BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan...

24
Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI

Transcript of BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan...

Page 1: BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Fakultas Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id

BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI

Page 2: BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Fakultas Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id

Bias Gender dalam Sinetron TV

Oleh : Endri Listiani, S.IP.M.Si. 1

ABSTRAK

Televisi merupakan salah satu kekuatan yang membentuk opini publik dan

bahkan pencipta citra baru dalam masyarakat. Media massa, televisi, memiliki

pengaruh besar dalam membentuk citra. Media massa bukan hanya

mempertahankan citra, tetapi cenderung menyokong status quo ketimbang

perubahan.

Media massa secara tak langsung ikut terus menerus menanamkan konsep

perempuan yang tersubordinasi, termasuk didalamnya konsep perempuan dengan

tubuh sebagai pusat kesadaran. Maka tak ayal lagi kalau dalam skala yang lebih

luas majalah populer, sinetron, program acara dan iklan televisi merupakan media

yang banyak dituding karena terlalu menonjolkan perempuan sebagai objek

estetika dan sekedar dieksploitasi bagi kepentingan ekonomi.

Untuk mendapatkan perhatian khalayak berbagai kreatifitaspun digali.

Dari sekian banyak bentuk kreatifitas tak bisa dipungkiri bahwa perempuan selalu

ikut dimanfaatkan sebagai obyek. Perempuan seringkali dihubungkan dengan

keindahan, kepolosan dan kearifan yang seharusnya dimiliki. Pencitraan

perempuan dalam sinetron sering kali hanya melihat perempuan sebagai mahluk

pemanis yang lemah lembut dan berkutat dalam kegiatan domestik, padahal

sekarang ini sudah banyak perempuan yang berkecimpung dalam ruang publik.

Melalui pengamatan pada stasiun televisi swasta menunjukkan bahwa

sinetron-sinetron yang diteliti masih menampilkan perempuan dalam posisi

ketidaksetaraan gender. Posisi yang tidak menguntungkan dan menunjukkan

kekuasaaan-kekuasaan dibidang yang berkaitan dengan domestik kalaupun berada

dalam ruang publik semuanya masih menunjukkan dominasi laki-laki dari para

perempuan yang ada di sekelilingnya. Pemilihan kondisi yang menunjukkan

perempuan yang berkecimpung dalam kegiatan domestik, perempuan hanya

sebagai mahluk lemah, bergantung pada laki-laki dan senang menjadi pusat

perhatian, semua ini seringkali tampak muncul tanpa disadari oleh pembuat

skenario sinetron maupun olek khalayak/audience.

1 Penulis adalah Dosen Tetap Bidang Kajian Manajemen Komunikasi, FIKOM Universitas Islam

Bandung dan Dosen tidak tetap di Fikom UMB Jakarta dan Fakultas Manajemen Desain dan

Komunikasi, Institut Manajemen Telkom Bandung

Page 3: BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Fakultas Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id

PENDAHULUAN

Dibandingkan dengan media lainnya, kekuatan televisi sebagai sumber

informasi dan hiburan masih sulit dibendung. Keberadaan media massa televisi,

pada dasawarsa terakhir ini, semakin menjadi primadona. Munculnya siaran-

siaran televisi “komersial” swasta semakin menyemarakkan dunia pertelevisian

Indonesia. Hal ini berbanding terbalik dengan perkembangan televisi pada

awalnya hingga pertengahan tahun 80-an di Indonesia yang cenderung tidak

variatif, karena dimonopoli oleh pemerintah (TVRI).

Pertumbuhan pesat jumlah stasiun televisi swasta - baik yang menamakan

dirinya stasiun televisi lokal maupun stasiun televisi siaran nasional - bisa menjadi

satu bukti bahwa sebagian besar masyarakat kita belum jemu menikmati hiburan

yang disuguhkan di layar kaca. Padahal, sering diungkapkan dalam seminar-

seminar ataupun artikel-artikel koran dan majalah, pertumbuhan ragam acara di

televisi masih "kalah pesat" dibandingkan dengan jumlah stasiun pemancarnya.

AGB Nielsen2 menyebutkan dalam Newsletternya Loyalitas remaja tinggi

pada jam tayang utama,terutama pada pukul 21.00 sampai 22.30. 88% penonton

remaja atau rata-rata 1 juta orang menyaksikan televisi lebih dari 45 menit.

Selama jam tayang tersebut, loyalitas mereka terhadap program serial adalah yang

tertinggi, menontonpaling sedikit 50% dari total durasi program

Dalam Newsletternya Nielsen menyebutkan 11 persen dari total penonton

TV adalah remaja berusia 15-19 tahun, dan kebanyakan di antara mereka adalah

perempuan. Pada target pemirsa ini, potensi penonton remaja perempuan lebih

tinggi daripada laki-laki di semua paruh waktu, dimana populasi perempuan

mencapai 2,3 juta, sedikit lebih banyak daripada populasi laki-laki yang 2,2 juta di

10 kota survei AGB Nielsen. Karena potensi pemirsa terbesar berada di jam

tayang utama, umumnya program dengan rating tertinggi di kalangan remaja juga

yang ditayangkan pada paruh waktu ini. Diantara remaja pun, jenis kelamin

2 Newsletter Nielsen, no 22 edisi Juni 2008

Page 4: BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Fakultas Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id

berperan dalam pemilihan program, remaja perempuan banyak menonton musik

dan drama, remaja laki-laki memilih untuk menyaksikan olahraga, sepakbola atau

bulutangkis, baik asing maupun lokal. Rata-rata remaja perempuan menghabiskan

2 jam 56 menit sehari untuk menonton TV, sedangkan remaja laki-laki

meluangkan waktu yang lebih sedikit, 2 jam 17 menit.3

Merupakan sesuatu yang wajar jika orang memilih televisi sebagai media

pilihannya. Televisi yang sifatnya audio visual dan atraktif, sehingga mampu

menyampaikan pesan melalui gambar dan suara secara bersamaan dan hidup,

serta menayangkan ruang yang sangat luas kepada pemirsa yang sangat banyak

dalam waktu yang bersamaan4. Sehingga hal ini sangat menguntungkan karena

dinilai sangat efisien, apalagi menurut hasil survei Jawa Pos, seperlima (1/5)

lebih waktu hidup masyarakat digunakan untuk menonton televisi5

Beberapa alasan diatas pantas kiranya menjadi alasan televisi menjadi

perhatian, temasuk didalamnya studi-studi tentang media dan budaya sejak lama.

Bahkan sejauh ini belum ada media lain yang menyamai televisi dalam hal

besarnya volume teks-teks budaya populer yang dihasilkan6. Televisi mampu

melahirkan bagian-bagian baru yang menarik untuk diamati dan dianalisa, mulai

dari siaran berita, iklan televisi, sinetron, film televisi, talk show, kuis-kuis, acara

musik, dan sebagainya.

Televisi merupakan ruang eksperimen yang menarik bagi para ilmuwan

sosial untuk mencobakan berbagai macam metode dan teori sebagai pisau dan

alat-alat untuk menganalisa persoalan kebudayaan. Karenanya, banyak hal yang

harus dan bisa dipahami dari televisi. Misalnya dari aspek teks, hubungan antara

teks dan penonton, aspek ekonomi-politik yang melingkupinya, hubungan televisi

dengan aspek-aspek lain diluarnya, sampai pola makna budaya yang ada dalam

televisi.

3 ibid 4 Mc,Quail, 1991:16. 5 edisi 1 Maret 2000, dalam Abadi, 2000. 6 Juliastuti dalam www.kunci.or.id. Diunduh 15 Maret 2011

Page 5: BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Fakultas Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id

TELEVISI SEBAGAI MEDIUM

Televisi adalah medium fiktif yang sangat kuat dalam masyarakat

kontemporer. Televisi lahir dari hasil kombinasi antara tehnologi, industri serta

event ideologis dan politis dalam masyarakat7. Berbagai program dari berbagai

stasiun televisi menjadikan televisi adalah suatu media yang memberikan peluang

besar kepada audience untuk memilih berbagai tontonan yang disukainya.

Kepopuleran televisi dibanding media lainnya, dikarenakan oleh

kesederhanaannya dalam menyampaikan pesan, yang ditunjang dengan sifatnya

yang audio-visual (pandang-dengar), sehingga informasi yang disampaikan

sangat mudah untuk diterima dan dicerna oleh pemirsa/khalayak.

Mulyana menjelaskan bahwa sifat televisi yang pokok adalah bisa dilihat

dan didengarkan pemirsanya, disamping sifat yang lainnya, yaitu langsung,

stimultan, intim, dan nyata. Menurut Mulyana dengan sifat-sifat tersebut maka

televisi sebagai media audio visual mampu memberi daya ingat yang lama kepada

pemirsanya. Kekuatan televisi lewat sajiannya yang menarik mengakibatkan

penonton seringkali terpaku dan hanyut dalam dramatisasi acara. Posisi inilah

yang mengakibatkan kesadaran pemirsa seolah terhipnotis oleh sugesti daya pikat

televisi sehingga media ini akan berpengaruh pada sikap, pandangan, persepsi,

sampai pada perilaku pemirsanya.8

Masyarakat pada masa sekarang ini kebanyakan memperoleh informasi

melalui media massa. McLuhan9 menegaskan bahwa dalam masyarakat modern

informasi diperoleh secara langsung atau melalui media massa, sebagai

perpanjangan alat indra kita. Informasi yang ditampilkan media massa telah

diseleksi, atau realitas yang ada merupakan realitas tangan kedua (second hand

reality) dan biasanya tidak dapat atau tidak sempat mengecek kebenarannya.

Kecenderungan memperoleh informasi itu semata-mata berdasarkan pada apa

7 Jurnal Perempuan,edisi XIII, 2000 : 55 8 Deddy Mulyana. 1997. Nuansa-Nuansa Komunikasi. Bandung : CV. Remadja Rosda Karya halaman 169 9 dalam Jalaluddin Rakhmat. 1994. Psikologi Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya : hal. 224

Page 6: BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Fakultas Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id

yang dilaporkan media massa. Akhirnya kita membentuk citra tentang lingkungan

sosial berdasarkan realitas kedua yang ditampilkan media massa. Menurut Van

Den Haag, selain menyajikan realitas kedua, media juga memberikan citra dunia

yang keliru. Hal ini juga dikatakan oleh C. Wright Mills, bahwa media massa

memberikan “pseudoworld” (dunia pulasan), dengan kata lain media massa

membentuk citra khalayak ke arah yang dikehendaki media tersebut.10

Cara

manusia membangun citra dirinya dan makna kehidupan mereka akhir-akhir ini

secara diskursif melalui obyek-obyek dan media massa dalam satu ruang dan

waktu, yang oleh Jean Baudrillard ruang tersebut disebut sebagai realitas semu

(hyperreal)11

Televisi juga dianggap sebagai salah satu kekuatan yang membentuk opini

publik dan bahkan pencipta citra (image) baru dalam masyarakat. Gregor T.

Gothals12

(1987) dalam bukunya "The TV Ritual: Worship at The Video Altar ",

mengecap tv sebagai agen ikonoklasme. Ikonoklasme merupakan fenomena

dimana citra-citra yang telah mapan didobrak oleh citra-citra baru. Lama sekali

sejarah kebudayaan menjadikan lukisan dan patung sebagai representase

kehidupan manusia yang dimaksudkan untuk mengkomunikasikan nilai-nilai.

Tradisi ini beralih didominasi televisi, berupa film, drama, dan lain-lain secara

tidak disadari menyampaikan pesan-pesan yang mengubah sikap, tindakan dan

persepsi seseorang terhadap apa yang dilihatnya.

KONSEP GENDER

Untuk memahami konsep gender harus dibedakan antara seks dan gender.

Seks atau jenis kelamin menunjukkan persifatan yang ditentukan oleh biologis

yang melekat padanya. Alat-alat biologis tersebut melekat masing-masing pada

manusia tersebut dan tidak bisa dipertukarkan. Hal-hal tersebut merupakan

10 Jalaluddin Rakhmat. 1994. Psikologi Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya, hal.224 11 Yasraf Amir Piliang,. 1999. Sebuah Dunia Yang Dilipat. Bandung: Mizan.hal:226 12 dalam Supriadi Dedi, Surat Kabar Bernas, 1995 dan dalam Muh.Labib, 2002, “Potret Sinetron Indonesia,

Antara realitas Virtual dan Realitas Sosial, MU3 Books, Jakarta, p.18

Page 7: BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Fakultas Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id

kondisi yang tetap/permanen yang tidak bisa diubah. Sedangkan konsep gender

yakni suatu sifat yang melekat pada laki-laki atau perempuan, dan hal ini bisa

dipertukarkan.

Istilah gender diketengahkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan

perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan

Tuhan dan mana yang merupakan bentukan budaya yang dikonstruksikan,

dipelajari dan disosialisasikan.13

Pembedaan seks dan gender pertama kali

dipopulerkan oleh Ann Oakley, seorang ahli sosiologi Inggris, lewat bukunya Sex,

Gender, and Society. Walau sebenarnya pemikiran mengenai hal itu sudah lama

menjadi dialektika diskursus sosiologi. Perbedaan ini sangat penting karena

selama ini kita sering kali mencampuradukkan antara manusia yang bersifat

kodrati dan tidak berubah dengan sifat manusia yang bersifat non kodrat yang

sebenarnya bisa berubah atau diubah.

Mansour Fakih14

menyebutkan bahwa gender sendiri diartikan sebagai

sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial

maupun kultural, misalnya perempuan lemah lembut, cantik, emosional,

sedangkan laki-laki kuat, rasional, jantan, perkasa.

Sifat-sifat itu sebenarnya dapat dipertukarkan, artinya ada laki-laki yang

emosional, lemah lembut dan ada perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa.

Sehingga terjadi penyimpangan, dimana sifat-sifat yang sebenarnya dapat

dipertukarkan dianggap sebagai kodrat dari Tuhan. Kondisi seperti ini dibentuk,

disosialisasikan, diperkuat bahkan dikonstruksi secara sosial dan kultural melalui

proses yang panjang dan lama.

Hal ini diperkuat juga oleh Julia Cleves Mosse15

, dalam bukunya Gender

dan Pembangunan, yang menyebutkan gender merupakan seperangkat peran yang

digunakan menyampaikan pesan kepada orang lain bahwa kita adalah feminim

13 Bahan pembelajaran Pengrusutamaan Gender diterbitkan kerjasama BKKBN dan Kementrian Negara

Pemberdayaan Perempuan : halaman 33 14 Fakih, Mansour. 2001. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.hal :9 15 Mosse, Julia Cleves, 2003, Gender dan Pembangunan, Yogyakarta , Pustaka Pelajar hal: 3

Page 8: BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Fakultas Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id

atau maskulin. Perangkat perilaku khusus ini – mencakup penampilan, pakaian

sikap, kepribadian, bekerja didalam dan diluar rumah tangga, seksualitas,

tanggungjawab pada keluarga dan lain-lain – yang secara bersama-sama memoles

“peran gender”.

Jelaslah mengapa gender dipermasalahkan. Perbedaan konsep gender

secara sosial telah melahirkan perbedaan peran laki-laki dan perempuan dalam

masyarakat. Secara umum perbedaan gender melahirkan perbedaan peran,

tanggungjawab, fungsi dan bahkan ruang tempat dimana manusia beraktivitas.

Sedemikian rupanya perbedaan gender ini melekat pada cara pandang kita,

sehingga kita sering lupa bahwa hal itu bukankah suatu hal yang permanen dan

abadi. Sebagaimana permanennya ciri biologis yang dimiliki perempuan dan laki-

laki.

Perbedaan ini sangat membantu kita memikirkan kembali tentang

pembagian peran yang selama ini telah melekat pada perempuan dan laki-laki.

Dengan mengenali perbedaan gender sebagai suatu yang tidak tetap, tidak

permanen, memudahkan kita untuk membangun gambaran tentang realistas relasi

antara perempuan dan laki-laki yang dinamis yang lebih tepat dan cocok dengan

kenyataan yang ada dalam masyarakat. Walaupun hal ini tidaklah pekerjaan yang

mudah. Selama kondisi perbedaan gender ini masih dalam stereotipe yang akan

memposisikan perempuan dalam posisi yang tidak setara.

Kodrat juga seringkali disamakan dengan beban gender. Padahal

seharusnya kodrat lebih relevan jika disamakan dengan atribut gender. Pola

pemberian beban gender dalam lintas budaya lebih banyak mengacu kepada

perbedaan atribut gender atau jenis kelamin. Perbedaan yang diciptakan oleh

lingkungan masyarakat yang telah menjadi budaya setempat akan mengakibatkan

perbedaan perlakuan yang diterima oleh masing-masing gender.

Dalam perkembangan dirinya, setelah anak tersebut mengenal dirinya

maka, orangtua dan lingkungannya memberikan pelajaran dan kebiasaan-

Page 9: BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Fakultas Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id

kebiasaan atau tatanan adat dalam menyikapi jenis kelaminnya. Misalnya anak

perempuan diberi gaun dan diberi mainan boneka-bonekaan demikian pula laki-

laki diberi pakaian sebagaimana layaknya laki-laki dan diberi mainan mobil-

mobilan dan pistol-pistolan. Hal ini disebut dengan identitas gender, atau dengan

kata lain anak mengenal gendernya dengan identitas yang diberikan pada masing-

masing gender.

Kondisi stereotip di Indonesia pada umumnya didasarkan pada konsep

keutamaan dan sifat khas yang dimiliki oleh perempuan. Citra yang melekat

perempuan yang digambarkan sebagai mahluk yang lemah secara fisik, lembut,

sangat perasa, emosional, patuh dan menerima jerih payah suami dalam mengejar

karier sangat bertolak belakang dengan laki-laki ditampilkan sebagai orang yang

kuat fisik, kepala rumah tangga, pencari nafkah, rasional, jantan, perkasa sehingga

mampu mengerjakan pekerjaan berat dan berbahaya, juga butuh diladeni, tidak

perlu mengurus pekerjaan di dapur atau merawat anak16

Padahal peran ini menurut Kris Budiman17

merupakan perpanjangan dari peran-

peran tradisional perempuan yang selalu berusaha untuk dirubah. Namun menjadi

tugas yang berat merubah citra dalam peran itu karena masih banyak masyarakat

menganut pandangan yang sama tentang perempuan, sehingga yang terjadi

kemudian adalah peneguhan terhadap citra perempuan.

Berbagai usaha dilakukan baik oleh kaum feminis maupun oleh kalangan

perempuan sendiri untuk merubah stereotip yang ada. Secara umum stereotip

dapat diartikan sebagai pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok

tertentu.18

Celakanya stereotip selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan.

Stereotip terhadap perempuan terjadi dimana-mana, misalnya perempuan tidak

boleh berteriak, harus halus dan bisa merawat diri untuk kelak merawat

keluarganya, perempuan bersolek dan berdandan hanya untuk menarik perhatian

16 Fakih, 2001 : 8 dan Rasidy dalam Pikiran Rakyat, 21 April 1998 17 Budiman, Kris. 1999. Feminografi. Yogyakarta. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.hal: 76 18 Fakih, Mansour. 2001. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.hal :16.

Page 10: BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Fakultas Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id

lawan jenisnya, perempuan tidak perlu berperan di luar rumah, sehingga

pendidikan perempuan pun dinomorduakan, dan masih banyak lagi.

Sejarah perbedaan gender antara jenis perempuan dan laki-laki itu terjadi

melalui proses yang panjang. Terbentuknya perbedaan-perbedaan itu dikarenakan

berbagai hal, diantaranya dibentuk kemudian disosialisasikan, diperkuat bahkan

dikonstruksi secara sosial ataupun kultural. Melalui proses yang panjang

sosialisasi gender ini akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan, seakan-akan

bersifat biologis sehingga tidak bisa diubah atau dipertukarkan. Hal ini

tersosialisasi secara evolusioner sehingga memperteguh konstruksi tersebut.

Termasuk didalamnya memanfaatkan media massa, terutama televisi untuk

memperteguh konstruksi yang dibuat.

SINETRON TELEVISI

Sinema elektronik atau lebih populer dalam akronim sinetron adalah

istilah untuk serial drama sandiwara bersambung yang disiarkan oleh stasiun

televisi. Dalam bahasa Inggris, sinetron disebut soap opera (opera sabun), dalam

bahasa Spanyol disebut telenovela, sedangka di Amerika disebut (Movie) Made

for Televison (MTV) alias Television Movie. Menurut hasil wawancara dengan

Teguh Karya, sutradara terkenal asal Indonesia, istilah yang digunakan secara luas

di Indonesia ini pertama kali dicetuskan oleh Soemardjono (salah satu pendiri dan

mantan pengajar Institut Kesenian Jakarta).19

Sinetron pada umumnya bercerita tentang kehidupan manusia sehari-hari

yang diwarnai konflik berkepanjangan. Seperti layaknya drama atau sandiwara,

sinetron diawali dengan perkenalan tokoh-tokoh yang memiliki karakter masing-

masing. Berbagai karakter yang berbeda menimbulkan konflik yang makin lama

19

http://id.wikipedia.org/wiki/Sinema_elektronik, diunduh 25 April 2011 jam 15.45 dan

Muh.Labib, 2002, “Potret Sinetron Indonesia, Antara realitas Virtual dan Realitas Sosial, MU3

Books, Jakarta, hal.1

Page 11: BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Fakultas Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id

makin besar sehingga sampai pada titik klimaksnya. Akhir dari suatu sinetron

dapat bahagia maupun sedih, tergantung dari jalan cerita yang ditentukan oleh

penulis skenario.

Kritik terhadap tema ini datang dari pandangan bahwa konflik yang terjadi

dalam suatu keluarga berasal dari kebencian mendalam yang berlarut-larut. Dalam

beberapa sinetron, konflik akibat kebencian tersebut bahkan mencapai puluhan

tahun. Akibat konflik yang berlarut-larut tersebut, sinetron dengan latar keluarga

berada biasanya banyak memuat redudansi (berulang-ulang) cerita.20

Sinetron sudah menjadi bagian dari wacana publik dalam ruang sosial

masyarakat. Cerita tidak hanya sekedar menjadi sajian menarik di layar kaca,

tetapi sudah menjadi bahan diskusi atau bahan “ngerumpi baru” diantara ibu-ibu

arisan, antar anggota keluarga, bahkan tidak jarang nilai-nilai sosial didalamnya

hadir sebagai rujukan perilaku para penggemarnya21

.

Media memiliki kekuatan untuk memindahkan realitas sosial ke dalam

pesan media dengan atau setelah diubah citranya, kemudian memindahkannya

melalui replica citra ke dalam realitas sosial yang baru di masyarakat. Kekuatan

televisi juga terbukti mampu mengatur jadwal kegiatan kehidupan masyarakat.

Misalnya dalam suatu penelitian yang dilakukan LIPI di Sulawesi Selatan, setelah

hadirnya televise, para petanipun mengubah waktu tidurnya karena menonton

acara televisi berakhir, mereka jadi terbiasa tidur pukul 01.00 dinihari dan

akibatnya mereka berangkat kerja lebih siang dari sebelumnya.22

Sinetron memang salah satu bentuk hiburan yang diharapkan

menghilangkan orang dari kejenuhan kerja sepanjang hari. Pilihan alur cerita bisa

jadi menawarkan “mimpi” hidup bergelimangan harta, konflik keluarga yang tak

berujung, nilai-nilai dan tata aturan yang ada dibuat jungkir balik dalam sinetron.

20

http://id.wikipedia.org/wiki/Sinema_elektronik 21 Muh.Labib, 2002, “Potret Sinetron Indonesia, Antara realitas Virtual dan Realitas Sosial, MU3 Books,

Jakarta, hal.1 22 Ibid, hal.4

Page 12: BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Fakultas Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id

Sinetron sepertinya dijadikan barang dagangan yang diharapkan mampu

memberikan keuntungan.

Dalam penayangannya dan penggarapannya sinetron tentu tidak pernah

berkonsultasi terlebih dahulu dengan para penontonnya, hal yang menjadi rujukan

adalah audience rating dan pemasang iklan, begitu juga bahwa para pemasang

iklan ataupun pemodal dengan mudah mengubah alur cerita atau bintang dari

sinetron tersebut 23

Labib menyatakan lebih jauh bahwa sebagian besar sinetron didominasi

oleh genre drama, persoalan-persoalannya yang diangkat juga persoalan

menengah ke atas yang juga dikaitkan dengan masalah-masalah “remaja tua”,

yaitu remaja yang mulai berpindah dari jenjang remaha ke jenjang dewasa, jika

dihitung di usia 25-35 tahun 24

Beberapa karakter khas film dengan genre drama, yang pertama genre

drama selalu melakukan pembesaran konflik yang memikat. Para produsen,

penulis dan sutradara tampaknya sangat mempercayai dan memegang proposisi :

makin besar konflik makin menarik. Kedua orang-orang baik ata protagonisnya

“selalu kalah”. Tokoh-tokoh ini selalu takluk dan kalah oleh tokoh-tokoh

pendendam dan judes jika perempuan. Ketiga, genre drama selalu menjual mimpi.

Masalah-masalah kelas atas, dagangan segala bisa terjadi di golongan ini. Rumah

mewah, pakaian yang jadi trend, dan lain sebagainya. 25

Walaupun begitu, bisa jadi ini yang menjadi daya tarik sinetron dan semua itu

yang disukai oleh penonton. Ini dibuktikan oleh survey yang diadakan oleh

Nielsen pada penonton tv di Jakarta pada responden berusia 10 tahun keatas. Dari

sekian jenis sajian tontonan televisi, 67% orang mengaku menonton sinetron tv,

23

Ibid, hal.24 24

Ibid, hal. 88 25

Ibid, hal. 100

Page 13: BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Fakultas Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id

hanya 33% yang tidak menonton televisi. Ini bisa dilihat dalam diagram berikut

ini26

:

Namun dari hasil survey juga orang berharap tontonan sinetron dan gosip

dikurangi, sehingga tontonan-tontonan yang bernuansa mendidik, program anak-

anak dan program religius bisa ditambah. Hal ini terlihat dalam diagram berikut

ini 27

:

26 Christina Afendy, makalah “Apa Itu Riset Kepemirsaan TV?”, seminar Membaca Rating oleh AGB

Nielsen Media Research, Jakarta, 29 Januari 2008 27 ibid

Menonton sinetron TV

menonton sinetrontidak menonton sinetron

pendapat jumlah tayang sinetron

cukup

dikurangi jumlahnya

ditambah jumlahnya

33%

67%

49.8 %

10.7%

39.5%

Page 14: BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Fakultas Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id

BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI

Bisa dikatakan semua orang senang menonton televisi, padahal sebenarnya

televisi penuh dengan permainan ideologis yang muncul. Termasuk didalamnya

pemelihara dan pembentuk konstruksi sosial dengan beragam pandangan,

misalnya cara pandang terhadap laki-laki, cara pandang terhadap perempuan,

bagaimana cara televisi memandang perempuan dalam sebuah perspekif budaya,

yang pada akhirnya kemudian memperteguh kondisi perempuan yang

tersubordinasi dalam dunia televisi (dan media massa umumnya).

Media massa secara tak langsung ikut terus menerus menanamkan pada

perempuan konsep dirinya yang tersubordinasi, termasuk didalamnya konsep diri

dengan tubuh sebagai pusat kesadaran. Maka tak ayal lagi kalau dalam skala yang

lebih luas majalah-majalah populer, sinetron dan iklan-iklan televisi merupakan

media yang banyak dituding karena terlalu menonjolkan perempuan sebagai objek

estetika dan sekedar dieksploitasi bagi kepentingan ekonomi.

Berbagai usaha dilakukan baik oleh kaum feminis maupun oleh kalangan

perempuan sendiri untuk merubah stereotip yang ada. Celakanya stereotip selalu

merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Apalagi terjadi dimana-mana,

misalnya perempuan bersolek dan berdandan hanya untuk menarik perhatian

lawan jenisnya, perempuan tidak perlu berperan di luar rumah, sehingga

pendidikan perempuan pun dinomorduakan, dan masih banyak lagi. Oleh

karenanya gambaran dalam televisi bahwa perempuan hanya bekerja pada peran

domestik seiring dengan kondisi bias gender yang terjadi dalam masyarakat. Ini

yang memperteguh kondisi bias gender. Sehigga apa yang dilakukan oleh feminis

dan para perempuan yang tidak ingin bias gender makin lekat di masyarakat

seakan tak ada artinya karena media menganggap yang bisa dijual ketika

menunjukkan situasi perempuan dalam posisi-posisi yang notabene bisa dikatakan

sebagai kondisi bias gender.

Page 15: BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Fakultas Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id

Padahal sekarang inipun perempuan juga mempunyai peran lebih di luar

rumah sebagai tenaga kerja produktif. Kadang kala perempuan bahkan harus

bekerja lebih keras karena dia tetap menjalankan peran domestiknya di rumah

tangga sedangkan masalah karier di luar rumah tetap bisa berjalan. Bahkan tak

jarang perempuan berposisi lebih strategis dibandingkan para laki-laki. Namun

dalam media kondisi ini tidak tampak.

Televisi yang menyajikan gambaran yang audio visual seolah menyajikan

kehidupan sosial perempuan yang sebenarnya. Termasuk didalamnya menyajikan

bagaimana karakter perempuan yang seharusnya, bagaimana perempuan

seharusnya berpenampilan, bagaimana karakter perempuan yangn sering ada,

padahal semuanya hanya kehidupan dalam dimensi yang tidak nyata. Televisi

mendefinisikan budaya perempuan hampir tak pernah lepas dari “konsep

keluarga”, bodoh, tidak mandiri, lemah, dan sangat tergantung pada laki-laki.

Karenanya dalam pertelevisian perempuan menjadi identik dengan kondisi

perempuan bias, karena yang melekat pada gambaran itu yang sebenarnya bisa

dipertukarkan. Selain informasi melalui media massa (televisi), persepsi seseorang

dipengaruhi pula oleh field of experience dan frame of reference yang sudah

dimilikinya mengenai stereotip yang ada pada perempuan.

Gambaran yang ada pada perempuan dapat menjadi kendala perempuan

untuk meningkatkan kualitas dalam karier maupun meningkatkan kemampuan

dirinya. Kendala yaang ada karena adanya gambaran yang melekat perempuan

yang digambarkan sebagai mahluk yang lemah secara fisik, lembut, sangat perasa,

emosional, kejam, bodoh, patuh, hanya tinggal menerima jerih payah suami dan

mengejar karier hanya demi uang. Sedangkan laki-laki ditampilkan orang yang

kuat fisik, kepala rumah tangga, pencari nafkah, rasional, jantan, perkasa, pandai,

cakap sehingga mampu mengerjakan pekerjaan berat dan berbahaya, namun juga

butuh diladeni, tidak perlu mengurus pekerjaan di rumah seperti di dapur ataupun

merawat anak.

Page 16: BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Fakultas Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id

Menurut Michael Foucoult28

, meyakinkan bahwa institusi-institusi

ideologis itu memiliki kekuatan-kekuatan diskursif tentang gender. Dimasa lalu

kekuatan diskursif disampaikan melalui sekolah, kelurga, dan tempat-tempat

ibadah. Dalam kebudayaan pasca industri, media massa termasuk dalam lembaga

berkekuatan ideologis tadi. Hal ini nampak dalam salah satu unsur dari media

elektronik ini adalah iklan yang terus menerus menyebarluaskan mitos atau citra

perempuan yang sama.

Di Indonesia, industri televisi belum berani mengangkat isu-isu feminis di

dalam programnya untuk mengcounter serbuan sinetron dan iklan yang demikian

deras menyudutkan perempuan. Malah yang terjadi justru sebaliknya karena

industri televisi yang amat padat modal atau kapitalistik tidak mungkin untuk

mengharapkan menyetop acara-acara yang akan menghasilkan banyak iklan-iklan

sebagai pundi-pundi pemasukan keuangan mereka, walaupun acara mereka

“menyudutkan feminitas perempuan”.

Terlebih lagi dalam konteks muncul dan berkembangnya bias gender

diperkuat oleh media karena dalam media budaya itu dibangun dengan

memanipulasi tubuh perempuan. Hal ini diperkuat oleh Suharko yang

menyebutkan bahwa budaya itu dibangun dengan memanipulasi tubuh perempuan

(outer body of women) sebagai tanda dari simbol-simbol tertentu yang secara

stereotip melekat pada wanita 29

Ternyata media massa memiliki pengaruh besar dalam membentuk citra,

tetapi media massa juga berusaha mempertahankan citra yang sudah dimiliki oleh

khalayaknya. Klapper30

melihat media massa bukan hanya mempertahankan citra,

tetapi cenderung menyokong status quo ketimbang perubahan. Hal ini menurut

Robert31

disebabkan 3 hal, yaitu: (1) reporter atau editor (media massa)

28 dalam Dana Iswara & Yoseptine, Jurnal Perempuan, edisi 28, 2003 29 Dalam Ibrahim, Idi Subandi & Hanif Suranto (ed). 1998. Wanita dan Media - Konstruksi Ideologi Gender

dalam Ruang Publik Orde Baru. Bandung : Remaja Rosdakarya. Hal.324 30Jalaluddin Rakhmat. 1994. Psikologi Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya, hal.227 31 Ibid, hal 253

Page 17: BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Fakultas Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id

memandang dan menafsirkan dunia semua dengan citranya tentang realitas-

kepercayaan, nilai dan norma. Citra disesuaikan dengan norma yang ada, maka ia

cenderung tak melihat atau mengabaikan alternatif lain untuk mempersepsi dunia;

(2) wartawan selalu memberikan respon pada tekanan halus yang merupakan

kebijaksanaan pemimpin media; (3) media massa sendiri cenderung menghindari

hal-hal yang kontroversial, karena khawatir hal-hal tersebut akan menurunkan

khalayaknya, audience share (andil khalayak) dikuatirkan direbut oleh media

saingan.

Karena itu berbagai alasan diatas atau bahkan berbagai kepentingan

ekonomi (mendapatkan kue iklan yang besar), maka masih jarang perempuan

digambarkan sebagai orang yang berkontribusi dalam proses pembangunan

sebagaimana laki-laki, misalnya sebagai pekerja yang profesional, penentu

kebijakan (atasan) yang professional, pekerja yang cerdas, dan sukses. Stereotipe

perempuan yang tidak akurat dan bias gender dalam media maupun citraan media

secara terus-menerus telah memperkuat stereotipe dan bias gender yang terjadi

pada perempuan yang pada akhirnya mengekalkan patriarki dan identitas gender

yang sangat seksis dalam relasi antara perempuan dan laki-laki.

Masih dominannya dogma patriaki di dalam kehidupan masyarakat di

samping belum dilepaskannya berbagai bentuk komunikasi dan advokasi gender,

mengakibatkan kesenjangan gender yang menjurus pada kelompok perempuan

yang selalu terpojok dalam berbagai aktivitas. Termasuk dalam sinetron televisi.

Lebih jauh Meutia menjelaskan bahwa masalah bias gender yang ditayangkan

sejumlah sinetron di televisi menunjukkan pemahaman dari para produser tentang

kesetaraan gender masih sangat sedikit. “Saya sangat berharap kepada para

produser agar peduli atas kesetaraan gender yang sedang digalakkan pemerintah

sehingga bangsa Indonesia dapat lebih maju lagi,” katanya menjelaskan32

32http://surabayawebs.com/index.php/2007/09/09/meutia-hatta-banyak-tayangan-televisi-bias-gender-dan-

abaikan-moralitas/ diunduh tanggal 25 maret 2011 pukul 22.00

Page 18: BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Fakultas Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id

Kondisi ini memang masih terus berlangsung. Entah karena

ketidakpedulian produser, atau ketidakpahaman penulis naskah atau bahkan

kepentingan ekonomi sehingga tayangan yang laku bila cerita tetap mengekalkan

bias gender melalui tayangan sinetron. Gambaran perempuan dalam beberapa

sinetron Indonesia, memang semuanya berada dalam kondisi yang bias gender.

Misalnya perempuan yang lemah, lemah lembut, sangat tertarik dengan

harta, culas dan sangat tergantung dengan laki-laki. Dari pernyataan diatas dan

berbagai kondisi di sinetron kita dapat ditarik 2 hal penting pertama orang

membangun persepsinya sendiri tentang karakter perempuan dalam sinetron

bahwa karakter perempuan sama dengan karakter dalam sinetron. Secara teoritis

dalam bukunya Deddy Mulyana menyatakan proses pembangunan persepsi sangat

wajar karena salah satu prinsip persepsi adalah mengorganisir struktur objek atau

kejadian atas dasar prinsip kemiripan atau kedekatan dan kelengkapan. Kedua,

pemirsa setia sintron ini melihat “realitas sosial virtual” di layar televisi sebagai

cermin dari realitas sosial di dunia nyata. Gambaran tentang karakter perempuan

yang judes itu dianggap sebagai sebuah cerminan realitas yang benar-benar nyata

adanya. Sehingga bisa dikatakan persepsi Jonathan ini merupakan indikasi bahwa

realitas sosial virtual televisi “dapat” melakukan konstruksi sosial terhadap

realitas sosial individu. 33

Kondisi ini yang sebenarnya yang menghawatirkan penulis, bahwa makin

banyak bias gender yang dimunculkan dalam sinetron-sinetron maka akan makin

tumbuh dan makin susah merubah bias gender yang terjadi di Indonesia. Padahal

seharusnya perjuangan penyadaran gender bukan hanya dimiliki perempuan dan

oleh perempuan, tapi semua pihak sehingga seperti yang disebutkan ibu Meutia

dengan kesadaran gender bangsa Indonesia dapat lebih maju lagi.

Sinetron Putri yang tertukar dan Cinta Fitri ini bisa dikatakan sinetron

yang masih laris manis. Hal ini ditunjukkan dengan dipilihnya sinetron “Putri

33 Muh.Labib, 2002, “Potret Sinetron Indonesia, Antara realitas Virtual dan Realitas Sosial, MU3 Books,

Jakarta, halaman 79

Page 19: BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Fakultas Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id

yang Tertukar”, yang ditayangkan setiap hari di RCTI, untuk mendapatkan

penghargaan sebagai sinetron terbaik versi Panasonic Global Award 2010.

Sedangkan sinetron Cinta Fitri, yang sekarang ditayangkan di Indosiar Visual

Mandiri, mendapatkan penghargaan yang sama selama 3 tahun berturut-turut

(2007,2008, 2009) dan hingga sekarang sudah memasuki session ke 7

Dalam sinetron Putri yang Tertukar digambarkan bagaimana berkuasanya

seorang laki-laki bernama Prabu Wijaya (diperankan oleh Atalarik Syach,

berposisi sebagai ayah Amira, papa Zahira & Meisya) dan kuat, gesit, dan

terampilnya Rizqy kekasih Amira (diperankan oleh Rezky Aditya). Sedangkan

perempuan yang ada disini misalnya Amira (diperankan Nikita Willy) dan Zahira

(diperankan Yasmine Wildblood) menjadi perempuan yang lemah, sangat

tergantung dengan laki-laki yang ada disini. Setiap kali masalah muncul mereka

akan “ribut” untuk mendapatkan bantuan para laki-lakinya. Kalaupun Amira

berposisi sebagai pekerja, dilihatkan punya posisi namun tampak tak ada

pekerjaan yang diperlihatkan diselesaikan dengan maksimal oleh dirinya.

Ataupun dalam sinetron Cinta Fitri disini bias gender sangat terlihat jelas.

Perempuan digambarkan sebagai orang yang culas, kejam apalagi bila sudah

punya ambisi, sehingga menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya (salah

satunya digambarkan dalam peran Misca). Atau protagonisnya perempuan ibu

rumah tangga yang lemah lembut, bicaranya pelan, mendayu-dayu, sehingga

Page 20: BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Fakultas Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id

memberikan kesan bodoh dan bisa dibodohin dan gampang terpedaya (gambaran

peran ibu Hutama, Fitri, kak Maya) Sangat berbeda dengan yang digambarkan

dengan para laki-laki nya, mereka adalah gambaran para pegawai atau pemilik

perusahaan yang professional, cerdas, bisa mengatasi segala masalah dengan

pemikiran yang matang. Sehingga urusan perusahaan keluarga baru akan

meningkat dan menanjak ketika dipeganng (dikendalikan) oleh anak laki-laki dari

keluarga Hutama (Farel)

Kondisi-kondisi ini membuat bias gender dalam kehidupan sehari-hari

makin susah dihilangkan, karena bias gender dalam sinetron makin memperparah

kondisinya. Realitas-realitas sosial virtual yang digambarkan dalam sinetron ini

akan selalu dianggap sebagai realitas sosial yang ada dalam kehidupan sehari-hari.

Kalaupun yang diceritakan adalah seputar remaja putri, kondisi bias

gender tetap terjadi. Hal ini dengan ditunjukkan kebebasan yang remaja putri

dapatkan semuanya tetap menunjukkan tubuh sebagai pusat kesadaran, dirinya

dituntut untuk menjadi seperti yang disukai laki-laki yang disukainya dan jarang

sekali ditampakkan remaja putri yang memiliki kekuasaan untuk menentukan apa

yang diinginkan dirinya, tidak memiliki posisi pengambil keputusan, atau percaya

diri dengan bagaimanapun bentuk tubuh nya. Lihat saja beberapa sinetron remaja

Page 21: BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Fakultas Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id

seperti “Big is Beautiful” (GlobalTV) “Cinta Cenat-Cenut” (Trans TV), dan lain-

lain. Bahkan dalam sinetron-sinetron miniseri seperti si Jelita vermak Jeans (FTV

SCTV), Cinta di Wedang Ronde (FTV SCTV), dan lain sebagainya. Perempuan

dalam FTV ini perempuan digambarkan sebagai orang yang kalau tidak miskin

kemudian dihina, bodoh, lugu, tapi tetep dandan, baju bagus, sehingga si laki-laki

jatuh cinta.

Penutup

Di kalangan umum masih banyak sekali muncul kesalahpahaman

mengenai keadilan gender, seakan-akan perjuangan untuk keadilan itu adalah

“pemberontakan” perempuan dalam konotasi negatif. Sehingga tak heran bila bias

gender ini tetap ada di masyarakat, karena dianggap melanggar tradisi yang sudah

ada sejak dulu. Sebagai dari tradisi yang ada di masyarakat, melihat posisi

perempuan lebih sesuai berada dalam wilayah domestik, mereka lebih sesuai bila

lemah lembut, lembut. Gambaran itu pula yang ditunjukkan dalam sinetron-

sinetron di televisi

Citra yang ditunjukkan dalam sinetron-sinetron ini dapat menjadi kendala

perempuan untuk meningkatkan kualitas dalam karier maupun meningkatkan

kemampuan dirinya. Kendala yaang ada karena adanya citra yang melekat

perempuan yang digambarkan sebagai mahluk yang lemah secara fisik,

digambarkan dalam peran domestik sebagai pelaku peran reproduksi dan merawat

anak, ataupun digambarkan sebagai orang yang menjadikan tubuh sebagai pusat

kesadarannya. Sehingga bisa dikatakan gambaran dalam televisi ini menyudutkan

perempuan sebagai manusia tersubordinasi, yang disebabkan peran yang mereka

miliki.

Lee Loevinger dengan Reflective Projective Theory (1968) beranggapan

bahwa media massa adalah cermin masyarakat yang mencerminkan suatu citra

yang ambigu.34

Media massa mencerminkan citra khalayak dan khalayak

34

Jalaluddin Rakhmat. 1994. Psikologi Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya, hal.227

Page 22: BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Fakultas Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id

memproyeksikan citranya pada penyajian media massa. Berdasarkan teori ini

maka besar kemungkinan isi media massa pasti akan mencerminkan situasi

masyarakat saat itu.

Maka dengan gambaran media yang menempatkan posisi perempuan yang

tidak menguntungkan, membuat bias gender yang selama ini ada dalam realitas

sosial masyarakat makin subur. Karena realitas yang dalam media dianggap

mencerminkan situasi masyarakat saat itu.

Perlu kerjasama semua pihak termasuk produser, penulis naskah, pemilik

media untuk tidak mengabaikan kesetaraan gender dalam pembuatan sinetronnya.

Bila ini terjadi maka dapat dipastikan tujuan untuk memajukan kaum perempuan

tak kan jadi kendala. Bila dapat menjalankan prinsip kesetaraan gender maka

beban kaum lelaki dapat dikurangan karena kaum perempuan akan lebih cerdas

dan terberdayakan sehingga tidak menjadi beban laki-laki. Dari media diharapkan

akan merembes pada seluruh bidang, termasuk pendidikan, dan seluruh kehidupan

masyarakat. Semoga…

Page 23: BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Fakultas Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id

DAFTAR PUSTAKA

Abadi, Tulus. 2000. Anatomi Iklan yang menyesatkan. Jakarta : YLKI

Budiman, Kris. 1999. Feminografi. Yogyakarta. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

...................... 2000. Feminis Laki-laki dan Wacana Gender. Magelang : Penerbit

IndonesiaTera.

Christina Afendy, makalah “Apa Itu Riset Kepemirsaan TV?”, seminar Membaca

Rating oleh AGB Nielsen Media Research, Jakarta, 29 Januari 2008

Fakih, Mansour. 2001. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta :

Pustaka Pelajar.

Ibrahim, Idi Subandi & Hanif Suranto (ed). 1998. Wanita dan Media - Konstruksi

Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru. Bandung : Remaja

Rosdakarya.

Labib, Muh. 2002, “Potret Sinetron Indonesia, Antara realitas Virtual dan Realitas

Sosial, MU3 Books, Jakarta

Lull, James. 1998. Media Komunikasi Budaya – Suatu Pendekatan Global.

Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

Mc.Quail, Dennis. 1991. Teori Komunikasi Massa, Suatu Pengantar. Alih Bahasa

Agus Dharmawan dan Amiruddin. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Mosse, Julia Cleves, 2003, Gender dan Pembangunan, Yogyakarta , Pustaka

Pelajar

Mulyana, Deddy & Idi Subandi Ibrahim (ed). 1997. Bercinta dengan Televisi -

Ilusi, Impresi dan Imaji Sebuah Kotak Ajaib. Bandung : Remaja

Rosdakarya.

Deddy Mulyana. 1997. Nuansa-Nuansa Komunikasi. Bandung : CV. Remadja

Rosda Karya

Piliang, Yasraf Amir. 1999. Sebuah Dunia Yang Dilipat. Bandung: Mizan.

Rakhmat, Jalaluddin. 1994. Psikologi Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya

Page 24: BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 BIAS GENDER DALAM SINETRON TELEVISI Fakultas Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan Kembangan Jakarta Barat 11650 www.mercubuana.ac.id

Referensi lain :

Bahan pembelajaran Pengrusutamaan Gender diterbitkan kerjasama BKKBN dan

Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan

Dana Iswara & Yoseptine, Jurnal Perempuan, edisi 28, 2003

Juliastuti, Nuraini, Dalam Ruang Pribadi Penonton: Romantisme dan Ekonomi

Politik Sinteron Indonesia. www.kunci.or.id

Jurnal Perempuan, edisi XIII, 2000

Rasidy dalam Pikiran Rakyat, 21 April 1998

Supriadi Dedi dalam Bernas, 29 April 1995

Newsletter Nielsen, no 22 edisi Juni 2008

http://surabayawebs.com/index.php/2007/09/09/meutia-hatta-banyak-tayangan-

televisi-bias-gender-dan-abaikan-moralitas/

http://id.wikipedia.org/wiki/Sinema_elektronik