BP anak
-
Upload
rezkyemerald -
Category
Documents
-
view
218 -
download
1
description
Transcript of BP anak
BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS
PASIEN
Nama : An. M.F
Tanggal lahir : 14 September 2011
Usia : 3 tahun 4 bulan
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pendidikan : Belum sekolah
Agama : Islam
Alamat : Johar Baru, Jakarta Pusat
Suku Bangsa : Jawa
No. Rekam Medik : 38-10-80
Tanggal Masuk RS : 18 Januari 2015
ORANG TUA
Data Orang Tua Ayah – Tn.B Ibu – Ny.H
Umur sekarang 28 tahun 26 tahun
Perkawinan ke 1 1
Umur saat menikah 22 tahun 20 tahun
Pendidikan terakhir SMA SMA
Pekerjaan Buruh Ibu rumah tangga,
usaha sampingan
berjualan
Penghasilan 2-3 juta perbulan 300-700 ribu perbulan
Agama Islam Islam
Suka bangsa Jawa Jawa
Keadaan kesehatan Sehat Sehat
Kosanguitas - -
1
Hubungan pasien dengan orang tua adalah anak kandung.
II. ANAMNESIS
Didapatkan keterangan melalui alloanamnesis dengan ayah dan ibu pasien pada
hari Senin tanggal 19 Januari 2015 pukul 07.00 WIB (hari ke-1 perawatan).
KELUHAN UTAMA
Sesak
KELUHAN TAMBAHAN
Demam
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
2 hari SMRS pasien mengalami batuk dan pilek. Batuk dirasa muncul
kadang-kadang. Batuk pasien berdahak dan dahak berwarna putih, terdapat
busa dan lendir. Tidak ada demam, tidak ada kejang, tidak ada sesak nafas.
Keluhan batuk pilek belum diobati.
1 hari SMRS batuk pilek dirasakan semakin memberat dan disertai dengan
demam. Ibu pasien mengukur suhu pasien di ketiak dan didapatkan suhu tubuh
39,00C. Demam terus-menerus, tidak terdapat keringat malam, dan tidak
menggigil. Pasien diberi obat penurun panas 3 kali sehari, panas turun setiap
setelah minum obat. Tidak terdapat kejang, mimisan, ataupun gusi berdarah.
Buang air besar dan buang air kecil pasien dalam batas normal. Tidak ada
sesak nafas.
1 jam sebelum masuk rumah sakit, pasien tampak sesak. Pasien tampak sesak
secara terus-menerus dan makin bertambah parah. Napas pasien terlihat cepat
dan berbunyi. Masih ada demam, batuk dan pilek.
2
Pasien juga terlihat lebih tidak aktif dari biasanya. Dalam keluarga pasien,
tidak ada yang memiliki riwayat alergi ataupun asma, serta tidak ada yang
memiliki keluhan serupa dengan pasien. Tidak ada orang sekitar yang
memiliki riwayat batuk lama. Ayah pasien adalah seorang perokok, merokok
kurang lebih 1 bungkus perhari.
.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Tidak ada
RIWAYAT KEHAMILAN
Selama mengandung pasien, ibu pasien tidak pernah mengalami
demam, keputihan, perdarahan, dan penyakit tertentu lainnya seperti TORCH,
serta tidak mengonsumsi obat-obatan selain vitamin dan tablet penambah
darah yang diberikan oleh dokter. Ibu pasien melakukan pemeriksaan
kehamilan secara rutin di rumah sakit 1 bulan sekali.
RIWAYAT KELAHIRAN
Tempat kelahiran : klinik bidan
Ditolong oleh : Bidan
Cara persalinan : Normal pervaginam
3
2 hari sebelum masuk rumah sakit pasien
mengalami batuk dan pilek. demam(-), kejang(-), sesak
nafas(-). Keluhan batuk pilek belum
diobati
1 hari sebelum masuk rumah sakit batuk
pilek semakin memberat. Pasien
demam dan diberikan
paracetamol 3x1. kejang(-), kejang(-)
1 jam sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami sesak nafas
Masa gestasi : Cukup bulan (39 minggu)
Keadaan bayi setelah lahir : Langsung menangis, kulit berwarna merah,
gerakan aktif, tidak biru, dan tidak kuning.
Berat badan lahir : 3200 gr
Panjang badan lahir : 50 cm
Kelainan bawaan : tidak ada
RIWAYAT TUMBUH KEMBANG
oPertumbuhan gigi pertama : 6 – 7 bulan
oPsikomotor
Menegakkan kepala : 2 bulan
Membalik badan : 3 bulan
Duduk : 6 bulan
Merangkak : 8 bulan
Berdiri : 11 bulan
Berjalan : 13 bulan
Bicara : 13 bulan
*Kesan: perkembangan sesuai usia anak
RIWAYAT MAKANAN
Usia (bulan) ASI/PASI Buah/Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
0-6 ASI
6 - <8 ASI Biskuit Milna
8 - <10 Susu
Formula
Pisang dan
biskuit Milna
Bubur Susu Nasi Tim
10-12 Susu
Formula
Pisang dan
biskuit Milna
Bubur Susu Nasi Tim
Jenis Makanan Frekuensi dan Jumlah
Nasi / pengganti
Sayur
Setiap hari, @3x/hari @2 centong nasi/x
Setiap hari, @3x/hari @1 sendok sayur/x
4
Daging
Telur
Ikan
Tahu
Tempe
Susu
2-3x/minggu, @2x/hari @1potong sedang/x
3x/minggu, @2x/hari @1 butir/x
2x/minggu, @2x/hari @1 potong sedang/x
3-4x/minggu, @2x/hari @1 potong sedang/x
3-4x/minggu, @2x/hari @1 potong sedang/x
Setiap hari, @2x/hari @1 gelas belimbing/x
Kesan : asupan makanan baik
RIWAYAT IMUNISASI
BCG Saat lahir
DPT/Td Usia 2 bulan Usia 5 bulan
Usia 7 bulan
Usia 18 bulan
Polio Saat lahir Usia 2 bulan
Usia 5 bulan
Usia 7 bulan
Usia 18 bulan
Campak Usia 9 bulan
Hepatitis B Saat lahir Usia 1 bulan
Usia 5 bulan
Lainnya MMR usia 18 bulan
Kesan imunisasi dasar : Imunisasi dasar lengkap
Kesan imunisasi ulangan : Imunisasi ulangan lengkap sesuai usia
RIWAYAT KELUARGA
oCorak reproduksi ibu/keadaan anak
P2A0
No Tanggal Lahir
(umur)
Jenis
Kelamin
Hidup Lahir
Mati
Abortus Keterangan
1 3 tahun 4 bulan Laki-laki √ - - Pasien
2 1 tahun 5 bulan Perempuan √ - - Saudara
oMasalah dalam keluarga
5
Tidak ada masalah dalam keluarga
oRumah milik
Rumah milik sendiri
oKeadaan rumah
Setiap ruangan memiliki celah ventilasi dan mendapat pencahayaan
yang cukup pada siang hari melalui jendela. Kamar mandi
menggunakan kloset jongkok dan bak mandi dikuras setiap minggu.
Rumah disapu dan dipel setiap hari. Sampah dibuang ke tong sampah
di depan rumah setiap hari dan diangkut oleh petugas kebersihan. Air
yang digunakan sehari-hari adalah air PAM.
oKeadaan lingkungan rumah
Rumah berada di dalam kompleks perumahan yang cukup padat,
terdapat saluran air yang cukup besar dan tidak tersumbat, tempat
pembuangan sampah tertutup. Rumah antar tetangga berdempetan.
Lokasi tidak dekat dengan pasar ataupun tempat pembuangan akhir.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan tanggal : 19 Januari 2015 pukul 07.00 (hari pertama perawatan)
oKeadaan umum : Tampak sakit sedang
oKesadaran : Compos Mentis
oTanda-tanda Vital
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Nadi : 112 x/menit, isi cukup, irama reguler,
ekual di keempat ekstremitas
Pernafasan : 34 x/menit
Suhu : 38,5C (per axilla)
Antropometri :
Berat badan : 15,5 kg
Tinggi badan : 96 cm
6
Lingkar kepala : 51 cm
Status gizi
Berdasarkan tabel WHO
BB terhadap Umur : -2 - 2 z score (normal)
TB terhadap Umur : -2 - 2 z score (normal)
BB terhadap TB : -2 - 2 z score (normal)
Status Generalis
Kepala
oUUB : Sudah menutup
oBentuk : bulat, simetris
oRambut : hitam, lurus, tidak mudah dicabut
oMata : edema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), kornea jernih, refleks cahaya (+/+), pupil isokor, kotoran
mata (-/-)
oTelinga : bentuk normal, simetris, liang lapang, serumen (-/-)
oHidung : bentuk normal, deviasi septum (-), pernafasan cuping
hidung (+), sekret (-)
oMulut : bibir tidak kering, sianosis (-), lidah tidak kotor, faring
tidak hiperemis, tonsil T1-T1 tidak hiperemis, koplik spot (-)
Leher : Tidak ada kelainan bentuk leher, kelenjar getah bening
tidak teraba. Trakea berada di tengah, tidak ada deviasi. Tidak teraba massa
lainnya.
Thoraks : Bentuk normochest, tidak ada venektasi, tidak ada
sikatriks, tidak terlihat massa maupun diskolorasi. Pergerakan dada simetris
saat statis dan dinamis. Terdapat retraksi suprasternal, sela iga dan retraksi
epigastrium.
7
Paru
Depan Belakang
Inspeksi Kiri Pergerakan dada simetris Pergerakan dada simetris
Kanan Pergerakan dada simetris Pergerakan dada simetris
Palpasi Dalam batas normal Dalam batas normal
Perkusi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Auskultasi Kiri - Suara vesikuler
- Wheezing ( - ), Ronki basah
halus ( + ) di basal
- Suara vesikuler
- Wheezing ( - ), Ronki basah
halus ( + ) di basal
Kanan - Suara vesikuler
- Wheezing ( - ), Ronki basah
halus ( + ) di basal
- Suara vesikuler
- Wheezing ( - ), Ronki basah
halus ( + ) di basal
Jantung
o Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
oPalpasi : iktus kordis teraba sela iga IV garis midklavikula sinistra, kuat
angkat, thrill tidak ada
oPerkusi : tidak dilakukan
oAuskultasi : bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
o Inspeksi : datar, tidak ada lesi, tidak terlihat penonjolan massa
oPalpasi :
Dinding perut : supel
Hati : hepar teraba 1 cm di bawah arcus costae
dextra, tepi tajam, permukaan rata, konsistensi kenyal
Limpa : tidak teraba pembesaran
Ginjal : tidak teraba, ballottement (-)
8
oPerkusi : timpani pada seluruh lapang abdomen
oAuskultasi : bising usus normal
Anus
Tidak diperiksa
Alat kelamin Laki-laki
Tidak diperiksa
Ekstremitas
Ekstremitas superior dan inferior, sinistra dan dekstra tidak tampak
deformitas, akral teraba hangat, gerakan aktif dan tidak terbatas, eutrofi,
normotonus, tidak ditemukan adanya edema ataupun sianosis, tidak ada jari
tabuh, turgor kulit baik, capillary refill time < 2 detik.
Refleks Fisiologis :
Refleks biseps : +/+ Refleks patella : +/+
Refleks triseps : +/+ Refleks Achilles : +/+
Refleks Patologis :
Refleks Babinski : -/-
Refleks Brudzinsky I : -/-
Refleks Brudzinsky II : -/-
Refleks Gordon : -/-
Refleks Hoffman Tromer : -/-
Refleks Chadock : -/-
Refleks Schaffer : -/-
Refleks Hoffenheim : -/-
Rangsang Meningeal :
Kaku kuduk : - Lasegue : -
Kernig : -
9
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium Darah
Jenis Pemeriksaan 18-1-2015 Nilai Rujukan
Hematologi Rutin
Hemoglobin
Hematokrit
Eritrosit
Leukosit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
10,6
32
5.0
19.830
439.000
63
21
33
11,0 – 13,0 g/dL
34 - 39%
3,9– 5,0 juta/μL
5500 – 15500 /μL
250000 – 550000 /μL
75 – 87 fL
24 – 30 pg
31 – 37 g/dL
Foto Thorax (18-1-2015)
Jantung, kesan tidak membesar
Aorta dan mediastinum superior tidak melebar
Trakea di tengah
Kedua hilus tidak menebal
Corakan bronkovascular kedua paru kasar
Tidak Tampak infiltrat
Sinus kostofrenikus dan diafragma baik
Tulang-tulang intak
KESAN:
Corakan bronkovascular kedua paru kasar DD/
Bronkhitis
Tak tampak infiltrat di kedua paru
V. RESUME
Pasien An. M.F, laki-laki, usia 3 tahun 4 bulan, BB = 15,5 kg, datang dengan keluhan
sesak sejak 1 jam SMRS dan disertai dengan batuk pilek ± 2 hari SMRS. Pasien batuk
berdahak dan dahak berwarna putih, terdapat busa dan lendir. 1 hari sebelum masuk
10
rumah sakit, batuk pilek dirasakan semakin lama semakin berat dan semakin sering
frekuensi batuknya, disertai dengan demam diukur 39,00C.
Pemeriksaan Fisik
Tampak sakit sedang / compos mentis
Tanda vital :
Laju nadi = 112x/menit
Laju nafas = 34x/menit
Suhu = 38,50C
Hidung : terdapat nafas cuping hidung
Thorax : Terdapat retraksi suprasternal, sela iga dan retraksi epigastrium
Paru :
Auskultasi :
ronkhi basah halus ada pada basal kedua lapang paru
Pemeriksaan Penunjang
Hematologi (18 Januari 2015)
Hasil Laboratorium Nilai normal
Hemoglobin 10,6 11,0-13,0 g/dl
Hematokrit 32 34-39%
Leukosit 19.800/ul 5500-15.500/ul
MCV 63 75-87 fL
MCH 21 24-30 g/dL
Hasil Rontgen Thorax (18 Januari 2015)
11
Pulmo : corakan bronkovascular kedua paru kasar
Kesan : corakan bronkovascular kedua paru kasar DD/ Bronkhitis
VI. DIAGNOSIS BANDING
1. Pneumonia
Pneumonia lobaris
Pneumonia lobularis (bronkopneumonia)
Pneumonia interstitialis (bronchiolitis)
2. Bronkitis
3. Asma
VII. DIAGNOSIS KERJA
Bronkopneumonia dengan anemia mikrositik hipokrom
VIII. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa :
o IVFD D5 ¼ Saline 1250 cc/24 jam
o Inj Cefotaxime 3 x 500mg IV tidak perlu skin test
oParasetamol syrup 3 x 180 mg PO (jika perlu)
12
oPuyer (3x1 pulperes)
Ambroxol 8 mg
chlorpheniramine maleate 1,5 mg
salbutamol 1 mg
metil prednisolon 2 mg
o Inhalasi 3x / hari
Berotec(Fenoterol hidrobromida) : atrovent(Ipatropium
Bromida) : NaCl 0,9 %
Non Medikamentosa :
oOksigen 3 Lpm
oDiet biasa 1100 kcal
Edukasi :
oMengajarkan cara cuci tangan yang baik dan benar kepada pasien dan
orangtua pasien.
oKontrol setelah pasien boleh pulang dari rumah sakit.
oMenyarankan agar menjaga kebersihan rumah serta menyarankan ayah
pasien untuk tidak merokok di dalam rumah.
IX. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
13
X. FOLLOW UP
Tanggal 19 Januari 2015(pukul 15.00)
Tanggal 20 Januari 2015(pukul 07.00)
S Orangtua pasien mengatakan anaknya demam sejak semalam, batuk pilek dan sesak nafas sehingga sulit tidur, pasien mengeluh perut terasa sakit.
Pasien mengatakan tidak ada keluhan selain batuk dan pilek, namun batuk tidak berdahak. Nafsu makan sudah baik, mual muntah tidak ada. Demam tadi malam disangkal.
O Keadaan umum/Kesadaran : Tampak sakit sedang/ComposmentisStatus mental : tenangTanda-tanda vital :
HR: 117 x/menitSuhu : 37,90CRR : 28 x/menitTD : 110/80 mmHg
Kepala : normocephal, rambut warna hitam, terdistribusi merata, tidak mudah dicabutMata :tidak ada edema palpebra, konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, pupil bulat, isokorTelinga : sekret -/-Hidung : nafas cuping hidung (-)Mulut: mukosa bibir lembabLeher : KGB tidak terabaThorax :Pergerakan dada simetris saat statis dan dinamis,purpura (-) Fokal vremitus dan vremitus taktil kanan sama dengan kiri, perkusi sonor pada seluruh lapang paru, SN Vesikuler, Rhonki (-/-), Wheezing(-/-)
Abdomen : supel, nyeri tekan (-) BU (+) purpura (-)
Ekstremitas : akral hangat,tidak ada sianosis, tidak ada edema, tidak ada clubbing finger, purpura (-)
Keadaan umum/Kesadaran : Tampak sakit ringan/ComposmentisStatus mental : tenangTanda-tanda vital :
HR: 105 x/menitSuhu : 36,60CRR : 23 x/menitTD : 100/70 mmHg
Kepala : normocephal, rambut warna hitam, terdistribusi merata, tidak mudah dicabutMata : tidak ada edema palpebra, konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, pupil bulat, isokorTelinga : sekret -/-Hidung : nafas cuping hidung (-)Mulut: mukosa bibir lembabLeher : KGB tidak terabaThorax :Pergerakan dada simetris saat statis dan dinamis, purpura (-)Fokal vremitus dan vremitus taktil kanan sama dengan kiri, perkusi sonor pada seluruh lapang paru , SN Vesikuler, Rhonki (-/-), Wheezing(-/-).
Abdomen : supel, nyeri tekan (-) BU (+) normal purpura (-)
Ekstremitas : akral hangat,tidak ada sianosis, tidak ada edema, tidak ada clubbing finger. Purpura (-)
A Bronkopneumonia bronkopneumonia
P IVFD D5 ¼ Saline 1250 cc/24 jam
Inj Cefotaxime 3 x 500mg IV tidak
perlu skin test
Parasetamol syrup 3 x 180 mg PO
Inj. Cefotaxime 3x500 mg IV
Puyer (3x1 pulperes)
Ambroxol 8 mg
chlorpheniramine maleate
14
(jika perlu)
Puyer (3x1 pulperes)
Ambroxol 8 mg
chlorpheniramine maleate 1,5
mg
salbutamol 1 mg
metil prednisolon 2 mg
Inhalasi 3x / hari
Berotec : atrovent : NaCl 0,9 %
Oksigen 3 Lpm
Diet biasa 1100 kcal
1,5 mg
salbutamol 1 mg
metil prednisolon 2 mg
Inhalasi 3x / hari
Berotec : atrovent : NaCl 0,9 %
Oksigen 3 Lpm
Diet biasa 1100 kcal
Cek darah lengkap, diff count
Bisa berobat jalan
Cefixime 2 x 60 mg P.O
Cetirizine 1 x 5mg P.O
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Pneumonia
II.1.1 Pendahuluan
Pneumonia merupakan salah satu kasus yang sering ditemui di Instalasi Gawat Darurat (IGD)
dan pada pelayanan primer. Pneumonia pada anak-anak memiliki morbiditas dan mortalitias
yang signifikan terutama pada Negara-negara berkembang, walaupun angka kejadian
terjadinya pneumonia telah berkurang sejak diperkenalkannya vaksin dan antimikroba baru,
serta bertambah canggihnya teknik diagnosa dan monitoring.3
II.1.2 Definisi
Pneumonia masih merupakan sebuah kondisi yang menantang untuk didiagnosa secara
akurat. Oleh karena itu, belum ada definisi tunggal yang benar-benar bisa menggambarkan
pneumonia pada anak. Pneumonia didefinisikan sebagai infeksi saluran pernapasan bawah
yang biasanya diasosiasikan dengan demam, gejala respiratori, dan bukti adanya keterlibatan
parenkim paru yang dibuktikan baik dengan pemeriksaan fisik ataupun foto rontgen toraks.
Secara patologis, pneumonia merepresentasikan adanya proses inflamasi di paru-paru,
termasuk jalan napas, alveoli, jaringan ikat, pleura viseral, dan pembuluh darah. Secara
radiografis, pneumonia didefinisikan sebagai adanya infiltrat pada foto rontgen toraks pada
anak-anak yang disertai dengan gejala pernapasan akut.4
II.1.3 Epidemiologi
Insidensi pneumonia bervariasi berdasarkan rentang usia dan antara Negara maju dan Negara
berkembang. Secara global, angka kejadian per tahunnya untuk pneumonia pada anak di
bawah usia 5 tahun adalah 150 juta sampai 156 juta kasus, di mana diestimasikan terjadi 2
juta kematian akibat pneumonia yang terutama terjadi di Negara berkembang. Empat puluh
persen kasus membutuhkan rawat inap. Di Negara berkembang, angka kejadian pneumonia
per tahunnya diperkirakan mencapai 33 kasus per 10.000 anak-anak berusia di bawah 5 tahun
dan 14.5 per 10.000 anak-anak berusia antara 0 – 16 tahun. Berdasarkan WHO, pneumonia
adalah penyebab kematian tunggal pada anak secara mendunia, dengan angka kematian per
tahunnya sekitar 1,2 juta anak di bawah 5 tahun. Hal tersebut mencakup 18% total kematian
16
pada anak-anak di bawah 5 tahun. Pada Negara-negara tropis, puncak infeksi pernapasan
terjadi secara sporadis tiap tahunnya.2
Penyebab kematian pada umur 1-4 tahun.6
Tabel 1. Faktor Resiko Pneumonia pada Anak dan Neonatus
17
II.1.4 Etiologi
Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dan
kekhasan pneumonia pada anak, terutama spektrum etiologi, gabaran klinis, dan strategi
pengobatan.
Tabel 2. Penyebab Pneumonia Berdasarkan Umur
II.1.5 Klasifikasi
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan pada
umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah
membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara
klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan. 5
a. Berdasarkan lokasi lesi di paru
Pneumonia lobaris
Pneumonia lobularis (bronkopneumoni)
Pneumonia interstitialis (bronchiolitis)
b. Berdasarkan asal infeksi
Pneumonia yang didapat dari masyarkat (community acquired
pneumonia = CAP)
Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia)
c. Berdasarkan mikroorganisme penyebab
Pneumonia bakteri
18
Pneumonia virus
Pneumonia mikoplasma
Pneumonia jamur
d. Berdasarkan karakteristik penyakit
Pneumonia tipikal
Pneumonia atipikal
e. Berdasarkan lama penyakit
Pneumonia akut
Pneumonia persisten
Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Lingkungan dan Pejamu
Tipe Klinis Epidemiologi
Pneumonia Komunitas Sporadis atau endemic; muda atau orang
tua
Pneumonia Nosokomial Didahului perawatan di RS
Pneumonia Rekurens Terdapat dasar penyakt paru kronik
Pneumonia Aspirasi Alkoholik, usia tua
Pneumonia pada gangguan imun Pada pasien transplantasi, onkologi, AIDS
Tabel 3. Klasifikasi Berdasarkan Lingkungan dan Penjamu
II.1.6 Patogenesis
Saluran pernapasan bagian bawah secara normal dijaga agar tetap steril oleh mekanisme
pertahanan fisiologis, termasuk sistem mukosiliari, sekresi Immunoglobulin A (IgA), dan
mekanisme pembersihan jalan napas dengan batuk. Mekanisme pertahanan imunologis dari
paru yang membatasi invasi organisme patologis termasuk makrofag yang ada di alveoli dan
bronkioli, sekresi IgA, dan immunoglobulin lainnya.6
19
Pneumonia akibat infeksi virus biasanya berasal dari infeksi sepanjang jalan napas, diikuti
dengan perusakan langsung dari epitel respirasi, yang menyebabkan obstruksi jalan napas,
sekresi abnormal, dan debris selular. Diameter jalan napas yang sempit pada anak-anak
menyebabkan anak-anak lebih mudah untuk menderita infeksi yang parah. Ateletaksis, edema
interstitial, dan ketidakcocokan ventilasi-perfusi menyebabkan hipoksemia yang signifikan
yang terjadi bersama-sama dengan obstruksi saluran napas. Infeksi virus pada saluran
pernapasan menyebabkan infeksi bakteri secara sekunder disebabkan oleh terganggunya
mekanisme pertahanan host normal, terganggunya sekresi, dan modifikasi flora bakterial.2,3,6
Saat terjadi infeksi bakteri pada parenkim paru, terjadi proses patologik yang bergantung
pada organisme yang menginvasi. M. pneumoniae menempel pada epitel respirasi,
menghambat kerja silia, dan menyebabkan perusakan sel dan respon inflamasi di submukosa.
Seiring perjalanan infeksi, debris seluler yang luruh, sel-sel inflamatorik, dan mukus
menyebabkan obstruksi jalan napas dengan penyebaran infeksi sepanjang pohon bronkial,
sebagaimana pada pneumonia viral. S.pneumoniae menyebabkan edema local yang
menyebabkan proliferasi organisme dan menyebar ke jaringan paru sekitarnya, sehingga
seringkali memiliki karakteristik keterlibatan lobus fokal paru. Infeksi Grup A Streptococcus
menyebabkan infeksi yang lebih difus, sehingga memberikan hambaran pneumonia
interstitial. Patologinya termasuk nekrosis mukosa pohon bronkial, pembentukan eksudat
yang banyak, edema, dan perdarahan local, dengan perluasan ke septum interalveolar dan
keterlibatan pembuluh limfe dan meningkatkan kemungkinan terlibatnya pleura. S. aureus
pneumonia bermanifestasi sebagai bronkopneumonia, yang seringkali unilateral dengan ciri
khas adanya area yang luas dari nekrosis hemoragik dan kavitasi ireguler pada parenkim
paru, yang dapat menyebabkan pneumatokel, empyema, dan fistula bronkupulmoner. Setelah
itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat
stadium, yaitu :
Stadium I/Hiperemia (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Pada stadium I, disebut hyperemia karena mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran
darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan
mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera
jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel
mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan
20
prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium
sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di
antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.7
Stadium II/Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya)
Pada stadium II, disebut hepatisasi merah karena terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit,
eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar,
pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah
sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.7
Stadium III/Hepatisasi Kelabu (3 – 8 hari)
Pada stadium III/hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang
cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai di
reabsorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi
pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.7
Stadium IV/Resolusi (7 – 11 hari)
Pada stadium IV/resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa
sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorpsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke
strukturnya semula.7
II.1.7 Manifestasi Klinis
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar dari ringan hingga sedang.
Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam kehidupan, dan mungkin terjadi komplikasi
sehingga perlu dirawat.
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa
hari. Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung berat ringannya infeksi,
tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
21
a. Gambaran infeksi umum :
- Demam suhu bisa mencapai 39-40oC dan kadang dapat juga disertai
dengan kejang akibat demam yang tinggi.
- Sakit kepala
- Gelisah
- Malaise
- Penurunan nafsu makan
- Keluhan gastrointestinal mual, muntah, diare
b. Gambaran gangguan respiratori:
- Batuk awalnya kering kemudian menjadi produktif
- Sesak nafas
- Retraksi dada
- Takipnea
- Napas cuping hidung
- Penggunaan otat pernafasan tambahan
- Air hunger
- Sianosis
- Merintih
Pada pemeriksaan fisik bronkopneumonia tergantung dari luasnya daerah yang terkena.
Inspeksi dapat terlihat nafas cuping hidung, sianosis sekitar hidung dan mulut, retraksi dada.
WHO menggunakan takinpea dan adanya retraksi untuk mendiagnosa pneumonia secara
efektif pada anak dengan usia di bawah 5 tahun, namun takipnea akan semakin menjadi tidak
spesifik dan sensitif pada anak berusia lebih dari 5 tahun. Pada perkusi toraks sering tidak
ditemukan kelainan. Tetapi kadang dapat juga bunyi pekak saat perkusi atau bila sarang
bronkopneumonia menjadi satu (konfluens) mungkin pada perkusi ditemukan bunyi redup
dan suara nafas mengeras saat auskultasi.
Saat auskultasi terdapat ronki basah halus, mengi dan penurunan suara nafas. Tetapi ronki
dan mengi sukar dilokalisasi sumbernya dari suara yang kebetulan pada anak yang amat
muda dengan dada hipersonor.5,8
II.1.8 Diagnosis 2,3,8
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
22
a. Anamnesis terhadap manifestasi klinis yang umumnya dijumpai pada anak dengan
pneumonia
b. Temuan pemeriksaan fisik yang sesuai
c. Pemeriksaan penunjang seperti :
1) Darah Lengkap dan Hitung Jenis
Leukositosis berkisar antara 15.000-40.000/mm3 , dengan predominan PMN.
Leukopenia menunjukan prognosis buruk. Secara klasik, leukositosis hebat (>
30.000/mm3) hampir selalu menunjukan adanya infeksi bakteri, sering
ditemukan pada keadaan bakteriemi, dan resiko terjadi komplikasi lebih tinggi,
namun menurut Gereige, R.S. dan Laufer, P.M., pemeriksaan darah lengkap
berikut dengan hitung jenis tidak dapat membedakan infeksi dari bakteri, virus,
ataupun bakteri atipikal, terutama bagi pasien-pasien rawat jalan. Pemeriksaan
darah lengkap dan hitung jenis biasanya hanya diindikasikan pada pasien-pasien
dengan kriteria rawat inap. Eosinofilia perifer dapat menunjukkan adanya
infeksi Chlamydia trachomatis.
Kadang terdapat anemia ringan dan LED meningkat. Secara umum hasil
pemeriksaan darah perifer lengkap dan LED tidak dapat membedakan antara
infeksi virus dan bakteri secara pasti.
2) C-reactive Protein
Suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai respon infeksi
atau inflamasi jaringan.
3) Rontgen Toraks
Posisi AP. Gambaran difus merata pada kedua paru berupa bercak infiltrat yang
dapat meluas hingga daerah perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan
peribronkial. Dapat pula ditemukan infiltrat lobaris yang biasanya berasosiasi
dengan pneumonia akibat infeksi virus, aspirasi, dan sumbatan mukus yang
menyebabkan ateletaksis.
4) Uji Serologis
Deteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik mempunyai sensitivitas
dan spesifisitas yang rendah. Tetapi diagnosis infeksi Streptokokus grup A
dapat dikonfirmasi dengan peningkatan titer antibodi seperti antistreptolisin O,
streptotozim.
Selain itu, pemeriksaan rapid test dari swab nasofaring dapat berguna untuk
mendeteksi infeksi virus pada pasien baik rawat jalan maupun rawat inap dalam
23
hal perlu-tidaknya terapi antibiotik12. Rapid test yang tersedia sampai saat ini
adalah untuk RSV, virus influenza, virus parainfluenza, adenovirus,
Mycoplasma pneumoniae, Bordetella pertusis, coronavirus, dan picornavirus.
5) Pemeriksaan Mikrobiologis
6) Saturasi Oksigen
II.1.9 Diagnosis Banding
Saat seorang klinisi dihadapkan pada anak yang datang dengan manifestasi klinis demam,
takipnea, batuk, distres pernapasan, dan infiltrate pada foto toraks, maka diagnosis
pneumonia sangatlah mungkin. Namun, diagnosis lain tetap harus dipertimbangkan.
Pada neonatus dengan distres pernapasan perlu disingkirkan kelainan anatomis kongenital
pada sistem kardiopulmoner seperti fistula trakeoesofageal, penyakit jantung bawaan, dan
sepsis. Pada infant dan anak usia muda, aspirasi benda asing, bronkiolitis, gagal jantung,
sepsis, dan asidosis metabolik dapat datang dengan gejala takipnea. Dalam kasus tersebut,
anamnesis yang baik dan pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang radiologis dapat
membedakannya dengan pneumonia. Perlu diingat juga pada remaja dan dewasa muda,
sindroma Lemierre (jugular vein suppurative thrombophlebitis) harus dipertimbangkan.
Sindroma Lemierre biasanya disebabkan oleh Fusobacterium yang menginfeksi sarung
pembuluh karotis dan menyebar ke jaringan paru-paru dan mediastinum. Anak yang dapat
dengan distres pernapasan dan mengi, masih dapat didiagnosa sebagai CAP (Community
Acquired Pneumonia), namun mengi yang dialami pertama kali dapat mengarah pada
diagnosis asma. Keadaan lain yang dapat menyerupai pneumonia ditampilkan pada tabel 4.
24
Tabel 4. Diagnosa Banding Pneumonia
II.1.10 Tatalaksana 2,3,9
Terapi pneumonia berbeda antara pasien rawat jalan dan pasien rawat inap. Secara garis
besar, terapi simptomatik seperti antipiretik, suction, dan hidrasi diberikan sesuai kebutuhan.
Pemberian mukolitik dan antitusif tidak pada tempatnya pada pneumonia.
Pada pasien dengan diagnosa pneumonia, terapi antibiotik empirik dapat digunakan. Regimen
antibiotik empirik pada pasien rawat jalan dan pasien rawat inap disajikan pada tabel 5.
Tabel 5. Pilihan Antibiotik Empirik Pneumonia
Pada pasien rawat inap, setelah diketahui dengan pasti bakteri patogen penyebab dari hasil
kultur darah ataupun cairan pleura, terapi antibiotik spesifik untuk organisme penyebab dapat
segera dimulai. Antibiotic dapat diberikan secara intravena ataupun secara oral, selama 7 – 10
hari.
25
Tabel 6. Pilihan Antibiotik Spesifik Patogen
II.1.11 Kriteria Rawat Inap 3
Bayi
a. Saturasi oksigen < 92%, sianosis
b. Frekuensi napas > 60 x/menit
c. Distres pernapasan, apnea intermiten, atau grunting
d. Tidak mau minum / menetek
e. Keluarga tidak bisa merawat di rumah
Anak
a. Saturasi oksigen < 92%
b. Frekuensi napas > 50 x/menit
c. Distres pernapasan
d. Grunting
e. Terdapat tanda dehidrasi
f. Keluarga tidak bisa merawat di rumah
26
II.1.12 Komplikasi dan Sekuele 8
Anak dengan pneumonia dapat mengalami beberapa komplikasi yang parah. Komplikasi
kebanyakan disebabkan oleh pneumonia akibat infeksi bakteri daripada infeksi virus.
Persentasi anak yang dirawat inap di rumah sakit dengan pneumonia pneumokokal adalah
40% - 50%. Pasien dengan penyakit kronis atau komorbid lain lebih mungkin untuk
mengalami komplikasi. Jika terdapat demam yang berkelanjutan atau gejala dan tanda yang
bertambah parah walaupun sudah diberikan antibiotik yang adekuat, harus dicurigai adanya
komplikasi. Komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi adalah sebagai berikut: efusi pleura,
empyema, pneumatokel, necrotizing pneumonia, abses paru, fistula bronkopleura,
pneumotoraks, hiponatremia, SIRS, dan sepsis.
II.1.13 Kriteria Pulang 3
Kriteria pasien pulang dari rawat inap adalah sebagai berikut:
a. Adanya peningkatan klinis, yaitu ditandai dengan peningkatan nafsu makan dan
turunnya demam dalam 12 – 24 jam
b. Dapat mempertahankan saturasi oksigen >90% dalam udara ruangan
c. Kesadaran dan status kardiopulmonari stabil
d. Dapat mentoleransi antibiotik di rumah (per oral) dan orang yang merawat dapat
memberikannya dengan baik
e. Asupan per oral adekuat
II.1.14 Prognosis 3
Secara umum, prognosisnya adalah baik, Gangguan jangka panjang pada fungsi paru jarang,
bahkan pada anak dengan pneumonia yang telah terkomplikasi dengan empiema dan abses
paru. Sekuele yang signifikan muncul pada penyakit adenoviral, termasuk bronkiolitis
obliterans. Kematian dapat muncul pada anak dengan kondisi yang mendasari, seperti
penyakit paru kronik pada bayi prematur, penyakit jantung bawaan, imunosupresi, malnutrisi
energi. Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat diturunkan
sampai kurang dari 1%.
27
II.1.15 Pencegahan Bronkopneumonia 3,8
Pencegahan Primer
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat
agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat agar tidak sakit. Secara garis besar, upaya
pencegahan ini dapat berupa pencegahan umum dan pencegahan khusus.
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap kejadian
bronkopneumonia. Upaya yang dapat dilakukan anatara lain :
a. Memberikan imunisasi BCG satu kali (pada usia 0-11 bulan), Campak satu kali (pada usia
9-11 bulan), DPT (Diphteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali (pada usia 2-11 bulan), Polio
sebanyak 4 kali (pada usia 2-11 bulan), dan Hepatitis B sebanyak 3 kali (0-9 bulan)..
b. Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberika ASI pada bayi neonatal sampai
berumur 2 tahun dan makanan yang bergizi pada balita.
c. Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan dan polusi di luar
ruangan.
d. Mengurangi kepadatan hunian rumah.
Pencegahan Sekunder
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah orang telah sakit
agar sembuh, menghambat progesifitas penyakit, menghindari komplikasi, dan mengurangi
ketidakmampuan. Pencegahan sekunder meliputi diagnosis dini dan pengobatan yang tepat
sehingga dapat mencegah meluasnya penyakit dan terjadinya komplikasi. Upaya yang
dilakukan antara lain :
a. Bronkopneumonia berat : rawat di rumah sakit, berikan oksigen, beri antibiotik
benzilpenisilin, obati demam, obati mengi, beri perawatan suportif, nilai setiap hari.
b. Bronkopneumonia : berikan kotrimoksasol, obati demam, obati mengi.
c. Bukan Bronkopneumonia : perawatan di rumah, obati demam.
Pencegahan Tersier
Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan
rehabilitasi. Upaya yang dapat dilakukan anatara lain :
Memberi makan anak selama sakit, tingkatkan pemberian makan setelah sakit.
28
Bersihkan hidung jika terdapat sumbatan pada hidung yang menganggu proses pemberian makan.
Berikan anak cairan tambahan untuk minum.
Tingkatkan pemberian ASI.
Legakan tenggorok dan sembuhkan batuk dengan obat yang aman.
Ibu sebaiknya memperhatikan tanda-tanda seperti : bernapas menjadi sulit, pernapasan
menjadi cepat, anak tidak dapat minum, kondisi anak memburuk, jika terdapat tanda-tanda
seperti itu segera membawa anak ke petugas kesehatan.
29
II.2. Anemia
II.2.1. Pendahuluan
Anemia secara umum didefinisikan sebagai berkurangnya volume eritrosit atau konsentrasi
hemoglobin.10 Anemia bukan suatu keadaan spesifik, melainkan dapat disebabkan oleh
bermacam-macam reaksi patologis dan fisiologis. Anemia ringan hingga sedang mungkin
tidak menimbulkan gejala objektif, namun dapat berlanjut ke keadaan anemia berat dengan
gejala-gejala keletihan, takipnea, napas pendek saat beraktivitas, takikardia, dilatasi jantung,
dan gagal jantung.11,12
Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia; diperkirakan terdapat
pada 43% anak-anak usia kurang dari 4 tahun.10 Survei Nasional di Indonesia (1992)
mendapatkan bahwa 56% anak di bawah umur 5 tahun menderita anemia, pada survei tahun
1995 ditemukan 41% anak di bawah 5 tahun dan 24-35% dari anak sekolah menderita
anemia.14 Gejala yang samar pada anemia ringan hingga sedang menyulitkan deteksi
sehingga sering terlambat ditanggulangi. Keadaan ini berkaitan erat dengan meningkatnya
risiko kematian pada anak.12
Tabel 7 batasan anemia berdasarkan umur dan jenis kelamin11
30
II.2.2. Klasifikasi Dan Etiologi
Anemia dapat diklasifi kasikan berdasarkan umur dan jenis kelamin dengan melihat jumlah
hemoglobin, hematokrit, dan ukuran eritrosit (Tabel 7). Selain itu dengan dasar ukuran
eritrosit (mean corpuscular volume/MCV) dan kemudian dibagi lebih dalam berdasarkan
morfologi eritrositnya. Pada klasifikasi jenis ini, anemia dibagi menjadi anemia mikrositik,
normositik dan makrositik (Tabel 8). Klasifikasi anemia dapat berubah sesuai penyebab klinis
dan patologis.
Penyebab anemia secara garis besar dibagi menjadi dua kategori yaitu gangguan produksi
eritrosit yaitu kecepatan pembentukan eritrosit menurun atau terjadi gangguan maturasi
eritrosit dan perusakan eritrosit yang lebih cepat.11 Kedua kategori tersebut tidak berdiri
sendiri, lebih dari satu mekanisme dapat terjadi.
Tabel 8 Anemia berdasarkan ukuran eritrosit 11
II.2.3. Pendekatan Diagnosis
Anak anemia berkaitan dengan gangguan psikomotor, kognitif, prestasi sekolah buruk, dan
dapat terjadi hambatan pertumbuhan dan perkembangan. Anak usia kurang dari 12 bulan
dengan anemia terutama Defisiensi besi kadar hemoglobinnya bisa normal, dengan nilai
prediktif positif 10-40%.14 Oleh karena itu diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik teliti
untuk mendeteksi dan menentukan penyebabnya sehingga pemeriksaan laboratorium dapat
seminimal mungkin.14 Tubuh bayi baru lahir mengambil dan menyimpan kembali besi
menyebabkan hematokrit menurun selama beberapa bulan pertama kehidupan. Oleh karena
itu, pada bayi cukup bulan kekurangan zat besi dari asupan gizi jarang menyebabkan anemia
sampai setelah enam bulan. Pada bayi prematur, kekurangan zat besi dapat terjadi setelah
31
berat dua kali lipat berat lahir. Penyakit terkait kromosom X seperti defi siensi glukosa-6-
fosfat dehidrogenase (G6PD), harus dipertimbangkan pada anak laki-laki. Defisiensi piruvat
kinase bersifat autosomal resesif dan berhubungan dengan anemia hemolitik kronis.11,12
Pemeriksaan fisik penting dilakukan (Tabel 9), temuan yang menunjukan anemia kronis
termasuk pucat (biasanya tidak terlihat sampai tingkat hemoglobin kurang dari 7 g/dL),
glositis, hepatosplenomegali, murmur, dan gagal jantung kongestif. Pada anemia akut dapat
ditemukan jaundice, takipnea, takikardi, dan hematuria.12,13
Anemia didefinisikan sebagai penurunan konsentrasi hemoglobin dan massa eritrosit, MCV
menjadi salah satu standar klasifikasi anemia menjadi mikrositik, normositik, dan
makrositik.11,12 Pemeriksaan darah perifer adalah prosedur tunggal paling berguna sebagai
evaluasi awal. Pertama-tama harus diperiksa distribusi dan pewarnaan sel. Tanda sediaan
yang tidak baik adalah hilangnya warna pucat di tengah eritrosit, bentuk poligonal, dan
sferosit artefak. Sferosit artefak, berlawanan dengan artefak asli, tidak menampakkan variasi
kepucatan di tengah sel dan lebih besar dari eritrosit yang normal. Sediaan yang tidak baik
tidak boleh diinterpretasikan.11 Setelah sediaan telah dipastikan kelayakannya, diperiksa pada
pembesaran 50x dan kemudian dengan 1000x. Sel sel digradasikan berdasarkan ukuran,
intensitas pewarnaan, variasi warna, dan abnormalitas bentuk. Gangguan hemolisis eritrosit
dapat diklasifi kasikan menurut morfologi predominannya. Terdapatnya stippling basofi lik
dan sel inklusi juga perlu diperhatikan.11
Langkah berikut adalah pengukuran jumlah retikulosit, bilirubin, tes Coombs, jumlah
leukosit, dan trombosit. Morfologi eritrosit pada apusan darah tepi dapat menunjukkan
etiologi anemia.15 Pengambilan dan analisis sumsum tulang dapat dilakukan untuk
mengetahui ada tidaknya kelainan sumsum tulang yang berkaitan dengan penyebab anemia11.
pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan terakhir seandainya penyebab anemia masih belum
diketahui.
32
Tabel 9 Pemeriksaan fisik pada pasien anemia11
Pendekatan diagnosis berdasarkan apusan darah tepi11
33
Penyebab gangguan morfologi sumsum tulang11
Pendekatan diagnosis berdasarkan MCV dan jumlah retikulosit11
34
BAB III
ANALISIS KASUS
Diagnosa
Anamnesa : Ditemukan bahwa pasien sesak. Terdapat demam, batuk pilek
yang hilang timbul, Batuk berdahak berwarna putih, terdapat busa dan lendir.
Analisa : Pada umumnya, gejala pada pneumonia adalah batuk yang
produktif. Bronkopneumonia pada anak biasanya didahului dengan gejala infeksi saluran
napas atas yang kemudian berkembang menjadi gejala infeksi saluran napas bawah. Pada
pasien ini gejala sesak didahului dengan gejala ISPA dan disertai dengan demam tinggi.
Pemeriksaan fisik : Ditemukan takipneu, febris, pernapasan cuping hidung,
retraksi suprasternal, dan epigastrium, serta adanya ronki basah halus di kedua lapang paru.
Analisa : Takipneu merupakan tanda yang sederhana, terstandarisasi,
dan sensitif untuk menskrining penyakit pneumonia pada anak. Adanya demam juga
menunjukkan adanya infeksi. Penggunaan otot bantu napas merupakan tanda adanya
dispnea / distres pernapasan. Ditambah dengan adanya ronki basah halus, maka dari
pemeriksaan fisik semakin menunjang diagnosa ke arah bronkopneumonia.
Penunjang : Pada pemeriksaan laboratorium darah ditemukan adanya
leukositosis, penurunan nilai Hemoglobin, MCH dan MCV. Pada pemeriksaan foto thorax
tampak corakan bronkovascular meningkat kesan dd bronchitis.
Analisa : leukositosis merupakan suatu tanda terjadi proses infeksi.
penurunan nilai Hemoglobin, MCH dan MCV menandakan terjadi anemia mikrositik
hipokrom pada pasien. peningkatan corak bronkovascular merupakan salah satu tanda khas
bronkopneumonia.
Diagnosis banding :
Bonkitis akut paling banyak terjadi pada anak kurang dari 2 tahun, dengan
puncak lain terlihat pada kelompok anak usia 9-15 tahun.15 sedangkan pada
pasien ini berusia 3 tahun 4 bulan. Penyebab bronkitis akut yang paling sering
adalah infeksi virus yakni sebanyak 90% sedangkan infeksi bakteri hanya
sekitar <10%.16 Dalam suatu penelitian terdapat metode untuk
menyingkirkan kemungkinan pneumonia pada pasien dengan batuk disertai
dengan produksi sputum yang dicurigai menderita bronkitis akut, yang antara
lain bila tidak ditemukan keadaan sebagai berikut :17
35
Denyut jantung > 100 kali per menit Frekuensi napas > 24 kali per menit Suhu > 38°C Pada pemeriksaan fisik paru tidak terdapat focal konsolidasi dan peningkatan
suara napas.
Bronkiolitis Bronkitis akut
Usia predisposisi 6 bulan < 2 tahun
Patogen
penyebab
tersering
RSV Adenovirus
Virus (90%)
Patofisiologi /
patogenesis
Invasi virus nekrosis epitel
saluran napas pengeluaran
sitokin inflamasi inflamasi,
edema, penumpukan debris
air trapping di alveoli
gejala obstruksi dan terjadi
hiperinflasi
Invasi virus respon endogen pada
kerusakan saluran napas akut
bronkospasme, batuk, edema,
inflamasi, produksi mukus ↑
Anamnesa Tanda dan gejala infeksi
saluran pernapasan atas low
grade fever sesak napas
Tanda dan gejala infeksi saluran
pernapasan atas perubahan warna
sekret hidung batuk kasar yang
kemudian menjadi produktif rasa
terbakar di dada dan sesak
Pemeriksaan
Fisik
Wheezing, ekspirasi
memanjang
Wheezing
Rontgen Toraks hiperaerasi/hiperinflasi paru
area lapang paru akan terlihat
lebih hiperlusen
Seringkali normal
Asma : konsensus Nasional Asma Anak (KNAA) memberi batasan bahwa
asma adalah mengi berulang dan atau tanpa batuk persisten dengan
karakteristik timbul secara episodik, cenderung pada malam atau dini
hari(nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta memiliki riwayat asma
atau atopi lain dalam keluarga atau penderita sendiri. Asma tidak disertai
dengan demam.
36
Pneumonia Lobaris : terdapat infiltrat atau konsolidasi pada satu atau lebih
lobus paru.
Tatalaksana
o Inj Cefotaxime 3 x 500 mg IV : Cefotaxime adalah antibiotik beta lactam yang
termasuk golongan sefalosporin generasi ke-3. Cefotaxime bersifat broad spectrum,
sehingga dapat digunakan terhadap bakteri gram negatif dan positif, namun tidak
termasuk Pseudomonas dan Enterococcus.
Moa : Farmakologi: bersifat bakterisidal dengan efek antibakterial lebih kuat
dibandingkan sefalosporin dan penisilin tradisional. Farmakokinetik:
Didistribusikan secara luas ke jaringan tubuh dan cairan tubuh termasuk cairan
serebrospinal. Metabolisme di hepar dan ekskresi melalui urine.
Indikasi: infeksi parah yang disebabkan oleh organisme sensitif cefotaxime,
termasuk infeksi saluran napas, traktus urinarius, serta kulit dan jaringan lunak.
Patogen yang sensitif cefotaxime: Staphylococci, aerobic and anaerobic
streptococci, Streptococcus pneumoniae, Neisseria sp, Haemophilus influenzae,
Escherichia coli, Citrobacter, Salmonella and Klebsiella spp, Enterobacter
aerogenes, Serratia sp, indole-positive and indole-negative Proteus sp, Yersinia
enterocolitica, Clostridium and Bacteroides spp.
Efek samping: trombositopenia, demam, ruam, diare, mual, dan muntah.
o Bronkodilator
Fenoterol hydrobromide : B2 simpatomimetik. Mekanisme kerjanya adalah
melalui stimulasi reseptor b2 di trakea dan bronchi, yang menyebabkan aktivasi
dari adenilsiklase. Enzim ini memperkuat pengubahan adenosintrifosat (ATP)
yang kaya energi menjadi cyclic-adenosin monophosphat (cAMP) dengan
pembebasan energi yang digunakan untuk proses-proses dalam sel. Meningkatnya
kadar cAMP di dalam sel menghasilkan beberapa efek bronkodilatasi dan
penghambatan pelepasan mediator oleh mast cells.
Ipratropium bromide : Obat-obat anti-cholinergic yang memiliki efek dilatasi
saluran-saluran pernafasan dengan menghalangi reseptor-reseptor acetylcholine
pada otot-otot saluran pernafasan.
37
o Pulv : salbutamol + ambroxol + chlorpheniramine maleate + metilprednisolon :
ambroxol diindikasikan untuk gangguan saluran pernafasan sehubungan dengan
sekresi bronkial yang abnormal baik akut maupun kronis. chlorpheniramine maleate
sebagai antihistamin yang dapat mengurangi sekresi mukus. Salbutamol sebagai
bronkodilator dengan mekanisme b2 simpatomimetik. Serta metilprednisolon sebagai
antiinflamasi saluran pernafasan dan dapat mencegah terjadinya edema.
o Terapi cairan : Diberikan karena pasien mengalami penurunan nafsu makan, sehingga
nutrisi yang masuk kurang, dan terapi cairan ini juga di berikan karena pasien distress
pernafasan sehingga dapat mencegah dehidrasi.
o Terapi oksigen : Diberikan pada pasien ini, karena adanya wheezing dan distress
pernafasan
o Paracetamol : diberikan sebagai antipiretik karena suhu tubuh pasien mencapai 38,50C
pada saat pemeriksaan.
Prognosis
Tanda-tanda vital pasien selain pernapasannya yang cepat masih terpantau dengan baik.
Adanya bukti pernapasan yang cepat menandakan bahwa usaha untuk bernapas pasien masih
adekuat dan pasien cepat mendapatkan penanganan di rumah sakit. Oleh karena itu, prognosis
quo ad vitam dari pasien adalah dubia ad bonam. Selama sakit, pasien menjadi lebih tidak
aktif, namun masih menunjukkan adanya aktivitas yang cukup, pasien masih respon dengan
lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu prognosis quo ad fungsionam pasien adalah dubia ad
bonam. Tidak adanya kelainan kongenital yang dilaporkan dari lahir dan pada hasil foto
rontgen thorax pasien tidak ditemukan kelainan kongenital, maka prognosis quo ad
sanationam pasien adalah dubia ad bonam.
38
DAFTAR PUSTAKA
1. Bennete M.J. 2013. Pediatric Pneumonia. 19 Jan 2015
http://emedicine.medscape.com/article/967822-overview.
2. World Health Organization. Pneumonia. Fact sheet No. 331. 19 Jan 2015.
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs331/en/
3. Ikatan Dokter Anak Indonesia, Pedoman Pelayanan Medis Jilid I. Jakarta: Pengurus
Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009.
4. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 6,
Penerbit EGC, Jakarta: 2005, hal: 804.
5. Pedoman Diagnosis dan Terapi Kesehatan Anak, UNPAD, Bandung: 2005.
6. Departemen Kesehatan RI. Pneumonia pada Balita. Jakarta, 2010.
7. Soegijanto, Soegeng dr.SpA(K). 2002. Ilmu Penyakit Anak Diagnosis dan
Penatalaksanaan. Penerbit Salemba Medika : Jakarta
8. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Ajar Respirologi Anak. Badan Penerbit IDAI :
Jakarta, 2008.
9. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2007. Simposium Penatalaksanaan Penyakit Paru
Pada Anak Terkini. Jember.
10. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics.
18th ed. Philadelphia: Elsevier Inc; 2007. Dikutip dalam Irawan Hendry. Pendekatan
Diagnosis Anemia Pada Anak. CDK-205/vol40 no.6;2013.
11. Nathan DG, Orkin SH, Oski FA, Ginsburg D. Nathan and Oski’s Hematology of
Infancy and Childhood. 7th ed. Philadelphia: Saunders; 2008. Dikutip dalam Irawan
Hendry. Pendekatan Diagnosis Anemia Pada Anak. CDK- 205/vol40 no.6;2013.
12. Khusun H, Yip R, Schultink W, Dillon DHS. World Health Organization
Hemoglobin Cut-Off Points for the Detection of Anemia Are Valid for An Indonesian
Population. J Nutr. 1999;129:1669-74. Dikutip dalam Irawan Hendry. Pendekatan
Diagnosis Anemia Pada Anak. CDK-205/vol40 no.6;2013.
13. Sari M, de Pee S, Martini E, Herman S, Sugiatmi, Bloem MW, et al. Estimating the
prevalence of anaemia: a comparison of three methods. Bulletin of the World Health
39
Organization. 2001;79:506-11. Dikutip dalam Irawan Hendry. Pendekatan Diagnosis
Anemia Pada Anak. CDK-205/vol40 no.6;2013.
14. Rudolph CD, Rudolph AM, Hostetter MK, Lister G, Siegel NJ. Rudolph’s Pediatrics.
21st ed. USA: McGraw-Hill; 2003. Dikutip dalam Irawan Hendry. Pendekatan
Diagnosis Anemia Pada Anak. CDK-205/vol40 no.6;2013.
15. Ed. Nelson, waldo E. dkk. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Vol.2 Ed 15. Jakarta:
EGC. Hal. 1483.
16. Gonzales R, Sande M. Uncomplicated acute bronchitis.Ann Intern Med 2008;133:
981–991.
17. Sidney S. Braman. Chronic Cough Due to Acute Bronchitis :ACCP Evidence-Based
Clinical Practice Guidelines. Chest Journal. 2006;129;95S-103S.
40