Budaya Kairetsu Jepang

download Budaya Kairetsu Jepang

of 6

description

budaya jepang

Transcript of Budaya Kairetsu Jepang

Kairetsu Jepang

Kairetsu yang dapat diartikan sebagai Perkongsian ini sebenarnya merupakan strategi Jepang dalam berbisnis automotif di seluruh dunia. Caranya adalah para perusahaan besar automotive memiliki share di perusahaan-perusahaan lain yang merupakan groupnya, misal Toyota Group, ada Toyota Motor Company, Toyota Tsusho Indonesia, Toyota Engineering dll.

Keiretsu (?, harfiah: sistem, seri, pengelompokan perusahaan, atau urutan suksesi) adalah suatu kelompok perusahaan dengan hubungan bisnis dan kepemilikan saham yang saling terkait. Keiretsu adalah salah satu jenis kelompok usaha, yang mulai muncul di Jepang setelah pasca Perang Dunia II.

Pasca perang, keiretsu dikenal dengan nama zaibatsu. Zaibatsu (secara harafiah adalah klik dalam keuangan) adalah diversifikasi usaha keluarga pada era Meiji. Bermulai, sekitar tahun 1910, dengan struktur piramida dengan sejumlah kecil pemilik keluarga yang memperoleh kontrol atas segmen dalam perekonomian di Jepang

Perusahaan besar Jepang tersebut kemudian bekerjasama dengan banyak perusahaan local di seluruh dunia untuk produksi komponen, stamping, hingga perakitan but mostly dengan raw material adalah imported dari steel mills Jepang seperti Nippon Steel, Kawasaki Steel yang notabene steel producer ini juga memiliki share di Toyota Group. Disinilah letak "Keiretsu" nya Jepang, mereka akan tetap menomorsatukan raw material yang berasal dari group mereka sehingga perekonomian mereka tetap bergerak. Komposisi Krakatau Steel sebagai local content hanyalah sedikit sekali atau bahkan tidak ada sama sekali.

Kita cukup kebablasan dengan di ambil alihnya kepemilikan saham astra di TAM oleh Toyota Motor Company Jepang untuk kemudian berganti nama menjadi TMMC, Toyota Motor Manufacturing Company. Akibat dari hal ini secara financial adalah retain earning perusahaan lari ke Jepang semuanya, secara moral pekerja Indsonesia seperti menjadi tamu di negeri sendiri dan secara operasional peningkatan local content Krakatau Steel yang diperjuangkan Astra tidak lagi terdengar.

Morale of the story adalah peraturan pemerintah yang memberikan kebebasan perusahaan asing untuk memiliki 100% saham di Indonesia telah menjadi bumerang. Steel producer Indonesia yang seharusnya bisa memberikan kontribusi lebih kepada industri otomotif Indonesia tidak berjalan mulus, padahal bila menggunakan material Krakatau Steel kitaterhindar dari import duti yang tinggi sehingga harga mobil tidak perlu seperti sekarang ini.

Secara resmi zaibatsu (financial cliques) yang melahirkan keiretsu (corporate Groups), memang pernah dilarang saat Jepang diduduki oleh Amerika Serikat. Namun ketika kekuatan ekonomi Jepang mulai membaik sekitar tahun 1960-an-1970-an, zaibatsu bangkit lagi. Dunia bisnis Jepang kembali membuat pengelompokan seperti yang pernah ada pada masa sebelum perang. Namun berbeda dengan zaibatsu yang lebih jelas, keiretsu bersifat agak samar-samar.

Jenis keiretsu

Sebenarnya ada banyak cara untuk pengelompokkan keiretsu tapi cara ada dua cara paling umum digunakan untuk pengelompokkan yang sudah mencakup keiretsu lainnya.Di Jepang, orang - orang biasa menyebutnya yoko (horizontal) dan tate (ta-tay, untuk vertikal).[4] Keiretsu horizontal adalah sekelompok perusahaan sangat besar dengan menajalin suatu hubungan demi tercapainya sebuah bank yang kuat, melalui kepemilikan saham bersama, hubungan dagang, dan sebagainya. Sedangkan, keiretsu vertikal adalah kelompok yang terbentuk dari satu perusahaan yang sangat besar dan ratusan atau ribuan perusahaan kecil yang mengikuti perusahaan besar tersebut, contohnya yaitu Toyota. Vertikal keiretsu dibagi lagi menjadi tiga jenis, yaitu sangyo keiretsu (keiretsu produksi), ryutsu keiretsu (keiretsu distribusi), dan shihon keiretsu (keiretsu modal).

Berikut ini adalah enam buah keiretsu besar di Jepang pasca perang, meskipun dalam beberapa tahun terakhir pembagian di antara mereka telah melebur:

Selama ini, para perencana ekonomi atau badan pengembangan teknologi dan ilmu pengetahuan di negara-negara berkembang, sepertinya tidak pernah memeriksa berapa jumlah perusahaan yang mendukung, perusahaan besar Jepang untuk menghasilkan sebuah produk. Bila penelitian ini pernah dilakukan, tidak mustahil sejak awal mereka bisa mengetahui bahwa alih teknologi dari Jepang tidak akan pernah terjadi. Mereka akan sadar bahwa pemindahan kegiatan industri Jepang ke negara-negara berkembang, tak lebih hanyalah sekadar penyewaan lokasi untuk pabrik dan tenaga buruh, terutamasehubungan dengan yendaka.

Gambaran lebih gampang bagaimana cara melihat bentuk keiretsu ini beroperasi, dapat dilihat jelas dari geliatan bisnis Jepang yang ada di industri otomotif dan elektronik, yang memiliki ratusan sampai ribuan mata rantai perusahaan. Dari situ akan terlihat bagaimana imposible-nya negara-negara berkembang melakukan alih teknologi tersebut.

Gampangnya, ada satu negara berkembang ingin melakukan alih teknologi elektronika TV atau mobil, maka negara ini tak cukup hanya membawa satu perusahaan saja untuk masuk ke negaranya dan kemudian bisa terjadi alih teknologi. Tetapi harus membawa ratusan atau ribuan perusahaan yang tersubordinasi atau yang menjadi pendukung perusahaan utama tersebut.

* * *PERTANYAAN besarnya, apakah mungkin pemindahan atau pembuatan semacam duplikat dari mata rantai perusahaan-perusahaan sebanyak itu. Ini baru satu persoalan saja, yakni pemindahan perusahaan saja, belum termasuk alih teknologi.

Dalam kasus Toyota misalnya, sebuah studi menyebutkan bahwa lapisan atas struktur organisasi piramida Toyota, tersusun oleh 10 perusahaan subkontraktor utama. Di luar ini ada dua lagi perusahaan lain, tapi tidak berkaitan dengan kegiatan manufakturing. Total perusahaan pada lapisan atas berjumlah 12 unit. Namun jumlah tersebut masih di tambah lagi oleh dua perusahaan, yang dalam kesan umum sering dirasakan sebagai saingan Toyota di pasaran mobil, yakni Daihatsu Motors dan Hino Motors yang dikonsentrasikan pada truk.

Pada lapisan menengah piramida itu terdapat pula dua grup pembuat komponen.Masing-masing adalah kyoho-kai (Toyota cooperative association), yang terdiri dari 183 perusahaan dan kemudian Eiho-kai (Toyota Prosperity Association), yang terdiri dari 65 perusahaan. Totalnya 248 perusahaan, ini baru perusahaan yang nampak dalam keiretsu Toyota.

Di bawah perusahaan-perusahaan ini masih terdapat pula beberapa angkatan perusahaan dalam urutan hirarki, yang masing-masing terdiri pula dari ratusan perusahaan. Namun berapa pastinya jumlah perusahaan yang ada dalam jaringan keiretsu Toyota, barangkali hanya Toyota sendiri yang tahu.

Semua ini memang hanyalah gambaran yang tidak sepenuhnya utuh, namun minimalmendekati kebenaran mengenai otomotif Toyota. Sebab di luar gambaran ini masih ada pula jaringan distribusi yang mencapai 4.750 perusahaan. Seperti yang ada dalam bayangan orang pada umumnya, sekadar untuk membuat kaca spion saja, perusahaan-perusahaan industri mobil Jepang memerlukan tiga atau empat perusahaan kecil. Perusahaan terakhir melakukan tugas untuk merakit hingga menjadi spion. Keempat perusahaan ini tak mungkin sendiri, karena satu sama lain merupakan dari rangkain sistem.

Ciri semacam ini bukan khas dominasi dari Toyota, tetapi merupakan khas dari seluruh perusahaan besar di Jepang. Matsushita misalnya, memiliki rantai 160 perusahaan, yang masing-masing perusahaan memiliki lagi mata rantai kecil hingga yang paling kecil yang tidak sedikit jumlahnya. Demikian juga dengan Sony, Hitachi, dan Mitsubishi, semua mengikuti pola seperti itu.

Sebuah contoh konkret tentang berlakunya aturan main tersebut adalah, soal terbakarnya pabrik rem milik Toyota di Perfektur Aichi beberapa bulan lalu.Akibat tidak mungkinnya Toyota memperoleh suplai dari luar jaringannya, makaperusahaan ini harus menghentikan produksi beberapa hari. Akibatnya Toyotamenderita kerugian milyaran yen, karena harus menunggu salah satu pensuplaidari lingkungan sendiri memproduksi komponen rem yang diperlukan.

* * *KEMBALI dalam hubungan antara Jepang dan mitra dagangnya selama ini, jelasterlihat bahwa pengejaran oleh angsa yang berada di belakang dalam kawananangsa menurut flying geese model jelas tidak akan pernah terjadi. Ini belumlagi jika faktor-faktor lain ikut diperhitungkan sebagai misal, sikap perusahaan-perusahaan Jepang yang ada kalanya, jelas-jelas menghalangi negara berkembang untuk melangkah sendiri atau menyalahi garis yang ditetapkan.

Kasus pengembangan teknologi Mazda tua yang berhasil dilakukan KIA dari Korsel pada pertengahan tahun 1980-an yang akhirnya menimbulkan kekecewaan KIA, karena Mazda menolak memberi restu atas teknologi tersebut. Masih dalam konteks Korsel, dalam industri semi konduktor, sering kali dikatakan koran bahwa Korsel telah mengalahkan Jepang.

Tapi di luar cerita di koran-koran, ilmuwan Korsel sendiri mengeluh bahwa akibat ketergantungan pada Jepang, total hasil keuntungan dari penjualan semi konduktor tersebut ternyata lebih besar dikantungi Jepang beberapa kali lipat daripada Korsel-nya sendiri.

Barangkali ketidakpuasan yang kini mulai timbul di negara-negara mitra Jepang di Asia, terutama sekali dalam hal alih teknologi, apakah tidak mungkin bahwa industri yang ada di negara berkembang tersebut adalah jaringan keiretsu Jepang. Kalau perkiraan ini salah, pertanyaan yang timbulselanjutnya, melihat dasar dan rumitnya jaringan keiretsu, serta aturan atau komitmen-komitmen yang dipegang teguh para anggota, tampaknya hampir mustahil bagi negara berkembang untuk bisa tumbuh menjadi kekuatan industri yang mandiri.

Kalau hanya sekadar dilihat dari sisi menumbuhkan lapangan kerja baru, barangkali kehadiran perusahaan Jepang bisa dianggap bermanfaat. Sisi lainnya hanya sekadar untuk memperoleh wahana latihan dalam sistem industri modern, walau hanya sepotong-sepotong.

Jadi sangat keliru jika hubungan bisnis yang terjalin melalui investasi Jepang di Indonesia selama ini, merupakan rumus efektif untuk memaksa Jepang melakukan alih teknologi. Setelah proses itu terjadi, kemudian negara berkembang itu sendiri menjalankan berbagai proses produksi dari awal hingga akhir. Padahal dalam sistem keiretsu, ibaratnya semua itu tak lebih hanyalah tangan perusahaan Jepang yang ada di negara berkembang, dari ribuan tangan yang mengenggam kepingan teknologi dari produk yang dihasilkannya.

Proses tak terjadinya alih teknologi dalam industri otomotif nasional, sekali pun telah bermitra seperempat abad dengan Jepang, tidak perlu ditanggapi sebagai kekecewaan. Masalah itu sebenarnya sudah harus disadari sejak awal, bahwa hal itu memang tidak mungkin pernah terjadi. Kita telah kehilangan waktu sekitar seperempat abad, karena ketidakjelian lembaga terkait dalam membaca "nafas bisnis" Jepang yang sesungguhnya yang tetap berobsesi ingin menjadi saudara tua, cahaya dan pelindung bagi Asia.

Bila ingin menguasai teknologi dan akhirnya menjadi mandiri, Indonesia mungkin bukan harus menjadi angsa yang adem dan terbang lembut di belakang dalam formasi huruf "V" terbalik itu. Melainkan harus berubah menjadi elang yang tangguh. Namun untuk menjadi elang yang tangguh harus ada kepastian hukum, permainan yang adil dan kompetitif, tidak membuang peluang, menjaga kewibawaan, performance yang bagus, kesungguhan, serius, dan tidak menganggap segala sesuatunya sebagai barang mainan sesaat.

Tetapi harus dilihat sebagai sesuatu peluang besar untuk membawa bangsa ini menjadi mandiri, karena waktu, tenaga, dana dan kehormatan yang dipertaruhkan untuk menjadi elang itu sudah terlalu besar dikeluarkan. Kalau semua pengorbanan yang dilakukan oleh seluruh masyarakat ini tak diimbangi dengan kemampuan yang maksimal, bukan saja si induk angsa beserta rangkainnya yang menghantamnya, tetapi juga kolega angsa itu ikut menghantamnya.