BPK Banjarbaru - Majalah Bekantan #1 -...

44

Transcript of BPK Banjarbaru - Majalah Bekantan #1 -...

Salam rimbawan

Setelah sekian lama menghilang, Bekantan terbit lagi, tapi dalam kemasan yang berbeda. Berita Kehutanan Kalimantan yang disingkat Bekantan awalnya merupakan tabloid Balai Teknologi Reboisasi (nama Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru pada masa itu). Sekarang Bekantan terbit dalam bentuk majalah dengan bahasan yang lebih padat dan tampilan yang lebih menarik.

Berbicara mengenai Bekantan, sebenarnya Bekantan atau Nasalis larvatus adalah sejenis primata berhidung panjang dengan rambut berwarna coklat kemerahan dan merupakan satu dari dua spesies dalam genus tunggal monyet Nasalis. Binantang yang merupakan maskot fauna Propinsi Kalimantan Selatan ini hidup di pulau Kalimantan di hutan bakau, rawa dan pantai. Identik dengan Bekantan, majalah ini diharapkan dapat menjadi majalah populer dan aktual yang mengangkat pembangunan kehutanan khususnya di Kalimantan.

Dalam terbitan perdana kali ini Bekantan mengangkat KPH sebagai tajuk utamanya. KPH diharapkan menjadi benteng terakhir kehutanan di Indonesia, yang saat ini kondisinya tak kunjung membaik akibat praktek pengelolaan hutan yang tidak tepat. Selain itu diulas pula beberapa peluang menguntungkan yang timbul dengan menerapkan pengelolaan hutan berbasis KPH. Rubrik profi l menampilkan rimbawan senior faounding father BPK Banjarbaru, Ir APS Sagala, yang begitu konsern dengan pengelolaan hutan yang lestari. Hasil-hasil penelitian yang inovatif dan aplikatif, dituangkan dalam rubrik artikel. Rona kekayaan alam khas Kalimantan mendapat tempat dalam rubrik lansekap yang kali ini akan bercerita tentang pengelolaan KHDTK Tumbang Nusa. Bekantan juga menyediakan rubrik khusus yang mengulas pengenalan jenis tanaman khas Kalimantan dan rubrik-rubrik lain yang dikemas secara menarik bagi pembaca sekalian.

Akhir kata, kami ucapkan selamat menikmati persembahan perdana dari Majalah Bekantan BPK Banjarbaru.

Kata Pengantar

PENANGGUNG JAWAB:

Ir. Tjuk Sasmito Hadi, MSc

DEWAN REDAKSI:

Dr. Acep Akbar

Marinus K. Harun, MSc

Adnan Ardana, S.Sos

REDAKSI PELAKSANA:

Winingtyas W, S.Hut, MT, MSc

Noorliani, S.Hut

Fauziah, S. Hut

Agus Fitrianto, S. Hut

DESAIN GRAFIS DAN LAYOUT:

Purwanto Budi S

Sukma Alamnsyah

Henda Ambo Basiang

ALAMAT REDAKSI:

Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

Jl. A. Yani Km 28,7 Landasan Ulin

Banjarbaru - Kalimantan Selatan 70721

Phone. (0511) 4707872,

Fax. (0511) 4707872

E-mail : [email protected]

DIPA BPK Banjarbaru 2013

Foto Cover:Lahan tambang di sekitar KHDTK Rantau(Hendra AB)

Daftar Isi

Salam Redaksi02

Lansekap04

Profi l13

Fokus15

Lintas Peristiwa22

Lensa23

Artikel32

Berita40

Membangkitkan Primadona Yang Mulai Langka: Kayu Kuku (Pericopsis mooniana Thw)

Mengenal KHDTK Tumbang Nusa Sebagai Stasiun Penelitian Hutan Rawa Gambut

Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH): Benteng Terakhir Rimbawan Mewujudkan Pengelolaan Hutan Lestari

KPH dan Perdagangan Karbon

KHDTK Rantau Sebagai Benteng Terakhir Hutan Menghadapi Gerusan Areal Tambang di Rantau

Kompos dari Gulma Lahan Gambut

Peningkatan Kualitas Penelitian Melalui Pembangunan Data Base

Ekspose Hasil Penelitian BPK Banjarbaru

Diskusi Ilmiah dan Kunjungan Perhimpunan Alumni Hannseidel Indonesia (PAHSI)

Porkas Sagala Sang Pioner

3BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

PendahuluanPohon kayu kuku merupakan salah satu komponen

vegetasi penyusun hutan hujan tropis Indonesia dari 4.000 jenis kayu yang diperkirakan tumbuh. Kayu kuku merupakan jenis pohon hutan hujan dataran rendah yang tumbuh tidak jauh dari pantai atau rawa hingga ketinggian 100 meter dari permukaan laut. Kayu kuku pernah menjadi primadona di Kalimantan Selatan dan telah dieksploitasi sejak jaman kolonial Belanda. Saat ini tidak teridentifi kasi eksploitasi kayu kuku baik yang dilakukan oleh perusahaan maupun masyarakat. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa dalam komunitas hutan Kalimantan Selatan jenis pohon kuku telah mengalami kelangkaan bahkan mungkin potensi keberadaan pada habitatnya telah habis sama sekali. Kelangkaan kayu kuku juga diperkuat oleh laporan Rain Forest Action tahun 2004 dalam Munandar (2010) yang menyatakan bahwa kayu kuku digolongkan sebagai tanaman hutan yang terancam punah. Penyebab kelangkaan, kemungkinannya adalah telah terjadinya overeksploitasi yang tidak termonitor, dan tidak diimbangi dengan peremajaannya baik secara alami maupun buatan.Berdasarkan berbagai penelitian dan pengelompokan kayu di dalam SK Menteri Kehutanan nomor 163/Kpts-II/2003, kayu kuku dikelompokkan kedalam kayu indah dua atau termasuk juga jenis kayu mewah setara dengan kayu bongin (Irvingia malayana Oliv), bungur (Lagerstroemia speciosa), cempaka (Michelia spp), cendana (Santalum

Oleh: Dr. Acep Akbar dan Rusmana, S.Hut.Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru/BPK Banjarbaru

album), dahu (Dracontomelon spp), johar (Cassia siamea), kupang (Ormosia spp), Lasi (Adinauclea fagifolia Ridsed), mahoni (Swietenia spp), melur (Dacridium junghuhnii Miq), membacang (Mangifera spp), mindi (Melia azdarah), dan nyirih (Xylocarpus granatum Konig).

Mengingat pentingnya upaya pelestarian jenis kayu kuku, maka upaya pengenalan jenis ini sangat diperlukan baik dari aspek status ekologi dan sifat-sifat kayunya maupun pola pengembangan budidayanya. Tulisan ini membahas karakteristik kayu kuku, penyebaran secara alami dan teknik budidayanya.

Penyebaran di Hutan Alam di Dalam dan Luar Negeri Nama komersil kayu ini adalah kayu kuku, sedangkan

di Sulawesi disebut kayu besi papua, dan di Papua bernama nani laut. Penyebaran kayu kuku meliputi: Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Penyebaran kayu kuku di Sumatera utamanya di Sumatera Selatan (Banyu Asin). Di pulau Kalimantan pohon kuku tersebar di bagian selatan, tenggara, dan timur. Di Pulau Sulawesi kayu kuku menyebar di bagian tengah dan utara. Selain itu kayu kuku terdapat pula di Maluku, dan pulau Halmahera. Distribusi penyebaran habitat kayu kuku di luar negeri adalah meliputi Sri Lanka (Asia Selatan), Malaysia, Indonesia, Philipina, Myanmar (Asia Tenggara), Papua New guinea (Oceania) hingga ke Aprika (Prosea, 1994; Yuniarti dan Syamsuwida,2011).

KAYU KUKUKAYU KUKU(Pericopsis mooniana Thw)(Pericopsis mooniana Thw)

MEMBANGKITKAN PRIMADONA YANG MULAI LMEMBANGKITKAN PRIMADONA YANG MULAI LANGKA:ANGKA:

4 BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

L ANSEK AP

Karakteristik, Kegunaan Kayu Kuku dan Data ProduksiHabitus pohon kayu kuku di alam seperti uraian

berikut. Tinggi batangnya dapat mencapai 30-40 meter, dengan tinggi batang bebas cabang (clear bole) dapat mencapai ¾ bagian dari tinggi totalnya. Kayu gubal berwarna lebih cerah daripada kayu terasnya yang berwarna coklat kemerahan. Permukaan kayunya licin dan mengkilap. Kayu kuku dapat digunakan untuk mebel (furniture), lantai (fl ooring), papan dinding (panelling), perkapalan (shipbuilding), dan fi nir mewah (fancy veneer). Berat jenis kayu= 0,87 dan memiliki kelas awet II, artinya jika didalam penggunaannya selalu berhubungan dengan tanah lembab, maka kayu kuku tahan hingga 5 (lima) tahun. Jika hanya dipengaruhi cuaca tetapi tidak terendam

air dan tidak kekurangan udara, maka ia tahan sampai 15 tahun. Apalagi jika digunakan di bawah atap, tidak berhubungan dengan tanah lembab dan tidak kekurangan udara maka keawetannya tak terbatas. Di sisi lain kayu kuku jarang diserang rayap dan bubuk kayu kering. Penampilan kayu berwarna coklat muda merah, dengan tekstur agak halus. Arah serat berpadu atau tidak teratur. Kesan raba licin, kekerasan bersifat keras dengan sifat pengerjaan agak sukar. Kayu kuku termasuk kelas kuat 1 (satu) yang ditentukan oleh berat jenis, keteguhan lengkung mutlak dan keteguhan tekan mutlak. Kayu kuku juga mempunyai nilai estetika dengan warna dekoratif sehingga biasanya disamakan dengan kayu jati. Dari segi taksonomi, kayu kuku termasuk kedalam famili Papilionaceae. Kelangkaan tegakan di hutan terutama Kalimantan Selatan menyebabkan tidak ada data produksi kayu bulat maupun olahan. Data produksi yang sempat tercatat adalah dari Sulawesi Tenggara itupun terjadi pada tahun 1972 s/d 1974. Di daerah tersebut tercatat 1.433, 51m3 dengan nilai devisa 139.354,49 US $ (Munandar, 2010). Penampilan buah, bibit, pohon, dan kayu kuku disajikan di gambar 1.

Teknik Budidaya Pembangunan tanaman jenis kayu kuku perlu

dilakukan baik dalam bentuk hutan tanaman untuk industri, kebun benih dan kebun plasma nutfah maupun dalam bentuk hutan kota dan arboretum agar kelestarian kayu mewah tersebut dapat dipertahankan. Teknik budidaya kayu kuku yang meliputi teknik pemanenan, pengelolaan benih, produksi bibit, penanaman, dan perlindungan tanaman dapat diperoleh dari teknologi yang telah diperoleh Badan Litbang Kehutanan. IPTEK budidaya kayu kuku yang telah diketahui seperti uraian berikut. Pertama, jenis pohon kayu kuku berbuah setiap tahun yaitu pada bulan September dan Oktober. Kedua, pengumpulan benih kayu kuku dapat dilakukan dengan cara memanjat atau mengunduh buah secara langsung dari pohon. Ketiga, ciri-ciri kematangan fi siologis buah

Keterangan Gambar 1:1. Benih kayu kuku, 2. Buah kayu kuku, 3. Bibit kayu kuku, 4. Tegakan alam Kuku, 5. Arboretum Kayu Kuku di Kantor BPK Banjarbaru, Guntung payung, 6. Tanaman Kayu Kuku di BPK Banjarnaru,7. Kayu Kuku sebagai pohon Penaung di BPK Banjarbaru,8. Serat kayu kuku yang dekoratif(Sumber: Fotografi Acep Akbar, 2013)

Gambar 1. Tampilan buah, semai, tegakan hutan alam, tanaman, arboretum, pohon penaung dan serat kayu kuku.

5BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

polong kayu kuku adalah berwarna coklat dengan biji berbentuk kancing, berdiameter 1 cm dan tebal 4 mm.

Keempat, buah dijemur selama 2-3 hari sebelum diekstraksi atau dikeluarkan bijinya dari buah yang telah merekah. Kelima, cara mengecambahkan benih kayu kuku diberi perlakuan awal dengan perendaman dalam asam sulfat 0,1 M selama 20 menit. Media kecambah dapat menggunakan pasir sungai. Keenam, pembiakan vegetatif dapat dilakukan dengan cara stek batang. Ketujuh, hama yang menyerang benih di persemaian yaitu serangga Brachytrypes portentosus. Penanggulangannya dengan penyemprotan pestisida. Kedelapan, setelah kecambah berumur 1-2 bulan atau tinggi semai 5 cm, kemudian disapih di bedeng persemaian dengan menggunakan polybag 20x10 cm, bagian bawah dilubangi. Kesembilan, setelah tinggi bibit 16-20 cm atau 5-7 helai daun, bibit siap ditanam di areal tanam. Kesepuluh, penanaman kayu kuku di lahan alang-alang (Imperata cylindrica) dimulai dengan persiapan lahan secara mekanis atau menggunakan herbisida. Jarak tanam dapat dibuat 3x3 meter dan ukuran lubang tanam 30x30x40 cm. Waktu penanaman dilakukan pada awal musim hujan (Nopember s/d Januari). Umur tanaman satu bulan baru menunjukkan pertambahan tinggi rata-rata 0,5 cm. Kesebelas, tanaman rentan serangan ulat daun dengan gejala berlubang pada daun. Perlakuan insektisida hanya dilakukan pada tanaman yang terserang menggunakan insktisida dengan bahan aktif diazinon.

PenutupSebaran alami kayu kuku cukup luas walaupun

keberadaannya mulai langka yaitu meliputi dalam dan luar negeri Indonesia. Sebaran kayu kuku di dalam negeri meliputi Sumatera utamanya di Sumatera Selatan (Banyu Asin), pulau Kalimantan terutama di bagian selatan, tenggara, dan timur, pulau Sulawesi utamanya di bagian tengah dan utara, pulau Maluku, Halmahera, dan Papua. Sebaran kayu kuku di luar negeri meliputi Sri Lanka (Asia Selatan), Malaysia, Indonesia, Philipina, Myanmar (Asia Tenggara), Papua New guinea (Oceania) hingga ke Aprika.

Upaya pelestarian kayu kuku dapat ditempuh dengan menginventarisir kembali tegakan di hutan yang menjadi habitat kayu kuku dan membangun tanaman dalam bentuk hutan tanaman untuk industri, kebun benih, kebun fl asma nutfah, hutan kota, dan arboretum. Adanya program penanaman massal melalui Program OMOT (one man one tree) dan OBIT (one billion trees) dalam rangka mitigasi

perubahan iklim (climate change) seyogyanya memasukan jenis kuku menjadi salah satu jenis pohon yang ditanam.

Dalam rangka pelestarian, pendidikan, dan penelitian, saat ini Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru, Kalimantan Selatan telah memiliki lebih 50 batang pohon kayu kuku yang ditanam di sekitar halaman Kantor Landasan Ulin. Pohon tersebut ditanam dalam bentuk arboretum, plot hutan tanaman, dan sebagai tanaman penaung serta estetika.

Pust akaAnonimous, 1979. Pedoman Teknis Penanaman Kayu Kuku

(Pericopsis mooniana Thw). Deptan. Dirjen Kehutanan. Jakarta

Munandar, 2010. Budidaya Tanaman Kehutanan Jenis Kuku (Pericopsis mooniana Thwaites). Diakses dari mounandar.blogspot.com/2010/06/budidaya-tanaman-kehutanan-jenis-kuku.html tanggal 7 September 2013.

Kartasujana I.dan A.Martawijaya, 1979. Kayu Perdagangan Indonesia, Sifat dan Kegunaannya. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

Prosea, 1994. Timber Trees : Major Commercial Timbers. Plant Resources of South East Asia No. 5(2).

Yuniarti N. dan D. Syamsuwida. 2011. Kayu Kuku. Dalam Buharman, Dharmawati F.D.,N.Widyani, dan Sudradjat S. (2011), Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia. Vol.5 N0.1. Bogor.

Pohon Kayu Kuku yang banyak dijumpai di wilayah Sumatera, Kalimantan, Maluku, Halmahera dan Papua.

6 BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

PendahuluanBalai Penelitian Kehutanan (BPK) Banjarbaru memiliki

Hutan Penelitian di lahan rawa gambut Tumbang Nusa sejak tahun 1998. Status hukum Hutan Penelitian adalah Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) berdasarkan SK penunjukan Menteri Kehutanan No. 76/Menhut-II/2005 tanggal 31 Maret 2005. Luas KHDTK Tumbang Nusa 5.000 hektar, terletak di dalam kawasan hutan produksi tetap wilayah propinsi Kalimantan Tengah (Kalteng).

Propinsi Kalteng memiliki hutan rawa gambut seluas 1,987 juta ha. Di dalam kawasan hutan tersebut terdapat kawasan Proyek Lahan Gambut (PLG) seluas 1.457.100 ha walaupun tidak semuanya lahan bergambut (Sayuto, 2004). Diantara kawasan tersebut terdapat hutan yang sudah rusak terutama berada di antara sungai Sebangau hingga sungai Barito (Limin, 2004).

KHDTK Tumbang Nusa ini sebelumnya merupakan bagian dari kawasan HPH PT. Arjuna Wiwaha berdasarkan SK.08/Kpts/Um/6/1978 tanggal 4 Januari 1978 seluas 92.000 ha, yang izinnya telah berakhir pada 4 Januari 1998. KHDTK Tumbang Nusa adalah satu-satunya hutan penelitian rawa gambut Badan Penelitian dan

MENGENAL KHDTK TUMBANG NUSA

SEBAGAI STASIUN PENELITIAN HUTAN

RAWA GAMBUTOleh : Riswan Ariani, Acep Akbar

L ANSEK AP

7BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

Pengembangan Kehutanan (Badan litbang Kehutanan) dari 33 KHDTK yang ada di Indonesia.

Dalam jangka panjang, KHDTK Tumbang Nusa diharapkan menjadi sumber informasi : 1. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendukung

ragam pemanfaatan dan pendayagunaan hutan rawa gambut (HRG) untuk kesejahteraan masyarakat.

2. Pengembangan teknologi rehabilitasi yang sesuai dalam rangka mengembalikan fungsi hutan rawa gambut terdegradasi, termasuk perlindungan terhadap kebakaran.

3. Pengembangan model hutan tanaman rawa gambut dengan jenis-jenis pohon yang sesuai habitatnya dan bentuk-bentuk partisipasi masyarakat sekitar HRG.

4. Pengembangan teknologi persemaian jenis-jenis pohon rawa gambut.

5. KHDTK Tumbang Nusa juga dapat dijadikan tempat pelatihan dan pendidikan lapangan pengelolaan hutan rawa gambut bagi mahasiswa/siswa dan pengguna lainnya khususnya di Kalimantan.

Sejarah Tahun 1993-1996 :

Tahun 1993 Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru (BTR) Banjarbaru (nama lama BPK Banjarbaru) bekerjasama dengan HPH PT. Kahayan Lumber di Maliku, melakukan ujicoba bidang silvikultur hutan alam rawa gambut terdegradasi. Tahun 1996 kegiatan ujicoba berhenti karena aktivitas eksploitasi hutan tidak lagi dilakukan oleh PT. Kahayan Lumber dan jalan rel / lori dibongkar perusahaan.

Tahun 1996-2000 :Pihak manajemen BTR Banjarbaru melakukan

penjajakan lokasi baru untuk kegiatan litbang di HPH PT. Arjuna Wiwaha Teluk Umpan, desa Tumbang Nusa, selanjutnya dilakukan aktivitas litbang. Tahun 1998 kegiatan litbang berpindah ke lokasi dekat jalan propinsi trans Kalimantan di Km 30 dari kota Palangka Raya yaitu pada lahan rawa gambut pasca kebakaran tahun 1997.

Tahun 2004-sekarang :Seiring dengan perubahan nama Balai Teknologi

Reboisasi menjadi Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur, maka kegiatan litbang rawa gambut didasari oleh Rencana Strategis Badan Litbang Kehutanan tahun 2003-2009 dengan tujuan menghasilkan paket teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi. Kegiatan litbang hutan rawa gambut menjadi riset utama ”Core research”, dengan demikian upaya peningkatan status hutan penelitian semakin diperlukan.

Tanggal 12 September 2000, BPK Banjarbaru mengajukan permohonan areal eks HPH PT. Arjuna

Wiwaha (5.000 hektar) kepada Gubernur Kalteng dengan surat Nomor : 392a/IX-BTR/2000 untuk dijadikan stasiun penelitian HRG. Permohonan tersebut direspon oleh Gubernur melalui surat Nomor : 522/134/Ek pada tanggal 5 Pebruari 2001. Selain itu, BTR Banjarbaru menerima tembusan surat Nomor : 17/Kwl-6/2001 tanggal 10 Januari 2001 dari Kanwil Kehutanan dan Perkebunan Propinsi Kalteng dan tembusan surat Nomor : 522/1/5746/2.09/XII/2000 tanggal 6 Desember 2000 dari Dinas Kehutanan Propinsi Kalteng yang ditujukan kepada Gubernur Propinsi Kalteng dengan isi surat ”Bapak Gubernur Kalteng dan Kanwil Kehutanan Propinsi Kalteng serta Dinas Kehutanan

6

5

4 7

9

X8

10

3

1

2

8 BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

Propinsi Kalteng menyambut baik dan mendukung BTR Banjarbaru untuk mendapatkan areal seluas 5.000 hektar guna melaksanakan berbagai penelitian pada ekosistem hutan dan lahan rawa gambut. Melalui proses peningkatan kekuatan hukum lokasi tersebut, akhirnya terbit SK Menteri Kehutanan No. 76/Menhut-II/2005 tanggal 31 Maret 2005 yang menyatakan Hutan Penelitian Tumbang Nusa seluas 5.000 hektar ditunjuk sebagai KHDTK.

Kondisi Umum LokasiSecara administratif pemerintahan, KHDTK Tumbang

Nusa terletak di desa Tumbang Nusa dan desa Tanjung Taruna, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Propinsi Kalimantan Tengah. Berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan areal KHDTK Tumbang Nusa termasuk dalam wilayah kerja Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Pulang Pisau, Propinsi Kalimantan Tengah dan berada dalam wilayah hukum Kepolisian Resort Pulang Pisau. Secara geografi s terletak pada titik koordinat 02°18’37” - 02°22’34” LS dan 114°02’48” - 114°06’46” BT. Jarak tempuh KHDTK Tumbang Nusa dari BPK Banjarbaru adalah 200 km sedangkan jarak tempuh dari kota Palangka Raya adalah 35 km.

KHDTK Tumbang Nusa menurut klasifi kasi iklim Schmidt dan Ferguson termasuk tipe A. Data cuaca tahun 1998-2008 adalah suhu rata-rata 27°C, suhu minimum 23°C dan suhu maksimum 33°C (Anonim, 2008). Rata-rata curah hujan tahun 1998-2012 adalah 3.383 mm/tahun, curah hujan tahun 2011, 6.848 mm, dan tahun 2012, 6.678 mm. Bulan kering terjadi antara bulan Juli hingga September (tahun 1997-2012).

Ketinggian tempat KHDTK Tumbang Nusa antara 0 - 5 m dpl dengan elevasi antara 0 - 18 %, sedangkan kedalaman gambut ≥ 3 m. Jika musim hujan, ketinggian air mencapai 25 cm di atas permukaan tanah. Jenis tanah

ORDO HISTOSOL dengan pH tanah 3,5. Areal KHDTK Tumbang Nusa berdasarkan Peta Citra ALOS tahun 2007 dan Peta RTRWP Kalteng tahun 2008 dapat dikelompokkan dalam lima tipe kondisi suksesi yaitu : hutan lebat 80 %, vegetasi jarang 9 %, semak belukar 5 %, padang kelakai 4 %, dan vegetasi sedang 2 %.

Vegetasi tumbuhan bawah didominasi oleh pakis-pakisan dan kelakai, karamunting, epatorium, dan jenis rumputan lainnya. Jenis permudaan alam dari tingkat semai hingga tingkat pohon, diantaranya adalah : Meranti bunga (Shorea teysmanniana), Merapat (Combretocarpus rotundus), Nyatoh (Palaquium cochlearia), Meranti batu/tembaga (Shorea parvifolia), Ramin (Gonystylus bancanus), Terentang (Campnosperma auriculata), Malam-malam (Diospyros malam), Bintangur (Calophyllum kunstleri), Keruing (Dipterocarpus caudiferus), Mandarah (Horsfi eldia sp), Gerunggang (Crotoxylon arborescens), Medang telur (Stemonurus scorpiodes), Pantung/jelutung (Dyera polyphylla), dan jenis non komersil lainnya.

Obyek PenelitianRuang lingkup kegiatan penelitian yang telah dan

sedang dilakukan, diantaranya : 1. Kesesuaian jenis dengan tapak2. Teknik budidaya jenis-jenis pohon HRG3. Teknik persiapan lahan di rawa gambut4. Teknologi agroforestry5. Kajian sosial ekonomi6. Teknik pemeliharaan permudaan alam7. Teknologi dan aplikasi mikroba tanah8. Dinamika tegakan hutan rawa gambut9. Teknik pengendalian kebakaran hutan 10. Studi sumber benih jenis-jenis rawa gambut11. Plot-plot penelitian jenis tanaman HRG yang dapat

dijumpai di KHDTK Tumbang Nusa, antara lain :

11 14 15

17

23

19

25

2122

16

18

24

20

26

12

13

9BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

- Kahui (Shorea belangeran) 2004 (tegakan jalur terbuka di permudaan alam)

- Ramin (Gonystylus bancanus) 2005 (tegakan jalur terbuka di permudaan alam)

- Punak (Tetrameristra glabra) 2005 (tegakan jalur terbuka di permudaan alam)

- Pantung (Dyera polyphylla) 2005 (tegakan jalur terbuka di permudaan alam)

- Nyatoh (Palaquium cochlearia) 2006 (tegakan jalur terbuka di permudaan alam)

- Medang telur (Stemonurus scorpiodes) 2006 (tegakan jalur terbuka di per-mudaan alam)

- Bintangur (Calophyllum kunstleri) 2006 (tegakan jalur terbuka di per-mudaan alam)

- Meranti batu (Shorea parvifolia) 2007 (tegakan jalur terbuka di per-mudaan alam)

- Kapurnaga (Calophyllum macrocarpum) 2007 (tegakan jalur terbuka di per-mudaan alam)

- Alau (Dacridium becarii) 2008 (tegakan jalur terbuka

di permudaan alam)- Kahui (Shorea belangeran) 2008 (tegakan jalur di

kelakai/pakis)- Nyatoh (Palaquium cochlearia) 2009 (tegakan jalur

di kelakai/pakis)- Pulai rawa (Alstonia pneumatophora) 2009 (tegakan

jalur di kelakai/pakis)- Ramin ITTO (Gonystylus bancanus) 2009 (tegakan

jalur terbuka di per-mudaan alam)- Ramin kebun pangkasan (Gonystylus bancanus)

2010 (tegakan jalur terbuka di permudaan alam)- Ramin genepool (Gonystylus bancanus) 2010

(tegakan jalur terbuka di permudaan alam)- Kahui (Shorea belangeran) 2010 (tegakan rumpang

di permudaan alam)- Pantung (Dyera polyphylla) 2010 (tegakan rumpang

di permudaan alam)- Ramin kebun pangkas (Gonystylus bancanus) 2011

(tegakan rumpang di permudaan alam)

- Kapur naga (Calophyllum macrocarpum) 2011 (tegakan rumpang di permudaan alam)

- Ramin 2011 (tegakan rumpang di permudaan alam)- Bintangur (Calophyllum kunsthori) 2012 (tegakan

rumpang di permudaan alam)- Medang telur (Stemonurus scorpiodes) 2012

(tegakan rumpang di per-mudaan alam)

Jenis Pohon yang DitanamBeberapa jenis pohon HRG dan beberapa jenis pohon

lahan kering mineral telah ditanam di KHDTK Tumbang Nusa. Jenis-jenis tanaman tersebut adalah : 1. Alau (Dacridium becarii)2. Bintangur (Calophyllum kunstleri)

3. Cotylilebium sp4. Krasikarpa (Acacia crassicarpa)5. Kahui (Shorea belangeran)6. Rotan manau (Calamus manan)7. Rotan taman (Calamus caesius)8. Rotan irit (Calamus tracycoleus)9. Ilatung (Dacmonorops sp)10. Gaharu (Aquilaria sp)11. Gemor (Nothaphoebe coriacea)12. Gerunggang (Cratoxylon arborescens)13. Kapur naga (Calophyllum macrocarpum)14. Ketiau (Palaquium sp)15. Mangium (Acacia mangium)16. Medang telur (Stemonurus scorpiodes)

28 31 34 37363330

394240

4329 32 35 38 41

27

10 BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

17. Meranti (Shorea paucifl ora)18. Meranti batu (Shorea parvifolia)19. Meranti bunga (Shorea teysmanniana)20. Nyatoh (Palaquium cochlearia)21. Pantung (Dyera polyphylla)22. Pulai rawa (Alstonia pneumathophora)23. Punak (Tetramerista glabra)24. Ramin (Gonystylus bancanus)25. Jingah (Gluta renghas)26. Resak (Vatica rassak)27. Terentang (Campnosperma auriculata)

Jenis Pohon yang Paling PotensialBerdasarkan hasil uji tanaman di lahan gambut, maka

tujuh jenis diketahui sangat potensial dikembangkan dan ditanam di lahan rawa gambut, yaitu : 1. Pantung/Jelutung (Dyera polyphylla)2. Kahui (Shorea belangeran)3. Kapurnaga (Calophyllum macrocarpum)

No Nama Lokal Nama Latin Jumlah (btg) Persentase (%) Berbuah (bulan)1 Meranti Bunga Shorea teysmanniana 66 15,92 Merapat Combretocarpus rotundatus 37 8,9 (4) (8) (12)3 Nyatoh Palaquium cochlearia 28 6,8 (11)4 Ramin Gonystylus bancanus 25 6,05 Terentang Campnosperma auriculata 22 5,3 (3) (10)6 Malam-malam Diospyros malam 27 6,5 (4) (8) (12)7 Mertibu Eugenia sp 26 6.3 (8)8 Jambu-jambu Eugenia sp 19 4,6 (12)9 Pantung Dyera polyphylla 17 4,3 (2) (12)10 Mandarah Horsfi eldia sp 13 3,1 (4) (8) 11 Gerunggang Cratoxylon arborescens 12 2,9 (4) (6) (8) (12)12 Pisang-Pisang Microcos saccifera 13 3,1 (4) (8) (12)13 Medang telor Stemonurus scorpiodes 9 2,214 Rahanjang Xylopia sp 9 2,2 (8) (12)15 Meranti batu Shorea parvifolia 10 2,416 Bintangur Calophyllum kunstleri 7 1,7 (4) (8) (12)17 Keruing Dipterocarpus caudiferus 9 2,218 Maharuang Diospyros sp 7 1,7 (11) (12)19 Kapurnaga jangkar Calophyllum macrocarpum 7 1,7 (4) (8) (12)20 Perupuk Meliocope sp 7 1,721 Lilin-lilin Paratocarpus triandus 7 1,7 (4) (8) (12)22 Punak Tetramerista glabra 7 1,7 (4) (8) (12)23 Kapurnaga banyu Calophyllum sp 4 1,024 Rambutan hutan Naphelium sp 5 1,2 (4) (8)25 Galam tikus Eugenia sp 3 0,726 Kempas Koompassia malaccensis 3 0,727 Resak Vatica resak 4 1,028 Kahui Shorea belangeran 3 0,729 Palawan Tristaniopsis maingayi 1 0,230 Tampang 2 0,531 Gemor Nothaphoebe coriacea 1 0.2 (7) (12)32 Kayu bawang 1 0.233 Nangka-nangka Neoscortechimia kinggi 1 0.234 Papung Sandoricum bornensis 1 0.2

JUMLAH 414 100

Tabel 1. Pengamatan masa berbuah jenis pohon induk tegakan benih teridentifi kasi dari tahun 2010 s/d 2012 di KHDTK Tumbang Nusa, Kalteng.

4. Punak (Tetramerista glabra)5. Ramin (Gonystylus bancanus)6. Medang telur (Stemonurus scorpiodes)7. Bintangur (Calophyllum kunstleri)

Luas Tanaman dan Permudaan Alam (31 Desember 2012) 1. Plot penelitian & eks penelitian,

dan tanaman (pilot plantation) ...................................................................... = 67,15 Ha

2. Plot permudaan alam merapat dan jenis pioner .............................................. = 24,30 Ha

3. Tegakan benih teridentifi kasi (lihat Tabel 1) ...................................................... = 5,00 HaJUMLAH = 96,45 Ha

Potensi Jenis Pohon Induk (Desember 2012)Tiga puluh empat jenis pohon induk yang dapat

berperan dalam perkembangan suksesi alam sebagaimana disajikan dalam Tabel 1.

11BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

Sarana PrasaranaAktivitas penelitian di KHDTK Tumbang Nusa telah

ditunjang oleh sarana prasarana penelitian yang disajikan dalam Gambar 1 sebagai berikut :1. Pondok kerja / camp2. Jembatan dan jalan titian3. Jalan induk dan jalan cabang4. Sekat bakar dan sumur gali5. Generator listrik6. Gudang7. Sumur bor8. Persemaian permanen dan kantor9. Shelter 10. Gerobak11. Mesin pemadam kebakaran12. Kendaraan dinas roda dua13. Handy receiver

Penutup• KHDTK Tumbang Nusa telah menjadi tempat ideal

bagi penelitian rehabilitasi dan konservasi hutan rawa gambut. KHDTK tersebut dikelola oleh Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru sebagai unit pelaksana teknis Badan Litbang Kehutanan.

• Aktivitas penelitian yang dilakukan di KHDTK Tumbang Nusa adalah pengembangan jenis pohon rawa gambut, agroforestry lahan gambut, perlakuan silvikultur, pengendalian kebakaran hutan, silvikultur teknik pemeliharaan permudaan alam, teknologi pembibitan pohon jenis rawa gambut, dan penelitian karbon hutan.

• Status hukum KHDTK Tumbang Nusa adalah Surat Keputusan Penunjukan Menteri Kehutanan No. 76/Menhut-II/2005 tanggal 31 Maret 2005 dengan luas total KHDTK 5.000 hektar yang terletak pada kawasan Hutan Produksi Tetap. Status kawasan telah diperkuat menjadi kawasan Hutan Lindung berdasarkan SK Menhut Nomor: 529/Menhut-II/2012 tanggal 28 September 2012.

46

48

50

45

47

49

44

1. Pondok kerja / camp 2. MCK3. Jalan titian kayu4. KHDTK Tumbang Nusa5. Gudang6. Kamar tidur7. Generator listrik8. Tandon penampungan air 9. Mesin pompa air 10. Jembatan11. Pengukur curah hujan12. Persemaian permanen13. Pengukur suhu 14. Pengukur tinggi air gambut15. Jalan induk 16. Shelter17. Tetramerista glabra umur 9

tahun ( jalur terbuka)18. Gonystylus bancanus umur

7,5 tahun ( jalur terbuka)

Keterangan Foto:19. Gonystylus bancanus umur 9

tahun ( jalur terbuka)20. Kebun pangkasan Gonystylus

bancanus umur 3 tahun.21. Jalan cabang22. Dyera polyphylla umur 4,5

tahun ( jalur terbuka).23. Dyera polyphylla umur 10,5

tahun (terbuka).24. Dacridium becarii umur 12

tahun (rumpang)25. Shorea sp umur 9 tahun 26. Pemadaman kebakaran di

lahan rawa gambut .27. Kunjungan kerja Sekbadan

Litbang Kehutanan RI.28. Burung cicakrowo salah satu

jenis burung di KHDTK.29. Patok batas KHDTK dengan

APL.30. Sekat bakar ( jalur terbuka)

31. Kunjungan kerja Kapus KP3HKA Kehutanan RI.

32. Kunjungan kerja Kapus Produktivitas Hutan Kehutanan RI.

33. Unit mesin pompa pemadam kebakaran.

34. Ular salah satu jenis fauna melata di KHDTK.

35. Palaquium cochlearia umur 3,5 tahun ( jalur terbuka)

36. Shorea balangeran umur 3,5 tahun (rumpang).

37. Dyera polyphylla umur 3,5 tahun (rumpang).

38. Bangkai orang utan (Pongo pigmaeus)

39. Sarang orang utan (Pongo pigmaeus) pada pohon induk pisang-pisang.

40. Buah/benih Calophyllum macrocarpum

41. Ketergenangan air gambut musim hujan.

42. Kekeringan musim kemarau.43. Shorea balangeran umur 1,5

tahun (terbuka).44. Pohon induk Tetramerista

glabra.45. Buah/benih Dyera polyphylla

dari APB.46. Buah/benih Calophyllum

kunstleri47. Sumber air (sumur)

pemadaman kebakaran.48. Pengunduhan buah

Nothaphoebe coriacea49. Pohon induk Gonystylus

bancanus50. Kunjungan kerja Menteri

Kehutanan RI.

12 BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

SANG PIONER!ARIF PORKAS SIHULAMBU SAGALA

Arif Porkas Sihulambu Sagala lahir tidak jauh dari batas hutan lindung Gunung Sibualbuali di Tanah Batak. Tamat SMA Negeri Sipirok, kemudian melanjutkan pendidikan

di Universitas Indonesia di Bogor Tahun 1961, dan tamat dari Fakultas Kehutanan IPB tahun 1969. Tahun 1973-1978 bertugas sebagai counterpart proyek Pengembangan Kehutanan Indonesia kerjasama RI-FAO di Bogor (Proyek INS/054). Tahun 1979-1983 bertugas sebagai C0-Project Manager Proyek Reboisasi Mekanis lahan alang-alang di Benakat Kerjasama RI-Jepang (Proyek ATA-186). Tahun 1983-1997, selama 14 tahun beliau bertugas sebagai Kepala Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru merangkap

Field Manager Project Reforestation and Tropical Forest Management Kerjasama RI-Finlandia di Kalsel (ATA-267). Selama perjalanan karirnya, beliau sudah banyak mengunjungi beberapa negara untuk melakukan studi banding, workshop maupun seminar internasional. Beliau juga dikenal sebagai pekerja keras, tak jarang ke pelosok hutan sekalipun didatangi untuk melihat dan mengikuti kegiatan lapangan yang sedang dikerjakan. Di lapangan, beliau sering mengajak diskusi dan mengarahkan para peneliti dan teknisi agar kegiatan di lapangan dapat berjalan dengan baik. Pak Sagala juga menulis beberapa ide dan pendapat beliau di beberapa kesempatan. Salah satu buku yang beliau telah dihasilkan adalah “Desain

PROFIL

13BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

Kehutanan Holistik” yang diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia. Kontribusi pemikiran beliau untuk kelestarian hutan produksi alam dan yang cukup dikenal adalah “tebang rumpang”. Selama berkarya, beliau juga sebagai peneliti selama 20 tahun dengan spesialisasi penelitian tentang aspek manajemen hutan. Meski sudah pensiun, dengan gaya bicara yang lugas beliau masih aktif menyuarakan gagasan tentang pengelolaan kehutanan.

Menurut bapak, siapakah Porkas Sagala itu ?Saya adalah seorang yang dilahirkan di tengah hutan,

dan bekerja dan mengabdikan hidupnya untuk hutan dan itu adalah saya.

Mengapa bapak masih istiqomah terhadap kehutanan Indonesia?

Saya ingin melihat bahwa kehutanan ditangani dengan baik, baik untuk produksi dan kelestariannya. Saya yakin tidak banyak orang yang tahu menangani kehutanan ini.

Dalam tulisan dan statement bapak di beberapa pertemuan sering mengatakan bahwa ilmu kehutanan salah, apa maksudnya pak ?

Dalam praktik ilmu kehutanan di lapangan, obyek yang jelas adalah suatu keharusan, objek harus terukur standarnya (besteknya) dan peningkatan mutu terus menerus (continual development). Contohnya adalah HTI, sebelum melakukan penananam harus sudah ditentukan besteknya, berapa pertumbuhannya per tahun, berapa hasil panennya dsb. Selama ini fakultas kehutanan mengajarkan ilmu ukur dan silvikutur namun tidak mengajarkan apa saja yang harus diukur dan membaginya berdasarkan bestek. Harusnya ilmu kehutanan mengikuti ilmu kedokteran yang membagi ilmunya berdasarkan bagian-bagian yang bisa terukur seperti penyakit jantung, anak, dalam, THT, dll.

Bapak sering mengatakan hutan harus dikelola, apa arti mengelola itu pak?

Pada abad 18 lahir ilmu manajemen yang berfungsi merencanakan, mengkoordinasikan, mengarahkan, dan mengawasi pekerjaan. Dalam manajemen, juga dilakukan

pengelolaan. Seorang manajer yang sukses adalah mereka yang paham untuk mengelola. Mengelola hutan, artinya harus ada obyek yang harus ditingkatkan mutu secara terus menerus. Jadi, mengelola terdiri dari 3 elemen yaitu obyek, hasil dan proses. Obyek harus bisa diukur atau terukur, sehingga harus homogen. Yang heterogen tidak bisa diukur atau dikelola. Sehingga untuk mengelola sesuatu, harus dibagi pada unit-unit yang homogen atau yang disebut sebagai basis perencanaan. Hasil adalah obyek yang sudah ditingkatkan mutunya dan masih akan terus ditingkatkan lagi. Hasil dan obyek harus dituangkan dalam rencana desain (spek). Dalam ilmu membuat tegakan, menurut saya terdapat 3 kesalahan yaitu: pertama, tidak

mempunyai obyek sehingga basis perencanaan tidak dapat dibuat dan sistem perencanaan

tidak jelas. Kedua, tidak mempunyai spek (rencana desain) sehingga standar

mutu pekerjaan tidak jelas, evaluasi sulit dilakukan. Ketiga, hasilnya

heterogen, sehingga tidak terukur, identitas dan database tidak bisa dibuat.

Apa yang Bapak maksud manajemen terukur?

Manajemen terukur maksudnya hutan yang akan dikelola dibagi berdasarkan bagian-bagian yang dapat

di manajemen seperti manajemen tingkat tegakan

rumpang atau kuvio,tingkat petak dan dalam satu unit

pengelolaan.

Apa beda rumpang dan kuvio?Rumpang dan kuvio sama, kalau

rumpang dari istilah bahasa Indonesia, sedang kuvio dari bahasa fi nlandia.

Apa cita-cita Bapak yang selama ini diidamkan tentang hutan Indonesia?

Saya ingin hutan Indonesia dikelola dengan manajemen yang terukur, dibagi berdasarkan bestek yang sama. Sehingga dapat diukur dan dikelola dengan baik.

Apa pesan-pesan Bapak untuk para rimbawan saat ini?

Saya ingin semua rimbawan bekerja dengan manajemen yang terukur, sehingga hutan dapat terkelola dengan baik.

14 BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

15BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

Pendahuluan

Cita-cita mewujudkan Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) pada sebagian besar kawasan hutan khususnya di luar Pulau Jawa sampai saat ini masih belum tercapai. Faktor-faktor yang

menyebabkan belum tercapainya cita-cita mewujudkan PHL antara lain adalah (Sirang, 2008): (a) lemahnya peranan dan fungsi lembaga pengelola di tingkat tapak, (b) belum adanya kepastian batas lokasi yang diketahui dan diakui dengan baik oleh masyarakat sehingga status kawasan kurang jelas, (c) ketiadaan manajemen di tingkat

KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN (KPH):

BENTENG TERAKHIR RIMBAWAN

MEWUJUDKAN PENGELOLAAN

HUTAN LESTARIOleh:

Marinus Kristiadi Harun, S.Hut., M.Si.

tapak, (d) ketidakjelasan perbedaan tupoksi antara institusi pelestari dengan institusi pemanfaat dan (e) orientasi pengelola hanya pada areal yang menghasilkan kayu. Kelima faktor tersebut menyebabkan kegiatan kehutanan, seperti pengamanan areal hutan dan praktek-praktek silvikultur lainnya, serta rehabilitasi hutan dan lahan tidak berhasil. Berdasarkan kondisi tersebut maka diperlukan sistem pengelolaan hutan di Indonesia yang mampu menjawab kelemahan tersebut. Sistem yang diharapkan mampu menjawab permasalahan di atas adalah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Pengertian KPH secara umum adalah merupakan areal/wilayah yang didominasi oleh hutan dan mempunyai batas yang jelas, yang dikelola untuk memenuhi serangkaian tujuan yang ditetapkan secara eksplisit sesuai dengan rencana pengelolaan jangka panjang. Keseluruhan wilayah KPH akan mempunyai batas yang jelas baik di lapangan maupun di peta. Suatu KPH mempunyai tujuan yang luas bagi keseluruhan unit KPH dan dalam sub-sub unit KPH dimungkinkan untuk dikelola dalam regime manajemen yang berbeda dan terpisah (Sirang, 2008).

Melalui pembangunan KPH diharapkan dapat dicapai sasaran-sasaran berikut: (1) mengurangi degradasi hutan; (2) tercapainya PHL; (3) meningkatnya kesejahteraan masyarakat lokal; (4) stabilisasi penyediaan hasil hutan; (5)

FOKUS

mengembangkan tata pemerintahan yang baik dalam pengelolaan hutan; (6) percepatan rehabilitasi dan reforestasi; (7) memfasilitasi akses pada pasar karbon. Namun dalam implementasinya, pembangunan KPH tersebut (khususnya di luar Pulau Jawa) masih menghadapi permasalahan. Berdasarkan uraian tersebut maka pada tulisan ini dibahas prospek dan tantangan KPH sebagai benteng terakhir rimbawan dalam mewujudkan PHL.

Hasil Penelitian BPK Banjarbaru Terkait dengan KPH

Beberapa hasil penelitian terkait dengan KPH (dengan studi kasus KPHP Model Banjar) yang telah

dilakukan oleh Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Banjarbaru dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, orientasi dari para pihak yang terlibat dalam pembentukan KPHP Model Banjar mencerminkan harapan bahwa pengelolaan hutan sebaiknya bersifat menyeluruh (komprehensif) dengan berlandaskan pada dimensi kelestarian ekonomi (economic sustainability), kelestarian sosial (social sustainability) dan

kelestarian lingkungan (environmetal sustainability). Secara konseptual, aspirasi para pihak tersebut memberikan kesan positif bahwa KPHP Model Banjar sebaiknya dikelola dengan pendekatan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem. Kedua, Dinas Kehutanan Kabupaten Banjar telah memiliki modal awal bagi suatu proses pembentukan KPHP Model Banjar. Hal ini ditunjukkan dengan adanya komitmen yang kuat dari para pihak yang terlibat (stakeholders), yang telah berhasil

memetakan permasalahan dan memiliki harapan-harapan ke arah pengurusan hutan yang efektif dan efi sien yang berlandaskan pada aspek ekonomi, sosial, lingkungan dan tatanan kebijakan yang mendukungnya. Ketiga, realita yang ada menunjukkan bahwa banyak pihak yang berkepentingan dengan pembentukan KPHP Model Banjar, yakni: masyarakat, aparat desa, pemerintah pusat, DPRD, Pemerintah Daerah, Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, Dinas Pertambangan, Dinas Permukiman dan Transmigrasi, Litbang Kehutanan, perusahaan

swasta/daerah, organisasi-organisasi non pemerintah, dan lembaga-lembaga penyuluh. Pada prinsipnya, jika para pihak memiliki komitmen, maka komitmen itulah yang akan membuka banyak peluang bagi semua pihak untuk mengetahui jawaban-jawaban yang tepat terhadap skenario harmonisasi pengurusan hutan di Kabupaten Banjar. Hal ini termasuk komitmen seluruh pihak yang berada dan terkait dengan penggunaan ruang dalam setiap kesatuan ekosistem (DAS) untuk mempertahankan tata ruang yang sudah disepakati bersama secara konsisten. Persoalannya sampai sejauhmana kompromi-kompromi para pihak bisa ditemukan pada suatu muara untuk mencapai PHL. Keempat, dalam perspektif multipihak, stakeholder yang terlibat tersebut diskenariokan sebagai para penentu kebijakan sehingga

memunculkan posisi peranan semua pihak dalam suatu proses konsultasi dan partisipasi dalam setiap perumusan unit (kawasan), rencana dan pengelola secara detail terhadap areal-areal yang terkait pada calon unit-unit pengelolaan. Kelima, dalam

16 BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

perspektif kelembagaan, suatu analisis terhadap stakeholder diperlukan untuk tujuan menemukenali pihak mana saja yang berhak dan/atau memiliki minat atas hutan. Analisis tersebut diarahkan pada hak (right), tanggungjawab (responsibilities), pendapatan (return), dan hubungan (relationships) antar mereka sehingga model kelembagaan dan aturan/tata nilai dapat ditentukan berdasarkan pertimbangan kolaboratif (Budiningsih, 2008; Budiningsih et al. 2010).

Hasil penelitian Budiningsih et al. (2010) yang menganalisis tentang pengaruh hak atas lahan (land tenure) dalam pembangunan KPHP Model Banjar menyebutkan beberapa hal berikut: (a) masyarakat lokal secara de facto “menguasai” sumberdaya alam (kayu maupun non kayu) termasuk sumberdaya lahan di dalam kawasan hutan, (b) kepastian kepemilikan hak atas

lahan baik masyarakat lokal maupun negara tidak dapat dibuktikan secara legal yang disepakati bersama, (c) praktek pemanfaatan sumberdaya alam khususnya hasil hutan kayu dan non kayu cenderung eksploitatif sedangkan pengelolaan lahan bersifat ekstensif, (d) pengaturan hak-hak sumberdaya alam dalam kawasan hutan merupakan sistem kelembagaan masyarakat lokal yang bersifat dinamis sesuai perkembangan yang terjadi di masyarakat, (e) konfl ik lahan terjadi antar warga desa, antar desa, desa dengan perusahaan, desa dengan desa tetangganya, antar warga desa dengan pendatang dan (f) Penyelesaian konfl ik sumberdaya cenderung bersifat normatif yang berarti penyelesaian konfl ik dilakukan oleh aparat desa yang didampingi oleh tokoh masyarakat.

Terkait dengan adanya konfl ik lahan, Harun et al (2012) menjelaskan karakteristik konfl ik lahan di KPHP

Model Banjar sebagai berikut. Pertama, lahan hutan KPHP

Model Banjar secara de jure merupakan kawasan milik negara (state property), namun adanya pemukiman warga yang berupa desa di dalam kawasan yang belum dilakukan enclave, menyebabkan status state property yang close access secara de jure berubah menjadi open acces secara de facto. Kondisi ini menimbulkan opportunity sets ikut mengambil sumberdaya lahan tersebut.

Kedua, isu pokok dalam konfl ik lahan di KPHP Model Banjar ada 5, yakni: (a) dualisme administrasi (satu tapak dua kewenangan), (b) IUPHHK tidak aktif, (c) pemberdayaan ekonomi masyarakat terabaikan, (d) potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan (e) penegakan hukum masih lemah.

Ketiga, masalah yang timbul dalam konfl ik lahan di KPHP Model

17BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

Banjar merupakan masalah atau konfl ik struktural, yakni aktor yang terlibat tidak berada pada tataran yang sama. Konfl ik struktural (structural confl ict) adalah keadaan dimana secara struktural atau keadaan di luar kemampuan kontrolnya pihak-pihak yang berurusan mempunyai perbedaan status kekuatan, otoritas, kelas atau kondisi fi sik yang tidak berimbang.

Keempat, terdapat 15 (lima belas) stakeholders yang memiliki kepentingan dan pengaruh dalam pengelolaan kawasan hutan di KPHP Model Banjar yang dapat dibedakan dalam tiga kelompok yaitu kelompok yang mewakili stakeholders pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Kebanyakan stakeholders berada pada posisi strong opponent atau pihak yang menentang kuat terjadinya perambahan lahan yang terjadi pada pengelolaan lahan di KPHP Model Banjar, stakeholders tersebut yakni: Polsek, Polhut, Dinas Pertambangan, Kementerian Transmigrasi, IUPHHK, UPT KPHP Model Banjar (Dinas Kehutanan Kabupaten Banjar), BPKH, Penyuluh Kehutanan, dan Bapedda. Posisi strong suports ditempati oleh Peladang dan Kades/Pambakal. Stakeholders ini mendukung permasalahan riil di lapangan disebabkan karena menikmati keuntungan secara ekonomi. Pada posisi weak supports hanya ditempati oleh LSM, pada dasarnya LSM mendukung terhadap penyelesaian masalah yang terjadi pada konfl ik lahan KPHP Model Banjar dengan catatan ada win-win solution. LSM mempunyai kewenangan rendah dari sisi kebijakan untuk menyelesaikan kasus yang terjadi. Perguruan Tinggi, FKAD dan Camat merupakan stakeholders yang menentang tetapi kekuatannya lemah di sebabkan tidak mempunyai kapasitas yang cukup sehubungan dengan Tupoksi dari

stakeholders tersebut. Kelima, analisis kebijakan

pembentukan KPHP Model Banjar sesuai dengan metode ROCCIPI adalah seperti uraian berikut: (1) rule, point penting dari peraturan perundangan terkait dengan KPH adalah: (a) seluruh kawasan hutan di Indonesia akan terbagi dalam wilayah-wilayah KPH, serta akan menjadi bagian dari penguatan sistem pengurusan hutan nasional, provinsi, kabupaten/kota, (b) pada setiap wilayah KPH dibentuk institusi pengelola yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pengelolaan hutan. Institusi penge-lola ini merupakan Organisasi tingkat tapak, (c) pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kab/kota, sesuai kewenangannya bertanggung jawab terhadap pembangunan KPH dan infrastrukturnya; (2) opportunity, pembangunan KPHP Model Banjar mempunyai peluang untuk resolusi konfl ik dengan pertimbangan KPH dibangun dan dibentuk “lokal specifi k”, sehingga diharapkan dapat lebih mengakomodasi kepentingan masyarakat sekitar. Selain itu, KPH dapat menjalin komunikasi rutin dengan masyarakat setempat, sehingga diharapkan dapat segera mengetahui dan merespon inspirasi dari masyarakat sekitar dan para pihak terkait. KPH diharapkan mampu menciptakan alternatif peluang pemberdayaan ekonomi lokal; (3) capacity, titik berat pengelolaan KPHP Model Banjar adalah profesionalisme di bidang kehutanan. Hal ini adalah salah satu syarat yang diperlukan untuk dapat terwujudnya suatu pengelolaan hutan yang lestari. Oleh karena itu, dalam suatu KPHP, organisasi atau kelembagaan yang akan ditempatkan hendaknya sekurang-kurangnya dapat memenuhi 3 (tiga) kapasitas pokok, yaitu: pengaturan kawasan, pengaturan tegakan, dan pengaturan

institusi; (4) communication, upaya pembentukan KPHP Model Banjar secara nyata hadir setelah sebagian besar hutan alam produksi telah dibebani HPH, sehingga untuk mewujudkannya diperlukan berbagai strategi. Dalam hubungan ini dikenal strategi pembentukan KPHP melalui 2 (dua) pendekatan atau alternatif, yakni: (a) alternatif komunikasi berupa deliniasi hutan produksi yang ada di setiap kabupaten/kota se Provinsi Kalimantan Selatan ke dalam calon-calon unit KPHP dan (b) alternatif komunikasi yang dilakukan untuk mengantisipasi kondisi IUPHHK yang tengah berjalan, dengan prioritas kepada: IUPHHK yang telah diperpanjang masa ijinnya, IUPHHK yang pengelolaannya diserahkan kepada BUMN, IUPHHK yang atas keinginan sendiri melaksanakan pembentukan KPHP terkait pada areal kerjanya dan IUPHHK yang akan berakhir masa ijinnya, tetapi dinilai masih layak untuk diusahakan kembali; (5) interest, pengelolaan hutan produksi ke dalam sistem KPHP adalah merupakan penyempurnaan dari pengaturan kawasan, pengaturan tegakan, dan pengaturan kelembagaan yang dapat mendukung terwujudnya suatu pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan; (6) proceess, pembentukan KPHP dilakukan melalui kegiatan-kegiatan: identifi kasi dan deliniasi kawasan hutan, pembentukan Rancang Bangun KPHP, penetapan KPHP, penataan hutan, dan pembuatan Rencana Karya Pengusahaan Hutan; (7) ideology, kebijakan pembentukan KPHP Model Banjar tidak akan ada pengaruhnya dalam perbaikan pengelolaan hutan apabila tidak dilandasi oleh moral yang baik. Moral adalah aspek normatif yang sangat penting dalam menjamin aspek positif dari suatu kebijakan dan moral menjadi spirit of soul dalam

18 BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

pengelolaan hutan. Kerusakan hutan di Indonesia yang meningkat selama ini dipengaruhi oleh pelaksanaan kebijakan tanpa moral, oleh karena itu moral hazard merupakan titik awal kerusakan hutan.

Keenam, resolusi konfl ik yang ditawarkan dalam penelitian ini adalah upaya “mengubah konfl ik menjadi kemitraan yang sejajar”, hal ini dilakukan dengan langkah-langkah berikut: (a) membangun kepercayaan (trust building), (b) menumbuh kembangkan Forum Kehutanan Antar Desa (FKAD), (c) menyiapkan tim ahli yang independen, (d) komunikasi yang efektif dan (e) regulasi yang disepakati bersama. Pembelajaran berharga dari konfl ik lahan di KPHP Model Banjar adalah pentingnya untuk melakukan hal-hal berikut: kepastian hukum (formal/informal), kenyamanan berusaha dan keberlanjutan usaha. Ketiga hal tersebut berlaku tidak saja untuk masyarakat dan perusahaan yang berkonfl ik, tapi sangat penting juga bagi pemerintah sebagai jaminan untuk masuknya investasi, peningkatan kesejahteraan dan lapangan pekerjaan, serta peningkatan PAD.

Tantangan Mewujudkan KPHIsu yang dipersoalkan dalam

permasalahan konfl ik lahan dalam KPHP Model Banjar mempunyai hubungan yang erat dan timbal balik kepada stakeholders yang berperan dalam kasus ini. Keterkaitan stakeholders dengan isu pokok perlu dianalisis agar penyelesaian persoalan lebih terarah dan jelas sehingga isu yang satu tidak memicu isu yang lain dan memperparah persoalan yang ada di kawasan. Hal tersebut dapat dilihat dalam Gambar 1.

Isu dualisme administrasi dan penegakan hukum yang masih lemah serta IUPHHK yang tidak aktif merupakan isu yang di pengaruhi

kinerja Dinas Kehutanan Kabupaten Banjar dan BPKH (UPT Kemenhut). Isu pemberdayaan masyarakat yang terbaikan oleh pemerintah dipengaruhi oleh lemahnya kinerja aparat pemerintah yakni: Kades/Pambakal, Camat dan Bappeda. Akibat isu 2 ini peladang menjadi pihak yang paling dipengaruhi karena kondisi ekonomi dan tingkat pendidikan mereka yang rendah menyebabkan tidak ada alternatif lain selain bekerja di sektor pertanian subsisten (perladangan dan perkebunan tradisional). LSM berkepentingan dengan isu ini berkaitan dengan visi dan misi mereka untuk mendorong pemberdayaan masyarakat.

Isu Potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tidak bisa dipungut akan sangat mempengaruhi kinerja Dinas Kehutanan dan BAPPEDA Kabupaten Banjar, karena salah satu sumber APBD adalah PAD, hal ini akan berkaitan juga dengan

penyusunan program pembangunan mengingat potensi yang besar dari pengelolaan KPHP Model Banjar.

Isu penegakan hukum yang masih lemah merupakan akibat dari kinerja aparat keamanan (POLHUT) yang buruk yang berakibat pada perambahan lahan hutan dan kegiatan ilegal lainnya. Gambar 1 tersebut juga dapat mengidentifi kasi hubungan antar isu pokok sehingga dapat diketahui bagaimana isu tersebut mempengaruhi atau dipengaruhi oleh isu yang lain. Cara ini akan memudahkan untuk memilah dan menata bagaimana memprioritaskan isu tersebut untuk dapat diatasi dan diselesaikan melalui program atau kebijakan pemerintah. Isu penegakan hukum yang lemah menyebabkan perambahan lahan hutan untuk kegiatan ilegal (ladang, kebun, pertambangan emas, dll) dan menyebabkan IUPHHK tidak aktif, dikarenakan aspek sosial yang belum

Keterangan:- Isu 1 : IUPHHK tidak aktif- Isu 2 : Pemberdayaan masyarakat yang terabaikan - Isu 3 : Potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD)- Isu 4 : Penegakan hukum masih lemah - Isu 5 : Dualisme administrasi (satu tapak dua kewenangan)

: Hubungan antara stakeholders dengan isu: Hubungan antar isu

Gambar 1. Hubungan Stakeholders dengan Isu Pokok dan Hubungan Antar Isu (Bryson 2004 diadaptasi dari Bryant 2003).

19BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

dapat diselesaikan dengan baik. Faktor inilah yang menyebabkan maraknya kegiatan perambahan kawasan KPHP Model Banjar menjadi tak terkendali dan tanpa aturan yang jelas.

Konsep Strategi Resolusi Konfl ik Berdasarkan hasil FGD dan

diskusi dengan pakar ada 4 level hirarki yang mempengaruhi strategi resolusi konfl ik lahan di KPHP Model Banjar yaitu: (1) level fokus (goal); (2) level aspek (criteria) yakni: faktor yang berpengaruh; (3) level sasaran (subcriteria) yakni aspek pengelolaan dan (4) level alternatif strategi kebijakan pengelolaan (alternative) yakni alternatif strategi pengelolaan yang disajikan pada Gambar 2. Berdasarkan hasil AHP diperoleh prioritas alternatif strategi yang bisa dikembangkan pada pengelolaan konfl ik lahan di KPHP Model Banjar namun karena selisih nilai bobot alternatif yang tidak begitu jauh mengindikasikan bahwa dari ketiga konsep tersebut (penguatan organisasi, jaminan dan kepastian hukum serta pembinaan dan pengawasan) tidak bisa berdiri sendiri tetapi saling terkait dan harus saling bersinergi. Ketiga konsep tersebut diuraikan lebih lanjut sebagai berikut.

Pertama, konsep pemberda-yaan masyarakat. Awandana (2010) menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses yang memba-ngun manusia atau masyarakat me-lalui pengembangan kemampuan masyarakat, perubahan perilaku masyarakat dan pengorganisasian masyarakat. Perilaku masyarakat yang perlu diubah adalah perilaku yang merugikan masyarakat atau yang menghambat peningkatan ke-sejahteraan masyarakat. Pengorga-nisasian masyarakat merupakan suatu upaya masyarakat untuk saling mengatur dalam mengelola kegiatan atau program yang mereka kem-

bangkan. Di sini masyarakat dapat membentuk panitia kerja, melakukan pembagian tugas, saling mengawasi, merencanakan kegiatan, dan lain-lain. Lembaga-lembaga adat yang sudah ada sebaiknya perlu dilibatkan karena lembaga inilah yang sudah mapan, tinggal meningkatkan kemampuan-nya saja. Kemampuan masyarakat yang dapat dikembangkan antara lain: kemampuan untuk berusaha, ke-mampuan untuk mencari informasi, kemampuan untuk mengelola kegi-atan, kemampuan dalam pertanian dan masih banyak lagi sesuai dengan kebutuhan atau permasalahan yang

dihadapi oleh masyarakat. Pember-dayaan adalah bukan hanya konsep ekonomi, atau hanya konsep politik. Pemberdayaan adalah konsep yang menyeluruh atau holistic (Kartasas-mita, 1997). Hal ini dapat diartikan bahwa pemberdayaan tidak saja me-numbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomi, tetapi juga nilai tambah sosial dan nilai tambah budaya. Dengan demikian, tujuan akhirnya adalah memandirikan ma-syarakat, dan membangun kemam-puan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan.

Gambar 2. Struktur Hirarki Analisis Strategi Resolusi Konfl ik Lahan di KPHP Model Banjar

Kedua, penegakan hukum. Penegakan hukum lingkungan meru-pakan mata rantai terakhir dalam dalam siklus pengaturan (regulatory chain) perencanaan kebijakan lingkungan. Urutan siklus pengaturan perencanaan kebijakan yakni: 1) perundang-undangan (legislation); 2) penentuan standar (standard setting); 3) pemberian izin (lizensing); 4) penerapan (implementation); dan 5) penegakan hukum (law enforcement). Lemah kuatnya penegakan hukum oleh aparat akan menentukan persepsi ada tidaknya hukum oleh masyarakat. Bila penegakan hukum oleh aparat lemah, masyarakat akan beranggapan bahwa hukum

di lingkungannya tidak ada atau seolah berada dalam hutan rimba yang tanpa aturan. Penegakan hukum sangat diperlukan dalam mengelola konfl ik lahan di KPHP Model Banjar. Penegakan hukum merupakan alternatif kebijakan prioritas kedua yaitu jaminan dan kepastian hukum yang digunakan untuk mencapai sasaran pengelolaan KPHP Model Banjar yang adil dan manusiawi. Penegakan hukumnya dilaksanakan untuk mencegah masyarakat melakukan perambahan kawasan hutan dan kegiatan ilegal lainnya. Penegakan hukum dalam pengelolaan konfl ik lahan di KPHP Model Banjar memerlukan adanya

20 BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

koordinasi dengan aparat penegak hukum seperti Polsek, Kejaksaan/Pengadilan Negeri. Kegiatan-kegiatan dalam rangka pengawasan dan pencegahan dilaksanakan melalui tindakan represif seperti patroli rutin, operasi gabungan, operasi fungsional dan tindakan preventif melalui penyuluhan. Keberhasilan penegakan hukum dipengaruhi oleh kemampuan penegak hukum dalam mengatasi hambatan dan kendala yakni: 1). hambatan dan kendala yang berupa tingkat pengetahuan masyarakat yang beragam yang dapat menyebabkan persepsi hukum yang berbeda; 2). kesadaran hukum masyarakat masih rendah; 3). belum jelasnya peraturan hukum terkait dengan keberadaan 34 desa di dalam hutan, karena proses enclave sedang berjalan; 4). integritas penegak hukum yang masih rendah; 5). masalah pembiayaan.

Ketiga, konsep kelembagaan. Kelembagaan (institusi) memberi tekanan pada lima hal, yaitu : 1) berkenaan dengan aspek sosial, 2) berkaitan dengan hal-hal yang abstrak yang menentukan perilaku individu dalam sistem sosial, 3) berkaitan dengan perilaku, seperangkat tata kelakuan atau cara bertindak yang mantap dan sudah berjalan lama dalam kehidupan masyarakat, 4) ditekankan pada pola perilaku yang disetujui dan memiliki sanksi dalam kehidupan masyarakat dan 5) pelaksanaan kelembagaan diarahkan pada cara-cara baku untuk memecahkan masalah yang terjadi dalam sistem sosial tertentu (Syahyuti, 2003). Dalam rangka pengelolaan konfl ik lahan di KPHP Model Banjar diperlukan kebijaksanaan pengembangan sistem pengelolaan hutan bersama masyarakat secara terpadu, yang mengkaitkan seluruh komponen dan mekanisme pelaksanaan operasional kehutanan. Kebijaksanaan yang

menyeluruh tersebut harus didukung oleh kebijaksanaan lintas sektoral dan keterpaduan antar Dinas dan Instansi yang terkait dengan kehutanan. Kompleksitas permasalahan pena-nganan konfl ik lahan di KPHP Model Banjar memerlukan langkah-langkah yang manusiawi, terpadu dan adil. Pada dasarnya terdapat 3 (tiga) prinsip kerjasama dalam pengembangan kelembagaan kehutanan berbasis kolaborasi manajemen, yakni: 1). sinergi dan kemitraan, yaitu para peladang dituntut untuk berbagi peran dan fungsi di dalam pengelolaan KPHP Model Banjar; 2). partisipatif, yaitu melalui pelibatan seluruh pelaku di bidang tersebut, yang merupakan pengembangan dari tiga unsur utama pelaku, yaitu: pemerintah, pemegang IUPHHK dan masyarakat; 3). bersifat holistik (multisektoral dan multidimensional), yaitu dengan didukung oleh struktur organisasi, administrasi dan mekanisme kerja lembaga yang terkait dengan pengelolaan KPHP Model Banjar. Selain itu didukung pula oleh faktor perundang-undangan atau peraturan daerah yang terkait dengan bidang kehutanan khususnya pengelolaan lahan pada kawasan KPHP Model Banjar. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disusun konsep pengelolaan konfl ik lahan di KPHP Model Banjar seperti pada Gambar 3.

Secara keseluruhan dengan kondisi KPHP Model Banjar saat ini, beberapa hal yang paling diperlukan guna resolusi konfl ik lahan adalah: (1) identifi kasi dan assessment detail untuk masing-masing BKPH yang telah direncanakan dari segi tata ruang, potensi kawasan, sosial ekonomi masyarakat serta ekologi sehingga dapat ditentukan titik berat dan prioritas pengelolaan kawasan untuk masing-masing BKPH, (2) analisis kebutuhan sumber daya manusia (quantity & quality)

pengelola untuk masing-masing BKPH beserta sarana dan prasarananya guna memperhitungkan perkiraan beban tetap anggaran tahunan pemerintah dalam pengelolaan KPHP Model Banjar, (3) sosialisasi secara menyeluruh dan intensif kepada masyarakat dalam kawasan dan pemangku kewenangan administratif dalam kawasan (kecamatan, kelurahan/desa) tentang keberadaan managemen KPHP Model Banjar guna memberikan penjelasan tentang kedudukan/posisi masyarakat/pemukiman dalam kawasan KPHP serta memperjelas hal-hal yang dapat dilakukan bersama antara masyarakat dalam kawasan dengan managemen KPHP. Dan jika diperlukan dapat dilakukan kegiatan pemetaan partisipatif dengan masyarakat untuk mengurangi konfl ik klaim atas lahan di masa mendatang, (4) identifi kasi interest dan persepsi masyarakat di dalam kawasan tentang pola-pola pencaharian sehari-hari agar dapat bersinergi dengan program-program kehutanan yang akan dilaksanakan oleh managemen KPHP, (5) pembentukan kelembagaan masyarakat serta pelatihan-pelatihan yang perlu oleh managemen KPHP dengan tujuan agar masyarakat setempat dapat menjadi mitra KPHP dalam pengelolaan kawasan KPHP Model Banjar.

PenutupPembelajaran berharga dari

konfl ik lahan di KPHP Model Banjar adalah pentingnya untuk melakukan hal-hal berikut: (a) kepastian hukum (formal/informal), (b) kenyamanan berusaha dan, (c) keberlanjutan usaha. Ketiga hal tersebut berlaku tidak saja untuk masyarakat dan perusahaan yang berkonfl ik, tapi sangat penting juga bagi pemerintah sebagai jaminan untuk masuknya investasi, peningkatan kesejahteraan dan lapangan pekerjaan, serta

21BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

LINTAS PERISTIWA

Kunjungan anak-anak TK Fantasya Banjarbaru ke

kantor BPK Banjarbaru pada bulan Maret 2013.

Pengenalan Hutan dan Lingkungan di KHDTK Kintap

yang diikuti oleh siswa-siswi SMA Kanaan Banjarmasin

pada bulan April 2013

Altek Teknik Budidaya Gaharu BPK Banjarbaru

di Kandangan pada bulan Juni 2013.

Penyematan tanda Peserta oleh Kabalai pada

Pemasyarakatan IPTEK BPK Banjarbaru di KHDTK Rantau

tentang Budidaya Gaharu di bulan November 2013.

Pelatihan Teknik Pembibitan Tanaman Kehutanan

Kerjasama antara BPK Banjarbaru dengan PT. ARUTMIN

pada bulan Maret 2013 di kantor BPK Banjarbaru

Pembinaan Kepegawaian BPK Banjarbaru di Loksado

Kandangan, Kab. Hulu Sungai Selatan pada bulan

Juni 2013

Pameran foto riset pada ekspose 30 tahun

BPK Banjarbaru di Novotel Banjarmasin, pada

bulan September 2013

Kunjungan Duta Besar Norwegia di KHDTK Tumbang

Nusa, pada bulan Desember 2013

Temu Teknis Kaji Terap Kehutanan Bakorluh

di BPK Banjarbaru pada bulan April 2013.

Pemasyarakatan IPTEK BPK Banjarbaru di KHDTK

Riam Kiwa tentang Teknik Pembuatan Tanaman

pada bulan Juni 2013.

Sosialisasi KHDTK pada anak sekolah/pramuka

se-kabupatenTanah Laut di KHDTK Kintap

pada bulan November 2013

Pemasyarakatan IPTEK BPK Banjarbaru di KHDTK

Tumbang Nusa tentang Pengendalian Kebakaran Hutan

dan Lahan pada bulan Desember 2013.

22 BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

LENSA

23BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

Pagi itu cerah cuaca sangat cerah, sangat cocok untuk hunting foto. Udara segar yang kuhirup membuat semangatku semakin menjadi untuk menyusuri jalan tanah aku berkeliling.Sampai pada plot tanaman uji jenis, aku tertarik pada tegakan Shorea leprosula Mentari hangat dengan biru langit membingkai alam pagi ituparu-paruku bermain dengan oksigen bersih di sekitarku.Sepasang kakiku mengajakku melangkah menyambut romansa hijau hutanku.Jalan tanah menuntunku menuju plot uji jenisMataku tergelitik menatap rimbunnya pepohonan...Di usianya yang menginjak dewasa, mereka tampak anggun dan kokoh...Hijau daunnya menyelimuti tubuh yang tinggi tegapBiarkan lensa kameraku mengabadikan kemolekakanmu...Shorea leprosulaku, merantiku...

Suatu pagi di KHDTK Kintap bersama merantiku...

Keterangan foto:Tegakan Shorea leprosula umur 23 tahun di KHDTK Kintap.Tinggi mencapai 20 meter dan diameter 20 cm.

Kamera Canon EOS 7DLensa EF 24-70mm f/2.8 II USMShutter Speed 1/100 detikAperture 8.0Iso 200Focal lenght 24mm

peningkatan PAD. Keberadaan Forum Kehutanan

Antar Desa (FKAD) di wilayah KPHP Model Banjar perlu terus diberdayakan agar dapat semakin berperan dalam penyelesaian konfl ik lahan pada khususnya dan konfl ik kehutanan pada umumnya.

Bahan BacaanBaplan, 2006. Pembentukan Unit

Pengelolaan. Badan Planologi K e h u t a n a n - D e p a r t e m e n Kehutanan. www.dephut.go.id/info Baplan.htm

Gambar 3. Bagan Konsep Pengelolaan Konfl ik Lahan KPHP Model Banjar

Bryson JM. 2004. What to Do when Stakeholders Matter: Stakeholder Identifi cation and Analysis Techniques. Public Management Review Vol 6 issue 1 2004: 21-53.

Dinas Kehutanan Kabupaten Banjar. 2010. Rancang Bangun KPHP Kabupaten Banjar.

Dinas Kehutanan Kabupaten Banjar. 2011. Laporan Valuasi Ekonomi KPHP Kabupaten Banjar.

Dunn WN. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gadjah Mada University Press. Jogjakarta.

Fisher, S., J. Ludin., S. Williams., I.D. Abdi., R. Smith dan S. Williams. 2001. Mengelola Konfl ik Ketrampilan dan Strategi Untuk Bertindak. The British Council Indonesia. Jakarta.

Fuad, H.F. dan S. Maskanah. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumber Daya Hutan. Pustaka Latin. Bogor.

Kartasasmita G. 1996, Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. CIDES. Jakarta.

Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin: Proses Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks terjemahan Decisions Making for Leaders : The Analytical Hierarchy Process for Decissions in Complex World. LPPM dan PT. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta.

Syahyuti. 2003. Alternatif Konsep Kelembagaan untuk Penajaman Operasionalisasi dalam Penelitian Sosiologi; Forum Penelitian Agroekonomi Vol. 21 Nomor 2; Bogor.

2424 BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

Pendahuluan

Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan perdagangan karbon (Carbon trading) merupakan dua istilah yang sedang menjadi topik hangat pada pengelolaan hutan Indonesia

(istilah KPH selama ini digunakan Perhutani yang merujuk pada Kesatuan Pemangkuan Hutan di Jawa). KPH dapat diartikan sebagai satuan unit pengelola hutan, sedangkan perdagangan karbon merupakan pola usaha/bisnis baru dalam memanfaatkan hutan. Hutan dinilai tidak hanya kayu atau HHBK-nya saja, melainkan jumlah karbon yang dikandungnya juga dinilai. Kedua hal tersebut apabila dipadukan akan menjadi sistem usaha dan manajemen baru yang perlu dipahami secara seksama oleh masyarakat.

KPH sebagai paradigma baru pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya baik sebagai hutan produksi, hutan lindung maupun hutan konservasi akan berperan maksimal apabila dikelola oleh organisasi KPH yang notabene merupakan perpanjangan tangan pemerintah tentunya berorientasi kelestarian dan keuntungan. Pemanfaatan hutan melalui jasa pengikat karbon dioksida (CO2) di udara untuk memitigasi gas rumah kaca dan sebagai penyimpan karbon (carbon stock) yang tidak teremisikan ditujukan untuk lebih menjamin pengurangan kerusakan hutan. Pemahaman KPH dan perdagangan karbon oleh semua pihak sangat

diperlukan agar informasi umum tentang fungsi KPH, jenis-jenis usaha yang dapat dilakukan KPH, perdagangan karbon, dan fungsi KPH dalam perdagangan karbon dapat diimplementasikan.

Sekilas Fungsi KPHKesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagaimana

diatur di dalam Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2007 adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola secara efi sien dan lestari. Setiap KPH akan dipimpin oleh Kepala KPH yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam mengelola hutan dalam wilayah yang dikelolanya. Dengan pola pengelolaan seperti ini kontrol pemerintah akan lebih efektif, karena KPH itu sendiri merupakan lembaga pelaksana dari kebijakan kementerian kehutanan, pemerintah provinsi, dan pemerintah Kabupaten/Kota.

Organisasi KPH mempunyai tugas dan fungsi menyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi: tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi, serta perlindungan hutan dan konservasi alam. Aktivitas tata hutan meliputi : tata batas, inventarisasi hutan, pembagian kedalam blok atau zona, pembagian kedalam petak dan anak petak, dan pemetaan. Dokumen tersebut disusun dalam bentuk buku dan peta

Oleh: Dr. Acep Akbar

KPH &PerdaganganKarbon

FOKUS

25BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

penataan KPH. Kepala KPH harus mampu menyusun rencana

pengelolaan hutan di wilayahnya dalam jangka panjang (Misalnya 25 tahun) serta menentukan tujuan pengelolaan yang akan dicapai KPH. Dari rencana jangka panjang itulah akan disusun beberapa rencana jangka pendek (misalnya 5 tahun) yang lebih operasional disusun oleh pejabat yang ditunjuk oleh Kepala KPH. Dengan demikian sebuah rencana realistis akan tersusun baik di kawasan hutan lindung dan hutan produksi maupun hutan konservasi. KPH dapat terbagi menjadi KPHL (Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung), KPHP (Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi), dan KPHK (Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi).

Jenis-jenis Usaha Yang Dapat Dilakukan Oleh Organisasi KPH

Pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya sehingga diperoleh manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi secara optimal dengan tidak mengurangi fungsi utamanya. Dalam aplikasinya pengelolaan hutan harus memberdayakan masyarakat dalam bentuk hutan desa, hutan kemasyarakatan, dan kemitraan.

Usaha-usaha potensial yang dapat dilakukan oleh KPH tergantung kepada fungsi hutan yang akan dikelola.

Sebagai contoh, untuk pemanfaatan kawasan pada hutan lindung, jenis usaha yang dapat dilakukan adalah : (1) budidaya tanaman obat, (2) budidaya tanaman hias, (3) budidaya jamur, (4) budidaya lebah, (5) penangkaran satwa liar, (6) rehabilitasi satwa liar, (7) dan (8) budidaya hijauan makanan ternak. Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung yang potensial dapat dilakukan di antaranya adalah : (1) pemanfaatan jasa aliran air, (2) pemanfaatan air, (3) wisata alam, (4) perlindungan keanekaragaman hayati, dan (5) penyerapan dan penyimpanan karbon.

Dalam pelaksanaannya pelaku usaha yang dapat terdiri dari perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah dikoordinir oleh KPH. Lama izin usaha yang dapat diberikan adalah 10 tahun dan dapat diperpanjang setiap satu tahun. Luas areal yang dapat diberikan izin usaha adalah paling luas 50 hektar per izin dan pelaku usaha dapat diberikan 2 macam izin di dalam satu Kabupaten/kota.

Khusus usaha penyerapan dan penyimpanan karbon hutan dapat diberikan izin yang cukup lama yaitu dapat mencapai 30 tahun, sedangkan syarat luasan mengikuti kelayakan kebutuhan investasi. Izin usaha penyerapan dan penyimpanan karbon dapat diberikan baik di dalam hutan lindung maupun hutan produksi.

Izin dapat diperoleh dari Menteri Kehutanan, Gubernur, dan Bupati/Walikota atas sepengetahuan kepala KPH. Untuk itu, peran Menteri Kehutanan, Gubernur, dan Bupati/Walikota adalah sebagai Pembina KPH. Dalam

26 BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

2727BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

Peraturan Menteri Kehutanan No. P.6/Menhut-II/2010, izin usaha pemanfaatan hutan oleh Gubernur, Bupati dan Walikota diberikan hanya untuk hutan lindung dan hutan produksi, Sedangkan untuk hutan konservasi menjadi kewenangan Menteri Kehutanan.

Ada dua tipe organisasi KPH yaitu type A dan type B. Susunan organisasi KPHL dan KPHP Provinsi,Kabupaten/Kota type A terdiri dari : (1) Kepala KPH, (2) Sub Bag Tata Usaha, (3) Seksi, paling banyak 2 seksi), dan (4) Kelompok Jabatan Fungsional. Organisasi KPH type B terdiri dari : (1) Kepala KPH, (2) Sub Bag Tata Usaha, dan (3) Kelompok Jabatan Fungsional. Pengelolaan hutan dengan basis KPH ini akan menjadikan pemerintah lebih mengetahui kondisi komunitas hutan di lapangan karena organisasi KPH akan lebih dekat dengan obyek hutan yang dikelolanya. Dengan demikian permasalahan hutan akan lebih dipahami dan ditindaklanjuti dengan pengusahaan hutan yang konkrit dan realistis agar menguntungkan pemerintah dan masyarakatnya. Selain itu, fungsi kontrol pemerintah akan lebih intensif akibat manajemen yang bersifat internal. Kini pola manajemen pengelolaan hutan dengan satuan KPH akan menghadapi bisnis baru yaitu perdagangan karbon yang berskala internasional.

Perdagangan Karbon HutanPerdagangan karbon hutan adalah jual beli karbon

dalam bentuk senyawa karbon organik yang dikandung komunitas hutan setelah dikonversi kedalam bentuk senyawa karbon dioksida (CO2). Hutan terdiri dari bahan

organik baik berupa biomassa hidup maupun biomassa mati yang semuanya mengandung senyawa karbon organik. Setiap satuan biomassa kering mengandung kurang lebih 50% senyawa karbon organik (Brown,1997). Biomassa hidup terdiri batang, cabang, ranting, daun, dan akartumbuhan yang masih hidup di dalam hutan. Biomassa mati terdiri dari serasah, dahan, ranting, dan akar yang telah mati. Khusus hutan rawa gambut, tanah gambut merupakan biomassa mati yang berpotensi besar mengandung karbon hutan. Biomassa hutan terdiri dari biomassa atas (above ground biomass) dan biomassa bawah (bellow ground biomass). Biomassa atas hutan adalah berupa batang, cabang, ranting, dan daun, sedangkan biomassa bawah berupa akar dan tanah gambut. Pada kondisi biomassa yang padat, vegetasi tumbuhan bawah dapat dihitung sebagai biomassa atas.

Terjadinya perubahan iklim telah banyak dibuktikan secara ilmiah. Musim kemarau yang semakin panjang serta musim penghujan yang relatif pendek dengan intensitas hujan yang tinggi merupakan bukti nyata adanya perubahan iklim. Hal ini berdampak pada berbagai kehidupan manusia seperti kekeringan yang berkepanjangan, gagal panen, krisis pangan, air bersih, pemanasan permukaan laut serta banjir dan tanah longsor. Dampak perubahan iklim akan sangat dirasakan oleh negara berkembang akibat tidak mampu membangun struktur untuk beradaptasi, walaupun negara maju pun merasakan dampak perubahan iklim.

Upaya untuk mengurangi dampak perubahan iklim secara global telah dimulai sejak diadakannya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth summit) di Rio De Janeiro Brazil tahun 1992. Pada KTT yang dikenal dengan nama United Nation Conference on Environment and Development (UNCED) tersebut, lebih dari 180 negara telah sepakat untuk mengadopsi Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations Frameworks Convention on Climate Change, UNFCCC) dengan tujuan untuk menstabilkan emisi gas rumah kaca (GRK) dunia ke atmosfer pada tingkat tertentu sehingga tidak membahayakan sistem iklim bumi dan sebanyak 154 wakil Negara telah menandatangani UNFCC tersebut. Pada tanggal 21 Maret 1994, UNFCCC pun telah mempunyai kekuatan hukum. Indonesia ikut meratifi kasi UNFCCC tersebut dengan keluarnya Undang-undang No.6 Tahun 1994 tentang perubahan iklim. Sejak tahun 1995, para pihak telah bertemu setiap tahun melalui Konferensi Para Pihak (Conference on Parties, COP) guna menerapkan dan mengimplementasikan kerang-ka kerja tersebut.

Hasil dari COP ke 3 di Kyoto tahun 1997, yang dikenal dengan Protokol Kyoto telah mengadopsi aturan hukum mengikat (legal binding) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) bagi negara industri yang diistilahkan dengan negara Annex I. Negara Annex I akan mengurangi total GRK sedikitnya 5% dibandingkan dengan tingkat GRK pada tahun 1990, yang harus dicapai pada tahun 2008-2012. Dengan target tersebut seluruh negara maju yang terdaftar dalam Annex I harus menurunkan emisi karbon gas rumah kaca sebesar 13,7 Giga Ton.

Untuk mencapai target penurunan emisi karbon, maka timbulah semacam perdagangan karbon dengan skenario mekanisme Kyoto yang terdiri dari tiga kegiatan yaitu Joint Implementation (JI), mekanisme pembangunan bersih (Clean development Mechanism, CDM), dan Perdagangan Emisi (emission trading, ET). Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) atau CDM adalah satu-satunya mekanisme fl eksibel dimana negara-negara berkembang dapat berpartisipasi, sedangkan JI dan ET hanya dapat dilakukan antara negara maju. Mekanisme tersebut menghasilkan unit pengurangan emisi (Emission Reduction Unit, ERU),

untuk JI. Pengurangan emisi yang disertifi kasi (Certifi ed Emission Reduction, CER) untuk CDM, dan unit jatah emisi (Assigned Amount Unit, AAU). CDM/MPB memungkinkan Indonesia sebagai negara berkembang menghasilkan Sertifi kat Penurunan Emisi (CER) melalui kegiatan pembangunan hutan tanaman sebagai bagian dari proyek Aforestation/Reforestation Kehutanan.

Kini peluang perdagangan karbon selain dapat dilakukan melalui mekanisme CDM juga dapat dilakukan melalui skema REDD+ (Reducing Emission From Deforestation and Degradations). Kyoto Protokol menghasilkan mekanisme CDM yang salah satunya adalah Aforestation-Reforestation CDM, sehingga Indonesia layak untuk mendapatkan kegiatan. Namun demikian, walaupun

di Indonesia reforestasi telah membudaya lama dan secara fi nansial ekonomi menguntungkan, ternyata proses untuk mengajukan kegiatan ini menuju mekanisme A/R CDM tidak mudah. Diantara persayaratan pengajuan yang belum bisa dipenuhi Indonesia adalah criteria lahan/lokasi MPB yang harus bebas konfl ik. Kriteria layak berdasarkan defi nisi Protokol Kyoto diantaranya tidak mempunyai resiko sosial yang tinggi seperti kepadatan penduduk yang tinggi, pendidikan yang terlalu rendah, dan kepemilikan lahan yang tidak jelas. Selain itu, kebutuhan waktu dan biaya untuk memperoleh sertifi kasi dan proses konsultasi telah menjadi penghambat pengembang. Solusi melalui pembentukan forum MPB di daerah yang berfungsi dalam

Populasi burung di hutan akan terjaga dengan baik seiring dengan kondisi hutan yang terus membaik pula.

28 BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

koordinasi, fasilitasi dan sinkronisasi kegiatan MPB sangat diperlukan untuk mengurangi biaya pengurusan. Aturan perdagangan karbon tertuang didalam PP No. 20 Tahun 2012.

Perdagangan karbon dalam skema REDD muncul setelah diketahui bahwa terdapat penurunan stok karbon dalam biomas hutan di Afrika, Asia, dan Amerika Latin selama periode 1990-2005. Emisi dari deforestasi di negara berkembang diperkirakan akan terus meningkat sebagai konsekuensi dari pertambahan penduduk, keperluan pembangunan, dan lainnya. Apabila tidak ada intervensi kebijakan yang memungkinkan negara berkembang mengurangi deforestasi dengan tetap menjamin keberlanjutan pembangunan nasional. Secara global stok karbon dalam biomas menurun sebesar 1,1 Gton per tahun. Insentif akan diberikan oleh negara-negara maju kepada negara-negara berkembang yang dapat mengurangi emisinya melalui pembayaran dana konvensasi REDD berdasarkan nilai karbon yang tidak jadi menghilang. Kesepakatan ini diawali oleh usul yang dikemukakan oleh Papua New Guinea (PNG), Costarica, dan negara-negara yang tergabung dalam koalisi pemilik hutan tropis (Coalition for Rain forest Nation/CIRN) pada pertemuan COP 11 di Montreal pada tahun 2005. Pada COP 13 di Bali telah berhasil disepakati beberapa hal penting terkait dengan aspek-aspek REDD yang akan dibawa menuju COP 15 (tahun 2009) di Denmark. Harapan kesepakatan mengenai modality, aturan, dan prosedur implementasi akan terjadi di pertemuan Conference of the parties tersebut. Walaupun skema REDD sampai saat ini masih dalam proses negosiasi di bawah COP-Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC), namun langkah-langkah menuju kesepakatan telah terjadi. Untuk sementara, perdagangan karbon dalam rangka pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi yang terjadi adalah melalui pasar sukarela (voluntary market). Pasar karbon yang ada saat ini adalah melalui berbagai mekanisme baik di bawah Kyoto Protokol maupun pasar sukarela. Mekanisme Kyoto Protokol adalah melalui Joint Implementation/JI dan emission Trading/ET antar negara maju, atau melalui Clean Development Mechanism/CDM, antar negara maju dengan negara berkembang.

Saat ini beberapa contoh proyek yang berhubungan dengan REDD di Kalimantan Tengah telah dimulai seperti: (1) Kalimantan Forest and Climate Partnership (KFCP), (2) Katingan Conservation Area A global Peatland Capstone Project, (3) Lamandau : Rare (Yayorm), (4) REDD+ in Sebangau National Park, (5) The Rimba Raya Biodiversity Reserve Project. Potensi Indonesia didalam perdagangan karbon melalui REDD dijelaskan sebagai berikut : Di tingkat global, emisi tahunan dari deforestasi sebesar 4,8

Gt CO2 (1,3 Gt C), potensi pengurangan emisi antara 10-50%, dan harga $ 7-20/tCO2,potensi pasar adalah US $ 2-31 milyar per tahun. Hasil studi IFCA (2007), Indonesia, dengan menggunakan data laju deforestasi antara tahun 2000-2005 sekitar 1,2 juta hektar pertahun dan asumsi stok karbon antara 100-300 ton per hektar(368-1104 ton CO2 per ha), maka potensi REDD antara USD $ 0,31-13,25 Milyar. Untuk menghitung karbon hutan, negara maju sepakat memberikan dukungan untuk capacity building, transfer teknologi di bidang metodologi dan institusional, pilot/demonstration activities. Demonstration activities harus mendapat persetujuan host Party yang dalam hal ini Pemerintah. Perhitungan pengurangan/peningkatan emisi harus sesuai hasil, terukur, transparan, dapat diverifi asi, dan konsisten sepanjang waktu. Pelaporan menggunakan reporting guideline (good practice guidance for land use, land use change and forestry) sebagai dasar perhitungan dan monitoring emisi.

Fungsi Organisasi KPH dalam Perdagangan KarbonKPH dalam arti organisasi dapat menjadi basis

pengusahaan karbon hutan karena organisasi ter-sebut dapat menunjuk kepada suatu wilayah, perangkat sumberdaya manusia yang terorganisir, dan sistem manajemen tertentu dalam pengelolaan hutan. Perdagangan karbon akan menjadi salah satu bisnis

Kerusakan hutan menjadi salah satu penyakit suatu bangsa. Hutan harus dilestarikan sebagai fungsi paru-paru dunia.

29BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

KPH yang menjanjikan di masa depan. Protokol Kyoto telah diperpanjang sampai dengan tahun 2020 berdasarkan kesepakatan dalam pertemuan UNFCCC di Doha, Desember 2012. Menurut Yeti R., Staf Ahli Menhut Bidang Lingkungan dan Perubahan Iklim (2013), saat ini harga senyawa karbon sekitar 10 Juta US dolar/ton. Indonesia dapat menghasilkan 250 juta ton karbon per tahun, sehingga Indonesia dapat menerima 2,5 Milyar US $ /tahun. Selain itu, perdagangan karbon melalui skema REDD akan terus mengalami perkembangan hingga ke tahap implementasi. Kedua bisnis tersebut akan memberi peluang kepada Indonesia untuk memperoleh dana pengelolaan hutan tanpa harus

selalu menebang pohon. Beberapa pihak atau unit usaha yang dapat di koordinir KPH dalam perdagangan karbon ini adalah perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah.

Ketika dana kompensasi REDD dan AR/CDM terimplementasi, maka fungsi KPH juga harus mampu membangun dan mengembangkan perusahaan, organisasi dan sumber daya manusia perusahaan yang modern, professional, dan handal serta memberdayakan masyarakat desa hutan melalui pengembangan lembaga perekonomian koperasi masyarakat desa hutan dan petani hutan. Pada tingkat yang lebih luas, KPH harus mampu mendukung

dan turut berperan serta dalam pembangunan wilayah secara regional dan nasional, serta memberikan kontribusi secara aktif dalam masalah lingkungan regional, nasional, dan internasional.

Di dalam organisasi KPH Pengukuran karbon dapat dilaksanakan oleh mitra usaha dan sepenuhnya menjadi kewenangan KPH. Perhitungan karbon hutan harus menggunakan panduan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) dengan prinsip measurable (dapat diukur), reportable (dapat dilaporkan), dan verifi able (dapat diverifi kasi). Pengukuran karbon hutan termasuk kedalam AFOLU (Agriculture, Forestry, other Land Use). Pengukuran menggunakan

Gambar 1. KPH dan Perdagangan Karbon

Gambar 2. Mekanisme Perolehan SPE Karbon dan Kelembagaan MPB di Indonesia (Ginoga et al, 2007)

30 BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

kombinasi remote-sensing dan ground base inventory. Hasil perhitungan harus terbuka dan transparan untuk direview. Ilustrasi hubungan antara KPH dengan perdagangan karbon dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2. Peran pohon hutan sebagai penyerap CO2 diilustrasikan dalam Gambar 3.

Gambar 3. Skema Pohon Sebagai Penyerap CO2 Melalui Fotosintesis

P enutupKPH merupakan satuan unit pengelolaan hutan milik

pemerintah yang dalam arti organisasi pada dasarnya mempunyai misi mengelola sumberdaya hutan dengan prinsip pengelolaan hutan lestari berdasarkan karakteristik

wilayah dan daya dukung ekosistem serta daerah aliran sungai untuk meningkatkan manfaat hasil hutan kayu dan bukan kayu, ekowisata, jasa lingkungan, agroforestry, penyerapan karbon serta potensi usaha berbasis kehutanan lainnya guna menghasilkan keuntungan untuk menjamin pertumbuhan perekonomian secara berkelanjutan.

Perdagangan karbon hutan adalah jual beli senyawa karbon dalam bentuk biomassa tumbuhan hutan setelah dikonversi kedalam senyawa karbon dioksida (CO2) yang dilakukan antara negara industri/maju Anex 1 sebagai emitter dengan negara berkembang yang memiliki hutan sebagai penurun emisi gas rumah kaca. Perdagangan tersebut muncul setelah manusia pecinta lingkungan sadar bahwa saat ini telah terjadi peristiwa perubahan iklim membahayakan kehidupan manusia akibat terjadinya pemanasan bumi (global warming) hasil peningkatan gas rumah kaca di atmosfer. Hutan diakui sebagai pengikat CO2 dan penyimpan karbon organik terbesar.

Usaha perdagangan karbon akan lebih menguntungkan negara jika dikelola oleh pemerintah melalui unit pengelola KPH. Karena pada dasarnya organisasi KPH merupakan perpanjangan tangan pemerintah yang berorientasi keuntungan dan kelestarian. Para pihak yang dapat terlibat permitra dengan KPH dalam bisnis hutan dapat bersipat perorangan dari masyarakat, koperasi, lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi hutan desa, badan usaha milik swasta, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah.

Daftar BacaanBrown, S. 1997. Estimating biomass and Biomass change

of tropical forests; a primer, FAO. Forestry paper 134, Rome, 87 pp.

Ginoga K.L., A.Ng. Ginting dan A. Wibowo, 2008. Isu Pemanasan Global UNFCCC Kyoto Protokol dan Peluang Aplikasi A/R CDM di Indonesia. Badan Litbang Kehutanan

Lehninger, 1991. Dasar-dasar Biokimia Jilid 2. Terjemahan Maggy Thenawijaya. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Nur Masripatin, 2007. Apa itu REDD. Reducing Emission from Deforestation and Degradation in Developing Countries. Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan di Negara Berkembang.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : 6 tahun 2007. Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan. Jakarta

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.6/Menhut-II/2010. Tentang Norma, Standar, Prosedur, dan Keriteria Pengelolaan Hutan Pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP). Jakarta.

UNEP. 1999. Convention on Climate Change. Unit Nations Famework Convention on Climate Change. UNEP/IUC/99/2.

31BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) adalah kawasan hutan yang ditetapkan untuk keperluan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan serta kepentingan

religi dan budaya setempat, sesuai dengan amanat UU No. 41 tahun 1999 dengan tanpa mengubah fungsi kawasan dimaksud. Saat ini Badan Litbang Kehutanan memiliki 33 KHDTK yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan. KHDTK tersebut tersebar di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur dengan luas total sekitar 37.000 ha, yang mencakup berbagai tipe hutan dan kondisi sosial budaya. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru (BPK Banjarbaru) sebagai salah satu UPT Badan Litbang Kehutanan juga memiliki 4 KHDTK yaitu KHDTK Riam Kiwa, KHDTK Kintap, KHDTK Rantau dan KHDTK Tumbang Nusa, 3 KHDTK berada diwilayah Propinsi Kalimantan Selatan sedangkan 1 KHDTK yaitu KHDTK Tumbang Nusa berada di wilayah Propinsi Kalimantan Tengah.

KHDTK merupakan hutan penelitian yang berperan sebagai laboratorium alam, lokasi kegiatan penelitian dan pengembangan kehutanan serta wadah kegiatan konservasi. Dalam keberadaannya KHDTK tidak lepas juga dari berbagai bentuk tantangan dan tekanan yang dapat mengancam keberadaan KHDTK sebagai suatu kawasan. Berbagai bentuk gangguan yang timbul antara lain : pencurian kayu dan penebangan liar, penyerebotan lahan, kebakaran hutan dan lahan serta berkurangnya kawasan KHDTK akibat pinjam pakai kawasan hutan untuk keperluan di luar sektor kehutanan seperti pertambangan dan perkebunan.

KHDTK Rantau yang ditunjuk berdasarkan SK Menhut No. 177/Menhut-II/2005 pada tanggal 29 Juni 2005, telah ditunjuk dan disahkan menjadi kawasan hutan penelitian

dengan tujuan khusus dengan luas 180 ha dalam kawasan hutan produksi tetap di desa Bramban Kecamatan Piani dan desa Bitahan Baru Kecamatan Lokpaikat Kabupaten Tapin Kalimantan Selatan. Dalam perjalanannya keberadaan KHDTK Rantau tidak lepas dari berbagai tantangan dan gangguan seperti penebangan liar, pencurian kayu, penyerobotan lahan serta pengurangan kawasan akibat pinjam pakai kawasan hutan (pertambangan).

Kondisi saat ini kawasan KHDTK Rantau dengan luas 180 ha, berbatasan langsung dengan kegiatan usaha kuasa pertambangan. Kondisi ironi sangat terasa setiap memasuki kawasan ini. Ketika perjalanan menuju KHDTK Rantau, pemandangan lubang-lubang besar akibat eksploitasi tambang batubara disertai hilir mudik kendaraan berat pengangkut batubara menjadi pemandangan tak dapat dielakkan dan pasti terlihat setiap memasuki kawasan KHDTK. Areal eksploitasi pertambangan tersebut merupakan ex kawasan KHDTK yang pada waktu itu masih berstatus statiun penelitian. Setelah melalui proses pinjam pakai kawasan, selanjutnya disahkan berdasarkan SK Menhut menjadi kawasan usaha pertambangan. Sungguh miris memang, tapi inilah kenyataan yang ada. Namun masih tersirat dibenak bahwa ketika memasuki kawasan KHDTK kondisi pepohonan yang hijau menjadi obat dari kemirisan yang terlihat sebelumnya. Gambaran diatas menjadi salah satu contoh nyata bagaimana lemahnya keberadaan KHDTK.

Faktor ekonomi seperti tidak diperolehnya manfaat secara langsung bagi pemerintah daerah maupun tidak nampaknya hasil yang dapat dinilai secara fi nansial bagi daerah secara langsung menjadikan keberadaan KHDTK dinilai tidak prospektif. Selain itu menurut pandangan sebagian pihak, kawasan ini akan lebih menjadi bernilai bila dialih fungsikan kebidang usaha lain seperti pertambangan.

KHDTKKHDTK Rantau RantauSebagai Benteng Terakhir Hutan Sebagai Benteng Terakhir Hutan

Menghadapi Gerusan Menghadapi Gerusan Areal Tambang di RantauAreal Tambang di Rantau

Eko Priyanto

ARTIKEL

32 BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

Oleh karena itu guna menunjang keberadaan KHDTK dan untuk lebih melindunginya dari berbagai aktivitas yang dapat menggangu keberadaannya perlu dibuat rencana strategis dalam penggelolaan KHDTK. Rencana tersebut memerlukan dukungan dari setiap elemen dan pihak yang berwenang baik di lingkup badan litbang kehutanan sendiri maupun Kementerian Kehutanan sebagai institusi yang berwenang memberikan ijin kegiatan pinjam pakai kawasan terutama untuk kegiatan diluar sektor kehutanan seperti pertambangan, perkebunan dan lain-lain. Dengan adanya kesatuan pola pikir dan pemahaman, keberadaan KHDTK diharapkan dapat lebih eksis dan memberikan nilai tambah baik bagi ilmu pengetahuan di bidang kehutanan serta memberikan nilai tambah bagi kelestarian lingkungan yang dapat dirasakan oleh masyarakat di sekitar kawasan KHDTK.

Bentuk penggelolaan kolaboratif bisa menjadi salah satu solusi yang ditawarkan untuk mengangkat perananan KHDTK yang tidak hanya menjangkau steakholder lingkup peneliti, mahasiswa maupun praktisi kehutanan lain namun juga dapat dirasakan keberadaannya oleh banyak pihak. Salah satu bentuk penggelolaan kolaboratif yang dapat dibangun khususnya di KHDTK Rantau antara lain: menggandeng Pemda Kabupaten melalui Dinas terkait

seperti Dinas Kehutanan, Dinas Pendapatan Daerah, Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten serta aparatur desa dari tingkat kecamatan sampai dengan desa untuk membangun wahana hutan pendidikan dan wisata di kawasan KHDTK Rantau. Hutan pendidikan dan wisata bisa menjadi satu pola yang diunggulkan dalam pengelolaan KHDTK Rantau. Kondisi alam yang cukup baik disertai kondisi lahan yang berbukit-bukit bisa saja menjadi potensi yang dapat digarap untuk wisata pendidikan dan keluarga seperti membangun sarana out bond, joging track maupun wisata bamboo rafting yang tentunya tidak mengganggu kelestarian kawasan KHDTK. Melalui cara tersebut secara otomatis pengenalan fungsi hutan kepada semua lapisan masyarakat dapat berlangsung. Potensi plasma nutfah seperti potensi tanaman obat yang terdapat di dalam kawasan KHDTK Rantau dapat menjadi salah satu unggulan pemerintah daerah dalam upaya konservasi kawasan hutan. Bentuk kerjasama dapat dijalin bersama BLH (Badan Lingkungan Hidup Kabupaten) melalui program penggelolaan keanekaragaman hayati yang dalam pelaksanaannya bisa berkoordinasi dengan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) untuk menyusun program kegiatan yang akan dilakukan. Selain itu dari kegiatan ini dapat memberi efek positif yaitu adanya

Peta kawasan KHDTK Rantau

33BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

pendapatan daerah melalui tiket restribusi masuk areal. Efek lain yang dapat dirasakan masyarakat sekitar dengan dua jenis wisata tersebut adalah adanya peluang usaha bagi mereka seperti usaha warung makanan dan minuman untuk pengunjung, ataupun sebagai tenaga pendamping bagi pengunjung.

Keberadaan masyarakat sekitar kawasan bisa menjadi potensi yang dapat dilibatkan dalam penggelolaan KHDTK. Misalnya dengan membentuk wadah forum masyarakat sekitar KHDTK untuk membuat program penggelolaan KHDTK bersama masyarakat. Kondisi masyarakat sekitar KHDTK Rantau yang pada umumnya berprofesi sebagai pekerja kebun (karet) dan petani dapat menjadi nilai plus untuk melibatkan mereka dalam penggelolaan KHDTK. Bentuk konkrit pengelolaan KHDTK bersama masyarakat bisa dengan mengangkat program pengembangan hasil hutan non kayu seperti budidaya tanaman rotan, budidaya tanaman gaharu serta budidaya lebah madu. Dalam pelaksanaannya program ini harus dilakukan dengan menggandeng pemerintah daerah melalui dinas terkait untuk bersama-sama melakukan pembinaan kepada masyarakat.

Batas kawasan KHDTK Rantauyang berbatasan langsung dengan

kegiatan pertambangan.

Semakin dirasakannya keberadaan KHDTK oleh banyak orang akan menjadi cara politis yang baik untuk mempertahankan keberadaan KHDTK. Nilai-nilai kelestarian yang dapat terjaga dalam KHDTK tidak hanya kelestarian kawasan, tetapi juga kelestarian tanah, air dan plasma nutfah yang terdapat di dalamnya. Menjadi sangat berbanding terbalik bila kawasan ini hanya untuk dipinjam pakai menjadi bentuk usaha lain yang bersifat destruktif seperti usaha pertambangan yang saat ini ada. Kegiatan usaha tersebut jelas berdampak pada kerusakan lingkungan dengan ditandainya perubahan kondisi lahan serta kehilangan vegetasi yang sebelumnya terdapat didalamnya.

Keberadaan dan fungsi KHDTK Rantau akan tetap diperlukan baik dalam dunia riset kehutanan maupun kelestarian lingkungan sebagai benteng terakhir sisa hutan setelah terdegradasi dan deforestasi.

Lebih baik...Berbuat langkah kecil untuk kelestarian hutan.KHDTK Lestari......???? Arti langkah kecilku.Dari pada langkah besar untuk keuntungan sesaatdan merusak lingkungan serta kawasan.Save Our Forest!

3434 BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

Pembakaran lahan gambut biasa dipraktekkan untuk pembukaan ladang baru karena dinilai paling efektif dan murah. Teknik ini harus segera ditinggalkan, karena berkontribusi sangat besar terhadap pelepasan emisi karbon yang dapat menggagalkan target pemerintah untuk menurunkan tingkat emisi nasional sebesar 26% atau 14% untuk sektor kehutanan sampai tahun 2020. Selain membahayakan kelestarian gambut, ladang-ladang yang dilakukan pembakaran akan mengalami penurunan produktifi tas setelah tahun ketiga (Akbar dan Priyanto, 2008). Ladang yang pada awalnya tidak memerlukan pemupukan, lambat laun memerlukan tambahan unsur hara.

Gulma lahan gambut yang selama ini justru dibakar saat penyiapan dan pemeliharaan tanaman, dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku kompos. Selain dapat menjadi pupuk organik, pemanfaatan gulma lahan gambut untuk kompos dapat mengatasi kegiatan pembakaran lahan.

Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifi sial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab baik secara aerobik atau anaerobik. Kompos telah digunakan secara luas selama ratusan tahun dan telah terbukti mampu menangani limbah pertanian sekaligus

berfungsi sebagai pupuk alami. Masyarakat Cina, Jepang dan masyarakat Asia lainnya telah membuat kompos sejak 4000 tahun yang lalu. Pengomposan memerlukan waktu yang lama, namun setelah ditemukan teknik pembuatan bokasi, kini prosesnya berjalan lebih cepat.

Kompos memberi manfaat yang baik untuk tanah dan tanaman, yaitu: memperkaya mikroba tanah, meningkatkan unsur hara makro dan mikro, memperbaiki struktur tanah, menyehatkan tanah dan tanaman karena dengan memperoleh cukup unsur hara, tanaman akan tumbuh sehat sehingga kuat menghadapi serangan penyakit. Komoditi pertanian hortikultura, lebih dianjurkan menggunakan pupuk organik atau kompos dibandingkan pupuk lainnya (Simamora dan Salunduk, 2006).

Proses pengomposan dapat terjadi secara aerobik (dengan oksigen) dan anaerobik (tanpa oksigen). Pengomposan secara anaerobik sering menghasilkan bau yang tidak sedap, seperti: asam-asam organik (asam asetat, asam butirat, asam valerat, puttrecine), amonia dan H2S. Proses pembuatan kompos digambarkan pada Gambar 1.

Agar diperoleh hasil pengomposan yang optimal beberapa faktor perlu diperhatikan seperti : ukuran bahan, rasio C/N, kelembapan dan aerasi, temperatur, derajat keasaman, serta mikroorganisme yang terlibat (Tabel 1).

Oleh :Reni Setyo Wahyuningtyas

Kompos dari Gulma Lahan Gambut

ARTIKEL

35BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

Nilai C/N rasio bahan merupakan faktor paling penting dalam proses pengomposan, hal ini disebabkan proses pengomposan tergantung dari aktivitas mikroorganisme yang membutuhkan karbon sebagai sumber energi dan pembentuk sel dan nitrogen untuk membentuk sel. Jika C/N rasio tinggi, pengomposan akan berjalan lambat, sebaliknya jika C/N rasio terlalu rendah pengomposan akan berjalan sangat cepat sehingga banyak unsur N yang menguap ke udara.

Tabel 1. Persyaratan karakteristik bahan baku yang sesuai untuk proses pengomposan

Karakteristik BahanRentangan

Baik IdealC/N rasio 20:1 – 40:1 25:1 – 30 :1Kandungan air 40 – 65% 50-60%Konsentrasi oksigen > 5% ≥ 5%Ukuran partikel (inci Ø) 1/8 – 1/2 BervariasipH 5,5 – 9 6,5 – 8,5Densitas (kg/m3) < 0,7887 -Temperatur (º C) 43-65,5 54-60

Sumber: Rynk, dkk. (1992)

Hasil inventarisasi tumbuhan bawah lahan gambut sebagai bahan kompos potensial diperoleh 23 jenis tumbuhan bawah seperti pada Tabel 2.

Ujicoba pembuatan kompos dari 18 jenis tumbuhan bawah menunjukkan bahwa kalopogonium (Calopogonium muconoides) menunjukkan kualitas terbaik dengan nilai C/N terendah serta kandungan unsur N, P, Ca dan Mg yang tinggi.

Sejak kementrian pertanian mencanangkan program “Go Organik 2010”, kebutuhan pupuk organik di Indonesia juga terus mengalami peningkatan. Sementara produksi kompos di Indonesia saat ini baru mencapai 10% dari potensi kebutuhan pertanian dalam negeri yang diperkirakan mencapai 11 juta ton per tahun (Djuarnani et al., 2005). Kebutuhan akan pupuk organik bahkan meningkat menjadi 12,3 juta ton (tahun 2011), 12,6 juta ton tahun (tahun 2012) dan prediksi mencapai 12,9 juta ton (tahun 2013).

Saat ini pertanian organik juga telah menjadi trend. Produk-produk pertanian dengan label organik cenderung mempunyai nilai jual lebih tinggi dan mempunyai banyak peminat terutama konsumen yang peduli akan bahaya

Gambar 1. Ilustrasi proses pembuatan bokasi/kompos dari tumbuhan bawah lahan gambut secara aerobik dengan kultur bakteri (EM4)

36 BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

Tabel 2. Potensi dan nilai C/N rasio beberapa jenis tumbuhan bawah di lahan gambut.

No. Nama Potensi di lapangan

Nilai C/N

1. Rumput paitan (Axonopus compresssus (Swartz) P. Beauv.) 31 ton/ha n.a2. Rumput gajah (Pennisetum purpureum Schumach.) 95 ton/ha 50.003. Kelakai (Stenochlaena palustris Bedd. FERN) 55 ton/ha 41,724. Gulma bunga kuning (Jussieua erecta Linn.) 57 ton/ha 25,235. Pakis-pakisan (Blechnum indicum Burm.f.) 32 ton/ha 50.946. Alang-alang (Imperata cylindrica (L.) Raeuschel) 26 ton/ha 50.177. Purun tikus (Eleocharis ochrostachys Steud.) 44 ton/ha 41,108. Karamunting kodok (Melastoma malabathricum L.) 55 ton/ha 49.929. Anggrek tanah (Philydrum lanuginosum Banks ex Gaertn.) 46 ton/ha 41.4610. Eupatorium (Chromolaena odorata King & H. E Robins.) 65 ton/ha 21,0711. Kalopogonium (Calopogonium mucunoides Desv.) 35 ton/ha 32.2212. Keladingan (Scleria purpurascens Steud.) 65 ton/ha n.a13. Sejenis anggrek tanah (Xyris indica L.) 115 ton/ha 96.6014. Rumput bundung (Leersia hexandra Sw.) 82,5 ton/ha 39.4715. Rumput bantalaki (Hymenachne amplexicaulis Nees.) 35 ton/ha 29.2416. Teki besar (Scirpus grossus L.f.) 31 ton/ha 38.8917. Rumput bantak (Polygonum minus Huds sp.depressum Dans.) 45 ton/ha 32.2018. Anakan galam (Melaleuca cajuputi subsp. Cumingiana) 35 ton/ha 39.7319. Kumpai minyak (Hymenachne acutigluma (Steudel) Gilliland.) 80 ton/ha 27.2520. Kumpai batu (Cynodon dactylon (L.) Pers.) 42 ton/ha 49.4621. Bakung / jungkal (Hymenocallis litthoralis (Jacq.) Salibs) 25 ton/ha n.a22. Bulu babi (Leptaspis urceolata) 300 ton/ha n.a23. Eceng gondok (Eichornia crassipes) 125 ton/ha 17,60

Sumber : Wahyuningtyas et al., 2010 Keterangan : n.a = data tidak tersedia

bahan kimia. Kenyataan tersebut mulai disadari para petani di lahan gambut dan merupakan peluang baik untuk meningkatkan nilai jual produk mereka. Potensi bahan baku berupa hijauan, limbah pertanian dan kotoran

ternak sangat mendukung pengembangan pembuatan pupuk organik skala bisnis selain dapat meningkatkan pendapatan petani juga membuka peluang usaha baru dan penyerapan tenaga kerja di pedesaan.

3737BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

Kualitas penelitian ditentukan oleh metodologi dan kualitas data yang digunakan dalam penyusunan hasil penelitian atau karya tulis ilimiah. Kualitas data tersebut ditentukan

oleh sebaran data (cakupan geografi ) yang luas, dan cakupan rentang suatu data (time series) yang panjang. Namun, data-data tersebut sangat sulit diperoleh. Hal ini disebabkan oleh data tersebut terdapat pada masing-masing peneliti dan instansi pengumpul data tersebut. Faktor-faktor ini akan menyulitkan dalam menyusun suatu hasil penelitian yang berkualitas dan komprehensif. Kesulitan penyusunan akan berpengaruh pada kualitas penelitian/karya tulis yang disusun.

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi kesulitan tersebut yakni pembangunan sistem data base penelitian. Data base tersebut disusun dari data hasil penelitian yang telah dikumpulkan oleh instansi penelitian dan peneliti-peneliti instansi. Sistem tersebut harus mampu menampung seluruh hasil penelitian yang telah dilakukan oleh balai, mudah digunakan oleh semua pengguna dan mempunyai prosedur dalam penggunaan data.

Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru sebagai bagian dari suatu instansi penelitian dan pengembangan mencoba membangun suatu sistem data base penelitian. Sistem data base tersebut masih sangat terbatas untuk pertumbuhan dan hasil tegakan jenis hutan tanaman. Sistem ini dibangun dari hasil-hasil penelitian pertumbuhan dan hasil terutama oleh Instansi Badan Litbang Kehutanan. Sistem data base tersebut bernama APDATE (Aplikasi Pertumbuhan dan hAsil TEgakan).

APDATE ini terdiri dari tiga menu utama yakni: Master data, Menu editing, dan Menu laporan (repport). Master data dan menu editing ini hanya dapat digunakan dan

dibuka oleh admin dan penganalisis sistem. Pengguna dapat mendapatkan hasil sesuai dengan kebutuhan dan keinginan dari pengguna. Sistem ini dapat menampilkan karakteristik tanaman (CAI, MAI, Peninggi, LBDS, dan Volume) dan Tabel Volume untuk jenis dan lokasi tertentu. Namun demikian, aplikasi ini masih sangat terbatas pada karakteristik pertumbuhan dan hasil tegakan. Sistem ini masih memerlukan tambahan data pertumbuhan dan hasil tegakan dengan cakupan yang luas dan time series yang panjang sehingga keterandalan sistem ini dapat ditingkatkan.

Gambar 1. Halaman Utama Aplikasi Data Base

Saat ini, sistem ini masih pada tahap trial untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pengguna. Pengembangan sistem ini masih sangat dimungkinkan untuk tujuan-tujuan yang lain seperti data base biomassa atau serapan karbon pada beberapa lokasi dan tapak tertentu. Hal ini akan meningkatkan kualitas dari sistem data base yang dibangun.

PENINGKATAN KUALITAS PENELITIAN

MELALUI PEMBANGUNAN DATA BASE

Oleh:Muhammad Abdul Qirom

ARTIKEL

38 BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

Gambar 2. Halaman editing

Gambar 4. Master provinsi data base

Gambar 6. Pilihan provinsi

Gambar 3. Input karakteristik tanaman

Gambar 5. Pilihan jenis tanaman

Gambar 7. Contoh hasil penggunaan sistem APDATE

39BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

Banjarbaru, 19 September 2013. Ballroom Ulin Novotel Banjarmasin menjadi tempat yang indah dan tepat untuk merayakan HUT 30 tahun BPK Banjarbaru. Balai Penelitian Kehutanan

Banjarbaru telah memasuki dekade ketiga dalam perjalanannya. Dimulai pada tahun 1983 dengan nama Balai Teknologi Reboisasi, kemudian berubah menjadi Balai Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur (BP2HTIBT) pada tahun 2002 hingga akhirnya berubah menjadi Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru pada tahun 2006. Perjalanan selama tiga dekade bukanlah waktu yang sebentar sehingga kiranya diperlukan sebuah kegiatan untuk merekam kembali jejak langkah keberadaan BPK Banjarbaru yang dikemas dalam bentuk ekspose hasil-hasil penelitian.

Tema “30 Tahun BPK Banjarbaru dalam Pembangunan Kehutanan”, dimaksudkan untuk merefl eksikan perjalanan BPK Banjarbaru sebagai sebuah entitas lembaga penelitian dengan dukungan sumber daya yang dimiliki, baik

Ekspose Hasil Penelitian BPK Banjarbaru

sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya, serta menampilkan apa saja yang telah dihasilkan oleh peneliti-peneliti Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru dalam memperkaya khazanah IPTEK di bidang kehutanan dalam kurun waktu tersebut.

Acara dikemas begitu apik dengan bentuk Ekspose Hasil Penelitian, dibuka langsung oleh Kepala Badan Litbang Kehutanan , Bapak Dr. Ir. R. Iman Santoso,M.Sc. Turut berhadir dalam acara pembukaan tersebut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah, Bapak Drs.H.M.Nispuani,MAP selaku wakil dari Gubernur Kalimantan Selatan sekaligus memberikan sambutan selamat datang kepada peserta ekspose yang sebagian berasal dari luar Kalsel.

Acara ini diawali dengan pembahasan tentang KPH perspektif pemerintah yang disampaikan oleh Ir. Lukito Andi, MP mewakili Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan, dengan judul makalah “Pembangunan Kehutanan di Kalimantan Selatan (Dalam Menunjang

BERITA

40 BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

Perwujudan KPH). Perspektif KPH dan akademisi disampaikan oleh Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo Guru Besar Kebijakan Kehutanan Institut Pertanian Bogor, dengan Judul Makalah yaitu Memahami Politik Adopsi Hasil Hasil Penelitian sebagai strategi Pengembangan KPH : Studi Literatur dan Pengalaman Empiris.

Pada sesi kedua dan ketiga para peserta mendapatkan informasi hasil-hasil penelitian BPK Banjarbaru yang disampaikan oleh beberapa wakil dari para peneliti BPK Banjarbaru.

Berdasarkan sambutan Gubernur Provinsi Kalimantan Selatan, arahan Kabadan Litbang Kehutanan, materi pengarah dan 7 makalah yang disajikan serta diskusi yang berkembang maka kami menyampaikan intisari dari hasil ekspose 30 tahun BPK Banjarbaru sebagai berikut: 1. Adopsi hasil penelitian dalam kebijakan pembangunan

harus menjadi fokus perhatian bagi institusi riset. Adopsi tersebut memerlukan proses yang melibatkan berbagai pihak dan sangat terkait dengan dinamika politik yang berkembang. Dinamika tersebut ditentukan oleh tiga aspek yakni narasi kebijakan, kepentingan para pihak, dan jejaring kerja (network). Untuk memahami proses tersebut, banyak model yang telah dikembangkan dan sebetulnya tidak ada “praktek terbaik” dari model tersebut, akan tetapi peningkatan kapasitas semua pihak yang terkait, pemahaman akan komunikasi yang baik dan kemauan yang kuatlah (political will) yang dapat meningkatkan adopsi hasil-hasil penelitian dalam pembuatan kebijakan. Pada sisi institusi riset, adopsi hasil litbang ini merupakan sinergitas antara peneliti dengan manajemen institusi.

2. Pembangunan kehutanan khususnya percepatan pembangunan KPH di Kalimantan Selatan,

memerlukan dukungan seluruh institusi baik institusi daerah maupun pusat. Dukungan tersebut sesuai dengan bidang tugas masing-masing institusi. Kontribusi Litbang Kehutanan sangat diperlukan dalam pembangunan KPH melalui diseminasi dan komunikasi hasil-hasil litbang yang berhubungan, dapat diterima dan dimanfaatkan dalam pembangunan tersebut.

3. Terdapat kecenderungan jumlah lahan kritis semakin meningkat dan terdapat faktor-faktor pembatas dalam melakukan usaha rehabilitasi seperti adanya kompetisi pertumbuhan belukar dan alang-alang yang invasive, kerawanan kebakaran yang tinggi, dan permasalahan fi sik dan kimia tanah. Mengatasi hal tersebut, BPK Banjarbaru telah melakukan uji jenis lebih dari 106 jenis tanaman dalam rehabilitasi lahan kering. Jenis yang potensial dikembangkan sebanyak 10-18 jenis. Paket teknologi telah dihasilkan dalam tahapan pembangunan dan peningkatan produktivitas tanaman yang siap diimplementasikan. Paket teknologi tersebut antara lain: teknik propagasi jenis, uji jenis dan penyisihan jenis, teknik persiapan lahan, input nutrisi tanaman, jarak tanam, pemeliharaan tanaman, penanganan kebakaran, dan perlindungan hama dan penyakit.

4. Pecegahan hama dan penyakit membutuhkan informasi yang lengkap terkait diagnosis dan identifi kasi jenis hama, patogen, gejala dan tanda serangan, dan kerusakan mekanis yang ditimbulkan. Informasi tersebut digunakan untuk menentukan teknik pencegahan yang tepat seperti penggunaan jenis pestisida dan cara pengendaliannya. Di sisi lain, laboratorium pengendali hama dan penyakit diperlukan.

41BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

5. Pemahaman terhadap aspek penyebab, faktor pendukung, dan alternatif pengelolaan kebakaran menjadi faktor yang penting dalam upaya pencegahan kebakaran. Pencegahan kebakaran dapat dilakukan dengan beberapa cara yakni memberikan pengetahuan terhadap masyarakat tentang bahaya kebakaran, pemberian alternatif model pembangunan hutan yang beresiko kecil kebakaran, pembentukan masyarakat peduli api dan fasilitasi kelengkapan pemadaman sederhana.

6. Rehabilitasi hutan dan lahan rawa gambut memerlukan klasifi kasi tipologi lahan gambut sesuai dengan kondisi tapak aktual, faktor-faktor pembatas pertumbuhan tanaman yang meliputi kondisi genangan dan tanah gambut, invasi jenis pakis, dan

perubahan kondisi hidrologi. BPK Banjarbaru telah melakukan uji jenis pada berbagai tipologi tersebut sebanyak lebih 30 jenis dan 6 jenis yang potensial untuk dikembangkan. Untuk mendukung rehabilitasi ini, pemahaman karakteristik jenis dan fi siologinya menjadi sangat penting. Perjalanan penelitian selama ini juga telah menghasilkan demonstrasi

plot dan paket-paket teknologi seperti: teknologi penanganan benih dan propagasinya, pemilihan jenis, peningkatan produktivitas tanaman melalui pemupukan, ameliorasi, pemanfaatan mikroba tanah, dan penanganan kebakaran lahan gambut.

7. Restorasi dan rehabilitasi hutan mangrove memerlukan penyesuaian antara jenis tanaman dengan kondisi areal seperti areal akumulasi lumpur di pinggir pantai, adanya pengaruh air sungai, dampak dari gelombang pasang dan pemilihan jenis sesuai dengan zona pertumbuhannya. Salah satu jenis yang telah berhasil dikembangkan BPK Banjarbaru adalah bakau (Rhizopora mucronata) di Sungai Bakau/Kurau.

8. Rehabilitasi lahan bekas tambang khususnya lahan bekas tambang batubara memerlukan pemahaman secara komprehensif mengenai karakteristik lahan agar dapat menentukan input teknologi yang diperlukan. Pemahaman karakteristik lahan dapat berupa pemahaman proses suksesi atau regenerasi alam yang berlangsung dan input teknologi apa yang diperlukan untuk mempercepat proses suksesi tersebut. Input teknologi tersebut dapat berupa: penanganan lahan seperti pengolahan lahan, pemanfaatan jenis tumbuhan penutup tanah, pemanfaatan jenis tumbuhan yang dapat mendukung pertumbuhan tanaman pokok, dan pemilihan jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi tapak aktual, serta usaha peningkatan produktivitas tanaman rehabilitasi berupa penambahan hara tanah yang tepat, ameliorasi dan pemanfaatan mikroba tanah.

9. Rehabilitasi lahan partisipatif yang melibatkan peran masyarakat setempat merupakan metode yang harus dijadikan target dalam semua kegiatan pemulihan fungsi hutan dan lahan pada semua tipe tapak (site).

10. Aspek kelembagaan, sosial ekonomi, dan kebijakan; aspek ini menjadi penentu dalam keberhasilan usaha pada aspek teknis rehabilitasi. Melalui penelitian tersebut diharapkan dapat menjadikan masyarakat sebagai subjek dalam rehabilitasi lahan dan sekaligus dapat menjadi aktor peningkatan ekonomi masyarakat dan sekaligus bisa mencapai pengelolaan hutan yang lestari. Pilar-pilar Pengelolaan Hutan Lestari adalah (1) itikad baik para pihak (nation goodwill), (2) Kelembagaan yang tepat (proper institution), (3) penegakan hukum (law enforcement), (4) tatakelola yang baik (good governance) dan (5) Ilmu, pengetahuan, SDM dan dana pendukung.

42 BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013

BPK Banjarbaru menerima kunjungan dari Perhimpunan Alumni Hannseidel Indonesia (PAHSI), pada tanggal 22 Februari 2013. Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian agenda kegiatan Temu Alumni Hannseidel Indonesia.

“Kunjungan ini adalah satu kehormatan bagi kami, untuk menunjukkan hasil-hasil litbang BPK Banjarbaru, “kata Ir. Tjuk Sasmito Hadi, MSc., Kepala Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru.

Kunjungan ini diikuti oleh 22 orang dari Pahsi yang daiwali dengan sambutan dari Kepala BPK Banjarbaru, dan dilanjutkan dengan sambutan dari Resident Representative Hanns Seidel Foundation Indonesia, Bapak Dr. Ulrich Klingshirn. Sebagai kenangan-kenangan, Kepala BPK Banjarbaru memberikan cinderamata berupa souvenir khas BPK Banjarbaru serta beberapa publikasi. Tak lupa agar kunjungan ini lebih berkesan, para tamu dari Pahsi diminta untuk menanam masing-masing 1 pohon di Laboratorium Silvikultur BPK Banjarbaru.

Mereka semua sangat antusias walaupun tidak semua dari mereka berlatarbelakang kehutanan.BPK Banjarbaru juga tidak menyia-nyiakan moment ini untuk menyebarkan informasi hasil penelitian Balai. Setelah makan siang diselenggarakan diskusi

Diskusi Ilmiah dan Kunjungan Perhimpunan Alumni Hannseidel

Indonesia (PAHSI)

Ilmiah dengan tema Pengelolaan Hutan Rawa Gambut Terdegradasi. Salah satu pemateri yang mempresentasikan makalahnya adalah Ibu Tri Wira Yuwati, S.Hut, MSc dari BPK Banjarbaru yang menyampaikan tentang Teknik Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut (HRG) di Kalimantan Tengah. Secara teknis BPK Banjarbaru telah menguasai rehabiltasi HRG dari persemaian, penanaman dan jenis-jenis yang cocok untuk di kembangkan di HRG.

BERITA

43BEKANTAN Vol. I/No. 1/2013