BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan...
Transcript of BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan...
Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI
Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
Bias Gender dalam Sinetron TV
Oleh : Endri Listiani, S.IP.M.Si. 1
ABSTRAK
Televisi merupakan salah satu kekuatan yang membentuk opini publik dan
bahkan pencipta citra baru dalam masyarakat. Media massa, televisi, memiliki
pengaruh besar dalam membentuk citra. Media massa bukan hanya
mempertahankan citra, tetapi cenderung menyokong status quo ketimbang
perubahan.
Media massa secara tak langsung ikut terus menerus menanamkan konsep
perempuan yang tersubordinasi, termasuk didalamnya konsep perempuan dengan
tubuh sebagai pusat kesadaran. Maka tak ayal lagi kalau dalam skala yang lebih
luas majalah populer, sinetron, program acara dan iklan televisi merupakan media
yang banyak dituding karena terlalu menonjolkan perempuan sebagai objek
estetika dan sekedar dieksploitasi bagi kepentingan ekonomi.
Untuk mendapatkan perhatian khalayak berbagai kreatifitaspun digali.
Dari sekian banyak bentuk kreatifitas tak bisa dipungkiri bahwa perempuan selalu
ikut dimanfaatkan sebagai obyek. Perempuan seringkali dihubungkan dengan
keindahan, kepolosan dan kearifan yang seharusnya dimiliki. Pencitraan
perempuan dalam sinetron sering kali hanya melihat perempuan sebagai mahluk
pemanis yang lemah lembut dan berkutat dalam kegiatan domestik, padahal
sekarang ini sudah banyak perempuan yang berkecimpung dalam ruang publik.
Melalui pengamatan pada stasiun televisi swasta menunjukkan bahwa
sinetron-sinetron yang diteliti masih menampilkan perempuan dalam posisi
ketidaksetaraan gender. Posisi yang tidak menguntungkan dan menunjukkan
kekuasaaan-kekuasaan dibidang yang berkaitan dengan domestik kalaupun berada
dalam ruang publik semuanya masih menunjukkan dominasi laki-laki dari para
perempuan yang ada di sekelilingnya. Pemilihan kondisi yang menunjukkan
perempuan yang berkecimpung dalam kegiatan domestik, perempuan hanya
sebagai mahluk lemah, bergantung pada laki-laki dan senang menjadi pusat
perhatian, semua ini seringkali tampak muncul tanpa disadari oleh pembuat
skenario sinetron maupun olek khalayak/audience.
1 Penulis adalah Dosen Tetap Bidang Kajian Manajemen Komunikasi, FIKOM Universitas Islam
Bandung dan Dosen tidak tetap di Fikom UMB Jakarta dan Fakultas Manajemen Desain dan
Komunikasi, Institut Manajemen Telkom Bandung
Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
PENDAHULUAN
Dibandingkan dengan media lainnya, kekuatan televisi sebagai sumber
informasi dan hiburan masih sulit dibendung. Keberadaan media massa televisi,
pada dasawarsa terakhir ini, semakin menjadi primadona. Munculnya siaran-
siaran televisi “komersial” swasta semakin menyemarakkan dunia pertelevisian
Indonesia. Hal ini berbanding terbalik dengan perkembangan televisi pada
awalnya hingga pertengahan tahun 80-an di Indonesia yang cenderung tidak
variatif, karena dimonopoli oleh pemerintah (TVRI).
Pertumbuhan pesat jumlah stasiun televisi swasta - baik yang menamakan
dirinya stasiun televisi lokal maupun stasiun televisi siaran nasional - bisa menjadi
satu bukti bahwa sebagian besar masyarakat kita belum jemu menikmati hiburan
yang disuguhkan di layar kaca. Padahal, sering diungkapkan dalam seminar-
seminar ataupun artikel-artikel koran dan majalah, pertumbuhan ragam acara di
televisi masih "kalah pesat" dibandingkan dengan jumlah stasiun pemancarnya.
AGB Nielsen2 menyebutkan dalam Newsletternya Loyalitas remaja tinggi
pada jam tayang utama,terutama pada pukul 21.00 sampai 22.30. 88% penonton
remaja atau rata-rata 1 juta orang menyaksikan televisi lebih dari 45 menit.
Selama jam tayang tersebut, loyalitas mereka terhadap program serial adalah yang
tertinggi, menontonpaling sedikit 50% dari total durasi program
Dalam Newsletternya Nielsen menyebutkan 11 persen dari total penonton
TV adalah remaja berusia 15-19 tahun, dan kebanyakan di antara mereka adalah
perempuan. Pada target pemirsa ini, potensi penonton remaja perempuan lebih
tinggi daripada laki-laki di semua paruh waktu, dimana populasi perempuan
mencapai 2,3 juta, sedikit lebih banyak daripada populasi laki-laki yang 2,2 juta di
10 kota survei AGB Nielsen. Karena potensi pemirsa terbesar berada di jam
tayang utama, umumnya program dengan rating tertinggi di kalangan remaja juga
yang ditayangkan pada paruh waktu ini. Diantara remaja pun, jenis kelamin
2 Newsletter Nielsen, no 22 edisi Juni 2008
Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
berperan dalam pemilihan program, remaja perempuan banyak menonton musik
dan drama, remaja laki-laki memilih untuk menyaksikan olahraga, sepakbola atau
bulutangkis, baik asing maupun lokal. Rata-rata remaja perempuan menghabiskan
2 jam 56 menit sehari untuk menonton TV, sedangkan remaja laki-laki
meluangkan waktu yang lebih sedikit, 2 jam 17 menit.3
Merupakan sesuatu yang wajar jika orang memilih televisi sebagai media
pilihannya. Televisi yang sifatnya audio visual dan atraktif, sehingga mampu
menyampaikan pesan melalui gambar dan suara secara bersamaan dan hidup,
serta menayangkan ruang yang sangat luas kepada pemirsa yang sangat banyak
dalam waktu yang bersamaan4. Sehingga hal ini sangat menguntungkan karena
dinilai sangat efisien, apalagi menurut hasil survei Jawa Pos, seperlima (1/5)
lebih waktu hidup masyarakat digunakan untuk menonton televisi5
Beberapa alasan diatas pantas kiranya menjadi alasan televisi menjadi
perhatian, temasuk didalamnya studi-studi tentang media dan budaya sejak lama.
Bahkan sejauh ini belum ada media lain yang menyamai televisi dalam hal
besarnya volume teks-teks budaya populer yang dihasilkan6. Televisi mampu
melahirkan bagian-bagian baru yang menarik untuk diamati dan dianalisa, mulai
dari siaran berita, iklan televisi, sinetron, film televisi, talk show, kuis-kuis, acara
musik, dan sebagainya.
Televisi merupakan ruang eksperimen yang menarik bagi para ilmuwan
sosial untuk mencobakan berbagai macam metode dan teori sebagai pisau dan
alat-alat untuk menganalisa persoalan kebudayaan. Karenanya, banyak hal yang
harus dan bisa dipahami dari televisi. Misalnya dari aspek teks, hubungan antara
teks dan penonton, aspek ekonomi-politik yang melingkupinya, hubungan televisi
dengan aspek-aspek lain diluarnya, sampai pola makna budaya yang ada dalam
televisi.
3 ibid 4 Mc,Quail, 1991:16. 5 edisi 1 Maret 2000, dalam Abadi, 2000. 6 Juliastuti dalam www.kunci.or.id. Diunduh 15 Maret 2011
Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
TELEVISI SEBAGAI MEDIUM
Televisi adalah medium fiktif yang sangat kuat dalam masyarakat
kontemporer. Televisi lahir dari hasil kombinasi antara tehnologi, industri serta
event ideologis dan politis dalam masyarakat7. Berbagai program dari berbagai
stasiun televisi menjadikan televisi adalah suatu media yang memberikan peluang
besar kepada audience untuk memilih berbagai tontonan yang disukainya.
Kepopuleran televisi dibanding media lainnya, dikarenakan oleh
kesederhanaannya dalam menyampaikan pesan, yang ditunjang dengan sifatnya
yang audio-visual (pandang-dengar), sehingga informasi yang disampaikan
sangat mudah untuk diterima dan dicerna oleh pemirsa/khalayak.
Mulyana menjelaskan bahwa sifat televisi yang pokok adalah bisa dilihat
dan didengarkan pemirsanya, disamping sifat yang lainnya, yaitu langsung,
stimultan, intim, dan nyata. Menurut Mulyana dengan sifat-sifat tersebut maka
televisi sebagai media audio visual mampu memberi daya ingat yang lama kepada
pemirsanya. Kekuatan televisi lewat sajiannya yang menarik mengakibatkan
penonton seringkali terpaku dan hanyut dalam dramatisasi acara. Posisi inilah
yang mengakibatkan kesadaran pemirsa seolah terhipnotis oleh sugesti daya pikat
televisi sehingga media ini akan berpengaruh pada sikap, pandangan, persepsi,
sampai pada perilaku pemirsanya.8
Masyarakat pada masa sekarang ini kebanyakan memperoleh informasi
melalui media massa. McLuhan9 menegaskan bahwa dalam masyarakat modern
informasi diperoleh secara langsung atau melalui media massa, sebagai
perpanjangan alat indra kita. Informasi yang ditampilkan media massa telah
diseleksi, atau realitas yang ada merupakan realitas tangan kedua (second hand
reality) dan biasanya tidak dapat atau tidak sempat mengecek kebenarannya.
Kecenderungan memperoleh informasi itu semata-mata berdasarkan pada apa
7 Jurnal Perempuan,edisi XIII, 2000 : 55 8 Deddy Mulyana. 1997. Nuansa-Nuansa Komunikasi. Bandung : CV. Remadja Rosda Karya halaman 169 9 dalam Jalaluddin Rakhmat. 1994. Psikologi Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya : hal. 224
Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
yang dilaporkan media massa. Akhirnya kita membentuk citra tentang lingkungan
sosial berdasarkan realitas kedua yang ditampilkan media massa. Menurut Van
Den Haag, selain menyajikan realitas kedua, media juga memberikan citra dunia
yang keliru. Hal ini juga dikatakan oleh C. Wright Mills, bahwa media massa
memberikan “pseudoworld” (dunia pulasan), dengan kata lain media massa
membentuk citra khalayak ke arah yang dikehendaki media tersebut.10
Cara
manusia membangun citra dirinya dan makna kehidupan mereka akhir-akhir ini
secara diskursif melalui obyek-obyek dan media massa dalam satu ruang dan
waktu, yang oleh Jean Baudrillard ruang tersebut disebut sebagai realitas semu
(hyperreal)11
Televisi juga dianggap sebagai salah satu kekuatan yang membentuk opini
publik dan bahkan pencipta citra (image) baru dalam masyarakat. Gregor T.
Gothals12
(1987) dalam bukunya "The TV Ritual: Worship at The Video Altar ",
mengecap tv sebagai agen ikonoklasme. Ikonoklasme merupakan fenomena
dimana citra-citra yang telah mapan didobrak oleh citra-citra baru. Lama sekali
sejarah kebudayaan menjadikan lukisan dan patung sebagai representase
kehidupan manusia yang dimaksudkan untuk mengkomunikasikan nilai-nilai.
Tradisi ini beralih didominasi televisi, berupa film, drama, dan lain-lain secara
tidak disadari menyampaikan pesan-pesan yang mengubah sikap, tindakan dan
persepsi seseorang terhadap apa yang dilihatnya.
KONSEP GENDER
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan antara seks dan gender.
Seks atau jenis kelamin menunjukkan persifatan yang ditentukan oleh biologis
yang melekat padanya. Alat-alat biologis tersebut melekat masing-masing pada
manusia tersebut dan tidak bisa dipertukarkan. Hal-hal tersebut merupakan
10 Jalaluddin Rakhmat. 1994. Psikologi Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya, hal.224 11 Yasraf Amir Piliang,. 1999. Sebuah Dunia Yang Dilipat. Bandung: Mizan.hal:226 12 dalam Supriadi Dedi, Surat Kabar Bernas, 1995 dan dalam Muh.Labib, 2002, “Potret Sinetron Indonesia,
Antara realitas Virtual dan Realitas Sosial, MU3 Books, Jakarta, p.18
Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
kondisi yang tetap/permanen yang tidak bisa diubah. Sedangkan konsep gender
yakni suatu sifat yang melekat pada laki-laki atau perempuan, dan hal ini bisa
dipertukarkan.
Istilah gender diketengahkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan
perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan
Tuhan dan mana yang merupakan bentukan budaya yang dikonstruksikan,
dipelajari dan disosialisasikan.13
Pembedaan seks dan gender pertama kali
dipopulerkan oleh Ann Oakley, seorang ahli sosiologi Inggris, lewat bukunya Sex,
Gender, and Society. Walau sebenarnya pemikiran mengenai hal itu sudah lama
menjadi dialektika diskursus sosiologi. Perbedaan ini sangat penting karena
selama ini kita sering kali mencampuradukkan antara manusia yang bersifat
kodrati dan tidak berubah dengan sifat manusia yang bersifat non kodrat yang
sebenarnya bisa berubah atau diubah.
Mansour Fakih14
menyebutkan bahwa gender sendiri diartikan sebagai
sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial
maupun kultural, misalnya perempuan lemah lembut, cantik, emosional,
sedangkan laki-laki kuat, rasional, jantan, perkasa.
Sifat-sifat itu sebenarnya dapat dipertukarkan, artinya ada laki-laki yang
emosional, lemah lembut dan ada perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa.
Sehingga terjadi penyimpangan, dimana sifat-sifat yang sebenarnya dapat
dipertukarkan dianggap sebagai kodrat dari Tuhan. Kondisi seperti ini dibentuk,
disosialisasikan, diperkuat bahkan dikonstruksi secara sosial dan kultural melalui
proses yang panjang dan lama.
Hal ini diperkuat juga oleh Julia Cleves Mosse15
, dalam bukunya Gender
dan Pembangunan, yang menyebutkan gender merupakan seperangkat peran yang
digunakan menyampaikan pesan kepada orang lain bahwa kita adalah feminim
13 Bahan pembelajaran Pengrusutamaan Gender diterbitkan kerjasama BKKBN dan Kementrian Negara
Pemberdayaan Perempuan : halaman 33 14 Fakih, Mansour. 2001. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.hal :9 15 Mosse, Julia Cleves, 2003, Gender dan Pembangunan, Yogyakarta , Pustaka Pelajar hal: 3
Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
atau maskulin. Perangkat perilaku khusus ini – mencakup penampilan, pakaian
sikap, kepribadian, bekerja didalam dan diluar rumah tangga, seksualitas,
tanggungjawab pada keluarga dan lain-lain – yang secara bersama-sama memoles
“peran gender”.
Jelaslah mengapa gender dipermasalahkan. Perbedaan konsep gender
secara sosial telah melahirkan perbedaan peran laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat. Secara umum perbedaan gender melahirkan perbedaan peran,
tanggungjawab, fungsi dan bahkan ruang tempat dimana manusia beraktivitas.
Sedemikian rupanya perbedaan gender ini melekat pada cara pandang kita,
sehingga kita sering lupa bahwa hal itu bukankah suatu hal yang permanen dan
abadi. Sebagaimana permanennya ciri biologis yang dimiliki perempuan dan laki-
laki.
Perbedaan ini sangat membantu kita memikirkan kembali tentang
pembagian peran yang selama ini telah melekat pada perempuan dan laki-laki.
Dengan mengenali perbedaan gender sebagai suatu yang tidak tetap, tidak
permanen, memudahkan kita untuk membangun gambaran tentang realistas relasi
antara perempuan dan laki-laki yang dinamis yang lebih tepat dan cocok dengan
kenyataan yang ada dalam masyarakat. Walaupun hal ini tidaklah pekerjaan yang
mudah. Selama kondisi perbedaan gender ini masih dalam stereotipe yang akan
memposisikan perempuan dalam posisi yang tidak setara.
Kodrat juga seringkali disamakan dengan beban gender. Padahal
seharusnya kodrat lebih relevan jika disamakan dengan atribut gender. Pola
pemberian beban gender dalam lintas budaya lebih banyak mengacu kepada
perbedaan atribut gender atau jenis kelamin. Perbedaan yang diciptakan oleh
lingkungan masyarakat yang telah menjadi budaya setempat akan mengakibatkan
perbedaan perlakuan yang diterima oleh masing-masing gender.
Dalam perkembangan dirinya, setelah anak tersebut mengenal dirinya
maka, orangtua dan lingkungannya memberikan pelajaran dan kebiasaan-
Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
kebiasaan atau tatanan adat dalam menyikapi jenis kelaminnya. Misalnya anak
perempuan diberi gaun dan diberi mainan boneka-bonekaan demikian pula laki-
laki diberi pakaian sebagaimana layaknya laki-laki dan diberi mainan mobil-
mobilan dan pistol-pistolan. Hal ini disebut dengan identitas gender, atau dengan
kata lain anak mengenal gendernya dengan identitas yang diberikan pada masing-
masing gender.
Kondisi stereotip di Indonesia pada umumnya didasarkan pada konsep
keutamaan dan sifat khas yang dimiliki oleh perempuan. Citra yang melekat
perempuan yang digambarkan sebagai mahluk yang lemah secara fisik, lembut,
sangat perasa, emosional, patuh dan menerima jerih payah suami dalam mengejar
karier sangat bertolak belakang dengan laki-laki ditampilkan sebagai orang yang
kuat fisik, kepala rumah tangga, pencari nafkah, rasional, jantan, perkasa sehingga
mampu mengerjakan pekerjaan berat dan berbahaya, juga butuh diladeni, tidak
perlu mengurus pekerjaan di dapur atau merawat anak16
Padahal peran ini menurut Kris Budiman17
merupakan perpanjangan dari peran-
peran tradisional perempuan yang selalu berusaha untuk dirubah. Namun menjadi
tugas yang berat merubah citra dalam peran itu karena masih banyak masyarakat
menganut pandangan yang sama tentang perempuan, sehingga yang terjadi
kemudian adalah peneguhan terhadap citra perempuan.
Berbagai usaha dilakukan baik oleh kaum feminis maupun oleh kalangan
perempuan sendiri untuk merubah stereotip yang ada. Secara umum stereotip
dapat diartikan sebagai pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok
tertentu.18
Celakanya stereotip selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan.
Stereotip terhadap perempuan terjadi dimana-mana, misalnya perempuan tidak
boleh berteriak, harus halus dan bisa merawat diri untuk kelak merawat
keluarganya, perempuan bersolek dan berdandan hanya untuk menarik perhatian
16 Fakih, 2001 : 8 dan Rasidy dalam Pikiran Rakyat, 21 April 1998 17 Budiman, Kris. 1999. Feminografi. Yogyakarta. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.hal: 76 18 Fakih, Mansour. 2001. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.hal :16.
Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
lawan jenisnya, perempuan tidak perlu berperan di luar rumah, sehingga
pendidikan perempuan pun dinomorduakan, dan masih banyak lagi.
Sejarah perbedaan gender antara jenis perempuan dan laki-laki itu terjadi
melalui proses yang panjang. Terbentuknya perbedaan-perbedaan itu dikarenakan
berbagai hal, diantaranya dibentuk kemudian disosialisasikan, diperkuat bahkan
dikonstruksi secara sosial ataupun kultural. Melalui proses yang panjang
sosialisasi gender ini akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan, seakan-akan
bersifat biologis sehingga tidak bisa diubah atau dipertukarkan. Hal ini
tersosialisasi secara evolusioner sehingga memperteguh konstruksi tersebut.
Termasuk didalamnya memanfaatkan media massa, terutama televisi untuk
memperteguh konstruksi yang dibuat.
SINETRON TELEVISI
Sinema elektronik atau lebih populer dalam akronim sinetron adalah
istilah untuk serial drama sandiwara bersambung yang disiarkan oleh stasiun
televisi. Dalam bahasa Inggris, sinetron disebut soap opera (opera sabun), dalam
bahasa Spanyol disebut telenovela, sedangka di Amerika disebut (Movie) Made
for Televison (MTV) alias Television Movie. Menurut hasil wawancara dengan
Teguh Karya, sutradara terkenal asal Indonesia, istilah yang digunakan secara luas
di Indonesia ini pertama kali dicetuskan oleh Soemardjono (salah satu pendiri dan
mantan pengajar Institut Kesenian Jakarta).19
Sinetron pada umumnya bercerita tentang kehidupan manusia sehari-hari
yang diwarnai konflik berkepanjangan. Seperti layaknya drama atau sandiwara,
sinetron diawali dengan perkenalan tokoh-tokoh yang memiliki karakter masing-
masing. Berbagai karakter yang berbeda menimbulkan konflik yang makin lama
19
http://id.wikipedia.org/wiki/Sinema_elektronik, diunduh 25 April 2011 jam 15.45 dan
Muh.Labib, 2002, “Potret Sinetron Indonesia, Antara realitas Virtual dan Realitas Sosial, MU3
Books, Jakarta, hal.1
Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
makin besar sehingga sampai pada titik klimaksnya. Akhir dari suatu sinetron
dapat bahagia maupun sedih, tergantung dari jalan cerita yang ditentukan oleh
penulis skenario.
Kritik terhadap tema ini datang dari pandangan bahwa konflik yang terjadi
dalam suatu keluarga berasal dari kebencian mendalam yang berlarut-larut. Dalam
beberapa sinetron, konflik akibat kebencian tersebut bahkan mencapai puluhan
tahun. Akibat konflik yang berlarut-larut tersebut, sinetron dengan latar keluarga
berada biasanya banyak memuat redudansi (berulang-ulang) cerita.20
Sinetron sudah menjadi bagian dari wacana publik dalam ruang sosial
masyarakat. Cerita tidak hanya sekedar menjadi sajian menarik di layar kaca,
tetapi sudah menjadi bahan diskusi atau bahan “ngerumpi baru” diantara ibu-ibu
arisan, antar anggota keluarga, bahkan tidak jarang nilai-nilai sosial didalamnya
hadir sebagai rujukan perilaku para penggemarnya21
.
Media memiliki kekuatan untuk memindahkan realitas sosial ke dalam
pesan media dengan atau setelah diubah citranya, kemudian memindahkannya
melalui replica citra ke dalam realitas sosial yang baru di masyarakat. Kekuatan
televisi juga terbukti mampu mengatur jadwal kegiatan kehidupan masyarakat.
Misalnya dalam suatu penelitian yang dilakukan LIPI di Sulawesi Selatan, setelah
hadirnya televise, para petanipun mengubah waktu tidurnya karena menonton
acara televisi berakhir, mereka jadi terbiasa tidur pukul 01.00 dinihari dan
akibatnya mereka berangkat kerja lebih siang dari sebelumnya.22
Sinetron memang salah satu bentuk hiburan yang diharapkan
menghilangkan orang dari kejenuhan kerja sepanjang hari. Pilihan alur cerita bisa
jadi menawarkan “mimpi” hidup bergelimangan harta, konflik keluarga yang tak
berujung, nilai-nilai dan tata aturan yang ada dibuat jungkir balik dalam sinetron.
20
http://id.wikipedia.org/wiki/Sinema_elektronik 21 Muh.Labib, 2002, “Potret Sinetron Indonesia, Antara realitas Virtual dan Realitas Sosial, MU3 Books,
Jakarta, hal.1 22 Ibid, hal.4
Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
Sinetron sepertinya dijadikan barang dagangan yang diharapkan mampu
memberikan keuntungan.
Dalam penayangannya dan penggarapannya sinetron tentu tidak pernah
berkonsultasi terlebih dahulu dengan para penontonnya, hal yang menjadi rujukan
adalah audience rating dan pemasang iklan, begitu juga bahwa para pemasang
iklan ataupun pemodal dengan mudah mengubah alur cerita atau bintang dari
sinetron tersebut 23
Labib menyatakan lebih jauh bahwa sebagian besar sinetron didominasi
oleh genre drama, persoalan-persoalannya yang diangkat juga persoalan
menengah ke atas yang juga dikaitkan dengan masalah-masalah “remaja tua”,
yaitu remaja yang mulai berpindah dari jenjang remaha ke jenjang dewasa, jika
dihitung di usia 25-35 tahun 24
Beberapa karakter khas film dengan genre drama, yang pertama genre
drama selalu melakukan pembesaran konflik yang memikat. Para produsen,
penulis dan sutradara tampaknya sangat mempercayai dan memegang proposisi :
makin besar konflik makin menarik. Kedua orang-orang baik ata protagonisnya
“selalu kalah”. Tokoh-tokoh ini selalu takluk dan kalah oleh tokoh-tokoh
pendendam dan judes jika perempuan. Ketiga, genre drama selalu menjual mimpi.
Masalah-masalah kelas atas, dagangan segala bisa terjadi di golongan ini. Rumah
mewah, pakaian yang jadi trend, dan lain sebagainya. 25
Walaupun begitu, bisa jadi ini yang menjadi daya tarik sinetron dan semua itu
yang disukai oleh penonton. Ini dibuktikan oleh survey yang diadakan oleh
Nielsen pada penonton tv di Jakarta pada responden berusia 10 tahun keatas. Dari
sekian jenis sajian tontonan televisi, 67% orang mengaku menonton sinetron tv,
23
Ibid, hal.24 24
Ibid, hal. 88 25
Ibid, hal. 100
Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
hanya 33% yang tidak menonton televisi. Ini bisa dilihat dalam diagram berikut
ini26
:
Namun dari hasil survey juga orang berharap tontonan sinetron dan gosip
dikurangi, sehingga tontonan-tontonan yang bernuansa mendidik, program anak-
anak dan program religius bisa ditambah. Hal ini terlihat dalam diagram berikut
ini 27
:
26 Christina Afendy, makalah “Apa Itu Riset Kepemirsaan TV?”, seminar Membaca Rating oleh AGB
Nielsen Media Research, Jakarta, 29 Januari 2008 27 ibid
Menonton sinetron TV
menonton sinetrontidak menonton sinetron
pendapat jumlah tayang sinetron
cukup
dikurangi jumlahnya
ditambah jumlahnya
33%
67%
49.8 %
10.7%
39.5%
Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI
Bisa dikatakan semua orang senang menonton televisi, padahal sebenarnya
televisi penuh dengan permainan ideologis yang muncul. Termasuk didalamnya
pemelihara dan pembentuk konstruksi sosial dengan beragam pandangan,
misalnya cara pandang terhadap laki-laki, cara pandang terhadap perempuan,
bagaimana cara televisi memandang perempuan dalam sebuah perspekif budaya,
yang pada akhirnya kemudian memperteguh kondisi perempuan yang
tersubordinasi dalam dunia televisi (dan media massa umumnya).
Media massa secara tak langsung ikut terus menerus menanamkan pada
perempuan konsep dirinya yang tersubordinasi, termasuk didalamnya konsep diri
dengan tubuh sebagai pusat kesadaran. Maka tak ayal lagi kalau dalam skala yang
lebih luas majalah-majalah populer, sinetron dan iklan-iklan televisi merupakan
media yang banyak dituding karena terlalu menonjolkan perempuan sebagai objek
estetika dan sekedar dieksploitasi bagi kepentingan ekonomi.
Berbagai usaha dilakukan baik oleh kaum feminis maupun oleh kalangan
perempuan sendiri untuk merubah stereotip yang ada. Celakanya stereotip selalu
merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Apalagi terjadi dimana-mana,
misalnya perempuan bersolek dan berdandan hanya untuk menarik perhatian
lawan jenisnya, perempuan tidak perlu berperan di luar rumah, sehingga
pendidikan perempuan pun dinomorduakan, dan masih banyak lagi. Oleh
karenanya gambaran dalam televisi bahwa perempuan hanya bekerja pada peran
domestik seiring dengan kondisi bias gender yang terjadi dalam masyarakat. Ini
yang memperteguh kondisi bias gender. Sehigga apa yang dilakukan oleh feminis
dan para perempuan yang tidak ingin bias gender makin lekat di masyarakat
seakan tak ada artinya karena media menganggap yang bisa dijual ketika
menunjukkan situasi perempuan dalam posisi-posisi yang notabene bisa dikatakan
sebagai kondisi bias gender.
Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
Padahal sekarang inipun perempuan juga mempunyai peran lebih di luar
rumah sebagai tenaga kerja produktif. Kadang kala perempuan bahkan harus
bekerja lebih keras karena dia tetap menjalankan peran domestiknya di rumah
tangga sedangkan masalah karier di luar rumah tetap bisa berjalan. Bahkan tak
jarang perempuan berposisi lebih strategis dibandingkan para laki-laki. Namun
dalam media kondisi ini tidak tampak.
Televisi yang menyajikan gambaran yang audio visual seolah menyajikan
kehidupan sosial perempuan yang sebenarnya. Termasuk didalamnya menyajikan
bagaimana karakter perempuan yang seharusnya, bagaimana perempuan
seharusnya berpenampilan, bagaimana karakter perempuan yangn sering ada,
padahal semuanya hanya kehidupan dalam dimensi yang tidak nyata. Televisi
mendefinisikan budaya perempuan hampir tak pernah lepas dari “konsep
keluarga”, bodoh, tidak mandiri, lemah, dan sangat tergantung pada laki-laki.
Karenanya dalam pertelevisian perempuan menjadi identik dengan kondisi
perempuan bias, karena yang melekat pada gambaran itu yang sebenarnya bisa
dipertukarkan. Selain informasi melalui media massa (televisi), persepsi seseorang
dipengaruhi pula oleh field of experience dan frame of reference yang sudah
dimilikinya mengenai stereotip yang ada pada perempuan.
Gambaran yang ada pada perempuan dapat menjadi kendala perempuan
untuk meningkatkan kualitas dalam karier maupun meningkatkan kemampuan
dirinya. Kendala yaang ada karena adanya gambaran yang melekat perempuan
yang digambarkan sebagai mahluk yang lemah secara fisik, lembut, sangat perasa,
emosional, kejam, bodoh, patuh, hanya tinggal menerima jerih payah suami dan
mengejar karier hanya demi uang. Sedangkan laki-laki ditampilkan orang yang
kuat fisik, kepala rumah tangga, pencari nafkah, rasional, jantan, perkasa, pandai,
cakap sehingga mampu mengerjakan pekerjaan berat dan berbahaya, namun juga
butuh diladeni, tidak perlu mengurus pekerjaan di rumah seperti di dapur ataupun
merawat anak.
Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
Menurut Michael Foucoult28
, meyakinkan bahwa institusi-institusi
ideologis itu memiliki kekuatan-kekuatan diskursif tentang gender. Dimasa lalu
kekuatan diskursif disampaikan melalui sekolah, kelurga, dan tempat-tempat
ibadah. Dalam kebudayaan pasca industri, media massa termasuk dalam lembaga
berkekuatan ideologis tadi. Hal ini nampak dalam salah satu unsur dari media
elektronik ini adalah iklan yang terus menerus menyebarluaskan mitos atau citra
perempuan yang sama.
Di Indonesia, industri televisi belum berani mengangkat isu-isu feminis di
dalam programnya untuk mengcounter serbuan sinetron dan iklan yang demikian
deras menyudutkan perempuan. Malah yang terjadi justru sebaliknya karena
industri televisi yang amat padat modal atau kapitalistik tidak mungkin untuk
mengharapkan menyetop acara-acara yang akan menghasilkan banyak iklan-iklan
sebagai pundi-pundi pemasukan keuangan mereka, walaupun acara mereka
“menyudutkan feminitas perempuan”.
Terlebih lagi dalam konteks muncul dan berkembangnya bias gender
diperkuat oleh media karena dalam media budaya itu dibangun dengan
memanipulasi tubuh perempuan. Hal ini diperkuat oleh Suharko yang
menyebutkan bahwa budaya itu dibangun dengan memanipulasi tubuh perempuan
(outer body of women) sebagai tanda dari simbol-simbol tertentu yang secara
stereotip melekat pada wanita 29
Ternyata media massa memiliki pengaruh besar dalam membentuk citra,
tetapi media massa juga berusaha mempertahankan citra yang sudah dimiliki oleh
khalayaknya. Klapper30
melihat media massa bukan hanya mempertahankan citra,
tetapi cenderung menyokong status quo ketimbang perubahan. Hal ini menurut
Robert31
disebabkan 3 hal, yaitu: (1) reporter atau editor (media massa)
28 dalam Dana Iswara & Yoseptine, Jurnal Perempuan, edisi 28, 2003 29 Dalam Ibrahim, Idi Subandi & Hanif Suranto (ed). 1998. Wanita dan Media - Konstruksi Ideologi Gender
dalam Ruang Publik Orde Baru. Bandung : Remaja Rosdakarya. Hal.324 30Jalaluddin Rakhmat. 1994. Psikologi Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya, hal.227 31 Ibid, hal 253
Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
memandang dan menafsirkan dunia semua dengan citranya tentang realitas-
kepercayaan, nilai dan norma. Citra disesuaikan dengan norma yang ada, maka ia
cenderung tak melihat atau mengabaikan alternatif lain untuk mempersepsi dunia;
(2) wartawan selalu memberikan respon pada tekanan halus yang merupakan
kebijaksanaan pemimpin media; (3) media massa sendiri cenderung menghindari
hal-hal yang kontroversial, karena khawatir hal-hal tersebut akan menurunkan
khalayaknya, audience share (andil khalayak) dikuatirkan direbut oleh media
saingan.
Karena itu berbagai alasan diatas atau bahkan berbagai kepentingan
ekonomi (mendapatkan kue iklan yang besar), maka masih jarang perempuan
digambarkan sebagai orang yang berkontribusi dalam proses pembangunan
sebagaimana laki-laki, misalnya sebagai pekerja yang profesional, penentu
kebijakan (atasan) yang professional, pekerja yang cerdas, dan sukses. Stereotipe
perempuan yang tidak akurat dan bias gender dalam media maupun citraan media
secara terus-menerus telah memperkuat stereotipe dan bias gender yang terjadi
pada perempuan yang pada akhirnya mengekalkan patriarki dan identitas gender
yang sangat seksis dalam relasi antara perempuan dan laki-laki.
Masih dominannya dogma patriaki di dalam kehidupan masyarakat di
samping belum dilepaskannya berbagai bentuk komunikasi dan advokasi gender,
mengakibatkan kesenjangan gender yang menjurus pada kelompok perempuan
yang selalu terpojok dalam berbagai aktivitas. Termasuk dalam sinetron televisi.
Lebih jauh Meutia menjelaskan bahwa masalah bias gender yang ditayangkan
sejumlah sinetron di televisi menunjukkan pemahaman dari para produser tentang
kesetaraan gender masih sangat sedikit. “Saya sangat berharap kepada para
produser agar peduli atas kesetaraan gender yang sedang digalakkan pemerintah
sehingga bangsa Indonesia dapat lebih maju lagi,” katanya menjelaskan32
32http://surabayawebs.com/index.php/2007/09/09/meutia-hatta-banyak-tayangan-televisi-bias-gender-dan-
abaikan-moralitas/ diunduh tanggal 25 maret 2011 pukul 22.00
Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
Kondisi ini memang masih terus berlangsung. Entah karena
ketidakpedulian produser, atau ketidakpahaman penulis naskah atau bahkan
kepentingan ekonomi sehingga tayangan yang laku bila cerita tetap mengekalkan
bias gender melalui tayangan sinetron. Gambaran perempuan dalam beberapa
sinetron Indonesia, memang semuanya berada dalam kondisi yang bias gender.
Misalnya perempuan yang lemah, lemah lembut, sangat tertarik dengan
harta, culas dan sangat tergantung dengan laki-laki. Dari pernyataan diatas dan
berbagai kondisi di sinetron kita dapat ditarik 2 hal penting pertama orang
membangun persepsinya sendiri tentang karakter perempuan dalam sinetron
bahwa karakter perempuan sama dengan karakter dalam sinetron. Secara teoritis
dalam bukunya Deddy Mulyana menyatakan proses pembangunan persepsi sangat
wajar karena salah satu prinsip persepsi adalah mengorganisir struktur objek atau
kejadian atas dasar prinsip kemiripan atau kedekatan dan kelengkapan. Kedua,
pemirsa setia sintron ini melihat “realitas sosial virtual” di layar televisi sebagai
cermin dari realitas sosial di dunia nyata. Gambaran tentang karakter perempuan
yang judes itu dianggap sebagai sebuah cerminan realitas yang benar-benar nyata
adanya. Sehingga bisa dikatakan persepsi Jonathan ini merupakan indikasi bahwa
realitas sosial virtual televisi “dapat” melakukan konstruksi sosial terhadap
realitas sosial individu. 33
Kondisi ini yang sebenarnya yang menghawatirkan penulis, bahwa makin
banyak bias gender yang dimunculkan dalam sinetron-sinetron maka akan makin
tumbuh dan makin susah merubah bias gender yang terjadi di Indonesia. Padahal
seharusnya perjuangan penyadaran gender bukan hanya dimiliki perempuan dan
oleh perempuan, tapi semua pihak sehingga seperti yang disebutkan ibu Meutia
dengan kesadaran gender bangsa Indonesia dapat lebih maju lagi.
Sinetron Putri yang tertukar dan Cinta Fitri ini bisa dikatakan sinetron
yang masih laris manis. Hal ini ditunjukkan dengan dipilihnya sinetron “Putri
33 Muh.Labib, 2002, “Potret Sinetron Indonesia, Antara realitas Virtual dan Realitas Sosial, MU3 Books,
Jakarta, halaman 79
Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
yang Tertukar”, yang ditayangkan setiap hari di RCTI, untuk mendapatkan
penghargaan sebagai sinetron terbaik versi Panasonic Global Award 2010.
Sedangkan sinetron Cinta Fitri, yang sekarang ditayangkan di Indosiar Visual
Mandiri, mendapatkan penghargaan yang sama selama 3 tahun berturut-turut
(2007,2008, 2009) dan hingga sekarang sudah memasuki session ke 7
Dalam sinetron Putri yang Tertukar digambarkan bagaimana berkuasanya
seorang laki-laki bernama Prabu Wijaya (diperankan oleh Atalarik Syach,
berposisi sebagai ayah Amira, papa Zahira & Meisya) dan kuat, gesit, dan
terampilnya Rizqy kekasih Amira (diperankan oleh Rezky Aditya). Sedangkan
perempuan yang ada disini misalnya Amira (diperankan Nikita Willy) dan Zahira
(diperankan Yasmine Wildblood) menjadi perempuan yang lemah, sangat
tergantung dengan laki-laki yang ada disini. Setiap kali masalah muncul mereka
akan “ribut” untuk mendapatkan bantuan para laki-lakinya. Kalaupun Amira
berposisi sebagai pekerja, dilihatkan punya posisi namun tampak tak ada
pekerjaan yang diperlihatkan diselesaikan dengan maksimal oleh dirinya.
Ataupun dalam sinetron Cinta Fitri disini bias gender sangat terlihat jelas.
Perempuan digambarkan sebagai orang yang culas, kejam apalagi bila sudah
punya ambisi, sehingga menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya (salah
satunya digambarkan dalam peran Misca). Atau protagonisnya perempuan ibu
rumah tangga yang lemah lembut, bicaranya pelan, mendayu-dayu, sehingga
Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
memberikan kesan bodoh dan bisa dibodohin dan gampang terpedaya (gambaran
peran ibu Hutama, Fitri, kak Maya) Sangat berbeda dengan yang digambarkan
dengan para laki-laki nya, mereka adalah gambaran para pegawai atau pemilik
perusahaan yang professional, cerdas, bisa mengatasi segala masalah dengan
pemikiran yang matang. Sehingga urusan perusahaan keluarga baru akan
meningkat dan menanjak ketika dipeganng (dikendalikan) oleh anak laki-laki dari
keluarga Hutama (Farel)
Kondisi-kondisi ini membuat bias gender dalam kehidupan sehari-hari
makin susah dihilangkan, karena bias gender dalam sinetron makin memperparah
kondisinya. Realitas-realitas sosial virtual yang digambarkan dalam sinetron ini
akan selalu dianggap sebagai realitas sosial yang ada dalam kehidupan sehari-hari.
Kalaupun yang diceritakan adalah seputar remaja putri, kondisi bias
gender tetap terjadi. Hal ini dengan ditunjukkan kebebasan yang remaja putri
dapatkan semuanya tetap menunjukkan tubuh sebagai pusat kesadaran, dirinya
dituntut untuk menjadi seperti yang disukai laki-laki yang disukainya dan jarang
sekali ditampakkan remaja putri yang memiliki kekuasaan untuk menentukan apa
yang diinginkan dirinya, tidak memiliki posisi pengambil keputusan, atau percaya
diri dengan bagaimanapun bentuk tubuh nya. Lihat saja beberapa sinetron remaja
Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
seperti “Big is Beautiful” (GlobalTV) “Cinta Cenat-Cenut” (Trans TV), dan lain-
lain. Bahkan dalam sinetron-sinetron miniseri seperti si Jelita vermak Jeans (FTV
SCTV), Cinta di Wedang Ronde (FTV SCTV), dan lain sebagainya. Perempuan
dalam FTV ini perempuan digambarkan sebagai orang yang kalau tidak miskin
kemudian dihina, bodoh, lugu, tapi tetep dandan, baju bagus, sehingga si laki-laki
jatuh cinta.
Penutup
Di kalangan umum masih banyak sekali muncul kesalahpahaman
mengenai keadilan gender, seakan-akan perjuangan untuk keadilan itu adalah
“pemberontakan” perempuan dalam konotasi negatif. Sehingga tak heran bila bias
gender ini tetap ada di masyarakat, karena dianggap melanggar tradisi yang sudah
ada sejak dulu. Sebagai dari tradisi yang ada di masyarakat, melihat posisi
perempuan lebih sesuai berada dalam wilayah domestik, mereka lebih sesuai bila
lemah lembut, lembut. Gambaran itu pula yang ditunjukkan dalam sinetron-
sinetron di televisi
Citra yang ditunjukkan dalam sinetron-sinetron ini dapat menjadi kendala
perempuan untuk meningkatkan kualitas dalam karier maupun meningkatkan
kemampuan dirinya. Kendala yaang ada karena adanya citra yang melekat
perempuan yang digambarkan sebagai mahluk yang lemah secara fisik,
digambarkan dalam peran domestik sebagai pelaku peran reproduksi dan merawat
anak, ataupun digambarkan sebagai orang yang menjadikan tubuh sebagai pusat
kesadarannya. Sehingga bisa dikatakan gambaran dalam televisi ini menyudutkan
perempuan sebagai manusia tersubordinasi, yang disebabkan peran yang mereka
miliki.
Lee Loevinger dengan Reflective Projective Theory (1968) beranggapan
bahwa media massa adalah cermin masyarakat yang mencerminkan suatu citra
yang ambigu.34
Media massa mencerminkan citra khalayak dan khalayak
34
Jalaluddin Rakhmat. 1994. Psikologi Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya, hal.227
Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
memproyeksikan citranya pada penyajian media massa. Berdasarkan teori ini
maka besar kemungkinan isi media massa pasti akan mencerminkan situasi
masyarakat saat itu.
Maka dengan gambaran media yang menempatkan posisi perempuan yang
tidak menguntungkan, membuat bias gender yang selama ini ada dalam realitas
sosial masyarakat makin subur. Karena realitas yang dalam media dianggap
mencerminkan situasi masyarakat saat itu.
Perlu kerjasama semua pihak termasuk produser, penulis naskah, pemilik
media untuk tidak mengabaikan kesetaraan gender dalam pembuatan sinetronnya.
Bila ini terjadi maka dapat dipastikan tujuan untuk memajukan kaum perempuan
tak kan jadi kendala. Bila dapat menjalankan prinsip kesetaraan gender maka
beban kaum lelaki dapat dikurangan karena kaum perempuan akan lebih cerdas
dan terberdayakan sehingga tidak menjadi beban laki-laki. Dari media diharapkan
akan merembes pada seluruh bidang, termasuk pendidikan, dan seluruh kehidupan
masyarakat. Semoga…
Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, Tulus. 2000. Anatomi Iklan yang menyesatkan. Jakarta : YLKI
Budiman, Kris. 1999. Feminografi. Yogyakarta. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
...................... 2000. Feminis Laki-laki dan Wacana Gender. Magelang : Penerbit
IndonesiaTera.
Christina Afendy, makalah “Apa Itu Riset Kepemirsaan TV?”, seminar Membaca
Rating oleh AGB Nielsen Media Research, Jakarta, 29 Januari 2008
Fakih, Mansour. 2001. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Ibrahim, Idi Subandi & Hanif Suranto (ed). 1998. Wanita dan Media - Konstruksi
Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru. Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Labib, Muh. 2002, “Potret Sinetron Indonesia, Antara realitas Virtual dan Realitas
Sosial, MU3 Books, Jakarta
Lull, James. 1998. Media Komunikasi Budaya – Suatu Pendekatan Global.
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Mc.Quail, Dennis. 1991. Teori Komunikasi Massa, Suatu Pengantar. Alih Bahasa
Agus Dharmawan dan Amiruddin. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Mosse, Julia Cleves, 2003, Gender dan Pembangunan, Yogyakarta , Pustaka
Pelajar
Mulyana, Deddy & Idi Subandi Ibrahim (ed). 1997. Bercinta dengan Televisi -
Ilusi, Impresi dan Imaji Sebuah Kotak Ajaib. Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Deddy Mulyana. 1997. Nuansa-Nuansa Komunikasi. Bandung : CV. Remadja
Rosda Karya
Piliang, Yasraf Amir. 1999. Sebuah Dunia Yang Dilipat. Bandung: Mizan.
Rakhmat, Jalaluddin. 1994. Psikologi Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya
Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id
Referensi lain :
Bahan pembelajaran Pengrusutamaan Gender diterbitkan kerjasama BKKBN dan
Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan
Dana Iswara & Yoseptine, Jurnal Perempuan, edisi 28, 2003
Juliastuti, Nuraini, Dalam Ruang Pribadi Penonton: Romantisme dan Ekonomi
Politik Sinteron Indonesia. www.kunci.or.id
Jurnal Perempuan, edisi XIII, 2000
Rasidy dalam Pikiran Rakyat, 21 April 1998
Supriadi Dedi dalam Bernas, 29 April 1995
Newsletter Nielsen, no 22 edisi Juni 2008
http://surabayawebs.com/index.php/2007/09/09/meutia-hatta-banyak-tayangan-
televisi-bias-gender-dan-abaikan-moralitas/
http://id.wikipedia.org/wiki/Sinema_elektronik