Buku Panduan - Jaringan Tata Kelola...

22
Buku Panduan Pelaksanaan AssessmentKondisi Tata Kelola Sektor Kehutanan di Tingkat Pemerintahan Kabupaten/Kota Dengan Menggunakan Instrumen LGI (LULUCF Sector Governance Index) [Indonesian Center for Environmental Law] [Seknas FITRA] [The Asia Foundation] 2013

Transcript of Buku Panduan - Jaringan Tata Kelola...

Buku Panduan

Pelaksanaan AssessmentKondisi Tata Kelola Sektor Kehutanan di

Tingkat Pemerintahan Kabupaten/Kota Dengan Menggunakan

Instrumen LGI (LULUCF Sector Governance Index)

[Indonesian Center for Environmental Law]

[Seknas FITRA]

[The Asia Foundation]

2013

2 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI

Daftar Isi

Penjelasan Singkat Instrumen LGI 4 a. Apa itu Isntrumen LGI ? 4 b. Kenapa Instrumen LGI menjadi penting ? 6 c. Waktu Pelaksanaan Penelitian 9 d. Dimana Pelaksanaan Penelitian 9 e. Bagaimana menggunakan Instrumen LGI 9

Panduan Penggunaan Instrumen Bagian I 11 a. Pengantar 11 b. Metodologi 11 c. Teknik Pengisian Instrumen Bagian I 12

Panduan Penggunaan Instrumen Bagian II 16 a. Pengantar 16 b. Metodologi 16 c. Prinsip dan Indikator Penyusun Index 16 d. Ruang Lingkup Penelitian 19 e. Teknik Pengisian Instrumen Bagian II 21

3 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI

Daftar Gambar

Gambar 1 Peta Konsep Instrumen LGI 5 Gambar 2 Deforestasi Berdasarkan Fungsi Kawasan Periode 2000-2009 8 Gambar 3 Alur Uji Akses Informasi TKHL 15 Gambar 4 Prinsip dan Indikator Penyusun Index 17 Gambar 5 Ruang Lingkup Tata Kelola Sektor Hutan dan Lahan Yang

Menjadi Objek Penelitian 21

Gambar 6 Penjelasan Komponen Pertanyaan dalam Istrumen Bagian II 22

Daftar Tabel

Tabel 1 Rekapitulasi Tutupan Lahan di dalam Kawasan Hutan dan APL 7 Tabel 2 Angka Deforestasi di dalam Kawasan dan APL 8 Tabel 3 Alat Verifikasi Instrumen 13 Tabel 4 Definisi Operasional 18

4 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI

Penjelasan Singkat Instrumen LGI

Apa itu Instumen LGI ?

Instrumen LULUCF Sector Governance Sector (selanjutnya disingkat LGII) adalah

instrumen untuk mengukur kondisi tata kelola pemerintahan daerah kabupaten/kota dalam

penyelenggaraan pemerintahan di sektor kehutanan dan lahan dari sudut pandang

masyarakat sipil. LULUCF sendiri merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk pada

aktivitas penggunaan lahan, perubahan peruntukan lahan, dan kehutanan yang

berkontribusi pada peningkatan dan penyerapan emisi gas rumah kaca.1

Instrumen LGI terdiri dari seperangkat pertanyaanyang ditujukan untuk aktor

penyelenggara urusan pemerintah di sektor kehutanan di tingkat kabupaten/kotayang

dapat diperoleh melalui serangkaian wawancara, penelusuran bahan pustaka, dan diskusi

terfokus dengan aktor-aktor kunci. ,

Pertanyaan-pertanyaan yang terangkum dalam instrumen LGI merupakan penjabaran dari

prinsip-prinsip good governancebeserta indikator pelaksananya yang disepakati sebagai

prinsip yang penting dan krusial untuk diterapkan guna mewujudkan pembaharuan dan

perbaikan tata kelola penyelenggaraan pemerintahan di sektor kehutanan.

Empat prinsip good governance yang digunakan dalam instrument ini adalah: Transparansi,

Partisipasi, Akuntabilitas, Koordinasi. Instrumen ini akan digunakan untuk mengukur

bagaimana keempat prinsip ini diterapkan dalam aktivitas tata kelola dalam

penyelenggaraan urusan pemerintahan di sektor kehutanandi tingkat Kabupaten/Kota

yang dibagi berdasarkan tahapan : Perencanaan; Pengelolaan; Pengawasan dan

Penegakan Hukum. Pengelompokan aktivitas tata kelola ini merujuk pada peraturan

perundang-undangan, khususnya UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, PP No. 38

Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pusat dan Daerah, serta

peraturan pelaksana perundang-undangan yang terkait.2 Selengkapnya struktur instrumen

LGI dapat dilihat dalam peta konsep berikut :

1 Untuk memahami definisi dan ruang lingkup terminologi LULUCF dapat melihat Kerangka Acuan dan Studi

Pelingkupan LGI (ICEL, November 2012). 2 Daftar peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang dijadikan rujukan dalam menyusun dan

mengelompokan aktivitas tata kelola penyelenggaraan urusan pemerintahan di tingkat kabupaten dapat dilihat di “Matriks Dasar Hukum dan Analisis Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Sektor Kehutanan” di dokumen Studi Pelingkupan LGI.

5 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI

Kenapa Instrumen LGI menjadi penting?

Berbagai studi menunjukan bahwa buruknya tata kelola berkontribusi besar terhadap

terjadinya deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia3. Buruknya tata kelola terjadi di

semua level pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Di tingkat daerah, kondisi

ini menjadi semakin kompleks sebagai akibat dari penerapan desentralisasi dan otonomi

daerah. Sebagai mandat reformasi politik, otonomi daerah bertujuan untuk mendekatkan

pelayanan publik kepada masyarakat, sehingga keberadaan pemerintahan jelas terasa

manfaatnya bagi masyarakat di daerah. Untuk itu melalui UU No. 32 Tahun 2004 jo.PP No.

38 Tahun 2007, dilakukan pembagian dan pelimpahan kewenangan dalam

penyelenggaraan urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan daerah, termasuk 3Giorgio Budi Indarto et.al, The Context of REDD+ in Indonesia: Driver, Agents, and Institution, (Bogor: ICEL and

CIFOR, 2012),

6 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI

didalamnya pembagian kewenangan dalam pemberian perizinan yang berkaitan dengan

penggunaan dan pemanfaatan hutan / lahan.4

Pelimpahan kewenangan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di sektor hutan

dan lahan, khususnya dalam pemberian perizinan di satu sisi dapat membantu

mendongkrak pertumbuhan ekonomi daerah. Namun hal ini juga dapat menjadi bumerang

bagi kelestarian lingkungan hidup, sebab pelimpahan kewenangan pemberian perizinan

cenderung mendorong daerah untuk mengobral izin tanpa memperhatikan daya dukung

dan daya tampung lingkungan hidup. Dalam beberapa kasus, kewenangan ini juga

mendorong praktek korupsi berkenaan dengan penerbitan perizinan di areal yang tidak

sesuai dengan peruntukannya.5 Dengan memperhatikan hal tersebut, maka perbaikan tata

kelola dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di tingkat kabupaten/kota juga

menjadi penting.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan kehutanan yang berlaku, kewenangan

pengelolaan kawasan hutan dimiliki oleh Pemerintah Pusat Cq. Kementerian Kehutanan.

Sementara itu areal berhutan yang bukan kawasan hutan, yakni yang berada dalam Areal

Penggunaan Lain (APL) menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Statistik Kehutanan

Indonesia tahun 2012 menunjukan bahwa areal berhutan Indonesia mencapai 99.587,3 Juta

Ha dimana 8.632,1 Juta Ha-nya berada di APL (bukan kawasan hutan).6

Tabel 1

Rekapitulasi Tutupan Lahan di Dalam Kawasan Hutan dan di Luar Kawasan Hutan

(dalam juta Ha), Statistik Kehutanan Indonesia 2012

No Jenis Tutupan Kawasan Hutan

APL Total

1 Hutan 90.955,2 8.632,1 99.587,3 a. Hutan Primer 45.516,0 928,4 46.444,4 b. Hutan Sekunder 42.460,8 6.229,5 48.690 c. Hutan Tanaman 2.987,4 1.474,2 4.452,6 2 Non-Hutan 42.507,1 45.664,5 88.171,5 3 Tidak ada data 51,5 30,6 82,1

4Lihat “Matriks Analisis Pembagian Kewenangan Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Pusat dan Daerah

Untuk Sektor Hutan dan Lahan dalam Instrumen LGI” di Lampiran Studi Pelingkungan LGI (ICEL, 2012). 5Lihat misalnya kasus suap kepada mantan Bupati Buol, Amran Batalipu untuk penerbitan Izin Usaha

Perkebunan (IUP) di areal yang masih berstatus kawasan hutan. 6Kementerian Kehutanan, Statistik Kehutanan Indonesia 2012, berdasarkan hasil penafsiran citra Landsat 7

ETM liputan tahun 2009/2010.

7 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI

Total 133.513,8 54.327,2 187.840,9

Oleh karena kewenangan pengelolaan APL berada di tangan pemerintah kabupaten/kota,

terdapat kecenderungan untuk melakukan perubahan peruntukan lahan di APL, khususnya

untuk kebutuhan ekspansi perkebunan berskala besar.7 Berdasarkan laporan pemerintah

kepada UNFCCC dalam 2nd National Communication tahun 2010 disebutkan bahwa laju

defroestasi mencapai 1,1 juta Ha per tahun, dimana deforestasi di APL menempati urutan

kedua dengan kontribusi sebesar 24% dan areal Hutan Produksi di urutan pertama sebesar

54%. Sementara itu berdasarkan catatan Forest Watch Indonesia (FWI) pada periode 2000-

2009deforestasi paling banyak justru terjadi di APL yaitu sebesar 7,31 Juta Ha atau sekitar

57,64% dari luas areal berhutan disusul Hutan Produksi Tetap sebesar 5,87 Juta Ha atau

sekitar 25,55% dari luas areal berhutan.8

Tabel 2

Angka Deforestasi di Dalam dan di Luar Kawasan Hutan (APL) Periode 2009/201

(Ha/Tahun), Statistik Kehutanan Indonesia, 20129

NO JENIS TUTUPAN KAWASAN HUTAN

APL TOTAL

1 Hutan Primer 17.907,4 2.598,6 20.506,0 2 Hutan Sekunder 526.370,1 205.685,2 732.055,3 3 Hutan Lainnya 66.098,4 13.467,1 79.565,6 610.375,9 221.751,0 832.126,9

7 Sebagai konsekuensi pendefinisian hutan berdasarkan aspek legal sebagaimana diadopsi UU No. 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan, dimungkinkan adanya areal berhutan yang bukan kawasan hutan dan karenanya pengelolaannya bukan menjadi kewenangan Kementerian Kehutanan. Oleh karena itu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan pengelolaan dan pemanfaatan APL menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Dalam konteks pemberian izin peruntukan di APL (misalnya untuk perkebunan), Permenhut No. P 11/Menhut-II/2011 jo. Permenhut No. P.20/Menhut-II/2013 mempertegas kewenangan pemerintah Kabupaten/Kota dengan memberikan kewenangan untuk menerbitkan IPK (Izin Pemanfaatan Kayu) di APL. 8 Forest Watch Indonesia, Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2000-2009, (Bogor: Forest Watch

Indonesia), Hal. 20-21 9 Kementerian Kehutanan, Op. Cit. Data diolah dari pencitraan per Desember 2011.

8 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI

Dengan fakta tersebut, maka pembaruan tata kelola penyelenggaraan urusan

pemerintahan di sektor kehutanan dan lahan untuk tingkap Kabupaten /Kota menjadi

penting. Dalam konteks inilah instrumen LGI mengisi kekosongan instrumen pengukuran

tata kelola hutan dan lahan di tingkat kabupaten/kota. Dengan instrumen ini dapat

diperoleh capaian angka indeks tata kelola yang mencakup transparansi, partisipasi,

akuntabilitas, dan koordinasi. Dengan adanya angka indeks ini diharapkan dapat

membantu pemerintah daerah dalam menentukan prioritas pembenahan tata kelola agar

menjadi lebih baik.

Gambar 2

Deforestasi Berdasarkan Fungsi Kawasan Periode 2000-2009 (FWI, 2010)

Kapan pelaksanaannnya? Pengukuran kondisi tata kelola hutan dan lahan menggunakan instrumen LGI dilakukan

dalam kerangka program SETAPAK dengan dukungan dari The Asia Foundation dan UK-

Climate Change Unit (UKCCU). Dalam kerangka SETAPAK, pengukuran indeks LGI menjadi

indikator untuk melihat sejauhmana intervensi programberkontribusi terhadap pembaruan

tata kelola kehutanan di tingkat kabupaten/kota. Oleh karena itu pelaksanaan pengukuran

tata kelola menggunakan instrumen tata kelola akan dilaksanakan dalam 2 tahapan.

Tahapan pertama mengukur kondisi existing praktek tata kelola sebelum berlangsungnya

inisiatif proyek SETAPAK (2012), sementara tahap kedua dilakukan menjelang proyek

9 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI

SETAPAK berakhir (2015). Dengan demikian diharapkan dapat terlihat sejauhmana

kontribusi program terhadap perbaikan tata kelola di tingkat kabupaten/kota.

Selain itu hasil assessmentpada tahapan pertama juga akan menjadi baseline yang menjadi

pijakan bagi masyarakat untuk mendorong pembaruan tata kelola di daerah masing-

masing, sehingga intervensi yang dilakukan lebih terarah dan signifikan.

Dimana Dilaksanakan Pengukuran Menggunakan Instrumen LGI ? Dengan memperhatikan keragaman karakteristik ekoregion Indonesia, diharapkan pengukuran tata kelola di sektor hutan dan lahan tingkat Kabupaten/Kota dapat dilakukan di seluruh wilayah yang merepresentasikan setiap ekoregion. Dengan demikian dapat diperoleh gambaran utuh kondisi tata kelola pemerintahan daerah di Indonesia dalam pengelolaan hutan dan lahan. Saat ini pelaksanaannya dilakukan di areal yang menjadi lokasi proyek Setapak yakni : Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, dan Sumatra Selatan.

Bagaimana Penggunaan Instrumen LGI ?

Instrumen LGI terdiri dari 2 (dua) bagian:

a. Bagian I, berisi perangkat instrumen uji akses dokumen-dokumen berkaitan dengan

pengelolaan hutan dan lahan di tingkat kabupaten/kota.

Bagian I berisi dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penyelenggaraan

pemerintahan sektor hutan dan lahan di tingkat daerah (dokumen RTRW, perizinan,

amdal, dsb) yang harus didapatkan oleh peneliti melalui mekanisme uji akses sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 14 Tahun

2008).Penjelasan lebih lanjut lihat halaman 10

b. Bagian II, berisi perangkat instrumen pengukuran penerapan prinsip tata kelola

pemerintahan yang baik dalam pengelolaan hutan dan lahan yang mencakup :

pengukuran prinsip transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan koordinasi.

Bagian II berisi pertanyaan-pertanyaan yang bertujuan untuk menguji sejauhmana

pemerintah daerah telah menerapkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang

baik dalam pengelolaan hutan dan lahan. Pertanyaan dalam Bagian II diturunkan dari

indikator penyusun prinsip yang sesuai dengan definisi operasional yang disepakati.

Penjelasan lebih lanjut lihat halaman 15

10 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI

Panduan Penggunaan Instrumen LGI Bagian I

(Uji Akses Informasi Berkaitan Dengan Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan

di Sektor Hutan dan Lahan Untuk Tingkat Pemerintahan Kabupaten/Kota )

A. Pengantar

Manual yang berada di tangan pembaca adalah panduan untuk mengisi instrumen uji akses

informasi Tata Kelola Hutan Dan Lahan (TKHL). Sebuah study yang bertujuan untuk

mengukur tingkat transparansi tata kelola hutan dan lahan, dimana di dalamnya juga

termasuk tata kelola anggaran daerah. Instrumen saat ini diadopsi dari instrumen Local

Budget Index (LBI) yang telah dilakukan Seknas FITRA pada tahun 2009 sampai 2011.

Dalam hal pengukuran aksesibilitas dokumen anggaran, studi ini tetap mengacu pada UU

11 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI

No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang telah diberlakukan

sejak tahun 2010.

Uji akses informasi TKHL pada prinsipnya hampir sama dengan uji transparansi dalam LBI.

Perbedaan yang paling nampak adalah pada jenis dokumen yang akan diuji akses. Studi

saat ini memasukan informasi-informasi tata kelola hutan dan lahan sebagai informasi

yang juga akan diuji akses, selain informasi-informasi pengelolaan anggaran.

Transparansi dalam studi ini didefinisikan sebagai tingkat keterbukaan pemerintah dalam

menyediakan dan membuka akses informasi pada setiap tahapan perencanaan

penganggaran secara sistematis, serta melembagakan pejabat khusus untuk keterbukaan

informasi. Definisi ini dioperasionalisasikan menjadi :

a. Ketersediaan informasi pengelolaan anggaran daerah dan TKHL

b. Aksesibilitasinformasi pengelolaan anggaran daerah dan TKHL

c. Keterbukaan proses pengelolaan anggaran daerah dan TKHL

B. Metodologi

Uji akses informasi TKHL merupakan evidence based study dengan pendekatan kuantitatif.

Oleh karenanya, hasil studi ini akan menggambarkan tingkat transparansi daerah studi

berupa skor dengan interval 0 (nol) sampai 100 (seratus). Secara umum, metodologi yang

digunakan dalam studi ini mengacu pada uji transparansi yang dilakukan pada studi LBI

sebelumnya. Pengisian instrumen ini hanya bisa dilakukan dengan didukung oleh alat

verifikasiyang dapat dipertang-gungjawabkan secara objektif. Untuk itu, hanya dokumen-

dokumen yang terkait penganggaran, penataan ruang dan perijinan (perkebunan dan

pertambangan) yang dapat dijadikan sebagai alat verivikasi.

Dalam uji akses informasi TKHL tidak diperkenankan menggunakan alat verifikasi berupa

hasil wawancara maupun hasil FGD. Keduanya hanya menjadi informasi data kualitatif

yang tidak digunakan dalam penghitungan skor akhir studi uji akses informasi TKHL.

C. Teknik Pengisian Instrumen Bagian I

Terdapat 39 dokumen yang akan diuji. Masing-masing pertanyaan pada instrumen ini

memberikan 4 alternatif jawaban bagi assessor. Namun demikian, setiap pilihan jawaban

memiliki jenis alat verifikasi masing-masing. Dengan demikian, assessor hanya bisa mengisi

instrumen sesuai alat verifikaksi yang dimiliki. Mekanisme akses dokumen anggaran ini

merujuk ke UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Peraturan

Komisi Informasi No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Informasi Publik.

Berikut langkah-langkah untuk mengisi instrumen:

12 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI

Langkah 1;

Buka situs resmi pemerintah daerah dan/atau cari media massa / media cetak (seperti;

pamflet) yang mempublikasikan dokumen yang diuji dalam penelitian ini. yang dimaksud

dengan “dokumen yang dipublikasikan” dalam instrumen ini adalah dokumen lengkap yang

memuat informasi dan penjabarannya, atau berupa ringkasan substantif dokumen tersebut.

Ringkasan substantif dapat masuk kategori status dipublikasikan jika ada keterangan bahwa

“masyarakat bisa memperoleh informasi lengkap dengan menghubungi pejabat tertentu”

atau semisalnya.

Langkah 2;

Jika tidak menemukan dokumen anggaran yang diuji dalam website atau media massa

lainnya, buatlah surat resmi lembaga anda perihal permintaan dokumen yang diuji di

dalam instrumen ini. Tujukan Surat kepada Sekretaris Daerah (Sebagai Pelaksana

pemerintahan daerah) dengan melampirkan seluruh dokumen yang akan diuji sebagaimana

tabel dibawah. Asesor juga perlumenyampaikan surat tersebut kepada SKPD/OPD yang

memiliki dan menguasai dokumen tersebut (selain Pejabat tertinggi di SKPD/OPD yang

dituju, Assesor perlu mengidentifikasi bagian atau unit dalam SKPD/OPD yang menguasai

informasi tersebut).

Jika SKPD/OPD memberikan respon dan/atau dokumen yang diminta, hal itu menunjukan

bahwa status dokumen tersebut tersedia dan dapat diminta dengan permintaan. Silahkan

centang jawaban “B” (tersedia dan dapat diminta dengan permintaan).

Centang pada kolom “B.i” jika assessor memperoleh respon dan/atau dokumen yang

diminta antara 1-10 hari kerja setelah surat dikirim.

Centang pada kolom “B.ii.” jika assessor memperoleh surat pemberitahuan dan/atau

dokumen yang diminta antara 11-17 hari kerja setelah surat dikirim.

Centang pada kolom “B.iii” jika assesor memperoleh surat pemberitahuan dan/ atau

dokumen yang diminta antara 18-45 hari kerja setelah surat dikirim.

Langkah 3;

Centang kolom “C” (tersedia tetapi tidak bisa diminta) jika SKPD/OPD terkait mengirim surat

penjelasan bahwa dokumen yang diminta tidak bisa diberikan berikut dengan alasannya.

Langkah 4;

Dokumen yang dimuat dalam media cetak yang dipublikaksikan oleh pemerintah

daerah dan untuk kalangan terbatas, tidak dapat dijadikan sebagai alat verifikasi.

Karena media publikasi yang digunakan terbatas. Seperti “Buletin Legislatif” yang hanya

dibagikan kepada anggota legislatif saja.

13 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI

Centang kolom “D” (Tidak tersedia) jika assessor tidak mendapat keterangan atau respon

dari SKPD/OPD terkait, sehungan dengan surat permintaan dokumen yang telah dikirimkan.

Alat verifikasi Instrumen

Alternatif jawaban Alat Verivikasi yang Harus Ada

A) Tersedia dan Dipublikasikan

Link website/ media massa/ pamplet/ leaflet atau foto yang menjelaskan bahwa dokumen dipublikasikan.

B) Tersedia dan Dapat diminta dengan permintaan

B.i. antara 1-10 hari kerja 1. Surat permintaan assessor kepada pemerintah daerah, dan

2. Surat pemberitahuan dari pemerintah daerah untuk memberikan dokumen yang diminta

3. Dokumen yang diperoleh

B.ii. antara 11-17 hari kerja 1. Surat permintaan assessor kepada pemerintah daerah, dan

2. Surat pemberitahuan pemerintah daerah untuk memperpanjang masa pemberitahuannya

3. Dokumen yang diperoleh

B.iii. antara 18-45 hari kerja 1. Surat permintaan assessor kepada pemerintah daerah, dan

2. Surat pemberitahuan pemerintah daerah untuk memperpanjang masa pemberitahuannya

3. Surat keberatan permohonan informasi 4. Dokumen yang diperoleh

C) Tersedia tetapi tidak bisa diperoleh

1. Surat permintaan assessor kepada pemerintah daerah, dan

2. Surat keterangan pemberitahuan dari badan publik bahwa dokumen yang diminta tidak bisa diakses

D) Dokumen tidak dibuat atau tidak Tersedia

1. Surat permintaan assessor kepada pemerintah daerah, dan

2. Tidak ada keterangan dari pemerintah daerah

14 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI

Penting …!

Tidak termasuk kategori status “dipublikasikan” :

Informasi yang dipublikasikan di media yang terbatas. Seperti majalah yang hanya

khusus bagi anggota DPRD saja.

Informasi yang dimuat dalam penggalan berita atau artikel di media cetak atau

elektronik.

15 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI

Alur Uji Akses Informasi TKHL

Uji Akses InformasiTKHL

Cek website resmi pemerintah daerah/ SKPD/ OPD/ Bappeda atau media masa

(koran, majalah yang bukan berita/ artikel) / poster/ brosur

Tersedia dan bisa

diunduh

Centang

“A”

Tidak tersedia

Buat dan kirim surat permintaan

dokumen ke SKPD/ OPD terkait

Direspon/ diperoleh

dokumen

Centang

“B”

Dokumen Tidak

Diperoleh

Dengan surat pemberi-

tahuan dan alasan tidak

bisa diakses

Centang

“C”

tanpa surat pemberi-

tahuan dan alasan tidak

bisa diakses

Centang

“D”

Jika berbentuk ringkasan

Dokumen dapat

diperoleh

Dokumen tidak

dapat diperoleh

16 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI

Panduan Penggunaan Instrumen LGI Bagian II (Pengukuran Penerapan Prinsip Transparansi, Partisipasi, Akuntabilitas, dan Koordinasi

dalam Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan di Sektor Hutan dan Lahan

Tingkat Kabupaten/Kota)

A. Pengantar

Persoalan good governance merupakan persoalan yang kompleks, sehingga untuk

menumbuhkan kesadaran publik sekaligus meningkatkan perhatian pembuat kebijakan

terhadap urgensi perbaikan tata kelola pemerintahannya perlu upaya-upaya yang kreatif.

Inisiatif pengukuran kondisi tata kelola pemerintahan berbasis index seperti yang dilakukan

oleh Transparency International dengan Corruption Perception Index (CPI) merupakan salah

satu contoh sukses yang dapat direplikasi di sektor lain, dalam hal ini di sektor kehutanan.

CPI atau Index persepsi korupsi (IPK) yang disajikan dalam bentuk angka dan rangking

tentu akan lebih mudah dipahami oleh publik bila dibandingkan dengan laporan

assessmentyang rumit dan tekadang menggunakan bahasa teknis yang tidak familiar bagi

masyarakat umum. Oleh karena penyajiannya yang mudah dipahami, nilai IPK yang

dipublikasikan setiap tahun tidak hanya menjadi perbincangan publik melainkan juga

menjadi pertimbangan bagi pembuat kebijakan dalam melaksanakan inisiatif

pembaharuan tata kelola pemerintahan. Di Indonesia, perbaikan nilai IPK bahkan menjadi

target reformasi birokrasi yang dicanangkan setiap tahunnya.

Berkaca dari kesuksesan pengukuran tata kelola pemerintahan yang baik berbasis index,

ICEL, FITRA, dengan dukungan The Asia Foundation menyusun instrumen pengukuran

kondisi tata kelola pemerintahan yang baik di sektor kehutanan dan lahan untuk tingkat

kabupaten/kota, yang kami beri nama Instrumen LULUCF Sector Governance Index

(selanjutnya disingkat Instrumen LGI).

Panduan ini merupakan panduan untuk penggunaan Instrumen LGI bagian II yang berisi 41

pertanyaan untuk mengukur tingkat transparansi, 38 pertanyaan mengukur tingkat

partisipasi, 12 pertanyaan mengukur tingkat koordinasi, dan 39 pertanyaan mengukur

tingkat akuntabilitas dalam pengelolaan hutan dan lahan untuk tingkat pemerintahan

kabupaten/kota.

B. Metodologi Yang Digunakan

Studi ini merupakan evidence based study dengan pendekatan kuantitatif. Oleh

karenanya, hasil studi ini akan menggambarkan tingkat transparansi, partisipasi,

akuntabilitas, dan koordinasi di daerah studi berupa skor dengan interval 0 (nol) sampai 100

(seratus).

17 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI

Pengisian instrumen ini hanya bisa dilakukan dengan didukung oleh alat verifikasiyang

dapat dipertang-gungjawabkan secara objektif. Terdapat tiga jenis alat verifikasi yang

digunakan dalam studi ini yaitu10:

a. Dokumen;

b. hasil interview/ wawancara;

c. Hasil Focus Group Discussion (FGD);

Instrumen ini diisi oleh seorang assesor untuk satu daerah kabupaten/ kota yang menjadi

lokasi study. Instrumen yang sudah diisi selanjutnya akan diverifikasi oleh seorang

verifikator. Verifikator akan mengecek kembali apakah instrumen sudah diisi secara

konsisten dan didukung alat verifikasi yang memadai. Jika alat verifikasi dianggap kurang,

maka assesor akan diminta untuk melengkapinya.

C. Prinsip dan Indikator Penyusun Index

Pertanyaan dalam instrumen Bagian II diturunkan dari prinsip good governance dan

penjabarannya ke dalam beberapa indikator. Pemilihan prinsip dan indikator didasarkan

pada definisi operasional dari berbagai sumber dengan mempertimbangkan karakteristik

permasalahan kehutanan dan lahan di Indonesia. Penjelasan lebih lengkap mengenai

pemilihan prinsip dan indikator ini dapat dilihat di Studi Pelingkungan Instrumen LGI.

Cakupan prinsip dan indikator instrumen LGI dapat dilihat dalam Gambar ....

Gambar 3 Prinsip dan Indikator Penyusun Index

10

Selengkapnya alat verifikasi yang dapat digunakan silahkan melihat Buku saku Instrumen LGI.

18 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI

Tabel 4 Definisi Operasional Prinsip Good Governance

No Prinsip Definisi Operasional

1 Transparansi Upaya pemerintah dalam menyediakan dan menyampaikan informasi kebijakan dan proses pengambilan kebijakan kepada masyarakat

2 Partisipasi Tata pemerintahan yang mengedepankan keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan (Bappenas, 2002) Participation in governance involves the range of formal and informal ways in which menbers of a political community make their values, interest, and policy preferences known (Encylopedia of Governance, Mark Bevir (ed.), 2007) All men and women should have a voice in decision-making, either directly or through legitimate intermediate institution that represent their intention. Such broad of particiation is built on freedom of association and speech, as well as capacities to participate constructively. (UNDP, Governance and Sustainable Human Development, 1997)

3 Koordinasi Coordination between individuals, organizations, and institutions is an essential element of governance…..coordination refer to the process of interaction among more or less diverse stakeholder in the interest of common goal. (Encyclopedia of Governance, Mark Bevir (ed), 2007)

4 Akuntabilitas Akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan dituntut di semua tahap mulai dari penyusunan program kegiatan dalam rangka pelayanan publik, pembiayaan, pelaksanaan, dan evaluasinya, maupun hasil dan dampaknya. Akuntabilitas juga dituntut dalam hubungannya dengan masyarakat/publik, dengan instansi atau aparat di atas. Secara substansi, penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan pada sistem dan prosedur tertentu, memenuhi kriteria perundang-undangan, dapat diterima secara politis, berdasarkan pada metode dan teknik tertentu maupun nilai-nilai etika tertentu, serta dapat menerima konsekuensi apabila keputusan yang diambil tidak tepat. (Bappenas 2002) Accountability means that someone ( X ), who has been put in a position of responsibility ( r ) in relation to the interest of

19 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI

someone else ( Y ), is required to give an account to ( Y ) of how he has discharged his duties, and that, concomitantly, ( Y ) is in a position to either punish or reward ( X )’s conduct in relation to ( r ) (Encyclopiedia of Governance, Mark Bevir (ed), 2007)

D. Ruang Lingkup Pengelolaan Hutan dan Lahan Sebagai Objek Studi

Yang menjadi objek studi dalam kegiatan penelitian ini adalah penyelenggaraan urusan

pemerintahan di sektor hutan dan lahan untuk tingkat pemerintahan daerah

kabupaten/kota. Yang menjadi dasar untuk mengidentifikasi ragam aktivitas

penyelenggaraan urusan pemerintahan kabupaten/kota di sektor hutan dan lahan adalah11 :

a. UU N0. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

b. UU N0. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

c. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

d. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

e. PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Pusat dan Daerah

f. PP No. 6 Tahun 2007 jo. PP No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan

g. PP No. 45 Tahun 2004 jo. PP No. 60 Tahun 2009 tentang Perlindungan Hutan

h. PP No. 75 Tahun 2008 tentang Reklamasi dan Rehabilitasi Hutan

i. PP No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan

j. PP No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang

k. PP No. 68 Tahun 2010 tentang Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang

l. PP No. 60 Tahun 2012 jo. PP No. 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan

Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan

m. PP No. 61 Tahun 2012 jo. PP No. 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan

Hutan

n. PP No. 12 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan

o. Peraturan-peraturan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup

Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut dapat diketahui ruang lingkup

kewenangan pemerintah daerah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan hutan dan lahan

yang menjadi objek studi penelitian ini. Skema ruang lingkup yang menjadi objek

penelitian dalam instrumen LGI dapat dilihat dalam gambar berikut ini:

11

Identifikasi perundang-undangan yang memberikan kewenangan daerah dalam pengelolaan hutan dan lahan pada saat instrumen ini dibuat dilakukan pada tahun 2012. Dalam kurun setahun sejak disusun, tidak ada perubahan signifikan dari peraturan perundang-undangan tersebut. Daftar lengkap peraturan perundang-undangan yang digunakan serta analisisnya dapat dilihat di lampiran Kerangka Acuan dan Studi Pelingkupan LGI (ICEL, 2012).

20 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI

E. Tata Cara Pengisian Instrumen

Pada dasarnya pertanyaandalam instrumen Bagian II merupakan alat bantu untuk

pelaksanaan penelitian. Untuk menjawab pertanyaan yang disediakan peneliti dapat

melakukan penelusuran data dan informasi dengan melakukan rangkaian aktivitas berikut

ini :

a. Studi pustaka (penelusuran data dan informasi dari bahan tertulis, informasi

hukum/kebijakan dsb).

b. Wawancara mendalam dengan narasumber yang sudah diidentifikasi

c. Pengamatan di lapangan untuk melihat kondisi aktual.

Ketiga rangkaian tersebut idealnya dilakukan untuk menjawab pertanyaan sehingga

jawaban yang didapat memliliki validitas yang tinggi.

Berikut ini beberapa langkah yang harus diperhatikan dalam memperoleh data dan

informasi untuk menjawab pertanyaan Instrumen Bagian II :

21 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI

1. Interview narasumber

Narasumber yang dimaksud dalam study ini adalah aparatur pemerintahan daerah yang bertugas dan bertanggungjawab atas pengelolaan hutan dan lahan. Untuk bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di bagian II instrumen ini, maka assesor diharapkan dapat menentukan narasumber dan melakukan interview secara mendalam. Assesor diperkenankan membuat kesimpulan atas pernyataan yang dikatakan oleh narasumber.

Dan kesimpulan itu yang menjadi dasar untuk memberikan tanda “✓” pada kolom jawaban.

2. Konfirmasi keterangan narasumber

Perlu dicatat, bahwa keterangan seorang narasumber yang berlatarbelakang aparatur pemerintahan dianggap tidak cukup. Keterangan tersebut hanya dianggap sebagai informasi awal. Oleh karenanya, perlu dilakukan konfirmasi kepada pihak yang disebut objek tujuan informasi disampaikan. Misalnya, kepala dinas perkebunan menyatakan bahwa pembahasan Amdal perusahaan xx sudah disampaikan kepada masyarakat yang berpotensi terkena dampak. Berdasarkan keterangan tersebut, maka assesor perlu mengkonfirmasi pernyataan kepala dinas tersebut kepada masyarakat yang dimaksud oleh kepala dinas.

3. Verifikasi jawaban

Setelah mendapatkan informasi yang cukup untuk menjawab pertanyaan, maka assesor

diharapkan dapat melengkapi kolom alat verifikasi dengan menuliskan pernyataan

narasumber. Informasi narasumber yang perlu ditulis sebagai alat verifikasi pada bagian II

ini adalah nama, jabatan, no. Telepon, waktu dan tempat interview.

22 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI