blmjadi4

42
http:// untukdiamereka.blogspot.com/ 2013/11/laporan-pbl-kasus- dermatitis-atopik.html Laporan PBL kasus Dermatitis Atopik Pembagian dermatitis terbagi atas: 1. Dermatitis kontak iritan 2. Dermatitis kontak alergi 3. Dermatitis atopi 4. Dermatitis numular 5. Dermatitis stasis 6. Dermatitis autosensitasi 1. DERMATITIS KONTAK IRITAN (DKI) A. DEFINISI [2] Dermatitis kontak adalah reaksi eksematous,

description

yas

Transcript of blmjadi4

http://untukdiamereka.blogspot.com/2013/11/laporan-pbl-kasus-dermatitis-atopik.html

Laporan PBL kasus Dermatitis Atopik

Pembagian dermatitis terbagi atas:1.    Dermatitis kontak iritan2.    Dermatitis kontak alergi3.    Dermatitis atopi4.    Dermatitis numular5.    Dermatitis stasis6.    Dermatitis autosensitasi

1.    DERMATITIS KONTAK IRITAN (DKI)A.  DEFINISI[2]

Dermatitis kontak adalah reaksi eksematous, biasanya substansi yang mengiritasi kulit. Dapat disebabkan karena alergi atau karena bahan iritan (non-alergi).

B.  GEJALA KLINIS DKI[1]

Kelainan kulit yang terjadi sangat beragam, bergantung pada sifat iritan. Iritan kuat memberi gejala akut, sedangkan iritan lemah memberi gejala kronis. Selain itu juga banyak faktor yang mempengaruhi sebagaimana telah disebutkan, yaitu faktor individu (misalnya ras, usia, lokasi, atopi, penyakit kulit lain), faktor lingkungan (misalnya suhu dan kelembaban udara,

oklusi).Berdasarkan penyebab dan pengaruh faktor-faktor individual dan lingkungan, ada yang mengklasifikasi DKI menjadi sepuluh macam, yaitu : DKI akut, lambat akut (acute delayed ICD), reaksi iritan, kumulatif, traumateratif, eksikasi ekzematik, pustular dan akneformis, non-erimatosa, dan subyektif. Ada pula yang membaginya dalam dua kategori yaitu kategori mayor terdiri atas DKI akut termasuk luka bakar kimiawi, dan DKI kumulatif. Kategori lain terdiri atas : DKI lambat akut, reaksi iritasi, DKI traumatik, DKI eritematosa, dan DKI subyektif.1)   DKI AkutLuka bakar oleh bahan kimia juga termasuk dermatitis kontak iritan akut. Penyebab DKI akut adalah iritan kuat, misalnya larutan asam sulfat dan asam hidroklorida atau basa kuat, misalnya natrium dan kalium hidroksida. Biasanya terjadi karena kecelakaan, dan reaksi segera timbul. Intensitas reaksi sebanding dengan konsentrasi dan lamanya kontak dengan iritan, terbatas pada tempat kontak. Kulit terasa pedih, panas, rasa terbakar, kelainan yang terlihat berupa eritema edema, bula, mungkin juga nekrosis. Pinggir kelainan kulit berbatas tegas dan pada umumnya asimetris.2)                       DKI Akut LambatGambaran klinis dan gejala sama dengan DKI akut, tetapi baru muncul 8 sampai 24 jam atau lebih setelah kontak. Bahan iritan yang dapat menyebabkan DKI akut lambat misalnya podofilin, antralin, tretinoin, etilenoksida, benzalkonium klorida, asam hidrofluorat. Contohnya ialah dermatitis yang disebabkan oleh bulu serangga yang terbang pada malam hari (dermatitis venenata); penderita baru merasa pedih esok harinya, pada awalnya terlihat eritema dan sore harinya sudah menjadi vesikel atau bahkan nekrosis.3)        DKI KumulatifJenis dermatitis kontak ini paling sering terjadi, nama lain ialah DKI kronis. Penyebabnya ialah kontak berulang-ulang dengan iritan lemah (Faktor fisik, misalnya gesekan, trauma mikro, kelembaban rendah, panas atau dingin; juga bahan, misalnya deterjen, sabun, pelarut, tanah, bahkan juga air). DKI kumulatif

mungkin terjadi karena kerjasama berbagai faktor. Bisa jadi suatu bahan secara sendiri tidak cukup kuat menyebabkan dermatitis iritan, tetapi baru mampu bila bergabung dengan faktor lain. Kelainan baru nyata setelah kontak berminggu-minggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian, sehingga waktu dan rentetan kontak merupakan faktor penting.Gejala klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lamabat laun kulit tebal (hiperkeratosis) dan likenifikasi, difus. Bila kontak terus berlangsung akhirnya kulit dapat retak seperti luka iris (fisur), misalnya pada kulit tumit tukang cuci yang mengalami kontak terus menerus dengan deterjen. Keluhan penderita umumnya rasa gatal atau nyeri karena kulit retak (fisur). Ada kalanya kelainan hanya berupa kulit kering atau skuama tanpa eritema, sehingga diabaikan oleh penderita. Setelah dirasakan mengganggu, baru mendapat perhatian.DKI kumulatif sering berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu lebih banyak ditemukan di tangan dibandingkan dengan di bagian lain tubuh. Contoh pekerjaan yang beresiko tinggi untuk DKI kumulatif yaitu: tukang cuci, kuli bangunan, montir di bengkel, juru masak, tukang kebun, penata rambut.4)                       Reaksi IritanReaksi iritan merupakan dermatitis iritan subklinis pada seseorang yang terpajan dengan pekerjaan basah, misalnya penata rambut dan pekerja logam dalam beberapa bulan pertama pelatihan. Kelainan kulit monomorf dapat berupa skuama, eritema, vesikel, pustula dan erosi. Umumnya dapat sembuh sendiri, menimbulkan penebalan kulit (skin hardening), kadang dapat berlanjut menjadi DKI kumulatif.5)                       DKI TraumatikKelainan kulit berlangsung lambat setelah trauma panas atau laserasi. Gejala seperti dermatitis numularis, penyembuhan lambat, paling cepat enam minggu. Paling sering terjadi di tangan.6)   DKI Non EritematosaDKI non-eritematosa merupakan bentuk subklinis DKI, ditandai perubahan fungsi sawar stratum korneum tanpa disertai kelainan klinis.

7)   DKI SubyektifJuga disebut DKI sensori; kelainan kulit tidak terlihat, namun penderita merasa seperti tersengat (pedih) atau terbakar (panas) setelah kontak dengan bahan kimia tertentu, misalnya asam laktat.8)   HistopatologikGambaran histopatologik dermatitis kontak iritan tidak karakteristik. Pada DKI akut (oleh iritan primer), dalam dermis terjadi vasodilatasi dan sebukan sel mononuklear disekitar pembuluh darah dermis bagian atas. Eksositosis di epidermis diikuti spongiosis dan edema intrasel, dan akhirnya terjadi nekrosis epidermal. Pada keadaan berat kerusakan epidermis dapat menimbulkan vesikula atau bula. Di dalam vesikula atau bula ditemukan limfosit dan neutrofil.

B.                      DIAGNOSIS DKI[1]

Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat dan pengamatan gambaran klinis. DKI akut lebih mudah diketahui karena munculnya lebih cepat sehingga penderita pada umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabnya. Sebaliknya, DKI kronis timbulnya lambat serta mempunyai variasi gambaran klinis yang luas, sehingga adakalanya sulit dibedakan dengan dermatitis kontak alergik. Untuk ini diperlukan uji tempel dengan bahan yang dicurigai.

C.                      PENGOBATAN DKI[1]

Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan iritan, baik yang bersifat mekanik, fisik, maupun kimiawi, serta menyingkirkan faktor yang memperberat. Bila ini dapat dilaksanakan dengan sempurna, dan tidak terjadi komplikasi, maka DKI tersebut akan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan topikal, mungkin cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang kering.Apabila diperlukan, untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid topikal, misalnya hidrokortison, atau untuk kelainan yang kronis dapat diawali dengan kortikosteroid yang lebih kuat.Pemakaian alat pelindung diri yang adekuat diperlukan bagi

mereka yang bekerja dengan bahan iritan, sebagai salah satu upaya pencegahan.

D.                     PROGNOSIS DKIBila bahan iritan penyebab dermatitis tersebut tidak dapat disingkirkan dengan sempurna, maka prognosisnya kurang baik. Keadaan ini sering terjadi pada DKI kronis yang penyebabnya multi faktor, juga pada penderita atopi.

2.    DERMATITIS KONTAK ALERGI (DKA)A.  EPIDEMIOLOGI DKA[1]

Bila dibandingkan dengan DKI, jumlah penderita DKA lebih sedikit karena hanya mengenai orang yang keadaan kulitnya sangat peka (hipersensitif). Dahulu diperkirakan bahwa kejadiaan DKI akibat kerja sebanyak 80% dan DKA 20%, tetapi data baru menunjukkan dari Inggris dan Amerika Serikat bahwa dermatitis kontak akibat kerja karena alergi antara 50-60%.

B.  ETIOLOGI DKA[1]

Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul umumnya rendah (<1000 dalton), merupakan alergen yang belum diproses, disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat tembus stratum korneum sehingga mencapai epidermis di bawahnya (sel hidup). Berbagai faktor berpengaruh pada timbulnya DKA, misalnya, potensi sensitisasi alergen, dosis per unit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, oklusi, suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum dan pH. Juga faktor individu, misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak dan status imunologik.

C.  PATOGENESIS DKA[1]

Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada DKA adalah mengikuti respons imun yang diperantarai oleh reaksi imunologik tipe, suatu hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi ini terjadi melalui dua fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elastasi.1)   Fase sensitisasiHapten yang masuk ke dalam epidermis melewati stratum korneum akan ditangkap oleh sel Langerhans dengan cara

pinositosis dan diproses secara kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol serta dikonjugasikan pada molekul HLA-DR menjadi antigen lengkap. Pada awalnya sel Langerhans dalam keadaan istirahat dan hanya berfungsi sebagai makrofag dengan sedikit kemampuan menstimulasi sel-T. Tetapi setelah keratinosit terpajan oleh hapten yang juga mempunyai sifat iritan, akan melepaskan sitokin (IL-1) yang akan mengaktifkan sel Langerhans sehingga mampu menstimulasi sel-T. Aktivasi tersebut akan mengubah fenotip sel Langerhans dan meningkatkan sekresi sitokin tertentu (mis: IL-1) serta ekspresi molekul permukaan sel termasuk MHC kelas I dan II, ICAM-1, LFA-3 dan B7. Sitokin proinflamasi lain yang dilepaskan adalah TNFα dan dapat mengaktifkan sel-T, makrofag dan granulosit, menginduksi perubahan molekul adhesi sel dan pelepasan sitokin juga meningkatkan MHC kelas I dan II.TNFα menekan produksi E-cadherin yang mengikat sel Langerhans pada epidermis, juga menginduksi aktivasi gelatinolisis sehingga memperlancar sel Langerhans melewati membran basalis bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat melalui saluran limfe. Di dalam kelenjar limfe, sel Langerhans mempresentasikan kompleks HLA-DR-antigen kepada sel T-helper spesifik, yaitu yang mengekspresikan molekul CD-4 yang mengenali HLA-DR sel Langerhans dan kompleks reseptor sel-T spesifik ini ditentukan secara genetik.Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel-T untuk mensekresi IL-2 dan mengekspresi reseptor-IL-2 (IL-2R). Sitokin ini akan menstimulasi proliferasi sel-T spesifik, sehingga menjadi lebih banyak. Turunan sel ini yaitu sel-T memori akan meninggalkan kelenjar getah bening ke seluruh tubuh. Pada saat tersebut individu menjadi tersensitisasi selama 2- 3 minggu.Menurut konsep danger signal (sinyal ‘bahaya’) bahwa sinyal antigen murni suatu hapten cenderung menyebabkan toleransi, sedangkan sinyal iritannya menimbulkan sensitisasi. Dengan demikian terjadinya sensitisasi kontak bergantung pada adanya sinyal iritan yang dapat berasal dari alergen kontak sendiri, dari ambang rangsang yang rendah terhadap respon iritan, dari bahan

kimia inflamasi pada kulit yang meradang atau kombinasi dari ketiganya. Jadi, ‘sinyal bahaya’ yang menyebabkan sensitisasi tidak berasal dari sinyal antigen sendiri, melainkan dari iritasi yang menyertainya. Suatu tindakan mengurangi iritasi akan menurunkan potensi sensitisasi.2)   Fase elitasiFase Kedua (elitasi) hipersensitivitas tipe lambat terjadi pada pajanan ulang alergen (hapten). Seperti pada fase sensitisasi, hapten akan ditangkap oleh sel Langerhans dan diproses secara kimiawi menjadi antigen, diikat oleh HLA-DR kemudian diekspresikan di permukaan sel. Selanjutnya kompleks HLA-DR- antigen akan dipresentasikan kepada sel-T memori baik di kulit maupun di kelenjar limfe sehingga terjadi proses aktivasi. Di kulit proses aktivasi lebih kompleks dengan hadirnya sel-sel lain. Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang memproduksi IL-2 dan mengekspresikan IL-2R yang akan menyebabkan proliferasi dan ekspansi populasi sel-T di kulit. Sel-T memori juga mengeluarkan IFN-ϒ yang akan mengaktifkan keratinosit mengekspresi ICAM-1 dan HLA-DR. adanya ICAM-1 memungkinkan keratinosit untuk berinteraksi langsung dengan sel-T CD4+  dan juga memungkinkan presentasi antigen kepada sel tersebut. HLA-DR juga dapat merupakan target sel-T sitotoksik pada keratinosit. Keratinosit menghasilkan juga sejumlah sitokin antara lain IL-1, IL-6, TNF-α dan GMCSF, semuanya dan mengaktivasi sel-T. IL-1 dapat menstimulasi keratinosit menghasilkan eikosanoid. Sitokin dan eikosanoid ini akan mengaktifkan sel mast dan makrofag. Sel mast yang berada di dekat pembuluh darah dermis akan melepaskan antara lain histamin, berbagai jenis faktor kemotaktik, PGE2 dan PGD2 dan leukotrin B4 (LTB4). Eikosanoid baik yang berasal dari sel mast (prostaglandin) maupun dari keratinosit atau leukosit menyebabkan dilatasi vaskular dan meningkatkan permeabilitas sehingga molekul larut seperti komplemen dan kini mudah berdifusi ke dalam dermis dan epidermis. Selain itu faktor kemotaktik dan eikosanoid akan menarik neutrophil, monosit, dan sel darah lain dari dalam pembuluh darah masuk ke dalam dermis. Rentetan kejadian tersebut akan menimbulkan respon

klinik DKA. Fase elisitasi umumnya berlangsung antara 24- 48 jam.

D.  GEJALA KLINIS DKA[1]

Penderita pada umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritomatosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi. DKA akut ditempat tertentu, misalnya kelopak mata, penis, skrotum, eritema dan edema lebih dominan dari vesikel. Pada yang kronis terlihat kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas. Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis, mungkin penyebabnya juga campuran. DKA dapat meluas ke tempat lain, misalnya dengan cara autosensitisasi. Scalp, telapak tangan dan kaki relatif resisten terhadap DKA. Berbagai lokasi terjadinya DKA:1)   TanganKejadian dermatitis baik iritan maupun alergik paling sering di tangan, mungkin karena tangan merupakan organ tubuh yang paling sering digunakan untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Etiologi dermatitis tangan sangat kompleks karena banyak sekali faktor yang berperan disamping atopi. Contoh bahan yang dapat menyebabkan dermatitis tangan adalah deterjen, antiseptik, getah sayuran, semen dan pestisida.2)   LenganAlergen umumnya sama dengan pada tangan, misalnya oleh jam tangan (nikel), sarung tangan karet, debu semen, dan tanaman. Di ketiak dapat disebabkan oleh deodoran, antiperspiran, formaldehid yang ada di pakaian.3)   WajahDermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan oleh bahan kosmetik, spons (karet), obat topikal, alergen di udara (aero-alergen), nikel (tangkai kaca mata), semua alergen yang kontak dengan tangan dapat mengenai muka, kelopak mata, dan leher pada waktu menyeka keringat. Bila di bibir atau sekitarnya mungkin disebabkan oleh lipstik, pasta gigi, getah buah-buahan.

Dermatitis di kelopak mata dapat disebabkan oleh cat kuku, cat rambut, maskara, eye shadow, obat tetes mata, salep mata.4)   TelingaAnting atau jepit telinga dari nikel, penyebab dermatitis kontak pada telinga. Penyebab lain, misalnya obat topikal, tangkai kaca mata, cat rambut, hearing-aids, gagang telepon.5)   LeherPenyebab kalung dari nikel, cat kuku, parfum, alergen di udara, zat warna pakaian.6)   BadanDermatitis kontak dibadan dapat disebabkan oleh tekstil, zat warna, kancing logam, karet, plastik, deterjen, bahan pelembut atau pewangi pakaian.7)   GenitaliaPenyebabnya dapat antiseptik, obat topikal, nilon, kondom, pembalut wanita, alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi, deterjen. Bila mengenai daerah anal, mungkin disebabkan oleh obat anti hemoroid.8)   Paha dan tungkai bawahDermatitis di tempat ini dapat disebabkan oleh tekstil, dompet, kunci, kaos kaki nilon, obat topikal, semen, sepatu atau sandal. Pada kaki juga dapat disebabkan oleh deterjen, bahan pembersih lantai.

E.   PENGOBATAN DKA[1]

Hal yang perlu diperhatikan dalam pengobatan dermatitis kontak adalah upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebabnya, dan menekan kelainan kulit yang timbul.Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi peradangan pada DKA akut yang ditandai dengan eritema, edema, vesikel atau bula, serta eksudatif, misalnya prednison 30 mg/hr. Umumnya kelainan kulit akan merada setelah beberapa hari. Sedangkan kelainan kulitnya cukup dikompres dengan larutan garam fisiologis atau larutan air salisil 1:1000.Untuk DKA ringan atau akut yang telah mereda (setelah mendapat pengobatan kortikosteroid sistemik), cukup diberikan

kortikosteroid atau makrolaktam (pimecrolimus atau tacrolimus) secara topikal.

F.                       PROGNOSIS DKA[1]

Prognosis DKA umumnya baik, sejauh bahan kontaknya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila terjadi bersamaan dengan dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis numularis, atau psioriasis), atau terpajan oleh alergen yang tidak mungkin dihindari, misalnya berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat di lingkungan penderita.

Tabel 1. Perbedaan Dermatitis Kontak Alergi dan Iritan[2]

Alergi Iritan

Gejala

Populasi

Onset

Paparan BerulangGejala Khas

Patch Test

Kemerahan, vesikel, papul, basah, krusta,

likenifikasi.Individu yang sensitif

(hanya satu orang).

Bervariasi dengan lokasi (biasanya dalam hitungan

hari)Ya

Menimbulkan rasa gatal.

Positif

Kemerahan, fisura, pustula.

Siapapun dengan penggunaan yang cukup sering.

Dalam beberapa menit sampai jam

TidakRasa seperti terbakar dan

nyeri.Negatif

3.    DERMATITIS ATOPI (DA)A.  DEFINISI DADermatitis atopik ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan

kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita.[1]

B.  SINONIMBanyak istilah yang dipakai sebagai sinonim DA ialah ekzema atopik, ekzema konstitusional, ekzema fleksural, neurodermitis diseminata, prurigo Besnier. Tetapi yang paling sering digunakan adalah dermatitis atopik.[1]

C.  EPIDEMIOLOGI DABelakangan ini prevalensi DA makin meningkat dan hal ini merupakan masalah besar karena terkait bukan saja dengan kehidupan penderita tetapi juga melibatkan keluarganya. Di Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia dan negara-negara industri lainnya, prevalensi DA pada anak mencapai 10 – 20%, sedangkan pada dewasa 1 – 3 %. Di negara agraris, prevalensi ini lebih rendah. Perbandingan wanita dan pria adalah 1,3:1. DA cenderung diturunkan. Bila seorang ibu menderita atopi maka lebih dari seperempat anaknya akan menderita DA pada 3 bulan pertama. Bila salah satu orang tua menderita atopi maka lebih separuh anaknya menderita alergi sampai usia 2 tahun dan bila kedua orang tua menderita atopi, angka ini meningkat sampai 75 %.[1]Dermatitis kronik dengan 90% kasus pada usia 5 tahun. Karakteristik distribusi bervariasi tergantung usia.[2]

D.  ETIOLOGI

Tabel 2. Alergen Pada Dermatitis Atopik[2]

Aeroalergen Alergen Makanan Mikroorganisme

Serbuk sariJamurDebuHewan yangKecoa

SusuTelurKacangKedelaiGandumKulit ikanIkan

BakteriStaphylococcus aureusstreptococciFungiPityrosporum ovale/orbiculareTrichophyton speciesSpesies lain (Candida,

Malassezia)

E.   PATOGENESIS[1,2]

Penyakit ini dipengaruhi multifaktorial, seperti faktor genetik, imunologik, lingkungan, sawar kulit dan farmakologik. Konsep dasar terjadinya DA adalah melalui reaksi imunologik.1)   Faktor GenetikDA adalah penyakit dalam keluarga dimana pengaruh maternal sangat besar. Walaupun banyak gen yang nampaknya terkait dengan penyakit alergi, tetapi yang paling menarik adalah peran Kromosom 5 q31 – 33 karena mengandung gen penyandi IL3, IL4, IL13 dan GM – CSF (granulocyte macrophage colony stimulating factor) yang diproduksi oleh sel Th2. Pada ekspresi DA, ekspresi gen IL-4 juga memainkan peranan penting.Predisposisi DA dipengaruhi perbedaan genetik aktifitas transkripsi gen IL-4. Dilaporkan adanya keterkaitan antara polimorfisme spesifik gen kimase sel mast dengan DA tetapi tidak dengan asma bronkial ataupun rinitis alergik. Serine protease yang diproduksi sel mast kulit mempunyai efek terhadap organ spesifik dan berkontribusi pada resiko genetik DA.2)   Respon imun pada kulitSalah satu faktor yang berperan pada DA adalah faktor imunologik. Di dalam kompartemen dermo-epidermal dapat berlangsung respon imun yang melibatkan sel Langerhans (SL) epidermis, limfosit, eosinofil dan sel mast.Bila suatu antigen (bisa berupa alergen hirup, alergen makanan, autoantigen ataupun super antigen) terpajan ke kulit individu dengan kecenderungan atopi, maka antigen tersebut akan mengalami proses : ditangkap IgE yang ada pada permukaan sel mast atau IgE yang ada di membran sel Langerhans epidermis.Bila antigen ditangkap IgE sel mast (melalui reseptor FcεRI), IgE akan mengadakan cross linking dengan FcεRI, menyebabkan degranulasi sel mast dan akan keluar histamin dan faktor kemotaktik lainnya. Reaksi ini disebut reaksi hipersensitif tipe cepat (immediate type hypersensitivity). Pada pemeriksaan

histopatologi akan nampak sebukan sel eosinofil.Selanjutnya antigen juga ditangkap IgE, sel Langerhans (melalui reseptor FcεRI, FcεRII dan IgE binding protein), kemudian diproses untuk selanjutnya dengan bekerja sama dengan MHC II akan dipresentasikan ke nodus limfa perifer (sel T-naive) yang mengakibatkan reaksi berkesinambungan terhadap sel T di kulit, akan terjadi diferensiasi sel T pada tahap awal aktivasi yang menentukan perkembangan sel T ke arah TH1 atau TH2. Sel TH1 akan mengeluarkan sitokin IFN-γ, TNF, IL-2 dan IL-17, sedangkan sel TH2 memproduksi IL-4, IL-5 dan IL-13. Meskipun infiltrasi fase akut DA didominasi oleh sel TH2 namun kemudian sel TH1 ikut berpartisipasi.Jejas yang terjadi mirip dengan respons alergi tipe IV tetapi dengan perantara IgE sehingga respons ini disebut IgE mediated-delayed type hypersensitivity. Pada pemeriksaan histopatologi nampak sebukan sel netrofil. Selain dengan SL dan sel mast, IgE juga berafinitas tinggi dengan FcεRI yang terdapat pada sel basofil dan terjadi pengeluaran histamin secara spontan oleh sel basofil. Garukan kronis dapat menginduksi terlepasnya TNF α dan sitokin pro- inflamasi epidermis lainnya yang akan mempercepat timbulnya peradangan kulit DA. Kadang-kadang terjadi aktivasi penyakit tanpa rangsangan dari luar sehingga timbul dugaan adanya autoimunitas pada DA. Pada lesi kronik terjadi perubahan pola sitokin. IFN-γ yang merupakan sitokin Th1 akan diproduksi lebih banyak sedangkan kadar IL-5 dan IL-13 masih tetap tinggi. Lesi kronik berhubungan dengan hiperplasia epidermis. IFN dan GM-CSF mampu menginduksi sel basal untuk berproliferasi menghasilkan pertumbuhan keratinosit epidermis. Perkembangan sel T menjadi sel TH2 dipacu oleh IL-10 dan prostaglandin (P6) E2. IL-4 dan IL-13 akan menginduksi peningkatan kadar IgE yang diproduksi oleh sel B.

3)   Respons sistemikPerubahan sistemik pada DA adalah sebagai berikut :·      Sintesis IgE meningkat.·      IgE spesifik terhadap alergen ganda meningkat.·      Ekspresi CD23 pada sel B dan monosit meningkat.

·      Respons hipersensitivitas lambat terganggu.·      Eosinofilia.·      Sekresi IL-4, IL-5 dan IL-13 oleh sel Th2 meningkat.·      Sekresi IFN-γ oleh sel Th1 menurun.·      Kadar reseptor IL-2 yang dapat larut meningkat.·      Kadar CAMP-Phosphodiesterase monosit meningkat disertai peningkatan IL-13 dan PGE2

4)   Berbagai faktor pemicuPenderita DA cenderung mudah terinfeksi oleh bakteri, virus, dan jamur karena imunitas selular menurun (aktivitas TH1 berkurang).           

Gambar 1. Gambaran skematik imunopatologi pada dermatitis atopik.[2]

F.   GAMBARAN KLINIS DAAda 3 fase klinis DA yaitu DA infantil (2 bulan – 2 tahun), DA anak (2 – 10 tahun) dan DA pada remaja dan dewasa.

Gambar 2. Distribusi dermatitis atopik berdasarkan usia. [2]

·      DA infantil (2 bulan – 2 tahun)        DA paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan yaitu pada bulan kedua. Lesi mula-mula tampak didaerah muka (dahi-pipi) berupa eritema, papul-vesikel pecah karena garukan sehingga lesi menjadi eksudatif dan akhirnya terbentuk krusta. Lesi bisa meluas ke kepala, leher, pergelangan tangan dan tungkai. Bila anak mulai merangkak, lesi bisa ditemukan didaerah ekstensor ekstremitas. Sebagian besar penderita sembuh setelah 2 tahun dan sebagian lagi berlanjut ke fase anak.·      DA pada anak (2 – 10 tahun)        Dapat merupakan lanjutan bentuk DA infantil ataupun timbul sendiri (de novo). Lokasi lesi di lipatan siku atau lutut, bagian fleksor pergelangan tangan, kelopak mata dan leher. Ruam berupa papul likenifikasi, sedikit skuama, erosi, hiperkeratosis dan mungkin infeksi sekunder. DA berat yang lebih dari 50% permukaan tubuh dapat mengganggu

pertumbuhan.·      DA pada remaja dan dewasa        Lokasi lesi pada remaja adalah di lipatan siku atau lutut, samping leher, dahi, sekitar mata. Pada dewasa, distribusi lesi kurang karakteristik, sering mengenai tangan dan pergelangan tangan, dapat pula berlokasi setempat misalnya pada bibir (kering, pecah, bersisik), vulva, puting susu atau scalp. Kadang-kadang lesi meluas dan paling parah di daerah lipatan, mengalami likenifikasi. Lesi kering, agak menimbul, papul datar cenderung berkonfluens menjadi plak likenifikasi dan sedikit skuama. Bisa didapati ekskoriasi dan eksudasi akibat garukan dan akhirnya menjadi hiperpigmentasi.        Pruritus adalah gejala subjektif yang paling dominan dan terutama dirasakan pada malam hari. Bagaimana mekanisme timbulnya pruritus masih belum jelas. Histamin yang keluar akibat degranulasi sel mast bukanlah satu-satunya penyebab pruritus. Disangkakan sel peradangan, ambang rasa gatal yang rendah akibat kekeringan kulit, perubahan kelembaban udara, keringat berlebihan, bahan iritan konsentrasi rendah serta stres juga terkait dengan timbulnya pruritus.Umumnya DA remaja dan dewasa berlangsung lama kemudian cenderung membaik setelah usia 30 tahun, jarang sampai usia pertengahan dan sebagian kecil sampai tua. Berbagai kelainan kulit dapat menyertai DA (termasuk dalam kriteria minor).

G.  DIAGNOSIS DA[1,2]

Diagnosis DA menggunakan kriteria dari Hanafin dan Rajka. Diagnosis ditegakkan bila mempunyai minimal 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor.Kriteria Mayor·      Pruritus·      Dermatitis di muka atau ekstensor bayi dan anak·      Dermatitis di fleksura pada dewasa·      Dermatitis kronis atau residif·      Riwayat atopi pada penderita atau keluarganyaKriteria Minor·      Xerosis·      Infeksi kulit (khususnya oleh S. aureus dan virus H.

simpleks)·      Dermatitis non spesifik pada tangan dan kaki·      Iktiosis atau hiperlinearis palmaris atau keratosis pilaris·      Pitiriasis alba·      Dermatitis di papila mammae·      White dermatografism dan delayed blanched response·      Keilitis·      Lipatan infra orbital Dennie – Morgan·      Konjungtivitis berulang·      Keratokonus·      Katarak subkapsular anterior·      Orbita menjadi gelap·      Muka pucat dan eritema·      Gatal bila berkeringat·      Intoleransi perifolikular·      Hipersensitif terhadap makanan·      Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau emosi·      Tes alergi kulit tipe dadakan positif·      Kadar IgE dalam serum meningkat·      Awitan pada usia dini

H.  DIAGNOSIS BANDING DA[1,2]

DA didiagnosis banding dengan dermatitis seboroik, dermatitis kontak, dermatitis numularis, skabies, iktiosis, psoriasis dematitis herpetiformis, sindrom Sezary dan penyakit Letterer-Siwe. Pada bayi, DA dapat pula didiagnosis banding dengan sindrom Wiskott-Aldrich dan sindrom hiper-IgE.

I.     PENATALAKSANAAN DA1)        Penatalaksanaan Umum[1,2]

Berbagai faktor dapat menjadi pencetus DA dan tidak sama untuk setiap individu, karena itu perlu diidentifikasi dan dieliminasi berbagai faktor tersebut.·           Menghindarkan pemakaian bahan-bahan iritan (deterjen, alkohol, astringen, pemutih, dll).·           Menghindarkan suhu yang terlalu panas dan dingin, kelembaban tinggi.

·           Menghindarkan aktifitas yang akan mengeluarkan banyak keringat.·           Menghindarkan makanan-makanan yang dicurigai dapat mencetuskan DA.·           Melakukan hal-hal yang dapat mengurangi jumlah TDR atau agen infeksi, seperti menghindari penggunaan kapuk atau karpet atau mainan berbulu.·           Menghindarkan stres emosi.·           Mengobati rasa gatal.

2)        Pengobatana.         Pengobatan topikal·           Hidrasi kulitDengan melembabkan kulit, diharapkan sawar kulit menjadi lebih baik dan penderita tidak menggaruk dan lebih impermeabel terhadap mikroorganisme atau bahan iritan. Berbagai jenis pelembab dapat dipakai antara lain krim hidrofilik urea 10%, pelembab yang mengandung asam laktat dengan konsentrasi kurang dari 5%. Pemakaian pelembab beberapa kali sehari, setelah mandi.[1]·           Kortikosteroid topikalWalau steroid topikal sering diberi pada pengobatan DA, tetapi harus berhati-hati karena efek sampingnya yang cukup banyak. Kortikosteroid potensi rendah diberi pada bayi, daerah intertriginosa dan daerah genitalia. Kortikosteroid potensi menengah dapat diberi pada anak dan dewasa. Bila aktifitas penyakit telah terkontrol, kortikosteroid diaplikasikan intermiten, umumnya dua kali seminggu.[1]Kortikosteroid yang digunakan 0,1 betametason (valison), 0,025% fluosinolon (sinalar), dan 0,1% atau 0,025% triamsinolon (aristocort, kenalog). Hidrokortison krim, 1% dapat digunakan untuk bagian wajah dan leher.[2]

·       Imunomodulator kulitTakrolimusBekerja sebagai penghambat calcineurin, sediaan dalam bentuk salep 0,03% untuk anak usia 2 – 15 tahun dan dewasa 0,03% dan 0,1%. Pada pengobatan jangka panjang tidak ditemukan efek samping kecuali rasa terbakar setempat.[1]

PimekrolimusPimekrolimus adalah suatu senyawa askomisin yaitu suatu imunomodulator golongan makrolaktam. Kerjanya sangat mirip siklosporin dan takrolimus. Sediaan yang dipakai adalah konsentrasi 1%, aman pada anak dan dapat dipakai pada kulit sensitif 2 kali sehari.[1,4]

Preparat terMempunyai efek anti pruritus dan anti inflamasi pada kulit. Sediaan dalam bentuk salep hidrofilik misalnya mengandung liquor carbonat detergent 5% - 10% atau crude coaltar 1% - 5%.

AntihistaminAntihistamin topikal tidak dianjurkan pada DA karena berpotensi kuat menimbulkan sensitisasi pada kulit. Pemakaian krim doxepin 5% dalam jangka pendek (1 minggu) dapat mengurangi gatal tanpa sensitisasi, tapi pemakaian pada area luas akan menimbulkan efek samping sedatif.[1,4]Antihistamin golongan alkilamin, contohnya klorfeniramin dosis 4-8 mg. Antihistamin pada reaksi anafilaksis dan beberapai reaksi alergi refrakter terhadap pemberian anti histamin1 karena bukan histamin saja yang berperan tetapi autakoid lain yang dilepaskan. Setelah pemberian oral atau parenteral, anti histamin1 diabsorpsi sercara baik. Efeknya timbul 15-30 menit setelah pemberian oral dan maksimal setelah 1-2 jam.[3]

b.         Pengobatan Sistemik[1]

Kortikosteroid            Hanya dipakai untuk mengendalikan DA eksaserbasi akut. Digunakan dalam waktu singkat, dosis rendah, diberi selang-seling. Dosis diturunkan secara tapering. Pemakaian jangka panjang akan menimbulkan efek samping dan bila tiba-tiba dihentikan akan timbul rebound phenomenon.

Antihistamin            Diberi untuk mengurangi rasa gatal. Dalam memilih anti

histamin harus diperhatikan berbagai hal seperti penyakit-penyakit sistemik, aktifitas penderita dll. Anti histamin yang mempunyai efek sedatif sebaiknya tidak diberikan pada penderita dengan aktifitas disiang hari (seperti supir). Pada kasus sulit dapat diberi doxepin hidroklorida 10- 75 mg/oral/2 x sehari yang mempunyai efek anti depresan dan blokade reseptor histamin H1 dan H2.[1,4]

Interferon gamma (IFN γ)            IFN γ bekerja menekan respons IgE dan menurunkan fungsi dan proliferasi sel TH1. Pengobatan IFN γ rekombinan menghasilkan perbaikan klinis karena dapat menurunkan jumlah eosinofil total dalam sirkulasi.

Siklosporin            Siklosporin adalah suatu imunosupresif kuat terutama bekerja pada sel T akan terikat dengan calcineurin menjadi suatu kompleks yang akan menghambat calcineurin sehingga transkripsi sitokin ditekan. Dosis 5 mg/kg BB/oral, diberi dalam waktu singkat, bila obat dihentikan umumnya penyakit kambuh kembali. Efek sampingnya adalah peningkatan kreatinin dalam serum dan bisa terjadi penurunan fungsi ginjal dan hipertensi.

Terapi sinar (phototherapy)            Dipakai untuk DA yang berat. Terapi menggunakan ultra violet β atau kombinasi ultra violet A dan ultra violet B. Terpai kombinasi lebih baik daripada ultra violet B saja. Ultra violet A bekerja pada sel Langerhans dan eosinofil sedangkan ultra violet B mempunyai efek imunosupresif dengan cara memblokade fungsi sel Langerhans dan mengubah produksi sitoksin keratinosit.

J.     KOMPLIKASI DA1)   Infeksi sekunder. Infeksi sekunder pada kulit merupakan komplikasi tersering pada DA. Infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, virus atau jamur. Infeksi tersering disebabkan oleh bakteri, terutama Staphylococcus aureus.2)   Abnormalitas okular dapat terlihat pada pasien dengan DA.

3)   Pitiriasis alba dan keratosis piliaris merupakan dua kondisi kelainan kulit yang dapat ditemukan pada pasien dengan DA.

K.  PROGNOSIS DA[1]

Sulit meramalkannya karena adanya peran multifaktorial. Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik, adalah :·                 DA yang luas pada anak·                 Menderita rinitis alergika dan asma bronkial·                 Riwayat DA pada orang tua atau saudaranya·                 Awitan (onset) DA pada usia muda·                 Anak tunggal·                 Kadar IgE serum sangat tinggiDiperkirakan 30 – 35% penderita DA infantil akan berkembang menjadi asma bronkial atau hay fever. Penderita DA mempunyai resiko tinggi untuk mendapat dermatitis kontak iritan akibat kerja di tangan.[1]

4.    DERMATITIS NUMULAR[1]

A.  DEFINISIDermatitis numularis atau yang biasa disebut ekzem numular atau ekzem discoid merupakan suatu peradangan berupa lesi berbentuk mata uang (coin) atau agak lonjong, berbatas tegas, dengan efloresensi atau lesi awal berupa papul disertai vesikel (papulovesikel), biasanya mudah pecah sehingga basah (oozing) dan biasanya menyerang daerah ekstremitas.

B.  EPIDEMIOLOGIDermatitis numularis biasanya terjadi pada orang dewasa, lebih sering pada pria dibandingkan paada wanita. Usia puncak awitan pada kedua jenis kelamin antara 55 dan 65 tahun; pada wanita usia puncak terjadi juga pada usia 15 sampai 25 tahun. Dermatitis numularis tidak biasa ditemukan pada anak, bila ada timbulnya jarang pada usia sebelum satu tahun; umumnya kejadian meningkat seiring dengan meningkatnya usia.Prevalensi dermatitis numularis di Amerika Serikat adalah 2 dari 1000 orang dan insiden internasional dianggap sama seperti

Amerika Serikat. Tidak ada perbedaan ras pada penyakit ini.C.  ETIOLOGIPenyebabnya sampai saat ini belum diketahui. Kemungkinan suatu varian dermatitis atopik dibantah, karena kadar IgE masih dalam batas normal. Diduga infeksi ikut berperan pada dermatitis numularis dengan ditemukannya peningkatan koloni Staphylococcus dan Micrococcus di tempat kelainan walaupun secara klinis tidak ditemukan tanda infeksi. Timbulnya dermatitis numularis apakah melalui mekanisme hipersensitifitas terhadap bakteri atau karena infeksi bakteri tersebut, belum diketahui dengan jelas. Eksaserbasi terjadi bila koloni bakteri meningkat di atas 10 juta kuman/cm2.Dermatitis kontak mungkin ikut memegang peranan pada berbagai kasus dermatitis numularis, misalnya alergi terhadap nikel, krom, kobal, demikian pula iritasi dengan wol dan sabun. Trauma fisik dan kimiawi mungkin juga berperan, terutama bila terjadi di tangan; dapat pula pada bekas cedera lama atau jaringan parut. Pada sejumlah kasus, stres emosional dan minuman yang mengandung alkohol dapat menyebabkan timbulnya eksaserbasi. Lingkungan dengan kelembaban rendah dapat pula memicu kekambuhan.Dermatitis pada orang dewasa tidak berhubungan dengan gangguan atopi. Pada anak, lesi numularis terjadi pada dermatitis atopik.

D.  PATOFISIOLOGIPatofisiologi tentang dermatitis numularis ini belum diketahui dengan pasti, tetapi pada kulit penderita dermatitis numularis cenderung kering, hidrasi stratum korneum rendah. Peneliti mengemukakan hipotesa bahwa pelepasan histamin dan mediator inflamasi lainnya dari sel mast yang kemudian berinteraksi dengan serat-saraf-C yang dapat menimbulkan gatal. Pada penderita dermatitis numularis, substansi P dan kalsitosin serat peptida meningkat pada daerah lesi dibandingkan pada non-lesi. Neuropeptida ini dapat menstimulasi pelepasan sitokin lainnya sehingga memicu timbulnya inflamasi. Hal ini menunjukkan bahwa neuropeptida berpotensi pada mekanisme proses degranulasi sel mast.

Peneliti lain telah menunjukkan bahwa adanya sel mast pada dermis dari pasien dermatitis numularis menunjukkan aktivitas enzim chymase, mengakibatkan menurunnya kemampuan menguraikan neuropeptida dan protein. Disregulasi ini dapat menyebabkan menurunnya kemampuan enzim untuk menekan proses inflamasi.

E.   GAMBARAN KLINISPenderita dermatitis numularis umumnya mengeluh sangat gatal, lesi akut berupa vesikel dan papulovesikel (0,3-1,0 cm), kemudian membesar dengan cara berkonfluensi atau meluas ke samping, membentuk suatu lesi karakterisistik seperti uang logam, eritematosa, sedikit edematosa, dan berbatas tegas. Lambat laun vesikel pecah terjadi eksudasi, kemudian mongering menjadi krusta kekuningan. Ukuran garis tangan lesi dapat mencapai 5 cm, jarang sampai 10 cm. penyembuhan dimulai dari tengah sehingga terkesan menyerupai lesi dermatomikosis. Lesi lama berupa likenifikasi dan skuama.Jumlah lesi dapat hanya satu, dapat pula banyak dan tersebar, bilateral atau simetris, dengan ukuran yang bervariasi, mulai dari miliar sampai numular, bahkan plakat. Tempat predileksi di tungkai bawah, badan, lengan termasuk punggung tangan.Dermatitis numularis cenderung hilang timbul, ada pula yang terus menerus, kecuali dalam periode pengobatan. Bila terjadi kekambuhan umumnya timbul pada tempatsemula. Lesi dapat pula terjadi pada tempat yang mengalami trauma (Fenomena Kὂbner).

F.   DIAGNOSISDiagnosis dermatitis numularis didasarkan atas gambaran klinis. Sebagai diagnosis banding antara lain ialah dermatitis kontak, dermatitis atopik, neurodermatitis sirkumskripta, dan dermatomikosis.G.  PENGOBATANSedapat-dapatnya mendapatkan penyebab atau faktor yang memprovokasi. Bila kulit kering, diberi pelembab atau emolien. Secara topikal lesi dapat diobati dengan obat anti-inflamasi, misalnya preparat terglukokortikoid, takrolimus, atau

pimekrolimus. Bila lesi masih eksudatif, sebaiknya dikompresi dahulu misalnya dengan larutan permanganas kalikus 1:10.000. kalau ditemukan infeksi bacterial, diberikan antibiotika secara sistemik. Kortikosteroid sistemik hanya diberikan pada kasus yang berat dan refrakter, dalam jangka pendek. Pruritus dapat diobati dengan antihistamin golongan H1, misalnya Hidrosisin HCL.

H.  PROGNOSISDari suatu pengamatan sejumlah penderita yang diikuti selama berbagai interval sampai dua tahun, didapati bahwa 22% sembuh, 25% pernah sembuh untuk beberapa minggu sampai tahun, 53% tidak pernah bebas dari lesi kecuali masih dalam pengobatan.

5.    DERMATITIS STASIS[1]

A.  SINONIMDermatitis gravitasional, ekzem stasis, dermatitis hipostatik, ekzem varikosa, dermatitis venosa.

B.  DEFINISIDermatitis sekunder akibat insufisiensi kronik vena (hipertensi vena) tungkai bawah.

C.  ETIOPATOGENESISTimbulnya belum jelas diketahui. ada teori yang mengatakan bahwa dengan meningkatnya tekanan hidrostatik dalam sistem vena, terjadi kebocoran fibrinogen masuk ke dalam dermis selanjutnya fibrinogen di luar pembuluh darah  akan  berpoliferasi membentuk selubung fibrin perikapiler dan interstisium sehingga akan menghalangi difusi oksigen dan makanan yg di butuhkan oleh kulit akibatnya akan terjadi kematian sel.Hipotesis lain menyatakan adanya hubungan arteri vena mengakibatkan hipoksia dan kekurangan bahan makanan di kulit. Faktor pertumbuhan (growth factor) yang menyatakan bahwa karena keluarnya molekul makro, misalnya fibrinogen ke dalam dermis akibat dari hipertensi

vena atau kerusakan kapiler sehingga tidak mampu mempertahankan integritas jaringan, terperangkapnya sel darah putih akibat dari hipertensi vena, sehingga perbedaan tekanan antara sistem vena dan arteri menurun, dan kecepatan aliran darah dalam kapiler dari kedua sistem tersebut juga berkurang yang mengakibatkan agregasi eritrosit dan sumbatan oleh leukosit di dalam kapiler sehingga mengakibatkan terjadinya iskemia.

D.  GAMBARAN KLINISAkibat tekanan vena yang meningkat pada tungkai bawah, akan terjadi pelebaran vena atau varises dan edema. Lambat laun kulit berwarna merah kehitaman dan timbul purpura  (karena ekstravasasi sel darah merah ke dalam dermis), dan hemosiderosis. Edema dan varises mudah terlihat bila penderita lama berdiri. Kelainan ini dimulai dari permukaan tungkai bawah bagian medial atau lateral diatas maleolus. Kemudian secara bertahap akan meluas ke atas sampai dibawah lutut, dan ke bawah sampai di punggung kaki. Dalam perjalanan selanjutnya terjadi perubahan ekzematosa berupa eritema, skuama, kadang eksudasi, dan gatal. Bila telah berlangsung lama kulit akan menjadi tebal dan fibrotik, meliputi sepertiga tungkai bawah, sehingga tampak seperti botol yang terbalik. Keadaan ini disebut lipodermatosklerosis.Dermatitis stasis dapat mengalami komplikasi berupa ulkus diatas maleolus disebut ulkus venosum atau ulkus varikosum, dapat pula mengalami infeksi sekunder misalnya selulitis. Dermatitis statis dapat diperberat karena mudah teriritasi oleh bahan kontaktan atau mengalami autosensitisasiE.   DIAGNOSISDiagnosis didasarkan atas gambaran klinis. Diagnosis banding dermatitis statis antara lain ialah dermatitis kontak (dapat terjadi bersama-sama), dermatitis numularis, dan penyakit schaberg.

F.   PENGOBATANUntuk mengatasi edema, tungkai dinaikkan waktu tidur dan waktu duduk. Bila tidur kaki di angkat di atas permukaan

jantung selama 30 menit, dilakukan 3 hingga 4 kali sehari, maka edema akan menghilang/ mengurang dan mikrosirkulasi akan membaik. Dapat pula bila malam hari, kaki tempat tidur disebelah bawah diganjal dengan balok setinggi 15 sampai 20 cm (sedikit lebih tinggi daripada letak jantung). Apabila sedang menjalankan aktivitas, memakai kaos kaki penyangga varises atau pembalut elastis.Eksudat dikompres dan setelah kering diberi krim kortikosteroid potensi rendah sampai sedang. Antibiotika sistemik diberikan untuk mengatasi infeksi sekunder. 

6.    DERMATITIS AUTOSENSITASI[1]

A.  DEFINISIDermatitis autosensitisasi adalah dermatitis akut yang timbul pada tempat jauh dari fokus inflamasi lokal, sedangkan penyebabnya tidak berhubungan langsung dengan penyebab fokus inflamasi tersebut.

B.  ETIOLOGIEtiopatogenesis dermatitis autosensitisasi belum diketahui pasti. Walaupun ada anggapan bahwa kelainan ini disebabkan oleh autosensitisasi terhadap antigen epidermal, tetapi konsep ini belum dibuktikan secara eksperimental.

C.  GAMBARAN KLINISAutosensitisasi umumnya dalam bentuk erupsi vesikular akut dan luas, sering berhubungan dengan  ekzem kronis ditungkai bawah (dermatitis stasis) dengan atau tanpa ulkus.

D.                     HISTOPATOLOGIDalam epidermis terlihat spongiosis, vesikel pada epidermis. Di dermis ditemukan infiltrat limfohistiosit di sekitar pembuluh darah superficial, juga berisi eosinofil yang tersebar. Sel T yang berada dalam vesikel intradermal terutama sel TCD8+ (sel sitotoksik/supresor), sedangkan yang di dermis terutama sel TCD4+ (sel penolong).Temuan ini tidak patognomonik, dapat ditemukan pada penyakit

lain, misalnya dermatitis kontak alergik maupun iritan, dermatitis numularis dan dishidrosis.

E.   DIAGNOSISBila tidak dapat dibuktikan bahwa erupsi papulovesikel yang tersebar bukan disebabkan oleh DKA sekunder atau infeksi sekunder oleh bakteri, virus, jamur atau parasit.

F.   PENGOBATANPengobatan ditujukan kepada penyakit awal yang memicu timbulnya dermatitis autosensitisasi. Bila lesi basah, di kompres. Dapat diberikan kortikosteroid sistemik, bila lesi cukup berat dan topikal bila kelainan kulitnya ringan. Untuk mengurangi rasa gatal dapat diberikan antihistamin, atau antipruritus topikal. Bila ada infeksi sekunder diberi antibiotik per-oral.

DAFTAR PUSTAKA

1.      Sularsito, SA., Djuanda, S. Dermatitis. Dalam: Djuanda, Adhi dkk. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 5. FKUI: Jakarta. 20072.      Lieberman, P., Anderson, JA. Allergic diseases diagnosis

and treatment. Ed. 3. Totowa, New Jersey: Humana Press. 2007.3.      Gunawan, SG. Farmakologi dan terapi. Ed. 5. Jakarta: FKUI. 2007.4.      McPhee, SJ., dkk. Current medical diagnosis and treatment. McGraw-Hill. 2008.5.      Andersson, EB. Dermatopathology. Germany: Springer. 2006.6.      Ardhie, AM. Dermatitis dan peran steroid dalam penanganannya.Vol. 17. Jakarta: Dexa Media. 2004.