blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/cikida/files/2016/11/8.-BAB-IV.docx · Web view2016/11/08  ·...

27
112 BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Temuan Gap Antara Teori Dan Praktek Tujuan pelaksanaan kegiatan magang adalah untuk melihat relevansi atau praktik kerja yang terjadi di lapangan dengan teori-teori yang telah diberikan dalam perkuliahan kesenjangan atau gab antara teori dan praktik seringkali terjadi di lapangan. Karena dalam praktik di lapangan seringkali tidak dapat mengimplementasikan teori yang ada secara sempurna dengan keseluruhan, dengan melihat kesenjangan antara praktik dan teori dapat diperoleh kekurangan-kekurangan dan rekomendasi yang dapat menjadi perbaikan praktik dimasa depan. Sehingga, dapat meningkatkan kualitas kinerja dari pegawai Biro Organisasi Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur. Selain menjelaskan temuan antara teori dan praktik, bagian pembahasan ini juga sedikit mengulas tentang budaya organisasi yang dapat berpengaruh terhadap pelaksanaan pelayanan publik. a. Budaya Organisasi Terhadap Pelaksanaan Pelayanan Publik Dalam keberlangsungan kehidupan masyarakat sehari – hari tentunya tidak terlepas dari suatu ikatan yang disatukan dalam budaya. Budaya dapat mengikat anggota

Transcript of blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/cikida/files/2016/11/8.-BAB-IV.docx · Web view2016/11/08  ·...

Page 1: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/cikida/files/2016/11/8.-BAB-IV.docx · Web view2016/11/08  · Sebagaimana dikutip dari Deal & Kennedy (1982), Miner (1990), Robbins (1990) dalam Sutrisno

112

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Temuan Gap Antara Teori Dan Praktek

Tujuan pelaksanaan kegiatan magang adalah untuk melihat relevansi atau

praktik kerja yang terjadi di lapangan dengan teori-teori yang telah diberikan

dalam perkuliahan kesenjangan atau gab antara teori dan praktik seringkali terjadi

di lapangan. Karena dalam praktik di lapangan seringkali tidak dapat

mengimplementasikan teori yang ada secara sempurna dengan keseluruhan,

dengan melihat kesenjangan antara praktik dan teori dapat diperoleh kekurangan-

kekurangan dan rekomendasi yang dapat menjadi perbaikan praktik dimasa depan.

Sehingga, dapat meningkatkan kualitas kinerja dari pegawai Biro Organisasi

Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur. Selain menjelaskan temuan antara teori

dan praktik, bagian pembahasan ini juga sedikit mengulas tentang budaya

organisasi yang dapat berpengaruh terhadap pelaksanaan pelayanan publik.

a. Budaya Organisasi Terhadap Pelaksanaan Pelayanan Publik

Dalam keberlangsungan kehidupan masyarakat sehari – hari tentunya tidak

terlepas dari suatu ikatan yang disatukan dalam budaya. Budaya dapat mengikat

anggota masyarakat menjadi satu kesatuan pandangan, dimana hal tersebut dapat

menciptakan keseragaman dalam berperilaku maupun bertindak. Budaya

terbentuk dari kegiatan masyarakat itu sendiri, baik itu dalam keluarga,

lingkungan, sampai dengan organisasi pasti terjadi ikatan budaya. Dalam

organisasi ikatan budaya tersebut dinamakan budaya organisasi. Budaya

organisasi dapat digunakan sebagai alat manajemen untuk mencapai efisiensi,

efektifitas, produktivitas, serta etos kerja dalam Sutrisno (2010, h. 1).

Menurut Sutrisno (2010, h.1) budaya organisasi merupakan suatu kekuatan

sosial yang tidak tampak, yang dapat menggerakkan orang-orang dalam suatu

organisasi untuk melakukan aktivitas kerja. Jadi disini, budaya organisasi secara

tidak langsung setiap anggota dalam organisasi tersebut tentunya mempelajari,

karena mereka harus mengetahui apa kebiasaan dari organisasi tersebut, apa yang

Page 2: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/cikida/files/2016/11/8.-BAB-IV.docx · Web view2016/11/08  · Sebagaimana dikutip dari Deal & Kennedy (1982), Miner (1990), Robbins (1990) dalam Sutrisno

113

dilarang, dan apa saja yang harus dikerjakan. Karena budaya organisasi sangatlah

menentukan apakah orang tersebut bisa diterima serta berbaur dengan lingkungan

organisasi tersebut atau tidak. Salah satu hal yang mendukung tercapainya tujuan

organisasi itu adalah dari faktor sumber daya manusia yang ada di dalam

organisasi tersebut, karena sumber daya manusia merupakan motor penggerak

dari organisasi itu, sementara bagi Sumber Daya Manusia (SDM) perlu adanya

dukungan dari budaya untuk menggerakkan kebijakan organisasi. Karena budaya

organisasi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku bagi organisasi

kedepannya. Sebagaimana dikutip dari Deal & Kennedy (1982), Miner (1990),

Robbins (1990) dalam Sutrisno (2010, h.3), budaya yang kuat dan positif

sangatlah berpengaruh terhadap perilaku dan efektivitas kinerja organisasi, yaitu :

1. Nilai-nilai kunci yang salin menjalin, tersosialisasikan, menginternalisasi,

menjiwai para anggota, dan merupakan kekuatan yang tidak tampak

2. Perilaku-perilaku karyawan secara tak disadari terkendali dan

terkoordinasi oleh kekuatan yang informal atau tidak tampak

3. Para anggota merasa komit dan loyal pada organisasi

4. Adanya musyawarah dan kebersamaan atau kesertaan dalam hal-hal yang

berarti sebagai bentuk partisipasi, pengakuan, dan penghormatan terhadap

karyawan

5. Semua kegiatan berorientasi atau diarahkan kepada misi atau tujuan

organisasi

6. Menimbulkan kesenangan bagi karyawan karena merasa dihargai martabat

dan kontribusinya dalam organisasi

7. Adanya koordinasi, integrasi dan konsistensi yang menstabilkan kegiatan

organisasi

8. Ada tiga aspek yang dipengaruhi dalam organisasi, yakni ; pengarahan

perilaku kinerja organisasi, penyebarannya pada para anggota organisasi

dan kekuatannya untuk melaksanakan nilai-nilai budaya

9. Budaya berpengaruh terhadap perilaku individual maupun kelompok.

Berbicara masalah output dari organisasi, tentunya budaya organisasi juga

sangat berperan penting dalam pencapaian output organisasi itu. Keduanya

memiliki keterkaitan erat, karena budaya organisasi itu dapat mencerminkan

Page 3: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/cikida/files/2016/11/8.-BAB-IV.docx · Web view2016/11/08  · Sebagaimana dikutip dari Deal & Kennedy (1982), Miner (1990), Robbins (1990) dalam Sutrisno

114

bagaimana output tersebut dikerjakan, termasuk di dalamnya pelayanan publik.

Pelayanan publik adalah representasi dan eksistensi dari birokrasi pemerintah

yang memangku fungsi sebagai pemberi layanan terhadap masyarakat. Oleh

karena itu, kualitas layanan yang diberikan merupakan cerminan dari kualitas

birokrasi pemerintah. Dalam perspektif pelayanan publik, pemimpin harus mampu

membawa organisasi publik memberikan pelayanan prima. Karena pada

hakekatnya dibentuknya organisasi publik adalah untuk memberikan pelayanan

kepada masyarakat. Tangkilisan (2005) mengatakan bahwa organisasi publik

dikatakan efektif apabila dalam realita pelaksanaannya birokrasi dapat berfungsi

melayani sesuai dengan kebutuhan masyarakat, artinya tidak ada hambatan (sekat)

yang terjadi dalam pelayanan tersebut, cepat dan tepat dalam memberikan

pelayanan, serta mampu memecahkan fenomena yang terjadi akibat adanya

perubahan sosial yang sangat cepat dari faktor eksternal.

Pada pembahasan budaya organisasi dalam pelaksanaan pelayanan publik,

disini budaya organisasi diimplementasikan sebagai sistem nilai budaya yang

merupakan konsepsi nilai yang hidup dalam pemikiran sekelompok

manusia/individu yang sangat berpengaruh terhadap budaya kerja aparatur negara.

Hal tersebut disebabkan secara praktis budaya organisasi mengandung beberapa

pengertian. Budaya berkaitan erat dengan persepsi tehadap nilai-nilai dan

lingkungannya yang melahirkan makna dan pandangan hidup yang akan

mempengaruhi sikap dan tingkah laku dalam bekerja. Di dalam proses budaya

terdapat saling mempengaruhi dan saling ketergantungan (interdependensi) baik

sosial maupun lingkungan sosial. Pada hakikatnya, bekerja merupakan bentuk

atau cara manusia mengaktualisasikan dirinya, disamping itu bekerja juga

merupakan bentuk nyata dari nilai-nilai, keyakinan yang dianutnya, dan dapat

menjadi motivasi untuk melahirkan karya yang bermutu dalam pencapaian tujuan.

Sementara pelayanan publik yang dilakukan oleh Biro Organisasi di

Sekretariat daearah Jawa Timur lebih pada pelayanan publik intern, artinya

pelayanan yang diberikan untuk aparatur publik, jadi pelayanan ini tidak langsung

diberikan kepada masyarakat hanya melalui aparatur publiknya saja, seperti

pegawai negeri sipil (PNS). Tujuan budaya organisasi yang utama adalah

peningkatan kinerja aparatur. Dimana untuk meningkatkan kinerja, aparatur perlu

Page 4: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/cikida/files/2016/11/8.-BAB-IV.docx · Web view2016/11/08  · Sebagaimana dikutip dari Deal & Kennedy (1982), Miner (1990), Robbins (1990) dalam Sutrisno

115

memperhatikan etika aparatur yang disebut Etika Aparatur Sipil Negara (ASN)

yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 2014

pasal 4 ayat (2), yang meliputi :

1. Melaksanakan tugasnya dengan jujur, bertanggung jawab, dan

berintegritas tinggi

2. Melaksanakan tuganya dengan cermat dan disiplin

3. Melayani dengan sikap hormat, sopan dan tanpa tekanan

4. Melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan

5. Melaksanakan tugasnya sesuai dengan perintah atasan atau pejabat yang

berwenang sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan dan etika pemerintah

6. Menjaga kerahasiaan yang menyangkut kebijakan negara

7. Menggunakan kekayaan dan barang milik negara secara bertanggung

jawab, efektif dan efisien

8. Menjaga agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam melaksanakan

tugasnya

9. Memberikan informasi secara benar dan tidak menyesatkan kepada pihak

yang lain yang memerlukan informasi terkait kepentingan kedinasan

10. Tidak menyalahgunakan informasi intern negara, tugas, status, kekuasaan,

dan jabatannya untuk mendapat atau mencari keuntungan atau manfaat

bagi diri sendiri atau untuk orang lain

11. Memegang teguh nilai dasar Aparatur Sipil Negara (ASN) dan selalu

menjaga reputasi dan integritas Aparatur Sipil Negara (ASN)

12. Melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai disiplin

pegawai.

Dalam menjalankan kegiatan organisasinya, disini Biro Organisasi juga

menggunakan Etika Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam tugasnya, termasuk

dalam pelayanan publik Biro Organisasi juga bertindak sesuai kode etik Aparatur

Sipil Negara (ASN) yang tercantum dalam Undang-undang Etika Aparatur Sipil

Negara (ASN) yang dapat digunakan sekaligus sebagai pedoman budaya

Page 5: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/cikida/files/2016/11/8.-BAB-IV.docx · Web view2016/11/08  · Sebagaimana dikutip dari Deal & Kennedy (1982), Miner (1990), Robbins (1990) dalam Sutrisno

116

organisasi di Biro Organisasi tersebut. Selain menggunakan Etika ASN untuk

meningkatkan kinerja aparatur dalam rangka melaksanakan pelayanan publik Biro

Organisasi juga mengatur tentang disiplin pegawai yang tertuang dalam 10

budaya malu apartur, yang meliputi :

1. Terlambat masuk kantor

2. Tidak ikut apel

3. Tidak kerja tanpa alasan

4. Sering minta ijin tidak masuk kerja

5. Bekerja tanpa program kerja

6. Pulang sebelum waktunya

7. Sering meninggalkan kantor tanpa alasan

8. Bekerja tanpa pertanggung jawaban

9. Pekerjaan terbengkalai

10. Berpakaian sering tidak rajin tanpa atribut.

Alasan utama Biro Organisasi untuk menerapkan 10 hal tersebut untuk

dijadikan kebiasaan dan budaya, namun yang utama adalah untuk mengontrol

disiplin pegawai khususnya pegawai Biro Organisasi Sekretariat Daerah Provinsi

Jawa Timur, karena kedisiplinan dari aparatur merupakan faktor awal apakah

aparatur tersebut bisa bekerja dengan baik dan sesuai atau tidak yang nantinya

akan berdampak pada kualitas pelayanan publik yang dijalankan.

Gambar 50. Halaman Pertama yang muncul ketika Membuka situs apapun

menggunakan wifi.id Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Hal ini merupakan salah

Page 6: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/cikida/files/2016/11/8.-BAB-IV.docx · Web view2016/11/08  · Sebagaimana dikutip dari Deal & Kennedy (1982), Miner (1990), Robbins (1990) dalam Sutrisno

117

satu cara untuk mensosialisasikan kepada seluruh pegawai mengenai 10 Budaya

Malu Aparatur yang harus dipatuhi dalam rangka meningkatkan kinerja untuk

memberikan pelayanan prima kepada masyarakat.

Gambar 51. Tampak Depan Pintu Masuk Biro Organisasi terdapat X-Banner yang

berisi tentang 10 Budaya Malu Aparatur. Tempat ini sangat strategis dikarenakan

merupakan tempat lalu lalang pegawai ketika masuk kerja. X-Banner tersebut juga

terdapat pada Pintu Masuk Seluruh Biro di Sekretariat Daerah Provinsi Jawa

Timur.

Gambar 52. Tampak Depan Pintu Masuk Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur

yang juga merupakan tempat yang amat strategis untuk pemasangan X-Banner

yang berisi 10 Budaya Malu Aparatur.

Page 7: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/cikida/files/2016/11/8.-BAB-IV.docx · Web view2016/11/08  · Sebagaimana dikutip dari Deal & Kennedy (1982), Miner (1990), Robbins (1990) dalam Sutrisno

118

10 Budaya Malu Aparatur dibuat oleh Bagian Tata Laksana Biro

Organisasi Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur yang fungsinya adalah untuk

membentuk serta mewujudkan etika Aparatur Sipil Negara (ASN) melalui budaya

tersebut yang pada intinya menekankan kepada kedisiplinan pegawai untuk

meningkatkan kinerja aparatur. 10 Budaya Malu Aparatur ini berlaku untuk

seluruh pegawai di Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur. 10 Budaya Malu

Aparatur dibuat berkonotasi negatif dikarenakan menurut fenomena yang ada,

Aparatur Sipil Negara banyak memiliki sifat yang berkonotasi negatif dalam

persepsi masyarakat seperti yang dijelaskan pada 10 Budaya tersebut. Sehingga

dengan diterapkannya 10 Budaya Malu Aparatur tersebut, diharapkan Aparatur

dapat menghindari perilaku-perilaku tersebut. Berdasarkan Analisis Kelompok

kami, Implementasi 10 Budaya Malu Aparatur di Sekretariat Daerah, khususnya

Biro Organisasi adalah sebagai berikut :

1. Terlambat masuk kantor

Jam kerja Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur adalah Pukul 07.00

WIB. Beberapa pegawai sudah menerapkan hal tersebut dalam kedisiplinan

pegawai dikarenakan ada absensi pegawai datang dan pulang menggunakan sidik

jari, sehingga tidak bisa diwakilkan atau terjadi kecurangan dalam hal absensi.

Seringkali ada beberapa pegawai yang lupa melakukan absensi pada saat datang

ke kantor. Hal ini menyebabkan tercatatnya pegawai tersebut seperti terlambat

masuk kantor. Fenomena lain juga terjadi seperti terlambatnya pegawai masuk ke

kantor melebihi pukul 07.00 WIB, namun dapat dimaklumi dikarenakan sudah

melakukan ijin sebelumnya kepada Kepala Bagian masing-masing atau

melakukan ijin setelahnya. Jadi terdapat komunikasi yang baik antara atasan

dengan bawahan sehingga beberapa fenomena diatas tidak menghambat kinerja

organisasi.

2. Tidak ikut apel

Setiap pegawai diwajibkan mengikuti apel pagi setiap hari sebelum

melakukan pekerjaan masing-masing. Banyak sosialisasi yang disampaikan oleh

Gubernur Jawa Timur maupun Kepala Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur

Page 8: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/cikida/files/2016/11/8.-BAB-IV.docx · Web view2016/11/08  · Sebagaimana dikutip dari Deal & Kennedy (1982), Miner (1990), Robbins (1990) dalam Sutrisno

119

tentang pentingnya mengikuti apel pagi dan penerapan kedisiplinan pegawai. Hal

ini membuat kesadaran beberapa pegawai untuk selalu mengikuti apel pagi setiap

harinya. Meskipun ada beberapa pegawai yang terlambat dalam mengikuti apel

pagi, namun Kepala Sub Bagian Tata Usaha masing-masing Biro selalu

mengingatkan pegawainya untuk mengikuti apel pagi.

3. Tidak kerja tanpa alasan

Komunikasi yang baik terjalin antara atasan dan bawahan dalam artian

Kepala Biro, Kepala Bagian, Kepala Sub Bagian dan Staf dalam setiap biro,

khususnya di Biro Organisasi membuat Kepala Sub Bagian Tata Usaha selalu

mengetahui alasan pegawai ketika tidak masuk kerja dikarenakan setiap pegawai

selalu melakukan konfirmasi apabila absen masuk kerja.

4. Sering minta ijin tidak masuk kerja

Banyak kepentingan pegawai selain mengerjakan pekerjaan serta

tanggungjawab di Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur, seperti menempuh

pendidikan S2 maupun S3 sambil bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara,

melakukan diklat untuk mengembangkan skill, melakukan penelitian diluar

kantor, sakit, urusan keluarga, dan sebagainya membuat pegawai terkadang harus

melakukan ijin untuk mengerjakan hal lain tersebut. Pegawai memiliki

konsekuensi ketika sering meminta ijin tidak masuk bekerja, yaitu menyelesaikan

pekerjaan dan tanggungjawab kerja meskipun intensitas masuk kerja sangat

sedikit. Hal ini wajib dilakukan oleh seluruh pegawai baik Kepala Biro, Kepala

Bagian maupun Staf. Apabila tidak dilakukan paling tidak memberikan

Pertanggungjawaban tersebut atau melimpahkan tugas pada Staf (Untuk Kepala

Bagian dan Kepala Sub Bagian).

5. Bekerja tanpa program kerja

Setiap Pegawai wajib bekerja berdasarkan program kerja yang telah

disusun. Kendala yang dialami adalah ketika kondisi lapangan tidak bisa untuk

merapakan program kerja tersebut, misalkan dikarenakan kurangnya anggaran,

dan sebagainya. Hal ini dimaklumi karena perencanaan atau program kerja yang

Page 9: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/cikida/files/2016/11/8.-BAB-IV.docx · Web view2016/11/08  · Sebagaimana dikutip dari Deal & Kennedy (1982), Miner (1990), Robbins (1990) dalam Sutrisno

120

akan dilaksanakan mengalami kendala di lapangan. Sedangkan sejauh ini belum

ada pegawai yang bekerja tanpa program kerja karena semua perencanaan sudah

diprogramkan dan diarsipkan, baik secara online maupun offline.

6. Pulang sebelum waktunya

Jam kerja pegawai adalah mulai pukul 07.00 WIB – 15.30 WIB untuk Hari

Senin sampai dengan Kamis, sedangkan pada Hari Jumat pukul 07.00 WIB

sampai dengan 14.30 WIB. Memang banyak fenomena yang ditemui bahwa

beberapa pegawai pulang kerja sebelum waktunya dikarenakan ada keperluan

maupun alasan yang lainnya. Hal ini tidak menghambat kinerja organisasi selama

pekerjaan tersebut sudah diselesaikan sebelum waktu pulang. Beberapa fenomena,

Kepala Sub Bagian dan Kepala Bagian banyak mengambil jam kerja lembur untuk

menyelesaikan beberapa pekerjaan. Sehingga memang jarang ditemui

permasalahan akibat pulangnya pegawai sebelum waktunya dikarenakan ada

absensi dan proses perijinan.

7. Sering meninggalkan kantor tanpa alasan

Jam Istirahat pegawai adalah pukul 12.00 WIB sampai dengan pukul 13.00

WIB. Memang tidak sedikit pegawai yang meninggalkan kantor diluar jam

tersebut, namun hal tersebut masih wajar dilakukan asalkan tidak keluar dari

koridor etika Aparatur Sipil Negara. Hal tersebut dilakukan pegawai dengan

alasan membeli sarapan atau makan, melakukan print atau fokokopi diluar kantor,

bertemu dengan seseorang diluar kantor, dan sebagainya. Karena melakukan

pekerjaan dengan serius selama jam kerja tersebut juga mengakibatkan kebosanan

dan rasa jenuh pada pegawai. Jarang ditemui pegawai sering meninggalkan kantor

jika tanpa alasan.

8. Bekerja tanpa pertanggung jawaban

Setiap program kerja yang telah dilaksanakan sudah pasti akan diminta

pertanggungjawaban yang dituangkan kedalam laporan pertanggungjawaban

meliputi laporan keuangan/laporan anggaran dan laporan kegiatan. Jadi tidak

ditemukan pegawai yang bekerja tanpa pertanggungjawaban.

Page 10: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/cikida/files/2016/11/8.-BAB-IV.docx · Web view2016/11/08  · Sebagaimana dikutip dari Deal & Kennedy (1982), Miner (1990), Robbins (1990) dalam Sutrisno

121

9. Pekerjaan terbengkalai

Pekerjaan yang terbengkalai ini memang pernah terjadi pada beberapa

pegawai, namun setiap pegawai yang meninggalkan pekerjaan mempunyai

konsekusi sendiri dan bertanggungjawab kepada Kepala Sub Bagian/Kepala

Bagian/Kepala Biro masing-masing.

10. Berpakaian sering tidak rajin tanpa atribut

Pemerintah Provinsi Jawa Timur memiliki seragam dan ketentuan atribut

setiap harinya. Karena ketentuan tersebut seragam, jadi jarang ditemui pegawai

yang menggunakan atribut berbeda. Namun memang seringkali pegawai

melakukan pelepasan atibut ketika sedang berada diluar kantor meskipun pada

saat jam kerja misalnya pada saat makan siang, dan sebagainya. Hal ini wajar

dilakukan dikarenakan pada saat diluar kantot, seorang aparatur memang harus

disamakan dengan masyarakat dikarenakan mereka adalah pelayan masyarakat.

Mungkin akan terjadi suatu kecanggungan apabila interaksi dilakukan oleh

seorang aparatur dan masyarakat setempat diluar kantor dengan atribur tersebut.

Kesimpulannya adalah beberapa kendala tersebut, tidak memberikan

pengaruh yang signifikan terhadap kedisiplinan pegawai dalam rangka

meningkatkan kinerja organisasi dalam rangka memberikan pelayanan prima

kepada masyarakat secara menyeluruh tanpa diskriminasi atau dikenal dengan

pelayanan publik.

Sejak diterbitkannya Perda tentang Pelayanan Publik di Jawa Timur tahun

2007 silam, berbagai langkah nyata terus dilakukan untuk meningkatkan kualitas

pelayanan publik di belahan timur Pulau Jawa itu. Di Jawa Timur sendiri melalui

Biro Organisasi Pemerintah Provinsi Jawa Timur memiliki upaya dalam

keberhasilan pelayanan publik melalui :

1. Gelar pameran pelayanan publik (setiap 2 tahun)

Kegiatan ini dilakukan untuk menyebarluaskan informasi kepada

masyarakat tentang inovasi pelayanan publik yang sudah dilakukan oleh

pemerintah daerah. Tahun ini peserta lebih 250 both.

Page 11: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/cikida/files/2016/11/8.-BAB-IV.docx · Web view2016/11/08  · Sebagaimana dikutip dari Deal & Kennedy (1982), Miner (1990), Robbins (1990) dalam Sutrisno

122

2. Kompetisi inovasi pelayanan publik (setiap tahun)

Kegiatan ini dilakukan untuk menjaring inovasi pelayanan publik dari

Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Provinsi, maupun Kabupaten dan Kota di

Jawa Timur.

3. Laporan pengaduan masyarakat melalui Biro Organisasi bekerjasama

dengan Ombudsman

Pemerintah Provinsi Jawa Timur khusunya Biro Organisasi memberikan

fasilitas kepada masyarakat terkait pengaduan layanan dimana Biro Organisasi

akan bekerjasama dengan Ombudsman terkait dalam memecahkan masalah

tersebut. Hal ini bertujuan agar aspirasi masyarakat dapat ditampung sepenuhnya

oleh Pemerintah Provinsi serta akan dipecahkan bersama Ombudsman terkait.

4. Monitoring dan evaluasi tentang kepatuhan terhadap UU Nomor 25 tahun

2009 tentang Pelayanan Publik

Melakukan monitoring serta evaluasi terhadap Satuan Kerja Perangkat

Daerah (SKPD) maupun kabupaten/kota apakah pelayanan yang dilakukan sudah

sesuai serta berpedoman dengan UU Nomor 25 tahun 2009 atau tidak. Tujuannya

agar setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) maupun kabupaten/kota dapat

melaksanakan pelayanan yang sesuai dengan harapan serta aturan yang berlaku.

5. Rapat koordinasi terkait standar pelayanan minimal, standar pelayanan

publik, dan inovasi pelayanan publik (dua kali dalam setahun)

Dilakukan untuk memberikan informasi terkini terkait perundangan

tentang pelayanan publik dan hal-hal lain, serta diikuti oleh Satuan Kerja

Perangkat Daerah (SKPD) Provinsi serta Kabupaten dan Kota.

6. Pemberian reward and punishment

Reward akan diberikan kepada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)

maupun kabupaten/kota yang dapat menyelenggarakan pelayanan dengan

maksimal serta tidak melanggar aturan yang berlaku. Hal ini dilakukan agar

Page 12: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/cikida/files/2016/11/8.-BAB-IV.docx · Web view2016/11/08  · Sebagaimana dikutip dari Deal & Kennedy (1982), Miner (1990), Robbins (1990) dalam Sutrisno

123

kedepannya Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) maupun kabupaten/kota

dapat menciptakan inovasi yang lebih baik lagi serta dapat menjalankannya secara

konsisten. Sementara punishment akan diberikan pada Satuan Kerja Perangkat

Daerah (SKPD) maupun kabupaten/kota dalammelaksanakan pelayanan tidak

sesuai aturan yang telah ditetapkan. Tujuannya adalah untuk melakukan kontrol

terhadap daerah agar pelayanan maupun inovasi pelayanan kedepannya bisa

dilakukan secara maksimal.

7. Inovasi sebagai gerakan atau pembudayaan

Artinya bahwa Pemerintah Provinsi mewajibkan setiap Satuan Kerja

Perangkat Daerah (SKPD) maupun kabupaten/kota sesering mungkin

mengeluarkan inovasi terkait pelayanan publik. Tujuannya agar mereka mampu

meningkatkan pelayanan secara berkelanjutan sesuai dengan inovasi yang

dikeluarkan.

Dengan menerapkan 7 upaya peningkatan pelayanan publik, Jawa Timur

berhasil memperoleh penghargaan TOP 35 dan TOP 99, hal tersebut

membuktikan bahwa keberhasilan pelayanan publik tidak terlepas dari perilaku

aparatur publiknya yang sesuai dengan budaya organisasi yang berasas pada etika

Aparatur Sipil Negara (ASN) serta peraturan disiplin pegawai.

b. Peran SAKIP (Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi

Pemerintah)dalam Kinerja Aparatur Sipil Negara)

SAKIP (Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) dibangun

dengan konsep pertanggung jawaban sesungguhnya adalah bagian dari upaya

untuk meningkatkan kinerja instansi pemerintah melalui penerapan manajemen

kinerja. Penerapan SAKIP selalu berkaitan dengan SPIP (Sistem Pengendalian

Intern Pemerintah) karena SPIP mendefinisikan bahwa tindakan dan kegiatan

yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk

memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui

kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan

Page 13: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/cikida/files/2016/11/8.-BAB-IV.docx · Web view2016/11/08  · Sebagaimana dikutip dari Deal & Kennedy (1982), Miner (1990), Robbins (1990) dalam Sutrisno

124

aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan sesuai dengan

PP Nomor 60 tahun 2008. SAKIP yang memberikan manfaat adalah sebuah

sistem yang dapat digunakan sebagai alat untuk memperbaiki kebijakan serta

mendorong pemerintah daerah untuk melakukan inovasi dalam mendesain

program dan kegiatan. Selanjutnya SAKIP juga dapat digunakan sebagai dasar

untuk memberikan reward and punishment terkait dengan kinerja Aparatur Sipil

Negara (ASN). Sementara peran dari SAKIP sendiri dapat dibagi menjadi dua,

antara lain; 1. Sebagai media pertanggungjawaban kinerja, 2. Sebagai alat

pengendalian manajemen. Karena kedua peran demikian maka diharapkan SAKIP

disini tidak hanya dianggap sebagai formalitas saja, melainkan juga mendukung

terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), terwujudnya

pemerintahan yang bersih yang akan berdampak pada meningkatnya kualitas

pelayanan publik.

SAKIP sebagai bagian dari upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan

yang baik. Terbitnya SAKIP melalui Inpres Nomor 7 Tahun 1999 pun bagian dari

paket reformasi penyelenggaraan pemerintahan setelah orde baru. SAKIP terbit

sebagai bagian dari salah satu konsekuensi diterapkannya otonomi daerah di

Indonesia. Dalam memberikan kewenangan yang lebih luas kepada daerah harus

dibarengi dengan peningkatan akutabilitas, jika hal tersebut tidak dilakukan maka

akan lebih sering terjadi penyelewengan kewenangan. Selain hal diatas SAKIP

juga merupakan bagian dari penerapan anggaran berbasis kinerja (Performance-

based Budgeting). Perubahan dari line-item budgeting menjadi performance-

based budgeting mengharuskan pemerintah daerah untuk menyusun anggaran

dengan mengacu pada target kinerja yang akan dicapai. Jika pada penganggaran

sebelumnya hanya didasarkan pada incremental cost atau jumlah anggaran

meningkat berdasarkan persentase tertentu dibandingkan tahun sebelumnya, maka

dalam performance-based budgeting seluruh anggaran harus dapat

dipertanggungjawabkan hasilnya. Artinya, setiap dana yang dikeluarkan harus

dapat dikaitkan dengan kinerja yang dihasilkan. Sehingga, SAKIP harus

terintegrasi dalam penganggaran. Dengan kata lain, SAKIP sesungguhnya bisa

digunakan untuk mengukur sejauh mana pemerintah daerah berupaya

meningkatkan kesejahteraan rakyat, memperbaiki tata kelola pemerintahannya,

Page 14: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/cikida/files/2016/11/8.-BAB-IV.docx · Web view2016/11/08  · Sebagaimana dikutip dari Deal & Kennedy (1982), Miner (1990), Robbins (1990) dalam Sutrisno

125

meningkatkan kualitas pelayanan publik bahkan untuk mendorong pemberantas

korupsi. Kesimpulannya bahwa jika SAKIP itu bagus maka juga akan

berpengaruh pada tata kepemerintahan yang baik yang berdampak pada kualitas

pelayanan publik yang baik pula.

4.2. Gap Teori Dan Praktek

Sesuai pembahasan tentang budaya organisasi dalam pelayanan publik

yang sudah dijelaskan sebelumnya praktik budaya organisasi yang dijalankan oleh

Bagian Pelayanan Publik Biro Organisasi Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur

sudah dijalankan dengan cukup baik, tetapi terdapat beberapa hal yang perlu

diperbaiki dimana ditemukan sedikit gap antara teori dengan praktik yang

ditemukan peserta magang selama menjalankan magang di Biro Organisasi

Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur tersebut. Adapun temuan gap antara teori

dengan praktik, meliputi :

Dari segi Internal Organisasi terjadi Gap antara teori dengan praktek yaitu

ketika berbicara budaya organisasi tentunya tidak bisa terlepas dengan Etika

Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tertuang dalam UU Nomor 5 tahun 2014,

dimana mungkin hal ini yang masih sering dilanggar oleh para aparatur publik itu

sendiri yakni Melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai

disiplin pegawai di Biro Organisasi Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur.

Padahal ketika berbicara organisasi pasti motor penggerakknya adalah Sumber

Daya Manusia (SDM) itu sendiri. Sementara untuk budaya organisasi yang terkait

kedisiplinan pegawai itu masih sedikit terabaikan. Sementara pada biro sendiri

juga sudah diatur terkait disiplin pegawai yang tertuang dalam 10 budaya malu

aparatur. Sehingga harapan kedepannya mungkin disiplin pegawai tersebut bisa

menjadi prioritas bukan hanya formalitas saja demi tercapainya tujuan organisasi

serta peningkatan kualitas pelayanan publik. Karena jika disiplin pegawai hanya

sekedar formalitas saja akan berdampak terhadap banyak hal yang bermuara pada

menurunnya kualitas pelayanan publik di Provinsi Jawa Timur, seperti pemberian

pelayanan kepada masyarakat baik secara intern maupun ekstern kurang

Page 15: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/cikida/files/2016/11/8.-BAB-IV.docx · Web view2016/11/08  · Sebagaimana dikutip dari Deal & Kennedy (1982), Miner (1990), Robbins (1990) dalam Sutrisno

126

memuaskan. Karena saat ini di Biro Organisasi Sumber Daya Manusia (SDM)

yang terlihat masih disiplin hanya terbatas pada masuk dan pulang kerja saja, hal

itu disebabkan adanya harapan terkait tunjangan prestasi yang telah

diprogramkan. Sehingga yang terjadi belum ada kesadaran dari para aparatur yang

bekerja sesuai tupoksi yang diberikan atasan.

Selain hal diatas sikap pegawai yang kurang disiplin adalah disebabkan

oleh terlalu banyaknya pekerjaan yang diberikan, sehingga menjadikan pekerjaan

tersebut tidak selesai tepat waktu. Dari segi eksternal organisasi, hal yang menjadi

kendala adalah keterlambatan daerah dalam mengerjakan tugasnya serta

melaporkan data ke Pemerintah Provinsi. Hal tersebut tentunya menjadikan

pelayanan akan diselenggarakan lebih lama serta penerapannya pun juga lebih

lama. Contohnya : pelaporan SKM.

Sementara untuk Peran SAKIP (Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi

Pemerintah) dalam Kinerja Aparatur Sipil Negara (ASN), yang sudah dijelaskan

sebelumnya, praktik budaya organisasi yang dijalankan oleh Biro Organisasi

Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur sudah dijalankan dengan cukup baik,

tetapi terdapat beberapa hal yang perlu diperbaiki dimana ditemukan sedikit gap

antara teori dengan praktik yang ditemukan peserta magang selama menjalankan

magang di Biro Organisasi Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur tersebut.

Adapun temuan gap antara teori dengan praktik, meliputi :

Kondisi yang ada saat ini adalah SAKIP belum terbangun secara

sempurna. Kelemahan dalam penyusunan perencanaan yang seharusnya dapat

digunakan sebagai penilaian keberhasilan atau kegagalan instansi pemerintah

dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya belum terwujudkan. Indikator

kinerja utama beserta target yang terukur sesungguhnya adalah acuan dalam

penyusunan anggaran. Namun, justru kedua hal ini lah yang belum dibangun. Hal

ini mengingat konsep anggaran berbasis kinerja hanya akan dapat berjalan jika

instansi pemerintah telah menetapkan indikator kinerja yang terukur. Jika tidak,

anggaran berbasis kinerja akan menjadi formalitas.

4.3. Rekomendasi

Page 16: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/cikida/files/2016/11/8.-BAB-IV.docx · Web view2016/11/08  · Sebagaimana dikutip dari Deal & Kennedy (1982), Miner (1990), Robbins (1990) dalam Sutrisno

127

Dari hasil pembahasan diatas maka dapat ditarik rekomendasi antara lain sebagai

berikut :

1. Perbaikan pemberian pelayanan kepada masyarakat

Saat ini terkadang publik merasa kurang puas dengan pelayanan yang

dilakukan oleh aparatur publik. Bahkan publik saat ini lebih memilih pelayanan

swasta, karena swasta memiliki pelayanan yang lebih baik dibanding dengan

pemerintah. Maka dari itu demi tercapainya kepuasan publik sebaiknya

pemerintah melakukan perbaikan terkait pelayanan publik.

2. Memperkuat partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan melalui

mekanisme yang inovatif

Sebaiknya dalam perumusan kebijakan saran dari publik itu penting.

Karena biasanya ide yang inovatif tidak hanya keluar dari para aparatur publik

saja, melainkan dari publik juga. Mungkin hal tersebut bisa ditampung secara

manual melalui kotak saran inovasi pelayanan maupun dapat ditampung secara

online dengan menciptakan aplikasi tertentu.

3. Mendorong pemerintahan berbasis pendekatan kolaboratif dalam era

informasi

Pemerintahan berbasis pendekatan kolaboratif disini adalah

memungkinkan adanya pendekatan yang dilakukan baik secara langsung maupun

tidak langsung. Di era informasi kerjasama bisa hanya dilakukan via online saja

tanpa harus bertemu secara langsung. Jadi ketika memiliki inovasi pelayanan

daerah tidak hanya bisa menyalurkan secara langsung seperti datang ke pusat,

namun juga bisa melalui media aplikasi yang sudah dibuat.

4. Pelayanan publik sebaiknya lebih mengaplikasikan teknologi informasi

dan komunikasi

Jadi dalam melakukan pelayanan publik perlu adanya keterlibatan

teknologi informasi dan komunikasi, karena dapat mempermudah fasilitasi

terhadap daerah terkait kritik, saran, bahkan sampai inovasi pelayanan.

5. Menerapkan mekanisme reward and punishment

Page 17: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/cikida/files/2016/11/8.-BAB-IV.docx · Web view2016/11/08  · Sebagaimana dikutip dari Deal & Kennedy (1982), Miner (1990), Robbins (1990) dalam Sutrisno

128

Pemberian reward and punishment ini lebih pada aparatur publik yang

menjalankan. Reward akan diberikan ketika aparatur publik tersebut dapat

menjalankan tugas dengan baik bahkan lebih dari ekspektasi. Hal ini dilakukan

untuk memotivasi pegawai tersebut agar kedepannya bisa bekerja lebih lagi

daripada saat ini. Sementara punishment diberikan bagi pegawai yang salah

satunya melakukan pelanggaran disiplin sampai dengan yang bekerja tidak sesuai

dengan programnya. Hal demikian dilakukan agar pegawai tersebut bisa

memperbaiki pekerjaannya serta tidak melakukannya kembali.

6. Mengimplementasikan pengawasan internal

Disini pengawasan internal lebih ditekankan, karena biasanya

pengendalian dari internal organisasi tersebut yang harus dilakukan terlebih

dahulu sebelum melakukan pengawasan dari eksternal organisasi tersebut.

Pengawasan internal dilakukan pada aparatur publik yang menjalankan program

kerja organisasi. Apakah program tersebut sudah dijalankan secara baik dan benar

atau belum, hal ini dilakukan demi tercapainya peningkatan kualitas pelayanan

yang diinginkan.

7. Melaksanakan pelayanan yang sesuai dengan standar pelayanan

Pelayanan publik yang dilaksanakan harus berpedoman pada standar

pelayanan publik termasuk di dalamnya; prosedur pelayanan, waktu penyelesaian,

produk pelayanan, biaya pelayanan, sarana dan prasarana, serta kompetensi

petugas pemberi layanan (Keputusan Menteri PAN 63/2003).