiri. Ada

pandangan yang menganggap bahwa belajar adalah proses

membangun makna/pemahaman oleh si pembelajar (siswa)

terhadap pengalaman dan informasi yang disaring dengan

persepsi, pikiran, pengetahuan yang dimiliki, serta perasaan. Di

lain pihak juga ada pandangan yang menganggap bahwa guru

dalam mengajar perlu turut berperan serta dengan si pembelajar

(siswa) dalam membangun makna dengan cara: (1)

[52]

mempertanyakan kejelasan, (2) bersikap kritis, dan (3) melakukan

pembenaran/ justifikasi yang diperlukan.

Daya serap siswa SLB yang tinggi dalam belajar, dapat

dimaknai bahwa siswa SLB mampu memperoleh nilai yang tinggi,

mampu menemukan, merancang, mengalami sendiri atau bermain

peran, dan ikut mengamati kejadian langsung atau tiruannya. Agar

pembelajaran menjadi efektif, yakni adanya peningkatan hasil

belajar, siswa SLB perlu dilatih untuk bekerja secara mandiri

(berdialog dengan diri sendiri) maupun bekerja dengan teman

dalam kelompoknya (berdialog dengan orang/teman lain) dalam

suasana yang santun dan menyenangkan. Guru dan siswa SLB

perlu melakukan inovasi pembelajaran melalui pemanfaatan Alat

Peraga Matematis yang cocok dengan siswa SLB. Inovasi

diartikan sebagai pembaharuan, yang artinya berbeda dari apa

yang sudah dilaksanakan guru dan siswa SLB selama ini.

Untuk meningkatkan daya serap siswa SLB dalam

mempelajari matematika, maka yang perlu dilakukan siswa SLB

pada saat ada proses penerapan Alat Peraga Matematis, antara

lain:

1. memperhatikan, mengamati dengan sungguh-sungguh, dan

berani menanyakan contoh atau model yang diberikan guru;

2. mencari dan mengumpulkan informasi sendiri atau bersama

dengan anggota kelompoknya, mengolahnya (menalar), dan

berlatih dengan bimbingan guru untuk menemukan contoh

atau model lain yang berbeda dengan yang diberikan guru;

3. melaksanakan tugas Hand-on Activity dengan sungguh-

sungguh;

4. berani mengomunikasikan idenya atau temuannya di depan

kelas.

Kegiatan tersebut di atas, dalam implementasi Kurikulum 2013

dikenal dengan nama: Pendekatan Saintifik.

[53]

2.1.20 Pembelajaran yang Joyful Learning di SLB

2.1.20.1 Pengertian Joyful Learning dan Penerapannya di

SLB

Joyful Learning berasal dari kata joyful yang berarti

menyenangkan sedangkan learning adalah pembelajaran. Belajar

menyenangkan (joyful learning) adalah sistem pembelajaran

yang berusaha untuk membangkitkan minat, adanya keterlibatan

penuh, dan terciptanya makna, pemahaman, nilai yang

membahagiakan pada diri siswa.

Joyful Learning adalah pembelajaran yang di dalamnya

tidak ada lagi tekanan, baik tekanan fisik maupun psikologis.

Sebab, tekanan apa pun namanya hanya akan mengerdilkan

pikiran siswa khususnya di SLB. Sedangkan kebebasan apa pun

wujudnya akan dapat mendorong terciptanya iklim pembelajaran

(learning climate) yang kondusif.

Joyful Learning membuat suasana kelas jadi

menyenangkan dan tidak monoton. Selain itu, Joyful Learning

merupakan pendekatan yang dapat membuat siswa memiliki

motivasi untuk terus mencari tahu, untuk terus belajar.

Karena itu, joyful learning di SLB adalah pendekatan

yang dapat digunakan oleh guru SLB dalam hal ini adalah guru

yang dapat membuat siswa lebih dapat menerima materi yang

disampaikan yang dikarenakan suasana yang menyenangkan dan

tanpa ketegangan dalam menciptakan rasa senang. Penciptaan rasa

senang berkait dengan kondisi jiwa bukanlah proses pembelajaran

tersebut menciptakan suasana ribut dan hura-hura. Menyenangkan

atau mengasyikkan dalam belajar di kelas bukan berarti

menciptakan suasana huru-hara dalam belajar di kelas, namun

kegembiraan di sini berarti mampu membangkitkan minat, adanya

keterlibatan penuh serta terciptanya makna, pemahaman yakni

[54]

penguasaan atas materi yang dipelajari dan nilai yang

membahagiakan siswa SLB.

Pembelajaran yang menyenangkan (Joyful Learning) di

SLB bukan semata-mata pembelajaran yang mengharuskan siswa-

siswa untuk tertawa lepas, melainkan sebuah pembelajaran yang

di dalamnya terdapat kohesi yang kuat antara guru dan siswa SLB

dalam suasana yang sama sekali tidak ada tekanan. Yang ada

hanyalah jalinan komunikasi yang saling mendukung.

Belajar sendiri pun menurut para ahli berbeda-beda

dalam mengemukakan definisinya. Namun, tampaknya ada

semacam kesepakatan di antara para ahli yang menyatakan bahwa

perbuatan belajar mengandung perubahan dalam diri seseorang

yang telah melakukan perbuatan belajar. Perbuatan tersebut

bersifat general, positif, aktif, dan efektif fungsional.

Sifat general berarti perubahan itu terjadi karena

pengalaman atau praktik yang dilakukan siswa dengan sengaja

dan disadari, bukan kebetulan. Sifat positif berarti perubahan itu

bermanfaat sesuai dengan harapan siswa, di samping itu

menghasilkan sesuatu yang lebih baik dibandingkan yang telah

ada sebelumnya. Sifat aktif di sini berarti perubahan yang

membangun suasana yang mengembangjkan inisiatif dan

tanggung jawab belajar siswa SLB sehingga berkeinginan terus

untuk belajar selama hidupnya dan tidak bergantung pada guru.

Sifat efektif berarti perubahan yang memberikan pengaruh dan

manfaat bagi pelajar. Adapun sifat fungsional berarti perubahan

itu relatif tetap serta dapat direproduksikan atau dimanfaatkan

setiap kali dibutuhkan.

2.1.20.2 Tujuan Joyful Learning di SLB.

Tujuan Joyful Learning di SLB, agar siswa semakin

terdorong untuk terus belajar jika pembelajaran diselenggarakan

secara nyaman dan menyenangkan, sehingga siswa terlibat secara

[55]

fisik dan psikis. Pada pembelajaran Matematika, guru SLB perlu

menciptakan kondisi pembelajaran dan Alat Peraga Matematis

yang sesuai dengan minat dan kecerdasan siswa. Guru juga perlu

memberikan penghargaan bagi siswa yang berpartisipasi.

Penghargaan dapat bersifat material dan penghargaan, nilai,

penghargaan applaus.

Sedangkan tujuan pembelajaran yang menyenangkan

sendiri di SLB adalah menggugah sepenuhnya kemampuan

belajar dari siswa, membuat belajar menyenangkan dan

memuaskan bagi mereka, dan memberikan sumbangan

sepenuhnya pada kebahagiaan, kecerdasan, kompetensi, dan

keberhasilan mereka sebagai manusia. Proses pembelajaran yang

menyenangkan di sini bisa dilakukan dengan cara seperti berikut.

(1) Menata ruangan kelas yang menarik yaitu dengan memenuhi

unsur kesehatan, misalnya dengan pengaturan cahaya, ventilasi

serta memenuhi unsur keindahan dengan dipasang karya siswa.

(2) Melalui pengelolaan pembelajaran yang hidup dan bervariasi

yakni dengan menggunakan pola dan model pembelajaran,

media/alat peraga, dan sumber pembelajran yang relevan serta

gerakan-gerakan guru yang mampu membangkitkan motivasi

belajar siswa.

Belajar di SLB itu haruslah mengasyikkan dan

berlangsung dalam suasana gembira sehingga pintu masuk untuk

informasi baru akan lebih lebar dan terekan dengan baik. Dengan

adanya pembelajaran menyenangkan (joyfull learning) ini maka

siswa tidak hanya dikurung di dalam ruang kelas belajar saja,

tetapi juga belajar di luar ruang terbuka atau Auditorium dengan

arena bermain edukatif. Menjadikan pelajaran matematika yang

selama ini abstrak menjadi tampak konkret dan relevan dengan

kehidupan sehari-hari.

[56]

2.1.20.3 Penerapan Joyful Learning di SLB

Joyfull Learning dapat dilakukan dengan memotivasi

tumbuhnya harga diri yang positif kepada siswa SLB dan

memberikan lingkungan dan kondisi yang tepat untuk semua

siswa. Dengan kata lain, semua siswa perlu merasakan kondisi

seperti berikut:

1. Kontribusi mereka sekecil apa pun merasa dihargai.

2. Mereka merasa aman (fisik dan psikis) dalam lingkungan

belajarnya.

3. Gagasan mereka dihargai.

Dengan kata lain anak harus dihargai apa adanya.

Mereka harus merasa aman, bisa mengekspresikan pendapatnya,

dan sukses dalam belajarnya. Keramahan inilah yang membantu

anak-anak menikmati belajar dan guru bisa memperkuat rasa

senang ini melalui penciptaan kelas yang lebih “menyenangkan”.

Indikator atau ciri-ciri tumbuhnya joyful learning adalah

sebagai berikut.

(1) Siswa berkehendak untuk belajar.

(2) Siswa tampak antusias mengikuti proses pembelajaran.

(3) Siswa tampak bergembira mengikuti proses pembelajaran.

(4) Siswa tampak berani bertanya dan berpikir selama proses

pembelajaran berlangsung.

(5) Siswa tampak aktif dalam mengikuti proses pembelajaran.

Oleh karena itu guru diharapkan untuk tidak membatasi

argumen siswa, karena dengan mendengarkan argumen siswa

merasa lebih diperhatikan dan merasa nyaman berada di kelas.

Selain itu penataan kelas juga bisa membuat siswa merasa

nyaman dan senang berada di dalam kelas.

Tahapan joyful learning di SLB yang diterapkan di

sekolah dapat dipilih ke dalam empat tahap. Tahap pertama

persiapan, kedua tahap penyampaian, ketiga tahap pelatihan,

keempat tahap penutup. Adapun penjelasannya sebagai berikut.

[57]

Tahap persiapan:

Tahap persiapan berkaitan dengan persiapan siswa SLB untuk

belajar. Tanpa itu siswa akan lambat dan bahkan bisa berhenti

begitu saja. Tujuan dari persiapan menuju Joyful Learning adalah

untuk mengajak siswa SLB dengan 6 hal berikut.

1. Mengajak siswa keluar dari keadaan mental yang awalnya

mungkin pasif.

2. Menyingkirkan rintangan belajar.

3. Merangsang minat dan rasa ingin tahu siswa.

4. Memberi siswa perasaan positif terhadap topik pelajaran.

5. Menjadikan siswa aktif yang tergugah untuk berpikir,

belajar, menciptakan, dan tumbuh.

6. Mengajak siswa keluar dari keterasingan dan masuk kedalam

komunitas belajar.

Dengan 6 hal tersebut, akan berdampak secara psikis

kepercayaan diri untuk bisa memperoleh apa yang menjadi

tujuan yang ia inginkan.

Tahap Penyampaian

Tahap penyampaikan dalam pembelajaran, khususnya

pada pembelajaran matematika dimaksudkan untuk

mempertemukan pembelajaran dengan materi belajar yang

mengawali proses belajar secara positif dan menarik melalui

penggunaan Alat Peraga Matematis. Adapun cara mengajak siswa

agar terlibat penuh dalam proses belajar antara lain perlu ramah,

menghindari diri dari kemarahan, menguasai materi, dan terampil

dalam menerapkan Alat Peraga Matematisnya.T

Tahap Pelatihan

Pada tahap pelatihan inilah pembelajaran pada diri siswa

berlangsung sebenarnya. Apa yang dipikirkan, dikatakan, dan

dilakukan, siswalah yang menciptakan pembelajaran, dan bukan

apa yang dipikirkan, dikatakan, dan dilakukan oleh guru. Pada

tahap ini dapat dilakukan dengan meminta siswa berulang-ulang

[58]

mempraktikkan suatu keterampilan atau kemampuan yang sudah

diperolehnya, untuk mendapatkan umpan balik segera, dan

mempraktikkan keterampilannya itu lagi. Guru perlu meminta

siswa membicarakan apa yang mereka alami, perasaan mereka,

dan apa lagi yang mereka butuhkan untuk meningkatkan

prestasinya.

Tahap Penutup

Dalam menyampaikan pelajaran, misalnya pada akhir jam

pelajaran guru memaksakan agar materinya selesai. Namun

dengan demikian, justru akan tidak efektif. Yang seharusnya

dilakukan guru adalah pada pemahaman guru bahwa joyful

learning hendaknya memberi penguatan kepada materi yang telah

diterima oleh siswa dengan memusatkan perhatian. Hal itu

merupakan peluang agar siswa mampu mengingat dengan baik

tentang materi yang telah dipelajarinya.

2.1.21 Pertumbuhan Berpikir Komprehensif Siswa di SLB

2.1.22 Pengertian Berpikir Komprehensif Siswa SLB

SLB merupakan sekolah yang khusus diperuntukkan bagi

Anak-anak Penyandang Disabilitas (APD). Meskipun harus pelan-

pelan sesuai dengan tingkat ketunaan siswa, namun upaya

pemerintah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran yang

komprehensif di SLB perlu didukung. Kurikulum yang berlaku

saat ini, menekankan pada keterampilan berpikir komprehensif,

artinya keterampilan berpikir yang dibingkai oleh peningkatan

kognitif, sikap, berketuhanan, dan nilai-nilai sosial yang

terintegrasi dalam proses pembelajaran. Keterampilan berpikir

komprehensif siswa merupakan kemampuan berpikir dan bernalar

untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kompleks dan atau

untuk memecahkan suatu kasus atau masalah.

Guru SLB perlu punya tanggung jawab untuk melatih para

siswanya dengan latihan berpikir komprehensif, walaupun diawali

dengan bantuan penggunaan Alat Peraga. Sebab, hanya dengan

[59]

kemampuan berpikir komprehensiflah yang nantinya dapat

digunakan para siswa SLB untuk menjalani hidupnya setelah

menyelesaikan pendidikan. Berpikir tingkat rendah/sederhana

hanya bermanfaat untuk menjawab soal-soal ulangan sederhana

atau soal-soal ujian yang belum tentu dapat digunakan dalam

kehidupan nyata setelah lulus dari SLB.

Berpikir komprehensif bagi siswa SLB, tidak hanya di

pendidikan lanjutan. Sejak kelas satu SDLB, seorang siswa dapat

dilatih berpikir komprehensif. Pertanyaan 4 + 6 = ... hanya melatih

siswa berpikir tingkat rendah. Sedangkan pertanyaan 10 = ... + ...

dapat melatih siswa berpikir komprehensif. Siswa sudah dilatih

untuk berpikir seluruh pasangan bilangan secara koprehensif yang

jika dijumlahkan, hasilnya harus diperoleh bilangan 10. Jadi, pada

permasalahan yang sama, bila disampaikan dengan cara berbeda

dapat mengubah dari latihan berpikir tingkat rendah menjadi

latihan berpikir komprehensif. Kemampuan para guru untuk dalam

membuat pertanyaan dan dalam menyusun Rencana Pelaksanaan

Pembelajaran (RPP) yang mengandung unsur keterampilan

berpikir komprehensif merupakan sesuatu yang mutlak harus

dimiliki. Guru yang terampil membuat pertanyaan dan terampil

dalam membuat RPP yang mengandung keterampilan berpikir

komprehensif akan dapat menghantarkan para siswanya mampu

memecahkan permasalahan dalam kehidupannya setelah mereka

menyelesaikan pendidikannya di SLB.

2.1.23 Indikator Tumbuhnya Berpikir Komprehensif

Siswa SLB

Indikator tumbuhnya Berpikir Komprehensif Siswa SLB,

yang terkait dengan penggunaan Alat Peraga Matematis yang

dibuat mahasiswa Pendidikan Matematika di SLB, dipilih dan

ditetapkan sebagai berikut.

[60]

1) Setelah siswa SLB djelaskan guru tentang penggunaan Alat

Peraganya, siswa bisa mempraktikkannya dengan bantuan

guru secara proporsional.

2) Setelah siswa SLB didampingi guru tentang praktik

penggunaan Alat Peraganya, siswa bisa menggunakannya

tanpa bantuan guru lagi.

3) Siswa bisa menggunakan Alat Peragannya untuk

mengerjakan soal-soal sendiri yang sejenis.

4) Siswa akhirnya mampu menyelesaikan soal-soal yang

sejenis, tanpa bantuan guru dan tanpa bantuan Alat Peraganya

lagi.

2.1.24 Pemikiran Penggunaan Alat Peraga Visual-Auditif

di SLB

Pelajaran matematika sering disebut pelajaran yang sukar,

apalagi bagi anak-anak penyandang disabilitas. Oleh karena itu,

peneliti sebagai Ketua Pusat Studi Pembelajaran bagi ABK -

FMIPA UNNES semakin terdorong untuk melakukan penelitian

disertasi tentang cara menumbuhkan keterampilan berpikir

komprehensif matematis bagi siswa SLB melalui implementasi

Alat Peraga untuk ABK di SLB yang Visual-Auditif berbasis

Joyful Learning. Alat peraga Visual-Auditif adalah alat peraga

yang dapat diraba, dimanipulasi, dibuat animasinya, dapat dibuat

dalam bentuk video, PPt, atau dapat diberi suara agar alat peraga

tersebut semakin bermanfaat dan membuat pembelajaran jadi

menyenangkan (Joyful Learning) bagi siswa. Penggunaan

Information Communication and Technologi (ICT) dalam praktik

pembuatan alat peraga sangat dimungkinkan, apalagi di era digital

saat ini.

Selanjutnya, tumbuhnya keterampilan berpikir

komprehensif dalam berpikir matematis bagi siswa SLB perlu

dianalisis tingkat pertumbuhannya. Keterampilan berpikir

komprehensif merupakan kemahiran atau kemampuan kognitif

[61]

siswa dalam berpikir secara menyeluruh atau komprehensif dan

memerlukan kreativitas. Kreativitas bagi anak lulusan SLB sangat

dibutuhkan di masa depan, termasuk permintaan tenaga kerja.

Untuk memunculkan keterampilan berpikir komprehensif dalam

berpikir matematis siswa SLB ini, diperlukan alat peraga Visual-

Auditif multi fungsi untuk memancing daya kreativitas siswa

secara menyeluruh.

Peranan ICT dalam dunia pendidikan sangatlah besar,

tidak hanya di kalangan perguruan tinggi semata namun juga pada

pendidikan di SLB. Pada Amandemen Undang-Undang Dasar

1945, dinyatakan bahwa setiap anak berhak mengembangkan diri

melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan

pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan

teknologi (komputer/internet), seni dan budaya, demi

meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat

manusia (Pasal 28 c Ayat 2).

Dalam rangka mengembangkan diri anak SLB, sekarang

banyak didapati berbagai layanan pendidikan baik formal maupun

non-formal. Dalam perkembangan kognitif menuju keterampilan

berpikir komprehensif, anak SLB perlu dibekali dengan

pemahaman tentang matematika dasar seperti bentuk, ukuran,

pola, memecahkan masalah, bilangan, dan berhitung. Menguasai

keterampilan matematika dasar sangat penting karena hal tersebut

terdapat dalam kehidupan nyata sehari-hari anak. Berbagai media

seperti ICT dapat digunakan. ICT dapat dimanfaatkan untuk

memvisualisasikan tubuh anak sendiri seperti jari tangan dan kaki,

pakaian, juga peralatan makan warna-warni dan berbagai ukuran,

balok-balok, bahkan tumbuhan dan berbagai hewan lengkap

dengan suara dan animasinya (visual-auditif). Sekarang banyak

didapati CD/VCD pembelajaran matematika dasar yang dikemas

menarik dan dijual bebas di pasaran. Tinggal bagaimana sebagai

[62]

pendidik memilih yang sesuai kebutuhan dan ramah bagi anak-

anak SLB.

2.2 Manfaat Teoretis Imajinasi Berpikir Matematis

Secara teoretis, imajinasi dalam berpikir sangat

menentukan keberhasilan seseorang dalam menemukan sesuatu

yang baru. Karena itu, Imajinasi Berpikir Matematis perlu

ditumbuhkan pada diri mahasiswa Pendidikan Matematika, agar

kualitas pengetahuannya berhasil tumbuh semakin baik. Selain itu,

Imajinasi Berpikir dapat tumbuh melalui berbagai kegiatan seperti

lewat percobaan, pembuatan karya seperti Alat Praga, dan juga bisa

tumbuh karena bakat. Oleh karena itu maka pada penelitian ini,

Imajinasi Berpikir Matematis dicermati melalui karya mahasiswa

dalam membuat Alat Peraga Matematis yang diperuntukkan basi

para siswa di SLB.

Melalui pelatihan, Imajinasi dalam berpikir juga dapat

ditumbuhkan. Dengan melakukan pelatihan maka Imajinasi

Berpikir dapat ditumbuhkembangkan untuk berbagai keperluan.

Melalui imajinasi maka berbagai produk seperti Alat Peraga

Matematis dapat dikembangkan sehingga Alat Peraga yang dibuat

bisa menjadi multi-fungsi dan pembelajaran menjadi Joyful

Learning.

Berdasarkan teori-teori yang dikemukakan juga oleh para

ahli di bidang Pendidikan, pertumbuhan Imajinasi Berpikir

Matematis mahasiswa dapat dilihat pula dari karyanya dalam

membuat Alat Peraga bagi siswa SLB, pada saat mahasiswa ada

kegiatan pelatihan dan Alat Peraga Matematis yang dihasilkan ini

dapat diterapkan di SLB melalui pembelajaran yang Joyful

Learning.

[63]

BAB

III

3.1 Tujuan Kegiatan ECT

Berdasarkan kajian pada Bab I dan Bab II sebelumnya,

maka tujuan kegiatan Extra-Curriculum Training (ECT) ini

adalah sebagai berikut.

3.1.1 Sebagai wadah kegiatan mahasiswa peminat pembelajaran

siswa disabilitas di SLB dalam menumbuhkan Imajinasi

Berpikir Matematis mahasiswa Pendidikan Matematika

melalui upaya untuk menciptakan Alat Peraga bagi ABK

melalui kegiatan di Extra-Curriculum Training untuk

membuat pembelajaran Joyful Learning di SLB.

3.1.2 Sebagai wadah kegiatan mahasiswa dalam mempelajari

karakteristik siswa disabilitas di SLB, pembelajaran yang

Joyful Learning di SLB, dan cara mengajarkan

matematika di SLB.

3.1.3 Sebagai wadah kegiatan mahasiswa dalam mempelajari

Bahasa Isyarat yang diperlukan di SLB, pengenalan cara

menulis dan membaca huruf Braile, dan memperkenalkan

cara menumbuhkan Imajinasi Berpikir Matematis dalam

menciptakan, mendesain, dan membuat alat peraga

matematis yang diharapkan mampu membuat suasana

pembelajaran di SLB menjadi Joyful Learning.

KEGIATAN EXTRA-CURRICULUM

TRAINING (ECT)

[64]

3.2 Manfaat Kegiatan ECT

3.2.1 Manfaat Praktis

Manfaat praktis yang sangat diharapkan dari kegiatan ECT

ini adalah sebagai berikut.

1) Untuk menutup kesenjangan antara kebutuhan dan realita di

lapangan. Di SLB dibutuhkan guru-guru matematika yang

menguasai matematika sekolah, tapi juga menguasai

kebutuhan ABK dalam pembelajarannya. Di lain pihak,

perguruan tinggi khususnya Program Studi Pendidikan

Matematika di suatu Perguruan Tinggi belum ada regulasi

untuk menghasilkan guru matematika yang siap mengajar di

SLB atau sekolah inklusif dengan segala konsekuensinya.

Kini dengan adanya ECT, akan dihasilkan cukup banyak

mahasiswa calon guru yang mengenal dengan baik

pembelajaran matematika di SLB melalui kegiatan ECT ini.

2) Ditemukannya pola tahap-tahap pelatihan bagi mahasiswa

agar dapat diciptakan Alat-alat Peraga terkini bagi ABK

melalui kegiatan berbasis Extra-Curriculum Training.

3) Tercipta Alat-alat Peraga bagi ABK melalui kegiatan berbasis

Extra-Curriculum Training ke arah pembelajaran yang Joyful

Learning.

4) Untuk menutup kesenjangan antara siswa-siswa reguler dan

dan siswa-siswa SLB. Di SLB perlu dimulai adanya guru-

guru matematika yang mampu menumbuhkan keterampilan

berpikir komprehensif pada siswa di SLB.

5) Bisa ditemukan deskripsi berbagai model Alat Peraga yang

lain, seperti Visual-Auditif matematis berbasis pada Joyful

Learning yang cocok bagi siswa SLB agar dapat

menumbuhkan berpikir yang komprehensif.

6) Tercipta Alat-alat Peraga Visual-Auditif multi fungsi

matematis yang tetap berbasis pada Joyful Learning.

[65]

3.1.2 Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis yang sangat diharapkan dari hasil kegiatan

ECT ini adalah sebagai berikut.

1) Buku Panduan tentang kegiatan ECT ini dapat digunakan

sebagai bacaan ilmiah yang melengkapi kepustakaan di

Perpustakaan S3 Pendidikan Matematika UNNES,

Perpustakaan S2 Pendidikan Matematika UNNES, dan

Perpustakaan S1 Jurusan Matematika FMIPA UNNES.

2) Buku Panduan tentang kegiatan ECT ini dapat digunakan

sebagai panduan dalam menyusun kajian terkait dengan cara

menumbuhkan kompetensi Imajinasi Berpikir Matematis.

3) Ditemukan teori tentang pola tahap-tahap pelatihan bagi

mahasiswa agar dapat diciptakan Alat-alat Peraga Matematis

terkini bagi ABK melalui kegiatan berbasis Extra-

Curriculum Training.

4) Ditemukan teori yang mengkaji deskripsi model Alat Peraga

Visual-Auditif Matematis berbasis pada Joyful Learning yang

cocok bagi siswa SLB agar dapat menumbuhkan berpikir

yang komprehensif.

3.3 Pembentukan, Materi, dan Jadwal Kegiatan ECT

Berikut ini diuraikan Pembentukan, Materi, dan Jadwal

Kegiatan ECT, agar dapat menjadi panduan bagi pembaca atau

peminat pembelajaran matematika di SLB.

3.3.1 Pembentukan

1) Dosen-dosen Inisiator mencari mahasiswa-

mahasiswa Pendidikan Matematika yang berminat

untuk mempelajari pembelajaran di SLB dan

berkeinginan/tertantang untuk membuat Alat Peraga

Matematis bagi siswa ABK di SLB.

[66]

2) Dibentuk wadah kegiatan mahasiswa berupa Extra-

Curriculum Training (ECT) dengan seijin Ketua

Jurusan Matematika.

3) Dosen-dosen Inisiator menyediakan peralatan

pelatihan yang dibutuhkan, sesuai dengan banyaknya

mahasiswa yang tertarik ikut dalam kegiatan ECT.

4) Mahasiswa yang berminat seperti disebutkan di atas,

diberitahu kegiatan yang nantinya ada di ECT yaitu

adanya kegiatan pelatihan tentang karakteristik ABK

dan pembelajarannya, pembelajaran yang Joyful

Learning bagi siswa SLB, latihan dasar penulisan

Braile dan Bahasa Isyarat, serta pengenalan Alat

Peraga Matematis bagi siswa di SLB, dan teknik

dasar pembuatan Alat Peraga Matematis yang sesuai

dengan karakteristik siswa SLB.

3.3.2 Materi Pelatihan dalam kegiatan ECT

Materi diberikan oleh: (1) Dosen-dosen yang tahu

dan mengenal tentang pembelajaran siswa Disabilitas di

SLB. (2) Tenaga Ahli dari luar kampus yang menguasai

Bahasa Isyarat, baik Sistem Isyarat Bahasa Indonesia

(SIBI) atau Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO). (3)

Dosen yang menguasai teknik pembuatan Alat Peraga

Matematis.

Materi Utama dalam kegiatan Extra-Curriculum

Training (ECT) adalah sebagai berikut:

1) Diberikan pelatihan tentang makna Imajinasi

Berpikir Matematis dan alat ukurnya, yang akan

diukur melalui karya orisinal mahasiswa dalam

mendesain, merancang, dan membuat Alat Peraga

Matematis bagi siswa SLB.

[67]

2) Diberikan pembekalan tentang karakteristik siswa

berkebutuhan khusus dan aspek-aspek

pembelajarannya.

3) Diberikan pembekalan penulisan dan pembacaan

huruf maupun angka Braile, Bahasa Isyarat SIBI,

BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia), serta

pemanfaatannya dalam pembelajaran matematika.

4) Diberikan pemodelan Alat Peraga Matematika yang

cocok bagi ABK.

5) Dalam kegiatan Extra-Curriculum Training

diberikan teknik dasar pembuatan alat-alat peraga

matematis bagi siswa berkebutuhan khusus, yang

diharapkan mahasiswa dapat menciptakan suatu Alat

Peraga untuk pembelajaran matematika yang cocok

untuk diterapkan bagi siswa SLB, dan menyenangkan

bagi siswa SLB, sehingga tercipta Joyful Learning.

6) Puncak kegiatan ECT, mahasiswa diminta untuk

mengembangkan Imajinasi Berpikir Matematisnya

dalam merancang, mendesain, dan mewujudkan

suatu Alat Peraga Matematis bagi ABK yang

original, yang diharapkan mampu membuat siswa

SLB menjadi bisa menyerap materi pelajaran

matematika dengan cepat, bisa berpikir

komprehensif, dan suasana pembelajarannya bisa

Joyful Learning.

7) Pihak Jurusan menyediakan sarana dan prasarana

pembuatan Alat Peraga Matematis yang akan dibuat

oleh mahasiswa.

8) Dosen Pengampu memeriksa, menilai, dan

memberikan saran serta masukan atas Produk Asli

karya mahasiswa peserta ECT dalam membuat alat

peraga matematis untuk siswa SLB.

[68]

9) Dosen Pengampu memilih beberapa alat peraga

matematis untuk siswa SLB produk mahasiswa

peserta ECT yang menurut penilaian Dosen

Pengampu, alat peraga buatan mahasiswa tersebut

layak dan baik.

10) Dosen Pengampu membantu memberikan fasilitas

agar alat peraga buatan mahasiswa yang layak dan

baik tersebut dapat dipraktikkan dalam suatu

kegiatan pembelajaran di SLB, sesuai dengan

kecocokan jenis ketunaan siswa di SLB.

11) Alat Peraga Matematis dikatakan mampu

menunjukkan tumbuhnya Imajinasi Berpikir

Matematis seorang mahasiswa Pendidikan

Matematika, jika Alat Peraga Matematis yang

dibuatnya:

(1) Sesuai dengan isi Kurikulum yang berlaku untuk

SLB.

(2) Asli dari ide dan rancangan mahasiswa sendiri

(original).

(3) Cocok dan sesuai untuk diterapkan di SLB.

(4) Mampu menumbuhkan suasana pembelajaran

yang Joyful Learning.

(5) Penggunaan Alat Peraga Matematis mampu

meningkatkan daya serap siswa SLB dalam

belajar matematika.

(6) Setelah siswa SLB menggunakan Alat Peraga

Matematisnya, akhirnya siswa dapat

mengerjakan soal-soal matematika pada pokok

materi yang terkait, tanpa lagi menggunakan alat

peraganya (siswa SLB bisa berpikir secara

komprehensif).

[69]

3.3.3 Jadwal Kegiatan ECT

Berdasarkan pengalaman penulis, kegiatan ECT

dapat dilaksanakan dengan Jadwal Kegiatan sebagai

berikut.

1) Dilaksanakan secara rutin satu pekan, satu tatap

muka.

[70]

2) Dilaksanakan di sore hari, misalnya pk 15.30 – 17.30.

3) ECT dilaksanakan dalam rentang waktu 3 bulan (12

kali tatap muka).

4) Pelaksanaan ujicoba Alat Peraga di SLB, disesuaikan

berdasarkan kesepakatan antara pihak SLB dan

Dosen Pengampu.

Berikutnya, dalam Bab IV akan dibahas penerapan Alat

Peraga Matematis buatan mahasiswa peserta ECT di SLB, untuk

mengungkap pertumbuhan Imajinasi Berpikir Matematis

mahasiswa Pendidikan Matematika melalui kegiatan ECT.

[71]

BAB

IV

Uraian pada Bab IV ini, mengupas tindak lanjut pemanfaatan

Extra-Curriculum Training (ECT), setelah mahasiswa berhasil

menciptakan, mendesain, dan mewujutkan sebuah Alat Peraga

Matematis saat para mahasiswa mengikuti kegiatan di ECT. Oleh dosen

pengampu training, Alat Peraga Matematis yang sudah jadi, dipilih

yang baik, menarik, kuat, dan yang dipandang memenuhi syarat untuk

dapat diterapkan di SLB. Jadi, dalam Bab IV ini dibahas cara penilaian

dosen, penerapan Alat Peraga Matematis buatan mahasiswa peserta

ECT di SLB, yang kemudian dianalisis untuk mengungkap

pertumbuhan Imajinasi Berpikir Matematis mahasiswa Pendidikan

Matematika melalui kegiatan ECT.

4.1 Pola Pertumbuhan Imajinasi Berpikir Matematis Mahasiswa

4.1.1 Tahap Persiapan Pertumbuhan Imajinasi Berpikir

Matematis

Kegiatan ECT untuk menemukan pola pertumbuhan

Imajinasi Berpikir Matematis mahasiswa Pendidikan

Matematika, dilakukan dengan tahapan persiapan sebagai

berikut:

4.1.1.1 Setelah mahasiswa mengikuti serangkaian

pelatihan di ECT, secara individual, mahasiswa

Pendidikan Matematika peserta ECT, diminta untuk

membuat Alat Peraga Matematis bagi ABK yang

bersekolah di SLB.

4.1.1.2 Alat Peraga Matematis bagi ABK yang bersekolah

di SLB, yang dibuat oleh mahasiswa harus

memenuhi persyaratan:

PERTUMBUHAN IMAJINASI

BERPIKIR MATEMATIS

MAHASISWA MELALUI KEGIATAN

ECT

[72]

1) Pemakaian alat peraga wajib sesuai dengan

tuntutan Kompetensi Dasar (KD) pada isi

Kurikulum yang berlaku untuk SLB.

2) Asli dari ide dan rancangan mahasiswa sendiri

(original). Ada Panduan yang operasional

tentang cara pembuatan Alat Peraga Matematis

dan penggunaannya saat diterapkan di SLB.

3) Cocok dan sesuai untuk diterapkan di SLB,

artinya Alat Peraga yang dibuat tidak

membahayakan siswa SLB, ringan, praktis, dan

bermanfaat.

4) Diharapkan mampu menumbuhkan suasana

pembelajaran yang Joyful Learning, artinya

bahwa dengan penerapan Alat Peraga

Matematis buatan mahasiswa ini, para siswa

SLB merasa senang, cocok, dan materi

matematika jadi terasa mudah bagi siswa-siswa

SLB.

5) Penggunaan Alat Peraga Matematis mampu

meningkatkan daya serap siswa SLB dalam

belajar matematika.

6) Penggunaan Alat Peraga Matematis buatan

mahasiswa harus bisa membuat siswa SLB

berpikir secara komprehensif. Artinya, setelah

siswa SLB menggunakan Alat Peraga

Matematisnya, akhirnya siswa dapat

mengerjakan soal-soal matematika pada pokok

materi yang terkait, tanpa lagi menggunakan

alat peraganya.

4.1.1.3 Untuk pengujian butir nomor 1) sampai dengan

nomor 3), Alat Peraga Matematis buatan mahasiswa

dinilai oleh dosen pengampu kegiatan ECT. Dosen

[73]

pengampu kegiatan ECT bisa mengamati secara

langsung produk Alat Peraga Matematis yang

dihasilkan mahasiswa, membaca panduan

pemakaian Alat Peraga yang dibuat mahasiswa

yang bersangkutan, mengamati saat mahasiswa

presentasi penggunaan Alat Peraga, dan

mewawancarai mahasiswa. Untuk pengujian butir

nomor 4) sampai dengan nomor 6), Alat Peraga

Matematis buatan mahasiswa perlu dipraktikkan di

SLB, diamati dan dinilai oleh dosen pengampu

kegiatan ECT dan guru SLB.

4.1.1.4 Kriteria pertumbuhan Imajinasi Berpikir Matematis

mahasiswa Pendidikan Matematika, adalah sebagai

berikut:

Tabel 4.1 Kategori Pertumbuhan IBM

Memenuhi

Persyaratan

Butir:

Kategori Pertumbuhan

Imajinasi Berpikir

Matematis mahasiswa

Pendidikan Matematika

1, 2, 3, 4 ,5, dan 6 Sangat Baik

1, 2, 3, 4, dan 5 Baik

1, 2, 3, dan 4 Sedang

1, 2, dan 3 Kurang

1 dan 2 Sangat Kurang

4.1.2 Contoh Penilaian Dosen Pengampu Kegiatan ECT

Berikut ini diuraikan contoh cara Dosen Pengampu

Kegiatan ECT dalam menilai produk alat peraga matematis

yang telah dibuat mahasiswa Pendidikan Matematika,

sebagai tolok ukur pertumbuhan Imajinasi Berpikir

[74]

Matematis Mahasiswa. Sebagai ilustrasi dalam Buku

Panduan ini, penilaian hanya dilakukan pada satu produk

Alat Peraga Matematis buatan mahasiswa. Pembaca dapat

mengembangkannya sendiri cara penilaiannya.

Subjek Pengamatan 1 (misalnya mahasiswa dengan

Kode: Mhs 1)

Penelusuran Melalui : Pengamatan Alat Peraga dan

Wawancara

Nama Alat Peraga: Abanetra.

Tampak pada Gambar 4.1 di bawah ini.

Berikut ini, tabel 4.2 menunjukkan Tabel Rekapitulasi

Penilaian oleh Dosen yang perlu dibuat dan diisi oleh dosen

pengampu ECT.

Tabel 4.2: Tabel Rekapitulasi Penilaian oleh Dosen

No

.

Dilaksanaka

n pada:

Tujuan yang

Ingin Dicapai:

Pengamatan/Wawanca

ra Diperoleh:

1. Tahap 1 Mengidentifika

si kesesuaian

“Alat Peraga

Matematis bagi

siswa SLB

yang dibuat”

dengan tuntutan

KD pada

Hasil dan Catatan

Peneliti:

Alat Peraga Matematis

bagi siswa SLB yang

dibuat telah sesuai

dengan tuntutan KD

[75]

Kurikulum

2013.

pada Kurikulum 2013

untuk siswa SLB.

2a. Tahap 2a Menelusuri

bahwa Alat

Peraga

Matematis yang

dibuat

mahasiswa

peserta Extra-

Curriculum

Training

memiliki unsur

novelty.

Hasil dan Catatan

Peneliti:

Alat Peraga Matematis

yang dibuat mahasiswa

peserta Extra-

Curriculum Training

memiliki unsur novelty

karena Alat Peraga

Matematis tersebut

belum ada sebelumnya.

2b. Tahap 2b Menelusuri

bahwa Alat

Peraga

Matematis yang

dibuat

mahasiswa

peserta Extra-

Curriculum

Training

memiliki unsur

originality dan

pengujian

terhadap

Panduannya.

Hasil dan Catatan

Peneliti:

Alat Peraga Matematis

yang dibuat mahasiswa

peserta Extra-

Curriculum Training

memiliki unsur

originality karena Alat

Peraga Matematis

tersebut dibuat asli ide

dari mahasiswa secara

mandiri sebelum

diperiksa dan diberikan

masukan oleh peneliti.

Panduan yang dibuat

juga cocok dengan

pembuatan dan

pemakaian Alat

Peraganya.

2c. Tahap 2c Menelusuri

bahwa Alat

Peraga

Matematis yang

dibuat

mahasiswa

Hasil dan Catatan

Peneliti:

Alat Peraga Matematis

yang dibuat mahasiswa

peserta Extra-

Curriculum Training

[76]

peserta Extra-

Curriculum

Training

memiliki unsur

fluency.

memiliki unsur fluency

karena Alat Peraga yang

dihasilkan mampu untuk

dimanfaatkan dalam

menjelaskan beberapa

materi.

2d. Tahap 2d Menelusuri

bahwa Alat

Peraga

Matematis yang

dibuat

mahasiswa

peserta Extra-

Curriculum

Training

memiliki unsur

flexibility.

Hasil dan Catatan

Peneliti:

Alat Peraga Matematis

yang dibuat mahasiswa

peserta Extra-

Curriculum Training

memiliki unsur

flexibility, karena

keberadaan alat peraga

semacam ini tidak

tunggal.

3. Tahap 3 Menganalisis

pemikiran

mendasar

bahwa Alat

Peraga

Matematis yang

dibuat

mahasiswa

peserta Extra-

Curriculum

Training dapat

diterapkan di

SLB pada mata

pelajaran

matematika.

Hasil dan Catatan

Peneliti:

Alat Peraga Matematis

yang dibuat mahasiswa

peserta Extra-

Curriculum Training

jelas dapat diterapkan di

SLB pada mata

pelajaran matematika,

tidak membahayakan

siswa SLB, ringan,

praktis, dan bermanfaat.

4. Tahap 4 Menganalisis

pemikiran

mendasar

bahwa Alat

Peraga

Matematis yang

Hasil dan Catatan

Peneliti:

Suasana Joyful Learning

dapat ditumbuhkan di

SLB pada mata

pelajaran matematika

[77]

dibuat

mahasiswa

peserta Extra-

Curriculum

Training dapat

diterapkan di

SLB pada mata

pelajaran

matematika

dalam suasana

Joyful

Learning.

melalui penerapan Alat

Peraga Matematis yang

dibuat mahasiswa

peserta Extra-

Curriculum Training.

Dengan Joyful Learning

maka pelajaran

matematika menjadi

tampak mudah dan

menyenangkan bagi

siswa.

5. Tahap 5 Menganalisis

pemikiran

mendasar

bahwa Alat

Peraga

Matematis yang

dibuat

mahasiswa

peserta Extra-

Curriculum

Training dapat

dipakai untuk

membantu

siswa SLB saat

menyelesaikan

latihan soal

matematika.

Hasil dan Catatan

Peneliti:

Siswa SLB dapat

menyelesaikan latihan

soal matematika dengan

memanfaatkan Alat

Peraga Matematis yang

dibuat mahasiswa

peserta Extra-

Curriculum Training

sebagai media bantunya.

6. Tahap 6 Menganalisis

pemikiran

mendasar

bahwa Alat

Peraga

Matematis yang

dibuat

mahasiswa

peserta Extra-

Curriculum

Training dapat

Hasil dan Catatan

Peneliti:

Alat Peraga Matematis

yang dibuat mahasiswa

peserta Extra-

Curriculum Training

dapat diterapkan di SLB

pada mata pelajaran

matematika sehingga

siswa SLB mampu

[78]

diterapkan di

SLB pada mata

pelajaran

matematika

sehingga siswa

SLB

diharapkan

mampu berpikir

komprehensif.

berpikir komprehensif,

yakni siswa SLB tidak

sekedar terpaku pada

penggunaan Alat Peraga,

melainkan pada akhirnya

siswa SLB dapat

menyerap materi ajarnya

dan dapat mengerjakan

soal dengan tidak lagi

mengandalkan Alat

Peraganya.

Catatan:

Pengisian Tabel 4.2 untuk tahap 4, 5 dan 6 dilakukan setelah

Alat Peraga Matematisnya dipraktikkan di SLB.

Kategori pertumbuhan Imajinasi Berpikir Matematis

mahasiswa dengan kode Mhs 1 adalah Sangat Bagus.

Hasil Pengamatan Fisik Alat Peraga Matematis Karya

Mhs 1.

Nama Alat Peraga: Abanetra Penjumlahan & Pengurangan

Bilangan Bulat.

Kegunaan: Untuk menanamkan konsep penjumlahan dan

pengurangan bilangan Bulat.

Sasaran Umum: Siswa SLB Penyandang Tunanetra dan

Tunagrahita.

Panduan Alat Peraga Matematis yang Dibuat Mhs 1:

Latar Belakang Munculnya Alat Peraga ini:

Penyandang tunanetra adalah mereka yang

mengalami kelainan atau kekurangan dalam penglihatan,

sehingga ia tidak dapat menggunakan penglihatannya

sebagai saluran utama dalam menerima informasi dari

lingkungan. Adanya kelainan penglihatan ini penyandang

tunanetra mempengaruhi perkembangan kognitif mereka.

Matematika dianggap sulit oleh siswa karena identik dengan

[79]

rumus-rumus dan perhitungan yang rumit. Bahkan untuk

siswa berkebutuhan khusus seperti siswa tunanetra,

matematika akan dirasakan semakin sulit karena

keterbatasan penglihatan. Akibat dari ketunanetraan, maka

pengenalan atau pengertian terhadap dunia luar anak, tidak

dapat diperoleh secara lengkap dan utuh. Akibatnya,

perkembangan kognitif anak tunanetra cenderung terhambat

dibandingkan dengan anak-anak normal pada umumnya. Hal

ini disebabkan perkembangan kognitif tidak saja erat

kaintannya dengan kecerdasan atau kemampuan

inteligensinya, tetapi juga dengan kemampuan indera

penglihatannya.

Sedangkan anak tunagrahita adalah mereka yang

kecerdasannya jelas berada di bawah rata-rata. Mereka

mengalami keterbelakangan dalam menyesuaikan diri

dengan lingkungan. Mereka kurang cakap dalam

memikirkan hal-hal yang abstrak, yang sulit-sulit, dan yang

berbelit-belit. Mereka mengalami kesulitan dalam pelajaran

seperti: mengarang, menyimpulkan isi bacaan,

menggunakan simbol-simbol, berhitung, dan dalam semua

pelajaran yang bersifat teoritis.

Anak tunanetra dan tunagrahita sangat memerlukan

benda konkret untuk memahami konsep dan simbol Bilangan

Bulat serta operasi penjumlahan dan pengurangan. Abanetra

Penjumlahan dan Pengurangan Bilangan Bulat adalah alat

peraga matematika abakus bagi tunanetra. Mahasiswa (Mhs

1) memberi nama Abanetra, yang merupakan singkatan dari

kata Abakus dan tunanetra, dimaksudkan sebagai alat peraga

matematika bagi penyandang tunanetra. Alat peraga ini

berfungsi untuk menanamkan konsep penjumlahan dan

pengurangan bilangan bulat secara nyata.

[80]

Penggunaan Abanetra Penjumlahan dan Pengurangan

Beberapa kesepakatan dalam menggunakan “Abanetra

Penjumlahan dan Pengurangan Bilangan Bulat adalah

sebagai berikut. Lihat Gambar 4.2, sampai Gambar 4.4.

Penjumlahan dan Pengurangan Bilangan Bulat

Kegunaan: Untuk menanamkan konsep Penjumlahan

Bilangan Bulat.

Contoh 1:

Contoh 2:

[81]

Bentuk dan Bagian-Bagiannya

No Nama Bagian Bahan Fungsi

1 Papan hitung Kayu

Tempat untuk

menghitung

2

Kartu Bilangan Kertas

Tempat untuk

menuliskan/

menempelkan lambang

bilangan

3 Biji hitung Kayu/plastic

Menyatakan banyak

benda

4 Poros hitung Kawat

Tempat menggeser biji

hitung

Penggunaan dalam Pembelajaran

Perhatikan gambar 4.8 di bawah ini.

[82]

Dalam perencanaannya, mahasiswa Mhs 1 memiliki

pemikiran bahwa Abanetra Penjumlahan & Pengurangan

Bilangan Bulat ini dapat dikembangkan untuk anak

berkebutuhan khusus tunagrahita, tunarungu dengan

membuat video pembelajarannya yang dilengkapi petunjuk

bahasa isyaratnya.

Kompetensi Dasar Matematika Kelas VII SMPLB

Tunarungu Berdasarkan Lampiran 1 Perdirjen Pendidikan

Dasar dan Menengah No. 10 Tahun 2017 disajikan pada

table 4.3.

Tabel 4.3 KD dan Indikator Matematika Kelas VII SMPLB

Tunarungu

Kompetensi Dasar Indikator

3.4 Memahami faktor dan

kelipatan

Bilangan serta faktor prima

suatu

bilangan.

3.4.1 Menentukan

fakor dari

bilangan

3.4.2 Menentukan

kelipatan

daribilangan

3.4.3 Menentukan

faktor prima

dari bilangan

4.4 Melakukan operasi

perkalian dan pembagian

sampai 10

4.4.1 Melakukan

perkalian dua

bilangan yang

hasilnya kurang

dari atau sama

dengan 10

4.4.2 Melakukan

pembagian dua

bilangan yang

hasilnya kurang

dari atau sama

dengan 10

[83]

3.5 Memahami kelipatan

persekutuan dua

buah bilangan dan

menentukan

kelipatan persekutuan

terkecil (KPK).

3.5.1 Dapat

menentukan

kelipatan

persekutuan dua

bilangan

3.5.2 Dapat

menentukan

KPK dua

bilangan

4.5 Menentukan kelipatan

persekutuan dua buah

bilangan dan menentukan

kelipatan persekutuan

terkecil (KPK) dan

menyelesaikan masalah

berkaitan dengan KPK.

4.5.1 Menentukan

KPK dari dua

bilangan

4.5.2 Menyelesaikan

soal cerita yang

berkaitan

dengan KPK

dari dua

bilangan

3.6 Memahami faktor

persekutuan dua buah

bilangan dan faktor

persekutuan terbesar (FPB).

3.6.1 menentukan

FPB dari dua

bilangan

4.6 Menentukan faktor

persekutuan dua buah

bilangan dan faktor

persekutuan terbesar (FPB)

dan menyelesaikan masalah

berkaitan dengan FPB.

4.6.1 Menentukan

FPBdari dua

bilangan.

4.6.2 Menyelesaikan

soal cerita yang

berkaitan

dengan FPB

dari dua

bilangan

[84]

4.1.3 Hasil Pengamatan Pendekatan Kualitatif pada Siswa ABK

Berikut ini contoh hasil pengamatan penulis berdasarkan

hasil wawancara, kunjungan kelas yang diteruskan dengan reduksi

data, paparan data, triangulasi, dan interpretasi data. Hasilnya

adalah sebagai berikut.

1. Siswa SLB merasa terbantu dalam memahami materi

pelajaran matematika dengan adanya berbagai alat peraga

matematis yang dibuat oleh para mahasiswa Pendidikan

Matematika. Daya serap siswa SLB meningkat.

2. Dengan adanya alat peraga matematis baru yang diterapkan

dalam pembelajaran matematika di SLB, siswa merasa

nyaman, senang, dan siswa menjadi tidak terbebani dengan

pelajaran matematika. Justru para siswa seolah saling

berlomba untuk mempraktikan alat peraga matematisnya.

Terjadi proses belajar sambil bermain (Joyful Learning).

3. Minat siswa SLB dalam belajar semakin meningkat. Hal ini

dapat ditunjukkan dengan dua bukti: (1) Siswa mulai suka

mengerjakan soal-soal matematika tanpa menggunakan lagi

alat peraga matematisnya (siswa mampu berpikir secara

komprehensif). (2) Siswa mulai gemar menyelesaikan soal-

soal matematika.

4. Siswa SLB sangat berharap, ada lagi alat peraga matematis

lainnya untuk materi-materi pokok matematika yang lain.

Gambar 4.9 dan 4.10 di bawah ini, adalah foto wawancara penulis

dengan siswa SLB Tunanetra dan Tunagrahita yang harus

dilakukan dengan pendekatan yang disesuaikan dengan

karakteristik siswanya.

[85]

Gambar 4.9 Wawancara terbuka degan siswa Tunanetra dalam

suasana yang akrab

Gambar 4.10 Wawancara terbuka dengan siswa Tunagrahita

4.1.4 Dukungan Penguat dari Guru SLB

Berikut ini adalah contoh hasil wawancara dengan guru

SLB, kunjungan kelas yang diteruskan dengan reduksi data,

paparan data, triangulasi, dan interpretasi data. Hasilnya adalah

sebagai berikut.

1. Guru merasa senang dengan adanya berbagai alat peraga

matematis yang dibuat oleh para mahasiswa Pendidikan

Matematika.

2. Alat peraga matematis yang dibuat dapat dan layak untuk

diterapkan di SLB, sangat cocok dengan kebutuhan siswa

SLB, yang berarti juga sudah sesuai dengan tuntutan

Kurikulum 2013 untuk SLB.

3. Dengan adanya alat peraga matematis baru yang diterapkan

dalam pembelajaran matematika di SLB, semua siswa merasa

nyaman, senang, dan siswa menjadi tidak terbebani dengan

pelajaran matematka. Justru para siswa seolah saling

[86]

berlomba untuk mempraktikan alat peraga matematisnya.

Terjadi proses belajar sambil bermain (Joyful Learning).

4. Daya serap siswa SLB semakin meningkat. Hal ini dapat

ditunjukkan dengan tiga bukti: (1) Siswa mulai dapat

mengerjakan soal-soal matematika tanpa lagi menggunakan

alat peraga matematisnya (siswa mampu berpikir secara

komprehensif). (2) Siswa mulai gemar menyelesaikan soal-

soal matematika. (3) Berdasarkan catatan harian guru, ada

peningkatan nilai terhadap hasil ulangan harian siswa.

5. Guru SLB sangat berharap, mahasiswa dapat lagi mendesain

dan membuat prototip-prototip alat peraga matematis untuk

materi-materi pokok yang lainnya.

6. Guru SLB juga sangat memberikan apresiasi yang tinggi

terhadap adanya penerapan alat peraga matematis yang

penerapannya disajikan melalui video yang berisi uraian

guru/calon guru, serta pada video tersebut juga diisi dengan

Bahasa Isyarat BISINDO. Dengan demikian, video

pembelajaran matematis yang dihasilkan menjadi multi-guna.

Bisa digunakan untuk siswa Tunarungu, Tunagrahita, maupun

Tunanetra. Perhatikan gambar 4.11.

Gambar 4.11: Video Pembelajaan diisi Bahasa Isyarat

Pada gambar 4.12 berikut ini adalah salah satu foto

dokumentasi pada saat penulis mewawancarai guru SLBN

Salatiga.

[87]

Gambar 4.12: Penulis mewawancarai guru sambil mengamati

siswa SLB menggunakan

alat peraga dalam latihan mengerjakan soal-soal

4.2 Dukungan Lembaga Seameo-Sen dan oleh Guru SLB di

Malaysia

Untuk lebih meyakinkan manfaat dan signifikansi

Alat Peraga Matematis buatan mahasiswa Pendidikan

Matematika, yang dibuat selama mahasiswa mengikuti

kegiatan ECT, maka penulis telah menghubungi Direktur

Southeast Asian Ministers of Education Organisation –

Regional Centre for Special Education (Seameo-Sen).

Selain itu juga pada seorang guru SLB dari Malaysia untuk

ikut memvalidasi kemanfaatan penerapan Alat Peraga

Matematis buatan mahasiswa ini.

Latar belakang kerjasama antara Direktur

Southeast Asian Ministers of Education Organisation –

Regional Centre for Special Education (Seameo-Sen) yang

berkantor di Melaka Malaysia, kepada penulis diawali

dengan pertemuan antara penulis dengan Direktur Seameo-

Sen dalam kegiatan Seminar Internasional. Selanjutnya,

penulis mengajukan permohonan agar Direktur Seameo-

Sen dapat membantu menganalisis pemanfaatan Alat

Peraga Matematis buatan mahasiswa dalam meningkatkan

[88]

Daya Serap di kalangan siswa SLB. Penulis memilih salah

satu Alat Peraga Matematis yang sudah dimodifikasi dalam

bentuk video yang diisi dengan narasi mahasiswa dan diisi

pula dengan Bahasa Isyaratnya. Video ini menjadi Multi-

Function Video untuk dianalisis. Ajakan yang sama, juga

diajukan ke seorang guru SLB di Malaysia. Kenyataannya,

siswa di SLB di mana pun berada, harus memberdayakan

diri pada potensi nalarnya. Daya serap siswa terhadap

pelajaran matematika dan pelajaran yang lain dapat

meningkat, hal ini akan menjadikan siswa SLB terbiasa

menghadapi suatu persoalan termasuk dalam meneruskan

pendidikannya di jenjang yang lebih tinggi.

Kerjasama ini telah mendapatkan hasil analisis

tambahan (opsional) yang mengungkap pemanfaatan Alat

Peraga Matematis berupa Multi-Function Video untuk

peningkatan Daya Serap siswa SLB. Hasil analisis direktur

Seameo-Sen: (1) Alat Peraga Matematis buatan mahasiswa

sudah layak pakai di SLB, (2) Alat Peraga Matematis

buatan mahasiswa ini mampu dimanfaatkan dalam suatu

kegiatan pembelajaran yang bersifat Joyful Learning. (3)

Guru perlu menguasai penggunaan Alat Peraga Matematis

Multi-Function Video. (4) Siswa SLB perlu memiliki atau

memegang/praktik Alat Peraga Matematis Multi-Function

Video.

Penulis juga telah mendapatkan masukan dari

pihak Guru SLB di Malaysia tentang penggunaan Alat

Peraga Matematis berupa Multi-Function Video untuk

peningkatan Daya Serap siswa SLB. Hasilnya: (1) Alat

Peraga Matematis buatan mahasiswa ini sudah layak

dimiliki dan dipakai di SLB, (2) Kegiatan pembelajaran

yang bersifat Joyful Learning dapat diciptakan melalui

pemanfaatan Alat Peraga Matematis buatan mahasiswa. (3)

[89]

Guru perlu menguasai materi yang terkait dengan

penggunaan Alat Peraga Matematis berupa Multi-Function

Video ini. (4) Siswa perlu dilatih agar bisa praktik Alat

Peraga Matematis berupa Multi-Function Video.

[90]

BAB

V

5.1 Simpulan

Berikut ini disimpulkan pokok-pokok isi Buku Panduan

tentang pelaksanaan ECT yang dimanfaatkan sebagai wahana

dalam menumbuhkan Imajinasi Berpikir Matematis Mahasiswa

Pendidikan Matematika melalui pembuatan Alat Peraga

Matematis.

5.1.1 Extra-Curriculum Training (ECT) layak diadakan di suatu

Perguruan Tinggi pada Jurusan Matematika, yang dapat

dimanfaatkan sebagai wahana untuk menumbuhkan

kompetensi mahasiswa, sesuai minatnya. Saah satunya

untuk menumbuhkan Imajinasi Berpikir Matematis

Mahasiswa Pendidikan Matematika melalui pembuatan

Alat Peraga Matematis bagi siswa ABK yang sekolah di

SLB.

5.1.2 Pertumbuhan Imajinasi Berpikir Matematis

Mahasiswa

Imajinasi Berpikir Matematis mahasiswa Pendidikan

Matematika melalui kegiatan Extra-Curriculum Training

(ECT) dalam menciptakan Alat Peraga bagi ABK di SLB,

berhasil ditumbuhkan. Mahasiswa peserta ECT telah

mampu menciptakan dan membuat Alat Peraga Matematis

yang memenuhi syarat yang ditentukan, yakni:

1. Mahasiswa Pendidikan Matematika telah mampu

membuat “Alat Peraga Matematis bagi siswa SLB”

sesuai dengan tuntutan pertumbuhan Imajinasi

Berpikir Matematis yang ditetapkan.

2. Alat peraga matematis yang dibuat mahasiswa peserta

Extra-Curriculum Training bisa dikembangkan dan

PENUTUP

[91]

dipakai oleh siswa Tunagrahita, Tunanetra dengan

memberi keterangan dengan huruf Braile, dan ada

yang dibuat video yang selain ada narasi penjelasan

guru tentang materinya, juga diisi pula dengan Bahasa

isyarat BISINDO sehingga dapat digunakan untuk

siswa Tunarungu.

5.2 Saran yang Direkomendasikan

Saran yang direkomendasikan berdasarkan pengalaman penulis,

adalah sebagai berikut.

1. Mahasiswa Pendidikan Matematika ternyata dapat

ditumbuhkembangkan Imajinasi Berpikir Matematisnya,

melalui karya-karya mereka dalam menemukan ide,

merancang, dan membuat Alat-alat Peraga Matematis bagi

siswa-siswa SLB. Oleh karena itu, maka kegiatan tambahan

di luar tatap muka perkuliahan, berupa kegiatan Extra-

Curriculum Training perlu untuk tetap diadakan secara

terencana, terstruktur, dan berkelanjutan.

2. Alat-alat peraga matematis, semuanya sebaiknya dibuatkan

video pembelajarannya dengan pola yang benar-benar mirip

dengan cara guru menyampaikan materi penbelajaran di

kelas SLB, lengkap dengan narasi atau penjelasan guru,

disertai dengan Bahasa Isyaratnya. Tujuannya agar ada

kesamaan cara dalam penyampaian materi ajar berbasis alat

peraga matematis, dan alat peraga matematis ini bisa

dimanfaatkan untuk para siswa yang Tunagrahita,

Tunanetra, atau Tunarungu. Selain itu juga dapat dipakai

guru sebagai panduan dalam mengajarkan materi dalam

suasana yang Joyful Learning. Video dapat diulang berkali-

kali, dan guru dapat berkonsentrasi untuk para siswa SLB

yang benar-benar sangat membutuhkan bantuan.

[92]

DAFTAR PUSTAKA

Adebisi, R. O., Liman, N. A., & Longpoe, P. K. (2015). “Using

Assistive Technology in Teaching Children with Learning

Disabilities in the 21st Century”. Journal of Education and

Practice, 6(24): 14-20.

Akakandelwa, A., & Munsanje, J. (2012). Provision of learning and

teaching materials for pupils with visual impairment:

Results from a national survey in Zambia. British Journal

of Visual Impairment, 30(1), 42-49.

Alcock, S. (2010). “Young children’s playfully complex

communication: Distributed imagination”. European Early

Childhood Education Research Journal, 18(2): 215-228.

Aly, H. S., & Abdulhakeem, H. D. (2016). Assessment of Training

Programs for Elementary Mathematics Teachers on

Developed Curricula and Attitudes towards Teaching in

Najran-Saudi Arabia. Journal of Education and

Practice, 7(12), 1-6.

Andrée, M., & Lager-Nyqvist, L. (2013). Spontaneous play and

imagination in everyday science classroom practice. Research

in science education, 43(5), 1735-1750.

Aosi, G., (2019). STEM Based Learning to Create Joyful Investigating

Pumpkins for Mathematical Learning on Primary

School. INVOTEK: Jurnal Inovasi Vokasional dan

Teknologi, 19(1), 113-120.

Bakker, M., van den Heuvel‐Panhuizen, M. & Robitzsch, A., (2016).

Effects of mathematics computer games on special

education students' multiplicative reasoning ability. British

Journal of Educational Technology, 47(4), 633-648.

Beal, C. R., & Rosenblum, L. P. (2018). Evaluation of the effectiveness

of a tablet computer application (App) in helping students

with visual impairments solve mathematics

problems. Journal of visual impairment &

blindness, 112(1), 5-19.

Black, J. E., & Barnes, J. L. (2017). Measuring the unimaginable:

Imaginative resistance to fiction and related

constructs. Personality and Individual Differences, 111, 71-

79.

[93]

Burns, M. (2011). Distance education for teacher training: Modes,

models and methods. Washington, DC: Education

Development Center.

Caiman, C., & Lundegård, I. (2018). Young children’s imagination in

science education and education for sustainability. Cultural

Studies of Science Education, 13(3), 687-705.

Conklin, H. G. (2014). Toward more joyful learning: integrating play

into frameworks of middle grades teaching. American

Educational Research Journal, 51(6), 1227-1255.

Crespi, B., Leach, E., Dinsdale, N., Mokkonen, M., & Hurd, P. (2016).

Imagination in human social cognition, autism, and psychotic-

affective conditions. Cognition, 150, 181-199.

Dwijanto. 2007. Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah Berbantuan

Komputer terhadap Pencapaian Kemampuan Pemecahan

Masalah dan Berpikir Kreatif Matematika Mahasiswa.

Disertasi. Bandung: Program Pascasarjana Pendidikan

Matematika – Universitas Pendidikan Indonesia.

Fleming, J., Gibson, R., Anderson, M., Martin, A. J., & Sudmalis, D.

(2015). Cultivating imaginative thinking: teacher strategies

used in high-performing arts education classrooms.

Cambridge Journal of Education, 46(4), 435–453.

Ho, H.-C., Wang, C.-C., & Cheng, Y.-Y. (2013). Analysis of the

Scientific Imagination Process. Thinking Skills and Creativity,

10, 68–78.

Hudson, M. E., Zambone, A., & Brickhouse, J. (2015). Teaching Early

Numeracy Skills Using Single Switch Voice-Output Devices

to Students with Severe Multiple Disabilities. Journal of

Developmental and Physical Disabilities, 28(1), 153–175.

Hudson, ME., Rivera, CJ., & Grady, M. (2018). Research on

Mathematics Instruction with Students with Significant

Cognitive Disabilities: Has Anything Changed?. Research and

Practice for Persons with Severe Disabilities. 43(1), 38 –53

Junaedi, Iwan et al. (2015). Disclosure Causes of Students Error in

Resolving Discrete Mathematics Problems Based on NEA as

A Means of Enhancing Creativity. International Journal of

Education. Macrothink Institute. 7(4), ISSN 1948-5476.

Kwon, J., Kim, H., & Kim, J. (2015). The Meaning and Educational

Value of Imagination Through Dewey’s Concept of

[94]

Experience. Procedia - Social and Behavioral Sciences,

174, 1994–1996.

Lane, J. D., Ronfard, S., Francioli, S. P., & Harris, P. L. (2016).

Children’s imagination and belief: Prone to flights of fancy

or grounded in reality? Cognition, 152, 127–140.

Lersilp, T. (2016). Assistive Technology and Educational Services for

Undergraduate Students with Disabilities at Universities in

the Northern Thailand. Procedia Environmental Sciences

36. 61 – 64.

Liang, Chaoyun, Chang, Ch-Cheng, Chang, Yuhsuan, & Lin, Li-Jhong.

(2012). The Exploration of Indicators of Imagination. The

Turkish online Journal of Educational Technology. 11(3),

366-374.

Liang, C., & Chang, C.-C. (2014). Predicting scientific imagination

from the joint influences of intrinsic motivation, self-

efficacy, agreeableness, and extraversion. Learning and

Individual Differences, 31, 36–42.

Liang, C., Chang, C.-C., Liang, C.-T., & Liu, Y.-C. (2017). Imagining

future success: Imaginative capacity on the perceived

performance of potential agrisocio entrepreneurs. Thinking

Skills and Creativity, 23, 161–174.

Magid, R. W., Sheskin, M., & Schulz, L. E. (2015). Imagination and

the generation of new ideas. Cognitive Development, 34,

99–110.

Obradoviü, et al. (2015). Creative Teaching with ICT Support for

Students with Specific Learning Disabilities. Procedia -

Social and Behavioral Sciences 203, 291–296.

Ownby, R. L., Acevedo, A., Waldrop-Valverde, D., Jacobs, R. J., &

Caballero, J. (2014). Abilities, skills and knowledge in

measures of health literacy. Patient Education and

Counseling, 95(2), 211–217.

Räty, et al. (2016). Teaching Children with Intellectual Disabilities:

Analysis of Research-Based Recommendations. Journal of

Education and Learning; 5(2), 318-336.

Satsangi, R, Hammer, R, & Evmenova, AS. (2018). Teaching

Multistep Equations with Virtual Manipulatives to

Secondary Students with Learning Disabilities. Learning

Disabilities Research & Practice, 33(2), 99–111.

[95]

Shen, T. (2012). Inspiring the Creativity and Imagination of University

Students During Creative Curriculum by Teaching Design.

Procedia - Social and Behavioral Sciences, 45, 615–620.

Stapleton, A. J. (2018). Imagery, intuition and imagination in quantum

physics education. Cultural Studies of Science Education,

13(1), 227–233.

Sugiman, Sugiharti, E. & Kurniawati, N.F., (2018), March. Growing of

the mathematical thinking imaginative to students in

designing of the teaching aids for CWD towards to joyful

learning. In Journal of Physics: Conference Series, 983(1),

p. 012079). IOP Publishing.

Sugiman, Suyitno, H, & Junaedi, I., (2019), October. Utilization of

manipulative teaching aids to grow the numerical ability of

students with disabilities. In Journal of Physics:

Conference Series, 1321(2), p. 022097. IOP Publishing.

Suyitno, Hardi. (2008). Hubungan antara Bahasa dengan Logika dan

Matematika Menurut Pemikiran Wittgenstein. Humaniora.

Jurnal Budaya, Sastra, dan Bahasa. Fakultas Ilmu Budaya

UGM. Vol. 20 Nomor 1. ISSN: 0852-0801.

Tan, P & Kastberg, S. (2017). Calling for Research Collaborations

and the Use of Disability Studies in Mathematics

Education. Journal of Urban Mathematics Education.

10(2), 25-38

Van Garderen, D., Scheuermann, A. & Poch, A.L., (2019). Special

Education Teachers’ Perceptions of Students’ With

Disabilities Ability, Judge, S. and Watson, S.M., (2011).

Longitudinal outcomes for mathematics achievement for

students with learning disabilities. The Journal of

Educational Research, 104(3),147-157.

Wang, C.-C., Ho, H.-C., & Cheng, Y.-Y. (2015). Building a learning

progression for scientific imagination: A measurement

approach. Thinking Skills and Creativity, 17, 1–14.

Wang, C.-C., Niemi, H., Cheng, C.-L., & Cheng, Y.-Y. (2017).

Validation of learning progression in scientific imagination

using data from Taiwanese and Finnish elementary school

students. Thinking Skills and Creativity, 24, 73–85.

Wei C.W et al. (2011). A Joyful Classroom Learning System with

Robot Learning Companion for Children to Learn

Mathematics Multiplication. TOJET: The Turkish Online

Journal of Educational Technology – April 2011, 10(2).

[96]

Wibowo, T., Sutawidjaja, A., As’ari, A. R., & Sulandra, I. M. (2017).

The Stages of Student Mathematical Imagination in

Solving Mathematical Problems. International Education

Studies, 10(7), 48.

Wong, L., Manson, G. A., Tremblay, L., & Welsh, T. N. (2013). On the

relationship between the execution, perception, and

imagination of action. Behavioural Brain Research, 257,

242–252.