Bronkopneumonia

17
a. Apa makna klinis gejala yang terjadi 2 hari lalu dan semakin bertambah berat? Kemungkinan kondisi Lana telah memasuki tahapan perkembangan pneumonia yang kedua, yaitu hepatisasi merah dimana alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak. b. Apa DD dari kasus ini ? Gejala Bronchioli tis akut Bronchit is akut Bronkopneumoni a Batuk + + + Sulit Bernapa s + + + Demam -/ subfebris +/ sedikit meningka t + Retraks i + - + Dullnes s - - (redup) c. Apa working diagnosis ? Bronkopneumonia

description

Bronkopneumonia

Transcript of Bronkopneumonia

Page 1: Bronkopneumonia

a. Apa makna klinis gejala yang terjadi 2 hari lalu dan semakin bertambah berat?

Kemungkinan kondisi Lana telah memasuki tahapan perkembangan pneumonia yang

kedua, yaitu hepatisasi merah dimana alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat

dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan.

Pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan

bertambah sesak.

b. Apa DD dari kasus ini ?

Gejala Bronchiolitis

akut

Bronchitis

akut

Bronkopneumonia

Batuk + + +

Sulit

Bernapas

+ + +

Demam -/ subfebris +/sedikit

meningkat

+

Retraksi + - +

Dullness - - (redup)

c. Apa working diagnosis ?

Bronkopneumonia

d. Apa faktor resiko dari kasus?

Beberapa faktor resiko yang meningkatkan angka kejadian dan derajat pneumonia

adalah defek anatomi bawaan, immunodefisiensi, polusi, GERD, aspirasi, gizi buruk,

berat badan lahir rendah, tidak mendapat ASI, imunisasi tidak lengkap, terdapat

anggota keluarga serumah yang menderita batuk, dan kamar tidur yang terlalu padat.

Sumber: Kapita Selekta

e. Bagaimana patofisiologi dari kasus?

Infeksi paru dalam bentuk pneumonia dapat terjadi karena permukaan epitel yang

terus menerus terpajan udara yang tercemar; flora nasofaring terus menerus diaspirasi

selama tidur (bahkan oleh orang sehat); dan penyakit paru umum lainnya yang

menyebabkan parenkim paru rentan terhadap organisme virulen.

Page 2: Bronkopneumonia

Secara umum infeksi bakteri (Streptococcus pneumonia) akan mencapai alveoli

melalui percikan mukus atau saliva dan tersering mengenai lobus bagian bawah paru

karena adanya efek gravitasi. Dialveoli akan terjadi respon yang khas yang terdiri dari

4 tahap yang berurutan, yaitu:

1) Kongesti (4 s/d 12 jam pertama)

Eksudat serosa masuk ke dalam alveoli melalui pembuluh darah yang berdilatasi

danbocor.

2) Hepatisasi merah (48 jam berikutnya)

Paru-paru tampak merah dan bergranula karena sel-sel darah merah, fibrin dan

leukosit polimorfonuklear mengisi alveoli.

3) Hepatisasi kelabu (3 s/d 8 hari)

Paru-paru tampak kelabu karena lekosit dan fibrin mengalami konsolidasi di

dalamalveoli yang terserang.

4) Resolusi (7 s/d 11 hari)

Eksudat mengalami lisis dan direabsorpsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali pada

strukturnya semula. 

Bronkopneumonia mengisyaratkan distribusi peradangan yang bebercak dan

umumnya mengenai lebih dari satu lobus. Pola ini terjadi akibat infeksi awal di

bronkus dan bronkiolus yang meluas ke alveolus di dekatnya.

f. Apa manifestasi klinis dari kasus?

Gejala infeksi umum : demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan,

keluhan gastrointestinal (mual, muntah, diare)

Gangguan respiratori : batuk, sesak nafas, retraksi dada, takipnea, napas cuping

hidung, air hunger, merintih, sianosis.

Sumber : Kapita Selekta

g. Apa SKDI

4A

LI

Pneumonia

Page 3: Bronkopneumonia

Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang mengenai parenkim

paru. Pneumonia pada anak dibedakan menjadi (Bennete, 2013) :

1.      Pneumonia lobaris

2.      Pneumonia interstisial (bronkiolitis)

3.      Bronkopneumonia

Pneumonia adalah salah satu penyakit yang menyerang saluran nafas bagian bawah yang

terbanyak kasusnya didapatkan di praktek-praktek dokter atau rumah sakit dan sering

menyebabkan kematian terbesar bagi penyakit saluran nafas bawah yang menyerang anak-

anak dan balita hampir di seluruh dunia. Diperkirakan pneumonia banyak terjadi pada bayi

kurang dari 2 bulan, oleh karena itu pengobatan penderita pneumonia dapat menurunkan

angka kematian anak (Bennete, 2013).

Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan pada

parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai

alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan balita, yang disebabkan oleh

bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Kebanyakan kasus

pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah penyebab non infeksi

yang perlu dipertimbangkan. Bronkopneumonia lebih sering merupakan infeksi sekunder

terhadap berbagai keadaan yang melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa juga sebagai

infeksi primer yang biasanya kita jumpai pada anak-anak dan orang dewasa.

Definisi

Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan

bronkus atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy

distribution) (Bennete, 2013).Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut pada paru

yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan oleh penyebab

non-infeksi yang akan menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas

setempat(Bradley et.al., 2011)

Epidemiologi

Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah umur

5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan

angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun(Bradley et.al.,

2011)

Page 4: Bronkopneumonia

Etiologi

Penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah (Bradley et.al., 2011) :

1.      Faktor Infeksi

a.    Pada neonatus: Streptokokus group B, Respiratory Sincytial Virus (RSV).

b.    Pada bayi :

1)   Virus: Virus parainfluensa, virus influenza,Adenovirus, RSV, Cytomegalovirus.

2)   Organisme atipikal: Chlamidia trachomatis,Pneumocytis.

3)   Bakteri: Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza, Mycobacterium

tuberculosa, Bordetellapertusis.

c.    Pada anak-anak :

1)   Virus : Parainfluensa, Influensa Virus,Adenovirus, RSV

2)   Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia

3)   Bakteri: Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosis

d.   Pada anak besar – dewasa muda :

1)   Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis

2)   Bakteri: Pneumokokus, Bordetella pertusis, M. tuberculosis

2.      Faktor non infeksi, terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi

a.     Bronkopneumonia hidrokarbon :

Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung (zat hidrokarbon

seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).

b.    Bronkopneumonia lipoid :

Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal, termasuk jeli

petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme menelan seperti

palatoskizis, pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian

makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang menangis. Keparahan penyakit

tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung

asam lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan.

Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk

terjadinya bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang

berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak

merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.

Klasifikasi

Page 5: Bronkopneumonia

Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan pada

umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah membuktikan

bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara klinis dan memberikan

terapi yang lebih relevan (Bradley et.al., 2011).

1.    Berdasarkan lokasi lesi di paru

a. Pneumonia lobaris

b. Pneumonia interstitialis

c. Bronkopneumonia

2.    Berdasarkan asal infeksi

a. Pneumonia yang didapat dari masyarkat (community acquired pneumonia = CAP)

b. Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia)

3.    Berdasarkan mikroorganisme penyebab

a.    Pneumonia bakteri

b.    Pneumonia virus

c.    Pneumonia mikoplasma

d.   Pneumonia jamur

4.    Berdasarkan karakteristik penyakit

a.    Pneumonia tipikal

b.    Pneumonia atipikal

5.    Berdasarkan lama penyakit

a.    Pneumonia akut

b.    Pneumonia persisten

Patogenesis

Normalnya, saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim paru. Paru-

paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme pertahanan anatomis dan mekanis,

dan faktor imun lokal dan sistemik. Mekanisme pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung,

refleks batuk dan mukosilier aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A

lokal dan respon inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin,

makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel.

Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau bila virulensi

organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas bagian bawah melalui inhalasi

atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas bagian atas, dan jarang melalui hematogen.

Virus dapat meningkatkan kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah

Page 6: Bronkopneumonia

dengan mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun. Diperkirakan sekitar 25-75

% anak dengan pneumonia bakteri didahului dengan infeksi virus.

Invasi bakteri ke parenkim paru menimbulkan konsolidasi eksudatif jaringan ikat paru

yang bisa lobular (bronkhopneumoni), lobar, atau intersisial. Pneumonia bakteri dimulai

dengan terjadinya hiperemi akibat pelebaran pembuluh darah, eksudasi cairan intra-alveolar,

penumpukan fibrin, dan infiltrasi neutrofil, yang dikenal dengan stadium hepatisasi merah.

Konsolidasi jaringan menyebabkan penurunan compliance paru dan kapasitas vital.

Peningkatan aliran darah yamg melewati paru yang terinfeksi menyebabkan terjadinya

pergeseran fisiologis (ventilation-perfusion missmatching) yang kemudian menyebabkan

terjadinya hipoksemia.  Selanjutnya desaturasi oksigen menyebabkan peningkatan kerja

jantung.

Stadium berikutnya terutama diikuti dengan penumpukan fibrin dan disintegrasi progresif

dari sel-sel inflamasi (hepatisasi kelabu). Pada kebanyakan kasus, resolusi konsolidasi terjadi

setelah 8-10 hari dimana eksudat dicerna secara enzimatik untuk selanjutnya direabsorbsi dan

dan dikeluarkan melalui batuk. Apabila infeksi bakteri menetap dan meluas ke kavitas pleura,

supurasi intrapleura menyebabkan terjadinya empyema. Resolusi dari reaksi pleura dapat

berlangsung secara spontan, namun kebanyakan menyebabkan penebalan jaringan ikat dan

pembentukan perlekatan (Bennete, 2013).

Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al., 2011):

1.    Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)

Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung

pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan

permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-

mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.

Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga

mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan

prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas

kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium

sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di

antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan

karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering

mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.

2.    Stadium II (48 jam berikutnya)

Page 7: Bronkopneumonia

Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,

eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi

peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit,

eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar,

pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah

sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

3.    Stadium III (3-8 hari berikutnya)

Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi

daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang

cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai

diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi

pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.

4.    Stadium IV (7-11 hari berikutnya)

Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan

mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan

kembali ke strukturnya semula.

Manifestasi Klinis

Pneumonia khususnya bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas

bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-400C dan

mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan

cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut.

Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak akan mendapat batuk setelah

beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi

produktif (Bennete, 2013).

Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia khususnyabronkopneumonia ditemukan

hal-hal sebagai berikut (Bennete, 2013):

1.    Pada inspeksi terlihat setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal,

dan pernapasan cuping hidung.

Tanda objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan adalah retraksi dinding

dada; penggunaan otot tambahan yang terlihat dan cuping hidung; orthopnea; dan pergerakan

pernafasan yang berlawanan. Tekanan intrapleura yang bertambah negatif selama inspirasi

melawan resistensi tinggi jalan nafas menyebabkan retraksi bagian-bagian yang mudah

terpengaruh pada dinding dada, yaitu jaringan ikat inter dan sub kostal, dan fossae

Page 8: Bronkopneumonia

supraklavikula dan suprasternal. Kebalikannya, ruang interkostal yang melenting dapat

terlihat apabila tekanan intrapleura yang semakin positif. Retraksi lebih mudah terlihat pada

bayi baru lahir dimana jaringan ikat interkostal lebih tipis dan lebih lemah dibandingkan anak

yang lebih tua.

Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan pergerakan fossae

supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda yang paling dapat dipercaya akan adanya

sumbatan jalan nafas. Pada infant, kontraksi otot ini terjadi akibat “head bobbing”, yang

dapat diamati dengan jelas ketika anak beristirahat dengan kepala disangga tegal lurus dengan

area suboksipital. Apabila tidak ada tanda distres pernapasan yang lain pada “head bobbing”,

adanya kerusakan sistem saraf pusat dapat dicurigai.

Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan adanya distress

pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi memendek secara abnormal (contohnya pada

kondisi nyeri dada). Pengembangan hidung memperbesar pasase hidung anterior dan

menurunkan resistensi jalan napas atas dan keseluruhan. Selain itu dapat juga menstabilkan

jalan napas atas dengan mencegah tekanan negatif faring selama inspirasi.    

2.    Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.

Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran fremitus

selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi paru (kolaps

paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang.

3.    Pada perkusi tidak terdapat kelainan

4.    Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.

Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan berulang

dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi ataupun rendah

(tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang mendominasi), keras atau lemah (tergantung

dari amplitudo osilasi) jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus atau

kasar (tergantung dari mekanisme terjadinya).

Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan

napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.

PEMERIKSAAN RADIOLOGI

Gambaran radiologis mempunyai bentuk difus bilateral dengan peningkatan corakan

bronkhovaskular dan infiltrat kecil dan halus yang tersebar di pinggir lapang paru. Bayangan

bercak ini sering terlihat pada lobus bawah (Bennete, 2013).

Page 9: Bronkopneumonia

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit. Hitung

leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial. Infeksi virus leukosit

normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan) dan bakteri

leukosit meningkat 15.000-40.000 /mm3 dengan neutrofil yang predominan. Pada hitung jenis

leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta peningkatan LED. Analisa gas darah menunjukkan

hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. Isolasi

mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau darah bersifat invasif sehingga tidak rutin

dilakukan (Bennete, 2013).

KRITERIA DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut(Bradley et.al., 2011):

1.    Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada

2.    Panas badan

3.    Ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles)

4.    Foto thorax meninjikkan gambaran infiltrat difus

5.    Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan,

dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)

KOMPLIKASI

Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri dalam rongga

thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau penyebaran bakteremia dan

hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan osteomielitis adalah komplikasi yang jarang

dari penyebaran infeksi hematologi (Bradley et.al., 2011).

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan pneumonia khususnya bronkopneumonia pada anak terdiri dari 2

macam, yaitu penatalaksanaan umum dan khusus (IDAI, 2012; Bradley et.al., 2011)

1.    Penatalaksaan Umum

a.    Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit à sampai sesak nafas hilang atau PaO2 pada analisis

gas darah ≥ 60 torr.

b.    Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.

c.    Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.

2.    Penatalaksanaan Khusus

Page 10: Bronkopneumonia

a.    Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan pada 72 jam

pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibioti awal.

b.    Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi, takikardi, atau

penderita kelainan jantung

c.    Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan manifestasi

klinis. Pneumonia ringan àamoksisilin 10-25 mg/kgBB/dosis (di wilayah dengan angka

resistensi  penisillin tinggi dosis dapat dinaikkan menjadi 80-90 mg/kgBB/hari).

Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi :

1.    Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan epidemiologis

2.    Berat ringan penyakit

3.    Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis

4.    Ada tidaknya penyakit yang mendasari

Pemilihan antibiotik dalam penanganan pneumonia pada anak harus

dipertimbangkan berdasakan pengalaman empiris, yaitu bila tidak ada kuman yang dicurigai,

berikan antibiotik awal (24-72 jam pertama) menurut kelompok usia.

1.    Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan)

a.    ampicillin + aminoglikosid

b.    amoksisillin - asam klavulanat

c.    amoksisillin + aminoglikosid

d.   sefalosporin generasi ke-3

2.    Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)

a.    beta laktam amoksisillin

b.    amoksisillin - asam klavulanat

c.    golongan sefalosporin

d.   kotrimoksazol

e.    makrolid (eritromisin)

3. Anak usia sekolah (> 5 thn)

a.    amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)

b.    tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)

              Karena dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and error) maka harus

dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal tiap 24 jam sekali sampai hari

ketiga. Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang nyata dalam

24-72 jam à ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai dengan kuman penyebab

yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada tidaknya penyulit seperti empyema,

Page 11: Bronkopneumonia

abses paru yang menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak efektif).

DAFTAR PUSTAKA

Bennete M.J. 2013. Pediatric Pneumonia.http://emedicine.medscape.com/article/967822-

overview. (9 Marert 2013)

Bradley J.S., Byington C.L., Shah S.S, Alverson B., Carter E.R., Harrison C., Kaplan S.L., Mace

S.E., McCracken Jr G.H., Moore M.R., St Peter S.D., Stockwell J.A., and Swanson J.T. 2011.

The Management of Community-Acquired Pneumonia in Infants and Children Older than 3

Months of Age : Clinical Practice Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and

the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 53 (7): 617-630

Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012. Panduan Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta :

Penerbit            IDAI

Kumar V, Cotran R, Robbins S. Buku Ajar Patologi. 7th ed. Jakarta: EGC; 2007

Price, Sylvia A., Lorraine M. Wilson. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.

Jakarta : EGC; 2012