BUKU LAPORAN STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH TAHUN ...
Transcript of BUKU LAPORAN STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH TAHUN ...
PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA BARAT
BUKU LAPORANSTATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH
TAHUN 2014
PADANG
MENTAWAI
Sipora
Sioban
Pulau Pagai Selatan
Sikakap
Muara Siberut
Muara Sikabaluan PROV. SUMATERA BARAT
-Created By : Ushalif Printing Padang-
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT 2014
Diterbitkan Oleh :
Bapedalda Provinsi Sumatera Barat
Jalan Khatib Sulaiman No. 22 Padang
Tel . 0751 7055231
Fax. 0751 70445232
Website. bapedalda.sumbarprov.go.id
Isi dan materi yang ada dalam buku ini boleh diproduksi dan disebarluaskan dengan tidak mengurangi isi dan arti
dari dokumen ini. Diperbolehkan mengutip isi buku ini dengan menyebutkan sumbernya.
Pelindung dan Pengarah:
Gubernur Sumatera Barat
Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Barat
Penanggung Jawab :
Kepala Bapedalda Provinsi Sumatera Barat
Koordinator :
Ir. Nasaruddin
Penulis : Desi Widia Kusuma, SSi; Dasril,SP; Ir. Vianti Zami; R. Rina Ariani, SE; Desrizal, ST; M. Sidik Pramono, ST; Prisilla
Yumeri, SE; Azizah, SE; Luce Dwinanda, SP; Dikarama Kaula, ST; Teguh Ariefianto, ST; Adirla Wirmanita, ST;
Novriyanti, ST; Widya Hayati Nufus, SE.
Editor :
Ir. Nasaruddin; Ir. Yantonius; Ir. Novarita ; Ir. Siti Aisyah, MS; Petriawaty, SE, MM.
Design/Lay Out:
Prisilla Yumeri, SE, Azizah, SE
PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA BARAT
BUKU LAPORANSTATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH
TAHUN 2014
PADANG
MENTAWAI
Sipora
Sioban
Pulau Pagai Selatan
Sikakap
Muara Siberut
Muara Sikabaluan PROV. SUMATERA BARAT
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat i
GUBERNUR SUMATERA BARAT
KATA PENGANTAR
Terciptanya lingkungan hidup yang bersih dan sehat merupakan hak setiap
warga masyarakat. Namun dalam kenyataannya, lingkungan hidup saat ini
sudah berada pada kondisi yang memprihatinkan. Kegiatan pembangunan
yang sangat pesat lebih mengedepankan pertumbuhan ekonomi semata tanpa
mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan, baik daya dukung maupun
daya tampung lingkungan, aspek pencadangan serta tata ruang sehingga
menimbulkan bencana lingkungan seperti : banjir, longsor, kebakaran hutan,
polusi udara, meningkatnya tumpukan sampah serta berkembangnya berbagai wabah penyakit.
Timbulnya bencana-bencana lingkungan seharusnya menyadarkan kita bahwa telah terjadi
“kesalahan” dalam pemanfaatan sumber daya alam, sementara upaya pemulihannya tidak sebanding
dengan besarnya laju kerusakan lingkungan tersebut. Kalau sudah demikian maka biaya untuk
pemulihan lingkungan akan menjadi lebih besar yang seharusnya dapat digunakan untuk mengentaskan
kemiskinan, pemerataan pendidikan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Tidak akan cukup “energi” pemerintah untuk menyelesaikan berbagai persoalan lingkungan yang
telah terjadi. Oleh sebab itu dibutuhkan sinergisitas antara pemerintah dan masyarakat. Buku Status
Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) ini merupakan salah satu upaya Pemerintah Provinsi Sumatera Barat
dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dan pelaksanaan Standar
Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Lingkungan Hidup. Selain itu juga sebagai wujud tanggung jawab
Pemerintah Daerah dalam rangka menjaga kelestarian lingkungan hidup. Data dan informasi yang ada
dalam buku SLHD hendaknya jangan hanya dipandang sebagai data dan informasi tanpa makna, namun
data dan informasi tersebut sudah dihimpun dan dianalisis dari program/kegiatan berbagai sektor yang
harus ditindaklanjuti dengan aksi nyata oleh berbagai stakeholder sehingga maksud pembangunan
berkelanjutan dapat tercapai demi kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang.
Semoga buku SLHD ini dapat dimanfaatkan dan akhir kata, kepada semua pihak yang telah turut
berpartisipasi dalam penyusunan buku SLHD tahun 2014 ini, kami ucapkan terima kasih.
Padang, Maret 2015
GUBERNUR SUMATERA BARAT
IRWAN PRAYITNO
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat ii
Secara geografis, Sumatera Barat terletak pada koordinat antara 0º,54’ Lintang Utara dan 3º,30’
Lintang Selatan serta 98º,36’ dan 101º,53’ Bujur Timur dan dilalui garis khatulistiwa. Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk Sumatera Barat adalah 5.131.882 jiwa, memiliki luas wilayah administrasi 42.297,30 km² dengan 19 daerah kabupaten/kota. Sumatera Barat memiliki potensi sumber daya air di daratan yang cukup besar, terdapat 606 sungai besar dan kecil, 27 diantaranya merupakan sungai lintas provinsi dan 57 sungai lintas kabupaten/kota serta memiliki 238 danau/embung dan telaga. Luas perairan laut Sumatera Barat ± 52.882,42 km² dengan panjang garis pantai 1.378 km, memiliki 375 buah pulau besar dan kecil.
Isu lingkungan hidup prioritas pada tahun 2014 adalah (1) Menurunnya kualitas air sungai perkotaan dan danau yakni Sungai Batang Agam, Sungai Batang Hari dan Danau Maninjau. (2) Meningkatnya jumlah timbulan sampah serta belum terkelolanya limbah B3 dan limbah cair sebagian sumah sakit pemerintah dan hotel. (3). serta isu terkait kebencanaan yaitu banjir, longsor dan kebakaran hutan.
Analisis status kondisi status lingkungan hidup berdasarkan isu prioritas menunjukkan (1) Isu
menurunnya kualitas air sungai perkotaan yakni Sungai Batang Agam, Batang Anai, Batang Ombilin dan Batang Pangian. Hasil perhitungan indeks pencemaran air (IPA) terendah adalah Sungai Batang Anai yaitu 53,83 % selanjutnya Batang Agam 59,81 % dan Batang Hari 65,23 %. Menurunnya kualitas Danau Maninjau disebabkan jumlah KJA sebanyak 16.130 petak yang sudah melebihi daya dukung dan daya tampung Danau Maninjau. (2) Isu peningkatan jumlah timbulan sampah, terbanyak di Kota Padang (472.079,60 m3/hari) dan selanjutnya Kota Solok (186.105 m3/hari). (3) Isu kebencanaan, bencana banjir terdapat kerugian yang cukup besar di Kabupaten Pasaman Barat (Rp. 5.368.650.000) dan Kabupaten Padang Pariaman (4.285.000.000). Adapun bencana kebakaran hutan dan lahan terluas terjadi di Kabupaten Pasaman Barat yakni 70 ha, selanjutnya Kabupaten Agam seluas 40 ha dan Dharmasraya seluas 40 ha.
Analisis tekanan berdasarkan isu prioritas, menunjukkan bahwa peningkatan jumlah penduduk
memberikan tekanan terhadap kualitas lingkungan berupa meningkatnya jumlah timbulan sampah, kurangnya fasilitas Buang Air Besar (BAB) sehingga memanfaatkan sungai sebagai fasilitas MCK. (1) Tekanan terhadap penurunan kualitas air sungai di perkotaan selain akibat dari limbah domestik baik sampah maupun limbah cair, terdapat eberapa aktifitas masyarakat lainnya di sepanjang sempadan sungai seperti : pertambangan emas tanpa izin (PETI), kegiatan pertanian, dan lain-lain. Selanjutnya tekanan terhadap penurunan kualitas air Danau Maninjau sebagai akibat jumlah KJA yang melebihi daya tampung dan daya dukung lingkungan.(2) Tekanan terhadap Limbah B3 serta limbah cair rumah sakit dan hotel akibat belum adanya TPS pengelolaan limbah B3 medis dan belum berfungsinya IPAL sesuai yang dipersyaratkan.
Analisis upaya pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan isu lingkungan prioritas telah dilakukan upaya
untuk mengendalikan kerusakan dan pencemaran melalui penghijauan, reboisasi, perbaikan fisik lainnya, pembinaan dan pengawasan AMDAL, UKL UPL serta tindak lanjut penyelesaian pengaduan terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan. Disamping itu, partisipasi masyarakat baik dari dunia pendidikan dengan meningkatnya jumlah Sekolah Adiwiyata maupun dunia usaha melalui program CSR bidang lingkungan serta Gerakan Sumbar Bersih yang melibatkan kelurahan/kecamatan, juga turut andil dalam upaya pengelolaan lingkungan di Sumatera Barat.
Agenda pengelolaan lingkungan hidup Sumatera Barat ke depannya berdasarkan isu lingkungan prioritas
yakni Program pengembangan kerjasama antar daerah dalam pemulihan dan pengendalian pencemaran Sungai Batang Agam, Pengkajian pemulihan kerusakan DAS dan morfologi Sungai Batang Hari, Pembatasan jumlah KJA di Danau Maninjau secara bertahap, Mengembangkan IPAL komunal domestik percontohan dan pengelolaan sampah pada main drainase perkotaan, pengembangan peralatan sederhana untuk pengelolaan limbah cair dan padat domestik serta kegiatan skala kecil, Memfasilitasi kerjasama dan TPS klaster pengelolaan limbah B3 medis di kabupaten/kota serta Program peningkatan kesiap-siagaan menghadapi bencana.
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
ABSTRAK ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Profil Sumatera Barat I-1
1.2 Manfaat Penulisan Buku SLHD I-2
1.3 Isu Prioritas dan Alasan Penetapan Isu Prioritas I-3
1.4 Analisis SPR I-5
BAB II KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA
2.1 Lahan dan Hutan II-1
2.2 Keanekaragaman Hayati II-12
2.3 Air II-17
2.4 Udara II-59
2.5 Laut, Pesisir dan Pantai II-70
2.6 Iklim II-76
2.7 Bencana Alam II-84
BAB III TEKANAN TERHADAP LINGKUNGAN
3.1 Kependudukan III-1
3.2 Pemukiman III-7
3.3 Kesehatan III-22
3.4 Pertanian III-25
3.5 Industri III-40
3.6 Pertambangan III-43
3.7 Energi III-47
3.8 Transportasi III-52
3.9 Pariwisata III-56
3.10 Limbah B3 III-65
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat iv
BAB IV UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN
4.1 Rehabilitasi Lingkungan IV-1
4.2 Amdal IV-8
4.3 Penegakan Hukum IV-16
4.4 Peran Serta Masyarakat IV-24
4.5 Kelembagaan IV-40
BAB V AGENDA PENGELOLAAN LINGKUNGAN
5.1 Prioritas Pembangunan Daerah Provinsi Sumatera Barat V-1
5.2 Agenda Pengelolaan Lingkungan ke Depannya V-2
GALERI FOTO
DAFTAR PUSTAKA
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat v
BAB I PENDAHULUAN
BAB II KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA
Tabel 2.1 Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Kering Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2012
sampai dengan Tahun 2014
II-7
Tabel 2.2 Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Basah Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2012,
Tahun 2013 dan Tahun 2014
II-7
Tabel 2.3 Danau di Provinsi Sumatera Barat II-20
BAB III TEKANAN TERHADAP LINGKUNGAN
Tabel 3.1 Persentase Rumah Tangga Miskin di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014 III-8
Tabel 3.2 TPA dengan Daerah Pelayanan dan Sistem TPA di Provinsi Sumatera Barat III-18
Tabel 3.3 Perbandingan Antar Waktu dan Baku Mutu Beban Pencemaran Industri Minuman
Ringan
III-42
Tabel 3.4 Jumlah Pelanggan dan Daya PLTMH di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014 III-46
Tabel 3.5 Jumlah dan Luas Pelabuhan Air di Kabupaten/Kota III-54
Tabel 3.6 Volume Limbah Padat Yang Dihasilkan dari Lokasi Obyek Wisata III-63
Tabel 3.7 Volume Limbah Padat Yang Dihasilkan dari Kegiatan Hotel III-64
Tabel 3.8 Korelasi Antara Kunjungan Wisata Dengan Volume Limbah Padat Yang Dihasilkan III-64
Tabel 3.9 Beban Limbah Cair dari Kegiatan Hotel III-65
BAB IV UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN
Tabel 4.1 Rekapitulasi Penanaman Pohon oleh Masyarakat dan Pemerintah Tahun 2014 IV-4
Tabel 4.2 Kegiatan Fisik Lainnya Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014 IV-5
Tabel 4.3 Penanaman Pohon Pelindung Pantai Sumatera Barat
IV-6
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat vi
Tabel 4.4 Rekapitulasi Dokumen Lingkungan yang Diterbitkan Pengesahan/ Persetujuannya oleh
Pemerintah Kabupaten/Kota se-Sumatera Barat Tahun 2014
IV-12
Tabel 4.5 Status Penanganan Pengaduan yang Difasilitasi oleh Bapedalda Provinsi Sumatera
Barat Selama Tahun 2014
IV-21
Tabel 4.6 Perbandingan Jumlah Pengaduan/Kasus Lingkungan Hidup yang masuk dengan yang
diselesaikan pada beberapa Kabupaten/Kota Tahun 2014
IV-23
Tabel 4.7 Peringkat SLHD Kabupaten/Kota Terbaik Tingkat Nasional di Provinsi Sumatera Barat IV-37
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat vii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA
Gambar 2.1 Persentase Penggunaan Lahan/Tutupan Lahan Sumatera Barat Tahun 2014 II-2
Gambar 2.2 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status II-2
Gambar 2.3 Perubahan Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status II-3
Gambar 2.4 Perbandingan Luas Penutupan Lahan Dalam dan Luar Kawasan Hutan Tahun 2012 dan
Tahun 2013
II-4
Gambar 2.5 Lahan Kritis di Sumatera Barat Tahun 2014 II-5
Gambar 2.6 Luas Lahan Kritis, Potensial Kritis dan Agak Kritis di 7 (tujuh) Kabupaten Kota Sumatera
Barat
II-5
Gambar 2.7 Perbandingan Kerusakan Tanah di Lahan Kering Akibat Erosi Air di Kabupaten Pesisir
Selatan Tahun 2012 – 2014
II-6
Gambar 2.8 Perkiraan Persentase Luas Kerusakan Hutan Menurut Penyebabnya II-8
Gambar 2.9 Konversi Hutan Tahun 2014 II-9
Gambar 2.10 Konversi Hutan di 7 (Tujuh) Kabupaten/Kota Tahun 2014 II-9
Gambar 2.11 Tujuh Kabupaten/Kota yang Melakukan Konversi Hutan Terluas Tahun 2012 Tahun
2014
II-9
Gambar 2.12 Indeks Tutupan Hutan dan Lahan Provinsi Sumatera Barat II-10
Gambar 2.13 Peta Perubahan Kawasan Hutan Provinsi Sumatera Barat II-11
Gambar 2.14 Flora Yang Dilindungi ( Vanda sumatera ) II-13
Gambar 2.15 Jumlah Jenis Spesies yang Dilindungi per Kabupaten/ Kota II-13
Gambar 2.16 Jumlah Spesies Flora dan Fauna Endemik per Kabupaten/Kota II-14
Gambar 2.17 Jumlah Jenis Spesies Terancam per Kabupaten/Kota II-14
Gambar 2.18 Jenis Species Flora dan Fauna yang Berlimpah per Kabupaten/Kota II-15
Gambar 2.19 Maskot Flora Sumatera Barat II-15
Gambar 2.20 Maskot Fauna Sumatera Barat II-17
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat viii
Gambar 2.21 Rasio Debit Sungai Besar di Sumatera Barat yang Lebih dari 50 m3/dtk II-19
Gambar 2.22 Parameter TSS Sungai Batang Arau II-20
Gambar 2.23 Parameter BOD Sungai Batang Arau II-21
Gambar 2.24 Parameter NO2 Sungai Batang Arau, Kota Padang II-21
Gambar 2.25 Parameter Total Phospat Sungai Batang Arau, Kota Padang II-21
Gambar 2.26 Parameter Minyak dan Lemak Sungai Batang Arau, Kota Padang II-22
Gambar 2.27 Parameter TSS Sungai Batang Hari II-22
Gambar 2.28 Parameter COD Sungai Batang Hari II-23
Gambar 2.29 Parameter NO2 Sungai Batang Hari II-23
Gambar 2.30 Parameter Total Posphat Sungai Batang Hari II-23
Gambar 2.31 Parameter Total Coliform Sungai Batang Ulakan II-24
Gambar 2.32 Hasil Analisis Laboratorium Parameter TSS Sungai Batang Agam II-25
Gambar 2.33 Hasil Analisis Laboratorium Parameter BOD Sungai Batang Agam II-25
Gambar 2.34 Hasil Analisis Laboratorium Parameter COD Sungai Batang Agam II-26
Gambar 2.35 Hasil Analisis Laboratorium Parameter Total Phospat Sungai Batang Agam II-26
Gambar 2.36 Hasil Analisis Laboratorium Parameter E.Coli Sungai Batang Agam II-27
Gambar 2.37 Hasil Analisis Laboratorium Parameter Total Coliform Sungai Batang Agam II-27
Gambar 2.38 Hasil Analisis Laboratorium Parameter TSS Sungai Batang Ombilin II-28
Gambar 2.39 Hasil Analisis Laboratorium Parameter BOD Sungai Batang Ombilin II-28
Gambar 2.40 Hasil Analisis Laboratorium Parameter COD Sungai Batang Ombilin II-28
Gambar 2.41 Hasil Analisis Laboratorium Parameter E.Coli Sungai Batang Ombilin II-29
Gambar 2.42 Hasil Analisis Laboratorium Parameter Total Coliform Sungai Batang Ombilin II-29
Gambar 2.43 Hasil Analisis Laboratorium Parameter MBAS Sungai Batang Ombilin II-29
Gambar 2.44 Hasil Analisis Laboratorium Parameter BOD Sungai Batang Pangian II-30
Gambar 2.45 Hasil Analisis Laboratorium Parameter COD Sungai Batang Pangian II-30
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat ix
Gambar 2.46 Hasil Analisis Laboratorium Parameter E.Coli Sungai Batang Pangian II-31
Gambar 2.47 Hasil Analisis Laboratorium Parameter Total Coliform Sungai Batang Pangian II-31
Gambar 2.48 Hasil Analisis Laboratorium Parameter MBAS/Deterjen Sungai Batang Pangian II-31
Gambar 2.49 Hasil Analisis Laboratorium Parameter Seng (Zn) Sungai Batang Anai II-32
Gambar 2.50 Hasil Analisis Laboratorium Parameter Fecal Coliform dan Total Coliform Sungai Batang
Anai
II-33
Gambar 2.51 Nilai BOD Danau di Sumatera Barat Tahun 2014 II-34
Gambar 2.52 Nilai COD Danau di Sumatera Barat tahun 2014 II-35
Gambar 2.53 Nilai DO Danau di Sumatera Barat Tahun 2014 II-36
Gambar 2.54 Nilai TSS Danau di Sumatera Barat tahun 2014 II-37
Gambar 2.55 Perbandingan Kualitas Air Danau Tahun 2013 - 2014 II-39
Gambar 2.56 Keramba jaring apung (KJA) yang berkembang di Danau Maninjau II-40
Gambar 2.57 Perkembangan Jumlah KJA di Danau Maninjau II-40
Gambar 2.58 Kematian Ikan dan KJA di Danau Maninjau II-41
Gambar 2.59 Kematian ikan di Danau Maninjau tahun 2014 II-41
Gambar 2.60 Kandungan Oksigen (DO) Pada Saat Kematian Ikan Di Danau Maninjau II- 41
Gambar 2.61 IPA (Indeks Pencemaran Air) pada 5 (lima) Sungai Target SPM tahun 2014 II-45
Gambar 2.62 Indeks Pencemaran Air Batang Agam Tahun 2011-2014 II-45
Gambar 2.63 Kandungan Nitrat pada Air Laut di Sumatera Barat II-46
Gambar 2.64 Kandungan posfat pada air laut di Sumatera Barat II-47
Gambar 2.65 Kandungan Coliform pada Air Laut di Sumatera Barat II-47
Gambar 2.66 Kandungan Coliform pada Muara Sungai di Sumatera Barat II-47
Gambar 2.67 Perbandingan Kualitas Air Laut Antar Lokasi Untuk Parameter TSS II-48
Gambar 2.68 Perbandingan Kualitas Air Laut Antar Lokasi Untuk Parameter pH II-49
Gambar 2.69 Perbandingan Kualitas Air Laut Antar Lokasi Untuk Parameter DO II-50
Gambar 2.70 Perbandingan Kualitas Air Laut Antar Lokasi Untuk Parameter BOD II-50
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat x
Gambar 2.71 Perbandingan Kualitas Air Laut Antar Lokasi Untuk Parameter BOD II-51
Gambar 2.72 Perbandingan Kualitas Air Muara Sungai Untuk Parameter pH II-52
Gambar 2.73 Perbandingan Kualitas Air Muara Sungai Untuk Parameter DO II-52
Gambar 2.74 Perbandingan Kualitas Air Muara Sungai Untuk Parameter BOD II-53
Gambar 2.75 Perbandingan Kualitas Air Laut Tahun 2013 – 2014 Parameter TSS II-54
Gambar 2.76 Perbandingan Kualitas Air Laut Tahun 2013 – 2014 Parameter pH II-54
Gambar 2.77 Perbandingan Kualitas Air Laut Tahun 2013 – 2014 Parameter DO II-55
Gambar 2.78 Perbandingan Kualitas Air Laut Tahun 2013 – 2014 Parameter BOD II-56
Gambar 2.79 Perbandingan Kualitas Air Muara Sungai Tahun 2013 – 2014 Parameter TSS II-56
Gambar 2.80 Perbandingan Kualitas Air Muara Sungai Tahun 2013 – 2014 Parameter pH II-57
Gambar 2.81 Perbandingan Kualitas Air Muara Sungai Tahun 2013 – 2014 Parameter DO II-58
Gambar 2.82 Perbandingan Kualitas Air Muara Sungai Tahun 2013 – 2014 Parameter BOD II-58
Gambar 2.83 Kualitas Udara Ambien Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
Parameter TSP
II-60
Gambar 2.84 Kualitas Udara Ambien Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
Parameter PM10
II-61
Gambar 2.85 Kualitas Udara Ambien Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
Parameter CO
II-62
Gambar 2.86 Kualitas Udara Ambien Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
Parameter O3
II-63
Gambar 2.87 Kualitas Udara Ambien Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
Parameter SO2
II-63
Gambar 2.88 Udara Ambien Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Barat Parameter PM10Tahun
2012 – 2014
II-64
Gambar 2.89 Udara Ambien Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Barat Parameter TSP Tahun
2012 – 2014
II-65
Gambar 2.90 Perbandingan Kualitas Udara Ambien Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Barat
Parameter CO Tahun 2012 – 2014
II-65
Gambar 2.91 Perbandingan Kualitas Udara Ambien Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Barat
Parameter O3 Tahun 2012 – 2014
II-66
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat xi
Gambar 2.92 Indeks Pencemar Udara Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014 II-67
Gambar 2.93 Perbandingan Indeks Pencemar Udara Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat
Tahun 2013 – 2014
II-67
Gambar 2.94 Kualitas Udara Ambien Kondisi Kabut Asap Menurut Indeks Standar Pencemar Udara
(ISPU) pada Beberapa Kabupaten/Kota di Sumatera Barat
II-69
Gambar 2.95 Kualitas Udara Ambien Perkotaan Tahun 2013 – 2014 II-70
Gambar 2.96 Luas Tutupan Terumbu Karang Pada Kabupaten/Kota di Sumatera Barat II-71
Gambar 2.97 Kondisi Tutupan Terumbu Karang di Provinsi Sumatera Barat II-71
Gambar 2.98 Perbandingan Lokasi Terluas Kerusakan Terumbu Karang II-72
Gambar 2.99 Ekosistem Padang Lamun di Perairan Laut II-72
Gambar 2.100 Luas Area Padang Lamun II-73
Gambar 2.101 Perbandingan Lokasi Terluas Kerusakan Padang Lamun II-73
Gambar 2.102 Perbandingan Kerusakan Padang Lamun II-74
Gambar 2.103 Luas Area Mangrove Di Sumatera Barat II-74
Gambar 2.104 Luas Kerusakan Mangrove di Sumatera Barat II-75
Gambar 2.105 Tingkat Kerusakan Mangrove di Sumatera Barat II-75
Gambar 2.106 Perbandingan Tingkat Kerusakan Mangrove di Sumatera Barat II-76
Gambar 2.107 Curah Hujan Rata-rata Bulanan Sumatera Barat tahun 2014 II-77
Gambar 2.108 Pos Hujan Sumbar II-78
Gambar 2.109 Jumlah Hari Hujan Sumatera Barat Tahun 2014 II-79
Gambar 2.110 Suhu Rata-rata Bulanan Sumatera Barat Tahun 2014 II-79
Gambar 2.111 Rata-rata Suhu Udara dan Kelembaban Sumatera Barat Tahun 2014 II-80
Gambar 2.112 Tekanan Udara Rata-Rata Sumatera Barat Tahun 2014 II-80
Gambar 2.113 Tekanan udara rata-rata Sumatera Barat tahun 2014 II-81
Gambar 2.114 Suhu Udara Rata-rata Sumatera Barat Tahun 2013 – 2014 II-81
Gambar 2.115 Kualitas Air Hujan Sumatera Barat Tahun 2014 II-82
Gambar 2.116 Kualitas Air Hujan Sumatera Barat Tahun 2013 - 2014 II-82
Gambar 2.117 Perbandingan Jumlah Bengkel Pengguna Bahan Perusak Ozon (BPO) Tahun
2013 - 2014
II-83
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat xii
Gambar 2.118 Perkiraan Kerugian (Rp) dan Total Area Terendam (Ha) Kabupaten / Kota Yang
Mengalami Bencana Banjir Tahun 2014
II-85
Gambar 2.119 Jumlah Korban Mengungsi Akibat Banjir di 7 ( tujuh ) Kabupaten / Kota Tahun 2014 II-86
Gambar 2.120 Jumlah Korban Meninggal Akibat Banjir Tahun 2014 II-86
Gambar 2.121 Perbandingan Total Luas Area Terendam dan Total Kerugian Akibat Banjir di Sumatera
Barat Tahun 2012 - 2014
II-87
Gambar 2.122 Perbandingan Total Luas Area Terendam dan Total Kerugian Akibat Banjir 19
( Sembilan Belas ) Kabupaten/Kota
II-88
Gambar 2.123 Perbandingan Jumlah Korban Mengungsi dan Korban Meninggal Akibat Bencana Banjir
Tahun 2013 - 2014
II-89
Gambar 2.124 Kejadian Bencana Alam Di Kawasan Pantai Sumatera Barat II-89
Gambar 2.125 Frekuensi Bencana Banjir dan Longsor II-90
Gambar 2.126 Perkiraan Kerugian dan Luas Hutan / Lahan Terbakar Tahun 2014 II-91
Gambar 2.127 Perbandingan Perkiraan Luas Hutan / Lahan terbakar ( Ha ) Tahun 2011 - 2014 II-92
Gambar 2.128 Jumlah Hotspot Kebakaran Hutan di Sumatera Barat Tahun 2011 - 2014 II-93
Gambar 2.129 Frekuensi Bencana Kebakaran Hutan Pada Tahun 2011 - 2014 II-94
Gambar 2.130 Jumlah Korban Meninggal Serta Perkiraan Kerugian Akibat Bencana Tanah Longsor dan
Gempa Bumi Tahun 2014
II-95
Gambar 2.131 Jumlah Korban Kejadian Bencana Tahun 2014 II-96
Gambar 2.132 Jumlah Kerusakan Rumah dan Total Kerusakan Bencana Alam Tahun 2014 II-96
Gambar 2.133 Jumlah Kejadian Bencana di Sumatera Barat II-97
Gambar 2.134 Peta Rawan Bencana Alam Wilayah Sumatera Barat II-98
BAB III TEKANAN TERHADAP LINGKUNGAN
Gambar 3.1 Jumlah Penduduk Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014 III-2
Gambar 3.2 Laju Pertumbuhan Penduduk Provinsi Sumatera Barat Tahun 2010 – 2014 III-2
Gambar 3.3 Kepadatan Penduduk dan Sebaran Penduduk Sumatera Barat Tahun 2014 III-3
Gambar 3.4 Pertumbuhan Penduduk 2 (dua) Tahun Terakhir Tahun 2013 - 2014 III-3
Gambar 3.5 Jumlah Penduduk Laki-laki dan Perempuan Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014 III-4
Gambar 3.6 Rasio Jenis Kelamin Penduduk Provinsi Sumatera Barat Tahun 2013 - 2014 III-5
Gambar 3.7 Jumlah Penduduk di Wilayah Pesisir dan Laut Provinsi Sumatera Barat Tahun
2014
III-5
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat xiii
Gambar 3.8 Perbandingan Jumlah Penduduk di Wilayah Pesisir dan Laut Provinsi Sumatera
Barat Tahun 2012 – 2014
III-6
Gambar 3.9 Jumlah Kecamatan di Wilayah Pesisir III-6
Gambar 3.10 Jumlah Penduduk Laki-laki dan Perempuan Menurut Tingkat Pendidikan III-7
Gambar 3.11 Tingkat Pendidikan Penduduk Wilayah Pesisir III-7
Gambar 3.12 Jumlah Rumah Tangga dan Rumah Tangga Miskin III-8
Gambar 3.13 Jumlah dan Persentase Penurunan Rumah Tangga Miskin Terbesar di 7
Kabupaten/Kota
III-9
Gambar 3.14 Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin di Perkotaan dan Pedesaan Pada
Tahun 2011-2014
III-9
Gambar 3.15 Jumlah Penduduk dengan Sumber Air Minum di Kabupaten/Kota Tahun 2014 III-10
Gambar 3.16 Persentase Sumber Air Minum di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014 III-10
Gambar 3.17 Jumlah Penduduk dan Persentase Yang Memiliki Akses Air Minum III-11
Gambar 3.18 Jumlah Penduduk Yang Memiliki Akses Air Minum Memenuhi Syarat III-11
Gambar 3.19 Perbandingan Jumlah Rumah Tangga dan Sumber Air Minum di Kota Tahun
2013-2014
III-12
Gambar 3.20 Jumlah Rumah Tangga dan Fasilitas Tempat Buang Air Besar III-12
Gambar 3.21 Perbandingan Penduduk Mempunyai Fasilitas Tempat Buang Air Besar Tahun
2013 - 2014
III-13
Gambar 3.22 Perbandingan Penduduk Yang Memiliki Akses Pembuangan Akhir Tinja Tahun
2013 - 2014
III-13
Gambar 3.23 Jumlah dan Persentase Penduduk Yang Memliki Akses Jamban Tertinggi di 5
Kabupaten/Kota
III-14
Gambar 3.24 Perbandingan Jumlah Penduduk dengan Akses Jamban di 5 Kabupaten /Kota
Tahun 2013-2014
III-14
Gambar 3.25 Jumlah Penduduk dan Perkiraan Timbulan Sampah Tahun 2014 III-15
Gambar 3.26 Kabupaten/Kota dengan Volume Sampah Terbesar Tahun 2014 III-15
Gambar 3.27 Perbandingan Timbulan Sampah Tahun 2012-2014 III-16
Gambar 3.28 Volume Sampah TPA Regional Payakumbuh Tahun 2013-2014 Berdasarkan
Sumbernya
III-16
Gambar 3.29 Jumlah Sampah Yang Masuk dan Dipilah di TPA Regional III-17
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat xiv
Gambar 3.30 Persentase Sampah Total dan Terpilah di TPA Regional III-17
Gambar 3.31 Persentasi Sistem Pengelolaan Sampah di TPA di 13 Kabupaten/Kota III-18
Gambar 3.32 Volume Sampah di Masing-masing TPA Tahun 2014 III-18
Gambar 3.33 Nilai pH Lindi pada TPA Regional Payakumbuh III-19
Gambar 3.34 Pengukuran TSS Dalam Lindi Pada TPA Regional Payakumbuh III-19
Gambar 3.35 Pengukuran COD Dalam Lindi Pada TPA Regional Payakumbuh III-20
Gambar 3.36 Pengukuran COD Dalam Lindi Pada TPA Regional Payakumbuh III-20
Gambar 3.37 Persentase Jenis Penyakit Utama Yang Diderita Penduduk III-23
Gambar 3.38 Perbandingan Jenis Penyakit Utama Yang Diderita Penduduk Tahun 2013-2014 III-24
Gambar 3.39 Jumlah Kasus Penyakit Berbasis Lingkungan Di Provinsi Sumatera Barat Tahun
2014
III-25
Gambar 3.40 Rumah Sakit Pemerintah di Provinsi Sumatera Barat Yang Melakukan
Pengelolaan Limbah
III-25
Gambar 3.41 Luas Lahan dan Produksi Perkebunan Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014 III-28
Gambar 3.42 Penggunaan Pupuk per Kabupaten/Kota Tahun 2014 III-28
Gambar 3.43 Proyeksi Pertambahan Luas Tanam Beberapa Komoditi Primadona Provinsi
Sumatera BaratTahun 2014-2015
III-28
Gambar 3.44 Penggunaan Pupuk Untuk Tanaman Padi dan Palawija menurut Jenis Pupuk
Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
III-29
Gambar 3.45 Perbandingan Pemakaian Berbagai Jenis Pupuk Provinsi Sumatera Barat Tahun
2013 - 2014
III-30
Gambar 3.46 Luas Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian Provinsi Sumatera Barat Tahun
2014
III-30
Gambar 3.47 Luas Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian per Kabupaten/Kota Provinsi
Sumatera Barat Tahun 2014
III-31
Gambar 3.48 Perbandingan Luas Perubahan Lahan Pertanian Menjadi Jenis Penggunaan Baru
Provinsi Sumatera Barat Tahun 2012-2014
III-31
Gambar 3.49 Luas Lahan Sawah Menurut Frekuensi Penanaman dan Produksi Per Hektar
Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
III-32
Gambar 3.50 Perbandingan Luas Lahan Sawah Menurut Frekuensi Penanaman Provinsi
Sumatera Barat Tahun 2011 – 2014
III-33
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat xv
Gambar 3.51 Luas Cetak Sawah Provinsi Sumatera Barat Tahun 2010 – 2014 III-33
Gambar 3.52 Jumlah Hewan Ternak Menurut Jenis Ternak Provinsi Sumatera Barat Tahun
2014
III-34
Gambar 3.53 Perbandingan Jumlah Hewan Ternak Menurut Jenis Ternak Provinsi Sumatera
Barat Tahun 2012 – 2014
III-35
Gambar 3.54 Jumlah Kotoran Ternak Yang Dihasilkan Menurut Jenis Ternak Provinsi Sumatera
Barat Tahun 2014
III-35
Gambar 3.55 Emisi Gas Metan (CH4) Berdasarkan Jenis Ternak Provinsi Sumatera Barat
Tahun 2014
III-36
Gambar 3.56 Perbandingan Jumlah Hewan Ternak dengan Emisi Gas Methan (CH4)
dari Kegiatan Peternakan Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
III-36
Gambar 3.57 Jumlah Hewan Unggas menurut Jenis Unggas Provinsi Sumatera Barat Tahun
2014
III-37
Gambar 3.58 Perbandingan Jumlah Hewan Unggas menurut Jenis Unggas Provinsi Sumatera
Barat Tahun 2012-2014
III-38
Gambar 3.59 Jumlah Kotoran Ternak segar Yang Dihasilkan ternak Unggas Provinsi Sumatera
Barat Tahun 2014
III-38
Gambar 3.60 Perbandingan Jumlah Hewan Unggas dengan Emisi Gas Methan (CH4) dari
Kegiatan Peternakan Unggas Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
III-39
Gambar 3.61 Jumlah Total Emisi Gas Methan (CH4) dari Hewan Ternak dan Hewan Unggas
Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
III-39
Gambar 3.62 Perbandingan Antar Waktu dan Baku Mutu Beban Pencemaran Industri Sawit III-41
Gambar 3.63 Perbandingan Antar Waktu dan Baku Mutu Beban Pencemaran Industri Karet III-41
Gambar 3.64 Sebaran Lokasi Industri di Wilayah DAS III-42
Gambar 3.65 Jenis dan Jumlah Industri Peserta PROPER Pengawasan Di Provinsi Sumatera Barat. III-43
Gambar 3.66 Sebaran Industri Peserta PROPER Pengawasan Provinsi Sumatera Barat III-43
Gambar 3.67 Luas Areal dan Produksi Pertambangan Menurut Jenis Bahan Galian III-45
Gambar 3.68 Persentase Potensi Lapangan Energi Panas Bumi Sumatera Barat III-46
Gambar 3.69 Potensi Energi Hidro di Provinsi Sumatera Barat III-47
Gambar 3.70 Jumlah Kendaraan Roda 4 dan roda 6 Tahun 2013 dan 2014 III-48
Gambar 3.71 Jumlah Angkutan AKDP dan AKAP Tahun 2012-2014 III-49
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat xvi
Gambar 3.72 Perkembangan Jumlah Kendaraan Berdasarkan Jenis 2012-2014 III-49
Gambar 3.73 Konsumsi 3 jenis BBM Terbesar Pada Sektor Industri III-49
Gambar 3.74 Konsumsi LPG Rumah Tangga Pada 5 Kabupaten/Kota III-50
Gambar 3.75 Konsumsi Minyak Tanah dan Kayu bakar Rumah Tangga Pada 4
Kabupaten/Kota
III-50
Gambar 3.76 Pemakaian Bahan Bakar Rumah Tangga antar Waktu 2013-2014 III-51
Gambar 3.77 Jumlah Kendaraan dengan Bahan Bakar Bensin dan Solar III-51
Gambar 3.78 Volume Limbah Padat Yang Dihasilkan Dari Sarana Transportasi di 8
Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
III-53
Gambar 3.79 Terminal Angkutan Darat di Sumatera Barat III-53
Gambar 3.80 Pelabuhan Laut dan Udara di Provinsi Sumatera Barat III-55
Gambar 3.81 Persentase Penumpang Berdasarkan Sarana Transportasi Tahun 2014 III-55
Gambar 3.82 Perkembangan Jumlah Penumpang Antar Waktu 2012-2014 III-55
Gambar 3.83 Jenis Kendaraan Yang Banyak Disukai Masyarakat antar 2012-2014 III-56
Gambar 3.84 Jenis Obyek Wisata di Provinsi Sumatera Barat III-57
Gambar 3.85 Lokasi Obyek Wisata di Provinsi Sumatera Barat III-57
Gambar 3.86 Jumlah Pengunjung Obyek Wisata di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014 III-58
Gambar 3.87 Kunjungan Wisata Pada 3 Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat Dalam
Kurun Waktu 4 tahun
III-59
Gambar 3.88 Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara di Provinsi Sumatera Barat Tahun
2014
III-59
Gambar 3.89 Kunjungan Wisatawan Nusantara dan Wisatawan Mancanegara Dalam Kurun
Waktu 4 Tahun di Provinsi Sumatera Barat
III-60
Gambar 3.90 Jumlah Hotel dan Restoran di Provinsi Sumatera Barat III-60
Gambar 3.91 Tingkat Penghunian Kamar Akomodasi Lainnya di Sumatera Barat III-61
Gambar 3.92 Rata-Rata Tingkat Hunian Hotel Dalam Kurun Waktu 4 Tahun III-61
Gambar 3.93 Perbandingan Tingkat Hunian Hotel Berbintang Tahun 2013 dan Tahun 2014 III-62
Gambar 3.94 Jenis Kegiatan/Usaha yang memiliki Izin Penyimpanan Sementara Limbah B3 III-66
Gambar 3.95 Perbandingan Timbulan Limbah Medis RS Pemerintah dan RS Swasta di Provinsi
Sumatera Barat Tahun 2014
III-67
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat xvii
BAB IV UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN
Gambar 4.1 Realisasi Kegiatan Penghijauan di Sumatera Barat Tahun 2014 IV-2
Gambar 4.2 Realisasi Kegiatan Reboisasi di Sumatera Barat Tahun 2014 IV-3
Gambar 4.3 Perbandingan Luas Areal Penghijauan Tahun 2013 – 2014 IV-3
Gambar 4.4 Perbandingan Luas Areal Reboisasi Tahun 2013 – 2014 IV-3
Gambar 4.5 Penyebaran Bantuan Bibit Perkebunan IV-6
Gambar 4.6 Jumlah Bank Sampah di Sumatera Barat Tahun 2014 IV-7
Gambar 4.7 Jumlah Dokumen Lingkungan yang Dinilai Pada Komisi Penilai Amdal Provinsi
Sumatera Barat Tahun 2012 – 2014
IV-10
Gambar 4.8 Persentase Perbandingan Jumlah Dokumen Lingkungan yang Diterbitkan
Persetujuan/ Pengesahannya oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat pada
Tahun 2014 per Sektor/Bidang Usaha dan/atau Kegiatan
IV-11
Gambar 4.9 Perbandingan Jumlah/Jenis Dokumen Lingkungan Usaha dan/atau Kegiatan
yang Menjadi Objek PROPER/PROPELIKE Tahun 2014
IV-13
Gambar 4.10 Jumlah Usaha dan/atau Kegiatan yang Menjadi Objek PROPER/ PROPELIKE
Tahun 2014 Berdasarkan Lokasi Usaha dan/atau Kegiatan
IV-14
Gambar 4.11 Perbandingan Jumlah dan Jenis Dokumen Lingkungan yang Diterbitkan
Pengesahan/Persetujuannya di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
IV-15
Gambar 4.12 Pengawasan Yang dilakukan Provinsi dan Kab/Kota di Sumatera Barat IV-16
Gambar 4.13 Persentase Penanganan Pengaduan Tahun 2014 yang difasilitasi oleh Bapedalda
Provinsi Sumatera Barat berdasarkan kewenangan
IV-18
Gambar 4.14 Pengaduan/Kasus Lingkungan Hidup Berdasarkan Sektor Kegiatan Yang
Penanganannya Difasilitasi oleh Bapedalda Provinsi Sumatera Barat
IV-18
Gambar 4.15 Jumlah Pengaduan Lingkungan Kabupaten/Kota di Sumatera Barat Tahun 2014 IV-19
Gambar 4.16 Jumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lingkungan Hidup IV-25
Gambar 4.17 Jumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lingkungan Hidup per
Kabupaten/Kota
IV-26
Gambar 4.18 Perbandingan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lingkungan Hidup per
Kabupaten/Kota Tahun 2013 - 2014
IV-26
Gambar 4.19 Perbandingan Jumlah Perolehan Penghargaan Sekolah Adiwiyata Tahun 2014 per
Kabupaten/Kota Untuk Semua Kategori
IV-29
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat xviii
Gambar 4.20 Perbandingan Perolehan Penghargaan Sekolah Adiwiyata Tingkat Provinsi Sumatera
Barat Tahun 2014
IV-30
Gambar 4.21 Perbandingan Perolehan Penghargaan Sekolah Adiwiyata Tingkat Nasional Tahun 2014 IV-31
Gambar 4.22 Perbandingan Perolehan Penghargaan Adiwiyata dari Tahun 2007 s/d 2014 per
Kategori
IV-32
Gambar 4.23 Perbandingan Perolehan Penghargaan Adiwiyata dari Tahun 2007 s/d 2014 per
Tingkat Pendidikan per Tahun
IV-33
Gambar 4.24 Perbandingan Perolehan Penghargaan Adiwiyata dari Tahun 2017-2014 IV-33
Gambar 4.25 Perkembangan Perolehan Penghargaan Sekolah Adiwiyata Sejak Tahun 2012-
2014
IV-33
Gambar 4.26 Perkembangan peringkat PROPER Provinsi Sumatera Barat dari tahun 2012 s/d 2014 IV-34
Gambar 4.27 Perkembangan peringkat PROPELIKE Provinsi Sumatera Barat dari tahun 2011 s/d 2014 IV-35
Gambar 4.28 Perbandingan Kota-Kota Penerima Penghargaan Adipura di Provinsi Sumatera
Barat
IV-36
Gambar 4.29 Perbandingan Perolehan Penghargaan Nasional Lingkungan Tahun 2011-2014 IV-38
Gambar 4.30 Jumlah Kegiatan Sosialisasi Lingkungan di Provinsi Sumatera Barat IV-38
Gambar 4.31 Produk Hukum Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi dan
Kabupaten/Kota di Sumatera Barat Tahun 2014
IV-40
Gambar 4.32 Anggaran APBD Instansi Lingkungan Hidup di Provinsi Sumatera Barat Tahun
2013 dan 2014
IV-41
Gambar 4.33 Jumlah Personil BapedaldaProvinsi Sumatera Barat Menurut Tingkat Pendidikan tahun
2014
IV-42
Gambar 4.34 Perbandingan Jumlah Personil Lembaga Pengelola Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota
Menurut Tingkat Pendidikan tahun 2013 dan 2014
IV-43
Gambar 4.35 Jumlah Personil Lembaga Pengelola Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota Menurut Tingkat
Pendidikan tahun 2014
IV-43
Gambar 4.36 Perbandingan Jumlah Personil Lembaga Pengelola Lingkungan Hidup
Kabupaten/Kota Menurut Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin Tahun 2013-
2014
IV-44
Gambar 4.37 Perbandingan Jumlah Personil Kabupaten/Kota Tahun 2013 – 2014
IV-44
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat xix
Gambar 4.38 Perbandingan Bentuk Kelembagaan Instansi Bidang Lingkungan Hidup
Kabupaten/Kota Tahun 2013-2014
IV-45
Gambar 4.39 Jumlah Staf Fungsional Bapedalda Provinsi Sumatera Barat dan Staf yang telah
mengikuti Diklat tahun 2014
IV-45
Gambar 4.40 Jumlah Peserta Diklat Teknis yang diikuti Pegawai Bapedalda
Provinsi Sumatera Barat sampai Tahun 2014
IV-46
Permasalahan Lingkungan Hidup Semakin Lama Semakin Kompleks Yang Membutuhkan Kerjasama Bersifat Multi Sektor.Agenda Pengelolaan Lingkungan Provinsi Sumatera Barat Ke Depannya DidasarkanPada Prioritas Pembangunan 2010 – 2015 Berbasis Isu Lingkungan Hidup Terkait Pemulihan Dan Pengendalian Pencemaran Sungai Dan Danau, Pengendalian Limbah Domestik Dan Limbah B3 SertaProgram Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana.
BAB IBAB IPENDAHULUANPENDAHULUAN
Pendahuluan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat I -1
1.1. Profil Sumatera Barat
Provinsi Sumatera Barat merupakan
salah satu provinsi yang terletak dibagian barat
pulau Sumatera dengan posisi yang sangat
strategis dan merupakan gerbang Indonesia di
wilayah bagian barat. Secara geografis,
Provinsi Sumatera Barat terletak pada
koordinat antara 0º,54’ Lintang Utara dan
3º,30’ Lintang Selatan serta 98º,36’ dan
101º,53’ Bujur Timur sehingga daerah ini dilalui
garis khatulistiwa. Batas wilayah sebelah
barat berbatas langsung dengan Samudra
Hindia, sebelah timur berbatas dengan
Provinsi Riau dan Provinsi Jambi, sebelah
utara berbatas dengan Provinsi Sumatera
Utara dan sebelah selatan berbatas dengan
Provinsi Bengkulu.
Provinsi Sumatera Barat memiliki luas
wilayah administrasi 42.297,30 km² dengan
jumlah penduduk 4.957.619 jiwa, memiliki 19
daerah kabupaten/kota yakni Kabupaten
Padang Pariaman, Kabupaten Agam,
Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Lima
Puluh Kota, Kabupaten Pasaman, Kabupaten
Pasaman Barat, Kabupaten Solok, Kabupaten
Solok Selatan, Kabupaten Pesisir Selatan,
Kabupaten Sijunjung, Kabupaten Dharmasraya
dan Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kota
Padang, Kota Bukittinggi, Kota Payakumbuh,
Kota Solok, Kota Pariaman, Kota Sawahlunto
dan Kota Padang Panjang.
Topografi daerah ini cukup bervariasi
mulai dari dataran rendah berupa pantai
sampai dataran tinggi, yang terdiri dari
perbukitan sampai pegunungan, perairan darat
yang terdiri dari sungai besar dan kecil serta
kawasan laut mulai laut dangkal sampai laut
dalam.
Menurut kelas klasifikasi lereng,
Provinsi Sumatera Barat hampir separuhnya
atau sekitar 44% didominasi oleh lahan agak
curam sampai dengan curam. Sementara itu
luas daerah yang sangat curam sekitar 10%.
Dengan demikian dalam pengelolaan lahan
diperlukan analisa kesesuaian lahan serta
kehati-hatian agar lahan tidak mengalami
kerusakan.
Sumatera Barat memiliki potensi
sumber daya air di daratan yang cukup besar,
terdapat 606 sungai besar dan kecil, 27
diantaranya merupakan sungai lintas provinsi
dan 57 sungai lintas kabupaten/kota.
Dengan kondisi alam yang
bergelombang, berbukit dan bergunung serta
banyak dilalui sungai-sungai, maka hal ini
merupakan potensi alam yang sangat besar
yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan
untuk pembangunan pertanian, pariwisata,
pertambangan, jasa lingkungan dan lain
sebagainya. Namun disisi lain hal ini juga
mengandung tanggung jawab yang besar bagi
daerah untuk mengelola dan menjaga
kelestariannya, apalagi sebagian sungai-
Pendahuluan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat I -2
sungai di Sumatera Barat merupakan hulu dari
sungai-sungai di provinsi tetangga.
Provinsi Sumatera Barat juga memiliki
238 danau/embung dan telaga. Beberapa
danau yang besar dan terkenal diantaranya
adalah Danau Maninjau dengan luas 99,5 km²,
Danau Singkarak dengan luas 130,11 km²,
Danau Diatas dengan luas 31,5 km² dan
Danau Dibawah 14,0 km². Dengan demikian
Danau Singkarak merupakan Danau terbesar
di Sumatera Barat yang terletak di 2 (dua)
kabupaten yaitu Kabupaten Solok dan
Kabupaten Tanah Datar.
Selain ekosistem daratan, potensi
ekosistem pesisir dan laut Provinsi Sumatera
Barat juga cukup besar dengan
keanekaragaman hayati yang cukup tinggi.
Luas perairan laut Sumatera Barat ±
52.882,42 km² dengan panjang garis pantai
1.378 km, memiliki 375 buah pulau besar dan
kecil. Pada wilayah pesisir terdapat potensi
hutan mangrove seluas 42.105,91 ha, terumbu
karang 36.693,27 ha dan padang lamun
2.350,81 ha (Sumber : Profil MIH Sumatera
Barat, 2014)
1.2. Manfaat Penulisan Buku
SLHD
1.2.1. Manfaat Bagi Pemerintah Daerah
Buku SLHD merupakan kumpulan data
dan informasi yang dihimpun dan dianalisis
dari program/kegiatan berbagai instansi
pemerintah baik tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota. Oleh sebab itu buku SLHD
dapat dimanfaatkan untuk menindaklanjuti
berbagai program/kegiatan terkait dengan
upaya pengelolaan lingkungan pada tahun-
tahun berikutnya. Selain itu, dapat juga dipakai
untuk mengevaluasi ketepatan arah kebijakan
pembangunan dan program pembangunan
yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah
Daerah.
Sampai saat ini, buku SLHD sudah
dimanfaatkan untuk penyusunan beberapa
dokumen kebijakan seperti : RAD GRK
Provinsi Sumatera Barat, RAD PLH Provinsi
Sumatera Barat, REDD+, RPJMD 2015-2019,
RKT beberapa instansi dan RENSTRA
Bapedalda Provinsi Sumatera Barat.
1.2.2. Manfaat Bagi Lingkungan
Di dalam buku SLHD terdapat bahasan
tentang status/kondisi lingkungan. Terjadinya
perubahan kualitas lingkungan yang mengarah
kepada pencemaran dan kerusakan
lingkungan akibat berbagai tekanan dapat
diinventarisasi sehingga dapat ditindaklanjuti
dengan berbagai upaya dan agenda
pengelolaan lingkungan .sesuai program/
kegiatan yang terkait.
Pendahuluan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat I -3
1.2.3. Manfaat Bagi Masyarakat, Dunia
Pendidikan dan Dunia Usaha
Sesuai Undang-undang No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa
masyarakat berhak mendapatkan informasi
tentang lingkungan hidup. Oleh sebab itu,
SLHD merupakan salah satu upaya untuk
melaksanakan amanat UU 32 tersebut. SLHD
juga dapat dimanfaatkan untuk berbagai
keperluan penelitian karena SLHD berisi data
dan informasi yang sudah dihimpun dan
dianalisis dari program/kegiatan lingkungan
berbagai sektor.
Dunia usaha juga dapat memanfaatkan
buku SLHD karena memuat data dan informasi
potensi sumber daya alam dan kualitas
lingkungan yang sangat dibutuhkan dalam
menginvestasikan modalnya di Sumatera
Barat.
1.3. Isu Prioritas dan Alasan
Penetapan Isu Prioritas
1.3.1. Isu Prioritas
Isu lingkungan hidup Sumatera Barat
pada tahun 2014 antara lain :
a. Isu terkait penurunan kualitas air :
- Menurunnya kualitas air sungai
segmen perkotaan terutama Sungai
Batang Agam, Batang Anai, Batang
Ombilin dan Batang Pangian. Untuk
Sungai Batang Agam, parameter yang
sangat mempengaruhi kualitas sungai
adalah parameter fecal coliform, total
coliform dengan kategori cemar berat
terutama yang berada pada segmen
Kota Bukittinggi dan beberapa titik di
Kabupaten Agam. Total coliform dan
fecal coliform yang cukup besar
terutama pada lokasi yang menerima
limbah Rumah Potong Hewan (RPH)
secara langsung. Pada lokasi ini, air
sungai tidak layak digunakan untuk
minum dan mencuci karena
mengandung bakteri yang tinggi.
- Menurunnya kualitas Sungai Batang
Hari disebabkan adanya limbah
kegiatan PETI skala besar dan
kegiatan domestik.
- Kecenderungan penurunan kualitas
air Danau Maninjau (danau Strategis
dan tujuan Wisata) yang ditandai
dengan kematian ikan pada waktu-
waktu tertentu. Hal ini disebabkan
banyaknya jumlah Keramba Jaring
Apung (KJA) yang sudah melebihi
daya tampung dan daya dukung
Danau Maninjau.
b. Isu terkait limbah :
- Limbah padat (sampah) yaitu
meningkatnya jumlah timbulan
sampah yang tidak sebanding dengan
cakupan pelayanan serta sarana
Pendahuluan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat I -4
prasarana pengolahan sampah. Pada
umumnya layanan tidak sampai
menjangkau pemukiman yang berada
pada sempadan sungai, danau dan
wilayah pesisir walaupun pemukiman
tersebut cukup padat.
- Belum terkelolanya Limbah B3 dan
limbah cair Rumah Sakit serta Hotel.
c. Isu terkait kebencanaan yaitu banjir,
longsor dan kebakaran hutan. Untuk
bencana banjir, walaupun tidak separah
tahun 2012, kejadian banjir pada lokasi
tertentu menimbulkan kerugian yang
cukup besar. Sedangkan bencana
longsor yang terjadi dengan intensitas
kecil. Adapun bencana kebakaran hutan
dan lahan terluas terjadi di Kabupaten
Pasaman Barat yakni seluas 70 ha,
selanjutnya Kabupaten Agam dan
Dharmasraya masing-masing seluas 40
ha.
1.3.2. Alasan Penetapan Isu Prioritas
Isu prioritas pada tahun 2014 ini
ditetapkan dan dianalisis melalui 2 (dua)
pendekatan yakni :
a. Ketersediaan data, baik data dari hasil
pemantauan dan pengawasan Bapedalda
maupun dari data kegiatan/program
instansi lain terkait.
b. Terjadinya kasus pencemaran dan atau
kerusakan lingkungan.
Adapun alasan penetapan isu
lingkungan pada tahun 2014 dapat dijelaskan
sebagaimana uraian berikut :
a. Isu lahan dan hutan tidak terlalu dibahas
karena data penetapan kawasan hutan
terakhir ditetapkan pada tahun 2013
sementara data laju kerusakan hutan dan
lahan tidak begitu cukup tersedia untuk
menganalisis isu ini. Walaupun pada
kenyataannya tidak dapat dipungkiri
bahwa telah terjadi alih fungsi hutan dan
lahan untuk berbagai kegiatan
pembangunan seperti : pemukiman,
pertambangan, pertanian, dll
a. Isu mengenai pencemaran air sungai di
segmen perkotaan sampai tahun ini
masih tetap menjadi isu lingkungan
prioritas karena berdasarkan data hasil
pemantauan menunjukkan Indek
Pencemaran Air (IPA) sungai di Sumatera
Barat cendrung menurun dari tahun ke
tahunnya. Sungai Batang Agam dan
Sungai Batang Anai menurun sampai
kategori wsapada pada segmen tertentu.
Disamping itu, Sungai Batang Hari yang
merupakan sungai lintas provinsi, juga
menunjukkan penurunan nilai IPA.
Selain penurunan kualitas air sungai
segmen perkotaan, kasus masih
terjadinya kematian ikan yang setiap tahun
hampir terjadi di Danau Maninjau juga
menjadi alasan ditetapkannya sebagai isu
penurunan kualitas air.
Pendahuluan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat I -5
b. Isu bencana lingkungan pada tahun ini
tetap menjadi isu prioritas karena
geomorfologi Sumatera Barat yang rawan
terhadap bencana geologi menuntut
kewaspadaan guna menghindari kerugian
yang tidak diinginkan.
c. Penetapan isu lingkungan hidup terkait
limbah, didasarkan pada :
- Keterbatasan Pemerintah Kabupaten/
Kota dalam memberikan jangkauan
pelayanan dan kurangnya sarana
serta prasarana pengolahan sampah
seperti TPS (Tempat Pembuangan
Sampah Sementara) menyebabkan
masalah persampahan belum
tertangani secara baik. Isu ini menjadi
prioritas agar Pemerintah
Kabupaten/Kota dapat merumuskan
strategi dan upaya untuk mengatasi
keterbatasan yang ada dan
meningkatkan peran serta masyarakat
dalam mengelola sampah.
Disisi lain sampah juga merupakan
sumber pencemaran utama sungai-
sungai di perkotaan dan sumber dari
emisi Gas Rumah Kaca (GRK)
- Belum terkelolanya secara baik
limbah cair dan limbah B3 sebagian
Rumah Sakit Pemerintah dan hotel.
Limbah kedua jenis kegiatan ini
memberikan kontribusi yang cukup
berarti terhadap pencemaran di
Sumatera Barat, sehingga isu limbah
cair dan limbah B3 rumah sakit dan
hotel patut menjadi isu prioritas.
1.4. Analisis S-P-R
Isu prioritas dianalisis menggunakan
analisis S-P-R (Statue/Status, Pressure/
Tekanan dan Response/Upaya Pengelolaan
Lingkungan). Pendekatan analisis
menggunakan analisis statistik sederhana,
analisis perbandingan antar lokasi, analisis
perbandingan antar waktu dan analisis
perbandingan dengan baku mutu
pencemaran/kriteria kerusakan. Dalam
mengambil sampel/parameter/lokasi untuk
dianalisis lebih detail maka dilakukan dengan
kriteria :
a. Keterwakilan masalah baik terkait dengan
status, tekanan dan upaya pengelolaan
lingkungan yang telah dilakukan.
b. Keterwakilan lokasi terutama lokasi yang
dapat menggambarkan kondisi kritis yang
patut menjadi perhatian.
c. Keterwakilan parameter terutama
parameter yang menunjukkan kualitas
lingkungan yang cenderung memburuk.
1.4.1. Analisis SPR pada Status
Status yang ingin digambarkan adalah
kondisi media lingkungan hidup yang terkena
dampak. Dalam hal ini adalah sungai-sungai
yang tercemar dan danau yang cenderung
menurun kualitasnya.
Pendahuluan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat I -6
a. Air
- Sungai perkotaan yang kualitas
airnya cenderung menurun yaitu
Sungai Batang Agam, Batang Anai,
Batang Ombilin dan Batang Pangian.
Untuk Sungai Batang Agam sudah
hampir tercemar pada segmen Kota
Bukittinggi, dimana pada lokasi ini
terdapat RPH yang limbahnya
langsung dibuang tanpa melalui
pengolahan, disamping itu di Sungai
Batang Anai (segmenTanah Datar)
juga terdapat aktifitas domestik dan
tumpukan sampah. Hasil
Perhitungan indeks pencemaran air
(IPA) terendah adalah Sungai
Batang Anai yaitu 53,83 %
selanjutnya Batang Agam 59,81 %.
- Sungai lintas kabupaten/kota dan
lintas provinsi yang sudah
mengalami pencemaran yakni
Sungai Batang Hari karena terdapat
kegiatan pertambangan emas tanpa
izin (PETI) dan galian C.
Berdasarkan data kualitas airnya,
untuk parameter fecal coliform dan
total coli, Sungai Batang Hari sudah
hampir tercemar berat hampir pada
setiap segmen. Disamping itu, data
IPA jug menurun setiap tahunnya.
- Banyaknya jumlah KJA di Danau
Maninjau yakni 16.130 petak,
sementara yang dipersyaratkan
sejumlah 6.000 petak sehingga telah
melebihi daya dukung dan daya
tampung Danau Maninjau. Kondisi ini
menyebabkan kematian ikan dalam
jumlah besar setiap tahunnya akibat
pakan ikan yang mengandung pospat
dan nitrat serta kotoran ikan yang
mengandung amoniak yang
menyebabkan terjadinya eutrofikasi.
1.4.2. Analisis SPR pada Tekanan
Adanya tekanan terhadap lingkungan
memberikan dampak berupa penurunan
kualitas lingkungan. Meningkatnya jumlah
penduduk dari tahun ke tahun ditengarai
sebagai penyebab utama tekanan terhadap
lingkungan yang memberikan efek turunan
pada tekanan lainnya. Berikut gambaran
analisis SPR terhadap tekanan :
a. Kependudukan
Tekanan utama dari kependudukan
adalah meningkatnya jumlah timbulan
sampah yang memerlukan penanganan
serius. Jumlah timbulan sampah tertinggi
terdapat di Kota Padang dan Kota Solok.
b. Pemukiman
Tingginya kebutuhan akan lahan tempat
tinggal/pemukiman akibat meningkatnya
jumlah penduduk sementara keberadaan
lahan semakin susah dan mahal harganya
telah mengakibatkan dimanfaatkannya
sempandan sungai. Dalam kaitannya
Pendahuluan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat I -7
dengan pencemaran air, maka bentuk
tekanan dari pemukiman adalah masih
tingginya jumlah rumah tangga yang tidak
memiliki fasilitas Buang Air Besar (BAB)
sehingga memanfaatkan sungai sebagai
fasilitas MCK. Jumlah rumah tangga yang
tidak memiliki fasilitas BAB tertinggi
terdapat di Kabupaten Kepulauan
Mentawai dan Kota Padang Panjang.
c. Meningkatnya aktifitas/kegiatan di sektor
pembangunan seperti : industri, rumah
sakit, hotel, transpotasi, pertambangan,
pemakaian energi telah menyebabkan
pula tekanan terhadap lingkungan.
1.4.3. Analisis SPR pada Respon
Berbagai upaya pengelolaan
lingkungan telah dilakukan untuk mengurangi
berbagai permasalahan lingkungan di
Sumatera Barat. Upaya tersebut meliputi
rehabilitasi lingkungan, pengawasan
AMDAL/UKL-UPL, penegakan hukum,
peningkatan peran serta masyarakat dan
peningkatan kapasitas kelembagaan.
Beberapa upaya pengelolaan lingkungan yang
telah dilakukan tahun ini antara lain :
a. Kegiatan penghijauan dan reboisasi yang
dilakukan kerjasama antar instansi
pemerintah baik di tingkat provinsi
maupun kabupaten/kota.
b. Turut berpartisipasinya masyarakat,
dunia pendidikan dan dunia usaha dalam
pengelolaan lingkungan. Meningkatnya
jumlah sekolah berwawasan lingkungan
(Adiwiyata) serta adanya kegiatan
Coorporate Social Responsibility (CSR)
perusahaan juga turut andil dalam
perbaikan kualitas lingkungan.
Masyarakat juga membantu dengan
berbagai kegiatan aksi bersama
pemerintah daerah/swasta seperti
pembersihan lingkungan, pembersihan
pantai, penanaman pohon (go green), dll.
c. Kegiatan Adipura dan Gerakan Sumbar
Bersih yang melibatkan kecamatan/
kelurahan di kabupaten/kota untuk
mengurangi jumlah timbulan sampah.
d. Kegiatan pengendalian pencemaran
terhadap industri melalui program
Penilaian Kenerja Perusahaan dan
Kegiatan (PROPER dan PROPERLIKE)
e. Kegiatan pengawasan izin dokumen
lingkungan (AMDAL, UKL-UPL dan
SPPL) serta menindaklanjuti pengaduan
kasus-kasus lingkungan.
f. Berbagai kegiatan pelatihan, bimbingan
teknis, workshop yang telah telah diikuti
dalam rangka peningkatan kapasitas
SDM pengelola lingkungan hidup baik di
tingkat provinsi maupun kabupaten/kota
BAB IIBAB IIKONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANYAKONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANYA
Isu lingkungan hidup prioritas pada tahun 2014 adalah menurunnya kualitas air sungai perkotaan dan danau yakni Sungai Batang Agam, Sungai Batang Hari dan Danau Maninjau, Meningkatnya jumlah timbulan sampah serta belum terkelolanya limbah B3 dan limbah cair sebagian rumah sakit pemerintah dan hotel serta isu terkait kebencanaan yaitu banjir, longsor dan kebakaran hutan.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-1
2.1. LAHAN DAN HUTAN
Luas kawasan hutan di Sumatera
Barat berdasarkan Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 35/Menhut-II/2013
tanggal 15 Januari 2013 lebih kurang 55,39
% sedangkan 44,61 % digunakan untuk
kegiatan lainnya dalam bentuk Areal
Penggunaan Lain (APL) seluas 1.886.837
Ha dari total luas Provinsi Sumatera Barat
yaitu seluas 4.229.730 Ha. Isu utama terkait
dengan lahan dan hutan di Provinsi
Sumatera Barat dalam kurun waktu 5 (lima)
tahun terakhir tidak mengalami perubahan,
yaitu :
1. Alih fungsi lahan (okupasi)/ pemanfaatan
kawasan hutan untuk kegiatan non
kehutanan serta kaitannya dengan
penurunan Gas Rumah Kaca (GRK).
2. Lahan kritis yang cukup luas di beberapa
kabupaten yang belum diikuti upaya
rehabilitasi yang signifikan yaitu di
Kabupaten Kepulauan Mentawai,
Kabupaten Pesisir Selatan dan
Kabupaten Pasaman Barat.
3. Kerusakan hutan di kabupaten/kota.
Analisis terhadap isu lingkungan
terkait hutan dan lahan akan dilakukan
melalui pendekatan–pendekatan sebagai
berikut:
1. Analisis terhadap obyek dan lokasi
dilakukan dengan melihat keterwakilan
masalah, bukan keseluruhan daerah
kabupaten/kota.
2. Analisis dilakukan untuk melihat
kecendrungan dengan membandingkan
antar lokasi, antar waktu dan trend
kerusakan yang terjadi.
3. Analisis perbandingan dengan baku
mutu hanya diterapkan terhadap
bahasan kerusakan tanah. Baku mutu
mengacu kepada Peraturan
Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000
tentang Pengendalian Kerusakan
Tanah Untuk Produksi Biomassa.
4. Pendekatan analisis juga didasarkan
pada Indeks Kualitas Lingkungan Hidup
(IKLH) untuk parameter tutupan lahan.
2.1.1. Kondisi Lahan dan Hutan
2.1.1.1. Luas Wilayah Menurut
Penggunaan Lahan Utama
Setelah terbitnya Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor 35/Menhut-
II/2013 Tanggal 15 Januari 2013, topografi
daerah Sumatera Barat yang didominasi
oleh perbukitan mengakibatkan sebagian
besar kawasan hutan di Sumatera Barat
berstatus kawasan lindung, baik berupa
hutan lindung maupun hutan konservasi.
Luas lahan hutan terluas berada di
Kabupaten Pesisir Selatan seluas 429.765
Ha, sedangkan kota yang memiliki hutan
terkecil luasnya adalah Kota Payakumbuh
seluas 1,58 Ha sebagai hutan kota.
Kabupaten Agam merupakan
kabupaten yang pemanfaatan lahan sebagai
lahan sawah yang sangat luas yaitu 35.521
Ha sedangan lahan sawah terkecil di
Kabupaten Kepulauan Mentawai seluas 1,42
Ha (sumber: Tabel SD-1 Buku Data SLHD
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-2
Provinsi Sumatera Barat, 2014). Untuk
kawasan perkebunan terluas berada di
Kabupaten Pasaman Barat yaitu 188.955 Ha
dan lahan perkebunan terkecil berada di
Kabupaten Kepulauan Mentawai seluas
20,57 Ha. Sedangkan daerah yang tidak
memiliki lahan perkebunan adalah Kota
Bukittinggi, Kota Padang Panjang dan Kota
Payakumbuh.
Penggunaan lahan terluas di
Sumatera Barat adalah hutan yang
berjumlah ± 59,49 %, sedangkan sisanya
adalah penggunaan untuk non pertanian ±
2,17 %, sawah 8,51 %, lahan kering 13,86
%, perkebunan ± 15,28 %, dan badan air
0,68 %. Distribusi penggunaan lahan di
Sumatera Barat dapat dilihat pada Gambar
2.1.
Gambar 2.1 Persentase Penggunaan Lahan/Tutupan Lahan
Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel SD-1 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
2.1.1.2. Luas Kawasan Hutan Menurut
Fungsi/Status
Luas kawasan hutan di Sumatera
Barat berdasarkan Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 35/Menhut–II/2013
Tanggal 15 Januari 2013 seluas
+2.380.057,32 Ha yang meliputi Kawasan
Konservasi yang terdiri dari Cagar Alam/
Suaka Margasatwa/Taman Wisata/Kawasan
Suaka Alam/Kawasan Pelestarian Alam
(KSA/KPA) seluas 806.938,74Ha, Hutan
Lindung (HL) seluas 791.671 Ha, Hutan
Produksi (HP) seluas 360.608 Ha, Hutan
Produksi Terbatas (HPT) seluas 233.210 Ha,
dan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi
(HPK) seluas 187.629 Ha. Luas kawasan
hutan menurut fungsi/status dapat dilihat
pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status
Sumber: Olahan Tabel SD-2 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-3
Pada tahun 2011 terjadi perubahan
luas kawasan hutan lindung yang berkurang
sebesar 200.000 Ha. Sedangkan pada tahun
2012 tidak ada perubahan luas kawasan
lindung. Perubahan terjadi lagi pada tahun
2013, dimana berdasarkan Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor 35/Menhut-
II/2013 Tanggal 15 Januari 2013 mengalami
perubahan hutan lindung seluas 443 ha.
Untuk lebih jelasnya perbandingan
perubahan luas kawasan hutan menurut
fungsinya dari tahun 2012–2014 dapat dilihat
pada Gambar 2.3. Perubahan fungsi hutan
yang paling besar adalah Kabupaten Solok
Selatan yaitu 198.001 Ha
Gambar 2.3 Perubahan Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status
Sumber : OlahanTabel SD-2D Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
2.1.1.3. Luas Kawasan Lindung
Berdasarkan RTRW dan Tutupan
Lahannya
Luas kawasan lindung berdasarkan
RTRW seluas 3.162.299,98 Ha dan kawasan
budidaya seluas 74.365,68. (sumber: Tabel
SD-3A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera
Barat, 2014). Dari total kawasan lindung
terdapat hutan lindung dengan luasan
23,68%, hutan suaka alam dan pelestarian
alam 57,56 %, dan 16,39% kawasan lindung
berada di hutan produksi, hutan produksi
terbatas dan hutan konversi serta 0,52%
kawasan lindung berada di luar hutan.
(Sumber: RTRW Sumatera Barat 2012-
2032).
Kawasan lindung terluas berada di
Kabupaten Lima Puluh Kota yaitu 290.392,9
Ha, diikuti Kabupaten Pesisir Selatan seluas
271.523,4 Ha berupa Taman Nasional
(Taman Nasional Kerinci Seblat) dan Suaka
Alam. Taman Nasional Kerinci Seblat
merupakan taman nasional lintas provinsi
yaitu Provinsi Sumatera Barat, Provinsi
Jambi, Provinsi Bengkulu dan Provinsi
Sumatera Selatan. Untuk segmen Sumatera
Barat meliputi Kabupaten Pesisir Selatan,
Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Solok
dan Kabupaten Sijunjung.
Berdasarkan RTRW Provinsi
Sumatera Barat Tahun 2012–2032 didapat
gambaran bahwa pemanfaatan lahan kedua
paling luas adalah untuk pertanian. Areal
pertanian terbesar berada di Kabupaten
Pasaman Barat yaitu 164.373 Ha dan
terkecil di Kota Bukittinggi 598 Ha. Badan
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-4
Pertanahan Nasional (BPN) mencatat bahwa
penggunaan lahan sawah ke depannya akan
dikonversi secara terencana melalui RTRW
kabupaten/kota untuk kebutuhan
pemukiman, pusat usaha/perdagangan,
perkantoran, infrastruktur jalan dan
keperluan lainnya.
2.1.1.4. Luas Penutupan Lahan Dalam
Kawasan Hutan dan Luar
Kawasan Hutan
Luas penutupan lahan dalam
kawasan hutan dan non kawasan hutan
dinyatakan dengan luas kawasan Hutan
Tetap (HT) dan kawasan Hutan Produksi
Konversi (HPK) serta Areal Penggunaan
Lain (APL). Hutan Tetap merupakan jumlah
luasan dari Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam, Hutan Lindung,
Hutan Produksi Terbatas dan Hutan
Produksi. Gambar 2.5 menggambarkan dari
12 kabupaten/kota yang memiliki luas
penutupan lahan berupa Hutan Tetap terluas
adalah Kabupaten Kepulauan Mentawai
yaitu 420.834Ha. Hutan Produksi Konservasi
terluas di Kabupaten Pesisir Selatan yaitu
374.449,69 Ha, dan Areal Penggunaan Lain
terluas juga berada di Kabupaten Pesisir
Selatan yaitu seluas 17.919,31 Ha.
Perbandingan luas penutupan
lahan pada tahun 2012 dan 2013
menunjukan bahwa terjadi penurunan jumlah
penutupan lahan baik dalam dan luar
kawasan hutan.
Gambar 2.4 Perbandingan Luas Penutupan Lahan Dalam dan Luar Kawasan Hutan
Tahun 2012 dan Tahun 2013
Sumber : Olahan Tabel SD-4A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
2.1.1.5. Luas Lahan Kritis
Luas lahan kritis pada tahun 2014
adalah 339.173,31 Ha. Lahan kritis terluas
terdapat di Kabupaten Dharmasraya yaitu
sebesar 584.139,72 Ha, diikuti Kabupaten
Pesisir Selatan seluas 319.437 Ha dan
Kabupaten Pasaman seluas 154.512,21 Ha.
Kabupaten Padang Pariaman merupakan
kabupaten yang memiliki lahan kritis terkecil
seluas 10.231 Ha. Sedangkan untuk tingkat
kota, lahan kritis terluas adalah Kota Padang
yaitu 6.670 Ha dan Kota Payakumbuh
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-5
memiliki luas lahan kritis terkecil yaitu seluas
2.197,26 Ha.
Total luas lahan kritis Provinsi Sumatera
Barat mengalami peningkatan pada tahun
2014 dibandingkan tahun 2013 Bila dilihat
dari kategori lahan kritis yang dibagi
berdasarkan potensial kritis, agak kritis, kritis
dan sangat kritis, maka pada tahun 2014 di 7
( tujuh ) kabupaten/kota menunjukan bahwa
lahan berpotensial kritis seluas 1.425.157
Ha. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Gambar 2.5 dan Gambar 2.6.
Gambar 2.5 Lahan Kritis di Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel SD-5 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Gambar 2.6 Luas Lahan Kritis, Potensial Kritis dan Agak Kritis di 7 (tujuh) Kabupaten Kota Sumatera Barat
Sumber : Olahan Tabel SD-5A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
2.1.1.6. Evaluasi Kerusakan Tanah di
Lahan Kering Akibat Erosi Air
Kerusakan tanah di lahan kering
akibat erosi air tahun 2014 dapat
digambarkan di 4 (empat) kabupaten/kota
yaitu Kota Padang dengan besaran erosi
33,52 mm/10 tahun (melebihi ambang batas
kritis erosi) untuk tebal tanah 100 s/d 150
cm, Kabupaten Agam dengan besar erosi
1,6 mm/10 tahun (melebihi ambang batas
kritis erosi) untuk tebal tanah kurang dari 20
cm, 4,22 mm/10 tahun (melebihi ambang
batas kritis erosi) untuk tebal tanah 20 s/d <
50 cm. Sedangkan besaran erosi yang
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-6
mengakibatkan kerusakan tanah di lahan
kering di Kabupaten Pesisir Selatan dan
Kabupaten Dharmasraya pada semua
ketebalan tanah tidak melebihi ambang
batas kritis erosi.
Secara umum kerusakan tanah akibat
erosi terjadi pada ketebalan tanah kurang
dari 20 cm, tebal tanah antara 20 s/d <50 cm
dan 50 s/d < 100 cm. Kerusakan tanah di
lahan kering akibat erosi air mengalami
kecenderungan tetap di tahun 2013 ini. Di
Kabupaten Pesisir Selatan, erosi yang
mengakibatkan kerusakan tanah di lahan
kering masih memenuhi ambang kritis erosi
(PP 150 Tahun 2000). Gambar 2.7
memperlihatkan perbandingan kerusakan
tanah dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun di
Kabupaten Pesisir Selatan.
Gambar 2.7 Perbandingan Kerusakan Tanah di Lahan Kering Akibat
Erosi Air di Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2012 – 2014
Sumber : Olahan Tabel SD-6A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
2.1.1.7. Evaluasi Kerusakan Tanah di
Lahan Kering
Hasil evaluasi kerusakan tanah
pada lahan kering di 8 (delapan)
kabupaten/kota yaitu Kota Padang, Kota
Payakumbuh, Kabupaten Padang Pariaman,
Kabupaten Agam, Kabupaten Pesisir
Selatan, Kabupaten Solok, Kabupaten
Pasaman dan Kabupaten Dhamasraya.
Secara umum menunjukkan bahwa
pengujian tanah bukan dilakukan pada lahan
kering melainkan di lahan pertanian/
perkebunan dengan kualitas tanah yang
cukup baik. Hasil pemantauan dapat
disampaikan bahwa solum tanah di
Sumatera Barat umumnya memiliki solum
tanah lebih besar dari 20 cm dan derajat
kelolosan air antara 0,7 s/d 8 cm/jam serta
kebatuan permukaan lebih kecil dari 40%.
Untuk perbandingan antara tahun
2011–2013, evaluasi tanah pada lahan
kering dapat dilihat di Kabupaten Pesisir
Selatan. Selama 3 (tiga) tahun tidak
mengalami perubahan yang signifikan
dimana hasil pemantauan secara umum
masih memenuhi Ambang Kritis
sebagaimana PP 150 Tahun 2000.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-7
Tabel 2.1 Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Kering Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2012 sampai dengan Tahun 2014
No. Parameter Ambang Kritis Hasil Pengamatan
2012 2013 2014
1 Ketebalan Solum < 20 cm 39 cm 39 cm 19 cm
2 Kebatuan Permukaan > 40 % 25% 25% 35%
3 Komposisi Fraksi < 18 % koloid; 20% 23% 12%
> 80 % pasir kuarsitik 68% 58% 66%
4 Berat Isi > 1,4 g/cm3 1,1 g/cm
3 2,1 g/cm
3 3,1 g/cm
3
5 Porositas Total < 30 % ; > 70 % 60% 23,19% 27,19%
6 Derajat Pelulusan Air < 0,7 cm/jam ; > 8,0
cm/jam 5 cm/jam 5 cm/jam 3 cm/jam
7 pH (H2O) 1 : 2,5 < 4,5 ; > 8,5 4.63 4,77 6,33
8 Daya Hantar Listrik /DHL
> 4,0 mS/cm 6 mS/cm 105 mS/cm 565 mS/cm
9 Redoks < 200 mV 321 mV 321 mV 131 mV
10 Jumlah Mikroba < 102cfu/g tanah
15 cfu/ g tanah
27,8 cfu/ g tanah
17,8 cfu/ g tanah
Sumber : Olahan Tabel SD-7A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
2.1.1.8. Evaluasi Kerusakan Tanah di
Lahan Basah
Hasil pemantauan kualitas tanah di
lahan basah di Sumatera Barat secara
umum belum terjadi kerusakan tanah di
lahan basah (masih memenuhi baku mutu
PP 150 Tahun 2000). Kerusakan tanah di
lahan basah dapat digambarkan bahwa tidak
terjadi perbedaan antara tahun 2012 sampai
dengan tahun 2014. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat sebagaimana Tabel 2.2 berikut.
Tabel 2.2. Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Basah Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2012, Tahun 2013 dan Tahun 2014
No Parameter Ambang Kritis Hasil Pengamatan
(PP 150/2000) 2012 2013 2014
1 pH (H2O) 1 : 2,5 < 4,5 ; > 8,5 4,63 4,77 12,44
2 Daya Hantar Listrik /DHL > 4,0 mS/cm 6,00 105,00 98,00
3 Redoks < 200 mV 321,00 321,00 159,00
4 Jumlah Mikroba < 102cfu/g tanah 15,00 27,8 34,00 Sumber : Olahan Tabel SD-8A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
2.1.1.9. Perkiraan Luas Kerusakan Hutan
Menurut Penyebabnya
Pada tahun 2013 kerusakan hutan di
Sumatera Barat seluas 62.535,12 Ha.
Penyebab kerusakan hutan terbesar adalah
perambahan hutan seluas 39.393,31 Ha
(63,99 %), ladang berpindah seluas 16.653
ha (26,63 %), penebangan liar seluas
4.882,31 ha (7,18 %), dan terakhir akibat
kebakaran hutan seluas 1.606,50 Ha
(2,57 %). Berdasarkan luas kerusakan hutan
antar daerah, maka kerusakan hutan
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-8
terbesar terdapat di Kabupaten Pasaman
Barat 66.700 Ha dan Kabupaten
Dharmasraya 5.551,55 Ha yang disebabkan
oleh perambahan hutan, termasuk
dimanfaatkannya kawasan hutan untuk
perkampungan dan pertanian. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat sebagaimana Gambar
2.8 berikut.
Gambar 2.8 Perkiraan Persentase Luas Kerusakan Hutan Menurut Penyebabnya
Sumber : Olahan Tabel SD-9 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Pada tahun 2014 dapat
digambarkan bahwa terjadi penurunan
kerusakan hutan secara total dibandingkan
tahun 2013 karena kerusakan hutan di
Kabupaten Pesisir Selatan dan Kabupaten
Dharmasraya mengalami penurunan yang
signifikan dari 1.994,00 Ha tahun 2013
menjadi 10,30 Ha pada tahun 2014 untuk
Kabupaten Pesisir Selatan dan Kabupaten
Dharmasraya dari 5.551,55 Ha menjadi 567
Ha.
2.1.1.10. Pelepasan Kawasan Hutan
Yang Dapat Dikonversi Menurut
Peruntukan
Permasalahan mendasar pada
hutan dan lahan salah satunya adalah
konversi kawasan hutan ke areal
penggunaan lain. Konversi hutan yang paling
banyak pada tahun 2014 adalah kegiatan
pertanian sebesar 82,60 % dan perkebunan
sebesar 12,33 %. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada Gambar 2.9 konversi hutan
terbesar pada tahun 2014 terjadi di
Kabupaten Dharmasraya seluas 24.365 Ha
yang dikonversi untuk perkebunan,
selanjutnya Kabupaten Pasaman seluas
22.267 Ha yang dikonversi untuk areal
perkebunan. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada Gambar 2.10.
Kecenderungan konversi hutan
pada tahun 2012 - 2014 dapat digambarkan
bahwa telah terjadi penurunan luas hutan
yang dikonservasi dari 543.382,98 Ha
menjadi 158.436,43 Ha pada tahun 2013
dan terus mengalami penurun pada tahun
2014 menjadi 182.411,65 Ha. Bila dilihat
secara parsial dari masing-masing
kabupaten/kota yang mengalami
peningkatan yaitu Kabupaten Pasaman,
Kabupaten Agam, dan Kabupaten Lima
Puluh Kota.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-9
Gambar 2.9 Konversi Hutan Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel SD-10 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Gambar 2.10 Konversi Hutan di 7 (Tujuh) Kabupaten/Kota Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel SD-10A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Gambar 2.11 Tujuh Kabupaten/Kota yang Melakukan Konversi Hutan Terluas Tahun 2012 - Tahun 2014
Sumber: Olahan Tabel SD-10B Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
2.1.2 Indeks Kualitas Lingkungan
Hidup Tutupan Hutan dan Lahan
Indeks Kualitas Lingkungan Hidup
(IKLH) tutupan hutan merupakan salah satu
cara lain untuk menilai kondisi hutan dan
lahan secara cepat. Berdasarkan data luas
hutan primer dan luas hutan sekunder yang
dibandingkan dengan luas kawasan hutan
berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan
telah dilakukan perhitungan Indeks Tutupan
Hutan dan Lahan dengan hasil perhitungan
secara umum menunjukkan bahwa tutupan
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-10
hutan dan lahan di Sumatera Barat masih
berkategori baik kecuali Kota Padang
Panjang, Kota Payakumbuh dan Kabupaten
Sijunjung. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada Gambar 2.12 berikut.
Gambar 2.12. Indeks Tutupan Hutan dan Lahan Provinsi Sumatera Barat
Sumber : Olahan Tabel SD-1C Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-11
Gambar 2.13. Peta Perubahan Kawasan Hutan Provinsi Sumatera Barat
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-12
2.2. KEANEKARAGAMAN
HAYATI
Jenis flora di Indonesia merupakan
bagian dari geografi tumbuhan Indo-Malaya,
Flora Indo-Malaya meliputi tumbuhan yang
hidup di India, Vietnam, Thailand, Malaysia,
Indonesia dan Filipina. Flora yang tumbuh di
Malaysia, Indonesia dan Filipina sering
disebut kelompok flora Malesiana. Hutan di
daerah Malesiana memiliki kurang lebih
248.000 spesies tumbuhan tinggi, didominasi
oleh pohon dari familia Dipterocarpaceae,
yaitu pohon-pohon yang menghasilkan biji
bersayap. Dipterocarpaceae merupakan
tumbuhan tertinggi dan membentuk kanopi
hutan. Tumbuhan yang termasuk famili
Dipterocarpaceae misalnya kruing, meranti,
kayu garu dan kayu kapur.
Hewan-hewan di Indonesia memiliki
tipe oriental (kawasan barat Indonesia) dan
Australia (kawasan timur Indonesia) serta
peralihan. Hewan-hewan di bagian barat
Indonesia (oriental) yang meliputi Sumatera,
Jawa, dan Kalimantan, memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
1. Banyak spesies mamalia yang berukuran
besar, misalnya gajah, banteng, harimau,
badak. Mamalia yang berkantung
jumlahnya sedikit, bahkan bisa dikatakan
tidak ada.
2. Terdapat berbagai macam kera,
misalnya: bekatan, tarsius, orang utan.
3. Terdapat hewan endemik seperti: badak
bercula satu, binturong, monyet, tarsius
dan kukang.
4. Burung-burung memiliki warna bulu yang
kurang menarik, tetapi dapat berkicau.
Burung-burung yang endemik misalnya,
jalak bali, elang jawa, murai mengkilat
dan elang putih.
2.2.1. Flora dan Fauna yang dilindungi
Terdapat 22 jenis hewan menyusui
dan 6 (enam) spesies diantaranya berstatus
endemik yaitu Kambing (Capricornis
sumatraensis), Bokoi/Beruk Mentawai
(Macaca pagensis), Kelinci Sumatera
(Nesolagus netscheri), Harimau Sumatera
(Phantera tigris sumatrae), Simakobu/Simpai
Mentawai (Simias concolor) dan Lutung
Mentawai (Prebitys potenziani). Mamalia
dengan status terancam sebanyak 18 jenis
spesies yaitu Binturong (Artictis binturong,
Menjangan/Rusa Sambar (Cervus,sp.)
Ajag/Anjing Hutan (Cuon alpinus), Beruang
Madu (Helarctos malayanus), Kubung/Tando
(Cynocephalus variegatus), Musang Air
(Cynogole benneti), Kucing Hutan
(Felis bengalensis), Kucing Emas (Felis
temminckii), Owa (Hylobatidae), Landak
(Hystrixbrachyura), Trenggiling (Manis
javanica), Kijang (Mantiacus muntjak),
Harimau Dahan (Neofelis nebulosa), Kukang
(Neocebus coucang) dan Kancil (Tragulus
javanicus).
Sedangkan dari jenis burung ada 6
spesies yang dilindungi yaitu burung Alap-
Alap (Acciptridae), Kuau (Argusianus argus),
Rangkong (Buceros,sp), Bangau Putih
(Egretta,sp), Maleo (Megapodiidae) dan
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-13
Burung Merak (Pavomuticus). Sedangkan
spesies yang dilindungi dan berstatus
endemik yaitu Kuau (Argusianus argus). Dari
golongan reptilia yang dilindungi ada dua
spesies yaitu Buaya Muara
(Crocodylusporosus) dan Sanca Bodo
(Phyton molurus) dengan status terancam.
Penyu Tempayan (Caretta caretta) dan
Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea)
merupakan hewan yang dilindungi dari jenis
reptilia dengan status terancam dan dalam
jumlah terbatas.
Flora yang dilindungi dan terancam
keberadaannya yaitu: Raflesia (Rafflesia
arnoldi) dan (Nepenthes, sp) sedangkan
spesies yang dilindungi dan berstatus
endemik yaitu Bunga Bangkai
(Amorpophalus titanium) dan Vanda
Sumatera (Vanda sumatreae) pada Gambar
2.14.
2.2.2. Jumlah Jenis Spesies Flora dan
Fauna yang Dilindungi per
Kabupaten / Kota
Jumlah spesies yang dilindungi
terbanyak terdapat di Kabupaten Agam
diantaranya Harimau Sumatera (Panthera
tigris sumatrae) yang sekaligus menjadi
maskot dari Kabupaten ini. Sedangkan
daerah kedua terbanyak yaitu Kabupaten
Pesisir Selatan. Kemudian Kabupaten Solok
Selatan.
Gambar 2.14 Flora Yang Dilindungi (Vanda sumatera)
Gambar 2.15 Jumlah Jenis Spesies yang Dilindungi per Kabupaten/ Kota
Sumber : Olahan Tabel SD 11 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-14
2.2.3. Jumlah Jenis Spesies Flora dan
Fauna yang Endemik per
Kabupaten/ kota
Jumlah jenis spesies flora dan
fauna yang endemik terbanyak terdapat di
Kota Padang dengan klasifikasi hewan
menyusui sebanyak 8 jenis, burung
sebanyak 4 jenis, reptil sebanyak 13 jenis,
amphibi 1 jenis dan tumbuh-tumbuhan
sebanyak 7 jenis, diketahui juga di Kota
Sawahlunto terdapat 4 jenis spesies yang
endemik dan Kabupaten Sijunjung sebanyak
2 jenis hewan menyusui dan 2 dari jenis
burung.
Gambar 2.16. Jumlah Spesies Flora dan Fauna Endemik per Kabupaten/Kota
Sumber : Olahan Tabel SD-11B Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
2.2.4. Jumlah Jenis Spesies Flora dan
Fauna yang Terancam per
Kabupaten/Kota
Daerah terbanyak yang memiliki
spesies terancam yaitu Kota Padang dari
jenis mamalia dan jenis aves serta reptilia
dan diikuti Kabupaten Agam, spesies yang
terancam dari golongan mamalia dan reptilia
serta aves .
Gambar 2.17. Jumlah Jenis Spesies Terancam per Kabupaten/Kota
Sumber : Olahan Tabel SD-11C Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-15
2.2.5. Jumlah Jenis Spesies Flora dan
Fauna yang Berlimpah per
Kabupaten / Kota
Untuk jenis spesies yang berlimpah
di Kota Padang terdapat 11 jenis ikan,
sedangkan di Kota Pariaman terdapat 13
jenis. Di Kabupaten Padang Pariaman
diketahui dari jenis burung terdapat 2 jenis,
reptil 1 jenis, amphibi 3 jenis, ikan 3 jenis.
Untuk jelasnya dapat dilihat pada gambar
2.18 berikut.
Gambar 2.18 Jenis Species Flora dan Fauna yang Berlimpah per Kabupaten/Kota
Sumber: Olahan Tabel SD-11D Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014 2.2.6. Maskot Flora dan Fauna
Andalas (Morus macroura)
Pohon Andalas (Morus macroura)
masih berkerabat dekat dengan pohon
Murbei (Morus alba) yang biasa digunakan
sebagai pakan ulat sutra (Bombyx mori).
Tanaman yang disebut Himalayan Mulberry
atau Sumatra Mulberry ini dalam bahasa
daerah dikenal dengan Andaleh. Sedangkan
dalam bahasa ilmiah pohon yang menjadi
maskot (flora identitas) Sumatera Barat ini
dinamakan Morus macroura yang
bersinonim dengan Morus laevigata. Latar
belakang ditetapkannya pohon andalas
sebagai flora identitas atau maskot
Sumatera Barat tidak terlepas dari
pemanfaatan kayu andalas sebagai bahan
pembangunan rumah adat di daerah
Minangkabau. Namun semakin lama pohon
ini semakin sulit dan langka bahkan untuk
memperoleh kayunya seringkali memerlukan
perjalanan berhari-hari menuju lokasinya di
hutan. Untuk lebih jelas dilihat pada Gambar
2.19 Buah dan daun pohon Andalas yang
menyerupai Murbei.
Gambar 2.19 Maskot Flora Sumatera Barat
Buah dan daun pohon Andalas yang menyerupai Murbei
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-16
Pohon Andalas mempunyai tinggi
sekitar 40 meter dengan diameter batang
mencapai 1 meter. Bentuk daun mirip daun
murbai (Morus alba), seperti jantung namun
permukaan daunnya sedikit kasar karena
berbulu. Bagian tepi daunnya bergerigi.
Tangkai daun maupun cabang andalas juga
berbulu, bulu-bulu tersebut bisa
menyebabkan gatal-gatal pada kulit yang
peka. Buah andalas pun mirip dengan buah
murbai. Buahnya berbentuk majemuk,
menggerombol berwarna hijau jika masih
muda dan menjadi ungu kemerahan bila
telah masak. Buahnya berair dan dapat
dimakan dengan rasa asam-asam manis.
Pohon Andalas (Morus macroura)
tumbuh tersebar mulai dari India, China
bagian selatan, Kamboja, Thailand, dan
Indonesia. Di Indonesia tanaman ini hanya
bisa ditemukan di Sumatera dan Jawa
bagian barat. Habitat pohon andalas
terdapat di hutan dataran tinggi dengan
curah hujan yang cukup banyak pada
ketinggian antara 900-2.500 meter dpl.
Pohon yang ditetapkan sebagai tanaman
khas (flora identitas) Provinsi Sumatera
Barat ini terkenal sebagai kayu yang kuat,.
Oleh karenanya kayu andalas sering
dimanfaatkan sebagai bahan bangunan
untuk rumah baik sebagai tiang, balok
landasan rumah, papan dinding, maupun
lantai. Selain itu kayunya juga kerap kali
dipergunakan untuk pembuatan perabot
rumah tangga. Tanaman ini mulai langka
dan sulit ditemukan. Andalas juga
diabadikan menjadi nama perguruan tinggi
tertua di Sumatera Barat yaitu Universitas
Andalas.
Burung Kuau : Argusianus argus
Karakteristik burung ini sangat
mudah dikenali karena memiliki tubuh yang
indah dan spesifik. Tubuh jantan lebih besar
dari pada betina. Beratnya adalah 11,5 kg
dan panjangnya adalah 2 meter. Umumnya,
berwarna dasar kecoklatan dengan
bundaran kecoklatan. Kulit disekitar kepala
dan leher Kuau jantan berwarna kebiruan.
Bagian belakang jambul betina, ditumbuhi
jambul yang lembut. Warna kaki Kuau betina
kemerahan dan tidak mempunyai taji/susuh.
Suara burung kuau terdengar hingga lebih
dari 1 mil. Habitat burung ini di kawasan
hutan, mulai dari dataran rendah sampai
pada ketinggian sekitar 1.300 meter dpl.
Penyebaran burung ini adalah di Sumatera
dan Kalimantan serta juga terdapat di Asia
Tenggara. Burung ini jarang dijumpai di
hutan sekunder dan bekas tebangan sampai
ketinggian 1.300 meter dpl
Ciri-ciri Burung Kuau :
Tubuh yang cukup besar/berat,
berbentuk indah dan panjang umumnya.
Mempunyai bulu berwarna coklat
kemerahan dan kulit kepala berwarna
biru.
Burung jantan dewasa berukuran sangat
besar, panjangnya dapat mencapai
200cm.
Di atas kepalanya terdapat jambul dan
bulu tengkuk berwarna kehitaman.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-17
Burung jantan dewasa juga memiliki
bulu sayap dan ekor yang sangat
panjang, dihiasi dengan bintik-bintik
besar menyerupai mata serangga atau
oceli.
Burung betina berukuran lebih kecil dari
burung jantan, panjangnya sekitar
75cm, dengan jambul kepala berwarna
kecoklatan.
Bulu ekor dan sayap betina tidak
sepanjang burung jantan, dan hanya
dihiasi dengan sedikit oceli.
Gambar 2.20 Maskot Fauna Sumatera Barat
Burung Kuau (Argusianus argus)
2.3. AIR
Kewenangan pengelolaan sumber
air di Sumatera Barat terdiri dari
kewenangan Pemerintah Pusat (sungai-
sungai lintas provinsi), Pemerintah Provinsi
(sungai-sungai lintas kabupaten/kota) dan
Pemerintah Kabupaten/Kota (sungai-sungai
yang berada dalam wilayah administrasi
kabupaten/kota).
Berdasarkan Lampiran III.1
Keputusan Presiden RI No. 12 Tahun 2012
tentang Penetapan Wilayah Sungai, Provinsi
Sumatera Barat terbagi dalam 8 (delapan)
Wilayah Sungai dengan potensi sumberdaya
air yang cukup besar, yakni mencapai lebih
kurang 50.950 juta m3/tahun (36.393 juta
m3/tahun air permukaan dan 14.557
m3/tahun air tanah).
2.3.1. Kondisi Air
2.3.1.1. Inventarisasi Sungai
Provinsi Sumatera Barat memiliki
606 buah sungai, baik skala besar maupun
kecil, dengan rincian sebagai berikut sungai
lintas provinsi sebanyak 27 sungai, sungai
lintas kabupaten/kota sebanyak 81 sungai
dan sungai parsial kabupaten/kota 498
sungai besar dan kecil.
Sungai lintas provinsi di Sumatera
Barat yang dijadikan sebagai target
pemantauan sungai strategis nasional yaitu
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-18
Batang Hari (Provinsi Sumatera Barat–
Jambi), Batang Kampar (Provinsi Sumatera
Barat–Riau), dan Sungai Batang Kuantan
(Provinsi Sumatera Barat–Riau).
Untuk sungai lintas kabupaten/kota
di Sumatera Barat yang dijadikan sebagai
target pemantauan tahun 2014 yaitu Sungai
Batang Agam (melewati Kabupaten Agam,
Kota Bukittinggi, Kota Payakumbuh, dan
Kabupaten Lima Puluh Kota), Sungai Batang
Pangian (melewati Kabupaten Sijunjung, dan
Kabupaten Dharmasraya), Sungai Batang
Ombilin (melewati Kabupaten Tanah Datar,
Kota Sawahlunto, Kabupaten Sijunjung), dan
Sungai Batang Anai (melewati Kabupaten
Tanah Datar, Kota Padang Panjang dan
Kabupaten Padang Pariaman).
Sungai-sungai di Sumatera Barat
memiliki panjang, lebar (permukaan dan
dasar) serta kedalaman yang bervariasi.
Sungai Batang Hari adalah yang terpanjang
di Sumatera Barat. Total panjang Sungai
Batang Hari 775 km, sekitar 583 km berada
di Propinsi Jambi dan 192 km berada di
Provinsi Sumatera Barat (Sumber: Dinas
PSDA Provinsi Sumatera Barat Tahun
2012), melintasi Kabupaten Solok (17 km),
Kabupaten Solok Selatan (89 km), dan
Kabupaten Dharmasraya (60 km).
Lebar permukaan sungai di
Sumatera Barat berkisar antara 1,9 s/d 125
m, dan lebar dasar sungai berkisar antara
1,5 s/d 110 m. Bagian rentang dan hilir
sungai pada umumnya melebar seiring
bersatunya beberapa anak sungai ke sungai
utama. Kedalaman sungai juga bervariasi,
yaitu pada kisaran 0,3 s/d 6 m. Sungai
terlebar adalah Sungai Batang Hari (lebar
permukaan mencapai 125 m). Sungai
dengan kedalaman 6 m adalah Sungai
Batang Talo di Kabupaten Pasaman. Untuk
nilai debit, debit minimum bervariasi antara
0,02 s/d 124,69 m3/detik (Sungai Batang
Hari, Kabupaten Dharmasraya), sedangkan
debit maksimum berkisar antara 0,1 s/d
410,98 m3/detik (Sungai Batang Hari,
Kabupaten Dharmasraya).
Berdasarkan perbandingan rasio
debit Sungai Besar di Sumatera Barat yang
lebih dari 50 m3/dtk, Sungai Batang Lolo di
Kabupaten Dharmasraya memiliki rasio debit
tertinggi yakni sebesar 1.711 m3/dtk, disusul
Sungai Batang Painan sebesar 1.600 m3/dtk
dan Sungai Batang Bayang di Kabupaten
Pesisir Selatan, masing-masing sebesar
1.600 m3/dtk dan 1025,99 m3/dtk.
Perbandingan rasio debit sungai besar di
Sumatera Barat dengan rasio debit besar
dari 50 m3/dtk tahun 2014 dapat dilihat pada
Gambar 2.21 berikut.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-19
Gambar 2.21 Rasio Debit Sungai Besar di Sumatera Barat yang Lebih dari 50 m3/dtk
Sumber: Olahan Tabel SD-12B Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014.
Debit sungai di Kota Padang
cenderung berfluktuasi cukup tinggi dengan
rasio tertinggi debit antara musim kemarau
dan musim hujan adalah Batang Latuang
sebesar 742,62 m3/dtk, Batang Limau Manis
sebesar 702,32 m3/dtk, dan Batang Arau
sebesar 128,57 m3/dtk. Sungai lain adalah
Batang Gumanti (107,14 m3/dtk), Batang
Sumani (120 m3/dtk), Batang Lembang (50,7
m3/dtk) yang berada di Kabupaten Solok.
Perbandingan rasio debit maksimum/
minimum Sungai di Provinsi Sumatera Barat
Tahun 2012-2014 menunjukkan bahwa tidak
ada perbedaan yang signifikan debit sungai
dari tahun 2012 sampai dengan 2014.
2.3.1.2 Inventarisasi Danau/Waduk/Situ/
Embung
Provinsi Sumatera Barat
mempunyai 4 (empat) danau besar yaitu
Danau Singkarak, Danau Maninjau, Danau
Diatas dan Danau Dibawah yang tersebar
pada 3 (tiga) kabupaten yaitu Kabupaten
Agam, Kabupaten Tanah Datar dan
Kabupaten Solok. Danau Singkarak
merupakan danau yang paling luas di
Provinsi Sumatera Barat dengan luas 107.8
Km2, Danau Maninjau dengan luas 97.9
Km2, Danau Diatas dengan luas 12.3 Km2
dan Danau Dibawah dengan luas 11.2 Km2 .
Pemanfaatan Danau dari segi sosial budaya
dan ekonomi terutama untuk domestik,
pariwista, perikanan dan pertanian. Danau
Maninjau dan Danau Singkarak
dimanfaatkan untuk sumber air PLTA.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-20
Tabel 2.3 Danau di Provinsi Sumatera Barat
No Nama Danau Luas (Km2) Dalam Max (M) Kategori Luas Danau
1 Danau Singkarak 107.8 268 Medium
2 Danau Maninjau 97.9 169 Kecil
3 Danau Diatas 12.3 44 Kecil
4 Danau Dibawah 11.2 309 Kecil
Sumber: Olahan Tabel SD-13 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014.
2.3.1.3. Kualitas Air Sungai
Pembahasan kualitas air difokuskan
pada pemantauan sungai-sungai yang
menjadi kewenangan kabupaten/kota
(sungai tersebut berada di dalam wilayah
administrasi kabupaten/kota tertentu) dan
sungai-sungai lintas kabupaten/kota.
Analisis kualitas air sungai difokuskan pada
parameter yang melebihi baku mutu dengan
membandingkan antara baku mutu dan
lokasi pemantauan. Berdasarkan hasil
analisis laboratorium, ditemukan beberapa
parameter di atas ambang baku mutu
kualitas air sungai. Hal ini disebabkan oleh
pengaruh alami maupun kontribusi dari
berbagai sumber pencemar.
a. Sungai Batang Arau (Kota Padang)
TSS
Untuk parameter TSS yang berada di
atas baku mutu yakni pada titik lokasi
Jembatan Lubuk Begalung By Pass,
Jembatan Aur Duri/Pulau Aie, dan Muaro
(Jembatan Siti Nurbaya).
Gambar 2.22 Parameter TSS Sungai Batang Arau
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014.
BOD
Untuk parameter BOD yang berada di
atas baku mutu yakni pada lokasi Muaro
(Jembatan Siti Nurbaya). Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.23
berikut.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-21
Gambar 2.23 Parameter BOD Sungai Batang Arau
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014.
NO2
Nilai parameter NO2 yang berada di
atas baku mutu yakni pada lokasi Jembatan
Aur Duri/Pulau Aie, Jembatan Seberang
Padang dan Muaro (Jembatan Siti Nurbaya).
Gambar 2. 24 Parameter NO2 Sungai Batang Arau, Kota Padang
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Total Phospat
Pengukuran parameter Total Phosphat
berada di atas baku mutu yakni pada semua
titik/lokasi pemantauan terutama lokasi
Jembatan Lubuk Begalung, By Pass Kota
Padang.
Gambar 2.25 Parameter Total Phospat Sungai Batang Arau, Kota Padang
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-22
Minyak dan Lemak (mg/L)
Nilai parameter minyak dan lemak yang
berada di atas Baku Mutu yakni pada semua
titik/lokasi pemantauan. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat sebagaimana Gambar 2.26
berikut.
Gambar 2.26 Parameter Minyak dan Lemak Sungai Batang Arau, Kota Padang
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014.
b. Sungai Batang Hari (segmen
Kabupaten Dharmasraya)
TSS
Dari kelima titik lokasi pantau, hanya di
titik Batu Bakawik yang kadar TSS-nya
berada di bawah baku mutu. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.27
berikut.
COD dan NO2
Untuk kelima titik lokasi sampling, nilai
parameter COD dan NO2, semuanya berada
di atas baku mutu terutama pada titik sampel
Teluk Lancang. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada Gambar 2.28 dan Gambar 2.29.
Gambar 2.27 Parameter TSS Sungai Batang Hari
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-23
Gambar 2.28 Parameter COD Sungai Batang Hari
Sumber : Olahan data Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014.
Gambar 2.29 Parameter NO2 Sungai Batang Hari
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014.
Total Posphat
Untuk kelima titik lokasi sampling, nilai
parameter Total Posphat yang di atas baku
mutu adalah pada titik lokasi Teluk Lancang.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Gambar 2.30 berikut.
Gambar 2.30 Parameter Total Posphat Sungai Batang Hari
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014.
Untuk parameter E. Coli pada semua
titik dan waktu pemantauan berada di atas
baku mutu, demikian juga untuk parameter
Total Coliform lebih dominan berada di atas
baku mutu dan posisi tertinggi saat
pemantauan pada bulan Maret 2014.
Tingginya hasil analisis laboratorium
pada beberapa parameter uji kualitas air
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-24
Sungai Batang Hari, disebabkan adanya
kegiatan sebagai berikut:
Aktifitas PETI (proses amalgamasi dan
kerukan bebatuan untuk mendapatkan
emas).
Masuknya residu pupuk dan pestisida
pada lahan pertanian/perladangan di
sepanjang sempadan Sungai Batang
Hari.
Penambangan galian Golongan C
(sirtukil).
Aktifitas domestik (pemanfaatan MCK) di
DAS Sungai Batang Hari.
Pengaruh sedimen yang terbawa arus
saat musim hujan akibat terjadinya
bukaan lahan.
Pembuangan sampah langsung ke
sungai.
c. Sungai Batang Ulakan
Dari parameter uji yang dipantau, yang
melebihi baku mutu adalah parameter Total
Coliform. Berikut Gambar 2.31 parameter
Total Coliform.
Gambar 2.31 Parameter Total Coliform Sungai Batang Ulakan
Sumber : Olahan Tabel SD-14 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014.
d. Sungai Batang Agam
Kualitas air Sungai Batang Agam
dianalisis berdasarkan golongan Kelas I dan
Kelas II dari segmen Kabupaten Agam, Kota
Bukittinggi, Kota Payakumbuh dan
Kabupaten Lima Puluh Kota dengan titik
pantau yang ditetapkan oleh Peraturan
Gubernur Sumatera Barat Nomor 40 Tahun
2008 tentang Penetapan Klasifikasi Mutu Air
Sungai Batang Agam, Batang Pangian, dan
Batang Lembang. Parameter yang tercemar
terutama TSS, BOD, COD, Fecal Coliform
dan Total Coliform Periode I (Juli) relatif lebih
jelek dibandingkan periode II (September).
Untuk Sumatera Barat, bulan September
sudah termasuk musim hujan.
TSS
Nilai TSS dari hulu sampai hilir hasil
pemantauannya masih berada di bawah
Baku Mutu, baik Periode I maupun Periode I
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-25
terutama pada segmen Kabupaten Lima
Puluh Kota Jorong Bumbung, Nagari Situjuh
Kecamatan Situjuh V Nagari (BA-6) yang
banyak penambangan pasir.
Gambar 2.32 Hasil Analisis Laboratorium Parameter TSS Sungai Batang Agam
Sumber : Olahan Tabel SD-14A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014.
BOD
Kandungan BOD melebihi Baku Mutu
baik periode I maupun periode II, kecuali
pada BA 6 berada dibawah baku mutu.
Lokasi Nagari Taluak, Kecamatan
Banuhampu Kabupaten Agam (BA-2)
parameter BOD paling tinggi.
Gambar 2.33 Hasil Analisis Laboratorium Parameter BOD
Sungai Batang Agam
Sumber : Olahan Tabel SD-14A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014.
COD
Nilai COD melebihi baku mutu terutama
pada titik pantau Kelurahan Balai Panjang,
Kecamatan Payakumbuh Selatan. Untuk
lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 2.34
berikut.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-26
Gambar 2.34 Hasil Analisis Laboratorium Parameter COD Sungai Batang Agam
Sumber : Olahan Tabel SD-14A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Total Phospat
Kandungan Total Phospat untuk peride
I dan periode II fluktuatif naik turun baik dari
hilir, rentang dan hulu. Titik yang melebihi
baku mutu paling tinggi adalah Kelurahan
Aur Tajunkang, Tengah Sawah Kecamatan
Kamang Magek Kota Bukittinggi (BA-3)
Gambar 2.35 Hasil Analisis Laboratorium Parameter Total Phospat Sungai Batang Agam
Sumber : Olahan Tabel SD-14A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014.
Fecal Coli/E. Coli dan Total Coliform
Seluruh lokasi pemantauan memiliki
kandungan E. Coli berada di atas baku mutu
yang dipersyaratkan untuk kualitas air sungai
Kelas I dan Kelas II. Kandungan E.Coli
paling tinggi adalah di titik pantau Kelurahan
Aur Tajunkang, Tengah Sawah Kecamatan
Kamang Magek Kota Bukittinggi (BA-3).
Pada segmen sungai ini sampah dan limbah
cair RPH memberikan kontribusi terhadap
kandungan E-Coli yang tinggi. Untuk Total
Coli tertinggi pada Kelurahan Ibuh, Kec
Payakumbuh Timur.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-27
Gambar 2.36 Hasil Analisis Laboratorium Parameter E.Coli Sungai Batang Agam
Sumber : Olahan Tabel SD-14A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014.
Gambar 2.37 Hasil Analisis Laboratorium Parameter Total Coliform Sungai Batang Agam
Sumber : Olahan Tabel SD-14A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
e. Sungai Batang Ombilin
Sungai Batang Ombilin terbagi atas
segmen Kabupaten Tanah Datar, Kota
Sawahlunto dan Kabupaten Sijunjung.
Gambaran kualitas air sungai didasarkan 7
parameter kunci sebagai berikut.
TSS
Nilai TSS dari hulu sampai hilir hasil
pemantauannya masih berada di bawah
baku mutu, baik periode I maupun periode II,
kecuali pada titik bagian rentang hingga hilir
di segmen Kabupaten Sijunjung dimulai
Jorong Batu Gadang Nagari Lima Koto
Kecamatan Koto Tujuh (BM 7) sampai
dengan Jorong Subarag Ombak, Nagari
Muaro Kecamatan Sijunjung, Kabupaten
Sijunjung (BM 10).
.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-28
Gambar 2.38 Hasil Analisis Laboratorium Parameter TSS Sungai Batang Ombilin
Sumber : Olahan Tabel SD-14A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014.
BOD
Kandungan BOD sebagian melebihi
baku mutu terutama segmen Kota
Sawahlunto yaitu Jorong Lubuk Pinang,
Nagari Ombilin Kecamatan Talawi (BOM3)
sampai Desa Rantih, Nagari Talawi
Kecamatan Talawi Kota Sawahlunto.
Gambar 2.39 Hasil Analisis Laboratorium Parameter BOD Sungai Batang Ombilin
Sumber : Olahan Tabel SD-14A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014. COD
Nilai COD hampir semua titik
pemantauan melebihi baku mutu kecuali
segmen hulu (BOM 1 dan BOM 2) pada
periode yang masih berada di bawah baku
mutu.
Gambar 2.40 Hasil Analisis Laboratorium Parameter COD Sungai Batang Ombilin
Sumber : Olahan Tabel SD-14A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-29
a. E. Coli dan Total Coliform
Seluruh lokasi pemantauan memiliki
kandungan E. Coli dan Total Coliform berada
di atas Baku Mutu yang dipersyaratkan untuk
kualitas air sungai Kelas I dan Kelas II.
Gambar 2.41 Hasil Analisis Laboratorium Parameter E.Coli Sungai Batang Ombilin
Sumber : Olahan Tabel SD-14A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014.
Gambar 2.42 Hasil Analisis Laboratorium Parameter Total Coliform Sungai Batang Ombilin
Sumber : Olahan Tabel SD-14A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014.
b. MBAS/Deterjen
Parameter MBAS/Deterjen untuk
pemantauan periode I pada umumnya
berada di atas baku mutu kecuali BOM3,
BOM4, BOM5, BOM6. Sedangkan pada
pemantauan periode II semua berada di
bawah baku mutu.
Gambar 2.43 Hasil Analisis Laboratorium Parameter MBAS Sungai Batang Ombilin
Sumber : Olahan Tabel SD-14A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-30
f. Sungai Batang Pangian
Analisis kualitas air Sungai Batang
Pangian difokuskan pada parameter yang
melebihi baku mutu dengan membandingkan
antara dua periode waktu pemantauan.
BOD
Kandungan BOD berfluktuatif naik
turun baik pada periode I maupun pada
periode II.
Gambar 2.44 Hasil Analisis Laboratorium Parameter BOD Sungai Batang Pangian
Sumber : Olahan Tabel SD-14A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014.
COD
Nilai COD pada umumnya melebihi
baku mutu, kecuali BP1 pada periode I dan II
dan BP Takung pada periode I. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.45
berikut
Gambar 2.45 Hasil Analisis Laboratorium Parameter COD Sungai Batang Pangian
Sumber : Olahan Tabel SD-14A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014.
E. Coli dan Total Coliform
Seluruh lokasi pemantauan memiliki
kandungan E. Coli dan Total Coliform berada
di atas baku mutu yang dipersyaratkan untuk
kualitas air sungai Kelas I dan Kelas II.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-31
Gambar 2.46 Hasil Analisis Laboratorium Parameter E.Coli Sungai Batang Pangian
Sumber : Olahan Tabel SD-14A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Gambar 2.47 Hasil Analisis Laboratorium Parameter Total Coliform
Sungai Batang Pangian
Gambar 2.46. Hasil Analisis Laboratorium Parameter Total Coliform Sungai Batang Pangian
Sumber : Olahan Tabel SD-14A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
MBAS/Deterjen
Parameter MBAS/Deterjen berada di
atas baku mutu untuk semua titik
pemantauan (periode I), sedangkan periode
II memenuhi baku mutu.
Gambar 2.48 Hasil Analisis Laboratorium Parameter MBAS/Deterjen Sungai Batang Pangian
Sumber : Olahan Tabel SD-14A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-32
g. Sungai Batang Anai
Kegiatan disepanjang aliran sungai
dinominasi oleh kegiatan domestik,
pertanian, wisata alam, galian C dan
kegiatan industri pada bagian hilir sungai
Batang Anai. Hasil pemantauan terdapat
beberapa parameter yang berada di atas
Baku Mutu Kelas II Klasifikasi Mutu Air
Sungai Batang Anai. Adapun parameter
yang berada di atas baku mutu adalah :
Parameter Seng (Zn)
Parameter Seng (Zn) bulan September
di seluruh lokasi pemantauan berada di atas
baku mutu dengan kisaran hasil analisa dari
0,155 s/d 0,183 mg/l sedangkan
pemantauan bulan Mei dan Oktober pada
seluruh lokasi pemantauan telah memenuhi
baku mutu. Bulan Juni pada lokasi rentang
segmen Kabupaten Tanah Datar (BA-3 s/d
BA-6) dengan hasil analisa 0,051 sampai
dengan 0,131 mg/l.
Gambar 2.49 Hasil Analisis Laboratorium Parameter Seng (Zn) Sungai Batang Anai
Sumber : Olahan Tabel SD-14A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Parameter Fecal Coliform dan Total
Coliform
Parameter Fecal Colifrom pada
bulan Juni di seluruh lokasi pemantauan
berada di atas baku mutu sedangkan pada
bulan Mei dan September hanya lokasi
pemantauan pada hulu lokasi Jembatan
masuk Kota Padang Panjang, Kabupaten
Tanah Datar yang berada di atas baku mutu.
Sementara bulan pemantauan Oktober
seluruh lokasi pemantauan telah memenuhi
Baku Mutu. Parameter Total colifrom pada
bulan Mei, Juni dan Oktober di seluruh lokasi
pemantauan telah memenuhi baku mutu
sedangkan pada bulan September berada di
atas Baku Mutu.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-33
Gambar 2.50 Hasil Analisis Laboratorium Parameter Fecal Coliform dan Total Coliform Sungai Batang Anai
Sumber : Olahan Tabel SD-14A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
2.3.1.4. Kualitas Air Danau/Situ/ Embung
Pembahasan kualitas air danau
dilakukan dengan membandingkan kualitas
air danau antar lokasi terhadap beberapa
parameter penting serta dibandingkan
dengan peraturan yang berlaku tentang
Baku Mutu Kualitas Air sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun
2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air. Pembahasan
juga akan dilakukan terhadap analisis
perbandingan kualitas air danau antar waktu.
2.3.1.4.1 Perbandingan Kualitas Air Danau
Antar Lokasi Dengan Baku Mutu
Pemantauan kualitas air pada
masing-masing danau dilakukan pada 4
(empat) titik yang mewakili kondisi danau
secara umum. Berdasarkan hasil analisa
kualitas air danau terhadap 4 (empat)
parameter penting yaitu BOD, COD, DO dan
TSS dapat disimpulkan bahwa secara umum
kualitas air danau di Sumatera Barat
tergolong baik.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-34
Parameter BOD
Dari hasil analisa kualitas air
terhadap Danau Singkarak, Danau Maninjau,
Danau Diatas dan Danau Dibawah, diketahui
bahwa rata-rata nilai BOD pada Danau
Dibawah telah melewati batas baku mutu
yaitu rata-rata 3,19 mg/l. Nilai BOD tertinggi
di Danau Dibawah diperoleh pada titik
Jorong Air Tawar Selatan (3,36 mg/l) diikuti
dengan inlet Jorong Air Tawar Selatan
Nagari Kampung Batu Dalam Kec. Danau
Kembar (3.36 mg/L), lokasi inlet Jorong Batu
Dalam Nagari Kampung Batu Dalam Kec.
Danau Kembar (3 mg/L) dan Jorong Selatan
Nagari Kampung Baru Dalam Kec. Danau
Kembar (2.98 mg/L).
Nilai ambang batas BOD untuk
kepentingan prasarana/sarana rekreasi air,
pembudidayaan ikan air tawar, perikanan
sesuai dengan Baku Mutu Kualitas Air Kelas
2 menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82
Tahun 2001 adalah maksimal 3 mg/l. Untuk
kondisi Danau Dibawah dapat dilihat bahwa
perairan Danau Dibawah memiliki kadar
BOD yang melebihi ambang batas di 2 (dua)
lokasi pemantauan yaitu Jorong Air Tawar
Selatan dan Jorong Kapalo Danau Dibawah,
sehingga lokasi ini kurang mendukung untuk
perikanan.
Sementara itu nilai BOD terendah
diperoleh di Danau Singkarak dengan rata-
rata 1,59 mg/l. Hasil pengukuran BOD
Danau Singkarak pada lokasi inlet muara
Sungai Sumani adalah 1.58 mg/L, outlet
Pasar Ombilin/Dam Weir PLTA 1.23 mg/L,
inlet Sungai Sumpur 1.97 mg/L dan outlet
Intake PLTA Singkarak – Malalo (1.58 mg/L).
Gambar 2.51 Nilai BOD Danau di Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel SD-15 Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-35
Nilai BOD5 dapat digunakan
sebagai petunjuk pengkayaan bahan organik
pada ekosistem perairan, peningkatan nilai
BOD5 menunjukkan peningkatan konsumsi
oksigen oleh mikroorganisme pengurai untuk
dekomposisi bahan organik. Perairan alami
nilai BOD berkisar antara 0,5 - 0,7 mg/L,
perairan dengan nilai BOD mencapai 10
mg/L dianggap telah mengalami
pencemaran. Ambang batas BOD untuk
kepentingan prasarana/sarana rekreasi air,
pembudidayaan ikan air tawar, perikanan
sesuai dengan Baku Mutu Kualitas Air Kelas
2 menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82
Tahun 2001 adalah maksimal 3 mg/l.
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kondisi perairan danau
Singkarak masih mendukung untuk
perikanan.
Parameter COD
COD (Chemical Oxygen Demand)
atau kebutuhan oksigen kimiawi
menggambarkan jumlah total oksigen yang
dibutuhkan untuk mengoksidasi secara kimia
bahan organik, baik yang bisa didegradasi
secara biologis maupun yang sulit
didegradasi secara biologis menjadi CO2 dan
H2O. Perairan yang mempunyai nilai COD
tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan
perikanan dan pertanian.
Gambar 2.52 Nilai COD Danau di Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel SD-15 Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014.
Rata-rata nilai COD tertinggi dari 4
(empat) danau yang dianalisa, ditemui pada
Danau Dibawah yaitu 19,99 mg/l, dimana
nilai COD paling tinggi diperoleh pada 3
(tiga) titik yaitu pada inlet Jorong Batu Dalam
Nagari Kampung Batu Dalam Kecamatan
Danau Kembar (21.33 mg/L), Jorong Selatan
Nagari Kampung Baru Dalam Kecamatan
Danau Kembar (21.33 mg/L), dan outlet
Jorong Kapalo Danau Dibawah Nagari
Simpang Tanjung Nan IV Kecamatan Danau
Kembar (21.33 mg/L), sedangkan pada inlet
Jorong Air Tawar Selatan Nagari Kampung
Batu Dalam Kecamatan Danau Kembar
nilainya lebih rendah yaitu 16 mg/L.
Walaupun demikian nilai COD pada Danau
Dibawah ini masih berada dibawah batas
baku mutu berdasarkan kepada Baku Mutu
Kualitas Air Kelas 2 menurut Peraturan
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-36
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 adalah
maksimal 25 mg/l.
Nilai rata-rata COD terendah
ditemui di Danau Maninjau dengan rata-rata
nilai 8,22 mg/l. Nilai COD terendah di Danau
Maninjau terdapat pada outlet Nagari
Malintang Kecamatan Tanjung Raya (<5.77
mg/L) dan outlet Nagari Kubu Raya
Kecamatan Tanjung Raya (<5.77 mg/L),
sedangkan pada lokasi inlet Nagari Muko –
Muko Kecamatan Tanjung Raya dan inlet
Pasar Maninjau Kecamatan Tanjung Raya
memiliki nilai yang sama yaitu 10.67 mg/L.
Parameter DO
Kandungan kadar oksigen pada
perairan minimum 2 mg/l, hal ini dapat
mendukung kehidupan organisme perairan
secara normal, namun secara umum
kegiatan perikanan dapat berhasil bila
kandungan oksigen sebaiknya tidak boleh
kurang dari 4 mg/l.
Dari hasil pemantauan kualitas air
danau, nilai rata-rata DO baik pada Danau
Singkarak, Danau Maninjau, Danau Diatas
maupun Danau Dibawah telah memenuhi
batas baku mutu (4 mg/l) yaitu masing-
masing rata-rata bernilai 5,59 mg/l, 6,28
mg/l, 5,32 mg/l dan 4,83 mg/l. Hasil
pemantauan menunjukkan bahwa rata-rata
nilai DO terendah diperoleh di Danau
Dibawah. Hasil pemantauan pada titik
masing-masing lokasi dapat dilihat pada
Gambar 2.53.
Gambar 2.53 Nilai DO Danau di Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel SD-15 Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Dari 4 (empat) titik pengambilan
sampel di Danau Dibawah nilai DO terendah
ditemui pada outlet Jorong Kapalo Danau
Dibawah Nagari Simpang Tanjung Nan IV
Kecamatan Danau Kembar (4.21 mg/L)
selanjutnya inlet Jorong Batu Dalam Nagari
Kampung Batu Dalam Kecamatan Danau
Kembar (4.90 mg/L), inlet Jorong Air Tawar
Selatan Nagari Kampung Batu Dalam
Kecamatan Danau Kembar (5.05 mg/L) dan
Jorong Selatan Nagari Kampung Baru
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-37
Dalam Kecamatan Danau Kembar (5.16
mg/L).
Sementara itu nilai rata-rata DO
tertinggi diperoleh pada Danau Maninjau,
dimana nilai DO paling tinggi diperoleh pada
inlet Pasar Maninjau Kecamatan Tanjung
Raya (6.31 mg/L) diikuti outlet Nagari Kubu
Raya Kecamatan Tanjung Raya (6.30 mg/L),
inlet Nagari Muko – Muko Kecamatan
Tanjung Raya (6.27 mg/L), outlet Nagari
Malintang Kecamatan Tanjung Raya (6.23
mg/L).
Kondisi oksigen terlarut di Danau
Maninjau bervariasi dan berada di atas 6
mg/l dengan kata lain berada diatas
kelayakan kandungan oksigen untuk
perairan. Penurunan dan fluktuasi kadar
oksigen terlarut dalam air disebabkan karena
kenaikan suhu air, respirasi dan dekomposisi
bahan organik. Masuknya limbah organik
yang mudah terurai seperti sisa pakan yang
tidak termakan dan feces ke dalam air
merupakan faktor utama yang menyebabkan
penurunan kadar oksigen terlarut dengan
tajam.
Parameter TSS
Secara umum keempat danau
(Danau Singkarak, Danau Maninjau, Danau
Diatas dan Danau Dibawah) yang dipantau
memiliki nilai TSS yang jauh di bawah baku
mutu (50 mg/l) yaitu berkisar 3 mg/l sampai
37 mg/l. Rata-rata nilai TSS tertinggi
dijumpai pada Danau Singkarak yaitu 14,75
mg/l. Dari 4 titik yang dipantau di Danau
Singkarak, titik muara sungai Sumani
memiliki nilai TSS yang paling tinggi
dibandingkan titik lainnya yaitu 37 mg/l
(Gambar 2.54).
Sementara itu rata-rata nilai TSS
terendah diperoleh di Danau Maninjau yaitu
3,75 mg/l. Nilai TSS terendah di Danau
Maninjau adalah pada titik outlet Nagari
Malintang Kecamatan Tanjung Raya (3
mg/L), diikuti titik inlet Nagari Muko – Muko
Kecamatan Tanjung Raya (4 mg/L), inlet
Pasar Maninjau Kecamatan Tanjung Raya (4
mg/L) dan outlet Nagari Kubu Raya
Kecamatan Tanjung Raya (4 mg/L). Selain
itu, nilai TSS terendah juga ditemui pada titik
Jorong Taluak Kinari Simpang Tanjung Nan
IV – Danau Kembar (3 mg/L).
Gambar 2.54 Nilai TSS Danau di Sumatera Barat tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel SD-15 Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-38
Padatan tersuspensi total (TSS)
sangat tergantung kepada kondisi tempat
pengambilan sampel, ambang batas TSS
untuk kepentingan perikanan Baku Mutu
Kualitas Air Kelas 2 untuk perikanan menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun
2001 adalah sebesar 50 mg/l. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa kondisi
perairan keempat danau yang dipantau
tersebut berdasarkan nilai TSS masih
mempunyai toleransi untuk kehidupan ikan.
2.3.1.4.2. Perbandingan antar waktu
Analisis perbandingan antar waktu
dilakukan terhadap 3 (tiga) parameter
penting yaitu BOD, COD dan DO. Di tahun
2014, nilai rata-rata pada ketiga parameter
pada masing-masing danau secara umum
mengalami penurunan nilai masing-masing
sebesar 1,68 mg/l untuk parameter BOD,
5,09 mg/l untuk parameter COD dan 1,79
mg/l untuk parameter DO. Penurunan kadar
COD dan BOD menunjukkan terjadinya
peningkatan kualitas air danau, namun
penurunan nilai DO patut diwaspadai
mengingat DO merupakan oksigen bebas
yang ada pada perairan danau dan sangat
penting untuk keberlangsungan organisme
danau. Perbandingan kualitas air danau
pada masing-masing danau terhadap 3 (tiga)
parameter tersebut dapat dilihat pada
Gambar 2.55.
Penurunan nilai BOD terbesar
terdapat di Danau Diatas yaitu dari 6,82 mg/l
menjadi 2,49 mg/l atau turun sebesar 4,33
mg/l dilanjutkan dengan Danau Singkarak
dengan penurunan sebesar 1,2 mg/l,
sedangkan Danau Maninjau maupun Danau
Dibawah memiliki kadar BOD yang tidak jauh
berbeda dengan tahun sebelumnya (2013)
dengan penurunan masing-masing sebesar
0,88 mg/l dan 0,31 mg/l.
Rata-rata nilai COD pada 3 (tiga)
danau yang dipantau yaitu Danau Singkarak,
Danau Maninjau dan Danau Dibawah
mengalami penurunan kadar COD yaitu
masing-masing rata-rata sebesar 10,19 mg/l,
15,98 mg/l dan 4,14 mg/l. Namun berbeda
halnya dengan kadar COD di Danau Diatas,
dimana nilainya pada tahun 2014 mengalami
peningkatan sebesar 9,94 mg/l dibandingkan
dengan tahun 2013, walaupun demikian
peningkatan kadar COD di Danau Diatas
belum mempengaruhi kualitas air danau
secara signifikan jika dibandingkan dengan
baku mutu, dimana nilainya masih berada di
bawah baku mutu.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-39
Gambar 2.55 Perbandingan Kualitas Air Danau Tahun 2013 - 2014
Sumber : Olahan Tabel SD-15C Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Penurunan rata-rata nilai DO juga
terjadi pada 3 (tiga) danau yang dipantau
yaitu sebesar 0,54 mg/l untuk Danau
Singkarak, 5,64 mg/l untuk Danau Diatas
dan 1,42 mg/l untuk Danau Dibawah,
sedangkan Danau Maninjau pada tahun
2014 terjadi sedikit peningkatan nilai DO
sebesar 0,42 mg/l jika dibandingkan dengan
kadar DO di tahun 2013.
Terjadinya peningkatan atau
penurunan nilai ketiga parameter pada
masing-masing danau tidak terlepas dari
kandungan bahan-bahan lain yang terlarut di
danau seperti bahan organik, zat-zat hara,
limbah pertanian, limbah industri, limbah
rumah makan atau limbah rumah tangga
yang bersumber dari aktivitas di sekitar
kawasan danau. Disamping itu suhu juga
dapat mempengaruhi nilai-nilai tersebut.
2.3.1.4.3. Perkembangan Jumlah Keramba
Jaring Apung dan Kematian Ikan
di Danau Maninjau
Danau Maninjau masih
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk
berbagai kebutuhan seperti sumber air baku
air minum, mandi, dan mencuci (MCK).
Kegiatan pembudidayaan ikan dengan teknik
Keramba Jaring Apung (KJA) merupakan
sumber limbah yang potensial mencemari
danau. Pemanfaatan lainnya yang sangat
penting adalah fungsi ekonomi sebagai
pembangkit tenaga listrik yang menghasilkan
energi rata-rata tahunan sebesar 205 GWH
dengan nilai Rp 71,8 milyar per tahun dan
fungsi wisata dengan pemandangan alam
yang indah, potensi hayati dengan ikan rinuk
dan pensi. Dengan banyaknya aktifitas yang
dilakukan di Danau Maninjau, dapat
meningkatkan beban pencemaran yang
masuk ke perairan danau.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-40
Gambar 2.56 Keramba jaring apung (KJA) yang berkembang di Danau Maninjau
Semenjak tahun 1997, jumlah
Keramba Jaring Apung di Danau Maninjau
meningkat pesat yaitu dari 2.854 petak
menjadi sekitar 18.000 petak di tahun 2014.
Peningkatan jumlah KJA ini telah
meningkatkan beban pencemaran bagi
perairan Danau Maninjau. Banyaknya jumlah
pakan ikan yang diberikan oleh petani KJA
setiap harinya telah menyumbangkan
sejumlah bahan organik yang dapat
menurunkan kualitas air Danau Maninjau.
Menurut kajian LIPI, dengan memperhatikan
daya dukung dan tampungnya, jumlah
keramba yang dipersyaratkan di Danau
Maninjau hanya berjumlah 6.000 petak
keramba dengan ukuran 5 x 5 m.
Perkembangan jumlah KJA di Danau
Maninjau dari tahun 1997 hingga 2014 lebih
lanjut dapat dilihat pada Gambar 2.57.
Gambar 2.57 Perkembangan Jumlah KJA di Danau Maninjau
Sumber : Olahan Tabel SD-15D Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Setiap tahunnya di Danau Maninjau
telah terjadi kematian ikan di KJA. Kematian
ikan ini di samping akibat kejadian alam
yang biasa dikenal oleh penduduk setempat
dengan istilah tubo balerang (racun
belerang), juga disebabkan oleh semakin
memburuknya kualitas air Danau Maninjau.
Banyaknya ikan mati di Danau Maninjau
telah menimbulkan kerugian yang tidak
sedikit bagi para petani KJA. Di tahun 2014
kejadian kematian ikan yang terjadi di bulan
Februari, Maret dan Agustus mencapai 659
ton dengan total kerugian sebesar 11,2
milyar rupiah. Jumlah kematian ikan
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-41
terbanyak terjadi di bulan Agustus tepatnya
tanggal 10 Agustus 2014 dengan jumlah ikan
mati mencapai 400 ton dan kerugian
mencapai 7,2 milyar rupiah (Gambar 2. 58).
Gambar 2.58 Kematian Ikan dan KJA di Danau Maninjau
Gambar 2.59 Kematian ikan di Danau Maninjau Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel SD-15E, Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Pada tahun 2014, kematian ikan di
Danau Maninjau semakin sering terjadi. Hal
ini disebabkan oleh terjadinya penurunan
kualitas lingkungan seperti penurunan
permukaan air danau, pencemaran air,
endapan residu pakan ikan, banjir, longsor,
enceng gondok dan degradasi kawasan
daerah tangkapan air serta kegiatan
budidaya perikanan yang berkembang
(±20.179 unit keramba pada tahun 2012)
sudah melebihi daya dukung lingkungan.
Gambar 2.60 Kandungan Oksigen (DO) Pada Saat Kematian Ikan Di Danau Maninjau
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-42
Sumber : www.emost.limnologi.org 2014
Pada tanggal 27 Desember 2014
ikan di Keramba Jaring Apung (KJA) wilayah
Danau Maninjau mengalami kematian
dengan DO pada kedalaman 10 m turun 3
mg/l ke 2 mg/l. Pada tanggal 29 Desember
2014, di KJA wilayah Bayur dan Maninjau
terjadi kematian ikan di 200 KJA atau sekitar
100 sampai 200 ton. Pada tanggal 30
Desember 2014 kadar DO di Danau
Maninjau mengalami penurunan yang sangat
tinggi sehingga mencapai 0 mg/l. Pada saat
kondisi DO mengalami penurunan sampai
pada posisi 0 mg/l, ikan tidak dapat hidup.
Untuk mengatasi permasalahan
yang tengah terjadi di Danau Maninjau,
Pemerintah Daerah Kabupaten Agam telah
membuat Peraturan Daerah Kabupaten
Agam Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Kelestarian Kawasan Danau
Maninjau, dimana telah ditetapkan peraturan
yang mengatur KJA di Danau Maninjau,
meliputi:
1. Daya dukung dan daya tampung untuk
KJA di kawasan danau mengacu kepada
kemampuan perairan Danau Maninjau
mencerna limbah organik dari kegiatan
perikanan yang setara dengan 1.500
(seribu lima ratus) unit dan/atau 6.000
(enam ribu) petak dengan ukuran 5 x 5
meter persegi per petak keramba.
2. Untuk mencapai angka batasan jumlah
unit KJA sebanyak 1.500 (seribu lima
ratus) unit dan/atau 6.000 (enam ribu)
petak dilakukan upaya pengurangan
secara bertahap dalam jangka waktu
paling lama 10 (sepuluh) tahun, 5 (lima)
tahun pertama mencapai angka 11.760
(sebelas ribu tujuh ratus enam puluh)
petak dan 5 (lima) tahun kedua 6.000
(enam ribu).
Dengan ditetapkannya peraturan
daerah tentang penetapan jumlah keramba
jaring apung di kawasan Danau Maninjau,
diharapkan dapat mengurangi kejadian
kematian ikan yang terjadi tiap tahun di
kawasan Danau Maninjau.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-43
2.3.1.5 Kualitas Air Sumur
Berdasarkan pemantauan kualitas
air sumur di beberapa lokasi titik sampling di
Provinsi Sumatera Barat, yaitu di Kabupaten
Agam (pada lokasi pemukiman penduduk
dan RSIA Rizki Bunda) dan Kabupaten
Dharmasraya (di lokasi Gunung Medan,
Sungai Rumbai, Sungai Dareh, Pulau
Punjung) dari hasil analisis laboratorium,
diperoleh data bahwa dari semua parameter
uji pemantauan, parameter yang terindikasi
berada di atas baku mutu adalah arsen (di
lokasi Sungai Dareh dan Pulau Punjung);
Selenium (di Gunung Medan, Sungai
Rumbai, Sungai Dareh, Pulau Punjung);
Krom (di Sungai Rumbai dan Gunung
Kondisi Danau Maninjau Tahun 2014
Jumlah Ikan yang Mati di Danau Maninjau Tahun 2014
Bulan Januari – Maret 2014 sebesar 221 Ton
Bulan Agustus 2014 sebesar445 Ton
Bulan Desember2014sebesar 350Ton (Lokasi di Bayur, Maninjau
dan Linggai)
Pada tahun 2014, kematian ikan di Danau Maninjau semakin sering
terjadi. Hal ini disebabkan oleh terjadinya penurunan kualitas
lingkungan seperti penurunan permukaan air danau, pencemaran
air, endapan residu pakan ikan, banjir, longsor, enceng gondok dan
degradasi kawasan perbukitan serta kegiatan budidaya perikanan
yang berkembang (±20.179 unit keramba pada tahun 2012) sudah
melebihi daya dukung lingkungan.
Pada tanggal 27 Desember2014 ikan di Keramba Jaring Apung
(KJA) wilayah Danau Maninjau mengalami kematian dengan DO
pada kedalaman 10 m turun 3 mg/l ke 2 mg/l. Pada tanggal 29
Desember2014, ikan di KJA wilayah Bayur dan Maninjau terdapat
kematian ikan lebih kurang 200 KJA atau sekitar 100 sampai
dengan 200 Ton yang tersebar di dua areal tersebut, tidak di
seluruh KJA. Diduga di dua lokasi tersebut hanya yang memiliki
kepadatan tinggi umur ikan > 3 bulan / siap panen.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-44
Medan), Besi, Timbal, dan Air raksa (di
Gunung Medan, Sungai Rumbai, Sungai
Dareh, Pulau Punjung), Fecal Coli dan Total
Coliform (lokasi pemukiman penduduk dan
RSIA Rizki Bunda), mengacu Peraturan
Menteri Kesehatan No. 416 Tahun 1990
tentang Syarat-syarat dan Pengawasan
Kualitas Air (sumber: olahan data Tabel SD-
16 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera
Barat, 2014).
Dari hasil pemantauan terhadap
kualitas air sumur yang dilakukan oleh
perusahaan antara lain PT. Gersindo Minang
Plantation (3 lokasi sampling), PT.
Agrowiratama (3 lokasi sampling), PT.
Transco Pratama CRF (1 lokasi sampling),
PT. Kilang Lima Gunung (2 lokasi sampling),
menunjukkan bahwa hasil analisis
laboratorium untuk semua parameter yang
diuji masih memenuhi baku mutu yang
dipersyaratkan (berdasarkan Baku Mutu PP
No.82 Th 2001 Kualitas Air, Kelas II),
sumber: olahan data Tabel SD-16A Buku
Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014.
2.3.1.6. Indek Pencemaran Air ( IPA )
Hasil pemantauan sungai dan
target SPM Bidang Lingkungan Hidup di
Provinsi Sumatera Barat, terdiri dari Sungai
Batang Lembang, Batang Agam, Batang
Pangian, Batang Ombilin, Batang Anai
dalam kondisi status mutu tercemar sedang
s/d berat minimal untuk 5 parameter (Nitrit,
BOD-5, MBAS, E.Coli dan Total Coliform).
Dari lima sungai tersebut,
ditetapkan Sungai Batang Agam sebagai
baseline dan dasar perhitungan pencapaian
target indikator IPA, mengingat bahwa
sungai ini termasuk sungai yang dari
pemantauan setiap tahunnya kualitas airnya
cenderung jelek dan melintasi
kabupaten/kota dengan tingkat kepadatan
usaha/kegiatan/penduduk yang relatif lebih
besar daripada sungai target SPM lainnya.
Pengawasan dan pengendalian
pencemaran yang dilakukan selama tahun
2014 masih bersifat mempertahankan mutu
kualitas air sungai (yang diwakili oleh Sungai
Batang Agam) sesuai dengan target tahun
2014 yaitu berada pada kisaran/range 58 <
IPA < 66.
IPA Sungai Batang Agam adalah
sebesar 47,97 atau 82,70%. Dengan nilai
IPA tersebut Sungai Batang Agam termasuk
dalam IKLH kategori waspada. Parameter
yang mempengaruhi kualitas sungai ini
adalah parameter fecal coliform, total
coliform dengan kategori cemar berat
terutama yang berada pada segmen Kota
Bukittinggi dan beberapa titik di Kabupaten
Agam. Parameter ini mengindikasikan
bahwa pengelolaan limbah domestik di
perkotaan sudah sangat urgen untuk segera
dilakukan. Limbah domestik perkotaan
merupakan gabungan dari limbah rumah
tangga, limbah perhotelan, rumah sakit dan
Rumah Potong Hewan (RPH).
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-45
2.3.1.6.1.Perbandingan IPA 5 (Lima)
Sungai Target SPM
Gambar 2.61 di bawah ini
menunjukkan bahwa kondisi sungai di
Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2014
secara umum adalah kurang baik dengan
nilai IPA 55,05 (kategori sangat kurang).
Nilai ini dihitung berdasarkan nilai IPA rata-
rata 5 sungai yang dipantau pada tahun
2014. Bila dibandingkan dengan 3 sungai
target SPM lainnya yaitu Batang Pangian,
Batang Lembang dan Batang Ombilin, maka
IPA Sungai Batang Agam bersama-sama
dengan Sungai Batang Anai termasuk
kategori waspada. Kondisi sungai seperti ini
terutama disebabkan oleh pengaruh
parameter total coliform dan fecal coliform.
Gambar 2.61 IPA (Indeks Pencemaran Air) pada 5 (lima) Sungai Target SPM tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel SD-14A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
2.3.1.6.2. Perbandingan dengan tahun lalu
dan beberapa tahun terakhir
Bila Sungai Batang Agam
dibandingkan kondisinya antara tahun 2014
dengan 4 tahun terakhir, dapat disimpulkan
bahwa kondisi Sungai Batang Agam
cenderung menurun. Kondisi kecenderungan
kualitas Sungai Batang Agam selama 4
tahun terakhir dapat dilihat pada Gambar
2.62 berikut:
Gambar 2.62 Indeks Pencemaran Air Batang Agam Tahun 2011-2014
Sumber : Olahan Tabel SD-14E Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-46
2.3.2. Kualitas Air Laut
Provinsi Sumatera Barat telah
melakukan evaluasi kualitas air laut dengan
fokus pantai objek wisata dan muara sungai
pada 6 (enam) kabupaten/kota di Sumatera
Barat yaitu Kota Padang, Kota Pariaman,
Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten
Agam, Kabupaten Pasaman Barat dan
Kabupaten Pesisir Selatan.
Hasil pemantauan kualitas air laut
tahun 2014 menunjukkan bahwa secara
umum kualitas air laut dan muara sungai
pada objek pemantauan masih tergolong
baik, namun untuk parameter nitrat, posfat
dan MPN Coliform pada 18 sampel air laut
nilainya diatas baku mutu. Sementara itu
untuk 6 (enam) sampel muara sungai, nilai
parameter yang melewati batas baku mutu
adalah MPN Coliform.
Untuk air laut kandungan nitrat
tertinggi ditemui pada sampel air Pantai
Pasir Jambak dengan nilai 4,27 mg/L dan
terendah di Pelabuhan Panasahan dengan
nilai 0,48 mg/L, sedangkan nilai posfat rata-
rata tidak jauh berbeda pada masing-masing
lokasi dengan nilai tertinggi ditemui pada
sampel air Pantai Gandoriah (50 m) dengan
nilai 0,45 mg/L, disamping itu nilai MPN
Coliform tertinggi juga di temui pada sampel
air Pantai Gandoriah (100 m) yaitu
2.400.000/100 ml. Untuk air muara sungai,
nilai MPN Coliform tertinggi ditemui pada
sampel Muara Batang Arau yaitu
1.600.00/100.
Gambar 2.63 Kandungan Nitrat pada Air Laut di Sumatera Barat
Sumber : Olahan Tabel SD-17 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-47
Gambar 2.64 Kandungan Posfat pada Air Laut di Sumatera Barat
Sumber : Olahan Tabel SD-17 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Gambar 2.65 Kandungan Coliform pada Air Laut di Sumatera Barat
Sumber : Olahan Tabel SD 17, Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Gambar 2.66 Kandungan Coliform pada Muara Sungai di Sumatera Barat
Sumber : Olahan Tabel SD 17, Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-48
Sementara itu tingginya Coliform
pada lokasi merupakan petunjuk bahwa air
tersebut telah mengalami pencemaran oleh
feses manusia atau hewan berdarah panas.
Hal ini disebabkan karena objek pemantauan
juga dimanfaatkan oleh penduduk setempat
untuk tempat MCK.
Perbandingan kualitas air laut dan
muara sungai lebih lanjut dilakukan terhadap
4 (empat) parameter kunci yaitu TSS, pH,
DO dan BOD.
2.3.2.1. Perbandingan Kualitas Air Antar
Lokasi
1. Pantai Wisata
a. Zat Padat Tersuspensi (TSS)
Berdasarkan hasil uji laboratorium
terhadap sampel air laut pada 6 (enam)
kabupaten/kota dapat diketahui bahwa nilai
TSS di Pantai Sasak Kabupaten Pasaman
Barat lebih tinggi dibandingkan sampel
lainnya, sementara itu nilai TSS terendah
diperoleh pada sampel Pantai Tiku
Kabupaten Agam.
Gambar 2.67 Perbandingan Kualitas Air Laut Antar Lokasi Untuk Parameter TSS
Sumber : Olahan Tabel SD- 17 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Nilai TSS di Pantai Sasak untuk
jarak pengambilan sampel 50 m dan 100 m
dari pantai adalah 48 mg/L dan 51 mg/L, jika
dibandingkan dengan baku mutu nilai ini
telah melewati batas baku mutu yaitu 20
mg/L, sedangkan untuk pantai lainnya nilai
TSS pada masing-masing lokasi masih
berada dibawah batas baku mutu. Jika
dibandingkan nilai TSS pada jarak 50 m
nilainya tidak jauh berbeda dengan sampel
yang diambil pada jarak 100 m pada masing-
masing lokasi.
b. Derajat Kemasaman (pH)
Nilai pH air laut menunjukkan
kandungan asam dan basa di laut. Nilainya
dipengaruhi oleh temperatur, bahan organik
dan kandungan hara lainnya. Derajat
keasaman (pH) dalam suatu perairan
merupakan salah satu parameter kimia yang
penting dalam memantau kestabilan
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-49
perairan. Dari hasil analisa laboratorium
terhadap sampel kualitas air laut pada 6
(enam) kabupaten/kota di Sumatera Barat
diketahui bahwa kisaran pH pada sampel
adalah 6 – 8,2 dengan rata-rata pH sebesar
7,48. Dibandingkan dengan baku mutu untuk
pantai wisata, nilai tersebut telah memenuhi
standar baku mutu yaitu 7 -8,5, namun jika
dilihat per lokasi terdapat lokasi yang pHnya
berada dibawah baku mutu, yaitu Pantai
Sasak, Kabupaten Pasaman Barat.
Pantai Sasak baik pada jarak
pengambilan sampel 50 m maupun 100 m
dari pantai memiliki nilai 6,6 dan 6,4.
Sementara itu untuk Pantai Gandoriah pada
jarak 100 m juga memiliki nilai pH yang
rendah yaitu 6, nilai ini lebih rendah jika
dibandingkan dengan nilai pH yang diperoleh
pada jarak 50 m yaitu 7,2.
Gambar 2.68 Perbandingan Kualitas Air Laut Antar Lokasi Untuk Parameter pH
Sumber : Olahan Tabel SD- 17 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Nilai pH tertinggi diperoleh pada
sampel Pasir Jambak dengan jarak
pengambilan sampel 100 m yaitu 8,2
sedangkan pada jarak 50 m nilainya tidak
jauh berbeda yaitu 8,15. Secara keseluruhan
nilai pH pada masing-masing lokasi baik
pada jarak 50 m maupun 100 m tidak jauh
berbeda.
c. Oksigen Terlarut (DO)
Nilai baku mutu DO air laut untuk
wisata bahari menurut Keputusan Menteri
No 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air
Laut adalah 4. Hasil analisa laboratorium
terhadap sampel air laut yang dipantau
diketahui bahwa nilai DO berkisar 5,16 mg/L
– 8,33 mg/L, dengan rata-rata nilai DO 6,72
mg/L. Nilai DO secara keseluruhan untuk
masing-masing lokasi telah memenuhi baku
mutu. Nilai DO tertinggi diperoleh pada
Pantai Tiram dengan jarak pengambilan
sampel 50 m yaitu 8,33 mg/L sedangkan
nilai terendah di peroleh pada Pantai
Cerocok pada jarak pengambilan sampel 50
m yaitu 5,16. Secara umum nilai DO pada
masing-masing lokasi baik pada jarak 50 m
maupun 100 m tidak jauh berbeda.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-50
Gambar 2.69 Perbandingan Kualitas Air Laut Antar Lokasi Untuk Parameter DO
Sumber : Olahan Tabel SD- 17 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
d. Biochemical Oxygen Demand (BOD)
Berdasarkan hasil analisa
laboratorium terhadap sampel air laut pada 6
(enam) kabupaten/kota di Sumatera Barat
diketahui bahwa nilai BODnya berkisar 1,02
mg/L – 7,8 mg/L dengan rata-rata sebesar
2,47. Nilai ini menunjukkan bahwa kualitas
air laut pada lokasi tergolong baik karena
nilainya berada dibawah baku mutu yaitu 10
mg/L.
Nilai BOD tertinggi diperoleh pada
sampel air laut Pantai Sasak, Kabupaten
Pasaman Barat dengan jarak pengambilan
sampel 50 m dari pantai yaitu 7,8 mg/L,
sedangkan pada jarak 100 m nilainya
mengalami penurunan hingga lebih dari
separuhnya menjadi 3,5 mg/L. Meskipun
demikian, nilai tersebut masih berada di
bawah batas baku mutu.
Gambar 2.70 Perbandingan Kualitas Air Laut Antar Lokasi Untuk Parameter BOD
Sumber : Olahan Tabel SD-17 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-51
Nilai BOD terendah diperoleh pada
Pantai Pasir Jambak, Padang yaitu sebesar
1,02 mg/L untuk jarak 50 m dari pantai dan
1,14 mg/L untuk jarak 100 m. Nilai BOD
pada masing-masing lokasi untuk jarak 50 m
dari pantai tidak berbeda jauh dengan nilai
yang diperoleh pada jarak 100 m.
2. Muara Sungai
a. Zat Padat Tersuspensi (TSS)
Nilai TSS pada 6 (enam) muara
sungai di 6 (enam) kabupaten/kota berkisar
3 mg/L–18 mg/L, dengan rata-rata 13,5
mg/L. Nilai tersebut menunjukkan bahwa
kualitas air muara sungai pada lokasi
tergolong baik, karena nilainya berada
dibawah baku mutu yaitu 50 mg/L.
Nilai TSS tertinggi diperoleh pada
Muara Batang Pampan, Kota Pariaman dan
Muara Batang Ulakan di Kabupaten Padang
Pariaman dengan nilai masing-masing 18
mg/L, sedangkan nilai terendah diperoleh
pada muara sungai di Pantai Tiku yaitu 3
mg/L.
Gambar 2.71 Perbandingan Kualitas Air Muara Sungai Untuk Parameter TSS
Sumber : Olahan Tabel SD- 17 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
b. Derajat Kemasaman (pH)
Berdasarkan hasil pemantauan
terhadap 6 (enam) muara sungai di
Sumatera Barat diperoleh data bahwa nilai
pH pada lokasi berkisar 6 – 7,68 dengan
rata-rata nilai 6,9. Sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air, nilai tersebut telah
memenuhi batas baku mutu untuk kriteria
kelas II, nilai tersebut telah memenuhi baku
mutu, dengan batas baku mutu 6 – 9. Nilai
pH terendah ditemui pada Muara Batang
Ulakan yaitu dengan nilai 6 sedangkan nilai
pH tertinggi diperoleh pada air Muara Batang
Mandeh dengan nilai 7,68 .
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-52
Gambar 2.72 Perbandingan Kualitas Air Muara Sungai Untuk Parameter pH
Sumber : Olahan Tabel SD- 17 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
c. Oksigen Terlarut (DO)
Dari hasil pemantauan kualitas air
pada 6 (enam) muara sungai di Sumatera
Barat dapat diketahui nilai DO pada lokasi
berkisar 4,42 mg/L-7,6 mg/L, dengan rata-
rata 6,17 mg/L. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air, nilai tersebut memenuhi
batas baku mutu untuk kriteria kelas II,
dengan nilai 4 mg/L.
Nilai DO tertinggi diperoleh pada
muara Batang Ulakan, Kabupaten Padang
Pariaman yaitu 7,6 mg/L, nilai ini
berdasarkan tingkat pencemaran perairan
termasuk kategori tingkat pencemaran
rendah. Sementara itu nilai DO terendah
diperoleh pada muara Sungai Batang
Mandeh Kabupaten Pesisir Selatan, dengan
nilai DO 4,42 mg/L dan termasuk kategori
tingkat pencemaran sedang.
Gambar 2.73 Perbandingan Kualitas Air Muara Sungai Untuk Parameter DO
Sumber : Olahan Tabel SD-17 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-53
d. Biochemical Oxygen Demand (BOD)
Hasil analisa laboratorium untuk
parameter BOD diketahui bahwa nilai BOD
pada keenam muara sungai yang dipantau
berkisar 1,26 mg/L – 6,7 mg/L, dengan rata-
rata 3,12 mg/L. Nilai tersebut telah melewati
batas baku mutu, dimana nilai baku mutu
menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82
tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air
dan Pengendalian Pencemaran Air untuk air
dengan kriteria kelas II adalah 3 mg/L.
Nilai BOD terendah didapati pada
sampel muara sungai di Pantai Tiku
sedangkan nilai tertinggi diperoleh pada
muara sungai di Pantai Sasak.
Gambar 2.74 Perbandingan Kualitas Air Muara Sungai Untuk Parameter BOD
Sumber : Olahan Tabel SD-17 Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
2.3.2.2. Perbandingan Kualitas Air Antar
Waktu
1. Pantai Wisata
a. Zat Padat Tersuspensi (TSS)
Secara umum nilai rata-rata TSS
untuk objek pantai wisata di tahun 2014
mengalami perbaikan yaitu dari rata-rata
83,4 mg/L di tahun 2013 menjadi rata-rata
19,3 mg/L di tahun 2014. Penurunan nilai
TSS tertinggi terdapat di Pantai Gandoriah
Pariaman pada jarak pengambilan sampel
50 m dari pantai, dengan besar penurunan
508 mg/L. Selain itu penurunan nilai TSS
yang cukup signifikan juga terjadi di Pantai
Sasak baik pada jarak 50 m maupun 100 m
dengan besar penurunan masing-masing 67
mg/L dan 60 mg/L.
Sementara itu, juga terjadi kenaikan
nilai TSS pada 2 (dua) lokasi yaitu di Pantai
Muaro Kota Padang dan Pantai Tiram
Kabupaten Padang Pariaman. Kenaikan nilai
TSS tertinggi terdapat di Pantai Tiram pada
jarak 100 m dengan besar kenaikan 9 mg/L.
Namun kenaikan nilai ini tidak menyebabkan
nilai TSS pada lokasi berada diatas baku
mutu ( baku mutu: 20 mg/L).
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-54
Gambar 2.75 Perbandingan Kualitas Air Laut Tahun 2013 – 2014 Parameter TSS
Sumber : Olahan Tabel SD-17 Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
b. Derajat Keasaman (pH)
Dibandingkan dengan data tahun
2013, nilai rata-rata pH pada air laut yang di
pantau di tahun 2014 tidak mengalami
perbedaan yang signifikan, yaitu rata-rata
6,8 di tahun 2013 menjadi 7,2 ditahun 2014.
Namun nilai rata-rata yang diperoleh di tahun
2013 lebih rendah jika dibandingkan dengan
baku mutu.
Dari 5 (lima) pantai yang dipantau
3 (tiga) diantaranya mengalami kenaikan
nilai pH yaitu di Pantai Muaro Padang,
Pantai Cerocok dan Pantai Tiram. Namun
demikian kenaikan nilai tersebut masih
berada pada range baku mutu air laut untuk
wisata bahari yaitu 7 – 8,5.
Di tahun 2014, terdapat 2 (dua)
pantai yang memiliki nilai pH dibawah baku
mutu yaitu Pantai Gandoriah dengan jarak
pengambilan sampel 100 m dan Pantai
Sasak, baik dengan pengambilan sampel
pada jarak 50 m maupun 100 m dari pantai.
Gambar 2.76 Perbandingan Parameter pH Kualitas Air Laut Tahun 2013 – 2014
Sumber : Olahan Tabel SD-17 Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-55
c. Oksigen Terlarut (DO)
Penurunan kualitas air akibat
pencemaran dapat dilihat dengan
mengamati beberapa parameter kimia,
seperti oksigen terlarut. Kadar oksigen
terlarut dalam suatu perairan diperlukan oleh
organisme untuk pernafasan dan oksidasi
bahan-bahan organik. Jika dibandingkan
dengan hasil pemantauan tahun sebelumnya
(2013), rata-rata nilai DO pada sampel air
laut yang dipantau mengalami penurunan di
tahun 2014 yaitu dari rata-rata 7,1 mg/L
menjadi 6, 7 mg/L.
Gambar 2.77 Perbandingan Kualitas Air Laut Tahun 2013 – 2014 Parameter DO
Sumber : Olahan Tabel SD-17, Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Penurunan nilai DO terjadi pada 3
(tiga) pantai yaitu Pantai Muaro Padang,
Pantai Cerocok Painan dan Pantai Sasak
Pasaman Barat. Penurunan nilai DO tertinggi
terjadi di Pantai Cerocok Painan pada jarak
pengambilan sampel 50 m dari pantai,
dengan besar penurunan 3,4 mg/L. Nilai DO
pada masing-masing lokasi tergolong baik,
karena memenuhi baku mutu. Sementara itu
untuk Pantai Tiram dan Pantai Gandoriah
nilai DO di tahun 2014 meningkat dari tahun
2013 yang lalu, dimana kenaikan nilai DO
tertinggi ditemui pada Pantai Gandoriah
dengan jarak pengambilan sampel 50 m dari
pantai yaitu 2,87 mg/L.
d. Biochemical Oxygen Demand (BOD)
Dibandingkan dengan tahun 2013,
rata-rata nilai BOD air laut yang dipantau di
tahun 2014 tidak jauh berbeda yaitu rata-rata
3,25 mg/L di tahun 2013 turun menjadi 3,12
mg/L di tahun 2014. Nilai ini masih berada di
bawah baku mutu air laut untuk wisata
bahari, namun menurut derajat pencemaran
berdasarkan nilai BOD5, nilai tersebut
termasuk tercemar ringan.
Penurunan nilai BOD terbesar
diperoleh pada Pantai Sasak dengan jarak
pengambilan sampel 100 m dari pantai yaitu
3,2 mg/L. Disamping itu di Pantai Sasak juga
terjadi kenaikan nilai BOD dengan jarak
pengambilan sampel 50 m dari pantai yaitu
sebesar 4,3 mg/L.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-56
Gambar 2.78 Perbandingan Kualitas Air Laut Tahun 2013 – 2014 Parameter BOD
Sumber : Olahan Tabel SD-17 Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
2. Muara Sungai
a. Zat Padat Tersuspensi (TSS)
Rata-rata nilai TSS pada 4 (empat)
muara sungai yang dipantau tahun 2014
lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-
rata TSS tahun 2013. Nilai rata-rata TSS di
tahun 2014 adalah 15 mg/L, sedangkan di
tahun 2013 sebesar 56,5 mg/L.
Dari 4 (empat) muara sungai, dua
diantaranya mengalami kenaikan nilai TSS
jika dibandingkan dengan tahun 2013 yang
lalu, yaitu Muara Batang Arau dengan
kenaikan sebesar 7 mg/L dan Muara Batang
Mandeh sebesar 2 mg/L. Sementara itu
pada Muara Batang Pampan dan Muara
Sungai di Pantai Sasak terjadi penurunan
nilai TSS yang signifikan jika dibandingkan
dengan tahun 2013 yang lalu yaitu sebesar
20 mg/L dan 155 mg/L.
Baik di tahun 2013 maupun di tahun
2014, nilai TSS pada 3 (tiga) lokasi yaitu
Muara Batang Arau, Muara Batang Mandeh
dan Muara Batang Pampan masih berada
dibawah baku mutu. Sementara untuk Muara
Sungai di Pantai Sasak pada tahun 2013
nilai TSSnya telah melewati batas baku mutu
yaitu 171 mg/L, namun di tahun 2014
menurun menjadi 16 mg/L.
Gambar 2.79 Perbandingan Kualitas Air Muara Sungai Tahun 2013 – 2014 Parameter TSS
Sumber : Olahan Tabel SD 17 Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-57
b. Derajat Keasaman (pH)
Hasil pemantauan terhadap 4
(empat) muara sungai di tahun 2014 rata-
rata nilai pH mengalami peningkatan dari
6,37 di tahun 2013 menjadi 7,11 di tahun
2014. Perbandingan nilai pH tahun 2013 dan
2014 pada masing-masing lokasi, dapat
dilihat pada Gambar 2.80.
Gambar 2.80 Perbandingan Kualitas Air Muara Sungai Tahun 2013 – 2014 Parameter pH
Sumber : Olahan Tabel SD-17 Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Nilai pH baik di tahun 2013 maupun
di tahun 2014 pada masing-masing lokasi
masih berada pada range baku mutu.
Kenaikan nilai pH terjadi pada keempat
muara sungai yang dipantau, dimana
kenaikan nilai tertinggi ditemui pada muara
Batang Arau yaitu sebesar 1,37. Sementara
itu kenaikan terendah ditemui pada muara
Batang Pampan yaitu sebesar 0,17.
c. Oksigen Terlarut (DO)
Secara umum, dari hasil
pemantauan kualitas air pada 4 (empat)
muara sungai terjadi penurunan nilai rata-
rata DO dari 7,38 mg/L di tahun 2013
menjadi 5,69 mg/L di tahun 2014. Nilai rata-
rata ini menunjukkan bahwa tingkat
pencemaran pada titik sampel tergolong
rendah.
Penurunan nilai DO terjadi pada 3
(tiga) muara sungai yaitu muara Batang
Arau, muara Batang Mandeh dan muara
sungai di Pantai Sasak. Penurunan nilai DO
tertinggi ditemui pada sampel muara Batang
Mandeh sebesar 3,9 mg/L. Sementara itu
pada muara Batang Pampan terjadi
kenaikan nilai DO sebesar 2,8 mg/L jika
dibandingkan dengan nilai DO pada tahun
2013. Nilai DO pada masing-masing sampel
baik tahun 2013 maupun 2014 telah
memenuhi baku mutu.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-58
Gambar 2.81 Perbandingan Kualitas Air Muara Sungai Tahun 2013 – 2014 Parameter DO
Sumber : Olahan Tabel SD-17, Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
d. Biochemical Oxygen Demand (BOD)
Jika dilihat dari nilai BOD, kualitas
air muara sungai yang dipantau pada tahun
2014 mengalami perbaikan dibandingkan
dengan tahun 2013. Hal ini dapat dilihat dari
nilai rata-rata BOD yang mengalami
penurunan dari 5,85 mg/L di tahun 2013
menjadi 3,62 mg/L di tahun 2014. Namun
demikian kondisi ini patut diwaspadai
mengingat nilai ini telah melewati batas baku
mutu.
Gambar 2.82 Perbandingan Kualitas Air Muara Sungai Tahun 2013 – 2014 Parameter BOD
Sumber : Olahan Tabel SD-17, Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Perbandingan hasil pengukuran
BOD pada muara sungai tahun 2013 – 2014.
Penurunan nilai BOD tertinggi ditemui pada
muara Batang Pampan dengan penurunan
sebesar 6,06 mg/L. Sementara itu pada
muara Batang Arau nilai BODnya tidak jauh
berbeda dengan hasil yang diperoleh pada
tahun 2013 yaitu 2,9 mg/L menjadi 2,14
mg/L di tahun 2014.
Nilai BOD tahun 2013 pada keempat
sampel telah melewati batas baku mutu,
sedangkan di tahun 2014 nilai BOD muara
Batang Mandeh dan muara sungai di Pantai
Sasak masih berada di atas baku mutu.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-59
2.4. UDARA
Untuk mengetahui terjadinya
pencemaran udara yang mengakibatkan
turunnya kualitas udara perlu dilakukan
upaya pemantauan kualitas udara secara
berkala dan terus menerus sebagaimana
diamanatkan Peraturan Pemerintah Nomor
41 tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara dan Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor 19 tahun 2008
tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang
Lingkungan Hidup Daerah Provinsi dan
Daerah Kabupaten/Kota.
Pemantauan kualitas udara ambien
tahun 2014 telah dilaksanakan oleh
Bapedalda Provinsi Sumatera Barat pada 18
kabupaten/kota, dengan lokasi mewakili
kawasan padat lalu lintas sebanyak 17 (tujuh
belas) titik, mewakili kawasan pemukiman
sebanyak 1 (satu) titik dan mewakili kawasan
industri 1 (satu) titik. Disamping itu juga
dilakukan pemantauan pada kondisi kabut
asap pada 8 (delapan) kabupaten/kota.
Pemantauan dilakukan terhadap 5 (lima)
parameter pada masing-masing titik pantau
yaitu SO₂, NO₂, CO, O₃ dan TSP (untuk
kawasan padat lalu lintas) atau PM₁₀ (untuk
kawasan industri, pemukiman dan kondisi
kabut asap).
Berdasarkan hasil analisa
laboratorium, kondisi udara di Provinsi
Sumatera Barat terutama untuk parameter
SO₂, CO, NO₂ dan O₃ masih tergolong baik
karena hasil analisa laboratorium untuk
masing-masing parameter masih berada di
bawah baku mutu. Namun untuk parameter
TSP dan PM10 pada beberapa lokasi nilainya
telah diatas baku mutu.
Untuk menganalisis isu kualitas
udara ambien di Provinsi Sumatera Barat,
maka digunakan pendekatan analisis
statistik yang menunjukkan kondisi rata-rata
dan kondisi ekstrim (maksimum atau
minimum) serta analisis perbandingan antar
lokasi dan baku mutu. Sementara
kecenderungan perubahan menggunakan
pendekatan analisis perbandingan antar
waktu pada lokasi tertentu.
2.4.1 Kualitas Udara Ambien Menurut
Lokasi serta Perbandingan
Menurut Lokasi dan Baku Mutu
Dari hasil pemantauan kondisi
udara di Provinsi Sumatera Barat terutama
untuk parameter SO₂, CO, NO₂ dan O₃
masih tergolong baik karena hasil analisa
laboratorium untuk masing-masing
parameter masih berada dibawah baku
mutu. Namun untuk titik pantau Terminal
Lubuk Alung Kabupaten Padang Pariaman,
Simpang Lubuk Begalung Kota Padang dan
Lapangan Cindua Mato Kabupaten Tanah
Datar, konsentrasi TSP pada udara telah
melewati batas baku mutu yang ditetapkan
PP No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara yaitu sebesar 387,8
µg/Nm³, 430,72 µg/Nm³ dan 236 µg/Nm³
dengan baku mutu 230 µg/Nm³. Untuk titik
pantau depan UKM Center Kota
Payakumbuh juga mendapat perhatian
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-60
karena nilai TSP pada lokasi sudah
mendekati batas baku mutu yaitu sebesar
229 µg/Nm³.
Gambar 2.83 Kualitas Udara Ambien Kabupaten/Kota
Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014 Parameter TSP
Sumber : Olahan Tabel SD-18 Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Tingginya nilai TSP disebabkan
oleh aktivitas kendaraan bermotor yang
padat pada lokasi. Disamping kurangnya
pohon peneduh, Simpang Lubeg Padang
dan Terminal Lubuk Alung merupakan jalur
padat lalu lintas yang ramai dilewati
angkutan dalam kota, angkutan antar kota
dalam provinsi, kendaraan pribadi dan truk-
truk pengangkut, sehingga debu yang
muncul akibat dari aktivitas kendaraan
tersebut berkontribusi besar meningkatkan
nilai TSP pada udara ambien di lokasi. Untuk
Lapangan Cindua Mato Batu Sangkar, selain
aktivitas kendaraan bermotor yang ramai
pada lokasi, tingginya nilai TSP
kemungkinan juga disebabkan oleh imbas
dari kebakaran hutan dan lahan yang terjadi
di provinsi tetangga. Kondisi cuaca yang
kering diduga juga turut memicu tingginya
kadar TSP di udara.
Untuk Parameter PM₁₀, dari dua
lokasi yang dipantau yaitu Siteba dan Ulu
Gadut, keduanya memiliki konsentrasi PM₁₀
yang telah melewati batas baku mutu.
Kondisi ini dimungkinkan karena untuk titik
pantau Siteba, lokasi merupakan jalur yang
dilewati angkutan kota, disamping itu cuaca
yang kering serta masih adanya imbas dari
kabut asap yang dialami saat itu, turut
menyumbangkan PM₁₀ di udara. Sama
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-61
halnya dengan titik pantau di ulu Gadut,
selain cuaca yang kering serta imbas kabut
asap, sumbangan PM₁₀ di udara juga
dimungkinkan berasal dari emisi pabrik
semen karena titik pantau terletak dekat
dengan pabrik PT Semen Padang.
Secara umum kadar CO pada
seluruh titik pantau masih berada di bawah
batas baku mutu, nilai tertinggi diperoleh
pada titik Simpang Rumbio Kota Solok yaitu
sebesar 9.600 µg/Nm³ diikuti dengan titik
Terminal Aur Kuning, Bukittinggi sebesar
9.162 µg/Nm³. Hal ini patut mendapat
perhatian karena nilai tersebut hampir
mendekati batas baku mutu yaitu sebesar
10.000 µg/Nm³. Kadar CO terendah terdapat
pada titik Siteba.
Gambar 2.84 Kualitas Udara Ambien Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014 Parameter PM10
Sumber : Olahan Tabel SD-18, Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Berdasarkan estimasi, jumlah CO
dari sumber buatan diperkirakan mendekati
60 juta ton per tahun. Separuh dari jumlah
ini berasal dari kendaraan bermotor yang
menggunakan bakan bakar bensin dan
sepertiganya berasal dari sumber tidak
bergerak seperti pembakaran batubara dan
minyak dari industri dan pembakaran
sampah domestik. Didalam laporan WHO
(1992) dinyatakan paling tidak 90% dari CO
diudara perkotaan berasal dari emisi
kendaraan bermotor. Selain itu asap rokok
juga mengandung CO.
Konsentrasi O₃ (Ozon) pada
masing-masing titik pantau juga masih
berada dibawah batas baku mutu. Nilai O₃
tertinggi ditemui pada titik pantau di Simpang
Padang Luar Kabupaten Agam sebesar 145
µg/Nm³, diikuti oleh Kabupaten Pasaman
Barat dengan nilai 94,59 µg/Nm³, dan titik
pantau depan Lapangan Merdeka, Pariaman
sebesar 68,7 µg/Nm³. Sementara itu
konsentrasi O₃ terendah diperoleh pada titik
pantau Sungai Rumbai, Dharmasraya
dengan nilai 4,74 µg/Nm³.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-62
Gambar 2.85 Kualitas Udara Ambien Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014 Parameter CO
Sumber : Olahan Tabel SD-18 Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
O₃ termasuk pencemar sekunder
yang terbentuk dari reaksi NOx dan HC
dengan bantuan sinar matahari. Zat ini
berbahaya di lapisan atmosfer rendah dan
merupakan pembentuk kabut asap yang
berbahaya bagi kesehatan dan menimbulkan
efek panas. Evaluasi tentang dampak ozon
dan oksidan lainnya terhadap kesehatan
yang dilakukan oleh WHO task group
menyatakan pemajanan oksidan fotokimia
pada kadar 200-500 μg/m³ dalam waktu
singkat dapat merusak fungsi paru-paru
anak, meningkatkan frekwensi serangan
asma dan iritasi mata.
Kadar SO2 pada masing-masing titik
pantau masih berada di bawah batas baku
mutu. Kadar SO2 tertinggi diperoleh pada
titik Depan PDAM Painan Kabupaten Pesisir
Selatan dengan nilai 33,29 µg/Nm3 diikuti
dengan titik pantau depan puskesmas Ulu
Gadut, Padang, sedangkan kadar SO2
terendah terdapat pada titik di Sungai
Rumbai, Kabupaten Dharmasraya
Sumber SO2 pada lokasi berasal
dari emisi gas buang kendaraan bermotor
terutama kendaraan dengan minyak solar
sulfur tinggi. Sumber SO2 lainnya juga bisa
berasal dari pembakaran bahan bakar arang,
gas, minyak dan kayu.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-63
Gambar 2.86 Kualitas Udara Ambien Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014 Parameter O3
Sumber : Olahan Tabel SD-18 Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Gambar 2.87 Kualitas Udara Ambien Kabupaten/Kota
Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014 Parameter SO2
Sumber : Olahan Tabel SD-18 Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Untuk parameter NO2, nilainya
masih berada di bawah baku mutu, nilai
tertinggi ditemui pada titik pantau di Siteba,
Padang yaitu sebesar 22,94 µg/Nm3, diikuti
dengan titik Lubeg, Padang sebesar 22
µg/Nm3 dan nilai terendah pada titik pantau
Sungai Rumbai, Kabupaten Dharmasraya
dengan nilai 4,38 µg/Nm3 (Gambar 2.86)
2.4.2 Analisis Kualitas Udara Ambien
Perbandingan Antar Lokasi dan
Antar waktu
Parameter PM₁₀
Dibandingkan dengan data tahun
2012 dan 2013, nilai PM10 pada kedua titik
yang dipantau cenderung mengalami
peningkatan dari tahun ketahun. Bahkan
untuk tahun 2014 ini nilai PM10 pada kedua
lokasi telah melewati batas baku mutu.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-64
Gambar 2.88 Udara Ambien Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Barat Parameter PM10Tahun 2012 – 2014
Sumber : Olahan Tabel SD-18D Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Nilai PM10 di tahun 2014 mengalami
peningkatan rata-rata sebesar lebih dari dua
kali lipat dibandingkan data dua tahun
terakhir, yaitu dari rata 44,405 µg/Nm3 di
tahun 2012 dan 48,23 µg/Nm3 di tahun 2013
menjadi rata-rata 185,475 µg/Nm3 di tahun
2014.
Parameter Debu (TSP)
Rata-rata konsentrasi TSP udara
ambien Sumatera Barat tidak jauh berbeda
dari tahun 2013 yang lalu dan mengalami
penurunan dari tahun 2012. Untuk nilai TSP
pada tahun 2012 rata-rata sebesar 182,4
µg/Nm3 dan mengalami penurunan pada
tahun 2013 menjadi rata-rata 150,6 µg/Nm3,
sementara untuk tahun 2014 rata-rata
sebesar 150,3 µg/Nm3.
Dari Gambar 2.89 dapat dilihat jelas
untuk titik pantau pada Kota Sawahlunto,
Kab. Pasaman Barat, Kota Padang Panjang,
Kota Pariaman, Kab. Agam dan Kab.
Dharmasraya mengalami penurunan TSP
dari tahun sebelumnya. Namun untuk titik
Simp. Lubuk Begalung Padang, Kab. Pesisir
Selatan, Kota Bukittinggi, Kab. Padang
Pariaman, Kota Payakumbuh dan Kota
Solok terjadi peningkatan TSP jika
dibandingkan dengan tahun 2013 yang lalu.
Penurunan nilai TSP tertinggi terjadi pada
titik di Kota Sawahlunto sebesar 190 µg/Nm3
diikuti dengan titik di Kab. Pasaman Barat
sebesar 155,58 µg/Nm3. Peningkatan nilai
TSP tertinggi terdapat pada titik Terminal
Lubuk Alung, Kab. Padang Pariaman yaitu
sebesar 224,3 µg/Nm3 diikuti dengan titik
Simpang Lubeg Padang dengan kenaikan
sebesar 215,72 µg/Nm3.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-65
Gambar 2.89 Udara Ambien Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Barat Parameter TSP Tahun 2012 – 2014
Sumber : Olahan Tabel SD-18D Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Parameter CO
Secara umum dibandingkan tahun
2013, nilai rata-rata CO Sumatera Barat
meningkat sebesar 733,09 µg/Nm3, namun
dibandingkan tahun 2012 rata-rata CO turun
dari 5.239,9 µg/Nm3 menjadi 4.134,9
µg/Nm3.
Dibandingkan tahun 2013, kenaikan
nilai CO tertinggi ditemui pada titik depan
PDAM Painan Kabupaten Pesisir Selatan
yaitu sebesar 6.548 µg/Nm3, diikuti dengan
titik Sungai Rumbai Kab. Dharmasraya dan
depan UKM Center Kota Payakumbuh
masing-masing dengan kenaikan sebesar
4.552 µg/Nm3 dan 3.063,3 µg/Nm3.
Penurunan kadar CO terjadi pada 3
(tiga) titik yaitu Simpang Lubuk Begalung
Padang, Siteba Padang dan Term. Lb. Alung
Padang Pariaman dengan penurunan
masing-masing sebesar 7.726 µg/Nm3,
3.098,5 µg/Nm3 dan 5.278 µg/Nm3.
Gambar 2.90 Perbandingan Kualitas Udara Ambien Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Barat Parameter CO Tahun 2012 – 2014
Sumber : Olahan Tabel SD-18D Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-66
Parameter O₃
Secara umum, nilai rata-rata O₃
pada beberapa titik pantau di Prov.
Sumatera Barat mengalami penurunan jika
dibandingkan data yang diperoleh pada
tahun 2012 dan 2013. Pada tahun 2012 rata-
rata nilai O3 Sumatera Barat sebesar 68,7
µg/Nm3 dan meningkat menjadi rata-rata
sebesar 76,9 µg/Nm3 di tahun 2013,
kemudian di tahun 2014 kembali turun
menjadi 40,8 µg/Nm3. Hasil pemantauan
kualitas udara ambien parameter O₃
terhadap 14 (empat belas) titik pantau di
Prov. Sumatera Barat menunjukkan bahwa
di tahun 2014 nilai O3 pada 12 (dua belas)
titik pantau cenderung mengalami
penurunan jika dibandingkan dengan data
yang diperoleh tahun 2013.
Penurunan nilai O₃ tertinggi diperoleh di
Padang Panjang yaitu sebesar 92,37
µg/Nm³, diikuti titik di Ulu Gadut Padang dan
Terminal Lb. Alung Kab. Padang Pariaman
dengan nilai kenaikan masing-masing
sebesar 69,35 µg/Nm dan 66,2 µg/Nm³.
Kenaikan nilai O₃ terjadi pada 2
(dua) titik yaitu pada titik pantau di Kab.
Pasaman Barat dan Padang Luar, Kab.
Agam dengan kenaikan masing-masing
sebesar 35,98 µg/Nm³ dan 51,97 µg/Nm³.
Penurunan kadar CO tertinggi
diperoleh pada titik Simpang Kota Padang
Panjang yaitu sebesar 12.577,1 µg/Nm³ dan
menjadikan kandungan CO pada titik ini
yang sebelumnya berada diatas baku mutu
menjadi dibawah batas baku mutu yang
telah ditetapkan. Sementara itu kenaikan
nilai CO terjadi pada titik depan Mesjid Al
Munawarah Siteba Padang, Lapangan
Merdeka Pariaman, Terminal Lubuk Alung
Kabupaten.Padang Pariaman dan Simpang
Padang Luar Kabupaten Agam.
Gambar 2.91 Perbandingan Kualitas Udara Ambien Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Barat Parameter O3 Tahun 2012 – 2014
Sumber : Olahan Tabel SD-18D Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-67
Kenaikan tertinggi terjadi pada titik
Terminal Lubuk Alung Kabupaten Padang
Pariaman yaitu sebesar 3.797 µg/Nm³,
namun nilainya masih berada dibawah batas
baku mutu yang telah ditetapkan yaitu
10.000 µg/Nm³ sebagiamana gambar 2.90.
2.4.3 Indeks Kualitas Udara
Untuk tahun 2014, nilai rata-rata
IPU Sumatera Barat sebesar 98,5. Angka ini
menunjukkan bahwa kualitas udara
Sumatera Barat tergolong baik. Nilai IPU
tertinggi diperoleh pada titik Sungai Rumbai,
Kabupaten Dharmasraya sementara
terendah diperoleh pada titik Ulu Gadut
Padang.
Dibandingkan dengan tahun 2013,
tahun 2014 ini terjadi perbaikan kualitas
udara ambien Sumatera Barat, dimana nilai
IPU meningkat dari rata-rata 91,79 menjadi
97,28. Peningkatan nilai IPU tertinggi
diperoleh pada titik depan UKM Center Kota
Payakumbuh yaitu mencapai 31,68 diikuti
dengan titik Simpang Padang Panjang
dengan peningkatan sebesar 18,74.
Sementara itu pada titik Taman Segitiga
Sawahlunto terjadi penurunan nilai IPU yang
tidak signifikan yaitu sebesar 0,21.
Gambar 2.92 Indeks Pencemar Udara Kabupaten/Kota di
Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel SD-18C Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Gambar 2.93 Perbandingan Indeks Pencemar Udara Kabupaten/Kota di
Provinsi Sumatera Barat Tahun 2013 – 2014
Sumber : Olahan Tabel SD-18C Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-68
2.4.4 Kualitas Udara Ambien Dalam
Kondisi Kabut Asap Dan Analisa
Menurut Indeks Standar
Pencemar Udara (ISPU)
Sumatera Barat di tahun 2014
mengalami 2 (dua) kali kabut asap yaitu
pada bulan Februari hingga Maret 2014 dan
bulan September hingga Oktober 2014.
Hampir seluruh kabupaten/kota di Sumatera
Barat merasakan dampak dari kabut asap
akibat kebakaran hutan dan lahan yang
terjadi di provinsi tetangga.
Untuk periode Februari hingga
Maret 2014, pemantauan kualitas udara
ambien dalam kondisi kabut asap dilakukan
pada 7 (tujuh) kabupaten/kota yaitu Kota
Payakumbuh, Kota Pariaman, Kota Padang
Panjang, Kabupaten Tanah Datar,
Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten
Agam dan Kabupaten Lima Puluh Kota.
Untuk Kabupaten Tanah Datar, Kota
Payakumbuh dan Kota Pariaman, lokasi
pemantauan pada kondisi kabut asap
dilakukan pada lokasi yang sama dengan
pemantauan dalam kondisi normal,
sedangkan untuk Kabupaten Agam,
Kabupaten Lima Puluh Kota, Kabupaten
Pasaman Barat dan Kota Padang Panjang
lokasi pemantauan disesuaikan dengan
permintaan pemerintah daerah masing-
masing.
Untuk kabut asap yang dialami
pada bulan September hingga Oktober 2014,
pemantauan hanya bisa dilakukan pada 1
(satu) daerah yaitu Kabupaten Dharmasraya
dengan lokasi depan Kantor Bupati
Dharmasraya yang dilaksanakan pada bulan
September. Lokasi ini merupakan lokasi
yang berbeda dengan lokasi pemantauan
pada kondisi normal.
Guna mendapatkan gambaran dan
informasi mengenai kondisi kabut asap di
Sumatera Barat, terutama kondisi di bulan
Oktober 2014, berdasarkan citra satelit
MTSAT-14 pada Stasiun GAW Bukit Koto
Tabang (tgl 15 Oktober 2014) pukul 00.00
UTC (07.00 wib) arah gerakan trayektory
masa udara yang masuk ke wilayah
Sumatera Barat bergerak dari Selatan
hingga Tenggara. Hal ini menyebabkan
kejadian kebakaran hutan dan lahan yang
terjadi di Selatan pulau Sumatera
memberikan dampak kabut asap di
Sumatera Barat.
Dari hasil pemantauan kondisi
kabut asap pada beberapa kabupaten/kota
di Sumatera Barat diketahui bahwa kabut
asap secara umum telah mempengaruhi
kualitas udara ambien terutama untuk
parameter PM10, dimana nilainya telah
mendekati bahkan melewati batas baku
mutu yang ditetapkan.
Berdasarkan Indeks Standar
Pencemar Udara (ISPU) terutama untuk
parameter PM10, kualitas udara di Sumatera
Barat pada kondisi kabut asap berkisar
sedang hingga tidak sehat.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-69
Gambar 2.94 Kualitas Udara Ambien Kondisi Kabut Asap Menurut Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) pada Beberapa Kabupaten/Kota di Sumatera Barat
Sumber : Olahan Tabel SD-18B Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
2.4.5 Kualitas Udara Ambien
Perkotaan
Bapedalda Provinsi melalui
Kegiatan Evaluasi Kualitas Udara Ambien
Perkotaan telah memantau kualitas udara
ambien pada 3 (tiga) titik padat lalu lintas di
Kota Padang yaitu di Jalan S. Parman, Jalan
Agus Salim dan Jalan By Pass. Secara
umum, ketiga ruas jalan memiliki
karakteristik yang hampir sama dengan lebar
jalan antara 7,7 m – 14 m, terdiri dari 2
(dua) jalur tanpa faktor pemisah dan bahu
jalan antara 1m -1,5m. Ketiga jalan dilewati
oleh berbagai jenis kendaraan dan
didominasi oleh jenis kendaraan sepeda
motor. Hasil pengukuran evaluasi kualitas
udara perkotaan tahun 2014 menunjukkan
bahwa dari 8 (delapan) parameter yang
dianalisa yaitu SO2, CO, NO2, O3, HC, PM10
dan TSP, untuk parameter HC (hidrokarbon)
pada masing-masing lokasi nilainya telah
melewati batas baku mutu. Nilai HC tertinggi
ditemui pada Jl. S. Parman sedangkan nilai
HC terendah ditemui di Jl. By Pass.
Disamping itu pada titik Jl. Agus Salim, nilai
untuk parameter O3 dan PM10 juga telah
melewati batas baku mutu yaitu masing-
masing 243,39 µg/Nm3 dan 176,27 µg/Nm3
dengan baku mutu 235 µg/Nm3 dan 150
µg/Nm3.
Sama halnya dengan tahun 2014,
nilai HC di tahun 2013 untuk masing-masing
titik sampel juga telah melewati batas baku
mutu. Nilai rata-rata HC di tahun 2014
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-70
mengalami peningkatan yaitu dari 167,7
µg/Nm3 di tahun 2013 menjadi rata-rata
727,73 µg/Nm3.
Sumber HC pada lokasi berasal dari
sarana transportasi, kondisi mesin yang
kurang baik dapat menghasilkan HC. Pada
umumnya pada pagi hari kadar HC di udara
tinggi, namun pada siang hari menurun. Sore
hari kadar HC akan meningkat dan
kemudian menurun lagi pada malam hari.
Gambar 2.95 Kualitas Udara Ambien Perkotaan Tahun 2013 – 2014
Sumber : Olahan Tabel SD 18-E, Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014.
2.5 LAUT, PESISIR DAN PANTAI
Pembangunan wilayah pesisir dan
laut Provinsi Sumatera Barat pada
hakekatnya adalah memanfaatkan
sumberdaya pesisir dan laut secara optimal
dengan memperhatikan keseimbangan dan
kelestarian sumberdaya alam dan
lingkungan dalam meningkatkan
kesejahteraan, memperbaiki taraf hidup
masyarakat khususnya masyarakat pesisir
dan memenuhi kesempatan kerja. Isu
lingkungan kritis pengelolaan wilayah pesisir,
laut dan pantai adalah sebagai berikut:
1. Terjadi kerusakan terumbu karang dan
padang lamun hampir diseluruh wilayah
pesisir laut Sumatera Barat
2. Umumnya tutupan mangrove di
Sumatera Barat relatif kecil, terutama di
Kota Padang.
3. Beberapa parameter kualitas air laut di
atas baku mutu.
Untuk menganalisis isu pengelolaan
wilayah pesisir laut di Provinsi Sumatera
Barat, maka digunakan pendekatan analisis
statistik yang menunjukkan kondisi rata-rata
dan kondisi ekstrim (maksimum atau
minimum) serta analisis perbandingan antar
lokasi dan baku mutu. Sementara
kecendrungan perubahan menggunakan
pendekatan analisis perbandingan antar
waktu pada lokasi tertentu.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-71
2.5.1. Luas Tutupan dan Kondisi
Terumbu Karang
Provinsi Sumatera Barat memiliki
terumbu karang dengan luas tutupan
20.458,64 Ha yang tersebar pada 7 (tujuh)
kabupaten/kota di pesisir laut Sumatera
Barat. Tutupan terumbu karang terluas
terdapat di Kabupaten Kepulauan Mentawai
dengan luas tutupan sebesar 17.589,61 Ha
sementara itu luas tutupan terumbu karang
terkecil ditemui di Kota Pariaman dengan
luas 17,33 Ha dan diikuti dengan Kabupaten
Agam seluas 26,70 Ha.
Dari total luas tutupan terumbu
karang di Sumatera Barat hanya 24 % yang
kondisinya sangat baik sedangkan 32 %
dalam kondisi sedang dan 32 % lagi dalam
kondisi rusak (Gambar 2.97). Dari data yang
ada pada 6 (enam) kabupaten/kota di
Sumatera Barat kecuali di Kabupaten
Kepulauan Mentawai, tutupan terumbu
karang yang paling luas mengalami
kerusakan adalah di Kabupaten Padang
Pariaman yaitu sebesar 91,7 % diikuti
dengan Kabupaten Pesisir Selatan yaitu
seluas 54 %, sementara itu kerusakan
tutupan terumbu karang terkecil ditemui di
Kabupaten Agam yaitu sebesar 0,19%
Gambar 2.96 Luas Tutupan Terumbu Karang Pada Kabupaten/Kota di Sumatera Barat
Sumber : Olahan Tabel SD-19 Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Gambar 2.97 Kondisi Tutupan Terumbu Karang di Provinsi Sumatera Barat
Sumber : Olahan Tabel SD-19, Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-72
Gambar 2.98 Perbandingan Lokasi Terluas Kerusakan Terumbu Karang
Sumber : Olahan Tabel SD-19B Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Dibandingkan dengan tahun 2013,
kerusakan terumbu karang pada 4 (empat)
kabupaten/kota di Sumatera Barat
mengalami peningkatan yang signifikan dari
163,60 Ha di tahun 2013 menjadi 600,68 Ha
di tahun 2014. Luas area kerusakan terumbu
karang yang terbesar ditemui di Kabupaten
Pesisir Selatan yaitu seluas 610,41 Ha di
tahun 2013 dan meningkat menjadi 2.365 Ha
di tahun 2014.
2.5.2. Luas dan Kerusakan Padang
Lamun
Di wilayah pesisir Sumatera Barat,
Padang Lamun ditemukan pada beberapa
lokasi antara lain di perairan Kota Padang,
Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten
Kepulauan Mentawai dan Kabupaten Pesisir
Selatan, dengan total luas area sebesar
598,85 Ha. Tutupan terluas terdapat di
Kabupaten Kepulauan Mentawai yaitu
452,85 Ha dan tutupan terkecil terdapat di
perairan Kota Padang yaitu seluas 4 Ha,
sementara itu Kota Pariaman dan Kabupaten
Agam tidak memiliki area padang lamun
(Gambar 2.99).
Gambar 2.99 Ekosistem Padang Lamun di Perairan Laut
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-73
Kerusakan ekosistem padang
lamun di Sumatera Barat rata-rata mencapai
31,7 % dengan kerusakan tertinggi yaitu di
Kabupaten Pesisir Selatan yaitu sebesar 43
%, sementara kerusakan terkecil terjadi di
perairan Kota Padang yaitu sebesar 19 %
namun demikian dari segi luas kerusakan,
Kabupaten Kepulauan Mentawai memiliki
kerusakan area padang lamun lebih besar
dibandingkan daerah lain yaitu sebesar 33 %
dari 452,85 Ha atau sekitar 149,4 Ha.
Gambar 2.100 Luas Area Padang Lamun
Sumber : Olahan Tabel SD-20A Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Gambar 2.101 Perbandingan Lokasi Terluas Kerusakan Padang Lamun
Sumber : Olahan Tabel SD-20 Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Dibandingkan dengan tahun 2013,
kerusakan padang lamun di tahun 2014
pada 2 (dua) kabupaten/kota di Sumatera
Barat yaitu Kota Padang dan Kabupaten
Pesisir Selatan mengalami penurunan.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-74
Gambar 2.102 Perbandingan Kerusakan Padang Lamun
Sumber : Olahan Tabel SD-20C, Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
2.5.3. Luas dan Kerapatan Tutupan
Mangrove
Hutan mangrove terdapat di
sepanjang garis pantai di kawasan tropis,
dan menjadi pendukung berbagai jasa
ekosistem, termasuk produksi perikanan dan
siklus unsur hara. Tekanan yang berlebihan
terhadap kawasan hutan mangrove untuk
berbagai kepentingan tanpa mengindahkan
kaidah-kaidah pelestarian alam telah
mengakibatkan terjadinya penurunan luas
hutan mangrove yang cukup drastis.
Gambar 2.103 Luas Area Mangrove di Sumatera Barat
Sumber : Olahan Tabel SD-21, Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Luas hutan mangrove di Sumatera
Barat khususnya pada 6 (enam)
kabupaten/kota kecuali Kabupaten
Kepulauan Mentawai sebesar 7.253,9 Ha.
Hutan mangrove terluas ditemui di
Kabupaten Pasaman Barat seluas 6.045,5
Ha dengan persentase tutupan mencapai 70
%, sedangkan Kota Pariaman memiliki lokasi
hutan mangrove terkecil dengan luas 25 Ha
dan kerapatan 1.040 pohon/Ha.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-75
Gambar 2.104 Luas Kerusakan Mangrove di Sumatera Barat
Sumber : Olahan Tabel SD-21A Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Gambar 2.105 Tingkat Kerusakan Mangrove di Sumatera Barat
Sumber : Olahan Tabel SD-21A Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Kerusakan mangrove pada 7 (tujuh)
kabupaten/kota di Sumatera Barat mencapai
36.081 Ha dengan rata-rata tingkat
kerusakan mencapai 57 %. Kerusakan
terluas terdapat di Kabupaten Kepulauan
Mentawai seluas 24.672 Ha dengan tingkat
kerusakan 19 %, sementara luas kerusakan
terkecil terdapat di Kota Pariaman namun
tingkat kerusakan mencapai 79 %.
Dibandingkan dengan tahun 2013,
persentase tingkat kerusakan mangrove di
tahun 2014 mengalami peningkatan dari
rata-rata 45 % menjadi 57 %. Di tahun 2013
tingkat kerusakan tertinggi dijumpai di
Kabupaten Agam yaitu sebesar 68 %
sedangkan di tahun 2014 tingkat kerusakan
tertinggi dijumpai di Kota Pariaman yaitu
sebesar 79 %, sementara itu Kabupaten
Kepulauan Mentawai mengalami tingkat
kerusakan yang lebih rendah dibandingkan
kabupaten/kota lainnya baik di tahun 2013
maupun tahun 2014 yaitu sebesar 19 %.
Kenaikan tingkat kerusakan mangrove
terbesar ditemui di Kota Padang dan Kota
Pariaman yaitu masing-masing naik
mencapai 24 %
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-76
Gambar 2.106 Perbandingan Tingkat Kerusakan Mangrove di Sumatera Barat
Sumber : Olahan Tabel SD-21B Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
2.6. IKLIM
Sumatera Barat berdasarkan letak
geografisnya dilalui oleh garis Khatulistiwa
(garis lintang nol derajat) tepatnya di
Kecamatan Bonjol Kabupaten Pasaman.
Karena itu Sumatera Barat mempunyai iklim
tropis dengan rata-rata suhu udara 25,8°C
dan rata-rata kelembaban yang tinggi yaitu
85,8% dengan tekanan udara rata-rata
berkisar 995,4 mb. Ketinggian permukaan
daratan Provinsi Sumatera Barat sangat
bervariasi, sebagian daerahnya berada pada
dataran tinggi kecuali Kabupaten Pesisir
Selatan, Kabupaten Padang Pariaman,
Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman dan
Kota Padang.
Secara umum Sumatera Barat
memiliki curah hujan yang tinggi yaitu rata-
rata 322,6 mm/bulan. Dalam tahun-tahun
terakhir ini, keadaan musim di Sumatera
Barat kadang tidak menentu pada bulan-
bulan yang seharusnya musim kemarau
terjadi hujan atau sebaliknya.
Pada tahun 2014, berdasarkan data
yang diperoleh dari 5 (lima) stasiun iklim di
Sumatera Barat yaitu Stasiun Sicincin,
Stasiun BIM Padang, Stasiun Padang
Panjang, GAW Bukittingi dan Stasiun Teluk
Bayur Padang, musim hujan di Sumatera
Barat jatuh di bulan Oktober dengan curah
hujan rata-rata 569,6 mm dan mencapai
puncaknya di bulan November dengan curah
hujan rata-rata 654,8 mm, sedangkan curah
hujan terendah terjadi di bulan Februari
dengan rata-rata curah hujan 146,2 mm.
Sementara suhu rata-rata di Sumatera Barat
tahun 2014 terpantau rata-rata sekitar
24,88°C, dengan suhu terendah 24,2°C dan
tertinggi 25,7°C. Iklim di Sumatera Barat
akan dibahas lebih lanjut pada sub bab
berikutnya.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-77
Pembahasan dalam penulisan kali
ini terdiri dari analisis statistik yang
menunjukkan kondisi rata-rata dan kondisi
ekstrim (maksimum atau minimum) curah
hujan dan suhu di Prov. Sumatera Barat dan
dengan melakukan analisis perbandingan
antar lokasi. Selain itu juga akan dibahas
dalam catatan khusus tentang peredaran
bahan perusak ozon pada bengkel servis AC
dan peralatan pendingin di Sumatera Barat.
2.6.1 Curah Hujan Rata-Rata Bulanan
Berdasarkan data yang diperoleh
dari 5 (lima) stasiun klimatologi di Sumatera
Barat, rata-rata curah hujan di Sumatera
Barat berkisar 31 mm – 1046 mm, dengan
rata-rata curah hujan terendah diperoleh di
bulan Februari sedangkan curah hujan
tertinggi diperoleh di bulan November. Pada
bulan Februari curah hujan terendah
diperoleh dari Stasiun GAW Bukittinggi yaitu
103 mm sementara itu pada bulan
November curah hujan tertinggi diproleh dari
Stasiun Sicincin yaitu 928 mm.
Rata-rata curah hujan terendah
diperoleh dari Stasiun GAW Bukittinggi yaitu
sebesar 221,17 mm/bulan, dimana curah
hujan terendah diperoleh di bulan Juli
sebesar 31 mm dan tertinggi terjadi di bulan
November yaitu 469 mm. Sementara itu rata-
rata curah hujan tertinggi diperoleh dari
Stasiun Teluk Bayur yaitu 383,33 mm,
dengan curah hujan terendah terjadi di bulan
Februari yaitu 128 mm dan tertinggi di bulan
November yaitu 720 mm.
Perbedaan curah hujan mencolok
diperoleh dari Stasiun Padang Panjang
dimana curah hujan tertinggi terjadi di bulan
Oktober yaitu mencapai 1046 mm,
sedangkan curah hujan terendah terjadi di
bulan Maret yaitu 38 mm. (Gambar 2.102)
secara umum terdapat 2 (dua) puncak
musim hujan di Sumatera Barat pada tahun
2014 yaitu pada bulan April dan November
dengan jumlah hari hujan masing-masing 20
hari dan 26 hari, namun rata-rata curah
hujan di bulan April lebih rendah yaitu 406,4
mm dibandingkan dengan rata-rata curah
hujan di bulan November yaitu 654,8 mm,
sedangkan rata-rata curah hujan terendah
terjadi di bulan Februari yaitu 146,2 mm
dengan jumlah hari hujan 7 hari dan bulan
Juli dengan jumlah hari hujan 8 hari (Gambar
2.107).
Gambar 2.107 Curah Hujan Rata-rata Bulanan Sumatera Barat tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel SD-22, Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-78
Gambar 2.108 Peta Pos Hujan Sumbar
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-79
Gambar 2.109 Jumlah Hari Hujan Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel SD-22A Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
2.6.2 Suhu Udara Rata-Rata Bulanan
Suhu rata-rata bulanan di Provinsi
Sumatera Barat berdasarkan hasil
pengamatan pada 5 (lima) Stasiun
Klimatologi berkisar 22,3°C – 27,5°C,
dengan rata-rata suhu 24,8°C. Suhu rata-
rata bulanan tertinggi Sumatera Barat jatuh
pada bulan Mei yaitu 25,7°C dan terendah
pada bulan November 24,2°C. Suhu rata-
rata bulanan tertinggi berdasarkan
pengamatan pada masing-masing stasiun
klimatologi diperoleh pada Stasiun
Klimatologi Teluk Bayur yaitu 27,5°C dan
terendah pada stasiun GAW Bukittinggi yaitu
22,3°C. Pada Stasiun Teluk Bayur suhu
tertinggi terjadi di bulan Februari dan Maret
yaitu 27,8°C sedangkan suhu terendah pada
bulan Agustus yaitu 26,9°C. Suhu tertinggi
yang terpantau dari stasiun GAW Bukittinggi
terjadi di bulan Mei yaitu 22°C dan terendah
terjadi pada bulan Januari yaitu 21,8°C
(Gambar 2.109).
Gambar 2.110 Suhu Rata-rata Bulanan Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel SD-23 Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-80
Gambar 2.111 Rata-rata Suhu Udara dan Kelembaban Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel SD-23A Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Berdasarkan pengamatan dari
Stasiun Klimatologi Sicincin, suhu rata-rata
bulanan berkisar 25,8°C dengan
kelembaban rata-rata 85,28 % dan tekanan
udara rata-rata 995,4 mb. Suhu tertinggi
terjadi pada bulan Agustus yaitu 26,8°C
dengan kelembaban 86,9 % dan tekanan
udara 995,9 mb sedangkan suhu terendah
terjadi di bulan November yaitu 25,2°C
dengan kelembaban 89,5 % yang
merupakan kelembaban tertinggi
dibandingkan bulan lainnya dan tekanan
udara 995,4 mb.
Gambar 2.112 Tekanan Udara Rata-Rata Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel SD-23A, Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Kelembaban terendah terjadi di
bulan Februari yaitu 78,8 % dengan suhu
26,4°C dan tekanan udara 994,4 mb. Jika
disandingkan dengan rata-rata curah hujan
di bulan Februari, dimana pada bulan
tersebut merupakan curah hujan terendah
di tahun 2014.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-81
Kecepatan rata-rata angin di
tahun 2014 berkisar 2,5 knot – 4,8 knot
dengan kecepatan tertinggi berkisar 11,7
knot – 19,5 knot. Arah angin dari bulan
Januari hingga bulan Mei dan Agustus
adalah menuju Timur, dan pada bulan-
bulan selanjutnya arah angin tidak tetap
yaitu ke arah Barat-Selatan pada bulan
Juni dan Oktober, arah Utara-Timur di
bulan Juli dan Desember, arah Barat-Utara
di bulan September dan Selatan-Barat di
bulan Oktober.
Gambar 2.113 Tekanan Udara Rata-Rata Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel SD-23A Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Gambar 2.114 Suhu Udara Rata-rata Sumatera Barat Tahun 2013 – 2014
Sumber : Olahan Tabel SD-23E Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Suhu rata-rata bulanan Sumatera
Barat di tahun 2014 tidak jauh berbeda
dengan suhu rata-rata tahun 2013 yaitu
24,8°C di tahun 2013 dan 24,7°C di tahun
2014. Baik di tahun 2013 maupun tahun
2014 suhu rata-rata tertinggi terpantau
pada Stasiun Klimatologi Teluk Bayur yaitu
26,9°C di tahun 2013 dan meningkat
menjadi 27,5°C di tahun 2014.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-82
2.6.3 Kualitas Air Hujan
Kualitas air hujan Sumatera Barat
ditinjau dari parameter pH, DHL, SO4, NO3,
NH4, Na, Ca2+, dan Mg2+ menunjukkan
bahwa kualitas air hujan di Sumatera Barat
tergolong baik karena nilainya untuk
masing-masing parameter masih
memenuhi batas baku mutu menurut
Permenkes No. 416/MenKes/Per/IX/1990
tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan
Kualitas Air , kecuali untuk nilai pH di bulan
Januari, April, Oktober dan November yang
nilainya dibawah baku mutu. Nilai pH
terendah terjadi di bulan Oktober dengan
nilai 4,52 dan jika dibandingkan dengan pH
hujan asam, nilai ini telah dapat
dikategorikan hujan asam.
Dibandingkan dengan kualitas air
hujan tahun 2013, kualitas air hujan di
tahun 2014 cenderung mengalami
penurunan nilai untuk 5 (lima) parameter
yaitu pH turun sebesar 0,65, SO4 turun
sebesar 0,01 mg/l, Na turun sebesar 0,08
mg/l, Ca2+ sebesar 0,04 mg/l dan Mg2+
sebesar 0,02 mg/l. Sementara itu untuk
parameter DHL, NO3 dan NH4 mengalami
kenaikan nilai masing-masing sebesar 9,79
mg/l, 0,08 mg/l dan 0,09 mg/, dimana nilai
tersebut masih memenuhi batas baku mutu
Gambar 2.115 Kualitas Air Hujan Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel SD-24 Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Gambar 2.116 Kualitas Air Hujan Sumatera Barat Tahun 2013 - 2014
Sumber : Olahan Tabel SD-24A Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-83
2.6.2 Catatan Khusus
Isu penipisan lapisan ozon tidak
terkait secara langsung dengan efek
pemanasan global, namun terdapat
beberapa jenis bahan kimia yang memiliki
kontribusi terhadap keduanya. Salah
satunya adalah penggunaan Bahan
Perusak Ozon (BPO) seperti
Chlorofluorocarbons (CFC) dan
Hydrochlorofluorocarbons (HCFC), dimana
selain berpotensi merusak lapisan ozon,
CFC dan HCFC juga merupakan Gas
Rumah Kaca yang dapat memberikan
kontribusi terhadap terjadinya perubahan
iklim.
Bapedalda Provinsi Sumatera
Barat melalui kegiatan Peningkatan
Program Perlindungan Lapisan Ozon dan
Pengendalian Dampak Perubahan Iklim,
pada tahun 2013 – 2014 telah melakukan
pengawasan/monitoring dan evaluasi
terhadap kegiatan/usaha yang disinyalir
menggunakan Bahan Perusak Ozon pada
50 (lima puluh) bengkel servis peralatan
pendingin di 15 Kabupaten/Kota Provinsi
Sumatera Barat yaitu Kota Bukittinggi, Kab.
Padang Pariaman, Kota Pariaman, Kota
Solok, Kota Payakumbuh, Kab. Sijunjung,
Kota Sawahlunto, Kab. Agam, Kab. Lima
Puluh Kota, Kab. Tanah Datar, Kab. Pesisir
Selatan, Kota Payakumbuh, Kab. Pasaman
Barat , Kab.Pasaman dan Kab. Solok.
Pengawasan BPO tahun 2014
terhadap bengkel servis peralatan
pendingin dan AC lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah total bengkel
yang dipantau di tahun 2013, ini
disebabkan pada tahun 2014 ada
penambahan 7 (tujuh) bengkel di
Kabupaten/Kota yang dilakukan pengujian.
Dari total bengkel servis peralatan
pendingin yang dilakukan di masing-
masing Kabupaten/Kota, dibandingkan
hasil pemantauan tahun sebelumnya
(2012 - 2013), jumlah bengkel yang
menggunakan refrigerant yang sudah
dilarang (R-12) di tahun 2014 ini masih ada
(10 %) dari total bengkel yang dipantau,
yang bila dibandingkan dengan tahun lalu
makin berkurang (25,58%).
Gambar 2.117 Perbandingan Jumlah Bengkel Pengguna Bahan Perusak Ozon (BPO)
Tahun 2013 - 2014
Sumber : Olahan Tabel SD-23C Buku SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-84
Jumlah bengkel yang
menggunakan refrigerant oplosan pada
tahun 2014 ini mengalami peningkatan dari
0,0 % di tahun 2013 menjadi 14 % di tahun
2014. Jumlah bengkel yang menggunakan
refrigerant ramah lingkungan dan yang
masih diizinkan (R-134a dan R-22) di tahun
2014 mengalami peningkatan dari 74,41 %
di tahun 2013 menjadi 76 % di tahun 2014.
2.7. BENCANA ALAM
Permasalahan di Provinsi
Sumatera Barat dari tahun ketahun tentang
bencana masih belum berubah. Secara
geografis, Provinsi Sumatera Barat terletak
pada garis 00 54’ Lintang Utara sampai
dengan 30 30’ Lintang Selatan serta 980
36’ sampai dengan 1010 53’ Bujur Timur
dengan total luas wilayah sekitar 42.297,30
Km2 atau 4.229.730 Ha termasuk ± 391
pulau besar dan kecil di sekitarnya,
Provinsi Sumatera Barat tidak berbeda
dengan wilayah Provinsi lainnya di
Indonesia, tak terlepas dari peristiwa
bencana alam. Disamping itu patahan-
patahan kerak bumi yang banyak terdapat
di Indonesia juga merupakan potensi yang
dapat menyebabkan terjadinya bencana
alam.. Provinsi Sumatera Barat berada di
antara pertemuan dua lempeng benua
besar (lempeng Eurasia dan lempeng Indo-
Australia) dan patahan (sesar Semangko).
Di dekat pertemuan lempeng terdapat
patahan Mentawai. Ketiganya merupakan
daerah seismik aktif. Menurut catatan ahli
gempa wilayah Sumatera Barat memiliki
siklus 200 tahunan gempa besar yang
pada awal abad ke-21 telah memasuki
masa berulangnya siklus.
Sepanjang tahun 2014 Sumatera
Barat telah mengalami beberapa kali
bencana alam baik banjir, tanah longsor,
angin puting beliung dan kebakaran
hutan/lahan. Isu lingkungan strategi terkait
kebencanaan tahun 2014 dirumuskan
berdasarkan rekaman peristiwa bencana
alam terjadi di Sumatera Barat yaitu:
a Frekwensi kejadian bencana yang
sering terjadi di Sumatera Barat pada
tahun ini adalah banjir, longsor, angin
puting beliung dan kebakaran hutan/
lahan
b Terjadinya peristiwa banjir, longsor,
angin puting beliung dan kebakaran
hutan / lahan tahun 2014 telah
menimbulkan kerugian cukup besar.
c Daerah yang secara rutin mengalami
banjir dan longsor dengan luasan
cukup besar berada pada daerah yang
mengalami kerusakan hutan dan
lahan.
2.7.1. Kondisi Umum
2.7.1.1. Bencana Banjir, Korban dan
Kerugian
Sepanjang tahun 2014 di
Sumatera Barat bencana alam berupa
banjir terjadi di alami oleh 14
kabupaten/kota hal ini terjadi karena pada
tahun ini sudah mulai terjadi kenaikan
intensitas hujan. Total kerugian material
dari kejadian ini mencapai Rp.
16.994.725.000,- dengan total area yang
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-85
terendam adalah seluas 99.484,55 Ha.
Dari beberapa kota yang mengalami
bencana banjir di tahun 2014, kota terparah
yakni Kota Solok dengan jumlah kerugian
material mencapai Rp.1.980.000.000.000,-
dengan luas area yang terendam adalah 6
Ha. Sedangkan kota yang paling sedikit
mangalami kerugian akibat bencana banjir
tahun 2014 adalah Kota Padang dengan
kerugian materil sebesar Rp.630.000.000,-
dengan luas area yang terendam sebesar
200.00 Ha. Sedangkan kabupaten yang
tingkat kerugiannya terbesar akibat banjir
yakni Kabupaten Pasaman Barat dengan
total kerugian mencapai Rp.
5.368.650.000,- luas area yang terendam
adalah 9,75 Ha. Kabupaten yang paling
sedikit mengalami kerugian material akibat
banjir adalah Kabupaten Lima Puluh Kota
dengan total kerugian sebesar
Rp.18.025.000 area yang terendam adalah
sebesar 187,5 Ha. Sedangkan 5 (lima)
kabupaten/kota yang tidak mengalami
bencana banjir tahun 2014 yaitu Kota
Bukitinggi, Kota Sawahlunto, Kota
Payakumbuh, Kota Pariaman dan
Kabupaten Tanah Datar.
Dari 14 kabupaten/kota yang
mengalami bencana banjir korban jiwa
mengungsi di 7 (tujuh) kabupaten/kota
dengan jumlah pengungsi keseluruhan
sebanyak 6.357 jiwa dan 5 orang
diantaranya meninggal dunia. Dari 7 (tujuh)
kabupaten/kota ini Kota Solok merupakan
daerah yang tertinggi jumlah korban
mengungsi sebanyak 5.046 jiwa.
Sedangkan korban mengungsi paling
sedikit adalah Kabupaten Solok yakni
sebanyak 22 orang. Perkiraan kerugian,
total area terendam dan jumlah orang yang
mengungsi serta meninggal dunia akibat
banjir lebih jelasnya dapat dilihat pada
Gambar 2.117 berikut.
Gambar 2.118 Perkiraan Kerugian (Rp) dan Total Area Terendam (Ha) Kabupaten / Kota
Yang Mengalami Bencana Banjir Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel BA-1 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat,2014
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-86
Gambar 2.119 Jumlah Korban Mengungsi Akibat Banjir di 7 ( tujuh ) Kabupaten / Kota Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel BA-1 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat,2014
Gambar 2.120 Jumlah Korban Meninggal Akibat Banjir Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel BA-1, Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat,2014
Perbandingan data dari tahun
2012 sampai tahun 2014, maka tahun 2014
di Propinsi Sumatera Barat terjadi
penurunan jumlah angka kerugian akibat
banjir yakni Rp. 16.994.725.000,- dari
luasan area yang terendam 99.484,55 Ha.
Dibanding dengan yang terjadi pada tahun
2012 dengan tingkat kerugian mencapai
Rp.242.864.110.500,- dan luasan area
yang tergenang 793 Ha. Sedangkan pada
tahun 2013 akibat banjir adalah sebesar
Rp.43.276.520.000,- dengan total luasan
area yang terendam 2.254.25 Ha. Akibat
bencana banjir tahun 2012-2014 ini terjadi
penurunan kerugian material yang sangat
signifikan namun terjadi kenaikan yang
sangat signifikan pada total luasan area
yang tergenang akibat banjir menurun dari
793 Ha menjadi 99.484,55 Ha. Bencana
banjir yang terjadi di Sumatera Barat dalam
kurun waktu 3 tahun (2012 - 2014), pada
tahun 2012 mengalami penurunan jumlah
terjadi di 10 (sepuluh) kabupaten/kota,
pada tahun 2013 jumlahnya mengalami
peningkatan yakni 12 kabupaten/kota,
tahun 2014 mengalami peningkatan
menjadi jumlahnya 14 kabupaten/kota,
dibanding dengan yang terjadi pada tahun
2014 dan tahun 2012 total kerugian
mengalami penurunan yang cukup
signifikan tahun ini. Disamping itu
peningkatan luas lahan dengan total area
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-87
terendam dalam kurun waktu 3 tahun pada
tahun 2014 mengalami kenaikan yang
disebabkan oleh kondisi tanah sebagai
penyimpan air telah mengalami degradasi.
Perbandingan luas area yang terendam
dan jumlah kerugian tahun 2012 sampai
tahun 2014 dapat dilihat pada Gambar
.2.121 berikut.
Gambar 2.121 Perbandingan Total Luas Area Terendam dan Total Kerugian Akibat Banjir di Sumatera Barat Tahun 2012 - 2014
Sumber : Olahan Tabel BA-1A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat,2014
Apabila dibandingkan tingkat
kerugian antara wilayah perkotaan dan
wilayah kabupaten, beberapa wilayah di
Sumatera Barat mengalami perbedaan
yang cukup mencolok yang terjadi pada
Kota Padang sebagai kawasan perkotaan
akibat banjir yang terjadi tahun 2012
sampai tahun 2014, Kota Padang sering
terjadi bencana banjir dalam tiga tahun
terakhir area yang terluas terendam banjir
yakni pada tahun 2012 dengan tingkat
kerugian mencapai Rp.231.375.000.000,-
dari total luasan area yang tergenang
341.00 Ha, dibandingkan tahun 2013
dengan jumlah angka kerugian akibat banjir
yang dialami sebesar Rp.525.000.000,-
dengan luas area yang terendam sebesar
52 Ha. Hal ini terjadi penurunan angka
kerugian dan luasan area terendam banjir,
pada tahun 2014 wilayah ini mengalami
bencana banjir yakni tingkat kerugiannya
Rp. 630.000.000,- dari luas area yang
terendam 200.00 Ha, terjadi penurunan
yang sangat signifikan dari tingkat
kerugian yang dialami, sedangkan pada
tahun 2014 ini untuk daerah kabupaten
yang tertinggi angka kerugiannya yakni
Kabupaten Pasaman Barat. Apabila
dibandingkan pada tahun 2012 sampai
tahun 2014 untuk tahun ini mengalami
penurunan angka kerugian dibandingkan
pada tahun 2012 dan 2013
yakni sebesar Rp.6.896.250.000,- menjadi
Rp. 5.368.650.000,- taksiran nilai ekonomi
kerugian sebagai dampak dari bencana
banjir, lebih jelasnya dilihat pada Gambar
2.122.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-88
Gambar 2.122 Perbandingan Total Luas Area Terendam dan Total Kerugian Akibat Banjir 19 Kabupaten/Kota
Sumber : Olahan Tabel BA-1A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat,2014
Pada tahun 2013, jumlah korban
mengungsi akibat bencana banjir dengan
total 1.057 orang pada 6 (enam) kabupaten
/ kota Kota Solok, Kabupaten Padang
Pariaman, Kabupaten Tanah Datar,
Kabupaten Sijunjung, Kabupaten Solok,
dan Kabupaten Limapuluh Kota, jumlah
korban mengungsi terbanyak akibat banjir
di wilayah Propinsi Sumatera Barat adalah
Kabupaten Limapuluh Kota dengan jumlah
710 orang sedangkan korban mengungsi
sedikit yakni di Kabupaten Padang
Pariaman dengan jumlah 2 orang sebagai
dampak yang ditimbulkan akibat banjir
namun jumlah korban jiwa ini dapat
ditekan sehingga tidak ada korban jiwa
sedangkan 2 (dua) Kabupaten yakni
Kabupaten Tanah Datar terdapat 4 orang
meninggal dunia dan Kabupaten Limapuluh
Kota yang mengakibatkan 2 (dua) orang
meninggal dunia. Pada tahun 2014 jumlah
korban mengungsi akibat bencana banjir
jumlah 6.357 orang mengalami
peningkatan korban mengungsi akibat dari
bencana banjir yakni menjadi 7 ( tujuh )
kabupaten/kota yaitu Kota Solok,
Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten
Pesisir Selatan, Kabupaten Solok,
Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten
Pasaman dan Kabupaten Limapuluh Kota,
dengan jumlah korban mengungsi yang
paling tinggi terjadi di Kota Solok yaitu
5.046 orang dan angka korban mengungsi
paling sedikit di Kabupaten Dharmasraya
sebanyak 22 orang. Korban meninggal
dunia selama tahun 2014 terdapat di
wilayah Kabupaten Padang Pariaman yakni
4 (empat ) orang meninggal dunia, dan
Kabupaten Limapuluh Kota dengan
1 (satu) orang namun kabupaten /kota
yang lain, korban jiwa dapat ditekan dari
bencana banjir sehingga tidak ada korban
jiwa tahun ini walaupun mengalami
peningkatan jumlah korban mengungsi dari
1.057 orang menjadi 6.357 orang dengan
korban meninggal dunia menurun dari 6
korban jiwa menjadi 5 orang untuk lebih
jelasnya dapat dilihat perbandingan jumlah
korban bencana banjir tahun 2013 – 2014
seperti gambar 2.123.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-89
Gambar 2.123 Perbandingan Jumlah Korban mengungsi dan Korban Meninggal Akibat Bencana Banjir Tahun 2013 - 2014
Sumber : Olahan Tabel BA-1B, Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat,2014
Peristiwa kejadian bencana alam
di kawasan pantai dalam kurun waktu
hingga sampai tahun 2014 terjadi di 5
(lima) kabupaten/kota yakni Kota
Pariaman, Kabupaten Pesisir Selatan,
Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten
Agam dan Kabupaten Padang Pariaman.
Kota Pariaman pada tahun 2007 dengan
peristiwa bencana abrasi pantai akibat
kerugian material yang ditimbulkan sebesar
Rp.15.000.000, tahun 2009 terjadi gempa
dengan kerugian material yang ditimbulkan
sebesar Rp.1.125.000.000, dan tahun
2012 terjadi banjir / ROB akibat kerugian
material yang ditimbulkan sebesar
Rp.128.400.000 akibat dampak dari
peristiwa ini, tahun 2008 Kabupaten Pesisir
Selatan terjadi bencana abrasi pantai
dengan dampak ini total kerugian material
sebesar Rp. 760.000, tahun 2009 terjadi
gempa tektonik dengan kerugian materail
sebesar Rp.150.000.000, sedangkan
tahun 2010 terjadi bencana tsunami dan
tahun 2011 terjadi banjir / ROB akibat
kerugian material yang ditimbulkan sebesar
Rp. 310.000. Kabupaten Pasaman Barat
terjadi bencana alam yakni abrasi pantai
pada tahun 2012, di tahun 2007 Kabupaten
Agam terjadi abrasi pantai dan Kabupaten
Padang Pariaman dari tahun 2006 – 2010
terjadi 5 ( lima ) peristiwa bencana alam
yakni abrasi pantai, gelombang pasang,
banjir/ROB, gempa vulkanik dan gempa
tektonik, untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada Gambar 2.124.
Gambar 2.124 Kejadian Bencana Alam Di Kawasan Pantai Sumatera Barat
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Barat,2014
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-90
Untuk kejadian bencana ini, pada
tahun 2014 terjadi pada 12 Kabupaten/
Kota di Sumatera Barat dengan Frekuensi
bencana banjir dan longsor ini yang paling
sering terjadi yakni di Kota Solok sebanyak
20 kali, karena Kota Solok yang
mempunyai topografi dengan kemiringan
yang cukup tinggi sehingga daerah ini
rentan dengan terjadinya bencana.
Selanjutnya Kota Payakumbuh sebanyak
14 kali, Kota Padang sebanyak 3 (tiga) kali,
Kabupaten Padang Pariaman sebanyak 6
(enam) kali, Kabupaten Tanah Datar
sebanyak 1 (satu) kali, Kabupaten Solok
Selatan sebanyak 1 (satu) kali, Kabupaten
Solok sebanyak 1 (satu) kali, sedangkan di
Kabupaten Pesisir Selatan sering terjadi
bencana banjir dan tanah longsor yakni
sebanyak 16 kali, Kabupaten Pasaman
Barat sebanyak 1 (satu) kali, Kabupaten
Pasaman sebanyak 2 (dua) kali,
Kabupaten Kepulauan Mentawai sebanyak
8 (delapan) kali dan di Kabupaten Agam
sebanyak 7 (tujuh) kali kejadian banjir dan
longsor sedangkan 7 (tujuh) Kabupaten/
Kota lain yang tidak ada terjadi bencana
banjir dan tanah longsor ini yakni Kota
Pariaman, Kota Sawahlunto, Kota
Bukitinggi, Kota Padang Panjang,
Kabupaten Sijunjung, Kabupaten
Dharmasraya, dan Kabupaten Lima Puluh
Kota untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Gambar 2.125 dibawah ini.
Gambar 2.125 Frekuensi Bencana Banjir Dan Longsor
Sumber : Olahan Tabel BA-1D Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat,2014
2.7.1.2. Bencana Kekeringan, Luas, dan
Kerugian
Sepanjang tahun 2014 tidak
terjadi bencana kekeringan dalam kurun
waktu 1 tahun, tahun 2013 tidak ada terjadi
bencana kekeringan hal ini juga
mengindikasikan telah terjadinya
peningkatan dalam hal pengelolaan
sumberdaya air di lahan pertanian, seperti
peningkatan fungsi irigasi teknis dan fungsi
penyimpan cadangan air tanah di area
pertanian sawah dan menjaga hutan
sebagai daerah tangkapan air dan
kawasan yang berfungsi sebagai daerah
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-91
penyimpanan cadangan air sehingga
apabila terjadi bencana kekeringan maka
dampak kerugian yang ditimbulkan dapat
diminimalisir, dampaknya terhadap gagal
panen disamping itu didukung oleh kondisi
cuaca dan perubahan iklim yang cukup
bersahabat.
2.7.1.3. Bencana Kebakaran Hutan /
Lahan, Luas, dan Kerugian
Peristiwa kebakaran hutan / lahan
sepanjang tahun 2014 dengan total
material yang ditimbulkan sebesar
Rp.1.054.000.000,- dengan luasan area
hutan/lahan terbakar seluas 59.2385,66 Ha
di 10 ( sepuluh ) kabupaten/kota yaitu Kota
Payakumbuh, Kota Solok, Kabupaten
Kepulauan Mentawai, Kabupaten Pesisir
Selatan, Kabupaten Sijunjung, Kabupaten
Solok, Kabupaten Dharmasraya,
Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten
Agam dan Kabupaten Limapuluh Kota.
Wilayah kota yang terluas yang mengalami
kebakaran hutan yakni Kota Payakumbuh
dengan total luas 38.00 Ha tetapi tidak
menimbulkan kerugian material, sedangkan
kota yang sedikit luas areanya seluas 5.00
Ha dengan kerugian material yang
ditimbulkan sebesar Rp. 20.000.000,- yaitu
Kota Solok. Kabupaten yang terluas
mengalami kebakaran hutan adalah
Kabupaten Kepulauan Mentawai yakni
seluas 592.095,66 Ha tetapi tidak
menimbulkan kerugian material (data ini
merupakan pertimbangan peringkat resiko)
Kabupaten yang sedikit luasan areanya
terjadi kebakaran hutan ini yaitu Kabupaten
Pesisir Selatan dengan luas area sebesar
4,50 Ha dengan total material yang
ditimbulkannya sebesar Rp. 150.000.000,-
sedangkan kerugian material meningkat
pada Kabupaten Agam yakni sebesar Rp.
400.000.000,- dengan seluas area
terendam sebesar 40.00 Ha.
Gambar 2.126 Perkiraan Kerugian danLuas Hutan/Lahan terbakar Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel BA-3 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat,2014
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-92
Peristiwa kebakaran hutan/lahan
sepanjang tahun 2011 sampai tahun 2014
daerah yang mengalami peningkatan dan
penurunan dari tahun ketahun, dengan luas
area kebakaran hutan sepanjang tahun
2011 seluas 974,65 Ha sebanyak 8
(delapan) kabupaten/kota, tahun 2012 Luas
areal kebakaran hutan/lahan seluas 1.002
Ha sebanyak 6 (enam) kabupaten/kota,
pada tahun 2013 sebanyak 11
Kabupaten/Kota mengalami kebakaran
hutan/lahan seluas 2.288,50 Ha,
sedangkan untuk tahun 2014 luasan area
kebakaran hutan seluas 182 Ha sebanyak
7 (tujuh) kabupaten/kota, kabupaten/kota
ini yang rutin mengalami kerugian
sepanjang 3 tahun terakhir yakni Kota
Solok, Kabupaten Pesisir Selatan,
Kabupaten Sijunjung, Kabupaten Solok,
Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten
Agam dan Kabupaten Lima Puluh Kota.
Sepanjang tahun 2011–2014, terlihat
bahwa terjadi peningkatan luas area yang
mengalami kebakaran hutan/lahan terbakar
terjadi pada tahun 2012 dan 2013, dan
pada tahun 2014 ini mengalami penurunan
yang sangat signifikan.
Gambar 2.127 Perbandingan Perkiraan Luas Hutan / Lahan terbakar ( Ha )
Tahun 2011 - 2014
Sumber : Olahan Tabel BA-3A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat,2014
Berdasarkan data pada Tabel BA-3B Buku
Data SLHD Provinsi Sumatera Barat Tahun
2014 jumlah hotspot pada kejadian
kebakaran hutan tahun 2014 sejumlah 280
titik api, jumlah titk api ini menurun tajam
jika dibandingkan pada tahun 2012 yakni
sejumlah 686 titik api. Timbulnya jumlah
hotspot penyebab adanya konversi
kawasan gambut menjadi kawasan
perkebunan sawit, maka genangan air
yang harusnya di lahan gambut, menjadi
kering memungkinkan terjadi kesengajaan
karena membuka lahan dengan membakar
akan lebih murah atau menyuburkan tanah,
irit pupuk sehingga rentan terjadi
kebakaran. Kebakaran bukan alam yang
menjadi faktor utama tetapi kesalahan
kebijakan dan praktik manusia itu sendiri.
Sepanjang tahun 2011 sampai 2014
mengalami peningkatan dan penurunan
jumlah titik hotspot. Pada tahun 2011
sejumlah 545 titik api terjadi sebanyak 13
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-93
kabupaten/kota, kabupaten yang terbanyak
jumlah hotspot yakni Kabupaten Pesisir
Selatan sebanyak 124 titik api sedangkan
kabupaten dengan jumlah yang terkecil di
Kabupaten Padang Pariaman sebanyak 2
titik api, diwilayah kota yakni pada Kota
Sawahlunto sebanyak 10 titik api, jumlah
titik hotspot pada tahun 2012 sejumlah 686
titik api terjadi di 15 kabupaten/kota,
Kabupaten yang terbanyak yakni
Kabupaten Dharmasraya sebanyak 217
titik api, sedangkan kabupaten dengan
jumlah tterkecil yakni Kabupaten Padang
Pariaman sejumlah 2 titik api, di wilayah
kota hotspot melanda Kota Sawahlunto ,
Kota Padang dan Kota Bukittinggi. Pada
tahun 2013 jumlah titik hotspot sebanyak
460 titik api terjadi di 15 kabupaten/kota,
Kabupaten yang terbanyak jumlah hotspot
masih sama yakni Kabupaten
Dharmasraya sebanyak 113 titik api,
kabupaten dengan jumlah terkecil yakni
Kabupaten Padang Pariaman sejumlah 1
titik api, dan di wilayah kota terjadi di Kota
Payakumbuh, Kota Sawahlunto, dan Kota
Solok. Tahun 2014 jumlah titik hotspot
sebanyak 280 titik api terjadi di 13
kabupaten/kota yang agak menurun
dibandingkan pada tahun 2012 dan 2013,
kabupaten yang terbanyak jumlah hotspot
masih sama yakni Kabupaten
Dharmasraya sebanyak 82 titik api.
Selama 4 (empat) tahun terakhir
Kabupaten Dharmasraya rutin
menimbulkan jumlah titik hotspot namun
untuk tahun 2014 ini mengalami penurunan
yang agak signifikan, dengan jumlah
terkecil yakni Kabupaten Tanah Datar
sejumlah 3 titik api untuk wilayah kota di
Kota Sawahlunto sebanyak 3 titik api dan
Kota Bukittinggi sejumlah 1 titik api untuk
lebih jelasnya bisa dilihat pada Gambar
2.128 berikut
Gambar 2.128 Jumlah Hotspot Kebakaran Hutan di Sumatera Barat Tahun 2011 - 2014
Sumber : Olahan Tabel BA-3B Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat,2014
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-94
Data tahun 2011 sampai 2014 ,
tentang bencana kebakaran hutan di
Provinsi Sumatera Barat, daerah-daerah
yang sering terjadi bencana kebakaran
hutan adalah Kabupaten Lima Puluh Kota,
Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Solok,
dan Kabupaten Pesisir Selatan. Selama
tahun 2011 dengan 10 kali terjadi
bencana kebakaran hutan, pada tahun
2012 kejadian bencana kebakaran hutan
ini pada 3 (tiga) Kabupaten/Kota di
Sumatera Barat dengan frekuensi bencana
kebakaran hutan paling sering terjadi yakni
di Kabupaten Lima Puluh Kota, Kabupaten
Dharmasraya, dan Kota Padang yakni
sebanyak 4 (empat ) kali, sedangkan pada
tahun 2013 frekuensi bencana kebakaran
hutan sebanyak 1 (satu) kali yaitu di
Kabupaten Agam sedangkan tahun 2014
frekuensi bencana kebakaran hutan
sebanyak 5 (lima) kali di Kabupaten
Pasaman Barat ,Kabupaten Dharmasraya,
Kabupaten Pasaman dan Kota Padang.
Gambar 2.129 Frekuensi Bencana Kebakaran Hutan Pada Tahun 2011 - 2014
Sumber : Badan Peanggulangan Bencana Provinsi Sumatera Barat, 2014
2.7.1.4. Bencana Tanah Longsor,
Korban dan Kerugian
Tahun 2014 akibat bencana alam
tanah longsor dan gempa bumi tercatat 3
(tiga) orang meninggal dunia dan total
kerugiannya mencapai Rp. 1.197.000.000,
terdapat 5 (lima) lokasi yang mengalami
bencana tanah longsor, yakni Kota
Sawahlunto, Kabupaten Padang Pariaman,
Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Pesisir
Selatan, Kabupaten Pasaman Barat dan
Kabupaten Solok Selatan yang mengalami
gempa bumi dengan kerugian finansial
sebesar Rp. 120.000.000,- dan 3 (tiga)
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-95
orang meninggal dunia yakni di Kabupaten
Padang Pariaman telah menyebabkan 1
orang meninggal dunia, dan Kabupaten
Sijunjung yang mengakibatkan 2 (dua)
orang meninggal dunia. Kabupaten yang
mengalami kerugian finansial cukup besar
akibat tanah longsor yakni pada Kabupaten
Pasaman Barat dengan jumlah kerugian
Rp.5.351.075.000,- sedangkan di
Kabupaten Tanah Datar jumlah kerugian
mencapai Rp. 390.000.000,- dengan
kerugian finansial yang sedikit, sedangkan
di wilayah kota terjadi di Kota Sawahlunto
dengan kerugian finansial sebesar Rp.
6.226.515.338,-. Secara teknis kabupaten/
kota yang mengalami tanah longsor dan
gempa bumi termasuk daerah rawan
longsor walau sebagian besar daerah ini
mempunyai topografi perbukitan dengan
tingkat kemiringan cukup tinggi.
Selama tahun 2014 bencana alam tanah
longsor dan gempa bumi yang terjadi
dapat dilihat pada gambar 2.130 berikut.
Gambar 2.130 Jumlah Korban Meninggal Serta Perkiraan Kerugian Akibat Bencana
Tanah Longsor Dan Gempa Bumi Tahun 2014
Sumber : Badan Peanggulangan Bencana Provinsi Sumatera Barat, 2014
Sepanjang tahun 2014 terjadi 5
(lima) peristiwa bencana yakni bencana
Abrasi, Banjir, Kebakaran, Longsor, dan
Puting Beliung. Peristiwa bencana beserta
korban jiwa yang ditimbulkan selama tahun
2014 adalah terjadi sebanyak 308 dengan
total korban jiwa meninggal sejumlah 12
jiwa dari 5 (lima) peristiwa bencana ini tidak
ada korban hilang dan luka/sakit. Untuk
bencana longsor yang signifikan dengan
total 115 kejadian dengan korban jiwa
meninggal 1 (satu) jiwa, sedangkan korban
jiwa yang terbanyak ditimbulkan adalah
kejadian bencana banjir yakni meninggal
11 jiwa selama tahun 2014, sebagaimana
Gambar 2.131 di bawah ini.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-96
Gambar 2.131 Jumlah Korban Kejadian Bencana Tahun 2014
Sumber : Badan Penanggulangan Bencana Provinsi Sumatera Barat, 2014
Peristiwa bencana selama tahun 2014
menimbulkan kerugian material sebanyak
total 185 rumah rusak berat, 127 rumah
rusak sedang dan 276 rumah rusak ringan
yang signifikan yang mengakibatkan rumah
rusak berat ditimbulkan dari bencana
Puting Beliung yakni 89 rumah, 75 rumah
rusak sedang dan 212 mengakibatkan
rumah rusak ringan.
Gambar 2.132 Jumlah Kerusakan Rumah dan Total Kerusakan Bencana Alam
Tahun 2014
Sumber : Badan Peanggulangan Bencana Provinsi Sumatera Barat, 2014
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-97
Sebanyak 5 (lima) peristiwa bencana yang
terjadi di Sumatera Barat pada tahun 2014
yakni angin kencang, banjir, hanyut/
tenggelam, kebakaran dan longsor terjadi
di 14 kabupaten/kota kejadian bencana
angin kencang yakni di Kabupaten Padang
Pariaman dengan jumlah 40 bencana banjir
yaitu pada Kabupaten Agam dengan
jumlah 13, sedangkan 9 (sembilan)
kejadian hanyut daerah kabupaten yang
signifikan yakni Kabupaten Pesisir Selatan.
Untuk kejadian kebakaran sebanyak 30
terjadi di 2 (dua) kabupaten yaitu
Kabupaten Padang Pariaman dan
Kabupaten Pesisir Selatan dan sebanyak
26 kejadian longsor daerah kabupaten
yang signifikan yakni Kabupaten Lima
Puluh Kota.
Gambar 2.133 Jumlah Kejadian Bencana Di Sumatera Barat
Sumber : Badan Peanggulangan Bencana Provinsi Sumatera Barat, 2014
Dari Tabel BA-4D Buku Data
SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
daerah rawan bencana alam terjadi di 13
kabupaten kota yakni Kabupaten
Kepulauan Mentawai, Kabupaten Padang
Pariaman, Kabupaten Tanah Datar,
Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten
Solok Selatan, Kabupaten Solok,
Kabupaten Sijunjung, Kabupaten Agam,
Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten
Lima Puluh Kota, Kabupaten Pasaman,
Kota Padang, dan Kota Pariaman.
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-98
Gambar 2.134 Peta Rawan Bencana Alam Wilayah Sumatera Barat
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-99
Gempa 30 September 2009
yang lalu mengguncang Sumatera Barat,
telah menimbulkan berbagai macam
kerusakan. Gempa tersebut telah
meluluhlantakkan Kota Padang, Kota
Pariaman dan daerah sekitarnya.
Akibatnya adalah runtuhnya berbagai
macam fasilitas pemerintahan, fasilitas
swasta yang mendukung perekonomian,
hingga fasilitas publik. Fasilitas
pemerintahan yang mengalami kerusakan
parah misalnya adalah Kantor Gubernur
Propinsi Sumatera Barat dan Balaikota
Padang. Gedung milik swasta seperti Plaza
Andalas mengalami kebakaran akibat
goncangan gempa, sedangkan Hotel
Ambacang ambruk dan menyebabkan
banyak korban tewas. Akibat dari rusaknya
berbagai macam fasilitas tersebut adalah
terganggunya kegiatan pemerintahan,
aktivitas perekonomian, serta aktivitas
yang lain, untuk itu Sumatera Barat
membangun sedikitnya 23 tempat evakuasi
tsunami yang memiliki beragam fungsi lain.
BAB IIITEKANAN TERHADAP LINGKUNGAN
Peningkatan jumlah penduduk memberikan tekanan terhadap kualitas lingkungan berupa meningkatnya jumlah timbulan sampah, kurangnya fasilitas Buang Air Besar (BAB)
sehingga memanfaatkan sungai sebagai fasilitas MCK.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-1
3.1. KEPENDUDUKAN
Dalam pelaksanaan pembangunan penduduk
merupakan salah satu sumber daya yang sangat
penting untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
suatu negara. Jika dipandang sebagai sumber daya,
maka potensi ini perlu dikembangkan agar dapat
mendatangkan manfaat yang lebih optimal. Akan
tetapi, dalam perkembangannya penduduk yang
seharusnya dapat dijadikan potensi sebagai sumber
daya justru dapat menjadi beban bagi pembangunan
serta lingkungan. Pertumbuhan penduduk yang
demikian pesat dan tidak didukung oleh tingkat
kesadaran dan kemampuan untuk menekan
permasalahan-permasalahan yang dapat muncul telah
menempatkan penduduk pada permasalahan
tersendiri.
Di negara-negara berkembang, dengan
tingkat pendapatan serta pendidikan yang masih
rendah dan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi
permasalahan-permasalahan sosial dan lingkungan
kerap menjadi beban tersendiri bagi pemerintah.
Pertumbuhan penduduk yang tinggi ini harus diikuti
oleh penyediaan sarana dan prasarana seperti
perumahan, sarana pendidikan, kesehatan,
penyediaan lapangan kerja, dan lain sebagainya.
Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut
berarti akan mengkonsumsi sumber daya alam yang
lebih banyak, sehingga hal ini menimbulkan tekanan
terhadap lingkungan yang semakin besar pula.
Disamping itu, dengan jumlah penduduk yang tinggi
namun kesadaran terhadap permasalahan lingkungan
yang juga masih rendah mengakibatkan terjadinya
kerusakan dan pencemaran yang semakin
menurunkan kualitas lingkungan.
3.1.1. Sumber Tekanan
3.1.1.1. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk,
Pertumbuhan Penduduk dan Kepadatan
Penduduk Menurut Kabupaten/Kota
Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2014
memiliki penduduk sebesar 5.131.882 jiwa, jumlah ini
berdasarkan hasil proyeksi penduduk yang dilakukan
oleh BPS Provinsi Sumatera Barat untuk tahun 2014.
Jumlah penduduk terbesar terdapat di Kota Padang
sebesar 889.561 jiwa diikuti oleh Kabupaten Agam
dengan jumlah 472.995 jiwa dan Kabupaten Pesisir
Selatan dengan jumlah penduduk sebesar 446.479
jiwa, sedangkan jumlah penduduk yang terendah
terdapat di Kota Padang Panjang yaitu sebesar 50.208
jiwa.
Jumlah penduduk Provinsi Sumatera Barat
mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan
tahun sebelumnya. Pada tahun 2013 penduduk
Provinsi Sumatera Barat berjumlah 5.066.476 jiwa
mengalami peningkatan pada tahun 2014 menjadi
5.131.882 jiwa, hal ini berarti penduduk Provinsi
Sumatera Barat mengalami peningkatan sebesar
65.406 jiwa.
Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Provinsi
Sumatera Barat adalah sebesar 1,29 % pertahun. Laju
pertumbuhan penduduk tertinggi terdapat di Kota
Solok yaitu sebesar 6,88 % diikuti oleh Kabupaten
Dharmasraya dengan 96 % dan Kabupaten Pasaman
Barat dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar
2,22 %, sedangkan laju pertumbuhan penduduk
terendah terdapat di Kabupaten Solok sebesar -0,11
% pertahun.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-2
Gambar 3.1 Jumlah Penduduk Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel DE-1 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Laju pertumbuhan penduduk Provinsi
Sumatera Barat jika dilihat dari tren selama lima tahun
terakhir cenderung mengalami penurunan. Pada tahun
2010 LPP Provinsi Sumatera Barat adalah sebesar
1,34 %, mengalami peningkatan pada tahun 2011
menjadi 1,39 % dan merupakan LPP tertinggi jika
melihat data 5 tahun terakhir. Laju pertumbuhan
penduduk berikutnya mengalami penurunan menjadi
1,36 % pada tahun 2012, kemudian 1,33 % pada
tahun 2013 dan terakhir di tahun 2014 menjadi 1,29 %.
Gambar 3.2 Laju Pertumbuhan Penduduk Provinsi Sumatera Barat Tahun 2010 – 2014
Sumber : Olahan Tabel DE-1E Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Jika melihat sebaran penduduk di Provinsi
Sumatera Barat yang berjumlah 5.131.882 jiwa, Kota
Padang merupakan wilayah dengan sebaran
penduduk tertinggi yaitu 17,33 %, diikuti oleh
Kabupaten Agam dengan sebaran penduduk sebesar
9,22 % dari Kabupaten Pesisir Selatan sebesar 8,70 %
sedangkan penduduk yang terendah sebarannya
terdapat di Kota Padang Panjang sebesar 0,98 %.
Berdasarkan tekanan penduduk terhadap
wilayah, maka daerah di Provinsi Sumatera Barat yang
memiliki kepadatan penduduk tertinggi adalah Kota
Bukittinggi yaitu sebesar 4.773,81 jiwa/km2, diikuti oleh
Kota Padang Panjang dengan kepadatan penduduk
sebesar 2.182,96 jiwa/km2 dan Kota Payakumbuh
dengan kepadatan sebesar 1.562,73 jiwa/km2.
Sedangkan daerah dengan kepadatan penduduk
terendah di Kabupaten Kepulauan Mentawai sebesar
13,91 jiwa/km2. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Gambar 3.3 dibawah ini.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-3
Gambar 3.3 Kepadatan Penduduk dan Sebaran Penduduk Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel DE-1 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Jika melihat perbandingan laju pertumbuhan
penduduk Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2014
dengan tahun yang lalu, pada umumnya laju
pertumbuhan penduduk Kabupaten/Kota cenderung
mengalami penurunan. Laju pertumbuhan penduduk
yang mengalami peningkatan hanya terdapat di Kota
Solok yakni sebesar 2,15 persen di tahun 2013
meningkat menjadi 6,88 persen pada tahun 2014.
Pada tahun 2013, laju pertumbuhan
penduduk tertinggi terdapat di Kabupaten
Dharmasraya diikuti oleh Kabupaten Pasaman Barat
dan Kabupaten Kepulauan Mentawai. Tetapi pada
tahun 2014 laju pertumbuhan penduduk tertinggi ini
terdapat di Kota Solok, diikuti oleh Kabupaten
Dharmasraya dan Kabupaten Pasaman Barat.
Sedangkan laju pertumbuhan penduduk terendah
pada tahun 2013 terdapat di Kabupaten Tanah Datar
dan pada tahun 2014 laju pertumbuhan penduduk
terendah terdapat di Kabupaten Solok. Untuk lebih
jelasnya perbandingan laju pertumbuhan penduduk
tahun 2013 dan tahun 2014 dapat dilihat pada Gambar
3.4 di bawah ini.
Gambar 3.4 Pertumbuhan Penduduk 2 (dua) Tahun Terakhir Tahun 2013 - 2014
Sumber : Olahan Tabel DE-1D Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-4
3.1.1.2. Jumlah Penduduk Laki-laki dan
Perempuan
Jika melihat jumlah penduduk Provinsi
Sumatera Barat menurut jenis kelamin, jumlah
penduduk perempuan lebih banyak dibanding
penduduk laki-laki. Jumlah penduduk perempuan di
Provinsi Sumatera Barat adalah sebesar 2.581.895
jiwa, sedangkan jumlah penduduk laki-laki adalah
2.549.987 jiwa, hal ini juga terlihat berdasarkan rasio
jenis kelamin penduduk laki-laki terhadap penduduk
perempuan sebesar 98,76 %. Secara umum daerah-
daerah yang ada di Provinsi Sumatera Barat
didominasi oleh penduduk perempuan. Jumlah
penduduk perempuan terbesar terdapat di Kota
Padang yakni 445.665 jiwa sedangkan jumlah
penduduk laki-laki jumlahnya sebesar 443.896 jiwa.
Dari 19 Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi
Sumatera Barat, hanya beberapa daerah saja di yang
dominan laki-laki, yakni Kabupaten Kepulauan
Mentawai, Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten
Pasaman Barat dan Kabupaten Solok Selatan.
Gambar 3.5 Jumlah Penduduk Laki-laki dan Perempuan Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel DE-2 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Berdasarkan rasio jenis kelamin penduduk
tahun 2013 dan tahun 2014, terjadi kenaikan dari
98,64 % pada tahun 2013 menjadi 98,76 % pada
tahun 2014. Berdasarkan gambar 3.6 dapat dilihat
bahwa rasio jenis kelamin penduduk yang diatas 100
% hanya terdapat di 4 daerah yaitu Kabupaten
Kepulauan Mentawai, Kabupaten Dharmasraya,
Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten Pasaman
Barat yang dapat diartikan bahwa jumlah penduduk
laki-laki di keempat daerah tersebut lebih banyak
dibandingkan jumlah penduduk perempuan. Secara
umum, rasio jenis kelamin penduduk Kabupaten/Kota
di Provinsi Sumatera Barat tahun 2014 mengalami
kenaikan jika dibandingkan dengan tahun 2013, hanya
Kabupaten Kepulauan Mentawai yang mengalami
penurunan yakni sebesar 108,05 % pada 2013
menjadi 107,91 % pada tahun 2014.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-5
Gambar 3.6 Rasio Jenis Kelamin Penduduk Provinsi Sumatera Barat Tahun 2013 - 2014
Sumber : Olahan Tabel DE-2B Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
3.1.1.3. Penduduk di Wilayah Pesisir dan Laut
Provinsi Sumatera Barat memiliki panjang
garis pantai sepanjang 1.378 km dan seluruhnya
bersentuhan dengan Samudera Indonesia dengan
luas perairan laut sebesar 186.580 km². Jumlah
penduduk yang bermukim di wilayah pesisir dan laut
ini adalah sebesar 1.426.491 jiwa atau sebanyak
175.353 rumah tangga (KK). Wilayah yang memiliki
penduduk pesisir dan laut terbesar ada di Kota
Padang sebesar 469.511 jiwa atau 23.566 rumah
tangga dengan jumlah desa/kelurahan sebanyak 31
desa/kelurahan dan jumlah penduduk pesisir dan laut
terkecil berada di Kota Pariaman dengan jumlah
penduduk sebesar 25.622 jiwa atau 5.492 rumah
tangga dengan jumlah desa/kelurahan sebanyak 14
desa/kelurahan.
Gambar 3.7 Jumlah Penduduk di Wilayah Pesisir dan Laut
Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel DE-3 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Jika dilihat perbandingan jumlah penduduk
wilayah pesisir dan laut tahun 2014 dengan tahun
2013 dan tahun 2012, terjadi peningkatan jumlah
penduduk pesisir dan laut yang cukup signifikan di
Kota Padang dan Kabupaten Pasaman Barat. Jumlah
penduduk pesisir dan laut Kota Padang pada tahun
2013 sebanyak 54.521 jiwa meningkat di tahun 2014
menjadi 469.511 jiwa, sedangkan Kabupaten
Pasaman Barat pada tahun 2013 dengan jumlah
penduduk sebesar 49.951 jiwa meningkat di tahun
2014 menjadi 156.987 jiwa. Untuk daerah yang
mengalami penurunan jumlah penduduk pesisir dan
laut cukup signifikan adalah Kabupaten Padang
Pariaman yakni sebanyak 152.440 jiwa pada tahun
2013 menjadi 65.544 jiwa di tahun 2014.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-6
Gambar 3.8 Perbandingan Jumlah Penduduk di Wilayah Pesisir dan Laut Provinsi Sumatera Barat Tahun 2012 – 2014
Sumber : Olahan Tabel DE-3A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Berdasarkan jumlah kecamatan yang berada
di wilayah pesisir dan laut Sumatera Barat, Kabupaten
Pesisir Selatan merupakan daerah yang memiliki
kecamatan dengan jumlah terbanyak yakni 12
kecamatan dan diikuti oleh Kabupaten Kepulauan
Mentawai sebanyak 10 kecamatan, sedangkan daerah
yang paling sedikit adalah Kabupaten Agam dengan
jumlah 1 kecamatan.
Gambar 3.9 Jumlah Kecamatan di Wilayah Pesisir
Sumber : Olahan Tabel DE-3B Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
3.1.1.4. Jumlah Penduduk Laki-laki dan
Perempuan Menurut Tingkatan Pendidikan
Berdasarkan tingkat pendidikan penduduk di
Provinsi Sumatera Barat, jumlah penduduk yang tidak
sekolah masih cukup tinggi angkanya. Penduduk laki-
laki yang tidak sekolah mencapai 366.386 jiwa dan
perempuan mencapai 348.121 jiwa. Sedangkan
jumlah penduduk laki-laki yang berpendidikan SD
mencapai 478.803 jiwa dan jumlah perempuan
berpendidikan SD sebesar 439.000 jiwa. Untuk
Provinsi Sumatera Barat dengan penduduk tidak
sekolah tertinggi terdapat di Kabupaten Agam dengan
jumlah 85.344 jiwa laki-laki dan 81.095 jiwa
perempuan.
Jika dilihat berdasarkan jumlah penduduk
dengan tingkat pendidikan tinggi
(Diploma/Sarjana/S2/S3) di Provinsi Sumatera Barat
angkanya mencapai 293.572 jiwa. Jumlah tertinggi
merupakan tingkat pendidikan Diploma dengan jumlah
96.437 jiwa laki-laki dan 63.842 jiwa perempuan.
Jumlah penduduk dengan tingkat pendidikan tinggi
terkecil adalah penduduk dengan tingkat pendidikan
S3 yakni berjumlah 1.365 jiwa laki-laki dan 891 jiwa
perempuan. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada
Gambar 3.10 di bawah ini.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-7
Gambar 3.10 Jumlah Penduduk Laki-laki dan Perempuan Menurut Tingkat Pendidikan
Sumber : Olahan Tabel DS-1 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Sedangkan di wilayah pesisir, penduduk tidak tamat
SLTP di Provinsi Sumatera Barat berjumlah 19.799
jiwa dan jumlah yang tertinggi terdapat di Kabupaten
Pasaman Barat dengan jumlah 19.776 jiwa. Penduduk
yang tamat SLTP berjumlah 25.058 jiwa dan yang
tertinggi terdapat di Kabupaten Pesisir Selatan
sedangkan penduduk yang tamat SLTA berjumlah
22.518 jiwa dan yang tertinggi terdapat di Kabupaten
Pesisir Selatan.
Gambar 3.11 Tingkat Pendidikan Penduduk Wilayah Pesisir
Sumber : Olahan Tabel DS-1A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
3.2. PEMUKIMAN
Pemukiman merupakan suatu kebutuhan
pokok yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Dari deretan lima kebutuhan hidup manusia pangan,
sandang, pemukiman, pendidikan dan kesehatan,
nampak bahwa pemukiman menempati posisi yang
sentral, dengan demikian peningkatan pemukiman
akan meningkatkan pula kualitas hidup. Saat ini
manusia bermukim bukan sekedar sebagai tempat
berteduh, namun lebih dari itu mencakup rumah dan
segala fasilitasnya seperti persediaan air minum,
penerangan, transportasi, pendidikan, kesehatan dan
lainnya.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-8
3.2.1. Sumber Tekanan
Sumber tekanan terhadap pemukiman dapat
dilihat dari banyaknya rumah tangga miskin, jumlah
rumah tangga yang mimiliki fasilitas sumber air minum,
fasilitas tempat buang air besar, falitas jamban dan
tinja.
3.2.1.1. Jumlah Rumah Tangga Miskin
Berdasarkan standar BPS kriteria suatu
rumah tangga disebut miskin bila 1). luas lantai
kurang dari 8 meter per anggota rumah tangga,
2).jenis lantai dari tanah, 3). dinding rumah kayu atau
bambu, 4). tidak memiliki fasilitas MCK, 5). sumber air
minum bukan PDAM, 6). penerangan bukan listrik, 7).
hanya mampu membeli daging maksimal 1 kali
sepekan, 8). frekuensi makan maksimal dua kali
sehari, 9). dalam setahun hanya mampu membeli 1
stel pakaian, 10). tidak mampu berobat ke Puskesmas
jika sakit, 11). lapangan pekerjaan buruh tani, buruh
bangunan dan lainnya, 12). pendapatan total rumah
tangga di bawah Rp 600 ribu per bulan, 13).
pendidikan tertinggi tidak tamat sekolah dan tidak
tamat SD, 14). tidak memiliki tabungan, 15). barang
yang mudah dijual nilainya tidak sampai Rp 500 Ribu,
dan 16). tidak memiliki kompor untuk memasak. Dari
312.640 Kepala Keluarga di 19 Kabupaten/Kota
Provinsi Sumatera Barat tahun 2014 terdapat 123.532
atau 39,5% KK yang merupakan rumah tangga miskin.
Jumlah rumah tangga miskin terbanyak berada di
Kabupaten Agam dengan jumlah 14.833 rumah
tangga, Kabupaten Pasaman dengan jumlah 14.833
rumah tangga, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Persentase Rumah Tangga Miskin di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
N0. Kabupaten/ Kota Jumlah Rumah Tangga (KK)
Jumlah Rumah Tangga Miskin (KK)
%
1. Kabupaten Agam 23.417 14.833 63,34
2. Kabupaten Pasaman 25.978 15.514 59,72
3. Kota Pariaman 2988 1.595 53.20
4. Kabupaten Sijunjung 12.921 6.180 47,83
5. Kabupaten Pasaman 25.978 15.514 59,72
6. Kabupaten Sijunjung 12.921 6.180 47,83
7. Kota Sawahlunto 2.290 1.050 45,85
8. Kabupaten Pasaman Barat 32.102 14.685 45,74
Sumber : Olahan Tabel SE-1 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Gambar 3.12 Jumlah Rumah Tangga dan Rumah Tangga Miskin
Sumber : Olahan Tabel SE-1 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-9
Persentase jumlah rumah tangga miskin
tertinggi ada di Kabupaten Agam sebanyak 63,34 %
diikuti oleh Kabupaten Pasaman 59,72 % dan Kota
Pariaman 53,20 %. Persentase Kabupaten/Kota
dengan jumlah keluarga miskin tertinggi dapat di lihat
pada Tabel 3.1.
Perbandingan jumlah rumah tangga miskin
tahun 2012-2014 meningkat pada 2 Kabupaten/Kota
yaitu Kabupaten Solok dan Kabupaten Pasaman
sedangkan 16 Kabupaten/Kota mempelihatkan
kecendrungan menurun. Persentase penurunan rumah
tangga miskin terbesar adalah Kota Bukittinggi dengan
83,57 %, diikuti oleh Kabupaten Padang Pariaman dan
Kabupaten Tanah Datar dengan 76 %, Kabupaten
Dharmasraya dengan 70,74 % dan Kota Padang serta
Kabupaten Lima Puluh Kota dengan 64 %
sebagaimana yang terlihat pada Gambar 3.13 berikut.
Gambar 3.13 Jumlah dan Persentase Penurunan Rumah Tangga Miskin Terbesar di 7 Kabupaten/Kota
Sumber : Olahan Tabel SE-1A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Jumlah penduduk miskin di perkotaan dan
pedesaan melihatkan kecendrungan menurun dari
tahun 2012- 2014. Total penduduk miskin perkotaan
dan pedesaan di tahun 2012 adalah 526.909 jiwa dan
pada tahun 2014 menjadi 463.720 jiwa, dengan rata-
rata persentase penurunan penduduk miskin di
perkotaan adalah 7,45 % per tahun sedangkan di
pedesaan adalah 4,56 % per tahunnya sebagaimana
Gambar 3.14.
Gambar 3.14 Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin
di Perkotaan dan Pedesaan Pada Tahun 2011-2014
Sumber : Olahan Tabel SE-1B Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-10
3.2.1.2. Jumlah Rumah Tangga dan Sumber Air
Minum
Sumber Air minum yang dimanfaatkan oleh
rumah tangga di Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera
Barat tahun 2014 adalah ledeng, sumur, sungai, hujan,
kemasan dan lainnya. Penduduk kota lebih banyak
memanfaatkan air minum dari sumber ledeng yaitu
203.471 orang sedangkan penduduk di Kabupaten
lebih banyak memanfaatkan sumur sebagai sumber air
minumnya dengan jumlah 256.704 orang. Secara
keseluruhan ledeng lebih banyak sebagai air minum,
baik penduduk kota maupun kabupaten dengan jumlah
375.051 orang sebagaimana terlihat dalam Gambar
3.15.
Gambar 3.15 Jumlah Penduduk dengan Sumber Air Minum di Kabupaten/Kota Tahun 2014
Sumber : OlahanTabel SE–2 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Dilihat dari persentasenya pemakaian air
sumur di kota maupun di kabupaten lebih banyak
dimanfaatkan sebagai sumber air minum yaitu 41 %,
ledeng 40 %, kemasan 7 % dan air hujan 3 % serta
sungai 2 %. Sebagaimana yang terlihat pada Gambar
3.16.
Gambar 3.16 Persentase Sumber Air Minum di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber : OlahanTabel SE–2 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-11
Gambar 3.17 Jumlah Penduduk dan Persentase Yang Memiliki Akses Air Minum
Sumber : Olahan Tabel SE–2A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Jumlah penduduk yang memiliki akses air
minum yang memenuhi syarat pada tahun 2014
terbanyak di Kota Padang yaitu 748.312 orang,
Kabupaten Pesisir Selatan 333.550 orang, Kabupaten
Agam 353.424 orang dan Kabupaten Padang
Pariaman sebanyak 283.587 orang. Total penduduk
yang memiliki akses air minum yang memenuhi syarat
meningkat di tahun 2014 menjadi 3.962.034 orang dari
3.915.422 orang di tahun 2013 atau meningkat 1,2 %.
Peningkatan di kota adalah 9.243 orang atau 0,1 %
sedangkan peningkatan di kabupaten adalah 37.369
orang atau 0.01 % sebagaimana terlihat pada Gambar
3.18.
Gambar 3.18 Jumlah Penduduk Yang Memiliki Akses Air Minum Memenuhi Syarat
Sumber : OlahanTabel SE–2C Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Pemanfaatan sumur sebagai sumber air
minum meningkat dari tahun 2013 ke tahun 2014
sebanyak 47.792 orang atau meningkat 16,58 %,
sedangkan ledeng, sungai, hujan dan sumber lainnya
semakin berkurang dimanfaatkan oleh masyrakat kota.
Hal ini diakibatkan karena semakin tingginya tingkat
pencemaran sungai serta kuantitas air sungai yang
mulai berkurang sehingga PDAM Kota mulai
kewalahan dalam pelayanan air dan air sering tidak
mengalir ke rumah penduduk, dan akibatnya
masyarakat lebih memilih sumur karena
ketersediannya setiap hari sebagaimana Gambar 3.19.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-12
Gambar 3.19 Perbandingan Jumlah Rumah Tangga dan Sumber Air Minum di Kota Tahun 2013-2014
Sumber : OlahanTabel SE–2C Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
3.2.1.3. Jumlah Rumah Tangga dan Fasilitas
Tempat Buang Air Besar
Fasilitas tempat buang air besar yang
dimanfaatkan rumah tangga di Kabupaten/Kota di
Sumatera Barat adalah fasilitas sendiri, bersama,
umum dan bahkan ada yang tidak mempunyai tempat
buang air besar di rumah tangganya. Dari Tabel SP-8,
rumah tangga yang mempunyai fasilitas tempat buang
air besar sendiri adalah 1.793.898 rumah tangga
diikuti oleh fasilitas bersama sebanyak 301.886 rumah
tangga dan umum sebanyak 183.321, sedangkan
407.411 rumah tangga tidak mempunyai fasilitas
tempat buang air besar sebagaimana pada Gambar
3.20.
Gambar 3.20 Jumlah Rumah Tangga dan Fasilitas Tempat Buang Air Besar
Sumber : OlahanTabel SP–8 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Dari Tabel SP-8B, pada tahun 2014 Kota
Padang merupakan kota yang memiliki fasilitas tempat
buang air besar sendiri yang paling banyak yaitu
660.516 orang dan terendah Kabupaten Kepulauan
Mentawai. Sedangkan fasilitas tempat buang air besar
bersama paling banyak di Kabupaten Lima Puluh Kota
dan paling sedikit di Kota Padang Panjang. Jumlah
penduduk yang mempunyai fasilitas tempat buang air
bersih sendiri di Provinsi Sumatera Barat tahun 2013
adalah 2.756.321 jiwa dan tahun 2014 adalah
2.791.070. Terjadi peningkatan sebesar 83.780 jiwa
atau (3.09%), sedangkan fasilitas tempat buang air
besar bersama meningkat sebesar 41.922 orang
(8.55 %) dari tahun 2013 sebagaimana terlihat pada
Gambar 3.21.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-13
Gambar 3.21 Perbandingan Penduduk Mempunyai Fasilitas Tempat Buang Air Besar Tahun 2013 - 2014
Sumber : OlahanTabel SP–8 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
3.2.1.4. Penduduk Yang Memiliki Akses ke
Pembuangan Tinja
Jumlah penduduk yang memiliki akses ke
pembuangan fasilitas IPAL meningkat di tahun 2014
menjadi 532.101 orang dari 8.034 orang di tahun 2013
atau meningkat 65,32 % dan ini berbanding terbalik
dengan kurangnya akses penduduk untuk memiliki
tangki septik di tahun 2014 karena menurun dari
3.273.763 orang pada tahun 2013 menjadi 2.130.092
orang atau turun sebanyak 1.143.671 orang atau
34,93 %. Hal ini terjadi karena beberapa
Kabupaten/Kota mulai menerapkan dan mewajibkan
kompleks pemukiman baru untuk melengkapi dengan
IPAL untuk pengelolaan limbah cairnya. Dari tabel SP-
8A terlihat hanya 3 Kota dan 2 Kabupaten yang telah
memiliki IPAL di tahun 2013, yaitu Kota Padang, Kota
Payakumbuh, Kota Pariaman dan Kabupaten
Dharmasraya serta Kabupaten Solok. Namun di tahun
2014, 19 Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat
penduduknya telah mulai dilayani oleh IPAL
sebagaimana terlihat pada Gambar 3.22.
Gambar 3.22 Perbandingan Penduduk Yang Memiliki Akses Pembuangan Akhir Tinja
Tahun 2013 - 2014
Sumber : OlahanTabel SP–8A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
3.2.1.5. Penduduk Yang Mempunyai Akses
Jamban
Total jumlah penduduk yang mempunyai
akses jamban di 19 Kabupaten/Kota di Provinsi
Sumatera Barat adalah 3.593.546 orang dengan
persentase rata-rata per kabupaten/kota adalah 73 %.
Persentase terbanyak penduduk yang punya akses
jamban adalah Kota Solok yaitu 89 % dari jumlah
penduduk, diikuti Kota Sawahlunto dan Kota Pariaman
dengan 85 % serta Kota Payakumbuh dengan 80 %
dari total jumlah penduduk. Berikut dapat dilihat 5
kabupaten/kota yang persentase penduduknya
mempunyai akses jamban, sebagaimana terlihat pada
Gambar 3.23.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-14
Gambar 3.23 Jumlah dan Persentase Penduduk Yang Memliki Akses Jamban Tertinggi di 5 Kabupaten/Kota
Kabupaten/Kota
Jumlah Penduduk
(orang)
Penduduk yang memiliki akses
jamban %
Solok 59.396 52.863 89
Sawahlunto 58.826 50.003 85
Pariaman 80.711 68.605 85
Payakumbuh 122.134 97.708 80
Padang 860.128 679.502 79 Sumber : OlahanTabel SP–8C Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Total jumlah penduduk yang memliki akses
jamban menurun pada tahun 2014 dibandingkan tahun
2013. Kota yang memiliki akses jamban terbanyak
adalah Kota Padang, Kabupaten Padang Pariaman,
Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Pasaman Barat
dan Kabupaten Solok. Perbandingan jumlah penduduk
yang memiliki akes jamban tahun 2013 -2014 pada ke
5 Kabupaten/Kota dapat dilihat pada Gambar 3.24
Gambar 3.24 Perbandingan Jumlah Penduduk dengan Akses Jamban
di 5 Kabupaten /Kota Tahun 2013-2014
Sumber : OlahanTabel SP–8D Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
3.2.2. Bentuk Tekanan dan Dampak Terhadap
Lingkungan Hidup
3.2.2.1. Perkiraan Jumlah Timbulan Sampah per
Hari
Menurut Undang-Undang No.18 Tahun 2008
sampah didefinisikan sebagai sisa kegiatan manusia
sehari-hari dan/atau dari proses alam yang berbentuk
padat sedangkan menurut SNI 19-2454-2002 tentang
Cara Pengelolaan Teknik Sampah Perkotaan, sampah
didefinisikan sebagai limbah yang bersifat padat terdiri
zat organik dan zat anorganik yang dianggap tidak
berguna lagi dan harus dikelola agar tidak
membahayakan lingkungan dan untuk melindungi
investasi pembangunan. Sedangkan timbulan sampah
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-15
adalah banyaknya sampah yang timbul dari sumber
yang dinyatakan dalam satuan volume (l/orang/hari)
maupun berat perkapita perhari (kg/orang/hari).
Jumlah timbulan ini akan bervariasi nilainya pada satu
waktu dan waktu lainnya, satu daerah dan daerah
lainnya. Hal ini dikarenakan jumlah timbulan sampah
dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya ada atau
tidaknya proses reduksi di sumber, faktor recycle,
faktor geografi dan faktor fisik (lokasi, frekuensi
pengumpulan sampah dan musim), jumlah penduduk
dan tingkat hidup, pola hidup, mobilitas masyarakat,
pola penyediaan kebutuhan, serta cara penanganan
makanan. Klasifikasi timbulan sampah berdasarkan
klasifikasi kota yaitu bervariasi dari 2 – 3,5
l/orang/hari.
Berdasarkan jumlah penduduk total dapat
ditentukan total timbulan sampah yang dihasilkan
dengan jumlah penduduk 4.349.979 jiwa maka didapat
timbulan sampah di Provinsi Sumatera Barat tahun
2014 adalah 680.598,64 (m³/hari). Dari Tabel SP-9
terlihat bahwa Kota Padang dengan jumlah penduduk
terbanyak yaitu 923.076 orang menghasilkan sampah
sebesar 472.097,60 m3 /hari sebagaimana yang dilihat
pada Gambar 3.25
Gambar 3.25 Jumlah Penduduk dan Perkiraan Timbulan Sampah Tahun 2014
Sumber : OlahanTabel SP–9 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Timbulan sampah terbesar terdapat di Kota
Padang, yaitu 472.097,60 m³/hari atau 69,36% dari total
timbulan sampah dan disusul oleh Kota Solok dengan
timbulan sampah 186.105 m³/hari atau 27.344% dan
Kabupaten Pasaman Barat dengan persentase 2 %
sebagaima terlihat pada Gambar 3.26.
Gambar 3.26 Kabupaten/Kota dengan Volume Sampah Terbesar Tahun 2014
Sumber : OlahanTabel SP–9B Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-16
Total timbulan sampah per kabupaten/kota
pada tahun 2014 menurun dibandingkan tahun 2013
yaitu 692.280 m3/hari, sedangkan timbulan sampah
tahun 2013 adalah 809.409 m3/hari. Penurunan ini
diperkirakan karena beberapa kabupaten/kota sudah
mulai aktif mengkampanyekan gerakan sumber bersih
termasuk pelaksanaan 3 R sehingga volume sampah
yang dihasilkanpun berkurang. Perbandingan total
timbulan sampah tahun 2012 sampai dengan tahun
2014 dapat dilihat pada Gambar 3.27.
Gambar 3.27 Perbandingan Timbulan Sampah Tahun 2012-2014
Sumber : OlahanTabel SP–9A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
TPA Regional Payakumbuh dibangun karena
adanya komitmen 6 kabupaten/kota untuk
bekerjasama dalam pengelolaan sampah yaitu Kota
Payakumbuh, Kota Bukittinggi, Kota Padang Panjang,
Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Lima Puluh Kota
dan Kabupaten Agam. Dengan dasar kesepakatan
tersebut Kementerian Pekerjaan Umum melalui Satker
PLP Sumatera Barat membangun Tempat
Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah Regional
Payakumbuh di Kelurahan Kapalo Koto Kecamatan
Payakumbuh Selatan Kota Payakumbuh diatas lahan
seluas 17 Ha. Dari Tabel SP-9C besarnya sampah
yang diterima TPA Regional Payakumbuh dari 5
kabupaten/kota tersebut pada tahun Tahun 2013
adalah 13.154 ton/hari dan tahun 2014 adalah
54.411,15 ton/hari, meningkat sebanyak 75.82 % dari
tahun 2013 sebagaimana dapat dilihat pada Gambar
3.28.
Gambar 3.28 Volume Sampah TPA Regional Payakumbuh Tahun 2013-2014
Berdasarkan Sumbernya
Sumber : OlahanTabel SP–9C Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-17
Berdasarkan Tabel SP-9D total jumlah
volume sampah yang masuk selama 3 hari ke TPA
Regional Payakumbuh adalah 460.890 kg dan yang
telah dilakukan pemilahan adalah 47.825,60 kg atau
9,38 % dari total sampah yang ada. Tergambar bahwa
kegiatan pemilahan sampah yang merupakan program
3R pada sumber belum terlaksana dengan baik,
karena masih rendahnya sampah terpilah dan
tingginya volume sampah yang masuk ke TPA setiap
harinya sebagaimana Gambar 3.29.
Gambar 3. 29 Jumlah Sampah Yang Masuk dan Dipilah di TPA Regional
Sumber : OlahanTabel SP–9D Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Gambar 3.30 Persentase Sampah Total dan Terpilah di TPA Regional
Sumber : OlahanTabel SP–9D Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Dari Tabel SP-9E terdapat 2 TPA Regional
dan 3 TPA Kabupaten/Kota untuk melayani sampah
dari 13 Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat
sebagaimana Tabel 3.2. Teknologi pengelolaan
sampah di TPA pun berbeda tergantung dengan yang
diterapkan oleh masing-masing kabupaten/kota, yaitu
1). Sanitary Landfiil di Kota Bukittinggi, Kota
Payakumbuh, Kabupaten Agam, Kabupaten Tanah
Datar dan Kabupaten Lima Puluh Kota, 2). Open
Dumping di Kota Padang, Kabupaten Agam dan
Kabupaten Padang Pariaman, serta 3). Control Landfill
di Kota Pariaman, Kota Padang Panjang, Kota Solok,
Kabupaten Solok dan Kabupaten Pesisir Selatan
sebagaimana terlihat pada Tabel 3.2.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-18
Tabel 3.2 TPA dengan Daerah Pelayanan dan Sistem TPA di Provinsi Sumatera Barat
No. Nama TPA Daerah Pelayanan Sistem TPA
1 TPA Air Dingin Kota Padang Open Dumping
2 TPA Sungai Andok Kota Padang Panjang Control Landfill
3 TPA Manggis Kabupaten Agam Open Dumping
4 TPA Ladang Laweh Kab.Padang Pariaman Open Dumping
TPA Regional Payakumbuh 1. Kota Payakumbuh 2. Kota Bukittinggi 3. Kabupaten Agam 4. Kabupaten Lima Puluh Kota 5. Kabupaten Tanah Datar
Sanitary Landfill
5 TPA Regional Solok 1. Kota Solok 2. Kabupaten Solok
Control Landfill
6 TPA Tungkul Selatan Kota Pariaman Control Landfill
7 TPA Gunung Bungkuk Kabupaten Pesisir Selatan Control Landfill Sumber : OlahanTabel SP–9F Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Gambar 3.31 Persentasi Sistem Pengelolaan Sampah di TPA di 13 Kabupaten/Kota
Sumber : OlahanTabel SP–9E Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Total timbulan sampah dari 6 TPA di Provinsi
Sumatera Barat tahun 2014 adalah 419.069,78 m3/hari
dengan jumlah timbulan sampah terbesar adalah di
TPA Regional Payakumbuh (226.702,8 m3/hari), TPA
Aie Dingin Kota Padang (181.818,18 m3/hari), dan
TPA Padang Laweh Kabupaten Padang Pariaman
9.949,30 m3/hari. Volume sampah yang diterima di
masing-masing TPA setiap harinya dapat dilihat pada
Gambar 3.32.
.
Gambar 3.32 Volume Sampah di Masing-masing TPA Tahun 2014
Sumber : OlahanTabel SP–9E Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-19
Cairan pekat dari TPA yang berbahaya
terhadap lingkungan dikenal dengan istilah leacheat
atau air lindi. Cairan ini berasal dari proses
perkolasi/percampuran (umumnya dari air hujan yang
masuk kedalam tumpukan sampah), sehingga bahan-
bahan terlarut dari sampah akan terekstraksi atau
berbaur. Cairan ini harus diolah dari suatu unit
pengolahan aerobik atau anaerobik sebelum dibuang
ke lingkungan. Dari pengukuran kualitas lindi di TPA
Regional Payakumbuh yang dilakukan selama 4 kali,
terhadap 5 parameter penentu limbah cair , yaitu
temperatur, pH, TSS, BOD5, COD menunjukkan
bahwa parameter COD dan BOD5 berada di atas baku
mutu, sedangkan pH, temperatur dan TSS berada
pada baku mutu yang diizinkan. Tingginya kualitas
BOD5 dan CO akan memberikan dampak terhadap
pencemaran tanah dan air di sekitar TPA Regional
Payakumbuh, bahkan dapat mencemari sumber air
tanah penduduk. Kualitas TSS, BOD,dan COD dari
lindi di TPA Regional Payakumbuh dapat dilihat pada
Gambar 3.33 s/d Gambar 3.36.
Nilai pH air lindi pada tempat pembuangan
sampah perkotaan berkisar antara 1,5 – 9,5 dan dari
Gambar 3.33 pH Lindi TPA Regional berada pada nilai
7,50 sampai 8,1.
Gambar 3.33 Nilai pH Lindi pada TPA Regional Payakumbuh
Sumber : OlahanTabel SP–9E Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta
jasad-jasad renik, yang terutama disebabkan oleh
kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan
air. Baku mutu TSS dalam lindi adalah 400 mg/l dan
pengukuran selama 4 kali di TPA Regional
Payakumbuh melihatkan bahwa kandungan TSS lindi
TPA Regional berada pada nilai 214 sampai 345 mg/l
dan masih berada di bawah baku mutu sebagaima
terlihat pada Gambar 3.34. Lindi TPA Regional
Payakumbuh mengandung COD 680-960 mg/l, yaitu
200-300 % di atas baku mutu yang ditetapkan
sebagaimana Gambar 3.35.Kandungan BOD5 pada
lindi TPA Regional Payakumbuh berada 324-554
mg/l dan jauh berada di atas baku mutu sekitar 100%
sebagaimana Gambar 3.36
Gambar 3.34 Pengukuran TSS Dalam Lindi Pada TPA Regional Payakumbuh
Sumber : OlahanTabel SP–9E Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-20
Gambar 3.35 Pengukuran COD Dalam Lindi Pada TPA Regional Payakumbuh
Sumber : OlahanTabel SP–9E Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Gambar 3.36 Pengukuran COD Dalam Lindi Pada TPA Regional Payakumbuh
Sumber : OlahanTabel SP–9F Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Dampak negatif dari sampah antara lain adalah :
1. Dampak Sampah Bagi Kesehatan
Lokasi dan pengelolaan sampah yang kurang
memadai dan tidak terkontrol merupakan tempat
yang cocok bagi beberapa organisme dan menarik
bagi berbagai binatang seperti lalat dan anjing
yang dapat menimbulkan penyakit. Potensi bahaya
kesehatan yang dapat ditimbulkan sampah adalah
sebagai berikut:
Penyakit diare, kolera, tifus dan demam
berdarah.
Penyakit jamur dapat juga menyebar (misalnya
jamur kulit).
Penyakit yang dapat menyebar melalui rantai
makanan, seperti cacing.
Sampah beracun, telah dilaporkan bahwa di
Jepang kira-kira 40.000 orang meninggal akibat
mengkonsumsi ikan yang telah terkontaminasi
oleh raksa (Hg). Raksa ini berasal dari sampah
yang dibuang ke laut oleh pabrik yang
memproduksi baterai dan akumulator.
2. Dampak Sampah Terhadap Lingkungan
Secara umum rembesan lindi yang sudah
mencapai lebih dari 400 mg/l dari pusat timbunan
sampah menunjukkan betapa cepatnya lindi
tersebut mencemari lingkungan TPA. Bisa
dibayangkan kalau Pemerintah dan Instansi terkait
tidak tanggap atas dampak yang telah ditimbulkan
oleh adanya TPA yang masih menerapkan sistem
open dumping, maka sudah barang tentu akan
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-21
berdampak negatif terhadap lingkungan baik
terhadap sifat fisik-kimia-biologis maupun
berdampak pada kesehatan masyarakat
khususnya yang bermukim di sekitar TPA.
Pengaruh pencemaran lindi terhadap lingkungan
disekitar TPA antara lain dapat berpengaruh pada
perubahan sifat fisik air, suhu air, rasa, bau dan
kekeruhan. Suhu limbah yang berasal dari lindi
umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan air
yang tidak tercemar lindi. Hal ini dapat
mempercepat reaksi kimia dalam air, mengurangi
kelarutan oksigen dalam air, mempercepat
pengaruh rasa dan bau.
Terkontaminasinya sumber air tanah dangkal
oleh zat-zat kimia yang terkandung dalam lindi
seperti misalnya nitrit, nitrat, ammonia, kalsium,
kalium, magnesium, kesadahan, klorida, sulfat,
BOD, COD, pH yang konsentrasinya sangat tinggi
akan menyebabkan terganggunya kehidupan
makhluk hidup disekitar TPA. Disamping itu pula
tercemarnya air bawah permukaan yang
diakibatkan oleh lindi berpengaruh terhadap
kesehatan penduduk terutama bagi penduduk
yang bermukim di sekitar TPA. Lindi yang semakin
lama semakin banyak volumenya akan merembes
masuk ke dalam tanah yang nantinya akan
menyebabkan terkontaminasinya air bawah
permukaan yang pada akhirnya akan
menyebabkan tercemarnya sumur-sumur dangkal
yang dimaanfaatkan oleh penduduk
sebagai sumber air minum.
Adanya TPA yang tidak jauh dari kali/sungai, harus
diwaspadai adanya pencemaran oleh lindi. Sungai
tersebut mengalir dan masih dimanfaatkan oleh
sebagian penduduk untuk keperluan sehari-hari
seperti mandi dan mencuci. Jika sungai ini
tercemar oleh adanya rembesan lindi maka akan
berdampak negatif bagi penduduk yang yang
masih memanfaatkan air sungai tersebut, baik
penduduk yang berada di sekitar TPA maupun
penduduk yang berada di hilir disepanjang sungai.
Adanya rembesan lindi yang telah mencemari
lingkungan disekitar TPA berarti melanggar pasal
29 ayat 1 point f Undang-Undang Nomor 18 tahun
2008 tentang Pelarangan Pembuangan Sampah
Dengan Sistem Open Dumping. Disamping Itu
Juga Telah Melanggar Undang-Undang No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Cairan rembesan sampah yang masuk ke dalam
drainase atau sungai yang dikenal sebagai lindi
(leachate) akan mencemari air. Berbagai
organisme termasuk ikan dapat mati sehingga
beberapa spesies akan lenyap, hal ini
mengakibatkan berubahnya ekosistem perairan
biologis. Penguraian sampah yang dibuang ke
dalam air akan menghasilkan asam organik dan
gas-cair organik, seperti metana. Selain berbau
kurang sedap, gas ini dalam konsentrasi tinggi
dapat meledak.
3. Dampak Sampah terhadap keadaan sosial dan
ekonomi
Pengelolaan sampah yang kurang baik akan
membentuk lingkungan yang kurang
menyenangkan bagi masyarakat: bau yang
tidak sedap dan pemandangan yang buruk
karena sampah bertebaran dimana-mana.
Memberikan dampak negatif terhadap
kepariwisataan.
Pengelolaan sampah yang tidak memadai
menyebabkan rendahnya tingkat kesehatan
masyarakat. Hal penting di sini adalah
meningkatnya pembiayaan secara langsung
(untuk mengobati orang sakit) dan pembiayaan
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-22
secara tidak langsung (tidak masuk kerja,
rendahnya produktivitas).
Pembuangan sampah padat ke badan air dapat
menyebabkan banjir dan akan memberikan
dampak bagi fasilitas pelayanan umum seperti
jalan, jembatan, drainase, dan lain-lain.
Infrastruktur lain dapat juga dipengaruhi oleh
pengelolaan sampah yang tidak memadai,
seperti tingginya biaya yang diperlukan untuk
pengolahan air. Jika sarana penampungan
sampah kurang atau tidak efisien, orang akan
cenderung membuang sampahnya di jalan. Hal
ini mengakibatkan jalan perlu lebih sering
dibersihkan dan diperbaiki.
4. Bahaya Sampah Plastik bagi Kesehatan dan
Lingkungan
NETIZEN Salah satu faktor yang menyebabkan
rusaknya lingkungan hidup yang sampai saat ini
masih tetap menjadi “PR” besar bagi bangsa
Indonesia adalah faktor pembuangan limbah
sampah plastik. Kantong plastik telah menjadi
sampah yang berbahaya dan sulit dikelola.
Diperlukan waktu puluhan bahkan ratusan tahun
untuk membuat sampah bekas kantong plastik itu
benar-benar terurai. Namun yang menjadi
persoalan adalah dampak negatif sampah plastik
ternyata sebesar fungsinya juga. Dibutuhkan waktu
1.000 tahun agar plastik dapat terurai oleh tanah
secara terdekomposisi atau terurai dengan
sempurna. Ini adalah sebuah waktu yang sangat
lama. Diperlukan 10-15 generasi agar sampah
plastik terurai dengan asumsi usia harapan hidup
70 tahun. Saat terurai, partikel-partikel plastik akan
mencemari tanah dan air tanah.
Jika dibakar, sampah plastik akan
menghasilkan asap beracun yang berbahaya bagi
kesehatan yaitu jika proses pembakaranya tidak
sempurna, plastik akan mengurai di udara sebagai
dioksin. Senyawa ini sangat berbahaya bila
terhirup manusia. Dampaknya antara lain memicu
penyakit kanker, hepatitis, pembengkakan hati,
gangguan sistem saraf dan memicu depresi.
Kantong plastik juga penyebab banjir, karena
menyumbat saluran-saluran air, tanggul sehingga
mengakibatkan banjir bahkan yang terparah
merusak turbin waduk.
Sejak proses produksi hingga tahap pembuangan,
sampah plastik mengemisikan gas rumah kaca ke
atmosfer. Kegiatan produksi plastik membutuhkan
sekitar 12 juta barel minyak dan 14 juta pohon
setiap tahunnya. Proses produksinya sangat tidak
hemat energi. Pada tahap pembuangan di lahan
penimbunan sampah (TPA), sampah plastik
mengeluarkan gas rumah kaca.
3.3. KESEHATAN
Kesehatan seseorang dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya faktor lingkungan, gaya
hidup/perilaku, ketersediaan fasilitas pelayanan
kesehatan yang memadai, mencukupi dan mudah
diakses, serta faktor genetik/keturunan. Faktor
lingkungan dan perilaku masyarakat memiliki
hubungan timbal balik terhadap kesehatan.
Lingkungan yang tidak sehat disebabkan oleh
tidak/belum adanya pemahaman masyarakat untuk
melakukan pengelolaan lingkungan. Namun jika
masyarakat telah melakukan pengelolaan lingkungan
dengan benar, maka kesehatan tidak akan sulit
didapat. Bahkan dalam Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 dikatakan bahwa setiap orang
berkewajiban berperilaku hidup sehat untuk
mewujudkan, mempertahankan, dan memajukan
kesehatan yang setinggi-tingginya.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-23
3.3.1. Sumber Tekanan
3.3.1.1. Jenis Penyakit Utama Yang Diderita
Penduduk
Jenis penyakit yang paling banyak diderita
penduduk di Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2014
adalah ISPA (Infeksi saluran pernafasan atas).
Penyakit ini umumnya disebabkan oleh virus dan tidak
saja menyerang anak-anak namun juga orang
dewasa. Jumlah penderita penyakit ISPA yang terdata
pada tahun 2014 di Provinsi Sumatera Barat sebanyak
716.031 jiwa atau sekitar 74,21% dari keseluruhan
kasus penyakit yang terdata di Provinsi Sumatera
Barat. Penyakit selanjutnya yang paling banyak
diderita penduduk adalah penyakit kulit infeksi
sebanyak 105.081 kasus. Jenis penyakit yang paling
sedikit diderita penduduk adalah demam sebanyak
3.387 kasus atau 0,35 % dari keseluruhan kasus
penyakit yang terdata. Perbandingan jenis penyakit
utama yang diderita penduduk Provinsi Sumatera
Barat dapat dilihat pada Gambar 3.37.
Gambar 3.37 Persentase Jenis Penyakit Utama Yang Diderita Penduduk
Sumber : Olahan Tabel DS-2 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
3.3.1.2. Perbandingan Jenis Penyakit Utama yang
Diderita Penduduk Tahun 2013-2014
Jika dibandingkan antara tahun 2013 dan
tahun 2014 jumlah kasus penyakit utama yang diderita
penduduk di Provinsi Sumatera Barat ada yang
mengalami peningkatan dan ada yang mengalami
penurunan. Jenis penyakit yang paling signifikan
mengalami penurunan adalah penyakit demam,
dimana pada tahun 2013 jumlah kasusnya sebanyak
78.534 menurun menjadi 3.387 kasus pada tahun
2014. Selanjutnya diikuti oleh penyakit gastritis dengan
jumlah kasus 226.226 pada tahun 2013 menjadi
21.506 kasus pada tahun 2014. Penyakit yang paling
sedikit mengalami penurunan adalah penyakit ronggga
mulut dan gigi dengan jumlah kasus 31.898 pada
tahun 2013 menjadi 5.349 kasus pada tahun 2014.
Jenis penyakit yang mengalami kenaikan
paling signifikan adalah penyakit kulit infeksi dengan
jumlah kasus 68.865 pada tahun 2013 meningkat
menjadi 105.081 kasus pada tahun 2014. Sedangkan
diare merupakan jenis penyakit yang paling sedikit
mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2013
jumlh kasusnya sebanyak 60.746 meningkat menjadi
65.701 kasus pada tahun 2014. Perbandingan jenis
penyakit utama yang diderita penduduk tahun 2013-
2014 dapat dilihat pada Gambar 3.38.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-24
Gambar 3.38 Perbandingan Jenis Penyakit Utama Yang Diderita Penduduk Tahun 2013-2014
Sumber : Olahan Tabel DS-2A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
3.3.1.3. Penyakit Berbasis Lingkungan
Penyakit berbasis lingkungan merupakan
penyakit yang disebabkan oleh interaksi manusia
dengan segala sesuatu disekitarnya yang memiliki
potensi penyakit. Berdasarkan berbagai data dan
laporan, saat ini penyakit berbasis lingkungan masih
menjadi permasalahan kesehatan masyarakat di
Indonesia. ISPA dan diare yang merupakan penyakit
berbasis lingkungan selalu masuk dalam 10 besar
penyakit di hampir seluruh Puskesmas di Indonesia,
selain Malaria, Demam Berdarah Dengue ( DBD ),
Filariasis, TB Paru, Cacingan, dan Penyakit Kulit.
Masih tingginya penyakit berbasis lingkungan
disebabkan oleh faktor lingkungan serta perilaku hidup
bersih dan sehat yang masih rendah. Berdasarkan
aspek sanitasi, tingginya angka penyakit berbasis
lingkungan banyak disebabkan oleh tidak terpenuhinya
kebutuhan air bersih masyarakat, pemanfaatan
jamban (MCK) yang masih rendah, tercemarnya
tanah, air, dan udara karena limbah rumah tangga,
limbah industri, limbah pertanian, sarana transportasi,
serta kondisi lingkungan fisik lainnya yang
memungkinkan terjadinya penyakit berbasis
lingkungan.
Penyakit berbasis lingkungan yang paling
banyak ditemukan di Provinsi Sumatera Barat pada
tahun 2014 adalah ISPA, diare dan penyakit kulit.
Ketiga penyakit ini terjadi merata hampir diseluruh
kabupaten/kota. Lima daerah terbanyak ditemukannya
penyakit berbasis lingkungan ini adalah Kota Padang,
Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Agam, Kabupaten
Pesisir Selatan dan Kabupaten Pasaman Barat.
Penyakit ISPA paling banyak ditemukan di Kota
Padang dengan jumlah kasus sebanyak 129.627.
Selanjutnya diikuti oleh Kabupaten Tanah Datar
sebanyak 101.794 kasus. Kabupaten Agam
merupakan kabupaten dengan kasus diare dan
penyakit kulit terbanyak yaitu 10.161 kasus dan 22.779
kasus. Penyakit ISPA di Kabupaten Pesisir Selatan
sebanyak 86.220 kasus merupakan penyakit ISPA
terbanyak ketiga di Provinsi Sumatera Barat.
Perbandingan penyakit berbasis lingkungan di Provinsi
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-25
Sumatera Barat tahun 2014 dapat dilihat pada Gambar 3.39.
Gambar 3.39 Jumlah Kasus Penyakit Berbasis Lingkungan Di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber: Olahan Tabel DS-2B Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
3.3.2. Bentuk Tekanan Dampak Terhadap
Lingkungan
3.3.2.1. Perkiraan Volume Limbah Padat dan
Limbah Cair dari Rumah Sakit
Limbah non medis dapat berupa limbah padat
dan limbah cair yang dihasilkan dari kegiatan di RS di
luar medis. Limbah padat non medis berasal dari
dapur (berupa sisa makanan dan kemasannya), kantor
(kertas, plastik, dan sebagainya), dan taman (sampah
halaman) sedangkan limbah cair non medis
bersumber dari dapur dan laundry. Limbah B3 padat
atau limbah medis padat adalah limbah padat yang
terdiri dari limbah infeksius, limbah patologi, limbah
benda tajam, limbah farmasi, limbah sitotoksis, limbah
container bertekanan, dan limbah dengan kandungan
logam berat yang tinggi. Sementara itu limbah B3 cair
adalah semua air buangan yang bersumber dari
kegiatan medis rumah sakit. Perkiraan volume limbah
rumah sakit di Kota Padang tahun 2014 dapat dilihat
pada Gambar 3.40.
Gambar 3.40 Rumah Sakit Pemerintah di Provinsi Sumatera Barat Yang Melakukan Pengelolaan Limbah
Sumber: Olahan Tabel SP-10B,C,D Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
3.4. PERTANIAN
Daerah agraris merupakan karakteristik dari
Provinsi Sumatera Barat, hal ini selain ditandai oleh
masih dominannya nilai tambah di sektor pertanian
dalam perekonomian yang juga ditunjukkan oleh
penyerapan tenaga kerja yang tinggi di sektor ini,
sehingga sektor ini menjadi penopang kehidupan
sebagian besar penduduk. Ciri lain juga ditandai
dengan ketersediaan pangan yang cukup dan layak
bagi penduduk Provinsi Sumatera Barat.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-26
Peranan sektor pertanian sangat penting bagi
perekonomian Provinsi Sumatera Barat baik dalam
pembentukan PDRBnya maupun dalam penyerapan
tenaga kerja. Kontribusi sektor pertanian dikisaran 20
% terhadap PDRB mampu menyerap tenaga kerja
sebesar dua kali lipatnya atau sekitar 40 % (BPS
Provinsi Sumatera Barat, 2014). Beberapa data
ketenagakerjaan dan dari hasil Sensus Pertanian BPS
menunjukkan jumlah pekerja sektor pertanian semakin
menurun, salah satunya penyebabnya adalah adanya
tranformasi ekonomi yang mendorong orang semakin
banyak mencari pekerjaan diluar sektor pertanian.
Sektor pertanian semakin ditinggalkan oleh generasi
muda yang umumnya juga memiliki pendidikan lebih
baik atau penduduk usia muda akibatnya mereka yang
bekerja disektor pertanian adalah pekerja dengan usia
tua dengan tingkat pendidikan relatif rendah, sehingga
belum mampu memperbaiki produktivitas sektor
pertanian. Karena memang peningkatan produktivitas
tidak hanya dipengaruhi oleh jumlah pekerja tapi juga
dipengaruhi oleh kualitas pekerja sektor pertanian. Hal
ini juga terlihat dari data tahun 2014 yang
menunjukkan besarnya alih fungsi lahan pertanian
yang berubah menjadi lahan kering.
Potensi yang besar di sektor pertanian juga
didukung dengan adanya komoditi yang ada termasuk
unggulan atau spesifik. Menurut RPJMD Provinsi
Sumatera Barat tahun 2010-2015, yang termasuk
komoditi unggulan adalah karet, pala, kelapa sawit,
kopi, dan kakao, sedangkan yang ditetapkan sebagai
komoditi spesifik adalah Cassia vera (kayu manis),
gambir, kelapa dan nilam.
Besarnya tekanan lingkungan yang berasal
dari sektor pertanian, dapat juga kita lihat dari data
penggunaan pupuk kimia untuk pertanian,
pertambahan luas lahan pertanian, alih fungsi lahan
pertanian menjadi non pertanian, luas cetak sawah
baru yang berasal dari alih fungsi hutan, jumlah emisi
gas methan yang berasal dari kotoran ternak serta
unggas, dan lain sebagainya. Dalam analisis ini
nantinya akan diuraikan bagaimana kondisi rata-rata
dan kondisi ekstrim dari berbagai kegiatan yang
menyebabkan tekanan terhadap lingkungan serta
analisis dengan membandingkan kondisi antar lokasi
yang ada di kabupaten/kota dan analisis melihat
kecenderungan antar waktu.
3.4.1. Sumber Tekanan
3.4.1.1. Luas Lahan dan Produksi Perkebunan
menurut Jenis Tanaman dan Penggunaan
Pupuk
Luas Lahan perkebunan di Provinsi Sumatera
Barat pada tahun 2014 adalah sebesar 624.421,41
Ha, luas lahan ini merupakan luas dari 22 jenis
tanaman yang ada. Hasil produksi perkebunan dari
seluruh jenis tanaman tersebut mencapai
109.616456,85 ton. Dari luas lahan perkebunan yang
ada, yang terbesar merupakan lahan perkebunan
sawit yakni seluas 231.800 Ha, diikuti dengan lahan
karet dengan luas 143.170 Ha, dan lahan kelapa
dengan luas 71.707 Ha.Jika dilihat dari total hasil
produksi sektor perkebunan, produksi perkebunan
terbesar ini terdapat di Kabupaten Dharmasraya
dengan jumlah 105.962.353 ton.
Hasil produksi perkebunan terbesar
disumbang dari produksi jenis tanaman kelapa sawit
dengan jumlah 102.763.746 ton, diikuti dengan
produksi karet dengan jumlah 3.576.730 ton dan
produksi kelapa dengan jumlah 2.670.840 ton. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.41 di
bawah ini.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-27
Gambar 3.41 Luas Lahan dan Produksi Perkebunan Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel SE-3 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Berdasarkan data tahun 2014 jumlah
penggunaan pupuk di Provinsi Sumatera Barat adalah
sebesar 69.681.781,67 ton pupuk. Jenis pupuk yang
digunakan antara lain Urea, SP.36, ZA, NPK dan
Organik. Penggunaan pupuk yang terbesar adalah
pupuk jenis ZA yakni dengan jumlah 34.246.895,02
ton, diikuti oleh pupuk urea dengan jumlah
21.614.663,60 ton, dan pupuk SP.36 dengan jumlah
12.871.136,26 ton. Dari 19 Kabupaten/Kota di Provinsi
Sumatera Barat, penggunaan pupuk untuk
perkebunan yang terbesar terdapat di Kabupaten
Dharmasraya dengan jumlah total 68.402.083 ton,
diikuti oleh Kabupaten Pesisir Selatan dengan jumlah
896.678 ton dan Kabupaten Padang Pariaman dengan
jumlah 292.596,94 ton.
Penggunaan pupuk Urea dengan jumlah
21.368.926 ton, pupuk SP.36 dengan jumlah
12.822.148 ton, dan pupuk ZA dengan jumlah
34.211.000 ton, di Kabupaten Dharmasraya
merupakan yang tertinggi di Provinsi Sumatera Barat,
sedangkan pupuk NPK terbesar terdapat di Kabupaten
Agam dengan jumlah 13.445,6 ton dan penggunaan
pupuk organik terbesar terdapat di Kabupaten Padang
Pariaman dengan jumlah 257.168 ton. Untuk lebih
jelasnya penggunaan pupuk per kabupaten/kota dapat
dilihat pada Gambar 3.42 di bawah ini.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-28
Gambar 3.42 Penggunaan Pupuk per Kabupaten/Kota Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel SE-3A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Untuk beberapa jenis tanaman primadona
seperti coklat, karet dan kopi pertumbuhan kurang
dapat diproyeksikan sampai tahun berikutnya.
Berdasarkan data dari Dinas Perkebunan Provinsi
Sumatera Barat pada tahun 2013 luas lahan tanaman
coklat adalah 155.000 Ha meningkat menjadi 165.000
Ha pada tahun 2015. Untuk karet dari 175.000 Ha
meningkat menjadi 177.000 Ha pada tahun 2015, dan
kopi dari 70 Ha meningkat menjadi 75 Ha pada tahun
2015. Proyeksi pertambahan luas tanam komoditi
primadona dapat dilihat pada Gambar 3.43 di bawah
ini.
Gambar 3.43 Proyeksi Pertambahan Luas Tanam Beberapa Komoditi Primadona
Provinsi Sumatera BaratTahun 2014-2015
Sumber : Olahan Tabel SE-3B Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-29
3.4.1.2. Penggunaan Pupuk Untuk Tanaman Padi
dan Palawija menurut Jenis Pupuk
Penggunaan pupuk untuk jenis tanaman padi
dan palawija terdiri dari pupuk jenis urea, SP.36, ZA,
NPK dan pupuk organik. Untuk penggunaan pupuk
berdasarkan jenis tanamannya dapat dilihat
berdasarkan jenis tanaman padi, jagung, kedelai,
kacang tanah, ubi kayu dan ubi jalar. Penggunaan
pupuk untuk tanaman padi dan palawija secara
keseluruhan berjumlah 37.000.679,63 ton,
penggunaan pupuk terbesar adalah untuk jenis
tanaman padi yakni berjumlah 20.119.797,90 ton,
diikuti oleh jenis tanaman jagung dengan jumlah
16.284.501,42 ton. Untuk penggunaan pupuk jenis
urea pada tanaman padi dan palawija secara
keseluruhan di Provinsi Sumatera Barat berjumlah
25.205.889,51 ton, penggunaan pupuk SP.36
berjumlah 3.414.201,77 ton, pupuk ZA berjumlah
1.564.849,41 ton, pupuk NPK berjumlah 4.753.919,35
ton, dan penggunaan pupuk organik berjumlah
2.061.837,59 ton. Sedangkan penggunaan pupuk
berdasarkan jenis tanaman dapat dilihat pada gambar
3.44 di bawah ini.
Gambar 3.44 Penggunaan Pupuk Untuk Tanaman Padi dan Palawija menurut Jenis Pupuk Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel SE-4 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Jika dibandingkan penggunaan pupuk pada
tahun 2013 dan tahun 2014, terjadi peningkatan yang
cukup signifikan pada pupuk jenis urea dan pupuk
NPK. Penambahan jumlah pemakaian pupuk tersebut
bukan disebabkan pertambahan luas areal pertanian
yang signifikan tetapi lebih disebabkan dukungan data
pemakaian pupuk yang lebih lengkap dari
Kabupaten/Kota tahun ini dari sebelumnya.
Penggunaan pupuk urea pada tahun 2013 berjumlah
5.224.246 ton meningkat menjadi 25.205.889,51 ton di
tahun 2014. Untuk pupuk NPK 1.824.717 ton pada
tahun 2013 meningkat menjadi 4.753.919,35 ton di
tahun 2014. Sedangkan jenis pupuk yang mengalami
penurunan adalah jenis pupuk SP.36 dengan jumlah
4.138.769 pada tahun 2013 turun menjadi
3.414.201,77 ton di tahun 2014, untuk pupuk ZA
berjumlah 1.999.353 ton turun menjadi 1.564.849,41
ton pada tahun 2014, dan pupuk organik dengan
jumlah 2.564.674 ton turun menjadi 2.061.837,59 ton
pada tahun 2014. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada Gambar 3.45 di bawah ini.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-30
Gambar 3.45 Perbandingan Pemakaian Berbagai Jenis Pupuk Provinsi Sumatera Barat Tahun 2013 - 2014
Sumber : Olahan Tabel SE-4F Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
3.4.1.3. Luas Perubahan Penggunaan Lahan
Pertanian
Perubahan penggunaan lahan pertanian
mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Pada tahun 2013 perubahan lahan
pertanian adalah sebesar 1.207.191,73 Ha naik
menjadi 1.310.024,53 Ha di tahun 2014. Perubahan
lahan pertanian di Sumatera Barat pada tahun 2014
secara umum menjadi lahan pemukiman, industri,
tanah kering, perkebunan, semak belukar, tanah
kosong, perairan/kolam, dan peruntukan lainnya.
Perubahan lahan pertanian terbesar adalah menjadi
tanah kering yakni seluas 565.880 Ha, diikuti oleh
perkebunan dengan luas 341.565,07 Ha, dan
peruntukan lainnya dengan luas 214.664 Ha.
Gambar 3.46 Luas Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel SE-5 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Jika dilihat dari perubahan penggunaan lahan
pertanian di kabupaten/kota di Provinsi Sumatera
Barat, perubahan terbesar terdapat di Kabupaten
Pesisir Selatan dengan luas 431.931Ha dengan jenis
perubahan paling besar pada tanah kering, hal ini
disebabkan masyarakat yang aktivitasnya beralih ke
sektor lainnya sehingga meninggalkan lahan pertanian
yang ada. Sedangkan perubahan menjadi lahan
perkebunan paling besar terdapat di Kabupaten
Dharmasraya yakni sebesar 156.504 Ha. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.47 di bawah ini.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-31
Gambar 3.47 Luas Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian per Kabupaten/Kota
Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel SE-5A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Jika melihat perubahan lahan 2 tahun
terakhir, pada tahun 2012 perubahan lahan pertanian
masih cukup besar yakni sebesar 4.229.731 Ha, turun
menjadi 1.207.191,73 Ha di tahun 2013 dan
mengalami kenaikan lagi pada tahun 2014 menjadi
1.310.024,53 Ha. Kecenderungan perubahan lahan
pertanian mengalami perbedaan setiap tahunnya.
Pada tahun 2012 perubahan lahan pertanian terbesar
adalah menjadi peruntukan lain, sementara itu pada
tahun 2013 perubahan terbesar adalah menjadi lahan
kering, sedangkan perubahan lahan terbesar juga
terdapat pada lahan kering.
Berdasarkan data luas perubahan lahan
pertanian ini dapat disimpulkan bahwa dalam
melaksanakan program peningkatan di sektor
pertanian perlu dilaksanakan secara berkelanjutan.
Program yang dinilai berhasil dalam menekan
terjadinya perubahan lahan pertanian perlu
dipertahankan agar perubahan lahan pertanian ini
dapat ditekan sehingga peningkatan produksi sektor
pertanian dapat dicapai. Perbandingan luas perubahan
lahan pertanian 2012-2014 dapat dilihat pada Gambar
3.48 di bawah ini.
Gambar 3.48 Perbandingan Luas Perubahan Lahan Pertanian Menjadi Jenis Penggunaan Baru
Provinsi Sumatera Barat Tahun 2012-2014
Sumber : Olahan Tabel SE-5B Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-32
3.4.1.4. Luas Lahan Sawah menurut Frekuensi
Penanaman, Produksi per Hektar
Frekuensi penanaman pada tanaman padi
dalam satu tahun di Provinsi Sumatera Barat terbagi
atas 1 kali, 2 kali, dan 3 kali. Frekuensi penanaman
yang paling banyak digunakan pada lahan sawah
adalah 2 kali penanaman yakni dengan luas
167.936,66 Ha, selanjutnya 3 kali penanaman dengan
luas 36.855 Ha, dan 1 kali penanaman dengan luas
15.711 Ha. Daerah dengan frekuensi 3 kali
penanaman paling besar luasnya terdapat di
Kabupaten Solok yakni sebesar 14.041 Ha, diikuti
dengan Kabupaten Pesisir Selatan dengan luas 6.910
Ha, dan Kabupaten Solok Selatan dengan luas 5.078
Ha. Untuk daerah dengan frekuensi 2 kali penanaman
paling besar terdapat di Kabupaten Padang Pariaman
dengan luas 55.282 Ha, diikuti oleh Kabupaten Agam
dengan luas 21.079 Ha, dan Kabupaten Pasaman
dengan luas 21.040 Ha, sedangkan daerah dengan
frekuensi 1 kali penanaman paling luas terdapat di
Kabupaten Agam dengan luas 2.489 Ha. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.49 di bawah ini.
Gambar 3.49 Luas Lahan Sawah Menurut Frekuensi Penanaman dan Produksi Per Hektar Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel SE-7 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Secara umum luas sawah yang ada di
Provinsi Sumatera Barat terus mengalami penurunan.
Pada tahun 2014 luas sawah yang ada mencapai
220.503 Ha, mengalami penurunan sebesar 8.622 Ha
dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang
mencapai 229.125 Ha. Hal ini dapat terjadi karena
berbagai alasan, misalnya alih fungsi lahan pertanian,
beralihnya mata pencarian petani, bencana alam, dan
lain sebagainya.
Jika dibandingkan dengan data 4 (empat)
tahun terakhir, luas sawah dengan 2 kali frekuensi
penanaman mengalami peningkatan yang cukup
signifikan. Pada tahun 2014 tercatat luas lahan sawah
dengan frekuensi 2 kali penanaman luasnya mencapai
167.936,66 Ha, sedangkan tahun 2013, 2012, dan
2011 tercatat luasnya berturut-turut 140.772 Ha,
151.670 Ha, dan 143.510 Ha. Perbandingan luas
lahan sawah menurut frekuensi penanaman 2011-
2014 dapat dilihat pada Gambar 3.50 berikut.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-33
Gambar 3.50 Perbandingan Luas Lahan Sawah Menurut Frekuensi Penanaman Provinsi Sumatera Barat Tahun 2011 – 2014
Sumber : Olahan Tabel SE-7B Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Pada tahun 2014 luas sawah cetak baru di
Provinsi Sumatera Barat mencapai 304,6 Ha, jumlah
ini mengalami penurunan jika dibandingkan dengan
tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2013 luas
sawah cetak baru mencapai 500 Ha, sedangkan tahun
2012 mencapai 1.001,1 Ha. Luas sawah cetak baru
tahun 2014 ini hanya terdapat di Kabupaten Pesisir
Selatan dengan luas 186,5 Ha dan Kabupaten
Dharmasraya dengan luas 118,1 Ha. Untuk tetap
menjaga agar target peningkatan hasil produksi padi
meningkat, pemerintah perlu menambah kembali luas
sawah cetak baru karena mengingat sebagian lahan
pertanian yang ada mengalami alih fungsi menjadi
peruntukan lainnya. Hal ini untuk tetap menjaga agar
produksi pertanian khususnya beras di Sumatera
Barat tetap terjaga dan bahkan ditingkatkan dari
sebelumnya.
Gambar 3.51 Luas Cetak Sawah Provinsi Sumatera Barat Tahun 2010 – 2014
Sumber : Olahan Tabel SE-7C Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-34
3.4.1.5. Jumlah Hewan Ternak
Hewan ternak yang ada di Sumatera Barat
dapat dibagi atas 7 (tujuh) jenis yaitu sapi perah, sapi
potong, kerbau, kuda, kambing, domba, dan babi.
Total ternak dari ketujuh jenis tersebut pada tahun
2014 berjumlah 789.238 ekor. Ternak terbesar
jumlahnya dari ketujuh jenis tersebut adalah sapi
potong yakni dengan jumlah 378.789 ekor, diikuti oleh
ternak kambing dengan jumlah 256.704 ekor dan
ternak kerbau dengan jumlah 114.013 ekor. Untuk
jenis sapi potong jumlah terbesar terdapat di
Kabupaten Pesisir Selatan yakni berjumlah 79.266
ekor, diikuti oleh Kabupaten Padang Pariaman dengan
jumlah 39.903 ekor dan Kabupaten Solok dengan
jumlah 37.332 ekor. Untuk jenis ternak kambing jumlah
terbesar terdapat di Kabupaten Pesisir Selatan dengan
jumlah 44.355 ekor, diikuti oleh Kabupaten Padang
Pariaman dengan jumlah 32.750 ekor, dan Kabupaten
Tanah Datar dengan jumlah 30.824 ekor. Sedangkan
untuk ternak kerbau paling tinggi terdapat di
Kabupaten Agam dengan jumlah 19.193 ekor, diikuti
oleh Kabupaten Padang Pariaman dengan jumlah
15.950 ekor, dan Kabupaten Sijunjung dengan jumlah
15.828 ekor. Jumlah hewan ternak berdasarkan jenis
dapat dilihat pada Gambar 3.52 di bawah ini.
Gambar 3.52 Jumlah Hewan Ternak Menurut Jenis Ternak Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel SE-8 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya,
total jumlah ternak secara umum mengalami
penurunan. Pada tahun 2014 total jumlah ternak
adalah sebesar 789.238 ekor, turun 28.894 ekor
dibandingkan dengan jumlah total ternak pada tahun
2013. Jenis ternak yang mengalami peningkatan
jumlah dibandingkan dengan tahun sebelumnya hanya
jenis sapi potong. Pada tahun 2014 jumlah sapi potong
berjumlah 378.789 ekor mengalami peningkatan dari
tahun 2013 yang berjumlah 373.603 ekor atau
mengalami kenaikan jumlah sebesar 5.186 ekor.
Sedangkan jenis ternak yang mengalami penurunan
jumlah paling besar adalah ternak jenis babi. Pada
tahun 2013 ternak babi berjumlah 49.822 ekor turun
menjadi 31.621 ekor pada tahun 2014. Untuk ternak
jenis kambing, pada tahun 2013 berjumlah 267.655
ekor turun menjadi 256.704 ekor pada tahun 2014.
Untuk ternak jenis kerbau juga mengalami penurunan
jumlah, pada tahun 2013 jumlah kerbau adalah
sebesar 117.905 ekor turun menjadi 114.013 ekor
pada tahun 2014. Untuk lebih jelasnya perbandingan
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-35
jumlah ternak 3 (tiga) tahun terakhir dapat dilihat pada Gambar 3.53 di bawah ini.
Gambar 3.53 Perbandingan Jumlah Hewan Ternak Menurut Jenis Ternak Provinsi Sumatera Barat Tahun 2012 – 2014
Sumber : Olahan Tabel SE-8A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Gambar 3.54 Jumlah Kotoran Ternak Yang Dihasilkan Menurut Jenis Ternak Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel SE-8B Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Dari jumlah kotoran ternak yang ada, kita
dapat memperkirakan jumlah emisi gas methan yang
dihasilkan. Gas methan merupakan salah satu gas
rumah kaca yang memberikan kontribusi terhadap
terjadinya pemanasan global. Total emisi gas methan
yang dihasilkan dari kotoran ternak pada tahun 2014
berjumlah 175.867.809 ton/tahun. Jumlah ini terbesar
berasal dari sapi potong yang berjumlah 136.527.985
ton/tahun, diikuti oleh kerbau dengan jumlah
33.291.796 ton/tahun, dan kambing dengan jumlah
5.095.617 ton/tahun. Jika dilihat berdasarkan daerah
dengan jumlah gas methan tertinggi, Kabupaten
Pesisir Selatan merupakan daerah yang berada pada
urutan teratas dengan jumlah gas methan sebesar
32.316.494 ton/tahun, diikuti oleh Kabupaten Padang
Pariaman dengan jumlah 19.235.698 ton/tahun, dan
Kabupaten Agam dengan jumlah 18.348.979
ton/tahun. Jumlah gas methan yang dihasilkan
berdasarkan jenis dan wilayah dapat dilihat pada
Gambar 3.55 di bawah ini.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-36
Gambar 3.55 Emisi Gas Metan (CH4) Berdasarkan Jenis Ternak Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel SE-8C Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Jika dilihat perbandingan jumlah hewan
ternak dan emisi gas methan yang dihasilkan, maka
dapat terlihat bahwa jumlah ternak yang ada
berbanding lurus dengan besarnya emisi gas methan
yang dihasilkan. Pada Gambar 3.56 Kabupaten Pesisir
Selatan, Kabupaten Padang Pariaman merupakan
daerah urutan teratas yang memiliki jumlah ternak dan
emisi gas methan tertinggi dibandingkan dengan
daerah lainnya, sedangkan daerah dengan ternak dan
emisi gas methan terendah terdapat di Kota Bukittinggi
dan Kota Padang Panjang.
Gambar 3.56 Perbandingan Jumlah Hewan Ternak dengan Emisi Gas Methan (CH4) dari Kegiatan Peternakan Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel SE-8D Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
3.4.1.6. Jumlah Hewan Unggas dari Jenis Unggas
Berdasarkan data Dinas Peternakan Provinsi
Sumatera Barat total jumlah hewan unggas yang
terdapat di Provinsi Sumatera Barat adalah
32.187.428 ekor. Jumlah unggas ini terbagi atas 4
jenis yakni ayam kampung, ayam petelur, ayam
pedaging, dan itik. Jumlah unggas tertinggi terdapat
pada jenis ayam pedaging dengan jumlah 17.761.996
ekor, diikuti dengan ayam petelur dengan jumlah
8.348.676 ekor, dan ayam kampung dengan jumlah
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-37
4.942.749 ekor, sedangkan itik dengan jumlah
1.134.007 ekor. Jumlah ayam pedaging tertinggi
terdapat di Kabupaten Lima Puluh Kota dengan jumlah
5.543.388 ekor, diikuti oleh Kabupaten Padang
Pariaman dengan jumlah 4.335.029 ekor dan Kota
Padang dengan jumlah 2.219.612 ekor. Untuk ayam
petelur jumlah tertinggi terdapat di Kabupaten Lima
Puluh Kota dengan jumlah 4.853.297 ekor, diikuti oleh
Kabupaten Tanah Datar dengan jumlah 906.515 ekor,
dan Kota Payakumbuh dengan jumlah 700.625 ekor.
Sedangkan untuk jenis ayam kampung jumlah tertinggi
terdapat di Kabupaten Padang Pariaman dengan
jumlah 1.148.140 ekor, diikuti Kabupaten Pesisir
Selatan dengan jumlah 778.167 ekor, dan Kabupaten
Tanah Datar dengan jumlah 525.930 ekor.
Jika dilihat dari jumlah unggas berdasarkan
kabupaten/kota, maka jumlah unggas tertinggi
terdapat di Kabupaten Lima Puluh Kota dengan jumlah
11.061.363 ekor, diikuti oleh Kabupaten Kabupaten
Padang Pariaman dengan jumlah 6.235.197 ekor, dan
Kota Padang dengan jumlah 3.163.908 ekor. Untuk
lebih jelasnya jumlah unggas menurut jenis dan
daerah dapat dilihat pada Gambar 3.57 di bawah ini.
Gambar 3.57 Jumlah Hewan Unggas menurut Jenis Unggas Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel SE-9 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Jika dilihat perbandingan jumlah hewan
unggas dalam tiga tahun terakhir, antara tahun 2013
dan 2014 tidak terjadi perubahan jumlah unggas yang
cukup signifikan, jumlah unggas tahun 2014 sebesar
32.187.428 ekor mengalami penurunan sekitar 2,19
persen atau turun sebesar 721.982 ekor dibandingkan
dengan tahun 2013. Sedangkan peningkatan jumlah
yang cukup signifikan justru terjadi antara tahun 2012
ke tahun 2013, pada tahun 2013 jumlah unggas
adalah 32.909.410 ekor mengalami kenaikan dari
tahun sebelumnya yang berjumlah 13.212.961 ekor
atau naik sebesar 149 persen atau naik sebesar
19.696.449 ekor dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Jumlah hewan unggas dalam 3 (tiga)
tahun terakhir dapat dilihat pada Gambar 3.58 di
bawah ini.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-38
Gambar 3.58 Perbandingan Jumlah Hewan Unggas menurut Jenis Unggas Provinsi Sumatera Barat Tahun 2012-2014
Sumber : Olahan Tabel SE-9B Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Berdasarkan jumlah kotoran ternak yang
dihasilkan secara keseluruhan berjumlah 31.963.916
ekor/ton/tahun. Jumlah terbesar adalah kotoran ternak
yang berasal dari ayam pedaging yakni berjumlah
17.712.513 ekor/ton/tahun, diikuti oleh ayam petelur
dengan jumlah 8.164.536 ekor/ton/tahun, ayam
kampung dengan jumlah 4.919.247 ekor/ton/tahun dan
itik dengan jumlah 1.167.620 ekor/ton/tahun. Dilihat
berdasarkan daerah di Sumatera Barat dengan jumlah
kotoran ternak tertinggi terdapat di Kabupaten Lima
Puluh Kota yakni berjumlah 11.061.363
ekor/ton/tahun, diikuti oleh Kabupaten Padang
Pariaman dengan jumlah 6.235.197 ekor/ton/tahun,
dan Kota Padang dengan jumlah 3.163.908
ekor/ton/tahun. Pada Gambar 3.59 di bawah ini dapat
dilihat jumlah kotoran ternak segar yang dihasilkan
tahun 2014.
Gambar 3.59 Jumlah Kotoran Ternak segar Yang Dihasilkan ternak Unggas Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel SE-9C Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Jika dilihat perbandingan jumlah ternak dan
jumlah emisi gas methan yang dihasilkan dapat
disimpulkan bahwa jumlah ternak yang ada
berbanding lurus dengan jumlah emisi gas methan
yang dihasilkan. Pada Gambar 3.60 dapat dilihat
bahwa Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kabupaten
Padang Pariaman yang memiliki jumlah ternak
tertinggi juga memiliki emisi gas methan tertinggi di
Sumatera Barat, sedangkan Kota Bukittinggi dan
Padang Panjang yang memiliki jumlah ternak paling
sedikit juga memiliki kotoran ternak terendah di
Sumatera Barat. Secara keseluruhan jumlah emisi gas
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-39
methan yang dihasilkan tahun 2014 di Sumatera Barat
adalah sebesar 1.162.863.819,19 ton/tahun dan
penyumbang emisi terbesar adalah Kabupaten Lima
Puluh Kota dengan jumlah emisi sebesar
450.471.666,55 ton/tahun dan Kabupaten Padang
Pariaman dengan jumlah emisi sebesar
223.246.651,45 ton/tahun.
Gambar 3.60 Perbandingan Jumlah Hewan Unggas dengan Emisi Gas Methan (CH4)
dari Kegiatan Peternakan Unggas Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel SE-9D Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Jumlah total emisi gas methan yang
dihasilkan dari hewan ternak dan unggas di Provinsi
Sumatera Barat tahun 2014 adalah sebesar
1.333.384.902,18 ton/tahun dan jumlah emisi terbesar
berasal dari hewan unggas dengan jumlah
1.162.863.819,19 ton/tahun sedangkan jumlah emisi
yang berasal dari ternak berjumlah 170.521.082,99
ton/tahun. Untuk daerah dengan emisi gas methan
tertinggi terdapat di Kabupaten Lima Puluh Kota
dengan jumlah 466.583.011,10 ton/tahun dan yang
paling rendah terdapat di Kota Padang Panjang
dengan jumlah emisi 555.791,54 ton/tahun. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.61 di
bawah ini.
Gambar 3.61 Jumlah Total Emisi Gas Methan (CH4) dari Hewan Ternak dan Hewan Unggas Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel SE-9E Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-40
3.5. INDUSTRI
Pembangunan di sektor Industri merupakan
cara yang tepat dalam menanggulangi masalah
pengangguran dan kemiskinan. Proses kegiatan
industri merupakan penggerak ekonomi di suatu
daerah bahkan masyarakat disekitar industri
mendapatkan nilai tambah dan keuntungan dari
industri. Disisi lain penurunan kualitas lingkungan akan
terjadi karena keberadaan industri. Industri bisa
menyebabkan terjadinya pencemaran dan kerusakan
lingkungan sebagai akibat dari kegiatan industri yang
ada. Pencemaran dan kerusakan lingkungan yang
terjadi dapat dihindari jika limbah yang dihasilkan
dikelola dengan baik dan menerapkan sistem yang
ramah lingkungan.
3.5.1. Sumber Tekanan
Limbah yang dihasilkan umumnya berupa
bahan organik, sintetik, logam berat, bahan beracun
berbahaya yang sulit untuk diurai oleh proses biologi
(nondegradable) selain itu limbah industri bersifat
menetap dan mudah terakumulasi (biomagnifikasi)
bahkan logam berat sebagai sebuah unsur memiliki
sifat menetap di alam tidak dapat dihilangkan. Limbah
yang dihasilkan industri berwujud padat, cair dan gas
akan menyebabkan pencemaran air, udara, tanah dan
limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) jika tidak
dikelola dengan baik. Dengan semakin meningkatnya
industri–industri di Provinsi Sumatera Barat, sumber
tekanan terhadap lingkungan paling utama yang
berasal dari sektor industri adalah :
a. Masih terdapatnya industri kecil yang belum
mengelola limbah cair dan emisi gas buang.
b. Pencemaran limbah cair, udara dan pada
beberapa industri skala besar dan menengah.
c. Masih kurangnya pihak ketiga yang berizin yang
mengelola limbah Bahan Berbahaya dan beracun
yang dihasilkan oleh industri di Sumatera Barat.
3.5.1.1. Jumlah Jenis Industri/Kegiatan Usaha
Industri merupakan salah satu penyumbang
utama pencemaran lingkungan, begitu juga industri-
industri yang terdapat di Provinsi Sumatera Barat.
Setiap kegiatan industri wajib untuk selalu melakukan
pengendalian pencemaran lingkungan. Jika
pengelolaan ini tidak dilakukan dengan baik dapat
menimbulkan beban pencemaran bagi kualitas sungai
di sekitarnya. Beban pencemaran menunjukkan jumlah
suatu unsur pencemar yang terkandung dalam air atau
air limbah yang dibuang ke lingkungan.
Seperti diketahui, sungai seringkali
dimanfaatkan sebagai tempat pembuangan akhir dari
limbah hasil kegiatan manusia dimana keadaan ini
dapat menambah beban pencemaran sungai. Setiap
jenis industri yang menghasilkan limbah cair
diwajibkan untuk mengelola limbah cairnya sehingga
terjadi penurunan beban pencemaran dan limbah yang
dibuang ke badan air bisa memenuhi baku mutu yang
telah ditetapkan.
Beban pencemaran industri sawit pada tahun
2014 jika dibandingkan dengan beban pencemaran
maksimum, masih berada di bawah baku mutu yang
ditetapkan, namun jika dibandingkan dengan tahun
2013 terjadi kenaikan. Gambaran ini dapat dilihat dari
Gambar 3.62 berikut.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-41
Gambar 3.62 Perbandingan Antar Waktu dan Baku Mutu Beban Pencemaran Industri Sawit
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
BOD COD TSS Minyak/lemak
baku mutu
2013
2014
Sumber : Olahan Tabel SP-1A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Pada Industri karet terjadi perbaikan
pengelolaaan kualitas alir limbah hal ini terlihat dari
penurunan beban pencemaran air jika dibandingkan
dengan tahun 2013. Jika dibandingkan dengan baku
mutu maka beban pencemaran pada tahun 2014 juga
berada dibawah baku mutu, seperti terlihat pada
Gambar 3.63 berikut.
Gambar 3.63 Perbandingan Antar Waktu dan Baku Mutu Beban Pencemaran Industri Karet
0
0,05
0,1
BOD CODTSS
Amoniak
bakumutu
2013
2014
Sumber : Olahan Tabel SP-1B Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Pada industri minuman ringan di Provinsi
Sumatera Barat terdapat PT. Coca Cola Botling
Indonesia. Perusahaan ini memiliki proses pembuatan
sirup dan pencucian botol. Air limbah yang dihasilkan
jauh berada dibawah baku mutu dengan baku mutu
parameter COD=600, TSS=540 minyak & lemak=72.
Perbandingan lebih detail dapat dilihat pada Tabel 3.3
berikut.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-42
Tabel 3.3 Perbandingan Antar Waktu dan Baku Mutu Beban Pencemaran Industri Minuman Ringan
No Parameter Baku mutu Beban Pencemaran Air Limbah Industri Minuman
Ringan (g/liter)
Beban Pencemaran limbah cair Industri Minuman Ringan (g/liter)
2013 2014
1 BOD 600 0,000017194 0,004012703
2 TSS 540 0,000020438 0,051591897
3 Minyak/lemak 72 0,000004217 0,002292973
Sumber : Olahan Tabel SP-1C Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Air sebagai bahan baku maupun bahan
pendukung dalam proses produksi di industri
menyebabkan pelaku usaha mendirikan industri pada
daerah yang mempunyai kecukupan air. Daerah Aliran
Sungai (DAS) menjadi pilihan yang paling tepat untuk
dijadikan lokasi pendirian industri. Jika dilihat dari
Gambar 3.64 berikut terlihat bahwa 94% industri yang
ada berada di wilayah DAS dan hanya 6% yang tidak
berada di wilayah DAS.
Gambar 3.64 Sebaran Lokasi Industri di Wilayah DAS
Sumber : Olahan Tabel SP-1D Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
3.5.1.2. Sebaran Industri Peserta PROPER
Pengawasan Provinsi Sumatera Barat
Dilihat dari jenis industri yang terdapat di
Provinsi Sumatera Barat, Agro Industri merupakan
jenis industri terbanyak yang ada di Provinsi Sumatera
Barat dengan jumlah industri sawit 12 industri, karet 4
perkebunan dan pabrik teh 1 serta industri minuman 1.
Sedangkan Manufaktur Prasarana Jasa (MPJ) dengan
peringkat kedua terdiri rumah sakit 2, hotel 1 dan
industri farmasi 1. Sedangkan Pertambangan Energi
Migas (PEM) dengan jumlah pertambangan 3 industri
serta 1 Pembangkit Listrik Tenaga Gas.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-43
Gambar 3.65 Jenis dan Jumlah Industri Peserta PROPER Pengawasan Di Provinsi Sumatera Barat.
0
5
10
15
20
Agro MPJ PEM
Sawit 12
RS, 2 Tambang, 3
Karet, 4
Farmasi, 1 PLTG, 1
Teh, 1
Hotel, 1
Minuman, 1
Sumber : Olahan Tabel SP-1D Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Dilihat dari sebaran industri peserta PROPER
tiap kabupaten/kota terlihat bahwa industri ini tersebar
di beberapa kabupaten/kota diantaranya Kabupaten
Pasaman Barat 5 perusahaan, Kabupaten Solok
Selatan 2 perusahaan, Kabupaten Dharmasraya 3
perusahaan, Kabupaten Padang Pariaman 1
perusahaan dan Kabupaten Agam 3 perusahaan.
Selanjutnya industri karet menjadi perusahaan
terbanyak kedua yang terdapat di Kota Padang dan
Kabupaten Dharmasraya. Industri semen hanya
terdapat di Kota Padang, industri teh di Kabupaten
Solok dan sisanya terdapat industri minuman, industri
farmasi, dan industri pakan ternak di Kabupaten
Padang Pariaman. Sebaran industri tersebut dapat
dilihat pada Gambar 3.66.
Gambar 3.66 Sebaran Industri Peserta PROPER Pengawasan Provinsi Sumatera Barat
Kabupaten Pasaman Barat; 5
Kota Padang; 5
Kab. Padang Pariaman; 4Kab. Solok Selatan; 2
Kab. Agam; 3
Kab. Dharmasraya; 3
Kota Bukittinggi; 2
Kab. Sijunjung; 1Kota Sawahlunto; 1Kab. Solok; 1 ; 0
Sumber : Olahan Tabel SP-1D, Buku Data SLHD Sumatera Barat, Tahun 2014
3.6. PERTAMBANGAN
Pertambangan merupakan salah satu sumber
daya alam yang potensinya cukup besar di Indonesia.
Kegiatan pertambangan di Indonesia sudah
berlangsung sejak jaman penjajahan Belanda seperti
PT. Semen Padang yang merupakan pabrik semen
pertama di Indonesia. Contoh lainnya adalah tambang
batu bara Ombilin Sawahlunto yang merupakan lokasi
pertambangan batu bara pertama yang ditemukan
oleh Belanda. Batu bara dari Ombilin ini digunakan
oleh Pabrik Semen Padang untuk proses produksi
pertamanya sampai sekarang.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-44
Menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
yang dimaksud dengan pertambangan adalah
sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka
penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau
batubara yang meliputi konstruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan
penjualan, serta kegiatan pascatambang. Kegiatan
pertambangan yang ada di Indonesia yaitu
pertambangan batu bara dan pertambangan mineral
yang terdiri dari mineral logam, mineral bukan logam
dan batuan. Pertambangan mineral logam misalnya
emas, perak, tembaga, timah, nikel, timbal, dan lain-
lain. Sedangkan mineral bukan logam diantranya pasir
kuarsa, belerang, mika, zeolit, kaolin, dolomit, dan
sebagainya. Sementara mineral batuan diantaranya
terdiri dari obsidian, marmer, tanah urug, batu kali,
pasir, kerikil, batu gamping dan lain-lain.
3.6.1 Sumber Tekanan
3.6.1.1 Luas Areal dan Produksi Pertambangan
Menurut Jenis Bahan Galian
Provinsi Sumatera Barat memiliki potensi
bahan tambang golongan A, B dan C. Bahan tambang
golongan A yang terdapat di Provinsi Sumatera Barat
berupa batu bara yang sebagian besar terdapat di
Kota Sawahlunto, Kabupaten Sijunjung, Kabupaten
Dharmasraya dan Kabupaten Pesisir Selatan.
Sedangkan bahan tambang golongan B berupa logam
dasar, emas, bijih besi, tembaga, mangan, batu silika
dan timah hitam yang menyebar di wilayah Kabupaten
Sijunjung, Dharmasraya, Solok, Solok Selatan, Lima
Puluh Kota, Pasaman, dan Tanah Datar. Bahan
tambang golongan C menyebar hampir di seluruh
kabupaten dan kota yang sebagian besar terdiri dari
pasir, batu, kerikil, batu kapur, clay dan tanah urug.
Jenis bahan galian yang dominan di Kota
Padang adalah batu kapur yang sebagian besar di
eksplorasi dan di produksi oleh PT. Semen Padang.
Luas areal tambang sekitar 206,96 Ha dengan jumlah
produksi hampir delapan juta ton per tahun. Selain
Kota Padang, Kabupaten Agam juga menghasilkan
batu kapur dengan jumlah produksi sebesar 473.040
ton per tahun. Kabupaten Padang Pariaman lebih
didominasi bahan galian C dengan jumlah produksi
mencapai satu juta ton per tahun. Tambang batu bara
di Kabupaten Pesisir Selatan dengan luas areal
15.878,53 Ha, merupakan salah satu daerah penghasil
batu bara terbesar di Provinsi Sumatera Barat. Bijih
besi dihasilkan di Kabupaten Solok dengan produksi
34.000 ton per tahun. Kabupaten Pasaman
merupakan salah satu penghasil emas di Provinsi
Sumatera Barat dengan luas areal mencapai
31.308,61 Ha. Perbandingan luas areal dan jumlah
produksi bahan galian di Provinsi Sumatera Barat
dapat dilihat pada Gambar 3.67.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-45
Gambar 3.67 Luas Areal dan Produksi Pertambangan Menurut Jenis Bahan Galian
Sumber : Olahan Tabel SE-6 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
3.6.1.2 Potensi Energi Panas Bumi
Energi panas bumi atau geothermal energy
adalah energi thermal (panas) yang dihasilkan dan
disimpan di dalam bumi. Proses terbentuknya energi
panas bumi (geothermal) dipicu oleh aktivitas tektonik
di dalam perut bumi. Inti bumi memiliki magma yang
temperaturnya mencapai 5.400 derajat celcius.
Magma ini membuat lapisan bumi di sebelah atasnya
mengalami peningkatan temperatur. Ketika lapisan ini
bersentuhan dengan air maka akan menjadi uap
panas bertekanan tinggi. Inilah energi potensial yang
kemudian dikenal sebagai energi panas bumi atau
geothermal energy.
Pemanfaatan energi panas bumi diyakini
menjadi salah satu sumber energi alternatif. Kelebihan
energi yang dihasilkannya adalah:
1. Panas bumi merupakan salah satu sumber energi
terbersih.
2. Merupakan jenis energi terbarukan yang relatif
tidak akan habis.
3. Ramah lingkungan karena tidak menyebabkan
pencemaran (baik pencemaran udara,
pencemaran suara, serta tidak menghasilkan emisi
karbon dan tidak menghasilkan gas, cairan,
maupun meterial beracun lainnya)
4. Dibandingkan dengan energi alternatif lainnya
seperti tenaga surya dan angin, sumber energi ini
bersifat konstan sepanjang musim.
Selain memiliki potensi bahan tambang,
Provinsi Sumatera Barat juga memiliki potensi energi
geothermal (panas bumi). Energi geothermal di
Provinsi Sumatera Barat sebagian besar berada di
Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Solok dan
Kabupaten Pasaman. Kabupaten Solok Selatan
memiliki cadangan energi geothermal sebesar 606
MWe atau sekitar 80% dari total energi geothermal di
Provinsi Sumatera Barat. Sedangkan Kabupaten Solok
memiliki potensi energi geothermal sebesar 389 MWe
atau sekitar 44% dari total energi geothermal di
Provinsi Sumatera Barat. Perbandingan potensi energi
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-46
geothermal di Provinsi Sumatera Barat dapat dilihat pada Gambar 3.68.
Gambar 3.68 Persentase Potensi Lapangan Energi Panas Bumi Sumatera Barat
Sumber: Olahan Tabel SE-6C Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
3.6.1.3 Inventarisasi Pembangkit Listrik Tenaga
Mikro Hidro (PLTMH) / Picohidro
Mikrohidro adalah pembangkit listrik tenaga
air skala kecil dengan batasan kapasitas antara 5 kW-
1 MW per Unit. Pembangkit tenaga listrik mikrohidro
pada prinsipnya memanfaatkan beda ketinggian dan
jumlah debit air per detik yang ada pada aliran air
irigasi, sungai atau air terjun. Aliran air ini akan
memutar poros turbin sehingga menghasilkan energi
mekanik. Energi ini selanjutnya menggerakkan
generator dan menghasilkan energi listrik.
Provinsi Sumatera Barat telah memanfaatkan
energi mikro hidro sebagai sumber energi listrik.
Daerah terbanyak yang memanfaatkan energi ini
adalah Kabupaten Solok Selatan dengan daya 406 kW
dan jumlah pelanggan sebesar 29% dari total
pelanggan seluruh Sumatera Barat. Selanjutnya
adalah Kabupaten Solok dengan daya 357 kW dan
jumlah pelanggan sekitar 25%. Perbandingan jumlah
pelanggan dan daya PLTMH di Provinsi Sumatera
Barat dapat dilihat pada Tabel 3.4.
Tabel 3.4 Jumlah Pelanggan dan Daya PLTMH di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
No Lokasi Daya (kW) Jumlah Pelanggan (KK) Persentase Pelanggan (%)
1 Kab. Solok Selatan 406 1930 29
2 Kab. Solok 357 1630 25
3 Kab. Pesisir Selatan 276 1347 20
4 Kab. Pasaman Barat 190 760 14
5 Kab. Pasaman 144 890 12
Sumber : Olahan Tabel SE-6D Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
3.6.1.4 Potensi Energi Hidro
Potensi energi hidro di Provinsi Sumatera
Barat cukup besar karena dilalui oleh beberapa sungai
besar. Empat lokasi dengan potensi energi hidro
terbesar di Provinsi Sumatera Barat berada di DAS
Batanghari, DAS Batang Gumanti, DAS Batang Sikiah
dan DAS Air Haji. Potensi terbesar bersumber dari
DAS Batanghari dengan luas mencapai 14.393,1 Ha,
kapasitas 165,2 MW dan debit 1.148 m3/detik. DAS
Batang Gumanti menempati urutan kedua terbesar
energi hidro dengan luas sebesar 1.530,70 Ha,
kapasitas 135 MW dan debit 129 m3/detik. Sedangkan
DAS Batang Sikiah memiliki potensi luas 438,8 Ha,
kapasitas 20,4 MW dan debit 39 m3/detik. Potensi
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-47
energi hidro dari DAS Air Haji dengan luas sebesar
383 Ha, kapasitas 10 MW dan debit 27 m3/detik.
Perbandingan potensi energi hidro di Provinsi
Sumatera Barat dapat dilihat pada Gambar 3.69.
Gambar 3.69 Potensi Energi Hidro di Provinsi Sumatera Barat
Sumber: Olahan Tabel SE-6E Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
3.6.2 Bentuk Tekanan Dampak Terhadap
Lingkungan
Setiap kegiatan penambangan pasti
menimbulkan dampak positif dan negatif. Dampak
positifnya adalah memberikan keuntungan besar bagi
pemilik perusahaan, meningkatnya devisa negara dan
pendapatan asli daerah serta menyediakan lapangan
kerja. Sedangkan dampak negatif dari kegiatan
penambangan adalah rusaknya lingkungan sekitar
pertambangan. Kerusakan lingkungan akibat
pertambangan disebabkan karena kegiatan
pertambangan dilakukan tanpa memperhatikan
kaidah-kaidah lingkungan dengan benar. Akibatnya
terjadi kerusakan tanah, air, udara dan
keanekaragaman hayati disekitar lokasi
pertambangan. Oleh sebab itu, untuk menghindari
berbagai dampak negatif yang mungkin ditimbulkan,
perlu dilakukan pengelolaan pertambangan yang
memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan. Manajemen
pengelolaan lingkungan yang efektif dan efisien dapat
menjadi indikator keberlanjutan kegiatan
pertambangan.
Selain itu, harus diketahui pula bahwa
pengelolaan sumber daya alam hasil penambangan
adalah untuk kemakmuran rakyat sesuai dengan
amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Pasal 33. Salah satu caranya
adalah dengan pengembangan wilayah atau
community development. Perusahaan pertambangan
wajib ikut memengembangkan wilayah sekitar lokasi
tambang termasuk yang berkaitan dengan
pengembangan sumber daya manusia.
3.7. ENERGI
Indonesia merupakan pemain utama dalam
perekonomian energi dunia, antara lain berperan
sebagai salah satu negara eksportir terbesar di dunia
untuk batu bara dan LNG. Beberapa tahun belakangan
ini, kebutuhan energi meningkat 7-8% per tahun dan
bahan bakar berbasis minyak masih menjadi sumber
energi utama sampai tahun 2014.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-48
Bahan bakar adalah suatu materi apapun
yang bisa diubah menjadi energi. Bahan bakar
mengandung energi panas yang dapat dilepaskan dan
dimanipulasi. Kebanyakan bahan bakar digunakan
manusia melalui proses pembakaran (reaksi redoks)
dimana bahan bakar tersebut akan melepaskan panas
setelah direaksikan dengan oksigen di udara. Proses
lain untuk melepaskan energi dari bahan bakar adalah
melalui reaksi eksotermal dan reaksi nuklir.
Hidrokarbon termasuk di dalamnya bensin dan solar
sejauh ini merupakan jenis bahan bakar yang paling
sering digunakan manusia. Bahan bakar lainnya yang
bisa dipakai adalah logam radioaktif.
Analisis sumber dan bentuk tekanan
dilakukan dengan dengan pembahasan terhadap
jumlah kendaraan, pemakaian bahan bakar bensin
dan solar pada kendaraan, pemakaian bahan bakar
minyak pada sektor industri dan pemakaian bahan
bakar keperluan rumah tangga.
3.7.1. Sumber Tekanan
3.7.1.1. Jumlah Kendaraan menurut Jenis
Kendaraan dan Bahan Bakar yang
Digunakan
Perkembangan jumlah kendaraan di Provinsi
Sumatera Barat Tahun 2013 dan 2014 dilihat dari
jumlah uji berkala di Dinas Perhubungan Provinsi
Sumatera Barat, jumlah kendaraan umum dalam
provinsi dan antar provinsi serta perkembangan jumlah
kendaraan mobil penumpang, mobil barang dan
kendaraan roda dua. Dari data jumlah kendaraan
yang uji berkala di Dinas Perhubungan Provinsi
Sumatera Barat tahun 2013 dan 2014 pada Tabel SP-
2E diperoleh jumlah kendaraan bermotor roda 4 dan
6 pada tahun 2013 adalah 7.375 unit, sedangkan pada
tahun 2014 adalah 6.209 unit, mengalami penurunan
1.166 unit atau 15,81 %. Selain itu jumlah kendaraan
angkutan umum, baik dalam provinsi (AKDP) maupun
antar provinsi (AKAP) selama tahun 2012 sampai
tahun 2014 memperlihatkan jumlah yang relatif stabil,
bahkan cendrung menurun 10 unit setiap tahunnya.
Begitu juga dengan jumlah kendaraan berdasarkan
jenis, mengalami penurunan sejak tahun 2012
mengalami penurunan (66,74%) untuk kendaraan
mobil penumpang, mobil barang 28,53 % mobil barang
dan sepeda motor 21,89 % per tahun sebagaimana
terlihat pada Gambar 3.70 berikut ini.
Gambar 3.70 Jumlah Kendaraan Roda 4 dan roda 6 Tahun 2013 dan 2014
Sumber : Olahan Tabel SP -2E Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-49
Gambar 3.71 Jumlah Angkutan AKDP dan AKAP Tahun 2012-2014
Sumber : Olahan Tabel SP-2G Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Gambar 3.72 Perkembangan Jumlah Kendaraan Berdasarkan Jenis 2012-2014
Sumber: Olahan Tabel SP-2H Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
3.7.1.2. Konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM)
Untuk Sektor Industri menurut Jenis
Bahan Bakar
Berdasarkan Tabel SP-3 konsumsi bahan
bakar minyak yang dipakai pada sektor indusri di
Provinsi Sumatera Barat didominan oleh solar
(7.003.083 liter), minyak tanah (1.388.370 liter),
diesel (202.79 liter). Jenis BBM lainnya yang
dimanfaatkan juga adalah LPG (246.500 kg), Batubara
(60 ton) dan Biomassa (258.160 ton), sebagaimana
yang terlihat pada Gambar 3.73.
Gambar 3.73 Konsumsi 3 jenis BBM Terbesar Pada Sektor Industri
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-50
Sumber: Olahan Tabel SP-3 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
3.7.1.3. Konsumsi Bahan Bakar Untuk Keperluan
Rumah Tangga
Pada Tabel SP-4 terdapat 5 jenis bahan bakar yang
dimanfaatkan rumah tangga di Provinsi Sumatera
Barat, yaitu LPG, Minyak Tanah, Briket, dan Kayu
Bakar. Pemakaian LPG paling banyak yang
dikonsumsi rumah tangga adalah Kota Payakumbuh
dan Kabupaten Agam yaitu 14.279.683 (18.45 %),
dari total konsumsi LPG di 8 Kabupaten/Kota di
Provinsi Sumatera Barat, yaitu 29.438.110. Bahan
bakar minyak tanah masih digunakan sebagai bahan
bakar domestik dan pemakaian terbanyak ada di Kota
Payakumbuh dan Kabupaten Agam, yaitu 13.682.338
liter atau 72,72% dari total konsumsi, diikuti oleh
Kabupaten Pesisir Selatan 9.735.397 liter dan
Kabupaten Pasaman 400.000 liter. Kayu bakar
masih dimanfaatkan sebagai bahan bakar di 4
Kabupaten/Kota, yaitu Kota Payakumbuh dan
Kabupaten Agam yaitu 7.233.444 liter atau 99,87 %
dari total konsumsi.
Gambar 3.74 Konsumsi LPG Rumah Tangga Pada 5 Kabupaten/Kota
Sumber: Olahan Tabel SP-4 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Gambar 3.75 Konsumsi Minyak Tanah dan Kayu bakar Rumah Tangga Pada 4 Kabupaten/Kota
Sumber: Olahan Tabel SP-3 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Selanjutnya dari Tabel SP-4A, pada 3 Kota
dan 4 Kabupaten terjadi peningkatan pemakaian
bahan bakar jenis minyak tanah pada tahun 2014
sebesar 8.587.769 liter (29.57%) serta penurunan
pemakaian kayu bakar yang cukup tajam, yaitu
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-51
20193617 liter (99,99%) sebagaimana pada Gambar 3.76.
. Gambar 3.76 Pemakaian Bahan Bakar Rumah Tangga antar Waktu 2013-2014
Sumber : Olahan Tabel SP-3 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
3.7.1.4. Jumlah Kendaraan menurut Jenis
Kendaraan dan Bahan Bakar Yang
Digunakan
Dari Tabel SP-2 jenis kendaraan yang
banyak menggunakan BBM bensin dan solar di
Provinsi Sumatera Barat adalah kendaraan beban,
penumpang pribadi, penumpang umum, bus kecil, dan
kendaraan roda dua dengan total kendaraan adalah
1.180.303 unit kendaraan yang menggunakan bensin
sebagai bahan bakar adalah 951.958 unit (80%) dan
yang menggunakan solar sebagai bahan bakarnya
sebanyak unit 225.345 (20%). Persentase kendaraan
yang menggunakan bensin ini menurun dibandingkan
tahun 2013 dengan persentase 91 %, sedangkan
kendaraan bahan bakar solar meningkat dari 9% pada
tahun 2013. Bahan bakar bensin dan solar paling
banyak digunakan di Kota Padang yaitu 536.720
kendaraan bahan bakar bensin dan 56.163 unit
dengan bahan bakar solar. Bahan bakar bensin
banyak digunakan oleh kendaraan penumpang
pribadi, truk dan kendaraan roda 2, sedangkan solar
banyak digunakan oleh kendaraan beban ,
penumpang umum dan mobil pribadi.
Gambar 3.77 Jumlah Kendaraan dengan Bahan Bakar Bensin dan Solar
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-52
Sumber: Olahan Tabel SP-2 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
3.7.2. Bentuk Tekanan dan Dampak Terhadap
Lingkungan
Dari hasil Evaluasi Kualitas Udara Perkotaan
di Indonesia, kendaraan bermotor mempunyai andil
yang sangat besar dalam memberikan kontribusi pada
polusi udara. Konstribusi gas buang kendaraan
bermotor sebagai sumber polusi udara mencapai 60-
70%, bandingkan dengan industri yang hanya berkisar
antara 10-15%. Sedangkan sisanya berasal dari
rumah tangga, pembakaran sampah, kebakaran
hutan/ladang dan lain-lain. Polusi udara dapat
menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia
melalui berbagai cara, antara lain dengan merangsang
timbulnya atau sebagai faktor pencetus sejumlah
penyakit. Terdapat korelasi yang kuat antara
pencemaran udara dengan penyakit bronchitis kronik
(menahun). Khusus polusi udara yang berasal dari
kendaraan bermotor dengan bahan bakar yang tak
ramah lingkungan, terutama karena masih
mengandung sejumlah Pb, dikhawatirkan akan
menurunkan kualitas sumberdaya manusia, karena
akan menurunkan tingkat kecerdasan anak-anak.
3.8. TRANSPORTASI
Transportasi digunakan untuk memudahkan
manusia dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Di
negara maju, transportasi biasanya menggunakan
kereta bawah tanah (subway) dan taksi dan jarang
mempunyai kendaraan pribadi karena sebagian besar
menggunakan angkutan umum sebagai transportasi.
Transportasi terdiri dari transportasi darat, laut, dan
udara. Transportasi udara merupakan transportasi
yang membutuhkan banyak uang untuk memakainya,
selain memiliki teknologi yang lebih canggih dan
merupakan alat transportasi tercepat dibandingkan
dengan alat transportasi lainnya.
Untuk menanggulangi peningkatan jumlah
alat transportasi, Pemerintah menggiatkan
pemanfaatan jenis transportasi publik, yaitu seluruh
alat transportasi di mana penumpang tidak bepergian
menggunakan kendaraannya sendiri. Yang termasuk
transportasi publik adalah kereta dan bis, pelayanan
maskapai penerbangan, feri, taxi, dan lain-lain. Jenis
kendaraan (transportasi) yang banyak digunakan di
Sumatera Barat adalah Bendi, Taxi, Bus Penumpang,
Kereta Api, Kapal Laut dan Pesawat Terbang.
3.8.1. Sumber Tekanan
Sumber tekanan dari sektor transportasi
berasal dari kegiatan kendaraan penumpang umum,
sarana pelabuhan laut dan udara dan munculnya
timbulan limbah padat dari sektor transportasi.
3.8.1.1. Perkiraan Volume Limbah Padat
Berdasarkan Sarana Transportasi Darat
Provinsi Sumatera Barat mempunyai terminal
transportasi darat, udara dan air. Kegiatan terminal ini
memberikan tekanan terhadap kualitas lingkungan
hidup terutama terhadap banyaknya limbah padat
yang dihasilkan dari kegiatan terminal darat, udara
maupun air. Pada tahun 2014 diperkirakan jumlah
limbah padat yang dihasilkan dari kegiatan di terminal
udara (Bandara Internasional Minangkabau) sebesar
12,5 m3/hari.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-53
Dampak yang ditimbulkan dari kegiatan
sarana transportasi darat, udara dan air adalah limbah
padat yang dihasilkan. Kabupaten Padang Pariaman
merupakan kabupaten yang menghasilkan volume
limbah padat terbesar dari kegiatan sarana
transportasi yaitu 148 m3/hari sedangkan Kabupaten
Dharmasraya merupakan kabupaten yang terkecil
menyumbang limbah padat dari kegiatan sarana
transportasi yaitu sebesar 0,66 m3/hari. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat sebagaimana Gambar 3.78
berikut.
Gambar 3.78 Volume Limbah Padat Yang Dihasilkan Dari Sarana Transportasi
di 8 Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber: Olahan Tabel SP-5 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
3.8.1.2. Sarana Transportasi Darat
Pada tahun 2013, ada 37 terminal yang
berada di Kab/ Kota Sumatera Barat yang terdiri dari
berbagai macam tipe terminal darat seperti tipe A, tipe
B dan tipe C. Namun pada tahun 2014 terjadi
penurunan jumlah terminal karena sebahagian besar
terminal tersebut tidak dapat difungsikan sebagaimana
mestinya. Beberapa terminal yang tidak berfungsi
tersebut diantaranya terminal Air Pacah di Kota
Padang. Keadaan terminal yang tidak berfungsi ini
menyebabkan terbentuknya terminal bayangan di
beberapa lokasi
Gambar 3.79 Terminal Angkutan Darat di Sumatera Barat
a. Terminal Air Kuning, Kota Bukittinggi b. Terminal Bareh Solok, Kota Solok
3.8.1.3. Sarana Pelabuhan Laut dan Udara
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-54
Sarana transportasi laut terdapat pada
beberapa kota yang berada di wilayah laut dan pesisir.
Terdapat 9 pelabuhan laut yang berada di 4
Kabupaten/Kota yaitu Kabupaten Pesisir Selatan, Kota
Padang, Kabupaten Pasaman Barat, dan Kabupaten
Kepulauan Mentawai dengan luas total 75.933,03 Ha.
Pelabuhan terbanyak ada di Kabupaten Kepulauan
Mentawai yaitu 5 pelabuhan, sedangkan terluas
berada di Kota Padang, yaitu Pelabuhan Teluk Bayur
sebagai pelabuhan utama dengan luas 73.329 Ha.
Jumlah dan luas masing-masing pelabuhan pada
kabupaten/kota dapat dilihat pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5 Jumlah dan Luas Pelabuhan Air di Kabupaten/Kota
No. Kabupaten Kota Jumlah (buah)
Luas Total (ha)
1. Kota Padang 2 73.329,0
2. Kab.Kepulauan Mentawai 5 2.604,03
3. Kab.Pasaman Barat 1 -
4. Kab.Pesisir Selatan 1 -
TOTAL 9 75.933,03
Sumber: Olahan Tabel SP-5 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Sarana transportasi laut yang ada di Provinsi
Sumatera Barat mempunyai fungsi yang beragam
diantaranya pelabuhan utama, pengumpul regional,
pelabuhan laut (penumpang dan barang) dan
pelabuhan lokal. Kabupaten Pesisir Selatan
merupakan daerah yang mempunyai banyak
pelabuhan dan dermaga. Terdapat 7 pelabuhan
dengan luas total 162 Ha yang berfungsi sebagai
pelabuhan bongkar muat, lelang ikan, penyeberangan
dan wisata serta pelabuhan pengumpul regional.
Sebagai ibukota Provinsi Sumatera Barat, Kota
Padang memiliki beberapa pelabuhan laut diantaranya
Pelabuhan Teluk Bayur, Pelabuhan Teluk Bungus dan
Pelabuhan Muara. Pelabuhan Teluk Bayur sebagai
pelabuhan utama yang berfungsi sebagai pelabuhan
nasional dan internasional. Pelabuhan Teluk Bungus
merupakan pelabuhan lokal untuk penumpang dan
barang dan Pelabuhan Muara sebagai pelabuhan
pengumpul.
Terdapat 4 bandar udara di Provinsi
Sumatera Barat dengan klasifikasi Internasional,
Perintis, Lokal dan AURI. Internasional Minangkabau
(BIM) yang berada di Kabupaten Padang Pariaman
merupakan bandara bertaraf Internasional dengan
klsifikasi 4D yang diperuntukkan untuk penerbangan
jenis sipil, melayani penerbangan internasional dan
domestik dengan luas 427.766 ha. Pelabuhan udara
khusus militer juga terdapat di Provinsi Sumatera
Barat yaitu Bandar Udara Tabing yang dimiliki oleh
TNI Angkatan Udara dengan luas 84.20 ha. Selain itu
juga terdapat Bandar Udara Rokot, klasifikasi 2B untuk
penerbangan domestik dan jenis sipil yang terdapat di
Kabupaten Kepulauan Mentawai, serta Bandara
Pusako Anak Nagari di Kabupaten Pasaman Barat
dengan luas 10 Ha berfungsi sebagai bandara perintis
penghubung Kabupaten Pasaman Barat dengan
Ibukota Provinsi, Padang.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-55
Gambar 3.80 Pelabuhan Laut dan Udara di Provinsi Sumatera Barat
a. Pelabuhan Laut Teluk Bayur b. Bandara Internasional Minangkabau
3.8.1.4. Jumlah Penumpang Berdasarkan Sarana
Transportasi
Sarana trasnportasi laut, pesawat udara dan
kereta api pada tahun 2014 melayani 3.419.230
penumpang dengan penumpang terbanyak dilayani
oleh jenis angkutan pesawat udara, yaitu 2.745.438
orang atau 80,29% dari total pengguna angkutan
sebagaimana Gambar 3.81 berikut.
Gambar 3.81 Persentase Penumpang Berdasarkan Sarana Transportasi Tahun 2014
Sumber: Olahan Tabel SP-5B Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
3.8.1.5. Perbandingan Antar Waktu
Jumlah penumpang yang memanfaatkan
angkutan pesawat udara meningkat dari tahun 2012
sampai dengan tahun 2014, sedangkan yang
memanfaatkan jasa kapal laut dan kereta menurun
jumlahnya. Hal ini dapat diakibatkan karena jumlah
pesawat udara semakin banyak, harga relatif
terjangkau, cepat dan nyaman, sehingga masyarakat
lebih memilih pesawat udara sebagai sarana
transportasinya. Perkembangan jumlah penumpang
tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.82 berikut.
Gambar 3.82 Perkembangan Jumlah Penumpang Antar Waktu 2012-2014
Sumber: Olahan Tabel SP-5C Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-56
3.8.1.6. Jumlah Kendaraan Angkutan Darat Antar
Waktu
Jumlah kendaraan selalu meningkat setiap
tahunnya. Total kendaraan tahun 2014 di Sumatera
Barat adalah 427.711 unit, meningkat dibandingkan
tahun 2013 yang hanya 407.088 unit. Jenis
kendaraan yang banyak digunakan masyarakat
sampai tahun 2014 adalah jenis sepeda motor roda 2
sebanyak 310.199 unit, mini bus sebanyak 56.274 unit
dan pick up sebanyak 14.668 unit. Gambaran 4 jenis
kendaraan yang banyak dimintai masyrakat dari tahun
2012 sd 2014 dapat dilihat pada Gambar 3.83.
Gambar 3.83 Jenis Kendaraan Yang Banyak Disukai Masyarakat antar 2012-2014
Sumber: Olahan Tabel SP-5D Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
3.8.2. Bentuk Tekanan dan Dampak Terhadap
Lingkungan
Kendaraan bermotor merupakan transportasi
terbanyak di Indonesia dan menjadi sumber pencemar
terbesar di kota-kota besar yang memiliki pengaruh
buruk terhadap kesehatan dan lingkungan. Kerusakan
yang ditimbulkan oleh polusi kendaraan bermotor
adalah timbulnya hujan asam, penipisan lapisan ozon,
perubahan cuaca dan pengaruh negatif yang
ditimbulkan bagi kesehatan seperti penyakit ISPA
(infeksi saluran pernafasan atas), batuk, kanker kulit,
kemandulan, turunnya IQ pada anak.
Kendaraan bermotor juga menimbulkan
polusi getaran dan akan mempengaruhi ketahanan
suatu jalan yang dilewatinya sehingga aspek getaran
ini harus mulai diperhitungkan dalam perencanaan
transportasi yang baru. Polusi suara yang diakibatkan
oleh transportasi udara dengan suara-suara
bervolume tinggi membuat daerah sekitarnya menjadi
bising dan tidak menyenangkan. Tingkat kebisingan
terjadi bila intensitas bunyi melampui 70 desibel (dB).
3.9. PARIWISATA
Pariwisata merupakan salah satu sektor
unggulan yang menyumbang pendapatan daerah
(PAD) provinsi maupun kabupaten/kota di Provinsi
Sumatera Barat. Adapun obyek wisata yang terdapat
di Provinsi Sumatera Barat adalah obyek wisata alam,
sejarah, bahari dan budaya. Disisi lain kegiatan
pariwisata juga berkontribusi besar terhadap
penurunan kualitas lingkungan apabila tidak dikelola
dengan baik dan apabila tidak bijak menyikapinya
akan memberikan tekanan yang sangat besar
terhadap degradasi media lingkungan.
Issu lingkungan dari kegiatan pariwisata adalah:
1. Penurunan kualitas air akibat tidak dikelolanya
limbah cair baik dari kegiatan hotel dan
kunjungan wisata di wisata alam.
2. Meningkatnya volume limbah padat baik di lokasi
objek wisata dan hotel.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-57
3.9.1. Sumber Tekanan
3.9.1.1. Jenis Obyek Wisata
Obyek wisata alam merupakan obyek wisata yang
sangat banyak jumlahnya di Provinsi Sumatera Barat
yaitu sebanyak 129 obyek dan wisata religius
merupakan jumlah obyek yang sangat sedikit yaitu
sejumlah 4 obyek. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
jenis obyek wisata dan lokasi obyek sebagaimana
Gambar 3.84 dan Gambar 3.85 berikut.
Gambar 3.84 Jenis Obyek Wisata di Provinsi Sumatera Barat
Sumber : Olahan Tabel SP 6 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Gambar 3.85 Lokasi Obyek Wisata di Provinsi Sumatera Barat
Obyek Wisata Lembah Harau di Kabupaten Lima
Puluh Kota
Obyek Wisata Pantai Carocok di Kabupaten
Pesisir Selatan
Obyek Wisata Jembatan Aka di Kabupaten Pesisir
Selatan
Obyek Wisata Jam Gadang di Kota Bukittinggi
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-58
3.9.1.2. Tingkat Kunjungan Wisata
Tingkat kunjungan wisata pada tahun 2014
mengalami peningkatan sebesar 1,20 % dari
kunjungan wisata tahun 2013, dimana kunjungan
wisata tahun 2014 sebanyak 15.797.389 orang dan
kunjungan wisata tahun 2013 sebanyak 13.182.076
orang. Kabupaten yang paling tinggi dikunjungi
wisatawan adalah Kabupaten Pesisir Selatan
sebanyak 12.549.484 orang dengan obyek wisata
yang diminati pengunjung adalah wisata bahari hal ini
sesuai dengan kondisi wilayah administrasi yang
berada di pesisir pantai. Sedangkan jumlah kunjungan
wisata terendah adalah Kabupaten Pasaman
sebanyak 11.126 orang. Kota Sawahlunto merupakan
tingkat kunjungan wisata yang tertinggi setelah
Kabupaten Pesisir Selatan sebanyak 450.200 orang.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.86
berikut.
Gambar 3.86 Jumlah Pengunjung Obyek Wisata di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel SP 6 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Dalam kurun waktu empat tahun, kunjungan
wisata di 3 kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat
mengalami peningkatan dari tahun 2011 ke tahun
2014 kecuali Kota Padang yang mengalami penurunan
pada tahun 2011 sebanyak 120.018 orang, tahun
2012 sebanyak 93.721 orang dan tahun 2013
sebanyak 80.994 orang sedangkan pada tahun 2014
Kota Padang mengalami peningkatan kunjungan
wisata sebanyak 103.629 orang. Kabupaten Agam dan
Kota Payakumbuh merupakan kabupaten/kota yang
tingkat kunjungan wisatanya terus meningkat tiap
tahunnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
sebagaimana Gambar 3.87 berikut.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-59
Gambar 3.87 Kunjungan Wisata Pada 3 Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat Dalam Kurun Waktu 4 tahun
Sumber : Olahan Tabel SP 6 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Disisi lain kunjungan wisata mancanegara
yang berkunjung ke Provinsi Sumatera Barat tahun
2014 sebanyak 49.116 orang yang berasal dari 10
negara yaitu Malaysia, Australia, Singapura, Perancis,
Jerman, Tiongkok, Inggris, Jepang, Hongkong dan
Amerika. Jumlah wisata mancanegara yang paling
banyak mengunjungi Provinsi Sumatera Barat berasal
dari Malaysia sebanyak 37.369 orang sedangkan
Hongkong merupakan wisata mancanegara yang
paling sedikit mengunjungi Provinsi Sumatera Barat
untuk lebih jelasnya dapat dilihat sebagaimana
Gambar 3.88 berikut.
Gambar 3.88 Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel SP-6A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Dalam kurun waktu empat tahun kunjungan
wisata ke Provinsi Sumatera Barat baik wisatawan
nusantara maupun wisatawan mancanegara
mengalami peningkatan dari tahun 2011 sampai tahun
2014 dimana pada tahun 2011 kunjungan wisatawan
nusantara sebanyak 5.106.321 orang dan kunjungan
wisatawan mancanegara sebanyak 29.638 orang dan
pada tahun 2014 kunjungan wisatawan nusantara
sebanyak 17.786.379 orang dan kunjungan wisatawan
mancanegara sebanyak 49.116 orang. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat sebagaimana Gambar 3.89
berikut.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-60
Gambar 3.89 Kunjungan Wisatawan Nusantara dan Wisatawan Mancanegara Dalam Kurun Waktu 4 Tahun di Provinsi Sumatera Barat
Sumber : Olahan Tabel SP-6E Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
3.9.1.3. Jumlah Hotel dan Restoran/Rumah Makan
di Provinsi Sumatera Barat
Kegiatan yang mendukung pertumbuhan
sektor pariwisata salah satunya adalah kegiatan
perhotelan dan restoran/rumah makan. Kota
Bukittinggi merupakan daerah kabupaten/kota di
Provinsi Sumatera Barat yang memiliki jumlah hotel
terbanyak yaitu 70 hotel hal ini disebabkan Kota
Bukittinggi merupakan kota tujuan wisata. Sedangkan
restoran paling banyak terdapat di Kabupaten
Dharmasraya dengan jumlah 146 restoran. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat sebagaimana Gambar 3.90
berikut.
Gambar 3.90 Jumlah Hotel dan Restoran di Provinsi Sumatera Barat
Sumber : Olahan Tabel SP-6D Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
3.9.1.4. Tingkat Hunian Hotel di Provinsi Sumatera
Barat
Tingkat hunian hotel di Provinsi Sumatera
Barat sebesar 36,39 % dengan Kabupaten
Dharmasraya merupakan tingkat hunian hotel yang
tertinggi sebesar 56,15% sedangkan Kabupaten Lima
Puluh Kota merupakan tingkat hunian yang paling
rendah yaitu sebesar 6,98 %. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat sebagaimana Gambar 3.91 berikut.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-61
Gambar 3.91 Tingkat Penghunian Kamar Akomodasi Lainnya di Sumatera Barat
Sumber : Olahan Tabel SP-7D Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Rata-rata tingkat hunian hotel yang berada di
enam kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat pada
tahun 2014 mengalami peningkatan seperti Kabupaten
Agam dengan tingkat hunian 35,44 %, Kota Padang
Panjang dengan tingkat hunian 24,35 % dan Kota
Payakumbuh dengan tingkat hunian sebesar 51,50 %.
Sedangkan kabupaten/kota yang mengalami
penurunan tingkat hunian adalah Kabupaten Padang
Pariaman dengan tingkat hunian 28 %, Kota Padang
dengan tingkat hunian 5 % dan Kota Sawahlunto
dengan tingkat hunian 43,65 %. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat sebagaimana Gambar 3.92 berikut.
Gambar 3.92 Rata-Rata Tingkat Hunian Hotel Dalam Kurun Waktu 4 Tahun
Sumber : Olahan Data SP-7A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
Tingkat hunian hotel berbintang di Provinsi
Sumatera Barat pada tahun 2014 mengalami
penurunan kecuali hotel berbintang 4 yang mengalami
peningkatan pada tahun 2013 sebesar 60,38% dan
tahun 2014 sebesar 64,53%. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat sebagaimana Gambar 3.93 berikut.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-62
Gambar 3.93 Perbandingan Tingkat Hunian Hotel Berbintang Tahun 2013 dan Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel SP-7C Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
3.9.2. Bentuk Tekanan dan Dampak Terhadap
Lingkungan
3.9.2.1. Perkiraan Jumlah Limbah Padat
Berdasarkan Lokasi Obyek Wisata,
Jumlah Pengunjung dan Luas Kawasan
Dampak yang ditimbulkan dari kegiatan
wisata salah satunya adalah limbah padat yang
dihasilkan di objek wisata dan hotel tempat menginap
para wisatawan. Kabupaten Pesisir Selatan
merupakan kabupaten yang menghasilkan volume
limbah padat pada lokasi objek wisata terbesar yaitu
423,1 m3/hari sedangkan Kabupaten Dharmasraya
merupakan kabupaten yang terkecil menyumbang
limbah padat pada objek wisata sebesar 0,06 m3/hari.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat sebagaimana Tabel
3.6 berikut.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-63
Tabel 3.6 Volume Limbah Padat Yang Dihasilkan dari Lokasi Obyek Wisata
No Kabupaten/Kota Volume Limbah Padat
(m3/hari)
1 Kota Padang 97,86
2 Kota Bukittinggi 17,77
3 Kota Sawahlunto 2,43
4 Kota Pariaman 8,91
5 Kota Padang Panjang 2,55
6 Kota Payakumbuh 5,04
7 Kabupaten Agam 1,85
8 Kabupaten Solok Selatan 16
9 Kabupaten Lima Puluh Kota 99
10 Kabupaten Dharmasraya 0.06
11 Kabupaten Sijunjung 6,63
12 Kabupaten Pesisir Selatan 423.1
Sumber : Olahan Tabel SP 6 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
3.9.2.2. Perkiraan Beban Limbah Padat dan
Limbah Cair Berdasarkan Sarana
Hotel/Penginapan
Disisi lain kegiatan hotel merupakan salah
satu kegiatan penunjang pariwisata yang berkontribusi
terhadap volume limbah padat yang dihasilkan. Kota
Bukittinggi merupakan penyumbang terbesar limbah
padat yaitu sebesar 70,57 m3/hari sedangkan terendah
pada Kabupaten Pasaman sebesar 0,04 m3/hari.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.7
berikut.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-64
Tabel 3.7 Volume Limbah Padat Yang Dihasilkan dari Kegiatan Hotel
No Kabupaten/Kota Volume Limbah Padat (m3/hari)
1 Kota Padang 5
2 Kota Bukittinggi 70,57
3 Kabupaten Agam 0,855
4 Kabupaten Tanah Datar 1,23
5 Kabupaten Padang Pariaman 2
6 Kabupaten Lima Puluh Kota 3,13
7 Kabupaten Sijunjung 0,311
8 Kabupaten Pesisir Selatan 24,2
9 Kabupaten Pasaman 0.04
Sumber : Olahan Tabel SP 7 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Jika dilihat dari tingkat kunjungan dan hunian
hotel terdapat korelasi yang erat terhadap volume
limbah padat yang dihasilkan dapat digambarkan
bahwa Kabupaten yang tinggi kunjungan wisata akan
menyumbang volume limbah padat baik pada obyek
wisata maupun hotel yaitu Kabupaten Pesisir Selatan.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.8
berikut.
Tabel 3.8 Korelasi Antara Kunjungan Wisata Dengan Volume Limbah Padat Yang Dihasilkan
Kabupaten/Kota Limbah Padat Kunjungan Wisata
(orang/tahun) Objek Wisata Hotel
Kota Padang 97.86 5 103.629
Kota Bukittinggi 17,77 70,57 439.201
Kabupaten Agam 1,85 0,855 266.506
Kabupaten Lima Puluh Kota 99 3,13 537.637
Kabupaten Sijunjung 6,63 0,311 64.451
Kabupaten Pesisir Selatan 423.1 24,2 12.549.484
Sumber : Olahan Tabel SP 6 dan SP 7 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Hotel sebagai sarana penunjang kegiatan
pariwisata bukan hanya menyumbang volume limbah
padat tetapi limbah cair pun sangat mempengaruhi
degradasi lingkungan apabila tidak dilakukan
pengelolaan dengan baik. Kegiatan hotel di Kota
Bukittinggi merupakan penyumbang beban
pencemaran limbah cair terbesar untuk parameter
BOD yaitu 248,5 ton/tahun dan untuk parameter COD
yaitu 778 ton/tahun sedangkan Kabupaten Sijunjung
merupakan penyumbang terendah untuk parameter
BOD yaitu 0,0134 ton/tahun dan Kabupaten Lima
Puluh Kota untuk parameter COD yaitu 0,23 ton/tahun.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat sebagaimana Tabel
3.9 berikut.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-65
Tabel 3.9 Beban Limbah Cair dari Kegiatan Hotel
No Kabupaten/Kota
Beban Limbah Cair (ton/tahun)
BOD COD
1 Kota Padang 50,09 60,3
2 Kota Bukittinggi 248,5 778
3 Kabupaten Agam 4,86 205,4
4 Kabupaten Tanah Datar 18,12 3,65
5 Kabupaten Sijunjung 0,0134 20,97
6 Kabupaten Pasaman 21 41,5
7 Kabupaten Lima Puluh Kota 1,12 0,23
Sumber : Olahan Tabel SP 7 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
3.10 LIMBAH B3
Yang dimaksud dengan limbah B3 adalah
sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung
B3, dimana B3 merupakan singkatan dari bahan
berbahaya dan beracun. Bahan berbahaya dan
beracun ini berupa zat, energi, dan/atau komponen
lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau
jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak
langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak
lingkungan hidup, dan/atau membahayakan
lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan
hidup manusia dan makhluk hidup lain (amanat
Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun).
Limbah B3 wajib dikelola agar tidak
menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan dan
kesehatan. Pengelolaan limbah B3 ini merupakan
suatu rangkaian kegiatan yang meliputi pengurangan,
penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan,
pemanfaatan, pengolahan, dan/atau penimbunan.
Melalui pengelolaan limbah B3 rantai siklus perjalanan
limbah B3 sejak dihasilkan oleh penghasil limbah B3
sampai penimbunan akhir oleh pengolah limbah B3
dapat diawasi.
Ketentuan pengelolaan limbah B3 ini diatur
dalam peraturan perundang-undangan lingkungan
hidup dan setiap pengelolaan limbah B3 yang
dilakukan wajib mendapat izin dari Menteri, Gubernur
atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
3.10.1 Sumber Tekanan
3.10.1.1 Perusahaan Yang Mendapat Izin
Mengelola Limbah B3
Umumnya pengelolaan limbah B3 di
Provinsi Sumatera Barat berupa penyimpanan
sementara oleh penghasil, sedangkan rangkaian
pengelolaan (pengumpulan, pengangkutan,
pemanfaatan, pengolahan dan penimbunan) lainnya
dilakukan oleh pihak ketiga di luar Provinsi Sumatera
Barat. Penghasil limbah B3 di Provinsi Sumatera Barat
berasal dari rumah tangga, perkantoran, pasar, rumah
sakit, industri, perhotelan, dan dari kegiatan lainnya.
Namun limbah B3 yang dihasilkan dominan berasal
dari industri dan rumah sakit. Penghasil limbah B3
yang berupa badan usaha (seperti industri, rumah
sakit dan perhotelan) wajib memiliki izin penyimpanan
sementara limbah B3 yang di keluarkan oleh
kebupaten/kota terkait.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-66
Pada izin penyimpanan sementara
dicantumkan kewajiban-kewajiban penghasil dalam
pengelolaan limbah B3. Diantaranya adalah
melakukan pencatatan keluar masuknya limbah B3 ke
TPS limbah B3, memenuhi ketentuan teknis TPS
limbah B3 dan melakukan pelaporan pengelolaan
limbah B3 secara rutin ke instansi terkait.
Gambar 3.94 Jenis Kegiatan/Usaha yang memiliki Izin Penyimpanan Sementara Limbah B3
Sumber : Olahan Tabel SP-11 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Kegiatan/usaha dibidang agroindustri
merupakan kegiatan/usaha yang paling banyak
memiliki Izin penyimpanan sementara limbah B3 yaitu
sebanyak 29 kegiatan. Selanjutnya diikuti oleh
kegiatan pertambangan sebanyak 6 kegiatan. Izin
penyimpanan sementara limbah B3 untuk kegiatan
pertambangan didominasi oleh industri semen
sebanyak 5 izin. Kegiatan yang paling sedikit memiliki
izin penyimpanan sementara adalah kegiatan dibidang
energi dan migas sebanyak 2 kegiatan. Untuk lebih
jelas dapat dilihat pada Gambar 3.94.
3.10.1.2 Jumlah Limbah B3 Medis Rumah Sakit
Industri yang ada di Provinsi Sumatera Barat
sebagian besar dibidang agroindustri yaitu industri
pengolahan minyak sawit dan industri pengolahan
karet (crumb rubber). Limbah B3 yang dihasilkan
berupa aki bekas, oli bekas, filter oli bekas, kain majun
dan lampu TL bekas. Institusi lainnya yang banyak
menghasilkan limbah B3 adalah rumah sakit. Limbah
B3 yang dihasilkan berupa limbah medis infeksius,
produk farmasi kadaluarsa, limbah laboratorium, dan
residu insinerator. Limbah B3 rumah sakit ini dikelola
dengan menggunakan insinerator.
Provinsi Sumatera Barat tidak hanya memiliki
rumah sakit pemerintah namun juga memiliki rumah
sakit swasta yang jumlahnya cukup banyak. Rumah
sakit swasta ini juga menghasilkan limbah medis yang
harus segera dikelola agar tidak menimbulkan efek
negatif bagi kesehatan maupun lingkungan. Jumlah
limbah medis yang berasal dari rumah sakit
pemerintah diperkirakan sebanyak 5.815 kg,
sedangkan yang berasal dari rumah sakit swasta
sebanyak 1.810 kg. Perbandingan timbulan limbah B3
medis rumah sakit pemerintah dengan rumah sakit
swasta dapat dilihat pada Gambar 3.95.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-67
Gambar 3.95 Perbandingan Timbulan Limbah Medis RS Pemerintah dan RS Swasta di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber: Olahan Tabel SP-11C Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
3.10.2 Bentuk Tekanan Dampak Terhadap
Lingkungan
Setiap limbah B3 yang dihasilkan baik dari
kegiatan industri ataupun rumah sakit, jika tidak
dikelola dengan baik akan menimbulkan dampak
negatif. Dampak negatif ini dapat mengganggu
keseimbangan lingkungan yang nantinya akan
berdampak terhadap kesehatan manusia.
Untuk mencegah terjadinya dampak negatif
limbah B3 terhadap lingkungan, maka perlu dilakukan
pengelolaan mulai dari penghasil limbah B3 sampai
penimbun limbah B3. Pengelolaan limbah B3 yang
berasal dari rumah sakit perlu penanganan khusus
karena limbah B3 yang dihasilkan merupakan limbah
B3 medis yang berasal dari jaringan tubuh sisa
operasi, darah, jarum suntik dan peralatan medis
bekas lainnya yang terindikasi mengandung
mikroorganisme patogen. Pengelolaan limbah B3
medis ini dilakukan melalui pembakaran dengan
insinerator. Hal ini dilakukan untuk memusnahkan
kuman penyakit pada limbah tersebut dan untuk
mereduksi volume limbah B3 yang dihasilkan.
BAB IVBAB IVU PAYA P E N G E L O L A A N L I N G K U N G A NU PAYA P E N G E L O L A A N L I N G K U N G A N
Berbagai upaya untuk mengendalikan kerusakan dan pencemaran dilakukan melalui penghijauan, reboisasi, perbaikan fisik lainnya, pembinaan dan pengawasan AMDAL, UKL UPL Disamping itu, meningkatnya jumlah Sekolah Adiwiyata maupun partisipasi dunia usaha melalui program CSR
bidang lingkungan serta Gerakan Sumbar Bersih yang melibatkan kelurahan/kecamatan, juga turut andil dalam upaya pengelolaan lingkungan di Sumatera Barat.
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-1
4.1. REHABILITASI LINGKUNGAN
Dalam pelaksanaan pembangunan dan
upaya pertumbuhan ekonomi, hutan kerap
mengalami tekanan dimana eksploitasi dan
konversi lahan hutan sebagai salah satu sumber
daya alam menjadi tumpuan untuk mengejar target
pertumbuhan ekonomi. Tekanan terhadap
sumberdaya hutan juga semakin berat yang
diakibatkan oleh aktivitas illegal logging, over
cutting, serta adanya bencana alam seperti
kebakaran hutan dan lain-lain.
Dari segi biofisik, pengelolaan hutan
dipengaruhi oleh kondisi iklim. Kawasan hutan yang
terdapat di daerah tropis memiliki kepekaan
terhadap degradasi dan memiliki keanekaragaman
jenis yang tinggi. Kondisi iklim di daerah tropis lebih
“keras”, curah hujan dan intensitas cahaya matahari
di daerah tropis sangat tinggisehingga membuat
kondisi lebih panas dan kering. Faktor-faktor
tersebut membuat daerahtropis amat peka terhadap
erosi dan peka terhadap kebakaran. Daerahtropis
juga jauh lebih rapuh dibandingkan dengan tanah
empat musim dan pada umumnya kurang subur.
Penebangan, kebakaran, penggembalaan,
dan budidaya pertanian dan perladangan yang
berlebihan membuat vegetasi asli sulit untuk pulih
kembali. Perambahan hutan dan model-model
pertanian yang tidak berkelanjutan telah
mempercepat degradasi lahan dan penurunan
kesuburan tanah sangat cepat. Lapisan tanah telah
hilang, tanah menjadi keras sehingga vegetasi
apapun sulit untuk tumbuh, jika hutan hujan tropis
rusak maka tidak akan pernah pulih kembali dengan
komposisi dan struktur yang sama seperti semula.
Penutupan vegetasi memegang peranan
penting dalam pengaturan sistem hirologi, terutama
"efek spons" yang dapat menyekap air hujan dan
mengatur pengalirannya sehingga mengurangi
kecenderungan banjir dan menjaga aliran air di
musim kemarau. Fungsi tersebut akan hilang jika
vegetasi di daerah DAS yang lebih tinggi hilang
atau rusak. Hutan juga sangat berperan dalam
menyerap emisi karbon yang merupakan penyebab
terjadinya pemanasan global. Di Indonesia sektor
hutan dan lahan merupakan sektor yang memiliki
potensi besar untuk upaya reduksi emisi karbon
mengingat kontribusi emisi sektor ini mencapai 60%
dari total emisi karbon yang ada. Oleh karena itu,
upaya rehabilitasi hutan dan lahan perlu dipadukan
dalam upaya pengembangan pertanian, kehutanan,
pertambangan dan pemukiman.
Secara umum kawasan hutan di Provinsi
Sumatera Barat masih cukup baik dan perlu untuk
tetap dipertahankan sebagai penyerap karbon.
Kawasan hutan di Sumatera Barat dibedakan
menurut fungsinya yaitu hutan konservasi, hutan
lindung dan hutan produksi. Total luas kawasan
hutan di Provinsi Sumatera Barat mencapai
2.342.650 Ha atau 55,38 % dari luas wilayah
Provinsi Sumatera Barat.
Pembangunan kehutanan diharapkan
menjadikan kondisi hutan lebih baik dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Upaya lain
yang dilakukan dengan melaksanakan
pengamanan dan perlindungan hutan, optimalisasi
pemanfaatan hasil hutan serta meningkatkan
sinergi perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan kehutanan antara Pemerintah Pusat,
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan
dapat memberikan dampak yang cukup signifikan
dalam mengurangi angka kemiskinan dan
memberikan kontribusi bagi keseimbangan alam
serta kesejahteraan masyarakat
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-2
4.1.1 Bentuk Upaya Rehabilitasi Lingkungan
4.1.1.1 Realisasi Kegiatan Penghijauan dan
Reboisasi
Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan
(RHL) merupakan salah satu upaya untuk
mengatasi degradasi hutan dan lahan yang
dampaknya semakin luas bagi masyarakat. Guna
mendukung RHL ini Pemerintah Provinsi Sumatera
Barat beserta Pemerintah Kabupaten/Kota telah
melaksanakan sejumlah program dan kegiatan
seperti pengembangan hutan rakyat, Gerakan
Menanam Indonesia, pengamanan dan
perlindungan hutan, pengendalian kebakaran hutan
dan pengembangan sarana penyuluhan.
Pada tahun 2014 luas areal kegiatan
penghijauan di Sumatera Barat mencapai 1.980,7
Ha dengan realisasi jumlah pohon sebanyak
889.835 batang. Daerah dengan areal realisasi
penghijauan terluas adalah Kota Payakumbuh
dengan luas 776 Ha, selanjutnya Kota Padang
dengan luas 300 Ha, dan Kabupaten Agam dengan
luas 297 Ha. Dilihat berdasarkan realisasi jumlah
pohon, maka yang terbanyak jumlahnya adalah
Kota Payakumbuh dengan jumlah 462.600 batang,
diikuti oleh Kabupaten Agam dengan jumlah
130.680 batang dan Kabupaten Padang Pariaman
dengan jumlah 90.000 batang pohon. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.1 di bawah
ini.
Gambar 4.1 Realisasi Kegiatan Penghijauan di Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber: Olahan Tabel UP-1 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Untuk kegiatan reboisasi, pada tahun 2014
luas areal reboisasi di Sumatera Barat mencapai
1.072.497,26 Ha dengan jumlah realisasi pohon
yang ditanam mencapai 1.067.510 batang. Daerah
dengan areal terluas terdapat di Kabupaten Solok
Selatan dengan luas 2.250 Ha, selanjutnya adalah
Kabupaten Pasaman dengan luas 1.736,25 Ha dan
Kabupaten Sijunjung dengan luas 400 Ha.
Sedangkan realisasi jumlah pohon yang ditanam
terbanyak adalah Kabupaten Pasaman dengan
jumlah 694.500 batang, selanjutnya Kota
Payakumbuh dengan jumlah 167.714 batang, dan
Kabupaten Pasaman Barat dengan jumlah 112.800
batang.
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-3
Gambar 4.2 Realisasi Kegiatan Reboisasi di Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber: Olahan Tabel UP-1 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Jika dibandingkan dengan tahun lalu,
maka terjadi penurunan kegiatan penghijauan dan
reboisasi pada tahun 2014. Untuk kegiatan
penghijauan pada tahun 2013 luas areal
penghijauan mencapai 982.422 Ha turun menjadi
1.958,70 Ha pada tahun 2014. Sedangkan kegiatan
reboisasi juga justru mengalami kenaikan, pada
tahun 2013 areal lahan yang direboisasi mencapai
51.158 Ha meningkat menjadi 1.072.497,26 Ha
pada tahun 2014.
Gambar 4.3 Perbandingan Luas Areal Penghijauan Tahun 2013 – 2014
Sumber: Olahan Tabel UP-1A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Gambar 4.4 Perbandingan Luas Areal Reboisasi Tahun 2013 – 2014
Sumber: Olahan Tabel UP-1A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-4
Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat
bahwa untuk kegiatan penghijauan yang mengalami
peningkatan areal penghijauan cukup besar
terdapat di Kota Payakumbuh, dimana pada tahun
2013 tidak ada areal penghijauan meningkat
menjadi 776 Ha pada tahun 2014. Sedangkan
kegiatan reboisasi yang mengalami peningkatan
areal terbesar terdapat di Kabupaten Pasaman,
dimana pada tahun 2013 tidak ada areal reboisasi
dan pada tahun 2014 menjadi 1.736,25 Ha.
Berdasarkan data Dinas Kehutanan
Provinsi Sumatera Barat, pada tahun 2014 jumlah
penanaman pohon yang dilakukan baik oleh
Pemerintah dan masyarakat mencapai 36.833.468
batang pohon.
Tabel 4.1 Rekapitulasi Penanaman Pohon oleh Masyarakat dan Pemerintah Tahun 2014
No Jenis Kegiatan Jumlah (Batang)
1. Penanaman oleh Kabupaten/Kota 26.528.102
2. Penanaman oleh Sektor Swasta dan Badan Usaha 4.987.038
3. Penanaman oleh Instansi Provinsi 5.104.028
4. Reklamasi oleh Pihak Ketiga 1.200
5. Rehabilitasi DAS oleh Pemegang IPPKH 213.100
Total 36.833.468
Sumber: Tabel UP-1C Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Dilihat dari tabel di atas, jumlah
penanaman pohon terbesar di Sumatera Barat
dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dengan
26.528.102 batang dan Pemerintah Provinsi dengan
jumlah 5.104.028 batang.
Upaya yang dilakukan untuk menjaga
kawasan hutan dan rehabilitasi lahan kritis yang
ada perlu untuk terus dilanjutkan. Setiap kegiatan
yang ditujukan untuk meningkatkan ekonomi perlu
memperhatikan keberlanjutan lingkungan agar
dapat juga dimanfaatkan oleh generasi yang akan
datang.
4.1.1.2 Kegiatan Fisik Lainnya oleh Instansi
dan Masyarakat
Kegiatan normalisasi dan perkuatan tebing
tersebar hampir di seluruh Kabupaten/Kota di
Provinsi Sumatera Barat, ini disebabkan kondisi
iklim dengan tingginya curah hujan menyebabkan
jumlah sedimen yang terbawa arus sungai
mengakibatkan terjadinya pendangkalan dasar
sungai. Untuk itu perlu dilakukan normalisasi agar
disaat kondisi curah hujan tinggi, tidak
mengakibatkan meluapnya aliran sungai yang
mengakibatkan banjir di daerah aliran sungai.
Kondisi geografis Provinsi Sumatera Barat yang
merupakan dataran pada umumnya memiliki elevasi
kurang dari 100 m dengan kemiringan lereng
kurang dari 15%, kondisi perbukitan pada umumnya
memiliki elevasi antara 200-500 m dengan
kemiringan lereng antara 15%-30%, dan kondisi
pegunungan lebih dari 1.000 m dengan kemiringan
lereng lebih dari 30%. Hal ini menyebabkan
Sumatera Barat sangat rentan terhadap terjadinya
erosi dan bencana tanah longsor. Oleh sebab itu,
kegiatan fisik berupa perkuatan tebing juga tersebar
dilaksanakan pada Kabupaten/Kota di Sumatera
Barat seperti yang terlihat pada Tabel 4.2 berikut.
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-5
Tabel 4.2 Kegiatan Fisik Lainnya Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
No Nama Kegiatan Lokasi Kegiatan
1 Normalisasi dan PerkuatanTebing
Kab. Pesisir Selatan (Batang Surantih, Batang Painan, Batang Ampiang, Batang Bayang), Kab. Padang Pariaman (Kalampaian, Batang Aur Malintang, Batang Kasai), Kab. Sijunjung (Batang Patikin), Kab. Pasaman (Sei. Batang Sumpur, Batang Ulu Masang), Kab. Agam (Batang Aia Katik), Kota Padang (Batang Jirak-Ampalu, Batang Balimbiang), Kota Payakumbuh (Batang Pulau Kota, Batang Lampasi), Kab. Solok (Batang Lembang, Batang Ateh Banda Bawah 5 Ninik Koto Sani), Kab. Pasaman Barat (Batang Batahan, Batang Pasaman Aia Gadang)
2 Pengendalian Banjir Kab. Agam (Batang Antokan), Kab. Padang Pariaman, Kab. Solok (Batang Lembang), Kota Padang (Batang Lurus).
3 Rehabilitasi JIAT di Sumatera Barat Tersebar di Sumatera Barat
4 Rehabilitasi Jaringan Rawa Silaut - Lanjutan (295 Ha)
Kabupaten Pesisir Selatan
5 River Impromentof Lower Reaches Of Anai River di Kabupaten Padang Pariaman
Kabupaten Padang Pariaman
6 Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pasca Bencana Gempa Bumi dan Tsunami
Kabupaten Kepulauan Mentawai
7 Pembangunan Shelter Kota Padang
Sumber : Olahan Tabel UP-2 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat
bahwa kegiatan normalisasi dan perkuatan tebing
tersebar di hampir seluruh Kabupaten/Kota di
Sumatera Barat. Hal disebabkan kondisi iklim
dengan tingginya curah hujan menyebabkan jumlah
sedimen yang terbawa arus sungai mengakibatkan
terjadinya pendangkalan dasar-dasar sungai. Untuk
itulah perlu dilakukannya normalisasi agar disaat
kondisi curah hujan tinggi melanda tidak
mengakibatkan meluapnya aliran sungai sehingga
dapat mengakibatkan banjir yang dapat merugikan
masyarakat di sekitar daerah aliran sungai.
Selain itu, kondisi geografis daerah di Sumatera
Barat dimana kondisi dataran pada umumnya
memiliki elevasi kurang dari 100 m dengan
kemiringan lereng kurang dari 15%, kondisi
perbukitan pada umumnya memiliki elevasi antara
200-500 m dengan kemiringan lereng antara 15%-
30%, dan kondisi pegunungan lebih dari 1.000 m
dengan kemiringan lereng lebih dari 30%. Hal ini
menyebabkan wilayah yang ada di Sumatera Barat
sangat rentan terhadap terjadinya erosi dan
bencana tanah longsor. Oleh sebab itu, kegiatan
fisik berupa perkuatan tebing juga tersebar
dilaksanakan pada Kabupaten/Kota di Sumatera
Barat seperti yang terlihat pada tabel di atas.
Untuk kegiatan jaringan irigasi air tanah
(JIAT) juga tersebar di Sumatera Barat, kegiatan ini
sangat penting dilakukan mengingat berbagai
jaringan sudah banyak yang rusak bahkan
tidakberfungsi sebagaimana mestinya terutama
jaringan irigasi.
Bentuk kegiatan fisik lain yang dilakukan
adalah bantuan penyebaran bibit perkebunan.
Berdasarkan data Dinas Perkebunan Prov. Sumbar,
bibit yang disebarkan terdiri dari bibit kelapa sawit,
karet, dan bibit kakao. Jumlah bantuan bibit
terbesar yang disebarkan adalah bibit kakao
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-6
dengan jumlah 650.000 bibit, kemudian bibit karet
dengan jumlah 209.500 bibit, dan bibit kelapa sawit
dengan jumlah 81.000 bibit. Untuk bibit kakao
bantuan terbesar yang diberikan terdapat di
Kabupaten Padang Pariaman 100.000 bibit,
sedangkan bibit karet jumlah terbesar terdapat di
Kabupaten Pesisir Selatan dengan jumlah 49.000
bibit, dan untuk kelapa sawit jumlah bibit terbesar
terdapat di Kabupaten Dharmasraya dengan jumlah
14.375 bibit. Untuk lebih jelas dapat di lihat pada
gambar di bawah ini.
Gambar 4.5 Penyebaran Bantuan Bibit Perkebunan
Sumber : Olahan Tabel UP-2B Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Untuk pengamanan wilayah pantai di
Sumatera Barat, Pemerintah juga berupaya dengan
melakukan penanaman pohon di wilayah pesisir
laut. Pohon yang paling banyak ditanam untuk
perlindungan pantai adalah cemara laut. Cemara
laut dipilih selain untuk melindungi kawasan pesisir
juga dapat dimanfaatkan sebagai pohon pelindung
dan dijadikan tempat wisata oleh masyarakat.
Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan
Perikanan Prov. Sumbar, pada tahun 2014 jumlah
cemara laut yang ditanam berjumlah 1.600 pohon
dan lokasinya terdapat di Kabupaten Padang
Pariaman.
Tabel 4.3 Penanaman Pohon Pelindung Pantai Sumatera Barat
No Jenis Tanaman Kabupaten/Kota Tahun Jumlah
(Batang) 1 Cemara laut, Waru dan Ketaping Kab. Padang Pariaman 2006 3.000
2 Cemara laut Kab. Padang Pariaman 2007 1.500
3 Cemara laut Kab. Pesisir selatan 2008 1.100
4 Cemara laut Kab. Agam 2009 800
5 Cemara laut Kab. Pesisir Selatan 2012 800
6 Cemara laut Kab. Pesisir Selatan dan Kab. Padang Pariaman
2012 1.000
7 Cemara laut Kab. Agam 2012 1.000
8 Cemara laut Kab. Pesisir Selatan dan Kab. Agam 2013 2.600
9 Cemara laut Kab. Agam, Kab. Pasaman Barat dan Kota Pariaman
2013 1.800
10 Cemara laut Kab. Padang Pariaman 2014 1.600
Total 14.200
Sumber: Tabel UP-2C Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-7
Pada tabel di atas dapat dilihat
perkembangan penanaman pohon pelindung pantai
dari tahun 2006 sampai tahun 2014. Jumlah pohon
yang telah ditanam sampai tahun 2014 mencapai
14.200 pohon dan tersebar di kawasan pesisir
pantai di Sumatera Barat.
Kegiatan lainnya yang dilakukan adalah
CSR (Corporate Social Responsibility) bidang
lingkungan yang dilakukan oleh berbagai
perusahaan yang ada di Sumatera Barat. Pada
tahun 2014, Bapedalda Prov. Sumbar mencatat ada
6 (enam) perusahaan yang melakukan kegiatan
CSR bidang lingkungan. Keenam perusahaan
tersebut antara lain, PT. Coca Cola Bottling
Indonesia, PT. Gersindo Minang Plantation, PT.
Pertamina DPPU BIM, PT. Semen Padang, PT.
Tidar Kerinci Agung (TKA), dan PT. AMP
Plantation. Kegiatan CSR yang dilakukan adalah
kegiatan yang langsung memberikan dampak pada
masyarakat, mulai dari penanaman pohon,
konservasi sempadan sungai, pelestarian flora dan
fauna langka, pembuatan pupuk kompos, sampai
dengan pembangunan pembangkit tenaga listrik
dengan energi terbarukan (PLTMH). Kegiatan CSR
tersebut perlu terus untuk dilanjutkan dan
Pemerintah Daerah juga harus turut serta
mendorong perusahan-perusahaan yang ada di
Sumatera Barat agar mengarahkan kegiatan CSR-
nya lebih bermanfaat bagi masyarakat banyak
khususnya masyarakat terdampak langsung
dengan adanya perusahaan tersebut.
Jumlah bank sampah yang tercatat pada
tahun 2014 di Sumatera Barat adalah sebanyak 89
unit. Jumlah bank sampah terbesar adalah bank
sampah yang dikelola oleh sekolah dengan jumlah
60 unit, selanjutnya bank sampah yang dikelola
masyakat dengan jumlah 27 unit dan dikelola
Perguruan Tinggi dengan jumlah 2 unit. Pada
gambar di bawah ini terlihat bahwa jumlah bank
sampah yang dikelola sekolah paling banyak
terdapat di Kota Padang, Kota Bukittinggi, dan Kota
Payakumbuh dengan jumlah bank sampah 11 unit.
Sementara itu, bank sampah yang dikelola
masyarakat paling banyak terdapat di Kota Padang
Panjang dan Kota Solok dengan jumlah 6 unit, dan
bank sampah yang dikelola oleh Perguruan Tinggi
terdapat di Kota Padang yakni Universitas Andalas
dengan jumlah 1 unit dan Universitas Bung Hatta
yang berjumlah 1 unit. Untk lebih jelasnya dapat
dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 4.6 Jumlah Bank Sampah di Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber : Olahan tabel UP-2E Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-8
4.2. AMDAL
Membaiknya iklim investasi di Indonesia
akhir-akhir ini memberikan kontribusi terhadap
pesatnya perkembangan usaha dan/atau kegiatan
di berbagai daerah namun di sisi lain kondisi ini
perlu dikendalikan secara wajar karena akan
membawa pengaruh terhadap aspek-aspek
kehidupan manusia, salah satunya adalah
lingkungan hidup. Mengingat usaha dan/atau
kegiatan pada dasarnya merupakan wujud dan
manifestasi dari suatu aktivitas pembangunan,
maka melalui mekanisme dan implementasi Izin
Lingkungan diharapkan dapat mengakomodir
prinsip pembangunan berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan. Dengan demikian,
dampak terhadap lingkungan yang diakibatkan oleh
berbagai aktivitas pembangunan tersebut dapat
dianalisis sejak awal perencanaannya.
Jika dikaitkan dengan penerapan dan
implementasi Izin Lingkungan, terdapat 2 cara
pendekatan yang digunakan dalam melakukan
upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup, yakni pada tingkatan perencanaan melalui
upaya pengendalian dengan melengkapi dokumen
lingkungan hidup (Amdal atau UKL-UPL), dan pada
tingkatan pelaksanaan melalui pengawasan
pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan
Hidup dan Rencana Pemantauan Lingkungan
Hidup/RKL-RPL serta UKL-UPL.
Selain AMDAL dan UKL-UPL, terdapat Surat
Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan
Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL) yang
diwajibkan bagi setiap usaha dan/atau kegiatan
yang tidak wajib Amdal maupun UKL-UPL. Untuk
rencana usaha dan/atau kegiatan yang terkategori
wajib memiliki SPPL, terhadapnya tidak diwajibkan
memiliki Izin Lingkungan, namun tetap diperlukan
pengawasan dalam implementasinya.
4.2.1. Bentuk Upaya Pengawasan Izin
Lingkungan
4.2.1.1. Dokumen Izin Lingkungan
Pada tahun 2014, jumlah dokumen
lingkungan yang dinilai melalui Komisi Penilai
Amdal Provinsi Sumatera Barat dan diterbitkan
persetujuan/pengesahannya oleh Gubernur
Sumatera Barat/Kepala Bapedalda Provinsi
Sumatera Barat adalah sebanyak 5 (lima) dokumen
yang kesemuanya berjenis Amdal. Menindaklanjuti
amanat Peraturan Gubernur Sumatera Barat No. 87
Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu Provinsi Sumatera Barat dan
Surat Keputusan Gubernur Sumatera Barat No.
570–8–2013 tentang Pendelegasian Wewenang
Penandatanganan Perizinan Dalam Rangka
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Provinsi Sumatera Barat, maka penandatangan
Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup dan Izin
Lingkungan kelima rencana usaha dan/atau
kegiatan dimaksud didelegasikan kepada Kepala
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
Provinsi Sumatera Barat yang menaungi lembaga
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di Sumatera
Barat.
Selain itu pada tahun 2014 juga terdapat 5
dokumen Kerangka Acuan yang telah diterbitkan
persetujuannya oleh Ketua Komisi Penilai Amdal
Provinsi Sumatera Barat. Satu diantaranya sudah
dapat diterbitkan Keputusan Kelayakan Lingkungan
Hidup dan Izin Lingkungannya pada tahun 2014,
yakni rencana operasi produksi tambang bijih
tembaga di Kabupaten Solok dan Kota Sawahlunto
seluas 6.745 Ha oleh PT. Intan Borneo
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-9
Internasional. Sedangkan untuk 4 dokumen
Kerangka Acuan lainnya merupakan kegiatan yang
belum dapat ditetapkan persetujuan Kelayakan
Lingkungan dan Izin Lingkungannya pada tahun
2014, karena hingga akhir tahun penilaian Amdal
keempat rencana usaha dan/atau kegiatan
dimaksud masih dalam proses penilaian Andal dan
RKL-RPL.
Pada tahun 2014 terdapat 2 dokumen
Amdal lainnya yang diajukan proses penilaiannya
ke Komisi Penilai Amdal Provinsi Sumatera Barat,
namun belum dapat diterbitkan persetujuan
Kerangka Acuan maupun Kelayakan Lingkungan
Hidup dan Izin Lingkungannya karena masih dalam
proses penilaian dokumen Kerangka Acuan. Kedua
dokumen dimaksud adalah untuk rencana usaha
dan/atau kegiatan:
1. Usaha pertambangan batu bara di Kabupaten
Dharmasraya oleh PT. Indo Mining Resources
(Amdal baru).
2. Operasi produksi tambang emas aluvial di
Nagari Cubadak dan Simpang Tonang,
Kecamatan Duo Koto, Kabupaten Pasaman
oleh PT. Inexco Jaya Makmur.
Selain itu, terdapat 1 dokumen Andal dan
RKL-RPL dan 1 dokumen Adendum Andal dan
RKL-RPL yang diajukan penilaiannya pada akhir
tahun 2014. Kedua dokumen dimaksud belum
dapat diterbitkan pengesahan/persetujuannya
karena masih dalam proses penilaian. Untuk 1
dokumen Andal dan RKL-RPL dimaksud
persetujuan Kerangka Acuannya telah dikeluarkan
oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Pasaman
(selaku Ketua Komisi Penilai Amdal Kabupaten
Pasaman), namun dikarenakan pada saat
pengajuan draft dokumen Andal dan RKL-RPL
masa berlaku lisensi Komisi Penilai Amdal
Kabupaten Pasaman telah habis, sehingga
penilaiannya dilimpahkan ke Komisi Penilai Amdal
Provinsi Sumatera Barat.
Selama tahun 2014, terdapat 1 dokumen
UKL-UPL yang diajukan pemeriksaannya ke
Bapedalda Provinsi Sumatera Barat, yakni UKL-
UPL Rencana Eksplorasi Gas Metana Batu Bara di
Kota Sawahlunto dan Kabupaten Sijunjung oleh PT.
Inti Gas Energi, namun Rekomendasi UKL-UPL dan
Izin Lingkungan untuk rencana kegiatan ini belum
dapat diterbitkan pada tahun 2014 karena hingga
akhir tahun 2014 masih terdapat beberapa item
perbaikan dokumen yang belum dipenuhi oleh
pemrakarsa rencana kegiatan. Untuk SPPL, selama
tahun 2014 tidak satu pun yang diajukan ke
Bapedalda Provinsi Sumatera Barat.
Dilihat dari sisi kewenangannya, maka dari
kelima rencana usaha dan/atau kegiatan yang
diterbitkan persetujuan Amdalnya hanya 1 yang
penilaian Amdalnya memang merupakan
kewenangan Komisi Penilai Amdal Provinsi
Sumatera Barat, yakni rencana operasi produksi
tambang bijih tembaga di Kabupaten Solok dan
Kota Sawahlunto seluas 6.745 Ha oleh PT. Intan
Borneo Internasional. Untuk keempat rencana
usaha dan/atau kegiatan yang lain karena lokasi
kegiatan berada parsial di wilayah kabupaten/kota
terkait, kewenangan penilaian Amdalnya
seharusnya berada pada Pemerintah
Kabupaten/Kota yang bersangkutan, namun
karena belum memiliki Komisi Penilai Amdal yang
berlisensi maka dilakukan oleh Komisi Penilai
Amdal Provinsi Sumatera Barat.
Tidak ada perbedaan jumlah dokumen
lingkungan yang dapat disahkan/diterbitkan
persetujuannya pada tahun 2014 dengan tahun
2013. Pada tahun 2013 terdapat 5 dokumen Amdal
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-10
yang dapat diterbitkan Keputusan Kelayakan
Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungannya. Namun
jika dibandingkan dengan tahun 2012 terdapat 4
empat dokumen lingkungan yang disahkan (1
Amdal dan 3 UKL-UPL), maka untuk tahun 2013
dan tahun 2014 adanya peningkatan. Tren
peningkatan jumlah dokumen lingkungan dalam
periode 2012–2014 mengindikasikan keadaan iklim
investasi pembangunan di Provinsi Sumatera Barat
yang mulai membaik terutama pasca bencana
gempa bumi tahun 2009. Untuk lebih jelasnya
jumlah dan jenis dokumen lingkungan yang dapat
disahkan/diterbitkan persetujuannya dalam periode
2012 – 2014 dapat dilihat pada Gambar 4.7.
Gambar 4.7 Jumlah Dokumen Lingkungan yang Dinilai Pada Komisi Penilai Amdal Provinsi Sumatera Barat Tahun 2012 – 2014
Sumber : Olahan Tabel UP-3B Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Perlu menjadi catatan terkait jumlah
dokumen lingkungan yang dapat disahkan pada
suatu tahun tertentu adalah bahwasanya jumlah
tersebut tidak serta merta dapat menggambarkan
jumlah sebenarnya dari dokumen lingkungan yang
dinilai/dibahas pada tahun tersebut, dan
kecenderungan yang terjadi adalah jumlah
dokumen lingkungan yang dapat disahkan dengan
jumlah dokumen lingkungan yang dinilai pada suatu
tahun tertentu tidaklah sama. Penerbitan
pengesahan/persetujuan sebuah dokumen
lingkungan sangat tergantung lamanya perbaikan
dokumen tersebut oleh pemrakarsa/konsultan
setelah dilakukan uji administrasi dan dilaksanakan
rapat-rapat penilaian/pemeriksaan, sehingga
kondisi ini juga mempengaruhi jangka waktu
penilaian/pemeriksaan dokumen dan penerbitan
pengesahan/ persetujuannya. Selain itu,
waktu/periode masuk/diajukannya dokumen pada
suatu tahun tertentu juga cukup mempengaruhi
waktu penerbitan pengesahan/persetujuan
dokumen lingkungan suatu rencana usaha dan/atau
kegiatan. Jika suatu dokumen lingkungan
masuk/disampaikan ke Komisi Penilai Amdal
Provinsi Sumatera Barat/Bapedalda Provinsi
Sumatera Barat pada triwulan IV tahun 2014,
tentunya akan kecil kemungkinan
persetujuan/pengesahan dokumen dimaksud dapat
diterbitkan pada akhir tahun 2014, karena tidak
mungkin tahapan proses penilaian/pemeriksaan
dilakukan dalam waktu yang singkat.
Kelima rencana usaha dan/atau kegiatan
yang telah mendapatkan Izin Lingkungan dan
diterbitkan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup
untuk dokumen Amdalnya dapat diklasifikasikan ke
dalam 3 (tiga) sektor/bidang usaha dan/atau
kegiatan meliputi sektor/bidang pertambangan,
pekerjaan umum dan pembangunan sarana/fasilitas
pendidikan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Gambar 4.8.
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-11
Gambar 4.8 Persentase Perbandingan Jumlah Dokumen Lingkungan yang Diterbitkan Persetujuan/ Pengesahannya oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat
pada Tahun 2014 per Sektor/Bidang Usaha dan/atau Kegiatan
Sumber: Olahan Tabel UP-3C Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Persentase terbesar jumlah dokumen
lingkungan yang dapat diterbitkan persetujuannya
pada tahun 2014 adalah untuk sektor kegiatan
pertambangan dan pekerjaan umum, dengan
rincian:
Sektor kegiatan pertambangan 2 dokumen
(40%).
Sektor kegiatan pekerjaan umum 2 dokumen
(40%).
Sektor pembangunan dan sarana/fasilitas
pendidikan hanya 1 dokumen (20%).
Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Rencana usaha dan/atau kegiatan yang
termasuk ke dalam sektor/bidang
pertambangan, meliputi rencana operasi
produksi tambang bijih tembaga di Kabupaten
Solok dan Kota Sawahlunto seluas 6.745 Ha
oleh PT. Intan Borneo Internasional dan
rencana pertambangan batu bara seluas 2.365
Ha di Nagari IV Koto Mudiak, Kecamatan
Batang Kapas, Kabupaten Pesisir Selatan oleh
PT. Karya Denai Barito.
2. Rencana usaha dan/atau kegiatan yang
termasuk ke dalam sektor/bidang pekerjaan
umum, meliputi rencana peningkatan ruas jalan
Painan – Kambang – Inderapura – Tapan di
Kabupaten Pesisir Selatan oleh Direktorat
Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan
Umum dan rencana pembangunan jalan tol
Padang – Sicincin sepanjang 28,8 Km di
Kabupaten Padang Pariaman oleh PT. Jasa
Marga Persero (Tbk).
3. Rencana usaha dan/atau kegiatan yang
termasuk ke dalam sektor/bidang
pembangunan sarana/fasilitas pendidikan,
yakni rencana pembangunan Balai Pendidikan
dan Pelatihan Ilmu Pelayaran Sumatera Barat
di Korong Tiram Tapakis, Kecamatan Ulakan
Tapakis, Kabupaten Padang Pariaman oleh
Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Perhubungan Kementerian Perhubungan.
Jika ditinjau dari pemrakarsa kegiatannya,
maka dari kelima dokumen lingkungan yang dapat
diterbitkan pengesahan/persetujuannya ini, 3 (tiga)
diantaranya adalah dokumen lingkungan yang
diprakarsai oleh Pemerintah/BUMN, yaitu oleh
Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian
Pekerjaan Umum, PT. Jasa Marga Persero (Tbk)
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-12
dan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Perhubungan Kementerian Perhubungan.
Sedangkan untuk 2 (dua) lainnya merupakan
dokumen lingkungan rencana usaha dan/atau
kegiatan yang diprakarsai oleh pihak swasta, yaitu
oleh PT. Intan Borneo Internasional dan PT. Karya
Denai Barito.
Pada tahun 2014 Kabupaten Lima Puluh
Kota tercatat sebagai daerah yang menerbitkan
persetujuan dokumen lingkungan terbanyak sama
seperti tahun 2013, yakni sebanyak 286 dokumen
lingkungan dengan rincian 29 UKL-UPL dan 257
SPPL, disusul oleh Kota Payakumbuh dengan 82
dokumen lingkungan dengan rincian 22 UKL-UPL
dan 60 SPPL, serta Kota Padang dengan 77
dokumen lingkungan dengan rincian 6 Amdal, 64
UKL-UPL dan 7 SPPL). Sementara untuk
kabupaten/kota yang tercatat paling sedikit
menerbitkan pengesahan/persetujuan dokumen
lingkungan adalah Kota Solok dan Kabupaten
Kepulauan Mentawai yang masing-masing hanya
menerbitkan persetujuan untuk 1 dokumen UKL-
UPL.
Tabel 4.4 Rekapitulasi Dokumen Lingkungan yang Diterbitkan Pengesahan/Persetujuannya oleh Pemerintah Kabupaten/Kota se-Sumatera Barat Tahun 2014
No. Kabupaten/Kota Dokumen Lingkungan
Jumlah Amdal* UKL-UPL** SPPL
1. Kab. Agam 2 11 - 13
2. Kab. Dharmasraya - 6 41 47
3. Kab. Kepulauan Mentawai - 1 - 1
4. Kab. Lima Puluh Kota - 29 257 286
5. Kab. Padang Pariaman 1 11 - 12
6. Kab. Pasaman - 3 45 48
7. Kab. Pasaman Barat 3 5 49 57
8. Kab. Pesisir Selatan - 36 - 36
9. Kab. Sijunjung - 15 - 15
10. Kab. Solok 4 12 16 32
11. Kab. Solok Selatan 3 5 - 8
12. Kota Bukittinggi - 12 50 62
13. Kota Padang 6 64 7 77
14. Kota Padang Panjang - 1 59 60
15. Kota Pariaman - 162 - 162
16. Kota Payakumbuh - 22 60 82
17. Kota Sawahlunto - 5 - 5
18. Kota Solok - 1 - 1
Jumlah 1008
Keterangan:**) Termasuk yang Setara/Setingkat dengan Amdal **) Termasuk yang Setara/Setingkat dengan UKL-UPL Sumber : Olahan Tabel UP-3 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Untuk dokumen lingkungan yang berskala
wajib Amdal atau UKL-UPL, pada tahun 2014
diketahui Kota Padang paling mendominasi
dibanding kabupaten/kota lainnya, yaitu dengan 6
Amdal dan 64 UKL-UPL. Dan diikuti Kabupaten
Solok 4 Amdal dan 12 UKL-UPL, Kabupaten
Pasaman Barat 3 Amdal dan 5 UKL-UPL,
Kabupaten Solok Selatan 3 Amdal dan 5 UKL-UPL
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-13
dan Kabupaten Agam 2 Amdal dan 11 UKL-UPL.
Dengan kondisi ini maka terindikasi bahwa pada
kabupaten/kota tersebut tingkat investasi rencana
usaha dan/atau kegiatan cukup tinggi.
Kabupaten Padang Pariaman terdapat 1
dokumen Amdal yang disahkan ini memang
berlokasi parsial di wilayah Kabupaten Padang
Pariaman, namun karena Pemerintah Kabupaten
Padang Pariaman belum memiliki Komisi Penilai
Amdal berlisensi maka penilaian Amdal dimaksud
dilakukan oleh Komisi Penilai Amdal Provinsi
Sumatera Barat, dan penerbitan
pengesahan/persetujuannya dilakukan oleh
Gubernur cq. Kepala BKPM Provinsi Sumatera
Barat, sehingga data 1 dokumen Amdal di
Kabupaten Padang Pariaman ini menjadi data
dokumen lingkungan yang diterbitkan
pengesahan/persetujuannya oleh Pemerintah
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat.
Beberapa kabupaten/kota lainnya cukup
banyak menerbitkan pengesahan/persetujuan
dokumen lingkungan UKL-UPL, seperti Kota
Pariaman 162 UKL-UPL, Kabupaten Pesisir Selatan
36 UKL-UPL dan Kabupaten Lima Puluh Kota 29
UKL-UPL. Sementara untuk kabupaten/kota lainnya
lebih didominasi oleh usaha dan/atau kegiatan
berskala kecil/mikro yang hanya mempersyaratkan
kewajiban memiliki SPPL.
Jika ditotalkan untuk usaha dan/atau
kegiatan berskala sedang/besar di Provinsi
Sumatera Barat yang dapat diterbitkan
persetujuannya pada tahun 2014 lebih didominasi
oleh usaha dan/atau kegiatan yang wajib UKL-UPL.
Dari 64 usaha dan/atau kegiatan yang menjadi
objek kegiatan PROPER/PROPELIKE 36
diantaranya memiliki dokumen UKL-UPL
(selebihnya adalah untuk Amdal dan beberapa
dokumen lingkungan lain yang setingkat/setara
Amdal/UKL-UPL), 15 kegiatan diantaranya
berlokasi di Kota Padang, 9 kegiatan berlokasi di
Kabupaten Pasaman Barat, dan selebihnya
tersebar di kabupaten/kota lainnya. Lebih jelasnya
terkait perbandingan jenis dokumen lingkungan dan
persebaran lokasi objek kegiatan PROPER/
PROPELIKE tahun 2014 ini dapat dilihat pada
Gambar 4.9 dan Gambar 4.9.
Gambar 4. 9 Perbandingan Jumlah/Jenis Dokumen Lingkungan Usaha dan/atau Kegiatan yang Menjadi Objek PROPER/PROPELIKE Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel UP-3D Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-14
Gambar 4.10 Jumlah Usaha dan/atau Kegiatan yang Menjadi Objek PROPER/ PROPELIKE Tahun 2014 Berdasarkan Lokasi Usaha dan/atau Kegiatan
Sumber : Olahan Tabel UP-3D Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Ditinjau dari jenis usaha dan/atau kegiatan
yang dapat diterbitkan pengesahan/persetujuan
dokumen lingkungannya di kabupaten/kota terlihat
cukup bervariasi di Kota Padang terdapat 3 jenis
usaha dan/atau kegiatan yaitu pembangunan
sarana kesehatan (rumah sakit), perhotelan dan
perbengkelan/showroom. Di Kabupaten Solok lebih
didominasi oleh usaha dan/atau kegiatan sektor
pembangunan jalan dan pertambangan rakyat
(galian C dan batuan). Sementara di Kabupaten
Pasaman Barat, kegiatan terkait pengolahan kelapa
sawit masih mendominasi, disamping beberapa
kegiatan penambangan galian C. Untuk Kabupaten
Lima Puluh Kota yang merupakan daerah terbanyak
yang menerbitkan pengesahan/persetujuan
dokumen lingkungan kegiatan yang mendominasi
adalah dari sektor pertambangan batu kapur,
peternakan ayam dan kegiatan-kegiatan industri
rumahan/kecil.
Kondisi dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor, seperti terbatasnya eksistensi sumber daya
alam yang disebabkan oleh alokasi kawasan
budidaya yang juga terbatas pada rencana tata
ruang wilayah dan rendahnya tingkat investasi pada
suatu daerah. Khusus untuk Amdal, sebagian dari
kabupaten/kota tersebut sebenarnya memiliki
potensi/peluang investasi yang cukup tinggi tetapi
masih banyaknya Pemerintah Kabupaten/Kota di
Sumatera Barat yang belum memiliki Komisi Penilai
Amdal yang berlisensi, sehingga proses penilaian
Amdal dilimpahkan ke Komisi Penilai Amdal
Provinsi, maka secara otomatis pengesahan/
persetujuan Amdal yang berlokasi di
kabupaten/kota yang tidak berlisensi tercatat
sebagai data dokumen lingkungan yang disahkan
oleh provinsi. Dengan dikeluarkannya PermenLH
N0. 08 tahun 2013, maka kedepan terhadap
dokumen Amdal yang dinilai oleh KPA Provinsi
(yang dikarenakan di kabupaten/kota yang
bersangkutan belum memiliki KPA berlisensi) tidak
lagi tercatat sebagai data jumlah dokumen
lingkungan yang diterbitkan pengesahan/
persetujuan oleh provinsi, karena sesuai dengan
ketentuan dalam pasal 19 PermenLH No. 08 Tahun
2013 terhadap hal ini , Surat Keputusan Kelayakan
Lingkungan Hidup (SKKL) dan Izin Lingkungannya
akan diterbitkan oleh Bupati/Walikota yang
bersangkutan sesuai kewenanangan atas dasar
rekomendasi hasil penilaian Amdal dimaksud dari
Ketua KPA Provinsi.
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-15
Dengan mengakumulasi data jumlah
dokumen lingkungan yang diterbitkan
pengesahan/persetujuannya oleh Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di
Sumatera Barat, maka dari Gambar 4.11 dapat
diketahui pula bahwa jenis dokumen lingkungan
yang paling banyak diterbitkan persetujuannya pada
tahun 2014 di Sumatera Barat adalah SPPL, yakni
sebanyak 584 dokumen untuk UKL-UPL sebanyak
401 dokumen dan untuk Amdal sebanyak 23
dokumen. Jumlah dokumen lingkungan yang
diterbitkan pengesahan/persetujuannya pada tahun
2014 adalah sebanyak 1.008 dokumen. Jumlah ini
mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari
jumlah dokumen lingkungan yang dapat diterbitkan
pengesahan/persetujuannya pada tahun 2013 yang
hanya mencapai 800 dokumen.
Gambar 4.11 Perbandingan Jumlah dan Jenis Dokumen Lingkungan yang Diterbitkan Pengesahan/Persetujuannya di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber: Olahan Tabel UP-3 dan UP-3B Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Sementara dari 23 dokumen Amdal yang
diterbitkan pengesahan/persetujuannya pada tahun
2014, 5 (lima) diantaranya merupakan dokumen
lingkungan yang dinilai pada Komisi Penilai Amdal
Provinsi Sumatera Barat dan diterbitkan
persetujuannya oleh Pemerintah Provinsi Sumatera
Barat. Sedangkan untuk 18 dokumen Amdal yang
dinilai oleh Komisi Penilai Amdal kabupaten/kota
persetujuannya di terbitkan oleh Bupati/Walikota
yang bersangkutan. Dari kondisi ini dapat
disimpulkan bahwa sebagian Komisi Penilai Amdal
Kabupaten/Kota sudah dapat menjalankan
fungsinya dengan optimal, walaupun beberapa
Komisi Penilai Amdal Kabupaten/Kota terindikasi
juga ada yang belum dapat menjalankan fungsinya
secara optimal, seperti Kabupaten Tanah Datar dan
Kota Padang Panjang yang sama sekali tidak
pernah menilai dokumen Amdal pada tahun 2014
bahkan diketahui kedua komisi ini belum pernah
menilai Amdal sejak lisensi komisinya diterbitkan.
Kondisi ini merupakan cerminan rendahnya tingkat
investasi di daerah tersebut disamping juga memiliki
instansi lingkungan hidup berbentuk Kantor, seperti
Kota Padang Panjang. Sedangkan di sisi lain, ada
kabupaten/kota yang cukup tinggi tingkat
investasinya dan sudah memiliki instansi lingkungan
hidup berbentuk Badan malah belum memiliki
Komisi Penilai Amdal yang berlisensi, seperti
Kabupaten Pesisir Selatan dan Kabupaten
Dharmasraya.
Selain itu hingga akhir tahun 2014 hanya 5
(lima) kabupaten/kota yang lisensi Komisi Penilai
Amdal-nya masih berlaku, yakni Kota Padang,
Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Solok
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-16
Selatan, Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten
Lima Puluh Kota. Tiga kabupaten diantaranya juga
akan habis lisensi komisinya pada awal tahun 2015
(Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Tanah Datar
dan Kabupaten Lima Puluh Kota). Ironisnya,
kabupaten/kota yang lisensi Komisi Penilai
Amdalnya telah habis pada tahun 2014 adalah
kabupaten/kota yang cukup tinggi tingkat investasi,
seperti Kabupaten Solok dan Kabupaten Solok
Selatan. Kedua kabupaten ini terkendala beberapa
persyaratan dalam upaya memperpanjang lisensi
komisinya tersebut, salah satunya terkait
status/kapasitas kelembagaan instansi lingkungan
hidup yang masih berbentuk Kantor (setingkat
eselon III).
4.2.1.2. Pengawasan Izin Lingkungan (AMDAL,
UKL/UPL, Surat Pernyataan
Pengelolaan Lingkungan (SPPL)
Pengawasan terhadap pelaksanaan izin
lingkungan dilakukan oleh Provinsi Sumatera Barat,
dan kabupten/kota di Provinsi Sumatera Barat
terhadap beberapa aspek yang terdiri dari
pelaksanaan dokumen lingkungan, pengendalian
pencemaran air, pengendalian pencemaran udara
dan pengelolaan limbah berbahaya dan beracun.
Pengawasan terbanyak dilakukan Kota Padang
yaitu 80 objek/kegiatan. Adapun jumlah
pengawasan yang dilakukan oleh Provinsi dan
Kabupaten/Kota secara lengkap dapat dilihat dalam
Gambar 4.12 berikut.
Gambar 4.12 Pengawasan Yang dilakukan Provinsi dan Kab/Kota di Sumatera Barat
0102030405060708090
Sumber : OlahanTabel UP-4 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
4.3. PENEGAKAN HUKUM
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup merupakan upaya sistematis dan terpadu
yang dilakukan untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup dan mencegah terjadinya
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan
penegakan hukum.
Salah satu instrument pencegahan
dan/atau kerusakan lingkungan hidup adalah
perizinan yang meliputi Izin Lingkungan dan Izin
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dari perizinan tersebut dapat diketahui kewajiban
yang harus dipenuhi oleh pemilik usaha dan/atau
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-17
kegiatan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan di bidang lingkungan hidup. Implementasi
dari kewajiban sebagaimana tertuang pada
perizinan sebagai pedoman dalam melakukan
pengawasan maupun verifikasi pengaduan
lingkungan hidup terhadap ketaatan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang
telah ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
Hasil dari pengawasan maupun verifikasi
lapangan terhadap pengaduan yang masuk adalah
ada tidaknya pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
Apabila ditemukan adanya pelanggaran, maka
dilakukan upaya penegakan hukum baik sanksi
administrasi, penegakan hukum perdata maupun
penegakan hukum pidana. Pemberian sanksi
administrasi tidak membebaskan penanggungjawab
usaha dan/atau kegiatan dari tanggungjawab
pemulihan dan pidana.
4.3.1. Bentuk Upaya Penegakan Hukum
4.3.1.1. Pengaduan Masalah Lingkungan
Menurut Jenis Masalah
Hak masyarakat untuk mendapatkan
lingkungan hidup yang bersih dan sehat yang
merupakan hak asasi manusia dan setiap orang
berhak melakukan pengaduan akibat dugaan
pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup.
Pengaduan dapat disampaikan secara lisan
dan/atau tertulis.
Setiap pengaduan yang masuk akan
dilakukan klasifikasi berdasarkan jenis pengaduan
(pengaduan lingkungan atau bukan pengaduan
lingkungan) dan kewenangan penanganan
pengaduan (kewenangan pemerintah atau
pemerintah provinsi atau pemerintah
kabupaten/kota). Sekaitan dengan pengaduan,
aparat pengelola lingkungan hidup mempunyai
peran penting dalam penanganan terhadap
informasi yang mengindikasikan terjadinya
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup,
karena merupakan tugas dan wewenang yang
terkait dengan upaya-upaya dalam mengantisipasi
penyebaran dampak dari kasus-kasus lingkungan,
antara lain mengembangkan dan melaksanakan
kebijakan pengelolaan pengaduan masyarakat,
melakukan penegakan hukum dan memfasilitasi
penyelesaian sengketa.
A. Pengaduan yang ditangani/difasilitasi oleh
Bapedalda Provinsi Sumatera Barat
Pengaduan yang difasilitasi pada tahun
2014 sebanyak 13 pengaduan baik pengaduan
ditujukan ke Bapedalda Provinsi Sumatera Barat
atau tembusan, pelimpahan dari Kementerian
Lingkungan Hidup maupun sengketa lingkungan
hidup lanjutan dari tahun sebelumnya dan sebagian
besar merupakan kewenangan kabupaten/kota
yaitu sebanyak 10 pengaduan sehingga
ditindaklanjuti dengan penyampaian surat ke
Bupati/Walikota terkait tanpa dilakukan verifikasi
lapangan karena setelah dilakukan koordinasi,
didapatkan informasi bahwa verifikasi lapangan
sudah dilakukan oleh instansi lingkungan
kabupaten/kota yang bersangkutan. Pengaduan
yang merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi
sebanyak 3 pengaduan dan ditindaklanjuti dengan
melakukan verifikasi lapangan. Secara umum
persentase penanganan pengaduan yang masuk
berdasarkan kewenangan seperti terlihat pada
Gambar 4.13.
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-18
Gambar 4.13 Persentase Penanganan Pengaduan Tahun 2014 yang Difasilitasi oleh Bapedalda Provinsi Sumatera Barat Berdasarkan Kewenangan
Sumber : Olahan Tabel UP-5 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Jika dibandingkan dengan pengaduan
tahun 2011 sebanyak 7 pengaduan, tahun 2012
sebanyak 6 pengaduan, tahun 2013 sebanyak 14
pengaduan dan tahun 2014 sebanyak 13
pengaduan, terjadi fluktuasi jumlah pengaduan. Hal
ini disebabkan karena permasalahan pengaduan
lingkungan setiap tahunnya tidak dapat diprediksi.
Berdasarkan sektor kegiatan dan/atau
usaha yang penanganan pengaduannya difasilitasi
oleh Bapedalda Provinsi Sumatera Barat dapat
digolongkan menjadi 6 (enam) sektor yaitu :
1. Sektor Agroindustri 5 pengaduan.
2. Sektor industri 1 pengaduan.
3. industri semen 1 (satu) kasus (sengketa
lingkungan hidup).
4. Sektor rumah sakit 1 (satu) pengaduan.
5. Sektor pertambangan 2 (dua) pengaduan dan
1 (satu) sengketa lingkungan hidup.
6. Sektor peternakan 1 (satu) pengaduan.
7. Sektor lainnya (ruko) 1 (satu) pengaduan.
Pengaduan/kasus lingkungan hidup yang
difasilitasi penanganannya oleh Bapedalda Provinsi
Sumatera Barat periode 2011 sampai dengan 2014
berdasarkan sektor kegiatan dapat dilihat pada
Gambar 4.14 dibawah ini.
Gambar 4.14 Pengaduan/Kasus Lingkungan Hidup Berdasarkan Sektor Kegiatan Yang Penanganannya Difasilitasi oleh Bapedalda Provinsi Sumatera Barat
Sumber : Olahan data Tabel UP 5 Buku data SLHD Provinsi Sumbar Tahun 2014
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-19
B. Pengaduan yang ditangani oleh Instansi
Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota di
Provinsi Sumatera Barat.
Selama Tahun 2014 pengaduan yang
paling banyak diterima oleh Kota Padang yaitu
sebanyak 20 pengaduan disusul Kota Parimanan
sebanyak 9 (sembilan) pengaduan, Kabupaten
Agam sebanyak 8 (delapan) pengaduan dan
Kabupaten Lima Puluh Kota sebanyak 7 (tujuh)
pengaduan. Sementara itu jumlah pengaduan yang
sedikit terdapat pada Kota Solok sebanyak 1 (satu)
pengaduan, Kabupaten Solok Selatan sebanyak 2
(dua) pengaduan. Hasil pengaduan masing-masing
kabupaten/kota terlihat pada Gambar 4.15.
Gambar 4.15 Jumlah Pengaduan Lingkungan Kabupaten/Kota di Sumatera Barat Tahun 2014.
Sumber : Olahan Tabel UP-5A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat,2014
Kota Padang sebagai Ibukota Provinsi
Sumatera Barat, merupakan kabupaten/kota
dengan jumlah pengaduan terbanyak yang
dikarenakan memiliki jumlah penduduk dan pemilik
kegiatan dan/atau usaha paling banyak jika
dibandingkan dengan kabupaten/kota yang ada di
Provinsi Sumatera Barat. Hal ini berdampak pada
kompleksnya permasalahan yang dihadapi dan
ditangani oleh Pemerintah Kota Padang. Jumlah
pengaduannya di Kota Pariaman cukup banyak
setelah Kota Padang dimana pengaduan yang
masuk didominasi oleh sektor kesehatan dan
peternakan.
Tidak semua kabupaten/kota memiliki pos
pengaduan. Salah satu kabupaten/kota yang
memiliki pos pengaduan yaitu Badan Pengelolaan
Lingkungan Hidup Kabupaten Agam. Komitmen
Kabupaten Agam dalam penanganan pengaduan
yang masuk di tindaklanjuti dengan baik.
Berdasarkan sumber kegiatan dan/atau usaha
yang diadukan di kabupaten/kota, dapat
digolongkan menjadi 11 sektor yaitu :
1. Agroindustri sebanyak 8 pengaduan.
2. Industri kecil sebanyak 9 pengaduan.
3. Perumahan dan Ruko sebanyak 9 pengaduan.
4. Industri menengah sebanyak 3 pengaduan.
5. Kesehatan (RS) sebanyak 9 pengaduan.
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-20
6. Pertambangan sebanyak 15 pengaduan.
7. Peternakan sebanyak 15 pengaduan.
8. Energi sebanyak 2 pengaduan.
9. Pariwisata/Perhotelan sebanyak 3 pengaduan.
10. Telekomunikasi/tower sebanyak 2 pengaduan.
11. Lainnya yang meliputi fenomena alam,
pembebasan lahan, perizinan, show room
mobil.
4.3.1.2. Status Pengaduan Masyarakat
Penanganan pengaduan yang difasilitasi
oleh Bapedalda Provinsi Sumatera Barat berasal
dari :
1. Pengaduan yang masuk ke Bapedalda
Provinsi Sumatera Barat secara tertulis baik
ditujukan langsung ke Kepala Bapedalda
Provinsi Sumatera Barat maupun sebagai
tembusan.
2. Pengaduan secara langsung ke Bapedalda
Provinsi Sumatera Barat.
3. Pelimpahan penanganan pengaduan dari
Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan.
4. Pelimpahan penanganan pengaduan dari
Pemerintahan kabupaten/kota.
5. Pengaduan yang ditujukan kepada
Pemerintahan kabupaten/kota tetapi
pelaksanaan verifikasi lapangan dilaksanakan
secara terkoordinasi dengan Pemerintahan
kabupaten/kota terkait.
6. Data hasil inventarisasi terhadap pengaduan
yang ditangani oleh Pemerintah
kabupaten/kota.
Dalam melakukan fasilitasi penanganan pengaduan
dilaksanakan dengan mekanisme sebagai berikut: :
1. Apabila bukan pengaduan lingkungan, maka
pengaduan tersebut diteruskan kepada
instansi terkait dengan tembusan kepada
pengadu.
2. Apabila termasuk pengaduan lingkungan dan
merupakan kewenangan pemerintah, maka
dilakukan verifikasi awal secara terkoordinasi
dengan pemerintah kabupaten/kota terkait
pada sumber dampak atau penerima dampak
yang berada di Provinsi Sumatera Barat.
3. Apabila termasuk pengaduan lingkungan dan
merupakan kewenangan kabupaten/kota,
maka penanganan pengaduan diserahkan
kepada instansi kabupaten/kota yang
bertangungjawab, jika tidak ditindaklanjuti
pemerintah kabupaten/kota dalam jangka
waktu tertentu maka dilakukan verifikasi
lapangan secara terkoordinasi dan terintegrasi
bersama-sama dengan pemerintah
kabupaten/kota.
4. Apabila termasuk pengaduan lingkungan dan
merupakan kewenangan pemerintah provinsi,
maka dilakukan verifikasi lapangan secara
terkoordinasi dan terintegrasi bersama-sama
dengan pemerintah kabupaten/kota.
Status pengaduan yang difasilitasi
penanganannya oleh Bapedalda Provinsi Sumatera
Barat seperti terlihat pada Tabel 4.5 dibawah ini.
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-21
Tabel 4.5 Status Penanganan Pengaduan yang Difasilitasi oleh Bapedalda Provinsi Sumatera Barat Selama Tahun 2014
No Masalah Yang Diadukan Status
1. Pelimpahan penanganan pengaduan dari Kementerian Lingkungan Hidup ke Bapedalda Provinsi Sumatera Barat. Keberatan warga Jorong Simpang Nagari Parik, Kecamatan Koto Balingka Kabupaten Pasaman Barat terhadap Rencana pembangunan pabrik kelapa sawit PT. Usaha Sawit Mandiri karena lokasinya dekat dengan pemukiman.
Selesai Catatan : Penyerahan penanganan pengaduan ke Pemerintah Kabupaten Pasaman Barat. Telah ditindak lanjuti oleh Pemkab Pasaman Barat dan hasilnya disampaikan ke Bapedalda Provinsi Sumatera Barat.
2. Penolakan rencana pembangunan pabrik kelapa sawit oleh PT. Wira Inno Mas yang berlokasi di daerah Teluk Bungus Kecamatan Teluk Kabung Kota Padang.
Selesai Catatan : Penyerahan penanganan pengaduan ke Pemerintah Kota Padang. Dari hasil koordinasi dan inventarisasi diperoleh informasi bahwa lokasi rencana kegiatan pembangunan Pabrik Kelapa Sawit tersebut dibatalkan.
3. Pelimpahan penanganan pengaduan dari Kementerian Lingkungan Hidup ke Bapedalda Provinsi Sumatera Barat. Dugaan pencemaran Sungai Batang Anai akibat limbah kegiatan oleh PT. Bumi Sarimas Indonesia di Kabupaten Padang Pariaman sebagaimana Pemberitaan surat kabar Minang News edisi 16 Tahun 1 Oktober 2013.
Masih menunggu tindaklanjut dari Kementerian Lingkungan Hidup terkait penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Catatan : Sudah ditindaklanjuti oleh Bapedalda Provinsi Sumatera Barat dan Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Padang Pariaman dengan memberikan penjelasan pada pihak surat kabar Minang News. PT. Bumi Sarimas Indonesia sejak Tahun 2013 sudah menjadi objek penyelesaian sengketa lingkungan hidup oleh Kementerian Lingkungan Hidup.
4. Gangguan kebersihan dan kesehatan lingkungan masyarakat Kelurahan Simpang Rumbio Kota Solok terhadap limbah domestik yang berasal dari ruko yang berlokasi Simpang Pulai Jorong Subarang Nagari Koto Baru Kabupaten Solok.
Selesai Catatan : Verifikasi lapangan secara terkoordinasi antara Bapedalda Provinsi Sumatera Barat, Pemerintah Kabupaten Solok dan Pemerintah Kota Solok.
5. Bau tidak sedap yang berasal dari peternakan ayam petelur dan ayam potong CV. Gunung Nago yang berlokasi di Gaduik Gadang Koto Baru Kecamatan Pauh Kota.
Selesai Catatan : Penyerahan penanganan pengaduan ke Pemerintah Kota Padang. Dari hasil koordinasi dan inventarisasi diperoleh informasi bahwa pengaduan tersebut telah ditindaklanjuti oleh Bapedalda Kota Padang.
6. Pencemaran pada sumber air bersih masyarakat dan kerusakan pada sawah disekitar lokasi kegiatan penambangan PT. Bintang Utama Persada di Nagari Lolo Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Solok.
Selesai Catatan : Penyerahan penanganan pengaduan ke Pemerintah Kabupaten Solok. Dari hasil koordinasi yang telah dilakukan bahwa pengaduan tersebut sudah ditindaklanjuti oleh Pemkab Solok dengan melakukan pertemuan antara masyarakat yang terkena dampak dengan pihak perusahaan dan telah ada kesepakatan.
7. Permintaan klarifikasi dari Ombudsman berkenaan dengan dugaan pencemaran lingkungan akibat galian C di Nagari Aia Dingin Kecamatan Lembah Gumanti Kabupaten Solok terhadap Pemberitaan media cetak Koran Padang terbitan hari Selasa tanggal 18 Februari 2014.
Selesai Catatan : Penyerahan penanganan pengaduan ke Pemerintah Kabupaten Solok.
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-22
1 2 3
8. Sengketa Lingkungan Hidup akibat kerusakan perkebunan masyarakat oleh kegiatan penambangan batuan di Sungai Batang Timah oleh PT. Hariyona
Masih menunggu tindaklanjut dari Kementerian Lingkungan Hidup terkait penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Catatan : Verifikasi lapangan secara terkoordinasi antara Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, Pemerintah Kabupaten Pasaman dan Pemerintah Kabupaten Pasaman Barat. Penyampaian hasil verifikasi lapangan ke Kementerian Lingkungan Hidup karena PT. Hariyona menjadi objek penyelesaian sengketa lingkungan hidup oleh Kementerian Lingkungan Hidup.
9. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup antara PT. Semen Padang dengan Masyarakat HO Ranah Cubadak RW V, VI VII Kelurahan Indarung Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang akibat debu dari aktifitas grate cooler yang menyebabkan kerusakan pada atap rumah masyarakat komplek HO yang berada disekitar lokasi Pabrik PT. Semen Padang dan debu dari aktifitas stock pile batubara.
Masih dalam proses Inventarisasi dan Indentifikasi perumahan masyarakat HO Ranah Cubadak RW V, VI VII yang terkena dampak. Catatan : Verifikasi secara terkoordinasi antara Tim Kementerian Lingkungan Hidup, Tim Bapedalda Provinsi Sumatera Barat dengan Bapedalda Kota Padang. Hasil verifikasi lapangan dilakukan klarifikasi kepada para pihak yang bersengketa oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan sudah ada beberapa kesepakatan serta dibentuknya Tim Inventarisasi dan Indentifikasi terhadap kerusakan perumahan masyarakat HO Ranah Cubadak RW V, VI VII.
10. Dugaan pencemaran udara yang berasal dari cerbong insinerator Rumah Sakit Islam Ibnu Sina Bukittinggi yang mengakibatkan keresahan masyarakat dan menimbulkan bau yang tidak sedap
Selesai Catatan : Verifikasi lapangan secara terkoordinasi antara Bapedalda Provinsi Sumatera Barat dengan Kantor Lingkungan Hidup Kota Bukittinggi. Hasil verifikasi lapangan telah disampaikan melalui surat follow up.
11. Pembakaran tandan kosong kelapa sawit yang dilakukan oleh PT. Sari Buah Sawit di Kabupaten Pasaman Barat dengan menggunakan tungku bakar yang mengakibatkan gangguan kepada masyarakat di sekitar lokasi kegiatan akibat asap
Selesai Catatan : Verifikasi lapangan dilakukan secara terkoordinasi antara Tim Bapedalda Provinsi Sumatera Barat dengan Badan Lingkungan Hidup Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Pasaman Barat dengan disaksikan oleh pihak pengadu. Hasil verifikasi lapangan telah disampaikan melalui surat follow up.
12. Dugaan pencemaran Limbah dan Janjangan kosong dari kegiatan PT. Berkat Sawit Sejahtera di Kabupaten Pasaman Barat
Selesai Catatan : Verifikasi lapangan dilakukan secara terkoordinasi antara Tim Bapedalda Provinsi Sumatera Barat dengan Tim Pemerintah Kabupaten Pasaman Barat. Hasil verifikasi lapangan telah disampaikan melalui surat follow up.
13. Dugaan pencemaran udara dan air akibat kegiatan penyulingan minyak pala dan usaha tahu di Kabupaten Pesisir Selatan.
Selesai Catatan : Verifikasi lapangan secara terkoordinasi antara Tim Bapedalda Provinsi Sumatera Barat dan Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan dengan melibatkan masyarakat pengadu. Hasil verifikasi lapangan telah disampaikan melalui surat follow up.
Sumber: Olahan Tabel UP-5 Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2014
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-23
Pengaduan yang masuk ke kabupaten/kota
sebagian besar telah ditindaklanjuti, namun masih
belum semua disebabkan karena :
1. Masih terbatasnya PPLHD pada instansi
lingkungan hidup di kabupaten/kota, bahkan
ada yang belum memiliki PPLHD, sedangkan
penanganan pengaduan/kasus lingkungan
hidup harus ditangani oleh PPLHD.
2. Masih terdapat beberapa penanganan
pengaduan/kasus lingkungan hidup yang
masih dalam proses penyelesaian sampai
akhir tahun.
3. Ada beberapa pengaduan/kasus lingkungan
hidup yang telah dilakukan verifikasi lapangan
dan penyelesaiannya diserahkan ke
Kementerian Lingkungan Hidup.
Perbandingan jumlah pengaduan yang
masuk dengan jumlah pengaduan yang
terselesaikan penanganannya pada beberapa
kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat dapat
dilihat pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6 Perbandingan Jumlah Pengaduan/Kasus Lingkungan Hidup yang Masuk dengan yang
diselesaikan pada Beberapa Kabupaten/Kota Tahun 2014
No Kabupaten/Kota Jumlah Pengaduan
yang Masuk/Dilaporkan Tahun 2014
Jumlah Pengaduan yang Belum Selesai
Penanganannya Tahun 2014
1 Kota Padang 20 -
2 Kota Bukittinggi 5 1
3 Kota Padang Panjang 4 4
4 Kota Payakumbuh 5 5
5 Kota Pariaman 9 3
6 Kabupaten Solok Selatan 2 2
7 Kabupaten Padang Pariaman 5 4
8 Kabupaten Pesisir Selatan 4 1
9 Kabupaten Sijunjung 3 -
10 Kabupaten Solok 4 -
11 Kabupaten Dharmasraya 5 -
12 Kabupaten Agam 8 -
13 Kabupaten Lima Puluh Kota 9 -
14 Kabupaten Pasaman 5 1
Sumber : Olahan Tabel UP-5 Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2014
4.3.2. Tingkat Keberhasilan
Setiap pengaduan yang masuk ke
Bapedalda Provinsi Sumatera Barat baik
kewenangan pemerintah, pemerintah provinsi
maupun pemerintah kabupaten/kota akan
ditindaklanjuti dengan mempedomani Peraturan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 09 Tahun
2010 tentang Tata Cara Pengaduan dan
Penanganan Pengaduan Akibat Dugaan
Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan
Hidup. Fasilitasi penanganan pengaduan tersebut
baik dilakukan secara administrasi maupun
verifikasi lapangan secara terkoordinasi dengan
Kementerian Lingkungan Hidup, Instansi terkait di
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat maupun
Instansi Lingkungan Hidup dan Instansi teknis
terkait Pemerintah Kabupaten/Kota terkait.
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-24
Dari 13 fasilitasi pengaduan yang telah
dilakukan 10 pengaduan telah selesai
penanganannya, namun masih terdapat 3 sengketa
lingkungan yang masih dalam proses penyelesaian
yaitu :
1. 1 (satu) sengketa telah diselesaikan dengan
melakukan verifikasi lapangan secara
terkoordinasi antara Tim Bapedalda Provinsi
Sumatera Barat dengan Pemerintah
Kabupaten Pasaman dan Pemerintah
Kabupaten Pasaman Barat, hasilnya telah
disampaikan ke Kementerian Lingkungan
Hidup, sampai saat ini masih menunggu
tindaklanjut dari Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan.
2. 1 (satu) sengketa telah diselesaikan dengan
melakukan verifikasi lapangan secara
terkoordinasi antara Kementerian Lingkungan
Hidup dengan Tim Bapedalda Provinsi
Sumatera Barat dan Pemerintah Kabupaten
Padang Pariaman yang merupakan
pengaduan yang berulang dan sampai saat ini
masih menunggu tindaklanjut dari
Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan.
3. 1 (satu) sengketa telah dilakukan verifikasi
lapangan secara terkoordinasi antara Tim
Bapedalda Provinsi Sumatera Barat, Tim
Kementerian Lingkungan Hidup dan
Pemerintah Kota Padang dan telah ada
kesepakatan antara para pihak, sampai saat
ini masih dalam proses inventarisasi terhadap
perumahan yang terkena dampak.
Terdapat beberapa faktor penunjang yang
menyebabkan tingkat penyelesaian pengaduan
lingkungan hidup cukup tinggi antara lain :
1. Kegiatan pembinaan oleh Bapedalda Provinsi
Sumatera Barat terhadap instansi lingkungan
hidup kabupaten/kota dalam rangka
meningkatkan koordinasi dan pemahaman
dalam penyelesaian kasus-kasus lingkungan.
2. Kegiatan inventarisasi kasus/pengaduan
terhadap Kabupaten/Kota guna melengkapi
data-data kasus yang terdapat di
Kabupaten/Kota, sehingga dapat diketahui
objek kasus/pengaduan yang perlu
ditindaklanjuti dengan melaksanakan verifikasi
secara terkoordinasi.
3. Pada tahun 2014 sumber pendanaan untuk
penanganan kasus/pengaduan berasal dari
dana APBN dan APBD.
4. Pada beberapa kasus/pengaduan dilakukan
verifikasi pengaduan secara terkoordinasi
antara Bapedalda Provinsi Sumatera Barat
dan Pemerintah kabupaten/kota sehingga
pengaduan yang belum dilakukan verifikasi
lapangan karena instansi lingkungan hidup
tidak memiliki PPLHD dapat terselesaikan.
5. Peningkatan kapasitas PPLHD se-Sumatera
Barat melalui kegiatan Bimbingan Teknis yang
diselenggarakan oleh Bapedalda Provinsi
Sumatera Barat.
4.4. PERANSERTA MASYARAKAT
Dengan memperhatikan permasalahan
sumber daya alam dan lingkungan hidup dewasa
ini, usaha pelestarian akan selalu merupakan suatu
usaha yang dinamis, baik dari segi tantangan yang
dihadapi maupun jalan keluarnya.
Kondisi lingkungan yang semakin hari
semakin parah dengan semakin banyaknya
pelanggaran masalah lingkungan misalnya
pencemaran, perusakan hutan dan lahan, illegal
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-25
logging, illegal fishing, semakin membutuhkan
perhatian berbagai pihak .
4.4.1. Jumlah Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) Lingkungan Hidup
Keikutsertaan masyarakat dalam
mengawal kelestarian lingkungan setidaknya
memberikan gambaran positif untuk kepeduliannya
terhadap lingkungan. Sehubungan dengan
permasalahan tersebut TAP MPR No. IV/MPR/2002
antara lain merekomendasikan untuk menerapkan
prinsip-prinsip Good Governmental Governance
secara konsisten dengan menegakkan prinsip-
prinsip Rule of Law. Tranparansi, akuntabilitas dan
partisipasi masyarakat. Dalam hubungan ini , perlu
diusahakan agar masyarakat umum sadar dan
mempunyai informasi yang cukup tentang masalah
yang dihadapi dan mempunyai keberdayaan dalam
berperan serta pada proses pengambilan
keputusan demi kepentingan orang banyak. Hal ini
dapat dilihat dari berkembangnya jumlah LSM
Lingkungan yang ada pada Kabupaten/kota di
Provinsi Sumatera Barat sebagai berikut.
Gambar 4.16 Jumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lingkungan Hidup
Sumber : Olahan Tabel UP-6 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Permasalahan lingkungan hidup dan
kaitannya dengan kepedulian masyarakat masing-
masing kabupaten/kota berbeda, hampir signifikan
dengan tingkat pendidikan dan sebaran
penduduknya. Kabupaten Solok Selatan,
Kabupaten Pasaman Barat dan Kabupaten
Dharmasraya yang merupakan kabupaten
pemekaran, masyarakat yang peduli lingkungan
yang terhimpun dalam LSM juga baru muncul.
Sejalan dengan otonomi daerah, pelimpahan
wewenang kepada pemerintahan daerah di bidang
pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian
lingkungan mengandung maksud untuk
meningkatkan peran masyarakat lokal dalam
pengelolaan lingkungan hidup. Pada beberapa
kabupaten/kota seperti Kota Padang Panjang, Kota
Bukittinggi, Kota Pariaman dan Kota Sawahlunto
tidak tercatat LSM lingkungan yang resmi terdaftar,
hal ini disebabkan kepedulian yang muncul masih
bersifat temporer, dalam bentuk aksi spontan
pembelaan masyarakat terhadap kondisi lingkungan
yang sedang mengalami krisis.
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-26
Gambar 4.17 Jumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lingkungan Hidup per Kabupaten/Kota
Sumber : Olahan Tabel UP-6A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Dalam upaya meningkatkan keberdayaan
pedesaan dan perkotaan serta adat terhadap
lingklungan hidup, memerlukan upaya
pemberdayaan dan pemihakan kepada masyarakat
dalam menghadapi berbagai masalah struktural
yang tidak dapat dipecahkan oleh masyarakat
sendiri yang bersentuhan dengan pengelolaan dan
pelestarian lingkungan hidup.
Salah satu upaya yang diperlukan adalah
melalui peningkatan kapasitas organisasi sosial dan
ekonomi masyarakat yang dibentuk oleh
masyarakat setempat sebagai wadah bagi
pengembangan interaksi sosial, penguatan
ketahanan sosial, pengelolaan potensi masyarakat
setempat dan sumber daya dari pemerintah, serta
wadah partisipasi dalam pengambilan keputusan
publik. Upaya ini diharapkan dapat
mengembangkan organisasi sosial masyarakat
setempat.
Persoalan-persoalan lingkungan yang
mengemuka yang menyebabkan disharmoni dan
ketidakseimbangan lingkungan meningkatkan
aspirasi masyarakat setempat, setidaknya ini
tergambar dari peningkatan penambahan jumlah
LSM yang tersebar pada kabupaten/kota yang ada
di Provinsi Sumatera Barat.
Gambar 4.18 Perbandingan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lingkungan Hidup
per Kabupaten/Kota Tahun 2013 - 2014
Sumber : Olahan Tabel UP-6A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-27
4.4.2. Penerima Penghargaan Lingkungan
Hidup
4.4.2.1. Penerima Penghargaan Program
Adiwiyata
Sejalan dengan pertumbuhan
pembangunan yang semakin pesat baik
pembangunan fisik maupun pembangunan sumber
daya manusia, maka arah kebijakan pembangunan
kedepan mengacu pada pola pembangunan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Salah
satu kebijakan yang sekarang sedang digalakkan
untuk dikembangkan dalam rangka mengantisipasi
hal tersebut adalah pengembangan program
Adiwiyata.
Sebagai bentuk apresiasi dari pemerintah
kepada sekolah-sekolah yang berpartisipasi
terhadap program Adiwiyata, maka pemerintah
memberikan penghargaan dalam 4 kategori yakni
penghargaan Sekolah Adiwiyata Tingkat
Kabupaten/Kota, Penghargaan Sekolah Adiwiyata
Tingkat Provinsi, Penghargaan Sekolah Adiwiyata
Tingkat Nasional dan Penghargaan Sekolah
Adiwiyata Mandiri.
Penghargaan Adiwiyata Tingkat
Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota,
Penghargaan Adiwiyata Tingkat Provinsi ditetapkan
oleh Gubernur sedangkan Penghargaan Sekolah
Adiwiyata Nasional dan Mandiri ditetapkan oleh
Menteri Lingkungan Hidup. Penghargaan Sekolah
Adiwiyata Tingkat Provinsi Sumatera Barat tahun
2014 ditetapkan melalui Keputusan Gubernur
Sumatera Barat Nomor 668-865-2014 tanggal 9
Desember 2014.
Peserta Program Adiwiyata tahun 2014 di
Provinsi Sumatera Barat diikuti oleh 14
kabupaten/kota sedangkan 5 (lima) kabupaten/kota
lainnya tidak mengikuti. Kota Padang terbanyak
memperoleh penghargaan sekolah Adiwiyata tahun
2014 yaitu dengan 14 penghargaan yang terdiri dari
7 (tujuh) penghargaan Sekolah Adiwiyata Nasional
dan 7 (tujuh) penghargaan Sekolah Adiwiyata
Tingkat Provinsi, disusul kemudian oleh Kota Solok
dengan 8 penghargaan yang terdiri dari 3 (tiga)
penghargaan Sekolah Adiwiyata Nasional dan 5
(lima) penghargaan Sekolah Adiwiyata Tingkat
Provinsi. Kota yang paling sedikit menerima
penghargaan Sekolah Adiwiyata tahun 2014 adalah
Kota Padang Panjang yakni 1 (satu) penghargaan
Adiwiyata Nasional. Kabupaten yang terbanyak
memperoleh penghargaan Sekolah Adiwiyata tahun
2014 adalah Kabupaten Pasaman dan Kabupaten
Padang Pariaman dengan masing-masing 6 (enam)
penghargaan. Kabupaten Pasaman dengan 3 (tiga)
Program Adiwiyata adalah program pemerintah dari Kementerian Lingkungan Hidup yang
bertujuan untuk menciptakan sekolah yang berwawasan lingkungan dengan melakukan
kegiatan-kegiatan pengelolaan dan pelestarian lingkungan yang berorientasi pada upaya
peningkatan pengetahuan lingkungan terhadap anak-anak terutama anak-anak yang
berada pada jenjang pendidikan dasar dan menengah untuk membentuk watak dan
karakter anak sejak dini agar cinta dan peduli terhadap upaya pelestarian lingkungan
hidup. Hal prinsip dalam program Adiwiyata adalah edukasi, partisipasi dan berkelanjutan,
sehingga diharapkan dari program ini akan lahir generasi penerus yang cinta dan peduli
lingkungan dimasa datang.
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-28
penghargaan Sekolah Adiwiyata Nasional dan 3
(tiga) penghargaan Sekolah Adiwiyata Tingkat
Provinsi, sedangkan Kabupaten Padang Pariaman
dengan 1(satu) penghargaan Sekolah Adiwiyata
Nasional dan 5 (lima) penghargaan Sekolah
Adiwiyata Tingkat Provinsi. Disusul kemudian oleh
Kabupaten Agam dengan 4 (empat) penghargaan
yang terdiri dari 1 (satu) penghargaan Sekolah
Adiwiyata Nasional dan 3 (tiga) penghargaan
Sekolah Adiwiyata Tingkat Provinsi. Kabupaten
yang paling sedikit memperoleh penghargaan
Sekolah Adiwiyata tahun 2014 adalah Kabupaten
Solok, Kabupaten Dharmasraya dan Kabupaten
Lima Puluh Kota masing-masing dengan 1 (satu)
penghargaan. Kabupaten/Kota yang sampai tahun
2014 ini belum memperoleh penghargaan Sekolah
Adiwiyata adalah Kabupaten Solok Selatan,
Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Pesisir
Selatan, Kabupaten Pasaman Barat dan Kabupaten
Kepulauan Mentawai. Keberhasilan Kota Padang
mendapatkan penghargaan Sekolah Adiwiyata
tahun 2014 diprediksi karena komitmen Pemerintah
Kota Padang terutama instansi terkait yang sangat
konsen terhadap pengembangan program
Adiwiyata, hal ini juga tidak terlepas dari komitmen
kesadaran sekolah untuk berpartisipasi dalam
pengembangan program Adiwiyata di Kota Padang.
Pada tahun 2014 dari 7 (tujuh) pemerintahan kota di
Provinsi Sumatera Barat semuannya berhasil
mendapatkan penghargaan Sekolah Adiwiyata,
sedangkan 12 (dua belas) pemerintahan kabupaten
di Provinsi Sumatera Barat, hanya 7 (tujuh)
kabupaten yang berhasil mendapatkan
penghargaan Sekolah Adiwiyata yakni Kabupaten
Pasaman, Kabupaten Padang Pariaman,
Kabupaten Agam, Kabupaten Sijunjung, Kabupaten
Solok, Kabupaten Dharmasraya dan Kabupaten 50
Kota, sedangkan 5 (lima) kabupaten lainnya yakni
Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Tanah Datar,
Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupeten Pasaman
Barat dan Kabupaten Kepulauan Mentawai belum
satupun mendapatkan penghargaan Sekolah
Adiwiyata tahun ini. Berdasarkan analisa masih
banyaknya daerah kabupaten pada tahun 2014 ini
yang belum mendapatkan penghargaan Sekolah
Adiwiyata lebih disebabkan belum sepenuhnya
dukungan dari pemerintah kabupaten yang
bersangkutan dan perhatian instansi terkait dalam
pengembangan program Adiwiyata sehingga 5
(lima) Kabupaten tersebut tahun 2014 ini tidak
mengirimkan usulan calon untuk seleksi Sekolah
Adiwiyata ke provinsi. Khusus untuk Kabupaten
Kepulauan Mentawai walaupun tahun ini belum
megirimkan usulan calon sekolah Adiwiyata ke
provinsi, tetapi komitmen pemerintah daerah sudah
terlihat cukup tinggi untuk melaksanakan program
Adiwiyata, hal ini dibuktikan dengan telah
dilakukannya pembinaan-pembinaan terhadap
sekolah-sekolah dibeberapa kecamatan di
beberapa pulau di Kabupaten Mentawai dengan
juga melibatkan Tim Adiwiyata Provinsi, namun
karena keterbatasan SDM untuk melakukan
penilaian, maka tahun ini belum dapat mengirimkan
usulan calon ke provinsi, disamping itu kendala
geografis dan transportasi juga merupakan
tantangan cukup berat bagi Kabupaten Kepulauan
Mentawai dalam pelaksanaan pengembangan
program Adiwiyata.
Jumlah keseluruhan penghargaan
Adiwiyata tahun 2014 yang diproleh Provinsi
Sumatera Barat dari semua kategori adalah 1 (satu)
penghargaan Sekolah Adiwiyata Mandiri, 25
penghargaan Sekolah Adiwiyata Nasional dan 35
penghargaan Sekolah Adiwiyata Tingkat Provinsi.
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-29
Sedikitnya perolehan penghargaan Adiwiyata
Mandiri yang diterima tahun 2014 dikarenakan dari
12 calon yang usulkan, 10 (sepuluh) calon belum
memenuhi syarat karena melaksanakan pembinaan
kurang dari satu tahun, sedangkan 2 (dua) calon
yang tercatat sebagai Sekolah Adiwiyata Nasional
tahun 2012 dan sudah melaksanakan pembinaan
sebagaimana mestinya, namun hanya satu yang
memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai Sekoah
Adiwiyata Mandiri tahun 2014 yakni SMAN 2
Payakumbuh. Hal ini disebabkan penyerahan
penghargaan Sekolah Adiwiyata Nasional tahun
2013 baru diserahkan KLH pada bulan Desember
2013 sehingga sebagian besar calon terkendala
memenuhi syarat untuk melakukan pembinaan
minimal satu tahun tersebut. Namun untuk
Penghargaan Sekolah Adiwiyata Tingkat Nasional,
dari 26 yang dinominasikan, 25 sekolah berhasil
ditetapkan sebagai Sekolah Adiwiyata Tingkat
Nasional tahun 2014. Sedangkan penghargaan
Sekolah Adiwiyata Tingkat Provinsi tahun 2014
berhasil ditetapkan sebanyak 35 sekolah yang
memenuhi syarat dan berhak mendapatkan
penghargaan sebagai Sekolah Adiwiyata tingkat
Provinsi tahun 2014. Perbandingan jumlah
perolehan penghargaan Sekolah Adiwiyata di
Sumatera Barat untuk semua kategori tahun 2014
dapat dilihat pada Gambar 4.19.
Gambar 4.19 Perbandingan Jumlah Perolehan Penghargaan Sekolah Adiwiyata Tahun 2014 per Kabupaten/Kota Untuk Semua Kategori
Sumber : Olahan Tabel UP-7C Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2014
Berdasarkan jenjang pendidikan
menunjukan SD mendominasi perolehan
penghargaan sebanyak 17 sekolah, disusul
kemudian tingkat SLTP sebanyak 10 (sepuluh)
sekolah dan SLTA sebanyak 8 (delapan) sekolah.
Banyaknya perolehan penghargaan untuk sekolah
dasar diprediksi karena komitmen sekolah pada
tatanan pendidikan dasar lebih baik dan
organisasinya juga lebih kecil dan sederhana
sehingga lebih mudah mengelolanya dan program
Adiwiyata dapat dilaksanakan dengan baik.
Perbandingan perolehan penghargaan Sekolah
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-30
Adiwiyata Tingkat Provinsi Sumatera Barat Tahun
2014 sebagaimana tertera pada Gambar 4.20.
.
Gambar 4.20 Perbandingan Perolehan Penghargaan Sekolah Adiwiyata Tingkat Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel UP-3 Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2014
Seleksi Sekolah Adiwiyata Tingkat
Nasional Tahun 2014 diikuti oleh 12
Kabupaten/Kota di Sumatera Barat, antara lain Kota
Padang, Kota Bukittinggi, Kota Payakumbuh, Kota
Pariaman, Kota Solok, Kota Sawahlunto, Kota
Padang Panjang, Kabupaten Agam, Kabupaten
Padang Pariaman, Kabupaten Sijunjung, Kabupaten
Pasaman dan Kabupaten Solok. Perolehan
penghargaan Sekolah Adiwiyata tingkat Nasional
Tahun 2014 per jenjang pendidikan masih
didominasi oleh Kota Padang dengan 7 (tujuh)
sekolah yang terdiri dari 2 (dua) SD, 3 (tiga) SLTP
dan 2 SLTA, disusul kemudian oleh Kota
Payakumbuh, Kota Solok, Kabupaten Pasaman
masing-masing dengan dengan 3 (tiga) sekolah.
Kabupaten/Kota yang paling sedikit mendapatkan
penghargaan Sekolah Adiwiyata Tingkat Nasional
tahun 2014 adalah Kota Pariaman, Kabupaten
Sijunjung, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten
Agam, Kota Padang Panjang dan Kota Sawahlunto,
masing-masing 1 (satu) sekolah. Total penerima
penghargaan Sekolah Adiwiyata Tingkat Nasional
Tahun 2014 adalah 25 sekolah yang terdiri dari 14
SD, 6 (enam) SLTP dan 5 (lima) SLTA. Perolehan
penghargaan terbanyak untuk penghargaan
Sekolah Adiwiyata Nasional masih didominasi oleh
SD, hal ini diperkirakan karena jumlah sekolah
dasar yang diusulkan memang lebih banyak dari
SLTA dan SLTP, tetapi tingkat kesadaran dan
partisipasi sekolah dasar dalam pengembangan
program Adiwiyata juga sangat baik, sehingga
banyak calon yang berpotensi untuk diusulkan.
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-31
Gambar 4.21 Perbandingan Perolehan Penghargaan Sekolah Adiwiyata Tingkat Nasional Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel UP-3 Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2014
Perolehan penghargaan Sekolah Adiwiyata
Mandiri tahun 2014 hanya mendapatkan 1 (satu)
penghargaan. Pada tahun 2014 Provinsi Sumatera
Barat mengirimkan calon Sekolah Adiwiyata Mandiri
sebanyak 12 sekolah, 2 (dua) sekolah berhasil
masuk nominasi Sekolah Adiwiyata Mandiri, akan
tetapi hanya 1 (satu) yang berhasil mendapatkan
predikat sebagai Sekolah Adiwiyata Mandiri yakni
SMAN 2 Payakumbuh. 11 sekolah lainnya belum
berhasil karena belum terpenuhinya syarat harus
melakukan pembinaan terhadap sekolah imbas
minimal satu tahun. Hal ini disebabkan oleh
keterlambatan KLH dalam penyerahan
Penghargaan Sekolah Adiwiyata Nasional Tahun
2013, sehingga pelaksanaan pembinanaan
terhadap sekolah imbas juga telat dilakukan.
Sejak tahun 2007 pertama kali Provinsi
mengikuti Program Adiwiyata sampai tahun 2011
perkembangan program Adiwiyata di Sumatera
Barat masih menunjukan hasil yang tidak
memuaskan, pada tahun 2011 Provinsi Sumatera
Barat baru mendapatkan 6 (enam) penghargaan
Sekolah Adiwiyata. Tahun 2012 merupakan awal
kebangkitan program Adiwiyata di Sumatera Barat.
Sebagai perbandingan tentang perkembangan
perolehan penghargaan Adiwiyata di Sumatera
Barat maka pada tahun 2012 Provinsi Sumatera
Barat berhasil mendapatkan Penghargaan Sekolah
Adiwiyata sebanyak 46 penghargaan, kemudian
tahun 2013 meningkat sebanyak 77 penghargaan
dan pada tahun 2014 sebanyak 61 penghargaan.
Sampai tahun 2014 untuk semua kategori, Provinsi
Sumatera Barat telah berhasil mendapatkan
penghargaan Sekolah Adiwiyata sebanyak 199
penghargaan yang terdiri dari Penghargaan
Sekolah Adiwiyata Mandiri sebanyak 14
penghargaan, Penghargaan Sekolah Adiwiyata
Nasional sebanyak 80 penghargaan dan
Penghargaan Sekolah Adiwiyata Tingkat Provinsi
sebanyak 105 penghargaan. Keberhasilan ini tidak
terlepas peran Pemerintah Provinsi yang sangat
konsen terhadap perkembangan program
Adiwiyata, dukungan penuh dari Tim Pembina dan
Penilai Sekolah Adiwiyata Provinsi Sumatera Barat
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-32
dan instansi teknis terkait dan swasta yang telah
berperan dalam pengembangan program Adiwiyata
di Sumatera Barat. Hal ini dibuktikan dengan
dikeluarkannya surat Edaran Gubernur Sumatera
Barat Nomor 667/197/PKIL/BPDL-2012 tanggal 14
Maret 2012, agar kepala daerah masing-masing
kabupaten/kota melalui SKPD terkait mengusulkan
sekolah Adiwiyata dari jenjang pendidikan SD
sampai SLTA. Edaran ini mendapat respon positif
dari beberapa pemerintah kabupaten/kota sehingga
semakin banyaknya sekolah yang ikut program
Adiwiyata di Sumatera Barat. Bentuk lain dukungan
pemerintah Provinsi Sumatera Barat adalah
apresiasi yang tinggi terhadap peraih penghargaan
sekolah Adiwiyata berupa pemberian piagam
penghargaan dan bantuan stimulan. Pada tahun
2013 bantuan stimulan yang diberikan Pemerintah
Provinsi Sumatera Barat adalah berupa pin emas
baik untuk peraih penghargaan Sekolah Adiwiyata
Mandiri, Sekolah Adiwiyata Nasional maupun
Sekolah Adiwiyata Tingkat Provinsi. Tahun 2014
pemerintah juga memberikan piagam penghargaan
dan bantuan stimulan berupa uang tunai untuk
semua sekolah Adiwiyata yang berhasil meraih
penghargaan sekolah Adiwiyata. Perbandingan
jumlah perolehan penghagaan Sekolah Adiwiyata
dari tahun 2007 sampai dengan 2014 sebagaimana
dapat dilihat pada Gambar 4.22.
Gambar 4.22 Perbandingan Perolehan Penghargaan Adiwiyata
dari Tahun 2007 s/d 2014 per Kategori
Sumber : Olahan Tabel UP.3 Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2014
Perolehan penghargaan Sekolah Adiwiyata
dari tahun 2007 s/d 2014 berdasarkan jenjang
pendidikan, maka sekolah dasar memperoleh
sebanyak 90 penghargaan, SLTP sebanyak 54
penghargaan dan SLTA sebanyak 55 penghargaan.
Secara umum tingkat perolehan
penghargaan Sekolah Adiwiyata mulai tahun 2011
sampai tahun 2014 berkembang pesat. Tahun 2011
penghargan yang diperoleh 6 (enam) penghargaan,
tetapi pada 2012 perolehan meningkat 46
penghargaan, seterusnya tahun 2013 mendapatkan
77 penghargaan dan tahun 2014 diperoleh 61
penghargaan. Perbandingan jumlah penghargaan
Sekolah Adiwiyata yang diterima sejak tahun 2007
sampai 2014 sebagaimana terlihat pada Gambar
4.23, Gambar 4.24 dan Gambar 4.25.
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-33
Gambar 4.23 Perbandingan Perolehan Penghargaan Adiwiyata dari Tahun 2007 s/d 2014 per Tingkat Pendidikan per Tahun
Sumber : Olahan Tabel UP-3 Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2014
Gambar 4.24 Perbandingan Perolehan Penghargaan Adiwiyata dari Tahun 2017-2014
Sumber : Olahan Tabel UP.3 Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2014
Gambar 4.25 Perkembangan Perolehan Penghargaan Sekolah Adiwiyata Sejak Tahun 2012-2014
Sumber : Olahan Tabel UP.3 Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2014
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-34
4.4.2.2. Penerima Penghargaan Program
PROPER
Program Penilaian Peringkat Kinerja
Perusahaan (PROPER) adalah salah satu kegiatan
Kementerian Negara Lingkungan Hidup yang
bertujuan untuk mendorong penaatan perusahaan
dalam pengelolaan lingkungan hidup melalui
instrumen informasi.
Penghargaan PROPER yang diraih
Provinsi Sumatera Barat tahun 2014 terdiri dari
peringkat hijau yang diperoleh oleh PT. Pertamina
S&D Reg I Terminal Transit Teluk Kabung.
Peringkat Biru diterima oleh 26 perusahaan lainnya
yang tersebar di kabupaten/kota se-Sumatera
Barat.
Program Penilaian Peringkat Kinerja
Lingkungan Kegiatan (PROPELIKE) merupakan
program strategis Provinsi Sumatera Barat untuk
menilai tingkat ketaatan perusahaan/kegiatan dalam
pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup akibat
kegiatan dibidang perkebunan, makanan dan
minuman, sektor kesehatan (rumah sakit), industri
pakan ternak, serta perhotelan.
Penentuan peringkat PROPELIKE
dikelompokkan dalam 5 warna dengan kategori
yaitu: Emas, Hijau, Biru, Merah dan Hitam yang
menggambarkan tingkat ketaatannya terhadap
aspek pengendalian pencemaran air, aspek
pengendalian pencemaran udara, aspek
pengelolaan limbah B3 dan aspek ketaatan
terhadap dokumen kelola lingkungan. Sedangkan
untuk peringkat Hijau dan Emas, di samping
evaluasi penilaian terhadap tingkat ketaatan
perusahaan, juga dilakukan penilaian terhadap
Sistem Manajemen Lingkungan (SML), upaya
meminimalisasi limbah, konservasi energi dan
pemanfaatan sumber daya air (termasuk kegiatan
Community Development) dan Coorporate Social
Responsibility (CSR).
Melalui Keputusan Gubernur Sumatera
Barat No.660–20–2015 telah ditetapkan peringkat
akhir dari 12 objek usaha/kegiatan yang mengikuti
PROPELIKE tahun 2014 dengan hasil 6 (enam)
objek mendapat peringkat BIRU yang diperoleh
oleh RSUD Pariaman di Kota Pariaman, RSUD
Solok di Kota Solok, RSAM di Kota Bukittinggi, PT.
Japfa Comfeed Indonesia di Kabupaten Padang
Pariaman, PT. Tirta Investama (AQUA) di
Kabupaten Solok, PT. Batang Hari Barisan di Kota
Padang.
Gambar 4.26 Perkembangan peringkat PROPER Provinsi Sumatera Barat dari tahun 2012 s/d 2014
0
5
10
15
20
25
30
2012 2013 2014
HIJAU
BIRU
Sumber : Olahan Tabel UP-7 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-35
Gambar 4.27 Perkembangan peringkat PROPELIKE Provinsi Sumatera Barat dari tahun 2011 s/d 2014
0
1
2
3
4
5
6
2011 2012 2013 2014
HIJAU
BIRU
Sumber : Olahan Tabel UP-7 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
4.4.2.3. Penerima Penghargaan Program
Adipura
Program Adipura merupakan program
kerja Kementerian Lingkungan Hidup yang
bertujuan untuk mendorong Pemerintah
Kabupaten/Kota dan membangun pertisipasi aktif
masyarakat melalui penghargaan Adipura untuk
mewujudkan kota yang berkelanjutan, baik secara
ekologis, sosial, dan ekonomi melalui penerapan
prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup demi terciptanya lingkungan yang baik. Kota-
Kota peserta program Adipura 2012/2013 yang lalu
adalah Kota Payakumbuh, Bukittinggi, Solok,
Sawahlunto, Batusangkar, Pariaman, Padang
Panjang, Lubuk Sikaping, Simpang IV Painan,
Muaro Sijunjung dan Lubuk Basung. Sedangkan
yang lolos ke penilaian tahap II hanya 4 Kota yaitu
Kota Payakumbuh, Solok, Pariaman dan Padang
Panjang dengan capaian nilai >74,00, sedangkan 8
kota lainnya tidak berhasil lolos untuk pemantauan
tahap II karena nilai <74,00.
Dari penilaian tahap II yang dilakukan ke 4
(empat) kota tersebut 3 (tiga) Kota diantaranya
berhasil meraih penghargaan Adipura yaitu Kota
Payakumbuh, Solok dan Padang Panjang dan Kota
Lubuk Basung meraih sertifikat Adipura. Kondisi ini
meningkat dari tahun lalu yang hanya 1 (satu) kota
yang meraih penghargaan Adipura yaitu Kota
Solok. Hasil dari pemantauan tahap 1 program
Adipura tahun 2013/2014, sebanyak 8 (Delapan)
Kota berhasil meraih nilai >71,00 yaitu Kota
Payakumbuh (kategori Kota sedang) , sedangkan
untuk kategori Kota kecil yaitu Lubuk Sikaping,
Padang Panjang, Solok, Sawahlunto, Batusangkar,
Pariaman dan Kota Painan. Sedangkan 4 (empat)
Kota lainnya yaitu Bukittinggi, Sijunjung, Simpang
IV dan Lubuk Basung dengan nilai < 71,00 tidak
berhasil lolos ke tahap PII.
Untuk tahun 2014 yang berhasil meraih
penghargaan piala Adipura hanya 1 kota yaitu Kota
Lubuk Sikaping. Kondisi ini sama dengan periode
2012/2013 dimana hanya Kota Solok yang berhasil
meraih piala Adipura dan Kota Pariaman
mendapatkan sertifikat Adipura. Diharapkan hal ini
dapat menjadi pemicu semangat kota lain agar
dapat meningkatkan kebersihan dan keteduhan
kota. Fluktuasi kota-kota penerima penghargaan
Adipura di Provinsi Sumatera Barat dapat dilihat
pada Gambar 4.28 berikut.
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-36
Gambar 4.28 Perbandingan Kota-Kota Penerima Penghargaan Adipura di Provinsi Sumatera Barat
Sumber : Olahan Tabel UP-7 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Permasalahan utama yang dihadapi dalam
meraih Adipura adalah kurangnya partisipasi
masyarakat dalam menjaga kebersihan dan
keteduhan kota, sarana dan prasarana kebersihan
yang telah disediakan seringkali tidak dijaga atau
bahkan jadi sasaran pencurian sehingga tidak
berfungsi sebagaimana mestinya. Masalah kedua
dan paling banyak ditemukan pada waktu penilaian
adalah masyarakat belum familiar dengan proses
pemilahan sampah, sehingga kalaupun ada tempat
sampah yang sudah bertuliskan “sampah organik/
sampah non organik” sampah yang dibuang
kedalam tempat sampah masih bercampur
sehingga belum berfungsi secara optimal.
4.4.2.4. Penerima Penghargaan Program
Kalpataru
Dalam rangka memotivasi masyarakat
dalam mendorong upaya meningkatkan peran serta
masyarakat untuk mewujudkan kelestarian fungsi
lingkungan hidup, pemerintah memberikan
penghargaan baik kepada individu maupun
kelompok masyarakat yang dinilai telah berjasa
dalam menyelamatkan lingkungan hidup dengan
Penghargaan Kalpataru.
Pada tahun 2014 diusulkan 4 calon
Penerima Penghargaan Kalpataru Tingkat Nasional
dan berhasil menempatkan 4 calon tersebut
sebagai Nominasi Calon Penerima Penghargaan
Kalpataru Tingkat Nasional yaitu:
1. PT. Tidar Kerinci Agung di Kabupaten
Dharmasraya dan Kabupaten Solok Selatan
kategori Pembina Lingkungan.
2. Zulkifli, SH di Kanagarian Koto Kaciak,
Kecamatan Bonjol Kabupaten Pasaman untuk
kategori Perintis Lingkungan.
3. Kelompok Masyarakat Pengawas
(Pokmaswas) SOSA di Kenagarian Koto
Bangun Kecamatan Kapur IX Kabupaten Lima
Puluh Kota) untuk kategori Penyelamat
Lingkungan.
4. Aiptu Al Aswandi di Kenagarian Batu Payuang
Kecamatan Lareh Sago Halaban Kabupaten
Lima Puluh Kota untuk kategori Pengabdi
Lingkungan.
Dari 4 calon yang diusulkan, 3 calon
berhasil memperoleh Penghargaan Kalpataru
Tingkat Nasional Tahun 2014 yaitu:
1. PT. Tidar Kerinci Agung
2. Zulkifli, SH
3. Aiptu. Al Aswandi
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-37
4.4.2.5. Penerima Penghargaan Program
Menuju Indonesia Hijau (MIH)
Program MIH adalah salah satu program
penilaian untuk evaluasi kinerja pemerintah daerah
dalam rangka peningkatan tutupan vegetasi lahan
di kabupaten masing-masing. Pada tahun 2014 dari
12 kabupaten yang ada di Provinsi Sumatera Barat
yang menyampaikan profil MIH hanya 9 kabupaten
yaitu Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten
Padang Pariaman, Kabupaten Agam, Kabupaten
Pasaman, Kabupaten Sijunjung, Kabupaten Solok
Selatan, Kabupaten Solok, Kabupaten Pasaman
Barat dan Kabupaten Lima Puluh Kota sedangkan
Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Dharmasraya,
dan Kabupaten Kepulauan Mentawai tidak
menyampaikan profil MIHnya.
Berdasarkan evaluasi oleh Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan dari 9 kabupaten
tersebut hanya 1 (satu) kabupaten yang nilai
profilnya memenuhi syarat untuk diverifikasi di
tingkat nasional yaitu Kabupaten Pesisir Selatan.
Hasil akhir penilaian terhadap profil MIH Kabupaten
Pesisir Selatan berhasil meraih penghargaan
Piagam Raksaniyata tahun 2014 seperti juga pada
tahun 2013 yang lalu.
4.4.2.6. Penerima Penghargaan SLHD
Untuk penghargaan penyusunan buku
SLHD, Provinsi Sumatera Barat sudah berturut-turut
sejak tahun 2008-2013 mendapatkan penghargaan
terbaik di tingkat nasional. Pada tahun 2013 SLHD
Provinsi Sumatera Barat menerima penghargaan
sebagai terbaik 2 tingkat nasional dan pada tahun
2014 sebagai terbaik 1 tingkat nasional. Untuk
penyusunan SLHD Kabupaten/Kota di Provinsi
Sumatera Barat juga memiliki prestasi yang baik
dimana setiap tahunnya beberapa kabupaten/kota
juga mendapatkan penghargaan buku SLHD
Kabupaten/Kota terbaik tingkat nasional. Dari tahun
2011 sampai tahun 2013 peringkat 1 dan 2 SLHD
Kabupaten/Kota terbaik tingkat nasional diraih oleh
kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel. 4.7.
dibawah ini.Adapun perbandingan perolehan
penghargaan nasional yang telah diraih Provinsi
Sumatera Barat di bidang lingkungan hidup dari
tahun 2011 – 2014 dapat dilihat dari Gambar 4.30
dibawah ini.
Tabel 4.7 Peringkat SLHD Kabupaten/Kota Terbaik Tingkat Nasional
di Provinsi Sumatera Barat
No.
Tahun 2011 Tahun 2012 Tahun 2013
Kab/Kota Peringkat Nasional
Kab/Kota Peringkat Nasional
Kab/Kota Peringkat Nasional
1. Kab. Pesisir Selatan 1 Kota Padang 1 Kab. Dharmasraya 1
2. Kota Padang 2 Kab. Agam 2 Kota Padang 2
3. Kab. Agam 4 Kab. Dharmasraya 8 Kab. Agam 4
Sumber : Olahan Tabel UP-7B Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-38
Gambar 4.29 Perbandingan Perolehan Penghargaan Nasional Lingkungan Tahun 2011-2014
Sumber : Olahan Tabel UP-7B Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
4.4.3. Kegiatan Sosialisasi Lingkungan
Melalui kegiatan sosialisasi lingkungan,
penyuluhan dan peningkatan kepedulian
masyarakat terhadap perbaikan lingkungan
diharapkan mampu berjalan maksimal sehingga
berkorelasi dengan penghargaan lingkungan yang
diperoleh. Jumlah sosialisasi lingkungan yang
dilaksanakan Bapedalda Provinsi Sumatera Barat
dan Instansi Lingkungan Hidup di Kabupaten/Kota
dapat dilihat pada Gambar 4.31 dibawah ini.
Gambar 4.30 Jumlah Kegiatan Sosialisasi Lingkungan di Provinsi Sumatera Barat
Sumber : Olahan Tabel UP-8A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-39
LINGKUP KEGIATAN GERAKAN SUMBAR BERSIH (GSB)
Lingkup kegiatan Gerakan Sumbar Bersih (GSB) adalah mencakup berbagai aspek yang
dilaksanakan secara totalitas baik oleh pemerintah, dunia usaha dan masyarakat yang meliputi:
Peningkatan partisipasi semua pihak melalui kampanye publik dan edukasi.
Penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah dan sanitasi.
Operasionalisasi pelaksanaan pengelolaan sampah dan sanitasi.
Pemenuhan standar Pelayanan Minimum (SPM) dalam bidang pengelolaan sampah dan
sanitasi.
Pengembangan produk 3R dan penegakan hukum.
Menumbuhkembangkan bank sampah serta inovasi baru lainnya.
Pemantauan dan evaluasi kinerja pengelolaan sampah dan sanitasi.
BENTUK KEGIATAN GERAKAN SUMBAR BERSIH (GSB)
Melaksanakan lomba bersih dan hijau tingkat kecamatan dan kelurahan/desa, baik tingkat
kabupaten dan kota maupun di tingkat provinsi.
Melaksanakan sosialisasi secara berkelanjutan kepada berbagai pihak untuk mewujudkan
Sumbar yang lebih bersih dan hijau dengan memanfaatkan potensi formal maupun
informal.
Memanfaatkan berbagai media baik media cetak maupun media elektronik, sebagai media
kampanye.
Penyerahan alat-alat kebersihan dalam
rangka Safari Gerakan Sumbar Bersih
Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno
melakukan penanaman Bibit Pohon dalam
rangka Safari Gerakan Sumbar Bersih
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-40
4.5. KELEMBAGAAN
4.5.1. Produk Hukum Bidang Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Dalam melaksanakan pengelolaan
lingkungan hidup agar dapat sinergis dengan
kebijakan-kebijakan antara pusat dan daerah perlu
didukung dengan produk hukum yang bersifat
menguatkan kebijakan atau peraturan yang telah
dikeluarkan oleh Pemerintah sesuai dengan kondisi
dan tingkat urgensi pada masing-masing daerah.
Produk hukum ini menjadi acuan bagi aparat
pemerintahan di daerah dalam pengelolaan
lingkungan serta untuk kepentingan penegakan
hukum di lapangan.
Produk hukum bidang pengelolaan
lingkungan yang diterbitkan oleh Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota pada
tahun 2014 tercatat sebanyak 263 buah. Terjadi
peningkatan produk hukum jika dibandingkan
dengan produk hukum yang dikeluarkan pada tahun
2013. Pada tahun 2013 yang lalu produk hukum
yang dihasilkan adalah sebanyak 216 buah atau
meningkat sebesar ±17 persen.
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat pada tahun
2014 mengeluarkan sebanyak 20 buah produk
hukum yang berbentuk Keputusan Gubernur
Sumatera Barat. Keputusan Gubernur yang
dikeluarkan ini 10 (sepuluh) buah diantaranya
adalah kategori dokumen lingkungan berbagai
usaha dan/atau kegiatan 1 (satu) Keputusan
Gubernur mengenai Penetapan Hasil Penilaian
Program Penilaian Peringkat Kinerja Pengelolaan
Lingkungan Agro Industri Bidang Pelayanan
Kesehatan dan Bidang Pelayanan Jasa Hotel, 1
(satu) Keputusan Gubernur mengenai Penetapan
Sekolah Adiwiyata, dan 8 (delapan) Keputusan
Gubernur lainnya adalah mengenai pembentukan
tim dalam mendukung upaya pengelolaan
lingkungan hidup di Provinsi Sumatera Barat.
Sedangkan produk hukum bidang pengelolaan
lingkungan yang dikeluarkan oleh Kabupaten/Kota
pada tahun 2014 terlihat pada gambar ...bahwa
Kabupaten Dharmasraya merupakan daerah yang
membuat produk hukum terbanyak dibandingkan
daerah lainnya yakni tercatat sebanyak 125 buah.
Produk hukum yang dihasilkan ini berbentuk
Peraturan daerah sebanyak 1 (satu) buah,
Peraturan Bupati sebanyak 11(sebelas) buah, dan
113 (seratus tiga belas) buah dalam bentuk
Keputusan Bupati.
Gambar 4.31 Produk Hukum Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Barat Tahun 2014
Sumber : Olahan tabel UP-9 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-41
4.5.2. Anggaran Pengelolaan Lingkungan
Hidup
Ditengah tekanan terhadap lingkungan
hidup yang semakin berat, Pemerintah perlu
menyediakan anggaran yang memadai untuk
membiayai perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup serta program pembangunan
yang berwawasan lingkungan. Anggaran dalam
pelaksanaan program pengelolaan lingkungan ini
dapat bersumber dari APBN maupun APBD.
Pada tahun 2014 anggaran Bapedalda
Provinsi Sumatera Barat yang bersumber dari
APBD untuk memenuhi Standar Pelayanan Minimal
(SPM) bidang lingkungan hidup adalah sebesar Rp.
5.560.770.489,-. Jika dibandingkan dengan
anggaran pada tahun 2013 sebesar Rp.
4.697.830.485,- menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan sebesar 15,52 %. Anggaran APBD
tahun 2014 ini digunakan untuk mendukung
pelaksansaan SPM Provinsi, diantaranya
Pelayanan Informasi Status Mutu Air sebesar Rp.
385.000.000,-, Pelayanan Informasi Status Mutu
Udara Ambien sebesar Rp. 130.000.000,-,
Pelayanan Tindak Lanjut Pengaduan Masyarakat
sebesar Rp. 168.490.000,-, dan Kegiatan untuk
penunjang SPM lainnya sebesar Rp.
2.983.516.400,-.
Sedangkan anggaran yang bersumber dari APBN
pada tahun 2014 sebesar Rp. 4.139.755.000,-
mengalami penurunan jika dibandingkan dengan
anggaran pada tahun 2013 sebesar Rp.
5.400.000.000,- atau turun sebesar 23,34 persen.
Anggaran APBN tahun 2014 ini digunakan untuk
mendukung pelaksanaan SPM palayanan informasi
status mutu air sebesar 724.999.999,-, pelayanan
informasi mutu udara sebesar Rp. 378.990.000,-,
pelayanan tindak lanjut pengaduan masyarakat
sebesar Rp. 227.485.000,-, dan kegiatan lain
penunjang SPM sebesar Rp. 2.808.281.000,-
Adapun anggaran APBD pengelolaan
lingkungan hidup Kabupaten/Kota tahun 2014 yang
terbesar terdapat di Kota Pariaman yakni sebesar
Rp. 60.923.960.886,- diikuti oleh Kota Padang
sebesar Rp. 14.117.554.681,- dan Kota Sawahlunto
sebesar Rp. 10.215.272.679,-. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada Gambar 4.32 di bawah ini.
Gambar 4.32 Anggaran APBD Instansi Lingkungan Hidup di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2013 dan 2014
Sumber : Olahan tabel UP-10 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-42
Sedangkan anggaran pengelolaan
lingkungan hidup yang berasal dari APBN terbesar
terdapat di Bapedalda Provinsi sebesar Rp.
4.139.755.000,-. Untuk anggaran APBN 2014
instansi lingkungan hidup Kabupaten/Kota yang
terbesar terdapat di Kabupaten Solok sebesar Rp.
1.872.687.340,- diikuti oleh Kota Sawahlunto
sebesar Rp. 1.377.486.000,- dan Kabupaten Agam
sebesar Rp. 1.261.238.000,-.
4.5.3. Jumlah Personil Lembaga Pengelola
Lingkungan Hidup Menurut Tingkat
Pendidikan Salah satu faktor penentu keberhasilan
pengelolaan lingkungan adalah sumber daya
manusia yang berkualitas (SDM). Pada tahun 2014
jumlah personil pengelolaan lingkungan yang ada di
Bapedalda Provinsi Sumatera Barat sebanyak 66
orang. Tingkat pendidikan yang dominan adalah
Sarjana (S1) yang berjumlah sebanyak 40 orang
yang terdiri atas 21 orang laki-laki dan 19 orang
perempuan.
Gambar 4.33 Jumlah Personil BapedaldaProvinsi Sumatera Barat
Menurut Tingkat Pendidikan tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel UP-11 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Jika dibandingkan dengan jumlah personil
tahun 2013 tidak terjadi perubahan yang signifikan,
dimana jumlah personil dari 67 orang menjadi 66
orang. Peningkatan terjadi pada personil
perempuan dengan tingkat pendidikan SLTA
menjadi Sarjana (S1)sebanyak 3 (tiga) orang dan
penurunan terjadi pada personil laki-laki dengan
tingkat pendidikan Master (S2) sebanyak 1 (satu)
orang disebabkan oleh mutasi ke daerah atau
instansi lain. Lebih jelas dapat terlihat pada Gambar
4.34.
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-43
Gambar 4.34 Perbandingan Jumlah Personil Lembaga Pengelola Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota Menurut Tingkat Pendidikan tahun 2013 dan 2014
Sumber : Olahan Tabel UP-11A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Secara umum dapat dilihat jumlah sumber
daya pengelola lingkungan terbanyak berada pada
Kota Sawahlunto dan Kota Pariaman yaitu masing-
masing berjumlah 44 orang. Kota Pariaman
mempunyai personil dengan tingkat pendidikan
yang lebih baik dibandingkan dengan Kota
Sawahlunto yaitu sebanyak 25 orang merupakan
Sarjana (S1). Sementara pada Kota Sawahlunto
tingkat pendidikan terbanyak adalah SLTA/SLTP
dan Sarjana (S1) hanya berjumlah 15 orang.
Jumlah personil pengelola lingkungan paling sedikit
dimiliki oleh Kota Payakumbuh yang hanya
berjumlah 13 orang.
Gambar 4.35 Jumlah Personil Lembaga Pengelola Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota Menurut
Tingkat Pendidikan tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel UP-11B Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-44
Secara keseluruhan sumber daya manusia
pengelola lingkungan di lingkungan Kabupaten dan
Kota di Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2014
sudah baik. Hal ini terlihat bahwa lebih banyak
personil dengan tingkat pendidikan tinggi yaitu
Sarjana (S1). Diploma (D3/D4) dan Doktor (S3)
yaitu mencapai 62 % dibandingkan dengan personil
dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah yaitu
SLTA/SLTP maupun SD sederajat yang hanya
berjumlah 38 % dari semua personil. Hal ini dapat
dengan jelas terlihat pada Gambar 4.37 berikut
Tingkat pendidikan personil pengelola
lingkungan tahun 2014 mengalami perubahan yang
cukup signifikan dibandingkan dengan tahun 2013.
Hal ini disebabkan oleh karena pada tahun 2013
personil yang terdata pada Kota Payakumbuh dan
Kota Sawahlunto masing-masing sebanyak 184
orang dan 120 orang adalah semua personil yang
bidang pekerjaan berhubungan dengan
pengelolaan lingkungan, dan pada tahun 2014
personil yang terdata hanyalah personil yang
bekerja pada Badan Lingkungan Hidup saja yang
masing-masing berjumlah 13 orang dan 44 orang.
Untuk lebih jelasnya terlihat pada Gambar 4.36.
Gambar 4.36 Perbandingan Jumlah Personil Lembaga Pengelola Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota
Menurut Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin Tahun 2013-2014
Sumber : Olahan Tabel UP-11C Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Gambar 4.37 Perbandingan Jumlah Personil Kabupaten/Kota Tahun 2013 - 2014
Sumber : Olahan Tabel UP-11D Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-45
Pada grafik diatas dapat dilihat bahwa
pada tahun 2014 terjadi perubahan bentuk
kelembagaan bidang lingkungan hidup di
kabupaten/kota Provinsi Sumatera Barat. Dimana
Jumlah Badan Lingkungan Hidup bertambah
menjadi 9 (sembilan) instansi dari sebelumnya
berjumlah 7 (tujuh) instansi pada tahun 2013. Hal ini
terjadi karena 2 (dua) yang sebelumnya masih
berbentuk kantor menjadi Badan sehingga jumlah
Kantor berkurang menjadi 10 (sepuluh) instansi dari
sebelumnya berjumlah 12 (dua belas) instansi.
Instansi dimaksud adalah Kantor Lingkungan Hidup
Kabupaten Pesisir Selatan dan Kantor Lingkungan
Hidup Kabupaten Pasaman masing-masing telah
berubah menjadi Badan Lingkungan Hidup.
Gambar 4.38 Perbandingan Bentuk Kelembagaan Instansi Bidang Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota Tahun 2013-2014
Sumber : Olahan Tabel UP-11E Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
4.5.4. Jumlah Staf Fungsional Bidang
Lingkungan dan Staf yang telah
mengikuti Diklat
Upaya peningkatan kualitas sumber daya
pengelola lingkungan pada pemerintah Provinsi
Sumatera Barat selalu dilakukan. Salah satunya
adalah dengan memberikan bekal pelatihan kepada
personil baik pelatihan yang dilakukan di dalam
daerah maupun di luar daerah. Pada gambar 4.50.
berikut dapat dilihat jumlah staf fungsional yang
telah melakukan pelatihan berjumlah7 (tujuh) orang
dan 5 (lima) orang diantaranya sudah dilantik.
Gambar 4.39 Jumlah Staf Fungsional Bapedalda Provinsi Sumatera Barat dan Staf yang telah mengikuti Diklat tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel UP-12 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat IV-46
Upaya peningkatan kualitas sumber daya
manusia pengelola lingkungan juga terus dilakukan
oleh semua kabupaten/kota yang berada di
Sumatera Barat. Selama tahun 2014 jumlah staf
fungsional yang telah mengikuti diklat berjumlah 44
orang dan 8 orang diantaranya telah dilantik.
Selain pelatihan PPNS, PPLH, dan
Arsiparis juga terdapat beberapa diklat teknis dan
diklat umum yang telah diikuti personil Bapedalda
Provinsi Sumatera Barat sampai tahun 2014. Diklat
teknis yang paling banyak diikuti adalah Diklat
teknis Amdal A (dasar-dasar Amdal) yaitu sebanyak
15 peserta dan Diklat teknis Amdal C (Penilai)
diikuti oleh 6 orang peserta. Sementara Diklat
umum yang telah diikuti sampai tahun 2014 paling
banyak adalah PIM IV yang diikuti oleh 9 orang
peserta dan Diklat Bendahara diikuti oleh 7 orang
peserta.
Gambar 4.40 Jumlah Peserta Diklat Teknis yang diikuti Pegawai Bapedalda Provinsi Sumatera Barat sampai Tahun 2014
Sumber : Olahan Tabel UP-12B Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014
BAB VBAB VA G E N D A P E N G E L O L A A N L I N G K U N G A NA G E N D A P E N G E L O L A A N L I N G K U N G A N
Permasalahan lingkungan hidup semakin lama semakin kompleks yang membutuhkan kerjasama bersifat multi sektor. Agenda Pengelolaan Lingkungan Provinsi Sumatera Barat ke
depannya didasarkan pada Prioritas Pembangunan 2010 - 2015 berbasis isu lingkungan hidup terkait pemulihan dan pengendalian pencemaran sungai dan danau, pengendalian limbah
domestik dan limbah B3 dan serta program kesiap-siagaan menghadapi bencana.
Agenda Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat V-1
5.1. PRIORITAS PEMBANGUNAN
DAERAH PROVINSI
SUMATERA BARAT
5.1.1. Visi dan Misi Pemerintah Daerah
Provinsi Sumatera Barat
Visi Pemerintah Provinsi Sumatera
Barat Tahun 2010 – 2015 adalah :
“Terwujudnya Masyarakat Sumatera Barat
Madani yang Adil, Sejahtera dan
Bermartabat”. Yang dimaksud kondisi
Sejahtera dalam visi tersebut di atas adalah
suatu kondisi masyarakat yang sudah cukup
makmur yang ditandai oleh pendapatan
masyarakat yang sudah dapat memenuhi
kebutuhan yang diperlukan, tingkat
pengangguran dan kemiskinan sudah sangat
rendah, pendidikan yang cukup tinggi, dan
berbadan sehat dan kuat, disamping itu pada
masyarakat ini prasarana dan sarana
pembangunan sudah mencukupi, lingkungan
pemukiman tertata baik serta terdapat
kualitas lingkungan hidup yang baik, hijau,
lestari dengan pengelolaan sumber daya
alam berkelanjutan. Dalam mencapai visi
tersebut, telah ditetapkan misi Pembangunan
Jangka Menengah Daerah dimana pada butir
ke 5 nya dinyatakan misi untuk mewujudkan
pembangunan yang berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan.
Dalam rangka mewujudkan visi, misi
serta tujuan pembangunan daerah yang telah
dirumuskan serta mempedomani agenda
pembangunan nasional, maka ditetapkan 5
(lima) agenda pembangunan daerah Provinsi
Sumatera Barat Tahun 2010 - 2015. Adapun
agenda butir ke-5 adalah Perbaikan Kualitas
Lingkungan Hidup.
5.1.2. Prioritas Pembangunan Daerah
Provinsi Sumatera Barat
Prioritas pembangunan adalah
kumpulan program prioritas yang bersifat lintas
sektoral sebagai penjabaran operasional dari
masing-masing agenda pembangunan.
Agenda pembangunan Sumatera Barat tahun
2010 - 2015 dijabarkan ke dalam 10 (sepuluh)
prioritas pembangunan, dimana yang terkait
dengan lingkungan tercantum dalam butir ke-
10 yaitu: Penanggulangan Bencana Alam
dan Pelestarian Lingkungan Hidup
Permasalahan lingkungan hidup
semakin lama semakin kompleks,
membutuhkan kerjasama bersifat multi sektor.
Di Provinsi Sumatera Barat, pengelolaan
lingkungan dilakukan oleh beberapa instansi
terkait antara lain:
- Dinas Kehutanan,
- Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan
Hortikultura,
- Dinas Perkebunan,
- Dinas Kelautan dan Perikanan,
- Dinas Prasarana Jalan Tata Ruang dan
Permukiman,
- Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air,
- Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral,
- Dinas Kesehatan,
- Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Daerah
- Badan Penanggulan Bencana Daerah
- Balai Konservasi Sumber Daya Alam
Agenda Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat V-2
- BP DAS Agam Kuantan dan
- Balai Wilayah Sungai Sumatera V.
5.2. Agenda Pengelolaan
Lingkungan Ke Depannya
Untuk bidang lingkungan hidup,
keberhasilan Pemerintah Daerah diukur salah
satunya dari kemampuannya untuk
memberikan pelayanan informasi bidang
lingkungan yang lengkap dan mudah diakses
sehingga mempermudah bagi pengambil
kebijakan untuk mengambil kesimpulan
tentang ketepatan arah pembangunan
berwawasan lingkungan hidup.
Terjadinya perubahan kualitas
lingkungan hidup dapat dijadikan salah satu
indikator untuk mengevaluasi ketepatan arah
kebijakan serta program pembangunan yang
telah dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah.
Kesalahan dalam membuat/menyusun
program/kebijakan dapat disebabkan oleh
tidak tersedianya data yang akurat terkait
kondisi kerusakan dan pencemaran
lingkungan.
Buku SLHD yang berisikan status,
tekanan dan upaya pengelolaan lingkungan,
telah menggambarkan bagaimana
sesungguhnya kondisi lingkungan hidup
Sumatera Barat sepanjang tahun 2014 yang
selanjutnya dianalis melalui tekanan yang
menyebabkan terjadinya perubahan kualitas
lingkungan.
Pada sub bab ini akan digambarkan
agenda pengelolaan lingkungan hidup 2015
dan kedepannya guna menyelesaikan
permasalahan lingkungan yang masih menjadi
isu prioritas di tahun 2014 yang perlu
dilakukan oleh Pemerintah Provinsi maupun
Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka
meningkatkan kualitas lingkungan yang sudah
rusak dan/atau tercemar.
5.2.1. Agenda Penurunan Beban
Pencemaran dan Peningkatan
Kualitas Sungai
Sungai yang banyak di Sumatera Barat
tidak memungkinkan penanganan secara
sekaligus tetapi diperlukan penetapan skala
prioritas dalam penanganannya. Berdasarkan
indeks pencemaran air, Sungai Batang Agam
merupakan sungai yang prioritas untuk
ditangani terutama pada segmen perkotaan.
Karekteristik dan penyebab penurunan
kualitas air sungai mempunyai pola yang
hampir sama antara sungai satu dengan
sungai lain sehingga yang paling dibutuhkan
saat ini adalah pengembangan program
kerjasama antar daerah dan antar sektor
dalam pemulihan dan pengendalian
pencemaran sungai perkotaan. Dalam hal ini
Batang Agam dipilih sebagai model dari
program kerjasama tersebut.
Selain sungai Batang Agam, Sungai
Batang Hari juga merupakan sungai lintas
provinsi yang prioritas untuk ditangani. Multi
faktor penyebab kerusakan DAS dan
keterbatasan yang ada, menuntut bahwa
hendaknya program yang direncanakan benar-
benar tepat dan effektif dalam mengatasi
permasalahan tersebut. Oleh sebab itu
Agenda Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat V-3
program pengkajian pemulihan kerusakan
DAS dan morfologi Sungai Batang Hari masih
dibutuhkan, selain pemantauan kualitas air
yang selama ini sudah dilakukan. Berikut ini
gambaran lebih jauh tentang agenda
penurunan beban pencemaran dan pemulihan
sungai :
1. Program Pengembangan Kerjasama
Antar Daerah dalam Pemulihan dan
Pengendalian Pencemaran Sungai
Batang Agam.
Program ini dilaksanakan multi years
dengan target pencapaian pada tahun 2020
beban pencemaran dapat diturunkan
sebanyak 15 %. Pada tahun 2015 dan 2016
target lebih kepada penanggulangan sampah
dan penyadaran masyarakat melalui publikasi
lingkungan serta pembentukan
klaster/pemukiman percontohan dalam
mengatasi limbah domestik.
Pada tahun berikutnya akan
dikembangkan model penganggulan limbah
cair antara lain pengembangan teknologi
sederhana untuk kegiatan skala kecil dan
mikro seperti rumah potong hewan,
hotel/losmen dan rumah sakit/klinik.
2. Pengkajian pemulihan kerusakan DAS
dan morfologi Sungai Batang Hari
Pengkajian pemulihan kerusakan DAS
dan morfologi Sungai Batang Hari ini
merupakan salah satu dari keseluruhan
program pemulihan Sungai Batang Hari yang
dicanangkan hingga tahun 2020. Program
tersebut dituangkan dalam rencana aksi yang
disepakati antara Pemerintah Provinsi Jambi
dan Sumatera Barat serta Kabupaten/Kota
yang dilintasinya. Pelaksanaan program ini
sudah diagendakan pada tahun 2015 dan
akan dilaksanakan pada tahun 2016. Program
selanjutnya akan dilaksanakan bertahap
sesuai kesepakatan dan rekomendasi dari
hasil kajian tersebut.
5.2.2. Agenda Pemulihan Kualitas Air
Danau Maninjau
Dengan ditetapkannya Peraturan
Daerah Kabupaten Agam Nomor 5 Tahun
2014 tentang Pengelolaan Kelestarian
Kawasan Danau Maninjau, maka telah
disusun beberapa upaya pengelolaan Danau
Maninjau antara lain:
a. Daya dukung dan daya tampung untuk
jumlah Keramba Jaring Apung (KJA) di
kawasan danau mengacu kepada
kemampuan perairan Danau Maninjau
mencerna limbah organik dari kegiatan
perikanan yang setara dengan 1.500
(seribu lima ratus) unit dan/atau 6.000
(enam ribu) petak dengan ukuran 5 x 5
meter persegi per petak keramba.
b. Untuk mencapai angka batasan jumlah
unit KJA sebanyak 1.500 unit dan/atau
6.000 petak sebagaimana dimaksud
point a, akan dilakukan upaya
pengurangan secara bertahap dalam
jangka waktu paling lama 10 tahun, 5
(lima) tahun pertama mencapai angka
11.760 petak dan 5 (lima) tahun kedua
6.000 petak.
Disamping pengurangan jumlah KJA,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIP)
juga telah melakukan kajian dan menyarankan
Agenda Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat V-4
beberapa upaya pengelolaan di Kawasan
Danau Maninjau antara lain :
a. Menahan penebaran bibit, mewaspadai
adanya anomali cuaca yang biasanya
terjadi di akhir tahun dan awal tahun,
dengan mengurangi jumlah padat tebar
bibit ikan ± 5.000 ekor (mengurangi
tingkat persaingan oksigen terlarut).
b. Penurunan jumlah tebar ikan/biomas,
jumlah KJA sesuai dengan daya dukung,
dan pengaturan jadwal penebaran di
sesuaikan dengan tinggi muka air danau
dan kondisi musim.
c. Melakukan panen dini dan mengurangi
waktu dan proporsi pemberian pakan.
d. Pemasangan pompa udara (Aerasi) dan
atau pompa air sirkulasi (Waterpump).
5.2.3. Agenda Penanganan Limbah
Agenda pengelolaan terkait limbah
diarahkan kepada pemerintah daerah
karena merupakan kewenangan
kabupaten/kota dengan kegiatan
sebagai berikut :
a. Limbah padat (sampah)
- Mengembangkan IPAL komunal
domestik percontohan dan
pengolaan sampah pada main
drainase perkotaan, pengembangan
peralatan sederhana untuk
pengelolaan limbah cair dan padat
domestik serta kegiatan skala kecil.
- Pembinaan pengelolaan sampah
pada masyarakat sempadan sungai
dan danau melalui bank sampah
- Pembentukan klaster percontohan
pengelolaan sampah pemukiman
sempadan sungai.
- Pembentukan bank sampah, rumah
kompos dan pemanfaatan
biodigester.
- Pemberian peralatan bank sampah,
biodigister dan komposter.
- Penyediaan TPA yang berwawasan
lingkungan.
b. Limbah B3 dan limbah cair Rumah
Sakit serta Hotel.
- Memfasilitasi kerjasama dan TPS
klaster pengelolaan limbah B3
medis di kabupaten/kota.
- Menyiapkan SDM untuk mengetahui
aturan teknis tentang pengelolaan
limbah cair, land apllication dan
Pengelolaan Limbah B3
- Pembentukan jaringan pengelolaan
RS berizin (klaster LB3)
- Pembinaan teknis dan penerbitan Izin
TPS Rumah Sakit dan Hotel.
5.2.4. Agenda Penanganan Dampak
Kebencanaan
Agenda pengelolaan lingkungan terkait
isu kebencanaan adalah dengan
melaksanakan Program peningkatan
kesiap-siagaan menghadapi bencana
yang meliputi :
a. Pemantauan dan Evaluasi Bencana
Alam Geologi
b. Evaluasi Potensi Bencana Alam
Geologi di Sumatera Barat
c. Identifikasi Bencana Alam Geologi
Sumatera Barat.
Agenda Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat V-5
d. Sosialisasi kesiap–siagaan
menghadapi Bencana Alam Geologi
bagi aparatur di Sumatera Barat .
5.2.5. Agenda Penguatan Kapasitas
Kelembangaan Lingkungan
Disamping program tersebut di atas,
Bapeldalda Provinsi Sumatera Barat memiliki
agenda pengelolaan lingkungan ke depannya
yaitu peningkatan/penguatan kapasitas pada :
1. Instansi pengelolaan lingkungan hidup
kabupaten/kota yaitu :
a. Pelaksanaan Pembahasan Dokumen
Pengawasan AMDAL
Membentuk Komisi Penilai AMDAL
(KPA) berlisensi di kabupaten/kota
yang belum berlisensi.
- Peningkatan kapasitas
kelembagaan instansi lingkungan
hidupnya masih berbentuk Kantor
(setingkat eselon III) untuk
meningkatkannya menjadi
setingkat eselon II (berbentuk
Badan), sebagai salah satu
persyaratan lisensi KPA.
- Peningkatan kapasitas SDM
aparat Pemkab/kota, terutama
untuk pemenuhan persyaratan
lisensi KPA.
b. Optimalisasi Laboratorium
Lingkungan Kabupaten/Kota
Setiap laboratorium lingkungan
kabupaten/kota sudah mendapat
Dana Alokasi Khusus (DAK) yang
telah dimanfaatkan untuk :
- Pengujian sampel keperluan
sendiri bagi kabupaten/kota yang
kapasitas laboratoriumnya belum
memadai untuk membentuk Unit
Pelaksana Teknis Daerah
(UPTD).
- Penyediaan jasa pengujian
sampel untuk pihak luar
(eksternal) seperti perusahaan.
Strategi pembinaan yaitu dengan
penetapan laboratorium klaster
yang diarahkan sebagai
percepatan menuju laboratorium
lingkungan terakreditasi.
2. Masyarakat dan Dunia Usaha
a. Adiwiyata
Target jumlah keikutsertaan sekolah
dalam program Adiwiyata pada tahun
2015 sebanyak 250 sekolah dan
pada tahun 2015 sebanyak 300
sekolah.
b. Adipura dan Gerakan Sumbar Bersih
(GSB)
- Adanya komitmen pemerintah
daerah (kabupaten/kota) untuk
mendukung pelaksanaan program
Adipura dan memacu partisipasi
aktif masyarakat dan dunia usaha
dalam pelaksanaan Program
Adipura
- Melakukan koordinasi dengan
instansi terkait, sosialisasi di
Kecamatan/Kelurahan dan
pembinaan titik pantau dalam
mendukung kegiatan GSB.
Agenda Pengelolaan Lingkungan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat V-6
c. Coorporate Social Responsibility
(CSR) Bidang Lingkungan Hidup
- Mendorong secara intensif
partisipasi dunia usaha dalam
pelaksanaan CSR Lingkungan
yang didukung dengan peraturan
pelaksanaan CSR baik di
provinsi maupun di Kab/Kota.
- Target jumlah perusahaan yang
telah melaksanakan program
CSR Bidang LH pada tahun 2015
adalah 10 perusahaan.
Demikian Agenda Pengelolaan
Lingkungan Provinsi Sumatera Barat ke
depannya yang didasarkan pada Prioritas
Pembangunan 2010 – 2015 berbasis isu
lingkungan hidup yang dianalisis pada buku
SLHD 2014 ini.
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat
_________.2014. Buku Data Status Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Pesisir Selatan.
_________.2014. Buku Data Status Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Agam
_________.2014. Buku Data Status Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Padang Pariaman
_________.2014. Buku Data Status Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Limapuluh Kota
_________.2014. Buku Data Status Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Dharmasraya
_________.2014. Buku Data Status Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Solok
_________.2014. Buku Data Status Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Solok Selatan
_________.2014. Buku Data Status Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Padang Pariaman
_________.2014. Buku Data Status Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Pasaman
_________.2014. Buku Data Status Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Pasaman Barat
_________.2014. Buku Data Status Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai
_________.2014. Buku Data Status Lingkungan Hidup Daerah Kota Padang
_________.2014. Buku Analisis dan Data Status Lingkungan Hidup Daerah Kota Pariaman
_________.2014. Buku Data Status Lingkungan Hidup Daerah Kota Solok
_________.2014. Buku Data Status Lingkungan Hidup Daerah Kota Bukittinggi
_________.2014. Buku Data Status Lingkungan Hidup Daerah Kota Sawahlunto
_________.2014. Buku Data Status Lingkungan Hidup Daerah Kota Payakumbuh
_________.2014. Buku Data Status Lingkungan Hidup Daerah Kota Padang Panjang
_________. 2014.Berita Resmi Statistik, BPS Provinsi Sumatera Barat
_________. 2014.Statistik Potensi Desa ( PODES ), BPS Provinsi Sumatera Barat
_________. 2014.Laporan Profil Menuju Indonesia Hijau Provinsi Sumatera Barat
_________. 2010 Draft Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Provinsi Sumatera Barat
(2010-2015)
Isu Pencemaran Sungai Dan Danau
Pencemaran Sungai Batang Agam Akibat Limbah Domestik
Pencemaran Danau Maninjau Dan Matinya Ikan Secara Masal
Pencemaran & Kerusakan Sungai Batang Hari Akibat Penambangan Emas
Isu Lahan Dan Udara
Penambangan Rakyat Illegal Di Kab. Limapuluh Kota Dan Penebangan Hutan Illegal Di Kab. Pasaman Barat
Pencemaran Udara Pabrik Dan Kendaraan Bermotor
Kabut Asap Akibat Kebakaran Hutan Di Sumatera Barat Dan “Impor” Asap Dari Provinsi Tetangga
Upaya Pengawasan Pengendalian Pencemaran Dan Kerusakan Lingkungan
Pemantauan Kualitas Air Dan Kerusakan Lahan
Pengujian Kualitas Emisi Gas Buang Kendaraan Dan Limbah Cair Sumber Pencemar
Pengawasan Sampah Domestik Dan Limbah B3
Gerakan Lingkungan
Gerakan Pencanangan Sejuta Biopori Kerjasama Dengan TNI
Tour De Singkarak Dan Gerakan Car Free Day Di Kabupaten/Kota Sumatera Barat
Penggiatan “Gerakan Sumbar Bersih” Dan Pelestarian Penyu Oleh Gubernur Sumatera Barat
Gerakan Lingkungan
Peran Serta Masyarakat Dan Stackholder
Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
Adiwiyata “Membentuk Karakter Siswa Cinta Lingkungan”
CSR-LH Wujud “Perusahaan Peduli Lingkungan”
Peran Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Melalui Goro Dan Bank Sampah
BAPEDALDA PROVINSI SUMATERA BARATBAPEDALDA PROVINSI SUMATERA BARATJl. Khatib Sulaiman No. 22 PadangTelp. 0751 - 7055231 Fax. 0751 70445232http://bapedalda.sumbarprov.go.id