Bisnis_Pariwisata
-
Upload
indrahadi5115 -
Category
Documents
-
view
14 -
download
0
description
Transcript of Bisnis_Pariwisata
Bisnis Pariwisata
Permintaan Pariwisata
Kelompok 5 :
1. Ni Luh Ayu Yulita Utami (1215251117)
2. Putu Aditya PrabanDewi (1215251142)
3. Luh Putu Sri Herlina (1215251150)
4. Ni Made Kenasih Meriani (1215251160)
5. Ni Made Sintya Dewi (1215251161)
6. Agus Resi Sumadi (1215251172)
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Udayana
2013
A.Sifat Permintaan Pariwisata
1 | P a g e
Permintaan pariwisata berpengaruh terhadap semua faktor perekonomian, perorangan
(individu), Usaha Kecil Menengah, perusahaan swasta, dan sektor pemerintah (Sinclair dan
Stabler, 1997 dalam Dhita Triana Dewi, 2010).
Pariwisata dipandang sebagai suatu jasa yang sangat disukai (Preferred goods or
services), karena ia lebih banyak dilakukan ketika pendapatan meningkat. Di saat banyak
keluarga yang memasuki kelompok pendapatan lebih tinggi, maka permintaan untuk berwisata
meningkat lebih cepat dari pendapatan.
Menurut James J. Spillane (1987), salah satu faktor yang sangat mempengaruhi
permintaan adalah mobilitas yang timbul oleh berbagai macam dorongan kebutuhan/kepentingan
yang disebut dengan istilah motivasi, yang dapat digolongkan sebagai berikut :
a) Dorongan kebutuhan dagang atau ekonomi,
b) Dorongan kebutuhan kepentingan politik,
c) Dorongan kebutuhan keamanan,
d) Dorongan kebutuhan kesehatan,
e) Dorongan kebutuhan pemukiman,
f) Dorongan kebutuhan kepentingan keagamaan,
g) Dorongan kebutuhan kepentingan pendidikan,
h) Dorongan kebutuhan minat kebudayaan,
i) Dorongan kebutuhan hubungan keluarga, dan
j) Dorongan kebutuhan untuk rekreasi.
Permintaan dalam kepariwisataan dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Potential Demand, yaitu sejumlah orang yang berpotensi untuk melakukan perjalanan
wisata, dan
2. Actual Demand, adalah orang-orang yang melakukan perjalanan wisata pada suatu
daerah tujuan wisata tertentu (Oka A. Yoeti, 2008).
B.Perilaku Konsumen dalam Pariwisata
2 | P a g e
Perilaku konsumen dalam pariwisata menurut Ali Hasan (2008:129) adalah respon
psikologis yang kompleks yang muncul dalam bentuk perilaku atau tindakan yang khas
secara perseorangan yang langsung terlibat dalam usaha memperoleh dan menggunakan
produk serta menentukan proses pengambilan keputusan dalam melakukan pembelian ulang,
yang dimaksud adalah wisatawan berkunjung ke daerah tujuan wisata, membeli souvenir,
dan suatu saat wisatawan tersebut kembali berkunjung karena merasa nyaman dan percaya.
Perilaku konsumen dalam pariwisata adalah suatu proses yang terdiri dari beberapa tahap,
yaitu:
1. Tahap perolehan (acquistion), mencari (searching) dan membeli (purchasing)
2. Tahap konsumsi (consumption) yang berupa menggunakan (using) dan mengevaluasi
(evaluting).
C. Tipe Variable-Variabel Yang Mempengaruhi Permintaan
Pariwisata
1. General Demand Factors
a. Purchasing Power
Kekuatan untuk membeli banyak ditentukan oleh pendapatan yang siap
dibelanjakan (disposable income) yang erat kaitannya dengan standar hidup dan
intensitas perjalanan yang dilakukan. Semakin tinggi pendapatan seseorang maka
semakin tinggi pula kemungkinan seseorang untuk melakukan perjalanan wisata.
b. Demographic Structure and Trends
Permintaan pariwisata ditentukan oleh besarnya jumlah penduduk dan
pertumbuhan penduduk, serta struktur usia penduduk. Jumlah penduduk yang
banyak dengan pendapatan perkapita yang kecil akan memperkecil
kemungkinan/kesempatan melakukan perjalanan wisata. Dan penduduk yang
masih muda dengan pendapatan relative tinggi akan berpengaruh lebih besar
dalam melakukan perjalanan wisata dibandingkan dengan penduduk yang berusia
pensiun.
c. Social and Culture Factors
3 | P a g e
Industrialisasi yang menyebabkan meningkatnya pemerataan pendapatan dalam
masyarakat sehingga waktu senggang meningkat dan ada liburan yang dibayar
membuat orang-orang berkecenderungan sering melakukan perjalanan wisata.
d. Travel Motivation and Attitudes
Motivasi untuk malakukan perjalanan wisata sangat erat hubungannya dengan
kondisi sosial dan budaya masyarakatnya. Masih eratnya hubungan kekeluargaan
masyarakat dan sering melakukan saling berkunjung satu dengan yang lain
sehingga meningkatkan permintaan untuk melakuka perjalanan wisata.
e. Opportunities to Travel and Tourism Marketing Intencity
Adanya Meeting, Incentive, Convention dan Exhibition (MICE) membuat
kesempatan untuk melakukan perjalanan wisata tidak hanya karena biaya
perjalanan yang ditanggung perusahaan, tetapi juga memberi kesempatan kepada
keluarga untuk ikut melakukan perjalanan wisata.
2. Determining Specific Demand Factors
Faktor-faktor penentu permintaan yang khusus terhadap daerah tujuan wisata tertentu
yang akan dikunjungi adalah sebagai berikut :
a. Harga
Secara umum, price differentiation berlaku dalam kepariwisataan sebagai suatu
strategi dalam pemasaran. Faktor harga sangat menentukan dalam persaingan
antara sesama tor operator. Bila perbedaan dalam fasilitas tidak begitu berbeda,
wisatawan cenderung akan memilih harga paket wisata yang lebih murah.
b. Daya Tarik Wisata
Daya tarik yang terdapat di daerah tujuan wisata yang akan dikunjungi sangat
mempengaruhi pemilihan daerah tujuan wisata. Karena orang tidak mau
mengunjungi daerah wisata dengan daya tarik biasa saja, karena mereka harus
membayar dan meluangkan waktu untuk melakukan perjalanan wisata. Sehingga
mereka tidak mau merasa kecewa. Daya tarik tujuan wisata dapat di sukung
dengan fasilitas dan infrastruktur yang lengkap dan memadai.
c. Kemudahan Berkunjung
Kemudahan transportasi ke daerah tujuan wisata yang akan dikunjungi akan
mempengaruhi pilihan wisatawan. Tersedianya prasarana yang memadai akan
4 | P a g e
menjadi faktor penting dalam menentukan perjalanan wisata yang akan
dilakukannya. Mereka akan mempertimbangkan hal-hal seperti ; bandara yang
bersih dan nyaman, jalan yang mulus menuju obyek wisata, transportasi yang
mudah dan nyaman, dan lain sebagainya.
d. Informasi dan Layanan Sebelum Kunjungan
Faktor Tourism Information Service sangat penting untuk diketahui wisatawan
karena dapat memberikan gambaran dan penjelasan tentang tempat-tempat yang
akan dikunjungi wisatawan, kendaraan yang akan dipakai, waktu dan apa saja
yang perlu dibawa, pelayanan pemesanan tiket, perpanjangan visa, penukaran
valuta asing, dan sebagainya.
e. Citra
Wisatawan memiliki kesan dan harapan tersendiri tentang daerah tujuan wisata
yang akan dikunjungi. Apakah kunjungan yang dilakukan akan seperti yang
diharapkan, dan terhindar dari pikiran negatif seperti bencana alam atau bom
sehingga kan meninggalkan kesan yang baik saat mereka kembali ke
daerah/Negara asalnya. Keramahtamahan tenaga kerja tujuan wisata juga perlu
dipertimbangkan untuk menciptakan citra yang bagus di mata wisatawan.
f. Intensitas Keluarga, banyak/sedikitnya keluarga juga berperan serta dalam
permintaan wisata hal ini dapat diratifikasi bahwa jumlah keluarga yang banyak
maka keinginan untuk berlibur dari salah satu keluarga tersebut akan semakin
besar, hal ini dapat dilihat dari kepentingan wisata itu sendiri.
g. Pendapatan, apabila pendapatan suatu negara tinggi maka kecendrungan untuk
memilih daerah tujuan wisata sebagai tempat berlibur akan semakin tinggi dan
bisa jadi mereka membuat sebuah usaha pada daerah tujuan wisata jika dianggap
menguntungkan.
D. Batasan – Batasan dalam Permintaan Pariwisata
5 | P a g e
Pada prinsipnya kepariwisataan mencakup semua macam perjalanan, asal saja perjalanan tersebut berhubungan dengan rekreasi dan bertamasya. Ada beberapa faktor penting dalam pemberian batasan pariwisata, yaitu:
1. Perjalanan dilakukan untuk sementara waktu 2. Perjalanan dilakukan dari satu tempat ke tempat lainnya3. Perjalanan dikatakan dengan pertamasyaan atau rekreasi 4. Orang yang melakukan perjalanan tidak mencari nafkah di tempat yang dikunjungi dan
sebagai konsumen tempat tersebut.
E. Kasus dalam Permintaan Pariwisata
Tragedi Bom Bali I dan II, Pengaruhnya Terhadap Pariwisata
ada saat bom Bali pada bulan Oktober tahun 2002 lalu di Legian, pariwisata Bali khususnya dan Indonesia pada
umumnya mengalami guncangan yang hebat. Eksodus turis mancanegara terjadi, tingkat hunian hotel menurun drastis. Bali yang mengandalkan sektor pariwisata sebagai tulung punggung perekonomian menjadi goyah, mulai dari masyarakat tingkat atas, menengah sampai masyarakat tingkat bawah. Kalangan pelaku seni khususnya untuk pariwisata, mengeluh dengan kondisi seperti ini. Hal tersebut di atas jelas berpengaruh pada pendapatan hotel, biro perjalanan, dan akhirnya banyak kontrak pertunjukan di hotel-hotel tidak diperpanjang malahan di putus karena kurangnya tamu.
P
Dampak ekonomi terbesar secara langsung dialami Bali. Kegiatan pariwisata yang merupakan tulang punggung (sekitar 35%) perekonomian Bali mengalami guncangan. Pembatalan pesanan hotel oleh para wisatawan, kosongnya restoran dan toko sejak peristiwa pemboman, serta turunnya penghasilan pemilik perusahaan kecil yang usahanya bersandar pada sektor pariwisata
telah terjadi secara dramatis. Masalah pokok yang dihadapi Bali dalam jangka pendek ini adalah penghasilan masyarakat yang menurun dan lapangan kerja yang menciut.
Peristiwa Bali juga merupakan pukulan bagi sektor pariwisata di Indonesia yang menyumbang devisa lebih dari $ 5 milyar setiap tahun terhadap neraca pembayaran nasional. Tahun lalu lebih dari 5 juta turis asing mengunjungi Indonesia. Dalam jangka pendek diperkirakan kunjungan wisatawan asing akan berkurang, baik yang bertujuan ke Bali maupun tujuan wisata lain di Indonesia. Berapa besar penerimaan devisa yang hilang untuk tahun 2002 dan 2003 tergantung pada berapa banyak wisatawan yang tidak jadi datang ke Indonesia. Dari pengalaman lalu, baik yang terjadi di Indonesia maupun negara lain, perbaikan di bidang pariwisata terjadi sejalan dengan pulihnya kepercayaan dan keamanan. Ini menggarisbawahi pentingnya pengembalian rasa aman secepat mungkin
Penurunan jumlah wisatawan mempengaruhi banyak kegiatan ekonomi lain. Survei BPS mengenai wisatawan mancanegara
6 | P a g e
menunjukkan bahwa sektor yang dipengaruhi itu termasuk : akomodasi (perhotelan), angkutan udara, angkutan darat, makanan & minuman (restoran), hiburan, tour & sightseeing, souvenir (kerajinan), kesehatan dan kecantikan dan pelayanan (guide). Melalui sektor ini Bali terkait dengan daerah-daerah lain. Dampak peristiwa Bali tidak hanya terbatas di Bali.
Dampak yang sangat penting tetapi sulit dikuantifikasikan adalah terhadap kepercayaan pelaku-pelaku ekonomi di dalam dan diluar negeri. Dampak dari kepercayaan para pelaku ini sangat luas karena menentukan sikap dan perilaku mereka di berbagai sektor. Perubahan tingkat kepercayaan akan mempengaruhi pengeluaran konsumsi, investasi, ekspor dan impor, kesemuanya adalah sumber-sumber utama pertumbuhan ekonomi. Setelah peristiwa Bali Country Risk Indonesia sangat meningkat seperti yang dicerminkan oleh risiko dan biaya transaksi dengan Indonesia (premi asuransi, biaya bunga pinjaman, dsb) yang makin mahal, para investor yang ragu-ragu dan para pembeli luar negeri yang bimbang membuka order. Normalisasi keadaan ini akan memakan waktu. Kepercayaan akan kembali, secara bertahap, apabila kita dapat menunjukkan langkah-langkah dan hasil-hasil kongkrit di bidang keamanan, reformasi hukum, fiskal dan moneter dan langkah-langkah lain yang memperbaiki iklim usaha.
Di bidang keamanan Pemerintah saat ini secara nyata menunjukkan komitmennya untuk menanggulangi terorisme, yaitu
dengan dikeluarkannya Perpu Anti Terorisme. Aparat keamanan bekerja keras untuk mengungkap secara tuntas kasus ini dengan dukungan dari negara-negara sahabat. Langkah-langkah ini semua dimaksudkan untuk mengembalikan suasana normal dan rasa aman di Bali dan tempat-tempat lain di Indonesia.
Dari berbagai indikator perkembangan pariwisata, sangatlah sulit menyepakati, tahun berapa sesungguhnya yang disebut ”tahun normal”. Meskipun angka-angka statistik sudah menunjukkan kurve naik, kalangan swasta masih saja akan mengatakan bahwa saat ini situasi belum normal. Kalau disimak lebih ke belakang,
sesungguhnya ketidaknormalan situasi sekarang bukan semata-mata terjadi karena sisi permintaan atau kurangnya ”produksi” hasil panen. Yang justru sangat mendasar adalah sisi ”pembagi” yang terlalu banyak.
Ada berbagai indikator yang dapat digunakan di dalam menentukan tingkat perekembangan pariwisata di suatu daerah tujuan wisata, baik kuantitatif maupun kualitatif. Indikator kuantitatif yang umum digunakan adalah tingkat kunjungan, tingkat hunian kamar, lama tinggal wisatawan, tingkat pengeluaran wisatawan, dan tingkat penukaran valuta asing. Sedangkan aspek kualitatif yang dapat dijadikan indikator adalah tingkat kegairahan masyarakat lokal.
Indikator yang paling mudah didapatkan, dan oleh karenanya paling sering diacu untuk menentukan tingkat perkembangan pariwisata, adalah angka kunjungan. Karena
7 | P a g e
kesulitan dalam metodologi, maka untuk konteks Bali, yang dapat dijadikan representasi dalam hal ini adalah jumlah kunjungan wisman secara langsung (foreign direct arrival).
Situasi kunjungan wisman secara langsung ke Bali pascatragedi Kuta sesungguhnya sudah menunjukkan angka kenaikan yang signifikan, sebagaimana dapat dilihat dari data dalam tiga bulan terakhir tahun 2004. Data dari Dinas Pariwisata Propinsi Bali menunjukkan bahwa pada bulan Januari 2003 (3 bulan setelah tragedi Kuta), jumlah kunjungan hanya 60.836 orang, sedangkan Januari 2004 sudah mencapai 104.062 orang, atau peningkatan sebesar 71%. Pada bulan Februari dan Maret 2003, jumlah kunjungan wisman masing-masing sebanyak 67.469 dan 72.263 orang, sedangkan pada bulan yang sama tahun ini sudah mencapai 84.374 dan 99.826 orang, atau kenaikan sebesar 25% pada bulan Februari dan 39% pada bulan Maret.
Meskipun angka kunjungan sudah cukup menggembirakan, namun lama tinggal wisatawan mengalami penurunan, jauh lebih rendah dibandingkan dengan sebelum adanya tragedi Kuta. Pada tahun 2000 dan 2001, rerata lama tinggal wisatawan mancanegara masing-masing mencapai 10,97 dan 9,48 hari. Sedangkan lama tinggal wisman yang tahun 2003 hanya sekitar 6 hari. Hal ini terjadi karena pergeseran komposisi wisman yang berkunjung ke Bali. Sebelum Tragedi Kuta (lebih tepatnya sebelum tragedi WTC di Amerika), persentase wisman dengan lama tinggal yang panjang (Amerika, Jerman, Italia, Belanda, dsb) cukup tinggi. Sedangkan sekarang dominasi wisman dengan lama tinggal yang singkat semakin tinggi (Taiwan, Jepang, Korea).
Dengan pemahaman secara lebih komprehensif, serta permenungan secara lebih arif, mungkin debat kusir mengenai tingkat kepulihan pariwisata Bali dapat lebih mengerucut. Apapun yang didiskusikan, bisa berbasis pada pengertian yang sama. Meskipun dalam ilmu sosial dikenal idiom what you see depends on where you stand (apa yang kita lihat tergantung dari mana kita berada), semestinya dalam membahas kepulihan pariwisata Bali kita mempunyai dasar pijak yang sama. Ini sangat penting dan lebih produktif sebagai ancangan di dalam menyusun agenda aksi yang lebih efektif untuk masa yang akan datang.
1.
8 | P a g e
9 | P a g e
10 | P a g e
11 | P a g e