BPJS EHK.docx

download BPJS EHK.docx

of 7

Transcript of BPJS EHK.docx

TUGAS ETIKA HUKUM KESEHATANISU-ISU TERKAIT PENYELENGGARAAN BPJS

Dosen Pembimbing : Mufdilah, S.SiT, M.Kes.Tugas ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Etika Hukum Kesehatan

Disusun Oleh :ARISKA DWI ANDARINIM 201210104081Kelas B

PROGRAM STUDI BIDAN PENDIDIK JENJANG DIPLOMA IVSEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATANAISYIYAH YOGYAKARTA2014

BADAN PENYELENGGARAAN JAMINAN SOSIAL (BPJS)

A. PengertianBadan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial (UU No 24 Tahun 2011).BPJS terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan.Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.

B. Dasar Hukum1. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Kesehatan;2. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2012 Tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan;4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan.

C. Isu-Isu terkait Penyelenggaraan BPJSPemerintah tampaknya berupaya keras untuk merampungkan rancangan peraturan perundang-undangan pelaksanaan UU BPJS yang mendukung beroperasinya BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014.Rapat antarkementerian dalam beberapa bulan ini sangat intensif dilakukan. Salah satu RPP yang dibahas secara serius dan mendalam adalah RPP tentang Pengelolaan Dan Pengmbangan Aset Dana Jaminan social Kesehatan Dan Aset BPJS Kesehatan. RPP ini merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 47 ayat (2) dan Pasal 50 ayat (2) UU SJSN serta Pasal 41 ayat (3), Pasal 43 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (2) UU BPJS. Pasal 47 ayat(1) UU SJSN mewajibkan BPJS untuk mengelola dan mengembangkan Dana Jaminan Sosial secara optimal dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana dan hasil yang memadai.Kemudian Pasal 50 ayat (1) UU SJSN mewajibkan BPJS membentuk cadangan teknis sesuai dengan standar praktek aktuaria yang lazim dan berlaku umum. Ketentuan lebih lanjut mengenanai tata cara pengelolaan dan pengembangan Dana Jaminan Sosial menurut Pasal 47 ayat (2) dan pembentukan cadangan teknis menurut Pasal 50 ayat (2) UU SJSN diatur dalam Peraturan Pemerintah. Selanjutnya, Pasal 41 ayat (3) UU BPJS menentukan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai sumber dan penggunaan aset BPJS diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 43 ayat (3) UU BPJS menetukan ketentuan lebih lanjut mengenai sumber dan penggunaan aset Dana Jaminan Sosial diatur dalam Peraturan Pemerintah.Sedangkan Pasal 45 ayat (2) UU BPJS menentukan ketentuan lebih lanjut mengenai persentase dana operasional yang diambil dari Dana Jaminan sosial diatur dalam Peraturan Pemerinah.Pendelegasian yang ditentukan dalam UU SJSN dan UU BPJS seperti tersebut diatas tidak selamanya mudah dipahami dan dimaknai secara sama oleh wakil-wakil kementerian atau instansi yang terlibat dalam penyusunan RPP.Masing-masing wakil kementerian atau instansi sering memberikan makna yang berbeda mengenai beberapa isu penting dalam penyususunan RPP ini. Tidak mengherankan jika dalam pembahasan terjadi diskusi yang tajam dan mendalam diantara anggota Panitia Antarkementerian.LIMA ISU KRUSIALSebagaian masalah dapat diselesaikan pada tingkat Panitia Antarkementerian, tetapi terdapat paling tidak 5 isu crusial yang belum berhasil disepakati, dan akan dibawa ke tingkat pembahasan yang lebih tinggi untuk diputuskan.

Lima isu krusial tersebut adalah:1. Pertama, tata cara pengalihan aset dan liabilitas PT Askes (Persero) ke BPJS Kesehatan dan PT Jamsostek (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan. Kedua PT (Persero) tersebut dibubarkan tanpa likuidasi sesuai dengan ketentuan Pasal 60 ayat (3) huruf a dan Pasal 62 ayat (2) huruf a UU BPJS.Kita belum mempunyai pengalaman mengalihkan aset dan liabilitas PT (Persero) yang dibubarkan tanpa likuidasi ke BPJS.Masalahnya bertambah rumit ketika UU menentukan bahwa aset salah satu sumber aset Dana Jaminan Sosial adalah hasil pengalihan aset program Jaminan Sosial yang menjadi hak Peserta dari BUMN yang menyelenggarakan program Jaminan sosial. Bagaimana prosedur pengalihannya dari BUMN mengingat tata kelola aset BUMN berbeda dengan tata kelola aset BPJS.2. Kedua, surplus dan defisit anggaran dalam pengelolaan Dana Jaminan Sosial. UU SJSN dan UU BPJS memberikan petunjuk yang bersifat umum dalam menghadapi surplus atau defisit anggaran BPJS. Pasal 4 huruf I UU SJSN dan UU BPJS menentukan hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta.Pertanyaannya ialah apakah surplus aset BPJS dapat digunakan untuk tujuan lain selain yang ditentukan dalam Pasal 41 ayat (2) UU BPJS? Atau dengan kata lain dapatkah aset BPJS digunakan untuk pembayaran manfaat atau pembiayaan layanan Jaminan Sosial? Sebab menurut Pasal 43 ayat (2) UUBPJS hal tersebut dibiayai dari Dana Saminan Sosial. Sebaliknya, dalam hal terjadi deficit anggran BPJS dan Dana Jaminan Sosial atau tingkat kesehatankeuangan BPJS terganggu apa yang seharusnya dilakukan.Demikian pula dalam hal terdapat kebijakan fiskal dan moneter yang mempengaruhi tingkat solvabilitas BPJS dan terjadi krisis keuangan dan kondisi tertentu yang memberatkan perekonomian, kebijakan khusus apa yang seharusnya dilakukan pemerintah untuk mejamin kelangsungan program Jaminan Sosial?UU BPJS memberikan jawaban yang sangat sumir.Dalam Penjelasan Pasal 56 ayat (3) antara lain dikemukakan: Tindakan khusus untuk menjaga kesehatan keuangan dan kesinambungan penyelenggaraan program Jaminan sosial antara lain berupa penyesuaian Manfaat/Iuran, dan/atau usia pensiun, sebagai upaya terakhir. Contoh tindakan khusus yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 56 ayat (3) UU BPJS tersebut merupakan tindakan terakhir. Artinya pemerintah harus mengupayakan terlebih dahulu tindakan lain yang dapat menjawab masalah secara tepat, efektif dan efisien sebelum melakukan tindakan terakhir.Perbedaan pandangan mengenai isu ini masih tajam, sehingga belum dapat diambil keputusan. Diharapkan masalah ini segera dapat disepakati dalam forum pembahasan yang lebih tinggi.3. Ketiga, pengesahan laporan pertanggungjawaban BPJS.Pasal 37 ayat (1) UU BPJS mewajbkan BPJS menyampaikan laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN paling lambat taggal 30 Juni tahun berikutnya.Tetapi UU BPJS tidak mengatur secara jelas apakah kewajiban tersebut secara implisit mengandung makna bahwa Presiden berwenang menyatakan menerima atau menolak pertanggungjawaban BPJS tersebut? atau Presiden dapat menunjuk pejabat lain untuk melaksanakan kewenangan tersebut.Hal ini penting untuk memastikan diterima atau tidaknya laporan pertanggungjawaban BPJS. Termasuk pembebasan Direksi BPJS dari tanggung jawab (acquit et de charge) yang sangat penting artinya bagi Direksi BPJS dalam menjalankan tugas selanjutnya.4. Keempat, pembatasan pengembangan aset BPJS.Isu berikutnya yang cukup menyita perhatian ialah apakah pengembangan aset BPJS perlu dibatasi atau tidak?Pembatasan pengembangan aset BPJS dapat berdampak pada menurunnya gairah pelaksanaan kebijakan investasi aset BPJS ketika mencapai titik tertentu. Sebaliknya jika tidak dibatasi dikawatirkan membengkanya invesatasi aset BPJS mengakibatkan BPJS terbelah fokusnya dalam melaksanakan tugas pokoknya menyelenggrakan program Jaminan Sosial.Persoalannya ialah bagaimana mencari keseimbangan antara pengembangan aset BPJS dan pelaksanaan tugas pokok BPJS memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada Peserta.5. Kelima, penyertaan langsung.Diskusi tentang boleh tidaknya investasi dalam bentuk penyertaan langsung tidak kalah hanyatnya degan 4 isu lainnya.UU BPJS memang tidak secara eksplisit melarang atau membolehkannya. UU BPJS hanya menentukan kewenangan BPJS untuk menempatkan investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai.Investasi Dana Jaminan Social Kesehatan khususnya harus mempertimbangkan secara serius likuiditas dana, karenaindanoutdana berlangsung dalam jangka pendek untuk memberikan manfaat kepada Peserta.3 opsi yang ditawarkan dalam memecahkan masalah ini patut dipertimbangkan, yaitu:a. Melarang penyertaaan langsung;b. Membolehkan dengan persyaratan;atauc. Membolehkan dengan memeperhatikan aspek yang harus dipertimbangkan dalam melakukan investasi sebagaimana ditentukan dalam UU.Kelima masalah crusial tersebut diharapkan segera dapat dicarikan jalan keluarnya, agar RPP ini dapat segera dirampungkan. Selain RPP ini, RPP yang sejenis untuk mendukung beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan juga mendesak untuk dibuat.Tanggal 1 Januari 2014 sudah semakin dekat,sudah waktunya bagi regulator untuk mempercepat langkahnya agar tidak semakin jauh tertinggal.