BIOGRAFI DIPONEGORO

30
BIOGRAFI DIPONEGORO Lahir 11 Nopember 1785 dari ayah Sultan Hamengkubuwono III. Sejak kecil diasuh oleh neneknya Ratu Ageng, Permaisuri Hamengkubuwono I, pendiri kerajaan Yogyakarta yang menetap. Berkat wanita bijaksana tersebut, ia tumbuh menjadi orang alim, sederhana dan dekat dengan rakyat. Sementara Diponegoro tumbuh dewasa, di keraton Yogyakarta terjadi kericuhan yang disebabkan campur tangan pemerintah Belanda. Pengangkatan dan pemberhentian raja atau patih ditentukan oleh Belanda. Di samping itu penindasan terhadap rakyat meningkat pula. Hasil tersebut menimbulkan sikap antipati Diponegoro terhadap Belanda. Tanggal 20 Juni 1825, seorang utusan Belanda mengantar surat ke Tegalrejo untuk menanyakan maksud Diponegoro. Saat itu paman dari Diponegoro (Mangkubumi) dan Dewan Perwalian Kerajaan Yogyakarta sedang di Tegalrejo. Baru beberapa kalimat disusun, sudah terdengar tembakan meriam. Penduduk memberi perlawanan, namun kekuatan tidak seimbang. Mereka terpaksa mengundurkan diri. Tegalrejo diduduki Belanda. Tempat tinggal Diponegoro, masjid dan bangunan lain dibakar oleh Belanda. Ia memerintahkan rakyat menyingkir ke Selarong dan bersama Pangeran Mangkubumi, ia menuju Kali Saka sambil menghunus pedang. Ia berkata pada Mangkubumi "lihatlah paman, rumah dan mesjid sudah terbakar, saya tidak mempunyai apa-apa lagi di dunia ini". Dari kali Saka, ia bersama Mangkubumi, menuju ke Selarong. Ia diangkat menjadi pimpinan tertinggi. Mangkubumi sebagai penasehat dan Pangeran Angabei penasehat khusus saat perang. Kemudian muncul Sentot Prawirodirjo yang berusia 16 tahun dan Kyai Mojo yang memberikan corak Islam kepada perjuangan. Maklumat perang dilakukan di berbagai tempat, Jawa Barat, Jawa Timur, Rembang, Tuban, Bojonegoro, Madiun dan Pacitan.

Transcript of BIOGRAFI DIPONEGORO

Page 1: BIOGRAFI DIPONEGORO

BIOGRAFI DIPONEGORO

Lahir 11 Nopember 1785 dari ayah Sultan Hamengkubuwono III. Sejak kecil diasuh oleh neneknya Ratu Ageng, Permaisuri Hamengkubuwono I, pendiri kerajaan Yogyakarta yang menetap. Berkat wanita bijaksana tersebut, ia tumbuh menjadi orang alim, sederhana dan dekat dengan rakyat.

Sementara Diponegoro tumbuh dewasa, di keraton Yogyakarta terjadi kericuhan yang disebabkan campur tangan pemerintah Belanda. Pengangkatan dan pemberhentian raja atau patih ditentukan oleh Belanda. Di samping itu penindasan terhadap rakyat meningkat pula. Hasil tersebut menimbulkan sikap antipati Diponegoro terhadap Belanda.

Tanggal 20 Juni 1825, seorang utusan Belanda mengantar surat ke Tegalrejo untuk menanyakan maksud Diponegoro. Saat itu paman dari Diponegoro (Mangkubumi) dan Dewan Perwalian Kerajaan Yogyakarta sedang di Tegalrejo. Baru beberapa kalimat disusun, sudah terdengar tembakan meriam. Penduduk memberi perlawanan, namun kekuatan tidak seimbang. Mereka terpaksa mengundurkan diri. Tegalrejo diduduki Belanda. Tempat tinggal Diponegoro, masjid dan bangunan lain dibakar oleh Belanda.

Ia memerintahkan rakyat menyingkir ke Selarong dan bersama Pangeran Mangkubumi, ia menuju Kali Saka sambil menghunus pedang. Ia berkata pada Mangkubumi "lihatlah paman, rumah dan mesjid sudah terbakar, saya tidak mempunyai apa-apa lagi di dunia ini".

Dari kali Saka, ia bersama Mangkubumi, menuju ke Selarong. Ia diangkat menjadi pimpinan tertinggi. Mangkubumi sebagai penasehat dan Pangeran Angabei penasehat khusus saat perang. Kemudian muncul Sentot Prawirodirjo yang berusia 16 tahun dan Kyai Mojo yang memberikan corak Islam kepada perjuangan.

Maklumat perang dilakukan di berbagai tempat, Jawa Barat, Jawa Timur, Rembang, Tuban, Bojonegoro, Madiun dan Pacitan. Seruan ini disambut rakyat karena merasa sudah lama tertindas penjajahan Belanda.

Pasukan Belanda yang dipimpin Kumesius berangkat dari Semarang dengan membawa empat pucuk meriam, uang dan pakaian serta perbekalan. Di sebelah Barat Laut Yogyakarta ia dekat Pisang desa Tempet, pasukan ini disergap pasukan Diponegoro. Sebanyak 27 orang Belanda dibunuh, senjata, pakaian dan uang 50.000 gulden jatuh di tangan pasukan Diponegoro. Pasukan Diponegoro mengepung Yogyakarta dari berbagai penjuru, bahkan makanan di blokir, tidak boleh masuk kota.

Kolonel Van Jett, mengirim pasukan untuk menyerang Selarong namun gagal. Tiga bulan kemudian Diponegoro memindahkan markasnya ke Dekso. Di tempat ini ia dinobatkan sebagai Sultan dengan gelar Sultan Ngabdulkamid Herucokro Mukmini Panoto Gomo Jowo.

Selama tahun 1825 dan 1826 pasukan Diponegoro banyak memperoleh kemenangan.

Page 2: BIOGRAFI DIPONEGORO

Bulan Agustus 1826 Sentot berhasil menyergap pasukan Belanda, semua tewas kecuali Komandan Van Green. Dalam pertempuran di Lenkong pasukan Diponegoro dapat membunuh seorang letnan dan Pangeran Murdaningrat serta Pangeran Ponular. Kedua pangeran ini pengganti Diponegoro dan Mangkubumi di Dewan Perwalian. Di Sadegan pasukan Diponegoro dapat membunuuh beberapa perwira Belanda dan seorang Bupati.

Tahun 1827 Belanda mulai melipat gandakan kekuatan dengan cara membuat "Benteng Stelsel" dan usaha perundingan seperti perundingan di Sombiroto, di Miangi, yang diwakili Kyai Mojo, namun gagal.

Saat Kyai Mojo bersama 600 prajurit "Bukilyo", Kyai Mojo diikuti Belanda dan ditangkap serta diasingkan ke Menado hingga wafat.

Perundingan dengan Sentot gagal, kemudian Belanda menggunakan Bupati Madiun yang masih kerabat Sentot, untuk membujuk. Tanggal 24 Oktober 1829, Sentot menyerah dengan syarat, boleh memeluk agama Islam dan memimpin pasukannya. Belanda mengirim ke Sumatra Barat agar memerangi pasukan Padri, tapi Sentot berbalik menyerang Belanda. Ia ditangkap dan dibuang ke Cianjur, kemudian ke Bengkulu dan wafat tahun 1855 dan dimakamkan di sana.

Meskipun ditinggalkan pembantu-pembantu dekatnya, Diponegoro tidak mau menyerah. Dalam perjalanan dari Manoreh ia dikepung Belanda, Diponegoro terjun ke jurang berhasil meloloskan diri. Setelah kejadian ini, ia diiringi oleh Roso dan Banteng Wareng meneruskan pembaharuan perangnya.

Karena Belanda sulit menangkap Diponegoro, maka Belanda mengumumkan bagi siapa yang dapat menangkap akan diberi hadiah 50.000 gulden, tanah dan kedudukan..

Tanggal 16 Februari 1830 ia bersedia menerima utusan Belanda, Kolonel Cleerens. Waktu itu menjelang bulan puasa, ia tidak bersedia berunding di bulan suci.

Tanggal 28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal De Kock di Magelang, didampingi Basah Martonegoro, Kyai Badarudin dan puteranya Diponegoro Anom. Di sini ia ditangkap, dibawa ke Semarang, kemudian ke Jakarta dan di buang ke Menado. Tahun 1834, ia dipindahkan ke Benteng Rotterdam di Ujung Pandang. Selama 25 tahun ia dikurung. Kisah perjuangannya, ditulis dalam "Babad Diponegoro" dalam Bahasa Jawa setebal 700 halaman.

Tanggal 8 Juni 1855 ia meninggal dan dimakamkan di Ujung Pandang. Pemerintah memberinya gelar Pangeran Diponegoro sebagai Pahlawan Nasional.

Sumber: http://id.shvoong.com/books/biography/2134355-biografi-pangeran-diponegoro/#ixzz1qrhScKeE

Page 3: BIOGRAFI DIPONEGORO

Perang Diponegoro

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebasBelum Diperiksa

Langsung ke: navigasi, cari Kualitas artikel atau bagian artikel ini rendah karena menggunakan istilah hiperbolis.Anda dapat membantu Wikipedia dengan membuang istilah-istilah tersebut.

Perang Diponegoro

Lukisan Peristiwa Penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Nicolaas Pieneman

Tanggal 1825-1830Lokasi Jawa

HasilPangeran Diponegoro dibuang ke Magelang; Pemberontakan terhenti akibat pembuangan

Casus   belli Belanda membangun jalan melintasi makam dari leluhur Pangeran Diponegoro

Pihak yang terlibatBelanda

Pribumi Pro-BelandaMilisi Pro-Pangeran Diponegoro

KomandanJendral De Kock Pangeran Diponegoro

Kekuatan50.000 100.000

Jumlah korbanSerdadu Eropa:~8.000Serdadu pribumi:7.000

Milisi dan sipil:+200.000

Page 4: BIOGRAFI DIPONEGORO

Perang Diponegoro (Inggris:The Java War, Belanda: De Java Oorlog), adalah perang besar dan menyeluruh berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia), antara pasukan penjajah Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock [1] melawan penduduk pribumi yang dipimpin seorang pangeran Yogyakarta bernama Pangeran Diponegoro. Dalam perang ini telah berjatuhan korban yang tidak sedikit. Baik korban harta maupun jiwa. Dokumen-dokumen Belanda yang dikutip para ahli sejarah, disebutkan bahwa sekitar 200.000 jiwa rakyat yang terenggut. Sementara itu di pihak serdadu Belanda, korban tewas berjumlah 8.000.

Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama menjajah Nusantara. Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah Jawa, maka disebutlah perang ini sebagai Perang Jawa.

Daftar isi

 [sembunyikan]  1 Latar belakang 2 3 Jalannya perang 4 Perang Diponegoro dan Perang Padri 5 Referensi 6 Lihat pula

7 Pranala luar

[sunting] Latar belakang

Setelah kekalahannya dalam Peperangan era Napoleon di Eropa, pemerintah Belanda yang berada dalam kesulitan ekonomi berusaha menutup kekosongan kas mereka dengan memberlakukan berbagai pajak di wilayah jajahannya, termasuk di Hindia Belanda. Selain itu, mereka juga melakukan monopoli usaha dan perdagangan untuk memaksimalkan keuntungan. Pajak-pajak dan praktek monopoli tersebut amat mencekik rakyat Indonesia yang ketika itu sudah sangat menderita.

Untuk semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai berusaha menguasai kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, salah satu di antaranya adalah Kerajaan Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengku Buwono IV wafat, kemenakannya, Sultan Hamengku Buwono V yang baru berusia 3 tahun, diangkat menjadi penguasa. Akan tetapi pada prakteknya, pemerintahan kerajaan dilaksanakan oleh Patih Danuredjo, seseorang yang mudah dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Belanda dianggap mengangkat seseorang yang tidak sesuai dengan pilihan/adat keraton.

Pada pertengahan bulan Mei 1825, pemerintah Belanda yang awalnya memerintahkan pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang lewat Muntilan, mengubah rencananya dan membelokan jalan itu melewati Tegalrejo. Rupanya di salah satu sektor, Belanda tepat melintasi makam dari leluhur Pangeran Diponegoro. Hal inilah yang membuat

Page 5: BIOGRAFI DIPONEGORO

Pangeran Diponegoro tersinggung dan memutuskan untuk mengangkat senjata melawan Belanda. Ia kemudian memerintahkan bawahannya untuk mencabut patok-patok yang melewati makam tersebut. Namun Belanda tetap memasang patok-patok tersebut bahkan yang sudah jatuh sekalipun. Karena kesal, Pangeran Diponegoro mengganti patok-patok tersebut dengan tombak.

Belanda yang mempunyai alasan untuk menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai telah memberontak, pada 20 Juli 1825 mengepung kediaman beliau. Terdesak, Pangeran beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Sementara itu, Belanda —yang tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro— membakar habis kediaman Pangeran.

Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran menempati goa sebelah Barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaan beliau. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.

Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang besar yang akan berlangsung 5 tahun lamanya. Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati"; sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Maja yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Dalam perang jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.

[sunting]

Page 6: BIOGRAFI DIPONEGORO

[sunting] Jalannya perang

Peta Mataram Baru setelah Perang Diponegoro pada tahun 1830

Alibasah Sentot

Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan artileri (yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal) di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur Iogistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan

Page 7: BIOGRAFI DIPONEGORO

perang. Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan di dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan sedang berkecamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun strategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.

Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan "musuh yang tak tampak", melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando Pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.

Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu di mana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metode perang gerilya (guerrilla warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan (Surpressing). Perang ini bukan merupakan sebuah tribal war atau perang suku. Tapi suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase) di mana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.

Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Modjo, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

Berakhirnya Perang Jawa merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu

Page 8: BIOGRAFI DIPONEGORO

berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri Sultan Hamengkubuwono IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.

[sunting] Perang Diponegoro dan Perang Padri

Di sisi lain, sebenarnya Belanda sedang menghadapi Perang Padri di Sumatera Barat. Penyebab Perang Paderi adalah perselisihan antara Kaum Padri (alim ulama) dengan Kaum Adat (orang adat) yang mempermasalahkan soal agama Islam, ajaran-ajaran agama, mabuk-mabukan, judi, maternalisme dan paternalisme. Saat inilah Belanda masuk dan mencoba mengambil kesempatan. Namun pada akhirnya Belanda harus melawan baik kaum adat dan kaum paderi, yang belakangan bersatu. Perang Paderi berlangsung dalam dua babak: babak I antara 1821-1825, dan babak II.

Untuk menghadapi Perang Diponegoro, Belanda terpaksa menarik pasukan yang dipakai perang di Sumatera Barat untuk menghadapi Pangeran Diponegoro yang bergerilya dengan gigih. Sebuah gencatan senjata disepakati pada tahun 1825, dan sebagian besar pasukan dari Sumatera Barat dialihkan ke Jawa. Namun, setelah Perang Diponegoro berakhir (1830), kertas perjanjian gencatan senjata itu disobek, dan terjadilah Perang Padri babak kedua. Pada tahun 1837 pemimpin Perang Paderi, Tuanku Imam Bonjol akhirnya menyerah. Berakhirlah Perang Padri.

http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Diponegoro

Page 9: BIOGRAFI DIPONEGORO

Pangeran Kesederhanaan, Pangeran Keberanian

 

Pelukis Basuki Abdullah, juga Raden Saleh, menggambarkannya sebagai pemimpin perang dengan jubah putihnya. Ia pangeran Jawa, meski bukan dari garwa padmi (permaisuri). Jubah dan serbannya, mencitrakan ia muslim taat, bahkan pemuka agama nan alim. Betul demikian? Bahwa ia muslim: ya. Tetapi, dalam paparan yang dibuatnya sendiri, Babad Diponegoro, catatan napaktilasnya sampai ia diasingkan Belanda, ia menyebutkan sejumlah kejadian supranatural khas kejawen yang dialaminya. Termasuk mendefinisikan diri sebagai “Ratu Adil”, dan pernah bersua dengan Ratu Kidul segala. Sejarah Indonesia mencatatnya sebagai Pahlawan Nasional. Siapa sangka di masa mudanya ia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan berbagai bacaan, dari buku-buku agama, sejarah, kesusastraan, dan kebatinan. Kemampuan konsepsionalnya tak hanya urusan perang, tapi juga dalam kenegaraan. Merujuk berbagai sumber, wartawan Panji Abdul Rahman Ma’mun dibantu Iqbal Setyarso menuangkan sekelumit ihwal Diponegoro.

 

 

Abad kesembilan belas dalam lintasan sejarah Indonesia mengukir nama besar Pangeran Diponegoro, pemegang peranan penting dalam perang kemerdekaan pada masa-masa awal. Ia mengobarkan perang yang mengguncangkan sendi-sendi kolonialisme Belanda, kelak dikenal dengan Perang Diponegoro (1825-1830). Pribadi Pangeran Diponegoro memberikan nafas kepahlawanan yang amat panjang bagi api kemerdekaan yang berkobar pada era itu, nyalanya hadir kembali pada diri para pahlawan hingga tercapai Indonesia Merdeka, 17 Agustus 1945.

Soal daya juang Diponegoro ini, Belanda pun mengaguminya. “Kita sungguh-sungguh harus mengagumimu, Pangeran Diponegoro, yang sungguh pun terus-menerus menderita pukulan dan ditimpa kemalangan, kehilangan sanak-saudaranya yang terdekat, panglima perangnya yang paling cakap, namun masih juga kuat dan berani menggerakkan perlawanan menghadapi tentara kita terus-menerus,” kata Kapiten J.P. Schomaker, seorang opsir Belanda.

Page 10: BIOGRAFI DIPONEGORO

Diponegoro, lelaki berdarah biru ini bisa tumbuh menjadi pribadi seperti itu, memang ada faktor psikologis tertentu yang melatarbelakanginya.

 

Revolusioner Muda. Satu kata yang dibubuhkan di depan namanya, pangeran, adalah gelar kebangsawanan tertinggi di Jawa. Gelar ini hanya berhak disandang anak raja. Diponegoro adalah putra Hamengku Buwono (HB) III yang dikenal sebagai Sultan Raja. Kakeknya, Sultan HB II atau Sultan Sepuh, dan buyutnya HB I (Sultan Swargi) pendiri kerajaan Mataram di Yogyakarta. Adik Diponegoro, Pangeran Jarot, maupun keponakannya, Pangeran Menol, dalam babakan sejarah Mataram dinobatkan menjadi Raja. Pangeran Jarot menjadi Raja dengan gelar Sultan HB IV, dan Pangeran Menol, dalam usia tiga tahun dinobatkan sebagai Sultan HB V. Diponegoro sendiri, putra raja dari garwa ampeyan (bukan permaisuri), yakni R.A. Mangkarawati, berasal dari Pacitan. Sang bunda, putri seorang bupati dan masih berdarah Madura. Pribadi Diponegoro sendiri punya pembawaan yang tegas memancarkan wibawa tersendiri. Kawan dan lawan (Belanda penjajah), segan padanya. Perbawa Diponegoro ini memikat para bangsawan lainnya kelak, dalam situasi genting, bergabung di bawah kepemimpinan Diponegoro melawan Belanda. Misalnya saja, Pangeran Mangkubumi bertindak sebagai Panasihat Agung, Pangeran Ngabehi Jayakusuma sebagai panglima besar yang dalam sebuah pertempuran gugur dan dimakamkan di bukit Singi, daerah aliran sungai Progo, sebelah barat Kota Yogyakarta.

Diponegoro kecil sudah mendapati pemandangan yang tak mengenakkan hatinya. Ia menyaksikan sendiri ketakberdayaan raja-raja Mataram di bawah kuasa penjajah. Kemarahannya menjadikan Diponegoro sebagai seorang revolusioner.

Pada umur 20-an, Diponegoro menyaksikan rontoknya kehormatan keraton. Dulu, wakil Belandalah yang lebih dulu memberi hormat saat berjumpa Susuhunan Surakarta, atau Sultan Yogya. Daendels membongkarnya. Sultan yang harus menemuinya di tempat peristirahatan Daendels. Dan ia tak pernah mengelu-elukan Sultan ketika baginda masuk ruangan.

 

Gelora Perang yang Dahsyat. Diponegoro lahir pada Jumat Wage, 8 Muharram tahun Be 1712 Wuku Wayang, atau 11 November 1785. Pada saat kelahirannya, Sultan HB I alias Sultan Swargi, kakek buyut Diponegoro menitahkan agar bayi itu dibawa kepadanya. Saat

Page 11: BIOGRAFI DIPONEGORO

itu baginda Raja sedang duduk di serambi dalam. Pada saat HB I memperhatikan bayi itu, ia berkata kepada permaisurinya, ”Adinda, ketahuilah bahwa adalah kehendak Mahakuasa bahwasanya cicit Adinda ini telah ditentukan kelak akan mengisruhkan orang-orang Belanda. Adapun betapa akhirnya kelak hanya Tuhan Yang Mahakuasalah yang mengetahuinya. Anak ini akan melebihi saya. Oleh karena itulah Adinda, maka Adinda harus memelihara bayi ini dengan baik.”

Diponegoro kecil bernama Antawirya. Pangeran Antawirya sejak dini memang mendapat pendidikan agama. Saat ia menginjak usia muda, juga diserahkan kepada neneknya, Ratu Ageng, yang tinggal di Tegalrejo, Yogyakarta. Ratu Ageng adalah sosok yang dikenal salihah dan taat. Di bawah asuhan Ratu Ageng ini, Antawirya mempelajari dan memperdalam agama dan kebatinan. Kitab agama dan Jawa kuno yang mengandung ajaran hukum dan ajaran keluhuran rohani, dilalapnya habis. Tak heran, Antawirya kelak menjadi orang yang sederhana hidupnya, saleh, dan taat menunaikan kewajiban agamanya.

Ketaatan dan kesederhanaan Pangeran Diponegoro ini diakui musuhnya, Cakranegara, yang menilai Diponegoro sebagai lambang orang saleh dan sederhana hidupnya. Sebagai putra raja, bisa saja Diponegoro hidup bersenang-senang, bergelimang kemewahan.

Namun itu tak dilakukannya. Ia malah memilih hidup sederhana di luar tembok istana, di tengah rakyat yang menderita di Tegalrejo, sebuah desa di bagian barat Kota Yogyakarta.

Tuduhan Belanda bahwa Diponegoro menyiapkan pemberontakan dan mengangkat senjata melawan Belanda gara-gara kecewa ia tak diangkat menjadi raja, sungguh sebuah fitnah. Karena sebenarnya Diponegoro sejak kecil justru memilih hidup sederhana sebagaimana rakyat biasa.

Diponegoro adalah orang yang tahu dan menjunjung tinggi adat istiadat kerajaan, dan selalu menghormati kepercayaan rakyat. Terbukti, suatu ketika ia harus menyeberangi sungai Bagawanta. Menurut kepercayaan rakyat, keturunan raja Mataram tidak boleh menyeberangi sungai Bagawanta menuju ke barat. Sungguhpun Diponegoro dan kawan-kawan seperjuangannya sudah berada di tepi sungai itu, dan dalam posisi terdesak pula, beliau mau memikirkan jalan lain demi menghormati kepercayaan itu.

Di sisi lain, Diponegoro sangat menentang cara hidup dan campur tangan asing dalam urusan kerajaan. Campur tangan asing--

Page 12: BIOGRAFI DIPONEGORO

yang sering disebutnya sebagai orang kafir--secara keras ditentangnya, seperti urusan perwalian dalam kerajaan. Ini menyalahi hukum agama. Untuk itu Diponegoro tak segan menyampaikan fatwanya.

Diponegoro yang hidup bersahaja dikenal pula suka mengembara ke tempat sunyi. Ia menguatkan jiwa dan mempertebal semangatnya dalam memenuhi panggilan suci agama yang dimuliakannya, dan Tanah Air yang dicintainya.

Pangeran Diponegoro tidak mengisi jiwa dan pengetahuannya dengan hanya mendaras kitab agama dan kebatinan saja, ia pun mempelajari kitab-kitab ilmu kesusastraan serta sejarah. Dia banyak pula membaca sejarah bangun dan runtuhnya kerajaan-kerajaan. Ia pun cukup paham bagaimana Mataram yang awalnya luas dan besar kekuasaannya itu sampai jatuh dan susut menjadi kerajaan yang tak berdaya dan selalu bergantung pada kekuasaan kolonial.

Ketergantungan kerajaan pada kekuasaan asing itu rupanya amat merisaukan Pangeran Diponegoro. Dalam banyak hal, kultur Barat telah merasuki kerajaan. Misalnya, meluasnya peredaran minuman keras, baik di kalangan bangsawan maupun rakyat kebanyakan. Kalau ini masuk istana, sungguh sebuah ancaman bagi kehidupan agama Islam. Gelar kekhalifahan sultan menjadi merosot dalam pandangan agama. “Para bangsawan telah mengabaikan ajaran agama, dan tak lagi menghormati ulama,” kata Diponegoro mengecam gaya hidup yang mulai amburadul itu. Padahal Raja Sultan Agung, pendiri Mataram, amat dibanggakan sebagai raja yang taat beragama, menampakkan kehidupan spiritual atau kebatinan yang tinggi. Sultan HB IV yang memerintah saat itu sudah jauh dari keteladanan pendiri Mataram. Menghadapi kolonial Belanda, ia lemah. Kesan dibawahi penjajah, begitu mencolok.

Dipo makin dingin terhadap Belanda. Maka ia diwaspadai. Apalagi, dialah satu-satunya pangeran yang mengenakan serban, gamis sadariah, dan jubah, ikat pinggangnya seperti yang dikenakan ulama Mekah, di saat pangeran lainnya masih berbusana kebesaran Jawa. Suatu ketika, Diponegoro memergoki Residen Belanda duduk memeluk Sultan Cilik, yang didiamkan Patihnya, dengan mata berkilat-kilat, Dipo berbalik, pulang. Ia murka si kafir najis memangku Sultan, lambang suci kerajaan. Saat itulah ia memutuskan uzlah, menyingkir dari istana di puncak kemarahannya, menetap di Tegalrejo.

Kemerosotan moral di istana melahirkan golongan kontra meliputi beberapa bangsawan, ulama, dan pejabat birokrasi kerajaan termasuk Diponegoro. Kelompok kontra yang kecewa dengan

Page 13: BIOGRAFI DIPONEGORO

perkembangan ini makin runcing tak hanya dalam tembok istana, namun sudah menyebar di tengah masyarakat kebanyakan. Selain Belanda memang tak menghargai adat istiadat setempat, kondisi itu diperparah oleh sikap Belanda yang sangat mengeksploitasi rakyat, terutama dengan pembebanan pajak.

Suatu ketika di Desa Tegalrejo, tempat tinggal Diponegoro, bakal diterjang perluasan jalan. Tanpa sepengetahuan Diponegoro, pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro, bahkan jalan itu kelak akan melintas di makam leluhur Diponegoro. Keruan saja Diponegoro menentang kebijakan ini. Tak ada pilihan, situasi mengantar pada konflik terbuka antara Diponegoro dan tentara Belanda.

Genderang perang ditabuh sudah ditandai letusan meriam pihak Belanda. Rakyat Tegalrejo bersiaga dengan senjata seadanya: tombak, lembing, dan pelontar batu. Tersiarlah kabar, pasukan Diponegoro terdesak. Pangeran Mangkubumi, paman Diponegoro, segera menemui Diponegoro dan mengingatkan agar Diponegoro menyingkir saja dari Tegalrejo. Diponegoro akhirnya menuruti nasihat sang paman, bahkan sang paman ikut bersamanya. Mereka bisa lolos dari kejaran Belanda, dan menyusuri jalan-jalan tersembunyi sampai tiba di sebuah goa. Di goa yang kemudian terkenal sebagai Goa Selarong ini, Diponegoro bermarkas. Lambat laun perlawanan Diponegoro telah menyedot simpati rakyat. Dukungan demi dukungan mengalir, memperkuat pasukan Diponegoro. Saat itu Diponegoro menegaskan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir.

Keberanian Diponegoro dalam pertempuran demi pertempuran merupakan daya pikat tersendiri sehingga makin banyak saja orang yang merasa mantap bergabung dengan Diponegoro melawan penjajah. Meskipun banyak yang bergabung dengan Diponegoro, Sunan Paku Buwono dari Keraton Kasunanan Surakarta ternyata tak tergerak untuk bergabung dengan Diponegoro. Meskipun demikian, salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kiai Mojo, memilih bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong. Semboyan “perang sabil” yang dikobarkan Diponegoro menjadi perekat perjuangan bagi mereka yang memiliki keinsyafan keagamaan yang tinggi. Keberanian pasukan Diponegoro terus berkobar dan meluas sampai ke luar kawasan Yogyakarta. Pengaruhnya sampai ke wilayah Pacitan dan Kedu. Perang Diponegoro berkobar dengan semangat yang tinggi dalam kurun lima tahun yang menyulitkan Belanda. Sampai belanda berhasil lewat tipu dayanya, menangkap Diponegoro pada 1830. Selama Perang Diponegoro, yang juga disebut Perang Jawa itu,

Page 14: BIOGRAFI DIPONEGORO

menurut catatan, Belanda kehilangan tak kurang dari 15.000 tentara dan biaya perang yang begitu besar, lebih dari 20 juta gulden.

 

Memimpin Perang dan Dibuang

Lebih dari 200.000 orang gugur dan dua jutaan orang atau sepertiga dari penduduk Jawa pada waktu itu menderita akibat perang sepanjang lima tahun (1825-1830). Di pihak Belanda, sekitar 15.000 serdadu tewas. Perang perlawanan yang dipimpin Diponegoro tercatat dalam sejarah sebagai pergolakan terbesar yang terakhir yang dihadapi Belanda di Jawa.

Akumulasi ketakpuasan atas pemerahan rakyat Jawa oleh Belanda telah menyulut perang besar ini. Sistem pajak yang diterapkan turun-temurun begitu mencekik rakyat. Rakyat dibebani pajak tumpang tindih. Selain itu, ada kerig aji (herendiensten), berupa kerja wajib untuk raja, padahal rakyat sudah dikenai wilah weling (pajak tanah), pengawang-awang (pajak halaman pekarangan), pajiga (pajak ternak). Tak cukup itu saja, rakyat masih diwajibkan membayar pecumpling (pajak sesuai jumlah pintu), penyongket (pajak ganti nama), dan pajak menyewa tanah atau menerima jabatan (bekti). Kalau pemerintah saat ini kreatif menciptakan jenis-jenis pajak begitu banyaknya, Belanda lewat Raja Jawa sudah memberi contoh itu.

Pada masa itu ada juga pungutan yang ditarik pada tempat pabeyan (semacam tol), yang kebanyakan disewa keturunan Tionghoa. Semua lalu lintas dengan pengangkut barang dikenakan pajak. Sampai-sampai, ibu yang menggendong bayi anaknya dikenakan pajak!

Faktor ekonomi lainnya yang menimbulkan kegelisahan ialah keadaan yang memburuk pascapenerapan kebijakan Van der Capellen, yang menetapkan bahwa semua penyewa tanah oleh pengusaha Eropa dari penguasa dan bangsawan pribumi di Surakarta dan Yogyakarta dibatalkan dengan mengembalikan uang sewa atau dengan pembayaran lain. Akibatnya, banyak kaum ningrat dirugikan peraturan ini, bahkan mengalami kesulitan serius.

Kasus di Yogyakarta yang langsung menyangkut Pangeran Diponegoro ialah soal “penyewaan” tanah Sri Sultan oleh Residen Nahuys, yakni tanah perkebunan kopi Berdaya. Tanah itu disewakan 25 real, namun berdasarkan peraturan itu Nahuys menuntut ganti rugi sebesar 60.000 real. Alasannya, ia sudah menanam modal besar di

Page 15: BIOGRAFI DIPONEGORO

tanah itu. Tawar-menawar soal ganti rugi itu mengakibatkan Diponegoro sangat gusar.

Pemerintah sesudah HB I menjadi tak stabil. HB II (Sultan Sepuh) dianggap tidak dapat diandalkan dan dibuang, diganti HB III (Sultan Raja). Setelah ia meninggal pada 1814, diganti putranya yang lahir dari rahim ibu yang berdarah bangsawan. Meskipun Diponegoro anak tertua, tetapi ia terlahir dari ibu seorang kebanyakan, ia tidak diangkat menjadi raja. Padahal, pernah dijanjikan oleh HB II bahwa sepeninggalnya Diponegoro akan diangkat menduduki takhta Kerajaan Yogyakata. HB IV ini dalam perjalanannya menjadi seorang sultan yang bergaya hidup mewah. Bahkan memasukkan aktivitas baru dan asing ke dalam keraton. Setelah meninggal dengan mendadak, diangkatlah putra lelakinya yang masih kecil, Sultan Menol, menjadi HB V. Pangeran Diponegoro bersama Pangeran Mangkubumi diangkat menjadi emban-nya (pengasuh). Diponegoro tambah gusar, apalagi patih Danurejo selalu menghalangi langkah-langkah Diponegoro sebagai wali.

Di tengah suasana yang serba glamor dan modern di lingkungan keraton, Diponegoro lebih banyak berdiam di Tegalrejo. Memperdalam Islam dan tekun beribadah. Selain itu ia banyak bertapa dan menerapkan mistik. Sampai suatu ketika datang ilham, Diponegoro mendapat perintah menyelamatkan Tanah jawa. Tugas yang diterimanya melalui ilham inilah yang memberikan otoritas kepadanya untuk memimpin gerakan pada satu pihak, dan menjadikan tuntunannya untuk bersikap keras dan tegas di setiap perundingan dengan Belanda atau pihak lainnya.

Di sinilah, mahdiisme atau ratu adilisme menjadi ramuan penting sehingga Perang Diponegoro ini tumbuh meluas sebagai gerakan massa. Konsep Ratu Adil yang dipancarkan Diponegoro begitu efektif memobilisasi massa terutama rakyat jelata. Diponegoro pun dengan kapasitas yang dibangun selama uzlah menjadi tampak patut menyandang gelar Panatagama (pengatur agama) atau pemimpin. Keyakinan ini menjadi tuntunan dan hidup di tengah pengikutnya sampai akhir perjuangannya.

Perang Jawa meletus gara-gara provokasi awal dari pihak Belanda sendiri. Belanda bikin gara-gara dengan menerabas tanah milik pribadi Diponegoro bahkan bakal mengusik makam leluhur Diponegoro saat memperluas jalan. Sebagai protes, patok-patok tanah yang dipancangkan dicabut dan diganti tombak. Residen Smissaert berusaha mengadakan perundingan, tetapi Diponegoro tidak mau muncul. Ia hanya mengirim wakilnya, Pangeran Mangkubumi. Usaha Asisten Residen Chevallier menangkap kedua oangeran itu

Page 16: BIOGRAFI DIPONEGORO

(Diponegoro dan Mangkubumi) digagalkan barisan rakyat Tegalrejo. Kemudian mereka meninggalkan Tegalrejo, hijrah dan mengatur siasat di Goa Selarong.

Kota Yogyakarta lantas dikepung agar penghuninya kelaparan. Pertahanan yang berpusat di benteng Vredenburg hanya terdiri atas 200 orang, bala bantuan pun sangat diperlukan dari Surakarta, Semarang, dan Jawa Timur. Di dalam kota, penduduk Belanda juga merasa ketakutan. Mereka khawatir “perampokan” bakal terjadi. Yogyakarta mulai diserang sehingga Pangeran Menol harus diungsikan ke Benteng. Perang dengan taktik gerilya pun menyebar luas di berbagai tempat di Yogyakarta, bahkan Semarang dan daerah pantai di sekitarnya diserang pula. Akhirnya datang bala bantuan dari Sulawesi Selatan, dan Kalimantan, sementara bisa meredam perlawanan gerilya itu.

Diponegoro tak menghiraukan tawaran perundingan, baik yang diajukan Residen Yogyakarta maupun Jenderal de Kock. Situasi yang agak terkendali di bawah Belanda, membuat Diponegoro juga memperkuat pasukannya. Perbawa Kiai Mojo, juga Sentot Prawiradirdja telah menambah simpati rakyat dan menebar rasa keterpanggilan juang rakyat. Dengan kewibawaan Kiai Maja banyak pengikut baru dari Pajang. Ideologi perang sabil melawan kaum kafir telah memperkuat pasukan Diponegoro begitu rupa sehingga berdayajuang amat tinggi.

Memasuki tahun 1826, terjadi pasang-surut. Plered diduduki kedua belah pihak silih berganti. Pada pertempuran di dekat Lengkong yang dipimpin Sentot, banyak memakan korban di pihak Diponegoro, termasuk di antaranya dua wali Sultan gugur. Tahu perbawa Diponegoro, juga sejumlah pengikutnya yang juga ulama dan bangsawan yang bercitra baik di mata rakyat, Belanda bermaksud mengimbangi wibawa. Tahun 1826 bulan September, Belanda mengangkat Sultan Sepuh kembali. Tapi taktik ini buyar lantaran Sultan Sepuh sudah tak berwibawa lagi di mata rakyat.

Tahun 1827 Belanda memperkuat diri dengan menjalankan taktik benteng stelsel dan mengerahkan bala bantuan dari negeri Belanda sekitar tiga 3.000 orang. Taktik benteng stelsel diwujudkan dengan mendirikan benteng-benteng di daerah-daerah yang sudah diamankan dan dikuasai, di antara masing-masing benteng itu dihubungkan dengan jalan sehingga komunikasi dapat dijalankan dengan mudah. Benteng juga difungsikan untuk melindungi rakyat yang tetap bermukim dan bercocok tanam ke wilayah sekitarnya. daerah operasi Pangeran Diponegoro hendak dibatasi di daerah antara Sungai Praga dan Bagawanta.

Page 17: BIOGRAFI DIPONEGORO

Tahun 1827 itu juga Kiai Maja bersedia berunding, sementara dua pihak menghentikan pertempuran. Apa yang dilakukan Kiai Maja merupakan tamparan bagi Diponegoro. Kebetulan, meledak pemberontakan di daerah Rembang sehingga kekuatan Belanda sebagian teralihkan ke daerah itu. Meskipun beberapa kali menderita kekalahan selama tahun 1828, Sentot berhasil meneruskan perang di Banyumas. Pada tahun yang sama, pasukan Kiai Maja kalah. Kiai Maja ditangkap dan dibuang ke Manado. Pada awal tahun 1829, Diponegoro menyatakan kesediaannya berunding tanpa melepas tuntutannya untuk tetap diakui sebagai panatagama. Berturut-turut, sesudah itu menyerahlah Pangeran Mangkubumi (September 1829), dan Sentot (Oktober 1829), yang menyatakan siap sedia mencurahkan tenaga bagi bala tentara Belanda. Pada Februari 1830 terjadi perundingan antara Pangeran Diponegoro dengan Van de Kock. Perundingan itu sempat ditunda karena Diponegoro tak bersedia berunding selama bulan puasa.

Saat perayaan Idul Fitri, 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro diundang ke rumah Residen Van de Kock guna meneruskan perundingan. Dalam perundingan, Diponegoro ternyata masih berkeras dengan tuntutannya sehingga ia ditawan dan diantar ke Semarang untuk selanjutnya pada 3 Mei 1830 melalui Batavia dibuang ke Manado. Di Manado, Pangeran Diponegoro hanya empat tahun karena Belanda menganggap penjagaan di Manado kurang kuat. Diponegoro dipindah ke Makasar (kini Ujungpandang), sampai wafatnya, 8 Januari 1855, dalam usia 70 tahun.

Meskipun pemimpin perang itu akhirnya dibuang ke luar Jawa, apa yang dilakukan Diponegoro memberi inspirasi gerakan perlawanan melawan pemerintah kolonial. Sampai akhrnya, Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945.

http://www.oocities.org/injusticedpeople/Diponegoro.htm

 

Page 18: BIOGRAFI DIPONEGORO

Sepenggal Sejarah Pangeran Diponegoro

Pangeran Diponegoro (Yogyakarta, 11 November 1785 – Makassar, 8 Januari 1855) adalah salah seorang pahlawan nasional Republik Indonesia. Makam beliau berada di Makassar.

Tentang Diponegoro

Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwana II, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Ibu Diponegoro adalah R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri nonpermaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama asli Raden Mas Ontowiryo.

Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengku Buwono III untuk mengangkatnya menjadi raja. Beliau menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri.

Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.

Riwayat Perjuangan

Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.

Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat “perang sabil” yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.

Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.

Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunaan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830.

Page 19: BIOGRAFI DIPONEGORO

Penangkapan dan pengasingan

16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen, Purworejo. Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.

Lukisan Persitiwa Pengkapan Pangeran Diponegoro oleh VOC

28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal De Kock di Magelang. De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April.

11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch.

30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado.

3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.

1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.

8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Melayu Makassar.

Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewo, yang memiliki kesaktian luar biasa. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen

Page 20: BIOGRAFI DIPONEGORO

P a n g e r a n D i p o n e g o r o  

Pangeran Diponegoro (lahir di Yogyakarta, 11 November 1785 – wafat di Makassar, 8Januari 1855 pada umur 69 tahun) adalah salah seorang pahlawan nasional RepublikIndonesia. Makamnya berada di Makassar.

A s a l - u s u l D i p o n e g o r o

D i p o n e g o r o a d a l a h p u t r a s u l u n g H a m e n g k u b u w a n a I I I , s e o r a n g r a j a M a t a r a m d i Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwaampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri nonpermaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Bendoro RadenMas Ontowiryo.Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginanayahnya, Sultan Hamengkubuwana III untuk mengangkatnya menjadi raja. Beliau menolakmengingat ibunya bukanlah permaisuri. Mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih sukatinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu AgengTegalre jo dar ipada di kera ton. Pemberontakannya terhadap kera ton dimula i se jakkepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggotaperwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkanpemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda. Caraperwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.

R i w a y a t P e r j u a n g a n  P e r a n g D i p o n e g o r o b e r a w a l k e t i k a p i h a k B e l a n d a m e m a s a n g p a t o k d i t a n a h m i l i k Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuanBelanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyatdengan pembebanan pajak.Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat s impat i dandukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu,D i p o n e g o r o m e n y a t a k a n b a h w a p e r l a w a n a n n y a a d a l a h p e r a n g s a b i l , p e r l a w a n a n menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawapengaruh luas hingga ke wi laya h Pac i tan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama diSurakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 jutagulden.B e r b a g a i c a r a t e r u s d i u p a y a k a n B e l a n d a u n t u k m e n a n g k a p D i p o n e g o r o . B a h k a n sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yangbisa menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830.

Page 21: BIOGRAFI DIPONEGORO

P e n a n g k a p a n d a n p e n g a s i n g a n

16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal,Bagelen, Purworejo. Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnyaberdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markusde Kock dari Batavia.Lukisan Persitiwa Pengkapan Pangeran Diponegoro oleh VOC28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksamengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghent ikan perang.Permintaan itu ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan denganteliti. Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada5 April.11 Apri l 1830 sampai d i Batavia dan di tawan di Stadhuis (sekarang gedung MuseumFatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van denBosch.30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih,Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, BantengWereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado.3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manadodan ditawan di benteng Amsterdam.1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar.lokasi makam Pangeran Diponegoro di Jl. Diponegoro Makassar, Sulawesi Selatan. Juli2008Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh puteranya bernama BagusSinglon atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo danBagelen.Ki Sodewo memiliki ibu bernama Citrowati yang meninggal dalam penyerbuan Belanda. KiSodewo kecil atau Bagus Singlon tumbuh dalam asuhan Ki Tembi, orang kepercayaanPangeran Diponegoro. Bagus Singlon atau Raden Mas Singlon atau Ki Sodewo setelahremaja menyusul ayahnya di medan pertempuran. Sampai saat ini keturunan Ki Sodewomasih tetap eksis dan salah satunya menjadi wakil Bupati di Kulon Progo bernama Drs. R.H. Mulyono.Setidaknya Pangeran Diponegoro mempunyai 17 putra dan 5 orang putri, yang semuanyakini hidup tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Jawa, Sulawesi & Maluku.

  N i l a i - N i l a i y a n g d a p a t d i a m b i l

Diponegoro merupakan seorang tokoh yang patut diteladani karena beliau merupakansosok yang merakyat dan sangat dicintai rakyatnya. Beliau juga patut diteladani karenakegigihannya untuk mempertahankan hak miliknya yang hendak dirampas orang lain.Meskipun beliau akhirnya tertangkap oleh penjajah beliau tetap berperang dan melakukansuatu perlawanan dimana tindakan ini mencerminkan sikap kesatria beliau.